Api di Bukit Menoreh [ series 1-5]

1640

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND

Karya : SH Mintardja

 

SEKALI_SEKALI terdengar petir bersabung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit.

Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat. Udara sangat dingin dan suasana sangat mencemaskan.

“Aku akan berangkat “tiba-tiba terdengar suara kakaknya, Untara dengan nada rendah.

Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, ”Jangan, jangan kakang berangkat sekarang”

“Tak ada waktu” sahut kakaknya “sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kenyataan menjadi gila dan liar. Aku harus menghubungi paman Widura di Sangkal Putung. Kalau tidak, korban akan berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa arti. Serangan itu akan datang demikian tiba-tiba”.

“Tidakkah ada orang lain yang dapat menyampaikan berita itu?” Potong adiknya.

“Tak ada orang lain“ sahut kakaknya.

“Tetapi…. “, bibir Sedayu gemetar.

“Aku harus pergi “Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat-cepat menggapai kainnya.

“Jangan, jangan “ adiknya berteriak “aku takut”

Untara menarik nafas panjang. Katanya “kau hanya akan berada di rumah ini sendirian malam nanti. Besok kau pergi ke Banyu Asri. Kau akan tinggal disana sampai aku pulang”.

“Aku takut, justru malam ini “ sahut adiknya “bagaimana kalau laskar yang liar itu datang kemari“

“Mereka tak akan datang kemari “jawab kakaknya “aku tahu pasti. Mereka akan menyergap Paman Widura. Karena itu aku harus pergi”

“Tidak-tidak“, mata Sedayu mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata.

Sekali lagi Untara menarik nafas panjang-panjang. tanpa sesadarnya ia terlempar kembali, duduk disamping adiknya. Hatinya menjadi bingung. Ia tidak dapat berpangku tangan terhadap laskar Widura yang sedang terancam bahaya. Tetapi adiknya benar-benar penakut. Anak yang telah mendekati usia 18 tahun itu sama sekali menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sepeninggal ayahnya beberapa tahun yang lampau dan ibunya yang baru beberapa bulan, maka anak itu hampir tidak pernah berpisah darinya. Apalagi didalam kekalutan keadaan seperti saat itu. Sehingga dengan demikian Untara merasa seakan-akan memelihara anak bayi.

“Sedayu” katanya kemudian “umurmu telah hampir 18 tahun. Dalam usia itu Adipati Pajang yang dahulu bernama mas Karebet, telah menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia yang muda pula, Sutawijaya berhasil melawang Penangsang yang perkasa“

“Aku bukan mereka” jawab Sedayu

Untara mengeleng-gelengkan kepalanya, katanya “setidak-tidaknya kau harus malu kepada dirimu sendiri”

“Tetapi aku takut” Sedayu tidak menghiraukan kata-kata kakaknya.

Kembali Untara termenung. Adalah salahnya sendiri, apabila pada masa kanak-kanaknya adiknya itu terlalu dilindunginya. Kenakalan kawan-kawannya pasti akan dihadapinya. Karena itulah maka Sedayu terlalu tergantung padanya. Dan sampai masa dewasanya, ia tidak mampu berdiri diatas kakinya sendiri. Meskipun adiknya itu selangkah dua langkah diajarnya juga cara-cara membela diri dan didalam latihan-latihan dapat juga menunjukkan kelincahan dan ketangkasan, namun kelincahan dan ketangkasannya itu terbatas dibelakang dinding-dinding rumahnya. Hatinya terlalu kecil untuk berhadapan dengan dunia. Terasa betapa kerdil jiwanya. Apalagi setelah didengar oleh Agung Sedayu, betapa laskar Penangsang yang sedang berputus asa itu berkeliaran dilereng gunung Merapi.

Untara kini benar-benar kebingungan. Ia menjadi gelisah, sedang waktu merambat terus kepusat malam. Dan hujan masih saja memukul atap-atap rumah dan dedaunan.

Tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya, gumamnya “Bagaimana kalau kau ikut”. Namun terasa hatinya sendiri beragu. Kalau ada bahaya diperjalanan dan adiknya itu kena cidera, maka seluruh sanak keluarganya, terutama paman dan bibinya di Banyu Asri akan menyalahkannya.

Agung sedayu memandang wajah kakaknya yang suram. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya, pada malam yang gelap dan hujan yang pekat, memaksa diri pergi ke Sangkal Putung. Ketika Sedayu sedang mencoba untuk berpikir, terdengar kakaknya berkata “Bagaimana Sedayu? Kau tinggal dirumah, atau kau ikut serta?”

“Kedua-duanya tidak menyenangkan”jawab Agung Sedayu.

“Kau harus memilih salah satu dari keduanya” jawab kakaknya, yang akhirnya tidak menemukan jalan lain. Sebab yang melingkar-lingkar didalam dadanya adalah “laskar paman Widura harus diselamatnya dan itu adalah kewajibannya.”

Agung Sedayu menjadi bingung. Keduanya sama sekali tak menarik baginya. Tetapi ia tidak dapat merubah keputusan kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia memilih untuk ikut serta meskipun dengan dada yang berdebar-debar.

“Bagaimana kalau kita berjumpa dengan laskar itu diperjalanan” bertanya Agung Sedayu.

“Kemungkinan yang sama dengan kedatangan mereka kerumah ini” sahut kakaknya.

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ketika kakaknya berdiri dan meraih kerisnya dari glodog disamping pembaringannya, Agung Sedayupun berdiri pula. Dibetulkannya letak pakaiannya dan kemudian diteguknya air sere dari mangkuk bamboo dengan bibir yang gemetar. Namun hatinya tidak mau tenang juga.

“Bawa kerismu” perintah kakaknya.

Agung Sedayu menjadi semakin gelisah, tetapi dengan tangan yang menggigil disisipkannya kerisnya dipinggang kiri.

Diikutinya langkah kaki kakaknya melompati tludak pintu menuju ke kandang kuda dibelakang rumah. Namun ketika mereka telah berada diatas punggung-punggung kuda, kembali Agung Sedayu berdesah “Apakah pekerjaan ini tidak dapat ditunda?”

Kakaknya menggeleng “tidak” jawabnya “besok pagi-pagi laskar yang liar itu akan menghantam paman Widura”

Agung Sedayu memandang malam yang pekat dengan dada yang berdentang-dentang. Pakaiannya telah basah kuyup oleh hujan yang semakin deras.

“Berdoalah” bisik kakaknya “Tuhan bersama kita”.

Agung Sedayu menggangguk kecil. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak. Disebutnya nama Allah Maha Pemurah dan Maha Pengasih.

Kemudian bergeraklah kuda-kuda itu menyusup kedalam kekelaman malam.

Sesaat kemudian mereka meninggalkan padukuhan Jati Anom menuju kearah timur. Dibelakang mereka berdiri tegak gunung Merapi yang berselimut kepekatan malam dan kepadatan butir-butir air hujan yang berjatuhan dari langit. Ketika guruh menggelegar diudara dan kilat menyambar diatas kepala mereka sekilas tampaklah jalan yang menjalur dibawah kaki-kaki kuda mereka. Becek dan merah, diwarnai oleh tanah liat yang telah bertahun-tahun sedikit demi sedikit meluncur dari lereng-lereng bukit.

Untuk beberapa saat mereka berdiam diri terpaku diatas punggung kuda masing-masing. Hanya setiap kali Agung Sedayu selalu menoleh kepada kakaknya, seakan-akan takut ditinggalkannya. Tetapi kakaknya itu selalu menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah ia sedang berpikir. Apakah yang kira-kira akan terjadi diperjalanan dan apakah yang akan terjadi besok apabila laskar yang liar itu benar-benar akan menyerang. Kedudukan Widura tidak begitu menguntungkan dan jumlah orangnyapun tidak begitu banyak, sebab Sangkal Putung bukanlah daerah yang langsung menghadapi pertempuran. Tetapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kekalahan Adipati Jipang itu berusaha untuk menimbulkan keributan dimana-mana. Mereka berkeliaran, bahkan melingkari Pajang dan kemudian menyerang daerah-daerah yang jauh dibelakang garis perang. Mereka datang setiap saat, dan kemudian menghilang seperti hantu. Hutan-hutan jati dan bahkan hutan-hutan belukar menjadi tempat persembunyian mereka.

Demikianlah petang tadi, sampai Untara menerima berita tentang laskar yang telah kehilangan tujuan perjuangannya itu. Mereka berhasrat untuk menyerang Sangkal Putung Timur. Dan agaknya Widura sama sekali tidak menduga. Namun lumbung-lumbung yang padat di Sangkal Putung, pasti akan dapat memberi perbekalan yang baik bagi laskar yang liar itu. Dan memang itulah tujuan mereka.

Angan-angan Untara terputus ketika mendengar adiknya berbisik “Kakang, kau melihat bayangan dihadapan kita?”

Untara mengerutkan keningnya “Ya” jawabnya.

“Orang?” berbisik Agung Sedayu.

Untara menggeleng “Jangan mengada-ada Sedayu. Bukankah itu batang pohon jati yang roboh karena angin tiga hari yang lampau?”

Sedayu mempertajam pandangannya. Namun bayangan itu seperti seseorang yang bertubuh raksasa menghalang dipinggir jalan. Tiba-tiba bulu-bulunya meremang dan hatinya menjadi tegang. Ia merapatkan kudanya kesisi kuda kakaknya.

“Hem” kakaknya menggerang “Kau bukan anak-anak lagi Sedayu. Seharusnya kau berani menempuh perjalanan ini seorang diri”

Sedayu diam saja. Tetapi hatinya masih tegang.

Ketika kilat menyambar dilangit, dan nyalanya memenuhi lereng gunung Merapi itu, Sedayu menarik nafas panjang, Bayangan itu benar-benar pokok pohon jati yang patah diputar angin.

Tetapi baru saja Sedayu bernafas lega, tiba-tiba kembali dadanya berdebar-debar. Tidak jauh dihadapan mereka terbentang padang rumput dan beberapa ratus langkah lagi, tampak tegak sebatang pohon beringin raksasa. Daerah yang biasa disebut Lemah Cengkar.

“Kita lewat jalan ini?” terdengar suaranya lirih diantara gemerisik hujan.

“Kenapa?” Tanya kakaknya.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kakaknya sudah tahu jawabnya “Kau takut macan putih yang menjagai beringin itu?”

Agung Sedayu mengangguk.

“Tidak” kakaknya meneruskan “Kita tidak lewat Lemah Cengkar. Kita ambil jalan memintas. Kita belok ke kanan”

“Lewat jalan dipinggir hutan belukar?” Sedayu menjadi semakin cemas.

“Ya” jawab kakaknya.

“Macanan?” desak adiknya.

“Ya”

Sedayu semakin gelisah. Katanya “Bagaimana kalau kita tiba-tiba berjumpa dengan seekor harimau. Bukankah daerah Macanan itu terkenal dengan harimau belangnya?”

“Harimau belang itu tidak seganas Macan Putih di Lemah Cengkar” Untara menakut-nakuti adiknya, meskipun ia sama sekali tidak takut terhadap macan putih maupun harimau belang. Namun lewat Macanan jalan bertambah dekat.

Aung Sedayu terbungkam. Namun tubuhnya terasa menggigil. Menggigil karena hatinya yang kecut dan menggigil karena dingin. Tetapi kuda mereka berjalan terus. Bahkan ketika Untara mempercepat lari kudanya, Sedayupun segera melecut kudanya pula. Ia tidak mau berjarak lebih tebal tubuh kudanya dari kuda kakaknya.

Perjalanan mereka menjadi kian sulit. Tanah yang liat dijalan-jalan sempit itu tampak merah kehitam-hitaman. Dihadapan mereka terbentang hutan belukar. Pandangan mata Untara yang tajam jauh mendahului kaki-kaki kudanya.

Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat alisnya. Ketika kilat menyambar ia melihat sesuatu dihadapannya. Kali ini ia melihat bayangan. Bukan pokok kayu jati yang roboh. Dan bayangan itu dilihatnya menghilang diujung jalan.

Untara menjadi berdebar-debar. Ia menoleh kapada adiknya, namun agaknya Sedayu belum melihatnya.

Untara sendiri tidak pernah menjadi takut apapun yang berada didepannya. Tetapi kali ini ia membawa adiknya. Seandainya bayangan itu seekor harimau, maka akan mudahlah untuk mengatasinya. Harimau tidak selalu menyerang seseorang. Kalau harimau itu tidak berdiri ditengah jalan, maka seandainya harimau itu lapar, kuda-kuda mereka akan dapat berlari lebih kencang dari harimau itu. Meskipun seandainya harimau itu menghadang mereka, Untarapun tidak takut, sebab telah dua kali ia terpaksa berkelahi dengan harimau, dan harimau-harimau itu selalu berhasil dibunuhnya. Dibunuh dengan keris yang terselip dipinggangnya itu.

Tetapi bayangan yang bergerak dan menghilang kedalam hutan adalah bayangan yang tegak diatas kakinya. Ia melihat dengan ketajaman matanya. Dan ia pasti bahwa bayangan itu adalah bayangan seseorang.

Untara menarik nafas untuk meredakan debar jantungnya. Sekali lagi ia memandangi adiknya, bahkan tanpa disengaja ia memperlambat kudanya.

Sedayupun cepat-cepat menarik kekang kudanya. Dengan nafas yang berkejaran ia bertanya “Ada apa kakang?”

“Tidak ada apa-apa” sahut kakaknya “Jalanan dihadapan kita sangat licin”

“Oh” namun jantungnya menjadi semakin cepat berdentang.

Akhirnya Untara menghentikan kudanya. Dilontarkannya pandangan matanya kehutan dihadapannya “Apakah yang tersembunyi dibalik kekelaman itu?”

Hati Agung Sedayu semakin cemas, desisnya: “Adakah sesuatu dihadapan kita?”

Untara berbimbang. Tidak seharunya ia menyembunyikan bahaya yang mungkin berada dibalik kehitaman hutan itu. Mereka harus berhati-hati. Tetapi kalau adiknya menjadi ketakutan, keadaan akan lebih jelek lagi.

“Kita lampaui daerah yang licin ini dengan berjalan kaki” jawab kakaknya. Ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dituntunnya kudanya berjalan perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan. Ia tidak tahu siapakah yang berada diujung hutan itu. Kalau mereka menyerang dengan tiba-tiba, maka duduk diatas punggung kuda akan menjadi lebih berbahaya. Seorang kawannya pernah mengalami nasib yang tidak menyenangkan, ketika ia mengalami serangan dengan cara pengecut. Dilintangkan oleh para penyerang itu, seutas tali untuk menjatuhkan kudanya. Kemudian dalam keadaan yang sulit kawannya itu tudak mampu mempertahankan diri. Dan kini ia tidak mau mengalami nasib serupa itu. Hati Sedayu menjadi bertambah kecut. Ia merasa sesuatu yang tidak pada tempatnya. Karena itu ia bertanya lagi sambil merapatkan diri di samping kakaknya “Adakah sesuatu yang berbahaya?”

Kakaknya tidak mau berbohong lagi. Jawabnya “Bersiaplah. Mungkin kita berjumpa dengan bahaya, tetapi mungkin pula kita mendapat teman”

Denyut nadi Sedayu seakan-akan berhenti. Dengan tergagap ia berkata “Kakang, apakah tidak sebaiknya kita kembali?”

“Nasib paman Widura tergantung kepada kita” sahut kakaknya.

“Tetapi nasib kita sendiri?” desak adiknya.

Untara tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang wajar. Tetapi ada sesuatu yang tidak dirasakan oleh adiknya itu. Ia merasa wajib untuk menyelamatkan laskar Widura, pamannya yang telah bertahun-tahun bersama-sama dalam satu ikatan perjuangan. Dan yang terakhir, mereka berdua berdiri dipihak Pajang dalam pertentangannya dengan Jipang. Karena itu ada beberapa dorongan yang kuat yang memaksanya untuk berjalan terus.

Karena Untara tidak menjawab, Sedayu mendesaknya “Kakang, kenapa kita tidak kembali. Bukankah nasib kita sendiri lebih berharga dari nasib siapapun juga?”

“Belum pasti kita akan menjumpai bahaya Sedayu. Bahkan mungkin kita akan mendapat teman seperjalanan. Syukurlah kalau yang berada diujung hutan itu anak-anak paman Widura sendiri”. Namun apa yang dikatakannya sama sekali tidak diyakininya. Sangkal Putung masih agak jauh.

“Adakan seseorang diujung hutan itu?” Sedayu semakin cemas.

“Ya” jawab Untara berat.

“Kakang lihat?” desak Sedayu.

“Ya” Untara menjadi semakin cemas. Kalau adiknya menjadi ketakutan, sulitlah keadaannya.

Apa yang diduganya itu benar-benar terjadi. Tiba-tiba Sedayu semakin merapatkan dirinya sambil merengek “Kakang, marilah kita kembali”

“Jangan Sedayu” jawab kakaknya membesarkan hati adiknya “Kita lihat siapakah yang berada diujung hutan itu”

“Mereka pasti laskar Arya Penangsang” sahut adiknya.

“Kenapa kita mesti takut kepada mereka?” bertanya kakaknya.

“Mereka adalah orang-orang sakti” jawab adiknya.

“Kita juga laki-laki seperti mereka, Sedayu” bimbing kakaknya “Apabila mereka orang-orang sakti, mereka tidak akan dikalahkan oleh laskar Pajang”

“Kita bukan laskar Pajang” bantah adiknya.

“Aku salah seorang dari prajurit Pajang” potong kakaknya. Untara bukanlah seorang yang biasa menyombongkan dirinya. Tetapi ia mengharap adiknya mempunyai kepercayaan kepadanya dan tidak akan menyulitkan keadaanya seandainya ia benar-benar harus menghadapi bahaya.

“Tetapi aku bukan” rengek adiknya pula. Bahkan kini Sedayu telah mulai menarik-narik bajunya.

Untara menjadi gelisah. Tetapi ia tidak menjawab. Jarak mereka telah semakin dekat dan Untara tidak memutar langkahnya. Ketika adiknya akan berkata lagi, Untara berdesis “diamlah supaya orang-orang dimuka kita tidak tahu bahwa kau penakut. Dengan demikian mereka akan semakin berani. Dan mereka akan mempermainkan kita seperti kelinci.”

Sedayu terbungkam. Betapa ia menjadi sangat takut untuk menyatakan ketakutannya. Karena itu dengan lutut yang gemetar iapun berjalan terus.

Tiba-tiba Untara menggeram. Untunglah mereka tidak akan dapat melihat bamboo wulung yang kehitam-hitaman itu. Apalagi di dalam kepekatan hujan malam yang kelam. Namun ketajaman mata Untara dapat membedakannya dengan warna air yang keputih-putihan memantulkan cahaya cakrawala yang sangat lemah. Dan apabila kaki-kaki kuda mereka menyentuhnya, akibatnya akan mengerikan sekali.

Beberapa langkah dari bamboo yang melintang itu Untara berhenti. Tak ada seorangpun yang tampak. Namun ia yakin di dalam hutan, dibalik pohon-pohon yang rapat itu, pasti bersembunyi seseorang atau lebih.

Ketika Sedayu melihat bambu yang melintang itu, maka darahnya seakan-akan membeku. Ia pernah mendengar cerita kakaknya tentang seseorang yang malang melanggar seutas tali yang terentang di jalan. Tetapi hatinya telah benar-benar dicekam oleh ketakutan sehingga sama sekali ia tidak berani berkata sepatahpun. Bahkan terasa lututnya semakin gemetar, dan seakan-akan ia telah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak diatas kedua kakinya itu.

Sekali, Untara menarik nafas. Ia tak mau mendekat lagi. Sebab dengan demikian, ia akan berada didalam kedudukan yang kurang baik. Orang-orang yang berada di belakang rimbunnya daun-daun akan dapat melihatnya dengan jelas, sedang ia sendiri tak akan dapat melihat mereka. Karena itu, sengaja Untara menanti salah seorang dari mereka atau beberapa orang sekaligus datang kepadanya.

Untuk sesaat keadaan menjadi sunyi tegang. Nafas Sedayu terdengar berebut dahulu keluar dari hidungnya. Ia tidak berani berkata apapun, namun tangannya erat berpegangan baju kakaknya. Perlahan-lahan tangan Untara meraba tangan adiknya, dan dicobanya untuk melepaskan pegangan itu. Sebab setiap saat ia perlu bergerak cepat. Tetapi Sedayu berpegangan semakin erat bahkan sekali-sekali menariknya.

Untara menarik nafas.

Tiba-tiba Sedayu terkejut ketika kakaknya berkata lantang “Biarkan mereka Sedayu. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Namun kalau mereka mengganggu kita, kau baru boleh bertindak sesuka hatimu. Syukurlah kalau mereka sahabat-sahabat kita yang baik”

Sedayu tidak tahu maksud kata-kata itu. Bahkan debar jantungnya seperti akan memecah dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu namun mulutnya seperti telah tersumbat.

Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi dibalik pohon-pohon yang rimbun itu mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah seorang diantara mereka berteriak “Siapa kalian?”

Pertanyaan itu bagi Sedayu terdengar seperti petir yang meledak ditelinganya. Kini tidak saja lututnya yang gemetar, tetapi seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar, sedang darahnya seolah-olah berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya menjadi sesak. Ia tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan kakaknya menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju selangkah, bisiknya “peganglah kendali kuda-kuda kita”

Tetapi Sedayu tidak menangkap kendali kuda Untara bahkan dengan tidak disadarinya, kembali ia berpegangan baju kakaknya.

Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan adiknya adiknya sambil berkata lirih “Sedayu, kalau kau tak mau memegang kendali kuda, jangan berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai kerismu.”

Tetapi hati Sedayu yang tinggal semenir itu tak dapat lagi menangkap arti kata-kata kakaknya. Ketika kakaknya bergeser selangkah lagi, tangan Sedayu terkulai lemas. Dan ia berdiri diantara dua ekor kuda seperti tiang yang lapuk. Sebuah sentuhan yang tak berarti akan dapat merobohkannya.

Dalam pada itu kembali terdengar suara dari ujung hutan berteriak diantara butir-butir hujan yang sudah mulai mereda.

“He, siapa kalian?”

Untara mencoba menembus kepekatan malam, namun ia tak berhasil. Karena itu maka dijawabnya berhati-hati “kami anak-anak dari sendang gabus. Siapakah kalian?”

“Ya” sahut Untara

“Anak siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.

Untara beragu. Adakah mereka mengenal setiap orang di Sendang Gabus. Untara sendiri tidak banyak mengenal orang-orang dari Sendang Gabus, meskipun pedukuhannya Jati Anom tidak jauh dari Sendang Gabus itu. Untuk menyebut namanya tak mungkin baginya. Seandainya orang-orang yang bersembunyi itu sisa-sisa laskar Penangsang, maka nama Untara pasti mereka kenal. Dengan demikian tak mungkin baginya untuk melampaui tempat itu tanpa pertumpahan darah. Karena itu ia mencoba menyembunyikan namanya sejauh mungkin. Ia masih mencoba untuk menghindarkan diri dari bentrokan kekerasan, sebab tugasnya adalah tugas yang sangat penting. Kalau ia gagal mencapai Sangkal Putung maka Widura akan mengalami bencana. Karena itu maka ia menjawab untung-untungan “Anak Sadipa”

“Sadipa” sahut suara diujung hutan.

“Ya”

“Sadipa yang mana, yang tinggi sakit-sakitan atau yang pendek kudisan?” bertanya suara itu pula”

Kembali pengenalannya atas orang yang bernama Sadipa “Sadipa yang lain. Tinggi besar, berkumis panjang. Tetapi yang satu tangannya cacat.”

“Bagus” sahut suara itu “kau benar-benar anak Sendang Gabus, kau benar-benar kenal dengan Sadipa. Tetapi kenapa kau berbohong ?”

Untara menjadi berdebar-debar. Ia telah menyebutkan sebuah nama yang dikenalnya. Ia telah menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi orang dibelakang kegelapan itu tahu ia berbohong.

Tiba-tiba Untara melihat banyangan yang bergerak-gerak muncul dari balik pepohonan. Cepat ia melangkah surut, selangkah saja dimuka adiknya. Nalurinya telah membawanya untuk melindungi adiknya yang menggigil ketakutan.

Orang yang muncul dari hutan itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Terdengarlah ia tertawa lirih, namun suaranya menghentak-hentak dada.

Agung Sedayu menjadi kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti batu karang.

“Siapakah sebenarnya?” bertanya orang itu.

Untara mencoba mengawasi wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis yang keras. Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun ketat dan kekar. Orang itu masih beberapa langkah maju.

“Ha” katanya kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara “dua anak yang berani”. Siapakah namamu?”

“Aku anak Sadipa” Untara mengulangi.

Kembali orang itu tertawa “jangan berbohong” katanya “Anak Sadipa yang tinggi besar, berkumis panjang dan satu tangannya cacat, tidak segagah kalian. Aku kenal mereka. Aku orang Sendang Gabus.”

Untara terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri dihadapannya itu orang Sendang Gabus?

“Kalau kau orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara.

“Tebak siapa aku?” orang itu berkata sambil tertawa.

Kembali Untara diam. Ia mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang Gabus yang pernah dilihatnya. Dan tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande besi di Sendang Gabus.

“Aku ingat” tiba-tiba Untara menyahut “kau pande besi Sendang Gabus.”

Orang itu mengangkat alisnya, katanya “kau kenal aku?”

Ya, kau adalah salah seorang prajurit Jipang sambung Untara. Namun dengan demikian Untara menjadi semakin berdebar-debar. Pande besi itu kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan orang itu telah melupakannya.

Tetapi ternyata Untara tidak beruntung. Orang itu selangkah maju, dan dicobanya untuk mengenal wajah Untara baik-baik. Diamatinya anak muda itu dengan seksama. Maka tiba-tiba katanya disertai derai tawanya “Ha. Jangan bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.” Orang itu berhenti sejenak untuk mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak “setan. Bukankah kau yang bernama Untara. He?”

Untara tidak dapat lagi menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata masih mengenalnya. Namun meskipun demikian ia menjawab “Ya, aku Untara. Bukankah kita bertetangga?”

“Persetan. Kau pengikut Karebet yang gila itu?” bentak pande besi itu.

“Hem” Untara menarik nafas. “apakah bedanya?” kau berada di pihak Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di pihak Pajang dengan keyakinanku.”

“Huh” sahut orang itu “kau sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak penunggu burung disawah.”

“Yang penting bagiku, apakah yang telah dilakukan dan akan dilakukan bagi tanah kita ini.” Sahut Untara.

“Aku bukan tukang bicara seperti kau” bentak orang itu. “Wahyu keraton tidak dapat hadir pada sembarang orang. Tidak akan dapat hadir dalam diri penggembala seperti anak tingkir itu.”

“Tetapi Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara

“Persetan. Namun Cita-citanya tetap hidup” jawab pande besi itu.

Untara tersenyum. Katanya “Tahukah kau tentang yang kau katakan itu? Cita-cita? Bukankah kau menghilang dari Sendang Gabus karena kau tidak dapat membayar utangmu pada Demang sendang Gabus?”

“Persetan. Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus matu. Kau pula harus mati” gertak pande besi itu.

“Kau akan membunuh aku?” bertanya Untara.

Orang itu berpikir sejenak. Ia kenal akan nama Untara yang gemilang di laskar Pajang. Ia sadar bahwa ia sendiri tak mampu melawannya. Karena itu ia menjawab “Ya, aku akan membunuhmu. Maksudku golonganku. Golongan Arya Jipang.”

“Hem” Untara menarik nafas “kenapa golongan? Paman pande besi” sambung Untara “Paman bisa mengakhiri cara hidup yang tidak berketentuan itu. Orang–orang Pajang bukan pendendam.”

“Persetan. “tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang dari dalam belukar.

Terdengar Untara menggeram “empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh pada adiknya. Adiknya masih menggigil ketakutan. Tampaklah mulutnya bergerak-gerak. Namun suaranya sama sekali tak terdengar. Untara menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta Kalau ia singgah sebentar di Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya disana. Namun apakah pamannya sedang dirumah juga belum pasti.

Tiga orang yang datang kemudian itupun kini telah berada disamping si pande besi. Yang seorang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang seorang lagi tinggi gagah sedang yang seorang lagi masih sangat muda, lebih tua sedikit dari adiknya.

“Untara” berkata si pande besi “sayang kami tidak biasa menawan seseorang. Karena itu sama sekali tidak bermaksud menangkap kalian.”

Untara menyadari arti kata-kata itu. Pande besi itu akan berkata “kalian berdua akan kami bunuh”.

Karena itu ia tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya. Tetapi bagaimana dengan adiknya?

Tiba-tiba Untara berkata lantang “Sedayu, menepilah. Biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau tidak perlu ikut serta. Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”

Si Pande besi menggeram “Jangan terlalu sombong.”

Untara sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin menutupi kelemahan adiknya, sehingga orang-orang itu tidak akan berani mengganggunya. Untunglah bahwa keempat orang itu tidak terlalu memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda itu. Menggigil ketakutan dengan dada sesak.

Pande besi Sendang Gabus bersama ketiga kawannya itu tiba-tiba memencar. Ditangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Pande besi itu memegang sebuah tongkat besi, si jangkung kurus memegang golok pendek, yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya, sedang si anak muda memegang pedang.

“Anak ini bernama Untara” teriak si pande besi “karena itu berhati-hatilah.”

“Untara” desis si anak muda. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Namun didalam dadanya terbersit suatu perasaan yang aneh. Ia pernah terlibat bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam suatu pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang dipimpin oleh Untara. Betapa kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini ia berhadapan langsung dengan orang itu. Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun demikian ia harus bertempur. Dengan ketiga kawannya ia pasti dapat membunuh orang yang disegani itu.

Untara sadar bahwa lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya bersama-sama dengan adiknya. Karena itu, ia harus melawan mereka. Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau ada diantara mereka yang terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula, bahwa kemungkinan yang tidak menyenangkan itu ada padanya.

Karena itu segera Untara bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian dari keempat lawannya, sehingga tak ada diantaranya yang mengganggu Agung Sedayu.

Maka dengan gerak yang cepat, secepat tatit menyambar dilangit, Untara meloncat menyerbu diantara mereka. Dengan berputar diatas sebuah kakinya, ia menyerang dua orang sekaligus. Serangannya tidak begitu berbahaya, namun benar-benar mengejutkan. Karena itu maka si jangkung dengan sangat terkejut meloncat mundur, dan si tinggi gagah, terpaksa meloncat kesamping. Meskipun mereka tidak dapat dikenai oleh serangan Untara, namun serangan itu benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi debar jantung mereka berhenti, mereka melihat Untara melayang dengan garangnya. Kali ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka. Tangannya yang cekatan dengan cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan dengan suatu tarikan yang cepat, tongkat itu sudah berpindah ditangannya.

“Setan, demit, tetekan” pande besi dari Sendang Gabus itu mengumpat tidak habis-habisnya. Sedang kawannya melihat serangan itu seperti melihat seekor elang menyambar anak ayam yang sama sekali tak berdaya. Tetapi pande besi itu segera sadar. Segera ia meloncat pada si tinggi besar “berikan aku sebuah pisaumu” teriaknya. Si pande besi tidak menunggu jawaban. Segera direbutnya sebuah pisau kawannya itu.

Sementara itu, kawan-kawannya yang lain telah menyadari kedudukan mereka. Segera mereka menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda-beda. Untara menarik nafas. Ia bersyukur di dalam hatinya, bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran pertempuran. Karena itu Untara tidak menyia-nyiakan waktu. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal Putung sebelum subuh.

Pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit, Pande besi dan Sendang Gabus itupun ternyata memiliki kekuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya pasti akan menimbulkan getaran yang mengerikan. Orang yang tinggi kurus itu memiliki keistimewaan pula. Tangannya yang panjang setiap kali terjulur mengulurkan angin maut. Sedang diujung tangannya itu tampak sebuah golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi besar itupun mempercayakan dirinya pada kekuatan tangannya. Pisau belatinya menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan sekali-sekali sengaja dibenturkannya dengan tongkat besi di tangan Untara. Namun Untara bukan anak-anak yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan dengan senjatanya, telah memaksa lawannya untuk berpikir kembali. Bahkan orang yang tinggi besar itupun kemudian tidak berani lagi mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya terlampau pendek. Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan sekali. Sekali-sekali ia meloncat menyerang, namun apabila keadaannya sulit, cepat-cepat ia menarik dirinya, meloncat surut. Namun seandainya ia bertempur seorang diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari seekor sulung yang terjun ke dalam api.

Demikianlah Untara bekerja mati-matian. Malam yang kelam telah menolongnya. Ia tidak perlu takut-takut senjatanya akan mengenai kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan yang ada di setiap garis serangannya. Tetapi lawannya tidak dapat berbuat demikian. Mereka harus lebih berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah seperti anak kijang. Sekali-sekali ia melontar diantara mereka berempat, namun tiba-tiba ia telah berada diluar lingkaran. Bahkan sekali-sekali lawannya menjadi bingung, seolah-olah Untara dapat melenyapkan diri diantara percikan-percikan hujan yang hampir reda.

Agung Sedayu melihat perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak teratur. Sekali-sekali berdentang seperti guntur didalam dadanya, namun sekali-sekali terasa berhenti bergerak. Kakinya gemetar sehingga kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia malihat juga anak muda sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah keheranan di dalam dadanya. Kenapa anak semuda itu berani berkelahi melawan kakaknya? Kakaknya bagi Agung Sedayu adalah orang yang sangat dikagumi. Orang yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di dunia ini. Meskipun demikian, ia menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan empat orang sekaligus. Ia belum pernah melihat perkelahian yang sebenarnya. Perkelahian untuk mempertaruhkan nyawa. Yang pernah dilihatnya, adalah bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan kadang-kadang ia ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada untuk melakukannya.

Untara masih bertempur dengan garangnya. Bahkan lawan-lawannya semakin lama semakin menyadari keperkasaannya. Namun tiba-tiba Untara menjadi cemas. Pande Besi itu sekali-sekali melemparkan pandangannya pada Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak muda itu berdiri. Ia melihat tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu menutup wajahnya. Sekali-sekali memalingkan mukanya. Pande Besi yang licik itu berpikir di dalam hatinya “anak yang satu ini aneh benar”.

Memang Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan suatu minat atas perkelahian itu, bahkan terpancarlah kengerian dan ketakutan dari wajahnya. Namun meskipun demikian pande besi itu terpaksa menduga-duga “ada dua kemungkinan” pikir pande besi “anak ini terlalu percaya kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara kawannya bertempur. Tetapi kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut”

Dalam keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara “Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”

Tetapi tiba-tiba pande besi itu tertawa. Suaranya benar-benar nyaring. Ia sudah mendapatkan suatu kepastian, bahwa anak itu anak yang kerdil. Karena itu ia segera menemukan cara untuk memecah perhatian Untara. Maka terdengarlah ia berkata diantara derai tawanya “He Untara yang perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya menonton saja seperti sabungan ayam.”

Dada Untara semakin berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya. Sikap adiknya benar-benar tidak meyakinkan. Meskipun demikian ia menjawab “Buat apa ia susah-susah menghadapi kalian? Aku sendiri cukup mampu untuk melakukan.”

Pande Besi itu tertawa terus. Nadanya semakin tinggi dan memuakkan, sehingga Untara benar-benar menjadi muak. Cepat ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara tertawa pande besi itu terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang. Hampir saja kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri. Namun untunglah ia sempat merendahkan tubuhnya sementara dengan lincahnya si anak muda menyerang lambung Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa menggeliat untuk menghindari ujung pedang lawannya. Dengan sebuah putaran ia meloncat tiba-tiba tongkat besinya telah terayun kedada si tinggi besar. serangan ini terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi besar itu terpaksa mengakhiri perkelahian. Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang yang tunggu kurus sempat memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun kekuatannya sama sekali tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat Untara, terasa senjatanya terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia melihat goloknya seperti terbang terlempar beberapa depa daripadanya.

Pande Besi, yang mengepalai gerombolan itu segera melihat bahaya yang bakal datang. Mereka berempat dengan senjata ditangan masing-masing tidak mampu menghadapi Untara seorang diri. Apalagi kini salah seorang dari mereka tidak bersenjata lagi.

Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan untuk melakukan rencana liciknya. Dengan tiba-tiba ia meloncat surut, dan dengan berteriak nyaring ia berkata “Bunuhlah Untara itu dengan senjata-senjata kalian aku akan mencoba kesaktian anak muda yang seorang lagi.”

Untara terkejut mendengar teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar menjadi terpecah. Ia melihat sebuah serangan pedang mendatar ke arah perutnya, sementara itu orang yang tinggi besar menusuknya dari punggung.

Namun Untara adalah seorang prajurut Pajang yang terpercaya. Karena itu dengan cekatan ia menggeser tubuhnya sambil merendahkan dirinya, pedang si anak muda hanya lewat secengkal dari tubuhnya, sedang pisau orang yang tinggi besar itu mematuk agak jauh. Namun karena itu, Untara memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri dari serangan-serangan berikutnya. Sementara itu si pande besi telah berlari kearah Agung Sedayu.

Agung Sedayu melihat seseorang menyerangnya. Karena itu maka darahnya serasa benar-benar berhenti mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang dituntun oleh latihan bersama kakaknya, tangannya bergerak meraba hulu kerisnya. Namun tangan itu gemetar dan kehilangan kekuatannya. Maka kerisnya tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang terdengar suaranya terbata-bata “Kakang, kakang Untara.”

Pande Besi yang licik itu tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar menjadi buas seperti hantu yang haus darah. Ia telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan dapat dijadikannya korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya sambil berlari “Tahanlah Untara. Biarlah ia melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang malang.”

Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu maka ia akan mendapat kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku ketakutan.

Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya. Diraihnya sebuah batu sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia melempar kudanya yang berdiri disamping adiknya. Kuda itu manjadi terkejut. Sambil meringkik tinggi kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah bahwa kuda yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itupun melontar seperti panah.

Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi kesempatan kepada Untara. Sebab dengan itu si pande besi terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara. Untara tidak menghiraukan lagi ketiga lawannya yang lain. Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara meloncat berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat besinya. Tongkat besi itu terayun deras sekali. Untara telah menggunakannya dengan penuh tenaga. Si Pande Besi itu tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat itu menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin untuk menghindar. Untara meloncat dengan garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah terayun diatas kepalanya. Karena itu si pande besi hampir saja dapat menangkisnya dengan pisau belatinya.

Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk menahan ayunan tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh tangan yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seorang tamtama yang sedang dibakar oleh kemarahan.

Karena itu meskipun si pande besi mancoba untuk menghindar benturan langsung dengan memukul tongkat Untara kesamping, namun usahanya itu tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara masih mengenai pelipisnya. Maka terdengarlah pandai besi yang malang itu berteriak tinggi. Kemudian ia terlempar dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnyapun terputuslah.

Untara menarik nafas. Ia berlega hati bukan karena ia dapat membunuh lawannya, tetapi karena ia telah berhasil menyelamatkan adiknya. Namun untuk sesaat Untara kehilangan kewaspadaan anak muda yang bersenjata pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja serangannya mengarah kepunggung. Karena itu segera Untara berkisar selangkah kesamping. Namun saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pisau dengan penuh nafsu dendam orang itu menusuk leher Untara. Tusukan itupun sedemikian tiba-tiba pada saat Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak muda. Karena itu Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba merendahkan tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itupun berubah arah. Untara masih dapat melihat pisau itu melingkar, namun tak ada waktu lagi baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, tetapi pada saat itu terasa ujung pisau itu mencegat pundak kirinya.

Terdengar Untara menggeram. Kemarahannya kini telah benar-benar membakar seluruh darahnya. Dengan gigi gemeretak Untara memandang orang yang bertubuh tinggi besar itu untuk sesaat. Kemudian seperti gelombang yang menghantam tebing Untara meloncat maju. Tongkat besi ditangannya berputar seperti baling-baling, yang kemudian dengan dasyatnya menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih luka dipundaknya itu. Darah yang merah segar mengalir semakin lama semakin deras. Karena itu Untara harus menyelesaikan pertempuran sebelum ia kehabisan darah, atau dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya sekaligus. Orang yang tinggi besar itu terkejut melihat serangan Untara yang membadai. Cepat ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan dapat mempertahankan dirinya dengan pisaunya itu. Dalam keadaan yang sulit itu, kawannya yang tinggi kekurus-kurusan tampil kedepan. Goloknya yang besar bergerak-gerak dengan cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat mengarah kelambung lawannya. Namun Untara yang marah sempat mengelak. Bahkan kini Untara sudah tidak lagi mengekang diri. Ia sempat berjongkok menghindari golok lawannya. Dan sekaligus tongkatnya bergerak mendatar.

Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan, ketika terdengar sebuah benturan. Benturan antara tongkat besi ditangan Untara dengan tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian terdengar tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar melihat suatu kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat menyerangnya pada jarak jangkau tangannya karena kecepatan bergerak lawannya. Karena itu, selagi Untara masih belum dapat berdiri tegak orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan pisaunya kearah tubuh lawannya.

***

Untunglah Untara melihat pisau itu karena itu ia mengurungkan geraknya. Bahkan sekali lagi merendahkan tubuhnya sambil berputar, sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam tubuhnya.

Sebenarnyalah bahwa nasib manusia ditentukan oleh kekuasaan diluar kemampuan jangkau manusia. Pisau yang berlari seperti panah itu meluncur dengan cepatnya melampaui Untara. Namun tanpa disangka-sangka terdengarlah sebuah jerit tertahan. Orang yang terbaring karena tulang kakinya retak itu tiba-tiba terguling sekali, kemudian ia mencoba mengangkat wajahnya dengan pandangan aneh. Tetapi sesaat kemudian kepalanya jatuh terkulai. Mati. Sebuah pisau telah tertancam langsung menyayat jantung.

Yang melihat peristiwa itu untuk sesaat terpaku diam. Untara dan kedua lawannya. Dada mereka masing-masing terguncang oleh peristiwa yang tak mereka sangka-sangka. Apalagi orang yang bertubuh tinggi besar itu. Tanpa disengajanya, ia telah membunuh kawannya sendiri.

Kini Untara untuk seterusnya tinggal menghadapi dua lawan. Namun darah telah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Karena itu tubuhnyapun semakin menjadi lemas. Sebab dengan demikian berarti maut akan menerkamnya. Karena itu segera ia bersiap untuk melanjutkan pertempuran itu.

Kedua lawannyapun telah bersiap pula. Anak muda yang bersenjata pedang itu setapak demi setapak maju mendekat, sedang orang yang bertubuh tinggi besar yang kini tidak bersenjata lagi itu masih mencoba untuk mencobanya dengan tangannya.

Kedua lawan Untara itupun agaknya melihat kemungkinan yang dihadapinya. Mereka lamat-lamat melihat darah meleleh dari luka di pundak Untara. Karena itu mereka asal saja dapat memperpanjang perlawanan mereka Untara pasti akan dapat mereka binasakan. Alangkah mereka dapat berbangga kepada kawan-kawan mereka bahwa mereka telah berhasil membunuh salah satu perwira Pajang yang bernama Untara. Nama yang disegani oleh lawan dan dikagumi oleh kawan.

Sesaat kemudian kembali anak muda itu menyerang dengan tangkasnya. Kemampuannya memainkan pedang cukup menarik perhatian Untara. Tetapi Untara tidak banyak mempunyai waktu. Kalau ia terlambat maka ia akan ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup mempunyai tenaga, maka ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya, nyawa adiknya dan berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Untara, kalau ia tidak membunuh lawan-lawannya, maka taruhannya adalah berpuluh-puluh nyawa di Sangkal Putung termasuk nyawanya sendiri.

Tetapi anak muda, lawannya itu benar-benar lincah. Dengan sengaja ia memancing Untara untuk bergerak terlalu banyak, sehingga dengan demikian darah yang mengalir dari luka menjadi semakin banyak pula. Namun Untara bukan anak-anak lagi, karena itu meskipun ia memuji didalam hatinya atas kecerdasan lawannya, namun ia mengumpat-umpat pula.

Namun Untara selalu menahan dirinya untuk tidak hanyut dalam arus kemarahannya. Ia menyerang dengan dasyat, namun ia tidak membiarkan tenaganya diperas sia-sia.

Meskipun tenaga Untara telah banyak berkurang, namun kekuatan lawannyapun tinggal separo dari semula. Dengan demikian maka segera tampak, bahwa Untara akan segera dapat mengatasi kedua lawannya. Kedua orang itu semakin lama semakin terdesak, dan akhirnya sampailah mereka pada batas kemampuan mereka. Selagi Untara masih kuat mengayunkan senjatanya, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Orang yang tinggi besar itupun rebah ditanah untuk tidak bangun lagi.

Yang tinggal kini adalah anak muda yang lincah itu. Meskipun anak muda itu melihat kelemahan lawannya, namun ia masih mampu untuk menilai diri sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat surut dan dengan lantang ia berteriak “kali ini kau menang Untara, tetapi lain kali kau akan menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut itu, seumur hidupnya tidak akan tenteram selama aku masih hidup di dunia ini.”

Untara tidak mau mendengar kata-kata itu. Cepat ia meloncat menyerang. Tetapi ia sudah tidak setangkas semula. Tulang-tulangnya seperti menjadi lemas dan tak berdaya. Karena itu ia menjadi cemas, jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian dan menunggunya sampai ia terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan berdaya lagi menghadapi kemungkinan apapun.

Tetapi tidaklah demikian. Anak muda itu bahkan tiba-tiba meloncat menjauh, dan berlari meninggalkan tempat itu. Ia sudah tidak melihat lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan mendekati adiknya.

“Sedayu” desisnya.

Sedayu masih menggil ketakutan. Tetapi ia melihat Untara dengan susah payah datang kepadanya. Karena itu iapun segera berlari mendekat “Kakang, kenapa kau?” terdengar suaranya gemetar.

Nafas Untara semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar seperti orang kedinginan. Dengan mata yang sayu dipandanginya wajah adiknya yang pucat. Dan sekali-sekali tangannya meraba luka pundaknya. Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak begitu berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir.

“Tolong” desis Untara “balut lukaku”

Sedayu melihat luka yang menganga di pundak kiri kakaknya. Ia menjadi ngeri melihat luka itu. Tetapi dipaksanya dirinya untuk membalut luka itu dengan sobekan kain kakaknya.

“Sedayu” Untara berdesis sambil menahan nyeri “darahku sudah terlalu banyak mengalir. Kau dapat menolong aku berjalan”

“Tentu” jawab adiknya. Namun matanya beredar mencari kuda mereka. Tetapi kuda itu sudah tak tampak lagi.

Tetapi Untara masih berkata lagi “Jangan membuang waktu. Kuda-kuda itu sudah tidak ada disekitar tempat ini.”

Sedayu tidak menjawab. Dicobanya memapah Untara berjalan di jalan-jalan yang becek berlumpur. Sekali-sekali terdengar Untara menggeram. Tidak saja karena perasaan pedih yang selalu menyengat-nyengat pundaknya, namun juga berbagai perasaan telah bergelut di dalam dadanya. Untara tidak saja mencemaskan dirinya, namun ia cemas juga akan nasib adiknya. Lebih-lebih lagi tentang nasib Widura dengan laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu dapat membawa banyak akibat. Ia akan dapat kembali mencar mereka berdua disekitar tempat ini dengan kawan-kawan baru, atau anak itu dapat memperhitungkan arah perjalanannya, sehingga serangan ke Sangkal Putung akan dipercepat.

Pikiran sedayupun tidak pula dapat berjalan lagi. Ia melangkah dengan hati yang kosong. Berbagai perasaan datang memukul-mukul dadanya telah menjadikan Sedayu kehilangan pengamatan diri. Ia tidak merasakan dan menyadari apa yang telah dilakukan. Ia berjalan karena kakaknya menyuruhnya berjalan sambil menggantung dipundaknya dengan tangan kanannya.

Untara menjadi semakin cemas ketika diantara rasa sakitnya timbul suatu perasaan aneh. Matanya serasa akan selalu terkatub. Dan sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera Untara tahu bahwa ia telah hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia akan dapat pingsan setiap saat. Dalam kecemasannya Untara masih menyadari, bahwa ia tidak akan mungkin dapat mencapai Sangkal Putung dalam keadaannya itu, apabila ia tidak mendapat pertolongan.

Sekali-sekali Untara menarik nafas. Disekitarnya terbentang hutan belukar meski tidak terlalu tebal. Namun tempat itu tak akan ditemui rumah seseorang.

“Kalau saja aku dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir” tiba-tiba ia berdesis.

Adiknya terkejut mendengar suara kakaknya “apa katamu?” ia bertanya.

“Rumah Ki Tanu Metir” jawabnya.

Sedayu pernah pula pergi kerumah Ki Tanu Metir bersama ayahnya dahulu di Dukuh Pakuwon. Tetapi rumah itu masih agak jauh. Dan tiba-tiba saja Sedayu menyadari keadaannya. Dengan penuh ketakutan ia memandang berkeliling. Belukar. Kalau saja tiba-tiba ada binatang buas yang muncul dihadapan mereka, maka celakalah mereka berdua. Sehingga dengan demikian Sedayu tidak teringat lagi kepada kata-kata kakaknya, bahkan katanya dengan gemetar “jalan dihadapan kita sangat gelapnya. Bagaimanakah nasib kita kalau kita bertemu dengan harimau misalnya?”

“Hem” kakaknya menahan perasaannya, katanya tanpa menghiraukan adiknya “kita pergi ke tempat Ki Tanu Metir.”

“Masih jauh” sahut adiknya.

“Kalau lukaku tak diobati” jawab kakaknya “aku akan mati”

Sedayu menjadi ngeri mendengar kata-kata kakaknya. Bagaimana kalau kakaknya benar-benar mati. Karena itu ia berdiam diri, meskipun hatinya dicekam oleh ketakutan. Takut kepada kegelapan dihadapannya, takut kepada nasibnya. Memang ia takut kepada segala-galanya. Tetapi ia lebih takut lagi kalau kakaknya mati.

Karena itu ia tidak berani membantah lagi. Dipapahnya kakaknya berjalan menuju ke Dukuh Pasewon, meskipun kengerian selalu merayap-rayap dadanya.

Untara semakin lama semakin lemah. Meskipun demikian ia selalu berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Sungguh tidak menyenangkan apabila ia harus mati karena darahnya kering. Baginya lebih baik mati dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi ia tidak berputus asa. Ia percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu ia selalu memanjatkan doa didalam hatinya, semoga Allah menyelamatkannya.

Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Mereka mendengar gemerisik daun di dalam belukar. Hati Sedayu yang kecut menjadi semakin kecil. Dengan suara gemetar ia berbisik “Kakang, kau dengar sesuatu?”

Untara mengangguk. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya telah demikian lemahnya. Karena itu maka yang dapat dilakukan hanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada sumber hidupnya.

Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Katanya lirih “Bukan langkah manusia dan bukan pula binatang buas yang sedang merunduk. Kau dengar ringkik kuda?”

“Ya” sahut adiknya.

Untara kemudian bersiul nyaring. Kudanya adalah kuda yang jinak. Seandainya kuda itu kudanya, maka akan dikenalnya suara siulan itu.

“Ya Allah, serunya ketika dari dalam belukar muncul seekor kuda yang tegar kehitam-hitaman. “Itu kudaku”

Wajah Sedayupun menjadi agak cerah, katanya “lalu, apakah kita akan berkuda?”

“Ya” sahut kakaknya “kudamu tak ada, namun kita berdua akan berkuda bersama-sama”

“Kembali?”

“Tidak” jawab Untara “kerumah Ki Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.”

Sedayu tidak membantah. Ia takut kalau kakaknya mati. Karena itu dibantunya Untara naik ke atas punggung kudanya, baru kemudian iapun naik pula. Untunglah bahwa kuda Untara adalah kuda yang kuat, karena itu, meskipun diatas punggungnya duduk dua anak muda, namun kuda itu masih dapat berlari kencang.

Kini harapan didalam dada Untara tumbuh kembali. Ia akan dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir lebih cepat. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir ada dirumahnya.

Demikianlah, setelah mereka menembus rimbunnya pategalan yang subur diujung hutan, sampailah mereka kepadukuhan kecil yang dinamai orang Dukuh Pakuwon. Dipedukuhan kecil itulah tinggal seorang dukun yang sudah setengah tua. Yang dengan pengalamannya ia mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipakainya untuk menyembuhkan luka dan bahkan dikenalnya beberapa jenis racun yang menusuk ke dalam tubuh seseorang, orang itulah yang bernama Ki Tanu Metir. Kepadanya Untara meletakkan harapannya, mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat menolongnya.

Kuda-kuda anak muda itu berhenti dimuka sebuah pondok kecil. Pondok Ki Tanu Metir. Setelah menolong kakaknya turun dari kuda, maka dipapahnya kakaknya itu kepintu yang terkatup rapat.

Namun demikian Untara berlega hati ketika dilihatnya cahaya lampu yang memancar menembus lubang-lubang dinding.

Perlahan-lahan Untara mengetuk pintu rumah itu dengan penuh harapan. Ki Tanu Metir adalah sahabat almarhum ayahnya dahulu. Mudah-mudahan sisa-sisa persahabatan itu masih membekas dihati dukun tua itu.

Ketika mereka telah beberapa kali mengetuk terdengarlah sapa dari dalam lirih “Siapa?”

“Aku Ki Tanu” jawab Untara “Untara dari Jati Anom”

“Untara” ulang Ki Tanu Metir “Untara, o, adakah engkau angger Untara putera Ki Sadewa?”

“Ya Ki Tanu” jawab Untara dengan suara gemetar.

Ki Tanu Metir segera mengenal suara itu. Suara seseorang yang sedang mengalami cedera. Karena itu dnegan tergesa-gesa orang tua itu berjalan ke arah pintu. Terdengar suara terumpahnya diseret diatas lantai tanah.

Sesaat kemudian pintu bambu itu bergerit, dan muncullah dari celah-celahnya seorang tua bertubuh sedang. Rambutnya telah hampir seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh jarang-jarang diatas sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya terbuka lebar, serta dibawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening.

Ketika ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari mulutnya “Kau terluka ngger?”

“Marilah” Ki Tanu Metir mempersilahkan “duduklah” biarlah aku mencoba melihat luka itu.”

Untara berlega hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya atas kemauan sendiri.

Segera orang tua itu menuntun Untara dan dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu. Katanya kepada Sedayu “Tolong ngger peganglah cilupak ini, mataku telah menjadi kurang baik”

Sedayupun segera melangkah mengambil lampu minyak kelapa dan membawa kedekat kakaknya. Sementara itu Ki Tanu telah sibuk membuka pembalut luka dipundak Untara.

Ketika Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya, gumamnya “Hem, luar biasa”

“Apa yang luar biasa?” desis Untara.

“Tubuhmu sangat tahan ngger”. Sudah berapa darah yang tertumpah. Angger masih tetap sadar. Marilah, bersandarlah supaya angger tidak terlalu lelah.”

Untara segera bersandar pada setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya seperti dilolosi. Sebentar-sebentar matanya terkatub dan perasaannya seperti hilang-hilang datang. Karena itu segera Untara memusatkan segenap kekuatan batinnya untuk bertahan. Sementara Ki Tanu Metir memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali dalam pikiran Untara “Widura harus diselamatkan”

Tetapi kemudian disadarinya keadaan diri. Dengan demikian Untara hanya dapat menarik nafas untuk mencoba menentramkan hatinya yang bergolak.

Sambil mengusapi luka Untara dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya “Agaknya angger berdua menjumpai bahaya diperjalanan.”

“Ya” jawab Untara singkat

“Penyamun?”bertanya Ki Tanu pula

Untara menggeleng lemah “Bukan” jawabnya “sisa-sisa laskar adipati Jipang”

“Hem, guman Ki Tanu “mereka berkeliaran ditempat ini.”

“Disini?” Untara terkejut mendengarnya.

“Ya, disekitar tempat ini”jawab Ki Tanu.

Untara diam sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sidah tidak mengalir lagi dari lubang lukanya.

“Salah satu diantara mereka adalah pande besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih.

“Ya, mereka itulah” sahut Ki Tanu segerombolan orang–orang yang putus asa. Adakah angger bertemu dengan pande besi itu?”

“Ya” jawab Untara

“Sendiri?”

“Tidak. Mereka mencegat jalan diujung hutan. Berempat.”

“Angger berdua” potong Ki Tanu.

“Ya” jawab Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya.

“Sungguh luar biasa. Angger berdua berhadapan dengan empat orang yang bengis. Pande besi itu terkenal didaerah ini” berkata Ki TAnu seterusnya “Bagaimana dengan mereka? Dan siapa sajakah mereka itu”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih. Tetapi tenaganyalah yang terasa semakin susut. Karena itu ia menjawab singkat “Aku belum kenal mereka”

“O” Kitanupun segera menyadari keadaan tamunya, maka segera ia menyelesaikan pekerjaannya. Baru kemudian ia duduk disamping Agung Sedayu dan dibiarkannya Untara beristirahat bersandar setumpuk bantal.

“Bagaimanakah lawanmu yang tiga orang angger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu.

Sedayu menjadi bingung. Sebenarnya ia malu mendengar pertanyaan itu, Tetapi akhirnya ia menjawab “Seorang tinggi kekurus-kurusan”

“Sebenarnya ia orang lugu ”potong Ki Tanu “Sayang ia terlalu mudah terpikat. Namanya Tumida”

“Yang seorang tinggi besar” sambung Sedayu.

“Aku belum mengenalnya” gumam Ki Tanu.

“Yang seorang lagi masih muda” Sedayu meneruskan.

“Sebaya angger?” bertanya Ki Tanu.

“Kira-kira” Sedayu mengangguk.

“Alap-alap Jalatunda” desis Ki Tanu “Anak itu ikut serta?”

“Ya” jawab Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-alap Jalatunda pernah didengarnya.

Mendengar nama itu Untara terperanjat pula. Desisnya “Jadi anak itukah yang disebut Alap-alap Jalatunda. Pantas ia lincah dan cerdas”

“Ya” sahut Ki Tanu “Nama itu timbul sesudah laskar Penangsang pecah. Pande besi dan Alap-alap Jalatunda menjadi terkenal. Mereka bersarang di Karajan”.

Di Karajan?” ulang Untara heran “Disamping Jati Anom?”

“Ya” jawab Ki Tanu.

Untara kemudian termenung. Kalau demikian mereka bukan bagian dari laskar yang akan memukul Sangkal Putung. Dengan demikian Untara menjadi sedikit berlega hati. Namun kecemasannya yang lain segera timbul. Kalau demikian maka mereka segera akan datang kembali dengan kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk mencarinya.

Ketia ia sedang berangan-angan terdengar Ki Tanu bertanya kepada Sedayu “Meerka itukah yang melukai angger Untara?”

“Ya” jawab Sedayu.

Ki Tanu mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun dari tidurnya ia bertanya “Lalu siapakah angger ini?”

“Sedayu” jawab Sedayu, “adik kakang Untara”

“Pantas, pantas” orang tua itu mengangguk-angguk “Kalian menjadi seakan-akan sepasang burung rajawali yang perkasa. Kalau tidak, tidak akan kalian dapat melawan Pande besi dan Alap-alap Jalatunda sekaligus. Apalagi bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu bagaimana dengan mereka? Adakah mereka mengejar kalian?”

Sekali lagi Sedayu menundukkan wajahnya. Kemudian perasaan malu merayapi dadanya. Telinganya menjadi gatal mendengar orang tua itu menyebut mereka berdua seperti sepasang burung rajawali. Tetapi sejalan dengan itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada kakaknya. Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh tiga diantaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga “Tiga diantaranya terbunuh, Anak muda yang bernama Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri”.

“Luar biasa, luar biasa” gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang bersandar sambil memejamkan matanya. Perlahan-lahan orang tua itu mengusap keningnya sambil berdesis “Nama Untara benar-benar cemerlang. Kini akan tumbuh nama baru disampingnya, Sedayu”

Agung Sedayu menggigit bibirnyya. Ia tidak berani memandangi wajah kakaknya yang menjadi kian pucat. Kalau saja ia mampu berbuat seperti yang dikatakan orang tua itu, maka kakaknya pasti tidak akan terluka. Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya, Sedayu memandang kepada dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya. Pada saat kakaknya berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat bersembunyi dirumah pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda memandikan senjata, yang dilakukan tidak lebih daripada membantu bubunya menanak nasi dan membelah kayu. Tidak lebih daripada itu.

Sedayu memejamkan matanya. Tetapi seakan-akan bayangan masa lampaunya menjadi semakin jelas. Dikenangkanya kembali masa kanak-kanaknya. Ayah dan ibunya terlalu memanjakannya setelah dua orang kakaknya yang lain, adik-adik Untara, meninggal pada umurnya yang tidak lebih dari empat dan enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung Sedayu pula, maka mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau.

Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar kakaknya berkata “Sedayu, Aku tidak mampu untuk bangkit berdiri. Bagaimanakah dengan paman Widura?”

Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri.

“Jangan pikirkan yang lain” potong Ki Tanu, “berisitirahatlah”

Untara berdesis menahan perasaan-perasaan yang bergumal didalam dadanya, perasaan cemas dan bingung. Akhirnya terdengar ia berkata perlahan-lahan “Sedayu. Hanya engkaulah yang aku harapkan untuk menolong menyelamatkan paman Widura”

Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya “Apa yang harus aku lakukan?”

“Kau pergi ke Sangkal Putung” desis Untara.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke Sangkal Putung? Sebelum ia bertanya terdengar Untara berkata pula “Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi, bagaimana aku harus melindungimu. Disini dan diperjalanan ke Sangkal Putung akan sama saja bahayanya. Bahkan mungkin bahaya itu akan datang kemari lebih dahulu. Sebab orang-orang Alap-alap Jalatunda pasti kan mencari aku. Kalau benar sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti akan sampai ketempat ini. Mereka pasti memerhitungkan bahwa kita akan datang kemari. Dan mencobanya mencari”

“Tetapi Sangkal Putung tidak terlalu dekat” potong Sedayu terbata-bata. “Jalannya gelap dan licin. Dan bagaimanakah kalau aku bertemu dengan Alap-alap Jalatunda?”

Anak itu akan kembali ke Karajan, Sedang kau akan pergi ke selatan. Kalau kau ingin menempuh jalan yang paling aman, meskipun agak jauh, pergilah menyusur Kali Sat, kemudian kau akan sampai Sangkal Putung dari arah barat”.

Mulut Agung Sedayu terasa menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung benar-benar tidak menyenangkan. Ia menyesal kenapa ia ikut dengan kakaknya. Kalau ia berada dirumah, maka keadaannya pasti akan lebih baik.

Ki Tanu melihat Agung Sedayu dengan keheran-heranan.. Katanya ragu-ragu “Sebenarnya aku tidak tahu mengapa angger harus pergi ke Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu yang tidak aku duga. Kalau perjalanan ke Sangkal Putung memang penting, kenapa angger Sedayu berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau angger bertemu dengan dengan Alap-alap Jalatunda?”

Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Bahkan Utarapun tak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir itu. Karena itu sesaat kemudian suasana menjadi beku. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tanu pula “Bukankah angger Sedayu berdua dengan angger Untara mampu menghadapi Alap-alap Jalatunda itu sekaligus dengan Pande besi Sendang Gabus? Bukankah pade besi itu bahkan terbunuh bersama-sama dengan dua kawannya lagi?”

“Angger Sedayu, dalam gerombolan itu tak ada seorangpun yang melampaui kesaktiannya dari si pande besi yang tamak itu. Karena itu jangan takut dengan Alap-alap Jalatunda”

Mulut Sedayu seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun dadanya terasa sesak.

Sedang Untara masih duduk bersandar tumpukan bantal. Matanya kadang-kadang terbuka, tetapi kadang-kadang terpejam. Dalam kekelaman pikiran itu Untara benar-benar menjadi bingung. Ia hampir-hampir tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan sisa-sisa kesadarannya yang masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia mendapat kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman diperjalanan ke Sangkal Putung daripada tinggal di dukuh Pakuwaon. Didorong pula oleh rasa tanggung-jawab terhadap Widura, maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun penuh kepastian “Agung Sedayu, tinggalkan tempat ini sebelum Alap-alap Jalatunda datang mencabut nyawa kita. Pergilah ke Sangkal Putung dan temuilah paman Widura”

Jantung Agung Sedayu terasa berdentangan. Dengan suara gemetar ia mencoba membantah perintah itu “Kalau aku bertemu dengan mereka, bukankah kepergianku tidak ada gunanya?”

Tidak, kau tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara “Tempuhlah jalan barat”

“Bagaimana dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas.

“Omong kosong dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak “Pergilah”

Bibir Agung Sedayu tampak bergerak-gerak namun tak sepatah katapun terloncat dari bibirnya, bahkan akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca.

Ki Tanu masih belum dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba menjadi ketakutan. Tetapi sebelum ia bertanya lagi terdengar suara Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu “kakang, aku takut”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini, siapakah sebenarnya Untara dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu iapun berdiam diri.

Tiba-tiba orang tua itu terkejut ketika Untara berkata dengan keras sambil meraba hulu kerisnya dengan tangannya yang lemah “Sedayu, pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah kau memilih mati karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati karena kerisku sendiri”

“Kakang” Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku.

Seakan-akan suara adiknya tidak didengarnya. Bahkan dengan mata terpejam Untara berkata pula “Bagiku Sedayu, daripada kau mati ketakutan selama Alap-alap Jalatunda itu nanti mencekikku, lebih baik kau mati dengan luka senjata didadamu”

Tubuh Sedayu benar-benar menggigil. Jantungnya berdentangan seperti guruh yang menggelegar didalam rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu Metir berkata dengan terbata-bata “Angger Untara, apa yang akan angger lakukan itu?”

“Kalau Sedayu tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya.

“Angger”Ki Tanu Metir mencoba menenangkannya “jangan berkata begitu”

Untara tidak menjawab, namun terdengar ia menggeram.

Akhirnya berkatalah Ki Tanu Metir “Angger Sedayu, kakangmu telah menentukan apa yang akan dilakukan. Karena itu sebaiknya angger pergi. Bukankah puncak ketakutan angger itu adalah maut. Dan maut itu berada dalam gubug ini. Kalau angger pergi ke Sangkal Putung, belum pasti angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka maut diperjalanan itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam angger disini. Baik itu dilakukan oleh angger Untara, maupun dilakukan Alap-alap yang gila itu, yang pasti akan jauh mengerikan lagi”

Kepala Sedayu tiba-tiba menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul didalam dadanya. Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu tiba-tiba saja kini hadir dihadapannya. Sehingga seperti seorang perempuan cengeng Sedayu membiarkan dirinya hanyut dalam perasaannya tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan terdengar suaranya gemetar “Adakah kakang berkata sebenarnya”

“Akan kulakukan apa saja yang telah aku katakan, Sedayu” suara Untara lirih namun pasti “Tinggalkan tempat ini segera. Aku sudah muak melihat kau merengek-rengek seperti bayi”

Dada Agung Sedayu hampir meledak mendengar kata-kata itu. Namun mulutnya bahkan menjadi terkunci. Seperti patung ia tidak bergerak, sampai kakaknya membentaknya “Pergi sekarang juga!”

Perlahan-lahan Sedayu berdiri. Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Tetapi ia takut. Takut kepada kakaknya. Takut kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan ketakutannya itu begitu menekan dadanya, sehingga melampaui ketakutannya atas kegelapan malam diluar dan tikungan randu alas. Karena itu meskipun hayatnya serasa telah terbang meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga menuju kepintu. Ketika Ki Tanu Metir mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya, orang tua itu mendengar Sedayu menahan isak didadanya. Maka bisiknya menghibur “angger, serahkan jiwa dan ragamu kepada yang memilikinya. Kalau sudah saatnya akan diambilnya, maka berlakulah kehendakNya meskipun angger berperisai baja. Namun kalau angger akan disingkirkan dari bencana, maka berlakulah pula kehendakNya itu. Karena itu jangan takut”.

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga mau meninggalkannya.

Dimuka pintu sekali lagi ia menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya memejamkan matanya. Karena itu Sedayu melangkah terus. Diluar dilihatnya kuda kakaknya. Dengan gemetar ia melangkah kepunggung kuda itu.

“Selamat jalan ngger” desis Ki Tanu Metir. Aging Sedayu tidak menjawab. Namun kepalanya terangguk. Dengan hati yang kosong ia menarik kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak menyusup kedalam malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan dirinya telah menyusup kedaerah maut.

Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa perjalanan itu harus dilakukannya, maka segera ia memacu kudanya dengan mata yang hampir terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap kali dadanya berdesir. Dimalam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan bayangan-bayangan hitam menghadangnya diperjalanan. Namun ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Karena itu ia tidak mau lagi melihat apapun yang berada diperjalanan itu.

Ketika Sedayu telah hilang dibalik kekelaman malam, Ki Tanu Metir menutup pintunya kembali. Kemudian perlahan-lahan ia mendekati Untara yang lesu. Dan terdengarlah ia bertanya “Kenapa hal itu angger lakukan?”

Untara menarik nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam “Mudah-mudahan Tuhan melindunginya”

Ki Tanu Metir duduk perlahan-lahan disamping Untara. Ia mengangguk-angguk kecil ketika terdengar gumam Untara pula “Kasihan Sedayu”

“Tetapi bukankah angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu.

“Aku hanya ingin supaya Sedayu meninggalkan rumah ini dan sekaligus aku ingin paman Widura melindunginya, selain keselamatan laskar paman Widura sendiri. Paman Widura kenal anak itu” jawab Untara.

Kembali Ki Tanu metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang bahwa Untara sama sekali tak bersungguh-sungguh dengan ancamannya.

“Anak itu benar-benar keterlaluan” berkata Untara pula “Aku hanya menakut-nakutinya, supaya ia mau pergi. Ketakutan hanya dapat dikalahkan dengan ketakutan yang lebih besar. Dan aku sudah berhasil mengusirnya. Mudah-mudahan ia selamat” Untara berhenti sejenak, kemudian terdengar ia meneruskan dengan susah payah “Bukankah lebih baik Ki Tanu Metir menyingkirkan aku pula sebelum alap-alap Jalatunda datang kemari?”

“Tidak angger, tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat “Angger memerlukan perawatanku disini”

“Tetapi” jawab Untara “kalau hal itu membahayakan ki Tanu? Kalau mereka datang kemari, dan ditemuinya aku disini, maka tidak saja aku yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan diganggunya pula”

“Jangan berpikir tentang aku” berkata Ki Tanu Metir “Luka angger agak parah, Aku sedang mencoba untuk mengobatinya”

Untuk sesaat keduanya terdiam. Ketika Untara mendengar derap kuda dihalaman, hampir saja ia berteriak memanggil adiknya itu kembali, tetapi segera ia mempergunakan akan dan perhitungannya untuk melawan perasaannya. “Kalau Alap-alap Jalatunda itu tidak datang kemari, dan Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya, akulah yang bertanggung-jawab” katanya dalam hati. Dan Untara sadar, apabila terjadi demikian maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya seumur hidup. Ia akan kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak berhasil menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda yang bengis itu benar-benar datang kerumah itu bersyukurlah ia, meskipun nyawanya sendiri pasti akan melayang. Namun ia telah berhasil untuk terakhir kalinya menyelamatkan adiknya. Tetapi kemungkinan yang lebih jelek lagi, Alap-alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya, dan adiknya itu dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan tempatnya, kemudian Alap-alap itu datang membunuhnya. “Aku telah berusaha” pikir Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, Untara berhasil menenangkan dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang paling baiklah yang terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal Putung dan Alap-alap Jalatunda tidak datang kepondok itu.

Tetapi Untara terkejut ketika didengarnya bentakan-bentakan kasar jauh ditikungan jalan. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir berdiri dengan gelisah.

“Suara apakah itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah.

Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan keras yang memecah kesepian malam itu.

Lamat-lamat terdengar suara itu “Dimana he, dimana rumah dukun itu?”

Tak terdengar jawaban, namun terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Sesaat kemudian terdengar bentakan “Kalau kau tak mau mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh”

“Ampun” sahut suara yang lain “aku hanya mendengar suara kuda berderap”

“Gila, aku tidak bertanya apakah kau mendengar suara kuda itu. Tunjukkanlah rumah Tanu Metir. Orang itu akan mengatakan segala-galanya dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain.

Kembali tak terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah pukulan.

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya “Orang itu tidak mau menunjukkan rumah ini”

“Kasihan” geram Untara. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi tubuhnya sudah terlalu payah. “Ki Tanu” katanya kemudian “Biarlah mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu dan mungkin nyawa Ki Tanu dapat diselamatkan”

“Apakah arti nyawa-nyawa kami” jawab Ki Tanu Metir “angger adalah salah seorang yang sangat berguna, sedang kami adalah orang-orang yang tak berarti”

Untara terharu mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan tidak saja berkobar didalam dada para prajurit yang dengan senjata ditangan mempertaruhkan nyawanya demi pengabdiannya kepada tanah kelahiran dan kebenaran yang diyakininya, tetapi didalam dada orang tua itupun ternyata menyala api kepahlawanan yang tidak kalah dahsyatnya. Melampaui keteguhan hati seorang prajurit dengan senjata ditangan menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang sama, membunuh atau dibunuh. Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang hidup diantara para petani yang sederhana, telah menantang maut dengan perisai dadanya, kulit dagingnya.

Untara menggeleng lemah “Tidak” katanya, “sudah sewajarnya seorang prajurit mati karena ujung senjata, namun tidak seharusnya aku berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena itu biarlah mereka menemukan aku disini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir menyelamatkan diri”.

“Ini adalah rumahku” jawab Ki Tanu Metir “Kalau aku lari sekarang, maka kerumah ini pula aku akan kembali, dan orang-orang itu akan dapat menemukan aku disini. Tak ada gunanya”

Sekali lagi Untara menarik nafas. Sebelum sempat ia menjawab berkatalah Ki Tanu Metir “Angger, kenapa kita tidak berusaha menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku sembunyikan. Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak menemukan angger maka akupun akan selamat pula”

“Hem” Untara menggeram. Belum pernah ia berpikir untuk menyembunyikan diri pada saat musuhnya datang. Tetapi kali ini keadaannya jelek sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun darahnya tidak lagi mengalir.

“Mungkinkah itu” terdengar suara Untara lirih, sedang ditikungan bentakan-bentakan kasar masih terdengar.

“Marilah angger aku sembunyikan disentong kiri. Aku timbuni angger dengan ikatan bulir-bulir padi”. Ki Tanu Metir tidak menunggu Untara menjawab. Segera ia mencoba menolongnya berdiri. Untara takut kalau-kalau mereka berdua akan roboh, tetapi agaknya Ki Tanu yang tua itu masih cukup kuat untuk memapahnya.

Disentong kiri, Ki Tanu Metir segera membongkar timbunan bulir-bulir padi. Perlahan-lahan Untara ditolongnya masuk kedalam sebuah bakul yang besar “Melingkarlah disitu ngger, dan berusahalah untuk dapat bernafas”  berkata Ki Tanu Metir.

Kembali Untara menggeram, Namun ia mengharap bahwa dengan demikian, ia dan sekaligus Ki Tanu Metir dapat diselamatkan. Lusa apabila luka dibahunya itu sudah sembuh, ia akan datang kembali untuk bertemu dengan Alap-alap Jalatunda.

Dengan tergesa-gesa Ki Tanu segera menimbuni Untara dengan ikatan bulir-bulir padi. Seikat demi seikat dengan hati-hati. Didalam bakul yang besar itu Untara memejamkan matanya. Terasa nafasnya menjadi semakin sesak. Namun ia masih dapat bernafas.

Demikian Ki Tanu selesai dengan pekerjaannya, terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras, dan terdengarlah suara kasar memanggilnya “mbah dukun, buka pintumu”

Untara menjadi berdebar-debar. Ternyata Alap-alap Jalatunda atau orang-orangnya benar-benar datang. Meskipun demikian ia masih dapat mengucap syukur karena adiknya telah pergi.

Untuk sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan tegang. Ia tidak segera beranjak dari tempatnya sehingga terdengar kembali pintu rumahnya dipukul keras-keras “He, buka pintu Ki Tanu”

Ki Tanu tidak mungkin untuk mengelak lagi. Karena itu dengan terbata-bata ia berteriak dari sentong kiri “Ya, ya tunggu. Aku sudah bangun”

Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret telumpah dikakinya. Sementara itu kembali terdengar pintunya hampir berderak patah “Aku tidak sempat menunggu” terdengar suara dibelakang pintu.

“Ya, ya” sahut orang tua itu “aku sedang berjalan”

Sesaat kemudian Ki Tanu Metir telah membuka pintunya. Demikian pintu itu menganga, saat itu juga beberapa orang dengan senjata ditangan berloncatan masuk. Dua orang yang lain memasuki rumah itu sambil mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek.

“Kaukah itu Kriya” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan. Jawabnya “Ya kiai, aku diseretnya ketika aku sedang melihat air diparit. Aku sangka karena hujan yang lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang, datanglah orang-orang ini”

“Tak usah mengigau” bentak salah seorang dari mereka “Monyet itu tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya”

“Siapa?”berkata Ki Tanu Metir.

Seorang anak muda diantara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir “Hem” geramnya “Kita telah berkenalan kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu”

“Ya, ya angger, aku pernah mengenal nama angger. Bukankah angger Alap-alap Jalatunda?”

“Siapakah yang memberi aku gelar demikian” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada nada kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan itu.

“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir “Mungkin karena kedahsyatan angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh”

Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian katanya “Bagus. Kalau kau sudah mengenal aku maka jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku”

“Tidak ngger, tidak” sahut Ki Tanu cepat-cepat “aku pasti akan membantu angger”

Disentong kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi semakin berdebar-debar ketika didengarnya nama Alap-alap Jalatunda. Anak itu bukan lawan yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat dilakukan. Meskipun demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang pertama menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin, setiap goresan ditubuh lawannya, betapapun kecilnya, akibatnya adalah maut. Warangan yang keras dikerisnya itu benar-benar sangat berbahaya, apabila tidak segera dapat penawarnya.

Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-alap Jalatunda berkata “Ki Tanu, aku sedang mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah seseorang datang kemari untuk berobat?”

Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi karena itu maka Alap-alap muda itu membentaknya “Jawab pertanyaanku”

Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya “tidak ngger, tak seorangpun datang kemari”

Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya “Kiai adalah seorang dukun yang terkenal. Orang yang terluka itu pasti pernah mendengarnya. Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu kalau kau sebut dimana dia sekarang?”

“O, angger benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir.

“Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap Jalatunda.

“Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir. “Tak seorangpun datang kemari sehari ini”

“Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong” bentak anak muda itu.

“Aku tidak berbohong ngger” jawab Ki Tanu.

Pandangan mata Alap-alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung alap-alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata “Kau sudah tua. Tidakkah kau ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku dimana Untara kau sembunyikan”

Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga “Tak ada ngger, benar-benar tak ada”

“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu “Aku bertemu dengan anak itu diujung hutan. Ia mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian seorang lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara yang mempunyai nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan kepadaku, dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom tidak menemuinya. Ia pasti datang kemari”

“Tidak ngger” jawab Ki Tanu “sungguh tidak”

“He monyet bungkik” teriak Alap-alap itu kepada Kriya “Jawab pertanyaanku”

Kriya itupun didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-alap yang garang itu berteriak “Kau lihat orang berkuda masuk kedukuh Pakuwon”

“Aku dengar derap kuda” sahut orang itu.

Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang diwajahnya, sehingga Kriya itupun terpelanting jatuh. “Ampun” mintanya.

“Kau lihat dua orang diatas satu punggung kuda seperti katamu tadi ditikungan” teriak Alap-alap itu.

Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut dihatinya.

Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang sudah terdorong dikatakannya ditikungan ketika bertubi-tubi tangkai-tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk menyebutnya sekali lagi dihadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir mempunyai kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun karena Ki Tanu Metir adalah orang tua yang disegani dipadukuhan itu. Ki Tanu Metir adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya, sebab dengan demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik hati itu.

Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika Kriya melihat Alap-alap Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun dikepalanya dengan kedua telapak tangannya ia memohon “Ampun”

Alap-alap jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan pendek itu “Kenapa kau tak mau mengulangi kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil menunjuk Ki Tanu.

Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun kali inipun tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya.

Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan “Kriya, berkatalah sebenarnya”

Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulangi “Katakanlah apa yang kau ketahui kepada angger alap-alap Jalatunda”

Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya dimuka wajahnya “Ampun ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu”

“Hem, baru sekarang kau katakan itu “geram Alap-alap Jalatunda. “Lalu?”

“Ya, dua ekor kuda diatas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda diatas satu punggung kuda” sahut Kriya kebingungan.

Kemudian Alap-alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa menyeringai. Katanya “Kau dengar dukun tua, lidah si bungkik itu terputar-putar?”

“Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir “Tetapi adakah seseorang yang masuk kepadukuhan ini pasti datang kerumahku? Bagaimanakah kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau ke Gedawung?”

Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya “Hanya disini tinggal seorang dukun yang ternama” Dan tiba-tiba mata Alap-alap itu menjadi liar “Mana dia” bentaknya, sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya.

Untara yang mendengar bentakan-bentakan itupun menjadi gelisah. Apakah yang akan dilakukan terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru menjadi tenang “Angger, kalau angger tidak percaya, silakan mencarinya”

Mata Alap-alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling kesegenap sudut, kemudian sekali lagi ia berteriak “Bohong!”

Tiba-tiba diantara mereka, diantara kawan-kawan Alap-alap Jalatunda itu terdengar seseorang tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-alap Jalatunda “He Alap-alap kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah dan cari disemua sudut rumah ini”

Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut “Alap-alap Jalatunda dengan sebutan Alap-alap kecil itupun pasti bukan orang kebanyakan. Karena itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar.

Alap-alap Jalatunda sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya “Bagus”, dan kepada anak buahnya ia berkata “Carilah orang yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia kepada tamu kita kakang Plasa Ireng”

“Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu didalam hati. Dan debar jantungnyapun menjadi bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang yang benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti Arya Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih bengis dari Arya Penangsang. “Orang itu ada disini pada saat aku tak mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka, maka dengan penuh gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan Untara sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiripun agaknya terlalu payah baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir.

Sesaat kemudian orang-orang Alap-alap Jalatunda itu memencar kesegenap sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambupun dibukanya. Tetapi tak seorangpun mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan kiripun mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu ditangan mereka. Namun disentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk bantal dan disentong kiri seonggok untaian padi didalam bakul yang besar. Namun Untara tak mereka temukan.

Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng terawa nyaring diluar pintu. Katanya “Kuda itu telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini”

Alap-alap Jalatundapun segera meloncat keluar. Segera iapun mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu dibawah cahaya oncor ditangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil “Bawa Kriya kemari”

Kriya yang pendek itupun segera didorong keluar. Kemudian diseret mendekati alap-alap Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda.

“Kriya bungkik..!” teriak Alap-alap muda itu “Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi”

“Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata.

“Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-alap Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu.

“Tidak, tidak..” suara Kriya hampir merintih.

“Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-alap Jalatunda’

“Tidak…”sahut Kriya.

“Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng.

“Aku tidak tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan padukuhan ini” jawab Kriya mencoba menyelamatkan dirinya.

“Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya “Yang datang berdua, yang pergi hanya seorang”.

“Ha” jawaban itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar mengherankan.

Tiba-tiba terdengar Alap-alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa Ireng itupun tertawa pula. Terdengar Plasa Ireng berkata “Yang seorang melarikan diri, tetapi kawannya yang luka ditinggalkannya disini”

Untara mnenjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-alap Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari Plasa Ireng itu dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa Ireng sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa Ireng membentak “He dukun celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-alap kecil itu mencari lawannya. Untara adalah seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya disegala medan peperangan namun aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku dengar. Disegala garis perang Untara pasti berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang dimana orang itu” Kemudian katanya kepada Alap-alap Jalatunda “Alap-alap kecil, serahkan Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi”

“Anak itu telah pergi” jawab Alap-alap Jalatunda.

“Kau dapat memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan bawa dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan disekitar Sangkal Putung”

Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar mengejutkan.

Dada Untarapun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia lupa tentang lukanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Alap-alap Jalatunda “Untara adalah lawanku. Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu”

Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya “Kaukah yang melukainya?”

“Sudah aku katakan” jawab Alap-alap Jalatunda.

“Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng.

“Ya” sahut anak muda itu.

Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya “Jangan mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda yang sekarang bergelar Alap-alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang itu pula”

Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab “Jangan memperkecil arti Alap-alap Jalatunda didaerah ini. Kenapa aku takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku telah berhasil mengalahkan mereka”

“Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada Alap-alap Jalatunda itupun ia berkata “Kalau sekali lagi kau sebut kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang sampai ketemu” kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata “kearah mana kuda yang itu?”

Kriya yang kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannyapun meluncur dengan lancarnya “keselatan”

“Terus?” desak Plasa ireng.

“Tidak. Disimpang tiga membelok kebarat” jawabnya.

“Nah, kejar dia. Lewat Kali asat” perintahnya.

Alap-alap Jalatunda masih berdiri ditempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak “Pergi…!”

Alap-alap Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia pergi kejalan kecil dimuka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda berlari.

Mendengar derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan tumpukan padi diatasnya. Namun terasa pundaknya menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Dalam pada itu terdengar Plasa Ireng membentak “He dukun tua, jangan menyamakan aku dengan Pratanda yang cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus menunjukkan tempat Untara. Kalau tidak sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah ini. Nah, tunjukkan tempat Untara itu sekarang”

Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila dukun yang baik itu mengalami bencana karena dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah yang kembali mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara menjadi sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi, sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir menjawab tenang “Sayang ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu”

“He..!” Plasa Ireng berteriak “Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu”

“Ia berada dirumahku” jawab Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada ditanganku”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untarapun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan ketika ia mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan kelam. Untara tidak sadarkan diri.

***

Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu dilangit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah.

Diatas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali asat terdengarlah suara kaki kuda berderap. Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh.

Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh kedepan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia akan sampai ke Bulak Dawa. Diujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan tikungan randu alas. Dibawah randu alas jalan membelok kekiri lewat Kali asat dan sekali lagi ia harus membelok kekanan. Kemudian ia akan sampai kejalan lurus langsung menuju Sangkal Putung.

Teringatlah ia akan cerita tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap didalam hati. Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya kedaerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal dirumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk mencekiknya.

Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang kedepan, kudanya telah sampai dikelok jalan, dan sesaat kemudian dihadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa.

Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan diantara bintang-bintang dilangit, tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar keatas daun-daun padi yang subur ditanah persawahan. Disana sini air yang bergenangan memantulkan sinar bulan yang redup itu.

Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu ditubuhnya menjadi tegak.

Jauh diarah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur keselatan, seakan-akan raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia manarik nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan mereka.

Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar menghadang diujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu dimata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti.

Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali ke dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap membunuhnya.

“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling sengsara diatas bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun kedaerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya.

“Ibu, ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya.

Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh dibelakangnya berderap seekor kuda yang lain, Alap-alap Jalatunda.

Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-alap Jalatunda memacu kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika pande besi sendang gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah mengambil jalan barat.

“Menyenangkan” desisnya “Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu”. Maka Alap-alap Jalatunda itupun memacu kudanya lebih cepat “Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya”

Kaki-kaki kuda Alap-alap Jalatunda itupun berderap pula diatas jalan berbatu menuju Kali Asat. Dibenaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu alas. Cerita itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang muda itu tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang garang itu tidak pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang didepannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara.

Karena itu Alap-alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung.

Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia bertekad untuk dapat menyusul anak muda itu.

Di Bulak dawa Agung Sedayu masih terpekur diatas punggung kudanya yang tegak seperti patung. Dadanya yang penuh sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak. Bahkan akhirnya Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga beberapa kali terdengar ia mengeluh. Ditengah-tengah bulak yang panjang dan sepi itu, seolah-olah Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala himpitan didadanya.

Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa lama ia berhenti ditengah-tengah jalan diantara sawah-sawah yang terbentang sedemikian luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-lamat didengarnya derap kuda dibelakangnya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik, “Derap kuda”, desisnya. “Siapa?”.

Sedayu mencoba untuk menebak “Adakah kakang Untara” katanya seorang diri. Kemudian ia menggeleng “Lukanya agak parah” kata-katanya dijawabnya sendiri.

“Adakah mereka itu gerombolan Alap-alap Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar kata-katanya itu sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya yang picik maka perhitungannyapun picik pula. Katanya “Alap-alap Jalatunda tidak berkuda”

Untuk sesaat Agung Sedayu menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman untuk melewati tikungan randu alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah didalam benaknya “Bagaimanakah kalau Alap-alap Jalatunda itu menemukan kudaku?”

Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung Sedayu menjadi pasti. Pikirnya “Derap kuda itu adalah derap kudaku sendiri, tetapi dengan Alap-alap Jalatunda dipunggungnya”.

Demikianlah tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya yang jernih. Yang ada didalam hatinya tinggallah “Bagaimana aku harus bersembunyi dibulak ini?”

Derap kuda dibelakangnya itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat mengira-irakan, masih seberapa jauhnya. Namun dimalam yang sepi itu, suara derap itu rasa-rasanya tinggal beberapa langkah dibelakangnya.

Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh terjerebab ditanah yang becek. Tertatih-tatih ia bangun, kemudian berlari-lari terjun kedalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian, dengan tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan dengan batu itu ia melempar kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian berputar-putar dan berlari kencang-kencang kearah tikungan randu alas.

Pada saat itulah Alap-alap Jalatunda muncul dikelok jalan dibelakangnya. Hati anak muda yang sedang berpacu itupun berdesir ketika didalam keremangan cahaya bulan ia melihat seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya. “Adakah kuda itu kuda kawan Untara?” Jarak kedua ekor kuda itu masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-alap Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa dipunggung kuda itu tak ada seorangpun yang menaikinya. Karena itu, sesaat ia masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang kuda itu benar-benar sakti seperti yang dikatakan Untara.

“Bukankah aku Alap-alap Jalatunda” desisnya. “Alap-alap Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun seandainya yang berkuda itu Untara sendiri”. Alap-alap yang muda itu tersenyum sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban “Ya, karena kau tahu pasti bahwa Untara sedang terluka parah”

Alap-alap Jalatunda itupun segera memacu kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan buruannya atau menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera ditangkapnya. Hidup atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-alap itu berteriak ngeri, mirip seperti suara burung alap-alap yang berteriak diudara. Kudanya itupun berlari semakin kencang seperti gila.

Agung Sedayu seakan-akan membeku didalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari dimuka hidungnya.

Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat diatas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya, Alap-alap Jalatunda. Maka dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak didalam rongga dadanya.

Suara kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama semakin menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh gendoruwo bermata satu diujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo bermata satu itu. Dan matanyapun kini dapat melihat pohon randu alas itu dengan jelas. Lingkaran yang keputih-putihan ditengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas. Namun ketakutan yang lain kini mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin lama semakin menghunjam kepusat dadanya. Demikian takutnya sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia berdiri dan merangkak menaiki tepian parit. Seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu berlari-lari kearah jalan kembali ke dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-alap Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana saja. Tidak kearah Alap-alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi kemana? Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena itu maka niat itupun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu hampir sampai kepangkal jalan bulak yang panjang itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda. Karena itu langkahnyapun terhenti. Dicobanya untuk mengetahui dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia menoleh, disepanjang bulak dawa itu tak dilihatnya sesuatu, sementara itu derap kuda itupun menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya sehingga kembali ia berlari keparit ketepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu.

Ketika kuda itu muncul disiku jalan, Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa ia meloncat terjun kedalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan tepat dimuka Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itupun berhenti.

Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah yang berada di permukaan air. Ketika ia mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia manjadi semakin ketakutan da kembali merataplah ia di dalam hati. Meratapi nasibnya yang malang semalang-malangnya.

Didengarnya orang diatas punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian didengarnya orang itu berkata “Siapa yang bersembunyi di dalam parit?”

Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada diujung ubun-ubunnya.

“He, jawablah” terdengar suara itu pula. Berat dan lantang “Siapa itu? Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah. Kalau kau tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur.”

Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil namun mulutnya masih terkunci.

“Nah” suara itu berkata pula “Kau tidak mau menampakkan dirimu. Siapapun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah, kita mengadu kesaktian.”

Sedayu masih mendengar orang itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh menjenguknya dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir pingsan. Seorang yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung Sedayu, maka berderailah tertawanya.

“He” kenapa kau berbaring disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo wudarlah tapamu sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah orang yang sakti, tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air dikala udara begini dingin. Ayo bangunlah”

Agung Sedayu masih menggigil. Memang udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan udara yang dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi “Hem, benar-benar kau orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga kau tak terpengaruh oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpaksa membangunkan kau”

Tiba-tiba orang itupun meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat tubuh Agung Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata “Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir setiap sudut kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak”. Hem” orang itu menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi ia berkata pula “Bangunlah hai pertapa mumpung kau baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang kalau aku membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu”

Agung Sedayu belum pernah melihat orang seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana seseorang mesu diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah payah, ia mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya.

Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring “Ha” katanya “ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur”

Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi orang yang berdiri dihadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah suatu perasaan yang aneh didalam dadanya. Meskipun orang yang baru saja datang itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan kata-kata yang bernah diucapkan oleh si Pande besi Sendang Gabus atau oleh Alap-alap Jalatunda.

“Berdirilah” tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.

Sedayu masih belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. Namun tak disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri. Katanya “Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air”

Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri, orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu katanya “Kau gagah benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi setiap lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk bertempur?”

Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.

“Tidak?” teriak orang bertopeng itu “Kau tidak mau berkelahi?”

Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.

“Hem” desis orang bertopeng itu “Kau belum mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian”

Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap didalam dada Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang itu mempunyai sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannyapun berkurang. Kalau orang itu ingin berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada suaranyapun tidak kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Agung Sedayu mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat melepaskan perasaan takutnya.

“Aku sangka kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai permusuhan. Baik. Akupun tidak akan memaksa. Dahulu akupun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata orang bertopeng itu.

Tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang bertopeng itu mendengarnya “Siapa?” katanya.

Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya “Namanya Ki Sadewa”

“He”Agung Sedayu terkejut “Kau sebut nama itu?”

“Ya, kenapa? Kau kenal dia? Atau orang itu gurumu? Kalau demikian benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut kiai Gringsing.

“Orang itu ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.

“He” orang itu terkejut “Kau anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?”

“Ya” jawab Agung Sedayu pendek.

“Pantas, pantas” gumamnya “Kau memiliki kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan sifat-sifat yang sama pula”. Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu bertanya menyentak “Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku. Aku takut seribu turunan dengan orang yang bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?”

“Tidak” jawab Agung sedayu “orang itu benar-benar ayahku”

“Kalau demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing.

Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya.

Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula “Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”

Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk.

“Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi” ia meneruskan “kau dapat berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang aku ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik. Memanah, paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?”

Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan keberanian. Karena itu Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi keahlian ayahnya itu. “Baiklah” jawabnya.

“Nah” berkata Kiai Gringsing “aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.

“Bagus” teriak Agung Sedayu gembira. Permainan itu memang sering dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan kakaknya, Untara tak menyamainya.

Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi “Aku sudah mulai” teriaknya.

Sedayupun segera memungut batu pula. Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu.

“Dahsyat” teriak Kiai Gringsing “Didalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah berhasil mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan berani menanatangmu”

“Kau percaya?” bertanya Agung Sedayu dengan bangga.

“Ya, aku percaya” jawab orang itu.

Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa didalam dirinya tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain.

Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas kemampuannya itu, lamat-lamat didengarnya derap seekor kuda. Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali “Suara kuda” desisnya.

“Ya” jawab Kiai Gringsing “dari arah tikungan randu alas”

Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah Alap-alap Jalatunda yang sedang mencarinya? Keringat dingin mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi gemetar.

Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik pada suara derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya “Jangan hiraukan suara derap itu, siapapun yang akan lewat biarlah ia lewat”

Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara Kiai Gringsing “Anak muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa. Sejak kapan kau berlatih membidik?”

Agung Sedayu mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa seperti derap dijantungnya. Namun ia menjawab “Sejak kecil” Dan terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih suka berburu kehutan daripada berlatih membidik dirumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani ikut serta, menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah, paser, bandil dan sebagainya. Tetapi kecakapannya itu tidak dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk anak-anak.

Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat. Dan karena itu maka tubuhnya semakin gemetar pula.

“Anak muda” berkata Kiai Gringsing “agaknya kau tertarik sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita beremu”

“Jangan, jangan pergi Kiai” tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia meloncat mendekati orang bertopeng itu.

“Kenapa?”Kiai Gringsing bertanya.

“Orang yang berkuda itu mungkin Alap-alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.

“Alap-alap Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.

“Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu.

“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing “Kalau Alap-alap Jalatunda itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?”

“Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung sedayu.

“Kau dan kakakmu? Siapakah namamu he anak muda dan siapa nama kakakmu?” sahut kiai Gringsing “Apakah Aka-alap Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?”

“Namaku Sedayu, Agung Sedayu dan kakakku bernama Untara “jawab Sedayu yang segera disusulnya dengan terbata-bata ”Kiai, tolonglah aku” pinta anak muda itu.

Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya “Kau benar-benar tidak mau melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau umpankan orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Akupun tidak”

“Tidak kiai. Aku minta kiai menolong aku” desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu juga, namun kemudian terpaksa ia berkata “Aku tidak pernah berkelahi. Aku takut”

Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya “Orang-orang sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan pura-pura takut. Tak akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan karena Alap-alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itupun tak pernah membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu Alap-alap Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk meluruskan jalannya”

Agung Sedayu sudah tidak mendengar kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, maka Sedayupun menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam keremangan cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda berpacu kearahnya.

“Itulah dia kiai” berkata Sedayu “Tolonglah aku”

“Bagaimana aku bisa menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai Gringsing “Atau kau ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?”

“Tidak, tidak” jawab Sedayu mendesak “aku takut”

“Angger Sedayu” berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi bersungguh-sungguh “Seandainya kau bertempur melawan Alap-alap Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan dibunuhnya”

Tetapi agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya “Aku tidak berani Kiai, aku takut”

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga topengnya bergerak-gerak. “Baiklah” katanya “agaknya kau bercuriga kepadaku dan ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi apakah kau mampu melawan Alap-alap itu?” Dan tiba-tiba saja orang yang bertopeng dan berselimut kain gringsing itu meloncat, ringan sekali, keatas tanggul parit. Masih terdengar ia berkata “Jangan berendam lagi didalam air Sedayu, kau akan membeku” Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang hanya dapat didengarnya sendiri “Tak berhasil”

Sementara itu kuda yang berlari kencang-kencang itupun menjadi semakin dekat. Diatas punggung kuda itu tampak seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya. Dari kejauhan penunggang kuda itupun telah melihat seekor kuda berhenti ditengah jalan. Karena itu, timbullah pertanyaan didalam hatinya. “Siapakah gerangan orang berkuda itu?”

Orang yang datang itu benar-benar Alap-alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak habis-habisnya ketika ia berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya.

“Setan” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang “Dimana kau sembunyi kelinci licik” Dan karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan Alap-alap Jalatunda, Sedayu pasti masih bersembunyi disekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi ketika ia melihat seekor kuda berdiri dijalan itu, maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi berdebar-debar. “Persetan, siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku lemparkan disekitar Sangkal Putung”

Kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayupun menjadi semakin gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti kedatangan Alap-alap muda yang garang itu.

“Aku baru kenal namanya” berkata Kiai Gringsing “Kalau aku terbunuh oleh Alap-alap Jalatunda, kaulah yang bersalah”

Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah, maka sudah pasti dirinyapun akan mengalami bencana. Karena itu desisnya “Jangan Kiai, jangan kalah”

Kiai Gringsing tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli. “Tak seorangpun yang mau kalah dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorangpun yang tahu pasti bahwa ia tidak akan dikalahkan, betapapun lemah lawannya. Bukankah nasib seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha”

Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda diatas punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti beberapa langkah saja dihadapan kuda Kiai Gringsing. Didalam cahaya bulan dilihatnya seorang bertopeng berdiri tegak diatas tanggul parit. Dan tiba-tiba dilihatnya didalam parit seorang lain berdiri gemetar “Ha” teriaknya kegirangan “Kaukah itu?”

Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.

Alap-alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai keujung ikat kepalanya “Apakah kau penari topeng?”

Tetapi orang bertopeng itu menjawab “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap cerita”

“Huh” Alap-alap itu mencibirkan bibirnya “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-alap Jalatunda”

“Ya, aku sudah tahu” jawab Kiai Gringsing

Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya “Dari mana kau tahu?”

“Dari anak muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.

“Apamukah itu?” bertanya Alap-alap Jalatunda pula.

“Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing “Karena itu aku harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda”

Alap-alap Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram “Hem, kanapa kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu”

“Namaku Kiai Gringsing” jawab orang bertopeng itu.

“Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-alap Jalatunda.

“Aku berkata sebenarnya” jawab Kiai Gringsing.

“Kenapa yang kalah yang harus menghadapi Alap-alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa kalian adalah orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-alap yang sedang marah itu.

“Tidak” sahut Kiai Gringsing “Aku sama sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam didalam parit. Dengan serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ternyata aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-alap Jalatunda kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi …..”

“Cukup!” bentak Alap-alap Jalatunda “jangan membual” Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula perasaan yang aneh, ketika ia mendengar cerita Kiai Gringsing tentang dirinya.

Kemudian terdengar Alap-alap Jalatunda itu meneruskan “Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya”

Kiai Gringsing menggeleng “Tidak” jawabnya “Tak seorangpun dapat melepas topeng ini, sebab topengku telah melekat pada kulit wajahku”

“Hem” Alap-alap itu menggeram penuh kemarahan. “Bagus. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu”. Meskipun demikian timbul pula pertanyaan didalam dadanya. Telah dua orang yang menyebut anak itu sebagai orang sakti yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari mulut Untarapun ia pernah mendengar hal itu. Lalu, adakah orang bertopeng ini Untatra yang sedang menjebaknya? Alap-alap itu menggeleng “Tak mungkin, Untara terluka”

Terdengar kemudian jawaban Kiai Gringsing “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak”

“Jangan banyak bicara” potong Alap-alap Jalatunda yang menjadi kian marah “bersiaplah. Kau atau anak muda itu bagiku sama saka. Satu demi satu kalian akan aku bunuh. Atau kalian berdua sekaligus. Mari” Alap-alap itupun segera bersiap. Agaknya ia mau cepat-cepat selesai sehingga tiba-tiba saja ditangannya tergenggam pedangnya yang putih berkilat-kilat.

“O” berkata Kiai Gringsing “baiklah. Karena aku yang harus bertempur maka biarlah aku melayanimu dahulu. Tunggu sebentar, aku mengambil senjataku” Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban Alap-alap Jalatunda. Dengan enaknya ia berjalan mendekati kudanya. Katanya kemudian “Apakah kau akan bertempur diatas punggung kuda?”

Alap-alap Jalatunda menggeram. Jawabnya “Aku dapat berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai”

“Aku akan bertempur diatas tanah” sahut Kiai Gringsing.

Alap-alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya.

Agung Sedayu melihat peristiwa-peristiwa itu seperti didalam mimpi. Ya, hampir semalam penuh ia diganggu oleh mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa yang terjadi itupun sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar bahwa ujung pedang Alap-alap Jalatunda itu bukan sekadar menakut-nakutinya didalam mimpi, maka kembali bulu-bulunya meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi pula oleh keringat dinginnya.

Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing benar-benar mengejutkan Alap-alap Jalatunda. Senjata orang tua itu tidak lebih daripada sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-alap Jalatunda merasa terhina memaki-maki “Setan topengan. Kau sangka leluconmu itu baik. Kalau kau terbunuh pada sabetan pedangku yang pertama jangan menyesal. Dan jangan mengharap orang lain dapat menuntut atas setiap pembunuhan yang aku lakukan. Di daerah pertempuran tak pernah ada hukum yang dapat ditegakkan setegak-tegaknya”.

“Kau benar” sahut Kiai Gringsing “Hukum didaerah perang seperti Pajang dan Jipang sekarang adalah hukum perang. Tetapi karena yang berperang itu adalah manusia-manusia, seharusnya mereka tidak kehilangan kemanusiaannya”

“Persetan” bentak Alap-alap Jalatunda yang sudah tidak sbar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung pedangnya tepat mengarah kedada orang bertopeng itu. “Mampus kau” teriak Alap-alap Jalatunda.

Tetapi sekali lagi Alap-alap Jalatunda terkejut. Kiai Gringsing itu hampir-hampir tak tampak bergerak, namun ujung pedang Alap-alap Jalatunda tidak menyentuhnya.

“Gila” geram Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang garang itu menjadi semakin marah. Diputarnya pedangnya dan seperti angin prahara ia menyerang lawannya.

Ternyata Kiai Gringsing itu benar-benar lincah. Alap-alap Jalatunda itupun lincah dan tangkas. Namun Kiai Gringsing dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-alap yang garang itu selalu dapat dielakkan.

Demikianlah kemudian mereka berdua terlibat dalam perkelahian yang sengit. Mereka berdua bergerak dengan cepatnya melingkar-lingkar. Pedang Alap-alap Jalatunda itu segera mengurung lawannya, sehingga seakan-akan Kiai Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk bergerak. Namun adalah sangat mengherankan. Alap-alap Jalatunda tak dapat mengerti, setiap bersentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang aneh itu, terasa tangannya bergetar. Mula-mula ia menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera putus apabila tersentuh tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Cambuk itu benar-benar merupakan senjata yang membingungkan bagi Alap-alap yang masih muda itu. Meskipun demikian, Alap-alap Jalatunda tidak menjadi cemas. Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur semakin garang.

Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin cepat karena kemarahan Alap-alap Jalatunda. Diatas tanah yang becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang kemerah-merahanpun memercik seperti hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka yang sedang bertempur.

Orang bertopeng itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Dilihatnya dari lubang topengnya, bulan tua memanjat sampai kepuncak langit. Karena itu tiba-tiba iapun menjadi gelisah. “Hampir fajar” bisiknya dalam hati. Sesaat kemudian menyambar anak muda yang masih berdiri kaku didalam parit dengan sudut pandangannya. “Perkelahian ini harus segera selesai supaya Agung Sedayu tidak terlambat” kembali Kiai Gringsing itu berkata didalam hatinya. Karenak itu, maka tiba-tiba gerakannyapun segera berubah. Kiai Gringsing itu kini tidak saja banyak meloncat-loncat seperti katak untuk menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah mengambil keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.

Bersamaan dengan itu terdengarlah ia berteriak nyaring kepada Agung Sedayu “Sedayu, selagi kau sempat, bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi”

Sedayu mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih terpaku ditempatnya. Ia tidak dapat menguasai dirinya karena ia terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu.

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu ia masih harus melayani Alap-alap Jalatunda. Sedang Alap-alap yang garang itupun terkejut melihat perubahan tata perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih menyangka bahwa orang bertopeng itu dapat bertahan karena senjata anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang dihadapinya itu benar-benar orang yang setidak-tidaknya melampaui keperkasaannya. Karena itu maka timbullah berbagai pertanyaan didalam dirinya. Kiai Gringsing adalah nama yang belum pernah didengarnya, bahkan orang bertopeng yang berkeliaran didaerah inipun belum juga pernah ada yang menyebutnya. Kembali ia berpikir, adakah orang ini Untara yang sedang menjebaknya, namun menilik tata perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan cara Untara mempertahankan dirinya. Untara bertempur dengan sungguh-sungguh dan selalu mempergunakan kesempatan-kesempatan untuk menekan lawannya sesuai dengan sikap keprajuritannya. Tetapi orang ini ternyata berkelahi seenak-enaknya. Bahkan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Baru pada saat-saat terakhir ia merasa, orang bertopeng semakin cepat dan yang kemudian terasa benar oleh Alap-alap Jalatunda bahwa ia benar-benar tidak akan dapat melawannya. Namun kalau teringat olehnya pesan Plasa Ireng, hatinyapun menjadi berdebar-debar. Apakah kata orang yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu menangkap kawan Untara itu. Tetapi anak muda itu tak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang bertopeng itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya.

Karena itu Alap-alap Jalatunda menjadi bingung. Menghadapi orang bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya. Pada saat ia bertempur berempat dengan Untara masih juga ia mengharap untuk dapat mengalahkan lawannya itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang sakti yang aneh, Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.

“Persetan dengan kakang Plasa Ireng” gumam Alap-alap Jalatunda “Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan orang bertopeng dan berselimut kain gringsing ini”

Alap-alap Jalatundapun akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya. Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu belum juga hilang. Apalagi ketika ia dapat mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu agaknya telah melindungi Agung Sedayu.

Alap-alap yang garang itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai Gringsing dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia berlari kearah kudanya. Ternyata anak itu benar-benar cakap bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri dan jatuh langsung diatas punggung kuda itu. Kudanyapun seakan-akan mengetahui apa yang terjadi dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu meloncat dan berlari kencang-kencang seperti anak panah.

Kiai Gringsing memandang Alap-alap Jalatunda yang melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha untuk mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih menunggunya. Agung Sedayu.

Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata “Bukankah aku menang?”

Ketika Agung Sedayu melihat Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri, maka dadanya yang bergelora seakan-akan disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin. Maka anak muda itupun menarik nafas sedalam-dalamnya. Maut yang menghampirinya kini telah terusir pergi.

“Nah Agung Sedayu” berkata Kiai Gringsing “sekarang sebutlah namaku, setelah kau melihat tata perkelahianku” Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya jujur “Aku tak tahu Kiai”

Kiai Gringsing tersenyum. Namun Agung Sedayu tidak melihat wajah orang itu. Senyum yang aneh. Sedang matanya memandang anak muda itu dengan penuh kecewa. Gumamnya didalam hati “Sayang” Tetapi orang itupun kemudian segera berkata “Sedayu, bukankah kau akan pergi ke Sangkal Putung?”

“Ya” jawab anak muda itu “Dari mana Kiai mengetahuinya?”

“Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab pasti laskar Widura perlu mendapat bantuanmu. Kalau tidak, bahaya yang besar akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan dapat dielakkan” berkata orang bertopeng itu.

“Kenapa kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Ah” desah orang bertopeng itu. Kemudian katanya “Bukankah dengan demikian Widura akan mengetahui bahaya yang akan mengancamnya? Dan dengan kehadiranmu, maka bahaya itu akan dapat dikurangi. Siapakah diantara mereka yang mampu melawan putera Ki Sadewa?”

Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Tetapi Kiai Gringsing itu berkata terus “Nah, pergilah. Mumpung masih ada waktu”

Agung Sedayu sadar akan dirinya. Diingatnya kata-kata kakaknya. Alangkah marahnya Untara kelak, apabila ia tidak sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena itu maka iapun menjawab “Baiklah Kiai, kita pergi ke Sangkal Putung sekarang”

“Kenapa kita?” bertanya Kiai Gringsing “Kaulah yang akan pergi. Aku tidak”

“Tidak” sahut Agung Sedayu cepat-cepat. “Kiaipun akan pergi kesana”

“Aku tidak berkepentingan dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing.

Agung Sedayu berdiam. Tanpa sesadarnya anak muda itu memandangi pohon randu alas dikejauhan. Dan tiba-tiba bulu-bulunya tegak diseluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan percaya, dan pasti akan menyebutnya, putera Ki Sadewa. “Hem” Agung Sedayu mengeluh.

Meskipun demikian ia berkata “Aku akan terlambat”

“Mungkin” sahut Kiai Gringsing. “Nah, pakailah kudaku supaya kau sampai sebelum fajar menyingsing. Orang-orang yang lapar itu akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal Putung tepat pada saat cahaya matahari yang pertama jatuh diatas pedukuhan itu”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang bertopeng itu tahu seluruhnya. Tepat seperti apa yang dikatakan Untara sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya, orang bertopeng itu berkata “Naiklah. Dan pakai kudaku”

Kiai Gringsing tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat dan berlari ke utara.

“Kiai, kiai…” panggil Agung Sedayu. Tetapi orang itu segera menghilang disiku jalan. Terdengarlah orang bertopeng itu bergumam, lirih dan hanya didengarnya sendiri “Kalau aku tidak memaksamu pergi dengan cara ini Sedayu, agaknya kau lebih senang berendam didalam parit”

Sebenarnyalah. Dengan demikian Agung Sedayu tidak berani tinggal ditempat itu lebih lama lagi. Karena itu segera ia memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing masih berdiri ditempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan akhirnya iapun merasa berterima kasih kepada orang yang tak dikenalnya itu. Terima kasih karena nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih karena ia dapat mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung. Meskipun Agung Sedayu tak juga dapat mengerti, atas segala macam sikap dan anggapan orang aneh itu terhadapnya.

Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal Putung.

Perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati kuda Kiai Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda itu. Dicobanya untuk membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan kepalanya. Ternyata kuda itu cukup jinak.

“Nah” bisik Agung Sedayu, “Kawani aku ke Sangkal Putung”.

Agung Sedayu segera naik kepunggung kuda itu. Dan dengan hati yang berdebar-debar kuda itu dipacunya ke Sangkal Putung. Dihadapannya terbentang sebuah jalan ditengah sawah yang panjang. Dan diujung jalan itu menunggunya tikungan randu alas. Namun Sedayu mencoba untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga kudanya melaju terus.

Tikungan randu alas itu kini tinggal beberapa puluh tombak saja dihadapannya. Agung Sedayu segera memejamkan matanya. Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya kuda itu sehingga berlari kencang seperti kuda itu takut pula kepada genderuwo bermata satu.

Agung Sedayu merasa, kudanya membelok dengan tajam dan sesaat kemudian kuda itu berlari menurun. Tikungan randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya. “Hem” anak muda itu menarik nafas panjang. Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya kedua matanya. Masih utuh. Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya seperti kata orang. Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka yang bermata lengkap. Tetapi Agung Sedayu tak berani menoleh betapapun keinginan mendesaknya. “Ah mungkin genderuwo itu takut karena aku putera Ki Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa Alap-alap Jalatunda itupun tak diganggunya.

Jalan dihadapan Agung Sedayu masih menurun. Kini dihadapannya dilihatnya paedukuhan yang kecil. Kali asat. Pedukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan ketika sekali lagi Agung Sedayu membelok kekanan sampailah ia kejalan lurus menuju Sangkal Putung.

Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi semakin dekat juga. Karena itu anak muda itu sempat berangan-angan. Diingatnya semua kata-kata orang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu. “Alangkah senangnya kalau apa yang dikatakan orang itu benar-benar ada padaku” pikir Agung Sedayu. “Kalau aku seorang sakti yang tak terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsingpun tak dapat mengalahkan pula. Dengan bekal kesaktian itu aku akan mengembara. Akan aku datangi sarang-sarang gerombolan liar yang sering mengganggu ketentraman. Aku bunuh mereka satu demi satu.”“Ah, tidak” bantahnya sendiri. “Setiap orang akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka, anak istrinya akan menderita. Mereka akan aku ampuni, apabila mereka kelak menjadi orang yang baik”. Namun disudut hatinya yang lain berkata “Tetapi mereka telah berbuat jauh lebih kejam daripada membunuh”. Dijawabnya sendiri “Biarlah mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat demikian pula, apakah bedanya? Alap-alap Jalatunda misalnya. Aku harus memaafkannya apabila ia benar-benar telah menemukan jalan yang benar. Bukankah ayah dahulu pernah bercerita, tentang seorang saudagar kaya yang jatuh miskin. Karena itulah maka ia tidak dapat membayar hutangnya kepada raja. Namun raja itu bijaksana. Saudagar itu dibebaskan dari pembayaran hutang. Tetapi, saudagar itu sama sekali tidak mau membebaskan hutang seorang miskin kepadanya. Sedang hutang itu sama sekali tak berarti dibandingkan dengan hutangnya kepada raja. Ketika raja mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi murka. Dipanggilnya saudagar itu. Dan raja mencabut kemurahan hatinya. Saudagar itu dipaksa untuk bekerja kepada raja sebagai ganti hutang yang tak dapat dibayarnya”.

Agung Sedayu puas dengan angan-angannya. Ia puas dengan sikap yang disimpulkannya. Katanya didalam hati “Memang Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau kita tak juga memaafkan kesalahan orang lain kepada kita”

Tetapi kemudian Agung Sedayu menjadi kecewa ketika ia menyadari keadaannya. Tak pernah ia dapat memaafkan orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada orang yang pernah ditundukkan, apalagi disadarkannya dari kesesatan.

“Ya, seandainya” kembali ia bergumam.

Tiba-tiba Agung Sedayu tersentak, dan tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar ketika dedengarnya sebuah terikan melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika diketahuinya suara itu ternyata hanyalah suara burung engkak yang pulang kekandangnya, setelah semalam-malaman mencari mangsanya.

“Hampir pagi” desis Agung Sedayu kemudian. Karena itu dipacunya kudanya semakin cepat. Dimukanya tampak sebuah pedukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung didalam lautan yang hijau. Itulah Sangkal Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah dinding telah dilihatnya, dan disudut jalan tampak sebuah gardu perondan.

Agung Sedayu langsung berpacu kegardu itu. Ia tahu benar bahwa digardu itu berjaga-jaga beberapa orang pamannya, Widura. Karena itu iapun tidak takut lagi bertemu dengan Alap-alap Jalatunda.

Ketika mereka mendengar suara kuda, maka orang-orang digardu itupun segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orang-orang yang sedang berjaga-jaga itupun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting.

Demikianlah maka mereka segera menghentikan kuda Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh sedang berhitung mancung maju kedepan dan bertanya “Siapa kau?”

“Agung Sedayu” jawab Agung Sedayu lantang “Aku akan bertemu paman Widura”

“Apakah keperluanmu?” bertanya orang itu pula.

“Penting sekali. Hanya paman Widuralah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu.

Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata “Apakah kau tidak dapat menunggu sampai besok?”

“Demi kepentingan paman Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan bangganya.

“Antarkan anak muda ini” berkata orang itu kemudian.

Agung Sedayu masih berada dipunggung kuda, ketika dua orang mendekatinya “Marilah” berkata salah seorang daripadanya.

“Berjalanlah dimuka” sahut Agung Sedayu.

Sesaat orang itu saling berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh kearah orang yang berhidung mancung, yang agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung itupun kemudian berkata “Anak muda, kami para penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan, bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak anakmas sampai digardu ini”

“Oh” sahut Agung Sedayu “Maafkan aku. Aku tergesa-gesa sehingga aku melupakan kebiasaan itu” dan dengan tergesa-gesa pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya.

“Nah” berkata pemimpin itu “Silahkan mengikuti orang-orangku yang akan mengantarkan anakmas dan biarlah kuda itu disini”. “Baik” jawab Sedayu “Terima kasih”.

“Marilah” ajak salah seorang diantaranya. Dan orang itupun segera berjalan. Tetapi yang seorang lagi masih berdiri tegak. “Silahkan” katanya.

Agung Sedayu menjadi agak bimbang. Namun akhirnya tahulah ia, bahwa ia harus berjalan dibelakang orang pertama, kemudian orang kedua itu berjalan dibelakangnya.

“Anak buah paman Widura sangat berhati-hati” katanya didalam hati. Namun meskipun demikian, sekali-sekali ia menoleh juga kebelakang, seakan-akan orang yang berjalan dibelakangnya itu akan menerkamnya.

Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka menyusur jalan desa, diantara pagar-pagar batu setinggi dada, maka sampailah mereka disebuah halaman yang luas. Pagar halaman itupun agak lebih tinggi dari pagar-pagar disekelilingnya. Didepan halaman itu tampak sebuah regol yang tertutup rapat.

Orang pertama, yang berjalan dimuka Agung Sedayu itupun segera mengetuk pintu regol itu.

Untuk sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula didalam. Empat kali berturut-turut.

Agung Sedayu sama sekali tidak tahu maksud dari ketokan itu. Ia menjadi heran ketika orang yang dimukanya itu sekali lagi mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama kemudian pintu itupun terbuka.

“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.

“Peronda digardu utara” jawab orang itu. “Kami membawa seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki Widura”.

“Sekarang?” bertanya orang didalam halaman.

“Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata “Marilah anak muda”

Sedayu maju selangkah. Tetapi hatinya mulai berdebar-debar. Meskipun demikian ia berkata dengan ketenangan yang dibuat-buat “Ya. Aku akan bertemu dengan paman Widura”

“Adakah sesuatu hal yang penting sekali?” bertanya orang itu.

“Ya” jawab Agung Sedayu “Penting sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya sebelum fajar”.

Penjaga gardu itu tanpa disengajanya menengadahkan wajahnya. Ditimur laut dilihatnya bintang panjer esuk memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu tidak mau kehilangan kewaspadaannya. Maka orang itupun bertanya “Siapakah kau?”

“Agung Sedayu” jawab Sedayu.

Orang itu mengerutkan keningnya. Nama itu belum pernah didengarnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu berdesis “Nama itu asing bagi kami disini”

Agung Sedayu menjadi gelisah. Karena itu katanya “Paman Widura telah mengenal aku. Bertanyalah kepadannya”

“Baru saja Ki Widura beristirahat setelah nganglang hampir diseluruh kademangan Sangkal Putung, Biarlah ia beristirahat. Besok kau akan menemuinya” berkata orang itu tegas.

Agung Sedayu menjadi bingung. Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya akan menyalahkannya.

Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya seseorang berjalan keregol halaman itu. Dan terdengarlah orang itu berkata “Apa yang terjadi?”

“Oh” orang yang berada dihalaman itu menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya “Selamat malam bapak Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura sekarang juga. Aku ingin menundanya sampai besok”

Bapak Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya Agung Sedayu dengan seksama. Dan kemudian terdengar orang itu bertanya “Kabar apakah yang kau bawa?”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Benarkah seandainya berita itu dikatakannya tidak langsung kepada Widura? Apakah kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya? Tiba-tiba ketika Agung Sedayu teringat kepada kakaknya, maka dengan serta merta ia berkata untuk membuktikan kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian, dirinyapun akan dikenal oleh orang-orang itu, katanya “Aku membawa berita dari kakang Untara”

“Untara” Demang Sangkal Putung itu mengulang, dan hampir setiap mulut yang mendengar nama itupun mengulang pula meskipun hanya didalam hati.

“Adakah angger ini utusan angger Untara? ”bertanya Demang itu.

“Ya” sahut Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan. “Aku adiknya”

“Oh” desis Ki Demang. Dan tiba-tiba iapun segera membungkukkan kepalanya. Katanya “Maafkan kami. Kami belum mengenal anakmas. Namun nama kakak anakmas adalah jaminan bagi kami, bahwa kabar yang anakmas bawa pasti kabar yang penting”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Demikian berpengaruhnya nama kakaknya itu, sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.

“Marilah ngger” ajak Demang Sangkal Putung. “Biarlah adi Widura dibangunkan apabila kabar itu memang penting”

Agung Sedayupun kemudian berjalan mengikuti Ki Demang Sangkal Putung itu. Mereka berjalan melintas halaman yang luas menuju kependapa. Meskipun demikian Sedayu merasa bahwa dua orang berjalan dibelakangnya.

“Rumah ini adalah rumahku” berkata Demang itu lirih “Dan kademangan ini adalah kademangan yang subur. Karena itu Pajang menganggap penting untuk menempatkan adi Widura disini meskipun daerah ini jauh dari garis pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang cerai berai”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab. “Sayang” demang itu meneruskan “Persoalan antara Jipang dan Pajang harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Sebenarnya adipati Jipang itupun tidak sejahat yang kita sangka. Namun sayang. Orang-orang disekitarnya adalah orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan. Mereka membakar hati Arya Jipang yang memang agak mudah menyala, dengan hasutan-hasutan. Akhirnya Arya Jipang harus menebus ketergesa-gesaannya dengan jiwanya. Dan orang-orangnya menjadi putus asa dan liar”.

Demang itu berhenti sejenak, kemudian meneruskan “Sekarang kita lihat, dendam menyala dimana-mana. Dapatkah angger mengatakan, siapakah yang bersalah kalau seandainya dua orang bersaudara terpaksa bertempur dan saling membunuh karena mereka berada dipihak yang berlainan?”

Agung Sedayu berdiam diri. Tak tahu ia bagaimana harus menanggapi kata-kata demang Sangkal Putung itu. Tetapi didalam hatinyapun timbul pertanyaan “Kenapa kita mesti bertengkar?” Apalagi bagi Agung Sedayu, pertengkaran adalah perbuatan yang mengerikan.

Series 2

Tetapi Agung Sedayu tetap membisu. Dan Demang itupun kemudian tidak berkata-kata lagi, setelah mereka naik kependapa.

Demikian mereka naik kependapa, dada Agung Sedayupun berdesir tajam. Dilihatnya dipendapa itu, terbaring beberapa orang laki-laki yang sedang nyenyak tidur. Dibawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah-wajah mereka yang keras tajam. Sedang beberapa orang diantaranya tumbuh janggut, jambang dan kumis yang lebat diwajah-wajah mereka. Mereka terbaring berjajar-jajar diatas tikar selapis. Namun tampaklah betapa nyenyak mereka itu. Sedang disudut pendapa Agung Sedayu melihat beberapa tangkai tombak dan didinding-dinding tersangkut pedang perisai dan keris. Pemandangan yang bagi Agung Sedayu benar-benar tidak sedap. Laki-laki berwajah keras dan senjata-senjata.

Dan tiba-tiba saja teringat pula olehnya, bahwa dipinggangnyapun terselip sebilah keris. Ia tidak tahu, apakah keris itu akan berguna baginya, atau malahan berbahaya baginya. Tetapi kakaknya memintanya untuk membawa keris itu.

Dengan tidak berkata-kata lagi mereka menyeberangi pendapa, menuju kepringgitan. Dipringgitan itu dilihatnya sebuah warana yang memisahkan sebuah ruangan kecil. Diruangan kecil itulah Widura sedang tidur pula.

“Disitulah adi Widura sedang beristirahat” berkata demang itu. Dan tiba-tiba saja dada Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah kata paman Widura itu, kalau dilihatnya ia datang disaat-saat yang begini.

Demang itupun berbisik pula “Duduklah ngger. Biarlah aku sendiri yang membangunkannya”

Namun Widura adalah seorang prajurit terlatih. Karena itu meskipun ia tertidur nyenyak, namun telinganya dapat bekerja dengan baiknya. Sehingga demang Sangkal Putung itu sebenarnya tidak perlu membangunkannya. Sejenak mereka berdua masuk, dan pintu pringgitan itu bergerit meskipun perlahan-lahan, Widura telah terbangun karenanya. Namun ia tidak segera bangkit. Ia ingin tahu, siapakah yang datang kepringgitan itu. Tetapi ketika didengarnya suara Ki Demang, maka hampir-hampir saja ia tidur kembali kalau tidak segera disadarinya, bahwa kecuali pak Demang ada orang lain. Bukan dari anak buahnya.

Ketika Ki Demang itu berjalan perlahan-lahan dan hati-hati supaya tidak megejutkan orang yang dibangunkannya, dan menjengukkan kepalanya dari sisi warana, Demang itu tersenyum asam “Hem” desisnya, “Ternyata aku tidak perlu membangunkan adi”

Widura sudah duduk disisi ranjangnya ketika Demang Sangkal Putung itu menjenguknya “apakah ada seorang tamu yang ingin menemui aku?” bertanya Widura.

“Ya adi” jawab Demang Sangkal Putung “Demikian pentingnya sehingga tak sabar lagi menunggu esok”

“Siapa?” bertanya Widura.

“Angger Agung Sedayu” jawab Demang.

“Agung Sedayu?” Widura terkejut, dan segera ia bangun dari pembaringannya, sebuah bale-bale bambu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar. Ketika dilihatnya Agung Sedayu duduk terkantuk-kantuk hampir ia tidak percaya. Desisnya “Kau Sedayu”.

Sedayu mengangguk. Jawabnya “Ya paman”.

“Sendiri?” pertanyaan itulah yang bertama-tama dilontarkannya.

“Ya paman” jawab Sedayu pula.

Namun terpancarlah keheranan diwajah Widura. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa Agung Sedayu datang seorang diri. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Tak ada orang lain.

Widurapun segera duduk dihadapan anak itu dengan penuh pertanyaan didalam dadanya. Dan Sedayupun tidak menunggu pamannya itu bertanya kepadanya. Katanya “Paman, aku disuruh kakang Untara untuk menemui paman sebelum fajar”

“Untara?” bertanya Widura dengan kening yang terangkat. Sebab pasti ada sesuatu hal yang memaksa, sehingga Agung Sedayulah yang datang kepadanya. Apalagi Widura telah mengenal anak itu baik-baik, sebaik ia mengenal anaknya sendiri. “Dimana kakakmu?”

“Nantilah aku ceritakan paman”  jawab Agung Sedayu, seakan-akan ia adalah seorang yang cakap dalam menanggapi setiap persoalan. “Ada yang lebih penting dari kakang Untara”

“Oh” sahut pamannya “Apakah itu?”

Maka Agung Sedayu menyampaikan berita yang pernah didengarnya dari mulut kakaknya dan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing, meskipun ia sama sekali belum menceritakan apa-apa tentang orang bertopeng itu.

Widura mendengarkan berita itu dengan penuh minat. Diperhatikannya kata demi kata yang keluar dari mulut Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya “Kenapa Untara sendiri tidak datang kemari? Apakah anak itu sudah harus kembali ke Pajang?”

“Belum paman” sahut Sedayu “Kakang Untara masih akan tinggal dirumah. Tugasnya disekitar Jati Anom belum selesai” Dan dengan serba singkat diceritakannya bagaimana mereka berdua dicegat oleh pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan dua orang kawannya, sehingga Untara terluka karenanya.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sempat juga ia bertanya “Kau dan kakakmu bertempur berpasangan?”

Agung Sedayu menggerutu didalam hatinya. Pamannya masih saja suka menggodanya. Tanpa disengaja ia menoleh, memandangi wajah Demang Sangkal Putung yang tegang itu. Ia tidak akan dapat berbohong kepada pamannya, namun ia malu mengakuinya dihadapan orang lain. Pamannya melihat kesulitan itu, maka segera ia bertanya “Adakah Untara akan segera menyusul?”

“Aku tidak tahu paman” jawab Sedayu “Luka itu agaknya parah juga”

“Baiklah” berkata Widura itu kemudian “Kami sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Untara. Waktu kita tinggal sedikit. Lain kali kau dapat bercerita tentang perjalananmu itu lebih panjang lagi. Kami pasti akan sangat senang mendengarkannya. Tetapi sekarang aku menghadapi pekerjaan yang berat” Lalu kepada demang Sangkal Putung itu Widura berkata “Kakang Demang. Persoalannya pasti akan menyangkut kademangan ini pula. Lumbung padi dan palawija serta segala kekayaan kita harus kita selamatkan. Persediaan makanan itu sangat berarti bagi kita dan bagi sisa-sisa laskar Penangsang itu. Karena itu, apakah kakang Demang bersedia menyerahkan Jagabaya dan anak buahnya kepada kami untuk bersama-sama mempertahankan lumbung itu?”

“Tentu adi” jawab Demang itu “Sebab apabila lumbung itu lenyap, kamipun akan kelaparan, Isteri-isteri kami dan anak-anak kami. Dan dengan demikian kamipun tidak akan dapat membantu perbekalan untuk Pajang”

“Terima kasih kakang” sahut Widura “Siapkan mereka. Jangan dipergunakan tanda-tanda. Kita harus bersiap dengan diam-diam supaya laskar Penangsang itu tidak mengetahui persiapan kita. Tempatkan mereka dihalaman banjar desa. Aku akan menyiapkan orang-orangku. Segera kita akan bersama-sama mengambil keputusan, apa yang akan kita jalankan”

Sangkal Putung yang diam itu, kemudian seakan-akan terbangun dari tidurnya. Hilir mudiklah laki-laki bersenjata dijalan-jalan desa. Tak ada sebuah tengarapun yang terdengar. Dari jauh desa itu masih nampak dipeluk mimpi. Namun sebenarnya desa Sangkal Putung itu telah dicengkam oleh kegelisahan.

Sesaat kemudian beberapa orang laki-laki yang tegap-tegap, para pemimpin kelompok telah berkumpul dipringgitan itu. Seorang laki-laki berkumis panjang, seorang yang lain, rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dibawah ikat kepalanya. Namun beberapa orang yang lain tampak tenang-tenang dan berpakaian rapi.

Melihat beberapa orang yang keras dan kasar itu, Agung Sedayu menjadi kecewa. Disangkanya laskar Pajang adalah orang-orang yang halus, tampan dan bersih seperti kakaknya. Tidak disangkanya bahwa didalam laskar Pajang itupun ada diantaranya orang-orang yang mirip bentuknya seperti pande besi Sendang Gabus.

Widura dengan tenang mengulangi keterangan-keterangan dan berita yang disampaikan Sedayu kepada mereka. Satu demi satu dan telah pula ditambahnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Sangkal Putung itu.

Sesaat kemudian pringgitan itu menjadi sepi. Masing-masing sedang mencoba merenungkan dan membayangkan apa yang akan terjadi. Dan tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh suara seorang yang sudah setengah umur duduk disudut ruang itu. Katanya “adakah Ki Lurah sependapat dengan aku, bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar yang beberapa hari yang lampau berkeliaran di Karang Anom?”

“Ya” Widura mengangguk “Aku sependapat”

“Kalau demikian” orang itu meneruskan “Laskar itu dipimpin langsung oleh Macan Kepatihan Jipang”.

Semua orang serentak menoleh kepada orang itu, dan kemudian memandang wajah Widura seperti minta penjelasan.

Widurapun kemudian menjawab ”Aku kira demikian. Laskar itu dipimpin oleh Tohpati, yang juga disebut Macan Kepatihan, kemanakan Patih Mantahun”

Terdengar beberapa orang menggeram, dan berkata salah seorang “Laskar di Karang Anom telah bergerak ketimur. Tidak kebarat”

“Sekarang ternyata, gerakan itu adalah sebuah cara dari mereka untuk mengelabuhi kita. Dan kitapun agaknya hampir-hampir saja ditelan oleh Macan yang cerdik itu. Untunglah Untara ada di Jati Anom. Dan untunglah bahwa Sedayu sempat menyampaikan berita itu kepada kita”

Semua matapun kemudian memandang Sedayu dengan penuh ucapan terima kasih. Mereka mendapat kesempatan membela diri sebelum mereka diterkam oleh Macan Kepatihan yang cerdik itu.

“Kalau angger Untara sekarang ada disini” desis orang setengar umur disudut itu.

“Kenapa?”bertanya yang lain.

“Macan itu tidak akan berbahaya” jawab orang sengah umur itu. Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun salah seorang dari mereka, seorang yang berwajah tampan dan bergelang akar dipergelangan kirinya tampak tersenyum. Senyum yang aneh. Agung Sedayu melihat senyum itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang.

Yang berkata kemudian adalah Widura “Kita tidak akan menunggu mereka. Kita sambut mereka diprapatan Pandean. Kita pagari desa ini dengan benteng pendem. Karena agaknya laskar mereka lebih besar, maka mereka kita sergap sebelum mereka menyadari kehadiran kita”.

Orang-orang itupun mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba berkatalah orang setengah umur itu “Meskipun angger Untara tidak disini, bukankah telah dikirim adiknya untuk menjinakkan Macan Kepatihan itu?”

Dada Agung Sedayu seperti akan meledak mendengar kata-kata orang setengah umur itu. Bukankah dengan demikian berarti ia harus berhadapan dengan Macan Kepatihan itu? Meskipun Agung Sedayu belum pernah melihat orang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan, namun mendengar namanya saja, Agung Sedayu sudah hampir pingsan. Apalagi kalau ia harus melawannya.

Lututnya tiba-tiba menjadi gemetar, ketika beberapa orang mengangguk-angguk dan bergumam “Tak ada bedanya. Untara atau adiknya”. Dengan tidak disadarinya, Sedayu memandangi wajah pamannya, seperti seekor anak ayam yang minta perlindungan pada induknya.

Widura melihat tatapan mata Sedayu yang penuh kecemasan itu. Karena itu ia tersenyum, dan dengan tenangnya ia berkata “Sedayu, kami akan berterima kasih sekali apabila kau memenuhi permintaan itu. Tetapi aku kira, kau telah cukup berjasa kepada kami dengan kehadiranmu ini” Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata “Agung Sedayu baru saja menempuh perjalanan yang berat. Berdua dengan Untara, anak ini terpaksa bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda sekaligus beserta dua orang kawannya. Karena itu, biarlah ia beristirahat”

Orang setengah umur itu menjadi kecewa. Demikian pula agaknya beberapa orang lain. Terdengar seorang diantara mereka berkata “Lalu siapakah yang akan berhadapan dengan Macan yang garang itu?”

Kata-kata itu adalah suatu pengakuan atas kesaktian Macan Kepatihan, sehingga mereka menjadi cemas karenanya.

Yang menjawab pertanyaan itu adalah Widura “Karena aku yang bertanggung jawab atas kalian dan daerah ini, maka aku mencoba melawan Tohpati yang sakti itu”

“Tetapi kalau kakang Widura terikat dalam pertempuran melawan Macan Kepatihan, siapakah yang akan memimpin kami?” bertanya yang lain.

Widura terdiam. Tugasnya sedemikian berat, sehingga tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.

Tiba-tiba anak muda yang berwajah tampan dan bergelang akar ditangannya itu berkata “Apakah aku diperkenankan melawan Macan Kepatihan itu?”

Semua orang memandang kepadanya dengan penuh pertanyaan. Anak itu masih muda. Tidak saja muda umurnya, namun anak itupun belum lama menggabungkan dirinya pada laskar Pajang yang dipimpin oleh Widura itu. Namun memang dibeberapa pertempuran tampaklah ia melampaui ketrampilan kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang singkat anak itu telah diangkat menjadi salah seorang pemimpin kelompok anak-anak muda dalam laskar Widura itu.

Widurapun tidak segera menjawab. Ia memang melihat kelebihan anak muda itu. Dan dikenalnya anak muda yang bernama Sidanti itu sebagai salah seorang murid dari Ki Tambak Wedi dari lereng gunung Merapi.

Karena Widura tidak segera menjawab, Sidanti itu mendesaknya, katanya “Kakang Widura, berilah aku ijin. Aku akan mencoba apakah nama yang menakutkan itu sebanding dengan kesaktiannya”

Widura menatap mata anak muda itu. Dilihatnya tekad yang menyala. Widura yang telah berpengalaman itu melihat keberanian yang teguh terpancar pada wajah Sidanti. Maka meskipun dengan agak ragu-ragu ia berkata “Aku akan selalu memberikan kesempatan kepada kalian. Tetapi ketahuilah bahwa Tohpati itu benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat bertempur seperti hantu yang tak tersentuh tangan. Namun ia dapat menerkam, benar-benar segarang harimau belang”

“Ya” jawab Sidanti “Aku pernah mendengar cerita itu. Tubuh Tohpati dapat berubah menjadi asap dan bernyawa rangkap. Tetapi selama asap itu masih kasat mata, akan aku coba untuk menangkapnya”

Widura mengangguk-angguk. Iapun pernah mendengar, bahwa Ki Tambak Wedi memiliki kesaktian yang luar biasa pula. Bahkan demikian saktinya, sehingga orang menyebutnya dapat menangkap angin. Apakah Sidanti juga mampu menangkap asap?

Kemudian berkata Widura itu “Terserahlah kepadamu Sidanti. Aku akan memberimu kesempatan” Meskipun demikian Widura tidak sampai hati melepaskannya sendiri, maka katanya kepada dua orang lain “Hudaya dan Citra Gati. Tugasmu adalah mengawasi keadaan Sidanti. Berilah kesempatan kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu, namun apabila keadaan tak menguntungkan baginya, jangan biarkan Macan itu mengganas. Berusahalah bertempur tidak terlalu jauh daripadanya”

Hudaya, laki-laki yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut, tertawa lirih. Matanya yang bulat tajam, memandang Sidanti seperti tak mau melepaskannya. Katanya “Baiklah. Tetapi anak muda, jangan bermain-main dengan harimau itu”

“Baiklah kakang” jawab Sidanti.

Citra Gati, orang setengah umur yang mengharap kehadiran Untara itupun tersenyum, katanya “Baiklah. Aku sudah lama tidak melihat perkelahian yang berarti. Mudah-mudahan angger Sidanti dapat menyelesaikan pekerjaannya”

Sidanti tersenyum. Namun wajah yang tampan itu rasa-rasanya begitu menakutkan bagi Agung Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh keberanian anak muda itu, atau mungkin karena Agung Sedayu sendiri tak memiliki keberanian untuk melakukannya. Bahkan menyebut nama Tohpati itupun ia tak berani.

Ia terkejut ketika Sidanti itu tiba-tiba saja berkata kepadanya “Adi Sedayu, biarlah aku mencoba melakukan pekerjaan yang seharusnya dipercayakan kepadamu. Mudah-mudahan aku dapat melaksanakannya dengan baik. Bukankah begitu?”

Agung Sedayu menjadi bingung, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkan.

Sidanti menarik keningnya. Ia kini tidak tersenyum. Sikap Agung Sedayu dianggapnya terlalu sombong. Katanya kemudian “Jangan tersinggung adi. Bukankah kau terlalu lelah setelah bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap yang cengeng itu. Nah, sekarang biarlah aku melawan Macan Kepatihan yang garang, yang sekaligus akan dapat menelan lebih dari sepuluh Alap-alap macam Pratanda itu”

Kembali dada Sedayu berdesir. Sama sekali ia tidak merasa tersinggung dan sama sekali ia tidak bermaksud apa-apa.

Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Sehingga anak muda itu semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Widura melihat keadaan itu. Maka katanya “Jangan berprasangka Sidanti. Sedayu adalah seorang anak pendiam. Memang tabiatnya berbuat demikian. Ia tidak tersinggung dan sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri”.

Tetapi Sidanti masih belum puas. Jawabnya “Adakah Sidanti tidak cukup berharga untuk mendapat jawaban dengan kata-kata, tidak hanya sekedar menganggukkan kepala. Jangan dinilai Sidanti sama harganya dengan Alap-alap Jalatunda”

Semua yang mendengar kata-kata itu menarik keningnya. Seorang yang berkumis lebat menyahut “Sudahlah Sidanti, tidak baik kita ribut-ribut hanya karena salah paham”

“Aku tidak mulai” jawab Sidanti.

Sedayu menjadi semakin gemetar. Sama sekali tak diduganya bahwa anak yang tampan dan tersenyum-senyum itu adalah seorang yang mudah sekali, ya, mudah sekali tersinggung perasaannya. Untunglah bahwa ruangan itu tidak terlalu terang, sehingga tak seorangpun yang sempat melihat wajah Sedayu yang pucat.

Orang-orang yang hadir diruangan itu, yang sejak semula telah merasa berhutang budi kepada Agung Sedayu, menilai sikapnya sebagai sikap yang dewasa. Agung Sedayu sama sekali tidak melayani kemarahan Sidanti. Karena itu beberapa orang menjadi semakin kagum karenanya. Orang yang berkumis lebat dan bertubuh raksasa meneruskan kata-katanya “Kau salah paham Sidanti. Sudahlah hangan mengada-ada”

Sedayu mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan oleh orang yang bertubuh kasar kaku. Namun ucapannya menunjukkan kematangan dan kehalusan budinya. Tetapi orang yang setengah umur dan bernama Citra Gati bersikap lain. Desisnya meskipun hanya perlahan-lahan “Sidanti. Kau masih belum mengalahkan Macan Kepatihan itu. Jangan terlalu pagi mimpi menjadi pahlawan”

Sidanti mengerling kepada Citra Gati. Kemudian hampir kepada semua yang hadir. Agaknya mereka berpihak kepada Agung Sedayu. Karena itu tiba-tiba Sidanti tersenyum. Senyum yang aneh. Karena dibalik senyum itu tersimpan bibit-bibit ketidak-senangannya kepada Agung Sedayu.

Widura yang tidak mau membiarkan keadaan itu berlarut-larut segera berkata “Adakah kita akan menyergap laskar Kepatihan ataukah kita ingin ribut-ribut soal yang sama sekali tak berarti? Cepat tinggalkan tempat ini. Bersiaplah dengan anak buah kalian masing-masing. Kita segera berangkat. Kita harus mencapai simpang empat Pandean lebih dahulu”.

Widura tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mendapat kesan kurang menyenangkan dari pertemuan ini. Karena itu ia sengaja mendahului, berdiri dan melangkah keluar sambil berkata “Beristirahatlah dipembaringanku Sedayu”

Orang-orang lainpun segera mengikutinya. Satu-satu mereka melangkah keluar ruangan. Yang terakhir adalah demang Sangkal Putung. Diperlukannya menghampiri Agung Sedayu sambil berbisik “Terima kasih ngger, kami penduduk Sangkal Putung tak akan pernah melupakan jasa angger kali ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan diri dari cengkraman Macan Kepatihan itu. Kami tidak akan mengganggu ketentraman istrirahatmu anakmas. Namun apabila terpaksa, aku akan mengirimkan seorang yang akan memberitahukan kepadamu, apakah ada diantara kita yang mampu melawan Macan Kepatihan itu. Kalau tak seorangpun yang mampu melawannya, jangan angger biarkan kami. Kami masih mohon perlindunganmu”.

Agung Sedayu tidak tahu, apakah yang akan dikatakan. Tetapi ia tidak akan berdiam diri, atau menjawabnya dengan anggukan kepala saja. Ia takut kalau-kalau Demang Sangkal Putung itupun akan salah mengerti dan menyangkanya anak muda yang benar-benar sombong. Karena itu, tanpa setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata “Ya, ya, Bapak Demang”

Agaknya jawaban itu telah cukup membesarkan hati Demang Sangkal Putung itu. Dengan tersenyum ia mengangguk dalam-dalam. Katanya “Terima kasih anakmas”

Maka pergilah demang itu dengan hati yang lapang. Dilampauinya halaman rumahnya dan ditemuinya Jagabaya Sangkal Putung. Diberinya orang itu beberapa keterangan dan bersiaplah kemudian anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka siap dengan keteguhan hati, menyelamatkan desa mereka, lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan daerah mereka dari sergapan laskar Macan Kepatihan. Sebab apabila mereka tidak berhasil, maka untuk masa yang panjang Sangkal Putung akan mengalami paceklik. Yang berdiri dipaling depan adalah anak muda yang bulat kokoh meskipun tidak begitu tinggi. Dengan mata yang berseri-seri ia menimang-nimang senjatanya. Sabuah pedang bertangkai gading. Anak itu adalah anak Demang Sangkal Putung. Swandaru. Namun agaknya anak muda itu tidak puas dengan namanya, maka ditambahnya sendiri menjadi Swandaru Geni.

“Ayah” ia bertanya kepada ayahnya “adakah Macan Kepatihan itu sangat menakutkan?”

“Ia adalah seorang yang sangat sakti nDaru” jawab ayahnya.

Swandaru tertawa. Memang anak itu selalu tertawa, sedang didadanya selalu tersimpan keinginan dan cita-cita yang tanpa batas. Katanya “Apakah ukuran kesaktian seseorang? Apakah Macan Kepatihan itu kebal? Biarlah aku nanti mencoba melawannya”

Demang Sangkal Putung menggelengkan kepalanya. Jawabnya “Dalam laskar adi Widura, seseorang telah menempati dirinya sebagai lawannya”.

“Siapa?” bertanya anak muda itu.

“Angger Sidanti”jawab ayahnya.

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada Sidanti. Tetapi ia tidak berani melawan anak itu. Sebab ia pernah ditampar pipinya. Ketika ia akan membalas, tiba-tiba saja tangannya telah terpilin kebelakang. Sidanti dapat bergerak secepat tatit.

Tetapi Swandaru tidak puas dengan nasibnya itu. Ia sama sekali tidak senang atas perlakuan Sidanti kepadanya.

“Sidanti lebih tua beberapa tahun dari aku” pikirnya “Nanti pada umurku setua Sidanti sekarang, aku harus sudah melampauinya” Dan Swandaru ternyata tidak tinggal diam. Dengan tekun ia selalu berusaha menambah ilmunya. Tetapi anak muda itu tidak pernah mengetahuinya bahwa Sidantipun dengan pesatnya maju. Dengan teratur anak muda itu selalu mendapat bimbingan dari gurunya, Ki Tambak Wedi, meskipun tidak setiap hari. Dimana ada Sidanti berada bersama laskar Widura, maka gurunya selalu datang kepadanya. Sepekan atau sepuluh hari sekali.

Sedang menurut pikiran Swandaru yang sederhana itu, apabila ia berlatih terus, maka ilmunyapun akan masak dengan sendirinya. Sedang bekal dari ilmunya itu diterimanya dari ayahnya, dari beberapa orang sedesanya yang semuanya itu tidak ada yang melampaui, bahkan menyamaipun tidak, dengan Sidanti sendiri. Meskipun demikian, Swandaru telah membawa bekal dalam tubuhnya yang gemuk itu. Anak muda itu tenaganya bukan main. Dan ia bangga pada kekuatannya itu. Setiap pagi ia berusaha menambah kekuatannya dengan mengangkat apa saja yang dijumpainya. Batu-batu besar, kayu-kayuan dan bahkan seekor anak kerbau.

Dan kini anak Demang Sangkal Putung itu bersama beberapa kawan-kawannya telah siap untuk bersama-sama dengan laskar Widura menghadapi laskar Macan Kepatihan yang berusaha merebut perbekalan mereka.

Pada saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, laskar Widura bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung itupun mulai bergerak. Dengan cepat mereka berjalan ke Pandean. Seperti rencana semula, maka laskar itupun segera menyembunyikan diri dibelakang puntuk-puntuk, parit dan pepohonan. Dengan hati yang tegang mereka menunggu.

Sidanti duduk bersandar sebatang pohon aren. Tangannya yang bergelang akar itu membelai senjatanya, sebatang tombak pendek, dengan ujung tajam dikedua sisinya. Manggala. Dan dinamainya senjatanya itu Kiai Muncar. Senjata pemberian gurunya, yang selama ini dibangga-banggakan. Pada tangkai senjatanya itu terukir gambar dua ekor ular yang saling membelit. Sedang pada kedua buah kepalanya yang bertolak belakang, terjulurlah lidah ular itu. Dan lidah ular itulah kedua mata nenggala yang bernama Kiai Muncar itu.

Anak muda itupun menunggu dengan hati yang tegang. Yang berada didalam kepalanya adalah Macan Kepatihan yang namanya ditakuti hampir diseluruh Jipang dan Pajang. Sekali-sekali dipandanginya senjatanya, seakan-akan ia bertanya kepadanya “Apakah kau akan mampu melawan senjata Tohpati yang mengerikan itu?”

Dari gurunya Sidanti pernah mendengar, bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu bersenjata sebuah tongkat baja putih. Diujung tongkat itu terdapat sebuah logam yang dinamainya besi kuning, berbentuk tengkorak. Karena itu maka Ki Tambak Wedi yang agaknya telah mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati itu, dan membekalinya dengan senjata yang tak kalah dahsyatnya.

Pada suatu kali Ki Tambak Wedi itu pernah berkata kepada muridnya “Sidanti, di Jipang, sepeninggal arya Penangsang dan Patih Mantahun, maka orang yang ditakuti adalah Tohpati. Karena itu, bila kau dapat menangkapnya hidup atau mati, maka namamupun akan segera ditempatkan tepat dibawah nama Sutawijaya. Sedang Sutawijaya itu bukanlah seorang yang perlu ditakuti pula. Apalagi putera adipati Pajang itu sendiri. Kelak apabila kau telah mendapat kesempatan yang baik dalam tataran keprajuritan di Pajang, maka bukanlah pekerjaan yang sulit bagimu untuk menyingkirkan Sutawijaya. Biarlah Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani kelak menjadi urusanku”

Sidanti tersenyum. Terbayang didalam angan-angannya sebuah jalan lurus keistana Pajang meskipun jauh.

Tiba-tiba Sidanti terkejut ketika ia mendengar gemerisik dibelakangnya. Ketika menoleh dilihatnya Swandaru berjalan terbungkuk-bungkuk kepadanya.

“Apa kerjamu?” bertanya Sidanti berbisik.

Swandaru duduk disampingnya, dan dijawabnya lirih “Mencarimu. Kau akan melawan Macan Kepatihan?”

Sidanti mengangguk

“Sendiri?”

Kembali Sidanti mengangguk.

“Aku ikut”minta Swandaru

 “Jangan gila” desisi Sidanti.

“Kenapa?”

“Kita tidak sedang bermain kucing-kucingan, tetapi kita akan menentukan hidup mati bagi Sangkal Putung”

“Aku tahu, karena itu Tohpati harus mati. Kita keroyok berdua”

“Jangan mengigau. Kembali kekelompokmu”

“Aku disini” bantah Swandaru.

Sidanti menjadi tidak senang. Karena itu ia membentak perlahan-lahan “Kembali. Atau aku tampar mulutmu”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak mau ditampar untuk kedua kalinya. Karena itu iapun diam.

Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara burung kulik. Itulah pertanda bahwa laskar Macan Kepatihan telah dilihat oleh pengawas.

“Kembali kekelompokmu” Sidanti mengulangi, dan Swandarupun segera merangkak ke kelompoknya.

Widura telah berdiri dibalik sebatang pohon yang berdiri didekat perapatan. Dari kelokan jalan diujung bulak yang pendek ia melihat serombongan orang berjalan ke Sangkal Putung.

Namun mereka tidak melewati jalan disimpang empat itu. Mereka segera meloncati parit, dan menyusur pematang, memotong langsung menuju Sangkal Putung.

“Mereka menyusuri pematang” bisik Ki Demang.

Widura tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah ia sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar suara burung kulik untuk kedua kalinya. Karena itu katanya “Bukan induk pasukan. Itulah cara Macan Kepatihan memancing lawannya kearah yang keliru”

Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Gumamnya “Macan yang cerdik”

“Macan itu memang berotak terang” sahut Widura. “Rombongan itu akan menyerang dari arah utara. Mereka menyangka bahwa kita masih belum tahu akan kedatangannya. Apabila kemudian laskarku dan anak-anak muda Sangkal Putung menyongsongnya keutara, maka induk pasukannya akan datang, dan melanda Sangkal Putung dari jurusan ini”

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi timbullah persoalan didalam dadanya, karena itu ia bertanya “Kita menunggu induk pasukan?”

“Ya“ jawab Widura.”Bagaimanakah dengan orang-orang yang memintas diatas pematang itu?”

Widura berpikir sejenak “Sedang aku pikirkan”katanya. Dan sesaat kemudian ia memanggil selah seorang anak buahnya “Sonya” katanya. Ketika yang dipanggil telah berdiri disampingnya “Adakah kau masih jagoan lari?”

Sonya memandang Widura dengan penuh pertanyaan. Tetapi ia menunggu sampai Widura memberinya penjelasan. “Pancinglah orang-orang itu”

“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya orang itu.

Widura mengerutkan alisnya. Kemudian katanya “Mudah-mudahan berhasil”. Widura itu berhenti sesaat. Kemudian dilanjutkannya “Muncullah dari dalam parit. Berteriaklah memanggil mereka seakan-akan mereka adalah orang Sangkal Putung. Apabila mereka telah berhenti, beritahukan kepada mereka, bahwa kau melihat laskar datang untuk menyerang Sangkal Putung. Aku harap mereka menjadi ragu-ragu. Nah sesudah itu kau akan mengatakan kepada mereka hal yang sebenarnya. Laskar penyerang itu telah membagi kekuatannya. Yang memintas itu adalah laskar pancingan, dan yang lain akan menyusul. Seterusnya kau harus berlari ke Sangkal Putung. Bunyikan tanda bahaya”.

Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa tugasnya tidak seberat harus bertempur melawan mereka “Apa selanjutnya?” ia bertanya.

“Serahkan kepada kami” jawab Widura.

Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Widura masih memberinya beberapa petunjuk dan penjelasan. Ia hanya harus berlari ke Sangkal Putung. Selebihnya tidak. Meskipun demikian, apabila rencana itu meleset, maka ada juga bahayanya.

“Sekarang?” bertanya orang itu.

“Ya, cepat, sebelum mereka terlampau jauh ketengah persawahan” sahut Widura.

Sonya itupun kemudian merangkak, dan melompat kedalam parit. Setelah ia menyusur parit itu beberapa puluh tombak, maka diangkatnya kepalanya sambil berteriak nyaring “Hei, siapa itu. Adakah kalian orang-orang Sangkal Putung?”

Didalam kesepian ujung malam suara itu melengking seperti membentur gunung Merapi. Orang-orang yang berjalan dipematang itupun mendengar suaranya. Serentak mereka berhenti dan memandang kearah suara itu. Pada saat itulah Sonya meloncat dari dalam parit sambil mengulangi pertanyaannya.

Rombongan yang tak begitu besar itupun berhenti. Mereka tegak berjajar dipematang seperti wayang sedang disimping. Sesaat mereka saling berpandangan. Apalagi kemudian ketika mereka mendengar suara Sonya berteriak “Hei dengar, desa kalian akan mendapat serangan. Lihat sebentar lagi laskar itu akan datang”

Orang-orang dalam rombongan itupun saling bertanya-tanya. Siapakah orang yang berteriak-teriak itu. Adakah ia orang Sangkal Putung? Tetapi bagaimanapun juga, ternyata bahwa orang itu telah melihat induk pasukannya.

Dalam keadaan yang tiba-tiba itu, pemimpin rombongan tidak segera dapat mengambil keputusan. Sesaat mereka masih tegak diatas pematang itu. Bahkan terdengar salah seorang diantara mereka bergumam sesama “Siapakah dia?”

Kawannya menggeleng, jawabnya “Entahlah, tetapi ia melihat induk pasukan”

“Berbahaya” sahut yang lain.

“Ya” akhirnya pemimpin pasukan itupun berkata “Tangkap orang gila itu”

Dua orang dari rombongan itu kemudian melangkah kembali. Mereka segera mendekati Sonya. Sedang yang lain masih diam mematung.

Widura melihat pertunjukan itu dengan hati yang tegang. Setidak-tidaknya, waktu mereka terulur. Apabila induk pasukan itu muncul dan terlibat dalam pertempuran dengan laskarnya, maka rombongan itu pasti akan kembali. Namun apabila tidak, maka ia harus mengambil kebijaksanaan lain. Sebagian laskarnya harus dikirim kembali, dan melawan rombongan kecil pecahan laskar Macan Kepatihan itu.

Ketika Sonya melihat dua orang datang kepadanya, maka katanya didalam hati “Tepat juga dugaan Ki Widura. Aku harus berlomba lari” Tetapi Sonya tidak menunggu orang itu menjadi terlalu dekat. Tiba-tiba ia berteriak “Hei, ternyata kalian bukan orang Sangkal Putung. Kalau begitu kalian adalah laskar Jipang yang akan mencoba memancing pertempuran disebelah utara Sangkal Putung. Sedang laskar yang datang kemudian adalah induk pasukan.”

“Siapa kau?” tiba-tiba terdengar salah seorang dari rombongan orang-orang itu bertanya.

Sonya tidak menjawab. Tetapi dipenuhinya perintah Widura yang terakhir. Segera ia meloncat dan berlari kembali ke Sangkal Putung. Dua orang yang akan menangkapnya itupun mengejarnya. Namun ketika Sonya berlari lewat perapatan dan kedua orang itu mengejarnya terus, tiba-tiba saja keduanya terbanting jatuh dan tidak bangun kembali.

Pemimpin rombongan itu menjadi heran. Dari jarak yang agak jauh, mereka hanya melihat bayangan orang-orangnya itu berlari dan kemudian tiba-tiba saja lenyap seperti ditelan perapatan.

Kawan-kawan merekapun melihat kedua orang itu hilang. Karena itu mereka menjadi heran.

Sedang Sonya yang sedang berlari itu berlari terus. Sekali ia menoleh, dan pengejar-pengejarnya tidak dilihatnya lagi. Meskipun demikian, karena ia tidak mendapat perintah lain, maka iapun berlari terus ke Sangkal Putung.

Pada saat itu, cahaya yang merah telah membayang di timur. Bersamaan dengan munculnya sebuah rombongan lain dari balik tikungan. Demikian orang-orang itu tampak dimata Widura, demikian ia meraba hulu pedangnya. “Hem” geramnya “Itulah induk pasukan mereka”

Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-angguk. Dilihatnya serombongan orang berjalan tak teratur, seperti habis menonton tayub. Namun disadarinya, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Jipang yang tak kalah nilainya dari prajurit-prajurit Pajang. Hanya karena kekalahan-kekalahan yang berturut-turut dialami adipatinya, sehingga gugur, maka tekad mereka sudah tidak sebulat sebelumnya.

Pemimpin rombongan itu, seorang anak muda yang bertubuh tinggi berdada bidang dan kekar terkejut ketika dilihatnya pecahan laskarnya masih tegak dipematang. Dan dengan serta merta ia berteriak “Hei, kenapa kalian masih disana?”

Pemimpin rombongan itupun menjadi bimbang. Sebelum ia menjawab terdengarlah tanda bahaya bergema dikademangan Sangkal Putung. Kentong titir.

“Gila” umpat anak muda itu. “Cepat, capai Sangkal Putung lebih dahulu sebelum kami”

“Mereka telah melihat kita. Kami dan kalian. Seseorang dari mereka mengetahui dengan pasti, bahwa induk pasukan akan menyusul” jawab pemimpin rombongan itu dari tengah sawah.

Anak muda yang jangkung itu berpikir sejenak “Dari mana kau tahu?”

“Baru saja ia berlari ke Sangkal Putung sambil berteriak-teriak tentang laskar pecahan ini dan induk pasukan” Sahut yang di pematang.

“Gila. Kenapa tidak kalian tangkap?”

“Kami sudah berusaha. Tetapi gagal”

Rombongan itu tiba-tiba berhenti. Pemimpinnya, anak muda yang tidak lain adalah kemenakan patih Jipang Mantahun, yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan itu mengerutkan keningnya.

“Berhenti ditempat kalian!” teriak Tohpati. Kemudian dengan seksama ia melihat jalan yang terbentang dihadapannya. Jalan itu sepi, namun kesepian itu terasa tegang. Macan Kepatihan adalah seorang yang cerdas dan cermat disetiap garis peperangan. Karena itu tiba-tiba ia berkata nyaring kepada yang masih tegak dipematang “Jalan terus, kamipun akan mengikuti jalanmu itu”

“Bukan main” desis Widura sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Anak itu cerdik seperti demit”

Demang Sangkal Putung itupun menggeleng-geleng pula. Katanya “Apakah yang akan kita lakukan?”

Widura sadar bahwa ia harus bertindak cepat. Karena itu ia berkata “Kita harus cepat mulai, sebelum jarak diantara laskar kita dan laskar Tohpati itu menjadi semakin jauh. Sebagian rencana kita sudah gagal, namun sebagian besar belum. Kita pasti akan dapat mencapai hasil seperti apabila mereka berjalan tepat dimuka hidung kita”

Widura segera mencabut pedangnya. Kemudian dilemparkannya sebuah kerikil kepada seseorang disampingnya sebagai perintah. Kemudian terdengarlah bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.

Semua anak buahnya menjadi tegang. Mereka sudah harus bersiap untuk menyergap. Namun jarak kedua pasukan itu, masih belum terlalu dekat. Tetapi mereka sadar, bahwa laskar Macan Kepatihan itu tidak akan lewat disimpang empat.

Kepada Ki Demang, Widura berkata “Bapak Demang, bawalah anak-anak Sangkal Putung langsung memotong laskar mereka yang terpisah. Mereka pasti akan kembali dan berusaha membantu induk pasukannya. Pecahan itu pasti bukan orang-orang pilihan. Mereka hanya dipakai sekedar untuk mengelabuhi lawan-lawannya”.

Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Widura melemparkan kerikil untuk kedua kalinya. Dan kembali terdengar bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.

Sindanti tersenyum. Iapun telah tegak dibelakang pohon aren itu. Ketika ia mendengar aba-aba untuk kedua kalinya, anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk menyerang itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan dengan cepat ia menghambur lari langsung kearah Macan Kepatihan.

Tohpati terkejut mendengar bunyi burung tuhu. Otaknya yang terang segera mengenal, bahwa yang didengarnya itu sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu iapun segera berteriak nyaring “Siapkan senjata kalian!”

Tetapi anak buahnya tidak menyangka bahwa mereka akan segera menerima sergapan. Mereka masih mengira bahwa kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja. Namun tiba-tiba saja dihadapan mereka, muncul laskar Widura berloncatan dari balik-balik pohon dan parit-parit. Karena itu sebagian mereka menjadi gugup. Tetapi karena mereka adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman, segera mereka dapat menguasai diri mereka, dan dengan tangkasnya mereka mencabut senjata-senjata mereka.

Macan Kepatihan itu menjadi sangat marah. Ternyata kehadirannya kali ini telah diketahui benar oleh lawannya. Karena itu maka segera ia berteriak nyaring, katanya “Bagus, kalian ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!”

Kedua laskar itupun menjadi semakin dekat. Tetapi laskar Widura lebih mapan dari lawannya. Mereka sudah lama bersiap untuk bertempur, sedang laskar Tohpati itu harus mempersiapkan diri dengan tergesa-gesa. Tetapi Tohpati tidak menjadi bingung, bahkan terdengar ia memberi aba-aba kepada pecahan laskarnya “Jangan kembali, langsung kejantung Sangkal Putung. Bakar setiap rumah yang ada disana dan bunuh semua orang!”

Widura sadar bahwa itu adalah suatu cara untuk memecah perhatian lawannya. Karena itu iapun berteriak pula “Swandaru, cegah mereka. Kekuatan itu sama sekali tidak berarti, yang lain tetap pada rencana!”

Swandarupun segera meloncat dari persembunyiannya. Dengan tangkasnya ia memutar pedang bertangkai gading ditangannya. Terdengarlah anak itu berkata “Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang?”

“Kau dengar perintah pamanmu Widura?” sahut ayahnya.

“Adakah Macan Kepatihan itu disana?” bertanya anak itu pula.

“Tak ada waktu untuk meributkannya” potong ayahnya, “Pergilah segera”

Swandaru yang gemuk itupun kemudian berlari, seperti roda yang menggelinding ditanah-tanah yang becek. Sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ia berteriak-teriak seperti sedang menghalau burung pipit yang mencuri padi disawah. Kawan-kawannya yang melihat Swandaru itupun segera berlari menyusulnya. Seperti Swandaru, mereka berteriak-teriak pula memekakkan telinga.

Meskipun demikian, namun anak-anak muda Sangkal Putung itu bukan anak-anak yang hanya pandai berteriak-teriak saja. Sejak keadaan antara Pajang dan Jipang kian memburuk, mereka telah menentukan sikap. Dibawah asuhan-asuhan pemimpin-pemimpin kademangan, mereka melatih diri dengan tekun. Apalagi ketika kemudian datang Widura berserta laskarnya. Anak-anak itupun menjadi semakin bernafsu melatih diri. Karena itu, maka merekapun mempunyai cukup kemampuan untuk menggerak-gerakkan senjata-senjata mereka.

Namun demikian, Widura tidak melepaskan anak-anak itu, dibawah pimpinan Swandaru, Jagabaya dan kemudian demang Sangkal Putung itu sendiri, melakukan perlawanan terhadap laskar Jipang yang terlatih itu, meskipun hanya sebagian kecil dan bukan orang-orang pilihan. Karena itu, maka beberapa orangnyapun diperintahkannya untuk membantu mereka, serta untuk menjaga agar tekad anak-anak itu tidak goyah karena kekalahan-kekalahan kecil.

Tohpati, yang mendengar aba-aba Widura itupun menggertakkan giginya. Percayalah ia kini, bahwa Widura tidak akan mudah ditipunya. Rencananya yang sudah disusun masak-masak itu, ternyata dapat diruntuhkan oleh Widura. Bahkan usahanya yang terakhir, mempengaruhi tekad perlawanan musuhnya itupun dapat dipatahkan pula oleh pengaruh kata-kata Widura itu. Karena itu, maka kesempatan yang pendek itupun dipergunakannya baik-baik. Semula ia akan menarik suatu garis datar langsung menghadapi laskar lawannya. Tetapi laskar Widura itupun laskar yang cukup masak. Kelambatan Tohpati yang hanya sesaat, karena kebingungan beberapa orang pimpinan kelompoknya, telah merubah keseimbangan antara mereka. Beberapa orang anak buah Widura telah berhasil melampaui garis yang akan dibuat oleh Macan kepatihan itu, untuk kemudian merangsang dari lambung.

Tetapi Tohpati tidak pula kalah cekatan. Segera ia menarik sebagian laskarnya kesatu sisi, dan dibuatnya sebuah garis pertahanan yang lengkung. Wulan Punanggal.

Widura masih menyaksikan aba-aba Tohpati dan kelincahan laskarnya. “Luar biasa” desisnya “Apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh gurunya, Mantahun dimasa hidupnya?”

Kemudian Widura itupun melihat, betapa lincahnya Sidanti menyusup diantara kesibukan laskar kedua belah pihak yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran.

Anak muda itu langsung menghampiri Tohpati yang masih tegak memandang berkeliling. Dengan cermat ia mengawasi keadaan medan, dipelajarinya kedudukan laskarnya dan kedudukan laskar lawannya. Dilihatnya pula pecahan laskarnya ditengah-tengah sawah yang juga sudah melakukan perlawanan terhadap anak-anak muda Sangkal Putung yang melanda mereka itu seperti banjir. Dengan semangat yang menyala-nyala anak-anak muda itu bertempur. Ternyata, meskipun Swandaru harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Jipang, namun kekuatannya benar-benar berpengaruh atas pertempuran itu. Ayunan pedangnya benar-benar mengerikan. Setiap usaha untuk menangkisnya, maka akibatnya adalah pedang lawannya itu terpental jatuh.

Tohpati terkejut ketika ia melihat seseorang melompat kehadapannya sambil tersenyum. Kemudian terdengar orang itu berkata “Selamat pagi Tohpati. Bukankah kau yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan?”

Tohpati mengerutkan keningnya. Jawabnya “Apa maumu?”

“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Sidanti. “Kita berada didalam pertempuran”

“Bagus” seru Tohpati. “Mana paman widura?”

“Aku akan mewakilinya” jawab Sidanti.

Tohpati masih tetap acuh tak acuh. Ia mencoba mencari Widura diantara laskar lawannya. Sebelum pecah perselisihan Jipang dan Pajang, Widura telah dikenalnya. Dan kini ia ingin mencoba, apakah Widura masih segarang seperti pada masa-masa lampaunya.

“Siapa yang kau cari?” tiba-tiba terdengar suara Sidanti.

“Pergilah!” bentak Tohpati. “Orang yang pertama-tama akan aku bunuh adalah paman widura. Aku tidak ada waktu berkelahi dengan kelinci-kelinci macam kau”. Semantara itu tangan kiri Tohpati itu melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya kesisinya. “Selesaikan anak ini” katanya.

Orang itu tak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Hiruk pikuk pertempuran disekitar mereka tak banyak memberi mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Tohpati itupun segera menyerang Sidanti dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata Tohpati itupun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata, Sidanti telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting ditanah.

“Hadiah yang tak menyenangkan” desis Sidanti.

Wajah Macan Kepatihan itupun menjadi merah. Ditatapnya muka Sidanti. Tampaklah anak muda itu tersenyum.

Sementara itu langitpun telah menjadi semakin cerah. Cahaya matahari pagi tampak seakan-akan berloncat-loncatan diujung-ujung senjata. Dan karena itulah maka kemudian Tohpati melihat senjata yang tajam pada ujung pangkalnya ditangan Sidanti itu. Tohpati itupun terkejut. Terdengarlah ia menggeram parau “Tambak Wedi”

Sidanti masih tersenyum. Jawabnya “Kau kenal nama itu?”

“Ya” sahut Macan Kepatihan. “Aku kenal Ki Tambak Wedi, aku kira kau adalah salah seorang muridnya”

Sidanti mengangguk, “Kau benar” katanya.

“Bagus!” seru Tohpati, “Tambak Wedi telah mengkhianati pamanku. Orang itu adalah sahabat paman Mantahun. Namun ketika terjadi bentrokan antara Jipang dan Pajang ia mengingkari persahabatannya. Bahkan kini muridnya ditempatkannya dipihak Pajang”

“Jangan merajuk” jawab Sidanti. “Guruku melihat, bahwa tak ada gunanya memihak Jipang, sebab Jipang pasti akan hancur”

“Pamankupun berkata demikian” potong Tohpati cepat-cepat. “Orang semacam Tambak Wedi pasti tidak akan mempunyai kesetiaan pada suatu sikap. Kau pernah melihat batang ilalang? Nah, itulah dia. Bila angin bertiup keutara, maka tunduklah ia kearah angin itu, bila angin kemudian berputar keselatan, batang ilalang itupun berputar pula”

“Cukup” teriak Sidanti. Betapa tersinggung mendengar kata-kata Tohpati. Karena itu iapun segera bersiap dengan nenggala yang dinamainya Kiai Muncar.

“Senjata itu ada ditanganmu sekarang” berkata Tohpati pula, “Nah, aku ingin melihat, apakah kau dapat mempergunakannya”.

Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang dahsyat itu.

Tetapi yang diserang kini adalah Macan Kepatihan. Meskipun demikian Tohpati itupun terkejut pula melihat kecepatan gerak lawannya. Tetapi Tohpati adalah seorang prajurit yang berpengalaman dalam pertempuran bersama dan dalam perkelahian perseorangan. Karena itu serangan Sidanti itu sama sekali tidak mencemaskannya.

Sesaat kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit. Sidanti benar-benar dapat memanfaatkan kedua tajam senjatanya diujung dan pangkalnya itu. Nanggala itu berputar seperti baling-baling, kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular naga yang sedang marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tiba-tiba dengan sebuah putaran yang cepat, ujung yang lainnya menusuk pula dengan dahsyatnya. Benar-benar seperti sepasang ular naga yang garang.

Tetapi senjata Tohpati tidak kalah mengerikan. Tongkat baja yang gemerlapan dibawah cahaya matahari pagi, seakan-akan dari tongkat itu berloncatan butiran-butiran mutiara dan menghambur disekitar tempat perkelahian itu. Dan diujung cahaya yang putih mengkilap itu tampaklah leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang berterbangan. Apabila lebah kuning itu berhasil hinggap ditubuh lawannya, maka akibatnya adalah maut. Itulah kepala tongkat Tohpati, yang dibuatnya dari besi kuning berbentuk tengkorak kecil.

Tohpati dan Sidanti adalah dua anak muda yang sebaya. Kedua-duanya mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai nafsu yang sama-sama berkobar didalam dada masing-masing.

Disekitar merekapun pertempuran menjadi semakin seru. Widura dengan penuh kesungguhan memimpin anak buahnya hampir disemua tempat. Orang itu dapat menyusup disegala titik pertempuran. Karena itulah maka anak buahnya menjadi berbesar hati, sebab setiap kali dilihatnya pemimpin mereka yang perkasa itu ada disampingnya.

Ditengah sawah, laskar pecahan yang memisahkan diri dari induk pasukannya itupun bertempur dengan sengitnya. Anak-anak muda Sangkal Putung benar-benar mengamuk sejadi-jadinya. Mereka merasa bahwa hari depan mereka, bahkan hari depan kampung halamannya sedang terancam. Apabila mereka kali ini gagal mempertahankannya, maka untuk seterusnya mereka akan kehilangan masa depan mereka. Sebab akibat dari kehancuran kampung halamannya kali ini, akan panjang sekali. Kesedihan, kemelaratan, paceklik yang panjang karena lumbung-lumbung mereka akan habis dirampas dan banyak penderitaan-penderitaan yang lain. Ibu-ibu mereka, istri-istri mereka dan adik-adik mereka akan menjadi korban pula karenanya. Meskipun demikian, lawan-lawan mereka adalah prajurit-prajurit yang terlatih. Itulah sebabnya maka kadang-kadang mereka menjumpai perlawanan-perlawanan yang tak mereka duga-duga. Untunglah bahwa diantara mereka terdapat orang-orang yang berpengalaman pula. Jagabaya Sangkal Putung, yang meskipun sudah agak lanjut umurnya, namun ia adalah bekas prajurit Demak yang baik. Demang mereka yang penuh dengan tanggung-jawab ada pula diantara mereka. Meskipun betapa berat hati Demang itu melihat darah yang harus tertumpah. Namun akhirnya disadarinya, bahwa pada suatu saat pedang ditangannya harus diayunkan, apabila kebenaran dan haknya telah terancam. Apalagi ada pula diantara mereka, beberapa orang anak buah Widura yang dapat memimpin mereka dalam keadaan-keadaan sulit.

Tohpati yang terikat dalam pertempuran dengan Sidanti menggeram marah. Kesempatannya untuk memperhatikan keadaan medan sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat juga Widura berloncatan kian kemari hampir diseluruh daerah pertempuran, namun ia tidak dapat mengimbanginya. Karena itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga kemudian dengan tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk segera menghancurkan lawannya. Sidantipun kemudian memeras tenaganya dalam perlawanannya atas Macan Kepatihan itu. Namun kemudian terasa, betapa garangnya harimau yang namanya ditakuti oleh hampir setiap orang Jipang dan Pajang. Betapa Sidanti mendapat tempaan tak henti-hentinya oleh gurunya, namun kini ternyata, bahwa kesaktiannya belum dapat melampaui, bahkan menyamaipun tidak, atas Macan yang garang itu. Sedikit demi sedikit Sidanti merasa, bahwa lebah kuning itu semakin lama semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan angin yang tajam, yang dilontarkan oleh gerak besi kuning yang berbentuk tengkorak itu.

“Setan” Sidanti menggeram. Ia mengumpat tak habis-habisnya didalam hati. Ternyata Macan Kepatihan itu benar-benar melampaui dugaannya. Orang itu benar-benar dapat bergerak demikian cepatnya, sehingga orang menyebutnya Tohpati dapat berubah menjadi asap.

Meskipun demikian, betapapun garangnya Macan Kepatihan itu, namun tidaklah terlalu mudah untuk mengalahkan Sidanti. Anak muda murid Ki Tambak Wedi itu adalah anak yang tidak lekas berputus asa. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk tetap melawan Macan Kepatihan itu betapapun berbahayanya.

Tetapi ia tidak akan dapat memungkiri kenyataan. Bahaya maut semakin lama semakin mendekat. Tongkat baja putih berkepala kuning itu kian lama kian cepat seperti nyamuk yang berputar-putar ditelinganya. Karena itu, maka kemudian Sidanti terpaksa beberapa kali melangkah surut, semakin lama semakin dalam dibelakang garis semula.

Widura melihat kesulitan Sidanti. Tetapi ia tidak mencemaskannya. Sebab disamping anak muda itu bertempur Hudaya dan Citra Gati. Orang-orang tua yang dapat dipercaya untuk setidak-tidaknya meringankan tekanan Macan Kepatihan atas murid Ki Tambak Wedi itu. Ia sendiri masih tetap berputar-putar disepanjang garis pertempuran. Karena itulah maka kemudian tampak, bahwa laskar Widura berada dalam keadaan yang lebih baik dari lawannya. Hudayapun kemudian melihat kesulitan Sidanti. Adalah menjadi kewajibannya untuk ikut serta memikul kesulitan itu. Karena itu segera ia meloncat, melepaskan lawan-lawannya dan menyerahkannya kepada beberapa orang lain.

Dengan garangnya orang yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut itu menerjunkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sidanti dan Tohpati. Dengan sebuah tombak pendek ia menyerang sambil berteriak “Sudah aku katakan Sidanti, Macan ini tidak dapat diajak bermain-main”

Melihat lawan yang baru itu Tohpati menggeram. Kemarahannya telah membakar segenap syarafnya. Dengan geramnya ia memjawab “Ayo majulah, kenapa Widura tidak kau bawa serta”

Hudaya tertawa. Laki-laki itu sendiri tidak tahu kenapa ia tertawa. Namun didalam hatinya tumbuhlah kebimbangan atas usahanya membantu Sidanti. Dengan penuh kesadaraan ia berusaha mengusir setiap anggapan yang pernah didengarnya tentang Macan Kepatihan itu, namun ketika sekali tombaknya tersentuh tongkat baja putih itu, Hudaya berkata didalam hatinya “Pantaslah orang ini disebut Macan Kepatihan. Sentuhan senjatanya terasa seperti membekukan segenap urat darah” Walaupun demikian, Hudaya adalah seorang prajurit. Karena itu, bagaimanapun juga keadaanya, namun ia harus berjuang.

Melihat Hudaya telah melibatkan diri dalam perkelahian itu, Citra Gati tersenyum. “Hem, desisnya alangkah sombongnya murid Ki Tambak Wedi. Namun akhirnya orang-orang tua juga harus ikut menghadang bahaya. Kalau, ya kalau, Untara ada diantara kita.” Tetapi Citra Gatipun tidak sampai hati membiarkan mereka berdua mengalami bencana. Karena itu ia segera menyelinap diantara anak-anak buah di dalam kelompoknya. Katanya “Kita yakin atas kemenangan kita, majulah.”

Kemudian Citra Gati itupun berdiri didalam lingkaran pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan di sela-sela senjata lawannya. Dengan sebuah pedang ia mencoba untuk melawan Tohpati bersama-sama dengan Hudaya dan Sidanti.

Tetapi anak buah Macan Kepatihan itupun tidak membiarkan pemimpin mereka mengalami cedera karena beberapa orang telah bertempur bersama-sama melawannya. Karena itu dengan serta merta dua orang lainpun segera melibatkan dirinya pula. Sehingga dengan demikian, keseimbangan perkelahian antara Sidanti dan Tohpati masih juga belum berubah. Sebab Hudaya dan Citra Gati mau tidak mau harus berusaha memusnahkan setiap serangan dari kedua orang Jipang itu. Karena itulah maka kesempatan untuk membantu tidak sedemikian banyak seperti yang duharapkan. Demikian agaknya orang-orang Jipang itupun telah bersiap pula apabila pemimpinnya mengalami peristiwa semacam itu.

Keadaan Sidantipun semakin lama semakin menjadi sulit. Hudaya dan Citra Gati bahkan kemudian tak dapat diharapkannya lagi. Setiap orang Pajang yang mencoba melepaskan Hudaya dan Citra Gati dari lawan-lawan mereka selalu mendapat lawan-lawan yang baru.

Tetapi sementara itu, laskar Pajang telah berhasil mendesak laskar lawannya dari ujung-keujung pertempuran. Bahkan laskar Jipang yang bertempur melawan anak-anak muda Sangkal Putung itupun akhirnya terpaksa beberapa kali menarik diri surut. Swandaru sendiri yang menyadari tenaganya yang perkasa, menghantam setiap lawan yang berdiri disekitarnya. Apalagi anak muda itu tidak hanya melandaskan diri pada kekuatannya, namun ia tahu juga, bahwa ia harus mempergunakan otaknya.

Ketika Widura melihat Sidanti semakin terdesak, serta setelah dilihatnya, betapa Hudaya dan Citra Gati sama sekali tidak berhasil membantunya dengan leluasa, Widurapun menjadi cemas. Karena itu segera ia meloncat, menyusup diantara pertempuran itu mendekati Sidanti yang telah hampir kehabisan tenaga. Macan Kepatihan yang marah itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera membinasakan lawannya. Lawan yang bukan saja ditemuinya digaris pertempuran ini, namun dendam gurunya kepada guru anak itupun telah memaksanya untuk bertempur sekuat tenaga.

Tetapi Widura datang tepat pada waktunya. Pada saat Sidanti terdorong beberapa langkah surut, serta tongkat baja itu telah terayun dengan derasnya, sehingga Sidanti tak mungkin lagi menghindar, selain menangkis dengan Nenggalanya, pada saat itulah Widura telah berada disampingnya. Desisnya sambil menyilangkan pedangnya dihadapan dadanya “Aku terpaksa agak lambat menyambutmu Angger.”

“He” teriak Tohpati dengan marahnya. Meskipun demikian ayunan tongkatnya tidak juga ditariknya. Dilihatnya kemungkinan bahwa Nenggala yang dasyat itu kali ini tak akan mampu melawan tenaganya, karena kedudukan Sidanti yang sulit. Namun tiba-tiba dilihatnya bahwa pedang yang bersilang dimuka dada Widura itu terayun dengan cepatnya memukul tongkatnya dari samping, sehingga tongkat itu berubah arah.

Sidanti terhindar dari maut yang menerkamnya.

Namun meskipun demikian, tongkat baja putih itu masih menyentuh pundaknya. Dengan demikian, maka Sidanti terdorong beberapa langkah surut. Terdengarlah anak muda itu berdesis menahan pedih yang menyengat pundaknya itu. Terasa sentuhan itu seperti bara api yang dilekatkan pada kulitnya, ketika tangan kirinya meraba pundak itu, terasa darahnya meleleh dari luka.

“Setan” desisnya dengan geram. Kemarahannya membakar seluruh urat nadinya. Namun tangan kanannya kemudian terasa seakan-akan terlepas dari persendiannya, sehingga tangan itu dengan lemahnya tergantung disisinya tanpa dapat digerakkannya.

Sidanti menggeram. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi kini tenaganya telah susut lebih dari separo. Setelah ia memeras tenaganya habis-habisan, kini pundaknya terluka pula. Karena itu, maka Sidanti merasa, bahwa ia tak akan mampu menumpahkan kemarahannya kepada Macan Kepatihan itu. Mau tidak mau Sidanti harus menerima kenyataan yang berluka. Macan Kepatihan itu tidak dapat dikalahkannya, bahkan pundaknya telah dilukainya. Maka ketika ia melihat Widura telah siap untuk melawan Tohpati itu, Sidanti menjadi agak tenang. Sebab dengan demikian maut telah berkisar dari dirinya.

Meskipun demikian, Sidanti masih mencari sasaran untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan senjatanya ditangan kiri anak muda itu kemudian melawan siapa saja yang berani datang mendekatinya. Walaupun telah terluka, namun Sidanti itu masih tetap berbahaya bagi lawan-lawannya.

Tohpati, yang kehilangan korbannya, menggeram penuh kemarahan. Katanya “Paman Widura, kau telah menggagalkan usahaku membunuh murid penghianat itu. Karena itu, kau memberi kesempatan, atau kau sendiri yang terbunuh”

“Angger Macan Kepatihan” sahut Widura “adalah sudah sewajarnya bahwa sekali kita berhasil mengorbankan lawan kita, namun kali yang lain kita kehilangan kemungkinan itu. Kini kau kehilangan Sidanti, namun kau menemukan aku disini. Nah, jangan cari yang tidak ada”

“Bagus” teriak Tohpati “Memang sejak semula aku ingin bertemu dengan paman Widura. Dan kini paman telah datang menyambut aku”

Widura tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa ia harus berjuang sekuat kemampuan yang ada padanya. Sebab Tohpati adalah seorang anak muda yang sakti. Meskipun demikian, Widura kini sedang mengemban kewajibannya sebagai seorang prajurit. Karena itu ia harus melawan, betapapun sakti musuhnya itu.

Dalam pertempuran itu, Widura kini dapat menghadapi lawannya dengan tenang, setelah ia yakin, bahwa laskarnya berada dalam keadaan yang lebih baik dari laskar Tohpati. Sedikit demi sedikit laskar Widura itu dapat mendesak lawannya. Sehingga keadaan itu, mau tak mau pasti mempengaruhi jiwa Tohpati sendiri.

Widura dan Tohpati itu segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Tampaklah tenaga Tohpati yang kuat seperti raksasa itu melampaui tenaga Widura, namun Widura adalah prajurit yang berpengalaman.

Telah berpuluh bahkan beratus kali dihadapinya lawan-lawan yang tangguh, namun untuk kesekian kalinya ia masih tetap hidup. Karena itu maka walaupun Tohpati adalah seorang yang sakti, namun Widurapun memiliki beberapa kesaktian pula, sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin seru. Tongkat baja putih Tohpati berputar melingkar-lingkar dan bayangan warna putih seakan-akan menyelubungi dirinya, bergulung-gulung seperti ombak yang dahsyat siap untuk menelan korbannya. Namun pedang Widurapun memiliki kekhususannya sendiri. Pedang Widura bukanlah pedang yang dapat dibanggakan ketajamannya. Tetapi pedang itu dapat dipakainya untuk menghantam patah besi gligen. Namun setiap sentuhan pada ujung pedang itu, maka pastilah kulit lawannya akan berlubang. Meskipun pedang itu tidak tajam dipunggungnya, tetapi ujungnya runcing melampaui ujung jarum.Disudut-sudut pertempuran yang lain, semakin lama semakin nyata bahwa laskar Pajang semakin berada dalam keadaan yang lebih baik. Berkali-kali mereka berhasil mendesak lawannya dan berkali-kali pula laskar Tohpati terpaksa menarik diri surut. Bahkan laskar Tohpati yang bertempur ditengah-tengah sawah itupun kemudian semakin bergeser mendekati induk pasukannya. Mereka kemudian menjadi ngeri melihat anak-anak muda Sangkal Putung bertempur seperti orang-orang kerasukan setan. Sedang diantara mereka terdapat pula orang-orang yang memiliki pengetahuan tempur setidak-tidaknya menyamai laskar Jipang itu. Gabungan antara tekad yang menyala-nyala dan otak yang berpengalaman, menjadikan rombongan anak-anak muda Sangkal Putung itu benar-benar mengerikan.

Namun keadaan Widura tidak sebaik keadaan pasukannya. Seperti juga Sidanti, akhirnya Widura terpaksa mengakui bahwa Macan Kepatihan itu benar-benar perkasa diatas segala orang yang pernah dilawannya. Tetapi Widura tak dapat mengingkari kewajibannya. Ia adalah orang yang terakhir yang harus menahan arus kemarahan Tohpati, apapun yang akan terjadi pada dirinya. Karena itu, sadar akan tugasnya, maka Widurapun segera mengerahkan segala kesaktiannya. Menurut perhitungannya, maka apabila ia berhasil memperpanjang waktu perlawanannya, maka laskarnya pasti sudah benar-benar dapat menguasai laskar Jipang, sehingga dengan demikian maka keadaan itu akan segera mempengaruhi Macan Kepatihan.

Ternyata perhitungan Widura yang berpengalaman itupun terjadi. Setiap kali Tohpati dipengaruhi oleh pekik kesakitan dan kadang-kadang sebuah teriakan maut dari anak buahnya. Sedikit demi sedikit, satu demi satu anak buahnyapun rontoklah. Betapa sakit hati Macan yang ganas itu, ketika disadarinya, bahwa keadaan laskarnya benar-benar tidak menyenangkan. Tetapi karena itulah maka kemarahannya menjadi semakin memuncak. Widura itu harus segera dibinasakan. Kemudian ia harus membunuh Sidanti pula. Apabila kedua-duanya telah terbunuh, maka ia akan dapat membantu laskarnya memusnahkan orang-orang Pajang yang dibencinya itu. Lebih daripada itu, maka anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah lawan yang perlu diperhitungkan.

Karena itulah maka Tohpati itupun segera mengamuk sejadi-jadinya.

Tetapi betapapun juga, Tohpati tak dapat membutakan matanya serta menulikan telinganya atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan yang terjadi diantara laskarnya. Ia tahu benar, bahwa Widura kini hanya tinggal bertahan memperpanjang waktu. Dan iapun telah berusaha melawan waktu itu, sehingga pekerjaannya harus segera selesai. Tetapi setiap kali ia mendengar, dan setiap kali ia melihat seorang dari anak buahnya terbanting ditanah dengan darah menyembur dari lukanya, maka hatinya berdesir pula. Sebagai seorang pemimpin yang baik, maka Tohpati tidak akan mengorbankan terlalu banyak anak buahnya untuk hasil yang belum pasti. Dalam waktu yang pendek Macan yang cerdik itu membuat perhitungan untung rugi dari pertempuran itu. Apabila ia berhasil membunuh Widura dan Sidanti, maka apakah jumlah laskarnya masih cukup banyak untuk melawan arus laskar Widura yang tangguh itu. Apakah orang-orang yang cekatan seperti Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lain lagi tidak segera mengambil alih pimpinan dan melawannya dalam sebuah kelompok yang besar bersama-sama.

Akhirnya Tohpati tidak dapat mempertahankan tujuan penyerangannya kali ini. Ia harus melihat kenyataan itu. Karena itu, tiba-tiba Tohpati mengambil suatu keputusan untuk menarik diri. Namun setidak-tidaknya ia harus dapat mencegah Widura dan anak buahnya mengambil keuntungan dari keadaan terakhir itu. Maka sekali lagi dengan segenap kemampuan yang ada, Tohpati melibat Widura dalam lingkaran bayangan putih. Bayangan putih itu benar-benar seperti asap yang mengerikan. Asap yang mengandung didalamnya nafas maut.

Widurapun berusaha melawan dengan kemampuan terakhirnya. Tetapi semakin terasa asap putih itu semakin membingungkannya. Ujung tongkat baja putih yang berwarna kuning itu semakin lama terasa semakin dekat dari tubuhnya. Tetapi Widura adalah orang yang tabah. Karena itu ia masih tetap tenang apapun yang terjadi.

Pada saat-saat terkhir, maka Tohpati itupun terkejut ketika dilihatnya seseorang mendekatinya. Sebuah pedang terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung disekitarnya. Betapa heran hati macan Kepatihan itu.Tetapi ia tidak memperhatikannya terlalu banyak. Ayunan tongkatnya itu diperkuat untuk menghantam pedang yang mencoba melawannya. Maka terjadilah sebuah benturan yang sengit. Pedang itu terpental beberapa langkah dari titik benturan, dan terlepas dari genggaman. Namun Macan kepatihan itupun terkejut bukan kepalang. Terasa bahwa tangan yang menggerakkan pedang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ketika ia menatap penyerangnya, maka Tohpati melihat seorang anak muda yang gemuk. Dengan gugupnya anak itu mencoba mengambil pedangnya yang bertangkai gading. Namun tangan itu terasa terlalu nyeri. Dengan demikian, maka ia hanya dapat melihat dengan penuh kecemasan ketika Macan Kepatihan itu sekali lagi memutar tongkatnya dan menyerangnya.

Ketika Widura melihat anak muda itu hatinya berdesir. Dengan serta merta ia berteriak “Swandaru, jangan gila. Pergilah”.

Tetapi Swandaru yang sedang mengagumi kekuatan tangan Tohpati itu tidak beranjak dari tempatnya. Untunglah bahwa Widura dapat bertindak cepat. Dengan garangnya ia meloncat maju, dan menyerang Tohpati dengan ujung pedangnya. Tohpati terpasa melawan pedang yang terjulur langsung kedadanya. Sehingga ia menarik serangannya atas Swandaru. Sesaat kemudian kembali Tohpati merusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membinasakan Widura.

Swandaru kini melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga. Ternyata bahwa kekuatan saja, betapapun besarnya, tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai rangkapan ilmu yang lain, ilmu gerak, ilmu ketangkasan dan ilmu menggerakkan senjata. Lebih dari itu adalah ilmu pemusatan pikiran dan kekuatan pada titik-titik tertentu. Tetapi ia tidak tahu, bahwa disamping ilmu-ilmu itu, maka Tohpati maupun Widura telah mempergunakan ilmu yang dapat mengungkap kekuatan-kekuatan yang tersembunyi didalam tubuh mereka masing-masing. Karena itu, meskipun Swandaru mempunyai kekuatan yang luar biasa, namun pada saat ia membenturkan pedangnya untuk melawan tongkat putih Tohpati yang sedang berputar itu, maka tenaganya itu seakan-akan tidak berarti. Lalu bagaimanakah kira-kira kekuatan Tohpati, seandainya orang itu dengan sengaja memukulkan tongkatnya dengan kekuatan sepenuhnya?

Tetapi bagaimanapun juga, perbuatan Swandaru itu telah memperpanjang waktu perlawanan Widura. Dengan demikian korban dikedua belah pihakpun semakin bertambah-tambah. Apalagi dipihak laskar Tohpati. Karena itu maka Tohpatipun segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan orang-orangnya. Ia sama sekali tidak melihat keuntungan apapun apabila ia memperpanjang perlawanannya. Rencana yang disusunnya benar-benar telah hancur berantakan. Maka yang kemudian dilakukan oleh Macan Kepatihan itu adalah meloncat surut, melepaskan diri dari ikatan pertempuran dengan Widura. Dengan nyaringnya ia berteriak “Tinggalkan pertempuran. Segera!”

Laskar Jipang itupun adalah laskar yang terlatih. Merekapun tahu benar, bagaimana mereka harus meninggalkan pertempuran. Beberapa orang pemimpin kelompok segera tampil kedepan melindungi anak buah mereka yang berloncatan mundur. Tohpati itupun kemudian meloncat kian kemari, seperti burung elang yang berterbangan menyambar-nyambar. Dengan tangkasnya ia memotong laskar pajang yang berusaha mengejar anak buahnya yang melarikan diri. Dari antara laskar Jipang itu kemudian tampillah orang-orang yang bersenjata jarak jauh. Bandil, paser dan panah. Ternyata mereka telah benar-benar bersiap menghadapi setiap kemungkinan, sampai pada kemungkinan mengundurkan diri. Usaha Widura untuk mengikat kambali Tohpati dalam suatu titik perkelahian tidak berhasil. Setiap kali Macan Kepatihan itu selalu menghindar dan dengan tongkatnya ia terus-menerus berusaha menyelamatkan anak buahnya sejauh mungkin.

Laskar Widura sudah pasti tidak akan membiarkan lawan-lawan mereka menyelamatkan diri. Dengan gairah mereka mendesak terus. Namun laskar Tohpati itupun tidak berlari bercerai-berai. Mereka mundur dengan teratur. Perlawanan mereka sama sekali tidak berkurang. Sehingga dengan demikian, pertempuran itu berlangsung terus, sambil bergeser dari satu garis ke garis berikutnya.

Sekali lagi Widura menggeleng-gelengkan kepala. Tohpati adalah suatu contoh dari seorang pemimpin yang baik. “Kenapa anak muda itu masih belum menyadari keadaan” gumamnya. “Apabila demikian, Pajang akan segera berkembang dan sentausa”

Laskar Tohpati itupun kemudian mencapai sebuah desa dibelakang garis perlawanan mereka. Demikian mereka melampaui pagar yang pertama, demikian mereka pecah berpencaran diantara pohon-pohon yang tumbuh disana-sini. Diantara pohon-pohon liar dihalaman yang kurang terpelihara dan diantara rumpun-rumpun bambu yang lebat. Sehingga laskar Widura itupun segera menemui kesulitan untuk mengejar mereka terus. Mereka harus berhati-hati, dan mencurigai setiap pohon-pohon besar yang berada disekitar mereka. Pohon itu akan dapat menjadi tempat-tempat persembunyian dan apabila mereka kurang wapada, maka maut akan menerkam mereka. Dengan demikian, maka kedua bagian laskar itu bertempur dari satu pohon ke pohon lain, dari satu rumpun ke rumpun yang lain. Namun keadaan laskar Tohpati menjadi bertambah baik. Mereka menyerang dan kemudian menghilang. Sedang laskar Widura yang mengejarnya, kadang-kadang terpaksa melingkar menghindari kemungkinan-kemungkinan serangan tiba-tiba dari balik-balik gerumbul.

Widura segera melihat keadaan itu. Karena itu, maka alangkah berbahayanya apabila pengejaran itu dilakukan terus. Mungkin mereka akan dapat mencapai tepi desa yang lain, dan memaksa kedua laskar itu bertempur kembali ditempat yang terbuka, namun korban akan menjadi sangat besar. Karena itu segera Widura berteriak memerintah “Hentikan pengejaran”. Dan perintahnya itu kemudian beruntun diulangi oleh setiap pimpinan kelompok laskarnya.

Demikianlah maka laskar Widura itu berhenti. Segera mereka menarik diri dan berkumpul kembali diluar desa itu. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, mereka melihat bahwa matahari telah berada diatas kepala mereka.

Widurapun kemudian mendengarkan laporan dari setiap pemimpin kelompoknya. Siapakah yang cidera diantara mereka, yang terluka dan yang terpaksa gugur dalam mengemban tugas mereka.

Hari itu adalah hari berkabung bagi Sangkal Putung. Tugas laskar Widura kemudian, beserta orang-orang Sangkal Putung adalah memelihara mereka yang terluka. Kawan maupun lawan. Sebab bagi perawatan perikemanusiaan, tak ada batas diantara kawan dan lawan. Apalagi diantara mereka, laskar Widura dan laskar Tohpati, beberapa orang dari mereka adalah kawan-kawan yang pernah berjuang bersama-sama untuk menegakkan Demak di jaman-jaman sebelumnya. Namun kini, mereka terpaksa bertemu dalam sebuah permainan senjata yang berbahaya.

Ketika iring-iringan laskar itu memasuki Sangkal Putung, tampaklah desa itu menjadi sepi. Ternyata perempuan dan kanak-kanak telah berkumpul di Kademangan. Sedang beberapa laki-laki yang meskipun sudah melampaui umur mudanya, tampak berjaga-jaga dihalaman dengan senjata apa saja ditangan mereka.

Ketika mereka mengetahui bahwa iringan laskar Widura dan anak-anak muda mereka datang, segera mereka membuka regol yang mereka kancing dengan palang kayu.

Beberapa orang laki-laki dengan tergesa-gesa pergi menyongsong mereka dan membantu mereka menolong kawan-kawan yang terluka.

“Adakah Sangkal Putung baik-baik?” bertanya Widura kepada salah seorang dari mereka.

“Baik tuan” jawab yang ditanya, “Tak ada laskar mereka yang merembes kemari”

“Bagus” sahut Widura. “Siapakah yang berada dikademangan?”

“Setiap laki-laki yang tak ikut maju menyongsong lawan” jawab orang itu dengan bangga. “Sebagian dikademangan dan sebagian di lumbung desa”

“Bagus” berkata Widura sambil mengangguk-angguk “Setiap laki-laki di Sangkal Putung akan menjadi pahlawan”.

Orang itu tersenyum-senyum. Lalu ia bertanya pula “Bagaimanakah dengan laskar Macan Kepatihan?”

“Mereka telah meninggalkan kita” jawab Widura. “Setidak-tidaknya untuk sementara bahaya tak akan datang kembali”

“Mampuslah mereka” geram orang itu.

Widura tersenyum, namun ia tidak menjawab.

Ketika laskarnya memasuki halaman kademangan, maka gemparlah halaman itu. Beberapa orang perempuan berlari-lari menyambut anak-anak mereka yang datang dengan kebanggaan didada mereka. Namun ada juga yang terpaksa memeras air mata, karena anak-anak mereka jatuh menjadi banten kampung halaman.

“Alangkah biadabnya orang-orang Jipang” keluh mereka. Dan Widura yang mendengarnya, hanya dapat mengelus dada. Beberapa orang tetangga mereka berkerumun untuk menghibur mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan, bahwa isteri-isteri dan ibu-ibu orang Jipang yang terbunuh itupun akan mengutuk dengan muaknya sambil menangis “Alangkah kejamnya orang-orang Pajang”. Memang sebenarnyalah peperangan tak dapat dipisahkan dari kekejaman, tangis dan penyesalan.

Maka, dipendapa kademangan itu, diatas helai-helai tikar pandan, berbaring berderet-deret orang yang terluka. Sedang orang-orang lain sibuk dengan kawan-kawan mereka yang gugur.

Sedayu, yang berada dikademangan itu pula, ketika didengarnya pamannya kembali dari peperangan, segera menyambutnya. Dengan wajah pucat dan gemetar, ia mengikuti pamannya masuk kepringgitan. Terbata-bata ia bertanya “Bagaimanakah dengan laskar Jipang itu paman?”

Widura tersenyum. “Duduklah Sedayu” katanya mempersilakan.

Sedayu kemudian duduk dengan gelisahnya. Sementara itu Widura berjalan kesudut ruangan, meraih gendi dari gelodog bambu, dan minumlah ia sepuas-puasnya.

Ditangga pendapa kademangan, Hudaya duduk sambil membelai senjatanya. Sekali-sekali tangannya mengusap pelipisnya yang terluka. Meskipun demikian ia masih sempat tertawa dan berkata kepada Citra Gati yang duduk disampingnya “Untunglah, bukan kumisku yang terkelupas”

“Lain kali kepalamu” sahut Citra Gati sambil memijat-mijat tangannya yang terkilir, ketika ia berguling-guling menghindari serangan tongkat putih Macan Kepatihan. Tiba-tiba teringatlah olehnya betapa tengkorak kuning diujung tongkat Tohpati itu menyambar keningnya. “Ngeri”, gumamnya.

“Apa yang ngeri?” bertanya Hudaya dengan heran.

“Tengkorak itu” jawab Citra Gati.

Kembali Hudaya tertawa. “Ketika seseorang dari orang-orang Jipang itu menyerang aku, aku menjadi gembira. Bukankah aku telah dibebaskan dari bahaya tongkat baja putih itu?”

“Ah, gila kau” desah Citra Gati. Dan kemudian keduanyapun terdiam. Kedua-duanya dicengkam oleh kengerian, apabila diingatnya senjata Tohpati yang bergulung-gulung seperti prahara.

Sidanti tidak tampak duduk diantara mereka. Anak muda itu segera pergi ke dapur. Ditemuinya disana seorang gadis yang mula-mula sedang sibuk menyiapkan makan untuk mereka. Tetapi ketika dilihatnya Sidanti datang kepadanya sambil tersenyum-senyum maka dengan tergesa-gesa diletakkannya pekerjaannya, dan berlari-lari menyongsong anak muda itu.

“Kau terluka?” gadis itu bertanya dengan cemas.

Sidanti mengangguk. “Tidak seberapa” jawabnya. Memang luka itu tidak begitu parah, meskipun tangan kanannya masih belum dapat digerakkan dengan leluasa.

Sementara itu dari dalam gandok terdengar Swandaru berteriak memanggil “Mirah, Sekar Mirah”

Sidanti tersenyum mendengar suara itu. Katanya “Kakakmu memanggil”

Sekar Mirah menyerutkan keningnya “Biarlah. Kakang terlalu manja”

Dan dari gandok itu terdengar kembali suara Swandaru “Mirah, he Mirah. Dimana kain parangku?”

“Cari sendiri” sahut adiknya berteriak tidak kalah kerasnya.

“Ayo carikan” bentak kakaknya. “Kalau tidak, aku tak mau mengisi jambangan kalau kau mandi”.

Sekar Mirah tidak menjawab, namun terdengar suara Sindanti “Jangan terlalu manja Swandaru”.

Mendengar suara Sidanti, Swandaru terdiam. Namun ia menggerutu “Setan, Sidanti itu. Awas, kalau Mirah masih berkawan dengan anak muda itu. Suatu ketika aku hajar kedua-duanya” Tetapi ia tidak berani memanggil adiknya lagi. Ia tahu, bahwa adiknya lebih senang tinggal bersama Sindanti daripada datang kepadanya. Karena itu dengan marah diaduk-aduknya setumpuk kain digelodog pakaiannya. Dan akhirnya ditemukan juga kain parangnya.

Ketika ia berlari-lari keluar gandok lewat dapur, sampai dimuka pintu langkahnya terhenti. Dilihatnya Sekar Mirah sedang membersihkan luka Sidanti dengan asyiknya, dibawah rimbun daun kemuning. “Gila” geramnya perlahan-lahan. Namun ia tidak berani mengganggu. Segera ia kembali masuk kedapur dan berlari kependapa sambil menyambar sepotong paha ayam.

Dipringgitan, Widura kini sudah duduk dimuka Agung Sedayu. Dengan cermat diceritakan apa yang terjadi digaris pertempuran. Akhirnya Widura itu berkata “Sebenarnya kami harus berterima kasih kepadamu dan Untara, sebab dengan demikian kami telah kalian bebaskan dari kehancuran mutlak”

Keduanya kemudian berdiam diri. Namun dihati Sedayu masih belum tenang benar. Karena itu ia bertanya “Tetapi, dengan demikian, tidakkah ada kemungkinan Macan yang ditakuti itu datang kembali?”

“Mungkin” sahut pamannya. Sebenarnya iapun kecewa terhadap hasil yang dicapainya. Namun kemampuan laskarnya sangat terbatas, dan hasil itulah yang sebesar-besanya dapat dicapai.

“Lalu, bagaimanakah kalau mereka datang kembali dengan tiba-tiba?” desak Sedayu.

“Bukankah disini ada Sedayu” sahut Widura sambil tertawa.“Ah” Sedayu mengeluh.

Widura iba juga melihat Sedayu menunduk. Karena itu ia segera bertanya “Adakah kau sempat beristirahat?”

Sedayu menggeleng “Tidak” jawabnya. Ia tidak perlu malu-malu kepada pamannya, sebab pamannya telah mengenalnya dengan baik. “Aku menjadi gelisah” Sedayu meneruskan “Ketika aku mendengar tanda bahaya, maka aku tak dapat duduk dengan tenang, apalagi berbaring”

Widurapun kemudian terdiam ketika mereka mendengar langkah masuk. Dan sesaat kemudian duduklah diatara mereka Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya menjadi merah dan debu yang melekat diwajah itu belum sempat diusapnya. Bajunya masih baju yang dipakainya bertempur. Basah oleh keringat. Tanpa disangka-sangka orang itu, tetua kademangan Sangkal Putung, mengulurkan tangannya dengan hidmat kepada Agung Sedayu sambil berkata dalam, “Angger, kau telah membebaskan daerah kami, kampung halaman dan lumbung-lumbung kami. Apakah yang dapat kami lakukan untuk membalas jasa anakmas ini”.

Sedayu menjadi bingung. Namun diulurkannya juga tangannya untuk menyambut tangan Demang Sangkal Putung. Terasa tangan Demang itu gemetar, dan tangannya sendiripun gemetar pula. Tetapi ta tidak dapat menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi semakin bingung ketika Demang itu berkata “Ternyata anggerpun tidak sampai hati membiarkan laki-laki yang berada dikademangan ini menjadi gelisah. Ternyata angger tidak mau beristirahat betapapun lelahnya. Bahkan angger telah hilir mudik dipendapa dan dihalaman, sehingga dengan demikian setiap orang yang berada dikademangan ini, baik perempuan dan anak-anak yang mengungsikan diri, maupun mereka yang berjaga-jaga menjadi tenang karenanya, sebab ada diantara mereka yang sudah mendengar, siapakah angger ini”.

Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu, sehingga dengan demikian, hampir seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat dingin, melampaui keringat yang membasahi baju Ki Demang Sangkal Putung.

Widura melihat Agung Sedayu dengan menahan senyum. Dilihatnya, betapa keadaan Agung Sedayu yang gelisah. Tetapi Demang Sangkal Putung itu mempunyai tanggapannya sendiri, katanya didalam hati “Angger Agung Sedayu benar-benar orang yang rendah hati. Meskipun jasanya bagi kami tak ternilai harganya, namun apabila hal itu kami sebut-sebut dihadapannya, agaknya tak berkenan dihatinya”

Tetapi Widura itupun kemudian menjadi cemas. Apabila orang-orangnya dan orang-orang Sangkal Putung terlanjur mempunyai anggapan yang keliru terhadap Agung Sedayu, maka akibatnya akan dapat menyulitkan Agung Sedayu sendiri. Meskipun demikian, Widura tidak dapat mencegah mereka. Ia sama sekali tidak mengatahui, cara yang sebaik-baiknya untuk menempatkan Agung Sedayu pada tempat yang sewajarnya. Bahkan Widurapun kemudian menjadi gelisah ketika teringat olehnya, bagaimana sikap Sidanti kepada anak itu.

Sebentar kemudian, sampailah saatnya laskar yang lelah itu menerima makan mereka. Tidak saja mereka yang bertempur disimpang empat Pandean, tetapi semuanya yang berada dikademangan itu mendapat bagiannya.

Widurapun kemudian melihat-lihat keadaan laskarnya, melihat mereka yang dengan lahapnya menelan segumpal demi segumpal nasi kedalam mulutnya, namun ia melihat juga beberapa orang yang terpaksa disuapi karena lukanya yang parah.

“Makanlah” bisik Widura kepada mereka yang terluka, “Makanlah banyak-banyak supaya lukamu lekas sembuh”

Orang-orang yang terluka itu menjadi agak terhibur juga hatinya. Namun betapa mereka mencoba makan sebanyak-banyaknya, namun leher mereka serasa kering dan tersumbat.

Meskipun menurut perhitungan Widura, laskar Tohpati itu tidak akan segera datang kembali, namun ia tidak mau kehilangan kewaspadaan. Ditempatkannya beberapa orang pengawas dluar kademangan Sangkal Putung, dan dinasehatkannya kepada setiap anak buahnya, supaya tidak melepaskan senjata mereka, meskipun mereka sedang beristirahat dan tidur dimalam hari.

Demikianlah, malam hari itu, Agung Sedayu mendapat kehormatan untuk tidur dipringgitan bersama Widura, meskipun bagi Sedayu tidak disediakan sebuah amben. Namun Sedayu dapat tidur dengan tenteram diatas tikar pandan didekat pamannya. Malam itu Sedayu benar-benar dapat melepaskan segenap ketegangan urat syarafnya serta benar-benar dapat beristirahat dengan puas. Meskipun kadang-kadang terbangun juga oleh mimpi yang mengejutkan. Tetapi ia kemudian tertidur kembali setelah ia melihat pamannya masih saja duduk disampingnya, sambil menggosok-gosok wrangka kerisnya dengan kelopak bunga keluwih.

Memang malam itu Widura tidak segera dapat tidur. Ada-ada saja yang selalu mengganggu pikirannya. Laskar Tohpati, Agung Sedayu dan Untara.

Tiba-tiba Widura itupun bergumam “Ah, alangkah baiknya kalau Untara itu segera berada ditempat ini. Disini ia dapat membantu kami apabila Tohpati itu datang kembali, dan sekaligus Sedayu tak menggangguku lagi”

Widura itupun kemudian mengangguk-angguk. Ia sudah berketetapan hati, besok Sedayu akan dibawanya menjemput kakaknya yang luka. Mungkin di Sangkal Putung ia akan mendapat perawatan yang lebih baik. Dan ditempat ini, keamanannyapun akan lebih baik pula. Karena dalam keadaan terluka, adalah sangat berbahaya apabila dengan tiba-tiba beberapa orang lawannya datang mencarinya.

Widura mengangguk-angguk seorang diri seperti api clupak yang menempel pada tiang pringgitan itu ditiup angin malam. Tetapi ketika ditatapnya wajah Agung Sedayu, ia menarik nafas. Alangkah jauh bedanya. Agung Sedayu dan Untara. Kedua-duanya adalah anak Ki Sadewa, dan kedua-duanya pula lahir dari ibu yang sama, kakak perempuannya, istri Ki Sadewa itu. “Aneh” gumamnya. Dan tanpa dikehendakinya sendiri Widura itupun hanyut kedalam masa lampaunya. Selagi ia masih tinggal bersama-sama kakak perempuannya itu. Untara adalah anak yang sulung. Ia lahir dan besar didalam alam yang bebas dan penuh gairah. Ia bermain-main bersama kawan-kawannya, berlomba dan kadang-kadang berkelahi diantara sesama kawan-kawannya. Binten, sodoran dan sebagainya. Disamping itu, anak itu dengan tekun mempelajari ilmu tata bela diri dari ayahnya. Bahkan kadang-kadang dibawanya Untara berjalan jauh. Melihat daerah-daerah yang belum pernah dikunjunginya. Kerumah sahabat-sahabatnya. Tidak saja didaerah Demak, namun ia pernah juga berkunjung ke daerah-daerah yang jauh. Banten, Cirebon, Gresik dan Banyuwangi. Dari ujung sampai keujung yang lain dari pulau ini. Sudah banyak yang dilihatnya, dan sudah banyak pula yang didengarnya. Sudah tentu diperjalanan banyak pula pengalaman-pengalaman yang ditemuinya. Berkelahi dengan penyamun-penyamun, dengan penjahat-penjahat dan bahkan berkelahi hanya karena salah paham. Ayahnya adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya. Malahan kadang-kadang ayahnya memaksanya untuk melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka, sedang ayahnya sendiri hanya menontonnya seperti menonton adu ayam. Dan kadang-kadang ayahnya itupun terpaksa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat memerlukannya. Karena itu, sejak kecil Untara telah banyak bermain-main dengan senjata. Sehingga akhirnya, setelah puas dengan pengembaraan, perkelahian dan pengalaman atas ilmu kesaktiannya, maka Ki Sadewa kemudian seakan-akan menarik diri dari pergaulan. Ia lebih senang merendam dirinya dirumah, bermain-main dengan anaknya yang bungsu dan bekerja dikebunnya. Mananam sayur-sayuran dan bunga-bungaan.

Sedang Sedayu mengalami masa yang jauh berbeda dengan kakaknya. Ia lahir setelah ibunya mengalami pukulan yang berat bagi seorang ibu. Dua anaknya laki-laki yang lain, berturut-turut telah meninggal dunia. Betapa sedih dan cemasnya apabila hal itu akan berulang kembali. Apalagi didesak pula oleh keinginannya mempunyai seorang anak perempuan. Namun yang lahir terakhir itupun laki-laki pula. Agung Sedayu.

Pada saat itu pula, Ki Sadewa telah menempuh cara hidup yang lain. Ia sama sekali menghindari setiap pertentangan yang timbul. Didalam pengembaraannya, kemudian ditemukannya suatu kesimpulan, bahwa tak akan dapat ditemuinya ketentraman hidup diantara gemerlapnya pedang dan pekik kesakitan. Diusahakannya pula mengembalikan hidupnya kedalam hakekatnya. Manusia lahir karena pancaran kasih Tuhan, bahkan Tuhan telah memberikan beberapa bagian dari sifat-sifatnya kepada manusia pula. Namun manusia akhirnya jatuh kedalam dosa. Dan karena itulah maka manusia dijauhkan daripadaNya. Namun karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Pengampun dan Maha Penyayang, maka apabila manusia bertobat, akan diampunkan dosa-dosa itu. Bertobat lahir batin, hasrat dan perbuatan.

Maka yang dilakukan Ki Sadewa itu kemudian adalah membekali anak-anaknya dengan cinta itu. Kalau terpaksa mereka bertempur, maka haruslah dilandasi atas dari itu. Dasar kebaktian kepada sumber hidupnya dan pengabdian kepada sesama serta pengabdian kepada diri sendiri.

Tetapi Sedayu tidak pernah mengalami masa penempaan seperti kakaknya. Ibunya tidak pernah melepaskannya dari sisinya. Apabila sekali-sekali Untara mengajak adiknya bermain, dan ditemuinya sedikit lecet dilututnya, maka Untara harus menerima akibatnya. Sedayu itu dipelihara oleh ibunya dengan kasih yang berlebih-lebihan. Betapa ia takut kehilangan anak untuk ketiga kalinya, dan betapa ia ingin mencium seorang anak perempuan. Hanya kadang-kadang saja ibunya melepas Agung Sedayu bermain-main dengan ayahnya. Namun itupun mainan yang tidak berbahaya. Memanah, bandil, paser dan berburu. Tetapi tidak lebih dari berburu burung. Kalau Untara dapat berbangga karena ia berhasil menangkap hidup atau mati seekor kijang, maka Sedayu akan berbangga apabila ia telah dapat memanah seekor burung yang paling lincah. Sikatan. Tetapi daerah perburuan Sedayu tidak lebih dari batas pagar halamannya. Memang Agung Sedayu memiliki kecakapan-kecakapan yang khusus pula. Ia tidak saja dapat membunuh burung dengan panah, bahkan dengan lemparan-lemparan batu ia berhasil menangkap beberapa ekor burung. Dan ayahnya yang memiliki pengamatan yang tajam atas kekhususan anak-anaknya itupun telah mencoba mengembangkannya.

Meskipun Untara, yang memandang hidup ini sebagai kancah perjuangan dalam kebaktian dan pengabdian, kadang-kadang dengan diam-diam mengajak adiknya untuk mempelajari ilmu-ilmu yang pernah ditekuninya. Dan Sedayu bukan anak yang berotak tumpul. Sedikit demi sedikit dikuasainya pula beberapa persoalan tata bela diri. Namun sangat terbatas. Meskipun demikian berkembang pula. Tetapi daerah hidupnya tak terlalu luas. Sehingga karena itulah Agung Sedayu memandang daerah sekitarnya sebagai daerah yang sangat berbahaya, dan memandang segala segi kehidupan dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga anak itu benar-benar tidak mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri.

Angan-angan Widura tentang masa lampau itupun terhenti ketika dilihatnya Agung Sedayu menggeliat. Ketika anak itu membuka matanya, dan dilihatnya Widura masih duduk disampingnya, maka terdengar ia bertanya “Mengapa paman belum tidur?”

Widura menggeleng “Belum Sedayu”

“Apakah masih ada bahaya yang mungkin datang malam ini?”

Sekali lagi Widura menggeleng “Tidak, tidak ada” jawabnya. “Aku tidak biasa tidur sebelum lewat tengah malam”

Sedayu tidak bertanya lagi, sebab matanya seakan-akan telah melekat. Karena itu ia segera tertidur kembali.

Ketika Widura mendengar ayam jantan berkokok dipertengahan malam, segera ia bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan dilihatnya sekali lagi anak buahnya yang sedang beristirahat. Ditengoknya pula para penjaga diregol depan.

“Bukankah kalian tidak kantuk?” Widura bertanya kepada salah seorang dari mereka.

“Tidak” jawab orang itu.

“Bagus” sahut Widura, kemudian kepada yang lain ia berkata “Tugasmu tinggal sesaat lagi. Rombongan tengah malam kedua telah siap”.

“Kami sudah siap menunggu” jawab mereka.

Widura tersenyum, lalu ditinggalkannya orang-orang diregol halaman itu. Dipendapa dilihatnya beberapa orang masih sibuk melayani kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan ada diantaranya yang menggeram menahan sakit. Widura datang pula kepada mereka. Meraba dahi mereka dan berkata “Tenangkan hatimu. Kau akan lekas sembuh”

Kemudian ia berjalan diantara anak buahnya yang tertidur dengan nyenyaknya karena lelah. Disudut dilihatnya Sidanti dengan gelisah berbaring. Agaknya lukanya terasa pedih. Tetapi Widura tidak menyapanya. Ia takut kalau suaranya akan mengejutkan orang-orang yang sedang tidur.

Ketika ia melangkah masuk kepringgitan, dalam keremangan malam ia melihat Ki Demang Sangkal Putung berjalan melintasi halaman. Agaknya orang itupun belum tidur juga. Baru saat kemudian Widura meletakkan tubuhnya untuk beristirahat dipembaringannya.

Malam itu serasa berjalan dengan cepatnya. Lelah, kantuk dan penat telah menenggelamkan laskar Widura itu kedalam pelukan tidur yang nyenyak. Dan malam itu tak diganggu oleh bermacam-macam ketegangan dan keributan. Sangkal Putung telah tidur dengan nyenyaknya.

Keesokan harinya, Widura telah bersiap membawa Agung Sedayu untuk menjemput kakaknya. Makin cepat semakin baik. Sebab bahaya bagi Untara akan dapat datang setiap saat.

Demikianlah Widura pagi itu segera mempersiapkan diri. Dibawanya beberapa orang anak buahnya serta dengan mereka. Sebab diperjalanan selalu terbuka kemungkinan mereka akan bertemu dengan orang-orang Jipang. Mungkin Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya, mungkin orang-orang lain dari lungkungan laskar Tohpati.

Setelah memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya serta meletakkan pimpinan ditangan Citra Gati, maka Widura bersama Agung Sedayu beserta orang-orang yang lainpun segera meninggalkan Sangkal Putung. Diberinya Citra Gati ancar-ancar kemana ia akan pergi, sehingga apabila keadaan sedemikian memaksa maka Citra Gati harus segera mengirim orang untuk menjemputnya.

Kali ini Widura dan rombongannya berjalan kearah barat. Lewat Kali Asat. Lewat daerah itu, maka kemungkinan yang pahit dapat dikurangi menjadi sekecil-kecilnya.

Disepanjang perjalanan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Kuda mereka melaju seperti sedang berlomba. Debu yang putih mengepul bergumpal-gumpal. Agung Sedayu melihat jalan-jalan dibawah kaki kudanya dengan jantung yang berdebar-debar. Becek dan berbatu-batu. Apakah jadinya seandainya pada saat ia memacu kudanya malam lusa, terjadi sesuatu yang tak diharapkan. Seandainya kudanya tergelincir dan terbanting jatuh? Untunglah bahwa ia sampai ke Sangkal Putung dengan selamat, meskipun pada saat itu, ia seakan-akan berpacu sambil memejamkan matanya.

Beberapa saat kemudian mereka telah sampai dipadukuhan kecil yang tidak begitu ramai. Apalagi dalam keadaan yang penuh dengan kericuhan itu. Meskipun matahari telah tinggi, namun padukuhan itu masih sepi. Satu dua orang perempuan tampak berjalan menyeberangi lorong yang membelah desa mereka. Namun kemudian sepi kembali. Apalagi ketika mereka mendengar derap kuda memecah kesepian pagi. Maka pintu-pintu yang telah terbuka setebal tubuh itupun menjadi terkatub kembali. Orang-orang yang tinggal dipinggir-pinggir jalan, berusaha mengintip, siapakah yang sedang lewat itu. Namun tak seorangpun dari mereka yang mengenalnya.

Widura melihat desa-desa yang terpencil itu dengan sedih. Laskarnya tidak cukup banyak untuk disebarkan dipadukuhan-padukuhan yang terpencar-pencar. Sedang rakyat didesa-desa itupun tak akan dapat memberikan perlawanan apapun seandainya orang-orang dalam satu gerombolan yang kecil sekalipun datang kepada mereka, dan memaksa mereka memberikan segala barang miliknya.

Daerah itu dilalui dengan kesan yang khusus dihati Widura. Sebaliknya Agung Sedayu segera melihat tikungan dihadapan mereka. Tikungan randu alas. Tetapi kini ia tidak setakut pada malam lusa. Kali ini Sedayu berani mengamati pohon itu dengan jelas, meskipun terasa tengkuknya meremang

Kuda mereka masih berpacu terus. Lewat tikungan randu alas, sampailah mereka dibulak yang panjang. Dan teringatlah ia bahwa kuda yang dipakainya itu adalah milik seseorang yang menamakan diri Kiai Gringsing. Karena itu dengan serta merta Agung Sedayu berkata “Diujung bulak inilah aku bertemu dengan Kiai Gringsing”

“Kiai Gringsing” Widura mengulang.

“Ya” sahut Sedayu. Setelah ia menoleh, dan dilihatnya kawan-kawannya agak jauh dibelakang, maka diceritakannya serba sedikit tentang orang bertopeng, berkerudung kain gringsing dan menyebut dirinya Kiai Gringsing pula.

“Aku belum pernah mendengar nama itu” gumam Widura. “Apalagi bertemu dengan orangnya”

“Orang itu bertempur melawan Alap-alap Jalatunda seperti sedang bermain-main. Senjatanya adalah sebuah cambuk kuda”

Widura mengangkat alisnya. Seseorang yang bersenjata cambuk kudapun belum pernah didengarnya. “Orang aneh” desisnya. “Sudah pasti nama itu bukan nama sebenarnya, dan senjata itu hanyalah semacam syarat saja. Orang yang demikian pasti akan dapat melawan musuhnya tanpa senjata apapun”

Sedayu tidak menjawab. Dan kembali mereka terdiam. Kini mereka telah melampaui tikungan diujung bulak, sedang kuda mereka masih berpacu terus.

Ketika Agung Sedayu melihat desa dihadapannya, hatinya berdebar-debar. Kalau desa itu telah mereka lewati, maka segera mereka akan sampai kepersawahan. Dari mulut lorong desa itu, sudah akan akan dapat mereka lihat dukuh Pakuwaon. Sebuah padukuhan kecil yang tak banyak disebut-sebut orang. Dukuh itu akan tak berarti sama sekali seandainya didalamnya tidak tinggal seorang tua bernama Ki Tanu Metir.

Dengan demikian, maka hasrat Agung Sedayu untuk sampai ke padukuhan itu menjadi semakin menyala-nyala. Ia ingin segera melihat kakaknya, dan ia ingin segera membanggakan diri, tugasnya yang berat telah dapat dilaksanakannya. Dan paman Widura akan dapat menjadi saksi.

Karena itu kudanya dipacu semakin cepat, sehingga Agung Sedayu beberapa langkah mendahului Widura.

Akhirnya desa dihadapan mereka itupun telah dilampaui. Dan dengan dada yang berdebar-debar mereka memasuki dukuh Pakuwon yang sepi.

Agung Sedayu segera menuju kerumah yang pernah dilihatnya. Lewat lorong yang sempit, kemudian sampailah mereka disebuah halaman yang sejuk. Halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun alangkah terkejutnya Agung Sedayu, ketika kesan yang mula-mula didapatnya pada halaman itu adalah, halaman itu kotor dan tak terurus. “Apakah halaman rumah ini memang sedemikian kotornya”. Daun-daun kuning yang bertebaran dan bahkan tanaman yang patah terinjak-injak. Apalagi ketika dilihatnya rumah Ki Tanu Metir. Pintunya menganga lebar-lebar, namun sepi.

Maka Agung Sedayupun menjadi cemas. Segera ia meloncat turun dan dengan lantang memanggil “Ki Tanu. Ki Tanu Metir” Namun panggilan itu tak ada jawaban. Sekali, dua kali tetapi rumah itu tetap sepi. Ketika ia hampir saja meloncat masuk, terdengar Widura mencegahnya “Sedayu, jangan masuk”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau belum tahu pasti, apa dan siapakah yang ada didalamnya”

“Oh” dan tiba-tiba Agung Sedayupun meloncat dan berlari menjauh.

Hatinya menjadi berdebar-debar, namun ia menjawab “Rumah ini adalah rumah Ki Tanu Metir, paman. Dan kakang Untara ada didalamnya”

Namun Widura tidak menjawab. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Mencurigakan.

“Kau lihat telapak-telapak kaki kuda?” bertanya Widura.

“Ya” sahut Sedayu. “Malam lusa aku datang berkuda bersama-sama kakang Untara”

Widura mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian “Juga kebelakang rumah?”

Agung Sedayu menggeleng. Dan diikutinya pandangan mata Widura. Dilihatnya telapak-telapak kaki kuda dari belakang rumah Ki Tanu. “Oh” desisnya. “Pasti ada orang lain yang datang kerumah ini sesudah aku”

Widura kemudian berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya “Lihatlah kebelakang”

Dua orang dari merekapun segera turun dari kuda mereka, dan berjalan berhati-hati kebelakang rumah. Tak ada sesuatu yang mereka lihat. Dibelakang rumah itu, terdapat sebuah kandang kuda. Tetapi kandang kuda itu telah kosong. Dan apa yang dilihatnya itupun dilaporkannya kepada Widura.

Widura mengangguk-angguk “Telapak kaki-kaki kuda itu adalah kaki-kaki kuda Ki Tanu Metir sendiri” gumamnya. “Tetapi kenapa tanaman-tanaman ini menjadi rusak”. Kemudian kepada Agung Sedayu Widura bertanya “Apakah kudamu menginjak-injak tanaman pada saat kau datang?”

“Aku sangka tidak paman. Meskipun saat itu malam, namun aku tak merasakan bahwa kaki-kaki kuda itu menginjak-injak tanaman” jawab Sedayu.

Widura mengangguk-angguk. Iapun tak melihat bekas-bekas kaki kuda diantara tanaman yang rusak itu. Karena itu Widurapun menjadi sibuk berpikir. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan dengan hati-hati berjalan mendekati pintu rumah Ki Tanu Metir. “Kita lihat rumah itu” katanya. Kepada kawan-kawannya Widura berkata “Awasi keadaan”.

Dengan penuh kewaspadaan Widura menuju kepintu yang terbuka itu. Dengan telitinya ia memandang kedalam. Sepi, dan telinganyapun tidak mendengar sesuatu. “Ki Tanu” ia memanggil perlahan-lahan namun tak ada jawaban. Sehingga tiba-tiba Widura itu meloncat masuk dengan cepatnya, dan kemudian dengan seksama menebarkan pandangannya berkeliling. Tetapi tak dilihatnya apapun didalam rumah itu.

“Hem” geramnya “kosong”.

Sedayu yang selalu mengikutinyapun segera meloncat masuk pula. Yang pertama-tama dilihatnya adalah bantal-bantal yang berserakan diamben tengah. “Itulah” katanya.

“Apa” Widura terkejut.

“Bantal” jawabnya.

“Ah” Widura menarik nafas. “Kenapa bantal?”

“Disitulah kemarin lusa kakang Untara berbaring. Tetapi bantal itu kini telah bercerai-berai” jawab Sedayu dengan cemas.

Widura mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin gelisah. Apakah yang telah terjadi dengan Untara? Karena itu Widurapun segera memeriksa rumah itu dengan hati-hati. Sentong kanan dan sentong tengah. Tatapi juga tak ditemuinya sesuatu didalam sentong-sentong itu. Disentong kiri Widura melihat setumpuk padi berhamburan tak keruan. Ketika ia menengok kedalam sebuah bakul yang besar, yang biasanya untuk menyimpan padi, hatinya berdesir. Ia melihat noda-noda merah didalamnya. Darah yang kering. Dengan cepat Widura memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Agaknya Untara telah disembunyikan didalam bakul itu dan ditimbuni dengan padi. Tetapi padi itu telah berhambur-hamburan dan bakul itu telah kosong. Karena itu ia menjadi semakin cemas. Namun Widura sama sekali tak mengatakannya kepada Sedayu, takut anak muda itu menjadi bingung dan mengganggu pekerjaannya.

Ketika Widura sudah pasti bahwa didalam rumah itu tak ditemuinya sesuatu, maka iapun segera melangkah keluar dan diikuti oleh Agung Sedayu. Sekali lagi Widura melihat halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun tak ada sesuatu yang dapat memberitahukan kepadanya, apakah yang kira-kira sudah terjadi.

Ketika Widura sedang sibuk berteka teki, maka dilihatnya seseorang berjalan dilorong desa itu. Tetapi orang itupun segera memutar diri, ketika ia melihat beberapa orang dihalaman rumah Ki Tanu Metir. Tetapi Widura tak membiarkan orang itu pergi. Ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Mungkin orang itu tetangga dekat Ki Tanu Metir, sehingga ia dapat memberinya beberapa pertanyaan. Karena itu dengan bertepuk tangan Widura mencoba memanggilnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak mau kembali, bahkan menolehpun tidak.

“Bawa orang itu kemari” perintah Widura kepada orang-orangnya.

Ketika orang yang berjalan menjauh itu mengetahui dua orang menyusulnya, maka iapun segera berlari. Tetapi kedua orang Widura itu berlari lebih cepat, sehingga orang itupun segera dapat disusulnya. “Kenapa kau berlari ki sanak?” bertanya salah seorang daripadanya.

Orang itu menggigil ketakutan. Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Dengan penuh ketakutan ia menjawab “Aku….. aku tidak berlari tuan”

“Jangan takut” berkata orang-orang Widura itu. “Kami tidak akan berbuat sesuatu. Kami hanya ingin bertanya sedikit kepadamu. Ikutlah”

Orang itu tidak dapat menyangkal dan menolak. Dengan lutut gemetar ia berjalan diapit oleh kedua orang Widura. Sedemikian takutnya, sehingga sekali-sekali ia berjalan merunduk-runduk. Didalam benaknya telah terbayang, betapa punggungnya menjadi patah dan giginya akan rampal habis, seperti gigi Kriya yang kecil. Orang itu pernah mendengar, bahwa Kriyapun pernah mendapat pertanyaan dari orang yang tak dikenalnya. Akibatnya orang itu tak dapat bangun dari pembaringannya.

Karena itu, maka demikian orang itu sampai dihadapan Widura dan melihat pedang Widura yang besar tergantung dipinggangnya, segera ia menjatuhkan diri, berlutut sambil merengek “Ampun tuan, aku tidak akan mengganggu pekerjaan tuan”

Widura memandang wajah orang itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya “Kenapa ki sanak menjadi ketakutan?”

“Aku tidak akan berbuat sesuatu, tuan” ulang orang itu, seakan-akan ia tidak mendengar pertanyaan Widura.

Widura memandang orang itu dengan seksama. Seorang setengah umur, namun rambutnya telah memutih. “Aneh” katanya dalam hati. Dan tiba-tiba saja, Widura memandang daerah disekitarnya. Sepi. Memang jalan-jalan desa yang kecil ini tidak akan terlalu ramai dilewati orang. Namun sejak ia memasuki desa ini, baru seorang itulah yang dilihatnya. Dengan demikian Widura segera menghubungkan, halaman yang kotor, tanaman yang patah-patah, kaki-kaki kuda dan kesepian yang mencekam padukuhan ini. Sedang orang yang pertama-tama ditemuinya, bersikap aneh terhadapnya. Karena itu maka dengan perlahan-lahan dan hati-hati Widura bertanya “Ki Sanak. Kenapa kau menjadi ketakutan. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami inginkan hanyalah beberapa keterangan tentang rumah ini”

“Oh, ampun tuan. Ampun. Aku tidak tahu apa-apa tentang rumah ini dan desa ini” mintanya dengan iba.

Widura menjadi semakin heran “Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” katanya.

Namun orang setengah umur itu menjadi semakin ketakutan. Kriya, kemarin lusa juga mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang Ki Tanu Metir, tentang tamu-tamunya. Kemudian oleh orang-orang yang bersenjata pedang seperti orang yang berdiri dihapannya itu, giginya telah dirontokkan dan bahkan punggungnya serasa akan patah. Karena itu orang setengah umur itu tak henti-hentinya merengek-rengek minta ampun dan belas kasihan. Widura akhirnya menjadi jengkel. Dengan lantangnya ia membentak “Diam!. Jawab pertanyaanku!”

Orang itupun terdiam. Tetapi tubuhnya menggigil. Kini ia tidak berlutut lagi. Kakinya seakan-akan menjadi terlalu lemah untuk menahan berat badannya. Karena itu ia terduduk ditanah dengan hati yang dicengkam kekhwatiran.

“Siapa namamu?” bertanya Widura.

“Wangsa, tuan. Wangsa Sepi” jawab orang itu dengan gemetar.

Nama yang aneh. Widura sempat bertanya “Kenapa Sepi?”

Orang itu menjadi heran. Ia sendiri tidak pernah berpikir kenapa namanya Wangsa Sepi. Karena itu, pertanyaan Widura itu sangat membingungkannya. Maka jawabnya sekenanya “Aku tidak senang ramai-ramai tuan. Aku senang pada sepi”

Widura mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya pula “Dimana rumahmu?”

“Disebelah tuan. Berantara kebon suwung itu” jawabnya.

“Dekat” guman Widura. Karena itu ia bertanya kembali “Ki Sanak, jawablah pertanyaanku dengan baik, supaya aku bersikap baik juga kepadamu”.

“Ya tuan” jawab orang yang ketakutan itu.

Widurapun bertanya pula. Hati-hati dan perlahan-lahan supaya orang itu tidak menjadi semakin takut kepadanya. Katanya “Kau kenal penghuni rumah ini?”

“Kenal tuan” jawab orang itu.

“Namanya?” bertanya Widura.

“Ki Tanu Metir”

“Bagus” sahut Widura. “Nah, katakanlah ki sanak, dimanakah orang itu sekarang? Kesawah barangkali? Atau kesungai?”

Orang itu menggeleng, jawabnya “Aku tidak tahu tuan”

Widura mengangkat alisnya. Kemudian diulangnya pertanyaannya perlahan-lahan “Ki Sanak, kau akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku bukan? Nah, apakah kau mengetahui atau mendengar, kemana Ki Tanu Metir pergi?”

Sekali lagi orang itu menggeleng, dan sekali terdengar ia menjawab “Aku tidak tahu tuan”

Widura menjadi gelisah. Tetapi ia masih bersabar. Dengan kedua tangannya orang itu ditariknya berdiri. Katanya “Berdirilah ki sanak. Berdirilah. Biarlah kita dapat bercakap-cakap dengan baik”.

Dengan susah payah orang itupun berusaha berdiri dan tegak diatas kedua kakinya. Namun lututnya masih juga gemetar. Apalagi ketika ia sadar, bahwa disekitarnya berdiri beberapa orang laki-laki yang berwajah keras dengan pedang dipinggang masing-masing. Meskipun demikian orang itu masih mendengar Widura berkata dengan sareh “Ki sanak. Aku melihat ketidak-wajaran didesa ini. Aku juga melihat beberapa tanda-tanda yang tak menyenangkan. Karena itu aku datang untuk mencoba mengetahui apa yang telah terjadi untuk seterusnya mengambil tindakan pencegahan buat saat-saat mendatang”.

Orang itu menjadi heran mendengarnya, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya “Siapakah tuan-tuan ini?”

“Kami adalah laskar Pajang” jawab Widura.

“Oh” desis orang itu. “Apakah kalian bukan kawan-kawan Alap-alap yang muda itu?”

Widura menarik nafas. Orang itu telah menyebut nama Alap-alap Jalatunda. Sedayupun terkejut pula mendengar nama itu disebutkan. Karena itu ia memotong “Apakah Alap-alap Jalatunda datang kemari?”

Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya Widura dan Sedayu dan orang-orang lain berganti-ganti.

“Jawablah” minta Widura.

Orang itu mengangguk “Ya” katanya. “Kriya telah melihatnya bersama-sama dengan beberapa orang. Diantaranya bernama Plasa”

“Plasa Ireng” sahut Widura terkejut.

“Ya. Agaknya demikian. Aku hanya mendengar dari Kriya ketika aku menengoknya tadi pagi” jawab orang itu.

Widura menarik nafas. Kemudian ia bergumam perlahan-lahan yang hanya dapat didengarnya sendiri “Setan Ireng itu sampai juga disini”. Maka katanya seterusnya “Apakah yang sudah mereka lakukan disini?”

Wangsa Sepi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun setelah ia mengetahui bahwa orang-orang itu sama sekali bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda, hatinya menjadi agak tenang. Maka jawabnya kemudian “Tuan. Alap-alap Jalatunda datang bersama-sama beberapa orang kawannya. Mereka mencari dua orang berkuda yang datang kerumah Ki Tanu Metir”.

Widura menjadi berdebar-debar dan dada Sedayu berguncang. Sehingga cepat-cepat ia bertanya “Adakah mereka diketemukan?”

“Kami tidak tahu pasti tuan. Menurut Kriya, orang-orang itu telah memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan dimana salah seorang dari kedua orang itu, yang ternyata terluka, disembunyikan” jawabnya.

Widura mengerutkan alisnya. Sesaat ia berpikir, kemudian katanya “Dimanakah rumah Kriya itu?”

“Disudut jalan itu tuan” jawab Wangsa Sepi.

“Antarkan kami kesana. Apakah Kriya sudah dapat diajak berbicara?”

“Sudah tuan” sahut Wangsa Sepi.

Maka pergilah mereka, diantar oleh Wangsa Sepi kerumah Kriya. Rumah kecil beratap ilalang disiku jalan. Ketika mereka memasuki halaman rumah itu, yang dipagari dengan pagar bata setinggi dada, mereka melihat seorang perempuan berlari-lari masuk kedalamnya.

“Siapakah orang itu?” bertanya Widura.

“Istrinya tuan” jawab Wangsa Sepi. “Perempuan itu pasti ketakutan. Ia pasti menyangka bahwa orang-orang yang memukul suaminya kemarin datang kembali.”

Widura mengangguk-angguk. Kemudian disuruhnya Wangsa Sepi mendahului, supaya mereka tidak menjadi semakin ketakutan. “Masukkah Ki Sanak” berkata Widura “Katakan kepadanya, bahwa aku bukan orang-orang yang pernah datang kemari”.

Wangsa Sepi mengangguk. Kemudian iapun berjalan dahulu, masuk kerumah Kriya yang bungkik. Orang itu masih berbaring diamben. Sedang istrinya yang ketakutan berlutut disampingnya sambil menangis. Perempuan itu terkejut sampai berjingkat, ketika tiba-tiba melihat seseorang begitu saja sudah berdiri disampingnya.

“Aku Nyai” berkata Wangsa Sepi.

“Oh” istri Kriya itu menarik nafas, kemudian ia bertanya “Kakang, siapakah orang-orang yang memasuki halaman ini. Adakah mereka orang-orang yang memukuli kakang Kriya kemarin?”

Wangsa Sepi memandangnya dengan iba. Seperti seorang pelindung yang baik ia berkata “Jangan takut Nyai”, kemudian kepada Kriya kecil yang terbaring diamben ia berkata “Jangan takut adi. Orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda. Mereka ingin bertemu dengan adi, justru untuk mencari Alap-alap Jalatunda”

Mata Kriya yang kecil itupun terbelalak, “Benarkah demikian?”

“Ya” jawab Wangsa Sepi. “Karena itu jangan takut”.

Namun mata Kriya masih memancarkan keragu-raguan hatinya. Ia sudah sedemikian ngerinya mengingat peristiwa dua malam yang lewat. Beberapa orang telah memukulnya berganti-ganti, mengancam dan menyengat-nyengat dengan ujung-ujung senjata. Tetapi apabila benar orang-orang yang datang ini justru mencari Alap-alap Jalatunda, maka ia dapat titip kepada orang-orang itu. Kalau ketemu, ia akan minta mereka supaya punggung merekapun dipatahkan seperti punggungnya.

Maka katanya kemudian “Silakan mereka masuk”.

Widura dan Sedayupun kemudian masuk kegubug kecil itu. Mereka melihat penderitaan yang dialami oleh Kriya. Beberapa luka-luka kecil dihampir seluruh tubuhnya. Wajahnya yang biru pengab dan sakit yang amat sangat dipunggungnya, sehingga orang itu tidak dapat bangkit dari pembaringannya.

“Jangan bangun” berkata Widura, “Supaya sakitmu tidak bertambah parah”.

Kata-kata yang pertama itu telah menyejukkan hati Kriya. Ia kini pasti, orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatuda. Dengan menyeringai menahan sakit ia berkata “Silakan tuan-tuan. Aku tidak dapat menyambut tuan-tuan dengan baik”.

“Jangan diributkan” sahut Widura. “Aku hanya ingin beberapa keterangan. Dapatkah kau menceritakan, apa yang telah kau ketahui tentang Ki Tanu Metir dan Alap-alap Jalatunda?”

Kriya yang kecil itu menggerak-gerakkan kepalanya. Kemudian ia bercerita tentang orang-orang yang datang mencari dua orang berkuda. Tentang Plasa Ireng dan kemudian tentang Alap-alap Jalatunda yang pergi menyusul yang seorang lagi. Akhirnya ia berkata “Mereka telah mencoba memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan orang-orang berkuda itu. Namun Ki Tanu Metir tidak bersedia. Akhirnya orang-orang itupun menjadi marah. Tetapi aku tidak tahu, apa yang terjadi seterusnya, karena tiba-tiba dadaku terasa sesak, dan aku menjadi pingsan”.

Widura mendengarkan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Sedang Agung Sedayu menjadi sangat cemas. Dengan nafas yang terengah-engah ia bertanya “Jadi kemanakah Ki Tanu Metir kemudian?”

“Tak seorangpun yang tahu” jawab Kriya. “Namun kami menduga, bahwa Ki Tanu Metir dan orang yang disangka disembunyikan itu telah dibawa oleh mereka, gerombolan Plasa Ireng”

Sedayu menjadi semakin cemas. Ditatapnya wajah pamannya yang tegang. Widura mencoba untuk menghubungkan keterangan-keterangan itu dengan apa yang dilihatnya. “Hemi a menarik nafas. Mungkin sangkaan itu benar. Untara diketemukan didalam bakul dengan meninggalkan bekas-bekas darah itu. Tetapi kemanakah mereka dibawa?

Ruangan itu untuk sejenak menjadi sepi. Namun dada merekalah yang menjadi riuh. Apalagi dada Agung Sedayu. Dengan penuh kecemasan ia menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh pamannya.

“Ki Sanak“ bertanya Widura kemudian “Apakah kau pernah mendengar, dimanakah orang-orang Alap-alap Jalatunda itu tinggal?”

Kriya menggeleng lemah. Jawabnya “Namanya itu menunjukkan tempat. Namun aku tidak pasti”

Widura itupun kemudian terdiam. Tampaklah ia merenung, memandang jauh melewati lubang pintu. Diluar, sinar matahari dengan cerahnya bermain-main diatas daun-daun dihalaman. Widura telah mengetahui dengan pasti bahwa Alap-alap Jalatunda itu tidak berada di Jalatunda atau sekitarnya, sebab daerah itu telah lama dibersihkan dari gerombolan-gerombolan kecil yang kehilangan pegangan itu. Tetapi Widura sadar, bahwa orang-orang seperti Kriya kecil dan Wangsa Sepi itu tak akan banyak memberinya petunjuk. Ketika Widura itu berpaling, maka dilihatnya wajah Sedayu yang pucat dan tegang.

“Bagaimana dengan kakang Untara paman?” terdengar ia bertanya dengan gemetar.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba memeras otaknya. Tanaman-tanaman yang rusak dihalaman Ki Tanu Metir, bukan sekedar terinjak-injak kaki, bahkan kaki-kaki kuda sekalipun. Bekas-bekas itu adalah bekas perkelahian. Sayang Kriya saat itu menjadi pingsan, sehingga ia tidak dapat mengatakan siapakah yang bertempur malam itu. Ki Tanu Metir barangkali? Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah gerombolan Plasa Ireng telah berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang tua itu untuk memeras keterangannya sehingga halaman itu menjadi rusak? Plasa Ireng tak akan memerlukan hampir separo halaman untuk keperluan itu. Namun Widura juga tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa Untara telah mampu mempertahankan dirinya dan bertempur melawan Plasa Ireng. Kalau terpaksa terjadi perkelahian diantara mereka, sedang Untara dalam keadaan parah, maka harapan untuk dapat bertemu kembali dengan Untara adalah sangat kecil. Demikian juga agaknya, apabila Plasa Ireng itu berhasil menemukan Untara didalam persembunyiannya. Karena itu maka Widurapun menjadi gelisah dan cemas.

Widura tidak segera membuat kesimpulan yang mendebarkan jantungnya, meskipun itulah kemungkinan yang terbesar terjadi atas Untara. “Mudah-mudahan Untara tidak mati muda” Widura berkata didalam hatinya. “Namun kalau terpaksa terjadi demikian, maka anak itu telah gugur dalam pelukan kewajibannya bersama dengan seorang dukun tua. Bahkan Kriya yang tak mengerti ujung pangkal dari perselisihan antara Pajang dan Jipang itupun harus menderita karenanya”

Sedayu yang menunggu jawaban pamannya itu masih saja berdiam diri. Mengangguk-angguk dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Karena itu ia mendesak “Bagaimanakah dengan kakang Untara itu paman?”

“Aku belum dapat mengambil kesimpulan apa-apa Sedayu” jawab pamannya.

Sedayu menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Sejenak kemudian Widura itupun berkata “Ki Sanak, aku tidak perlu terlalu lama disini. Barangkali aku kelak mendengar keterangan tentang Ki Tanu Metir. Baiklah kini aku mencoba mencari bekas-bekasnya disekitar padukuhan ini”.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau pamannya akan mencari kakaknya, apakah itu tidak akan terlalu berbahaya.

Karena dengan tergesa-gesa ia berkata, “Apakah daerah sekitar pedukuhan ini tidak berbahaya paman?”

Widura berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Berbahaya atau tidak, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk mencari keterangan tentang Untara”.

“Tetapi, bagaimanakah kalau tiba-tiba paman disergap oleh Alap-alap jalatunda?”, bertanya Sedayu.

“Sedayu. Alap-alap jalatunda itu tidak seberbahaya Macan Kepatihan. Mudah-mudahan aku dapat mengatasinya apabila kita bertemu” jawab Widura membesarkan hati anak itu.

“Tetapi ia tidak sendiri. Mungkin dengan yang paman sebut Plasa Ireng atau yang lain-lain” desak Sedayu.

“Bukankah aku tidak sendiri?”

“Paman hanya membawa beberapa orang. Mungkin Alap-alap Jalatunda itu berenam, sepuluh atau bahkan satu pasukan”

“Diantara kita ada kau, Sedayu”

“Ah” Sedayu mengeluh.

Widurapun mengeluh didalam hati. Anak itu sama sekali tidak membantunya, bahkan ia dapat merupakan tanggungan yang terlalu berat. Karena itu pula, maka Untara yang perkasa terpaksa terluka dipundaknya. “Untara pasti sedang melindungi anak ini” pikir Widura. “Kalau tidak, apakah empat orang yang dipimpin oleh Pande Besi Sendang Gabus itu melukainya?”

Tetapi Widura tidak akan dapat melepaskan Agung Sedayu. Ia adalah kemenakannya. Dan betapapun anak ini pernah berjasa bagi Sangkal Putung yang dibebankan kepadanya.

Meskipun demikian Widura mempertimbangkan pula pendapatnya. Tanpa disengajanya, sekali lagi ia melihat akibat kekasaran Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Kriya yang lemah itu kini masih berbaring dipembaringannya. Namun tiba-tiba pula ia menjadi heran. Luka itu terlalu berat. Namun penderitaan orang itu agaknya telah jauh berkurang. Karena itu tiba-tiba ia bertanya “Ki Sanak, apakah luka-lukamu tak pernah diobati?”

“Pernah tuan” jawab Kriya sambil menyeringai.

“Bukankah biasanya Ki Tanu Metirlah yang memberi obat kepada orang-orang sakit? Dan sekarang orang itu telah tidak ada dirumahnya” bertanya Widura.

“Ya” jawab Kriya. “Tetapi semalam datang pula orang yang mencari Ki Tanu Metir. Orang yang sudah sangat tua. Katanya ia adalah sahabat Ki Tanu Metir. Seorang dukun pula. Dan diberinya aku obat”

Oh” Widura mengangguk-angguk. “Siapakah namanya?”

Kriya menggeleng. Jawabnya “Ketika aku bertanya namanya, orang itu menjadi bingung. Akhirnya ia menjawab sambil menunjukkan kain yang dipakainya. Kiai Gringsing”

Widura terkejut mendengar jawaban itu. Apalagi Agung Sedayu. Dengan serta merta ia bertanya “Adakah Kiai Gringsing itu bertopeng?”

Sekali lagi Kriya menggeleng “Tidak” jawabnya. “Namun wajahnya aneh juga. Berkeriput dan dipakainya pilus didahinya. Aku takut kalau bertemu dengan orang itu dimalam hari seorang diri”.

Widura mengerutkan keningnya. Keterangan itu sangat menarik perhatiannya. Karena itu maka ia bertanya pula “Apakah yang dilakukan oleh orang itu kemudian?”

“Tidak ada” jawab Kriya “Setelah diketahuinya bahwa rumah sahabatnya kosong, dan diberinya aku obat, maka iapun segera pergi. Katanya, ia takut kalau-kalau orang yang mencari Ki Tanu Metir lusa kembali dan menangkapnya pula”

“Tanu Metir ditangkap dalam hubungannya dengan orang yang disembunyikan” sahut Widura.

“Mungkin” jawab Kriya. “Tetapi orang tua itu berkata bahwa laskar kedua pihak yang sedang memerlukan dukun-dukun untuk mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Mungkin Ki Tanu Metir telah mereka bawa untuk keperluan itu”

Widura menarik keningnya. Keterangan itu masuk akal juga. Tetapi cerita tentang Kiai Gringsing itu mungkin ada juga gunanya, maka Widura itupun berkata “Apakah kau melihat tanda-tanda yang aneh pada orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing?”

“Tidak” sahut Kriya. “Selain bahwa orang itu telah terlalu tua. Agak bongkok”

“Adakah kau tanyakan rumahnya?”

“Ya. Tetapi tak diberitahukannya. Katanya, apabila Ki Tanu Metir sudah pulang, maka ia sudah tahu, siapakah dirinya”

Widura menarik nafas. Tak ada yang dapat diketahui tentang Kiai Gringsing. Namun ia mendapat suatu kesimpulan, bahwa Kiai Gringsing benar-benar orang yang tak mau dikenal. Agung Sedayu pernah bertemu dengan orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Belum terlalu tua dan bertopeng atau lebih tepat hanya sebuah tutup muka dengan tiga buah lubang, diarah mata dan hidungnya. Bahkan dengan seenaknya, bersenjata cambuk kuda orang itu dapat mengalahkan Alap-alap Jalatunda. Sedang orang yang menamakan Kiai Gringsing pula, datang kepada Kriya. Orang itu telah terlalu tua, bongkok. Tetapi satu hal yang dapat ditarik persamaan dari keduanya, wajah keduanya bukanlah wajah aslinya. Yang datang kepada Kriya itupun berwajah aneh dan menakutkan, bahkan memakai pilis didahinya. Bukankah itu juga suatu usaha untuk menyembunyikan diri?

Tetapi Widura tidak mau tenggelam dalam persoalan orang yang tak dikenalnya. Baginya, Untara lebih penting dari orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu. Karena itu maka sekali lagi ia minta diri “Terima kasih atas semua keteranganmu, ki sanak” berkata Widura kepada Kriya, kemudian kepada Wangsa Sepi “Ki sanak, ingat-ingatlah apa yang terjadi kemudian. Mungkin aku akan datang kembali beberapa hari yang akan datang. Mungkin ada hal-hal yang dapat memberi penjelasan atas hilangnya Ki Tanu Metir”

“Baiklah tuan” jawab Wangsa Sepi sambil mengangguk.

Widura, Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang menunggu diluar segera meninggalkan rumah Kriya Bungkik. Mereka kembali kehalaman rumah Ki Tanu Metir. Dengan hati-hati Widura meneliti bekas-bekas kaki kuda dihalaman itu. Kemudian katanya “Kita coba mengikuti bekas-bekas kaki kuda Ki Tanu Metir. Mungkin kuda itu dipakai oleh orang-orang yang mengambilnya”

Kembali Agung Sedayu menjadi gelisah. Katanya berbisik “Bagaimanakah kalau kita akan sampai kesarang Alap-alap Jalatunda itu?”

“Suatu kebetulan” sahut Widura. “Segera kita akan tahu, bagaimanakah nasib Untara dan Ki Tanu Metir”

“Tetapi bagaimanakah dengan nasib kita sendiri?”

Widura menarik nafas, katanya “Lalu apakah yang sebaiknya kita lakukan? Apakah kita biarkan saja Untara hilang?”

“Tidak” jawab Sedayu. “Kita harus mencari kakang Untara. Tetapi apakah kita tidak kembali ke Sangkal Putung dahulu, dan paman membawa laskar lebih banyak lagi?”

“Kita akan banyak kehilangan waktu Sedayu” jawab pamannya. “Sedang laskarkupun sangat terbatas. Kalau sebagian dari mereka meninggalkan tempatnya, bagaimanakah jadinya Sangkal Putung itu, apabila Tohpati datang kembali siang ini?”

Sedayupun terdiam. Namun hatinya tidak tentram. Di Sangkal Putung ia takut apabila Tohpati datang kembali. Mengikuti pamannya ia cemas apabila mereka bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. Namun ia tidak dapat menentukan pilihan. Karena itu ia harus ikut saja kemana pamannya pergi.

Widura kemudian seakan-akan tidak memperhatikan Agung Sedayu lagi. Dengan penuh minat ia melihat telapak-telapak kaki kuda dihalaman itu. Kemudian dipanggilnya kawan-kawannya mendekat, dan terdengar ia berkata “Kita ikuti telapak kaki-kaki kuda ini”

Kawan-kawannyapun memperhatikan telapak itu dengan seksama. Mereka harus berusaha membedakan dengan telapak kaki yang lain. Apabila mungkin, maka mereka akan dapat mengikuti kemana kuda itu pergi. “Mudah-mudahan kita menemukan tempatnya” gumam Widura. Sedang Agung Sedayu menjadi berdebar-debar mendengarnya.

Sejenak kemudian, merekapun telah siap diatas punggung kuda masing-masing. Perlahan-lahan mereka berjalan menyusur jalan desa yang sempit sambil memperhatikan jalan dibawah kaki-kaki kuda mereka, supaya mereka tidak kehilangan jejak.

“Tiga ekor kuda” geram Widura.

“Ya” sahut kawannya. Selain itu mereka masih melihat telapak-telapak kaki yang lain. Namun telapak-telapak kaki itu mengarah kearah yang berlawanan. Diantaranya telapak-telapak kaki kuda mereka sendiri pada saat mereka memasuki desa itu.

“Dua diantaranya adalah telapak kaki kuda Sedayu dan Alap-alap Jalatunda yang menyusulnya ke Sangkal Putung” gumam Widura. “Apabila ada salah satu daripadanya memisahkan diri dari jalan ini, maka kuda itulah yang telah dipergunakan Plasa Ireng atau salah seorang daripadanya. Dan kita akan mengikuti arahnya”

Kawan-kawannya itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun didalam hati mereka terbersit pula rasa kawatir. Apabila mereka benar-benar sampai disarang Alap-alap itu, maka pekerjaannya tidak akan kalah beratnya dengan menyongsong kehadiran laskar Tohpati di Sangkal Putung. Mungkin mereka akan menghadapi lawan yang berlipat. Namun hati mereka menjadi tenteram ketika mereka melihat kedua orang yang berkuda didepan mereka. Widura dan adik Untara. “Mereka berdua tak akan terkalahkan” gumam mereka didalam hati.

Karena itu mereka menjadi tenteram. Meskipun demikian sekali-sekali mereka meraba hulu-hulu pedang mereka, seakan-akan mereka sedang bersepakat dengan senjata-senjata mereka, bahwa mereka akan menempuh suatu perjuangan yang berat.

Disepanjang jalan hampir mereka tidak bercakap-cakap. Mereka sedang sibuk memperhatikan bekas-bekas kaki kuda dibawah mereka. Hanya Agung Sedayulah yang kadang-kadang menarik nafas panjang untuk mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Sebenarnya ingin juga ia segera mengetahui nasib kakaknya, namun ia cemas apabila dibayangkannya orang-orang yang kasar dan keras menghadang ditengah-tengah jalan dengan senjata-senjata dilambung. Meskipun demikian ia tidak berkata sepatah katapun. Ketika ia menoleh, dilihatnya orang-orang yang berkuda dibelakangnya, sama sekali tidak menunjukkan kecemasan mereka. Bahkan ketika mereka melihat Agung Sedayu menoleh kepada mereka, hampir bersamaan mereka tersenyum dan menganggukkan kepala mereka. Agung Sedayupun mengangguk. Tetapi ia tidak tahu, kenapa orang-orang itu mengangguk kepadanya, dan ia juga tidak tahu, kenapa ia mengangguk pula.

Semakin jauh mereka dari pedukuhan Pakuwon, hati Widura menjadi semakin heran. Telapak kaki kuda itu tidak terpisah. Ketiganya menuju Sangkal Putung. “Aneh” desis Widura. “Apakah salah seorang dari anak buah Plasa Ireng itu pergi juga ke Sangkal Putung selain Alap-alap Jalatunda?” Namun Widura tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

Demikianlah mereka tetap mengikuti jejak-jejak itu. Tetapi mereka tak menemukan titik perpisahan dari jejak-jejak itu. Bahkan akhirnya mereka sampai juga di Bulak Dawa. Dan jejak-jejak itu masih mengikuti jalan terus ke Sangkal Putung.

Widura juga sedang mempertimbangkan setiap kemungkinan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apakah kita tidak keliru?” gumamnya.

“Apa yang keliru paman?” bertanya Agung Sedayu.

Sekali lagi Widura memandangi jejak-jejak kaki kuda yang sudah tidak begitu jelas lagi. “Apakah ada jejak-jejak lain yang sudah terhapus?” gumamnya.

Agung Sedayu tidak menjawab. Dan ketika kawan-kawan mereka itu telah dekat benar dengan Widura, Widurapun bertanya kepada mereka “Adakah kalian melihat salah satu diantaranya memisahkan diri?”

Orang-orang itu menggeleng. “Tidak” jawab salah seorang dari mereka. “Kami telah mencoba mengawasi dengan seksama setiap simpangan. Entahlah kalau jejak-jejak itu telah tidak dapat dilihat lagi”

Widura mengangguk-angguk. Namun jalan yang sepi itu, agaknya belum banyak dilalui orang. Apalagi kuda atau gerobag. Maka katanya “Kita ikuti jejak itu untuk seterusnya. Kalau kita tidak menemukan sesuatu, kita kembali ke Sangkal Putung. Lain kali aku akan mencarinya”.

Ketiga orang itupun mengangguk, dan Sedayupun menjadi agak berlega hati. Namun meskipun demikian, ia selalu cemas akan nasib kakaknya. Satu-satunya saudaranya, yang selama ini, bahkan sejak kecil selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik.

Pada saat-saat dirinya mengalami kesulitan yang paling kecil sekalipun maka kakaknya selalu datang menolongnya. Bahkan kakaknya itu telah banyak sekali mengorbankan kepentingannya sendiri untuknya.

Kini kakaknya itu mengalami bencana. Apakah yang dapat dilakukannya? Jiwa Agung Sedayu itupun menjadi bergolak. Ingin juga ia datang berkuda menerobos masuk kedalam sarang orang-orang yang mungkin menculik kakaknya dengan pedang terhunus ditangan. Ingin ia menolong dan menyelamatkannya. Tetapi kemudian Agung Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya. Tak ada keberanian untuk melakukannya. Dan disadarinya bahwa apa yang dapat dilakukan hanyalah berangan-angan.

Mereka masih saja berkuda mengikuti jalan ke Sangkal Putung. Meskipun tidak sendiri, namun bulu-bulu Agung Sedayu meremang juga ketika mereka lewat dibawah randu alas yang besar ditikungan. Setiap kali ia melihat pohon randu alas itu setiap kali ia teringat cerita tentang genderuwo bermata satu.

Tetapi Widura sama sekali tidak mempedulikan cerita itu. Ia masih sibuk mencoba mengurai keanehan yang dihadapinya. Telapak-telapak itu benar-benar menuju ke Sangkal Putung. Tetapi sampai sekian jauh belum juga menemukan jawaban. Apalagi ketika mereka kemudian sampai pada daerah yang berbatu-batu. Telapak-telapak kaki kuda itu seakan-akan lenyap dijilat hantu. Karena itu, Widura menjadi semakin cemas. Tetapi tak ada hal-hal yang dapat memberinya petunjuk.

Maka dengan kecemasan yang mencengkam dadanya, akhirnya Widura terpaksa membawa rombongannya kembali ke Sangkal Putung. Meskipun demikian Widura itu menggeram “Suatu ketika aku harus menemukan jawaban atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir”

Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Tetapi matanya menjadi panas, dan dijantungnya seperti akan pecah. Tetapi tidak lebih daripada itu. Agung Sedayu tidak dapat berbuat apapun selain meratap dengan sedihnya.

Ketika mereka sampai dihalaman kademangan, beberapa orang datang menyongsong mereka. Citra Gati, Hudaya, Sidanti, Swandaru dan beberapa orang lain. Sebelum Widura masuk kepringgitan, berbagai-bagai pertanyaan harus dijawabnya. Dan orang-orang itupun menjadi kecewa pula. Mereka mengharap Untara ada diantara mereka, namun ternyata orang itu telah lenyap.

Hanya Sidantilah yang sama sekali tidak menaruh minat akan hilangnya Untara. “Biarlah anak itu hilang. Dan biarlah orang-orang di Sangkal Putung menyadari, bahwa bukan Untaralah orang yang paling sakti diantara kita. Tohpati itu tidak terpaut banyak denganku. Apabila guru datang kemari, aku akan mendapat petunjuk bagaimana harus mengalahkannya” katanya didalam hati.

Tetapi ketika terlihat pula olehnya Sedayu, Sidanti mengangkat alisnya. Dan hatinya berkata pula “Apakah anak ini benar-benar dapat, setidak-tidaknya mendekati kesaktian Untara?” Sindanti menarik bibirnya kesisi. Kemudian ia berjalan disamping pendapa dan sama sekali tak mengacuhkan lagi, apakah yang terjadi di dukuh Pakuwon.

Disamping pendapa Sidanti berhenti. Dilihatnya Sekar Mirah berjalan kearahnya. “Siapa yang datang?” gadis itu bertanya.

“Kakang Widura” jawab Sidanti.

“Dengan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara?” bertanya Sekar Mirah pula.

Sidanti menarik alisnya. Katanya “Ya, tetapi apakah kau mempunyai kepentingan dengan anak itu?”

“Tidak. Tetapi aku ingin melihatnya. Menurut ayah, anak itulah yang telah menyelamatkan Sangkal Putung”.

“Omong kosong” sahut Sidanti. “Apa yang telah dilakukannya? Ia hanya datang atas nama kakaknya, mengabarkan bahwa laskar Tohpati akan datang. Selebihnya tidak. Akulah yang terluka oleh senjata Tohpati itu. Aku tidak yakin, kalau Agung Sedayu dapat menyelamatkan hidupnya seandainya ia harus menghadapi Macan Kepatihan itu”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi matanya dengan nanar menyapu pendapa rumahnya. Namun yang dicarinya telah tidak tampak lagi. Widura dan Agung Sedayu telah masuk ke pringgitan. Dipringgitan, demang Sangkal Putung telah duduk menunggunya.

“Marilah adi” Ki Demang mempersilakan.

Kemudian merekapun duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih. Widura sekali lagi megulangi, apa yang dilihatnya di dukuh Pakuwon. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata “Aku tidak berhasil menemukannya”

Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sayang” desisnya.

Ruangan itu sejenak menjadi sepi. Masing-masing tenggelam didalam angan-angannya. Kadang-kadang Sedayu masih mendengar, pamannya menggeram menahan perasaan kecewa yang merayapi dadanya. Kecewa atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir, dan kecewa akan kemenakannya yang seorang lagi. Agung Sedayu. Banyak persoalan yang akan dihadapinya. Tohpati yang pasti tak akan melepaskan Sangkal Putung, Untara dan Ki Tanu Metir yang harus diketemukan hidup atau mati, dan Agung Sedayu dilingkungan anak buahnya. Widura yang telah banyak menghayati berbagai pengalaman, melihat, betapa Sidanti dengan tidak disangka-sangka menempatkan sebuah persoalan dengan kemenakannya itu. Tanggapannya yang kurang menyenangkan dan harga dirinya yang berlebih-lebihan.

Sedang apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu tidak lebih daripada meratap dan berangan-angan. Ia sama sekali tidak berusaha untuk melindungi dirinya sendiri.

Sekar Mirah, ketika tidak berhasil melihat orang yang dicarinya, kemudian berlari kebelakang. Ketika ia masuk kedapur dilihatnya seorang pembantunya siap mengantarkan mangkuk-mangkuk minuman ke pringgitan. Maka dengan serta merta gadis itu merebutnya sambil berkata “Biarlah aku yang mengantarkan.”

Pembantunya tidak dapat menolaknya. Sehingga kemudian Sekar Mirah sendirilah yang mengantarkan minuman itu. Dan dengan demikian gadis itu berhasil melihat anak muda yang bernama Agung Sedayu dengan jelas.

Agung Sedayu yang selalu menundukkan wajahnya, tak menyadarinya, bahwa seseorang telah mengawasinya dengan cermat. Sekar Mirah yang kemudian meninggalkan pringgitan, masih selalu menatap wajah anak muda itu dari balik pintu.

“Nama yang baik” desis Sekat Mirah. Dan tiba-tiba gadis itu terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya.

“Ah” desisnya “Kau mengejutkan aku Kakang Sidanti.”

“Apakah yang kau intip?” bertanya Sidanti.

“Ayah” jawab Sekar Mirah tergagap

“Kenapa dengan Ki Demang?” desak anak muda itu.

“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa ia mengeluh” sahut Sekar Mirah, yang kemudian ganti bertanya “Apa kerjamu disini?”

“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa kau mengintip” jawab Sidanti sambil tersenyum.

“Ah” desis Sekar Mirah “Keluarlah. Kau mengganggu aku disini.”

Sidanti menggeleng. Jawabnya “Marilah kita keluar bersama-sama.”

Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia melangkah pergi ke halaman belakang. Sedang Sidanti mengikutinya dibelakang.

“Apakah kau sudah melihat anak itu?” bertanya Sidanti kemudian.

“Ya” jawab Sekar Mirah “Baru sekarang aku melihatnya dengan jelas. Anak itu datang lewat tengah malam. Dan kemarin hampir sehari penuh aku membantu didapur. Baru kemarin sore aku mendengar nama itu. Nama yang bagus.” Sekar Mirah berhenti sejenak ketika ia melihat dahi Sidanti mengkerut, kemudian ia meneruskan “Seperti namamu.”

Sidanti tersenyum. Namun senyumnya terasa hambar. Meskipun demikian ia berdiam diri, sehingga Sekar Mirah berkata terus “Tadi pagi aku melihatnya. Ketika hampir setiap orang menyebut namanya karena keberanian dan ketangkasannya, baru aku ingin melihat wajahnya. Dan wajahnyapun baik sebaik namanya.”

Sekali lagi sidanti mengerutkan keningnya. Sahutnya “Huh, wajah itu tak akan langgeng. Lihat, hampir setiap wajah laki-laki disini pasti ditandai goresan-goresan luka. Hudaya dikening dan pipinya. Citra Gati dibelakang telinga kiri dan hidungnya. Sonya dipelipis kanan dan dahinya. Patra dibahunya. Belum lagi yang tertutup oleh pakaian-pakaian mereka. Bahkan Sendawa telah kehilangan sebelah matanya”.

Hampir segenap bulu Sekar Mirah berdiri “Ngeri” katanya. “Dan apakah pasti bahwa setiap wajah akan terluka. Wajahmu juga?”

“Itulah sebabnya aku berusaha untuk dapat melindungi tubuhku dengan kesaktian. Meskipun demikian pundakku tetap terluka. Untunglah tidak seberapa. Lalu, apalah kau sangka bahwa Sedayu itu mampu melindungi wajahnya yang tampan itu? Lihat, kalau sekali lagi Tohpati datang, pasti anak itu akan melawannya. Aku berani bertaruh, bahwa ia akan menjadi cacat”

Sekar Mirah mendengar kata-kata Sidanti dengan hati yang cemas. Benarlah seperti apa yang dilihatnya, hampir setiap laki-laki dipendapa rumahnya menderita cacat ditubuhnya, meskipun hanya goresan-goresan dikulitnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya “Apakah kalau orang yang menyebut dirinya Tohpati itu datang kembali, Agung Sedayu harus melawannya?”

“Itu adalah kehendaknya sendiri. Ia ingin menunjukkan kepada kita disini, bahwa kita disini adalah orang-orang yang tidak berarti baginya. Ternyata, kemarin ketika aku minta untuk menghadapi Macan Kepatihan itu, maka Sedayu menjadi sakit hati”.

Kini Sekar Mirah tidak bertanya-tanya lagi. Bahkan ia berkata “Kembalilah kepada kawan-kawanmu. Aku akan membantu orang-orang yang bekerja didapur”.

“Sekehendakmulah” sahut Sidanti. “Dan sekehendakkulah, apabila aku ingin tinggal disini”

“Ini rumahku” bantah Sekar Mirah sambil bertolak pinggang. Sidanti tertawa. Katanya “Baiklah. Aku harap bahwa aku akan tinggal dirumah ini pula”

“Huh” jawab Sekar Mirah sambil mencibirkan bibirnya. “Apakah hakmu”

“Tidak ada” sahut Sidanti.

Sekar Mirah tidak berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia pergi meninggalkan Sidanti dan menuju kedapur. Sidanti mengawasi gadis itu sampai hilang dibalik pintu. Tetapi tiba-tiba saja anak muda itu menarik keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia bergumam “Sedayu harus disingkirkan dari rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Tetapi aku tak punya alasan untuk melakukannya. Mudah-mudahan Tohpati segera datang kembali. Aku ingin melihat, apakah aku berada dibawahnya atau setidak-tidaknya menyamainya”. Sidanti menarik nafas, dan terdengar bergumam terus “Sayang ia kemenakan kakang Widura. Tetapi kakang Widura itu sendiri tidak lebih daripada aku”.

Sidanti itupun kemudian berlahan-lahan melangkah pergi. Ia berjalan melingkari gandok wetan, kemudian sampailah ia disisi pendapa. Dilihatnya beberapa orang kawannya sedang berbaring dengan nyamannya dibawah pohon sawo. Tetapi ia tidak pergi kesana. Anak muda itu langsung naik kependapa, berjalan kesudut dan diraihnya senjatanya yang terbungkus kain putih dan tersangkut didinding. Kemudian sambil duduk disudut pendapa itu, Sidanti menggosok tangkai senjatanya dengan angkup keluwih. Hati-hati seperti seorang pemuda membelai rambut kekasihnya.

Demikianlah maka sejak hari itu Agung Sedayu mencoba bergaul dengan anak buah Widura. Beberapa orang bersikap sedemikian homat kepadanya, sehingga Agung Sedayu menjadi sangat canggung karenanya. Hanya Sidanti sajalah yang bersikap acuh tak acuh kepada anak muda itu. Sekali-sekali ia bertanya juga, namun kemudian lebih baik ia membelai nenggalanya, Kiai Muncar, daripada bergaul dengan Agung Sedayu. Apalagi sikap canggung Agung Sedayu benar-benar tak menyenangkannya. Sikap itu dirasakan oleh Sidanti sebagai sikap yang sombong.

Sore itu ketika Agung Sedayu pergi keperigi dibalakang rumah, dijumpainya Sekar Mirah sedang menjinjing kelenting. Gadis itu terkejut dan berdebar-debar. Dengan hormatnya ia menyapa “Selamat sore tuan”.

Agung Sedayu mengangguk pula sambil menjawab singkat “Selamat sore”. Tetapi kemudian ia berjalan terus.

Sekar Mirah mengawasinya pada punggungnya. Sekali ia menarik nafas, sambil bergumam “Benar juga kata orang, anak muda itu sangat pendiam”.

Meskipun demikian Sekar Mirah yang baru saja melihat Sedayu itu, mempunyai kesan yang aneh. Gadis itu, sebelumnya senang bergaul dengan Sidanti, karena tidak ada orang lain yang lebih sesuai dengan dirinya dalam pergaulannya selain anak itu. Namun tak pernah ia merasakan sesuatu yang mendebarkan jantungnya. Setiap hari ia bertemu, bercakap bahkan bergurau dengan Sidanti. Bahkan pernah juga Sekar Mirah bertanya-tanya kepada dirinya, apakah Sidanti itu benar-benar menarik hatinya. Namun ia tak pernah menemukan jawaban.

“Kenapa aku ributkan anak muda itu” katanya didalam hati. “Biarlah ia berbuat sesuka hatinya. Pendiam, pemurung atau apa saja”. Dan Sekar Mirah kemudian mencoba melupakan kesan itu sedapat-dapatnya.

Pada malam itu, setelah kademangan Sangkal Putung menjadi sepi, maka Widura yang belum juga tertidur, membangunkan Agung Sedayu perlahan-lahan. Ada sesuatu yang akan disampaikan kepada kemenakannya. Sesuatu yang tak boleh diketahui oleh orang lain. Sikap anak buahnya kepada Agung Sedayu, sejak permulaan telah keliru. Dengan demikian kedudukan Agung Sedayu benar-benar dalam kesulitan. Mereka menganggap Agung Sedayu, adik Untara itu, setidak-tidaknya akan dapat menentramkan hati mereka, apabila Tohpati datang kembali. Karena itu, apabila benar demikian, apakah jadinya Agung Sedayu itu? Sebelum ia bertemu dengan Macan Kepatihan ia pasti sudah mati ketakutan.

Ketika Agung Sedayu membuka matanya, maka dilihatnya pamannya duduk disampingnya. Sambil menggosok matanya, Agung Sedayu bangkit duduk dimuka pamannya.

“Sedayu” bisik Widura, “Marilah ikut aku”.

“Kemana paman?” bertanya Sedayu terkejut.

“Marilah. Setiap malam aku berkeliling kademangan, melihat gardu-gardu peronda”.

“Apakah paman ingin aku ikut berkeliling?” Sedayu menjelaskan.

Widura mengangguk, “Ya, kita berdua”.

“Berdua?” Sedayu semakin terkejut.

“Jangan takut Sedayu. Kita berada dalam lingkaran kita sendiri. Penjagaan di kademangan ini sedemikian ketatnya, sehingga seorang asingpun tak akan dapat memasuki”.

“Kalau demikian, apa gunanya paman berkeliling?”

“Melihat, apakah tugas-tugas itu dilakukan dengan baik. Kalau tidak, jangankan seorang, bahkan seluruh laskar Tohpati akan dapat masuk tanpa kita ketahui”.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah sebabnya pamannya membawanya serta. Pekerjaan itu sama sekali tidak menarik hatinya. Dalam malam yanag sedemikian gelapnya, berjalan menyusuri jalan-jalan desa, jalan-jalan yang sempit dan sunyi. Apalagi setiap saat mereka akan dapat berjumpa dengan bahaya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menolak ajakan itu. Dengan hati yang berat, ia menggeliat, kemudian berdiri dan membenahi pakaiannya.

“Bawalah kerismu, Sedayu” kata pamannya.

Agung Sedayu terkejut. Teringatlah ia kepada kakaknya. Pada saat mereka meninggalkan Jati Anom, kakaknya itu berkata juga kepadanya, seperti pamannya itu.

Dan tiba-tiba saja Sedayu bertanya “Kenapa aku harus bersenjata? Apakah kita akan bertempur?”

Pamannya tersenyum, namun hatinya mengeluh melihat kecemasan diwajah kemenakannya. Jawabnya “Kita adalah laki-laki. Didaerah yang gawat seperti Sangkal Putung setiap laki-laki harus bersenjata”.

Agung Sedayu tidak menjawab, hanya debar jantungnya menjadi semakin cepat. Dengan ragu-ragu diraihnya kerisnya dari pembaringan pamannya dan kemudian diselipkannya diikat pinggangnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak tahu pasti, apakah ia akan dapat menggunakannya.

Mereka berduapun segera melangkah keluar. Dipendapa mereka melihat beberapa orang berbaring tidur dengan nyenyaknya. Sidanti, yang tidur disudut, sudah tidak gelisah lagi. Agaknya lukanya telah berangsur baik. Widura melihat anak muda itu sambil mengerutkan keningnya. Tenaga Sidanti benar-benar diperlukannya. Namun sifat-sifatnya agak kurang menyenangkan. Tinggi hati, bahkan agak sombong dan kurang patuh pada perintah-perintahnya. Mungkin anak itu merasa, bahwa di Sangkal Putung itu tak seorangpun yang dapat menyamai kesaktiannya. Bahkan Widura sendiri agaknya tidak melebihinya.

Mereka berdua kemudian melintas dihalaman. Ketika mereka sampai diregol, beberapa orang penjaga menganggukkan kepalanya sambil bertanya “Apakah kakang Widura akan pergi berkeliling?”

“Ya” sahut Widura

“Siapakah diantara kami yang akan kakang bawa?” bertanya mereka pula.

Widura menggeleng, sahutnya “Tidak ada. Kami akan pergi berdua”

Agung Sedayu menjadi heran. Kenapa pamannya tidak membawa serta beberapa orang teman? Apakah itu tidak terlalu berbahaya? Tetapi ia tidak bertanya. Betapapun Sedayu masih juga merasa malu seandainya orang-orang lain mengetahui betapa kecil jiwanya.

Ketika Widura dan Agung Sedayu telah hilang tenggelam dalam malam yang gelap, terdengar salah seorang penjaga regol itu bergumam “Kakang Widura telah membawa kemenakannya. Itu berarti, bahwa ia telah pergi bersama lima enam orang dari antara kita. Bahkan lebih”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan salah seorang dari mereka berkata “Anak muda itu sangat pendiam”

“Demikianlah agaknya” sahut yang lain. “Orang yang yakin akan dirinya, biasanya tidak banyak ribut dan banyak bicara”

Orang diregol itupun kemudian berdiam diri, namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.

Widura dan Agung Sedayu berjalan menyusuri jalan-jalan desa yang disaput oleh hitamnya malam. Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya awan yang gelap mentakbiri langit. Sesaat-sesaat tampak lidah api seakan-akan menjilat ujung-ujung pepohonan dikejauhan.

Widura dan Agung Sedayu singgah dari satu gardu kegardu yang lain. Mereka melihat betapa anak buah Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung bersiaga, sebab mereka menyadari, bangkit atau tenggelam, kademangan Sangkal Putung itu berada ditangan mereka.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menenangkan dirinya. Setiap kali ia selalu cemas, apakah tidak mungkin seorang, dua orang atau lebih, mengendap diparit-parit atau dibelakang gerumbul-gerumbul, dan dengan tiba-tiba menyergap mereka. Namun ia tidak berani bertanya kepada pamannya.

Sampai diujung desa, Widura masih berjalan terus. Mereka kini lewat dijalan diantara bentangan sawah yang luas. Meskipun jarak jangkau pandangan mata mereka tidak dapat menembus malam yang kelam, namun mereka melihat juga batang-batang padi yang rimbun.

Hati Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin cemas, sejalan dengan jarak mereka yang semakin jauh dari induk desa Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia tidak dapat menahan kekhawatirannya, sehingga ia terpaksa bertanya “Kemanakah kita ini paman?”

“Jangan takut Sedayu. Desa didepan, masih dirondai oleh kawan sendiri “ jawab pamannya.

Agung Sedayu terdiam, namun detak jantungnya menjadi semakin deras. Desir angin yang menggerakkan batang-batang padi terdengar seperti suara hantu yang merintih-rintih.

Agung Sedayu terkejut ketika pamannya berkata “Kita belok kekanan Sedayu, lewat pematang”

Sebelum Agung Sedayu menjawab, Widura telah meloncati parit. Karena itu tak ada yang dapat dilakukan oleh anak muda itu selain mengikutinya dibelakang.

Sesaat kemudian mereka berdua sampai pada suatu bentangan tanah lapang yang sempit. Sebuah puntuk kecil yang ditimbuhi oleh batang-batang ilalang dan sebuah pohon kelapa sawit. Bulu-bulu tengkuk Agung Sedayu mulai meremang. Daerah ini tampak sepi. Terlalu sepi dan menakutkan.

“Sedayu” berkata Widura perlahan-lahan. “Puntuk inilah yang dinamai orang Gunung Gowok”

Seluruh wajah kulit Agung Sedayu terasa seakan-akan berkeriput. Nama itu mengingatkannya kepada sebuah cerita tentang Kiai Gowok.

Kiai Gowok menurut pendengarannya adalah semacam hantu yang berparas tampan. Meskipun ia tidak suka mengganggu orang namun kadang-kadang memerlukan sekali-sekali menemui gadis-gadis cantik. Karena itu tiba-tiba ia melangkah mendekati pamannya.

Pamannya melihat, batapa Agung Sedayu menjadi takut mendengar nama puntuk itu, maka katanya “Jangan hiraukan cerita tetek bengek tentang puntuk itu”

Agung Sedayu tidak menjawab. Sedang pamannya berkata terus “Sedayu, bersiaplah. Kita mengadakan latihan untukmu”

Agung Sedayu menjadi heran. Latihan apakah yang dimaksud oleh pamannya. Apakah ia harus melatih diri, untuk tidak takut dengan cerita-cerita tentang hantu. Dan didengarnya pamannya meneruskan “Sedayu, kau harus menyadari keadaanmu. Hampir setiap orang di Sangkal Putung menganggapmu sebagai seorang pahlawan. Mereka menyangka bahwa kau memiliki kesaktian dan ilmu tata bela diri setidak-tidaknya mendekati kakakmu Untara. Aku tidak tahu, apakah yang akan terjadi seandainya pada suatu kali kau terpaksa terlibat dalam suatu perkelahian dengan siapapun. Apalagi kalau Tohpati itu datang kembali. Sedang orang-orang di Sangkal Putung menyangka kau pasti akan mampu melawannya. Karena itu, belajarlah berbuat, berpikir dan bersikap seperti seorang laki-laki”.

Terasa denyut nadi Agung Sedayu menjadi semakin cepat. Kata-kata pamannya itu benar-benar mendebarkan jantungnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang harus dikatakannya. Ketika ia tidak segera menjawab, pamannya berkata terus “Apa yang akan aku lakukan, adalah mencoba menambah kepercayaanmu kepada dirimu. Marilah kita berlatih. Untuk seterusnya setiap malam kita berlatih disini. Supaya apabila suatu ketika, kau harus berbuat seperti laki-laki sewajarnya, ada bekalmu meskipun sedikit. Seterusnya, kalah atau menang, tidak menjadi soal. Kalau kita mati dalam pertempuran nama kita akan tetap dikenang. Tatapi kalau kita lain daripadanya, maka nama kita akan senilai dengan daun-daun kering yang diterbangkan angin”

Debar didada Agung Sedayu menjadi semakin keras. Kembali ia mengeluh. Ia merasa, bahwa kedatangannya di Sangkal Putung, benar-benar seakan-akan terjerumus kedaerah yang sama sekali tak menyenangkan. “Kalau kakang Untara malam itu tidak menjerumuskan aku keneraka ini” gumamnya didalam hati “Kenapa kakang Untara meributkan laskar paman Widura disini? Apakah kalau aku tidak datang kemari, Sangkal Putung ini benar-benar akan dihancurkan oleh Macan Kepatihan?”

Tetapi Agung Sedayu tidak sempat berangan-angan lebih panjang lagi. Dilihatnya pamannya menyingsingkan lengan bajunya, menarik ujung kainnya dan disisipkannya kebelakang. “Bersiaplah Sedayu. Aku tahu bahwa kakakmu pernah memberimu dasar-dasar latihan. Sekarang kita lihat, sampai dimana kau pernah memilikinya”

Dengan segannya, Agung Sedayu pun mempersiapkan diri. Sebenarnya ia pernah menerima beberapa pengetahuan tata bela diri dari kakaknya. Dan kini, mau tak mau ia harus mempergunakannya. Pamannya agaknya akan mempergunakan cara yang langsung dalam latihan ini. Dan ternyata dugaan itu benar. Pamannya tidak menuntunnya, mempelajari unsur demi unsur, namun Widura itu langsung melihat Agung Sedayu dalam latihan bertempur.

“Awas Sedayu” berkata pamannya. Dalam pada itu Widura pun telah meloncat sambil menyerang dada.

Agung Sedayu terkejut. Cepat ia mengendapkan diri. Tangan Widura itupun melayang beberapa jengkal diatas kepalanya.

“Paman!” teriak Sedayu ”Jangan terlalu keras”

Langkah Widura terhenti. Dengan heran ia bertanya “Apa yang terlalu keras?”

“Paman menyerang bersungguh-sungguh” sahut Agung Sedayu

Pamannya menarik nafas, jawabnya “Tidak. Tetapi aku harus berbuat seakan-akan sungguh-sungguh. Sebab dalam perkelahian kau tak adan dapat dengan rendah hati mohon agar lawan-lawanmu tidak bersungguh-sungguh”

Sekali lagi debar dijantung Sedayu menjadi bertambah cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah pamannya itu. Karena itu kembali ia bersiap. Melakukan latihan adalah jauh lebih baik dari bertempur yang sebenarnya. Ketika pamannya menyerang sekali lagi, Agung Sedayu pun mengelak pula, dengan satu loncatan ia membebaskan dirinya. Tetapi Widura tidak berhenti. Dengan cepat ia berputar, dan serangannya beruntun menyambar Agung Sedayu.

Gerakan itu tidak begitu sulit untuk dielakkan. Kakaknya pernah juga berbuat seperti pamannya itu. Satu kali Agung Sedayu melangkah kesamping, kemudian dengan menarik satu kakinya terbebas dari serangan tangan pamannya yang mengarah pundaknya. kemudian Widura memutar kakinya mendatar setinggi lambung, Sedayupun mencondongkan tubuhnya kebelakang sehingga kaki pamannya itu lewat beberapa jengkal dari tubuhnya.

Tetapi Widura tidak berhenti menyerang. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Namun Agung Sedayu masih juga mampu mengelak. Selangkah demi selangkah ia melangkah surut untuk menghindarkan serangan-serangan pamannya. Sehingga akhirnya terdengar pamannya berkata “Apakah kau hanya belajar menghindar saja? Coba bagaimana kakakmu mengajarmu menyerang”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Gerak pamannya tidak jauh berbeda dari kakaknya. Keduanya bersumber dari ilmu ayahnya. Karena itu Sedayu tidak begitu sulit melayani pamannya. Kini pamannya minta, agar sekali-sekali ia menyerangnya juga. Dan permintaan itupun dipenuhinya. Karena itu latihan itu menjadi semakin cepat. Agung Sedayu benar-benar mengherankan pamannya. Ternyata gerakan-gerakan yang dilakukan bukanlah gerakan-gerakan yang sederhana seperti anak-anak muda yang sedang menerima dasar-dasar ilmu bela diri. Tetapi Agung Sedayu telah memilikinya agak lengkap, meskipun karena kurang penggunaannya, maka sekali-sekali tampak juga anak muda itu kurang dapat memanfaatkan beberap unsur yang bagus sekali.

“Hem” desah pamannya didalam hati. “Anak ini bukan anak yang bodoh. Sayang, lingkungannya pada masa kanak-kanak telah membentuknya menjadi seorang pengecut”. Tetapi angan-angan itu patah, ketika Widura mendengar suara tertawa disamping mereka. Suara yang bernada tinggi melengking, meskipun tidak terlalu keras.

Agung Sedayu terkejut bukan kepalang. Yang mulai melintas dikepalanya adalah Macan Kepatihan. Karena itu, ketika ia melihat pamannya memutar tubuhnya dengan kesiagaan penuh, segera ia meloncat berlindung dibelakangnya.

Ketika mereka berdua memandang kearah suara itu, mereka melihat samar-samar seseorang bersandar pohon kelapa sawit diatas puntuk kecil yang mempunyai nama besar, Gunung Gowok.

Widura masih tegak seperti patung. Dipandanginya orang yang bersandar pohon kelapa sawit itu dengan wajah yang tegang. Meskipun demikian Widura melangkah beberapa langkah maju sambil bertanya “Siapakah kau?”

Agung Sedayu yang juga dengan berdebar-debar ikut pula maju beberapa langkah berbisik dengan suara gemetar “Apakah itu Macan Kepatihan?”

Widura tidak mendengar pertanyaan itu. Karena itu ia tidak menjawab. Namun sekejappun ia tidak meninggalkan kewaspadaan.

Orang yang bersandar itu masih juga bersandar. Widura yang melangkah mendekatinya itu sama sekali tak diperhatikannya. Suara tertawanya yang bernada tinggi itu bahkan terdengar kembali.

“Siapakah kau” Widura mengulangi pertanyaannya.

Suara tertawa itupun kemudian menjadi semakin lirih. Dan terdengarlah orang itu berkata “Latihan yang bagus”

Widura menjadi semakin bercuriga. Dengan hati-hati ia melangkah maju pula. Tangannya telah melekat dihulu pedangnya. Katanya “Jangan menggangu kami. Katakanlah siapakah kau supaya aku dapat mengambil sikap”

Orang itupun kemudian berdiri tegak. Beberapa langkah ia maju mendekati Widura. Sehingga akhirnya mereka dapat saling melihat wajah masing-masing.

Ketika Widura melihat wajah orang itu, mula-mula ia terkejut. Wajah itu tampak seputih mayat. Namun kemudian Widura menyadarinya, orang itu telah menutup wajah aslinya dengan sebuah topeng yang berwarna kekuning-kuningan.

Series 3

“Nah, katakan, siapa engkau?” ulang Widura.

Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada Agung Sedayu. “Sedayu, apakah yang sedang engkau kerjakan? Apakah kau sedang melatih orang ini?”

Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu. Ternyata orang itu telah mengenal Agung Sedayu. Namun karena itu, segera Widura pun mengenalnya, orang itulah agaknya yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Karena itu kembali ia bertanya “Apakah kau yang menamakan dirimu Kiai Gringsing?”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Darimanakah kau tahu bahwa aku bernama Kiai Gringsing? Apakah gurumu itu telah memberitahukannya kepadamu?”

Sekali lagi dada Widura berdesir. Orang itu menganggapnya murid Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun segera mengenal bahwa orang itulah yang dahulu pernah menemuinya di Bulak Dawa. Suaranya dan caranya berkerudung kain gringsing, meskipun topengnya bukan topeng yang dipakainya itu. Karena itu tanpa disadarinya, ia menjadi gembira. Ternyata Agung Sedayu tidak takut lagi kepada Kiai Gringsing. Sejak pertemuannya yang pertama orang itu tidak bermaksud jahat kepadanya. Maka Sedayupun segera melangkah maju sambil berkata “Benarkah kau Kiai Gringsing yang di Bulak Dawa itu?”

Kiai Gringsing mengangguk, jawabnya “Tentu, tak ada dua tiga Kiai Gringsing”

Tiba-tiba Sedayu itupun teringat kepada orang yang pernah menamakan diri Kiai Gringsing pula di dukuh Pakuwon. Maka katanya “Tidak. Yang sudah aku ketahui, ada dua Kiai Gringsing. Yang lain adalah seorang yang sudah sangat tua dan bongkok”

Kiai Gringsing menggeleng, katanya “Jangan bergurau. Teruskan saja pekerjaanmu. Aku tidak akan mengganggu. Muridmu itu perlu segera mendapat tuntunan yang lebih berat. Agaknya ia murid yang cukup baik”

“Ah” desah Agung Sedayu. “Jangan berkata begitu. Itu adalah pamanku. Dan justru pamanku itu sedang mengajari aku, supaya aku mempunyai bekal dihari-hari mendatang”

Kiai Gringsing itupun tertawa berkepanjangan. Katanya “Kau benar-benar seperti almarhum ayahmu. Tetapi kau jangan terlalu merendahkan dirimu. Sekali-sekali kau perlu juga menunjukkan bahwa kau adalah putra Ki Sadewa”

“Itu adalah pamanku” Agung Sedayu mengulangi. Tetapi ketika ia akan meneruskan kata-katanya, terdengar Kiai Gringsing memotong “Aku sudah tahu. Orang itu adalah pamanmu. Bukankah ia bernama Widura? Dan bukankah ia adik ibumu? Apa salahnya kalau kau ajari orang itu satu dua unsur-unsur gerak keturunan dari Ki Sadewa? Menurut pengamatanku, Widura itupun pernah juga belajar selangkah dua langkah. Karena itu adalah menjadi kewajibanmu untuk menyempurnakan”.

Mendengar kata-kata itu, telinga Agung Sedayu menjadi merah. Ia takut kalau pamannya tersinggung karenanya. Maka katanya “Kiai, hidup matiku disini tergantung kepada paman. Jangan mempersulit keadaanku”

Sekali lagi Kiai Gringsing tertawa, terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya seakan-akan berguncang-guncang.

Widura masih tegak seperti patung. Ia mendengar semua percakapan itu. Meskipun ia terkejut dan heran, karena namanyapun telah diketahui pula, bahkan hubungan keluarganya, tetapi ia masih berdiam diri. Meskipun demikian, namun otaknya sedang bekerja dengan riuhnya. Dicobanya sekali lagi mengingat-ingat apa yang pernah dilihatnya di dukuh Pakuwon. Ketiga kuda yang diikutinya berjalan dari rumah Ki Tanu Metir kejurusan yang sama. Tiba-tiba Widura menemukan sesuatu. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia berkata “Baiklah Kiai Gringsing, aku tidak keberatan, apa saja yang kau katakan tentang kami berdua. Meskipun demikian, aku ingin bertanya kepadamu, dimanakah Untara dam Ki Tanu Metir? Agaknya kau benar-benar orang yang berpengetahuan luas. Kau kenal kemenakanku Agung Sedayu, kau sebut-sebut nama kakak iparku, dan akhirnya kau kenal namaku. Dengan demikian, adalah suatu kemungkinan pula, bahwa kau mengetahui dimana kemenakanku yang seorang itu”

Orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mengerutkan lehernya. Kemudian terdengar ia tertawa pendek. Jawabnya “Tentu. Tentu aku tahu semuanya. Untara kini menjadi salah seorang tamtama Pajang sedang yang kau maksud dengan Ki Tanu Metir itu adalah seorang tukang obat dari dukuh Pakuwon?”

“Jangan berpura-pura” potong Widura, “Kau tahu bahwa bukan itulah jawabnya”.

“He” Kiai Gringsing terkejut. “Aku adalah seseorang yang tahu semuanya. Apakah jawabku salah?”

“Jangan menyangka aku seorang kanak-kanak seperti Agung Sedayu “Sahut Widura. Tetapi Kiai Gringsing itu malahan tertawa berkepanjangan. Katanya “Hem, tentu. Baru beberapa hari kau menjadi murid Agung Sedayu? Kau tentu tak akan dapat dipersamakannya”

Semakin lama Widura menjadi semakin jengkel karenanya. Namun dicobanya mengendalikan dirinya, dan dicobanya bertanya pula “Kiai, katakanlah kepada kami, dimana Untara sekarang?”

“Kalau jawabku salah, maka aku tak tahu, dimana ia sekarang”

“Jangan bohong” potong Widura, ”Pada malam Untara hilang kau berada dirumah Ki Tanu Metir”

“He” Kiai Gringsing terkejut, dan Agung Sedayupun terkejut. Dari mana pamannya tahu, bahwa pada malam itu Kiai Gringsing berada dirumah Ki Tanu Metir. Dan ternyata Kiai Gringsing pun bertanya “Siapa yang berkata demikian?”

“Aku” jawab Widura.

“Kau menyangka yang bukan-bukan. Atau barangkali kau berangan-angan terlalu jauh”

“Tidak. Bukankah kau telah memberi Agung Sedayu seekor kuda?”

“Ya”

“Dari mana kau dapat kuda itu?”

“Kudaku sendiri. Kenapa? Apakah kudamu hilang?”

“Dengar Kiai. Aku telah mencoba mengikuti jejak kuda yang datang dan yang pergi. Tiga ekor kuda telah meninggalkan halaman rumah Ki Tanu Metir. Dan ketiga-tiganya menuju Sangkal Putung. Disepanjang jalan tak ada telapak kuda yang meninggalkan jalan itu pula. Tiga Kiai. Hitunglah, yang pertama kuda Agung Sedayu, yang lari itu. Yang kedua kuda Alap-alap Jalatunda dan yang ketiga adalah kuda yang kemudian dipakai oleh Sedayu pula. Kudamu, yang keluar dari kandang kuda Ki Tanu Metir.”

Kiai Gringsing masih tertawa. Jawabnya “Kau senang mengotak-atik Widura. Tetapi ternyata pengamatanmu kurang baik. Apakah kau telah mengamati tepi jalan sepanjang yang kau lampaui. Bagaimanakah kalau aku masuk ketika jalan itu dengan melompati pagar, atau muncul dari regol-regol halaman sepanjang jalan?”

Widura menarik nafas “Memang mungkin” sahutnya “Tetapi itu tidak akan kau lakukan. Nah sekarang Kiai, aku minta tunjukkan anak itu.”

“Jangan ribut Widura. Berlatihlah supaya kau benar-benar menjadi seorang pemimpin yang sakti. Biarlah aku melihat dan tidak mengganggu. Jangan ributkan Untara itu. Aku tidak tahu.” Berkata Kiai Gringsing.

Widura adalah seorang perwira tamtama. Karena itu maka adalah menjadi kebiasaannya untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan cepat. Karena itu, ia menjadi marah mendengar perkataan Kiai Gringsing yang melingkar-lingkar itu. Katanya “Kiai, jangan bergurau seperti anak-anak. Dimana Untara itu? Kalau tidak aku akan menangkapmu dan melihat, siapakah kau sebenarnya”.

“He” kembali Kiai Gringsing terkejut. Sedayupun menjadi terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat pamannya itu maju selangkah dengan wajah yang tegang.

“Kenapa kau akan menangkap aku?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah hakmu?”

“Aku berhak melakukan segala tindakan, untuk keselamatan Pajang.”

“Apakah hubunganku dengan keselamatan Pajang?”

“Kau tahu dimana Untara, salah seorang perwira tamtama Pajang yang kini tenaganya sangat diperlukan.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukan kepalanya, Kemudian pada Sedayu ia berkata “Sedayu, apakah kau dapat mencegah muridmu itu?”

Agung Sedayu manjadi bingung. Namun ia sebenarnya menjadi sangat takut kalau pamannya benar-benar akan menangkap Kiai Gringsing. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa. Yang terdengar kemudian adalah geram Widura “Minggirlah Sedayu, Biarlah orang ini aku tangkap. Mungkin ada banyak keterangan-keterangan yang dapat dikatakannya, dan dengan demikian wajahnya akan segera kita kenal.”

“Sedayu” berkata Kiai Gringsing dengan nada kecemasan “Apakah kau dapat mencegah muridmu itu?”

Tetapi Widura tidak memperdulikannya lagi. Cepat ia melompat untuk menangkap lengan Kiai Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing itupun melangkah surut, sehingga Widura tidak berhasil menangkapnya. Tetapi Widura tidak membiarkannya lari, karena itu segera Kiai Gringsing dikejarnya. Kiai Gringsing itupun berlari berputar-putar diantara batang-batang ilalang. Berloncatan dari batu-batu bahkan melingkar-lingkar pohon kelapa sawit. “Kenapa kau kejar-kejar aku?”

Widura benar-benar menjadi marah. Karena itu ia berteriak “Kiai Gringsing, aku dengar kau pernah bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti keledai yang bodoh.”

“Jangan tangkap aku” katanya.

“Kiai, nama seorang bertopeng dan berkain Gringsing mulai terkenal di daerah ini, nah pertahankan nama itu. Aku tidak akan mengejarmu lagi, tetapi aku akan menyerangmu.”

“Paman” potong Agung Sedayu yang menjadi semakin cemas.

Tetapi pamannya tak mendengarnya. Kini ia tidak mengejar lagi, dengan satu loncatan panjang Widura langsung menyerang Kiai Gringsing. Kiai Gringsing itupun kini tidak berlari-lari lagi.

Ketika Widura langsung menyerangnya, segera ia mengelakkan diri sambil berkata “Aku tidak pernah merasa mempunyai persoalan dengan kau Widura. Tetapi kenapa kau menyerang aku?”

Widura tidak menjawab, tetapi ia menyerang kembali dengan garangnya.

Kiai Gringsing masih saja mengelak dan menghindar. Kemudian terdengar ia berkata pula “Widura, kalau kau marah, maka aku tak akan mengganggumu, baiklah aku minta maaf. Aku akan pergi. Tetapi jangan menangkap aku.”

Widura masih tidak mau mendengarnya. Ia benar-benar ingin menangkap orang bertopeng itu. Sebab menurut perhitungannya, Kiai Gringsing benar-benar mengetahui dimana Untara dan Ki Tanu Metir. Apabila tidak, setidak-tidaknya maka ia akan dapat mengenali siapakah sebenarnya orang yang bertopeng itu.

Agung Sedayu, yang melihat pamannya benar-benar menyerang Kiai Gringsing, menjadi semakin cemas. Diam-diam ia berdoa didalam hatinya, mudah-mudahan pamannya tidak dapat menangkap orang bertopeng itu. Ia sendiri tidak mengetahuinya, kenapa tiba-tiba saja mencemaskan nasib orang yang tidak dikenalnya itu.

Widura yang marah itu menjadi semakin marah. Karena itu, ia kini benar-benar berusaha dengan sekuat tenaganya. Setiap kali Kiai Gringsing menghindar, maka menyusullah serangan-serangannya berturut-turut. Bahkan kemudian gerakan Widura itu menjadi semakin berat melingkar serta seperti angin pusaran ia melibat Kiai Gringsing.

Akhirnya Kiai Gringsingpun menjadi semakin sulit. Ia tidak dapat menghindar dan menghindar terus. Ketika serangan Widura manjadi semakin cepat maka keadaannya manjadi semakin berat. Karena itu sekali lagi ia berkata “Widura, apakah kau betul-betul akan menangkap aku?”

“Sudah aku katakan” jawab Widura.

“Sekali lagi aku minta, urungkan niatmu” pinta Kiai Gringsing.

Tetapi Widura sama sekali tidak mau mendengar permintaan itu. Bahkan ia mendesak terus dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi.

“Hem” terdengar kemudian Kiai Gringsing menggeram “Baiklah. Kau ingin mengertahui siapakah Kiai Gringsing itu seperti Agung Sedayu juga, ingin mengetahui unsur-unsur gerak yang akan aku pergunakan, sehingga ia memaksaku untuk bertempur melawan Alap-alap Jalatunda.”

Widura tidak menjawab. Serangan-serangannya bahkan semakin membadai. Namun kini agaknya Kiai Gringsing tidak hanya menghindar terus. Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan dengan suatu gerakan yang cepat sekali, orang itu berputar diudara. Ketika ia menggeliat, maka disentuhnya punggung Widura. Sentuhan itu terasa seakan-akan sebuah dorongan yang sangat kuat, sehingga Widura terhuyung-huyung beberapa langkah maju. Untunglah bahwa Widura adalah seorang perwira yang telah mengalami berpuluh-puluh pertempuran. Sehingga dengan tangkasnya ia berhasil menghindarkan diri dari kemungkinan terjerumus mencium batang-batang ilalang liar yang bertebaran dilapangan yang sempit itu.

Namun meskipun demikian, betapa Widura menjadi sangat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Lebih dari itu, terasa, bahwa kekuatan Kiai Gringsing itu benar-benar menakjubkan. Tetapi meskipun demikian, Widura, seorang prajurit dalam tugas-tugas keprajuritannya, tidak segera bercemas hati. Ia memang merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak mengurungkan niatnya. Bahkan Widura itu kini telah mengerahkan segala kemampuannya. Dengan cepatnya ia menyerang dan menyerang terus beruntun. Tetapi serangan-serangannya, apalagi menjatuhkan lawannya, menyentuhpun tidak. Kiai Gringsing benar-benar mampu bergerak secepat geraknya, bahkan ternyata kemudian bahwa kecepatan bergerak orang yang bertopeng itu dapat melampauinya. Ketika kemudian Kiai Gringsing itu mempertahankan dirinya dan sekali-sekali menyerang juga, terasa, bahwa orang yang bertopeng itu benar-benar aneh.

Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin cepat. Widura kini telah benar-benar mempergunakan ilmunya yang paling tinggi yang dimilikinya. Karena itu, maka geraknyapun menjadi semakin garang dan cepat. Kedua tangannya bergerak-gerak menyerang kesegenap tubuh lawannya. Sedang kedua kakinya yang kokoh itu sekali dipergunakannya untuk meloncat-loncat namun tiba-tiba tumitnya manyambar lambung.

Namun betapa ia berjuang, tetapi ia menyadarinya, bahwa apabila demikian untuk seterusnya, pekerjaannya tidak akan selesai. Karena itu, maka meskipun ia tidak berhasrat membunuh lawannya, namun ia ingin mempengaruhinya dan kemudian melemahkan perlawanannya. Ketika mereka menjadi semakin cepat bergerak tiba-tiba Widura melangkah surut, dan tiba-tiba pula ditangannya telah tergenggam pedangnya. Pedang yang besar dan tak begitu tajam, namun runcing ujungnya malampui ujung jarum.

Kiai Gringsing terkejut melihat pedang itu, karena itu iapun meloncat mundur. Bahkan Agung Sedayu yang mengikuti perkelahian itu dengan ketegangan didalamnya terkejut pula. Apakah pamannya benar-benar akan bertempur mati-matian?

Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing “Widura, apakah kau akan membunuh aku?”

“Tidak” sahut Widura. “Sudah aku katakan, aku ingin menangkapmu”

“Kenapa dengan pedang?”

“Aku tidak dapat menangkapmu tanpa senjata. Kau mampu bergerak selincah sikatan. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melawan, supaya aku tidak melukaimu”

“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. “Jangan main-main dengan senjata Widura, senjata adalah lambang dari kematian. Kematian lawan atau kematian diri sendiri. Karena itu, sarungkan senjatamu. Kita bermain-main kembali. Apakah kau sudah lelah?”

Widura mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa kelebihan lawannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa nafas Kiai Gringsing itu masih segar, sesegar pada saat dilihatnya untuk pertama kalinya.

“Gila” umpat Widura didalam hatinya. “Apakah orang ini mempunyai nafas rangkap, atau memiliki sarang angin didalam dadanya, sehingga nafasnya tak akan mengganggu”

Namun meskipun demikian, ia sudah bertekad, menangkap orang itu, orang yang banyak menyimpan teka-teki didalam dirinya. Karena itu Widura tidak menyarungkan pedangnya. Bahkan ia melangkah maju sambil mengacungkan pedangnya kedada Kiai Gringsing. Katanya “Kiai, jangan memaksa aku mempergunakan pedangku. Ikutlah aku, dan tanggalkan topengmu itu supaya aku dapat mengenal wajahmu”.

Kiai Gringsing masih tegak ditempatnya, seakan-akan kakinya jauh menghunjam kepusat bumi. Dipandangnya Widura dengan seksama, seakan-akan ingin dilihatnya isi dadanya.

Tetapi sesaat kemudian ia berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya sambil tertawa “Sedayu, apakah orang ini sudah kau ajari memegang senjata?”

Dada Agung Sedayu berdesir, dan jantung Widura pun berguncang. Ia tidak menyangka bahwa Kiai Gringsing itu memandangnya seperti kanak-kanak yang sedang merajuk. Karena itu Widura itupun menggeram “Kiai, aku sependapat dengan kau bahwa senjata adalah lambang dari kematian. Karena itu, jangan mempersulit keadaan. Aku ingin menangkapmu hidup-hidup sebab aku inginkan beberapa keterangan darimu. Tetapi kalau kau mati karena pokalmu yang aneh-aneh itu, jangan menyesal”

Hem” Kiai Gringsing menarik nafas “Kau benar-benar marah Widura?”

Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Dan akhirnya Widura pun menjadi bingung memandang kedirinya sendiri. Apakah ia sedang marah atau karena sekedar didorong oleh keinginan-keinginan yang meluap-luap untuk segera memecahkan teka-teki tentang hilangnya Untara. Tetapi ketika ia melihat topeng Kiai Gringsing yang pucat seperti mayat itu, tiba-tiba saja ia menggeleng “Tidak” jawabnya. “Aku tidak sedang marah. Tetapi aku sedang mengemban kewajiban. Sekarang aku sedang berusaha untuk menangkapmu, karena itu adalah salah satu dari kewajibanku pula”

“Baik” sahut Kiai Gringsing “Aku senang bahwa kau tidak sedang marah. Adalah berbahaya sekali senjata ditangan orang yang sedang marah. Kalau kau mau bertempur, marilah. Tetapi kita bertempur tanpa kemarahan dihati. Kata orang, kemarahan akan mempersempit otak kita. Dan senjata ditangan kita akan menjadi kabur kegunaannya”

Widura mengerutkan keningnya. Katanya “Hem. Kau takut kalau karena kemarahanku, aku membunuhmu”

Kiai Gringsing tertawa. Dan jawabnya mengherankan Widura “Mungkin. Aku memang takut mati. Mati tanpa arti. Tetapi kalau kau yang mati, maka kau mati dalam pelukan kewajiban. Nah, apakah tidak lebih baik, kau saja yang mati supaya kau disebut pahlawan”.

“Jangan mengigau, bersiaplah!” bentak Widura.

“Aku sudah siap. Aku dapat bertempur sambil tersenyum. Apakah orang yang sedang bertempur pasti harus berwajah tegang seperti tambang? Bukan kita bertempur tanpa kemarahan dihati?”

Widura tidak menunggu kata-kata Kiai Gringsing itu berakhir, tiba-tiba saja menggerakkan pedangnya mengarah kedada lawannya. Namun sekali lagi ia terkejut. Kiai Gringsing itu sama sekali tidak bergerak, sehingga pedang itu benar-benar akan menghunjam kedadanya. Tetapi justru karena itu, Widura segera menarik serangannya dan berteriak “Hei Kiai. Apakah kau sedang membunuh diri?”

Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak” jawabnya. “Aku hanya ingin tahu, apakah kau akan membunuh orang yang tidak bersenjata?”

“Oh” Widura tersadar dari ketergesa-gesaannya. Ia adalah seorang perwira tamtama yang biasa bertempur dalam kelompok yang besar, yang tidak pernah bertanya apakah lawannya bersenjata atau tidak. Tetapi dalam perkelahian seorang lawan seorang adalah wajar apabila keadaannya harus berimbang. Dengan demikian, masing-masing tidak meninggalkan kejantanan dan kejujuran.

“Ambillah senjatamu” teriak Widura jengkel.

“Bagus” jawab Kiai Gringsing. Kedua tangannyapun segera bergerak, mengambil sesuatu dari balik kain gringsingnya. Cambuk kuda.

“Gila” geram Widura. “Adakah itu senjatamu?”

“Kenapa? Ini adalah senjataku. Dengan senjata ini pula aku bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Ayo, mulailah”

Widura menjadi semakin tidak mengerti menghadapi orang aneh ini. Meskipun demikian ia bersiap pula. Tetapi kini nafsunya untuk bertempur telah jauh berkurang. Bahkan tiba-tiba ia mengumpat tak habis-habisnya didalam hatinya.

“Widura” berkata Kiai Gringsing pula “Aku akan mempergunakan senjataku pada ujung dan pangkalnya. Aku memegangnya ditengah-tengah. Awas, lawanlah dengan pedangmu”

Sekarang Kiai Gringsinglah yang mendahului menyerang. Widura terkejut. Ia mengelak kesamping dan dengan gerak naluriah, pedangnyapun berputar dan membalas serangan itu dengan serangan pula. Kini keduanya bertempur pula dengan cepatnya. Kiai Gringsing itu mempergunakan senjata anehnya dengan cara yang aneh pula. Tiba-tiba orang bertopeng itu berteriak nyaring “Nah, kau dapat aku kenai Widura”

Terasa sesuatu menyengat pundaknya. Meskipun yang mengenai itu ternyata hanya ujung cambuk kuda, namun sakitnya bukan kepalang. Sehingga Widura itu melontar surut.

“Nah, bayangkan, bagaimanakah kira-kira kalau senjataku ini berujung runcing seruncing senjatamu atau seruncing Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi”

Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi adalah senjata Sidanti. “Ah” gumamnya “Ia hanya ingin mencari persamaan” pikirnya. “Tetapi” katanya pula didalam hatinya, “Kenapa ia sengaja memegang senjatanya dengan cara yang aneh itu?”

Tetapi Widura tidak sempat berpikir terlalu panjang, sebab Kiai Gringsing itu telah menyerangnya pula sambil berteriak “Sedayu, awasi muridmu, supaya kau tahu kesalahannya”

Sedayu yang sudah bingung menjadi bertambah bingung. Tetapi ia memperhatikan pula pertempuran itu. Kiai Gringsing dengan cambuk kuda ditangan, dan pamannya dengan sebuah pedang yang menakutkan.

Pertempuran itu semakin lama mejadi semakin seru. Cambuk Kiai Gringsing bergerak dengan cepatnya, menyambar dari segala arah. Ujung dan pangkalnya sekali-sekali mematuk tubuh Widura tanpa dapat dihindari. Semakin lama menjadi semakin sering. Meskipun Widura berusaha sepenuh tenaga.

Karena itu, maka getar didalam dada Widurapun semakin lama menjadi semakin cepat. Ia kini tidak mau terbelengu oleh perasaan yang tak dimengertinya. Ia tidak memperdulikan lagi apakah ia sedang marah, atau ia hanya sekedar terdorong oleh keinginannya untuk mengetahui dimana Untara berada. Dengan demikian maka nafsunya untuk bertempur mati-matian kini kembali merayapi dadanya. Sehingga oleh karenanya, maka pedangnyapun bergerak semakin cepat, secepat baling-baling ditiup angin musim kesanga.

Sedayu melihat pertempuran itu dengan jantung yang berdentang-dentang. Mula-mula mencemaskan nasib orang bertopeng itu. Namun dalam pengamatannya kemudian, Kiai Gringsing itu ternyata mampu mempertahankan dirinya, bahkan beberapa kali ia berhasil mendesak Widura sehingga pamannya itu meloncat surut. Bahkan kemudian pertempuran itu terasa sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap gerak dari mereka berdua. Ia mengagumi ketangkasan pamannya, namun ia heran melihat kelincahan Kiai Gringsing. Cambuk kuda yang tampaknya sama sekali tak berarti itu ternyata merupakan senjata yang berbahaya.

Setapak demi setapak perkelahian itu berkisar dari satu titik ketitik yang lain. Namun Sedayupun ikut berkisa-kisar pula. Sekali ia terpaksa menahan napas apabila pedang Widura menyambar dengan dahsyatnya, sedahsyat elang menyambar mangsanya. Namun wajahnyapun menjadi tegang, apabila ia melihat pamannya menyeringai kesakitan apabila cemeti kuda orang bertopeng itu menyentuh tubuhnya.

“Hem” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Kalau saja aku mampu berbuat seperti mereka itu” gumamnya didalam hati.

Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat pamannya melontar mundur. Sekali, dua kali dan Kiai Gringsing itu mendorongnya terus. Bahkan kemudian dengan tidak disangka-sangka, kaki orang bertopeng itu berhasil menyambar pergelangan tangan Widura sehingga pedangnya tergetar. Hampir saja pedang itu meluncur dari tangannya.

Gigi Widura gemeretak. Kini ia benar-benar marah. Karena itu tandangnyapun menjadi semakin garang. Gerak pedangnyapun menjadi semakin cepat, sehingga yang tampak kemudian seakan-akan kabut putih yang bergulung-gulung melanda orang bertopeng itu.

Kini Widuralah yang mendesak maju. Kiai Gringsing terpaksa meloncat surut. Bahkan akhirnya orang bertopeng itu tiba-tiba tersandar pada pohon kelapa sawit dibelakangnya.

Widura tidak membuang waktu lebih lama lagi. Pedangnya cepat meluncur kearah Kiai Gringsing. Widura yang merasa dirinya dipermainkan itu, menusuk lawannya dengan sekuat tenaganya, meskipun pedangnya tidak mengarah dada. Namun apabila Kiai Gringsing tidak mampu menghindari kali ini, maka pundaknya pasti akan tersobek.

Melihat peristiwa itu, Agung Sedayu terkejut sehingga iapun meloncat beberapa langkah maju. Namun ia tak akan dapat berbuat apapun. Yang dilihatnya pedang pamannya yang runcing itu mematuk dengan garangnya. Tetapi mata Agung Sedayu itupun terbeliak. Dengan mulut yang ternganga ia melihat, betapa Kiai Gringsing itu kemudian berdiri tegak sambil tertawa berkepanjangan. Katanya “Ah, tenagamu memang luar biasa Widura. Tetapi kau sekarang pasti akan menemui kesulitan untuk mencabut pedangmu itu”

“Setan” terdengar Widura mengumpat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha mencabut pedangnya yang tertancap pada pohon kelapa sawit itu. Ternyata Kiai Gringsing mampu mengelakkan diri dengan cepatnya, sehingga pedang Widura yang mematuknya itu langsung mengenai pohon yang disandarinya.

“Jangan main-main kiai” geram Widura dengan wajah yang membara “Aku dapat bertempur tanpa pedang”

“Jangan” jawab Kiai Gringsing “Cabutlah pedangmu. Aku menunggu”

Widura masih berusaha sekuat tenaga mencabut pedangnya. Namun ia masih mengumpat didalam hatinya. Ternyata pedang yang runcing itu telah membenam dalam sekali. Tenaganya benar-benar telah dicurahkan untuk menusukkan pedang itu. Karena itu, maka sekarang, betapa sukarnya untuk mencabutnya.

Beberapa kali Widura menggeram. Tetapi kemudian Kiai Gringsing itu berkata “Minggirlah, coba apakah aku mampu mencabutnya”

Widura sendiri tidak menyadari, kenapa tiba-tiba ia melangkah kesamping dan memberi kesempatan kepada orang bertopeng itu untuk mencabut pedangnya. Betapa Widura menjadi heran, apalagi Agung Sedayu. Dengan sebuah teriakan kecil, Kiai Gringsing berhasil menyentakkan pedang itu dari batang kelapa sawit, meskipun ia sendiri terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Bahkan hampir saja ia tergelincir jatuh.

“Hem” orang bertopeng itu menarik nafas “Pedang yang aneh. Besar, tumpul namun runcing seruncing jarum. Kenapa kau membuat pedang seaneh ini?”

Widura tidak menjawab. Tetap ia menggeram. Terdengar giginya gemeretak. Namun ia masih tegak ditempatnya.

“Widura, kita akhiri pertempuran ini. Aku kembalikan pedangmu. Nah, berlatihlah terus” Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing itu berkata “Sedayu, kau harus bekerja lebih berat supaya muridmu ini menjadi lekas masak. Ketahuilah, bahwa Sidantipun selalu mendapat tempaan dari gurunya. Ki Tambak Wedi setiap saat mengunjunginya. Bukankah muridmu itu pimpinan laskar Pajang disini? Apabila Sidanti kelak melampauinya, maka wibawanya akan berkurang”

Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Demikian juga Sedayu. Apakah Sidanti benar-benar berlatih terus? Tetapi Kiai Gringsing tidak memberi mereka kesempatan untuk bertanya. Bahkan sekali lagi ia berkata “Setiap hari aku akan melihat kalian berlatih disini. Aku tidak akan mengganggu. Nah Widura, ini pedangmu”

Sebelum Widura menjawab, meluncurlah pedang Widura dari tangan Kiai Gringsing. Dengan gerak naluriah Widura meloncat untuk menangkap pedangnya itu. Kemudian mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu melihat, orang bertopeng itu berjalan seenaknya meninggalkan mereka. Lewat puntuk kecil itu, dan kemudian hilang dibalik batang-batang ilalang yang tumbuh dengan liarnya.

Widura sesaat berdiri saja mematung. Pertemuannya dengan Kiai Gringsing itu benar-benar berkesan dihatinya “Orang aneh” gumamnya.

Widura terkejut ketika ia mendengar Agung Sedayu mengulangi kata-katanya “Orang aneh. Ya, memang orang itu orang yang aneh”

Widura menarik nafas panjang. Katanya “Orang itu tampaknya selalu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi aku menyesal bahwa aku bersikap terlalu kasar kepadanya. Ah, mula-mula aku merasa ia menghinaku” Widura berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan “Namun agaknya ada sesuatu maksud tersimpan dibalik sikapnya yang seakan-akan tidak bersungguh-sungguh itu”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan didengarnya pamannya berkata “Bukankah Kiai Gringsing mengatakan bahwa Sidantipun selalu mendapat tempaan dari gurunya yang dahsyat itu?”

“Ya” Agung Sedayu mengangguk.

Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka masih memandang kearah Kiai Gringsing lenyap dibalik batang-batang ilalang.

“Sedayu” berkata Widura kemudian. “Kita akhiri latihan ini. Marilah kita kembali. Ternyata bukan kau yang mendapat kesempatan untuk berlatih, tetapi aku sendiri. Meskipun demikian setiap malam kita datang ketempat ini”

Agung Sedayu mengangguk. Dan diikutinya pamannya meninggalkan tanah lapang yang sempit itu. Mereka berjalan berurutan diatas pematang, kemudian setelah melangkahi parit mereka berjalan menyusur jalan desa menuju kademangan Sangkal Putung.

Hampir disepanjang jalan mereka tidak bercakap-cakap. Masing-masing sedang dihanyutkan oleh angan-angannya. Widura masih dirisaukan oleh kata-kata Kiai Gringsing “Sidanti berlatih terus”.

“Mudah-mudahan anak itu mempunyai itikad yang baik” katanya didalam hati. “Semoga ia berlatih untuk menghadapi Macan Kepatihan”. Namun Widura itu beragu. Sikap anak muda itu memang kurang menyenangkannya. Apalagi sikapnya terhadap Agung Sedayu.

Tanpa disengajanya, Widura berpaling kepada kemenakannya yang berjalan menunduk disampingnya “Sayang” gumamnya didalam hati. “Anak itu benar-benar penakut. Kalau anak-anak Sangkal Putung tahu, apalagi Sidanti, maka Sedayu akan menjadi orang yang paling memuakkan dikademangan ini. “Tetapi aneh” berkata Widura seterusnya didalam hati “Kenapa agaknya Kiai Gringsing menaruh perhatian atasnya. Anak itu telah dilindunginya dari Alap-alap Jalatunda dan kini ia hadir pula dilapangan sempit itu”

Sedangkan Agung Sedayu sibuk dengan dirinya sendiri. Timbullah didalam angan-angannya keinginan yang besar untuk setidak-tidaknya dapat berbuat seperti pamannya, seperti kakaknya apalagi seperti Kiai Gringsing yang mampu bergerak selincah burung sikatan. “Aku akan berlatih terus. Setiap malam” janjinya didalam hati.

Awan dilangit semakin lama menjadi semakin kelam. Satu-satu guruh dilangit meledak seperti hendak meruntuhkan gunung.

Widura dan Agung Sedayu mempercepat langkah mereka. Mereka lebih senang tidur dipringgitan kademangan Sangkal Putung daripada basah kuyup dijalanan.

Diregol halaman kademangan, Widura melihat Ki Demang tidur diatas anyaman daun kelapa, sedang disampingnya mendengkur anak laki-lakinya, Swandaru.

Widura tersenyum melihat mereka. Meskipun umur demang Sangkal Putung itu sudah melewati setengah abad, namun ia merasakan benar bahwa adalah menjadi tanggung-jawabnya, hidup atau mati dari kademangannya. Ia tidak saja menerima jabatannya dalam saat-saat menyenangkan, bukan sekedar suatu keinginan untuk menerima pelungguh sawah dan kehormatan sebagai seorang demang, namun ia menyadari, bahwa disamping hak yang diterimanya itu, maka iapun harus mengemban kewajiban yang diperoleh sebagai keseimbangan dari hak-hak itu. Bahkan lebih dari itu, kampung halamannya adalah tanah yang harus dipertahankan. Sebagai demang atau bukan.

Beberapa orang penjaga yang duduk diregol halaman disamping Ki Demang itupun berdiri ketika mereka melihat Widura memasuki pintu regol “Selamat malam tuan” sapa salah seorang penjaga.

Widura menganggukkan kepalanya. Ketika ia akan menjawab, dilihatnya Ki Demang menggeliat sambil bergumam “Apakah adi Widura baru datang?”

“Ya kakang” jawab Widura.

“Silakan, aku lebih senang tidur disini. Udara terlalu panas” berkata ki demang itu pula.

“Langit kelam kakang” sahut Widura. “Agaknya sebentar lagi hujan akan turun”

“Agaknya demikian” jawab Ki Demang “Nah, beristirahatlah”

Widura itupun kemudian berjalan bersama-sama dengan Agung Sedayu naik kependapa. Ketika mereka melihat pembaringan Sidanti, mereka terkejut. Pembaringan itu kosong. Dan senjata didinding diatas pembaringannya itupun tidak ada pula. Sedang disampingnya masih berjajar beberapa orang tidur dengan nyenyaknya. Tetapi Widura tidak menanyakannya kepada siapapun. Bersama Agung Sedayu mereka langsung kepringgitan.

“Kau lelah Sedayu” berkata pamannya kemudian “Tidurlah”

Sebenarnya Agung Sedayu itu lelah sekali. Tidak saja tubuhnya, tetapi juga angan-angannya. Karena itu, segera ia membaringkan dirinya, diatas tikar pandan disamping pembaringan pamannya.

Tetapi pamannya tidak segera tidur. Setelah diteguknya beberapa teguk air dari gendi digelodog bambu, iapun duduk sambil mengamati tubuhnya. Tampaklah beberapa goresan-goresan merah biru dan noda-noda yang kehitaman hampir disegenap bagian tubuhnya. Ujung dan pangkal cambuk Kiai Gringsing benar-benar mengagumkan.

Widura itu kemudian terkejut, ketika ia mendengar langkah menaiki pendapa. Perlahan-lahan dan kemudian kemudian hilang. Ketika ia memperhatikan keadaan dan memusatkan pendengarannya, ia mendengar beberapa suara gemerisik. Hanya sebentar, kemudian diam kembali.

Widura mengangkat alisnya. Tetapi ia diam saja. Ia masih menunggu beberapa saat. Baru kemudian ia berdiri perlahan-lahan dan dengan hati-hati melangkah keluar pringgitan. Ketika ia sampai dipendapa dilihatnya Sidanti telah berbaring ditempatnya, seakan-akan tidak terjadi apapun.

“Sidanti” panggil Widura perlahan-lahan.

Sidanti menggeliat. Kemudian dengan segan ia menjawab “Ya kakang”

“Adakah kau yang baru saja naik kependapa?” bertanya Widura pula. Sesaat Sidanti terdiam. Ia ragu-ragu untuk menjawab. Namun ketika Widura memandangnya dengan seksama, seakan-akan ingin melihat debar dijantungnya, maka Sidanti itupun menjawab “Ya kakang”.

“Dari manakah kau?” bertanya Widura seterusnya.

“Dari belakang kakang. Kenapa?” sahut Sidanti.

“Tidak apa-apa. Sejak tadi aku mencarimu”

Sidanti kemudian bangkit dan duduk dengan malasnya “Adalah sesuatu yang sangat perlu?”

“Tidak sedemikian penting. Tetapi kemarilah”

“Aku sudah kantuk sekali. Tidakkah dapat ditunda sampai besok?”

“Tentu. Tetapi aku mengharapmu sekarang”

Widura tidak menunggu Sidanti menjawab. Dengah langkah yang tetap ia berjalan memasuki pringgitan kembali.

Sidanti mengumpat dihatinya “Apa pula yang akan dikatakannya”

Ketika Sidanti sudah duduk dihadapannya, Widura berkata “Sidanti. Persoalan ini memang tidak begitu penting. Tetapi aku perlu menyampaikannya kepadamu” Widura diam sejenak. Diamat-amatinya baju Sidanti. Basah oleh peluh yang seakan-akan terperas dari tubuhnya. Tiba-tiba ia bertanya “Darimana kau Sidanti?”

Sidanti menjadi agak gugup. Namun sesaat ia telah tenang kembali. Jawabnya “Dari belakang”

“Bajumu basah oleh keringat” sahut Widura.

Kembali Sidanti menjadi agak gugup. Jawabnya kemudian “Aku mencoba melatih diri supaya aku kelak dapat mengimbangi Macan Kepatihan”

“Sendiri?” desak Widura.

“Ya”

“Sidanti. Aku berbangga akan ketekunanmu. Namun kau harus memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Apalagi mereka yang sedang bertugas, supaya tak terjadi salah mengerti. Dalam keadaan serupa ini, setiap orang akan dapat dicurigai. Sampai saat ini aku belum pernah dapat laporan, bahwa kau sering mempergunakan waktumu untuk berlatih diri”

“Apa salahnya?” potong Sidanti “Apakah kakang Widura ingin kami semua ini menjadi orang-orang yang tidak pernah menemukan tingkat yang lebih baik dari tingkat yang kita miliki sekarang?”

“Tidak Sidanti. Aku tidak bermaksud demikian. Bahkan aku senang kau melakukannya. Tetapi kenapa dengan diam-diam. Apakah kau tak ingin misalnya, beberapa orang ikut serta, dan apakah dengan demikian, ketahanan dan pertahanan kita akan tambah kuat”

“Tentu” jawab Sidanti “Bukankah telah kita lakukan setiap hari? Dan apa salahnya kalau aku mempergunakan waktu khusus untuk aku sendiri?”

“Aku tidak keberatan. Tetapi kau sering meninggalkan kademangan ini tanpa seorangpun juga mengetahuinya” Widura mencoba untuk mengetahui, apakah yang dikatakan Kiai Gringsing tentang Sidanti benar-benar terjadi.

Sidanti untuk sesaat tidak menjawab. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya. Tetapi ketika pandangan mata mereka bertemu, Sidanti itupun menundukkan wajahnya. Namun dadanya masih juga berdebar-debar.

Widura tidak segera mendesaknya. Ia menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sidanti. Hanya tarikan nafas mereka terdengar berkejar-kejaran. Baru beberapa saat kemudian Sidanti menjawab “Aku pergi atas tanggung-jawabku sendiri kakang. Aku kadang-kadang memerlukan tempat yang baik yang tidak aku temui dihalaman kademangan ini. Juga karena aku tidak ingin diganggu oleh siapapun juga”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia yakin akan kebenaran cerita Kiai Gringsing. Namun ia masih mengharap semoga Sidanti benar-benar akan mengamalkan ilmunya untuk kemenangan bersama. Meskipun demikian Widura itupun berkata “Sidanti, aku berbangga. Benar-benar berbangga seperti yang aku katakan. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. Jangan terlalu berani meninggalkan kademangan ini seorang diri. Macan Kepatihan bukan anak-anak yang ketakutan karena kekalahan-kekalahan kecil. Setiap saat ia dapat datang kembali. Mungkin seorang diri, dan menyergapmu tanpa seorangpun yang dapat melihat apa yang akan terjadi”

“Sudah aku katakan” jawab Sidanti “Kalau aku terbunuh olehnya selama aku melatih diri, adalah tanggung jawabku sendiri. Tak seorangpun perlu menangisi mayatku”

“Jangan berkata demikian” sahut Widura. Kata-katanya tenang dan berat. Kata-kata seorang tua kepada anaknya yang nakal. “Kalau kau hilang dari antara kami, maka kami semua akan merasa kehilangan. Kita tidak tahu, sampai kapan kita dalam keadaan yang tidak menentu ini. Karena itu, kau adalah lawan Tohpati yang dapat kita banggakan. Ilmumu masih akan berkembang sejalan dengan ilmu Tohpati. Namun kau memiliki kemenangan daripadanya. Gurumu masih ada”

Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak senang atas peringatan itu. Dirasakannya seakan-akan kebebasannya terganggu. “Apapun yang aku lakukan adalah hakku” katanya didalam hatinya.

“Apakah gurumu tak pernah mengunjungimu?” tiba-tiba Widura bertanya. Dan pertanyaan itu benar-benar membingungkan Sidanti. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sebenarnya ia sendiri tidak pernah merasa keberatan seandainya semua orang tahu, bahwa gurunya sering datang mengunjunginya. Namun gurunyalah yang melarangnya. Selalu teringat olehnya gurunya itu berkata “Sidanti, kemenangan terakhir haruslah kemenanganmu. Bukan kemenangan orang lain. Juga bukan kemenangan kelompokmu, apalagi pimpinanmu”

Karena ingatannya itu, maka Sidanti kemudian menggeleng “Tidak. Guru tidak pernah datang”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia pasti, bahwa guru Sidanti itu dengan diam-diam selalu datang dan menempa muridnya dengan tekunnya. Sedang didalam kepala Sidanti itu terngiang kata-kata gurunya pula “Karena itu Sidanti, aku tak mau seorangpun tahu, bahwa kau sedang menempa dirimu. Aku tak mau seorangpun dapat meneguk ilmu Tambak Wedi meskipun hanya setetes. Sebab, pada suatu saat kau harus menjadi orang pertama di Pajang sesudah Hadiwijaya sendiri”

Kembali suasana di pringgitan itu tenggelam dalam kesepian. Sidanti kemudian menundukkan wajahnya pula. Tubuhnya benar-benar merasa lelah setelah ia memeras tenaganya, menerima ilmu-ilmu penyempurnaan dari gurunya.

“Kau lelah sekali Sidanti” berkata Widura.

“Ya” sahut Sidanti pendek.

“Tidurlah”

Sidanti tidak menunggu perintah itu diulang untuk kedua kalinya. Segera ia berdiri dan berjalan keluar. Dimuka pintu ia berpaling. Ketika dilihatnya Widura masih mengawasinya, segera ia melemparkan pandangan matanya kearah lain.

Kini Widura duduk kembali seorang diri diatas pembaringannya. Angan-angannya terbang kian kemari. Banyak persoalan yang dihadapinya. Dan banyak persoalan yang perlu dipecahkannya. Namun sebagai manusia Widura berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan memberinya jalan terang.

Widura pun ternyata lelah pula. Sejenak kemudian iapun berbaring dan tertidur pula dengan lelapnya.

Ketika cahaya fajar telah membayang dipunggung bukit, maka Agung Sedayupun telah bangun dari tidurnya. Dikejauhan masih didengarnya satu-satu ayang jantan berkokok menyambut pagi. Sekali Agung Sedayu menggeliat, kemudian perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar. Terasa betapa nyamannya udara menjelang dini hari. Dipendapa beberapa orang pun telah bangun. Seorang dua orang telah turun kehalaman, sedang yang lain lagi bersembahyang subuh. Agung Sedayu pun segera pergi kepadasan.

Baru setelah ia selesai sembahyang subuh, dilihatnya pamannya bangkit. Dengan tersenyum ia menyapa “Ah, kau bangun lebih dahulu Sedayu”

“Ya paman” sahutnya “Aku tidur lebih dahulu pula”

Pamannya tersenyum. Dan Agung Sedayu pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia ingin menikmati cerahnya fajar. Satu-satu dilangit masih tersangkut bintang-bintang yang dengan segannya memandang halaman kademangan Sangkal Putung yang baru saja terbangun dari lelapnya malam.

Sangkal Putung itu ternyata benar-benar telah terbangun. Dijalan-jalan telah mulai tampak satu dua orang yang lewat tergesa-gesa. Mereka akan mencoba menjual dagangan mereka disudut desa. Sebab mereka masih belum berani berjalan terlampau jauh. Disudut desa itu telah menjadi agak ramai sejak beberapa saat yang lampau. Jual beli dan tukar-menukar banyak pula terjadi.

Tiba-tiba timbullah keinginan Agung Sedayu untuk berjalan-jalan menyusur jalan dimuka kademangan itu. Dimuka regol beberapa orang penjaga mengangguk kepadanya.

“Akan kemana ngger?” bertanya salah seorang daripadanya.

“Berjalan-jalan paman” jawab Agung Sedayu

Orang itu mengangguk. Sahutnya “Silakan. Barangkali udara pagi di Sangkal Putung dapat menyejukkan hati angger”.

Agung Sedayu tersenyum. Dan diayunkannya kakinya melangkah menurut jalan itu. Sekali-sekali ia berpaling untuk mengetahui jarak yang telah ditempuhnya. Agung Sedayu tidak ingin berjalan seorang diri terlalu jauh dari kademangan, meskipun disiang hari yang cerah sekalipun.

Tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika didengarnya sapa halus disampingnya. Katanya “Akan pergi kemanakah tuan sepagi ini?”

Ketika Agung Sedayu menoleh dilihatnya seorang gadis yang kemarin ditemuinya dikademangan muncul dari sebuah jalan sidatan. Karena itu maka sambil mengangguk ia menjawab pendek “Berjalan-jalan”.

Gadis itu, yang tak lain adalah Sekar Mirah, mengerutkan keningnya. Jawaban yang terlalu pendek. Meskipun demikian ia memberanikan dirinya untuk bertanya “Apakah tuan akan pergi kewarung disudut desa?”

Agung Sedayu menggeleng “Tidak” jawabnya.

Sekar Mirah menggigit bibirnya. Tetapi justru karena itu, maka kesannya atas Agung Sedayu menjadi semakin dalam. Anak muda pendiam yang sombong. Tetapi Sekar Mirah berkata pula “Kalau tidak, akan kemanakah tuan?”

Agung Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu, akan kemanakah ia sebenarnya. Maka jawabnya sekenanya “Aku hanya berjalan-jalan saja”

“Oh” sahut Sekar Mirah. “Kalau begitu, apakah tuan ingin melihat warung itu. Barangkali tuan ingin membeli sesuatu. Buah-buahan, kain atau apa? Warung itu menjadi ramai sejak daerah ini tidak aman. Sebab mereka tidak berani pergi terlalu jauh. Bahkan orang-orang dari desa yang lainpun datang kemari. Sebab disini ada laskar paman Widura, sehingga mereka merasa mendapatkan perlindungan daripadanya.

Agung Sedayu menjadi bertambah bingung. Ia sama sekali tidak memiliki uang seduitpun. Tetapi sebelum ia menolak gadis itu telah berkata pula “Marilah tuan. Tuan akan mendapat kesan yang lengkap dari daerah ini”

Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain dari mengikutinya. Sekar Mirah berjalan kembali kewarung disudut desa. Ia senang bahwa Agung Sedayu mengikutinya.

“Kedatangan tuan pasti akan menggembirakan para pedagang diwarung itu” berkata Sekar Mirah kemudian.

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Bukankah tuan telah menyelamatkan Sangkal Putung?” jawab Sekar Mirah.

Terasa dada Sedayu berdesir. Meskipun demikian, iapun tiba-tiba merasakan suatu kebanggaan atas pujian itu. Pujian yang diucapkan oleh seorang gadis yang ramah.

Sekar Mirah adalah gadis yang lincah. Banyak persoalan yang ingin diketahuinya, dan banyak persoalan yang dipikirkannya. Meskipun ia seorang gadis, namun ingin juga ia mengerti banyak hal tentang keadaan didaerahnya. Sebagai seorang anak demang, Sekar Mirah selalu melihat dan mendengar ayahnya mempersoalkan daerah dan orang-orang didaerah Sangkal Putung. Karena itu, maka lambat laun hatinyapun tertarik pada persoalan-persoalan daerah dan orang-orang didaerahnya.

Karena itu pula maka disepanjang jalan itupun, Sekar Mirah selalu berusaha untuk mengerti akan beberapa persoalan. Maka dengan hati-hati ia bertanya “Tuan, apakah tuan adik dari seorang yang bernama Untara?”

Agung Sedayu mengangguk. “Ya” jawabnya.

“Ah. Semua orang di Sangkal Putung mengagumi tuan. Bukankah tuan telah menyelamatkan kademangan ini. Semua orang yang bertemu dengan tuan, pasti akan menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan penuh rasa hormat dan terima kasih”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati “Ya, seandainya demikian. Tetapi aku akan berlatih terus. Aku ingin benar-benar menjadi orang yang berhak mendapat penghormatan yang demikian.”

“Tuan” Sekar Mirah itu berkata lagi “Untuk mencapai tingkat yang seperti tuan, berapa lama waktu yang tuan perlukan?”

Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak diduga-duganya. Apalagi dari seorang gadis. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab. Sehingga Sekar Mirah itu berkata pula “Kakang Swandarupun selalu berusaha untuk melatih diri. Namun apa yang dicapainya itu sama sekali tak berarti. Orang-orang di Sangkal Putung sampai saat ini, yang paling dibanggakan oleh paman Widura adalah Sidanti”

Dada Agung Sedayu berdesir mendengar nama itu. Dilihatnya didalam rongga matanya Sidanti yang tinggi hati itu memandanginya dengan tajam dan penuh prasangka. Tiba-tiba bulu-bulu Agung Sedayu meremang. Namun ia tidak menjawab. Sebab, tiba-tiba saja timbullah disudut hatinya suatu keinginan yang tak dimengertinya sendiri. Terhadap gadis itu, ia ingin mempertahankan nama yang telah dicapainya. “Kenapa demikian”, timbul pula pertanyaan didalam dirinya. Tetapi ia menjawab “Aku melatih diri sejak kanak-kanak”

“Oh” Sekar Mirah menjadi bertambah kagum. “Pantaslah tuan dapat melakukan semua itu. Aku mendengar seseorang mengatakan bahwa tuan berhasil mengalahkan Alap-alap Jalatunda.”

Agung Sedayu berdebar-debar. Namun ia menjawab “Alap-alap Jalatunda tidak segarang Tohpati” Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia menyebut nama itu. Meskipun demikian, ia berusaha untuk tetap tersenyum.

Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Agung Sedayu itu telah dapat diajaknya bicara. Maka katanya seterusnya “Berapa lamakah tuan akan tinggal di Sangkal Putung?”

“Aku tidak tahu” jawab Sedayu “Kalau kakang Untara sudah ditemukan, aku akan segera kembali ke Jati Anom, dan kakang Untara akan kembali ke Pajang”

Sekar Mirah kecewa mendengar jawaban itu. Dan ia mengharap, semoga Untara tidak segera dapat diketemukan.

Demikianlah mereka berjalan sambil bercakap-cakap. Sekar Mirah menjadi gembira dan Agung Sedayu pun berbangga karenanya. Tanpa disadarinya Agung Sedayu telah banyak bercerita tentang kademangan-kademangan yang pernah dicapainya dalam perjalanannya dari Jati Anom. Diceritakannya tentang si Pande Besi dan tiga kawannya yang terbunuh, dan Alap-alap Jalatunda yang mencegatnya di Bulak Dawa. Namun setiap kata diucapkan, terasa sebuah goresan yang pahit didalam dadanya. Ingin ia mengatakan apa yang sebenarnya, namun ia tidak mempunyai keberanian, dan bahkan akhirnya ia sengaja menyombongkan dirinya untuk menyembunyikan kekerdilannya. Seakan-akan ia benar-benar pahlawan Sangkal Putung.

Ketika mereka sampai diwarung ujung desa, maka apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu benar-benar terjadi. Para pedagang dan orang yang berada diwarung itu mengaguminya. Mereka tiba-tiba saja seperti orang yang terpesona. Berdesakan mereka mengitari Agung Sedayu untuk sekedar dapat menyambut tangannya. Satu demi satu orang-orang diwarung itu memberikan salamnya, dan satu demi satu tangan-tangan mereka itu disambut oleh Agung Sedayu disertai dengan sebuah anggukan kepala dan sebuah senyuman. Namun tak seorangpun diantara mereka yang mengetahuinya, bahwa didalam dada anak muda itu bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat.

Sekar Mirah yang memperkenalkan Agung Sedayu itupun ikut berbangga pula. Kepada kawan-kawannya ia bercerita seperti burung sedang berkicau tentang anak muda yang bernama Agung Sedayu itu, seolah-olah ia melihat sendiri peristiwa-peristiwa yang dialami olehnya. Namun beberapa gadis yang iri hati kepadanya bergumam didalam hatinya “Ah Mirah. Dahulu kau selalu berdua dengan Sidanti. Sekarang, ketika datang anak muda yang lebih tampan dan sakti, kau tinggalkan anak muda yang bernama Sidanti itu”.

Tetapi tak seorangpun yang berani mengucapkannya. Sebab Sekar Mirah adalah anak Demang Sangkal Putung.

Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang Sangkal Putung itu, maka Sekar Mirah dan Sedayupun segera kembali ke kademangan. Juga disepanjang jalan pulang, Sekar Mirah masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun kini Agung Sedayu sendang mendengarnya.

Sampai di kademangan Agung Sedayu segera pergi menemui pamannya dipringgitan, dimana Agung Sedayu sehari-hari menyekap diri. Jarang sekali ia pergi berkumpul dengan orang-orang lain. Hanya kadang-kadang saja ia bercakap-cakap dengan mereka dipendapa. Sedang Sekar Mirah dengan tergesa-gesa pergi kedapur. Ia takut terlambat dengan belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi.

Tetapi langkah Sekar Mirah itu terhenti ketika Sidanti menggamitnya “Mirah” katanya.

Sekar Mirah berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya “Kenapa?”

“Dari mana kau?”

“Warung” jawab Sekar Mirah pendek.

Sidanti memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya “Dengan Agung Sedayu?”

Sekar Mirah memandang Sidanti tidak kalah tajamnya. Jawabnya “Ya. Apa salahnya?”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya “Mirah, jangan marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya”.

Sekar Mirah kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya “Aku hanya bertemu dengan Sedayu dijalan, dan aku antarkan ia kewarung diujung desa”.

Sidantipun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata “Ingat-ingatlah Mirah. Jangan terlalu rapat bergaul dengan siapapun juga. Aku kurang senang melihatnya”.

Kembali wajah Sekar Mirah menjadi tegang “Apakah hakmu?”

Tetapi Sidanti tidak menjawab. Berpalingpun tidak. Ia berjalan saja kebelakang rumah dan lenyap dibalik pepohonan yang rapat.

Sekar Mirah masih berdiri ditempatnya. Ia menjadi kesal pada anak muda itu. Tetapi kemudian timbul juga ibanya kepada Sidanti. Pergaulan mereka telah berlangsung lama, dan anak muda itupun tak pernah menyakiti hatinya.

Dengan wajah tunduk Sekar Mirah masuk kedapur. Dilihatnya beberapa orang telah sibuk menyiapkan makan pagi.

“Kami tunggu kau, Mirah” kata ibunya.

“Oh” Mirah sadar akan dirinya. Yang dibawanya itu adalah bumbu-bumbu masak. Karena itu segera diserahkannya kepada ibunya.

“Nasi sudah masak. Tetapi belum ada lauk dan sayurnya. Terlambat” desah ibunya.

“Kadang-kadang saja” sahut Sekar Mirah. “Bukankah tidak setiap hari aku terlambat?”

“Aku jemu mendengar mereka menggerutu” berkata orang yang gemuk yang duduk dimuka api.

“Ah bibi. Jangan kau dengarkan. Bukankah sudah menjadi kebiasaan mereka menggerutu. Apapun tidak menyenangkan mereka”

“Tetapi mulut orang yang jangkung dan berkumis tipis itu sangat tajam. Aku pernah dikata-katainya karena termakan cabe rawit olehnya. Dikiranya aku sengaja memasang untuknya. Oh, orang itu benar-benar tidak melihat punggungnya. Apa yang dibanggakannya untuk berlagak dihadapanku”.

Tetapi Sekar Mirah menjadi tertawa karenanya. Jawabnya “Bibi, siapakah yang membelikan lurik abang itu?”

“Oh, oh” orang yang gemuk itu tersipu-sipu. Namun akhirnya ia menjawab “Aku tidak pernah minta kepadanya. Ia sendiri datang kepadaku dan memberikan kain lurik ini”.

Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia masih tertawa. Tetapi tawanya itu patah ketika ia mendengar orang membentaknya “Kau baru datang Mirah?”

Ketika Sekar Mirah berpaling, dilihatnya Swandaru bertolak pinggang dipintu dapur. “He, kau baru datang?” desak kakaknya.

Sekar Mirah tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.

“Kenapa terlambat?” kakaknya membentak.

Tetapi Sekar Mirah tidak juga menjawab, sehingga kemudian Swandaru itupun pergi dengan sendirinya.

Dapur kademangan itu kemudian tenggelam dalam kesibukan. Semua bekerja dengan cepat dan tergesa-gesa. Tetapi Sekar Mirah kali ini tidak selincah biasanya. Kadang-kadang ia duduk termenung memandangi api yang menjilat-jilat diperapian. Sedang ditangannya masih tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang dipotongnya.

Ia baru sadar ketika beberapa orang menegurnya.

Tetapi sesaat kemudian kembali ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-angannya tentang anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Agung Sedayu itupun berkesan pula dihatinya. Namun selalu diingatnya, senyum Sidanti beberapa saat berselang. “Mirah” katanya “Jangan terlampau sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya itu”.

Akhirnya Sekar Mirah sampai pada suatu kesimpulan bahwa Sidanti menjadi cemburu karenanya.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati “Bukankah aku mengagumi Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain mengaguminya?” Tetapi terdengar pula dari sudut hatinya “Ah, kau dulu juga mengagumi Sidanti, karena Sidanti adalah orang yang paling mengagumkan di Sangkal Putung. Apa katamu kalau kelak datang Untara yang lebih sakti dari adiknya. Apakah kau akan mengaguminya pula berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?”

“Oh” Sekar Mirah memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi kebiliknya.

“Mirah” panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu. “Kenapa kau?”

“Kepalaku pening” jawabnya sambil berlari.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya kebiliknya. Dan dirabanya keningnya. Katanya “Tidak panas Mirah”.

Sekar Mirah berbaring dipembaringannya sambil menengadahkan wajahnya. ketika ibunya meraba keningnya, maka katanya “Hanya pening sedikit bu. Mungkin semalam aku kurang tidur”

Ibunya tidak bertanya lagi. Ditinggalkannya Sekar Mirah sendiri didalam biliknya. Pesannya “Beristirahatlah Mirah. Mungkin kau terlalu lelah”.

Sekar Mirah mengangguk. Namun ketika ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-angannya bergolak. Bermacam-macam persoalan hilir mudik dikepalanya. Sehingga akhirnya ia menjadi benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Sekar Mirah tinggal didalam biliknya. Tak seorangpun tahu, apa yang sedang mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring kekiri, sekali kekanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian direbahkannya dirinya kembali. Sekar Mirah keluar dari biliknya hanya apabila datang saatnya makan. Namun ibunya menyangka tidak lebih daripada Sekar Mirah sedang pening.

Matahari dilangit merayap dengan lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan pekerjaan yang selalu dilakukan itu setiap hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam dibalik bukit-bukit, maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari langit, menyelubungi wajah bumi.

Demikianlah kembali Sangkal Putung terbenam dalam lelap malam. Ketika sunyi malam menjadi semakin sunyi, maka Widura dan Agung Sedayupun berangkat pula berkeliling kademangan. Dan kemudian mereka berdua itupun pergi kepuntuk kecil yang bernama gunung Gowok.

Kini Agung Sedayu semakin gairah menghadapi latihan-latihannya. Bahkan Widura menjadi heran. Anak itu sudah menyimpan kemampuan yang tidak diduganya. Sehingga tiba-tiba saja terloncat pertanyaannya “Sedayu, darimana kau dapatkan ilmumu itu?”.

“Kakang Untara” jawab Agung Sedayu.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Hem” gumamnya. “Kenapa kau masih takut juga kepada Alap-alap Jalatunda? Kalau kau berani melawannya, aku kira kau sendiri mampu mengalahkannya. Setidak-tidaknya kau akan dapat mempertahankan dirimu sendiri sehingga Untara tidak usah terluka karenanya.”

Sedayu menundukkan wajahnya. Memang terasa juga dihatinya, setiap kali ia melihat perkelahian, timbul juga kata-kata dihatinya “Ah. Tidak aneh. Aku juga dapat melakukannya”. Tetapi ia sediri belum pernah berbuat seperti yang dilihatnya itu dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya. Agung Sedayu hanya berani menghadapi lawannya dalam latihan-latihan Untara dan kini Widura.

“Besok kau bawa senjata panjang seperti pedangku ini” berkata Widura. “Apakah kau pernah juga berlatih dengan pedang?”

Sedayu mengangguk. “Pernah” jawabnya. “Ayah pernah memberi aku beberapa petunjuk, dan kakang Untarapun pernah memberi aku latihan-latihan dengan pedang, perisai dan tombak”

“Aneh. Aneh” gumam Widura.

“Apa yang aneh paman?” bertanya Sedayu.

“Kau” jawab pamannya. “Hampir aku kehilangan akal karena kedatanganmu Sedayu. Aku berterima kasih karena kau telah memberitahukan kepada kami, bahaya yang akan menerkam kami. Namun seterusnya kau menjadi beban yang hampir tak tertanggungkan”

Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia merasakan pula, betapa sulit keadaan pamannya karena kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya yang telah menjerumuskannya keneraka ini?

“Sedayu” berkata pamannya pula. “Baiklah aku berterus terang. Kehadiranmu ternyata sangat menyulitkan keadaanku. Kini ternyata bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak kecil. Namun kau simpan didalam dirimu, karena terbalut oleh kekerdilan jiwamu. Cobalah, pecahkan dinding yang membatasi dirimu itu. Kau kini berada dalam dunia ketakutan. Kalau sekali kau berani melampaui batas itu, batas antara ketakutan yang membelenggumu dan kebebasan bertindak yang dilambari oleh keberanian, maka kau merupakan anak muda yang benar-benar mengagumkan. Sampai saat ini ternyata kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang tinggi, apabila kemampuan-kemampuan itu kau ungkapkan, dibumbui oleh pengalaman-pengalaman, maka kau tak akan kalah melawan Alap-alap Jalatunda. Kelak kau akan tetap menjadi pahlawan dimata rakyat Sangkal Putung. Kau tidak akan cemas lagi berhadapan dengan bahaya apapun”.

Kata-kata itu bukanlah yang pertama kali didengarnya. Kakaknya pernah juga berkata demikian. Dan hatinya sendiripun berkata demikian pula. Namun bagaimana? Apabila bahaya itu benar-benar datang, maka hatinya berkerut sekecil biji sawi. “Hem” Sedayu menarik nafas. Katanya didalam hati “Kenapa manusia didunia ini harus berkelahi satu sama lain?” Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa masih ada manusia-manusia yang ingin selalu memaksakan kehendaknya kepada orang lain, manusia-manusia yang ingkar kepada sumbernya yang memberi manusia kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama manusia tidak menghormati kebebasan yang berasal dari sumber hidupnya, maka selama itu masih akan ada bentrokan-bentrokan diantara sesama. Kebebasan yang setia pada sumbernya, yang pada hakekatnya merupakan kesimpang-siuran hidup manusia seorang-seorang, namun penuh dengan keserasian dalam ujud keseluruhannya. Yang satu sama lain tidak saling berbenturan dan bertentangan. Apabila setiap orang menyadari keadaannya serta patuh pada hakekatnya, sumber hidupnya yaitu kekuasan Tuhan Yang Maha Tinggi, maka manusia akan menemukan kedamaian. Lahir dan batin.

Tetapi ternyata manusia telah memiliki arti sendiri bagi kebebasannya. Kebebasan yang mutlak, yang tak dapat dikekang oleh dirinya sendiri sekalipun. Yang bahkan kebebasan itu telah dipakainya untuk mengaburkan arti dalam hidupnya. Dengan demikian maka hilanglah keserasian hidup antara manusia. Dan timbullah pertentangan dimana-mana, peperangan dan pembunuhan. Perkosaan terhadap peradaban manusia itu sendiri.

Demikianlah Agung Sedayu harus melihat kenyataan itu. Apakah ia harus menelan keharusan yang dipaksakan orang lain atasnya? Keharusan yang bertentangan dengan haknya? Tetapi betapa ia menyadari keadaannya, namun dinding yang membatasi dunianya itu tak mampu dipecahkannya. Dinding yang selalu menyekapnya dalam ketakutan dan kekhawatiran.

Meskipun demikian, niat untuk melakukannya kini telah semakin besar mengetuk dadanya. Karena itu, iapun berlatih semakin keras. Dikerahkannya segenap tenaganya dan kemampuan-kemampuan yang tersimpan didalam dirinya. Sehingga dengan demikian Widura menjadi bergembira karenanya. Ia melihat anak muda itu seakan-akan lain dari Agung Sedayu yang dikenalnya sehari-hari. Lincah, tangkas dan kuat, bahkan kadang-kadang berhasil membingungkannya karena kecepatannya.

Tetapi apabila teringat oleh pamannya itu, betapa kecil hati kemenakannya, maka iapun menjadi kecewa karenanya. Meskipun demikian, maka Widura itu bekerja sekeras-kerasnya. Diusahakannya untuk dapat mengungkat setiap kemampuan yang ada pada kemenakannya itu.

“Suatu ketika” katanya didalam hati “Apabila ia dihadapkan pada suatu keadaan memaksa, mudah-mudahan ia telah mampu untuk menyelamatkan diri”.

Demikianlah, latihan itu berjalan dengan cepatnya. Semakin lama semakin cepat. Widura berusaha untuk memeras tenaga kemenakannya, sedang Agung Sedayupun berusaha untuk mengimbanginya.

Widura sendiri, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi, terpaksa bekerja keras untuk dapat mengatasi kemenakannya itu. Sekali-sekali Agung Sedayu dapat bergerak secepat bayangan. Namun sekali-sekali mencoba juga untuk bertahan beradu kekuatan. Ternyata kekuatan Agung Sedayu pun mengherankan pula. Ketika serangan Widura membentur dinding pertahanan kemenakannya itu, ia terkejut. Terasa ia bergetar surut, meskipun Agung Sedayu terdorong beberapa langkah pula.

“Luar biasa” desis pamannya. “Kekuatanmupun luar biasa”

Agung Sedayu tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Jawabnya “Bukankah bibi dahulu selalu memberiku pekerjaan itu?”.

“He” pamannya mengerutkan keningnya. “Pekerjaan yang mana?” ia bertanya.

“Membelah kayu” jawab Sedayu.

“Ah” desah Widura. “Bukan itu. Pasti ada yang lain”.

“Setiap pagi kakang Untara mengajari aku bermain-main berjalan diatas tangan dengan kaki diatas. Kemudian bermain-main dengan pasir ditepian”

“Permainan apakah itu?”.

“Hanya memukul-mukul saja. Pasir dan kadang-kadang batang-batang pohon dengan jari”.

“Oh ”Widura terkejut. Untara telah memberikan latihan-latihan itu. Meskipun Sedayu tidak menyadarinya, namun latihan-latihan itu merupakan latihan yang sangat berguna baginya. Bagi tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu yang dimilikinya. Namun sekali lagi Widura mengeluh “Jiwanya. Jiwanya yang terlalu kerdil. Sayang, ibunya terlalu takut melepaskannya. Sehingga Sedayu tidak lebih dari seorang yang hanya mengenal dinding-dinding batas halamannya. Kemanjaan dan perawatan yang berlebih-lebihan. Untunglah, diam-diam Untara telah memberinya bekal”

Tetapi latihan mereka terpaksa berhenti ketika tiba-tiba pula hadir orang bertopeng yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Yang mula-mula terdengar adalah suara tertawanya. Tinggi dan nyaring. Namun Widura dan Agung Sedayu sudah tidak terkejut lagi. Mereka sudah menduga bahwa orang itu akan selalu datang melihat mereka. Bahkan kemudian Widura menyapanya “Selamat malam Kiai”.

“Oh” jawabnya. “Selamat malam. Apakah kau masih akan menangkap aku Widura?”

“Tidak Kiai” jawab Widura. Ia berusaha pula untuk menyesuaikan diri dengan orang aneh itu. Karena itu katanya “Sebenarnya aku belum melepaskan maksudku itu. Namun aku masih belum dapat mengalahkan Kiai. Karena itu aku berlatih terus. Guruku, Agung Sedayu, telah mencoba mempercepat latihan-latihanku”.

Orang bertopeng itupun tertawa. Tetapi nadanya tidak setinggi semula. Katanya kemudian “Bagus. Agung Sedayu harus menempamu lebih keras lagi. Nah, sekarang cobalah. Tangkap aku. Mungkin latihanmu sehari ini telah menambah ilmumu”.

“Bagus” sahut Widura. “Jangan berlari-lari. Aku akan mencoba sekali lagi”.

Dengan serta-merta Widura menarik pedangnya, dan dengan garangnya ia langsung menyerang.

“He” teriak Kiai Gringsing. “Aku belum siap”.

Namun Widura tidak memperdulikannya. Ia tahu benar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang sakti yang tak memerlukan senjata untuk melawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tak menarik serangannya. Ternyata Kiai Gringsing itupun tak mau dadanya berlubang. Tepat pada saat pedang Widura hampir menyentuhnya, ia memiringkan tubuhnya. “Luar biasa”katanya nyaring “Seranganmu bertambah cepat”.

Widura tidak menjawab. Ketika serangannya gagal, maka cepat ia memutar tubuhnya, dan mengalirlah serangan demi serangan melanda Kiai Gringsing.

Widura bukanlah seorang anak-anak lagi. Pengalaman dan pengetahuannya telah cukup. Karena itu, ia menyadari benar-benar keadaannya. Ia pasti bahwa Kiai Gringsing itu telah memperhitungkanmya pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Sebagai seorang pemimpin dalam satu rombongan prajurit, meskipun masih banyak yang gelap baginya, namun firasatnya berkata “Kiai Gringsing ini benar-benar seorang yang bermaksud baik terhadapnya, terhadap Sedayu dan mungkin pula terhadap Untara dan Ki Tanu Metir”

Karena itu Widura sampai pada suatu kesimpulan bahwa, Kiai Gringsing sengaja meningkatkan ilmunya, sebab Sidantipun berbuat demikian. Dengan demikian maka Widura pun melakukan perkelahian itu dengan tekad “Aku sedang berlatih. Dan seorang yang sakti telah berkenan menuntunku”

Demikianlah mereka tenggelam dalam pertempuran. Cepat dan mengagumkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Dengan mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan bahkan ia berhasil mengingat-ingat unsur-unsur gerak yang menarik hatinya.

Ternyata Kiai Gringsing itu tidak saja bertempur, namun ia banyak berbicara pula. Disebutnya kesalahan-kesalahan yang dilakukan Widura dan ditunjukkannya apa yang seharusnya dilakukan. Meskipun kadang-kadang dengan nada yang aneh.

Dan apa yang terjadi di gunung Gowok itu tidaklah hanya sekali dua kali. Namun berkali-kali. Setiap malam. Dan hampir setiap malam pula Kiai Gringsing hadir diantara mereka. Bahkan apabila orang itu tidak tampak, maka Widura dan Agung Sedayu menjadi kecewa karenanya.

Tetapi tidak seorangpun yang tahu, apa yang terjadi setiap malam digunung Gowok itu. Yang dilakukan oleh anak-anak Widura di Sangkal Putung setiap haripun adalah latihan dan latihan. Akhirnya mereka menjadi jemu pada latihan-latihan itu. Namun tak ada lain yang dapat mereka lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan Sangkal Putung pada keadaan yang masih tak menentu itu.

Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami kejemuan karenanya. Lambat laun perkenalannya dengan Sekar Mirah menjadi semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang bertemu, namun setiap pertemuan diantara mereka, ternyata berkesan pula dihati masing-masing. Bahkan setiap Agung Sedayu melihat Sekar Mirah bergolak didadanya.

Tetapi Agung Sedayu masih terlalu muda untuk mengenal perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Sekar Mirah dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada didekat gadis itu. Apalagi Sidanti. Namun Sidantipun selalu berusaha untuk tetap mendapat perhatian dari gadis itu. Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan Sedayu sangat mengganggu perasaannya.

“Apakah Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya melampaui orang lain?” pikir Sidanti. “Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga aku mencobanya. Terhadap Untara sekalipun, aku tak pernah merasa kagum. Alap-alap Jalatunda bukan ukuran. Sedang kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya dalam setiap pertempuranpun tergantung pada banyak persoalan. Tetapi seorang lawan seorang, aku tak akan gentar”

Demikianlah kemarahan Sidanti itu selalu merayap-rayap didalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat menahan arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Sekar Mirah duduk dihalaman bersama dengan Agung Sedayu.

Lambat laun, Agung Sedayu merasakan pula sikap yang aneh dari Sidanti. Karena itu, maka timbullah kecemasan didalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan, bagaimana seandainya anak muda yang mampu melawan Tohpati itu nanti marah kepadanya. Maka betapapun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Sidanti. Tetapi Sekar Mirah tidak melihat kecemasan yang mencengkam perasaan Agung Sedayu. Karena itu apabila Agung Sedayu tidak menampakkan dirinya, maka Sekar Mirahlah yang pergi mencarinya.

Yang tidak kalah peningnya adalah Widura sendiri. Ia melihat persoalan yang dapat meledak setiap saat. Ia melihat betapa Sidanti sama sekali tidak menyukai Agung Sedayu. Dan ia melihat Agung Sedayu pasti akan ketakutan apabila suatu saat Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Dengan demikian, maka Widurapun telah berusaha untuk mencagah peristiwa-peristiwa yang hanya akan menambah bebannya.

“Sedayu” berkata pamannya kepada kemenakannya itu “Kau harus dapat memperhitungkan segenap perbuatanmu disini. Setiap langkah akan membawa akibat. Melangkahlah kalau kau berani menangung setiap akibat yang terjadi. Kalau tidak, jangan membuat persoalan-persoalan baru yang bagiku tidak kalah sulitnya dengan laskar Tohpati yang masih saja berkeliaran disana-sini”

Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk menjadi seorang yang berhati jantan, apapun yang akan terjadi. Bukankah ia mampu pula menggenggam pedang? Namun kekerdilan jiwanya telah menjeratnya dalam sifat-sifatnya yang penakut. Sehingga yang dapat dilakukannya adalah, semakin menyekap dirinya dipringgitan.

Tetapi suatu ketika ia memerlukan juga untuk keluar dari pringgitan itu. Kebelakang, kepadasan, untuk mengambil air wudlu. Dan kesempatan-kesempatan yang demikian itulah yang dipergunakan Sekar Mirah untuk menemuinya.

“Tuan” panggil gadis itu ketika Agung Sedayu berjalan menyusur dinding-dinding dibelakang rumah “Dari manakah tuan?”

“Dari sumur Mirah”

“Ah” jawab gadis itu “Tuan tak usah bersusah payah menimba air. Bukankah laskar paman Widura itu cukup banyak. Seharusnya tuan tinggal mandi saja seperti paman tuan itu”

“Tidak baik Mirah. Aku disini sama sekali bukan seorang pemimpin. Bukan sebagai laskar paman Widura itupun bukan. Aku disini seorang diri”

Sekar Mirah tertawa. Jawabnya “Tuan seorang diri dan paman tuan beserta laskarnya, manakah yang lebih bernilai bagi kami, penduduk Sangkal Putung?”

Sedayu tersenyum. Ia selalu mendengar Sekar Mirah memujinya. Dan ia senang mendengar pujian itu. Namun kali ini adalah sangat berlebih-lebihan. Maka jawabnya “Jangan memperkecil arti paman Widura dan laskarnya. Mereka telah berhasil mengusir laskar Tohpati.”

“Apakah tuan tidak dapat berbuat demikian?”

“Sendiri tentu tidak” jawab Sedayu. Namun dihatinya terdengar kata-katanya sambil meneruskan “Apalagi seorang diri. Sepasukanpun tidak mungkin” namun kata-kata itu disekapnya jauh-jauh disudut dadanya.

Sekar Mirah masih saja tertawa. Bahkan kemudian kata-katanya mengalir seperti banjir. Tak habis-habisnya. Tak putus-putusnya.

“Tidakkah tuan sekali-sekali ingin berjalan-jalan kewarung kembali?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu menggeleng. “Lain kali Mirah”

“Oh. Tetapi tidakkah tuan ingin melihat belumbang ayah? Gurame yang dipelihara oleh kakang Swandaru kini telah sebesar bantal. Barangkali tuan ingin menangkapnya?”

Agung Sedayu menggeleng kembali. “Lain kali saja Mirah”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang iapun merasakan bahwa sikap Agung Sedayu pada saat-saat terakhir menjadi semakin jauh daripadanya. Karena itu Sekar Mirah menjadi cemas, apakah sikapnya terlalu menjemukan?

Tetapi pertemuan itu dikejutkan oleh sebuah langkah tergesa-gesa mendekati mereka. Ketika mereka menoleh betapa dada Agung Sedayu berguncang. Tanpa diketahuinya sendiri, terasa lututnya menjadi gemetar. Ternyata yang datang adalah Sidanti.

Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas. Disapanya anak muda itu sambil tersenyum “Marilah kakang Sidanti”

Namun wajah Sidanti itu menjadi semakin tegang. Beberapa langkah dari Agung Sedayu ia berhenti. Ditatapnya wajah anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian kepada Sekar Mirah ia berkata “Mirah, sudah berapa kali aku memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu rapat dengan anak muda itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kini ia berdiri tegang menghadap Sidanti. Katanya lantang “Sudah berapa kali, aku menjawab apakah hakmu?”

Sidanti tidak senang mendengar jawaban itu. Maka matanya yang bulat itu seakan-akan memancarkan bara kemarahan. Kepada Agung Sedayu ia berkata “apakah kepadamu aku harus memberi peringatan?”

Kata-katanya itu tergores didada Agung Sedayu seperti goresan pisau yang setajam pisau penukur. Namun gelora didadanya yang gemuruh tidak juga mau berhenti, apalagi ketika dilihatnya mata Sidanti yang menyala itu. Hatinya menjadi semakin kecut. Namun dicobanya juga berjuang sekuat tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya untuk bersikap tenang walau dadanya hampir pecah oleh kecemasan dan kekhawatiran. “Jangan lekas marah kakang Sidanti” suara Agung Sedayu terdengar bergetar. Namun ia berhasil mengucapkannya.

“Hem” Sidanti menarik nafas untuk mencoba mengendalikan perasaannya. “Ingat, aku tidak senang melihat pergaulan kalian”

Sedayu tidak segera menjawab. ia masih berjuang untuk tetap menyadari keadaannya. Tetapi Sekar Mirahlah yang menjawab lantang “Kau tidak berhak berkata demikian kakang. Aku bebas berbuat apapun dihalaman rumahku sendiri. Apa keberatanmu?”

Sidanti menggigit bibirnya. Nyala dimatanya menjadi semakin menyala. Dan ketakutan Sedayupun menjadi semakin mencengkram hatinya. Dengan ketenangan yang dibuat-buatnya ia berkata “Sudahlah Mirah, biarlah ia mengatakan apa yang akan dikatakannya”

Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan heran. Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan kemarahannya, meskipun Sidanti itu bersikap demikian. Karena itu katanya “Jangan tuan. Jangan biarkan Sidanti berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku. Halaman ini halamanku”

Sidanti kini terdengar menggeram. Kemarahannya telah sampai diubun-ubunnya. Namun ia masih berusaha untuk tidak menyakiti hati gadis itu berlebih-lebihan. Maka karena itulah kemarahannya ditumpahkannya ke Agung Sedayu. Katanya “Sedayu. Aku dengar kau adalah seorang anak muda yang sakti. Karena itu marilah kita bersikap jantan”

Hati Agung Sedayu benar-benar telah berkeriput sekecil hati anak ayam melihat elang. Tetapi dihadapan Sekar Mirah ia masih mencoba menjaga nilai-nilainya, nilai-nilai yang pernah dikatakannya kepada gadis itu, meskipun sama sekali hanya sebuah dongengan belaka. Karena itu masih dengan ketenangan yang dibuat-buat ia menjawab “Sidanti. Apakah keuntungan kita berbuat demikian?”

“Jangan bicara tentang untung dan rugi” teriak Sidanti.

Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu apalagi yang akan dilakukan. Sedang Sekar Mirah pun menjadi semakin heran melihat sikap Agung Sedayu. Kenapa Sidanti itu tidak saja dipukulnya sampai setengah mati?

Suasana kemudian tenggelam dalam ketegangan. Sidanti berdiri dengan kaki renggang, siap untuk mlancarkan serangan atau bertahan terhadap setiap kemungkinan. Namun Agung Sedayu masih saja berdiri dalam sikapnya. Tenang. Ketenangan yang gelisah.

Karena itu Sekar Mirah menjadi semakin tidak mengerti. Betapapun orang bersabar hati, namun bagi Sekar Mirah sikap Sidanti itu sudah berlebih-lebihan.

Apalagi ketika kemudian Sedayu berkata terputus-putus “Kakang Sidanti. Jangan kita memberi contoh kurang baik terhadap laskar paman Widura. Pertentangan kita sama sekali tidak menguntungkan siapapun juga, selain laskar Tohpati”

Sidanti kembali menggigit bibirnya. Ia merasakan kebenaran kata-katannya Sedayu. Karena itu maka ia berdiam diri untuk beberapa saat. Dan kembali suasana yang tegang itu menjadi diam. Kemudian kediaman itu dipecahkan oleh sebuah suara nyaring disudut rumah “Siapa yang ribut?”

Dan muncullah seorang anak muda yang gemuk pendek. Swandaru. Ia berhenti ketika dilihatnya Sidanti dalam kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih tenang-tenang saja dan adiknya Sekar Mirah.

“Apa yang terjadi Mirah?” bertanya anak itu.

“Kakang Sidanti memaksa aku untuk menuruti kehendaknya” jawabnya. Sidanti terkejut mendengar jawaban itu. Sedayupun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu meneruskan “Menurut kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul dengan setiap laki-laki kecuali kakang Sidanti sendiri”

“Mirah” potong Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus “Ia mengancamku. Nah, apakah haknya?”

Swandaru memandang Sidanti dengan tajamnya. Telah lama tertanam bibit-bibit ketidak-senangannya terhadap anak muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh “Jangan hiraukan Mirah. Anggaplah kata-katanya seperti angin malam. Gemerisik dan lenyap bersama embun pagi”

Sidanti adalah anak muda yang masih berdarah panas. Kata-katanya itu benar-benar menyakitkan hatinya. Karena itu tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru seperti pernah dilakukannya. Swandaru terkejut, namun ia tidak mampu untuk menghindar. Terasa sebuah sengatan yang dahsyat dipipinya sehingga ia tersentak mundur. Namun Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia terbanting jatuh, bersamaan dengan pekik adiknya Sekar Mirah. “Kakang Swandaru!” teriaknya.

Swandaru berguling beberapa kali. Kemudian dengan susah payah ia duduk. Dirasakannya kepalanya pening dan ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi merah. Darah.

Sekar Mirah memandang Sidanti seperti memandang hantu. Betapa gadis itu menjadi marah sehingga mulutnya bergetar. Namun yang dapat diucapkannya hanyalah “Kau setan, Sidanti”

Pekik Sekar Mirah ternyata didengar oleh beberapa orang yang sedang terkantuk-kantuk dipendapa. Beberapa orang berlari-larian kebelakang rumah. Mereka tertegun ketika melihat Swandaru masih duduk ditanah dan dari mulutnya mengalir darah, diantara mereka berdiri dengan dada yang bergolak pemimpin laskar di Sangkal Putung itu. Widura. Dengan tajam Widura memandang satu demi satu setiap orang yang berdiri dibelakang rumah itu. Sidanti, Sedayu dan Swandaru. Katanya didalam hati “Celaka. Swandaru terlibat pula”

Sidanti masih berdiri seperti tonggak. Kaki-kakinya yang kokoh seakan-akan jauh menghunjam kedalam bumi. Dengan wajah yang tegang ia berdiri menunggu apapun yang akan terjadi. Namun ia sudah terlanjur mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala akibat yang akan timbul pasti akan dihadapinya.

Dalam ketegangan itu terdengarlah Widura menggeram “Apakah yang terjadi disini Sidanti?”

Sidanti tidak segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian Sekar Mirah.

Beberapa orang yang berdiri memagari merekapun segera dapat menebak, apa yang sudah terjadi. Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, sedang Citra Gati dengan penuh perhatian menatap wajah Sidanti.

Ketika beberapa saat Sidanti tidak menjawab, maka kembali Widura bertanya, kali ini kepada Agung Sedayu “Apa yang terjadi Sedayu?”

Agung Sedayu menundukkan wajahnya, mulutnyapun seperti terkunci. Karena itu Agung Sedayu juga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Yang terdengar kemudian adalah kata-katanya Swandaru “Yang aku ketahui paman, mulutku berdarah dan kepalaku serasa hampir terlepas”

Widura berpaling kearah Swandaru yang masih terduduk ditanah “Berdirilah Swandaru” berkata Widura.

Dengan susah-payah anak muda itu berdiri. Beberapa orang berusaha untuk menolongnya dan menghapus darah yang masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru telah berdiri meskipun belum tegak benar, ia mencoba memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Namun ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata terus “Tangan kakang Sidanti benar-benar seberat timah”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ditatapnya mata Sidanti, sehingga dengan nanar Sidanti terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jauh.

“Kenapa kau sakiti dia Sidanti?”

“Anak itu mendahului kakang” sahut Sidanti

“Ah” Widura berdesah “Benarkah demikian?” katanya kepada Swandaru.

“Hem” Swandaru menarik nafas. “Ada dua orang saksi disini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu”

Sidanti menelan ludahnya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Dan didengarnya kembali Widura bertanya “Sidanti, apakah sebenarnya yang terjadi?”

Sidanti kini tidak ingin bersembunyi dibalakang berbagai alasan yang berbelit-belit. Maka jawabnya dengan dada tengadah “Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan adi Agung Sedayu. Persoalan antara anak-anak muda. Karena itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan kelaskaran Pajang di Sangkal Putung”

Jawaban itu benar-benar tak diduga oleh Widura dan oleh siapapun. Sidanti mencoba meletakkan persoalan ini diluar campur tangan pihak-pihak lain. Karena itu maka Widurapun menjadi berdebar-debar pula. Katanya “Aku adalah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang terjadi disini. Apalagi diantara anak buahku sendiri”

“Tetapi apabila persoalan itu menyangkut persoalan kelaskaran” bantah Sidanti. “Persoalanku adalah persoalan seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan kepemimpinan kakang disini”

Dahi Widurapun menjadi berkerut karenanya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia adalah seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki wibawa atas anak buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya “Lalu apakah kehendakmu?”

“Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sebagai laki-laki” jawabnya.

Jawaban itu sangat mendebarkan hati. Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut matanya ia memandang wajah pamannya. Namun kemudian wajahnya itupun ditundukkannya kembali.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata “Ada hakku untuk berbuat atas kalian. Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku disini, dan kedua ia adalah keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran disini”

Terasa sesuatu berdesir didada Agung Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya berusaha membebaskannya dari pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, namun hanya sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.

Beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Terutama Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang berdiri disamping Citra Gati berbisik “Ah, kakang Widura terlalu memanjakan Sidanti yang sombong itu, sehingga kemenakannya sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali Sidanti itu dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik. Lihatlah betapa kecewa angger Sedayu mendengar keputusan pamannya. Untunglah ia anak yang patuh, sehingga keputusan itu betapapun beratnya, agaknya akan diterimanya juga”

Mulut Citra Gati berkomat-kamit. Dari matanya menancarlah perasaan muaknya melihat kesombongan Sidanti, sehingga dengan pimpinannyapun ia telah berani membantah.

Sedang Swandaru dengan wajah yang masam memandang Widura dari ujung kaki keujung kepalanya. Apakah mulutnya dibiarkan berdarah, dan Sidanti dibiarkannya begitu saja. Ia memang berharap, Sedayu turun tangan karena peristiwa itu. Ia mengharap bahwa apabila Sidanti marah, maka Agung Sedayupun akan marah pula. Namun tiba-tiba pamannya mengambil keputusan yang tak diharapkan.

Sesaat kemudian mereka dicengkam oleh ketegangan. Bukan saja orang-orang disekitar Sidanti menjadi kecewa, namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai seorang anak muda yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti benar-benar ingin memperlihatkan kemampuannya. Ia yakin, bahwa betapapun kuatnya Agung Sedayu namun ia pasti akan dapat bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena itu, betapa ia menyesal, namun ketika ia akan menyatakan sesalnya, didengarnya Widura berkata “Aku perintahkan kalian kembali kependapa”

Sidanti memandang Widura dengan mata yang gelisah. Katanya “Biarlah aku disini”

“Kau dengar perintahku” ulang Widura.

Sidanti masih berdiri ditempatnya. Beberapa orang yang sudah mulai bergerakpun tiba-tiba berhenti dan memandang anak muda itu dengan hati yang tegang.

Ketika Sidanti tidak beranjak dari tempatnya, terdengar kembali Widura berkata “Sidanti, aku perintahkan kau kembali kependapa”

“Aku disini” jawabnya.

Widura pun menjadi marah karenanya. Ia sadar bahwa Sidanti merasa bahwa kesaktiannya telah bertambah-tambah karena kehadiran gurunya yang menempanya. Namun Widura adalah pemimpin yang sadar akan kedudukannya. Karena itu, selangkah ia maju sambil berkata lantang “Sidanti, untuk terkhir kalinya aku memberikan peringatanku. Kalau tidak, maka aku akan melakukan kekuasaan yang ada padaku. Tinggalkan tempat ini, dan pergi kependapa”

Tubuh Sidantipun bergetar karena marah. Ia tahu benar bahwa Widura tidak lebih daripadanya, sehingga apabila Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak akan melawannya. “Setidak-tidaknya aku akan dapat menyamainya. Bahkan mungkin melampauinya” katanya didalam hatinya. Namun ketika ia melihat beberapa wajah yang keras dan kasar berdiri disekitarnya, Hudaya, Citra Gati, Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata satu, Sonya yang mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra bungkik dan beberapa orang lagi. Meskipun Sidanti tidak gentar berhadapan dengan setiap orang yang berdiri disitu, namun kalau mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk menangkapnya, maka ia pasti akan mengalami kesulitan. Karena itu ketika terpandang sekali lagi mata Widura yang menyala, Sidantipun kemudian perlahan-lahan menggerakkan kakinya. Selangkah demi selangkah, namun perlahan sekali, ia meninggalkan tempat itu pergi kependapa.

Keteganganpun kemudian mereda. Sekali lagi Widura memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Kemudian terdengar kembali perintahnya “Kembali kependapa”.

Setiap orang yang berada ditempat itupun kemudian berangsur-angsur pergi. Terdengarlah gumam yang simpang siur diantara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah Sedayu, Sekar Mirah dan swandaru. Perlahan-lahan Widura meraba pipi swandaru, diamat-amatinya noda yang merah kebiru-biruan dipipi itu “Tangan anak itu benar-benar luar biasa” katanya didalam hati.

“Masuklah Swandaru” berkata Widura. “Katakanlah kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku akan minta maaf kepadanya”

Swandaru tersenyum meskipun masam “Kenapa paman minta maaf kepada ayah?”

“Aku menyesal bahwa salah seorang anak buahku, yang seharusnya melindungi rakyat Sangkal Putung, bahkan telah menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari anak-anak muda disini? Karena itu maka aku harus minta maaf kepada rakyat Sangkal Putung lewat ayahmu” sahut Widura.

Swandaru mengangguk-angguk. Pipinya masih terasa sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh hanya oleh permintaan maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun demikian, dihargainya juga sikap Widura yang jujur itu.

Swandaru dan Sekar Mirahpun kemudian masuk kerumahnya lewat pintu belakang dengan hati kecewa. Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan yang telah dua kali dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia menggeram didalam hatinya “Awas Sidanti, suatu ketika aku harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lata, tetapi Swandaru, Swandaru Geni, adalah sorang anak jantan”

Sedayupun kemudian mengikuti pamannya kepringgitan. Dipringgitan ia duduk saja sambil menekurkan kepalanya. ketika pamannya kemudian duduk dihadapannya, hatinya menjadi berdebar-debar.

“Sedayu” berkata pamannya “Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?”

Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Apalagi ketika pamannya itu berkata pula “Bukankah aku pernah memberimu peringatan?”

“Aku sudah mencoba melakukannya paman” sahut Sedayu perlahan-lahan. “Tetapi apabila aku pergi kesumur atau kebelakang untuk keperluan lain, kadang-kadang aku masih berjumpa dengan gadis itu”

“Aku tidak keberatan apapun yang kau lakukan Sedayu, asalkan kau dapat mempertanggung-jawabkannya. Aku berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih hampir setiap malam. Aku berbesar hati melihat kemajuan-kemajuan yang kau capai. Namun hatimu yang kerdil itu masih sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan dengan Sidanti. Karena itu Sedayu, kali ini adalah kali terakhir aku mencampuri persoalanmu. Seterusnya, kau sudah cukup besar untuk menjaga dirimu sendiri”

Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Hampir ia menangis mendengar kata-kata pamannya. Ia kini telah benar-benar kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum diketemukan, dan pamannya seolah-olah tak mau lagi melindunginya. “Oh” Sedayu mengeluh didalam hati.

“Sedayu” berkata pamannya “Bagaimanakah kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?”

Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang diri disana “Atau ke Banyu Asri?” kata pamannya pula.

Di Banyu Asri pun keadaannya sama sekali tidak menyenangkan. Orang-orang Jipang yang berpencaran dapat saja menemukannya di Banyu Asri. Alap-alap Jalatunda yang berkeliaran itu, misalnya, sebab Alap-alap Jalatunda itu kini sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti dahulu lagi, sebelum ia pernah bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang mengerikan itu.

“Biarlah aku disini paman. Aku berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam”

“Oh” Widura mengeluh. “Terlalu, terlalu” gumamnya. Ia telah benar-benar menjadi jengkel. Dan karena itu, maka mulutnya malahan terbungkam karenanya.

Dipendapa Sidanti masih duduk disudut diatas tikar pembaringannya. Hatinya menyala oleh kemarahan yang memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang mengerikan. Beberapa orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar karenanya, dan tanpa sadar pula, mereka duduk-duduk disamping senjata masing-masing.

Tiba-tiba ketika Sidanti itu melihat Widura melangkah keluar, ia berdiri pula. diletakkannya senjatanya, dan dengan tergesa-gesa ia menyusulnya.

“Kakang” panggil Sidanti. Widura terkejut, karena itu iapun segera berhenti.

Tampaklah dahi Widura itu berkerut, ketika dilihatnya Sidanti dengan tergesa-gesa pergi mendapatkannya. Bukan saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang yang melihatnyapun tanpa sesadar mereka, serentak berdiri tegak ditempat masing-masing.

Sidantipun melihat semuanya itu. Karena itu maka kini dapat diketahuinya, bagaimana sikap orang-orang dalam lingkungannya kepadanya. Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak berkecil hati.

Ketika Sidanti sudah berdiri beberapa langkah dihadapannya, Widura bertanya “Apakah ada sesuatu yang penting?”

“Ya kakang” jawab Sidanti. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kakang Widura tanpa didengar oleh seorangpun”

“Katakanlah” sahut Widura.

Sidanti beragu sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya beredar kesegala sudut halaman dan pendapa rumah kademangan itu.

“Kalau kau tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar” berkata Widura.

Sidanti menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum itu terasa aneh bagi Widura.

“Kakang” berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura. “Aku ingin mengatakan sesuatu. Tetapi tidak disini.”

“Berkatalah sekarang” sahut Widura.

Sidanti menarik nafas. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Ditangga pendapa ia melihat beberapa orang berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang diantaranya duduk dengan gelisah. Diregolpun dilihatnya beberapa orang penjaga dengan tombak ditangan mereka.

“Baiklah kakang” berkata Sidanti “Aku hanya akan minta ijin kakang untuk menyelesaikan persoalanku dengan Agung Sedayu secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut dan menjadi semakin dalam menghunjam didalam dadaku”

Widura terkejut mendengar permintaan itu. Ternyata Sindanti sama sekali tidak dapat menekan perasaannya. Karena itu untuk sesaat Widura tidak segera dapat menjawab. Bahkan Sidanti sempat berkata terus “Aku bersedia memenuhi syarat apapun yang akan diberikan kepada kami berdua. Tanding tanpa atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata”

Wajah Widura tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, kemudian katanya “Tidak. Aku tidak memberimu ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan”

Sidanti menjadi kecewa. Namun ia masih berkata terus “Kakang, agaknya kurang bijaksana. Apakah kakang ingin dendam kami masing-masing membakar dada kami, sehingga kelak apabila terdapat kesempatan, maka kami akan bertempur tanpa pengendalian diri? Kini kami masih cukup sadar, bahwa perkelahian yang akan diadakan ini adalah perkelahian antara kita. Hanya karena persoalan pribadi. Sehingga dengan demikian kita masih dapat membatasi diri kita sendiri untuk tidak menghancurkan laskar kita dihadapan laskar Jipang”

Sekali lagi Widura menggeleng, katanya tegas “Tidak. Perkelahian diantara kita sama sekali tak akan menguntungkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku tidak mau melihat salah seorang dalam aliran darahku yang berkelahi karena perempuan”

Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah membara. Kemarahannya kini menjalar kembali didadanya. Kata-kata Widura itu benar-benar suatu tamparan baginya.

Dan tiba-tiba pula perasaan yang tersimpan didadanya itu kini terungkat seluruhnya. Betapa ia memandang Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa persoalan yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan kelaskaran, tetapi persoalan pribadi. Karena itu kini Sidanti tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun demikian ia masih berkata perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan “Kakang, apakah sebenarnya kakang sedang melindungi anak itu?”

Dada Widura seakan-akan meledak mendengar pertanyaan itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya ingin menghina Agung Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka Widura hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian ia berkata “Jangan mengigau Sidanti. Kalau suatu ketika terjadi perkelahian diantara kalin, maka kalian berdua akan terpaksa mengalami hukuman”

Sidanti tersenyum. Senyum yang benar-benar menyakitkan hati. Katanya “Hem, kakang Widura. Sebagai seorang bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang mempunyai kebebasan diri dalam persoalanku sendiri aku tidak dapat menerimanya”

Sekali lagi dada Widura terguncang. Wajahnya menjadi merah pula karena marah. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan dirinya.

Orang-orang yang melihat percakapan itu dari kejauhan menjadi heran. Mereka melihat wajah-wajah yang tegang. Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu mereka menebak-nebak apakah yang mereka bicarakan. Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura?

Namun mereka tidak mendengar ketika Widura berkata “Aku mempunyai kekuasaan disini Sidanti”

Sidanti masih tersenyum. Katanya “Kakang Widura ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk keuntungan pribadi”

Dada Widura benar-benar hampir pecah karenanya. Ia harus mempertahankan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Maka katanya “Tanpa kekuasaanpun aku dapat memaksamu Sidanti”

Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba iapun berkata “Kakang, aku ingin berbicara tanpa seorangpun yang melihat”

“Bagus” berkata Widura. Ia benar-benar telah menangkap tantangan itu. Karena itu ia harus menerimanya apabila ia masih ingin dinamai seorang pemimpin. Maka katanya seterusnya “Nanti malam kita bisa bertemu tanpa seorangpun yang melihat pertemuan itu”

Dada Sidantipun bergetar semakin cepat. Ia sudah menjerumuskan diri kedalam persoalan yang lebih berat. Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua persoalan itu.

Maka kemudian Sidanti itupun mengangguk hormat, lalu pergi meninggalkan Widura yang masih tegak dengan tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan dirinya itu, berjalan kependapa, kemudian naik dengan langkah yang tetap.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya keadaan disekitarnya. Dilihatnya anak buahnya berdiri berjajar disamping pendapa, sedang diregol halaman dilihatnya beberapa orang yang sedang bertugas tegak dengan tombak ditangan.

“Apapun yang terjadi” katanya didalam hati “Mereka harus menganggap aku sebagai seorang laki-laki yang berani menghadapi setiap keadaan dibawah kekuasaanku. Kalau aku hindari tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan kepercayaan, dan aku akan kehilangan kewibawaan”

“Tetapi” terdengar pula suara yang lain “Bagaimanakah kalau aku dapat dikalahkan?”

“Menang atau kalah bukan soal” jawabnya sendiri “Aku harus tetap pada keputusanku, keputusan seorang pimpinan prajurit”

Sesaat kemudian Widura itupun melangkah kembali keregol halaman. Kemudian kepada para penjaga ia bertanya “Adalah kalian melihat Ki Demang sudah datang?”

“Belum tuan” jawab salah seorang dari mereka. “Malahan Swandaru juga keluar halaman”

“Kemana?”

“Tak dikatakan kepada kami”

Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Ia ingin menyampaikan sendiri kabar tentang persoalan antara Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf kepadanya. Kalau Swandaru sendiri yang mengatakannya, maka Ki Demang akan dapat menjadi salah paham. Apalagi kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka akibatnya akan menyulitkannya.

Tetapi disamping itu tantangan Sidanti juga menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi apapun, namun sebagai seorang pemimpin ia mempunyai tanggung jawab yang luas.

Bahkan kemudian Widura itu mengumpat didalam hatinya. “Alangkah bodohnya Agung Sedayu. Ia telah membuat Sangkal Putung menjadi berantakan setelah ia berhasil menyelamatkannya. Kalau anak itu bukan saja seorang pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya”

Ketika Widura melangkah kembali kependapa, terasa seseorang menggamitnya. Orang itu adalah Citra Gati. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik “Apakah yang dikatakan Sidanti itu kakang?”

Widura memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum “Tidak apa-apa” jawabnya.

Citra Gati menggeleng. Katanya “Aku melihat sesuatu yang tidak wajar kakang. Jangan biarkan kami menebak-nebak, supaya kami tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak Wedi yang sombong itu”

“Tenaganya kita perlukan disini” sahut Widura.

Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu benar. Namun apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk berbuat sesuka hatinya? Karena itu ia bertanya “Tetapi kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin tidak menyenangkan”

“Aku akan mencoba untuk mengatasinya” jawab Widura.

“Mudah-mudahan kakang berhasil” gumam Citra Gati “Kalau perlu, kakang dapat minta bantuan kami. Bukankah itu juga termasuk kewajiban kami?”

Widura mengerutkan keningnya. Katanya “Jangan. Dengan demikian dendam diantara kalian akan semakin menyala. Kewajiban kita masih banyak. Tohpati masih ada dimuka hidung kita. Alap-alap Jalatunda dan Plasa Ireng yang berkeliaran didaerah Pakuwon dan Karajan. Mungkin masih banyak lagi orang-orang yang bersembunyi disana-sini. Suatu ketika mereka akan berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang berat”

Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum kepada anak muda yang bernama Sidanti itu, namun ia membencinya. Meskipun didalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang lawan seorang ia tak akan dapat mengalahkan Sidanti yang hampir dapat mencapai tataran Macan Kepatihan, namun ia tidak senang melihat anak itu dibiarkan sesuka hatinya.

“Kakang” tiba-tiba terdengar Citra Gati berkata pula “Kenapa kakang tidak membiarkan angger Agung Sedayu sekali-sekali mengajarnya untuk bersopan santun?”

Kembali dada Widura bergetar. Namun jawabnya “Aku benci melihat perkelahian karena perempuan”

“Oh” Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak dapat berkata apapun lagi. Itu adalah persoalan antara paman dan kemenakannya. Karena itu maka iapun kemudian kembali kependapa dan duduk disamping Sonya dan Sendawa.

“Apa katanya kakang Gati?” bertanya Sendawa setelah Citra Gati duduk disampingnya.

“Entahlah. Terasa sesuatu dirahasiakan oleh kakang Widura” jawab Citra Gati.

Sendawa, yang matanya cacat sebelah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya masih sibuk menggosok-gosok senjatanya, sebuah kelewang yang besar dan tebal, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar.

Kemudian mereka tenggelam dalam kesenyapan. Angan-angan mereka masing-masing terbang bersama awan dilangit. Sekali-sekali burung elang terbang melingkar-lingkar diudara, mencari mangsanya. Namun induk-induk ayang dengan bulu-bulunya yang tebal, segera menyelimuti anak-anaknya yang ketakutan.

Widura pun kemudian kembali kepringgitan. Dilihatnya Agung Sedayu duduk terpekur. Dan tiba-tiba saja timbullah perasaan jemu melihat anak itu. Namun ia adalah kemenakannya. Dan ia datang untuk keselamatannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Widura adalah mengumpat-umpat saja di dalam hati.

Mataharipun semakin lama semakin condong kebarat. Dan Widura tidak melupakan janjinya. Malam nanti.

Dan akhirnya malam itu datang. Ketika pringgitan itu mulai dinyalakan lampu, Widura melihat Demang Sangkal Putung masuk kedalamnya.

“Silakan kakang” sambut Widura.

Ki Demang dengan lelahnya duduk disamping Agung Sedayu yang duduk terpekur. Sejengkal ia menggeser diri, dan terdengar ia berkata lirih “Marilah bapak Demang”

“Silakan, silakan ngger” jawab demang Sangkal Putung itu. “Ah, aku baru saja melihat-lihat apakah sawah kita masih sempat ditanami”

“Oh “sahut Widura sambil duduk pula “Bagaimana keadaannya?”

“Baik” jawab ki Demang.

“Aku mencari ki Demang sejak siang tadi” berkata Widura.

“Ya ya. Aku mendengar dari Swandaru. Aku mendengar pula apa yang telah terjadi. Aku menyesal”

“Kami harus minta maaf kepada kakang”berkata Widura.

“Aku juga. Bukankah Sekar Mirah itu anakku? Anak itu memang seharusnya mendapat peringatan”

Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali tidak berani ikut serta dalam pembicaraan itu.

Kemudian terdengar Ki Demang meneruskan “Dan itu sudah aku lakukan. mudah-mudahan hal yang tak diharapkan ini tidak terulang kembali”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah demang Sangkal Putung itu sudah cukup usianya untuk dapat memandang setiap persoalan dengan tenang. Karena itu, maka keadaan Widura tidak menjadi bertambah parah lagi.

“Mudah-mudahan” berkata Widura kemudian. “Mudah-mudahan aku akan berhasil menguasai anak buahku”

Ki Demang tersenyum. Namun kemudian ia berkata “Ah sudahlah, aku ingin bicara masalah lain”

“Apakah itu?” bertanya Widura.

“Aku melihat kejemuan diantara anak-anak kita. Bukankah begitu?”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” jawabnya. “Terasa benar kejemuan itu. Dan karena itu pulalah maka sering terjadi hal-hal yang sama sekali tak diharapkan. Anak-anak itu kadang-kadang membuat hal-hal yang aneh yang kadang-kadang berbahaya”

“Tepat” sahut ki Demang. “Jangankan anak-anak adi Widura, anak-anak muda Sangkal Putung yang hidup diatara keluarganyapun menjadi jemu oleh ketegangan ini. Nah, aku ada pendapat, kalau adi menyetujui”

“Bagaimana?”

Anak-anak muda Sangkal Putung akan mengadakan perlombaan ketangkasan”

“Bagus” sahut Widura dengan serta-merta. “Ketegangan mereka akan tersalur. Biarlah anak-anakku juga mengadakannya”

Ki Demang tersenyum. “Nah, kita tinggal membicarakan kapan dan perlombaan apa?”

“Baik kakang” jawab Widura. “Biarlah nanti anak-anak menentukan sendiri”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu adalah rencana yang baik sekali baginya. Tidak saja untuk menyalurkan ketegangan yang menghimpit mereka terus-menerus, namun juga untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi anak-anak muda Sangkal Putung untuk lebih maju dalam olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang demikian akan dapat memberi mereka kegembiraan.

“Baiklah” berkata ki Demang itu kemudian “Biarlah anak-anak membicarakannya. Kini aku ingin beristirahat”

Ki Demang itupun kemudian berdiri dan berjalan keluar. Widura yang mengantarkannya sampai kepintu, melihat anak-anaknya sudah berbaring ditempat masing-masing. Tetapi ketika pandangan matanya hinggap disudut pendapa, tempat Sidanti, hatinya menjadi berdebar-debar. Tempat itu ternyata kosong.

“Anak itu belum berada ditempatnya” gumamnya. Namun ia tidak berkata sepatah katapun.

Ketika ki Demang telah turun kehalaman, segera Widura masuk kembali kepringgitan. Dibenahinya pakaiannya, dikeraskannya ikat pinggangnya dan kemudian disangkutkannya pedangnya dilambungnya. Ia kini sudah benar-benar siap, apapun yang akan terjadi atasnya malam nanti dalam kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung. Ia masih akan berusaha menguasai Sidanti seorang diri. Janjinya untuk bertemu Sidanti tanpa diketahui oleh siapapun benar-benar akan dipenuhi.

Demikianlah ketika Widura telah siap benar, berkatalah ia kepada Agung Sedayu “Kau tinggal dirumah kali ini Sedayu. Aku akan pergi seorang diri”

Dada Agung Sedayu berdebar-debar. Justru baru siang tadi terjadi peristiwa yang mengusutkan hatinya. Karena itu ia bertanya “Kenapa aku tidak ikut serta paman?”

“Tidak apa-apa. Kau tinggal dirumah” Widura tidak menunggu jawaban Agung Sedayu. Segera ia melangkah keluar. Katanya dalam hati “Biarlah anak itu aku tunggu diregol halaman”

Demikian Widura meninggalkan pringgitan, demikian hati Agung Sedayu kembali keriput. Tiba-tiba saja terasa dadanya menjadi sesak oleh kecemasan yang menghentak-hentak. “Apakah paman sengaja membiarkan Sidanti membunuhku?” katanya didalam hati. Dan tiba-tiba saja timbullah keinginan yang aneh “Ah, apabila demikian, biarlah lebih baik aku ikut saja kepada Kiai Gringsing”. Namun kembali timbul ragunya “Jangan-jangan Kiai Gringsing benar-benar menganggapnya seorang yang sakti. Dengan demikian pada suatu kali ia harus berhadapan pula dengan seorang lawan apapun alasannya”

Tiba-tiba Sedayu hampir pingsan ketika didengarnya pintu berderit dan dilihatnya kepala Sidanti terjulur masuk. Tetapi anak muda itu tidak meloncat masuk dan memukulnya. Dengan tersenyum ia bertanya “Dimanakah kakang Widura?”

“Diluar” jawabnya singkat, tetapi terdengar suaranya bergetar.

Tiba-tiba pandangan mata Sidanti itu menjadi aneh. Ditatapnya tiap sudut ruangan. Dan kembali ia bertanya “Kakang Widura tidak disini?”

Sedayu menggeleng, dan dadanya menjadi semakin bergetar. Sidanti masih saja menjulurkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia melangkah masuk. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dengan nyala dendam dimatanya. Kemudian terdengarlah Sidanti berkata “Sayang, kakang Widura tidak mengijinkan kita menyelesaikan masalah kita sendiri”

Betapapun dada Sedayu bergetar, namun dengan sekuat tenaga masih dicobanya untuk tidak berkesan diwajahnya. Dengan tergagap ia menjawab “Demikianlah”

“Tetapi bukankah kita bisa menempuh jalan lain?” berkata Sidanti pula “Kita tidak usah minta ijin kepada kakang Widura”

Tetapi Sidanti terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara Widura diluar pintu “Sidanti, aku menunggumu disini”

“Oh” sahut Sidanti “Aku sedang mencari kakang”

“Marilah Sidanti, biarkan Sedayu ditempatnya. Jangan mencoba melanggar perintahku”

Sidanti menarik alisnya. Tampaklah wajahnya menjadi tidak senang. Namun ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar sambil menggeram “Baik kakang Widura”. Tetapi kemarahannya kepada Widura semakan membakar dadanya.

“Aku akan memenuhi permintaanmu” berkata Widura kemudian.

Sidanti tersenyum “Terima kasih” sahutnya.

“Kita pergi sekarang” Widura meneruskan. “Aku masih akan melihat gardu-gardu peronda lebih dahulu”

Sidanti tidak menjawab. Namun ia melangkah kesudut pendapa. Dari dinding diatas pembaringannya diraihnya senjatanya yang menyeramkan itu. Kemudian katanya kepada Widura “Marilah kakang”

Widura tidak menjawab. Langsung ia melangkah menuruni pendapa, sedang Sidanti berjalan dibelakangnya. Diregol halaman Widura berhenti sejenak. Kepada salah seorang penjaga ia berkata “Aku akan nganglang kademangan. Lakukan tugasmu baik-baik”

“Baik tuan” jawab penjaga itu. Namun matanya memancarkan keheranannya. Biasanya Widura pergi hampir setiap malam dengan Agung Sedayu, namun kini ia pergi bersama Sidanti.

Mereka mencoba meraba-raba apakah sebabnya. Tetapi tak seorangpun diantara mereka yang berani bertanya.

Sepeninggal Widura dan Sidanti, perlahan-lahan Hudaya berjalan keregol itu pula. Gumamnya “Aneh”

“Apa yang aneh kakang?” bertanya salah seorang penjaga.

“Aku tidak bisa mengerti, apakah sebenarnya yang memukau kakang Widura. Anak muda yang sombong itu seakan-akan tak pernah berbuat salah dihadapan kakang Widura. Kalau aku menjadi kakang Widura, aku biarkan kemenakannya, angger Agung Sedayu sekali-sekali menghajarnya. Namun agaknya angger Sedayulah yang dianggap bermasalah. Lihat, kini anak yang sombong itulah yang dibawanya”

“Akupun tak mengerti” sahut Sendawa yang berada ditempat itu pula. “Siang tadi aku melihat Sidanti bercakap-cakap dihalaman dengan kakang Widura. Aku tidak tahu, apakah Sidanti itu sedang minta maaf kepada kakang Widura. Tetapi dengan tidak dibawanya Sedayu kali ini benar-benar mengherankan. Tetapi aku mempunyai beberapa prasangka”

Semua orang berpaling kepadanya “apakah prasangka itu?”bertanya Hudaya

“Terlalu kabur” jawab Sendawa “Tetapi prasangka yang jelek”

Semua yang mendengar kata-katanya itu menjadi semakin terpaku. Dan terdengar orang yang bertubuh raksasa itu meneruskan “Kakang Widura agaknya segan juga terhadap Sidanti”

“Janganlah berkata begitu” sahut salah seorang diataranya. “Bukankah ki Widura itu telah berkata, menurut kakang Citra Gati, bahwa tenaga Sidanti itu sangat diperlukan disini? Ialah satu-satunya orang disamping ki Widura, yang setidak-tidaknya dapat menahan arus kemarahan Macan Kepatihan diantara kita”

Sendawa terdiam. Namun didalam hatinya, ia membenarkan pula pendapat itu. Tetapi sikap Sidanti benar-benar telah memuakkan pula. Sedemikian muaknya sehingga tanpa disengajanya ia bergumam “Anak muda itu benar-benar anak setan”

“Siapa?” bertanya Hudaya.

“Sidanti, siapa lagi?”

“Kenapa tidak kau tantang saja berkelahi?” bertanya salah seorang sambil tersenyum.

“Tak ada sebabnya” jawab Sendawa

“Gampang. Kalau sekali-sekali kau tangkap gadis anak Ki Demang itu, kau pasti akan berkelahi dengan Sidanti”

“Belum tentu. Aku dapat juga berhadapan dengan ki Demang atau anaknya yang gemuk bulat itu”

“Kau bersetuju dulu dengan mereka”

“Bagus” Sendawa berhenti sebentar “Tetapi aku tidak berani berkelahi melawan anak kecil itu”

Yang mendengar pengakuan itupun tersenyum geli. Sendawa sendiri tersenyum. namun hatinya mengumpat tak habis-habisnya. Seandainya ia mampu, maka Sidanti pasti sudah dihajarnya.

Regol halaman itu kemudian menjadi sepi. Hudaya kemudian melangkah kembali kependapa diikuti oleh Sendawa sambil menyeret kelewangnya yang besar dan tebal seperti tubuhnya. Hampir semua orang telah tertidur. Citra Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang Patra dengan nyenyaknya mendengkur disamping Sonya.

Widura dan Sidanti masih berjalan menyusur jalan-jalan desa, singgah dari satu gardu kemudian gardu yang lain seperti setiap malam dilakukan oleh Widura. Namun kali ini nampaknya ia sangat tergesa-gesa. Beberapa orang pun menjadi heran, hampir tidak pernah mereka melihat Sidanti meronda bersama Widura. Tetapi seperti orang-orang diregol halaman, mereka pun tidak bertanya pula. Digardu anak-anak muda Sangkal Putung Swandaru berdiri bertolak pinggang sambil menguap dimuka pintu. Tetapi cepat-cepat mulutnya terkatub ketika ia melihat Widura datang kegardu itu bersama-sama Sidanti. Tetapi Swandarupun tidak bertanya sesuatu. Hanya matanya sajalah yang memancarkan dendam yang tersimpan dihatinya terhadap anak muda yang perkasa, murid Kiai Tambak Wedi yang namanya menakutkan segenap daerah-daerah disekitar gunung Merapi.

Baru setelah semuanya itu selesai, berkatalah Widura “Aku sudah selesai dengan pekerjaanku Sidanti, sekarang kau mendapat giliran”.

Mendengar kata-kata Widura itu, Sidanti pun menjadi berdebar-debar pula. Meskipun demikian ia menyimpan juga kegembiraan didalam dadanya. Jawabnya “Baik kakang. Kemana kita akan pergi?”

“Terserah kepadamu” jawab Widura.

“Kita pergi ke tegal” ajak Sidanti.

Widura tidak menjawab. Tetapi ketika mereka sampai disimpang tiga diluar desa induk Sangkal Putung, Widura membelok kekanan, ke tegal. Sidanti yang berjalan disampingnya, mencoba untuk menenangkan dirinya. Meskipun gurunya sendiri telah memberitahukannya, bahwa Widura tidak lebih daripadanya, namun wibawa orang itu telah menjadikannya gelisah.

Beberapa saat mereka pun sampai kepategalan yang luas. Diantara tanaman-tanaman buah-buahan, terdapatlah beberapa bagian tanah yang kosong. Meskipun Widura tidak bertanya sesuatu, namun timbullah dugaan dalam hati, bahwa didaerah sekitar inilah Sidanti mendapat tempaan dari gurunya. Bahkan mungkin kali inipun gurunya ada disekitar tempat ini. Meskipun demikian Widura sama sekali tidak gentar. Sebagai seorang pemimpin ia akan tetap pada pendiriannya. Apapun yang akan dihadapi.

Dibawah sebatang pohon jambu mete yang besar Sidanti berhenti. Katanya “Kita berhenti disini kakang”.

Widura pun berhenti pula. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Dalam keremangan malam, yang dilihatnya hanyalah batang-batang pohon buah-buahan yang tegak disekitarnya. Batang-batang yang seakan-akan berwana hitam kelam. Kemudian dengan suara yang berat Widura berkata “Nah, apakah yang akan kau lakukan Sidanti?”

Dada Sidanti berdesir mendengar pertanyaan itu. Bagaimanapun juga Widura memiliki cukup pengaruh atas dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari pengaruh itu. Maka jawabnya “Aku ingin minta ijin mu kakang”

“Ijin untuk berkelahi dengan Sedayu?”

“Ya”

“Sudah aku jawab”

Sidanti menarik nafas. Jawabnya “Kakang tidak berhak melarang”

“Sidanti” berkata Widura. Sebagai seorang yang lebih tua maka segera iapun tahu maksud Sidanti yang sebenarnya. Karena itu ia meneruskan “Kau tidak usah melingkar-lingkar. Katakan bahwa kau tidak puas dengan keputusan itu. Namun jangan mimpi aku akan merubah keputusan itu”

“Nah” sahut Sidanti “Sekarang aku tahu, bahwa Sedayu sebenarnya sama sekali bukan seorang pahlawan. Bukan seorang jantan. Apabila demikian, ia pasti sudah berbuat sesuatu. Tetapi ia lebih senang bersembunyi dibalik punggung kakang Widura. Bukankah demikian?”

Widura memandang wajah Sidanti dengan sinar mata yang menyala. Jawabnya “Terserah atas penilaiannmu Sidanti”

“Apakah bukan sebenarnya demikian?”

Widura tidak menjawab. Tetapi ia masih menatap wajah Sidanti dengan tajamnya. Sehingga kemudian terdengar Sidanti mengulangi “Bukankah sebenarnya demikian?”

Widura masih tetap berdiam diri. Dan pandangannyapun masih tetap menghunjam kedalam biji mata Sidanti. Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Untuk menutupi kegelisahannya tiba-tiba saja ia berkata lantang “Kakang Widura, kalau tak kau ijinkan Sedayu bertempur, siapakah yang akan mewakilinya?”

Widura sudah menyangka bahwa akhirnya Sidanti akan sampai pada saatnya, menantangnya berkelahi. Widura pun sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia tidak akan dapat dikalahkannya. Karena itu maka terdengar Widura menjawab “Sidanti, katakan sajalah apa yang tersimpan didalam dadamu. Kau tidak puas dengan keputusanku. Sedang kau merasa sebagai orang yang tak terkalahkan di Sangkal Putung. Sekarang kau sedang mencoba memaksakan kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku tetap pada pendirianku” Widura berhenti sejenak kemudian terdengar ia meneruskan “Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan yang ada didalam hatimu. Kau juga ingin mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan dapat aku kalahkan, sehingga setiap persoalan aku harus mengingat kepentinganmu. Bahkan tersimpan pula didalam otakmu, keinginan untuk memegang pimpinan, setidak-tidaknya apabila aku berhalangan”

“Bohong” potong Sidanti tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula ketika Widura bertanya “Apakah aku salah duga?”

Sidanti menjadi seakan-akan terbungkam. Kegelisahannya kini benar-benar sangat mengganggunya. Meskipun kemarahannya telah memuncak namun ia masih berdiri terpaku tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkannya. Sehingga ia terkejut ketika Widura mendesaknya “Jawab”

“Ya” kata itu meloncat begitu saja dari mulutnya. Namun sesaat kemudian barulah ia menyadari keadaannya. Menyadari jawaban yang sudah terlanjur meloncat dari mulutnya. Karena itu Sidanti sudah tidak akan menelannya kembali. Apalagi ketika ia mendengar Widura berkata “Bagus. Kau memiliki kejujuran juga. Namun kau seharusnya sudah memperhitungkan jawabannya. Aku tidak dapat dipaksa oleh siapapun juga. Juga olehmu. Nah, sekarang apa katamu?”

Kembali Sidanti terdiam untuk sesaat. Namun kemudian dipaksanya juga dirinya untuk mengambil sikap. Karena itu maka tiba-tiba ditengadahkannya dadanya sambil berkata “Kakang Widura, kau harus merubah pendirianmu itu. Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada orang lain yang dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah yang sudah menahan kemarahan Macan Kepatihan? Apakah yang kira-kira terjadi seandainya tidak ada Sidanti?”

“Aku akui kau berjasa kepada Sangkal Putung khususnya. Namun aku tidak dapat membenarkan, kau berbuat sekehendakmu. Betapapun besarnya jasamu, namun kau adalah satu diantara kita yang telah menjalin diri dalam kehidupan bersama untuk kepentingan bersama”

Tiba-tiba mata Sidanti itupun menjadi liar. Kemarahannya kini benar-benar telah membakar dadanya. Katanya “Aku akan memaksakan kehendakku”

“Aku sudah menyangka” jawab Widura, “Dan aku sudah siap”

Tetapi Sidanti masih saja berdiri ditempatnya. Hanya bola matanya sajalah yang seakan-akan meloncat dari kelopaknya. Widura yang sudah siap itupun menunggu apa saja yang akan dilakukan oleh anak muda yang sombong itu. Bahkan Widura masih juga berkata “Kalau aku memberimu kesempatan kali ini Sidanti, maka kesempatan yang serupa akan berulang dan berulang kembali. Sekali aku membiarkan perintahku dilanggar maka pelanggaran itupun akan selalu terjadi”

Sidanti benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya. Namun ia masih berdiri saja, seolah-olah sebuah tonggak yang mati. Sehingga dengan demikian tegal itupun menjadi sepi. Kesepian yang tegang.

Sesaat kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh bunyi bilalang diatas dahan-dahan kayu. Dalam kesepian, terdengar suara bilalang itu demikian kerasnya sehingga Widura menjadi terkejut karena suara itu, namun Widura terkejut, karena kedewasaannya berpikir sebagai seorang prajurit. Demikian telinganya mendengar bunyi bilalang itu, demikian Widura menjadi pasti, Ki Tambak Wedi ada disekitar tempat itu.

Demikian suara bilalang itu berhenti, terdengar Sidanti berkata “Apakah kakang Widura tetap pada pendirianmu?”

Widura tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.

“Bagus” berkata Sidanti lantang “Kita lihat, apakah Sidanti tidak berhak menyamai kakang Widura di Sangkal Putung”

“Hak itu hanya dapat kau terima dari panglima tamtama Pajang, Ki Gede Pemanahan” sahut Widura.

“Omong kosong!” bentak Sidanti

Sekali lagi Widura membiarkan anak itu membentak-bentak. Tetapi dalam pada itu kegelisahan Sidanti pun tidak juga berkurang. Maka kemudian ia berkata “Sekarang bersiaplah kakang, aku akan memaksakan kehendakku dengan nilai-nilai seorang jantan”

“Silakan. Meskipun penilaianmu atas kejantanan terlalu kerdil” sahut Widura.

Sidanti sudah tidak dapat berbicara apa-apa lagi. Dengan gemetar ia berjalan kesebatang pohon perdu, menyangkutkan senjatanya, untuk kemudian dengan gemetar pula ia putar tubuhnya menghadapi Widura tanpa senjata ditangan.

Widura heran melihat kelakuan Sidanti. Namun kedewasaannya segera menolongnya untuk memecahkan teka-teki itu. Sidanti adalah seorang pelaku. Dibalakangnya berdiri Ki Tambak Wedi. Apa yang dilakukan oleh Sidanti itu, agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan kali ini gurunya memerintahkannya untuk berkelahi tanpa senjata.

Widura kemudian melepaskan ikat pinggangnya. Dengan demikian pedangnyapun terlepas pula. Seperti Sidanti, Widura pun menyangkutkan pedangnya pula didahan perdu.

Kini mereka berdua telah tegak berhadap-hadapan tanpa senjata. Sidanti agaknya sudah tidak dapat bersabar lagi. Dengan serta-merta ia berkata “Aku akan mulai kakang”

Sebelum Widura menjawab Sidanti telah meloncat dengan garangnya. Kedua tangannya terjulur lurus kedepan mengarah satu keleher Widura dengan ibu jarinya, sedang yang lain menghantam dada dengan keempat ujung-ujung jarinya.

Namun Widura tidak sedang tidur. Karena itu, dengan tangkasnya ia berputar setengah lingkaran sambil merendahkan dirinya. Sehingga serangan Sidanti itu terbang beberapa jengkal dari tubuhnya. Bahkan demikian serangan Sidanti itu lewat, segera Widura membalasnya dengan sebuah serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada lambung Sidanti.

Tetapi Sidanti itu benar-benar tangkas. Meskipun tubuhnya masih melambung karena tekanan serangannya, ia berhasil menggeliat dan menghindari serangan Widura.

“Hem” Widura menggeram. Katanya dalam hati “murid Kiai Tambak Wedi ini benar-benar lincah”

***

Sebenarnyalah Sidanti dapat bergerak selincah burung walet yang menari-nari diudara pada senja hari diatas pantai. Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu menyambar seperti burung elang, namun kadang-kadang ia menukik seperti merpati jantan.

Tetapi Widura sendiri mirip seekor burung rajawali yang tangguh. Dengan kedua tangannya yang kokoh kuat, sekuat sayap-sayap rajawali, ia selalu berhasil melindungi tubuhnya dari sergapan yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakinya itupun sangat mendebarkan jantung. Dengan putaran-putaran yang berbahaya kaki Widura itu merupakan sebuah perlawanan tersendiri disamping gerak tangannya yang cepat cekatan. Sehingga Widura itu seakan-akan memiliki sepasang otak yang masing-masing dapat mengatur kaki dan tangan dalam gerak pasangan yang tersendiri.

Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah, dan Widura yang kokoh itupun menjadi semakin tangguh.

Kini mereka seakan-akan telah luluh dalam satu lingkaran yang berputar-putar. Bayangan mereka melontar-lontar seakan-akan tak terjendali lagi. Saling menyerang dan saling melibat dalam gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan. Tetapi Sidanti dan Widura tidak menjadi bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan yang cukup kuat. Meskipun tangan Sidanti yang cepat itu bisa berubah menjadi berpasang-pasang dan menyerang dari segenap penjuru, namun kaki Widura itupun seolah-olah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, melontar-lontarkan tubuhnya dari satu titik ketitik yang lain. Sekali-sekali terjadi benturan antara keduanya. Namun ternyata bahwa kekuatan mereka pun berimbang.

Sekali-sekali Widura terdorong surut, namun kali yang lain Sidanti terlempar beberapa langkah. Kalau mereka dalam kesiagaan yang sama, maka setiap benturan akan memaksa keduanya surut beberapa langkah mundur.

Ketika peluh telah membasahi tubuh-tubuh mereka, maka perkelahian itupun menjadi bertambah sengit. Sekali-sekali Sidanti harus merasakan, betapa wajahnya menjadi panas oleh sengatan tangan Widura yang berat dan mantap. Sekali ia terdorong surut, dan sebelum ia berhasil memperbaiki keseimbangannya, tangan Widura telah menyusulnya. Kembali wajah Sidanti terangkat. Namun ketika sekali lagi tangan Widura menyambar wajah itu, Sidanti berhasil mengelakkannya.

Kali ini, Widura sendiri terseret oleh tenaga tangannya sehingga hampir-hampir saja ia tidak mampu melepaskan diri dari serangan Sidanti yang tiba-tiba. Untunglah kemampuan Widura cukup tinggi, sehingga ketika sebuah pukulan mengarah kepelipisnya, Widura sempat merendahkan dirinya. Tetapi ternyata Sidantipun cukup lincah. Ketika disadarinya bahwa serangan tak menyentuh tubuh Widura, cepat-cepat ia menggerakkan kakinya langsung menyerang dada. Widura yang sedang merendahkan dirinya itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak, yang dapat dilakukannya adalah, memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi telapak tangannya.

Benturan kekuatan itupun telah mendorong mereka masing-masing beberapa langkah surut. Dan sesaat kemudian mereka telah berloncatan kembali, saling menyerang dan saling bertahan.

Sidanti yang lebih muda dari lawannya memiliki nafsu dan tenaga yang lebih baik dari lawannya, namun Widura memiliki ketenangan dan pengalaman melampaui Sidanti. Karena itu, maka dengan pengalamannya itu, Widura selalu dapat menempatkan dirinya, sehingga meskipun Sidanti lebih banyak menyerangnya, namun keadaan Widura tidak mencemaskan.

Yang menjadi cemas kemudian adalah Sidanti. Menurut gurunya, Widura itu pasti akan dapat dikalahkan setelah ia mendapat tempaan yang khusus untuk kepentingan itu. Namun ternyata setelah ia berkelahi beberapa lama, Widura itu masih dapat melawannya dengan baik, sebaik pada saat mereka baru mulai. Meskipun Sidanti yakin, bahwa Widura itupun tak akan dapat memenangkan perkelahian itu, tetapi ia menjadi gelisah, apabila ia tak pula dapat menang daripadanya.

Bahkan Widura sendiri kadang-kadang menjadi kagum pada geraknya sendiri. Tiba-tiba saja ia berhasil melepaskan serangan yang seolah-olah dengan sendirinya meluncur dari kedua tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang yang cukup mempunyai pengalaman dalam pertempuran bersama dan seorang-seorang, maka Widura merasakan, bahwa ada sisipan ilmu pada ilmunya yang telah dimilikinya dari kakak iparnya, Ki Sadewa. Namun ilmu itu terasa sama sekali tidak mengganggunya, bahkan terasa keserasian dan nafas yang sama pula dengan ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada seorang aneh yang selalu datang melihat latihan-latihan Agung Sedayu di gunung Gowok. Orang yang memakai ciri kain gringsing dan juga menamakan dirinya Kiai Gringsing.

“Hem” gumam Widura dalam hati. “Agaknya ilmu orang aneh itupun telah menyusup masuk kedalam perbendaharaan ilmu yang telah aku miliki. Dan ternyata sikapnya yang aneh-aneh itu menolong aku pula kali ini”

Dan teringatlah oeh Widura kata-katanya orang bertopeng itu “Sidantipun selalu melatih diri bersama gurunya”

Tangkapannya atas kata-kata itu ternyata benar. Pada suatu saat ia harus bertempur melawan anak muda yang sombong itu. Dan hal itu kini telah terjadi.

Demikianlah dengan nafsu yang bergejolak didalam dadanya, Sidanti berusaha untuk dapat mengalahkan Widura, dan memaksakan kehendak-kehendaknya atas pimpinannya itu. Tidak saja dalam persoalannya dengan Agung Sedayu, tetapi jauh dari itu. Ia ingin memaksakan kehendaknya dalam setiap persoalan.

Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera dapat menundukkann Widura. Betapapun ia telah berjuang. Diperasnya segenap kemampuan yang telah diterimanya dari gurunya, namun Widura itu masih saja dengan gigihnya melakukan perlawanan. Tetapi, baik Sidanti sendiri maupun Ki Tambak Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa hampir setiap malam, seperti juga Sidanti yang mendapat tempaan terus-menerus, Widura pun selalu berkelahi melawan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Bahkan orang aneh itu berkelahi tidak saja dengan tangan dan kakinya, tetapi dengan mulutnya juga. Orang itu ternyata sempat melihat kekurangan Widura dan bahkan kesalahan-kesalahan kecil sekalipun.

Perkelahian yang sengit itu masih berlangsung lama. Mereka sudah hampir menumpahkan segenap tenaga mereka. Karena itu maka tenaga masing-masing semakin lama menjadi semakin susut. Bintang-bintang dilangit telah melampaui pertengahannya. Karena itulah maka Sidanti menjadi semakin gelisah karenanya. Kalau ia gagal mengalahkan Widura, maka nasibnya bukan menjadi bertambah baik, tetapi Widura pasti akan semakin bersikap keras kepadanya.

Tiba-tiba Sidanti dan Widura kembali mendengar suara bilalang. Seperti suara yang semula mereka dengar. Karena itu Widura pun menjadi semakin berwaspada. Ia yakin, bahwa suara itu adalah suatu aba-aba yang harus dilakukan oleh Sidanti.

Ternyata dugaan Widura itupun benar. Demikian Sidanti mendengar suara bilalang itu, tiba-tiba saja ia meloncat surut. Kemudian sambil berdiri tegak diatas kedua kakinya yang kokoh, ia berkata lantang “Kakang, perkelahian kita tidak akan ada akhirnya”

Widura tidak segera menyerangnya. Iapun kemudian berdiri beberapa langkah dari Sidanti, katanya “Apakah yang kau inginkan kemudian?”

“Bukankah kita membawa senjata masing-masing?”

Widura menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah anak muda itu dengan seksama. Namun dalam malam yang kelam itu tak dilihatnya kesan apapun pada wajah itu, selain kesan kemarahan yang membakar jantung Sidanti. Dalam pada itu terdengar Widura berkata “Apakah kau menyadari perkataanmu itu Sidanti?”

“Tentu” jawab Sidanti “Bukankah maksud kakang Widura mengatakan, bahwa dengan senjata-senjata itu, dada kita masing-masing akan mungkin terbelah karenanya?”

“Ya”

“Aku menyadari kemungkinan itu. Namun bukan maksudku membunuh kakang Widura. Kalau kakang bersedia memenuhi setiap permintaanku, baik dalam hubunganku dengan Sedayu, maupun kedudukanku di Sangkal Putung dan seterusnya sebagai prajurit Pajang, maka aku tak akan menyentuh senjataku dalam perkelahian ini”

Sekali lagi Widura menarik nafas dalam-dalam. Yang terloncat dari mulutnya adalah “Sidanti, aku telah siap mempertahankan keputusanku”

“Bagus” teriak Sidanti sambil meloncat meraih pusakanya. Sesaat Widura masih tegak ditempatnya. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah menggenggam senjatanya, maka perlahan-lahan Widura itupun berjalan mengambil senjatanya. Pedang yang tidak begitu tajam, namun ujungnya runcing melampaui ujung jarum.

“Kita akan bertempur sebagai laki-laki, kakang” berkata Sidanti .

“Tentu” sahut Widura.

“Kita tidak ingin saling membunuh, namun siapa yang mula-mula mengalirkan darah dari lukanya, ialah yang kalah”

“Bagus” sahut Widura.

“Yang kalah harus tunduk pada setiap keputusan dari yang menang”

Tiba-tiba Widura menggeleng “Tidak” katanya segera. “Kekalahan kita masing-masing disini tidak mempengaruhi kedudukan kita. Akulah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung”

Dada Sidanti serasa menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia berteriak “Lalu apakah gunanya kita bertempur disini?”

“Aku tidak tahu. Aku hanya memenuhi permintaanmu. Sebab bagaimanapun, kau tidak akan dapat mempersoalkan atas Sangkal Putung dan kekuasaan yang ada ditanganku. Aku akan mengambil keputusan menurut keyakinanku, menurut kebenaran yang aku yakini. Tidak dapat seorangpun yang akan mempengaruhi keputusan itu”

“Gila. Apakah kau sangka aku tidak dapat membunuhmu kakang” teriak Sidanti pula.

“Kalau aku mati, maka aku akan mati sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Bukan sebagai kelinci yang sedang melarikan diri dari terkaman anjing hutan”

Tubuh Sidanti tiba-tiba bergetar karena kemarahannya. Matanya yang bulat itu sesaat menjadi redup. Kemudian ditariknya keningnya kesisi, namun kemudian meledaklah kata-katanya “Apakah kau ingin kita bertempur sampai mati?”

“Tidak” sahut Widura. “Aku tidak mempunyai keinginan untuk berkelahi dengan kekuatan dalam lingkunganku sendiri. Apalagi sampai mati. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kewibawaanku dikurangi. Sebab aku bertanggung jawab kepada panglima Tamtama di Pajang. Tidak kepadamu dan tidak kepada Agung Sedayu. Sedang panglima di Pajang itu menyalurkan perintah adipati Pajang yang sedang menegakkan kewibawaan Demak. Nah, kewibawaanku adalah sebagian dari kewibawaan adipati pajang itu”

“Persetan” potong Sidanti hampir hangus dibakar kemarahannya “Bersiaplah”

Widura kini benar-benar tak dapat menghindarkan diri dari perkelahian bersenjata. Tiba-tiba saja Sidanti telah meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya yang tajam diujung dan pangkalnya itu berputar seperti baling-baling, kemudian melontar seperti jarum pemintalan. Sekali-sekali menyambar dengan ujungnya namun kemudian mematuk dengan pangkalnya.

Widura menggigit bibirnya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat menghindari serangan itu. Pedangnyapun kemudian bergerak-gerak datar, kadang-kadang menyilang dan tiba-tiba saja terjulur lurus kedada lawannya.

Kali inipun Sidanti merasakan, bahwa olah pedang Widura itu cukup mampu untuk melawan senjatanya. Namun ia masih akan mencoba menggunakan kelincahannya dan kecepatannya untuk menembus dinding baja dari putaran pedang lawannya.

Perkelahian diantara keduanya kini menjadi bertambah mengerikan. Senjata Sidanti benar-benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap sentuhan dari tajam diujung dan pangkal senjata itu akan menyobek tubuh lawam. Tetapi pedang Widura itupun setiap saat dapat membelah dada lawannya. Dengan kekuatan yang mengagumkan pedang itu menyambar-nyambar seoerti alap-alap diudara.

Tetapi perkelahian inipun tak akan berujung pangkal. Karena kepandaian mereka mempergunakan senjata masing-masing. Maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan diantara senjata mereka. Demikian besar kekuatan mereka berdua, maka dalam setiap sentuhan diantara senjata-senjata itu, terperciklah bunga api yang seakan-akan berloncatan dari kedua senjata itu.

Sidantipun telah berjuang memeras segenap ilmunya, dan Widura pun tak kalah sengitnya mempergunakan segenap tenaganya. Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga seakan-akan tenaga merekapun segera terhisap habis. Baik Sidanti maupun Widura telah mempergunakan pula setiap tenaga cadangan didalam tubuh mereka. Kekuatan-kekuatan yang dilambari dengan ketekunan latihan-latihan dimasa-masa lampau telah mereka kerahkan. Namun keadan mereka maih tetap berimbang. Bahkan setelah tenaga mereka semakin susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari yang lain.

Kini serangan-serangan mereka sudah tidak secermat pada saa mereka mulai. Kadang-kadang mereka terseret beberapa langkah karena tarikan senjata mereka sendiri. Namun dalam saat yang demikian, lawannyapun tidak segera sempat menyerang. Dengan lemahnya, mereka terpaksa melangkah terhuyung-huyung maju.

Bahkan kadang-kadang, karena sentuhan batu-batu kecil pada kaki mereka, mereka telah kehilangan keseimbangan.

Demikianlah pertempuran itu menjadi aneh. Ketika Sidanti mencoba menembus pertahanan Widura dengan sebuah tusukan pada lambungnya, maka Widura pun berusaha untuk menghindarinya. Ketika ia meloncat kesamping, tiba-tiba kakinya terperosok oleh lubang-lubang yang telah terjadi selama perkelahian itu. Widura yang kelelahan itupun tidak dapat menahan diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Sidanti ingin mempergunakan kesempatan itu, tetapi ketika serangannya gagal, bahkan ia terseret beberapa langkah oleh senjatanya. Dalam keadaan yang demikian, masing-masing ingin mencoba mempergunakan kelemahan-kelemahan lawannya, namun mereka sendiri seakan-akan telah tidak mampu lagi menggerakkan tangan dan kaki mereka. Sehingga dengan demikian, tidak ada keseimbangan antara kehendak dan perhitungan mereka dalam tata perkelahian itu, dengan tenaga-tenaga mereka yang seakan-akan telah terperas habis. Namun tak seorangpun diatara mereka yang mendahului mengakhiri perkelahian yang aneh itu.

Malam semakin lama menjadi semakin dalam, dan bintang-bintangpun menjadi semakin bergeser kebarat. Langit yang biru gelap tersaput leoh mega yang selembar-selembar mengalir dihanyutkan oleh angin yang lembut.

Namun yang berkelahi masih berkelahi juga. Tetapi perkelahian itu kini sama sekali sudah tidak berbahaya lagi bagi kedua belah pihak. Meskipun sekali-sekali Sidanti masih menusukkan senjatanya, namun senjata itu tak akan sampai menyentuh tubuh lawannya. Sedang apabila Widura mencoba mengayunkan pedangnya dengan kedua tangannya, maka ia sendirilah yang akan terpelanting jatuh.

Nafas mereka berdua kini satu-satu tersangkut didalam kerongkongan. Peluh mereka mengalir seperti mereka sedang bertempur didalam hujan yang pekat. Bahkan apabila sekali-sekali terjadi juga benturan diantara senjata-senjata mereka, maka mereka berdua itupun terdorong surut dn kemudian terbanting jatuh ditanah. Dengan susah payah mereka berebut dahulu untuk bangkit, dan apabila mungkin menyerang sebelum lawannya menguasai diri sepenuhnya. Namun usaha itu tak akan pernah berhasil. Sebab lutut-lutut mereka seakan-akan sudah tidak berpaut lagi.

Meskipun tenaganya sudah hampir habis terperas, namun Sidanti masih mengumpat-umpat dalam hati. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Widura mampu melawan dengan baiknya. Pada saat mereka berdua bertempur melawan Tohpati berganti-ganti, Widura itu ternyata tidak lebih baik daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan yang padat dari gurunya, dan bahkan gurunya itupun berkata, bahwa ilmunya pasti akan lebih baik meskipun hanya selapis tipis dari Widura. Namun ternyata kini, bahwa ilmunya benar-benar tidak melampaui ilmu Widura itu sendiri. Apakah tempaan selama ini, dihampir setiap malam dengan ilmu-ilmu gurunya yang hampir sempurna itu sama sekali tak berpengaruh atasnya?

Sedang Widura pun benar-benar kagum kepada anak muda murid Kiai Tambak Wedi itu. Namun didalam lekuk-lekuk hatinya, terasa juga bahwa ia sedang mengagumi dirinya sendiri. Ternyata bahwa merah biru diwajah-wajah kulitnya, hampir setiap malam apabila ia berkelahi melawan Kiai Gringsing yang memegang cemetinya ditengah-tengah itu ada juga manfaatnya baginya. Kini ia benar-benar menghadapi senjata Sidanti bukan sekedar cemeti kuda. Apabila senjata yang mengerikan itu benar-benar dapat menyentuhnya, maka akibatnya tidak saja sekedar merah biru diwajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang pedih akan menganga. Karena itu pun Widura bersyukur dalam hati. Siapakah sebenarnya orang aneh yang menamakan dri Kiai Gringsing itu?

Tetapi Widura tidak sempat berangan-angan. Kini mereka berdua berhadap-hadapan dengan tubuh gemetar. Bukan karena marah yang membakar dada mereka, namun karena tenaga nr telah terkuras habis.

Sidanti yang dengan susah payah masih mencoba tegak diatas kedua kakinya, menggeram dengan suara parau yang gemetar. Katanya “Mampus kau kakang Widura”

Keadaan Widura pun tidak lebih naik dari keadaan Sidanti. namun otaknyalah yang lebih baik. Meskipun nafasnya telah hampir putus ditenggorokan, namun ia berkata diantara engah nafasnya ”Sidanti, apakah hasil yang kita dapatkan dari perkelahian ini?”

Terdengar Sidanti menggeram. Matanya masih menyalakan kemarahannya yang meluap-luap. Bahkan ia menjadi semakin marah, ketika ia menyadari keadaannya. Ternyata Widura tak dapat ditundukkannya. Apalagi ketika ia mendengar pertanyaan Widura itu. Namun sesaat kemudian pertanyaan itu benar-benar membingungkannya. “Ya, apakah yang sudah didapatnya dari perkelahian itu?”

Namun yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah makian yang kasar. “Setan. Bukankah dengan demikian kau tahu bahwa kau bukan orang yang aneh di Sangkal Putung. Bahwa Widura pun manusia juga yang tidak lebih dari Sidanti?”

“Tentu” sahut Widura. “Apakah aku pernah berkata bahwa aku keturunan malaikat?”

“Tetapi kau merasa, seakan-akan dirimu tak terkena salah. Semua orang harus tunduk atas kehendakmu”

“Itu bukan karena aku Widura. Tetapi itu karena wewenang yang aku terima”

“Omong kosong” bentak Sidanti, “Sejak sekarang kau harus merubah sikap itu”

Widura menggeleng “Tidak” jawabnya tegas.

Dada Sidanti benar-benar akan meledak karenanya. Namun ketika ia ingin menyerang lawannya kembali, ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba untuk menemukan keseimbangannya kembali. “Gila” anak itu mengumpat lagi. Tetapi kali ini tak ditujukannya kepada siapapun.

Sedang Widura masih tegak ditempatnya. Namun seandainya sebuah angin kencang menyentuhnya maka Widura itupun pasti akan roboh. Karena itu, ia tidak ingin berbuat sesuatu. Otaknya yang telah dipenuhi dengan berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata masih tetap baik, betapapun tenaganya telah terhisap oleh embun malam. Kini ia yakin bahwa Sidanti itu sama sekali sudah tak berdaya seperti dirinya sendiri.

Dalam pada itu, tiba-tiba mereka berdua terkejut. Namun Sidanti hanya sesaat. Tetapi Widuralah kemudian teruncang dadanya. Meskipun telah disangkanya lebih dahulu, namun kehadiran yang tiba-tiba diantara mereka, benar-benar mengejutkan. Dan dengan wajah cerah Sidanti berkata kepada orang yang baru datang itu “Selamat datang guru”.

Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang panjang runcing serta sepasang matanya yang tajam, setajam mata burung hantu merupakan pertanda, bahwa Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat mengenal puas atas segenap usaha yang pernah dicapainya.

Widura pun kemudian mengangguk pula. Seperti Sidanti, iapun mencoba memberi salam kepada orang sakti itu “Selamat datang Kiai”

Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya, seperti akan ditelannya hidup-hidup. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab “Hem, selamat Widura”

Widura pun mencoba untuk mengenal wajah orang yang namanya terkenal didaerah sebelah timur gunung Merapi itu. Semakin jelas ia mengenal wajah itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Diantara sepasang matanya yang tajam itu, tampaklah hidung Kiai Tambak Wedi besar dan melengkung seperti paruh burung. Sayang, malam yang pekat itu tak memberi kesempatan kepada Widura untuk melihat setiap garis yang tergores diwajah itu.

“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi itu kemudian. Suaranya besat dan seakan-akan bergetar saja didalam dadanya “Ternyata kau mampu menyamai muridku”

Widura mangguk kecil. Jawabnya “Aku hanya mecoba melayani adi Sidanti bermain-main Kiai”

“Jangan sombong” sahut Kiai Tambak Wedi. “Meskipun kau berhasil mempertahankan namamu, tapi jangan berkeras kepala. Aku tidak senang melihat sikapmu”

Widura tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mencoba menatap wajah Kiai Tambak Wedi yang sedemikian saktinya, sehingga orang mengatakan bahwa ia mampu menangkap angin.

“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi kemudian. “Aku heran, bahwa kau mampu bertempur dalam tataranmu sekarang. Aku sangka kau tidak akan dapat menyamai muridku. Namun agaknya ilmumupun bertambah. Aku sangka, setelah Sidanti menambah ilmunya akhir-akhir ini kau akan menjadi ketinggalan karenanya”

Kali inipun Widura tidak menjawab. Ia masih tegak seperti patung. Patung yang kurang seimbang, sehingga setiap sentuhan akan dapat merobohkannya.

“Tetapi” berkata Kiai Tambak Wedi itu pula, “Sangkaanku itu keliru” Kiai Tambak Wedi diam untuk sesaat. Kemudian katanya “Meskipun demikian itu bukan berarti bahwa setiap tuntutan Sidanti sudah dilepaskan”

Widura menjadi semakin berdebar-debar. Guru Sidanti itu kini ternyata telah secara langsung turut dalam setiap persoalan di Sangkal Putung. Meskipun demikian dibiarkannya Kiai Tambak Wedi itu berkata “Widura, sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalanmu sebagai pimpinana laskar Pajang di Sangkal Putung. Apabila kau tidak berbuat banyak kesalahan. Aku bermaksud membiarkan Sidanti melakukannya sendiri, tetapi ternyata karena Sidanti tak dapat mengalahkanmu, maka kau pasti masih akan berkeras kepala. Kini biarlah aku meneruskan permintaan Sidanti itu. Terus terang, tanpa berbelit-belit. Widura, kau harus menyingkirkan Agung Sedayu. Kedua, setiap kau berhalangan maka Sidantilah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Kemudian kau harus menyampaikan kemenangan Sidanti atas Tohpati. Seterusnya kau harus mengusulkan kepada atasanmu, panglima wiratamtama. Untuk kedudukan yang lebih baik bagi Sidanti, ingat, masa depan Sidanti harus berbeda dari masa depanmu. Kau sudah puas dengan kedudukanmu sekarang. Tetapi Sidanti tidak. Sidanti melihat jauh kemasa depan. Dengarlah Widura, bukankah dengan menyingkirkan Jipang, maka adipati Pajang sekarang ini, adalah pewaris satu-satunya kerajaan Demak. Aku kira sultan Cirebon, menantu Trenggana pula, tidak akan mempunyai tuntutan apa-apa. nah, apa pula yang kelak akan terjadi dengan janji tanah Mentaok dan Pati bagi mereka yang dapat membunuh adipati Jipang? Bukankah dengan demikian hari depan Pajang sendiri masih akan berbelit-belit. Dalam keadaan yang demikian Sidanti harus tampil kedepan. Kau dengar? Kalau kemudian Sidanti telah menemukan kedudukan yang pantas baginya, kau adalah salah seorang dari panglimanya. Begitu?”

Widura masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menjadi muak mendengar semua kata-katanya Kiai Tambak Wedi. Tetapi ia harus menjaga dirinya. Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang sakti. Bahkan ia terkejut ketika Kiai Tambak Wedi itu berkata “Kau adalah anak tangga yang pertama bagi Sidanti, Widura. Bagaimana?”

Tiba-tiba Widura itupun menggeleng. Kini ia menjawab dengan ketegasan yang sama seperti jawabannya kepada Sidanti. “Sayang Kiai, aku tidak dapat memberikan apa-apa kepada Sidanti”

Kiai Tambak Wedi menarik alisnya. Kemudian ia tersenyum. Katanya “Jangan berkeras kepala Widura. Ingat, nasibmu akan dapat menjadi kurang baik”

Sekali lagi Widura menggeleng. “Kiai, mungkin aku dapat menjanjikannya disini karena aku takut kepada Kiai. Namun aku tidak akan dapat melaksanakannya kelak. Bukankah dengan demikian aku sekedar menipu Kiai. Karena itu lebih baik berkata terus terang”

Sidanti yang mendengar percakapan itupun, wajahnya menjadi semakin membara. Bahkan kemudian ia menggeram “Bukankah guru dapat memaksanya?”

“Tentu Sidanti” sahut Kiai Tambak Wedi. “Aku akan bisa memaksanya. Menangkapnya sekarang dan mengikatnya dibatang jambu mete ini. Kemudian dengan kukuku ini aku dapat menggores kulitnya sehingga terkelupas. Tetapi Widura tidak akan membiarkannya aku berbuat demikian, bukankah begitu?”

Dada Widura pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun demikian ia menjawab “Benar Kiai, aku mengharap Kiai tidak akan berbuat demikian. Tetapi permintaan Kiai itupun tak akan dapat aku penuhi”

Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Jangan begitu Widura. Nasibmu, hidup matimu kini ada ditanganku”

“Terserahlah kepada Kiai”

Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan. Katanya “Widura, jangan membuat aku marah. Aku bisa membunuhmu sekarang”

“Terserah kepada Kiai. Aku harus tetap pada perintahku. Hidup atau mati adalah akibat yang sudah aku ketahui sejak aku masuk menjadi seorang prajurit. Adalah sudah seharusnya aku mati sambil menggenggam kewajiban. Bukan mengingkari” Kiai Tambak Wedi, seorang yang sudah kenyang mengenyam pahit manisnya kehidupan itu, mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Widura. Ia kagum pada kejantanannya. Kagum pada tanggung-jawabnya. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak senang mendengar jawaban itu. Dengan demikian seakan-akan Widura itu sama sekali tidak takut kepadanya. Ia ingin agar setiap orang menjadi gemetar dan menggigil ketakutan mendengar namanya.

Series 4

Apalagi apabila mereka berhadapan. Namun agaknya Widura sama sekali tidak bersikap demikian. Karena itu, maka sekali lagi Ki Tambak Wedi itu berkata “Widura, orang-orang seperti kau ini benar-benar merupakan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam perbendaharaan keprajuritan Pajang. Aku ingin agar mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang tertimbun oleh lumpur. Karena itu Widura, aku minta kau membantu Sidanti dalam usahanya mendapatkan tempat yang baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita itu. Aku sendiri pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya”

Sekali lagi Widura menjadi muak. Bahkan ia menjadi muak melihat wajah yang panjang bermata seperti mata burung hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian, tak ada suatupun yang dapat dilakukannya. Dan ia masih mendengar Ki Tambak Wedi meneruskan “Apabila kelak Sidanti akan sampai ditempat itu, maka kaupun akan ikut serta mukti pula bersamanya”

Widura menggeleng tegas. Jawabnya “Biarlah aku ditempatku. Apapun yang akan aku alami”

Dada Ki Tambak Wedi itupun sudah mulai dirayapi oleh kemarahan yang semakin lama semakin menyala. Agaknya Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu katanya “Widura, apakah kau benar-benar menunggu aku marah?”

Widura yang berdiri seperti pucang kanginan itu menjawab “Sudah aku katakan Kiai. Namun aku tetap pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain”

“Widura” sahut Ki Tambak Wedi yang mulai tidak dapat mengendalikan kemarahannya. “Kau tetap pemimpin laskar di Sangkal Putung. Tetapi kau harus menurut perintah-perintah Sidanti yang akan diberikan terus-menerus kepadamu. Perintah-perintahmu hanyalah saluran dari perintah-perintahnya. Tetapi dimata para prajurit itu, kau tetap seorang pemimpin yang berwibawa. Bersedia?”

Sekali lagi Widura menggeleng tegas “Tidak” jawabnya.

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Aku sudah menduga bahwa kau akan tetap pada pendirianmu. Nah, bagaimanakah kalau aku membunuhmu sekarang?”

Widura menyadari keadaannya. Ia tidak lebih dari seorang yang kecil dihadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi ia tidak mau mengorbankan kewibawaan, saluran kewajiban prajurit. Sedang orang seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat melakukan apa saja yang dikatakannya. Meskipun demikian Widura menjawab “Kiai pasti akan mampu melakukannya. Terserahlah kepada Kiai. Tetapi Kiai harus menyadari keadaan Sidanti. Anak itu keluar bersama aku. Apakah kata mereka kalau anak itu kembali seorang diri, dan besok mayatku diketemukan disini?”

Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Katanya diantara derai tawanya “He Widura, ternyata kau tidak sejantan yang aku sangka. Ternyata kau mulai ketakutan dan mencari jalan untuk menolong dirimu sendiri”

Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi itu, telinga Widura seperti terjilat api. Sehingga ia lupa, dengan siapa ia berhadapan. hampir berteriak ia membentak “Cukup!”

Ki Tambak Wedi terkejut mendengar bentakan itu, sehingga dengan serta-merta derai tertawanya itu terputus. Dengan tajamnya ia memandang wajah Widura yang masih berkata terus “Apakah kau sangka bahwa setiap makhluk akan menyerahkan hidupnya demikian saja tanpa usaha untuk menyelamatkan diri. Bukankah hak setiap hidup untuk mempertahankan hidupnya?”

“Tetapi caramu adalah cara yang licik” sahut Ki Tambak Wedi.

“Tidak” bantah Widura. “Tetapi aku hanya ingin mengatakan, kalau kau bunuh aku, maka pekerjaanmu itu tidak akan bermanfaat. Setiap orang dapat segera mengambil kesimpulan apa yang sudah terjadi”

“Seandainya mereka mengetahui sekalipun, apa yang akan mereka lakukan terhadap Sidanti? Apakah mereka berani melakukan tindakan apapun terhadap anak itu?”

“Tentu”

“Aku akan dapat membunuh mereka semua”

“Mereka adalah prajurit-prajurit. Kalau mereka tak dapat mengatasi seseorang, maka atasannyalah yang akan melakukan. Bagaimana anggapan Kiai tentang seorang perwira tamtama yang bernama Pemanahan? Juru Mertani atau adipati Pajang sendiri?”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya “Persetan dengan mereka. Tetapi aku tidak sebodoh yang kau sangka. Aku sudah menyediakan alat untuk membunuhmu. Semua orang mengenal bahwa senjata Sidanti adalah senjata tajam. Sekarang aku akan membunuhmu dengan senjata pemukul”

Dada Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat, Ki Tambak Wedi itu menarik sebuah tongkat besi dari pinggangnya dibawah kain panjangnya. Besi itu tidak terlalu panjang. Hanya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki. Diamat-amatinya senjata sambil bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri “Hem, bukankah orang yang bersenjata pemukul itu seorang senapati Jipang yang bernama Tohpati? Dan bukankah mulut Sidanti juga dapat berkata demikian kepada kawan-kawannya? Lihatlah wajah Sidanti itu sendiri, dan hampir diseluruh tubuhnya menjadi merah biru. Itu akan bagus sekali untuk melengkapi ceritanya. Kau berdua berjumpa dengan Tohpati dan beberapa orangnya. Kalian bertempur mati-matian, dan kau terbunuh dalam perkelahian itu”

Getar didalam dada Widura menjadi semakin cepat. Kini ia benar-benar berhadapan dengan maut. Dan ia tidak akan dapat menemukan jalan untuk menyelamatkan diri. Meskipun demikian sama sekali tak terlintas didalam otaknya untuk memenuhi permintaan Sidanti, menebus nyawanya dengan menjual kewibawaan Pajang.

Demikianlah maka sesaat mereka berada dalam keadaan yang tegang. Widura, Sidanti dan Ki Tambak Wedi seperti tonggak-tonggak yang kaku. Yang mula-mula menyobek kesepian adalah Ki Tambak Wedi. katanya “Bagaimana Widura. Apakah kau masih ingin bertahan pada pendirianmu? Memang keadaanmu masih cukup baik. Kalau kau mati, maka kau akan dihormati sebagai pahlawan. Namun bukankah lebih baik apabila kita dapat melihat dan merasakan dalam hidup kita ini kehormatan itu daripada sesudah kita mati?”

Widura tidak menjawab sepatah katapun. Ia sedang mempersiapkan dirinya menghadapi maut.

“Bagaimana Widura?” bentak Ki Tambak Wedi yang sudah mulai kehilangan kesabaran. “Kalau kau mati, aku akan berusaha Sidanti lah yang akan mengganti kedudukanmu. Aku akan pancing Tohpati, aku akan bunuh pula dia atas nama Sidanti”

Widura menggeram mendengar rencana gila-gilaan itu. Namun kali inipun ia tidak menjawab. baginya, sudah tidak ada gunanya lagi untuk berbicara apapun. Maka yang dapat dilakukan adalah menunggu apa saja yang akan terjadi.

Ki Tambak Wedi ternyata benar-benar telah kehilangan kesabaran. Dengan sepotong besi itu ia berjalan mendekati Widura sambil berkata “Aku tidak biasa mempergunakan senjata semacam ini. Tetapi untuk kepentingan Sidanti, aku akan memecah batok kepalamu, sehingga orang benar-benar menyangka kau mati karena pukulan tongkat baja putih milik Tohpati itu”

Sekali lagi Widura menggeram. Tanpa disengaja ia mengangkat pedangnya. Melihat gerak pedang itu Ki Tambak Wedi tertawa terbahak-bahak. Katanya “Gila. Apakah kau akan melawan aku? Dengan satu sentuhan dari anak kecil, kau pasti sudah akan roboh. Jangan gila. Kau hanya tinggal mempersiapkan kepalamu saja. Manakah yang sebaiknya aku pukul supaya kau segera mati. Dengan demikian aku sudah bermurah hati kepadamu”

Mulut Widura benar-benar telah terkunci. Sesaat ia ingat kepada kemenakannya, Sedayu. Namun ia tidak menyalahkannya. Saat yang lain dikenangnya kemenakannya yang satu lagi, Untara. Katanya dalam hati “mudah-mudahan anak itu masih hidup, dan mudah-mudahan suatu ketika dijumpainya adiknya itu dan diselamatkannya dari kerakusan Sidanti yang gila ini”

Widura kini melihat Ki Tambak Wedi itu semakin lama semakin dekat. Suara tertawanya masih saja terdengar berkepanjangan.

Tetapi tiba-tiba suara tertawa itupun terputus. Mereka semua terkejut bukan buatan. Apalagi Widura dan Sidanti. Dalam sepi malam itu terdengar tiba-tiba sebuah ledakan dahsyat. Sehingga getarannya telah menggerakkan daun-daun pepohonan dan menggugurkan daun-daun kuning yang tidak mampu berpegangan dahan-dahannya lagi. Bahkan ledakan itu telah menggetarkan dada mereka yang mendengarnya. Lebih-lebih Widura dan Sidanti .

Ki Tambak Wedi itu kini tegak seperti patung. Namun tampaklah ia memusatkan perhatiannya memandang segenap arah. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itupun menjadi liar.

Dalam ketegangan itupun sekali lagi terdengar suara ledakan itu. Lebih keras dan getarannya semakin dalam menusuk dada. Widura dan Sidanti terpaksa memejamkan mata mereka dan memusatkan perlawanan mereka dengan kekuatan batin melawan getaran yang aneh itu.

Mata Ki Tambak Wedi itupun menjadi semakin liar. Bahkan tiba-tiba ia berteriak “Dahsyat. Kekuatan orang itu pasti sama dengan kekuatan raksasa. Tetapi jangan seperti seorang pengecut. Mari, datanglah kemari. Aku bersedia menyambutmu”

Namun tak ada jawaban. Yang terdengar sekali lagi suara ledakan itu. Lebih keras pula dari yang terdahulu.

Ki Tambak Wedi itupun kemudian menjadi marah bukan kepalang. Seperti orang gila ia berteriak-teriak “Ayo, kemarilah. Jangan bersembunyi. Inilah Tambak Wedi”

Tetapi kemudian tegal itu menjadi sepi. Suara ledakan itupun tak terdengar lagi. Mengerutkan keningnya Ki Tambak Wedi itu masih tegak seperti patung. Ia masih mencoba mengetahui dari manakah arah suara ledakan-ledakan itu. Namun suara itu tak terdengar lagi.

Dalam pada itu, tumbuhlah suatu persoalan didalam dirinya. Dalam diri Ki Tambak Wedi yang perkasa itu. Ia tidak akan takut berhadapan dengan seitap orang bagaimanapun saktinya. Ki Tambak Wedi itu merasa, bahwa dirinya pasti akan mampu menghadapi siapa saja dalam pertempuran seorang lawan seorang. Biarpun orang itu Adiwijaya, yang terkenal memiliki aji Lembu sekilan, Rog-rog Asem, Sapu Angin sejak masa kanak-kanaknya, sejak ia masih bernama Mas Karebet. Setidak-tidaknya ia pasti akan dapat menyelamatkan dirinya dari lawannya. Namun orang yang meledakkan lecutan-lecutan itupun bukan orang kebanyakan, sehingga apabila ia mengejarnya, maka ada kemungkinan orang itu berhasil melarikan diri.

Yang kemudian mengganggunya adalah, apabila Widura itu dibunuhnya, maka ternyata akan hadir sedikit-dikitnya seorang saksi. Orang yang menyuarakan lecutan-lecutan dahsyat itu. Dengan demikian maka cerita Sidanti lambat atau cepat, pasti akan diketahui kebohongannya. Karena itu, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itupun mengumpat tak habis-habisnya. Katanya “Setan itu ternyata berhasil menolong memperpanjang nyawamu Widura. Ia akan merupakan saksi yang mengganggu jalan Sidanti. meskipun demikian, ingatlah, Sidanti tak akan pernah melepaskan tuntutannya. Bbiarlah kali ini kau tetap hidup. Aku beri waktu kau sepasar. Kalau dalam sepasar kau tidak merubah pendirianmu, dalam setiap kesempatan aku akan dengan mudah membunuhmu. Mungkin dengan cara-cara yang sangat mengerikan”

Widura masih berdiam diri. Apalagi kini, dadanya masih dipengaruhi oleh getaran-getaran lecutan yang dahsyat itu. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab kata-kata Ki Tambak Wedi.

“Pulanglah berdua. Jangan membuat persoalan supaya aku mempunyai pertimbangan- pertimbangan lain”

Widura masih tetap tegak seperti tiang-tiang yang beku. Ia mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi itu, namun seakan-akan ia tidak mengerti maknanya. Setelah ia kehilangan harapan untuk dapat menyelesaikan tugasnya, membersihkan sisa-sisa laskar Jipang, karena keinginan Sidanti yang melonjak-lonjak, maka tiba-tiba dadanya digetarkan oleh suara lecutan yang hampir menggugurkan isi dadanya, kini ia mendengar Ki Tambak Wedi itu mengurungkan niatnya.

Untuk sesaat Sidanti pun menjadi seolah-olah kehilangan kesadarannya. Namun seperti orang yang tersentak bangun dari tidurnya ia mendengar gurunya itu berkata, bahwa Widura akan dibebaskannya. Karena itu, maka timbullah berbagai pertanyaan didalam dirinya. Keadaan itu sudah terlanjur sedemikian buruknya. Apabila Widura itu masih tetap hidup, apakah keadaannya tidak menjadi semakin sulit.

Maka dengan terbata-bata terdengarlah Sidanti itu bertanya “Guru, apakah guru akan memaafkan kakang Widura?”

“Tidak” sahut gurunya. “Aku hanya memberinya waktu sepasar”

“Kenapa guru masih memberinya waktu?”

“Ada bermacam-macam pertimbangan. Aku masih berusaha untuk mencari jalan yang baik bagimu. Kecuali apabila dalam sepasar Widura masih tetap keras kepala. Selain yang sudah aku katakan, setan yang memperdengarkan suara lecutan itupun dapat mengganggu jalanmu Sidanti“

“Kenapa guru tidak menangkapnya saja, dan membunuhnya pula?”

“Kau dengar suara lecutannya?” bertanya gurunya. “Kau merasakan getaran didadamu? Nah, itu pertanda bahwa orang itupun bukan orang kebanyakan. Mungkin ia dapat melepaskan diri dari tanganku meskipun ia tidak berani langsung melawan aku dalam satu perkelahian”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih tampak diwajahnya, bahwa ia menyesal akan keadaan itu. Seandainya Widura itu terbunuh dan orang mempercayainya, bahwa yang membunuh Widura itu Tohpati, menilik dari bekasnya, maka tak seorangpun yang berani menyatakan dirinya, mengganti kedudukan Widura. Semua orang di Sangkal Putung menyadari, bahwa tak seorangpun yang dapat melampaui Sidanti. kecuali kalau Pajang menunjuk orang lain yang dikirim langsung dari Pajang. Namun siapapun orang itu, nasibnya tidak akan lebih baik dari Widura.

Kemudian terdengarlah kembali suara Ki Tambak Wedi, kali ini kepada Widura. “Nah Widura. Aku masih akan membiarkan kau hidup sepasar lagi. Kembalilah kalian berdua. Sekali lagi aku memperingatkan kau Widura. Jangan membuat persoalan atas Sidanti, supaya aku tidak datang kepadamu bersama-sama dengan Tohpati, untuk memengal lehermu dan seluruh laskarmu”

Kini Widura telah menyadari keadaannya seluruhnya. Ia mendengar semua kata-kata Ki Tambak Wedi. ternyata orang itu sama sekali tidak mempunyai pendirian berpihak antara Pajang dan Jipang. Ia dapat berada dimana saja yang dapat memberinya keuntungan. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi maupun Sidanti adalah benar-benar orang yang sangat berbahaya.

Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi pula “Nah Sidanti. Jangan cemas, aku akan terus menerus mengawasi keadaan. Kau dengar pula itu, Widura?”

Sebelum Widura berkata sepatah katapun, dan sebelum Sidanti menjawab terdengarlah Ki Tambak Wedi itu menggeram. Kemudian dengan serta-merta dilemparkan potongan besi yang masih digenggamnya kearah kaki Widura. Kemudian dengan satu loncatan yang cepat, Ki Tambak Wedi itu menghilang dibalik pepohonan. Ia masih akan mencoba mencari, siapakah yang telah memperdengarkan suara lecutan yang dahsyat, yang telah mengganggu pekerjaannya. Namun karena suara itu sudah tidak terdengar lagi, serta Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa belum pasti ia akan dapat menangkapnya, akhirnya Ki Tambak Wedi itupun melepaskan maksudnya.

Sidanti dan Widura masih tegak ditempat masing-masing. Ketika tanpa sesadarnya Widura memandang potongan besi yang tergeletak beberapa jengkal dimuka kakinya ia terkejut bukan buatan. Besi itu kini melengkung sehingga kedua ujung-ujungnya hampir bertemu. Adalah kekuatan yang luar biasa yang dapat melakukannya. Sepotong besi sebesar ibu jari kaki, yang panjangnya tidak lebih dari dua jengkal itu dapat dilengkungkannya sedemikian, sehingga hampir menjadi sebuah lingkaran.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Ki Tambak Wedi benar-benar luar biasa. Namanya yang menakutkan itu, tidak saja karena kesombongannya, namun ia benar-benar memiliki kekuatan yang tidak ada taranya.

Sidanti yang melihat wajah Widura dalam keremangan malam, serta sikapnya yang gelisah, dan kemudian dengan serta-merta memungut besi yang hampir menjadi lingkaran itu, tertawa pendek. Desisnya “Apa kau heran kakang, bahwa Ki Tambak Wedi dapat melakukannya? Melengkungkan besi sebesar itu dengan tangannya?”

“Tidak” jawab Widura. “Orang yang sakti seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat berbuat lebih banyak dari permainan ini, meskipun permainan ini telah menggoncangkan dadaku”

Sekali lagi Sidanti tertawa. Dengan bibir yang ditarik kesisi ia berkata “Sejak saat ini kau jangan terlalu sombong dan berkeras kepala supaya umurmu tidak hanya terbatas pada lima hari ini saja”

Widura menggeleng. Sahutnya “Aku tidak senang orang lain mencampuri persoalan dalam tata kelaskaran Pajang. Sudah aku katakan, hidup matiku akan aku pertaruhkan untuk kewibawaan Pajang”

Sidanti mengangkat alisnya. Namun kemudian ia tertawa pula. Katanya “Marilah kita pulang. Setelah kakang Widura beristirahat mungkin kakang mempunyai pertimbangan lain”

“Pulanglah dahulu” sahut Widura “Aku masih mempunyai pekerjaan”.

Sidanti menjadi heran. Apakah yang akan dilakukan oleh Widura itu. Tetapi Sidanti yang sombong itu tak mau merajuk. Karena itu ia menjawab, “Baiklah aku pulang dahulu”

Sidanti kemudian tidak menungu jawaban Widura. Segera ia melangkah meninggalkan tempat itu, kembali ke kademangan Sangkal Putung. Kini ia merasa dapat berbuat sekehendaknya. Sedang Widura pasti tak akan berani menghalanginya lagi.

“Widura itu hanya malu-malu saja mengakui kekuasaanku sekarang” katanya dalam hati. “Namun aku yakin bahwa ia tidak akan berani mengganggu aku lagi”

Sidanti itu tersenyum sendiri. Akan datang gilirannya Sedayu ditundukkannya. Kalau ia tak mampu melakukan sendiri, maka cara yang sama seperti yang dilakukan atas Widura itu akan ditempuhnya “Anak itu akan jauh lebih mudah diselesaikan”. Katanya pula “Kalau ia terbunuh, tak akan ada yang mempersoalkannya selain Widura. Dan aku yakin Widura pun kini akan berdiam diri”

Sidanti itu kemudian berjalan dengan wajah yang terang, seakan-akan Sangkal Putung itu benar-benar telah dikuasainya. Seluruhnya. Dan terbayanglah diwajahnya, seorang gadis yang manis dan lincah, yang pernah mengaguminya pula, Sekar Mirah. Dengan modal pimpinan atas Sangkal Putung dan kemudian apabila ia berhasil membinasakan Tohpati atas namanya, maka pasti ia akan cepat menanjak. Seterusnya, ia harus pandai memanfaatkan setiap kesempatan.

Widura yang masih tegak ditempatnya, memandang Sidanti itu sampai hilang dalam gelapnya malam. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya ayam hutan berkokok dikejauhan. Ternyata malam telah jauh melampaui pusatnya. Dan sebentar lagi akan terdengar kokok ayam jantan yang terakhir kalinya menjelang fajar.

Perlahan-lahan Widura itupun menyarungkan pedangnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai persoalan yang menekan. Ternyata tugasnya menjadi sangat berat dan berbahaya. Tidak saja Tohpati dan sisa-sisa laskar Jipang yang lain yang memusingkan kepalanya, namun Sidanti, bagian dari tubuh sendiri, itupun benar-benar hampir mencabut nyawanya. Berturut-turut beterbanganlah angan-angannya atas pekerjaannya yang berat itu. Tohpati, Sidanti, Ki Tambak Wedi, Agung Sedayu, dan tak dapat diabaikan pula, usaha untuk menemukan Untara.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam “Aku tidak dapat menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban itu. Meskipun tubuhku akan menjadi lumat karenanya.”

Perlahan-lahan Widura itupun melangkahkan kakinya. Tiba-tiba saja ia merasa muak untuk berjalan bersama-sama dengan Sidanti. Karena itu dibiarkannya anak muda itu berjalan dahulu. Dan kini iapun berjalan meninggalkan tegal yang sepi, sesepi taman pekuburan. Ketika sekali ia menoleh, dilihatnya pohon jambu mete itu seperti hantu raksasa yang mengembangkan tangan-tangannya yang banyak sekali jumlahnya untuk menyergapnya. Namun Widura bukan seorang penakut. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi ngeri melihatnya. Dan ia masih tetap berjalan perlahan-lahan sambil menghirup udara malam yang segar.

Meskipun tubuhnya menjadi bertambah segar, namun hatinya tidak dapat menjadi sesegar tubuhnya. Berbagai-bagai persoalan, satu demi satu membelit dihatinya. Dan ia tidak mempunyai seorang kawanpun yang dapat diajaknya untuk membicarakan kelusitan-kesulitannya. Ki Demang Sangkal Putung pun tidak. Sebab dengan demikian demang Sangkal Putung itu akan mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda arah penelaahannya. Hudaya, Citra Gati dan orang lainpun pasti akan menuruti perasaannya saja, tanpa mempertimbangkan dengan pikiran, serta tanpa memandang kepentingan yang lebih besar dan jauh. Karena itu pikiran Widura itupun menjadi suram. Namun betapapun juga, dicobanya untuk mengatasi kesulitan itu dengan sebaik-baiknya.

Ketika Widura telah keluar dari daerah pategalan itu, tiba-tiba saja ia membelok kekiri. Ia terkejut sendiri atas langkahnya “Hem” gumamnya “Akan kemanakah aku ini?” Tetapi ia meneruskan langkahnya. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk pergi ke gunung Gowok. Ia tidak menyadari sepenuhnya, apakah kepergiannya itu akan bermanfaat baginya. Namun, karena pikiran yang suram itu, inginlah ia berbuat sesuatu. Kiai Gringsing yang hampir setiap malam ditemuinya di gunung Gowok, kemudian ternyata mendapat tempat tersendiri didalam hatinya. Orang yang berbuat dan berbicara seenaknya, seakan-akan hidup ini hanyalah sebuah permainan yang menyenangkan saja.

“Apakah aku dapat berbicara dengan orang itu?” gumamnya. Tetapi kemudian iapun sadar, bahwa ia pasti akan menjadi kecewa karenanya. Orang bertopeng itu pasti akan mentertawakannya, dan menyuruhnya supaya membicarakan dengan orang yang disebutnya gurunya, Sedayu. Karena itu pulalah Widura itu sering mengumpat didalam hati. Namun kali ini ia benar-benar ingin menemuinya.

Tetapi Widura itu menjadi ragu-ragu. Apakah Kiai Gringsing masih berada disana? Hampir setiap malam ia datang bersama Sedayu, tetapi sebelum tengah malam. Dan kali ini tengah malam itu telah jauh lampau. Meskipun demikian Widura itu berjalan terus.

Diperjalanan itu, kadang-kadang pikirannya diganggu juga oleh suara lecutan yang dahsyat yang telah menyelamatkannya. Bahkan kemudian timbul juga berbagai pertanyaan didalam dirinya, siapakah orang yang telah berbuat itu? Apakah ada orang aneh lagi selain Kiai Gringsing? Apakah mungkin Kiai Gringsing pula yang melakukannya?

Widura menjadi ragu-ragu. Ia mengagumi kesaktian Kiai Gringsing, namun apakah orang itu mampu menggetarkan dadanya dengan suara lecutan itu, dan memaksa Ki Tambak Wedi merubah rencananya?

Gunung Gowok itu kini sudah tidak jauh lagi berada dihadapannya. Dalam keremangan malam, telah dilihatnya pohon kelapa sawit tegak diatas puntuk kecil itu. Namun sebelum ia meloncati parit dan berjalan diatas pematang, tiba-tiba Widura itu terkejut bukan kepalang, sehingga ia terlonjak karenanya. Dekat dibelakangnya, didengarnya sebuah letusan yang dahsyat, yang hampir saja menggugurkan isi dadanya.

Secepat-cepatnya Widura berusaha untuk memutar tubuhnya. Dan dengan gerak naluriah tangannya meraba hulu pedangnya. Namun tenaganya yang memang belum pulih itu, seakan-akan tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Apalagi getaran didalam dadanya masih terasa memukul-mukul tak henti-hentinya.

Namun Widura tak melihat seorangpun. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia memusatkan kekuatan batinnya melawan getaran-getaran yang masih saja melanda jantungnya. Sehingga lambat laun ia berhasil pula menenangkan dirinya.

Tetapi ia masih belum melihat seorangpun disekitarnya. Karena itu Widura menjadi gelisah. Tangan kanannya masih melekat dihulu oedangnya. Dan bahkan setelah getaran-getaran didialam dadanya mereda, Widura itupun telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi, meskipun ia sadar, bahwa tenaganya masih belum separo pulih kembali.

Tetapi sekali lagi Widura terkejut. Bukan oleh suara lecutan yang dahsyat. Tetapi kali ini terdengarlah suara tertawa. Suara yang bernada tinggi dan nyaring.

Dengan serta-merta Widura itupun berpaling. Hampir ia mengumpat ketika dilihatnya seseorang duduk diatas pematang diantara batang-batang padi muda. Dan Widura itupun segera mengenalnya. Orang itulah yang dicarinya, Kiai Gringsing.

“Ah” desis Widura. “Kiai benar-benar mengejutkan aku”

“Oh” sahut Kiai Gringsing “Maafkan aku. Aku kira kau senang mendengar lecutan-lecutan itu. Coba Widura apakah kau bisa berbuat seperti aku?”

Sebelum Widura menjawab, Kiai Gringsing itu sudah berdiri dan diberikannya kepada Widura sebuah cambuk lembu yang sederhana. Bertangkai bambu cendani dan ujungnyapun dibuatnya dari anyaman bambu siladan pula.

Dada Widura bergetar karena itu. Ternyata orang yang membunyikan lecutan-lecutan itu adalah Kiai Gringsing dengan cambuk bambu yang sangat sederhana pula. Karena itu, maka betapa kagumnya pemimpin laskar Pajang itu. Bahkan dengan serta-merta terloncatlah pertanyaannya “Jadi adakah Kiai tadi yang membunyikan cambuk itu berturut-turut tiga kali?”

Kiai Gringsing itu tertawa. Jawabnya “Aku sedang bermain-main”

“Tetapi perbuatan Kiai itu ternyata telah menolong jiwaku” sahut Widura.

“He” Kiai Gringsing terkejut. Katanya “Bagaimana itu terjadi. Apa hubungannya bunyi lecutan itu dengan jiwamu?”

Widura telah mengenal Kiai Gringsing beberapa lama. Karena itu maka iapun telah dapat mengerti seba sedikit tentang sifat orang bertopeng itu. Maka jawabnya “Suara lecutan itu telah menakut-nakuti orang yang akan membunuhku”

“Kau akan dibunuh orang?” bertanya Kiai Gringsing itu.

Widura kini benar-benar mengumpat didalam hati. Ia tahu benar bahwa Kiai Gringsing telah berbuat dengan sadar untuk menolongnya. Namun terpaksa ia menjawab pula “Ya Kiai”

“Apakah persoalannya, sehingga seseorang berbuat demikian jahatnya?” orang bertopeng itu bertanya.

Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Ingin ia mengutarakan semua persoalan-persoalan yang menyumbat dadanya, namun setelah ia bertemu dengan orang aneh itu, ia menjadi ragu-ragu. Karena itu ia ingin menjajaginya, apakah pintu terbuka baginya untuk menyatakan kesulitan-kesulitannya. “Kiai” katanya “Aku ternyata mempunyai banyak persoalan-persoalan disini. Persoalan didalam lingkungan sendiri dan persoalan yang aku hadapi atas sisa-sisa laskar Jipang”

Widura benar-benar menjadi kecewa ketika tiba-tiba Kiai Gringsing itu tertawa. Katanya “Kau benar bodoh Widura. Bukankah di Sangkal Putung ada gurumu. Nah katakan kepadanya kesulitan-kesulitanmu itu. Jangan kau katakan kepadaku”

“Tetapi bukankah Kiai bertanya?” potong Widura.

“Marilah kita tidak mempersoalkan lagi tentang hal-hal yang mengerikan. Aku takut mendengar perkara-perkara pembunuhan. Sekarang coba, apakah kau dapat membunyikan cambuk itu”

Sekali lagi Widura menarik nafas panjang. Panjang sekali. Ditatapnya wajah yang bersembunyi dibalik topeng itu. Namun yang tampak baginya tidak lebih dari wajah mayat dari kayu yang menyelubungi wajah Kiai Gringsing itu.

Widura mengangkat alisnya ketika iapun mendengar orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Namun hanya sesaat. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata orang bertopeng itu pula “Nah, cobalah”.

Widura tidak dapat berbuat lain daripada mencoba membunyikan cambuk itu. Dengan satu gerakan menyentak sendal pancing ia mencobanya. Dan terdengarlah sebuah lecutan yang keras, namun hanya sekeras para penggembala membunyikan pecut-pecut mereka.

“Ternyata kau tidak sepandai aku” berkata Kiai Gringsing “Berikan cambuk itu” mintanya.

Dengan hati yang kosong Widura menyerahkan cambuk bambu itu. Dan tiba-tiba sekali lagi menggeletar suara cambuk yang dahsyat. Dan sekali lagi getaran yang dahsyat pula menghantam dada Widura. Untunglah ia segera berhasil memusatkan kekuatan batinnya, sehingga dadanya tidak meledak karenanya. Dengan penuh ketekunan Widura kemudian mencoba menenangkan hatinya. Mencoba meredakan getaran-getaran yang menghentak-hentak jantungnya.

Ketika ia hampir berhasil terdengarlah suara Kiai Gringsing tertawa. Katanya “Jangan marah Widura. Aku hanya bermain-main. Agaknya kau terkejut karenanya”.

Widura yang menjadi jengkel itu tiba-tiba teringat pada besi yang dibawanya. Besi yang hampir menjadi sebuah lingkaran. Karena itu tiba-tiba ia berkata “Kiai, aku juga mempunyai permainan. Apakah Kiai pernah bermain-main dengan lingkaran ini?”

Suara tertawa Kiai Gringsing itupun terputus. Diperhatikannya potongan besi ditangan Widura itu dengan seksama.

Dilihatnya sepotong besi yang melengkung, sehingga kedua ujung dan pangkalnya hampir bertemu.

“Permainan apakah ini?”bbertanya Kiai Gringsing.

Widura kemudian memberikan potongan besi itu kepada Kiai Gringsing sambil berkata “Permainan yang dibawa oleh Ki Tambak Wedi”.

Kiai Gringsing menerima sepotong besi itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya “Permainan aneh. Bagaimanakah Ki Tambak Wedi itu bermain? Dilemparkan atau diguling-gulingkan?”

Sekali lagi Widura mengumpat didalam hati. Namun Widura pun menyadari, bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik sikap Kiai Gringsing yang dibuat-buat itu. Meskipun demikian, ia menjawab “Tidakkah Kiai pernah bermain-main dengan benda-benda yang demikian? Aku sangka orang-orang tua suka bermain-main dengan potongan-potongan besi demikian seperti Ki Tambak Wedi. aku sendiri tidak tahu, apakah yang menyenangkan Ki Tambak Wedi namun ia membuat lingkaran-lingkaran semacam itu”

Kiai Gringsing itupun menggeleng. Jawabnya “Aku tidak pernah bermain-main dengan benda-benda semacam itu. Inilah”.

Sekali lagi Widura menjadi kecewa. Ia ingin mengatakan kepada Kiai Gringsing bahwa kekuatan Ki Tambak Wedi itu telah berhasil melengkungkan besi itu. Namun sebelum ia berkata apapun, dilihatnya Kiai Gringsing melemparkan besi itu kearahnya sambil berkata “Terimalah”.

Dengan gerak naluriah Widura melangkah kesamping. Potongan besi itu tepat mengarah kemata kakinya. Karena itu ia harus menghindarinya. Namun ketika kemudian ditatapnya potongan besi yang kini tergeletak disampingnya, kembali dadanya bergoncang dahsyat sekali. Ia menjadi lebih terkejut lagi dari pada saat ia melihat besi melengkung itu dilemparkan dibawah kakinya, oleh Ki Tambak Wedi. dengan dada yang bergolak, tanpa sesadarnya Widura memungut potongan besi itu. Dan dengan tangan gemetar ia memeganginya. Namun potongan besi itu kini telah lurus kembali. “Alangkah dahsyatnya!” katanya didalam hati. “Meluruskan potongan besi ini dengan tangan jauh lebih sulit daripada melengkungkannya. Tetapi orang bertopeng itu telah melakukannya”.

Sebelum getaran didalam dadanya itu mereda, terdengarlah Kiai Gringsing itu berkata “Nah Widura, kalau kau bertemu sekali lagi dengan Ki Tambak Wedi, tanyakanlah kepadanya. Apakah yang menarik hatinya untuk bermain-main dengan besi-besi semacam itu. Apakah besi-besi semacam itu pulalah yang dipakainya sebagai gelang ditangan atau kakinya? Aku sendiri tidak senang bergelang dan berbinggel dikaki. Apakah bergelang akar atau besi sekalipun”.

Kini Widura telah berhasil menenangkan dirinya dari ketakjubannya. Meskipun demikian, kekagumannya kepada orang bertopeng itu menjadi bertambah-tambah. Katanya “Kiai, ternyata Kiai lebih pandai bermain dengan potongan-potongan besi daripada Ki Tambak Wedi”

“He?” orang bertopeng itu terkejut “Apakah aku bermain-main dengan besi itu?”.

“Kiai telah berhasil meluruskannya “sahut Widura. “Aku menjadi takjub ketika aku melihat Ki Tambak Wedi dengan tangannya berhasil melengkungkan potongan besi itu. Aku kagum akan kekuatan yang tersimpan didalam tangannya. Tetapi kini, ternyata Kiai dapat pula berbuat demikian. bahkan lebih mentakjubkan lagi. Bukankah meluruskan besi itu lebih sulit dari melengkungkannya?”

Terdengarlah kemudian Kiai Gringsing itu tertawa terkekeh-kekeh. Diantara derai tawanya itu terdengar ia berkata “Kau memuji aku Widura. Aku menjadi senang sekali karenanya. Apakah kau sudah kawin?”

Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Karena itu Widura menjadi bingung, sehingga Kiai Gringsing itu mendesaknya “He Widura, apakah kau sudah kawin?”

“Sudah Kiai” jawab Widura.

“Sudah punya anak?”

“Sudah Kiai, seorang”

“Sayang” berkata orang bertopeng itu masih dalam derai tertawanya “Kalau belum, kau akan aku ambil untuk menantu meskipun aku tidak punya anak perempuan”.

Kembali Widura menarik nafas dalam-dalam sambil mengumpat didalam hati. Namun ia berdiam diri. Dibiarkannya Kiai Gringsing berkata sekehendak hatinya. Namun ia masih dicengkam oleh kekaguman pada orang itu. Orang yang dengan suara lecutan yang dahsyat telah memperpanjang umurnya, dan dengan kedua tangannya, tanpa dilihatnya telah berhasil meluruskan besi yang melengkung itu. “Kalau demikian” katanya dalam hati, “Apakah dugaan Ki Tambak Wedi tidak keliru? Ki Tambak Wedi menanggap bahwa tidak ada orang sakti selain dirinya didaerah ini. Bagaimanakah dengan orang bertopeng ini? Orang yang namanya sama sekali tak dikenal selain olehku dan Agung Sedayu”.

Tetapi Widura kemudian terkejut ketika dikejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Ketika ia memandang ketimur, membayanglah warna-warna semburat merah diatas garis cakrawala.

“Hampir fajar” desisnya.

Kiai Gringsing itupun menengadahkan wajahnya. kemudian katanya “Ya, hampir fajar. Aku harus segera kembali sebelum terang tanah. Orang akan menyangka aku sebagai penari topeng yang kesiangan”.

“Kenapa Kiai pakai topeng?” tiba-tiba saja terluncur pertanyaan itu dari mulut Widura.

Kiai Gringsing tiba-tiba terpaku pula ditempatnya. Diawasinya wajah Widura dengan tajamnya. Namun tanpa menjawab pertanyaan itu, Kiai Gringsing melangkah meninggalkan Widura seorang diri.

Widura mengawasi langkah Kiai Gringsing dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja keinginannya untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang bertopeng itu melonjak-lonjak didalam dadanya. Sehingga tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak “Kiai, berhentilah”.

Kiai Gringsing itupun berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Widura meloncati parit dan berlari kearahnya “Aku ingin tahu, siapakah Kiai sebenarnya”.

“Jangan” jawab Kiai Gringsing. “Kelak akan sampai saatnya, kau tahu siapakah aku, sekarang belum”.

“Tidak” jawab Widura. “Aku ingin tahu sekarang”

“Jangan” berkata Kiai Gringsing seperti orang yang ketakutan. Ketika ia melihat Widura menjadi semakin dekat, tiba-tiba Kiai Gringsing itupun berlari pula, sambil berkata “Jangan Widura. Kenapa kau masih saja akan menangkap aku?”

Namun Widura tidak memperdulikannya. Bahkan ia semakin mempercepat larinya. Ia benar-benar berusaha untuk dapat menangkap Kiai Gringsing.

Demikianlah maka mereka berdua berlari berkejar-kejaran. Kiai Gringsing itu berlari-lari disepanjang pematang, melingkari gunung Gowok dan berputar-putar. Meskipun demikian, Widura belum berhasil menangkapnya. Bahkan jarak mereka semakin lama menjadi semakin jauh.

Akhirnya, Widura itupun tertegun sendiri. Kiai Gringsing itu seakan-akan lenyap begitu saja, seperti asap dihembus angin. Widura yang terengah-engah itu berdiri tegak seperti patung diatas pematang yang basah. Ketika kemudian disapukannya pandangan matanya berkeliling, dilihatnya dikejauhan, Kiai Gringsing melambaikan cambuknya. Hanya lamat-lamat terdengar suaranya “Besok kita bermain-main lagi digunung kecil itu Widura”.

Widura menarik nafas. Tiba-tiba saja ia menjadi geli sendiri atas kelakuannya. Bahkan ia menjadi malu pula. Gumamnya “Gila. Apakah aku telah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu pula? Untunglah tak seorangpun yang melihatnya”

Widura yang kemudian menyadari keadaannya itu, kini melangkah diatas pematang menuju jalan kembali kekademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri. Dan berkali-kali ia merasa, bahwa hampir-hampir saja ia kejangkitan penyakit Kiai Gringsing yang aneh itu.

Widura itupun kemudian mempercepat langkahnya. Ia tidak mau kesiangan sampai dikademangan.

Warna-warna merah diujung timur semakin lama menjadi semakin tegas. Ketika Widura menjadi semakin dekat dengan induk desa Sangkal Putung, semakin riuhlah suara kokok ayam jantan yang seakan-akan menyambutnya. Namun Sangkal Putung tampaknya masih lelap dibalik kabut malam yang seakan-akan awan yang keabu-abuan menyelimuti raksasa yang kedinginan.

Widura itupun mempercepat langkahnya. Ia masih harus sembahyang subuh, sebelum melakukan pekerjaannya yang lain. Karena itu, ia harus sampai dikademangan sebelum hari menjadi terang.

Ketika Widura itu hampir sampai diregol halaman kademangan, ia menjadi terkejut. Dalam keremangan embun menjelang fajar, dilihatnya beberapa orang bergerombol dimuka regol itu, lebih banyak dari yang seharusnya.

Dan Widura menjadi berdebar-debar pula, ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang yang melihatnya berteriak “Itulah Ki Widura telah datang”.

Widura itupun berjalan semakin cepat pula. Dimuka regol itu dilihatnya Hudaya, Citra Gati, Sonya, Sendawa dan beberapa orang lainnya. Hampir semua dari mereka itu, memegang senjata mereka masing-masing.

“Apa yang terjadi?” bertanya Widura serta-merta.

Citra Gati ituppun kemudian melangkah maju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab “Ternyata kami hanya berprasangka”.

“Tentang apa” bertanya Widura pula.

Citra Gati berpaling kearah Hudaya. Seakan-akan ia minta pertimbangan sahabatnya itu. Namun Hudaya segera memalingkan wajah kearah lain.

Tampaklah mulut Citra Gati berkumat kamit mengumpati Hudaya. Namun yang kemudian dikatakannya adalah “Kami berprasangka atas Sidanti“.

“Kenapa dengan Sidanti?” bertanya Widura pula.

Sekali lagi Citra Gati berpaling kearah Hudaya, namun Hudaya masih memandang ke bintang-bintang yang masih bergemerlapan dilangit. Karena itu ia menjawab sendiri “Kami mengetahui bahwa kakang pergi bersama Sidanti, namun kemudian Sidanti itu kembali seorang diri. Ketika ada diantara kami yang menanyakan kepadanya, ia menjawab namun sangat meragukan kami”.

Widura itupun menarik nafas dalam-dalam. Dadanya benar-benar berguncang mendengar kata-kata Citra Gati. Ia menjadi berbangga bahwa anak buahnya itu demikian setia kepadanya. Namun ia melihat bahaya yang besar pula yang ada diantara mereka. Bahaya yang setiap saat dapat meledak. Ternyata kawan-kawan Sidanti sudah demikian muaknya kepada anak muda yang sombong itu, sehingga setiap kesempatan, benturan-benturan diantara mereka agaknya sulit untuk dihindarkan. Namun betapapun juga Widura harus memperhitungkan kekuatan dibelakang Sidanti. Ki Tambak Wedi. Kalau sampau terjadi sesuatu atas muridnya itu, maka tidak mustahil Ki Tambak Wedi akan melakukan pembalasan dendam yang mengerikan. Bahkan tidak mustahil bahwa Ki Tambak Wedi dapat meminjam tangan Tohpati untuk melakukannya. Kalau Ki Tambak Wedi kehilangan Sidanti, maka Tohpati dapat diambilnya menjadi gantinya. Dan keadaannya akan menjadi semakin kalut. Karena itu, selagi ia belum menemukan cara penyelesaian yang sebaik-baiknya, maka ia harus menghindarkan setiap bentrokan yang mungkin terjadi.

Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang kawan-kawannya itu masih berdiri diseputar Widura. Sehingga dengan demikian Widura terpaksa membubarkannya. “Nah, kembalilah kalian ketempat kalian masing-masing. Jangan terlalu berprasangka kepada seseorang. Untunglah belum terjadi sesuatu atas kalian. Ternyata aku sekarang kembali utuh”. Namun didalam hatinya Widura itu berkata “Hampir saja aku tidak kembali. Kalau terjadi demikian, maka apakah kira-kira yang dapat timbul dikademangan ini? Apakah anak-anak ini percaya bahwa aku terbunuh oleh Tohpati?

Tetapi Widura itu tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung berjalan menyibak orang-orang yang berdiri dimuka regol itu masuk kepringgitan.

Demikian ia membuka pintu pringgitan, ia melihat Agung Sedayu masih duduk terpekur. Anak muda itu terkejut ketika mendengar pintu bergerit, dan ketika berpaling, dan dilihatnya pamannya kembali, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu itu menarik nafas dalam-dalam.

Widura itupun segera pergi kepembaringannya, melepaskan ikat pinggangnya dan meletakkan pedangnya.

“Apakah kau sudah bersembahyang?” terdengar ia bertanya.

“Sudah paman” jawab Agung Sedayu.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa berkata sepatahpun ia melangkah keluar kembali, pergi ke perigi. Ketika sekali lagi ia menengadahkan wajahnya kelangit, terdengar ia bergumam “Hampir fajar”.

Baru setelah Widura itu selesai bersembahyang, maka iapun segera duduk pula bersama-sama Sedayu. Widura itu menggigit bibirnya ketika dilihatnya Sekar Mirah membawa minuman hangat untuk mereka. Bukanlah kebiasaannya untuk menyuguhkan makan dan minum itu dahulu. Tetapi sejak Agung Sedayu berada di kademangan itu, pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pembantu-pembantunya, kini telah diambil alih olehnya.

“Marilah paman” katanya “Mumpung masih hangat”.

“Terima kasih Mirah” sahut Widura.

“Apakah kakang Sedayu tidak ingin berjalan-jalan?” terdengar gadis itu bertanya pula kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya singkat “Tidak, Mirah”.

“Ah, hari cerah. Apakah kakang dapat mengantarkan aku kewarung sebentar?” ajak gadis itu.

Sekali lagi Sedayu menggeleng, meskipun sebenarnya ingin juga ia pergi, namun ia tidak berani melakukannya. Karena itu jawabnya “Tidak Mirah. Aku sedang sibuk disini”

Sekar Mirah menjadi kecewa. Ditatapnya wajah Widura seakan-akan ia minta ijin untuk Sedayu. Namun Widura itu menundukkan wajahnya, merenungi air jahe panas dihadapannya. Meskipun demikian Sekar Mirah itu masih mencoba memaksanya, katanya “Aku harus berbelanja untuk kalian, namun aku takut seandainya aku bertemu dengan Sidanti dijalan”

Widura kini mengangkat wajahnya. Dilihatnya Agung Sedayu menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan Sekar Mirah itu. Maka Widura itupun berkata “Mirah, jangan takut kepada Sidanti. Anak itu bukanlah anak yang jahat. Namun kadang-kadang ia menjadi kecewa karena sikap Sedayu. Nah, pergilah tanpa Sedayu. Aku menjadi jaminan, bahwa tak akan terjadi sesuatu. Apabila kau pergi bersama Sedayu, maka anak muda itu akan bertambah kecewa, dan ia akan dapat berbuat aneh-aneh di Sangkal Putung ini.”

Wajah Sekar Mirah itu menjadi merah. Betapa ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-katanya Widura itu. Ternyata menurut penilaiannya, Widura berpihak kepada Sidanti. “Aneh” katanya dalam hati. “Bukankah Sedayu itu kemenakannya sendiri?” Meskipun demikian ia tidak berkata apapun lagi. Ketika sekali ia memandang wajah Sedayu, dilihatnya wajah itu menunduk dalam-dalam. “Anak muda itu menjadi kecewa pula” pikir gadis itu.

Perlahan-lahan Sekar Mirah pergi meninggalkan pringgitan. Sekali-sekali ia berpaling. Namun baik Widura maupun Agung Sedayu tidak lagi memandanginya. Meskipun demikian, Sekar Mirah itu masih dapat menghibur dirinya “Sedayu tidak marah kepadaku” katanya dalam hati. “Ia hanya takut kepada pamannya”

Pagi itu, Sekar Mirah pergi kewarung seorang diri. Sebenarnya iapun sama sekali tidak takut seandainya Sidanti berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang, dan disepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi datang kewarung diujung desa.

Widura dan Agung Sedayu yang duduk dipringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka. Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak tersenyum. sambil duduk disamping Widura terdengar ia berkata “Hampir semalam suntuk adi berkeliling malam ini”.

Widura tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya kakang”.

“Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan?” bertanya ki Demang itu pula.

Widura menggeleng “Tidak kakang”.

Ki Demang Sangkal Putung itupun kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Anak-anak sudah siap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan yang dapat menarik hati mereka dan menghilangkan kejemuan. Apakah anak-anak adi Widura berminat pula?”

“Ya” sahut Widura “Aku senang dengan rencana itu”

“Kita dapat segera menyelenggarakannya” berkata Ki Demang itu pula.

Widura itupun tiba-tiba termenung. Apakah perlombaan-perlombaan itu akan dapat menggembirakan anak buahnya dalam keadaan seperti kini. Ia tahu pasti bahwa perlombaan apapun Sidantilah yang akan memenangkannya. Namun akhirnya ia menjawab “Baiklah kakang, meskipun kami semuanya sudah tahu, siapakah yang akan menjadi pemenangnya. Namun akan menyenangkan pula bagi mereka yang akan menjadi pemenang kedua, ketiga dan seterusnya”.

Mendengar keputusan Widura itu, Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu pasti akan menyenangkan anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan-perlombaan yang demikian akan menghilangkan kejemuan, dan mereka merasa bahwa dengan perlombaan-perlombaan itu, mereka mendapatkan beberapa kebanggaan.

“Kapan perlombaan itu akan kita adakan?” bertanya ki Demang.

Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terngiang ditelinganya kata-katanya Ki Tambak Wedi bahwa waktu yang diberikan kepadanya hanyalah sepasar. Karena itu, maka apapun yang akan dilakukan harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan ancaman itu. Widura percaya bahwa orang semacam Ki Tambak Wedi itu pasti akan mampu melakukan apa saja yang dikatakannya.

Karena itu maka katanya “Adakah anak-anak Sangkal Putung telah bersiap untuk melakukan perlombaan ini?”

“Sudah lama mereka mempersiapkan diri” jawab Ki Demang. “Mereka telah berlatih menggunakan panah, tombak dan bermacam-macam alat untuk berlomba. Sodoran diatas kuda dan bermacam-macam lagi”.

“Bagus” sahut Widura. namun kemudian terlintas didalam angan-angannya setiap sikap dan prasangka pada anak buahnya. Apakah perlombaan-perlombaan yang demikian tidak akan menimbulkan persoalan baru? Pedang, tombak dan semacam itu akan sangat berbahaya bagi anak buahnya yang sedang dibakar oleh ketidak puasan atas sikap satu dengan yang lain. Karena itu, maka kemudian jawabnya ”Kakang. Kita memilih segi-segi yang paling tidak berbahaya dalam perlombaan ini. Terutama bagi anak buahku sendiri. Mereka adalah prajurit-prajurit yang telah mengalami pertempuran, sebenarnya pertempuran, beberapa puluh kali. Karena itu perlombaan-perlombaan dengan pedang dan tombak tidak akan menyenangkan mereka. Sekali pedang dan tombak mereka terayun, maka tujuan mereka adalah melepaskan nyawa lawan-lawan mereka. Sehingga dengan demikian pedang-pedang rotan dan tombak yang berujung bola hanya akan menimbulkan kekecewaan saja. Meskipun demikian, biarlah mereka diberi kesempatan untuk bermain-main. Yang paling baik adalah lomba mempergunakan panah. Sedang bagi anak-anak Sangkal Putung biarlah mereka mendapat kesempatan untuk mempergunakan segala macam senjata”.

Ki Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak langsung menangani anak-anak Widura, namun terasa pula olehnya, sikap-sikap yang amat menyulitkan bagi Widura untuk mengatasinya. Karena itu maka jawabnya “Baiklah adi. Aku sependapat. Jadi kapan kita adakan perlombaan ini?”

Sekali lagi Widura merenung. Harus sebelum waktu yang sepasar itu tiba. Maka jawabnya “Secepatnya kakang”.

“Besok?” bertanya Ki Demang.

“Apakah hal itu mungkin?” sahut Widura.

“Mungkin sekali bagi anak-anak Sangkal Putung” jawab Ki Demang. “Tetapi bagaimana dengan anak buah adi?”

“Anak buahku bersiap setiap saat” sahut Widura, “Jangankan perlombaan, bertempurpun siap”.

Ki Demang tersenyum mendengar jawaban Widura. katanya “Tentu. Hampir aku lupa, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit”.

Widura pun kemudian tersenyum pula.

Ketika kemudian Ki Demang itu keluar dari pringgitan, Swandaru telah berdiri tegak bertolak pinggang di pendapa. Terdengar ia tertawa riuh sambil berkata “He paman Hudaya, kenapa paman tidur disitu?”

Hudaya yang terkantuk-kantuk bersandar pohon sawo terkejut mendengar sapa Swandaru. Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir kantuknya ia menjawab “Hem, semalam aku hampir tidak tidur sekejappun”

“Kenapa? Apa paman sedang bertugas?”

Hudaya menggeleng “Tidak. Tetapi aku bermimpi buruk”

Swandaru tertawa pula “Mimpi apa?”

“Aku mimpi kau digigit anjing” jawab Hudaya.

Sekali lagi Swandaru tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang bulat itu terguncang-guncang. Beberapa orang yang mendengar suara tertawanya berpaling kearahnya. Ketika mereka melihat Swandaru, maka mereka tidak memperdulikannya lagi. Anak itu selalu saja tertawa, seakan-akan ia tidak mempunyai pekerjaan lain, selain tertawa. Tetapi sekali lagi orang-orang itu berpaling ketika suara Swandaru itu tiba-tiba saja terputus. Dan orang-orang itulah yang kemudian tertawa didalam hatinya. Menggelikan sekali. Swandaru itu tiba-tiba saja menjadi tegang ketika melihat Sidanti lewat dimukanya. Namun Sidanti itu berpalingpun tidak.

“Apa kerjamu disini Swandaru?” terdengar Ki Demang bertanya.

Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia menjawab seakan-akan sengaja supaya Sidanti mendengarnya “Apapun yang aku lakukan, bukankah aku berada dirumahku sendiri?”

“Hus” bentak ayahnya. “Jangan ngelindur. Pergi ke kawan-kawanmu. Katakan, perlombaan diadakan besok ditanah lapang dimuka bajar desa”

“He” Swandaru menjadi sangat gembira “Besok ayah?”

“Ya”

Swandaru itupun segera berlari menghambur. Langsung ia berlari kebanjar desa dimana kawan-kawannya sering berkumpul.

Tetapi selain Swandaru, anak buah Widurapun mendengar kata-kata ki Demang itu. Mereka sudah mendengar pula sebelumnya bahwa akan diadakan perlombaan bagi mereka. Meskipun mereka senang juga menyelenggarakannya, namun mereka tidak segembira anak-anak muda Sangkal Putung itu.

Sidantipun mendengar kabar itu. Disudut pendapa, ditempatnya, ia tersenyum. Katanya dalam hati “Hem, siapa yang akan mencoba melawan Sidanti? Dengan rotanpun aku akan mampu membunuh, setidak-tidaknya melumpuhkan orang-orang macam Hudaya, Citra Gati dan tikus-tikus bodoh itu. Apalagi dengan tombak berujung bola. Atau barangkali anak muda yang bernama Agung Sedayu itu?”

Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Seakan-akan di Sangkal Putung akan diselenggarakan suatu peralatan yang maha besar. Anak-anak muda berjalan hilir mudik simpang siur dengan tergesa-gesa.

Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lagi terpaksa ikut sibuk dengan anak-anak muda itu. Mereka terpaksa memberi mereka beberapa petunjuk tentang penyelenggaraan perlombaan besok dimuka banjar kademangan.

Diberinya anak-anak muda itu petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus membuat lingkaran-lingkaran dengan kapur ditengah-tengah lapangan kecil itu. Bagaimana mereka membuat garis batas bagi sodoran yang akan diselenggarakan pula.

Semuanya dibuat dengan tergesa-gesa. Namun justru karena itu anak-anak muda Sangkal Putung menjadi sangat gembira. Sehari-harian mereka bekerja tampa mengenal lelah. Apalagi mereka yang besok akan ikut bertanding. Tetapi justru karena itu pula beberapa anak buah Widura yang ditugaskan membantu penyelenggaraan itu mengumpat tak habis-habisnya. Mereka lebih senang bertempur daripada merentang-rentang tali dipanas yang terik, membuat pagar dan garis-garis batas, membuat orang-orangan untuk lomba memanah. Dan masih terlalu banyak yang harus mereka kerjakan.

Namun betapa sibuknya mereka, Sidanti sama sekali tidak mau turun dari pendapa. Apalagi membantu mereka. Bahkan hampir sehari-harian ia berbaring. Kadang-kadang ia tersenyum- senyum sendiri sambil bergumam “Alangkah bodohnya orang-orang itu. Mereka bekerja keras mempersiapkan arena. Besok akulah yang akan mendapat tepuk sorak dari penonton”

Meskipun demikian, Sidanti menjadi agak kecewa pula. Setelah ia mendengar bahwa bagi mereka hanya diadakan satu macam perlombaan saja. Memanah. Yang lain tidak.

“Biarlah” katanya dalam hati. “Akupun jemu pada permainan anak-anak itu. Tetapi memanah adalah permainan yang mengasyikkan”

Demikianlah hari itu telah dilampaui oleh anak-anak Sangkal Putung dengan penuh kesibukan. Bahkan sampai pada malam harinyapun mereka hampir tidak dapat tidur. Mereka sibuk dengan berbagai persoalan didalam angan-angannya. Sedangkan mereka yang besok akan turun kearena, masih mencoba untk menambah ketrampilannya.

Meskipun demikian, Widura tidak kehilangan kewaspadaan. Dibiarkannya anak-anak Sangkal Putung sibuk dengan persoalannya. Namun Widura tetap menempatkan orang-orangnya disegenap penjuru. Ia tidak mau dengan tiba-tiba ditelan begitu saja oleh laskar Tohpati. Karena itu, setiap saat ia tetap pada kesiapsiagaan yang sebenarnya. Bukan sekedar bersiap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan semacam itu. Karena itu, maka malam itupun Widura telah bersiap untk berkeliling kademangan. Kali ini ia tidak berjalan bersama Sidanti, tetapi kembali ia pergi dengan Agung Sedayu.

Agung Sedayu tidak pernah mengetahui apa yang telah terjadi dengan pamannya. Dan ia tidak tahu pula, mengapa semalam pamannya membawa Sidanti serta, dan kini ia harus ikut pula kembali seperti malam-malam sebelumnya.

Seperti biasanya, setelah mereka berkeliling disemua gardu-gardu perondan, maka mereka berdua pergi ketempat mereka berlatih, gunung Gowok. Disepanjang perjalanan itu, hampir tak ada yang mereka percakapkan. Widura tidak memberitahukan apa saya yang pernah terjadi, dan Sedayu tidak mau menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang bergelut didalam dadanya.

Namun kemudian, ketika mereka hampir sampai kepuntuk kecil itu, terdengar Widura berkata “Sedayu, apakah kau tidak ingin ikut serta berlomba?”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. terjadilah suatu kesibukan didalam dadanya. Ia merasa, bahwa iapun mampu untuk melepaskan panah hampir dalam keadaan yang tak mungkin dilakukan oleh orang lain. Namun, sekali lagi Sedayu terpaksa menggigit bibirnya. Ia belum berhasil melampaui dinding yang memagari jiwanya. Alangkah kerdilnya. Ia takut, kalau ia tidak dapat melakukan dengan pantas, sehingga orang-orang di Sangkal Putung akan kecewa terhadapnya. Ia takut bahwa orang-orang itu akhirnya mengetahui tentang dirinya. Bahwa ia tidak lebih dari seorang pengecut. Karena kebimbangan dan kecemasan yang bercampur baur didalam dadanya, Sedayu masih tetap berdiam diri.

“Sedayu” akhirnya terdengar pamannya berkata “Aku telah mencegah dilakukannya perlombaan-perlombaan segala macam jenis. Aku mencoba untuk menghindarkan setiap persoalan yang akan mempertajam ketegangan dan prasangka diantara anak buahku. Selain itu, aku telah menghindarkan kemungkinan, bahwa orang-orang Sangkal Putung dan anak buahku mengharap suatu pertandingan yang dahsyat antara Sidanti dan adik Untara yang mereka bangga-banggakan.” Widura terdiam sesaat. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu berjalan sambil menekurkan kepalanya. Kata-kata pamannya itu benar-benar telah menampar jantungnya. Kalau benar-benar terjadi, bagaimanakah sikap yang akan diambilnya. Apakah ia akan melawan Sidanti? Alangkah mengerikan. Sidanti adalah seorang anak muda yang perkasa, yang telah mampu melawan Tohpati meskipun tidak sempurna. Karena itu, meskipun dengan rotan sebesar ibu jari kaku, atau dengan tongkat berujung bola rotan, Sidanti itu akan dapat membunuhnya. Dan ia akan mati terkapar ditengah arena, diiringi dengan teriakan dan umpatan-umpatan penuh kekecewaan atas dirinya.

Tiba-tiba bulu kuduk Sedayu berdiri. Dan tiba-tiba pula ia menjawab “aku tidak ikut dalam perlombaan apapun paman”

Widuralah yang kini terdiam. Kalau Agung Sedayu itu sama sekali tidak turut, maka akan timbullah berbagai pertanyaan diantara anak buahnya. Karena itu ia berkata “Sedayu, bukankah kau masih pandai melepaskan panah?”

Mendengar pertanyaan pamannya itu sekali lagi Agung Sedayu terdiam. Sehingga terdengar Widura mendesaknya “Sedayu, bukankah kau masih pandai memanah? Mungkin kau dapat ikut dalam perlombaan itu sehingga kau akan dapat memenangkannya”

Berbagai persoalan kini saling mendesak didalam dada Agung Sedayu. Apakah sebenarnya yang ditakutinya dalam perlombaan memanah? Kalah atau menang, maka ia tak akan menderita sakit karenanya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu menjadi ngeri membayangkan akibat dari perlombaan itu. Kalau ia kalah, maka orang akan sangat kecewa kepadanya, namun apabila ia memenangkan perlombaan itu dan mengalahkan Sidanti, maka jangan-jangan anak muda yang perkasa itu mendendamnya.

Karena itu akhirnya Agung Sedayu menjawab “Aku tidak ikut paman”

“He” Widura menjadi semakin tidak mengerti. “Perlombaan memanahpun kau tidak berani?”

“Aku sedang berpikir tentang akibatnya. Kalau aku menang atas Sidanti, maka jangan-jangan Sidanti menjadi semakin bersakit hati” jawab Sedayu.

“Hem” terdengar Widura menggeram. Hampir ia tidak dapat menahan kejengkelannya. Seandainya ia tidak mengingat bahwa anak itu adalah anak kakaknya perempuan, maka Sedayu pasti sudah dipukulnya dan dipaksanya untuk berbuat sesuatu. Atau malahan sudah dipaksanya untuk bertempur melawan Sidanti. Atau anak itu telah lama diusirnya dari Sangkal Putung. Tetapi apa boleh buat. Namun anak itu benar-benar telah memusingkan kepalanya, meskipun kali ini alasannya bisa juga dimengerti.

Akhirnya mereka sampai juga digunung Gowok. Dengan penuh kejengkelan Widura membawa Agung Sedayu dalam satu latihan. Karena itu maka apa yang dilakukan Widura, hampir merupakan pertempuran yang sebenarnya.

Tetapi alangkah bodohnya Sedayu. Ia tidak dapat mengerti hati pamannya, sehingga ia tidak menyangka bahwa pamannya kali ini ingin mencobanya, supaya sekali-sekali ia mengalami suatu keadaan seperti yang harus dialami oleh setiap laki-laki. Sedayu hanya menganggap bahwa pamannya telah menuntunnya dalam suatu tingkatan yang lebih maju dari yang biasa dilakukannya. Maka karena ia takut bahwa pamannya akan marah kepadanya, seandainya ilmunya tidak maju-maju juga, maka Agung Sedayu itupun kemudian mencoba melayani pamannya dengan sepenuh tenaga pula.

Demikianlah maka Widura melepaskan kejengkelan hatinya pada latihan itu. Serangannya datang bertubi-tubi. Ia ingin melihat apa yang dilakukan Agung Sedayu, apabila tubuhnya benar-benar terkena oleh serangannya.

Tetapi sekali lagi Widura itu mengumpat tak habis-habisnya didalam hatinya. Demikian ia memperketat serangannya, maka pertahanan Agung Sedayupun mejadi semakin rapat. Bahkan untuk menyenangkan hati pamannya, sekali-sekali Sedayu berhasil menyerangnya pula dengan serangan-serangan yang kadang-kadang membingungkannya. Dalam keadaan yang demikian itu, maka Agung Sedayupun telah memeras hampir segenap kemampuannya. Kemampuan yang pernah dipelajarinya dari kakaknya, dari ayahnya dan dari pamannya itu. Sebenarnyalah Agung Sedayu bukanlah seorang anak yang kerdil dalam ilmunya, seperti kekerdilan jiwanya. Semakin keras serangan-serangan yang dilancarkan oleh pamannya itu, semakin heranlah dada Widura dibuatnya. Betapa serasinya Agung Sedayu memadukan unsur-unsur gerak yang diwarisi dari Ki Sadewa lewat kakaknya, lewat ayahnya itu sendiri atau lewat dirinya dengan unsur-unsur gerak yang pernah dilihatnya dan dihayatinya dalam latihan-latihan melawan Kiai Gringsing di gunung Gowok itu.

“Aneh” berkata Widura didalam hatinya. “Kalau hati anak ini sebesar hati kakaknya, bukankah ilmunya tidak terpaut banyak dari ilmu yang aku miliki?”

Namun Widura itu tidak berkata apapun. Dipercepatnya setiap geraknya dan bahkan kini Widura telah sampai kepada puncak ilmunya. Namun Sedayu itu masih melawannya dengan gigih. Bahkan kadang-kadang anak muda itu mampu melakukan hal-hal yang tak pernah dimengertinya sebelumnya.

Selain dari geraknya yang cepat dan cekatan, ternyata tenaga Agung Sedayupun cukup kuat pula. Apabila sekali-sekali terjadi benturan diantaranya, maka terasa juga tubuh pamannya itu bergetar. Bahkan apabila serangan-serangan Widura itu berhasil mengenainya, maka Sedayu itupun hanya berdesis, namun kemudian seakan-akan anak muda itu tak merasakan sesuatu.

Dan ia mampu untuk bergerak kembali dengan lincahnya, selincah burung seriti menangkap mangsanya diudara.

Namun betapa Agung Sedayu berjuang mempertahankan dirinya, tetapi Widura memiliki pengalaman yang jauh lebih besar daripadanya. Sehingga lambat laun, terasa juga tekanan-tekanan Widura menjadi semakin mendesak. Tangan Widura itu semakin lama menjadi semakin sering menyentuh tubuhnya. Meskipun tidak ditempat-tempat yang berbahaya, namun sentuhan-sentuhan itu terasa sakit-sakit juga.

Widura melihat keadaan itu. Justru karena itu ia memperkuat serangannya. Ia ingin tahu, batas tertinggi dari ilmu kemenakannya.

Tiba-tiba latihan yang keras itupun terganggu. Dari atas puntuk kecil itu, Widura dan Agung Sedayu mendengar suara tertawa dengan nada yang tinggi. Segera mereka mengenal suara itu, suara Kiai Gringsing. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu tidak saja tertawa, tetapi ia kini bertepuk tangan sambil memuji “Bagus Sedayu, ternyata muridmu itu menjadi bertambah terampil juga akhirnya”.

Gerak Widura itupun kemudian terganggu. Karena itu maka kemudian ia melontar mundur sambil berkata “Sudahlah Sedayu, kita hentikan dahulu latihan ini”

Mendengar kata-kata pamannya itu, Agung Sedayu menjadi bergembira. Sebenarnya telah agak lama ia menahan diri supaya ia tidak mengecewakan pamannya itu.

Dengan demikian latihan yang berlangsung dengan serunya itu terhenti. Dengan menganggukkan kepalanya Widura berkata kepada Kiai Gringsing “Selamat malam Kiai”

“Kenapa latihan ini berhenti?” kata Kiai Gringsing tanpa menghiraukan sapa Widura.

Widura menarik nafas. Jawabnya “Latihan ini telah berlangsung lama. Kami telah sama-sama lelah”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya “Syukurlah kalau kau selalu tekun dengan latihan-latihan itu Widura. Mudah-mudahan pada suatu saat kau dapat menandingi Topati”

“Mudah-mudahan Kiai” sahut Widura. Tetapi Widura itu kemudian terkejut bukan buatan ketika Kiai Gringsing itu berkata “Ternyata Tohpati itu benar-benar seperti hantu. Baru saja aku melihat ia berjalan mendekat tikungan disebelah”

“He” bertanya Widura tersentak “Adakah Kiai melihatnya ditikungan itu?”

Kiai Gringsing mengangguk “Ya” jawabnya. “Ia berjalan bersama dua orang pengawalnya”

“Jadi apakah mereka melihat kita berlatih disini?” bertanya Widura pula.

“Aku kira tidak” sahut Kiai Gringsing “Kalau demikian barangkali kalian telah menjadi mayat dibawah gunung Gowok ini”

“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam. “Setan itu benar-benar berbahaya”

Dalam pada itu Widura menjadi gelisah karenanya. Kedatangan Tohpati benar-benar berbahaya. Ia akan dapat mendatangi setiap gardu dan membunuh segenap isinya. Namun apabila demikian, maka pasti telah didengarnya tanda bahaya. Tetapi agaknya Tohpati itu hanya sekedar lewat, dan ingin mengetahui keadaan Sangkal Putung. Tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar karenanya. Mungkin Tohpati telah mendengar tentang perlombaan yang akan diadakan besok. “Gila” Widura mengumpat didalam hatinya. “Aku telah melakukan hal-hal yang aku sangka baik sekali. Aku hanya memberi waktu persiapan penyelenggaraan satu hari saja, supaya kabar ini tidak tersiar jauh. Namun agaknya hantu itu telah mendengarnya pula”. Kembali berbagai persoalan telah menyesakkan dada Widura. persoalan antara laskarnya dengan laskar Tohpati, persoalan antara orang-orangnya sendiri, persoalan Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi, hubungan yang menyedihkan antara Sidanti dan Sedayu. Dan segala macam persoalan itu setiap kali memukul-mukul otaknya sehingga kepalanya itu akan pecah karenanya. Dan kini Tohpati itu telah siap untuk menerkamnya.

Dalam kegelisahannya itu Widura hampir tak dapat menahan diri ketika ia mendengar Sedayu berkata dengan gemetar “Paman, marilah kita kembali kekademangan”

“Kenapa?” bentak Widura.

Ketika ia berpaling, ia melihat betapa sikap Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Tetapi Widura itu tahu benar, bahwa anak itu sama sekali tidak gelisah memikirkan Sangkal Putung seperti dirinya, namun anak itu menjadi gelisah karena ketakutan. Widura menjadi marah ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata dengan jujur “Paman, apakah yang akan terjadi dengan kita kalau Macan Kepatihan itu nanti mengetahui kehadiran kita disini?”

“Persetan dengan Macan Kepatihan” sahut Widura. Namun kata-kata Widura itu terputus oleh kata-kata Kiai Gringsing “Widura, jangan terlalu sombong. Gurumu itu tahu benar tingkatan ilmumu. Kau belum waktunya melawan Tohpati seorang lawan seorang, kalau kau tidak mau membunuh diri. Nasehatnya itu harus kau turut. Sikap berhati-hati itulah yang akan membawamu kejalan keselamatan”

“Aku bukan pengecut” teriak Widura. “Aku akan berkeliling kademangan sekali lagi. Aku akan memeringatkan setiap gardu peronda, bahwa bahaya berada diujung hidung mereka”

Dada Sedayu itu menjadi semakin bergetar. Pamannya akan mengadakan pengamatan sekali lagi atas gardu-gardu peronda. Bukankah dengan demikian kemungkinannya untuk bertemu dengan Tohpati itu semakin besar. Disudut-sudut desa, di prapatan-prapatan ditengah sawah, atau ditikungan-tikungan yang sepi. Namun ia melihat bahwa pamannya menjadi marah kepadanya. Karena itu betapa Agung Sedayu mengeluh didalam hatinya.

Yang kemudian terdengar adalah kata-kata Kiai Gringsing sambil tertawa “He kau benar-benar berani Widura, seperti kau berani menentang maut melawan Ki Tambak Wedi”

Tiba-tiba pandangan mata Widura itupun terbanting diatas rerumputan liar dibawah kakinya. Teringatlah ia kepada pertolongan yang pernah diberikan oleh Kiai Gringsing malam kemarin. Kini orang yang menolongnya itu memeringatkannya, supaya ia tidak melawan Tohpati itu seorang lawan seorang. Karena itu ia menyesal atas kekasarannya. Maka katanya ke sambil menganggukkan kepalanya “Maafkan aku Kiai”

“He” sahut Kiai Gringsing. “Kenapa kepadaku. Seharusnya kau minta maaf kepada gurumu itu”

Sekali lagi Widura mengumpat didalam hatinya. Namun katanya “Ya ya. Aku akan minta maaf kepadanya”

“Bagus” berkata Kiai Gringsing. “Kau harus selalu menuruti nasehat gurumu. Dirumah, gurumu pasti akan memberimu beberapa petunjuk, mungkin tentang persiapan Tohpati itu. Mungkin tentang hal yang lain. Namun adalah perlu kau dengar seandainya gurumu itu memerintahkan kepadamu untuk mempersiapkan diri. Seluruh pasukan. Bukan seorang Widura yang sombong. Serangan itu tidak terlalu lama akan terjadi. Tetapi Tohpati itu tak akan berbuat apa-apa malam ini. Nah, selamat malam. Aku tidak sempat bermain-main malam ini. Besok aku akan nonton perlombaan yang kau adakan”

Dada Widura berdesir mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Namun ia tidak mendapat kesempatan lagi untuk menanyakan sesuatu. Karena Kiai Gringsing itu kemudian melangkah pergi dengan langkah seenaknya meninggalkan Widura dan Agung Sedayu yang terpaku ditempatnya.

Tetapi, tergoreslah didalam jantungnya, peristiwa-peristiwa yang pasti akan menggoncangkan lagi kehidupan Sangkal Putung. Besok atau lusa Tohpati akan menyerangnya kembali. Apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu tidak lebih dan tidak kurang dari suatu peringatan kepadanya dan pemberitahuan tentang persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Tohpati. Namun ia tidak perlu mencemaskan hari besok. Kata-kata orang bertopeng itu, bahwa besok ia akan menonton perlombaan yang akan diadakannya, telah agak memberinya ketenangan, meskipun ia tidak dapat menggantungkan nasibnya kepada orang itu. Mudah-mudahn ia masih berhasil menghimpun kekuatan Sangkal Putung, yang setidak-tidaknya masih seperti pada saat perlawanannya dahulu ketika Tohpati menyerangnya. Mudah-mudahn tenaga Sidanti masih dapat dipergunakannya sebaik-baiknya. Tetapi bagaimana dengan besok lusa, tiga hari, empat hari dan lebih-lebih lima hari lagi? Bagaimanakah nasib Sangkal Putung apabila Tohpati menyerang tepat pada saat Ki Tambak Wedi memuntutnya? Widura menggeleng-gelengkan kepalanya ketika terlintas didalam benaknya, harapan bahwa Kiai Gringsing akan menolongnya kembali apabila Ki Tambak Wedi akan membunuhnya. “Tidak” katanya dalam hati. “Aku tidak akan memperhitungkan setiap pertolongan yang belum pasti akan datang. Aku harus memperhitungkan kekuatan sendiri” katanya pula. Bahkan kemudian timbullah didalam benaknya suatu pikiran untuk mengirimkan utusan ke Pajang. Keadaan Sangkal Putung benar-benar gawat. Biarlah salah seorang perwira yang terpercaya akan datang untuk melawan Tohpati lebih-lebih Ki Tambak Wedi. “Hem” gumamnya “Apabila besok aku belum menemukan cara lain, biarlah seseorang mengharap kedatangan Ki Gede Pemanahan sendiri menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, atau bekas perwira nara manggala Demak, guru loring pasar.”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Itulah keputusannya untuk sementara. Ketika ia memandang wajah Sedayu, timbullah kembali kejengkelannya terhadap anak itu. Apabila anak itu memiliki keberanian, mereka berdua pasti akan dapat membunuh Tohpati meskipun dengan perjuangan yang berat. Sebab ilmu Tohpati itu sendiri tidak terpaut banyak diatas ilmunya. Namun Sedayu itu hanya pandai mengeluh, gemetar dan ia pasti akan mati ketakutan sebelum tangannya mampu menarik pedang dari sarungnya.

Karena itu Widura tidak berkata sepatahpun kepada kemenakannya itu. Langsung ia memutar tubuhnya dan melangkah kembali kekademangan.

Sedayupun kemudian cepat-cepat mengikutinya. Namun kini terasa olehnya bahwa pamannya itu benar-benar marah kepadanya. Karena itu maka Sedayupun benar-benar menjadi bersedih hati. Ia tidak berani berkata apapun kepada pamannya selain berjalan saja dibelakangnya.

Disepanjang jalan itu Widura sempat juga memikirkan kemenakannya itu. Bagaimana caranya, sehingga ia dapat menguasai berbagai unsur gerak dan dapat menyusunnya dalam satu gabungan yang serasi. Anak itu tidak pernah berbuat sesuatu selain duduk terpekur dan bermain-main dengan rontal dan pensil. Tak pernah dilihatnya Agung Sedayu berlatih didalam pringgitan yang tak begitu luas itu. Dan tak pernah dilihatnya Agung Sedayu meninggalkan pringgitan selain apabila ia pergi mandi dan mensucikan diri. Namun ia tidak mau menanyakannya. Ia hanya ingin mencari pemecahan dengan caranya sendiri atas teka teki itu.

Demikian mereka sampai dikademangan, Widura langsung melepaskan pakaiannya dan merebahkan dirinya dipembaringannya. Tak sepatah katapun yang diucapkan kepada Agung Sedayu sehingga Agung Sedayu itupun menjadi semakin bersedih. Sekali-sekali ia sempat juga untuk menilai diri. Dan kadang-kadang timbul juga pikiran dikepalanya untuk besok mengikuti pertandingan memanah. “Paman marah karena aku tak ikut serta” katanya dalam hati. “atau karena hal-hal yang lain, atau karena keseluruhannya”. Namun ia kembali menjadi ngeri membayangkan akibat dari perlombaan itu. “Ah” katanya dalam hati pula “Biarlah paman marah kepadaku. Ia tidak akan berbuat apa-apa selain berdiam diri. Tetapi akan berbedalah sikap Sidanti itu”

Sedayupun kemudian mencoba melupakan semua itu. Karena kelelahan akhirnya iapun tertidur pula dengan nyenyaknya.

Sebenarnya Widura belum juga tertidur. Ia berdiam diri, dan memang ia menunggu kemenakannya tertidur. Ia ingin tahu apa saja yang ditulis oleh Sedayu dalam rontal-rontalnya. Apakah ada hubungannya dengan kemajuan ilmunya yang pesat itu. Perlahan-lahan Widura itu bangun, dan perlahan-lahan pula ia membuka beberapa pakaian Sedayu yang diberikan olehnya. Didalam lipatan-lipatan pakaian itu ditemuinya beberapa helai rontal yang pernah diminta oleh anak itu daripadanya.

Demikian Widura membuka halaman pertama dari rontal itu, demikian dadanya bergetar “Inilah sebabnya” gumamnya seorang diri. Kini ia tahu benar, mengapa Agung Sedayu dapat maju dengan cepatnya. Otak anak itu ternyata cerdas pula dalam penelaahan ilmu tata bela diri. Didalam tubuhnya ternyata tersimpan pula darah ayahnya yang menyalakan keteguhan dan ketrampilan jasmaniah. Namun, sayang betapa sayangnya. Hati anak itu belum terbuka. Dinding yang mencengkam dirinya dalam bilik ketakutan belum dapat dipecahkannya.

Jadi apa yang dilakukan oleh Sedayu selama ini, sama sekali tidak menulis cerita-cerita atau tembang dan kidung. Tetapi ia telah melukiskan beberapa unsur gerak. Mencobanya menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain, dan mencoba melukiskan pula cara-cara untuk mempertahankan diri dan mengelak dari serangan-serangan yang keras.

Didalam rontal-rotal itu Widura melihat beberapa gambar dengan garis-garis arah dari setiap gerakan. Digambarnya beberapa macam unsur gerak, kemudian digambarnya dibelakang gambar-gambar itu, sebuah gambar yang lain dengan garis-garis arah untuk menggabungkan gambar-gambar yang terdahulu.

“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam “Ternyata anak ini melatih diri dengan angan-angannya, selain latihan-latihan yang kami adakan di gunung Gowok. Itulah sebabnya aku sering melihat unsur-unsur gerak yang tak aku ketahui darimana dipelajarinya”

Dan Widura tak jemu-jemunya melihat gambar-gambar yang dibuat oleh Agung Sedayu. Suatu cara memperdalam ilmu yang jarang ditemuinya. Namun ternyata Agung Sedayu pandai juga menggambar. Gambar-gambar yang dibuatnya ternyata sedemikian jelas. Sikap, gerak dan tujuan-tujuan dari setiap gerakan sekaligus cara-cara untuk menghindarkannya.

Tetapi suatu hal yang tak dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Yaitu melatih untuk percaya pada kekuatan dan ilmunya. Betapapun Agung Sedayu mengalami kemajuan yang pesat, namun ilmu itu seakan-akan pohon yang subur namun tak berbuah.

Tiba-tiba timbullah pikiran didalam benak Widura. katanya dalam hati “Ah, biarlah pada suatu kali, anak ini mengalami pertentangan yang tak dapat dihindari dengan Sidanti. Aku ingin melihat apa yang akan dilakukan. Tetapi apabila sekali Agung Sedayu sempat mengayunkan tangan atau kakinya, maka untuk melawan Sidanti itupun Agung Sedayu akan dapat bertahan beberapa lama sampai saatnya aku memisahkannya. Namun dengan demikian, setidak-tidaknya perkelahian itu akan berkesan bahwa keduanya memiliki ilmu yang seimbang. Ternyata gerak dan cara bertahan anak ini mengagumkan juga. Apabila demikian, seterusnya Agung Sedayu akan menjadi seorang yang jantan dan berani”

Kemudian dengan hati-hati pula rontal-rontal itu dimasukkannya kembali ketempatnya. Dan dengan hati-hati pula Widura itu berdiri dan berjalan kepembaringannya, dan sesaat kemudian pemimpin laskar Pajang yang sedang kebingungan itu tertidur pula.

Malam yang tinggal sepotong itu berjalan dengan tenangnya. Tohpati yang benar-benar telah menyusup kedalam dinding perondan laskar Pajang, sebenarnyalah tidak berbuat sesuatu selain keinginannya untuk mengetahui keadaan. Namun Macan Kepatihan itupun mengumpat di dalam hatinya seperti Widura mengumpatinya. Katanya kepada kedua pengawalnya “Paman Widura benar-benar seperti setan. Dalam keadaan apapun peronda-perondanya tak pernah berlengah hati. Apakah mereka tidak terpengaruh oleh perlombaan yang akan diadakan besok? Sayang, aku baru mendengar rencana perlombaan itu senja tadi, sehingga aku tak sempat menyiapkan anak buahku. Seandainya aku mendapat waktu dua tiga hari saja, maka pada saat-saat perlombaan itu aku akan dapat menggulungnya lumat-lumat.

Kedua pengawalnya tak dapat menjawab lain daripada menganggukkan kepala mereka. Sebab dengan mata kepala mereka sendiri melihat dari kejauhan kesiagaan laskar Pajang yang sedang bertugas di gardu-gardu peronda. Mereka melihat beberapa orang dari mereka berjalan hilir mudik dimuka gardu sambil memegang tombak atau pedang-pedang mereka yang sudah telanjang.

“Tetapi” berkata Tohpati kemudian kepada pengawalnya “mudah-mudahan setelah perlombaan itu berakhir, laskar Sangkal Putung masih tenggelam dalam suasana itu, sehingga meskipun sedikit mereka melupakan tugas-tugas mereka sehari-hari. Mudah-mudahan mereka tidak mencium gerakanku kali ini seperti beberapa waktu yang lalu sehingga aku menjumpai kegagalan yang menyedihkan.

“Persiapan kita akan sangat mudah sekali diketahui orang, sehingga petugas-petugas sandi Pajang segera menciumnya” berkata salah seorang pengawalnya.

“Kita akan meninggalkan cara-cara yang pernah kita lakukan “jawab Tohpati “aku akan membawa kalian dan orang-orang kita masuk ke dalam hutan. Semua kekuatan yang terpencar harus kita tarik. Semuanya akan berkumpul di dalam hutan yang akan aku tentukan. Dari sana kita akan bergerak. Mudah-mudahan tak seorangpun yang mengetahuinya, kecuali diantara kita ada pengkhianat atau justru orang-orang dari petugas-petugas sandi Pajang yang berhasil masuk kedalam lingkungan kita.”

“Kemungkinan itu kecil sekali” sahut pengawalnya.

“Kau benar” berkata Tohpati pula. “Alu mengenal anak buahku satu per satu dengan baiknya. Nah, kalau demikian, aku akan berbuat seperti paman Widura. Secepat-cepatnya sebelum laskarnya terpencar kesegenap penjuru”

“Kapan kita adakan sergapan itu?” bertanya pengawalnya.

“Secepatnya” sahut Tohpati.

Kemudian mereka tidak bercakap-cakap lagi. Dengan hati-hati mereka berjalan didaerah perondan laskar Pajang. Bahkan kadang-kadang mereka berhasil menyusup halaman-halaman yang gelap dan mendekati tempat-tempat yang penting serta gardu-gardu perondan. Dengan otak yang cemerlang, Tohpati dapat mengingat-ingat daerah-daerah yang sepi, yang dapat dilaluinya untuk langsung mencapai jantung Sangkal Putung, meskipun masih diragukan apabila Tohpati berjalan bersama dengan orang-orangnya dalam jumlah yang besar. Namun Tohpati itu selalu mengulang-ulang rencananya. Dan ini adalah kesalahan yang terbesar yang dibuatnya.

Sejak ia menginjakkan kakinya didaerah Sangkal Putung, rencana itu telah diucapkannya. Dan ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang yang sakti, dengan diam-diam mengikutinya. Dan orang itu telah berhasil mendengar sebagian dari rencananya. Orang itu adalah Kiai Gringsing. Karena itulah maka Kiai Gringsing segera pergi kemudian gunung Gowok. Ia takut apabila Widura dan Sedayu berada disana, dan kemudian Tohpati itupun berjalan kesana pula. Untunglah mereka tidak saling berpapasan. Apabila demikian maka pertempuran tak dapat dihindarkan. Sedangkan Kiai Gringsing tahu benar bahwa Widura pasti harus bekerja sendiri melawan tiga orang yang jauh berada diatas kemampuannya.

Dan semuanya itu telah berlalu. Widura telah tertidur nyenyak dikademangan Sangkal Putung, dan Tohpatipun telah meningggalkan daerah yang akan dijadikan buruannya.

Menjelang fajar, Sangkal Putung telah menjadi riuh. Anak-anak telah bangun. Lebih-lebih lagi, mereka yang akan ikut serta dalam perlombaan-perlombaan. Mereka mengenakan pakaian mereka yang sebaik-baiknya. Menghias senjata-senjata mereka, dengan warna-warna yang beraneka. Bagi mereka yang akan mengikuti sodoran, tidak saja pakaian mereka sendiri yang mereka hias dengan berbagai keoncer-keloncer kain beraneka warna, namun kuda-kuda merekapun mereka hias sebaik-baiknya. Ujung-ujung tombak mereka yang terbuat dari bola-bola kayu itupun mereka hiasi dengan pita-pita berwarna. Ada pula diantara mereka yang membuat kalung-kalung dari rangkaian-rangkaian bunga. Melati, menur dan sebagainya. Mereka kalungkan rangkaian bunga itu dilehernya, dileher kuda-kuda mereka dan pada senjata-senjata mereka.

Demikianlah hari itu Sangkal Putung ditandai dengan kesipbukan yang luar biasa. Hampir segenap penduduk Sangkal Putung tumplak blak, mengunjungi lapangan dimuka banjar desa. Mereka ingin menyaksikan anak-anak mereka, adik-adik mereka atau suami-suami mereka yang ikut serta dalam perlombaan-perlombaan itu. Ternyata hari itu merupakan hari yang sangat menggembirakan. Namun apabila ada diantara mereka yang mendengar bahwa semalam Macan Kepatihan telah mengunjungi kademangan itu, mungkin suasananya akan jauh berbeda.

Tetapi ternyata Widura mengetahuinya. Karena itu, justru ia telah memperkuat setiap sudut kademangan. Dilengkapinya gardu-gardu peronda itu dengan kuda-kuda yang kuat dan diperintahkannya untuk mengadakan perondaan keliling dengan kuda-kuda itu. “Jangan seorang atau dua orang” pesannya kepada anak buahnya. “Pergilah berempat. Pergunakan kuda yang sebaik-baiknya dan bawalah tanda-tanda bahaya yang dapat kau bunyikan setiap saat dan disetiap tempat”

Perintah itu agak mengherankan bagi anak buahnya. Namun mereka hanya menyangka bahwa karena didaerah Sangkal Putung sedang ada keramaian, maka penjagaanpun harus diperkuatnya.

Demikianlah maka lapangan dimuka banjar desa itupun menjadi penuh dengan manusia. Beberapa anak-anak muda telah menaiki kuda masing-masing dan berjalan melingkar-lingkar ditengah-tengah lapangan. Beberapa orang diantaranya telah mencoba memacu kudanya dari satu sudut ke sudut yang lain dengan tombak-tombak mereka ditangan. Dan sekali-sekali telah terdengar pula sorak sorai penonton, apabila mereka melihat seorang anak muda yang tampan bermain dengan manisnya diatas punggung kudanya. Tepuk tangan penonton itupun seakan-akan meledak ketika mereka melihat Swandaru masuk kelapangan dengan tombak ditangan, bumbung panah dilambung kudanya dan sebuah busur yang besar menyilang dipunggungnya. Demikian ia memasuki lapangan, disendalnya kendali kuda putihnya, dan kuda itupun segera nyirig. Berjalan miring dengan manisnya. Memang Swandaru itu benar-benar dapat menguasai kudanya. Sekali lagi ia menarik kekang kudanya sambil menyentuh perut kuda itu, dan kuda itupun segera nyongklang, berlari keliling lapangan.

Laskar Widura yang akan mengikuti perlombaan itu telah hadir pula. Namun bagi mereka perlombaan yang boleh diikuti hanyalah perlombaan memanah. Meskipun demikian, untuk melepaskan kejemuan mereka, banyak juga diantara mereka yang mengikutinya.

Widurapun kemudian hadir pula dilapangan itu bersama-sama dengan Ki Demang Sangkal Putung. Dibelakang mereka berjalan Sedayu dengan kepala tunduk. Ketika para penonton melihat kehadiran mereka, kembali tepuk tangan dan sorak mbata rubuh bergetar dilapangan itu. Namun perlahan-lahan mereka dirayapi oleh berbagai pertanyaan didalam hati mereka. Mereka tidak melihat Widura dan Agung Sedayu membawa busur dan anak panah, sehingga kemudian mereka menjadi kecewa. Terdengar salah seorang penonton berbisik “Apakah pahlawan itu tidak akan turut serta dalam perlombaan ini?”

Kawannya itu sebenarnya menjadi kecewa juga. Namun untuk menghibur hatinya sendiri ia menjawab “Tak sepantasnya ia ikut dalam perlombaan yang sekecil ini. Mungkin ia akan ikut serta apabila perlombaan semacam ini diadakan dialun-alun Pajang”

Kawannya yang bertanya itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban yang memang masuk diakalnya.

Sesaat kemudian, Widura dan Ki Demang Sangkal Putung beserta Agung Sedayu telah duduk ditempat yang telah disediakan. Pada saat matahari mulai memanjat langit, maka Widura segera membuka perlombaan itu. Dengan sebuah kapak diputusnya tali yang mengikat pemukul bende disudut lapangan. Kemudian seseorang yang telah ditentukan memungut pemukul bende itu, dan dengan bunyi yang berdengung-dengung bende itu bergema. Sekali, dua kali dan kemudian tiga kali.

Dengan diiringi oleh tepuk tangan yang seakan-akan memecahkan selaput telinga, maka perlombaan segera dimulai. Beberapa orang anak buah Widura berjalan ketengah lapangan, memimpin perlombaan-perlombaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan yang pertama adalah perlombaan ketangkasan bermain pedang. Namun bukan sebenarnya pedang yang dipergunakan. Tetapi mereka mempergunakan rotan dan perisai anyaman bambu.

Permainan ini benar-benar mengasyikkan dan menegangkan. Beberapa anak-anak muda yang gagah telah turut serta mengambil bagian. Berganti-ganti. Satu dua telah terpaksa keluar dari lapangan dengan kepala tunduk. Punggung dan dada mereka dilukisi oleh jalur-jalur merah biru. Namun bagi mereka yang menang, jalur-jalur itu sama sekali tidak terasa pedihnya.

Sejalan dengan terik matahari yang semakin menyengat-nyengat tubuh mereka, maka permainan itupun menjadi semakin sengit. Bahkan kemudian mencapai puncaknya ketika diarena itu tinggal dua orang yang berhadapan untuk menentukan, siapakah diantara anak-anak muda Sangkal Putung yang akan menjadi pemenang pertama dalam perlombaan itu. Mereka adalah Swandaru Geni dan seorang anak muda yang gagah, bertubuh tinggi besar, bernama Wisuda.

Sejenak kedua anak muda itu, Swandaru dan Wisuda saling berhadapan, maka tepuk tangan dan sorak sorai membahana diudara Sangkal Putung.

Tiga orang anak buah Widura, Hudaya, Citra Gati dan Sonya telah memimpin pertarungan yang sengit itu. Dengan seksama mereka memperhatikan setiap gerak, setiap sabetan rotan dan setiap sentuhan rotan itu ditubuh mereka. Pukulan-pukulan yang mendapat hitungan adalah pukulan-pukulan yang mengenai tubuh dibagian atas perut tetapi dibagian bawah leher.

Demikian pertarungan itu berjalan dengan serunya. Wisuda bertubuh tinggi dan besar, sedang Swandaru lebih pendek dan bulat. Meskipun demikian ternyata tenaga Swandaru jauh lebih kuat dari tenaga lawannya. Apabila rotan-rotan mereka berbenturan, tampaklah bahwa tenaga Swandaru selalu berhasil mendorong tenaga lawannya.

Ketika bende berbunyi, maka pertarungan itupun berhentilah. Suasana menjadi tegang ketika para penonton menunggu Citra Gati mengumumkan pemenangnya. Dan demikian Citra Gati maju selangkah, maka lapangan yang penuh dengan manusia itu seakan-akan sama sekali tak berpenghuni. Setelah mencocokkan hitungan masing-masing maka berkatalah Citra Gati “Ternyata yang akan menjadi pahlawan dalam permainan ini adalah anak muda yang bulat pendek, bernama Swandaru”

Langit seakan-akan runtuh diatas mereka karena sorak para penonton. Namun Swandaru tidak puas dengan sebutan itu. Katanya membetulkan namanya “Sebutlah selengkapnya paman, Swandaru Geni”

Citra Gati tersenyum. ketika ia mengulang nama itu, tak seorangpun yang mendengarnya, karena suara riuh dari pada penonton itu sendiri.

Sidanti yang melihat sambutan yang sedemikian hangatnya atas pahlawan anak-anak muda Sangkal Putung itu mencibirkan bibirnya. Katanya dalam hati “Swandaru itu pasti akan menjadi bertambah sombong. Aku ingin sekali lagi mengajarnya untuk merasakan bahwa apa yang dicapainya itu belum semenir dibanding dengan ilmuku. Sayang tak ada kesepatan bagi anak buah laskar Pajang untuk melakukannya”

Perlombaan yang berikut adalah sodoran. Dengan duduk dipunggung kuda mereka mempertunjukkan ketrampilam mereka bermain tombak yang ujungnya dibuat dari bola-bola kayu. Permainan ini tak kalah menariknya. Diantara sorak kekaguman ada pula yang terpaksa menerima ejekan-ejekan para penonton, karena sebelum mereka sempat mempertunjukkan keahlian mereka, ternyata mereka telah jatuh terpelanting dair kuda-kuda mereka.

Dalam perlombaan ini sekali lagi Swandaru merajai lapangan dimuka banjar desa itu. Kuda putihnya seakan-akan tahu benar apa yang harus dilakukan untuk membantu tuannya. Dan karena itulah maka sekali lagi para penonton menyorakinya sebagai pahlawan yang lengkap dari anak-anak muda Sangkal Putung.

Ki Demang yang duduk disamping Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas hasil yang dicapai anaknya. Usahanya melatih dan menempa anaknya tidaklah sia-sia. Mudah-mudahan untuk seterusnya anaknya mendapat bimbingan dan latihan yang lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya.

Widurapun tampak tersenyum-senyum diantara sorak para penonton. Namun sekali-sekali ia mengedarkan pandangannya kesegenap sudut. Diantara perhatiannya atas permainan-permainan itu, diam-diam ia berusaha untuk melihat, apakah Kiai Gringsing berada diantara para penonton yang sekian banyaknya. Tetapi Widura itu kemudian menjadi kecewa. Adalah mustahil untuk menemukan seorang diantara sekian banyak orang, apalagi orang itu belum dikenalnya. Sudah tentu Kiai Gringsing tidak akan mengenakan topengnya, dan sudah tentu pula ia tidak akan memakai kain gringsingnya. Seandainya dapat dijumpainya seseorang memakai kain gringsing, bukanlah jaminan bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing, sebab kain gringsing memang banyak digemari orang.

Permainan yang terakhir adalah permainan yang paling menggemparkan. Panahan. Dan panahan ini diikuti pula oleh anak buah Widura. bahkan seorang anak muda yang sudah lama dikagumi di Sangkal Putung turut pula mengambil bagian. Sidanti. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika mereka benar-benar melihat, bahwa Agung Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan. Apa yang mereka nantikan, dan juga sebenarnya dinantikan oleh anak buah Widura sendiri, adalah pertandingan yang akan berlangsung seru antara Sidanti dan Agung Sedayu. Namun mereka benar-benar menjadi kecewa. Bahkan ada diantara mereka yang mulai dirayapi oleh berbagai pertanyaan tentang Agung Sedayu. Apakah sebenarnya anak muda itu mampu berbuat sesuatu?

Swandaru dan Sekar Mirahpun menjadi kecewa pula karenanya. Dengan wajah bersungut-sungut Swandaru menyelinap diantara mereka dan menggamit Agung Sedayu pada lengannya. Katanya berbisik “Apakah tuan tidak ikut serta?”

Dada Agung Sedayu berdesir. Namun kemudian dengan lemahnya ia menggeleng. Katanya “Tidak Swandaru”

Widura mendengar pertanyaan itu. Namun sengaja berpalingpun tidak. Sebenarnya Widura sendiri menjadi sangat kecewa bahwa Agung Sedayu tidak mau ikut serta dalam pertandingan ini.

Sesaat kemudian berjajarlah mereka yang akan mengambil bagian dalam perlombaan ini. Tidak terkecuali, anak buah Widura. diantaranya Sidanti yang dengan tersenyum-senyum memasuki lapangan. Betapa kecewa anak muda itu, melampaui semuanya setelah ia mengetahui pula bahwa Agung Sedayu tidak ada diantara para pengikut perlombaan.

Dihadapan mereka tergantung lesan yang harus mereka kenai. Sasaran itu dibuat dari sabut kelapa yang dibalut dengan kain. Dan dibagi menjadi empat bagian. Kepala, sekecil telur angsa, leher, yang agak cukup panjang, badan lebih besar dan panjang dari leher dan yang terakhir bandul sebesar jeruk bali.

Sasaran yang berupa orang-orangan kecil itulah yang akan menentukan siapakah diantara para pengikut yang paling pandai membidikkan panahnya.

Ketika bende berbunyi, maka perlombaan itupun dimulailah. Setiap pengikut memiliki lima buah anak panah. Dan oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai tertinggi diantara mereka. Apabila anak panah mereka mengenai kepala, maka berarti mereka akan mendapat lima buah nilai. Leher tiga nilai dan badan dua nilai. Sedangkan apabila panah mereka mengenai bandul, maka apabila mereka telah mendapat nilai, maka nilai itu akan gugur tiga nilai.

Sesaat kemudian meluncurlah anak panah yang pertama diikuti oleh sorak para penonton. Namun sayang, panah itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak panah yang kedua, ketiga. Namun ketiga anak panah itu menyentuh sasaranpun tidak. Penonton bersorak-sorak kembali ketiga anak panah yang keempat kemudian tepat mengeni leher sasaran. Tiga nilai.

Maka penontonpun berteriak-teriak pula “Tiga, tiga”

Penonton mejadi tegang ketika meluncur anak panah yang kelima. Dan meledaklah sorak para penonton. Bukan karena mereka menjadi kagum anak panah itu, mereka tertawa geli, karena anak panah itu mengenai bandul.

“Habis, habis” teriak mereka. Dan tiga nilai yang didapatnya dari panah keempat itupun menjadi habis karena dengan mengenai bandul itu, maka berarti tiga nilai digugurkan.

Orang yang pertama itu sambil menundukkan kepalanya terpaksa berjalan keluar lapangan. Namun iapun menjadi geli juga. karena itu, sempat juga ia tersenyum-senyum sendiri.

Maka kemudian majulah orang kedua, ketiga, keempat. Namun tak seorangpun yang dapat menggemparkan penonton karena bidikan-bidikannya yang tepat. Sekali dua kali ada juga diantara mereka yang mengenai sasaran. Namun diantara lima anak panah itu, maka paling banyak dua diantaranya yang dapat mengenai sasarannya.

Ketika kemudian sampai pada giliran Swandaru maju dengan anak panahnya, maka penontonpun menjadi gempar pula. Swandaru telah dapat merampas hati penonton dengan dua kemenangan berturut-turut didalam arena pertandingan itu. karena itu, maka diantara penonton itupun mengharap pula, agar kali ini, Swandaru akan dapat setidak-tidaknya tidak mengecewakan mereka.

Sebenarnyalah, maka anak panah yang pertama yang dilepaskan oleh Swandaru benar-benar telah menggemparkan penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali bidik Swandaru telah mengguncangkan sasaran dengan mengenai bagian badannya. Kegemparan penonton menjadi semakin riuh, ketika panah Swandaru yang kedua dapat mengenai leher. Ketika Swandaru menarik tali busurnya yang ketiga kalinya, maka terdengarlah suara riuh disekitar arena “Naik sedikit Swandaru, naik sedikit”

Dan meledaklah sorak para penonton seakan-akan memecahkan selaput telinga ketika anak panah Swandaru itu benar-benar mengenai kepala sasaran.

Swandaru itupun kemudian berhenti sesaat. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka sekali lagi lapangan itu diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi anak panah Swandaru mengenai kepala. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika anak panah Swandaru yang kelima yang terbang dari busurnya dengan kecepatan penuh, hanya menyentuh saja kepala sasaran, namun tidak hinggap padanya, sehingga dengan demikian, anak panah itu dianggap tidak mengenai sasarannya.

Swandaru itu memandangi anak panah yang kelima dengan penuh penyesalan. Katanya sambil bertolak pinggang “He, kenapa kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau berpaling sedikit saja, maka anak panah itu akan hinggap dikepalamu”

Namun kemudian telah terdengar bende untuk pengikut berikutnya. Kini mulailah anak buah Widura dengan perlombaan itu. Namun ada pula diantaranya yang tidak lebih tepat dari anak-anak muda Sangkal Putung. Sendawa misalnya. Betapa pandai ia mengayun-ayunkan kelewangnya, namun ternyata ia bukan pembidik yang tepat, ia dapat mengenai perut lawannya dimedan-medan pertempuran. Namun perut orang jauh lebih besar dari seluruh tubuh orang-orangan yang harus dikenainya sebagai sasaran.

Tetapi ternyata Hudaya ada pemanah yang baik. Sejak ia melepaskan anak panahnya yang pertama, maka ia telah menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya yang pertama ternyata langsung mengenai kepala sasaran. Demikianlah anak panahnya yang kedua. Ketika ia menarik busurnya untuk yang ketiga kalinya dengan berdebar-debar penonton menanti. Dan sekali lagi meledaklah sorak yang gemuruh. Panah ketiga itupun mengenai kepala sasaran pula. Demikianlah para penonton menjadi semakin tegang. Sekali lagi para penonton berteriak-teriak sekuat-kuatnya ketika anak panah yang keempatnya hinggap dikepala. Dengan demikian ketegangan diarena itu menjadi semakin memuncak. Keempat anak panah yang telah memenuhi kepala orang-orangan itupun dicabutlah untuk memberi tempat seandainya anak panah yang kelima inipun akan mengenainya pula. Dan lapangan itu seakan-akan menjadi benar-benar runtuh ketika penonton menyaksikan anak panah kelima yang lepas dari busur Hudaya. Anak panah itupun tepat pula mengenai kepala orang-orangan itu. Sehingga dengan demikian pemanah itupun telah menunjukkan kesempurnaan bidikannya. Bukanlah karena kebetulan ia dapat mengenai kepala sasaran. Namun sebenarnyalah memang Hudaya adalah pembidik yang baik.

Ketika kemudian terdengar bende berbunyi, masuklah Citra Gati ketengah-tengah lingkaran. Dengan tersenyum-senyum ia memberi ucapan selamat kepada Hudaya, katanya “Hudaya, ternyata kau tidak memberi aku tempat. Apa yang dapat kau kerjakan? Tak ada yang dapat berbuat lebih baik daripadamu”

Hudaya itupun tersenyum pula. Namun ia tidak menjawab. ketika ia bergeser dari tempatnya, ia terkejut ketika ia melihat mata Sidanti menyala-nyala.

Ternyata Sidanti tidak rela melihat kecakapan Hudaya membidikkan anak panahya. Sambutan rakyat Sangkal Putung atas kemenangannya itupun tak menyenangkannya. Tetapi ternyata Hudaya itu tak menghiraukannya. Ia langsung berjalan kembali ketempatnya. Berdiri dalam jajaran para peserta untuk melihat bagaimana hasil bidikan kawan-kawannya yang lain.

Dan ternyata Citra Gati itupun tidak mengecewakan. Dengan tersenyum ia menarik busurnya untuk yang pertama kalinya. Ketika anak panahnya terlepas, maka dengan tegangnya ia mengikutinya dengan pandangan matanya. Ia tersenyum pula ketika didengarnya sorak penonton. Anak panah itupun hinggap dikepala. Demikianlah anak panahnya yang kedua, ketiga dan keempat. Lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Ketika ia memasang anak panahnya yang kelima, Citra Gati berpaling kepada Hudaya. Dilihatnya Hudaya tertawa dan berkata “Ayo panahmu tinggal satu. Nilaimu tak akan melampaui nilaiku. Tak mungkin kau dapat membidik kepala orang-orangan itu hingga enam kali”

“Berilah aku anak panah satu lagi” sahut Citra Gati.

Hudaya tidak menjawab. Hanya telunjuknyalah yang menunjuk ke orang-orangan diujung lapangan.

Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Panah-panahnya yang lain telah dicabut pula. Dan kini ia membidikkan anak panahnya yang kelima.

Sekali lagi lapangan itu menjadi gempar. Tidak saja sorak yang membahana, namun beberapa orang yang tidak dapat mengendalikan perasaannya telah melemparkan bermacam-macam benda keudara. Tutup kepala, tongkat-tongkat dan bahkan kain yang dipakainya. Anak panah Citra Gati yang kelimapun tepat mengenai sasaran. Kepala.

Hudayapun kemudian berlari-lari mendapatkan sahabatnya itu. Sambil memberi salam ia berkata “Terlalu. Kau tak mau kalah satu nilaipun daripadaku”

Citra Gati tidak menjawab. perlahan-lahan ia bergeser dari lingkaran pembidik.

Kini sampailah giliran yang terakhir. Demikian anak muda itu berjalan ketengah-tengah lingkaran, maka para penontonpun telah menyorakinya. Dengan tersenyum anak muda itu melambaikan tangannya. Namun senyum itu tidak begitu cerah seperti senyumnya semalam, pada saat ia mengenangkan kemenangan yang bakal dicapainya. Anak muda itu adalah Sidanti.

Ia sama sekali tidak mencemaskan dirinya. Ia yakin bahwa kelima anak panahnya akan tepat mengenai sasaran. Namun betapapun demikian, maka Hudaya dan Citra Gati itupun dapat berbuat seperti apa yang akan dilakukan. Sehingga hal itu pasti akan mengurangi kebesaran namanya. Meskipun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hudaya dan Citra Gati telah melakukannya.

Dan apa yang diyakini itu benar-benar terjadilah. Sidanti tidak memerlukan waktu terlalu lama seperti Hudaya dan Citra Gati. Itulah kemenangannya yang dapat ditunjukkan kepada orang-orang Sangkal Putung. Ia hanya memerlukan saat yang pendek. Memasang, menarik sambil mengangkat busur, kemudian seakan-akan tanpa membidik, maka anak panah itupun meluncur menuju sasaran. Dan adalah mentakjubkan sekali. Anak panah itu seolah-olah mempunyai mata, sehingga dengan langsung hinggap dikepala orang-orangan.

Orang-orang Sangkal Putung itu benar-benar tak dapat menahan diri lagi. Mereka berloncat-loncatan dan seperti orang yang kehilangan akal kesadaran menari-nari sambil berteriak-teriak keras-keras.

Dengan sebuah senyuman yang kecil Sidanti mengambil anak panahnya yang kedua. Anak panah inipun menggemparkan para penonton pula. Sekali Sidanti mengerling kearah Sekar Mirah yang duduk tidak jauh dari Ki Demang Sangkal Putung. Dilihatnya wajah gadis itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba ketika ia melihat anak panah Sidanti hinggap disasarannya, dengan serta-merta iapun bertepuk tangan sekeras-kerasnya.

Namun ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Sidanti menjadi agak kecewa. Anak muda itu memandang anak panahnya dengan pandangan yang kosong. Ia bertepuk tangan karena orang-orang lain bertepuk tangan. Tetapi tak ada kesan kekaguman memancar diwajahnya.

“Persetan dengan anak itu” gerutunya didalam hati. “Namun adalah suatu kenyataan ia tidak berani turun kearena”

Sidanti puas dengan kata-kata diangan-angannya. Kembali ia memandang sasarannya, dan kembali anak panahnya mematuk kepala. Demikianlah maka kegemparan meledak sejadi-jadinya dilapangan itu ketika panah Sidanti yang kelima hinggap tepat dikepala orang-orangan itu pula.

Ketika sorak sorai orang-orang Sangkal Putung itu telah mereda, maka Widura tampak berdiri dan melangkah maju kearena. Betapapun isi dadanya, namun ia memberikan ucapan selamat pula kepada Hudaya, Citra Gati dan Sidanti. Kemudian dengan nyaring ia berkata “Kita masih harus memilih satu diantara ketiga-tiganya. Kini lepaskanlah sasaran itu. Gantungkan dengan tali yang agak panjang. Terbalik. Kepalanya dibawah. Dan apabila tanda berbunyi, ayunkan orang-orangan itu. Nah, ketiga-tiganya mendapat kesempatan yang sama. Membidikkan anak panahnya pada waktu yang bersamaan. Masing-masing dengan tiga buah anak panah, dalam hitungan sampai angka kelima belas”

Hudaya dan Citra Gati tertawa masam. Terdengar Hudaya berbisik “Sekarang aku harus mengaku kalah. Kalau ada satu saja anak panahku yang hinggap, ambillah nilainya”

“Kita tidak sedang membagi makan. Ambillah angkamu untukmu. Atau barangkali dapat kau simpan untuk perlombaan yang akan datang” sahut Citra Gati.

Keduanya kemudian terdiam. Mereka melihat beberapa orang sedang menggantungkan sasaran dengan tali yang cukup panjang. Kemudian mereka menerima tiga anak panah masing-masing. Dan ketika bende berbunyi, mereka harus sudah siap berdiri pada satu baris lurus menghadap orang-orangan yang telah siap untuk diayunkan.

Sesaat kemudian sasaran itupun telah dilepaskan. Terayun-ayun seperti buaian tertiup angin yang kencang.

Hudaya, Citra Gati dan Sidanti berdiri dengan tegangnya. Sedang Sidanti tampak tersenyum-senyum kecil. Kali ini ia yakin, bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini.

Penonton benar-benar menjadi tegang ketika terdengar Widura mulai dengan hitungannya “Satu, dua, tiga, ………..”

Panah yang pertama lepas adalah anak panah Sidanti. Anak panah itu benar-benar seperti mempunyai mata. Meskipun sasarannya masih juga terayun-ayun, namun anak panah Sidanti tepat mengenai kepala. Dan lapangan itupun menjadi semakin gemuruh pula.

“Uh” geram Hudaya, ketika ia melihat ayunan orang-orangan itu dan menjadi goyah karena anak panah Sidanti. “Makin sulit” gerutunya. Citra Gati tidak menyahut. Ia membidik dengan cermatnya, dan anak panahnya yang pertama terbang seperti dikejar setan. Dan sorak dilapangan itupun membahana pula. Kali ini Citra Gatipun tepat mengenai kepala sasaran.

Belum lagi sorak itu berhenti, maka seolah-olah disusul pula dengan ledakan tepuk tangan yang tak kalah kerasnya. Panah Hudayapun menyusul kedua anak panah yang mendahuluinya. Kepala.

Citra Gati menyeringai. “Setan kau Hudaya” gumamnya.

Namun Hudaya hanya tersenyum saja. Tetapi segera senyumnya lenyap ketika terdengar para penonton berteriak-teriak seperti orang mabuk. Panah kedua Sidanti tepat mengenai sasarannya pula.

Kini sasaran itu terayun berputaran tidak menentu. karena itu, para pemanah itu menjadi semakin sulit. Hudaya masih membidkkan anak panahnya. Namun anak panah Citra Gati lah yang terbang lebih dulu. Yang terdengar adalah pekik penyesalan. Anak panah Citra Gati itu hanya menyentuh kepala sasaran, namun karena kepala sasaran itu goyah, dan padanya telah melekat beberapa anak panah, maka anak panah Citra Gati itu meloncat dan jatuh beberapa langkah dari orang-orangan itu.

“Gila” teriak Citra Gati diluar sadarnya. Dan ia mengumpat kembali ketika ia mendengar sorak gemuruh para penonton seperti akan meruntuhkan gunung Merapi. Anak panah Sidanti yang ketiga telah hinggap dikepala orang-orangan itu pula. Hudaya menggeram. Ia belum melepaskan anak panahnya yang kedua. Dengan menggigit bibirnya, anak panah itu berlari kencang sekali. Namun sekali lagi penonton menyesal karenanya.

Anak panah itu mengenai anak panah yang lain pula, yang telah lebih dahulu hinggap pada sasaran itu. Anak panah itupun tak dapat hinggap pula dan jatuh terpelanting beberapa langkah jauhnya.

Pada saat itu Citra Gati telah mengangkat busurnya. Namun sasaran itu bergerak-gerak tak keruan. Kini tak ada lagi harapan baginya untuk mengenai kepala, sebab kepala sasaran itu seolah-olah telah penuh dengan anak panah yang bergoyang-goyang pula. hana pembidik-pembidik yang luar biasa sajalah yang akan dapat mengenainya. Karena itu Citra Gati membidikkan anak panahnya keleher sasaran. Namun tiba-tiba betapa ia menjadi kecewa. Hudayapun kecewa bukan buatan. Belum lagi mereka sempat melepaskan anak panah mereka yang ketiga terdengar Widura mengucapkan hitungan yang terakhir “Lima belas……”dan terdengarlah bende berbunyi dengan nyaringnya.

Hitungan yang terakhir itupun disambut dengan pekik sorak dari para penonton. Mereka berteriak-teriak menyebut nama Sidanti. Dan Sidanti itupun kemudian melangkah maju ketengah-tengah lapangan sambil melambaikan tangannya.

Anak muda itu menjadi semakin bergembira ketika ia melihat Sekar Mirah seperti anak-anak yang melonjak-lonjak sambil mengacungkan ibu jari kepadanya.

“Nah, lihatlah” kata Sidanti dalam hatinya “Apa yang dapat dilakukan oleh Sedayu itu. Ternyata tidak lebih dari seorang perempuan cengeng yang hanya dapat bersembunyi dipunggung pamannya”

Hudaya masih berdiri ditempatnya, dan Citra Gatipun masih berada disampingnya pula. terdengar kemudian Hudaya berkata “Aku benar-benar tidak membutuhkan nilai itu. Ambillah. Kau akan menjadi pemenang kedua”.

Citra Gati tersenyum. ia tidak menjawab kata-kata Hudaya. Namun katanya “Lihatlah betapa sombongnya anak muda itu”

“Biarkanlah ia berbuat demikian” sahut Hudaya. “Coba kau mau apa? bukankah kau dapat dikalahkan dengan jujur?”

”Aku tidak mau apa-apa” jawab Citra Gati “Aku benar-benar kalah. Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu?”

Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya “aku menjadi agak kecewa. Mungkin ia mempunyai perhitungannya sendiri. Kalau ia menang maka tak ada kekaguman apapun padanya. Adalah lumrah ia dapat memenangkan pertandingan sekecil ini. Tetapi kalau ia dikalahkan Sidanti, maka namanya akan menjadi surut”

Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata sebagian dari para penonton telah meninggalkan lapangan itu. Tak ada hadiah yang akan diberikan, namun Ki Demang Sangkal Putung akan menyiapkan pesta dengan memotong beberapa ekor lembu bagi kemenangan anaknya dan kemenangan Sidanti.

Citra Gati itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Sidanti dan Sekar Mirah sedang bercakap-cakap dengan asyiknya. Ketika sekali ia memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak muda itu menundukkan wajahnya.

Sesaat kemudian Widura dengan resmi menutup pertandingan itu. Disebutnya para pemenangnya yang disambut dengan sorak yang gemuruh. Swandaru bagi anak-anak muda Sangkal Putung ternyata merupakan pemenang dalam segala lapangan. Sedangkan bagi anak buah Widura sendiri, Sidantilah yang menjuarainya.

Namun dalam pada itu, kekecewaan dihatinya terhadap Agung Sedayu kini benar-benar telah sampai kepuncaknya. Ia melihat kekecewaan pada beberapa orang lain. Dan ki Demang itupun telah bertanya kepadanya, kenapa Agung Sedayu tidak bersedia turut serta meramaikannya. karena itu, demikian ia selesai dengan kata penutupnya, ia sama sekali tidak berkata apapun kepada Sedayu. Langsung ia pergi meninggalkan lapangan itu dengan kepala tunduk.

Beberapa anak buahnya segera mengikutinya dibelakang. Ki Demangpun berjalan pula disampingnya. Katanya “Dimanakah angger Sedayu?”

“Masih dibelakang kakang “ sahut Widura kosong.

Ki Demang itupun berpaling. Dilihatnya Sidanti berjalan bersama Sekar Mirah dan dilihatnya Sedayu masih berada ditempatnya bersama Swandaru.

Tetapi Ki Demang itu tidak bertanya lagi. Betapapun juga dirasakannya sesuatu berdesir didadanya. Sebagai seorang ayah, Ki Demang prihatin atas pilihan anak gadisnya. Karena sikap Sekar Mirah itu, maka pada suatu saat dapat terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sebagai seorang yang telah cukup usianya, ia tahu benar apa yang tersembunyi didalam hati Agung Sedayu dan Sidanti. Tetapi ia belum dapat berbuat sesuatu. Dan memang sedang dipikirkannya, bagaimana ia dapat mengendalikan gadis itu.

Agung Sedayu melihat arus manusia itu dengan berdebar-debar pula. lapangan itu seakan-akan sebuah telaga yang mengalir kesegenap penjuru, semakin lama menjadi semakin kering, sehingga akhirnya tinggallah beberapa orang saja yang masih hilir mudik dilapangan itu.

“apakah tuan akan kembali?” bertanya Swandaru kepada Sedayu.

Sedayu mengangguk “Ya’ jawabnya singkat. Tetapi ia masih duduk ditempatnya.

“Marilah” ajak Swandaru.

Agung Sedayu memandang berkeliling untuk sesaat. Kemudian iapun berdiri. Katanya “Sebentar Swandaru, apakah kau tergesa-gesa?”

“Tidak” jawab Swandaru. “Tetapi apakah ada sesuatu yang penting dilapangan ini?”

Sekali lagi Swandaru memandang berkeliling. Orang-orang yang bertugas membersihkan lapangan itupun telah hampir selesai dengan pekerjaannya. Dan sesaat kemudian lapangan itupun benar-benar telah sepi.

Tiba-tiba terdengarlah Swandaru itu bertanya “Tuan, kenapa tuan tidak ikut dalam perlombaan ini?”

Sedayu menggeleng lemah “Tidak Swandaru”

“Aku muak melihat kesombongan Sidanti. Dan aku muak pula melihat Sidanti,” berkata Swandaru pula. “Biarlah nanti dirumah aku hajar perempuan itu”

“Jangan Swandaru” cegah Sedayu. “Tak ada gunanya. Biarlah ia berbuat apa saja yang disukainya”

Swandaru terdiam. Namun ia menjadi heran. Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya “Apakah yang tuan tunggu?” ia bertanya.

Sekali lagi Sedayu memandang berkeliling. Lapangan oi telah benar-benar menjadi sepi. Hanya satu dua orang saja yang masih sibuk melipat tikar dan beberapa perlengkapan.

“Swandaru” berkata Agung Sedayu lirih. Namun kemudian kata-katanya terputus, dan ia menjadi ragu-ragu.

Swandaru memperhatikan wajah Agung Sedayu dengan seksama. Setelah beberapa lama Agung Sedayu berdiam diri, maka bertanyalah Swandaru “Apakah yang akan tuan katakan?”

Sekali lagi pandangan mata Agung Sedayu beredar. Kemudian katanya “apakah aku dapat meminjam panahmu itu?”

“Apakah yang akan tuan lakukan?” bertanya Swandaru.

“Aku ingin berlatih memanah, supaya lain kali aku dapat ikut serta dalam perbagai perlombaan seperti ini”

“Sekarang?”

“Ya”

“Apakah tuan belum pandai memanah?”

Agung Sedayu menggeleng. “Belum Swandaru”

Swandaru menarik nafas. Ia benar-benar kecewa mendengar pengakuan itu. karena itu ia bertanya “Apakah tuan berkata sebenarnya?”

“Apakah kau sangka aku pandai memanah?” bertanya Agung Sedayu.

“Tuan adalah anak muda yang kami kagumi. ataukah mengkin tuan hanya pandai bertempur dalam jarak yang pendek? Dengan pedang dan tombak?”

“Entahlah Swandaru. Cobalah lihat, bagaimanakah penilaianmu atas diriku”

Swandaru tidak menjawab. dengan tergesa-gesa ia melepaskan busur yang menyilang dipunggungnya dan diambilnya anak panahnya dari bumbung dilambung kuda putihnya. “Inilah tuan” katanya. “Namun berlatih memanah bukanlah dapat dilakukan sehari dua hari”

“Itulah sebabnya aku mulai dari sekarang”

Swandaru tidak menjawab. ia menjadi tegang ketika ia melihat Sedayu memegang busur dan anak panahnya.

“Swandaru” berkata Sedayu “Aku akan mencoba mengenai sasaran yang masih bergantung itu. Tolong, ayunkanlah seperti pada saat perlombaan tadi”

Swandaru menjadi heran. Kalau Agung Sedayu masih ingin belajar, mengapa sasaran itu harus diayunkannya? Tetapi ia tidak menjawab. Ia berjalan saja kearah sasaran yang masih tergantung terbalik itu. Ditariknya orang-orangan itu dan kemudian dilepaskannya seperti pada saat perlombaan kedua antara Hudaya, Citra Gati dan Sidanti.

Tetapi Swandaru menjadi bertambah heran ketika ia melihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Dengan tangan Agung Sedayu memberi isyarat, supaya Swandaru mempercepat ayunan orang-orangan itu.

“Aneh” pikir Swandaru “Apakah yang akan dilakukannya?”

Kini Swandaru itupun tidak bertanya. Ditariknya orang-orangan itu semakin jauh, dan kemudian sasaran itu tidak saja dilepaskan namun didorongnya sehingga ayunannya menjadi bertambah cepat.

Tetapi kemudian Swandaru itu melihat Agung Sedayu melambaikan tangannya memanggil. Berlari-lari kecil Swandaru pergi mendekati Agung Sedayu, katanya setelah ia berdiri disamping anak muda itu “Nah, sekarang apakah yang akan tuan lakukan?”

“Swandaru” berkata Agung Sedayu “Apakah yang harus aku kenai?”

“Terserahlah kepada tuan” jawab Swandaru. “namun dalam perlombaan-perlombaan, kepalanyalah yang diangap mempunyai nilai tertinggi”

Sedayu tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia mengangkat busurnya, sedang Swandaru memandanginya dengan wajah yang tegang.

“Aku akan mengenainya dari atas berturut-turut” berkata Agung Sedayu. “Mulai dari bandul, kemudian badan, leher dan yang terakhir kepala”

Swandaru tidak menjawab. Meskipun untuk mengenai kepala sasaran itu cukup sulit, namun mengenai semua bagian berturut-turut menurut rencana itupun bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi ia belum pernah melihat, apakah Sedayu itu benar-benar dapat membidikkan panahnya.

Tetapi kemudian Swandaru itupun terpaku melihat anak panah Sedayu. Anak panah yang pertama itu laju dengan cepatnya, dan seperti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu, anak panah itu mengenai bandulnya tepat ditengah-tengah.

“Tuan” berkata Swandaru dengan serta-merta. “Ternyata tuan tidak sedang belajar memanah. Tuan dapat mengenai sasaran yang tuan bidik dengan tepat”

“Aku akan mencoba mengenai badannya” sahut Sedayu. Namun ia meneruskan kata-katanya “Tetapi kau harus berjanji”

“Apakah yang harus aku janjikan?”

“Jangan berkata kepada siapapun tentang apa yang akan kau lihat”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti sikap Agung Sedayu. Apakah ia sedang merahasiakan sesuatu? Seandainya ia mempunyai cara yang khusus, supaya cara itu tidak dapat ditiru oleh orang lain, apakah salahnya kalau ia mengatakan hasilnya saja? Meskipun demikian, namun Swandaru itu mengagguk kosong sambil menjawab “Baiklah tuan”

“Kau berjanji?”

“Ya”

“Bagus” sahut Sedayu. Dalam pada itu ia telah mengangkat busurnya kembali. Dan panahnya yang kedua itupun benar-benar mengenai bagian badan dari orang-orangan yang masih saja terayun-ayun itu.

“Luar biasa” desis Swandaru. “Tuan benar-benar mengherankan. Tuan membidik bandul, anak panah tuan hinggap dibandul. Tuan membidik badan dan anak panah tuan hinggap dibadan. Sekarang tuan akan mengenai lehernya, bukan begitu?”

“Aku akan coba” jawab Sedayu. Namun demikian ia selesai mengucapkan kata-katanya, demikian anak panahnya terbang menuju sasarannya, leher.

“Bukan main tuan” berkata Swandaru. “Sekarang bukankah tuan akan mengenai kepala orang-orangan itu?”

Sedayu mengangguk.

“Seharusnya, tuan mengenainya tiga kali. Dengan demikian aku akan yakin, bahwa tuan lebih pandai dari anak muda yang sombong itu”

“Jangan membanding-bandingkan Swandaru” sahut Sedayu. “Aku tidak sedang berlomba. Perlombaan itu sudah selesai dan Sidantilah yang mendapatkan kedudukan tertinggi. Sedang kini aku hanya bermain-main saja. Tak ada hubungan apapun dengan perlombaan yang baru saja selesai.”

Sekali lagi Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apapun. Diamatinya anak panah dibusur Sedayu dengan seksama. Sambil membungkuk-bungkuk ia memerhatikan setiap gerak jari Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian lepaslah anak panah yang keempat itu.

Sekali lagi Swandaru berteriak “Bukan main, bukan main. Tuan telah mengenainya pula”

Sedayu tertawa kecil. Ia senang pula melihat seseorang mengaguminya. Apabila demikian, sebenarnya timbul pula keinginannya agar semua prang mengetahuinya pula, bahwa sebenarnya iapun dapat berbuat saperti apa yang dilakukan oleh orang lain. Namun kembali ia menjadi cemas, apabila dibayangkannya akibat dari kelebihannya itu. Ia cemas kalau ada orang yang mendendamnya. Dan kini yang hadir di lapangan itu tinggal seorang saja. Swandaru. Dan Swandaru telah berjanji kepadanya, untuk tidak mengatakan apapun dan kepada siapapun tentang apa yang dilihatnya. Karena itu, sebagai imbangan dari ketakutannya, maka meledaklah keinginannya untuk menunjukkan setiap kemampuan yang ada pada dirinya, meskipun hanya terhadap seorang saja dan kepada dirinya sendiri.

Maka katanya “Swandaru, berapakah anak panahmu seluruhnya?”

“Sepuluh tuan” jawab Swandaru.

“Marilah, berilah aku dua lagi, supaya aku dapat mengenai kepala sasaran itu tiga kali”

Swandaru yang menjadi gembira melihat permainan Agung Sedayu itupun berlari-lari kekudanya. Diambilnya seluruh anak panahnya dan diserahkannya kepada Agung Sedayu “Inilah tuan”

Agung Sedayu menerima anak panah itu. Kemudian dengan cepatnya ia melepaskan dua anak panah berturu-turut. Dan keduanya itupun hinggap dikepala sasaran pula.

Swandaru itupun bertepuk tangan sambil berteriak-teriak “Mengagumkan, mengagumkan”. Namun kemudian ia terdiam ketika Agung Sedayu berdesis “Jangan ribut Swandaru, aku tidak mau bermain-main lagi”

“Ternyata tuan melampaui setiap orang yang ikut dalam perlombaan itu. Kenapa tuan sendiri tidak ikut serta?”

Sekali lagi Agung Sedayu membantah, katanya “Tidak, tak ada hubungannya dengan perlombaan yang baru saja berakhir”

“Ya” sahut Swandaru. “Memang tak ada hubungannya. Tetapi tuan benar-benar telah mengagumkan aku. Seandainya tuan melakukannya selagi masih banyak orang dilapangan ini, maka lapangan ini pasti akan meledak karena sorak mereka yang gemuruh”

“Sudahlah. Lupakan perlombaan itu ”potong Agung Sedayu. “Apakah kita masih akan bermain-main?”

“Tentu” jawab Swandaru. “Apakah tuan masih mempunyai permainan yang lebih baik lagi?”

“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian. “Apakah yang lebih kecil dari kepala sasaran itu?”

Swandaru mengerutkan keningnya “Tak ada tuan”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya sasaran yang bergerak-gerak terayun kian kemari meskipun sudah semakin lambat. Dan kemudian terdengar ia bertanya “Swandaru, bahan apakah yang dibuat untuk tali pengikat orang-orangan itu?”

Swandaru menjadi heran. Ia tidak tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu. Meskipun demikian ia menjawab juga “Serat tuan, serat nanas yang dipilin menjadi tali yang kuat”

“Apakah bukan jangat?”

“Oh, bukan tuan. Jangat kulit terlalu kaku”

“Marilah kita buktikan”

Sekali lagi Swandaru menjadi keheran-heranan. Apakah hubungannya antara panah-panah dan serat nanas itu? karena itu maka ia bertanya “Bagaimanakah tuan akan membuktikan? Dan apakah gunanya?”

Agung Sedayu tidak menjawab. namun dipasangnya sebatang anak panah dibusurnya. Perlahan-lahan busur itupun diangkatnya. Kini ia membidikkan anak panah itu.

Swandaru yang masih belum tahu maksud Agung Sedayu memperhatikannya dengan berbagai pertanyaan memenuhi dadanya. Kali ini Agung Sedayu menarik tali busur sepenuhnya, sehingga busur itu seakan-akan hampir menjadi patah. Dengan hati yang berdebar-debar Swandaru memandangi busurnya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu melepaskan anak panah itu, dan anak panah itu terbang secepat angin.

Betapa Swandaru menjadi terkejut menyaksikan hasil bidikan Agung Sedayu. Sehingga untuk beberapa saat ia tegak seperti patung. Dengan mulut ternganga ia menyaksikan anak panah yang lepas dari busutnya dengan laju yang tinggi itu telah memutus tali penggantung orang-orangan yang terayun-ayun. Demikian cepatnya dan demikian kerasnya. Barulah ia tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu, tentang bahan pembuat tali itu.

Swandarupun pernah juga melihat tali penggantung sasaran itu terputus karena anak panah. Namun justru karena sama sekali tak disengaja. Justru karena anak panah yang condong dari arah bidikan. Tetapi kini Agung Sedayu telah dengan sengaja membidik tali itu. Tali yang jauh lebih kecil dari sasaran itu sendiri. Dan Agung Sedayu ternyata tepat mengenainya.

Karena itu, ketika ia menyadari tentang apa yang dilihatnya maka dengan serta-merta ia meloncat maju. Dengan gairahnya ia mengguncang-guncang bahu Agung Sedayu sambil berkata terbata-bata “Tuan. Ternyata dugaanku benar. Tuan ternyata benar-benar melampaui setiap orang yang pernah aku lihat. Bukankah dengan mengenai tali itu terbukti tuan tak mungkin dikalahkan oleh siapapun juga. Tali itu jauh lebih kecil dari kepala sasaran itu. Dan tali itu sedang bergerak-gerak. Ternyata tuan dapat mengenainya. Tidak saja tepat, namun tuan sudah berhasil memutuskannya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa tuan mengenainya tepat ditengah-tengah?”

Agung Sedayu yang terguncang-guncang itupun melepaskan dirinya. Sambil tertawa ia berkata “Jangan Swandaru. Nanti tubuhku rontok karena guncanganmu. Ternyata tenagamu luar biasa pula, sehingga tulang-tulangku hampir remuk karenanya”

Swandaru menarik nafas. Dengan penuh kekaguman sekali lagi ia memandangi ujung tali yang terputus oleh anak panah Agung Sedayu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia bergumam ”Apakah tuan dapat menaruh biji-biji mata diujung-ujung anak panah itu?”

Agung Sedayu tidak menjawab. namun ia tertawa. Kini iapun menjadi bergembira pula seperti Swandaru. Bahkan ia menjadi semakin berbangga. Timbullah keinginannya untuk menunjukkan berbagai macam permainan, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dari orang lain sebagai pencurahan hatinya yang selalu terkekang oleh kekerdilan jiwanya.

“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian “Didalam pertempuran orang tidak saja terikat kepada sasaran tertentu. Mungkin ia harus membidik lawan yang sedang berlari kencang bahkan diatas punggung kuda. Mungkin ia harus membidik tubuh lawannya yang hanya nampak sebagian kecil karena bersembunyi dibalik pepohonan. Nah, maukah kau membantu aku bermain-main dengan anak panah?”

“Tentu tuan” jawab Swandaru.

“Tetapi kau harus tatag. Jangan cemas, apabila kau melihat anak panah yang mendatang”

“Apakah yang harus aku lakukan?”

“Bawalah orang-orangan itu sambil berpacu dipunggung kuda. Aku akan mencoba mengenainya”

“Ah, bukankah itu berbahaya?”

Agung Sedayu berpikir sejenak. Kemudian jawabnya “Baiklah. Aku mempunyai cara lain. Lepaskanlah kepala sasaran itu. Lemparkan keudara. Biarlah aku mengenainya dengan anak panah”

“Bagus. Permainan yang mengasyikan” sahut Swandaru yang kemudian berlari-lari mengambil sasaran yang telah terjatuh ditanah. Dilepasnya bagian kepalanya dan dengan isyarat ia menunjukkan kepala orang-orangan itu kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu kemudian bersiap. Dengan isyarat pula ia memberi tanda kepada Swandaru untuk melemparkan sasaran itu keudara.

Kedua anak muda itu benar-benar menjadi bergembira, seperti sepasang anak-anak yang sedang bermain-main. Dalam kegembiraan itu maka Agung Sedayu telah melupakan segalanya. Melupakan kecemasannya dan melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeretnya kedalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya.

Swandaru yang berdiri beberapa puluh langkah dari Agung Sedayu itupun kemudian melemparkan sasarannya kearah Agung Sedayu. Ternyata betapa besarnya tenaga Swandaru. Meskipun sasaran itu hampir tak memiliki berat, namun Swandaru berhasil melemparkan melambung melampaui tempat Agung Sedayu berada.

Tetapi sasaran itu tidak sempat melampauinya. Ketika benda itu hampir sampai diatas kepalanya, maka meluncurlah anak panah Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi.

Apa yang dilihat oleh Swandaru benar-benar mentakjubkannya. Kini ia bertepuk sejadi-jadinya. Ia melihat anak panah itu menyambar sasarannya dan bahkan sasaran itupun ikut serta melambung keatas dibawa oleh arus anak panah Agung Sedayu, hampir tegak lurus keudara.

Tetapi tepuk tangan Swandaru itupun kemudian terhenti. Ia melihat Agung Sedayu melangkah beberapa langkah maju. Dengan tegangnya ia menunggu, apalagi yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu itu, yang kini berdiri tepat dibawah sasarannya yang hampir mencapai puncak ketinggian. Dan ternyatalah sesaat kemudian sasaran itupun seolah-olah terhenti diudara, dan sesaat pula sasaran itu menukik turun dengan cepatnya.

Namun kembali Swandaru terkejut. Ia melihat Agung Sedayu menarik busurnya dan sebuah anak panah terbang secepat tatit menyambar sasaran yang sedang meluncur turun itu. Sesaat kemudian kedua benda itupun seolah-olah beradu. Anak panah Agung Sedayu yang kesembilan telah berhasil mematuk sasarannya pula, sehingga benda itupun kemudian berputar seperti baling-baling diudara. Dua batang anak panah yang saling bertentangan itu seolah-olah sengaja dipasang sebagai jari-jari dari sebuah baling-baling. Swandaru kini tak dapat menguasai diri lagi. Dengan cepatnya ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil berteriak-teriak “Gila, bagaimana tuan dapat melakukan itu?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melingkar beberapa langkah surut. Sasaran yang dikenainya melambung pula keatas, namun tidak setinggi semula. Karena itu, kini Agung Sedayu siap melakukan permainannya yang terakhir. Panahnya tinggal sebatang, dan panah itu akan dihabiskannya. Dengan cepatnya ia memasang anak panah itu dan sebelum sasarannya jatuh menyentuh tanah, maka Agung Sedayu masih sempat menyambarnya dengan anak panahnya yang kesepuluh.

Sasaran itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian terjatuh ditanah. Namun seakan-akan sasaran itu terseret oleh kekuatan anak panah Sedayu beberapa langkah lagi.

Apa yang dilihat oleh Swandaru itu hampir-hampir tak masuk diakalnya. Tiga anak panah hinggap pada satu sasaran yang sedang melambung diudara.

Seperti orang yang benar-benar kehilangan kesadaran Swandaru berteriak-teriak kegirangan. Bahkan kemudian anak itu telah kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan serta-merta ia berteriak “Tuan. Setiap orang Sangkal Putung harus tahu apa yang telah tuan lakukan. ternyata Sidanti tidak sepantasnya untuk menamakan dirinya pemanah terbaik dari Sangkal Putung. Sebab tuan dapat memanah jauh lebih baik daripadanya”

Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata Swandaru itu. Dengan cemasnya ia berkata “Jangan Swandaru, bukankah kau telah berjanji?”

“Tuan terlalu merendahkan diri” sahut Swandaru. “Tetapi sekali lagi anak yang sombong itu harus menyadari keadaannya, ia bukan manusia yang tak ada bandingnya. Bahkan Sidanti itu pasti tak akan dapat melakukan seperti apa yang tuan lakukan itu”

“Jangan Swandaru” cegah Agung Sedayu.

Namun Swandaru solah-olah sudah tidak mendengar lagi kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan cepatnya ia berlari kearah kuda putihnya. Dan sebelum Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu, Swandaru telah meloncat kepunggung kudanya itu dan seperti sedang berpacu dengan hantu kuda itu lari kencang-kencang.

Agung Sedayu menjadi bingung. Untunglah bahwa dalam endongnya sudah tidak terselip lagi sebatang anak panahpun. Seandainya, ya seandainya demikian, maka sudah pasti kuda Swandaru itu tak akan dapat pulang kekandang.

Tetapi yang terjadi, Agung Sedayu itu berdiri dengan kaki gemetar melihat kuda Swandaru itu terbang meninggalkan lapangan. Sekilas berterbangan pulalah didalam benaknya, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Swandaru itu. Terbayanglah kemudian, Sidanti akan datang dengan wajah yang merah membara karena kemarahannya.

Didalam hati Agung Sedayu itu, timbullah suatu penyesalan. Betapa dengan sombongnya ia telah menunjukkan beberapa permainan yang akan dapat membawa kesulitan kepadanya. Apalagi kini pamannya sedang marah pula kepadanya. Namun ia sudah tidak dapat berbuat sesuatu. Swandaru itu kini telah hilang dibalik rimbunnya dedaunan.

Yang tinggal adalah sebuah kepulan debu yang putih, semakin lama semakin tipis dan akhirnya lenyap ditiup angin yang sepoi-sepoi. karena itu, maka keringat yang dingin segera mengalir membasahi segenap tubuh Agung Sedayu.

Swandaru itupun memacu kudanya menyusul Sidanti yang sedang berjalan perlahan-lahan kembali kekademangan. Dengan asyiknya ia bercakap-cakap dengan beberapa orang yang sedang mengaguminya. Bahkan Sekar Mirah yang kemudian berjalan disamping ayahnya itupun berkali-kali berpaling dan sekali-sekali dipujinya anak muda itu dihadapan ayahnya.

Ki Demang Sangkal Putung hanya kadang-kadang saja menanggapi pujian-pujian itu. Namun didalam hatinya, orang tua itu benar-benar mengeluh. Gadisnya harus benar-benar dikuasainya. karena itu, maka Ki Demang Sangkal Putung itu, bahkan bertekad untuk bersikap lebih keras lagi terhadap Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa anak gadisnya satu-satunya itu terlalu dimanjakannya. Baik oleh dirinya sendiri maupun oleh ibunya, sehingga Sekar Mirah itu mempunyai sifat yang sukar dikendalikan. Ia berbuat seenaknya seperti yang dikehendakinya. Perasaannya terlalu tampil kedepan, jauh kedepan dari pikiran wajarnya.

Widura berjalan saja tanpa menghiraukan apapun. Hanya kadang-kadang saja ia memandang orang-orang yang lalu lalang disekitarnya. Ditatapnya wajah-wajah yang dengan gembira pulang dari lapangan menyaksikan perlombaan-perlombaan yang sangat menarik hati. Perlombaan-perlombaan yang jarang terjadi di kademangan yang subur itu.

Tetapi langkah Widura itupun kemudian terhenti, ketika ia melihat dua orang berkuda menuju kearahnya. Dua orang yang dikenal baik oleh Widura, sebagai laskarnya yang patuh. Bahkan kedatangan dua orang berkuda itupun sangat menarik perhatian orang-orang yang sedang berjalan pulang dari lapangan itu. Sehingga ada diantaranya yang ikut berhenti pula, menanti kalau-kalau ada sesuatu yang penting bagi Sangkal Putung. Tetapi kedua orang itu ternyata sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencemaskan, dengan tersenyum-senyum ia kemudian turun dari kudanya dan kemudian mengangguk hormat kepada Widura.

Widurapun mengangguk pula. dilihatnya juga kedua orang itu hanya tersenyum-senyum, namun bagi Widura, senyum mereka adalah senyum yang tak begitu wajar. Meskipun demikian Widura tahu benar maksud kedua orang itu. Mereka tidak mau merampas kegembiraan orang-orang Sangkal Putung dengan sikap-sikap yang tegang dan tergesa-gesa.

Widurapun kemudian tidak bertanya langsung apa keperluan mereka. Tetapi ia yakin pasti ada sesuatu. Kedua orang itu adalah orang yang sedang bertugas berjaga-jaga diujung kademangan.

“Perlombaan sudah selesai” berkata Widura kepada mereka. “Marilah kita ke kademangan”

Kedua orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya, dan dengan menuntun kuda mereka, mereka berjalan disamping Widura ke kademangan.

Sidantipun melihat kedua orang itu pula, demikian juga Hudaya dan Citra Gati. Bahkan Sonya yang berjalan jauh-jauh dibelakang bersama Sendawa mempercepat langkah mereka. Tetapi mereka menjadi kecewa ketika ternyata kedua orang itu tak berkata apa-apa.

Orang-orang Sangkal Putung yang berhenti karena kedatangan orang-orang berkuda itupun kemudian meneruskan langkah mereka. Ternyata dalam tanggapan mereka, kedua orang berkuda itupun agaknya hanya ingin menyaksikan perlombaan dilapangan, namun mereka sudah terlambat.

Namun Widura yang segera ingin tahu apa yang sudah terjadi itu, ternyata tidak sabar menunggu sampai mereka tiba dikademangan. karena itu maka perlahan-lahan hampir berbisik ia berkata “Ada sesuatu?”

Salah seorang dari kedua orang berkuda itu mengangkat wajahnya. sesaat ia memandang orang-orang berjalan disekitarnya namun kemudian dengan berbisik pula ia berkata “Tak begitu penting, meskipun harus mendapat perhatian”

“Apakah itu?”

“Diantara beberapa orang yang lewat dimuka gardu penjagaan kami, kami melihat seorang yang menarik perhatian kami”

Widura mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Siapa?”

“Seorang yang barangkali hadir juga menyaksikan perlombaan dilapangan. Meskipun pakaiannya kumal dan kotor, namun tongkatnya telah meyakinkan kami”

“Tongkat baja putih?”

Orang itu mengangguk.

“Berkepala kuning berbentuk tengkorak?”

Sekali lagi orang itu mengangguk.

Widura itupun menggeram “Macan yang gila itu sempat menyaksikan perlombaan itu pula”

“Aku sangka demikian. Namun kami tidak berani menangkapnya. Sebab kami tahu pasti kekuatan yang tersimpan pada dirinya”

“Kalian telah berbuat benar” sahut Widura. “Juga kalian tak dapat menghitung, berapa orang yang dibawanya”

Prajurit berkuda itu mengangguk. Katanya “Kami berenam didalam gardu kami. Seandainya kami harus bertempur, belum pasti kami berenam sempat melaporkan kehadirannya. Yang dapat kami lakukan hanyalah memukul tanda bahaya. Dan orang-orang itupun segera akan lenyap. Sedang sebagian besar dari kami, pasti sudah mati”

“Benar” sahut Widura pula, kemudian katanya “Apakah mereka sudah meninggalkan Sangkal Putung?”

“Kami menyangka demikian” jawab orang itu.

“Aku juga menyangka demikian” berkata Widura. “Orang itu hanya ingin tahu, apakah yang terjadi disini, dan sekaligus ia dapat mengetahui pula, gambaran kekuatan laskar kita disini. Untunglah bahwa perlombaan pedang dan sodoran hanya aku peruntukkan anak-anak muda Sangkal Putung, sehingga Tohpati itu tidak dapat mengukur kekuatan prajurit Pajang di Sangkal Putung”

Orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian mereka itupun saling berdiam diri. Namun apa yang didengar oleh Widura dari penjaga-penjaganya itu, semakin meyakinkannya, bahwa apa yang dikatakan Kiai Gringsing semalam benar-benar akan dilakukan oleh Tohpati. Sekali lagi menyergap Sangkal Putung.

Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda yang berdentang-dentang dijalan berbatu-batu dibelakang mereka. Semakin lama menjadi semakin keras, sehingga setiap orang yang mendengarnya menjadi cemas karenanya. Bahkan kedua prajurit berkuda itupun menjadi cemas pula.

karena itu, maka semua mata, berpuluh-puluh pasang, seakan-akan melekat ditikungan jalan dibelakang mereka.

Sesaat kemudian muncullah kuda itu, seekor kuda putih dengan penunggangnya yang gemuk bulat. Swandaru.

“Oh” hampir semua mulut berdesah, ketika mereka melihat anak muda itu. Sedang Swandaru itupun menjadi terkejut pula ketika dilihatnya beberapa orang berhenti dijalan seakan-akan sedang menunggunya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya sambil menarik kekang kudanya. “Apakah yang kalian tunggu?”

Kuda Swandaru itu berhenti beberapa langkah dari Sidanti. Namun Sidanti itu kemudian sama sekali tak memperhatikannya. Dengan langkah yang tetap Sidanti meneruskan perjalanannya kembali kekademangan.

Ki Demang Sangkal Putung, yang masih agak jauh dari padanya menjawab pertanyaan anaknya “Kau mengejutkan kami, Swandaru”

“Ah” sahut Swandaru. “Betapa ayah mudah menjadi terkejut, sedang kakang Sidantipun sama sekali tidak terkejut mendengar derap kudaku”

Langkah Sidantipun terhenti. Dengan wajah yang asam ia berpaling kearah Swandaru. Namun hanya sebentar, dan kembali ia tidak memperhatikan anak muda itu lagi, seakan-akan kehadirannya sama sekali tak berarti baginya.

Swandaru melihat kemasaman wajah itu. karena itu maka hatinyapun menjadi semakin panas. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk memanaskan hati Sidanti pula. maka katanya lantang “Kakang Sidanti, berhentilah sebentar”

Sekali lagi Sidanti berpaling, kali ini ia memandang Swandaru dengan tajam, katanya “Jangan ribut Swandaru”

“Aku tidak sedang ribut“ Jawabnya. “Tetapi aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa sebenarnya bukan kaulah pemanah terbaik di Sangkal Putung”

Kali ini Sidanti benar-benar berhenti. Ia tidak saja berpaling, namun dengan sigapnya ia memutar tubuhnya. Ditatapnya wajah Swandaru dengan tajamnya. Dan bertanyalah anak muda itu dengan suara yang bergetar “Apa katamu Swandaru?”

Ki Demang Sangkal Putung dan Widurapun tertarik pula pada kata-kata Swandaru itu. Namun mereka menjadi cemas, dan berkatalah Ki Demang Sangkal Putung “Swandaru, hati-hatilah dengan kata-katamu”

Swandaru tidak menghiraukan kata-kata ayahnya. Dengan masih tetap diatas punggung kudanya ia berkata “Aku berkata sebenarnya, bahwa kakang Sidanti bukan pemanah terbaik diantara kita”

Sidanti itupun menjadi heran mendengar kata-kata Swandaru yang tiba-tiba itu. karena itu beberapa langkah ia maju mendekati Swandaru. katanya “Ulangi Swandaru dan apa alasannya?”

“Baik” jawab Swandaru. “Aku ulangi. Kau bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung. Alasanku, dilapangan masih ada seorang pemanah yang pasti melampaui kecakapanmu”

Dada Sidanti menjadi bergelora. Betapa hatinya menjadi panas. Seandainya pada saat itu tidak ada Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah maka mulut Swandaru itu pasti sudah ditamparnya untuk ketiga kalinya.

Tetapi kini ia masih mencoba menahan dirinya. Sedang beberapa orang lainpun melangkah mendekati mereka. Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah dan beberapa orang lainnya.

Sekali lagi Ki Demang Sangkal Putung mencoba mencegah anaknya yang kurang dapat menempatkan diri itu, katanya “Swandaru, sudahlah, jangan membual. Apapun yang terjadi dilapangan menurut katamu, namun perlombaan sudah selesai. Dan angger Sidantilah yang kami anggap sebagai pemenangnya”

Swandaru tertawa. Jawabnya “Ternyata anggapan itu salah ayah”

“Tidak bisa” sahut ayahnya. “Kami semuanya menjadi saksi”

Swandaru masih tertawa. Dipandangnya kemudian wajah-wajah yang tegang disekitarnya. Dilihatnya beberapa orang memandangnya dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya. Karena itu, maka Swandaru itupun berkata pula “Baiklah. Katakanlah dalam perlombaan itu kakang Sidanti ternyata menjadi pemenang. Namun aku katakan bahwa ia bukanlah pemanah terbaik di Sangkal Putung”

Widura masih tetap berdiam diri. Dengan cepatnya ia memaklumi maksud Swandaru. ketika tak dilihatnya Agung Sedayu diantara mereka, maka pasti Agung Sedayulah yang dimaksud oleh Swandaru itu dan dengan cepat pula Widura dapat mengira-irakan apakah yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Agaknya ia telah melakukan beberapa permainan bersama Swandaru. Namun Widura menjadi heran, bahwa Swandaru telah menyusul Sidanti dan mengatakan apa yang dilihatnya. Apakah maksud Swandaru itu telah disetujui Agung Sedayu?

Sidanti telah hampir tak dapat menahan dirinya lagi. Dengan lantang ia berteriak “Jangan banyak bicara Swandaru. katakan siapa orangnya!”

Swandaru meredupkan matanya. Dipandangnya Sidanti baik-baik. Apakah yang akan terjadi kalau ia menyebutkan nama orang yang telah mengagumkannya itu? Dan dengan las-lasan disebutnya nama itu, katanya “Kau ingin tahu namanya? Namanya Agung Sedayu”

Sidanti mendengar nama itu, seperti suara guruh yang meledak diatas kepalanya. Sesaat wajahnya menjadi tegang, namun sesaat kemudian tubuhnya menjadi gemetar. Tiba-tiba semua orangpun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Sidanti itu, tanpa sepatah katapun, melangkah dengan tergesa-gesa menyibak semua orang yang berdiri disekitarnya. Dengan dada yang bergelora ia berjalan kembali kepalangan sambil menjinjing busurnya. Namun demikian masih juga ia bergumam “Bagus. Kita buktikan, siapakah diantara kita yang akan menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung”

Beberapa orang yang kemudian tersadar akan keadaan itu, segera berjalan pula kembali kelapangan. Mereka ingin menyaksikan apakah gerangan yang akan terjadi.

Widura memandang Sidanti dengan hati yang berdebar-debar pula. sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun sesaat kemudian disadarinya, bahwa ia harus hadir pula dilapangan. Seandainya terjadi sesuatu dengan Sidanti dan Agung Sedayu, maka iapun harus dengan cepat dapat mengatasinya. Meskipun demikian, Widura itu tak dapat melupakan kehadiran Tohpati di Sangkal Putung. karena itu sebelum ia pergi menyusul Sidanti, dipesannya dua orang berkuda itu untuk segera kembali kegardunya, katanya “Kembalilah kegardumu. Beritahukan kemudian gardu-gardu yang lain. Dan selalu siapkanlah tanda bahaya. Jangan terlambat”

Kedua orang itu mengangguk, jawabnya “Baik. Akan segera kami lakukan”

Demikian kedua orang berkuda itu pergi, maka berkatalah Widura kepada ki Demang yang masih saja berdiri kebingungan “Marilah kita saksikan, apakah yang terjadi”

“Baik, baik” jawab Ki Demang. Dan kepada Swandaru ia berkata “Swandaru, kau selalu saja bikin perkara. Bukankah dengan demikian kau telah memanaskan hati Sidanti? Apalagi kalau ternyata kata-katamu benar. Lalu bagaimanakah dengan hasil perlombaan itu?”

“Kalau mereka ingin bertanding, apa salahnya ayah” jawab Swandaru. “Bukankah dengan demikian kita akan mendapat penilaian yang jujur atas semua orang di Sangkal Putung?”

“Kalau ada yang ketinggalan dalam perlombaan, itu adalah karena keinginannya sendiri” jawab Ki Demang. Namun ia tidak dapat berkata apapun seterusnya, ketika diingatnya bahwa Agung Sedayu adalah kemenakan Widura.

Tetapi Widuralah yang meneruskan “Apa yang terjadi kemudian tidak akan mempengaruhi hasil perlombaan. Adalah salah Agung Sedayu sendiri kenapa ia tidak ikut serta dalam perlombaan itu. Betapapun pandainya ia membidikkan anak panah, namun apabila itu dilakukan setelah perlombaan, maka tak ada sebuah nilaipun yang dapat diberikan padanya”

Swandaru kini jadi terdiam. Ia sama sekali tak berani menjawab kata-kata Widura. Namun orang lainlah yang kemudian berkata “Biarlah kakang. Biarlah anak muda yang sombong itu dapat menilai dirinya. Seandainya seseorang dapat melampauinya, meskipun kelebihan itu tak dapat mempengaruhi hasil perlombaan, namun kita semua akan mengetahuinya, bahwa ada orang lain yang sebenarnya lebih berhak atas kemenangan itu daripada Sidanti”

Widura berpaling kearah suara itu. Dilihatnya dibelakangnya Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil berkata “Kau benar kakang Citra Gati”

Widura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian ia menjawab “Aku harus ada diantara mereka. Pertandingan yang kemudian inipun tak boleh lebih dari pertandingan memanah”

Hudaya tersenyum masam. Sahutnya “Apa salahnya? Bukankah semuanya ini terjadi diluar arena yang seharusnya? Kalau kali ini kakang masih mencegahnya, maka itu hanya akan berarti menunda-nunda penyelesaian”

Didalam hatinya Widurapun membenarkan kata-katanya Hudaya itu. Namun segera terlintas didalam kepalanya, bayangan-bayangan yang mencemaskannya. Tohpati. Kalau orang-orangnya sibuk dengan bentrokan-bentrokan antara sesama, apakah jadinya kalau Tohpati itu tiba-tiba saja menerkam Sangkal Putung? Kalau terjadi sesuatu, maka hal itu pasti akan didengar oleh Macan Kepatihan itu. Sebab siapa tahu bahwa seorang dua orang dari laskar Jipang masih ada diantara mereka dan menyaksikan perselisihan itu.

Hal inilah yang tak terpikirkan oleh Hudaya, Citra Gati dan orang-orang lain. Mereka hanya menuruti perasaan mereka saja. Kebenciannya kepada kesombongan Sidanti agaknya telah benar-benar memuncak. Dan mereka mengharap Agung Sedayu akan memberi beberapa peringatan kepada Sidanti. Namun ada hal lain lagi yang tak mereka ketahui. Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut. Karena itu, kali inipun Widura menjadi pening karenanya. Meskipun demikian, maka Widura berkata tegas “Tak akan ada perkelahian diantara kita”

Hudaya dan Citra Gati tidak berkata-kata lagi. Namun wajahnya membayangkan kekecewaan hatinya. Sesaat mereka saling berpandangan. Hudaya itu, kemudian tersenyum hambar ketika ia melihat Citra Gati mengangkat bahunya.

Ketika mereka melihat Widura melangkah kembali kelapangan, mereka itupun mengikutinya pula. sedang Ki Demang Sangkal Putung dengan wajah yang masam berkata kepada anaknya “Swandaru, segera kau akan melihat akibat pokalmu itu”

Swandaru menundukkan wajahnya. kini baru disadarinya, mengapa Agung Sedayu mencegahnya untuk tidak menyampaikan cerita tentang dirinya itu kepada siapapun juga. Barulah kini ia dapat menilai perbuatannya itu. Namun semuanya sudah terjadi. Dan sebenarnya hatinyapun terbersit harapan seperti yang diucapkan oleh Hudaya dan Citra Gati itu. Namun ia tidak membantah ayahnya lagi. Bahkan iapun kemudian turun dari kudanya dan dituntunnya kuda itu berjalan dibelakang ayahnya. Sedang Sekar Mirah ternyata berjalan jauh mendahului. Dengan tergesa-gesa ia berjalan dibelakang Sidanti diantara beberapa orang lain yang ingin juga menyaksikan pertandingan yang kedua, yang pasti tidak kalah menggemparkan dari pertandingan yang baru saja selesai.

Bahkan beberapa orang sudah mulai menilai-nilai kedua anak muda yang mereka anggap sebagai pahlawan-pahlawan yang mengagumkan. Mereka berdua adalah anak muda yang namanya menjadi buah bibir orang-orang Sangkal Putung. Sidanti ternyata terkenal sebagai seorang yang gagah berani yang dengan kesaktiannya mampu bertahan melawan Macan Kepatihan. Sedang Agung Sedayu bagi mereka merupakan seorang pahlawan penyelamat padukuhan Sangkal Putung.

Keduanya kini akan berhadapan dalam satu pertandingan memanah. Alangkah mengasyikkan.

Sidanti sendiri yang berjalan paling depan dari iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin panjang itu, dadanya benar-benar bergelora karena hatinya yang panas. Sejak semula ia berharap agar ia dapat bertanding dalam kesempatan apapun dengan Agung Sedayu. Namun ia menjadi kecewa ketika Agung Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan itu. Namun tiba-tiba dibelakangnya, Agung Sedayu telah membuatnya menjadi bersakit hati. Kini biarlah dibuktikan siapa diantara mereka berdua yang berhak menamakan dirinya pemanah terbaik di Sangkal Putung.

Kabar itu, kabar tentang Agung Sedayu, segera menjalar seperti api yang membakar kademangan Sangkal Putung. Setiap mulut dan setiap telinga telah dirayapi oleh berita itu. Beberapa orang berlari-lari pulang, untuk memanggil kakak-kakak mereka, adik-adik mereka dan keluarga-keluarga mereka yang telah terlanjur sampai dirumah, untuk menyaksikan pertandingan yang pasti akan menggembirakan hati mereka, melampaui pertandingan yang baru saja selesai.

Beberapa saat kemudian Sidanti itupun menjadi semakin dekat dengan lapangan dimuka banjar desa, sejalan dengan hatinya yang menjadi semakin bergelora oleh kemarahan. Maka iapun semakin mempercepat langkahnya, seakan-akan ia ingin meloncat dengan satu loncatan yang akan dapat mencapai sisa jarak yang sudah tidak terlalu jauh itu.

Dilapangan, Agung Sedayu berdiri dengan dada yang berdebar-debar. Berbagai perasaan berkecamuk didalam dadanya. Cemas, kecewa, meyesal bercampur baur. Sehingga lututnyapun menjadi gemetar. Ternyata Swandaru tidak menepati janjinya, sehingga akibatnya benar-benar tak seperti yang diharapkan. karena itu, dalam kebingungan Agung Sedayu itu berjalan hilir mudik tak menentu. Sekali-sekali ingin ia pergi meninggalkan lapangan. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Sehingga akhirnya dadanya itupun serasa berdentangan, ketika ia mendengar suara orang-orang yang ribut semakin lama menjadi semakin dekat. Dan ternyatalah kemudian apa yang ditakutkannya. Dari balik rimbunnya daun-daun, dari balik dinding-dinding batu, muncullah orang-orang itu. Berbondong-bondong dan kemudian pecah berlarian mengelilingi lapangan.

Darah Agung Sedayu itupun hampir berhenti mengalir ketika dilihatnya, diujung iring-iringan itu berjalan seorang yang sangat menakutkan baginya. Sidanti.

Dan Sidanti itu langsung berjalan kearah Agung Sedayu. Dengan langkah yang tetap namun tergesa-gesa, seakan-akan ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap.

Tetapi hati Agung Sedayu itupun kemudian menjadi agak tenteram ketika kemudian dilihatnya, pamannya datang pula kelapangan. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang lagi. Dengan demikian ia hanya dapat berdoa mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas dirinya.

Sidanti itupun kemudian berhenti hanya beberapa langkah saja dimuka Agung Sedayu. Dengan wajah tegang dipandanginya wajah Agung Sedayu.

Agung Sedayu masih saja berdiri ditempatnya. Betapapun dadanya berguncang, namun dicobanya juga menguasai dirinya. Bahkan kemudian dilihatnya juga Sekar Mirah yang memandangnya dengan penuh teka-teki. Akhirnya pamannya dan Ki Demang Sangkal Putungpun berdiri dilingkaran itu pula. hanya Swandarulah yang berdiri agak jauh, namun wajahnya masih tampak memancarkan kebanggaannya atas Agung Sedayu. Sekali-sekali disambarnya wajah Sidanti dengan tatapan matanya. Ditariknya bibirnya kesamping dan kemudian ia tersenyum.

Betapa menyesal Agung Sedayu melihat anak muda itu. Namun kini semuanya telah terlanjur. Dan dirinyalah kini yang menjadi pusat perhatian segenap penduduk Sangkal Putung yang semakin lama menjadi semakin banyak.

Seperti guruh menggelegar dilangit, Agung Sedayu itu mendengar Sidanti berkata parau “Adi Agung Sedayu. Aku telah mendengar apa yang baru saja kau lakukan”

Agung Sedayu menggigit bibirnya. Dengan sudut matanya memandang wajah Swandaru. namun ia pengumpat didalam hati ketika dilihatnya Swandaru itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian Agung Sedayu itu menjawab “Aku tidak berbuat apa-apa kakang Sidanti”

Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian anak muda itu tersenyum masam “Jangan menghina aku. Kenapa kau tidak turut saja berlomba?”

“Aku tidak berhasrat” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi kenapa kau membuat kericuhan setelah pertandingan selesai?”

“Apakah yang aku lakukan?”

Mata Sidanti menjadi semakin menyala. Dan hati Agung Sedayu menjadi semakin kecut karenanya. Namun dicobanya juga untuk tetap menatap wajah Sidanti dengan wajah tengadah. Tetapi lututnyalah yang terasa bergetaran. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak dapat menghindarkan diri dari pertanggungan jawabnya atas semua perbuatannya. Kata-katanya dan anggapan orang-orang Sangkal Putung bahwa ia adalah seorang pahlawan. Dan anggapan-anggapan itu belum pernah dibantahnya. Apalagi ketika dilihatnya disampingnya Sekar Mirah berdiri dengan wajah yang cerah. Kepada gadis itupun telah banyak diceritakannya tentang perjalanannya ke Sangkal Putung bersama kakaknya dahulu. Dan diceritakannya betapa ia berdua bertempur melawan Alap-alap Jalatunda dan pande besi dari Sendang Gabus. Betapa dengan dahsyatnya ia berdua berhasil membunuh tiga orang diantaranya dan cerita-cerita lain yang dibuatnya untuk menutupi kekerdilan jiwanya.

Kini ia dihadapkan pada satu pembuktian. Ia tidak dapat berbuat apapun, selain berbuat sesuatu untuk menyelamatkan namanya. Tetapi, betapa ia memaksa dirinya, namun lututnya yang gemetar dan hatinya yang berdebar-debar itu sangat menyulitkannya.

Dan kemudian terdengar Sidanti berkata pula dengan suara yang lantang “Kau telah menyuruh Swandaru berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa pemenang dalam perlombaan itu bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekali lagi dipandanginya wajah Swandaru. dan Agung Sedayu itupun menjadi semakin menyesali sikap Swandaru itu. Dengan tertawa Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun Agung Sedayu itu kemudian menggelengkan kepalanya. Jawabnya “Aku tidak menyuruhnya. Dan aku tidak berbuat apa-apa”

Semua orang yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu menjadi heran. Tanpa berjanji, maka semua orang berpaling kearah anak muda yang gemuk itu, seolah-olah mereka bertanya kepadanya, apakah yang dikatakannya itu benar-benar bukan sebuah dongengan.

Swandarupun merasakan pertanyaan-pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah itu. Sesaat ia menjadi bingung. Kenapa Agung Sedayu idak saja mengakuinya dan kalau perlu membuktikan dihadapan orang-orang itu? Kenapa masih saja ia merendahkan dirinya sedemikian? Namun tiba-tiba Swandaru itupun mundur beberapa langkah, keluar dari lingkaran orang yang berjejal-jejal. Dengan nanar ia memandang berkeliling lapangan. Akhirnya ia berlari-lari untuk memungut sesuatu yang tergolek dilapangan itu.

“Inilah” teriaknya “Aku akan dapat memberikan bukti kepada kalian. Lihatlah sasaran ini. Panah-panahku masih tertancap disini. Sasaran ini aku lemparkan keudara, dan anak muda itu telah mengenainya tiga kali diudara. Ya tiga kali diudara”

Semua mata memandangi bekas kepala orang-orangan itu. Mereka melihatnya tiga anak panah masih melekat pada benda itu. Dan mereka mendengar pula kata-kata Swandaru itu. Tiga anak panah mengenai satu sasaran yang terbang diudara. Mereka tidak tahu, bagaimana cara Agung Sedayu mengenainya. Namun dengan serta-merta mereka bertepuk tangan gemuruh.

Tepuk tangan yang gemuruh itu benar-benar telah menyalakan bara didada Sidanti. Selangkah ia maju, dan terdengarlah ia berkata lantang “Bohong, adakah kalian melihat, bagaimana caranya ia mengenainya?”

Suara yang gemuruh itupun berangsur diam. Dan akhirnya sama sekali ketika mereka melihat Widura melangkah maju memasuki lingkaran. Dengan tenangnya ia memandang Sidanti dan Agung Sedayu berganti-ganti. Kemudian dipandangnya semua wajah yang berdiri mengitari mereka itu.

Betapapun juga, Widura itupun berusaha untuk mengasai keadaan. Sebagai seorang pemimpin maka ia harus berbuat sesuatu. karena itu maka katanya “Tak ada pengaruh apapun atas perlombaan yang sudah berjalan. Kita sudah menetapkan pemenangnya. Namun permainan-permainan yang lain masih akan dapat dilakukan. Tetapi bukan untuk merubah dan mempengaruhi perlombaan itu.”

Series 5

Kembali terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling itu tak akan mau dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang pasti akan menyenangkan sekali.

Orang-orang itupun kemudian diam kembali ketika Widura berkata pula “Nah, aku sangka Sidanti ingin mengulangi permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersama-sama Agung Sedayu”

“Ya kakang” sahut Sidanti.

Kini Widura memandangi wajah Agung Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat membasahi keningnya. Namun kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat sesuatu yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya kepada kemampuan diri. karena itu maka katanya “Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada persoalan apapun. Permainan ini hanya sekedar kelanjutan dari keinginan orang-orang Sangkal Putung mengenalmu. Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan dirinya lebih banyak lagi. Bukankah dengan kawan bermain yang lebih baik, akan lebih banyak permainan-permainan yang dapat dipertunjukkan? Bukan hanya sekedar menyamai atau melampaui sedikit kemampuan-kemampuan Hudaya atau Citra Gati”

Hudaya dan Citra Gati yang berdiri dibelakang Widurapun tersenyum masam. Namun mereka tidak marah. Bahkan mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi kesempatan kepada kemenakannya untuk melakukan pertandingan meskipun hanya memanah saja.

Kata-kata pamannya itu terasa sedikit dapat menyejukkan hati Agung Sedayu. Bukankah dengan demikian, pamannya akan menjaminnya untuk seterusnya, apabila ada akibat dari permainan ini? Seandaiknya ia melampaui Sidanti, sedang Sidanti itu kemudian marah kepadanya, bukankah itu menjadi tanggung jawab pamannya? karena itu, terdorong pula oleh keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya. Katanya lirih “Baiklah paman. Kalau paman menghendaki”

Widura tersenyum. Baru kali ini sejak beberapa hari pamannya itu tersenyum kepadanya. karena itu hati Agung Sedayu itupun menjadi bertambah besar pula.

“Nah, baiklah kita berikan tempat kepada mereka berdua” berkata Widura.

Maka orang-orang yang melingkari mereka itupun kemudian berlari-larian menyibak. Sedang Swandaru menjadi bergembira pula. segera iapun berlari-lari pula berkeliling lapangan untuk memungut panah-panahnya yang berserakan disekitar orang-orangan yang telah dilepas kepalanya.

Tetapi kemudian Widura menjadi sulit menentukan sasaran. Tidak menarik lagi apabila mereka berdua harus mengenai orang-orangan itu, walaupun diayunkannya sekali. Mereka pasti akan dengan mudah dapat mengenainya. Dalam pada itu tiba-tiba berkatalah Swandaru “Paman Widura, pertandingan ini baru dapat dimulai, seandainya kakang Sidanti mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh anak muda itu. Mengenai sasaran tiga kali berturut-turut diudara”

Widura mengerutkan keningnya. Kata-katanya itu benar juga, tetapi belum seorangpun yang melihat, Agung Sedayu melakukannya selain Swandaru.

karena itu Widura ingin berbuat adil. Kedua-duanya harus mulai dengan sasaran dan kesempatan yang sama. Maka katanya “Swandaru, apakah sasaran orang-orangan itu masih ada?”

”Masih paman” jawab Swandaru.

“Nah, ambillah bandulnya. Ikatlah bandul itu dengan tali yang agak panjang”

Swandaru belum tahu benar maksud Widura. meskipun demikian ia berjalan juga mengambil vandul orang-orangan yang masih terletak diujung lapangan. Kemudian diambilnya sisa-sisa tali yang masih terserak-serak disana-sini. Dengan tali itu maka bandul itupun diikatnya.

“Sudahkah bandul itu kau ikat dengan tali?” bertanya Sonya.

Swandaru mangangguk. Jawabnya “Bagaimanakah maksud paman Widura dengan bandul ini?”

“Peganglah ujung talinya dan putarlah bandul itu diatas kepalamu”

Sahut Sonya.

“Ah” jawab Swandaru perlahan-lahan. “Jangan aku. Sidanti itu dapat membidikkan panahnya kearah perutku”

Sonya tersenyum. Katanya “Mereka adalah pemanah-pemanah yang baik. Mereka pasti tidak akan mengenaimu”

Swandaru menggeleng. “Peganglah” jawabnya “Kalau mereka membidik sasaran itu, maka sasaran itulah yang akan dikenainya. Tetapi kalau Sidanti itu membidik perutku?”

“Marilah” jawab Sonya “Berikanlah bandul itu, biarlah perutku yang dibidiknya”

Maka kini Sonyalah yang memegang sasaran itu. Dipegangnya ujung tali yang lain, dan diputarnya bandul itu diatas kepalanya dalam lingkaran yang berjari-jari sepanjang tali yang lebih dari sedepa panjangnya, mendatar.

Swandaru itupun kemudian berlari-lari menepi, bahkan kemudian didekatinya Agung Sedayu yang telah memegang busurnya dan beberapa anak panah didalam endongnya.

“Masing-masing mendapat kesempatan tiga kali” berkata Widura ketika mereka sudah hampir mulai “Sampai hitungan kelima belas”

Sidantipun telah mempersiapkan busurna pula. dengan wajah tegang ia mengikuti bandul yang berputar diatas kepala Sonya. Ketika Widura mulai dengan hitungan pertama, maka Sidantilah yang lebih dahulu mengangkat busurnya. Sesaat kemudian terbanglah anak panahnya yang pertama, dismbut dengan sorak sorai penonton disekitar lapangan. Anak panah itu tepat mengenai sasarannya langsung ikut berputar pula dengan bandul itu. Dengan sudut matanya Sidanti melihat tangan Agung Sedayu. Dan tangan itupun telah bergerak pua. Dan meluncurlah anak panah Agung Sedayu. Kali inipun para penonton bersorak bergemuruh. Anak panah Agung Sedayupun hinggap pula pada sasarannya.

Sidanti itupun menarik nafas panjang. Ia mengumpat didalam hatinya “Setan itu mampu juga mengenainya”

Tetapi hitungan Widura sudah sampai yang keenam. karena itu maka Sidanti itupun sekali lagi mengangkat busurnya, dan sekali lagi anak panahnya meloncat dari busurnya. Kali inipun anak panah Sidanti itu tepat mengenai sasarannya, dan karena itu maka para penontonpun menjadi semakin riuh, bersorak dan bertepuk tangan. Dan sorak sorai itu menjadi semakin membahana ketika anak panah Agung Sedayu seakan-akan tanpa mereka lihat, demikian saja telah melekat pada sasaran itu pula. agaknya ketika mereka dang asyik dengan anak panah Sidanti, Agung Sedayupun telah melepaskan anak panahnya yang kedua.

Sekali lagi Sidanti mengumpat pula. Katanya dalam hati “Aku harus mengenai untuk yang ketiga kalinya. Kalau anak itu mampu pula mengenai tiga kali, maka harus ditempuh cara yang lain untuk menentukan siapakah diantara kita yang akan menjadi pemanah terbaik”

Tetapi Sidanti itu menjadi terkejut. Tiba-tiba meledaklah sorak para penonton seperti akan meruntuhkan langit. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya sebuah anak panah lagi telah ikut serta dalam putaran bandul diatas kepala Sonya. Agaknya dengan cepat Agung Sedayu telah melepaskan anak panahnya yang ketiga.

“Gila” desisnya. Ketika itu ia mendengar Widura sudah mencapai hitungan yang kesebelas.

Dengan hati-hati Sidanti mengangkat busurnya. Kali ini ia harus benar-benar dapat mengenainya dengan tepat. Kalau tidak, maka Sedayu sudah akan menyisihkannya pada babak yang pertama. Namun ternyata Sidanti adalah pembidik yang baik. Panahnya yang terbang secepat kilat itupun kemudian mengenai sasarannya pula, disambut oleh sorak yang semakin bergelora. Lapangan dimuka banjar desa itu benar-benar seperti akan meledak.

Agung Sedayu masih berdiri ditempatnya sambil mengamat-amati sasaran yang kini sudah tidak diputar lagi. Dengan kedua tangannya Sonya mengacung-acungkan bandul itu sambil berteriak “Enam panah!”

Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Kalian ternyata mempunyai kecakapan yang sama. karena itu, biarlah kita adakan permainan yang lain. Namun aku belum tahu, apakah sasaran yang lebih baik dapat kita gunakan”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, namun iapun belum tahu sasaran apakah yang sebaiknya dipergunakan. Sedang Agung Sedayu lagi sibuk mendengarkan orang menyebut-nyebut namanya. Ia menjadi berbangga juga karenanya. Bahkan kemudian timbul juga keinginannya untuk mendapat pujian yang lebih besar dari para penonton itu. Untuk sesaat ia melupakan pula akibat-akibat yang bisa terjadi. Sebab ia telah membebankan seluruh tanggung jawab kepada pamannya.

Terasa sesuatu menjalar didalam dada Agung Sedayu. Belum pernah ia sepanjang umurnya mendapat pujian semeriah ini. Pada masa-masa kecilnya, ibunya selalu memujinya. Namun bukan karena ia berbuat sesuatu. Ibunya memuji untuk menyenangkannya saja.

Apapun yang dlakukannya maka ibunya tidak pernah mencelanya. Sedang ayahnya sekali-sekali sering memujinya pula apabila ia berhasil berbuat sesuatu menurut kehendak ayahnya. Tetapi ayahnya lebih sering kecewa terhadapnya dari pada memujinya. Bahkan sering ia harus menangis kalau ayahnya menyuruhnya mengulang dan mengulang suatu perbuatan yang tak dapat dilakukannya. Betapa sulitnya latihan-latihan yang diberikan ayahnya dahulu kepadanya. Memanah, bandil dan bermacam-macam ketangkasan membidik. Namun ayahnya selalu mengatakan kepadanya “Kau mampu Sedayu, kau pasti mampu melakukannya” Dan akhirnya ternyata, setelah ayahnya memberinya contoh berkali-kali, akhirnya ia mampu juga melakukannya. Berkali-kali ia diajak ayahnya berdiri dipematang dengan busur ditangan. Ia harus mendapatkan tiga ekor burung dengan tiga batang anak panah. Burung yang tidak boleh dikenainya diatas tanah atau dahan-dahan kayu. Burung itu seakan-akan harus dipetiknya dari udara. Namun akhirnya ia berhasil juga. Kalau ia menangis karenanya, ayahnya berkata kepadanya “Agung Sedayu, apakah kira-kira yang akan dapat kau lakukan? Kau tidak berani memegang tangkai pedang, apakah kau juga tidak mampu memegang busur?”

Kalau ibunya mendengar pertanyaan itu, maka ibunya selalu menjawab “Apakah dalam hidup ini tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari berkelahi?”

Dan ayahnya menjawab “Tentu, tentu ada. Dan anak-anakku seharusnya tidak berkelahi. Tetapi mereka harus menjadi laki-laki jantan yang mampu menempatkan dirinya dalam segala keadaan. Ia harus menjadi seorang yang dapat melakukan pengabdian dalam segala bentuk. Mereka harus menghindari segala bentuk kekerasan, namun merekapun harus dapat melenyapkan kekerasan. Kekerasan yang bertentangan dengan rasa pengabdiannya. karena itu merekapun harus dibekali pula dengan ilmu yang mungkin akan berguna bagi pengabdian mereka. Melawan kejahatan, bukan untuk sebaliknya”

Apabila demikian, maka ibunya segera memeluknya sambil mengusap air mata. Bisiknya “Biarlah pekerjaan itu dilakukan orang lain. Tetapi bukan anakku. Kekerasan akan dapat berakibat buruk perkelahian dapat meneteskan darah. Aku tidak mau kehilangan lagi”

Ayahnya tidak membantah lagi. Bahkan ayahnya selalu berkata dengan lembut “Maafkan aku nyai. Aku masih selalu ingat pada masa-masa mudaku”

Tetapi kalau ia kemudian keluar dari bilik ibunya, Untara, kakaknya berkata kepadanya “Ibu sekarang berubah. Ibu dahulu ikut berbangga kalau ayah berhasil melenyapkan kejahatan. Meliindungi orang-orang lemah dari penindasan. Ibulah yang sering menggosok pedang ayah dengan minyak dan getah-getahan untuk menjadikan pedang ayah mengkilat seperti bersinar. Dan ibu pulalah yang menggosok busur ayah dengan angkup kayu sehingga busur itu menjadi gemerlapan”

Suasana yang demikian itulah yang kemudian membentuknya menjadi seorang yang kerdil. Ibunya yang selalu memanjakannya dan menakut-nakutinya dengan segala macam cara. Menyekapnya dalam pelukannya. Apabila ia bertanya “Ibu, bukankah ibu dahulu berbangga atas kejantanan ayah?” Maka ibunya akan menjawab “Sebuah mimpi yang menakutkan anakku. Itu terjadi pada masa-masa ayahmu masih muda. Ternyata kini ayahmupun menyadarinya. Bahwa tak ada yang dapat dicapainya dengan pedang ditangan. Tak akan ditemui ketentraman dan kedamaian dihati: dan ayahnyapun pernah pula mengatakannya demikian. Namun menurut ayahnya, dunia masih tetap sepeti keadaannya. Parah, karena kejahatan, nafsu, kebencian, dan segala macam bentuk kekerasan, karena itu maka segala itu harus mendapat imbangan. Tetapi harus memiliki landasan yang berlawanan. Dan landasan itu adalah cinta kasih antar sesama. Kalau sekali-sekali harus digenggamnya tangkai pedang, maka haruslah dilandasi pula dengan cinta kasih. Untuk menegakkan sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan berdasarkan cinta kasih itu.

Dan terjadilah benturan-benturan perasaan didalam dada Agung Sedayu. Ia menjadi seorang penakut karena ibunya, namun angan-angannya kadang-kadang membumbung tinggi dalam sifat-sifat kejantanan dan kesatriaan.

Perasaan-perasaan itulah yang kini sedang saling mendesak. Seorang jantan tidak boleh membiarkan dirinya dihina tanpa sebab. Seorang jantan harus mempertahankan namanya demi kebenaran seperti mempertahankan nyawanya. Kalau nama itu lenyap, maka biarlah lenyap pula nyawanya. Tetapi dilain pihak, betapa tiba-tiba lututnya menjadi gemetar apabila ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan pertentangan.

Agung Sedayu yang kini sedang berdiri diarena itu masih mendengar tepuk tangan yang semakin lama menjadi semakin surut. Dilihatnya pula, pamannya sedang berbicara dengan beberapa orang. Diantaranya Ki Demang Sangkal Putung dan Citra Gati. Agaknya mereka sedang sibuk mencari kemungkinan untuk membua sasaran yang lebih sulit dari sasaran-sasaran yang pernah dibuatnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sidanti berdiri dengan angkuhnya. Dengan acuh tak acuh anak muda itu melihat Widura yang sedang sibuk itu. Sekali-sekali Sidanti itu memandang berkeliling lapangan dan melambaikan tangannya menyambut lambaian tangan anak-anak muda yang mengaguminya.

Agung Sedayupun kemudian memandang sekeliling lapangan. Orang-orang berjejal-jejal itu seperti sudah tidak sabar lagi menunggu. Beberapa orang yang sudah berteriak-teriak dan dengan tidak sabar mereka melambai-lambaikan tangan mereka. Ketika dilihatnya Sekar Mirah, maka dada Agung Sedayu itupun berdesir. Gadis itu tersenyum kepadanya. Senyum yang aneh “Ah” katanya dalam hati. “Baru tadi aku lihat ia tersenyum dan memuji-muji Sidanti”. Namun gadis itu mempunyai kesan yang aneh didalam hatinya. Tiba-tiba timbullah keinginannya agar Sekar Mirah itu selalu tersenyum kepadanya, tidak kepada Sidanti.

Sorak sorai ditepi lapangan, serta senyum Sekar Mirah itu agaknya berpengaruh juga dihati Agung Sedayu. Ternyata didalam hatinya yang kerdil itu tumbuh juga keinginannya untuk mempertahankan namanya.

“Sidanti itu pasti tidak akan mendendam” pikirnya “Ia seharusnya bersikap jujur. Kalah atau menang. Akupun demikian juga. Namun aku mengharap untuk memenangkan pertandingan ini. Seandainya, ya seandainya Sidanti itu marah kepadaku, biarlah paman Widura menyelesaikannya”

karena itulah maka kemudian Sedayu berketetapan hati untuk berbuat sebaik-baiknya. Akan ditandinginya apa saja yang akan dilakukan oleh Sidanti. “Tetapi seandainya aku mampu” desaknya didalam hati.

Widura masih sibuk berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung. Agaknya mereka belum menemukan cara yang paling baik untuk mengadakan pertandingan berikutnya.

Sidanti yang berdiri disamping Agung Sedayu itupun menjadi tidak sabar. Ia ingin segera mengakhiri pertandingan itu. Ia ingin segera mendengar orang-orang disekitar lapangan itu bertepuk gemuruh untuknya. Dan ia ingin anak-anak muda Sangkal Putung melambaikan tangannya kepadanya dan mengelu-elukannya, mengikutinya dibelakang sambil memujinya sampai dikademangan. Dan lebih dari itu, ia ingin Sekar Mirah itupun berjalan disampingnya sambil mengumpati Agung Sedayu yag ternyata tidak mampu melampaui kecakapannya.

Karena itu, maka anak muda yang sombong itu tiba-tiba betreriak “Kakang Widura. marilah kita akhiri pertandingan ini supaya kita tidak berlarut-larut, membidik sasaran yang terlalu baik seperti perlombaan anak-anak saja. Biarlah sekarang aku dapat menganjurkan cara yang baik”

Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru, dan orang-orang yang sedang sibuk berpikir itupun berpaling kepadanya. Dengan ragu-ragu Widura berkata “Apakah cara itu?”

Sekali Sidanti berpaling kepada Agung Sedayu, kemudian katanya “Namun terserah juga, apakah adi Sedayu sanggup melakukannya. Kalau tidak, biarlah aku mempertunjukkan permainan itu sendiri. Dengan demikian pemenang pertandingan ini segera dapat ditentukan”

“Ya” sahut Widura “Tetapi bagaimanakan cara itu?”

Sidanti tersenyum. jawabnya ”Agak sukar dimengerti. Tetapi aku pasti dapat melakukannya“. Sidanti itu berhenti sebentar. Sengaja ia membiarkan orang-orang yan gmendengar kata-katanya itu menjadi semakin bernafsu untuk mengetahuinya. Baru sesaat kemudian ia berkata “Cara yang pasti akan menarik perhatian”

“Ya” sahut Citra Gati tidak sabar “Jangan melingkar-lingkar. Sebutkan cara itu”

“Jangan tergesa-gesa kakang Citra Gati. Kau pasti akan keheranan. Melihatpun kau tak akan dapat mengerti, apalagi melakukannya”

Citra Gati tersinggung karenanya. Maka jawabnya lantang “Jangan sombong anak muda. Kau masih belum mampu mengalahkan Macan Kepatihan dipertempuran, dan melampaui lawanmu diarena pertandingan ini”

Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi dengan cepat Widura menengahinya “Nah baiklah. Marilah kita mulai. Aku setuju dengan cara apapun yang kehendaki, asal masih dalam batas kemungkinan dan tidak berbahaya. Kalau Sedayu tidak sanggup melakukannya, maka ia dapat dianggap kalah”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali ia tersenyum dan sekali lagi ia memandang wajah Agung Sedayu. Kini Agung Sedayulah yang menjadi acuh tak acuh. Apapun cara itu, ia akan menerimanya. Kalau masih mungkin dilakukan oleh Sidanti maka iapun akan mempunyai kemungkinan yang sama.

Citra Gati masih bersungut-sungut, bahkan katanya dalam hati “Widura terlalu memanjakannya, sehingga kepentingan kemenakannya sendiri sama sekali tidak diperhatikannya”

Dalam pada itu terdengarlah Sidanti berkata “kakang Widura, perintahlah salah seorang melepaskan anak panah menyilang lapangan ini melambung keudara. Nah, biarlah kami mencoba mengenainya”

Widura tertegun mendengar pendapat itu. Apalagi Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sesaat Citra Gatipun terbungkam, namun kemudian bergumam lirih “Aneh, benar-benar aneh”

Sidanti melihat orang-orang itu menjadi keheranan. Karena itu, maka ia menjadi semakin menengadahkan dadanya. Dengan lantang ia berkata “Marilah, sebelum senja. Supaya aku masih dapat melihat anak panah yang terbang diudara itu”

Widura tidak dapat berbuat lain dari menyetujuinya. Meskipun demikian sekilas ia menyambar wajah Agung Sedayu dengan pandangan matanya. Namun dilihatnya anak muda itu masih acuh tak acuh saja. Sehingga dengan demikian maka Widura itupun tidak berkata apapun kepadanya.

Sidanti yang melihat Agung Sedayu sama sekali tidak terperanjat mendengar usulnya itu, maka ialah yang menjadi heran. Apakah anak itu tidak mendengar, atau anak itupun akan acuh tak acuh terhadap pertandingan berikutnya. Dan teka-teki itu ternyata telah mendebarkan jantung Sidanti. Meskipun demikian, ia masih dapat berteriak nyaring didalam hatinya “Ayolah Agung Sedayu, yang merasa menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung, tandingilah Sidanti.”

Widura itupun kemudian mengumumkan cara yang akan ditempuh atas usul Sidanti. belum lagi mereka mulai dengan pertandingan itu, maka lapangan itu telah menjadi gempar. Para penonton yang keheran-heranan itu telah menyambut pengumuman Widura dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang bergelora.

Hudayalah yang mendapat tugas untuk melepaskan anak panah menyilang garis bidik Sidanti dan Agung Sedayu. Ia sendiri tidak dapat mengerti, bagaimana cara anak-anak muda itu akan membidikkan anak panahnya. Namun Hudaya itu bergumam pula didalam hatinya “Bukan suatu hal yang tak mungkin. Sebab laju anak panah itu dapat diperhitungkan”

Tetapi kemudian Swandarupun menjadi gelisah. Ialah yang pertama-tama berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa bukan Sidantilah pemanah terbaik di Sangkal Putung. Namun sekarang ia mendengar sendiri usul Sidanti itu. Memanah sebatang anak panah yang melaju diudara, tentu lebih sukar mengenai sasaran kepala orang-orangan itu. Karena itu ia masih belum dapat menebak, apakah Agung Sedayu dapat juga berbuat sebaik Sidanti. Kalau kemudian Agung Sedayu tak mampu menandingi Sidanti, maka iapun pasti akan mendapat banyak kesulitan. Agung Sedayu pasti akan marah padanya dan Sidanti akan semakin mentertawakannya.

Karena itu, maka Swandaru itupun mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak ditempatnya. Bisiknya perlahan-lahan “Bagaimanakah tuan, apakah tuan mungkin juga berbuat demikian?”

Agung Sedayu menggeleng lemah, jawabnya “Entahlah Swandaru”

Swandaru menjadi semakin gelisah. Dalam pada itu, Hudayapun telah siap pula. kini Widura sendirilah yang memegang bende untuk memberi tanda kepada Hudaya, kapan ia harus melepaskan anak panahnya.

Ketika kemudian Sidanti telah menganggukkan kepalanya, maka dibunyikahlah bende itu. Dan Hudaya menarik tali busurnya pula. sambil tersenyum ia membidik anak panah yang terbang itu. Orang-orang yang berjejal-jejal ditepi lapangan itu menjadi diam kaku seperti beratus-ratus patting yang berjajar-jajar. Semuanya memandang kearah anak panah Sidanti. Dan sesaat kemudian anak panah itu meloncat dari busurnya. Cepat, melampaui kecepatan anak panah Hudaya. Semua matapun kemudian seakan-akan terpancang pada anak panah itu. Wajah-wajah yang tegang dan hati yang tegang pula.

Yang terjadi kemudian, betapa lapangan itu menjadi menggelegar, seakan-akan seribu guntur meledak dilangit. Tepuk tangan sorai sorai dan bahkan diantara mereka melonjak-lonjak dan menari-nari. Anak-anak muda saling berteriak-teriak dan orang-orang tua mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Luar biasa. Luar biasa” desisnya.

Citra Gati menggigit bibirnya, sedang Hudaya menggaruk-garuk kepalanya. Widurapun sesaat terpaku diam ditempatnya. Semua mata melihat, anak panah Sidanti itu seakan-akan menyongsong anak panah Hudaya dalam garis silang. Dan pada suatu titik yang condong, anak panah Sidanti berhasil mengenai ekor anak panah Hudaya, sehingga kedua anak panah itupun kemudian terpelanting dan berubah arahnya masing-masing.

Ketika Sidanti berpaling kearah Sekar Mirah, dilihatnya gadis itu melonjak-lonjak sambil mengacung-acungkan tangannya. “Dahsyat” teriaknya. Sidanti tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dilambaikannya tangannya kepada orang-orang yang masih saja berteriak-teriak tak jemu-jemunya. Betapa mereka menjadi kagum. Seakan-akan mereka tak percaya, bahwa hal yang demikian dapat terjadi. Dua batang anak panah saling berkejaran diudara.

Tetapi ternyata hal itu telah terjadi dihadapan mata kepala mereka. Dan karena itu, maka merekapun menjadi takjub.

Gemuruh dilapangan itupun kemudian mereda, ketika mereka melihat Widura mengangkat tangannya. Kemudian dengan tangannya pula Widura memberi isyarat kepada Hudaya untuk bersiap-siap. Kini pertandingan itu sampai pada penentuan terakhir. Semua orang itupun kini terpaku memandang Agung Sedayu. Namun semua orang itupun telah menjadi ragu-ragu pula. Apakah Agung Sedayu juga dapat melakukannya?

Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu telah menjadi gemetar karenanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sidanti itu mampu berbuat demikian menakjubkannya. Dalam dada anak muda itupun kini menjalar kebimbangan yang semakin lama semakin tebal. Karena itu, maka tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir tak putus-putusnya.

“Apakah kau sudah siap Sedayu?” terdengar suara Widura perlahan-lahan. Terasa pula pada nada suaranya, keragu-raguan terhadap kemenakannya itu.

Agung Sedayu itupun mengangguk perlahan. Jawabnya “Sudah paman”

Widura memandang kemenakannya itu dengan seksama. Seakan-akan ia menyesal juga atas pertandingan yang dilakukan itu. Kalau Agung Sedayu gagal, maka jiwanya yang kerdil itu akan menjadi semakin kerdil. Ia akan menjadi semakin merasa dirinya tak berharga. Sedang Sidanti telah melakukan suatu permainan yang mengagumkan. Meskipun demikian, pertandingan itu harus dilangsungkan. Kalah atau menang. Sedayu harus menghadapinya dengan jujur.

Maka, setelah semuanya siap, dengan ragu-ragu Widura memukul bendenya sebagai pertanda bahwa Hudaya harus melepaskan satu anak panah lagi.

Perlahan-lahan Hudaya mengangkat busurnya. Semua mata seakan-akan melekat pada anak panah itu. Dan sesaat kemudian, anak panah Hudaya yang kedua lepas dari busurnya, melambung keudara seperti anak panahnya yang pertama.

Kini semua mata dengan cepatnya berpindah ketangan Agung Sedayu. Ternyata Agung Sedayu tidak membidik perlahan-lahan seperti Sidanti. Ia tidak menunggu anak panah Hudaya melampaui titik yang tegak lurus dihadapannya. Dengan tangkasnya ia menarik tali busurnya kuat-kuat, seakan-akan busur itu ingin dipatahkannya. Kemudian, semua orang menjadi tegang karenanya. Kini anak panah itu melontar dengan cepat, secepat petir menyambar dilangit. Para penonton tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk melihat anak panah itu. Namun yang terjadi kemudian telah memukau mereka. Bahkan karena itu, maka lapangan itu menjadi sunyi senyap. Seandainya sebatang jarum terjatuh, maka suaranya pasti akan mengejutkan seperti suara guruh. Yang terdengar kemudian adalah suatu derak diudara. Kemudian sepi kembali. Sesepi padang yang tak berpenghuni.

Beratus-ratus pasang mata tak sempat berkedip, sedang beratus-ratus mulut menjadi ternganga karenanya.

Seperti orang bermimpi mereka melihat anak panah Agung Sedayu secepat tati menyambar anak panah Hudaya tepat ditengah-tengah. Demikian kerasnya anak panah Agung Sedayu sehingga anak panah Hudaya menjadi retak ditengah-tengah, dan terlontar kesamping terbawa oleh anak panah Agung Sedayu.

Demikian kedua anak panah itu jatuh ditanah, maka semua orang yang terpukau itu seakan-akan terbangun dari mimpinya. Dengan serta-merta maka meledaklah sorak sorai mereka. Seperti gemuruhnya gunung runtuh menimpa ombak lautan yang dahsyat. Menggelegar beruntun susul menyusul. Tidak saja anak-anak, namun orang-orang dewasa, anak-anak muda Sangkal Putungpun berloncat-loncatan dilapangan itu. Menari-nari dan melemparkan apa saja keudara. Caping-caping mereka, ikat pinggang selebar telapak tangan, tongkat-tongkat dan bahkan terompah-terompah mereka.

Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu melihat pula benturan kedua anak panah itu. Terasa dadanya menjadi bergetar seakan-akan benturan anak panah itu terjadi didalam rongga dadanya. Ia melihat pula kedua anak panah itu jatuh ditanah. Dan dengan serta-merta, ia berlari sekencang-kencangnya, memungut kedua batang anak panah itu.

Sambil berlari-lari kembali anak yang gemuk itu berteriak-teriak sekeras-kerasnya seperti sedang mabuk tuak. Katanya “Lihat, lihat. Anak panah paman Hudaya dikenai ditengah-tengah sehingga menjadi retak karenanya”

Widurapun menjadi terpaku ditempatnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Bahkan kemudian mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam. Dari tempatnya berdiri, ditatapnya wajah Agung Sedayu. Dan seakan-akan terpancar dari wajah itu, bayangan wajah ayahnya. Ki Sadewa., ipar Widura itu. Wajah itupun tampaknya memancarkan kerendahan hati yang tulus. karena itu maka timbullah iba hatinya, kalau selama ini anak itu dibiarkannya kecemasan tentang nasibnya.dan tiba-tiba pula terpancarlah janji didalam hatinya “Kalau aku mampu, biarlah aku mencoba menjadikannya seorang anak muda yang berhati jantan. Kecakapannya bermain panah, ketrampilannya berolah pedang dan bahkan kekuatan-kekuatan jasmaniah yang tersimpan didalam tubuhnya, pasti akan memungkinkan anak itu melampaui anak-anak sebayanya, bahkan akan dapat melampaui diriku sendiri”

Yang benar-benar tak dapat menahan perasaannya adalah Sekar Mirah. Gadis itu benar-benar lupa akan dirinya. Seperti kuda yang lepas dari ikatannya ia berlari kencang-kencang kearah Agung Sedayu yang masih berdiri ditempatnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Terasa seseorang menangkap tangannya dan menariknya.

“Apakah yang akan kau lakukan?”

Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya ayahnya memandangnya dengan tajam. Dan Sekar Mirahpun menundukkan wajahnya. jawabnya “Tidak apa-apa ayah”

“Ingat Mirah” berkata ayahnya “Kau adalah seorang gadis”

“Aku tidak akan berbuat apa-apa ayah” sahut Sekar Mirah sekali lagi.

Ki Demang Sangkal Putung melepaskan tangannya sambil berkata “Jangan menodai namamu sendiri. Bersoraklah kalau kau mau bersorak. Berteriaklah kalau kau mau berteriak. Namun ditempatmu. Tak perlu kau pergi mendekat. Baik Sidanti maupun Agung Sedayu”

Sekar Mirah menggigit bibirnya. Namun dengan demikian ia mulai menyadari dirinya, bahwa ia kini berada ditengah-tengah ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan itu. Karena itu, ia harus lebih hati-hati membawa diri. Meskipun demikian ia berkata juga “Ayah, aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kemenangan Agung Sedayu.”

“Siapa bilang ia menang?” semuanya yang mendengar pertanyaan itu menjadi terkejut, sehingga serentak mereka berpaling. Ternyata mereka melihat Sidanti dengan wajah yang merah membara. Dengan tajamnya ia memandang Sekar Mirah yang masih berdiri disamping ayahnya. Agaknya Sidanti telah mendengar Sekar Mirah memuji Agung Sedayu dengan kemenangannya.

Ketika Sekar Mirah melihat wajah Sidanti itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Namun ia merasa berhak berbuat apapun sekehendaknya. karena itu, maka ia tidak mau dibentak-bentak oleh Sidanti.

Tetapi sebelum ia menjawab, terasa ayahnya menggamitnya sambil berbisik “Diamkan anak itu”

Sekar Mirah memandangi wajah ayahnya dengan kecewa. Tetapi ia tidak berani melanggarnya. Namun ternyata terdengar jawab dari arah lain “Bukankah sudah, ternyata bahwa bidikan Agung Sedayu lebih baik dari bidikanmu”

Warna merah di wajah Sidanti menjadi semakin menyala. Apalagi ketika ia menyadari bahwa suara itu suara Swandaru. demikian marahnya Sidanti sehingga untuk sesaat ia bahkan menjadi terbungkam. Namun tubuh dan dadanya menjadi bergetar.

Agung Sedayu yang melihat wajah Sidanti itupun tiba-tiba menjadi cemas pula. apakah anak itu akan menjadi marah? Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Widura menjadi cemas. karena itu segera wajah melangkah maju. Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak diantara sorak para penonton yang masih saja menggema, katanya “Pertandingan sudah selesai. Kedua-duanya berhasil mengenai panah-panah yang masih berada diudara. karena itu maka kedua-duanya memiliki kecakapan membidik yang sama. Dengan demikian dalam pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah”

Mendengar keputusan itu, sorak para penonton justru menjadi diam. Mereka merasa aneh atas keputusan itu. Meskipun benar, kedua-duanya dapat mengenai sasarannya, namun terasa bidikan Agung Sedayu lebih tepat dari bidikan Sidanti. karena itu menurut mereka Agung Sedayu dapat dianggap memenangkan pertandingan ini. Bahkan hampir bersamaan Hudaya, Citra Gati, Sendawa meloncat masuk kelapangan. Yang mula-mula berkata adalah Citra Gati “Apakah menilaian ini cukup adil?”

Widura mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan itu adalah wajar dan bahkan didalam dirinya sendiri, timbul pula pertanyaan semacam itu.

Namun demikian, tebaran pandangan Widura tidak saja terbatas ditengah-tengah lapangan dan membiarkan perasaannya berbicara. Pandangannya telah jauh melampaui batas-batas yang dapat dilihatnya ditempat yang sempit itu. Dilihatnya disuatu tempat Tohpati telah mulai menyusun kekuatannya, dan ditempat lain Ki Tambak Wedi seakan-akan selalu mengintipnya. karena itu, ia dengan pertimbangan yang masak ia menjawab “Kita tidak menentukan, bagian manakah yang harus dikenai oleh pemanah-pemanahnya. Kita hanya melepaskan anak panah keudara. Nah, salah seorang dari para pemanah itu membidik ekornya, yang lain membidik tepat ditengah-tengah. Dan keduanya mengenai tepat diarah yang dikehendakinya. Bukankah dengan demikian kedua-duanya telah berhasil?”

Hudaya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjawab “Kami menjadi saksi. Perasaan kami, aku dan para penonton, mengatakan bahwa Agung Sedayu lebih baik dari Sidanti.”

Widura mengerutkan keningnya. Ia benar-benar berada ditempat yang sulit. Ia tidak mau melepaskan Sidanti. Tetapi Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan beberapa orang itu adalah orang-orang yang menpunyai pengaruh yang kuat diantara laskarnya. Sudah tentu ia tidak dapat bekerja berdua saja dengan Sidanti, atau dengan satu dua orang yang lain.

Sementara itu, sementara Widura sedang sibuk berpikir untuk memecahkan persoalan yang sulit itu, terdengar suara Sidanti parau “Kakang Widura, pertandingan dapat diulangi. Kita harus sampai pada penentuan, siapakah yang menang dan yang kalah. Kita tidak boleh menjadi orang-orang banci”

“Bagus” teriak Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan orang-orang lain “Ulangi” teriak mereka.

Widura benar-benar menjadi pening. Namun ia harus mempunyai sikap. Maka katanya “Tidak. Pertandingan sudah selesai. Tak ada gunanya kita ulangi. Aku sudah tahu pasti. Hasilnya akan sama saja. Keduanya akan mendapat nilai yang sama”

“Tidak” teriak Sidanti. “Aku menuntut perlakuan yang adil. Tidak ada yang menentukan arah bidikan pada panah yang dilepaskan oleh kakang Hudaya. Tetapi meskipun aku mengenai tempat yang aku kehendaki, namun orang-orang menganggap bidikan adi Sedayu lebih tepat. Aku ingin menghilangkan kesan itu”

Widura menggeleng. “Sudah aku katakan. Aku akan menyelenggarakannya lain kali”

“Sekarang” teriak Sidanti pula.

Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang. Beberapa langkah Sidanti maju mendekati Widura dengan wajah yang merah menyala. Sedang dari arah lain, Citra Gati, Hudaya, Sendawa, Sonya, dan beberapa orang lagipun maju pula. wajah mereka tidak kalah tegangnya dengan wajah Widura sendiri.

Sesaat Agung Sedayu menjadi bingung melihat perkembangan keadaan. Ia melihat Sidanti menjadi marah, dan dilihatnya pula Hudaya dan kawan-kawannyapun menjadi tegang. Sehingga setiap kemungkinan akan dapat terjadi. karena itu maka tiba-tiba berkata “Paman, seandainya pertandingan ini diadakan lagi, maka aku tidak akan dapat mengikutinya”

Kata-kata itu seolah-olah merupakan penggerak yang menggerakkan setiap kepala untuk berpaling kearahnya. Sidantipun memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Dan bahkan Citra Gati yang tidak dapat menahan perasaannya berteriak “Kenapa?”

Sedayu menjadi berdebar-debar. Jawabnya “Aku tidak dapat melakukan permainan yang lebih baik. Seandainya kakang Sidanti mempunyai cara yang lain, maka pasti aku tidak dapat mengikutinya. Aku sudah sampai pada puncak kecakapan yang ada padaku”

“Bohong” teriak Sidanti dan Hudaya hampir bersamaan, meskipun maksudnya berbeda-beda, sehingga keduanya menjadi terkejut karenanya. Namun yang meneruskan kata-katanya hanyalah Sidanti “Kau hanya akan mempertahankan keadaan serupa ini. Dimana orang-orang mempunyai kesan bahwa kau adalah pemanah yang lebih baik daripadaku”

Agung Sedayu menjadi bingung. karena itu ia tidak menjawab. sehingga yang menjawab kemudian adalah Widura “Sedayu berkata benar. Kalau Sidanti masih mungkin melakukan permainan yang lebih baik lagi, maka Sedayu akan kalah”

“Tidak adil” teriak Citra Gati.

“Tidak adil” teriak Sidanti “Kesan orang-orang akan menjadi semakin menguntungkannya. Seolah-olah ia sekedar mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku. Tidak. Bukan perlakuan jantan bagi Sidanti. Sidanti tidak sekedar ingin mendapat perlakuan yang cengeng Sidanti adalah seorang anak muda yang jantan”

Kata-kata itu benar-benar berkesan bagi Widura. bahkan Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lainpun terdiam pula karenanya. Betapapun mereka harus mengakui kelebihan Sidanti daripada mereka, meskipun apabila mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang memaksa, mereka tidak takut pula melawan Sidanti.

Lapangan itu tiba-tiba menjadi hening. Dengan hati yang semakin tegang, mereka, para penonton itu melihat keadaan yang semakin tegang pula. Beberapa orang laki-laki telah mendekat mereka. Dan membentuk sebuah gelang memagari mereka yang sedang bertengkar. Yang berkata kemudian adalah Widura tegas “Tak akan ada pertandingan lagi”

“Ada” sahut Sidanti.

Sekali lagi Widura menjawab lebih keras “Tidak!”

Tetapi tiba-tiba hati Widura itu berdesir. Ditengah-tengah lingkaran orang-orang yang melihat keributan itu, tiba-tiba terjatuh sebuah benda yang benar-benar mengejutkannya. Sepotong besi yang lengkung hampir berbentuk lingkaran. “Setan” Widura mengumpat didalam hati. “Ki Tambak Wedi itu ada pula disini”

Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya anak muda itu tersenyum. senyum yang sangat menyakitkan hati. Sementara itu beberapa orang menjadi heran juga. Namun tak seorangpun diantara mereka yang melihat, siapakah yang telah melemparkan sepotong besi ditengah-tengah mereka. Meskipun demikian, beberapa orang menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak tahu arti sepotong besi itu selain Widura, namun mereka merasakan sesuatu yang tidak wajar.

Ternyata benda itu sangat berpengaruh bagi Widura. ia tidak tahu pasti maksud Ki Tambak Wedi, namun ia dapat menduga bahwa Ki Tambak Wedi telah memperkuat pendapat muridnya. Dengan demikian maka Widura itu berpikir dan berpikir sehingga kepalanya hampir meledak karenanya. Ditinjaunya segenap segi-segi. Kalau ia mengadakan pertandingan sekali lagi maka persoalannya tidak akan terpecahkan. Apalagi Sidanti merasa bahwa ada semacam perlakuan yang tidak wajar terhadapnya. Menang atau kalah, Sidanti pasti akan kecewa. Kalau ia kalah, maka darahnya pasti akan semakin menyala, tetapi kalau ia kalah, maka ia akan menyangka bahwa Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi ternyata guru Sidanti itu telah ikut campur pula. bagi Widura yang sebaik-baiknya adalah bubar. Pulang ke kademangan. Namun Sidanti menolak dan gurunya memperkuat. Sehingga untuk menjaga ketenangan kademangan, apakah ia harus memenuhi permintaan Sidanti yang juga merupakan permintaraan dari Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain, meskipun dalam perhitungan yang berlawanan?

Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia hanyut oleh kehendak orang-orang yang sedang kehilangan kejernihan pikiran itu. Hampir ia kehilangan ketetapan hati sebagai seorang pemimpin.

Dalam keadaan yang demikian itu, ketika dada Widura sedang bergetar karena benturan-benturan pertimbangannya, maka sekali lagi orang-orang yang berdiri melingkar itu terkejut. Kali ini mereka melihat sebuah cemeti kuda melenting dan jatuh hampir menimpa Widura. Widurapun terkejut pula karenanya. Tetapi tiba-tiba jantungnya serasa berhenti. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Namun yang dilihatnya adalah wajah-wajah yang tegang dan penuh kecemasan. Widura tidak berhasil melihat seseorang yang dicarinya. Ia tidak berhasil menemukan orang yang dapat disangkanya Kiai Gringsing. Namun ia pasti, bahwa orang aneh itu hadir pula ditengah-tengah lapangan. Cemeti kuda itu telah memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu ada didekatnya.

Dengan demikian, maka pertimbangan-pertimbangan Widura yang hampir condong dan roboh sama sekali itu itu, seakan-akan menemukan kekuatannya yang baru. Ia tahu benar maksud Kiai Gringsing itu. Dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak hanya sekedar mengganggunya seperti biasanya. Dengan cemetinya itu Kiai Gringsing pasti ingin berkata kepadanya “Jangan hiraukan orang yang bergelang besi itu, biarlah ia menjadi urusanku”

Dan kini sekali lagi Widura mengangkat wajahnya. ia melihat Sidanti keheran-heranan melihat cemeti itu. Juga Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain. Namun ketika ia memandang Agung Sedayu dilihatnya wajah Agung Sedayu tidak lagi sepucat tadi. Agaknya Agung Sedayupun mengenal cemeti itu pula. dan tanpa disengaja, hatinya menjadi tenang. Kiai Gringsing yang belum dikenalnya baik-baik itu, telah mencengkam kepercayaannya, sehingga seakan-akan orang aneh itu dapat dipakainya sebagai sandaran apabila terjadi sesuatu.

Ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Widura tegas dan lantang “Tidak ada apa-apa lagi. Itulah keputusanku!”

Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa dadanya dibakar oleh kemarahan. Dengan demikian, maka setiap orang di Sangkal Putung dan setiap orang yang melihat pertandingan itu, termasuk kawan-kawannya sendiri, akan tetap berkesan bahwa Agung Sedayu telah mengalahkannya.

karena itu maka sekali lagi ia mencoba memaksakan kehendaknya, katanya “Kakang Widura, aku minta pertandingan diadakan lagi”

Widura menggeleng, namun sebelum ia menjawab terdengarlah Citra Gati berkata “Apakah keberatannya kakang. Marilah kita melihat keadaan dengan jujur. Siapa yang kalah biarlah ia kalah dan siapa yang menang biarlah ia menang. Setan atau malaikat. Dengan demikian kita melihat kenyataan dengan pasti”

Widura mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia memandang Citra Gati. Jawabnya “Apakah tujuan kita berada di Sangkal Putung ini? Apakah kita hanya sekedar ingin mengetahui siapakah diantara kita yang paling sakti dan paling cakap? Bahkan apakah cukup apabila kita menemukan siapakah diantara kita yang paling benar dan paling jujur? Sedang tujuan pokok dari perjuangan kita tidak selesai. Ayo, katakan kepadaku, apakah dengan saling ribut diantara kita, Tohpati dapat terselesaikan. Sisa-sisa laskar Jipang akan dapat kita batasi kegiatannya, atau bahkan kita hancurkan. Sekarang katakan padaku, apakah tujuan pertandingan ulangan ini jujur pula, sekedar untuk mendapatkan pemenangnya dengan kukur? Atau karena keinginan kita sekalian untuk menunjuk kelemahan orang lain dan menghinakannya?”

Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung Citra Gati. Sehingga orang itupun kemudian menundukkan wajahnya. demikian juga Hudaya, Sendawa yang bertubuh raksasa dan Sonya yang kecil serta beberapa orang lainnya. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Widura itu. Sebenarnyalah bahwa pertandingan ulangan itupun tidak dilakukan dengan tujuan jujur. karena itu, maka merekapun menjadi terdiam karenanya.

Tetapi ternyata kata-kata itu tanpa disengaja telah menjadikan Sidanti makin marah. Ia merasa bahwa didalam kata-kata itu tersembunyi pengertian-pengertian yang seakan-akan memastikan bahwa Agung Sedayu akan dapat memenangkannya pula. lebih-lebih menurut anggapan Citra Gati. karena itu, Sidanti tidak mau diam. Apalagi ketika diingatnya bahwa gurunya ada pula dtempat itu. Katanya “Kenapa kakang Widura takut melihat kenyataan seandainya adi Sedayu itu tak mampu menandingi kecakapanku?”

Sekali lagi dada Widura berdesir. Namun ia harus menahan diri. Ia tidak boleh hanyut dalam arus perasaannya, supaya anak buahnya tidak menjadi berantakan karenanya. Tetapi sebelum ia menjawab tiba-tiba meloncatlah seorang gadis yang telah kehilangan pengamatan diri. Digoncang-goncangnya tubuh Agung Sedayu sambil berteriak “Kenapa tuan diam saja? Kenapa tuan tidak menyanggupinya dan membuktikannya bahwa tuan dapat memenangkannya?”

Bukan main terkejutnya Widura dan Agung Sedayu sendiri. Tetapi Hudaya, Citra Gati dan Sendawa sama sekali tidak terkejut. Sejak tadi mereka melihat gadis itu menjadi gelisah. Sekali-sekali ia maju, namun kemudian mundur kembali. Mereka melihat gadis itu meremas-remas tangannya sendiri dan bahkan menghentak-hentakkan kakinya. Tetapi yang terkejut sekali adalah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan cepatnya ia meloncat dan menarik anaknya itu ketepi. Dengan marahnya ia membentak “Mirah, apakah kau sudah menjadi gila?”

Sekar Mirah, gadis yang selalu hanyut menurut arus perasaannya itupun terkejut pula. karena itu ia menyesal, namun hal itu telah terlanjur dilakukannya. Ketika ia mencoba melihat wajah-wajah disekitarnya, maka seakan-akan mereka itu memandangnya dengan heran, sehingga kemudian Sekar Mirah itupun menundukkan wajahnya.

Tetapi apa yang dilakukan Sekar Mirah itu ternyata seakan-akan minyak yang ditumpahkan kedalam api yang menyala didada Sidanti. Gadis itu benar-benar telah menggelapkan matanya. Gadis yang selalu mengganggu perasaannya itu. karena itu tiba-tiba ia berteriak “Aku akan melangsungkan pertandingan. Disetujui atau tidak disetujui. Tidak ada sasaran yang lebih baik yang harus kita kenai. Ayo Sedayu bersiaplah. Sasaran itu adalah kita masing-masing!”

Kata-kata Sidanti itu seperti guruh yang menyambar setiap telinga yang mendengarnya. Kata-kata itu jelas mereka mengerti maksudnya. Bukankah dengan demikian Sidanti telah menjerumuskan dirinya dalam suatu perang tanding dengan senjata panah?

Belum lagi gema kata-kata itu lenyap, terdengar Sidanti itu berkata pula “Kita tentukan cara-cara menurut kehendak kita sendiri. Jangan hiraukan orang lain kalau kau jantan. Kita berdiri beradu pungung. Kita melangkah maju masing-masing sepuluh langkah. Kemudian siapakah diantara kita yang paling cepat memutar tubuh kita, membidikkan anak panah dan mengenai kepala lawan, itulah yang menang. Kita akan tahu dengan pasti, siapakah yang lebih baik diantara kita. Sebab yang kalah dapat segera ditandai, mati”

Denyut nadi Sedayu terasa berhenti karenanya. Tantangan itu tak disangka-sangkanya. karena itu betapa tiba-tiba terasa lututnya menjadi gemetar. Mati. Kata-kata itu sangat menakutkannya. Ia tidak pernah berpikir untuk dibunuh atau membunuh. Apalagi dalam keadaan serupa itu.

Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayupun jadi tergetar karenanya. Disadarilah kini, betapa jauh akibat yang sudah terjadi akibat kelancangannya. Kalau terjadi sesuatu atas mereka, apakah ia Agung Sedayu ataupun Sidanti, maka itu benar-benar akan merugikan Sangkal Putung. Sidanti telah berhasil menyelamatkan hidupnya pada saat ia melawan Tohpati, dan Sedayupun selamat pula meskipun ia berpapasan dengan pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda berempat. Dan sekarang, salah seorang dari mereka harus mati karena tangan keluarga sendiri. Dengan demikian maka Swandaru itupun menyesal tak habis-habinya. Tetapi ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus memperbaiki kesalahannya. Apalagi sekali-sekali ia melihat ayahnya memandanginya dengan penuh penyesalan pula.

Widura masih tegak seperti patung. Kata-kata Sidanti itu, tak disangka-sangkanya. Juga Hudaya, Citra Gati dan kawan-kawannyapun tidak menyangka. Namun Widura memakluminya, bahwa Sekar Mirahlah sebab langsung dari keputusan Sidanti itu.

Ketika Widura itu memandang Agung Sedayu, ia melihat anak itu gemetar. Beberapa orang lainpun melihat pula. namun mereka mempunyai sangkaan lain. Seperti Sidanti yang gemetar karena marah, maka merekapun menyangka bahwa Agung Sedayu menjadi marah pula. namun kemarahannya itu ditahannya, karena anak muda yang patuh itu takut benar kepada pamannya. Dengan demikian maka semua mata kini memandang kepada Widura, seakan-akan semua menunggu keputusan apakah yang akan diambilnya.

Tetapi kepala Widura itu benar-benar akan pecah karenanya. Ia kini tidak tahu, bagaimana ia akan mengatasinya. Apakah ia sendiri harus mengambil keputusan yang dapat berakibat dirinya sendiri yang harus berkelahi seperti beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata pula terdengar Sidanti berkata “Kali ini aku tidak mau dihalang-halangi. Siapapun yang mencoba mencegahnya, orang itulah yang akan menjadi lawanku. Sekarang atau kapanpun”

Lapangan itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Tak seorangpun yang berani berkata sepatah katapun. Mereka melihat wajah-wajah yang kaku. Widura, Hudaya, Citra Gati, Agung Sedayu. Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung. Sekar Mirah dan Sidanti sendiri. Bahkan wajah Sidanti itu kini benar-benar telah menjadi merah biru.

Widura yang tahu benar perasaan Agung Sedayu, menjadi semakin bingung. Kalau saja anak itu berani dan menghadapinya dengan tatag, maka ia yakin bahwa Sidanti tak akan dapat mendahuluinya. Widura itu yakin benar, bahwa anak-anak Ki Sadewa telah mewarisi keahliannya dalam berbagai senjata bidik. Tetapi hati Agung Sedayu adalah hati yang kerdil. Meskipun demikian, apabila keadaan memaksa ia harus membesarkan hati anak itu. Ia harus mencoba meyakinkah bahwa ia akan menang. Dan keputusan itu akhirnya menjadi bulat didada Widura. Ia tidak melihat persoalan lain lagi. Namun ia hanya ingin merubah tata cara pertandingan itu. Tidak sampai mati. Dan yang harus dikenai bukanlah tempat-tempat yang berbahaya. Namun apakah Sidanti yang menjadi seolah-olah gila itu mau menerimanya dan apakah meskipun sudah diperlunak itu Agung Sedayu berani menghadapinya.

Dada Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Sidanti berteriak “Minggir. Pertandingan akan dimulai”

Ketika semua orang menyibak, maka Agung Sedayu menjadi semakin takut. Dipandangnya wajah pamannya, dan hampir-hampir ia berteriak memanggilnya. Hampir ia kehilangan rasa malunya untuk sedikit saja mepertahankan namanya yang selama ini menjadi semakin dikagumi.

Lingkaran yang mengitari mereka yang sedang dibakar oleh ketegangan itu, semakin lama menjadi semakin luas. Sementara itu Sidanti sudah bergerak setapak maju. Namun Widura dengan wajah yang tegang kaku masih berdiri ditempatnya. Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya wajah itu telah benar-benar menjadi sedemikian liarnya. Dalam pada itu, Widurapun menyadari, bahwa Sidanti benar-benar tak akan dapat diajak berbicara. Kehadiran gurunya agaknya berpengaruh juga kepadanya. Sebab dengan demikian ia menyangka, bahwa apa yang dikehendakinya pasti akan terpenuhi.

Tetapi Widura itupun memperhitungkan kehadiran Kiai Gringsing. Ia tidak tahu pasti, apakah Kiai Gringsing akan dapat mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi apabila diperlukan. Namun ia pernah melihat, tangan Kiai Gringsing itu mampu meluruskan kembali sepotong besi yang melengkung karena tangan Ki Tambak Wedi, sehingga untuk sementara, maka ia dapat mengabaikan kehadiran guru Sidanti. Biarlah Kiai Gringsing mengurusnya.

Ketika keadaan semakin meningkat, maka Widura tidak dapat tetap berdiam diri ditempatnya. Ia harus berbuat sesuatu. Kalau mungkin mengurungkannya. Kalau tidak, apapun yang dapat mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan.

karena itu, maka dengan lantang ia berkata “Bagus, pertandingan akan segera dimulai. Tetapi kita belum menentukan peraturannya”

“Aku tidak memerlukannya” teriak Sidanti. Aku sudah menetapkan peraturan itu”

“Apakah hakmu?”bertanya Widura.

“Akulah yang berkepentingan” jawab Sidanti.

“Aku yang berkuasa disini” sahut Widura tidak kalah lantangnya “Aku akan membuat peraturan”

“Tidak” jawab Sidanti pula “Apapun yang akan kau lakukan, aku tetap pada pendirianku. Aku akan membidik jantung Agung Sedayu dan membunuhnya. Meskipun Agung Sedayu tidak melawan”

Dada Widura kini telah bergetar semakin cepat. Sedemikian peningnya kepalanya, sehingga ia hampir muntah karenanya. Kini ternyata Sidanti tak dapat diajaknya berbicara. karena itu maka ia harus berbuat sesuatu. Adalah tidak adil apabila dibiarkannya Agung Sedayu mati ketakutan.

“Apakah kau sudah tetap pada pendirianmu?” bertanya Widura kepada Sidanti.

“Jangan hiraukan aku” kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Aku akan berdiri dibelakangmu beradu punggung. Aku mengharap seseorang menghitung sampai hitungan yang kesepuluh. Nah, kemudian kau atau aku yang akan mati”

Widura telah benar-benar kehilangan kesempatan. Maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali mencoba menyelamatkan Agung Sedayu. karena itu dengan langkah yang panjang ia berjalan disamping Agung Sedayu. Widura itupun berhenti sesaat. Ditatapknya wajah kemenakannya itu dengan penuh iba. Namun dari mulutnya meluncurlah kata-katanya perlahan sekali “Matilah kau pengecut. Apapun yang akan kau lakukan, kau pasti akan mati dilapangan ini. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan. Melawan. Mendahuluinya, membidik dadanya, atau kepalanya atau bahu kanannya. Kalau kau tak sampai hati untuk membunuh, maka yang dapat kau kenai adalah tangannya yang memegang busur itu. Secepatnya, sebelum panahnya menembus otakmu. Kalau kau tak mampu melakukannya, maka otakmulah yang akan dirobeknya dengan anak panahnya, dan jangan mencoba menyebut nama Ki Sadewa. Itu hanya akan menodai nama kakak iparku. Hanya mulut yang jantan sajalah yang pantas menyebut namanya”

Mendengar kata-kata pamannya, dada Agung Sedayu yang sudah gemetar menjadi semakin gemetar. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh dikepalanya. Ia akan mati. Dan sebenarnya ia takut sekali kepada mati itu. Sedang kini, tanpa diduganya ia dihadapkan pada kekuasaan maut. Namun pamannya itu berkata “Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan”

Kata-kata itu melingkar-lingkar saja didalam benaknya. Betapa ia takut menghadapi lawannya, namun betapa ia lebih takut lagi kepada maut. karena itu maka tiba-tiba ia dahadapkan pada dua pilihan. Mati atau melawan.

Tubuh Agung Sedayu masih bergetar. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. dipandangnya wajah Sidanti yang menyala. Sesaat getar didadanya menjadi bertambah cepat. Namun ketakutannya kepada maut itu telah semakin mendesaknya. Ia tidak mau mati, apalagi ditengah-tengah lapangan dihadapan beratus-ratus orang, dan diantaranya adalah Sekar Mirah. Terasa sesuatu bergolak didadanya. Dan karena itulah maka tubuhnya menjadi semakin bergetar. Namun kini ia menemukan suatu sikap untuk menyelamatkan dirinya. Dan jalan satu-satunya adalah melawan. Tak ada jalan lain. Kalau ia masih mungkin melarikan dirinya, maka ia akan lari dan bersembunyi.

Namun ia tahu pasti, demikian ia melangkah, maka anak panah Sidanti pasti akan hinggap dipunggungnya. karena itu Agung Sedayu tidak berani melarikan diri.

Sedayupun terkejut ketika terdengar suara Sidanti menggelegar ditelinganya “Ayo Sedayu. Siapkan busurmu”

Sedayu mengangkat wajahnya. dan tiba-tiba terdengar ia berkata dengan suaranya yang bergetar “Swandaru, berilah aku anak panah”

Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Dan keteganganpun menjadi semakin memuncak. Mereka segera akan menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak muda yang mereka angap memiliki kekuatan-kekuatan diluar kekuatan kebanyakan orang, sehingga dengan demikian maka perang tanding ini pasti akan menjadi sangat dahsyatnya.

Widurapun terkejut mendengar jawaban Sedayu. Namun tiba-tiba dadanyapun bergelora. Ia menjadi terharu melihat Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya.

Tetapi meskipun demikian, perasaan khawatir merayap-rayap didalam dada Widura. meskipun Agung Sedayu kemudian berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun betapapun juga, hatinya yang kerdil pasti masih akan mengganggunya. Dengan demikian, Widura kembali menjadi ragu-ragu apakah Agung Sedayu akan berhasil menyelamatkan dirinya. Tetapi seandainya terjadi sesuatu, maka lebih baik apabila Agung Sedayu itu menghadapinya secara jantan daripada mati seperti kelinci betina.

Swandarupun dengan tangan yang gemetar pula menyerahkan sebatang anak panah kepada Agung Sedayu. Betapa ia menyesal. Namun semuanya telah terjadi, dan kini ia tinggal menunggu akibat dari perbuatannya.

Sementara itu Sidantipun telah memegang sebatang anak panah pula. kini ia maju lagi beberapa langkah. Kemudian ia berkata dengan lantang “Siapakah yang akan mengucapkan hitungan sampai sepuluh?”

Lapangan itu menjadi hening seketika. Tak seorangpun yang menjawab. karena itu Sidanti mengulangi lebih keras lagi “Ayo, siapakah yang akan mengucapkan hitungan?”

Kembali lapangan itu tenggelam dalam kesepian. Gema suara Sidanti itupun kemudian lenyap pula. sehingga dengan demikian Sidanti menjadi semakin marah karenanya. Ia merasa seakan-akan semua orang dilapangan itu sama sekali tidak menghargainya. Karena itu tiba-tiba ia berkata “Ayo adi Sedayu. Suapaya aku tidak disangka curang, kaulah yang mengucapkan hitungan itu”

Agung Sedayu tidak dapat menjawab kata-kata itu. Ia sedang sibuk berjuang melawan perasaannya sendiri yang saling berbenturan. Namun Sidanti tidak menunggu Agung Sedayu menjawab. ia langsung berjalan mendekati anak muda itu dan berdiri dibelakangnya beradu punggung.

Sementara itu, sepasang mata yang tajam diatara para penonton, memperhatikan perkembangan keadaan dengan seksama. Ia tersenyum ketika melihat Sedayu menerima sebatang anak panah dari Swandaru. ia tersenyum pula ketika melihat Sedayu menempatkan anak panah ditali busurnya. Namun meskipun demikian, orang yang bermata tajam itu dapat menilai apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu itu berhati jantan, maka kekalahannya tak usah dikhawatirkan. Namun didalam dada orang itu bergolaklah perasaan seperti perasaan yang tersimpan didalam dada Widura. dan karena itu pula ia menjadi cemas akan nasib anak muda itu.

Dalam pada itu, Sidanti sudah tidak sabar lagi. Ia sudah berdiri tegak dibelakang Agung Sedayu beradu punggung. Namun Agung Sedayu masih belum mulai dengan hitungannya. Sehingga Sidanti sekali lagi berteriak “Mulailah adi Sedayu. Kalau tidak akulah yang akan menghitung, dan aku akan melangkah menurut irama hitungan itu. Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan, namun sesudah hitungan kesepuluh aku akan melepaskan anak panahku ini”

Debar didada Agung Sedayu menjadi semakin cepat dan cepat saja. Sedang mulutnya masih saja terbungkam. Ia sengaja tidak mau mulai dengan mengucapkan hitungan. Dibiarkannya Sidanti menghitungnya. Ia ingin dapat memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk menindas perasaannya. Perasaan yang selalu mengganggunya. Bahkan kemudian dicobanya untuk membulatkan tekadnya. “Kalau aku ingin menghindari kematian, aku harus melawan. Menghentikan sumber gerak dari terkaman kematian itu.”

Ssidanti kemudian benar-benar tidak sabar lagi. Apalagi ketika dilihatnya matahari telah semakin rendah diatas cakrawala. Dengan agak silau Sidanti memandang punggung-punggung bukit disebelah barat, sebagaimana ia menghadap. Kemudian katanya “Lihat, matahari hampir terbenam.”

Tetapi Agung Sedayu masih berdiam diri, sehingga Sidanti yang telah kehabisan kesabaran itu berteriak “Aku akan mulai dengan hitungan itu.”

Anak muda yang sedang dibakar oleh nyala kemarahan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Maka terdengarlah suaranya lantang “Satu” kemudian “Dua” dan sejalan dengan itu, kakinyapun terayun maju, selangkah demi selangkah. Pada saat yang bersamaan Agung Sedayupun bergerak pula, setapak demi setapak.

Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah tawa yang lunak bergetar diantara para penonton yang berjejalan itu. Meskipun demikian suara itu telah mengejutkan setiap orang yang berdiri dilapangan. Apalagi ketika diantara derai tertawanya terdengar kata-katanya “Sidanti, ternyata kau curang.”

Langkah dan hitungan Sidantipun terhenti pula. Mendengar kata-kata itu nyala didalam dadanya serasa tersiram minyak. Dengan serta-merta ia berpaling sambil berteriak “tidak. Aku tidak curang” namun Sidanti tidak segera dapat melihat orang itu. Orang yang telah mentertawakannya.

Sementara itu terdengar orang itu berkata pula “Kenapa kau memilih arah itu? Bukankah dengan demikian kau mengharap, bahwa apabila hitunganmu telah sampai hitungan ke sepuluh, dan Agung Sedayu itupun berbalik maka sinar matahari yang silau ini akan melindungimu”

“Gila” teriak Sidanti “Siapakah kau?” Sidanti benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. Memang, keadaan itupun mendapat perhatiannya pula, dan bahkan diperhitungkannya. Tetapi ketika seseorang menebak dengan tepat, maka kemarahannya menjadi semakin menggelegak.

Bukan saja Sidanti namun Agung Sedayu, Widura, dan bahkan setiap orang menjadi sibuk mencari orang yang berkata demikian itu. Setiap orang dengan menegakkan lehernya memandang kesatu arah, ketempat orang yang telah menghentikan perang tanding yang mendebarkan itu.

Dan akhirnya mereka melihat juga. Melihat orang yang berbicara itu sedang berjalan menyibak orang-orang yang berdiri berjejalan dihadapannya.

Kata-kata orang yang belum diketahui itupun merupakan sebuah singgungan pada perasaan Widura. Kenapa ia tidak melihat ketidakadilan itu? Baru kemudian ia menyadari, bahwa alangkah berbahayanya seandainya pertandingan itu berlangsung. Demikian Agung Sedayu memutar tubuhnya, maka segera ia akan segera menjadi silau karena matahari sudah sedemikian rendahnya. Ternyata kemudian orang lainlah yang memberi peringatan akan hal itu. Bukan dirinya pemimpin laskar Pajang yang bertanggung jawab di Sangkal Putung.

Karena itu Widurapun segera ingin tahu, siapakah orang itu. Dan orang itupun datanglah kepadanya. Semakin lama menjadi semakin dekat menyusup diantara penonton yang sengaja memberi jalan, sehingga akhirnya, muncullah orang itu ditengah-tengah lingkaran.

Demikian yang muncul dari antara para penonton, maka berdesirlah dada Widura. Betapa ia terkejut melihat kehadirannya. Seorang anak muda yang sebaya dengan Sidanti. Bertubuh kekar padat berwajah tenang dan terang. Dengan sebuah senyum yang segar anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tetapi sebelum Widura sempat berkata sesuatu karena getar dadanya, terdengar Agung Sedayu seakan-akan menjerit tinggi “Kakang. Kakang Untara. Kaukah itu?”

Untara, ia sebenarnyalah anak muda itu Untara, berpaling kepada adiknya. Kini ia tertawa. Suara tertawanya masih selunak seperti suaranya yang pertama-tama diperdengarkan. Kemudian terdengar ia berkata “aku datang untuk menyaksikan pertunjukkan yang diselenggarakan oleh paman Widura”

Sekali lagi dada Widura berdesir. Dan yang didengarnya kemudian adalah suara ribut diantara penonton. Ternyata mereka terkejut pula melihat kehadiran anak muda itu, apalagi setelah Agung Sedayu menyebut namanya, Untara. Jadi itulah orangnya yang bernama Untara, kakak Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kembali para penonton itu berjejalan mendesak maju. Mereka ingin melihat wajah anak muda yang namanya telah jauh lebih dahulu hadir daripada orangnya.

Dada Widura kini telah menjadi tenang kembali. Dengan sebuah senyum yang tulus ia mendekati kemenakannya. Diulurkannya tangannya sambil berkata lirih “Aku tidak dapat mencegahnya”

Untara menyambut uluran tangan pamannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata “aku senang melihat perang tanding ini. Namun aku ingin melihat perang tanding ini berjalan dengan sempurna”

“Suatu kekhilafan, Untara” sahut Widura.

Sekali lagi Untara tertawa. Wajahnya yang terang itu kemudian memandang berkeliling. Setiap wajah yang dipandangnya, maka tanpa sengaja, wajah itu mengangguk, dan dengan rendah hati Untarapun menganggukkan kepalanya pula.

Sidanti yang melihat kehadiran Untara itu dadanya berdentang pula seperti melihat hantu yang paling dibencinya. Wajahnya yang merah membara itu seakan-akan benar-benar telah menyala. Kini ia melihat Untara itu berdiri dihadapannya. Sedang orang-orang disekitarnya telah mendesak maju sekedar ingin melihat wajah Untara itu. Dengan demikian, maka Sidanti itupun telah kehilangan segenap pertimbangannya.

Maka semua orang yang berada dilapangan itu tiba-tiba terkejut ketika mereka mendengar Sidanti itu berteriak “Minggir. Pertandingan akan tetap berlangsung terus. Jangan hiraukan orang yang tidak tahu menahu persoalannya”

Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Widura, maka Widura itupun memandangnya, seakan-akan minta pertimbangan kepadanya.

Untara mengangkat bahunya, katanya ”Kekuasaan didaerah ini berada ditangan paman Widura. silahkan. Aku hanya ingin melihat apakah pertandingan ini akan berlangsung dengan jujur”

“Jangan menyindir” teriak Sidanti. “Aku tahu maksudmu. Meskipun semula aku tidak memperdulikan matahari itu, namun seandainya hal-hal yang tak berarti itu harus dipertimbangkan, baiklah kita menghadap arah utara dan selatan”.

Kembali terdengar Untara tertawa, sambil berkata “Jangan marah Sidanti.”

Terasa kata-kata itu menusuk jantung Sidanti seperti tusukan sembilu. Dengan menggeretakkan gigi ia berkata lantang “Nah Sedayu. Kau dengar?”

Sedayu yang seakan-akan terpesona karena kehadiran kakaknya itu, tiba-tiba seperti terbangun dari mimpinya. Ia terkejut ketika ia merasa Sidanti mendorongnya. Dan didengarnya sekali lagi Sidanti berteriak “Bersiaplah”.

Seperti seorang anak yang mengharapkan sesuatu dari bapaknya Agung Sedayu memandang wajah kakaknya. Dan tiba-tiba dilihatnya kakaknya itu mengangguk kepadanya. Hanya mengangguk, namun anggukan kepala itu seperti telah mengalirkan suatu kekuatan baru didalam hatinya. Kehadiran Untara yang tiba-tiba itu, benar-benar memperbesar hati Agung Sedayu. karena itu, maka dengan gerak yang lebih tenang kini ia berdiri menghadap keutara, sedang Sidanti berdiri dibelakangnya menghadap keselatan.

Dan ketika kemudian Sidanti hampir mengulangi hitungannya, terdengarlah Untara berkata “Biarlah aku menolong kalian. Akulah yang akan menghitung sampai bilangan kesepuluh”

“Bagus” teriak Sidanti. “Mulailah”

Untara berjalan mendekati mereka yang telah berdiri beradu punggung itu. Terdengar ia bergumam “Aku telah melihat pertandingan ini sejak permulaan. Dan aku mengagumi kalian yang telah melakukan permainan yang aneh-aneh. Namun ternyata kalian hanya memanah benda-benda mati. Sekarang kalian akan memanah benda-benda yang hidup, yang mungkin mengelakkan diri dari kejaran anak panah kalian. Benar-benar pekerjaan yang tidak terlalu mudah”

“Mulailah” potong Sidanti tidak sabar. Tetapi kata-kata Untara itu seakan-akan memberikan petunjuk-petunjuk baru bagi Agung Sedayu. Memberikan petunjuk bahwa dalam perang tanding yang demikian, maka mereka diperkenankan untuk mengelakkan serangan lawan.

Demikianlah maka akhirnya Untara itupun mulai dengan hitungannya.

Untara itu kini berdiri tegak. Sesaat ia memandang orang-orang yang melingkari mereka. Kemudian dengan tenang ia berkata kepada para penonton “Mundurlah kalian. Jangan berdiri diujung utara dan selatan. Kalau anak panah itu nanti tidak mengenai sasaran, maka kalianlah yang akan terkena”

Penonton diujung utara dan selatan itupun mendesak mundur. Mereka menjadi takut, kalau justru dada merekalah yang akan tembus oleh anak panah-anak panah itu. Namun setiap kata-kata Untara itu, semakin meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia masih mungkin untuk menyelamatkan dirinya dari maut. Ia masih mungkin mengelak, dan panah-panah itu masih mungkin tidak mengenai sasaran.

Tetapi Sidanti menjadi semakin tidak sabar. Dengan marahnya ia berteriak sekali lagi “He Untara. Apakah kau tidak sanggup menghitung?”

“Baiklah” sahut Untara. “Sekarang bersiaplah”

“Aku sudah siap sejak kau belum menampakkan dirimu” jawab Sidanti.

Untara tersenyum. kemudian selangkah ia maju. Dan kini mulailah ia menghitung “Satu…dua…”

Suasana meningkat menjadi semakin tegang, semakin tegang, sejalan dengan bilangan-bilangan yang disebutkan Untara. Untara sendiri sebenarnya menjadi cemas juga, seperti Widura yang tegang kaku seperti patung batu. Namun baik Untara maupun Widura, bahkan beberapa orang lain, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan beberapa orang lagi, ternyata berdoa didalam hatinya, setidak-tidaknya Sedayu tidak menjadi binasa karenanya.

Kini bilangan-bilangan yan diucapkan Untara sudah semakin tinggi. “Enam…tujuh…” Dan lapangan itu menjadi semakin hening. Tetapi dalam pada itu, tekad didalam dada Agung Sedayu menjadi semakin bulat. Ia tidak mau mati.

Dan akhirnya sampailah hitungan itu pada akhirnya. Seperti bisul yang akan pecah disetiap ubun-ubun penonton, terdegarlah Untara menyebut bilangan terakhir dengan suara gemetar “Sepuluh ….”

Sidanti yang dibakar oleh kemarahan, hampir tidak sabar menunggu bilangan yang kesepuluh. Dan ketidak sabarannya itu sama sekali tidak menguntungkannya. Demikian ia mendengar Untara menyebut bilangan kesepuluh itu, dengan serta-merta ia memutar tubuhnya sekaligus menarik busurnya. Hanya sesaat ia membidikkan panahnya, dan panah itu dengan cepatnya meluncur kedada Agung Sedayu arah kekiri. Arah jantung.

Tetapi Agung Sedayupun telah memutar tubuhnya pula. ia tidak menyangka bahwa lawannya bertindak secepat itu. Ia sama sekali belum pernah melihat, mengatahui dan apalagi mengalami perang tanding semacam itu, sehingga karena itu ia masih ragu-ragu untuk melakukannya meskipun tekadnya untuk menghindari maut telah bulat didalam hatinya. karena itu, ternyata Sidanti berhasil mendahuluinya.

Dan sebenarnya Sidanti adalah pembidik yang baik. Panah itu dengan lajunya menuju kesasarannya dengan tepat. Dada kiri Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu itupun sebenarnya bukan sebuah patung. Didalam tubuhnya tersimpan berbagai macam ilmu yang tidak dapat diabaikan. Namun ilmu-ilmu itu seakan-akan tersimpan dalam kotak yang tertutup.

Kini ia melihat sebuah anak panah meluncur dengan cepatnya, menuju kedadanya. karena itu, dengan gerak naluriah maka Sedayu yang memiliki ketangkasan yang tinggi itupun segera bergesar setapak sambil memiringkan tubuhnya.

Namun panah Sidanti terlampau cepat. Betapapun cepatnya gerak Agung Sedayu, namun ia tidak mampu menghindari anak panah itu sepenuhnya. Sehingga dengan cepatnya panah itu mematuk lengan kirinya. Tetapi untunglah bahwa anak panah itu tidak mengenai bagian yang penting pada lengannya itu, sehingga anak panah itupun kemudian bergeser dan jatuh disamping Agung Sedayu. Meskipun demikian, maka segera sepercik darah mengalir dari luka itu. Semakin lama menjadi semakin deras.

Tampaklah Agung Sedayu menyeringai menahan sakit. Tetapi hanya sesaat. Ternyata darah yang mengalir dari lukanya itu telah menghangatkan hatinya. Kini ia telah terluka, dan ternyata demikianlah rasa sakit yang menggigit pundaknya. Rasa sakit itu kini tidak saja ditakutkannya, namun sudah dirasakannya. Dan rasa sakit itu ternyata tidak seperti apa yang dibayangkannya. Darah yang mengalir dari lukanya itu bukanlah pertanda akan kematiannya. Dan meskipun kini darah itu telah mengalir, tetapi ia masih tetap berdiri tegak dan hampir luka itu dapat diabaikannya. Tiba-tiba timbullah perasaan heran didalam dadanya. Apakah hanya perasaan ini yang harus ditanggungnya. Alangkah ringannya. Bahkan berkatalah Agung Sedayu didalam hatinya “Jadi ternyata aku tidak mati. Aku ternyata dapat juga membebaskan diri dari kematian itu. Dan kini aku telah melakukannya. Perang tanding”

Terasalah sesuatu bergolak didalam dada Agung Sedayu. Terasa seakan-akan ia telah melampaui suatu masa yang tidak pernah dibayangkannya. Terasa seakan-akan ia telah menerobos suatu batas yang selama ini mengungkungnya. Dan sebenarnya dinding yang memagari Agung Sedayu kini telah terpecahkan. Dan lenyaplah seluruh perasaan takutnya. Kini Agung Sedayu itu tidak takut lagi kepada luka, kepada darah dan kepada maut sekalipun. Sebab ternyata ia mampu menghindari maut, apabila Tuhan belum menghendakinya. “Ya” katanya dalam hati, sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan, akhirnya Sedayu itu menemukan keyakinan “Aku tidak perlu takut mati. Sebab kematian adalah takdir Tuhan. Ternyata kali ini aku telah bebas dari kematian itu, karena Tuhan belum menghendakinya”.

Bahkan kini Agung Sedayu mengangkat wajahnya. dipandanginya Sidanti yang berdiri gemetar menahan marah, duapuluh langkah dihadapannya. Ditangannya kini masih tergenggam sebatang anak panah. Sedang Sidanti telah melepaskan satu-satunya anak panahnya.

Ketegangan dilapangan itu segera sampai kepuncaknya. Dengan tajamnya Agung Sedayu menandang lawannya. Sidanti, yang dalam pandangan mata Sedayu, kini tidak lebih daripada dirinya sendiri. Sidanti itu tiba-tiba bukanlah seorang yang menakutkan lagi.

Agung Sedayu, meskipun pundaknya telah terluka, namun luka yang tidak begitu dalam itu sama sekali tidak berpengaruh padanya. Kini ia dapat berbuat apa saja atas lawannya. Betapapun tangkasnya lawannya itu, namun ia mempunyai banyak waktu untuk membidiknya, menarik busurnya dalam-dalam dan melepaskan anak panah secepat tati. Dalam keadaan yang demikian, alangkah sulitnya untuk menghindari, sebab setiap kali ia dapat melepaskan anak panahnya dengan tiba-tiba.

Sidanti masih berdiri tegak seperti tonggak. Kini tubuhnya bergetar semakin keras. Kemarahannya benar-benar telah memuncak sampai keubun-ubunnya. Meskipun demikian ia tidak gentar menghadapi panah Agung Sedayu. Dengan kecepatannya bergerak ia yakin bahwa ia mampu menghindari anak panah lawannya.

Tetapi Agung Sedayu itu masih belum membidik lawannya. Meskipun kini ia sudah dapat melepaskan diri dari sebuah belenggu yang selama ini mengungkungnya dalam satu dunia yang gelap, namun masih belum terlintas didalam angan-angannya untuk membunuh seseorang. Itulah sebabnya maka ia masih berdiri dengan ragu.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Sidanti serak “He Sedayu, apa yang kau tunggu?”

Agung Sedayu terkejut mendengar suara itu. Sekali lagi ia menatap wajah lawannya dengan tajamnya. Wajah yang keras dan penuh dendam. Namun, betapa ia menjadi muak melihat wajah Sidanti, tetapi perasaan itu belum dapat memaksanya untuk mencoba membunuh seseorang. Dan kembali Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.

Lapangan kecil itu kini benar-benar dikuasai oleh kesenyapan yang tegang. Matahari dilangit menjadi semakin rendah. Warna-warna merah dengan segarnya membayang diujung-ujung pepohonan dan menyangkut iditepi-tepi gumpalan mega dilagnit. Sekali-sekali tampak diudara burung-burung cangak berbondong-bondong terbang pulang kesarangnya. Melintas dari arah barat ketimur.

Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Untara dengan nada yang rendah “Agung Sedayu. Pertandingan ini akan segera selesai apabila kau telah melepaskan anak panahmu itu”

Agung Sedayu menjadi semakin bimbang. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Dan dicobanya untuk memandang dada Sidanti. Tetapi, kembali ia tidak dapat memaksa dirinya untuk membunuh seseorang meskipun orang itu telah bertekad untuk membunuhnya.

Yang terdengar kemudian kembali suara Untara “Agung Sedayu, adalah tidak bijaksana untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya”

Agung Sedayu berpaling kepada kakaknya, seakan-akan ia telah menemukan suatu penyelesaian yang baik bagi perselisihannya. Ia dapat mengerti kata-kata kakaknya, sebagaimana ia selalu mendengar cerita ayahnya dahulu, bahwa penyelesaian dari persengketaan tidak harus ditandai dengan kematian.

Tetapi tanpa disangka-sangka, maka Agung Sedayu itu mendengar suara Sidanti menggelegar “Agung Sedayu, aku bukan pengecut yang minta kau kasihani. Ayo kalau kau jantan. Cobalah membunuh Sidanti”

Agung Sedayu mengangkat keningnya. Namun Untara itu berkata pula “Anak panah yang sebatang itu hakmu Sedayu. Kemana saja kau bidikkan, maka perang tanding ini sudah selesai. Dan semua persoalanpun selesai pula”

“Jangan turut campur Untara. Urusan ini sama sekali bukan urusanmu” bentak Sidanti sambil menggertakkan giginya karena marah.

Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sidanti. Bahkan Widurapun kemudian berkata “Kau benar Untara”

Agung Sedayu masih tegak dengan penuh kebimbangan. Ia kini telah berhasil menerobos dinding yang menyekapnya dalam ketakutan. Namun ia masih belum dapat berbuat lebih jauh daripada melihat kenyataan diri dan melihat kekuasaan yang menguasai hidupnya dan hidup orang-orang lain. karena itu, ia menjadi semakin bimbang. Membunuh adalah perbuatan yang melawan kehendak Tuhan.

Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Agung Sedayu melihat serombongan burung cangak terbang rendah melintas dilapangan. Dan tiba-tiba pula ia ingin melepaskan ketegangan yang mencekam dadanya. Dengan serta-merta, ia mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian satu-satunya anak panahnya itu meloncat dengan cepatnya, menyambar seekor cangak yang terbang dengan tenang dan perlahan-lahan diatasnya.

Semua orang terkejut melihat perbuatan Agung Sedayu. Mereka hanya sesaat melihat Agung Sedayu mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian mereka sudah melihat, seekor dari burung-burung cangak itu terpelanting dan jatuh ditanah.

Agung Sedayu sendiri terkejut melihat hasil bidikannya. Cangak yang sama sekali tidak tahu menahu persoalannya itu tiba-tiba jatuh menjadi korbannya. Namun, adalah lebih baik melepaskan ketegangan didadanya dengan membunuh seekor burung daripada membunuh Sidanti.

Tanpa diduga-duga sebelumnya, maka tiba-tiba semua orang yang berdiri dilapangan itupun kemudian melepaskan ketegangan yang selama ini mencengkam dada mereka.

Dengan serta-merta meledaklah sorak-sorai yang gemuruh dengan dasyatnya, sedahsyat gunung Merapi itu meledak. Mereka bersorak karena mereka melihat akhir dari perang tanding itu tanpa jatuhnya korban. Mereka bersorak pula karena mereka melihat ketangkasan Agung Sedayu. Beberapa orang dari mereka bergumam “Alangkah dahsyatnya anak muda itu”

Tetapi, bagi Sidanti, apa yang terjadi itu seakan-akan merupakan tamparan yang langsung mengenai wajahnya. karena itu, maka darahnya menjadi seakan-akan mendidih. Ia sudah tidak ingat lagi apakah yang sebaiknya dilakukan. Dengan gigi yang gemeretak ia meloncat maju sambil berteriak “Perang tanding ini belum selesai. Aku tantang kau dengan cara yang lain”

Teriakan Sidanti itu benar-benar mengejutkan. Semua orang yang mendengar tertegun heran. Bahkan Widura, Untara dan bahkan Agung Sedayu sendiri. mereka melihat Sidanti dengan wajah yang menyala-nyala datang mendekati Sedayu. Dilemparkannya busurnya ketanah, lalu berkata “Agung Sedayu. Ada seribu macam cara untuk melakukan perang tanding. Marilah kita pilih salah satu diantaranya. Tidak mempergunakan jarak yang sejauh duapuluh langkah, tetapi kita lakukan dalam jarak yang dekat”

Agung Sedayu menjadi bingung. Ia telah menghindari kemungkinan yang lebih buruk dari perang tanding yang baru saja dilakukan. Ia dengan sengaja tidak membidik lawannya dengan anak panahnya. Tetapi kini bahkan ia dihadapkan pada kemungkinan yang lebih jelek.

Namun dengan demikian, Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan orang-orang lain menjadi semakin muak melihat kesombongan Sidanti. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat mengendalikan diri mereka pula. Tetapi yang maju kedepan adalah Widura “Cukup Sidanti. Jangan membuat persoalan menjadi lebih parah”

Tetapi dengan kasarnya Sidanti menyahut “Apa pedulimu. Persoalan ini adalah persoalan antara Sidanti dan Agung Sedayu”

“Tetapi aku kali ini tidak akan mengijinkan” berkata Widura pula.

“Aku tidak perlu ijinmu” bantah Sidanti.

Widura itupun kemudian menjadi marah pula. meskipun demikian ia tetap pada pendiriannya, bahwa ia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi hancur karena menikam dada sendiri, sementara Macan Kepatihan sudah sioap untuk menerkam mereka. karena itu maka katanya “Simpanlah tenaga kalian. Marilah kita adakan perlombaan yang lain. Kalau kalian tetap pada pendirian kalian ingin melihat siapakah yang lebih unggul diantara kalian, nah perlihatkanlah dalam perlawanan kalian atas Macan Kepatihan. Siapakah yang mampu membunuh Macan Kepatihan, maka ialah yang menang”

“Aku tidak akan menunggu sampai kesempatan itu datang” jawab Sidanti. “Biarlah kita melakukannya sekarang. Yang menanglah yang kelak harus membunuh Macan Kepatihan. Kalau tidak biarlah ia dibunuh saja sama sekali”

“Aku tidak mengijinkan” berkata Widura tegas-tegas.

“Persetan” teriak Sidanti. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Bersiaplah Agung Sedayu. Marilah kita bertempur tanpa senjata. Kita akan sampai pada suatu kepastian, siapakah yang akan mati diantara kita. Jangan berhenti sebelum keputusan itu jatuh”

Dada Agung Sedayu itupun bergelora. Setelah darah tertumpah dari luka dipundaknya itu, tiba-tiba Agung Sedayu kini seolah-olah telah menemukan dirinya sendiri dalam nilai-nilai yang sewajarnya. Karena itu tiba-tiba terdengar anak muda itu menggeram. Dengan tatagnya ia berkata “Kalau itu yang kau kehendaki Sidanti, marilah aku layani”

Kembali suasana menjadi semakin tegang. Widura benar-benar terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu. Jawaban yang sama sekali tak disangka-sangka. Dan sebenarnya memang Widura tidak tahu apa yang sudah bergolak didalam dada Agung Sedayu. Setelah ia merasakan luka ditangannya, seakan-akan tumbuhlah kepercayaannya pada diri sendiri, bahwa Sidanti bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan.

Untara tersenyum didalam hati mendengar jawaban Agung Sedayu. Katanya dalam hati “Kalau anak itu selalu ikut saja bersama aku, maka tak akan ditemukannya kepercayaan pada dirinya. Agaknya keadaannya selama ini telah memaksa dirinya untuk mencoba menggantungkan nasibnya kepada diri sendiri”. namun meskipun demikian, Untara tidak menghendaki perkelahian itu berlangsung. Ia dapat mengerti sepenuhnya, apa yang sedang dijaga sebaik-baiknya oleh Widura. karena itu, maka Untara itupun berkata “Agung Sedayu. Tidak seharusnya setiap tantangan kau terima. Kau dapat menolaknya untuk kepentingan yang lebih besar dari kepentingan diri kita sendiri. Pertandingan hari ini sebenarnyalah telah selesai. Laskar Pajang di Sangkal Putung hanya diperkenankan melakukan perlombaan memanah. Lebih daripada itu tidak. Bahkan kalian telah melakukannya melampaui kebiasaan, dimana kalian mempergunakan diri kalian untuk sasaran”

“Jangan ikut campur Untara” teriak Sidanti keras-keras. “Kedatanganmu kemari sama sekali tidak kami harapkan. Pergilah dan kalau ingin menonton, nontonlah. Jangan ribut”

“Sidanti” jawab Untara “aku mencoba melihat jauh seperti yang dikatakan paman Widura. Jangan mempertajam pertentangan diantara kita sendiri”

“Aku tidak perlu mendengar sesorahmu”bentak Sidanti. “Jangan gurui aku. Aku tahu apa yang akan terjadi di Sangkal Putung. Kau sangka tanpa Agung Sedayu pekerjaan di Sangkal Putung ini tidak akan selesai?”

Untara menarik alisnya. Sebelum ia menjawab, didengarnya Agung Sedayu berkata “Kakang, berilah aku kesempatan”

Untara menjadi heran pula mendengar tekad adiknya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu berkata pula kepada Widura “Paman, biarlah aku mencobanya”

“Tidak Sedayu” jawab Widura dan Untara hampir bersamaan.

Rupanya Agung Sedayu itupun menjadi kecewa. Ledakan yang meronta-ronta didalam dadanya setelah selama ini terkekang dalam suatu himpitan ketakutan, seakan-akan sedang mencari salurannya. karena itu betapa tak terduga arus yang melanda dada Agung Sedayu itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu adalah seorang anak yang patuh kepada kakaknya sejak masa kecilnya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat memaksa seandainya kakaknya mencegahnya.

Tetapi Sidanti tidak menjadi reda karenanya. Seperti orang gila ia berteriak-teriak “Jangan halangi aku. Siapa yang menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa sebab”

Widura mengangkat wajahnya memandang wajah Sidanti yang telah benar-benar menjadi buas. Sekali lagi ia ingin mencoba melunakkannya.

Dengan hati-hati Widura melangkah maju sambil berkata “Sidanti, sadarilah keadaanmu. Keadaan kita bersama di Sangkal Putung ini. Jangan memandang keadaan dalam suatu lingkungan yang sempit. Tetapi pandanglah seluruh persoalan yang kita hadapi”

Namun agaknya kata-kata Widura itu sia-sia saja. Sidanti telah menjadi seakan-akan wuru. Yang ada didalam benaknya hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunun atau dibunuh. karena itu ia menjawab “Jangan halangi aku”

Untarapun melihat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti. Karena itu maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila Agung Sedayu dapat dijauhkannya, dan perkelahian itu dapat ditunda, maka nanti apabila kepala Sidanti telah bertambah dingin, segala sesuatu akan dapat diselesaikannya dengan baik.

Karena itu, betapa kecewanya Agung Sedayu, namun ia tidak dapat berbuat apapun ketika kakaknya menarik tangannya dan membawanya meninggalkan tempat itu.

Tetapi sebelum Agung Sedayu dan Untara berhasil menerobos lingkaran yang pepat itu terdengar Sidanti berteriak “Jangan pergi pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan mengejarmu sampai keujung bukit Merapi itu sekalipun”

Namun Untara tak menghiraukannya. Didorongnya adiknya dan disibakkannya orang-orang yang mengerumuninya. Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil berteriak lebih keras lagi “Berhenti pengecut”

Widuralah yang kemudian kehabisan kesabaran. Ia sudah menjadi sedemikian bingungnya mencegah perkelahian itu. karena itu, tiba-tiba iapun berteriak nyaring “Sidanti, berhenti ditempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku mempunyai wewenang untuk melakukan segala kebijaksanaan disini. Aku perintahkan kau tetap ditempatmu”

Kata-kata itu menggelegar ditelinga Sidanti. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadapi Widura. namun Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti itupun melihat Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan Swandaru meloncat maju. Tanpa berjanji mereka seakan-akan telah mengpung Sidanti yang hampir menjadi gila itu.

Sidanti menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Ditatapnya orang-orang yang berdiri disekitarnya seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Dengan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya Sidanti berteriak “ayo, ayo. Majulah bersama-sama. Inilah Sidanti, murid Ki Tambak Wedi”

Widura menatap wajah Sidanti yang menyala itu dengan mata menyala pula. tiba-tiba saja ia berkata “Sidanti, apakah kau sedang menunggu bantuan gurumu? Jangan kau harapkan itu, sebab disini hadir pula orang yang dahulu pernah mencegah gurumu membunuh aku itu. Kau lihat cemeti kuda yang terjatuh disamping tanda yang dilemparkan gurumu itu?”

Kata-kata itu terasa berdentangan didada Sidanti. Namun tidak hanya Sidanti yang terkejut karenanya. Semua orang menjadi terkejut pula. ternyata lingkaran besi dan cemeti kuda itu adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang akan menjadi semakin memuncak dari dua orang sakti yang tak mereka ketahui dan belum pernah mereka lihat pula orangnya.

Sesaat Sidanti berdiam diri. Memang ia mengharap gurunya akan membantunya, melawan kelinci-kelinci yang tak berarti itu dihadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ternyata dilapangan itu hadir pula, orang lain yang pernah mencegah langkah gurunya ditegalan kemarin malam. karena itu maka Sidanti itu berbimbang untuk sesaat. Tetapi kemarahannya telah benar-benar menguasai otaknya. Sehingga betapapun yang akan dihadapinya, namun ia sama sekali tidak dapat memperhitungkannya.

Dengan demikian, maka Sidanti itu sama sekali tidak menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya ia menjawab “Apakah kau sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan dirinya kepada orang lain? Ki Tambak Wedi telah menempa Sidanti untuk menjadi seorang laki-laki jantan. Ayo. Siapakah yang pertama-tama. Agung Sedayu atau kakaknya yang bernama Untara itu.”

Untara mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tetapi Agung Sedayu tiba-tiba berhenti ditempatnya. Tiba-tiba ia merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan. Apalagi setelah ia menemukan penilaian yang wajar atas dirinya, justru setelah sebatang anak panah menyobek pundaknya.

“Menyingkirlah Sedayu “ desah Untara.

“Ia menghinaku kakang.” Jawab Sedayu.

Tetapi Untara berbisik “Sidanti adalah seorang anak muda yang tangguh. Sedangkan kau, agaknya baru saja menyadari kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya.”

Tetapi ledakan-ledakan yang dasyat didada Agung Sedayu itupun telah membakar hatinya pula. karena itu ia menjawab “berilah aku kesempatan.”

Untara menjadi jengkel karenanya. Maka dibentaknya adiknya “Pergi. Biar paman Widura mengurus Sidanti”

Tiba-tiba Untara terkejut ketika ia mendengar Sidanti berteriak “Untara. Jangan kau sembunyikan adikmu. Atau kau sendiri yang hendak bersembunyi?”

Terasa sesuatu berdesir didalam dada Untara. Ia dapat mencegah orang lain untuk tidak menghiraukan maki dan cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya, terasa dadanya itu bergetar. Meskipun demikian, Untara itu tidak berpaling. Yang didengarnya kemudian adalah suara pamannya, Widura “Sidanti, kalau kau tetap dalam pendirianmu, maka perintah untuk menangkapmu segera akan aku jatuhkan”

Ternyata Sidanti benar-benar telah kehilangan segenap pertimbangannya. Ia seolah-olah tidak mendengar kata-kata Widura. bahkan kemudian ia berkata kepada Untara “Untara, kalau kau sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku”

Kini Untara terpaksa berhenti. Terasa dadanya bergetar semakin cepat. Namun ketika dilihatnyan luka dipundak Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, betapapun tinggi ilmunya, namun ia sama sekali belum berpengalaman dalam satu perkelahian yang benar-benar menentukan hidup dan mati. Apalagi kini pundaknya itu telah terluka, dan darah mengalir dari luka itu. karena itu maka kekuatannyapun pasti berkurang.

Untara terkejut ketika Agung Sedayu mendesaknya “Kakang, apakah kakang akan membiarkan Sidanti menghina kita?”

“Jangan Sedayu” sahut Untara “Sadarilah keadaanmu. Pundakmu telah terluka. Mungkin pundak itu tidak terganggu pada saat kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak dekat, maka luka itu akan sangat berpengaruh”

Agung Sedayu meraba lukanya. Terasa luka itu memang pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak berpengaruh baginya. Namun Untara itupun dapat memperitungkannya dengan tepat, maka sambungnya “Kalau kau bergerak, maka darah akan semakin banyak mengalir dari luka itu. Kau akan menjadi lemas, dan lehermu akan dipilin sampat patah oleh iblis itu”

Tetapi seperti bendungan yang baru saja pecah oleh banjir, maka Agung Sedayu benar-benar sedang mencari saluran untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi didadanya. Namun ia tidak berani melawan kehendak kakaknya. karena itu hanya dadanya sajalah yang bergelora.

Sementara itu terdengar Sidanti berkata pula “Untara. Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau kau sendiri terpaksa aku bunuh dilapangan ini”

Sekali lagi dada Untara bergetar. Ketika ia berpaling, ia melihat Widura mengangkat tangannya. Hampir saja Widura menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi segera Untara mencegahnya “Jangan paman”

Widura tertegun. Tangannya itupun terkulai kembali. Dengan tegangnya ia memandang wajah Untara. Tetapi untara itu kemudian berkata “Paman, biarlah Agung Sedayu aku bawa kembali kekademangan. Aku harap Sidanti dapat menenangkan hatinya sehingga kemudian ia mendapat pertimbangan-pertimbangan yang wajar”

Tetapi kata-kata Untara itu justru semakin menyakitkan telinga Sidanti. Hatinya yang marah itu menjadi semakin parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya, langsung menyerang Untara yang sekali lagi tidak bersiaga.

Tetapi Untara bukanlah anak-anak yang menangis melihat barongan-ndadi. Ketika ia melihat Sidanti itu dengan satu loncatan panjang menyerangnya, segera ia menarik satu kakinya kesamping dan dengan merendahkan dirinya, Untara berhasil menghindari tangan Sidanti yang menyambar kepalanya.

Agung Sedayu yang berdiri dimuka Untarapun terpaksa menghindar pula. tidak kalah tangkasnya, iapun meloncat surut.

Sementara itu terdengar Widura berteriak nyaring “Sidanti. Apakah kau telah benar-benar menjadi gila. Hai Citra Gati, bersiaplah”

Citra Gatipun segera meloncat maju diikuti oleh beberapa orang yang lain. Tetapi segera Untara berteriak pula “Jangan maju bersama-sama”

“Aku berhak menangkapnya” sahut Widura.

“Jangan” berkata Untara.

“Aku adalah senapati Pajang di Sangkal Putung” desak Widura.

“Aku adalah pemegang kuasa dari panglima Wiratamtama, Ki Gede Pemanahan untuk daerah disekitar gunung Merapi. Mengamati dan mengamankan segala kebijaksanaan panglima, termasuk daerah Sangkal Putung” potong Untara.

“Oh”Widura itupun terdiam. Kini benar-benar disadarinya akan kedudukan kemenakannya itu. karena itu, maka kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat kebijaksanaan sendiri.

Sidantipun mendengar kata-kata Untara itu. Sesaat kata-kata itu berpengaruh juga didalam benaknya. Namun sesaat kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi. Pertimbangan-pertimbangannya sudah tidak dapat mempengaruhi kemarahannya. Dihadapan sekian banyak orang, Sidanti yang merasa dirinya pahlawan yang tak terkalahkan itu, harus menunjukkan bahwa sebenarnyalah ia tak dapat dikalahkan. Karena itu, bahkan Sidanti itu berkata “Apa yang akan kau lakukan Untara, pemegang kuasa penglima Wiratamtama untuk daerah ini?”

“Sidanti” berkata Untara. “Atas nama kekuasaan yang ada padaku, jangan berbuat hal-hal yang dapat merugikan nama baik Wiratamtama”

“Ini adalah kesempatan bagiku” berkata Sidanti “Seharusnya akulah yang memegang jabatan itu. Sebenarnya Sidanti lebih tangguh daripada Untara”

“Jangan mengigau Sidanti” potong Untara. Betapapun ia mencoba menyabarkan dirinya, namun darahnyapun adalah darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung Sedayu melangkah maju, didorongnya adiknya itu kesamping sambil berkata pula “Sadari kedudukanmu. Atau aku harus menempuh kebijaksanaan lain seperti paman Widura”

“Terserah padamu Untara” sahut Sidanti “Tetapi aku ingin menantangmu kini. Apakah kau benar-benar berhak memakai pangkatmu itu. Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak”

Untara menggigit bibirnya. Sidanti benar-benar keras kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah yang telah memaksanya untuk berbuat gila itu.

Sementara itu, matahari telah temggelam dibawah garis cakrawala. Lapangan itupun menjadi semakin lama menjadi semakin gelap. Hanya bintang-bintang dilangit sajalah yang kemudian gemerlapan, seolah-olah ikut serta berdesak-desakan menyaksikan apa yang akan terjadi dilapangan itu.

Untara masih berdiri sambil menggigit bibirnya. Getar didalam dadanya terasa menjadi semakin bergelora. Kalau ia bertindak atas nama jabatannya, serta mengerahkan anak buah Widura untuk menangkap Sidanti, maka dendam yang membakar hati anak muda itu masih akan menyala untuk selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali kelak mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap orang-orang Widura itu satu per satu. Dengan demikian maka keadaan Sangkal Putung akan menjadi bertambah sulit.

Namun tiba-tiba Untara itupun melangkah maju. Dengan lantang ia berkata “Aku terima tantangan Sidanti”

“Untara” terdengar Widura memotong kata-kata kemenakannya.

“Paman” sahut Untara. “Persoalan ini biarlah aku jadikan persoalan antara aku dan Sidanti. Persoalan perseorangan yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami masing-masing. Persoalan perseorangan yang akan kami selesaikan secara perseorangan pula. Bukankah begitu Sidanti?”

Sidanti benar-benar sudah tidak dapat membedakan antara persoalan perseorangan dan peroalannya dalam ikatan kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab “Ya. Aku tidak perduli persoalan apapun yang kau pilih. Namun biarlah kita bertakar darah, melihat siapa yang lebih keras tulangnya dan siapakah yang lebih liat kulitnya”

Widura sudah tidak mungkin lagi untuk mencegah perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara telah maju dan orang-orang disekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur. Meskipun lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian dari mereka sudah tidak dapat lagi melihat apa yang terjadi ditengah-tengah lingkaran manusia itu, namun mereka masih belum mau meninggalkan lapangan itu. Mereka masih hendak menunggu, apakah yang terjadi dengan Untara dan Sidanti.

Ternyata Sidanti benar-benar tak dapat mengekang dirinya. Dengan penuh nafsu ia meloncat menghadapi Untara. Sedang Untara itupun segera bersiaga pula. Untara itupun sadar sesadar-sadarnya bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki Tambak Wedi. seorang sakti yang namanya telah dikenal oleh setiap orang hampir dari segala penjuru.

Sidanti itu ternyata tak mau banyak bicara lagi. Dengan suatu peringatan pendek ia menggeram “Untara, aku mulai”

Sebelum Untara sempat menjawab, Sidanti telah meloncat menyerangnya. Sebuah pukulan mendatar mengarah kepelipis lawannya. Namun Untara telah bersiaga sepenuhnya. Betapapun cepatnya gerak Sidanti, namun Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari. Dengan satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak membiarkan tangan Sidanti yang masih terjulur itu. Dengan cepatnya disambarnya tangan itu dengan sebuah ketukan dipergelangan. Tetapi Sidanti cukup cekatan pula. dengan kecepatan yang sama Sidanti berhasil menarik tangannya dan membebaskannya dari ketukan tangan Untara.

Untara menarik nafas dalam-dalam melihat kecepatan Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-benar bukan sekedar cerita yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami sendiri, betapa cekatannya murid Ki Tambak Wedi.

Ternyata pula, sesaat kemudian Sidanti telah mulai menyerangnya kembali. Dengan garangnya Sidanti melontarkan sebuah serangan dengan kakinya kearah lambung lawannya. Namun sekali lagi Untara berhasil menarik satu kakinya, dan dengan memiringkan tubuhnya ia telah terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak mau membiarkan lawannya, dengan sebuah putaran pada satu kakinya, Sidanti melepaskan serangan kaki berganda. Demikian cepatnya, sehingga Untara terpaksa meloncat selangkah mundur.

Ketika Sidanti akan mencoba mengejarnya dengan serangan pula, maka Untaralah yang kini mendahului lawannya. Dengan tangkasnya ia melontar menyambar dada Sidanti yang masih mencoba menyergapnya. Sidanti terkejut melihat serang yang tiba-tiba itu. Dengan cepat ia merendahkan dirinya dan bahkan kemudian ketika tangan Untara yang lain menyambar kepalanya, Sidanti terpaksa melontar kesamping.

Demikianlah maka mereka sesaat kemudian tenggelam dalam satu pertempuran yang sengit. Sidanti yang tangkas dan lincah melawan Untara yang tangguh-tanggon. Betapa ilmu Ki Tambak Wedi terpaksa berbenturan dengan ilmu dari Jati Anom,

Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan bahkan Agung Sedayu yang berdiri disekitar arena itu, melihat perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Mereka mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda yang telah berhasil mempertahankan diri, meskipun tidak sepenuhnya, terhadap serangan-serangan Tohpati. karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Seandainya Untara tak berhasil mempertahankan dirinya, maka Sidanti yang gila itu pasti dapat berbuat hal-hal diluar kemungkinan yang wajar. Namun sebenarnya Widura tidak menjadi cemas atas nasib Untara. Ia tahu betul bahwa kemenakannya yang besar itu, setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi apakah selama ini lukanya telah benar-benar sembuh, sehingga segenap kekuatannya telah pulih kembali. Namun melihat kecepatannya bergerak Widura menduga untara telah mencapai keadaan dan kemantapan ilmu seperti sediakala. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu pasti akan berlangsung dahsyat sekali.

Sebenarnyalah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang dengan penuh nafsu bertempur itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin cepat ia dapat menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula nilai dirinya. Bahkan apabila kelak Agung Sedayu tidak puas melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia sendiri mencobanya.

karena itulah maka serangan-serangan Sidanti menjadi semakin seru seperti angin ribut yang menghantam pepohonan. Berputar-putar dengan dahsyatnya. Namun Untara itupun tangguh setangguh batu karang pantai. Tegak dengan kokohnya, seakan-akan berakar menghunjam bumi. Tetapi apabila serangannya melanda lawannya, beruntun seperti batu-batu yang berguguran dilereng Merapi.

Dengan demikian maka pertempuran dilapangan dimuka banjar desa itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang berkembang. Mereka meiliki bekal ilmu yang tak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka perkelahian diantara mereka benar-benar menjadi sedemikian sengitnya seperti petir yang sedang bersabung diudara. Sambar menyambar dalam kecepatan yang hampir tak dapat diikuti oleh mata.

Sehingga karena itu, maka mereka berdua kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi bayangan-bayangan yang terbang berputaran, bahkan kemudian mereka seakan-akan telah berubah menjadi gumpalan asap hitam dimalam yang gelap.

Tetapi semakin lama menjadi semakin terang bagi Untara. Setelah ia bertempur dengan segenap tenaga pada taraf permulaan, akhirnya berhasil menemukan dan mengetahui letak kekuatan dan kelemahan lawannya. Meskipun Sidantipun mampu pula mengamati kelemahan lawannya, namun ternyata Untara menang seulas dari Sidanti. Untara, yang memegang kekuasaan dari Panglima Wiratamtama didaerah itu, ternyata bukan seorang yang hanya mempunyai nama mengagumkan. Tetapi Untara benar-benar seorang yang dapat dipercaya. Lahir dan batinnya. Dengan demikian, maka kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang tepat.

Tetapi justru karena ia telah dapat melihat nilai dari dirinya sendiri dihadapan lawannya itu, maka ia menjadi semakin tenang. Dengan demikian sambil bertempur ia kini sempat mencari kemungkinan-kemungkinan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan persoalan yang disebutnya dengan persoalan pribadi.

Namun ternyata Sidanti masih memeras tenaganya habis-habisan. Ia telah benar-benar waringuten. Otaknya seakan-akan telah berhenti bekerja kecuali mencari kemungkinan-kemungkinan untuk membinasakan lawannya dalam perkelahian itu. Mula-mula memang ia merasakan tekanan Untara menjadi semakin bertambah tajam. Namun kemudian tekanan-tekanan itu seolah-olah menjadi terurai kembali. Dan dalam penilaian Sidanti, keadaan mereka menjadi seimbang kembali.

Sebenarnyalah, kini Untara telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan ini tampa menimbulkan dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa meskipun berat, namun ia akan dapat menguasai lawannya, tetapi Untara tidak mau berbuat demikian. Sebab, apabila ia menekan Sidanti, sehingga anak muda yang keras hati itu dilumpuhkan, maka dendam akan tetap membara didadanya. Dendam itu akan dapat berbahaya bagi Sangkal Putung. Apabila dendam itu meledak pada saat kedatangan laskar Jipang, maka akibatnya akan mengerikan sekali.

Dengan demikian, terbesitlah kebijaksanaan didalam diri Senapati muda dari Jati Anom itu. Dia kini tidak benar-benar ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap memberi kesan, bahwa ia bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara kini seakan-akan tinggal melayani segala solah lawannya. Sekali-sekali ia menghindar, dan sekali-sekali ia menyerang pula. Tetapi serangannya tidak benar-benar mengarah ketempat-tempat yang berbahaya.

Demikian cakapnya Untara membawakan dirinya, serta karena kelebihan ilmunya yang kemudian meyakinkannya, maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan oleh Untara. Itulah sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dan memang demikianlah yang dikehendaki oleh Untara. Sekali-sekali ia menekan lawannya, kemudian melepaskannya dalam keadaan yang menguntungkan. Dengan demikian maka nafsu bertempur Sidanti itu menjadi melonjak-lonjak tak terkendali. Sebab sekali-sekali ia menjadi cemas, namun tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka. Sehingga mau tidak mau ia ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Tetapi bagi mereka yang tidak mengalami pertempuran itu, mempunyai kesempatan untuk menilai apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat demikian. Yang pertama-tama melihat permainan Untara itu adalah Widura, dan kemudian Agung Sedayu. Mereka dengan dada yang berdebar-debar menanti, bagaimana akhir dari pertempuran itu. Sebab dengan permainannya maka Untara tidak akan mau melumpuhkan lawannya.

Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang laskar Pajangpun melihat sesuatu yang aneh. Tetapi mereka tidak dapat mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadang-kadang menjadi sangat berat sebelah, namun kemudian menjadi seimbang kembali.

Sedang orang-orang lain yang berdiri melingkari arena itu, sama sekali tidak tahu, bagaimana mereka harus menilai perkelahian itu. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi pening, dan ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu karena malam yang menjadi semakin kelam.

Dalam pada itu, semakin lama, maka usaha Untara untuk mencapai penyelesaian menurut rencananya, tampaknya akan berhasil. Tenaga Sidanti yang terperas itu semakin lama menjadi semakin susut. Sedang Untara, yang memiliki bekal serta pengalaman yang lebih banyak, masih tetap pada kesegarannya semula. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelebihannya itu. Ia ingin Sidanti menyelesaikan pertempuran tanpa menjadi kecewa, malu atau dendam. Untara ingin memberi kesan, bahwa perkelahian itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang kalah tanpa ada yang menang.

Meskipun hati kecilnya, kadang-kadang ingin juga menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang yang mendapat kekuasaan yang luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga diri itu. Ia melihat Sangkal Putung tidak saja malam ini. Tetapi besok, lusa, beberapa hari dan minggu yang akan datang, bahkan Sangkal Putung untuk masa yang tak terbatas dalam lingkungan pemerintahan Pajang.

Dan ternyata pula kemudian, tenaga Sidanti itupun menjadi semakin susut. Kegarangannya lambat laun menjadi berkurang dan lincahannyapun menjadi surut pula. demikian pula yang dilakukan oleh Untara. Meskipun darahnya masih sesegar pada saat ia datang, namun dikurangi segala ketangkasan dan ketangguhannya.

Tetapi, dalam pada itu, selain Widura dan Agung Sedayu, diantara penonton itu, seseorang memandangi perkelahian itu dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan kemarahan yang tiada taranya, dan betapa hatinya mengumpat tak habis-habisnya.

Orang itu melihat peristiwa dilapangan sejak permulaan sampai saat-saat terakhir. Namun selalu saja ia menjadi kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka berkali-kali ia menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja selalu menahan dirinya.

Kini ia melihat permainan yang dilakukan oleh Untara itu. Betapa iapun menjadi tersinggung karenanya. Ia melihat kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan Sidanti, namun kesempatan itu tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah tentu Sidanti sendiri tidak dapat melihat keadaan itu. Sidanti sendiri sedang memusatkan perhatiannya dalam perlawanannya, sehingga kempatan dan jarak yang diperlukan tidak dimilikinya.

Orang itu adalah Ki Tambak Wedi.

Dengan menghentak-hentakkan kakinya, ia menahan segenap perasaan yang bergelora didalam dadanya. Ia melihat betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya itu dalam perlombaan memanah. Namun didalam hati kecilnya ia bergumam “Benar-benar anak setan. Kecakapan Sadewa bermain panah tercermin pada anak itu”

Sedang kini anak Ki Sadewa yang besar, Untara, sedang bertempur pula melawan muridnya. Dan ternyata anak Sedawa itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu telah memberi beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah itu suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi.

Dengan nafas yang tertahan-tahan, ia melihat Sidanti masih bertempur mati-matian. Namun ia melihat juga bahwa sebenarnya Untara dengan segera dapat menghancurkan pertahanan Sidanti.

“Hem” geramnya.

Ki Tambak Wedi itu kemudian memandang berkeliling diantara orang-orang yang melihat perkelahian itu. Dadayna tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba memaksa Widura untuk memenuhi tuntutan muridnya dan menakut-nakutinya dengan tanda-tanda yang diberikannya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat habis-habisan didalam hatinya, ketika ia melihat sebuah cemeti yang melenting jatuh ditengah-tengah arena itu pula. Meskipun ia belum tahu, betapa tinggi nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang telah bersedia untuk ikut serta melibatkan diri dalam pertentangan melawannya, apabila ia ikut campur dalam persoalan anak-anak muda di Sangkal Putung itu. Tetapi sampai demikian jauh, Ki Tambak Wedi belum mengetahui, siapakah orangnya yang telah berani meletakkan diri untuk melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu hampir sempurna itu.

Tetapi kini, ia melihat Sidanti berada dalam kesulitan. karena itu, maka apakah ia akan berdiam diri saja, membiarkan Sidanti menjadi bahan permainan Untara? Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mendesak maju. Menyusup diantara para penonton dan kemudian berusaha untuk dapat melihat setiap peristiwa dengan semakin jelas.

Pertempuran diarena itu masih saja berlangsung dengan serunya, meskipun semakin lama sudah menjadi semakin kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup berbahaya apabila Untara sedikit kurang berwaspada. Sedangkan Untara sendiri dengan sengaja telah mengurangi tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga kemudian Sidanti benar-benar mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh Untara. Sidanti menganggap kemudian, bahwa perkelahian itu tidak akan dapat berakhir. Kedua-duanya pasti akan berhenti kelelahan. Meskipun Sidanti itu mengumpat-umpat didalam hatinya, namun hal yang demikian itu pasti akan lebih baik daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan keadaanya itu, maka Sidanti masih akan dapat menepuk dada, bahwa Sidanti tidak dapat dikalahkan oleh seeorang yang sekalipun mendapat kepercayaan dari pimpinan tertinggi Wiratamtama.

Maka Sidanti itupun teringat pula akan perkelahiannya dengan Widura. mereka akhirnya terpaksa menghentikan perkelahian setelah mereka hampir-hampir tak mampu lagi berdiri. Kini peristiwa itu akan terulang kembali.

Dan sebenarnyalah hal itu berlaku baginya.

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka tenaga Sidanti itu seakan-akan benar-benar telah habis terperas. Setiap kali, ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya yang tak mengenai sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan bangun kembali. Sedang Untarapun berbuat hal-hal serupa. Kadang-kadang mereka berdua terpaksa jatuh bersama-sama dan kemudian dengan susah payah bangun bersama-sama pula. sedemikian sering hal-hal yang serupa terjadi, sehingga akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu, apakah Untara itu sebenarna kelelahan ataukah ia masih dalam permainannya yang baik. Tetapi yang mereka lihat kemudian, kedua-duanya itupun menjadi jatuh bangun berkali-kali.

Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi sudah tidak sabar lagi melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat sesuatu sebelum Sidanti benar-benar menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada Widura dan Untara, bahwa kemauannya tak boleh diabaikan. Ia akan tetap pada pendiriannya, sepasar sejak malam kemarin. Widura harus sudah merubah sikapnya terhadap Sidanti. Meskipun rencana itu kemudian pasti akan terpengaruh oleh kehadiran Untara, namun Untara itu sendiripun harus dapat ditundukkannya pula seperi Widura. Tetapi Ki Tambak Wedi itupun sadar, bahwa agaknya pendirian Widura sukar untuk dapat ditundukkan. Ia telah bertekad untuk memeluk kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Apalagi kini Untara ada diantara mereka, sehingga dengan demikian pekerjaannya akan menjadi semakin sulit.

“Aku akan hadir diantara mereka” pikir Ki Tambak Wedi “Dan aku akan memberikan beberapa pertunjukan, supaya Untara itupun meyakini keadaannya, serta keadaan Sangkal Putung. Sedang apabila orang yang melontarkan cemetinya itu benar-benar ingin membuat perhitungan dengan Tambak Wedi, maka kesempatan inipun akan aku terima pula”

Setelah mendapat ketetapan itu, maka Ki Tambak Wedi itupun beringsut semakin maju lagi. Sekali lagi matanya beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan yang ada disekitar tempat itu.

Ketika kemudian dipandanginya arena diantara lingkaran orang yang pepat, Ki Tambak Wedi masih melihat muridnya berjuang sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat, Sidanti menyerang Untara dengan kakinya. Tetapi serangan itu dapat dihindari oleh lawannya, sehingga karena tubuhnya sudah sedemikian lemahnya Sidanti terbawa oleh kekuatannya sendiri, terhuyung-huyung hanya beberapa langkah disamping Untara. Kalau pada saat itu Untara meloncat kesampingnya dan menghantam tengkuknya, maka pertempuran itupun akan berakhir. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Dibiarkannya Sidanti menemukan keseimbangannya kembali. Kemudian baru ia melangkah maju dan mengayunkan tangannya menyerang dada lawannya dengan gerak yang amat lamban. Sudah tentu Sidanti telah sempat menarik dirinya mundur, sehingga serangan Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu masih sempat dengan tangan kanannya menghantam pergelangan tangan Untara, meskipun Untara masih cukup cepat menghindarinya.

Tetapi bagi Ki Tambak Wedi, perbuatan Untara itu adalah suatu penghinaan bagi harga dirinya. Ki Tambak Wedi mengumpat tak habis-habisnya atas kekalahan muridnya berturut-turut. karena itu maka tak ada jalan lain daripada dengan tenaganya, memaksa Untara dan Widura mengakui kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa persoalan, sehingga kesempatan-kesempatan Sidanti akan menjadi lebih besar lagi dalam lingkungan Wiratamtama.

Itulah sebabnya, maka tekadnya menjadi bulat. Ia harus menampakkan dirinya.

Tetapi ketika sekali lagi ia mendesak maju, didengarnya seseorang mendehem disampingnya. Mula-mula Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada orang lain, namun setiap ia menyusup, maka orang itupun selalu berada disampingnya, dan bahkan selalu saja mendehem tak habis-habisnya.

Ki Tambak Wedi itupun kemudian berpaling. Dilihatnya disampingnya seseorang yang sebaya dengan umurnya tersenyum kepadanya.

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun matanya yang tajam dapat melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil tersenyum disampingnya itu.

Namun orang itu sama sekali tak menarik perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali tak mempedulikannya. Tetapi ketika ia melangkah kembali, maka sekali lagi orang itu mengikutinya, bahkan kemudian mendesaknya.

Kini Ki Tambak Wedi tidak dapat mengabaikannya lagi. Orang ini pasti bukan tidak punya maksud dengan perbuatan-perbuatannya itu. karena itu sebagai seorang yang telah masak, maka segera pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda ketengah-tengah arena. Dan Ki Tambak Wedipun tak mau bertanya melingkar-lingkar. Langsung ia bertanya kepada orang disampingnya itu perlahan-lahan “Kaukah yang memiliki cemeti kuda itu tadi?”

Ternyata orang yang berdiri disamping Ki Tambak Wedi itupun tidak mau berputar-putar pula. maka jawabnya lirih “Ya, aku”

“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. “Apa maumu?”

“Tidak apa-apa” jawab orang itu. “Aku juga ingin menonton seperti kau”

“Hanya menonton?” desak Ki Tambak Wedi.

“Ya”jawab orang itu “Selama kau juga hanya menonton”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kini ia telah berhadapan dengan orang yang selama ini menimbulkan bermacam-macam teka-teki padanya. Pasti orang ini pulalah yang kemarin malam telah menggagalkan maksudnya membunuh Widura dengan bunyi cambuk yang menghentak-hentak. karena itu maka katanya perlahan-lahan pula “He, kaukah yang kemarin malam bermain-main dengan cambuk?”

“Ya” jawab orang itu pendek.

Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Siapakah kau?”

Orang itu tertawa. Sesaat ia berdiam diri, sedang orang-orang disamping mereka, yang sedang terpukau oleh perkelahian ditangah-tengah arena itu, agaknya sama sekali tak memperhatikan percakapan itu.

Baru sesaat kemudia n orang itu menjawab “Gringsing. Namaku Kiai Gringsing”

“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Nama yang dapat disebutkan oleh setiap mulut, juga setiap mulut dapat menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itupun segera maklum, bahwa kalau itu pasti nama yang dibuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu. karena itu sahutnya “Ternyata kau lebih beruntung daripadaku”

“Kenapa?” bertanya orang itu.

“Kau telah menabung satu kemenangan. Kau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenalmu” jawab Ki Tambak Wedi.

“Aku sudah memperkenalkan diri” berkata orang itu.

“Hem. Aku bukan anak-anak” potong Ki Tambak Wedi.

Kemudian untuk sesaat merekapun berdiam diri. Pertempuran antara Sidanti dan Untara menjadi semakin lambat. Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai dirinnya. Ayunan-ayunan tangan mereka adalah tenaga yang akan membawa mereka sendiri dalam satu tarikan yang kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan mereka sehingga terguling ditanah. Tetapi mata-mata yang tajam akan meragukan keadaan Untara. Betapapun ia mencoba berbuat sebaik-baiknya namun kadang-kadang kelincahannya masih tampak juga. Tetapi sedemikian jauh, Sidanti dan orang-orang yang berdiri disekitarnya pada umumnya tak dapat mengertinya. Bahkan didalam hati mereka, mereka berkata “Sidanti benar-benar seorang yang tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang yang bernama Untara itu. Seorang yang namanya menjadi buah bibir setiap prajurit didaerah selatan dan barat daya. Disekitar gunung Merapi”.

Tetapi Widura berkali-kali menarik nafas dalam-dalam, sedang Agung Sedayu yang mengetahui keadaan sebenarnya itupun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari, betapa Untara telah mementingkan tugasnya daripada sekedar harga dirinya yang berlebih-lebihan.

Gigi Ki Tambak Wedi itupun beradu pula. seakan-akan ia sedang menahan sesuatu yang bergelora didalam dadanya. Maka ketika kemudian ia melihat Sidanti dan Untara itu jatuh bangun berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itupun berkata “Aku akan masuk kedalam arena”

Kiai Gringsing itu berpaling. Kemudian ia tersenyum kecil. Katanya “Aku ikut. Boleh?”

“Jangan membuat persoalan dengan aku. Apakah kau guru Untara atau Widura?” bertanya Ki Tambak Wedi.

Kiai Gringsing tertawa pula. “Aneh” jawabnya “Apakah kau benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Bukankah guru anak-anak itu telah mati?”

“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya “Mungkin kau meneruskan pekerjaan Sadewa?”

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepala. Sahutnya “Kaupun tahu, bahwa unsur-unsur gerak mereka hampir-hampir murni. Kalau mereka memiliki guru lain, maka kau pasti akan mengetahui”

“Hem” sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram “Persetan. Tetapi jangan ganggu aku. Apa kepentinganmu dengan anak-anak itu?”

“Tidak apa-apa. aku bukan sanak bukan kadangnya. Tetapi sebaiknya, biarlah anak-anak itu bermain-main sesama mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?”

“Suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi” jawab guru Sidanti itu.

“Kau terlalu perasa” berkata Kiai Gringsing “Jangan terlalu kau manjakan muridmu itu, supaya ia dapat menemukan kebahagiaan hidup kelak”

“Jangan gurui aku. Pergi kemana kau kehendaki. Aku akan mengajar Untara itu menilai pendapat orang lain”

“Aku ikut”

“Jangan gila”

“Biarlah anak-anak bermain-main sesama mereka. Dan biarlah kami orang-orang tua membuat permainan sendiri”

Mata Ki Tambak Wedi kini benar-benar memancarkan kemarahan yang menyala didalam dadanya. Diamatinya wajah orang yang berdiri disampingnya itu dengan seksama. Wajah itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi curiga. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun kemudian Ki Tambak Wedi itu melihat garis-garis yang tidak wajar pada wajah itu.

“Kenapa kau coreng-coreng mukamu?” tiba-tiba ia bertanya.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya “apakah kau melihat coreng moreng ini?”

“Aku tidak buta” sahut Ki Tambak Wedi.

“Kau benar-benar bermata tajam melampaui mata burung hantu” sahut Kiai Gringsing. Dan katanya kemudian “Ya. Aku agak sakit mata. karena itu aku menggoreskan beberapa jenis obat-obatan dahi dan pelipisku”

“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa kemarahannya melanda-landa dadanya, namun semakin lama menjadi semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu bukanlah seseorang yang membanggakan diri hanya karena kemenangan-kemengangan kecil yang pernah dialaminya.

“Jadi bagaimanakah maksudmu?” bertanya Ki Tambak Wedi

“Biarkan mereka hidup dalam damai. Kalau Sidanti itu tidak terlalu bernafsu untuk hal-hal yang aneh-aneh, dan kau tak mendorong-dorongnya, maka tak akan ada persoalan diantara mereka”

“Itu adalah suatu contoh dari seorang tua yang berotak beku. Ketenangan tidak selamanya baik. Dengan ketenangan itu Sidanti selamanya akan tetap ditempatnya”

“Tetapi tingkat demi tingkat harus dicapainya dengan wajar”

“Diamlah. Jangan ganggu aku”

Ki Tambak Wedi itu kemudian melangkah setapak maju diantara beberapa orang yang berdiri disekitarnya. Namun Kiai Gringsing itupun melangkah maju pula.

“Aku peringatkan kau sekali lagi” desah Ki Tambak Wedi.

“Peringatan buatmu sendiri” sahut Kiai Gringsing.

Kini Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Tetapi untuk bertempur dengan orang yang menyebut namanya Kiai Gringsing itupun masih memerlukan berbagai pertimbangan. Sidanti telah benar-benar payah. Sedang agaknya Untara masih cukup segar untuk menundukkan apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali. Kalau orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkannya dengan segera, maka baik Sidanti maupun dirinya sendiri pasti akan menemui kesulitan. Widura, Agung Sedayu dan orang-orang Widura yang lain masih ada dalam keadaan yang segar. Betapapun mereka seorang demi seorang tak akan berarti baginya, namun kalau mereka bergerak bersama-sama dan diantaranya orang yang bernama Kiai Gringsing ini, maka keadaannya akan sangat berbeda. Setidak-tidaknya keadaan Sidantilah yang akan menjadi sangat berbahaya. Tidak mustahil Untara menjadi bermata gelap dan membinasakannya. karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu ingin mengetahui sampai dimana kemampuan kekuatan Kiai Gringsing. Meskipun apa yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti keadaan sebenarnya, namun dengan caranya maka Ki Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan sampai berapa jauh kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu.

Maka, ketika dia itu telah berdiri disampingnya, Ki Tambak Wedi itupun berkata sambil menepuk bahu Kiai Gringsing “Ki sanak, apakah kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut serta dalam permainan itu?”

Tetapi Kiai Gringsingpun bukan anak-anak yang menundukkan wajahnya apabila seseorang membelai pundaknya. Ketika Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak Wedi bergerak untuk menepuk pundaknya, maka segera orang itu seakan-akan mengerutkan tubuhnya, sehingga ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi, kedua-duanya menjadi kagum akan kekuatan masing-masing. Sentuhan itu seolah-olah beradunya dua batang besi baja yang berlaga.

Ketika Ki Tambak Wedi kemudian berpaling dan memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya wajah itu tersenyum. katanya “Kau akan mematahkan pundakku. Tanganmu keras seperti batu”

“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Orang ini benar-benar bukan orang yang sekedar menyombongkan diri. Ketika ia meraba pundak Kiai Gringsing, seluruh kekuatannya telah dipusatkannya diujung jari-jarinya. Seandainya Kiai Gringsing tidak memiliki daya tahan yang seimbang, maka pundak itu pasti akan luka didalam. Bahkan mungkin sebelah tangannya akan lumpuh. Apalagi orang kebanyakan, maka tulang-tulang bahunya pasti akan remuk.

Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu, ternyata telah memberikan perlawanan yang wajar tanpa menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya Kiai Gringsing itu telah menyalurkan kekuatan daya tahannya dipundaknya. Sehingga karena itu ketukan tangan Ki Tambak Wedi tak melukainya.

Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi benar-benar harus berpikir. Diarena, pertempuran menjadi semakin lambat. Bahkan hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya Sidanti menebarkan pandangan matanya berkeliling. Agaknya anak itu benar-benar mengharapkan kehadiran gurunya. Tetapi kini disamping Ki Tambak Wedi, berdiri seorang yang dapat mengimbangi kekuatannya.

Namun Ki Tambak Wedi agaknya belum puas dengan percobaannya. Ketukan tangannya itu belum meyakinkannya. Ia ingin sekali lagi melihat apakah ia harus mempertimbangkan orang itu benar-benar. karena itu maka desisnya “Ki sanak. Aku akan mengucapkan selamat atas kesentausaan ki sanak. Pundak Ki Sanak itu benar-benar sekeras baja. Aku kira aku belum pernah melihat seorangpun dari daerah gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak. Dan nama Kiai Gringsingpun merupakan nama baru bagiku”

Kiai Gringsing itupun tiba-tiba tertawa, meskipun ia berusaha untuk menahannya, sehingga satu dua orang berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa itu terputus, maka orang-orang itupun tidak memperhatikannya lagi.

Kiai Gringsing itu segera menyadari tantangan Ki Tambak Wedi. bahkan didalam hati ia berkata “Tantangan yang bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorangpun yang mengetahuinya”

“bagaimana ki Sanak?” desak Ki Tambak Wedi.

“Terima kasih atas ucapan selamat ini” belum lagi Kiai Gringsing selesai berkata, dilihatnya Ki Tambak Wedi mengulurkan tangannya. Kiai Gringsingpun kemudian menyambut tangan itu. Dan keduanya bersalaman. Namun tak seorangpun yang mengetahui, bahwa sebenarnya mereka itu sedang bertempur. Masing-masing mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya ketelapak tangannya, yang sedang bersalaman itu. Masing-masing menekankan jari-jarinya sekuat-kuat tenaga mereka dan berusaha meremukkan tulang-tulang lawannya. Namun ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan itupun seakan-akan berubah menjadi gumpalan-gumpalan besi baja yang saling himpit menghimpit. Betapa mereka berjuang untuk melumatkan tangan lawannya. Tetapi mereka akhirnya harus mengakui bahwa mereka satu sama lain tak akan dapat saling mengalahkan. Meskipun demikian, keringat mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka, melampaui keringat mereka yang sedang bertempur, namun mereka harus menyadari, bahwa kekuatan mereka berimbang.

Sedemikian kuatnya mereka memeras tenaga lahir dan batin mereka, sehingga terasa tubuh-tubuh mereka menjadi panas, dan leher mereka serasa kering. Tetapi genggaman mereka tidak juga menjadi berubah. Keseimbangan itu tetap berlangsung sehingga kemudian terdengar Ki Tambak Wedi menggeram “Bukan main”

“Apa yang bukan main?” sahut Kiai Gringsing.

Ki Tambak Wedi tidak menjawab. dicobanya unruk menuntaskan tenaganya, namun Kiai Gringsingpun berbuat serupa. Sehingga karenanya maka keadaan itupun tidak juga berubah.

Akhirnya Ki Tambak Wedi melihat, bahwa tidak ada gunanya pertempuran yang aneh itu diteruskan. karena itu maka katanya “Aku sudah menyampaikan ucapan selamat itu”

Kiai Gringsing masih belum melemahkan genggamannya. Jawabnya “Terima kasih atas ucapan selamat yang cukup hangat ini”

Akhirnya keduanya sedikit demi sedikit mengurangi tekanan-tekanan pada telapak-telapak tangan mereka. Sehingga dengan demikian maka akhirnya tangan mereka itupun terurai.

“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata “Baru sekali ini aku menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya melampaui hangatnya api neraka”

“karena itu sebabnya maka kau berani menghalang-halangi maksudku” berkata Ki Tambak Wedi tanpa menjawab kata-kata Kiai Gringsing “Ternyata orang yang menamakan diri Kiai Gringsing adalah orang yang mampu menyamai kekuatankua. Namun apakah ilmu kanuragan dan tata perkelahianmu dapat menyamai Ki Tambak Wedi?”

Kiai Gringsing menggeleng “Entahlah, aku belum pernah berkelahi melawan Ki Tambak Wedi. sebenarnyalah bahwa aku tidak senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang tanpa arti”

“Omong kosong” desak Ki Tambak Wedi.

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi kini ia melihat perkelahian diarena. Dan Ki Tambak Wedipun kemudian melihat kesana pula.

Sekali-sekali mereka masih mengayunkan serangan-serangan mereka berganti-ganti. Tetapi perkelahian itu sudah tidak merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar berdiri berhadap-hadapan dan kadang-kadang menggerakkan tangan-tangan mereka atau kaki-kaki mereka, untuk kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah. Kalau tangan mereka sekali-sekali beradu. Maka mereka kedua-duanya terdorong kebelakang dan jatuh bersama-sama.

Kini Untara dan Sidanti itu berdiri berhadap-hadapan. Hanya mata mereka sajalah yang masih tetap menyala. Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan. Namun kemudian terdengar Untara berkata “Sidanti, apakah hasil dari perkelahian ini?”

Terdengat gigi Sidanti gemeretak. Nyala yang memancar dari matanya itu seakan-akan ingin membakar hangus lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya “Untara, ternyata namamu hanya sekedar untuk menakut-nakuti lawan-lawanmu. Disini sekarang orang dapat melihat bahwa kau tidak lebih dari Sidanti”

“Ya” sahut Untara “Itukah hasil yang memang kau inginkan dari perkelahian ini, sehingga orang dapat menilai keunggulan Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?”

“Ya, Sidanti ingin membuktikan, bahwa Sidanti berhak untuk menamakan dirinya sejajar dengan Untara”

“Bagus” berkata Untara “Kalau hanya itu yang kau inginkan, kenapa tidak kau katakan sejak tadi? Dengan demikian kita tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan? Tenaga kita terbuang tanpa arti”

“Cukup berarti bagiku”

“Kau menjadi puas karenanya?”

“Belum, aku ingin menundukkanmu”

“Apakah kausangka akan berhasil?”

“Kalau tidak sekarang, pada kesempatan lain”

“Baik, kalau begitu biarlah kita bicarakan pada kesempatan lain itu. Sekarang kau sudah puas?”

Sekali lagi Sidanti menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ya, apakah ia sudah puas? Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan?

Sidanti itu terdiam sesaat. Tetapi untuk menutupi kegelisahannya ia bertanya “Apakah perkelahian ini kita lanjutkan Untara?”

Untara tersenyum pahit. Jawabnya “Apakah kau memandang bahwa perkelahian seterusnya akan bermanfaat bagimu?”

“Persetan. Aku bertanya kepadamu”

Sekarang Untara terdiam sesaat. Tetapi tiba-tiba kemudian ia berkata “Persoalan antara aku dan Sidanti telah kami anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila pada masa-masa yang akan datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali. Sekarang kembali ke kademangan”

“Jangan menganggap soal diantara kita sudah selesai. Soal itu baru selesai apabila Untara telah mengakui keunggulan Sidanti daripadanya” berkata Sidanti dengan sombongnya.

Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan sekali lagi ia mengangkat wajahnya sambil berkata “Paman Widura, kembali ke kademangan”

Widura itupun seakan-akan menjadi tersadar dari mimpinya yang dahsyat. karena itu dengan tergagap ia menjawab “Baik, Untara. Kita akan segera kembali”

Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata “Tinggalkan lapangan ini. Kembali ke kademangan”

Orang-orang Widurapun kemudian mulai bergerak dari tempat mereka, setelah mereka terpaku beberapa lama. Orang-orang lainpun kemudian menghambur pula dari lingkaran itu, pulang kerumah masing-masing dengan kesan yang aneh didalam hati mereka. Mereka melihat perkelahian yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian dari mereka bertanya-tanya pula didalam hati mereka “Apakah Untara benar-benar tak mampu mengalahkan Sidanti?” Sedang orang lain berkata didalam hatinya “Sidanti benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Ternyata ia mampu melawan Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir”

Tetapi Widura, Agung Sedayu, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing melihat apa yang sebenarnya terjadi, bahkan beberapa orang anak buah Widurapun merasakan sesuatu yang aneh dari pertempuran itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengerti, apakah yang aneh itu.

Ketika orang-orang disekitar arena itu sudah siap meninggalkan lapangan, maka terdengar Sidanti itu berkata “Aku tinggal disini”

“Kaupun kembali ke kademangan, Sidanti” berkata Untara.

“Tidak” jawab Sidanti.

“Kau dengar perintah ini? Kali ini aku berbicara bukan atas nama pribadiku. Kau dengar?”

Tubuh Sidanti itu menggigil karena marah. Tetapi tubuhnya benar-benar telah lemah. Sedang gurunya masih belum juga menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian menduga bahwa gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda diarena itu.

Karena Sidanti itu masih tegak ditempatnya terdengar Untara mengulangi “Sidanti, kembali ke kademangan. Jangan melawan perintah”

Sidanti menggeram. Tetapi ia telah menjadi sedikit puas, bahwa orang-orang Sangkal Putung telah melihat, bahwa ia mampu melawan Untara yang perkasa dalam perkelahian yang tak berakhir. Dengan demikian, maka meskipun ia terpaksa menuruti perintahnya, namun itu adalah karena tugasnya sebagai seorang prajurit. Tetapi nilai seorang-seorang, ia adalah sejajar dengan Untara. Dan karena kebanggaannya itulah, maka ia tidak menjadi terlalu berkeras hati. Betapapun segannya, ia berjalan juga meninggalkan lapangan itu menuju kekademangan. Disepanjang jalan ia masih dapat menengadahkan wajahnya, seakan-akan berkata kepada setiap orang yang dijumpainya “Inilah Sidanti, yang mampu menyamai keperwiraan Untara, orang yang mendapat kuasa langsung dari pimpinan tertinggi Wiratamtama”

Demikianlah maka satu demi satu orang-orang yang berada dilapangan itu pergi dengan kesan masing-masing. Dibelakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya, berjalan Untara dan Widura. Dibelakang mereka berjalan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu kini tidak lagi berjalan menunduk, tetapi wajahnyapun tengadah seperti juga Sidanti. Dan orang-orangpun memandangnya dengan penuh kekaguman. Apabila Sidanti mampu menyamai keperwiraan Untara, maka Agung Sedayu memiliki ketangkasan memanah melampaui Sidanti.

Bahkan ada diantara mereka yang bertanya-tanya didalam hati mereka “Apakah Agung Sedayu ini melampaui kakak kandungnya, sehingga iapun akan sanggup mengalahkan Sidanti?”

Namun perlombaan dilapangan itu telah benar-benar berkesan dihati para penontonnya, orang-orang Sangkal Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir pasti, siapakah orang-orangnya yang menjadi tiang kademangannya, Sidanti, Agung Sedayu dan sekarang hadir Untara disamping Widura sendiri. Meskipun mereka ternyata seakan-akan bersaing satu dengan yang lain, namun berkumpulnya tokoh-tokoh itu di Sangkal Putung, agaknya telah memberi sedikit ketenangan kepada penduduk yang menyimpan berbagai macam perbekalan dipadukuhan dan kademangan mereka itu.

Sekar Mirah kini tak dapat berlari-lari menyusul Agung Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya membimbingnya tanpa melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh dibelakang mereka sambil menuntun kudanya. Tetapi wajahnya kini telah menjadi lebih terang. Untunglah bahwa dipalangan itu benar-benar tidak jatuh korban. Ia menjadi menyesal juga atas perbuatannya. Namun sebenarnya, disudut hatinya, terasa juga kekecewaannya atas Untara. Ternyata Untara itu tidak mampu untuk melumpuhkan Sidanti. Meskipun kadang-kadang ia berpikir juga, ketika ia melihat Untara dan Widura lewat dimukanya, langkah Untara itu masih jauh lebih tegap dari langkah Sidanti yang hampir terhuyung-huyung meskipun dengan wajah tengadah.

Ketika mereka telah meninggalkan lapangan, dan berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan, Widura yang berjalan disamping kemenakannya itu tiba-tiba menggamit pundaknya “Untara”

Untara berpaling. “Ya” katanya.

“Aku belum sempat bertanya kepadamu, kemana kau selama ini, namun aku masih menyimpan pertanyaan lain yang ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau biarkan Sidanti masih menepuk dadanya?”

Untara tersenyum sambil menarik nafas. Ketika ia menoleh dilihatnya adiknya berjalan dibelakangnya. Tiba-tiba terbesitlah sesuatu didalam dadanya. Adiknya kini benar-benar telah menjadi seorang anak laki-laki. Karena itu, sebelum ia menjawab pertanyaan pamannya ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri “Hem, Sedayu agaknya telah menemukan dirinya sendiri”

Agung Sedayu yang berjalan sambil mengangkat wajahnya itu terkejut. Tiba-tiba saja kepalanya itu ditundukkannya. Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar kata-kata kakaknya itu. Namun ia masih berdiam diri saja.

Sesaat kemudian baru Untara itu menjawab pertanyaan Widura “Sidanti adalah seorang anak perasa dan pendendam. Karena itu ia sebenarnya sangat berbahaya. Biarlah ia menikmati kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar membujuknya. Kalau anak itu memberontak terhadap perintah-perintah paman bersamaan waktunya dengan kedatangan Tohpati, maka keadaan paman disini akan menjadi sangat kalut. Biarlah anak itu mendapat sekedar kepuasan dan besok kalau Tohpati itu datang, maka kita akan dapat melawannya dengan kekuatan sepenuhnya”

“Hem” Widura menarik nafas panjang-panjang. Katanya “Sudah aku usahakan dengan beribu-ribu cara. Aku biarkan ia berbuat sekehendaknya, meskipun kadang-kadang aku memaksanya dengan kekerasan. Namun anak itu memang mempunyai tuntutan pribadi yang berlebih-lebihan. Apalagi agaknya gurunya selalu memberinya harapan-harapan, sehingga karena itu perbuatan-perbuatannya kadang-kadang melampaui batas”

“Mudah-mudahan paman bijaksana” sahut Untara.

“Tetapi” tiba-tiba Agung Sedayu menyela “Apabila paman telah memanjakannya, maka ia akan bertambah berani menentang kehendak paman”

Widura dan Untara berpaling bersama-sama. Namun kemudian Widura itu tersenyum. Katanya “Tentu tidak mungkin kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu persoalan. Anak-anak yang lainpun menganggap demikian. Namun bukankah berkali-kali aku memberi kesempatan kepadamu, Agung Sedayu? Aku mengharap bahwa kaulah, sebelum kedatangan kakakmu, seperti juga harapan anak buahku, akan dapat sedikit memberinya peringatan. Ia tersenyum, agaknya kau selama ini terlalu baik hati, sehingga kau tidak pernah melayaninya, betapapun Sidanti itu menyakiti hatimu”

Agung Sedayu menggigit bibirnya sambil menundukkan wajahnya. Sedang Untarapun tersenyum pula karenanya. Katanya “Paman, apakah yang dikerjakan Agung Sedayu selama ini?”

“Ia datang sebagai pahlawan” sebut pamannya. “Namun seterusnya ia lebih senang duduk dipringgitan siang dan malam”

“Ah” desah Agung Sedayu.

Untara tertawa. Kemudian katanya “Aku dengar, kau telah berhasil mengalahkan genderuwo bermata satu ditikungan randu alas, Sedayu?”

Agung Sedayu masih menundukkan wajahnya. Sudah beberapa lama ia lupa pada genderuwo itu. Dan tiba-tiba ia kini menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut kepada nama-nama yang belum pernah dikenal adanya. Genderuwo bermata satu, macan putih dari Lemah Cengkar, namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya dua-duanya menjadi gemetar ketika tiba-tiba Sidanti marah kepadanya, pada saat ia sedang bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.

“Sekar Mirah. Ya, Sekar Mirah” tiba-tiba hatinya berteriak “Aku kehilangan setiap kesempatan bertemu dengan gadis itu, bukankah karena aku takut kepada Sidanti? Kini aku tidak takut lagi kepadanya. Dan aku tidak akan menghindari setiap pertemuan dengan gadis itu”

Tetapi yang kemudian didengarnya adalah kata-kata pamannya “Untara, kedatanganmu aku harap akan membawa angin baru bagi kademangan ini. Dan malam nanti jangan kau harap kau akan dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus bercerita kepada kami disini, dimana kau selama ini, dan apa yang telah terjadi dengan dirimu. Berhari-hari aku dan Agung Sedayu mencarimu, namun yang kami ketemukan adalah seorang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing”.

Betapapun dinginnya malam, namun Untara itupun merasa, bahwa keringatnya tidak juga menjadi kering. Ketika ia sampai dikademangan, maka pertama kali yang dilakukannya adalah mandi. Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya telah mulai mengaliri tubuhnya kembali. Sedang dikepalanya selalu berputar-putar berbagai pertanyaan yang nanti pasti harus dijawabnya. Apakah yang akan dikatakan, seandainya seseorang bertanya kepadanya, kemanakah ia selama ini, dan apa sajakah yang sudah dilakukannya?

Tetapi akhirnya yan dicemaskannya itupun terjadi. Ketika ia duduk dipringgitan bersama-sama dengan Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka dari pintu berunculan para pemimpin laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Satu demi satu, tanpa dipersilakan. Mereka kemudian duduk melingkar diatas tikar anyaman ditengah-tengah pringgitan itu.

Dipendapa Sidanti duduk ditempatnya sambil menimang-nimang senjatanya yang masih terbalut wrangka dikedua ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu diselubunginya dengan kain putih.

Keitka ia melihat beberapa orang masuk kepringgitan, ia mencibirkan bibirnya. “Buat apa mengerumuni anak yang sombong itu?” katanya dalam hati. “Aku sangka Untara itu setidak-tidaknya dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan. Tetapi ternyata ia tidak lebih baik dari Widura sendiri”

Dengan mata yang redup ia memandangi setiap orang yang berjalan didekatnya. Bahkan kemudian dengan malasnya ia berbaring sambil menguap keras-keras.

Seorang prajurit yang tidak jauh daripadanya berkata “Ah, kakang Sidanti, kau mengejutkan aku”

‘Huh” sahut Sidanti “Kenapa kau tidak ikut masuk kepringgitan saja?”

“Hanya para pemimpin kelompok yang boleh masuk. Pringgitan itu terlalu sempit” jawab orang itu. “Kenapa kakang tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?”

“Buat apa aku mendengarkan bualannya? Ternyata aku kecewa setelah aku menilai sendiri kekuatan orang yang bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku mendengar namanya. Sekarang ternyata aku sama sekali tidak mempunyai harapan apapun atas kehadirannya. Kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita masih akan sama saja. Apalagi agaknya Macan Kepatihan telah melihat kekuatan yang ada di Sangkal Putung. Ia pasti tidak akan datang dengan kekuatan yang sama dengan pada saat ia datang dahulu”

Prajurit itu tidak menjawab. iapun mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Sidanti. Ada juga rasa kecewa didadanya, setelah ia melihat Untara dan Sidanti bertempur. Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling mengalahkan. Dengan demikian, maka apa yang diharapkan dari Untara untuk melawan Macan Kepatihan akan tidak terpenuhi.

Apabila kelak Macan Kepatihan itu datang beserta laskarnya yang lebih kuat, serta apabila Macan Kepatihan berhasil mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka keadaan Sangkal Putung pasti benar-benar ada dalam bahaya.

Tetapi prajurit itu tidak bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berjalan kehalaman dan duduk termenung diatas sebuah batu. Dilihatnya beberapa kawannya yang berada diregol halaman, tampak selalu berwaspada, sedang dimuka gandok dilihatnya beberapa orang tidur mendengkur sambil memeluk pedang-pedang mereka.

Tetapi sebentar kemudian prajurit itupun menjadi mengantuk pula, sehingga dengan segannya iapun berjalan kegandok wetan, dan merebahkan diri disamping kawan-kawannya. Tetapi ia tidak berhasil memejamkan matanya. Berkali-kali ia tersadar karena kegelisahannya.

Dipringgitan, Untara terpaksa mendengarkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi menghujaninya. Beberapa pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang lain telah membingungkannya.

Pelun dingin mengalir dikening Untara ketika ia mendengar pamannya bertanya “Untara, aku telah sampai kerumah Ki Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat menemukan jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang mengatakan bahwa kau telah diculik oleh gerombolan Alap-alap Jalatunda. Tetapi sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dengan segar bugar. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di dukuh Pakuwon?”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia berpikir, kemudian ia menjawab “Ya, aku memang dalam kesulitan waktu itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku”

“Siapa?” bertanya Widura.

Untara itu kemudian memandang berkeliling. Satu per satu, wajah-wajah yang penuh minat memperhatikannya itu ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab “Aku ditolong oleh seorang yang tak kukenal, karena wajahnya ditutup oleh sebuah topeng”

“Kiai Gringsing?” sela Widura.

“Ya”

Widura tertawa. Agung Sedayupun tersenyum juga. Tetapi orang lain, yang belum pernah mengenal Kiai Gringsing menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri. Mereka menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura selanjutnya.

Tetapi yang berkata kemudian adalah Untara “Kenapa paman tertawa?”

“Aku pernah bertemu dengan Kiai Gringsing”

“Lalu?”

“Aku pernah melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu Metir”

“Apa hubungannya dengan Kiai Gringsing?”

“Kiai Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang kerumah Ki Tanu Metir”

Untara mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian iapun tersenyum pula. katanya “Kiai Gringsing memang orang yang aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita tentang orang itu”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti berpesan kepadanya, untuk merahasiakan dirinya.

“Tetapi” berkata Untara kemudian “Aku mengharap bahwa waktu itu tidak terlalu lama. Syukurlah kalau Kiai Gringsing sendiri datang kepada kita disini dan bercerita tentang dirinya”.

“Bukankah Kiai Gringsing hadir juga dilapangan siang tadi?” bertanya Widura.

“Ya” sahut Untara “Aku melihat ciri-cirinya dilemparkan ketengah-tengah arena, ketika seseorang melemparkan ciri-cirinya yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi”

Widura mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya “Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?”

Untara tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.

Beberapa orang lain yang mendengarkan cerita itu, sebagian besar sama sekali tidak tahu ujung pangkalnya. karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan. Swandaru yang kemudian duduk dibelakang ayahnyapun sama sekali tidak mengerti apa saja yang sedang dipersoalkan.

Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. Beberapa orang menjadi sangat mengantuk dan Untara sendiri menjadi sangat lelah. karena itu katanya “Aku minta maaf, karena aku sangat lelah, apakah aku boleh meninggalkan pertemuan ini?”

Widura tersenyum, jawabnya “Pertemuan tanpa kau tidak akan ada gunanya. karena itu, biarlah pertemuan ini berakhir. Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai keujung malam. Sebentar lagi kita harus sudah bangun dan menunaikan kewajiban kita masing-masing.”

Pringgitan itu sesaat kemudian menjadi sepi. Untara tidak mau tidur dipembaringan Widura. Ia lebih senang tidur diatas sehelai tikar bersama adiknya.

Ketika semuanya telah pergi, dan ketika Untara telah membaringkan dirinya disamping adiknya, maka katanya perlahan-lahan “Apakah yang kau kerjakan selama ini?”

Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya “Aku hampir mati kecemasan”

Untara tersenyum. Katanya “Kalau tidak karena terpaksa oleh keadaan, aku kira kau masih saja suka merengek-rengek. Aku turut berbangga dengan keadaanmu sekarang. Mudah-mudahan penyakitmu tidak kambuh lagi setelah aku datang”

“Mudah-mudahan” gumam Agung Sedayu. Dalam pada itu, terasa sesuatu bergolak didalam dadanya. Ia tiba-tiba saja memiliki perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia sekitarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia meraba luka dipundaknya yang telah dibalut rapi. Luka itu tidak seberapa. Tetapi luka itu seakan-akan telah membangunkannya dari tidur yang nyenyak. Apa yang telah dilakukannya dilapangan, ternyata mampu membangkitkan kebanggaan atas diri sendiri, sehingga karena itu, Agung Sedayu kini melihat kemampuan yang dimilikinya. karena itulah maka kini ia percaya akan dirinya sendiri.

Dihari berikutnya, hampir seluruh penduduk Sangkal Putung bercerita sesamanya tentang apa yang mereka saksikan dilapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung Sedayu, yang dalam ketangkasan memanah dapat melampaui Sidanti. Mereka menjadi kagum pula, bahwa sebelumnya Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk ikut serta dalam perlombaan itu. “Alangkah rendah hatinya anak muda itu” beberapa orang diatara mereka memujinya.

Namun ada pula yang menjadi semakin kagum kepada Sidanti, atau yang menjadi kecewa terhadap Untara. Meskipun demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan kehadiran Untara. Dengan demikian maka kekuatan di Sangkal Putung itu menjadi bertambah.

Tetapi dalam pada itu, penduduk Sangkal Putung menjadi cemas ketika mereka melihat kesiagaan laskar Pajang itu meningkat. Setiap hari mereka melihat, peronda-peronda berkuda hilir mudik dipadukuhan mereka. Peronda-peronda berkuda yang menghubungkan satu desa dengan desa yang lain dalam lingkungan kademangan Sangkal Putung. Bahkan kesiap-siagaan anak-anak muda Sangkal Putungpun meningkat pula. gardu-gardu peronda yang dikhususkan bagi merekapun selalu dipenuhi oleh anak-anak muda itu. Setiap saat mereka berlatih mempergunakan senjata. Sebab mereka merasa, bahwa ilmu tata berkelahi yang ada pada mereka, masih belum mencukupi dibandingkan dengan laskar Pajang, maupun laskar Jipang. Namun tekad merekalah yang agaknya telah memperkuat ketahanan mereka menghadapi setia keadaan.

Sebenarnyalah Widura telah memberikan beberapa peringatan kepada laskarnya, bahwa kemungkinan Macan Kepatihan akan menyergap mereka setiap saat. Karena itulah maka setiap gardu peronda diujung-ujung desa selalu diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang sebaik-baiknya serta beberapa ekor kuda. Dihalaman kademanganpun telah dikumpulkan beberapa ekor kuda yang cukup baik dari segenap penduduk Sangkal Putung. Setiap saat laskar Pajang itu harus bergerak cepat ketempat-tempat yang dianggap sangat berbahaya.

Sedang pada hari itu pula Untara sedang mengagumi cara adiknya untuk meningkatkan ilmunya. Untara melihat beberapa lembar rontal yang telah dilukis oleh Agung Sedayu. Dengan pengetahuan yang jauh lebih luas, Untara berhasil memberikan beberapa petunjuk kepada adiknya mengenai lukisan-lukisannya. Beberapa unsur gerak ternyata menjadi lebih mantap dan lebih sempurna. Untara mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada didalam lukisan adiknya. “Nanti malam biarlah aku melihat ketangkasanmu” berkata Untara kepada adiknya “mudah-mudahan Tohpati tidak menyergap kita hari ini”

Sehari itu dilalui dengan berbagai ketegangan dihati anggota laskar Pajang. Dan bahkan oleh segenap penduduk Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi kewarung diujung desa, kemudian memasak agak lebih banyak dari biasanya. Apabila sewaktu-waktu datang keributan, mereka sudah menyimpan makanan dirumahnya. Bahkan beberapa orang telah mempersiapkan barang-barang yang mereka anggap berharga.

Ketika seorang perempuan sibuk membungkus barang-barangnya, bertanyalah suaminya “Untuk apa barang-barang itu kau kumpulkan?”

“Apakah kita tidak pergi mengungsi saja kakang?”

“Kemana kita akan mengungsi?”

“Ke kademangan-kademangan sebelah”

“Tak ada gunanya. Di kademangan ini ditempatkan sejumlah laskar Pajang. Di kademangan- kademangan lain sama sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja dilewati oleh para peronda dari kademangan ini juga”

Istrinya termenung sesaat, namun kemudian jawabnya “Tetapi aku dengar, kademangan ini menjadi tujuan penyerbuan dari laskar Jipang, sebab kademangan inilah yang dianggap menjadi sumber perbekalan. Sedang kademangan lain tidak”

“Sesudah kademangan ini, akan datang gilirannya kademangan-kademangan lain. Dan kita akan mengungsi dari satu kademangan kelain kademangan”

Istrinya tidak berkata-kata lagi. Meloncat dari satu tempat ketempat lain dengan seluruh anak-anaknya adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal dirumahpun hatinya selalu gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata “Yang sebaik-baiknya adalah mempertahankan kademangan ini bersama-sama dengan laskar Pajang”

“Sampai berapa tahun laskar Pajang itu akan tinggal disini? Bukankah dengan demikian akibatnya akan hampir sama?”

”Kenapa?”

“Mereka makan beras kita yang kita pertahankan dari sergapan laskar Jipang”

“Tidak seberapa. Mereka makan hanya sepenuh-penuh perut mereka. Sedang laskar Jipang akan mengambil semuanya, bahkan dengan semua benda-benda berharga dari kademangan ini”

Kembali istrinya berdiam diri. Ketika suaminya kemudian berkata lagi, hatinya berdebar-debar. Katanya “Nyai, sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap laki-laki ikut serta. Tidak hanya anak-anak muda saja”

“Kau akan pergi juga?”

“Ya” jawab suaminya “Seperti Ranu dan Harda”

Alangkah cemasnya istrinya mendengar kata-kata itu. Kenapa timbul perselisihan dipusat kerajaan, sehingga daerah-daerah yang jauhpun mengalamai akibatnya? Peperangan benar-benar merupakan sesuatu yang mengerikan sekali. Yang memisahkan suami-suami dari istri-istri mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari ibu-ibu mereka. Peperangan telah mematahkan cinta manusia. Cinta sesama.

Tetapi laki-laki itu kemudian pergi juga ke banjar desa bersama dengan laki-laki yang lain. Mereka mengganti cangkul, bajak dan garu dengan pedang digenggaman tangannya.

Demikianlah tidak saja anak-anak muda, kemudian orang-orang yang telah meningkat kepertengahan abadpun ikut serta menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah kelahirannya, bagi kampung halamannya. Mereka menempatkan diri dibawah pengawasan langsung Demang Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas, untuk menjaga kademangan dan lumbung-lumbung desa pada saat-saat yang genting. Sedang anak-anak muda diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung apabila musuh-musuh mereka benar-benar datang.

Tetapi hari itu telah dilewati dengan aman. Laskar Macan Kepatihan sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi tidak mustahil bahwa mereka akan menyergap dimalam hari.

“Setan itu benar-benar mengganggu kademangan ini” gerutu Widura, ketika malam turun. “Mereka barangkali kini sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu berjaga-jaga menunggu kedatangan mereka”

“Pada suatu ketika, kitalah yang mengambil prakarsa. Bukan mereka. Sebab dengan demikian, keadaan kita merekalah yang menentukan” sahut Untara.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Seharusnyalah demikian. Apabila datang saatnya, laskar Pajanglah yang harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk dimusnahkan.

Malam itu seperti yang biasa dilakukan oleh Widura, adalah pergi berkeliling gardu-gardu peronda. Kali ini Widura tidak hanya pergi berdua dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut serta bersama mereka.

Satu persatu Widura mengunjungi gardu-gardu besar, dan pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak seorangpun dari anak buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab sedikit kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya dapat mengerikan sekali. Sehingga dengan dem dengan penuh kesadaran mereka melakukan tugas-tugas mereka dengan penuh tanggung jawab.

Yang terakhir dilakukan oleh Widura adalah pergi kegunung Gowok. Untara ingin melihat, bagaimanakah perkembangan adiknya selama ini. karena itu, maka ketika mereka telah beristirahat sejenak, Untara itupun berkata “Nah Agung Sedayu. Aku ingin melihat, apakah kau hanya sekedar pandai melukis diatas rontal-rontal itu, ataukah kau pandai juga melakukannya”

“Anak itu luar biasa” berkata Widura “Kalau ia memiliki keteguhan hati, maka ia tak akan kalah dengan aku atau Sidanti.”

Untara tersenyum. Katanya kepada adiknya “Hatimu sekecil hati kelinci. Namun agaknya sekarang kau telah menemukan harga dirimu, sehingga karena itu hatimu akan berkembang. Dengan demikian maka kau akan dapat menjadi seorang laki-laki yang tidak menggantungkan nasibmu kepada orang lain.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia ingin menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang telah yang dimilikinya selama ini.

 

~ Article view : [335]