Tahapan Membuat Bangunan Suci

1790

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND
Setiap pendirian bangunan suci, seperti : Sanggah Pamarajan dan Pura, ada beberapa tahapan yang harus ditempuh, yaitu :
  1. Upacara Pangruwak
  2. Upacara Nasarin
  3. Upacara Mamakuh
  4. Upacara Mlaspas
  5. Upacara Mapadagingan
  6. Upacara Ngenteg Linggih
  7. Upacara Piodalanselengkpanya
Upacara Pangruwak
Upacara Pangruwak adalah upacara permohonan kehadapan para bhuta kala yang menempati tanah tersebut, agar berkenan tanah tersebut untuk dijadikan tempat pendirian bangunan. Apabila upacara ini tidak dilakukan, ada keyakinan akan mendapatkan gangguan dari para bhuta kala atau roh-roh halus penghuni tanah tersebut. Menurut kepercayaan umat Hindu di Bali disebut dengan Pamali.
Upakara yang dipersembahkan berupa caru Eka Sata, yakni ayam berumbun, dengan perlengkapannya menurut ajaran sastra. Salah satu sastra yang menguraikan hal itu disebut Lontar Bhama Kertih.
Dalam lontar tersebut diuraikan, sebagai berikut :
Caru ayam brumbun, urip 33, pakalahyangan, sesayut durmanggala, prayascita, yang dipersembahkan kepada Sang Bhuta Bhuwana. Segehan Agung, dilengkapi dengan tetabuhan, dipersembahkan kepada sang Bhuta Dengen.
Dilanjutkan dengan mengukur lokasi bangunan tersebut dengan ketentuan Asta Kosala, Asta Dewa, Asta Bhumi, Asta Patali, sesuai dengan kegunaannya.
Setelah itu barulah dilanjutkan dengan persembahyangan bagi para penyungsung tempat suci itu. Semua bunga, kawangen yang dipergunakan untuk sembahyang dikumpulkan, untuk ikut dijadikan dasar.
Upacara Nasarin
Upacara Nasarin atau peletakan batu pertama, sesuai dengan sastra yang disebut di atas, sebagai berikut :
  1. Dasar pertama dengan Bata Bang  atau batu bata merah, yang bergambarkan Badawangnala, dengan wijaksara ANG.
  2. Klungah Kelapa Gading makasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan wijaksara OM kara. Dilengkapi dengan wangi-wangi, lengawangi, buratwangi, dedes, kawangen kraras, uangnya 11 kepeng, dibungkus dengan kain putih, diikat dengan benang 4 warna (lawe catur warna). Di pucaknya kawangi dengan uangnya 33 kepeng (urip bhuwana), canang satangkep, tumpeng bang adanan, iwak (daging) ayam biying yang dipanggang, lem\ngkap dengan buah-buahan. Jugjugin (tancapkan) dengan keris/dahan (carang) dadap, simbul lanang (purusa). Setelah itu baru dipergunakan sebagai dasar.
  3. Di atas upakara tadi, ditindih dengan bata bang (batu bata merah), bertuliskan Dasaksara. Lalu ditindih dengan batu hitam (batu bulitan), yang bertuliskan Tri Aksara ANG UNG MANG.
  4. Yang paling atas adalah sebuah kawangen, dengan uangnya 11 kepeng, yang bertuliskan OM karamertha..
Perincian upacara yang tersebut di atas, tidak dapat dilepaskan dengan Tattwa atau sistim filsafat Hindu, tentang Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.
Mamakuh
Apabila bangunan tersebut telah selesai dibangun, dilanjutkan dengan upacara Mamakuh. Dalam upacara ini yang penting, adanya upakara yang disebut Pangurip-urip, yang terdiri : kapur (apuh), warnanya putih; darah (rah), warnanya merah; arang (areng), warnanya hitam dan asaban cendana, warnanya kuning.
Upacara ini bertujuan untuk merubah benda-benda mati, yakni bahan-bahan yang digunakan, untuk dihidupkan dan disucikan.
Dalam pelaksanaanya, yang dipasang pertama adalah kapur, sebagai lambang Siwa, yakni dewa pelebur, melebur segala yang kotor, menjadi bersih/suci. Yang ke dua, adalah darah dengan warna merah, sebagai lambang Brahma, yakni dewa Pencipta (Utpeti); yang ke tiga adalah arang, warna hitam, lambang dewa Wisnu, sebagai dewa Pemelihara (Sthiti); dan asaban cendana, dengan warna kuning, lambang dewa Mahadewa, sebagai lambang kesuburan/kebahagiaan. Disamping itu adanya pemasangan Pangulap-Ulap, yakni secarik kain putih yang bergambar sesuai dengan bentuk dan fungsi bangunan tersebut.
Jadi upacara Mamakuh, berfungsi untuk menyucikan segala kekotoran dan merubah benda mati untuk menjadi hidup.
Upacara Mlaspas
Setelah upacara Mamakuh dilanjutkan dengan upacara  Mlaspas, yakni upacara penyucian tingkat lanjut. Upacara ini ditandai dengan pamasangan Orti. Orti lambang kebahagiaan/ketenangan dan juga berarti kesuburan (orti-wresti = hujan).
Upacara Mapadagingan
Untuk bangunan suci, upacara ini amat penting, karena tanpa upacara Mapadagingan, bangunan tersebut atau pelinggih itu bukanlah rumah dewa (dewagreha), melainkan rumah setan (paisacha greha). Mapadagingan juga disebut dengan Mulang Panca Dhatu (lima logam mulia), seperti : pripih perak, warna putih, lambang dewa Iswara; pripih tembaga, warna merah, lambang dewa Brahma; pripih mas, warna kuning, lambang dewa Mahadewa; pripih besi, warna hitam, lambang dewa Wisnu dan permata (suasa) , panca warna, lambang dewa Siwa.
Fungsi upacara Mapadagingan, adalah  menyucikan bangunan tersebut dalam tingkat lanjut, agar para dewa (Panca Brahma Dewata), perkenan bersinghasana pada pelinggih tersebut.
Setelah pelinggih itu diisi dengan Padagingan, para dewata  dilinggakan (dewa pratistha), barulah bangunan itu sebagai media sembahyang.
Ngenteg Linggih
Dengan upacara Mapadagingan itu dan dewa pratistha, dilanjutkan dengan Ngenteg Linggih, dengan harapan dewata yang dilinggakan, selalu berkenan menganugrahkan keselamatan kepada para penyiwinya.. Dalam rangkaian upacara ini, ada disebutkan : upacara Ngremekin, yakni 3 hari setelah itu, dengan tujuan menghilangkan segala bentuk kekotoran, pada pelinggih-pelinggih tersebut (angilangaken sebel kandel letuh regede ring parhyangan bhatara sowang-sowang).
Setelah hari ke 11, dilanjutkan dengan Makebat Daun, yang disebut juga mapasaran, yakni suatu prosesi upacara, bagaikan para dewata ke pasar, yang disebut Pasar Keling, sesuai dengan bunyi Pajejiwan (Mapaselang). Lalu upacara Ngebekin, yakni lambang apa-apa yang didapat dari Pasar Keling, untuk dianugrahkan kepada para penyiwi (ngebatin olih-olihan idane rawuh saking Pasar Keling). Setelah berlangsung 42 hari (bulan pitung dina), ada upacara Nyenukin, dengan tujuan  agar para dewa menganugrahkan keselamatan, kemakmuran dan ketenangan kepada umat    (mangda ebek kang amertha ring jagate, landuh, kawiryan, kawibawan, malarapan antuk rarapan saking Pasar Keling, kapaica ring jagate, mwah sakalwir tinandur nadi =  Lontar Kusumadewa Tattwa).
Semua rangkaian upacara yang tersebut di atas dapat disebut dengan Karya; Karya ini yakni pada saat Mapadagingan/Mlaspas, biasanya dijadikan suatu peringatan yang disebut dengan Piodalan (hari lahir)..
Caru Resi Gana
Caru Resi Gana, adalah salah satu jenis caru yang istimewa, karena bahan yang digunakan berbeda dengan caru yang lainnya, yakni menggunakan seekor itik putih dan tidak menggunakan sate, sebagai perlambang urip. Tetapi dalam beberapa sumber ada juga menyebutkan, yakni tidak menggunakan itik putih, melainkan itik biasa (sebulu-bulu).
Dalam pengolahannya, memakai layang-layang, tidak menggunakan  sate (jejatah), serta olahan jejeron, sesuai dengan fungsinya. Dilengkapi dengan sega (nasi) 9 pangkon, alasnya tamas besar, dengan daun nagasari,  9 helai daun, masing-masing ditulisi dengan wijaksara, mulai dari tengah, ke timur dan mider tengen, yakni : OM ANG GA NA RE SI BHYO NAMAH, artinya : Ya Tuhan yang berwujud Resi Gana yang kami hormati. Caru ini diletakkan pada sebuah lubang yang telah ditentukan dengan dialasi tepung, dengan gambar Padma Asta Dala, dengan tulisan Dasaksara :SA BA TA A I NA MA SI WA YA.. Menggunakan sanggar tutuhan, dengan penjor bambu gading, dengan kober 2 buah, dengan gambar Sanghyang Gana, dengan atribiut membawa Genta (bajra) dan yang satu lagi membawa Gada, dilengkapi dengan satu tangkai daun beringin, yang bergambarkan Cakra.
Pada dasarnya Caru ini  untuk menyucikan karang angker, seperti ada orang mati salah pati, kalebon amuk, disambar petir atau bahaya-bahaya yang lain baik dari alam maupun dari Bhuta Kala.
Hakekatnya adalah pemujaan kepada Sanghyang Gana, sebagai dewa penolak bahaya, sehingga disebut Hyang Awighneswara. Konsep dasar dari caru ini adalah bertitik tolak dari konsepsi Siwa Sidhanta, yang menadi Ista Dewata adalah Sanghyang Gana, putra dewa Siwa
Source : www.budiana04.blogspot.com

~ Article view : [575]