Dorna yang Sakti Terpancing Provokasi

634

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND
Durna
Durna

 

Kekuatan fisik dan keahlian bertanding ditopang dengan kesaktian yang tinggi, belum menjamin sebagai suatu kekuatan yang prima tanpa ditunjang aspek kejiwaan seperti ketenangan, ketahanan mental dan kewaspadaan atin. Maha resi Dorna seorang pakar straegi perang dan ahli menggunakan senjata masih terpancing oleh berita provokasi hingga terpecah konsetrasinya melemah daya juangnya. Ini terjadi dalam perang barata ketika bertarung dengan Pandawa bekas muridnya.

Sebenarnya guru besar ilmu perang itu menaruh simpati yang dalam kepada Pandawa yang selama menjadi mahasiswanya, dinilai baik tingkah lakunya, penurut dan sungguh-sungguh dalam mengamalkan pelajaran yang diberikan. Sebaliknya kaum Kurawa selain tingkah lakunya ugal-ugalan, juga rendah akhlaknya dan kurang memperhatikan pelajaran sehingga dalams egala hal Pandawa di nilai lebih unggul. Keberadaannya di pihak Kurawa adalah rekayasa politik Sakuni untuk memperkuat barisan Kurawa jika timbul perang dengan Pandawa.

Walau demikian Dorna masih berusaha membujuk Duryudana agar bersikap lebih lunak mau memenuhi tuntuan Pandawa untuk memperoleh tanah sesigar semangka sehingga perang dapat dicegah. Berkata Dorna:” Angger Prabu, redamlah kebencian itu. Kebencian timbul karena dirinya tidak mampu berpikirs ecara sehat. Karena itu bersikaplah lebih lunak agar tercipta perdamaian kedua belah pihak,” ujarnya menyarankan. “Jangan paman bicara soal perdamaian. Aku tidak berugur macam itu. Damai berarti rugi, perang pilihan terbaik,” jawabnya tegas. “Mereka menuntut keadilan bukan perang.” kilah Dorna. “Itu sudah merupakan keadilan yang digariskan Hyang Pasti. Kaum pengemis sudah terbiasa hidup sengsara. Karena itu mereka tidak patut memerintah negara,” kilahnya dengan nada menghina. “Angger masih anggap enteng Pandawa? Bukankah sudah terbukti mereka ungguls egala-galanya? Adipati karna yang dijagokan ajal di tangan Arjuna. lalu hari ini, esok atau lusa siapa lagi yang akan menyusul,” Dorna memberi peringatan. “Justru hari ini, esok atau lusa dan seterusnya giliran mereka yang akan binasa di tangan kaum Kurawa!” sergahnya. “lalu siapa orangnya yang sanggup menghancurkan pandawa?” desak sang resi ingin tahu. “Siapa lagi kalau bukan sampeyan yang sanggup dan harus menghancurkan Pandawa. Hari esok harus paman buktikan kesetianmu kepadaku. Ini perintah!” tegasnya.

Terhenyak sang resi mendengar perintah itu. Ia bukan takut perang, tetapi ia harus perang memerangi kebenaran. Sedang di sisi lain ia harus melaksanakan perintah raja. Begitulah keesokan harinya Dorna bertandang di medan laga. ia perang dengan sungguh-sungguh sehingga tidak sedikit korban di pihak Pandawa. Kesaktiannya tak tertandingi, hanya Arjuna yang sanggup menyaingi walau pasukannya tetap tak memperoleh kemajuan. Kresna yang mengawasi dari jauh cukup waspada, bahwa Dorna sulit ditandingi dengan cara biasa.

Satu-satunya cara untuk dapat melemahkan daya juangnya harus dibohongi, seolah-olah anak tunggalnya Aswatama yang sangat dikasihi telah mati di medan laga. Kebetulan ketika itu di medan perang Prabu Gardapati tengah bertarung dengan mengendari gajahnya yang kebetulan namanya Estitama. Segera Kresna menyuruh Bima membunuh raja dan gajahnya dan kemudian menyebarkan berita bahwa anaknya telah mati, tetapi tidak dengan nama Estitama melainkan dengan nama Aswatama mati.

Dengan demikian diharapkan si Resi yang sakti tak tertandingi itu akan terpecah konsentrasinya dan melemah daya juangnya. Demikianlah setelah Bima berhasil membunuh raja dan gajahnya, ia menyebarkan berita bahwa Aswatama telah mati. Berita itu digemakan pula oleh para prajurit dengan teriakan: “Aswatama mati… Aswatama mati!”. Gema berita itu sampai ke telinga sang resi dan seketika ia tersentak seraya berucap: “hah, anakku mati? Ah, tidak, tidak, tak mungkin, dia gagah sakti,” ucapnya setengah tak percaya.

Namun teriakan bergema lagi bahkan semakin santer sehingga ia menghentikan perangnya dan mengajak gencatan senjata kepada Pandawa, untuk mendapatkan kejelasan benar tidaknya anaknya telah mati. Baik Nakula maupun Sadewa sama-sama menjawa: “Estu Aswatama telah mati.” Meski mengiris hati tapi jawaban itu masih ngambang. Didatanginya Arjuna bekas murid kekasihnya: “Anakku, aku sengaja minta gencatan sehari ini, karena ada sesuatu yang penting yang ingin aku tanyakan kepadamu anakku.” “Apakah jawabannya akan dipercaya mengingat kita sedang bermusuhan, paman?” “Aduh anakku, meskipun kita sedang dalam perang, tetapi yang sedang perang itu kewajiban, bukan guru dan muridnya.

Karena itu tidak ada alasan untuk tidak percaya, anakku,” ujarnya menyaknkan. “Kalau begitu silahkan apa yang hendak paman tanyakan?” “Benarkah Aswatama anak paman telah mati,he?” “Oh, hama harus memberitahukan hal ini, sebab ini menyangkut nyawa seseorang, apalagi yang bertanya adalah ayahnya sendiri. Memang benar Aswatama sudah mati paman,” Arjuna coba menyakinkan. Hati siapa yang tidak hancur mendegar anaknya telah mati. Apa lagi bagi Dorna sampeyan yayi,” desaknya. “Bertanggung jawab, bahkan membiarkan para pejuang hancur binasa, hanya karen ingin mempertahankan kepentingan diri pribadi. Layakkah seorang pemimpin bersikap demikian?” Hening sejenak masing-masing tenggelam dalam lamunan tetapi pikiran tetap bergerak mencari jalan yang terbaik.

Tiba-tiba Kresna yang memang ahli dalam berpolitik telah menemukan cara untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Ia meminta Samiaji untuk mengatakan dengan kata “Esti” yang artinya gajah. Tetapi dalam mengatakan kata esti hendaknya tidak dengan nada yang keras. Belum sempat Samiaji menjawab, resi Dorna telah datang dan berkata: “Angger, bumi dan langit menjadi saksi, bahwa angger adalah mustikaning manusia yang anti untuk berbohong. Angger akan mengatakan putih pada yang putih, dan hitam pada yang hitam tanpa direkayasa apa pun. Nah, kini paman sangat membutuhkan jawaban yang murni semurni sikap dan watak angger dengan sebuah pertanyaan: “Benarkah anak paman Aswatawa sudah mati?” tanyanya harap-harap cemas.

Samiaji termenung terjadi perang sabild alam dirinya tapi kemudian ia menjawa: “Masihkan paman percaya kepada orang yang sedang paman musuhi?” “Olalala, paman tidak bertanya kepada musuh, tapi bertanya kepada manusia Samiaji yang tidak pernah mengingkari keteguhan imannya,” ujarnya memberi keyakinan. Maka dengan mengingatkan hati sang Pandu putra menjawab: “Paman, Esti Aswatama sudah mati.” Hanya dalam mengatakan Esti sangat perlahan hampir tidak terdengar, tetapi jawaban itu sudah cukup bagi resi Dorna untuk mempercayainya. Seketika itu ia terpaku bagai patung. Air mata meleleh menyusuri celah-celah pipi yang keriput seraya berucap tersendat: “Duh anakku, kini aku sadar, bahwa manusia itu ada tapi tidak sempurna. Memang kita berada di pihak yang salah dan salah akan kalah. Kini aku rela untuk mati menyusul engkau anakku,” ujarnya sangat memelas. lalu bagaimana dengan Samiaji. Ia tampak termenung karena, bagaimanapun juga, dia telah berbohong. Akibatnya kereta yang biasa ia kendarai sejengkal tidak menapak tanah, mendadak anjlok menapak bumi.

Tiba-tiba Drestajumena sesumbar menantang Dorna ingin membalas kematian ayahnya, Drupada. Sementara di angkasa Sukma Ekalaya juga siap akan memebalas atas kematiannya gara-gara jari kelingkingnya dipotong oleh Dorna, sewaktu adu ketangkasan melepas anak panah dengan Arjuna. Maka masuklah sukma Ekalaya ke dalam tubuh Drestajumena, hingga satria Pancala itu menjadi berignas.

Dan tak lama kemudian puluhan anak panah dilepas mengarah pada sang resi. namun hanya sebuah yang mengenai dada sang resi, sedang lainnya berhasil ditepisnya. Resipun tak tinggal diam, dilepasnya puluhan anak panah dan mengenai kuda serta keretanya hingga hancur berantakan, bahkan nyaris membinasakan satria Pancala itu jika tidak segera melompat dari keretanya. Menyaksikan perang yang tidak seimbang, Bima naik pitam dan memaki sang resi: “Hei, ternyata engkau brahmana licik perang seperti prajurit mencabut nyawa orang seenaknya. Padahal engkau tukang ibadah, anak sendiri mati tidak kau hiraukan, saksinya Samiaji orang yang pantang berbohong. Seperti itukah sikap seorang Brahmana?” Mendengar makian itu hati sang resi terasa pedih. Hati kecilnya membenarkan makian itu. Seketika gendawa dan jemparingnya ditaruh dan ia bersidakep sinuku tunggal meleng anteng mengheningkan cipta kepada Dewa Wisnu.

Tak lama kemudian dari tubuhnya keluar cahaya menyilaukan, sukmanya melayang munggah ke alam nirwana disambut dewa apsara dan dewi apsari sambil menaburkan wewangian. yang tinggal hanya jasadnya terpaku bagai patung. Tak ada seorang pun yang tahu bahwa dia telah tiada. Tiba-tiba Drestajumena dengan pedang di tangannya menghampiri dan menebas kepala sang resi hingga menggelinding jatuh ke bumi. Para Pandawa sangat menyesalkan tindakannya. Tetapi Kresna menjelaskan, bahwa maha resi adalah manusia yang bijaksana dan banyak jasanya, tetapi tak lepas dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Mungkin kejadian itu sebagai hukumannya.*

Sumber : wayang.wordpress.com/

~ Article view : [324]