Api di Bukit Menoreh [ series 31-34]

1476

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND

Karya : SH Mintardja

 

Series 31

SIDANTI masih saja diam mematung, dengan tanpa memandanginya Pandan Wangi mengulangi, “Marilah Kakang. Bilikmu telah tersedia. Aku juga telah menyediakan pakaian dan perlengkapan lainnya di dalam gledeg. Aku juga telah menyediakan pakaian untuk gurumu, Ki Tambak Wedi.”

Sidanti menganggukkan kepalanya. Tetapi terasa betapa canggungnya menghadapi adiknya. Ia masih saja terpengaruh oleh perbuatannya di rumah Ki Sentol. Kadang-kadang Sidanti merasa malu sendiri, apakah jadinya seandainya orang-orang Menoreh mengetahuinya, apa yang akan dilakukannya di rumah itu. Tetapi dengan menyembunyikan maksudnya yang sebenarnya, maka ia terperosok bersama-sama dengan paman dan gurunya, ke dalam suatu sikap yang tidak pula kalah sulitnya.

Sidanti terperanjat ketika tiba-tiba ia mendengar Pandan Wangi berkata perlahan sekali, “Apakah Kakang marah kepadaku?”

“Oh, tidak, tidak Wangi,” dengan serta merta Sidanti menyahut sambil melangkahi tlundak pintu gandok Kulon, “Kenapa aku marah?”

“Mungkin Kakang menganggap aku tidak sopan. Aku telah berani melawanmu.”

“Tidak, tidak. Sama sekali tidak. Kita tidak saling mengenal waktu itu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Terheran-heran ia memandangi wajah kakaknya. Tetapi justru dengan demikian tidak sepatah katapun yang diucapkannya.

Sidanti yang melihat keheranan pada sorot mata adiknya tiba-tiba menyadari kesalahannya. Dengan tergesa-gesa ia menyambung, “Maksudku, kau tidak mengenal aku pada waktu itu. Sedang aku memang sengaja mengganggumu.”

“Tetapi apakah Kakang mengetahui, bahwa aku sedikit banyak dapat bermain-main dengan pedang?”

“Tentu Pandan Wangi. Aku mengetahuinya.”

“Dari siapa Kakang tahu atau mendengarnya?”

Sejenak Sidanti terdiam. Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Ia tahu, bahwa Pandan Wangi sama sekali tidak berprasangka apa-apa, tetapi pertanyaannya membuatnya ia pening. Namun tiba-tiba diketemukanya jawabnya, “Bukankah kau berpakaian laki-laki, dan membawa sepasang pedang? Aku semula juga ragu-ragu Wangi, tetapi melihat langkahmu aku yakin, bahwa kau menyimpan ilmu di dalam dirimu. Nah, kemudian timbullah keinginanku untuk melihat, ilmu apakah yang kau simpan itu. Ternyata kau telah mendapat ilmu pedang dari perguruan Menoreh.”

“Ah,” Pandan Wangi menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Sidanti yang telah berada di dalam gandok itupun kemudian bertanya, supaya ia tidak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkannya, “Di mana Guru harus beristirahat?”

“Di bilik itu juga Kakang.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diayunkannya kakinya melangkah ke dalam bilik yang telah disediakan. Bilik itu pernah dikenalnya dahulu. Bahkan ia dahulu selalu tidur di dalam bilik itu juga. Tetapi kali ini bilik itupun tampak sangat asing baginya. Ia telah mengenal hampir setiap benda yang ada di dalam bilik itu. Sebuah pembaringan dari kayu yang lebar. Sebuah geledeg bambu. Sebuah ajug-ajug dari bambu pula dan sebuah peti kayu. Belum berubah seperti beberapa tahun yang lalu. Sebuah tikar yang putih terbentang di atas pembaringan. Mungkin hanya tikar inilah benda yang belum pernah dikenalnya. Meskipun dahulu di atas pembaringan ini terbentang pula sehelai tikar pandan yang putih, tetapi pasti bukan tikar yang kini terbentang itu.

“Bilik itu sudah dibersihkan Kakang. Bilik itu hampir tidak pernah dipergunakan. Hanya kadang-kadang saja Paman Argajaya tidur di tempat itu, apabila ia bermalam di rumah ini.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia masih belum menjawab.

“Bukankah Kakang terlampau lelah?”

Sidanti menarik nafas. Bukan tubuhnyalah yang sebenarnya terlampau lelah. Tetapi perasaannya. Pertanyaan-pertanyaan yang telah membuatnya pening, ternyata benar-benar membuatnya terlampau lelah.

Namun Sidanti itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab lirih, “Ya Wangi. Aku memang terlampau lelah setelah melakukan perjalanan yang panjang.”

Tetapi Sidanti tidak menyangka, bahwa jawabnya telah membuka kesempatan bagi Pandan Wangi untuk bertanya, agar suasana pertemuan itu tidak terlampau kaku, “Perjalanan itu tentu menyenangkan sekali bukan, Kakang? Lain kali aku ingin ikut pula di dalam perjalanan-perjalanan seperti itu. Pasti akan sangat banyak yang dapat dilihat. Tanah yang hijau subur. Kota yang yang bagus dan ramai. Mungkin juga istana-istana yang indah. Ah, kapan Kakang akan melakukannya lagi?”

Sidanti menggigit bibirnya. Tetapi ia terpaksa menjawab, “Aku tidak tahu Wangi. Mungkin setahun, mungkin dua tahun lagi.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika kakaknya Sidanti duduk di pembaringannya, maka Pandan Wangi pun duduk pula di ujung yang lain.

“Apakah Kakang juga berjumpa dengan gadis-gadis yang cantik? Ayah tadi mengatakan, bahwa mungkin Kakang akan mendengar pertanyaan serupa itu. Benarkah begitu?”

Dada Sidanti menjadi semakin berdebar-debar. Jantungnya serasa berdetak semakin keras. Apalagi ketika ia mendengar Pandan Wangi meneruskannyan, “Aku senang melihat gadis-gadis kota yang cantik. Bukan seperti aku.”

Tiba-tiba hampir tanpa disadarinya Sidanti menyahut, “Beruntunglah kau Pandan Wangi, bahwa kau hidup di daerah yang sederhana ini. Gadis-gadis cantik yang aku kenal, benar-benar menjemukan. Mereka biasanya terlampau menyadari kecantikannya. Dan mereka mempergunakan kecantikan itu untuk memuaskan diri mereka sendiri. Mereka dengan kecantikannya, berusaha menghancurkan orang lain. Bahkan tanpa mempedulikan akibat yang paling parah yang dapat terjadi. Pembunuhan.” Sidanti berhenti sejenak. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah dan menegang.

Pandan Wangi yang melihat perubahan sikap kakaknya itu menjadi bingung. Ia tidak mengerti, apakah sebabnya kakaknya menjadi demikian tegang.

“Pandan Wangi,” terdengar suara Sidanti meninggi. “bukan saja gadis-gadis kota yang cantik. Tetapi gadis desa yang kecil, yang tidak berarti sama sekali pun, telah mempergunakan kecantikannya untuk kehancuran. Bukan untuk kebangunan.”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia sama sekali tidak dapat menangkap maksud kata-kata kakaknya. Bahkan gadis itu menjadi gelisah. Apalagi ketika kemudian ia melihat Sidanti berdiri, “Pandan Wangi. Ingat, bahwa kecantikan seseorang bukan merupakan ukuran mutlak bagi seorang gadis. Kau harus mendengar sebuah contoh tentang gadis yang paling memuakkan, yang pernah aku jumpai. Namanya Sekar Mirah.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi pandangan matanya yang kosong terpancang ke wajah kakaknya yang tegang.

“Gadis itu telah membuat semuanya menjadi hancur.”

“Semuanya?“ Pandan Wangi bertanya, “apakah yang kau maksudkan, Kakang?”

Hampir Sidanti meneriakkan nama Padepokan Tambak Wedi. Hampir ia menyebut namanya sendiri. Untunglah segera ia menyadari dirinya. Dengan sekuat tenaga ditahankannya perasaannya. Dan dicobanya untuk berkata sareh, “Maksudku semuanya, setiap laki-laki yang telah mengenal dan bergaul dengan gadis itu.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah yang akan dilakukannya, Kakang?”

“Ia mendekati setiap laki-laki yang baru dikenalnya dan dikaguminya. Gadis itu mengagumi keperkasaan dan keperwiraan. Ia senang melihat seorang laki-laki yang bersikap jantan. Tetapi setiap kali pandangannya selalu berubah-ubah.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya pula, “Sifat itu tentu kurang baik bukan, Kakang. Mungkin ia dapat menimbulkan salah paham di antara laki-laki yang mengenalnya itu.”

“Tentu.”

“Dan menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki.”

“Ya.”

“Aku akan selalu teringat akan nasehat ayah dan almarhum ibu. Sekarang nasehatmu itu juga, Kakang. Untunglah, bahwa aku bukan gadis yang cantik. Setidak-tidaknya akan mengurangi kesempatan bagiku untuk berbuat seperti itu.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Tidak Wangi. Kau juga cantik. Tetapi kau tidak perlu berbuat serupa itu.”

Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan mendengar pujian kakaknya. Dahulu kakaknya memang selalu memujinya. Tetapi tangkapannya kini menjadi jauh berbeda, sehingga dengan demikian maka Pandan Wangi itu menundukan kepalanya.

“Pandan Wangi. Kau juga cantik. Tetapi ingatlah, bahwa kecantikanmu harus mendapat tempat yang baik.”

Pandan Wangi mengangguk kecil. Tetapi ia masih menundukkan kepalanya.

“Kecantikan yang tidak pada tempatnya, akan menjadi api yang dapat membakar apa saja yang berada di dekatnya. Seperti Sekar Mirah yang telah membakar kademangannya.”

Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Apakah yang telah terjadi dengan gadis yang benama Sekar Mirah itu, Kakang?”

“Karang abang,” sahut Sidanti. Terasa tekanan kata-katanya menjadi berat, seolah-olah ia sedang menumpahkan segala tekanan perasaannya karena gadis yang bernama Sekar Mirah itu, “Laki-laki saling berbunuhan. Gadis itu benar-benar seperti api yang liar.” Tetapi Sidanti tidak mengatakan bahwa ia telah menyiram dirinya sendiri dengan minyak, lalu mendekatkan dirinya itu pada api yang sedang menyala-nyala. Akibatnya, perasaannya terbakar menjadi abu.

Namun tanpa disangka-sangka, Pandan Wangi itu bergumam seperti kepada diri sendiri, “Tetapi salah laki-laki itu sendiri.”

Sidanti mengerutkan keningnya. “Kenapa?” ia bertanya.

“Kalau laki-laki itu tidak memperhatikannya, maka ia akan tidak dapat diperlakukan demikian.”

“Itu adalah kesukaannya. Dirayunya laki-laki itu, kemudian dihempaskannya.”

“Kalau aku menjadi laki-laki,” berkata Pandan Wangi, “aku tidak mau mendekatinya. Aku usir dia, seperti ia mengusir laki-laki yang lain apabila ia mendekati aku. Tetapi aku bukan laki-laki. Dan setiap laki-laki selalu melemparkan kesalahan kepada gadis-gadis, kepada perempuan.”

“He,” Sidanti terhenyak mendengar kata-kata Pandan Wangi.

“Ya, setiap laki-laki selalu melemparkan kesalahan kepada perempuan. Hampir dalam segala hal, laki-laki Sangkal Putung yang saling berbunuhan itupun melemparkan kesalahan sepenuhnya kepada Sekar Mirah itu. Aku belum mengenal dan melihat Sekar Mirah. Seandainya benar Sekar Mirah itu seorang gadis liar sekali pun, namun laki-laki yang dengan suka rela menyerahkan dirinya menjadi ayam aduan itupun bersalah pula. Apakah tidak begitu, Kakang?”

Dada Sidanti menjadi berdebar-debar. Tetapi ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian ia sadar, bahwa adiknya Pandan Wangi itupun seorang gadis pula.

“Kau salah paham, Pandan Wangi.”

Pandan Wangi tidak menjawab.

“Aku sama sekali tidak menyalahkan setiap gadis. Aku khusus menyebut Sekar Mirah. Sekar Mirah-lah yang salah. Bukan karena ia seorang perempuan.”

“Ya,” sahut Pandan Wangi, “maksudku pun mengatakan tentang Sekar Mirah dan peristiwa-peristiwa serupa. Sekar Mirah memang bersalah. Tetapi yang bersalah bukan saja Sekar Mirah, juga laki-laki Sangkal Putung itu. Apalagi yang berbunuh-bunuhan karenanya. Dunia tidak hanya seluas telapak tangan. Kenapa harus mengejar gadis seperti Sekar Mirah?”

Sidanti mengerutkan keningnya. Hampir-hampir ia terdorong oleh perasaannya. Untunglah, bahwa ia segera berusaha mengekang dirinya, betapa dadanya terasa seolah-olah terhimpit oleh batu hitam sebesar kerbau.

Dengan demikian, maka Sidanti terdiam untuk sesaat. Ia tidak menemukan kalimat yang dianggapnya baik untuk diucapkannya. Namun dengan demikian, maka terasa dadanya menjadi semakin pepat.

Untunglah, bahwa dalam saat yang demikian, Argajaya masuk ke dalam bilik itu. Sejenak ia terpaku di muka pintu. Ia merasakan suasana yang kurang baik di dalam bilik itu, sehingga hatinya pun menjadi berdebar-debar. Namun kemudian dipaksakannya bibirnya untuk tersenyum dan berkata, “Ha, apakah kau sedang mendengarkan cerita perjalanan kakakmu?”

“Ya, Paman,” jawab Pandan Wangi.

“Apakah cerita itu kurang menarik?”

“Tidak, Paman. Cerita Kakang Sidanti sangat menarik.”

“Tetapi Pandan Wangi menjadi salah paham, Paman,” sahut Sidanti, “Aku bercerita, bahwa aku menjumpai seorang gadis bernama Sekar Mirah di Sangkal Putung. Gadis itu serupa benar dengan api. Memang gadis itu benar-benar seperti api. Setiap orang yang dekat, dibakarnya dengan wajahnya yang cantik, kemudian dibakarnya pula laki-laki lain, sehingga kadang-kadang dapat menimbulkan keributan, bahkan pernah terjadi pembunuhan karenanya. Tetapi Pandan Wangi salah paham. Ia menganggap bahwa laki-laki itupun bersalah pula, karena dengan suka rela membiarkan dirinya menjadi ayam aduan. Lebih dari itu, disangkanya aku selalu menyalahkan perempuan saja.”

Argajaya mengerutkan keningnya. Bahwa Sidanti telah bercerita tentang Sekar Mirah, agak menjadikannya cemas. Kalau Sidanti tidak pandai membawa dirinya, maka ia akan terseret ke dalam pembicaraan yang berbahaya.

Tetapi Argajaya itu kemudian tertawa, katanya, “Tidak. Pandan Wangi tidak salah paham. Ia adalah seorang gadis seperti Sekar Mirah. Tetapi sudah tentu Pandan Wangi tidak akan menjadi buas dan liar seperti Sekar Mirah.”

“Apakah paman juga mengenal Sekar Mirah?“ bertanya Pandan Wangi.

Argajaya mengangguk, “Ya, aku pun mengenal Sekar Mirah. Gadis itu adalah suatu contoh yang suram bagi kebanyakan gadis-gadis yang manja. Gadis-gadis yang bodoh, yang kurang pengalaman dan picik.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Sidanti, maka dilihatnya wajah kakaknya masih tetap tegang. Tetapi ia sudah tidak bernafsu lagi untuk membantahnya. Sebenarnya ia tidak rela pula apabila ada seorang gadis seperti dirinya sendiri yang berkelakuan seperti gadis yang dikatakan oleh kakaknya Sidanti. Seandainya benar seorang gadis berbuat seperti itu, maka sudah sepantasnya kalau ia justru harus dijauhkan dari pergaulan. Tetapi ia tidak rela juga, apabila dalam setiap persoalan yang tumbuh karena gadis yang demikian, semua kesalahan ditumpahkan kepada gadis itu.

Karena Pandan Wangi tidak menjawab, maka Argajaya berkata selanjutnya, “Sudahlah Pandan Wangi, jangan kau pikirkan gadis itu. Kau cukup mengetahui, bahwa Sekar Mirah adalah sebuah lambang dari kehancuran.”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.

“Kau dapat memetik pengalaman daripadanya. Kalau umur gadis itu menjadi semakin tua, kalau wajahnya yang cantik telah mulai berkeriput, kalau senyumnya sudah tidak lagi semanis madu, maka barulah ia menyadari betapa ia telah tersisib dari dunia disekitarnya.”

Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.

“Ia tidak akan dapat hidup lebih dari usia remajanya,” Argajaya meneruskan, “tetapi kau akan menjadi sangat berbeda. Kau telah menemukan saluran yang mapan pada jalan hidupmu. Sampai sisa umurmu yang terakhir, kau akan tetap berguna bagi orang lain dengan ilmu yang kau miliki.”

Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan karenanya.

“Nah, sekarang biarlah kakakmu beristirahat. Ia sangat lelah.”

Pandan Wangi bangkit dari pembaringan. Perlahan-lahan ia melangkah sambil berkata, “Beristirahatlah Kakang. Aku akan pergi ke dapur.”

“Ah, kau pun harus beristirahat, Wangi. Bukankah sudah ada orang lain yang bekerja di dapur?” sahut Argajaya.

“Ada Paman, tetapi sudah menjadi kebiasaanku bekerja di dapur. Bukankah tidak baik, apabila seorang gadis tidak pernah menyentuh alat-alat dapur?” jawab Pandan Wangi.

Argajaya mengangguk sambil tersenyum, “Kau memang seorang gadis yang baik sekali Wangi.”

“Ah,” Pandan Wangi berdesah. Ketika ia sudah sampai di pintu bilik, sekali lagi ia berkata kepada kakaknya, “Beristirahatlah Kakang.”

“Terima kasih. Aku akan mandi saja dahulu.”

“Silahkan. Pakaian Kakang sudah aku sediakan.”

Pandan Wangi pun kemudian meninggalkan biliknya. Ia mengagumi pamannya sebagai seorang yang baik, sangat baik. Seorang yang tahu menghargainya. Di rumah, pamannya pun seorang yang baik, yang sangat memperhatikan anak-anaknya. Tetapi Pandan Wangi tidak tahu, apakah yang sudah dilakukan pamannya di luar rumahnya. Pandan Wangi tidak tahu, apa yang dipikirkan oleh orang yang dianggapnya sangat baik itu. Pandan Wangi tidak tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi atas paman dan kakaknya.

Ketika Pandan Wangi telah hilang di balik pintu yang memisahkan gandok dan jalur belakang rumah itu, yang akan tembus ke pringgitan di balik regol dalam, maka Argajaya segera mendekati Sidanti. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh. Katanya lirih, “Sidanti, permainan ini harus segera berhenti. Kau harus segera sampai pada persoalanmu yang sebenarnya.”

“Ya, Paman. Aku pun merasakan siksaan yang menyesakkan dadaku karena cerita khayal yang kita buat bersama-sama. Cerita itu sama sekali tidak akan dapat menolong. Aku harus segera mengatakan apa yang sebenamya telah terjadi atasku, Paman, dan Guru. Aku harap ayah segera menyiapkan diri bersama pengawal Tanah Perdikan ini. Bukan itu saja, aku telah mengenal tanah ini dengan baik. Hampir setiap laki-laki sini adalah prajurit-prajurit yang baik seperti padepokan Tambak Wedi. Apalagi tanah perdikan ini jauh lebih luas dari padepokan Tambak Wedi.”

Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Sayang, Tambak Wedi telah terlanjur pecah. Kalau belum, maka padepokan itu akan dapat dijadikan pancatan yang baik.”

“Kita akan dapat merebutnya, Paman.”

“Tidak banyak berarti. Kita sama sekali sudah tidak mempunyai kekuatan apapun di sana.”

“Lalu?”

“Aku tidak tahu, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh ayahmu. Kalau Menoreh ini memberontak dan memutuskan hubungan dengan Pajang, maka Pajang akan mendapat kesulitan. Tidak mudah untuk melakukan serangan menyeberangi hutan Mentaok dan Kali Praga. Kedua tempat itu akan dapat dijadikan tempat yang sangat baik untuk menunggu kedatangan prajurit-prajurit Pajang.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Apakah yang sudah dikatakan Guru kemudian sepeninggalku?”

“Ah,” desab pamannya, “aku tidak telaten. Ki Tambak Wedi dan Kakang Argapati hanya berbicara mengenai hal-hal yang sama sekali tidak penting. Hal-hal yang sama sekali tidak menyangkut persoalanmu. Ia berbicara tentang kemajuan ilmumu. Tentang terbunuhnya Tohpati dan tentang hal-hal lain, yang tidak berarti apa-apa bagimu.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi apakah yang dapat lakukanya seandainya gurunya memang menghendaki demikian

“Nah, sekarang mandilah. Ki Tambak Wedi pun akan segera datang kemari. Aku akan berbicara dengan gurumu. Mudah-mudahan kita dapat mempengaruhi Kakang Argapati. Kakang Argapati sendiri termasuk orang yang disegani oleh orang-orang Pajang, termasuk Ki Gede Pemanahan.”

“Mudah-mudahan kita berhasil. Ayah akan menjadi panas dan menyatakan perang melawan Pajang selagi Pajang masih belum mampu tegak benar. Prambanan mungkin dapat diperhitungkan. Aku mengenal daerah itu agak banyak.”

Argajaya mengerutkan keningnya. Ia merasa lebih mengenal daerah Prambanan daripada Sidanti. Sidanti memang pernah melewati daerah itu. Tetapi ia pernah singgah di kademangan itu dan bahkan terlibat dalam suatu peristiwa yang memalukan. Karena itu maka Argajaya berkata, “Kau hanya mengenal Prambanan dari jarak yang tidak terlampau dekat. Kau mendengar cerita tentang daerah itu dari beberapa orang, antara lain dari aku sendiri. Tetapi aku tidak dapat mengharap lagi apa-apa dari kademangan yang menyakitkan hati itu.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Belum tentu Paman. Mungkin masih ada satu dua orang yang Paman kenal, yang dapat dipengaruhi dengan cara yang lebih baik. Mungkin satu dua orang dapat dibawa ke tanah perdikan ini dan menunjukkan kepada mereka kekuatan yang besar, yang akan dapat mendukungnya membuat sesuatu gerakan di Prambanan. Paman dapat menjanjikan kedudukan yang baik kepadanya, bahkan mungkin kedudukan demang apabila demang yang lama itu sama sekali sudah tidak dapat lagi diajak berbicara. Satu dua orang itu akan menjadi inti dari gerakan-gerakan seterusnya di Prambanan sehingga akhirnya kita mendapat tempat yang baik untuk pancadan.”

“Hem,” Argajaya menarik nafas dalam-dalam, “kau lalu ingin mengarahkan gerakanmu lewat daerah Selatan. Kenapa kau tidak memperhitungkan jalan lain? Kita dapat melingkari lambung Gunung Merapi dibagian Selatan, langsung menuju ke Jati Anom.”

“Sangat berbahaya,” sahut Sidanti, “sangat berbahaya, karena di sana ada Untara.”

“Pasukan Untara tidak lebih besar dari pasukan Widura.”

“Tetapi Kiai Gringsing berada di kademangan itu.”

“Belum tentu. Mungkin Kiai Gringsing akan tetap tinggal di Sangkal Putung bersama orang yang bernama Sumangkar. Apakah kau sangka bahwa Agung Sedayu akan menetap di Jati Anom? Tidak. Dua orang murid Kiai Gringsing itu berasal dari Jati Anom dan Sangkal Putung. Tetapi karena di Sangkal Putung ada Sekar Mirah, maka kemungkinan yang terbesar, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya akan berada di sana.”

Sidanti menekurkan kepalanya. Tetapi segera ia mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Argajaya berkata, “Sidanti, kau tidak dapat melepaskan arah perhitunganmu dari Sangkal Putung. Bukankah begitu?”

Sidanti tidak menjawab. Tetapi terasa dadanya berdesir.

“Baru saja kau mengumpati gadis yang bernama Sekar Mirah dari Sangkal Putung. Lupakan gadis itu. Kalau kau berhasil melupakannya, maka kau akan dapat membuat perhitungan-perhitungan yang lebih tepat berdasarkan pertimbangan nalar.”

Sidanti tidak menjawab. Dibiarkannya pamannya berkata terus, “Nah, cobalah kau merenungkan. Kau pernah berada di dalam lingkungan keprajuritan pula.” Argajaya berhenti sejenak, lalu katanya merendah, “Tetapi semuanya sangat tergantung kepada ayahmu, Sidanti. Ayahmu adalah seorang yang mumpuni. Perhitungannya hampir tidak pernah salah.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dadanya menjadi semakin berdebar-debar, “Ya, semuanya tergantung kepada Ayah,” katanya di dalam hati.

“Sekarang, bukankah kau akan mandi?“ bertanya pamannya, “Pergilah mandi. Aku malam ini akan bermalam di sini, supaya aku dapat ikut dalam pembicaraan nanti.”

“Apakah Guru akan berbicara malam ini?”

”Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kita tidak selalu digelisahkan oleh cerita khayal yang menjemukan itu.”

Sidanti tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berkata, “Aku akan mandi.”

Argajaya kemudian tinggal seorang diri di dalam bilik itu. Sekali-sekali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir dalam kegelisahannya. Ia merasa ikut berkepentingan mengenai anak kakaknya itu. Kemanakannya itu harus dapat membalas sakit hatinya terhadap Untara, dan bahkan terhadap Pajang, karena Untara adalah seorang senapati yang mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama Pajang.

“Aku harus membela anak itu sekuat-kuat tenagaku,” desisnya, “aku adalah pamannya.”

Tetapi jauh di dalam dasar hatinya, Argajaya seolah-olah mendengar sebuah pertanyaan yang lamat-lamat, hampir-hampir tidak dapat menyentuh telinga batinnya, “Apakah benar demikian, he, Argajaya yang gagah berani? Apakah benar, sekedar karena dorongan hasratmu untuk membela kemenakanmu maka kau demikian bernafsu untuk berjuang melawan Pajang.”

Terasa sebuah desir yang tajam menyentuh jantungnya. Pertanyaan itu ternyata telah membuatnya gelisah. Namun justru dengan demikian, maka pertanyaan itu didengarnya lagi, “Apakah benar demikian? Kalau begitu kau adalah seorang yang paling baik di muka bumi. Tetapi apakah kau tidak mempunyai pamrih pribadi.”

”Tidak, tidak,” Argajaya menggeram. Tetapi ia tidak dapat menutup telinganya dari suara hatinya sendiri, “Argajaya, agaknya bukan karena hasratmu untuk membela Sidanti dan membalas sakit hatinya saja, kau bertekad untuk melawan Pajang. Tetapi pamrih pribadimulah yang akan membawa kau dalam kancah peperangan yang besar, yang justru mengancam keselamatan tanah perdikan ini.”

“Tidak, tidak,” sekali lagi Argajaya menggeram. Namun bagaimana ia dapat menipu dirinya sendiri? Bagaimana ia dapat menyembunyikan kata hatinya terhadap dirinya sendiri?

Seperti di hadapkan di muka cermin, Argajaya dapat melihat dengan jelas, apa yang tersembunyi di dalam dirinya. Pamrih yang telah mendorongnya untuk membakar Tanah Perdikan Menoreh dalam kancah peperangan yang dahsyat. Tanah perdikan yang selama ini diliputi oleh ketenangan dan kesibukan kerja melawan kekerasan alam pegunungan.

Argajaya yang keras hati itu terhenyak di atas amben bambu di dalam bilik itu. Dicobanya untuk melawan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian terasa semakin mengganggu perasaannya. Tetapi dengan demikian, maka ia menjadi semakin jelas melihat ke dalam dirinya sendiri. Kepada pamrih yang terpahat pada dinding hatinya. Ia adalah adik satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang besar. Tetapi ia bukan Kepala Tanah Perdikan itu. Meskipun ia mempunyai kekuasaan yang cukup besar, namun di atasnya adalah kakaknya, Argapati.

“Kalau Kakang Argapati berhasil memecah Pajang. Setidak-tidaknya mampu mempunyai kekuasaan yang sama dengan Pajang, karena Pajang tidak mampu mengalahkannya, maka Argapati pasti akan mengangkat dirinya sejajar dengan pimpinan tertinggi pemerintahan Pajang. Adiwijaya tidak akan selamanya puas dengan kedudukan Adipatinya. Sebentar lagi setelah lawan-lawannya satu demi satu disingkirkan, ia akan menjadi seorang yang paling berkuasa di Pajang dan sepanjang daerah Demak lama. Ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya tanpa seorang pun dapat merintanginya. Sehingga dengan demikian, ia akan dengan mudahnya membuka jalan ke singgasana seorang Raja. Sultan Pajang.” Argajaya bergumam di hatinya.

Tiba-tiba Argajaya bangkit berdiri. Dihentikannya kakinya sambil menggeram, “Memang, memang aku mempunyai pamrih pribadi. Hanya orang-orang gila yang berbuat sesuatu tanpa pamrih pribadi. Dan aku bukan orang gila. Kalau Kakang Argapati kelak dapat menjadi seorang yang mempunyai kekuasaan menyamai Adiwijaya, kemudian menyebut dirinya Adipati, maka aku adalah orang yang kedua. Kakang Argapati tidak akan lagi mempunyai waktu untuk tanah perdikan ini. Sidanti, anak laki-lakinya tidak akan lagi mengharap tanah perdikan ini sebagai tanah warisan, karena kedudukan ayahnya. Maka tidak ada orang kedua dan ketiga selain Argajaya.” Argajaya itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, “Setelah itu, apa yang akan terjadi, entahlah. Apakah Argajaya akan berhenti di tempat itu?”

Tetapi Argajaya tidak berani meneruskan angan-angannya. Terdengar ia berdesis, “Terlampau jauh. Aku harus mendapatkan yang paling dekat dahulu. Kakang Argapati harus melawan Pajang. Harus memisahkan diri dari kekuasaan Adiwijaya. Kalau tidak mampu meremukkan Pajang, setidak-tidaknya melepaskan diri, dan berdiri dalam keadaan yang sama.”

Argajaya yang seolah-olah telah sampai pada puncak angan-angannya itu, kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia meletakkan dirinya perlahan-lahan duduk lagi di atas amben. Namun ia masih belum melepaskan sama sekali angan-angannya, ” Hem, bagaimana dengan para Bupati dan Adipati yang kini telah memihak Pajang?”

Pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Mereka sudah bukan pejuang-pejuang yang gigih. Setelah mereka mampu melapisi tiang-tiang rumah mereka dengan emas, setelah mereka mampu mengukir tubuh mereka dengan intan berlian dan memenuhi bilik-bilik mereka dengan isteri-istri muda yang cantik, maka mereka adalah orang-orang yang paling jinak. Apabila Kakang Argapati mampu memecah kota Pajang, maka tidak sampai sepenginang mereka akan tunduk. Bukan karena keyakinan kebenaran mereka atas kemenangan Kakang Argapati, tetapi sekedar untuk menyelamatkan diri mereka, menyelamatkan harta benda mereka dan menyelamatkan isteri-isteri mereka yang muda-muda dan cantik. Sebab itulah yang kemudian sudah menjadi jalan hidup mereka.”

Argajaya menarik nafas sekali lagi. Semakin panjang. Ia menemukan kepuasan di dalam angan-angannya. Seolah-olah ia telah melakukannya. Seolah-olah kini ia telah menggenggam kemenangan. Kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar. Namun Argajaya sendiri melupakannya, bahwa arah perjuangannyapun serupa dengan para Bupati dan Adipati itu. Dengan kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar, ia akan dapat berbuat jauh lebih banyak dari apa yang dapat dilakukannya sekarang. Ia akan dapat melapisi tiang rumahnya dengan emas, ia akan dapat mengukir dirinya dengan intan berlian, dan kemudian mengisi bilik-bilik rumahnya dengan isteri-isteri yang cantik.

Argajaya yang sedang diselubungi oleh angan-angannya itu, terkejut ketika ia melihat seseorang melangkah masuk ke dalam bilik itu. Ketika ia mengangkat wajahnya terdengar orang itu mengeluh pendek.

“Marilah Kiai,” Argajaya mempersilahkan.

“Terima kasih, Ngger,” sahut orang itu yang ternyata adalah Ki Tambak Wedi, sambil duduk di samping Argajaya.

“Apakah Kiai sudah mengatakannya?” Argajaya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu Ki Tambak Wedi meletakkan dirinya.

“Heh,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, “ternyata aku terdorong terlampau jauh ke dalam cerita khayal itu.”

“Kiai harus menghentikannya,” potong Argajaya.

“Aku menyadari, Ngger. Tetapi aku belum menemukan jalan.”

“Lalu, apakah Kiai akan membiarkan saja semuanya itu berlangsung tanpa ujung dan pangkal.”

“Tidak. Sudah tentu tidak.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi terlintas di kepalanya angan-angannya, “Adalah kebetulan sekali terjadi peristiwa ini atas Sidanti. Peristiwa ini akan dapat menjadi sebab untuk membakar hati Kakang Argapati. Tanpa sebab ini, sudah pasti Kakang Argapati tidak ingin melakukan perlawanan atas Pajang.”

Tetapi yang diucapkannya adalah sebuah pertanyaan, “Lalu apa yang sudah Kiai katakan tentang keadaan Sidanti yang sebenarnya?”

Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya, “Belum, Ngger. Aku belum mengatakan apa-apa.”

“Sama sekali belum? Bahkan dengan pengertian yang miring pun belum sama sekali?”

Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. Sorot matanya menembus daun pintu yang tidak terlalu rapat. Namun wajah yang sudah ditandai oleh umurnya yang semakin tua itu, menjadi tegang.

“Aku belum mendapat kesempatan sama sekali,“ desis Ki Tambak Wedi, “justru aku terdorong semakin jauh ke dalam cerita yang menjemukan itu. Semakin rapat aku berusaha menutupi kebohongan yang sudah terlanjur diucapkan, maka aku pun menjadi semakin dalam terlibat ke dalam kebohongan baru.”

“Karena itu, Kiai harus segera menghentikannya,” potong Argajaya.

“Ya, aku sudah tahu, bahwa aku harus menghentikannya. Tetapi aku tidak dapat. Aku belum menemukan kesempatan itu.”

“Kalau Kiai bersungguh-sungguh, maka kesempatan itu pasti terbuka.”

“Ah, jangan menyalahkan aku saja, Ngger. Kita bersama-sama telah terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak kita ingini. Kita bersama-sama menyesali sikap Sidanti yang telah melibatkan kita ke dalam suatu keadaan yang sangat jelek ini. Dan kita bersama-sama ingin menghentikannya. Ingin memutuskan rantai yang seolah-olah menjadi semakin banyak meliliti tubuh kita. Tetapi aku sendiri belum menemukan kesempatan itu.”

“Kiai harus bersikap tegas. Tanpa menunggu lebih lama lagi, supaya Kiai tidak terperosok semakin dalam. Kiai harus sanggup mengatakan kepada kakang Argapati, bahwa semua itu hanya sekedar cerita bohong belaka, untuk membohongi Pandan Wangi. Tetapi tidak demikian yang sebenarnya terjadi.”

“Seharusnya, ya seharusnya.”

“Kenapa seharusnya? Kenapa Kiai tidak berani melakukannya? Kesempatan yang baik telah Kiai lampaui, ketika Pandan Wangi meninggalkan pertemuan itu. Kiai dapat memutar haluan pembicaraan dengan serta-merta.”

“Jalan pikiranku tidak secepat itu, Ngger. Tetapi seandainya Angger mampu berpikir secepat itu, kenapa Angger tidak melakukannya atau setidak-tidaknya memberi aku isyarat untuk melakukannya? Bukankah Angger juga tinggal bersama Argapati beberapa lama sepeninggal Pandan Wangi dan bahkan sepeninggal Sidanti.”

Argajaya terdiam. Ia merasakan kebenaran kata-kata Ki Tambak Wedi. Justru pada saat itu ia pun masih ikut serta membuat cerita-cerita khayal yang menjemukan sekali.

“Kita sekarang sudah berdiri pada keadaan ini,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kita jangan terpukau oleh keadaan yang baru saja lampau. Dengan keadaan kita sekarang ini, apakah kita masih mempunyai keberanian untuk mengatakannya kepada Argapati apa yang sebenarnya terjadi?”

Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian nafsu yang telah membakar jantungnya, telah mendorongnya untuk berkata, “Harus. Harus. Kita harus berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku yakin, bahwa Kiai mempunyai jiwa yang cukup besar, sebesar nama Kiai. Apalagi Kiai pasti mempunyai pengaruh yang cukup atas Kakang Argapati, ternyata dari kepercayaannya menyerahkan anak laki-laki satu-satunya kepada Kiai.”

“Ah,” orang tua itu mengeluh panjang, “Angger memuji seperti memuji kanak-kanak yang menolak untuk mengantar makanan kepada ayahnya di sawah. Dengan pujian-pijian, maka anak yang manja akan dengan senang melakukannya.”

“Tidak Kiai, tidak,” potong Argajaya dengan serta-merta, ”bukan maksudku. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Kiai mempunyai pengaruh yang besar atas kakang Argapati. Kalau tidak, Sidanti pasti tidak akan diserahkan kepada Kiai.”

Wajah orang tua itu tiba-tiba terkulai jatuh di lantai. Sekali lagi ia mengeluh panjang. Dan Argajaya menjadi terheran-heran karenanya.

“Kenapa Kiai? Kiai tampaknya telah dibayangi oleh keragu-raguan. Sejak diperjalanan aku melihat keragu-raguan itu. Dan kini menjadi semakin nyata. Itukah yang telah mendorong Kiai untuk terus menerus berbohong kepada Kakang Argapati?”

Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mengangguk lemah, “Mungkin, Ngger. Mungkin sekali.”

“Kenapa Kiai?”

Ki Tambak Wedi tidak menjawab.

“Apakah Kiai meragukan tanggapan Kakang Argapati atas semua kejadian di Sangkal Putung dan Jati Anom?”

“Mungkin.”

“Mungkin?“ Argajaya mengulangi, “jadi Kiai tidak yakin, bahwa itu adalah sebab utama kenapa Kiai menjadi ragu-ragu? Dengan demikian, Kiai pasti memperhitungkan ada sebab lain yang telah membuat Kiai ragu-ragu.”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku akan segera mengatakan kepada Argapati bahwa semua cerita yang telah didengarnya itu adalah cerita bohong semata-mata. Cerita kanak-kanak untuk sekedar membuat Pandan Wangi dan orang-orang dari tanah ini tidak terkejut dan berbuat di luar dugaan.”

Argajaya mengerutkan keningnya. Seakan-akan menahan nafasnya yang berdesah lewat lubang hidungnya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata seterusnya, “Aku harus berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kerut merut di keningnya berangsur hilang. Perlahan-lahan ia berkata, “Demikianlah hendaknya Kiai. Tak ada jalan lain. Sakit hati itu harus dibalas. Bukan sekedar atas Untara dan Widura, apalagi Sutawijaya. Tetapi Pajang harus dipecah.”

“Ya,” Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Tetapi kata-katanya terasa hambar dan tidak meyakinkan. Meskipun demikian Argajaya mengharap, bahwa sebenarnya demikianlah yang akan terjadi. Ia yakin bahwa kakaknya Argapati akan tersinggung sekali dengan peristiwa yang menimpa Sidanti dengan sedikit ramuan yang meyakinkan.

Sejenak mereka berdua dicengkam oleh kediaman. Ki Tambak Wedi duduk sambil meraba-raba kumisnya. Sedang Argajaya tepekur dalam-dalam. Namun angan-angannya membubung tinggi ke udara.

Mereka tersedar dari angan-angan masing-masing, ketika mereka mendengar langkah seseorang mendekati pintu bilik itu. Dan sejenak kemudian sesosok tubuh telah melangkah masuk. Orang itu adalah Sidanti.

“Oh,” Sidanti berdesis ketika ia melihat gurunya duduk di dalam bilik itu pula, “silahkan Guru untuk mandi. Pakaian untuk guru telah disediakan oleh Pandan Wangi.”

“Terima kasih,” jawab Ki Tambak Wedi. Tetapi ia belum beranjak dari tempatnya.

Sidanti tertegun sejenak. Namun kemudian dicobanya untuk tidak terpengaruh oleh sikap gurunya. Perlahan-lahan ia melangkah maju dan duduk di amben itu pula.

“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi setelah Sidanti duduk, “aku sedang mencoba mengumpulkan keberanian untuk berkata berterus terang kepada ayahmu.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah yang meragukan, Guru?”

“Aku belum dapat menjajagi tanggapan ayahmu terhadap semua peristiwa yang terjadi.”

“Ah,” sahut Sidanti, “kenapa Guru ragu-ragu?”

“Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi Kiai,” sambung Argajaya, “Sidanti adalah putera Kakang Argapati. Seandainya ia tidak berkenan atas kejadian yang berlangsung, seandainya Kakang tidak senang akan sikap Sidanti, namun Sidanti adalah puteranya. Persoalannya telah terlanjur terjadi. Apakah Kakang Argapati dapat berpangku tangan tanpa berbuat sesuatu? Aku, yang bukan ayahnya merasakan hinaan itu atas tanah ini. Atas seluruh Tanah Perdikan Menoreh, karena Sidanti adalah putera Kepala Tanah Perdikan ini.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi matanya sama sekali tidak memancarkan gairah dan nafsu untuk berbuat sesuatu.

Tetapi Ki Tambak Wedi benar-benar telah mengherankan Argajaya dan Sidanti. Mereka tidak pernah melihat mata itu begitu suram. Mereka tidak pemah melihat wajah Ki Tambak Wedi begitu gelap dan dipenuhi oleh keragu-raguan. Yang selalu mereka lihat adalah, meskipun sudah dihiasi dengan kerut merut ketuaan, namun wajah itu selalu menyalakan nafsu yang melonjak-lonjak. Wajah itu selalu memancarkan gejolak di dalam dadanya, dan matanya selalu menyorotkan api yang seolah-olah ingin membakar masa depan.

“Seandainya Guru merasa bersalah,” berkata Sidanti di dalam hatinya, “apakah ia perlu menyesali kesalahannya sampai berlarut-larut? Ia dapat langsung berhadapan dengan Ayah, minta maaf atas kesalahan itu, namun kemudian menekannya untuk berbuat sesuatu.”

Tetapi seperti Argajaya, Sidanti masih tetap yakin, bahwa ayahnya pasti tidak akan tinggal diam saja. Tetapi ayahnya memang memerlukan api yang dapat membakar kemarahannya. Karena itu maka baik gurunya maupun pamannya harus dapat mengatakan apa yang telah terjadi itu dengan cara yang sebaik-baiknya.

Sidanti itu berpaling ketika ia mendengar gurunya berkata, “Tetapi aku memang sudah bertekad untuk mengatakan kepada ayahmu, Sidanti. Apa pun tanggapannya. Mudah-mudahan ia dapat mengerti dan seperti yang kita harapkan, ayahmu bersedia untuk berbuat sesuatu, berbuat untuk menebus sakit hati dan dendam yang menyala di dalam dada ini.”

Sidanti mendengar kata-kata yang panas penuh tekad untuk membalas dendam dan sakit hati, tetapi nada yang membawakan kata-kata itu sama sekali kurang meyakinkannya. Namun Sidanti tidak segera menyahut, dan dibiarkan gurunya berkata terus, “Nanti malam aku akan menemui ayahmu.”

“Baik, Kiai,“ sahut Argajaya dengan serta merta, “aku memang mengharap, bahwa malam ini semuanya dapat diselesaikan. Aku telah bermalam satu malam lagi di sini, betapa aku ingin segera bertemu dengan keluargaku. Aku ingin ikut serta meyakinkan Kakang Argapati, bahwa Menoreh harus berbuat sesuatu karena seorang puteranya telah dihinakan oleh orang-orang Pajang, justru putera Kepala Tanah Perdikannya.“

Tampaklah wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin berkerut merut. Dan tanpa disangka-sangka ia berkata, “Maaf, Ngger. Aku ingin bertemu dengan Argapati seorang diri. Aku harus berhadapan dengan kakakmu itu tanpa seorang pun yang hadir. Aku ingin mengatakan semua persoalan yang tidak perlu diketahui oleh oranglain.”

Jawaban itu ternyata telah mengejutkan Argajaya dan Sidanti, sehingga hampir bersamaan mereka bertanya, “Kenapa?”

Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Sidanti seperti belum pernah dilihatnya, sehingga Sidanti terpaksa melontarkan pandangan matanya keluar bilik itu.

“Aku harap kalian dapat mengerti,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian, “aku tidak ingin Argapati menjadi salah paham. Karena itu, aku harus berhati-hati. Nanti apabila persoalan ini telah benar-benar dipahami oleh Argapati, maka kalian akan mendapat kesempatan untuk mengatakan perasaan kalian. Tetapi sebelum itu, jangan membuatnya menjadi bingung.”

“Ah,” desah Argajaya, “Kakang Argapati bukan anak-anak yang lekas menjadi bingung. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang. Aku kira dalam pembicaraan antara orang-orang yang telah cukup dimatangkan oleh pengetahuan dan pengalaman, tidak akan dapat terjadi salah paham.”

“Mudah-mudahan. Mudah-mudahan tidak ada salah paham. Karena itu, biarlah aku saja yang mengatakannya. Dengan demikian, maka seperti yang kau katakan, Angger Argajaya, kami orang-orang tua yang telah kenyang makan pahit masamnya kehidupan, akan dapat berbicara tanpa salah paham.”

Ura-urat yang terbujur di kening Argajaya menjadi tegang. Sepercik warna merah membayang di matanya. Jawaban Ki Tambak Wedi itu benar-benar telah mengguncang perasaannya. Perasaannya sebagai seorang paman dan sebagai seorang yang mempunyai kedudukan yang cukup penting di Tanah Perdikan Menoreh.

Persoalan yang akan dibicarakan adalah persoalan Sidanti. persoalan kemanakannya, anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Sedang Argajaya adalah orang kedua di tanah perdikan ini. Kenapa Ki Tambak Wedi berkeras untuk menjauhkannya dari pembicaraan itu.

Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang cukup tajam, seolah-olah dapat mengerti apa yang sedang bergolak di dalam hati Argajaya itu. Sehingga karena itu, maka ia berkata, “Angger Argajaya jangan salah paham. Persoalan ini memang persoalan Sidanti, persoalan Menoreh dengan Pajang. Tetapi sebelum kita sampai pada persoalan itu, adalah persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi. Persoalan penyerahan Angger Sidanti, putera Argapati itu kepada Ki Tambak Wedi. Argapati sebagai seorang ayah, lepas dari segala macam sangkutan persoalan, dan Ki Tambak Wedi seseorang yang mendapat kepercayaan mengasuh Sidanti. Sebagai seorang yang menyimpan ilmu dari perguruan Tambak Wedi. Seseorang kepada seseorang. Hanya itu. Itulah yang harus aku pertanggung jawabkan lebih dahulu, sebelum aku sampai kepada persoalan lain yang menyangkut kemudian. Persoalan Sidanti dengan orang-orang Pajang. Persoalan Sidanti dengan Sekar Mirah, kemudian persoalan Sidanti dengan Untara. Hancurnya Tambak Wedi dan segala macam persoalan yang lain. Nah, dalam persoalan-persoalan inilah aku memang memerlukan seorang kawan untuk meyakinkan Argapati. Tetapi sebelum itu, persoalannya adalah persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi. Sebagai seorang yang memberikan kepercayaan dan yang menerima kepercayaan untuk mengasuh Sidanti.”

Urat-urat yang seolah-olah menjalar di kening Argajaya masih menegang. Tetapi penjelasan Ki Tambak Wedi itu ternyata agak mengendorkannya. Ia dapat mengerti beberapa bagian dari keterangan itu, meskipun masih ada beberapa masalah yang tidak dapat ditangkapnya. Namun dengan demikian, maka getar di dadanya menjadi semakin turun. Perlahan-lahan ia berpaling, dipandanginya wajah Sidanti dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin bertanya, bagaimanakah tanggapan anak muda itu atas keterangan gurunya.

Tetapi Sidanti sama sekali tidak dapat memberikan tanggapan apapun. Justru ia menjadi bingung. Ia dengan tiba-tiba telah dicengkam oleh perasaan kecewa ketika gurunya mengatakan, bahwa tidak ada orang lain yang dapat ikut berbicara, selain Argapati dan Ki Tambak Wedi. Namun keterangan gurunya itu masuk pula di dalam akalnya. Adalah wajar, bahwa persoalan itu semata-mata adalah persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi. Seperti pada saat Argapati menyerahkannya kepada Ki Tambak Wedi, tidak ada seorang pun yang ikut mencampurinya. Tidak ada seorang pun yang membantu salah satu pihak untuk meyakinkan pihak yang lain. Dan lebih dari itu, tidak seorang pun yang tahu, apakah yang sebenarnya telah mereka bicarakan dalam penyerahan itu.

Dan sekarang, ketika Ki Tambak Wedi dihadapkan pada suatu persoalan yang pelik, yang tidak dapat di atasinya sendiri untuk menghadapi masa depan Sidanti, maka Ki Tambak Wedi memerlukan Argapati. Memerlukan ayah Sidanti itu sendiri.

Sebenarnya hal itu adalah hal yang wajar. Sangat wajar. Dan adalah wajar juga, kalau Ki Tambak Wedi ingin berbicara tanpa orang lain, dalam hal Sidanti ini.

Tetapi persoalan yang sekarang di hadapi oleh Ki Tambak Wedi bukan sekedar persoalan Sidanti pribadi. Bukan soal kegagalan Sidanti dalam usahanya menuntut ilmu dari perguruan Tambak Wedi. Bukan sekedar persoalan Sidanti yang malas dan tidak mempunyai ketekunan dalam usahanya menuntut ilmu. Tidak. Justru Sidanti adalah seorang murid yang baik, yang tekun dan dapat dibanggakan oleh gurunya.

Namun kegagalan Sidanti kali ini adalah kegagalannya dalam percaturan pergeseran pimpinan pemerintahan, meskipun hanya dalam satu segi. Persoalan yang menyangkut perselisihan antara Pajang dan Jipang. Antara Jipang dan Tambak Wedi, dan kemudian antara Pajang melawan Jipang dan Tambak Wedi bersama-sama. Persoalannya kemudian pasti akan menyangkut nama Sidanti sebagai seorang putera Menoreh dalam hubungannya keluar. Bukan sekedar masalah pribadinya yang gagal dalam ilmunya. Dan persoalan ini bukanlah sekedar persoalan Ki Tambak Wedi dan Argapati. Tetapi persoalan ini pasti akan menjadi persoalan antara Menoreh dan Pajang dalam keseluruhan.

Meskipun demikian, Argajaya dan Sidanti merasa, bahwa mereka tidak akan dapat memaksa Ki Tambak Wedi untuk membawa mereka dalam pembicaraan, sebelum Ki Tambak Wedi menganggap, bahwa persoalan salah paham telah dapat dilaluinya.

Dengan demikian maka Argajaya dan Sidanti tidak berusaha untuk mendesak orang tua itu. Namun mereka tidak dapat melepaskan keinginan mereka untuk mendengar dan ikut berbicara dalam masalah itu.

“Baiklah aku bersabar,” berkata Argajaya di dalam hatinya. “Apabila persoalannya telah menyangkut masalah Menoreh dan Pajang, maka Kakang Argapati pasti akan memanggil aku.”

Dan Sidanti pun agaknya berpikir demikian pula, “Apabila datang waktunya, Ayah pasti akan memanggil aku, dan aku akan dapat membakarnya untuk menyatakan perang terbuka melawan Pajang yang memang masih kisruh.”

Tetapi Sidanti tidak mengatakannya. Ia mengharap agar gurunya segera menemui ayahnya dan berbicara tentang persoalannya dengan sungguh-sungguh. Tidak lagi sambil bergurau, membuat cerita khayal yang menjemukan dan menyesakkan nafas.

Sejenak mereka bertiga saling berdiam diri. Masing-masing dengan angan-angan sendiri. Namun ketika sekali-sekali Argajaya mencoba memandang wajah Ki Tambak Wedi, maka ia merasakan suatu kegelisahan yang sangat pada orang tua itu.

Baru sesaat kemudian, orang tua itu berdiri sambil berkata, “Aku akan pergi ke sumur sebentar. Nah, temuilah ayahmu itu, Sidanti.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar gurunya berkata, “Tetapi jangan berkata apa pun tentang dirimu yang sebenarnya.”

“Sudah aku katakan, aku sendirilah yang akan mengatakannya.”

Sidanti menjadi ragu-ragu, sehingga ia bertanya, “Lalu apakah yang akan dapat aku katakan kepada Ayah? Apakah yang telah Guru bicarakan sebelum ini?”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk, “Ya, aku telah bercerita tentang daerah yang belum pernah kau lihat.” Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, “Mungkin kau akan bingung. Dan mungkin ayahmu pun akan bingung pula.”

“Lalu?”

Ki Tambak Wedi berpikir sejenak, “Sebaiknya kau tidak menemuinya. Akulah yang pertama-tama akan berbicara.”

Sidanti menganggukkan kepalanya. Tetapi terasa kejanggalan yang luar biasa pada pertemuannya dengan ayahnya kali ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika ia pulang untuk yang terakhir kalinya, ia dapat berbicara dengan ayahnya seperti seorang anak dan ayah yang telah lama tidak bertemu. Tetapi kali ini ia merasa seperti seseorang yang sedang bersembunyi di dalam rumah ini. Menghindari pertemuan dengan orang-orang lain, bahkan dengan ayahnya sendiri.

“Ayah pasti menunggu aku di pendapa,” desisnya.

“Mungkin. Tetapi sebaiknya kau tetap berada di dalam bilikmu. Kau dapat membuat alasan apa saja tentang dirimu. Mungkin kepalamu lagi pening, atau kau terlampau lelah dan ingin beristirahat sejenak.”

Sidanti mengangguk kosong, sedang Argajaya berjalan hilir mudik di dalam bilik itu.

“Aku akan segera selesai. Dan aku segera menemui ayahmu.”

Sidanti tidak menjawab. Dibiarkannya gurunya melangkah meninggalkannya di dalam bilik itu bersama pamannya.

“Sulit,” desis anak muda itu.

“Hanya sementara. Kenapa kau menjadi sangat terganggu karenanya?” bertanya Argajaya. Tetapi kata-kata itu ditujukan kepada dirinya sendiri pula.

“Ya, tetapi yang sementara ini benar-benar telah menyiksaku,” berkata Sidanti.

“Sebentar lagit Ki Tambak Wedi telah selesai. Ia akan segera menemui ayahmu.”

”Ya, Paman. Tetapi bagaimana dengan aku sekarang? Apakah aku akan tetap berada di dalam bilik yang pepat ini?”

Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Tidak mengapa Sidanti. Hanya sebentar.”

“Dadaku serasa sesak, dan kepalaku benar-benar menjadi pening.”

Dahi Argajaya berkerut, namun kemudian ia tersenyum hambar, “Kau terlampau tergesa-gesa. Bersabarlah sedikit.”

Sidanti kemudian membanting dirinya di pembaringannya. Beberapa kali ia berdesah. Waktu yang pendek itu terasa terlampau panjang baginya. Sedang Argajaya yang duduk di sampingnya pun sebenarnya telah dibakar oleh kegelisahannya pula. Tetapi ia masih mencoba menahan diri.

Sidanti terlonjak ketika ia mendengar pintu bilik itu berderit. Dilihatnya Pandan Wangi telah berada di luar biliknya di depan pintu.

“Kakang,” berkata Pandan Wangi itu, “Ayah menunggu Kakang di pendapa. Kenapa Kakang tidak keluar dari bilik ini dan menghadap Ayah?”

Sidanti menjadi bingung. Dipandanginya wajah pamannya untuk mendapatkan pertimbangan. Tetapi Argajaya pun tidak segera menemukan jawab.

“Aku telah menyediakan minuman hangat untuk Kakang Sidanti, Paman Argajaya, dan Guru Kakang. Ayah menunggu kalian untuk minum-minum bersama setelah sekian lama tidak bertemu. Ayah ingin mendengar ceritamu, Kakang.”

“Ya, ya Wangi,” Sidanti menjadi tergagap.

“Kami menunggu Ki Tambak Wedi, Wangi,” Argajaya yang sudah menjadi agak tenang berkata, “sebentar lagi kami akan datang. Ki Tambak Wedi baru mandi.”

“O,” Pandan Wangi mengangguk, “baiklah. Akan aku katakan kepada Ayah.”

Pandan Wangi itu pun kemudian meninggalkan Paman dan kakaknya dalam kegelisahan. Demikian Pandan Wangi menjauh, maka berkata Argajaya, “Hem, keadaan kita benar-benar sulit.”

Sidanti tidak menjawab. Sekali lagi dijatuhkannya tubuhnya di atas amben bambu dengan hati yang sangat kesal. Sekali-sekali masih terdengar ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam.

Setelah mereka hampir tidak dapat bersabar lagi, barulah mereka melihat Ki Tambak Wedi masuk kedalam bilik. Sebentar kemudian seseorang menjengukkan kepalanya dan berkata, “Inilah lampu untuk bilik ini.”

“Taruhlah di atas geledeg itu,” sahut Sidanti acuh tidak acuh. Ternyata hari telah berangsur gelap, semakin gelap. Semula mereka sama sekali tidak memperhatikan, bahwa bayangan mereka telah menghitam karena sinar senja yang semakin redup.

Ketika Ki Tambak Wedi telah selesai berkemas, maka terdengar ia bergumam, “ Lebih baik kalian tinggal di sini. Sekarang aku akan menemui Argapati untuk minta waktu, berbicara di antara kami berdua.”

Sidanti dan Argajaya saling berpandangan untuk sesaat, tetapi tidak ada pilihan lain daripada menganggukkan kepala mereka dan menjawab, “Baiklah. Kami akan menunggu di sini.”

Ki Tambak Wedi segera meninggalkan bilik itu. Kini tampak betapa ia menjadi tergesa-gesa, sehingga orang tua itu sama sekali tidak berpaling lagi.

Ketika Ki Tambak Wedi telah hilang di balik pintu, Argajaya dan Sidanti seolah-olah tersedar dari sebuah mimpi yang aneh. Hampir tidak masuk di dalam akal mereka, bahwa mereka tidak boleh ikut serta dalam pembicaraan antara Ki Tambak Wedi dan Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, ayah Sidanti. Namun demikianlah yang dikehendaki oleh Ki Tambak Wedi. Dan mereka hanya dapat menerima keadaan itu. Semuanya demi untuk kebaikan keadaan mereka.

Ki Tambak Wedi yang berjalan dengan tergesa-gesa keluar dari gandok, tiba-tiba tertegun di halaman. Ternyata debar jantungnya menjadi semakin deras, seolah-olah seluruh dadanya ikut berdetak.

“Hem,” orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, “aku harus dapat mengendalikan perasaanku. Ternyata aku telah dihantui oleh bayanganku sendiri. Noda-noda hitam yang melekat di tubuhku agaknya telah membuat aku menjadi seorang pengecut.”

Ki Tambak Wedi mencoba menenteramkan hatinya. Dipandanginya pintu pringgitan yang masih terbuka. Sinar lampu yang kemerah-merahan berloncatan jatuh di atas lantai pendapa yang redup, oleh sinar pelita yang remang-remang.

“Di sana Argapati menunggu aku, Sidanti, dan Argajaya,” orang tua itu berdesis.

Tetapi keragu-raguan yang sangat telah mencengkam hatinya. Hampir-hampir ia mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Argapati berdua. Tumbuhlah hasrat di dalam hatinya untuk berbuat licik. Mengajak Sidanti dan Argajaya untuk bersama-sama berbicara dengan Argapati meneruskan cerita mereka yang menjemukan itu.

“Tidak,” tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menggeretakkan giginya, “dengan demikian persoalan ini tidak akan selesai. Aku harus berkata seperti apa yang terjadi. Aku harus mengatakan kepada Argapati tentang keadaan Sidanti seperti yang benar-benar dialaminya. Apa pun tanggapan Argapati, tetapi aku harus berterus terang.”

Ki Tambak Wedi itu menggeram. Kemudian dibulatkannya hatinya untuk berhadapan dengan Argapati, dan mengatakan tentang keadaan Sidanti, mengatakan tentang dendam yang menyala di dada anak itu, serta sakit hati yang hampir-hampir tidak tertahankan.

“Argapati harus mengerti,” gumam Ki Tambak Wedi, “apapun yang sudah terjadi atasnya.”

Sesaat Ki Tambak Wedi berdiri tegak sambil mengawasi pintu pringgitan. Ketika keragu-raguannya menganggunya lagi, maka dihentakkannya kakinya, “Aku tidak boleh ragu-ragu.”

Ki Tambak Wedi itu pun kemudian melangkahkan kakinya naik ke pendapa. Ditindasnya debar jantungnya yang semakin keras. Dicobanya untuk berbuat dengan tenang. Tanpa kesan apa pun di wajah dan sorot matanya.

Ketika ia muncul di pintu pringgitan, dilihatnya Argapati duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih. Di sampingnya duduk puteri satu-satunya. Pandan Wangi. Gadis itu sama sekali tidak mengesankan kegarangannya dalam pakaian laki-laki. Pandan Wangi dalam keadaannya itu, benar-benar seorang gadis yang manis.

Sebuah pergolakan kembali melanda dada Ki Tambak Wedi. Tetapi sekali lagi ia mencoba menindasnya.

Namun darahnya serasa semakin cepat mengalir ketika ia mendengar Argapati tertawa dan berkata, “Ha, marilah, silahkan duduk. Aku sudah lelah menunggu kalian. Marilah. Kita dapat berbicara semalam suntuk. Kalian dapat bercerita apa pun juga. Marilah.”

Ki Tambak Wedi melangkah masuk. Dan dilihatnya Argapati itu mengerutkan keningnya, “Di mana Sidanti dan Argajaya. Kenapa ia tidak segera datang kemari? Pandan Wangi sudah memanggilnya, tetapi Argajaya menjawab, bahwa mereka menunggu kau, Ki Tambak Wedi.”

“Sebentar lagi mereka akan datang,“ jawab Ki Tambak Wedi.

“Apa lagi yang mereka tunggu? Biarlah kita berbicara apa saja. Aku sudah kangen mendengar Sidanti bercerita. Sebentar lagi biarlah Pandan Wangi menyajikan makan kita, lalu kita berbicara lagi semalam suntuk. Aku kira beberapa orang akan datang pula kemari untuk mendengarkan cerita Sidanti yang telah lama tidak menginjakkan kakinya di kampung halamannya. Beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini pasti akan kagum mendengar Sidanti menceritakan peperangan yang dialaminya, dan terbunuhnya Tohpati. Sidanti pasti akan memberikan banyak petunjuk dan pengalaman di dalam ceritanya bagi orang-orang tanah perdikan yang sepi ini.”

“Ya, ya. Argapati. Sebentar lagi ia akan datang.”

“Apa yang dikerjakannya sekarang.”

“Kepalanya terasa agak pening. Perjalanan hari ini terasa agak berat baginya karena terik matahari.”

Argapati mengerutkan keningnya. Tanpa prasangka apa pun ia bertanya, “He, kenapa kepala Sidanti itu begitu cengeng. Bukankah ia telah mengalami perjalanan berhari-hari. Di dalam hujan dan terik matahari.”

Dada Ki Tambak Wedi berdesir. Namun ia berusaha menjawab, “Tentu Argapati. Bukan hari inilah yang menentukan. Yang berhari-hari itu, sedikit demi sedikit telah mempengaruhi kesehatan Sidanti. Tetapi anak itu tidak mau melihat kenyataan, bahwa perjalanan yang berhari-hari itu terlampau berat baginya. Dipaksakannya dirinya untuk berjalan terus, sehingga justru ketika ia telah berada di rumahnya, ia merasakan kepalanya menjadi pening.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hati, “Aku telah mulai lagi dengan cerita khayal yang memuakkan ini.”

Ketika Argarati terdiam untuk sejenak, maka Ki Tambak Wedi pun seolah-olah menjadi terbungkam. Ia tidak segera dapat mengatakan maksudnya untuk berbicara berdua saja dengan Argapati. Dan hatinya kian berdebar-debar ketika ia mendengar Argapati berkata, “Biarlah ia beristirahat. Tetapi sebentar lagi ia harus bangun dan duduk di sini. Beberapa orang yang mendengar kedatangannya, juga anak-anak muda yang terkemuka pasti ingin menemuinya untuk mendengarkan ceritanya.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Wajahnya menjadi kian menegang, ketika ia berusaha mengumpulkan keberaniannya, untuk mengatakan maksudnya.

Ki Tambak Wedi bukanlah seorang penakut. Bukan seseorang yang selalu ragu-ragu. Bahkan ia termasuk seorang yang kasar, yang berbuat tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Namun berhadapan dengan Argapati dalam persoalannya, dadanya serasa dirobek oleh keragu-raguan dan kecemasan.

Meskipun demikian, setelah berjuang sekuat tenaganya, maka Ki Tambak Wedi berhasil berkata, “Argapati, sebenarnya aku memang menahan Sidanti sesaat di biliknya. Kecuali supaya ia beristirahat bersama pamannya, aku sengaja untuk mendapatkan kesempatan untuk berbicara denganmu, berdua saja.”

“He,” Argapati mengerutkan keningnya, “apakah yang perlu kita bicarakan?”

“Sidanti,“ jawab Ki Tambak Wedi.

Argapati tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah keningnya menjadi berkerut merut.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Ki Tambak Wedi.”

Dada Ki Tambak Wedi bergetar sejenak. Namun ia berhasil pula menjawab, “Maksudku sudah jelas, Argapati. Aku ingin berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarkannya.”

“Ya, tetapi maksud pembicaraan itu sama sekali tidak aku mengerti. Apakah ada gunanya kita berbicara berdua?” Argapati berhenti sejenak, lalu, “Ki Tambak Wedi, aku kira sudah tidak ada masalah apa pun yang perlu kita bicarakan berdua. Masalah yang ada sekarang adalah masalah kita semua. Masalah yang sampai saat ini masih membebani hidupku adalah masalah anak-anakku. Bukan karena persoalan-persoalan yang menyangkut mereka, tetapi bagaimana anak-anakku itu kelak, Bagaimana aku dapat melihat anak-anakku yang sudah tidak beribu lagi itu, menjadi manusia seperti yang kuimpikan. Manusia yang berguna di dalam hubungannya dengan kemanusiaannya. Manusia yang mengerti akan dirinya, sumbemya dan sesamanya.”

Dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia menjawab, “Itulah yang akan aku bicarakan. Aku ingin mengatakan beberapa hal mengenai Sidanti.”

Argapati menggelengkan kepalanya, “Jangan kau bicarakan lagi.”

“Tidak. Tidak. Tetapi bukankah aku kau percaya untuk mengasuh anakmu? Nah, sekarang ini anggaplah aku akan memberikan laporan tentang itu.”

“Aku akan sangat bersenang hati, tetapi kenapa harus tidak ada orang lain yang boleh mendengarnya? Ki Tambak Wedi, biarlah orang-orang mendengar tentang hasil usahamu mengasuh anakku. Aku akan berbangga. Biarlah Pandan Wangi, Sidanti, dan Argajaya mendengar. Kalau ada yang baik, biarlah kita tekankan untuk seterusnya dilakukan. Bila ada yang buruk, biarlah dihentikan untuk seterusnya pula.”

Ki Tambak Wedi menjadi semakin gelisah. Tetapi sudah tentu tidak mungkin baginya untuk bersikap seperti Argapati. Setelah berpikir sejenak ia berkata, “Argapati. Mungkin ada soal yang orang lain tidak perlu mendengarnya. Kegagalan-kegagalan yang dialami Sidanti, perlu kau ketahu dan kau perhatikan.”

“Aku akan mendengarkannya, Ki Tambak Wedi. Aku akan menaruh perhatian sepenuhnya atas semua persoalan.”

“Tetapi anak itu tidak perlu mendengamya.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berpaling kepada puterinya yang duduk dengan gelisah mendengar pembicaraan ayahnya.

“Hem, apakah Pandan Wangi juga tidak boleh mendengar?”

Pertanyaan itu telah membuat Ki Tambak Wedi semakin sulit. Tetapi ia terpaksa menjawab, “Sebaiknya tidak Argapati.”

Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Pandan Wangi adalah orang yang paling dekat dengan aku saat ini. Ia tahu apa saja persoalanku. Persoalanku sebagai seorang ayah, dan persoalanku sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia adalah satu-satunya keluargaku sehari-hari.”

“Tetapi aku terpaksa minta kepadamu, Argapati.”

Argapati terdiam sejenak. Ditatapnya celah-celah pintu pringgitan yang belum terkatup rapat. Terasa silir angin menyentuh tubuhnya, ketika nyala api pelita di dinding pringgitan itu bergerak-gerak.

“Hem,” Argapati berdesah, “Apakah kau akan berbicara tentang Sidanti?”

“Ya, tentang kemajuan dan kegagalannya akhir-akhir ini.”

“Tetapi kau menggelisahkan aku.”

“Untuk kebaikan anakmu itu, Argapati.”

“Menurut pendirianku, tidak ada masalah yang harus dirahasiakan lagi tentang Sidanti. Kemajuan dan kegagalannya adalah hal yang sangat wajar.”

Dalam kegelisahannya Ki Tambak Wedi itu berkata, “Aku ingin mengatakan yang sebenarnya kepadamu, Argapati. Jangan salah paham. Ketahuilah, bahwa Sidanti sebenarnya tidak melakukan perjalanan apa pun selama ini. Aku telah membuat suatu cerita untuk menyelubungi persoalan yang sebenarnya. Persoalan yang hanya akan aku katakan kepadamu saja.”

Tampaklah wajah Ki Gede Menoreh berkerut. Ia terkejut mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu.

Ternyata bukan saja Ki Gede Menoreh, tetapi juga Pandan Wangi terperanjat karenanya, sehingga untuk sesaat ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi dengan mulut ternganga.

Ki Tambak Wedi melihat keheranan yang tersirat pada wajah-wajah itu. Wajah Ki Gede Menoreh dan wajah Pandan Wangi. Dengan demikian, maka debar di dadanya menjadi semakin tajam.

“Ki Tambak Wedi,” desis Argapati, sejenak kemudian, “apakah aku tidak salah dengar, bahwa sebenarnya Sidanti sama sekali tidak pernah melakukan perjalanan seperti yang kau katakan?”

Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, “Ya, demikianlah.”

Argapati menarik nafas panjang sekali. Wajahnya yang keras menjadi tegang. Namun ia mencoba untuk tidak terpengaruh oleh keadaan itu.

“Ah, aku sungguh tidak mengerti,” katanya kemudian, “agaknya kau masih juga senang bergurau Ki Tambak Wedi. Aku menanggapi cerita itu dengan bersungguh-sungguh. Ternyata kau hanya sekedar menganggu kami orang-orang Menoreh.”

“Aku terpaksa berkata demikian, Argapati,” sahut Tambak Wedi. “Selanjutnya aku ingin mengatakan yang sebenarnya. Aku minta kerelaanmu, untuk memberi aku kesempatan berbicara.”

Kini bukan saja dada Ki Tambak Wedi yang menjadi berdebar-debar. Tetapi dada Argapati pun menjadi berdebar-debar pula. Bahkan Argapati itu tidak menyembunyikan perasaannya itu. Katanya, “Ki Tambak Wedi. Aku menjadi berdebar-debar karenanya. Bahkan aku menjadi cemas dan gelisah. Apakah kau memang memerlukan sekali kesempatan itu?”

“Ya, aku memerlukannya.”

Tampak kerut merut di wajah Argapati menjadi semakin dalam. Dipandanginya puterinya yang masih saja duduk di tempatnya dengan penuh pertanyaan tersimpan di dalam hatinya.

“Hem,” Argapati berdesah, “kau benar-benar membuat aku gelisah. Bagiku tidak ada lagi persoalan yang perlu dirahasiakan, Ki Tambak Wedi. Kita sebaiknya berbicara dengan terbuka. Apa yang telah terjadi atas Sidanti?”

“Berilah aku kesempatan Argapati. Aku merasa, bahwa tidak ada orang lain yang perlu mendengar keteranganku tentang apa yang telah terjadi atas Sidanti. Apalagi Pandan Wangi.”

Kini Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia berpaling kepada puterinya. Dan perlahan-lahan ia berkata, “Wangi. Sebaiknya kau tinggalkan kami berdua. Aku dan Ki Tambak Wedi. Agaknya Ki Tambak Wedi ingin mengatakan sesuatu tentang kakakmu, Sidanti, tetapi tidak seyogyanya kau ikut mendengarkannya.”

Keheranan masih saja memancar dari wajah gadis itu. Tetapi ia tidak membantah. Segera ia beringsut dari tempatnya dan berkata, “Baiklah Ayah. Aku akan pergi ke belakang, menyiapkan makan untuk Ayah dan para tamu.”

“Bagus, Bagus Wangi. Lakukanlah. Kami akan segera makan.”

Pandan Wangi itu segera meninggalkau pringgitan. Tetapi sesuatu yang aneh telah menggelisahkannya. Ia sama sekali tidak mengerti, kenapa Ki tambak Wedi ingin berbicara berdua saja dengan ayahnya.

Sepeninggal Pandan Wangi, wajah Argapati menjadi semakin tegang. Ditatapnya saja wajah Ki Tambak Wedi tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga.

Maka Ki Tambak Wedi-lah yang mulai dengan kata-katanya, “Argapati. Sebelumnya aku minta maaf, bahwa aku telah membuat suatu cerita tentang Sidanti. Aku terpaksa membuat cerita itu, sebenarnya khusus untuk Pandan Wangi. Ia aku anggap tidak perlu mengetahui keadaan Sidanti sebenarnya.”

“Kenapa?” sahut Argapati, “kenapa kau tidak berterus terang tentang Sidanti kepada Pandan Wangi? Aku kira Pandan Wangi telah cukup dewasa untuk mengetahui apa pun juga tentang kakaknya, seandainya kegagalan sama sekalipun.” Argapati terdiam sejenak, lalu, “tetapi menurut Pandan Wangi, Sidanti ternyata luar biasa. Pandan Wangi merasakan tekanan yang berat dari kakaknya ketika kakaknya itu menganggunya. Apalagi seandainya Sidanti benar-benar ingin mengalahkannya, maka Sidanti pasti dengan cepat akan dapat melakukan. Bukankah dengan demikian ternyata bahwa Sidanti tidak gagal?”

“Ya, dari segi kanuragan Sidanti memang tidak gagal.”

Argapati mengerutkan keningnya. Kini ia telah mendapat arah dari pembicaraan ini. Kegagalan Sidanti tidak terletak pada olah kanuragan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “Jadi kegagalan Sidanti terletak pada persoalan yang lebih dalam dari olah kanuragan itu sendiri?”

“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi, “Sidanti telah melibatkan diri dalam persoalan yang besar yang menyangkut hubungannya dengan Pajang.”

Tampaklah kerut merut di kening Argapati menjadi semakin dalam. Terasa detak jantungnya bertambah cepat.

“Maksudmu, Sidanti telah terlibat dalam suatu persoalan dengan Pajang? Persoalan yang mana? Bukankah Sidanti kini seorang prajurit Pajang?” Argapati berhenti sejenak, seolah-olah ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Baru sejenak kemudian ia melanjutkan, “Sudah tentu Sidanti tidak sedang melakukan perjalanan seperti yang kau katakan. Dan sudah tentu Sidanti meninggalkan Sangkal Putung bukan karena alasan itu pula. Nah, apakah yang telah terjadi dengan Sidanti?”

“Itulah yang akan aku katakan,“ Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia telah mulai dengan persoalan itu, sehingga ia tidak akan dapat surut kembali.

“Apakah Sidanti tidak cukup baik sebagai seorang prajurit, atau Sidanti telah melakukan kesalahan?”

“Sebenarnya Sidanti tidak bersalah,” jawab Tambak Wedi.

“Kenapa sebenarnya? Apakah yang telah terjadi atasnya?”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan hatinya sebelum mulai dengan persoalan Sidanti yang sesungguhnya.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Masing-masing mencoba mempersiapkan perasaan dan nalar mereka masing-masing, untuk menghadapi suatu pembicaraan yang bersungguh-sungguh.

Dalam kesenyapan itu, yang terdengar hanyalah desah angin perlahan-lahan dan suara cengkerik di kejauhan. Di sudut desa kemudian terdengar suara kentongan untuk memanggil para peronda.

Suasana di dalam pringgitan itu semakin lama menjadi semakin tegang. Meskipun Ki Tambak Wedi belum menyatakan sepatah kata pun, namun terasa, bahwa seolah-olah mereka telah berada dalam satu suasana yang menegangkan urat syaraf mereka.

Setelah dengan susah payah mengatur desah nafasnya, maka Ki Tambak Wedi baru dapat mulai dengan kata-katanya, “Sebelumnya aku minta maaf padamu, Argapati.”

Argapati mengangguk kaku. Tetapi ia tidak menyahut.

“Aku telah mencoba berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan Sidanti. Tetapi keadaan di sekitar Sidanti sama sekali tidak menguntungkannya.”

Sekali lagi Argapati menganggukkan kepalanya.

“Sidanti terpaksa meninggalkan lingkungan keprajuritan.”

Kening Argapati tampak berkerut. Ia sudah menyangka, bahwa itulah yang terjadi. Sidanti terpaksa meninggalkan lingkungan keprajuritan.

Argapati itu berdesah. Tetapi ia masih belum menyahut.

“Kau jangan terkejut Argapati, bahwa persoalannya adalah anak-anak muda.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Orang tua itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat wajah Argapati menjadi merah.

“Tetapi itu bukan sebab yang terutama, Argapati,” sambung Ki Tambak Wedi kemudian dengan tergesa-gesa, “persoalan itu hanyalah sekedar pendorong dari sebab-sebab yang sebenarnya.”

Argapati masih belum menjawab.

“Iri hati dan dengki telah menyebabkan Sidanti terpaksa meninggalkan kedudukannya yang kian hari kian bertambah baik.”

Kini Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis, “Iri hati dan dengki adalah hambatan yang paling menjemukan bagi setiap kemajuan. Tetapi kenapa Sidanti harus meninggalkan lapangan yang telah dipilihnya itu?”

“Kalau kedengkian dan iri hati itu datang dari kawan-kawannya seangkatan, maka hal itu pasti akan dapat di atasinya. Hal yang demikian agaknya cukup dibiarkannya saja. Meskipun mungkin akan dapat juga menghambat kemajuannya, tetapi hal yang serupa itu tidak perlu dilayani.” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Tetapi kedengkian dan iri hati itu datangnya justru dari pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung.”

“He?” Argapati terkejut, “Siapakah mereka itu?”

“Widura.”

“Widura? “ Argapati mengulangi.

“Dan Untara.”

“He,“ Argapati benar-benar terkejut mendengar nama itu disebut, “Untara, Senapati Pajang yang mendapat kepercayaan di daerah Merapi dan sekitarnya?”

Ki Tambak Wedi mengangguk, “Ya.”

Sekali lagi Ki Tambak Wedi melihat wajah Argapati menjadi semburat merah.

“Ki Tambak Wedi,” nada suara Argapati menjadi semakin berat, “apakah yang sudah mereka lakukan? Apakah kedengkian mereka disebabkan karena kemungkinan yang baik dari Sidanti di dalam lapangan keprajuritan, apakah disebabkan karena persoalan anak-anak muda seperti yang kau katakan?”

“Keduanya, Argapati,” sahut Ki Tambak Wedi, “Widura adalah pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung.”

“Ya, aku telah mendengar.”

“Untara adalah kemanakan Widura itu.”

Argapati mengangguk.

“Tetapi sumber yang paling memuakkan dari benturan di antara mereka adalah seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu.”

“Siapakah Agung Sedayu itu?”

“Adik Untara.”

“Jadi juga kemanakan Widura?”

“Ya.”

Terdengar Argapati menggeram. “Mereka adalah anak Ki Sadewa. Aku mengenal ayahnya, meskipun tidak begitu rapat. Tetapi ayahnya bukan seorang yang dengki dan iri hati terhadap kemajuan orang lain. Lalu apakah yang sudah dilakukan oleh mereka atas Sidanti?”

“Agung Sedayu dan Sidanti ternyata mempunyai sangkutan hati yang sama.”

“Oh,” Argapati menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di dalam kepalanya apa yang sudah terjadi di antara mereka. Perlahan-lahan ia berkata, “Apakah kau akan mengatakan, bahwa Widura dan Untara ternyata berpihak kepada Agung Sedayu dan bersama-sama berusaha menyingkirkan Sidanti.”

“Begitulah kira-kira yang terjadi Argapati.”

Argapati menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesah, “Aku sudah berpesan mawanti-wanti. Jangan terlibat dalam persoalan yang pahit itu.”

“Tidak, Argapati. Apa yang terjadi atas Sidanti dalam hubungannya dengan seorang gadis adalah wajar. Tetapi kedatangan Agung Sedayu telah merusakkan hubungan itu. Apalagi ketika Widura dan Untara turut campur.”

“Lalu apakah yang telah dilakukan oleh Sidanti. Menentang kedua pimpinannya itu?”

“Darah mudanya telah meluap.”

“Bodoh. Bodoh sekali. Seharusnya ia tidak berbuat sekasar itu. Kalau hal itu tidak terjadi, maka orang tua-tua ini pasti akan dapat menyesaikannya, mungkin Ki Tambak Wedi, mungkin pimpinan prajurit Pajang itu sendiri.”

Ki Tambak Wedi terperanjat mendengar kata-kata Argapati. Ternyata Argapati menganggap, bahwa sikap Sidanti itu adalah sikap yang salah. Argapati tidak menjadi kecewa atas Widura dan Untara, bahkan sebaliknya ia menyesali sikap Sidanti.

Karena itu maka sejenak Ki Tambak Wedi terdiam. Ia mencoba mencari alasan yang lebih baik, yang dapat membakar hati Argapati.

“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati itu kemudian, “apakah kau tidak berusaha mencegah kesalahan yang telah dibuat oleh Sidanti?”

“Tentu, Argapati. Sudah tentu aku berusaha mencari jalan yang sebaik-baiknya untuk memecahkan masalah itu. Aku temui satu demi satu kedua orang yang kebetulan mendapat kepercayaan atas para prajurit Pajang di Sangkal Putung itu.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak ia terdiam. Dibiarkannya Ki Tambak Wedi berkata terus, “Tetapi agaknya masalah bagi mereka yang sebenarnya bukanlah Agung Sedayu. Masalah yang sebenarnya adalah masalah kedengkian mereka.”

Tampak kening Argapati menjadi berkerut. Dan Ki Tiambak Wedi berkata selanjutnya, “Persoalan Agung Sedayu ternyata telah mereka pakai untuk melepaskan iri hati dan dengki mereka atas Sidanti.”

“Apa yang telah mereka lakukan atas Sidanti?”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk mengekang gelora di dadanya. Ia harus berhati-hati supaya ia tidak buat kesalahan.

“Menyesal sekali Argapati,” berkata Tambak Wedi, “bahwa Widura disetujui oleh Untara telah membuat darah kedua anak muda itu menjadi panas.”

Kening Argapati menjadi semakin berkerut merut.

“Meskipun tampaknya sangat baik, namun ternyata Widura telah membakar kedua anak muda itu dan menjerumuskan ke dalam suatu pertentangan yang berbahaya.”

“Apa yang sudah dilakukannya?”

“Widura menyelenggarakan sayembara memanah.”

“Untuk apa?”

“Untuk menentukan siapa yang berhak atas gadis itu.”

“Ah,” wajah Argapati menjadi tegang, “apakah kau berkata sebenarnya Ki Tambak Wedi?”

“Kenapa tidak? Aku berkata untuk kepentingan anakmu, Argapati.”

“Tetapi apakah hak Widura untuk menyelenggarakan sayembara itu? Kalau sayembara itu diadakan untuk memilih senapati yang akan dijadikannya pembantunya melawan Tohpati, itu adalah kewajiban Widura. Tetapi persoalan gadis itu, bukanlah wewenangnya. Apakah gadis itu sudah tidak berayah dan beribu?”

“Oh, gadis itu bernama Sekar Mirah. Ia adalah puteri Demang Sangkal Putung.”

Argapati menjadi semakin tegang. Ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi seolah-olah ia ingin melihat apakah yang tergores di dalam kepala orang tua itu.

Sejenak kemudian terdengar Argapati berdesis, “Kedengarannya aneh sekali Ki Tambak Wedi.”

“Itulah yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi aku tidak dapat mencegahnya. Apalagi ketika perlombaan itu telah berlangsung. Widura sudah mengatur orang-orangnya untuk berlaku curang, sehingga di dalam sayembara itu, Sidanti tidak dapat memenangkannya.”

“Lalu apa yang dilakukan oleh Sidanti?”

“Darah mudanya menyala tanpa dapat dikendalikan lagi. la terlibat dalam perang tanding. Bukan sekedar sayembara memanah.”

Wajah Argapati menjadi semakin berkerut merut.

“Keduanya adalah anak-anak muda. Agung Sedayu dan Sidanti,” Ki Tambak Wedi meneruskan, “tetapi sekali lagi mereka berbuat curang. Kali ini Untara sendiri yang telah melanggar sikap jantan. Dan sekali lagi Sidanti tidak dapat mengendalikan diri. Ketika Agung Sedayu sudah tidak berdaya melawan Sidanti, maka Sidanti harus berhadapan dengan Untara sendiri.”

“Oh,” Argapati menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya,”dan kau tidak dapat mencegahnya?”

“Sulit sekali, Argapati. Kalau kau melihat apa yang terjadi, maka kau tidak akan menyalahkan sikap Sidanti. Aku pun hampir-hampir kehilangan akal dan berbuat di luar nalar.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu?”

“Ternyata yang terjadi kemudian sama sekali tidak terduga-duga sebelumnya,” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Dicobanya untuk menjajagi perasaan Argapati. Tetapi ia tidak menemukan kesan yang meyakinkan.

“Pertentangan itu menjadi berlarut-larut. Meskipun perkelahian yang pertama itu tampaknya berakhir tanpa menyakitkan hati kedua belah pihak, karena kepentingan mereka atas keselamatan Sangkal Putung dari sergapan Tohpati, sehingga mereka masih memerlukan Sidanti. Namun yang terjadi dihari-hari berikutnya adalah, persoalan yang paling menyakitkan hati. Bagi Sidanti, perguruan Tambak Wedi dan bagi Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ah,” Argapati berdesah, “kenapa hal itu harus terjadi?”

“Sidanti di sudutkan ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya.”

Argapati, yang bergelar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seorang yang menyimpan perbendaharaan pengalaman yang seimbang dengan Ki Tambak Wedi. Ia adalah orang yang memiliki ketajaman penilaian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dan keterangan-keterangan yang didengarnya. Meskipun ia keras hati, tetapi ia mempunyai pertimbangan yang kuat. Sebelum meletakkan keputusan dan menentukan sikap, maka ia mempertimbangkan setiap persoalan semasak-masaknya.

Sejenak pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Yang terdengar hanya desah nafas mereka berkejaran lewat lubang-lubang hidung. Namun demikian, debar jantung kedua orang tua-tua itu menjadi semakin deras berdentangan di dalam dada mereka.

Ki Tambak Wedi mengharap, bahwa ia akan berhasil membakar hati Argapati. Ia mengharap bahwa Argapati akan bersedia membantunya menebus segala kekalahan. Lebih daripada itu, apabila ia berhasil menggerakkan Argapati, maka ia akan membawanya ke singgasana Pajang.

Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat segera menangkap perasaan Argapati. Meskipun wajahnya menegang, namun ia tidak berhasil menangkap perasaan yang tersirat daripadanya.

Sesaat kemudian, terdengar Argapati bergumam, ”Ki Tambak Wedi, aku tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi aku menyesal bahwa pertentangan itu telah berlangsung. Baik antara Sidanti dan Agung Sedayu, maupun Sidanti dan Widura serta Untara.”

“Keadaan itu datang tanpa dapat dihindari oleh Sidanti.” jawab Ki Tambak Wedi.

“Ah, aku rasa keadaan itu pasti ada permulaannya. Aku tidak tahu siapakah yang bersalah, tetapi bahwa Sidanti dan Agung Sedayu itu bersaing untuk mendapatkan seorang gadis, itu sudah tidak menyenangkan sama sekali. Aku tidak pedulikan Agung Sedayu, sebab ia bukan sanak bukan kadang. Apa pun yang akan dilakukan, seandainya ia berbuat nista seperti orang yang paling hina sekalipun. Tetapi Sidanti adalah anakku. Ia harus mempunyai harga diri. Ia harus menempatkan dirinya sebagai seorang putera Kepala Tanah Perdikan. Ia harus menjadi seorang prajurit yang baik. Seorang prajurit yang harus menjadi tepa-tulada dari prajurit-prajurit yang lain.”

“Ya, ya. Aku mengerti,” sahut Ki Tambak Wedi, “seharusnya memang demikian. Tetapi aku tidak banyak berdaya untuk menghindarkannya.”

“Kalau saja Sidanti tidak terkait gadis Sangkal Putung itu, maka semuanya tidak akan terjadi.”

“Kau salah, Argapati. Soalnya bukan bersumber pada gadis itu. Sudah aku katakan. Soalnya adalah kedengkian dan iri hati. Seandainya tidak ada persoalan gadis itu sekalipun, namun Untara dan Widura pasti akan mencari sebab-sebab lain yang akan dapat dipergunakan untuk menyingkirkan Sidanti.”

Argapati mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata terus, “Aku sudah mencoba menjajagi perasaan mereka. Di antara sekian banyak sebab dari kedengkian dan iri hati itu, adalah kemajuan Sidanti. Mereka berusaha sekeras-kerasnya untuk menyembunyikan kemampuan Sidanti. Sebab apabila kemampuan Sidanti itu dapat dilihat oleh para pemimpin Wira Tamtama Pajang, maka keadaannya sama sekali tidak akan menguntungkan Untara dan Widura. Karena itu mereka berdua, paman dan kemanakan itu, berusaha untuk menyingkirkannya. Apalagi apabila sampai pada suatu saat Sidanti berhasil membunuh Tohpati, maka kedudukan Widura dan Untara pasti akan terdesak.”

Tetapi Ki Tambak Wedi itu terperanjat ketika ia mendengar Argapati bertanya, “Apakah memang tersirat di kepala Sidanti untuk mendesak kedudukan kedua orang itu?”

Sejenak Ki Tambak Wedi terbungkam. Di keningnya mengembun keringat yang dingin. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja ia di hadapkan pada pertanyaan itu.

“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati seterusnya, “aku pun pernah mengalami menjadi seorang prajurit. Senapati adalah jabatan yang memang diimpikan bagi setiap prajurit. Senapati perang dari segala tingkatan. Seandainya Sidanti ingin menjadi senapati pun, maka hal itu adalah wajar. Sebab tanpa keinginan dan cita-cita itu, maka ia adalah seorang prajurit yang akan membeku saja di tempatnya. Ia akan tetap seorang prajurit sampai pada suatu saat ujung pedang lawannya membelah dadanya, atau sampai suatu saat ia harus mengundurkan diri karena umurnya. Tetapi aku tidak pernah merasakan suatu kecemasan, bahwa seseorang akan mendesak kedudukanku. Seandainya ada prajuritku yang maju, maka sebaiknya diberi kesempatan. Bukan ditanggapi dengan iri dan dengki, apabila prajurit itu berbuat dengan wajar. Tetapi bila seorang prajurit sengaja menjual jasa, dan membanggakan kelebihannya, memang kadang-kadang sikap yang demikian tidak menyenangkan atasannya. Nah, apakah Ki Tambak Wedi sudah melihat, apakah Sidanti tidak terdorong dalam sikap serupa itu, sehingga Widura dan Untara tidak menyenanginya?”

“Oh,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, “kau memang orang yang terlampau baik, Argapati. Kau seorang yang keras hati, sekeras batu-batu padas di pegununganmu. Wajahmu pun tampak begitu keras membatu. Tetapi kau terlampau hati-hati untuk mengambil sikap. Kau selalu berprasangka baik terhadap seseorang. Kau tidak pemah melihat kesalahan orang lain lebih dahulu dari kebaikannya. Namun jangan berbuat demikian terhadap Widura dan Untara. Jangan, Argapati. Kau harus dapat menempatkan dirimu pada pihak yang seharusnya mendapat perlindunganmu.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya masih saja didera oleh keragu-raguan dan kebimbangan.

Sejenak kemudian ia berkata, “Nah, seandainya demikian, lalu apakah sebab langsung yang telah mendorong Sidanti meninggalkan Sangkal Putung?”

“Aku membawanya ke Tambak Wedi.”

“Begitu saja?”

“Aku tidak mau melihat keadaan menjadi semakin parah. Aku tidak mau melihat Sidanti kehilangan segala-galanya. Kehilangan gadis itu, kehilangan kesempatan di dalam tugas-tugas keprajuritan, kehilangan harga diri, dan kehilangan keberanian untuk bersikap. Atau apabila terjadi sebaliknya, Sidanti menjadi mata gelap dan berbuat di luar kendali.”

Sekali lagi Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tampaklah suatu bayangan yang buram di kepalanya. Betapa pun ia mencoba mengerti keterangan Ki Tambak Wedi, namun setiap kali bayangan tentang Sidanti, Widura, dan Untara, seolah-olah seperti asap yang tertiup angin. Pecah bertebaran, dan ia kehilangan gambaran tentang apa yang terjadi.

“Aku tidak dapat mengerti,” desisnya di dalam hati, “bagaimana mungkin seorang senapati seperti Untara, menaruh kedengkian dan iri hati terhadap bawahannya. Terhadap Sidanti.” Tetapi lalu dijawabnya sendiri, “Untara masih muda. Mungkin ia masih kurang bijaksana menanggapi keadaan, sehingga timbullah kedengkian dan iri hati itu.”

Namun bagaimanapun juga Argapati masih dibelit oleh keragu-raguan dan kebimbangan.

“Apakah kau tidak dapat mengerti, Argapati?” bertanya Ki Tambak Wedi.

“Aku sedang mencoba untuk mengerti,” jawab Argapati dengan jujur.

“Kau memang terlampau baik dan jujur, sehingga kau tidak dapat membayangkan kedengkian dan iri hati orang lain. Sebab kau sendiri tidak pernah berbuat demikian atas orang lain.”

“Hem,” Argapati menarik nafas dalam-dalam, “Lalu seandainya kemudian aku meyakini kebenaran keteranganmu, lalu apakah yang sebaiknya aku lakukan menurut pertimbanganmu?”

Detak jantung Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar. Ia merasa belum dapat meyakinkan Argapati. Namun ia harus berusaha membuat hati orang itu menjadi semakin panas. Ia harus dapat membakar perasaannya.

“Tetapi Argapati bukan Sidanti,” gumam Ki Tambak Wedi di dalam hatinya, “Argapati adalah orang yang matang dalam sikap dan perbuatan. Tetapi aku harus mencoba.”

Maka dengan hati-hati Ki Tambak Wedi berkata, “Argapati. Aku sebenarnya tidak dapat mengatakan apa pun kepadamu tentang sikap yang sebaiknya kau ambil. Kau adalah seorang yang cukup matang menanggapi persoalan. Adalah wewenangmu untuk menentukan, sikap apakah yang sebaiknya kau ambil, tetapi aku percaya, bahwa kau masih Argapati yang aku kenal dahulu. Seorang yang memiliki harga diri dan kejantanan.”

Argapati mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Persoalan ini bukan persoalan yang dapat diabaikan. Persoalannya tidak sekedar persoalan. Sidanti dan Untara, tetapi pasti akan menyangkut orang tua-tua ini pula.”

“Tentu Argapati,” Kitambak Wedi menyahut, “apalagi kalau Untara sengaja membuat laporan palsu. Maka penilaian orang-orang Pajang pasti akan berkisar kepadamu dan kepadaku.”

Argapati mengangguk-angguk. “Ya,” katanya. “Pasti orang-orang tua inilah yang akan mendapat sorotan tajam dari para pemimpin Wira Tamtama Pajang.”

“Itulah sebabnya, aku segera datang kepadamu.”

Argapati tidak segera menjawab. Tetapi kerut merut di dahinya menjadi semakin dalam.

Dan terdengar Ki Tambak Wedi melanjutkan, “Dan untuk seterusnya, kau harus berbuat sesuatu, Argapati.”

“Ya, aku menyadari. Sebagai orang tua aku harus berbuat sesuatu untuk kepentingan Sidanti.”

Kini Ki Tambak Wedi-lah yang menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat titik-titik terang, bahwa usahanya akan berhasil.

Tetapi alangkah terperanjatnya ketika ia mendengar Argapati itu berkata, “Baiklah, Ki Tambak Wedi. Apabila kau dan Sidanti nanti pada waktunya kembali ke Tambak Wedi, meskipun aku tidak mendesakmu untuk segera pergi dari Menoreh, bahkan apabila mungkin kau akan berada di sini untuk waktu yang cukup lama, namun maksudku, kelak apabila kau kembali, aku akan ikut serta bersama Argajaya. Aku akan menemui Widura dan Untara. Aku ingin mendapat penjelasan akan sikapnya itu.”

“Ah,” dengan serta merta Ki Tambak Wedi memotong, “masihkah kau menganggap bahwa itu akan berguna bagimu dan bagi Sidanti?”

“Kenapa tidak? Aku akan menemuinya, Ki Tambak Wedi. Aku dan Untara berdiri pada tingkat yang sama. Aku tidak akan merendahkan diriku, mohon belas kasihan untuk kepentingan anakku. Tidak Ki Tambak Wedi. Bukankah kau tahu, bahwa ketika kau menganjurkan aku untuk menemui Ki Gede Pemanahan dan menitipkan Sidanti kepadanya, supaya Sidanti segera mendapat kedudukan yang baik, aku menolak. Aku tidak mau berbuat demikian. Sidanti harus menjadi seorang prajurit yang baik. Prajurit yang merayap dari tingkat yang paling rendah untuk mencapai tingkat yang setinggi-tingginya. Bukan karena ia anakku, dan aku telah mengenal Ki Gede Pemanahan, meskipun tidak begitu rapat seperti aku mengenal kau. Kau pun telah mengenal Ki Gede Pamanahan pula. Tetapi hal itu tidak kita lakukan. Aku tidak mau. Meskipun tampaknya demikian akan menguntungkan Sidanti, namun Sidanti akan kehilangan masa-masa yang akan dapat menempa dirinya sendiri. Ia akan kehilangan keprihatinan, karena dengan serta merta ia berada ditingkat yang tinggi. Bukan karena hasil cucuran keringatnya sendiri, tetapi karena pengaruh orang lain, meskipun orang lain itu adalah ayahnya sendiri.”

“Aku tahu, Argapati. Aku tahu betapa kau mencoba mendidik Sidanti untuk percaya kepada diri sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Tetapi kini masalahnya berbeda. Bukan sekedar harga diri. Bukan pula masalah yang dapat dibicarakan dengan wajar. Tetapi masalahnya adalah kedengkian, dan iri hati. Nah, dapatkah kau mempersoalkan kedengkian dan iri hati? Tidak Argapati. Dengki dan iri hati tidak akan dapat dibicarakan. Tidak dapat dipersoalkan. Apalagi kedengkian dan iri hati itu telah diungkapkannya dalam tindakan yang paling menyakitkan hati. Tindakan yang tidak akan dapat dilupakan oleh Sidanti sepanjang umurnya.”

Argapati tidak segera menjawab. Sejenak ia terdiam, seolah-olah sedang merenungkan kata-kata Ki Tambak Wedi itu. Dicobanya untuk mengerti dan mempercayainya. Tetapi setiap kali ia merasakan sesuatu yang menggelepar di dalam hatinya. Alangkah sulitnya bagi Argapati untuk dapat menelan keterangan itu.

Argapati itu mengangguk, ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya, “Apakah kau ragu-ragu, Argapati?”

“Ya, aku memang ragu-ragu,” jawab Argapati.

“Kau tidak mempercayai aku?”

“Bukan begitu Ki Tambak Wedi,” sahut Argapati, “aku tidak meragukan kau. Tetapi aku meragukan tanggapan Sidanti atas kedua orang atasannya itu. Mungkin sikap Widura dan Untara yang keras, diterimanya dengan salah paham. Ia menyangka, bahwa Widura dan Untara menyimpan kedengkian dan iri hati di dalam hati mereka.”

“Oh,” Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, “bukan hanya kau yang meragukan hal itu. Semula aku pun meragukannya. Tetapi akhirnya aku yakin, bahwa keduanya memang dengki dan iri hati.”

“Ya,” akhirnya Argapati mengangguk-anggukkan kepalahnya, “jalan yang paling baik bagiku adalah menemui Widura dan Untara. Aku bukan anak-anak lagi seperti Sidanti yang menganggap perkelahian adalah jalan yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan. Aku akan mengambil jalan yang paling baik bagi semua.”

“Kalau kau mendengarkan nasehatku, Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi, “jangan merendahkan dirimu. Kau hanya akan mendapat penghinaan yang akan menambah parah luka di hati.”

“Apakah mereka sudah gila?” bertanya Argapati dengan serta merta.

“Mungkin istilah itulah yang paling tepat dipergunakan untuk menyebut kedua orang itu, Widura dan Untara.”

“Ah,” Argapati berdesah. Sejenak ia terdiam. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana yang baik menurut pertimbanganmu?”

“Argapati,“ berkata Ki Tambak Wedi dalam nada yang berat, “sebenarnya aku tidak akan sampai hati mengatakan kepadamu. Tetapi setelah aku pertimbangkan baik-baik, maka lebih baik kau mengerti setiap persoalan dengan baik daripada sekedar permukaannya saja. Untuk seterusnya, aku dan Sidanti tidak akan dapat kembali lagi ke padepokan Tambak Wedi.”

“He,” Argapati mengerutkan keningnya. Keterangan itu telah mengejutkannya, “Kenapa?”

“Tambak Wedi telah pecah. Hancur lumat menjadi abu.”

Argapati justru terdiam. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut merut.

“Widura dan Untara ternyata telah menyusul Sidanti ke Tambak Wedi.”

Tampaklah sesuatu memancar dari sepasang mata Argapati yang dalam. Sejenak dipandangnya wajah Ki Tambak Wedi dengan tajamnya. Namun kemudian dilemparkan pandangan matanya itu ke arah nyala pelita di dinding. Begitu tajamnya ia memandang api yang sedang menggapai-gapai itu. Tanpa berkedip.

Dada Ki Tambak Wedi menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar kekuatan yang tersimpan di dalam diri orang itu. Di dalam diri Ki Argapati. Seperti kelebihan yang tersimpan di dalam dirinya, yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, sehingga orang menyebut, bahwa Ki Tambak Wedi mampu menangkap angin. Seperti orang mengatakan, bahwa perguruan Kedung Jati mempunyai rangkapan nyawa di dalam diri setiap muridnya. Maka hampir setiap mulut di Menoreh mengatakan, bahwa dengan sorot matanya, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, itu mampu membakar setiap benda yang dikehendakinya, sehingga menjadi abu.

Debar di dada KiTambak Wedi itu menjadi semakin keras, ketika tiba-tiba ia melihat api pelita itu terguncang dengan kerasnya, seolah-olah dihembus oleh angin yang bertiup dari arah sepasang mata Ki Gede Menoreh. Tetapi sejenak kemudian nyala pelita itu telah tegak kembali, seolah-olah menari dengan riangnya.

Ki Tambak Wedi tersadar, ketika ia mendengar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah sedang menikmati hasil pemusatan pikiran, dengan sengaja mengguncang nyala api pelita itu dengan pandangan matanya.

“Bukan main,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya, “begitu besar perbawa pada dirinya, sehingga aku telah dicemaskan oleh permainannya. Hem,” Ki Tambak Wedi-lah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sekali lagi memandang api pelita itu, maka dilihatnya sekali lagi api pelita itu berguncang, meskipun Ki Gede Menoreh tidak sedang memandanginya. Terasa, angin yang lembut mengalir mengusap kening Ki Tambak Wedi yang basah oleh keringat.

“Setan alas,” Ki Tambak Wedi itu mengumpat di dalam hatinya. “Aku tidak dapat membedakan lagi, apakah yang telah mengguncangkan nyala api itu. Tetapi tadi aku tidak merasakan usapan angin yang dapat menggerakkan nyala pelita itu.”

Sejenak kemudian, keduanya masih saling berdiam diri. Ketegangan terasa semakin memuncak. Dan sejenak kemudian, terdengar suara Argapati dalam nada yang berat dan dalam, “Apakah keadaan Sidanti sudah sedemikian parahnya, sehingga kau harus mengorbankan padepokanmu?”

Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku telah mengorbankannya untuk mencoba mempertahankan Sidanti. Untunglah, bahwa Sidanti berhasil melepaskan dirinya. Kalau tidak, ia pasti akan dijadikan pangewan-ewan. Ia akan dihinakan jauh lebih menyakitkan hati daripada sisa-sisa orang Jipang yang dapat ditangkap oleh Widura dan Untara.”

Sekali lagi Argapati terhenyak dalam kediamannya. Sekali ia merenungkan kata-kata Ki Tambak Wedi. Namun terasa ketegangan di dalam ruangan itu pun semakin bertambah-tambah.

“Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian, “aku telah melakukan segala macam usaha. Usahaku yang terakhir adalah menyelamatkan Sidanti. Seterusnya aku hanya dapat mengadu kepadamu. Anak itu memerlukan perlindungamu.”

Wajah Argapati menjadi semakin tegang. Terbayanglah suatu peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Peristiwa yang telah menyeret Sidanti ke dalam suatu persoalan yang sulit. Yang mau tidak mau pasti akan menyangkut namanya, kecuali nama Ki Tambak Wedi.

Namun bagaimanapun juga, Argapati tidak dapat mengusir kebimbangan yang mencengkam jantungnya. Dengan demikian, maka terjadilah suatu pergolakan di dalam dadanya. Sentuhan terhadap Sidanti yang setiap orang menyebutnya putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh adalah sentuhan terhadapnya. Tetapi apakah benar hal itu terjadi karena kedengkian dan iri hati? Bukan hanya sekedar karena salah paham yang berlarut-larut?

Argapati menarik nafas dalam-dalam, ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Kau harus mengambil sikap, Argapati. Apa pun yang telah terjadi di antara kita, tetapi kini nama Menoreh sedang mendapat perhatian dikalangan Wira Tamtama Pajang. Bukan karena kesalahan kita, bukan pula karena kesalahan Sidanti. Tetapi sayang, bahwa justru orang-orang seperti Widura dan Untara-lah yang mendapat kekuasaan di Sangkal Putung dan daerah di sekitar Gunung Merapi.”

“Hem,” Argapati berdesah, “kenapa persoalan itu telah menjadi sedemikian jauh? Dan baru setelah semuanya tidak dapat dicegah kau datang kepadaku, memberitahukannya? Sekarang aku sudah tersudut ke dalam suatu keadaan yang paling parah.”

“Aku minta maaf, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi, “aku pun sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu akan terjadi. Tetapi semuanya telah terlanjur. Yang ada sekarang yang harus diselesaikan, adalah keadaan kita kini.”

“Lalu apakah yang dapat aku lakukan untuk menyelesaikannya?”

“Aku hanya melihat satu jalan.”

“Jalan yang mana?”

“Argapati. Kita sudah terlanjur berada di tengah-tengah penyeberangan tanpa kita kehendaki. Kembali kita sudah terlanjur basah. Karena itu, maka biarlah kita berjalan terus. Apa pun yang terjadi.”

Argapati mengerutkan keningnya, “Maksudmu?“

“Kita tebus dengan darah.”

Kerut merut di kening Argapati menjadi semakin dalam, “Maksudmu kita menggerakkan pasukan. Atau dengan berterus-terang kita memberontak terhadap Pajang.”

Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Argapati. Tetapi ia tidak dapat menangkap kesan yang meyakinkan. Karena itu, dengan berhati-hati ia berkata, “Bukan maksud kita. Tetapi kita di sudutkan ke dalam keadaan itu.”

“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati datar, “Pajang kini sedang mencoba berdiri tegak setelah saling memukul di antara keluarga sendiri. Bahkan sampai kini, menurut pendengaranku, masih saja tumbuh keributan di mana-mana. Beberapa orang bupati tidak senang menerima Karebet di atas tahta, meskipun mereka masing-masing menyimpan pamrih pula. Nah, apakah kita juga akan menambah kekisruhan itu?”

Ki Tambak Wedi mengangkat alisnya. Sejenak ia terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku berpikir sebaliknya, Argapati.”

“Maksudmu?”

“Pajang lah yang selalu membuat keributan di mana-mana. Pajang lah yang terlampau tamak. Kalau kau tahu sedikit saja tentang masa-masa muda anak yang bernama Karebet itu, maka kau akan segera mengerti, apakah yang sebenarnya sedang dilakukannya kini. Ternyata para perwira Wira Tamtama itu pun telah mewarisi sikap dan sifat-sifat itu. Nah, apakah kau dapat mengerti?”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, aku mengerti. Bukankah maksudmu mumpung Pajang belum tegak benar, kita mempergunakan kesempatan ini?”

“Begitulah.”

“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati, “persoalan itu adalah persoalan hidup dan mati. Jangan menyeret tanah perdikan ini ke dalam keadaan yang tidak dapat kita yakini. Apabila masalahnya demikian, maka kita memerlukan waktu untuk memikirkannya.”

“Apakah kita harus menunggu sampai pasukan Pajang menyeberangi hutan Tambak Baya, Mentaok, dan Kali Praga.”

“Ah, jangan seperti anak kecil, Ki Tambak Wedi. Kau tahu, bahwa untuk melakukannya, Pajang pun memerlukan waktu. Menyeberang hutan-hutan itu dan Kali Praga dalam gelar perang, bukan mainan kanak-kanak. Kau pun pasti tahu, bahwa orang-orang Pajang tidak sebodoh itu, kecuali mereka akan membunuh diri.”

“Tetapi apakah kau tidak akan berbuat sesuatu?”

“Aku akan memilih jalan yang paling baik. Aku akan menemui langsung Ki Gede Pemanahan. Panglima Wira Tamtama itu. Ia harus menyadari, bahwa di dalam pasukannya ada orang-orang seperti Widura dan Untara.”

“Oh,” Ki Tambak Wedi-lah yang kemudian berdesah, “aku lupa mengatakan. Bahkan Pemanahan telah datang pula ke Sangkal Putung.”

“He,” Argapati terkejut.

“Ya. Ia telah datang ke Sangkal Putung. Dan Panglima yang gila itu membenarkan sikap Widura dan Untara untuk memukul Tambak Wedi.”

Wajah Argapati menjadi semakin tegang mendengar keterangan itu. Tanpa sesadarnya ia berkata, “Jadi apa yang dilakukan Untara dan Widura itu sudah setahu Pemanahan?”

“Ya.”

Argapati terdiam sejenak. Tiba-tiba kepalanya menunduk dalam-dalam. Ki Tambak Wedi menyadari, betapa dada orang yang bertubuh tinggi kekar berdada bidang itu sedang dihantam oleh gelora perasaan yang luar biasa. Namun ia mengharap, agar perkembangan persoalan di dalam diri Argapati itu mengarah kepada rencananya. Mudah-mudahan Argapati menjadi marah dan mendendam. Meskipun tanah ini hanya sekedar tanah perdikan, bukan daerah kabupaten atau kadipaten yang besar, namun justru tanah ini tanah perdikan, maka Menoreh menjadi kuat. Menoreh tidak berada di dalam pengawasan yang terlampau ketat dari Pajang seperti daerah-daerah kadipaten dan kabupaten.

Sekali lagi kedua orang tua itu terlontar ke dalam kesepian yang tegang. Argapati masih saja menundukkan kepalanya. Di kepala itu berkecamuk berbagai macam persoalan yang membuatnya menjadi pening. Kalau Ki Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Widura dan Untara, maka mau tidak mau masalahnya pasti akan menjadi parah bagi Menoreh. Kalau Ki Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Untara, dan bahkan telah datang pula ke Sangkal Putung, itu adalah suatu sikap yang pasti tidak dapat dihindarinya lagi.

“Mungkin benar kata Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati di dalam hatinya, “bahwa sebentar lagi pasukan Pajang akan menyeberangi Alas Mentaok dan Kali Praga. Bahwa sebentar lagi sepasukan prajurit segelar sepapan dalam gelar perang yang sempurna akan berbaris memasuki tanah perdikan ini. Apakah aku harus menyambut prajurit Pajang itu juga dalam gelar perang untuk mempertahankan Sidanti dan Ki Tambak Wedi?”

Keragu-raguan yang dahsyat telah berkecamuk di dalam hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Berbagai pertimbangan dan perhitungan bersimpang-siur di dalam kepalanya. Namun bagaimanapun juga, ia masih belum berhasil mengusir kebimbangannya. Masih ada sepercik anggapan, bahwa yang terjadi adalah semata-mata sebuah salah paham.

Seandainya Untara dan Widura keblinger karena mereka melihat persoalannya itu dari sudut kepentingan mereka, dan kepentingan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara dan kemanakan Widura itu, maka apakah Ki Gede Pemanahan dapat juga dengan mudahnya keblinger? Apakah Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi sama sekali tidak dapat menemukan titik-titik persamaan sikap untuk menyelesaikan masalah itu? Apakah keduanya kini sudah menjadi pikun dan tidak mampu lagi melihat jalan yang sebaik-baiknya mereka tempuh untuk menyelesaikan peristiwa ini?

Angin malam yang basah bertiup semakin kencang menyusup dari lubang pintu yang tidak terlampau rapat ditutup. Sentuhan di wajah-wajah mereka telah membangunkan mereka dari buaian angan-angan.

Argapati yang kemudian mengangkat wajahnya berdesis, “Ki Tambak Wedi. Apakah dunia sekarang ini sudah demikian gelapnya, sehingga orang-orang seperti Ki Gede Pemanahan, dan Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat melihat lagi jalan lain yang dapat ditempuh kecuali kekerasan? Aku tidak dapat mengerti, bahwa untuk persoalan yang kecil itu, maka Menoreh harus di sudutkan ke dalam suatu persiapan untuk menghadapi perang.”

Ki Tambak Wedi menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu, pertimbangan apakah yang telah mendorong Pemanahan untuk membenarkan sikap Widura dan Untara. Mungkin Panglima itu telah dimakan fitnah, mungkin pula karena nafsu berperang yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Setelah Jipang tidak mampu lagi membuat perlawanan yang berarti, maka Pemanahan dengan sengaja telah membuat lawan baru, supaya ia tidak kehilangan kedudukannya sebagai orang yang terpenting di Pajang. Apabila peperangan masih berkecamuk terus, maka Panglima Wira Tamtama-lah yang seolah-olah memegang tampuk pimpinan dalam pemerintahan. Patih Manca Negara hampir-hampir sudah tidak berarti lagi. Kekuasaan Pajang di dalam masa perang, berada seluruhnya di tangan Pemanahan. Sedang apabila perang berakhir, maka Patih Manca Negara pasti akan segera tampil sebagai seorang ahli di dalam bidangnya.”

Keterangan itu memang masuk akal. Tetapi adalah licik sekali apabila perhitungan Ki Tambak Wedi itu benar. Sedang menurut pengenalannya atas Ki Gede Pemanahan, maka hal itu tidak mungkin dilakukannya.

Dalam kebimbangan itu, Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya sendiri, maka terpandanglah olehnya wajah Ki Tambak Wedi yang berkerut merut. Wajah yang telah lama dikenalnya. Hidung yang mirip dengan paruh burung betet, mata yang tajam seolah-olah memancarkan perasaan yang aneh tidak teraba.

Tiba-tiba terasa desir yang tajam tergores di dalam hati Argapati. Ia mengenal Ki Tambak Wedi tidak hanya baru sehari dua hari yang lalu. Ia mengenal Tambak Wedi sejak bertahun-tahun. Jauh lebih lama dari umur Sidanti itu sendiri. Karena itu, maka ia telah banyak sekali mengenal watak dan tabiatnya.

Maka keragu-raguan di dalam hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu justru menjadi semakin tebal. Pengenalannya atas Ki Tambak Wedi sama sekali tidak mendorongnya untuk mempercayai keterangannya, tetapi justru sebaliknya.

Karena itu, maka terdengar Ki Gede Menoreh itu bergumam, “Ki Tambak Wedi. Kalau demikian, maka aku harus segera bertindak. Aku harus mencegah keadaan ini menjadi semakin berlarut-larut.”

“Ya, ya,” sahut Ki Tambak Wedi. “Kau memang harus segera berbuat sesuatu, supaya kau tidak dilanda banjir sedang kau tertidur di tengah-tengah sungai.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih ingin mendengar keinginan Ki Tambak Wedi selanjutnya. Maka katanya, “Kalau demikian, apakah yang pertama-tama harus aku lakukan?”

“Kau harus menyiapkan dirimu, Argapati.”

“Aku tahu maksudmu. Tetapi pertimbanganmu lebih jauh?“

Ki Tambak Wedi pun menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian dikatakannya juga, apa yang telah tergores di dalam dadanya, “Argapati. Kau akan dapat menguasai suatu daerah yang luas di sebelah Selatan.”

“Itu aku tahu.”

“Kemudian kau akan dapat memecah Pajang. Kau akan merebut seluruh kekuasaan yang kini berada di tangan Karebet itu.”

“Tak ada orang yang menerima aku di sana. Aku tidak akan mempunyai akar di dalam pemerintahan. Apalagi daerah Pesisir Lor, Bang Wetan, dan Bang Kulon.”

“Kau keliru. Sebagian dari mereka tidak lagi berpegangan pada tujuan hidup yang mendasari pemerintahan mereka atas daerah-daerah itu. Asal mereka masih tetap berkuasa dan dapat menyalah-gunakan kekuasaan mereka, maka mereka tidak akan berbuat apa-apa.”

Argapati mengerutkan alisnya. Agaknya Ki Tambak Wedi sudah membuat pertimbangan-pertimbangan yang jauh. Orang tua itu agaknya telah memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Ki Tambak Wedi memang mempunyai wawasan yang tajam. Perhitungannya tentang para Adipati itu memang masuk akal. Ki Gede Menoreh pun telah mendengar pula, bahwa ada di antara mereka, para Adipati sudah tidak berpijak lagi pada kepentingan daerah mereka masing-masing. Para pemimpin pemerintahan dan para Senapati yang bertugas di daerah-daerah pun agaknya telah dijalari oleh penyakit yang serupa. Ada di antara mereka yang lebih senang melihat kepentingan sendiri daripada kepentingan daerah dan tugas masing-masing.

“Hem,” gumam Argapati di dalam hatinya, “mengherankan bagiku. Kenapa Ki Tambak Wedi sudah membuat perhitungan sedemikian jauh sehingga ia yakin, bahwa setiap gerakan pasukan yang dapat memecah Pajang, akan dapat menguasai seluruh daerahnya? Tetapi seandainya demikian, apakah yang dapat aku lakukan?”

Dalam kediamannya, Ki Gede Menoreh mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Apakah kau sependapat, Argapati?”

“Ki Tambak Wedi,” jawab Argapati perlahan-lahan, “seandainya aku berhasil menguasai Pajang, lalu apakah gunanya bagiku? Para adipati hanya mementingkan diri mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Pajang. Pajang tidak akan lebih dari sebuah nama yang kosong. Wilayahnya tidak lebih dari kota Pajang itu sendiri.”

“Perlahan-lahan Argapati. Perlahan-lahan, kau akan dapat menguasai mereka.”

“Tidak, Ki Tambak Wedi,” tiba-tiba Argapati menggeleng, “aku tidak akan dapat menguasai mereka. Sebab pasti akan tumbuh orang lain yang mendendamku dan melakukan perbuatan yang sama. Merebut Pajang. Kalau ia mempunyai kekuatan yang lebih besar dari kekuatanku, maka peristiwa yang baru saja terjadi akan terulang. Terulang dan terulang kembali. Mereka yang merasa mempunyai kekuatan akan berbuat serupa. Para adipati dan senapati itu tidak akan berbuat apa-apa selain mengakui setiap orang yang sedang menguasai sekedar kota Pajang. Aku tidak ingin melihat hal yang serupa itu terjadi, Ki Tambak Wedi. Tidak.”

Tampaklah wajah Ki Tambak Wedi menjadi merah. Sebersit goncangan perasaan telah memanjat sampai ke wajahnya. Jawaban Argapati telah menggetarkan jantungnya, sehingga dengan serta merta ia berkata, “Lalu apakah yang akan kau lakukan? Menghadap Ki Gede Pemanahan, Panglima yang tamak itu untuk minta belas kasihan?”

Terasa sesuatu berdesir di dada Argapati. Meskipun ia tidak segera menjawab, tetapi pandangan matanya menyorotkan perasaannya yang berguncang. Berbagai pertimbangan telah bergolak di dalam dirinya. Pertimbangan masa lampau, pengenalannya atas Ki Tambak Wedi, Sidanti, Menoreh, Pemanahan, dan semuanya. Terasa seolah-olah dunia di sekitarnya berputar mengelilinginya dengan segala macam persoalan. Tetapi yang paling parah menggores jantungnya adalah persoalannya sendiri. Persoalan yang dihadapkan kepadanya oleh Ki Tambak Wedi. Dengan melontarkan Sidanti sebagai pokok persoalan, ia di hadapkan pada pilihan yang pahit.

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam, “Apa pun yang kau katakan Ki Tambak Wedi, tetapi kau akan memilih jalan itu. Aku akan menemui Ki Gede Pemanahan. Kalau aku tidak dapat memecahkan masalahnya, maka apa boleh buat. Mungkin aku menerima pendapatmu. Mungkin aku akan memukul tanda perang dengan tanganku sendiri. Aku lah yang akan berdiri sebagai senapati tertinggi, yang akan berdiri menjadi paruh gelar pasukanku. Mudah-mudahan di dalam peperangan itu pun, aku akan bertemu lagi dengan Ki Gede Pemanahan, atau Adipati Pajang sendiri.”

Debar di dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin keras berdentangan memukul dinding jantungnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Kalau aku Argapati, maka aku tidak akan mau merendahkan diri seperti itu. Tidak ada lagi pembicaraan yang dapat menolong keadaan. Aku sudah bicara. Bicara sampai bibirku hampir terlepas dari mulutku. Tetapi yang aku terima hanya penghinaan. Penghinaan atas anakmu, Sidanti, dan aku, gurunya, juga kau, ayahnya.“ Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “He, apakah kau tidak memperhitungkan, bahwa kedengkian itu tidak saja datang dari Widura dan Untara saja? Tetapi juga dari Ki Gede Pemanahan sendiri? Bukankah kau pernah mendengar, bahwa Pemanahan bertempur melawan Adipati Jipang bukan karena kesetiaannya kepada Pajang dan kepada Karebet? Tidak. Sama sekali tidak. Anak Sela yang menurut cerita mampu menangkap petir itu, bertempur karena janji yang diterimanya. Ia akan mendapat Tanah Mentaok yang kini masih berwujud hutan belukar. Ha, apakah kau mempertimbangkannya pula, bahwa Menoreh akan dapat menjadi penghalang berkembangnya hutan itu untuk menjadi tempat yang ramai? Argapati, dengarlah kata-kataku. Semuanya terjadi karena pamrih. Kraton Pajang pun kini sudah menjadi ajang memperebutkan pamrih pribadi. Adipati Adiwijaya, berusaha keras membunuh Arya Penangsang, karena perempuan yang diperlihatkan kepadanya oleh Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa tanpa mengenakan pakaian sama sekali itu. Pemanahan dan Penjawi, karena Tanah Mentaok dan Tanah Pati. Nah, apalagi? Apakah yang kau ganduli dengan kesetiaanmu terhadap Pajang? Bukankah kau sampai saat ini belum menyatakan diri dengan resmi, di mana kau berdiri sepeninggal Demak?”

Argapati tidak segera menjawab. Tetapi darahnya serasa semakin cepat mengalir. Dalam pada itu, perputaran waktu di dalam dadanya berjalan semakin cepat. Masa demi masa. Waktu demi waktu, hilir mudik berurutan. Ketika ia sampai pada masa kini, maka ia di hadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Ia harus berbuat sesuatu untuk Sidanti. Ya, untuk Sidanti. Menurut Ki Tambak Wedi, tidak ada jalan yang lebih baik dari peperangan. Mempertaruhkan Tanah Perdikan Menoreh yang selama ini dibinanya. Mengorbankan beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang untuk Sidanti. Sidanti. Nama itu semakin keras terngiang di telinganya. Namun semakin keras nama itu mendengung, maka semakin deraslah arus darah di pembuluhnya. Dan tiba-tiba saja, Argapati itu berkata lantang, “Tidak. Tidak.”

Kata-kata itu telah benar-benar menghantam dada Ki Tambak Wedi seperti runtuhnya batu-batu di atas bukit Menoreh menimpa dirinya. Sejenak ia mematung, namun sorot matanya seolah-olah menyala memandang Ki Gede Menoreh yang kini menengadahkan dadanya.

Sejenak ketegangan di ruang itu menjadi semakin tajam. Dalam kediaman mereka, terasa bahwa dada masing-masing telah dipepati oleh desakan perasaan yang seolah-olah sudah tidak terbendung lagi.

Di luar, angin malam yang sejuk berhembus mengguncang dedaunan. Suara gemersik sentuhan ranting-ranting yang berderak-derak, seakan-akan bisikan-bisikan yang mendebarkan jantung terdengar dari alam lain. Semakin lama semakin keras. Sedang nyala pelita yang redup di regol halaman dan di pendapa berguncang pula, menggeliat, seperti di hembus hantu.

Beberapa orang Menoreh telah duduk-duduk di regol halaman. Satu dua orang berada di tangga pendapa. Mereka ingin bertemu dengan Sidanti dan Argajaya, yang menurut pendengaran mereka, baru saja melakukan perjalanan yang panjang, jauh, dan penuh dengan bermacam-macam pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang aneh, yang mencemaskan, yang mendebarkan tetapi juga yang mentertawakan. Dan mereka itu ingin mendengarnya. Apalagi mereka, terutama anak-anak muda yang sebaya dengan Sidanti, kawan bermain di masa kanak-kanak, setelah sekian lama tidak bertemu, mereka ingin melihat, bagaimanakah keadaan anak muda itu kini. Anak muda kebanggaan Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi kesempatan itu tidak kunjung datang. Mereka melihat bahwa pintu masuk ke dalam pringgitan belum tertutup rapat. Tetapi mereka tidak melihat bahwa di dalam pringgitan itu duduk beberapa orang yang sedang bercakap-cakap, atau pintu pringgitan itu terbuka dan seseorang mempersilahkan mereka masuk.

“Mungkin Sidanti masih terlampau lelah,” desis seseorang yang duduk di atas tangga pendapa.

“Mungkin.”

Tetapi mereka terkejut, ketika mereka mendengar suara yang agak keras meloncat dari pringgitan. Tetapi suara itu tidak begitu jelas bagi mereka.

Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat menerka, apa yang telah terjadi. Mereka tidak dapat menduga sama sekali, bahwa di pringgitan itu sedang berlangsung suatu pembicaraan yang tegang.

Dalam pada itu, Sidanti dan Argajaya pun hampir-hampir tidak sabar menunggu kedatangan Ki Tambak Wedi. Mereka hampir tidak sabar lagi duduk-duduk dengan tegangnya di dalam bilik mereka. Bilik yang terasa terlampau panas dan sesak. Tetapi mereka tidak berani melanggar pesan Ki Tambak Wedi, supaya rencana mereka tidak rusak karenanya. Mereka hanya dapat mengharap, mudah-mudahan Argapati dapat mengerti dan melakukan seperti yang mereka kehendaki.

Di pringgitan, Argapati dan Ki Tambak Wedi, masih saja duduk berdiam diri. Keringat yang dingin mengalir membasahi pakaian mereka. Kedua orang tua-tua yang penuh dengan pengalaman, pengetahuan, dan ketajaman pandangan itu, tiba-tiba seolah-olah membeku. Mereka kehilangan pilihan kata-kata untuk meneruskan pembicaraan yang semakin lama menjadi semakin tegang. Namun justru karena mereka saling berdiam diri itu, maka ketegangan pun menjadi semakin memuncak.

Tiba-tiba dalam keheningan yang panas itu, Ki Tambak Wedi berkata lambat, “Apakah maksudmu sebenarnya Argapati? Apakah kau akan ingkar dari tanggung jawabmu sebagai seorang ayah?”

Argapati mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tidak. Bukan karena aku akan ingkar. Tetapi justru sebaliknya. Aku harus mengetahui keadaan sebenarnya. Aku harus mengatakan benar bagi yang benar, dan aku harus mengatakan salah bagi yang salah menurut keyakinanku. Aku bukan seorang pengecut yang takut melihat kesalahan melekat di tubuh sendiri. Tetapi aku juga bukan pengecut untuk mempertahankan kebenaran yang aku yakini, meskipun harus aku tebus dengan nyawa sekalipun. Itulah pendirianku. Juga pendirianku atas Sidanti. Kalau Sidanti bersalah, maka ia memang wajib mendapat peringatan, supaya kesalahan itu tidak terulang kembali. Tetapi kalau Sidanti benar seperti katamu, maka Pajang akan menjadi karang abang. Aku tidak takut seandainya ada seratus Pemanahan, seratus Penjawi, seratus Adiwijaya, dan kekuatan apa pun yang ada di belakang mereka.”

“Aku tahu, Argapati,” jawab Ki Tambak Wedi, “jelasnya kau tidak percaya kepadaku.”

“Bukan maksudku.”

“Tetapi kau masih memerlukan mendengar keterangan dari orang lain. Dan orang itu adalah Pemanahan.”

“Ya.”

Terdengar gigi Ki Tambak Wedi gemeretak. Tetapi ia mendengar pula ketika Argapati berkata, “Kalau kau percaya, bukan maksudku untuk tidak mempercayaimu. Tetapi aku menyangka, bahwa telah timbul salah paham. Kalau salah paham itu dapat diperkecil, maka kemungkinan-kemungkinan yang lain pun akan dapat ditemukan.”

“Tidak. Kau hanya sekedar menutupi ketidak-percayaanmu kepadaku, Argapati. Kau mungkin masih terpengaruh oleh pengenalanmu atasku dahulu. Tetapi karena kau sudah mempercayakan Sidanti kepadaku, seharusnya kau bersikap lain.”

“Apakah aku masih harus menjawabnya?”

“Mungkin tidak. Aku semakin yakin, bahwa kau masih terpengaruh oleh keadaan itu. Kalau demikian, maka apakah gunanya persetujuan yang telah kita buat, seakan-akan kita sudah tidak mempunyai persoalan lagi? Tetapi ternyata kau tidak jujur. Kau tidak memenuhi persetujuan itu sebulat hatimu. Kini dalam keadaan yang paling sulit yang dialami Sidanti, kau akan ingkar. Bukankah itu sikap pengecut?”

Wajah Argapati menjadi merah. Dalam cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan, wajah itu seakan-akan membara. Dengan suara bergetar ia berkata, “Jangan kau sebut-sebut lagi, Ki Tambak Wedi. Aku sudah mencoba melupakan semuanya yang telah terjadi. Aku menganggap tidak pernah ada persoalan di antara kita.”

Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin tegang. Ditatapnya mata Argapati seolah-olah ingin melihat langsung ke dalam kepalanya. Tetapi kini Argapati tidak menundukkan kepalanya.

Matanya yang tajam memancar seperti mata seekor harimau di dalam gelap. Kumis kebiru-biruan.

“Setan,” Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya.

Meskipun matanya sendiri setajam mata burung hantu, tetapi ia terpaksa berpaling. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kekecilan hatinya. Maka katanya, “Kau benar-benar licik Argapati.”

“Aku tidak bermaksud tidak baik,” sahut Argapati. “Aku bermaksud untuk menempatkan persoalannya di tempat yang sewajarnya. Aku tidak ingin mengajari Sidanti mengambil keputusan yang tergesa-gesa dalam menanggapi persoalan-persoalan yang penting, supaya ia tidak terperosok ke dalam kesalahan yang berbahaya.”

“Ah,” potong Ki Tambak Wedi, “kau dapat saja menyusun seribu macam alasan.”

“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati kemudian, “aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Aku bukan sekedar Argapati seorang diri, atau setidak-tidaknya bersama Sidanti. Tetapi setiap keputusan yang aku ambil, adalah keputusan yang mengikat seluruh tanah perdikan ini.”

“Aku sudah tahu. Itulah yang aku kehendaki. Seluruh tanah ini bangkit dari tidur yang terlampau nyenyak. Hari depanmu dan hari depan tanah ini akan bertambah baik.”

“Atau sebaliknya.”

“Kau memang pengecut.”

“Tidak,” tiba-tiba suara Argapati menjadi keras, “aku tidak akan melakukannya tanpa menilai semua persoalan sebaik-baiknya. Aku harus tahu benar, apakah yang sedang aku hadapi. Tidak membabi buta.”

“Katakan, tegasnya kau tidak percaya kepadaku.”

“Ki Tambak Wedi, jangan memaksa aku berkata demikian.”

“Kenapa kau takut berkata demikian. Katakanlah. Kau tidak percaya kepadaku.”

Argapati terdiam. Mulutnya terkatup rapat-rapat.

“Putuskan sekarang. Kau mau menggerakkan pasukanmu untuk memukul Sangkal Putung, dan kemudian Pajang, untuk menangkap atau membunuh sama sekali Widura dan Untara, kemudian merampas Sekar Mirah untuk anakmu, dan yang terakhir membunuh Adiwijaya atau tidak.”

Sebuah gelora yang dahsyat melanda dada Argapati. Kini ia didesak ke dalam pilihan yang pahit. Tetapi sikap Ki Tambak Wedi benar-benar tidak menyenangkannya, sehingga pertimbangannya menjadi kabur. Ia didesak oleh harga diri, sebagai seorang ayah dan sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh, dan ia adalah ayah Sidanti. Karena itu, maka ia Argapati-lah yang berhak menentukan segala keputusan atas pertimbangannya.

Maka setelah terdiam sejenak, terdengarlah jawabnya dan tegas, “Tidak. Aku tidak akan tergesa-gesa mengambil keputusan.”

Terdengar gigi Ki Tambak Wedi gemeretak. Ia sudah tidak melihat lagi kemungkinan untuk dapat membujuk Argapati. Ia kenal tabiat Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Karena itu, maka harga dirinya pun segera merentul kepermukaan wajahnya. Dengan kepala tengadah ia berkata, “Baik. Baiklah, Argapati. Kalau kau ingkar akan kewajibannu, biarlah aku akan berusaha melepaskan Sidanti dari himpitan perasaan yang akan membunuhnya perlahan-lahan.”

“Aku tidak akan ingkar. Tetapi aku akan berbuat menurut pertimbanganku.”

“Tidak perlu. Kau tidak perlu berbuat apa-apa. Akulah yang akan berbuat sesuatu.”

Wajah Argapati menjadi berkerut-merut, “Maksudmu?”

“Selama ini Sidanti ada padaku. Ada dalam asuhanku. Akulah yang paling mengetahui apa yang terjadi atasnya dan apakah yang dirasakannya. Sidanti harus mendapat pelepasan. Akulah yang akan melakukannya. Ia tidak perlu berada di rumah ini.”

“Ki Tambak Wedi, apakah kau sudah gila. Biarlah Sidanti di sini. Aku adalah ayahnya. Akulah yang berhak menentukan sikap atasnya dan memberikan petunjuk kepadanya menurut seleraku.”

“Tidak. Akulah yang berhak atasnya. Ia akan aku bawa pergi. Pergi dari tempat pengecut ini.”

“Tidak. Sudah aku katakan. Biarlah aku mengurusnya dan menentukan keputusan.”

“Kau tidak punya hak apa-apa, Argapati. Kau kini sudah tidak lebih dari seorang tua yang sudah mati di dalam hidupmu. Kau sudah tidak mempunyai cita-cita lagi, sudah tidak mempunyai gairah perjuangan, tidak mempunyai harapan yang lebih baik di hari mendatang, meskipun untuk kepentingan anakmu. Tidak, kau sudah mati. Bagaimana Sidanti akan dapat berkembang di tangan orang mati.”

“Tambak Wedi.”

Tetapi Ki Tambak Wedi sudah tidak mempedulikannya. Dengan suara yang dalam, yang seolah-olah bergulung saja di dalam perutnya ia berkata, “Aku akan pergi. Sidanti akan aku bawa. Ia sudah cukup dewasa. Aku tidak perlu lagi menipunya dengan segala macam cerita cengeng itu.”

“Tambak Wedi. Kau benar-benar sudah gila.”

Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi ia kemudian melangkah meninggalkan Argapati.

Akhirnya Argapati pun berdiri pula. Diikutinya Ki Tambak Wedi keluar dari pringgitan. Tetapi Argapati itu menjadi bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukan. Di halaman itu, dilihatnya beberapa orang duduk sambil berbicara di antara mereka. Ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi keluar dengan tergesa-gesa, maka mereka pun menjadi terkejut karenanya.

“Kau tinggal di sini, Tambak Wedi, aku masih akan berbicara,” berkata Argapati.

“Tidak ada yang dibicarakan, Argapati,” desis Ki Tambak Wedi. “Semua sudah jelas bagiku.”

Dada Argapati bergetar mendengar jawaban Ki Tambak Wedi itu. Terdengar ia berdesis lambat. Ditahankannya perasaannya sekuat-kuatnya. Di sekitarnya banyak orang-orang yang melihatnya. Sehingga karena itu ia harus menahan dirinya.

Seandainya, ya, seandainya hal itu terjadi beberapa puluh tahun yang lampau. Maka dengan serta merta Ki Tambak Wedi itu pasti akan diterkamnya. Argapati pasti tidak akan menunggu sekejap pun lagi. Darahnya sudah cukup mendidih, dan hatinya sudah cukup membara.

Tetapi kini ia berdiri sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia berdiri di pendapa, yang di sekitarnya terdapat banyak orang dari tanah perdikannya.

“Apa kata mereka kalau aku tiba-tiba saja bertempur melawan Ki Tambak Wedi di rumah ini.”

Terdengar Argapati menggeram. Dan yang diucapkannya ketika Ki Tambak Wedi semakin jauh, “Tambak Wedi. Apa pun yang terjadi adalah persoalan kita, persoalan orang tua-tua. Jangan kau siksa anak-anak itu dengan ceritamu yang bodoh.”

Ki Tambak Wedi yang sudah hampir sampai di gandok, terhenti sejenak. Ia memutar tubuhnya dan menghadap kepada Ki Gede Menoreh, “Itu urusanku, Argapati. Kalau kau tidak senang terserah kepadamu.”

“Bukan soalku, senang atau tidak senang. Tetapi justru untuk kepentingan anak itu sendiri.”

“Anak itu sudah cukup dewasa. Aku harus mengajarinya melihat kenyataan.”

“Tetapi kenyataan-kenyataan yang gila itu tidak perlu kau ungkapkan supaya anak itu tidak menjadi gila seperti kau.”

“Itu bukan urusanmu.”

Betapa Argapati mencoba menahan diri, tetapi terdengar juga giginya gemeretak. Diusapnya dadanya dengan tangannya, seakan-akan menahan dada itu supaya tidak meledak.

Beberapa orang yang berada di halaman rumah itu menjadi terheran-heran. Apakah sebenarnya yang sudah terjadi? Mereka saling berpandangan dan saling bertanya lewat sorot mata mereka. Tetapi tidak seorang pun yang berani mengucapkan pertanyaan yang menggelegak di dalam dada mereka.

Ki Tambak Wedi kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke dalam gandok. Di muka pintu hampir saja ia membentur Sidanti dan Argajaya yang ingin meloncat keluar, karena mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi yang keras dan suara Argapati di pendapa.

“Apa yang terjadi Guru?” bertanya Sidanti dengan serta merta, ”Apakah terjadi salah paham itu?”

Ki Tambak Wedi melihat kecemasan membayang di wajah Sidanti dan Argajaya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya, “Ya. Argapati benar-benar telah menjadi gila.”

“Oh, lalu?” Sidanti menjadi semakin cemas.

“Kita pergi dari rumah terkutuk ini.”

Sidanti menjadi semakin bingung. Sejenak ia terbungkam. Tetapi sorot rnatanya memancarkan gejolak di dalam dadanya.

“Kita pergi Sidanti. Kita tidak akan tinggal di sini terlampau lama. Ternyata Argapati sekarang adalah seorang pengecut besar yang tidak berani berbuat apa pun di luar halaman rumahnya sendiri.”

“Guru,” potong Sidanti. Bagaimana pun juga, Argapati adalah ayahnya, sehingga kata-kata itu terasa menyentuh perasaannya.

“Jangan kau hiraukan Argapati. Marilah kita pergi.”

“Tetapi,” Sidanti tergagap, “rumah ini adalah rumah ayahku.”

“Ki Tambak Wedi,” berkata Argajaya, “apakah yang dapat kita lakukan tanpa Kakang Argapati?”

“Persetan dengan Argapati,” sahut Ki Tambak Wedi, kemudian suaranya merendah, “Angger Argajaya. Kau sudah terlanjur terlibat dalam persoalan Sidanti. Kau tidak akan dapat menghindar lagi. Siapa pun orangnya yang bernama Argapati itu, tetapi sudah menjadi kewajiban kita untuk menghindarkan diri dari penangkapan orang-orang Pajang, yang justru akan mungkin dilakukan oleh Argapati sendiri. Ternyata setan itu merasa dirinya lebih berkepentingan dari orang-orang Pajang sendiri. Ia merasa dirinya berkepentingan untuk mendapatkan pujian. Seandainya Sidanti bukan anaknya, Argajaya bukan adiknya, dan aku bukan guru anaknya, maka aku kira kita sudah tidak akan dapat keluar lagi dari halaman ini.”

Terasa dada Sidanti bergetar. Wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Terdengar suaranya parau, “Lalu, apakah yang akan dilakukan oleh Ayah?”

“Ia tidak mau tersangkut dalam persoalan kita dengan orang-orang Pajang. Ayahmu menjadi ketakutan, sehingga kita tidak mendapat perlindungan apa pun di sini. Karena itu, marilah kita pergi. Ada sesuatu yang penting yang wajib kau ketahui Sidanti. Tetapi aku tidak sempat mengatakannya sekarang.”

Sidanti masih mematung. Ia tidak segera dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang di hadapinya. Terasa sesuatu yang sangat membingungkannya berkecamuk di dalam benaknya.

“Angger Argajaya,” berkata Ki Tambak Wedi, “kau sudah tidak dapat menghindar lagi dari setiap pertanggugan jawab dengan orang-orang Pajang, seperti kata kakakmu sendiri. Karena itu, marilah kita berusaha menyelamatkan diri kita sendiri tanpa mempercayakannya kepada orang lain. Sebenarnya aku dapat berbuat apa saja untuk kepentinganku sendiri, tetapi aku tidak sampai hati meninggalkan Sidanti dan kau. Karena itu, apakah kau tidak berkeberatan, apabila malam ini aku dan Sidanti bermalam di rumahmu, sementara itu kita dapat menyusun rencana yang baik untuk melakukan sesuatu.”

Keduanya masih terdiam. Mereka didorong ke dalam suatu persoalan yang tidak terduga-duga sama sekali sebelumnya. Karena itu, maka mereka menjadi bingung, ragu-ragu dan cemas.

“Kita harus segera memutuskan,” berkata Ki Tambak Wedi, “sebelum pintu regol itu ditutup dan Argapati membunyikan tanda bahaya untuk menangkap kita.”

Sidanti dan Argajaya benar-benar kehilangan kesempatan untuk membuat pertimbangan-perimbangan. Mereka di hadapkan pada keadaan yang buram, tanpa mendapatkan penjelasan-penjelasan. Dan mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi selanjutnya, “Kalau kalian masih kurang jelas mengenai masalah yang kalian hadapi, nanti aku akan menjelaskannya. Tetapi kita sekarang benar-benar harus segera memutuskan dan keluar dari halaman ini.”

Ki Tambak Wedi masih melihat Sidanti akan bertanya kepadanya. Tetapi ia mendahuluinya, “Jangan bertanya sesuatu. Bawa senjata-senjata kita. Kita akan kehilangan waktu. Marilah kita keluar dahulu sebelum kita menyesal. Ayahmu lebih cinta kepada kedudukannya daripada kepada anaknya.”

Sidanti dan Argajaya benar-benar tidak mendapat kesempatan. Mereka melihat Ki Tambak Wedi itu keluar dari gandok dan berkata pula, “Cepatlah Sidanti dan Angger Argajaya.”

Sidanti seakan-akan telah kehilangan kesadarannya. Kakinya melangkah saja di belakang gurunya. Orang yang selama ini dianggapnya orang yang paling dekat daripadanya. Meskipun ayahnya adalah Argapati, tetapi mereka seakan-akan tidak pernah bertemu, tidak pernah berbincang dan berbicara tentang berbagai hal. Itu sebabnya, maka meskipun dengan hati yang kosong, ia mengikuti juga langkah Ki Tambak Wedi.

Di halaman mereka melihat beberapa orang Menoreh berdiri terheran-heran melihat keadaan yang tidak mereka mengerti sama sekali. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang berani bertanya. Baik kepada Ki Tambak Wedi, maupun kepada Sidanti, atau Argajaya.

Dada Sidanti berdesir, ketika ia melihat Argapati berdiri di pendapa. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Hampir-hampir ia berteriak untuk melepaskan pepat di dadanya, atau berteriak minta penjelasan. Namun yang didengarnya adalah suara ayahnya, “Ki Tambak Wedi. Ingat, aku tidak menghendaki keadaan ini.”

“Maaf Argapati. Kami tidak ingin menjadi korban ketakutanmu kepada Adiwijaya. Kami tetap dalam pendirian kami, bahwa Pajang harus dilawan.”

”Terserah kepadamu, Tambak Wedi. Tetapi kepergianmu membawa Sidanti dan Argajaya sama sekali tidak aku inginkan.”

“Kami tidak mau membiarkan diri kami diterkam oleh pengkhianatan.”

“Tambak Wedi.”

“Jangan cegah kami.”

Darah Argapati serasa mendidih di dalam dadanya. Tetapi ia masih tetap menyadari kedudukannya. Kalau ia kehilangan akal, maka orang-orang Menoreh akan melihat, bahwa Ki Tambak Wedi dengan beraninya telah melawan perintahnya. Tentu hal itu tidak baik baginya dilihat oleh orang-orangnya. Apalagi kalau ia harus bertempur melawan orang itu di halaman. Meskipun demikian, ia tidak dapat menahan diri untuk berkata, “Kau telah memperbaharui persoalan kita, Tambak Wedi.”

Ternyata Ki Tambak Wedi pun tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Ketika tanpa disadarinya ia menengadahkan kepalanya, dan dilihatnya seleret bulan yang masih terlampau muda hinggap di kehitaman langit, maka dadanya serasa hendak meledak.

Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Terserah kepadamu, Argapati. Tetapi sebaiknya kita menyelesaikan persoalan ini seperti yang pernah kita lakukan. Marilah kita peringati pertemuan kita di bawah Pucang Kembar.”

Mendengar nama Pucang Kembar, maka hati Argapati hampir menjadi gelap disaput oleh perasaannya yang sedang membara. Tetapi orang-orang Menoreh yang berdiri termangu-mangu di halaman telah mencegahnya untuk berbuat langsung pada saat itu. Namun sebagai seorang yang keras hati, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu menjawab, “Baik, Tambak Wedi. Aku akan menunggu bulan purnama naik. Bukankah saat-saat yang demikian, di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu kita pernah membuat suatu perjanjian? Nah, aku bersedia memperingatinya. Nanti pada saat purnama penuh.”

“Bagus,” teriak Ki Tambak Wedi, “aku menunggumu. Sementara ini, aku akan dapat memberikan penjelasan kepada Sidanti tentang semua persoalan.”

“Kau akan membuatnya gila seperti kau?”

“Itu urusanku.”

“Kau sudah kehilangan akal,” Argapati berhenti sejenak.

Terasa tubuhnnya gemetar seperti sedang kedinginan. Namun masih terdengar suaranya parau, “Argajaya. Jangan ikut.”

Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia mendengar Tambak Wedi berkata, “Ia telah terlibat pula dalam persoalan Sidanti dan Pajang. Kalau ia tidak pergi bersamaku, maka ia akan menjadi korbanmu. Korban kelicikanmu. Untuk mendapatkan pujian dan mungkin hadiah seperti yang akan diterima oleh Pemanahan dan Penjawi untuk memperluas tanah perdikanmu, kau akan sampai hati mengorbankan kami, anakmu, adikmu, dan aku yang kau katakan sahabatmu.”

“Kau jangan mengigau, Tambak Wedi. Jangan membuat aku kehilangan akal pula. Kalau kau mau pergi, pergilah. Kita sudah menentukan waktu itu.”

“Baik. Pada saat purnama penuh naik. Aku menunggumu di bawah Pucang Kembar.”

Ki Tambak Wedi tidak menunggu Argapati menyahut. Segera ia melangkah pergi diikuti oleh Sidanti dan Argajaya. Semua mata yang berada disekitar halaman itu mengikuti mereka dengan debar jantung yang menghentak-hentak dada. Tetapi mereka masih saja tidak berani mengucapkan sepatah pertanyaan pun. Bahkan tubuh mereka ikut menggigil tanpa diketahui sebab-sebabnya.

Ketika ketiga orang yang telah menggetarkan dada setiap orang di halaman itu hilang di balik regol halaman, Ki Gede Menoreh menekan dadanya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia telah terlibat ke dalam persoalan yang sama sekali tidak diingininya.

Di luar regol halaman, Ki Tambak Wedi kemudian berjalan dengan tergesa-gesa diikuti oleh Sidanti dan Argajaya. Namun sekali lagi Sidanti dihambat oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Kalau ia pergi mengikuti gurunya, ia harus meninggalkan ayahnya, tetapi kalau ia tinggal, maka ia akan terpisah dari gurunya yang selama ini mengasuhnya. Sejak ia meningkat menjelang dewasa, ia sudah tidak berada bersama ayahnya. Ia telah berada di padepokan Tambak Wedi bersama gurunya.

Keragu-raguan itu benar-benar telah mengoyak hatinya. Ia benar-benar ingin berteriak sekuat-kuat tenaganya, supaya dadanya tidak menjadi pecah karenanya. Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa apabila ia melakukannya, maka ia akan menyesal. Mungkin gurunya akan marah kepadanya atau orang-orang Menoreh terbangun dari tidurnya dan berlari-lari mencari arah suaranya.

Ketika teringat olehnya kata-kata gurunya dalam perdebatannya dengan ayahnya, maka debar di dada Sidanti menjadi semakin keras. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ayahnya tidak membantunya, melepaskanya dari kecemasan terhadap orang-orang Pajang, apalagi membalas sakit hatinya dengan menghancurkan Sangkal Putung dan Jati Anom, lebih-lebih lagi Pajang. Tetapi justru ayahnya telah mengingkari kewajibannya sebagai seorang ayah, bahkan akan menangkapnya dan menyerahkannya kepada Pajang.

Terngiang di telinganya kata-kata gurunya, “Ayahmu lebih cinta kepada kedudukannya daripada kepada anaknya.”

Terdengar Sidanti menggeram. Namun kemudian timbul pula keragu-raguannya. “Apakah benar ayah akan berbuat demikian?”

“Baiklah,” berkata Sidanti kemudian di dalam hatinya. “Biarlah kali ini aku menghindar dulu. Besok atau lusa aku akan dapat minta penjelasan kepada ayah, apabila ada kesempatan. Mungkin aku perlu menghubungi ayah di luar pengetahuan guru, yang agaknya memang sudah mempunyai benih-benih yang kurang baik di antara mereka. Sejak kami berangkat dari Sangkal Putung, guru sudah tampak ragu-ragu dan bimbang. Ternyata yang terjadi benar-benar tidak menyenangkan.”

Sedang Argajaya pun tidak kalah bingungnya. Ia berjalan seperti di dalam mimpi saja. Tanpa kesadaran. Meskipun demikian, ia tidak dapat menahan hati lagi dan bertanya, “Apakah yang sebenarnya telah terjadi, Ki Tambak Wedi. Aku tidak mengerti ujung dan pangkal pembicaraan. Apalagi agaknya Kiai telah terlibat dalam persoalan yang tampaknya bersungguh-sungguh dengan Kakang Argapati.”

Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya dengan suara gemetar, “Aku memang sudah meragukannya sejak semula, Ngger, bahwa kakakmu akan tidak berani bertindak untuk nama keluarganya. Ternyata hal itu benar-benar terjadi, meskipun aku sudah berusaha untuk membakar hatinya. Aku sudah mengatakan persoalan Sidanti dengan hati-hati, bahkan dengan membubuinya. Aku mengatakan kepadanya, bahwa Widura dan Untara menaruh dengki dan iri kepada Sidanti, apalagi kemudian menyangkut persoalan Sekar Mirah yang berhubungan pula dengan Agung Sedayu, adik Untara. Tetapi agaknya Argapati sama sekali tidak berani berbuat apa pun. Bahkan ia mengancam akan menghukum Sidanti, apabila ia bersalah. Argapati akan pergi ke Pajang dan menghubungi Ki Gede Pemanahan yang pasti sudah mendapat laporan dari Untara.”

“Ah,“ tiba-tiba Argajaya memotong, “apakah benar begitu?”

“Bertanyalah kepada Argapati sendiri. Tapi kalau kau masuk ke halaman rumah itu, maka kau tidak akan dapat keluar lagi.”

Argajaya mengerutkan keningnya. Kakinya masih saja melangkah dengan tergesa-gesa mengikuti langkah Ki Tambak Wedi.

“Tetapi Kakang bukan seorang pengecut,” berkata Argajaya.

“Aku tahu,” sahut Ki Tambak Wedi, “Argapati bukan penakut. Tetapi ia termasuk seorang yang gila akan kedudukan. Pahamilah hal ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi ada hal yang lebih penting lagi yang dapat aku katakan. Nanti setelah kita berada di rumah Angger Argajaya.”

Argajaya tidak menyahut lagi. Seperti Sidanti ia ingin mendengar dahulu semua persoalannya. Kemudian ia akan dapat mengambil kesimpulan. Kalau perlu, seperti juga yang tersirat di angan-angan Sidanti, ia akan dapat menemui Argapati untuk mendengar penjelasannya.

Sementara itu, Argapati masih saja berdiri membeku di pendapa rumahnya. Terasa dadanya menjadi penat. Bahkan di dalam hatinya ia mengeluh, “Mimpi apakah aku semalam? Tiba-tiba aku di hadapkan pada persoalan ini. Persoalan yang sudah lama aku kuburkan dalam-dalam. Persoalan. yang sudah aku lupakan.” Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang yang berdiri kebingungan di halaman. Ia merasa perlu untuk memberi ketenteraman kepada mereka. Karena itu maka katanya, “Jangan bingung. Tidak ada apa-apa. Kami memang berselisih paham. Tetapi aku tahu, bahwa persoalan ini akan dapat kita selesaikan dengan baik. Kami masing-masing ingin berbuat untuk kebaikan Sidanti dan tanah ini. Hanya cara kami yang berbeda. Itulah sebabnya, kami akan membicarakan di lain kali. Kami mengharap seseorang dapat menengahi pembicaraan kami. Sekarang pulanglah dan beristirahatlah. Jangan kalian kembangkan persoalan ini seolah-olah sebuah persoalan yang besar.”

Orang-orang di halaman itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak meyakini kata-kata Ki Gede Menoreh. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak bertanya apa pun. Satu-satu mereka meninggalkan regol itu dengan hati yang gelisah, cemas dan kecewa. Mereka hanya melihat Sidanti lewat dan hilang di dalam kegelapan.

Sejenak kemudian, halaman rumah Argapati menjadi sepi. Dua orang peronda berdiri di regol halaman dengan wajah yang tegang dan hati yang bimbang. Tetapi mereka pun tidak bertanya sesuatu.

Argapati masih saja berdiri di pendapa rumahnya. Sebenarnya ia adalah seorang yang keras hati. Kalau saja ia tidak menyadari kedudukannya yang pasti akan dilihat oleh setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh, maka ia pasti tidak akan sabar lagi menunggu purnama naik. “Sekarang. Kita selesaikan sekarang.”

Argapati terperanjat ketika ia mendengar suara lirih di belakangnya, “Ayah, apakah yang telah terjadi?”

Ketika Argapati berpaling, dilihatnya Pandan Wangi berdiri di belakangnya. Dalam taburan sinar pelita yang remang-remang. Argapati melihat kecemasan membayang di wajah anaknya itu. Anak gadisnya. Tiba-tiba terasa getaran melanda jantungnya. Sejenak Argapati terbungkam. Ditatapnya saja wajah puterinya itu tanpa berkedip.

Karena ayahnya tidak menjawab, maka diulanginya pertanyannya, “Ayah, apakah yang terjadi?”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih belum menjawab. Tetapi Pandan Wangi merasa aneh, ketika kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun, ayahnya membimbingnya masuk ke dalam pringgitan.

Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Ia berjalan saja di samping ayahnya. Namun terasa hatinya menjadi berdebar-debar dan darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Seribu macam pertanyaan bergelut di dadanya. “Apakah yang sebenarnya sudah terjadi?”

Pandan Wangi melihat ayahnya menutup pintu pringgitan itu perlahan-lahan. Kemudian Pandan Wangi itu dibawanya duduk di atas tikar.

Namun untuk sejenak Argapati masih saja berdiam diri. Kadang wajahnya ditundukkannya. Tetapi kadang-kadang ditengadahkannya.

“Wangi,” terdengar kemudian suaranya perlahan-lahan sekali, “tolong, ambilkan ayah minum.”

Pandan Wangi memandang wajah ayahnya dengan penuh keheranan. Tetapi ia tidak juga bertanya. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan kebelakang untuk mengambil minum.

Tetapi tiba-tiba saja terasa ruang di belakang itu terlampau sunyi. Meskipun ia melihat beberapa orang pembantunya duduk sambil terkantuk-kantuk, tetapi hatinya terasa terlampau sepi. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Terasa sesuatu yang tidak diketemukannya. Ada yang hilang dari ruang itu.

Dada Pandan Wangi terasa menjadi sesak. Ketika ia sadar apa yang sedang dicarinya, tanpa diketahuinya, setitik air menetes di ujung jari kakinya.

Pada saat-saat yang demikian, apabila ia tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan ayahnya, ia selalu lari kepada ibunya. Ibunya yang sering duduk di ruang dalam. Kepada ibunya ia selalu bertanya, “Ibu, kenapa dengan Ayah?”

Dan ibunya selalu menjawab, “Tidak apa-apa, Wangi. Ayahmu tidak apa-apa.”

“Apakah ayah marah kepadaku, Ibu?”

Ibunya menggeleng sambil tersenyum, “Tidak, Wangi. Bukankah ayah tidak pernah marah kepadamu?”

Terasa setitik air jatuh lagi di atas ujung jari kakinya. Kesepian telah mencengkam dadanya. Dan disadarinya kekurangan yang tidak akan lagi dapat diketemukan. Ibunya itu telah tidak ada lagi. Ibunya telah pergi meninggalkannya, untuk selama-lamanya.

Dan kini dilihatnya ayahnya menjadi muram. Kini ia tidak dapat mengetahui, kenapa ayahnya berselisih dengan tamunya. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada siapa pun. Yang ada di dalam ruangan itu hanyalah beberapa orang pelayan.

Pandan Wangi terkejut, ketika ia mendengar seseorang bertanya kepadanya, “Apakah yang kau perlukan?”

Pandan Wangi tergagap, jawabnya, “Minum. Ayah ingin minum.”

Pelayannya itu segera menyediakan minum. Semangkuk air jahe hangat, beberapa potong gula kelapa dan beberapa potong makanan.

“Apakah Ki Argapati tidak menjamu tamu-tamunya sekarang? Kami menunggu perintah itu. Bukankah hari telah cukup malam, bahkan terlalu malam?” bertanya pelayan itu.

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Tidak,” jawabnya, “tamunya telah pergi.“

“Pergi?” pelayan itu menjadi terheran-heran.

“Kenapa?” yang lain bertanya.

Sekali lagi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Sekali lagi terasa dadanya berdesir. Ia pun menyimpan pertanyaan itu. Bukan sekedar pertanyaan, tetapi kecemasan.

Para pelayan itu melihat wajah Pandan Wangi yang suram. Bahkan mereka melihat mata gadis itu menjadi basah. Namun justru itu, mereka tidak bertanya lagi.

Sepeninggal Pandan Wangi, Argapati duduk seorang diri di priggitan. Hatinya terasa terlampau sakit mengalami peristiwa itu. Peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Yang tidak terjadi pada saat itu saja dengan tiba-tiba. Tetapi peristiwa ini adalah peristiwa yang menjelujur dari masa-masa yang silam.

“Tetapi Pandan Wangi sudah cukup dewasa,” katanya di dalam hati, “ia harus tahu apa yang sedang dihadapi oleh ayahnya.”

Namun Argapati masih tetap ragu-ragu.

“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “Ki Tambak Wedi yang kehilangan padepokannya itu, benar-benar telah menjadi gila. Ia sudah tidak dapat berpikir bening lagi. Agaknya ia akan menyeret Sidanti ke dalam kegilaan itu, bersama Argajaya pula.”

Argapati itu berdesis perlahan-lahan. Ia di hadapkan pada suatu persoalan yang sangat pahit.

“Apakah Ki Tambak Wedi itu benar-benar melakukan seperti yang dikatakannya?” pertanyaan itu selalu membayang di dalam hatinya. “Apabila demikian, aku harus menjelaskannya pula kepada Pandan Wangi, supaya ia tidak terkejut sekali, apabila pada saatnya ia mendengar. Daripada ia mendengar dari orang lain, maka sebaiknya ia mendengar dari mulutku sendiri.”

Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, “Kasihan anak yang sudah tidak beribu ini. Kasihan Sidanti yang terseret arus kegilaan gurunya.”

Kepala Argapati itu pun kemudian tertunduk, “Apakah kedua kakak beradik itu harus berpisah?” pertanyaan itu benar-benar telah melukai jantungnya.

Hati orang tua itu menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat Pandan Wangi datang kepadanya sambil menjinjing minuman. Apalagi ketika ia melihat wajah puterinya yang pucat itu.

Argapati dapat meraba, bahwa Pandan Wangi menjadi gelisah dan cemas. Kalau puterinya itu tidak mendapat penjelasan, maka bayangan-bayangan yang dibuatnya sendiri, pasti akan membuatnya tidak dapat tidur semalam. Dan bayangan-bayangan yang demikian akan dapat berkembang tanpa batas.

“Aku harus berterus terang kepadanya,“ katanya di dalam hati, “supaya aku tidak menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang kelak akan menggoncangkan perasaannya. Kini selagi aku masih ada. Selagi aku masih hidup. Aku dapat menenteramkan hatinya, apabila ia tergetar oleh desakan perasaannya.”

Tetapi keragu-raguan menjalari hatinya, ketika ia melihat Pandan Wangi telah duduk bersimpuh di hadapannya sambil menyodorkan semangkuk air jahe dan beberapa potong gula kelapa.

“Terima kasih, Pandan Wangi,” desis ayahnya.

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi terasa betapa berat suara ayahnya, seolah-olah dibebani oleh perasaan yang hampir tidak tertanggungkan. Tetapi Pandan Wangi tidak berani bertanya. Ia duduk saja sambil menundukkan kepalanya. Namun sekali lagi dadanya disesakkan oleh kenangannya tentang ibunya yang sudah meninggal.

Dalam saat-saat begini, Pandan Wangi selalu melihat ibunya berbincang dengan ayahnya. Ibunya selalu berusaha untuk menenteramkan hati ayahnya apabila ia sedang dipeningkan oleh persoalan-persoalan yang sangat berat. Tetapi kini, Argapati itu terpaksa membawa beban yang agaknya terlampau berat seorang diri. Ia belum pernah melihat wajah ayahnya semuram wajahnya kini.

“Tetapi aku harus mengatakan,” Argapati berkata di dalam hatinya, “aku harus mempunyai keberanian untuk mengatakannya. Kalau aku tidak berani berterus terang kepada Pandan Wangi, sedang Ki Tambak Wedi mengatakannya kepada Sidanti, apa pun maksudnya, maka apabila pada suatu saat kedua kakak beradik ini bertemu, maka akan sangat terguncanglah perasaan Pandan Wangi, apabila Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya seperti sikap gurunya.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika Pandan Wangi mendengar desah yang panjang meluncur dari hidung ayahnya, maka gadis itu mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu segera tertunduk kembali ketika matanya membentur pandangan mata ayahnya yang suram.

“Pandan Wangi,” terdengar suara Argapati perlahan-lahan, “kenapa kau menjadi gelisah?”

Pandan Wangi heran mendengar pertanyaan ayahnya. Dan Argapati sendiri heran mendengar pertanyaan yang tiba-tiba saja meloncat dari bibirnya untuk memecahkan kebekuan suasana.

Sekali lagi Argapati menarik nafas. Katanya, “Maksudku, apakah kau menjadi gelisah mendengar dan melihat persoalan yang baru saja terjadi?”

“Ya, Ayah,” jawab Pandan Wangi, “aku menjadi gelisah dan cemas.”

“Apakah yang telah mencemaskan kau dalam persoalan itu? Apakah kau mendengar sesuatu yang pantas kau cemaskan?”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Pembicaraan Ayah dengan Ki Tambak Wedi tampaknya bersunguh-sungguh.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, Wangi. Agaknya Ki Tambak Wedi bersungguh-sungguh.”

“Kenapa ayah berselisih dengan Ki Tambak Wedi?” bertanya Pandan Wangi, “dari ruang dalam aku mendengar ayah dan Ki Tambak Wedi berbicara tentang Kakang Sidanti.”

“Ya, Wangi.”

“Tetapi Ayah tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi.”

Argapati mengangguk, “Ya, Wangi, aku memang tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi.”

Series 32

MENDENGAR jawaban ayahnya, dan sikapnya yang lunak, Pandan Wangi menjadi lebih berani. “Ayah,” suara Pandan Wangi agak bergetar. Sejenak ia menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian diberanikannya bertanya, “Ayah, kenapa Ayah tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi untuk melindungi Kakang Sidanti?”

“Aku tidak berkeberatan Wangi,” sahut ayahnya,

“Tetapi bukankah Ayah menolak?”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah puterinya yang kemudian menundukkan kepalanya. Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Katanya di dalam hati, “Oh, agaknya Ayah tidak senang mendengar pertanyaanku.”

Dada gadis itu berdesir ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Pandan Wangi. Sekarang Kau sudah cukup dewasa untuk menghadapi segala macam persoalan. Bukankah begitu? “

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu, “Ya, Ayah.”

“Baiklah,” desis ayahnya, tetapi ayahnya itu pun masih juga dicengkam oleh kebimbangan. Namun dipaksanya berkata, “Kau sudah wajib berani melihat kenyataan-kenyataan yang ada di hadapanmu.”

“Ya, Ayah,” sahut gadis itu.

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya ia berkata, “Aku harus mengatakannya, supaya aku tidak bersalah kelak apabila anak ini mendengamya dari orang lain, justru tidak tepat seperti yang terjadi, sudah dibumbui dan diputar-balikkan.”

“Baiklah, Wangi,” berkata Argapati kemudian, “apakah kau sudah bersiap untuk mendengarkannya?”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya, “Apakah yang akan dikatakan oleh Ayah ini sehingga aku harus mempersiapkan diri untuk mendengarkannya?”

Dan gadis itu kemudian terperanjat ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Pandan Wangi, aku memang tidak segera dapat menerima pendapat Ki Tambak Wedi. Sebenamya aku memang kurang mempercayainya. Aku sudah mengenal sifat-sifatnya sejak berpuluh tahun.”

“Tetapi, tetapi bukankah Ayah mempercayakan Kakang Sidanti kepadanya bertahun-tahun? Bukankah itu juga merupakan suatu bentuk kepercayaan Ayah kepadanya?” tanpa sesadarnya pertanyaan itu meluncur dari mulut Pandan Wangi.

Pertanyaan Pandan Wangi itu memang terlampau sulit untuk dijawab. Karena itu, maka sejenak Argapati terdiam. Namun kemudian Argapati itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Pandan Wangi, “Wangi, ternyata perbedaan pendapat itu telah mendorong Ki Tambak Wedi untuk bersikap keras dan bersungguh-sungguh.”

Wajah Pandan Wangi menjadi semakin pucat. Terbayang di dalam rongga matanya kemungkinan yang dapat terjadi dari sikap masing-masing yang keras itu.

“Ayah,” suara Pandan Wangi menjadi parau, “apakah Ayah telah menentukan suatu saat untuk menyelesaikan persoalan ini seperti yang Ayah katakan? Pada saat purnama naik beberapa hari yang akan datang di bawah Pucang Kembar?”

Argapati menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat mengingkarinya karena agaknya Pandan Wangi telah mendengarnya. “Tidak baik aku berbohong kepadanya,” berkata orang tua itu di dalam hatinya. “Ia harus tahu sebelumnya. Kalau terjadi sesuatu, anak ini sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapinya.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya lambat, “Ya, Pandan Wangi. Kami telah memutuskan. Kami yang bersama-sama sedang dikaburkan oleh perasaan kami yang menyala telah membuat perjanjian itu.”

“Ayah,” suara Pandan Wangi menjadi semakin lambat. Argapati melihat mata puterinya itu menjadi basah. Orang tua itu dapat menduga, betapa kecemasan telah mencengkam hati Pandan Wangi. Ia sudah tidak beribu lagi. Apabila terjadi sesuatu dengan ayahnya, maka ia akan menjadi sebatang kara.

“Kalau Ki Tambak Wedi tidak memisahkannya dari kakaknya, maka ia masih mempunyai tempat untuk bergantung,” berkata Argapati di dalam hati. “Tetapi Sidanti telah hanyut dibawa arus kegilaan gurunya.”

“Ayah,” Pandan Wangi kini seolah-olah berbisik, “kenapakah hal itu mesti terjadi?”

Ayahnya menggeleng lemah, “Aku tidak tahu Wangi. Tetapi Aku tidak dapat menghindarkan diri daripadanya.”

“Ayah adalah seorang Kepala Tanah Perdikan. Apakah Ayah tidak dapat berbuat atas namanya? Kalau Ayah menganggap bahwa Ki Tambak Wedi tidak sepantasnya berbuat demikian, bukankah Ayah mempunyai kekuasaan dan pasukan untuk melaksanakan kekuasaan itu?”

Argapati menggeleng pula, “Bukan Wangi. Masalahnya bukan kekuasaan dan wewenang mempergunakan kekuasaan dan alat-alat kekuasaan. Tetapi masalah ini adalah masalah pribadi. Aku, Argapati dan Ki Tambak Wedi.”

Mata Pandan Wangi kian menjadi basah. Berbagai macam persoalan membayang di dalam rongga matanya. Kemungkinan yang paling pahit sekalipun. Namun perlahan-lahan ia bertanya, “Ayah, kasihan Kakang Sidanti. Ia akan kehilangan salah satu dari orang-orang yang paling penting di dalam hidupnya. Gurunya atau ayahnya.”

Sekali lagi Argapati menarik nafas. Ia tahu, bahwa Pandan Wangi sedang menyembunyikan kecemasannya sendiri. Namun orang tua itu tidak segera menyahut. Bahkan dilontarkannya pandangan matanya ke arah api pelita yang sedang menggapai-gapai.

Sejenak keduanya saling berdiam diri. Masing-masing dihanyutkan oleh arus perasaan dan angan-angan sendiri. Jauh ke dalam dunia kemungkinan yang tidak bertepi.

Di luar angin malam yang lembab terasa semakin dingin. Para peronda di gardu regol halaman duduk bersila di atas tikar pandan sambil berkerudung kain. Lampu yang samar-samar tergantung di depan regol. Para peronda itu telah menutup sebelah sisi, supaya tempat mereka duduk menjadi gelap. Sedang para peronda yang nganglang masih saja berjalan perlahan-lahan di sekitar lingkungannya. Sekali-sekali terdengar mereka berbisik-bisik. Mereka saling bertanya, apakah yang sebenarnya terjadi di halaman rumah Kepala Tanah Perdikannya yang selama ini tidak pernah ada persoalan-persoalan yang mendebarkan.

Tetapi tidak seorang pun yang dapat menjawab. Meskipun demikian, berita tentang peristiwa itu segera menjalar dari mulut ke mulut. Tersebar ke seluruh pelosok.

Di pringgitan, Pandan Wangi masih duduk tepekur menghadapi ayahnya. Sekali-sekali diusapnya matanya yang basah dengan ujung lengan bajunya. Namun anak itu bertahan sekuat-kuatnya untuk tidak menangis.

“Aku sudah bukan anak-anak lagi,” katanya di dalam hati, “aku sudah tidak pantas lagi untuk menangis.” Namun setitik air telah meleleh di pipinya.

Ketika di kejauhan terdengar burung kedasih mengeluh berkepanjangan, terdengar Argapati berkata, “Apakah kau belum mengantuk, Pandan Wangi?”

Pandan Wangi menggeleng, “Belum, Ayah.”

Argapati terdiam. Ia selalu dicengkam oleh keragu-raguan untuk mengatakan sesuatu yang dianggapnya terlampau penting.

Orang tua itu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Pandan Wangi bertanya, “Ayah, apakah persoalan itu tidak dapat diselesaikan dengan cara lain?”

Argapati menggeleng, “Kami telah berjanji Wangi. Kami adalah laki-laki. Dan kami telah mengatakannya, bahwa penyelesaian itu akan kami lakukan nanti jika purnama penuh naik, di bawah Pucang Kembar.”

“Tetapi,” suara Pandan Wangi tertahan. Lalu, “persoalan itu berkembang terlampau cepat. Kenapa masalah itu segera mendapat keputusan untuk membuat penyelesaian yang begitu bersungguh-sungguh?”

“Apakah persoalan itu terasa berkembang terlampau cepat Wangi?”

“Ya, begitu Ayah dan Ki Tambak Wedi tidak sependapat, maka segera ketegangan semakin meningkat dengan cepatnya. Seolah-olah keduanya sama sekali tidak dapat menahan hati. Seperti persoalan yang tumbuh di dalam lingkungan anak-anak muda.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari betapa sesak dada anak gadisnya. Dalam keadaan yang wajar, ia tidak akan berani berkata demikian kepadanya. Tetapi tanggapan Pandan Wangi itu agaknya telah meledak tanpa dapat ditahankannya.

Tetapi ketika Argapati tidak segera menyahut, maka Pandan Wangi itupun menyesal karenanya. Agaknya ia memang telah terdorong mengatakan sesuatu yang sebenarnya terlampau jauh. Tetapi hal itu dilakukannya di luar sadarnya. Sehingga dengan demikian, maka kata-kata itu seolah-olah telah meloncat dengan sendirinya dari lubuk hatinya, tanpa terkendali.

“Oh, apakah Ayah marah kepadaku?” pertanyaan itu telah menggelisahkannya.

“Pandan Wangi,” suara ayahnya masih tetap lembut, “apakah tanggapanmu memang demikian?”

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu, sehingga ia terdiam. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya saja wajah puterinya dengan sorot mata yang aneh.

“Apakah sudah seharusnya aku mengatakanya?” Argapati selalu bertanya kepada diri sendiri. Dan pertanyaan itu telah membuatnya selalu gelisah dan bimbang.

Karena Pandan Wangi tidak menjawab, maka Argapati berkata pula, “Mungkin kau benar, Pandan Wangi. Persoalan ini berkembang terlampau cepat, sehingga kami masing-masing tidak lagi sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang jernih.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar, tetapi ia masih saja berdiam diri.

Dalam pada itu masih saja terjadi pergolakan di dalam dada Argapati. Namun akhirnya ia berkata di dalam hatinya, “Tak ada jalan lain. Aku harus mengatakannya. Rahasia yang selama ini aku simpan dalam-dalam di dalam lubuk hatiku, kini terpaksa aku katakan. Agaknya Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat berpikir bening lagi. Apa boleh buat.”

Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah dadanya menjadi sesak untuk bernafas.

Sementara itu malam pun menjadi semakin malam. Di kejauhan terdengar tengara yang dibunyikan oleh para peronda yang berada di gardu-gardu di ujung-ujung padukuhan. Sahut-menyahut. Semakin lama semakin jauh.

Ketika suara kentongan itu lenyap, maka malam kembali terlempar ke dalam kesenyapan. Lamat-lamat terdengar bunyi burung kedasih yang ngelangut.

“Sudah terlampau malam Wangi. Apakah kau belum mengantuk?”

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Belum, Ayah.”

“Biasanya kau sudah tidur, Wangi.”

“Tetapi malam ini aku tidak akan dapat tidur, Ayah. Aku selalu berdebar-debar saja. Keputusan Ayah untuk membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi telah membuat aku cemas.”

“Itu adalah wajar sekali. Tetapi jangan terlampau dicengkam oleh kecemasan itu. Percayalah, bahwa ayah masih ingin tetap hidup. Karena itu, ayah pasti tidak akan dengan sukarela menyerahkan keputusan terakhir kepada ujung senjata Tambak Wedi yang bertajam rangkap itu. Meskipun demikian, semuanya terserah kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu yang menentukan segala-galanya. Apabila datang saatnya, apapun yang aku lakukan, maka saat itupun akan tetap menjemputku. Bahkan seandainya aku bersembunyi di dalam gendaga besi sekalipun, maka kekuasaan itu pasti akan berlaku juga.”

Tetapi kata-kata ayahnya itu justru telah membuat nafas Pandan Wangi menjadi sesak. Kerongkongannya terasa tersumbat dan matanya menjadi panas. Betapa pun ia menahan hatinya, tetapi titik air matanya jatuh satu-satu di pangkuannya.

Pandan Wangi menangis. Sebagai seorang gadis yang sudah tidak beribu, kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu telah membayanginya. Meskipun pada dasarnya Pandan Wangi bukan seorang gadis yang cengeng, tetapi menghadapi kemungkinan itu, ia tidak dapat menahan perasaannya lagi.

Pandan Wangi yang sedang menangis itu kini benar-benar di dalam perwujudannya sebagai seorang gadis. Seolah-olah Pandan Wangi yang menangis itu bukan Pandan Wangi yang berjalan dengan tenang dan penuh mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dengan pedang rangkap di kedua lambungnya. Terhadap sentuhan-sentuhan yang paling dalam di dalam lingkungan keluarganya, di dalam ikatan-ikatan batin yang kuat, maka Pandan Wangi tidak dapat membanggakan ketangkasan dan kelincahannya menggerakkan senjata untuk melawannya.

Pandan Wangi mengusap matanya, ketika ia mendengar ayahnya berdesah. Ia tahu benar, bahwa ayahnya tidak senang melihat air matanya menitik. Setiap kali ia menangis sejak kecilnya, ayahnya selalu berkata, “Jangan menangis, Wangi. Hanya mereka yang berhati kecil sajalah yang sering menangis.”

Tetapi kali ini ayahnya tidak berkata demikian. Ayahnya itu hanya berdesah dalam nada yang berat.

Pandan Wangi mengangkat wajahnya, ketika ia mendengar ayahnya berkata, “’Pandan Wangi. Kalau kau masih belum mengantuk, maka Ayah ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Tetapi tangkaplah kata-kata Ayah nanti dengan sikap dewasa. Dengan sikap yang matang. Mungkin hatimu akan terluka. Namun kemudian kau akan menyadari, bahwa kau sudah bukan anak-anak lagi. Kau akan segera mengerti, kenapa persoalan Ayah dan Ki Tambak Wedi berkembang terlampau cepat dan tanpa terkendali. Bahkan kau pasti sudah mendengar pula, bahwa persoalan ini telah disangkutkan pula dengan persoalan berpuluh tahun yang lampau yang terjadi pula di bawah Pucang Kembar itu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Kau bersedia bukan, Wangi?”

Pandan Wangi tidak tahu maksud ayahnya. Tetapi sebelum ia bertanya, ayahnya melanjutkan, “Bukankah kau bersedia untuk menahan setiap gejolak perasaanmu? Bukankah kau telah cukup dewasa untuk bersikap?”

Hati gadis itu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi hampir di luar sadarnya ia menganggukkan kepalanya.

Argapati menggeser dirinya secengkang. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya, bahwa tidak ada seorang pun di dalam pringgitan itu kecuali ia berdua saja bersama puterinya.

Di kejauhan masih saja terdengar suara burung kedasih yang seakan-akan sedang meratapi nasibnya.

“Pandan Wangi,” berkata Argapati, “aku terpaksa mengatakan sebuah rahasia kepadamu. Sebenarnya sebaiknya kau tidak usah mendengarnya sepanjang umurmu. Aku berharap bahwa rahasia ini akan dikubur bersama tubuhku kelak. Tetapi agaknya sikap Ki Tambak Wedi telah mendorongku untuk mengatakan kepadamu, supaya kelak kau tidak akan terkejut karenanya. Seandainya Ki Tambak Wedi tidak mengancam akan mengatakan rahasia ini kepada kakakmu Sidanti, maka aku pun tidak akan berbuat serupa itu kepadamu. Namun agaknya aku tidak akan dapat menyimpannya lebih lama lagi. Selagi aku masih hidup, Wangi, aku akan dapat memberikan penjelasan kepadamu. Karena apabila aku sudah tidak ada, dan kau mendengarnya dari orang lain, Sidanti sendiri misalnya, maka tanggapanmu pasti akan berbeda. Apalagi kalau kau mendengar dari Ki Tambak Wedi.”

Kening Pandan Wangi menjadi semakin berkerut. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah rahasia itu hanya diketahui oleh Ayah dan Ki Tambak Wedi saja?”

Argapati mengangguk, ”Ya, Wangi.”

Mata Pandan Wangi yang suram memancarkan sebuah pertanyaan yang mencengkam hatinya, “Kenapa Ayah dan Ki Tambak Wedi?” Tetapi pertanyaan itu tidak pernah terucapkan. Meskipun demikian, Argapati dapat menangkap ungkapan pertanyaan yang dipancarkannya lewat sorot mata puterinya itu.

“Pandan Wangi,” berkata Argapati, “yang mengetahui rahasia ini hanyalah aku dan Ki Tambak Wedi. Kenapa aku dan Ki Tambak Wedi? Jawabnya adalah sebagian dari rahasia itu sendiri.”

Wajah Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin suram namun tegang.

“Tetapi ingat, Wangi. Kau sudah dewasa. Tanggapilah secara dewasa.”

Pandan Wangi mengangguk.

“Kau akan mendengarkan sebuah cerita yang sangat menarik, tetapi sangat tidak menyenangkan hati,” berkata Argapati, “tetapi itu adalah sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. Sebab sudah terjadi. Kenyataan yang sudah terjadi, terjadilah. Tidak ada seorang pun yang akan dapat menghapusnya. Yang dapat dilakukan adalah melupakannya atau merahasiakannya supaya tidak ada seorang pun atau orang-orang yang datang di hari kemudian menge-tahuinya. Tetapi kenyataan itu sendiri sudah berlaku.”

Pandan Wangi duduk dengan cemasnya. Wajahnya membayangkan kegelisahan yang sangat. Tetapi ia membeku saja seperti sebuah patung batu. Ditatapnya wajah ayahnya tajam-tajam, namun kemudian kepalanya itupun ditundukkannya. Ia menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh ayahnya.

Sejemput angin yang silir menyusup di sela-sela lubang dinding mengguncangkan nyala pelita di dalam pringgitan itu. Dingin malam semakin lama semakin tajam menggigit kulit.

Ketika di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing liar, maka bergetarlah sebuah hati mendengarkan cerita yang selama ini menjadi rahasia yang paling dalam disimpan di dalam lubuk hati.

Pada saat-saat yang demikian itu, Sidanti duduk di hadapan gurunya di rumah Argajaya. Argajaya sendiri yang duduk pula bersama mereka, memandangi wajah Ki Tambak Wedi dengan tanpa berkedip. Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Tambak Wedi itu pun telah mulai pada ujung ceritanya, rahasia yang selama ini disimpannya pula di dalam hatinya.

“Aku terpaksa mengatakannya untuk kepentinganmu sendiri, Sidanti, supaya kau tidak salah menanggapi keadaan. Aku memang tidak dapat berbuat lain daripada membuat penyelesaian yang kau sesali itu. Tetapi apabila kau sudah tahu persoalannya, maka kau tidak akan mengutuk sepanjang umurmu.”

Sidanti tidak menyahut.

“Persoalan ini tidak tumbuh dengan serta-merta pada malam ini saja,” berkata gurunya pula, “tetapi persoalan ini telah tersimpan berpuluh tahun di dalam lubuk hati kami. Di dalam dadaku dan di dalam dada Argapati. Kami telah mencoba untuk mengendapkannya dan tidak akan menyebutnya lagi. Tetapi dalam sentuhan persoalan serupa yang kita hadapi, maka aku tidak dapat bertahan dalam pendirian itu. Aku harus mempersoalkannya dan memecahkannya dengan cara lain. Tidak sekedar merahasiakan dan membawanya mati. Sebab aku sekarang merasakan, bahwa dengan demikian persoalan itu ternyata tidak terselesaikan. Persoalan itu hanya tertunda-tunda saja dan pada saatnya akan meledak juga.” Ki Tambak Wedi terdiam sejenak, lalu, “Aku kira Argapati akan mengatakannya juga kepada Pandan Wangi.”

“Apakah sangkut pautnya Pandan Wangi dengan persoalan ini?”

“Persoalan ini akan mengejutkan kau dan Pandan Wangi.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Kalau apa yang Guru katakan rahasia itu akan menyakitkan hati Pandan Wangi, maka alangkah sedihnya gadis itu. Kasihan. Sejak ibu meninggal, ia agaknya selalu bersedih hati.”

“Apa boleh buat. Ia memang harus mengetahuinya pula, supaya kita masing-masing dapat menempatkan diri kita di tempat yang sewajarnya.”

Sidanti menjadi semakin gelisah. Tetapi ia tidak bertanya lagi, supaya gurunya segera mengatakan, apakah yang disebutnya dengan rahasia yang telah bertahun-tahun didekapnya di dalam dadanya itu.

“Kau akan mendengar sebuah kisah, Sidanti. Kisah yang tidak begitu menyenangkan hati, tetapi yang dalam saat serupa ini harus kau dengar. Kau harus berani mendengarnya, karena kau seorang yang jantan. Bukankah begitu?”

Sidanti menganggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak menjawab, tetapi gurunya menangkap getar sorot matanya, bahwa anak muda itu telah bersedia mendengarkan apa saja yang akan dikatakannya.

Di dua tempat yang terpisah, dua orang tua sedang mengisahkan sebuah kisah yang sama. Sebuah kisah yang selama ini mereka rahasiakan dalam-dalam. Tetapi oleh sentuhan persoalan yang mendapat tanggapan berbeda, maka rahasia yang selama ini terpendam itu ternyata terangkat kembali.

Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh sedang menceritakannya kepada puterinya, Pandan Wangi, dan Paguhan yang kemudian menamakan dirinya Ki Tambak Wedi sedang memberitahukannya kepada Sidanti dan Argajaya. Ternyata keduanya tidak berusaha untuk menyembunyikan lagi bagian-bagian dari rahasia itu, sehingga cerita mereka pun hampir bersamaan pula.

Dan kisah yang mereka ceritakan itu terjadi beberapa puluh tahun yang lama. Di sekitar seperempat abad yang lalu, sejauh umur Sidanti itu sendiri.

Ketika itu, ketika bekas peralatan pengantin yang cukup meriah masih belum lenyap sama sekali, Arya Teja, pengantin laki-laki telah dibingungkan oleh sikap isterinya yang baru saja dikawininya. Hampir semalam suntuk isterinya menangis, sehingga di pagi harinya, masih saja ia murung di dalam biliknya. Bahkan kadang-kadang meledaklah pula tangis isterinya itu sambil menyembah-nyembah di bawah kakinya. Tetapi pengantin perempuan itu sama sekali tidak mengatakan apa pun juga. Ia tidak menyebutkan sebabnya, kenapa ia menjadi bingung dan gelisah. Bahkan ketakutan.

Arya Teja mencoba menunggu sampai hari kedua dan ketiga. Mungkin perkawinan itu telah menggoncangkan perasaan isterinya. Sebagai seorang gadis, maka perkawinan adalah batas waktu yang memisahkan antara dua dunia kehidupannya. Ia akan meninggalkan masa-masa gadisnya dan terjun ke dalam suatu dunia baru yang belum dikenalnya. Memang dunia yang belum dikenal itu akan dapat menumbuhkan ketakutan dan kecemasan.

“Wulan,” bertanya Arya Teja kepada isterinya, “kenapa kau salalu cemas, gelisah dan takut?”

Rara Wulan, isterinya itu, tidak pernah menjawab. Hanya tangisnya sajalah yang meledak-ledak.

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu, apakah yang telah terjadi dengan isterinya. Apakah ia sedang dibayangi oleh perasaan takut tentang dunianya yang baru atau oleh sebab-sebab yang lain?

Akhirnya kesabaran Arya Teja pun menjadi semakin lama semakin tipis. Ia tidak dapat bertahan dalam keadaan itu. Ia pun menjadi bingung dan bahkan sedih pula, sehingga pada suatu saat ia bertanya kepada isterinya, “Wulan. Apakah kau menyesal?”

Seperti di saat-saat yang lewat, Rara Wulan hanya dapat menangis tanpa menjawab pertanyaan itu.

“Aku tidak dapat hidup dengan cara ini, Wulan. Aku tidak mengerti apa yang kau tangiskan. Tubuhnya sendiri akan rusak karenanya. Kini kau menjadi semakin kurus dan kering. Kecantikanmu pudar oleh air mata,” Arya Teja berhenti sejenak, lalu, “Wulan. Aku sekarang adalah suamimu. Kalau kau selalu dibayangi oleh tangismu, maka aku pun akan menjadi bersedih pula. Wulan. Apakah kita tidak dapat membagi kesulitan itu. Katakanlah, apakah yang membuatmu selalu menangis? Aku akan berusaha untuk menolongmu. Karena itu adalah kewajibanku.”

Tetapi Rara Wulan masih saja menangis tanpa menjawab sepatah kata pun, sehingga Arya Teja menjadi kehabisan akal karenanya. Perkawinan yang demikian lama ditunggu-tunggunya, yang dibayangkannya, bahwa perkawinan itu akan menjadikannya berbahagia dalam hidup berumah tangga dengan gadis yang selama ini diangan-angankannya, ternyata sia-sia belaka. Bahkan ia seakan-akan telah terjun ke dalam suatu neraka yang paling pahit. Kalau Rara Wulan hanya dikejutkan oleh suatu dunia baru yang belum dikenalnya, maka ia tidak akan menangis berkepanjangan. Sehari, dua hari, tiga hari, bahkan pada hari-hari berikutnya rumah tangga mereka terasa menjadi semakin suram.

“Wulan,” berkata Arya Teja itu, “beberapa tahun aku pergi merantau untuk kepentingan hidup kita di hari-hari mendatang. Aku mendapat penghargaan yang baik selama aku berada di Demak. Sultan Demak sendiri telah menganugerahkan banyak sekali kesenangan buat bekal hidup kita. Bahkan Kademangan Menoreh kini telah menjadi tanah perdikan, karena aku dianggap berjasa. Kademangan ayah yang sempit, kini menjadi luas dan mendapat bentuk yang lebih baik, Tanah Perdikan. Tanah perdikan yang dalam pemerintahannya sehari-hari telah diserahkan kepadaku pula, karena ayah telah terlalu lelah. Selain memang akulah yang mendapat anugerah bentuk baru dari daerah kademangan ini. Semuanya itu juga untukmu, Wulan. Tetapi kenapa kau tanggapi persoalan ini dengan air mata tanpa penjelasan apa pun?”

Rara Wulan masih belum menjawab. Hanya tangisnya sajalah yang menjadi semakin keras. Isaknya hampir-hampir telah menyumbat pernafasannya.

Arya Teja menjadi semakin bingung. Waktu yang ditunggu-tunggunya ternyata tidak seperti yang diharapkannya. Sejak orang tuanya mempertemukannya dengan gadis yang bernama Rara Wulan itu atas persetujuan semua pihak, beberapa tahun yang lalu sejak mereka masih terlampau muda, maka hatinya telah tertambat olehnya. Agaknya Rara Wulan pun tidak berkeberatan apabila kedua orang tua masing-masing melanjutkan pembicaraan tentang mereka. Tetapi apa yang dihadapinya benar-benar sebuah neraka yang menyiksanya siang dan malam.

Apalagi beberapa saat kemudian, Wulan yang selalu dibayangi oleh air matanya itu menjadi sakit. Penyakit yang membuat suaminya semakin bingung. Muntah-muntah dan pening. Ia dapat mendengar Wulan mengeluh tentang penyakitnya, tetapi isterinya tidak pernah mengatakan apa pun tentang dirinya.

“Wulan, bagaimanakah keadaanmu? Sebenarnya kau tidak sakit, Wulan. Tetapi kau telah disiksa oleh perasaanmu sendiri. Kalau kau mau mengatakannya, mungkin hatimu akan menjadi ringan. Kau tidak akan merasakan lagi penyakitmu yang aneh itu,” Arya Teja mencoba menenteramkan hati isterinya.

Tetapi semua usaha Arya Teja tidak ada yang dapat meredakan kemuraman hati Rara Wulan. Tak ada cara yang dapat dilakukan oleh suaminya. Hati Rara Wulan seolah-olah telah pecah tanpa dapat dibentuk kembali.

“Oh,” Arya Teja mengeluh di dalam hati, “aku akan dapat menjadi gila apabila aku tidak segera terlepas dari keadaan ini.”

Kebingungan Arya Teja pun memuncak ketika pada suatu saat, pada waktu ia berusaha untuk menenteramkan hati isterinya, seperti yang biasa dilakukan tanpa mengenal jemu, meskipun kesabarannya hampir lenyap sama sekali, ia mendengar isterinya sambil menyembah-nyembah meminta kepadanya sesuatu yang sama sekali tidak dimengertinya. Permintaan yang tidak dapat masuk diakalnya.

“Kakang, Kakang Arya. Bunuh sajalah aku Kakang. Aku akan terlepas dari siksaan yang selama ini mencekikku,” tangis Rara Wulan.

Dada Arya Teja bergetar, melampaui getar guruh yang meledak di langit. Ia duduk membeku di tempatnya seperti patung. Sedang isterinya bersimpuh di hadapannya sambil membasahi kainnya dengan air matanya.

“Kutuk apakah yang menimpa diriku,” desis Arya Teja itu di dalam hatinya, “kenapa aku terjerumus ke dalam neraka yang hampir membuatku gila ini.”

“Kakang,” sekali lagi terdengar suara Rara Wulan, “bunuh saja aku, Kakang. Aku tidak pantas untuk menjadi isterimu.”

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Ia masih mencoba berkata lembut, “Aku tidak mengerti Wulan. Kenapakah kau sebenarnya? Apakah kau selalu diganggu oleh seseorang atau oleh hantu-hantu?”

Tangis Rara Wulan menjadi semakin keras. Tetapi ia sudah tidak menjawab lagi. Berkali-kali Arya Teja mendesaknya. Tetapi yang terdengar hanyalah isak tangis isterinya saja.

Dunia semakin lama serasa semakin sesak. Arya Teja merasa bernafas pun agaknya sudah tidak dapat dilakukan lagi. Apalagi apabila dibayangkannya masa-masa mendatang. Gelap. Lebih gelap dari malam yang paling kelam.

Ketika pada suatu hari Arya Teja sudah tidak dapat menahan diri lagi, maka pergilah ia kepada bibinya yang telah tua. Diceritakannya masalahnya, tentang isterinya dan tentang penyakitnya.

Arya Teja itu menjadi terheran-heran, ketika ia melihat bibinya itu justru tertawa. Tertawa berkepanjangan, sehingga air matanya meleleh di pipinya yang berkerut-merut oleh garis-garis ketuaannya.

“Oh, Ngger, Ngger,” katanya, “kau memang masih terlampau bodoh. Kau adalah anak muda yang lugu dan dungu. Seharusnya kau pernah mendengar serba sedikit tentang penyakit seperti penyakit isterimu itu.”

Arya Teja menjadi semakin bingung. Dan suara tertawa bibinya pun menjadi semakin berkepanjangan.

“Aku tidak mengerti, Bibi. Aku hampir gila dibuatnya.”

“Angger Arya Teja,” berkata bibinya, “ketahuilah, bahwa penyakit yang demikian adalah penyakit yang wajar, hinggap pada pengantin baru. Dalam keadaan yang demikian, perempuan memang kadang-kadang menjadi aneh. Sifatnya seakan-akan berubah. Ada-ada saja tingkahnya. Suami yang tidak dapat mengerti keadaan isterinya, memang dapat menjadi bingung, dan bahkan kadang-kadang ada yang setiap hari menjadi marah dan memaki-maki isterinya yang berbuat aneh-aneh itu.”

“Bibi?” dada Arya Teja menjadi berdebar-debar. Dan bibinya masih saja tertawa.

“Mungkin sekarang kau sudah mengetahuinya. Isterimu pasti sedang mengandung muda.”

Kata-kata itu meledak seperti petir yang menyambar kepalanya. Wajah Arya Teja menjadi tegang dan matanya seolah-olah membara. Keringat dingin mengalir dari segenap permukaan kulitnya.

“Bibi,” ia tergagap. Tetapi kata-katanya seakan-akan tersumbat di kerongkongan.

“Jangan gugup, Ngger,” berkata bibinya, “Kau harus mengucap syukur, bahwa perkawinanmu segera akan berbuah.”

“Tetapi ………”

“Tetapi, tetapi apalagi, Ngger. Tidak ada tetapi. Kau tinggal mengucap syukur dan terima kasih. Isterimu sudah sampai pada saatnya menyiapkan dirinya untuk menjadi ibu. Isterimu harus lebih sering lagi jejamu agar menjadi tetap sehat dan tidak menjadi pucat.”

“Bibi, tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin.”

“He?” bibinya mengerutkan keningnya yang memang sudah berkerut.

“Bagaimana mungkin, Bibi. Kami baru beberapa hari kawin. Sejak kami kawin, isteriku selalu menangis melolong-lolong. Bahkan isteriku pernah minta kepadaku, supaya aku membunuhnya saja.”

“He?” kini yang terkejut bukan buatan adalah bibinya.

Wajahnya yang berkerut-merut menjadi pucat. Terdengar suaranya gemetar, “Apa katamu he, Arya Teja?”

“Isteriku berlaku demikian sejak kami kawin. Kami sama sekali belum pernah menikmati ketenteraman di dalam hari-hari perkawinan kami. Apalagi ketika ia menjadi sakit-sakitan. Bahkan ia minta aku untuk membunuhnya.”

“Ampun, ampun,” orang tua itu tiba-tiba meratap, “ya, ya. Aku lupa, bahwa kau baru beberapa minggu kawin. Tetapi isterimu itu? Tanda-tanda dan kelakuannya mengatakan kepadaku, bahwa isterimu sedang mengandung.”

“Tidak mungkin, Bibi. Tidak mungkin.”

“Oh, kalau begitu kau adalah laki-laki yang durhaka. He, agaknya kau tidak menunggu sampai saat perkawinanmu. Sekarang kau menjadi bingung sendiri. Persetan dengan kau, Arya Teja. Aku tidak senang mempunyai kemanakan seperti itu.”

“Bibi. Tidak. Itu pun tidak. Sungguh Bibi. Aku adalah seorang putera demang yang kemudian mendapat anugerah untuk mengangkat diri sebagai Kepala Tanah Perdikan karena jasa-jasaku bagi Demak. Apakah aku masih sempat untuk mengotori namaku dengan nafsu yang gila itu.”

Bibi Arya Teja itu tidak segera menyahut. Ditatapnya saja wajah kemanakannya. Tetapi dari sorot matanya, Arya Teja dapat menangkap perasaan yang aneh pada bibinya itu. Apalagi ketika kemudian bibinya memalingkan wajahnya, melemparkan pandangan matanya ke luar, menembus lubang pintu yang tidak tertutup rapat.

“Bibi,” terdengar suara Arya Teja gemetar, “apakah Bibi tidak percaya?”

Perempuan tua itu berpaling. Sekilas ditatapnya sekali lagi wayah Arya Teja. Namun segera orang tua itu berpaling pula dan melontarkan pandangan matanya jauh-jauh.

“Bibi,” suara Arya Teja menjadi semakin bergetar, “apakah Bibi tidak percaya?”

Bibinya tidak menyahut. Tetapi wajah itu menjadi bersedih.

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesis, “Baiklah kalau Bibi tidak percaya. Mudah-mudahan dugaan Bibi atas penyakit isteriku itu salah.”

Bibinya masih berdiam diri.

Arya Teja kemudian tidak lagi dapat duduk dengan tenang, ia menjadi gelisah dan cemas. Bahkan kadang-kadang terasa debar jantungnya menjadi semakin deras.

Akhirnya Arya Teja tidak dapat bertahan lagi duduk di hadapan bibinya yang diam. Kalau sekali-sekali Arya Teja memandangi wajah orang tua itu, maka dilihatnya seolah-olah wajah yang sudah berkerut-merut itu menjadi terlampau suram.

“O, apakah anggapan Bibi terhadapku sebenarnya?” pertanyaan itu selalu mengganggu perasaan Arya Teja.

Karena itu, maka dadanya itu pun kemudian bergolak. “Aku harus mendapat penjelasan,” katanya di dalam hati, “Penjelasan dari orang yang bersangkutan. Langsung. Aku tidak mau selalu dicengkam oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat menyakitkan hati.”

Tiba-tiba Arya Teja itu pun bergeser dari tempatnya sambil berkata, “Bibi, aku mohon diri. Aku ingin tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi?”

“Arya Teja,” suara bibinya terlampau serak, “aku tidak melihat keadaan isterimu. Sehingga dengan demikian, aku tidak akan dapat mengatakan apakah yang dideritanya dengan tepat. Aku hanya menduga-duga. Mudah-mudahan seperti katamu, dugaanku salah.”

Arya Teja menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat menjawab kata-kata bibinya itu.

“Kalau kau mau pulang, pulanglah, Ngger. Tetapi kau jangan diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus bersabar dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti. Lain kali aku akan datang, dan melihat keadaan isterimu. Mudah-mudahan aku dapat mengatakan serba sedikit tentang penyakitnya, meskipun tidak tahu benar.”

“Ya, Bibi. aku sangat mengharap kedatangan Bibi di rumah. Aku belum mengatakan kepada orang lain kecuali Bibi. Kepada keluargaku yang lain pun belum. Belum juga kepada ayah dan ibu.”

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Jangan Kau katakan kepada siapa pun juga. Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi, kau harus cukup dewasa pula menanggapi setiap keadaan. Isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan.”

“Ya, Bibi,” jawab Arya Teja. Tetapi ia sendiri tidak dapat meyakini dirinya sendiri, apakah ia akan dapat menghadapi keadaan itu dengan bijaksana. Apalagi apabila kata-kata bibinya tentang penyakit isterinya itu benar.

Arya Teja pun kemudian dengan tergesa-gesa pulang ke rumah. Rumah yang belum lama ditempatinya bersama isterinya. Rumah yang dibangunnya sesuai dengan kedudukan yang akan dipangkunya. Bukan sekedar seorang Demang menggantikan ayahnya yang sudah terlampau tua, tetapi ia berwenang menyebut dirinya Kepala Tanah Perdikan yang diperkuat dengan kekancingan yang diterimanya dari Sultan Demak sebagai tanda terima kasih kepada lelabuhan Arya Teja.

Langkahnya yang panjang-panjang itu semakin lama menjadi semakin cepat seperti getar jantung di dadanya. Semakin lama ia merenungkan diri, melimbang-limbang apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan isterinya, maka darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir.

“Seandainya benar kata Bibi,” desahnya, “apakah dosa yang telah aku perbuat?”

Arya Teja hanya dapat menarik nafasnya dalam-dalam untuk me-nenteramkan hatinya. Tetapi setiap kali hati itu bergelora semakin dahsyat dan dahsyat. Sehingga sama sekali tidak diperhatikannya, ketika seorang yang berjalan di belakangnya, selalu saja mengikutinya dengan pandangan penuh kecurigaan.

Arya Teja tidak pernah berjalan demikian tergesa-gesa, bahkan dengan sikap yang sangat gelisah. Dengan pandangan lurus ke depan, seolah-olah menembus segala macam gerumbul dan rerangkudan, langsung menghunjam ke pusat rumahnya, hinggap pada tubuh isterinya yang berbaring di pembaringannya sambil mengusap air mata.

“Hem, kenapa Arya Teja berjalan demikian tergesa-gesa setelah ia bertemu dengan bibinya?” pertanyaan itu tumbuh di hati orang yang mengikutinya itu. Namun ia sama sekali tidak berusaha menyusul Arya Teja dan bertanya kepadanya, meskipun orang itu telah mengenalnya dengan baik.

Ternyata gelora di dada Arya Teja sama sekali tidak mereda. Semakin dekat ia dengan halaman rumahnya, maka hatinya serasa semakin pepat, terhimpit oleh getar yang semakin bergejolak di dadanya. Berbagai bayangan hilir mudik di dalam rongga matanya. Bayangan tentang dirinya sendiri, tentang isterinya, tentang rumah tangganya dan tentang segala macam kemungkinan yang dapat terjadi. Bahkan kemungkinan yang paling pahit sekalipun.

Dada Arya Teja terasa benar-benar menjadi pepat ketika ia telah menginjakkan kakinya di halaman rumahnya. Tubuhnya serasa menjadi gemetar, dan keringat yang dingin mengembus di segenap wajah kulitnya.

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menenangkan hatinya. Langkahnya pun kemudian diperlambatnya. Ketika kakinya sudah menyentuh tangga pendapa rumahnya, maka ditekankannya telapak tangannya di dadanya.

“Aku tidak boleh menjadi gila karenanya,” katanya di dalam hati. Terngiang kembali kata-kata bibinya. “Tetapi Kau jangan diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus bersabar dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti,” dan kemudian, “Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi kau harus cukup dewasa menanggapi setiap keadaan, isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan ber-bagai-macam dugaan.”

“Ya,” Arya Teja berdesis, “aku harus menyadari setiap persoalan. Aku tidak boleh kehilangan akal dan nalar.”

Perlahan-lahan Arya Teja melangkahkan kakinya. Pendapa yang diinjaknya serasa bergoncang. Kepalanya menjadi terlampau berat dan urat-urat di keningnya menjadi tegang.

“Ah, aku tidak boleh menjadi gila,” desisnya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari, bahwa dadanya telah dilanda oleh arus darahnya yang menjadi semakin cepat menyusuri pembuluh-pembuluhnya.

Dengan jantung yang berdentangan, Arya Teja memasuki rumahnya. Rumah yang dirasanya terlampau sepi. Bahkan rumah itu telah menjadi neraka yang membakarnya hidup-hidup sejak ia mengawini gadis yang selama ini diimpi-impikannya.

Ketika Arya Teja masuk ke dalam biliknya, dilihatnya isterinya sedang berbaring. Tetapi desir telapak kakinya telah mengejutkannya sehingga isterinya itu bangkit dan duduk di tepi pembaringannya.

“Oh,” desahnya, “Kau sudah datang, Kakang?”

Arya Teja melihat wajah isterinya yang pucat. Tubuhnya yang semakn lama semakin kurus, bahkan semakin kering. Perlahan-lahan maka gelora di dalam dadanya menjadi lilih. Isterinya memang baru sakit. Dan bibinya berpesan, “Jangan kau perberat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan.”

“Tidurlah, Wulan,” tiba-tiba terloncat kata-kata itu dari mulutnya. Kata-kata yang lembut penuh iba, “Bukankah kau baru sakit?”

Arya Teja melihat Rara Wulan mengelengkan kepalanya, “Tidak, Kakang. Aku tidak sakit.”

Arya Teja tidak segera menjawab. Ia duduk di atas sebuah dingklik kayu dekat di samping pembaringan isterinya.

“Kau pucat, Wulan. Apakah kau masih pening dan akan muntah?” pertanyaan itu begitu saja meloncat dari mulut Arya Teja.

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi dada Arya Teja mulai bergetar lagi ketika ia melihat mata isterinya menjadi basah. Apalagi ketika sesaat kemudian isterinya mulai terisak.

Dada Arya Teja mulai menjadi pepat. Karena itu maka justru ia terdiam. Ia duduk saja seperti patung sambil memandang jauh menembus lubang pintu bilik itu.

Tetapi isak isterinya yang mengeras telah benar-benar mengganggunya. Setelah sejenak ia dicengkam oleh perasaan iba, maka kini ia kembali dilemparkan ke dalam kegelisahan yang sangat.

Sejenak ruangan itu menjadi hening. Namun isak Rara Wulan menjadi semakin keras.

Arya Teja itu terkejut ketika kemudian isterinya terbatuk-batuk dan mulai diganggu lagi oleh penyakitnya. Muntah-muntah.

Arya Teja segera berdiri. Dipanggilnya seorang pelayannya untuk mengambil pasir dan ditaburkannya di bawah pembaringan Wulan yang sedang muntah-muntah.

“Wulan,” dada Arya Teja mulai gemetar, “apakah sebenarnya penyakitmu itu?”

Ketika pertanyaan itu menyentuh telinganya, maka meledaklah tangis Rara Wulan yang sedang muntah-muntah itu. Tetapi oleh tekanan perasaan yang menghimpit jantungnya, maka justru ia berhenti muntah. Kini ia duduk sambil menangis sejadi-jadinya.

“Wulan,” Arya Teja menjadi semakin cemas, “apakah kau tidak dapat mengatakan, penyakit apakah yang sebenarnya sedang kau tanggungkan? Apakah kau sedang menderita sakit panas dingin? Apakah perutmu terasa mual ataukah sakit apa lagi?”

Tidak ada jawaban selain suara tangis isterinya.

“Oh,” Arya Teja menjadi semakin bingung. Ia berjalan mondar-mandir. Sekali-sekali dihentakkannya kakinya, namun kemudian diingatnya lagi pesan bibinya.

Tetapi ternyata bukan saja pesan bibinya itu yang teringat olehnya. Tetapi juga sikap bibinya yang mengherankan pada mulanya. Bibinya itu justru tertawa-tawa mendengar keterangannya tentang penyakit isterinya.

“Benarkah?” tiba-tiba pertanyaan itu meledak di kepalanya. Dengan dada yang bergelora Arya Teja mendekati isterinya.

Ditatapnya isterinya yang sedang menangis itu berlama-lama. Tetapi pertanyaan itu tidak juga terloncat dari mulutnya. Arya Teja tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkan pertanyaan itu. Ia mencemaskan keadaan isterinya dan keadaannya sendiri apabila ia mendengar jawaban isterinya itu, jika dugaan bibinya itu benar.

“Tetapi, apakah aku akan tinggal di dalam neraka ini untuk seterusnya?” ia mencoba menggeretakkan giginya. Tetapi hatinya kemudian menjadi luluh lagi.

“Wulan,” katanya perlahan-lahan, “tidurlah. Kau harus segera sembuh. Kau tidak boleh selalu disiksa oleh duka dan air mata. Meskipun aku tidak tahu sebabnya, tetapi aku dapat merasakannya.”

Tiba-tiba Rara Wulan itu membanting dirinya bersimpuh di hadapan suaminya. Kata-kata yang lembut itu justru semakin menyiksanya. Dengan pilu ia meratap, “Bunuh saja aku, Kakang. Bunuhlah aku.”

Dada Arya Teja terguncang mendengar permintaan itu. Permintaan itu telah seribu kali didengarnya. Tetapi setelah ia mendengar dugaan bibinya tentang penyakit isterinya, maka tanggapannya menjadi lain. Karena itu, maka tiba-tiba giginya gemeretak dan matanya menjadi seakan-akan menyala.

Ditatapnya saja tubuh isterinya yang bersimpuh di hadapannya. Didengarnya suara tangisnya yang serak dan dilihatnya titik-titik air matanya yang menetes membasahi kakinya.

Dada Arya Teja itupun kemudian terasa bergolak semakin dahsyat. Bahkan serasa akan meledak karenanya. Berbagai macam prasangka telah mencengkam hatinya. Prasangka tentang isterinya, penyakitnya dan sikapnya.

Tiba-tiba saja terdengar Arya Teja itu menggeram, “Pasti. Pasti hal itu telah terjadi.”

Tetapi isterinya yang menangis itu tidak mendengar suaminya menggeram dan menggeretakkan giginya. Ia masih saja menangis dan bahkan diulanginya permintaannya, “Kakang, bunuh saja aku, Kakang, daripada hidupku akan tersiksa di sepanjang umurku.”

Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Pertanyaan yang selama ini tersimpan di dadanya, tiba-tiba meledak tanpa dapat dikendalikannya lagi. Justru karena selama ini ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkannya, maka ledakannya ternyata menjadi sangat mengejutkan tidak terkendali.

Tiba-tiba tangan Arya Teja yang kokoh kuat itu mencengkam pundak isterinya, Rara Wulan. Diguncangnya tubuh isterinya itu sambil berteriak, “Wulan, Wulan. Katakan, katakan. Apakah kau sedang sakit?”

Rara Wulan terkejut sehingga tangisnya tertahan. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya, hampir yang menjerit ketakutan. Dilihatnya wajah suaminya yang tegang, dan sepasang matanya yang membara. Ia belum pernah melihat wajah Arya Teja demikian menakutkan seperti saat ini.

“Katakan, Wulan. Apakah penyakitmu itu, he?”

Rara Wulan masih terbungkam. Tetapi kemudian ia menggigil ketakutan.

Dada Arya Teja yang serasa telah bengkah itu, benar-benar tidak dapat ditahankannya lagi. Sekali lagi meledaklah pertanyaannya yang serasa menghentikan arus darah Rara Wulan, “Wulan, apakah kau sedang mengandung, he?”

Sejenak Rara Wulan membeku di tempatnya. Wajahnya yang pucat kian menjadi pucat. Arya Teja yang sedang diamuk kegelisahan, kegelisahan, kecemasan dan kebingungan itu melihat Rara Wulan bergeser secengkang surut. Dilihatnya pula bibir perempuan itu bergerak-gerak, tapi tidak sepatah kata pun yang meluncur dari sela-sela mulutnya.

“Katakan, katakan. Apakah kau sedang mengandung?” Rara Wulan masih belum menjawab, tetapi wajahnya kian menjadi pucat seputih kapas.

“Katakan, katakan,” Arya Teja berteriak. Ketika Rara Wulan tidak segera menjawab, maka terdengar Arya Teja itu menjadi semakin keras berteriak, “Apakah kau sudah menjadi ibu, he? Ayo katakan!”

Arya Teja itu kemudian menghibaskan tangan Rara Wulan yang menggenggam kakinya erat-erat sehingga perempuan itu terdorong mundur.

“Kenapa kau diam saja, he? Katakan, ya atau tidak?”

Rara Wulan benar-benar terbungkam. Kini ia tertelungkup di lantai. Suara Arya Teja benar-benar seperti beribu-ribu petir yang menyambar-nyambar di atas kepalanya.

“Wulan,” berkata Arya Teja yang matanya menjadi semakin menyala, “selama ini aku memandangmu sebagai seorang bidadari yang bersih, yang putih tanpa setitik noda pun yang lekat di tubuhmu. Tetapi, katakan, apakah benar begitu?”

Arya Teja itu surut selangkah ketika tiba-tiba ia melihatnya bangkit. Rara Wulan yang sudah sampai ke puncak ketakutannya justru sudah tidak menangis lagi. Ia mencoba mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ketika ia sudah duduk, maka ditengadahkannya wajahnya.

“Kakang,” suara itu gemetar, “apakah aku harus menjawab pertanyaan itu?”

Arya Teja-lah yang kemudian terdiam sesaat. Hatinya yang bergolak menjadi semakin bergolak. Sekali lagi ia diterkam oleh ketakutan. Kalau isterinya itu nanti menjawab pertanyaanya, apakah jawabnya tidak akan membuatnya gila.

Tetapi sekali lagi perasaanya meledak, “Ya, kau harus menjawabnya. Kau tidak akan dapat ingkar lagi dari kenyataan.”

Wajah Rara Wulan yang pucat itu kini justru dijalari oleh warna darahnya. Semakin lama semakin merah. Dan dengan suaranya yang gemetar, terdengar jawabnya, “Kakang. Sudah aku katakan, bunuh saja aku. Aku memang sudah tidak sepantasnya menjadi isterimu karena aku memang sudah bernoda.”

Jawaban itu menyambar perasaan Arya Teja seperti guruh yang memecahkan jantungnya. Sejenak ia terhenyak dalam kebekuan seperti patung yang mati. Matanya memancarkan perasaan yang asing dan mulutnya terkatup rapat-rapat.

Dan Arya Teja yang membeku itu mendengar isterinya berkata, “Karena itu, Kakang, cara yang paling baik bagimu dan bagiku adalah, bunuhlah aku.”

Dunia ini serasa sudah tidak diinjaknya lagi. Arya Teja merasa dirinya seperti terbang menerawang dalam dunia yang asing. Bukan sekedar sebuah mimpi yang mengerikan, tetapi ia merasa bahwa ia terlempar dalam kesenyapan yang dahsyat. Semuanya seolah-olah menjadi semakin menjauh, menjauh daripadanya. Akhirnya dunianya yang selama ini dimilikinya, seolah-olah hilang. Hilang. Dan Arya Teja merasa dirinya berada dalam kekosongan yang paling dalam, dibakar oleh kesepian dan kebekuan yang paling dahsyat.

Arya Teja itu terhuyung-huyung surut sehingga tubuhnya tersandar pada dinding biliknya. Meskipun matanya masih terbuka, tetapi seolah-olah ia sudah tidak melihat lagi, meskipun telinganya masih ada, tetapi seolah-olah pepat dan tidak didengarnya apa pun.

Namun kemudian, api yang membara di dadanya bergolak menyala semakin dahsyat seperti api neraka. Perlahan-lahan api telah memanasi darahnya kembali. Perlahan-lahan Arya Teja itu jejakkan kakinya di dunia yang penuh murka, kemarahan dendam. Dunia yang dibakar oleh nafsu manusiawi yang menghancurkan. Sakit hati.

Dengan sorot mata yang aneh dipandanginya isterinya yang masih saja duduk di lantai. Isterinya dianggap akan dapat mendampinginya hidup dalam ketenteraman, tetapi ternyata telah menyeretnya ke dalam neraka yang paling pedih.

Dalam luapan perasaanya, Arya Teja itu melihat seakan Rara Wulan itu kini bukanlah perempuan yang selama ini telah didambakannya untuk menjadi isterinya. Wajah isterinya yang lembut dan sejuk itu, tiba-tiba telah berubah menjadi wajah hewan betina yang paling terkutuk. Wajah yang penuh dengan noda yang paling kotor yang pernah dilihatnya.

Sejenak Arya Teja mencoba menahan gejolak perasaannya, tetapi ternyata ia kemudian terseret oleh arus yang dahsyat yang mendamparkannya ke dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak berdaya untuk melawan luapan sakit hatinya. Lupa diri.

Tiba-tiba Arya Teja itu menggeretakkan giginya. Dengan kaki yang gemetar ia selangkah maju mendekati isterinya yang masih duduk di lantai. Dengan wajah yang membara ia menggeram, “Setan betina kau Wulan! Tidak pantas kau hidup lagi di rumah ini. Karena itu, lebih baik aku memenuhi permintaanmu. Aku bunuh kau!”

Tangan Arya Teja yang gemetar tiba-tiba telah meraih hulu kerisnya. Keris pusaka yang selama ini hampir tidak pernah ditarik dari wrangkanya. Namun keris itu kini telah berada di tangannya. Keris yang seolah menyalakan api dendam yang membara di dadanya.

Rara Wulan melihat Arya Teja itu mengangkat kerisnya dengan wajah yang merah tegang. Sejenak suaminya itu memejamkan matanya, dan Rara Wulan yang sudah pasrah itupun memejamkan matanya pula.

Tetapi tiba-tiba Arya Teja tertegun sejenak. Gelora di dadanya terguncang semakin dahsyat ketika ia mendengar jerit seorang perempuan memanggil namanya, “Arya Teja. Apakah yang kau lakukan itu?”

Tubuh Arya Teja menjadi gemetar, dan keris ditangannya pun menjadi gemetar pula. Terasa pergelangan tangannya ditahan oleh jari-jari yang lembut. Meskipun tangan yang menahannya itu sama sekali tidak mempunyai tenaga, tetapi terasa bahwa tangannya seakan-akan tidak mampu lagi digerakkannya.

Dan Arya Teja mendengar lagi suara itu, “Arya Teja. Apakah yang kau lakukan itu?”

Perlahan-lahan Arya Teja membuka matanya. Di sampingnya berdiri seorang perempuan tua. Bibinya.

“Kenapa Bibi menahan aku?” terdengar suara Arya Teja gemetar.

“Kau telah membuat kesalahan yang akan kau sesali sepanjang hidupmu.”

“Aku tidak memerlukannya lagi, Bibi. Ia menodai perkawinan kami. Dan ia sendiri minta aku untuk membunuhnya.”

“Aku sudah menyangka, bahwa kau akan kehilangan akal. Itulah sebabnya hatiku sama sekali tidak tenteram ketika kau meninggalkan rumahku.”

“Ia akan menjadi hantu yang akan menyiksa hidupku, Bibi. Biarlah, biarlah aku lenyapkan saja perempuan itu, supaya aku terlepas dari neraka ini.”

“Aria Teja. Kau akan menyesal.”

“Tidak. Tidak. Aku tidak akan menyesal sama sekali. Lepaskan, Bibi. Biarlah aku membunuhnya. Kalau Bibi tidak sampai hati untuk menyaksikannya, tinggalkanlah kami di sini.”

“Jangan menjadi mata gelap, Ngger.”

Darah Arya Teja menjadi semakin menyala, ketika ia mendengar Rara Wulan menyahut, “Biar, Bibi. Biarlah Kakang Arya Teja membunuhku. Itu adalah penyelesaian yang baik, baik baginya dan bagiku sendiri.”

“Nah, bukankah Bibi mendengar?” suara Arya Teja meninggi. “Iblis itu menantangku. Lepaskan Bibi, biarlah aku membunuhnya. Apakah darahnya juga merah seperti darah manusia yang bersih.”

Tetapi bibinya tidak melepaskan tangan Arya Teja. Tangan laki-laki yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu masih dipegangnya. Dengan cemasnya ia berkata, “Jangan, jangan Ngger. Jangan.”

Arya Teja telah benar-benar menjadi waringuten. Ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Yang ada di dalam dirinya hanyalah api kemarahan dan sakit hati. Itulah sebabnya, maka tanpa dikehendakinya sendiri, didorongnya bibinya yang tua itu sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah. Untunglah, bahwa tubuhnya yang lemah itu tersandar pada dinding sehingga ia tidak jatuh tertelentang.

Begitu tangan bibinya terlepas, maka dengan menggeram sekali lagi Arya Teja mengangkat kerisnya, “Kau harus mati. Kau harus mati.”

Tetapi ia masih mendengar suara bibinya melengking, “He, kau gila Arya Teja. Kau gila. Bunuhlah perempuan itu menurut kehendakmu, apalagi ia adalah isteri yang mengkhianatimu. Tetapi kau akan berdosa tujuh kali lipat karena kau membunuh juga nyawa yang sama sekali tidak berdosa. Bayi di dalam kandungan perempuan itu.”

Kata-kata bibinya itu meledak di telinga Arya Teja seperti seribu guruh. Dadanya terguncang dahsyat sekali, sehingga rasa-rasanya seluruh tulang rusuknya terpatahkan. Sejenak pandangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang. Tubuhnya gemetar dan nalarnya seakan-akan ditaburi oleh kekelaman yang pekat.

Sekali lagi Arya Teja terhenyak ke dinding. Tubuhnya menjadi lemah, seolah-olah tulang-tulangnya dilolosi. Hampir-hampir ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.

Bibinya kini telah berdiri di hadapannya. Dipandanginya wajah kemanakannya yang kadang-kadang pucat namun kemudian merah membara.

“Ingatlah akan dirimu.”

Keringat dingin telah membasahi segenap tubuh Arya Teja. Dari ubun-ubunnya sampai ke ujung kakinya.

“Tidak sepantasnya kau berbuat begitu, Ngger,” berkata bibinya. “Kau adalah laki-laki, seperti ayahmu menginginkannya, bahwa kau adalah laki-laki jantan. Kau tidak dapat membunuh perempuan itu tanpa membunuh bayi yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa membunuh bayi itu.”

Kata-kata bibinya itu benar-benar telah menyentakkan perasaan Arya Teja. Tubuhnya yang seolah-olah sudah tidak berdaya itu, tiba-tiba tegak bagaikan tiang baja yang kokoh kuat tidak tergoyahkan. Kini matanya benar-benar mancarkan api yang menyala di dalam dadanya.

Terdengar gigi Arya Teja gemeretak. Terngiang kembali kata-kata bibinya itu, “Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa membunuh bayi itu.”

Arya Teja menggeram. Terdengar suaranya parau, “Ya, Bibi. Aku mengerti.”

Selangkah Arya Teja maju mendekati isterinya. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Wulan, katakan. Katakan. Siapakah yang telah berbuat itu? Aku sadar kini, bahwa itu adalah penghinaan yang sedalam-dalamnya bagi kejantananku. Orang itu ingin mencoba mengukur lebar dada Arya Teja yang sebentar lagi akan mendapat wisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di Menoreh. Kalau aku belum menemukan orang itu Wulan, maka aku tidak akan dapat hidup dengan tenteram. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi padaku. Membunuh atau dibunuh. Tetapi itu adalah sikap jantan.”

Rara Wulan yang sudah pasrah diri, yang justru seakan-akan sudah tidak lagi dibayangi oleh kecemasan, dan bahkan air matanya pun seolah-olah sudah kering, kini digoncangkan lagi oleh kegelisahan yang dahsyat. Terbayang di wajahnya, apa yang dapat terjadi apabila dua orang laki-laki jantan telah berhadapan.

“Wulan, katakan Wulan, supaya aku tidak jatuh ke dalam dosa yang paling nista, membunuh perempuan yang tidak berdaya dan membunuh bayi di dalam kandungannya. Bayi yang tidak berdosa sama sekali.

Pernyataan itu telah benar-benar menghentakkan dada Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu mendengar bibi Arya Teja berkata, “Tidak ada gunanya, Arya Teja. Sikap itu memang sikap jantan. Tetapi tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan cara itu. Aku memperingatkan kau akan hal itu, sekedar untuk mencegah kau menjadi kehilangan akal. Sikap itu jauh lebih baik daripada kau membunuh perempuan dan bayinya yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi sikap itu sendiri bukan sikap yang paling baik.”

Mata Arya Teja yang menyala itu membayangkan keragu-raguan setelah ia mendengar kata-kata bibinya. Namun bibinya itu berkata terus, “Sikap yang demikian masih akan menumpahkan darah. Darah bukanlah penyelesaian yang paling baik.”

Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Sekali lagi terdengar suaranya yang parau, “Lalu apakah sebaiknya yang aku lakukan, Bibi?”

“Kau harus berjiwa besar, Arya Teja. Kau harus membuat penyelesaian tanpa menitikkan darah. Kau harus bertemu dengan laki-laki itu. Kau atau orang itu yang seterusnya akan memiliki Rara Wulan. Sesudah itu, tidak ada lagi persoalan di antara kalian.

Darah Arya Teja menghentak-hentak di jantungnya. Dan terdengar ia berkata terbata-bata, “Itu tidak mungkin, Bibi. Itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukan kedua-duanya. Terus mengawini Rara Wulan dengan menelan penghinaan dari seorang laki-laki tanpa berbuat sesuatu, seolah-olah aku bukan laki-laki, atau melepaskan Rara Wulan dengan menyandang hina dan malu, karena orang-orang Menoreh akan mengatakan, bahwa isteri kepala tanah perdikannya telah direbut orang tanpa berbuat sesuatu.”

Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Itu benar, Arya Teja. Tetapi bahwa Rara Wulan mengandung di luar perkawinannya denganmu itu sama sekali tidak diketahui orang.”

“Tetapi aku tahu, Bibi. Aku tahu, Wulan tahu dan laki-laki yang itu tahu pula.”

“Bukankah persoalan itu masih terbatas sekali? Kalau jiwamu cukup besar, Arya, kau lupakan saja apa yang telah terjadi. Tetapi laki-laki itu memang harus datang kepadamu, minta maaf dan untuk seterusnya tidak akan menyebut-nyebut anaknya yang masih dalam kadungan.”

“Hanya begitu, Bibi? Hanya cukup dengan permintaan maaf dan untuk seterusnya tidak akan mengusik anaknya?”

“Arya Teja. Peristiwa ini harus kau pandang dari segi yang lapang. Hubungan itu terjadi sebelum Rara Wulan menjadi isterimu. Kau tidak dapat mengatakan, bahwa laki-laki itu telah merampas hakmu seluruhnya, sebab pada saat itu terjadi, Rara Wulan masih belum isterimu.”

“Oh,” Arya Teja berdesah. Keringatnya menjadi semakin banyak mengalir, “Tetapi aku telah terjebak dalam perangkap yang keji itu. Laki-laki itu ternyata pengecut. Kalau ia laki-laki jantan, maka ia akan bertanggung jawab dan tidak membiarkan Wulan menjadi isteri orang lain. Mungkin hal itu disengaja pula untuk menghindarkan diri dari keharusan bertanggung jawab. Agaknya Wulan telah bersepakat pula menjerat leherku.”

“Tetapi aku menyesal,” tiba-tiba Rara Wulan memotong, “aku menyesal bahwa hal itu terjadi. Karena itu maka aku akan rela dibunuh. Nah, Kakang, kalau keputusanmu memang ingin membunuhku, kenapa kau akan membatalkannya?”

“Begitu, begitu yang kau maksud?” tiba-tiba darah Arya Teja meluap sekali lagi. Sehingga tanpa disadarinya ia melangkah maju dengan tangan gemetar. Kerisnya masih juga berada di dalam genggemannya.

“Jangan gila,” teriak bibinya, “kalian berdua memang gila.”

Sekali lagi Arya Teja tertegun, “Dengar kata-kataku!” bentak bibinya. Ternyata pengaruhnya besar sekali atas Arya Teja, sehingga ia melangkah surut.

“Tidak patut kalian berbuat begitu,” berkata bibinya pula, “kalian harus menemukan penyelesaian sebaik-baiknya, sebagamana penyelesaian yang dituntut oleh manusia beradab.”

“Kami sama-sama laki-laki, Bibi. Itu adalah penyelesaian yang paling baik dan adil,” geram Arya Teja, “aku tidak melihat jalan lain. Sekarang sebutkan laki-laki itu, he?”

Rara Wulan masih terduduk diam. Pertanyaan yang demikian, benar-benar telah menguncangkan dadanya.

Seandainya ia menjawab berterus terang, maka ia yakin, pasti akan terjadi pertumpahan darah dan bahkan kematian seperti yang dikatakan oleh Arya Teja. Membunuh atau dibunuh. Rara Wulan tahu pula, bahwa laki-laki yang ditanyakan oleh Arya Teja itu pun pasti akan berkata begitu pula. Membunuh atau dibunuh.

Penyesalan yang paling dalam telah menyesak di dada Rara Wulan. Sebenarnya penyesalan itu datang sejak peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang seakan-akan berlangsung di luar sadarnya, pada saat iblis datang menghuni hatinya tanpa dapat dilawannya. Karena itu, maka tidak ada lain yang diharapkannya kini, selain mati. Mati. Bahkan telah timbul pula hasratnya untuk membunuh diri. Tetapi alangkah baiknya, apabila ia mati di tangan Arya Teja. Mungkin hal itu akan dapat memberi sedikit kepuasan kepada suaminya yang telah dikhianatinya itu.

Maka sejenak kemudian, terdengar Rara Wulan berkata, “Kakang, aku tidak akan mengatakan, siapakah laki-laki itu. Timpakan semua kesalahan kepadaku, karena memang akulah yang paling bersalah dalam hal ini. Semuanya tidak akan terjadi, seandainya aku tidak menyurukkan diriku sendiri ke dalam lumpur yang paling hina. Bagiku penyelesaian yang paling baik adalah bunuhlah aku.”

“Perempuan celaka!” potong bibi Arya Teja. “Kau benar-benar tidak tahu diri. Bunuhlah dirimu sendiri seandainya kau ingin. Tetapi tunggulah bayi di dalam perutmu itu lahir dan berkesempatan hidup. Tak ada hak dari siapa pun juga untuk membunuh nyawa yang sama sekali tidak bersalah itu. Semua hukuman harus ditimpakan dan ditanggung oleh mereka yang berbuat salah, tetapi tidak pada nyawa itu.”

Seperti juga Arya Teja, maka hati Rara Wulan pun tersentuh pula. Apalagi sebagai seorang perempuan yang langsung menyimpan nyawa itu di dalam dirinya. Karena itu, maka kini kebingungan yang dahsyat telah melanda, jantungnya. Ia ingin mati, tetapi peringatan bibi Arya Teja telah membuatnya bimbang. Apabila semula ia telah pasrah tanpa ragu-ragu menghadapi saat-saat kematian yang memang sudah diharapkannya, tetapi kini ia mulai bimbang. Nyawa yang ada di dalam dirinya tidak hanya nyawanya sendiri saja. Tetapi ia pun sedang menyimpan nyawa bayi di dalam perutnya itu.

Dalam keheningan itu terasa, betapa udara bilik itu seperti dipanggang di atas api. Hening, tetapi tegang dan panas.

Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja parau, “Wulan. Jangan memperlambat persoalan. Katakan siapa laki-laki itu? Aku akan membuat penyelesaian.”

“Jangan dengan cara itu,” bibi Arya Teja berkata, “kau harus mendapatkan cara yang baik. Cara yang beradab. Kalian bukan manusia-manusia liar yang hanya mengenal cara penyelesaian yang serupa itu, darah.”

Dada Arya Teja berdentangan mendengar kata-kata bibinya. Kalau semula bibinya berhasil meredakan maksudnya untuk membunuh Rara Wulan, tetapi kini nafsu Arya Teja untuk membuat perhitungan dengan laki-laki yang dianggapnya telah menghinanya itu sama sekali tidak surut. Bahkan dengan gemetar ia berkata, “Tidak ada pilihan lain, Bibi. Bukankah Bibi sendiri berkata, bahwa aku tidak sepantasnya membunuh Rara Wulan, tetapi aku dapat berbuat begitu kepada orang yang menaburkan benih di ladangku.”

“Tetapi bukan maksudku, Arya,” berkata bibinya, “aku hanya ingin mencegahmu membunuh Rara Wulan dan bayinya.”

“Itu adalah keputusanku,” geram Arya Teja. Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Wulan, sebutkan nama itu. Sebutkan.”

Dada Arya Teja berdentang ketika ia melihat Rara Wulan menggelengkan kepalanya yang tunduk, “Aku tidak dapat mengatakannya, Kakang.”

“He,” mata Arya Teja kini seolah-olah menyala, “sebutkan! Sebutkan! Kau hanya menyebutkan saja nama itu. Penyelesaiannya ada di tanganku.”

Air mata Rara Wulan kini menderas lagi. Dan bahkan seolah-olah ia tidak dapat lagi bernafas oleh isaknya yang menyesak di dada. Tetapi sekali lagi ia menggelengkan kepalanya.

“Wulan. Wulan. Kau tidak mau menyebutkan he?” Arya Teja tiba-tiba berteriak penuh kemarahan. Dihentakkannya kakimu di lantai. Sambil menunjuk kepala isterinya dengan ujung kerisnya ia berkata, “Kau ternyata penghianat yang paling jahat. Kau sengaja menyembunyikan laki-laki di belakang pinjungmu. He, kalau aku laki-laki itu, maka alangkah malunya. Kalau aku menjadi laki-laki itu, akulah yang akan membunuh diri. Bukan sekedar bersembunyi dan bahkan mengorbankan nyawa seorang perempuan dan bayi di dalam kandungannya.”

Kata-kata itu serasa langsung menusuk jantung Rara Wulan. Bagaimanapun juga, penghinaan Arya Teja terhadap laki-laki yang pernah membuat sentuhan langsung di hatinya itu, membuatnya berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa selain berdiam diri menutup mulutnya rapat-rapat. Perasaannya semuanya tertuang lewat air matanya.

“Wulan, apakah kau benar-benar sudah menjadi bisu he?” Arya Teja menjadi semakin marah dan berteriak-teriak.

“Arya Teja,” berkata bibinya, “hentakan perasaan di dadamu memang terlampau berat. Sekarang, marilah tinggalkan bilik ini, Ngger. Beristirahatlah. Kau akan menemukan ketenangan. Dalam ketenangan itulah kau baru mengambil sikap. Kalau sekarang kau menentukan cara penyelesaian itu, maka kau akan salah jalan. Kau sekarang tidak dikuasai oleh pikiran dan nalar, tetapi kau sedang dikuasai oleh perasaan. Perasaanmu yang lagi gelap.”

“Tidak, Bibi. Aku harus mendengarnya sekarang. Apakah aku akan bersikap sekarang, hal itu dapat dipikirkan kemudian. Tetapi nama itu harus aku dengar sekarang. Nama laki-laki licik yang hanya berani berperisai nyawa seorang perempuan, sehingga laki-laki betina itu tidak lebih dari seorang pengecut besar.”

Ternyata kata-kata itu telah menggugah sebuah hati. Betapa seseorang menahan diri, namun penghinaan itu tidak dapat dibiarkannya. Karena itu, maka seorang laki-laki yang selama ini mendengarkan pembicaraan itu dari balik dinding di luar rumah, tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya pula.

Sejak beberapa lama ia mendengarkan pembicaraan Arya Teja dan isterinya di dalam biliknya. Kadang-kadang ia terpaksa menahan nafasnya, namun kadang- kadang ia terpaksa menggeretakkan giginya.

Ia tidak mempedulikan satu dua orang pembantu di dalam rumah itu memperhatikannya dari kejauhan. Pembantu-pembantu rumah itu memang sudah mengenalnya, karena ia sering pula datang berkunjung menemui Arya Teja sebelum kawin dengan Rara Wulan.

Pembantu-pembantu yang melihatnya pun sama sekali tidak menegurnya. Mereka menyangka, bahwa orang itu akan berkunjung seperti biasa, tetapi ketika didengarnya Arya Teja sedang bertengkar dengan isterinya, maka ia menunggunya saja di luar. Sedang para pembantu itu tidak tahu apakah yang sebenarnya dipertengkarkan. Mereka hanya mendengar suara Arya Teja hampir berteriak. Pembantu-pembantu itu menjadi ketakutan, karena sebelum itu mereka tidak pernah melihat atau mendengar Arya Teja bersikap kasar, meskipun kadang-kadang dapat juga bersikap keras.

Tetapi orang itu sebenarnya sama sekali tidak senang menunggu sampai pertengkaran itu reda. Pertengkaran itu sendiri telah membakar jantungnya dan mendidihkan darahnya. Ia-lah yang melihat Arya Teja berjalan dengan tergesa-gesa dan kemudian mengikutinya. Terasa ada sesuatu yang tidak wajar pada muda yang baru saja kawin itu.

Ternyata apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ia mendengar pertengkaran itu. Ia mendengar Arya Teja bahkan mengancam untuk membunuh isterinya, dan kini Arya Teja sedang mendesak Rara Wulan untuk menyebut nama laki-laki yang dianggapnya telah mengkhianatinya.

Dada orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar bahwa Rara Wulan berkeras hati untuk tidak menyebut nama laki-laki itu. Tetapi darahnya segera mendidih ketika ia mendengar penghinaan Arya Teja atas laki-laki itu.

“Hem, apakah aku akan berdiam diri saja?” desisnya di dalam hati.

Sebuah pergolakan telah terjadi di dadanya. Pergolakan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sejak Arya Teja menghunus kerisnya, ia telah berdiri dalam kebimbangan. Apakah ia akan turut mencampurinya? Tetapi sebelum ia mendapat keputusan, ia melihat bahwa bibi Arya Teja dengan tergesa-gesa memasuki rumah itu, dan ternyata perempuan itu telah berhasil mencegahnya, sehingga dengan demikian, ia tidak perlu mencampurinya. Tetapi ia tidak akan dapat terus menerus berdiam diri sambil mendengarkan penghinaan yang tiada berkeputusan.

Kini sekali lagi ia mendengar suara Arya Teja, “Kau tidak mau mengatakannya, Wulan? Baiklah. Simpanlah rahasia itu di dalam dirimu. Aku sudah tidak berkeinginan untuk membunuh lagi. Perbuatan itu hanya akan mengotori tanganku saja,” Arya Teja berhenti sejenak, lalu, “Besok aku akan membuat peryataan terbuka. Setiap orang akan mendengar apa yang telah terjadi atasmu, sampai saatnya seorang laki-laki berani menampilkan dirinya, dan mengaku bahwa ia telah melakukannya.”

Sebuah hentakan yang keras telah menggoncangkan dada Rara Wulan. Ancaman itu benar-benar telah membuat cemas dan ketakutan, sehingga terdengar suaranya terpatah-patah di sela tangis dan isaknya. “Oh, kau terlampau kejam, Kakang. Kenapa kau tidak mau membunuh aku saja daripada kau membuat aku malu tiada taranya.”

“Laki-laki itulah yang bersalah,” sahut Arya Teja, “kecuali kau bersedia menyebut namanya.”

Betapa hati Rara Wulan benar-benar tersiksa saat itu. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa kekhilafannya yang sesaat itu benar-benar telah mematahkan hari depannya, bahkan jauh lebih mengerikan daripada mati.

“Aku beri kau waktu,” berkata Arya Teja, “apabila sampai fajar besok kau belum juga mau mengatakannya, maka aku akan melakukannya. Aku akan membunyikan kentongan memanggil setiap orang di dalam padukuhan ini, yang sebentar lagi akan menjadi tanah perdikan yang sempurna. Aku akan sesorah dan mengatakan apa yang telah terjadi atas seorang perempuan yang bernama Rara Wulan.”

“Kakang,” Rara Wulan memekik.

Tetapi suara itu hilang ditimpa oleh suara Arya Teja yang lebih keras, “Sudah menjadi keputusanku.”

“Oh,” tangis Rara Wulan menjadi semakin keras. Kini kepalanya ditelungkupkan di lantai. Rambutnya yang hitam panjang berserakan dengan kusutnya.

Arya Teja masih berdiri tegak dengan sehelai keris di tangannya. Dadanya masih terasa membara dan sorot matanya masih memancarkan perasaannya yang bergolak. Sedang bibinya berdiri kebingungan tanpa dapat berbuat sesuatu. Arya Teja sama sekali tidak mau lagi mendengarkan nasehatnya.

Sebagai seorang perempuan, ia kemudian menjadi iba melihat Rara Wulan. Tanpa disadarinya ia melangkah maju. Dibelainya kepala perempuan itu sambil berkata, “Sudahlah, Wulan. Semuanya sudah terjadi. Tidak ada jalan untuk kembali. Tetapi jalan yang akan kau tempuh kelak, janganlah mengulangi apa yang telah terjadi, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Kini yang terjadi hanyalah akibat dari perbuatan yang sudah terlanjur itu. Memang pasti akan terasa pahit. Tetapi kalau kau sudah maju setapak lagi dan kau atasi kepahitan ini, kau mudah-mudahan akan mendapat ampun dari Yang Maha Kuasa dan mendapat hati yang terang.”

Tetapi Rara Wulan tidak menyahut. Bahkan tangisnya menjadi semakin keras.

Dalam saat yang demikian itulah, Arya Teja terperanjat. Ia mendengar langkah tergesa-gesa mendekati pintu bilik. Semakin lama semakin dekat. Sejenak kemudian dadanya berdesir tajam. Dilihatnya seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Seorang laki-laki yang memancarkan api kemarahan lewat matanya yang tajam, setajam mata burung hantu, seorang laki-laki yang hidungnya melengkung seperti paruh burung betet, berkumis dan beralis tebal.

Bukan Aria Teja saja yang ternyata terkejut bukan buatan. Tetapi bibinya pun terkejut, ketika tiba-tiba saja ia melihat laki-laki itu. Ketika ia melihat mata yang seolah-olah memancarkan nyala api. Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah Rara Wulan. Ketika ia mengangkat wajahnya, dan melihat laki-laki itu, maka darahnya serasa berhenti mengalir.

“Kau,” suara yang parau itu tersekat di kerongkongannya.

Laki-laki itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Tetapi ia berdiri tegak seperti tiang-tiang rumah itu.

Arya Teja bergeser setapak. Mereka, kedua laki-laki itu kini berdiri berhadapan. Namun belum sepatah kata pun yang meluncur dari mulut-mulut mereka.

Meskipun demikian, mata merekalah yang seakan-akan berbicara. Arya Teja seolah-olah menangkap kata-kata itu. Dan telinga hatinya segera menterjemahkannya. Seakan-akan laki-laki itu berkata, “Akulah yang telah berbuat.”

Arya Teja menggeram. Dari sela-sela bibirnya kemudian terucapkan sepatah kata, “Paguhan.”

Laki-laki yang berdiri di muka pintu itu masih belum menjawab. Tetapi kata-kata Arya Teja itu telah menyentuh dadanya setajam ujung keris yang masih digenggamnya.

Namun kedua laki-laki itu kemudian berpaling ketika mereka mendengar Rara Wulan berteriak, “Pergi, pergi kau iblis yang paling jahat! Pergi, pergi!”

Tetapi laki-laki yang bernama Paguhan itu tidak beranjak dari tempatnya.

“Pergi, pergi!” perempuan itu menjadi semakin berteriak-teriak. Dipukulkannya tinjunya bertubi-tubi pada lantai yang basah oleh air matanya, “Pergi, pergi kau!”

Paguhan masih berdiri tegak. Sejenak kemudian terdengar suaranya seakan-akan bergulung-gulung diperutnya, “Tidak, Wulan. Aku tidak akan pergi. Aku bukan laki-laki pengecut yang bersembunyi di balik pinjungmu. Aku adalah laki-laki yang mempunyai harga diri.”

“Bagus,” Arya Teja-lah yang menyahut, “aku hormati kau karena kejantanan itu. Kita adalah laki-laki yang masing-masing mempunyai harga diri.”

“Pergi, pergi!” Rara Wulan menjadi semakin memekik mekik.

“Tidak ada jalan lain,” berkata Arya Teja, “kau atau aku yang binasa.”

“Kau atau aku,” Paguhan itu mengulang, “bukankah itu jalan yang paling adil?”

“Ya.”

Dan pembicaraan itu terputus ketika Rara Wulan menjerit tinggi, “Pergi, pergi!” lalu tangisnya melonjak semakin keras. Dari sela-sela suara tangisnya terdengar kata-katanya, “Aku tidak mau melihat peristiwa itu terjadi. Akulah yang bersalah. Bunuhlah aku. Bunuhlah aku.” Suara Rara Wulan menjadi semakin meninggi. Tiba-tiba ia kemudian diam. Diam, Rara Wulan jatuh pingsan.

Bibi Arya Teja kemudian menjadi sibuk. Diusap-usapnya dahi perempuan itu. Sesaat kemudian ia berlari ke belakang mencari minyak kelapa untuk menggosok telinga dan dada Rara Wulan.

Arya Teja dan Paguhan masih berdiri di tempatnya. Mereka hanya mengikuti kebingungan bibi Arya Teja dengan mata mereka.

“Arya Teja,” berteriak bibinya, “apa kau menunggu sampai isterimu ini mati. Berbuatlah sesuatu. Berbuatlah sesuatu.”

Tetapi Arya Teja tidak beranjak dari tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak ketika ia melihat beberapa orang pelayannya berlari-lari menolong bibinya mengangkat Rara Wulan ke atas pembaringan di bilik yang lain. Namun hati para pelayan itu bergetar ketika mereka melihat di tangan Arya Teja tergenggam sehelai keris.

Tetapi para pelayan itu menjadi agak tenang, karena mereka tidak melihat setitik darah pun di tubuh Rara Wulan.

Dalam kesibukan itu, terdengar Paguhan berkata, “Arya Teja, aku menunggumu. Aku memang ingin membuat penyelesaian itu. Aku tunggu kau di bawah Pucang Kembar. Bulan hampir bulat di langit. Supaya kau mendapat kesempatan merawat isterimu, maka aku memberimu waktu sampai purnama penuh.”

“Aku tidak memerlukan waktu itu. Aku tidak akan merawat siapa pun. Apalagi orang yang telah mengkhianati aku.”

“Terserah kepadamu. Tetapi aku akan berada di bawah Pucang Kembar pada saat purnama naik, dua hari yang akan datang. Aku tidak dapat berbuat dalam suasana seperti ini. Aku ingin Wulan sembuh dan sehat.”

“Kalau kau mau mengurusnya, uruslah perempuan yang telah kau nodai itu. Aku tidak memerlukannya.”

“Masih belum waktunya Arya. Sesaat setelah aku membunuhmu di bawah Pucang Kembar, aku memang akan melakukannya.”

“Baik. Dua hari yang akan datang, tepat pada saat purnama naik, aku telah berada di bawah Pucang Kembar.”

Paguhan tidak menyawab. Dengan wajah yang tegang ia memandangi Rara Wulan yang terbaring di pembaringan di bilik sebelah lewat lubang pintu lereg yang tidak tertutup.

Sejenak kemudian dengan langkah tergesa-gesa ditinggalkannya rumah itu. Langkahnya panjang dan cepat. Tanpa berpaling lagi ia turun dari pendapa dan melintasi halaman rumah Arya Teja. Sejenak kemudian ia telah hilang di balik regol.

Arya Teja masih berdiri di tempatnya seakan-akan sebuah patung. Dadanya bergelora seperti sedang terbakar. Sama sekali tidak disangka-sangkanya, bahwa orang yang telah mendorongnya ke dalam kepahitan hidup itu adalah Paguhan, kawan yang terlampau dekat yang selama ini dianggapnya sebagai seorang anak muda yang baik.

Tetapi ternyata yang terjadi adalah neraka yang paling terkutuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menggeram, “Dua hari lagi. Kalau Paguhan tidak ingkar, maka aku atau anak itu yang akan mati.”

Arya Teja tersadar ketika ia melihat bibinya masuk ke dalam bilik itu. Dilihatnya wajah yang tua itu telah basah pula oleh air matanya. Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu, namun kemudian, ia melangkah mendekati kemanakannya sambil bertanya, “Kau telah bersepakat untuk melakukan perang tanding?”

Arya Teja menganggukkan kepalanya, “Ya bibi. Nanti apabila purnama penuh naik. Aku dan Paguhan akan melakukannya di bawah Pucang Kembar.”

Bibinya termenung sejenak. Lalu katanya, “Aku tidak mengerti bahwa kau lebih senang memilih jalan itu daripada cara yang lain.”

“Aku tidak melihat cara yang lain itu,” sahut Arya Teja.

Bibinya terdiam. Langkahnya yang berat telah membawanya ke atas amben bambu. Sambil menarik nafas dalam-dalam diletakkannya dirinya duduk di atas amben itu.

Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Arya Teja masih berdiri kaku dengan keris di tangan.

“Isterimu sudah sadar,” berkata bibinya kemudian “tetapi ia mengalami kejutan yang luar biasa.”

Arya Teja acuh tak acuh saja mendengar keterangan bibinya tentang Rara Wulan. Seandainya perempuan itu mati sekalipun ia tidak akan berkeberatan.

“Ia menyeyali segala dosanya,” berkata bibinya lebih lanjut.

Arya Teja masih berdiam diri.

“Arya,” berkata bibinya, “aku berpendapat bahwa Rara Wulan bukanlah seorang perempuan yang jahat. Penyesalan yang paling dalam telah mendorongnya untuk berputus-asa. Ia merasa bahwa hidupnya sama sekali sudah tidak berarti lagi. Kesalahannya itu lelah menyebabkannya malu melihat sinar matahari.”

“Oh,” Arya Teja menggeram, “sebuah permainan yang sangat baik. Ternyata Rara Wulan dapat memainkan peranannya dengan sempurna, sehingga Bibi menjadi iba kepadanya. Tetapi apakah aku harus menerima penghinaan itu?”

“Arya Teja. Kau harus tahu, apakah sebabnya hal yang serupa itu dapat terjadi? Kau tidak boleh melihat persoalan itu hanya sepotong. Sepotong yang membuatmu menjatuhkan hukuman yang paling berat atas isterimu. Kau harus melihat keseluruhan dari persoalannya. Peristiwa yang mendahuluinya dan yang kemudian mendorongnya melakukan perbuatan itu.”

“Bibi, Rara Wulan dan Paguhan dapat saja menyusun seribu macam alasan. Tetapi akibatnya sama saja buatku. Aku menerima sampah yang telah dilemparkan oleh Paguhan ke pawuhan. Bibi, aku tidak dapat. Aku tidak dapat menerimanya.”

Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Ya, Ngger. Aku tahu dan aku dapat mengerti perasaanmu. Tetapi kau harus mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan dosa isterimu. Sebagai manusia ia dapat dilibat oleh nafsu tang tidak dimengertinya sendiri. Tetapi yang terpenting kau ketahui, bahwa ia menyesali apa yang telah terjadi sampai ke pusat hatinya. Menyesal dan bertaubat.”

“Apakah artinya sesal itu baginya? Seandainya ia tidak bertaubat sekalipun, ia tidak akan dapat mengulanginya lagi. Ia tidak akan mendapatkan masa-masa gadisnya dan melakukan hal yang serupa. Bahkan seandainya itu dikehendakinya sendiri.”

Bibinya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang telah lanjut usia, ia dapat mengerti perasaan yang bergolak di dalam dada kemanakannya. Itulah sebabnya, ia kemudian berdiam diri sambil menebah dada. Dalam keadaan yang demikian Arya Teja pasti sulit untuk diajak berbicara.

“Aku masih mempunyai waktu dua hari lagi sebelum purnama naik. Mudah-mudahan aku dapat mengurungkan cara penyelesaian yang mengerikan itu,” berkata bibinya di dalam hati. “Penyelesaian yang demikian tidak akan dapat memberikan ketenteraman hidup bagi yang memenangkannya. Hubungan dengan Rara Wulan tidak akan terselesaikan. Bagi Rara Wulan, penyelesaian itu adalah cara yang akan menyiksanya sepanjang hidupnya. Siapa pun yang kalah, ia merasa kehilangan. Kalau Arya Teja yang kalah, dan mati dalam perkelahian itu, ia akan kehilangan suaminya. Tetapi, kalau Arya Teja berhasil memenangkannya, dan Paguhan terbunuh, maka bayi di dalam kandungan itu akan kehilangan bapanya.”

Tetapi bibi Arya Teja itu tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu. Arya Teja sama sekali tidak dapat diajaknya berbicara. Kemanakannya itu sedang dikuasai oleh gejolak perasaan yang dahsyat sekali.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Ruangan itu menjadi sepi, tetapi terasa ketegangan telah menyesak di dada masing-masing. Lamat-lamat mereka masih mendengar isak tangis Rara Wulan di bilik sebelah ditunggui oleh pelayannya.

Dalam kesepian itu terdengar suara bibi Arya Teja, “Arya Teja, sarungkanlah kerismu. Kau tidak memerlukannya sekarang.”

Arya Teja menarik nafas. Perlahan-lahan tangannya seolah-olah telah digerakkan oleh kekuatan yang tidak dimengertinya menyarungkan kerisnya pada wrangkanya.

“Beristirahatlah dan cobalah merenungkan apa yang telah terjadi dengan tenang. Jangan diburu oleh nafsu yang bergejolak di dalam dirimu.”

“Akulah yang telah menjadi korban nafsu itu, Bibi.”

Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Ngger. Meskipun demikian apakah salahnya kalau kau mencoba melihat persoalan ini dari segala segi. Segi yang memberatkan namun juga segi-segi lain, yang dapat meringankan dorongan kemarahanmu.”

“Tidak ada yang perlu aku pertimbangkan lagi. Aku sudah memutuskan. Dua hari lagi, saat purnama naik, aku akan membuat penyelesaian secara jantan.”

Mereka pun kemudian terdiam pula. Ketika udara di dalam bilik itu terasa semakin sesak, maka Arya Teja pun segera melangkah ke luar.

Saat-saat berikutnya adalah saat yang paling menegangkan, seolah-olah waktu berjalan terlampau lamban.

Arya Teja seakan-akan merasakan bahwa rumahnya telah menjadi tempat yang paling menyiksanya. Siang dan malam ia seakan dipanggang di atas bara api. Ia sama sekali tidak mau lagi masuk ke dalam ruang dalam rumahnya. Ia selalu berada di pendapa atau di pringgitan saja.

Di dalam rumah itu Rara Wulan ditunggui oleh bibi Arya Teja. Perempuan tua itu tidak sampai hati untuk meninggalkannya dalam keadaan yang demikian. Selain Rara Wulan selalu dihantui oleh kesalahannya sendiri, bibi Arya Teja itu mencemaskannya pula apabila tiba-tiba saja perempuan itu membunuh dirinya. Karena itu, ia tidak mau meninggalkannya.

Apabila malam kemudian tiba, Arya Teja selalu memandangi bulan yang mengapung di langit. Meskipun ujudnya telah hampir bulat, namun malam purnama masih harus ditunggunya. Dan menunggu kesempatan itu adalah pekerjaan yang paling menyakitkan hati.

Di hari kedua Arya Teja benar-benar telah kehilangan kesabaran. Sebelum matahari merendah di ujung barat, anak muda itu telah mempersiapkan dirinya. Diambilnya senjatanya yang selama ini telah disimpan di atas geledegnya. Sebuah tombak pendek pemberian ayahnya sebagai sipat kandel dalam kembarannya mengabdikan dirinya kepada pimpinan kerajaan di Demak.

Arya Teja terkejut ketika ia mendengar suara bibinya memanggilnya, “Arya Teja, apakah selama dua hari ini kau tidak menemukan cara lain yang lebih baik daripada cara-cara orang biadab itu?”

Arya Teja mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya dengan nada yang dalam, “Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan cara yang lain yang dapat aku lakukan.”

“Sebaiknya kau mempergunakan mulutmu saja, Ngger. Tidak mempergunakan senjata itu.”

“Senjata ini lebih baik daripada mulutku, Bibi. Dengan senjata ini semuanya akan segera selesai.”

“Tidak. Persoalannya tidak dapat diselesaikan. Tetapi persoalan itu membeku karena salah satu pihak terbunuh karenanya”

“Dan dengan demikian maka tidak akan ada persoalan lagi.”

“Kau membohongi dirimu sendiri, Arya. Persoalan itu akan bergolak di dalam dadamu. Justru lebih dahsyat dan lebih sulit untuk kau selesaikan.”

Arya Teja menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan jalan lain.”

Bibi Arya Teja menjadi semakin gelisah. Dicobanya sekali lagi untuk menjelaskan keadaan Rara Wulan. “Arya Teja. Kau harus berjiwa besar menghadapi persoalan itu. Rara Wulan adalah seorang manusia biasa yang dapat melakukan kekhilafan. Seperti kau, pasti pada suatu waktu melakukannya. Aku, ayahmu, dan ibumu. Bahkan semua orang. Kini isterimu telah benar-benar menyesali kekhilafan itu. Apakah tidak ada terbersit di dalam hatimu untuk memaafkannya? Ia telah cukup tersiksa. Kelembutan sikapmu selama ini benar-benar membuat Rara Wulan semakin merasa berdosa.” Bibinya itu berhenti sejenak, lalu, “Apalagi apabila kau bersedia memaafkan kesalahannya, Ngger. Maka tidak ada hukuman lang lebih berat lagi bagi Rara Wulan daripada menerima maafmu.”

Arya Teja tidak menyahut. Kata-kata bibinya itu terasa menyentuh hatinya. Namun kemudian teringat olehnya janji yang telah diucapkannya, “Pada saat purnama naik, di bawah Pucang kembar.”

“Tidak,” Arya Teja itu tiba-tiba menggeram. “Tidak, Bibi. Aku adalah seorang laki-laki. Aku sudah mengucapkan janji untuk melakukan perang tanding. Tidak ada yang dapat mengurungkan niat itu.”

“Kau tidak mau mendengarkan nasehatku, Arya. Bagaimanakah kira-kira apabila ayah dan ibumu mendengar hal ini.”

“Ayah dan ibu pasti akan membenarkan sikapku. Aku adalah anak laki-laki yang diharapkan bersikap jantan.”

Bibinya menggelengkan kepalanya, “Aku kira tidak, Arya.”

“Seandainya tidak, aku tidak akan mengurungkan janji itu. Hari ini adalah hari yang kedua. Nanti apabila purnama naik, aku harus sudah berada di bawah Pucang Kembar.”

Bibinya mengelus dadanya. Tidak ada cara lagi untuk membujuk kemenakannya yang keras hati itu. Apabila nanti malam tiba, maka di bawah Pucang Kembar itu akan terjadi pepati. Besok, setiap orang pasti akan memperkatakannya apa yang terjadi. Apakah mereka akan menemukan mayat Paguhan atau mayat Arya Teja. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya.

Perempuan tua itu kemudian menundukkan kepalanya. Arya Teja adalah anak muda yang keras hati. Ia mengenal anak itu sejak dilahirkan oleh ibunya. Keras hati, nakal namun bertanggung jawab. Harga dirinya tampak jelas sejak ia masih kanak kanak. Pada saat ia menginjak dewasa, maka tampaklah bahwa Arya Teja akan dapat memenuhi kekudangan orang tuanya. Berbeda dengan adiknya. Adiknya pun nakal seperti Arya Teja. Tetapi adiknya kurang bertanggung jawab dan agak manja, sehingga perkembangan wataknya pun berbeda pula.

Dan kini Arya Teja itu sedang mengalami badai di dalam hidupnya sebagai seorang anak muda.

Selapis air tergenang di mata perempuan tua itu. Dan ia terkejut ketika ia mendengar suara Arya Teja, “Maafkan aku, Bibi. Kali ini aku tidak dapat memenuhi permintaan Bibi.”

Bibinya tidak menjawab. Tetapi terasa sesuatu menyekat kerongkongannya. Apakah yang akan terjadi atas tanah Menoreh seandainya Arya Teja malam nanti terbunuh oleh lawannya, meskipun ia mati secara jantan?

Bibi Arya Teja itu mengangkat wajahnya ketika kemenakannya berkata, “Bibi, matahari telah menjadi rendah, hampir sampai ke punggung pegunungan itu. Aku minta doa Bibi, semoga, aku dapat kembali ke rumah ini.”

Bibinya mengangguk, meskipun ia berkata di dalam hatinya, “Lalu, apa yang akan kau temui di rumah ini adalah bagian dari kepedihan hati itu pula Arya.”

Tetapi, bibinya tidak menyatakannya. Disimpannya saja kata-kata itu di dalam hatinya. Ia tidak mengharap Arya Teja menjadi semakin mendendam lawannya.

“Anak itu bukan seorang yang ganas,” berkata bibinya di dalam hatinya, “mudah-mudahan demikianlah sikapnya terhadap lawannya apabila ia berhasil menguasainya.” Namun kemudian dada, perempuan itu berdesir. “Bagaimanakah yang akan terjadi seandainya Arya Teja kalah dalam perang tanding itu?”

Mata perempuan tua itu menjadi semakin basah.

“Sudahlah, Bibi,” terdengar suara Arya Teja berat, “jangan hiraukan aku lagi. Apa pun yang akan aku lakukan dan apa pun yang akan terjadi. Aku mohon maaf apabila aku telah melukai hati Bibi.”

Bibinya tidak menjawab.

“Perkenankan aku pergi sekarang. Aku harus berada di bawah Pucang Kembar itu sebelum purnama naik.”

Sebuah anggukan kecil menggerakkan kepala perempuan tua itu. Terdengar suaranya lirih seolah-olah tersangkut di kerongkongan, “Hati-hatilah, Arya.”

“Terima kasih, Bibi. Aku masih ingin melihat matahari terbit besok pagi.”

Bibinya tidak menyahut. Ditatapnya wajah kemenakannya dalam-dalam. Ketika kemenakannya itu kemudian melangkah meninggalkannya, maka perempuan itu tidak dapat menahan perasaannya lagi. Menangis. Justru karena itu, ia lupa kepada perempuan yang selama ini dijaganya. Kini ia sedang bergulat dengan perasaan sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke bilik kemenakannya dan meletakkannya dirinya, duduk di atas amben bambu yang dibentangi oleh sehelai tikar pandan.

Arya Teja itu bukan anaknya sendiri, tetapi anak adik perempuannya. Namun anak muda itu terlampau dekat dengannya, seperti anak sendiri. Bahkan Arya Teja lebih banyak menyatakan perasaannya kepada bibinya daripada kepada ibunya. Karena itu, maka kepergian Arya Teja kali ini benar-benar menyedihkannya.

“Apakah anak itu akan kembali?” desisnya.

Perempuan tua itu menangis di dalam bilik kemenakannya Angan-angannya mengembara sampai ke dunia yang terlampau asing baginya. Tetapi ia merasa bahwa kesepian telah mengintainya dan siap untuk menerkamnya .

“Apakah aku harus memberitahukannya kepada orang tua Arya Teja?” pertanyaan itu sekali-kali menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak berani mengambil sikap apa pun. Apakah hal itu akan menguntungkan, atau bahkan sebaliknya? Bagaimanakah apabila orang tua Arya Teja itu mengambil sikap sendiri, dan mengurungkan perkelahian itu dengan kekerasan pula terhadap Paguhan. Dengan demikian maka perasaan Arya Teja yang sedang terbakar itu akan tersinggung pula. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah menangis dalam kebimbangan dan keragu-raguan.

Sementara itu, Arya Teja berjalan dengan kepala tunduk menyusuri jalan-jalan padukuhannya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak pendek, pusaka pemberian ayahnya yang selama ini selalu menemaninya di dalam keadaan yang paling sulit. Di dalam masa pengabdiannya kepada Demak, sehingga ia mendapat anugerah Tanah Perdikan yang lebih sempurna bagi Menoreh.

Beberapa orang yang menyaksikannya bertanya-tanya di dalam hati mereka, “Kemanakah Arya Teja itu akan pergi? Langkahnya tampak tergesa-gesa sedang tangannya menjinjing senjata.”

Tetapi, tidak seorang pun yang bertanya kepadanya. Bahkan, orang-orang yang ditemuinya di perjalanannya, bahkan hampir bersentuhan, tidak dihiraukannya. Di dalam kepalanya bergolaklah persoalan tentang dirinya dan isterinya, dalam hubungannya dengan laki-laki yang bernama Paguhan. Semakin tajam ia menyoroti persoalan itu, maka kemarahannya pun menjadi semakin membakar jantungnya. Sehingga langkahnya menjadi semakin cepat pula. Ia ingin segera sampai ke bawah Pucang Kembar. Di sana ia telah mengikat janji untuk menyelesaikan masalahnya secara jantan.

Namun sekali-sekali terngiang pula kata-kata bibinya, “Tidak ada hukuman yang lebih berat bagi Rara Wulan daripada menerima maafmu.”

Dada Arya Teja itu terasa berdesir. Tetapi semuanya segera terusir seperti asap dihembus angin yang kencang. Kemarahannya selalu menyapu semua perasaan lain yang tumbuh di dalam hatinya.

Semakin dekat Arya Teja dengan sepasang pohon pucang yang tumbuh di lereng pebukitan, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Langkahnya terasa terlampau lamban. Ingin ia meloncat dan langsung berdiri di bawah Pucang Kembar sambil memutar tombaknya. Ia ingin segera mendapat keputusan.

Meskipun Arya Teja menjadi hampir tidak sabar lagi, namun akhirnya ia sampai juga di bawah Pucang Kembar itu. Ketikia menengadahkan wajahnya ke langit, dilibatnya warna-warna merah terbentang dari ujung sampai ke ujung. Matahari telah menjadi semakin rendah bertengger di atas pegunungan.

“Hem,” desisnya “aku masih harus menunggu. Apa matahari itu tenggelam, maka sebentar kemudian purnama akan naik. Dan aku harus membuat perhitungan terakhir.”

Dengan gelisahnya Arya Teja berjalan mondar-mandir di tanah berumput yang membentang di bawah Pucang Kembar itu. Semakin rendah matahari di langit, Arya Teja pun menjadi semakin kehilangan kesabarannya.

Tetapi Paguhan masih juga belum menampakkan dirinya.

“Mudah-mudahan ia tidak ingkar janji,” desis Arya Teja. “Kalau Paguhan tidak datang pada saat purnama naik, maka aku akan mencarinya kemana pun, sampai ke ujung bumi. Aku tidak mau membatalkannya lagi.”

Arya Teja mencoba menyabarkan dirinya. Matahari masih tampak tepat di punggung bukit. Perlahan-lahan sinarnya menjadi kian pudar Warna-warna merah di langit pun menjadi semakin suram. Sedang angin senja yang lemah berhembus membelai daun sepasang pucang yang ikut terguncang-guncang dengan gelisahnya.

Arya Teja berdiri tegak seperti patung di antara kedua batang Pucang Kembar itu menghadap ke Barat. Ditengadahkan wajahnya memandang matahari yang hampir tenggelam, seolah-olah dihitungnya waktu yang diperlukan oleh matahari itu untuk menyembunyikan dirinya di balik bukit.

Cahaya kemerah-merahan yang semakin gelap hinggap di wajah Arya Teja. Perpaduan antara warna senja yang hampir kelam dan wajah Arya Teja sendiri yang tegang, memancarkan suasana yang mendebarkan jantung.

Dengan sorot mata yang tajam, Arya Teja seolah-olah ingin mendorong agar matahari menjadi semakin cepat tenggelam. Kesabarannya kian lama sudah menjadi kian menipis.

Ketika matahari kemudian hilang di balik pegunungan, Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Alam di sekitarnya menjadi samar-samar. Pepohonan yang hijau tampak menjadi hitam seperti bayangan hantu yang berdiri memutari bentangan tanah berumput di bawah pohon Pucang Kembar itu.

Wajah Arya Teja yang gelap menjadi semakin gelap. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan berdiri tegak menghadap ke Timur. Tatapan matanya yang tajam kini hinggap pada cakrawala di ujung langit. Di sanalah nanti pada saatnya purnama akan naik.

Arya Teja menjadi hampir tidak bersabar lagi. Langit yang menjadi semakin kelam kini mulai diwarnai oleh cahaya yang ke kuning-kuningan. Cahaya purnama yang memancar seolah-olah dari bawah bumi. Purnama yang sebentar lagi akan naik dan mengapung di langit yang bersih.

“Tidak ada sepenginang lagi, purnama akan naik,” anak muda itu berdesis. Dadanya kini menengadah, seakan-akan menantang cahaya purnama yang pertama kali akan mematuknya.

“Paguhan harus sudah berada di tempat ini,” katanya di dalam hati.

Belum lagi ia sempat mengedarkan pandangan matanya, terasa dadanya berdesir. Ia mendengar langkah halus di rerumputan di sampingnya. Tetapi Arya Teja tidak berpaling. Ia masih tetap berdiri tegak dengan kaki renggang, menanti bulan yang sudah mulai terbit. Seleret warna kuning menyembul dari balik kaki langit, di sebelah Timur. Cahayanya yang kuning dengan serta-merta menguak kehitaman yang membentang menyelubungi bumi. Semakin lama menjadi semakin terang. Meskipun tidak secerah sinar matahari, namun cahaya bulan memiliki wataknya sendiri.

Arya Teja masih memandang purnama yang tepat naik. Ia mendengar telapak kaki semakin dekat kepadanya. Tanpa berpaling ia bergumam, “Kau datang tepat pada waktunya, Paguhan.”

“Ya,” terdengar jawaban dalam nada yang berat, “aku tidak mempunyai waktu sebanyak waktumu yang kau sia-siakan di bawah Pucang Kembar ini dalam kegelisahan. Aku datang tepat pada waktunya, dan segera akan pergi tepat pada waktu yang aku kehendaki pula.”

Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban itu. Tetapi ia masih menghadap ke arah bulan yang semakin terang. Dilihatnya sehelai awan yang putih mengalir ke utara, kemudian buyar ditiup angin yang kencang.

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Tidak terasa olehnya betapa sejuknya angin malam di daerah terbuka, karena hatinya yang membara.

Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya Paguhan berdiri tegak di sisi sebatang dari sepasang pucang itu. Dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan tampaklah wajahnya seolah-olah memancarkan api dari dalam dadanya.

“Kau terlampau sombong, Paguhan,” Arya Teja menggeram.

“Terserah menurut penilaianmu, Arya. Aku sebenarnya tidak ingin melakukan pembunuhan. Apalagi atas suami Rara Wulan. Tetapi kau terlampau keras hati. Karena itu, apa boleh buat.”

“Apakah kau yakin bahwa kau akan dapat membunuhku?”

“Tidak ada seorang pun yang dapat lepas dari tanganku.”

“Hem, kau memang terlampau sombong.”

“Jangankan kau, Arya, bawalah serta ayah dan kakekmu. Aku akan membunuh mereka bersama-sama.”

Terdengar Arya Teja menggeram.

“Jangan sakit hati mendengar kata-kataku,” berkata Paguhan “sebentar lagi kau harus melihat kenyataan itu.”

“Agaknya karena kau terlampau yakin akan dirimu sendiri, kau telah melakukan perbuatan terkutuk itu.”

“Hampir tidak ada hubungannya,” sahut Paguhan. “Kau sendiri harus mengakui kesalahanmu. Kau tinggalkan gadis bakal isterimu itu dalam waktu yang tidak terbatas. Dalam kesempatan itulah, ia mencari tempat untuk melepaskan kesepiannya. Tetapi aku bukan seorang pengecut, Arya. Kaulah pengecut itu. Seandainya kau tidak mengikatnya jauh-jauh sebelum waktunya, maka aku akan mengawininya. Tetapi pembicaraan antara orang tuamu dan orang tua Rara Wulan agaknya terlampau mengikat, sehingga terpaksa perkawinanmu itu berlangsung. Tetapi bukan salahku dan bukan salah Rara Wulan kalau kau tidak mendapatkan isterimu itu seperti yang kau kehendaki.”

Terasa darah Arya Teja mendidih di dalam jantungnya. Kata-kata Paguhan benar-benar merupakan penghinaan yang tiada taranya. Justru karena itu, maka mulutnya menjadi seolah-olah terbungkam. Meskipun bibirnya tampak bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah kata pun yang melontar.

”Sekarang kau menepuk dada sebagai Laki-laki jantan,” Paguhan meneruskannya. “Arya, jangan kau sangka bahwa karena kau baru saja menerima anugerah dari Demak, yang akan menempatkan kau sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, tidak ada seorang pun di tanah ini yang dapat mengimbangimu. Bukankah kita bersama-sama pergi berguru pada saat itu, meskipun pada orang yang berbeda? Nah, seterusnya kau tenggelamkan dirimu pada tugas-tugasmu. Tetapi aku masih selalu meningkatkan ilmuku. Sekarang, kita mendapat kesempatan untuk memperbandingkan, siapakah yang lebih baik di antara kita. Tetapi, sekali lagi kau harus melihat kenyataan, meskipun untuk saat terakhir dalam hidupmu. Sepeninggalmu, Rara Wulan adalah isteriku. Anak itu adalah anakku.”

Terdengar gigi Arya Teja gemeretak, seperti gemerak di dalam jantungnya. Semakin lama semakin keras. Wajahnya yang membara menjadi semakin merah seperti saga.

Dengan susah payah, ia mencoba menyabarkan perasaannya, supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri dalam perkelahian yang akan terjadi.

Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja terbata-bata, “Apa pun menurut perasaan dan penilaianmu atas persoalan ini, Paguhan, tetapi kita telah menentukan, bagaimana kita akan menyelesaikannya. Nah, jangan banyak berbicara lagi. Marilah kita lihat, siapakah yang akan dapat keluar dri daerah ini. Siapakah yang besok masih dapat menyebut bahwa malam ini kita telah berkelahi di bawah Pucang Kembar.”

“Huh,” ujung-ujung bibir Paguhan tergerak, “kau memang seorang pemimpi. Baiklah, semakin cepat memang semakin baik. Ayo, apakah kau telah bersiap? Besok orang-orang Menoreh akan menemukan bangkaimu di sini. Mungkin tinggal kerangkamu saja yang akan diketemukan orang, karena anjing-anjing liar itu.”

Seadainya Arya Teja tidak berhasil menahan dirinya, ia akan benar-benar jatuh ke dalam pengaruh kemarahannya, sehingga ia akan kehilangan kejernihan berpikir. Apabila demikian, maka keadaannya pasti akan sangat berbahaya, sebab ia berhadapan dengan seorang yang sebenarnya memang pilih tanding.

“Nah, apa katamu Arya Teja? Kenapa kau berdiri saja seperti patung? Apakah kau menyesal bahwa kau telah mengambil keputusan untuk melakukan penyelesaian dengan cara ini?”

Hampir saja Arya Teja meloncat menyerang Paguhan. Tetapi ia masih sempat menahan diri sekuat-kuatnya. Justru kini ia sadar, bahwa Paguhan memang sedang memancing kemarahannya. Sebab kemarahan yang meluap-luap, akan membuatnya kehilangan perhitungan. Kesadaran itulah yang justru menahan Arya Teja untuk tetap berdiri di tempatnya, meskipun dadanya seakan-akan hampir meledak. Bahkan ia masih dapat mengucapkan kata-kata, “Ayolah Paguhan. Apakah kau hanya pandai berbicara tanpa ujung pangkal tetapi tidak pandai menggenggam senjata? Kita sudah tidak perlu berbicara lagi. Apakah besok bangkaiku atau bangkaimu yang akan menjadi makanan anjing-anjing liar, marilah kita tentukan dengan perbuatan. Tidak dengan kata-kata.”

Dada Arya Teja berdesir ketika ia mendengar Paguhan justru tertawa. “Kau agaknya menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi atasmu. Jangan takut. Bukankah kau seorang laki-laki jantan yang telah membawa nama cemerlang di dalam pengabdianmu kepada Demak? Kau tidak perlu takut mati.”

“Apakah kau sedang mencoba membuat aku marah dan kehilangan akal?” sahut Arya Teja. “Paguhan, aku sudah bukan anak-anak lagi yang mudah kau bakar dengan kata-kata penghinaan. Kau akan menjadi salah hitung. Sebaiknya kita berhadapan sebagai orang laki-laki, tanpa banyak usaha untuk mengalahkan lawan dengan licik seperti yang sedang kau lakukan. Kau tidak perlu membuat aku marah, karena sebenarnya aku memang sedang marah Tetapi kemarahanku bukan kemarahan anak-anak lagi.”

Dada Paguhan berdesir mendengar kata-kata Arya Teja. Hampir-hampir ia sendirilah yang jatuh ke dalam perangkapnya sendiri. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri. Tetapi sejenak kemudian ia pun menyadari keadaannya.

Sekali, lagi ia tertawa dan berkata, “Kau selalu berprasangka jelek. Baiklah, aku tidak akan berbicara lagi tentang kemungkinan yang akan terjadi, supaya kau tidak menjadi ketakutan. Marilah ita bersiap untuk menentukan siapakah di antara kita yang akan dapat keluar dari daerah ini.”

Arya Teja sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk berbicara. Namun kini ia telah menemukan kemantapan diri. Ia tidak boleh terpancing dengan cara apa pun juga, supaya ia dapat melakukan perlawanan dengan wajar.

Perlahan-lahan ia mengangkat tombaknya, dan perlahan-lahan ujung tombaknya merunduk setinggi dada. Tombak itu adalah tombak yang jarang sekali dipergunakannya. Namun kali ini ia akan berhadapan dengan seorang yang dianggapnya mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain, sehingga tombak itulah yang dibawanya untuk menemaninya melawan Paguhan yang telah berkhianat terhadap persahabatan mereka.

Paguhan yang menyadari bahwa ia tidak dapat lagi membakar hati Arya Teja, segera bersiap pula. Dari selongsong putihnya, ia mengambil sepasang senjata yang dahsyat sekali. Sepasang nenggala, yang bermata dua, di pangkal dan di ujungnya.

Dada Arya Teja berdesir melihat sepasang senjata yana mengerikan itu. Senjata yang khusus dimiliki oleh Paguhan dari gurunya. Sepasang senjata di kedua tangannya itu berarti empat ujung yang tajamnya melampaui senjata-senjata biasa.

“Apakah kau heran melihat senjataku,” terdengar suara Paguhan datar.

Arya Teja menggeleng. “Tidak. Kau pernah memperlihatkan kepadaku.”

“Oh,” Paguhan mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku memang pernah memperlihatkan kepadamu. Tetapi kau belum pernah melihat bagaimana aku mempergunakannya.”

“Aku ingin segera melihatnya, karena itu jangan banyak berbicara.”

Sekali lagi dada Paguhan berdesir. Tetapi sekali lagi ia bertahan untuk tidak masuk ke dalam perangkapnya sendiri.

Sejenak kemudian, kedua anak muda itu telah berdiri berhadapan dengan senjata di tangan masing-masing. Paguhan dengan sepasang senjata yang khusus, sedang Arya Teja menggenggam tombak pendeknya dengan kedua tangannya. Ujung tombak itu kini menjadi semakin merendah. Setapak ia maju mendekati Paguhan. Matanya yang tajam menyambar kedua senjata itu berganti-ganti, namun kemudian ditatapnya mata Paguhan yang semakin membara.

Arya Teja sadar bahwa ia tidak akan dapat mengikuti sepasang senjata itu dengan matanya. Keduanya pasti akan bergerak dengan arah dan irama yang berbeda. Tetapi Arya Teja tidak akan dapat ditipu lagi oleh arah pandangan mata Paguhan. Pengalamannya telah cukup luas menghadapi segala macam senjata. Juga jenis-jenis senjata berpasangan.

Bulan yang bulat telah memanjat langit semakin tinggi. Cahayanya yang kekuning-kuningan memancar mewarnai dedaunan yang hijau gelap. Satu-satu kelelawar berterbangan di dalam kesenyapan langit yang cerah.

Arya Teja dan Paguhan telah berdiri berhadapan. Senjata-senjata mereka telah bergetar. Beberapa langkah mereka bergeser. Tetapi, tatapan mata mereka seolah-olah terpaku kepada lawan. Mereka tidak boleh lengah sekejap pun.

Ketika di kejauhan terdengar anjing liar menyalak bersahut-sahutan, maka anak-anak muda itu sudah tidak dapat menahan diri lagi. Setapak mereka mendekat, dan tiba-tiba terdengar Paguhan berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang hampir tidak tertangkap oleh mata, telah membuka sebuah serangan yang langsung mengarah kepada lawannya. Tetapi Arya Teja telah bersiap sepenuhnya. Dengan lincahnya ia bergeser menghindar. Selangkah ia surut, namun kemudian tombaknya terjulur lurus mematuk lambung lawannya.

Terdengar sebuah dencingan yang keras. Kedua senjata anak-anak muda itu beradu. Terasa getaran yang tajam merambat dari ujung senjata masing-masing ke telapak tangan mereka. Dan getaran itu ternyata telah menggetarkan jantung mereka. Sehingga mereka masing-masing berdesah di dalam hati, “Alangkah dahsyat tenaganya.”

Dengan demikian kedua anak-anak muda yang sedang berkelahi itu dapat mengukur, betapa besar kekuatan lawan. Mereka menyadari bahwa mereka masing-masing tidak lebih kuat dari lawan mereka.

Paguhan yang bersenjata rangkap itu bertempur seperti seekor naga berkepala empat. Mematuk dan menyergap dari segenap penjuru. Sepasang senjatanya itu seakan-akan telah berkembang menjadi ratusan bahkan ribuan mata nenggala yang mengerikan

Tetapi lawannya adalah seorang anak muda yang cukup matang mempergunakan tombaknya. Tombak bertangkai pendek di tangan Arya Teja itu berputar bergulung-gulung seperti asap yang melindungi dirinya. Asap yang menyebarkan racun yang terlampau tajam. Sentuhan asap itu akan berakibat terlampau parah bagi lawannya.

Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi kian lama kian sengit. Bukan saja karena keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ternyata mereka telah dibakar pula oleh dendam dan kebencian, sakit hati dan harga diri yang berlebih-lebihan. Mereka sudah tidak dapat berpikir lain kecuali membinasakan lawan masing-masing atau mati terkapar sebagai laki-laki jantan di bawah Pucang Kembar itu.

Ketika angin yang kencang bertiup dari utara, maka sepasang pucang itupun terayun-ayun seakan-akan ikut serta menari, menarikan tarian maut, seperti yang sedang terjadi di atas bentangan berumput di bawahnya.

Dalam kilauan cahaya bulan yang memantul dari ujung-ujung senjata yang bergerak-gerak itu, kadang-kadang terpercik bunga-bunga api yang meloncat karena benturan dua kekuatan yang tiada taranya.

Sementara itu, di rumah Arya Teja, bibinya masih duduk sambil mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ia tidak berpaling sama sekali ketika seorang pelayan menyalakan lampu di dalam bilik yang sudah menjadi gelap itu.

Bayangan-bayangan yang paling mengerikan telah menganggu angan-angannya. Segala kemungkinan dapat terjadi atas kemanakannya itu.

Bibi Arya Teja itu perlahan-lahan berdiri. Ia tidak mau datang kepada Rara Wulan dalam keadaannya. Ia tidak mau memberikan kesan tentang kecemasan yeng merayapi hatinya atas Arya Teja. Karena itu, maka bibi Arya Teja itu tidak segera pergi ke bilik Rara Wulan yang tertutup. Ia pergi dahulu ke perigi untuk mencuci mukanya.

Hati perempuan tua itu berdesir ketika ia melihat bulan yang bulat mengapung di langit. Sejenak dipandanginya bulan yang terang itu. Dilihatnya bayangan yang kehitam-hitaman di dalam warna yang kuning cerah. Namun angan-angannya yang dilukisi oleh kecemasannya tentang kemanakannya telah membuat gambaran yang mengerikan pada wajah bulan itu. Seakan-akan dilihatnya, di dalam bulatan bulan purnama, sesosok tubuh terbaring diam. Semakin lama menjadi semakin jelas. Seorang anak muda. Dan bahkan kemudian seakan-akan perempuan tua itu melihat warna wajah anak muda itu.

Perempuan itu terkejut ketika terloncat dari bibimya desah, “Arya Teja.”

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Bayangan itu menjadi semakin samar. Hilanglah kemudian gambarannya tentang Arya Teja. Yang dilihatnya kemudian adalah cerita tentang seekor kucing Candramawa dan seorang bidadari yang cantik duduk di bawah sebatang pohon beringin putih.

“Hem,” orang tua itu berdesah. Kakinya yang sudah berkeriput oleh umurnya itu digerakkannya kembali melangkah ke perigi. Dalam kesenyapan malam terdengarlah gerit senggot timba seakan sedang merintih.

Perempuan tua itu mencuci mukanya. Dicobanya untuk menghilangkan segala macam kesan yang dapat menimbulkan kecemasan kepada Rara Wulan yang sedang berputus asa.

“Aku harus membuat hatinya menjadi tenteram. Ia akan mendengar berita yang lebih menyayat hatinya besok pagi apabila seseorang telah menemukan sesosok tubuh terkapar di bawah sepasang Pucang Kembar itu. Siapa pun orang itu.”

Sambil mengusap mukanya yang basah dengan ujung kain panjangnya, perempuan itu berjalan tertatih-tatih menuju ke bilik Rara Wulan yang masih tertutup rapat.

Ketika perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah, maka pintu lereg di butulan belakang pun segera ditutupnya rapat-rapat, supaya angin yang dingin tidak menyusup masuk ke dalam. Dibenahinya rambutnya yang kusut, sambil berjalan perlahan-lahan menuju ke bilik Rara Wulan.

Dengan hati-hati bibi Arya Teja itu mendorong daun pintu bilik itu ke samping, supaya seandainya Rara Wulan masih tidur kelelahan, tidak menjadi terkejut karenanya.

Tetapi bibi Arya Teja itu mengerutkan keningnya. Ketika pintu itu sudah separo terbuka, dan pembaringan Rara Wulan itu sudah tampak di bagian bawahnya, perempuan tua itu tidak segera melihat Rara Wulan.

“Oh, agaknya ia sudah bangun,” desisnya.

Dengan hati-hati perempuan itu menjengukkan kepalanya. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut. Ternyata bilik itu telah kosong.

“Kemanakah perempuan itu?” desis bibi Arya Teja. “Ah, mungkin ia baru keluar sebentar. Ke dapur atau ke belakang.”

Bibi Arya Teja itu kemudian melangkah masuk. Dibiarkannya pintu tetap terbuka, supaya kehadirannya tidak mengejutkan Rara Wulan seandainya ia masuk kembali ke dalam biliknya.

Dengan hati-hati pula bibi Arya Teja membenahi pembaringan Rara Wulan. Dilipatnya kain yang masih berserak-serakan. Ditebahinya pembaringan itu dengan sapu lidi, dan tikar yang berkerut pun diluruskannya.

“Kemana perempuan ini,” pertanyaan itu selalu mengganggunya.

Betapa ia mencoba menenangkan hatinya, namun kegelisahan yang semakin dalam telah mencengkam jantungnya. Akhirnya perempuan tua itu melangkah ke luar. Dicarinya Rara Wulan ke segenap ruangan di dalam rumah itu, tetapi ia tidak menemukannya.

“Wulan,” akhirnya ia memanggil, “Wulan, dimana kau?”

Tetapi tidak ada jawaban. Suara perempuan tua itu membentur dinding-dinding bambu dan lenyap dalam kesenyapan malam.

Bibi Arya Teja itu pun segera pergi ke ruang belakang. Kepada seorang pelayan ia bertanya, “Apakah kau melihat Rara Wulan?”

“Oh,” pelayan itu menjawab, “ia berada di dalam biliknya”

“Tidak. Ia tidak ada di dalam biliknya.”

“O ya, ia sudah dipindahkan ke bilik sebelah. Mungkin sedang tidur. Bilik itu telah diberi lampu pula.”

“Ia tidak ada pula di dalam bilik itu. Seluruh ruangan di dalam rumah itu telah aku cari, tetapi ia tidak ada di dalam.”

Pelayan itu mengerutkan dahinya. “Tetapi ia ada di dalam,” desisnya.

Pelayan yang lain yang mendengar percakapan itu segera mendekat pula dan berkata, “Rara Wulan sedang tidur ketika aku memasang lampu di dalam biliknya.”

“Ya, tetapi ia sudah bangun dan tidak ada di dalam bilik itu.”

Pelayan itu menggigit bibirnya. “Aku tidak melihat ia pergi ke belakang”

“Biarlah aku mencarinya sebentar. Mungkin Rara Wulan ingin menyejukkan hatinya di petamanan atau di kebun belakang,” berkata salah seorang dari pelayan itu.

“Carilah, carilah di mana saja sampai ketemu,” berkata bibi Arya Teja. “Rara Wulan sedang dibayangi oleh kegelapan hati.”

“Kenapa Rara Wulan itu tampaknya selalu bersedih?” bertanya pelayannya yang lain.

“Aku tidak tahu,” jawah bibi Arya Teja, “itu adalah persoalan Rara Wulan dengan suaminya. Sekarang carilah, dan ajaklah ia masuk ke dalam biliknya. Ia sedang sakit, sehingga angin malam akan menyebabkan tubuhnya menjadi semakin tidak enak.”

Kedua pelayan itu pun segera pergi. Yang seorang ke kebun belakang, sedang yang lain ke petamanan di depan dan di sisi rumah itu.

Bibi Arya Teja kembali ke dalam biliknya dengan hati yang semakin cemas. Perempuan muda yang sedang mengandung itu tengah dicengkam oleh kegelisahan, kemurungan, kegelapan hati dan segala macam perasaan menyesal dan bersalah. Bahkan telah terucapkan bahwa lebih baik ia mati daripada hidup menanggung segala macam siksaan perasaan itu.

“Apakah Rara Wulan membunuh dirinya?” tiba-tiba terbesit pertanyaan itu di dalam hatinya, dan pertanyaan itu ternyata telah mengejutkannya. Debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat berdentangan di dalam dadanya.

Tiba-tiba perempuan tua itu bangkit dan segera melangkah ke luar. Ia tidak dapat menahan kecemasannya lagi. Bunuh diri adalah suatu penyelesaian yang mungkin sekali ditempuh oleh Rara Wulan yang sedang berputus asa dan dibayangi oleh kegelapan hati.

Dengan tergesa-gesa perempuan tua itu pergi ke ruang depan. Dilihatnya selarak pintu tergolek di lantai. “Agaknya selarak itu telah diletakkan dengan tergesa-gesa.”

Ketika perempuan tua itu membuka pintu depan yang sudah tidak terkancing dan berjalan melintasi pendapa, dilihatnya pelayan yang sedang mencari Rara Wulan di halaman depan. Maka pelayan itu segera dipanggilnya.

“Apakah kau sudah menutup pintu depan dan menyelaraknya?”

“Sudah. Karena tidak ada orang lagi di ruang depan, dan angin malam menjadi semakin kencang, maka pintu itu telah aku tutup dan aku kancing dengan selarak.”

Perempuan tua itu menjadi semakin gelisah. Tetapi ia berusaha menyembunyikan kesan itu.

Meskipun demikian ia berkata, “Pintu itu telah terbuka.”

Pelayan itu terkejut, dan dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah Rara Wulan telah membukanya?”

Bibi Arya Teja mengangguk. “Mungkin.”

Pelayan itu terdiam. Ia tidak tahu kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi atas Rara Wulan. Yang diucapkannya kemudian adalah, “Mungkin Rara Wulan sedang berjalan-jalan untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Biarlah aku mencarinya.”

“Tidak. Tinggallah kau dirumah. Akulah yang akan mencarinya.”

Pelayan itu menjadi heran. Bibi Arya Teja telah berusia agak lanjut. Apakah ia akan berjalan hilir mudik di malam begini mencari Rara Wulan yang tidak diketahui ke mana perginya?

Justru karena itu maka pelayan itu berdiri saja seolah-olah membeku. Hampir-hampir ia tidak percaya kepada pendengarannya. Namun kemudian ia menjadi yakin, bahwa bibi Arya Teja itu memang menghendaki demikian. Sekali ia mendengar perempuan tua itu berkata, “Tunggulah rumah ini. Aku sendirilah yang akan mencarinya.”

Pelayan itu tidak dapat menahan keherannya. Maka ia pun bertanya, “Apakah malam-malam begini Nyai sendiri akan pergi mencari Rara Wulan?”

“ Ya,” sahut bibi Arya Teja pendek.

“Kalau begitu biarlah aku mengantar Nyai.”

“Jangan. Aku akan pergi sendiri.”

Pelayan itu menjadi semakin heran. Dan ia mendengar perempuan tua itu berkata seterusnya “Jangan kau ributkan kepergian Rara Wulan. Ia memang sedang bingung. Tetapi ia akan segera kembali. Jangan kau tanyakan kepada siapa pun, supaya tidak setiap orang mengetahui bahwa Rara Wulan sedang diselimuti oleh kegelapan hati. Mungkin suaminya dapat mengertinya. Namun tidak setiap orang berhak mengetahuinya, dan kau tidak perlu bercerita tentang hal itu. Kau sengaja atau tidak.”

Pelayan itu menganggukkan kepalanya sambit menjawab, “Baik, Nyai.”

“Nah, tinggallah kau di dalam. Aku akan pergi.”

Pelayan itu mengangguk sekali lagi. “Baik, Nyai.”

Bibi Arya Teja itu pun segera meninggalkan halaman rumah itu. Langkahnya tergesa-gesa. Namun ia tidak dapat berjalan lebih cepat lagi. Bahkan sekali-sekali kakinya yang telah lemah itu terantuk batu dan menyebabkannya tertatih-tatih.

Meskipun bulan yang bulat tergantung di langit yang bersih, tetapi perempuan tua itu merasa, pandangan matanya terlampau kabur. Ia hanya melihat bayangan-bayangan hitam bertebaran di sekitarnya. Tetapi, dalam jarak beberapa langkah, ia sudah tidak dapat mengenal lagi, bayangan apakah yang sedang dihadapinya.

Tetapi, perempuan tua itu berjalan terus. Ia bertekad untuk menemukan Rara Wulan. Meskipun kadang-kadang hatinya berdesir mencemaskan perempuan yang sedang berhati gelap itu, namun ia berdesis perlahan, “Mudah-mudahan aku dapat membawanya pulang”

Perempuan itu berusaha berjalan semakin cepat. Tetapi, ketuaannya tidak memungkinkannya lagi. Sekali-sekali terasa kakinya menjadi pedih terantuk pada kerikil-kerikil yang tajam. Namun ia berjalan terus.

Meskipun seperti Arya Teja, ia menyesal bahwa sesuatu telah terjadi sebelum perkawinan Rara Wulan itu dengan suaminya. Tetapi, ia tidak dapat membiarkan perempuan itu mengambil keputusan yang mengerikan.

Tetapi, langkah perempuan itu kemudian menjadi ragu-ragu, “Kemana aku harus mencarinya?”

Meskipun demikian, perempuan tua itu sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya. Diikutinya saja langkah kakinya, menyusnr jalan pedukuhan yang samar-samar, kemudian masuk ke dalam bulak yang luar. Di kejauhan tampak bayangan padesan yang kehitam-hitaman dan agak jauh di belakang, pegunungan yang membujur diam seperti seorang raksasa yang sedang tidur dengan nyenyaknya.

Tiba-tiba perempuan tua itu teringat kepada janji Arya Teja dengan Paguhan. Mereka akan bertemu untuk membuat penyelesaian di bawah Pucang Kembar.

“Apakah yang dapat aku lakukan saat ini?” ia bertanya di dalam hatinya. Samar-samar terbayang di dalam angan-angannya dua peristiwa yang mengerikan terjadi bersama-sama. Di bawah Pucang Kembar itu Arya Teja terbaring mati karena dadanya tersobek oleh senjata, dan di tempat lain diketemukan mayat Rara Wulan yang membunuh dirinya sendiri.

Bulu-bulu tengkuk perempuan tua itu meremang.

“Benar-benar suatu peristiwa yang mengerikan. Menoreh akan geger karenanya. Arya Teja adalah orang yang terpandang. Sebentar lagi ia akan mendapat wisuda, menduduki jabatannya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, suami isteri itu telah mati dalam keadaan yang menyedihkan.”

Bibi Arya Teja itu terhenti sejenak, ditekankannya telapak tangannya di dadanya. Sekali lagi diedarkannya pandangan matanya. Yang tampak olehnya adalah bayangan-bayangan hitam. Bahkan raksasa yang sedang tidur itu menjadi terlampau mengerikan baginya

Tiba-tiba terbersitlah di dalam kepalanya suatu pikiran untuk pergi ke Pucang Kembar.

“Aku akan mengatakan kepada mereka yang sedang berkelahi itu bahwa Rara Wulan telah pergi. Apa pun tanggapan mereka aku tidak peduli.” Perempuan itu mengusap peluhnya yang meleleh di keningnya, lalu, “Mudah-mudah hal ini akan mencegah perkelahian itu berlangsung terus.”

Agaknya pikiran itu sedikit memberinya harapan. Karena itu, maka perempuan itu pun mencoba untuk berjalan secepat-cepatnya menuju ke Pucang Kembar.

Tetapi, Pucang Kembar itu tidak terlampau dekat. Meskipun demikian, ia berjalan juga menuju ke sana, ke tempat dua orang laki-laki sedang mencoba memperhitungkan harga diri mereka dibumbui oleh sakit hati dan kecewa, menurut cara yang telah nereka setujui bersama.

Dengan hati yang lemas, maka bibi Arya Teja itu berjalan secepat-cepat dapat dilakukannya. Ia sama sekali tidak merasakan lagi betapa kakinya menjadi nyeri dan betapa tulang-tulangnya yang tua itu menjadi terlampau letih. Yang ada di kepalanya adalah secepat-cepatnya mencapai Pucang Kembar untuk memberitahukan, apa yang sudah terjadi rumah. Rara Wulan telah hilang. “Mudah-mudahan aku belum terlambat. Mudah-mudahan keduanya masih dapat mendengar dan terpengaruh oleh peristiwa ini.” Perempuan itu mengerutkan keningnya, lalu, “Kecuali apabila mereka telah kehilangan kemanusiaan mereka karena dendam dan kebencian.”

Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Bulan yang terapung di langit perlahan-lahan bergeser menurut garis edarnya. Semakin lama semakin memanjat hingga sampai ke puncak langit.

Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan, menggerakkan dedaunan. Namun kadang-kadang bertiup semakin kencang. Sehingga daun-daun yang kuning berguguran jatuh di atas tanah. Tetapi sebentar lagi angin itu mereda, namun dinginnya masih saja sampai menyusup tulang.

Bibi Arya Teja yang berjalan, menyusuri jalan persawahan tidak menghiraukannya. Langkahnya bahkan dipercepatnya sedapat-dapat. Tetapi ketika di kejauhan terdengar salak anjing liar, orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Apakah jalan ke Pucang Kembar harus melampaui gerombolan anjing-anjing liar itu?”

Dada perempuan tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang takut terhadap anjing-anjing yang liar itu. Apalagi ia adalah seorang perempuan tua, sedang anak-anak mudapun selalu moncoba menghindari gerombolan anjing-anjing yang ganas. itu.

“Mudah-mudahan tidak,” desisnya pula. Dan perempuan itu berjalan terus. Meskipun hatinya menjadi semakin berdebar-debar karena salak anjing yang saut menyahut di kejauhan itu. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.

Perempuan tua itu pernah mendengar, bahwa seseorang yang telah dianggap hilang, ternyata dapat diketemukan beberapa hari kemudian. Orang-orang menganggap bahwa orang itu adalah korban dari anjing-anjing liar yang berkeliaran. Bahkan seseorang menganggap bahwa lebih baik bertemu dengan harimau loreng di perjalanan dekat daerah hutan daripada bertemu anjing-anjing liar dalam jumlah yang cukup besar.

Oleh ingatan itu, maka terasa dentang jantung perempuan tua itu menjadi semakin keras memukul rongga dadanya. Seperti salak anjing yang terdengar semakin keras pula.

“Pucang Kembar masih jauh,” gumamnya. Tetapi bibi Arya Teja itu tidak berhenti.

Di bawah Pucang Kembar Arya Teja dan Paguhan bertempur semakin sengit. Mereka telah melupakan segala macam perhubungan yang baik di antara keduanya. Mereka sama sekali sudah tidak dapat lagi mengekang dirinya, sehingga mereka telah sampai pada puncak ilmu masing-masing.

Sepasang senjata Paguhan benar-benar merupakan pasangan senjata yang mengerikan. Seperti tatit yang menari-nari di udara senjata itu meloncat-loncat dari segala arah ke segala arah. Seolah-olah sepasang senjata itu dapat berubah menjadi puluhan pasang yang bergerak bersama-sama.

Kadang-kadang Arya Teja terpaksa meloncat surut beberapa langkah, apabila gerak sepasang senjata lawannya itu membingungkannya. Ia terpaksa mengambil jarak untuk dapat melihat gerak lawannya, supaya dapat menyusun perlawanan yang rapat.

Namun setiap kali Paguhan selalu menyindirnya. Dengan tertawa penuh hinaan ia berkata, “Ayo Arya Teja, bukankah kau pernah berjasa bagi Demak sebagai prajurit pilihan? Kenapa kau hanya mampu berlari-lari tanpa dapat memberikan perlawanan yang berarti?”

Terasa darah Arya Teja seolah-olah mendidih di dalam jantungnya. Tetapi kemudian kesadarannya dapat mengekangnya sehingga ia tidak kehilangan nalar. Setiap kali ia menyadari bahwa lawannya sedang berusaha memancing kemarahannya, maka Arya Teja segera menemukan ketenangannya kembali.

“Apakah sebenarnya yang dibangggakan oleh para pemimpin dan Senapati Demak atasmu, he, Arya Teja?” suara Paguhan terdengar terlampau menyakitkan hati.

Arya Teja tidak segera menyahut. Dipusatkan perhatiannya kepada tata gerak lawannya. Meskipun di dalam hatinya ia mengakui bahwa Paguhan telah berhasil meningkatkan ilmunya, tetapi Arya Teja masih belum merasa bahwa lawannya itu melebihinya. Menurut penilaiannya, perkelahian itu masih belum dapat menemukan kemungkinan, siapakah yang akan dapat keluar dari bawah Pucang Kembar ini.

“He” Paguhan berteriak “apakah kau menjadi ketakutan mendengar suaraku?”

Arya Teja menggeram. Namun ia masih belum menjawab. Bukan menjadi kebiasaannya, berkelahi sambil berbicara tanpa ujung dan pangkal sekedar berusaha mempengaruhi perasaan lawannya.

Paguhan yang berusaha untuk membangkitkan kemarahan Arya Teja menjadi kecewa. Arya Teja seakan-akan sama sekali tidak mendengar kata-katanya. Meskipun kata-kata hinaan itu beberapa tali diulanginya, namun Arya Teja masih tetap membisu.

Akhirnya Paguhanpun terdiam pula. Ia tidak bernafsu lagi untuk mencoba memancing kemarahan lawannya. Tetapi perhatiannya kini dimantapkannya kepada sepasang senjatanya yang mengerikan itu.

Benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi antara dua kekuatan yang sukar dicari bandingnya. Bunga api memercik di udara di sela-sela suara dencing senjata beradu.

Semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung-ujung senjata kedua orang yang sedang bertempur itu menjadi semakin cepat menari-nari.

Meskipun demikian mereka masih mendengar suara anjing liar menggonggong di kejauhan. Telinga mereka yang telah biasa mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu sama sekali tidak lagi dapat dipengaruhinya. Tetapi, meskipun pertempuran itu tidak terhenti, namun kedua orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu menjadi semakin ribut. Bahkan kemudian suara itu seolah-olah melonjak-lonjak.

Kedua orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian untuk seterusnya, karena mereka masih terikat di dalam perkelahian. Tetapi dalam sekilas itu, mereka mengerti bahwa anjing-anjing liar itu telah memperebutkan mangsa. Mungkin seekor kambing, mungkin seekor kijang yang sering berkeliaran di gerumbul-gerumbul liar, di pinggir hutan, atau apa pun yang lain.

Tetapi anjing-anjing hutan itu sama sekali bukan persoalan mereka. Yang kini mereka hadapi adalah ujung-ujung senjata yang setiap kali siap merobek kulit daging mereka.

Dengan demikian, maka salak anjing yang sahut menyahut itu sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas kedua orang yang sedang berkelahi itu. Mereka bahkan memeras segenap kemampuan mereka untuk segera memenangkannya.

Ternyata tangan Arya Teja benar-benar mampu menguasai senjatanya, sehingga seolah-olah tombak pendek di tangannya itu melonjak-lonjak sendiri tanpa digerakkan. Bahkan seolah-olah tangan Arya Teja hanya sekedar mengikuti gerak dari senjatanya yang dahsyat itu

Paguhan mengumpat di dalam hatinya. Peluhnya telah semakin banyak mengalir di pelipis dan punggungnya. Bahkan seluruh tubuhnya telah basah pula karenanya. Namun, terasa bahwa perkelahian itu masih jauh dari selesai. Mereka sama sekali masih belum dapat meyakini apa yang kira-kira akan terjadi atas diri mereka masing-masing.

Dengan sepenuh kemampuan yang ada mereka bertempur semakin sengit. Sekali-sekali mereka terdorong surut, sekali-sekali salah seorang dari mereka berhasil mendesak lawannya, tetapi sekejap kemudian keadaan segera berubah.

Rerumputan liar di bawah Pucang Kembar itu telah menjadi bosah-baseh. Bahkan gerumbul-gerumbul yang terdekat di sekitarnyapun telah menjadi rata terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang sedang bertempur itu.

Ketika di kejauhan terdengar bunyi burung hantu menyusur kesuraman cahaya bulan, terdengar Paguhan berdesis pendek. Dengan serta-merta ia meloncat surut. Terasa dadanya menjadi pedih. Meskipun hanya segores kecil, namun setitik darah telah meleleh dari lukanya.

Terdengar Paguhan menggeram. Giginya gemeretak dan matanya menjadi kian membara. Luka itu benar-benar telah membakar seluruh urat nadinya.

Sejenak kemudian terdengar Paguhan berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia menyerang lawannya seperti badai yang menghantam tebing. Bergulung-gulung susul menyusul. Sepasang senjatanya yang mengerikan itu berputar seperti pusaran yang berusaha melibat lawannya.

Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin seru. Meskipun kulit Paguhan telah tergores oleh ujung senjata, namun keseimbangan perkelahian itu sama sekali tidak terpengaruh olehnya, bahkan Paguhan yang sudah terluka itu menjadi semakin garang.

Setapak demi setapak perkelahian itu memanjat ke puncaknya. Beberapa goresan senjata berikutnya telah mewarnai tubuh masing-masing. Namun betapapun juga pada saatnya pasti akan sampai pada suatu penyelesaian. Pertempuran itu pada suatu saat pasti akan berhenti, apapun yang akan terjadi. Namun pada saat-saat itu, tidak seorangpun yang dapat meramalkan, bagaimanakah akhir dari perkelahian yang dahsyat itu. Perkelahian yang dialasi dengan kemarahan, dendam, kebencian dan segala macam perasaan bercampur-baur.

Begitu dalam mereka dicengkam oleh nafsu, sehingga mereka tidak sempat memperhatikan bahwa seseorang telah mendekati mereka. Seorang yang dengan ragu-ragu melangkah perlahan-lahan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran di sekitar Pucang Kembar. Perempuan muda yang matanya masih dibasahi oleh air mata yang mengambang.

Ketika perempuan itu melihat kedua orang yang sedang bertempur di bawah Pucang Kembar itu, maka sebuah desir yang tajam telah menggores hatinya. Hampir-hampir ia tidak mampu lagi berdiri dan apalagi melangkah maju.

Dengan gemetar ia berpegangan pada sebatang pohon perdu. Dadanya serasa berguncang dan jantungnya berdentangan. Sehingga, justru karena itu, maka perempuan itu untuk sejenak membeku di tempatnya.

Tetapi tiba-tiba perempuan itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Seolah-olah ia mendapatkan suatu tenaga yang gaib, yang membuat tubuhnya menjadi pulih kembali. Sendi-sendinya terasa menjadi kuat dan tulang-tulangnya serasa mengeras.

Perempuan itu berdesah perlahan-lahan. Dan tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, memandangi bulan yang bulat dilangit.

“Jadilah saksi,” desisnya.

Kemudian dengan langkah yang tetap ia berjalan maju mendekati kedua orang yang sedang bertempur di bawah Pucang Kembar. Dadanya sama sekali sudah tidak berdebar-debar lagi, dan jantungnya sudah tidak berdentangan. Bahkan diangkatnya dadanya tinggi-tinggi sambil berkata kepada dirinya sendiri, “Di sinilah senjata-senjata itu harus menghunjam”

Kedatangan perempuan itu sama sekali tidak diduga-duga oleh kedua laki-laki yang sedang bertempur itu. Mereka terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara melengking, “Berhenti! Berhentilah!”

Suara itu ternyata benar-benar berpengaruh atas kedua laki-laki itu. Sehingga, tanpa berjanji mereka telah melepaskan diri dari libatan perkelahian itu.

Hampir bersaman mereka berpaling dan melihat seorang perempuan berdiri tegak di samping sebuah gerumbul yang rimbun.

“Rara Wulan,” hampir bersamaan pula mereka menyebut nama itu.

“Ya,” sahut Rara Wulan sambil mengangkat dadanya, “ternyata kalian benar-benar, berkelahi. Ternyata kalian benar-benar laki-laki jantan.”

Arya Teja dan Paguhan tidak segera menyahut. Tetapi sikap Rara Wulan telah mengherankan mereka.

“Tetapi ternyata kalian tidak berkelahi menuju kepada penyelesaian persoalannya. Aku telah terlibat dalam persoalan ini tetapi kalian mencoba menyelesaikannya sendiri tanpa aku.”

Kedua laki-laki yang masih menggenggam senjata itu sejenak terdiam. Tetapi kemudian terdengar Arya Teja berdesis, “Dari mana kau tahu. bahwa kami akan menempuh cara ini, Wulan.”

“Aku mempunyai telinga. Dan aku mendengar percakapanmu dengan bibi ketika kau minta diri kepadanya.”

Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban Rara Wulan. Bukan saja jawabnya, tetapi juga sikapnya. Perempuan itu kini seolah-olah menjadi seorang perempuan yang garang. Perubahan yang telah terjadi pada Rara Wulan sangat berpengaruh pada Arya Teja. Semula ia melihat seolah-olah perempuan itu seorang yang berhati bidadari putih dan terlampau bersih. Namun ketika ia dihadapkan pada kenyataan, maka perempuan itu tiba-tiba telah berubah menjadi iblis betina yang paling memuakkan. Tetapi, kini perempuan itu tampak betapa garangnya, seperti seekor harimau liar yang sedang lapar.

Sebelum Arya Teja dapat berbicara seterusnya, terdengar Paguhan berkata, “Sebaiknya kau tidak kemari, Wulan. Biarlah kami menentukan keputusan. Pada saatnya salah seorang dari kami akan datang memberitahukan kepadamu.”

Terasa berbagai perasaan menyesak di dada Rara Wulan. Terlalu banyak yang akan dikatakannya, tetapi justru karena itu, mulutnya seolah-olah tidak dapat menampungnya. Kata-kata itu seakan-akan berebut dahulu ke luar dan justru telah menyumbat mulutnya.

Dalam kediaman itu terdengar di kejauhan suara anjing liar memekik. Kemudian sepi.

Yang mula-mula terdengar adalah kata-kata Arya Teja, “Pergilah. Biarlah kami menentukan siapakah yang akan dapat keluar dari tempat ini.”

Mata Rara Wulan seolah-olah telah menyala. Sahutnya, terbata-bata, “Lalu apakah yang akan kau lakukan setelah salah seorang terbunuh di tempat ini? Apakah kau sangka bahwa persoalan itu akan selesai?” Rara Wulan menggeleng. “Tidak. Persoalan yang sebenarnya masih belum selesai.”

“Tetapi persoalan antara kami berdua telah selesai. Persoalan antara dua orang laki-laki,” desis Paguhan.

“Bohong. Persoalan yang terjadi bukan sekedar persoalan dua orang laki-laki. Sejak semula kau menganggap aku seperti barang yang tidak dapat ikut serta menentukan sikap. Kau pergunakan kesempatan sebaik-baiknya dalam kekosongan perasaan, pada saat aku kesepian kau datang dau memberikan kesegaran. Tetapi kau seret aku ke dalam neraka yang paling jahanam.”

“Jangan menyalahkan aku, Wulan. Aku juga tidak akan menyalahkan kau. Tetapi, Arya Teja adalah gambaran dari seorang laki-laki yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak berpikir tentang seseorang yang telah diikatnya dalam pembicaraan sebelum menjadi isterinya. Ditinggalkanya perempuan itu dalam kesepian, tanpa batas.”

Kata Paguhan terpotong oleh Arya Teja, “Dan selama itu, telah didengarnya bisikan iblis ditelinganya yang menjerumuskannya ke dalam dosa.”

“Huh, kau tidak ingin bercermin tentang dirimu sendiri. Hubungan kami adalah hubungan yang wajar, yang terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan. Yang paling gila adalah ikatan yang telah kau pasang tanpa memikirkan, akibat yang dapat terjadi. Kau sangka bahwa Rara Wulan itu seorang perempuan yang berhati batu? Tidak Arya. Ia adalah seorang perempuan biasa. Perempuan yang dijalari oleh nafsu-nafsu manusiawi pada masa-masa remaja. Ia tidak akan dapat membohongi diri sendiri. Ia telah berbuat dengan jujur sesuai dengan suara hati nuraninya. Ia tidak dapat menyimpan dorongan-dorongan yang paling peka yang menjalari darahnya. Dan aku pun telah berbuat sesuai dengan hasrat yang paling dalam di dalam diriku. Aku bukan seorang yang suka berpura-pura seperti kau. Aku adalah seorang yang jujur kepada diriku sendiri seperti Rara Wulan pada saat itu. Tetapi ikatan-ikatan yang kau belitkan pada dirinya telah membuatnya sengsara seperti yang kau lihat saat ini. Kau yang hidup dalam suatu dunia yang kau penuhi sendiri dengan berbagai macam tantangan-tantangan dan ikatan-ikatan yang selalu menyiksa diri. Tetapi jangan kau seret orang lain besertamu.”

“Paguhan,” Arya Teja menggeram sambil meremas tangkai tombak pendeknya, “itukah yang kau sebut kejujuran kepada diri sendiri? Kau anggap bahwa, setiap nafsu yang menyala di dalam diri harus mendapat penyaluran tanpa memikirkan akibatnya? Penyaluran yang tidak mapan sekalipun? Paguhan, kau benar-benar seorang yang berhati iblis. Kalau setiap manusia menganggap bahwa kejujuran adalah tanpa pengekangan diri, maka dunia akan dibakar oleh berkobarnya segala macam nafsu lahiriah. Manusia akan terlempar kembali ke dalam lembah kehidupan yang biadab. Peradaban manusia, dalam satu segi yang dijiwai oleh sifat-sifat manusia yang biadab, adalah jauh lebih parah dari pada kehidupan dimasa-masa manusia sama sekali belum mengenal peradaban. Kejujuran mereka bukan kejujuran yang pura-pura. Kejujuran sebagai senjata untuk melakukan perbuatan yang pada jamannya adalah perbuatan yang paling kotor. Kalau perbuatan itu kau anggap, karena perempuan itu tidak berhati batu, maka anggapan itu adalah senafas dengan kedujuran yang lamis.”

“Huh,” Paguhan memotong, “kau benar-benar sudah kehabisan nalar. Kau adalah seorang yang tidak melihat getar di dalam diri seseorang karena kau selalu menindas getar yang serupa yang tumbuh di dalam dadamu. Supaya kau dianggap sebagai seorang yang bersih, seorang yang baik, seorang yang tidak bernoda, maka kau telah menumpas semua gerak naluriah di dalam hatimu. Tetapi, apakah kau dengan demikian berlaku jujur? Apakah kau benar-benar berbuat demikian itu? Tak seorang pun yang tahu, apa yang telah kau lakukan dirantau. Tak seorang pun tahu, bahwa kau benar-benar melakukan seperti keinginanmu, agar setiap orang menganggap kau demikian.”

“Paguhan,” berkata Arya Teja, “aku adalah seseorang yang menghargai apa yang lelah menjadi keputusan bersama dari orang-orang tua kita, yang lambat laun telah membentuk peradaban kita sekarang ini. Keputusan yang tidak tergurat di dalam rontal yang manapun juga, tetapi terasa telah menjiwai nafas kehidupan kita. Jangan kau sangka bahwa hal itu lahir dengan serta-merta. Tetapi kelahirannya pasti didorong oleh pengalaman yang beribu tahun. Bahwa kita telah membuat dinding batu di sekeliling halaman rumah kita adalah salah satu bentuk yang serupa seperti kita telah membuat pagar ayu dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sedumuk batuk senyari bumi taruhannnya senilai keagungan ikatan antara laki-laki dan perempuan.”

Wajah Paguhan yang tegang menjadi semakin menegang. Nafasnya berdeburan di dalam rongga dadanya. Sejenak ia terbungkam. Namun sejenak kemudian meledaklah suara tertawanya, seperti suara iblis dari dalam kubur. Dengan lantang ia berkata disela-sela derai suara tertawanya, “Oh, tenggelamlah kau dalam ikatan-ikatan yang mencekik tata kehidupan itu. Tetapi aku tidak mau. Aku ingin bebas seperti burung garuda di langit. Tidak ada ikatan yang dapat mengikat kebebasanku. Apa pun yang aku kehendaki, hendaknya terjadi. Hubunganku dengan Rara Wulan adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Aku tidak mau orang lain mencampuri kebebasanku. Aku bertanggung jawab atas segalanya. Aku akan menghadapi setiap orang yang akan mengganggu gugat bentuk kebebasan yang aku kehendaki.”

Arya Teja menggeram mendengar jawaban Paguhan di antara suara tertawanya. Terdengar suaranya bernada berat, “Aku tidak akan mempersoalkan kebebasan yang kau dambakan itu, seperti burung garuda di angkasa. Aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan kau selain sebagai seorang teman biasa. Aku tidak akan kehilangan seandainya kau terjerumus dalam jurang yang paling nista sekalipun. Tetapi kau jangan menyentuh hidupku dalam segala seginya. Kau jangan menyinggung ujung dari hakku atas pribadiku dan segala hubungannya.” Arya Teja berhenti sejenak. Terasa dadanya menjadi sesak dan bahkan seakan hampir meledak. Sejenak kemudian terdengar suaranya dalam nada yang berat, “Tetapi Paguhan, kegilaanmu itu telah melanggar segi-segi kehidupanku. Bahkan yang paling berharga dalam hidupku. Karena itu, maka aku tidak akan dapat tinggal diam. Aku tidak akan dapat membiarkan kau dalam kegilaan itu.”

Suara tertawa Paguhan telah lenyap bersama gemanya, dihanyutkan oleh angin yang bertiup semakin kencang. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak giginya beradu. Tetapi sebelum ia mengucapkan kata-kata, terdengar suara Rara Wulan melengking tinggi, “Kalian berdua telah dicengkam oleh kegilaan kalian masing-masing. Kalian memandang dunia ini dari sudut kepentingan kalian. Kalian berbicara dalam hubungan ini menurut pendirian dan kesenangan kalian sendiri. Sedang pendirian kalian tidak akan dapat bertemu. Paguhan adalah gambaran dari seorang iblis yang paling gila, yang telah mempergunakan setiap kesempatan untuk menyeret seseorang ke dalam neraka yang paling dalam, sedang Arya Teja adalah seorang pemimpin yang memuakkan, yang hidupnya hanya dibayangi oleh gambaran-gambaran yang paling indah tanpa mengenal kenyataan, tanpa mengenal noda-noda yang melekat pada setiap hati yang tersimpan di dalam dada ini.” Rara Wulan berhenti sejenak. Nafasnya serasa bekejaran lewat lubang hidungnya, sedang dadanya mengelombang semakin cepat. Dengan nafas yang terengah-engah ia berkata, “Tetapi, yang paling berdosa dalam persoalan ini adalah aku. Aku yang telah membuat kalian berdiri berhadapan dalam kegilaan kalian masing-masing. Aku telah menyerahkan diriku kedalam tangan iblis yang paling jahat, sementara aku menempatkan diriku ke dalam keindahan mimpi yang paling mengasyikkan. Tetapi kenyataan telah melemparkan aku ke keadaanku sekarang yang telah mendorong kalian berdua untuk menggenggam senjata dan berusaha saling membunuh. Hal itu tidak akan terjadi apabila aku tidak memulas diriku seperti bidadari, tetapi menyerahkan diri ke dalam tangan iblis yang paling laknat.” Sekali lagi Rara Wulan berhenti. Nafasnya terasa menjadi semakin sesak. Wajahnya menjadi merah membara dan matanya seolah-olah menyalakan api yang berkobar di dalam dadanya. Suaranya yang gemetar kemudian terdengar lagi, “Karena itu, kalian tidak akan dapat menyelesaikannya tanpa aku. Ayo, katakan, apakah yang akan terjadi seandainya salah seorang dari kalian telah mati? Hubungan apakah yang ada di antara salah seorang dari kalian yang hidup itu dengan aku? Tidak. Persoalan itu masih belum selesai. Jalan yang paling singkat dari penyelesaian itu adalah apabila kalian menghunjamkan senjata kalian bersama-sama di dalam dadaku ini. Aku akan mati. Dan tidak ada lagi yang dapat kalian pertengkarkan.”

Ketika Rara Wulan itu terdiam, maka suasana di bawah Pucang Kembar itu telah dicengkam oleh keheningan. Masing-masing berdiri tegang kaku. Yang terdengar hanyalah suara angin berdesir di dedaunan. Lamat-lamat suara cengkerik berderik di antara bunyi rintihan burung kedasih yang ngelangut.

Sekali-sekali di kejauhan masih terdengar gonggong anjing-anjing liar. Tetapi kemudian sunyi. Anjing-anjing yang telah menjadi kenyang itu agaknyna telah kembali ke dalam sarang mereka.

Arya Teja dan Paguhan tersentak ketika mereka mendengar suara Rara Wulan terbata-bata. “Ayo, siapakah yang jantan di antara kalian? Di sinilah terletak sumber dari persoalan ini, di sini, di dalam dadaku. Hanya dengan melubangi dadakulah maka semua persoalan akan dapat selesai.”

Kedua laki-laki itu sama sekali tidak bergerak. Mereka terpaku diam seperti, sepasang patung dari dua orang jantan yang menggenggam senjata masing-masing.

“Ayo, siapakah yang paling jantan di antara kalian berdua? He, cepatlah. Kenapa kalian diam saja? Apakah kalian telah menjadi pengecut yang tidak berani melihat darah? Aku akan merasa berbahagia apabila kalian berani membunuh aku sekarang. Arya Teja adalah suamiku, sedang Paguhan adalah laki-laki yang akan menjadi ayah dari anakku apabila ia kelak lahir. Tetapi bagiku, mati adalah jalan yang sebaik-baiknya. Hidupku dan hidup anak ini kelak akan selalu menumbuhkan persoalan yang tidak ada henti-hentinya.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Kedua laki-laki itu terpukau dalam kediaman. Samar-samar dalam cahaya bulan mereka melihat Rara Wulan seperti seekor harimau betina yang paling liar. Rambutnya terurai lepas di punggungnya bergetar karena sentuhan angin padang yang kering.

Tanah berumput yang terbentang di bawah Pucang Kembai itu menjadi sepi, sesepi tanah pekuburan. Mereka yang berdiri tegak di bawahnya, seakan-akan telah membeku seperti pokok-pokok pohon semboja.

Sejenak mereka dicengkam oleh kediaman yang tegang.

Yang pertama-tama menyobek sepinya malam adalah suara Rara Wulan. “Kenapa kalian diam saja mematung, he? Ayo, siapa yang paling jantan lakukanlah lebih dahulu. Menghunjamkan senjata-senjata kalian itu di dadaku. Dada yang dipenuhi oleh nafsu iblis yang paling jahat, yang tidak pantas lagi bersentuhan dengan orang-orang yang merasa dirinya beradab. Meskipun peradaban itu telah menyeretku dalam keadaan yang paling parah, tetapi aku akan tetap menghormatinya. Terkutuklah apa yang telah terjadi, terkutuklah kau Paguhan yang ingin membebaskan dirinya seperti burung garuda di langit, tanpa batas-batas peradaban, yang dapat menerkam setiap anak kambing yang tersesat di padang penggembalaan.”

Sekali lagi kebekuan mencengkam suasana. Yang terdengar adalah suara nafas mereka yang memburu di lubang-lubang hidung mereka. Kedua Laki-laki itu hampir tidak bergerak sama sekali. Mereka terpaku, dan seolah-olah telah membeku.

“Ayo cepatlah!” mereka mendengar lagi Rara Wulan berteriak semakin keras. “Ayo, siapa yang lebih jantan di antara kalian?”

Kini, Rara Wulan melangkah maju. Tubuhnya gemetar dan wajahnya tengadah. Tetapi, wajah itu seakan-akan sudah bukan wajah Rara Wulan lagi yang mereka kenal sehari-hari. Wajah itu adalah wajah yang paling mengerikan, seperti wajah iblis yang haus menghisap darah, seperti wajah wewe yang merindukan bayi, tetapi juga seperti wajah mayat yang paling putus-asa dijerat oleh kematian yang paling mengerikan.

“Ayo,” terdengar suaranya benar-benar seperti suara hantu, “senjata siapakah yang lebih tajam? Inilah dada yang menyimpan hati yang hitam, sehitam arang. Dan inilah dada yang menyimpan hati yang dibakar oleh nafsu sepanas bara. Dan inilah hati yang sedang berputus asa dicengkam oleh penyesalan dan putus asa. Karena itu, kalau kalian jantan, hunjamkanlah senjata itu ke dalam dada ini.”

Selangkah demi selangkah Rara Wulan maju. Samar-samar dalam bayangan sinar bulan yang penuh, dalam desau angin malam dalam belaian suara burung kedasih yang ngelangut.

“Kenapa kalian diam saja? Apakah kalian telah mati membeku lebih dahulu daripada aku.”

Rara Wulan menjadi semakin dekat. Beberapa langkah dari kedua laki-laki itu Rara Wulan berhenti. Bayangan rambutnya yang hitam, yang terurai dengan kusutnya, membuat wajahnya menjadi semakin mengerikan.

“Paguhan, katanya kau menggenggam sepasang senjata kebanggaan. Ayo, tusukkanlah senjata itu bersama-sama di sini,” Rara Wulan menunjuk dadanya. Selangkah ia maju mendekati Paguhan. Tetapi tanpa sesadarnya Paguhan melangkah surut.

Ketika Rara Wulan maju lagi, maka Paguhan pun sekali lagi melangkah surut.

“Apakah kau akan lari, Paguhan?”

Paguhan tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang daripada ia harus berhadapan dengan Arya Teja.

“Oh, kiranya kau seorang pengecut yang paling licik di dunia. Kau telah menodai aku dengan seribu satu macam alasan, meskipun aku tidak ingkar, meskipun aku mengakui sambil menengadahkan dada, bahwa itu adalah salahku, tetapi sekarang kau tidak berani membuat penyelesaian yang paling baik. Membelah dadaku.”

Paguhan tidak menjawab, tetapi tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah merasakan sentuhan yang paling mengerikan seperti yang dihadapinya kini.

Karena Paguhan selalu menghindar, maka tiba-tiba Rara Wulan berpaling kepada Arya Teja. Arya Teja masih berdiri tegak di tempatnya dengan tombak pendek tergenggam di tangannya.

Belum lagi Rara Wulan berbuat sesuatu, maka tatapan matanya telah mencengkam dada Arya Teja. Darahnya seolah berhenti mengalir. Apalagi ketika selangkah Rara Wulan maju mendekatinya.

“Kau Arya Teja. Barangkali kau lebih jantan dari Paguhan. Kau pemimpi yang dimabukkan oleh khayalan tentang kejernihan wajah bidadari di dalam sorga. Bangunlah. Bangunlah dari mimpi yang indah tetapi memuakkan itu. Bukankah kau telah bertekad untuk membunuh aku? Nah, sekarang, lakukanlah. Aku akan berterima kasih kepadamu. Ternyata kau telah menang dalam perang tanding melawan Paguhan, meskipun kau tidak perlu membunuhnya, karena ternyata kau telah berani melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Paguhan.”

Seperti Paguhan, Arya Teja justru menjadi gemetar. Ketika Rara Wulan setapak maju, ia pun surut selangkah.

“He, apakah kau juga seorang pengecut seperti Paguhan?”

Tidak ada jawaban. Tetapi seperti dicengkam oleh pengaruh yang tidak dimengertinya Arya Teja berusaha untuk menjauhi Rara Wulan yang mendekatinya.

“Oh, ternyata kalian adalah pengecut. Pengecut yang paling licik. Yang hanya berani mengagungkan kejantanan dalam persoalan yang sama sekali tidak berarti. Tetapi pada hakekatnya kalian adalah pengecut.” Rara Wulan berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin memburu. Terputus-putus suaranya yang melengking tinggi, “Ayo, siapa yang berani membunuh aku?” Lalu, “Baiklah. Baiklah, apabila kalian tidak berani melakukannya. Sekarang, Arya Teja, atau kau Paguhan, marilah, berikanlah senjata-senjatamu. Biarlah aku sendiri yang melakukannya. Marilah,” suara Rara Wulan menurun, tetapi justru semakin mengerikan, seperti suara dari balik batas maut, dari seorang iblis betina yang merindukan anaknya. “Marilah, anak-anak. Marilah, berikanlah senjata itu. Paguhan atau kau Arya Teja. Marilah anak-anak manis, aku pinjam dolananmu.”

Paguhan dan Arya Teja adalah dua orang lelaki jantan, yang tidak pernah merasa gentar menghadapi setiap keadaan. Senjata di tangan mereka adalah pertanda bahwa mereka telah siap menghadapi apa pun juga dengan akibat yang betapapun parahnya.

Saat itu, di bawah Pucang Kembar, mereka pun telah siap menghadapi pertarungan yang menentukan. Mati atau mematikan.

Tetapi tiba-tiba kini dada mereka telah digoncangkan oleh kengerian yang luar biasa. Belum pernah terjadi, bahwa dua orang laki-laki seperti Paguhan dan Arya Teja, menjadi gemetar karena perasaan yang seaneh saat itu. Belum pernah terjadi bahwa hampir setiap bulu kedua laki-laki itu meremang.

Namun ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan dalam keadaannya. Hampir-hampir mereka tidak dapat menahan diri mereka, untuk meninggalkan tempat itu. Bahkan kalau mungkin lari secepat-cepatnya.

Tetapi, kejantanan mereka ternyata telah menahan mereka dalam debar yang semakin berdentangan.

Di antara desau angin malam masih terdengar suara Rara Wulan, “Marilah, marilah anak-anak manis. Berikan dolananmu.”

Paguhan dan Arya Teja itu setiap kali melangkah surut di luar kesadaran mereka. Yang tampak di mata mereka adalah hantu betina yang mengerikan, yang seakan-akan ingin menghisap darah mereka dari ubun-ubun.

Paguhan dan Arya Teja hampir tidak tahan lagi ketika tiba-tiba mereka mendengar Rara Wulan itu tertawa. Tertawa mengerikan sekali. Suaranya melengking menyusur tebing pegunungan, memantul kembali menggelombang, seperti tanah yang terbentang di bawah Pucang Kembar itu telah dikepung oleh ribuan hantu betina yang tertawa bersama-sama.

Tetapi, ketika suara tertawa itu telah menurun, maka sekali lagi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang tertatih-tatih mendekati mereka itu. Sebelum mereka menyadari siapakah yang datang kemudian, terdengarlah orang itu berkata dalam nada yang terlampau dalam, “Wulan, Rara Wulan.”

Rara Wulan yang sedang dikuasai oleh kegelapan hati itu masih dapat mendengar suara itu. Tiba-tiba sisa-sisa suara tertawanya terputus, dan lenyap ditelan oleh angin malam. Ketika perempuan itu berpaling, maka dilihatnya seseorang datang kepadanya perlahah-lahan. “Rara Wulan, kenapa kau? Aku mencarimu, anakku.”

Rara Wulan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba kepalanya terasa pening dan matanya berkunang-kunang. Tetapi, ia masih mendengar orang yang datang itu berkata, “Eling, Ngger.” Lalu dengan lembutnya orang itu berkata sambil mengembangkan kedua tangannya, “Marilah, anakku. Marilah. Aku telah bersusah payah mencarimu. Ternyata kau ada di sini, di antara dua ekor serigala yang sedang herkelahi memperebutkan kejantanan. Marilah, anakku.”

Sejenak Rara Wulan, mematung. Kepalanya terasa semakin pening, dan pandangan matanya menjadi semakin kabur. Hampir di luar sadarnya tiba-tiba ia memekik sambil berlari kearah orang yang datang sambil mengembangkan tangannya itu, “Bibi, Bibi, o ……”

Dengan serta merta Rara Wulan menjatuhkan dirinya dalam pelukan perempuan yang baru datang itu. Bibi Arya Teja, yang kemudian dengan lembutnya membelai rambut Rara Wulan yang kusut terurai sambil berbisik lirih, “Kenapa kau, anakku?”

Yang terdengar kemudian adalah suara tangis Rara Wulan yang meledak. Namun, sesaat kemudian suara itu menurun, dan akhirnya diam sama sekali.

Perempuan tua itu hampir terjatuh menahan tubuh Rara Wulan yang menjadi pingsan. Perlahan-lahan tubuh itu diletakkannya di atas tanah yang basah oleh embun.

Kini perempuan tua itulah yang berdiri tegak di sisi tubuh Rara Wulan. Perempuan itu memandangi Paguhan dan Arya Teja berganti-ganti.

Perasaan yang aneh masih saja merayap di hati kedua laki jantan itu. Mereka terpukau melihat apa yang baru saja terjadi, sehingga seakan-akan mereka tidak tahu, tanggapan apakah yang telah terjadi di dalam diri masing-masing. Tetapi, setelah Rara Wulan terbaring diam, dan kini yang tegak di hadapan mereka adakah perempuan tua itu, namun kengerian masih saja tergores di dalam dada mereka.

“Nah,” terdengar suara perempuan itu, “lihat. Inikah penyelesaian yang kalian kehendaki?” Kedua laki-laki itu terbungkam.

“Kini, kalian melihat tubuh Rara Wulan yang pingsan setelah sekian lama ia menahan gejolak perasaannya. Ia tidak kuat melawan gelora itu di dalam dirinya, sehingga ia menjadi gelap hati dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Perempuan itu berhenti sejenak. Lalu, “Seandainya, ya, seandainya perempuan ini bangun, dan yang ditemuinya adalah peristiwa yang menggoncang perasaannya, maka aku pasti, aku yakin, bahwa Rara Wulan akan menjadi gila. Gila. Sebenarnya gila. Apakah kalian tidak percaya? Bagi perempuan muda ini memang lebih baik mati, daripada menjadi gila. Dan sebab daripada itu adalah kalian berdua. Paguhan yang telah mempergunakan kesempatan selagi gadis itu dahulu kesepian, dan Arya Teja yang menjadi gila karenanya.”

Kedua laki-laki yang menggenggam senjata di tangannya itu masih terbungkam.

“Nah, apakah kalian masih ingin melihat darah mengalir di bawah Pucang Kembar? Kalau demikian, maka aku menganjurkan, sebelum kalian berkelahi, maka biarlah salah seorang dari kalian memenuhi permintaan Rara Wulan ini. Bunuhlah selagi ia masih dalam keadaannya. Bunuhlah perempuan ini, sehingga kalian akan menjadi lebih puas. Malam ini, pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar ini ada tiga jiwa yang melayang. Jiwa perempuan ini, anak yang masih di dalam kandungannya dan salah seorang dari kalian berdua yang ingin disebut dirinya pahlawan.”

Ketika perempuan itu terdiam sejenak, maka kesepian yang tajam telah mencengkam suasana. Hanya desir angin yang terdengar diantara derik suara bilalang.

Namun di dalam kesepian, ternyata dada kedua laki-laki yang di tangannya masih tergenggam senjata itu, telah bergolak dengan dahsyatnya. Kata-kata bibi Arya Teja langsung menusuk ke dalam jantung, melampaui tajamnya senjata yang ada di tangan masing-masing.

Betapa keras hati mereka, betapa tumpul perasaan-perasan mereka, namun apa yang mereka lihat, ternyata telah membuat hati mereka menjadi cair. Nafsu mereka untuk saling membunuh perlahan-lahan menipis, seperti embun di pagi hari.

Dalam pada itu terdengar suara perempuan tua itu, “Bagaimana? Kenapa kalian diam saja? Siapakah yang lebih jantan dan berani melakukannya? Aku ingin melihat, dan biarlah aku menjadi saksi. Bahkan di bawah Pucang Kembar ini, seorang laki-laki telah berani berbuat dengan penuh kejantanan dan kepahlawanan, membunuh seorang perempuan yang sedang mengandung dan dalam keadaan pingsan. Ayo, siapakah yang jantan di antara kailan?”

Tidak seorang pun yang bergerak, bahkan ujung jari kakipun tidak.

“Siapa?” teriak perempuan itu.

Kedua laki-laki itu masih membeku di tempatnya.

Bibir Arya Teja sejenak berdiam diri. Nafasnya menjadi makin cepat mengalir, dan dadanya yang tipis menjadi bergelombang dengan cepatnya.

Tetapi kedua laki-laki itu masih tetap tegak di tempatnya.

Keheningan yang tegang telah menjelajahi tanah yang terbentang di seputar Pucang Kembar itu. Di kejauhan masih terdengar suara binatang malam berderik-derik, dan kadang-kadang suara burung kedasih yang sayup-sayup, seperti senandung yang sedih.

“Apakah kalian tidak dapat berbuat sesuatu?” bertanya bibi Arya Teja itu. “Apakah kalian akan berdiri saja di tempat itu semalam suntuk?”

Pertanyaan itu telah menggerakkan hati kedua laki-laki itu. Mereka menyadari, apa yang sedang mereka hadapi. Tetapi mereka tidak segera mengerti, apakah yang sebaiknya mereka kerjakan.

“Baiklah, kalau kalian tidak lagi ingin membunuh. Bukankah begitu?” pertanyaan itu terlontar dari mulut perempuan tua itu. “Ternyata kalian tidak melakukannya.”

Tidak ada jawaban

“Bagaimana, he?”

Kedua laki-laki itu menjadi bingung.

“Jawablah, jawablah pertanyaanku,” sejenak kemudian perempuan itu berkata pula, “kalau kalian tidak dapat menjawab dengan perkataan, jawablah dengan perbuatan. Kalau kalian masih ingin membunuh, segera lakukanlah. Kalau salah seorang tidak segera melakukan, maka aku anggap, bahwa kalian telah merubah keputusan bahwa kalian telah merubah pendirian kalian untuk meneteskan darah di bawah Pucang Kembar ini. Sebagai laki-laki jantan keputusan bersama harus dihargai seperti kalian menghargai jiwa sendiri.”

Series 33

DADA kedua laki-laki itu berdesis tajam. Sejenak mereka merasa terjebak dalam suatu keputusan yang tidak mereka kehendaki sehingga hati mereka melonjak. Tetapi ketika terpandang oleh mereka tubuh Rara Wulan yang terbujur di tanah itu, maka mereka, menjadi ragu-ragu. Karena itu mereka masih berdiri saja tanpa bergeser setapak pun.

Perempuan tua itu terdiam sejenak. Namun tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, ”Terima kasih. Terima kasih, bahwa kalian berdua telah mengambil keputusan yang bijaksana. Ternyata betapa kerasnya hati kalian, namun kalian adalah manusia yang berperasaan. Kalian masih mempunyai kesadaran diri dalam kemanusiaan kalian yang utuh. Ternyata kalian benar-benar telah mengambil keputusan, bahwa persoalan kalian telah selesai sampai disini.”

Sesuatu menggelepar di dalam dada kedua laki-laki itu. Tetapi tidak sesuatu yang mereka lakukan. Mereka kemudian mendengar perempuan itu berkata, “Kalian adalah laki-laki jantan, yang menghadapi maut dengan dada tengadah, apabila kalian telah mengucapkannya dengan lidah kalian, bahwa kalian bertekad untuk saling membunuh. Tetapi keputusan kalian kini adalah jauh lebih berharga. Kalian tidak mengucapkannya dengan lidah kalian, tetapi kalian mengucapkannya di dalam hati. Janji di dalam diri bagi laki-laki tidak akan berubah lagi, seperti janji di dalam hati kalian saat ini. Menurut pendapatku kalian tidak perlu merasa tersinggung kejantanan kalian, karena ternyata kalian telah berbuat kejantanan yang jauh lebih berharga bagi kemanusiaan dari pada saling berbunuh-bunuhan tanpa arti.”

Kedua laki-laki itu seolah-olah telah terikat oleh suatu pesona tanpa dapat mereka atasi. Mereka seolah-olah tidak mampu melawan kata-kata perempuan tua yang berdiri di sisi tubuh Rara Wulan yang terkapar di atas tanah.

“Baiklah. Aku menghargai keputusan kalian. Semua persoalan telah selesai. Semua persoalan yang telah terjadi harus dilupakan. Aku tahu, bahwa persoalan itu sendiri memang tidak dapat berhenti, sebab anak di dalam kandnngan itu akan menjadi besar dan akan lahir. Kelahiran anak itu adalah kelanjutan dan persoalan yang telah terjadi. Tetapi aku mengharap bahwa kalian terikat oleh putusan jantan kalian yang baru saja kalian ucapkan di dalam hati, bahwa kalian menganggap semua persoalan telah selesai. Kalian harus mempunyai jiwa besar menghadapi kenyataan ini. Kenyataan yang tidak akan terhapus, meskipun disiram dengan darah dan dipertaruhkan dengan tiga buah nyawa.”

Bibi Arya Teja berhenti sejenak. Dipandanginya kedua laki-laki yang berdiri tegak itu berganti-ganti. Dibiarkannya kedua laki-laki itu sejenak memandang ke dalam hati masing-masing.

Sekali lagi suasana di bawah Pucang Kembar itu dicengkam oleh kesenyapan. Tetapi wajah-wajah yang tegang itu masih juga tegang. Senjata-senjata di dalam genggaman itu masih juga tercengkam kuat-kuat.

Namun hati mereka, kedua laki-laki yang menggenggam senjata itu, ternyata sudah tidak sekeras batu akik. Terasa sesuatu menjalari urat nadi mereka. Semakin lama semakin tebal tergores di dinding hati.

Penyesalan.

Mereka tidak tahu benar, apakah yang mereka sesalkan sebenarnya. Tetapi mereka kini melihat, bahwa sebaiknya apa yang terjadi itu tidak pernah mereka lakukan. Paguhan yang keras hati dan keras kepala, lambat-laun melihat, bahwa akibat dari perbuatannya sama sekali tidak diduga-duganya. Apalagi apabila dilihatnya tubuh Rara Wulan terbaring diam di atas rerumputan.

“Aku dapat tidak mempedulikan apa yang terjadi atas diriku karena aku memang tidak pernah memperhitungkannya, tetapi ternyata Rara Wulan mengalami goncangan perasaan terlampau berat,” desis Paguhan di dalam hatinya.

Sedang Arya Teja pun menyesal pula. Setelah ia mengikat gadis itu dalam pembicaraan, maka gadis itu ditinggalkannya terlampau lama sehingga hal yang sama sekali tidak diinginkannya itu terjadi. Seandainya ia tidak mengikat gadis itu dalam pembicaraan seperti yang telah dibicarakan oleh orang-orang tua mereka, maka tidak akan ada persoalan bagi Rara Wulan. Gadis itu dapat segera kawin dengan Paguhan. Tetapi semua itu telah terlanjur. Setitik noda telah melekat di tubuh Rara Wulan. Noda yang tidak akan terhapuskan sepanjang hidupnya.

“Apakah aku cukup kuat untuk dapat melupakannya?” pertanyaan itu membersit di dalam dada Arya Teja.

Kedua laki-laki itu terkejut ketika mereka mendengar perempuan tua yang berdiri disamping Rara Wulan itu berkata, “Kenapa kalian diam saja seperti sedang kehilangan akal?”

Sesaat Paguhan dan Arya Teja saling berpandangan. Tetapi sorot mata mereka sudah tidak lagi memancarkan api yang menyala di dalam dada mereka. Namun mereka masih tetap terbungkam.

”Apakah kalian tidak dapat berbicara sepatah kata pun?”

Masih tidak ada jawaban.

“Jika demikian, maka biarlah aku yang berbicara. Kalau kalian menolak, maka kalian harus segera menyatakannya.“ perempuan itu diam sebentar, lalu, “Persoalan kalian telah selesai. Rara Wulan adalah isteri Arya Teja. Anak di dalam kandungan ini anak Arya Teja.”

Terasa dada kedua laki-laki itu berguncang. Tetapi mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka benar-benar seperti sedang dicengkam oleh sebuah pesona yang tidak dapat mereka atasi. Mereka masih berdiri diam ternganga-nganga ketika mereka mendengar perempuan tua itu berkata, “Semua persoalan yang pernah terjadi dianggap tidak pernah ada. Tetapi persoalan yang akan datang pun tidak boleh ada. Arya Teja harus menerima keputusan ini dengan jiwa besar, dan Angger Paguhan harus melepaskan semua kepentingan dengan Rara Wulan dengan jiwa yang besar pula.”

Kedua laki-laki itu berdiri saja tegak di tempatnya bagaikan patung batu. Diam. Hanya senjata-senjata mereka sajalah yang kemudian tertunduk lesu. Seperti hati-hati mereka yang menjadi lesu pula. Mereka seakan-akan tidak lagi mempunyai gairah apa pun untuk ikut serta menentukan hari depan mereka sendiri.

Dan kedua laki-laki itu menggerakkan kepalanya ketika mereka mendengar bibi Arya Teja itu berkata, ”Nah, Arya Teja dan Angger Paguhan. Kalian tidak menyanggah sepatah kata pun. Berarti kalian telah berjanji bahwa kata-kataku itu seakan-akan telah anger ucapkan berdua sebagai janji di dalam hati. Janji jantan yang tidak akan dapat diganggu gugat lagi.”

Kedua laki-laki itu masih membatu.

“Nah, kalau demikian, maka marilah kita kembali ke dalam persoalan yang wajar.” Perempuan tua itu berhenti sebentar, lalu, “Arya Teja. Kini kau harus menyadari, bahwa isterimu sedang pingsan di sini. Kau tidak boleh membiarkannya, supaya nyawanya dapat tertolong bersama nyawa yang sedang dikandungnya.”

Terasa perasaan Arya Teja tersentak. Sebersit penolakan menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak pernah dapat mengucapkan penolakan itu.

“Kenapa kau diam saja?” bertanya bibinya. “Bawalah isterimu pulang. Tidak ada seorang pun yang tahu akan persoalan kalian. Pelayan-pelayan dirumahmu pun tidak mengetahuinya. Kalian berdua harus merahasiakan persoalan ini, untuk kepentingan anak yang masih berada di dalam kandungan itu, sebagai pemenuhan janji kalian.”

Sesaat mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Kedua laki-laki itu seakan-akan membeku di tempatnya.”

“He, kenapa kalian diam saja? Arya Teja, berbuatlah sesuatu supaya isterimu selamat.”

Sebuah keragu-raguan yang tajam telah menggores dinding hati Arya Teja. Ia tahu, bahwa keadaan Rara Wulan dapat membahayakannya. Tetapi terasa kakinya menjadi seberat timah untuk digerakkan.

“Arya Teja,” suara bibinya menjadi semakin keras, “kemarilah. Berbuatlah sesuatu, jangan mimpi.”

Sebuah pergolakan terjadi di dalam hati Arya Teja. Ia masih saja dicengkam oleh keraguan. Meskipun hatinya sudah mulai cair, namun ia masih belum dapat melepaskan diri dari kungkungan perasaannya. Ia tahu benar, bahwa perempuan itu telah bernoda. Ia tahu, dan ia tidak dapat menghapus pengetahuannya tentang itu.

Tetapi tiba-tiba dadanya tergetar ketika ia mendengar suara Paguhan lemah, tanpa diduga-duganya. “Arya Teja, apakah aku kau ijinkan melakukannya untukmu. Aku tidak ingin melihat Rara Wulan membeku di sini.”

Terasa sebuah singgungan yang tajam menyentuh jantung Arya Teja. Tiba-tiba ia menggeram. “Aku dapat melakukannya sendiri, Paguhan.”

“Maaf, bukan maksudku menyinggung perasaanmu. Aku ingin berbuat sesuatu. Aku menyesal bahwa hal yang serupa ini telah terjadi pada Rara Wulan.”

Sekali lagi dada Arya Teja tergetar. Tetapi ia mendapat kesan yang lain dari kata-kata Paguhan itu. Ia merasakan penyesalan yang jujur terpancar dari padanya. Sehingga justru karena itu sejenak ia mematung tanpa dapat menjawab kata-kata itu.

Namun segera ia seakan-akan terbangun dari mimpinya ketika ia mendengar kata-kata Paguhan, “Apakah kau mengijinkan Arya Teja? Mudah-mudahan Rara Wulan dapat diselamatkan.”

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia adalah orang yang paling kecewa atas persoalan itu. Kecewa bahwa ia dihadapkan pada peristiwa yang tanpa pilihan. Maju tahu (takut?), mundur hancur.

Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Ia harus menelan segala kepahitan yang dihadapinya. Kepahitan yang tidak akan dapat dihapuskannya. Yang dapat dilakukan adalah melupakannya. Melupakan sesuatu yang telah terjadi. Sebenarnya telah terjadi.

Perlahan-lahan Arya Teja melangkahkan kakinya, betapa ia harus menekan perasaanya. Ia harus menyentuh perempuan itu. Perempuan yang sudah bernoda.

Ketika ia berpaling, dilihatnya Paguhan masih berdiri tegak di tempatnya. Sorot matanya benar-benar membayangkan penyesalan. Tetapi Paguhan tidak mengalami akibat apa pun yang langsung menyertai hidupnya kemudian. Tidak setiap hari ia dihadapkan pada kekecewaan yang harus dilupakan. Ia cukup menyesali perbuatannya. Apabila penyesalan itu jujur, ia tidak akan mengulanginya. Tetapi bagaimana dengan noda yang telah melekat pada keluarganya? Pada isterinya yang setiap hari akan selalu membayanginya?

Terdengar Arya Teja menarik nafas. Dalam sekali, sedalam kepedihan yang menghunjam di hatinya.

Tetapi kali ini Arya Teja tidak dapat berbuat lain. Rara Wulan tidak akan dapat dibiarkannya begitu saja. Meskipun jauh di dasar hatinya kadang-kadang terbersit keinginan untuk membiarkan saja Rara Wulan itu mati, namun kemanusiaan yang melapisi pandangan hidupnya tidak membenarkannya. Karena itu betapa hatinya serasa seperti digores ujung senjata yang paling tajam, diangkatnya juga Rara Wulan itu dan dipapahnya pulang ke rumah. Meskipun demikian, di sepanjang jalan kadang-kadang timbul juga pertanyaan di dalam hatinya, “Kenapa aku harus mengalami peristiwa ini? Dosa apakah yang pernah aku lakukan atau dilakukan oleh keluargaku?”

Sebagai manusia maka peristiwa itu benar-benar telah mengguncangkan keseimbangannya. Pada saat-saat permulaan ia melangkahkan kakinya pada dunianya yang baru, setelah ditinggalkannya dunianya yang lama, ia harus mewarnai dunia kekeluargaannya itu dengan noda yang paling kotor. Dan ia tidak dapat melepaskannya.

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh dengan penderitaan. Rara Wulan tidak dapat melepaskan dirinya dari perasaan bersalah. Kadang-kadang masih meledak ungkapan-ungkapan penyesalannya yang tidak terkendali, sehingga hampir-hampir ia berbasil membunuh dirinya. Tetapi bibi Arya Teja dengan sabar selalu menasehatinya. Selalu memberinya petunjuk-petunjuk.

“Tetapi aku tidak akan dapat menahan penderitaan ini, Bibi,“ berkata Rara Wulan pada suatu saat. “Kandunganku selalu memberikan bayangan yang mengerikan. Kandungan yang selalu berada bersamaku ini, selalu mengatakan kepadaku, bahwa aku adalah manusia yang paling rendah di dunia. Aku mengharap, bahwa Kakang Arya Teja memberi aku hukuman yang paling berat. Membunuh aku atau apa pun yang diinginkannya. Tetapi dengan caranya, maka aku tidak akan dapat menanggungkannya. Hukuman ini jauh lebih berat dari hukuman apa pun juga. Tidak sepatasnya aku dimaafkannya. Dan maafnya adalah siksaan yang tidak tertanggungkan.”

Bibi Arya Teja mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya sareh, “Wulan, apakah kau benar-benar merasa bersalah.”

“Ya, Bibi, dan aku bersedia menerima hukumannya.”

“Kenapa kau masih juga merasa berkeberatan, Wulan. Hukumanmu telah ditentukan. Kau dimaafkan. Memang hukuman itu adalah hukuman yang paling berat bagimu. Tetapi kau rela menanggungkannya. Tidak sepantasnya kau mencari jalan yang paling dekat untuk menghindarinya. Mati. Tidak sepantasnya hukuman itu menyangkut bayi di dalam kandunganmu yang tidak ikut bersalah.”

“Tetapi kelahirannya yang tidak dikehendaki itu, buatnya tersiksa pula di sepanjang hidupnya kelak.”

Bibi Arya Teja menggelengkan kepalanya. “Tidak Wulan. Kalau kau menerima semuanya ini dengan ikhlas, Arya Teja pun melakukannya dengan ikhlas dan jujur, dan Paguhan menyesali perbuatannya sepenuh hati, maka tidak akan ada persoalan lagi di antara kalian. Kalian harus bersikap wajar, sehingga tidak menimbulkan pertanyaan pada orang-orang lain yang tidak tahu persoalannya.”

Rara Wulan setiap kali hanya dapat menganggukkan kepalanya sambil menangis. Tetapi ia selalu bertanya-tanya, sampai di mana kesediaan Arya Teja untuk memaafkannya?

Hari-hari merayap melintasi pekan dan bulan. Saat-saat yang mendebarkan menjadi semakan dekat. Kelahiran bayi di dalam kandungan Rara Wulan.

Meskipun Arya Teja dan Rara Wulan, atas nasehat dan petunjuk yang terus-menerus dengan kesabaran hampir tanpa batas dari bibinya, berusaha berlaku dan berbuat wajar, namun mereka masih belum dapat menghapuskan tirai yang seakan-akan masih terbentang di antara mereka. Tirai yang harus mereka lupakan. Tetapi mereka menyadari, bahwa tirai itu pernah terbentang di antara mereka.

Ketika saat itu tiba, maka hampir-hampir perasaan Arya Teja meledak tanpa dapat dikendalikan. Tetapi setiap kali bibinya selalu membujuknya, menekan dan mengendalikannya dengan segala macam cara, agar Arya Teja dapat menerima kenyataan itu, meskipun perempuan tua itu sadar, betapa pahit hati Arya Teja yang masih muda itu. Sehingga akhirnya, Arya Teja tidak dapat menghindarkan diri. Menerima kelahiran anak Rara Wulan itu sebagai anaknya sendiri. Seorang anak laki-laki, yang diberinya nama Sidanti.

Kelahiran Sidanti mendapat sambutan yang hangat dari setiap orang di Menoreh. Mereka merasa ikut bergembira, bahwa Airya Teja telah mendapatkan, seorang putera. Mereka sama sekali tidak tahu, apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam hati Arya Teja dan Rara Wulan. Hati yang sebenarnya telah retak dan sulit untuk dipertautkan kembali.

Meskipun demikian, betapa pahit perasaan mereka, mereka mencoba menerima segala cara tetangga-tetangga memberi selamat kepada mereka. Setiap malam pendapa rumahnya selalu dipenuhi oteh para tetangga yang baik, yang ingin ikut serta menyatakan kegembiraan hati.

Perempuan-perempuan sibuk membantu di dapur, menyelenggarakan jamuan untuk setiap malam. Sebagian yang lain menunggu bayi laki-laki itu berganti-ganti. Di pendapa terdengar setiap malam kidung kegembiraan dilagukan oleh setiap tamu berganti-ganti. Kidung kegembiraan menyambut kedatangan anak laki-laki Arya Teja. Kidung yang berisi doa agar bayi itu selamat untuk seterusnya, dijauhkan dari bahaya.

Namun ada juga tamu-tamu perempuan yang berbisik di antara mereka, “Bayi ini lahir sebelum waktunya. Lihat tubuhnya tampak lemah sekali. Tetapi suara tangisnya terlampau kuat.”

Perempuan yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Ya, ibunya sakit-sakitan saja. Selama mengandung anak ini, hampir tidak pernah ia sempat melihat sinar matahari di luar bilik. Bahkan anak ini hampir-hampir membawa nyawa ibunya.”

“Ya,” desis yang lain. “Arya Teja belum genap sepuluh bulan kawin.”

Dan perempuan-perempuan itu bersepakat, bahwa kelahiran Sidanti agak terlampau cepat. Apalagi Sidanti tampak terlampau lemah pada saat lahirnya, karena selama ia di dalam kandungan, ibunya selalu dikejar oleh siksaan batin.

Namun di dalam pertumbuhannya, Sidanti menjadi anak laki-laki yang cukup kuat dan tangkas. Nakalnya bukan main. Kesehatannya berangsur menjadi baik. Bahkan anak itu seolah-olah tidak pernah disinggahi penyakit.

Tetapi bagaimanapun juga, bayangan wajah Paguhan tercetak juga di wajah anak laki-laki itu. Bagaimanapun juga Arya Teja ingin melupakanya, tetapi setiap kali ia melihat Sidanti maka setiap kali ia selalu teringat, bahwa anak laki-laki itu mencerminkan darah yang menitik di dalam urat nadinya. Sehingga betapapun juga apa yang telah terjadi itu selalu membayangi siang dan malam.

Bibi Arya Teja yang menjadi semakin tua melihat kepedihan itu. Perempuan tua itu pun melihat, bahwa Sidanti benar-benar telah dilahirkan dalam ujud yang hampir serupa dengan Paguhan. Dan perempuan tua itu menyadari, betapa anak itu dapat menjadi pagar yang membatasi Arya Teja dan Rara Wulan sebagai suami isteri.

Karena itu maka perempuan tua itu mencoba untuk mencari jalan yang baik tanpa menimbulkan banyak persoalan. Maka diambilnya anak itu, dan dibawanya ke rumahnya.

“Anak itu sepantasnya berada di rumahku,“ berkata orang tua Arya Teja. “Biarlah kami setiap hari dapat mendukung cucu kami.”

“Ah,“ jawab bibi Arya Teja, “kalian tidak merasa kesepian di rumah. Kalian masih mempunyai kawan untuk bercakap. Tetapi aku tinggal seorang diri. Biarlah Sidanti tinggal bersamaku untuk beberapa tari.“

Tetapi yang dikatakan beberapa hari itu ternyata terlampau panjang. Hanya kadang-kadang saja Sidanti tinggal bersama ibunya, tetapi kemudian kembali kerumah neneknya ke rumah bibi Arya Teja.

Namun ternyata dengan demikian Sidanti menjadi manja. Bibi Arya Teja yang tahu benar tentang keadaan anak itu, terlampau menaruh belas kasihan, sehingga anak itu hampir tidak pernah dikecewakannya. Semua kehendaknya selalu diberinya, dan semua keinginannya selalu dipenuhinya.

Pengangkatan. Arya Teja menjadi Kepala Perdikan Menoreh, seperti yang telah dijanjikan, setelah ayahnya merasa terlampau lelah untuk memerintah, mempengaruhi kehidupan Sidanti pula. Ia merasa, bahwa ia adalah putera Kepala Tanah Perdikan yang besar. Ayahnya ternyata mempunyai kedudukan yang lebih besar dari kakek yang digantikannya. Kakeknya bukan seorang Kepala Tanah Perdikan, tetapi ayahnya selain mendapat wisuda menggantikan kakeknya, juga mendapat anugerah khusus.

Demikianlah anak laki-laki itu tumbuh menjadi anak yang semakin besar. Padanya tampak semakin jelas, kelebihan-kelebihannya dari anak anak sebayanya. Keberaniannya, kecerdasannya dan kecepatannya untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang berbagai macam hal. Namun, kemanjaannya pun tumbuh sejalan dengan pertumbuhan badannya.

Anak itulah yang bernama Sidanti. Sidanti anak Rara Wula, dari keturunan seorang laki-laki yang bernama Paguhan, yang kemudian bergelar Ki Tambak Wedi.

Malam yang gelap menjadi semakin kelam. Angin yang silir bertiup menggoyangkan dedaunan. Lamat-lamat terdengar burung kedasih seolah-olah meneriakkan kepedihan hati.

Seleret bulan muda bertengger di langit yang hitam di antara bintang gemintang yang cerah. Desau angin malam menyapu wajah Tanah Perdikan Menoreh yang lelap dalam tidurnya.

Tetapi bergolaklah sepasang dada, yang telah mendengar cerita tentang Arya Teja dan Paguhan. Sepasang dada anak muda yang merasa dirinya bersaudara seayah dan seibu. Namun ternyata hanya seibu saja, tetapi tidak seayah.

Sidanti sendiri mendengarkan cerita itu dengan hati yang tegang. Melampaui ketegangan hatinya pada saat-saat ia menghadapi lawan di medan perang, atau menghadapi lawan bertanding di dalam perang tanding seorang lawan seorang. Sejenak hatinya terasa gelap. Namun kemudian terungkatlah perasaan yang meledak di dalam dadanya. Tiba-tiba ia meloncat berdiri. Dengan mata yang merah menyala ia menunjuk wajah gurunya dan sekaligus ayahnya. Dengan suara lantang ia berkata terputus-putus oleh gelora di dalam dadanya, “Kau, kau, kau menodai nama baik ibuku. Kau telah membuat aku menjadi orang yang paling terkutuk.“ Bibir Sidanti masih bergetar, tetapi kerongkongannya serasa telah tersumbat.

Selangkah daripadanya Argajaya duduk mematung. Sejenak ta tidak dapat berbuat apa pun juga selain berdesah. Dadanya terasa berdeburan seakan-akan ingin meledak, Arya Teja adalah kakaknya yang kemudian bernama Argapati bergelar Ki Gede Menoreh. Ternyata laki-laki yang bernama Paguhan dan kemudian bergelar Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah merusak perasaan kakaknya dan iparnya. Ia telah menaburkan benih yang akan tumbuh menjadi rerungkudan yang penuh dengan duri-duri yang tajam.

Tetapi Argajaya tidak dapat segera berbuat sesuatu. Diawasinya saja Sidanti yang berdiri beberapa langkah di hadapan gurunya dengan tubuh gemetar.

Ki Tambak Wedi masih duduk dengan tenang di tempatunya. Namun wajahnya tampak menjadi suram, sesuram hatinya. Dipandanginya wajah Sidanti yang menegang. Bibirnya yang bergerak, tetapi tidak sepatah kata pun yang dapat dikatakannya lagi.

“Duduklah, Sidanti,“ berkata Ki Tambak Wedi.

Sidanti masih berdiri. Matanya masih menyala. Dan bahkan ia berkata terbata-bata, “Itu, itulah sebabnya.” Tetapi kata-katanya terputus.

“Apakah yang disebabkan dan apakah yang menyebabkan,“ bertanya gurunya.

“Sekar Mirah,“ terlompat dari sela-sela bibir Sidanti.

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih saja duduk di tempatnya. Katanya, “Aku mengerti maksudmu Sidanti. Kau ingin mengatakan, bahwa segala macam kegagalanmu itu adalah akibat dari dosa-dosa yang pernah aku lakukan bersama ibumu.“ Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Mungkin kau benar. Tetapi itu tidak mutlak. Sebenarnya aku menyesali apa yang telah terjadi. Penyesalan itu tidak sekedar terucapkan di antara bibirku. Tetapi penyesalan itu langsung menghunjam ke pusat jantung.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi berhenti. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Lalu dilanjutkannya, “Kau tahu Sidanti, bahwa untuk seterusnya aku tidak pernah dapat terpikat oleh perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga. Setiap kali aku teringat akan dosa dan noda yang pernah aku lekatkan di tubuh ibumu. Dan setiap kali aku dikejar oleh penyesalan. Aku mencoba melupakannya dengan cara apa pun. Dengan cara yang paling kotor sekalipun. Aku mencoba menganggap bahwa aku tidak pernah berdosa. Aku datangi perempuan-perempuan yang dengan sukarela menyerahkan dirinya. Tetapi setiap kali aku selalu melarikan diriku daripadanya karena perasaan bersalah itu tidak pernah dapat aku lupakan. Dan akhimya aku terdampar di padepokan Tambak Wedi. Aku mencoba menenteramkan diriku dengan cara yang lain. Aku menyibukkan diri dengan ilmuku, dengan segala macam kerja yang semula tidak berarti. Aku menjadi semakin gairah, ketika aku mendapat kesempatan menuntunmu karena bibi Arya Teja yang kemudian bernama Argapati itu menjadi semakin tua dan tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Ia menyarankan agar anak itu, tidak menimbulkan persoalan apa pun kelak. Tetapi agaknya keluarga Argapati tidak dapat menerimamu. Aku tahu bahwa Argapati berusaha untuk dapat menjadi seorang ayah yang baik. Tetapi perasaannya setiap kali terungkat. Akhirnya kami bersama-sama menemukan suatu cara. Kau tetap dianggap sebagai anak Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh dengan segala macam hak dan kewajiban. Tetapi kau diserahkan kepadaku di padepokan Tambak Wedi sebagai seorang murid. Kami masing-masing berjanji bahwa tidak ada orang lain yang tahu kecuali kami berempat. Aku, ibumu, Argapati dan bibinya. Kini dua di antara mereka telah meninggal. Bibi Argapati dan ibumu.“

Wajah Sidanti masih membara semerah soga. Matanya memancarkan perasaan yang bergolak di dalam dirinya. Tubuhnya yang gemetar masih belum beranjak dari tempatnya.

“Duduklah, Sidanti.“

Sidanti masih tetap berdiri.

“Duduklah.”

Wajah Sidanti masih membara.

“Kita sudah terlibat dalam persoalan itu,“ berkata gurunya. “Argapati ingkar janji menurut penilaianku. Bagaimana penilaianmu, Sidanti?”

Sidanti tidak menjawab. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada pamannya yang masih duduk dengan tegangnya.

Sidanti merasakannya betapa dadanya menjadi pepat dan pikirannya menjadi gelap.

“Jangan menyalahkan aku lagi, Sidanti,“ berkata Ki Tambak Wedi masih dalam keadaannya. Tenang walaupun suram. “Aku sudah cukup tersiksa oleh kesalahanku itu. Seandainya ibumu masih ada, maka aku akan pasrah, apa pun yang akan kau lakukan seandainya kau merasa aku menjadi sumber bencana yang menimpa dirimu. Tetapi kini keadaannya sudah lain. Ibumu sudah tidak ada. Tidak ada lagi orang yang memberati perasaanku. Aku menjadi seakan-akan terbebas dari sebuah belenggu yang selama ini mengikatnya.

Sidanti masih membeku. Tetapi wajah Argajaya menjadi semakin tegang. Ia kini tahu benar persoalannya. Persoalan itu berpusar pada persoalan antara kakaknya Argapati dan Ki Tambak Wedi. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya Argapati apabila tidak segera menerima tawaran Ki Tambak Wedi untuk membantu Sidanti, madeg kraman melawan pemerintahan Pajang. Sedang Sidanti itu sama sekali tidak ada sentuhan darah dengan kakaknya itu.

Meskipun demikian Argapati tidak segera berbuat sesuatu. Ia tahu benar, siapakah Ki Tambak Wedi itu. Dan ia belum tahu, apakah yang akan terjadi dengan Sidanti.

Argajaya yang licik itu sengaja tidak segera menyatakan sikapnya, meskipun sikap itu telah ada di dalam dadanya. Ia menunggu apakah yang akan terjadi. Peristiwa apakah yang akan berkembang kemudian. Dengan demikian maka Argajaya masih juga tetap diam di tempatnya. Ditahankannya perasaannya, agar tidak meluap ke luar sehingga menimbulkan akibat yang tidak dikehendakinya.

Sidanti sendiri masih saja membeku di tempatnya. Seakan-akan anak muda itu telah kehilangan akalnya. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Darahnya yang meluap-luap tiba-tiba serasa berhenti mengalir. Yang berada di hadapannya itu adalah bukan sekedar gurunya, tetapi ia adalah ayahnya, meskipun karena perbuatannya ibunya menjadi tersiksa sepanjang hidupnya.

Dengan cerita itu, maka barulah ia kini mengetahui sebabnya, kenapa kelakuan ibunya selama ini terasa terlampau berlebih-lebihan. Kesetiaannya, kesediaannya untuk melakukan apa saja sesuai dengan keinginan suaminya dan, betapa ia menghormati Argapati, meskipun Argapati sendiri sama sekali tidak menunjukkan keinginannya untuk berbuat sewenang-wenang. Ternyata kesediaan itu tidak tumbuh dari dasar hatinya, tetapi semuanya itu terdorong oleh suatu keinginan untuk menebus dosa dan hutang budi

Sejenak Sidanti mencoba membayangkan apa yang telah terjadi di dalam lingkungan keluarga Argapati. Namun bayangan itu semakin lama menjadi semakin kabur.

Lamat-lamat ia mencoba mengenali kembali Argapati, ibunya dan adiknya Pandan Wangi. Tetapi dalam gejolak perasaannya, ia tidak berhasil untuk meneropong sebaik-baiknya keadaan keluarga itu. Termasuk dirinya sendiri.

Sidanti terperanjat ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Duduklah, Sidanti.“

Sidanti masih mematung.

“Apakah kau masih tetap berpendapat bahwa aku telah berkhianat terhadap ibumu?”

Tidak ada jawaban.

“Seandainya benar demikian, apakah yang dapat kau lakukan sekarang? Argapati sudah menyatakan sikapnya. Ia tidak dapat melindungimu dari telunjuk orang-orang Pajang. Dan itu adalah wajar sekali, karena sejak semula Argapati tidak ikhlas menerima kau sebagai anaknya. Ia hanya menginginkan ibumu. Bukan kau.“

Terasa sebuah desir yang tajam tergores di dalam dadanya. Seandainya saat itu Argapati ada diruangan itu, maka ia pasti akan menunjuk kedua-duanya, Argapati dan Ki Tambak Wedi, sambil berteriak, “Kalian adalah pengkhianat-pengkhianat yang paling jahat.”

Tetapi yang didengarnya adalah suara Ki Tambak Wedi, “Duduklah, Sidanti. Buatlah pertimbangan-pertimbangan yang baik.”

Sidanti sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Otaknya serasa menjadi pepat, dan ia tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang dilakukan dan apa yang sebaiknya harus dilakukan.

Ternyata Ki Tambak Wedi membiarkannya saja dalam sikapnya itu. Perlahan-lahan ia berpaling kepada Argajaya sambil berkata, “Itulah yang sebenarnya telah terjadi atas diriku dan kakakmu Argapati. Sekarang terserah kepadamu, di mana kau akan berdiri. Tetapi kau harus ingat, bahwa kau bersama-sama kami telah terlibat dalam persoalan yang serupa. Melawan orang-orang Pajang. Sedang kakakmu Argapati sama sekali tidak ingin berbuat apa-apa. Baginya kedudukan ternyata jauh lebih penting dari apa pun juga. Dari adiknya sendiri dan dari seseorang yang telah diakuinya sebagai anaknya.”

Argajaya pun tidak segera menjawab. Ia masih berdiam diri sambil menunggu perkembangan dari keadaan Sidanti.

“Bagaimanakah pendapatmu?” bertanya Ki Tambak Wedi kemudian.

Argajaya masih juga berdiam diri, meskipun hatinya bergelora. Bagaimanapun juga Argapati adalah kakaknya. Meskipun dalam banyak persoalan ia tidak sependapat dengan kakaknnya, bahwa di dalam saat yang paling genting sekalipun kakaknya tidak bersedia melindunginya, tetapi Argapati adalah kakaknya.

Apabila di dalam persoalan ini ia harus memilih, maka ia harus membuat pertimbangan semasak-masaknya. Ternyata Sidanti sama sekali tidak ada persambungan darah dengan dirinya. Sidanti bukan putera Argapati.

Karena Argajaya juga tidak segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itu bergumam, “Memang keadaan, ini sama sekali pasti tidak pernah kalian duga-duga sebelumnya. Tetapi bagi kalian, terutama Sidanti, yang masih cukup muda, cobalah memandang ke hari depan. Jangan terpukau kepada masa lampau, betapapun indahnya, atau betapapun buruknya. Yang penting, bagaimanakah yang akan datang. Nah, apakah kau sudah mulai membuat pertimbangan-pertimbangan bagi masa datang?”

Tak ada jawaban.

“Sidanti,” berkata Tambak Wedi itu pula, “aku telah berbuat apa saja buat hari depan itu. Hari depanmu. Karena aku akan merasa ikut menikmati, apa yang akan kau dapatkan. Justru karena kau anakku. Aku mengharap bahwa Argapati pun akan berbuat demikian. Aku mengharap ia jujur menerima kau sebagai anaknya. Tetapi ternyata aku keliru. Argapati sama sekali tidak bersungguh-sungguh. Ia memberikan kau kepadaku bukan sekedar pemecahan masalah tetapi benar-benar ingin menyingkirkan kau dari Menoreh. Nah, apakah kau tidak merasakannya?” Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak, lalu, “Sekarang, kau sudah cukup dewasa. Pertimbangkan olehmu, mana yang baik dan mana yang tidak baik.”

Ketika Ki Tambak Wedi terdiam, maka ruangan itu menjadi terlampau sepi. Kesepian yang mencengkam sampai ke pusat jantung.

Namun di dalam dada Sidanti terjadilah pergolakan yang terlampau dahsyat. Benturan-benturan perasaan yang sangat membingungkannya. Keluarga yang memeluknya sejak kanak-kanak, tanpa diduga-duganya kini pecah berserakan seperti belanga yang jatuh menghantam batu. Sedak kecil ia merasakan bahwa ia berada di dalam satu lingkungan yang baik, di dalam satu keluarga yang menyenangkan. Baginya Argapati adalah ayahnya. Ia tidak pernah merasakan, bahkan segelugut kolang-kaling terbelah tujuh ia tidak akan menyangka, bahwa Argapati itu bukan ayah kandungnya.

Tetapi tiba-tiba kini ia dibenturkan pada suatu kenyataan. Meskipun kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu. Namun menurut pertimbangannya, hal yang demikian itu, sudah pasti bukan hanya sekedar dongengan. Seandainya Ki Tambak Wedi berbohong, maka ia adalah pembohong yang paling besar pada jamannya.

Dengan demikian maka Sidanti tidak segera dapat menemukan sikap. Dalam keragu-raguan, dipandanginya pamannya Argajaya yang masih juga berdiam diri.

Tetapi ketika terpandang olehnya wajah Argajaya, sekali lagi dada Sidanti berdesir. Orang itu ternyata sama sekali bukan pamannya. Bahkan bukan sanak bukan kadangnya. Argajaya adalah adik Argapati yang telah dikecewakan oleh gurunya, oleh ayahnya. Apakah dengan demikian ia dapat mengharapkan Argajaya itu berada di pihaknya, seandainya ia memilih berdiri di sebelaah Ki Tambak Wedi.

Gelora di dalam dada Sidanti itu menjadi kian bergemuruh. Di dalam angan-angannya berloncatanlah berbagai kenangan masa harapannya. Ia mencoba melihat kembali apakah yang pernah dilakukan oleh Argapati untuknya dan apa yang telah dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Dua wajah yang membayang di pelupuk matanya. Ia kini harus memilih satu di antara dua. Dan kenyataan ini terasa benar-benar pahit.

Namun ia harus menentukan sikap. Ia tidak dapat selalu bergantungan di dunia angan-angannya tanpa berjejak di atas kenyataan. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu.

Betapa Argapati baginya adalah seorang ayah yang baik, yang sabar dan ramah, tetapi kenyataan telah memisahkannya. Argapati sama sekali bukan seorang yang sabar dan ramah. Justru karena Argapati tidak dapat menghapus kenangannya atas peristiwa kelahiran Sidanti, maka dipaksakannya dirinya berbuat sebaik-baiknya.

Sekali lagi Sidanti terperanjat ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Duduklah. Pikirkanlah dengan baik. Kau harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang.”

Kali ini Sidanti benar-benar terhisap oleh pengaruh yang tidak dikenalnya. Perlahan-lahan ia meletakkan dirinya, duduk di sebelah gurunya.

”Kau harus bersikap dewasa. Jangan seperti kanak-kanak yang bingung karena kehilangan barang mainan,” berkata gurunya.

Sidanti masih berdiam diri. Dua wajah yang sama-sama dikenalnya dengan baik masih terbayang. Tetapi bagi mata hati Sidanti, wajah Argapati semakin lama menjadi semakin kabur.

“Sikap Argapati selama ini bukanlah sikap yang jujur,“ berkata Ki Tambak Wedi. “Ia ingin dianggap dirinya seorang yang baik, yang berjiwa besar dan yang dengan lapang dada memaafkan orang lain. Tetapi ia telah merendam dendam dan kebencian di dalam dadanya, yang setiap saat akan meledak dengan dahsyatnya. Ia berbuat begitu baik kepadamu sama sekali bukan untuk kepentinganmu, tetapi ia berbuat untuk kepentingannya sendiri.“

Sidanti mengerutkan keningnya. Bayangan wajah Argapati semakin lama menjadi semakin suram.

Seperti yang dialaminya selama ia berada di Tambak Wedi, gurunya yang ternyata juga ayahnya itu telah berbuat apa saja untuknya. Ia telah mendorongnya untuk berusaha naik ke tangga yang lebih tinggi di dalam tata keprajuritan. Meskipun usaha itu tidak berhasil, tetapi ia telah terlampau banyak berbuat untuknya. Apa saja. Sehingga yang terakhir dikorbankannya padepokannya, Tambak Wedi.

Neraca di dalam hati Sidanti semakin lama menjadi semak miring. Apalagi yang kini berada di sisinya adalah Ki Tambak Wedi itu sendiri sehingga dengan demikian, maka pengaruh kehadirannya, ternyata ikut menentukan pilihan yang harus dijatuhkannya. Tetapi tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan di dalam hatinya. Seandainya ia berpihak kepada, Ki Tambak Wedi, apakah yang kemudian dapat dilakukan olehnya? Kepala Tanah Perdikan Menoreh adalah Argapati. Argapati dapat memerintahkan apa saja yang dikehendakinya atas orang-orang Menoreh. Argapati dapat memerintahkan untuk menangkapnya bersama-sama Ki Tambak Wedi.

Namun pertanyaan itu tidak diucapkannya. Ditempat itu hadir pula Argajaya, adik Argapati, sehingga pembicaraan mengenai hal itu tidak akan dapat dilakukannya dengan baik.

Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi dapat menduga-duga hatinya. Keragu-raguan yang membayang di wajahnya. Karena itu maka Ki Tambak Wedi itu berkata berterus-terang, “Bagiku tidak ada pilihan lain daripada memenuhi perjanjian itu di bawah Pucang Kembar, pada saat purnama naik seperti yang pernah terjadi dahulu. Aku mengharap bahwa kali ini aku dapat membunuhnya.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, diperhatikannya wajah Argajaya yang menjadi semakin tegang. Dan ia berkata seterusnya, “Seandainya tidak, maka aku pun tidak akan bersedia mati tanpa arti. Kalau aku tidak dapat membuat penyelesaian macam itu, maka aku harus berbuat banyak. Aku harus melakukan perlawanan atas kekuasaan Argapati di bukit Menoreh ini, sebelum aku dapat mempergunakan seluruh kekuatan yang ada di sini. Kau adalah pewaris yang syah meskipun kau bukan anaknya. Setiap hidung tahu, bahwa kau kelak akan mewarisi tanah ini. Itulah sebabnya agaknya Argapati menjerumuskan kau ke dalam bencana.” Ki Tambak Wedi sekali lagi berhenti berbicara. Sekali lagi diperhatikannya wajah Argajaya. Lalu, “Kau tidak usah mencemaskan apa yang terjadi seandainya Argapati terbunuh olehku kelak. Tidak ada orang yang tahu, persoalan apa yang terjadi. Apabila seseorang mendengar perjanjian ini di halaman rumah Argapati, mereka pun tidak akan jelas menangkap maksudnya. Sepeninggal Argapati, maka kaulah yang akan menjadi kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

Wajah Argajaya tiba-tiba menjadi merah menyala. Ia kini tidak dapat mengendalikan diri lagi, sehingga meloncat kata-katanya, “Itu adalah cara yang licik. Kiai, aku adalah adik Argapati. Setelah aku tahu, bahwa Argapati tidak berputerakan Sidanti, maka akulah yang lebih berhak atas tanah ini seandainya Kakang Argapati tidak ada lagi.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menggelengkan lemah. “Tidak, Ngger. Kalau Sidanti disisihkan dari urutan pewaris tanah ini, maka di dalam rumah Argapati masih ada lagi seorang gadis yang cukup garang, Pandan Wangi. Apabila Sidanti disingkirkan, maka Pandan Wangi adalah satu-satunya pewaris tanah ini. Suaminyalah yang kelak akan dapat menyebut dirinya. Ki Gede Menoreh.”

Sekali lagi warna merah membersit diwajah Argajaya. Kata-kata Ki Tambak Wedi itu tepat mengenai sasarannya. Demikianlah agaknya apabila Sidanti tidak lagi dapat menduduki jabatan Argapati, maka PandanWangi-lah yang kelak akan berhak atas kedudukan itu.

Dengan demikian, maka Argajaya itu pun tidak segera dapat berkata sesuatu, meskipun terasa dadanya menjadi terlampau pepat.

Ruangan itu sejenak menjadi sunyi. Mereka mencoba untuk melihat dari seginya masing-masing, apakah yang sebenarnya sedang mereka hadapi. Tetapi putaran dari segi pandangan mereka, terutama adalah kepentingan mereka sendiri. Kepentingan diri pribadi. Sidanti yang kecewa mendengar kenyataan tentang dirinya, mencoba untuk menemukan imbangan dari kekecewaannya itu. Justru ia ingin menjadi seorang yang jauh lebih besar dari kenyataan yang dihadapinya. Menurut Ki Tambak Wedi, Sidanti ternyata bukan putera Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun hak atas tanah ini kelak akan diwarisinya. Namun itu bukan karena ia sebenarnya berhak, tetapi hal itu dapat terjadi sekedar karena belas kasihan Argapati kepadanya, kepada ibunya. (BERSAMBUNG)

“Tidak!“ tiba-tiba ia menghentak di dalam hatinya. “Aku tidak mau sekedar menerima belas kasihan orang. Aku harus dapat menentukan nasibku sendiri. Apa pun yang harus aku tempuh.”

Sekilas dipandangnya Argajaya yang masih terdiam merenungi persoalannya.

“Bagaimana, Sidanti?“ bertanya gurunya. “Apakah kau sudah menemukan keputusan yang paling baik buat kau lakukan? Aku tidak ingin memaksamu untuk segera mengambil sikap. Kau masih mempunyai waktu, supaya keputusanmu tidak kau ambil dengan tergesa-gesa.”

Sidanti masih belum dapat menjawab. Tetapi dari sorot matanya, Ki Tambak Wedi yang telah dipenuhi oleh pengalaman hidup, oleh pahit manisnya kehidupan itu, dapat meraba, bahwa Sidanti telah hampir dapat dikuasainya sepenuhnya. Sidanti, yang selama ini digadangnya untuk menjadi seseorang yang berkedudukan baik. Jauh lebih baik dari keadaannya sekarang. Namun justru karena itu, maka sikap Sidanti menjadi sombong, tergesa-gesa, dan manja seperti kemanjaannya masa kanak-kanak.

“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi, “kita sudah tidak dapat mundur lagi. Kita sudah berdiri berhadapan dengan kekuasaan Pajang. Sedang di sini, Argapati sama sekali tidak dapat kita harapkan. Karena itu kita harus mendapatkan kekuatan iu sendiri tanpa bersandar kepada Argapati.”

Sidanti mengerutkan keningnya, sedang wajah Argajaya menjadi semakin menegang.

“Apa pun yang kita kemukakan kepada orang-orang Pajang, pasti tidak akan didengar oleh mereka. Kita sudah dianggap memberontak. Untuk itu maka kita memerlukan kekuatan.”

Sidanti masih diam. Sedang Ki Tambak Wedi meneruskannya sambil melihat wajah Argajaya dengan sudut matanya. ”Tidak ada di antara kita yang dapat melepaskan diri. Besok atau lusa, atau sebulan dua bulan lagi, kita akan selalu dikejar-kejar oleh petugas-petugas sandi dari Pajang apabila kita tetap dalam keadaan itu. Tetapi keadaan akan sangat berbeda apabila kita berdiri tegak bersama sepasukan prajurit dengan panji-panji di atas kepala kita.

Tidak seorang pun yang menyahnt, dan Ki Tambak Wedi berkata terus, “Kesimpulannya adalah, menyusun kekuatan. Siapa yang menghalangi, harus dimusnahkan. Bukankah begitu, Sidanti?”

Sidanti tidak menyahut. Tetapi Ki Tambak Wedi melihat bahwa kata-katanya telah menyusup ke pusat jantungnya. Yang menjadi pusat perhatiannya kini adalah Argajaya. Ia mengharap orang itu tidak melepaskan diri daripadanya. Argajaya sudah terlanjur terlibat dalam perlawanan atas Pajang. Ia harus memberikan kesan, bahwa tidak ada jalan lain baginya untuk bersama-sama melawan Pajang.

Tetapi Argajaya itu masih tetap membeku. Meskipun demikian di dalam dadanya, bergelora pertimbangan-pertimbangan yang saling berbenturan. Perasaannya sebagai seorang adik, benar-benar tersinggung. Tetapi ia merasakan kebenaran kata-kata Ki Tambak Wedi, bahwa orang-orang Pajang pasti menganggapnya sebagai seorang buruan. Padahal, kakaknya, Argapati, tidak bersedia untuk berdiri melawan Pajang. Dan bahkan benar juga agaknya kata-kata Ki Tambak Wedi bahwa kakaknya pasti tidak akan melindunginya, untuk tidak diikut-sertakan dalam kesalahan yang pernah dilakukan atas Pajang, sehingga dapat membahayakan kedudukannya sebagai seorang Kepala Tanah Pedikan. Jabatan itu akan dapat dicabut dan diserahkan kepada orang lain, atau kedudukan Tanah Menoreh sebagai Tanah Perdikan dapat dibatalkan.

Baik Sidanti maupun Argajaya sudah dapat membayangkan jalan apakah yang akan ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Mereka sadar, bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil kesempatan untuk mengumpulkan orang-orang Menoreh sendiri yang bersedia melawan Argapati. Mungkin Sidanti sebagai seorang yang selama ini dikagumi oleh anak-anak muda Menoreh dapat dimanfaatkan untuk menarik kekuatan anak-anak muda di pihaknya.

Gelora di dalam dada Argajaya menjadi semakin bergemuruh. Ia berdiri di simpang jalan yang sulit.

Dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “Semuanya telah jelas bagi kita. Aku menunggu keputusanmu Sidanti, meskipun aku sudah dapat menduga, apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam dadamu. Agaknya kau telah memilih jalan yang benar. Bagimu hanya ada satu cara untuk melangkah maju. Melawan Pajang. Setiap tindakan yang kau lakukan harus beralaskan pendirian itu. Sebab apabila tidak demikian, maka kau akan dibinasakan oleh orang-orang Pajang tanpa dapat berbuat apa-apa. Bahkan mungkin Pajang tidak perlu mengirimkan pasukannya kemari, tetapi mereka dapat mempergunakan tangan Argapati.“ Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak perlahan-lahan ia berpaling kepada Argajaya. “Angger,“ katanya kemudian, “aku tahu bahwa kau berada dalam kesulitan. Tetapi kau harus bijaksana. Kau tidak dapat bergantung kepada kakakmu itu. Kita harus menentukan sikap. Tetapi bagiku dan bagi Sidanti, agaknya jauh lebih mudah melakukannya karena Argapati tidak bersangkut paut apa pun dengan aku dan Sidanti sepeninggal Rara Wulan. Tetapi kau adalah adiknya.”

Argajaya tidak segera dapat menjawab. Tetapi hatinya bertanya, “Apakah yang kelak akan terjadi atas aku dan keluargaku seandainya Sidanti berhasil? Sidanti akan menjaei Kepala Tanah Perdikan, berdasarkan atas kemenangannya dan berdasarkan atas hak yang diakui oleh orang-orang Menoreh. Lalu, bagaimana dengan aku?” Kebimbangan dan keragu-raguan telah melanda dinding jantung Argajaya sehingga terasa dadanya menjadi berdentangan semakin keras.

Dengan demikian, maka justru ia menjadi semakin diam. Dicobanya untuk memecahkan persoalan itu supaya ia tidak terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu.

Agaknya Ki Tambak Wedi sengaja membiarkannya berpikir. Sejenak orang tua itu berdiam diri sambil memandangi nyala lampu minyak di atas ajuk-ajuk.

Di dalam angan-angan, Argajaya telah dapat melihat, bahwa Tembak Wedi akan menuntun Sidanti untuk melakukan perebutan kekuasaan di Menoreh sebelum ia melangkah semakin jauh. Sidanti, akan mempercepat mengambil hak yang sudah dijanjikan atasnya dengan kekerasan.

Argajaya mengerutkan keningnya, ketika ia mendengar Tambak Wedi berkata, “Kau harus mempergunakan nalar pikiranmu, Ngger, bukan perasaanmu. Dalam hubungan keluar kau adalah adik Argapati. Tetapi di dalam persoalan ini, kau sama sekali tidak mendapat tempat di dalam kedudukannya sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh ini.“ Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, kemudian, “Demikian juga seharusnya penilaian atas Sidanti. Ternyata ia bukan kemanakanmu. Tetapi kau dapat bekerja bersamanya untuk menegakkan kejantanan di atas tanah perdikan ini. Kau jangan menyangka, bahwa Sidanti akan berhenti sampai kedudukan tertinggi di tanah ini. Tanah ini hanya sekedar pancadan baginya. Sebab ia sudah terlanjur berdiri bertentangan dengan Pajang. Sikap itu harus dilanjutkan. Pajang kini masih belum mantap benar. Karena itu, kita bekerja lebih cepat. Kita masih mempunyai waktu beberapa hari sampai saatnya purnama naik. Kita masih dapat menentukan sikap yang harus kita lakukan. Kalau dalam saat yang pendek ini Sidanti dapat berhubungan dengan anak-anak muda Sangkal Putung dan apabila Angger Argajaya bersedia menghubungi pihak-pihak lain, maka aku benar-benar akan membunuh Argapati. Dengan demikian maka Sidanti akan segera mendapat kesempatan itu. Menjadi Kepala Tanah Perdikan ini. Tetapi itu hanya untuk sementara, Ngger. Sebab, seterusnya Sidanti harus mendapat tempat yang baik. Dan kedudukan tertinggi di daerah ini akan segera ditinggalkannya. Sudah tentu Sidanti tidak akan menyerahkannya kepada orang lain. Kepada suami Pandan Wangi pun tidak, karena Angger Argajaya yang telah banyak membantunya.

Dada Argajaya menjadi berdebar-debar. Janji itu menyenangkan sekali. Tetapi Argajaya bukan anak-anak. Ia masih dapat merasakan, berdasarkan atas pengalamannya, dan firasatnya, bahwa Tambak Wedi tidak akan berbuat sebaik itu kepadanya.

Tetapi wajahnya menjadi merah padam ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Tetapi kalau Angger Argajaya tidak bersedia bekerja bersama dengan kami, maka akibat yang paling parah akan terjadi padamu. Besok atau lusa, kau akan dihadapkan ke tiang gantungan di alun-alun Pajang tanpa pembelaan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Juga seandainya besok atau lusa Argapati sendiri yang akan menangkapmu, atau orang-orang lain yang kau kecewakan.“

Argajaya tahu benar ancaman ini. Meskipun yang diucapkan oleh Ki Tambak Wedi adalah nama-nama Pajang dan Argapati, tetapi Argajaya menyadari, bahwa apabila ia tidak bersedia ikut serta, maka Ki Tambak Wedi pasti tidak akan segan-segan berbuat sesuatu atasnya.

Tetapi Argajaya bukanlah seorang yang bodoh, ia pun memiliki akal yang tidak kalah liciknya dari Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka setelah ia berpikir dengan memperhitungkan segenap kemungkinan, ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, Kiai, aku dapat mengerti. Aku memang harus mengesampingkan hubungan keluarga dan kepentingan-kepentingan pribadi dari kepentingan-kepentingan yang lebih jauh.“

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bergumam , “Terima kasih, Ngger. Agaknya kau tahu, apakah yang sebaiknya kau lakukan.“ Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak, lalu, “Nah, kita harus mempergunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya. Kita harus segera menyusun rencana. Kita manfaatkan ketidakpuasan yang ada di Tanah Perdikan ini. Kita harus dapat meniupnya dan membakar Tanah ini dengan ketidakpuasan itu, sehingga tanah ini akan menjadi karang abang. Di atas reruntuhan itu kita akan membangunkan sesuatu kekuatan yang tidak dapat terpatahkan. Kita akan madeg kraman, melawan kekuasaan Adiwijaya. Kita harus dapat menguasai Alas Mentaok sebelum hutan itu dikuasai oleh Pemanahan.“ Sekali lagi Ki Tambak Wedi berhenti. Ditariknya nafas dalam-dalam seakan-akan ingin mengendapkan perasaannya yang sedang meluap. Kemudian katanya, “Ah, aku sudah meloncat terlampau jauh. Sekarang, apakah yang sebaiknya kita lakukan di atas Tanah ini untuk melepaskan kekuasaan Argapati yang ternyata terlampau mementingkan dirinya sendiri dari pada kejantanan, harga diri, dan cita-cita itu?”

Argajaya mengerutkan keningnya. Kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. Katanya, “Terserahlah kepada Kiai. Aku sama sekali belum sempat memikirkannya. Persoalan ini baru saja aku ketahui, dan keputusanku pun baru saja, aku ketemukan.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sama sekali tidak dilihatnya, bahwa Argajaya itu tersenyum di dalam hati. Di dalam dasar hatinya, ia berkata, ”Biarlah Sidanti mengusir Kakang Argapati. Tetapi pada saatnya, akulah yang akan duduk di atas tempat tertinggi di Menoreh itu. Kakang Argapati memang sebaiknya disingkirkan. Selagi ia masih ada, maka aku dan keturunanku tidak akan mendapat kesempatan itu. Tetapi apabila Kakang Argapati sudah tidak ada, maka kemungkinan itu akan datang. Sidanti sama sekali tidak berhak atas kedudukan itu. Sepatah kata yang membukakaan rahasia itu, maka setiap orang di Menoreh akan berpihak kepadaku. Darah trah kepemimpinan di Menoreh sepenuhnya mengalir di dalam tubuhnya. Tetapi jalan lain tidak aku lihat saat ini kecuali bergabung dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Memperbanyak jumlah pengikutnya dan menyalakan api ketidak-puasan di atas Bukit ini. Tetapi api itu kelak harus membakar hangus dua orang ayah beranak yang telah menghancurkan segala sendi-sendi peradaban atas isteri Kakaing Argapati, dan sekarang berkeinginan untuk membinasakannya Kakang itu sendiri.”

Sekali lagi Argajaya tersenyum di dalam hati. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi sibuk berbicara tentang rencananya, maka Argajaya pun sibuk membuat perhitungan-perhitungan di dalam hatinya. Menangkap segala rencana Ki Tambak Wedi itu dan menyesuaikan dengan rencana yang disusunnya sendiri.

Temyata rencana Argajaya tidak kalah besar dan jauh dari rencana Tambak Wedi. Ia dapat memanfaatkan usaha-usaha yang akan dapat memberinya keuntungan. Dan ia akan dapat meminjam tangan Ki Tambak Wedi untuk kepentingannya, meskipun menilik tata lahir Ki Tambak Wedi-lah yang akan memanfaatkanapa.

“Tetapi aku harus melihat perkembangan dari setiap rencana mereka,“ kata Argajaya di dalam hatinya. “Sehingga untuk itu aku harus mendapat kesempatan untuk selalu berada di antara mereka.”

Sekali lagi Argajaya tersenyum di dalam hatinya. Ia harus menjadi orang penting. Ia harus, menunjukkan kesetiaannya kepada Ki Tambak Wedi dan Sidanti supaya ia mendapat kepercayaan, sehingga pada saatnya ia dapat bertindak sesuai dengan rencananya sendiri.

“Tetapi untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, aku tidak akan dapat berbuat sendiri,” berkata Argajaya di dalam hatinya. “Aku harus menghubungi orang-orang yang pernah aku kenal dan aku, percaya.”

Terbayang di kepala Argajaya seorang tua yang dikenalnya dengan baik. Meskipun ia belum yakin bahwa orang tua itu bersedia membantunya, tetapi ia akan mencobanya.

“Hubungan orang tua itu dengan Kakang Argapati agak kurang baik,“ desahnya di dalam dadanya. “Mudah-mudahan aku berhasil membujuknya dan membawanya di dalam rencanaku. Kalau Kakang Argapati telah tersisihkan, apalagi terbunuh, maka orang tua itu akan dapat menyingkirkan Ki Tambak Wedi. Sidanti bukan soal yang sulit bagiku. Apalagi rahasianya telah berada di tanganku.”

Argajaya itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya, “Apakah kau ragu-ragu, Ngger?”

“Memang ada keragu-raguan itu, Kiai. Aku adalah adik Kakang Argapati. Tetapi aku sedang mencoba mempergunakan pikiranku. Bukan perasaanku.”

“Aku percaya bahwa Angger akan dapat mengatasi perasaan itu. Dengan demikian, aku tidak akan terlampau banyak bekerja menjelang pertemuan di bawah Pucang Kembar itu. Bukankah begitu? Aku percaya bahwa pengaruhmu di sini cukup kuat, sehingga bersama-sama dengan Sidanti, kalian segera akan berhasil membelah Menoreh menjadi dua kekuatan. Sidanti dan Angger Argajaya di satu pihak dan Argapati di lain pihak.“ Ki Tambat Wedi berhenti sejenak, lalu, “Dapatkah aku membuat perhitungan demikian?”

Argajaya mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakmya sendiri ia berpaling kepada Sidanti. Kemudian katanya perlahan-lahan, “Bagaimana pendapatmu, Sidanti?”

Sejenak Sidanti berpikir. Ia mencoba untuk menjajagi keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Namun ia berkata, “Aku terlampau lama berada di luar Tanah Perdikan ini, sehingga aku tidak segera dapat mengatakannya. Paman-lah yang setiap saat berada di Tanah ini. Melihat watak dan sifat orang-orangnya. Mendengar dan mengerti kemauan dan kesenangannya.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ada pihak yang tidak senang kepada Kakang Argapati, justru karena ia ingin menjadikan Tanah ini terlampau baik. Kakang Argapati mencoba mencegah perjudian sabung ayam dan kesenangan lain yang telah mendarah daging bagi orang-orang Menoreh. Sejak ia menjadi Kepala Tanah Perdikan, ia sudah mulai mencoba. Tetapi setiap kali ia merasa gagal. Setiap kali ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa hal-hal yang tidak dikehendaki itu ternyata masih tersebar luas di Tanah Perdikan ini. Seakan-akan seemakin lama bahkan menjadi semakin meluas. Tetapi Kakang Argapati pun agaknya tidak jemu-jemu pula berusaha. Cara yang dianggapnya baik selalu dicobanya. Setiap kali ia gagal, setiap kali pula ia menemukan cara yang lain. Terlebih-lebih lagi pada saat paceklik yang jarang sekali menerkam Tanah Perdikan ini. Beberapa tahun yang lampau Tanah ini mengalami paceklik panjang. Dalam saat yang demikian itulah agaknya Kakang Argapati hampir kehabisan kesabaran, sehingga cara yang ditempuhnya menjadi tampak terlampau keras dan kasar. Beberapa pihak menjadi tidak senang atas sikap itu.“ Argajaya berhenti sejenak untuk menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat apakah yang pernah terjadi di Tanah Perdikan ini, dan apakah yang sebaiknya dikatakannya pada saat itu. Sejenak kemudian disambungnya, “Bukan saja mereka yang telah dicengkam oleh judi, sabung ayam, sabung gemak, dan bahkan jirak dan dakon dengan taruhan, beradu kemiri dan yang lain-lain, tetapi juga orang-orang kaya menjadi kecewa. Pada saat yang paling sulit, Kakang Argapati telah meminjam padi dan beras dari orang-orang kaya untuk orang-orang miskin. Pada saat yang paling sulit itu pun Kakang Argapati agaknya hampir kehilangan kesabaran karena kecemasannya melihat rakyatnya diserang oleh kelaparan. Pada saat itulah Kakang Argapati mengambil beras dan padi orang-orang kaya itu, meskipun menurut perjanjian yang dibuat, Kakang Argapati akan mengembalikan. Tetapi orang-orang kaya merasa haknya dirampas dengan paksa oleh Kakang Argapati. Mereka merasa bahwa Kakang Argapati telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai Kepala Tanah Perdikan, untuk memeras orang-orang kaya di Tanah ini.”

Ki Tambak Wedi memperhatikan keterangan Argajaya itu dengan dahi yang berkerut-merut. Namun sejenak kemudian ia tersenyum. Katanya, “Apakah Angger Argajaya mengenal orang-orang yang menjadi sakit hati itu?”

“Aku mengenal sebagian terbesar dari mereka.”

“Apakah mereka tidak terikat oleh kesetiaan dan kebanggaan atas keturunan Argapati.”

“Ya. Itulah yang menahan mereka untuk berbuat sesuatu. Mereka merasa bahwa trah Argapati tidak dapat diganggu gugat memegang pimpinan di Tanah ini.”

Wajah Ki Tambak Wedi menjadi suram. Ia menyadari, kesetiaan yang sudah tertanam sejak nenek moyang itu memang sulit untuk diatasi. Tidak ada orang lain yang lebih baik daripada jalur keturunan Argapati. Tidak ada orang lain yang pantas untuk menyebut dirinya Ki Gede Menoreh, selain Argapati turun-tumurun. Karena itu maka gumamnya, “Itu merupakan penghalang yang besar. Kita tidak akan dapat memutuskan ikatan itu dengan mudah.”

Tetapi segera Argajaya menyahut, “Kita tidak usah mencemaskannya. Kita harus meyakinkan kepada mereka, bahwa Sidanti adalah jalur yang sah. Kita hanya sekedar mempercepat persoalan, karena menurut wawasan kita Kakang Argapati sudah tidak dapat memenuhi kewajibannya.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Argajaya itu. Bahkan kemudian ia tersenyum. Memang masuk akal, bahwa dengan demikian, orang-orang yang tidak puas dengan Argapati akan mendapat saluran untuk menentukan sikap, mencari orang baru yang dapat diharapkan memenuhi keinginan mereka. Dan orang baru itu adalah jalur yang tidak menyimpang dari lajer induk.

“Sidanti akan bernama Argapati dan bergelar Ki Gede Menoreh,” desis Ki Tambak Wedi di dalam hati. “Apabila demikian, maka Argajaya pada saatnya tidak akan berguna lagi. Ia adalah duri di dalam daging yang setiap saat dapat menumbuhkan luka yang berbahaya. Ia akan dapat berkhianat dan menyingkirkan Sidanti, apalagi setelah diketahuinya bahwa Sidanti sama sekali bukan putera Argapati.” Ki Tambak Wedi itu tersenyum di dalam hati.

“Tetapi aku memerlukannya sekarang untuk memecah kekuatan Menoreh.”

Namun pada saat itu Argajaya tersenyum juga di dalam hatinya. “Aku sudah memegang rahasia itu. Pada saatnya kau akan tersingkirkan dari Menoreh, setelah orang-orang Menoreh mengetahui, bahwa kau bukaun trah Argapati, Sidanti.”

Pada saat yang bersamaan, Argapati sendiri sedang sibuk dengan puterinya Pandan Wangi. Pada saat gadis itu menyadari kenyataan yang dihadapinya, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat. Tidak sepatah kata pun yang dapat diucapkannya. Tubuhnya menjadi gemetar, dan keringat dingin mengalir dari segenap tubuhnya.

Argapati terkejut ketika ia mendengar Pandan Wangi memekik kecil. Tetapi sejenak kemudian gadis itu jatuh terkulai lemas. Pingsan.

Bukan saja Argapati yang menjadi cemas, tetapi pelayan-pelayan yang dipanggilnya pun menjadi bingung pula. Mereka kemudian menggelusut tubuh Pandan Wangi dengan berambang, jahe, dan minyak kelapa. Beberapa orang menggosok keningnya dengan jeruk dan air hangat. Sedang beberapa orang yang lain berkumat-kumit tanpa mengetahui apa yang sedang diucapkannya sendiri.

“Kenapa Pandan Wangi menjadi pingsan?” bertanya salah seorang sambil berbisik.

Kawannya menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”

Argapati sendiri kemudian menekan dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Pandan Wangi mengalami kejutan yang sangat, sehingga ia tidak dapat mempertahankan kesadarannya. Karena itu setelah usaha yang wajar tidak dapat membangunkan Pandan Wangi, maka berkatalah Argapati, “Bawalah Pandan Wangi ke dalam biliknya. Hati-hati. Aku sendiri akan mencoba menyadarkannya.”

Perlahan-lahan tubuh Pandan Wangi dipapah oleh beberapa orang, dibawa ke dalam biliknya. Setelah gadis itu dibaringkan di pembaringannya, maka Argapati pun berkata, “Tinggalkan gadis ini seorang diri.”

Para pelayan menjadi semakin bingung. Mereka bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Gede Menoreh?

Tetapi para pelayan itu dengan penuh pertanyaan di dalam hati, satu-satu melangkah meninggalkan bilik itu. Namun meskipun bilik itu kemudian ditutup oleh Argapati, mereka sama sekali tidak beranjak dari samping pintu. Mereka ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi atas Pandan Wangi. Bagi para pelayan, Pandan Wangi adalah seorang gadis kesayangan. Para pelayan tahu, bahwa gadis itu telah ditinggalkan oleh ibunya. Apalagi Pandan Wangi abalah gadis yang ramah dan baik, sehingga para pelayan senang kepadanya.

Di dalam bilik itu, Argapati duduk di samping puterinya. Tubuh gadis itu telah dibasahi oleh minyak kelapa, berambang, air jeruk dan bermacam-macam ramuan untuk mencoba menyadarkannya. Tetapi Pandan Wangi masih tetap pingsan.

Argapati tidak dapat membiarkannya dalam keadaan yang demikian maka dirabanya dahi anak itu. Dipusatkannya segenap kekuatan batinnya, memanjat langsung kepada Tuhan Maha Peeicipta.

Terasa tangan Argapati itu menjadi gemetar. Kepalanya semakin lama menjadi semakin menunduk. Dengan dada yang semakin lama menjadi semakin bergetar. Argapati berusaha sekuat-kuat tenaga batinnya untuk memohon agar anaknya segera menjadi sadar.

Setitik air seakan-akan menetes ke atas bara api di bawah kakinya ketika ia merasakan gerak yang lemah sekali pada anaknya itu. Agaknya saluran kekuatan hati dan kemantapannya memohon telah bergetar pula di dalam dada anak itu.

Argapati yang telah mencurahkan segenap kemungkinan yang ada di dalam dirinya itu kemudian menarik nafas dalam-dalam. Wajah puterinya menjadi berangsur merah. Meskipun Pandan Wangi masih belum sadar, namun tampaklah bahwa gelombang dadanya menjadi semakin keras.

Perlahan-ahan Argapati kemudian bangkit. Diambilnya air dingin di dalam kendi yang terletak di geledeg di sudut bilik itu. Dengan hati-hati dititikkan air dari dalamnya. Perlahan-lahan sekali, dengan sangat hati-hati. Setitik demi setitik.

Argapati hampir berteriak kegirangan ketika ia melihat puterinya itu membukakan matanya. Yang pertama-tama dipandangnya adalah pelita yang terletak di atas ajuk-ajuk, yang melekat pada tiang bilik itu. Kemudian perlahan-lahan kepalanya bergerak, beredar ke seluruh ruangan. Ketika terpandang olehnya, Argapati, ayahnya, maka dengan serta-merta Pandan Wangi itu berusaha bangkit. Tetapi tubuhnya menjadi terlampau lemah, sehingga ia terjatuh lagi di pembaringannya.

“Jangan bergerak, Wangi,” desis ayahnya perlahan-lahan.

Pandan Wangi tidak berusaha bangkit lagi dari pembaringannya. Ditatapnya saja wajah ayahnya dengan mata yang basah. Ketika kemudian Argapati itu duduk lagi di sampingnya setelah meletakkan kendi di tempatnya, maka dengan serta-merta diraihnya tangan ayahnya, diletakkannya di atas wajahnya.

Maka meledaklah tangis Pandan Wangi, seperti bendungan yang pecah oleh banjir bandang.

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Betapa hatinya serasa diiris dengan ujung senjata yang paling tajam. Namun sedikit kelegaan menyusup di dalam relung hatinya. Pandan Wangi telah dapat menangis. Telah dapat meluapkan perasaan yang tertahan. Semoga dengan demikian dadanya menjadi agak lapang.

Sejenak Argapati duduk saja berdiam diri di samping puterinya yang sedang menangis. Dibiarkannya saja Pandan Wangi menumpahkan sesak di dadanya, meskipun dadanya sendiri serasa akan retak. Setiap isak tangis puterinya seolah-olah seujung tombak yang menyentuh jantungnya.

Baru ketika tangis Pandan Wangi telah sedikit mereda, Argapati mencoba menghiburnya. Katanya, “Pandan Wangi. Aku sudah menyangka bahwa kau akan terkejut mendengar cerita itu. Tetapi aku mengharap bahwa kau dapat menanggapinya secara dewasa. Jangan kau tangkap cerita itu dengan sikap kekanak-kanakan.”

Dada Pandan Wangi masih terasa terlampau sesak. Meskipun demikian terlontar juga kata-katanya di sela-sela isak tangisnya, “Àyah, kenapa aku dilahirkan?”

Argapati mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu tidak diduga-duganya. Pandan Wangi tidak bertanya tentang Sidanti, tetapi ia bertanya tentang diri sendiri. Karena itu maka Argapati pun bertanya pula, “Apakah yang kau maksudkan Sidanti?

Pandan Wangi menggeleng lemah. Katanya, “Bukan, Ayah. Bukan Kakang Sidanti. Tetapi aku, ya kenapa aku dilahirkan dalam keadaan ini.”

Argapati menjadi semakin tidak mengerti. “Kenapa Wangi? Tidak ada persoalan apa-apa padamu. Persoalan kakakmu, Sidanti, pun sebenarnya telah selesai. Aku tidak akan mengusiknya. Bagaimana pahit perasaanku, tetapi aku sudah menerimanya sebagai anakku. Aku mengharap bahwa Ki Tambak Wedi akan bersikap jujur. Ia mengangkat Sidanti sebagai muridnya, tidak sebagai anaknya yang dimanjakannya dengan berlebih-lebihan. Kini Sidanti terperosok ke dalam kesulitan, dan kesulitan itu akan dibebankan kepadaku, kepada Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku pun tidak akan ingkar. Aku memang wajib menyelesaikan karena Sidanti adalah anakku. Tetapi tidak dengan cara yang ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Aku memilih cara yang lain, ya lebih sesuai dengan sikap dan kedudukanku. Tetapi Ki Tambak Wedi salah paham. Dan ia menganggapku berkhianat.”

“Aku mengerti, Ayah,“ sahut Pandan Wangi sambil terisak. “Aku mengerti. Tetapi justru Kakang Sidanti telah mendapat tempat yang wajar seandainya kini ia tidak berbuat kesalahan, seandainya ia kini menurut kehendak Ayah.”

“Ya, lalu kenapa dengan kau?”

“Bagaimanapun juga kelahiran Kakang Sidanti didasari atas kehendak bersama dari ayahnya dan ibunya, meskipun akhirnya disesali. Tetapi pada saat-saat itu, ada sentuhan kehendak bersama di antara keduanya.”

“Tetapi itu tidak ada hubungan apa-apa dengan kau, Wangi.”

“Tidak, Ayah,“ sahut Pandan Wangi. “Aku dilahirkan tanpa kesediaan yang jujur dari ayah dan ibu. Ayah dan ibu ternyata tidak saling mencintai lagi. Setelah peristiwa itu terjadi, maka hubungan Ayah dan ibu hanyalah sekedar hubungan yang diikat ketentuan lahiriah. Tetapi di antara Ayah dan ibu sama sekali sudah tidak ada ikatan batin, ikatan jiwa secara murni. Dalam keadaan yang demikian itulah aku dilahirkan.”

“Wangi, apakah yang kau katakan itu?”

“Hubungan antara Ayah dan ibu adalah hubungan yang diatur oleh keharusan duniawi. Ayah dan ibu seolah-olah hanya ingin memenuhi kewajiban masing-masing sebagai suami isteri. Tetapi kelahiran yang demikian adalah kelahiran tanpa arti. Kelahiran yang hanya dipaksakan oleh ikatan duniawi semata-mata tanpa hakekat yang sebenarnya dari hubungan antara suami dan isteri.”

“Wangi, dari mana kau dapat berkata begitu?”

“Bukankah aku sudah dewasa ayah?”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi kian pedih ketika tangis Pandan Wangi menjadi semakin meledak-ledak.

“Wangi,“ berkata Argapati, “tanggapanmu atas Sidanti dan dirimu sendiri terlampau dipengaruhi oleh kedirianmu. Kau terlampau kecewa melihat kenyataan itu. Tetapi sebenarnya tidak tepat seperti apa yang kau katakan. Coba Wangi, apakah kau masih juga menganggap bahwa kelahiran Sidanti diciptakan oleh hakekat hubungan antara seorang ayah dan seorang ibu? Kau telah membuat pertentangan yang tajam dari peristiwa-peristiwa itu. Kau memandang pada puncak-puncak peristiwa tanpa memperhatikan perkembangan jiwa yang terjadi kemudian padaku dan pada ibumu. Wangi, kau dapat membayangkan bahwa dapat terjadi kelahiran Sidanti, betapa kemudian ibumu menyesalinya. Sedang kelahiranmu memberikan kebahagiaan kepadanya dan kepadaku. Kami mengharapkan bahwa dengan kelahiranmu keretakan yang pernah ada itu akan dapat terhapuskan, setidak-tidaknya dikurangi. Bukankah dengan demikian kelahiranmu itu merupakan kerunia atas kami berdua tanpa menilik perasaan kami masing-masing pada saat-saat sebelumnya?”

“Tetapi perasaan bahagia itu adalah sekedar pelarian dari kekecewaan yang pernah mencengkam hati Ayah dan ibu,“ tapis Pandan Wangi menjadi semakin mengeras.

“Wangi, jangan terlampau dilanda oleh perasaan.”

“Ayah,” terdengar suara Pandan Wanni di antara isaknya, “aku tidak menyalahkan Ayah apabila Ayah selain diliputi oleh kekecewaan di dalam lingkungan keluarga. Betapa ayah mengasihi aku dan ibu dan bahkan Kakang Sidanti, tetapi sejak aku meningkat dewasa, aku merasakan sesuatu yang aneh tersimpan di hati ayah. Ayah sering menyendiri. Ayah sering melakukan pekerjaan ayah jauh melampaui batas waktu yang sewajarnya. Ayah sering pergi berburu dan bahkan Ayah mengajarku berburu pula. Bukan sekedar berburu, tetapi Ayah mendidik aku seperti Ayah mendidik seorang anak laki-laki dalam olah kanuragan.“ Pandan Wangi terhenti sejenak. Isaknya serasa menyumbat kerongkongan. Sejenak kemudian terdengar ia berkata sendat, “Apakah sebenarnya maksud ayah mengajariku ilmu itu? Ilmu cabang perguruan Menoreh menurut istilah Ayah? Kenapa tidak kepada Kakang Sidanti yang justru dibawa oleh ayahnya yang sebenarnya ke Tambak Wedi?” Sekali lagi Pandan Wangi berhenti, tetapi ketika ayahnya ingin menjawab, dipotongnya, “Aku kini dapat meraba perasaan Ayah waktu itu. Waktu Ayah memutuskan untuk memberi aku ilmu perguruan Menoreh meskipun aku tidak dapat memenuhi keinginan Ayah maju dengan cepat seperti seorang anak laki-laki.”

Argapati tidak segera menjawab. Ia merasakan kehalusan perasaan Pandan Wangi. Perasaan seorang gadis yang kecewa.

Rara Wulan bagi Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang putih bersih tanpa cacat. Ibu bagi seorang putri adalah gambaran dari kesucian yang mulus. Namun tiba-tiba anggapan itu telah berbenturan dengan kenyataan yang dihadapkan kepadanya.

Sebersit penyesalan mengorek hati Argapati. Tetapi kemudian ia merasa bersyukur, bahwa ia cukup mempunyai kekuatan untuk mengatakan kenyataan itu. Pandan Wangi mendengar langsung dari mulutnya sendiri, dari mulut ayahnya, bukan dari orang lain, meskipun kejutan perasaan itu akan terlampau parah baginya.

“Ayah,” terdengar suara Pandan Wangi lemah, “bukankah Ayah ingin mendapatkan imbangan dari kekecewaan Ayah terhadap kelahiran Kakang Sidanti? Ayah ingin seorang anak laki-laki yang dapat memberi kebanggaan bagi Ayah. Tetapi Kakang Sidanti tidak dapat Ayah terima dengan sepenuh hati. Karena itulah maka Ayah mencoba membuat aku menjadi seorang anak laki-laki meskipun dalam hidupku sehari-hari aku tetap seorang gadis.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Betapa tajamnya perasaanmu, Wangi. Sebagian terbesar kau telah benar menebak perasaanku. Tetapi kau kurang tepat menilai hakekat dari persoalannya. Seperti bibi pernah menganggapku sebagai seorang pemimpi, maka aku pun pernah mengutuk kenyataan itu. Tetapi itu sudah terjadi, Wangi. Dan aku mencoba untuk pasrah diri pada keharusan itu. Jangan berpijak pada ledakan kenyataan itu sendiri. Tetapi kau harus mencoba menyelusur perkembangan jiwaku dan ibumu. Kau lahir dalam pengharapan.”

“Itulah yang Ayah lakukan. Ayah terlampau sadar dalam keutuhan nalar, bahwa harus lahir seorang anak yang akan menjadi adik Sidanti, karena Sidanti tidak sepenuhnya menjadi isi dari keluarga ini. Bukan didorong oleh tambatan batin di antara Ayah dan ibu. Kesadaran atas suatu keharusan mendapatkan anak itulah yang telah mengurangi nilai daripada kelahiran anak itu sendiri. Kesadaran itu telah mendorong Ayah dan ibu dalam suatu kewajiban yang harus dilakukan. Hanya sekedar kewajiban.”

“Kau membedakan antara kewajiban dan harapan di dalam persoalan ini, Wangi. Di dalam persoalan kelahiranmu, jangan terlampau tajam menarik garis antaranya. Cobalah kau menenangkan hatimu, supaya kau dapat berpikir lebih bening. Bahwa aku melakukan kewajiban memang selalu didasari oleh pengharapan. Jangan kau samakan antara pengharapan atas sesuatu dengan pamrih untuk diri sendiri, meskipun keduanya saling mengait.”

Isak Pandan Wangi masih terdengar satu-satu. Kelembutan suara ayahnya mernberinya sedikit ketenteraman. Tetapi setiap kali teringat olehnya, apa yang telah terjadi atas ibunya, maka hatinya serasa ditusuk dengan sembilu.

“Kau harus menilai hal ini sebagai suatu kenyataan yang sudah tidak dapat diingkari lagi, Wangi. Kau harus menerimanya, meskipun aku tahu, betapa sakit luka yang tergores di hatimu. Aku tahu, bagaimana hatimu hancur melihat kenyataan tentang ibumu. Tetapi seperti aku pada saat itu, yang hampir-hampir kehilangan pegangan dan kehilangan akal, sehingga aku hampir-hampir berbuat sesuatu di luar sadarku, maka kaupun akhirnya harus menerimanya. Mau tidak mau. Kenyataan itu tidak akan terhapuskan meskipun seandainya kau ingin menolaknya, sebab kenyataan itu telah terjadi. Seperti aku pada saat itu mendengar kata-kata tentang keadaanku, Wangi, bahwa sebaiknya aku tidak terpukau pada peristiwa yang sudah terjadi. Tetapi, bagaimana dengan hari-hari mendatang. Demikian juga hendaknya kau. Jangan terpukau oleh peristiwa yang sudah lama lalu. Tetapi apakah yang akan segera terjadi?”

“Apakah hal itu mungkin, Ayah?”

“Dalam batas kemungkinan, Wangi. Tetapi kita harus berusaha.”

“Aku tidak dapat melepaskan diri dari hari kemarin, Ayah. Seperti Ayah katakan, bahwa yang terjadi kemarin adalah kenyataan yang tidak dapat aku ingkari. Kenyataan tentang diriku, tentang ibuku dan tentang Kakang Sidanti. Apakah sekarang aku dapat melepaskan diri dari kenyataan itu, sehingga aku, Pandan Wangi yang sekarang bukan Pandan Wangi yang lahir karena Ayah menjadi suami ibu, dalam ikatan lahiriah? Apakah Kakang Sidanti dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa ia adalah anak Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi? Apakah ibu dapat menghapus noda yang telah tercoreng di keningnya, sebagai seorang gadis yang menyerahkan kehormatannya karena nafsu yang menyala di dalam dadanya? Apakah ibu dapat mencuci dirinya dan membersihkan namanya meskipun ia menjadi isteri Kepala Tanah Perdikau Menoreh? Tidak, Ayah. Tidak. Ibu telah berbuat sesuatu yang paling keji, yang paling kotor. Dan aku, aku adalah anaknya.”

Tiba-tiba tangis Pandan Wangi itu menjadi semakin keras kembali setelah agak mereda. Dihentak-hentakkannya tangannya pada dadanya yang terasa terlampau sesak.)

Pelayan-pelayannya yang berdiri di luar pintu menjadi heran. Mereka mendengar Pandan Wangi menangis. Mereka mendengar seakan-akan Pandan Wangi itu berbantah dengan ayahnya. Tetapi mereka tidak mendengarnya dengan jelas. Mereka tidak mengerti apakah sebenarnya yang dipersoalkan.

Karena itu, maka mereka menjadi semakin lama semakin cemas. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak berani mengetuk pintu dan bertanya, apakah sebenarnya yang telah terjadi.

“Wangi,” Argapati kemudian berbisik perlahan-lahan, “tenanglah. Jangan menyesali diri dan kehadiran dirimu. Ingat, bahwa segala sesuatu tergantung sekali kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Kelahiranmu adalah karena kuasanya. Jangan mempersoalkan lantaran kelahiranmu. Tetapi kau adalah hamba-Nya, seperti orang-orang lain adalah hamba-Nya terkasih pula. Terimalah segalanya dengan ikhlas. Kalau kau ikhlas Wangi, tidak ada lagi persoalan bagimu. Persoalan masa lalu itu akan selesai. Marilah kita mulai berbicara dengan masa depan. Masa depanmu dan masa depanku, masa depan Tanah Perdikan Menoreh.” Argapati berhenti sejenak, lalu, “Sekarang tidak ada lagi yang dapat aku bawa berbicara Wangi, kecuali kau, meskipun kau seorang gadis.”

Pandan Wangi masih juga menangis. Tetapi tangisnya kini telah mereda. Namun masih terasa luka di hatinya terlampau pedih. Ternyata kebahagiaan keluarganya selama ini adalah kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan yang dibuat-buat bahkan dipaksakan oleh ayah dan ibunya.

Meskipun demikian kata-kata ayahnya berhasil juga sedikit memberinya harapan. Masa depan, dan menerima semuanya dengan ikhlas. Masih terngiang suara ayahnya, “Kau adalah hamba-Nya terkasih, seperti orang-orang lain adalah hamba-Nya terkasih pula.”

Pandan Wangi mencoba menghibur hatinya sendiri untuk mengurangi sesak nafasnya. Bahwa Tuhan adalah Maha Kasih Kepada-Nya-lah setiap orang harus menyandarkan dirinya.

Ketika tangis Pandan Wangi kemudian mereda kembali, berkatalah Argapati, “Beristirahatlah, Wangi. Nanti aku ingin berbicara denganmu. Mudah-mudahan kau mendapat ketenteraman hati. Tetapi kita nanti akan berbicara dengan nalar. Sejauh dapat kita pergunakan dan sejauh kita dapat menyeimbangkan perasaan.”

Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil.

“Kau menebak hampir tepat, kenapa aku menyerahkan ilmu kepadamu dan mendidikmu seperti seorang anak laki-laki dalam olah kanuragan. Kenapa tidak kepada Sidanti.” Argapati diam sejenak, lalu, “Kini kau mendapat jawabnya. Perasaan itu seolah-olah menjadi firasat bagiku, bahwa aku harus berbuat demikian.”

Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.

“Kalau kau dapat tidur, tidurlah, Wangi. Kita besok melihat hari yang bakal datang dengan hati yang dipenuhi oleh gairah akan masa mendatang. Kita berdiri di tempat yang berbeda dengan hari-hari yang lampau. Yang kita hadapi kini jauh lebih berat daripada mengatur Tanah Perdikan ini, daripada berusaha melenyapkan segala macam kemaksiatan dari Tanah tercinta ini.”

Terdengar Pandan Wangi berdesis meskipun tidak jelas. Tetapi Argapati dapat menangkap maksudnya, bahwa Pandan Wangi akan mencoba melakukan pesannya. Beristirahat.

Argapati pun kemudian meninggalkan Pandan Wangi seorang diri. Para pelayan yang masih ada di muka pintu segera menyibak. Mereka, melihat betapa wajah Argapati diliputi oleh kecemasan dan kemuraman. Tetapi tidak seorang pun yang berani bertanya. Mereka hanya berani mengintip bilik Pandan Wangi yang luas itu dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat. Ketika mereka melihat Pandan Wangi masih berbaring diam, maka mereka pun tidak berani masuk ke dalamnya.

“Biarlah ia tidur,” desis salah seorang pelayan.

“Ya, biarlah ia tidur. Marilah kita pergi ke belakang.”

“Bagaimanakah kalau ia memerlukan sesuatu?”

“Salah seorang dari kita bergantian menjaganya di sini. Di muka pintu, supaya tidak mengganggunya.”

Para pelayan itu pun kemudian satu-satu pergi meninggalkan bilik itu. Salah seorang dari mereka menungguinya sambil duduk bersandar uger-uger. Sekali-sekali diintipnya Pandan Wangi yang masih saja berbaring. Tetapi pelayan itu tidak berani berbuat apa pun selain duduk terkantuk-kantuk.

Namun dalam pada itu dada Pandan Wangi masih bergolak dengan dahsyat. Betapa ia mencoba berdiri tegak, melepaskan diri dari persoalan-persoalan itu, selalu saja ia terdampar kembali ke dalamnya. Ia tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan yang pahit itu. Tetapi seperti kata ayahnya, ia tidak boleh terbenam pula di dalamnya dan tidak mampu lagi untuk bangkit menghadapi masa depannya yang panjang.

Kini ia sadar, bahwa tanpa dirinya, ayahnya akan benar-benar berdiri seorang diri. Sidanti dan bahkan pamannya sendiri, adik ayahnya itu, Argajaya, telah meninggalkannya, meninggalkan ayahnya.

Maka perlahan-lahan tumbuhlah perasaan ibanya kepada ayahnya. Kepada ayah yang dikasihinya, seperti ia mengasihi ibunya. Tetapi ternyata bahwa peristiwa yang baru saja didengarnya itu telah menodai pula kasihnya kepada ibunya itu.

“Ayah seorang diri akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, Paman Argajaya, dan Kakang Sidanti,” desisnya.

Namun sekali lagi ia dilemparkan pada kesulitan perasaan. Sidanti adalah kakaknya. Sejak kecil ia menganggap Sidanti itu kakaknya. Memang sebenarnyalah Sidanti itu kakaknya seibu meskipun kemudian ternyata tidak seayah. Tetapi karena tidak ada orang lain, maka hubungan mereka benar-benar diikat oleh kasih seorang kakak-beradik. Apakah yang akan dilakukannya seandainya kakaknya Sidanti itu kini memusuhi ayahnya.

“Ayah memerlukan seorang yang berada di pihaknya. Ayah memerlukan kawan untuk berbincang. Dan tidak ada orang lain, selain aku,” desis Pandan Wangi. “Tetapi apakah aku dapat berbuat sesuatu atas Kakang Sidanti dan Paman Argajaya?”

Tiba-tiba sekilas teringatlah ia apa yang baru terjadi kemarin, ketika ia harus berkelahi melawan Sidanti yang menutup wajahnya dengan ikat kepalanya. Ternyata ia masih belum dapat menyamai ilmu Sidanti, meskipun tidak terpaut terlampau banyak

“Apakah aku harus berangan-angan bahwa suatu ketika aku akan berhadapan dengan Kakang Sidanti sendiri?”

Terasa segores luka menyentuh hati Pandan Wangi. Air matanya yang masih belum kering benar, meleleh semakin deras di pipinya. Dibayangkannya apa yang mungkin dapat terjadi, dan dibayangkannya masa kanak-kanaknya. Sidanti selalu mendukungnya apabila mereka bermain-main bersama-sama. Kadang-kadang ia merengek untuk diantar ke neneknya, ke bibi Arya Teja, di mana tinggal Sidanti. Atau Sidanti-lah yang pergi ke rumahnya untuk sehari penuh. Mereka bermain berkejar-kejaran, menangkap kupu-kupu dan bilalang. Memetik bunga dan bermain air di pinggir sumur.

“Ah,” Pandan Wangi berdesah. Namun apabila kemudian terbayang wajah ibunya, wajah Ki Tambak Wedi yang memang mempunyai beberapa persamaan dengan wajah Sidanti, tiba-tiba gadis itu menggeretakkan giginya. Sekejap seolah-olah lenyaplah sifat kegadisannya. Namun yang tidak dapat ditinggalkannya, adalah air mata yang meleleh di pipinya itu, betapapun ia bersikap garang.

Pandan Wangi memiringkan kepalanya ketika terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Ternyata sebentar lagi fajar akan menyingsing sebelum ia sempat memejamkan matanya barang sekejap.

Sementara itu Argapati duduk di pringgitan seorang diri, merenungi mangkuk yang masih berisi air jahe yang masih belum diminumnya. Tetapi air itu sudah menjadi dingin, sedingin sisa-sisa malam yang sebentar lagi akan dihalaukan oleh sinar fajar.

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri, dan pergi ke belakang untuk membersihkan diri. Ketika ia membuka pintu pringgitan, maka dilihatnya pendapa rumahnya yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Pendapa itu terasa terlampau sepi baginya kini. Rumah itu seakan-akan menjadi hambar. Tidak ada lagi yang memberinya isi. Tetapi ketika diingatnya Pandan Wangi di dalam biliknya, maka Argapati itu berdesis, “Semuanya kini tinggal untuknya. Untuk Pandan Wangi. Apabila Sidanti tidak mau kembali, dan Ki Tambak Wedi tetap pada pendiriannya, maka Tanah ini akan menjadi milik Pandan Wangi, bukan Sidanti, meskipun aku masih belum menutup pintu baginya. Tetapi untuk seterusnya, Sidanti pasti hanya akan dibayangi oleh gurunya dan didorongnya untuk masuk kedalam jurang yang paling dalam seperti saat ini. Menentang Pajang bukanlah mainan anak-anak.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Terasa kesegaran pagi menyusup kedalam lubang-lubang hidungnya. Ketika ia kemudian melangkahkan kakinya menyentuh halaman, maka di langit telah membayang warna-warna merah yang menjadi semakin rata.

Ketika matahari terbit di ujung timur, dan ketika perempuan laki-laki berjalan berurutan di sepanjang jalan pedukuhan dan di sepanjang pematang-pematang, menuju ke pasar, terdengarlah percakapan yang meloncat dari mulut ke mulut tentang datangnya kembali Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan mereka. Agaknya ada perselisihan antara Sidanti dan gurunya dengan Argapati. Bahkan secepat sinar pagi menebar di atas Tanah Perdikan Menoreh, secepat itu pula berita tentang Pandan Wangi yang menangis semalam suntuk tersebar di seluruh sudut Tanah itu. Betapa panjang jalan, masih juga lebih panjang tenggorokan, demikianlah cerita itu mendapatkan tanggapan yang luar biasa. Setiap mulut yang menyampaikan ke mulut yang lain, terdapat beberapa tambahan sesuai dengan selera masing-masing, sehingga cerita itu pun menjadi bersimpang siur tanpa ujung dan pangkal.

“Argapati ingkar akan kewajibannya,” desis seorang laki-laki bertubuh besar tinggi dan berkumis jarang.

“He,” kawannya terperanjat, “janji apakah yang diingkarinya?”

“Agaknya Argapati membedakan kedua anaknya. Emban cinde, emban siladan.”

“Aku tidak mengerti.”

“Sidanti mutung. Ia tidak mau tinggal bersama ayahnya yang menganggapnya tidak menurut kehendak orang tua itu.”

“He, darimana kau tahu?”

“Tadi pagi aku mendengar sendiri dari mulut adiknya.”

“Adik siapa?”

“Adik Ki Gede Menoreh yang garang itu, Ki Argajaya. Ketika aku bertemu di dekat rumahnya.”

Kawannya berbicara itu seolah-olah menjadi pening mendengar keterangan orang yang bertubuh besar tinggi dan berkumis. Maka ia pun bertanya pula, “Kau mendengar dari Ki Argajaya?”

“Ya. Tadi pagi.”

“Tadi pagi, kapan?”

“Ya tadi pagi, ketika aku berangkat ke pasar ini.”

“He,” sahut kawannya, “apakah kau bermimpi? Kapan kau bertemu dengan. Ki Argajaya? Bukankah kita berangkat bersama-sama dari rumahmu?”

Orang yang bertubuh tinggi besar itu mengerutkan keningnya. “Oh, ya kita berangkat bersama-sama.”

“Jadi kapan kau bertemu dengan Argajaya?”

“Bukan, bukan. Maksudku si Patra yang bertemu dengan Ki Argajaya sendiri. Si Patra-lah yang berkata kepadaku. Tetapi ia bertemu sendiri dengan Argajaya dan mendengar langsung dari mulutnya.”

“Kapan kau bertemu dengan si Patra?”

“Sebelum fajar. Bukankah ia sering mengambil gula kelapa dari padaku? Pagi tadi ia mengambil setenggok gula kelapa. Ia bertemu dengan Ki Argajaya langsung.”

“Bohong. Si Patra sebelum fajar datang pula kerumahku mengambil gula kelapa pula. Ia tidak berkata-kata apa-apa. Kalau ia telah bertemu dengan Argajaya, ia pasti akan berkata pula kepadaku. Dari rumahku ia berkata, akan segera menemuimu, karena ia takut kalau gulamu jatuh ketangan orang lain.”

Orang yang tinggi besar itu mengerutkan dahinya. Dan tiba-tiba ia berkata, “O, ya begitulah. Dari rumahmu ia memang langsung pergi kerumahku. Di jalan itulah ia mendengarnya.”

“Tidak mungkin. Apakah kerja Ki Argajaya di sepanjang jalan di antara rumahku dan rumahmu yang tidak lebih dari limapuluh langkah itu.”

“Aku tidak tahu,” jawab orang bertubuh tinggi, lalu, “tetapi aku kira ia berkata bahwa ia mendengar dari Busik. Ya, aku lupa. Ia mendengar dari Busik, bahwa Sidanti menjadi mutung. Dan Busik-lah yang langsung mendengarnya dari Ki Argajaya.”

“He, darimanakah sebenarnya sumber kabar itu?”

“Aku mendengar, dari Patra, tetapi pasti bahwa sumber kabar itu dari Argajaya.”

Kawannya mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Tetapi apa kepentingan kita atas hal itu?”

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut pendengaranku, demikianlah yang terjadi.”

“Tetapi agaknya kau menyambut kabar itu dengan penuh gairah.”

“Aku tidak mengharapkan yang tidak baik dari persoalan ini. Tetapi aku berkepentingan untuk mendapatkan kebebasan.”

“Kebebasan apakah yang kau maksud?”

“Aku tidak ingin selalu terganggu. Aku tidak mempunyai banyak kesenangan selain sedikit bersabung ayam. Dan Ki Argapati setiap saat mencari jalan untuk mencegahnya. Apalagi jirak kemiri dan beradu gemak. Tetapi, coba, apakah hal itu mereda? Bukankah semakin hari semakin ngambra-ambra.”

Kawannya terdiam sejenak. Ia tidak segera mengetahui maksudnya. Hubungan antara Sidanti dan bebotohan itu tidak begitu jelas baginya.

Karena itu maka ia bertanya, “Apakah yang akan dilakukan Argapati setelah Sidanti mutung? Apakah dengan demikian ia akan membiarkan saja segala macam bentuk perjudian itu, atau Sidanti mutung karena Sidanti sendiri menghendaki hal itu dibiarkan saja, sedang ayahnya menghendaki lain.”

“Demikianlah di antaranya,” jawab orang yang bertubuh besar tinggi dan berkumis jarang itu. “Sidanti memang tidak sependapat dengan ayahnya dalam banyak hal. Sedang Argajaya menganggap bahwa Sidanti berada di pihak yang benar. Demikianlah Sidanti meninggalkan rumahnya bersama gurunya. Tetapi ia tidak kembali ke perguruannya karena ia ingin mengabdikan diri kepada Tanah Perdikan ini.”

“Aku menjadi semakin tidak mengerti.”

“O, kau memang terlampau bodoh. Kau hanya dapat memanjat pohon kelapa dan nderes, kemudian membuatnya menjadi gula kelapa. Selebihnya tidak.”

“Mungkin kan benar. Tetapi aku ingin tahu, apakah yang sebenarnya akan terjadi di sini?”

“Sidanti adalah putera Ki Gede Menoreh yang berhak atas Tanah ini. Bukankah begitu?”

“Ya.”

“Dan ia sudah tidak dapat sesuai lagi dengan pendirian ayahnya.”

“Ya.”

“Tidak ada orang lain yang berhak untuk memegang pimpinan di sini, di atas Tanah Menoreh selain trah Argapati. Bukankah begitu?”

“Ya.”

“Nah, seharusnya kau sudah tahu. Kita tidak senang dengan cara Argapati memerintah. Kini telah ada di Tanah ini Sidanti, yang mempnnyai hak pula atas Tanah ini. Jelas.”

“O,” wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada yang tinggi, “Jadi kau membayangkan bahwa akan terjadi benluran antara ayah dan anak? Kau membayangkan bahwa Sidanti akan nggege mangsa, mempercepat hak itu turun kepadanya, kalau perlu dengan kekerasan?”

“Bukan begitu,” jawab kawannya, “tetapi apabila terpaksa begitu, ya, apa boleh buat.”

“Tidak, tidak mungkin,” tiba-tiba kawannya hampir berteriak sehingga keduanya terhenti, “itu tidak mungkin. Argapati adalah lambang keteguhan Tanah Perdikan ini. Ia berdiri tegak di dalam keyakinannya seperti bukit-bukit karang itu. Tidak akan goyah oleh apa pun. Tidak seorang pun yang berhak mendorongnya ke samping. Puteranya laki-laki itu pun tidak.”

Orang yang bertubuh besar dan tinggi itu terkejut. Kemudian katanya, “Kenapakah kau ini? Aku hanya sekedar mengatakan bahwa aku mengharapkan pembaharuan di dalam pemerintahan di Tanah Perdikan ini. Aku mengharap bahwa aku tidak merasa dikejar-kejar lagi apa pun yang akan aku lakukan. Kau kira bahwa aku berpendirian demikian itu hanya seorang diri?”

“Katakan, katakan, siapa yang lain.”

“Patra, Busik, dan masih banyak lagi.”

Kawannya berbicara itu mengerutkan dahinya. Kabar ini adalah kabar yang aneh baginya. Dan kabar yang demikian, itu pasti sudah tersebar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tanah yang selama ini hampir tidak pernah dilanda oleh persoalan-persoalan yang mencemaskan selain kerja keras untuk kepentingan bersama. Hanya kadang-kadang terjadi benturan-benturan perasaan, apabila Argapati terpaksa, sedikit berbuat kekerasan untuk mencegah akibat buruk dari segala macam taruhan dan perjudian. Sabung ayam, gemak, jirak kemiri dan sebangsanya, yang kadang-kadang dapat menjerumuskan seseorang kedalam neraka yang paling dalam.

Tetapi tiba-tiba tanpa ada mendung dan hujan, meledaklah petir di langit. Sekelompok orang-orang yang kecewa menghendaki pembaharuan. Pembaharuan yang tidak dilandasi atas ketentuan yang berlaku.

Orang itu bukanlah orang yang mempunyai pengetahuan cukup untuk memikirkannya. Ia hanya dibayangi oleh kecemasan bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Ia hanya tahu bahwa Argapati adalah seorang yang baik, karena ia bukan seorang yang sering mempertaruhkan nasibnya dengan segala macam cara. Yang ditempuhnya untuk mendapatkan perbaikan adalah dengan kerja. Kerja.

Tetapi ia mendengar kawannya yang bertubuh linggi besar itu berkata, “Marilah, kita masih belum sampai ke pasar. Bukankah kita akan pergi ke pasar? Lupakan saja kabar itu. Kalau kau sependapat, sambutlah, kalau tidak jangan risaukan lagi. Aku kira tidak akan terjadi apa-apa.”

Kawannya tidak menyahut. Mereka melangkahkan kaki mereka, meneruskan perjalanan. Tetapi mereka kemudian saling berdiam diri di sepanjang jalan. Masing-masing dibayangi oleh angan-angan sendiri.

Namun kabar yang demikian itu sebenarnya memang terlampau cepat menjalar. Hampir setiap mulut segera mengucapkannya. Sidanti mutung, meninggalkan ayahnya dan tinggal di rumah pamannya bersama gurunya, karena tidak sependapat dengan cara ayahnya memerintah Tanah Perdikan Menoreh.

Beberapa orang penting, akhirnya, sebelum matahari terbenam di ujung Barat, pada hari itu juga, mendengar pula kabar itu. Tetapi mereka menganggap bahwa kabar itu agaknya terlampau dibesar-besarkan. Memang mungkin sekait terjadi perselisihan pendapat antara ayah dan puteranya yang sudah dewasa. Tetapi perselisihan itu pasti hanya akan berlangsung sementara.

“Aku mendengar, bahwa pertentangan yang paling tajam justru terjadi antara Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi,” desis seseorang. “Bahkan mereka berjanji untuk menyelesaikannya di bawah Pucang Kembar.”

“Ah, jangan mengigau,” sahut yang lain,” itu hanya sekedar mimpi yang buruk.”

Yang mula-mula berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan itu hanya sekedar mimpi yang buruk, atau pendengaran orang yang membuat kabar ini salah dengar. Tetapi keduanya menyebut-nyebut Pucang Kembar dan saat purnama naik.”

Ternyata kabar-kabar yang bersimpang siur, telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan seakan-akan Bukit Menoreh yang membujur membeku itu pun ikut bergetar pula.

Namun dalam pada itu, hati Sidanti selalu dicemaskan oleh rahasia tentang dirinya. Bagaimanakah jadinya seandainya Argapati sendiri yang menyebarluaskan rahasia itu?

“Itu tidak akan terjadi,” berkata Ki Tambak Wedi. “Argapati tidak akan mencoreng arang dikening sendiri. Ia tidak akan mau membukakan rahasia itu kepada siapa pun, sebab dengan demikian hanya akan membuat dirinya sendiri terpercik noda dan malu.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun dadanya masih diamuk oleh keragu-raguan.

Tetapi dugaan Ki Tambak Wedi itu ternyata tidak salah. Argapati berusaha menutup rahasia itu serapat-rapatnya. Dipesankannya kepada Pandan Wangi untuk menyimpan rahasia itu di dalam hatinya. Rahasia keluarga mereka yang telah dipendamnya bertahun-tahun.

“Bagaimana kalau Ki Tambak Wedi sendiri yang membuka rahasia ini?” bertanya Pandan Wangi.

“Aku kira tidak Wangi, setidak-tidaknya untuk sementara ini. Aku mempunyai dugaan yang kuat, bahwa Sidanti dan Ki Tambak Wedi masih tetap berkepentingan, apabila orang-orang Menoreh menganggap ia sebagai anakku, yang akan berhak sepenuhnya atas Tanah ini.”

“Tetapi bukankah semua orang menganggap bahwa yang kelak akan mewarisi Tanah ini adalah Sidanti?”

“Ya, apabila ia menurut jalan yang aku gariskan. Kalau jika menyimpang dari jalan itu, apalagi membenturkan Tanah ini dengan kekuatan Pajang, aku tidak dapat menerimanya. Hak itu dapat aku cabut dan aku serahkan kepada orang lain.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sudah dapat menduga, bahwa dirinya pasti akan tersangkut di dalamnya. Putera Argapati sebenarnya ternyata hanya satu. Dirinya sendiri.

Dan sejenak kemudian ia mendengar ayahnya berkata, “Wangi, apabila Sidanti hanya menurut kehendaknya sendiri, atau menurut kehendak gurunya yang melonjak-lonjak itu, aku tidak akan dapat mengikutinya. Terpaksa aku melepaskan mereka bertindak sendiri.”

Pandan Wangi masih belum menjawab.

“Karena itu aku memerlukan kau, Wangi. Aku mengharap supaya kau dapat melepaskan dirimu dari himpitan perasaan. Aku mengharap kau dapat mempergunakan nalar sejauh-jauh mungkin, meskipun kau seorang gadis. Tidak ada lain yang dapat membantu aku dalam setiap keadaan kecuali kau.”

Pandan Wangi semakin menundukkan kepalanya. Dan ayahnya berkata seterusnya, “Aku tahu, bahwa kau akan mendapat beban yang terlampau berat bagi seorang gadis. Tetapi aku minta keikhlasanmu untuk melakukannya. Karena aku tidak melibat orang lain.”

Terasa dada gadis itu berdesir. Ia mencoba sekuat-kuat tenaganya untuk bertahan supaya perasaan kegadisannya tidak mendorongnya untuk menitikkan air mata. Namun dengan demikian, terasa tenggorokannya menjadi pepat, dan matanya menjadi pedih.

Dan ia mendengar ayahnya berkata seterusnya, “Tidak ada jalan lain bagi kita Wangi. Demi keselamatan Tanah ini, Tanah nenek moyang yang kemudian telah dikuatkan dengan kekancingan, bahwa Tanah ini telah menjadi Tanah Perdikan.”

Pandan Wangi mengusap wajahnya dengan tangannya. Keringat dingin terasa membasahi punggungnya.

“Kalau kau sudah bersuami, Wangi, maka keadaannya akan berbeda. Tetapi hal itu belum terjadi, sehingga semuanya masih tergantung kepadamu.”

Tanpa disengaja, Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba terasa hatinya dirayapi oleh getaran yang semula tidak begitu dikenalnya. Tetapi lambat laun menjadi semakin jelas baginya, bahwa getaran itu adalah getaran tekadnya untuk berbuat seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Tidak ada kesempatan lagi untuk merajuk dan bermanja-manja. Dihadapannya terbentang tanah garapan yang hampir menjadi kering.

Memang sekilas-sekilas melintas wajah ibunya yang sejuk dan dalam. Sorot mata yang suram dan senyum yang terlampau lembut. Tetapi kini diketahuinya, bahwa di balik sorot mata yang suram dan senyum yang terlampau lembut itu tersembunyi penyesalan tiada taranya. Penyesalan yang menjerat hidupnya.

Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dan ayahnya berkata seterusnya, “Tetapi aku masih mempunyai banyak harapan, Wangi, bahwa segalanya akan dapat diselesaikan dengan baik.”

“Tetapi,” suara Pandan Wangi terlampau dalam, “bagaimana dengan janji Ayah dan Ki Tambak Wedi bahwa pada saat purnama naik akan bertemu di bawah Pucang Kembar itu lagi.”

“Hem,” ayahnya berdesah, “kenangan yang paling pahit. Tetapi aku mengharap Tambak Wedi akan berbuat jujur seperti pada masa mudanya. Kita menyelesaikan persoalan pribadi dengan cara jantan.”

“Tetapi ….,” suara Pandan Wangi terputus.

“Aku tahu, Wangi. Kau ingin tahu apakah yang seharusnya kau lakukan dalam keadaan dan kemungkinan yang paling parah.”

Pandan Wangi tidak menyahut.

“Karena itu kau harus dapat berdiri di atas kedua belah kakimu, meskipun kau seorang gadis. Kita masih mempunyai waktu beberapa hari Wangi. Yang beberapa hari ini harus kau pergunakan sebaik-baiknya, supaya kau memiliki bekal yang cukup untuk membentuk diri kelak, meskipun tanpa tuntunan seorang guru pun.”

“Ayah,” Pandan Wangi memotong.

“Aku hanya mengatakan, apabila kemungkinan itu harus terjadi. Sebab semuanya tergantung kepada Yang Maha Kuasa. Kita wajib berusaha, namun ketentuan terakhir berada di tangan-Nya.

Sekali lagi Pandan Wangi terdiam.

“Kau sudah mempunyai pengetahuan serba sedikit untuk itu. Karena itu, maka kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”

Pandan Wangi tidak menjawab.

Argapati pun kemudian sejenak berdiam diri. Dicarinya kemungkinan yang paling baik yang dapat dilakukannya bersama satu-satunya puterinya. Pandan Wangi.

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ia masih belum dapat meredakan pergolakan yang bergulat di dalam dadanya. Benturan-benturan perasaan dan nalar, benturan-benturan tanggapan dan bayangan tentang masa-masa depan selalu mengganggunya, sehingga sulitlah baginya untuk dapat mengerti, apakah sebenarnya yang dikehendakinya sendiri.

Kadang-kadang hatinya terbakar oleh perasaan bencinya terhadap keadaan yang telah membuat keluarganya retak sejak dibentuk oleh ayah dan ibunya. Kadang ia ingin melepaskan kebencian dan kemarahannya. Tetapi kadang-kadang tumbuhlah sifat-sifat kegadisannya. Ia ingin merajuk dan bahkan kemudian menjauhkan diri dari setiap persoalan. Ia ingin lari. Lari saja entah ke mana.

Tetapi setiap kali dipandanginya wajah ayahnya yang suram, maka tumbuhlah getaran yang panas di dalam dirinya. Ayahnya kini tinggal berdiri sendiri. Apabila ia pergi pula meninggalkannya, maka ayahnya, satu-satunya orang yang masih ada di dekatnya itu, akan ditelan oleh Ki Tambak Wedi.

Pandan Wangi tidak dapat mengerti, dorongan apakah yang telah membawa pamannya ikut di dalamnya. Pandan Wangi tidak dapat mengerti, kenapa adik ayahnya itu memusuhi ayahnya pula Seharusnya Argajaya ikut pula mendendam, bahwa Ki Tambak Wedi telah menodai kemulusan keluarga kakaknya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Argapati telah mendengar pula apa yang bergolak di dalam daerahnya dalam waktu yang terlampau singkat. Argapati yang mempunyai tanggapan yang tajam itu segera dapat mengerti, bahwa Ki Tambat Wedi telah mempergunakan Argajaya dan Sidat untuk memecah Padang, dan dimulainya dari Tanah Perdikan Menoreh.

“Aku dapat menghubungi Adipati Pajang,” berkata Argapati di dalam hatinya, “tetapi harga diriku akan terkorbankan, seolah-olah aku tidak dapat mengatasi persoalan yang tumbuh di dalam daerahku, daerah yang sudah diberi wewenang untuk menjadi Tanah Perdikan. Aku sudah dibebaskan dari sebagian besar kewajiban-kewajiban yang mengikat, sehingga seharusnya aku tidak membuat Pajang menjadi sulit dan terpaksa menitikkan keringat dan apalagi darah prajurit-prajuritnya.”

Itulah sebabnya maka Argapati berpendirian untuk menyelesaikan masalah Tanah Perdikannya tanpa campur tangan orang luar.

Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ayahnya kemudian berkata, “Bagaimana, Wangi, apakah kau dapat mengerti maksudku?”

Sejenak Pandan Wangi terbungkam. Namun kemudian kepalanya mengangguk kecil.

“Bagus, Wangi,” berkata ayahnya, “Harapanku satu-satunya kini adalah kau. Tidak ada orang lain yang dapat aku percaya sepenuhnya. Apalagi setelah Argajaya dan Sidanti menyebarkan segala macam desas-desus yang telah merusak sendi kehidupan di Tanah Perdikan ini, menumbuhkan kegelisahan dan kecurigaan di antara kita dan menyalakan api ketidak-puasan yang sama sekali tidak beralasan. Tetapi aku tahu, Wangi, bahwa di antara orang-orang yang tidak puas adalah orang-orang kaya. Dengan uangnya mereka berusaha untuk menyebarkan pendiriannya. Dan kita ternyata masih belum siap untuk melawannya,”

“Dan ayah masih belum bertindak apa-apa?” bertanya Pandan Wangi.

Pertanyaan itu telah menyentuh hati Argapati, sehingga wajahnya yang suram itu tiba-tiba seolah-olah menjadi cerah. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Pertanyaanmu telah menumbuhkan gairah di dalam hatiku, Wangi. Aku memang belum berbuat apa-apa. Aku menunggumu. Aku ingin mendengar ketetapan hatimu. Karena kau seorang gadis, Wangi. Aku ingin tahu, di mana kau hendak berdiri. Apakah kau akan berdiri di samping ayahmu sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan yang kini sedang diguncang-guncang oleh orang lain, ataukah kau akan berdiri sebagai seorang gadis yang sedang kecewa menghadapi masalah dirinya, dan masalah keluarganya. Ketidakjujuran dan noda-noda yang kotor telah melekat di wajah kita, karena persoalan yang mengejutkan hati itu.”

Getaran yang panas, yang seolah-olah menyala di dalam dada Pandan Wangi menjadi semakin berkobar. Tiba-tiba air matanya serasa kering. Jari-jarinya yang halus itu tergenggam seperti sedang menggenggam hulu pedang. Katanya, “Ayah. Aku adalah satu-satunya keturunan Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Apa pun yang telah terjadi atas diriku, atas keluargaku, tetapi aku bertanggung jawab atas kelangsungan hidup Tanah ini. Karena itu, aku akan berdiri di samping Ayah sebagai seorang putera satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Akulah trah Argapati yang berhak atas Tanah ini.”

Dada Argapati menjadi berdebar-debar karenanya. Dan ia mendengar anak gadisnya itu berkata seterusnya, “Aku sama sekali tidak diburu oleh nafsu untuk merampas hak atas Tanah ini dari Kakang Sidanti. Tetapi aku dihadapkan pada keadaan yang meskipun tidak aku kehendaki. Kakang Sidanti telah melawan Ayah sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh bersama Paman Argajaya dan Ki Tambak Wedi.”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Terima kasih, Pandan Wangi. Memang tidak ada orang lain yang dapat berbuat demikian selain kau. Aku sudah berkeputusan, apabila kau berdiri tegak dengan dada tengadah, maka aku akan berbuat apa saja buatmu, Wangi. Meskipun aku sudah lama meletakkan tombak pendekku, tetapi untuk mempertahankan Tanah ini, untuk menempatkan kau di tempat yang seharusnya, aku akan menariknya dari wrangka dan selongsongnya. Aku akan dapat mempergunakan lagi seperti aku pernah mempergunakannya dahulu. Tetapi apabila kau berdiri di atas kegadisanmu, merajuk dan berputus asa, maka kau hanya akan menemukan mayatku besok sesudah purnama naik di bawah Pucang Kembar.”

“Ayah.”

“Tidak, Wangi,” potong ayahnya, “Sekarang aku berpendirian lain, justru kau telah menyatakan tekadmu. Aku masih ingin melihat betapa cerahnya matahari pagi sesudah purnama yang cerah itu.” Ayahnya berhenti sejenak, lalu, “Karena itu pula aku harus cepat bertindak. Hari ini aku akan mengumpulkan tetua Tanah Perdikan. Aku tidak dapat memberi kesempatan terlalu lama kepada orang-orang yang sengaja membuat kegelisahan itu. Aku harus memberi batasan waktu kepada mereka untuk menghentikan kegiatan mereka. Kalau mereka tidak bersedia, apa boleh buat. Aku akan bertindak sesuai dengan kewajibanku, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

Dan Ki Argapati itu benar-benar bertindak cepat. Saat itu juga ia memanggil beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi, meskipun demikian Argapati tidak ingin membuat kesan yang dapat menambah kegelisahan rakyatnya. Karena itu maka ia pun berbuat dengan sangat berhati-hati.

Pembicaraan-pembicaraan di antara mereka segera dilakukan. Argapati ingin mendapatkan laporan dan pendapat beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetap, Argapati sebagai seorang laki-laki jantan, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung janjinya dengan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar nanti pada saat purnama naik.

Yang dibicarakan di antara mereka adalah desas-desus yang makin tersebar luas. Yang dapat menumbuhkan tanggapan yang berbeda-beda di antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Ada yang dengan sepenuh hati menyambut Argajaya bersama Sidanti untuk menumbuhkan suasana baru di Menoreh. Tetapi ada pula di antaranya yang berkata “Kami tidak ingin terjeiumus kedalam neraka yang paling jahanam. Seandainya benar kata orang bahwa Sidanti telah kembali bersama gurunya, untuk memberikan nafas baru di daerah ini, maka kami harus menentangnya. Argapati adalah seorang pemimpin yang terbaik yang pernah kami kenal. Apabila Sidanti ingin menjadi seorang pemimpin yang baik, ia harus belajar dari ayahnya Jangan sebaliknya justru memusuhinya.”

Dan yang lain berkata, “Huh, anak durhaka. Apakah ia tidak sabar menunggu sampai saatnya ia menerima waris itu dengan sah menurut ketentuan yang seharusnya?”

Namun di antara sekian banyak orang-orang yang menganggap bahwa Sidanti telah berbuat kesalahan, ada juga yang dengan acuh tak acuh, menunggu apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Di antara mereka berkata, “Itu adalah urusan mereka. Bagiku lebih baik menunggu saja apa yang akan terjadi, sambil melihat arah angin yang sedang bertiup.”

Demikianlah, maka suasana Tanah Perdikan iu benar-benar telah diguncangkan oleh kabar-kabar itu, meskipun tampaknya di permukaan masih juga tenang dan seperti biasa. Tetapi di antara orang-orang yang merasa tidak senang terhadap perlakuan Argapati, segera mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia. Berbicara berbisik-bisik.

“Mudah-mudahan trah Argapati yang masih muda itu memenuhi harapan kita,” berkata salah seorang dari mereka.

“Apakah kita hanya cukup berharap?”

“Tidak. Kita harus berbuat sesuatu.”

“Banyak yang setia kepada Argapati yang sekarang.”

Yang lain tertawa. Katanya, “Biarlah Argapati membuat rumahnya berbenteng baja. Kita sebarkan emas di halaman, maka benteng baja itu pasti akan pecah oleh rakyat yang justru sebelumnya setia kepadanya.”

Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata salah seorang dari mereka, “Kalau begitu kita temui Sidanti. Kita taruhkan harapan kita kepadanya, supaya kita tidak selalu dihantui oleh sikap Argapati yang memuakkan itu.”

Tetapi ternyata semua bisik-bisik itu sampai juga ke telinga Argapati. Dan bisik-bisik yang demikian itulah yang dibicarakan oleh. Argapati dengan beberapa orang tetua, pemimpin, dan agul-agul di Tanah Perdikan Menoreh.

“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu.

“Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus melihat setiap perkembangan dengan saksama,” jawab Argapati. Lalu, “Jangan membuat rakyat semakin gelisah. Semua gerakan harus dibuat sandi.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tetapi Ki Argajaya agaknya sudah jauh bertindak. Bebera kelompok pengawal telah berada di pihaknya. Dan beberapa kelompok anak-anak muda telah dipengaruhi pula oleh Sidanti.”

Argapati mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menyangka bahwa akibatnya akan sampai sekian jauh. Tetapi ia masih juga berkata, “Aku tahu, tetapi aku masih ingin mencoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Sekian lama kita bekerja keras untuk membangun Tanah ini. Apakah sekarang kita akan membiarkan Tanah ini terbelah? Apakah kita akan membiarkan rakyat kita hancur oleh kita sendiri?”

“Tidak,” sahut pemimpin pengawal yang sudah setengah umur itu, yang selama ini, sebelum peristiwa ini terjadi, selalu mendampingi Argajaya. “Kami tidak menghendaki. Tetapi kalau kami tidak bertindak cepat, maka keadaan pasti akan menjadi semakin parah. Kalau kita tidak memberi mereka kesempatan, maka kita pasti akan segera dapat mengatasinya.”

“Tunggulah,” jawab Argapati, “aku akan membuat perhitungan.”

“Hem,” pemimpin pengawal itu menggeram.

Namun dada Argapati pun digetarkan pula oleh geram di dalam pusat jantungnya. Tetapi nalarnya masih cukup kuat untuk membuat pertimbangan yang bagi pemimpin pengawal itu dianggapnya terlampau lamban.

“Yang harus kau lakukan adalah membuat perhitungan yang tepat,” berkata Argapati. “Apabila ada diantara kalian yang menyeberang, maka kau harus mengetahui imbangan kekuatan itu. Tugasmu yang lain adalah mempersiapkan diri. Setiap saat kalian harus dapat bergerak cepat.”

Pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku akan segera memberikan petunjuk-petunjuk baru. Tetapi kau harus menyampaikan laporan-laporan setiap saat.”

Sekali lagi pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Selebihnya Argapati telah memberikan petunjuk-paporan bagi para pemimpin Tanah Perdikan itu, bagaimana mereka harus menghadapi kabar yang semakin merata. Kabar yang sebenarnya. telah benar-benar menggelisahkan Argapati sendiri.

Tetapi Argapati itu terikat oleh janjinya. Pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar. Pada saat ia mengucapkan janji itu, ia sama sekali tidak mempertimbangkan, bahwa ia sekarang bukan lagi Arya Teja yang dahulu. Tetapi ia adalah Kepala Tanah Perdikan yang mempunyai tanggung jawab yang besar atas kewajibannya.

Dengan demikian maka setiap persoalan pribadinya, mau tidak mau pasti akan menyangkut persoalannya sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Persoalannya dengan Ki Tambak Wedi yang tampaknya sebagai persoalan pribadi itu pun ternyata tidak dapat terlepas dari kaitan persoalannya dengan Sidanti.

Argapati menyadari persoalannya setelah ia terlibat dalam kesulitan. Ternyata perkembangan keadaan tidak menjadi semakin baik. Kabar yang tersiar semakin lama menjadi semakin menggelisahkan, sehingga Argapati terpaksa mengirimkan beberapa orang untuk langsung menemui Ki Tambak Wedi membawa pesan pribadinya.

“Tidak, aku tidak akan berbicara apa pun,” berkata Ki Tambak Wedi setelah ia mendengar pesan dari utusan Argapati.

“Ki Argapati minta jawaban,” jawab utusan itu.

“Tidak, kau dengar. Aku tidak akan memberikan jawaban apa pun.”

“Baik. Kalau demikian, berarti kedatanganku tidak berarti. Bagi Ki Argapati ini adalah keputusan yang akan jatuh,” berkata utusan itu. “Aku hanya sekedar utusan. Tetapi keputusan yang diberikan oleh Ki Argapati akan mengikat seluruh Tanah Perdikan Menoreh.”

Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia tahu benar, bahwa Argapati tidak ingin melihat pertumpahan darah. Ia pasti, akan berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk menyelesaikannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Maka berkata Ki Tambak Wedi yang licik itu, “Baiklah. Aku akan mejawab. Katakan kepada Ki Argapati, bahwa aku tetap pada pedirianku. Kalau Ki Argapati bersedia menempatkan dirinya bersama aku dan puteranya yang digadangnya untuk menduduki tempatnya kelak, maka semuanya akan menjadi baik. Tidak ada pertentangan yang dalam. Kami hanya ingin mendapat perlindundan pertanggungan jawab. Terutama puteranya yang kini terancam bahaya. Sebaiknya Argapati mempertimbangkan keputusannya.”

“Bukan itu yang ditanyakannya,” jawab utusan itu, “tetapi Ki Argapati ingini tahu, apakah kalian bersedia menghentikan segala macam kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku di Tanah Perdikan ini.”

“Diam!” bentak Ki Tambak Wedi yang hampir kehilangan kesabaran, “Katakan saja kepada Ki Argapati. Aku tidak mau berbicara dengan cecurut-cecurut macam kau.”

“Ki Tambak Wedi,” wajah orang itu menjadi merah padam, “aku tahu bahwa sepuluh orang seperti aku, bahkan seratus orang mungkin tidak dapat menyamaimu. Tetapi bahwa aku sekarang sedang mengemban tugas dari Ki Gede Menoreh, kedudukanku adalah kedudukan seorang utusan dari seorang yang paling berkuasa di sini. Karena itu jawablah pertanyaan Ki Ge Menoreh. Apakah kau bersedia menghentikan segala kegiatan atau tidak. Hanya itu, dan jawabnya pun hanya ada satu dianta dua, ‘ya, atau tidak’.”

“Gila!” yang berteriak kemudian adalah Sidanti. Hampir saja ia meloncat menerkam utusan itu. Tetapi Ki Tambak Wedi telah menahannya.

“Tunggu dulu Sidanti.”

“Apa lagi yang ditunggu? Orang ini ternyata bermulut besar. Betapa ia menjadi sombong hanya karena ia menjadi orang utusan. Sudah sepantasnya ia dicincang di halaman.”

“Ia hanya sekedar seorang utusan,” berkata Ki Tambak Wedi. “Tanganmu terlampau bernilai untuk melakukannya. Orang ini tidak sepantasnya mendapat pelayanan dari kau apalagi aku.”

“Lalu apakah yang akan Guru lakukan atasnya?”

“Biarkan saja ia pergi dan menghadap Argapati. Aku sudah memberi penjelasan.”

“Bukan itulah soalnya,” utusan itu masih saja memotong.

Sidanti menggeram. Bahkan darah Ki Tambak Wedi sendiri terasa telah mendidih. Tetapi ia adalah seorang yang licik. Sehingga ia pun berkata, “Biarkan saja ia Sidanti. Meskipun bukan itu yang ditanyakan, tetapi ia akan bercerita juga di hadapan Ki Argapati. Ia akan bercerita tentang sikapku dan semua yang didengarnya.”

Kini utusan itulah yang menggeram. Tetapi ia berkata, “Aku akan bercerita. Tetapi apakah kau yakin bahwa ceritaku tidak akan membakar hati Ki Argapati dan memaksanya untuk bertindak hari ini juga? Aku tahu benar, bahwa kalian masih belum siap seandainya Argapati mengambil tindakan hari ini.”

“Bodoh sekali,” sahut Sidanti. “Apakah kau tidak mempertimbangkan bahwa dengan demikian aku dapat membunuhmu.”

“Kematianku tidak akan berarti apa-apa. Baik bagi Menoreh, maupun bagi Ki Argapati. Aku hanyalah seorang pengawal Tanah Perdikan dari antara sekian banyak orang. Tetapi arti kematianku akan sangat penting bagi kalian. Sebab kematianku adalah jawaban yang tegas dari pertanyaan Ki Argapati. Ya atau tidak.”

“Setan!” sahut Ki Tambak Wedi. “Pergi, cepat pergi! Terserahlah apa yang akan kau katakan kepada Ki Argapati. Aku sudah mengemukakan pendirianku. Aku tahu bahwa Argapati masih berusaha mencari jalan yang baik untuk menemukan penyelesaian. Aku pun berpendirian demikian. Kalau kau sebagai seorang utusan telah memotong hasrat yang bersamaan yang menyala di dalam dada Argapati dan puteranya bersama-sama, maka kutuk yang paling jahat akan jatuh kepadamu. Seandainya kelak berkobar persoalan yang sama-sama tidak kita kehendaki,maka kaulah sumber dari segala macam sebab. Karena seandainya kau tidak membakar hati Argapati, maka semuanya itu tidak akan terjadi.”

Utusan itu mengerutkan keningnya. Ia dapat mengerti kata-kata Ki Tambak Wedi. Tetapi ia pun curiga pula atas segala macam kemauan baik yang diucapkannya. Karena itu maka akhirnya ia berkata, “Aku hanya sekedar utusan. Aku akan menghadap Ki Argapati, apabila aku tidak kau bunuh di sini. Sebab untuk membunuhku kalian tidak akan mengalami kesulitan meskipun aku pasti akan melawan dengan segenap hati.”

“Pergi! Pergi!” teriak Sidanti. “Kau terlampau memuakkan bagiku. Katakan kepada ayah Argapati semuanya yang pernah kau dengar di sini.”

Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi utusan Ki Argapati untuk menemui Ki Tambak Wedi dan Sidanti itu pun kemudian meninggalkan rumah Argajaya yang seolah-olah telah menjadi pusat dari segala kegiatan dan gerakan yang dilakukan oleh ketiga orang itu. Mereka telah membuat rumah itu sebagi pancadan untuk menggenggam seluruh kekuasaan tidak saja di Menoreh, tetapi kekuasaan Pajang seluruhnya, apabila saatnya telah datang.

Argapati mendengar keterangan utusannya dengan hati yang pedih. Terbayang di dalam rongga matanya bahwa sesuatu yang tidak diharapkan benar-benar akan terjadi. Sudah tentu ia tidak akan dapat membiarkan hal itu. Tidak dapat membiarkan Sidanti merebut kekuasaannya alas Tanah Perdikan ini, meskipun memang pernah dijanjikannya. Tetapi cara yang ditempuh oleh Sidanti adalah cara yang sangat menyakitkan hati.

“Soalnya bukan karena aku tidak mau menyerahkan kekuasaan itu kepada anakku,” berkata Argapati kepada pembantu-pembantunya, “tetapi yang lebih penting lagi bagiku, adalah cara yang mereka pilih. Dan terlebih-lebih lagi, apakah yang akan terjadi sesudah itu. Aku tidak berani membayangkan, apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti dengan orang-orang yang kini meudukungnya. Orang-orang yang kecewa, orang-orang yang ingin berbuat sekehendak sendiri, tanpa dikendalikan lagi, orang-orang yang kaya tanpa mempertimbangkan dari mana ia mendapat kekayaan itu, orang-orang yang ingin berkuasa, dan orang-orang yang mendapat keuntungan dari segala macam benturan-benturan yang terjadi. Bahkan orang-orang yang sekedar mendapat janji untuk kepentingan pribadi. Orang-orang yang terlampau miskin dengan harapan-harapan yang dibayangkan akan dapat berlaku kelak. Kepentingan-kepentingan yang berbeda, tetapi mempunyai satu titik tumpuan, yaitu perubahan atas pimpinan Tanah Perdikan ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup Menoreh. Berbahaya bagi keturunan kita kelak.”

Pembantu-pembantu dan tetua-tetua Tanah Perdikan Menoreh menyadari, betapa keadaan telah meluncur dengan cepatnya ke dalam suatu kesulitan yang hampir tidak dapat dicegah lagi.

Para pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu hampir-hampir sudah tidak dapat bersabar lagi. Membiarkan hal itu berlarut-larut berarti membiarkan dirinya diintai oleh seekor harimau lapar. Setiap saat dalam kelengahan yang sekejap saja, pasti segera akan menerkam dengan garangnya.

Tetapi Ki Argapati selalu mencoba menunggu sampai saat purnama naik. Ia ingin menyelesaikan janjinya. Janji jantan yang tidak dapat diingkarinya.

Memang kadang-kadang tumbuh pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan membiarkan Menoreh ditelan oleh kesulitan yang lebih parah, dengan taruhan yang lebih mahal sekedar memenuhi harga diri pribadinya?

“Tidak. Saat purnama akan segera datang. Hanya tinggal beberapa hari lagi. Selain itu, akupun akan sudah siap untuk bertindak serentak. Sekali pukul, Ki Tambak Wedi harus hancur. Kalau tidak, maka keadaan akan menjadi lebih parah agi,” kata Argapati di dalam hati

Maka yang dilakukan oleh Argapati kemudian adalah mempersiapkan pasukan pengawal sejauh-jauhnya. Kepada para pemimpin Tanah Perdikan, Argapati memerintahkan untuk melakukan perlawanan atas kabar yang tersiar. Mereka harus tegas-tegas mengatakan, bahwa pada saatnya apabila orang-orang yang sesat itu tidak segera kembali ke jalan yang lurus, Argapati akan melakukan tindakan yang keras kepada mereka.

Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus menarik garis yang jelas, di manakah orang-orang yang melakukan perlawanan itu menempatkan dirinya. Sejak saat itu, peronda-peronda harus ditempatkan di tempat-tempat tertentu. Para pengawal harus berada dalam kesiap-siagaan penuh setiap saat. Gardu peronda harus segera dilengkapi dengan alat-alat untuk tengara setiap gerakan yang mencurigakan.

“Kita tidak dapat melakukannya dengan bersembunyi-sembunyi lagi,” berkata Argapati. “Kita terpaksa melakukannya dengan terbuka justru untuk menenteramkan hati rakyat, bahwa kita pun telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang tidak kita kehendaki. Sementara itu setiap cara untuk menempuh jalan lain, masih harus kita usahakan, agar Menoreh tidak terjerumus ke dalam api yang dapat membakar seluruh bukit ini, menjadi karang abang tanpa arti.

Ternyata setiap pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan setiap pengawal yang masih setia kepada Argapati telah melakukan perintah itu dengan baik. Di tempat-tempat tertentu telah ditempatkan satuan-satuan pengawal yang dapat bertindak setiap saat. Tetapi para pemimpin itu pun tidak dapat menutup mata dari kenyataan bahwa sebagian dari mereka pun telah terpengaruh oleh berbagai macam janji dan harapan yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Mereka tidak segan-segan untuk melontarkan segala macam fitnah yang paling keji sekalipun, untuk membangkitkan kebencian rakyat kepada Ki Gede Menoreh.

“Aku tidak menyangka, bahwa hal ini dapat terjadi,” berkata Ki Argapati kepada Pandan Wangi ketika mereka duduk berdua di pringgitan rumahnya. “Ternyata, benih yang ditaburkan, oleh Ki Tambak Wedi itu telah tumbuh menjadi sebatang pohon berduri yang meracuni Tanah ini.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi tekadnya telah bulat, untuk berbuat apa saja di samping ayahnya sebagai Kepala Tanah Perdikan.

“Pandan Wangi,” berkata ayahnya, “ilmumu ternyata telah menjadi jauh sekali maju. Kau tidak boleh berhenti. Setiap malam kau masih harus melakukannya tanpa dilihat orang lain, supaya tempat latihan kita itu tidak menjadi sasaran tindakan licik Ki Tambak Wedi dan pengikut-pengikutnya.”

Pandan Wangi mengangguk.

“Malam nanti aku akan sampai kepada puncak unsur-unsur gerak yang menjiwai seluruh perguruan Menoreh. Kau sudah saatnya untuk menerimanya. Aku mempunyai perhitungan, dengan demikian, kau akan berada lebih tinggi di dalam tataran ilmumu dari Sidanti yang saat ini pasti tidak sempat melakukan latihan-latihan yang berarti. Tetapi aku telah menyisihkan waktu untuk itu. Untuk kepentinganmu. Seandainya terpaksa terjadi sesuatu atas Tanah Perdikan ini, maka kau akan mampu melindungi dirimu sendiri dari bencana.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ternyata bahwa ayahnya telah sampai pada suatu kemungkinan baginya untuk melakukan perlawanan atas Sidanti, kakaknya. Meskipun Sidanti bukan putera Ki Gede Menoreh, tetapi Sidanti itu telah dilahirkan pula oleh Rara Wulan, ibunya.

Terasa desir yang tajam tergores di dinding hatinya. Tetapi Pandan Wangi mencoba menggeretakkan giginya untuk mengusir perasaan yang mengganggu dirinya itu. Ia ingin berdiri di tempat yang telah dipilihnya menurut nalarnya. Ia tidak mau terombang-ambing oleh perasaannya yang kadang-kadang kehilangan keseimbangan.

Tetapi betapapun juga ia berusaha, namun setiap kali terngiang di telinganya, “Sidanti adalah kakakmu seibu. Kakak yang dengan sayang membawamu bermain-main di masa kanak-kanak.”

“Kami bukan anak-anak lagi,” Pandan Wangi mencoba menahan gelora perasaannya. Namun ia tidak dapat menahan ketika setitik-setitik air membasahi pelupuk matanya.

Ayahnya menyadari betapa beratnya bagi Pandan Wangi untuk memilih sikap. Tetapi adalah kewajibannya untuk mencoba menunjukkan arah. Seperti seseorang yang berdiri di simpang jalan, yang sama-sama menuju ke dalam kesulitan, maka Pandan Wangi harus memilih salah satu di antaranya. Salah satu yang paling baik betapa, pun sulitnya.

Ketika kemudian malam tiba, yang semakin lama menjadi semakin dalam, maka Ki Argapati dan Pandan Wangi telah berada di sebuah tanah lapang sempit yang sepi. Tempat yang mereka pilih untuk menempa satu-satunya anak yang akan dapat meneruskan hadirnya Tanah Perdikan Menoreh apabila Sidanti sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Argapati.

Angin yang silir telah mengusap tubuh-tubuh yang basah oleh keringat. Pandan Wangi telah mencoba untuk mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya supaya ia tidak mengecewakan ayahnya yang sedang dikalutkan oleh kakak seibunya.

Ternyata harapan Ki Argapati yang ditumpahkan kepada puterinya itu tidak sia-sia. Pandan Wangi kini sedang berada di dalam latihan yang paling sulit. Keringatnya telah membasahi seluruh wajah kulitnya, dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya. Terasa getaran-getaran yang semakin cepat mengalir di segenap otot bebayu, bahkan terasa seolah-olah bergetar di seluruh bagian tubuhnya menyelusuri segenap tulang sungsumnya.

Getaran-getaran itulah sumber pancaran ilmu yang harus dipelajarinya, diluluhkan dengan getar di dalam dirinya, dan kemudian akan terpancar dalam satu bentuk yang dahsyat. Dengan getaran-getaran yang harus dikenali bentuk dan wataknya, Pandan Wangi akan mampu membangunkan segenap tenaga cadangan di dalam dirinya seperti yang dikehendakinya, yang kadang-kadang di dalam ujudnya, hampir-hampir tidak dapat digapai oleh akal. Tetapi sebenarnyalah bahwa sumber kekuatan itu telah ada di dalam diri, lahir bersama-sama dengan kelahiran dirinya dari Sumber Yang Esa. Kekuatan itu sama sekali bukanlah hasil buatan manusia, bukan karena kepandaian dan kemampuan manusia menciptakan kekuatan dan kelebihan di dalam dirinya dari orang-orang lain, tetapi manusia hanya dapat mengenali dan mempergunakannya, yang sebelumnya memang telah ada di dalam diri. Sesuai dengan sumbernya, maka tidak ada lain, bahwa tenaga cadangan dan setiap pancaran kekuatan, hendaknya dipergunakan menurut arah yang telah ditentukan. Untuk kepentingan kasih sesama, dan untuk kepentingan Sumber itu sendiri, dalam segala macam tuntutannya.

Tetapi ternyata bahwa di dalam diri manusia terdapat pengenalan yang kadang-kadang sesat dari arah pancaran Sumbernya. Sesat dan tidak ingin menemukan jalan kembali. Dibangkitkannya kekuatan di dalam diri manusia dengan landasan yang samar, dan bahkan dengan landasan yang kelam dan hitam. Untuk tujuan yang kelam dan hitam pula, sehingga manusia yang demikian semakin lama akan menjadi semakin jauh tersesat.

Ternyata Pandan Wangi benar-benar tidak mengecewakan ayahnya. Ketika keringatnya seolah-olah telah terperas habis dari dalam tubuhnya, maka sampailah ia pada puncak ilmu yang diturunkan ayahnya kepadanya. Unsur gerak yang merampas segenap kekuatan lahir dari batinnya. Memukaunya dalam pengaruh yang semula kurang dikenalnya. Tetapi kemudian dimengertinya, bahwa yang kurang dikenalnya itu adalah dirinya sendiri dalam bentuknya yang paling wajar. Tanpa pulasan lahiriah dan bahkan seakan-akan tidak mengenal wadagnya sendiri. Hakekat dari kekuatan manusiawi yang tersimpan di dalam diri, dalam pancaran pribadi yang lengkap.

Ketika getaran itu terasa mencengkam seluruh tubuhnya, maka Pandan Wangi merasakan betapa sulitnya ia melawan kehendak di dalam diri. Seolah-olah suatu kekuatan yang dahsyat telah menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang tidak dimengertinya. Tetapi Pandan Wangi tetap bertahan, ia mencoba untuk tetap sadar dan mendengar kata-kata petunjuk ayahnya. Ia mendengar kata demi kata meskipun seolah-olah semakin lama menjadi semakin jauh. Dipusatkannya inderanya untuk tetap mendengar suara itu.

Kini Pandan Wangi justru tidak bergerak sama sekali, ia berdiri tegak dengan kaki rapat. Tangannya disilangkannya di dadanya, sedang senjatanya, sepasang pedang, mencuat di depan pundaknya. Didengarnya petunjuk-petunjuk ayahnya, untuk melakukan unsur-unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Tetapi Pandan Wangi sudah tidak bergerak dengan wadagnya. Dipusatkan inderanya, didengarkannya petunjuk-petunjuk ayahnya meskipun ia sudah tidak dapat melihat lagi, di mana ayahnya berdiri karena matanya sedang terpejam, dan ia tidak tahu lagi dari mana arah suara itu menyentuh lubang telinganya.

Namun meskipun demikian, Pandan Wangi merasakan, bahwa ia telah melakukan gerak itu. Gerak yang justru paling sempurna. Gerak yang telah memeras segenap kemampuan batinnya.

Semakin lama suara ayahnya itu pun menjadi semakan samar, Ia tinggal harus melakukan satu unsur gerak. Yang terakhir. Terasa dadanya berguncang dahsyat sekali ketika ia merasa membenturkan kekuatannya itu dengan kekuatan ayahnya. Dilontarkannya kekuatan terakhirnya dalam unsur gerak terakhir.

Pandan Wangi hanya merasakan dunia ini kemudian menjadi gelap. Terlampau gelap, sehingga kemudian ia tidak melihat dan mendengar apa pun lagi. Pingsan.

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya keringat yang, mengalir dikeningnya. Kemudian didekatinya puterinya yang terbaring diam di atas rerumputan yang basah oleh embun. Perlahan-lahan ia berjongkok di sampingnya. Dirabanya kening Pandan Wangi, kemudian tangannya dan dadanya. Nafasnya dan darahnya terasa terlampau cepat mengalir.

“Agak terlampau berat baginya,” desis ayahnya,” tetapi ia mampu menyelesaikannya sampai unsur yang terakhir dari ilmu perguruan Menoreh.”

Ketika angin silir mengusap dahinya, Ki Gede Menoreh menengadahkan wajahnya. Di langit bintang gemintang berkeredipan memenuhi layar yang biru kehitam-hitaman. Bulan yang belum bulat telah bertengger di punggung bukit di sebelah Barat.

Sejenak dibiarkannya Pandan Wangi terbaring. Argapati yakin bahwa puterinya itu tidak mengalami cidera apa pun kecuali kelelahan dari pemusatan indera yang berlebih-lebihan. Sesudah itu ia pasti akan menyadari dirinya sebagai seorang gadis yang telah memiliki bekal yang cukup untuk menempuh kehidupan yang betapapun sulitnya.

Argapati mengerutkan keningnya ketika ia melihat Pandan Wangi menarik nafas perlahan-lahan. Kemudian dibukanya matanya perlahan-lahan pula. Yang pertama-tama diucapkannya adalah, “Ayah.”

“Bangunlah, Wangi. Kau telah berhasil.”

Perlahan-lahan sekali Pandan Wangi mencoba menggerakkan tangannya, kemudian kakinya. Berkali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Terasa tubuhnya masih nyeri dan sendi-sendi tulangnya terlampau lemah.

“Kekuatanmu akan segera pulih kembali, bahkan dengan kemungkinan yang jauh lebih baik dari keadaanmu sebelumnya.”

Perlahan-lahan Pandan Wangi mengingat kembali apa yang telah terjadi padanya sebelum ia jatuh pingsan. Latihan yang terlampau berat dan yang terakhir, pemusatan indera untuk menangkap unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Meskipun ia kemudian pingsan, tetapi ia sudah menyelesaikan apa yang seharusnya dilakukannya. Ia mendengar petunjuk-petunjuk ayahnya sampai kalimat yang terakhir.

Tetapi ia adalah seorang gadis. Secara alami ia mempunyai perbedaan dengan seorang anak laki-laki muda. Itulah sebabnya, maka baginya latihan itu menjadi terlampau berat, meskipun ia kemudian berhasil menyelesaikannya.

Pandan Wangi itu pun kemudian bangkit dan duduk di depan ayahnya. Nafasnya masih terasa berkejaran dan darahnya masih terlampau cepat mengalir. Jantungnya seakan-akan berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Berdirilah, Wangi,” berkata ayahnya.

Perlahan-lahan Pandan Wangi mencoba berdiri, betapa lemahnya sendi tulangnya, namun ia kemudian tegak di atas kedua bakinya.

“Ambillah pedangmu.”

Pandan Wangi menyadari bahwa kedua senjatanya itu ternyata telah terlepas dari tangannya. Perlahan-lahan ia membungkukkan badannya. Punggungnya masih terasa terlampau penat. Diraihnya kedua pedangnya dan kemudian disarungkannya di lambungnya.

“Kau telah selesai, Wangi,” berkata ayahnya yang kemudian berdiri di sampingnya. “Tetapi sama sekali bukan berarti bahwa kau telah menjadi sempurna. Kau baru dapat menyelesaikan latihan-latihan untuk menguasai unsur-unsur gerak itu sendiri. Tetapi kau masih harus mengembangkannya dalam waktu-waktu yang akan datang. Kau harus dapat mempergunakan, memilih dan menggabungkan unsur yang telah kau kuasai itu, untuk menanggapi keadaan yang berbeda-beda. Nah, untuk itu kau memerlukan pengalaman. Tetapi dasar pengetahuanmu kini sama sekali pasti tidak akan kalah lagi dari Sidanti, meskipun kau sudah pasti kalah dalam pengalaman.”

Pandan Wangi masih berdiri tegak sambil berdiam diri. Berbagai macam perasaan bergelut di dalam dirinya. Sekali lagi ia merasakan desir yang tajam menggores hatinya. Sidanti itu adalah kakaknya. Memang tidak ada pertalian apa pun antara ayahnya dan Sidanti meskipun selama ini Sidanti benar-benar ditempatkan pada tempat yang baik di dalam keluarganya. Tidak seorang pun yang merasakan sikap yang kurang baik dari ayahnya terhadap anak muda itu. Namun ternyata ayahnya tidak dapat melupakannya sama sekali apa yang telah terjadi itu. Ternyata, ketika ayahnya dihadapkan pada suatu persoalan, maka perasan itu meledak tanpa dapat ditahan-tahankan lagi. Bahkan dengan serta-merta ayahnya telah menempatkannya langsung berhadapan dengan kakaknya.

Tetapi baginya, Sidanti adalah saudara yang dilahirkan dari ibu yang sama. Dan betapapun juga, samar-samar terbayang di wajah Sidanti garis-garis wajah ibunya, meskipun kakaknya itu jauh lebih serupa dengan Ki Tambak Wedi.

Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Marilah kita pulang, Wangi. Hari telah terlampau jauh malam. Bahkan mungkin sebentar lagi fajar akan memancar di Timur. Kau perlu beristirahat.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya dengan lemahnya. Ketika ia memandang ke Barat, maka bulan sudah tidak dilihatnya lagi. Bulan yang masih belum bulat.

Tetapi dada Pandan Wangi berdesir karenanya. Sekilas teringat olehnya, janji ayahnya dengan Ki Tambak Wedi. Pada saat purnama naik. Dan purnama itu semakin lama menjadi semakin dekat. Beberapa hari lagi. Dan beberapa hari lagi itu adalah hari yang sangat menegangkan baginya, bagi keluarga Tanah Perdikan Menoreh. Hari itu akan mempunyai banyak sekali kemungkinan. Di antaranya adalah, perubahan yang mendadak di atas Tanah Perdikan ini. Bahkan Tanah ini akan dapat dibakar, oleh api yang dahsyat, dan memusnakan segala macam bentuk dan peradaban.

Dapat terjadi saling membunuh di antara tetangga-tetangga dan di antara sanak-kadang. Dapat pula terjadi pembantaian besar-besaran di antara mereka yang berbeda pendirian.

Bulu-bulu kuduk Pandan Wangi terasa meremang. Mengerikan sekali. Ternyata kedatangan Sidanti dan Tambak Wedi di atas Bukit Menoreh sama sekali tidak membawa kesentausaan. Tetapi yang dibawanya adalah bencana. Apakah bencana itu harus terjadi?

Dan sekali lagi Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata, “Marilah kita pulang, Wangi. Kau perlu beristirahat. Kemudian kita perlu segera mempertimbangkan perkembangan-perkembangan terakhir yang terlampau cepat terjadi.”

Pandan Wangi, yang kelelahan itu pun kemudian melangkah perlahan-lahan bersama ayahnya, meninggalkan lapangan sempit itu, pulang ke rumahnya. Ketika mereka memasuki jalan padukuhan induk dari Tanah Perdikan Menoreh, terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan merambat dari kandang ke kandang, menyongsong cahaya yang kemerah-merahan di langit sebelah Timur.

“Fajar,” desis Argapati.

Pandan Wangi mengangkat wajahuya. Dipandanginya fajar yang mulai memancar. Sebentar lagi matahari akan naik di hari yang baru.

“Kita masih sempat beristirahat meskipun hanya sekejap,” berkata Argapati. “Aku akan pergi ke belakang, membersihkan diri.”

Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia berkata, “Aku akan kesiangan bangun apabila aku jatuh tertidur, Ayah.”

“Meskipun kau tidak tidur, tetapi beristirahatlah.”

“Baik, Ayah,” sahut Pandan Wangi.

“Hari-hari mendatang, pekerjaan kita akan bertambah banyak. Jauh lebih banyak dari yang kita duga semula.”

Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi dianggukkannya kepalanya.

Ketika mereka memasuki regol halaman rumahnya, para peronda memandangi mereka dengan penuh keheranan. Tetapi tidak seorang pun yang bertanya, dari manakah ayah dan anak itu semalam-malaman.

Argapati dan Pandan Wangi pun sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk terlampau banyak berbicara. Mereka hanya menganggukkan kepala mereka kepada para peronda yang masih ada di dalam gardunya sambil bergumam, “Apakah kalian baik-baik?”

“Ya, Ki Gede. Tidak ada apa-apa semalaman di rumah ini.”

“Terima kasih.”

Ki Gede Menoreh itu pun sama sekali tidak berhenti. Langkahnya yang lemah membawanya langsung ke belakang, ke perigi. Sedang Pandan Wangi langsung masuk ke dalam biliknya, menyiapkan pakaian-pakaian untuk mengganti pakaiannya yang kotor sesudah mandi.

Ketika fajar menyingsing, pada saat sinarnya yang kekuning-kuningan menyentuh ujung pepohonan, seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu dengan tergesa-gesa datang menemui Ki Argapati yang baru saja selesai, dan duduk-duduk di pringgitan seorang diri menghadapi minuman hangat.

“Maaf, Ki Gede, aku datang terlampau pagi.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Terlintas di dalam hatinya, sesuatu yang kurang wajar pasti telah terjadi, sehingga salah seorang pemimpin pengawal ini dengan tergesa-gesa menemuinya.

“Duduklah,” Argapati mempersilahkan.

Dengan nafas terengah-engah pemimpin pengawal itu duduk di hadapan Ki Argapati. Belum lagi debar jantungnya mereda, ia sudah mulai berbicara, “Ki Gede. Kita benar-benar berada di dalam kesulitan.”

Argapati mengerutkan keningnya. Dengan sareh ia bertanya, “Apakah yang sudah terjadi?”

“Sidanti dan Ki Argajaya benar-benar telah tersesat,” berkata orang itu pula. “Mereka telah kehilangan sama sekali kecintaan mereka kepada Tanah Kelahiran ini.”

“Apakah yang telah mereka lakukan?” bertanya Ki Gede Menoreh seterusnya.

Pemimpin pengawal itu menggeser setapak maju. Katanya, “Beberapa orang pengawal dan bahkan beberapa pemimpin pengawal melihat beberapa orang tidak dikenal di dalam lingkungan Tanah Perdikan ini. Mereka telah membuat hubungan dengan Ki Argajaya dan Sidanti.”

Sepercik warna mereka menjalar di wajah Argapati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan adiknya dan anak muda yang telah diakunya sebagai anaknya itu akan menjadi sedemikian jauh. Namun kemudian Argapati itu teringat, bahwa di dalam lingkungan mereka terdapat Ki Tambak Wedi. Meskipun Ki Tambak Wedi pernah tinggal di atas Tanah ini, tetapi sudah terlampau lama ia meniaggalkannya, dan menjadikan dirinya seorang yang paling berkuasa di padepokannya, padepokan Tambak Wedi. Dengan demikian, maka kecintaannya kepada Tanah ini pun pasti tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Betapapun juga, Argajaya dan Sidanti pasti masih mempunyai kesadaran, bahwa di sinilah mereka dilahirkan, dibesarkan dan di sini pulalah mereka telah meneguk air di saat haus dan menelan makanan di saat lapar. Tanah inilah yang telah memberikan segala-galanya kepada mereka. Apakah dengan demikian mereka akan sampai hati menghubungi orang-orang yang tidak dikenal untuk ikut serta merusak Tanah ini? Untuk ikut serta menitikkan darah orang-orang Menoreh yang kini sedang diamuk oleh perpecahan yang semakin meruncing?

Sejenak Argapati terdiam. Ia tidak segera dapat mengucapkan kata-kata. Pringgitan itu pun menjadi sunyi untuk sesaat. Kemudian terdengar Argapati menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah, “Bencana benar-benar akan menimpa Tanah ini. Apakah orang-orang yang tidak dikenal itu telah dapat dipastikan, akan ikut campur di dalam persoalan antara aku dan Sidanti yang telah dinyalakan oleh Ki TambakWedi?”

“Kami mempunyai penilaian yang demikian Ki Gede. Dua orang dari orang-orang itu telah berada di rumah Ki Argajaya pula.”

“Apakah kau kenal mereka, atau setidak-tidaknya dapat menduga dari manakah mereka datang atau dari lingkungan apa?”

“Ki Gede, menurut perhitunganku dan beberapa kawan, mereka ternyata dapat digolongkan orang-orang yang kurang mendapat tempat di dalam lingkungan orang yang baik-baik. Mereka datang di antar oleh Ki Prastawa.”

“Oh,” Ki Argapati tiba-tiba menjadi tegang. “Orang itu telah melibatkan dirinya pula.”

“Bagaimanakah penilaian Ki Gede tentang orang itu?”

“Ia adalah seorang yaiig paling senang melihat benturan-benturan yang dapat terjadi di Tanah ini. Ia adalah seorang penjudi yang tidak saja melakukan kegiataanya di Tanah ini, tetapi ia telah mendatangi tempat-tempat judi, sabung ayam, dan tempat lain semacamnya sampai ke tempat-tempat yang jauh. Orang-orang itu pasti dibawanya dari lingkungannya. Bahkan tidak mustahil bahwa orang-orang jahat untuk membuat Tanah ini menjadi karang abang.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Penilaian itu tepat seperti penilaiannya. Orang itu bukannya orang yang bermaksud baik, tetapi ia akan mempergunakan kesempatan yang jelek ini untuk kepentingannya sendiri.

Karena itu maka ia bertanya, “Ki Gede, sudah tentu Ki Prastawa akan memgambil keuntungan dari persoalan ini. Tetapi keuntungan apakah yang diinginkannya? Apakah yang didapatnya dari kekisruhan yang dapat timbul di Tanah Perdikan ini?”

Ki Gede Menoreh mengerutkan dahinya. Tampaklah betapa ia menahan gelora hatinya. Jawabnya perlahan-lahan, “Orang-orang semacam itu kadang-kadang tidak mempunyai landasan berpikir tertentu. Ia hanya ingin terjadi sesuatu. Mungkin perubanan pimpinan atas Tanah Perdikan ini yang diharapkannya dapat, memberikan keleluasaan bergerak baginya dan bagi lingkungannya. Tetapi seandainya yang dibawanya itu adalah orang-orang yang diangkatmya dari dunia yang hitam, maka akibat daripadanya adalah parah sekali. Setiap kesempatan dapat dipergunakan oleh mereka untuk menumbuhkan malapetaka. Mungkin, perampokan, perampasan, dan sebagainya.”

“Hem,” pemimpin pengawal itu menggeram. “Ki Gede mumpung masih belum berlarut-larut. Aku kira Ki Gede harus berbuat sesuatu.”

Ki Gede Menoreh tidak segera menyahut. Perhitungannya memang berkata demikian. Tetapi apakah ia akan dapat melihat pertumpahan darah terjadi di atas Tanah Perdikan ini? Tanah yang dibinanya sejak bertahun-tahun? Hampir sepanjang umurnya diberikannya untuk membuat Tanah ini menjadi Tanah Perdikan yang baik.

Tetapi kini ia dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Bahkan, ia terdorong kepada suatu pikiran di kepalanya, “Bagaimanakah apabila aku serahkan saja pimpinan atas Tanah ini kepada Sidanti. Betapapun juga jeleknya, ia adalah orang yang dilahirkan di Tanah ini. Ia adalah seorang yang merasa dirinya mampu dan berhak pula. Dengan demikian akan terhindarlah segala macam pertumpahan darah dan keributan di atas Tanah ini.

Namun kemudian ia menggeretakkan giginya.Desisnya di dalam hati, “Aku akan berkhianat atas Tanah ini apabila aku biarkan Sidanti merebut pimpinan. Ia akan dikendalikan oleh Tambak Wedi dan orang-orang yang kelak akan mempengaruhinya dengan kekuatan masing-masing. Orang-orang yang memiliki kekuatan, karena kekayaannya, orang-orang yang dapat memberinya kepuasan lahiriah, dan mungkin juga orang-orang yang merasa hidupnya terlampau sulit dan mengharapkan perubahan keadaan, bagi Tanah ini dan bagi diri mereka. Campur baur dari kepentingan yang berbeda-beda, namun menempatkan harapan pada keadaan yang sama itulah yang akan membakar Tanah ini menjadi abu.”

“Bagaimana, Ki Gede?” bertanya pemimpin pengawal itu.

Wajah Ki Gede Menoreh tampak ragu-ragu. Ia masih dikuasai oleh perasaannya yang kadang-kadang belum sejalan dengan pikirannya. Kejantanan yang mengikatnya dalam janji dengan Ki Tambak Wedi mempegaruhinya pula.

“Tunggullah,” desis Ki Gede Menoreh.

Wajah orang itu menjadi kecewa. Perlahan-lahan ia berkata, “Ki Gede, apakah kita menunggu banjir bandang yang akan memecah Tanah Perdikan ini menjadi berkeping-keping?”

Ki Argapati terdiam sejenak. Ia dapat memahami pendapat pengawal yang setia itu. Tetapi ia kemudian menjawab, “Aku perhatikan pendapatmu. Tunggullah, hari ini aku akan mengambil sikap. Aku akan memanggil kalian untuk menentukan setiap tindakan yang akan kita ambil.”

Pemimpin pengawal itu menundukkan kepalanya. Ki Argapati dikenalnya sebagai seorang yang keras hati. Tetapi ketika ia di hadapkan pada kekisruhan yang terjadi di Tanah sendiri, maka terasa ia selalu diselubungi oleh keragu-raguan.

“Lakukanlah tugasmu baik-baik. Aku sendiri akan melihat keadaan dengan saksama.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk lemah. “Baiklah Ki Gede. Aku menunggu perintah.”

Sepeninggal orang itu Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Keningnya tampak berkerut-kerut. Di dalam dadanya terjadi suatu pergolakan yang dahsyat, yang mendorongnya ke dalam suatu keadaan yang tidak menentu.

Namun tiba-tiba Ki Argapati itu teringat kepada puterinya, Pandan Wangi. Satu-satunya keluarga yang dapat diajaknya berbincang. Pandan Wangilah yang kelak diharapkan akan dapat menegakkan Tanah Perdikan ini menjadi Tanah Perdikan yang jauh lebih baik dari keadaannya kini.

Karena itu, maka Ki Argapati itu segera berdiri. Perlahan-lahan ia berjalan ke bilik Pandan Wangi. Perlahan-lahan pula ia mengetuk pintunya yang masih tertutup sambil memanggil namanya, “Pandan Wangi.”

Tidak ada jawaban. Ki Argapati menyangka bahwa Pandan Wangi masih terlampau lelah. Mungkin ia tertidur setelah menyiapkan minuman paginya.

“Wangi,” ia mengulangi.

Masih belum ada jawaban.

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. “Ia terlampau lelah,” desisnya.

Kini Ki Gede Menoreh tidak memanggilnya lagi. Perlahan-lahan didorongnya daun pintu leregan itu ke samping. Perlahan-lahan sekali supaya puterinya tidak terkejut.

Tetapi Ki Gede-lah yang kemudian terkejut. Ternyata bilik itu telah kosong.

“Kemenakah anak ini?” desisnya.

Ki Argapati itu pun kemudian pergi ke belakang. Ditanyakannya kepada pelayan-pelayannya, apakah mereka melihat Pandan Wangi.

Tetapi pelayan-pelayan itu menggeleng sambil menjawab, “Tidak Ki Gede, kami tidak melihatnya.”

Sepercik kecemasan merambat di hati Argapati. Karena itu maka kemudian disusurinya halaman rumahnya. Kalau-kalau Pandan Wangi sedang berada di halaman, atau sedang berada di kebun belakang.

“Apakah Ki Gede sedang mencari Pandan Wangi bertanya seorag pelayan tua.”

“Ya,” sahut Ki Gede.

“Ia mengenakan pakaian berburunya. Mungkin ia pergi.”

Jantung Ki Argapati berdesir mendengarnya. Terkilas di dalam angan-angan Argapati, bahwa sudah pasti Pandan Wangi tidak akan pergi berburu. Tetapi Ki Argapati tidak segera dapat menentukan, kemanakah puterinya itu pergi. Karena itu maka sejenak kemudian ia bertanya, “Apakah kau tahu kemana ia pergi?”

“Sudah tentu ia akan pergi berburu,” jawabpelayan tua

Itu.

“Apakah ia membawa busur dan anak panah?”

Pelayan tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menjawab agak ragu-ragu, “Tidak. Aku kira ia tidak membawa busur dan anak panah.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Ia tidak akan pergi berburu.”

“Lalu kemanakah ia akan pergi?”

Argapati tidak segera menjawab, tetapi tampak keningnya menjadi berkerut-merut.

“Apakah Pandan Wangi pergi berkuda?” ia bertanya.

“Ya, ia pergi berkuda.”

“Mungkin para penjaga di regol depan mengetahuinya,” gumam Ki Argapati.

“Tidak Ki Gede, Pandan Wangi tidak lewat regol depan tetapi ia membuka pintu butulan. Akulah yang disuruhnya menutup.”

Argapati mengerutkan keningnya. Meskipun, ia terkejut mendengar keterangan itu, tetapi ia mencoba untuk tidak memberikan kesan apa pun. Perlahan-lahan ia mengangguk-angguk, kemudian ia bertanya, “Kemanakah ia pergi. Ke Utara atau ke Selatan?”

Pelayan tua itu mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya, “Mungkin ia pergi ke Selatan. Aku tidak begitu menaruh perhatian. Begitu ia keluar dari regol, aku segera menutupnya.”

“Anak nakal,”desis Argapati.

“Apakah Pandan Wangi tidak minta ijin lebih dahulu kepada Ki Gede?”

Ki Gede Menoreh itu tidak menyahut.

“Bukankah biasanya Pandan Wangi mendapat ijin dari Ki Gede untuk pergi berburu.”

Ki Gede hanya mengangguk saja. Tetapi di dalam hati ia berkata, “Aku tidak pernah melepaskannya seorang diri meskipun ia hanya pergi berburu. Apalagi dalam keadaan serupa ini.”

“Hem,” Ki Argapati itu berdesah, sedang pelayan tua itu memandanginya dengan heran. Ia melihat kegelisahan pada wajah Argapati betapapun ia mencoba menyembunyikannya. Tetapi pelayan tua itu tidak tahu apakah yang sebenarnya digelisahkannya. Bukankah Pandan Wangi itu pergi di siang hari? Pelayan tua itu sama sekali tidak tahu, betapa ketegangan yang kemelut menyelubungi udara Tanah Perdikan Menoreh. Apabila Argapati tidak berhasil mengatasinya dengan cara yang diiginkannya maka api akan segera menyala.

Dalam keadaan demikian Pandan Wangi pergi seorang diri. Berbagai macam persoalan telah menggelegak di dalam dadanya. Bahkan kemudian keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya ketika terlintas di dalam hatinya, “Apakah Pandan Wangi memilih kakaknya daripada ayahnya?”

“Tidak,” Argapati mencoba membantahnya di dalam hati. “Mustahil hal itu dilakukannya.”

Tetapi Argapati tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan kepala tunduk ia melangkah masuk ke dalam rumah. Sedang pelayan tua itu masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia bergumam, “Hem, apakah Pandan Wangi pergi tanpa pamit setelah ayahnya melarangnya?”

Dengan hati yang gelisah Argapati duduk kembali di pringgitan. Dicobanya menenangkan hatinya dengan meneguk minuman paginya yang telah menjadi dingin. Tetapi debar di jantungnya justru menjadi semakin tajam.

“Anak itu pasti pergi ke rumah pamannya,” desis Argapati seorang diri. Arah yang diambilnya adalah arah yang menuju ke rumah Argajaya. “Aku tidak tahu, apakah maksudnya Dalam keadaan yang panas ini, perjalanan yang pendek itu dapat berbahaya baginya.”

Tetapi Argapati tidak dapat segera pergi menyusulnya. Ia merasa segan untuk datang ke rumah itu, seolah-olah ia memerlukan menemui orang-orang yang selama ini telah membuat kekisruhan di dalam wilayahnya. Dengan demikian, maka bagi mereka yang melihat kehadirannya ke rumah itu akan dapat memberikan tanggapan yang bermacam-macam, seolah-olah ia telah merendahkan dirinya, memohon kepada Sidanti untuk melepaskan tuntutannya.

“Tetapi bagaimana dengan Pandan Wangi?” desisnya. Tiba-tiba Argapati itu meloncat berdiri. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pendapa dan memanggil seorang penjaga regol halamannya.

“Panggil pemimpin pengawal,” ia menggeram.

Perintah itu tidak perlu diulanginya. Segera penjaga regol itu pergi memenuhinya, memanggil pemimpin pengawal.

Kepadanya, Argapati memberitahukan bahwa Pandan Wangi telah pergi. Menurut pertimbangannya ia pergi ke rumah Argajaya.

“Apakah kepentingannya?” bertanya pemimpin pengawal itu.

“Aku tidak tahu. Tetapi aku yakin bahwa Pandan Wangi ingin membantuku memecahkan kesulitan ini. Mungkin ia ingin menemui kakaknya dan mencoba mempengaruhinya. Namun aku mengkhawatirkannya. Aku tidak yakin bahwa ia berhasil, meskipun seandainya demikian aku akan sangat berterima kasih kepadanya. Tetapi seandainya Sidanti mengambil sikap-sikap yang tidak mencerminkan persaudaraannya, misalnya menahannya dan tidak diberikan kesempatan kepadanya untuk kembali ke rumah ini dengan kekerasan, maka kita harus bertindak. Aku menunggu sampai tengah hari. Apabila tengah hari Pandan Wangi tidak kembali, kau harus menyusulnya. Kau minta Pandan Wangi. Kalau tidak diberikannya, aku tidak tahu akibat apa yang dapat terjadi. Pasukanmu harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”

Wajah pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Tetapi kemudian matanya memancarkan api yang seolah-olah telah membakar jantungnya. Dengan tegas ia berkata, “Aku akan melakukannya. Aku dan pasukan pengawal Tanah Perdikan ini sudah siap melakukan apa saja. Aku kira memang tidak ada jalan lain selain perang. Kalau Pandan Wangi mengusahakan jalan lain, itu pasti hanya akan sia-sia saja, meskipun aku ikut mengharap, mudah-mudahan ada juga pengaruhnya.”

Argapati melihat pancaran perasaan pemimpin pengawal itu. Agaknya ia sudah menjadi jemu melihat perkembangan keadaan yang seakan-akan tidak menentu. Tetapi kegelisahan dan kecemasan telah merayapi hampir setiap hati di dalam dada orang-orang Menoreh. Sehingga bentuk kehidupan sehari-hari telah berubah sama sekali. Pasar-pasar menjadi semakin sepi, dan sawah-sawah tidak lagi terpelihara sewajarnya. Sebagian dari setiap laki-laki di Menoreh telah mengelompokkan diri mereka dengan orang-orang yang mempunyai persamaan sikap dan pandangan.

Menoreh telah terpecah dari dalam.

Ketika pemimpin pengawal itu kemudian meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh, maka Ki Gede itu berpesan, “Datanglah sebelum tengah hari kemari, setelah kau selesai dengan segala bentuk persiapanmu. Kau akan mendapat kepastian, apakah Pandan Wangi telah kembali atau belum. Jangan kau bunyikan tengara untuk mempersiapkan pasukanmu, supaya orang-orang yang tidak mengerti masalahnya menjadi bingung dan ketakutan.”

“Baik,” sahut pengawal itu meskipun ia tidak sependapat sepenuhnya. Sebenarnya ia ingin langsung membunyikan tengara, memanggil mereka yang masih cukup kuat untuk mengangkat senjata, kemudian langsung menghancurkan Sidanti dan Argajaya.

Tetapi pengawal itu menyadari, bahwa dengan demikian akan terjadi pergolakan yang dahsyat dan mengerikan. Campur baur antara lawan dan kawan akan membuat Tanah Perdikan ini merah oleh darah sesama.

Sepeninggal pengawal itu, Argapati masih saja selalu diliputi oleh kegelisahan. Tanpa disengajanya ia memasuki bilik Pandan Wangi. Hatinya berdesir ketika ia tidak melihat sepasang pedang puterinya itu tergantung di tempatnya.

“Anak itu bersenjata,” desisnya. Dan Argapati semakin yakin bahwa Pandan Wangi pergi ke rumah pamannya karena ia masih melihat busur dan anak panahnya berada di atas pembaringannya, tergantung di dinding.

Dalam kegelisahannya, Argapati itu merasa bahwa hari merangkak terlampau lamban. Matahari seolah-olah terpancang saja di tempatnya, tanpa bergerak sama sekali. Bayangan-bayangan matahari yang lolos dari lubang-lubang dinding masih tampak terlampau condong.

“Hem,” Ki Gede Menoreh itu berdesah. Dan sekali lagi tanpa disadarinya ia pergi ke biliknya sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke geledeg di sudut biliknya. Beberapa saat ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian tangannya itu bergerak meraih sebuah selongsong kain putih.

Argapati menarik nafas dalam-dalam.

Perlahan-lahan dengan tangan gemetar dibukanya selongsong itu. Perlahan-lahan ditariknya sebatang tombak pendek dari dalamnya. Tombak pendek yang disimpannya beberapa lama, namun tiba-tiba kini begitu menarik perhatiannya, dan seolah-olah telah menghisapnya untuk membukanya.

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang agak lain pada tombaknya. Maka dengan serta-merta tangannya meraih wrangkanya. Dan ketika wrangkanya telah terbuka, dadanya berdesir tajam sekali. Tombak itu bukan tombaknya sendiri.

Argapati menggeretakkan giginya. Wrangka itu adalah wrangka tombaknya. Selongsong itu adalah selongsong tombaknya. Tangkai itu pun memang tidak banyak berbeda dengan tangkai tombaknya. Seandainya ia tidak merabanya, maka ia tidak akan segera dapat melihat perbedaannya. Tetapi jelas tombak itu bukan miliknya. Tombak itu agaknya adalah tombak Argajaya.

“Hem,” Ki Gede Menoreh menggeram. Ternyata adiknya benar-benar tidak tahu diri. Tombak itu telah dipertukarkannya. Tombaknya yang selama ini menjadi kawan di dalam segala keadaan, sebagai seorang prajurit, kemudian sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Tiba-tiba tombak itu kini lenyap. Hilang.

Tetapi Argapati dapat menduga, siapakah yang telah mengambilnya. Adiknya sendiri, Argajaya, dan menukarnya dengan tombaknya sendiri.

“Kapankah ia masuk ke dalam bilik ini?” Argapati menggeram. Tetapi hal itu mungkin sekali terjadi. Rumah itu seolah-olah sudah menjadi rumah Argajaya sendiri. Ia berada di dalam rumah itu seperti ia berada di dalam rumahnya. Argapati sama sekali tidak berprasangka apa pun terhadap adiknya, sebelum peristiwa yang memilukan terjadi atas Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan seandainya benar Argajaya yang telah melakukannya, tetapi tidak terjadi hal seperti ini, maka hatinya pun tidak akan menjadi terlampau marah.

Tetapi ternyata tombaknya telah ditukarnya.

Dengan kesal Argapati menyarungkan tombak itu kembali. Dimasukkannya pula ke dalam selongsong dan meletakkannya di atas geledegnya.

“Argajaya benar-benar telah menempatkan dirinya di seberang,” desisnya. “Apakah aku masih harus merasa terikat oleh kasih sayang seorang saudara tua di saat-saat begini? Aku sudah tua, Argajaya pun telah menambat ke usia tuanya. Harapan di masa datang kini tergantung kepada anakku. Kepada Pandan Wangi. Pandan Wangi-lah yang harus diselamatkan dari bencana. Bukan Argajaya, dan bahkan bukan diriku sendiri. Apalagi Sidanti.”

Wajah Argapati tiba-tiba menegang. Argajaya agaknya telah menukar tombak itu tidak baru kemarin. Tetapi sudah agak lama terjadi. Sekilas teringat olehnya perjanjian yang dibuatnya dengan Ki Tambak Wedi. Sepercik ingatan tentang peristiwa yang jarang terjadi di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu telah menyala pula di hatinya.

Tetapi tombak itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Tombak yang masih akan dipergunakan sekali lagi untuk melawan senjata Tambak Wedi yang megerikan itu. Sepasang nenggala yang masing-masing mempunyai mata tajam rangkap. Tetapi Argapati tidak mengerti, bahwa sepasang nenggala itu pun sudah tidak utuh lagi. Satu dari padanya ternyata telah tertinggal di Sangkal Putung.

Sementara itu, Pandan Wangi sedang berpacu di atas kudanya menuju ke rumah pamannya seperti yang diduga oleh ayahnya. Ia sendiri tidak tahu, dorongan apakah yang memaksanya untuk pergi menemui kakaknya. Ia menyadari, bahwa ayahnya pasti tidak akan mengijinkannya. Karena itu, maka ia pergi tanpa minta ijin dahulu kepadanya. Keinginannya untuk bertemu dan berbicara dengan Sidanti tidak dapat ditahan-tahankannya lagi. Berbicara kepada seorang kakak, meskipun kini ia tahu bahwa Sidanti bukanlah kakaknya seayah.

Tetapi bukan saja karena ia ingin berbicara dengan kakaknya, bukan saja karena ada sesuatu yang telah mengikatnya dengan Sidanti betapapun keadaan anak itu, karena mereka seibu, namun lebih dari pada itu. Pandan Wangi telah dilanda oleh kecemasan melihat nasib tanah kelahirannya. Tanah Perdikan Menoreh yang diancam oleh bahaya yang justru meledak dari dalam.

“Aku harus menemui Kakang Sidanti dan paman Argajaya,” katanya di dalam hati. “Aku harus berbicara dan mencoba mengurungkan niat mereka. Seandainya Kakang Sidanti tahu, bahwa ayah bukan ayahnya pula, namun seharusnya ia tidak mengorbankan tanah ini untuk kepentingannya sendiri.”

Sekali-sekali Pandan Wangi menggeretakkan giginya melihat keadaan yang menyedihkan. Jalan-jalan menjadi sepi dan pintu-pintu rumah tertutup rapat-rapat. Tanah ini seolah-olah sedang dilanda oleh bahaya yang akan menelan seluruh isinya menjadi abu.

Dengan demikian maka hasratnya untuk berbicara dengan kakak dan pamannya menjadi semakin kuat di dalam hatinya.

Di perjalanan kadang-kadang Pandan Wangi bertemu juga orang berjalan dengan tergesa-gesa. Satu-satu membawa beberapa macam barang yang akan dipertukarkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain, karena pasar menjadi sepi. Ketika orang-orang itu mendengar derap kudanya, maka dengan tergesa-gesa mereka menyusup masuk ke regol halaman yang terdekat dan bersembunyi di balik dinding halaman.

“Tanah ini menjadi sepi sesepi pekuburan,” desis Pandan Wangi.

Tetapi derap kuda Pandan Wangi seolah-olah telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan yang sedang dihantui oleh perpecahan yang semakin lama semakin tajam.

Semakin dekat dengan rumah pamannya, hati Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Seolah-olah ia tidak sabar lagi untuk segera meloncat dan menemui mereka. Bahkan sekali-kali ia berpaling. Seandainya ayahnya atau orang-orang yang diperintahkan olehnya menyusul perjalanannya dan membawanya kembali sebelum ia bertemu dengan Sidanti dan pamannya Argajaya, maka ia akan berkeberatan.

Tetapi tiba-tiba dada Pandan Wangi itu berdesir. Di tikungan di hadapannya, dilihatnya beberapa orang sedang berdiri bertebaran. Mereka agaknya sedang asyik bercakap-cakap, berkelakar atau apa saja.

“Siapakah mereka itu?” pertanyaan itu tumbuh di dada Pandan Wangi.

Ternyata bahwa derap kaki-kaki kudanya telah menarik perhatian orang-orang itu. Serentak mereka berloncatan justru ke tengah jalan. Beberapa orang bertolak pinggang dan yang lain meraba hulu pedangnya.

“Enam atau tujuh orang,” desis Pandan Wangi, “Mungkin mereka para pengawal Tanah Perdikan yang sudah dipengaruhi oleh kakang Sidanti.”

Tetapi Pandan Wangi tidak menghentikan langkah kudanya. Ia akan memberi penjelasan, bahwa ia hanya sekedar ingin bertemu saja dengan Sidanti dan Ki Argajaya.

“Mudah-mudahan mereka dapat mengerti,” gumamnya sambil memacu kudanya.

Tetapi dada Pandan Wangi itu berdesir semakin tajam. Semakin dekat, maka semakin jelas baginya, bahwa agaknya orang-orang itu bukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

“Siapakah mereka itu?” pertanyaan itu sekali lagi menyentuh dadanya. “Apakah mereka orang-orang yang tidak kami kenal yang berusaha ikut serta membuat keadaan semakin kisruh, supaya mereka mendapat kesempatan untuk mengail di air keruh?”

Tanpa disengaja, Pandan Wangi menarik kendali kudanya, sehingga derap larinya menjadi susut. Dengan hati-hati Pandan Wangi mencoba untuk menilai keadaan. Tetapi bagaimanapun juga ia tidak ingin kembali sebelum bertemu dengan kakaknya. Dengan demikian maka tekadnya menjadi bulat, untuk meneruskan perjalanannya. Rumah pamannya sudah tidak begitu jauh lagi dari tikungan itu. Meskipun demikian, Pandan Wangi harus berwaspada. Segala macam peristiwa dapat saja terjadi dalam keadaan yang kisruh ini.

Orang-orang yang berada di tikungan masih berdiri di tengah jalan. Mereka sengaja menghadang kuda Pandan Wangi. Dengan berbagai macam sikap yang mengancam, mereka kini melangkah perlahan-lahan menyongsong kuda yang semakin dekat itu.

Tiba-tiba salah seorang dari mereka melangkah ke paling depan. Sambil mengangkat tangannya ia berseru, “Berhenti!”

Pandan Wangi terpaksa menghentikan kudanya. Kini perlahan-lahan ia maju.

“Siapa kau?” bertanya orang itu. Dan orang itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Orang itu terasa asing dan mendebarkan hati.

Tetapi supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka Pandan Wangi menjawab, “Aku, Pandan Wangi.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berpaling memandangi kawan-kawannya yang berdiri di belakangnya. Tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya orang itu tertawa terbahak-bahak.

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sikap itu benar-benar sikap yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian ia masih mencoba menahan hati dan duduk diam di atas pungung kudanya.

“Aku sudah menduga,” berkata orang itu, “bahwa kau adalah seorang perempuan sejak aku melihatmu dari kejauhan. Tetapi aku tidak menduga bahwa kau sedemikian cantiknya.”

“Benar-benar memuakkan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia masih berdiam diri.

“Kenapa kau pergi seorang diri dalam keadaan begini? Apakah kau tidak pernah mendengar berita, bahwa di Tanah Perdikan ini akan menyala api yang dapat membakar hangus seluruh isi dan penghuninya?”

Series 34

PANDAN WANGI masih belum menyahut. Tetapi ia mendengar seorang yang lain berkata, “Lihat, ia membawa sepasang pedang di lambungnya.”

Orang yang berdiri di paling depan, yang berwajah mengerikan dengan kumis dan jambang yang tumbuh bagaikan rumput liar di musim hujan itu tertawa. “Ya, ya. Ia membawa sepasang pedang di lambungnya seperti seekor ayam betina yang bertaji di kakinya.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Sikap orang-orang yang tidak dikenalnya itu terasa semakin memuakkan. Meskipun demikian dengan sekuat-kuat hati, ditahankannya gelora di dalam dadanya, supaya ia tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, yang justru akan menutup setiap kemungkinan untuk bertemu dengan kakaknya. Lebih dari itu, ia tidak mau menyalakan setitik api dalam genangan minyak seperti yang terjadi saat itu di Menoreh. Ia sejauh mungkin akan menghindar, supaya ia tidak menjadi sebab apabila Tanah ini harus menjadihangus terbakar oleh api pertempuran di antara keluarga sendiri.

Tetapi sikap dan suara tertawa orang yang berdiri paling depan itu terlampau menyakitkan hati. Meskipun demikian Pandan Wangi masih juga berkata perlahan-lahan, “Paman, apakah aku boleh lewat?”

“He,”orang yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan keningnya, “tentu. Tentu boleh. Tetapi siapa namamu he? Pandan Wangi? Nama itu terlampau manis. Aku tidak menyangka bahwa di atas bukit yang berbatu padas ini ada wajah semanis wajahmu.”

Pandan Wangi menahan hatinya sehingga keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya. Hampir saja ia menyebut dirinya sebagai puteri Kepala Tanah Perdikan. Tanah ini. Tetapi maksud itu diurungkannya. Seandainya orang-orang ini benar-benar ingin membuat Tanah ini menjadi kisruh, maka dengan menyebutkan dirinya ia tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa. Bahkan mungkin ia akan dijadikan sebab kekisruhan yang menyeluruh. Karena itu maka dikatupkannya saja mulutnya rapat-rapat.

“He, Pandan Wangi, siapakah yang sedang kau cari? Apakah kau mencari aku atau salah seorang dari kami?” berkata orang yang berdiri paling depan itu disambut oleh suara tertawa dari beberapa orang di belakangnya.

Pandan Wangi tidak menjawab. Semakin lama ia menjadi semakin segan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang itu.

“Kau mencari siapa, he?”

Pandan Wangi masih tetap diam.

“Turunlah,” berkata orang itu, “tidak baik berbicara dengan orang tua-tua di atas punggung kuda.”

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Orang itu benar juga. Dan apakah sikap orang-orang itu, yang dirasakannya terlampau menyakitkan hati karena sikapnya yang kurang sopan? Apakah sebaiknya ia meloncat turun dan minta maaf supaya segala persoalan segera selesai dan ia diperbolehkan lewat tanpa terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan? Tetapi Pandan Wangi masih juga ragu-ragu.

“Turunlah,” orang yang berdiri di paling depan itu melangkah maju semakin dekat sehingga bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi meremang. Sedang orang itu berkata lebih lanjut, “Aku hanya mau berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, apabila kau berlaku agak sopan sedikit. Kalau kau berbicara dengan orang-orang yang lebih tua, jangan dari atas punggung kuda. Apakah orang tuamu tidak pernah memberitahukan kepadamu?”

Nada suara orang itu terasa begitu bersungguh-sungguh sehingga Pandan Wangi menjadi semakin ragu-ragu.

“Mungkin ia tersinggung oleh sikapku,” katanya di dalam hati, “sehingga ia tampak menjadi terlampau kasar.”

“Turunlah, Ngger.” berkata orang itu pula sambil bersungut-sungut.

Dada Pandan Wangi menjadi bergetar. Sekali lagi dipandanginya wajah orang itu. Keningnya berkerut-merut dan alisnya hampir bertemu di atas hidungnya.

“Ia agaknya benar-benar tersinggung,” berkata Pandan Wangi pula di dalam hatinya yang menjadi kian berdebar-debar. Namun kemudian diputuskannya untuk memenuhi permintaan orang itu. Turun dari kuda.

Dan Pandan Wangi pun kemudian perlahan-lahan turun dari kudanya. Sambil mengangguk ia berkata, “Maaf, Paman, apabila aku Paman anggap kurang sopan. Aku agak terlampau tergesa-gesa, sehingga aku telah melupakan suba-sita. Sekarang apakah aku boleh lewat?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka oleh Pandan Wangi, orang itu membungkukkan badannya dalam-dalam. Terlampau dalam. Tetapi ternyata tangannya meraih sesuatu di atas tanah. Dan tanpa diduga-duga pula orang itu telah melempar kuda Pandan Wangi dengan sebutir batu sehingga kuda itu terkejut, meringkik dan melonjak. Karena Pandan Wangi sama sekali tidak menduganya maka kendalinya pun terlepas dari tangannya.

Lemparan yang kedua telah mendorong kuda itu meloncat berlari kencang sekali. Orang-orang yang berdiri di tengah-tengah jalan itu dengan lincahnya berloncatan menepi, menghindarkan diri dari injakan kaki-kaki kuda Pandan Wangi itu.

Sejenak Pandan Wangi berdiri terpaku seperti sebatang tonggak mati. Tidak ada yang segera dikerjakannya selain berdiri tegak di tempatnya. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya suara tertawa meledak hampir di telinganya. Suara orang yang telah melempar kudanya sehingga Pandan Wangi terkejut bukan buatan. Selangkah ia mundur. Ditatapnya wajah orang yang sedang tertawa itu tajam-tajam.

Pandan Wangi itu pun menggeretakkan giginya. Kini ia merasa tertipu oleh sikap orang itu. Apalagi kemudian orang-orang yang lain pun tertawa pula berkepanjangan.

“Kau berhasil, Kakang,” terdengar salah seorang berteriak. “Kau berhasil memetik bunga dari atas bukit karang ini, meskipun agaknya bunga itu berduri.”

Kata-kata itu terasa menusuk perasaan Pandan Wangi terlampau dalam. Pedih sekali. Hampir saja ia menjerit keras-keras. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa kini ia membawa sepasang pedang di lambungnya. Ia kini bukan seorang gadis cengeng yang takut melihat tikus berkejar-kejaran.

Selangkah Pandan Wangi surut.

“Nah, begitulah, Nak,” berkata orang yang berkumis dan berjambang itu, “begitulah berbicara dengan orang tua-tua. Kau harus hormat dan jangan bersikap melawan. Bukankah kau mendengar, bahwa seorang kawanku menyebutmu sebagai bunga bukit karang meskipun berduri? Tetapi tidak ada gunanya melawan kami. Kami adalah orang-orang yang paling liar di atas bumi ini. Kami berbuat apa saja yang ingin kami lakukan. Juga atasmu. Kau ternyata terlampau cantik bagi kami.”

Dada Pandan Wangi berdesir tajam sekali mendengar kata-kata itu. Dengan tegang Pandan Wangi berdiri tegak di atas kedua kakinya yang merenggang. Orang-orang itu kini benar-benar nampak terlampau liar seperti yang dikatakannya sendiri.

Ternyata bahwa Pandan Wangi sama sekali belum mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi orang-orang seperti itu. Dengan mudahnya ia dapat ditipunya sehingga ia kehilangan kudanya. Apalagi kini ia menghadapi sikap yang paling menyakitkan hati dari laki-laki yang kasar dan liar itu.

“Kenapa kau diam saja Pandan Wangi?” terdengar suara orang yang berkumis dan berjambang itu.

Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab, yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu.

“Kau marah, he?”

Tidak ada jawaban.

“Jangan kau sesali lagi kudamu yang telah lari itu. Aku akan mencari gantinya yang jauh lebih baik daripadanya. Tidak hanya seekor, tetapi berapa yang kau minta. Setidak-tidaknya kami masing-masing yang berada di sini dapat memberimu seekor seorang.” Orang itu kemudian berpaling kepada kawan-kawannya sambil bertanya, “Begitu, bukan?”

Terdengar gelak tertawa meledak di antara mereka. Salah seorang dari mereka menyahut, “Aku akan memberinya dua ekor.” Dan yang lain lagi mengatasi suaranya, “Aku empat ekor.” Sedang yang berada di sisi lain, yang kecil kurus berwajah panjang, “Aku, berapa saja yang dimintanya.”

Orang yang berdiri di paling depan mengerutkan keningnya tetapi kemudian ia pun tertawa pula. Katanya, “Nah kau dengar. Semua bersedia memberikan berapa saja yang kau minta. Tetapi sudah tentu bahwa kau pun harus memberikan apa yang kami minta.” Orang itu berpaling dan berkata lagi kepada kawan-kawannya, “Bukankah begitu?”

“Ya. ya. Tentu, tentu,” meledak pulalah jawaban mereka, di antara gelak tertawa yang riuh.”

“Sikap yang memuakkan yang pernah aku lihat,” gumam Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi mulutnya masih terkatup rapat-rapat dan giginya masih bergemeretakkan.

“Nah, apakah katamu?” bertanya orang itu pula. “Kini letakkan saja senjatamu. Tidak pantas seorang perempuan membawa pedang. Apalagi sepasang. Aku kira kau akan lebih cantik apabila kau memakai pakaian yang lumrah bagi seorang perempuan.”

Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut

“Jangan diam saja,” berkata orang itu pula, “jawablah barang sepatah kata. Apa maumu sebenarnya. Sebab bagiku, bagi kami, biasanya tidak pernah memperhitungkan kemauan orang lain. Aku kira juga kemauanmu tidak akan kami perhitungkan meskipun kami ingin mendengarnya. Yang kami dengar dan kami perhatikan adalah kemauan kami sendiri. Dan kemauan kami atasmu sudah jelas. Aku bukan orang Menoreh. Aku datang ke tempat ini karena aku diperlukan. Maka Menoreh harus memberikan sambutan yang sebaik-baiknya bagi kami. Penghuninya dan terutama perempuan-perempuannya.”

Pandan Wangi masih tetap mematung.

“Hem,” laki-laki yang memuakkan itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya pula, “Ingat, jangan membuat kami kecewa supaya kami dapat berbuat sebaik-baiknya atas Tanah ini. Kau harus membantu kami seperti kami akan membantu kalian. Kami memerlukan perempuan-perempuan seperti kau. Kami akan lebih senang apabila kau memanggil kawan-kawanmu di saat yang lain, supaya kami tidak sayang mengorbankan jiwa kami untuk kepentingan kalian.”

Pandan Wangi benar-benar sudah tidak tahan lagi. Sebagai seorang gadis hatinya menjadi terlampau ngeri. Ia dapat membayangkan apa yang akan terjadi atasnya apabila ia jatuh ketangan orang-orang ini. Tetapi sebagai seorang gadis yang mengenakan sepasang pedang di lambungnya, ia dapat berbuat sesuatu. Ia dapat bertahan, meskipun seandainya ia tidak dapat melawan semua orang itu bersama-sama, maka ia akan terbunuh. Tetapi terbunuh ternyata akan lebih baik baginya daripada jatuh ke tangan mereka. Karena itu, maka wajah Pandan Wangi menjadi semakin merah seperti darah. Kini kedua tangannya telah bersilang memegang hulu sepasang pedangnya.

“He,” orang yang berdiri di paling depan berseru, “apakah kau akan melawan?”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi sorot matanya memancarkan kemarahan yang meluap-luap di dadanya.

Orang yang berjambang itu tertawa. Katanya, “Jangan nakal. Jangan bermain-main dengan senjata. Lihat, kami pun bersenjata. Pedangmu terlampau kecil untuk melawan golok-golok kami yang jauh lebih besar ini. Mungkin kau pernah melihat seseorang bermain pedang dan kau ingin melakukannya. Tetapi jangan bermain-main dengan kami. Apabila sikapmu menimbulkan kemarahan kami, maka kami akan dapat berbuat jauh lebih liar daripada yang pernah kau bayangkan.”

Tetapi Pandan Wangi tidak bergerak dan tidak menjawab. Bahkan darahnya kini benar-benar telah mendidih.

“Lepaskanlah ikat pinggangmu yang kau gantungi dengan sepasang pedang itu,” berkata orang itu. “Cepat. Kami sudah tidak sabar lagi. Buanglah senjata-senjata yang tidak akan berarti sama sekali bagimu, bagi keselamatanmu dan bagi apa pun itu.”

Kini Pandan Wangi telah sampai pada batas kemampuannya untuk menahan dirinya. Meskipun sebagai seorang gadis, terasa juga bulu-bulu tengkuknya yang meremang, tetapi karena ia bersenjata di lambung, maka terpercik tekad di dadanya untuk melawan orang-orang itu. Ia belum tahu betapa jauh kemampuan orang-orang itu bersama-sama. Tetapi ia harus melawan, membela dirinya dari kemungkinan yang lebih jelek daripada mati. Hal ini pasti akan menjadi peringatan bagi orang-orang Menoreh sendiri, bahwa mereka harus berhati-hati terhadap orang-orang yang tidak dikenal ini. Dan bahwa mereka dapat membuat bencana yang lebih dahsyat lagi di atas Tanah Perdikan ini.

Maka ketika orang yang berkumis dan berjambang itu kemudian maju lagi selangkah sambil tertawa seperti suara tertawa hantu di pekuburan melihat mayat, maka Pandan Wangi selangkah lagi surut. Namun sekejap kemudian kedua-belah tangannya telah menggenggam sepasang pedangnya.

Langkah laki-laki berjambang itu terhenti. Tampak keningnya berkerut. Namun sejenak kemudian ia tertawa lagi. Lebih keras. Dibarengi oleh suara tertawa orang lain di belakangnya.

“Ah, jangan nakal, Nak,” berkata orang yang berkumis dan berjambang itu. “Aku sudah berpengalaman menghadapi lebih dari seratus orang gadis. Ada yang penurut, ada yang malu-malu, dan ada juga yang keras kepala seperti kau ini. Apa kau kira pedang mu itu akan berguna?”

Pandan Wangi sadar, bahwa orang-orang yang berdiri di hadapannya itu benar-benar sebuas serigala kelaparan. Karena itu maka ia harus berhati-hati. Ia tidak boleh terpengaruh oleh kengerian yang bergetar di dalam jantungnya, jantung seorang gadis. Tetapi ia harus tegak dengan sepasang pedangnya itu.

“Letakkan pedangmu, Anak manis,” terdengar suara orang itu menggelitik hati. Benar-benar mengerikan. “Tidak kami sangka bahwa di tanah yang keras dan di sekitar bukit padas ini dapat berkembang bunga secantik ini. Meskipun justru karena itu maka kau menjadi semakin cantik.”

Kini seluruh bulu-bulu Pandan Wangi seolah-olah serentak meremang. Terasa tubuhnya menjadi dingin dan keningnya telah basah oleh keringat. Ia tidak dapat melepaskan diri sama sekali dari perasaan kegadisannya.

“Letakkan senjata itu, Anak manis, letakkanlah. Kau lebih cantik tanpa membawa senjata semacam itu. Ya, letakkanlah. Mari, Nak.”

Tangan Pandan Wangi menjadi gemetar. Wajah-wajah itu benar-benar mengerikan sekali. Terbayang di dalam angan-angannya kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi atasnya.

“Bagus,” desis orang itu sambil tersenyum, “letakkanlah. Letakkan. Letakkan di situ.”

Ujung pedang Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. Kengerian itu telah sampai di puncaknya dan hampir-hampir saja membuatnya kehilangan kesadaran dan pingsan. Tetapi ketika ujung pedangnya menyentuh tanah, Tanah Kelahirannya, serasa sesuatu menggeletar di dalam dadanya. Tiba-tiba dadanya serasa bergolak dahsyat sekali. Terbayang di matanya, dirinya terbaring diam di atas tanah yang ditumbuhi oleh rumput-rumput liar dan batang-batang ilalang. Terbayang wajah-wajah yang buas itu berada di sekitarnya sambil tertawa berkepanjangan.

“Setan!” tiba-tiba giginya gemeretak. Tanpa disangka-sangka oleh laki-laki yang berjambang itu, maka ujung pedang Pandan Wangi terangkat kembali. Bahkan kini terjulur lurus-lurus ke depan. Terdengar ia kemudian berkata, “Lepaskan niatmu. Aku akan memusnahkan kalian.”

Orang yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan keningnya. Kini mereka tidak tertawa lagi. Dilihatnya mata Pandan Wangi memancarkan sinar yang begitu tajamnya menusuk dada mereka langsung menembus ke pusat jantung.

Laki-laki yang mengerikan itu merasakan segores keheranan di dalam dadanya. Gadis ini agaknya bersungguh-sungguh.

Dan Pandan Wangi memang bersungguh-sungguh. Ia sama sekali tidak ingin bergurau dengan orang-orang gila yang buas dan liar itu. Karena itu, maka ia berkata pula, “Orang-orang seperti kalian ini benar-benar harus dimusnahkan. Kalau tidak, lain kali kalian pasti akan berbuat serupa. Adalah penghinaan tiada taranya bagi kaumku, apabila kalian melakukan perbuatan terkutuk itu. Apalagi apabila kalian bertemu dengan gadis-gadis yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan. Bukan saja gadis Menoreh. Tetapi di manapun juga di muka bumi ini.”

Sejenak wajah laki-laki berjambang dan berkumis itu menjadi tegang, namun kemudian sekali lagi meledaklah suara tertawanya. Sambil menunjuk kepada kawan-kawannya ia berkata, “Apakah kau akan memusnahkan kami semua ini?”

“Ya,” jawab Pandan Wangi tegas.

“Hem,” orang itu menarik nafas, “aku semakin senang kepadamu. Kepada seorang gadis pemberani. Tetapi ketahuilah bahwa kedatanganku kemari atas permintaan Putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh beserta pamannya. Nah, dengarlah, bahwa kami di sini adalah tamu dari orang-orang yang paling penting.”

Dada Pandan Wangi berdesir mendengar keterangan itu. Bukan karena orang-orang itu akan mendapat perlindungan dari kakaknya, tetapi justru dengan demikian ia mengerti, bahwa kakaknya sudah mengundang bencana yang paling dahsyat di atas Tanah kelahirannya sendiri.

Maka dengan penuh kemarahan ia menjawab, “Aku tidak peduli siapakah kalian. Aku tidak peduli siapakah yang mengundang kalian. Tetapi perbuatan terkutuk itu harus dihentikan. Perbuatan yang menentang sendi peradaban manusia dan apalagi menentang ketentuan yang digariskan oleh Sumber Hidup kita di dalam pergaulan antar umatnya.”

Kening orang yang berkumis itu semakin berkerut. Tetapi ia tertawa lagi sambil berkata, “Jangan gurui aku. Aku bukan seorang yang terikat akan peradaban manusia. Aku bukan orang yang mengikatkan diri kepada yang tidak pernah aku ketahui adanya. Aku hanya menyadari adaku, akal dan kehendakku sendiri. Aku tidak pernah tergantung dan menggantungkan diri kepada apa pun dan siapa pun. Karena itu jangan berharap bahwa kami akan mengurungkan niat kami.”

Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Terdengar ia menggeram, “Baik. Baik. Sekarang aku pun tetap pada pendirianku. Kalian harus dimusnahkan. Kalian ternyata adalah orang-orang yang paling terkutuk di muka bumi. Kalian tidak saja ingin merusak Tanah kelahiran ini, tetapi kalian ingin merusak peradaban yang tumbuh di atasnya. Ketahuilah, aku adalah puteri Kepala Tanah Perdikan ini. Aku dapat berbuat atas nama ayahku. Termasuk membinasakan kalian.”

Orang-orang yang berdiri dengan sikap yang paling memuakkan itu terkejut mendengar kata-kata Pandan Wangi itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian orang yang berkumis itu menjawab, “Jangan menakut-nakuti aku dengan mengaku dirimu sebagai seorang saudara perempuan dari orang yang mengundang kami. Karena aku berkata bahwa aku diundang oleh putera Kepala Tanah Perdikan ini, maka kini kau mengaku sebagai seorang puterinya. Dengar. Aku tidak percaya. Aku tidak dapat kau tipu seperti kau merasa tertipu karena kudamu lari. Sekarang kami tidak dapat kau ajak berbicara berkepanjangan. Menyerahlah.”

Darah Pandan Wangi kini telah benar-benar mendidih. Ia telah berhasil menindas perasaan kegadisannya. Kini, yang tegak berdiri menghadapi orang yang liar itu adalah Pandan Wangi, murid dan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang sedang menggengam sepasang senjatanya.

Karena itu, maka ketika laki-laki yang memuakkan itu melangkah selangkah maju lagi, Pandan Wangi tidak menghindar. Bahkan ia pun menyongsongnya selangkah maju.

Sikapnya itu benar-benar mengherankan. Namun justru dengan demikian laki-laki yang berdiri di hadapannya itu terpaksa harus berpikir. Apakah yang telah mendorong gadis ini untuk berbuat demikian berani.

“Ia telah berputus asa,” laki-laki itu mencoba menemukan jawabnya, “aku harus segera berbuat sebelum ada orang yang melihatnya.”

Maka laki-laki itu menjadi semakin bernafsu. Wajahnya pun menjadi merah karena darahnya yang naik sampai ke ubun-ubunnya. Setiap kali ia menelan ludahnya. Gadis yang berdiri di hadapannya itu memang terlampau cantik baginya. Tetapi justru karena itu, maka ia telah benar-benar menjadi gila karenanya.

“Aku masih memberimu kesempatan,” orang itu menggeram. “Letakkan senjatamu supaya kami tidak menjadi semakin buas dan liar.”

Tetapi Pandan Wangi menjawab, “Serahkan lehermu. Manusia semacam kalian tidak pantas hidup di atas bumi Menoreh.”

Bagaimanapun juga laki-laki itu merasa terhina sekali. Apalagi yang menghinanya itu adalah seorang perempuan. Seandainya Pandan Wangi bukan seorang gadis yang cantik maka dengan satu gerakan saja, ia ingin merontokkan tulang-tulang iganya. Tetapi menghadapi Pandan Wangi, laki-laki itu masih merasa sayang. Betapapun dadanya bergolak, namun ia masih berusaha untuk tidak melukainya. Karena itu maka katanya, “Kalau kau tidak mau melepaskan senjatamu, maka biarlah aku yang memaksanya. Kemudian memaksamu untuk menyerah.”

“Aku hanya menyerah terhadap maut,” tantang Pandan Wangi.

“Bagus,” jawab orang itu, “tetapi aku mempunyai cara untuk memaksamu menyerah sebelum kau mati. Aku mempunyai ilmu yang barangkali sama sekali tidak dapat kau bayangkan. Aku dapat menyentuh bagian-bagian tubuhmu, sehingga kau menjadi lemas dan tidak berdaya. Nah, apakah kau akan melawan dalam keadaan yang demikian? Membunuh diri pun kau tidak akan mampu.”

Tetapi orang itu menjadi heran. Pandan Wangi sama sekali tidak terkejut dan heran mendengar kemampuan ilmunya. Bahkan Pandan Wangi menyahut, “Aku tidak peduli. Tetapi sebelum kau berhasil menyentuh tubuhku, kau atau aku pasti sudah mati.”

“Hem, kau benar-benar keras kepala,” orang itu menggeram.

“Kau yang biadab,” potong Pandan Wangi.

Orang itu sudah tidak bersabar lagi. Kecuali kecantikan Pandan Wangi yang telah membakar jantungnya, ia merasa terhina pula. Karena itu maka ia pun segera bersiap. Selangkah ia maju lagi. Kedua tangannya terjulur kedepan, sedang tubuhnya merendah pada lututnya. Katanya, “Aku ingin meminjam pedangmu, Nak.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia pun telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Ternyata laki-laki itu tidak membawa kawannya untuk ikut bertempur. Laki-laki itu merasa dirinya terlampau kuat untuk melawan seorang gadis kecil.

Meskipun Pandan Wangi telah memegang sepasang senjatanya namun laki-laki berkumis itu sama sekali tidak merasa perlu untuk mempergunakan goloknya. Ia ingin merampas pedang Pandan Wangi dengan tangannya, kemudian menyentuh punggungnya dan membuatnya tidak berdaya. Apabila demikian, maka ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Apapun yang akan dilakukanoleh gadis itu kemudian, sama sekali bukan tanggung-jawabnya. Biar sajalah gadis itu membunuh dirinya atau apa pun yang ingin dilakukan.

Karena itu maka sekejap kemudian, laki-laki itu melenting seperti belalang di padang rerumputan. Cepat seperti kilat dan hampir-hampir tidak dapat dilihat dengan mata. Kawan-kawannya berdiri saja tegak di tempatnya dengan mulut ternganga. Tetapi mereka memang sudah mengetahui kelebihan orang yang berkumis itu. Karena itu, tanpa mereka angkat, laki-laki berkumis itu menganggap dirinya pemimpin dari laki-laki yang lain. Dan laki-laki yang lain pun tidak pernah menolak anggapan itu.

Kali ini pun mereka mengharap mudah-mudahan usaha laki-laki berkumis itu segera berhasil. Dengan demikian maka mereka pun akan dapat berbuat serupa. Apalagi sebelumnya usaha laki-laki itu memang tidak pernah gagal. Dengan demikian ketika mereka melihat bahwa laki-laki berkumis itu sudah siap dan bahkan kemudian segera meloncat seperti tatit, hati mereka pun menjadi berdebar-debar pula.

Pandan Wangi melihat orang berkumis itu meloncat dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi ia adalah murid dan sekaligus puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja menyelesaikan ilmunya sampai pada tingkat tertinggi. Karena itu, Pandan Wangi sama sekali tidak heran melihat loncatan laki-laki berkumis itu. Bahkan demikian kemarahan merayapi dadanya, sehingga ia tidak terlampau banyak memberi kesempatan kepada lawannya.

Kedua tangan laki-laki berkumis itu dengan cepatnya menerkam kedua pergelangan tangannya. Seandainya, yang menggenggam pedang itu bukan Pandan Wangi atau seseorang yang mempunyai ilmu yang cukup, maka pergelangan tangannya pasti akan segera disentakkan, dan pedang di dalam genggaman itu akan terjatuh.

Tetapi ternyata yang terjadi sama sekali tidak demikian. Meskipun pada mulanya Pandan Wangi tampaknya berdiri saja seperti patung dan tidak sempat berbuat apa-apa, namun pada saat terakhir, Pandan Wangi menarik kedua tangannya bersama-sama. Hanya sejengkal. Dan ternyata, yang sejengkal itu telah membuat lawannya berteriak mengumpat-umpat. Ternyata tangan laki-laki itu tidak menerkam pergelangan tangan Pandan Wangi, tetapi tepat pada saat terkaman itu mencengkam sasarannya, pada saat itulah Pandan Wangi menarik kedua tangannya, sehingga kedua tangan laki-laki berkumis itu tepat mencengkam tajam pangkal pedang Pandan Wangi.

Kawan-kawan laki-laki itu melihat bahwa Pandan Wangi masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi terhalang oleh tubuh laki-laki berkumis itu sendiri, mereka tidak melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang mereka lihat kemudian adalah laki-laki berkumis itu meloncat mundur sambil berteriak kesakitan, sedang dari kedua telapak tangannya mengalir darah yang segar.

Betapa hati di setiap dada laki-laki yang berada di tempat itu bergetar dahsyat sekali. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu dapat terjadi. Mereka tidak melihat, bagaimana mungkin kedua tangan laki-laki berkumis itu terluka bersama-sama. Karena itu, maka sejenak justru mereka terdiam seperti patung dengan mulut yang ternganga-nganga.

Mereka terkejut ketika mereka mendengar suara laki-laki itu mengguntur, “He, apakah kalian buta. Cepat, kepung perempuan gila ini. Ia harus ditangkap hidup-hidup. Ia harus menerima hukuman yang paling keji dari kita sekalian.”

Suara itu telah membangunkan orang-orang yang sedang membeku. Segera mereka berloncatan sambil menarik senjata masing-masing mengepung Pandan Wangi di segala arah. Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Kini ia benar-benar harus bertempur melawan laki-laki itu semua. Enam orang. Sedang seorang dari mereka, yang berkumis dan berjambang itu, telah berhasil dilukainya tanpa menyerang sama sekali. Namun, menghadapi enam orang laki-laki yang buas dan liar itu sekaligus, bagi Pandan Wangi bukannya suatu pekerjaan yang mudah.

“He, kenapa kalian masih menunggu?” teriak laki-laki yang terluka itu sambil menyeringai menahan sakit. Kedua telapak tangannya yang terluka dikatupkannya dan kadang-kadang ditiup-tiupnya untuk mengurangi pedih.

Kini setiap laki-laki yang berada di seputar Pandan Wangi telah bersiap. Satu-satu mereka melangkah maju. Sedang Pandan Wangi masih tegak berdiri di tempatnya dengan sepasang pedangnya yang telah diwarnai oleh darah lawannya.

“Tangkap hidup-hidup!” teriak laki-laki berkumis itu. “Ia harus merasakan hukumannya. Ia harus tahu, betapa kami dapat berbuat di luar dugaannya.”

Ketika laki-laki di sekitarnya mulai bergerak, maka Pandan Wangi pun tidak menunggunya lagi. Seperti kijang ia berloncatan. Begitu tiba-tiba, sehingga benar-benar telah mengejutkan lawannya. Ketika mereka sadar, maka sebilah pedang telah terlempar dan seorang dari antara mereka dengan wajah tegang menggenggam pergelangan tangannya yang terluka.

Tetapi hai itu, ternyata telah mengobarkan kemarahan kawan-kawannya. Mereka segera merasa terhina. Dalam saat yang demikian pendek, gadis itu telah berhasil melukai dua orang laki-laki dari enam orang yang biasa melakukan petualangan tanpa dapat dihalangi. Di sini, di sekitar bukit padas, seorang perempuan telah berhasil menitikkan darah mereka.

Dengan demikian maka mereka pun serentak menyerang bersama-sama dari segala penjuru. Serangan itu datang seperti pusaran air yang melibat Pandan Wangi di tengah-tengahnya.

Untunglah bahwa Pandan Wangi telah berhasil menguasai ilmu ayahnya hampir sempurna. Karena itu maka ia masih juga dapat memberikan perlawanan yang cukup baik. Apalagi ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan dapat ditangkap hidup-hidup. Orang-orang itu baru akan dapat menjamahnya apabila ia sudah menjadi mayat.

Dengan demikian, maka Pandan Wangi pun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Seperti sikatan. Ia menyambar-nyambar dengan sepasang pedang tipisnya. Sekali mematuk, kemudian sebuah sabetan mendatar menyentuh kulit lawan-lawannya.

Laki-laki yang bertempur bersama-sama Pandan Wangi itu telah dicengkam oleh keheranan, bahwa di daerah ini ada seorang perempuan yang mampu bertempur sedemikian dahsyatnya. Adalah tidak lazim sama sekali, bahwa seorang perempuan menggenggam senjata, apalagi bertempur dalam unsur gerak perkelahian yang mapan dan bahkan begitu dahsyatnya. Namun sejenak kemudian luapan kemarahan mereka pun segera mereka tumpahkan. Mereka berkelahi dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka. Mereka menyerang beruntun seperti ombak lautan. Susul-menyusul dari arah yang berbeda-beda.

Pertempuran itu pun segera meningkat semakin seru. Masing-masing telah mempergunakan setiap kemungkinan yang ada di dalam diri mereka. Segala kemampuan dan segala macam ilmu

Ternyata laki-laki yang bertempur bersama-sama melawan Pandan Wangi itu pun bukanlah orang-orang kebanyakan. Ternyata mereka memiliki bekal yang cukup sehingga mereka mendapat kehormatan memenuhi panggilan Sidanti.

Dengan demikian, ketika Pandan Wangi telah berhasil menjajagi kemampuan lawan-lawannya, terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Terasa olehnya, bahwa kemampuan mereka bersama-sama benar-benar berbahaya baginya. Pandan Wangi tidak akan tergetar serambut pun apabila ia harus melawan seorang demi seorang. Tetapi kini ia harus menghadapi mereka bersama-sama. Enam orang meskipun yang dua telah terluka. Tetapi luka itu tidak melumpuhkannya. Yang seorang masih dapat menggenggam pedang dengan tangan kirinya, sedang yang seorang lagi, masih mampu mempergunakan tangannya yang terluka itu, meskipun tanpa senjata. Tetapi kelincahan dan kecepatannya bergerak, benar-benar telah mengganggu ketenangan Pandan Wangi.

Tetapi Pandan Wangi telah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan terakhir. Ia sudah tidak dapat mundur lagi. Apalagi menyerah. Menyerah baginya akan berakibat dahsyat sekali. Dan ia yakin bahwa akhirnya ia pun akan mati. Mati dengan cara yang paling mengerikan. Itulah sebabnya ia telah memeras segala kemampuan yang ada padanya. Bagaikan gumpalan asap, pedangnya berputaran melindungi dirinya, dan yang dengan tiba-tiba saja telah menyerang melibat lawan-lawannya.

Demikianlah, maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin meningkat. Ketika tubuh-tubuh mereka telah basah oleh keringat, maka tandang mereka pun menjadi semakin dahsyat. Sekali-sekali orang-orang yang bertempur bersama-sama itu berhasil mengepung Pandan Wangi di dalam suatu lingkaran yang rapat. Tetapi sesaat kemudian beberapa orang harus berloncatan menyibak karena serangan Pandan Wangi datang bagaikan prahara. Dengan demikian maka kepungan itu pun pecah, sehingga mereka harus berhadapan dengan Pandan Wangi dari satu arah.

Sekali-sekali terdengar laki-laki yang kedua tangannya telah terluka karena sikapnya sendiri itu menggeram. Ia menyesal bahwa ia kurang berhati-hati. Seandainya pada saat itu ia masih dapat menggenggam goloknya, maka perkelahian ini pun pasti akan lebih cepat selesai. Tetapi kini perempuan itu berhasil mempertahankan dirinya agak lebih lama. Namun setiap laki-laki itu pasti bahwa akhirnya Pandan Wangi yang lincah itu akan jatuh ke tangan mereka.

Tetapi Pandan Wangi benar-benar tidak akan menyerah. Betapa dahsyatnya serangan-angan datang beruntun, selalu dilawannya. Kadang-kadang ia harus membenturkan senjata karena ia tidak sempat lagi menghindar. Namun di dalam benturan-benturan yang terjadi, laki-laki yang garang itu pun menjadi heran. Kekuatan Pandan Wangi benar-benar mengagumkan, meskipun ia seorang gadis. Bagi mereka yang agak lemah, terasa getaran pada telapak tangannya, sehingga telapak tangannya itu menjadi pedih. Bahkan ada diantara mereka yang hampir-hampir saja kehilangan senjatanya, seandainya kawannya tidak menolong menyelamatkannya.

Pandan Wangi ternyata telah membuat setiap laki-laki yang melawannya itu menjadi heran dan kagum. Tetapi juga kemarahan mereka menjalar sampai ke ujung kepalanya. Bahkan kemarahan itu kemudian telah berubah pula menjadi dendam. Dan mereka mengharap bahwa mereka akan dapat melepaskan dendam mereka dengan cara mereka.

Namun betapapun juga Pandan Wangi mencoba memeras tenaganya tetapi yang dilawannya adalah enam ekor serigala yang kelaparan. Bagaimanapun juga, akhirnya Pandan Wangi merasa bahwa ia tidak akan mampu mengimbangi kekuatan mereka bersama-sama. Ternyata mereka pun bukan sekedar orang-orang kebanyakan yang hanya dengan kebetulan sajalah membawa pedang di lambungnya. Ternyata enam orang itu pun adalah orang-orang yang terlatih baik. Mungkin oleh guru-guru mereka, dan mungkin pula oleh pengalaman petualangan mereka yang penuh dengan kekerasan yang buas dan liar.

Demikianlah maka semakin lama semakin nampak jelas, bahwa Pandan Wangi menjadi terdesak semakin parah. Bahkan sekali-sekali ia harus meloncat jauh-jauh mengambil jarak yang cukup untuk melawan keenam orang yang segera memburunya, dengan senjata yang ter-acu-acu kepadanya.

Tetapi Pandan Wangi lebih berani menatap ujung-ujung senjata itu daripada harus memandang setiap wajah dari laki-laki yang buas dan liar itu. Ia lebih senang disentuh oleh ujung-ujung senjata itu, meskipun melubangi dadanya sama sekali. Tetapi tidak disentuh oleh tangan-tangan mereka yang penuh dengan noda dan dosa.

Karena itu, betapa tenaganya menjadi jauh susut, Pandan Wangi masih tetap melakukan perlawanan. Ketika ia melihat beberapa orang lawannya menitikkan darah, maka seolah-olah tenaganya menjadi tumbuh kembali. Namun hanya sesaat. Sesaat berikutnya ia merasa tenaganya seolah-olah telah terperas habis.

Dada Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Apakah pada suatu saat ia benar-benar akan jatuh ke tangan orang-orang itu?

“Tidak,” Pandan Wangi menggeram, “apabila aku tidak mampu melawan mereka, maka tusukan yang terakhir dari ujung pedangku adalah menghunjam ke dalam dadaku sendiri. Biarlah aku menjadi tumbal. Mudah-mudahan mayatku akan. menjadi peringatan bagi Kakang Sidanti, bahwa seharusnya Tanah ini dan segala isinya tidak dikorbankannya untuk kepuasan pribadi.”

Pandan Wangi tersentak ketika terasa sebuah sengatan pada pundaknya. Sengatan ujung senjata lawannya. Dengan gerak naluriah ia meloncat mundur. Pedangnya segera bergetar melindungi dirinya. Tetapi ternyata darahnya pun kemudian menitik dari segarit luka yang tergores di pundaknya itu.

Dada Pandan Wangi berdesir tajam. Hatinya terasa menjadi pedih jauh lebih pedih dari luka itu sendiri. Tetapi terlebih pedih lagi ketika ia mendengar laki-laki yang kedua tangannya terluka itu berkata lantang, “Jangan kau bunuh dia. Gadis itu harus ditangkap hidup-hidup.”

Gelora di dada Pandan Wangi telah mendorongnya untuk bertempur mati-matian dengan sisa-sisa tenaganya. Tiba-tiba ia menjadi semakin garang dan pedangnya pun menjadi semakin cepat berputaran. Sekali ia meloncat maju dengan tiba-tiba di antara ujung-ujung senjata. Dengan serangan yang rendah ia mematukkan senjatanya, dan ketika ia meloncat mundur terdengar salah seorang dari keenam laki-laki itu berdesis, kemudian mengaduh pendek.

“Gila,” Laki-laki itu menggeram, “ia melukai lambungku. Aku harus membalasnya.”

“Jangan bunuh dia,” teriak laki-laki yang berkumis.

“Seandainya aku tidak membunuhnya, tetapi aku harus membalas hinaan ini dengan penghinaan yang paling memalukan. “

“Terserah kepadamu. Tetapi ia harus tertangkap hidup-hidup.”

Pembicaraan itu terdengar berputar-putar di telinga Pandan Wangi. Pengaruhnya jauh lebih berat dari dentang senjata-senjata yang sedang beradu. Kengerian yang luar biasa telah mencengkam jantung dan hatinya, sehingga sekali lagi ia mengambil keputusan apabila memang sudah tidak mungkin lagi ia menghindar dari kekalahan, maka ia akan menikamkan senjata untuk yang terakhir kalinya pada dadanya sendiri langsung menghunjam jantung.

Sementara itu, di lorong yang memanjat di dalam pedukuhan itu, Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan Argajaya sedang berkuda perlahan-lahan menyelusur jalan. Tidak ada tujuan yang ingin didatanginya. Mereka hanya ingin melihat perkembangan suasana di saat-saat terakhir. Mereka ingin melihat imbangan kekuatan yang ada di antara mereka. Sidanti dan Argapati. Karena itu, maka perjalanan itu sama sekali tidak dipengaruhi oleh matahari yang semakin lama semakin meninggi hampir sampai ke puncak langit.

Namun tiba-tiba mereka terperanjat. Di hadapan mereka tampak sebuah lingkaran perkelahian. Beberapa orang telah terlibat di dalamnya.

“Siapakah mereka itu?” desis Sidanti. Argajaya tidak segera menyahut. Tetapi di antara pepohonan yang jarang-jarang di pategalan dan kebun-kebun kosong, Argajaya melihat beberapa orang yang bentuknya pernah dikenalnya.

“Mereka adalah beberapa orang dari antara orang-orang yang kita harap bantuannya, Sidanti.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Tetapi dengan siapa mereka berkelahi?”

“Entahlah,“ Argajaya menggelengkan kepalanya, “tidak begitu jelas bagiku. Tetapi pasti seorang yang pilih tanding yang mampu berkelahi melawan orang-orang itu. Tidak sekedar seorang lawan seorang, tetapi agaknya beberapa orang telah terlibat di dalamnya.”

“Setan,” Sidanti bergumam. “Apakah Argapati sudah mulai? Marilah kita lihat, siapakah yang telah mencoba menyombongkan dirinya melawan orang-orang kita. Mudah-mudahan orang-orang kita tidak mengalami apa pun juga.”

Sidanti segera melecut kudanya, sehingga kuda itu meloncat dan berlari kencang mendekati lingkaran perkelahian yang masih berlangsung dengan sengitnya. Tetapi tenaga Pandan Wangi sudah semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun lawan-lawannya juga demikian. Namun karena lawannya berjumlah enam orang, maka kemungkinan baginya untuk dapat melepaskan diri dari tangan laki-laki yang buas itu menjadi semakin sempit.

Betapapun mereka sedang dibelit oleh perkelahian yang seru, namun mereka masih sempat mendengar derap beberapa ekor kuda mendekati mereka. Semakin lama menjadi semakin dekat. Ternyata derap kaki-kaki kuda itu cukup berpengaruh kepada mereka yang sedang bertempur. Salah seorang laki-laki yang sedang melawan Pandan Wangi itu berdesis, “Derap kaki-kaki kuda.”

Pandan Wangi pun mendengarnya pula. Tetapi ia masih belum sempat berpaling untuk melihat siapakah yang datang. Ia masih sibuk memperhatikan ujung-ujung senjata yang bertubi-tubi menyerangnya. “Meraka datang,” teriak salah seorang dari mereka.

“Ha,” sahut yang lain, “kini sampailah akhir dari perlawananmu anak manis. Meskipun agaknya kita pun terganggu pula sedikit, tetapi akhirnya maksud kami pun akan sampai pula. Mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada membantu kami menangkapmu.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Tidak hanya seekor kuda. Timbullah kengerian yang tajam di dalam dadanya. Bagaimanakah seandainya ia benar-benar jatuh ke tangan laki-laki yang liar itu. Apalagi mereka akan mendapat kawan, orang-orang yang datang berkuda itu meskipun Pandan Wangi masih belum sempat melihat orang-orang yang baru datang itu.

Dalam kepepatan hati, maka Pandan Wangi sampai kepada keputusannya. Ia harus mati. Kalau ujung-ujung senjata lawannya tidak mampu membunuhnya, maka ia akan membunuh dirinya sendiri.

Karena itu, maka tiba-tiba Pandan Wangi itu berdiri tegak sambil merentangkan tangannya yang masih menggenggam pedangnya. Ia berharap bahwa serangan yang datang beruntun dengan tiba-tiba akan sempat menusuk dadanya.

Tetapi ternyata sikapnya itu benar-benar mengejutkan. Sebelum ujung-ujung senjata menyentuh tubuhnya, tiba-tiba laki-laki yang kedua tangannya telah terluka berteriak, “Berhenti! Berhenti! Jangan lukai dia.”

Setiap laki-laki yang sudah siap menjulurkan pedangnya tiba-tiba tertegun. Mereka berdiri seperti patung, meskipun pedang mereka masih terjulur lurus-lurus ke depan.

“Sudah aku katakan, tangkap ia hidup-hidup. Agaknya anak manis ini telah menyerah.“

Kata-kata itu menyengat hati Pandan Wangi melampaui sengatan ujung pedang. Ternyata usahanya untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan lubang di dadanya tidak berhasil. Karena itu, maka tiba-tiba ia meloncat mundur sambil berkata lantang, “Jangan mengharap kalian dapat menyentuh tubuhku selagi aku masih hidup.”

Laki-laki berkumis itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau mau apa, Pandan Wangi?”

“Kalian hanya akan mendapatkan mayatku,” sahut Pandan Wangi tegas. Sementara itu ia telah mengangkat pedangnya siap untuk menembus dadanya.

Tetapi tiba-tiba mereka terkejut, ketika terdengar suara menggelagar, “Pandan Wangi. Apakah yang akan kau lakukan?”

Dengan gerak naluriah Pandan Wangi berpaling. Dilihatnya di atas punggung kuda kakaknya duduk dengan cemasnya. Sejenak kemudian Sidanti itu segera meloncat dan berlari mendapatkan adiknya. “Pandan Wangi, kenapa kau?”

Pandan Wangi memandangi kakaknya dengan sorot mata yang dipenuhi oleh keragu-raguan. Bahkan kemudian ia melangkah surut sambil berkata, “Jangan dekati aku.”

Sidanti tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Pandan Wangi yang pucat. Keringat yang membasahi pakaiannya dan yang kemudian dilihatnya adalah titik darah yang menetes dari lukanya.

“Kenapa kau, Wangi?” sekali lagi terloncat pertanyaan itu dari mulut Sidanti.

Pandan Wangi terdiam sejenak. Ditatapnya wajah kakaknya yang kecemasan. Tetapi ia masih dipengaruhi oleh kengerian yang sangat, sehingga ketika kakaknya maju selangkah, ia pun mundur selangkah.

“Kau biarkan orang-orangmu menghina aku. Bukan saja sebagai seorang puteri Kepala Tanah Perdikan, tetapi lebih-lebih lagi aku sebagai seorang gadis.”

Dada Sidanti berdentangan mendengar kata-kata itu. Sekilas hatinya dipengaruhi oleh kepentingannya atas orang-orang yang kebetulan telah mencegat Pandan Wangi. Mereka adalah orang-orang yang diperlakukannya dalam tujuan yang dianggapnya penting. Tetapi tiba-tiba terbayang di wajah Pandan Wangi yang pucat itu wajahnya semasa kanak-kanak. Dilihatnya wajah itu sebagai wajah Pandan Wangi pada saat ia masih kecil. Menangis dan merajuk. Anak itu selalu minta perlindungannya. Pada saat-saat kawan-kawannya nakal, maka gadis kecil itu selalu berlari kepadanya sambil menangis, “Kakang, Kakang Sidanti. Aku dinakali.”

Setiap saat ia menjadi marah. Setiap kali ia selalu berkata, “Bermainlah di sini. Siapa yang nakal, nanti aku pukul punggungnya.” Dan setiap kali Pandan Wangi akan terdiam. Ia akan bermain di sampingnya dengan tenteram.

Tiba-tiba Sidanti itu menggeram. Tiba-tiba saja ia memutar tubuhnya menghadap laki-laki yang liar yang masih menggenggam pedang di tangan mereka. Tanpa diduga-duga, maka Sidanti itu segera mencabut pedangnya sambil berteriak. “Hai cucurut-cucurut hina. Kalian hanya berani melawan seorang gadis kecil. Ayo inilah Sidanti. Kalau kalian benar-benar jantan, lawanlah Sidanti. Berkelahilah bersama-sama. Enam orang, atau panggil sepuluh orang kawanmu lagi.”

Perlahan-lahan Sidanti melangkah maju. Matanya memancarkan api kemarahan tiada terhingga. Pedangnya terjulur lurus ke depan. “Ayo, siapakah yang lebih dahulu?”

Sikapnya itu sama sekali tidak terduga-duga. Laki-laki liar itu sama sekali tidak menyangka, bahwa Sidanti akan bersikap demikian, justru kepada mereka.

Karena itu maka sejenak mereka berdiri saja mematung. Kemudian mereka saling berpandangan. Namun tidak seorang pun dari mereka yang mengerti, apakah yang seharusnya mereka kerjakan. Sedang di atas punggung kuda masing-masing, Argajaya dan Ki Tambak Wedi pun masih juga duduk termangu-mangu.

Dalam pada itu masih terdengar suara Sidanti, “Ayo, ayo, siapa yang paling jantan di antara kalian?”

Belum ada seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Tetapi laki-laki yang berkumis dan berjambang tampak mengerutkan keningnya. Wajahnya kemudian semakin menegang, sedang kedua telapak tangannya masih ditelakupkannya.

Namun sejenak kemudian ia melangkah maju sambil berkata dengan suara yang gemetar, “Apakah maksudmu, Sidanti?”

“Jelas, membunuh kalian bersama-sama.”

Laki-laki itu menjadi semakin tegang. Katanya, “Jadi kau undang aku kemari sekedar untuk berkelahi?”

Sidanti terdiam sejenak. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku memang memerlukan kalian. Tetapi tidak untuk menghina gadis-gadis.”

“Siapakah perempuan ini?”

“Adikku,” sahut Sidanti pendek.

Laki-laki berkumis itu menjadi semakin tegang. Kini dahinya menjadi berkerut-merut. Desisnya, “Kami tidak tahu bahwa gadis ini adikmu.”

“Sekarang kalian sudah tahu. Ayo, bersiaplah. Kita akan mempertahankan nama kita masing-masing.”

“Tetapi kau memerlukan kami untuk suatu kepentingan yang lain.”

“Aku tidak peduli. Tetapi penghinaan bagi gadis-gadis apalagi adikku sama sekali tidak dapat dimaafkan.”

Wajah laki-laki itu menjadi semakin berkerut-merut. Tetapi sejenak kemudian ia berkata, “Aku tidak tahu bahwa perempuan ini adalah adikmu. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekarang terserah kepadamu. Kalau benar-benar kau memutuskan untuk membersihkan nama kita masing-masing, marilah. Aku sudah datang ke tempat ini. Aku memang sudah membuat perhitungan. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah, aku tidak akan keluar lagi dari lingkungan ini.”

“Bagus, bersiaplah.”

“Tetapi Sidanti, jangan kau memakai alasan serupa itu. Jangan kau pergunakan kesempatan ini sekedar untuk mengobarkan nafsumu berkelahi. Jangan kau katakan, bahwa tidak dapat dimaafkan lagi karena kami mengganggu gadis-gadis, atau menghinakannya. Sebutlah alasan yang lain, dan kami akan melayaninya.”

Itulah alasan yang sebenarnya. “Kalian ternyata adalah orang-orang yang paling terkutuk.”

“Karena kami menghina dan mengganggu gadis-gadis?”

“Ya.”

“Omong kosong,” tiba-tiba orang yang berkumis dan terluka kedua telapak tangannya itu tertawa. Katanya pula kemudian, “Apakah kau kira kami belum pernah mendengar apa yang pernah kau lakukan di Sangkal Putung? Apakah kau sangka bahwa kami tidak tahu, apa yang kau perbuat atas Sekar Mirah?”

Wajah Sidanti tiba-tiba menyala semerah api. Sejenak ia justru mematung di tempatnya. Mulutnya bergetar seperti getaran jantungnya yang semakin cepat. Tetapi tidak sepatah kata pun yang dapat diucapkan.

Dan laki-laki berkumis itu masih tertawa, “Nah, apa katamu tentang Sekar Mirah itu.”

Terdengar gigi Sidanti bergemeretak. Sesaat kemudian ia menjawab dengan suara gemetar, “Kebodohanmu adalah bahwa kau tidak dapat melihat perbedaan di antara sikapmu dan sikapku. Aku mencintainya. Aku mengambilnya dengan suatu cita-cita, bahwa suatu ketika aku akan hidup bersamanya dalam lingkungan kekeluargaan yang aku junjung tinggi. Mungkin aku termasuk seorang yang buas di dalam lingkaran pertempuran. Aku pernah membunuh dan mencincang musuhku. Tetapi aku menghormati hubungan yang tinggi di antara manusia di dalam hubungan kekeluargaan.”

Laki-laki berkumis itu mengerutkan keningnya. Namun ia tertawa pula, “Aku tidak melihat bedanya. Kau juga tidak menghormatinya, menghormati perasaannya. Kau berbicara tentang cita-cita dan keluarga, tetapi kau tidak berbicara tentang perasaan orang lain. Nah, bukankah tidak ada bedanya? Aku juga tidak berbicara tentang orang lain. Akupun hanya sekedar menuruti keinginanku. Yang berbeda di antara kita hanyalah keinginan kita. Kau inginkan dan kau paksa gadis itu untuk menjadi isterimu apabila berhasil, tetapi aku hanya menginginkannya sekarang.”

Kemarahan Sidanti benar-benar telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Ia benar-benar terhina karenanya. Namun justru karena itu sekali lagi ia terbungkam. Hanya ujung pedangnya sajalah yang bergetar semakin cepat.

“Nah apa katamu?” berkata laki-laki berkumis itu. “Kalau ingin berkelahi, marilah kita berkelahi. Tetapi jangan halangi aku meskipun gadis itu adikmu. Aku sudah terlanjur mulai. Atau barangkali kau berbaik hati, meyerahkannya kepada kami supaya kami bersedia membantumu.”

“Cukup, cukup!” suara itu benar-benar mengejutkan. Bukan suara Sidanti, karena mulut Sidanti justru terkunci oleh kemarahan yang menyumbat dadanya.

Ketika mereka serentak berpaling, maka mereka melihat Argajaya meloncat turun dari kudanya dengan wajah yang merah padam. Digenggamnya tombaknya erat-erat. Terdengar suaranya bergetar, “Gadis itu adalah kemanakanku pula. Marilah kita bertempur. Aku yakin bahwa kalian sebentar lagi akan menjadi bangkai.”

Sekali lagi setiap laki-laki yang berwajah liar dan buas itu menjadi heran. Keadaan ternyata berkembang tanpa dapat dikekang lagi. Namun mereka pun tidak ingin merendahkan nama mereka. Sehingga dengan garangnya, laki-laki yang telah terluka tangannya itu menggeram, “Baik, baik. Kami tidak berkeberatan. Marilah. Enam orang di pihak kami meskipun di antaranya telah terluka dan empat orang di pihakmu, bersama-sama dengan gadis itu. Kita akan bertempur. Tetapi kami minta, taruhannya adalah seorang gadis cantik yang bernama Pandan Wangi. Setuju?”

Sidanti sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Penghinaan itu sudah berlebih-lebihan. Apalagi ketika ia sadar, bahwa pamannya telah menjadi marah pula. Keenam orang itu tidak segera dapat mengalahkan Pandan Wangi seorang diri. Apalagi apabila mereka harus bertempur melawan dirinya dan pamannya bersama-sama. Sudah tentu Pandan Wangi sendiri akan serta. Terlbih-lebih lagi apabila gurunya membantunya pula. Maka membunuh keenam orang itu tidak akan memerlukan waktu sepenginang.

Tetapi sebelum Sidanti meloncat terdengar suara gurunya, “Sidanti. Tunggu.”

Sidanti tertegun sejenak. Bersamaan dengan pamannya ia berpaling.

“Jangan terburu nafsu,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.

“Mereka menghina aku, Guru,” berkata Sidanti.

“Ya. Tetapi jangan tergesa-gesa mengambil tindakan. Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan dengan saksama. Aku sependapat dengan kau dan pamanmu Argajaya. Tetapi aku tidak sependapat bahwa kalian harus bertempur di sini.”

“Di mana kami harus bertempur?” bertanya Argajaya.

“Bukan di mana. Tetapi perkelahian di antara kita memang harus dicegah. Kita sudah terlalu kenyang dihantam oleh pengalaman. Kita selalu dihancurkan karena kita selalu bertengkar dengan diri sendiri.”

“Tetapi penghinaan itu sudah melampaui batas.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang masih pucat. Lamat-lamat dilihatnya bayangan wajah Rara Wulan pada wajah gadis itu. Dan setitik keringat telah membasahi keningnya.

“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. “Persoalan itu selalu kembali pada setiap keadaan.” desisnya di dalam hati, “persoalan perempuan. Sejak masa itu, sejak jauh sebelum Sidanti dilahirkan, maka persoalan perempuan selalu saja melibatkan diri. Kemudian kegagalan Sidanti di Sangkal Putung, di Tambak Wedi dan kini di Menoreh, persoalan itu selalu saja ditemuinya kembali.”

Tetapi sebelum Ki Tambak Wedi menentukan sikapnya, maka sekali lagi mereka telah dikejutkan oleh derap kaki-kaki kuda. Sejenak mereka terdiam. Dan suasana pun menjadi hening sepi. Yang terdengar adalah silirnya angin pegunungan menyentuh dedaunan dan suara derap kaki kuda yang semakin lama semakin menjadi jelas.

“Hanya seekor kuda,” desis Ki Tambak Wedi, sehingga karena itu maka ia pun tidak menjadi cemas karenanya. Ketika tanpa dikehendakinya ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah melampaui titik puncaknya di pusat langit.

Sejenak kemudian dari balik dedaunan, mereka melihat seekor kuda seakan-akan terbang di jalan pedukuhan. Namun sejenak kemudian langkah kuda itu pun diperlambat. Agaknya penunggangnya telah melihat, beberapa orang yang berada di tempat itu. Tetapi kuda itu tidak berhenti. Semakin lama semakin dekat dan dekat.

Ketika terlihat oleh mereka, penunggang kuda itu, maka terdengar Pandan Wangi berteriak memanggil “Paman. Paman Samekta.”

Orang berkuda, yang bernama Samekta itu, menghentikan kudanya. Dengan herannya ia memandang Pandan Wangi yang masih menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian dipandanginya Sidanti, Argajaya, Ki Tambak Wedi, dan beberapa orang laki-laki yang kasar dan liar itu.

“Angger Pandan Wangi,” terdengar suaranya tertahan-tahan, “apakah yang telah terjadi?”

Pandan Wangi masih berdiri di tempatnya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Karena itu, sebelum ia menjawab, maka ia pun bertanya, “Kemanakah Paman akan pergi?”

Samekta tidak segera menjawab. Sekali lagi dipandanginya Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Aku mendapat tugas dari Ki Gede Menoreh untuk menjemputmu. Ki Gede mencemaskan kau dan memerintahkan aku untuk mencarimu apabila tengah hari kau belum kembali. Apakah yang telah terjadi di sini? “

Pandan Wangi memandangi wajah Sidanti yang kini menjadi ragu-ragu.

“Apakah kalian telah berkelahi?” terdengar lagi suara Samekta.

Pandan Wangi mengangguk. “Ya, Paman.”

Tiba-tiba wajah Samekta menjadi tegang. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan berkata, “Kenapa kau berkelahi, Ngger. Apakah terjadi sesuatu atasmu? “

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi tanpa disadarinya tangannya meraba lukanya. Setitik darah telah memerah di telapak tangannya.

“Kau terluka,” suara Samekta meninggi. Wajahnya kian menegang.

Pandan Wangi mengangguk.

“Siapakah yang telah melukaimu, Ngger?”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang masih tegak berdiri di tempatnya.

Sejenak mereka dilontarkan dalam kediaman masing-masing. Tetapi mata Pandan Wangi telah berbicara, yang melukainya adalah satu dari antara laki-laki liar yang sedang dipandanginya itu. Sehingga meskipun Pandan Wangi tidak mengucapkan kata-kata, namun pemimpin pengawal tanah Perdikan Menoreh itu segera mengetahuinya bahwa salah seorang dari laki-laki itulah yang melukainya. Karena itu maka tiba-tiba ia menggeram. Ia tahu pasti babwa laki-laki itu adalah termasuk sebagian dari orang-orang yang tak dikenal di Tanah Perdikan ini yang datang atas permintaan Sidanti dan Argajaya. Karena itu maka dengan sorot mata yang menyala dipandanginya Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Dan tanpa disadarinya tangan Samekta telah melekat di hulu pedangnya.

Namun agaknya Pandan Wangi menangkap getar hati Samekta. Sehingga ia berkata pula, “Untunglah, bahwa Kakang Sidanti dan Paman Argajaya segera datang dan menolong aku. Kalau tidak, maka Paman akan tinggal mengenang namaku.”

“He?” Samekta terkejut mendengar keterangan itu. Sejenak ia berdiri keheranan. Bahkan seolah-olah ia tidak yakin akan pendengarannya, bahwa Sidanti dan Argajaya-lah yang telah menolongnya. Tetapi perasaan itu disimpannya di dalam hatinya. Ia terpaksa mempertimbangkan keadaan untuk menyatakan suatu sikap saat itu. Ia merasa berdiri di tempat yang tidak diketahui dengan pasti. Menilik keadaan dan arah sikap masing-masing, Samekta percaya kepada keterangan Pandan Wangi. Tetapi beberapa persoalan masih terasa kabur di dalam kepalanya.

Sesaat mereka hanya saling memandang dengan perasaan masing-masing. Samekta yang keheranan, Argajaya dan Sidanti yang marah, Pandan Wangi yang masih pucat dan laki-laki liar itu pun bertambah liar. Sedang Ki Tambak Wedi yang duduk di atas punggung kudanya masih juga duduk sambil mengerutkan keningnya.

Tiba-tiba kesenyapan itu dipecahkan oleh Ki Tambak Wedi, “Apakah maksudmu datang kemari?”

Samekta berpaling kepada Ki Tambak Wedi. Jawabnya, “Aku menjemput Pandan Wangi.”

“Pandan Wangi berada bersama kakaknya,” berkata Ki Tambak Wedi pula. “Tinggalkan dia.”

Samekta heran mendengar kata-kata itu. Tetapi ia mendengar Pandan Wangi menyahut, “Tidak. Jangan kau tinggalkan aku, Paman Samekta. Tunggulah, kita pulang bersama-sama.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan dahinya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang masih pucat. Sejenak kemudian dipandanginya wajah Sidanti dan Argajaya yang masih merah.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Samekta, “Aku memang mendapat perintah dari Ki Argapati untuk menjemput Angger Pandan Wangi. Ki Argapati mencemaskannya, apabila terjadi sesuatu di sepanjang jalan, seperti yang ternyata sekarang. Untunglah Angger Sidanti dan Ki Argajaya menolongnya. Untuk itu, mendahului Ki Argapati aku mengucapkan diperbanyak terima kasih.”

Dada Sidanti menjadi berdebar-debar karenanya. Ia sadar bahwa yang diucapkan Samekta itu hanyalah sekedar tata kesopanan. Tetapi apakah Argapati akan benar-benar berterima kasih kepadanya? Mungkin untuk persoalan ini saja. Persoalan Pandan Wangi. Tetapi untuk seterusnya, Argapati pasti akan memusuhinya. Karena itu, maka jawabnya, “Kau tidak usah mengucapkan terima kasih kepadaku. Juga Argapati. Aku berbuat atas kehendakku dan tanggung jawabku sendiri. Aku telah menolong adikku. Aku tidak peduli, apakah hubungannya semua persoalan ini dengan Argapati, yang sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Terhadapku dan ternyata pula kini terhadap Pandan Wangi. Seandainya aku tidak ada, apakah yang terjadi dengan gadis ini.”

“Kakang,” terdengar suara Pandan Wangi, “Kakang jangan berkata demikian. Adalah wajar bahwa ayah mengucapkan terima kasih kepadamu dan kepada Paman Argajaya. Jangan dikaitkan persoalan ini dengan persoalan-persoalan lain yang masih terlampau gelap. Justru aku saat ini ingin menemuimu untuk kepentingan itu.”

Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku adalah kakakmu Pandan Wangi. Lepas dari setiap persoalan yang kini sedang membakar Tanah Perdikan ini.”

“Dan lepas dari setiap persoalan itu pula Ki Gede Menoreh akan mengucapkan terima kasih kepada kalian.”

“Tidak perlu. Aku tidak memerlukan terima kasih dari orang lain. Aku menolong adikku. Itu adalah kewajibanku. Aku tidak memerlukan terima kasih itu.”

Tanpa diduga-duga Argajaya berkata, “Tetapi, Kakang Argapati adalah ayahnya, Sidanti. Ia mempunyai kewajiban pula untuk menyatakan terima kasih kepada mereka yang menolong puterinya. Siapa pun orangnya.”

Dada Sidanti berdesir mendengar kata-kata Argajaya itu. Tetapi sesaat kemudian disadarinya bahwa Argajaya itu adalah adik Argapati. Hampir-hampir saja ia berteriak memaki. Tetapi sebelum mulutnya bergerak terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Katanya, “Kalian adalah anak-anak cengeng. Kalian mempersoalkan suatu masalah yang sama sekali tidak berarti. Biar sajalah, apakah Argapati akan mengucapkan terima kasih atau tidak.”

Sidanti sejenak terbungkam di tempatnya. Hatinya bergolak tidak menentu. Ia tidak tahu kini, kepada siapa sebenarnya marah. Kepada laki-laki liar yang mengganggu Pandan Wangi itu, kepada Samekta atau justru kepada Argajaya? Karena itu, maka dadanya menjadi pepat dan terdengar giginya gemeretak.

“Kalian benar-benar telah kehilangan akal.” berkata Ki Tambak Wedi. “Sekarang lepaskan semua persoalan. Biar sajalah Pandan Wangi menentukan sikapnya. Apakah ia akan kembali ke rumah ayahnya atau ia akan pergi kepada paman dan kakaknya.”

Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar isak Pandan Wangi yang ditahannya kuat-kuat. Gadis itu masih menggenggam sepasang pedang. Ia tidak menangis ketika ia berhadapan dengan enam laki-laki liar dan bahkan sampai kemungkinan bahwa ia akan mati terbunuh atau membunuh diri. Tetapi kini ketika perasaannya sebagai seorang gadis tersentuh pada hubungan keluarganya yang kisruh maka hatinya menjadi terlampau pedih. Sehingga ia tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia kini berdiri sebagai seorang gadis. Seorang gadis yang seakan-akan berada di persimpangan jalan. Ia berdiri tegak di antara ayahnya dan kakaknya. Tetapi ayah dan kakaknya itu sama sekali tidak mempunyai sangkutan darah sama sekali. Dan persoalan itulah yang agaknya ikut menjadi sebab menyalanya api yang akan membakar Tanah Perdikan ini.

Keenam laki-laki liar yang telah bertempur melawan Pandan Wangi itupun menjadi heran. Gadis itu tidak gentar melihat mereka dan ujung-ujung pedang mereka. Tetapi kini, ketika ia sudah selamat dan tidak lagi berada di dalam bahaya, justru ia menangis.

“Dalam keadaan itu, terdengar Samekta berkata, “Sudahlah, Ngger. Marilah kita kembali.”

Tangis Pandan Wangi belum mereda. Tetapi ia mencoba menahannya sekuat hati, sehingga dadanya menjadi pepat, dan seakan-akan hendak meledak.

“Pulanglah, Wangi,” terdengar suara Argajaya. Betapapun juga gadis itu adalah kemanakannya. Seperti Sidanti, Argajaya telah dilibat oleh kenangan di masa gadis itu masih kecil. Gadis kecil itu sering didukungnya, dibawanya bermain-main ke rumahnya sebelum ia sendiri mempunyai anak perempuan. Meskipun kini anaknya sendiri telah hampir sebesar Pandan Wangi, namun kenangan itu masih jelas di dalam ingatannya.

Pandan Wangi mengangkat wajahnya, ia memang ingin pulang kepada ayahnya. Namun sebelum ia melangkah, terdengar ia berkata di antara isak tangisnya, “Kakang Sidanti. Kau akan melihat persoalan yang lebih buruk lagi di saat-saat mendatang, apabila kau masih tetap di dalam pendirianmu. Itulah yang akan aku, katakan, Kakang.”

Dada Sidanti berdesir mendengar kata-kata adiknya. Sejenak ia terdiam. Sekilas terasa kebenaran kata-kata Pandan Wangi. Sebelum persoalan ini meluas, maka ia telah menjumpai peristiwa yang disesalkannya, justru menimpa adiknya sendiri. Lalu apakah yang akan terjadi seandainya pergolakan yang kemelut ini menjadi semakin memburuk?

Kekisruhan pasti akan terjadi di mana-mana. Orang-orang yang ingin meneguk di air yang keruh akan mendapat kesempatan seluas-luasnya. Kini ia telah dihadapkan pada suatu contoh yang baik.

Dalam pada itu terdengar suara Pandan Wangi, “Kakang, apa pun yang pernah terjadi atasmu, kau adalah anak dari Tanah ini. Tanah Perdikan Menoreh. Apakah dengan demikian kau sampai hati melihat Tanah ini menjadi ajang keributan dan kekisruhan? Apakah kau sampai hati melihat orang-orang tak dikenal seperti orang-orang liar ini, berbuat sekehendak hatinya di sini. Membunuh, merampok, dan memperkosa, justru kitalah yang mengundang mereka dan memberikan tempat terhormat kepada orang-orang itu. Mempersilahkan mereka merampas kekayaan di rumah kita sendiri dan sekaligus membakar rumah kita ini?”

Sidanti tegak sebagai karang. Terasa tusukan-tusukan yang tajam di jantungnya. Ia melihat kebenaran kata-kata Pandan Wangi. Betapa pertentangan terjadi di dalam rumah tangga sendiri, bukan seharusnya kita membawa tetangga-tetangga kita, betapapun baiknya. Apalagi seliar laki-laki yang telah mengganggu Pandan Wangi itu, untuk ikut serta mengeruhkan suasana.

Ternyata bukan saja Sidanti yang langsung tertusuk oleh kata-kata itu, tetapi juga Argajaya sebagai putera Tanah Perdikan Menoreh. Sudah tampak di depan matanya, pepucuk dari segala macam bencana yang akan menimpa Tanah ini. Tanah Perdikan yang kini dipimpin oleh kakaknya sendiri.

Tetapi berbeda tanggapan Ki Tambak Wedi yang masih saja berada di atas punggung kudanya. Ia melihat gelagat pada wajah-wajah Sidanti dan Argajaya. Terasa darahnya meluap karenanya. Ia sadar bahwa kata-kata Pandan Wangi itu langsung mengenai sasarannya. Tetapi ia tidak dapat membiarkannya. Persoalan ini sudah terlanjur sampai pada suatu tingkatan yang cukup parah. Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat melangkah surut, apa pun yang terjadi. Karena itu maka, ia harus segera berbuat sesuatu. Membungkam Pandan Wangi sebelum ia berkata terlampau banyak dan berhasil melemahkan hati kakak dan pamannya. Apabila demikian, maka ia akan berdiri sendiri dan bahkan mungkin ia akan berhadapan dengan orang-orang yang selama ini berada di pihaknya. Dan yang paling menyakitkan hati apabila anaknya laki-laki, Sidanti, terpengaruh pula oleh kata-kata adiknya itu.

Hampir saja Ki Tambak Wedi memilih jalan yang paling berbahaya baginya tanpa mengenal unggah-ungguh. Hampir saja ia berbuat kasar terhadap Pandan Wangi. Mengusirnya dan berteriak keras-keras membantah kata-kata itu dengan seribu macam alasan. Tetapi ternyata ia pun tidak sampai hati berbuat demikian. Justru karena wajah Rara Wulan membayang di wajah gadis itu. Wajah seorang perempuan yang telah ikut menentukan jalan hidupnya. Perempuan yang telah mendorongnya untuk berperang tanding dan mempertaruhkan nyawa dan kehormatan di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun lampau.

Bayangan itulah yang telah mengekangnya. Dan karena itu yang dilakukan kemudian adalah, mencari jalan untuk segera mengusir Pandan Wangi itu dengan cara yang lain.

Maka berkata orang tua itu, “Pandan Wangi. Ayahmu telah memerintahkan bawahannya untuk menjemputmu. Pulanglah, supaya ayahmu tidak menjadi cemas.”

“Ya, Kiai,” jawab Pandan Wangi, “aku akan segera pulang. Aku telah puas dapat bertemu dengan Kakang Sidanti, dapat mengatakan meskipun hanya sebagian kecil dari persoalan-persoalan yang tersimpan di dalam hatiku.”

“Kami berterima kasih atas peringatanmu itu. Tetapi kami mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Baiklah, aku kira saat ini yang harus kau lakukan adalah memenuhi panggilan ayahmu. Aku tahu, betapa gelisah hati orang tua menunggu anaknya pulang. Apalagi dalam keadaan serupa ini.”

Ternyata usaha Ki Tambak Wedi itu berhasil. Pandan Wangi segera merasa ingin untuk dapat bertemu secepatnya dengan ayahnya. Katanya di dalam hati, “Ayah pasti menjadi gelisah karenanya.”

Karena itu maka kemudian disarungkannya sepasang pedangnya dan berkata kepada kakaknya, “Aku minta diri, Kakang. Ingat-ingatlah peristiwa ini.”

Sidanti tidak menyahut. Dipandanginya wajah adiknya yang pucat dan basah oleh keringat dan air mata. Kemudian ia mengangguk kecil.

“Aku minta diri, Paman,” berkata Pandan Wangi pula.

“Hati-hatilah, Wangi. Apakah kau hanya berjalan kaki saja?”

Pandan Wangi menggeleng, “Tidak, Paman. Aku berkuda. Tetapi kudaku telah lari.”

“Kenapa?”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang masih berdiri di tempatnya masing-masing.

Argajaya menggeram. Ia tahu, bahwa orang-orang itulah yang telah sengaja melepaskan kuda Pandan Wangi. Karena itu maka kemudian katanya, “Pandan Wangi, pakailah kudaku. Aku masih mempunyai beberapa ekor di rumah.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ternyata hubungan antara paman dan kemanakannya tidak dapat segera diputuskan oleh persoalan yang tumbuh kini. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi tidak berkeberatan. Dengan demikian maka Pandan Wangi itu akan segera pergi.

Maka sejenak kemudian, setelah menyarungkan sepasang pedangnya, Pandan Wangi itu pun sekali lagi minta diri kepada paman dan kakaknya, kemudian kepada Ki Tambak Wedi. Ia masih ingin berpesan sesuatu, tetapi Ki Tambak Wedi mendahuluinya, “Selamat jalan, Anak manis. Hati-hatilah di jalan.” Lalu kepada Samekta ia berpesan, “Jagalah gadis itu baik-baik. Mungkin banyak bahaya di sepanjang jalan. Ayahnya pasti sudah menunggunya.”

“Baik, Kiai,“ sahut Samekta, meskipun hatinya meugumpat orang tua yang licik itu.

Sesaat kemudian maka kedua ekor kuda itu pun segera berderap meninggalkan mereka yang masih berdiri mematung di tempatnya.

Sejenak mereka yang ditinggalkan itu pun masih tegak sambil berdiam diri. Mereka seolah masih belum dapat melepaskan diri dari peristiwa yang baru saja terjadi. Di tangan mereka masih tergenggam senjata-senjata masing-masing. Golok, pedang, dan tombak pendek di tangan Argajaya. Bahkan ketegangan yang mencengkam mereka sama sekali masih belum mereda.

Dalam keadaan demikian itu terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa, “Jangan bermain-main lagi.”

Semua orang berpaling kepadanya, dan ia berkata seterusnya, “Kadang-kadang kita memang perlu memanaskan diri, supaya apabila terjadi persoalan yang sebenarnya kita benar-benar sudah bersiap. Tetapi sebaiknya pemanasan itu tidak terjadi dalam kesalah-pahaman. Sebaiknya memanaskan diri itu harus terjadi secara sadar.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Sekian banyak laki-laki itu seolah-olah masih membeku.

“Sekarang sarungkanlah pedang kalian?” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya.

Ketika masih belum ada yang melakukannya, maka ia berkata kepada Sidanti, “Sidanti. Jangan dipengaruhi oleh perasaan yang kekanak-kanakan itu. Berpikirlah dewasa, seperti orang yang lain pun harus berpikir dewasa.”

Laki-laki yang berkumis dan berjambang itu tiba-tiba menyadari dirinya. Dan tiba-tiba pula ia berkata, “Aku bukan barang mainan di sini. Aku datang atas undangan kalian. Tetapi di sini aku sekedar akan dihinakan. Aku tidak mau. Aku harus berbuat sesuatu untuk menebus hinaan ini. Jangan kau sangka aku berdiri sendiri. Di sini ada beberapa puluh orang yang datang atas undangan kalian. Seperti aku. Apabila terjadi sesuatu atasku, maka mereka pasti akan berpikir tentang nasib mereka pula. Apalagi kalau aku berbicara tentang orang-orangku sendiri di tempatku. Mereka tidak akan tinggal diam. Kalian harus tahu akibat yang akan melanda Tanah ini.”

Wajah Sidanti yang masih tegang menjadi kian menegang. Dengan serta-merta ia menjawab, “Tetapi, kami tidak mengundang kalian untuk menghinakan gadis-gadis kami di sini. Apalagi Pandan Wangi adalah adikku.”

Laki-laki berkumis itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah gadis itu adikmu?”

“Ya.”

Laki-laki berkumis itu mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya, “Aneh sekali. Kau telah bertekad untuk melawan Ayahmu. Ayahmu. Tetapi kau sangat terikat kepada adikmu. Kenapa adikmu tidak kau bawa bersamamu? Menilik pengamatanku, adikmu agaknya berpihak kepada Ayahmu. Padahal meskipun ia seorang gadis, ternyata ia seorang gadis yang luar biasa. Lihat, tanganku telah terluka karenanya. Beberapa orang kawanku pun terluka pula,”

“Salahmu sendiri. Untunglah adikku mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Kalau tidak, maka kalian pun akan menjadi mayat di sini.”

“He,” Laki-laki itu membelalakkan matanya. “Jadi kau benar-benar menghendaki pertengkaran? Ayo, kami ternyata tidak akan berkeberatan.”

Hampir saja Sidanti berteriak menjawab tantangan itu, tetapi gurunya mendahuluinya, “Sudah aku katakan. Apabila kalian ingin memanaskan diri jangan dalam suasana salah paham. Sarungkan senjata kalian. Yang terluka harus segera diobati. Setiap saat kalian akan diterkam oleh bahaya. Apalagi sejak Pandan Wangi mengalami perlakuan ini.”

“Jadi kalau terjadi benturan antara kalian dengan Argapati, kalian ingin menyalahkan kami karena kami mencegat Pandan Wangi?”

“Bukan itu soalnya. Maksudku, peristiwa ini akan dapat menjadi penyebab, meledaknya kemelut yang selama ini seolah-olah, tersekap dalam dekapan yang rapat.”

“Lalu bagaimana maksudmu? Apakah kami harus menunda perhitungan ini sampai persoalan kalian dengan Argapati selesai?”

“Tidak. Aku sama sekali tidak menghendaki persoalan ini berlarut-larut. Seharusnya Sidanti menyadari kedudukannya, dan tidak membuat persoalan-persoalan baru dengan pihak lain,”

Sidanti terkejut mendengar kata-kata gurunya, sehingga dengan serta-merta ia berpaling. “Apakah maksud Guru?”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Terasa mulutnya terlampau berat untuk mengucapkannya. Bahkan perasaannya pun seakan-akan telah mengekangnya. Tetapi ia mencoba mempergunakan pikirannya. Ia harus memperhitungkan setiap keadaan dengan nalar, tidak dengan perasaan. Meskipun wajah Rara Wulan seolah-olah terbayang di wajah Pandan Wangi, namun ketika gadis itu sudah tidak berada di hadapannya, diusahakannya untuk mengusir bayangan itu dengan pikirannya.

“Apakah yang harus aku kerjakan guru?” bertanya Sidanti.

Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Di pandanginya wajah Argajaya yang menegang pula. Kemudian wajah-wajah dari beberapa laki-laki liar yang sedang dilanda oleh kemarahan itu.

“Maksudku,” berkata Ki Tambak Wedi, “jangan terjadi persoalan di antara kalian. Aku mengharap kalian yang kami undang pun dapat menempatkan diri kalian sebagai tamu yang terhormat, tetapi aku mengharap pula bahwa Sidanti dan pamannya dapat menjadi Tuan rumah yang baik. Dengan demikian kalian tidak akan terlibat dalam persoalan-persoalan yang tidak perlu.”

“Tetapi semuanya telah terjadi,” potong laki-laki berkumis itu. “Kami telah merasakan hinaan atas diri kami. Baik dari perempuan yang bernama Pandan Wangi maupun dari Sidanti.”

“Itulah yang ingin aku selesaikan sekarang,” berkata Ki Tambak Wedi. “Persoalan kalian dengan Sidanti harus kalian anggap tidak pernah terjadi. Sidanti dan Argajaya harus beranggapan demikian pula,”

“Tetapi mereka telah menghina adikku,” Sidanti-lah yang kemudian memotong kata-kata gurunya.

“Persoalan mereka dengan Pandan Wangi bukanlah persoalan kita, Sidanti.”

“He,” hampir bersamaan Argajaya, dan Sidanti bertanya lantang, “kenapa? Kenapa bukan persoalan kita?”

Sekali lagi Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera mengucapkan jawabnya.

Tetapi Sidanti, dan Argajaya menjadi semakin lama semakin tegang. Mereka ingin mendengar penjelasan dari orang tua yang masih saja tenang-tenang duduk di atas punggung kudanya.

“Guru,” berkata Sidanti, “kenapa persoalan Pandan Wangi bukan persoalan kita?”

“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi, “kau sudah berbuat tepat saat ini. Sebagai seorang kakak, kau sudah melakukan kewajibanmu. Tetapi kau juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang lain, yang juga harus kau lakukan, dan kau pertanggung jawabkan, sehingga kewajiban yang satu, dan yang lain harus menjadi seimbang.”

Wajah Sidanti menjadi semakin tegang, dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata pula, “Maksudku begini Sidanti. Kau memang bertanggung jawab terhadap adikmu itu apabila kau melihatnya. Seandainya peristiwa ini terjadi, dan kau melihatnya, maka tidak seorang pun yang dapat menyalahkan kau.”

“Melihat atau tidak melihat, Guru, tetapi peristiwa ini benar-benar peristiwa yang memalukan.”

“Tetapi kehadiran orang-orang itu sama sekali bukan peristiwa yang memalukan, sebab didorong oleh suatu cita-cita yang jauh lebih bernilai dari persoalan-persoalan harga diri seorang gadis. Persoalan yang kita tangani, dan yang mendorong kita mengundang mereka adalah persoalan Tanah Perdikan. Persoalan yang menyangkut hidup, dan mati seluruh rakyat di Tanah Perdikan ini. Sedang Pandan Wangi adalah hanya satu dari antaranya, dari antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh ini. Seperti halnya kita sendiri. Jangankan kehormatan, tetapi jiwa, dan raga kita, kita pertaruhkan.”

“Guru. Betapapun tinggi nilai dari perjuangan kita, tetapi bukankah hal-hal serupa ini tidak perlu terjadi? Hal-hal yang menyangkut harga diri, dan kehormatan seorang gadis? Guru, keduanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Perjuangan itu dapat berjalan, dan berlangsung terus, tetapi perampasan kehormatan serupa ini harus dihentikan.”

“Kau berada di dalam suatu dunia angan-angan yang hanya dapat terjadi di dalam mimpi, Sidanti. Kehadiran orang-orang itu di sini, sama sekali tidak dapat dibatasi menurut keinginan kita. Mereka hadir dengan segala keadaan mereka. Dengan segala sifat, dan watak mereka. Sehingga hal-hal yang akan terjadi sesuai dengan sikap, dan watak mereka seharusnya sudah kita perhitungkan sejak semula. Itulah sebabnya aku tidak terkejut apabila terjadi hal-hal serupa ini. Tetapi hal serupa ini harus terjadi di luar pengetahuan kita, di luar tanggung jawab kita. Dengan demikian, kita tidak akan tersangkut dengan perbuatan-perbuatan mereka, tetapi kita juga tidak akan membuat persoalan dengan mereka yang datang atas undangan kita.”

“Ah,” Sidanti berdesah.

Tetapi sebelum ia berkata gurunya mendahului, “Adalah kebetulan bahwa yang menjadi korban pertama-tama adalah adikmu, Sidanti. Tetapi apa boleh buat. Perjuangan yang besar memang memerlukan pengorbanan.”

“Kiai,” Argajaya tiba-tiba menyahut, “Kiai dapat berkata begitu karena Kiai tidak mempunyai sangkut paut dengan gadis itu. Tetapi ia adalah kemanakanku. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan hal itu terjadi?”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum. “Kau memang aneh. Kau sudah menentukan sikap. Kau telah memilih pihak di dalam pertentangan ini. Kalau kau masih terikat kepada hubungan keluarga, maka kau harus mempertimbangkannya sepuluh kali lagi. Argapati adalah kakakmu. Bukan sekedar kemanakanmu. Kau telah berada di dalam suatu rencana bersama dengan kami. Argapati harus disingkirkan. Apakah kau juga masih bertanya, bagaimana kau dapat membiarkan hal itu terjadi?”

Terasa desir yang tajam tergores di jantung Argajaya. Jawaban Tambak Wedi tepat mengenai sasarannya, sehingga sejenak ia terbungkam. Betapa dahsyatnya gejolak di dalam dadanya, tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban yang tepat atas kata-kata Ki Tambak Wedi itu.

Sekilas dipandanginya Sidanti. Ia sadar, bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mengemukakan persoalan serupa itu kepada Sidanti, karena Argapati bukanlah Ayahnya.

Suasana yang hening, sejenak mencengkam setiap hati laki-laki yang ada di tempat itu. Hanya mata-mata mereka sajalah yang bergerak-gerak hinggap dari satu orang ke orang yang lain.

Dalam keheningan itulah kemudian mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi, “Nah, seharusnya kita pun saling memelihara setiap hubungan baik yang telah ada. Orang-orang itu kini sudah tahu bahwa Pandan Wangi adalah adik Sidanti, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu atasnya di hadapan Sidanti, dan Argajaya.”

Urat-urat darah Sidanti, dan Argajaya serasa akan pecah. Tetapi mereka tidak dapat menjawab. Mereka tahu tujuan kata-kata gurunya, dan mereka pun sadar bahwa Ki Tambak Wedi hendak mengorbankan apa saja untuk kepentingan rencananya. Apalagi perempuan. Perempuan yang sama sekali tidak mendapat tempat yang baik di hatinya, sejak ia terlibat dalam persoalan yang rumit sampai di hari Tuanya. Rara Wulan.

Dan Ki Tambak Wedi itu berkata seterusnya, “Nah aku tetap pada pendirianku. Kalian harus melupakan apa yang telah terjadi supaya tidak ada retak betapapun kecilnya yang akan dapat mengganggu kekuatan kita. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita masing-masing boleh berbuat sekehendak diri kita. Kita harus tetap dalam satu ikatan. Yang satu berusaha untuk tidak menyinggung perasaan yang lain. Kita harus dapat saling membatasi diri masing-masing,”

Ketika Sidanti akan berbicara, Ki Tambak Wedi mendahului. “Sidanti, kalau masih ada persoalan di dalam dirimu atau di dalam diri pamanmu, marilah kita bicarakan di rumah. Tetapi bagaimanakah tanggapan kita bersama atas peristiwa ini seperti yang aku maksudkan?” Lalu kepada setiap laki-laki yang masih berdiri mematung di sekitarnya Ki Tambak Wedi berkata, “Apakah kalian dapat mengerti? Tetapi ingat, Tanah ini bukan padang rumput yang hijau bagi kawanan kambing yang bodoh. Tetapi Tanah ini harus bersama-sama kita perjuangkan, kita semai, dan kita pihara bersama-sama, supaya kita kelak dapat memetik hasilnya. Bukan sebaliknya, menjadi arena persengketaan tanpa ujung dan pangkal.”

Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang segera menjawab.

Sekali lagi mereka terdampar ke dalam suatu suasana yang hening. Namun terasa bahwa sorot-sorot mata mereka memancakan pergolakan di dalam dada masing-masing.

Ki Tambak Wedi yang masih duduk di atas punggung kudanya memandang wajah-wajah yang tegang itu satu demi satu, seakan-akan ingin melihat perasaan apakah yang tersembunyi di dalam hati mereka. Pengamatannya yang tajam mengatakan kepadanya bahwa dentang jantung orang-orang yang telah berkelahi bersama Pandan Wangi itu agak mereda. Sehingga tanpa sesadar mereka, senjata-senjata mereka pun telah terkulai menunduk dalam-dalam. Maka ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi berkata kepada mereka, seakan-akan mereka telah digerakkan oleh tenaga yang tidak mereka mengerti untuk memenuhinya.

“Sarungkanlah senjata-senjata kalian.”

Orang-orang liar itu pun segera menyarungkan senjata-senajata mereka. Sidanti, betapapun kebimbangan masih melanda dadanya, namun senjatanya pun telah disarungkannya pula.

“Marilah kita kembali, Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kita akan berbicara terlampau panjang di sini. Marilah, Ngger Argajaya.”

Sejenak Sidanti dan Argajaya saling berpandangan. Meskipun mereka mempunyai persamaan sikap tentang Pandan Wangi, namun ternyata bahwa di dalam hati mereka tumbuh pertentangan yang tidak mereka sadari. Betapapun juga Argajaya tidak dapat melepaskan kesadaran tentang dirinya, bahwa ia paman Pandan Wangi, adik ayah gadis itu, dan sama sekali tidak mempunyai sangkut-paut apapun dengan Sidanti, kakak Pandan Wangi. Sedang Sidanti pun menyadari hal itu pula. Kesadaran itu merupakan bibit yang tertanam di dalam hati masing-masing yang mungkin dapat tumbuh. Mungkin pula dapat menjadi subur, dan berbuah.

Tetapi Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang tajam itu pun menyadari keadaan itu pula. Ia menyadari bahwa benih itu dapat tumbuh dengan subur, dan menghasilkan buah yang lebat tetapi beracun. Karena itu, maka ia harus menjaga agar benih itu menjadi kering, dan mati sebelum sempat tumbuh ngrembaka.

Dan agaknya Ki Tambak Wedi mempunyai keahlian di dalam hal itu.

Sejenak kemudian, Sidanti, dan Argajaya yang masih tegak berdiri di tempatnya, mendengar Ki Tambak Wedi itu berkata pula kepada mereka, “Marilah kita pulang. Dapatkah kuda itu kalian pakai berdua? Kalau tidak, pakailah kudaku. Aku akan berjalan kaki saja.”

Sidanti dan Argajaya sekilas saling berpandangan. Namun kemudian Sidanti berkata, “Kudaku cukup kuat, Paman. Marilah silahkan.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati kuda Sidanti. Maka kemudian mereka mempergunakan kuda itu berdua, bersama Ki Tambak Wedi kembali ke rumah Argajaya. Tetapi keduanya masih sekali lagi berpaling memandang wajah-wajah yang liar, yang masih berdiri termangu-mangu di tempatnya.

Namun Sidanti segera mengekang kendali kudanya ketika ia mendengar salah seorang dari orang-orang liar itu berkata, “Persoalan kami dengan Pandan Wangi bukanlah persoalan kalian.”

Hampir saja Sidanti meloncat dari kudanya apabila gurunya tidak berkata, “Jangan bodoh, Sidanti. Aku perlu memberi penjelasan kepadamu di rumah. Kau harus sadar sejak semula, bahwa korban yang harus diberikan kadang-kadang terlampau memberati perasaan. Tetapi dalam perjuangan ini kalian jangan terlampau dikuasai oleh perasaan. Tetapi kalian harus mempergunakan pikiran, supaya perhitungan kalian tidak terombang-ambing.”

“Maksud guru?”

“Sudah aku katakan, jangan mengurusi soal-soal yang tidak bersangkut paut dengan perjuanganmu. Salahnya sendiri, apabila Pandan Wangi bertemu dengan orang-orang liar itu. Biarlah ia mempertanggung-jawabkan dirinya sendiri. Bukankah Argapati lebih banyak mempunyai tanggung jawab atasnya daripada kau?”

Terasa dada Sidanti, dan Argajaya bergetar. Tetapi mereka masih mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Betapa aku akan hancur didera oleh peraaanku, apabila aku membiarkan perasaan itu berbicara. Aku sama sekali tidak dapat melepaskan ingatanku apabila aku melihat wajah Pandan Wangi. Wajah itu adalah bayangan wajah Rara Wulan. Aku berkata berterus terang kepadamu, Sidanti, karena Rara Wulan adalah ibumu. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, aku paksa diriku sendiri untuk melepaskan angan-angan, dan bayangan itu, supaya orang-orang liar itu tidak menusuk kita dari belakang.”

Sidanti dan Argajaya tidak menyahut. Mereka kini mengerti sepenuhnya maksud Ki Tambak Wedi. Namun demikian terasa dada mereka masih berdentangan.

“Kita bukan manusia-manusia cengeng yang hanya dikuasai oleh perasaan. Kita harus mempunyai perhitungan yang pasti. Kita harus mampu membuat perimbangan, apakah yang kita korbankan dan apakah yang dihasilkan karenanya.”

Sidanti dan Argajaya masih tetap berdiam diri. Tetapi kini terjadi percikan-percikan persoalan di dalam dada mereka. Kata-kata Ki Tambak Wedi itu ternyata seperti ujung jarum yang menusuk jantung mereka, dan meninggalkan bintik-bintik luka beracun.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Samekta sedang mengendarai kuda mereka meninggalkan tempat terkutuk itu. Tetapi karena tubuh Pandan Wangi yang lelah, maka ia tidak berpacu terlampau cepat. Kuda pamannya itu pun masih belum begitu dikenalnya, sehingga kadang-kadang ia masih harus berusaha menyesuaikan diri.

Tiba-tiba mereka terpaksa mengekang kuda-kuda mereka ketika serombongan kambing berlari-larian memotong jalan. Agak jauh di belakang mereka seorang gembala berlari-lari pula, mengejarnya dengan sebuah cambuk di tangan.

Pandan Wangi menarik nafas. Namun tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan bergumam, “Sejak beberapa lama, baru kali ini aku melihat seorang gembala menggembalakan kambing-kambingnya di ladang terbuka. Apakah gembala itu tidak takut, bahwa kambing-kambingnya akan dirampas orang atau apa pun, yang dapat berbahaya bagi kambing-kambingnya, dan bahkan bagi dirinya sendiri?”

Samekta tidak menjawab. Matanya terikat kepada gembala yang berlari-larian di belakang kawanan kambingnya yang memotong jalan. Gembala yang bermandi peluh dan kelelahan.

Ketika gembala itu mencoba meloncati parit di pinggir jalan, ternyata satu kakinya tergelincir dan gembala itu jatuh terguling ke dalam air. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri, sedang tubuhnya telah menjadi basah kuyup. Bukan karena keringat, tetapi karena air yang agak keruh. Gembala itu mencoba mengusap mukanya yang kotor. Kemudian sambil bersungut ia berjalan perlahan-lahan dekat di depan Samekta dan Pandan Wangi, menyeberangi jalan.

Sesaat Pandan Wangi melupakan keadaan diri sendiri. Ia tersenyum melihat gembala yang basah kuyup itu. Gembala itu ternyata sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi ia adalah seorang anak muda yang telah dewasa.

Ketika gembala itu sampai di pinggir jalan seberang, ia membungkuk memungut serulingnya yang tiba-tiba saja terjatuh. Diusapnya seruling itu dengan ujung kainnya yang telah basah pula.

“Hati-hatilah lain kali,” tanpa sesadarnya Pandan Wangi berkata.

Gembala itu berpaling. Kemudian membungkuk hormat sekali. “Aku tergesa-gesa sehingga aku tergelincir.”

“Kenapa kau tergesa-gesa?” bertanya Pandan Wangi pula.

“Menurut orang-orang tua, keadaan daerah ini agak kurang baik sekarang.”

“Tetapi kenapa kau pergi menggembala juga?”

“Aku kasihan melihat kambing-kambingku. Sekali-sekali aku bawa juga ke luar meskipun hanya sebentar.”

“Kalau dalam waktu yang sebentar itu kambingmu dirampas orang, bagaimana dengan kau? Apakah kambing-kambing itu kambingmu sendiri?”

“Ya, kambing-kambing ini adalah kambing-kambing ayahku sendiri. Aku memeliharanya dengan baik, supaya kambing-kambing itu dapat berkembang biak dengan baik pula. Kepada kambing-kambing itulah kami meletakkan harapan kami. Sawah kami terlampau sempit, dan pekerjaan-pekerjaan lain terlampau sulit didapatkan. Mudah-mudahan kambingku cepat menjadi banyak.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa keadaan di daerah ini agak kurang baik? Siapakah yang berkata demikian, dan apakah sebabnya?”

“Ah, apakah aku mengerti persoalan itu? Aku tidak tahu. Menurut orang-orang tua dan anak-anak muda yang ikut bersiap-siap, keadaan semakin hari menjadi semakin buruk. Ki Gede Menoreh sedang berselisih dengan puteranya sendiri. Benarkah begitu? Akulah yang bertanya, sebab bukankah kau puteri Ki Gede Menoreh pula?”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia tidak menjadi heran bahwa seseorang segera dapat mengenalnya sebagai putri satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan ini, meskipun ia sendiri tidak mengenal gembala itu. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak dapat bercerita banyak kepada gembala itu, sehingga jawabnya, “Nah, sekarang pulanglah. Hati-hatilah. Memang keadaan kini agak kurang baik. Tetapi mudah-mudahan segera dapat diselesaikan.”

Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan. Kami akan menjadi senang, karena kami dapat menggembalakan kambing-kambing kami dengan leluasa dan tidak terganggu oleh rasa takut, dan cemas. Kami pun akan dapat mengerjakan sawah kami dengan tenang. Bukankah begitu? Kami tidak mengharap terlampau banyak.”

Pandan Wangi mengernyitkan alisnya. Ketika ia berpaling kepada Samekta dilihatnya wajah pimpinan pengawal Tanah Perdikan itu sedang berkerut.

Harapan gembala itu memang sederhana, dan terlalu wajar. Mereka tidak mengharap terlampau banyak. Ketenangan untuk bekerja, tanpa dihantui oleh bermacam-macam persoalan yang menakutkan.

“Siapakah namamu?” tiba-tiba, Samekta bertanya.

“Gupita,” jawab gembala itu dengan serta merta.

“He,” Samekta menyahut, “nama itu terlampau baik buat seorang gembala. Nama itu baik sekali lebih baik dari namaku sendiri. Gupita.”

“Siapakah nama Tuan?” tiba-tiba gembala itu bertanya. Wajahnya memancarkan kejujuran hatinya. Ia memang ingin tahu nama yang kurang baik dari namanya itu. Dan ia bertanya. Wajar sekali baginya.

Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tersenyum dan menjawab, “Samekta. Namaku, Samekta. Bukankah namamu lebih baik dari namaku?”

Tanpa disangka-sangka gembala itu mengangguk, “Ya. Memang namaku agak lebih baik. Tetapi tidak terpaut banyak. Samekta juga nama yang baik meskipun tidak sebaik Gupita. Bukankah begitu?”

Mau tidak mau Samekta dan Pandan Wangi terpaksa tertawa. Sejenak mereka melupakan persoalan-persoalan yang sedang kemelut di Tanah Perdikan ini. Dan dengan demikian mereka mendapat gambaran, bahwa sebenarnya para gembala, para petani, para penarik pedati, tidak terlampau banyak mengharap untuk kepentingan mereka. Ketenangan. Ketenangan bekerja. Tidak ada ketakutan dan ancaman. Hidup damai dalam lingkungan keluarga yang damai. Mereka sama sekali tidak membayangkan atau mimpi untuk memiliki sepuluh ekor kuda tunggangan yang paling baik. Tidak ingin memiliki limabelas pasang lembu yang besar-besar, dan tidak mimpi untuk mempunyai rumah joglo gandeng tujuh. Tidak. Mereka hanya memerlukan ketenangan, dan kedamaian hati.

Samekta yang masih tertawa itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat mata gembala itu. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Mata itu seolah-olah memercikkan sesuatu.

“Harapan,” desisnya di dalam hati. “Mungkin ia terlampau mengharap ketenangan, dan kedamaian hati. Mudah-mudahan segera akan terpenuhi.”

Sejenak kemudian maka Pandan Wangi dan Samekta itu segera menyadari keadaannya. Mungkin ayahnya kini sudah menjadi terlampau gelisah. Karena itu, maka Pandan Wangi pun berkata, “Marilah, Paman, ayah menungguku, dan lukaku memerlukan pengobatan pula, meskipun tidak seberapa dalam.”

“Oh, marilah. Kita hampir-hampir lupa waktu karena gembala yang aneh ini.”

“Apakah aku menghambat perjalanan Tuan?” bertanya gembala itu.

Samekta menggeleng, “Tidak. Kami sendirilah yang menghentikan perjalanan kami.”

Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya sambil menunjuk di kejauhan, “Apakah orang-orang itu kawan Tuan?”

Samekta dan Pandan Wangi serentak berpaling. Sebuah goncangan telah memukul dada mereka. Orang-orang itu adalah orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi, sedang berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.

Sekilas Pandan Wangi dan Samekta saling berpandangan. Terasa tangan mereka gemetar, dan tanpa sesadar mereka, mereka telah meraba hulu pedang masing-masing.

Gupita yang berdiri di pinggir jalan memandangi mereka dengan mulut ternganga-nganga. Sesaat ia berpaling kepada orang-orang yang berjalan tergesa-gesa itu, dan sesaat ia memandangi Pandan Wangi dan Samekta.

“Apakah mereka bukan kawan-kawan Tuan?” Gupita bertanya sekali lagi.

Samekta menggeleng. Tetapi tidak menjawab. Bahkan ia berkata kepada Pandan Wangi, “Mereka benar-benar orang yang buas.”

Meskipun Pandan Wangi bukan seorang penakut, tetapi terasa bulu-bulunya meremang. Ia tidak takut seandainya ia harus bertempur di antara hidup, dan mati. Tetapi kerakusan orang-orang itulah yang telah membuatnya terlampau ngeri.

“Untung Angger Sidanti telah menyelamatkanmu,” desis Samekta.

Pandan Wangi mengangguk. Katanya, “Aku sudah sampai kepada keputusan untuk membunuh diri. Tetapi berdua dengan Paman Samekta aku mengharap dapat membinasakan mereka.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi Ki Gede Menoreh akan menjadi terlampau gelisah. Ki Gede telah menunggumu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi terasa tangannya terlampau gatal. Kemarahan, dan kebencian telah membakar jantungnya. Meskipun demikian ia berkata, “Apakah yang sebaiknya kita lakukan, Paman?”

“Kembali. Kembali dahulu kepada ayahmu. Kemudian terserah, apa yang akan kau lakukan. Seandainya aku harus ikut bersamamu, aku pun tidak akan berkeberatan.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Orang-orang itu semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi mereka pasti tidak akan dapat mengejarnya seandainya Samekta dan Pandan Wangi melarikan kuda mereka, meskipun tidak usah dipacu. Karena itu Samekta dan Pandan Wangi tidak menjadi tergesa-gesa. Bahkan Pandan Wangi masih dapat berkata kepada Gupita, “Gupita. Apakah kau tidak berusaha untuk menyingkirkan kambing-kambingmu?”

“Kenapa ?”

“Mudah-mudahan orang-orang itu tidak tertarik kepada kambing-kambingmu yang gemuk itu. Tetapi kalau kau sempat, singkirkanlah. Apabila mereka tiba-tiba saja ingin daging kambing maka kau pasti akan kehilangan. Mereka akan mengambil begitu saja tanpa banyak persoalan. Karena itu, lebih baik bagimu untuk menyingkir.”

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak berbuat demikian. Ia tidak berlari dengan tergesa-gesa menggiring kambing-kambingnya. Tetapi ia masih berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun kini ia berdiri memandang ke arah orang-orang itu dengan tajamnya.

“Enam orang,” desisnya.

“Ya, enam orang,” ulang Samekta.

Dan Pandan Wangi menyahut, “Karena itu singkirkan kambing-kambingmu.”

Samekta berpaling ke arah beberapa ekor kambing yang sedang makan rumput dengan asyiknya dipinggir-pinggir pategalan. Sejenak kemudian matanya berkisar kepada orang-orang yang baru datang itu.

Dan tiba-tiba saja ia bergumam, “Enam orang. Bukankah mereka berenam? Dua di depan, dan empat di belakang. Bukankah begitu?”

“Ya. Mereka memang berenam. Kenapa?”

“Seandainya mereka ingin makan daging kambing, mereka tidak akan dapat menghabiskan seekor yang tidak terlampau besar.”

“Tetapi mereka tidak akan puas dengan demikian. Mungkin mereka akan mengambil tiga empat ekor. Atau bahkan seorang satu. Mereka bawa kambing-kambing itu ke pondok mereka. Setiap hari mereka menyembelih seekor daripadanya. Apabila kambing itu telah habis, mereka akan mencarimu atau mencari kandang-kandang kambing yang lain di padukuhan-padukuhan itu.

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum beranjak pergi. Bahkan kemudian ia berdesis, “Aku akan mempertahankan milikku. Kambingku tidak lebih dari tujuh ekor selain anak-anaknya. Aku akan mempertahankan milik keluargaku itu.”

Samekta dan Pandan Wangi terperanjat. Hampir bersamaan mereka berkata, “Jangan. Jangan kau coba, Gupita. Mereka adalah orang-orang yang paling buas yang pernah aku temui. Karena itu, menyingkirlah. Kau tidak akan dapat melawan mereka. Seorang daripadanya pun kau tidak akan dapat mengalahkannya, apa lagi mereka berenam.”

Gupita mengerutkan keningnya. Katanya, “Mereka tidak berhak berbuat demikian. Kambing itu adalah kambing keluarga kami. Kalau mereka minta dengan baik-baik, mungkin aku akan memberinya seekor. Kalau tidak, maka aku akan bertahan. Mereka akan dapat dihukum dengan melakukan perampasan itu.”

“Siapakah yang akan menghukum mereka?”

“Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh harus melindungi kami.”

Pandan Wangi dan Samekta terkejut mendengar jawaban itu. Sejenak mereka terdiam, dan saling berpandangan. Tetapi kata-kata itu sama sekali tidak salah.

“Apakah kami harus membiarkan diri dirampas hak-hak kami? Itu tidak adil.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba untuk menasehati. “Jangan berbicara tentang hak dan keadilan pada saat-saat seperti ini, Gupita. Aku hargai keberanianmu, tetapi kau harus mencoba menyesuaikan dirimu.”

“Kenapa?” bertanya gembala itu.

“Kini baru terjadi benturan kekuatan di atas Tanah ini. Benturan kekuatan yang kadang-kadang melanggar segala macam nilai-nilai yang selama ini kita junjung tinggi. Hak dan keadilan, bahkan kebenaran sedang berada di dalam ujian. Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh mampu menegakkannya dengan melenyapkan kekuatan-kekuatan yang akan menodainya.”

Gembala itu meggeleng lemah, “Aku tidak mengerti. Tetapi kambing itu kambingku. Tak ada orang lain yang berhak atasnya. Juga orang-orang itu. Bahkan kalian pun tidak berhak pula merampasnya.”

Samekta dan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu kini sudah menjadi semakin dekat. Karena itu maka Pandan Wangi berkata pula, “Menyingkirlah. Aku pun akan menyingkir karena Ayah menungguku. Apabila tidak, maka aku akan membantumu. Tetapi kesempatan yang paling baik saat ini bagimu adalah menyingkir cepat-cepat bersama kambing-kambing itu. Cobalah, berusahalah meskipun mereka telah semakin dekat.”

Gembala itu memandang Pandan Wangi dengan mata yang hampir tidak berkedip. Namun sesaat kemudian pandangannya beralih kepada Samekta, dan sesaat pula kepada orang-orang yang berjalan semakin dekat. Tetapi ia bertanya, “Apakah orang-orang yang merampas hak orang lain itu tidak akan dihukum?”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Amat sulitlah agaknya memberi penjelasan kepada gembala itu. Meskipun demikian ia menjawab, “Seharusnya ia dihukum. Tetapi kalau ia berpedang di lambungnya, maka untuk menghukumnya diperlukan kekuatan yang dapat melampaui kekuatan pedang orang-orang itu.”

Gembala itu masih belum mengerti menilik pandangannya yang termangu-mangu. Tetapi Pandan Wangi dan Samekta sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Orang-orang liar itu kini telah menjadi semakin dekat.

“Pergilah, lain kali kita berbicara. Di mana rumahmu?” bertanya Samekta.

“Di Randu Putung.”

“Randu Putung? Padukuhan itu dekat dengan Pucang Kembar, he?”

Gembala itu menganggukkan kepalanya, “Ya, di sebelah Utara.”

“Kenapa kau menggembala sampai ke tempat ini? Bukankah jarak ini terlampau jauh, apalagi dalam keadaan seperti ini?”

Gembala itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku mengikuti saja ke mana kambing-kambingku pergi.”

Sejenak Samekta dan Pandan Wangi saling berpandangan. Tetapi sebelum mereka berkata sesuatu, mereka berpaling. Terdengar salah seorang dari laki-laki yang datang itu berteriak, “He, Pandan Wangi, apakah kau menunggu aku, he?”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada gembala itu, “Pergilah. Aku pun akan segera pergi.”

“Tunggulah. Aku segera datang,” terdengar yang lain berteriak pula. Langkah mereka ternyata menjadi semakin cepat, pergi ke arah mereka. Bahkan orang yang berjalan di paling belakang berlari-lari kecil menyusul kawan-kawannya yang sudah lebih dahulu daripadanya.

Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Lalu ia bergumam, “Marilah, Paman. Sebelum mereka terlalu dekat. Aku tidak yakin bahwa aku dapat menahan kebencianku kepada mereka. Sehingga lupa diri dan berusaha berbicara dengan pedangku.”

“Marilah, Ngger,” sahut Samekta, meskipun tangannya pun melekat di hulu pedangnya. Agaknya kebenciannya pun meluap sampai di ujung ubun-ubunnya. Bahkan ia menggeram, “Seandainya Ki Gede tidak menunggu.”

Keduanya kemudian menggerakkan kuda mereka perlahan-lahan. Mereka masih mencoba meyakinkan gembala itu supaya pergi. Tetapi mereka tidak mau menunggu orang-orang liar itu supaya mereka tidak tertahan-tahan lagi.

“He, ke mana kau, Pandan Wangi? Bukankah kau menunggu aku?”

Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan kudanya mulai melangkah meninggalkan gembala yang masih berdiri termangu-mangu.

“Pergilah, pergilah. Jangan menarik perhatiannya,” desis Samekta.

Tetapi Samekta menggeleng-gelengkan kepalanya ketika gembala itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

“Apa boleh buat,” desis Pandan Wangi. “Kami sudah mencoba memperingatkannya. Gembala itu jujur. Tetapi agak dungu.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara kudanya berjalan meninggalkan Gupita yang masih berdiri di tempatnya. Mereka masih mendengar orang-orang yang berjalan ke arah mereka berteriak. “Tunggu, tunggu, Pandan Wangi. Aku ingin berbicara. Sedikit saja.”

Tetapi Pandan Wangi dan Samekta tidak menghiraukannya lagi. Semakin lama langkah-langkah kuda mereka justru menjadi semakin cepat, meskipun kadang-kadang mereka masih berpaling. Mereka masih melihat orang-orang itu melambaikan tangan mereka dan berkata lantang, “Aku ingin berbicara sedikit kepadamu, Wangi. Aku tidak akan mengganggumu lagi.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi Samekta berkata, “Jangan hiraukan mereka. Mereka adalah orang-orang yang licik dan tidak mengenal tata kehidupan yang baik sebagaimana seharusnya.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kudanya berjalan semakin cepat. Lambat laun kuda itu pun berlari. Derap kakinya terdengar semakin lama semakin cepat, dan keras memukul-mukul jalan berbatu padas. Ketika mereka berdua berpaling, mereka melihat laki-laki itu berdiri berjajar di tengah-tengah jalan tanpa menghiraukan Gupita sama sekali.

“Mudah-mudahan anak itu tidak diganggu,” desis Pandan Wangi.

“Mudah-mudahan,” sahut Samekta. “Aku melihat sesuatu yang aneh pada gembala itu. Aku semula menganggapnya jujur tetapi bodoh seperti sangkamu. Tetapi aku melihat sesuatu yang lain pada sorot matanya.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berdesis, “Ya, aku melihat juga sinar matanya yang berkilat-kilat. Tetapi mungkin ia memang seorang gembala yang jujur tetapi bodoh, namun ia memiliki sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ah, tetapi ia ter-lampau mengharapkan sesuatu di hari mendatang. Pancaran harapannya itulah yang agaknya membuat matanya bersinar-sinar.”

Samekta tidak menjawab. Ketika ia sekali lagi berpaling, ia melihat gembala itu berdiri di antara orang-orang liar itu. Tetapi mereka telah agak jauh, sehingga mereka tidak dapat melihat dengan jelas apakah yang kemudian dapat terjadi.

“Mudah-mudahan anak itu selamat. Mudah-mudahan ia tidak berkeras kepala mempertahankan haknya, supaya kepalanya tidak dipenggal.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang gembala itu sangat menarik perhatian. Ada berapa ratus gembala yang pernah dilihatnya dan bahkan dikenalnya. Tetapi gembala yang satu ini ternyata agak lain. Sikapnya, kata-katanya, walaupun sederhana, dan sorot matanya.

Sepeninggal Pandan Wangi dan Samekta, orang-orang liar itu ternyata tertarik akan kehadiran gembala yang masih tegak di tempatnya. Salah seorang daripadanya segera menghampirinya, dan bertanya, “Apa kerjamu di sini? Menggembalakan kambing-kambing itu?”

Gembala itu berpaling kepada kambing-kambingnya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya, aku sedang menggembalakan kambingku itu.”

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak menaruh perhatian sama sekali. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Kita tebus kegagalan kita dengan daging kambing.”

Agaknya pendapat itu memang menarik perhatian kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka serentak berpaling ke arah sekumpulan kambing yang sedang makan dengan asyiknya. Kambing itu tampak gemuk dan segar, sehingga hampir serentak orang-orang itu menyahut, “Ya, kita tebus kegagalan kita dengan daging kambing.”

Gupita mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Ketika ia berpaling, maka Samekta dan Pandan Wangi sudah tidak dilihatnya lagi. Perlahan-lahan ia menarik nafas dan tiba-tiba ia tersenyum.

“He, apakah kambing-kambing itu milikmu?” bertanya salah seorang daripada orang-orang yang berwajah seram itu sambil memilin kumisnya.

“Ya,” Gupita menganggukkan kepalanya, “punyaku.”

“Aku memerlukannya. Kau tinggalkan sajalah kambing-kambing itu di sini. Biarlah kami yang memeliharanya. Kau harus menyumbang kepada perjuangan yang sedang kami lakukan ini, untuk kepentingan putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang akan membuat kalian terlepas dari kekuasaan Argapati yang buas itu. Apakah kau mengerti?”

Tiba-tiba saja Gupita menggeleng. “Aku tidak mengerti,” jawabnya.

Orang-orang itu mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Dan sejenak kemudian mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Pantas kalau kau tidak mengerti. Kau tidak perlu mengerti, gembala dungu. Sekarang, pulanglah. Tempat ini sungguh-sungguh berbahaya. Untung kedua orang berkuda itu tidak memenggal kepalamu sehingga kau masih tetap hidup. Nah, pergilah. Kalau kedua orang itu kembali maka kau pasti tidak akan dapat pulang ke rumahmu selain namamu. Mereka pergi karena mereka takut akan kedatangan kami, sehingga kamilah sebenarnya yang telah menolong nyawamu. Karena itu tinggalkanlah kambing-kambingmu untuk kami. Kami akan berterima kasih atas sumbanganmu itu. Kau sudah ikut serta membantu perjuangan kami.”

Gembala itu memandang laki-laki itu satu demi satu. Dan tiba-tiba pula jawabnya mengejutkan, “Tidak. Aku tidak dapat memberikan kambing-kambing itu kepada kalian. Kambing-kambing itu adalah milik kami yang paling berharga.”

“He,” laki-laki berkumis dan berjambang, yang kedua tangannya telah terluka membelalakkan matanya, “kau membantah?”

“Kambing-kambing itu adalah hakku. Kalau kau memaksa kau akan dihukum.”

“He, siapakah yang akan menghukum kami?”

“Argapati. Ki Gede Menoreh yang kini memimpin Tanah Perdikan ini.”

Orang-orang itu hampir serentak tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Ki Gede Menoreh sebentar lagi akan mati, yang kemudian akan memimpin Tanah ini adalah puteranya. Sidanti. Kau dengar?”

“Itu bukan urusanku. Tetapi kini yang berkuasa adalah Argapati. Bukan Sidanti. Justru Sidanti kini sedang melawan kekuasaan ayahnya sendiri, yang sejak kecil memberinya makan dan minum. Memberinya tempat berteduh, memberinya pakaian, dan memberinya segala-galanya yang diperlukan. Ternyata Sidanti itu kini melawannya. Ia tidak puas dengan segala macam pemberian itu, bahkan janji untuk memegang kekuasaan kelak. Ia ingin terlampau cepat dan karena keinginan yang membara di dadanya itulah maka ia telah sampai hati untuk melawan ayahnya sendiri. Mungkin pengaruh gurunyalah yang memaksanya berbuat demikian. Dan kau adalah alat-alatnya yang paling memuakkan. Kau cegat Pandan Wangi dengan caramu yang paling kasar. Untunglah bahwa Sidanti masih merasakan ikatan kekeluargaan yang tidak dapat dilupakan dengan tiba-tiba.”

“He,” Orang-orang itu terperanjat, “kau melihat hal itu?”

“Aku melihatnya. Aku menggembala tidak jauh dari tempat itu ketika hal itu terjadi. Aku bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul, dan dinding batu. Ketika Sidanti datang dan ternyata berpihak kepada Pandan Wangi, aku diam-diam pergi. Aku merasa bahwa gadis itu dapat diselamatkan seperti yang ternyata kemudian. Kini, kau akan menebus kegagalan itu dengan merampas kambing-kambingku. Aku tidak boleh. Itu adalah hakku. Kalau kau minta, aku dapat memberimu seekor menurut pilihanku, karena aku kasihan melihat kalian kelaparan.”

Wajah-wajah yang buas itu tiba-tiba menjadi merah padam. Mereka tidak menyangka, bahwa mereka akan bertemu dengan seorang gembala yang gila, yang berani mengusik mereka, dan bahkan seolah-olah menantang mereka. Karena itu, maka salah seorang dari mereka yang tidak dapat menahan diri lagi maju beberapa langkah. Ditamparnya pipi Gupita sehingga gembala itu terhuyung-huyung beberapa langkah. Hampir saja ia terjatuh, tetapi segera ia berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.

“Kau tahu akibat dari penolakanmu itu, he, gembala gila?” teriak laki-laki yang menampar pipinya itu.

Gupita mengerutkan keningnya. Dengan mantap ia menjawab, “Ya.”

“Akibat itu adalah akibat yang paling buruk dapat terjadi atasmu. Kau dengar?”

“Ya. Mungkin kalian akan membunuh aku, sebab kalian lebih menghargai kambing-kambing itu daripada nyawa seseorang. Bukankah begitu?”

“Setan!” bentak laki-laki yang lain. Orang itu tidak sekedar menampar pipi Gupita, tetapi dipukulnya pelipis anak itu, sehingga sekali lagi gembala itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Tetapi ia tidak juga jatuh terbanting di tanah.

“Jagalah mulutmu,” geram laki-laki itu, “aku akan menyobeknya atau menyumbatnya dengan ujung pedang. Dengar, kau harus segera pergi. Tinggalkan kambing-kambingmu di sini. Kalau kau tidak rela, laporkanlah kepada pelindungmu, Argapati. Aku tidak takut meskipun seandainya ia akan datang kemari, dan akan mencoba menangkap kami. Kami sudah siap.”

Gupita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak akan melaporkan hal ini kepada siapa pun. Kalau di daerah ini masih berlaku wewenang peraturan-peraturan yang diakui, aku memang akan melaporkannya. Tetapi agaknya kalian sudah menjadi terlampau liar, sehingga kalian sudah tidak menghargai setiap peraturan yang ada. Kalian agaknya membanggakan diri kalian karena kalian berpedang di lambung. Kalau demikian, baiklah. Aku akan mempergunakan cara serupa untuk mempertahankan hakku. Aku tidak perlu menurut peraturan yang berlaku pula. Aku akan bertindak sendiri, karena kalian adalah orang-orang liar yang berdiri di luar peraturan yang manapun juga.”

Jawaban itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh orang-orang liar itu. Karena itu, maka darah mereka pun segera mendidih. Laki-laki yang kekurus-kurusan agaknya benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya. Dengan sekuat tenaganya diayunkannya pedangnya sambil berteriak, “Matilah kau, gembala gila.”

Tetapi ternyata gembala itu tidak dengan suka-rela menyerahkan lehernya. Bagaimanapun juga ia berusaha untuk melepaskan dirinya dari sentuhan maut. Karena itu ketika ia melihat seseorang mengayunkan pedangnya, ia pun berusaha untuk menghindar. Tetapi ketika ia mencoba melangkah surut, tiba-tiba kakinya terperosok, sehingga ia jatuh berguling. Tetapi ternyata bahwa dengan demikian ia terlepas dari ujung pedang itu, karena begitu ia terpelanting, maka pedang itu terbang secengkang dari atas kepalanya.

“Setan alas!” teriak laki-laki yang kekurus-kurusan itu. Ia terseret dua langkah oleh kekuatannya sendiri.

Gupita yang terjatuh itu segera merangkak-rangkak untuk berdiri. Ketika ia tegak di seberang parit yang dangkal, ia melihat orang-orang liar itu memandangnya dengan mata merah. Apalagi yang kekurus-kurusan, yang telah gagal menebaskan pedangnya.

“Kau tidak akan dapat lari,” geram laki-laki yang kekurus-kurusan itu. “Kau pasti akan mati. Bangkaimu akan menjadi makanan burung-burung gagak yang berkeliaran di langit itu.”

Gupita masih berdiri di tempatnya. Dipandanginya wajah-wajah yang buas itu satu demi satu. Kemudian ia berkata, “Sebelum terlambat, lebih baik kalian mengurungkan niat kalian. Pergilah. Kembalilah kepada Sidanti dan Argajaya. Berkatalah kepada mereka dan kepada Ki Tambak Wedi, bahwa perbuatan mereka benar-benar tidak dapat dimengerti oleh orang-orang Menoreh yang berpikiran bening. Apalagi tindakan kalian yang liar melampaui keliaran perampok-perampok di waktu malam, sebab kalian merampok di siang hari tanpa berusaha menyembunyikan diri kalian dari kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tutup mulutmu!” bentak orang yang berkumis dan berjambang. “Sadarilah dengan siapa kau berhadapan.”

“Aku sadar sesadar-sadarnya. Kau pun harus sadar dengan siapa kau berhadapan. Kau orang yang tidak dikenal di sini, dan ternyata kau pun belum mengenal Tanah ini. Kau tidak dapat mengalahkan Pandan Wangi seorang diri meskipun ia hanya seorang gadis. Aku sengaja mengintai perkelahian itu. Dan kalian tidak usah ingkar sebab aku melihat sendiri. Sekarang kau berhadapan dengan salah seorang gembala yang paling dungu di atas Tanah Perdikan ini. Dengar, aku yakin bahwa kau akan dapat menilai, betapa kekuatan yang tersimpan di Tanah ini. Apakah gunanya kalian berusaha untuk membantu Sidanti kalau kalian sama sekali tidak berarti di hadapan orang-orang Menoreh.”

Darah yang telah mendidih, menjadi semakin mendidih, sehingga wajah-wajah orang-orang liar itu terasa menjadi semakin panas. Tiba-tiba salah seorang dari mereka meloncati parit itu pula dengan pedang di tangan. “Aku akan membunuhmu. Tetapi aku tidak akan berbuat curang. Aku beri kesempatan kau melawan. Cepat, bersiaplah. Kawan-kawanku akan menjadi saksi.”

“Apakah sikapmu itu sudah kau pikirkan masak-masak?” jawab gembala itu. “Kau pasti akan menyesal. Karena itu, berkelahilah berbareng.”

“Cepat! Aku hampir tidak dapat menahan diri lagi. Jangan berbicara lagi, supaya aku tidak segera ingin menyobek mulutmu.”

“Kau juga hanya berbicara saja. Cepat, lakukanlah.”

Panas hati laki-laki itu bukan buatan. Selangkah ia maju perlahan-lahan sambil menjulurkan pedangnya tepat ke wajah gembala yang dianggapnya gila itu sambil berkata, “Lihat, mulutmu akan benar-benar aku sobek dengan pedang ini.”

Laki-laki itu tidak segera ingin menusukkan pedangnya dengan bersungguh-sungguh. Ia hanya ingin supaya Gupita segera melawannya. Karena itu, maka pedangnya terjulur perlahan-lahan meskipun benar-benar mengarah ke mulutnya.

Tetapi ternyata laki-laki itu tidak menyangka bahwa Gupita benar-benar berbuat gila. Tanpa di sangka-sangka anak muda itu merendahkan dirinya, dan benar-benar seperti orang gila ia melecut tangan laki-laki itu dengan sekuat-kuat tenaganya. Ketika ujung cambuknya membelit pergelangan tangan lawannya, maka dengan sekuat tenaganya cambuk itu disentakkannya.

Perbuatan itu benar-benar perbuatan yang tidak diduga oleh siapa pun. Namun ternyata hentakan cambuknya yang tiba-tiba serta dengan sekuat tenaga itu, membuat pedang lawannya benar-benar terlepas dan jatuh di tanah.

Laki-laki itu menyeringai menahan sakit di pergelangan tangannya. Ujung cambuk yang membelit tangannya, serta tarikan yang menyentak itu telah meninggalkan jalur-jalur merah pada pergelangan tangannya.

Terdengar laki-laki itu menggeram. Matanya benar-benar menjadi semerah darah. Segera ia meloncat untuk memungut pedangnya. Tetapi sekali lagi, tanpa diduga-duga, Gupita meloncat dan menginjak hulu pedang itu dengan kakinya, sementara tangannya dengan membabi buta mengayunkan cambuknya. Anak itu benar-benar seperti kerasukan setan. Lecutan-lecutan yang menghentak-hentak langsung memukul laki-laki yang sedang membungkuk untuk memungut pedangnya, tetapi yang karena injakan kaki Gupita maka ia tidak segera dapat mengambilnya. Sementara itu, tiba-tiba saja terasa tubuhnya seolah-olah telah dirajang dengan ujung cambuk tanpa hitungan.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah jeritan yang seram bercampur-baur, dengan gemeretak gigi. Laki-laki itu berusaha untuk menghindar. Secepat-cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi sementara ujung cambuk Gupita masih juga berhasil menyambar wajah, dan lehernya beberapa kali.

Peristiwa itu benar-benar tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Seorang gembala yang menjadi gila dan membabi buta mempertahankan haknya dengan cara yang tersendiri. Ia tidak berkelahi dengan ilmu tata bela diri yang teratur dari perguruan manapun, apalagi yang namanya sudah dikenal. Tetapi ia mempergunakan cara seperti seorang yang kerasukan setan.

Kawan-kawannya yang melihat berdiri ternganga, tanpa berbuat sesuatu. Mereka seolah-olah terpukau oleh peristiwa yang belum pernah disaksikannya, sehingga justru karena itu, mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu. Baru setelah mereka mendengar kawannya mengerang sambil mengumpat-umpat, mereka sadar apa yang telah terjadi. Salah seorang dari mereka telah menjadi sedemikian lemahnya oleh lecutan yang tidak terkendali sama sekali.

Dengan demikian maka sejenak kemudian terdengar setiap mulut menggeram dengan sorot mata yang seolah-olah memancarkan api.

Tetapi mata gembala itu pun seolah-olah telah menyala pula. Giginya pun menjadi gemeretak. Sejenak dipandanginya setiap wajah yang berdiri berjajar di hadapannya. Satu demi Satu. Sedang dikeningnya mengalir titik-titik keringat membasahi wajah.

Laki-laki yang kekurus-kurusan, yang pendek berwajah mengerikan, yang bertubuh sedang dan berdahi seperti lapangan, yang berkumis dan berjambang lebat, dan yang lain-lainnya, masih terpukau di tempatnya. Namun tangan mereka menjadi gemetar seperti jantung di dada mereka yang serasa akan meledak.

Tetapi, sekali lagi orang-orang liar itu dicengkam oleh keadaan yang tidak di sangka-sangkanya. Tiba-tiba saja gembala itu meloncat dan berlari secepat dapat dilakukan meninggalkan lawan-lawannya. Yang terdengar kemudian adalah suaranya melengking, “Aku tidak sempat melayani kalian lebih lama lagi. Lain kali kita akan bertemu. Agaknya ayahku telah berhasil menyembunyikan kambing-kambingku. Kalian tidak akan dapat menemukannya, sebab perhatian kalian terikat kepadaku.”

Namun orang-orang itu segera menyadari keadaan. Tanpa berjanji segera mereka berloncatan, berlari mengejar Gupita. Tetapi agaknya langkah Gupita cukup cepat, sehingga jarak mereka semakin lama tidak menjadi semakin dekat, tetapi justru menjadi semakin jauh.

“Kau tidak akan lepas dari tangan kami,” teriak laki-laki yang agak pendek. Tetapi ia sendiri tidak yakin bahwa hal itu dapat mereka lakukan. Sebab ternyata Gupita kini menjadi kian jauh. Anak itu ternyata cukup berpengalaman, berlari-lari di atas pematang yang basah dan licin.

“Setan alas!” yang kekurus-kurusan mengumpat. Nafasnya menjadi tersengal-sengal. “Anak itu benar-benar anak setan.”

Akhirnya orang-orang itu berhenti mengejar. Di antara mereka mengumpat tidak habis-habisnya. Dan bahkan yang berkelahi melawan Gupita dan tubuhnya telah dirajang dengan ujung cambuk berkata, “Anak itu harus mati. Sayang aku menjadi lengah karena aku tidak menyangka bahwa ia akan menjadi gila seperti itu.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang berkumis dan berjambang berkata, “Tidak. Jangan disangka ini suatu kebetulan. Aku tidak percaya bahwa gembala itu adalah seorang gembala yang dungu. Aku tidak percaya bahwa karena tingkahnya yang membabi buta itu ia mampu melakukan ini semua. Merampas pedang dan kemudian menjelajahi tubuh itu dengan ujung cambuknya. Dua kali kita telah tertipu selama kita berada di Menoreh. Aku telah tertipu oleh gadis yang bernama Pandan Wangi itu sehingga pada gerak yang pertama, kedua tanganku telah terluka. Sekarang salah seorang dan kita telah terkelabuhi pula oleh anak muda yang mengaku dirinya seorang gembala itu. Tidak. Aku tidak percaya bahwa ia sekedar seorang gembala yang dungu. Lihat, apakah kita berhasil mengejarnya? Lihat apakah kita akan dapat menemukan kambing-kambingnya lagi yang katanya telah disingkirkan oleh ayahnya? Siapakah ayahnya itu, dan kenapa kita sama sekali tidak melihat bagaimana caranya menyingkirkan kambing-kambingnya?”

Kawan-kawannya tertegun mendengar keterangan itu. Barulah kini mereka berpikir, bahwa gembala itu pasti bukan hanya sekedar seorang gembala, pasti bukan. Meskipun ia berkelahi dengan cara yang liar, namun saat-saat yang menentukan yang diambilnya, benar-benar hasil dari perhitungan yang matang.

Orang berkumis itu berkata pula, “Apakah kau sangka suatu kebetulan pula bahwa ia terjatuh ketika kepalanya hampir tersentuh pedang yang terayun demikian derasnya? Pasti tidak.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir berbareng mereka bergumam, “Ya, pasti tidak.”

“Karena itu, kita harus menemukannya. Betapa cepat larinya, ia pasti tidak akan pergi terlampau jauh dari kawanan kambing-kambing itu. Dan betapa cepat lari kawanan kambing-kambing itu, pasti masih belum terlampau jauh. Dan kambing-kambing itu pasti tidak akan secerdik gembalanya, untuk bersembunyi sambil menenggang nafasnya. Seandainya kita hanya menemukan kambing-kambingnya dan tidak menemukan orangnya, biarlah kita pakai sebagai penawar kejengkelan di dalam hati.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka pun bersetuju. Kalau terpaksa mereka tidak dapat menemukan Gupita, maka cukuplah kiranya mereka menangkap kambing-kambingnya saja.

Demikianlah, maka segera mereka berjalan kembali. Diikutinya lah jejak kawanan kambing-kambing yang telah tidak tampak lagi, lari ke balik rerumputan. Tetapi jejak-jejaknya masih dapat dilihat dengan jelas, jejak kambing itu berbondong-bondong menyeberangi jalan. Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Kambing-kambing itu memang tidak secerdik orangnya. Kambing-kambing itu tidak dapat berusaha untuk menghilangkan atau menyembunyikan jejaknya.

Tetapi yang mengejutkan mereka adalah, bahwa di belakang sekelompok jejak kambing itu terdapat jejak seseorang.

“Orang inilah yang disebut ayahnya, yang berusaha menyembunyikan kambing-kambing itu,” desis salah seorang dari mereka.

“Ya,” jawab yang lain.

“Tetapi hati-hatilah. Orang itu bukan orang kebanyakan. Seandainya benar ia seorang gembala, maka ia adalah gembala yang memiliki kekhususan. Ia adalah seorang gembala yang tangguh.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka berusaha berjalan semakin cepat. Mereka mengharap bahwa mereka akan dapat menemukan, setidak-tidaknya beberapa ekor kambing. Sehingga dengan demikian, maka sakit hati mereka agak dapat diobati.

Ternyata kambing-kambing itu sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka tidak tahu, bahwa orang yang menggembalakannya sedang melakukan sebuah permainan yang berbahaya. Karena itulah, maka mereka pun tidak berusaha untuk berdiam diri. Beberapa ekor di antaranya, tanpa prasangka apa pun telah mengembik sahut-menyahut.

“Sst, sst,” seorang gembala tua mencoba menenteramkan kambing-kambing itu. Tetapi ternyata tidak berhasil. Mereka masih saja mengembik-embik dan bahkan berkejar-kejaran.

“Sst, sst,” gembala tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang mempunyai dugaan, bahwa langkahnya akan diikuti oleh orang-orang yang tadi berkelahi melawan Gupita.

Tetapi kambing-kambing itu sama sekali tidak menghiraukannya. Beberapa ekor kambing yang masih sangat muda, berteriak-teriak memanggil induknya, dan induknya pun menyahut tidak kalah kerasnya.

“Sst, sst,” gembala tua itu masih mencoba. Tetapi ia sama sekali tidak berhasil membungkam kambing-kambingnya yang masih saja berbuat sekehendak mereka sendiri.

Tiba-tiba gembala tua itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa wajah yang keras dan kasar menjenguk dari balik dedaunan.

“Nah, ke mana kau akan lari?” terdengar salah seorang dari mereka menggeram.

Gembala tua itu berdiri dengan lutut gemetar. Dipandanginya saja wajah-wajah yang kasar dan keras itu, tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun.

“Di mana Gupita?” bentak yang lain, yang kekurus-kurusan. Gembala tua itu tidak segera menyahut. Wajahnya memancarkan kecemasan dan ketakutan yang tidak terhingga. Tampak bibirnya bergerak-gerak, seperti orang kedinginan, tetapi tidak sepatah kata pun meloncat dari mulutnya.

“Di mana Gupita?” bentak yang agak pendek.

Perlahan-lahan orang tua itu menggelengkan kepalanya. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Aku tidak tahu, Tuan. Bukankah tadi, Gupita ada bersama Tuan. Aku hanya sekedar bersembunyi bersama-sama dengan kambing-kambing ini.”

“Bohong! Kau pasti tahu, di mana Gupita bersembunyi.”

“Apakah ia bersembunyi?” gembala tua itu justru bertanya.

“Ya, ia lari dan bersembunyi.”

“Di mana ia bersembunyi, Tuan?”

“Ia berlari ke sana, ke arah pohon cangkring di sudut padesan, di sebelah. Kami kehilangan jejaknya, dan kami mencoba mencari saja kambing-kambingnya.”

“Ternyata Tuan lebih tahu daripada aku. Kenapa Tuan bertanya kepadaku tentang anak bengal itu?”

Sejenak orang-orang itu terbungkam. Ternyata mereka tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah saling berpandangan sesaat.

“Bohong!” tiba-tiba yang berdahi lebar membantah. “Kau pasti tahu ke mana anak itu pergi. Bukankah anak itu kawanmu menggembala? Bahkan anak itu menyebutmu ayah? Apakah ia anakmu?”

“Ya, Tuan. Anak itu adalah anakku. Tetapi aku benar-benar tidak tahu ke mana ia berlari. Kami sama sekali tidak berjanji apa pun untuk menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja kami jumpai ini, sehingga aku tidak tahu apakah yang dikerjakan oleh anak dungu itu. Aku hanya melihat ia berada di antara Tuan, kemudian aku pergi menjauhkan kambing-kambing ini dan menjauhkan diriku sendiri.”

“Bohong, bohong! Kalau kami tidak dapat menemukan Gupita, maka kau akan kami ambil sebagai gantinya. Kau harus menanggung kesalahannya. Dan kau harus menerima hukumannya.”

“Tidak, Tuan. Jangan,” minta orang tua itu hampir merintih. “Dan apakah sebenarnya kesalahan anak itu terhadap Tuan?”

Sekali lagi orang-orang itu tidak dapat menjawab. Bahkan pertanyaan itu terulang di dalam dada mereka, “Apakah sebenarnya kesalahan anak itu?”

Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan gema yang memantul dari dinding hati itu. Orang yang berkumis dan berjambang segera berteriak, “Anak itu telah berani melawan kehendak kami. Kami tidak pernah gagal untuk memenuhi kehendak kami. Tetapi anak itu mencoba membantahnya, dan kau mencoba menyembunyikan kambing-kambing itu.”

“Apakah keinginan Tuan itu?”

“Kambing-kambingmu semua. Tetapi karena Gupita telah membuat kami marah, maka tuntutan kami sekarang adalah kambing-kambingmu semua dan Gupita atau kau, Kakek tua.”

“Jangan, Tuan,” sekali lagi orang tua itu merintih.

“Aku tidak peduli meskipun kau akan menangis sambil mencium ujung kakiku. Selama Gupita masih belum tertangkap, kau harus berada bersama kami. Apabila kesabaran kami kemudian habis, maka kaulah yang akan menerima hukuman kami.”

“Tetapi, tetapi aku tidak bersalah, Tuan, dan anakku pun tidak bersalah. Anakku hanya lari dan bersembunyi. Apakah itu kesalahan yang harus dipertanggung-jawabkannya?”

“Apa?” teriak laki-laki yang tubuhnya dijalari oleh jalur-jalur bekas lecutan cambuk Gupita. “Kau sangka anakmu hanya lari dan bersembunyi? Lihat, seluruh tubuhku menjadi merah biru.”

Orang tua itu mengerinyitkan alisnya, “Kenapa, Tuan?”

“Inilah pokal anakmu sebelum lari. Dengan membabi buta ia mencambuk tubuhku tanpa aku sangka-sangka. Kemudian ia berlari meninggalkan kami dan bersembunyi.”

“Apakah anak itu berhasil mengenai Tuan?”

“Kenapa kau bertanya, Kakek tua? Kau lihat sendiri, betapa tubuhku menjadi berjalur-jalur merah hitam.”

Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecik. “Anak itu luar biasa. Aku tidak menyangka, bahwa ia mampu melakukannya. Ternyata ia memiliki keberanian berbuat.”

“Apa, apa yang kau katakan tentang anak itu? Kau heran dan kagum akan keberaniannya? Anak gila itu kemudian lari. Lari dan bersembunyi. Itukah keberanian yang kau katakan itu?” Orang itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah menahan marah. Lalu, “Karena itu, kau harus aku tangkap. Kalau anakmu tidak segera datang, kau akan mendapat hukum cambuk seperti anakmu mencambuk aku. Bahkan sepuluh kali lipat.”

“Jangan, Tuan, jangan.”

“Aku tidak peduli. Sekarang, sebelum kami menentukan hukuman itu kau harus membawa kambing-kambingmu bersama kami. Dengan demikian kau akan mendapat keringanan hukuman sekedarnya.”

“Tetapi, tetapi,” orang tua itu berkata terpotong-potong.

“Tetapi kambing-kambing itu adalah milik kami yang paling berharga, Tuan. Kalau kambing-kambing itu Tuan ambil, kami akan kehilangan milik kami. Hidup kami akan menjadi semakin miskin, dan mungkin kami akan kehilangan sumber makan kami sekeluarga, karena kami tidak dapat menjual setiap kali untuk membeli kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari.”

Jawaban orang tua itu sama sekali tidak dihiraukan oleh orang-orang yang keras dan kasar itu. Mereka sama sekali tidak peduli, apakah hal itu akan menutup kemungkinan bagi keluarga orang tua itu untuk mendapat makan, atau kemungkinan apapun. Mereka hanya ingin kehendak mereka terpenuhi, meskipun sangat merugikan bagi orang lain.

Karena itu orang yang kekurus-kurusan berkata, “Jangan banyak bicara. Ikut kami bersama kambing-kambingmu.”

“Jangan, Tuan. Anak-anak dan isteriku akan menunggu aku pulang bersama dengan kambing-kambing itu. Kalau kambing-kambing itu tidak pulang, apalagi bersama aku, maka hidup mereka akan terguncang. Mereka tidak akan dapat mencari makan. Dan milik mereka yang paling berharga telah hilang pula.”

“Jangan banyak bicara!” teriak yang agak pendek. “Kalau kau membantah sekali lagi, mulutmu akan aku remas sampai hancur.”

Orang tua itu menggigil. Wajahnya menjadi tegang. Agaknya ia masih ingin berbicara, tetapi kedua telapak tangannya menutupi mulutnya.

“Cepat!” teriak yang lain.

Tetapi orang tua itu belum beranjak dari tempatnya. Ia masih berdiri gemetar di tempatnya dengan wajah yang tegang. Kedua telapak tangannya masih saja menutup mulutnya.

“Cepat! Atau aku cambuk kau dengan pedang, he?”

Laki-laki tua itu sama sekali tidak berani berbicara, karena orang yang agak pendek itu mengancam apabila ia berbicara sepatah kata lagi, maka mulutnya akan diremas sampai hancur.

Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Suaranya gemeretak di atas tanah berbatu padas.

“Setan! Siapakah yang berkuda itu? Sidanti atau Argajaya atau siapa?” bertanya yang berkumis dan berjambang lebat.

Kawan-kawannya tidak segera dapat menjawab, sebab mereka pun ingin bertanya demikian pula. Mereka hanya saling pandang memandang untuk sejenak. Lalu menggeram hampir bersamaan. Sedang derap kuda itu menjadi semakin dekat. Seolah-olah mengarah ke tempat mereka.

Tetapi agaknya kuda-kuda itu sama sekali tidak menuju ke tempat itu. Kuda itu berderap terus, meskipun agak dekat dari tempat mereka. Tetapi mereka tidak dapat melihat kuda itu, terhalang oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul di sekitar mereka.

“Siapakah orang itu?” sekali lagi orang berjambang itu berdesis. “Apakah ia sengaja mencari kita di sini?”

Tak ada jawaban. Namun wajah-wajah itu menjadi semakin tegang. Dan ketegangan itu menjadi semakin tegang ketika sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda yang lain, seolah-olah sedang mengejar kuda yang pertama. Berpacu tidak kalah cepatnya, dan suara derap kakinya pun gemeretak menyentuh batu-batu padas di sepanjang jalan.

“Apakah yang telah terjadi?” desis yang kekurus-kurusan. “Apakah mereka orang-orang Pandan Wangi yang telah mendengar tentang persoalannya?”

Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi ketegangan semakin mencengkam dada mereka. Meskipun derap kuda yang kedua ini pun semakin lama menjadi semakin jauh, dan lambat laun lenyap pula dari pendengaran mereka.

“Kita harus segera kembali,” desis yang berkumis dan berjambang. “Mungkin kita harus segera mempersiapkan diri kita. Siapa tahu, Argapati telah mulai menggerakkan orang-orang karena persoalan Pandan Wangi.”

“Marilah,” sahut yang lain. “Tetapi kita bawa orang tua ini dan kambing-kambingnya pula.”

Sejenak mereka saling memandang. Namun kemudian yang seorang lagi berkata, “Ya, kita bawa orang tua ini beserta kambing-kambingnya.” Lalu kepada gembala tua itu ia membentak, “Cepat, sebelum aku memanggal lehermu.”

“Tetapi, tetapi,” gembala tua itu ingin berbicara.

Tetapi suaranya terpotong, “Tutup mulutmu. Ayo bawa kambing-kambingmu segera bersama kami.”

Gembala itu berpaling. Dilihatnya kambing-kambingnya yang gemuk-gemuk sedang makan dengan asyiknya, rerumputan dan daun-daun muda pada gerumbul-gerumbul di sekitarnya, di dalam pategalan. Orang tua itu membawa kambing-kambingnya ke tempat itu untuk bersembunyi dan menyembunyikan kambing-kambing itu, tetapi ternyata orang-orang itu dapat menemukannya.

Agaknya ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah orang-orang yang buas itu. Membawa kambing-kambingnya berserta mereka. Betapapun beratnya.

Tetapi sekali lagi mereka dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda, dari jurusan yang sama dari kuda-kuda yang telah mendahuluinya. Berpacu seperti angin. Cepat sekali derap itu mendekat dan lewat tidak jauh dari tempat itu.

“Gila,” geram salah seorang dari orang-orang itu. “Kita harus melihat siapakah mereka itu. Cepat, kita keluar dari pategalan ini. Tetapi hati-hati, jangan menampakkan diri kita sebelum tahu siapakah mereka itu.”

Sejenak mereka tidak mengingat lagi kepentingan mereka dengan kambing-kambing itu. Perlahan-lahan mereka merayap ke pinggir pategalan, supaya dari atas dinding batu, mereka dapat melihat lepas menyeberang bulak yang sempit, sampai ke jalan kecil yang melintas di tengah sawah yang sempit pula. Suara kuda yang berderap itu, agaknya berasal dari jalan sempit itu.

Belum lagi mereka sampai ke pinggir dinding batu, ternyata suara derap yang sudah hampir tidak terdengar lagi itu disusul oleh derap kaki-kaki kuda berikutnya. Secepat kuda-kuda yang terdahulu pula.

“Apakah artinya ini?” desis yang berdahi lebar. Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka merangkak semakin cepat supaya mereka dapat melihat siapakah yang sedang berkuda dengan cepatnya itu.

Ketika mereka menjengukkan kepala mereka, ternyata kuda itu telah agak lampau, sehingga mereka hanya dapat melihat punggung seseorang di atas kudanya yang berpacu secepat tatit. Nampaknya seorang anak muda dengan pakaian yang baik, dan sebilah keris di punggungnya.

Sejenak keenam orang itu seolah-olah membeku. Mereka tidak melihat wajah orang berkuda itu, dan mereka tidak dapat mengenalnya. Lebih daripada itu, mereka sama sekali tidak dapat menduga, orang-orang siapakah yang berkuda berurutan dari arah dan menuju ke arah yang sama. Apakah mereka sekelompok orang-orang tertentu, ataukah mereka saling berkejaran.

Wajah-wajah yang kasar itu pun sejenak menegang. Mereka saling berpandangan, tetapi mereka tidak menemukan jawaban apapun pada wajah-wajah yang kasar dan tegang itu.

Dalam kesenyapan itu tiba-tiba yang berkumis dan berjambang menggeram, “Kita harus segera kembali. Mungkin sesuatu segera akan terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Mungkin Argapati tidak dapat mengendalikan diri lagi karena Pandan Wangi mengatakan apa yang telah terjadi atasnya.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah. Kita memang harus segera kembali.”

“Tetapi bagaimana dengan kambing-kambing itu?”

Yang berkumis dan berjambang mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian berkata, “Kita tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Orang-orang berkuda itu merupakan teka-teki bagi kita. Marilah, lain kali saja kita pasti akan mendapatkannya lebih banyak dari kambing-kambing itu.”

Ajakan itu ternyata merupakan yang paling baik buat melepaskan ketegangan hati mereka. Karena itu, maka ketika orang yang berjambang, dan berkumis itu meloncati pagar batu, maka yang lain pun segera berloncatan pula tanpa berpaling lagi kepada sekawanan kambing-kambing yang sedang asik makan rerumputan. Dengan tergesa-gesa mereka berjalan beriringan menuju ke rumah Argajaya untuk mendapat penjelasan, apakah yang sudah terjadi? Apakah api di atas bukit Menoreh memang sudah mulai berkobar? Bagi mereka, apabila hal itu terjadi lebih cepat, memang lebih baik. Mereka akan segera lebih leluasa lagi untuk melakukan kehendak mereka. Merampas dan merampok, dan apa saja selain janji mereka membantu Sidanti mengalahkan Argapati.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Samekta telah hampir sampai ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dengan berdebar-debar mereka mempercepat langkah kuda-kuda mereka. Mereka ingin segera sampai kepada Argapati, supaya orang tua itu tidak terlampau cemas menunggu puterinya.

Ketika mereka semakin dekat dengan padukuhan induk, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja dari balik dedaunan, mereka melihat ujung-ujung senjata berkilat-kilat. Di mulut jalan berkumpul beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan, siap dengan segala perlengkapan perang. Bahkan beberapa ekor kuda dan perlengkapan-perlengkapan lain yang diperlukan.

“Apakah artinya ini, Paman Samekta?” bertanya Pandan Wangi.

“Ini adalah ujud dari kecemasan seorang Kepala Tanah Perdikan yang kehilangan seorang anaknya,” jawab Samekta. “Ketika aku berangkat ayahmu berpesan, supaya aku membawamu pulang. Kalau tidak, maka pertumpahan darah akan segera terjadi.”

“Ah,” Pandan Wangi tiba berdesah, “jangan. Jangan, Paman.”

“Tergantung kepada Ki Argapati dalam menanggapi keadaan ini.”

Wajah Pandan Wangi tiba-tiba menjadi tegang. Tanpa sesadarnya dilecutnya kudanya dengan ujung kendali, sehingga kuda itu pun meloncat, dan berlari semakin cepat.

Ketika mereka memasuki mulut padukuhan induk, maka Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar karenanya. Dilihatnya ujung senjata seperti ujung batang ilalang. Bertebaran di halaman, di sisi-sisi jalan. Para pengawal Tanah Perdikan yang masih setia kepada Argapati ternyata sudah benar-benar siap melakukan tugasnya. Meskipun mereka dipersiapkan dengan tergesa-gesa, namun karena kesiagaan mereka, maka kekuatan mereka pun cukup mendebarkan jantung.

Terasa ketegangan mencengkam dada Pandan Wangi. Sejenak kudanya terhenti ketika ia menarik kendali. Diedarkannya pandangan matanya di sekitarnya, dan dilihatnya wajah yang tegang dan menahan kemarahan. Tetapi wajah-wajah itu membayangkan kelegaan hati ketika mereka melihat Pandan Wangi datang kembali bersama utusan Ki Argapati, yang bertugas untuk menjemputnya. Tiba-tiba Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar suara memanggilnya, “Pandan Wangi.”

Suara itu adalah suara yang telah sangat dikenalnya. Dan ketika ia berpaling, maka dilihatnya ayahnya berdiri tegak dengan sebatang tombak pendek di tangannya.

Melihat sikap ayahnya, debar di dada Pandan Wangi terasa semakin berguncang. Ia kenal sikap itu. Ayahnya dengan tombak pendek itu di tangan, adalah pertanda bahwa ia sudah siap untuk melakukan apa pun.

“Ayah,” tiba-tiba Pandan Wangi meloncat turun dari kudanya, dan segera berlari kepada ayahnya. Seperti kanak-kanak yang mendapat perlakuan yang nakal dari kawan-kawannya, Pandan Wangi memeluk pinggang ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.

“Apakah yang sudah terjadi, Wangi?” bertanya ayahnya. Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan isak tangisnya serasa semakin menyumbat dadanya.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan dirinya sendiri, dan menenangkan hati puterinya. “Jangan menangis, Wangi. Berkatalah apa yang telah terjadi denganmu. Aku telah memerintahkan Pamanmu Samekta, untuk menjemputmu dengan segala macam akibat yang dapat terjadi. Dan aku kini telah siap, apa pun yang akan dilakukan oleh Sidanti, anak durhaka itu.”

“Tidak, Ayah, tidak,” desis Pandan Wangi disela-sela tangisnya. “Ayah jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya, “Kenapa, Wangi?”

Sejenak Pandan Wangi tidak menyahut. Terasa isaknya semakin menyekat dadanya. Ketika ia melepaskan pelukannya, dan memandang berkeliling, dilihatnya beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan sedang mengerumuninya. Dari wajah-wajah mereka memancarlah tekad hati yang bulat, untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

Terasa jantung Pandan Wangi menjadi semakin cepat berdetak. Terbayang di pelupuk matanya, apa yang dapat terjadi atas Tanah kelahiran ini. Pertumpahan darah dan pepati. Tanah yang selama ini selalu dinafasi oleh kedamaian dan ketenteraman tiba-tiba kini bergolak demikian dahsyatnya.

“Pandan Wangi,” terdengar suara Argapati, “kita sudah tidak mempunyai pilihan lain daripada ini.”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Tetapi titik-titik air matanya masih mengalir di pipinya.

“Apalagi apabila telah terjadi sesuatu dengan kau. Maka aku sama sekali tidak akan menunda lagi, meskipun saat purnama naik sudah berada di depan hidungku. Aku tidak akan menunggu lagi, betapapun aku akan disebut sebagai seorang yang kehilangan sifat-sifat kejantananku, karena aku tidak memenuhi janjiku.” Argapati diam sejenak. Lalu, “Apakah terjadi sesuatu atasmu?”

Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangguk lemah.

“He,” wajah Argapati menjadi semakin merah. “Katakan, apakah yang sudah terjadi, supaya hati ini menjadi semakin terbakar oleh kepastian, bahwa aku akan menghancurkannya.”

Sejenak Pandan Wangi berpaling. Dipandanginya Samekta yang kini telah berdiri di belakangnya pula. Dan sejenak kemudian ia mulai menceritakan apa yang telah dialaminya. Ketika ia dihentikan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya dengan wajah-wajah yang bengis dan kasar.

Terdengar Argapati menggeram. Tangannya menggenggam tangkai tombaknya semakin erat. Hampir tidak sabar ia mendengarkan Pandan Wangi masih juga meneruskan ceritanya. “Aku bertempur dengan mereka, Ayah,” desis Pandan Wangi. “Mereka berenam berkelahi bersama-sama.”

Mata Argapati kini seakan-akan telah menyala. Dan hanya dengan susah payah ia masih berhasil menahan dirinya untuk mendengar cerita puterinya itu. Meskipun semakin lama dadanya menjadi semakin panas dan bahkan hampir meledak karenanya.

“Tidak ada pilihan lain. Aku harus mulai sekarang, apapun yang akan terjadi.”

“Aku belum selesai Ayah.”

“Aku sudah tahu akhir dari ceritamu. Untung Samekta datang tepat pada waktunya, sehingga ia dapat membantumu melepaskan diri dari tangan mereka,” nada suara Argapati terlampau dalam, dan datar. Tetapi ketika ia bergerak untuk berbuat sesuatu, tangannya ditahan oleh puterinya.

“Bukan, bukan begitu, Ayah,” berkata Pandan Wangi.

Argapati mengerutkan keningnya. “Bagaimanakah akhirnya?”

Pandan Wangi berpaling kepada Samekta. Dan tanpa sesadarnya Samekta menggelengkan kepalanya dan berkata, “Memang bukan begitu. Aku datang agak terlambat.”

“Kau terlambat?” Argapati membelalakkan matanya, “Jadi kau tidak dapat menolongnya sama sekali.”

Samekta mengangguk. Tetapi ia menjawab, “Aku memang terlambat Ki Gede, justru setelah Pandan Wangi mendapat pertolongan.”

Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta itu berkata seterusnya, “Dan Pandan Wangi itu pun terselamatkan dari kebuasan orang-orang liar itu.”

“Siapakah yang telah menolongnya?” suara Argapati seolah-olah tertahan di kerongkongannya.

“Sidanti dan Argajaya.”

“He,” Argapati terperanjat sehingga ditatapnya wajah Samekta dengan tajamnya. “Jadi yang menolong Pandan Wangi adalah Sidanti dan Argajaya?”

Samekta menganggukkan kepalanya, “Ya, Ki Gede.”

Argapati seolah-olah tidak percaya kepada keterangan itu, sehingga kemudian ia bertanya kepada Pandan Wangi, “Benar begitu, Wangi. Yang menolongmu adalah Sidanti dan Argajaya?”

Pandan Wangi mengangguk. Jawabnya, “Ya, Ayah. Kakang Sidanti datang tepat pada waktunya. Pada saat aku hampir menjadi putus asa.”

“Apakah Sidanti kemudian berkelahi melawan mereka?”

“Hal itu hampir saja terjadi,” jawab Pandan Wangi. “Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi masih berhasil menahan mereka.”

“Tambak Wedi?” bertanya Ki Argapati. “Jadi ia hadir juga ketika itu dan menahan Sidanti dan Argajaya supaya tidak berkelahi?”

“Ya,” jawab Pandan Wangi. “Tetapi terasa betapa dendam telah membakar hati masing-masing.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Bahkan di dalam hati ia berdesah, “Oh, kenapa Sidanti dan Argajaya? Kenapa anak itulah yang telah menolong Pandan Wangi, sehingga aku merasa berhutang budi kepada mereka? Adalah wajib bagiku untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka karena mereka telah melepaskan anakku dari malapetaka bahkan kematian, meskipun Sidanti itu kakak seibu Pandan Wangi.”

Perlahan-lahan wajah Argapati itu menunduk. Perlahan-lahan pula ia melangkahkan kakinya sambil menjinjing tombaknya, selangkah-selangkah menuju ke mulut lorong yang membelah padukuhan induk itu. Ketika ia sudah berdiri selangkah di luar padukuhan, ia berhenti. Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh ke depan, seolah-olah ingin dilihatnya langsung rumah adiknya, Argajaya.

Sekali lagi Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan di dalam hatinya pula ia berkata, “Apabila tidak ada Ki Tambak Wedi, maka persoalannya akan menjadi jauh berbeda.”

Lama sekali Ki Argapati tidak beranjak dari tempatnya. Tatapan matanya masih saja melekat di kejauhan. Jauh sekali, sejauh angan-angannya yang membumbung ke daerah yang tidak bertepi.

Pandan Wangi merasakan, betapa benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi di dalam dada ayahnya. Persoalannya telah mendorong ayahnya menjadi semakin jelas bahwa di Tanah ini telah hadir kekuatan-kekuatan dari luar rangkah, yang justru akan menambah kemelutnya keadaan. Tetapi ia tidak segera dapat berbuat banyak atas Sidanti dan adiknya Argajaya, apalagi setelah mereka menolong Pandan Wangi sendiri dari kehancuran mutlak, bahkan melepaskannya dari maut yang akan ditentukannya sendiri.

Ki Argapati masih tegak berdiri di tempatnya. Tampaklah di dalam rongga matanya seolah-olah gelembung-gelembung udara yang bergerak-gerak. Dalam terik matahari yang membakar di siang hari, Ki Argapati merasakan betapa panasnya hati yang membara di dalam dadanya.

Beberapa orang berdiri tegak di belakangnya. Mereka telah bersiap menunggu perintah. Dan bahkan Pandan Wangi pun kini telah berdiri selangkah di sampingnya. Sekali-sekali Pandan Wangi ikut, sekali-sekali ditatapnya wajah Ayahnya yang keras seperti batu padas serta memandang ke kejauhan, ke dalam terik sinar matahari dan di pegunungan, tidak larut oleh titik-titik air hujan, dan tidak retak dibakar terik matahari.

Setiap dada menjadi berdebar-debar karenanya. Keheningan itu berpusar kepada Ki Gede Menoreh, yang dadanya sedang bergetar dengan dahsyatnya. Setiap katanya kini akan menentukan apakah yang akan terjadi di atas Bukit Menoreh itu. Apakah bukit itu akan dibakar oleh api peperangan, ataukah pengawal-pengawal yang telah siap untuk melepaskan senjata-senjatanya akan ditarik kembali ke dalam kubunya.

Perlahan-lahan matahari bergeser di langit yang cerah. Semakin lama semakin condong ke Barat. Bayang-bayang dedaunan dan pepohonan mendadak semakin lama semakin panjang.

Ki Argapati masih berdiri mematung. Wajahnya menjadi basah oleh keringat yang merentul di keningnya. Kulitnya pun kini telah menjadi semerah warna tembaga.

Ki Argapati adalah seorang pemimpin yang tegas. Yang menentukan sikap tanpa ragu-ragu, apabila perhitungannya sudah menentu. Ia dapat berbuat apa saja untuk kepentingan Tanah Perdikannya. Bahkan kalau perlu kekerasan.

Tetapi dada Ki Argapati kini dibakar oleh keragu-raguan yang dahsyat. Perasaan yang hampir tidak pernah dikenalinya sebelumnya. Tetapi karena ia sadar akan akibat tindakannya kali ini, maka justru karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Sudah tentu ia sama sekali tidak menginginkan Tanah yang dibinanya selama ini akan dimakan oleh benturan di antara mereka sendiri. Sudah tentu ia tidak ingin melihat api akan menjilat langit di atas Tanah Perdikan Menoreh, dan menelan rumah, dan lumbung-lumbung padi. Sudah tentu ia tidak ingin melihat batang-batang padi muda yang sedang menghijau di sawah-sawah akan disasak oleh kaki-kaki kuda yang mendukung orang-orang bersenjata di atas punggungnya. Dan sudah tentu hatinya akan menjadi terlampau pedih melihat air-air di parit-parit yang jernih, sejernih embun, akan berwarna merah karena dinodai oleh darah yang mengalir dari luka di dada.

Ketegangan yang dahsyat telah melanda setiap jantung. Mereka menungu, dan menunggu. Sedang Argapati masih berdiri tegak bagaikan patung yang mati.

Akhirnya ketegangan itu memuncak ketika tiba-tiba Ki Argapati memalingkan wajahnya. Dipandanginya pengawal-pengawal Tanah Perdikan yang berada di belakangnya, yang tersebar di halaman-halaman, dan yang berkumpul di belakang gardu. Dipandanginya ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat di sela-sela pepohonan, dan yang mencuat di atas dinding-dinding batu.

Sejenak ia diam membisu, kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.

Para pemimpin pengawal yang berdiri dekat di belakangnya menjadi berdebar-debar. Mereka menduga-duga perintah apakah yang akan diterimanya. Mereka sudah tidak ada pilihan lain. Mereka tidak dapat menunggu anak harimau itu menjadi dewasa dan buas, yang kelak akan dapat menerkam mereka itu sendiri.

Perlahan-lahan Ki Argapati memanggil Samekta dan beberapa orang lainnya dengan isyarat tangannya. Kemudian dipanggilnya pula Pandan Wangi mendekat. Ia tidak dapat melepaskan pertimbangan puterinya. Dan ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa Sidanti dan Pandan Wangi adalah dua orang bersaudara yang lahir dari ibu yang sama.

Ketika orang-orang itu telah dekat sekali di samping dan di belakangnya, terdengar suaranya parau, “Kita urungkan pertumpahan darah hari ini.”

Kata-kata itu menggetarkan setiap hati para pengawal itu. Sejenak mereka terpaku diam di tempatnya. Mereka sama sekali tidak mengharap bahwa tindakan Ki Argapati atas orang-orang yang sudah jelas melawannya itu tertunda. Beberapa pasang mata kemudian hinggap pada wajah Pandan Wangi, seolah-olah ingin berkata kepadanya, bahwa gadis itulah agaknya yang menunda tindakan yang seharusnya dilakukan oleh ayahnya. Bahkan saat ini pun sudah agak terlambat menurut perhitungan para pengawal itu.

Karena itulah, maka tidak seorang pun yang segera beranjak dari tempatnya. Para pengawal itu masih berdiri dengan wajah dan hati yang tegang.

“Kita masih harus menunda tindakan ini,” sekali lagi mereka mendengar Ki Argapati berdesis.

Beberapa orang menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya. Bahkan salah seorang dari mereka bertanya dengan suara gemetar, “Kenapa kita masih harus menundanya Ki Gede?” Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Tetapi tatapan matanya sekali lagi menembus terik matahari hinggap di kejauhan yang seolah-olah tidak bertepi.

Baru sejenak kemudian terdengar suaranya dalam, “Aku akan memberitahukan kemudian. Tetapi jangan tinggalkan kesiap-siagaan. Besok malam, purnama akan naik. Aku akan mendapatkan kepastian, pada saat purnama itu turun, dan hilang di balik bukit.”

Para pengawal itu saling berpandangan sejenak. Besok malam memang purnama akan naik. Saat itu seolah-olah mempunyai arti yang luar biasa bagi Ki Argapati. Beberapa orang memang pernah mendengar, meskipun tidak jelas, bahwa Ki Gede Menoreh pernah berjanji bahwa mereka akan menunggu purnama naik.

“Hari itu adalah hari yang menentukan masa depan Tanah Perdikan ini,” desis Ki Gede kemudian.

Dada Pandan Wangi tiba-tiba berdesis mendengar saat yang diucapkan oleh ayahnya. Saat purnama naik, saat ayahnya akan bertemu dengan Ki Tambak Wedi.

Tiba-tiba terasa bulu-bulu di seluruh tubuh gadis itu meremang. Betapa ia menjadi ngeri, membayangkan apakah yang akan terjadi dengan ayahnya pada saat yang telah ditentukannya itu.

Sejenak Pandan Wangi terpukau diam karena angan-angan tentang saat yang mendebarkan jantung itu. Berbagai bayangan hilir mudik di dalam rongga matanya. Sejenak ia terkenang yang pernah diceritakan ayahnya kepadanya, pada saat purnama naik beberapa puluh tahun yang lampau, seumur kakaknya Sidanti. Pada saat ayahnya bertempur melawan Ki Tambak Wedi untuk kehormatan nama masing-masing. Pertempuran yang dahsyat sekali, yang tidak dapat ditentukan siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah.

Peristiwa itu besok malam akan terulang lagi di bawah Pucang Kembar. Ayahnya akan bertempur pula melawan Ki Tambak Wedi. Seorang lawan seorang untuk mempertaruhkan harga diri masing-masing, dalam mempertahankan sikap dan tindakan.

Sepercik kecemasan telah menusuk jantung Pandan Wangi dengan tajamnya, sehingga tanpa sesadarnya gadis itu memegang dadanya. Dan tanpa sesadarnya pula Pandan Wangi menggigit bibirnya keras-keras.

Sekali lagi ia merasa berdiri di persimpangan jalan yang sama-sama menuju ke dalam lembah yang gelap. Betapa sulitnya untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya. Yang berdiri berhadapan dengan ayah kandungnya adalah kakaknya sendiri. Kakak seibu. Yang selama ini dicintainya sepenuh hati. Baru setelah ibunya itu meninggal, ia melihat seberkas noda melekat pada warna yang selama ini dianggapnya putih bersih, sebersih bunga menur.

Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berlari memeluk ayahnya sambil berkata di antara isak tangisnya, “Tidak, Ayah. Jangan ditunda. Sebaiknya sekarang Ayah bertindak sebelum terlambat. Sebelum besok Ayah sampai pada saat purnama naik.”

Ki Argapati terperanjat. Sejenak ia berdiri mematung. Namun kemudian ia dapat menangkap perasaan puterinya, Pandan Wangi mencemaskan nasibnya besok apabila ia harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.

“Ayah jangan menunggu Ki Tambak Wedi beserta orang yang tidak kita kenal itu mendahului Ayah. Karena itu, Ayah harus melakukannya sekarang.”

Ki Argapati menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangannya bergerak membelai rambut anaknya. Dengan nada yang berat ia berkata, “Tidak, Wangi. Aku tidak dapat melakukannya sekarang. Aku ingin sampai pada janjiku dengan Ki Tambak Wedi. Sesudah itu, barulah aku akan melakukannya.”

“Tetapi, tetapi …………” suara Pandan Wangi patah di tengah.

“Aku tahu yang kau cemaskan, Wangi. Bagaimanakah seandainya aku tidak dapat lepas dari perkelahian itu, dan untuk seterusnya aku akan kehilangan kesempatan mempertahankan Tanah ini?”

“Ayah,” Pandan Wangi memekik kecil.

“Jangan kau cemaskan. Aku akan berusaha sebaik-baiknya agar aku masih berkesempatan untuk mempertahankan Tanah ini. Aku akan berusaha. Apabila usahaku tidak berhasil, maka demikianlah takdir yang harus aku jalani. Tetapi aku tidak menyerah tanpa melakukan sesuatu. Dan aku siap untuk melakukannya. Jangan kau cemaskan aku, Wangi.” Ki Argapati berhenti sejenak. Tatapan matanya masih jauh hinggap pada tempat yang tidak terbatas. Titik-titik keringat mengembun di kening dan dahinya.

“Tetapi Ayah harus bertindak cepat, sebelum Ki Tambak Wedi sempat mempersiapkan diri.”

~ Article view : [595]