Api di Bukit Menoreh [ series 35-40]

1326

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND

Karya : SH Mintardja

 

Series 35

KI ARGAPATI menarik nafas dalam. Tetapi tatapan matanya sama sekali tidak bergeser serambut pun. Perlahan-lahan ia berkata, “Pandan Wangi. Aku tahu, betapa sulitnya perasaanmu. Seandainya kau tidak mencemaskan nasibku besok malam, maka kau akan berkata seperti yang sudah kau ucapkan sebelum ini. Bukankah kau berusaha mencegah aku melakukan gerakan hari ini?” Sekali lagi Ki Argapati berhenti. Dan sejenak kemudian dilanjutkannya, “Tetapi itu adalah wajar sekali. Kau sama sekali tidak berbuat kesalahan, sebagai seorang gadis yang kebetulan menjadi adik Sidanti. Kau berusaha untuk mencegah benturan yang terjadi antara ayah dan kakakmu.”

“Tidak Ayah. Tidak. Kakang Sidanti telah mendurhakai ayahnya.”

Terasa dada Argapati berdesir. Perlahan-lahan, perlahan sekali ia berkata supaya tidak didengar oleh orang lain, “Tidak Wangi. Anak itu tidak mendurhakai ayahnya. Justru ia melakukan perintah ayahnya tanpa berpikir lagi.”

“Oh,” nafas Pandan Wangi serasa semakin sesak. Dan tiba-tiba tangisnya pun menjadi semakin keras.

“Sudahlah Wangi. Jangan kau risaukan apa yang akan terjadi. Kau adalah pewaris satu-satunya tanah ini. Seandainya terjadi sesuatu dengan aku, maka kaulah yang akan menjadi Kepaia Tanah Perdikan Menoreh.”

Pandan Wangi masih akan menjawab. Tetapi ketika ia mengangkat wajahnya, ayahnya mendahuluinya, “Sudahlah. Tenangkan hatimu. Marilah kita pulang.”

Gadis itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaannya, ketika ia melihat ayahnya memberi isyarat kepada para pemimpin pengawal tanah terdikan ini untuk menarik pasukannya. Kepada Samekta ia berkata, “Kita tunda sampai lusa. Besok malam aku mendapat kepastian. Tetapi kalian harus tetap dalam kesiagaan penuh. Setiap saat dapat terjadi sesuatu. Keadaan akan dapat berkembang dengan cepatnya.”

Segores kekecewaan membayang di wajah Samekta, seperti di setiap wajah para pemimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Bahkan pada setiap pengawal yang ada di tempat itu. Mereka serasa mempunyai sebuah bisul di dada mereka. Apabila bisul itu masih belum pecah, maka mereka pun sama sekali tidak dapat merasa tenang. Bagi para pengawal itu, lebih baik mereka datang kepada lawan daripada mereka harus bertahan, apabila Sidanti dan pasukannya mendahului.

Tetapi apa boleh buat, Ki Argapati menghendaki demikian. Betapa beratnya, maka para pengawal itupun segera ditarik ke tempat yang sudah disediakan bagi mereka. Tetapi mereka tidak segera pulang ke rumah masing-masing. Hanya mereka yang dengan sukarela ikut serta di dalam pasukan itu sajalah yang diperkenankan pulang. Namun setiap saat mereka harus berkumpul dengan senjata siap di tangan.

Mekipun demikian, para peronda menjadi semakin sibuk memutari daerah masing-masing. Setiap gardu telah terisi. Setiap saat mereka harus menanggapi keadaan. Keadaan yang paling suram dalam sejarah pertumbuhan tanah perdikan itu.

Sementara itu matahari menjadi semakin lama semakin rendah. Kemudian cahayanya yang kemerah-merahan mewarnai langit yang bersih, ketika matahari itu hampir tenggelam di balik pebukitan. Selembar awan yang putih terbang perlahan-lahan didorong oleh angin ke Utara.

Pandan Wangi duduk termenung di pembaringannya. Berbagai gambaran hilir mudik di dalam angan-angannya. yang paling pahit dan yang paling dahsyat memang dapat terjadi.

Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ia tidak akan dapat tenang, apapun yang dilakukannya. Kadang-kadang ia berdiri dan berjalan hilir mudik. Kadang-kadang ia mencoba membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya. Tetapi kegelisahannya tidak dapat dilupakannya.

Ia sama sekali tidak melepaskan pakaian berburunya. Seperti pakaian seorang laki-laki. Pakaian yang tidak biasa dikenakannya sehari-hari. Tetapi kali ini merasa perlu untuk selalu mengenakan pakaian itu. Seolah-olah sesuatu akan terjadi. Dan seolah-olah ia harus ikut serta berbuat sesuatu.

Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat seseorang masuk ke dalam biliknya dan memasang lampu minyak. Tanpa berkata sepatah kata pun, orang itu segera keluar lagi. Ternyata hari sudah menjadi semakin suram. Satu-satu bintang mulai bergayutan di langit, seakan-akan berebut dahulu.

“Malam ini adalah malam terakhir sebelum purnama naik,” desisnya perlahan-lahan sekali. Namun terasa hatinya menjadi pedih oleh angan-angannya sendiri.

Dalam kegelisahannya itu, Pandan Wangi melangkah keluar biliknya. Tanpa sesadarnya ia berjalan lewat di muka pintu bilik ayahnya yang terbuka. Dilihatnya ayahnya sedang menimang-nimang tombak pendeknya. Seolah-olah ia sedang asyik berbicara, apakah sebaiknya yang akan mereka lakukan bersama-sama besok malam.

“Ayah,” perlahan-lahan Pandan Wangi memanggil.

Ayahnya mengangkat wajahnya. Ketika dilihatnya puterinya berdiri di muka pintu, maka katanya, “Masuklah, Pandan Wangi.”

Dengan ragu-ragu Pandan Wangi melangkah masuk.

“Duduklah,” berkata ayahnya pula. Dengan ragu-ragu pula Pandan Wangi duduk di sisi ayahnya sambil memandangi tombak yang berada di tangannya. Hati Pandan Wangi menjadi kian berdebar-debar melihat mata tombak yang sudah dilulus dari wrangkanya itu.

“Tombak ini bukan tombakku, Wangi, tombak ini adalah tombak pamanmu. Aku tidak tahu, kapan pamanmu menukarnya. Tetapi hal itu pasti sengaja dilakukannya. Sebab selongsongnya adalah selongsongku, dan bahkan wrangka tombak inipun ternyata wrangkaku pula.”

Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin karas memukul jantungnya. Tombak yang pada saatnya akan memikul tugas yang berat itu, ternyata bukan tombak ayahnya, tombak yang selalu menjadi sipat kandelnya.

Namun ia mendengar ayahnya berkata, “Tetapi itu tidak penting Wangi. Aku dapat mempergunakan senjata apa saja. Jangankan tombak sebaik ini, bahkan sebuah parang pembelah kayu pun sudah cukup bagiku. Dengan apa pun dan dengan cara yang bagaimanapun, aku sudah siap menjelang saat yang kami janjikan. Besok malam. Dan kau tidak usah mencemaskannya. Kau harus berbesar hati menghadapi setiap akibat dari peristiwa itu, Wangi.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tombak pendek yang telah ditukar itu menambah kecemasannya. Mungkin tombak itu tidak sebaik tombak ayahnya yang telah menemaninya sejak muda. Kini menghadapi saat yang paling genting, tombak itu sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah tombak lain, tombak pamannya.

Dalam pada itu terdengar ayahnya berkata pula, “Sekarang beristirahatlah Wangi. Kau harus banyak beristirahat. Sehari-harian kau mengalami persoalan yang membuatmu lelah. Mandilah, dan berganti pakaian. Pakaianmu terlampau kotor dan bahkan noda-noda darah itu masih melekat.

Pandan Wangi memandangi pakaiannya yang kotor. Yang selama ini tidak diperhatikannya. Ia memang tidak ingin mandi dan berganti pakaian dengan pakaiannya sehari-hari. Seandainya ia mandi dan berganti pakaian, maka ia pun akan mengenakan pakaian serupa itu. Pakaian berburu, seperti pakaian seorang laki-laki.

“Mandilah. Malam ini aku akan bertemu dengan beberapa orang pemimpin tanah perdikan yang masih dapat berpikir bening. Yang masih dapat melihat siapakah sebenarnya yang berhak memerintah tanah ini. Meskipun sebagian dari mereka telan berpihak kepada Argajaya dan Sidanti, namun sebagian terbesar masih tetap setia kepadaku. Bukan karena aku, Argapati orang yang baik, tetapi mereka menghargai kebenaran kedudukanku sebagai Kepala Tanah Perdikan yang sah.

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Apakah aku boleh hadir di dalam pertemuan itu, Ayah?”

“Sebaiknya kau beristirahat Tetapi kalau kau ingin mendengar pembicaraan itu, dan kau tidak terlampau lelah, baiklah kau ikut mendengarkannya sebentar. Kemudian sebaiknya kau pergi tidur. Sekarang pergilah mandi. Kau akan menjadi segar dan bersih.”

Pandan Wangi kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan bilik itu. Ia berdiri sejenak di muka biliknya, namun kemudian ia melangkah masuk. Mengambil beberapa lembar pakaiannya yang lain, tetapi juga pakaian berburu seperti yang dipakainya. Kemudian pergi ke perigi. Namun ia tidak melepas sepasang pedangnya dari lambung. Seolah-olah ia merasa bahwa ia memerlukan pedang itu setiap saat.

Ketika ia mandi pun, sepasang pedangnya terletak dekat sekali di sisinya. Ketika ia mendengar suara langkah mendekat, segera dirabanya hulu pedangnya. Tetapi langkah itu adalah langkah pelayannya yang lewat dari kebun belakang.

Malam itu Argapati menyelenggarakan pertemuan dengan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Berbagai macam persoalan dibicarakannya. Tetapi setiap Para pemimpin pengawal mensendesaknya untuk segera bertindak, maka jawabnya selalu, “Besok malam aku akan mengambil keputusan terakhir. Tidak terlalu lama. Aku minta waktu semalam saja lagi. Besok lusa, sebelum fajar, kita harus sudah menentukan sikap. Seandainya kalian tidat dapat menemui aku, maka kalian dapat berbicara dengan pewarisku, Pandan Wangi.”

Jawaban itu benar-benar membuat para pemimpin dan pengawal menjadi gelisah. Mereka tidak mengerti benar maksudnya. Namun segera mereka menghubungkan keterangan itu dengan saat purnama naik di bawah Pucang Kembar. Karena itu maka salah seorang dari mereka bertanya, “Ki Gede, kenapa besok lusa ada kemungkinan bahwa kami tidak dapat menemui Ki Gede, dan dengan demikian kami harus berhubungan dengan Pandan Wangi sebagai pewaris tunggal? Kami tidak mengerti, apakah yang dapat terjadi dengari Ki Gede besok lusa? Tentang pewaris tunggal, kami dapat mengerti, agaknya Ki Gede sudah menganggap Sidanti mendurhakai ayahnya dan untuk selanjutnya, haknya atas tanah ini sudah dicabut.”

“O,” Ki Gede berdesah. Katanya kemudian, “Bukan maksudku berkata demikian. Besok lusa aku ada di rumah ini besok lusa aku akan menentukan sikap dan memimpin setiap pergolakan yang dapat terjadi.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebagai seorang yang sudah cukup umur ia bertanya, “Ki Gede. Kami telah pernah mendengar, bahwa Ki Gede mengadakan sebuah perjanjian dengan Ki Tambak Wedi pada saat purnama naik di bawah Pucang Kembar. Kami tidak tahu pasti apa yang akan terjadi, tetapi kami dapat membayangkannya. Kami dapat pula menghubungkan persoalan dengan sikap Ki Gede saat ini menghadapi Angger Sidanti. Supaja kami tidak selalu bertanya-tanya, Ki Gede, kami ingin tahu, apakah yang sebenarnya akan terjadi, dan apakah hal itu ada hubungannya dengan kami?”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Sekilas dipandangnya Pandan Wangi yang menundukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab dengan nada yang dalam, “Tidak ada hubungan apa-apa dengan persoalan kalian. Persoalan ini adalah persoalan pribadi. Aku ingin menyelesaikan secara pribadi.”

Tetapi keadaan tanah perdikan ini demikian gawatnya sehingga agaknya Ki Gede tidak akan dapat menerima setiap persoalan secara pribadi.”

“Persoalan ini tidak ada hubungan apa pun dengan persoalan tanah perdikan ini, Samekta. Jangan kau persoalkan persoalan pribadiku. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Tugas kalian besok adalah menyiapkan semua kekuatan pasukan pengawal yang masih dapat dipercaya dan setiap laki-laki yang dengan sukarela ikut mengangkat senjata. Tetapi hati-hatilah. Kau harus dapat menilai sikap seseorang. Lawan kita kali ini ada di antara kita. Kita terlampau sulit untuk membedakan, siapakah diantara kita yang sepenuhnya masih dapat dipercaya. Siapakah yang ragu-ragu, siapakah yang berdiri dengan sebelah menyebelah kaki nya berpijak pada alas yang berbeda, dan siapakah yang sengaja memulas diri sendiri untuk kepentingan-kepentingan pribadi, seperti seekor bunglon yang dapat merubah warna kulitnya.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih mencoba memperingatkan Ki Argapati, “Ki Gede. Aku tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya. Apakah Ki Tambak Wedi juga bersikap seperti Ki Gede dalam menanggapi persoalan pribadinya dengan Ki Gede? Aku ragu-ragu. Bahkan aku mendapat kesan, bahwa Ki Tambak Wedi bukanlah seorang yang jujur.”

Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Peringatan itu menggurat jantungnya, membuat seberkas goresan yang dalam. Jauh di dasar hatinya memang tersimpan dugaan serupa itu. Tetapi kenyataan yang pernah di hadapinya, beberapa puluh tahun yang lampau, ternyata Paguhan pernah menghadapinya secara jantan di dalam perang tanding seperti yang telah mereka janjikan. Apakah sekarang Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi itu telah berubah? Bukan seperti Paguhan pada waktu itu?

Dalam keragu-raguan itu, Ki Gede Menoreh mendengar suara Samekta, “Ki Gede, kami harap Ki Gede rmempertimbangkannya masak-masak. Apakah salahnya, apabila janji itu dibatalkan, meskipun aku tidak tahu pasti janji apakah yang telah dibuat, tetapi aku dapai menduga-duga.”

Perlahan-lahan Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak dapat membatalkannya Samekta. Aku harus datang. Seorang diri. Janji itu sudah kita setujui bersama. Dan akan menepatinya. Terkutuklah Ki Tambak Wedi, apabila ia tidak menepati seperti janji yang pernah dikatakannya sendiri, apalagi apabila ia berbuat curang. Kalian akan mengingatnya di dalam hati dan akan mengatakannya kepada setiap orang, bahwa seorang yang bernama Paguhan bergelar Ki Tambak Wedi, telah berbuat curang dan licik.”

Samekta menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya lambat, “Apakah artinya sebutan itu bagi seorang yang telah menebalkan telinganya dan lelah membutakan matanya?”

Sekali lagi Ki Gede berkata, “Samekta, aku tahu, bahwa kau bermaksud baik. Terima kasih. Tetapi aku ingin menyelesaikan persoalan pribadiku. Kalau aku berhasil, maka aku akan dapat mengurangi penumpahan darah yang akan membanjiri tanah ini.”

Samekta mengangkat wajahnya. Hampir saja rnulutnya mengucapkan sebuah pertanyaan, “Tetapi bagaimana kalau Ki Gede gagal?” Tetapi pertanyaan itu ditelannya kembali.

Namun demikian, Samekta melihat bahwa pertanyaan yang serupa telah membersit pula di dalam dada Pandan Wangi. Samekta melihat gadis itu memandangi ayahnya dengan pandangan yang suram. Lamat-lamat Samekta melihat setitik air yang mengambang di kelopak mata gadis itu. Tetapi Pandan Wangi pun tidak mengucapkan pertanyaan itu.

Samekta, para pemimpin tanah perdikan dan para pemimpin pengawal, hanya dapat menyimpan kecemasan di dalam hati mereka. Mereka telah mengenal watak Ki Gede Menoreh yang keras hati. Sukar bagi mereka untuk mencoba merubah pendiriannya Apalagi yang langsung menyangkut harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Karena itu, maka mereka tidak berani untuk mencoba lagi merubah sikap itu. Sebab apabila KI Gede Menoreh kemudian menjadi marah, maka sulitlah bagi mereka untuk dapaf berbicara.

Pandan Wangi pun mengenal watak itu pula. Karena itu, maka ia pun lebih baik diam sambil menahan air matanya. Bayangan yang semakin jelas di pelapuk matanya melukiskan, betapa pertarungan yang dahsyat akan terjadi di bawah Pucang Kembar besok malam.

Sementara itu waktu berjalan terus. Malam menjadi semakin malam. Meskipun Pandan Wangi kemudian tidak lagi duduk di antara para pemimpin Menoreh dan berada di dalam biliknya, namun yang bergolak di dalam hatinya adalah persoalan yang dibawanya dari pembicaraan itu.

Justru semakin lama ia berbaring di pembaringannya, maka hatinya menjadi semakin dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan. Bermacam-macam angan-angan dan gambaran telah membuatnya menjadi terlampau bingung. Jantungnya seakan-akan menjadi terlampau bingung. Jantungnya seakan-akan menjadi terlampau cepat berdetak, dan darahnya menjadi terlampau deras mengalir.

Sekali-kali Pandan Wangi itu tersentak duduk. Kemudian berdiri dan berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian ia tidak menahan diri lagi untuk tetap tinggal di dalam biliknya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan menuju ke pringgitan, tempat para pemimpin yang terpenting bertemu, setelah beberapa orang termasuk dirinya diperkenankan meninggalkan pembicaraan.

Tetapi ketika ia menjenguk pintu pringgitan, dilihatnya pringgitan itu sudah kosong. Ternyata pertemuan sudah lampau. Yang ditemuinya di pringgitan tinggallah beberapa buah mangkuk dan sisa makanan yang tidak terhabiskan.

“Di manakah Ayah?” desisnya.

Berjingkat Pandan Wangi berjalan menuju ke bilik ayahnya. Perlahan-lahan didorongnya pintu bilik itu. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya ayahnya sudah tertidur di pembaringannya.

Pandan Wangi berdesah perlahan-lahan, “Ternyata aku lebih gelisah dari Ayah sendiri,” desisnya di dalam hati. “Ayah masih dapat tidur dengan nyenyaknya. Sedang aku sama sekali tidak dapat memejamkan mata. Tetapi baiklah, aku mencoba seperti Ayah.”

Perlahan-lahan sekail Pandan Wangi menutup pintu itu kembali. Perlahan-lahan pula ia berjalan berjingkat ke biliknya mencoba tidur meskipun hanya sejenak.

Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak tahu, bahwa setelah pintu bilik ayahnya tertutup, ayahnya membuka matanya kembali. Sebenarnya ayahnya itupun sama sekali belum dapat tidur sekejap pun. Ia pun dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan. Tetapi sama sekali bukan tentang dirinya sendiri. Seandainya persoalannya hanya terbatas pada dirinya sendiri, pada perang tanding di bawah Pucang Kembar, maka hal itu sama sekali tidak akan digelisahkannya. Tetapi kali ini persoalannya berkait dengan persoalan tanah perdikannya. Persoalan yang sebenarnya memang berpusar pada sumber yang sama. Janji yang terucapkan didorong oleh perbedaan sikap mereka, menanggapi keadaan Sidanti berhadapan dengan Pajang. Kini, api yang kemelut di tanah perdikan ini pun disebabkan karena Sidanti pula.

“Samekta benar,” desis Ki Argapati di dalam hatinya, “persoalan ini bukan sekedar persoalan pribadi. Tetapi aku tidak dapat melepaskan janji pribadi ini, meskipun di dalam kaitannya dengan persoalan seruruh tanah perdikan, karena justru aku tidak dapat melepaskan pribadiku dari tanggung jawabku sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Karena itu, aku besok malam harus menghadapi Ki Tambak Wedi. Apa pun yang akan terjadi. Tetapi kegagalanku tidak harus mengorbankan tanah ini dan menyerahkannya kepada Sidanti. Seandainya aku gagal, maka biarlah Pandan Wangi memegang pimpinan. Aku mengharap bahwa para pemimpin pengawal yang setia akan dapat mendampinginya, meskipun harus berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.”

Tiba-tiba pandangan Ki Argapati tersangkut pada sebatangtrombak pendek yang masih berada di dalam selongsongnya. Terasa desir yang lernbut menyentuh hatinya. Tombak itu bukan tombaknya sendiri, sehingga besok, ia harus menghadapi Ki Tambak Wedi yang memiliki sepasang senjata yang mengerikan, tidak dengan tombak yang paling dipercayanya.

“Aku tidak boleh terpengaruh olehnya. Tombak itu tidak akan tanyak berpengaruh. Tergantung pada tangan yang menggcrakkannya.” Tetapi dibantahnya sendiri di dalam hat, “Namun aku mengenal tombakku seperti aku mengenal diriku sendiri. Aku tahu pasti jangkauan ujungnya dan berat pangkal landeannya. Aku tahu pasti, di mana tanganku harus menggenggam tangkainya. Aku tahu pasti imbangan gerak ujung dan pangkalnya. Bahkan aku tahu pasti kekuatan yang tersimpan pada tombakku itu. Tetapi tombak ini belum begitu aku kenal.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bergumam, “Semuanya terserah kepada Tuhan Sang Maha Adil.”

Ki Argapati kemudian mencoba melepaskan segala kegelisahannya. Ia mencoba untuk beristirahat, meskipun hanya sejenak. Lamat-lamat ia masih mendengar ayam jantan berkokok untuk yang kedua kalinya. Namun karena lelah lahir dan batinnya, akhirnya Ki Gede Menoreh itu lelap juga untuk sejenak.

Sedang di bilik yang lain, Pandan Wangi pun terlena karena kelelahan pula. Namun di sisinya tergolek sepasang pedangnya. Bahkan tangannya terletak pada hulu pedang itu.

Kesibukan pagi telah mewarnai rumah Ki Argapati, ketika matahari telah mulai melambung di langit. Ki Gede Menoreh duduk di pringgitan bersama Pandan Wangi menghadipi semangkuk air hangat, gula kelapa, dan beberapa potong makanan. Adalah kebiasaan Ki Gede Menoreh, untuk minum air hangat di pagi hari sambil makan beberapa potong makanan sebagai makan paginya. Tetapi Ki Argapati tidak pernah makan nasi di waktu pagi.

Namun terasa kegelisahan telah membakar seluruh tanah perdikan, jauh melebihi terik matahari di tengah hari. Setiap orang seolah-olah selalu dihantui oleh kegelisahan. Tidak saja di padukuhan induk, tetapi di mana-mana. Di sekitar rumah Argajaya pun terjadi kesibukan-kesibukan yang luar biasa. Persiapan-persiapan telah mereka adakan dengan saksama. Tidak kalah dari kesibukan yang dilakukan oleh para pengawal yang masih setia kepada Ki Argapati. Meskipun jumlah mereka yang terpengaruh oleh Sidanti tidak terlampau banyak, tetapi Sidanti telah melakukan kecerobohan yang mempunyai kemungkinan yang paling parah atas tanah perdikan yang ingin dikuasainya. Ia telah mengundang orang-orang liar dari berbagai golongan. Orang-orang yang menyimpan pamrih terlampau besar atas tanah ini, orang-orang yang ingin mendapatkan upah, dan orang-orang yang paling liar adalah orang-orang yang tidak menentu, yang tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal. Mereka coba mengadu untung di Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Ki Tambak Wedi bukan pula seorang yang bodoh. Sengaja ia memanggil orang-orang yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Ia ingin membenturkan mereka satu sama lain apabila persoalannya sudah selesai, lalu menumpas mereka dengan mudahnya.

Namun permainan itu adalah permainan yang terlampau berbahaya. Apabila perhitungan itu meleset serambut, maka Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi karang abang. Tanah akan tinggal arang yang sudah membara, kemudian hancur menjadi abu.

Ia tidak akan dapat berhasil mencapai maksudnya, menjadikan tanah ini pancadan bagi anak dan sekaligus muridnya yang dimanjakannya, untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Tetapi adalah mungkin sekali, bahwa tanah ini akan menjadi tanah di mana anak itu segera akan dikuburkan. Kalau ia mati dalam perlawanannya atas Ki Argapati, masih juga ia dapat merasa dirinya pahlawan dari suatu cita-cita. Tetapi apabila ia mati oleh tangan-tangan yang hitam yang dipanggilnya sendiri masuk ke dalam rumahnya, maka yang tinggal adalah penyesalan.

Tetapi setiap kali Ki Tambak Wedi berkata, “Kita harus membuat perimbangan. Kekuatan yang kita undang, harus lebih kecil dari kekuatan kita sendiri, supaya kelak apabila persoalan kita dengan Argapati sudah selesai, maka kita akan dengan mudahnya menyelesaikan mereka pula.”

Namun ternyata Ki Tambak Wedi tidak menghiraukan, apa yang telah dilakukan oleh orang-orang itu atas orang-orang Menoreh sendiri. Ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa orang-orang itu telah berbuat terlampau gila di tanah perdikan ini.

Dalam keadaan yang gelisah, tegang, dan kemelutnya kecemasan itulah, matahari naik semakin tinggi di atas perbukitan Menoreh. Betapa sibuknya para pengawal mengadakan persiapan di beberapa tempat, dan betapa sepinya jalan-jalan dan pedukuhan-pudukuhan di seluruh tanah perdikan itu. Seperti angin, yang bertiup dari segala penjuru, maka setiap telinga di tanah perdikan itu telah mendengar, bahwa nanti malam, disaat purnama naik, akan terjadi sesuatu yang paling mengerikan di atas tanah ini. Mereka tidak tahu pasti, apakah yang kira-kira akan terjadi. Yang paling mungkin menurut dugaan mereka, adalah benturan antara Ki Argapati dan Sidanti. Namun janji yang telah ditentukan antara Ki Tambak Wedi dan Ki Gede Menoreh, telah membuat kepala mereka semakin pening, dan membuat dada mereka semakin berdebar-debar.

Dan kegelisahan yang semakin memuncak telah membakar dada Pandan Wangi. Dalam pakaian laki-lakinya ia mondar-mandir di dalam rumahnya. Sekali-kali ia pergi kepringgitan melihat ayahnya sedang berbicara dengan beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini, kemudian berjalan ke dapur, melihat perempuan-perempuan sedang memasak. Namun kegelisahannya tidak juga dapat disingkirkannya dari hatinya, setidak-tidaknya meredakannya.

Tanpa sesadarnya, maka langkahnya telah membawanya turun ke halaman ketika tiba-tiba seseorang datang memanggilnya, “Pandan Wangi, Ki Argapati ingin bertemu.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pringgitan. Dilihatnya ayahnya masih duduk di antara para pemimpin yang lain.

“Pandan Wangi,” berkata ayahnya sebelum ia duduk, “sebaiknya kau hentikan usahamu untuk bertemu dengan Sidanti, dan mencoba membuatnya mengerti. Aku kira kau tidak akan berhasil.”

Dada Pandan Wangi berdesir mendengar peringatan ayahnya itu. Sejenak ia berdiri mematung tanpa dapat menjawab sepatah kata pun. Selanjutnya ia mendengar ayahnya berkala seterusnya, “Aku menjadi cemas melihat kau gelisah seperti dipanggang di atas bara. Mondar-mandir tidak menentu. Aku sangka, kau masih dihinggapi oleh angan-angan untuk bertemu dengan kakakmu dan berbicara dengannya. Pandan Wangi, demi keselamatanmu, jangan pergi lagi dari batas pedukuhan induk ini. Keadaan telah menjadi semakin panas. Orang-orang di kedua belah pihak sudah terlampau sulit untuk dikendalikan. Apalagi orang-orang yang tidak dikenal, yang sama sekali tidak merasa bertanggung jawab apa pun atas tanah ini. Apakah kau metngerti?”

Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Tetapi ia telah mengenal betul sifat-sifat ayahnya. Apabila demikian, berarti bahwa ia sama sekali tidak boleh melanggarnya lagi. Apa pun alasannya. Karena itu maka yang dapat dilakukannya adalah menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik Ayah.”

“Nah, kalau kau ingin keluar halaman, berhati-hatilah. Ingat, jangan meninggalkan padukuhan induk. Kau masih dapat merasa aman di dalam padukuhan induk ini, karena aku memagarinya dengan pasukan pengawal. Meskipun aku menempatkannya juga di padukuhan-padukuhan lain, tetapi kau tidak akan tahu, apakah yang akan terjadi di bulak-bulak yang betapa pun sempitnya.”

Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk dan menjawab, “Ya, Ayah.”

Namun dengan demikian, justru Pandan Wangi seolah-olah mendapat kesempatan untuk keluar dari halaman rumahnya. Semula ia sama sekali tidak ingin melangkah keluar regol halaman, apabila setiap saat ayahnya memerlukannya. Tetapi kini seolah-olah ia diperingatkan, bahwa di luar halaman ia masih mempunyai tempat untuk sedikit menghibur dirinya, asalkan tidak keluar dari pedukuhan induk.

Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera setelah meninggalkan pringgitan, justru berjalan keluar regol halaman. Selangkah demi selangkah. Dan hampir setiap langkahnya ia bertemu dengan dua tiga orang peronda, sehingga akhirnya ia sampai pada ujung sebuah lorong di dalam pedukuhan induk, yang menuju ke rumah pamannya.

“Hem, jalur ini akan sampai kepada Kakang Sidanti,” desisnya di dalam hati. Tetapi ia sadar, bahwa ayahnya -melarangnya untuk mengikuti jalur itu. Dan ia menyadari pula, bahaya yang dapat dijumpainya di tengah-tengah bulak dan pategalan, seperti yang pernah terjadi atasnya.

Ketika Pandan Wangi itu berdiri sambil bersilang tangan di dadanya, memandangi ujung jalan yang seolah-olah hilang ditelan kaki langit, dua orang peronda berjalan mendekatinya. Perlahan-lahan salah seorang dari mereka berkata, “Ki Gede telah memerintahkan kepada kami, kau tidak boleh keluar dari pedukuhan ini, Pandan Wangi. Siang mau pun malam nanti.”

Dada Pandan Wangi berdesir. Ternyata perintah itu telah tersebar kepada seluruh pengawal. Tetapi apa artinya, ia tidak boleh meninggalkan padukuhan induk ini siang dan malam nanti, justru malam nanti ayahnya akan memenuhi janjinya dengan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.

Terasa jantung Pandan Wangi berdenyut semakin cepat di dalam dadanya. Berbagai pertanyaan hilir mudik tidak henti-hentinya. Tetapi Pandan Wangi tidak bertanya apa pun kepada pengawal itu. Ia tahu, bahwa pengawal itu tidak akan mengerti, kenapa. Ia hanya sekedar melakukan perintah. Selebihnya adalah persoalan para pemimpinnya.

Pandan Wangi berpaling kepada mereka, ketika mereka bertanya, “Apakah kau sendiri sudah mengerti pesan Ki Argapati itu?”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku sudah mengerti.”

“Syukurlah,” desis pengawal yang sedang meronda itu.

Kemudian ditinggalkannya Pandan Wangi berdiri di tempatnya. Keduanya melangkah ke gardunya di sudut pedukuhan. Di dalam gardu itu ternyaata masih ada beberapa kawan-kawannya lagi yang sedang berjaga-jaga.

Pandan Wangi masih tetap berdiri di tempatnya. Tegak seperti sebuah patung dengan sepasang pedang di lambung. Dipandangnya berkas-berkas sinar matahari yang jatuh di atas tanah, di sepanjang jalur jalan berdebu di depannya.

Gadis itu mengerutkan keningnya, ketika ia melihat sesuatu bergerak-gerak di dalam sinar matahari. Beberapa ekor kambing berjalan di atas pematang. Di belakang sekumpulan kambing itu berjalan seorang gembala. Gembala yang pernah ditemuinya diperjalanannya kemarin. Gupita.

Tiba-tiba saja, dada gadis itu menjadi berdebar-debar. Ternyata hari ini anak muda itu masih menggembalakan kambing-kambingnya. Dengan demikian, maka kemarin kambing-kambing itu pasti tidak dirampas oleh orang-orang liar yang telah mencegatnya.

“Mungkin orang-orang itu hanya memerlukannya satu atau dua,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia masih belum bergerak. Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Sepasang pedangnya berjuntai di lambungnya. Sebelah-menyebelah.

Sejenak kemudian ia melihat kumpulan kambing-kambing itu berjalan menyeberangi jalan. Sekepul debu yang putih terlontar di udara ketika kaki-kaki kambing itu menyentuh tanah berdebu yang menjelujur panjang.

Seorang pengawal melonccat turun dari gardunya. Memandangi sekumpulan kambing itu sambil berkata, “Aneh, masih juga ada seorang gembala yang berani membawa kambing-kambing ke tempai terbuka seperti ini. Apakah anak itu tidak tahu apa yang kini sedang kemelut di tanah pendikan ini?”

Tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab. Kawan-kawannya yang sedang berjaga-jaga itupun menjadi keheran-heranan pula. Namun pengawal itu menjawabnya sendiri, “Mungkin ia menyadari, bahwa di tempat ini ada sebuah gardu pengawal. Dengan demikian ia merasa aman menggembala kambingnya di sekitar tempat ini.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak diajak berbicara. Pikiran itu memang dapat dimengerti. Di tempat ini ada sebuah pengawalan yang baik, sehingga tidak mungkin ada orang-orang liar yang berkeliaran sampai di tempat ini.

Sejenak kemudian, Pandan Wangi melihat kambing-kambing itu berhenti di sebuah tempat yang ditumbuhi rerumputan hijau, di pinggir padesan. Gambala itu mengikat seekor di antara kambing-kambing itu. Seekor kambing jantan yang paling besar, pada sebatang pohon perdu, supaya kambing itu tidak dapat pergi dan kawan-kawannya pun tidak akan pergi juga dari tempat itu. Sedang masuk ke dalam tanaman di persawahan. Dengan demikian, maka gembalanya kemudian duduk di bawah sebatang pohon yang rindang sambil menyandarkan dirinya. Cambuknya diletakkannya di pangkuannya. Sejenak kemudian diambilnya sebatang seruling bambu yang terselip di ikat pinggangnya.

Sejenak gembala itu duduk memandangi warna langit yang jernih, sambil mengusap-usap serulingnya. Seperti ayah Pandan Wangi sedang mengusap landean tombaknya.

Pandan Wangi sendiri tidak menyadari, kenapa ia tertarik melihat tingkah laku gembala itu. Dengan demikian, maka diawasinya saja ketika gembala itu kemudian mengangkat serulingnya dan meletakkannya di mulutnya.

Sejenak kemudian terdengarlah suara seruling itu berlagu. Dilontarkannya lagu yang segar, sesegar burung-burung liar yang berloncatan didahan-dahan pepohonan.

Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang pengawal berkata, “Aku merasa aneh dengan gembala itu. Adalah mustahil, bahwa seorang gembala berani menggembalakan kambingnya di tempat terbuka seperti saat ini tanpa suatu maksud tertentu. Apakah dengan demikian tidak cukup alasan bagi kita untuk mencurigainya? Mungkin anak itu adalah seorang petugas sandi dan Sidanti.”

Beberapa orang kawannya mengerutkan keningnya. Dan terdengar hampir bersamaan mereka menjawab, “Hal itu juga mungkin. Tetapi mungkin pula ia merasa aman di sini.”

“Tetapi apakah kau pernah mengenal anak itu?”

Kawan-kawannya terdiam. Dan sejenak kemudian mereka menjawab, “Belum. Aku belum mengenalnya.”

“Belum ada yang mengenalnya di antara kita. Bukankah kita wajib bercuriga?”

Tetapi para pengawal itu terkejut, ketika tiba-tiba Pandan Wangi yang masih berdiri di ujung jalan itu berkata, “Aku sudah mengenalnya. Namanya Gupita.”

Serentak para pengawal itu berpaling ke arah Pandan Wangi. Kini Pandan Wangi memandang mereka pula dan, berkata, “Aku akan menemuinya.”

“Tetapi kau tidak boleh meninggalkan padukuhan ini.”

“Bukankah aku tidak meninggalkan padukuhan ini? Gembala itu duduk di pinggir padukuhan ini. Dan kalian dapat mengawasi aku dari gardu, kalian seandainya aku harus berkelahi melawannya.”

Para pengawal itu sejenak saling berpandangan. Mereka sama sekali belum yakin, bahwa Pandan Wangi benar-benar mampu berkelahi. Belum lama mereka mendengar hal itu. Sebelumnya mereka hanya mengetahui, bahwa gadis itu senang ikut bersama ayahnya. Hanya satu dua orang sajalah yang menemaninya.

Karena itu, maka mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk melepaskannya pergi sendiri mendekati gembala yang sedang membunyikan serulingnya itu.

Ketika Pandan Wangi kemudian melangkahkan kakinya, mendekati gembala itu, maka beberapa orang pengawal segera berloncatan turun dari gardunya. Sekali lagi mereka saling berpandangan, dan beberapa di antara mereka segera mengikutinya.

Tetapi Pandan Wangi justru tertegun. Sambil berpaling ia bertanya, “Kalian akan pergi kemana?”

Para pengawal itu tidak segera dapat menjawab. Mereka menjadi ragu-ragu. Namun salah seorang dari mereka akhirnya menyahut, “Kami tidak dapat melepaskan kau pergi sendiri. Kami wajib mencurigai setiap keadaan yang tidak wajar bagi kami. Termasuk kehadiran gembala itu.”

“Kalian akan mengantar aku?”

Orang itu mengangguk dan menjawab ragu-ragu, “Ya.”

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak usah. Biarlah aku pergi sendiri. Kalau aku memerlukan kalian, kalian akan dapat melihat dari sini, atau aku akan berteriak-teriak memanggil kalian. Aku kira kalian akan dapat mendengarnya.”

Para pengawal itu terdiam sejenak. Memang jarak antara gardu dan gembala yang duduk di bawah pohon itu tidak terlampau jauh. Tetapi bagaimanakah apabila terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga? Para pengawal memang pernah mendengar, bahwa Pandan Wangi sebenarnya mampu pula bertempur. Bahkan menurut Samekta, melawan enam orang laki-laki sekaligus. Tetapi mereka masih dicengkam oleh keragu-raguan.

“Tinggallah kalian di sini,” berkata Pandan Wangi kemudian, “Jangan cemas tentang aku.”

Para pengawal itu kemudian berdiri tegak seperti patung. Dengan hati yang berdebar-debar, mereka memandangi saja langkah Pandan Wangi menuju ke arah seorang gembala yang duduk sambil membunyikan serulingnya. Sepasang pedang yang berjuntai di lambungnya, sebelah menjebelah, bergerak-gerak seirama dengan langkah kakinya.

Beberapa orang pengawal menarik nafas dalam-dalam. Mereka biasa melihat Pandan Wangi dalam pakaian seorang gadis. Hanya kadang-kadang saja ia berpakaian demikian, apabila ia pergi berburu.

Gembala yang bersandar pada pokok sebatang kayu itu, masih saja meniup serulingnya. Lagunya mengalun menyusur arus angin yang lembut. Lagu yang gembira kini terasa mengetuk dinding jantung. Seolah-olah gembala itu sedang bercerita tentang langit yang cerah. Angin yang lemah dan burung-burung yang berterbangan dengan riangnya. Bahkan kemudian suara seruling itu meninggi, melonjak seperti gelak tertawa seorang gadis yang sedang bercanda dengan kekasih.

“Hem,” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.Ia belum pernah merasakan betapa mesra bercanda dengan kekasih. Tetapi ia pernah mendengar kisah tentang kasih. Kisah Panji dan Kirana. Kisah Ratih dan Kama. Dan pernah dijumpainya pula kemesraan di sekitarnya. Pandan Wangi memang menghadiri peralatan perkawinan kawan-kawannya yang sebaya atau sedikit lebih tua daripadanya.

Tetapi lagu itu rasa-rasanya bercerita kepadanya. Lagu yang melukiskan kasih yang dalam. Kidung tentang cinta.

Pandan Wangi seakan-akan tersadar dari sebuah mimpi yang asing, ketika tangannya menyentuh hulu pedangnya. Tiba-tiba ia berdesis, “Persetan dengan suara seruling itu. Kini Menoreh sedang diasapi oleh kemelutnya pertentangan yang tajam antara Ayah dan Kakang Sidanti.”

Tiba-tiba Pandan Wangi itu menengadahkan wajahnya. Ia tidak mau dihanyutkan oleh angan-angan seorang gadis yang meningkat dewasa. Kini ia sedang menggenggam tugas, bukan sebagai seorang gadis, tetapi sebagai seorang puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bergolak.

Selangkah demi selangkah Pandan Wangi menjadi semakin dekat. Tanpa disadarinya, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Ia mengharap gembala itu berpaling. Tetapi agaknya ia begitu asyik dengan serulingnya, sehingga sama sekali tidak menghiraukan keadaan di sekitarnya.

Tanpa sesadarnya pula, kaki Pandan Wangi menyentuh daun-daun kering yang bertebaran di atas jalan sempit di pinggir padukuhan itu, melontarkan suara gemersik. Tetapi gembala itu seakan-akan benar-benar sedang tenggelam dalam suara serulingnya.

Sejenak kemudian Pandan Wangi telah berdiri di belakangnya. Ia yakin, bahwa gembala itu pasti sudah tahu kedatangannya. Tetapi gembala itu sama sekali tidak melepaskan serulingnya. Bahkan matanya menjadi hampir terpejam ketika suara serulingnya melonjak mengalun menyentuh hati.

Terasa perasaan aneh bergetar di dada Pandan Wangi. Dalam suasana yang tegang, ia mendengar lagu yang memancarkan kedamaian hati seorang anak muda. Ya, gembala itu adalah seorang anak muda yang aneh.

Wajah Pandan Wangi serasa menjadi panas dan kemerah-merahan. Kini baru disadarinya, bahwa gembala itu adalah seorang anak muda, sedang dirinya adalah seorang gadis.

Tiba-tiba Pandan Wangi menggeretakkan giginya. “Aku tidak peduli,” katanya di dalam hati, “aku harus melihat, apakah gembala ilu tidak mencurigakan?”

Pandan Wangi itu kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Tangannya bertolak pinggang. Dengan tajamnya dipandanginya gembala yang masih asyik membunyikan serulingnya itu. Lalu, tiba-tiba pula ia memanggil, “Gupita. Bukankah kau Gupita yang kemarin aku jumpai di jalan bersama kambing-kambingmu.”

Gupita masih meniup serulingnya beberapa lama. Kemudian memutus lagunya pada nada yang merendah. Sesaat kemudian ia berpaling dan menganggukkan kepalanya dalam-dalam, “Ya, aku adalah Gupita yang kemarin kau jumpai.”

Ketika terpandang mata gembala itu, terasa dada Pandan Wangi berdesir. Mata itu adalah mata yang dilihatnya kemarin. Mata yang memancarkan kejujuran yang bodoh. Tetapi kini Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Apakah benar, bahwa mata itu memancarkan kejujuran yang dungu?

Sekali lagi Pandang Wangi menggeretakkan giginya, Wajahnya menjadi tegang, dan nada suaranya merendah datar, “Apa kerjamu di sini?”

Gapita bergeser setapak. Kini ia duduk menghadap Pandan Wangi yang masih berdiri bertolak pinggang. Dengan penuh keheranan, Gupita menjawab, “Bukankah aku seorang gembala? Kehadiranku di sini bersama kambing-kambingku adalah kenyataan kerjaku kini.

Dada Pandan Wangi berdesir mendengar jawaban gembala itu. Sejenak ia terdiam. Terasa jantungnya menjadi semakin cepat berdentangan. Namun dengan demikian, sejenak ia berdiam diri. Ia tidak segera menemukan kata-kata untuk menyahut.

Gupata masih duduk di tanah. Karena Pandan Wangi berdiam diri, maka ia pun diam pula menunggu. Sekali-sekali dilemparkannya pandangan matanya kepada para pengawal di mulut lorong agak jauh daripadanya.

Baru sejenak kemudian, Pandan Wangi dapat menguasai dirinya dan berkata, “Gupita. Aku memang melihat bahwa kau sekarang sedang menggembalakan kambing-kambingmu. Tetapi apakah kau tidak berbuat lain daripada menggembala?”

Gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Tidak. Seperti kau lihat. Aku hanya menggembala saja dan duduk membunyikan serulingku.”

Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Terasa memancarkan kelainan dengan gembala-gembala yang lain, yang terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Wajah gembala itu dikenalnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah bentuk kelainan itu.

Sekali lagi Pandan Wangi terpaku diam. Nafasnya terasa semakin cepat mengalir, ia merasa kehilangan kata-kata untuk menyatakan pikirannya. Namun sejenak kemudian tiba-tiba dada Pandan Wangi itu seolah-olah meledak, setelah ditahannya kuat-kuat. Pandan Wangi tidak tahu, apakah yang mendorongnya untuk berbuat demikian. Tetapi ia merasa memerlukan cara untuk mengurangi pepat di dalam dadanya.

Karena itu maka tiba-tiba ia berkata lantang, “Tidak! Aku tidak percaya! Di dalam keadaan serupa ini, mustahil kalau kau hanya sekedar menggembala saja sampai di tempat ini, justru di samping gardu peronda. Nah, katakan, bahwa kau termasuk salah seorang petugas sandi dari Kakang Sidanti!”

Gembala itu memandang wajah Pandan Wangi tanpa mengedipkan matanya. Tergagap ia menyahut, “Tetapi, tetapi, aku tidak kenal dengan Sidanti.”

“Bohong!” bentak Pandan Wangi, “Kau kira aku dapat mempercayainya? Aku tidak dapat melupakan saat kita bertemu di tengah jalan, ketika aku kembali dari Kakang Sidanti. Beberapa orang liar yang tak dikenal berjalan menyusulku. Kau berada di tempat itu juga pada waktu itu. Mustahil bahwa kau bukan tidak kehilangan kambing-kambingmu, atau bahkan nyawamu, kalau kau salah seorang dari mereka. Aku tahu, bahwa waktu itu kau sengaja menghambat perjalanannku, supaya orang yang tidak aku kenal itu dapat menangkapku.”

Gupita menjadi semakin heran mendengar kata-kata Pandan Wangi yang mengalir seperti banjir itu. Dipandanginya saja wajah gadis itu dengan mulut ternganga.

“Nah, apakah kau masih akan ingkar?” bertanya Pandan Wangi.

Wajah gembala itu menjadi tegang, sejenak kemudian menjadi pucat dan berubah lagi menjadi kemerah-merahan.

“Jangan ingkar!” Pandan Wangi membentak pula.

Kini gembala ilu menjadi gemetar. Tergagap ia mencoba Menjelaskan, “Aku benar-benar seorang gembala yang sedang menggembala kambing-kambingku di sini. Aku tidak berbuat lain, dan aku sama sekali bukan petugas sandi dari Sidanti.”

“Coba katakan kepadaku, Gupita,” berkata Pandan Wangi, “kenapa kau terlepas dari tangan orang-orang liar yang waktu itu mendatangi kau sepeninggalku?”

Gupita tampak menjadi semakin gugup, “Aku tidak tahu, kenapa mereka membiarkan aku. Mereka hanya bertanya, apa kerjaku di sana waktu itu. Mereka bertanya, apakah aku petugas sandi dari Ki Argapati. Tetapi aku menjawab, bahwa aku hanyalah seorang gembala. Lalu salah seorang dari mereka menampar mukaku seningga aku jatuh ke dalam parit. Seterusnya, mereka pergi. Dan bukankah aku bukan petugas sandi dari Ki Argapati dan bukan pula dari Sidanti?”

“Bohong!” potong Pandan Wangi. Namun terasa sesuatu yang aneh semakin mencengkam jantungnya. Gembala itu benar-benar memiliki kelainan dari gembala-gembala di Tanah Perdikan Menoreh. Dan kelainan itu telah mendebarkan jantung Pandan Wangi semakin cepat. Tatapan matanya seolah-olah telah mengguncang seluruh isi dadanya.

Tetapi Pandan Wangi mencoba menolak pengaruh yang tidak dikenalnya itu. Sambil menggeretakkan giginya, ia menunjuk ke arah kejauhan. Sejenak kemudian ia menggeram, “Pergi! Pergi kau dari tempat ini supaya kau tidak menjegal. Bawalah kambing-kambingmu sejauh-jauhnya dari induk padukuhan Menoreh, sebelum kami bertindak atasmu. Menurut penilaian kami, kau pantas dicurigai dalam keadaan serupa ini. Tidak ada seorang gembala pun yang berani menggembalakan kambing-kambingnya di tempat terbuka seperti kau. Mereka hanya mencoba menggembala di pategalan-pategalan yang berada di ujung-ujung padesan.”

“Tetapi, tetapi,” suara gembala itu semakin tergagap, bukankah aku juga menggembala di ujung padesan. Aku berani menggembala di sekitar tempat ini, justru aku tahu, bahwa tempat ini pasti aman karena dekat dengan gardu peronda.”

“Tetapi kau kemarin menggembala di seberang bulak ini.”

“Pengalaman yang kemarinlah yang memaksa aku untuk menggembala di sini.”

“Bohong! Bohong!” Pandan Wangi tiba-tiba berteriak. Tangannya masih menunjuk ke kejauhan dan mulutnya berkata, “Pergi, cepat, selagi kau masih mendapat kesempatan. Apabila kesempatan itu tidak ada lagi, maka sikap kami akan sangat berlainan. Mungkin kau dapat kami tangkap dan kami bawa kepada pimpinan pengawal tanah ini.”

“Jangan, jangan,” gembala itu kini berjongkok dan kemudian berdiri pada lututnya, “aku jangan ditangkap. Aku akan pulang kepada ayahku yang sudah tua.”

“Kalau kau akan pulang, cepat, pulanglah sekarang.”

“Baik. Baik. Aku akan pulang sekarang,” jawab gembala itu sambil tertatih-tatih berdiri. Selangkah-selangkah ia berjalan meninggalkan Pandan Wangi, menghampiri kambingnya yang sedang diikati. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, karena Pandan Wangi memanggilnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Pandan Wangi sedang berjongkok memungut serulingnya yang agaknya terjatuh.

Gupita terpaku sejenak di tempatnya. Sejak pertemuannya kemarin, ia masih belum sempat memandangi wajah gadis itu, seperti saat ia berjengkok mengambil serulingnya. Wajah yang tegang itu tiba-tiba menjadi tenang. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, memandanginya dengan seruling di tangangannya, tampaklah betapa wajah itu memancar seperti bintang pagi.

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menyadari dirinya, maka tiba-tiba ia pun berjongkok sambil berkata, “Itu serulingku.”

Pandan Wangi mengangguk perlahan. Ia tidak tahu, pengaruh apakah yang telah mencengkamnya. Tiba-tiba ia tidak dapat membentak lagi seakan-akan terpesona oleh seruling yang telah didengar, betapa merdu suaranya.

“Marilah,” desis Pandan Wangi, kemudian sambil mengacungkan seruling itu.

Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bergeser maju sambil menjawab, “Terima kasih.”

Ketika Gupita menerima serulingnya, terasa tangan Pandan Wangi itu bergetar. Dan seolah-olah getar itu telah merambat sepanjang tangannya menyentuh dadanya.

“Terima kasih,” sekali lagi Gupita berdesis, “sekarang perkenankanlah aku pergi.”

Pandan Wangi mengangguk kecil. Tetapi tanpa sesadarnya, ia berkata, “Kau pandai meniup seruling.”

“Aku belajar sejak kecil. Sejak aku dapat membedakan tinggi rendah nada.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.

“Sekarang aku akan pulang,” berkata Gupita kemudian, “kalau kalian berubah pendirian, maka aku tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk pergi meninggalkan tempat ini.”

Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia masih saja berdiam diri.

“Bukankah aku harus pergi?”

Terasa dada Pandan Wangi menjedi berdebar-debar. Sejenak ia terpukau dalam kebingungan. Sesaat ia seakan-akan telah kehilangan akal. Namun tiba-tiba kesadarannya seakan-akan telah melonjak kembali di dalam dadanya. Tiba-tiba pula ia menggeretakkan gigi. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri sambil membentak, “Pergi. Pergi. Cepat. Kau membuat aku muak dengan solah tingkahmu yang bodoh itu.”

Gupita terkejut, melihat sikap yang tiba-tiba saja berubah. Tetapi sejenak kemudian ia menyadari keadaannya. Sekali ia membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil bergumam, “Terima kasih atas kesempatan ini. Aku akan pulang kepada ayahku, dan mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh, yang bernama Pandan Wangi. Aku telah diberinya kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, meskipun dengan tidak sengaja aku telah memasuki daerah terlarang.”

“Jangan banyak bicara. Cepat pergi. Kau terlampau memuakkan bagiku. Setiap gembala yang malas seperti kau, tidak akan banyak berarti bagi tanah ini.”

Gupita masih ingin menjawab. Tetapi Pandan Wangi telah mendahului membentaknya, “Jangan bicara lagi. Pergi sebelum aku memanggil para pengawal untuk menangkapmu.”

Gupita mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia membungkukkan kepalanya, kemudian melangkah surut. Dengan ragu-ragu ia memutar tubuhnya dan berjalan menghampiri kambingnya yang sedang diikatnya. Dengan tergesa-gesa ia melepas tali yang mengikat kambing itu pada sebatang pohon perdu. Kemudian dilecutkannya cambuknya dan digiringnya kambing-kambing itu pergi. Tetapi belum lagi sepuluh langkah, maka diletakkan ujung serulingnya di mulutnya. Sejenak kemudian terdengarlah sebuah lagu yang melengking tinggi, seperti jerit seorang gadis yang kegirangan menyambut kekasih dari medan perang. Kemudian suara seruling itu berderai seperti gelak tertawa yang renyah.

“Diam. Diam kau!” teriak Pandan Wangi tanpa sebab.

Suara seruling itu membuat jantungnya seakan-akan berhenti bergetar. Dengan serta merta dipungutnya sebutir batu dan dilemparkannya kuat-kuat ke arah Gupita yang masih meniup serulingnya sambil melangkah menjauh. Tetapi suara serulingnya itu segera terputus, ketika sebuah batu jatuh tepat di sampingnya.

Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tetapi Gupita tidak berani lagi berkata sepatah kata pun. Bahkan kemudian langkahnya pun dipercepat meninggalkan tempat itu. Namun dikejauhan sekali lagi ia berpaling. Ketika ia masih melihat Pandan Wangi berdiri di tempatnya, maka tiba-tiba diangkatnya cambuknya tinggi-tinggi. Cambuk itu berputar di udara seperti baling-baling. Sejenak kemudian terdengarlah cambuk itu seolah-olah meledak di udara.

Letupan cambuk itu serasa memecahkan dada Pandan Wangi. Semula ia telah dicengkam keheranan, bahwa gembala itu dapat meledakkan cambuk sekeras itu. Tetapi kemudian, sebagai seorang yang memiliki ilmu yang cukup, segera Pandan Wangi menyadari, bahwa letupan cambuk itu bukan sekedar letupan biasa. Terasa sebuah tenaga yang terlampau kuat lelah membantu menggerakkan tangannya dan meledakkan cambuk itu.

Terasa darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Kini baru disadarinya, bahwa sorot mata yang lain pada gembala itu, sama sekali bukan sorot mata yang jujur tetapi dungu. Kini baru disadarinya, bahwa pada sorot mata itu memancar sebuah kekuatan yang luar biasa.

Sejenak Pandan Wangi terpaku di tempatnya. Ia merasa bahwa bukan gembala itulah yang dungu, tetapi betapa bodohnya dirinya sendiri. Tetapi gembala itu sudah jauh. Gembala itu sudah tidak dilihatnya lagi.

Yang kemudaan merambat di dadanya adalah dugaan yang kuat, bahwa sebenarnyalah gembala itu seorang petugas sandi yang dikirim oleh kakaknya, Sidanti. Berbareng dengan itu, maka segera ingatannya terbang kepada ayahnya. Malam nanti, saat purnama naik. Ayahnya akan menjumpai Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Menoreh benar-benar sedang disaput oleh asap yang tebal. Gelap. Masa depan dari tanah perdikan ini sama sekali tidak dapat diduga-duga. Mungkin Menoreh akan tetap tegak berdiri setelah mengalami goncangan yang dahsyat, tetapi mungkin Menoreh akan menjadi abu, terbakar oleh api perselisihan di antara mereka sendiri.

Tetapi Pandan Wangi tidak dapat berbuat sesuatu. Semuanya telah meluncur menuju ke puncak peristiwa ini. Malam nanti, saat purnama naik. Ki Gede Menoreh akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Baru setelah itu Ki Gede Menoreh akan menentukan sikap. Tetapi bagaimana kalau ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi? Apalagi melakukan perlawanan’. Bahkan menyaksikan apa yang terjadi kemudian pun sudah tidak mungkin lagi.

Dalam kegelisahan itu, Pandan Wangi mendengar suara langkah di belakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya seseorang mendekatinya. Seorang pemimpin pengawal yang tadi berada di rumahnya berbicara dengan ayahnya.

“Pandan Wangi,” katanya, “Ki Gede Menoreh memanggilmu. Kau harus pulang sekarang.”

“Kenapa”?

Orang itu menjadi heran. Keadaan sudah sedemikian panasnya dan Pandan Wangi masih bertanya mengapa. Namun ia menjawab juga, “Ayahmu ingin berbicara dengan kau.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Aku akan segera pulang.”

Dengan langkah yang malas, Pandan Wangi meninggalkan tempat itu. Sekali-sekali ia masih berpaling ke arah Gupita menghilang di balik dedaunan. Aneh sekali kesannya tentang gembala itu. Ia menyangka, bahwa gembala itu seorang petugas sandi dari kakaknya. Mungkin ia termasuk salah seorang dari orang-orang liar yang kini berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi meskipun demikian, perasaannya mendapat sentuhan yang lain dari orang-orang liar yang lelah dijumpainya, dan bahkan mencegat perjalanannya. Kesannya kepada Gupita mempunyai corak tersendiri. Sorot matanya dan tingkah lakunya.

“Seandainya ia salah seorang dari mereka yang membantu kakang Sidanti, maka orang ini pasti golongan yang lain dari orang-orang yang telah mencegatku kemarin,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya. Namun kemudian ia sekali lagi menggeretakkan giginya sambil berdesis, “Buat apa aku mempersoalkannya dari mana ia datang? Kalau benar-benar ia berpihak kepada Kakang Sidanti, maka orang itu pun harus disingkirkan. Ia hanya akan mengotori tanah ini dengan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab,” Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia berdesis, “Ia harus dilenyapkan. Tak ada orang lain yang pantas mempersoalkan tanah ini, selain orang-orang Menoreh sendiri. Tidak seorang pun dari para pengawal yang telah mengenalnya. Gupita. Nama itu pun asing bagi para pengawal. Seandainya benar-benar ia anak Menoreh, pasti salah seorang dari para pengawal itu mengenalnya atau setidak-tidaknya mendengar namanya.”

Tiba-tiba Pandan Wangi mempercepat langkahnya. Tiba-tiba saja ia ingin segera bertemu dengan ayahnya dan menceritakan tentang seorang gembala yang aneh yang telah dijumpainya dua hari berturut-turut.

Ketika Pandan Wangi masuk ke pringgitan, ayahnya masih duduk bersama beberapa orang. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya ayahnya itu berpaling. Tetapi sinar mata ayahnya telah mengejutkan hati Pandan Wangi. Mata itu tampaknya terlampau dalam, dan terlampau suram.

Sejenak Pandan Wangi berdiri termangau-mangu, sehingga ayahnya menyapanya, “Darimana kau, Wangi?”

“Dari ujung jalan di mulud desa, Ayah.”

“Kemarilah, Wangi,” suara ayahnya datar, dalam nada yang dalam sekali, “duduklah.”

Pandan Wangi pun kemudian duduk di hadapan ayahnya. Sejenak ia menundukkan kepalanya sambil berdiam diri. Ia menunggu ajahnya mendahului bertanya kepadanya. Tetapi ternyata ayahnya tidak bertanya lagi. Yang didengarnya adalah keterangan ayahnya tentang pembicaraan yang telah dibicarakannya dengan para pemimpin tanah perdikan ini dan para pemimpin pengawal.

“Pandan Wangi,” berkata ayahnya, “kau sudah cukup dewasa. Kau tidak boleh tetap pada angan-angan seorang gadis kecil yang sedang bermain-main. Tanah perdikan ini sekarang sedang dibakar oleh suasana yang semakin panas. Setiap saat dapat meledak peristiwa-peristiwa yang tidak kita kehendaki. Dan kau tahu, bahwa nanti malam aku telah mengikat janji dengan Ki Tambak Wedi. Janji itu harus aku tepati. Aku harus datang ke bawah Pucang Kembar, untuk membuat perhitungan pribadi. Meskipun persoalan yang berkembang kini adalah persoalan antara Menoreh dan Pajang, yang menyangkut diri kakakmu, Sidanti, tetapi masalah pribadilah yang telah meledakkan hati kami masing-masing, sehingga kami telah melontarkan janji tanpa dapat kami kendalikan lagi.”

Ayahnya berhenti sejenak. Sesaat ia berdiam diri sambil memandangi anyaman tikar di bawah kakinya. Sejenak kemudian, suaranya yang datar terdengar lagi mengambang, “Pandan Wangi. Semuanya akan mungkin terjadi. Tentang tanah ini dan tentang diriku sendiri. Karena itu, aku minta kalian selalu bersiaga. Mungkin Sidanti dan Argajaya akan menggunakan kesempatan selagi aku berada di bawah Pucang Kembar bersama Ki Tambak Wedi. Karena itu, selagi aku pergi, Pandan Wangi, kau harus tetap berada di rumah ini untuk memegang segenap pimpinan, bersama para pemimpin pengawal. Kau dapat mendengar nasehat mereka. Kau pertimbangkan, kemudian kau dapat mengambil keputusan yang kau anggap baik. Lakukanlah menurut kata hatimu, Kau tidak perlu menunggu aku lagi. Juga seandainya malam nanti ayah tidak kembali.”

“Ayah,” suara Pandan Wangi terpotong di kerongkongan.

“Sudah aku katakan. Kau bukan anak-anak lagi. Kau bukan seorang gadis yang sedang menunggu kekasih merantau. Kau adalah seorang puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang telah sanggup membawa sepasang pedang di kedua lambungnya. Nah, hatimu harus sesuai dengan sikapmu, dengan pedangmu dan dengan kedudukanmu sebagai seorang pewaris satu-satunya Tanah Perdika Menoreh. Apakah kau mengerti?”

Sejenak Pandan Wangi tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun, Tetapi gelora di hatinya justru menjadi semakin keras melanda dinding jantung. Pesan ayahnya itu terdengar olehnya, seolah-olah ayahnya minta diri kepadanya, untuk tidak kembali lagi. Memang kemungkinan yang demikian itu dapat terjadi di dalam perang tanding. Salah seorang akan terbunuh. Dan siapakah yang akan tertunuh itu, tidak seorang pun yang tahu.

Argapati melihat kecemasan di hati puterinya. Tetapi hal itu adalah hal yang wajar sekali. Namun ia harus mencoba memberinya sedikit pengharapan. Katanya, “Pandan Wangi. Sudah berulang kali aku katakan. Aku tidak akan menyerahkan leherku sukarela. Aku akan bertahan. Aku tahu, siapakah orang yang bergelar Tambak Wedi itu, sehingga aku dapat menduga, apakah yang akan terjadi kemudian. Meskipun demikian, semuanya terserah kepada kekuasaan Yang Tunggal. Namun sejauh mungkin kita memang harus berusaha.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.

“Hadapilah hari depanmu dengan dada tengadah, Wangi,” berkata ayahnya kemudian, “semuanya akan dapat kau atasi, apabila kau berusaha sungguh-sungguh sambil berdoa kepada Yang Maha Esa.” Ayahnya berhenti sejenak, lalu, “sekarang biarlah aku beristirahat. Aku akan mencoba mengumpulkan tenaga dan kekuatanku. Aku juga akan berdoa supaya aku mendapat perlindungan. Aku tidak akan berbuat seperti saat ini, mengumpulkan para pemimpin dan memberimu terlampau banyak pesan, seandainya keadaan tanah ini tidak sedang panas seperti ini. Seandainya janji itu tidak kami ucapkan dalam kemelutnya asap perpecahan di tanah perdikan ini, maka aku tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun juga. Tetapi kali ini tidak mungkin, sebab keadaan akan berkembang di luar kemungkinan aku tangani sendiri selagi aku sedang berada di bawah Pucang Kembar. Itulah sebabnya aku berpesan kepadamu dan kepada para pemimpin tanah perdikan ini dan para pemimpin pengawal. Tetapi kau tidak perlu menjadi cemas. Kau harus bersikap benar-benar seperti seorang putera Kepala Tanah Perdikan. Kalau kau menjumpai goncangan-goncangan perasaan, dan kau tenggelam di dalamnya, maka seluruh tanah ini akan tenggelam pula. Karena itu, kau harus tetap tabah. Kau harus mampu menguasai perasaanmu, supaya kau dapat berbuat sebaik-baiknya demi tanah yang kita pertahankan ini.”

Pandan Wangi masih menundukkan kepalanya. Ia masih tetap diam. Namun ia berjanji di dalam hatinya, akan melakukan segala pesan ayahnya.

“Wangi,” berkata ayahnya, “kau jangan pergi lagi. Kau harus selalu berada di rumah, supaya kau melihat aku meninggalkan rumah ini.”

Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dengan mata yang basah, dipandanginya wajah ayahnya yang suram. Dan ia mendengar ayahnya berkata, “Jangan kau basahi pipimu dengan air mata. Itu adalah tingkah laku seorang gadis manja. Kau bukan seorang gadis manja, dan kau bukan seorang gadis cengeng. Kau adalah seorang gadis dengan sepasang pedang di lambungmu.”

Sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat memandangi wajah ayahnya. Terasa getaran yang asing menyentuh dinding hatinya.

Pandan Wangi itu masih mendengar beberapa nasehat ayahnya, sehingga akhirnya ayahnya merasa cukup. Maka katanya kemudian, “Sudahlah. Tinggallah kau di sini bersama para pemimpin tanah ini. Aku akan pergi ke dalam bilikku.”

Gadis itu menganggukkan kepalanya. Diawasinya saja ketika ayahnya kemudian melangkah meninggalkan pertemuan itu. Terasa matanya menjadi panas dan pandangannya menjadi kabur. Ayahnya seolah-olah melangkahkan kakinya masuk ke dalam asap putih yang tebal. Semakin lama menjadi semakin suram. Sehingga pada suatu saat ayahnya itu seolah-olah hilang dari pandangan matanya, tepat pada saat ayahnya melangkahi pintu, masuk ke ruang dalam.

Bersamaan dengan itu, terasa setitik air jatuh di pangkuannya. Baru disadarinya, bahwa air matanyalah yang telah menghalangi pandangannya. Bukan kabut yang putih dan bukan asap yang menelan tubuh ayahnya.

Dengan lengan bajunya, Pandan Wangi mengusap air matanya. Tetapi ketika kemudian disadarinya dirinya, di mana ia sedang berada, maka ia mencoba berjuang sekuat-kuatnya untuk tidak menangis.

Disekitarnya duduk beberapa orang pemimpin tanah perdikan dan pemimpin pengawal yang terpenting. Namun tidak seorangpun yang berbicara. Mereka tenggelam dalam kediaman, Masing-masing menundukkan kepala mereka.

Namun dengan-demikian, dada Pandan Wangi menjadi sesak. Kediaman itu terasa terlampau tegang menghimpit dadanya. Karena itu, maka ingin ia pergi meninggalkan ruangan itu, dan berjalan di luar untuk melepaskan diri dari kepengapan udara yang menyesikkan nafasnya.

Pandan Wangi menarik nafasnya dalam-dalam sambil mengedarkan pandangan matanya di sekitarnya. Dilihatnya beberapa orang tua duduk termenung. Beberapa orang pengawal dengan pedang di lambung. Seorang yang bertubuh raksasa, masih muda duduk tepekur. Bahkan agak mengantuk. Ketegangan suasana di pringgitan itu, seolah-olah sama sekadi tidak mempengaruhinya.

“Hem,” Pandan Wangi berdesah. Ia kenal anak muda yang bertubuh raksasa itu. Ia adalah seorang pemimpin pengawai yang mendapat kepercayaan dari ayahnya, dan dari pempinan-pimpinan pengawal yang lain, karena ketrampilannya bermain senjata dan karena kekuatannya yang luar biasa. Tubuhnya yang tinggi besar, berdada bidang, memberi kesan yang meyakinkan, bahwa anak muda yang bernama Wrahasta itu adalah seorang pengawal yang baik.

Pandan Wangi yang dadanya menjadi semakin sesak itu, tiba-tiba bergumam, tidak ditujukan kepada siapapun, “Aku akan keluar sebentar. Aku akan berada di halaman.”

Anak muda yang bernama Wrahasta itu memandanginya. Kemudian katanya, “Jangan Pandan Wangi. Kau harus tetap berada di ruangan, ini seperti pesan Ki Gede Menoreh. Setiap saat semua persoalan akan dibicarakan di sini. Selama Ki Gede tidak ada, maka kaulah yang harus mengambil keputusan. Aku telah mendapat kepercayaan untuk melindungimu, dalam keadaan yang bagaimanapun juga, bersama beberapa orang pengawal yang lain.”

Dada Pandan Wangi berdesir. Agaknya ayahnya telah membuat persiapan yang matang, untuk menahannya supaya ia tidak pergi keluar padukuhan ini. Bahkan keluar halaman ini. Mungkin ayahnya benar-benar menghendaki agar ia tetap berada di rumah ini untuk memimpin perlawanan, apabila keadaan tiba-tiba saja memburuk selama ayahnya berada di bawah Pucang-Kembar. Tetapi mungkin pula ayahnya sama sekali tidak menghendaki, apabila pergi juga melihat apa yang terjadi di tempat yang telah di janjikan oleh ayahnya dan Ki Tambak Wedi itu.

Karena itu, sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Ditatapnya wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tubuhnya memang meyakinkan, bahwa ia adalah seorang pengawal yang baik.

Tetapi untuk tetap berada di dalam ruangan itu, Pandan Wangi sama sekali tidak akan dapat betah. Terasa ruangan itu terlampau panas dan sesak. Meskipun sebenarnya bahwa dadanyalah yang terasa pepat.

“Aku akan keluar sebentar,” tiba-tiba Pandan Wangi mengulangi. Seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata Wrahasta.

“Jangan,” Wrahasta pun mencegahnya pula, “kau tetap tinggal di sini seperti pesan ayahmu.”

“Ya, aku tidak akan pergi. Tetapi aku tidak tahan berada di dalam ruangan yang panas ini. Aku tidak akan keluar dari halaman ini, apabila memang Ayah menghendakinya. Setiap saat aku dapat dipanggil dan berbicara apa saja di dalam ruangan ini.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Sesaat ia berpaling kepada beberapa orang tua yang berada di dalam ruangan itu. “Bagaimanakah pertimbangan kalian?”

Seorang yang berjanggut putih berkata, “Apabila Angger Pandan Wangi tidak meninggalkan halaman, aku kira Ki Gede Menoreh pun tidak akan berkeberatan. Sebab setiap saat ada perkembangan keadaan Angger Pandan Wangi akan dapat diberitahukannya untuk membuat pertimbangan dan kemudian keputusan apa yang harus dilakukan.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah Pandan Wangi. Tetapi jangan keluar dari regol halaman. Selain itu, aku harus mengawasimu sesuai dengan kepercayaan Ki Gede Menoreh kepadaku.”

Tetapi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Tidak usah Wrahasta. Aku tidak akan disergap oleh musuh di dalam halaman ini. Seandainya, ya seandainya demikian, aku akan berteriak memanggilmu.”

“Tetapi aku harus melakukan pesan Ki Gede, Pandan Wangi. Aku harus mengawalmu disetiap keadaan.”

“Sudah tentu maksud Ayah, apabila aku berada di dalam bahaya. Tidak di halaman rumahku sendiri.”

Sekali lagi Wrahasta memandang berkeliling. Dan sekali lagi orang berjanggut putih itu berkata, “Pandan Wangi benar, Wrahasta. Ia memerlukan pengawalan hanya apabila keadaan sangat berbahaya baginya. Tidak di setiap keadaan seperti yang kau katakan, apalagi selama ia berada di halaman rumah ini.”

Wrahasta sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Baiklah, tetapi jangan keluar dari halaman mi. Setiap petugas di regol halaman telah mendapat perintah itu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, ia merasa tidak lebih dari seorang tahanan daripada seorang wakil Kepala Tanah Perdikan, selagi ayahnya berhalangan melakukan tugasnya. Tetapi dengan demikian, dugaannya menjadi semal kuat, bahwa yang penting bagi ayahnya, bukan masalah pemecahan setiap masalah yang berkembang apabila ia harus tetap berada di rumah ini, tetapi supaya ia tidak pergi ke Pucang Kembar melihat pertempuran itu.

Sesaat kemudian, Pandan Wangi itupun meninggalkan ruangan yang dirasanya terlampau panas itu. Ketika kakinya melangh turun ke halaman, terasa udara yang sejuk menyusup ke dalam tubuhnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihat matahari telah condong ke Barat.

Tiba-tiba saja dadanya berdebar kembali. Saat purnama tidak akan terlalu lama lagi. Begitu matahari tenggelam, maka datanglah saat yang mendebarkan jantung itu.

Dalam kegelisahannya, Pandan Wangi berjalan menyusuri sudut-sudut rumahnya. Ketika ia sampai di muka pintu dapur, dilihatnya beberapa orang perempuan lagi sibuk menyiapkan makan, lebih-sibuk dari hari-hari biasa.

Pandan Wangi terkejut, ketika seorang perempuan setengah umur menegurnya, “Kau belum makan, Wangi.”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak merasa lapar. Karena itu, maka jawabnya, “Aku tidak makan.”

“Makanlah, supaya kau menjadi segar.”

Pandan Wangi menggeleng. Langkahnya kemudian diteruskannya menuju ke halaman belakang. Menyusup di antara tanaman di kebun. Pohon buah-buahan dan batang-batang perdu yang rimbun. Namun di halaman belakang itupun dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga di depan regol-regol butulan.

Panas udara telah membawa Pandan Wangi duduk di bawah sebatang pohon yang rimbun. Terasa angin yang sejuk mengusap tubuhnya yeng penat.

Tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat kepalanya. Lamat-lamat ia mendengar suara seruling mengalun lirih, seakan-akan menyusur sepanjang silirnya angin. Suara seruling yang menyentuh-nyentuh dinding hatinya. Ia tidak tahu, pengaruh apakah yang telah mencengkamnya. Tetapi suara seruling itu telah mendebarkan jantungnya.

Perlahan-lahan Pandan Wangi berdiri. Ditangkapnya suara seruling itu selengkapnya. Nadanya yang meninggi, kemudian perlahan-lahan menurun, seperti debar dada seorang gadis yang menunggu kedatangan kekasih.

Tetapi sejenak kemudian, Pandan Wangi itu terkejut, ketika ia mendengar suara gemersik di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Wrahasta yang bertubuh raksasa itu telah berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Sejenak mereka saling memandang, namun sejenak kemudian, Pandan Wangi melemparkan tatapan matanya ke kejauhan, sambil bertanya, “Apakah Ayah memanggil aku?”

Perlahan-lahan anak muda yang bertubuh raksasa dan bernama Wrahasta itu menggelengkan kepalanya. Namun tatapan matanya masih saja melekat pada wajah Pandan Wangi, sehingga Pandan Wangi pun kemudian terpaksa menundukkan kepalanya.

“Tidak, Wangi,” jawab Wrahasta itu kemudian.

“Ayahmu tidak memanggilmu.”

“Kenapa kau menyusul aku? Apakah ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan?”

Wrahasta tampak ragu-ragu. Tanpa sesadarnya dilayangkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Namun ia tidak segera menjawab. Wajahnya tampak berkerut-merut, dan di keningnya mengembun beberapa titik keringat.

Pandan Wangi menjadi heran melihat sikap Wrahasta itu. Ia kenal betul kepadanya, karena anak muda itu terlampau sering berada di rumahnya. Sebagai seorang pengawal yang mendapat kepercayaan melampaui orang lain, maka setiap kali Wrahasta mendapat tugas-tugas dari ayahnya, sehingga dengan demikian, anak muda yang bertubuh raksasa itu sering benar berada di antara keluarganya. Tetapi ia tidak pernah melihat sikap yang begitu aneh dan kaku.

“Pandan Wangi,” berkata Wrahasta kemudian dengan suara gemetar, “memang ada hal yang harus kita bicarakan.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Maka jawabnya, “Baiklah. Aku akan segera kembali.”

“Tidak Wangi, Tidak. Aku tidak akan membicarakannya dengan orang lain, selain dengan kau sendiri.”

Pandan Wangi menjadi semakin heran. Apalagi ketika ia melihat keringat yang semakin banyak mengalir di kening Wrahasta yang tinggi besar dan berdada bidang itu.

“Kenapa tidak dengan orang lain?” bertanya Pandan Wangi.

“Persoalan ini sama sekali bukan persoalan orang lain, Wangi. Tetapi persoalan ini adalah persoalan kita berdua. Hanya kita berdua.”

“Aku tidak mengerti,” desis Pandan Wangi kemudian, “aku tidak mempunyai persoalan dengan kau, Wrahasta.

“Mungkin. Mungkin kau merasa bahwa kau tidak mempunyai persoalan dengan aku. Tetapi aku lain, Wangi. Aku merasa mempunyai persoalan dengan kau,” Wrahasta berhenti sejenak. Wayahnya kini menjadi tegang dan nafasnya menjadi terengah-engah. Sejenak kemudian dilanjutkannya, “Persoalan ini tidak langsung menyangkut keadaan tanah perdikan di masa yang menegangkan ini. Tetapi mau tidak mau, persoalan ini akan sangat berpengaruh.”

“Apakah persoalan yang kau maksud itu?” bertanya Pandan Wangi.

“Wangi. Aku tidak tahu, kenapa ayahmu menyerahkan rumah ini dalam perlindunganku. Di tanah perdikan ini ada beberapa orang yang mendapat kepercayaan dari ayahmu selain aku. Tetapi Ki Gede justru menyerahkannya kepadaku.” Wrahasta itu berhenti sejenak, lalu, “Dan penyerahan itu telah membuat jantungku berdebar-debar. Sudah lama aku mengenal kau, Wangi. Tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara. Dan aku memang tidak sering berbicara. Namun dalam kediaman itu, aku telah menyimpan sesuatu di dalam hatiku Wangi. Apakah kau dapat menangkap maksudku?”

Kini terasa jantung Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Dalam keadaan serupa ini, ia mendengar persoalan yang lain sekali dengan persoalan yang selama ini membuat darahnya serasa bergolak. Sebagai seorang gadis yang lelah meningkat dewasa, Pandan Wangi segera dapat menangkap maksud Wrahasta. Tetapi sebagai seorang gadis yang belum pernah mendengar kata-kata serupa itu, maka bajunya telah dibasahi oleh keringat dingin, yang seolah-olah mengalir dari setiap lubang di kulitnya.

“Pandan Wangi,” Wrahasta berkata seterusnya, aku ingin mendengar tanggapanmu tentang perasaanku. Perasaanku sebagai seorang laki-laki terhadap seorang gadis. Aku mempunyai tangkapan, bahwa ayahmu sengaja mempertemukan kita di dalam keadaan yang sulit ini. Aku tahu benar, bahwa apa yang dipikirkannya semata-mata diperuntukkannya bagi tanah perdikan ini. Aku kira hal inipun telah dihubungkannya dengan kepentingan itu pula. Supaya aku selalu dapat melindungimu, tidak hanya sekedar di saat-saat yang kemelut ini, maka aku harap kau dapat menerimainya.”

Debar jantung Pandan Wangi menjadi semakin cepat berdentang, seolah-olah menggelepar di dalam dadanya. Sesaat ia tidak dapat mengucapkan kata-kata. Ia membeku, seperti sebatang tonggak mati. Namun keringatnya mengalir seperti terperas dari dalam tubuhnya.

“Aku ingin mendengar jawabmu, Wangi.”

Pandan Wangi masih belum mampu menjawab. Bahkan kemudian kepalanya menjadi semakin menunduk.

“Wangi. Jawablah, supaya aku dapat berbuat apa saja untukmu, dan untuk tanah perdikan ini. Hidup matiku akan aku serahkan sepenuhnya untuk kepentinganmu dan kepentingan tanah ini. Seandainya aku mati sebelum aku dapat memenuhi keinginan ini, tetapi apabila aku sudah mendengar kesanggupanmu, aku akan rela. Aku merasa bahwa aku berkorban untuk sesuatu yang paling berharga bagiku. Kau dan tanah ini.”

Terasa kini tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa ia akan di hadapkan pada persoalan ini begitu tiba-tiba. Justru pada saat hatinya dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan tentang nasib ayahnya sebentar lagi. Sebentar lagi, apabila matahari tenggelam dan purnama naik. Pada saat itulah, akan terjadi suatu peristiwa yang dahsyat bagi keluarganya.

“Jawablah Wangi,” desak Wrahasta, “aku ingin mendengarnya, meskipun aku sudah dapat menduga sebelumnya. Kau pasti tidak akan ingkar dari keinginan ayabmu. Ingat, bahwa kau telah diserahkan kepadaku.”

Pandan Wangi kini menjadi semakin bingung. Persoalan yang begitu tiba-tiba di hadapkan kepadanya, menambah hatinya menjadi semakin pepat.

“Jawablah. Jawablah Wangi, meskipun hanya sepatah kata.”

Tubuh Pandan Wangi menjadi semakin gemetar mendengar desakan itu. Namun ia sadar, bahwa ia harus menjawab. Karena itu, maka setelah berjuang sejenak ia menjawab, “Tunggulah Wrahasta. Kita sedang menghadapi bahaya yang besar.”

Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar melihat wajah Wrahasta menegang. Tampaklah kekecewaan yang sangat, memancar dari sepasang matanya, Sejenak ia berdiri mematung. Dipandanginya Pandan Wangi, seolah-olah hendak dilihatnya langsung ke dalam hatinya.

Sejenak keduanya terdiam. Terasa angin yang sejuk mengalir menyentuh dedaunan. Namun keduanya sama sekali tidak mengacuhkannya.

Baru ketika Wrahasta telah sempat mengatur perasaannya, maka terdengar ia berkata, “Pandan Wangi. Jangan membuat aku kecewa. Sebentar lagi aku harus menghadapi pekerjaan yang terlampau berat. Karena itu, berilah aku kekuatan, supaya aku tidak ragu-ragu mengangkat senjata. Aku tidak tahu, sampai di mana kemampuan Sidanti kini bermain dengan senjata. Tetapi apabila mungkin, aku akan mencobanya. Untuk kepentinganmu dan kepentingan tanah ini, mudah-mudahan aku dapat menghancurkannya.”

Dada Pandan Wangi berdesir mendengarnya. Ia tahu benar, betapa besar kemampuan kakaknya Sidanti dalam olah kanuragan. Dan ia dapat pula mengira-kirakan, sampai di mana kemampuan Wrahasta itu.

Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak menyatakannya. Ia tidak ingin mengecewakan Wrahasta dalam menilai diri. Tetapi sudah tentu ia tidak akan segera dapat menjawab pertanyaannya itu.

“Berjanjilah Wangi. Aku tidak terikat dan mengikatkan diri kepada waktu. Seandainya kau masih ingin hidup sebagai seorang gadis setahun, dua tahun, bahkan sepuluh tahun sekalipun. Aku akan tetap menunggumu. Yang ingin aku dengar sekarang adalah janji kesanggupanmu untuk hidup bersamaku kelak, seperti yang diharapkan oleh ayahmu.”

Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk, Perlahan-lahan ia menjawab, “Wrahasta, aku tidak akan dapat memutuskannya sendiri. Aku harus berbicara dengan Ayah lebih dahulu.”

“Wangi,” sahut Wrahasta, “apakah kau masih meragukan keinginan ayahmu? Kau harus tanggap akan sasmita yang telah diberikan. Dalam keadaan yang kalut ini, kau diserahkan kepadaku. Kepada perlindunganku, justru pada saat Ki Gede akan melakukan suatu pekerjaan yang sangat berbahaya.”

“Tetapi Ayah belum pernah mengatakannya kepadaku. Sama sekali belum. Bahkan menyinggung mengenai masalah itupun belum, yang selalu dikatakannya setiap hari adalah keadaan yang panas ini, yang setiap saat dapat membakar Tanah Perdikan Menoreh menjadi abu.”

“Justru saat ini adalah saat yang paling tepat bagi Ki Argapati untuk menyatakan keinginannya itu. Kita tidak menginginkan sesuatu terjadi atasnya, Wangi. Tetapi agaknya Ki Argapati sendiri tidak ingin kau kehilangan akal apabila terjadi sesuatu. Kau sudah di sandarkan pada sandaran yang dikehendaki. Dan aku akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya.”

“Berilah aku kesempatan berpikir, Wrahasta.”

“Waktunya telah datang sekarang. Sebentar lagi Ki Argapati akan pergi ke bawah Pucang Kembar itu.”

Pandan Wangi menjadi semakin terdesak. Ia sadar, bahwa Wrahasta adalah seorang pemimpin pasukan pengawal tanah perdikan yang berpengaruh. Terutama atas anak-anak mudanya. Saat ini sebagian dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh telah dipengaruhi olen Sidanti, dan memihak kepadanya. Apabila Wrahasta ini menjadi kecewa, dan meninggalkan ayahnya, maka kekuatan ayahnya pasti akan menjadi semakin jauh berkurang. Sedang agaknya Sidanti sama sekali tidak lagi mengingat tanggung jawabnya atas tanah ini dengan mengundang orang-orang yang sama sekali tidak dikenal, untuk ikut serta mengeruhkan keadaan di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam keragu-raguan yang mencengkam itu, lamat-lamat Pandan Wangi mendengar suara seruling di kejauhan. Melonjak, memekik tinggi, kemudian hilang dibawa angin dari Selatan. Sejenak kemudian, suara itu melengking dan menjerit.

Suara seruling itu seolah-olah seperti suara yang menggelora di dalam dadanya sendiri. Menjerit, kemudian pepat dan sama sekali kehilangan arah.

Karena Pandan Wangi masih juga membisu, maka terdengar Wrahasta mendesaknya, “Kenapa kau diam saja, Wangi? Matahari semakin lama menjadi semakin rendah. Kita akan kehabisan waktu.”

“Tidak. Kita tidak akan kehabisan waktu. Waktu masih terlampau panjang.”

“Wangi,” Wrahasta melangkah setapak maju. Dan tanpa disadarinya Pandan Wangi pun surut setapak.

“Aku ingin mendengar jawabmu sekarang.”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak keras-keras seperti suara seruling yang memekik-mekik di kejauhan. Ia kini benar-bener terdorong ke sudut yang paling sulit. Ia harus memilih. Sedang pilihan itu semuanya tidak menyenangkannya. Ia tidak dapat menolak dan mengecewakan Wrahasta. Tetapi ia masih belum sempat membuat pertimbangan-pertimbangan untuk menerima pernyataan itu. Ia masih belum sempat menjajagi hatinya, apakah ia dapat membuka perasaannya untuk anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Kesulitan itu telah membuat kepala Pandan Wangi menjadi pening. Apalagi ketika ia melihat matahari sudah menjadi semakin rendah. Hampir-hampir ia menangis seperti anak-anak yang kehilangan permainan.

Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya. Ia mendengar suara berdesir. Ketika ia berpaling, dilihatnya Samekta datang mendekatinya.

“Paman,” desis Pandan Wangi tanpa sesadarnya.

Wrahasta pun kemudian berpaling pula. Tampaklah betapa wajahnya diwarnai oleh kekecewaan yang tidak terkatakan. Sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa kau kemari?”

Samekta mengerutkan keningnya. Dipandanginya Wrahasta berganti-ganti dengan Pandan Wangi. Ia tidak tahu, apakah yang sudah terjadi, tetapi karena ia melihat seorang anak muda dan seorang gadis berdua saja, maka tiba-tiba ia tersenyum. Katanya, “Maafkan, apabila aku mengganggu. Tetapi aku terpaksa memotong pertemuan kalian.”

Sepercik warna merah memulas wajah Pandan Wangi. Sebagai seorang gadis yang masih sedang meningkat dewasa, maka sindiran itu telah membuatnya sangat berdebar-debar. Sejenak dipandanginya Samekta dengan sudut matanya, namun sejenak kemudian kepalanya telah tertunduk pula. Dalam sekali.

Dalam pada itu, wajah Wrahasta pun terasa menjadi panas. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal mendengar gurau itu. Bahkan kemudian ia tersenyum sambil berkata sendat, “Ah, jangan mengganggu. Kami tidak sengaja bertemu disini.”

Samekta masih juga tersenyum. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang tertunduk dan kemerah-merahan. Kemudian dipandanginya wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tanpa disadarinya, terasa sesuatu berdesir di dadanya. Wajah anak muda itu agaknya terlampau keras dibanding dengan wajah Pandan Wangi yang lembut, meskipun kerut keningnya menunjukkan ketajaman pikirannya.

Meskipun demikian, meskipun sendau gurau itu menyenangkan hati Wrahasta, namun ia diganggu pula oleh perasaan kecewa, karena kehadiran pemimpin pengawal yang sudah setengah umur itu. Karena itu maka sekali lagi ia bertanya, “Apakah keperluanmu kemari?”

Samekta masih ingin bergurau, “kalau begitu, aku tidak akan menahan kau lebih lama di sini.”

“Akulah yang akan tinggal di sini lebih lama,” jawab Samekta sambil tersenyum.

“Ah,” sekali lagi Wrahasta, berdesis.

Namun dalam pada itu, Pandan Wangi sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang bergolak di dalam dadanya. Tetapi ia sama sekali tidak senang mendengar sindiran-sindiran itu. Ia tidak merasakan kejenakaannya sama sekali. Bahkan sendau gurau itu sangat menjengkelkannya.

“Tetapi,” Wrahasta kemudian berkala dengan suara bergetar, “apakah tugasmu sudah selesai.”

Samekta menggelengkan kepalanya, “Belum. Tugasku belum selesai.”

“Aku tidak akan mengganggu tugasmu, Paman Samekta. Lakukanlah. Nanti pada saatnya, aku akan menggantikanmu dengan kelompokku.”

“Terima kasih Wrahasta. Aku akan melakukan tugasku. Tetapi aku terpaksa minta maaf kepadamu, bahwa aku sedikit mengganggumu.” Samekta berhenti sejenak, lalu ia berpaling kepada Pandan Wangi, “Maaf Ngger. Aku terpaksa mengganggu. Tetapi adalah tugasku saat ini. Ayahmu memanggilmu sekarang.”

Terasa seolah-olah dada Pandan Wangi yang sedang membara itu tersiram air. Dengan serta-merta ia bertanya, “Ayah memanggil aku sekarang?”

Samekta terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu, tetapi akhirnya ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. Ayahmu memanggilmu sekarang. Aku terpaksa menyampaikan ini kepadamu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terlepas dari himpitan pertanyaan yang paling sulit untuk dijawabnya. Maka katanya terbata-batta, “Baik. Baik paman. Aku akan menghadap Ayah.”

Samekta mengerutkan keningnya. Ternyata ia salah mengerti. Disangkanya Pandan Wangi menjadi sangat kecewa atas panggilan itu, sehingga katanya, “Maaf Ngger. Aku hanya sekedar menyampaikannya.”

Sebelum Pandan Wangi menyahut, maka Wrahasta telah mendahuluinya, “Baiklah, Paman Samekta. Katakanlah kepada Ki Argapati, bahwa sebentar lagi Pandan Wangi akan menghadap.”

Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Tetapi Ki Argapati memanggilnya sekarang. Lihatlah, matahari telah menjadi terlampau rendah. Hampir tidak ada waktu lagi baginya. Sebentar lagi ia harus pergi. Sebelum purnama naik, Ki Argapati harus sudah berada di bawah Pucang Kembar.”

“Ya, ya, aku tahu,” sahut Pandan Wangi, “aku akan kembali sekarang. Ayah harus segera pergi.”

“Tetapi,” potong Wrahasta, “apakah kau dapat menunggu sebentar, Wangi?” Lalu kepada Samekta ia berkata, “dahululah paman. Katakan kepada Ki Gede. Sebentar lagi kami akan datang.”

“Sekarang,” Pandan Wangi memotong, “sekarang. Tidak ada waktu lagi.”

Samekta menjadi bingung. Ia tidak mengerti, kenapa keduanya tidak sependapat. Tetapi ia tidak sempat untuk berpikir, karena Pandan Wangi kemudian telah melangkah mendahuluinya.

“Pandan Wangi, tunggulah,” panggil Wrahasta. Tetapi Pandan Wangi tidak berhenti, sehingga Wrahasta-lah yang harus berjalan menyusulnya.

Samekta masih berdiri di tempatnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi bingung. Namun kemudian sambil meraba-raba janggutnya, ia berdesis, “Anak-anak muda memang terlampau aneh.” Tetapi sejenak kemudian ia mengerutkan keningnya sambil berdesah, “Dalam keadaan semacam ini, masih juga mereka sempat memikirkan diri mereka sendiri.”

Wrahasta yang kemudian telah berada di samping Pandan Wangi, mendesaknya pula, “Katakan Wangi. Katakan, satu kata saja. Aku hanya ingin mendengar satu kata saja.”

“Tunggulah Wrahasta. Tunggulah. Pada saatnya aku akan menjawab.”

“Tetapi bagaimana jawabmu itu.”

“Aku belum tahu Wrahasta. Aku akan memikirkannya, apabila persoalan tanah perdikan ini sudah selesai.”

“Tetapi, tetapi aku memerlukannya sekarang. Aku memerlukannya sebelum ujung pedang Sidanti atau Ki Tambak Wedi membekas pada kulitku.”

Dada Pandan Wangi serasa akan bengkak. Tetapi ia justru terdiam sejenak.

“Wangi,” desak Wrahasta.

“Sst,” Pandan Wangi berdesis, “kita akan dilihat oleh banyak orang. Biarlah aku berjalan sendiri.”

“Tetapi kau belum menjawab, Wangi. Kau belum menjawab.”

Pertanyaan-pertanyaan yang meluncur seperti hujan yang tercurah dari langit itu membuat Pandan Wangi mendadi semakin bingung. Dadanya serasa menjadi pepat, dan nafasnya serasa sesak. Wrahasta masih saja mendesaknya dan berjalan di sampingnya.

“Wrahasta,” berkata Pandan Wangi kemudian, “biarlah aku berjalan sendiri. Bukankah kurang baik dilihat orang, apabila kita berjalan bersama-sama.”

“Aku pengawalmu, sesuai seperti yang dikehendaki oleh Ki Argapati. Meskipun demikian, aku akan berhenti di sini kalau kau sudah menjawab pertanyaanku.”

“Jangan membuat aku menjadi sangat bingung Wrahasta. Sebentar lagi Ayah akan pergi. Seolah-olah Ayah akan terjun ke dalam kegelapan. Tak seorang pun tahu, apakah yang ada di dalamnya. Di dalam kegelapan itu. Sekarang kau membuat persoalan yang membuat aku menjadi semakin pening. Kalau kau menaruh sedikit pengertian tentang keadaanku, Wrahasta, aku harap kau menunda pertanyaanmu itu.”

“Tetapi apakah aku akan dapat menyimpan harapan, seandainya aku menunda pertanyaan ini?

“Pertanyaan itu tidak ada bedanya. Simpanlah semua persoalan di dalam hati.”

“Aku ingin tahu Pandan Wangi.”

Pandan Wangi merasa semakin terdesak. Ia tidak melihat jalan untuk keluar dari persoalan itu. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat menolaknya. Karena di dalam kepepatan hati, Pandan Wangi menjawab sekenanya, “Simpanlah harapanmu itu, Wrahasta.”

Jantung anak muda yang bertubuh tinggi tegap, berdada bidang, dan berbulu lebat di dadanya itu berdesir. Dengan serta-merta ia bertanya, “Jadi aku dapat menyimpan harapan kepadamu Wangi.”

Dada Pandan Wangi yang semakin pepat itu menjawab, “Setiap orang harus berpengharapan bagi masa depannya.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Terima kasih Pandan Wangi. Aku sudah puas untuk sementara mendengar jawabmu. Aku harap kau tidak ingkar.”

Kini dada Pandan Wangi-lah yang berdesir. Ia sadar, bahwa jawabannya telah menimbulkan salah mengerti. Tetapi ketika ia ingin menjelaskannya, Wrahasta telah mendahului, “Aku kini sudah siap, Pandan Wangi. Siap untuk berbuat apa saja untukmu dan tanah perdikan ini. Apapun yang harus aku lakukan, aku telah bersedia dengan dada tengadah. Kau adalah pewaris satu-satunya atas tanah ini. Semua persoalanmu adalah persoalanku. Seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede Menoreh.”

Pandan Wangi sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menjawab. Wrahasta itu segera meloncat meningalkannya. Langkahnya ringan, seperti seekor burung yang berloncatan menyambar bilalang. Dalam sekejap kemudian, Wrahasta itu sudah hilang di balik dedaunan yang rimbun di halaman belakang rumah Pandan Wangi.

Pandan Wangi kemudian berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba hatinya menjadi terlampau gelisah. Beberapa macam persoalan bercampur-baur, menggelegak di dalam dadanya. Tanpa sesadarnya, telapak tangannya di letakkannya di dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Namun sesaat kemudian terasa setitik air meleleh dari pelupuk matanya.

Tetapi sejenak kemudian, seperti orang yang terbangun dari mimpinya, ia menggeram. Mimpinya terlampau mencemaskannya. Namun kini ia sadar, bahwa ayahnya sedang menunggunya. Sebentar lagi ayahnya akan pergi ke bawah Pucang Kembar. Persoalan itu jauh lebih penting dan berharga dari persoalannya sendiri. Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera berlari-lari mendapatkan ayahnya yang duduk di antara beberapa pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata di sana telah duduk pula Wrahasta yang masih terengah-engah. Dan sekejap kemudian masuk pula Samekta. Ternyata orang tua itu telah mengikutinya, dan mendengar semua percakapannya dengan Wrahasta. Orang yang telah cukup menyimpan pengalaman itu segera dapat mengerti, persoalan yang tumbuh diantara Wrahasta dan Pandan Wangi. Di dalam hatinya ia bergumam, “Kasihan Angger Pandari Wangi.” Tetapi untuk sementara Samekta tidak dapat mencampurinya. “Apabila persoalan itu dapat mereka selesaikan sendiri, biarlah mereka selesaikan,” katanya di dalam hati.

Ketika Pandan Wangi berada di dalam lingkungan para pemimpin tanah perdikan itu, ayahnya telah bersiap untuk memenuhi janjinya. Telah dikenakannya pakaian keprajuritannya ,yang telah lama disimpannya. Di pangkuannya terletak sebatang tombak pendek yang masih berada di dalam selosong putih. Namun Pandan Wangi kini melihat perubahan pada wajah ayahnya. Wajah itu tiba-tiba tampak menjadi cerah dan seolah-olah bahkan berseri-seri. Ia melihat senyum yang tergores pada bibir ayahnya. Dan sejenak kemudian Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata, “Wangi, semua persiapan telah selesai. Aku tinggal menunggu matahari merendah di atas bukit, kemudian aku akan pergi ke Pucang Kembar untuk memenuhi janjiku.”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tanpa disadarinya, matanya menyentuh sorot mata Wrahasta, yang seolah-olah membakar dadanya, sehingga dengan serta-merta kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Aku sudah cukup memberikan pesan kepada semua orang yang aku anggap penting di sini. Kepada orang-orang tua, kepada para pemimpin pengawal, dan kepadamu, Wangi. Sepeninggalku, maka kaulah yang akan memegang semua kekuasaan atas tanah ini, sampai aku datang kembali. Apabila sepeninggalku ada perkembangan yang cepat melanda tanah ini, maka kaulah yang harus memutuskan, apakah yang sebaik-baiknya kau kerjakan. Di sini ada beberapa orang yang akan mengawanimu di dalam segala pertimbangan. Dalam tata pemerintahan kau dapat berbicara dengan orang-orang tua. Sedang dalam persoalan keamanan tanah, ini kau dapat berbicara dengan para pemimpin pengawal. Aku telah menyerahkan pimpinan keselamatan rumah ini dengan segala isinya kepada Wrahasta. Sedang untuk persoalan yang timbul di luar rumah dan halaman, aku serahkan kepada Samekta. Kecuali itu, pemomongmu, Kerti, aku tempatkan di dalam rumah ini, supaya kau selalu dapat berhubungan dengan orang itu. Ia akan merupakan penghubung yang baik pula antara kau dan Samekta. Namun jangan kau lupakan, sebaiknya kau tetap berada di rumah ini. Kau dapat menyerahkan semua persoalan kepada orang-orang yang telah aku serahi tugasnya masing-masing.”

Darah Pandan Wangi serasa menjadi semakin cepat mengalir. Ia tahu benar arti pesan ayahnya. Ia tidak akan dapat meninggalkan halaman rumahnya. Apalagi pergi ke Pucang Kembar. Karena itu maka untuk sejenak ia masih berdiam diri, tanpa menjawab sepatah kata pun.

Ki Gede Menoreh melihat kekecewaan di wajah puterinya. Agaknya Pandan Wangi telah menangkap maksudnya, tetapi Ki Gede tidak punya cara lain. Ia pun tahu benar, bahwa seandainya tidak demikian, puterinya itu pasti akan pergi ke Pucang Kembar. Setidak-tidaknya ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.

“Pandan Wangi,” berkata Ki Gede kemudian, “tidak seorang pun yang akan ikut serta bersamaku. Aku akan pergi seorang diri, karena aku pun yakin, bahwa Ki Tambak Wedi pun akan pergi sendiri pula. Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi yang sekarang masih Ki Tambak Wedi yang dahulu.” Ki Argapati itu terdiam sejenak. Lalu, “Seperti sudah aku katakan, seandainya hal ini tidak bersamaan waktunya dengan kemelut yang mengasapi tanah perdikan ini, maka tidak seorang pun yang boleh tahu, apa yang akan terjadi. Tidak boleh seorang pun mendengar, bahwa akan terjadi perang tanding itu. Tetapi dalam keadaan ini, aku tidak dapat berbuat demikian.”

Pandan Wangi masih tetap diam. Kepalanya tunduk, dan matanya menjadi basah. Ia sangat gelisah dan cemas, tetapi juga sangat kecewa.

“Aku tahu, kau kecewa Wangi,” berkata ayahnya.

Tanpa sesadarnya Pandan Wangi mengangguk. Tanpa sesadarnya ia bergumam, “Sebenarnya aku ingin pergi ke Pucang Kembar, Ayah.”

“Aku sudah tahu,” sahut ayahnya, “karena itu, aku memaksa kau untuk tinggal di sini. Kehadiranmu akan memecahkan pemusatan perlawananku. Mungkin akan berakibat kurang baik bagiku dan bagimu. Tetapi seorang diri, aku akan dapat mempergunakan setiap saat untuk menolong dan memperhatikan diriku sendiri.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Ia dapat mengerti keterangan itu. Tetapi ia tidak dapat melepaskan keinginannya untuk melihat perang tanding itu.

“Karena itu Wangi,” berkata Ki Gede Menoreh seterusnya, “tinggallah di rumah. Mungkin kau akan diperlukan sekali. Mungkin orang-orang Sidanti akan melakukan gerakan justru pada saat aku tidak ada di rumah. Apabila kau tidak ada, maka mungkin kita akan kehilangan segala-galanya. Apakah kau mengerti?”

Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk.

“Nah, mudah-mudahan kau benar-benar mengerti.” Ki Argapati berhenti sejenak. Dilemparkan pandangan matanya menembus pintu hinggap di halaman rumahnya. Sinar matahari sudah menjadi terlampau lemah. Dan waktu yang ditentukan telah menjadi terlampau sempit.

“Aku sudah kehabisan waktu,” gumam Ki Argapati, “aku kira sudah saat aku berangkat. Mungkin aku akan sampai beberapa saat, sebelum saat yang kami tunggu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika ia mencoba memandang setiap wajah, maka dilihatnya wajah-wajah itu menjadi tegang. Orang-orang tua dan para pemimpin pasukan pengawal yang berada di ruangan itu agaknya benar-benar terpengaruh oleh keadaan itu. Oleh keberangkatan Ki Gede Menoreh sebentar lagi. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ki Gede Menoreh sama sekali tidak mau membawa seorang pun untuk mengawaninya. Setidak-tidaknya untuk menjadi saksi dalam perang tanding itu. Ki Gede telah memutuskan untuk melakukannya sebagaimana pernah dilakukan. Sendiri.

Ketika Ki Gede kemudian beringsut, wajah-wajah di dalam ruangan itu menjadi kian menegang. Apalagi ketika kemudian Ki Gede itu berdiri sambil berkata, “Sudah waktunya aku berangkat. Tinggallah kalian pada tugas kalian masing-masing. Aku mengharap bahwa Ki Tambak Wedi cukup jantan.”

Pandan Wangi hampir-hampir tidak dapat menahan diri lagi. Hampir saja air matanya memecahkan pertahanannya. Tetapi Ki Gede yang melihatnya segera berkata, “Pandan Wangi, lepaskan aku sebagaimana seorang laki-laki pergi berperang. Jangan

kau lepaskan aku seperti kanak-kanak nakal yang pergi keladang orang. Kau pun harus bersikap seperti sikap-sikap yang seharusnya kau perlihatkan. Kau adalah puteri Kepala Tanah Perdikan yang kini memegang tampuk pimpinan selama aku tidak di rumah. Ingat, jangan kau tinggalkan rumah ini. Kau harus tetap dalam kewaspadaan yang tertinggi.”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.

Sejenak kemudian, Ki Gede Menoreh itupun melangkahkan kakinya, diikuti oleh setiap orang yang berada di dalam ruangan itu. Perlahan-lahan melintas pendapa, kemudian turun ke halaman. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Pandan Wangi memandanginya. Kemudian terdengar bibirnya berdesis, “Ayah. Tombak itu.”

KI Argapati mengangkat tombaknya. Dipandanginya tombak yang masih berada di selongsongnya itu. Terasa dadanya berdesir. Tombak itu memang bukan tombaknya yang dipergunakan beberapa puluh tahun yang lalu untuk melawan Paguhan. Namun sejenak kemudian ia tersenyum. Katanya, “Tidak ada bedanya Wangi. Keduanya pusaka sipat kandel tanah perdikan ini.”

Pandan Wangi tidak berkata-kata lagi. Ia berjalan dengan lemahnya di belakang ayahnya. Di belakangnya, anak muda yang bertubuh raksasa melangkah dengan tegapnya. Dan di sampingnya, di antara orang-orang lain adalah Samekta, yang sudah agak lanjut usia.

Ketika Argapati sampai di regol halaman rumahnya, sejenak berhenti. Ditayangkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah ingin di lihatnya sekali lagi sudut-sudut halamannya. Pohon-pohon buah-buahan dan tanam-tanaman perdu yang tersebar menghijau di halaman. Kemudian katanya, “Aku akan berangkat.”

Seorang pekatik maju ke depan orang-orang yang berdiri berjajar itu membawa seekor kuda. Dengan tenangnya Ki Gede Menoreh menerima kendali, lalu dengan tenangnya pula ia meloncat ke atas punggung kuda itu.

“Selamat tinggal,” desisnya, “aku serahkan tanah ini kepada kalian selamat aku belum kembali. Mudah-mudahan kita semua selamat. Kita akan selalu bermohon kepada Tuhan.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi setiap pasang mata memancarkan kesediaan yang mantap. Apa pun yang akan terjadi, mereka akan bersedia menjalani. Sampai pada pengorbanan yang tertinggi yang dapat diberikan kepada tanah ini.

Sesaat kemudian, Ki Argapati menarik kendali kudanya. Ketika kuda itu bergerak, maka Ki Gede Menoreh tersenyum sambil berkata, “Kita yakin, bahwa kita berada di pihak yang benar.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi Ki Gede Menoreh dapat menangkap sorot mata yang memancar dari setiap wajah. Karena itu, maka dengan hati yang tetap ia pun segera berpacu meninggalkan regol halaman rumahnya, melintas lewat lapangan kecil di depan rumahnya, yang biasa disebut alun-alun Menoreh. Debu yang putih mengepul di belakang derap kaki-kaki kudanya.

Ki Gede Menoreh itu semakin lama menjadi semakin jauh. Kemudian hilang di balik dedaunan di seberang alun-alaun kecil itu.

Setiap orang yang berdiri di depan regol halaman rumah Ki Gede itu, menarik nafas dalam-dalam. Betapapun juga, mereka merasa dirayapi oleh kecemasan di dadanya. Mereka memang tidak dapat meramalkan, apa yang akan terjadi. Ki Gede Menoreh dan Ki Tambak Wedi mempunyai kesempatan yang sama. Keduanya dapat menang, dan keduanya dapat kalah dalam perang tanding itu. Tetapi mungkin juga, bahwa perang tanding itu akan berlangsung lebih lama dari semalam suntuk. Mungkin apabila matahari besok terbit di Timur, perang tanding itu masih juga berlangsung. Dan kemungkinan yang lain adalah sampyuh. Keduanya terbunuh dengan luka di tubuh masing-masing.

Pandan Wangi masih berdiri tegak di tempatnya. Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menemukan kekuatan di dalam dirinya. Ketika ia melihat kuda ayahnya berderap, serta melihat debu yang putih nengepul di belakang kaki-kaki kuda itu, terasa sebuah getar menyentuh dadanya. Tiba-tiba ia menemukan tekad yang menyala di dalam dirinya. Dengan dada tengadah ia bergumam di dalam hatinya, “Aku adalah pewaris satu-satunya tanah perdikan ini. Aku harus menyelamatkannya dari setiap bencana yang bakal datang.”

Pandan Wangi itu tersedar ketika ia mendengar suara Wrahasta di belakangnya, “Sudahlah Pandan Wangi. Masuklah. Ki Argapati sudah tidak kelihatan lagi.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkah masuk menyusup regol halaman, melintas ke pendapa dan masuk ke dalam pringgitan, diikuti oleh orang-orang tua dan pemimpin-pemimpin pengawal.

Di paling belakang berjalan Samekta dengan wajah yang suram. Ketika dilihatnya Kerli, maka segera digamitnya sambil berbisik, “He, aku ingin berbicara sedikit.”

Kerti berpaling. Jawabnya, “Berbicaralah, Kau tidak berbicara sedikit. Kau biasanya berbicara terlampau banyak.”

Samekta tersenyum. Sudah lama ia mengenal Kerti dengan segala tabiatnya.

“Dengar,” berkata Samekta kemudian, “kau mendapat pekerjaan yang cukup berat dari Ki Gede.”

Kerti mengerutkan keningnya, “Apa?”

“Bukankah kau telah mendengarnya sendiri?”

Kerti tertawa, “Kau membuat aku berdebar-debar. Apakah anehnya tugas itu?”

“Dengar,” berkata Samekta perlahan-lahan, “kau harus melindungi gadis momonganmu itu. Lebih berhati-hati apabila ia pergi berburu. Kau mengerti maksudku?”

Kerti mengerutkan keningnya. Katanya, “Mana mungkin aku mengerti. Tetapi apakah kau bermaksud membuat teka-teki?”

“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Lindungilah gadis itu baik-baik.”

“Kau bergurau. Kau harus tahu, bahwa seharusnya Pandan Wangi-lah yang akan selalu melindungi aku. Bukan aku yang akan melindunginya. Kemampuannya lipat sepuluh dari kemampuanku berkelahi. O, kalau kau melihat bagaimana ia berkelahi melawan Sidanti, meskipun tidak bersungguh-sungguh kau pasti akan pingsan.”

“Aku sudah melihat, meskipun tidak langsung. Enam orang-orang liar tidak dapat mengalahkannya segera.”

“He?” Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya, “ya. Kau pernah bercerita. Tetapi, lalu apakah yang harus aku lindungi?”

“Lindunglah perasaannya. Ia sedang dikejar oleh kecemasan tentang ayahnya. Tetapi ia dikejar pula oleh persoalan lain.”

Samekta mengedarkan pandangan matanya. Satu-satu para tetua tanah perdikan dan para pemimpin pengawal telah masuk ke dalam pringgitan.

“Wrahasta. Ia salah paham atas kepercayaan Ki Argapati kepadanya tentang Pandan Wangi. Ia merasa, bahwa ia mendapat kepercayaan bukan sekedar dalam mengemban kewajibannya. Ia merasa bahwa tugas itu merupakan kepercayaan rangkap. Sebagai seorang pengawal yang terpercaya dan sebagai seorang anak muda.”

Kirti mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta berkata selanjutnya tentang anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kerti berkata, “Kasian Angger Pandan Wangi. Tetapi aku kira Wrahasta tidak akan dapat berbuat apa-apa atas gadis itu. Tiga sampai lima Wrahasta akan digilasnya dengan ilmu yang diterimanya dari ayahnya.”

“Tetapi Pandan Wangi tidak dapat berbuat demikian. Ia terlalu mementingkan tanah ini, sehingga ia tidak berani menyakiti hati raksasa yang mabuk itu.”

Sekali lagi Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Baik. Aku akan berusaha, bahwa bagi raksasa itu tidak akan ada kesempatan untuk mempersoalkannya lagi selama ini. Aku akan selalu berada di sampingnya. Bukankah aku mendapat tugas di dalam rumah itu, Samekta di luar halaman, tetapi meliputi seluruh tanah ini dengan segala macam bentuknya, dan Wrahasta mendapat tugas di dalam halaman ini. Mengawal dan menyelamatkan segala isinya, termasuk Pandan Wangi dan aku.”

“Hus,” desis Samekta, “pergilah. Sebentar lagi aku akan. meninggalkan halaman ini. Untuk sementara aku akan berada di banjar. Setiap persoalan dengan tanah ini dari segi pengamanannya, hubungilah aku di banjar. Kau tidak usah pergi sendiri. Kau dapat menyuruh satu dua orang yang kau percaya untuk itu, tetapi yang harus sudah aku kenal baik-baik.”

Kerti mengangguk-anggukan kepalanya. Di dalam keadaan yang demikian, maka semua orang harus berhati-hati. Semua menjadi saling bercuriga. Mereka tidak sebera dapat membedakan, siapakah lawan mereka masing-masing, dan siapakah yang menjadi kawan. Karena itu, maka setiap orang harus sangat berhati-hati. Mereka harus tahu pasti, apakah mereka tidak berhadapan dengan lawan.

“Aku akan memberi meresa sasmita sandi. Hanya mereka yang memakai sasmita sandilah yang harus kau percaya, “berkata Kerti, “dan sebaliknya orang-orangmu yang menghubungi aku pun, harus memakai sasmita sandi yang serupa.”

“Bagus, “jawab Samekta, “apakah sasmita sandi itu?”

“Katakan. Apa yang harus di ucapkan oleh orang-orangku dan, orang-orangmu dalam sasmita sandi.”

Samekta berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Nah, kita bersepakat untuk mempergunakan sasmita sandi. Orang-orang kita harus menyebut namanya dalam sasmita sandi itu, kemudian mengucapkan bilangan tiga dan sembilan.”

“Kenapa tiga dan sembilan?”

“Hus,” desis Samekta, “berapa saja tidak menjadi soal. Tetapi kita bersepakat, bilangan itu tiga dan sembilan. Kau mengerti. Bilangan itu dapat berubah setiap saat kita membuat perjanjian baru. Bahkan mungkin kita akan berjanji menyebut nama binatang, atau nama gunung, atau sungai, atau apa saja.”

Kerti mengangguk-angguk, “Baik. Aku akan memberi tahukan kepada setiap penghubung sasmita sandi itu. Tetapi bagaimanakah sasmita sandi itu, apabila Wrahasta yang berkepentingan dengan kau?

“Aku lebih percaya kepadamu.”

“Jangan berprasangka. Suatu ketika ia dapat mempunyai kepentingan dengan kau. Bukan kepentingan diri sendiri, tetapi kepentingan kita bersama.”

“Baik,” Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, “sebut juga sasmita sandi serupa untuk hari ini. Tetapi tidak usah menyebut namanya, sehingga aku dapat membedakan dengan penghubung siapa aku berbicara.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, “Pergilah ke banjar. Mungkin kau segera akan mendapat tugas di dalam kemelutnya suasana ini.”

“Aku akan segera pergi, tetapi aku akan minta diri dahulu kepada Pandan Wangi dan membawa beberapa orang pemimpin pengawal yang lain di dalam tugas ini. Aku akan menyiapkan beberapa ekor kuda di banjar, di gardu-gardu peronda, dan dirumah ini, supaya setiap perkembangan dapat segera kita ketahui.”

“Marilah. Kita masuk ke pringgitan.”

Kedua segera melangkahkan kakinya menyusuri orang-orang lain yang telah mendahului berada di pringgitan. Samekta segera minta diri bersama beberapa orang yang bertugas bersamanya, pergi ke banjar untuk menyusun jaring-jaring pengamanan di tempat-tempat yang telah ditentukannya. Terutama tempat-tempat yang langsung berhadapan dengan daerah yang hampir pasti berada di bawah pengaruh Argajaya dan Sidanti.

Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah berderap meninggalkan halaman rumah itu pula. Kali ini membawa Samekta dan beberapa pemimpin pengawal yang lain, pergi ke banjar dan ke tempat-tempat penting yang lelah ditentukan. Mereka memencar untuk melihat keadaan dari dekat di setiap penjuru, dan pada saatnya mereka selalu membuat hubungan-hubungan satu dengan yang lain.

Di setiap tempat penting, telah disediakan beberapa penghubung berkuda dan senjata-senjata sasmita yang lain. Panah-panah sendaren, panah api, kentongan dan tanda yang lain, yang telah disepakati bersama.

Di rumah Ki Gede tinggallah kini beberapa orang tetua tanah perdikan dan beberapa orang pengawal di bawah pimpinan Wrahasta, di samping Kerti dengan beberapa orang yang harus mengawani Pandan Wangi di dalam rumah itu.

Setiap orang telah mengenal Kerti sebagai pemomong Pandan Wangi, terutama apabila Pandan Wangi pergi berburu. Meskipun Kerti sudah agak lanjut, namun ia masih dapat dipercaya untuk mengawani Pandan Wangi, apabila gadis itu berada di dalam bahaya.

Tetapi kehadiran Kerti di dalam rumah itu, agaknya terasa kurang memberi keleluasaan bagi Wrahasta. Ia merasa kepercayaan Argapati dikurangi. Seharusnya ia menerima seluruh tanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Sehingga ia adalah satu-satunya pelindung yang terpercaya untuk Pandan Wangi.

Untunglah, bahwa umur Kerti telah merayap kepertengahan abad, sehingga bagaimanapun juga, kehadirannya masih dapat diterima oleh Wrahasta.

Sementara itu, matahari menjadi semakin lama semakin rendah. Cahayanya mulai menjadi pudar dan kemerah-merahan. Sisa-sisa sinarnya sudah tidak lagi berwarna cerah dan menyilaukan. Tetapi semakin lama menjadi semakin suram.

Awan yang putih kemerah-merahan hanyut dibawa angin dari Selatan. Menyentuh ujung pebukitan, mengalir ke Utara. Satu-satu burung seriti terbang berputaran. Kemudian saling bertemu, dan berkumpul dalam kelompok-kelompok yang semakin-besar. Akhirnya, mereka terbang mengitari sebatang pohon randu alas tua di ujung pedukuhan. Ratusan, seperti segumpal mendung yang mengambang.

Seekor kuda berderap dengan kencangnya di atas tanah berbatu-batu. Semakin lama semakin laju. Sekali-sekali penunggangnya nengadahkan wajahnya, melihat langit yang menjadi semakin suram. Dan setiap kali tangannya menggerakkan kendali, supaya kudanya terbang lebih cepat lagi.

Sejenak kemudian, kaki-kaki kuda itu telah berderap menyusur lereng-lereng pebukitan. Menyusup di antara semak-semak yang rimbun dan liur, sepanjang jalan sempit menuju ke Pucang Kembar. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak pendek yang masih berada di selongsongnya.

Orang itu adalah Ki Argapati, yang bergelar Ki Gede Menoreh. Ia ingin sampai ke tempat yang telah dijanjikan, sebelum saat purnama naik. Ia tidak mau terlambat, meskipun hanya sepenginang. Karena itu, maka ia berpacu semakin cepat. Suara derak kaki kudanya menggelepar di lereng bukit-bukit yang terjal.

Matahari di langit menjadi semakin rendah. Kini telah meyentuh punggung bukit di sebelah Barat. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam, dan sebentar pula hari akan menjadi semakin gelap. Sejenak kemudian akan segera disusul oleh saat purnama yang akan naik di ujung Timur.

Kuda Argapati berlari semakin kencang. Meluncur dari Selatan ke Utara.

Di sepanjang perjalanannya, pikiran dan angan-angan Argapati telah hinggap pada pertemuan yang akan datang, meloncat-loncat di antara kenangan masa lampaunya pada kesempatan yang serupa. Jalan ke Pucang Kembar yang dilaluinya kini, sama sekali tidak berubah seperti saat ia melampauinya beberapa puluh tahun yang lampau.

Jalan sempit yang dahulu disusurinya adalah jalan sempit ini pula. Ketika itu, ia menjinjing tombak pula seperti saat ini. Tetapi tombak yang dibawanya kini, bukan tombaknya beberapa puluh tahun yang lampau.

Hatinya berdesir, ketika terbayang di rongga matanya senjata Tambak Wedi yang nggegirisi. Sepasang senjata yang bermata rangkap. Sehingga ujung tombaknya waktu itu, harus melawan empat ujung mata senjata yang mengerikan dari sepasang Nenggala Ki Tambak Wedi.

Tanpa sesadarnya, Ki Argapati memandangi selongsong senjatamja. Namun perlahan-lahan ia bergumam kepada diri sendiri, “tidak ada bedanya, meskipun tombak ini bukan tombakku sendiri.”

Pucang Kembar semakin lama menjadi semakin dekat. Matahari pun sudah semakin dalam membenam di balik bukit. Sisa-sisa cahayanya yang kemerah-merahan masih menyangkut di pinggir mega yang berarak di langit yang biru bersih.

Ki Argapati menengadahkan wajahnya. Dilihatnya kesuraman yang kelabu perlahan-lahan menurun menyelubungi puncak pebukitan. Sehingga dengan demikian, kudanya berpacu semakin laju.

Demikian asyiknya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu terpukau oleh kemungkinan yang bakal datang, sehingga ia sama sekali tidak mengetahui, bahwa dua pasang mata sedang mengawasinya dari balik gerumbul beberapa langkah dari jalan yang dilaluinya. Ketika salah seorang dari mereka mencoba bergerak, maka yang seorang segera menggamitnya sambil menggoyangkan kepalanya.

Keduanya kemudaan terdiam. Hanya mata mereka sajalah yang bergerak mengikuti derap kuda yang laju meninggalkan debu yang putih, menghambur di atas jalan yang dilaluinya itu.

Ketika kuda itu telah hilang di kejauhan, maka mereka berdua yang sedang mengintip di balik rimbunya dedaunan itupun segera keluar dari persembunyiannya.

“Itukah yang bernama Argapati?” bertanya yang seorang.

Yang lain menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Orang itulah yang bernama Argapati, dan bergelar Ki Gede Menoreh.

“Orang yang pertama mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Ia menepati janjinya. Pada saat purnama naik, ia pasti sudah berada di bawah Pucang Kembar.”

“Tidak terpikir olehnya untuk ingkar atau justru berkhianat. Ia adalah seorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai harga dirinya dan sifat-sifat kesatria. Jarang orang yang berpegang teguh, pada pendirian yang demikian meskipun keadaan tanah perdikan ini sedang goncang.”

Orang yang pertama masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Argapati benar-benar pergi ke Pucang Kembar seorang diri.”

“Aku sudah menduga. Ia akan pergi seorang diri.”

Yang lain mengangguk-angguk lagi, “Lalu, apakah kita akan pergi ke Pucang Kembar pula?”

“Ya, bukankah kita memang akan pergi ke sana untuk melihat apa yang terjadi? Marilah. Kita jangan terlambat. Kita tidak naik kuda seperti Argapati. Kita tidak mau kehilangan pertunjukan ini sejak dari permulaan sekali.”

“Marilah. Kita dapat memintas. Kita menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar, sehingga kita tidak akan tertinggal terlampau jauh dari Ki Argapati.”

Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian segera melangkahkan kaki mereka menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar dan hilang di dalam kemuraman senja.

Dari arah yang lain, Ki Tambak Wedi berjalan dengan tergesa-gesa pula, menuju ke bawah Pucang Kembar, sambil menjinjing senjatanya yang mendebarkan jantung. Tetapi ia kini tidak membawa sepasang. Ia hanya tinggal mempunyai sebatang, karena yang sebatang telah tertinggal di Sangkal Putung. Bahkan pernah dibawa pula oleh Kiai Gringsing. Namun ia sama sekali tidak menjadi gelisah, bahwa ia harus melawan Argapati dengan sebatang senjatanya itu.

Tetapi ternyata di dalam perjalanan itu, Ki Tambak Wedi tidak hanya berjalan seorang diri. Di belakangnya berjalan dua orang yang bertubuh kekar, berbulu lebat di dadanya. Yang seorang berambut panjang terurai di bawah ikat kepalanya, sedang yang seorang lagi justru hampir tidak berambut, karena botaknya yang memenuhi sebagian besar dari kepalanya. Ikat kepalanya sama sekali tidak dikenakannya di atas botaknya, tetapi disangkutkannya saja di atas pandaknya.

“Apakah kau yakin, bahwa Argapati akan datangi seorang diri?” bertanya orang yang berkepala botak.

“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi.

“Aku tidak yakin,” sahut yang berambut panjang, “mungkin ia akan menjebakmu.”

Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya, “Tidak, ia tidak akan berbuat demikian.”

“Tetapi kaulah yang berbuat demikian,” sambung yang berkepala botak.

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Aku terpaksa berbuat demikian untuk menyelamatkan tanah ini. Kalau Argapati telah tidak ada, maka tidak akan seorang pun yang berani mengambil alih pemerintahan, kecuali satu-satunya trah Argapati, Sidanti. Dengan demikian, pertumpahan darah akan terhindarkan. Memang kila harus berkorban. Kali ini, korban itu kebetulan adalah Argapati. Dan mungkin korban lain yang tidak kalah pentingnya, adalah justru harga diriku sendiri. Tetapi aku memandang kepentingan yang jauh lebih besar dari harga diri seorang Tambak Wedi.”

Kedua orang kawan Tambak Wedi itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka berdiam diri. Tetapi mereka tidak dapat mengerti jalan pikiran Ki Tambak Wedi itu, sehingga salah orang dari mereka tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Ho, kau aneh Ki Tambak Wedi. Jalan pikiranmu memang berbelit-belit. Kalau kau memang tidak ingin terjadi pertumpahan darah, kenapa kau tidak berusaha mencegah muridmu, anak Argapati itu untuk memberontak terhadap ayahnya? Itu jalan yang paling mudah dapat kau tempuh daripada jalan yang kau pilih sekarang.”

“Itu tidak mungkin,” sahut Ki Tambak Wedi, “dengan demikian, keadaan tanah ini akan tetap seperti sekarang dan hari-hari yang lampau. Rakyat Menoreh ingin mendapat nafas baru, di atas tanah perdikan ini.”

Tiba-tiba orang yang lain, yang berkepala botak berkata, “Aku tidak peduli, apa saja yang sedang berkecamuk di atas tanah ini. Aku tidak peduli, apakah kau korbankan harga dirimu, bahkan nyawamu sama sekali. Tetapi peristiwa ini membuat aku menjadi gembira. Aku akan menerima upah darimu, sementara aku mendapat kesempatan untuk membunuh. Sudah lama aku tidak melibatkan diri dalam perkelahian yang ribut, seperti apa yang akan terjadi di atas tanah ini. Mudah-mudahan aku akan berhasil membunuh Airapati.”

Kawannya yang berambut panjang mengerutkan dahinya Katanya, “Kenapa kau tidak yakin? Meskipun aku dan kau tidak dapat melawannya seorang demi seorang, tetapi kita akan merupakan unsur penentu di dalam perkelahian yang akan datang. Kita mengharap, bahwa Ki Tambak Wedi dan Argapati akan merupakan kekuatan yang seimbang. Maka kehadiran kita akan menjadi penyebab, bahwa keseimbangan itu akan goyah. Dan Argapati akan dapat kita selesaikan.”

“Ha itu jangan kau ragukan lagi,” berkata Tambak Wedi, “seandainya Argapati membawa beberapa orang kawan, maka sepasukan kecil di belakang kita akan menyelesaikannya.”

Kedua kawan-kawannya itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Semua rencana itu sudah siap dan meyakinkan. Argapati tidak akan dapat keluar lagi dari jebakan mereka.

Sejenak kemudian mereka berhenti. Ki Tambak Wedi memberi isyarat kepada mereka, agar mereka tidak berjalan bersamanya. Keduanya harus memilih jalan lain, supaya mereka dapat mencapai tempat yang mereka tentukan tanpa diketahui oleh Ki Argapati.

Kedua orang itu segera memisahkan diri dan masuk ke dalam gerumbul di pinggir jalan. Mereka mencari jalan sendiri untuk mencapai Pucang Kembar. Tugas mereka adalah membantu Ki Tambak Wedi memusnakan Ki Gede Menoreh. Bukan saja sekedar mereka berdua, tetapi di belakang mereka masih ada sepasukan kecil, yang terdiri dari sebagian orang-orang Menoreh sendiri, dan sebagian lagi orang-orang dari luar, yang sengaja diundang oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.

Tetapi rencana Ki Tambak Wedi ternyata jauh lebih besar dari kedua rencana yang akan saling mengisi itu. Bukan hanya sekedar rencana yang dipersiapkan untuk membunuh Argapati. Tetapi sementara itu, Sidanti pun telah sibuk bersama Argajaya. Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka Sidanti dan Argajaya telah menjalankan tugas masing-masing sesuai dengan kesatuan rencana Ki Tambak Wedi. Mereka menyiapkan sebagian besar dari kekuatannya. Menurut Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya malam itu juga harus dapat merebut padukuhan induk dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sadar, bahwa seandainya benar-benar terjadi peperangan antara dua kekuatan yang ada di Menoreh, maka peperangan itu tidak akan dapat selesai sehari dua hari. Tetapi peperangan itu akan dapat menjadi jauh lebih cepat selesai, apabila pedukuhan induk segera dapat direbutnya. Pasukan Argapati yang telah kehilangan pimpinannya itu pasti akan pecah tercerai-berai, sehingga untuk membangun satu kekuatan yang utuh pasti akan sangat sulit.

“Apakah kita akan mulai sekarang paman?” bertanya Sidanti.

“Jangan terlampau tergesa-gesa. Kita mulai setelah purnama naik di atas cakrawala. Kita mengharap, bahwa Kakang Argapati sudah terikat dalam sebuah perang tanding dengan Ki Tambak Wedi, supaya Kakang Argapati tidak sempat mengetahui, apa yang terjadi sepeninggalnya. Seandainya seseorang pergi melaporkan kepadanya atau tanda-tanda lainnya, maka itu akan berakibat terlampau jelek pula bagi Kakang Argapati. Dengan demikian, ia akan kehilangan pemusatan perhatiannya atas perang tandng itu, sehingga kematiannya pun akan menjadi lebih cepat.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang demikianlah maksud Ki Tambak Wedi. Malam ini juga, mereka harus mendapat kepastian, bahwa mereka akan berhasil menguasai Tanah Perdikan Menoreh, meskipun penyelesaiannya masih memerlukan waktu.

Tetapi bagi Sidanti, waktu rasa-rasanya berjalan terlampau lambat. Matahari yang telah hilang di balik pegunungan, masih saja meninggalkan sinar yang cerah di langit.

Namun kemuraman senja pun semakin lama menjadi semakin muram. Matahari menjadi semakin dalam terbenam, sehingga akirnya sisa-sisa sinarnya sama sekali sudah tidak lagi dapat menerangi lereng Bukit Menoreh.

“Kita harus bersiap Paman,” berkata Sidanti, “sebentar lagi purnama pasti akan naik.”

“Ya, kita akan bersiap.” jawab pamannya, “yang mula-mula harus berangkat adalah pasukan kecil, yang harus meyakinkan, bahwa Kakang Argapati pasti akan terbunuh di bawah Pucang Kembar.”

“Pasukan itu sudah lama siap.”

“Nah, lepaskanlah. Biarlah mereka berangkat.”

Sidanti pun segera memberikan perintah bagi pasukan kecil yang akan pergi ke Pucang Kembar. Pasukan yang mendapat tugas khusus. Apabila Ki Taimbak Wedi dan kedua orang kawannya tidak segera berhasil menyelesaikan Argapati, maka adalah menjadi tugas pasukan kecil itu untuk bertindak. Juga seandainya Argapati membawa beberapa orang pengawalnya, maka semuanya harus ditumpas.

Ketika pasukan kecil itu sudah berangkat, maka Sidanti segera membersiapkan induk pasukannya. Induk pasukannya inilah yang nanti harus langsung masuk ke pedukuhan induk dan mendudukinya. Meskipun peperangan masih akan berlangsung terus, namun dengan menduduki padukuhan induk, maka Sidiantti sudah mempunyai alas yang kuat menuju ke arah kemenangannya.

Pada saat Sidanti mempersiapkan pasukannya yang cukup kuat untuk langsung menusuk jantung Tanah Perdikan Menoreh, maka kuda yang membawa Argapati telah naik memanjat tebing, sebuah puntuk kecil lereng bukit. Di atas puntuk itu berdiri dua batang pohon pucang, sehingga puntuk itu disebut Pucang Kembar. Di bawah sepasang pohon pucang itu, terbentang sebuah dataran yang tidak terlampau luas, ditumbuhi oleh rumput-rumput liar dan pohon-pohon perdu yang rimbun.

Dibawah sepasang pohon pucang itulah, Argapati berjanji untuk menemui Ki Tambak Wedi dalam perang tanding, seperti yang pernah terjadi beberapa puluh tahun yang lampau.

Ketika kaki-kaki kudanya berderap di bawah sepasang pucang itu, hati Argapati berdesir. Hatinya telah dilanda oleh arus kenangan lama, seolah-olah terguncang dengan dahsyatnya di dalam dadanya. Dan kini ia sekali lagi akan melakukannya. Dengan orang yang sama dan di tempat yang sama.

Argapati kemudian meloncat turun dari punggung kudanya. Dituntunnya kudanya ke arah sebatang pohon perdu dan mengikatnya di sana. Kemudian perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya ke bawah sepasang pucang itu kembali.

“Aku tidak terlambat,” gumamnya perlahan sekali. Disapunya keadaan di sekitannya yang telah mulai suram dengan pandangan matanya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ki Tambak Wedi pun masih belum tampak olehnya.

Dengan tenangnya Ki Argapati menyandarkan dirinya pada sebatang dari sepasang pohon pucang itu. Perlahan-lahan tangannya mengangkat senjatanya dan melepas selosongnya, kemudian melipatnya. Namun ketika terasa olehnya lendean tombaknya, maka sekali lagi dadanya berdesir. Tiba-tiba saja, ia menyadari bahwa ia akan berkelahi dengan senjata yang kurang dikenalnya. Ia masih biasa mempergunakan tombak itu. Beratnya, sifat-sifatnya dan kebiasaannya.

“Mudah-mudahan aku dapat segera menyesuaikan diriku,” gumamnya pula perlahan-lahan. Dan dengan perlahan-lahan pula, Ki Argapati membuka wrangka ujung tombaknya dan meletakkan wrangka itu di samping lipatan selongsongnya.

“Tajam tombak inipun cukup baik,” desisnya, “tidak jauh berbeda dengan ujung tombakku.” Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kedua tombak itu memang tombak sipat kandel Tanah Perdikan Menoreh, yang masing-masing dimiliki oleh kakak beradik, Argapati dan Argajaya. Tetapi ternyata Argajaya diam-diam telah menukarkan tombak itu, karena ia menganggap bahwa tombak Argapati lebih baik dari tombaknya sendiri.

Sambil menunggu Ki Tambak Wedi, Argapati mencoba –menimang-nimang tombaknya, supaya ia tidak salah hitung. Ia harus tahu pasti berapa banyak tenaga yang diperlukannya untuk mengayunkan tombak itu pada jarak tertentu.

Ketika Argapati menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna yang merah kekuningan menyaput langit di ujung Timur.

“Purnama itu hampir naik,” tanpa sesadarnya ia berbicara kepada diri sendiri.

“Ya,” tiba-tiba terdengar sebuah jawaban, “purnama hampir naik.”

Argapati berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya di atas sebongkah batu padas sesosok tubuh, berdiri di atas sepasang kakinya yang renggang. Tegak seperti sebatang tombak baja yang kokoh kuat tertancap dalam-dalam pada tanah yang keras berbatu-batu.

Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Segera ia mengenal, siapakah orang yang berdiri di atas sebongkah batu padas itu. Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka katanya seperti acuh tidak acuh, “Hem, kau datang tepat pada saatnya.”

“Aku tidak pernah ingkar janji,” jawab Ki Tambak Wedi, “sebentar lagi purnama akan naik. Kita akan segera berhadapan seperti beberapa puluh tahun lampau. Berhadapan sebagai laki-laki jantan yang tahu akan harga dirinya.”

“Aku mengharap demikian.”

“Apakah kau datang seorang diri?” bertanya Ki Tembak Wedi.

Pertanyaan itu ternyata membuat Argapati menjadi heran. Dipandanginya Ki Tambak Wedi di dalam sinar yang temaram. Perlahan-lahan ia maju setapak sambil berkata, “Pertanyaan itu aneh sekali?”

“Kenapa aneh?” potong Ki Tambak Wedi.

“Tidak sepantasnya kita menyimpan pertanyaan itu di dalam hati kita. Aku pun tidak akan bertanya demikian. Kalau kita sudah kehilangan kepercayaan kepada diri masing-masing, maka kita sudah kehilangan sebagian dari kejantanan kita.” Ki Gede Menoreh terdiam sejenak, lalu tiba-tiba, “He, Ki Tambak Wedi. Meskipun hanya sepercik, apakah pernah tersirat di dalam hatimu untuk datang ke tempal ini bersama satu atau dua orang kawan yang meskipun hanya akan menjadi saksi? Sehingga kau dipengaruhi oleh pertanyaanmu itu?”

Pertanyaan itu telah mengguncangkan dada Ki Tambak Wedi. Serasa ujung tombak Argapat itu telah mematuk pusat dadanya. Ia tidak menyangka, bahwa pertanyaannya dapat menumbuhkan kecurigaan pada lawannya. Namun segera ia berusaha melepaskan kesan itu dari wajahnya. Kemuraman senja telah menolongnya untuk melindungi perubahan-perubahan pada kerut-kerut di keningnya.

“Pertanyaanmu itupun aneh Argapati. Selama Ki Tambak Wedi masih menyebut dirinya Ki Tambak Wedi, maka aku masih orang yang pernah kau hadapi beberapa puluh tahun di tempat ini.”

“Bagus,” sahut Argapati, “turunlah. Sebentar lagj cahaya di langit itu akan menjadi semakin cerah. Kemudian pada saatnya purnama akan segera naik. Marilah kita peringati masa-masa muda kita, sebagai Paguhan dan Arya Teja dengan cara ini. Loloskah senjatamu itu dari selongsongnya. Aku ingin melihat, betapa dahsyatnya senjata yang berujung rangkap itu.”

Terdengar suara tertawa perlahan-lahan, “Kau terlampau tergesa-gesa,” sahut Ki Tambak Wedi, “meskipun sesaat lagi purnama akan naik, tetapi malam masih panjang. Kau tidak akan kehabisan waktu untuk memeras keringatmu. Aku akan melayanimu. Kenapa kita harus tergesa-gesa dan memulainya tepat pada saat purnama itu nanti naik dari atas cakrawala?”

Sekali lagi Argapati menjadi terheran-heran. Pertanyaan di dalam dirinya menjadi semakin tajam menggores di jantungnya. Sikap Ki Tambak Wedi itu tidak dapat dimengertinya. Beberapa puluh tahun, ketika ia bertemu di tempat ini pula dengan Ki Tambak Wedi, maka orang itu sama sekali tidak terlampau bersabar hati seperti kini.

“Waktu itu telah cukup lama berlalu,” katanya di dalam hati, “sepanjang itu, adalah mungkin sekali seseorang mengalami perubahan tabiat dan sifatnya. Mungkin Ki Tambak Wedi mendapat pengalaman yang cukup banyak untuk merubah sifat-sifatnya itu. Kini ia menanggapi keadaan dengan hati yang mengendap.”

Meskipun demikian, Argapati itu menjawab juga, “Ki Tambak Wedi. Aku memang tidak tergesa-gesa. Tetapi bukankah ancer-ancer waktu itu telah kita letakkan? Marilah kita mencoba menepatinya. Kita akan segera menyelesaikan pekerjaan kita. Bukankah masih ada pekerjaan lain yang menunggu?”

Terdengar suara tertawa Ki Tambak Wedi, “Apakah kau masih mengharap dapat keluar dari tempat ini?”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. “Tentu,” jawabnya, “di rumah anakku menunggu kedatanganku.”

Suara Ki Tambak Weda itu tiba-tiba meningga. Katanya, “ Seandainya kau dapat keluar dari tempat ini, belum tentu kau akan dapat bertemu lagi dengan anakmu.”

“Kenapa?” bertanya Argapati dengan herannya.

“Kedua kakak beradik seibu itu, berada dalam pertentangan yang tajam. Aku tidak tahu, apakah Sidanti dapat mengendalikan dirinya, supaya tidak segera bertindak. Tetapi jangan takut. Seandainya Sidanti malam ini barhasil menguasai Menoreh, puterimu, adik Sidanti itu, tidak akan mengalami cidera. Sidanti menyayanginya sebagai seorang adik, meskipun adiknya itu berpihak kepadamu. Tetapi sebagai seseorang yang bercita-cita, maka Sidanti harus bertindak, meskipun ia yakin bahwa kau pasti telah berjanji untuk menyerahkan tanah perdikan ini kepada gadismu itu.”

Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Argapati. Ia sudah menduga, bahwa hal serupa itu akan terjadi. Sidanti pasti akan mempergunakan saat yang genting ini. Saat ia tidak dapat memimpin perlawanan langsung untuk menghadapinya.

Namun ia sadar pula, bahwa Ki Tambak Wedi sengaja mengatakan hal itu kepadanya, karena Ki Tambak Wedi berusaha untuk mempengaruhi perasaannya. Apabila perasaannya dikacaukan oleh berbagai macam persoalan, maka ia pasti tidak akan dapat mencurahkan segenap perhatiannya di dalam perlawanannya. Meskipun demikian sepercik kebimbangan membayang pada dinding hati Argapati.

“Kenapa kau diam saja?” bertanya Ki Tambak Wedi, “jangan hiraukan mereka. Biarlah hal itu diurus oleh anak-anak. Mereka sedang membuat permainan untuk diri mereka sendiri. Biarlah Sidanti dan Pandan Wangi bergurau dengan caranya. Dan marilah kita melakukan pekerjaan kita pula di sini.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian ia menjawab, “kau keliru Paguhan. Aku tidak membiarkan Pandan Wangi melakukan perlawanan, seandainya Sidanti benar-benar akan memulainya malam ini. Meskipun Pandan Wangi memiliki kemampuan bermain senjata, tetapi ia masih terlampau hijau. Aku menyerahkan pimpinan pasukan pengawal kepada seseorang, yang aku percaya akan dapat melakukan perlawanan sebaik-baiknya. Mungkin tenaga Pandan Wangi diperlukan, tetapi tidak menentukan cara perlawanan yang harus dilakukan.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Siapa orang itu?”

Kini Argapati-lah yang tertawa. Perlahan-lahan sekali, “ Kau belum mengenalnya. Ia orang baru di Menoreh, tetapi ia bukan orang baru di dalam tata keprajuritan.”

“Siapa? Sebutkan namanya. Aku mengenal hampir setiap orang di sini.”

“Kau tidak perlu mengetahuinya. Biarlah itu diselesaikan oleh anak-anak. Marilah kita melakukan pekerjaan kita di sini.”

Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Tetapi tidak akan ada harapan lagi buatmu. Kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini. Seandainya kau dapat juga melarikan diri, tetapi kau tidak mempunyai lagi tanah untuk berpijak.”

“Marilah kita tidak membicarakan hal-hal yang belum terjadi. Lihat, cahaya yang merah itu sudah semakin cerah. Turunkah. Kita akan segera mulai.”

Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Tetapi kini justru di dadanya tersimpan berbagai macam pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di dalam pertempuran yang pasti akan segera berkobar. Siapakah yang telah diserahi pimpinan oleh Argapati itu?

“Huh, ia sekedar membesarkan hatinya sendiri,” katanya di dalam hati.

Karena Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab, maka Ki Argapati mendesaknya, “Turunlah. Kita tidak dapat bermain-main di atas padas itu. Terlampau sempit dan terjal.”

Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia mencoba menduga-duga, apakah pasukan kecil yang telah dipersiapkan itu telah dilepaskan oleh Sidanti. Ia tidak ingin perkelahian akan berlangsung terlampau lama. Ia harus segera menyelesaikannya, kemudian ikut serta bersama Sidanti, menyelesakan rencananya untuk menduduki induk tanah perdikan malam itu juga.

“He, apakah kau tertidur?” desak Argapati.

“Hem,” sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Kemudian ia menjawab, “kau terlampau tergesa-gesa. Baiklah. Aku akan segera turun. Bersiaplah, supaya kita segera dapat mulai.”

“Aku sudah bersiap sejak aku datang ke tempat ini.”

Terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa hambar. Kemudian ia mulai melangkahkan kakinya setapak demi setapak menuruni padas yang terjal.

“He,” berkata Ki Argapati hampir berteriak, “apakah kau sudah pikun Paguhan. Seharusnya dengan sekali loncat kau sudah berada di atas tanah yang datar. Kenapa kau merangkak seperti bayi yang sedang berumur tiga bulan?”

Dada Ki Tambak Wedi berdesir mendengar sindiran Argapati. Sebenarnyalah bahwa betapapun curamnya puntuk padas itu, namun seorang Tambak Wedi tidak sepantasnya menuruninya setapak demi setapak sambil berpegangan erat-erat seperti anak-anak sedang turun dari pembaringan. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak menyangka, bahwa perbuatannya itu mendapat pengamatan yang saksama dari lawannya. Ia tidak menyangka, bahwa usahanya untuk mengulur waktu itu dapat ditangkap oleh Argapati.

Meskipun demikian, Ki Tambak Wedi yang licik itu menjawab, “Ki Gede Menoreh, aku memang sudah tua. Aku sudah lama sekali tidak mengenali lagi setiap jengkal tanah di bawah Pucang Kembar ini, sehingga aku harus sangat berhati-hati.

Argapati mengerutkan keningnya. Keheranannya menjadi kian bertambah-tambah. Kelakuan Ki Tambak Wedi tampak semakin lama semakin tidak wajar. Dan ketidak- wajaran itu membuat Ki Argapati kadang-kadang tidak mengerti, apakah ia masih berhadapan dengan Ki Tambak Wedi beberapa puluh tahun yang lampau.

“Aku tidak boleh berprasangka,” ia mencoba menenteramkan hatinya yang mulai gelisah. Dalam keadaan itu, berbagai persoalan timbul terbenam di dalam dadanya. Tiba-tiba pada saat yang demikian, Ki Argapati menyadari keadaan yang sebenarnya di hadapi. Apakah artinya kejantanan kini bagi Ki Tambak Wedi. Ternyata ia lelah mengundang langsung kekuatan-kekuatan di luar tanah perdikan untuk mencampuri persoalan yang sedang berkecamuk di atas tanah ini. Tanpa menghiraukan akibatnya, Ki Tambak Wedi dan Sidanti telah membakar rumah sendiri.

“Apakah yang telah berbuat demikian itu masih juga mempunyai harga diri untuk berperang tanding dengan jujur?” Pertanyaan itu kini mengganggu perasaan Ki Argapati. Mamun sekali lagi ia mencoba mengusir prasangka itu. Tidak, Aku mengharap bahwa tidak terjadi kecurangan serupa itu.”

Tetapi Argapati masih melihat Ki Tambak Wedi turun perlahan-lahan. Kadang orang itu berhenti, kemudian berdiri menengadahkan wajahnya.

“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati, “lihat, bulan purnama telah naik. Beberapa puluh tahun yang lampau, kau sudah tidak dapat di ajak berbicara apa pun lagi. Begitu cahaya bulan menyentuh senjatamu, begitu kau menyerang seperti orang gila. Tetapi kenapa kau sekarang masih juga berdiri saja di situ?”

Ki Tambak Wedi tertawa. Jawabnya, “Kita sudah bukan anak-anak muda yang dibakar oleh nafsu kemudaan kita, Argapati. Kita bukan lagi anak-anak muda yang. mendambakan kasih di terang bulan purnama. Apakah artinya bagi kita kini? Cahaya bulan itu sudah terlampau banyak kita lihat dan kita rasai. Karena itu, kita tidak perlu lagi mengaguminya seperti pengantin batu. Biar sajalah bulan itu naik di langit yang biru. Ujung senjata kita tidak akan segera tumpul.”

Wayah Argapati menjadi semakin berkerut-marut. Kecurigaannya menjadi kian meruncing. Dengan demikian ia menjadi kian gelisah. Kenyataan-kenyataan yang di hadapinya telah membuatnya semakin curiga atas orang yang bergelar Ki Tambak Wedi itu. Meskipun demikian ia masih menahan dirinya. Kecurigaannya masih belum berpijak pada alasan yang jelas.

“Semuanya itu sekedar prasangka,” Argapati masih mencoba memulas perasaannya itu.

Tetapi ia masih melihat Ki Tambak Wedi berdiri di lambung puntuk padas itu. Sebenarnya tidak terlampau tinggi. Seorang anak tanggung pun akan dapat segera meloncat turun. Tetapi tampaknya Ki Tambak Wedi itu terlampau berhati-hati. Ki Tambak Wedi yang namanya telah menggemparkan udara di sekitar Gunung Merapi.

“Itu tidak mungkin,” berkata Argapati di dalam hatinya. Dan tumbuhlah kecurigaannya semakin tajam di dalam dadanya.

Ki Tambak Wedi itu mengangkat wajahnya sekali lagi seolah-olah ia sedang menikmati bulatnya bulan. Tetapi dalam pada itu didengarnya lama-lama suara burung kedasih. Lamat-lamat sekali. Tetapi cukup jelas. Ngelangut, seperti ratap seorang nenek kematian cucunya tercinta.

“Aku telah mendengar suara burung kedasih itu,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. Dan tiba-tiba saja ia menggeram sambil meloncat turun. Sama sekali tidak mengalami kesulitan, bahkan seandainya ia meloncat dari ujung seonggok batu padas itu.

“Kita akan segera mulai Argapati,” suaranya bernada berat dan datar.

Tetapi ternyata sikapnya itu telah menggetarkan dada Argapati. Seolah-olah ia mendapat suatu keyakinan, bahwa sebenarnya ia tidak hanya sekedar bercuriga. Tiba-tiba kini ia hampir pasti, bahwa ia tidak berhadapan dengan Paguhan beberapa puluh tahun yang lampau, tetapi ia kini berhadapan dengan seorang yang sangat licik.

Karena itu, betapa kemarahan telah menghentak dada Argapati. Selangkah ia maju sambil berkata dengan suara gemetar, “Paguhan. Jangan kau anggap aku anak-anak yang heran melihat tingkah lakumu. Aku kini tahu pasti, meskipun aku belum melihatnya. Tetapi seperti kau, akupun mempunyai telinga. Aku mendengar suara burung kedasih yang kau dengar itu pula. Aku menangkap perbedaan suara itu dengan suara burung kedasih yang sebenarnya. Hampir setiap malam aku mendengar suara burung itu. Dan suara burung yang setiap malam aku dengar itu sama sekali tidak serupa dengan suara burung yang baru saja menggerakkanmu, meloncat turun dari batu padas itu.”

Tuduhan itu serasa seonggok bara yang menyentuh telinga Ki Tambak Wedi. Ternyata perasaan Argapati terlampau tajam, sehingga segera ia dapat mencium apa yang sebenarnya sedang dipersiapkan. Ternyata Argapati kini sudah mengetahui hampir seluruhnya, apa yang tersembunji di balik gerumbul-gerumbul di dalam kesuraman malam terang bulan. Agaknya Argapati telah membayangkan, berapa orang sedang merangkak-rangkak mendekati Pucang Kembar. Dan orang-orang itu akan berbuat curang. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat berusaha untuk menyembunyikannya. Meskipun demikian, ia masih juga ingin menghadapi Argapati seorang lawan seorang lebih dahulu. Ia masih ingin melihat, betapa Ki Gede Menoreh kini meloncat jauh maju dari Arja Teja beberapa puluh tahun lampau.

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi pun beberapa langkah meloncat mendekati Argapati sambil menarik senjatanya. Tetapi kini ia hanya membawa sebatang dari sepasang senjatanya yang mengerikan itu. Ketika ia sudah berdiri tegak beberapa langkah di hadapan Argapati, maka ia pun menggeram, “Argapati, apakah yang sebenarnya sedang kau ingatkan itu? Apakah kau sedang mimpi terlampau buruk, sehingga kau membayangkan seolah-olah di sekitar tempat ini bertebaran orang-orangku yang bertanda sandi suara burung kedasih? O, Kepala Tanah Perdikan yang malang. Ternyata kau telah dipengaruhi oleh kegelisahan dan kecemasan yang luar biasa, sehingga kau tidak lagi dapat membayangkan harapan untuk mendapatkan kemenangan, setidak-tidaknya kesempatan untuk melarikan diri dari arena, sehingga kau berpikir yang bukan-bukan.”

Argapati mengerutkan keningnya. Terdengar suaranya dalam nada yang berat, “Mungkin aku memang bermimpi buruk Tambak Wedi. Mungkin pula pendengaranku salah. Mudah-mudahan kau masih dapat bersikap jantan seperti Paguhan beberapa tahun yang lampau.”

“Arja Teja,” berkata Ki Tambak Wedi, “kau ternyata sudah berputus asa sebelum kau berbuat sesuatu. Apabila memang demikian, maka sebaiknya kau urungkan niatmu untuk melakukan perang tanding. Kau hanya akan membuang waktu dan tenaga. Sebenarnya lebih baik bagimu untuk mati dengan tenang daripada dengan tusukan senjata di lambungmu. Apakah kau pernah berpikir demikian. Kalau kau setuju, marilah. Aku mempunyai sebutir racun yang sudah aku keringkan. Kalau kau bersedia menelannya, maka kau akan dapat berbaring di tanah dengan tenang. Kau akan menghembuskan nafasmu yang terakhir tanpa merasakan sakit, karena lambungmu sobek oleh senjata.”

Terasa dada Ki Argapati berdesir mendengar penghinaan itu. Namun dengan susah payah ia berhasil menahan dirinya. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya perlahan-lahan, “Terima kasih atas kebaikan hatimu, Tambak Wedi. Memang mati dengan menelan racun itu agaknya lebih menyenangkan daripada mati setelah memuntahkan darah dari luka di tubuh ini. Tetapi bagi seorang laki-laki, maka mati dengan senjata di tangan adalah suatu kebanggaan. Sudah tentu kita akan lebih berbangga, apabila kita untuk selamanya tidak pernah menyentuh senjata. Namun apabila keadaan memaksa seperti keadaanku kini, maka adalah paling nikmat untuk berjuang sekuat tenaga daripada membunuh diri.”

Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, tetapi wajahnya menjadi tegang. Katanya, “Hem, kau memang keras kepala Argapati. Sejak muda kau memang keras kepala. Baiklah. Marilah kita segera mulai. Agaknya perkembanganmu sepeninggalku telah merubah kau menjadi seorang yang mabuk berkelahi. Tak ada tanda-tanda sikap damaimu sama sekali. Sejak kau melihat aku, maka kau begitu tergesa-gesa untuk melakukan perkelahian.”

“Aku kira kau sudah menyimpan jawaban atas kata-katamu sendiri, Argapati. Aku tidak perlu menjawabnya.” Argapati berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia berkata, “Ki Tambak Wedi. Aku mempunyai usul yang barangkali baik buatmu. Suatu sikap damai yang barangkali sesuai dengan keinginanmu atasku.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, sehingga alisnya yang tebal seakan-akan bertemu, “Apakah usulmu itu?” ia bertanya dengan ragu-ragu.

Ki Argapati tersenyum. Tetapi ujung tombaknya merendah setinggi dada. Katanya, “Marilah kita saling berbaik hati. Supaya kita masing-masing tidak lelah seperti kau inginkan. Aku harap kau terbaring di tanah, kemudian aku akan melakukannya perlahan-lahan sampai saatnya ujung tombakku menyentuh jantungmu.”

Ternyata darah Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja telah mendidih, ia tidak mampu menahan dirinya lagi. Tiba-tiba ia berteriak nyaring. Tangannya bergetar secepat kilat, hampir-hampir tidak dapat dilihat oleh mata.

Tetapi yang berdiri di hadapannya adalah Argapati. Argapati telah memperhitungkan, bahwa hal itu akan dapat terjadi, sehingga begitu matanya yang tajam menangkap gerakan Ki Tambak Wedi, maka secepat itu pula ia memiringkan tubuhnya sambil menarik sebelah kakinya surut.

“He,” katanya, “kau sudah mulai Tambak Wedi.”

Dada Ki Tambak Wedi serasa akan meledak, ketika ia melihat sikap Argapati yang dengan mudah berhasil menghindari sambaran, gelang-gelang besinya yang meluncur sejengkal di depan dada.

“Alangkah tangkasnya kau sekarang,” Tambak Wedi menggeram.

“Jangan memuji. Marilah kita mulai dengan bersunguh-sungguh. Aku tidak akan melayani, apabila kau sekedar bermain lempar-lemparan. Bukankah kau menggenggam senjatamu yang dahsyat itu. Tetapi kenapa kau hanya membawa sebatang saja?”

“Aku menganggap bahwa terlampau berlebih-lebihan bagiku untuk membawa kedua-duanya,” sahut Tambak Wedi, “tetapi jangan banyak bicara. Kita akan segera mulai.”

Argapati tidak menjawab lagi. Selangkah ia maju. Kini keduanya lelah berhadapan dalam jarak yang lebih dekat. Ujung tombak Argapati mempergunakan sebatang Nenggalanya, namun setiap saat ia dapat melemparnya dengan gelang-gelang besi yang cukup banyak tersimpan di bawah kain panjangnya, bergantungan pada ikat pinggang yang khusus.

Sejenak mereka berdiri berhadapan. Dan sejenak kemudian Argapati lelah menjulurkan senjatanya. Kemudian dengan gerak yang sukar dipahami, keduanya segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Pada benturan yang mula-mula, telah terdengar dentang kedua senjata itu dengan dahsyatnya, sehingga bunga-bunga api memercik seperti ribuan kunang-kunang yang berloncatan menghambur menjauhi kedua senjata itu.

Pada saat berikutnya, maka mereka bertempur seperti pergulatan sepajang angin pusaran. Kemudian saling berbenturan seperti prahara menghantam batu karang. Keduanya adalah orang-orang’ yang hampir mumpuni dalam olah kanuragan. Keduanya adalah orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan.

Senjata Ki Tambak Wedi mematuk-matuk seperti ribuan mulut ular yang berkerumun dari segala arah. Kedua tajamnya seakan-akan berubah menjadi beribu-ribu Nenggala yang bergerak bersama-sama. Ternyata Ki Tambak Wedi benar-benar seorang yang pilih tanding. Kakinya melontar-lontarkan tubuhnya, seperti tidak berinjak di atas tanah.

Namun ternyata pula bahwa Argapati mampu mengimbanginya. Tombaknya berputar seperti baling-baling. Kadang-kadang menebas seperiti sehelai pedang, namun kemudian menusuk langsung ke pusat jantung. Tubuhnya seolah-olah menjadi ringan seperti kapas yang berputar-putar ditiup angin pusaran.

Di dalam perkelahian itu, kaki-kaki mereka telah menyapu bersih tetanaman liar di sekitar sepasang Pucang Kembar itu. Rerumputan dan batang-batang perdu menjadi rata, seolah-olah habis dibajak. Ujung-ujung senjata mereka telah menebas semua tumbuh-tumbuhan dan batang-batang kayu yang tumbuh di seputar tempat perkelahian.

Burung-burung liar yang bersarang di dekat Pucang Kembar itupun segera berterbangan. Mereka terkejut mendengar derak batang-batang yang patah, serta ranting-ranting yang berguncang seperti dilanda angin ribut. Sedang gelombang kedahsyatan perkelahian itu telah melanda binatang-binatang yang berkeliaran di sekitarnya, sehingga berlari-larian. Rusa, kijang-kijang di dalam gerumbul, dan bahkan macan-macan kumbang. Mereka segera menjauh dan bersembunyi di dalam lubang-lubang yang gelap di balik puntuk-puntuk padas.

Demikianlah, perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Seperti seekor harimau yang lapar, melawan seekor banteng terluka. Tangguh tanggon. Serangan-serangan mereka datang seperti petir di langit, dan benturan-benturan di antara mereka serasa akan meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan.

Tetapi yang pernah terjadi ternyata terulang kembali. Tidak ada di antara mereka yang segera mampu menguasai lawannya. Setelah sekian puluh tahun mereka berpisah, setelah mereka mengembangkan ilmu masing-masing, dengan cara masing-masing pula, kini mereka bertemu dalam keseimbangan yang serupa dengan beberapa paluh tahun yang lampau. Mereka tidak dapat menentukan siapakah yang akan menang di antara mereka. Yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sebaik-baiknya. Setiap kelengahan dan kesalahan betapa pun kecilnya, akan mempunyai akibat yang sangat berbahaya.

Yang terasa di dalam perang tanding itu adalah, bahwa Ki Tambak Wedi hanya mempergunakan sebatang senjatanya. Senjata itu ternyata lebih pendek dari senjata Argapati. Keuntungan ini lah yang dipergunakan oleh Argapati sebaik-baiknya untuk menyerang lawannya dalam jangkauan panjang tombaknya. Namun Ki Tambak Wedi pun menyadari hal ilu pula. Karena itu, maka setiap kali ia memanfaatkan jarak di antara mereka untuk meluncurkan gelang-gelang besinya. Satu demi satu, di setiap kesempatan.

Dan beruntung pulalah Ki Tambak Wedi, bahwa tombak Argapati itu bukan tombaknya yang dipergunakan bertempur beberapa puluh tahun yang lampau. Tombak yang dipakai ini agak terlampau ringan bagi Argapati. Ayunan dan lontarannya agak kurang mantap. Apalagi ia masih harus menyesuaikan diri untuk beberapa saat.

Sementara itu, di rumahnya, Pandan Wangi selalu dalam keadaan gelisah. Ia menjadi terlampau berdebar-debar, ketika ia melihat purnama mulai merayap naik di atas cakrawala. Terbayang di dalam angan-angannya, ayahnya telah mulai melakukan perang tanding dengan Ki Tambak Wedi. Gadis itu menyadari, bahwa persoalan mereka yang lamalah yang sebenarnya telah mendorong keduanya untuk melakukan perang tanding. Seandainya di antara mereka tidak ada persoalan apa pun, maka perselisihan paham pada saat-saat itu tidak akan segera menyeret ke dalam suatu kancah perkelahian.

Bagaimanapun juga, Argapati tidak dapat segera menghapus kenyataan bahwa Sidanti sebenarnya bukan anaknya. Meskipun ia telah berusaha dengan, susah payah, meskipun dalam beberapa puluh tahun, seolah-olah hal itu tidak berbekas, bahkan yang nampak pada Pandai Wangi, bahwa ayahnya telah berlaku sebaik-baiknya terhadap kakaknya, tetapi ungkapan kepahitan kenyataan itu betapa kecilnya akan segera mengangkat kembali luka di dalam hati ayahnya. Apalagi ayahnya harus mempertaruhkan tanah yang selama ini telah dibinanya.

Dalam kegelisahan dan kecemasan itu, Pandan Wangi duduk seperti sebuah patung yang mati. Tidak sepatah kata pun diucapkannya dan seoah-olah semua keadaan di sekitarnya tidak menarik perhatiannya.

Di luar rumahnya, di halaman, Wrahasta sedang sibuk mengatur para pengawal yang berada di bawah tanggung jawabnya. Dengan sepenuh hati, ia melakukan tugasnya untuk mengamankan halaman dan seluruh isi rumah itu, terutama Pandan Wangi. Dengan sepenuh hati, ia setiap kali memeriksa setiap sudut dan setiap kelompok. Tidak ada sejengkal dinding pun yang terlepas dari pengawasan para pengawal tanah perdikan yang bertugas di halaman.

Sedang di luar halaman, para peronda hilir mudik tidak henti-hentinya. Peronda-peronda yang berkeliaran di setiap pedukuhan, dan peronda-peronda yang nganglang dari pedukuhan yang satu kepeduhan yang lain di atas punggung kuda dengan senjata telajang. Setiap orang dari mereka selalu dilengakapi pula dengan senjata-senjata yang dapat dipergunakan untuk mengirimkan tanda dan sasmita. Panah-panah api dan panah-panah sendaren. Mereka tidak henti-hentinya menghubungi gardu-gardu peronda di setiap pedukuhan, dan kemudian melaporkannya ke banjar. Di banjar, Samekta duduk menghadapi lampu minyak yang berkerdipan ditiup angin malam. Sekali-sekali ia berdiri, berjalan hilir mudik di halaman. Kemudian duduk di antara para pengawal yang berjaga-jaga di gardu di regol halaman. Kadang-kadang ia pergi ke gandok, di mana telah berkumpul sepasukan pengawal yang siap untuk bertempur ke segenap medan di atas tanah perdikan ini. Pasukan itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk dikirim kemana pun yang memerlukannya, membantu setiap pasukan pengawal yang telah siap di setiap padukuhan, apalagi yang langsung berhadapan dengan padukuhan-padukuhan yang diperkirakan telah berada di bawah pengaruh Sidanti dan Argajaya.

Pasukan-pasukan sandi pun berkeliaran di segenap sudut dalam, samaran dan selimut masing-masing. Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali tidak dapat di lihat oleh siapa pun, bertengger di atas batang pohon yang rimbun dan berdaun lebat.

Demikianlah, maka malam pun menjadi kian malam. Bulan yang bulat di langit merambat semakin tinggi. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara anjing-anjing liar menggonggong bersahut-sahutan.

Pandan Wangi masih saja duduk di pringgitan menghadapi mangkuk air jahe yang hangat. Tetapi sejak dihidangkan, mangkuk itu sama sekali belum disentuhnya. Apalagi makanan yang teronggok di hadapannya. Sama sekali tidak menarik perhatiannya.

Kerti pun terpaksa harus duduk sambil berdiam diri di hadap an momongannya. Hanya kadang-kadang saja ia berpaling memandangi dua orang kawannya yang duduk sebelah menyebelah. Tetapi kedua kawannya itupun menundukkan kepala mereka sambil mengembara di dalam angan-angan.

Yang dapat di lakukan oleh Kerti, berulang kali adalah menarik nafas dalam-dalam, untuk mengurangi ketegangan yang menyekat dadanya. Namun ia tidak berani lebih dahulu membawa Pandan Wangi ke dalam pembicaraan.

Tiba-tiba mereka yang duduk di pringgitan itu terkejut ketika pintu perlahan-lahan terbuka. Serentak mereka berpaling, dan mereka segera melihat Wrahasta berdiri di muka pintu.

“Oh,” desisnya, “maafkan apabila aku mengganggu.”

Kerut-merut. Tiba-tiba saja dadanya dijalari oleh kegelisahan yang lain menghadapi orang yang bertubuh raksasa ini. Ia masih dihinggapi oleh kebingungan dan keragu-raguan atas pertanyaan yang mengalir seperti banjir. Bahkan terasa bulu-bulu tengkuk gadis itu meremang. Ia telah membayangkan, bahwa Wrahasta itu pasti akan mendesaknya lagi supaya ia menjawab pertanyaan yang membingungkan itu.

Namun hatinya agak tenang, karena di dalam ruangan itu duduk pula Kerti dan dua orang pembantunya. Orang-orang tua itu lelah mendapat kepercayaan pula dari ayahnya, untuk mengawasi seisi rumah, dan terutama karena orang tua itu adalah pemomongnya. Dalam setiap perburuan, maka sebagian terbesar Kerti-lah yang mengawaninya dengan beberapa orang yang lain.

“Apakah aku boleh duduk?” bertanya Wrahasta yang masih berdiri di muka pintu.

“Oh,” Pandan Wangi tergagap, “silahkan.”

Wrahasta melangkah maju sambil bergumam, “Aku perlu melaporkan semua kegiatan di halaman rumah ini, Pandan Wangi.”

“Ya,” Pandan Wangi bergumam, “silahkan.”

Wrahasta pun kemudian duduk di samping Pandan Wangi. Sekali-sekali ditatapnya Kerti dengan sudut matanya.

“Semuanya telah aku persiapkan sebagaimana seharusnya, Pandan Wangi. Setiap saat tidak akan mengecewakan. Mudah-mudahan Paman Samekta berhasil menguasai keadaan di luar halaman, sehingga kami tidak perlu terlampau banyak berbuat.”

“Terima kasih,” sahut Pandan Wangi, “mudah-mudahan Kakang Sidanti tidak berbuat malam ini, sehingga Ayah besok akan dapat memimpin langsung pasukan pengawal tanah perdikan ini, apabila terjadi sesuatu.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan,” katanya, “tetapi seandainya Sidanti mulai juga malam ini, aku tidak akan berkeberatan untuk melayaninya.”

“Terima kasih, Wrahasta,” jawab Pandan Wangi, “tetapi aku mengharap, supaya tidak terjadi sesuatu.”

“Kita boleh mengharap, Pandan Wangi, tetapi kita tidak tahu, apakah yang kini sedang dipikirkan oleh Sidanti. Karena itu, adalah sebaiknya kita bersiap menghadapi setiap kemungkinan.” Wrahasta berhenti sejenak. Ditatapnya sekali lagi Kerti dengan sudut matanya, lalu katanya pula, “Seharusnya, kau melihat sendiri kesiagaan pasukanmu di dalam halaman ini.”

Tanpa dikehendakinya sendiri, Kerti mengangkat wajahnya. Namun ketika tatapan matanya membentur mata Pandan Wangi yang suram, maka orang tua itupun segera berpaling. Namun dengan demikian hatinya menjadi berdebar. Segera teringat olehnya pesan Samekta, bahwa agaknya Pandan Wangi telah dirisaukan oleh sikap Wrahasta, justru dalam saat-saat yang menegangkan ini.

Kerti menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Pandan Wangi menjawab, “Aku percaya kepadamu, Wrahasta. Kau sudah cukup berpengalaman. Mudah-mudahan semuanya seperti yang kau katakan.”

“O, itu kurang bijaksana, Wangi. Ki Argapati selaki selalu mengawasi pasukannya langsung, apalagi dalam keadaan yang genting ini. Apakah kau tidak ingin berbuat seperti ayahmu? Kau akan mendapat banyak sekali keuntungan. Kau akan dapat melihat langsung semua persiapan. Kau akan mengetahui, bahwa tidak ada kelengahan di dalam barisanmu. Dan yang tidak kalah pentingnya, kau akan memberi mereka pengaruh yang dapat membesarkan hati mereka di dalam ketegangan yang semakin memuncak.”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ia dapat menerima alasan itu. Tetapi terasa sekali lagi bulu-bulu tengkuknya meremang. Ia takut akan di hadapkan lagi pada pertanyaan-pertsnyaan yang membuat hatinya semakin bingung, bahkan hatinya akan dapat menjadi gelap sama sekali. Ia akan dapat kehilangan akal, dan bertindak di luar kesadaran.”

Namun tiba-tiba Pandan Wangi mengangkat dadanya. Dipandanginya Kerti dan dua orang kawannya. Maka katanya kemudian perlahan-lahan, “Paman, marilah kita melihat kesiagaan pasukan pengawal di halaman.”

Series 36

KETIKA KERTI mengangkat wajahnya, dilihatnya dahi Wrahasta berkerut merut. Bahkan Wrahasta itu berkata terbata-bata, “Tetapi, tetapi itu tidak perlu, Pandan Wangi. Aku akan mengantarmu bersama orang-orang yang telah aku sediakan.”

“Terima kasih Wrahasta. Aku berterima kasih sekali. Tetapi biarlah Paman Kerti ikut bersamaku. Ia akan ikut melihat pula kesiagaan di halaman ini. Ia akan dapat memberi aku nasehat apa yang harus aku lakukan.”

“Itu tidak perlu sama sekali. Biarlah Paman Kerti berada di dalam rumah. Bukankah tugasnya di dalam rumah ini saja.”

“O, kau aneh sekali Wrahasta. Apakah sebenarnya keberatanmu? Paman Kerti adalah pemomongku. Biar sajalah ia ikut bersama aku.”

“Tetapi bukan demikian perintah Ayahmu, Pandan Wangi. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan seisi rumah ini, termasuk kau. Bukan Kerti. Karena itu, biarlah Paman Kerti duduk saja di sini. Kau tidak akan terlampau lama. Dan kita akan segera kembali ke pringgitan ini.”

Terasa debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin keras. Agaknya Wrahasta benar-benar ingin mendapat kesempatan untuk mendesakkan pertanyaannya. Namun justru karena itu, maka Pandan Wangi menjadi semakin kecut untuk pergi sendiri tanpa Kerti dan kawan-kawannya. Karena itu maka katanya, “Wrahasta,aku akan pergi bersama Kerti dan kedua kawannya. Tidak ada keberatan yang dapat kau ajukan. Seandainya Ayah tidak berbuat demikian, inilah perbedaan antara Pandan Wangi dan ayahnya.”

“Ah,” Wrahasta berdesah. Tampak kekecewaan menjalar di wajahnya. Sejenak ia berdiam diri memandangi nyala pelita yang bergetar disentuh angin malam yang menyusup lubang pintu yang tidak tertutup rapat-rapat sekali.

Melihat kekecewaan itu, Pandan Wangi menjadi kian berdebar-debar. Bagaimanapun juga, ia malam ini sangat memerlukan Wrahasta dan pengaruhnya atas pasukan pengawal yang terutama terdiri dari anak-anak muda sebaya dengan raksasa itu. Seandainya ia berbuat kurang sepantasnya bagi tanah kelahirannya ini, maka keadaan akan kian menjadi kisruh.

Sesaat kemudian terdengar pengawal muda bertubuh raksasa itu berkata, “Baiklah Pandan Wangi. Silahkan pergi bersama Paman Kerti melihat-lihat pasukan pengawalmu.”

Sekilas Pandan Wangi memandang wajah Kerti yang tampaknya tidak memberikan kesan apa pun. Namun sebenarnya orang tua itu telah menahan perasaannya. Kini ia tahu benar arti pesan Samekta kepadanya. Sehingga dengan demikian, maka ia benar-benar ingin untuk pergi bersama Pandan Wangi.

Sejenak kemudian maka Pandan Wangi itupun segera berdiri bersama semua orang yang berada di pringgitan itu. Perlahan-lahan ia melangkah keluar lewat pendapa yang remang-remang. Beberapa orang yang berada di pendapa berpaling ke arahnya. Orang-orang tua yang wajib mendampingi Pandan Wangi di bidang pemerintahan dan para pengawal yang lain, yang sedang duduk-duduk beristirahat. Namun segera mereka mengerti kemana Pandan Wangi akan pergi.

Pandan Wangi pun kemudian turun ke halaman, melangkah dengan kepala tunduk memutari halaman rumahnya, halaman depan dan halaman belakang. Hanya kadang-kadang saja ia mengangkat kepalanya, menyapa beberapa orang yang sedang berjaga-jaga. Lalu sejenak kemudian kepalanya telah menunduk lagi, seperti sedang menghitung langkah kakinya.

Tetapi dengan demikian, Pandan Wangi tahu, bahwa tidak ada dinding yang tidak terawasi sejengkal pun.

“Aku benar-benar tidak dapat lepas dari pengawasan mereka,” katanya dalam hati.

Sebenarnyalah bahwa di dalam hatinya tersimpan hasrat untuk pergi tanpa diketahui oleh orang lain ke Pucang Kembar. Ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana. Apakah ayahnya kira-kira dapat memenangkan perang tanding itu, atau barangkali Ki Tambak Wedi berbuat curang.

“Hatiku selalu diganggu oleh kecemasan. Aku merasakan getar yang menggelisahkan,” desisnya di dalam hati. Tetapi sudah tentu bahwa orang-orang di halaman itu tidak akan membiarkannya pergi seperti pesan ayahnya. Tugas para pengawal itu selain bertahan apabila ada bahaya, tetapi juga mengawasinya juga, sehingga Pandan Wangi itu merasa dirinya sebagai wakil ayahnya, Kepala Tanah Perdikan, sekaligus seorang tawanan. Meskipun ia menyadari dan mengerti maksud ayahnya, namun hatinya semakin lama semakin gelisah. Apalagi apabila teringat olehnya pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh Wrahasta.

Setelah Pandan Wangi melihat seluruh kegiatan di halaman rumahnya, maka ia pun segera kembali ke pendapa. Wrahasta mengantarnya sampai ke pintu, lalu katanya, “Silahkan Pandan Wangi. Aku akan berada di halaman. Setiap kau memerlukan aku. Aku telah sedia.”

“Terima kasih Wrahasta,” jawab Pandan Wangi. Betapa pun hatinya bergolak, namun ia harus bersikap baik. Bahkan ia cenderung untuk membuat Wrahasta itu tidak kehilangan harapannya. “Setiap saat aku mungkin memerlukan kau.”

Sesaat mata Wrahasta menjadi berkilat-kilat. Namun kemudian ia berkata, “Beristirahatlah. Percayakanlah halaman rumah dan seisinya kepadaku, seperti ayahmu mempercayakan pula.”

“Ya Wrahasta, aku percaya kepadamu. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang dapat menggoncangkan tanah ini.”

“Seandainya ada, kita siap menghadapinya.”

“Ya.”

“Silahkan beristirahat. Aku minta diri.”

Pandan Wangi melihat langkah yang tegap dan berat meninggalkannya, melintas pendapa turun ke halaman. Wrahasta adalah seorang yang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. Bahkan agak terlampau besar.

Pandan Wangi pun kemudian masuk ke dalam pringgitan bersama Kerti dan dua orang kawannya. Ia telah berhasil menghindari desakan pertanyaan-pertanyaan Wrahasta yang pasti akan menambahnya menjadi semakin bingung. Namun sejalan dengan itu, ia menyadari bahwa salah paham pada diri raksasa itupun jadi semakin dalam. Agaknya Wrahasta benar-benar menaruh harapan kepadanya.

“O,” Pandan Wangi berdesah di dalam hatinya, “aku benar-benar di hadapkan pada keadaan yang tidak aku kehendaki.”

Ketika kemudian Pandan Wangi duduk bersama-sama dengan Kerti dan kedua kawannya, ia seolah-olah menjadi beku. Kepalanya tertunduk dan wajahnya menjadi terlampau suram.

“Pandan Wangi,” berkata Kerti kemudian, “sebaiknya kau memang harus beristirahat, Ngger. Mungkin kau terlampau ditegangkan oleh keadaan. Seandainya ada sesuatu yang penting, biarlah aku mengetuk pintu bilikmu. Meskipun kau pasti tidak akan dapat tidur, tetapi setidak-tidaknya kau akan mendapat kesegaran baru setelah kau berbaring beberapa saat.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia berpikir. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah Paman. Aku akan beristirahat sebentar. Mungkin aku akan mendapat sedikit ketenangan. Tetapi mungkin pula aku justru menjadi semakin tegang.” Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu, “Sebentar lagi aku memerlukan laporan keadaan, di dalam dan di luar halaman ini.”

Maka sejenak kemudian Pandan Wangi, telah berada di dalam biliknya. Dibaringkannya dirinya di pembaringannya untuk mencoba beristirahat. Sekali-sekali dipejamkannya matanya, namun ia tidak berhasil untuk sekejap saja melupakan persoalan yang kini sedang membelit tanah perdikannya, ayahnya, dan dirinya sendiri.

“Hem,“ Pandan Wangi berdesah. Kepalanya terasa pening. Sekali-sekali angan-angannya terbang ke Pucang Kembar. Ia sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Tetapi satu hal yang sangat mengganggunya, adalah bahwa ia sama sekali tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi.

Ketika ia melihat sikapnya, pada saat ia dicegat oleh enam orang yang tidak dikenal, maka tumbuhlah berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Apalagi setelah ia merenungkan semua cerita ayahnya, sikapnya dan kata-katanya, ia mendapat kesimpulan, bahwa Ki Tambak Wedi kini tidak dapat lagi dipercaya.

“Mungkin aku terlampau berprasangka,” gumamnya di dalam hati, “tetapi aku tidak dapat mengingkari kata hati ini. Mungkin aku sekedar dicemaskan oleh nasib ayahku kini.”

Pandan Wangi menggigit bibimya. Dicobanya mencari jalan agar ia dapat pergi ke Pucang Kembar. Tetapi ia sadar, bahwa apabila ayahnya mengetahuinya, maka akibatnya akan dapat membahayakan sekali.

“Aku akan minta Paman Kerti pergi untuk melihat-lihat apa yang kini terjadi di bawah Pucang Kembar.” desisnya. Namun kemudian, “Tetapi Wrahasta membuat aku menjadi ngeri. Paman Kerti harus tetap berada di sini.”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia tidak berani memberi perintah langsung kepada seseorang atau siapa pun untuk pergi ke Pucang Kembar. Tidak seorang pun akan sanggup berangkat karena mereka takut kepada ayahnya. Ayahnya telah berpesan, tidak seorang pun boleh melihat apa yang telah terjadi. Ia tidak mau menodai namanya sendiri. Satu atau dua orang yang melihat perkelahian itu, akan dapat menumbuhkan kesan yang kurang baik pada Ki Argapati, seolah-olah Ki Argapati telah membawa satu atau dua orang pengawal.

Karena itu, juga mustahil baginya untuk memerintahkan seseorang atau dua orang untuk pergi.

Dengan demikian, maka justru ketegangan dan kegelisahan semakin mengamuk di dalam dirinya. Sehingga dadanya serasa berguncang-guncang dan jantungnya serasa akan meledak.

Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berdiri. Ia menemukan suatu cara untuk melaksanakan maksudnya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Dan perlahan-lahan ia memanggil Kerti yang masih duduk di pringgitan.

“Paman, Paman Kerti.”

Kerti yang sedang terkantuk-kantuk terperanjat. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan bersama kedua kawannya mendekati Pandan Wangi, “Ada apa Ngger?”

“Paman, kenapa aku tidak boleh keluar dari halaman rumah ini untuk pergi ke Pucang Kembar?”

“Jangan Ngger. Kau mempunyai tugas di sini. Tugas yang tidak dapat kau tinggalkan. Lebih daripada itu, kehadiranmu akan mengganggu ayahmu. Menurut penilaianku, Ki Tambak Wedi dan ayahmu memiliki kelebihannya masing-masing. Sekejap saja ayahmu lengah, atau perhatiannya terganggu, maka akibatnya akan berbahaya sekali baginya.”

“Tetapi bagaimanakah kalau Ki Tambak Wedi curang.”

“Apakah kira-kira bentuk kecurangannya itu?”

“Ia telah memanggil beberapa orang tidak dikenal ke dalam tanah perdikan ini. Apakah tidak mungkin bahwa ia membawa beberapa orang bersamanya dan beramai-ramai berkelahi bersamanya melawan Ayah di bawah Pucang Kembar.”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Sidanti telah melakukan apa saja tanpa mengenal tanggung jawab untuk mencapai maksudnya. Di antaranya orang-orang yang tidak dikenal itu. Maka tidak mustahil apabila Ki Tambak Wedi mempergunakan cara yang sama. Tetapi tiba-tiba orang tua itu menggelengkan kepalanya, “Tidak seorang pun yang berani melanggar perintah Ki Gede Menoreh.”

“Aku akan pergi, Paman. Aku tidak akan menampakkan diriku. Aku akan bersembunyi. Hanya apabila keadaan memaksa aku akan membantu Ayah.”

“Tidak Ngger, tidak.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Bagaimana apabila aku memaksa?”

“Jangan Ngger. Mungkin Angger akan berhasil. Tidak seorang pun yang dapat menahan Angger di sini, meskipun kami mempergunakan segala wewenang yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh, sebab tidak seorang pun di sini yang mampu menahanmu, apalagi apabila Angger mempergunakan kekerasan. Namun demikian, aku minta jangan kau lakukan, Ngger. Untuk kepentinganmu dan kepentingan Ki Gede sendiri.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Kerut di keningnya menjadi semakin dalam. Tiba-tiba saja ia berbalik dan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam biliknya. Sebelum Kerti sempat bertanya sesuatu kepadanya, maka pintu bilik itu telah tertutup.

Kerti mengangkat bahunya. Dipandanginya kedua temannya dengan penuh kecemasan. Tetapi kedua kawannya itupun menggelengkan kepalanya. Mereka pun tidak tahu, apakah yang sepantasnya dilakukan.

Perlahan-lahan Kerti meninggalkan pintu bilik Pandan Wangi kembali ke pringgitan. Dengan penuh persoalan di dalam dirinya, ia merenung sambil menundukkan kepalanya. Namun kecemasan Pandan Wangi itu beralasan. Mungkin Ki Tambak Wedi berbuat curang. Mungkin, mungkin sekali. Memang tidak ada salahnya apabila seseorang atau dua orang pergi menengoknya. Tentu saja sambil bersembunyi-sembunyi, agar Ki Argapati tidak mengetahuinya. Apabila Ki Tambak Wedi tidak berbuat curang, maka orang-orang itu tidak boleh menampakkan dirinya.

Tetapi seperti orang disengat lebah. Kerti terlonjak berdiri dan langsung berlari ke bilik Pandan Wangi. Tanpa mengetuk pintu bilik itu langsung dibukanya, untuk melihat apakah Pandan Wangi masih ada di dalamnya.

Terasa dada Kerti akan meledak ketika ia tidak melihat Pandan Wangi di dalam biliknya. Dilihatnya setiap sudut, setiap lekuk dan bahkan di sisi gelodog bambu. Namun Pandan Wangi benar-benar tidak ada lagi di dalam bilik itu.

Dengan tergesa-gesa Kerti meloncat keluar. Di depan bilik itu, hampir ia berbenturan dengan kedua kawannya yang menyusulnya.

“Pandan Wangi tidak berada di biliknya,” desis orang tua itu.

“Apakah ia pergi?”

“Mungkin sekali. Lihatlah pintu belakang. Apakah pintu itu terbuka. Tetapi jangan membuat gaduh. Lakukanlah seolah tidak terjadi sesuatu.”

Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka melangkah ke ruang dalam. Dilihatnya pintu belakang yang langsung menuju ke serambi yang berhadapan dengan dapur masih tertutup rapat.

“Salarak pintu itu masih di tempatnya.” desis yang seorang.

Yang lain menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Mungkin ia masih berada di dalam biliknya atau di dalam rumah ini.”

“Mungkin di bilik Ki Argapati.”

Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian mereka melangkah kembali. Mereka ingin melihat ke dalam bilik Ki Argapati. Mungkin Pandan Wangi ada di sana. Tetapi sekali lagi mereka hampir berbenturan dengan Kerti yang baru saja melangkahi pintu bilik Ki Gede dari dalam.

“Kosong,” desis Kerti.

Kedua kawannya mengerutkan keningnya. Namun seperti orang tersadar dari mimpinya, Kerti berkata, “Lihat pintu butulan samping.”

Ketiganya segera pergi ke pintu butulan. Pintu itupun masih tertutup rapat. Tetapi ketika Kerti merabanya, pintu itu bergerak setebal jari.

“Pintu ini sudah tidak terkancing.”

Kawannya meninting selarak pintu sambil berkata, “Inilah selaraknya.”

“Hem,” Kerti menarik nafas dalam-dalam. “Aku terlampau bodoh. Seharusnya sejak aku mendengar maksudnya untuk pergi ke Pucang Kembar, aku sudah dapat menduga, bahwa anak yang keras hati itu akan lari seperti yang pernah dilakukan. Ia pernah lari untuk menemui kakaknya. Padahal waktu itu Ki Argapati ada di rumah. Apalagi kini. Tidak seorang pun yang ditakutinya di dalam rumah ini. Bodoh sekali. Bodoh sekali. Aku menyadarinya setelah aku terlambat.”

“Itukah sebabnya kau terloncat dari tempat dudukmu?”

“Ya, itulah. Tetapi sudah terlambat.”

Kedua kawannya saling berpandangan. Tetapi mereka tidak mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan. Karena itu maka mereka pun kemudian terdiam sambil memandangi wajah Kerti yang pucat.

“Oh. kalau Pandan Wangi benar sampai ke Pucang Kembar, dan Ki Argapati mengetahuinya, alangkah besar akibatnya. Meskipun gadis itu menyadarinya juga, namun perasaannya yang melonjak-lonjak akan sangat sulit untuk dikendalikannya. Darah muda yang mengalir di dalam dirinya, justru darah Argapati yang keras hati, akan membuatnya kehilangan pengamatan diri.”

“Lalu apakah yang sebaiknya kami kerjakan?” bertanya salah seorang kawannya.

Kerti termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Marilah kita lihat dahulu, mungkin ia masih berada di halaman.”

Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Memang mustahil untuk keluar dari halaman rumah ini.”

Ketiganya pun kemudian berjalan keluar. Mereka mencoba untuk tidak terpengaruh oleh hilangnya Pandan Wangi. Mereka berjalan seperti tidak terjadi sesuatu.

Di luar pendapa mereka pun segera berpencar. Tanpa berkata apa pun, mereka mencari ke arah yang berbeda-beda.

Wrahasta yang duduk di gardu, di regol halaman melihat ketiga orang itu turun. Sejenak ia mengikuti dengan pandangan matanya yang tajam. Memang tumbuh pula pertanyaan di dalam dirinya, kenapa mereka kemudian pergi berpencaran. Namun karena sikap ketiga orang itu sama sekali tidak mencurigakannya, maka ia pun kemudian tidak mempedulikannya lagi.

Tetapi tiba-tiba teringat olehnya, Pandan Wangi, yang tidak pernah dapat dijumpainya sendian. Setiap kali Kerti selalu ada bersamanya. Karena itu, kepergian Kerti bersama kedua kawannya itu akan merupakan kesempatan baginya untuk bertemu dengan Pandan Wangi tanpa diganggu oleh siapa pun.

Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan mempergunakan kesempatan itu? Namun agaknya hasratnya yang tidak tertahankan lagi untuk mendapat penjelasan dari Pandan Wangi telah mendesaknya. Sehingga karena itu, maka perlahan-lahan ia berdiri. Sesaat ia berdiri mematung di tempatnya. Kerti dan kedua kawannya tidak dilihatnya lagi, hilang di dalam baying-bayang pepohonan.

“Aku akan masuk,“” katanya di dalam hati, “banyak alasan yang dapat aku berikan, kenapa aku masuk.”

Wrahasta itupun kemudian membulatkan maksudnya. Kepada para penjaga di gardu ia berkata, “Aku akan menghadap Pandan Wangi. Ia setiap kali harus mendengar perkembangan keadaan.”

Kawan-kawannya tidak berprasangka apa pun. Tetapi salah seorang berkata, “Tidak ada perkembangan apa-apa.”

“Itulah yang akan aku katakan, bahwa sampai saat ini tidak ada perkembangan apa pun, supaya ia tidak bertambah gelisah.”

Wrahasta itupun kemudian melangkah perlahan-lahan ke pendapa. Ia masih melihat beberapa orang duduk-duduk sambil berbicara perlahan-lahan. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menaruh perhatian terhadap sikapnya.

Perlahan-lahan Wrahasta melintasi pendapa, membuka pintu pringgitan dan masuk ke dalamnya. Kemudian menutup pintu itu kembali. Namun di pringgitan itu sama sekali tidak dijumpainya seseorang. Pandan Wangi tidak ada di pringgitan.

“Hem,” ia berdesah, “aku harus bertemu sekarang. Tetapi di mana anak itu?”

Sejenak Wrahasta menjadi bimbang. Bahkan hampir-hampir ia melangkah keluar. Tetapi sekali lagi hasratnya untuk berbicara dengan Pandan Wangi mendesaknya lagi.

“Anak ini pasti tertidur,” densisnya perlahan-lahan sekali, “karena itulah, maka Kerti meninggalkannya.”

Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar berada di dalam kebimbangan. Namun dalam pada itu di luar sadarnya ia melangkah ke pintu bilik Pandan Wangi yang separo tertutup.

Keragu-raguan semakin memuncak di dalam dadanya. Kini ia berdiri tegak di sisi pintu bilik itu dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Bahkan terasa tubuhnya menjadi gemetar. Jauh melampaui dari saat-saat ia berdiri di hadapan seorang lawan yang betapa pun dahsyatnya. Sekali-sekali disapunya seluruh ruangan itu dengan matanya. Kecemasan yang sangat, mencengkam dadanya. Bagaimanakah kata Kerti nanti apabila melihat sikapnya itu?

“Tetapi aku harus menemuinya,” katanya di dalam hati. “Sekarang.”

Dengan demikian, maka Wrahasta segera membulatkan tekadnya. Tetapi ia tidak mau mengejutkan Pandan Wangi. Apalagi membuat gadis itu memekik. Karena itu maka ia tidak mau langsung masuk ke dalam bilik itu. Perlahan-lahan mengetuk pintu sambil bergumam lirih, “Wangi. Pandan Wangi.”

Namun bilik itu terlampau sepi. Sehingga Wrahasta mengulanginya, “Pandan Wangi. Wangi.” Dan ketukan tangannya menjadi semakin keras.

Masih belum ada jawaban.

Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Pandan Wangi adalah seorang gadis yang menurut pendengarannya mempunyai ilmu yang cukup, meskipun ia belum pernah menyaksikannya sendiri. Karena itu, maka pendengarannya pun pasti terlatih baik, meskipun ia sedang tidur. Mustahillah apabila gadis itu masih belum mendengar panggilannya.

“Hem,” ia berdesah, “terlampau sulit untuk mengetahui perasaan yang sesungguhnya. Aku hanya dapat berharap-harap cemas. Tetapi aku tidak dapat mendengar ia berkata setegas-tegasnya, ‘Ya’.”

Akhirnya Wrahasta tidak telaten menunggu. Beberapa kali ia telah mengulangi panggilannya. Tetapi sama sekali tidak ada jawaban.

“Ia pasti sudah mendengar suaraku,” katanya di dalam hati, “aku mengharap tidak akan mengejutkannya.”

Perlahan-lahan dan sangat hati-hati Wrahasta melangkah ke pintu. Ditolaknya daun pintu lereg itu ke samping, dan dijengukkannya kepalanya. Perlahan-lahan sekali sambil berdesis, “Maafkan aku Wangi.”

Tetapi tiba-tiba hatinya berguncang. Nafasnya terasa seakan-akan berhenti. Bilik itu ternyata kosong. Kosong sama sekali. Tidak ada seorang pun di dalamnya. Apalagi Pandan Wangi yang sedang tidur.

Jantung Wrahasta serasa akan meledak oleh kekecewaan. Bahkan hampir-hampir ia terlempar dalam kemarahan yang sangat. Tetapi kemudian orang yang bertubuh raksasa itu berusaha untuk mengendalikan dirinya.

“Salahku,” ia mencoba menghibur diri sendiri, “bukan salah Pandan Wangi dan bukan salah Kerti. Tidak seorang pun yang mengatakan kepadaku, bahwa Pandan Wangi sedang tidur di dalam biliknya. Tetapi dengan demikian di manakah anak itu sekarang? Apakah ia sedang berada di dapur, atau di pakiwan, atau di mana?”

Kegelisahan yang tajam telah tergores di dinding hatinya. Bahkan ia menjadi cemas tanpa disadari sebab-sebabnya.

“Ke manakah Kerti dan kedua kawannya itu?” baru kinilah tumbuh kecurigaan di hatinya. Karena itu, maka tergesa-gesa ia melangkah keluar dari ruangan itu, melintasi pendapa dan kemudian turun ke halaman. Kini ia berusaha untuk menemukannya Kerti dan bertanya tentang Pandan Wangi.

Tidak terlampau sulit untuk mencari Kerti di halaman itu. Kerti sedang berdiri disisi regol butulan. Meskipun Kerti tidak bertanya sesuatu, tetapi apabila orang-orang di regol butulan itu melihat seseorang keluar, lewat regol atau meloncat dinding, mereka pasti akan mengantarkannya. Tetapi ternyata orang-orang di regol halaman belakang itu tidak mengatakan sesuatu.

“Paman Kerti,” Wrahasta tidak dapat menahan dirinya lagi, “aku memerlukanmu sekarang.”

Kerti mengerutkan keningnya. Ia menjadi berdebar-debar melihat sikap Wrahasta. Apakah mungkin Wrahasta yang melepaskan Pandan Wangi keluar regol halaman?

“Cepatlah sedikit,” desak Wrahasta.

Kerti tidak menyahut. Tetapi segera diikutinya Wrahasta ke tempat yang agak terlindung.

“Apakah kau melihat Pandan Wangi?” bertanya Wrahasta langsung.

Kerti yang tua itu memandang wajah Wrahasta tajam-tajam, seolah-olah langsung ingin melihat ke dalam pusat dadanya. Sejenak kemudian perlahan-lahan ia bertanya, “Kenapa kau bertanya tentang Pandan Wangi?”

“Jangan mempersulit. Katakan di mana Pandan Wangi sekarang.”

“Jangan mendesak seperti itu, Wrahasta. Tetapi dengan demikian aku tahu bahwa kau telah mencarinya di dalam rumah dan kau tidak menemukannya. Bukankah begitu?”

Dada Wrahasta berdesir. Tetapi ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Sambil menganggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya. Aku telah mencarinya.”

“Pada saat kau melihat aku dan kedua kawan-kawanku keluar dari rumah itu?”

“Ya.”

“Kenapa? Kenapa kau mempergunakan waktu itu untuk bertemu dengan Pandan Wangi? Justru pada saat aku pergi keluar?”

Wrahasta tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Dengan demikian sejenak ia terdiam. Namun sejenak kemudian ia menjawab, “Kalau kau akan mempersoalkan hal itu, baiklah kita persoalkan kelak. Tetapi di mana Pandan Wangi sekarang?”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Maka dijawabnya dengan nada datar, yang meskipun perlahan-lahan, tetapi benar-benar telah menggoncangkan dada Wrahasta, “Pandan Wangi ternyata tidak ada di dalam rumah itu. Itulah sebabnya aku sekarang sedang mencarinya di halaman rumah ini.”

Sejenak Wrahasta membeku di tempatnya. Namun gemuruh di dadanya serasa akan memecahkan jantungnya. Bahkan serasa ia tidak yakin akan pendengarannya. Apakah benar Kerti berkata demikian? Bahwa Pandan Wangi tidak ada di dalam rumah?

Karena Wrahasta tidak segera berkata sesuatu, maka terdengar suara Kerti seolah-olah bergumam saja di dalam mulutnya, “Ia masuk ke dalam biliknya. Aku sangka ia ingin beristirahat atau apabila mungkin tidur. Tetapi ternyata ia lenyap seperti ditelan hantu. Tetapi menurut dugaankn, amatlah sulit untuk keluar dari halaman ini tanpa dilihat oleh seseorang.”

Terdengar Wrahasta menggeram. Kemudian jawabnya patah-patah, “Ya. Memang tidak mungkin keluar dari halaman rumah ini.”

“Marilah kita mencoba mencarinya. Tetapi tidak usah membuat gaduh. Biarlah mereka yang tidak tahu tidak menjadi ikut gelisah karenanya.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Marilah,” desisnya.

Kerti dan Wrahasta kemudian meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda-beda, seperti kedua kawan Kerti yang lain. Mereka menyusup ke segenap sudut dan tempat-tempat yang terlindung. Bahkan kandang kuda pun mereka lihat pula, kalau-kalau Pandan Wangi baru sekedar bersembunyi sebelum mendapat kesempatan pergi.

Tetapi belum juga salah seorang dari mereka berhasil menemukan Pandan Wangi, sehingga mereka menjadi gelisah. Kerti yang kemudian berjalan di sepanjang dinding halaman, akhirnya menemukan juga tempat-tempat yang menurut penilaiannya cukup lemah. Satu dua penjaga ternyata duduk sambil terkantuk-kantuk.

“Apakah mungkin Pandan Wangi meloncat dinding halaman ini?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.

Namun akhirnya Kerti berkesimpulan, bahwa hal itu memang mungkin sekali dilakukan. Pandan Wangi bukan seorang gadis biasa. Bahkan ia berada di atas semua laki-laki di tanah perdikan itu dalam olah kanuragan, sehingga sangat mungkin baginya untuk mengelabuhi satu dua orang pengawas yang berjaga-jaga di seputar rumahnya.

Beberapa saat kemudian, Kerti, kedua kawannya, dan Wrahasta telah berkumpul di dalam pringgitan. Tampaklah wajah-wajah mereka menjadi tegang dan nafas mereka seakan-akan berkejaran lewat lubang hidung mereka karena kegelisahan.

“Kita ternyata tidak dapat menemukannya,” gumam Kerti seolah-olah kepada diri sendiri.

“Ya,” sahut Wrahasta, “anak itu seolah-olah hilang ditelan hantu.”

“Aku mencemaskannya apabila ia pergi ke Pucang Kembar,” berkata Kerti kemudian.

“Apakah ia bermaksud demikian?” bertanya Wrahasta.

“Ia selalu menyatakan keinginannya itu.”

“Kalau begitu, aku akan menyusulnya.”

“Jangan berbuat bodoh. Pikirkan lebih dahulu setiap tindakan,” sahut Kerti, “apakah sudah sepantasnya kau meninggalkan tanggung jawabmu atas halaman dan rumah ini.”

“Pandan Wangi termasuk sebagian, bahkan yang terbesar dari tanggung jawabku. Karena itu, sudah seharusnya aku mencarinya sampai ketemu.”

Kerti yang tua itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Jangan Wrahasta. Kau bertanggung jawab atas halaman ini seisinya. Kalau halaman ini kau tinggalkan dan malam ini juga Sidanti memasuki rumah ini, maka kesalahan terbesar terletak di bahumu. Sedang Pandan Wangi, serahkanlah ia kepadaku. Aku akan mencarinya dan membawanya kembali ke dalam rumah ini.”

Sejenak Wrahasta menahan nafasnya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Ia mengerti maksud Kerti, tetapi perasaannya seolah-olah tidak dapat lagi dikekangnya. Ia menjadi terlampau cemas atas nasib Pandan Wangi.

“Jangan kau terlampau menuruti perasaanmu anak muda,” berkata Kerti kemudian, “aku tidak akan mencampuri persoalanmu, persoalan anak-anak muda. Tetapi kau harus dapat memisahkan kepentingan yang satu dengan yang lain. Persoalan yang menyangkut tanah perdikan ini dan persoalan pribadimu.”

“Oh,” Wrahasta berdesah, “darimana kau tahu, Paman?”

“Aku adalah orang tua. Aku dapat menangkap getar dalam dada anak-anak muda. Karena itu, dengarlah nasehatku. Kau tinggal di sini. Aku akan pergi. Aku tahu apa yang harus aku kerjakan. Aku akan pergi ke Pucang Kembar, tanpa mengganggu perang tanding itu. Sebab apabila Ki Gede Menoreh mengetahui kehadiranku, atau salah seorang dari kita, maka alangkah marahnya. Kalau aku terlambat, dan Pandan Wangi telah ada di sana pula, maka aku pun akan menerima akibat yang sama. Bahkan kehadiran Pandan Wangi apabila diketahui oleh ayahnya benar-benar merupakan bahaya yang pasti bagi Ki Gede.”

Wrahasta tidak segera menjawab. Perlahan-lahan kepalanya menunduk.

“Tinggallah kau di sini anak muda,”berkata Kerti kemudian, “kedua kawanku ini pun akan tinggal di sini pula. Setiap saat Sidanti dan Argajaya akan merayap memasuki induk tanah perdikan ini. Adalah menjadi kewajibanmu untuk bertahan di sini.”

Wrahasta masih belum menjawab. Kepalanya kini benar-benar telah tertunduk dalam-dalam. Tampaklah ia sedang berpikir. Dicobanya untuk mengatasi gelora perasaannya, dan menempatkannya pada keadaan yang wajar. Wajar bagi seorang pemimpin pasukan pengawal yang mendapat perintah untuk bertanggung jawab atas halaman dan rumah ini.

“Apakah kau mengerti maksudku?” bertanya Kerti.

Perlahan-lahan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku mengerti. Tetapi apakah kau akan pergi seorang diri?”

“Aku akan singgah ke banjar. Aku akan menemui Samekta. Mungkin aku akan mendapat kawan yang baik dari banjar. Sebab kita sadar, siapakah yang kini sedang berada dan berperang tanding di bawah Pucang Kembar itu.”

Wrahasta mengangguk pula, “Baiklah. Aku akan tinggal di sini. Mudah-mudahan kau berhasil menemukan dan membawa anak itu kembali ke rumah ini.”

“Aku akan berusaha,” sahut Kerti, “nah, baiklah aku segera berangkat. Aku akan membawa kuda, supaya aku datang lebih cepat dari Pandan Wangi.”

Sesaat kemudian seekor kuda berderap lari meninggalkan halaman rumah Pandan Wangi. Suaranya gemeretak di atas jalan berbatu-batu, memecah sepinya malam. Semakin lama semakin jauh dan beberapa saat kemudian hilang dari pendengaran.

Wrahasta masih berdiri di regol halaman. Debar jantungnya masih terasa menghentak-hentak di dadanya. Ia telah dicengkam oleh kecemasan tentang hilangnya Pandan Wangi. Cemas bahwa ia untuk seterusnya tidak akan dapat mengharapkannya, dan cemas atas tanggung jawab yang di bebankan kepadanya.

Tetapi Wrahasta mencoba untuk menumpahkan segala harapannya kepada Kerti. Ia kenal orang tua itu. Ia tahu kemampuan yang tersimpan di dalam diri pemomong Pandan Wangi itu. Karena itu maka ia masih belum berputus asa.

Sementara itu Kerti memacu kudanya menyusup dalam keremangan malam. Sekali-sekali ditengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan yang bulat semakin meninggi. Seperti Pandan Wangi, terbayang di dalam angan-angannya, sebuah perkelahian antara hidup dan mati yang dahsyat telah terjadi di Pucang Kembar. Perkelahian antara dua orang yang pilih tanding.

“Hem,” orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ingin menghirup kesejukan malam sebanyak-banyaknya. “Pandan Wangi benar-benar anak yang keras hati. Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”

Kerti pun mencoba memacu kudanya semakin cepat, supaya ia dapat mendahului Pandan Wangi. Kalau kedatangan Pandan Wangi itu diketahui oleh ayahnya, maka rusaklah perang tanding itu.

Ketika Kerti sampai dimuka halaman banjar, maka segera ia menarik kekang kudanya. Seorang penjaga regol mendekatinya dengan tombak menunduk, “Siapa?”

“Aku, Kerti. Apakah Samekta ada di dalam banjar?”

“O, kau Kiai, masuklah.”

Kerti segera memasuki halaman. Setelah kudanya diikatkannya pada sebatang kayu, maka dengan tergesa-gesa ia menemui Samekta yang duduk dengan beberapa orang pemimpin pengawal di pendapa.

“He, kau sendiri datang kemari?” bertanya Samekta.

Kerti mengangguk, “Ya,” jawabnya pendek.

“Kau nampak terlalu bersungguh-sungguh. Aku menjadi berdebar-debar.”

“Memang seharusnya kau menjadi berdebar-debar,” jawab Kerti yang masih juga sempat bergurau, “aku memang ingin melihat kau menjadi tegang, berdebar-debar dan cemas, supaya aku tidak dicengkam perasaan demikian seorang diri.”

“O, jadi kau memerlukan kawan dalam kebingungan? Baiklah. Aku akan menjadi tegang, berdebar-debar dan cemas. Tetapi aku harus tahu apakah sebabnya, maka kau menjadi demikian.”

“Dengarlah baik-baik. Berpeganganlah pada tiang, supaya kau tidak terjatuh dan pingsan.”

“Katakanlah. Aku sudah terlanjur cemas. Dadaku sudah berdebar-debar dan darahku serasa semakin cepat mengalir.”

“Baiklah,” jawab Kerti yang wajahnya kini menjadi bersungguh-sungguh, “Pandan Wangi ternyata tidak berada di rumahnya.”

“He,” Samekta tergeser secengkang, “kau berkata sebenarnya?”

“Hal ini benar-benar telah terjadi.”

Sejenak Samekta tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ditatapnya saja wajah Kerti, seakan-akan ingin melihat apa yang tersembunyi di balik wajah yang sudah mulai dilukai oleh kerut-merut itu.

“Apakah kau kurang percaya?”

Samekta tidak segera menjawab. Tetapi sejenak kemudiaa ia menggeleng, “Bukan. Bukan karena aku tidak percaya. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Apabila benar demikian, maka anak itu sudah lari untuk kedua kalinya dari rumahnya. Tetapi apakah kalian lengah mengawasinya.”

“Sudah tentu. Kalau tidak, ia tidak akan dapat keluar dari halaman.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Memang tidak perlu untuk mencari siapakah yang bersalah. Tetapi apakah kau dapat menduga, ke mana perginya? Yang terpenting sekarang adalah menemukannya, bukan mempersoalkan siapakah yang bertanggung jawab atas hilangnya itu.”

”Bagus. Ternyata pikiranmu masih cukup sehat,” sahut Kerti, yang kemudian menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya di dalam rumah Ki Argapati. Bagaimana sikap dan keinginan Pandan Wangi, sehingga pada suatu saat ia menemukan bilik itu kosong.

“Kalau begitu kita harus cepat pergi,” berkata Samekta, “tetapi apakah aku dapat meninggalkan banjar ini?”

“Bukan kau sendiri. Tetapi kau dapat menunjuk seseorang yang paling kau percaya untuk menemaniku.”

“Kau akan pergi?”

“Ya. Pekerjaan ini bukan pekerjaan sambilan. Aku harus menemukannya. Sedang kita tahu, di bawah Pucang Kembar itu kini sedang terjadi benturan yang dahsyat antara dua orang rakrasa yang perkasa.”

Samekta mengerutkan keningnya sambil mengangguk-angguk. Ia menyadari keadaan sepenuhnya. Karena itu maka dipilihnyalah dua orang pemimpin pengawal yang paling kuat di antara sekian banyak kawan-kawannya untuk pergi ke Pucang Kembar.

“Usahakan, supaya Ki Argapati tidak tahu apa yang terjadi. Kau harus menemukan Pandan Wangi sebelum Pandan Wangi berhasil mendekat. Kalau kau mempergunakan kuda, maka kau pasti akan jauh lebih cepat daripadanya, sehingga kau dapat mencegatnya sebelum ia naik ketebing itu.”

“Ya. Aku akan berangkat sekarang.”

“Pergilah.”

Kerti pun segera pergi bersama dua orang pemimpin pengawal yang terpilih. Mereka segera memacu kuda-kuda mereka seperti angin. Setiap kali mereka harus memperlambat derap kaki-kaki kuda itu di depan gardu-gardu peronda, untuk menjawab berbagal pertanyaan yang hampir bersamaan satu dengan lainnya. Namun betapa mereka menjadi jemu, mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Maka semakin lama ketiga orang itu menjadi semakin dekat dengan Pucang Kembar. Tetapi mereka masih belum menemukan atau melampaui Pandan Wangi, sehingga Kerti semakin lama menjadi semakin gelisah karenanya.

“Derap kuda kita agaknya telah mendorong Pandan Wangi untuk bersembunyi,” berkata Kerti perlahan-lahan.

“Ya. Beberapa puluh langkah di muka, suara derap kuda ini sudah terdengar. Mungkin sebentar lagi, semakin kita maju, maka Ki Argapati di bawah Pucang Kembar pun akan mendengarnya pula,” sahut salah seorang temannya.

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memperlambat lari kudanya ia berkata, “Jangan terlampau cepat, supaya derap kaki-kaki kuda kita tidak terlampau keras.”

Ketiganya kemudian meneruskan perjalanan mereka dengan langkah-langkah yang lebih lamban. Kuda-kuda mereka berlari perlahan-lahan, sehingga sentuhan kaki-kaki kuda itu di atas tanah berbatu padas tidak meninmbulkan suara terlampau keras.

“Kita sudah terlampau dekat,” berkata Kerti beberapa saat kemudian. “lebih baik kita turun. Kita sembunyikan kuda kita, lalu kita mendekat dengan berjalan kaki. Kalau kita terlampau dekat, maka apabila kuda-kuda itu meringkik, rusaklah segala acara.”

Kawan-kawannya menyetujuinya, sehingga mereka bertigapun meneruskan perjalanan itu sambil berjalan kaki. Hati-hati dan dengan penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka seolah-olah tidak terpisah lagi dari hulu pedang mereka. Sedang kawan Kerti yang seorang, yang bertubuh kecil, mempunyai beberapa bilah pisau di ikat pinggangnya yang lebar, selebar telapak tangan. Tangannya yang pendek itu terlampau cepat melepaskan pisau-pisaunya, dengan bidikan yang tepat. Ia hampir tidak pernah gagal mengenai sasarannya. Apalagi sasaran yang diam, sedang sasaran bergerak pun hampir pasti dapat dikuasainya.

Semakin dekat mereka dengan Pucang Kembar, mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka berjalan di antara semak-semak yang rimbun. Kemudian membungkuk-bungkuk dan berlari-lari kecil dari satu gerumbul kegerumbul yang lain.

Namun mereka sama sekali tidak menemukan Pandan Wangi. Mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda apapun tentang gadis itu. Sehingga dengan demikian, maka Kerti pun menjadi semakin berdebar-debar. Keringat dingin telah mengalir di segenap wajah kulitnya. Bajunya menjadi basah, dan di keningnya mengembun beberapa titik keringat.

Beberapa langkah lagi mereka menjadi semakin dekat. Dengan dada berdebar-debar mereka menjengukkan kepala mereka dari balik gerumbul-gerumbul yang rimbun. Terasalah desir yang tajam di dalam dada mereka, ketika remang-remang di kejauhan mereka melihat dua bayangan seperti endog pangamun-amun, bergetar di dalam keremangan cahaya rembulan yang bulat.

Sesaat mereka saling berpandangan. Meskipun tidak sepatah kata pun yang terucapkan, namun seolah-olah mereka saling dapat menangkap isi hati masing-masing.

Kerti dan kedua orang kawannya adalah orang-orang yang memiliki pengalaman yang cukup sebagai pengawal-pengawal tanah perdikan. Namun mereka seperti kanak-kanak yang baru pertama kalinya melihat seekor kuda berpacu. Mereka melihat bayangan yang seakan-akan melayang-layang itu dengan mulut ternganga. Alangkah dahsyatnya.

Namun sejenak kemudian, Kerti menyadari keadaannya. Dengan berbisik perlahan sekali ia berkata, “Kita tidak melihat Pandan Wangi di sini.”

“Mungkin ia berada di depan kita, semakin dekat dengan perkelahian itu.”

“Mungkin. Tetapi dengan demikian, sangat berbahaya baginya dan bagi Ki Argapati. Kalau kakinya menyentuh daun-daun kering itu, maka gemersik suaranya akan didengar oleh kedua orang yang luar biasa itu. Nah, kau pasti akan tahu akibatnya.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sedang Kerti berbisik pula, “Tetapi mungkin Pandan Wangi belum sampai ke tempat ini.”

“Baiklah kita menunggu saja di sini. Tempat ini cukup jauh, meskipun lamat-lamat kita melihat bayangan mereka yang berkelahi,” sahut kawannya.

Kerti mengangguk sambil berdesis, “Kita sulit membedakan keduanya selain dari bentuk senjata mereka. Yang bertombak itu pasti Ki Argapati, sedang yang bersenjata lebih pendek itu adalah Ki Tambak Wedi.”

Demikianlah, maka mereka bertiga tetap berada di tempat itu, di balik sebuah gerumbul yang rimbun. Dengan sepenuh hati mereka mengikuti perkelahian antara kedua orang yang pilih tanding. Perkelahian yang te!ah sampai pada pucaknya dengan bertaruh nyawa. Seolah-olah mereka sedang melanjutkan perkelahian yang pernah terjadi di bawah Pucang Kembar itu pula beberapa puluh tahun yang lampau.

Sementara itu, Sidanti, dan Argajaya, sedang sibuk mengatur pasukannya. Mereka merasa, bahwa telah sampai saatnya, mereka berangkat untuk merebut induk Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita akan memasuki padukuhaan induk itu dari Timur, Paman,” berkata Sidanti ketika pasukan mereka telah siap, “seperti pesan guru.”

“Ya,” sahut pamannya, “apakah pasukan yang akan memancing para pengawal itu telah siap pula.”

“Sudah. Aku sediakan sepasukan yang cukup kuat untuk bertahan beberapa lama, sementara pasukan induk kita masuk dari arah lain. Pasukan yang akan memancing perhatian itu akan datang dari arah Barat.”

“Bagus. Biarlah pasukan itu berangkat lebih dahulu.”

“Kita berangkat bersama-sama. Tetapi kita berpisah di jalan. Aku mengharap bahwa waktu yang kita perlukan tidak terpaut banyak. Kalau kita terlambat, pasukan yang datang dari Barat itu pasti sudah hancur lumat. Menurut pengamatan petugas-petugas sandi kita, pasukan pengawal Menoreh telah benar-benar dalam keadaan siaga.”

“Tetapi pasukan kita tidak berselisih banyak, Sidanti. Kekuatan kita pun cukup besar.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia adalah orang yang cukup berpengalaman. Namun ia kagum melihat ketangkasan Sidanti berpikir, merencanakan serangan atas padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya pengetahuan Sidanti selama ia menjadi prajurit, di alasi oleh darah Paguhan yang mengalir di dalam tubuhnya, menjadikannya seorang yang cerdas.

Maka sejenak kemudian Sidanti, Argajaya, dan kedua pasukannya telah siap. Setelah Sidanti memberi beberapa penjelasan kepada kedua pasukan itu, maka mereka itu pun segera berangkat. Pasukan yang pertama, yang sekedar memancing perlawanan pasukan-pasukan pengawal Menoren, telah diserahkan kepada seseorang yang dipercayanya, justru bukan orang Menoreh. Pasukan itu sebagian besar memang terdiri dari orang-orang yang tidak dikenal di tanan perdikan ini. Mereka terdiri dan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab apa pun. Mereka sekedar berkelahi untuk kepentingan pribadi masing-masing. Dengan berkelahi mereka mengharap mendapatkan keuntungan-keuntungan yang jauh lebih banyak daripada apabila mereka bekerja wajar. Tetapi mereka menyadari, bahwa taruhannya adalah leher mereka.

“Merampok pun aku harus mempertaruhkan kepala,” pikir salah seorang dari mereka, “kini aku mendapat kesempatan untuk melakukannya secara terbuka.”

“Kenapa kita dijadikan umpan di dalam gelar ini?” salah seorang dari mereka berdesis kepada kawannya.

Kawannya menggelengkan kepalanya, “Tidak. Pasukan induk itu akan segera menarik perhatian para pengawal. Kita akan mendapat banyak kesempatan. Kalau kita masuk ke induk tanah perdikan ini bersama Sidanti dan Argajaya, maka setiap gerak kita akan diawasinya. Tetapi dari jurusan ini, kita akan bebas melakukan apa saja yang kita kehendaki.”

“Tetapi tugas ini terlampau berat. Sebelum pasukan induk itu datang, kita akan bertempur melawan kekuatan yang jauh melampaui kekuatan kita.”

“Sidanti sudah berjanji, bahwa waktu yang diperlukannya tidak terpaut banyak.”

“Bagaimana kalau ia ingkar, justru menunggu sampai kita binasa?”

“Tidak ada gunanya kita membunuh diri. Kalau menurut pertimbangan kita, pekerjaan kita terlampau berat, kenapa kita tidak lari saja dan kemudian memukul sendiri Sidanti dari arah yang lain. Kita akan mendapat hadiah dari Ki Argapati, seperti apa yang dijanjikan Sidanti. Bahkan kalau kita sempat, biarlah kedua pasukan itu saling berhantam. Kita akan mengambil apa saja yang dapat kita ambil.”

Keduanya tertawa pendek. Pekerjaan yang mereka hadapi sama sekali lidak memerlukan tanggung jawab apa pun, selain menuggu upah yang dijanjikan oleh Sidanti, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan sepanjang pertempuran itu berlangsung.

Demikianlah, maka kedua pasukan itu telah membelah gelap malam menyelusur jalan yang menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Sidanti tidak terlampau bodoh untuk menempuh jalan terdekat. Ia yakin, bahwa di sepanjang jalan terdekat itu, telah berhamburan petugas-petugas sandi dan pengawas-pengawas dari pasukan Ki Argapati. Karena itu, maka dipilihnya jalan yang lain. Jalan kecil yang agak melingkar. Namun menurut perhitungannya adalah jalan yana paling aman.

Semakin lama, maka pasukan itupun menjadi semakin dekat dengan induk tanah perdikan. Beberapa orang yang tinggal di rumah di pinggir jalan terkejut mendengar langkah kaki seperti air yang mengalir. Tidak henti-hentinya, seakan-akan tanpa ujung.

Tetapi di dalam rumah itu pada umumnya sudah tidak ada lagi seorang laki-laki pun. Mereka telah menempatkan diri mereka menurut keyakinan masing-masing. Sebagian dari mereka berada di banjar Tanah Perdikan Menoreh, dan sebagian lagi turut serta dalam arus pasukan Sidanti yang menelusur jalan kecil seperti seekor ular raksasa yang sedang bergerak perlahan-lahan.

Ketika pasukan itu telah sampai di tempat yang mereka tentukan, maka pasukan ini pun segera berhenti. Di tempat itulah pasukan akan berbagi. Sebagian akan membelok ke Barat dan akan masuk melalui padukuhan-padukuhan kecil di sebelah Barat induk tanah perdikan, dan yang lain akan menuju ke Timur, untuk seterusnya masuk ke pedukuhan induk dari arah yang berlawanan dari arah pasukan yang pertama.

“Aku percayakan pasukan ini kepadamu,” berkata Sidanti kepada pemimpin pasukan yang bertugas memancing dari arah Barat. Seorang yang datang dari seberang Kali Bogowanta, yang menamakan dirinya Ki Peda Sura. Meskipun namanya tidak begitu dikenal, namun ia adalah seorang yang berpengaruh. Ki Peda Sura adalah seorang yang mempunyai kekuatan tersendiri, karena ia datang ke tanah perdikan ini bersama beberapa orang anak buahnya, bahkan merupakan satu pasukan kecil tersendiri. Seperti orang-orang lain, maka Ki Peda Sura mendapat janji yang menyenangkan. Ia akan mendapat daerah yang subur di sisi Barat Tanah Perdikan Menoreh selama Sidanti memerintah tanah perdikan itu. Itulah sebabnya, maka ia berkeras hati untuk membantu dan memenangkan perlawanan Sidanti atas ayahnya, Ki Argapati, meskipun Ki Peda Sura telah mengenal Argapati pula.

“Selama Argapati berkuasa di Menoreh, aku tidak akan mendapat keuntungan apa-apa daripadanya,” katanya di dalam hati, “tetapi agaknya berbeda dengan Sidanti. Aku dapat mengharap banyak daripadanya. Ia tidak akan dapat ingkar janji sebab selain aku dan orang-orangku banyak sekali orang-orang yang telah dilibatkannya dalam pertengkaran ini. Kalau ia ingkar, maka selamanya tanah ini tidak akan dapat tenteram meskipun di sini ada Ki Tambak Wedi.”

Sesaat kemudian Ki Peda Sura telah membawa pasukannya membelok kearah Barat, menyusur sebuah pematang yang sempit. Mereka akan sampai pada sebuah jalan kecil untuk segera memasuki sebuah padesan kecil pula. Ki Peda Sura, meskipun bukan orang Menoreh, tetapi ia cukup mempunyai pengetahuan tentang daerah itu, sehingga ia menduga bahwa ia harus berhati-hati menghadapi peronda-peronda yang mungkin dipasang oleh Argapati di desa kecil itu.

Sedangkan Sidanti dan Argajaya bersama-sama berada di dalam induk pasukannya. Mereka akan memasuki induk tanah perdikannya dari arah yang berlawanan. Yang masuk ke rumah Argapati harus mendapat pengawasan sebaik-baiknya, sehingga Sidanti dan Argajaya berdua bersama-sama merasa perlu berada di induk pasukan itu.

“Rumah itu harus diselamatkan,” desis Sidanti, “isinya maupun bangunannya.”

“Ya,” sahut pamannya. “tidak boleh sehelai papan pun yang pecah pada rumah itu. Apalagi kehilangan harta milik. Orang-orang gila yang ikut dalam pasukan Peda Sura adalah perampok-perampok yang buas. Biar sajalah mereka akan dihancurkan oleh pasukan Argapati.”

“Jangan Paman. Kita masih memerlukan mereka untuk saat-saat mendatang.”

“Kalau kita sudah menduduki padukuhan induk, kita tidak lagi memerlukan mereka.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, “Jadi itukah alasannya, kenapa Paman tadi sebelum berangkat berpendapat bahwa pasukan itu harus berangkat lebih dahulu?”

Argajaya tidak segera menjawab.

“Jangan sekarang Paman,” berkata Sidanti kemudian, “seperti Guru berpesan, mereka kita manfaatkan sampai selesai.”

“Apabila kita sudah selesai, maka sulitlah bagi kita untuk menyingkirkan mereka.”

“Itu adalah tugas Guru. Tetapi aku kira tidak demikian. Kita dapat membuat persoalan sehingga mereka saling berkelahi, karena kita tahu kepentingan mereka di sini satu dengan yang lainnya berbeda, tetapi hakekatnya adalah sama. Mereka ingin merampok dan memiliki apa saja sebanyak-banyaknya.”

“Ya. Tetapi lebih lama mereka tinggal di sini, maka tanah ini akan menjadi semakin rusak.”

“Kita akan mempergunakan mereka sampai Argapati sama sekali tidak mampu lagi melawan kita. Baik Argapati sendiri apabila ia berhasil lolos dari tangan Guru, maupun orang-orangnya.”

“Tidak mungkin Sidanti. Tidak mungkin Kakang Argapati akan lolos dari tangan gurumu dan pembantu-pembantunya.”

Sidanti tidak menjawab. Tetapi timbullah pertanyaan di dalam dirinya, “Kenapa Argajaya itu berpihak kepadaku? Tetapi dijawabnya sendiri, “Ah, biarlah itu diurus oleh Guru. Sudah tentu sikap itu mengandung pamrih, sebab Argapati adalah kakaknya sendiri.”

Namun terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sampai saat terakhir, saat gurunya bercerita kepadanya, ia pun menganggap bahwa Argapati itu adalah ayahnya. Bahkan sikapnya sama sekali tidak berbeda terhadapnya dan terhadap Pandan Wangi. Dan kini, tiba-tiba saja ia harus memusuhinya. Melawan orang yang selama ini dianggapnya sebagai ayahnya.

Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pada akhirnya ia harus berpihak kepada ayahnya yang sebenarnya. Ki Tambak Wedi. Dan orang itupun terlampau baik kepadanya selama ini. Karena itu pula agaknya Ki Tambak Wedi memanjakannya jauh melampaui seorang murid biasa.

Sementara itu, pasukan Sidanti kedua-duanya menjadi semakin dekat, sehingga mereka harus berjalan lebih berhati-hati lagi. Baik Ki Peda Sura, maupun Sidanti, telah melepaskan beberapa orang yang harus berjalan mendahului pasukan-pasukan mereka yang sebenarnya.

Dalam pada itu, di rumah Ki Argapati, Wrahasta menjadi terlampau gelisah. Ia berjalan hilir mudik di halaman. Kadang-kadang ia masih berusaha mencari Pandan Wangi di sudut-sudut gelap di halaman, tetapi ia sama sekali tidak menemukannya.

“Hem,” desahnya, “anak itu memang anak yang terlampau keras hati. Tetapi ia sama sekali tidak menyadari, apakah yang sedang terjadi di dalam tanah perdikan ini. Ia tidak menyadari, betapa besarnya bahaya di sepanjang jalan dan bahaya yang menunggunya di bawah Pucang Kembar.”

Tetapi tiba-tiba Wrahasta itu terperanjat, ketika salah seorang kawan Kerti yang ditinggalkan berjalan-jalan tergesa-gesa menemuinya.

“Mengapa?” bertanya Wrahasta yang menjadi berdebar-debar karenanya.

“Wrahasta, ternyata Pandan Wangi ada di dalam rumahnya.”

“He,” Wrahasta itu hampir saja terlonjak, “kau gila. Apakah kau ingin membuat aku semakin bingung?”

“Ikutlah aku,” jawab orang itu pendek tanpa memperhatikan kata-kata Wrahasta. Orang itupun sama sekali tidak menunggu jawaban. Denqan tergesa-gesa ia berjalan mendahului, langsung menuju ke pringgitan. Sedang di belakangnya Wrahasta pun berjalan mengikutinya tanpa bertanya lagi.

Ketika mereka melampaui pintu pringgitan, dada Wrahasta benar-benar berguncang. Ia melihat Pandan Wangi itu duduk bersama seorang kawan Kerti yang tidak ikut bersamanya.

“Pandan Wangi,” Wrahasta berkata dengan serta merta, “permainan apakah yang sedang kau lakukan? Di manakah kau selama ini?”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia berkata, “Duduklah, Wrahasta. Dengarlah baik-baik, apakah sebenarnya maksudku dengan permainan ini.”

Wrahasta tidak menyahut. Seolah-olah di luar sadarnya ia melangkah mendekati Pandan Wangi dan duduk di hadapannya bersama kawan Kerti yang seorang lagi.

“Wrahasta,” berkata Pandan Wangi, “aku memang sengaja bersembunyi, supaya kalian mencari aku. Aku memanjat pohon duku di halaman samping. Tidak seorang pun yang melihatku. Aku memang sengaja membuat kesan supaya Kerti menyangka aku pergi ke Pucang Kembar menyusul Ayah.”

“Apakah maksudmu Pandan Wangi? Apakah kau tidak sadar, bahwa permainan itu adalah permainan yang sangat berbahaya. Berbahaya bagi jiwa Kerti yang menyusulmu, dan berbahaya bagi Ki Argapati?”

“Mungkin demikian Wrahasta, tetapi mungkin sebaliknya. Aku mendapat firasat, bahwa Ki Tambak Wedi kali ini tidak akan berbuat dengan jantan dan jujur. Apabila Kerti mencari aku ke sana, maka setidak-tidaknya Ayah mempunyai seorang saksi, apa yang telah dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.”

Getar jantung Wrahasta terasa semakin cepat berdentangan di rongga dadanya. Namun kecemasan yang sangat telah menguasai perasaannya. Ia tahu benar, apakah akibat yang dapat timbul, seandainya Ki Argapati mengetahui, bahwa seseorang telah melihat perkelahian itu. Maka katanya, “Apakah menurut pertimbanganmu saksi itu akan menguntungkan kedudukan Ki Argapati? Justru dengan hadirnya seorang saksi, maka pemusatan kemampuan Ki Argapati akan terganggu. Nah, kau dapat membayangkan, sedikit saja gangguan pada salah seorang dari mereka, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk melakukan perang tanding itu seterusnya”

Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Memang kemungkinan yang demikian itupun dapat juga terjadi. Tetapi ia menjawab, “Wrahasta. Kerti tahu benar, bahwa hal yang serupa itu dapat terjadi. Tetapi aku pun percaya, bahwa Kerti bukan anak-anak lagi. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia datang ke Pucang Kembar sama sekali tidak dengan maksud untuk menarik sebagian dari pemusatan pikiran Ayah. Ia tahu hal itu, dan karena itu ia akan berhati-hati. Tetapi lebih daripada itu, aku merasa bahwa Ayah justru sedang diintai oleh bahaya yang tersembunyi. Wrahasta, aku tidak dapat mengatakan, tetapi firasatku berkata, Ki Tambak Wedi akan berbuat curang.”

“Maksudmu, Ki Tambak Wedi tidak datang seorang diri dalam gelanggang perkelahian itu?”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Wrahasta sejenak terdiam, sehingga suasana di dalam ruangan itu menjadi sepi. Sepi yang tegang. Masing-masing hanyut dalam arus angan-angan sendiri.

Dikejauhan terdengar suara burung-burung malam menggetarkan udara. Suaranya yang ngelangut serasa mengetuk hati yang sedang gelisah.

Didalam keheningan itu tiba-tiba bergetar derap suara kaki-kaki kuda membelah sepinya malam. Gemeretak di atas tanah berbatu-batu. Semakin lama menjadi semakin dekat. Sejenak kemudian suara suara derap kaki-kaki kuda itu berhenti. Namun sesaat berikutnya, derap itu telah bergetar di halaman.

“Siapakah itu?” bertanya Pandan Wangi.

Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Mudah-mudahan bukan Kerti. Kalau kau berfirasat buruk atas Ki Tambak Wedi, sebaiknya memang Kerti akan dapat menyaksikannya. Tetapi ia seharusnya dapat membawa diri.”

“Lihatlah, siapakah orang yang baru datang.”

Wrahasta pun kemudian berdiri dan melangkah keluar. Tetapi ketika ia membuka pintu, hampir saja ia membentur seseorang yang dengan tergesa-gesa melangkah masuk.

“Oh, kau,” desis Wrahasta ketika ia melihat seorang pengawal yang dengan nafas terengah-engah berdiri di depan pintu. “Apakah ada sesuatu yang penting?”

“Ya. Aku akan menemui Pandan Wangi.”

“Masuklah.”

Orang itupun segera masuk, diikuti oleh beberapa orang pemimpin tanah perdikan yang sedang duduk-duduk di pendapa. Mereka melihat gelagat yang membuat jantung mereka menjadi berdebar-debar.

Ketika mereka telah duduk melingkar di atas tikar, maka orang yang baru saja datang itu segera berkata, “Aku mendapat tugas untuk menyampaikan berita kemari.”

“Ya,” sahut Pandan Wangi pendek.

“Beberapa orang petugas sandi telah melihat gerakan pasukan yang mendekati padukuhan induk ini”

Sederet warna merah membayang di wajah Pandan Wangi. Hampir-hampir ia tidak percaya akan pendengarannya. Seperti mimpi ia membayangkan, apakah mungkin kakaknya, Sidanti, yang bermain-main dengannya di masa-masa kecil itu benar-benar telah sampai hati menggerakkan pasukan untuk melawan ayahnya? Apakah mungkin, bahwa Sidanti yang tinggal di dalam rumah ini di masa kanak-kanaknya sebagai anak dari ibunya dan mendapat perlakuan tidak ubahnya seperti anak sendiri dari ayahnya, Ki Argapati, kini telah sampai hati melawan dengan kekerasan, dan bahkan dengan cara yang curang dan licik?

“Ki Tambak Wedi,” katanya di dalam hati, “ini pasti pokal Ki Tambak Wedi. Aku tidak percaya bahwa Kakang Sidanti akan berbuat demikian menurut hasratnya sendiri.” Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu menjadi kecewa ketika di dalam hatinya itu pula ia menyadari, bahwa sebenarnyalah bahwa Sidanti adalah anak Ki Tambak Wedi. Darah yang mengalir di dalam tubuh kakaknya itu selain darah ibunya seperti yang juga mengalir di dalam dirinya adalah darah dari orang tua yang licik itu, yang di dalam masa mudanya telah berhubungan terlampau rapat dengan ibunya.

“Oh,” Pandan Wangi berdesah. Hampir saja ia memekikkan perasaan pedih di dalam hatinya. Namun untunglah bahwa segera ia menyadari kedudukannya kini. Ia adalah seorang yang kini sedang mewakili ayahnya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia seorang gadis.

Karena itu, maka Pandan Wangi segera berusaha menguasai perasaannya. Dengan nada yang datar ia bertanya, “Dari manakah gerakan itu datang?”

“Dari arah Barat. Sepasukan orang-orang yang tidak dikenal merayap mendekati padukuhan induk ini. Justru sebagian terbesar dari mereka bukan orang-orang Menoreh. Agaknya mereka akan menyerang dari arah Barat pula.”

“Apakah Paman Samekta telah mendapat laporan yang serupa?”

“Ya. Kawanku yang seorang telah menyampaikan berita ini kepada Ki Samekta.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada Wrahasta, “Orang ini belum tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Paman Samekta, karena ia langsung menuju kemari. Aku harus mendengar gerakan yang akan dilakukan oleh Paman Samekta. Nah, kau dapat memerintahkan dua orang untuk menemuinya.”

“Orang yang datang bersamaku akan singgah kemari setelah bertemu dengan Ki Samekta,” potong orang itu.

“Biar sajalah. Tetapi aku minta Wrahasta mengirim orang ke sana segera.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Terasa kini bahwa gadis itu ternyata mempunyai pribadi yang kuat yang terpancar pada perbawanya atas dirinya.

Karena itu, maka tidak ada kesempatan lagi bagi Wrahasta untuk berbicara tentang bermacam-macam persoalan. Kata-kata Pandan Wangi tidak lebih dan tidak kurang dari suatu perintah. Perintah atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

Wrahasta pun kemudian berdiri. Katanya sambil melangkah keluar, “Aku akan segera melakukannya. Aku akan mengirim dua orang untuk menemui Paman Samekta.”

Sejenak kemudian, maka di halaman terdengar derap kaki dua ekor kuda yang memecah sepinya malam, meluncur menyusup keluar regol. Dua orang telah dikirim oleh Wrahasta untuk menemui Samekta. Dan sejenak berikutnya, Wrahasla telah berada kembali di dalam pringgitan.

“Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Paman Samekta?” bertanya Pandan Wangi.

“Sudah tentu mengerahkan pasukan pengawal ke arah yang dikatakan itu,” sahut Wrahasta.

Tetapi Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Terlampau sederhana.”

Wrahasta heran mendengar tanggapan Pandan Wangi, sehingga ia bertanya, “Apakah maksudmu, Pandan Wangi?”

“Baiklah, kita tunggu kedua orang itu datang. Sekarang kau pun harus menyiapkan orang-orangmu di halaman ini, Wrahasta. Aku memperhitungkan, bahwa gerakan Kakang Sidanti tidak sesederhana itu. Datang dari arah Barat, kemudian menyerang dalam gelar yang sempurna di malam hari begini.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya di luar sadarnya. Pikiran itu memang dapat diterimanya. Justru karena itu, maka sekali lagi Wrahasta mengaguminya. Pandan Wangi adalah seorang gadis yang selama ini tidak pernah atau hampir tidak berminat untuk ikut serla di dalam kegatan-kegiatan ayahnya sebagai Kepala Tanah Perdikan. Hanya kadang-kadang ia ikut dalam pembicaraan-pembicaraan dan kadang-kadang sekali melihat para pengawal mengadakan latihan-latihan. Tetapi ternyata dalam keadaan ini, ia menunjukkan ketangkasannya berpikir.

“Pasukanmu harus kau atur sebaik-baiknya Wrahasta. Kita tidak tahu cara apa yang akan ditempuh oleh Kakang Sidanti dengan penasehatnya sekaligus gurunya yang licik itu. Mungkin ia akan mempergunakan cara yang licik pula.”

“Ya, aku mengerti, Pandan Wangi.”

“Jangan membiarkan dirimu didekap di dalam dinding halaman yang sempit ini. Tetapi kau harus berusaha agar mereka tidak dapat masuk lewat jalan manapun juga, seandainya Kakang Sidanti membuat pasukan yang khusus menembus langsung ke jantung tanah perdikan ini.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia benar-benar berada di bawah pengaruh puteri Kepala Tanah Perdikan itu. Sekali lagi Wrahasta berdiri dan melangkah keluar untuk mengatur orang-orangnya. Dinding halaman itu dirubahnya menjadi benteng yang kuat. Setiap sudut, bahkan setiap jengkal dinding dijadikannya tempat bertahan. Bahkan Wrahasta mempersiapkan pula senjata-senjata jarak jauh, untuk melawan arus apabila lawan datang terlampau banyak. Tetapi bulan di langit betapa pun terangnya, namun bayangan pepohonan akan menjadi tempat bersembunyi yang sebaik-baiknya bagi lawan yang akan menghindarkan diri dari bidikan anak panah.

Sejenak kemudian, lamat-lamat mereka telah mendengar derap kaki-kaki kuda yang datang mendekat. Dua orang yang diperintahkan oleh Wrahasta rnenemui Samekta di banjar desa telah kembali.

Mereka segera dibawa masuk ke pringgitan oleh Wrahasta, agar mereka dapat langsung berbicara dengan Pandan Wangi.

“Bagaimanakah sikap Paman Samekta?”

“Akan segera dikirim pasukan untuk menyongsong sergapan itu.”

“Berapa bagian dari kekuatan Paman Samekta yang berangkat.”

“Sebagian terbesar. Ki Samekta berhasrat untuk menghancurkan sama sekali pasukan itu, supaya untuk seterusnya tidak ada lagi kekuatan untuk mengganggu ketenangan tanah perdikan ini.”

“Apakah Paman Samekta menarik semua pasukan di padesan disekitar padukuhan induk ini?”

Sejenak orang itu terdiam. Kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Tidak dikatakannya.”

Pandan Wangi tampak berpikir sejenak. Tetapi ia tidak puas dengan tindakan Samekta itu, meskipun alasan-alasannya cukup kuat. Tetapi seperti yang terjadi dengan ayahnya, kali ini pun Pandan Wangi mempunyai firasat yang lain dari perhitungan Samekta itu. Sidanti tidak akan melakukan perang terbuka dengan beradu dada. Selain sifat-sifat licik gurunya, Sidantipun harus memperhitungkan, bahwa pasukannya tidak akan cukup kuat untuk melakukan perang dengan cara itu. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata, “Aku akan menemui Paman Samekta.”

“Pandan Wangi,” tiba-tiba saja Wrahasta memotong, “kau tidak dapat meninggalkan halaman ini. Ini adalah rumah Kepala Tanah Perdikan. Dari sinilah kau harus mengatur kekuatan dan perlawananmu.”

“Paman Samekta yang mendapat tugas itu berada di banjar. Bagaimana aku dapat berbicara dengannya, apabila aku tidak pergi menemuinya, atau Paman Samekta pergi kemari? Tetapi karena tugas Paman Samekta yang berat, maka biarlah aku pergi ke banjar sekarang.”

“Pandan Wangi,” sekali lagi Wrahasta memotong, “jangan mengabaikan pesan Ki Gede Menoreh. Aku harus melidungimu di sini. Kau tidak boleh pergi.”

”Aku adalah wakil Ayah sekarang. Aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Aku bukan tawananmu, Wrahasta.”

“Tetapi, tetapi,” wajah Wrahasta menjadi merah.

Tiba-tiba saja Pandan Wangi teringat akan sikap Wrahasta beberapa saat sebelum ayahnya pergi. Tersirat pula kembali di dalam hatinya, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Wrahasta, apabila ia diterkam oleh kekecewaan. Karena itu, maka betapa pahitnya, Pandan Wangi itu kemudian berkata, “Lepaskan aku pergi kali ini, Wrahasta. Persoalan ini adalah persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan menempatkan setiap persoalan yang lain pada waktu dan tempatnya sendiri. Kalau kau bersitegang, maka kau tidak akan dapat mengharap apa pun daripadaku. Tetapi kalau kau menurut perintahku, maka aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan sebaik-baiknya. Kita dapat berbicara di kali lain.”

Terasa desir yang tajam tergores di dalam dada Wrahasta. Sejenak ia membeku di tempatnya sambil memandangi Pandan Wangi tajam-tajam. Berbagai macam perasaan bergolak di dalam dirinya. Ia menyadari tanggung jawabnya atas keamanan seluruh isi halaman rumah ini, termasuk Pandan Wangi seperti yang dipesankan oleh Ki Gede Menoreh. Tetapi kalau ia tidak mau melepaskan Pandan Wangi, maka kepentingan pribadinya atas gadis itu akan tertutup sama sekali.

Dalam pada itu, orang-orang lain yang mendengar pembicaraan mereka berdua hanya dapat memandang dengan mulut ternganga-nganga. Mereka sama sekali tidak mengerti ujung dan pangkal dari pembicaraan itu, sehingga dengan demikian, tidak dapat berbicara apa-apa.

Sedangkan Wrahasta sendiri, masih saja diselubungi oleh kebimbangan yang bahkan semakin memuncak. Ia melihat kepentingan yang bertentangan. Tanggung jawabnya, kepentingan pribadinya, dan kecemasannya tentang keselamatan Pandan Wangi apabila ia melepaskannya pergi.

“Bagaimana pertimbanganmu, Wrahasta,” bertanya Pandan Wangi kemudian.

Wrahasta terperanjat atas pertanyaan itu. Ia sama sekali belum siap untuk menjawabnya. Karena itu, maka dengan gelisah ia bergeser setapak. Dipandanginya Pandan Wangi dengan ragu-ragu.

“Wrahasta, sebenarnya tidak seharusnya aku minta ijin kepadamu. Yang wajib aku lakukan adalah memberitahukan, bahwa aku akan pergi ke banjar menemui Paman Samekta. Hanya itu, karena akulah kini Kepala Tanah Perdikan sampai Ayah datang.”

Dada Wrahasta semakin terguncang mendengar kata-kata itu. Tanpa dikehendakinya sendiri, diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya beberapa orang-orang tua duduk dengan wajah yang tegang penuh pertanyaan.

Namun kata-kata itu hampir tidak menyentuh perasaan Wrahasta. Apa pun yang dikatakan oleh Pandan Wangi, meskipun terlampau keras sekalipun, karena Pandan Wangi masih juga dipengaruhi oleh kemudaannya. Tetapi yang paling mendebarkan adalah tantangan Pandan Wangi mengenai masalah pribadinya yang membuat pertimbangannya menjadi sangat terpengaruh.

Sejenak kemudian, ternyata Wrahasta mencoba mencari alasan-alasan di dalam dirinya unluk membenarkan sikap Pandan Wangi pergi ke banjar menemui Samekta. Dengan demikian, maka Pandan Wangi akan bersedia untuk berbicara dengan dirinya mengenai masalah-masalah pribadi.

“Tetapi bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan anak itu,” katanya di dalam hati, “aku akan dimarahi oleh Ki Argapati dan lebih dari pada itu aku akan kehilangan.” Wrahasta menjadi semakin ragu-ragu. Namun terngiang kembali kata-kata Pandan Wangi. “Kalau kau bersitegang, maka kau tidak akan dapat mengharap apa pun daripadaku.”

“Hem,” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk segera menemukan keputusan, apalagi setelah Pandan Wangi mendesaknya, “Bagaimana Wrahasta. Setiap saat harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kalau kita membiarkan diri kita sendiri diombang-ambingkan oleh keragu-raguan, maka kita akan segera ditelan oleh pasukan Kakang Sidanti. Di ujung-ujung padukuhan dan bahkan sebentar lagi kita di sini.”

Tergagap Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, ya. Aku sadar Pandan Wangi. Tetapi pilihan yang kau hadapkan di mukaku sekarang ternyata terlampau sulit untuk dipecahkan. Tetapi apabila kau berkeras untuk pergi kepada Paman Samekta, dan tidak dapat aku cegah lagi, baiklah. Namun kau harus memperhitungkan setiap keadaan. Kau tidak dapat pergi tanpa pengawalan.”

“Baiklah,” sahut Pandan Wangi. Kemudian, “Aku akan membawa dua orang pengawal yang ditinggalkan oleh Kerti di sini.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya, Dipandanginya kemudian orang-orang yang berada disekitarnya. Orang-orang tua yang duduk mendengarkan pembicaraan itu dengan kepala pening.

”Bagaimana pendapat Paman-paman sekalian?” tiba-tiba Wrahasta bertanya kepada mereka.

Orang-orang tua itu tidak segera menjawab. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Terserahlah kepada pertimbanganmu, Ngger. Didalam keadaan serupa ini, kau pasti lebih tahu tentang keadaan dan keharusan yang berlaku di tanah yang sedang dibakar oleh api kedengkian ini.”

Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mendapatkan pertimbangan dari orang tua-tua itu. Namun ia sadar, bahwa ia harus segera bersikap. Maka katanya, “Baiklah Pandan Wangi. Kalau kau akan menemui Paman Samekta untuk membicarakan sesuatu, sebaiknya kau segera pergi sekarang bersama kedua pengawal ini. Tetapi apabila pembicaraan itu sudah selesai kau harus segera kembali. Kau sebaiknya setiap saat dapat ditemui di dalam rumah ini untuk segala macam kepentingan. Tetapi ingat, kau hanya pergi ke banjar. Tidak ke tempat lain. Kedua pengawal akan mencegahmu apabila kau mempunyai tujuan yang lain.”

“Baiklah, aku akan segera pergi dan segera pula kembali apabila pembicaraan sudah selesai,” desis Pandan Wangi, yang sejenak kemudian segera berdiri dan berkata selanjutnya, “Aku akan pergi berkuda.”

Beberapa orang segera menyiapkan tiga ekor kuda untuk Pandan Wangi dan dua orang pengawalnya. Dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan halaman rumah itu, pergi ke banjar untuk menemui Samekta yang sedang mempersiapkan perlawanan.

Kedatangan Pandan Wangi di banjar itu ternyata telah mengejutkan Samekta, sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Kenapa kau pergi ke banjar, Pandan Wangi?”

“Aku perlu menemui, Paman, dalam saat yang meruncing serupa ini. Aku perlu bertanya dan mengetahui semua gerakan.”

“Aku akan memberikan laporan setiap saat lewat orang-orangku. Kalau kau memerlukan sekali bertemu dengan aku, Ngger, maka sebaiknya kau memanggil aku.”

Samekta berhenti sejenak, kemudian gumamnya kepada diri sendiri, “bagaimana dengan Wrahasta. Kenapa dilepaskannya Angger Pandan Wangi pergi?” Dan orang tua itu menjadi semakin heran, bahwa Wrahasta telah melepaskan Pandan Wangi pergi. Bukankah Wrahasta mempunyai kepentingan pribadi dengan gadis itu? Mustahil kalau Wrahasta melepaskannya meninggalkan daerah wewenangnya seperti yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh. Sehingga tiba-tiba saja Samekta itu teringat sesuatu dan bertanya, “Apakah Angger Pandan Wangi meninggalkan halaman itu tanpa setahu Wrahasta? Oh bukankah Kerti memang sedang mencarimu ke Pucang Kembar?”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Ditatapnya saja wajah Samekta yang keheran-heranan melihat kehadirannya. Tetapi Pandan Wangi dapat mengerti sepenuhnya perasaan orang tua itu. Kerti pasti singgah ke banjar ini sebelum ia pergi ke Pucang Kembar mencarinya.

Sejenak kemudian, barulah Pandan Wangi itu menjawab. “Ya Paman. Paman Kerti pasti mencariku ke Pucang Kembar. Apakah ia singgah kemari sebelum ia berangkat?”

“Ya. Ia singgah kemari dalam kegelisahan karena ia kehilangan kau, Ngger. Bersama dua orang ia pergi menyusulmu.”

“Jadi, Paman Kerti pergi bertiga?”

“Ya. Sebab pamanmu mengerti, siapakah yang sedang berada di bawah Pucang Kembar. Bukan berarti bahwa pamanmu Kerti merasa cukup kuat bersama dua orang kawannya itu, tetapi apabila ada sesuatu yang penting, maka mereka dapat berbincang.” Samekta berhenti sebentar, namun dalam keheranan itu ia bertanya, “Tetapi ternyata Angger sekarang masih berada di sini.”

Dengan singkat Pandan Wangi menceritakan keadaannya. Kegelisahannya dan perhitungannya. Tetapi kalau tidak ditempuh cara itu, maka tidak seorang pun yang akan bersedia pergi ke Pucang Kembar.

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam, “Tetapi aneh sekali bagiku. Sebenarnya Angger tidak perlu mempergunakan cara yang aneh-aneh itu. Ternyata sekarang Angger dapat meninggalkan halaman rumah itu pula. Kalau Angger pergunakan cara ini sejak semula, bukankah Angger sendiri dapat pergi ke Pucang Kembar?”

“Sebelum Kerti pergi, sebelum ada laporan tentang gerakan Kakang Sidanti, aku pasti tidak akan dapat keluar Paman. Aku tidak ubahnya seperti seorang tawanan.”

“Bukan maksudnya Ngger. Tetapi demi kebaikan semuanya dan atas perintah ayah, Ki Argapati.”

“Ya. Aku mengerti Paman, semuanya dapat aku mengerti. Yang kini akan aku persoalkan adalah mengenai gerakan Kakang Sidanti.”

Samekta menarik nafas. Kemudian katanya, “Duduklah. Kita berbicara tentang gerakan Sidanti itu.”

Mereka pun kemudian duduk di pringgitan banjar tanah perdikan itu. Di tengah-tengah lingkaran para pemimpin pengawal dari Pandan Wangi beserta kedua pengawalnya, sebuah lampu minyak berada di atas sebuah ajuk-ajuk pendek.

“Bukankah kau sudah mendapat laporan tentang gerakan itu dan sudah mendengar gerakan perlawanan yang aku lakukan?” bertanya Samekta sejenak kemudian setelah mereka duduk.

“Aku ingin mendengar langsung dari Paman. Dan apakah pasukan pengawal yang Paman persiapkan sudah mulai bergerak pula menyongsong pasukan Kakang Sidanti?”

“Sudah Ngger. Mereka sudah berangkat. Petugas-petugas sandi melihat gerakan itu menuju ke Barat. Sebagian besar dari pasukan pengawal telah aku kirim, supaya aku dapat menghancurkan mereka sama sekali. Supaya mereka besok atau lusa tidak bangkit lagi dan membuat kegaduhan-kegaduhan baru.”

“Aku mengerti Paman. Tetapi soalnya tidak sedemikian sederhana. Apakan Paman yakin, bahwa yang dilihat oleh petugas sandi itu seluruh pasukan Kakang Sidanti?”

“Tentu tidak Ngger. Tentu bukan seluruh pasukan. Mungkin Angger Sidanti akan mengambil kesempatan lain, pada saat pertempuran itu terjadi. Tetapi aku masih menyimpan beberapa bagian dari pasukan cadangan.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Apakah petugas sandi itu dapat mengatakan, siapa sajakah yang berada di dalam pasukan itu?”

Samekta menggelengkan kepalanya, “Tidak Ngger. Mereka tidak dapat mengatakan siapakah yang memimpin pasukan itu.”

“Lalu apakah sikap Paman seterusnya”

“Aku sebentar lagi akan menyusul pasukanku. Berkuda. Aku akan melihat sendiri benturan yang bakal terjadi itu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Dipandanginya kedua pengawalnya berganti-ganti. Lalu tiba-tiba ia bergumam, “Aku akan pergi juga bersamamu Paman.”

“He,” kata-kata itu ternyata telah mengejutkan semua orang yang mendengarnya. Beberapa pemimpin pengawal yang tinggal di banjar, Samekta sendiri dan kedua pengawalnya.

“Jangan Ngger,” sahut Samekta kemudian, “jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan dirimu.”

“Kenapa aku tidak boleh berada di medan itu? Tidak seorang pun yang melarang, seandainya Kakang Sidanti menghendaki demikian. Bahkan setiap orang akan mengatakan, bahwa itu adalah kewajibannya. Orang akan menertawakannya apabila ia justru ingkar, dan tidak mau terjun ke gelanggang.”

“O, persoalannya lain sekali Ngger. Angger Sidanti memang berkewajiban. Tetapi tidak dengan kau.”

“Karena aku seorang perempuan dan Kakang Sidanti laki-laki?”

Samekta tidak segera menjawab. Sejenak ia berdiam diri. Tetapi ditatapnya wajah Pandan Wangi dengan tajamnya.

“Begitu Paman?” desak Pandan Wangi.

Samekta mengangguk perlahan-lahan. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Ya Ngger. Begitulah. Meskipun itu hanya salah satu alasan saja.”

“Masih adakah alasan yang lain, yang lebih baik dan lebih dapat aku terima dengan nalar?”

“Angger belum berpengalaman.”

“Kalau aku menghindari pengalaman yang pertama, maka selamanya aku tidak akan dapat langsung menginjak pengalaman yang kedua.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban itu memang benar. Tetapi seandainya Pandan Wangi benar akan pergi ke gelanggang, maka ia tidak berani menanggung akibat yang dapat terjadi atasnya. Kalau anak itu mendapat cidera, maka ia harus mempertanggung-jawabkannya kepada Ki Gede Menoreh.

Karena itu, maka Samekta itu menggelengkan kepalanya, “Jangan Ngger. Jangan mempersulit diriku. Sebaiknya Angger kembali saja pulang. Angger dapat memberikan perintah apa saja. Tetapi tidak pergi sendiri ke medan pertempuran itu.”

Dada Pandan Wangi tergetar mendengar jawaban Samekta. Meskipun ia dapat mengerti alasannya, tetapi keinginannya untuk melihat sendiri pertempuran itu seakan-akan tidak dapat lagi dibendungnya. Namun kesulitan yang di hadapi Samekta itupun mempengaruhinya pula.

Sejenak Pandan Wangi terpaku diam di tempatnya. Di dalam dadanya terjadi benturan-benturan perasaan yang sulit mendapat pemecahan. Dalam pada itu, Samekta berkata selanjutnya, “Angger Pandan Wangi. Menurut perhitunganku, maka perang yang bakal terjadi, pasti bukan perang di dalam gelar yang baik, meskipun aku sudah mempersiapkannya. Yang paling mungkin terjadi di dalam peperangan ini adalah perang brubuh. Menurut laporan dari beberapa pengawas yang melihat gerakan itu, maka sama sekali tidak ada persiapan untuk menyusun gelar. Tetapi kemungkinan untuk bertempur di dalam gelar yang baik masih ada. Pasukan Sidanti akan dapat menyusun dirinya, setelah berhadapan dengan lawan. Tetapi perbuatan yang demikian akan sangat berbahaya. Meskipun demikian, kemungkinan itu bisa juga terjadi apabila orang-orang yang memimpin pasukan itu kurang menguasai keadaan medan, tetapi juga mungkin karena meremehkan kekuatan lawan atau merasa dirinya terlampau kuat. Dalam kemungkinan yang pertama Ngger, yaitu perang brubuh, maka kehadiranmu di medan pertempuran akan sangat berbahaya. Tidak seorang pun yang dapat meluangkan waktunya untuk mengawasi dan melindungi orang lain.”

“Aku menyadari Paman. Meskipun aku belum pernah menghayati perang yang sebenarnya dalam bentuk apa pun, perang gelar maupun perang brubuh, namun aku berniat untuk melihat perang itu. Aku juga tidak perlu mendapat perlindungan dari siapa pun. Aku akan mencoba melindungi diriku sendiri.”

“Ya, ya aku tahu Ngger. Tetapi, terlampau berbahaya. Itulah kata-kata yang paling tepat aku pergunakan. Terlampau berbahaya. Aku tidak dapat menjelaskannya lebih jauh.”

“Aku ingin melihat Paman, betapa pun besarnya bahaya itu.”

“Kalau Ki Gede ada Ngger, terserahlah kepada ayahmu itu. Apa pun yang akan terjadi adalah tanggung jawab ayahmu. Tetapi sekarang Ki Gede tidak ada. Betapa mungkin aku membawamu ke medan peperangan yang masih belum dapat dibayangkan bentuknya? Menurut para pengawas dan para petugas sandi, sebagian terbesar dari mereka adalah orang-orang yang tidak dikenal. Kita masih belum dapat membayangkan kekuatan mereka dan kemampuan mereka seorang demi seorang.”

“Aku pernah menghadapi orang-orang yang tidak dikenal itu, Paman. Enam orang sekaligus. Paman datang terlambat, sehingga Paman tidak menyaksikan aku berkelahi, meskipun aku, bahwa aku tidak mampu melawan mereka berenam bersama-sama, tetapi aku masih menyediakan diri untuk mencoba melawan lima orang di antara mereka.”

Hati Samekta tergetar mendengar jawaban Pandan Wangi yang dikatakan itu benar-benar telah terjadi. Pandan Wangi memang pernah berkelahi melawan enam orang, dan Pandan Wangi tidak binasa oleh mereka. Karena itu, maka sejenak Samekta terdiam. Ia terdorong ke sudut yang sulit untuk mengatasi. Dengan demikian ternyata baginya dan bagi Pandan Wangi itu, meskipun tidak terkatakan, bahwa sebenarnya kemampuan Pandan Wangi itu berada jauh di atasnya.

Meskipun demikian, bertempur di dalam perang brubuh terutama, yang diperlukan bukan ketrampilan perseorangan saja, tetapi juga pengalaman dan ketajaman naluri membawakan diri, di dalam hiruk pikuk ayunan senjata dan benturan-benturan kekuatan.

Karena Samekta tidak segera menjawab, maka Pandan, Wangi mendesaknya, “Bagaimanakah pendapat Paman?”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mencoba memberikan beberapa penjelasan tentang segala macam kemungkinan yang dapat terjadi.

“Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun, Paman. Aku adalah salah seorang anak yang dilahirkan di atas Bumi Menoreh. Aku merasa mengemban kewajiban seperti anak-anak yang lain. Apalagi aku adalah puteri Kepala Tanah Perdikan.”

Samekta menjadi semakin bingung. Dan dalam puncak kebingungannya ia mendengar Pandan Wangi berkata, “Paman. Sebaiknya aku memang tidak membuat Paman Samekta menjadi semakin sulit. Baiklah Paman, kini memikirkan perang yang akan terjadi itu saja. Jangan hiraukan aku. Aku akan berbuat atas hakku sendiri. Dalam keadaan yang paling jauh dari setiap kemungkinan kita sependapat, maka aku akan berdiri sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Aku tidak akan minta ijin kepada siapa pun, tetapi aku akan memerintah di sini kepada siapa pun yang aku kehendaki, sepanjang orang itu masih setia kepada Bumi Menoreh dan kepada Kepala Tanah Perdikannya.”

Dada Samekta kini benar-benar bergelora. Seolah-olah akan meledak. Dia masih menyimpan banyak sekali tugas-tugas yang harus diselesaikan segera. Tiba-tiba kini ia dihadapkan kepada sikap yang keras dari Pandan Wangi. Sehingga betapa pun ia mencoba mengendalikan dirinya, namun akhirnnya ia merasa bahwa nasehat-nasehatnya sama sekali tidak mendapat perhatian. Karena itu, supaya ia tidak terpancing dalam pembicaraan itu saja ia berkata, “Pandan Wangi, aku sudah mencoba mencegahmu. Tetapi kau sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan kau telah mempergunakan wewenang tertinggi yang ada di tanganmu sekarang. Karena itu, maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Namun setiap peristiwa yang terjadi atas dirimu, apabila aku dan pasukanku tidak mungkin bagi mencegahnya, adalah akibat dari sikapmu dan kekerasan hatimu.

“Bagus,” tiba-tiba Pandan Wangi memotong, “sekarang Paman jangan memikirkan aku lagi. Apakah yang akan Paman kerjakan dengan pasukan Paman, lakukanlah.”

“Aku akan menyusul pasukan yang telah berangkat lebih dahulu.”

“Aku akan pergi bersama Paman.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggung jawab. Tetapi adalah di luar kemampuannya saat ini untuk mencegah Pandan Wangi.

Namun dalam pada itu, kedua pengawalnyalah yang kemudian berusaha mencegahnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Pandan Wangi, bukankah kau sudah berjanji, bahwa kau tidak akan pergi ke tempat lain kecuali ke banjar ini? Kau harus segera kembali sesuai dengan kata-katamu sendiri kepada Wrahasta di rumahmu.”

Terasa dada Pandan Wangi bergetar. Wrahasta memang harus mendapat perhatian khusus daripadanya. Bukan saja karena ia adalah seorang pemimpin pengawal yang mendapat kepercayaan dari ayahnya untuk mengawal rumahnya seisinya, yang menurut tafsiran Wrahasta termasuk dirinya, tetapi juga karena Wrahasta mempunyai kepentingan pribadi.

Karena itu, sejenak Pandan Wangi tidak dapat menyahut. Namun Samekta dapat melihat jelas di wajah gadis itu, bahwa ia tidak akan dapat dicegah lagi.

Dan sejenak kemudian pengawal itu mendesaknya, “Bukankah kau berjanji, Pandan Wangi? Supaya aku tidak dianggap bersalah, kau sebaiknya kembali ke rumah.”

Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Dalam kebingungan mencari jawab, Pandan Wangi telah terdorong lagi ke dalam suatu keadaan yang lebih menyulitkan hubungannya dengan Wrahasta. Karena gadis itu tidak ingin menyakitkan hati anak muda yang bertubuh raksasa itu, maka katanya, “Kembalilah. Kembalilah kepada Wrahasta, dan katakan kepadanya, bahwa aku pun akan kembali. Jangan digelisahkan kepergianku. Sebab aku tidak mempuayai tempat lain untuk berteduh, selain rumah itu. Biarlah ia menungguku di sana, sampai saatnya aku kembali.”

Kedua pengawalnya itu tidak dapat menangkap maksud gadis itu. Karena itu salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi kau harus kembali bersamaku.”

“Dengar perintahku,” tiba-tiba gadis itu menggeram, sehingga kedua pengawalnya itu terkejut, “kalian berdua kembali atau mau ikut bersamaku. Tetapi tidak menghalang-halangi aku. Kalian hanya dapat menyebut salah satu dari kedua pilihan itu.”

Keduanya tidak segera dapat menjawab. Tetapi hati mereka menjadi berdebar-debar. Sejenak mereka saling berpandangan dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Kalau demikian Pandan Wangi, maka aku tidak akan dapat keluar daripada ikut bersamamu. Kau harus kembali bersama kami. Kalau kau tidak mau kembali, maka aku pun tidak akan kembali ke rumahmu.”

“Terserah kepadamu,” sahut Pandan Wangi, lalu katanya kepada Samekta, “Kapan kau berangkat Paman? Apakah kau menunggu pertempuran itu selesai?”

Pertanyaan itu mengejutkan hati Samekta. Namun dengan demikian terasa olehnya kekerasan hati Pandan Wangi. Maka jawabnya, tidak kalah kerasnya, “Kalau kau tidak datang kemari, Ngger, aku pasti sudah berangkat. Seandainya kini kedua pasukan itu sudah bertemu, aku pasti sudah ikut di dalam pertempuran itu.”

“Jadi Paman mencoba untuk membebankan kesalahan kepadaku seandainya terjadi sesuatu di peperangan itu.”

“Bukan maksudku, tetapi kedatanganmu dan keinginanmu untuk pergi ke medan peperangan itu menimbulkan soal baru bagiku.”

“Kalau begitu, sebaiknya aku pergi sendiri. Aku tidak usah pergi bersama Paman, atau berbicara apa pun dengan Paman.”

Debar di dada Samekta menjadi semakin tajam. Dengan tergesa-gesa ia memotong, “Tidak Ngger. Bukan begitu. Mungkin aku telah mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan hatimu,” Samekta berhenti sejenak. Ia merasa bahwa umurnya telah jauh lebih tua, sehingga ia tidak boleh hanyut dalam kekerasan sikap masing-masing. “Kalau begitu baiklah, aku minta maaf.”

Pandan Wangi justru terbungkam mendengar kata-kata Samekta itu. Sejenak ia mematung, namun kemudian terdengar ia menarik nafas dalam-dalam.

“Tetapi Ngger,” berkata Samekta kemudian, “kalau Angger berkeras hati akan pergi ke garis peperangan, biarlah salah seorang dari kedua orang itu kembali untuk menyampaikan keputusan itu kepada Wrahasta, supaya ia tidak menjadi terlampau gelisah menunggumu.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya kepada kedua pengawalnya, “Salah seorang dari kalian harus kembali, dan mengatakan kepada Wrahasta seperti yang telah aku katakan.”

Sekali lagi keduanya saling berpandangan. Tetapi sebelum mereka berkata sesuatu, Pandan Wangi telah berkata lebih dahulu, “Paman harus segera berangkat.”

“Oh,” desah Samekta, “baiklah kita akan segera berangkat.”

Samekta pun segera menyiapkan diri. Bersama beberapa orang pengawal tanah perdikan, Pandan Wangi dan seorang pengawalnya, mereka segera berangkat menyusul pasukan yang telah berangkat lebih dahulu.

Pasukan yang tinggal di banjar telah diserahkannya kepada pembantunya. Kepadanya telah diberikan pesan tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kemungkinan bahwa Sidanti akan mempergunakan setiap kesempatan untuk menyusup masuk ke dalam induk tanah perdikan ini.

Tetapi satu hal yang tidak diperhitungkan oleh Samekta adalah bahwa justru induk pasukan Sidanti-lah yang akan datang dari jurusan yang lain dari tanah perdikan ini. Pasukan yang telah siap untuk menghancurkan semua rintangan di sepanjang jalannya.

Sejenak kemudian terdengarlah derap kaki-kaki kuda menyelusur jalan pedukuhan, menuju kearah Barat sepasukan pengawal yang kuat yang telah lebih dahulu berangkat.

Sementara itu, pasukan pengawal yang telah berangkat lebih dahulu, berjalan menurut tiga jalur lorong kecil menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh para pengawas. Mereka akan menghadapi lawan mereka dari ketiga arah itu. Seandainya mereka harus bertempur dalam gelar yang baik, maka untuk menyusun gelar dari keadaan itu tidaklah terlampau sulit. Tetapi seandainya mereka di hadapkan pada perang brubuh, maka mereka tidak akan mudah terkurung dalam suatu lingkaran kekuatan lawan. Mereka akan menghadapi lawan mereka dalam garis yang cukup luas. Apalagi Samekta yakin, bahwa kekuatan pasukannya pasti melampaui kekuatan pasukan lawannya.

Setiap pemimpin kelompok pasukan pengawal itu telah mendapat petunjuk-petunjuk yang jelas, apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Dalam pada itu, pasukan Sidanti yang dipimpin oleh Ki Peda Sura pun menjadi semakin dekat. Jarak antara kedua pasukan itu susut dengan cepatnya. Hal itu disadari sepenuhnya oleh kedua pemimpinnya. Mereka masing-masing mengetahui, bahwa di hadapan mereka, pada jarak yang semakin pendek, lawan telah menanti.

Ki Peda Sura berhenti pada sebuah pedukuhan kecil yang dilampauinya. Di emper gardu peronda di mulut lorong yang memasuki padukuhan itu, sebuah pelita masih menyala. Di dalam gardu itu mereka masih menemukan beberapa buah mangkuk dan air hangat.

“Setan,” geram Ki Peda Sura, “iblis-iblis yang ada di dalam gardu ini sempat meloloskan diri.”

Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Bukankah di padukuhan ini terdapat beberapa orang penghuni yang cukup mampu.”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Peda Sura.

“Kami ingin melepaskan perasaan geram kami, karena kami telah kehilangan buruan kami.”

“Jangan sekarang!” bentak Ki Peda Sura, “kalian akan mendapat waktu untuk mencari harta benda di dalam rumah-rumah yang mungkin menyimpannya. Tetapi jangan dengan demikian kalian menjadi lengah. Sebentar lagi pasukan Argapati pasti akan datang menerkammu, selagi kau sibuk dengan urusanmu itu.”

“Apakah kita menunggu leher kita terpotong menjadi empat?”

“Kenapa?” bertanya Peda Sura.

“Kalau kita menunggu pasukan Argapati, kita akan kehabisan waktu. Kita akan menjadi umpan dan mati berkubur di kaki Bukit Menoreh ini.”

“Lalu apakah kepentinganmu datang kemari?” bertanya Peda Sura.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi tampak kerut merut di keningnya menjadi semakin dalam.

“Kita datang kemari untuk membantu Sidanti berperang melawan ayahnya. Kelak kita akan mendapat imbalan dari jerih payah kita, sesuai dengan keadaan kita masing-masing. Tetapi selebihnya, kita akan mendapatkan atas usaha kita sendiri. Kita akan dilepaskan di dalam kandang domba. Kita tinggal memilih menurut selera kita masing-masing. Tetapi kita harus dapat membawa diri, supaya kita tidak saling berbenturan. Itulah sebabnya, maka kita harus mengekang diri kita sendiri, dan berusaha berbuat seadil-adilnya di antara kita.” Ki Peda Sura berhenti sejenak, lalu dengan suara lantang ia berkata, “Tetapi tidak sekarang. Kita jangan sampai mati tanpa mengadakan perlawanan, karena kita lengah. Rumah-rumah itu, dan rumah-rumah yang lain tidak akan dapat lari dari tempatnya.”

Tidak seorang pun yang menjawab, meskipun di antara orang-orang sewaan itu ada yang tidak sependapat. Tetapi mereka mengenal, siapakah Ki Peda Sura. Didalam pasukan itu ia tidak berdiri sendiri. Sebagian besar anak buahnya ada bersamanya. Dan orang-orang itu mengenal pula, siapakah sebenarnya Ki Peda Sura. Seorang yang ditakuti dan disegani oleh lingkungannya.

“Marilah kita tinggalkan padukuhan ini. Jangan dibangunkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak, supaya mereka tidak menghindar malam ini. Nanti, setelah Sidanti memasuki induk tanah perdikannya, yang dengan demikian menghisap segala kekuatan perlawanan Menoreh atas kita, maka kita akan mendapat kesempatan itu.”

Orang-orang sewaan di dalam pasukan itu masih saja berdiam diri. Meskipun wajah-wajah mereka menunjukkan kekecewaan, namun mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka tidak berani menentang keputusan Ki Peda Sura, karena di dalam pasukan itu terdapat sebagian besar dari anak buahnya.

Kecuali anak buah Ki Peda Sura, maka pasukan Sidanti yang ikut di dalamnya yang terdiri dari orang-orang Menoreh, mereka tidak senang melihat sikap mereka. Namun jumlah mereka tidak terlampau banyak. Yang dapat mereka lakukan hanyalah berdiam diri, namun pada saatnya hal itu pasti akan mereka sampaikan kepada Sidanti dan Argajaya. Kini yang penting bagi mereka adalah menggilas kekuatan Argapati dan pengikut-pengikutnya.

Pasukan itupun kemudian bergerak maju menyusup padukuhan kecil itu, dan muncul kembali masuk ke dalam bulak yang tidak begilu panjang, Di hadapan mereka masih terdapat beberapa pedukuhan-pedukuhan kecil yang sepi.

“Kita harus berhati-hati,” berkata Ki Peda Sura. “Siapa tahu, bahwa di dalam pedesan-padesan itu bersembunyi pasukan Menoreh. Kita akan disergap dari dalam kegelapan, dan kita akan kehilangan kesempatan untuk melawan.”

“Lalu, apakah kita akan menunggu di sini?”

Peda Sura menggeleng, “Tidak. Kita akan maju. Tetapi kita tidak akan masuk ke dalam pedesan kecil itu lewat lorong ini. Kita akan melingkar melampaui sawah dan petegalan. Kita akan melihat dari sisi padesan itu, apakah di dalam padesan itu di tempatkan pasukan-pasukan Menoreh atau tidak. Kalau tidak, kita tidak akan singgah. Tetapi kalau di sana bersembunyi orang-orang Argapati, kita pancing mereka keluar. Kita akan bertempur di tempat yang terbuka. Cahaya bulan yang terang, akan banyak memberi keuntungan kepada kita. Mungkin jumlah kita lebih sedikit dari jumlah mereka, tetapi kita mempunyai kelebihan diri dalam perkelahian seorang lawan seorang. Karena itu, kita akan memilih perang tanpa gelar. Kalau kita harus memilih gelar, maka kita akan mempergunakan gelar Gelatik Neba, untuk seterusnya kita akan sampai juga kepada perang brubuh.”

Orang-orang di dalam pasukan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang tidak pernah memikirkan gelar apa pun yang akan mereka lakukan. Mereka berkelahi dengan cara mereka, dengan kebiasaan dan selera masing-masing. Cara itu tidak dimiliki oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun mereka mendapat latihan perlawanan seorang demi seorang, tetapi mereka bukan orang-orang yang berpengalaman berkelahi orang demi orang seperti orang-orang sewaan itu. Mereka tidak dapat berlaku kasar dan licik. Berbuat apa saja untuk memenangkan pertempuran.

Meskipun demikian, namun ternyata Ki Peda Sura cukup mengenal bentuk-bentuk perlawanan dalam gelar. Ia memiliki segala macam pengalaman perang dalam segala macam bentuknya. Perang dalam susunan gelar yang sempurna, sampai pada cara perang yang paling kasar dan liar sekalipun.

Demikianlah, maka pasukan Ki Peda Sura itu maju terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan induk tanah perdikan. Dua buah padukuhan telah dilampauinya. Tetapi di dalam kedua padukuhan itu sama sekali tidak dijumpainya pasukan Argapati, sehingga tumbuhlah keheranan di dalam hati Peda Sura.

“Apakah orang-orang Menoreh masih belum mengetahui gerakan pasukan ini?” bertanya Ki Peda Sura di dalam hatinya, namun kemudian dijawabnya sendiri, “Mustahil. Aku yakin bahwa petugas-petugas sandi telah melaporkan gerakan ini. Dan kami selanjutnya tinggal menunggu, di mana kami akan dijebak dan masuk perangkap.”

Meskipun demikian, Ki Peda Sura tidak menghentikan pasukannya. Tetapi ia menjadi semakin berhati-hati, ketika ia mendekati padesan berikutnya.

“Kita berhenti di sini,” desis Ki Peda Sura kemudian. Pasukannya pun kemudian berhenti. Beberapa orang pemimpin kelompok mendekatinya sambil bertanya, “Adakah sesuatu yang menarik perhatian?”

“Lihat,” berkata Peda Sura, “padesan itu justru terlampau gelap. Aku mengira, bahwa di dalam desa itu bersembunyi pasukan Argapati.”

Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka bergumam, “Kita lebih baik segera berbuat sesuatu. Adalah menjemukan sekali, berjalan saja di sepanjang malam. Aku kira malam telah menjadi terlampau malam. Bahkan mungkin kita telah sampai ke tengah malam, melihat bulan yang telah berada di atas kepala ini.”

Peda Sura mengangguk-angguk. Dipandanginya padesan di hadapannya dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin langsung memandangi, apa saja yang tersembunyi di balik bayang-bayang dedaunan yang kelam itu.

”Kita harus segera menemukan mereka,” berkata orang yang lain, “kita terlampau disiksa oleh ketegangan tanpa ujung. Kalau benar orang-orang Menoreh bertahan di desa itu, maka marilah kita langsung masuk, menyergap ke dalamnya. Aku tidak yakin, bahwa orang-orang Menoreh mampu mempergunakan pedangnya. Mereka hanya orang-orang yang terlampau banyak tingkah dan banyak bicara.”

Namun kata-kata itu terpotong oleh sebuah jawaban, “Kau jangan terlampau sombong. Kalau kau berbuat sedemikian gila, maka lehermu akan menjadi taruhan. Jangan menghina orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.”

Orang yang berbicara pertama mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia bertanya, “Siapa yang menyahut kata-kataku itu? Apakah ia orang Menoreh juga.”

“Ya, aku adalah orang Menoreh,” dijawab orang itu.

“Nah, marilah kita lihat, apakah orang-orang dari Menoreh mampu menahan pedangku.”

“Cobalah.”

“Gila,” Ki Peda Sura hampir berteriak, “ternyata kalian termasuk bilangan orang-orang gila. Kalau kalian tidak mampu menahan diri dalam keadaan serupa ini, marilah kita batalkan saja niat kita untuk membantu Sidanti dalam perjuangannya. Kalian adalah orang-orang yang terlampau mementingkan diri sendiri dan pamrih-pamrih pribadi. Tetapi kalian harus menyadari, bahwa aku mendapat kekuasaan untuk memimpin pasukan ini. Aku mempunyai wewenang berbuat apa pun juga. Aku dapat membunuh kalian tanpa bertanggung jawab apa pun kepada siapa pun.”

Kedua orang yang berbantah itupun terdiam. Mereka menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Ki Peda Sura. Berhadapan dengan orang yang benar-benar harus diperhitungkan sikap dan kata-katanya. Sebagian besar orang tahu, apa saja yang pernah dilakukan oleh Ki Peda Sura ini. Beberapa orang bahkan pernah melihat Ki Peda Sura itu membunuh seseorang sambil mengunyah jenang alot. Tangan kanannya memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya, sedang dengan tangan kirinya ditusukkannya perlahan-lahan ujung pisau belati pada arah jantung seseorang yang sudah tidak berdaya tersandar pada dinding batu.

“Nah, kita akan memancing mereka,” berkata Ki Peda Sura kemudian, “aku ingin berkelahi di tempat terbuka. Aku ingin melihat setiap kali ujung senjataku menghunjam lambung lawan.”

“Apakah yang akan kita lakukan?” bertanya salah seorang pemimpin kelompoknya.

“Kita dekati desa itu. Tetapi beberapa puluh langkah daripadanya kita bergeser ke kiri. Kita akan masuk ke dalam pategalan itu. Pategalan itupun cukup rimbun untuk bersembunyi. Tetapi kita tidak akan bersembunyi. Kalau di dalam padesan itu ada pasukan Menoreh, mereka akan berusaha menyergap kita di dalam pategalan. Tetapi kita akan menyongsong mereka. Kita akan berkelahi di bawah terang bulan seperti yang sedang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.”

Beberapa orang mengerutkan keningnya. Cara itu kurang menguntungkan. Langkah yang pertama, masuk ke dalam pategalan itu dapat dipahami. Tetapi kemudian mereka tidak usah menyongsong lawan di tempat terbuka, mereka dapat menunggu orang-orang menoreh itu di bawah bayangan dedaunan di pategalan. Menyergap mereka selagi mereka melangkahkan kakinya masuk ke daerah kegelapan.

Tetapi orang lain bertanya, “Bagaimanakah seandainya mereka tidak memburu kita ke pategalan itu?”

“Kita akan maju mendekat. Kita akan menyergap mereka dari lambung, namun kemudian menarik mereka keluar dari padesan. Itulah sebabnya, maka hanya ujung pasukan kita sajalah yang akan mulai menyentuhkan senjatanya di padesan itu, kemudian kita membiarkan mereka mendesak kita. Berkelahi di dalam padesan atau pategalan sama sekali tidak menarik. Apalagi jumlah kita mungkin kalah. Pepohonan dan gerumbul-gerumbul dapat memberi banyak perlindungan bagi mereka yang licik, yang tidak berani bertempur beradu dada.”

Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Peda Sura terlampau berbangga atas keperkasaannya. Ia tahu benar, bahwa Ki Argapati telah terikat dalam perkelahian melawan Ki Tambak Wedi. Bahkan menurut perhitungan mereka, Ki Argapati tidak akan dapat lagi keluar dari daerah Pucang Kembar itu. Karena itu, maka di atas Tanah Perdikan Menoreh, tidak akan ada lagi orang yang dapat melawannya.

Maka pasukan Ki Peda Sura itupun merayap maju. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan kecil di hadapan mereka. Menurut perhitungan Ki Peda Sura, di situlah pasukan Menoreh akan bertahan. Mereka sudah pasti tidak akan bertahan di bibir padukuhan induk mereka. Sedang padukuhan di depan mereka itu, adalah padukuhan terakhir sebelum mereka memasuki induk Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah pedukuhan yang besar dan ramai.

Ternyata perhitungan Ki Peda Sura itu tidak sisip. Di dalam padukuhan itu bersembunyi pasukan Menoreh. Bahkan Samekta dan Pandan Wangi pun telah sampai ke tempat itu pula. Mereka segera menghubungi para pemimpin kelompok dan memberikan beberapa petunjuk yang mereka perlukan.

Belum lagi Samekta selesai, maka datanglah seorang pengawas kepadanya sambil berkata, “Di depan kita berjalan sepasukan orang-orang Sidanti seperti yang telah dilaporkan lebih dahulu.”

“Apakah mereka menuju kemari?” bertanya Samekta.

“Ya, mereka menuju kemari.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan berjalan kaki ia pergi ke ujung lorong untuk melihat pasukan yang disebutkan olen pengawas itu.

“Hem,” desis Samekta, “pasukan itu agaknya ingin membunuh dirinya. Mereka langsung maju ke padukunan ini dalam iring-iringan seperti orang mengantar mayat ke kuburan.”

Pandan Wangi yang melihat bayangan-bayangan remang-remang di bawah sinar bulan yang cerah, mengerutkan keningnya. Pasukan itu agaknya memang tidak bersiap sama sekali. Mereka berjalan seenaknya, seolah-olah tidak melihat bahaya yang menunggu di hadapan mereka.

“Pasukan itu tidak terlampau besar,” gumam Samekta, “aku memang sudah menyangka, bahwa pasukan Sidanti tidak terlampau besar. Tetapi jumlah yang datang itu benar-benar di luar dugaanku. Jumlah itu terlampau sedikit bagi pasukanku.”

“Paman jangan terlalu menganggap diri terlampau kuat. Bukankah Paman sudah memperhitungkan pula, bahwa mungkin Kakang Sidanti menyisakan pasukannya untuk tujuan khusus.”

“Ya. Tetapi menghancurkan pasukan yang datang itu, apalagi apabila mereka memasuki padukuhan ini dengan cara itu, adalah pekerjaan yang terlampau ringan. Separo dari pasukanku akan dapat menyelesaikannya sebelum fajar. Apalagi seluruh pasukan ini.”

“Jangan memandang mereka terlampau rendah, Paman.”

“Tidak Ngger. Aku tidak memandang mereka terlampau rendah. Tetapi aku mendasarkan pada perhitungan. Perhitungan yang telah di alasi dengan pengalaman yang bertahun-tahun.”

“Paman Argajaya adalah orang yang cukup berpengalaman pula. Sedang Kakang Sidanti adalah bekas seorang prajurit yang baik.”

Samekta tidak menjawab. Tetapi dipandanginya bayangan di dalam cahaya bulan itu yang semakin lama menjadi semakin jelas. Mereka berjalan beriringan.

Samekta tersenyum melihat pasukan yang mendekat itu. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku tidak menyangka, bahwa pasukan Sidanti akan sedemikian lengah menghadapi lawan yang jauh lebih kuat.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi firasatnya terasa mengetuk hatinya, bahwa sesuatu akan terjadi atas tanah perdikan ini. Justru kebodohan yang berlebih-lebihan dari pasukan Sidanti itu membuatnya bercuriga.

Tiba-tiba dengan serta-merta ia berkata, “Paman, apakah Paman sendiri tidak lengah menghadapi pasukan itu? Sampai saat ini Paman belum membuat perintah apa-apa.”

“Oh,” peringatan itu telah membuat dada Samekta berdesir. Ia memang belum berbuat apa-apa justru karena ia menganggap lawannya terlampau kecil. Maka sejenak kemudian ia berkata kepada setiap pemimpin kelompok pasukannya, “Semua masuk ke dalam dinding halaman. Kita biarkan pasukan itu masuk ke lorong ini, kemudian kita sergap mereka setelah semuanya berada di dalam padukuhan. Aku akan memberikan aba-aba yang harus disambut oleh setiap pemimpin kelompok dan kemudian oleh setiap pengawal. Suara yang bersahut-sahutan akan membuat mereka semakin bingung.”

Setiap pemimpin kelompok tidak menunggu perintah itu diulangi. Segera mereka berloncatan ke pasukan masing-masing. Dan sebelum Pandan Wangi menyadari keadaan itu, semua pasukan telah hilang di balik dinding batu di sepanjang jalan padukuhan. Bahkan kuda Pandan Wangi pun sudah tidak tampak lagi di tempatnya.

Pandan Wangi menarik nafas. Pasukan Menoreh memang terlatih baik. Mereka dapat berbuat dengan cepat tanpa banyak menimbulkan keributan.

“Tetapi pasukan Kakang Sidanti yang terdiri dari orang-orang Menoreh pun akan sebaik itu pula,” gumam Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi sebelum gadis itu sempat bertanya, maka dilihatnya pasukan yang sudah menjadi terlampau dekat di hadapan mereka itu berhenti.

“Mereka agaknya mulai menyusun diri,” berkata Samekta kepada Pandan Wangi.

“Ternyata mereka tidak sebodoh yang kita sangka.”

Samekta tidak menjawab. Tetapi matanya seakan-akan hendak meloncat dari pelupuknya ketika ia melihat pasukan itu bergeser. Ternyata mereka tidak maju lagi, tetapi mereka berjalan memintasi pematang. Namun sejenak kemudian Samekta tersenyum, “Biar saja mereka memilih lawan.”

Pandan Wangi tidak mengerti, apakah yang dimaksud oleh Samekta. Tetapi ia tidak bertanya. Beberapa langkah ia maju meskipun ia masih tetap terlindung oleh bayangan dedaunan yang rimbun.

“Kemana mereka akan pergi Paman?”

“Mungkin mereka melihat tanda-tanda, bahwa kita menunggu mereka di sini. Mungkin beberapa orang pengawas mereka berhasil mendekat tanpa setahu kita. Karena itu mereka merubah arah. Agaknya mereka akan berlindung untuk sementara di pategalan itu sambil menyusun pasukan mereka menjadi pasukan yang agak pantas untuk maju ke medan perang.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia melihat kesan yang aneh di wajah Samekta. Apalagi ketika ia bergumam, “Kita akan melihat, apa yang akan terjadi di pategalan itu.”

Sepercik pertanyaan menyala di wajah Pandan Wangi, meskipun tidak terucapkan, dan Samekta pun dapat menangkap pertanyaan itu. Katanya, “Marilah Ngger, kita maju beberapa langkah lagi. Kita menunggu, apa yang akan terjadi kemudian.”

“Paman tidak menyiapkan sesuatu untuk menyongsong perubahan tata gelar lawan?”

“Tentu Ngger. Aku akan berbuat sesuatu.”

Tiba-tiba terdengarlah suara suitan pendek dari mulut Samekta, tetapi kemudian berubah seperti suara derik angkup kering. Berturut-turut menusuk sepinya malam. Meskipun suara itu tidak terlampau keras, tetapi cukup dapat didengar oleh pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya.

Sekejap kemudian, para pemimpin kelompok itu telah berkumpul. Dan dengan singkat Samekta memberitahukan, bahwa pasukan lawan telah menggeser arah dan pergi ke pategalan di sebelah.

“Oh,” pemimpin pengawal yang tertua di antara mereka bertanya, “lalu apakah yang harus kita lakukan?”

“Kita bersiap. Kita akan segera menyusul mereka.”

“Bagaimana dengan sayap kiri dari pasukan ini?”

“Pada saatnya kita panggil pemimpinnya dengan isyarat. Kemudian mereka harus bergeser dan menempati tempat ini. Kita akan pergi ke pategalan di sebelah.”

“Apakah sayap itu tidak akan ikut dalam pertempuran nanti.”

“Kita melihat perkembangan. Kalau kita tidak segera dapat mengatasi lawan kita, maka sayap itu kita bawa masuk ke dalam peperangan.”

“Apakah kita tidak akan menyusun gelar?”

“Kita lihat keadaan lawan. Tetapi bahwa mereka terperosok ke pategalan itu dalam keadaannya, maka rasa-rasanya kita tidak akan menyusun gelar. Kita akan terlibat dalam perang brubuh seperti yang sudah kita duga sebelumnya.”

“Lalu apakah yang akan kita lakukan dahulu?”

“Bersiap bersama pasukan masing-masing. Aku akan memberikan perintah kepada kalian, apabila datang saatnya kalian harus pergi ke pategalan itu.”

Para pemimpin kelompok itupun segera kembali ke dalam kelompok masing-masing. Tetapi sejenak kemudian, para pengawal sudah tidak lagi bersembunyi dan berlindung di balik pagar-pagar batu. Mereka kini bahkan telah meloncat kembali kelorong padukuhan itu.

“Aku tidak mengerti Paman,” gumam Pandan Wangi.

“Ini adalah pengalaman Angger yang pertama berada di medan. Angger harus mencoba menyesuaikan diri.” Samekta berhenti sebentar, lalu, “Tetapi maafkan Ngger, kalau aku kau anggap menyinggung perasaaanmu. Maksudku agar kau tidak terperosok ke dalam keadaan yang tidak kau mengerti sebelumnya.”

Sekali lagi Samekta berhenti, ia menjadi ragu-ragu untuk meneruskannya. Namun akhirnya ia berkata juga, “Angger Pandan Wangi. Aku mengharap bahwa, Angger mencoba menyesuaikan diri dengan peperangan yang bakal terjadi. Jangan langsung terjun ke dalam hiruk-pikuk perang brubuh. Angger akan melihat hal-hal yang mungkin belum pernah terbayangkan. Betapapun tangkasnya kau, namun kau adalah seorang gadis. Seorang perempuan. Kau akan sangat terpengaruh oleh penglihatanmu dalam perang semacam itu. Orang akan mudah sekali kehilangan kepribadian karena pengaruh dentang senjata. Apalagi orang-orang yang datang itu adalah orang-orang liar yang tidak mengenal peradaban.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengerti keterangan Samekta. Sebenarnyalah bahwa ia agak tersinggung pula. Seolah-olah Samekta masih saja menganggapnya anak-anak yang perlu selalu dilindungi. Tetapi ia tidak membiarkan perasaan itu berbicara. Karena itu maka ia pun bertanya, “Apakah maksud Paman Samekta dengan kehilangan kepribadian itu?”

“O, Ngger,” jawab Samekta, “mungkin kau pernah melihat darah mengalir dari luka. Mungkin kau bahkan pernah mengalami bertempur melawan enam orang laki-laki liar serupa itu. Tetapi kau belum pernah berada dalam perang brubuh. Orang-orang yang terlibat di dalamnya akan kehilangan otaknya. Yang berkuasa di dalam arena yang demikian adalah ujung senjata. Lebih dari itu. Setiap orang akan berusaha melepaskan kemarahan, dendam dan kebencian, sehingga tingkah lakunya jauh melampaui tingkah laku binatang yang paling buas sekalipun.”

Dada Pandan Wangi berdesir. Kini ia mengerti maksud Samekta. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengenal bentuk peperangan dari dekat. Ia ingin mendapat pengalaman, apalagi apabila benar-benar ayahnya menganggap, bahwa ia sudah sepantasnya untuk mengganti kedudukan ayahnya itu. Kalau ia gagal pada pengenalannya atas bentuk peperangan yang pertama kali dan menjadi korban karenanya, maka itu adalah akibat yang wajar dari peperangan.

Karena itu maka katanya, “Terima kasih Paman. Aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri. Tetapi aku akan tetap berada dalam pasukan ini.”

Samekta menarik nafas. Tetapi sebelum ia menjawab, ia mengangkat kepalanya. Lamat-lamat ia mendengar suara isyarat. Panah sendaren.

“Kita harus bersiap,” desisnya. Sekali lagi terdengar suara suitan dari mulut Samekta, kemudian berubah menjadi derik angkup kering. Dan sekali lagi para pemimpin kelompok berloncatan mendekatinya.

“Siapkan pasukan. Kita akan pergi ke pategalan.” Sekali lagi Pandan Wangi melihat para pemimpin kelompok itu seolah-olah lenyap ditelan gelap malam. Namun sekejap kemudian pasukan di padukuhan itu telah siap untuk menyergap lawannya. Kelompok demi kelompok. Sama sekali tidak tersusun dalam gelar yang sempurna.

Pandan Wangi terkejut, ketika tiba-tiba ia mendengar sorak bergeletar di pategalan sebelah. Sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Siapakah yang bersorak itu Paman?”

“Kedua pasukan itu telah bertemu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia masih belum mengerti, pasukan siapakah yang sudah bertemu itu. Karena itu dipandanginya Samekta dengan dahi yang berkerut merut.

Sementara itu, Peda Sura pun terkejut bukan buatan. Tanpa disangka-sangkanya, ketika ia merasa bahwa di hadapannya bersembunyi pasukan Menoreh, ia mencoba untuk menariknya keluar dengan caranya. Tetapi ternyata bahwa di dalam pategalan itupun dijumpainya pasukan Menoreh yang telah siap menunggunya.

Sorak yang meledak itu membuatnya sekejab menjadi bingung. Tetapi pengalamannya segera menempatkannya ke dalam keadaan yang mantap. Dengan lantangnya ia berteriak, “Tarik mereka keluar.”

Orang-orangnya yang telah terjebak itu, segera bergeser surut. Mereka berusaha untuk bertempur di luar pategalan yang dibayangi oleh dedaunan dan pohon-pohon buah-buahan yang rimbun.

Ternyata orang-orang Peda Sura adalah orang-orang yang memang cukup liar, namun cukup mempunyai pengalaman di dalam keliarannya. Segera mereka berkelahi dengan buasnya, sambil bergeser setapak demi setapak. Mereka pun berteriak-teriak tidak menentu, jauh lebih keras dari suara orang-orang Menoreh yang mengejutkan mereka untuk pertama kali.

Perkelahian yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang kisruh. Bukan sekedar perang brubuh, tetapi benar-benar campuh seperti debu dalam putaran angin pusaran.

Di padesan sebelah Samekta telah menyiapkan pasukannya. Dengan isyarat pemimpin pasukan di sayap kiri telah datang kepadanya. Samekta segera memberinya beberapa pesan, dan memerintahkan pasukan di sayap kiri itu segera berada di tempat induk pasukan yang akan segera bergeser ke sayap kanan.

“Kalau keadaan memaksa, kalian akan mendapat isyarat untuk bertempur di sayap itu pula.”

“Ya,” jawab pemimpin sayap kiri itu, “kami akan selalu bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian berkata kepada setiap pemimpin kelompok, “Kita berangkat. Kelompok demi kelompok. Kita akan menghadapi perang brubuh yang tidak beraturan sama sekali.” Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata, “pertimbangkan kata-kataku, Ngger.”

“Terima kasih Paman, tetapi aku ingin melihat, apa yang terjadi itu.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat ia berkata pula, “Kalau kau berkeras hati Ngger, maka aku hanya dapat berpesan, berhati-hatilah. Berhati-hati sekali.”

“Terima kasih, Paman.”

Samekta pun kemudian bersiap dengan segenap pasukannya. Pemimpin pasukan sayap kiri telah pergi mengambil pasukannya. Sejenak kemudian, maka iring-iringan pasukan itu telah berada di tengah-tengah bulak pendek, menyeberang ke padukuhan itu.

“Pasukan itu telah datang. Marilah kita berangkat,” desis Samekta yang kemudian memberikan perintah kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya untuk segera melibatkan diri ke dalam perang yang ribut itu.

Sejenak kemudian maka mengalirlah pasukan Samekta itu, keluar dari padukuhan tempat mereka berlindung. Di antara mereka terdapat Pandan Wangi yang berdebar-debar, tetapi ia sama sekali tidak ragu-ragu. Ia memang sudah bertekad bulat untuk pergi berperang.

Namun di sepanjang jalan ia masih mencoba mengerti, apakah yang sedang terjadi. Ternyata bahwa pasukan Samekta itu dibagi menjadi tiga kelompok besar.

“Paman Samekta tidak pernah mengatakannya dengan pasti,” desisnya, “yang kini bertempur itu adalah sayap kanan pasukan Paman Samekta.”

Tetapi angan-angan Pandan Wangi itu segera terputus, ketika ia melihat seseorang berlari-lari menyongsong pasukan yang sedang bergerak itu.

“Siapakah orang itu Paman?”

Samekta menggeleng, “Aku tidak tahu. Aku kira seorang penghubung.”

Ternyata dugaan Samekta itu benar. Orang itu adalah seorang penghubung.

Belum lagi orang itu berkata sesuatu, Samekta telah lebih dahulu bertanya, “Kenapa kalian bertempur di luar pategalan?”

“Pasukan lawan memancing kami keluar.”

“Dan kalian mengejar mereka keluar seperti yang mereka kehendaki.”

“Mereka mendesak kami keluar.”

“He?” Samekta mengerutkan keningnya.

“Mereka terlalu kuat buat sayap kanan. Mereka masuk dalam-dalam. Kami memang menjebaknya. Dengan serta-merta kami menyerang mereka. Tetapi mereka mampu mendesak kami. Karena itu kami segera memerlukan bantuan.”

“Ya, aku sudah mendengar isyarat kalian dengan panah sendaren.”

“Tetapi aku dikirim untuk langsung memberitahukan, bahwa yang memimpin pasukan lawan adalah seorang yang bernama Peda Sura.”

“He,” Samekta terperanjat. Ia sudah pernah mendengar nama itu. Dan ia menyadari kini, dengan siapa ia harus berhadapan.

“Bagus,” desisnya. Terasa dadanya menjadi sesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Peda Sura bukanlah lawannya untuk bertempur seorang lawan seorang. Namun Samekta adalah seorang pengawal yang cukup berpengalaman pula. Segera disusunnya satu kelompok kecil dari orang-orang yang dipilihnya, untuk bersama-sama dengan dirinya sendiri menghadapi Ki Peda Sura. Tanpa cara yang demikian, ia tidak akan dapat berhasil. Kepada orang-orangnya ia berpesan berantai, “Jangan menghadapi lawan seorang lawan seorang. Bentuklah kelompok-kelompok kecil yang tidak terpisahkan oleh perang yang betapa pun kisruhnya. Meskipun kita tidak dapat mengimbangi mereka seorang lawan seorang, tetapi jumlah kita jauh lebih banyak.”

Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata, “Kau sudah mendengar Ngger, siapa yang berada di pasukan lawan. Kau harus berada di dalam kelompokku, untuk bersama-sama melawan Ki Peda Sura.”

Kali ini Pandan Wangi tidak membantah. Ia menyadari, bahwa Samekta mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak daripadanya. Karena itu, maka sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Baik Paman. Aku akan berada di kelompok itu.”

Samekta menarik nafas panjang. Ternyata Pandan Wangi tidak terlampau membiarkan perasaannya melambung tanpa batas. Dengan demikian ia akan dapat langsung mengawasi gadis itu, dan sekaligus Pandan Wangi akan merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan oleh Ki Peda Sura.

Kepada beberapa orang prajurit yang dipilihnya, Samekta berpesan untuk melindungi kelompok kecil yang nanti akan bertempur melawan Ki Peda Sura, supaya tidak terganggu oleh orang-orang yang telah dipersiapkan pula oleh pemimpin pasukan lawan yang garang itu.

Dari penghubung yang datang kepadanya, Samekta sama sekali tidak mendapat keterangan tentang Sidanti dan Argajaya. Mereka masih belum terlihat berada di pasukan yang sedang bertempur itu, sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu telah menimbulkan persoalan di hati Samekta.

Pandan Wangi yang belum terlampau banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan perang pun bertanya di dalam hatinya, “Kenapa Kakang Sidanti dan Paman Argajaya tidak berada di dalam pasukan itu?” Berbagai dugaan tumbuh di dalam hati gadis Menoreh itu. Bahkan ia sampai pada suatu kesimpulan, “Pasti ada kekuatan lain yang dipimpin oleh Kakang Sidanti. Bahkan mungkin masih ada yang lain pula yang dipimpin oleh Paman Argajaya.”

Tetapi Pandan Wangi tidak menyatakan pikirannya itu. Ia menganggap, bahwa Samekta pasti telah mempunyai perhitungan-perhitungan yang cukup baik. Dan anggapannya itupun ternyata kemudian ketika Samekta memanggil seorang penghubung datang kepadanya.

Pemimpin pasukan Menoreh itu ternyata menjadi gelisah pula, karena Sidanti dan Argajaya tidak ada di dalam peperangan itu. Katanya kepada penghubungnya, “Kau segera kembali ke pasukan sayap kiri. Menurut pengamatan penghubung dari sayap kanan, belum seorang pun yang melihat Sidanti dan Argajaya berada di dalam pasukan mereka. Pasukan itu dipimpin oleh Ki Peda Sura. Dengan demikian mereka harus lebih berhati-hati.”

Penghubung itu menganggukkan kepalanya.

“Bawalah seorang kawan dari sayap kiri,” berkata Samekta selanjutnya, “hubungi pasukan cadangan di banjar, supaya mereka mendengar hal ini pula. Kemudian sampaikan pula kepada Wrahasta. Berita ini harus sampai pula kepada setiap gardu peronda di manapun juga. Pergilah segera. Berkuda. Bawalah tanda-tanda sandi apabila diperlukan di sepanjang perjalananmu. Panah api atau panah sendaren.”

“Baik,”sahut penghubung itu, yang dengan segera meloncat berlari melakukan tugasnya. Ia harus mengambil kuda di padesan yang baru saja ditinggalkan dan seorang kawan.

Samekta pun kemudian melanjutkan langkahnya, dengan tergesa-gesa menuju ke pategalan. Di sepanjang bulak yang tidak terlampau panjang itu ia sempat membentuk beberapa kelompok-kelompok lain. Seandainya Sidanti ada di dalam pasukan lawan, apalagi bersama Argajaya pula, maka mereka pun tidak akan dapat dilawan oleh siapa pun juga dalam perang seorang lawan seorang. Karena itu, mereka harus dihadapi oleh kelompok-kelompok terpilih.

Sejenak kemudian, mereka telah dapat melihat hiruk pikuk pertempuran di luar pagar pategalan. Terdengar teriakan yang melengking-lengking di antara dentang senjata, disahut oleh umpatan-umpatan kasar dan gemeretak gigi. Ternyata orang-orang yang tidak banyak dikenal di Menoreh itu berkelahi dengan kasarnya. Mereka berbuat apa saja tanpa kendali, sehingga kadang-kadang menggoncangkan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Namun anak-anak Menoreh itu telah dibekali tekad di dalam dadanya, bahwa mereka bertempur untuk tanah kelahiran mereka. Tanah yang selama ini telah memberinya tempat untuk membangun suatu bebrayan yang rukun dan damai. Tanah yang telah disadapnya setiap saat untuk makan dan minumnya.

Dorongan itulah yang membuat mereka tabah menghadapi keliaran orang-orang yang datang untuk membuat tanah perdikan ini menjadi semakin parah.

Namun orang-orang yang berkelahi dengan buasnya itu mempunyai beberapa kelebihan. Pengalaman mereka mempergunakan senjata, kebiasaan mereka berbuat kasar dan sewenang-wenang, bahkan tangan-tangan mereka yang telah terlampau sering dibasahi oleh darah, menempatkan mereka pada kesempatan yang lebih baik dari lawan-lawan mereka. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, betapapun juga dilandasi oleh tekad yang bulat, namun kadang-kadang mereka masih juga ragu-ragu untuk menghunjamkan pedang mereka terlampau dalam ke tubuh lawan seandainya mereka mendapat kesempatan. Tetapi saat-saat yang demikian itu ternyata telah menutup setiap kemungkinan berikutnya baginya. Sebab orang-orang di pasukan lawan itu akan mempergunakan segala kesempatan yang mereka peroleh.

Tepat pada saatnya, Samekta dan pasukannya berhasil menolong keadaan. Kelompok demi kelompok pasukan pengawal Menoreh dari induk pasukan itu melanda perkelahian yang sedang berlangsung, seperti arus banjir yang melanda tanggul. Kelompok demi kelompok mereka langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang hiruk-pikuk. Perang brubuh, sehingga tidak ada batas lagi antara kawan dan lawan. Mereka harus mengenal setiap kawan-kawan mereka dari bentuk, pakaian dan jenis senjata yang di pergunakan. Seperti pesan Samekta, maka para pengawal dari Menoreh telah mencoba untuk berkelahi dalam kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat orang tanpa terpisahkan. Apabila keadaan memaksa, maka setidak-tidaknya mereka bertempur berpasangan. Dua-dua.

Tidak sukar bagi Samekta untuk segera dapat menemukan Ki Peda Sura. Orang itu ternyata telah menimbulkan terlampau banyak korban. Senjatanya, sepasang bindi yang panjang telah melumpuhkan korban-korban di pihak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sepasang senjata itu berputaran seperti sepasang baling-baling, kemudian terayun-ayun mendatar, dan menyambar-nyambar seperti burung garuda.

“Itulah setan itu,” desis Samekta, “kita harus menghentikannya. Semakin lama ia akan menjadi semakin gila. Bau darah akan membuatnya semakin buas.” Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata, “Hati-hatilah, Ngger. Perang brubuh adalah jenis perang yang paling tidak menyenangkan.”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ia sudah menggenggam sepasang pedangnya. Namun ternyata bahwa pengenalannya yang pertama atas peperangan telah membuat hatinya menjadi berdebar-debar.

Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak ingin surut. Ia benar-benar ingin melihat dan menghayati perang. Apalagi kali ini, pada saat tanah perdikannya terancam.

Namun sebenarnyalah, bahwa bukan tiba-tiba saja Pandan Wangi ingin melibatkan dirinya di dalam peperangan. Peperangan ini adalah penyaluran yang dapat diketemukannya untuk melepaskan masalah-masalah yang telah membuat dadanya semakin pepat. Persoalan yang sedikit demi sedikit tertimbun di hatinya. Sejak ia melihat kakaknya pulang dengan tabiat yang aneh. Sejak ia berkelahi dengan Sidanti di halaman rumah Ki Sentol. Kemudian sifat-sifat Sidanti yang sangat berubah dari sifat-sifatnya yang pernah dikenalnya dahulu. Pertentangan pendapat antara ayahnya dan Ki Tambak Wedi, kemudian memuncak pada saat ia mendengar cerita ayahnya tentang Sidanti, tentang ibunya dan tentang persoalan mereka.

Sejak saat itulah terasa di dalam dada Pandan Wangi melonjak-lonjak suatu perasaan yang tidak dapat dimengertinya. Ancaman terhadap tanah perdikan ini telah membuatnya menjadi seorang yang seakan-akan menyimpan dendam di dalam dirinya. Meskipun ia masih mencoba menemui kakaknya dan berbicara dalam suasana yang baik, tetapi telah menyala api di dalam dirinya, yang setiap saat dapat meledak dan membakar seluruh hati dan jantungnya.

Itulah sebabnya, maka peperangan kali ini telah sangat menarik perhatiannya. Seolah-olah ia menemukan tempat untuk menyalurkan dendam dan kebenciannya. Dendam dan kebencian yang selama ini berkembang di dalam dirinya, meskipun ia tidak akan dapat menyebutkannya kepada siapa ia mendendam dan siapakah yang telah dibencinya. Namun selama ini ia mencoba mencari sasaran yang paling mungkin untuk melepaskan dendam dan kebencian itu. Orang yang paling mungkin disangkutkannya sebagai sumber bencana itu adalah Ki Tambak Wedi. Dan Pandan Wangi mencoba memusatkan segenap kebencian dan dendamnya kepada Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki Tambak Wedi kini sedang berkelahi dengan ayahnya. Yang ada di peperangan ini adalah orang-orang Ki Tambak Wedi. Kepadanyalah dendam harus ditumpahkan.

Tetapi ketika ia telah berada di tengah-tengah perang brubuh yang liar dan buas itu, terasa betapa asingnya dunia yang ada di sekitarnya. Ia sama sekali tidak membayangkan sebelumnya, bahwa di dalam peperangan jiwa seseorang benar-benar tidak berharga. Ia mendengar orang yang berteriak-teriak dengan umpatan-umpatan kasar, kemudian pekik orang kesakitan. Yang lain mengerang dan yang lain lagi mengaduh di sela-sela terkaman-terkaman senjata yang saling berbenturan. Ia melihat dunia yang jauh berlawanan dengan dunianya sendiri. Ia setiap kali melihat seorang ibu mendukung bayinya. Setiap nyamuk yang menggigit bayi itu selalu diusirnya. Setiap goresan kuku-kukunya sendiri yang memerah pada kulitnya, selalu di lumurinya dengan minyak. Apabila bayi itu merasa badannya kurang sehat dan menangis, merengek-rengek, betapa ibunya menjadi bingung malam sampai sehat kembali.

Tetapi di peperangan ini, ia melihat jiwa yang sama sekali tidak dihargai lagi. Dada yang sobek oleh luka ujung senjata. Darah merah yang mengalir membasahi tanah. Tangan yang patah dan lengan yang lemah terkulai tidak berdaya lagi.

“Dua dunia yang jauh berlawanan,” desisnya di dalam hati. Di dunia yang satu, setiap gangguan pada sesamanya, selalu mendapat pertolongan sejauh-jauh dapat dilakukan. Betapa orang berusaha menyelamatkan setiap jiwa yang terancam. Oleh sakit maupun kecelakaan. Betapa orang berusaha menyambung jalan atas kemungkinan, umur yang dijamah oleh maut. Tetapi di dunia yang sekarang diinjaknya, maka setiap orang berusaha melenyapkan jiwa sesama. Bunuh membunuh dengan penuh nafsu dan kebanggaan. Semakin banyak jiwa yang dijemput oleh maut, maka semakin riuhlah sorak sorai orang-orang yang masih dapat bertahan dari dekapan kematian. Dan orang-orang yang masih hidup itu justru berusaha dengan sepenuh kemampuannya, memperbanyak kematian-kematian berikutnya.

Tetapi ia sudah berada didunia itu.

Pandan Wangi tersedar dari angan-angannya, ketika ia melihat Samekta sudah mulai memutar pedangnya. Beberapa orang di sekitarnya pun telah siap untuk bertempur. Sebuah kelompok kecil berhadapan dengan seorang yang telah mendengungkan namanya dengan nada yang hitam di dalam hiruk pikuk perang brubuh.

”Kaukah pemimpin orang-orang Menoreh itu,” terdengar suara Ki Peda Sura yang parau datar.

“Ya,” sahut Samekta pendek. Tetapi pedangnya langsung menyerang lambung lawannya. Bertubi-tubi dan sekejap kemudian setiap pedang di dalam kelompok itupun segera bergetar dan menyambar. Hanya sepasang pedang Pandan Wangi sajalah yang masih bersilang di depan dadanya.

“Kenapa kau bawa perempuan itu kemari?“ getar suara Peda Sura.

Ternyata pertanyaan itu telah menggetarkan dada Pandan Wangi. Sejenak kemudian terungkaplah kembali segala macam kebenciannya terhadap orang-orang yang tidak dikenal itu. Enam orang pernah berusaha untuk menangkapnya dengan maksud yang paling keji yang dapat dilakukan oleh manusia. Kemudian dendam dan kebenciannya kepada Ki Tambak Wedi yang telah merusak tanah perdikan, dan lebih-lebih lagi keluarganya. Ia telah memercikkan noda yang tidak terhapus pada nama ibunya. Tetapi ibunya sendiri telah membantu menggoreskan noda itu pula.

Meskipun demikian, Pandan Wangi masih tetap ragu-ragu. Apakah benar ia telah digerakkan oleh dendam dan kebencian untuk memasuki dunia yang hitam kelam ini?

“Tidak,” tiba-tiba Pandan Wangi menggeram di dalam hatinya, “bukan dendam dan kebencian. Seandainya hatiku hanya diwarnai oleh dendam dan kebencian aku dapat mengambil jalan lain. Aku akan melepaskan dendam itu dengan cara yang lain. Tetapi aku kini dibebani oleh tanggung jawabku atas “anah perdikan ini. Kecintaanku atas tanah ini, atas keluargaku dan atas rakyat Menoreh telah memaksa aku untuk masuk ke dalam daerah yang kelam ini.”

Pandan Wangi terkejut, ketika seorang pengawal telah mendorongnya ke samping. Ketika ia menyadari keadaannya, maka hatinya terasa berdesir. Seluruh pengawal yang ada di tempat itu telah terlibat di dalam peperangan. Beberapa orang terpaksa berada di sekitarnya untuk mencoba melindunginya.

Kini Pandan Wangi merasa bahwa dirinya tidak boleh tenggelam dalam angan-angannya saja di tengah-tengah peperangan yang kisruh itu. Dengan demikian ia benar-benar menjadi beban orang lain yang harus mengawasi dan melindunginya. Apalagi ketika ia melihat, betapa Peda Sura sudah sampai pada puncak kemampuannya.

Terdengar gadis itu menggeram. Ia berpaling ketika ia mendengar seseorang terpekik di sampingnya. Matanya menjadi terbelalak ketika ia melihat pengawal yang mendorongnya dari ujung senjata lawan itu memegangi lambungnya yang terluka.

Darah yang menitik dari luka itu seolah-olah titik-titik minyak yang menyiram dadanya yang membara. Kalau semula ia menjadi ngeri melihat darah dan luka, serta melihat kekasaran dan keliaran lawannya, maka kini tiba-tiba ia merasa wajib, bahwa ia harus menghentikan semuanya. Peristiwa-peristiwa yang membuat dadanya berdebar-debar telah mendorongnya untuk segera berbuat sesuatu.

Pandan Wangi itu menggeretakkan giginya. Selangkah ia maju mendekat Peda Sura kini sedang bertempur melawan beberapa orang yang mengelilingnya. Beberapa orang pengawal terpilih.

Namun meskipun demikian, para pengawal itu seolah-olah tidak dapat berbuat terlampau banyak. Mereka hanya dapat menyerang berganti-ganti dari jurusan yang berbeda-beda. Terus-menerus untuk berusaha agar Peda Sura tidak dapat berbuat terlampau banyak.

Tetapi Peda Sura bukan kanak-kanak. Segera ia memekik tinggi sambil memutar kedua senjatanya. Seperti prahara ia maju langsung menyerang orang yang memegang pimpinan pada pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Samekta terkejut melihat serangan yang langsung melibatnya itu. Seakan-akan ia tidak mendapat kesempatan untuk menghindar.

Orang-orang lain di dalam kelompok itupun serasa telah kehilangan kesempatan untuk mengimbangi gerak yang terlampau cepat. Peda Sura seolah-olah sudah tidak menghiraukan orang-orang lain kecuali Samekta.

Beberapa orang masih mencoba menahannya dan menyerangnya dari arah yang lain. Tetapi gerak Peda Sura dalam kesempatan ini ternyata terlampau cepat.

Samekta yang langsung mendapat serangan itu sudah tentu tidak akan membiarkan dirinya binasa. Sejauh-jauh dapat dilakukan ia harus memberikan perlawanan atau menghindar. Karena itu, ketika serangan itu meluncur dengan cepatnya, maka ia pun segera mencoba mengambil jarak dengan meloncat ke samping.

Tetapi senjata Peda Sura seolah-olah mempunyai mata. Serangan itupun dengan cepatnya berkisar dan mengejarnya. Sehingga dengan demikian, maka Samekta benar-benar tidak dapat lagi menghindarinya. Kini diayunkannya pedangnya, untuk mendapatkan kekuatan membentur serangan lawan itu.

Sejenak kemudian, terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Senjata di tangan kiri Ki Peda Sura yang diayunkannya ke pundak lawannya ternyata tertahan oleh pedang Samekta. Meskipun Ki Peda Sura tidak menumpahkan kekuatannya pada tangan kirinya, namun kekuatan ayunan senjatanya itu telah membuat tangan Samekta menjadi pedih. Senjata di dalam genggamannya hampir saja terlepas dan terlempar. Hanya dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya, pedangnya masih tetap berada di genggaman. Namun dengan demikian, ia terdorong beberapa langkah surut. Kesimbangannya pun hampir-hampir tidak dapat dipertahankannya, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa saat. Tetapi begitu ia berhasil tegak berdiri di atas kedua kakinya, dadanya berdesir dengan dahsyatnya. Sebuah bayangan meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang luar biasa. Dua buah senjata di kedua tangannya terayun-ayun mengarah ke tubuhnya.

Dalam sekejap, Samekta segera dapat mengenal, orang itu adalah Peda Sura yang kali ini benar-benar tidak mau melepaskannya. Ki Peda Sura agaknya telah mengabaikan beberapa orang di sekitarnya, dan memusatkan serangan-serangannya kepada pemimpin pasukan pengawal Menoreh. Agaknya orang itu mempunyai perhitungan tersendiri. Ia menyadari, bahwa kekuatan lawannya agak lebih besar dari kekuatan pasukannya. Jumlahnya pun berselisih agak besar, sehingga Ki Peda Sura harus mendapat cara yang secepat-cepatnya, mempengaruhi tenaga perlawanan pasukan pengawal Menoreh. Kalau ia dapat membunuh Samekta, maka keberanian dan tekad para pengawal itu pasti segera akan surut.

Karena itulah, maka serangannya kali ini benar telah diwarnai oleh bayangan maut yang hampir mencengkamnya.

Sejenak Samekta menjadi bingung. Tetapi naluri keprajuritannya telah menggerakkan tangannya untuk menangkis serangan itu.

Loncatan Peda Sura yang secepat tatit itu agaknya telah meyakinkannya, bahwa kali ini Samekta tidak akan dapat menghindar lagi. Kalau serangan ini tidak langsung dapat membunuhnya, maka serangan berikutnyalah yang pasti akan merobek dadanya.

Ternyata perhitungan Peda Sura itu benar-benar tepat. Samekta sudah tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawan serangan yang datang bertubi-tubi seperti gelombang yang berurutan menghantam tebing.

Sekali lagi terjadi benturan antara kedua jenis senjata. Senjata Peda Sura yang diayunkannya dengan tangan kiri untuk kedua kalinya telah membentur senjata Samekta. Dan ternyata kali ini Samekta sudah tidak mampu lagi bertahan. Tangannya terasa seperti tersayat dan pedangnya pun terlepas dari genggaman.

Melihat pedang lawannya terlepas, Peda Sura tertawa. Ia masih harus menangkis satu dua serangan dari orang-orang yang berada di dalam kelompok Samekta. Tetapi serangan-serangan itu sama sekali tidak berarti. Yang di hadapinya sekarang adalah Samekta yang telah siap menanti maut.

Dengan mata yang buas, Peda Sura mengangkat senjata di tangan kanannya. Sesaat terdengar suara tertawanya yang mengerikan, seperti suara iblis dari dalam lubang kubur.

Samekta sendiri kini sama sekali sudah tidak berdaya untuk berbuat apapun. Yang dapat dilakukan hanyalah meloncat menghindar. Tetapi itu tidak akan banyak berguna lagi. Karena itu, maka hidup matinya kini sangat tergantung kepada orang-orang di dalam kelompoknya.

Tetapi Peda Sura mampu memunahkan setiap serangan dengan tangan kirinya, atau bergeser setapak-setapak surut, dan kemudian maju lagi.

Samekta yang sudah tidak bersenjata itu kini sama sekali telah kehilangan kesempatan. Meskipun ia masih mencoba untuk melihat seseorang yang mungkin dapat memberinya senjata, tetapi ia sudah tidak mempunyai waktu lagi.

Ki Peda Sura kemudian telah membuat perhitungan selanjutnya. Yang pertama-tama setelah Samekta mati, adalah meneriakkan kemenangan itu untuk mempengaruhi setiap ketahanan di dalam diri setiap pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berada di dalam peperangan itu.

Tetapi tanpa disangka-sangka, Ki Peda Sura itu terkejut. Ternyata senjatanya telah membentur suatu kekuatan yaug tidak diduganya. Ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas serangan yang tiba-tiba datang dari arah samping. Seperti serangan-serangan yang lain, digerakkannya tangan kirinya untuk menangkis serangan itu sambil berkisar, sebelum ia mengayunkan tangan kanannya, dan mematahkan leher Samekta yang berdiri tegak seperti patung.

Namun ternyata benturan yang terjadi telah menggetarkan dadanya. Karena Ki Peda Sura sama sekali tidak menyangka, maka senjatanyalah yang hampir-hampir terlepas dari tangannya.

Terdengar pemimpin dari pasukan yang liar itu menggeram. Ia terpaksa meloncat beberapa langkah surut. Namun agaknya serangan yang datang kali ini, jauh berbeda dengan serangan-serangan yang terdahulu. Sepasang pedang seakan-akan memburunya, dan dengan kecepatan yang luar biasa kedua ujung pedang itu mematuknya dari arah yang berbeda.

“Setan betina,” Ki Peda Sura berteriak, “ternyata kau mampu juga berkelahi, he!”

Orang yang memegang sepasang pedang itu adalah Pandan Wangi. Pada saat terakhir, ia menggeretakkan giginya dan langsung meloncat menyerang Ki Peda Sura, ketika Samekta benar-benar telah terancam bahaya maut. Ia dengan susah payah telan berhasil menyingkirkan keragu-raguannya, karena ia yakin, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu untuk tanah ini dan untuk rakyat yang berada di dalam lingkungannya.

Itulah sebabnya, maka sambil menggeretakkan giginya, Pandan Wangi telah meluncurkan serangan-serangan yang sangat berbahaya bagi lawannya. Meskipun lawannya itu adalah Ki Peda Sura.

Ternyata Ki Peda Sura harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk menghindari serangan-serangan Pandan Wangi yang mengalir seperti banjir bandang. Bertubi-tubi. Sekali-sekali terjadi benturan-benturan antara dua pasang senjata. Tetapi karena Ki Peda Sura sama sekali tidak bersiap untuk melawan serangan-serangan yang demikian, maka beberapa kali ia terpaksa jauh-jauh menghindar untuk mendapat kesempatan memperbaiki keadaannya. Tetapi setiap kali Pandan Wangi telah berada di hadapannya sambil menjulurkan kedua ujung pedangnya. Berganti-ganti, tetapi kadang-kadang bersama-sama, sehingga sepasang pedang itu seolah-olah telah berubah menjadi puluhan ujung pedang yang digerakkan oleh puluhan tangan dari penari-penari yang menarikan sebuah tarian maut.

Tetapi Ki Peda Sura bukan anak-anak yang baru pandai menghapus ingus di hidungnya. Ia adalah seorang yang telah menggetarkan lingkungannya dengan berbagai macam perbuatan dan tindakannya yang nggegirisi. Ia adalah seorang yang telah mampu mencengkam lingkungannya dengan kelebihan-kelebihannya yang meyakinkan.

Itulah sebabnya, betapapun sulitnya, akhirnya perlahan-lahan Ki Peda Sura dapat menemukan keseimbangannya kembali. Perlahan-lahan ia dapat menempatkan dirinya, dalam perlawanan yang wajar terhadap lawannya yang kali ini ternyata jauh melampaui segala orang di dalam peperangan itu.

Kini Ki Peda Sura telah berdiri tegak di atas kedua kakinya. Senjatanya telah mantap di dalam genggaman. Dan matanya tajamnya memandang lawannya dengan hampir tidak berkedip, bahkan dari sepasang mata yang buas itu seakan-akan memancar api yang menjilat-jilat.

“Ternyata di Menoreh ada juga setan betina macam kau,” geramnya.

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ia menyadari sepenuhnya dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka dipusatkannya perhatiannya kepada Ki Peda Sura. Dipercayakannya dirinya kepada para pengawal yang selalu berusaha menahan serangan-serangan dalam hiruk pikuk perang brubuh itu, sehingga seolah-olah kedua orang yang berhadap-hadapan itu telah dipisahkan dari lingkungan perang yang semakin kisruh.

“Hem,” Peda Sura menggeram, “sayang sekali, bahwa gadis secantik dan semuda kau, sudah harus mati di peperangan. Mungkin kaulah yang bernama Pandan Wangi puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang gila itu. Aku pernah mendengar namamu dan kelebihan-kelebihan yang kau miliki.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Selangkah ia maju mendekati lawannya dengan penuh kewaspadaan. Kedua pedangnya kini bersilang di muka dadanya.

“Uh,” Peda Sura berdesah, “bukan main. Kau memang seorang yang luar biasa. Kau mempunyai kepercayaan yang mantap kepada dirimu sendiri. Aku kira kau pun pernah mendengar namaku. Tetapi agaknya kau benar-benar tidak gentar.”

Pandan Wangi sama sekali tidak merasa perlu untuk menjawab. Karena itu ia hanya mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Kini jarak mereka menjadi semakin dekat, dan pandangan mata keduanya sama sekali tidak berkisar dari senjata lawan.

Sementara itu, Samekta telah berhasil memperoleh senjatanya kembali. Meskipun tangannya masih terasa pedih, namun ia tidak akan dapat membiarkan perkelahian antara Pandan Wangi dan Peda Sura itu berlangsung tanpa bantuan orang lain. Meskipun Pandan Wangi cukup mempunyai bekal dan kemampuan, namun Peda Sura menyimpan pengalaman yang jauh lebih banyak dari gadis yang baru untuk pertama kalinya terjun di peperangan. Apalagi perang brubuh. Karena itu, maka ia pun segera mendekat bersama beberapa orang di dalam kelompoknya.

“Ha,” berkata Ki Peda Sura, “lihat, kawanmu yang hampir menjadi bangkai itu mendekat pula. Agaknya ia benar-benar ingin mati di peperangan ini.”

Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak berpaling. Bahkan setelah Samekta berada di sampingnya. Ia mengerti benar, bahwa Peda Sura mampu bergerak secepat tatit.

Peda Sura mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ia melihat banyak kelebihan pada gadis itu. Keyakinan kepada diri sendiri, penuh kewaspadaan dan otak yang terang. Dengan demikian, maka dadanya telah diamuk oleh kecemasan. Kini ia tidak yakin, bahwa ia akan dapat berbuat sekehendaknya atas lawan-lawannya. Kesempatan untuk membunuh Samekta seolah-olah telah lenyap, sedang ia menyadari, bahwa jumlah pasukan Menoreh lebih banyak dan lebih kuat dari pasukannya.

Namun demikian Peda Sura masih mempunyai harapan. Sebentar lagi pasukan Sidanti akan masuk ke induk padukuhan Menoreh. Pada saat itulah, maka pasukan Menoreh pasti akan dapat di pecahnya.

“Tetapi bagaimanakah seandainya Sidanti sengaja memperpanjang waktu menunggu pasukan ini hancur?” pertanyaan itu timbul pula di dalam hatinya. Tetapi dijawabnya sendiri, “tentu tidak. Tentu tidak. Ia masih memerlukan kami.”

Dan Ki Peda Sura tidak dapat berangan-angan berkepanjangan. Pandan Wangi melangkah semakin dekat dan pedangnya yang bersilang kini mulai bergetar.

“Betina ini benar-benar seperti iblis,” desis Ki Peda Sura di dalam hati.

Dan ternyata bahwa sekejap kemudian Pandan Wangi telah meloncat ke samping, menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang dengan sengitnya.

Bukan saja Ki Peda Sura yang menggeram, tetapi Samekta pun menggeram pula oleh keheranan yang menyesak di dadanya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Pandan Wangi yang luruh itu dapat berubah menjadi demikian garangnya.

Samekta pun tidak mau melewatkan setiap kesempatan. Selagi ia mendapat kesempatan, maka ia pun mendekat pula dan menyerang bersama-sama dengan beberapa orang di dalam kelompok kecil itu.

Baru kini Ki Peda Sura merasa, bahwa ia sebenarnya lagi berperang. Dengan lincahnya ia berloncatan sambil menggerakkan sepasang senjatanya. Tetapi kini dengan penuh kewaspadaan dan sepenuh kemampuannya. Ia tidak lagi dapat bermain-main.

Dengan demikian, maka perkelahian itupun menjadi semakin lama semakin seru. Tidak hanya di dalam lingkaran yang memutari Ki Peda Sura, tetapi di seluruh daerah perang brubuh itu. Satu-satu korban jatuh di tanah, dan darah pun mengalir dan luka, memerahi tanah dan batu-batu padas. Erang kesakitan, dan pekik yang mengerikan membelah hiruk pikuk dentang senjata.

Pada saat yang demikian itulah, dua ekor kuda berlari berderap memecah kesepian malam di dalam padukuhan. Mereka singgah dari gardu ke gardu memberitahukan, bahwa Sidanti masih belum dijumpai di peperangan. Akhirnya orang itu sampai pula di rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang ditunggui oleh sepasukan kecil dibawah pimpinan Wrahasta.

“Hem,” Wrahasta menggeram, “bagaimana dengan pasukan cadangan di banjar?”

“Pasukan itu telah aku beritahukan pula. Mereka mengumpulkan kuda sebanyak-banyaknya dapat mereka peroleh, supaya sebagian dari mereka dapat bergerak cepat ke manapun juga.”

“Bagus. Dan apakah kau telah memberitahukan semua penjaga dan semua peronda?”

“Hampir seluruhnya. Berita ini akan berkembang dengan secara beranting, bagi gardu-gardu di padukuhan-padukuhan yang agak jauh.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi berdebar-debar. Kepergian Pandan Wangi ke medan peperangan telah membuat hatinya gelisah. Dan berita yang didengarnya itupun telah menambah kegelisahan dan kecemasannya.

“Sekarang, kalian akan pergi ke mana lagi?”

“Aku akan meneruskan perjalanan ke gardu-gardu di sebelah Timur. Syukurlah kalau berita beranting itu telah sampai, kalau belum maka mereka harus segera mendengarnya pula.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hati-hatilah. Musuh dapat berada di segala tempat.”

Sesaat kemudian derap kaki dua ekor kuda itu kembali memecah kesenyapan malam. Menyelusur jalan padukuhan, singgah di gardu-gardu di mulut lorong dan di sudut-sudut desa.

Namun dengan serta-merta, kedua penunggang kuda itu menarik kekang kudanya ketika ia bertemu dengan seorang penunggang kuda yang datang dari arah yang berlawanan. Kuda itu berpacu seperti angin. Dalam kilatan cahaya bulan keduanya melihat bahwa orang itu membawa senjata terhunus di tangannya.

“Penghubung yang pasti membawa berita terlampau penting.”

“Ya, ternyata senjatanya telah berada di dalam genggaman.”

Kini keduanya menjadi semakin berhati-hati. Namun semakin dekat, mereka segera mengenal, bahwa penunggang kuda itupun seorang pengawal dari Menoreh.

Penunggang kuda yang seorang itu, yang membawa senjata terhunus, telah melihat kedua orang yang berkuda pula di hadapannya. Karena itu maka segera diperlambatlah derap kudanya. Belum lagi mereka berpapasan, orang itu telah berkata keras-keras, “Pasukan yang besar datang dari arah Timur.”

Kedua orang yang menunggunya terkejut, “Pasukan siapa?”

“Setan,” hampir bersamaan keduanya menggeram.

“Langsung dipimpin oleh Sidanti dan Argajaya.”

“Pasukan cadangan telah siap.”

“Tidak cukup. Pasukan itu terlampau kuat.”

“Lalu maksudmu?”

“Semua yang ada harus dikerahkan. Sebagian harus ditarik dari peperangan di medan sebelah Barat.”

Keduanya mengerutkan keningnya. Kini penghubung yang bersenjata itu telah berhenti pula. Katanya, “Kembalilah. Salah seorang dari kalian pergi kepada Ki Samekta. Yang seorang kepada Wrahasta dan aku akan pergi ke banjar, mengambil pasukan cadangan yang dapat segera digerakkan.”

Mereka tidak terlampau banyak berbincang. Keadaan akan segera memuncak. Karena itu, maka ketiganya segera memacu kuda mereka berderap ke jurusan masing-masing. Mereka merasa betapa berat tugas pasukan pengawal kali ini, menghadapi kawan-kawan sendiri dan orang-orang liar yang tidak mereka kenal yang terjun di dalam perselisihan di antara keluarga.

Wrahasta yang mendengar tentang gerakan itu menggeretakkan giginya. Hampir saja ia lupa, bahwa ia bertugas untuk menjaga rumah Kepala Tanah Perdikan itu seisinya. Dengan kemarahan yang meluap-luap ia menggeram, “Seandainya aku tidak terikat oleh tanggung jawab ini. Aku ingin tahu, apakah benar-benar Sidanti telah melonjak terlampau jauh dari anak-anak muda sebayanya di tanah perdikan ini.”

“Tetapi kau tidak boleh meninggalkan halaman rumah ini,” berkata seorang pengawal yang lain.

“Ya, dan aku kecewa karenanya.”

“Tugasmu telah ditentukan,” sahut penghubung yang memberitahukan gerakan Sidanti itu kepadanya, “aku memberitahukan kepadamu, supaya kau berwaspada. Mungkin pasukannya dapat meresap sampai ke halaman ini. Setiap orang harus menyiapkan diri menghadapi kemungkinan.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Aku akan menyongsong setiap orang dari pasukan lawan di luar halaman. Tidak boleh setapak kaki pun yang mengotori halaman rumah Ki Argapati.”

Penghubung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Baiklah, aku kini pergi kebanjar.”

Tetapi kata-katanya terpotong ketika mereka yang berada di halaman itu mendengar derap kaki kuda. Bergemeretak di atas tanah berbatu-batu. Berurutan meluncur secepat loncatan tatit di langit. Mereka adalah bagian dari pasukan cadangan yang langsung menyongsong pasukan Sidanti. Menurut perhitungan mereka, pasukan itu pasti sudah berbenturan dengan para peronda yang telah menarik diri dari gardu-gardu mereka dan berkumpul untuk menahan arus pasukan Sidanti. Tetapi jumlah mereka terlampau sedikit, sehingga pengaruhnya pun tidak akan terlampau terasa pada pasukan lawan. Namun kedatangan para pengawal berkuda itu pasti akan segera mengganggu laju pasukan lawan itu.

“Mereka telah berangkat,” desis Wrahasta, “darimana mereka mendengar bahwa pasukan Sidanti maju disebelah Timur?”

“Bersama aku seorang penghubung langsung pergi ke banjar dan ke medan disebelah Barat untuk memberitahukan kepada Paman Samekta. Seandainya Samekta mempunyai kelebihan kekuatan, maka kekuatan itu akan dialirkan ke medan di sebelah Timur.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mencoba melihat bayangan yang meluncur berurutan di hadapannya. Tetapi yang dilihatnya tinggallah orang yang paling belakang.

“Jumlah pengawal berkuda itupun tidak terlampau banyak.”

Tetapi cukup untuk menahan pasukan Sidanti sampai pasukan cadangan yang lain datang.”

“Pasukan cadangan itupun tidak begitu banyak.”

Penghubung itu tidak menyahut. Menurut pendengarannya, pasukan Sidanti yang datang dari Timur itu cukup kuat, sehingga untuk menahannya diperlukan pasukan yang kuat pula.

Sejenak kemudian mereka melihat pasukan cadangan dari Banjar, dengan tergesa-gesa menuju ke Timur, lewat jalan di alun alun kecil di hadapan rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mereka berlari-lari kecil berloncatan, seakan-akan tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengun pasukan lawan.

Ternyata pasukan Sidanti yang kuat sama sekali tidak menemukan perlawanan yang berarti. Para peronda di gardu-gardu dan para pengawal yang di tempatkan di padukuhan-padukuhan kecil tidak terlampau bodoh untuk membunuh diri dengan menahan arus gerakan lawan. Mereka segera menghindar, menarik diri dan mencoba berkumpul dalam kelompok yang lebih besar. Tetapi jumlah mereka masih terlampau sedikit untuk melakukan perlawanan, sehingga dengan demikian, mereka masih tetap mundur dan bergabung dengan lima atau sepuluh orang di setiap padukuhan-padukuhan kecil.

Baru ketika jumlah mereka menjadi lebih banyak, mereka mencoba mengganggu pasukan lawan dengan panah-panah dari jarak yang agak jauh. Mereka menyerang pasukan lawan dari pedukuhan-pedukuhan di hadapan gerakan pasukan Sidanti, namun kemudian hilang di dalam kegelapan dan mencoba menghindar dari benturan terbuka.

“Setan,” Sidanti menggeram, “mereka licik seperti kancil. Mereka tidak berani berhadapan beradu dada.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia mengagumi cara yang dipergunakan oleh para pengawal itu. Ia termasuk salah seorang yang menganjurkan cara itu untuk melawan kekuatan yang jauh melampaui kekuatan sendiri. Dan cara itu kini dipergunakan untuk melawannya sendiri.

Para peronda yang mengundurkan diri itu akhirnya mendengar derap kaki-kaki kuda semakin mendekat. Dengan serta-merta, kegembiraan melonjak di hati mereka. Mereka akan segera mendapatkan kawan yang cuku berarti untuk melawan pasukan Sidanti. Meskipun mereka tetap ragu-ragu, apakah usaha itu akan berhasil, karena pasukan Sidanti itu agak terlampau besar.

Dengan tergesa-gesa mereka menahan para pengawal berkuda itu, supaya mereka tidak langsung terjun ke dalam jebakan lawan. Dengan berapa petunjuk dari para peronda itu, akhirnya mereka bersepakat, bahwa mereka akan mempergunakan cara yang telah mereka lakukan sebelumnya. Setiap kali menunggu pasukan lawan mendekati padukuhan. Kemudian menyerang mereka dengan senjata-senjata jarak jauh. Kini, mereka menambah cara penyerangan dengan para pengawal berkuda. Pada saat mereka sibuk menangkis serangan-serangan senjata jarak jauh, maka para pengawal berkuda itu harus menyerang mereka dengan tiba-tiba, tetapi kemudian menghilang lagi, untuk muncul pula disaat yang lain.

Demikianlah, maka mereka mencoba mempergunakan cara itu. Pertama kali, ketika Sidanti mendengar ringkik kuda, ia terkejut. Beberapa orang berkuda tiba-tiba saja meloncat dari dalam bayangan pepohonan, langsung menyerang mereka dengan melontarkan tombak-tombak panjang. Kemudian menebaskan pedang-pedang mereka. Sesaat kemudian kuda-kuda itu telah lenyap menghilang sambil meninggalkan beberapa orang korban.

Tetapi cara itu tidak akan dapat mereka ulangi. Sidanti dan Argajaya bukanlah orang-orang yang terlampau bodoh. Itulah sebabnya, maka para pengawal yang menyadari keadaan, harus mempergunakan cara yang lain untuk menyergap lawan mereka.

Tetapi cara-cara yang mereka pilih tidak selalu berhasil. Kadang-kadang mereka terpaksa mengurungkan penyerangan mereka, dan menghindar jauh-jauh. Namun pada dasarnya, mereka selalu menghindarkan diri dari benturan-benturan terbuka, sambil menunggu kedatangan pasukan cadangan yang menyusul mereka dengan berjalan kaki.

Tetapi pasukan Sidanti yang datang dari arah Timur ini ternyata terlampau kuat. Para pengawal berkuda, segera dapat menilai, bahwa pasukan cadangan itupun tidak akan mampu untuk bertahan dari arus pasukan lawan. Karena itu, maka segera mereka berusaha menghubungi setiap peronda, dan bahkan setiap orang yang mungkin dapat memperkuat pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.

Satu dua dan kadang-kadang lima orang atau lebih berhasil berhimpun menjadi kelompok-kelompok kecil dan bergabung dengan pasukan pengawal, yang masih menunggu pasukan yang lebih besar lagi untuk melakukan perlawanan terbuka. Namun dalam pada itu, pasukan Sidanti maju terus dengan cepatnya. Semakin lama semakin dekat dengan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Setiap orang dari para pengawal itu menjadi berdebar-debar. Ketika mereka menerima seorang penghubung dari pasukan cadangan, mereka menjadi berbesar hati, Pasukan itu telah berada dan menunggu lawannya di sebuah pedukunan kecil di belakang mereka.

“Kami tahu, bahwa pasukan Sidanti cukup besar,” berkata penghubung itu, “karena itu, maka kami tidak membawanya di tempat terbuka, supaya kami dapat sedikit perlindungan dari keadaan di sekitar kami.”

“Baiklah,”jawab seorang pengawal yang tertua di antara mereka yang telah bergabung menjadi kelompok-kelompok kecil, “kami akan bergabung. Tetapi kami akan mencari jalan lain, supaya tidak segera diketahui oleh pasukan lawan.”

Series 37

PASUKAN kecil itupun segera menghilang dari pengawasan Pasukan Sidanti. Mundur dengan tergesa-gesa, merangkak di antara batang-batang jagung muda, supaya mereka dapat bergabung dengan pasukan cadangan yang agak besar, yang menunggu di padukuhan kecil di belakang mereka. Mereka mencoba menghilangkan segala macam jejak, agar Sidanti tidak mengetahui dengan pasti, bahwa mereka telah ditunggu di padukuhan kecil itu. Sedang para pengawal berkuda, menyingkir ke arah yang lain agak jauh. Namun mereka telah mempersiapkan diri untuk dengan tiba-tiba terjun di peperangan.

Ketika Sidanti menyadari, bahwa lawannya yang kecil telah menghilang, maka segera ia bercuriga. Mereka pasti akan menyerang lagi dengan tiba-tiba. Dan Sidanti telah mempersiapkan dirinya. Beberapa orang berperisai berada di depan pasukannya, agar perisai itu dapat melindungi mereka dari anak-anak panah yang dilontarkan oleh lawan-lawan mereka

Tetapi naluri Sidanti sebagai seorang prajurit, telah memperingatkannya, bahwa di depan pasukannya di dalam padukuhan kecil itu, bahaya yang lebih besar sedang menunggunya. Dan Sidanti agaknya mempercayai sentuhan nalurinya itu, sehingga dengan demikian, ia telah mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya.

Karena itu, ketika Sidanti memasuki padukuhan kecil itu, mereka sama sekali tidak terkejut ketika tiba-tiba saja pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyergap mereka. Yang sejenak kemudian disusul oleh pasukan berkuda yang tidak terlampau banyak jumlahnya. Dengan menggeretakkan giginya, Sidanti dan Argajaya telah menyambut lawan-lawannya dengan penuh nafsu. Senjata-senjata mereka segera berputaran seperti angin ribut, menyerang setiap orang yang berada di sekitarnya.

Perang yang terjadi di medan inipun adalah perang brubuh. Dengan kekuatan yang lebih kecil, pasukan pengawal Menoreh mencoba bertahan dari arus yang melanda seperti banjir bandang. Apalagi di antara mereka terdapat Sidanti dan Argajaya.

Pada saat benturan itu mulai, sudah terasa oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, bahwa arus itu ternyata terlampau kuat. Sehingga menurut perhitungan mereka, mereka pasti tidak akan dapat menahannya dalam keadaan serupa itu. Karena itu, maka mereka harus memanggil kawan-kawan sebanyak-banyaknya, untuk bertahan, agar Tanah Perdikan Menoreh tidak digulung oleh Sidanti, Argajaya. dan orang-orang yang telah berpihak kepadanya.

“Kita tidak punya kesempatan,” geram pemimpin pasukan Menoreh, “para penghubung akan memerlukan waktu untuk menghubungi orang-orang yang bersedia dengan suka rela bertempur saat ini.”

“Hampir semua laki-laki dan anak-anak muda telah berada di barisan.”

“Siapa pun juga. Panggil mereka dengan tanda.”

“Kentongan.”

“Ya, titir.”

“Apakah tidak akan menimbulkan kecemasan dan kebingungan?”

“Terpaksa kita lakukan. Keadaan sangat gawat di sini.”

Penghubung itu tidak membantah. Ia mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari perang brubuh. Kemudian dengan berlari secepat-cepat mungkin dapat dilakukan, ia menuju ke gardu terdekat. Dan sejenak kemudian, menggemalah suara kentongan dalam irama titir yang panjang mengumandang membelah sepinya malam.

Ternyata suara itu telah menggemparkan setiap gardu-gardu perondan. Gardu-gardu yang biasanya ditunggui oleh lima atau enam orang, kini tinggal diisi oleh dua orang, karena yang lain sudah ditarik di medan-medan peperangan. Dan suara titir itu telah memanggil mereka pula untuk membantu langsung ke medan-medan. Tetapi sebelum mereka meninggalkan gardu mereka, maka lebih dahulu mereka telah menyambung suara titir itu merambat dari gardu ke gardu, sehingga akhirnya, seolah-olah seluruh Tanah Perdikan Menoreh telah meneriakkan irama kecemasan oleh pertentangan di antara mereka sendiri.

“Titir,” desis seseoragg di sebuah gardu, “iramanya rata diseling oleb pukulan dua dua.”

“Ya, pertanda bahwa bahaya datang dari Timur.”

Setetah menyambung suara titir itu sejenak, maka kedua orang di gardu itupun segera berlari-lari menuju ke padukuhan kecil di sebelah Timur padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Namun meskipun pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang masih mungkin meninggalkan tugasnya mengalir satu-satu ke medan di sebelah Timur, namun ternyata kekuatan Sidanti bagaikan badai yang dahsyat melanda daun alang-alang yang ringkuh. Sehingga sejenak kemudian, maka korban pun segera berjatuhan membujur lintang di atas tanah kelahiran yang dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa.

Sementara itu, di medan sebelah Barat, pasukan Samekta telah hampir berhasil menguasai lawannya, meskipun pasukan sayap kirinya masih belum dipergunakannya. Namun akhirnya Samekta tidak ingin berkelahi lebih lama lagi. Ia berhasrat untuk segera memanggil sisa pasukannya, agar pertempuran itu semakin cepat berakhir, dan korban pun tidak bertambah-tambah lagi.

Tetapi dalam pada itu hatinya berguncang, ketika lamat-lamat ia mendengar suara kentongan, merayap semakin lama semakin dekat. Kemudian suara itu seolah-olah telah melingkar bergema di segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh. Berkumandang memukul lereng pebukitan, kemudian memantul kembali sahut menyahut.

Dada Samekta yang berguncang itu terasa semakin menggelapar, ketika ia mendengar suara Peda Sura datar, ”Kau dengar suara kentongan itu?”

Samekta menggeram.

“Pasukan Sidanti yang kuat telah datang dari arah Timur.”

Samekta tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya gemeretak. Suara titir itu telah langsung memberitahukan kepadanya, bahwa pasukan cadangan tidak cukup kuat untuk menahan arus lawan yang baru itu. Bahkan keadaan mereka pasti sangat berbahaya.

Tiba-tiba terbersit ingatan di kepalanya, “Pasukan sayap kiri.”

Belum lagi Samekta berbuat sesuatu, seorang penghububung dengan susah payah, setelah menerobos perang brubuh itu berhasil mendekatinya. Dan sebelum orang itu mengucapkan sepatah kata pun, Samekta mendahuluinya, “Kau memerlukan bantuan?”

Orang itu mengangguk, “Ya.”

“Di padukuhan sebelah, sayap kiri dari pasukan ini masih belum melibatkan diri dalam peperangan.”

Orang itu menganggukkan kepalanya. Tanpa menunggu perintah berikutnya, ia bergeser untuk dengan cepat menghubungi pasukan yang masih belum melibatkan diri dalam peperangan itu. Namun langkahnya terhenti ketika Samekta memanggilnya, “Tunggu!”

Pengawal itu tertegun sejenak. Tetapi dilihatnya Samekta menjadi ragu-ragu. Sejenak Samekta telah melepaskan diri dari perkelahian melawan Peda Sura, dan membiarkan Pandan Wangi dan beberapa orang lain yang membantunya bertempur terus.

“Apakah keadaan sangat parah?”

Orang itu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menggangguk.

Sekali lagi Samekta tertegun-tegun dalam keragu-raguan. Sejenak dipandanginya Pandan Wangi yang sedang bertempur itu. Ternyata kemampuan gadis itu jauh berada di atas kemampuannya sendiri, tetapi masih belum dapat mengimbangi kemampuan Peda Sura yang ganas, garang, dan bahkan kadang-kadang di luar perhitungan.

Betapapun banyaknya bekal yang dibawa Pandan Wangi dalam olah kanuragan dan keprigelan, tetapi di dalam peperangan apalagi perang brubuh melawan orang-orang yang sama sekali tidak mengenal unggah-ungguh, tanggung jawab terhadap keperwiraan dan kesatriaan dan bahkan tata kesopanan olah peperangan, Pandan Wangi adalah orang baru sama sekali. Ia harus mendapat banyak tuntunan dan petunjuk untuk menerapkan bekalnya yang cukup banyak itu.

“Ia dapat tersesat,” berkata Samekta di dalam hatinya, “ia dapat menjadi ngeri dan kehilangan kemampuan untuk tetap bertahan setelah melihat darah dan kebiadab ini berlangsung di depan matanya. Tetapi apabila ia cukup tabah, maka ia dapat nenjadi salah mengerti. Disangkanya, bahwa memang demikianlah isi dari peperangan. Orang dapat melepaskan segala sifat-sifat kemanusiaan dan peradaban sehingga seseorang di dalam peperangan dapat berbuat apa saja tanpa bertanggung jawab.”

Pandan Wangi, meskipun ia orang baru di medan peperangan, ternyata tanggapan terhadap keadaan demikian tajamnya, sehingga seolah-olah ia mengerti apa yang terpikir di dalam kepala Samekta. Namun meskipun demikian, di dalam kepalanya sendiri terjadi juga keragu-raguan dan kebimbangan. Ada hasratnya untuk meninggalkan medan ini dan pergi ke medan yang sedang parah, itu terdorong oleh tanggung jawabnya sebagai seorang puteri kepala tanah perdikan. Tetapi ia ragu-ragu, apakah ia dapat menghadapi Sidanti, kakaknya sendiri, sebagai lawan di peperangan, meskipun ia yakin, bahwa kini seorang lawan seorang, ia tidak berada di bawah kemampuan kakaknya itu

Namun tiba-tiba ia berkata, “Paman, tinggalkanlah aku di sini. Aku akan mencoba menyelesaikan tugas pengawal-pengawal Menoreh di sini. Silahkanlah Paman pergi ke medan di sebelah Timur yang memerlukan bantuan itu, sambil membawa pasukan sayap kiri yang masih utuh di padukuhan sebelah.”

Samekta mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia masih diombanga-ambingkan oleh keragu-raguan. Terasa dadanya berdesir ketika ia mendengar Pandan Wangi berkata seterusnya, sambil memutar pedangnya, melawan serangan-serangan Peda Sura yang membadai, “Pergilah Paman. Sekejap dalam keadaan ini akan sangat bermanfaat. Jangan buang-buang waktu dengan terus menerus dicengkam kebimbangan.”

“Hem,” Samekta menggeram di dalam hatinya, “justru Pandan Wangi yang memberi petunjuk kepadaku. Tetapi aku kira memang tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan tanah ini.”

Karena itu, maka Samekta itupun menyahut, ”Ya Ngger. Aku akan pergi. Tinggallah di sini bersama pasukan ini.” Lalu kepada orang tertua di dalam kelompok kecil yang sedang melawan Peda Sura itu, ia berpesan, “Kau mempunyai pengalaman jauh lebih banyak dari Angger Pandan Wangi. Kau dapat memberinya banyak petunjuk. Tetapi kekuasaan ada di tangannya sepeninggalku.”

Orang itu mengangguk, “Ya, aku akan mencoba.”

Samekta masih juga ragu-ragu. Tetapi ia tidak banyak mempunyai waktu. Ia harus segera berbuat sesuatu. Dan ia pun segera mengambil keputusan. Kepergiannya tidak akan banyak berpengaruh di medan ini, tetapi mungkin akan berguna di medan yang lain.

Sejenak Samekta masih berdiri di tempatnya. Agaknya ia masih mencoba meyakinkan dirinya, apakah Pandan Wangi dapat ditinggalkannya. Dan sekali lagi ia melihat, betapa gadis itu dengan lingahnya meloncat-loncat melayani lawannya, dibantu oleh beberapa orang terpilih dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Hati-hatilah Ngger,” desis Samekta kemudian. Sejenak ia menunggu dan didengarnya Pandan Wangi menyahut di sela-sela dentang senjatanya, “Baik Paman.”

Samekta segera meninggalkan arena itu. Disumbatnya segenap keragu-raguan dengan menggeretakkan giginya. Ia mencoba melepaskan segala macam kebimbangan, dan ia pun segera menerobos perang brubuh yang kisruh, menuju ke padepokan di sebelah

Tanah Perdikan Menoreh memang sedang memerlukan tenaganya. Ia harus memimpin pasukan yang tersisa itu. Namun demikian, hatinya terasa terlampau gelisah. Ia telah salah memperhitungkan cara yang akan ditempuh oleh Sidanti. Ternyata Sidanti benar-benar seorang prajurit yang baik. Ia memancing para pengawal dengan pasukan yang tidak terlampau kuat. Namun kemudian induk pasukannya justru menyerang dari arah lain.

“Kami telah kehilangan kesempatan,” gumam Samekta di dalam hatinya, “kalau kami berhadapan bersama-sama, maka kekuatan Menoreh pasti lebih besar dari kekuatan Sidanti. Seandainya kami bertempur dalam gelar, maka dapat dipastikan bahwa pasukan Sidanti akan pecah. Tetapi dengan cara ini, pasukan Menoreh banyak kehilangan. Sidanti berhasil membinasakan pasukan Menoreh sedikit demi sedikit. Waktu yang dipergunakan oleh Sidanti, untuk mengurangi sebanyak-banyaknya kemampuan perlawanan pasukan Menoreh.”

Tiba-tiba Samekta menggeram. Ia adalah orang yang telah cukup makan pahit asamnya peperangan. Namun kali ini ia tidak berhasil menanggulangi siasat Sidanti.

“Mudah-mudahan aku tidak terlambat sekali.”

Samekta kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke padukuhan sebelah, menemui pemimpin sayap kirinya. Dengan singkat, pasukan itu mendapat penjelasan apa yang harus dilakukan.

Dengan tergesa-gesa Samekta segera membawa pasukan kecil itu menuju ke medan di sebelah Timur. Dengan berlari-lari kecil ditelusurinya pematang, diloncatinya parit dan ladang-ladang terpaksa di sasaknya tanaman-tanaman di pategalan-pategalan untuk menempuh jalan yang memintas. Jalan yang paling pendek untuk mencapai medan sebelah Timur, hampir mencapai padukuhan induk.

Kedatangan pasukan Samekta, beserta Samekta sendiri, memberikan gairah baru bagi pasukan Menoreh yang sebenarnya telah terlampau parah. Korban telah banyak berjatuhan dan daya perlawanan mereka pun telah hampir punah. Tetapi pasukan yang segar ini telah membawa udara baru. Dengan cara seperti yang telah ditempuhnya membuat kelompok-kelompok kecil, para pengawal menghadapi Sidanti dan Argajaya. Mereka harus berusaha untuk mengurung kedua orang itu pada tempat tertentu, supaya kedahsyatan ujung senjata mereka tidak menjalar di seluruh medan.

Sejenak desakan pasukan Sidanti agak tertahan. Tetapi sejenak kemudian Samekta pun segera merasakan, bahwa tekanan pasukan lawan itu benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Pasukannya datang ketika pasukan yang terdahulu sudah hampir tidak berdaya sama sekali, sehingga seakan-akan pasukan yang baru itu sajalah yang kini harus bertempur melawan seluruh kekuatan Sidanti.

Samekta itu menggeram, ketika ia mendengar jerit seseorang di dekatnya. Sebatang tombak telah menembus dadanya, menyusup di antara tulang-tulang rusuknya meraba jantung.

“Perlawanan ini tidak dapat dipertahankan,” berkata Samekta di dalam hatinya, “kami akan ditumpasnya seperti batang ilalang yang disapu angin pusaran yang dahsyat.”

Tiba-tiba Samekta mengambil sesuatu keputusan yang berbahaya, tetapi yang paling mungkin dilakukan. Selagi pasukannya masih cukup segar, maka diperintahkannya seseorang untuk segera menghubungi Wrahasta, “Sampaikan kepadanya, pasukan akan mundur sampai ke induk Padukuhan Menoreh. Ungsikan sedapat mungkin semua penghuninya. Kami akan bertahan bergabung dengan pasukan Wrahasta. Itu yang paling mungkin kami lakukan, karena Wrahasta tidak akan dapat meninggalkan halaman menurut perintah Ki Gede. Setidak-tidaknya, kami akan bertempur di padukuhan induk. Dengan demikian kami akan mendapat banyak bantuan daripadanya.”

Penghubung itupun segera meninggalkan medan, langsung menemui Wrahasta di halaman rumah Ki Argapati. Wajah Wrahasta segera menjadi tegang dan menyala. Katanya, ”Jadi pasukan Menoreh tidak mampu menahan arus kekuatan Sidanti?”

Penghubung itu menggeleng.

Wrahasta berdiri tegang di tempatnya. Ia dapat mengerti cara berpikir Samekta meskipun itu suatu permainan yang sangat berbahaya. Namun seandainya tidak demikian, dan pasukan Samekta itu tertumpas habis, maka Sidanti pun pasti akan berhasil merebut rumah Ki Argapati ini. Karena itu, memang tidak ada jalan lain daripada menarik pasukan itu dan bergabung dengan pengawal rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak akan menunggu pasukan Sidanti memasuki halaman, tetapi mereka akan menyongsong mereka di ujung pedukuhan.

Maka Wrahasta pun kemudian menggeram, “Sampaikan kepada Paman Samekta, pasukanku akan menunggu di ujung pedukuhan.”

Penghubung itu tidak menunggu apapun lagi. Segera ia meloncat berlari kembali ke medan. sementara Wrahasta berusaha untuk menyingkirkan perempuan dan anak-anak meninggalkan pedukuhan induk, ke padukuhan yang dianggapnya aman. Dengan Samekta dan pasukan-pasukan yang lain telah dibuat kesepakatan, bahwa apabila terpaksa, mereka memang harus menempatkan keluarga mereka di padukuhan tersebut. Bahkan dalam keadaan serupa itu, kemungkinan yang paling pahit pun harus dipikirkan. Apalagi pasukan mereka terpaksa mundur, maka mereka akan menempatkan diri di padukuhan di hadapan padukuhan pengungsian itu. Dan Wrahasta pun harus menyiapkan penghubung-penghubung untuk keperluan tersebut. Sebab ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari kenyataan, sesuai dengan laporan penghubung yang datang dari medan di sebelah Timur.

Dengan susah payah penghubung yang telah berhasil menemui Wrahasta itu dapat melaporkan hasilnya kepada Samekta, meskipun ia harus menembus perang yang semakin sengit berkobar di medan itu. Dan Samekta pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ia tidak dapat membiarkan orang-orangnya menjadi semakin parah. Karena itulah, maka segera ia memerintahkan penghubung-penghubungnya menyampaikan perintahnya ke segenap kelompok dan bahkan ke segenap orang, supaya di antara mereka tidak ada yang tertinggal, untuk menarik diri sampai ke ujung padukuhan induk.

Ternyata pasukannya yang telah menjadi semakin parah itupun agaknya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Disaat-saat terakhir mereka telah mencurahkan segenap sisa kemampuan mereka untuk bertahan terus. Seandainya Samekta tidak mengeluarkan perintah itu, maka pasukan Menoreh justru akan terpecah tanpa dapat dikendalikan lagi.

Kini sambil mempertahankan hidup masing-masing, para pengawal itu menarik diri. Mereka belum tahu pasti apakah yang akan terjadi setelah mereka sampai di padukuhan induk. Sudah tentu Samekta tidak dapat meneriakkan rencananya itu di medan perang.

Namun meskipun demikian, beberapa orang pemimpin kelompok dapat segera memahami maksud Samekta, karena mereka tahu benar, bahwa di padukuhan induk masih tersisa beberapa bagian dari kekuatan pasukan pengawal Menoreh.

Demikianlah, seperti didorong oleh banjir bandang, maka dengan cepatnya peperangan itu bergeser. Menyeberangi sebuah bulak kecil menuju ke padukuhan induk.

Sidanti dan Argajaya memang memperhitungkan juga, bahwa di padukuhan induk itu pasti masih ada kekuatan yang akan dapat membantu pasukan Menoreh. Tetapi mereka yakin, bahwa kekuatannya sudah tidak akan dapat dibendung lagi. Kekuatan Menoreh yang telah dihancurkannya sedikit demi sedikit, kerena siasatnya yang berhasil, tidak akan mampu menghimpun diri dalam waktu yang terlampau pendek. Dengan demikian, mereka sudah memastikan, bahwa malam ini rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh akan jatuh ketangan mereka.

“Kita tinggal mengatur, bagaimana kita harus mempertahankan padukuhan induk itu untuk seterusnya,” berkata Sidanti di dalam hatinya.

Sementara itu, medan yang bergeser itupun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Dentang senjata, pekik sorak, dan keluhan yang tertahan, mewarnai malam yang semakin dalam. Di kejauhan masih juga terdengar satu-satu suara kentongan. Namun telah kehilangan gairah dan bahkan seakan-akan menjadi ngelangut, seperti nada-nada tembang dalam keputus-asaan.

Dan ternyata bahwa suara titir yang ngelangut itu telah mempengaruhi medan di sebelah Barat. Sepeninggal Samekta, pasukan Menoreh telah dilanda oleh kegelisahan yang dahsyat. Kalau semula mereka hampir berhasil menguasai keadaan, maka semakin lama harapan itupun menjadi semakin tipis. Pengaruh suara tetir yang seolah-olah meneriakkan pedih yang menyengat jantung Tanah Perdikan Menoreh, agaknya membuat para pengawal itu kini menjadi cemas. Mereka justru mencemaskan nasib kawan-kawan mereka di medan sebelah Timur daripada memikirkan nasib mereka sendiri.

Meskipun demikian, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih tetap dalam keadaan yang cukup baik. Orang-orang Peda Sura masih belum mampu untuk merubah keadaan terlampau banyak. Meskipun kini mereka tidak terlampau tertekan, namun mereka masih juga belum dapat bernafas leluasa.

Namun sementara itu, suara titir yang bergema menggetarkan seluruh Tanah Perdikan Menoreh itu, terdengar pula dari Pucang Kembar. Ki Argapati yang sedang bertempur antara hidup dan mati, melawan Ki Tambak Wedi, mendengar juga suara dan irama titir itu. Karena itu, maka sejenak ia terpengaruh. Beberapa kali ia terpaksa meloncat surut.

“Ha,” berkata Ki Tambak Wedi sambil menyerangnya, ”kau dengar suara titir yang memekik-mekik itu? Dengarlah. Bukankah suaranya seperti tangis bayi yang memanggil-manggil ibunya, karena ketakutan melihat seekor harimau yang mendekatinya sambil memperlihatkan taringnya serta kuku-kukunya yang tajam?”

Argapati tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram sambil memutar tombaknya.

“Jangan berpura pura Argapati. Kau harus tahu, bahwa pasukan pengawalmu saat ini sedang dilanda oleh arus pasukan Sidanti. Kalau kau masih selamat Argapati, kau akan melihat bangkai bertimbun-timbun.”

Argapati masih tetap membisu. Tetapi senjatanya masih tetap mematuk-matuk dengan dahsyatnya.

“Huh,” Ki Tambak Wedi melanjutkan, “agaknya kau terlampau mementingkan dirimu sendiri. Kau sama sekali tidak berpikir tentang orang-orangmu yang sedang sekarat.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Ia terpaksa menghindar jauh-jauh karena ujung tombak Argapati menyambar lambungnya. Hampir saja lambungnya itu tersobek oleh senjata lawannya.

“Alangkah garangnya kau,” ia melanjutkan, “tetapi bayangkan, apakah kau yakin, bahwa Pandan Wangi mampu menyelamatkan dirinya, meskipun ia seorang gadis yang garang? Kali ini jangan diharapkan Sidanti akan menolongnya lagi seperti pada saat ia hampir dibantai oleh orang-orang liar yang berdiri di pihak kami. Ha, kau harus tahu, bahwa sudah ada kesepakatan, bahwa Sidanti tidak akan menghalang-halangi lagi siapa pun yang dapat menangkap puterimu yang cantik itu untuk diperlakukan sekehendak hati.”

Tiba-tiba Argapati menggeram dahsyat sekali, seolah-olah udara malam tergetar karenanya. Kata-kata Ki Tambak Wedi, yang sengaja dilontarkan untuk mempengaruhi perasaan Argapati, benar-benar mencapai sasarannya. Tetapi akibatnya justru sebaliknya. Argapati tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Namun tiba-tiba Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu seolah-olah berubah menjadi seperti banteng yang sedang terluka. Dan luka itu justru menambahnya menjadi lebih berbahaya.

Ki Tambak Wedi terkejut melihat perubahan itu. Ia mengharap Ki Argapati menjadi lengah dalam kebingungannya. Namun agaknya Argapati adalah seorang yang benar-benar telah matang. Meskipun ia marah bukan buatan, tetapi dalam kesadarannya ia tidak menjadi mata gelap dan kehilangan pegangan. Dengan sepenuh kesadaran ia berkata di dalam dirinya, “Aku harus berbuat sebaik-baiknya, supaya aku dapat keluar dari perkelahian ini.”

Kemarahan yang didasari sepenuh kesadaran, membuat Ki Argapati menjadi semakin garang. Tombaknya menyambar-nyambar dari segenap arah dan mematuk dengan tiba-tiba, seperti seekor ular yang bersayap.

“Setan alas,” Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya, “orang ini justru menjadi semakin gila. Apakah suara titir itu tidak didengarnya?”

Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa tekanan Argapati justru semakin sengit. Beberapa kali Ki Tambak Wedi harus menghindar sambil melangkah surut, sebelum ia mapan untuk melawan. Agaknya senjata Ki Tambak Wedi yang sudah tidak genap sepasang itu mempengaruhinya pula, karena senjata Ki Argapati agak lebih panjang dari senjatanya, meskipun berujung rangkap.

“He, apakah kau tuli, Argapati,” berteriak Tambak Wedi itu pula, “apa kau tidak mendengar suara titir itu? Mungkin anakmu kini telah terbunuh. O, itu lebih baik baginya, tetapi bagaimana kalau Pandan Wangi itu dapat ditangkap oleh orang-orang liar yang kemarin mencegatnya?”

Argapati masih tetap berdiam diri. Namun serangannya menjadi semakin dahsyat. Putaran tombaknya menimbulkan goncangan pada pepohonan dan ranting-ranting disekitarnya, seolah-olah sedang dilanda angin pusaran.

“Hem,” Tambak Wedi berdesah, “tak ada pilihan lain. Semakin lama orang ini menjadi semakin gila. Aku harus segera membinasakannya, supaya aku sempat melihat Sidanti memasuki rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi segera mempertimbangkan untuk memanggil orang-orangnya yang bersembunyi. Ia kini ingin segera selesai. Ia sudah menjadi muak melihat tingkah laku Argapati. Tidak, bukan karena muak. Sebenarnyalah bahwa ia justru mengaguminya. Tetapi kegarangan Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu membuatnya terlampau marah dan cemas. Sehingga orang itu memang segera harus dibinasakan.

Ki Tambak Wedi yang masih selalu harus menghindari serangan-serangan Argapati yang membadai itu tiba-tiba meloncat jauh-jauh. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar sebuah suitan nyaring. Nyaring sekali membelah sepinya malam di bawah sepasang Pucang Kembar.

Argapati terkejut mendengar suitan itu. Meskipun ia sudah meragukan kejantanan Ki Tambak Wedi kini, namun tanda sandi itu telah menggetarkan jantungnya. Sehingga tiba-tiba ia pun tertegun tegak di tempatnya seperti sebatang tonggak yang membeku.

Baru sejenak kemudian terdengar ia menggeram, “Aku memang sudah menduga Tambak Wedi, bahwa akan datang saatnya, kau kehilangan watakmu sebagai Paguhan yang perkasa.”

“Terserahlah penilaianmu, Argapati. Sebentar lagi kau akan binasa. Tak ada jalan lagi bagimu untuk keluar dari daerah ini.”

“Aku menyadarinya Tambak Wedi. Setitik air akan dapat merubah keseimbangan yang mantap ini. Kau dan aku masih juga dalam keadaan yang serupa dengan beberapa puluh tahun lampau. Apabila sekarang kau memanggil seseorang yang paling lemah sekalipun, maka keseimbangan yang mantap inipun akan segera menjadi goyah.”

“Hem,” Tambak Wedi berdesah, lalu, “kalau begitu, kenapa kau tidak menyerah saja?”

“Ah, jangan begitu Tambak Wedi. Meskipun aku tahu, bahwa aku akan binasa, tetapi lebih baik bagiku mati sambil menggenggam tombak ini daripada mati di dalam bantaian.”

“Baiklah. Untuk kepuasanmu, Argapati, aku akan memenuhinya.”

Argapati menggeram mendengar kata-kata terakhir Tambak Wedi itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang segera berloncatan dari balik gerumbul. Keduanya kemudian berjalan berurutan mendekati arena perkelahian.

“Itukah kawan-kawanmu, Tambak Wedi?” bertanya Argapati.

Tambak Wedi mengangguk. Namun betapapun juga terasa segores luka yang pedih di hatinya. Seorang yang bergelar Ki Tambak Wedi telah melakukan kecurangan di dalam perang tanding. Bukan saja kecurangan ini yang dilakukannya, tetapi kecurangan-kecurangan yang lain, dan bahkan kecurangan yang paling memalukan. Kecuali dua orang itu, ia masih bersedia sekelompok orang-orang yang telah menyiapkan dirinya pula untuk membinasakan Argapati apabila ia berhasil lolos dari Ki Tambak Wedi dan kedua temannya.

Sepercik warna merah menjalar di wajah Ki Tambak Wedi. Hampir saja ia berteriak mengusir kedua orang itu, dan kembali berkelahi seorang lawan seorang. Namun kemudian ia menggeretakkan giginya dan mengusir perasaan itu. Yang dipahatkan di hatinya adalah, “Orang ini harus segera binasa bersama rahasia tentang dirinya dan Sidanti.”

Argapati masih berdiri tegak. Tangannya menggenggam tombaknya erat-erat. Sedang kakinya yang renggang seakan-akan menghunjam ke dalam bumi. Sejenak dipandanginya kedua orang yang berjalan dengan langkah yang tetap mendekatinya, dan sejenak kemudian dipandanginya Ki Tambak Wedi.

Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Menurut pengamatannya kedua orang itupun bukan orang kebanyakan, meskipun tidak terlampau berbahaya. Tetapi bertiga bersama Ki Tambak Wedi, maka seolah-olah keputusan telah jatuh, bahwa Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu harus binasa di bawah Pucang Kembar itu.

Tanpa disadarinya, Argapati menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan yang bulat seakan-akan tergantung di langit, disaput oleh awan yang tipis, mengalir lambat dihembus angin dari selatan.

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya bulan yang bulat kekuning-kuningan itu tajam-tajam, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya.

Setelah puas Argapati memandangi bulan yang bulat di langit maka sambil menggeram dipandanginya Ki Tambak Wedi dengan tegangnya. Dalam keremangan cahaya bulan, dilihatnya wajah orang tua itu seperti wajah burung pemakan daging yang paling buas dengan paruhnya yang lengkung dan matanya yang tajam dan liar.

Dan sejenak kemudian Ki Argapati itu berkata di dalam, hatinya, “Apapun yang terjadi, Argapati bukan pengecut yang takut melihat beberapa ujung senjata bersama-sama mengarah ke tubuhnya.”

Karena itu, maka Argapati pun berdiri semakin mantap. Tombak di dalam genggamannya tampak bergetar, dan ujungnya menunduk setinggi dada.

“Marilah Tambak Wedi,” terdengar suaranya dalam nada yang datar, “kalau kau menganggap perlu membawa orangmu itu bermain-main bersama. Aku berterima kasih atas kehormatan ini. Bahwa seorang yang bernama Paguhan dan bergelar Tambak Wedi, memerlukan dua orang kawan untuk melayani Argapati.”

Ki Tambak Wedi menggeram. Kata-kata itu menggores jantungnya terlampau dalam. Betapa pedihnya. Namun ia tidak mau melangkah surut. Ia mencoba untuk memaksa dirinya menjadi seorang pengecut yang paling licik. Bahkan dengan menggeretakkan giginya, mengusir segala macam perasaan malu dan segan ia berkata lantang, “Tidak hanya mereka berdua Argapati. Kalau kami bertiga ini gagal, maka aku masih menyediakan sebuah pasukan kecil untuk membinasakan kau. Maaf, bahwa aku berbuat curang dan licik. Mungkin melampaui demit. Tetapi keputusan kami telah jatuh. Argapati harus binasa.”

“Kenapa kau tunggu sekian lama, baru sekarang orangmu ini kau panggil?”

“Biarlah aku berterus terang kepada seseorang yang sudah akan dikubur. Aku memang mencoba untuk berkelahi seorang lawan seorang. Mungkin perkembangan yang terjadi antara kau dan aku agak berbeda, sehingga seorang diri aku dapat membinasakan kau. Dengan demkian, aku masih dapat menepuk dada, dan bangga atas harga diriku sendiri. Tetapi ternyata aku tidak berhasil. Karena aku sudah menyangka demikian sebelumnya, maka biarlah aku kini berbuat curang. Tetapi kecurangan ini aku lakukan untuk suatu tujuan yang penting. Penting sekali Argapati.”

“Penting bagi kau dan Sidanti. Tetapi sama sekali tidak berarti bagi aku dan rakyat Menoreh.”

“Ha, kau membuat tafsiran menurut kepentinganmu. Sudah tentu aku membuat tafsiran sesuai dengan kepentinganku pula dan kepentingan anak itu. Kau mengerti?”

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengerti Tambak Wedi. Memang apa yang baik untukmu tidak terlalu baik bagi orang lain. Aku tahu pula, bahwa kau sekarang dapat berpikir, bahwa apa yang baik buatmu dan anak itu, meskipun harus mengorbankan orang lain, namun tetap kau lakukan juga. Kau ingin menempatkan anak itu pada kedudukan yang baik, meskipun beralaskan bangkaiku. Sahabatmu dan orang yang pernah dipanggil ayahnya.”

Tambak Wedi menggeretakkan giginya. Ternyata dadanya bergetar dahsyat sekali mendengar kata-kata itu. Sejenak ia berdiri tegak dengan wajah yang tegang, sedang kedua orang yaug di panggilnya telah berdiri di sampingnya.

Tetapi Tambak Wedi masih tegak seperti patung. Dan ia mendengar Argapati berkata pula, “Tetapi tidak mengapa Tambak Wedi. Lakukanlah. Aku sudah sedia untuk bertempur melawan kalian bertiga, apapun yang akan terjadi atas diriku.”

Tambak Wedi masih tegak di tempatnya. Terjadilah pergolakan yang menggoncangkan perasaannya. Keragu-raguan yang tajam telah mencengkam jantungnya.

Sementara itu, di balik gerumbul yang rimbun, tidak terlampau jauh dari Pucang Kembar, tiga pasang mata memandang apa yang terjadi itu dengan dada yang berdebar-debar. Sama sekali tidak terlintas di hati mereka, bahwa orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu telah menyiapkan sebuah perangkap yang keji buat Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka hati mereka pun serasa terbakar. Meskipun mawantu-wantu Ki Gede Menoreh berpesan, tidak boleh ada seorang pun yang melihat perkelahian itu, namun mereka sama sekai tidak akan membiarkan sesuatu terjadi atas kepala tanah perdikannya.

Kerti, yang tertua dari ketiga orang itu menggeram. Perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah kita dapat melihat kecurangan itu terjadi.”

“Tidak,” sahut kawannya yang kecil. Ternyata tangannya telah meraba tangkai pisau-pisaunya, “Kita harus berbuat sesuata. Aku dapat membunuh mereka dari jarak yang cukup.”

“Jangan berkesimpulan demikian. Kau memang pandai membidik. Kau dapat mengenai seekor burung yang terbang di langit. Tetapi belum tentu kau mampu mengenai salah seorang dari mereka. Mereka memiliki kelebihan dari seekor burung di langit. Mereka mempunyai ketrampilan yang luar biasa untuk mengelak.”

Kawannya yang kecil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Lalu apakah yang akan kita lakukan?”

“Kalau benar mereka berkelahi bersama-sama, apa salahnya kita pun terjun di dalam arena it,” sahut kawannya yang lain.

Kerti menjadi ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan membuat Ki Argapati menjadi marah.

Tetapi seandainya dengan demikian, Argapati terselamatkan, maka ia akan bersedia menanggung segala macam akibatnya. Ia akan bersedia menjalani hukuman apapun yang akan diberikan oleh Argapati atasnya.

Kerti itu berpaling ketika kawannya yang kecil menggamitnya. Dan ketika ia melihat telunjuk kawannya itu mengarah kebawah Pucang Kembar, maka Kerti pun memandang ke sana pula.

Yang dilihatnya kedua orang kawan Ki Tambak Wedi telah mempersiapkan senjatanya, dan mereka melihat ketiga orang lawan Argapati itu telah mendekat. Tetapi mereka tidak mendengar apa yang dikatakan oleh hantu dari lereng Gunung Merapi itu.

Ternyata Ki Tambak Wedi telah berhasil menekan perasaannya. Menekan kejantanan yang menuntut di dalam hatinya. Dan ia sudah berkeputusan untuk beramai-ramai membunuh Argapati beserta kedua kawannya.

Karena itu, maka sesaat kemudian ia menggeram dahsyat sekali untuk menekankan keputusan itu di dalam hatinya. Untuk mengusir sama sekali sisa-sisa harga diri yang masih membayang di dalam dadanya. Sejenak kemudian, dikerahkannya segenap tenaganya untuk melontarkan perintah lewat mulutnya, “Jangan berdiri saja mematung. Kita sudah sampai pada saat yang kita tunggu. Lenyapkan orang yang benama Argapati ini.”

Serentak kedua orang itu berloncatan ke arah yang berbeda. Mereka akan menghadapi Argapati dari sisi seberang menyeberang, sedangkan Ki Tambak Wedi akan melawannya dari depan, berhadapan.

“Bagus,” desis Argapati, “kita sudah siap. Marilah, kita tentukan akhir dari permainan ini dengan cara yang kau pilih, Tambak Wedi.”

Ki Tembak Wedi tidak menjawab. Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Namun sejenak kemudian, selangkah ia maju. Senjatanya telah bergetar di tangannya.

Sesaat ia memandangi wajah kepala tanah perdikan itu. Wajah yang memancarkan kemarahan dan kebencian tiada taranya. Wajah itu seakan-akan wajah Arya Teja beberapa puluh tahun yang lalu. Dari sepasang matanya memancar perasaan sakit hati yang tidak terhingga.

Sesaat keempat orang itu berdiri tegak seperti patung. Masing-masing telah mempersiapkan senjatanya. Tidak seorang pun yang sempat berkedip, karena mereka yakin, bahwa setiap saat waktu yang sekejap itu akan dapat menentukan hidup dan mati.

Bulan di langit masih memancarkan cahayanya yang kuning keemasan. Sepotong awan yang putih telah terhembus, menyingkir dari wajah bulan yang bulat, oleh sepercik angin yang semilir.

Sejenak keempat orang itu masih tetap berdiri diam di atas kedua kaki masing-masing yang merenggang. Lutut mereka agak merendah dan tangan-tangan mereka telah bergetar.

Namun sekejap kemudian, terdengarlah geram yang dahsyat, seperti dengus seekor banteng jantan. Hampir tidak dapat dipercaya, bahwa seseorang mampu bergerak secepat itu. Ternyata Argapati yang dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap telah mulai dengan serangannya. Kali ini serangannya tidak tertuju kepada Ki Tambak Wedi, tetapi kepada kawannya yang berdiri di sisinya sebelah kanan. Serangan ini benar-benar mengejutkan. Orang yang berdiri di sebelah kanannya, meskipun sudah siap benar, namun tidak menyangka sama sekali, bahwa serangan yang pertama itu datang sedemikian cepatnya. Seperti tatit ia melihat tombak Argapati menyambar dadanya, sehingga karena itu, ia sama sekali tidak sempat untuk dapat mengelakkan dirinya. Yang dapat dilakukannya adalah berusaha menangkis serangan itu.

Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Serangan Argapati ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Meskipun lawannya berhasil menangkis ujung tombaknya, namun kekuatan mereka tidak seimbang, sehingga senjata orang itupun terlepas dan terlempar dari tangannya yang seolah-olah tersayat. Bukan hanya itu. Tombak itu hampir tidak terpengaruh, meskipun arahnya berubah sedikit. Namun agaknya yang sedikit itu telah menyelamatkan nyawanya. Meskipun demikian, orang itu memekik pendek. Sebuah luka segera menganga di pundaknya.

Demikian derasnya sentuhan tombak Argapati itu, sehingga lawannya terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan terbanting jatuh di tanah.

Agaknya kesempatan itu tidak diluangkan oleh Argapati. Ia sudah siap untuk menyelesaikan satu dari ketiga lawannya.

Karena itu, maka segera ia mempersiapkan dirinya untuk segera menghujamkan tombaknya pada tubuh yang sedang roboh itu.

Tetapi ternyata bahwa di antara ketiga lawannya itu terdapat Ki Tambak Wedi yang mampu berbuat seperti yang dilakukannya itu. Orang tua itu ternyata tidak membiarkan seorang kawannya terbunuh pada serangan yang pertama. Dengan demikian, maka ia pun berteriak nyaring sambil melontarkan sebuah serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Senjatanya yang mengerikan itu diputarnya seperti baling-baling, kemudian meluncur dengan cepatnya, melanda Argapati yang sudah siap untuk membinasakan lawannya.

Dengan demikian, maka serangan Argapati itu menjadi urung. Ia terpaksa menyiapkan dirinya untuk menghadapi Ki Tambak Wedi. Ia tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi adalah orang yang jauh lebih berbahaya dari orang yang sudah terluka itu. Sehingga dengan demikian, maka ia segera melontarkan dirinya, menyiapkan senjatanya untuk menyambut senjata lawannya yang berbahaya itu.

Sekali lagi terjadi sebuah benturan yang kali ini jauh lebih dahsyat lagi dari yang telah terjadi. Keduanya adalah orang-orang yang mumpuni, yang memiliki kekuatan raksasa. Namun karena kekuatan mereka seimbang, maka kedua senjata itu masih tetap di dalam genggaman masing-masing. Namun sepercik bunga api telah meloncat di udara, seperti ribuan kunang-kunang yang berloncatan berusaha menghindarkan diri dari pengaruh benturan-benturan yang sedang terjadi itu.

Kedua orang yang sama-sama memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan itu, masing-masing terdorong beberapa langkah surut. Keduanya sedang menahan nafas masing-masing, dan mencoba menyalurkan segenap kemampuan dan ketahanan mereka, mengatasi getar yang terjadi di dalam dirinya karena benturan yang terjadi itu. Namun, belum lagi Argapati berhasil menguasai diri sepenuhnya, sebuah serangan yang lain telah meluncur dari samping. Ternyata kawan Tambak Wedi yang lain tidak membiarkan lawannya itu beristirahat dan memperbaiki keadaannya. Meskipun serangannya tidak berbahaya seperti serangan Ki Tambak Wedi, namun Argapati sadar, bahwa ujung senjata itu akan mampu merobek kulitnya apabila berhasil mengenainya. Karena itu, maka sekali lagi ia harus menghindar. Dan sekaligus Argapati berhasil memukul senjata lawannya itu dengan kerasnya, meskipun tidak sepenuh tenaga.

Terasa tangan orang itu seakan-akan menggenggam bara yang sedang menyala. Seperti kawannya yang terluka, maka ia pun tidak mampu mempertahankan senjatanya di dalam genggaman, sehingga senjata itupun meloncat beberapa langkah daripadanya.

Namun sementara itu, Ki Tambak Wedi telah siap pula. Ia telah berhasil menguasai diri sepenuhnya dan bersiap untuk segera meluncurkan serangan-serangan berikutnya. Ia harus berusaha menarik segenap perhatian Argapati untuk memberi kesempatan kedua kawannya menguasai senjatanya kembali.

Dan Argapati pun telah menyadarinya. Sebelum mereka mulai bertempur bersama-sama, memang Argapati telah memperhitungkannya. Kekuatan yang betapapun kecilnya, pasti akan segera merubah keseimbangan di dalam pertempuran itu.

Namun Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali tidak ngedap. Ia tidak segera berputus asa dan membiarkan dirinya dirobek oleh ujung-ujung senjata lawan. Betapapun juga kematangan sikapnya, telah membuatnya tetap tenang. Dalam keadaan yang demikian, betapa dadanya dibakar oleh kemarahan yang menyala, namun ia tetap sadar, bahwa ia harus tetap mempergunakan otaknya.

Sejenak kemudian, maka Ki Tambak Wedi pun telah mulai menyerang dengan dahsyatnya. Senjatanya berputaran seperti baling-baling. Mematuk dengan sebelah tajamnya, kemudian ditariknya sambil menyambar dengan tajamnya yang lain, seperti tandang seekor ular berkepala dua di ujung dan pangkalnya.

Sementara Ki Argapati melayani serangan-serangan itu, maka usaha Ki Tambak Wedi untuk memberi kesempatan kedua kawannya itupun berhasil, yang seorang dengan sigapnya meloncat memanggul senjatanya, meskipun tangannya masih terasa pedih. Sedang yang lain dengan nafas terengah-engah bangkit berdiri. Tetapi ia tidak segera memungut senjata yang terlempar jatuh. Tetapi dirabanya lengannya yang luka. Darah yang mengalir dari luka itu kini telah berubah menjadi kehitam-hitaman.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, betapa berbahayanya senjata Ki Argapati itu. Kalau ia tidak segera berhasil menahan arus darahnya yang mengental, maka nyawanya pasti tidak akan tertolong lagi.

Karena itu, maka segera diambil sebungkus obat yang disimpannya di dalam bumbung kecil pada kantong ikat pinggangnya. Diambilnya obat itu sebutir, kemudian diremasnya dan ditaburkannya pada luka dan sekitarnya.

Terasa luka itu menjadi sangat pedih, seperti ditusuk-tusuk dengan duri. Tetapi kemudian tampaklah sepercik darah yang segar. Sejenak kemudian, maka arus darah itupun menjadi semakin lambat dan akhirnya berhenti.

“Setan,” geramnya. Kini ia berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Hampir saja ia berteriak sambil menepuk dada. Namun tiba-tiba maksudnya itu diurungkannya, ketika ia melihat Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi yang sedang berkelahi. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang sukar dicari bandingannya. Dengan demikian, maka terdengar ia berkata lirih kepada dirinya sendiri, “Lalu apakah gunanya aku hadir di sini. Semula aku sudah ragu-ragu, apakah kehadiranku berdua akan berpengaruh.”

Namun kemudian sekali lagi ia menggeretakkan giginya. Katanya, “Kalau aku berkelahi melawan Argapati, mungkin aku tidak akan berani. Tetapi kali Argapati baru berkelahi melawan Ki Tambak Wedi, yang mempunyai kemampuan seimbang. Maka tugasku adalah membantunya, mengganggu dan menyerang dengan cara yang licik dan paling curang.”

Maka kemudian. diambilnya senjatanya. Dilihatnya dalam cahaya bulan yang kuning, kawannya pun telah siap benar, meskipun agaknya masih sedang menunggu kesempatan untuk menyerang dengan cara yang telah dipilihnya, curang.

Namun, mereka berdua itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika Ki Argapati sedang sibuk melayani Ki Tambak Wedi, maka mulailah mereka melakukan perlawanan, langsung bersama-sama maju dari arah yang berlawanan, langsung bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi mereka melibatkan diri dalam perkelahian. Tetapi mereka berdua tidak berkelahi beradu dada. Mereka meloncat maju menyerang, namun kemudian menjauh beberapa langkah, sementara kawannya yang lain menyerang dari arah yang lain, kecuali serangan-serangan Ki Tambak Wedi sendiri.

Mengalami serangan-serangan itu, Ki Argapati menggeram. Dalam keadaan yang demikian, ia tidak sedang melayani orang-orang yang lemah bersama-sama mengeroyoknya. Namun di antara mereka ada Ki Tambak Wedi. Itulah kesulitan yang harus dihadapinya. Sedikit saja perhatiannya tertarik oleh kedua lawannya itu, maka Ki Tambak Wedi pasti akan dapat mempergunakan kesempatan itu untuk membinasakannya.

Karena itu, terasa oleh Ki Argapati, bahwa ia mulai menemukan kesulitan dalam pertempuran itu. Meskipun demikian, dengan mengerahkan tenaga yang ada padanya, ia masih mampu mencoba menyelamatkan dirinya. Namun yang terjadi Ki Argapati hanya mampu menghidar, dan menangkis serangan-serangan yang datang bertubi-tubi, tetapi kesempatannya menyerang menjadi semakin tipis.

Dalam keadaan yang demikian, Kerti menahan nafasnya yang terengah-engah. Terasa dadanya seolah-olah akan meledak melihat sikap yang licik dan curang itu, sehingga sejenak kemudian ia menggeram, “Ternyata aku pun tidak dapat berdiam diri saja di sini melihat peristiwa itu. Aku harus berbuat sesuatu.”

“Ya, kita harus berbuat sesuatu,” sahut kawannya.

“Apapun yang akan terjadi atas kita, termasuk kemarahan Ki Argapati yang akan ditimpakan kepada kita,” sambung yang lain.

Namun mereka masih tetap belum beranjak dari tempat masing-masing. Mereka masih dicengkam keragu-raguan yang belum dapat mereka ke sampingkan.

Kerti, yang tertua di antara mereka pun masih tetap di tempatnya, tanpa berkedip mereka melihat betapa ketiga orang lawan Argapati menyerangnya berganti-ganti dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, yang seolah-olah mengikat Argapati supaya ia tidak sempat menghindari serangan-serangan dari kedua orang kawannya.

Darah Kerti serasa berhenti mengalir, ketika ia melihat Ki Argapati terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia terjatuh ketika kakinya terantuk segumpal batu padas. Untunglah, bahwa ia berhasil memperbaiki keseimbangannya dan tegak di atas kedua kakinya. Namun sebelum ia mampu berbuat sesuatu, serangan Tambak Wedi telah melandanya, sehingga sekali lagi ia terpaksa meloncat surut. Sedang kedua kawan Ki Tambak Wedi pun memburunya sambil berteriak nyaring.

“Pengecut,” Kerti menggeram. Ia sudah tidak mampu menahan diri lagi. Kini ia melihat, bahwa Argapati telah benar-benar terdesak oleh ketiga lawannya yang licik dan curang, yang berkelahi tanpa tata kesopanan dalam olah kanuragan.

Tetapi kawan Kerti yang kecil, yang mempunyai beberapa bilah pisau pada ikat pinggangnya, agaknya lebih tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat berdiri dan menarik pedangnya dengan tangan kanannya, sedang di tangan kirinya telah tergenggam sebilah pisau yang siap untuk dilemparkannya.

“He,” Kerti menggamitnya, “tunggu. Kita menanti kesempatan yang sebaik-baiknya.”

“Tidak ada waktu lagi. Apakah kita harus menunggu Ki Gede Menoreh mendapat cidera. Mereka terlampau licik,” jawab orang yang bertubuh kecil itu.

Ternyata pembicaraan itu telah menggoncangkan dada Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi beserta kedua kawannya. Meskipun tidak begitu jelas, namun telinga-telinga mereka yang tajam telah mendengar pembicaraan seseorang. Sehingga tanpa mereka sengaja, maka mereka pun mencari kesempatan untuk berpaling, dan melihat seseorang berdiri tegak beberapa puluh langkah dari mereka. Kemudian disusul seorang lagi, dan seorang lagi. Tiga orang.

Dada Argapati berguncang ketika ia mengenal ketiga orang, yang melangkah perlahan-lahan mendekatinya. Orang-orang itu adalah orang-orangnya. Sehingga dengan serta merta ia berteriak, “He, siapakah yang menyuruh kalian datang kemari?”

Kerti tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah bertekad, apapun yang akan terjadi atasnya dan hukuman apa yang akan diterimanya dari Ki Gede Menoreh, namun ia tidak membiarkan kepala tanah perdikan itu mengalami nasib yang mengerikan, justru karena sikap yang curang dan licik.

Perkelahian itupun tiba-tiba terhenti untuk sejenak. Tampaklah dahi Ki Tambak Wedi berkerut-merut. Dan tiba-tiba saja terloncat dari mulutnya, “Ha, ternyata bukan aku saja yang licik seperti demit, Argapati. Agaknya kau pun telah berlaku curang. Kau telah menyiapkan perangkap yang serupa dengan perangkapku. Nah, apa kataku sekarang tentang diriku.”

Terasa seolah-olah darah telah mendidih di dalam tubuh Ki Argapati. Ia sama sekali tidak menyangka, apalagi mengharapkan orang-orangnya datang menolongnya. Karena itu, maka terdengar giginya gemeretak sambil bertanya, “Siapa yang menyuruh kalian datang kemarin, he! Kerti yang gila?”

Kerti menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Tidak ada, Ki Gede. Aku secara kebetulan saja datang ke tempat ini.”

Kata-kata itu terpotong oleh meledaknya suara tertawa Ki Tambak Wedi. Di sela-sela suara tertawanya ia berkata, “O, alangkah pandainya kau mengajari orang-orangmu untuk berbohong.”

Argapati menggeram. Dengan suara bergetar ia mengulangi pertanyaannya, ”Siapa yang menyuruh kalian kemari? Aku sudah berpesan kepada kalian, tidak seorang pun boleh melihat apa yang terjadi di sini, apapun alasannya. Dan bukankah kau mendapat tugas khusus untuk mengawasi Pandan Wangi?”

“Maaf, Ki Gede,” sahut Kerti, “aku memang sudah melanggar pesan Ki Gede, untuk tidak mengganggu perang tanding ini. Dan aku memang mendapat tugas untuk selalu mengawasi Pandan Wangi. Nah, karena tugas itu pulalah, maka aku sampai ke tempat ini.”

Dada Argapati berdesir mendengar jawaban itu. Dengan berdebar-debar ia bertanya, “Kenapa dengan Pandan Wangi?”

“Aku akan berterus terang, supaya Ki Gede mendapat gambaran yang sebenarnya, kenapa aku sampai ke tempat ini.” Kerti berhenti sejenak, lalu, “Pandan Wangi telah hilang dari halaman rumah. Aku menyangka bahwa ia akan datang kemari menyusul Ki Gede, karena sebelumnya ia selalu memperkatakan peperangan di bawah Pucang Kembar. Tetapi agaknya ia tidak datang kemari.”

Ki Gege mengerutkan keningnya. Berita tentang puterinya membuatnya menjadi cemas. Tanpa dikehendakinya ia bertanya, “Setelah kau tahu bahwa Pandan Wangi tidak ada di sini, ke mana kira-kira ia pergi?”

Kerti menggeleng, “Aku tidak tahu. Tetapi yang dipercakapkannya selain Pucang Kembar adalah Samekta. Mungkin ia pergi kepada Samekta. Ada persoalan yang ingin dibicarakannya dengan Samekta, tetapi ia tidak dapat meninggalkan halaman rumahnya.”

Ki Argapati termenung sejenak. Kepergian Pandan Wangi menumbuhkan persoalan baru di dalam dirinya. Karena itu, maka sejenak ia berdiri tegak dengan tegangnya.

Ternyata, bahwa saat-saat yang demikian itu tidak luput dari pengamatan Ki Tambak Wedi. Kehadiran ketiga orang Menoreh itu telah membuatnya gelisah. Dengan hadirnya ketiga orang itu, maka usahanya untuk membinasakan Argapati menjadi terganggu. Ketiga orang ini akan dapat menghadapi kedua orang kawannya, dan ia harus bertempur lagi seorang lawan seorang dengan Ki Gede Menoreh, sehingga untuk waktu yang lama pasti tidak akan mendapat penyelesaian. Apalagi apabila ketiga orang-orang Menoreh itu mempunyai beberapa kelebihan dari kedua kawannya maka keadaan yang demikian akan sangat mengganggunya.

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi yang licik itu segera mencari akal. Apakah yang dapat dilakukannya untuk membinasakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

“Kalau perlu aku akan segera memanggil orang-orangku yang lain. Pasukan kecil yang telah aku persiapkan itu,” katanya di dalam hati. Namun sementara itu, ia masih membiarkan Argapati berbicara kepada Kerti, “Apakah tidak seorang pun yang tahu, kemanakah perginya anak itu? Apakah Wrahasta dan orang-orangnya yang berjaga-jaga di halaman juga tidak melihatnya?”

Kerti menggelengkan kepalanya, “Tidak seorang pun yang melihatnya.”

Ki Argapati menggeram. Terloncat dari mulutnya sebuah desis, “Anak itu memang keras kepala. Untuk kedua kalinya ia lari. Hem.”

Kerti tidak menyahut. Namun ia dapat mengerti, betapa dada Ki Argapati menjadi cemas karenanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Lebih baik ia berterus terang daripada mendengar tuduhan Tambak Wedi, bahwa Argapati telah berbuat curang pula dengan menyiapkan orang-orangnya.

Tiba-tiba saja, tanpa disangka-sangak, Tambak Wedi merasa menemukan kesempatan sebelum ia memanggil orang-orangnya. Pada saat Ki Argapati lengah, ia dapat berbuat sesuatu. Meskipun dengan demikian, ia berbuat curang, namun apakah artinya kecurangan itu di sela-sela seribu macam kecurangan-kecurangan yang lain, yang telah dilakukannya.

Demikanlah, pada saat jatung Ki Argapati dicengkam oleh kecemasan tentang puterinya, dan kegelisahan karena kehadiran orang-orangnya yang tentu disangka oleh lawannya, bahwa ia pun berbuat curang seperti Ki Tambak Wedi, maka saat yang demikian itulah yang akan dimanfaatkan oleh lawannya.

Dengan serta merta, tanpa tanda-tanda apapun juga. Tambak Wedi meloncat sambil berteriak nyaring, langsung menyerang Ki Argapati yang sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu akan terjadi.

Karena itu, betapa ia terkejut mengalami serangan yang bergitu tiba-tiba. Serangan yang langsung mengarah ke pusat-pusat tubuhnya.

Betapapun kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya, dan betapapun ketangkasan yang dimilikinya, namun serangan yang demikian adalah di luar kemampuannya untuk menghindarinya. Apalagi serangan itu dilancarkan oleh seseorang yang bernama Tambak Wedi.

Namun Argapati tidak membiarkan ujung senjata lawannya itu menghunjam di dadanya dan memecahkan jantungnya. Dalam keadaan yang betapapun sulitnya, Argapati masih berusaha untuk menangkisnya.

Sambil menggeram ia bergeser setapak, dan mencoba memukul senjata lawannya dengan tangkai tombaknya. Namun ayunan serangan Ki Tambak Wedi ternyata terlampau kuat. Meskipun dalam keadaan yang sama kekuatan mereka seimbang, tetapi dalam keadaan yang tidak terduga-duga itu, Argapati masih belum sempat menghimpun segala kemampuan yang ada di dalam dirinya.

Itulah sebabnya, maka Ki Argapati kali ini tidak dapat melepaskan dirinya sama sekali dari senjata lawannya. Meskipun ujung senjata Ki Tambak Wedi itu tidak mengenai langsung kesasarannya, tetapi sebuah goresan yang panjang telah membekas di dada Ki Argapati. Sebuah goresan yang segera menjadi merah oleh darah.

Sejenak Kerti dan kedua kawannya terpaku di tempatnya dengan mulut ternganga. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa seseorang yang bergelar Ki Tambak Wedi akan melakukan kecurangan serupa itu. Puncak dari segala macam kecurangan.

Tetapi sejenak mereka seolah-olah tersentak dari sebuah mimpi yang paling buruk. Mereka kini melihat Ki Argapati terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Sedang Ki Tambak Wedi telah bersiap melakukan serangan berikutnya. Serangan yang bernafas maut, karena Ki Argapati masih belum sempat memperbaiki kedudukannya oleh serangan yang tiba-tiba itu, tetapi yang terutama justru karena ia terkejut bukan buatan.

Sesaat kemudian terdengar Ki Tambak Wedi itu berteriak nyaring. Kakinya telah bergeser dan sekejap kemudian serangannya yang mematikan pasti akan menghunjam di tubuh lawannya yang sedang berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.

Tetapi tanpa diduga-duga, Ki Tambak Wedi itu meloncat surut. Terdengar mulutnya mengumpat keras-keras. Matanya yang buas menjadi semakin liar. Ia dengan demikian telah kehilangan kesempatan yang menentukan itu. Karena dalam sekejap itu, Argapati telah menemukan keseimbangannya kembali. Tombaknya telah mantap di dalam gengamannya dan kakinya telah tegak di atas tanah. Meskipun dadanya terluka, namun luka itu belum mengganggunya. Ketahanan tubuhnya benar-benar sangat mengagumkannya.

“Setan alas,” Ki Tambak Wedi mengumpat tidak habis-habisnya. Kemudian katanya kepada Argapati yang telah siap menunggu serangannya, “Kau telah membawa setan kecil ini pula Argapati. Bersujudlah kepadanya, karena ia telah menyelematkan nyawamu kali ini.”

Argapati menggeretakkan giginya. Jawabnya, “Kehadirannya tidak aku kehendaki. Tetapi ia telah berbuat tepat. Lemparan pisaunya hanya sekedar menghindarkan dirimu dari kecurangan yang lebih jahat. Ia menempatkan keadaan seperti yang sebaiknya terjadi.”

“Bagus,” teriak Tambak Wedi, ”Sekarang baiklah, kita bertempur dalam lingkaran yang besar. Kita masing-masing telah dihinggapi oleh rencana yang curang.”

“Tidak,” sahut Argapati, “aku tetap dalam pendirianku. Aku akan bertempur seorang diri, apapun yang akan kau lakukan.”

“Jangan,” tiba-tiba Kerti menyahut, “itu tidak adil. Meskipun Ki Gede sama sekali tidak menghendaki kami hadir di sini, namun yang terjadi adalah demikian. Karena itu, kami harus meletakkan keadaan pada keharusan yang lajim. Perang tanding adalah perang antara seorang dengan seorang. Kami tidak akan mengganggu perang tanding itu yang akan kami lakukan adalah menahan orang-orang yang licik ini untuk ikut campur di dalam perang tanding. Apapun yang akan terjadi atas Ki Gede dalam perang tanding, kami tidak akan mencampuri, meskipun seandainya Ki Gede terdesak dan bahkan terancam oleh maut.”

“Omong kosong,” teriak Ki Tambak Wedi, “seorang kawanmu telah melontarkan pisaunya ketika aku siap untuk membunuh Argapati.”

“Dengan caramu yang licik dan curang,” jawab Kerti, lalu, “Sudah tentu maksud perang tanding bukanlah demikian. Seseorang yang bergelar Tambak Wedi seharusnya jauh lebih mengerti daripada aku.”

“Diam,” bentak Ki Tambak Wedi, “ternyata kau pun harus dibunuh dengan cara apapun.”

“Aku sudah siap,” Kerti menjawab dengan beraninya, “tetapi lakukanlah dahulu perang tanding itu.”

“Tidak Kerti,” Ki Argapati-lah yang berbicara, “pergilah. Tinggalkan aku di sini dalam keputusanku.”

“Aku memang akan pergi Ki Gede, tetapi kedua orang kawan Ki Tambak Wedi ini akan aku bawa serta.”

“Persetan,” geram salah seorang dari kawan Ki Tambak Wedi, “jangan banyak berbicara saja. Ayo, Ki Tambak Wedi. Sebaiknya mereka kita hancurkan segera. Aku sudah muak mendengar perdebatan yang tidak berujung pangkal ini.”

Tambak Wedi memang tidak melihat cara lain. Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat maju sambil memutar senjatanya. Katanya, “Aku selesaikan Argapati yang telah terluka itu. Adalah tugas kalian berdua untuk membinasakan kelinci-kelinci yang tidak tahu diri itu.”

Kedua kawan Ki Tambak Wedi tidak menunggu lebih lama lagi. Segera mereka menyerang Kerti dan kedua kawannya, sedang Ki Tambak Wedi pun telah menyerang Argapati pula.

Terulanglah perkelahian yang sengit yang terjadi di bawah Pucang Kembar itu. Namun perkelahian yang demikian akan segera berubah bentuknya, karena Ki Tambak Wedi telah memutuskan untuk memanggil orang-orangnya yang lain, yang jumlahnya cukup banyak untuk membinasakan lawan-lawan mereka.

Namun sementara itu, sementara Ki Tambak Wedi masih belum memberikan tanda-tanda untuk memanggil orang-orangnya, Kerti dan kedua kawannya masih mendapat kesempatan untuk mendesak kedua lawannya. Meskipun mereka masing-masing memiliki kemampuan yang lebih besar dari orang-orang Menoreh itu, tetapi yang seorang dari mereka telah terluka. Ternyata luka itu sangat mengganggunya. Sebagian besar dari tenaganya seolah-olah telah terhisap oleh ujung senjata lawan yang telah menggoreskan luka di tubuhnya itu.

Ki Tambak Wedi melihat keadaan kedua kawannya. Sedang Argapati yang sudah terluka itu justru menjadi semakin garang, meskipun darahnya masih saja meleleh dari lukanya.

Ki Tambak Wedi mengerti dan yakin, kalau ia bertahan saja untuk waktu yang cukup lama, maka Argapati pasti aka kehabisan tenaga karena darah yang menitik dari lukanya itu. Tetapi ia tidak dapat mengerti, kapan saat yang demikian itu akan datang. Ia tahu benar, betapa besarnya daya tahan tubuh Argapati. Sehingga kemampuannya untuk bertempur terus dalam keadaan serupa itupun, pasti masih panjang. Sedang kedua kawannya yang harus berkelahi melayani Kerti dan kawan-kawannya, sudah selalu terdesak terus, karena yang seorang dari mereka telah terluka. Sehingga seolah-olah hanya seorang saja dari mereka yang bertempur melawan ketiga pengawal-pengawal pilihan dari Menoreh itu.

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian terdengar suitan Ki Tambak Wedi itu sekali lagi. Kali ini panjang sekali.

Malam yang hening seakan-akan telah bergetar karena suara suitan itu. Terlebih-lebih lagi dada Argapati yang telah terluka itu dan ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Segera mereka menangkap isyarat itu, bahwa Ki Tambak Wedi ternyata telah benar-benar menyiapkan sebuah perangkap yang mengerikan.

Sikap hantu dari Tambak Wedi itu benar-benar mengecewakan Argapati. Bukan karena ia menjadi ketakutan dan kecemasan menghadapi bahaya apapun juga, tetapi ia menjadi kecewa, karena Ki Tambak Wedi telah menodai janji mereka untuk mengadakan perang tanding sebagai pelepasan persoalan yang telah bertahun-tahun mereka simpan di dalam dada masing-masing.

Kini Argapati dipaksa untuk menghadapi cara yang sama sekali tidak jujur. Cara yang licik dan curang. Seandainya dalam keadaan serupa ini terjadi sesuatu atas dirinya, dan bahkan kemudian atas ketiga orang-orangnya, maka itu akan berarti bahwa mereka telah terperosok ke dalam suatu perangkap yang keji. Seolah-olah kematian yang demikian adalah kematian yang terlampan bodoh.

“Tidak,” Argapati menggeram di dalam dadanya, “aku akan mati sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun aku datang ke bawah Pucang Kembar ini karena persoalan pribadi. Tetapi keadaan yang berkembang adalah persoalan Menoreh. Persoalan antara aku dan Sidanti yang telah berkembang tanpa terkendalikan lagi. Peperangan ini akan menjadi bagian dari seluruh peperangan yang telah membakar tanah perdikan ini.”

Dengan demikian, maka Argapati menjadi semakin mantap menggenggam senjatanya. Ia menggeram beberapa kali, dan tandangnya pun menjadi semakin lama semakin garang.

Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu tidak dapat mengerti, apakah yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan di seluruh tanah perdikannya, terutama di padukuhan induk. Memang terbayang di dalam kepalanya, bahwa pasukan Sidanti yang kuat merayap semakin lama semakin dekat. Namun ia mengharap, bahwa Samekta akan dapat mengatasi kesulitan.

Tetapi bagaimanapun juga, sepercik kecemasan mewarnai jantungnya. Ia sadar, bahwa pasukan yang telah melawannya itu, dipimpin oleh seorang Sidanti dan seorang Argajaya. Sedang pasukannya sekedar di bawah pimpinan Samekta, Wrahasta, dan mungkin Pandan Wangi sendiri. Tetapi kenapa Kerti mencari Pandan Wangi sampai ke bawah Pucang Kembar ini?

Sejenak kemudian, Argapati menggeretakkan giginya. Ia tidak mau hanyut di dalam angan-angannya itu. Ia harus menghadapi apa yang ada kini. Ki Tambak Wedi dan sebentar lagi sekelompok kecil orang-orang yang telah dipersiapkan oleh Tambak Wedi untuk mengeroyok dan kemudian membunuhnya. Mungkin ia akan dicincang atau dibunuh dengan cara yang sudah dipersiapkan oleh Tambak Wedi. Tetapi dengan demikian, ia akan mati dengan senjata di dalam genggaman. Mati sebagai seorang laki-laki, sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

Namun sampai sejenak kemudian, orang-orang yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi telah dipersiapkan untuk membunuh Argapati itu masih juga belum tampak seorang pun juga. Perkelahian yang terjadi semakin lama menjadi semakin tegang. Bukan saja karena ujung-ujung senjata yang saling beradu, tetapi juga ditegangkan oleh kemungkinan yang mendatang. Munculnya beberapa orang dari balik gerumbul-gerumbul liar disekitar sepasang Pucang itu.

Ternyata Ki Tambak Wedi pun menjadi gelisah pula. Sekali lagi ia bersuit panjang. Lebih keras. Namun ia masih harus menunggu.

“Aku telah mendengar suara burung kedasih itu di kejauhan,” berkata Tambak Wedi di dalam hatinya, “Tetapi agaknya mereka menunggu terlampau jauh, sehingga mereka tidak segera mendengar suara suitanku.”

Sekali lagi Ki Tambak Wedi bersuit. Panjang dan lebih keras. Suaranya menggelepar di dalam sepinya malam, menelusuri dedaunan dan ranting-ranting pepohonan.

Namun suara suitan itupun seolah-olah hilang lenyap tanpa bekas, seperti hilangnya gema yang terpantul dari pegunungan. Tidak berbekas. Karena tidak seorang pun yang dengan tergesa-gesa sambil menggenggam senjata muncul dari balik dedaunan.

“Di manakah setan-setan itu?” Ki Tambak Wedi menggeram di dalam hatinya, “Apakah mereka sengaja berkhianat? Tidak. Aku tidak mempergunakan orang-orang Menoreh, yang setiap saat dapat berubah pendiriannya, apalagi setelah ia melihat Argapati. Orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak mengenal Argapati sama sekali, sehingga kemungkinan untuk berkhianat itupun terlampau kecil. Tetapi kenapa mereka tidak segera datang setelah aku memberikan tanda beberapa kali?”

Semakin lama kegelisahan Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin memuncak. Seharusnya sejak ia memberikan tanda untuk yang pertama kali, orang-orangnya tidak menunggu tanda berikutnya. Mereka harus segera datang dan melakukan tugasnya.

“Apakah mereka terasa terlampau lama menunggu dan kemudian merasa tidak diperlukannya lagi? Tetapi itu tidak mungkin. Aku sudah berpesan supaya mereka menunggu sampai selesai. Diperlukan atau tidak diperlukan,” desah Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.

Dengan dada yang terguncang, maka sekali lagi terdengar ia bersuit semakin keras dan semakin panjang.

“Ha,” berkata Argapati, “bukankah suara suitanmu itulah yang terdengar seperti tangis bayi yang ketakutan?”

“Persetan,” geram Ki Tambak Wedi, “untuk memanggil mereka, aku harus bersuit tiga kali. Sebelum itu, mereka baru sekedar mempersiapkan diri. Apabila kemudian ada perubahan sikapmu, mungkin kau menyerah, atau kami sudah berhasil membunuhmu, maka aku tidak perlu bersuit untuk yang ketiga kalinya.”

“Kau sudah terlampau pikun,” desis Argapati, “kau sudah memekik lebih dari tiga kali.”

Dada Tambak Wedi berdesir. Tetapi kemudian ia menggeram keras sekali sambil menyerang sejadi-jadinya. Namun meskipun dada Argapati telah terluka, tetapi ia masih cukup segar untuk melawannya.

Di lingkaran yang lain, kawan Tambak Wedi semakin terdesak oleh ketiga pemimpin pengawal Menoreh yang dipimpin oleh Kerti. Seorang yang telah terluka, menjadi semakin lama semakin lemah. Ia tidak memiliki ketahanan tubuh seperti Ki Argapati, sehingga luka ditubuhnya itu terasa sangat mengganggunya.

Dalam pada itu, Pandan Wangi yang bertempur di medan sebelah Barat padukuhan induk, terpaksa bekerja sekuat-kuat tenaganya. Ternyata lawannya adalah orang yang luar biasa. Ganas, kasar dan garang. Dengan liarnya ia berkelahi, bahkan mirip dengan seekor binatang yang paling buas. Sekali-sekali ia berhasil mengenai lawannya dengan senjatanya. Kemudian dengan sengaja dipertunjukkannyalah kebuasannya di hadapan Pandan Wangi.

Betapapun tabahnya hati Pandan Wangi, namun melihat keganasan itu terasa juga hatinya menjadi ngeri. Terasa kulitnya merinding seperti diraba hantu.

Tetapi ia tidak mau dadanya sendiri yang terluka kemudian darahnya dihisap oleh hantu yang bernama Ki Peda Sura itu. Dengan sepenuh kemampuannya, ia tetap bertempur bersama beberapa orang di dalam sebuah kelompok kecil.

Ternyata yang berkelahi sebuas dan seliar itu bukan hanya seorang yang bernama Ki Peda Sura itu. Sebagian terbesar dari mereka, mempergunakan cara yang bersamaan. Dengan sengaja mereka mempertunjukkan cara-cara yang paling mengerikan.

Cara itu ternyata benar-benar dapat mempengaruhi daya perlawanan para pengawal Menoreh. Mereka menjadi ngeri dan muak. Beberapa orang yang cukup dapat bertahan, segera bertempur dengan garangnya. Bahkan beberapa orang yang memiliki tabiat yang pada dasarnya kasar, segera dijalari oleh cara-cara lawannya. Mereka pun segera tanpa sesadarnya, berbuat dengan kasar dan buas. Senjata mereka tidak tanggung-tanggung membelah dada, kemudian menggores punggung silang-menyilang. Mereka berusaha untuk melenyapkan kengerian di hati masing-masing dengan cara itu. Dengan berbuat seperti lawan-lawan mereka.

Tetapi bukanlah kebiasaan mereka berbuat seperti itu. Pergaulan mereka di dalam kehidupan yang beradab, telah membentuk mereka menjadi manusia yang dipengaruhi oleh adat tata kehidupan yang beradab pula. Mereka telah terbiasa menghargai manusia dan perikemanusiaan. Karena itu, betapa mereka berusaha, tetapi mereka tidak cukup kuat untuk berkelahi dalam keadaan yang liar dan buas serupa itu, sehingga daya tahan mereka pun terpengaruh pula. Apalagi suara titir yang melengking-lengking di kejauhan seperti jerit tangis kanak-kanak yang kehilangan ayah di medan peperangan.

Hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh terpengaruh karenanya. Benar-benar terpengaruh. Dengan demikian, daya perlawanan mereka pun menjadi semakin lama semakin susut.

Pandan Wangi yang ngeri melihat darah dan mayat bergelimpangan, mencoba memaksa dirinya untuk tetap dapat melawan. Kalau ia lengah, maka dirinya pasti akan menjadi korban. Kalau senjata lawannya itu memecahkan dadanya, dan membunuhnya sekaligus, maka ia tidak akan tahu apa yang terjadi seterusnya atas dirinya. Tetapi kalau orang-orang yang buas dan liar itu berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup, atau melukainya sehingga ia tidak mampu lagi untuk melawan dan kehilangan kesempatan untuk membunuh diri, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam neraka yang paling jahanam.

Karena itulah, maka betapapun juga ia harus bertempur terus sebaik-baiknya. Ia harus memeras segenap kemampuan yang ada padanya untuk tetap bertahan.

Namun tiba-tiba Pandan Wangi dikejutkan oleh kehadiran seorang penghubung yang mendekatinya dengan nafas terengah-engah. Pundaknya telah terluka, dan dari luka itu mengalir darah yang merah segar.

“Pandan Wangi,” orang itu berbisik sambil terengah-engah, “aku menyampaikan pesan kepadamu.”

“Dari?” bertanya Pandan Wangi sambil bertempur.

“Lepaskan lawanmu sejenak.”

Pandan Wangi segera memerintahkan orang-orangnya untuk bertempur. Ia memerlukan menemui penghubung itu. ”Cepat katakan, sebelum orang-orang itu dihabiskan oleh Peda Sura.”

“Samekta dan Wrahasta bersama-sama memberikan pesan. Pasukan ini sebaiknya ditarik ke padukuhan yang telah ditentukan, apabila keadaan memaksa. Pasukan Samekta dan Wrahasta bersama-sama telah terdesak mundur.”

Berita itu menyambar telinga Pandan Wangi seperti petir yang meledak dilangit. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak percaya kepada telinganya. Namun pesan itu telah mengiang dan melingkar di telinganya, “Pasukan ini supaya ditarik. Pasukan ini supaya ditarik.”

Pertempuran yang terjadi di sekitar Pandan Wangi itupun menjadi semakin hiruk pikuk. Teriakan yang menghentak dan pekik kesakitan sahut menyahut dengan geram dan gemeretak gigi. Semakin lama tandang mereka yang sedang bertempur itupun menjadi semakin kasar, liar dan buas, seolah-olah mereka telah kehilangan diri mereka masing-masing. Mereka seolah-olah telah melupakan pribadi masing-masing sebagai mahluk yang berbudi. Di dalam perang brubuh yang demikian, sukarlah untuk dibedakan, antara manusia yang biadab dan beradab. Karena untuk bertahan diri dari kebiadaban, mereka telah melakukan hal-hal yang serupa pula.

Dalam kediamannya, Pandan Wangi melihat penghubung yang datang kepadanya, dalam keremangan cahaya purnama di langit, menyeringai menahan sakit lukanya

Dan orang itu berdesis perlahan, “Apakah kau dapat menyetujuinya?”

Pandan Wangi menahan nafasnya. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya, “Apakah yang terjadi di padukuhan induk?”

“Pasukan Sidanti dan Argajaya telah masuk. Samekta yang mundur ke pasukan induk dan bergabung dengan Wrahasta, masih juga tidak dapat menahan arus lawan yang kuat yang datang dari arah Timur.”

Pandan Wangi adalah seorang gadis yang lembut. Seorang gadis yang kadang-kadang masih juga dapat meruntuhkan air mata. Tetapi ketika ia mendengar berita tentang jatuhnya padukuhan induk, wajahnya menjadi tegang dan merah padam. Yang terlukis di wajahnya yang cantik itu, seakan-akan wajah seorang iblis betina yang sedang marah. Terdengar giginya gemeretak dan nafasnya terengah-engah.

“Aku akan pergi ke padukuhan induk,” ia menggeram.

“Aku mendapat pesan untukmu mawanti-wanti,” potong penghubung yang sudah terluka itu, “Samekta dan Wrahasta telah menduga, bahwa kau akan berpendirian demikian. Tetapi kau harus menyesuaikan siasat peperangan ini dengan seluruh pasukan. Kau tidak dapat berbuat demikian.”

“Kenapa tidak? Aku akan membawa pasukan ini ke padukuhan induk. Aku akan mengusir mereka dari halaman rumahku dan dari seluruh tanah ini.”

“Kau tidak dapat melakukannya sendiri. Menurut perhitungan Samekta dan Wrahasta, Sidanti akan segera mengirimkan orang-orangnya sebagian kemari. Kau akan segera mendapat kesulitan, dan korban pun akan semakin banyak berjatuhan.”

“Tetapi aku tidak dapat membiarkan mereka berada di halaman rumahku dan di atas tanah ini.”

“Aku pun telah mendapat pesan, bahwa di dalam keadaan serupa ini, kita tidak dapat membiarkan perasaan kita berbicara. Tetapi kita harus menemukan keseimbangan dan berbicara dengan nalar. Kita masih mempunyai banyak sekali tugas dan kewajiban. Kita masih harus merebut kembali tanah ini. Dengan demikian, kita tidak boleh kehilangan akal yang akan menyebabkan kematian yang semakin parah. Kalau kemudian korban berjatuhan lagi, itu berarti bahwa kitalah yang bersalah. Kitalah yang telah membunuh mereka tanpa arti sama sekali, karena akhirnya kita akan terusir juga dari medan yang sekarang. Tetapi perang ini tidak akan berakhir sehari atau semalam ini. Kita masih akan menghadapi hari-hari yang semakin sulit dan berat. Dan kita harus tidak kehilangan akal.”

“Pengecut,” tiba-tiba Pandan Wangi menggeram, “kalian ingin memaksa aku lari dari peperangan ini? Tidak. Aku harus mengusir mereka. Mereka harus pergi dari tanah ini.”

“Ya, mereka harus pergi. Tetapi tidak dengan cara yang salah. Kita tidak akan berhasil mengusir mereka, namun justru kitalah yang akan dibantai oleh mereka, Dan kita akan kehilangan segala-galanya.”

“Pengecut.”

“Bukan, Pandan Wangi. Ini adalah suatu siasat. Kita mundur untuk kemudian meloncat maju. Sekarang keadaan kita terlampau sulit. Tetapi kalau kita berhimpun, dan kita mendapat kesempatan menghimpun pula semua kekuatan yang tersebar, kita mungkin akan berhasil.”

“Itukah alasanmu? Setiap kali kau berkata, bahwa itu sekedar siasat. Siasat. Kalau kau tidak berani berbuat sesuatu, kau pakai alasan itu. Alasan seorang pengecut, Tidak. Aku tidak akan mundur setapak pun, meskipun aku harus mati.”

“Ya,” jawab penghubung yang mulai kebingungan itu. Namun dengan demikian ia tidak merasakan lagi luka yang mengalirkan darah semakin deras di pundaknya. “Samekta dan Wrahasta menduga kalau kau akan bersikap demikian. Tetapi peperangan ini di dalam keseluruhan memerlukan cara. Cara untuk memenangkannya. Cara yang serasi dari para pemimpin. Pandan Wangi, kalau kita membuat perhitungan, jangan dianggap bahwa kita adalah pengecut-pengecut, tetapi kita harus menghadapi lawan dengan sepenuh kesadaran dan perhitungan. Kau selama ini selalu dicengkam oleh perasaanmu. Tetapi lihatlah. Sebentar lagi pasukan Sidanti akan datang, meskipun hanya sebagian. Pasukanmu akan tergulung habis. Mati, meskipun sebenarnya kau dapat menghindari. Mungkin kau bukan seorang pengecut dan seluruh pengawal di dalam pasukan inipun bukan pengecut. Tetapi apa kata orang setelah peperangan ini selesai dan kita ditumpas habis? Mereka akan menyalahkan para pemimpinnya. Mereka menganggap, bahwa kita terlampau bodoh untuk membunuh diri di medan peperangan. Kita mati dan tanah ini tidak akan dapat kita ambil kembali. Kecuali apabila kita memang sudah tidak berpengharapan sama sekali untuk dapat berbuat demikian, untuk merebutnya lagi. Maka aku pun sependapat, bahwa kita akan bersama berkubur di atas tanah yang kita cintai ini.”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Terasa sebuah sentuhan di hatinya. Sejenak ia mematung dan sejenak kemudian dilihatnya penghubung itu menyeringai lagi. Agaknya terasa lukanya menjadi terlampau sakit, sedang darah masih saja mengalir semakin banyak.

“Pandan Wangi,” tiba-tiba suara penghubung itu merendah, “aku terluka ketika aku mencari hubungan dengan kau di dalam perang brubuh yang buas ini. Aku tidak akan kembali atau berhenti sebelum aku bertemu dengan kau, meskipun aku telah terluka, karena aku bukan seorang pengecut. Luka itu agaknya kini menjadi semakin parah, karena darah yang semakin banyak mengalir.” Ia berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin terengah-engah.

“Aku minta kepadamu, Pandan Wangi, jangan kau biarkan perasaanmu berkata. Hargailah nyawa orang-orangmu. Mereka masih mempunyai tugas terlampau banyak. Mereka masih harus merebut tanah ini kembali.”

Pandan Wangi masih berdiri tegak seperti patung. Kedua tangannya menggenggam sepasang pedangnya erat-erat. Sekali-sekali terdengar ia menggeram, namun kemudian sebuah tarikan nafas yang panjang.

Ketika ia memandang penghubung yang terluka itu dengan saksama, ia melihat orang itu menjadi semakin pucat dan gemetar. Dan tiba-tiba saja orang itu terhuyung-huyung.

”Pandan Wangi,” katanya, “aku sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.”

Sebelum Pandan Wangi menjawab, maka orang itupun telah terduduk di tanah. Sekali terdengar ia berdesah. Kemudian lambat sekali ia berkata, ”Kau mau mendengar kata-kataku, Pandan Wangi. Itu bukan nasehatku sendiri. Aku adalah seorang penghubung yang menyampaikan pesan itu kepadamu.”

Tanpa sesadarnya Pandan Wangi berjongkok di sampingnya. Dengan dada yang berdebaran ia berkata, “Kuatkan hatimu. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk membawamu kepada Paman Samekta, agar luka-lukamu itu terawat.”

Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Bukan luka ini yang sebenarnya akan membunuh aku. Tetapi aku telah kehabisan darah. Darah semakin banyak mengalir, dan aku menjadi terlampau lemah karenanya.”

“Kita harus berusaha.”

“Usaha yang terpenting bagimu, Pandan Wangi, usahakan agar orang-orangmu kali ini terselamatkan, untuk besok, atau lusa melakukan tugasnya yang lebih penting lagi.”

Sekali lagi Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Ia merasa betapa berat pesan itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, ia melihat pertempuran menjadi semakin buas. Beberapa orang berusaha untuk melindunginya dari perang yang gila itu, sedang beberapa orang yang lain sedang bertempur melawan Peda Sura. Sekali-sekali Pandan Wangi mendengar pekik kesakitan dan teriakan kemenangan yang terlampau buas, seperti raung seekor harimau yang berhasil menerkam dan membunuh lawannya.

“Dengarlah kata-kataku, Pandan Wangi,” penghubung yang terluka itu berkata lirih, “dengan demikian, matiku akan menpunyai arti. Jangan lagi menyebut aku sebagai pengecut yang hanya mempergunakan siasat sebagai alasan. Tidak. Aku mati karena aku ingin menyampaikan pesan itu kepadamu, pesan tentang siasat yang kau anggap hanya sekedar sebagai alasan. Aku menjadi korban untuk mengurangi korban-korban yang lain. Tetapi kalau kau tetap menganggap aku sebagai pengecut, Samekta dan Wrahasta juga pengecut, maka sia-sialah kematianku.”

“Tidak. Tidak, kau tidak akan mati.”

“Itupun terlampau sulit. Perasaan kita jangan kita biarkan menguasai keadaan tanpa perhitungan yang matang. Nah, berkatalah, bahwa kau bersedia menarik mundur pasukanmu. Kita besok akan kembali dan merebut tanah ini.

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Tetapi ia menyadari kebenaran kata-kata penghubung itu, bahwa ia sama sekali bukan seorang pengecut. Ia telah membelah perang brubuh ini untuk mencari dan menghubunginya. Ia tidak lari, meskipun ia telah terluka. Ia bersedia mati untuk hidup orang lain.

Terasa hentakan yang sangat di dalam dada gadis itu. Penghubung yang terluka itu semakin lama menjadi semakin lemah. Suaranya pun menjadi semakin lirih, “Pandan Wangi, aku ingin mendengar keputusanmu.”

Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain. Di hadapan penghubung yang sudah terlampau letih, ia menganggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya, “Kenapa Paman Samekta dan Wrahasta tidak membawa pasukannya kemari, dan bersama-sama melawan, apabila pasukan Sidanti itu datang kemari pula.”

“Ada banyak pertimbangan, Pandan Wangi. Yang pertama-tama, keteguhan hati kita telah terpukul oleh kekalahan-kekalahan yang berturut-turut. Mungkin hal itu tidak begitu terasa di sini. Tetapi di medan yang lain, hati kita sudah menjadi sekecil menir. Kita perlu menemukan keseimbangan baru untuk memulainya.” Penghubung yang menjadi semakin lemah itu berhenti sejenak, lalu, “aku sudah tidak punya waktu.”

Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba ia berdiri sambil berdesis, “Akan aku penuhi permintaan Paman Samekta. Tetapi bukan karena kami di sini telah kehilangan keberanian dan berkecil hati. Aku akan mencoba mempergunakan cara yang akan ditempuh oleh Paman Samekta, untuk besok, atau lusa kembali merebut tanah ini kembali.”

“Oh,” penghubung itu menarik nafas panjang sekali. “Pandan Wangi,” katanya, “mengundurkan diri bukanlah pekerjaan yang terlampau mudah. Kau harus bijaksana. Kau harus didampingi oleh seorang yang telah berpengalaman menyampaikan perintah-perintah pengunduran diri itu.”

Pandan Wangi mengangguk. Tiba-tiba ia meloncat masuk ke dalam hiruk pikuk perang brubuh sambil memberikan pesan kepada pengawal yang melindunginya, ”Lindungi orang yang terluka itu. Bawa ia keluar dari perang yang gila ini. Kami akan menarik diri.”

Penghubung itu masih akan berbicara, tetapi Pandan Wangi telah hilang di dalam hiruk pikuknya perang brubuh yang buas itu. Yang datang kepadanya kemudian adalah beberapa orang pengawal.

“Hampir tak ada gunanya kalian menyelamatkan aku,” berkata pengawal itu, “darahku sudah terlampau banyak mengalir. Lakukanlah tugasmu yang lain, yang barangkali lebih penting.”

Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Beberapa dari mereka telah mencoba melindunginya dan berusaha menemukan jalan keluar dari peperangan.

Sementara itu, Pandan Wangi telah berhasil menemui tetua kelompok kecilnya, yang oleh Samekta diperbantukan kepadanya. Kepada orang itu Pandan Wangi menyerahkan pimpinan pengunduran diri.

“Marilah,” berkata orang tua itu, “kau lebih dahulu, Pandan Wangi. Kami akan melindungimu.”

“Bodoh sekali. Tariklah pasukan ini. Aku harus melindungi mereka. Terutama Peda Sura yang gila ini.”

Pengawal tua itu merasa aneh. Tetapi Pandan Wangi mendesaknya, “Cepat, sebelum Sidanti datang membawa pasukan yang lebih besar lagi. Kita harus pergi sekarang.”

Orang tua itu masih ragu-ragu. Tetapi Pandan Wangi telah terlibat dalam pertempuran kembali. Langsung melawan Peda Sura yang menjadi semakin gila.

Perkelahian pun semakin lama menjadi semakin menggila pula. Masing-masing seolah-olah telah kehilangan diri mereka sendiri. Yang ada di arena itu adalah sekumpulan binatang yang paling buas dan paling berbahaya sedang berkelahi berebut mangsa.

Pandan Wangi pun tandangnya menjadi semakin garang pula. Sepasang senjatanya berputaran dan menyambar-nyambar, berkilat-kilat di bawah cahaya bulan bulat di langit.

Sementara itu, pengawal tua yang mendapat perintah dari Pandan Wangi untuk menarik pasukannya, masih berdiri termangu-mangu. Ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia mengerti ke mana pasukan itu harus dibawa, karena ia telah mendengar semua rencana itu. Tetapi ia tidak dapat membiarkan Pandan Wangi bertempur terus selama ia menarik pasukan itu.

“He, kenapa kau diam membeku,” teriak Pandan Wangi. Suaranya bergeletar di antara dentang senjata, sehingga pengawal tua itu terkejut.

“He,” jawabnya, “lakukanlah lebih dahulu.”

“Pergi, pergilah secepatnya.”

Orang tua itu menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, meskipun ia mengerti maksud Pandan Wangi. Gadis itu memerintahkan kepadanya untuk mengundurkan diri, selama itu ia mencoba untuk melindungi pasukannya dari orang yang paling berbahaya, Peda Sura. Tetapi apakah ia sampai hati untuk berbuat demikian.

Dalam keragu-raguan itu, ia melihat Peda Sura berkelahi seperti seekor harimau lapar. Senjatanya menerkam ke segenap arah dengan garangnya. Meskipun Pandan Wangi tidak bertempur sendiri, tetapi lingkaran kecil di seputar Peda Sura itu tidak terlampau banyak dapat menahannya. Setiap kali Peda Sura dapat melepaskan diri, dan menyerang orang-orang di sekitarnya. Baru sejenak kemudian, ia menempatkan dirinya untuk melawan serangan-serangan Pandan Wangi yang berbahaya.

“Apakah yang sebaiknya aku lakukan?” pertanyaan itu selalu menghentak-hentak di dalam dada pengawal tua itu. Dan sekali lagi ia mendengar Pandan Wangi berteriak, “Cepat, cepat. Jangan berbuat terlampau bodoh.”

Tak ada yang dapat dilakukan, selain memenuhi perintah itu. Tetapi sudah tentu ia sendiri tidak dapat membiarkan Pandan Wangi dalam keadaannya. Karena itu, maka diperintahkannya isyarat pengunduran diri itu kepada seorang penghubung. Maka sejenak kemudian, isyarat itu telah sampai kepada hampir setiap telinga di dalam pertempuran itu. Tetapi bukan saja telinga para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun juga telinga lawan-lawan mereka, sehingga sesaat kemudian terdengar mereka berteriak-teriak, “Jangan lepaskan kelinci-kelinci itu untuk melarikan diri.”

Tetapi kekuatan mereka sebenarnya tetap seimbang. Sebenarnya pasukan Menoreh tidak berada dalam keadaan yang terlampau sulit. Namun apabila sebentar lagi pasukan Sidanti datang, maka keadaan pasti akan segera berubah.

Karena itu, sesaat kemudian medan pertempuran itupun segera bergeser. Orang-orang Menoreh mencoba menarik diri mereka ke dalam kedudukan mereka yang baru. Setiap kali mereka mundur beberapa langkah, mereka harus berhenti untuk meneruskan perang brubuh yang dahsyat itu. Setiap kali mereka masih juga harus membalas setiap serangan yang ganas dengan perlawanan dan serangan-serangan yang kasar pula.

Pandan Wangi sendiri mencoba mengikat Peda Sura dalam perkelahian, supaya orang itu tidak berkeliaran. Selama pasukannya mengundurkan diri, Peda Sura akan dapat menjadi seorang pembantai yang mengerikan, apabila tidak seorang pun yang mengikatnya dalam pertempuran yang tersendiri. Setiap kali ia memang berusaha untuk menahan arus para pengawal Menoreh yang menempatkan diri mereka pada keadaan yang mapan.

Tetapi betapapun Pandan Wangi berusaha, namun Peda Sura pada dasarnya memang mempunyai beberapa kelebihan daripadanya, sehingga setiap kali Pandan Wangi selalu terdesak. Untunglah, bahwa kelompok kecil yang dibuatnya masih tetap tidak terpecahkan, meskipun beberapa orang daripadanya telah terluka dan bahkan menjadi korban. Namun mereka masih tetap mampu untuk melawan Peda Sura bersama-sama.

Namun Peda Sura bukanlah seorang yang begitu saja membiarkan dirinya berada dalam suatu keadaan yang tidak diinginkannya sendiri. Ketika arena itu telah bergeser semakin jauh, maka tiba-tiba ia meloncat sambil memekik, menyerang Pandan Wangi dengan kecepatan yang tidak terduga-duga. Pandan Wangi yang terkejut mengalami serangan itu, dengan serta merta meloncat jauh-jauh untuk menghindarkan dirinya. Namun kesempatan berikutnya telah dipergunakan oleh Peda Sura. Tiba-tiba ia meloncat ke arah yang lain, memecah kepungan kecil yang memagarinya langsung masuk ke dalam perang brubuh yang hiruk pikuk.

Pandan Wangi terkejut melihat sikap itu. Sudah tentu ia tidak akan dapat membiarkannya. Orang itu terlampau berbahaya. Dengan ilmunya, ia akan dapat membuat korban yang tidak terhitung di antara orang-orang Menoreh, seolah-olah tidak seorang pun yang akan dapat menahannya. Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera mengejarnya, masuk ke dalam peperangan yang semakin menggila itu. Tetapi dengan demikian, Pandan Wangi telah meninggalkan kelompoknya. Ia seakan-akan telah menyerahkan dirinya untuk bertempur seorang melawan seorang dengan Ki Peda Sura.

Dan itulah yang memang diharapkan oleh pemimpin pasukan Sidanti yang buas itu. Dengan demikian, ia akan mendapat kesempatan untuk menjatuhkan Pandan Wangi dan membinasakannya.

“Tidak,” berkata Peda Sura itu di dalam hatinya, “sayang kalau anak manis itu terbunuh. Aku harus memancingnya dan melumpuhkannya. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup.”

Ternyata bahwa Pandan Wangi telah benar-benar lupa diri. Ia ingin pasukannya segera terbebaskan dari perang brubuh ini dan berhasil menghindarkan diri. Menurut pengamatannya, pasukan lawan yang telah kelelahan inipun pasti tidak akan mengejarnya terus. Apa lagi kekuatan mereka masih tetap seimbang. Asal Ki Peda Sura dapat ditahan untuk tidak mengacaukan penarikan pasukan Menoreh, maka kemungkinan untuk melepaskan diri dari peperangan ini cukup besar.

Tetapi pada suatu saat, Pandan Wangi itu harus menyadari, bahwa tiba-tiba saja ia telah berhadapan dengan Ki Peda Sura seorang diri. Di sekitarnya orang-orang Menoreh sedang sibuk menghadapi lawan masing-masing.

Ki Peda Sura yang telah berhasil memisahkan Pandan Wangi dari kelompoknya itu, kini berdiri tegak sambil tertawa. Suara tertawanya benar-benar sangat menyakitkan hati. Sepasang matanya yang liar kemerah-merahan seakan-akan memancarkan api yang aneh dari dalam hatinya.

“Nah, ternyata kau selalu mencariku, ke mana aku pergi,” desis orang itu.

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia harus mengatur dirinya, supaya ia tidak tenggelam dalam perasaan ngeri menghadapi orang yang terlampau buas ini. Sedang kekasaran dan kekerasan yang telah terjadi di sekitarnya, masih berlangsung terus.

“Menyerahlah anak manis,” terdengar suara Peda Sura di antara suara tertawanya.

Terasa bulu-bulu di tengkuk Pandan Wangi meremang. Ia sebenarnya tidak takut menghadapi senjata Peda Sura yang mengerikan itu. Sampai mati pun ia tidak akan ingkar, karena ia memang merasa bertanggung jawab. Sebagai seorang anak kepala tanab perdikan, maka adalah tugasnya untuk ikut serta mempertahankan tanah ini. Tetapi melihat sikap Peda Sura itu, Pandan Wangi benar-benar dijalari oleh perasaan ngeri yang dahsyat.

Karena itu, maka ketika suara tertawa Peda Sura meninggi, tiba-tiba saja Pandan Wangi meloncat dan menyerangnya, seperti angin prahara.

Peda Sura terkejut mengalami serangan itu. Serangan Pandan Wangi benar-benar berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari tiga empat orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang lain. Sehingga karena itu, maka suara tertawanya terputus dengan tiba-tiba. Dengan dada yang berdebar-debar ia meloncat menghindarkan dirinya. Namun agaknya Pandan Wangi tidak memberinya banyak kesempatan. Serangan berikutnya telah melandanya, bertubi-tubi susul menyusul.

Tetapi Ki Peda Sura adalah orang yang jauh lebih banyak menyimpan pengalaman di dalam dirinya. Itulah sebabnya, akhirnya ia mampu pula untuk mengelakkan serangan-serangan Pandan Wangi, dan menemukan kesempatan untuk menghadapinya. Sehingga sejenak kemudian, mereka telah terlibat di dalam perang yang sengit, seakan-akan mereka tengah berjanji untuk melakukan perang tanding di tengah-tengah hiruk pikuknya perang brubuh itu.

Namun sekali lagi Pandan Wangi harus mengakui, bahwa kemampuan Ki Peda Sura memang berada di atas kemampuannya, meskipun tidak terlampau jauh. Dengan demikian, maka sejenak kemudian Pandan Wangi sudah harus memeras segenap kemampuan yang ada padanya, untuk bertahan dari serangan-serangan Peda Sura yang melandanya seperti banjir bandang. Apalagi sikap Peda sura benar-benar memuakkannya, sehingga sebagai seorang gadis, maka mau tidak mau perasaannya ikut serta menentukan akhir dari perkelahian itu.

“Kau memang garang anak manis,” suara Peda Sura terasa menggores hati setajam ujung tombak, “menyerahlah. Aku tidak akan membunuhmu. Kau akan mendapat banyak kesempatan untuk hidup dan menikmati kehidupan.”

Pandan Wangi menggeram. Ia mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Ilmu yang telah diterimanya dari ayahnya, telah dituangkannya dalam perkelahian itu, tetapi ternyata bahwa ia masih terlampau hijau. Ia masih mempergunakan setiap unsur gerak dari perguruan Menoreh dengan las-lasan. Ia masih belum menemukan kemantapan dalam hubungan setiap unsur yang ada, sehingga orang-orang yang telah dipenuhi oleh berbagai macam pengalaman di medan-medan perang, dalam benturan seorang melawan seorang, seperti Ki Peda Sura itu, segera saja dapat menemukan segi-segi kelemahannya.

Dengan demikian, maka semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat lagi melepaskan dirinya dari malapetaka. Ia tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapa pun. Orang-orang di dalam kelompok kecilnya, yang telah disusun untuk melawan Peda Sura, tidak segera dapat menemukannya di dalam perang brubuh itu, karena setiap saat mereka akan menemukan lawan-lawannya sendiri.

Namun dalam pada itu, rencana pasukan Menoreh untuk mengundurkan diri itupun agaknya semakin lama menjadi semakin lancar. Usaha-usaha mereka untuk melepaskan setiap hambatan agaknya akan segera berhasil. Di saat-saat terakhir mereka harus menarik diri masuk ke dalam padukuhan kecil yang semula mereka pergunakan untuk menunggu pasukan Peda Sura. Mereka rnengharap, bahwa mereka akan segera mendapat kesempatan berikutnya, meninggalkan padukuhan kecil itu, dan bergabung dengan pasukan yang lain yang telah lebih dahulu mengundurkan diri.

Ki Peda Sura yang melihat arena semakin bergeser menjauh, menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus mengejarnya terus atau membiarkan mereka meninggalkan arena. Semula timbul niatnya untuk mencari korban sebanyak-banyaknya di saat-saat orang-orang Menoreh menarik dirinya. Tetapi dengan demikian, maka Pandan Wangi pun akan mampu berbuat serupa di antara anak buahnya. Karena itu, maka akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan saja lawannya mengundurkan diri. Pasukannya sendiri sudah terlampau lelah pula. Sehingga kemudian katanya di dalam hatinya, ”Aku hanya bertugas menarik perhatian pasukan Menoreh. Kini agaknya Sidanti telah berhasil menduduki padukuhan induk, meskipun ia tidak melakukan pengejaran. Karena itu, maka tugasku kali ini sudah selesai, biar sajalah orang-orang itu melarikan diri. Dengan mengejar mereka, maka korban pun akan menjadi semakin banyak jatuh di pihakku, bagiku agaknya lebih baik menangkap anak rajawali ini saja untuk mainan.”

Dengan demikian, maka Peda Sura itu sama sekali tidak peduli lagi kepada pasukan Menoreh yang semakin lama semakin surut. Namun dengan demikian, maka Pandan Wangi itupun terpisah semakin jauh dari orang-orangnya.

Beberapa orang yang merasa ikut bertanggung jawab atas pasukan Menoreh telah bekerja mati-matian untuk menyelamatkan pasukannya. Tetapi beberapa orang yang lain, dengan hati berdebar-debar mencoba untuk menemukan Pandan Wangi yang lagi bertempur melawan Ki Peda Sura. Tetapi usaha yang demikian bukanlah usaha yang mudah.

Sementara itu, Pandan Wangi sendiri sudah terlampau sulit untuk mencoba melepaskan diri dan mundur bersama-sama pasukannya. Peda Sura agaknya benar-benar berusaha untuk menahannya, supaya ia terpisah dari seluruh anak buahnya. Dengan demikian, maka Pandan Wangi itu akan segera dapat ditangkapnya. Karena itu, justru Peda Sura mengharap agar orang-orang Menoreh yang masih ada di sekitarnya segera meninggalkan arena.

Sebenarnyalah keadaan Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin sulit. Semakin lancar usaha pasukan Menoreh mengundurkan diri, maka keadaannya pun menjadi semakin berbahaya. Ia sadar sepenuhnya, apa yang akan terjadi atas dirinya, apabila ia tertangkap hidup-hidup. Ia sadar bahwa mati akan lebih baik baginya, daripada ia dapat ditangkap oleh Ki Peda Sura.

Perang brubuh itupun semakin lama semakin jauh bergeser. Tetapi Peda Sura tetap berusaha menahan Pandan Wangi.

“Gadis ini akan kelelahan,” desis Peda Sura di dalam hati.

Dan usaha itu agaknya tidak sia-sia. Semakin lama tenaga Pandan Wangi yang belum menemukan saluran sewajarnya itu menjadi kian surut. Perlawanannya pun menjadi semakin lemah. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengakhiri perkelahian itu dengan melepaskan nyawanya.

Sejenak kemudian terdengar Peda Sura tertawa. Suaranya meringkik seperti suara hantu di pekuburan. Mengerikan sekali.

Namun tiba-tiba suara tertawanya itu terputus. Sesaat udara malam digetarkan oleh suara seruling yang melengking. Pendek. Namun pengaruhnya terlampau dalam menggores di dinding hati Pandan Wangi. Ia tidak tahu, kenapa di luar sadarnya tumbuhlah suatu pengharapan. Pengharapan yang tidak dapat dimengertinya. Sekilas angan-angannya segera hinggap pada seorang gembala yang selalu bermain-main dengan serulingnya.

Tetapi sesaat kemudian dadanya yang berdebar-debar menjadi semakin berdebar-debar. Diingatnya kembali apa yang baru saja di lakukan oleh gembala itu. Sebelum terjadi peperangan ini, maka gembala itu telah berkeliaran di daerah-daerah terlarang. Sehingga tidak mustahil, bahwa gembala itu adalah salah seorang petugas sandi dari orang-orang liar yang tidak dikenal ini.

“Sikapnya sama sekali berbeda dengan orang-orang ini,” ia mencoba membedakan sifat-sifat pada gembala itu. Namun kemudian dijawabnya sendiri, “Seorang petugas sandi harus mampu berbuat apa saja. Mencala putra, mencala putri.”

Dengan demikian, maka Pandan Wangi yakin, bahwa gembala itu datang untuk membantu Peda Sura menangkapnya.

“Aku akan mati di peperangan ini,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya, “itu akan jauh lebih baik daripada tertangkap hidup-hidup.”

Tetapi ia heran melihat sikap Peda Sura. Ternyata orang itupun menjadi heran mendengar suara seruling yang melengking pendek, sehingga karena itu, maka pertempuran itupun terhenti karenanya.

Sejenak kemudian, di bawah cahaya bulan bulat di langit, seseorang meloncat dari balik pematang langsung berlari-lari kecil menuju ke arena pertempuran antara Pandan Wangi dan Peda Sura. Di tangan kirinya ia menjinjing sebatang seruling kecil, seruling yang hampir tidak pernah terpisah daripadanya.

“Perkelahian yang dahsyat,” desisnya ketika orang itu sudah berada beberapa langkah saja dari Peda Sura dan Pandan Wangi. Kemudian ia pun berhenti dan berdiri tegak seperti patung.

“Siapakah kau?” terdengar Peda Sura menggeram.

Pandan Wangi yang hampir saja bertanya tentang gembala yang menggenggam seruling itu telah mengurungkan niatnya. Semula ia ingin langsung menuduhnya, sebagai petugas sandi Sidanti. Tetapi menilik pertanyaan Peda Sura, maka ada kemungkinan lain yang tidak dimengertinya. Karena itu, maka ia pun berdiam diri sambil menunggu jawaban orang berseruling itu.

Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Peda Sura mengulanginya, “Siapa kau he?”

“Gupita, seorang penggembala,” jawab orang itu.

“Apa maksudmu datang kemari, dan menghentikan perkelahian ini?”

“Aku ingin memberitahukan kepada Pandan Wangi, agar ia segera meninggalkan arena ini. Lihat, sebentar lagi pasukannya akan segera hilang di dalam padukuhan itu. Kalau ia masih saja bertempur, maka sebentar lagi ia akan terjebak. Orang-orangmu pasti tidak akan terus menerus mengejar orang-orang Menoreh. Pada suatu ketika mereka akan kembali kemari dan bersamamu beramai-ramai menangkap Pandan Wangi. Bukankah begitu?”

“Persetan,” Ki Peda Sura menggeram, “apa pedulimu?”

“Tidak sepantasnya Pandan Wangi jatuh ke tangan orang-orang gila semacam kau, Ki Peda Sura.”

“Lalu, apa maumu?”

“Aku ingin menasehatkan, agar Pandan Wangi meninggalkan arena ini.”

Dada Ki Peda Sura bergetar mendengar jawaban itu, sehingga dengan serta merta ia berkata, “Begitu mudahnya?”

“Apakah kesulitannya? Pandan Wangi dapat menelusur pematang ini, dan di ujung parit yang menyilang jalan, ia berbelok lewat jalan sempit di pinggir parit di seberang jalan. Nah, bukankah ia akan sampai di sisi padukuhan kecil itu dan dengan loncatan-loncatan kecil ia dapat masuk ke dalam padukuhan, kemudian bergabung dengan pasukannya yang sedang mundur?”

“Apa kau kira aku akan tertidur di sini dan membiarkannya lari?”

Gupita tertawa. Jawabnya, “Kau akan bermain-main dengan kami berdua. Kalau kami tidak dapat mengalahkanmu, maka Pandan Wangi akan lari, sedang kau tinggal di sini bersamaku. Tetapi kalau kami mampu, maka kau akan menyesal, bahwa kau telah terpisah dari anak buahmu.”

Jawaban itu benar-benar telah membuat telinga Ki Peda Sura menjadi merah. Terdengar giginya gemeretak dan senjatanya terayun-ayun di tangannya.

“He Gupita, apakah kau sudah menjadi gila?” suaranya berat dalam nada yang datar, “Apakah kau belum pernah mendengar nama Ki Peda Sura?”

“Sudah. Aku sudah pernah mendengar. Tetapi ternyata namamu jauh lebih besar dari kemampuanmu. Aku memang tidak akan dapat melawanmu. Tetapi selama aku melihat kau bertempur melawan Pandan Wangi, maka kelebihan yang kau miliki ternyata tidak seberapa. Dengan demikian, maka tenagaku yang lemah, akan segera merubah keseimbangan. Kau akan mengalami kesulitan dan mungkin kau harus mengalami nasib yang menyedihkan.”

Sekali lagi Peda Sura menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Sementara itu Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Kata-kata gembala yang menamakan dirinya Gupita itu, seakan-akan meluncur begitu saja seperti air terjun. Seolah-olah ia menganggap persoalan yang sedang di hadapi itu sebagai persoalan yang dapat diselesaikan sambil tertawa dan bergurau saja. Sedang yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang iblis yang bernama Ki Peda Sura.

Dalam kebimbangan itu, Pandan Wangi mendengar Gupita berkata kepadanya, “Marilah, kita selesaikan saja persoalan ini sampai di sini. Kami harus menyadari keadaanmu. Kau harus segera meninggalkan tempat ini.”

Tiba-tiba terdengar jawaban Pandan Wangi gemetar, “Aku bukan pengecut.”

“Memang bukan,” sahut Gupita, “tetapi kau harus mempunyai penilaian yang tepat atas keadaan yang kau hadapi. Kau tidak perlu mengorbankan dirimu. Pasukanmu sudah menemukan jalan yang lapang untuk membebaskan dirinya kali ini. Itupun bukan suatu sifat pengecut. Tetapi kau harus mempunyai perhitungan jangka jauh untuk memenangkan pertempuran ini. Kalah atau menang dalam suatu peperangan tidak ditentukan oleh medan-medan kecil serupa ini. Tetapi bagaimana akhir dari semuanya.”

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu, siapakah sebenarnya gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita itu. Tetapi tiba-tiba saja telah tumbuh kepercayaan kepada gembala itu di dalam hatinya. Sehingga karena itu, maka semua kata-katanya itu dipertimbangkannya.

Sementara itu, hati di dada Ki Peda Sura rasa-rasanya telah terbakar. Ia sudah tidak mampu lagi untuk menahan geram yang mencengkam jantungnya. Gembala itu terlampau meremehkannya. Karena itu, maka ia tidak mau membiarkan keadaan menjadi berlarut-larut.

Sebelum Pandan Wangi sempat menjawab, maka tiba-tiba Peda Sura sudah meloncat menyerang. Kali ini sasarannya adalah gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita itu.

Sebenarnya Gupita terkejut juga melihat serangan yang tiba-tiba dan datang terlampau cepat. Untunglah bahwa ia sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi serangan yang demikian. Karena itu, maka segera ia meloncat menghindar sambil berkata, “Pandan Wangi. Permainan ini sudah dimulai. Cepat, hindarkan dirimu sebelum orang-orang yang liar dan buas itu datang, setelah mereka berhasil mendesak pasukanmu. Kau harus tetap selamat. Kau tahu, bahaya yang paling parah dapat kau alami apabila kau tertangkap.”

Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Di tangannya masih tergenggam sepasang senjatanya. Dengan penuh kebimbangan, ia melihai pertempuran yang segera terjadi antara Ki Peda Sura melawan Gupita.

Tiba-tiba tanpa sesadarnya, Pandan Wangi bertanya, “Apakah kau tidak bersenjata? Marilah, pakailah satu pedangku.”

“Terima kasih,” sahut Gupita, “aku sudah membawa senjata. Aku baru saja menyimpan kambing-kambingku di kandang. Cambukku masih aku bawa sampai saat ini. Kalau perlu aku dapat mempergunakannya untuk melawan senjata Ki Peda Sura yang mengerikan ini.”

Telinga Peda Sura serasa terbakar mendengar jawaban Gupita itu. Anak itu benar-benar menghinanya, sehingga dengan demikian, maka serangannya menjadi semakin garang.

Namun Gupita memang mengharap Ki Peda Sura menjadi marah kepadanya. Dengan demikian, maka perhatiannya terhadap Pandan Wangi akan berkurang. Kecuali itu, kalau ia berhasil membakar hatinya, maka Ki Peda Sura akan dikuasai oleh kemarahannya, sehingga akalnya menjadi tersaput oleh perasaannya. Dengan demikian ia mengharap, bahwa di dalam olah senjata pun Peda Sura akan menjadi terlampau terburu oleh nafsunya.

Tetapi ternyata Peda Sura tidak berbuat demikian. Meskipun ia dibakar oleh kemarahan yang hampir tidak tertahankan, namun ia tidak mau kehilangan akal. Ia masih tetap dalam keadaannya. Senjatanya masih tetap berbahaya. Menyambar-nyambar seperti sepasang burung elang di udara.

“Pergilah,” desis Gupita, “cepat. Sebentar lagi pasukan Sidanti juga akan datang.”

Tetapi Pandan Wangi masih berdiri di tempatnya. Ia tidak sampai hati untuk meninggalkan Gupita bertempur seorang diri. Apalagi gembala itu masih belum mempergunakan senjata apapun. Ia masih saja berloncat-loncatan menghindari serangan Peda Sura yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.

Akhirnya Gupita pun harus mengakui, bahwa Ki Peda Sura adalah salah seorang yang tidak dapat diremehkan. Ilmunya cukup tinggi, ditambah dengan pengalamannya yang cukup tersimpan di perbendaharaan hatinya. Dengan tajamnya ia mengamati kelemahan-kelemahan Gupita yang masih saja mencoba menghindari serangan-serangan yang semakin lama menjadi sedahsyat badai mangsa kesanga.

Namun tiba-tiba Gupita mengambil sesuatu dari bawah bajunya. Seolah-olah ia sedang mengurai ikat pinggangnya. Tetapi kemudian ternyata bahwa ia sedang mengurai senjatanya. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang dan bertangkai pendek.

“Hem,” Peda Sura menggeram, “itukah senjatamu?”

“Ya. Sudah aku katakan. Aku baru saja menggembalakan kambingku.”

Serangan Peda Sura semakin lama menjadi semakin dahsyat Namun kini di antara suara teriakannya yang melengking-lengking, terdengar ledakan cambuk Gupita. Ternyata bahwa cambuk itu mampu melawannya dengan dahsyatnya pula, sedahsyat senjatanya yang mengerikan.

“Setan,” Peda Sura mengumpat. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa di medan pertempuran ini akan muncul seorang gembala yang memiliki kemampuan sedemikian tingginya. Meskipun Peda Sura masih mempercayai dirinya sendiri, bahwa Gupita tidak akan dapat mengalahkannya, namun untuk memenangkannya pun bukan suatu pekerjaan yang dapat segera diselesaikan. Bahkan dengan ragu-ragu ia bertanya kepada diri sendiri, “Setan manakah yang dengan tiba-tiba saja mengganggu rencanaku ini? Dan apakah aku akan dapat menguasainya dalam waktu yang singkat?”

Yang terjadi kemudian memang membuat Ki Peda Sura semakin cemas. Ternyata bahwa gembala itu semakin lama menjadi semakin tangkas. Cambuknya meledak-ledak memekakkan telinga, dan bahkan ujungnya sekali-sekali telah menyentuh pakaiannya.

Tanpa disengaja, Peda Sura mencoba memandangi orang-orang yang sedang bertempur di kejauhan. Semakin lama semakin kabur. Bahkan sebagian dari mereka telah menghilang masuk ke dalam padukuhan kecil yang kehitam-hitaman.

Serangan Gupita semakin lama menjadi semakin sengit. Tenaganya yang masih segar telah membantunya. Ki Peda Sura yang baru saja bertempur di dalam perang brubuh, kemudian berkelahi seorang lawan seorang dengan Pandan Wangi, telah memeras sebagian dari tenaganya. Ia merasa terlampau tegang, karena ia ingin mengalahkan Pandan Wangi tanpa melukainya. Dan kini ketegangan itu memuncak, karena tiba-tiba ia telah di hadapkan kepada seorang lawan yang tidak disangka-sangka.

Tetapi pengalamannya segera menempatkannya ke dalam keadaan yang semakin baik. Lambat laun ia dapat melihat cara lawannya bertempur. Lambat laun ia berhasil mengerti, di manakah kelemahan-kelamahan Gupita yang garang itu, sehingga dengan demikian, maka ia masih tetap mampu menguasai keseimbangan.

Gupitapun akhirnya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat menguasai lawannya betapapun ia berusaha. Yang dapat dilakukan adalah mempergunakan kesegarannya untuk memeras tenaga orang tua itu. Tetapi sementara itu, Pandan Wangi harus diselamatkan.

Maka sekali lagi berteriak, “Pandan Wangi. Kenapa kau berdiri saja mematung. Kau harus segera meninggalkan tempat ini. Lihat, kedua pasukan itu telah menghilang di balik dedaunan di padesan sebelah. Sebentar lagi pasukan Menoreh akan lolos, dan orang-orang yang liar itu akan kembali kemari. Kau akan kehilangan kesempatan lagi untuk kedua kalinya.”

Pandan Wangi seolah-olah tersadar dari sebuah mimpi yang buruk. Tanpa sengaja ia berpaling memandang ke arah pasukan Menoreh yang menyelinap ke dalam padesan.

Dan sebenarnyalah, bahwa mereka sudah tidak tampak lagi. Dalam keremangan cahaya bulan bulat di langit, Pandan Wangi masih sempat melihat beberapa buah bayangan yang lamat-lamat menghilang ke dalam hijaunya dedaunan padesan, yang di malam hari tampak menjadi kehitam-hitaman.

“Nah, cepat. Lakukanlah,” teriak Gupita.

Pandan Wangi masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia menyadari kini, betapa bahaya akan mengancamnya lagi, apabila orang-orang itu nanti kembali. Namun apakah ia akan meninggalkan Gupita itu bertempur seorang diri? Padahal Pandan Wangi yang sudah memiliki ketajaman penglihatan untuk menilai perkelahian itu, menganggap bahwa Gupita tidak berada di atas kemampuan Ki Peda Sura?

Dengan demikian Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Dan ia mendengar suara Gupita, “Cepat Pandan Wangi. Cepatlah sedikit.”

Yang terdengar adalah geram dan gemeretak gigi Peda Sura, ia tidak dapat menganggap lawannya kali ini sebagai kawan berkejar-kejaran. Serangan cambuk Gupita ternyata terlampau berbahaya, meskipun tidak berhasil menguasainya.

Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Ia sadar, bahwa ia harus pergi. Tetapi ia mengetahui, bahwa Gupita tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Karena itu, maka ia tidak segera dapat mengambil keputusan.

Dalam pada itu Ki Peda Sura yang sedang dibakar oleh kemarahan yang semakin memuncak, segera mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia tidak ragu-ragu seperti pada saat ia bertempur melawan Pandan Wangi. Kali ini ia tidak sayang sama sekali, apabila kulit Gupita tersentuh senjata dan tulang-tulangnya dipecahkannya. Dengan demikian maka serangan-serangannya pun semakin lama menjadi semakin garang. Untunglah, bahwa Gupita masih cukup segar untuk melayaninya. Tenaganya masih utuh, sehingga kelincahannya masih mampu mengimbangi serangan-serangan lawannya yang dahsyat, sedahsyat banjir bandang.

Namun dalam pada itu, semakin nyata bagi Pandan Wangi, bahwa Gupita pun tidak akan mampu mengalahkan orang tua itu.

Dengan demikian tiba-tiba Pandan Wangi mengambil suatu keputusan lain. Tiba-tiba ia melangkah kembali mendekati lingkaran pertempuran. Pedangnya kemudian disilangkannya di dadanya. Sambil melangkah semakin dekat ia berkata, “Aku berkelahi di pihakmu Gupita.”

“Jangan,” sahut Gupita, “tinggalkan saja tempat ini.”

”Kau dalam kesulitan. Aku tahu, dan kau jangan mengorbankan dirimu.”

“Persetan,” yang terdengai adalah suara Ki Peda Sura, “kalian adalah anak-anak yang paling bodoh.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tiba-tiba pedangnya bergetar. Kedua ujungnya kini telah merunduk setinggi dada, meskipun masih tetap bersilang.

Ki Peda Sura melihat sikap itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa seorang-seorang, anak-anak itu tidak akan dapat mengalahkannya. Tetapi kalau mereka berkelahi bersama-sama, maka akibatnya akan berbeda.

Gupita yang melihat sikap itupun menjadi cemas. Terbata-bata ia bertanya, “Pandan Wangi, apa yang akan kau kerjakan?”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia menarik sebelah kakinya sambil merendahkan lututnya. Kini satu tangannya terentang dan yang lain bersilang di dadanya, menggenggam pedangnya tegak lurus di muka wajahnya.

Dada Gupita menjadi berdebar-debar. Sikap itu benar-benar meyakinkan, dan dengan demikian maka Gupita pun menjadi semakin mengaguminya. Gadis ini memang luar biasa. Kalau kelak ia menemukan kematangan bagi ilmunya itu, maka ia akan menjadi seorang gadis yang pilih tanding. Seorang gadis yang tidak memerlukannya lagi untuk membantu melawan Ki Peda Sura.

Peda Sura yang melihat sikap itupun menjadi semakin berdebar-debar. Namun dengan demikian, kemarahannya menjadi semakin mencengkam kepalanya. Serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat dan buas. Sebuas harimau kelaparan melihat mangsanya.

Sejenak kemudian terdengar desis tajam. Bersamaan dengan itu, pedang Pandan Wangi pun bergetar. Dengan lincahnya ia meloncat semakin dekat, dan langsung menyerang Ki Peda Sura dengan sepasang pedangnya.

Segera Ki Peda Sura merasakan kesulitan untuk melawan keduanya. Karena Pandan Wangi benar-benar tidak bersedia meninggalkan perkelahian itu, dan bahkan sudah memulainya, maka Gupita harus segera menyesuaikan diri. Perkelahian itu harus segera selesai, supaya Pandan Wangi mendapat kesempatan untuk menyingkir.

Agaknya Pandan Wangi pun mempunyai perhitungan yang serupa. Karena itulah, maka serangan kedua anak-anak muda itu segera membadai. Sepasang pedang Pandan Wangi menari-nari mengitari tubuh Ki Peda Sura dari segala arah, mematuk-matuk seperti sepasang paruh garuda. Sedang cambuk Gupita menyambar-nyambar seperti petir dilangit. Meledak-ledak memekakkan telinga.

Ki Peda Sura segera merasakan, bahwa tenaganya yang telah mulai lelah itu tidak akan mampu melawan keduanya dalam gabungan kekuatan. Gupita sendiri pun tidak segera dapat dikalahkan, sedang Pandan Wangi seorang diri cukup berbahaya baginya. Apalagi kini mereka bergabung menjadi suatu kekuatan yang melandanya seperti ombak di lautan didorong badai yang dahsyat.

Segera Ki Peda Sura terdesak mundur. Beberapa kali ia terpaksa meloncat menjauh. Namun setiap kali kedua anak-anak muda itu memburunya tanpa memberinya kesempatan.

Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Peda Sura merasa perlu untuk membuat keseimbangan. Tidak terlampau jauh dari arena itu, orang-orangnya sedang mengejar orang-orang Menoreh, sehingga satu dua orang di antara mereka pasti akan segera dapat ditarik untuk membantunya menghadapi kedua anak-anak muda yang mengagumkan ini.

Sejenak kemudian, maka Ki Peda Sura tidak merasa segan lagi untuk berbuat demikian. Segera terdengarlah suitan nyaring yang keras sekali memanjang membelah sepinya malam. Itu adalah pertanda, bahwa Ki Peda Sura yang tua dan garang itu memerlukan bantuan untuk keselamatannya.

Ternyata suitan itu telah menggetarkan dada Gupita dan Pandan Wangi. Mereka segera menyadari arti dari panggilan itu bagi diri mereka.

Tetapi mereka tidak lagi dapat surut. Perkelahian itu sudah berlangsung dengan sengitnya. Baik Pandan Wangi maupun Gupita telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Namun bagaimanakah nasib mereka, apabila orang-orang Ki Peda Sura itu kemudian berlari-larian datang membantunya?

Yang terpikir oleh Gupita kemudian adalah menyelesaikan pertempuran itu secepat-cepatnya, lalu secepat-cepatnya pula menyingkir.

Karena itu, maka begitu suitan Peda Sura lenyap dari udara, serangannya pun kian menggila. Cambuknya meledak tidak putus-putusnya. Diperasnya segenap kemampuan yang ada padanya. Kelincahan, ketangkasan dan terutama kesegaran tenaganya. Ia ingin berkelahi untuk waktu yang singkat sehingga ia tidak perlu lagi menghemat tenaganya.

Agaknya Pandan Wangi pun memaklumi sikap itu. Maka dilimpahkannya semua sisa tenaganya dengan mempercepat setiap gerakan. Kedua ujung pedangnya menjadi semakin cepat meluncur mematuk dari segala arah.

Serangan-serangan yang demikian agaknya kurang diperhitungkan oleh Ki Peda Sura. Ia tidak bersiap untuk menerima pengerahan segenap kemampuan kedua anak-anak muda itu bersama-sama. Ledakan-ledakan cambuk yang menjadi semakin dahsyat dan gerakan kedua ujung pedang itu membuatnya agak gugup.

Kesempatan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Gupita. Sebelum Ki Peda Sura yang menyimpan berbagai pengalaman di dalam dirinya itu menyadari keadaannya dan mencoba memperbaiki kedudukannya, maka Gupita telah memperketat serangannya dengan memeras kemungkinan yang ada padanya. Ujung cambuknya tiba-tiba berhasil menyambar pundak orang tua itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata ujung cambuk itu bukan sekedar ujung dari janget rangkap tiga berganda. Tetapi ujung cambuk itu ternyata dilingkar oleh kepingan-kepingan baja yang tipis, sehingga sentuhan itu benar-benar telah mengelupas kulit Ki Peda Sura.

“Anak setan,” ia mengumpat. Kalau sentuhan-sentuhan yang terdahulu hanya menyentuh pakaiannya. dan tidak menumbuhkan persoalan apapun, maka kini terasa pundaknya sangat pedih.

Dengan demikian, maka kemarahan Ki Peda Sura menjadi semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi ternyata ia tidak kehilangan akal. Ia masih tetap berkelahi dengan hati-hati. Dan ia masih tetap sadar, bahwa ia berada dalam bahaya. Dengan demikian, maka sekali lagi terdengar mulutnya bersuit keras sekali memanjang, menyelusur dinginnya malam yang terasa bagi mereka terlampau panas.

Gupita menggeretakkan giginya. Ia pun menyadari keadaannya dan keadaan Pandan Wangi. Arti suitan itu bagi mereka, adalah serupa dengan tanda bahaya yang untuk kedua kalinya memberi peringatan kepada mereka.

Dengan demikian, Gupita menjadi semakin cepat bergerak. Ia mencoba mengisi kekosongan pada setiap serangan Pandan Wangi. Ketika Peda Sura sedang menghindari ujung pedang yang menyentuh lengannya, maka sekali lagi ia terpekik. Kali ini lebih keras. Ternyata ujung cambuk Gupita sekali lagi mengenainya. Justru kali ini menyentuh keningnya.

Sebuah goresan yang merah telah menyobek kulit di kening orang itu. Darah yang merah segera meleleh di pipinya, yang telah basah oleh keringat.

Sekali lagi orang itu mengumpat lebih kasar lagi. Dengan tergesa-gesa ia meloncat jauh-jauh surut. Dengan lengan bajunya ia mengusap darah yang menitik di wajahnya itu sambil sekali lagi bersuit nyaring.

Namun kali ini kecepatan bergerak Pandan Wangi tidak mampu lagi dihindarinya. Dalam keadaan yang sulit itu, terasa sesuatu menyengat lengannya. Ketika sekali lagi ia meloncat jauh-jauh, maka dari lengannya itupun mengalir darah. Agaknya Pandan Wangi telah berhasil menyobek kulitnya dengan ujung pedangnya.

Ki Peda Sura menjadi kian sulit karenanya. Gerakan kedua lawannya yang masih muda-muda itu ternyata terlampau berat untuk diimbangi. Namun sampai begitu jauh, ia masih tidak kehilangan akal. Ia masih dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mampu menyelamatkannya.

Ternyata Ki Peda Sura kemudian tidak berusaha untuk melawan kedua anak muda itu lagi. Tetapi segera ia meloncat meninggalkan mereka dan berusaha bergeser ke arah orang-orangnya yang sedang mengejar pasukan Menoreh.

Semula Pandan Wangi dan Gupita masih ingin mengejarnya. Tetapi tiba-tiba mata Gupita yang tajam melihat di dalam cerahnya cahaya bulan, beberapa buah bayangan bergerak-gerak dari padesan di hadapan mereka. Segera ia menyadari keadaan yang menjadi semakin gawat. Yang datang itu pastilah orang-orang Ki Peda Sura yang mendengar suitan sampai merambah tiga kali.

“Berhentilah Pandan Wangi,” desis Gupita kemudian, “lihat, beberapa orang mendatangi. Kita harus segera pergi.”

Pandan Wangi pun akhirnya melihat mereka pula. Karena itu, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Lalu apakah yang harus kita kerjakan?”

“Lari,” jawab Gupita.

Jawaban itu terdengar aneh ditelinga Pandan Wangi. Lalu apakah ia harus lari dari arena? Namun yang diucapkannya adalah suatu pertanyaan, “Apakah kita biarkan Peda Sura menyelamatkan dirinya?”

“Kita tidak perlu membunuh. Kalau kita dicengkam oleh nafsu membunuh, maka kita akan kehilangan perhitungan. Kita sudah melumpuhkannya. Itulah yang penting. Bukan membunuh. Sekarang kita harus lari, eh, kalau kau tidak mau mempergunakan istilah itu, kita harus menyingkir. Cepat.”

Karena Pandan Wangi masih ragu-ragu, tiba-tiba tangan Gupita menyambar pergelangan tangannya yang masih menggenggam pedang dan menariknya berlari meninggalkan arena itu.

“Cepat, mereka telah melihat kita.”

Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian berlari kencang-kencang sedapat dilakukan, ditarik oleh Gupita sambil berkata, “Kita harus menghindar.”

“Ya,” jawab Pandan Wangi tanpa sesadarnya. Tetapi ia masih berusaha berpaling melihat apa yang terjadi kemudian dengan Ki Peda Sura.

Dan apa yang dilihatnya benar telah mendebarkan jantungnya sehingga langkahnya pun menjadi agak tertahan. Bahkan tanpa sesadarnya ia menarik tangannya sambil berkata, ”Lihat.”

Gupita kemudian berpaling. Tetapi tangan Pandan Wangi tidak dilepaskannya.

Seperti Pandan Wangi, jantungnya pun berdebar-debar pula ketika ia melihat Ki Peda Sura terhuyung-huyung. Kemudian orang tua itu terjatuh di tanah. Orang-orang yang berlari-larian dari padesan di sebelah, segera mengerumuninya. Beberapa orang di antara mereka akan berusaha untuk berlari terus mengejar Gupita dan Pandan Wangi. Namun dengan keheran-heranan Pandan Wangi dan Gupita melihat mereka terhenti dan kembali mengitari Ki Peda Sura yang terbaring.

Pandan Wangi dan Gupita tidak mendengar apa yang mereka percakapkan, sehingga karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun dengan tergesa-gesa meneruskan langkah mereka.

“Marilah, sebelum terlambat,” ajak Gupita sambil menarik tangan Pandan Wangi.

Pandan Wangi tidak menolak. Tertatih-tatih ia berlari di atas sawah yang becek. Berkali-kali mereka meloncati pematang dan parit yang mengalirkan air yang jernih bening.

“Mereka tidak mengejar kita lagi,” desis Pandan Wangi.

“Belum tentu. Mungkin mereka sedang menerima pesan-pesan dari Ki Peda Sura. Kita harus menjauh sejauh-jauhnya. Kau harus segera sampai kepada pasukanmu, supaya kau dapat berlindung kepada mereka.”

“Akulah yang harus melindungi mereka,” jawab Pandan Wangi sambil terengah-engah.

“Timbal balik. Jangan kau ulangi sikapmu yang berbahaya. Kau tidak perlu berbuat demikian. Kau dapat mundur bersama-sama dengan pasukanmu tanpa mengorbankan dirimu.”

“Tidak mungkin. Kau tidak melihat medan waktu itu, sehingga kau dapat berkata begitu.”

Gupita tidak menjawab, tetapi ia masih saja menarik tangan Pandan Wangi, “Cepatlah sedikit.”

Pandan Wangi berusaha untuk mempercepat langkahnya. Ketika ia berpaling, maka bayangan orang-orang yang mengerumuni Ki Peda Sura sudah tidak begitu jelas lagi.

“Kita sudah jauh,” berkata Pandan Wangi.

“Kita masih berada di daerah berbahaya. Kita harus menyelusur parit di depan kita, kemudian menyilang jalan. Kita masih harus melintasi bulak kecil itu lagi untuk mencapai padesan.”

“Kita justru menjauhi padesan itu,” sahut Pandan Wangi.

“Kita berjalan melingkar, supaya arah kita tidak segera terpotong.”

“Orang-orang itu mungkin akan memotong arah kita.”

“Karena itu kita harus cepat.”

Mereka mencoba mempercepat langkah mereka. Tetapi Pandan Wangi agaknya sudah mulai lelah setelah ia bertempur memeras tenaganya melawan Ki Peda Sura. Karena itu, maka langkahnya pun menjadi semakin lambat, “Aku lelah sekali,” desisnya.

“Jangan,” sahut Gupita, “kau bagi Tanah Perdikan Menoreh adalah seorang prajurit. Kini kau berada di medan kewajibanmu. Atasilah perasaan lelahmu. Kau harus melatih mengatur pernafasan dan melepaskan tenagamu sesuai dengas kebutuhan.”

“Aku tahu. Tetapi tenagaku terbatas. Suatu saat kita akan sampai ke puncak kemampuan. Dan aku sudah lelah.”

Gupita tidak dapat memaksa Pandan Wangi berlari terus. Kini mereka memperlambat langkah mereka. Meskipun demikian, mereka masih juga berloncat-loncatan di atas pematang.

Namun hati mereka menjadi agak tenang, ketika sekali lagi mereka berpaling dan tidak seorang pun yang mengejar.

Sebenarnya, bahwa orang-orang yang akan mencoba mengejar kedua anak-anak muda itu telah ditahan oleh Ki Peda Sura yang terbaring di tanah karena luka-lukanya yang ternyata cukup parah. Perlawanan yang demikian sama sekali tidak disangka-sangkanya. Kedua anak-anak muda itu ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa.

“Kalau mereka kelak berhasil menguasai ilmu mereka dengan baik, maka mereka akan menjadi orang-orang yang luar biasa. Mereka akan mampu menyamai Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura kepada orang-orangnya, “karena itu, jangan kau kejar mereka, kalau jumlah kalian tidak mencapai sepuluh orang.”

“Kami tidak tahu kalau kami harus berhadapan dengan orang-orang semacam mereka. Sebaiknya kita panggil beberapa kawan lagi. Pertempuran di padesan itu sudah hampir selesai. Orang-orang Menoreh terus menerus menarik dirinya, dan mungkin mereka akan melarikan diri keluar padesan itu bergabung dengan kawan-kawan mereka yang lain.”

“Jangan dikejar juga mereka. Kalian akan terjebak.”

“Ya. Kami sudah menyadari. Kami tidak akan mengejar mereka keluar padukuhan kecil itu.”

“Kita selesai sampai di sini.”

“Lalu, bagaimana dengan Kiai?” bertanya salah seorang anak buahnya.

“Anak-anak setan itu berhasil melukaiku. Aku terlampau letih oleh darah yang keluar dari tubuhku. Bawalah aku menyingkir. Di kantong ikat pinggangku ada semacam obat yang dapat menahan arus darah. Taburkan itu di lukaku. Mudah-mudahan dapat mengurangi keparahan luka itu.”

Beberapa orang berusaha untuk menolong Ki Peda Sura. Yang lain mengambil obat di kantong ikat pinggangnya dan menaburkan di atas luka yang masih mengalirkan darah. Namun agaknya obat itupun bermanfaat pula. Arus darah dari luka itupun berangsur berkurang.

“Kalau Sidanti sudah selesai, ia pasti akan mengirimkan beberapa orang kemari. Tetapi di sini pun kita sudah selesai,” gumam Peda Sura kemudian.

“Bagaimana dengan kedua orang yang melarikan diri itu?”

“Mereka kita lepaskan kali ini. Kini mereka pasti sudah terlampau jauh.”

Saat itu, Pandan Wangi dan Gupita memang sudah agak jauh dari mereka. Tetapi keduanya masih belum bergabung dengan pasukan Menoreh yang sedang menarik diri.

Pandan Wangi yang kelelahan, agaknya benar-benar sudah segan untuk berlari. Satu-satu ia melangkah dengan nafas terengah-engah. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa tidak seorang pun lagi yang mengejarnya. Bahkan Ki Peda Sura agaknya sudah tidak berdaya lagi.

“Aku tidak dapat berlari lagi,” desisnya.

“Tetapi kau belum berada di tengah-tengah pasukanmu,” sahut Gupita.

“Bahaya sudah tidak terlampau besar lagi kini.”

“Memang bagi kita. Tetapi bagaimana dengan pasukanmu?”

Pertanyaan itu menyentuh dada Pandan Wangi. Pasukan Menoreh itu berada di bawah tanggung jawabnya. Karena itu, maka tiba-tiba ia menggeram, “Ya, aku harus segera berada di antara mereka. Bukan untuk berlindung, tetapi aku harus bertanggung jawab atas semua persoalan yang terjadi.”

Gupita tidak menjawab. Tetapi ia melihat nafas Pandan Wangi seakan-akan hampir putus di kerongkongannya. Maka tanpa sesadarnya ia berkata, “Tetapi kalau kau memang terlampau lelah, beristirahatlah sejenak.”

Pandan Wangi mengangguk.

“Pasukanmu pasti dapat menyelamatkan diri. Orang-orang Peda Sura sudah tidak bernafsu lagi untuk mengejar, sebab mereka pun pasti akan ragu-ragu, bahwa suatu ketika mereka akan terjebak ke dalam perangkap yang dapat menghancurkan mereka.”

Pandan Wangi mengangguk.

”Nah, duduklah. Dan sarungkan pedangmu.”

Seperti digerakkan oleh tenaga yang ajaib, Pandan Wangi menyarungkan sepasang pedangnya. Kemudian duduk beristirahat di atas pematang yang ditumbuhi rumput liar.

“Kau dapat sekedar melepaskan lelahmu. Kita memang sudah terlepas dari bahaya yang mengerikan. Tetapi belum berarti bahwa kita boleh berlengah-lengah di sini.”

“Aku menyadari,” jawab Pandan Wangi, ”aku hanya akan sekedar menenangkan diri supaya nafasku tidak terputus di tengah jalan.”

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia duduk di samping Pandan Wangi, bersandar pada sepasang tangannya. Serulingnya terselip pada ikat pinggangnya dan cambuknya melingkar di lehernya.

Angin malam yang segar telah berhembus mengusap tubuh mereka. Terasa seolah-olah nafas mereka dijalari oleh getaran-getaran yang sejuk. Perlahan-lahan dada mereka menjadi tenang, dan nafas mereka tidak lagi berkejaran lewat lubang hidung mereka. Terutama Pandan Wangi yang kelelahan itu.

Kedua anak muda itu sejenak saling berdiam diri. Mereka masing-masing terbenam di dalam angan-angan sendiri. Bayangan yang bermacam-macam bentuk dan corak telah hilir mudik di rongga mata mereka. Pertempuran yang baru saja terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeret mereka ke dalam keadaan yang tidak terduga-duga. Terasa bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi meremang, jika dibayangkannya apa yang dapat terjadi atas dirinya, apabila ia tertangkap oleh Ki Peda Sura dan orang-orangnya yang buas dan liar itu.

Ketika perasaan lelahnya sudah berkurang, tiba-tiba Pandan Wangi menyadari, bahwa sebenarnya anak muda yang duduk di sampingnya itu masih terlampau asing baginya, sehingga tiba-tiba saja ia bertanya, ”Siapakah sebenarnya kau?”

Gupita terkejut mendengar pertanyaan itu. Kini ia duduk tegak sambil memandangi Pandan Wangi dengan sorot mata yang keheran-heranan, “Kenapa kau bertanya demikian? Bukankah kau sudah mengenal aku, bahwa aku adalah seorang gembala yang bernama Gupita?”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menyahut, “Aku merasa aneh, bahwa di Menoreh ada seorang gembala yang bernama Gupita, dan mampu mengimbangi seorang yang bernama Ki Peda Sura.”

“Apa salahnya? Bukankah lebih aneh lagi, bahwa ada seorang gadis yang membawa pedang rangkap di lambungnya?”

“Tetapi aku tidak menyembunyikan diriku dengan segala macam rahasia dan teka-teki. Aku adalah Pandan Wangi, puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Dalam keadaan apapun, aku adalah Pandan Wangi.”

“Lalu apa sangkamu tentang aku?” bertanya Gupita, ”aku adalah seorang gembala. Dalam segala keadaan. Tetapi sudah tentu di dalam peperangan aku tidak menggembalakan kambing-kambingku. Namaku Gupita, juga dalam segala keadaan. Kalau kau tidak percaya, marilah datang ke rumahku. Kau akan berkenalan dengan ayah dan adikku. Adikku juga seorang gembala. Kau akan tertawa melihatnya. Tubuhnya gemuk bulat. Namun ia seorang periang yang paling banyak tertawa di dunia ini.”

Pandan Wangi ragu-ragu mendengar pengakuan Gupita itu. Dengan penuh pertanyaan dipandanginya wajah Gupita. Wajah yang memiliki daya yang aneh terpancar dari sepasang matanya. Dalam keremangan cahaya bulan, Pandan Wangi melihat sesuatu yang lain di wajah itu. Jauh berbeda dari wajah seorang gembala.

Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi menyadari dirinya, ia adalah seorang gadis. Meskipun kini ia membawa sepasang pedang di lambungnya, tetapi ia tetap seorang gadis dan anak muda yang ada di sampingnya itu adalah orang yang belum terlampau banyak diketahuinya. Karena itu, maka ketika anak muda itupun memandanginya, dan pandangan mereka berbenturan, terasa seolah-olah jantungnya terbanting di atas batu pualam. Pecah berkeping-keping.

Pandan Wangi segera menundukkan kepalanya. Keringat yang dingin mengalir memenuhi pakaiannya yang memang sudah basah oleh keringat. Terasa tangannya menjadi dingin dan wajahnya dirambati oleh arus darahnya yang hangat.

Untuk beberapa saat, Pandan Wangi tertunduk diam. Dengan jari-jarinya yang lentik, ia bermain-main ujung rerumputan yang telah basah oleh embun yang turun dari langit.

Gupita melihat perubahan sikap Pandan Wangi. Justru karena itu, maka tumbuhlah sifat dan watak yang sudah terpateri di dalam dirinya. Tiba-tiba saja iapun menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Seolah-olah ia terlempar ke dalam dunianya sendiri. Bukan lagi seorang gembala yang bernama Gupita. Muncullah watak dan kediriannya, seorang anak muda pemalu dan dibayangi oleh keragu-raguan.

Beberapa saat sebelumnya ia telah membuat dirinya menjadi seorang gembala periang, yang agak sombong. Seorang yang menganggap setiap persoalan itu bukan masalah yang harus ditekuni. Ia telah mencoba belajar dan melakukannya seperti yang dilihatnya pada adik seperguruannya. Terhadap Ki Peda Sura, Pandan Wangi sebagai seorang anak Kepala Tanah Perdikan, kepada Samekta dan orang-orang yang baru itu, agaknya ia berhasil menirukan sikap dan tabiat adik seperguruannya, tetapi ketika tiba-tiba ia di hadapkan pada Pandan Wangi sebagai seorang gadis, maka tiba-tiba jantungnya serasa membeku.

Dengan demikian, maka sejenak mereka saling berdiam diri. Desir angin malam seolah-olah berbisik di telinga mereka. Tetapi gejolak di dalam diri mereka telah menenggelamkan segala perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka.

Namun tiba-tiba, Gupita yang ingin mengurangi ketegangan di dalam dadanya itu, mengangkat wajahnya. Serasa darahnya berhenti mengalir, ketika ia melihat iring-iringan yang berjalan ke arah mereka.

“Tidak ada kesempatan untuk lari lagi,” desisnya.

Pandan Wangi yang mendengar desis itupun segera mengangkat wajahnya meraba hutu pedangnya.

“Mereka pergi kemari.”

Tetapi Gupita menggeleng, “Tidak. Mereka tidak menuju kemari. Mereka adalah pasukan Ki Peda Sura yang ingin mengundurkan dirinya masuk kepadukuhan induk setelah mereka melepaskan pasukanmu.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ia membenarkan kata-kata Gupita itu, karena beberapa puluh langkah di samping iring-iringan itu, terdapat iring-iringan yang lain pula. Agaknya mereka terbagi menjadi dua kelompok untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya bagi mereka.

Tetapi sekelempok di antara mereka berjalan kearah kedua anak-anak muda yang sedang duduk di pematang itu. Semakin lama semakin dekat, sehingga mereka tidak akan dapat tinggal diam duduk di pematang itu.

“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Pandan Wangi.

“Bersembunyi.”

“Kenapa bersembunyi?”

“Lalu, kau mau apa?”

“Kita melawan sambil menghindar.”

Gupita tidak menjawab lagi. Iring-iringan itu semakin dekat. Kalau mereka masih saja berbantah, maka salah seorang dari mereka pasti akan segera melihat. Karena itu maka tiba-tiba saja ia mendorong tubuh Pandan Wangi sehingga gadis itu terguling di atas tanah yang becek.

“Jangan berbicara lagi,” bisik Gupita, “kita bersembunyi di sela-sela tanaman di sawah ini. Kau harus diam dan mencoba menguasai pernafasanmu.”

Pandan Wangi masih akan menjawab, tetapi Gupita yang telah berguling di sampingnya segera mendorongnya, “Masuk lebih dalam lagi.”

Pandan Wangi tidak membantah lagi. Ia pun kemudian merangkak masuk ke dalam rimbunnya tanaman di sawah yang becek. Di belakangnya Gupita pun merangkak dengan hati-hati sambil sekali-sekali mengangkat kepalanya untuk melihat iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin dekat.

Tetapi ternyata mereka tidak tepat mengambil arah tempat kedua anak-anak muda itu bersembunyi. Mereka akan lewat beberapa langkah daripadanya. Dalam keremangan cahaya bulan, Gupita dapat melihat, bahwa beberapa orang di antara mereka sedang mengangkat sesosok tubuh di atas pundak mereka.

“Ki Peda Sura,” gumam Gupita perlahan-lahan.

Pandan Wangi yang mendengarnya, segera berusaha melihat dari sela-sela ujung daun-daun yang rimbun. Ia pun melihat pula, bahwa agaknya Ki Peda Sura tidak mampu untuk berjalan sendiri, sehingga harus diangkat oleh orang-orangnya.

Tetapi belum lagi debar di dalam dada kedua anak-anak muda itu reda, mereka melihal iring-iringan dari arah yang lain. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat kedua iring-iringan dari arah yang berlawanan itu semakin mendekat. Namun agaknya mereka telah memiliki tanda-tanda yang khusus, sehingga mereka segera mengetahui, bahwa yang mereka jumpai sama sekali bukan lawan mereka.

Gupita dan Pandan Wangi terpaksa menahan nafas mereka, supaya desahnya tidak terdengar. Tidak terlampau jauh dari kedua anak-anak muda itu, kedua pasukan yang datang dari arah yang berlawanan itu bertemu.

“Kenapa kalian tidak menunggu kami?” bertanya pemimpin pasukan yang baru datang.

“Pekerjaan kami telah selesai,” jawab salah seorang dari pasukan Ki Peda Sura.

“Apakah kalian berhasil membinasakan orang-orang Menoreh yang bodoh itu?”

“Sebagian, yang lain melarikan diri.”

Pimpinan pasukan yang baru datang itu berdiam diri sejenak. Namun dari antara mereka, seorang anak yang masih terlampau muda, mendesak maju sambil bertanya, “Bagaimana dengan Kakak Pandan Wangi?”

Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian terdengar desis yang lambat, “Pandan Wangi adalah seorang gadis yang perkasa. Ia selamat.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Pemimpin pasukan yang baru datang itupun bertanya, “Siapa yang terluka itu?”

“Ki Peda Sura.”

“He. Ki Peda Sura terluka?”

“Ya.”

“Siapa yang melukainya?”

Yang terdengar adalah suara Ki Peda Sura lambat, hampir tidak terdengar, apalagi dari tempat Gupita dan Pandan Wangi bersembunyi, “Pandan Wangi. Pandan Wangi-lah yang telah melukai aku.”

“Terkutuklah anak itu,” terdengar pemimpin pasukan yang baru datang itu menggeram. Tetapi tanpa disangka-sangka, anak muda yang berada di antara mereka menyahut, “Adalah wajar sekali, bahwa di dalam pertempuran seorang melukai orang yang lain, yang berada di pihak yang berlawanan.”

“Persetan,” pemimpin pasukan itu menggeram, ”tetapi Pandan Wangi telah berbuat kesalahan besar. Ia terlampau menyombongkan dirinya, sehingga ia berani melukai Ki Peda Sura.”

Pandan Wangi dan Gupita mendengarkan percakapan itu dengan hati yang berdebar-debar. Kalau pemimpin pasukan yang baru itu tidak dapat mengendalikan dirinya, dan beberapa orang dan pasukan Ki Peda Sura menunjukkan arah larinya, maka tidak mustahil mereka akan mencoba mencarinya.

Tetapi tidak terduga-duga, anak muda yang berada di dalam pasukan itu menyahut, “Itu bukan suatu kesombongan, tetapi suatu kebanggaan. Apakah kau juga menyombongkan dirimu setiap kali membunuh atau melukai lawan?”

“Tetapi tidak seorang yang memiliki ilmu setinggi Ki Peda Sura.”

“Itu adalah salah Ki Peda Sura, kenapa ia memberi kesempatan kepada lawannya sehingga melukainya. Kalau ia memang berilmu tinggi, dan mempunyai kelebihan dari lawannya, namun ia dapat juga dilukai oleh lawannya yang sekedar menyombongkan dirinya, itu adalah salahnya.”

Agaknya pemimpin pasukan itu menjadi marah. Dengan garang ia berkata, “Aku akan mencari Pandan Wangi sampai ketemu. Aku sendiri akan membunuhnya.”

“Huh,” anak yang masih terlampau muda itu memotong, “kaulah yang terlampau sombong. Kakak Pandan Wangi dapat melukai Ki Peda Sura. Apalagi kau. Kepalamulah yang lebih dahulu dipenggalnya.”

“Persetan,” kemarahannya tiba-tiba memuncak, “kau mencoba mencegah aku, he?”

“Aku tidak mencegahmu, tetapi aku mengatakan kemungkinan yang paling dekat padamu.”

“Gila! Ternyata kau merupakan duri di dalam pasukan ini. Apakah kau yang lebih dahulu harus dibungkam.”

“Apa kau bilang!” tiba-tiba anak yang masih terlampau muda itu meloncat sambil menarik pedang dilambungnya, “ayo, lakukanlah!”

Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara Ki Peda Sura, “Anak itu benar. Jangan mencoba mencari Pandan Wangi. Ia terlampau perkasa. Biarlah ia pergi ke pasukannya. Mungkin akan datang suatu kesempatan bagimu, lusa atau kapan saja untuk menemuinya dan mencoba ketajaman sepasang pedangnya.”

Pemimpin pasukan itu menggeram sekali lagi. Dihentakkannya kakinya ke tanah. Katanya, “Lalu, apa yang akan kita lakukan?”

“Kembali ke induk pasukan,” desis Ki Peda Sura. “Beberapa orang pengawas dapat kalian tinggalkan di sini. Pengawas yang kuat dan cukup banyak. Seperti Argapati, kalian harus melengkapi pengawas-pengawas itu dengan tanda-tanda sandi dan beberapa ekor kuda.”

“Aku kecewa, bahwa aku tidak dapat bertemu dengan Pandan Wangi,” pemimpin pasukan yang baru itu masih saja bergumam.

”Tidak perlu sekarang,” suara Ki Peda Sura lambat, “sekarang kita kembali ke induk pasukan. Bukankah Sidanti telah berhasil menduduki padukuhan induk?”

Pemimpin pasukan itu terdiam sejenak. Dengan sudut matanya dipandanginya ujung pedang di tangan anak muda yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Kemudian katanya, “Baik. Kita akan kembali ke induk pasukan. Aku akan meninggalkan satu kelompok orang-orangku di sini.”

“Bagus,” desis Ki Peda Sura, “marilah, kita pergi.”

Pemimpin pasukan itu terdiam sejenak. Namun kemudian sambil menunjuk pedang anak muda di hadapannya ia berkata, “Kau jangan main-main dengan pedang anak manis. Kalau ayahmu mendengar perbuatanmu, kau akan dijantur di atas pohon sawo di halaman rumahmu.”

“Ayah akan membenarkan sikapku. Kalau kita tidak sependapat, maka pasti Ayah-lah yang bersalah dalam hal ini.”

Pemimpin pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, “Ayo, kita kembali. Jangan hiraukan anak gila itu.”

Pemimpin pasukan itu segera memerintahkan orang-orangnya kembali. Namun di antara mereka, sekelompok besar ditinggalkannya di padukuhan di hadapan mereka untuk mengawasi keadaan. Mereka telah meyakini, bahwa pasukan Menoreh telah mundur jauh-jauh, sehingga untuk waktu yang pendek tidak mungkin lagi akan kembali.

Sejenak kemudian pasukan-pasukan itupun telah bergerak meninggalkan tempat itu kembali ke padukuhan induk yang ternyata telah diduduki oleh Sidanti dan pasukannya.

Ketika mereka telah menjadi semakin jauh, maka Gupita pun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan mereka berdiri sambil menggeliat.

“Hem, keadaan telah menjadi semakin parah,” gumam Gupita, “tetapi siapakah anak muda itu. Anak muda yang mencarimu, dan membelamu dihadapan pemimpinnya?”

“Namanya Prastawa,” jawab Pandan Wangi, “ia adik sepupuku. Salah seorang putera Paman Argajaya.”

“Oh,” Gupita mengangguk-angguk, “sifat ayahnya yang keras kepala tampak pula padanya.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah kau sudah mengenal Paman Argajaya secara pribadi?”

Pertanyaan itu telah membuat dada Gupita berdesir. Tetapi segera ia menemukan jawabnya, ”Siapakah orang Menoreh yang tidak mengenai Ki Argajaya, meskipun tidak secara pribadi. Siapakah yang tidak mengenal tabiat, sifat, dan wataknya? Apalagi kini, setelah dengan jelas ia berpihak kepada Sidanti.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Di antara sadar dan tidak ia bergumam, “ia berpihak kepada orang lain daripada saudara sendiri.”

Kini Gupita-lah yang bertanya dengan serta merta, “Siapakah yang kau maksud dengan orang lain?”

“Oh,” Pandan Wangi tergagap, “maksudku, maksudku, Paman telah berpihak kepada Ki Tambak Wedi. Bukankah Ki Tambak Wedi itu orang lain bagi Paman.”

“Tetapi Sidanti adalah kemenakannya.”

Dengan perasaan yang aneh Pandan Wangi mengangguk, “ya, Kakang Sidanti adalah kemenakan Paman Argajaya.”

Namun dalam pada itu, sebuah goresan yang tajam telah menggorek luka di hati gadis itu. Terasa betapa pahitnya persoalan yang kini terjadi di Menoreh. Teringat olehnya cerita ayahnya, bahwa ibunya pada saat mengandung Sidanti, berkata kepada ayahnya, ”Kalau tidak kau bunuh kami, maka anak di dalam kandungan ini, akan membawa persoalan sepanjang hidupnya.”

Tiba-tiba kepala Pandan Wangi seolah-olah terkulai, menunduk dalam-dalam. Beberapa titik air matanya membasah di pelupuknya. Peristiwa itu ternyata benar-benar tidak terhenti sejak perang tanding antara Arya Teja dan Puguhan selesai. Tidak juga setelah ayahnya mengambil perempuan yang telah mengandung itu menjadi istrinya untuk seterusnya. Bahkan tidak juga selesai setelah ia lahir.

“Betapa anehnya, bahwa aku sempat juga lahir,” katanya di dalam hati, “ayah dan ibu menyimpan persoalan yang berakar di dalam hati mereka. Dengan demikian, maka kedamaian yang aku dapati di rumah itu, adalah kedamaian yang lamis. Cinta ayah dan ibu kemudian kelahiranku inipun, sebenarnya adalah akibat sikap berpura-pura dari mereka berdua.”

Hampir saja Pandan Wangi meledakkan tangisnya. Tetapi tanpa disengajanya, tangannya menyentuh hulu pedangnya. Dengan demikian, maka segera ia teringat, bahwa ia kini sedang berada di medan perang.

Apalagi ketika terdengar suara Gupitia, “Pandan Wangi, apakah yang sedang kau renungkan? Kita harus segera berbuat sesuatu, sebab masih banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi. Daerah ini masih akan mengalami seribu satu macam perubahan. Dan perubahan-perubahan itu dapat terjadi dengan cepatnya.”

Pandan Wangi mengusap matanya dengan ujung bajunya. Namun ia masih tertunduk, untuk menyembunyikan wajahnya dari cahaya bulan yang kuning.

“Baiklah,” katanya kemudian dalam nada yang datar, “apakah sebaiknya yang harus kita lakukan?”

“Kembalilah kepasukanmu.”

“Baiklah,” Pandan Wangi tidak mempersoalkannya lagi. Tiba-tiba saja ia melangkahkan kakinya sambil menunduk.

“He, ke mana kau akan pergi?” bertanya Gupita.

“Bukankah aku harus pergi kepasukanku?”

Gupita merasakan sesuatu yang aneh pada gadis itu. Pandan Wangi seakan-akan kehilangan gairah untuk memikirkan peperangan ini. Bahkan sikapnya agaknya menjadi acuh tidak acuh saja.

“Pandan Wangi,” berkata Gupita kemudian, “di sekitar kita masih mungkin bersembunyi berbagai macam bahaya yang tidak kita kenal. Itulah sebabnya kau harus berhati-hati. Jangan berjalan begitu saja seperti kau pergi ke sendang. Kau tidak tahu, apakah yang bersembunyi di balik sehelai ilalang di hadapanmu.”

Terasa dada gadis itu berdesir. Seolah-olah ia kini baru tersadar dari tidurnya yang dicengkam oleh mimpi yang mengerikan. Tanpa sesadarnya, maka kedua tangannya telah meraba hulu sepasang pedangnya. Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Tanaman di sawah. Padesan dan pepohonan pategalan di arah lain. Warna kuning yang terpencar dari bulan bulat di langit, terpercik di setiap wajah dedaunan.

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, aku memang harus berhati-hati.”

“Nah, jangan merenung. Kau tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya di medan perang. Kalau kau hati-hati dan berhasil mencapai pasukannya, maka kau akan mempunyai banyak kesempatan untuk merenung.”

“Ah,” Pandan Wangi berdesah, tetapi ia tidak menjawab.

“Kau harus menghindari padesan itu agak jauh.”

Pandan Wangi mengangguk kosong, Baikah,” jawabnya, “aku akan berangkat sekarang.” Dan tanpa sesadarnya ia bertanya, “Apakah kau akan pergi ke sana juga?”

Gupita menggelengkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Meskipun demikian, ia berkata juga, “Tidak.”

Tampaklah di wajahnya gadis itu menjadi kecewa. Sejenak ia berdiri mematung. Namun kemudian terdengar suaranya dalam, ”Kalau begitu, kita berpisah sampai di sini. Mudah-mudahan aku selamat sampai kepasukanku.”

Kini Gupita-lah yang menjadi ragu-ragu. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat Pandan Wangi bergeser. Kemudian memutar tubuhnya dan melangkah lambat meninggalkannya. Tetapi beberapa langkah kemudian gadis itu berhenti sambil berpaling.

Gupita masih berdiri di tempatnya. Ketika mata gadis itu membentur tatapan matanya yang tajam, maka dengan tergesa-gesa Pandan Wangi melemparkan pandangannya jauh menembus cerahnya sinar bulan purnama. Sedang debar jantung di dadanya terasa menjadi semakin cepat menghentak-hentak. Sehingga untuk sesaat ia berdiri saja kebingungan.

Baru kemudian ketika getar diarus darahnya telah mereda, ia meneruskan langkahnya dengan kaki gemetar.

Tetapi langkahnya kemudian tertegun. Ia mendengar suara lunak memanggilnya.

“Tunggu Pandan Wangi.”

Sekali lagi Pandan Wangi berpaling. Dilihatnya Gupita melangkah mendekatinya sambil berkata, “Marilah, aku antarkan kau sampai ke pasukanmu.”

Secercah kegembiraan meloncat ke wajah Pandan Wangi. Hampir saja ia berteriak kegirangan seperti anak-anak mendapat mainan. Namun dengan sepenuh kesadarannya sebagai seorang gadis, ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian tumbuhlah kesenangan di dalam hatinya, bercampur baur dengan harga diri dan rasa malu. Dalam kebingungan, maka meloncatlah hiruk pikuk di dalam hatinya itu. Lewat bibirnya, “Aku tidak perlu pengantar. Aku cukup mengenal daerah ini, karena aku dilahirkan di tanah ini.”

Gupita terkejut mendengar jawaban yang tidak terduga-duga itu sehingga sejenak ia terbungkam. Sebagai seorang anak muda yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan, betapapun ia berusaha memulas dirinya menjadi seorang gembala yang membiarkan perasaannya meloncat-loncat, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari kediriannya. Karena itu, maka wajahnya menjadi semburat merah oleh hentakan yang tiba-tiba itu. Untunglah bahwa bayangan wajahnya sendiri telah menyaput perasaannya yang terpancar di wajah itu.

Dengan susah payah Gupita mencoba menguasai dirinya dicobanya menempatkan dirinya pada keadaannya kini. Seorang gembala yang seolah-olah hidup bebas tanpa kekangan apapun. Katanya, “Ha, jangan dikuasai oleh peraaan saja. Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau telah berada di medan perang. Karena itu, maka kau harus mempergunakan perhitungan seorang prajurit, bukan perasaan seorang gadis.”

Kata-kata itu memang dapat menyentuh perasaan Pandan Wangi. Tetapi ia tidak segera dapat melepaskan perasaannya. Karena itu, maka dengan serta merta ia menjawab, “Itulah sebabnya. Karena aku adalah seseorang yang telah menerjunkan diri di dalam peperangan, maka aku tidak ingin diperlakukan sebagai seorang gadis cengeng, yang hanya berani pulang apabila diantar oleh seseorang yang dianggapnya akan dapat melindunginya. Tetapi sepasang pedangku ini adalah pelindungku yang sebaik-baiknya.”

“Tetapi perhitungan itu tidak tepat. Perhitungan itu bukan perhitungan seorang prajurit. Itu adalah perhitungan seorang gadis yang mempunyai harga diri dan membawa sepasang pedang di lambung. Tetapi perhitungan seorang prajurit adalah lain. Seandainya kau bukan seorang gadis sekalipun, maka kau memerlukan kawan dalam keadaan yang gawat serupa ini. Bukan karena takut, tetapi setiap kemungkinan dapat terjadi. Mungkin kau akan bertemu dengan sekelompok peronda, atau bertemu dengan seorang yang memiliki kemampuan yang melampaui kemampuanmu.”

Gupita melihat Pandan Wangi akan memotongnya, tetap segera ia berkata, “Nanti dulu, jangan memotong kata-kataku. Maksudku, bukan karena kau tidak berkemampuan untuk mempertahankan diri. Tetapi kita tidak boleh terlepas dari kenyataan bahwa kita bukan seorang yang paling mumpuni di atas bumi. Nah, dalam keadaan yang demikian itulah, kau memerlukan seorang kawan. Mungkin untuk melawan bersama-sama, mungkin untuk kepentingan yang lain. Untuk menjadi saksi pada setiap keadaan, sampai keadaan yang paling parah sekalipun. Seorang kawan akan dapat memberitahukan kepada orang lain, apakah yang sudah terjadi atas diri kita masing-masing.”

Pandan Wangi terdiam sejenak. Ia dapat menangkap kebenaran kata-kata Gupita. Tetapi sulitlah baginya untuk melepaskan diri dari perasaannya sebagai seorang gadis yang dengan sadar berdiri di atas kegadisannya yang berhadapan dengan seorang anak muda yang belum terlampau dikenalnya di tengah-tengah medan.

Tetapi tiba-tiba terloncatlah perkataan dari mulutnya yang gemetar, “Gupita. Itu adalah tanggapan seorang gembala yang panik. Tetapi tidak bagi seorang prajurit. Aku akan melangkahi setiap jarak di atas tanah ini dengan dada tengadah. Ini adalah tanahku. Apapun yang akan terjadi atasku.”

Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Sekali lagi melonjaklah kediriannya. Tiba-tiba saja Gupita dicengkam oleh kepribadiannya sendiri, tanpa dapat mengelakkannya. Dengan nada rendah ia berkata, “Baiklah Pandan Wangi. Aku memang sekedar seorang gembala yang kecil. Maafkan aku. Kau adalah seorang puteri Kepala Tanah Perdikan yang besar. Kau benar, bahwa tanggapanku adalah tanggapan seorang gembala. Bukan tanggapan seorang prajurit. Karena itu, sekali lagi aku minta maaf kepadamu.”

Jawaban itu benar-benar tidak diduga-duga oleh Pandan Wangi. Ia tidak menyangka, bahwa gembala yang lepas bebas, yang setiap langkahnya diwarnai oleh kebebasan jiwanya, seperti suara serulingnya yang lepas diudara yang jernih itu, tiba-tiba merajuk seperti seorang gadis cengeng yang hatinya tersinggung oleh kata-kata kekasihnya. Karena itu, justru sejenak Pandan Wangi berdiri tegak seperti patung yang membeku.

Namun sejenak kemudian disadarinya, bahwa agaknya kata-katanya benar-benar telah menyinggung perasaan gembala itu. Sehingga lambat sekali dipaksakannya mulutnya berkata, “Maafkan aku Gupita. Aku tidak ingin menghinamu. Mungkin kata-kataku terdorong oleh perasaanku yang melonjak-lonjak.”

Gupita ternyata terperanjat mendengar permintaan maaf itu. Segera disadarinya, bahwa hampir-hampir saja ia hanyut di dalam kediriannya. Hampir-hampir ia lupa akan peranannya dalam permainan itu. Karena itu, tiba-tiba ia tertawa, meskipun betapa hambarnya, “Tidak Pandan Wangi. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Aku hanya sekedar bergurau. Sekarang terserah kepadamu, apakah kau akan berkenan untuk menerima aku sebagai kawan perjalananmu.”

Sekali lagi Pandan Wangi terperanjat melihat perubahan sikap itu. Ia benar-benar tidak mengerti, dengan siapa sebenarnya ia berhadapan. Dalam keadaan yang serba membingungkan itu, terdengar ia berkata sambil menganggukkan kepalanya, “Baiklah. Marilah.”

“Nah,” berkata Gupita sambil tertawa pendek. Tiba-tiba saja kakinya telah meloncat berlari sambil berkata, “Marilah.”

Namun sebenarnya Gupita sedang menghentakkan segenap kekuatannya untuk melawan perasaan sendiri. Hampir saja ia mutung dan meninggalkan Pandan Wangi di tengah-tengah sawah itu. Untunglah, bahwa segera ia menyadari dirinya, bahwa bukan demikianlah peran yang harus dibawakannya.

Tetapi justru dalam keadaan yang terlampau sulit itulah, maka sikapnya menjadi berlebih-lebihan. Usahanya untuk mengatasi kekecilan hatinya, melonjak tanpa dapat dibatasinya.

Dengan lincahnya, Gupita melangkahkan kakinya. Kemudian disambarnya tangan Pandan Wangi sambil berkata, “Marilah kita berpacu.”

Pandan Wangi terkejut dalam keadaan yang khusus, ia sama sekali tidak menyadari, bahwa Gupita telah menuntunnya berlari-lari dan bahkan telah mendorongnya sehingga ia terguling-guling di atas tanah yang becek di tengah-tengah sawah ini. Namun kini tiba-tiba nak muda itu menyambar tangannya dan menariknya berlari. Hampir saja Pandan Wangi menolaknya, tetapi ia mengurungkan niatnya. Teringatlah ia. bahwa ia masih berada di tengah-tengah daerah berbahaya.

Maka sejenak kemudian, di dalam bayangan cahaya bulan yang bulat, sepasang anak muda itu berlari-larian meloncati pematang dan menyelusur parit seperti sepasang kijang yang sedang berkejaran.

“Kita harus segera sampai ke induk pasukanmu Pandan Wangi,” berkata Gupita, “mereka pasti sudah berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Pasukanmu pun pasti telah berada di sana pula.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi pegangan tangan gembala itu serasa mengalirkan getaran-getaran yang tidak dikenalnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak segera menjawab. Yang terasa olehnya adalah debar jantungnya yang semakin cepat.

Sementara itu, ketika perkembangan pertempuran pasukan Pandan Wangi menjadi semakin nyata, bahwa mereka akan menarik diri dari peperangan, maka di bawah Pucang Kembar, Ki Tambak Wedi telah dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Ternyata orang-orang yang diharapkan untuk membantunya membunuh Argapati, masih juga belum datang meskipun ia sudah memberikan tanda beberapa kali. Sedang Argapati sendiri, meskipun dadanya telah terluka, namun tandangnya masih saja seperti banteng ketaton.

“Apakah mereka mampus dicekik hantu?” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.

Meskipun ia yakin, bahwa tanpa bantuan seorang pun pada kedua belah pihak, ia pasti akan memenangkan perkelahian itu, kerena Argapati telah terluka, namun ia tidak dapat menduga, berapa lama ia memerlukan waktu. Sedang kawan-kawannya benar-benar telah terdesak. Yang masih dapat melawan ketiga pengawal Menoreh sebaik-baiknya adalah seorang saja dari antara keduanya, karena seorang yang terluka menjadi semakin lama semakin bertambah lemah.

Dengan hati yang dipenuhi oleh kecemasan dan teka-teki, sekali lagi dari mulut Ki Tambak Wedi terdengar suitan nyaring. Namun suitan inipun menggeletar tanpa arti. Tidak sehelai daun pun yang tergetar karenanya. Apalagi tubuh-tubuh yang berloncatan dengan pedang di tangan.

“Suaramu benar-benar mirip tangis seekor kelinci,” berkata Argapati dalam nada yang berat, “atau makian hantu yang kehilangan kubur.”

“Persetan,” Ki Tambak Wedi menggeram. Tandangnya menjadi semakin sengit. Senjata melingkar-lingkar di seputar tubuh lawannya.

Namun disadarinya, bahwa apabila keadaan berlangsung demikian, maka kedua kawannya akan segera binasa, dan ketiga orang pengawal dari Menoreh itu akan bersama-sama dengan Argapati menyerangnya. Lemparan pisau salah seorang daripadanya cukup berbahaya, sedang kedua orang yang lain akan dapat mengganggunya, sementara Argapati menghunjamkan tombaknya di dadanya.

“Setan alas,” ia mengumpat di dalam hatinya. Namun orang-orangnya yang sudah dipersiapkan masih juga belum datang.

Dalam kegelapan hati, maka Ki Tambak Wedi pun semakin memeras tenaganya. Tetapi ia tidak kehilangan akal, sehingga perlawanannya justru menjadi semakin seru dan berbahaya.

Dalam keadaan yang demikian itulah, maka telah terjadi sesuatu yang menggetarkan dada setiap orang yang berada di bawah Pucang Kembar. Tiba-tiba dari dalam kegelapan bayangan dedaunan muncullah sesosok tubuh yang tertatih-tatih. Bukan sesosok tubuh yang tegap meloncat dengan senjata di genggaman.

Yang paling terkejut di antara mereka adalah Ki Tambak Wedi. Orang yang ternyata terluka itu berusaha untuk mendekatinya. Perlahan-lahan dari mulutnya terdengar sebuah desis yaug lambat. Tetapi tidak seorang pun dapat mengerti apa yang dikatakan.

“He, kenapa kau?” teriak Ki Tambak Wedi.

Orang itu memang ingin menjawab. Namun sejenak kemudian jatuh tersungkur. Yang terdengar hanyalah sebuah keluhan pendek. Seterusnya diam.

“Siapakah orang itu Paguhan?” terdengar suara Argapati berat.

“Persetan dengan orang itu,” jawabnya. Namun terasa nada kecemasan mewarnai kata-katanya.

Sebenarnyalah, bahwa Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi itu telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Orang itu adalah salah seorang dari pasukan kecilnya yang harus datang pada saat ia bersuit memanggilnya. Orang-orang itulah yang harus membantunya, membunuh Argapati. Tetapi ternyata yang datang di antara mereka hanya seorang. Itupun hanya sekedar menyatakan dirinya, bahwa ia telah terluka parah.

Berbagai pertanyaan telah menggelepar di dalam dada Ki Tambak Wedi. Yang terjadi itu benar-benar di luar dugaannya. Pasukannya adalah sepasukan kecil yang cukup kuat. Untuk melawan seorang yang mumpuni seperti Ki Argapati. Namun agaknya pasukan kecil itu telah menjadi terpecah belah. Bahkan mungkin orang yang datang itu adalah satu-satunya orang yang sempat keluar dari suatu keadaan yang tidak dapat dibayangkannya.

“Apakah yang telah terjadi dengan mereka?” pertanyaan itu telah mengejarnya di setiap langkahnya.

Sementara itu, kedua kawannya menjadi semakin terdesak.

Mereka bergeser semakin jauh. Meskipun kedua orang itu adalah orang-orang terpilih, namun menghadapi tiga orang pengawal terpilih pula, mereka terdesak tanpa dapat dapat berbuat terlalu banyak. Apalagi yang seorang daripadanya telah terluka.

“Apakah ada seseorang yang dengan rahasia telah membantu Argapati?” pertanyaan itupun telah mengganggunya pula.

Maka sejenak sambil bertempur, Ki Tambak Wedi membuat pertimbangan-pertimbangan. Kalau ia terlampau lama berkelahi melawan Argapati, maka kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi atasnya. Mungkin memang seseorang telah berusaha membantu Argapati dengan rahasia. Apabila orang itu berhasil membinasakan pasukan kecilnya, kemudian membantu Argapati pula dalam perang tanding ini, keadaannya akan sangat berbahaya. Seandainya bukan seseorang, tetapi juga sepasukan pengawal Menoreh yang kuat, itupun akan berakibat serupa baginya.

“Pekerjaanku belum selesai,” ia bergumam di dalam dirinya, “aku masih harus berbuat terlampau banyak untuk kepentingan Sidanti. Selagi Sidanti belum mapan benar, aku tidak akan dapat melepaskannya seorang diri. Apalagi aku masih belum percaya sepenuhnya kepada Argajaya. Mungkin ia akan mempergunakan setiap kesempatan untuk kepentingan sendiri.”

Namun dalam pada itu, nafsunya untuk membunuh Argapati semakin berkobar di dalam dadanya. Tetapi adalah suatu kenyataan, bahwa ia telah kehilangan kesempatan yang sudah dipersiapkan.

“Satu-satunya cara adalah, membuat Argapati semakin memeras tenaganya, supaya darahnya menjadi semakin banyak mengalir. Ia tidak akan dapat bertahan sampai bulan bulat itu tenggelam di balik bukit. Sebelum fajar, ia pasti sudah kehabisan tenaga, dan jatuh tersungkur di bawah ujung kakiku.

 

Series 38

TETAPI Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan kenyataan yang terjadi. Kedua kawannya menjadi semakin terdesak dan teka-teki yang meliputi benaknya tentang pasukan kecilnya yang seolah-olah hilang dihembus angin prahara.

Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu. Kalau ia memaksa diri untuk menundukkan Argapati yang telah terluka itu, maka apakah yang terjadi bukan sebaliknya?

Yang mengejarnya kini adalah pertanyaan tentang pasukan kecilnya. Bahkan kemudian ia mengambil kesimpulan, “Pasti ada seseorang yang dengan rahasia membantu Argapati. Mungkin seorang atau dua orang, tetapi mungkin sepasukan. Kalau mereka kemudian datang mengepung aku, maka keadaan akan menjadi sulit. Apalagi kalau mereka berhasil menangkap aku, maka kemenangan yang didapat Sidanti akan buyar tanpa arti.”

Akhirnya, Ki Tambak Wedi terpaksa mengambil keputusan yang betapapun sakitnya. Ia terpaksa melepaskan tekadnya yang bulat untuk membunuh Argapati. Meskipun dendam yang terungkat kembali sejak beberapa puluh tahun yang lampau masih tetap menyala di dalam hatinya, tetapi ia tidak boleh kehilangan akal. Ia tidak boleh terjerumus dalam kesulitan didorong oleh perasaannya. Bagaimanapun juga, ia harus tetap sadar dan mempergunakan nalarnya.

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu pun mengambil suatu keputusan yang tidak diduga-duga sebelumnya. “Melarikan diri.”

Betapapun liciknya orang itu, ketika tiba-tiba saja ia melompat mundur. Seleret sinar yang hitam mengkilat meluncur ke dada Argapati. Untunglah, bahwa meskipun Argapati telah terluka, tetapi ia masih memiliki kelincahan bergerak, sehingga ia masih mampu menggerakkan tombaknya, menghantam sinar yang terbang seperti petir di udara.

Terdengar suara berdentum, disusul oleh gemerincingnya sebuah gelang-gelang yang jatuh di atas batu-batu cadas.

Namun Ki Tambak Wedi mampu memanfaatkan saat yang pendek itu. Selagi perhatian Argapati terpusat kepada gelang-gelangnya yang terbang menyambar dada, maka saat itu dipergunakannya sebaik-baiknya. Dengan cepatnya, hampir secepat gelang-gelangnya ia melompat dan berlari meninggalkan gelanggang.

Kedua kawan-kawannya terkejut melihat Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja meninggalkan gelanggang. Sejenak mereka kehilangan akal, dan karena itulah, maka perlawanan mereka menjadi semakin lemah. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, maka sebuah sengatan yang nyeri telah menggetarkan jantungnya. Sesaat mereka menyadari, bahwa hampir bersamaan mereka telah terluka.

Tetapi mereka tidak kuasa lagi untuk melawan. Para pengawal dari Menoreh itu dapat mempergunakan keadaan sebaik-baiknya. Yang terjadi kemudian adalah terlampau mengerikan. Kedua orang itu hampir bersamaan pula memekik tinggi, ketika dada mereka sekali lagi disobek oleh ujung senjata lawan. Dan hampir bersamaan pula mereka terhuyung-huyung, dan selanjutnya jatuh tersungkur di tanah.

Argapati masih berdiri di sisi sepasang Pucang Kembar sambil menggenggam tombaknya. Debar di dadanya masih menghentak-hentak, serasa akan meledakkan jantung. Kemarahan, kebencian, dan dendam menyala-nyala di hatinya. Tetapi ia tidak berdaya untuk melepaskan, karena Ki Tambak Wedi telah hilang dari pandangan matanya menyusup ke dalam rimbunnya dedaunan. Dorongan perasaannya ingin membawanya untuk mengejar orang tua yang telah terlampau banyak menyakitkan hatinya itu. Bukan baru kemarin atau kemarin dulu, bukan baru sepekan dua pekan, tetapi senjak berpuluh tahun yang lampau, sepanjang umur Sidanti itu sendiri.

Tetapi pengalaman dan kematangan telah mengekangnya. Ia menyadari bahaya yang tersembunyi di balik rerungkudan itu. Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur terlampau cepat mengarah ke sasarannya. Bahaya itu tidak boleh diabaikan, sehingga betapapun nafsunya melonjak-lonjak, tetapi ia tidak mengejar setan tua yang licik itu.

Ketika ia melihat dua orang temannya Ki Tambak Wedi tersungkur di tanah, hatinya berdesir. Demikian liciknya orang itu, sehingga kawannya sendiri pun telah dikorbankannya.

Ia sadar, ketika melihat Kerti dan kedua kawannya mendekatinya. Dengan nada rendah Kerti bertanya, “Ki Gede terluka?”

Baru pada saat itulah, seolah-olah pembuluh darah Ki Argapati dijalari oleh perasaan pedih dan nyeri dari dadanya. Selama ia berkelahi, ia sama sekali tidak merasa, betapa pedihnya luka di dadanya itu. Namun ketika lawannya telah hilang, maka perasaan sakit itu tiba-tiba saja tumbuh dan mencekamnya.

Perlahan-lahan Ki Argapati mengangguk, “Ya, aku terluka.”

Kerti melihat darah meleleh dari luka di dada itu mewarnai baju, ikat pinggang kulit, dan kain panjangnya.

“Luka itu cukup parah, Ki Gede,” desis salah seorang kawan Kerti.

Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Kelelahan dan darah yang mengalir membuatnya menjadi terlampau lemah. Tiba-tiba saja ia terhuyung-huyung dan terpaksa berpegangan pada tangkai tombaknya.

“Ki Gede,” Kerti terkejut

“Aku memerlukan pertolonganmu, Kerti,” desis Ki Gede.

Dengan tergesa-gesa Kerti menghampirinya. Tangan Ki Gede yang gemetar segera melingkar di leher Kerti sambil bergumam lirih, “Aku terlampau bernafsu melawan Tambak Wedi, sehingga aku melupakan luka di dada ini. Apakah kau mempunyai sesuatu yang dapat menahan arus darahku ini?”

“Ya, ya Ki Gede. Aku selalu membawanya di dalam peperangan,” sahut Kerti.

Ki Gede Menoreh itu segera dipapahnya menepi, dan didudukkannya di atas rerumputan. Dari kantong ikat pinggang kulitnya, Kerti mengambil seberkas reramuan kering yang kemudian dikunyahnya. Dengan obat itulah ia mencoba menahan arus darah dari luka Ki Gede Menoreh.

Tetapi luka itu cukup parah dan darah yang mengalir agak deras sehingga obat itu tidak terlampau banyak dapat menolongnya. Karena itu, maka dada Kerti pun menjadi berdebar. Darah masih saja mengalir, dan Ki Argapati menjadi semakin lemah karenanya.

Ki Argapati sendiri pun menyadari keadaannya. Karena itu, maka ia berusaha untuk tidak bergerak-gerak lagi, supaya darahnya tidak semakin banyak mengalir dari lukanya.

Perlahan-lahan terdengar Argapati berdesis, “Bagaimana Kerti, apakah obatmu dapat berpengaruh atas aliran darah luka itu?”

Kerti menjadi agak ragu-ragu menentramkan hati Argapati, ia menjawab, “Ya, Ki Gede. Agaknya obat itu akan dapat menolong sekedarnya.”

Tetapi Ki Gede tidak dapat dihiburnya dengan cara itu. Terdengar suara tertawanya perlahan sekali. Katanya, “Agaknya obatmu kurang baik, Kerti. Tetapi itu bukan salahmu. Kau sudah berusaha. Kalau usaha itu tidak berhasil, maka kita sudah tidak dapat dipersalahkan lagi.”

“Tetapi obat itu berpengaruh juga, Ki Gede.”

“Sedikit sekali. Tetapi baiklah. Cobalah obatmu itu terus.”

Kerti pun mengunyah obat-obat itu semakin banyak. Semua persedian yang ada padanya. Kemudian diusapkannya pada luka Ki Argapati.

Namun meskipun demikian, darah Ki Argapati masih saja mengalir dari lukanya. Pengaruh obat itu ternyata hanya kecil sekali. Sehingga dengan demikian, Kerti dan kedua kawannya pun menjadi cemas.

“Sebaiknya Ki Gede segera kembali.”

Argapati yang lemah itu menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan sekali ia bertanya, “Kemana aku harus kembali, Kerti?”

Kerti terdiam sejenak. Ia telah mendengar pula tanda-tanda yang kurang menyenangkan, dan mereka yang berada di bawah Pucang Kembar itu tidak tahu, apakah yang sebenarnya terjadi di padukuhan induk Menoreh.

“Mungkin aku sudah tidak akan dapat melihat rumah itu lagi,” desis Argapati.

“Tidak, Ki Gede. Kita akan kembali pada suatu saat, seandainya kali ini kita tidak dapat bertahan. Tetapi kita sudah menentukan tempat yang baik bagi pasukan kita, apabila kita terpaksa mengundurkan diri. Bukankah pesan Ki Gede berbunyi demikian, meskipun saat itu kita sama sekali tidak pernah membayangkan, bahwa kita akan mengalami bencana ini?”

Ki Gede tidak menjawab. Diangkatnya wajahnya yang pucat. Ditatapnya daun pucang yang bergerak-gerak ditiup angin.

“Pohon ini sudah jauh berubah,” desisnya di dalam hati, “kini daunnya sudah semakin jarang, dan batangnya pun pasti akan segera rapuh. Beberapa puluh tahun yang lampau, sepasang pucang itu tampak tegak perkasa, seolah-olah tidak akan pernah mengalami hari-hari tuanya dan yang kemudian akan lenyap untuk seterusnya.

Sekali lagi Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dikenangkannya masa-masa mudanya. Dengan penuh dendam ia berperang tanding di bawah pucang itu. Tetapi ia masih muda. Kini ia menjadi semakin tua, seperti sepasang batang pucang itu pula.

Ki Gede itu berpaling, ketika ia mendengar Kerti berkata, “Marilah, Ki Gede. Kita berusaha untuk menemukan pasukan Menoreh di manapun berada. Kita akan melihat, apakah mereka masih berada di padukuhan induk atau tidak, dan kita akan mencari di mana mereka mengundurkan diri seandainya mereka terpaksa terdesak.”

“Tanda-tanda yang aku dengar agaknya tidak menyenangkan.”

Kerti menganggukkan kepalanya. Ia pun sadar akan hal itu. Tetapi ia berkata, “Kita masih harus meyakinkan. Mungkin pasukan Menoreh terdesak, tetapi kemungkinan untuk menemukan keseimbangannya kembali dapat saja terjadi.”

Argapati mengangguk. Tetapi ia berkata, “Aku sudah lemah sekali. Kalau darah ini tidak segera dapat dihentikan, maka aku akan kehabisan. Kau tahu, akibat dari seseorang yang kehabisan darah.”

“Ya, Ki Gede. Tetapi kita juga tidak dapat tinggal di sini terus-menerus tanpa berbuat sesuatu.”

“Terserah kepadamu, Kerti.”

Kerti mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua kawannya berganti-ganti. Ia menyadari, bahwa membawa Ki Gede itu sama sekali bukan tugas yang ringan. Sepanjang jalan mungkin akan ditemuinya orang-orang Sidanti, atau bahkan Ki Tambak Wedi. Apalagi mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi, sedang Ki Gede berada dalam keadaan demikian, maka yang akan terjadi sudah dapat dibayangkannya.

“Tetapi kita harus berusaha,” namun kata-kata itu tidak terucap.

Kedua kawannya agaknya dapat mengerti perasaan yang berada di dalam dada Kerti. Salah seorang dari mereka berkata, “Marilah. Kita harus segera secepatnya.”

Serentak mereka bergeser maju. Mereka akan mengangkat Ki Gede dan membawanya mencari pasukan Menoreh. Tetapi salah seorang dari mereka bertiga harus bebas, sehingga apabila datang bahaya setiap saat, maka seorang yang bebas itu akan dapat berbuat lebih dahulu untuk melindungi kawan-kawannya yang lain, dan terutama Ki Gede yang sedang terluka itu.

“Biarlah kami berdua yang mengangkatnya,” berkata salah seorang dari mereka kepada Kerti. “Kau berjalan di depan. Kau harus berusaha melindungi kami.”

Kerti mengangguk. “Baiklah,” jawabnya.

Tetapi sebelum mereka menyentuh Ki Gede Menoreh, yang menjadi semakin lemah itu, tiba-tiba seperti disengat lebah mereka serentak meloncat berdiri. Senjata-senjata mereka segera siap di tangan untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Dalam cahaya bulan yang kekuning-kungingan, mereka melihat sesosok tubuh di dalam bayangan dedaunan. Selangkah-selangkah ia maju, semakin lama semakin nyata.

Kerti dan kedua kawannya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka merenggang. Setapak, Kerti melangkah maju. Dari mulutnya terdengar pertanyaan, “Siapa kau?”

Orang yang baru datang itu tertegun. Tetapi tidak segera terdengar jawaban dari mulutnya.

Wajah Kerti dan kedua kawan-kawannya menjadi semakin tegang. Mereka berdiri tegak, membelakangi Ki Argapati yang menjadi semakin lemah dan berbaring di atas rerumputan. Dengan senjata di tangan masing-masing, mereka siap menghadapi setiap kemungkinan.

Setapak lagi Kerti melangkah maju sambil kertanya, “Siapa kau?”

Orang itu pun maju selangkah pula. Tetapi Kerti masih belum dapat memandang wajah orang itu dengan jelas dalam keremangan cahaya bulan yang semakin rendah di ujung Barat.

“Siapa kau, dan apa maksudmu?” pertanyaan Kerti menjadi semakin keras.

“Namaku Gupala,” jawab orang itu.

Kerti dan kedua kawannya mengerutkan kening mereka. Mereka belum pernah mendengar nama itu. Karena itu, ingatan mereka segera hinggap kepada orang-orang liar yang telah membantu Ki Tambak Wedi berkelahi melawan Ki Argapati.

Apakah ia termasuk salah seorang dari mereka, atau justru orang yang khusus mendapat tugas dari Ki Tambak Wedi? Pertanyaan itu telah mengetuk dada ketiga orang itu.

“Apakah maksudmu, kau belum menjawab?” desak Kerti.

Orang itu menghela nafas. Setapak ia maju. Kerti dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiaga. Tetapi ternyata orang yang datang itu sama sekali tidak membawa senjata. Seandainya ia kehilangan pedangnya, maka pasti masih membawa wrangkanya di lambungnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak berkesan, bahwa ia bersenjata.

“Maafkan,” berkata orang itu, “aku membawa sesuatu untuk Ki Gede Menoreh”

Dada Kerti dan kedua kawannya berdesir. Bahkan jawaban yang didengar pula oleh Ki Gede Menoreh yang terluka, telah sangat menarik perhatiannya.

“Obat. Obat untuk mengobati lukanya.”

“Apakah yang kau bawa?” bertanya Kerti.

Jawaban itu telah membuat mereka yang mendengarnya terkejut. Orang itu sama sekali belum dikenalnya. Dalam keadaan itu, tiba-tiba ia datang menawarkan obat untuk menyembuhkan luka-luka di dada Ki Argapati.

Itulah sebabnya, maka kecurigaan Kerti menjadi semakin meningkat. Tiba-tiba saja ia tidak mau memperpanjang waktu lagi, karena ia tahu, bahwa luka Ki Gede benar-benar harus segera mendapat perawatan. Maka katanya, “Sebutkan orang yang menyuruhmu datang dengan membawa racun itu. Jangan kau sangka, bahwa kami terlampau bodoh untuk menyerahkan nyawa kami kepada orang-orang yang tidak kami kenal.

“Oh,” jawab orang itu, “sama sekali bukan. Bukan racun. Tetapi aku membawa obat dari ayahku. Ayahku tahu benar, bawah Ki Gede sedang terluka. Itulah sebabnya, aku harus datang untuk menyerahkan obat itu kemari.”

“Siapakah ayahmu,” bertanya Kerti.

“Kiai Garit.”

Sekali lagi Kerti dan kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Nama itu pun sama sekali belum pernah mereka dengar. Sehingga karena itu, maka Kerti berkata, “Jangan terlampau banyak bicara. Waktuku terlampau sedikit. Sekarang aku terpaksa membawanya untuk sementara. Kalau ternyata kau benar-benar tidak bersalah aku akan melepaskanmu.”

“Apakah maksudmu,” bertanya orang itu.

“Kau terlampau mencurigakan. Karena itu, kau harus ikut kami. Jangan melawan, supaya kami tidak berbuat terlampau kasar.” Kerti pun kemudian berpaling kepada kawan-kawannya, “Marilah kita bawa Ki Gede ke induk pasukan. Biarlah orang ini aku bawa pula bersama kita.”

“Tunggu,” potong orang itu, “apa pun yang akan kalian lakukan atasku, terserahlah. Tetapi aku minta obat ini dapat kalian taburkan di atas luka itu, supaya Ki Gede tidak kehabisan darah.”

“Omong kosong. Kau akan membunuh dengan cara yang sangat licik.”

“Jangan salah mengerti. Aku tidak mempunyai kepentingan apa pun untuk membunuhnya.”

“Jangan banyak bicara. Ayo, berjalanlah di depan.”

Orang itu hampir tidak mendapat kesempatan untuk menjawab, karena Kerti melangkah semakin dekat sambil mengacungkan senjatanya. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, ketika ia mendengar Ki Gede memanggilnya perlahan-lahan, “Bawalah orang itu kemari.”

Kerti ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian katanya, “Baiklah, Ki Gede.” Lalu kepada orang yang menyebut dirinya bernama Gupala itu, “Mendekatlah. Tetapi jangan membuat aku kehilangan kesabaran dan menghunjamkan pedang ini di punggungmu.”

Perlahan-lahan Gupala maju mendekati Ki Gede yang sedang terbaring. Beberapa langkah daripadanya, Kerti berdesis, “Berdirilah di sini.”

Orang itu pun berhenti dan kemudian duduk di atas tanah.

“Kami belum pernah mengenalmu, Ki Sanak,” berkata Argapagi lirih. “Apakah kau dapat membuktikan, bahwa kau benar-benar bermaksud baik?”

Gupala menjadi bingung. Jawabnya berterus terang, “Tidak, Ki Gede. Aku tidak dapat membuktikan dengan cara apa pun, kecuali apabila Ki Gede bersedia mencoba menaburkan obat ini. Akan tampak kemudian dengan cepat, bahwa darah itu akan segera berhenti”

“Dan membeku,” potong Kerti. Dengan tegangnya ia berkata, “Jangan main-main dengan cara yang licik.” Kemudian kepada Ki Gede ia berkata, “Marilah, Ki Gede, kita segera berjalan. Kita akan kehabisan waktu. Mungkin mereka memperpanjang waktu termasuk cara yang mereka perhitungkan pula. Karena itu, jangan hiraukan lagi orang ini.”

Ki Gede tidak segera menjawab. Dicoba untuk memperhatikan wajah orang itu. Tetapi ia memang belum pernah mengenalnya.

“Maafkan, Ki Sanak,” desis Argapati, “dalam keadaan serupa ini, aku wajib mencurigai setiap orang yang belum aku kenal. Juga kau. Apa pun dapat terjadi atasku dalam keadaan ini.”

“Tetapi luka itu segera memerlukan pertolongan sementara,” jawab Gupala.

“Pertolongan itu akan kami usahakan. Tetapi dengan cara yang meyakinkan,” potong Kerti.

Gupala terdiam sejenak. Agaknya ia sudah tidak mungkin lagi meyakinkan, bahwa obat yang dibawanya adalah obat yang baik, benar-benar obat yang dapat memampatkan arus darah dari luka.

Kecuali dari penolakan itu, maka Gupala pun menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan. Kerti telah mencoba menahannya dan akan membawanya serta.

Dalam kebingungan itu, ia mendengar Kerti berkata, “Ayolah, kita sudah tidak mempunyai waktu lagi. Ikutlah kami dan jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan membahayakan dirimu sendiri.”

“Tetapi, tetapi,” sahut Gupala terputus-putus, “aku bermaksud baik, ayahku pun bermaksud baik.”

“Jangan banyak bicara lagi,” potong kawan Kerti.

Gupala menjadi ragu-ragu. Apakah sebaiknya yang dilakukannya? Dalam pada itu ia melihat kedua kawan Kerti berjongkok di samping Ki Gede Menoreh, siap untuk mengangkatnya. Sedang Kerti sendiri berdiri di sampingnya dengan penuh kewaspadaan.

Namun tiba-tiba, Ki Gede yang sudah lemah itu terperanjat. Bukan saja Ki Gede, tetapi semua orang yang berada di bawah Pucang Kembar itu. Dalam keheningan malam, di sela-sela desah angin yang lembut, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan memekakkan telinga. Ledakan cambuk yang dahsyat sekali, seperti ledakan petir yang bersabung di langit.

Sejenak orang-orang yang berada di bawah Pucang Kembar itu terbungkam. Tidak seorang pun yang tahu, apakah yang sedang mereka hadapi. Namun perlahan-lahan Ki Gede menari nafas dalam-dalam. Kepalanya yang lemah perlahan-lahan terangguk kecil.

Ketika sekali lagi terdengar ledakan cambuk yang dahsyat itu, maka seakan-akan Ki Gede menemukan suatu keyakinan tentang sesuatu. Perlahan-lahan terdengar ia berguman, “He, Ki Sanak, apakah kau kenal siapakah yang meledakkan cambuknya seperti ledakan petir di udara itu?”

Gupala ragu sejenak. Namun akhirnya ia menjawab, “Ya, Ki Gede. Aku mengenalnya. Ia-lah ayahku, yang aku katakan menyuruhku menyerahkan obat ini kepada Ki Gede.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “apakah benar kau anaknya?”

“Ya, Ki Gede”

Dalam keremangan cahaya bulan tampak wajah Ki Gede yang pucat itu tersenyum. Ditatapnya wajah Gupala yang bulat tubuhnya yang gemuk dan kaki-kakinya yang kokoh.

“Apakah kau satu-satunya anak orang yang meledakkan cambuk itu?”

Sekali lagi Gupala menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab sambil menggeleng, “Tidak, Ki Gede. Aku adalah anaknya yang muda.”

“Berapa anaknya?”

“Dua,”

Ki Gede Menoreh diam sejenak. Terasa lukanya menjadi semakin pedih dan tubuhnya menjadi semakin lemah. Kini ia pun menjadi ragu-ragu. Suara cambuk itu suatu isyarat yang pernah dikenalnya beberapa puluh tahun yang lampau, ketika ia masih menjadi seorang prajurit.

Setelah mereka berpisah, maka jarang-jarang sekali mereka saling bertemu, dan bahkan hampir tidak pernah sama sekali. Kabar tentang kawannya, manusia bercambuk itu pun semakin lama semakin tidak bernah didengarnya lagi.

Kini, tiba-tiba ia mendengar ledakan serupa. Ledakan cambuk itu, ketika ia sedang dalam keadaan yang sulit.

Kerti dan kedua kawannya pun seolah-olah membeku pula. Dilihatnya wajah Ki Gede yang pucat itu, membayangkan sebuah yang menjadi rahasia.

“Apakah Ki Gede mengenal suara itu?” berkata Kerti.

Perlahan-lahan Ki Gede menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan pula ia berdesis, “Panggil anak muda yang bernama Gupala itu mendekat.”

Kerti menjadi ragu-ragu. Tetapi ia berpaling dan berkata kepada Gupala, “Ki Gede memanggilmu.”

Gupala melangkah maju. Kemudian berjongkok di samping Ki Gede.

“Apakah benar kau anaknya?”

“Ya, Ki Gede,” sahut Gupala.

Coba, tujukkan kepadaku, apakah kau mempunyai cambuk pula seperti ayahmu?”

Gupala tidak menjawab. Ia masih tetap ragu-ragu. Tanpa disadarnya dipandanginya tombak pendek yang masih tetap di dalam genggaman Ki Gede Menoreh.

“Gupala,” desis Ki Gede, “kalau kau mempunyai juga, coba tunjukkanlah kepadaku.”

Gupala tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia meraih cambuknya yang melingkar di bawah bajunya. Dengan tangan gemetar ditunjukkannya cambuk itu kepada Ki Gede Menoreh.

Tangan Ki Gede yang masih lemah itu pun meraba cambuk Gupala. Terasa sesuatu yang aneh menjalari perasaannya. Tiba-tiba ia berkata, “Buktikan kepadaku, bahwa kau anaknya. Kau pasti pandai bermain cambuk pula. Kalau kau mampu meledakkan seperti ayahmu, meskipun tidak sesempurna itu, maka aku percaya kepadamu dan kepada ayahmu.”

Gupala masih saja dicekam oleh keragu-raguan. Tetapi ia berdiri juga dan melangkah beberapa langkah surut.

“Maafkan, Ki Gede,” katanya, “aku akan mencobanya.”

“Silahkan,” sahut Ki Gede.

Kerti dan kedua kawannya mengerutkan keningnya. Disiapkannya dadanya dan telinganya untuk mendengar cambuk itu meledak, supaya dadanya tidak menjadi pedih dan telinganya menjadi mengiang-ngiang.

Sesaat kemudian cambuk itu meledak, memekakkan telinga, meskipun tidak sekeras suara cambuk yang lebih dahulu. Namun demikian, Kerti dan kedua kawannya terpaksa menggeleng-gelengkan kepalanya, karena serasa sesuatu kemudian menyumbat telinganya.

Argapati menangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia berkata lirih, “Kini aku percaya kepadamu. Berikan obat itu kepada Kerti. Biarlah ia menaburkannya di atas lukaku.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa ayahmu itu tidak datang sendiri kemari mengantar obat ini? Aku tidak akan mempersoalkan lagi, apalagi ia sendiri sudi datang kepadaku dalam saat-saat yang seperti ini. Aku tidak perlu bercuriga dan bertanya-tanya.”

Sejenak Gupala terdiam. Namun sejenak kemudian ia mengambil obat dari kantong bajunya, menyerahkannya kepada Kerti sambil menjawab, “Inilah obat itu. Menurut ayah, obat itu harus ditaburkan di sekeliling luka dan pada luka itu sendiri.”

Kerti menerima obat itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergeser maju mendekati Ki Argapati. Sementara itu Gupala berkata, “Menurut pesan ayah, ayah belum dapat menemui Ki Gede sekarang. Ada sesuatu yang mencegahnya. Karena itu, ayah menyuruhku menyerahkannya kepada Ki Gede.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Gumannya, “Aku tidak tahu, apa yang telah menghalang-halangi ayahmu menemui aku. Aku tidak pernah merasa mempunyai persoalan apa pun. Tetapi baiklah, sampaikan kepadanya, bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian ini. Aku berharap, bahwa pada suatu ketika kita akan dapat bertemu.”

Gupala mengangguk-angguk kepalanya. Katanya, “Aku akan menyampaikannya kepada ayah.”

Sementara itu, Kerti telah mulai menabur-naburkan obat yang terbungkus dengan daun kelaras. Perlahan-lahan, merata di atas guratan luka yang panjang.

Sejenak kemudian, terasa arus yang dingin menjalari pembuluh-pembuluh darah Ki Argapati. Perasaan pedih yang menyengat-nyengat menjadi berangsur berkurang, meskipun tidak lenyap sama sekali. Namun yang memberinya harapan adalah kemampuan obat itu memampatkan lukanya, sehingga hampir tidak percaya kepada penglihatannya, Kerti berkata, “Apakah benar, bahwa darah itu tiba-tiba saja berhenti mengalir?”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tubuhnya terasa terlampau lemah, namun ia tersenyum, “Sampaikan kepada ayahmu itu Gupala, aku benar-benar berterima kasih kepadanya. Aku ingin segera bertemu dan meyakini, bahwa ia berputerakan seorang anak muda segemuk kau ini?”

Terasa dada Gupala berdesir. Tetapi ia tidak menyahut.

“Aku sekarang merasa, bahwa seolah-olah aku tetap hidup lagi setelah aku meninjau ke daerah maut. Sebenarnya aku sama sekali sudah tidak berpengharapan, karena darahku sudah tidak dapat dibendung lagi oleh obat yang dibawa oleh Kerti. Tetapi obat ayahmu benar-benar obat yang telah menumbuhkan harapanku kembali.”

“Mudah-mudahan, Ki Gede,” sahut Gupala, “mudah-mudahan obat itu dapat menyembuhkan luka Ki Gede.”

“Tetapi sampaikan kepada ayahmu, Gupala, bahwa pada saatnya aku ingin bertemu. Terserah kepadanya, kapan ia bersedia. Kalau aku yang harus datang kepadanya, aku pasti akan datang. Tetapi kalau ia bersedia datang kepadaku, akan aku terima dengan segala senang hati.”

“Ya, Ki Gede. Aku akan menyampaikannya,” jawab Gupala, kemudian, “kini perkenankanlah aku kembali kepada ayah.”

Ki Argapati menganggukkan kepalanya, “Baiklah, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih.”

Gupala pun segera minta diri. Kemudian dengan langkah yang tetap, ditinggalkannya Ki Gede Menoreh yang terbaring dilingkari oleh Kerti dan kedua kawannya.

Namun beberapa langkah kemudian ia tertegun. Ia tidak dapat menahan dirinya yang dijalari oleh sifat-sifat yang aneh. Karena itu, maka tiba-tiba ia berpaling. Dipandanginya wajah Kerti yang samar-samar di dalam cahaya bulan yang bulat. Kemudian tiba-tiba ia bertanya, “Kiai, Kiai Kerti. Bukankah nama Kiai demikian? Nah, apakah Kiai masih ingin membawa aku beserta dengan kalian.”

Kerti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Yang terdengar sekedar desis dari sela-sela bibirnya.

Karena Kerti tidak menjawab, maka Gupala pun kemudian melangkahkan kakinya pula sambil berkata, “Terima kasih, kalau Kiai tidak membutuhkan aku lagi.”

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa tertahan.

Kerti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Namun ia mendengar Argapati tertawa lirih, “Anak itu suka bergurau.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah sebenarnya mereka itu, Ki Gede?”

“Aku pernah mengenalnya. Seorang yang baik hati. Tetapi sudah agak lama aku kehilangan hubungan. Kini tiba-tiba ia datang ketika aku sedang di dalam bahaya. Orang itu memang seorang ahli obat-obatan yang baik.”

“Apakah Ki Gede ingat, siapakah namanya?”

“Nama tidak penting baginya. Ia adalah seorang yang bersembunyi di belakang seribu satu macam nama.”

“Tetapi ia mempunyai kecirian yang tidak berubah seperti perubahan namanya itu.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Itulah yang sukar untuk dikatakan. Tetapi menurut hematku, ia bukan seorang yang tidak berarti.”

“Orang yang hidupnya ditabiri oleh seribu macam rahasia.”

“Tepat. Apa kau sangka, bahwa anak yang bernama Gupala itu pun tidak berlatih merahasiakan dirinya? Aku tidak yakin, bahwa ia anak orang bercambuk itu. Entahlah, aku tidak tahu, kenapa aku berprasangka demikian.” Sejenak Ki Gede berhenti, lalu, “Tetapi sebaiknya kita tidak usah menjadi pening karenanya.”

Kerti menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan demikian, maka sejenak suasana dicekam oleh kesenyapan. Yang terdengar hanyalah desir angin pada daun pucang yang bergerak-gerak, seperti sedang melambai kepada bulan yang semakin rendah di ujung Barat.

Tiba-tiba kesenyapan itu dipecahkan oleh gonggong anjing-anjing liar di kejauhan. Ki Gede yang masih lemah itu pun berkata, “Apakah kalian akan berada di sini semalam suntuk?”

“Oh,” Kerti seolah-olah baru tersadar dari lamunannya. Terbata-bata ia menjawab, “Tidak, Ki Gede. Marilah, marilah kita berangkat ke induk pasukan.”

Kedua kawan Kerti pun kemudian memapah Ki Gede. Kedua lengan Ki Gede melingkar di pundak kedua orang itu di kedua sisinya, sedang Kerti dengan senjata terhunus berjalan di paling depan. Mereka menyadari, bahwa perjalanan yang pendek itu adalah perjalanan yang justru penuh dengan bahaya.

Sejenak mereka berjalan tertatih-tatih di atas tanah berbatu cadas. Kemudian meloncati tebing-tebing kecil, menyusup gerumbul-gerumbul liar, meninggalkan sepasang batang pucang yang masih tegak menjulang tinggi, seolah-olah ingin meraih bulan yang bulat di langit dengan daun-daunnya yang bergerak-gerak seperti jari jemari yang panjang.

“Bukankah Ki Gede tadi sore berangkat dengan naik kuda?” bertanya Kerti.

Ki Gede mengangguk, “Ya, aku membawa seekor kuda.”

“Kami juga membawa kuda,” berkata Kerti pula.

Merekapun segera berusaha menemukan kuda-kuda itu. Dengan hati-hati Ki Gede dipapah, didudukkannya di atas kudanya.

“Aku akan duduk di belakang Ki Gede,” berkata Kerti.

Ki Gede tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk pula. Dipercayakannya saja dirinya yang terluka itu kepada pengawal-pengawalnya.

Kerti pun kemudian duduk di belakang Ki Gede Menoreh, sedang kudanya diserahkannya kepada kawannya. Diikatkannya kendali kuda itu pada pelana kudanya sendiri, dan dengan demikian maka kuda itu akan selalu mengikutinya.

Meskipun demikian, perjalanan mereka belum berarti lepas sama sekali dari bahaya. Di sepanjang perjalanan mereka akan dapat bertemu dengan sepasukan lawan. Sepasukan yang besar, atau segerombol peronda yang nganglang dari pihak Sidanti.

Dengan demikian, maka mereka pun tetap berhati-hati, setiap saat mereka harus bersiap menghadapi segala macam kemungkinan yang datang dengan tiba-tiba. Apalagi pada saat itu, Ki Argapati sedang dalam keadaan terluka cukup parah, sehingga tidak mungkin baginya untuk berbuat sesuatu, apabila mereka bertemu dengan lawan.

Demikianlah, maka dalam silirnya angin malam, kuda-kuda itu berjalan tidak terlampau cepat. Menyusur jalan sempit di hutan-hutan perdu yang jarang.

“Kita harus berusaha mencari jalan yang paling aman,” berkata Kerti, “Kalau benar padukuhan induk sudah tidak dapat dianggap aman, maka kita harus menuju ke padesan yang lain.”

Argapati mengangguk perlahan. Terdengar suaranya dalam, “Aku sudah menasehatkan, kalau terpaksa mereka tidak dapat menahan diri dari arus kekuatan Sidanti, maka aku minta para keluarga mereka disingkirkan ke Patemon. Sehingga seandainya pasukan Menoreh benar-benar terdesak, aku kira mereka pun akan menyingkir ke padesan itu pula.

“Baiklah, aku akan melihat padesan itu lebih dahulu,” berkata salah seorang kawan Kerti.

“Jangan sekarang. Nanti setelah kita mendekati padesan itu. Di perjalanan setiap tenaga kami sangat diperlukan.”

Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa memang seharusnya ia tidak meninggalkan rombongan kecil yang parah itu.

Namun belum lagi mereka terlampau jauh dari Pucang Kembar. Mareka mendengar derap kaki kuda dari arah depan. Semakin lama semakin dekat, sehingga Kerti menarik kekang kudanya sambil berdesis, “Apakah kalian mendengar pula?”

“Derap kaki-kaki kuda.”

“Ya. Derap itu menuju ke arah ini.”

Wajah Kerti dan kawan-kawannya segera menjadi tegang. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun mereka tidak segera berbuat sesuatu.

“Kita menyingkir dahulu,” terdengar suara Ki Argapati lambat, “kita bersembunyi di belakang semak-semak.”

“Oh,” seolah-olah Kerti baru sadar dari angan-angannya. Tanpa menunggu lagi dibawanya kudanya masuk ke belakang semak-semak yang agak rimbun. Demikian pula kedua kawannya pun bersembunyi di balik dedaunan.

Tetapi Kerti segera meloncat dari kudanya sambil berkata lirih, “Aku ingin melihat, siapakah mereka itu Ki Gede.”

“Hati-hatilah.”

Kerti mengangguk sambil berjalan tergesa-gesa, menyusup di bawah dedaunan untuk mengintip kuda-kuda yang akan lewat di jalan sempit di mukanya. Jalan yang baru saja ditelusuri pula.

Semakin dekat, maka tampaklah kuda-kuda itu semakin jelas bersama penunggangnya. Tiga ekor kuda.

Kerti menahan nafasnya ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat. Semakin jelas olehnya, siapakah yang berada di punggung kuda itu hatinya menjadi semakin berdebar-debar.

“Benarkah mereka itu?”

Ketika kuda itu beberapa langkah lagi lewat di depannya, maka tiba-tiba Kerti pun segera meloncat dari dalam gerumbul, dan berdiri tegak di tepi jalan sambil memamggil, “He, berhenti. Berhenti!”

Orang-orang berkuda itu terkejut. Seekor di antara mereka telah mendahului. Mendengar teriakan itu segera kuda itu berhenti sambil meringkik, kemudian dengan tangkasnya berputar menghadap ke arah Kerti. Sedang dua ekor yang lain, yang masih belum melampaui Kerti segera berhenti. Demikian tegang penunggangnya menarik kekang kuda itu, sehingga kuda-kuda itu terlonjak berdiri.

Setelah kuda-kuda itu agak tenang, maka bertanyalah Kerti, “Kemanakah kalian akan pergi?”

Ketiga orang itu hampir bersamaan menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mareka berkata, “Kau mengejutkan kami.”

“Aku harus hati-hati. Aku tidak menyangka, bahwa kalian akan datang kemari.”

“Kami datang menyusul Ki Argapati.”

“Kenapa? Bukankah Ki Argapati berbesan bahwa tidak seorang pun boleh ikut campur dalam persoalan pribadinya?”

“Kami tidak akan mencampuri persoalannya. Tetapi apabila Ki Gede sudah selesai, maka aku akan memberitahukan, bahwa pasukan Menoreh terpaksa ditarik dari padukuhan induk.

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Katanya dalam nada yang rendah, “Ki Gede sudah menduga. Suara tanda yang mencemaskan terdengar dari bawah Pucang Kembar.”

“Darimana kau tahu bahwa Ki Gede sudah menduga? Apakah kau sudah menemuinya?”

Kerti mengangguk. Katanya, “Ki Gede sekarang ada di sini. Dadanya terluka agak parah.”

“He,” ketiga orang itu terperanjat mendengar berita yang tidak terduga-duga itu.

Justru karena itu mereka terdiam. Tetapi sorot mata mereka seakan-akan tidak mempercayai berita itu. Ki Argapati tidak boleh terluka. Ki Argapati tidak akan dapat dilukai oleh siapa pun.

Kerti melihat kebimbangan pada sorot mata itu, sehingga ia perlu menjelaskan, “Ki Argapati memang terluka.”

Pengawal yang datang bertiga di atas punggung kuda itu saling berpandangan sejenak, kemudian salah seorang dari mereka bertanya dengan nada penuh kebimbangan, “Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Aku berkata sebenarnya.”

“Kalau kau berkata sebenarnya, siapakah yang melukainya?”

“Ki Tambak Wedi.”

“He,” wajah-wajah itu pun segera menjadi tegang, “apakah Ki Argapati tidak dapat menyamai kelebihan Ki Tambak Wedi?”

“Bukan begitu. Tetapi bukan saat kini kita bercerita.”

Kalau kau mengenal jalan yang paling baik, marilah kita segera pergi ke induk pasukan yang telah ditarik itu.”

“Oh, baiklah.”

“Tunggu, aku akan memanggil Ki Gede.”

Kerti pun kemudian meloncat hilang di balik gerumbul, untuk memberitahukan kehadiran ketiga pengawal Tanah Perdikan yang telah beruaha menghubungi Ki Gede untuk melaporkan keadaan pasukannya.

Sejenak kemudian Ki Gede yang terluka itu pun muncul pula dari balik gerumbul di atas punggung kuda bersama Kerti yang menjaganya. Kehadirannya benar-benar telah membuat ketiga pengawal yang baru datang itu menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa Ki Gede Menoreh benar-benar terluka di dadanya.

“Marilah, berjalanlah di depan. Jangan terlampau cepat,” barkata Kerti kepada ketiga pengawal itu.

Salah seorang dari mereka agaknya masih ingin bertanya, tetapi Kerti mendahuluinya, “Jangan terlampau banyak bertanya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum Ki Tambak Wedi kembali dengan membawa prajurit segelar sepapan.”

“Oh,” orang itu mengurungkan niatnya, “marilah.”

Ketiganya segera mendahului berjalan di depan. Kemudian Kerti yang sedang menjaga Ki Gede yang masih terlampau lemah. Di belakang mereka adalah kedua kawan-kawan Kerti yang telah ikut berkelahi melawan orang-orang Ki Tambak Wedi.

Perjalanan itu adalah perjalanan yang tegang. Setiap saat mereka harus bersiap menghadapi segala macam kemungkinan. Dalam keadaan itu, bagi Menoreh, tidak ada lagi batas yang dapat digoreskan, yang akan memisahkan daerah kekuasaan pasukan Sidanti dan daerah kekuasaan pasukau Samekta. Keduanya mungkin berada de segala tempat, dan keduanya mungkin merondai segala jalan di telatah Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga dengan demikian, maka sukarlah bagi siapa pun untuk dapat segera mengenal kawan atau lawan apabila mereka bertemu di perjalanan.

“Kita melingkari padukuhan Sampit,” berkata sahah seorang dari ketiga orang yang berkuda di depan.

“Kemana kita akan pergi?” terdenger suara Ki Argapati.

“Kita akan pergi ke Karang Sari, Ki Gede. Dan kita harus melingkari padukuhan Supit, supaya kita berjalan dekat dengan daerah Wurawari.”

Kenapa kita memilih jalan Wurawari?” bertanya Kerti.

Ketiga orang yang berkuda di depan itu tidak ada yang segera menjawab. Bahkan mereka sejenak saling berpandangan.

“Kenapa?” desak Kerli.

Belum seorang pun yang menjawab.

Ternyata kediaman mereka telah menimbulkan kecurigaan pada Kerti, sehingga ia mendesak lebih keras lagi, “Kenapa, he? Apakah ada rahasia yang harus kalian sembunyikan?”

“Tidak. Tidak sama sekali. Tetapi aku ragu-ragu apakah beritaku tidak akan mengejutkan. Terutama bagi Ki Gede.”

“Bodoh kau,” bentak Kerti. “Kepada siapa kau akan menyampaikan semua persoalan kalau tidak kepada Ki Gede?”

“Tetapi Ki Gede sedang terluka,”

“Apa bedanya?”

Tetapi ketiga orang itu masih tetap ragu-ragu. Meskipun mereka tidak berpaling, namun tampak bahwa mereka menjadi gelisah.

“Katakanlah,” desis Ki Gede Menoreh kemudian, “apa pun yang akan kau katakan, aku akan mendengarkannya. Aku tidak boleh terpengaruh oleh keadaan apa pun. Adalah kewajibanku untuk mendengar semua persoalan. Yang baik, dan yang menyulitkan sekalipun.”

Salah seorang dari ketiga pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah kedua kawannya berganti-ganti. Tetapi yang dilihatnya wajah-wajah itu masih tetap memancarkan kebimbangan hati.

“Katakanlah,” desak Ki Gede dalam nada datar.

“Baiklah, Ki Gede. Tetapi perkenankan aku menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya dari kakang Samekta, Wrahasta, dan para pengawal seluruhnya.”

“Ya, ya.”

“Pandan Wangi belum tampak di antara para prajurit yang mengundurkan diri.”

“He?” betapapun juga terasa sesuatu menghentak di dada Ki Gede Menoreh. Ia tidak akan terkejut dan apalagi bingung seandainya ia mendengar berita bahwa rumahnya telah menjadi karang abang, karena dibakar oleh Sidanti. Ia tidak akan tersentak sehingga nafasnya serasa terhenti, kalau ia mendengar bahwa seluruh padukuhan induk telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi berita yang didengarnya ini adalah, bahwa Pandan Wangi belum ada di antara para pengawal yang mngundurkan diri.

“Di manakah anak itu agaknya,” terdengar suara Ki Argapati dalam nada yang dalam.

“Karena itulah maka aku mencarinya kemari,” sahut Kerti.

“Oh, kau keliru,” potong salah seorang dari ketiga orang berkuda itu. “Pandan Wangi ternyata telah menemui Kakang Samekta, bahkan ikut bertempur di medan sebelah Barat. Kemudian Kakang Samekta meninggalkannya karena ia harus pergi ke medan yang baru. Ketika pasukan itu mundur, Pandan Wangi tidak ada di antara mereka.”

Kecemasan yang dalam telah tergores di dinding hati Ki Argapati. Pandan Wangi adalah satu-satunya keturunan yang diharapkannya dapat menyambung namanya kelak, setelah ternyata Sidanti tidak dapat diharapkannya lagi. Tetapi ternyata bahwa gadis itu hilang di peperangan.

“Kenapa gadis itu dapat terlepas sehingga ia sendiri terjun di dalam peperangan?” terdengar suara Ki Argapati datar.

Meskipun Ki Argapati seolah-olah hanya bergumam kepada diri sendiri, namun kata-kata itu telah membuat Kerti tertunduk sambil berdesah, “Aku minta maaf Ki Gede. Bagaimana kami di rumah mencoba menahannya. Tetapi tiba-tiba saja ia telah lenyap.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lemah, “Ya. Tidak seorang pun dapat dipersalahkan. Anak itu mempunyai kaki untuk melangkah dan mempunyai kehendak untuk mendorong kakinya itu. Anak itu memang keras kepala.”

Kerti tidak menjawab lagi. Meskipun Ki Gede tidak langsung menyalahkannya, namun ia adalah salah seorang yang diserahi untuk mengawasi anak itu. Dan ternyata anak itu kini hilang.

Tetapi Ki Argapati menjadi semakin terperanjat ketika orang yang menyusulnya itu berkata, “Beberapa orang melihat, Pandan Wangi terlibat dalam pertempuran melawan, Ki Peda Sura. Ketika pasukannya mundur, ia tertahan. Maksudnya dapat jelas kami tangkap, melindungi kami yang mundur dari senjata Peda Sura yang ganas itu. tetapi akhirnya, ia sendiri terpisah dari pasukannya.”

“Jadi Pandan Wangi bertempur melawan Ki Peda Sura?” bertanya Argapati yang menjadi semakin cemas.

“Ya, Ki Gede.”

“Seorang melawan seorang?”

“Ya, Ki Gede.”

“Oh,” Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya terdengar kata-kata dari sela-sela bibirnya. “Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat melepaskannya. Peda Sura belum akan dapat dilawannya. Meskipun ia mempunyai bekal yang cukup namun pengalaman setan itu jauh lebih banyak dan luas. Ia tidak mempunyai batas bagi perbuatannya. Apa pun dapat dilakukannya untuk mencapai tujuannya.”

Para pengawal yang mendengar kata-kata itu pun menjadi semakin cemas pula. Tidak seorang pun yang dapat membayangkan, apa yang telah terjadi dengan Pandan Wangi.

Dan tiba-tiba saja mereka terperanjat ketika Ki Gede berkata, “Kita pergi ke bekas pertempuran itu. Aku ingin melihat sendiri, apakah yang sudah terjadi.”

Dada Kerti menjadi berdebar-debar. Betapapun ia merasa bersalah, namun diberanikan dirinya berkata, “Ki Gede. Bukankah tempat itu masih terlampau berbahaya?”

“Ya, sangat berbahaya,” sahut salah seorang dari ketiga pengawal yang menjemputnya. “Peda Sura agaknya meninggalkan sekelompok orangnya di sekitar bekas pertempuran itu.”

“Apa pun yang akan terjadi aku akan melihat,” kata-kata Argapati tiba-tiba menjadi tajam. “Aku ingin melihat, apakah aku dapat menemukan mayat anakku. Kalau tidak maka ia pasti dibawa oleh Peda Sura. Jika demikian, maka Pandan Wangi akan mengalami penderitaan yang mengerikan.” Ki Gede berhenti sejenak. Lalu terdengar ia menggeram, “Kalau demikian halnya, maka aku sendiri akan memimpin langsung pasukan Menoreh yang ada untuk merebut kembali semua kedudukan. Aku harus menemukan Pandan Wangi dalam segala kadaan dan menemukan kembali keutuhan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kini sudah tersayat-sayat.”

Dada Kerti berdesir mendengar kata-kata itu. Ki Gede adalah seorang yang keras hati. Hampir setiap kata-katanya dilakukannya dengan baik. Karena itu maka dengan hati-hati ia berkata, “Tetapi bukankah Ki Gede kini sedang terluka?”

“Lukaku tidak seberapa. Aku sudah sembuh dan aku berterima kasih kepada orang bercambuk itu.”

“Tetapi,” Kerti masih mencoba menahannya, “apabila Ki Gede langsung terjun di peperangan maka luka itu akan berbahaya.”

“Jadi maksudmu, aku baiknya tidur di pembaringan, sedang anakku dan seluruh Tanah Perdikan Menoreh sedang dibakar oleh api kedengkian, nafsu dan pamrih yang melonjak-lonjak?” suara Ki Gede menjadi semakin keras, dan bahkan hampir berteriak.

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kecemasan yang merambat di dadanya menjadi semakin dalam tergores di dinding jantungnya. Ki Gede sudah mulai menentukan sikap. Jika demikian, maka sulitlah baginya, dan bagi siapa pun untuk mengurungkannya.

Kerti adalah seorang yang sudah cukup lama berada di samping Ki Gede. Ia tahu benar sifatnya dan tabiatnya. Namun pengetahuannya tentang watak Ki Gede itulah yang kini membuatnya bingung dan tidak menentu.

“Cepat!” tiba-tiba Ki Gede berteriak. “Pacu kuda ini.”

“Oh,” Kerti berdesah.

“Cepat, kau dengar?”

“Baiklah, Ki Gede.”

Kerti Tidak dapat berbuat lain kecuali mempercepat langkah kudanya. Dengan demikian maka yang lain pun menjadi semakin cepat pula.

“Kita tidak hanya sekedar lewat di daerah Wura-wari. Tetapi kita akan singgah di padesan itu. Bukankah maksudmu, pertempuran berlangsung di daerah itu? Bukankah begitu?” berkata Ki Gede kepada ketiga pengawalnya yang berkuda di depan.

“Ya, Ki Gede,” jawab salah seorang dari mereka, “tetapi tempat itu benar-benar berbahaya. Kalau kita lewat di sekitarnya, mungkin kita akan mendapat bahan untuk mengetahui di mana Pandan Wangi berada. Tetapi kalau kita langsung masuk ke daerah Wura-wari dalam keadaan serupa ini, maka kita telah kehilangan perhitungan.”

“Persetan,” sahut Argapati, “aku sendiri akan melihat daerah itu. Aku bukan seorang yang terlampau bodoh dan tidak mempunyai perhitungan. Tetapi aku akan melihat bekas pertempuran.”

“Ki Gede,” suara Kerti merendah, “bagaimana mungkin Ki Gede akan melakukannya? Baiklah, aku dengan kedua kawanku inilah yang melihatnya. Kami dapat mempergunakan cara apa pun, sambil bersembunyi atau merangkak di antara tumbuh-tumbuhan. Tetapi kami tidak sedang terluka seperti Ki Gede saat ini.”

Terdengar Ki Gede Menoreh menggeretakkan giginya. Seakan-akan ia sama sekali tidak mendengar kata-kata Kerti itu. Bahkan ia berkata dengan lantangnya, “Kaalau perlu aku akan masuk ke padesan yang sudah diduduki pasukan Sidanti. Aku ingin tahu dengan pasti, apakah yang sudah terjadi dengan Pandan Wangi.”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tubuh Ki Gede Menoreh masih terlampau lemah. Hanya kadang-kadang saja ia menghentakkan dirinya, namun kemudian ia tersandar kembali ke dada Kerti yang duduk di belakangnya.

“Jangan terlampau banyak bergerak Ki Gede. Aku takut kalau luka itu kembali berdarah lagi,” berkata Kerti kemudian.

Ki Gede tidak menjawab. Tatapan matanya jauh menembus kabut malam yang keputih-putihan di bawah sinar bulan yang sedang purnama. Setitik embun jatuh dari dahan di atas mereka. Dingin.

Namun betapa hangatnya dada Kerti yang gelisah itu. Kalau benar-benar Ki Gede kehilangan pengamatan diri karena hilangnya Pandan Wangi, maka keadaan akan menjadi semakin sulit. Kalau terjadi sesuatu atas Ki Gede, maka pasukan Menoreh akan kehilangan induknya, seperti sapu lisi kehilangan suhnya. Mawut bertebaran terserak-serak di halaman.

Ketika mereka telah melampaui bulak di sebelah padukuhan Supit yang kecil, hati Kerti menjadi semakin berdebar-debar. Sebentar lagi mereka akan sampai ke pategalan, berseberangan dengan padukuhan kecil tempat pasukan Samekta menunggu gerombolan Ki Peda Sura.

Tiba-tiba ketiga pengawal yang berkuda di depan merapat dan saling berbisik, “Kita bawa Ki Gede ke pategalan. Bekas pertempuran di pategalan itu sajalah yang kita tunjukkan kepadanya supaya ia tidak mendekat ke padesan di sebelah. Aku yakin bahwa di padesan itu pasti dijaga oleh pasukan Sidanti.”

“Ya,” jawab yang lain, “dengan demikian pasti akan lebih aman bagi Ki Gede.”

Mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan dengan demikian maka mereka agak menjadi tenteram. Karena mereka tahu, bahwa Ki Argapati benar sedang dalam keadaan parah.

Karena itu, ketika mereka sampai ke simpang tiga yang menuju ke pategalan yang agak rimbun itu, ketiga pengawal yang berada di depan itu pun berbelok.

“He, kenapa mereka berbelok,” bertanya Ki Gede.

“Tunggu,” teriak Kerti.

Ketiga pengawal itu pun segera menarik kekang kuda mereka. Salah seorang dari mereka berpaling sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulut, “Sst, di padesan itu sedang berjaga-jaga pasukan Sidanti,” desis salah seorang dari mereka setelah Kerti mendekat.

“Tetapi kenapa kalian berbelok kemari?” bertanya Ki Argapati. “Bukankah kita masih harus maju lagi untuk mencapai Wura-wari?”

“Pertempuran itu terjadi di pategalan itu Ki Gede,” jawab salah seorang dari mereka.

Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun ia menggeram, “Aku ingin melihat.”

Mereka pun kemudian meneruskan perjalanan itu. Ketika mereka sampai di ujung pategalan, maka mereka pun segera berhenti. Satu-satu mereka turun dari kuda mereka dengan penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka telah melekat di hulu pedang masing-masing.

Dengan hati-hati Kerti menolong Ki Gede turun dari kudanya dan memapahnya berjalan perlahan-lahan memasuki pategalan yang sunyi itu. Smentara itu, seorang dari mereka berdiri di luar pategalan untuk mengawasi kuda-kuda mereka.

Demikian mereka memasuki pategalan itu, maka segera Ki Gede menggeram. Ketiga pengawal itu tidak menipunya. Ki Gede masih sempat melihat bekas pertempuran. Bahkan masih dilihatnya beberapa sosok mayat yang terbaring di tanah. Mayat-mayat itu akan tinggal di tempatnya sampai besok. Kalau orang-orang Sidanti di padukuhan sebelah sempat, maka mayat-mayat itu baru akan dikuburkan.

“Hem,” Ki Gede berdesah, “perang yang kisruh.”

“Ya, Ki Gede, perang brubuh.”

Ki Gede tidak menyahut. Perlahan-lahan sambil berpegangan leher Kerti ia melangkah maju semakin dalam. Dilihatnya bekas peperangan itu dengan tegangnya. Hampir setiap mayat yang dijumpainya ditatapnya dengan tajamnya dan bahkan kadang-kadang diamatinya dengan seksama. Kadang-kadang memang dijumpainya mayat-mayat orang yang pernah dikenalnya, Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Apakah pasukan Peda Sura telah membersihkan medan ini dengan mengambil mayat kawan-kawannya dan mereka yang terluka parah?” bertanya Ki Gede Menoreh.

“Aku kira belum, Ki Gede. Mayat masih banyak berserakan. Kalau Ki Gede sempat memperhatikan seluruh bekas medan ini.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Menilik korban yang jatuh, seharusnya pasukan Menoreh tidak dapat terdesak mundur.”

“Kalau keadaan tidak berubah, Ki Gede. Tetapi suara titir yang menjalar dari Timur telah menarik sebagian pasukan ini bersama Ki Samekta seudiri. Sedangkan Pandan Wangi tetap berada di medan ini.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia masih juga melangkah maju menyusur bekas medan yang bosah-baseh.

“Aku akan menyusur garis surut pasukan Menoreh,” tiba-tiba Ki Gede bergumam.

Kerti terperanjat. Sehingga dengan serta-merta ia berkata, “Terlampau berbahaya Ki Gede.”

Ki Gede tidak menjawab, tetapi ia melangkah terus sambil berpegangan pundak Kerti.

“Ki Gede masih terlampau lelah. Seandainya tidak ada bahaya apa pun di perjalanan, maka Ki Gede akan terlampau banyak membuang tenaga.”

“Aku tergantung di pundakmu.”

“Itu bukan berarti Ki Gede tidak mengeluarkan tenaga.”

“Tetapi tenagaku masih cukup. Jangan kau cemaskan. Aku tidak akan mati karena berjalan menyusur jalan surut sampai ke tempatnya yang sekarang. Di sepanjang jalan mundur itu aku akan mencari mayat Pandan Wangi.”

Kerti menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat berhenti, karena Ki Gede yang tergantung di lehernya masih benjalan selangkah-selangkah terus, meskipun dengan susah payah.

Tetapi yang mencemaskan Kerti dan pengawal-pengawal yang lain, bukanlah tenaga yang akan dikeluarkan oleh Ki Gede itu sendlri, meskipun hal itu pun harus mendapat perhatian, tetapi bahwa di garis surut para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu, pasti akan ditemui suatu pengawalan yang ketat dari orang-orang Sidanti.

“Ki Gede,” berkata salah seorang dari ketiga pengawal yang menjemput Ki Gede, “kalau kita akan menyelusur garis surut itu, berarti kita harus berjalan dari sini sampai ke Karang Sari.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Apabila ia ingin menyusur bekas peperangan sampai ke tempat para pengawal itu menarik diri, memang ia harus berjalan dari pategalan itu, lewat Wura-Wari melalui beberapa bulak lagi sampai ke Karang Sari.

Meskipun demikian Ki Gede bergumam, “Tetapi aku akan menemukan puteriku di sepanjang daerah itu.”

Tak seorang pun yang segera dapat menjawab. Mereka terpaksa berjalan menurut bekas-bekas peperangan di pategalan itu. Semakin lama semakin menepi. Para pengawal yang menjemput Ki Gede tahu benar, bahwa sebentar lagi mereka harus melalui daerah persawahan yang terbuka semakin dekat dengan tempat-tempat yang mungkin dihuni oleh orang-orang Sidanti.

Ketika mereka melangkah semakin maju lagi, tiba-tiba salah seorang dari ketiga pengawal itu berkata, “Ki Gede, tidak ada gunanya kita mencarinya lebih jauh.”

Ki Gede memandangnya dengan penuh keheranan, “Kenapa?”

“Di sini Pandan Wangi bertempur.”

“Aku tahu, aku tahu,“ jawab Ki Gede, “tetapi bukankah mereka mundur?”

“Yang mundur adalah pasukan pengawal. Pandan Wangi mencoba melindungi kami. Aku tahu, betapa besar tanggung jawabnya sebagai putera Ki Gede. Kami sudah mencoba untuk membawanya serta. Tetapi ia tidak bersedia. Sedang keadaan peperangan telah memaksa kami untuk selangkah demi selangkah mundur terus, kalau kami tidak ingin binasa sesuai dengan perintah Pandan Wangi sendiri sebagai pimpinan kami waktu itu sepeninggal Samekta.”

Wajah Ki Gede menjadi semakin tegang.

“Pandan Wangi terpaksa bertempur seorang lawan seorang melawan Ki Peda Sura.”

Tiba-tiba terdengar Ki Gede menggeram. Sejenak ia berdiri membeku tergantung di pundak Kerti. Namun kemudian ia berkata lantang, “Kita kembali ke induk pasukan di Karang Sari. Aku akan memimpin pasukan itu langsung ke padepokan induk. Aku harus menemukan Pandan Wangi dalam keadaan apa pun.”

Para pengawalnya menjadi berdebar-debar. Dan mereka mendengar Ki Gede berkata, “Disini aku tidak menemukan mayatnya. Anak itu pasti dibawa oleh Ki Peda Sura.”

Dada Kerti menjadi semakin bergetar. Bahkan para pengawal itu menjadi terbungkam untuk sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Apabila demikian, maka aku akan tinggal di sini.”

“Untuk apa?”

“Aku akan mencoba mencari sekali lagi. Lebih teliti di daerah peperangan ini.”

Ki Gede berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi aku akan segera menyiapkan pasukan yang ada. Aku tidak mau menunda lagi. Hilangnya Pandan Wangi adalah karena salahku. Aku terlalu bernafsu untuk menjaga harga diriku dengan perang tanding itu, sehingga keadaan Tanah Perdikan ini menjadi terpecah belah, dan anakku satu-satunya itu hilang.”

Ki Gede tidak menunggu jawaban apapun lagi. Bersama Kerti ia segera kembali ke kudanya.

“Cepat, kita pergi ke Karang Sari.”

Seteiah menolong Ki Gede naik, maka Kerti pun segera naik pula. Dua dari mereka tinggal di pategalan itu untuk melihat kemungkinan yang mengerikan apabila hal itu terjadi atas Pandan Wangi. Sedang Ki Gede dengan tergesa-gesa segera meneruskan perjalanan mereka ke Karang Sari.

Di perjalanan itu Ki Gede bergumam, ”Kita hindari daerah yang dikuasai Sidanti.”

Kerti mengerutkan keningnya. Ia agak heran mendengar pesan itu. Selama ini Ki Gede agaknya sama sekali tidak ingin menghindar dari kemungkinan bertemu dengan lawan, namun tiba-tiba pesan itu diberikannya.

“Aku akan memimpin pasukan,“ geramnya kemudian.

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tahu, bahwa Ki Gede merasa bahwa tugasnya masih belum selesai, sehingga ia tidak mau tertahan lagi di perjalanan ini.

Kuda-kuda itu pun kemudian berpacu dengan kencangnya. Debu yang keputih-putihan meloncat di belakang kaki-kaki kuda yang berderap di jalan kecil di tengah-tengah bulak yang panjang.

Sementara itu bulan di langit sudah menjadi terlampau rendah. Di ujung Timur telah menyala cahaya fajar yang kemerah-merahan. Semakin lama menjadi semakin cerah.

Di kejauhan terdengar suara kokok ayam yang seakan-akan menjalar dari satu kandang ke kandang yang lain. Sahut-menyahut tanpa menghiraukan apa saja yang telah terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh yang sedang kemelut dibakar oleh api pertentangan di antara mereka yang selama ini bersama-sama memelihara.

Apalagi setelah ada orang-orang yang tidak dikenal mencoba memanfaatkan keadaan untuk kepentingan mereka sendiri.

Kuda-kuda yang berlari di tengah-tengah bulak itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan sebuah padesan yang agak besar, yang menjadi tempat pasukan Menoreh menarik diri, Karang Sari.

“Apakah perempuan dan anak-anak ada di Karang Sari itu pula?“ bertanya Ki Gede tiba-tiba.

“Tidak, Ki Gede,“ jawab salah seorang pengawal, “mereka berada di Patemon.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi terdengar ia menggeram, sementara langit menjadi semakin cerah.

Namun agaknya Ki Gede tidak ingin melihat matahari terbit dalam perjalanannya. Sehingga dengan memandangi langit yang semburat merah kekuning-kuningan ia berkata, “Kerti, kita harus sampai ke Karang Sari sebelum fajar.”

“Kita akan berusaha, Ki Gede,“ sahut Kerti sambil mempercepat kuda mereka pula.

“Aku harus segera mempersiapkan pasukan Menoreh,” geram Ki Gede.

Kerti tidak menyahut. Tetapi ia sudah tidak terlampau gelisah lagi. Mereka sudah tidak akan melampaui tempat-tempat yang dapat dianggap berbahaya, yang mungkin menjadi tempat-tempat bersembunyi bagi para peronda dari pihak Sidanti.

Karang Sari itu pun kemudian telah berada di hadapan mereka. Sebuah padesan yang tidak begitu besar, dikitari oleh rumpun bambu ori yang lebat, seolah-olah sengaja ditanam sebagai benteng yang kuat untuk melindungi desa Karang Sari dari bahaya.

Di antara rumpun bambu ori yang penuh dengan duri-duri yang tajam itu, terdapat sebuah lorong yang sempit menyusup di bawah sebuah regol yang kuat. Itu adalah salah satu dari empat jalan untuk memasuki desa Karang Sari di empat penjuru.

Ki Gede serasa tidak sabar lagi menunggu langkah kaki kudanya. Ingin ia meloncat langsung memasuki desa yang berpagar rapat itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada membiarkan dirinya tetap duduk di atas punggung kuda bersama dengan Kerti.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka segera mereka melihat beberapa pengawal bersenjata berdiri di depan regol desa. Sikap mereka menunjukkan kesiap-siagaan mereka. Senjata-senjata telanjang tergenggam di tangan mereka dengan eratnya. Beberapa orang di antara mereka menyongsong maju dengan tombak merunduk setinggi dada.

Beberapa puluh langkah dari regol itu Kerti memperlambat langkah kudanya. Para pengawal yang lain kini berada di belakangnya. Dengan dada berdebar-debar Kerti mengangkat tangan kanannya ke atas tanpa senjata.

Dan sebelum ia menghentikan kudanya terdengar salah seorang pengawal berteriak, “Ki Gede.”

Yang lain pun segera meloncat keluar dari regol padesan itu. Berdesak-desakan. Dan mereka melihat, bahwa sebenarnyalah yang berada di atas punggung kuda bersama dengan Kerti itu adalah Ki Gede Menoreh.

Maka mereka pun segera menyibak, memberi jalan supaya kuda Ki Gede Menoreh dapat melangkah maju.

Ketika sorot matahari yang pertama jatuh di atas desa Karang Sari, maka Ki Gede pun telah berada di regol desa itu. Di antara para pengawalnya ia merasa dirinya menjadi lebih baik. Dengan dada yang gemetar ia berkata, “Kita harus menebus kekalahan ini.”

Sejenak pengawal-pengawalnya terdiam memandangi wajah Ki Gede yang pucat. Namun kemudian seperti hentakan yang melonjak dari dalam dada masing-masing, mereka berteriak menyambut, “Ya, kita harus menebus kekalahan ini.”

Samekta dan Wrahasta yang mendengar suara ribut itu segera berlari-lari ke luar dari rumah di ujung desa itu, yang mereka pakai sebagai tempat untuk melakukan pimpinan atas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Mereka terperanjat ketika mereka melihat Ki Argapati yang pucat duduk di atas punggung kuda dibantu oleh Kerti.

“Apakah Ki Gede terluka,“ bertanya Samekta dengan serta-merta.

Ki Gede mengangguk perlahan-lahan. Dipandanginya wajah Samekta dan Wrahasta berganti-ganti. Seolah-olah ia ingin melihat, apa saja yang telah mereka lakukan selama ini.

Sorot mata Ki Gede terasa terlampau tajam menusuk dada kedua pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu. Perlahan-lahan kepala mereka pun kemudian tertunduk. Seolah-olah Ki Gede sedang mengamati ketidak-mampuan mereka mempertahankan Tanah Perdikan ini dari kehancuran.

Ki Gede melihat kegelisahan di wajah kedua orang itu, sehingga dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku tidak dapat menyalahkan kalian dan menyalahkan siapa pun. Aku tahu bahwa kalian telah berbuat sebanyak-banyaknya yang dapat kalian lakukan. Aku yakin bahwa semua orang telah berjuang untuk mempertahankan Tanah ini, selain aku sendiri yang asyik memanjakan perasaan tanpa nalar yang bening. Sekarang Tanah ini terluka parah dan aku sendiri pun terluka pula.”

Semua orang menundukkan kepala mereka. Tidak seorang pun yang berani menatap wajah Ki Argapati yang sayu dan pucat.

Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara Ki Gede, “Tetapi aku ingin memperbaiki kesalahan itu. Sekarang aku akan memimpin sendiri pasukan Menoreh, merebut kembali daerah yang terpaksa kalian lepaskan itu.”

Samekta hampir-hampir tidak percaya kepada pendengarannya. Dengan pandangan yang aneh ditatapnya wajah Ki Gede Menoreh. Tetapi mulutnya tidak segera dapat mengucapkan sesuatu.

“Jangan menjadi gelisah. Aku sendiri yang akan memimpin pasukan Menoreh sekarang juga.”

“Tetapi,“ suara Samekta terbata-bata, “tetapi bukankah Ki Gede sedang terluka.”

“Lukaku tidak seberapa. Aku akan segera menjadi kuat lagi.”

“Tetapi Ki Gede memerlukan beristirahat. Meskipun hanya satu hari ini. Mungkin besok Ki Gede telah menjadi pulih kembali dan mampu memimpin pasukan Menoreh yang masih ada untuk merebut kembali semua tempat yang telah terpaksa kita lepaskan.”

“Aku tidak dapat menunggu sampai besok. Aku harus berangkat hari ini.”

Dada setiap orang yang mendengar kata-kata Ki Gede itu bergetar. Terjadilah pergolakan di setiap dada. Dorongan perasaan mereka, apalagi ketika mereka melihat Ki Gede sudah ada di antara mereka, seakan-akan telah membakar jantung mereka dan mendidihkan darah mereka. Hampir saja para pengawal itu berteriak, “Sekarang! Sekarang!“ Tetapi apabila mereka lihat Ki Gede yang lemah dan pucat, betapapun ia masih tetap dijalari oleh tekad yang menyala-nyala, mereka tidak akan dapat membenarkan sikap yang tergesa-gesa itu. Sikap itulah yang menjadi teka-teki bagi mereka. Ki Gede Menoreh tidak pernah kehilangan pengamatan,

seperti kali ini.

Karena itu, maka baik para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maupun para pemimpinnya, tidak segera dapat menyahut. Mereka seakan-akan terpukau dalam kediaman mereka. Membeku sambil memandangi wajah Ki Gede yang pucat.

Karena tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah kata menyambut perintahnya, maka Ki Gede berkata pula, “Kenapa kalian menjadi beku? Apakah kalian ragu-ragu, bahwa kita tidak mampu lagi untuk merebut setiap kedudukan yang telah kita tinggalkan?”

Samekta menelan ludahnya. Selangkah ia maju mendekati Ki Gede dengan dada yang berdebar-debar. Menurut tanggapannya, pasti ada sesuatu yang menyebabkan Ki Gede menjadi terlampau tergesa-gesa mengambil keputusan.

“Ki Gede,” berkata Samekta dengan hati-hati, “marilah. Kami persilahkan Ki Gede beristirahat. Marilah, kita membicarakannya dengan tenang.”

Tetapi Ki Gede Menoreh sama sekali tidak berkenan di hati. Dengan keras ia menjawab, “Aku tidak akan membicarakannya. Kalau kalian masih mengakui aku sebagai Kepala Tanah Perdikan, maka aku akan memerintahkan kalian untuk bersiap sekarang.”

Setiap dada terasa berdesir mendengar kata-kata Ki Gede itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Ki Argapati tidak pernah demikian.

Namun Samekta masih mencoba bertanya, “Ki Gede, apakah yang menyebabkan Ki Gede harus melakukannya sekarang? Bagaimana seandainya besok atau setiap saat apabila Ki Gede sudah pulih kembali.”

“O, kalian terlampau memikirkan diri sendiri,“ suara Ki Argapati menjadi semakin keras. Kini ia duduk tegak di atas punggung kudanya meskipun Kerti masih belum turun juga. “Kalian tidak dapat merasakan, betapa sakit hatiku mengalami peristiwa ini. Mungkin terlampau pribadi, dan mungkin kalian tidak mau terseret dalam kepentingan ini. Kalau demikian baiklah. Aku akan mengambil jalan lain. Tetapi aku harus mendapatkannya sekarang dalam segala keadaan.”

Samekta menjadi semakin tidak mengerti. Dipandanginya sejenak wajah Wrahasta. Tetapi Wrahasta yang bertubuh raksasa itu seakan-akan membeku di tempatnya. Di tubuhnya masih tergores jalur-jalur merah, bekas-bekas luka oleh sentuhan senjata lawan ketika ia bertempur mati-matian mempertahankan rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya karena sesuatu hal, maka ia tidak mati di peperangan itu. Seandainya pada saat itu Pandan Wangi masih ada di dalam rumah itu, maka ia tidak akan beranjak sampai ke ujung hidupnya.

“Baiklah,“ berkata Ki Argapati kemudian, “beristirahatlah. Aku akan pergi sendiri.”

Samekta menjadi semakin bingung. Kerti pun menjadi bingung pula. Apalagi ketika ia tersentuh tubuh Ki Argapati yang menjadi terlampau panas. Panas oleh benturan yang terjadi di dalam tubuhnya. Benturan antara obat yang memampatkan lukanya dengan warangan yang ada pada ujung senjata Ki Tambak Wedi yang tergores di dada Ki Gede Menoreh itu, meskipun tidak terlampau tajam.

“Ki Gede,“ berbisik Kerti lirih, “tubuh Ki Gede menjadi terlampau panas. Mungkin terjadi sesuatu di dalam tubuh Ki Gede.”

“Oh,“ desah Ki Argapati “mungkin. Tetapi aku merasa semakin sehat. Aku sudah hampir pulih kembali.”

“Tetapi apakah agaknya yang memaksa Ki Gede untuk berbuat sekarang?“ bertanya Kerti pula. “Mungkin karena Ki Gede merasa kehilangan Pandan Wangi?”

“Sudah aku katakan,“ sahut Ki Gede.

Namun agaknya pertanyaan Kerti itu telah membuat Samekta, Wrahasta dan orang-orang lain menjadi terperanjat. Dengan terbata-bata Samekta bertanya “Maksud Ki Gede. Ki Gede ingin menemukan Pandan Wangi? Dan karena itu Ki Gede akan pergi sekarang?”

“Sudah aku katakan. Itulah sebabnya maka aku sebut persoalan ini kalian anggap terlampau pribadi. Aku terlampau mementingkan diriku sendiri, sekedar mencari anakku yang hilang itu.”

“Oh,” Samekta maju lagi selangkah, “tidak Ki Gede. Tidak. Pandan Wangi sama sekali tidak hilang.”

“He?“ Ki Argapati terbelalak mendengar kata-kata itu.

Samekta mengangguk lemah. Ketika sekali lagi ia memandang wajah Ki Gede, maka wajah itu sudah menjadi semakin pucat. Dan bahkan kini tubuh Ki Gede itu mulai menggigil. Agaknya benturan di dalam darahnya menjadi semakin dahsyat. Bahkan Kerti mulai bercuriga, apakah obat dari orang yang membawa cambuk dan mengaku bernama Gupala itu bukan justru racun yang memperkuat warangan senjata Ki Tambak Wedi yang tergores di dada Argapati.

Tetapi Kerti tidak bertanya tentang hal itu.

“Ki Gede,” berkata Samekta kemudian, “Pandan Wangi sudah kembali dengan selamat.”

“Siapa yang mengatakannya?“ bertanya Argapati.

“Ia ada disini.”

“Mana orangnya?”

“Ia sedang tidur. Ia terlampau lelah karena ia bertempur melawan Ki Peda Sura.”

Argapati termenung sejenak. Kata-kata Samekta itu seolah-olah sebuah mimpi saja yang mengganggunya. Perlahan-lahan dirabanya tengkuknya. Terasa lehernya menjadi terlampau panas.

Tiba-tiba saja ia merasakan tubuhnya menjadi terlampau lungkrah. Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari tubuhnya. Kini baru ia mengerti, betapa tubuhnya dalam keadaan yang parah.

Namun dengan demikian, ia bertanya di dalam dirinya sendiri, “Apakah benar aku mendengar bahwa Pandan Wangi ada di sini? Atau karena keadaanku, maka aku menjadi kehilangan kesadaran, atau pingsan atau mimpi atau dalam keadaan apa pun. Tetapi itu hanya sekedar bayangan didalam hati?”

Tetapi ia mendengar lagi Samekta berkata, “Marilah Ki Gede, kami bawa Ki Gede kepadanya. Kepada Pandan Wangi.”

Ki Gede masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Marilah. Tetapi kalau kalian menipuku, maka aku dapat berbuat apa saja di luar sadarku. Adalah di luar nalar, kalau Pandan Wangi mampu melepaskan dirinya dari Peda Sura.”

Samekta tertegun sejenak. Namun kemudian segera ia berputar dan melangkah ke rumah yang diperuntukkan bagi Pandan Wangi.

Beberapa orang yang mengerumuni Ki Gede segera menyibak ketika kuda Ki Gede melangkah pula maju mengikuti Samekta.

Sementara itu Kerti masih juga duduk dibelakang Ki Gede. Di belakang kuda itu para pengawal yang sedang tidak bertugas di regol desa segera mengikutinya berbondong-bondong.

Samekta yang melangkah di depan kuda Ki Gede berjalan semakin cepat. Seperti seorang senapati yang maju di depan pasukannya di peperangan.

“Itulah rumah yang dipergunakannya, Ki Gede,” berkata Samekta sambil menunjuk sebuah rumah yang sedang di pinggir jalan di dalam lingkungan pagar batang-batang pring ori.

Ki Gede menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak maka luka dan keadaan dirinya sendiri terlupakan lagi. Yang dipandanginya adalah pintu rumah yang kini telah berada di depannya.

Perlahan-lahan mereka memasuki regol halaman yang tidak terlampau luas. Wrahasta segera menahan para pengawal yang tidak berkepentingan agar mereka tidak turut masuk memenuhi halaman rumah itu.

Suara ribut-ribut di luar ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi yang sedang beristirahat di bilik dalam rumah itu. Dengan hati yang berdebar-debar ia melangkah ke luar. Kedua pedangnya tetap siap di lambungnya.

“Apakah yang diributkan oleh orang-orang di luar itu bibi?” bertanya Pandan Wangi kepada seorang perempuan tua pemilik rumah itu.

“Entahlah, Ngger. Aku belum menjenguk juga.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan melihatnya sebentar.”

Perempuan tua yang lagi duduk di belakang alat tenunnya itu menengadahkan wajahnya. Sambil memiringkan kepalanya ia berkata, “Ya, aku memang mendengar orang ribut di halaman.” Tetapi perempuan itu tidak beranjak dari tempatnya. Sejenak kemudian ia telah mulai melemparkan jarum tenunnya lagi.

Pandan Wangi menarik nafas. Agaknya perempuan tua itu tidak tertarik lagi kepada apa pun juga selain jarum tenunnya yang besar itu.

“Apakah Paman tidak ada di rumah?” bertanya Pandan Wangi pula.

“Tidak, Ngger. Pamanmu sedang keluar,” jawabnya. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak berpaling.

Sekali lagi Pandan Wangi menarik nafas.

Dan Pandan Wangi itu terperanjat ketika ia mendengar desah langkah seseorang masuk. Sebelum ia melihat orangnya, Pandan Wangi tdah mendengar suara orang itu memanggilnya.

“Angger Pandan Wangi. Apakah kau sudah bangun?”

“Paman Samekta,” desis Pandan Wangi.

Samekta kini telah berdiri di depan pintu. Katanya selanjutnya, “Aku telah mendengar suaramu. Tentu kau sudah tidak tidur lagi.”

“Aku banya dapat tidur sekejap, Paman. Selebihnya aku banya sekedar berbaring saja.” Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu, “Siapakah yang berada di luar selain Paman Samekta.”

“Marilah, lihatlah sendiri.”

“Siapa?”

“Wrahasta.”

“Ah,” Pandan Wangi berdesah.

“Ada yang lain lagi, Ngger, marilah, lihatlah sendiri.”

Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Tetapi Samekta mendesaknya. “Marilah, Ngger, lihatlah siapakah yang menunggumu di luar.”

Samekta tidak menunggu jawaban Pandan Wangi. Segera ia berbalik dan melangkah ke luar, melintas pendapa.

Dengan ragu-ragu Pandan Wangi mengikutinya di belakang. Ketika ia melangkahi pintu, maka di bawah tangga pendapa dilihatnya seekor kuda yang dipegangi oleh seorang pengawal. Di belakang pengawal itu ia melihat Kerti sedang menolong seseorang turun dengan susah payah dari kuda itu.

Tiba-tiba Pandan Wangi terpekik, “Ayah.”

Dengan cepatnya Pandan Wangi meloncat berlari menyongsong ayahnya yang baru saja turun dari punggung kudanya. Menilik keadaannya, Pandan Wangi segera dapat mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi atas ayahnya itu. Karena itu maka dadanya serasa berhenti, seolah-olah menghentikan arus nafasnya.

Ki Argapati mendengar suara anaknya. Sejenak ia menengadahkan dadanya. Dipandangmya seseorang yang berlari ke arahnya. Seorang gadis dengan dua buah pedang di lambungnya sebelah-menyebelah.

“Pandan Wangi.”

Pandan Wangi yang berlari-lari itu langsung memeluk ayahnya yang lemah sambil berdesis, “Ayah, kenapa ayah?”

Ayahnya tidak segera menjawab. Tetapi Pandan Wangi terperanjat ketika tubuhnya tersentuh badan ayahnya. ”Ayah terlampau panas.”

Dengan tangannya yang lemah dilayani oleh Kerti Ki Argapati membelai kepala puterinya. Terdengar suaranya terlampau dalam, “Kau selamat Pandan Wangi.”

“Ya, Ayah, aku selamat,” sahut Pandan Wangi, suaranya menjadi gemetar. Betapa ia bertahan, namun ia adalah seorang gadis. Karena itu, maka terasa di pipinya air matanya mengalir satu-satu.

“Aku mendengar kau terlibat dalam perang tending melawan Ki Peda Sura.”

“Ya, Ayah.”

“Hanya tangan Tuhanlah yang dapat menyelamatkanmu.”

Pandan Wangi mengangguk. “Ya ayah.”

Ki Argapati terdiam sejenak. Tangannya masih membelai rambut puterinya yang kini menangis terisak-isak.

“Ki Gede,” berkata Kerti yang melayaninya, “sebaiknya, silahkan Ki Gede naik dan beristirahat.”

“Oh,” Pandan Wangi berdesah sambil melepaskan pelukannya. “Ya, Ayah. Silahkan Ayah naik. Apakah Ayah terluka?”

Argapati mengangguk perlahan. Terdengar suaranya semakin lirih, “Ya, aku terluka Wangi.”

“Dan tubuh Ayah terlampau panas. Apakah luka itu berbahaya dan parah?”

Argapati tidak segera menyahut. Dipalingkan wajahnya, beredar di halaman rumah itu. Dilihatnya beberapa orang pengawal berdiri mematung. Yang lain menyilangkan tombaknya di regol, supaya orang-orang yang tidak berkepentingan tidak masuk ke halaman.

“Ayah, apakah luka Ayah cukup parah?”

Ki Argapati yang lemah itu menggelengkan kepalanya. Desisnya, “Tidak Wangi. Lukaku tidak terlampau parah.”

“Tetapi Ayah sangat pucat dan tubuh Ayah sangat panas.”

Ki Argapati mencoba tersenyum. Namun tampak betapa ia menahan gejolak di dalam tubuhnya. Perasaan yang aneh menjalar menyusur peredaran darahnya. Di dalam dadanya serasa menyala api yang sangat panasnya.

“Angger,” potong Kerti kemudian ketika Pandan Wangi masih ingin bertanya, “Biarlah Ki Gede Menoreh naik ke rumah dan beristirahat.”

“O, marilah. Marilah Ayah.”

Kerti dan Pandan Wangi kemudian membamu Ki Gede menaiki tangga pendapa. Perlahan-lahan mereka melintas dan masuk ke ruang dalam.

“Bibi,” berkata Paudan Wangi kepada perempuan tua yang lagi menenun di sudut ruang, “Ayahku minta ijin untuk tinggal di rumah ini pula bersamaku, Bibi. Ayah sedang terluka.”

Perempuan tua itu berpaling sejenak. Dipandanginya Argapati yang menjadi semakin lemah. Acuh tidak acuh ia menjawab, “Silahkan. Bawalah masuk ke bilik sebelah.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Perempuan itu segera melanjutkan kerjanya tanpa memperhatikan lagi orang-orang yang berada di dalam rumahnya.

Perempuan tua itu tidak berpaling ketika Pandan Wangi menyahut, “Terima kasih, Bibi.”

Namun tiba-tiba perempuan itu terbelalak. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Siapa? Siapa yang kau katakan akan tinggal di rumah ini bersamamu?”

“Ayah, Bibi. Ayahku.”

“Maksudmu, Ki Gede Menoreh?”

“Ya, Bibi.”

“O,” dengan tergesa-gesa perempuan tua itu melepaskan dirinya dari alat tenunnya. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan berkata, “Maaf. Maafkan aku. Aku tidak menyadari bahwa yang datang adalah Ki Gede Menoreh.”

Maka terbungkuk-bungkuk perempuan tua itu melangkah ke bilik yang lain sambil berkata, “Di sini. Di sinilah Ki Gede akan beristirahat.”

Dengan tergesa-gesa pula ia mengemasi pembaringan di dalam bilik itu. Dibentangkannya tikar pandan yang putih sambil bergumam, “Aku tidak menyangka, bahwa Ki Gede akan sudi singgah di rumah ini.”

Ki Gede Menoreh yang terluka itu pun segera dibaringkan di pembaringan itu. Tubuhnya ternyata menjadi semakin panas, dan nafasnya menjadi tersengal-sengal.

Kerti, Samekta. Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa pemimpin pengawal yang lain menungguinya dengan cemas.

Betapa garangnya Pandan Wangi, namun sebagai seorang gadis yang menghadapi ayahnya yang terbujur dengan wajah pucat dan tubuh menggigil, Pandan Wangi tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Betapa ia mumpuni mempergunakan sepasang senjatanya, namun untuk mengatasi keadaan ayahnya ia tidak dapat mempergunakan kemampuannya mempergunakan sepasang pedangnya.

Dalam keadaan yang demikian, maka tidak ada yang dapat memberinya pengharapan selain Kekuasaan Yang Tertinggi. Tidak ada senjata, tidak ada pedang, tombak atau apa pun juga yang akan mampu menolongnya, selain Sumber Hidupnya.

Karena itu, maka baik Pandan Wangi mau pun Ki Argapati sendiri, dalam keadaan demikian telah melepaskan dirinya dari segala macam kemampuan diri, segala macam jenis senjata dan ilmu yang paling dahsyat sekalipun. Kini mereka mencoba mendekatkan diri semakin lekat kepada Penciptanya.

Namun ternyata Ki Gede Menoreh yang telah lebih dalam menyadap pengalaman hidup, lebih cepat dapat menyandarkan perasaannya. Ia lebih cepat meletakkan dirinya ke dalam tangan Yang Maha Kuasa, dalam pasrah diri yang sedalam-dalamnya.

Karena itu, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk tersenyum dan berkata lirih kepada Pandan Wangi, “Pandan Wangi, kenapa kau menjadi terlampau cemas?”

“Ayah panas sekali, bahkan menggigil.”

“Luka ini sudah diobati Wangi. Jangan cemas.”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia bahkan menjadi semakin curiga terhadap obat yang telah ditaburkan di atas luka Ki Gede. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya, supaya Ki Gede Menorek tidak menjadi cemas pula.

Tetapi ngaknya Ki Gede dapat mengerti kecemasan yang tersirat di hati Kerti, sehingga sambil tersenyum ia berkata, “Jangan mencemaskan obat yang telah kau taburkan di atas luka itu Kerti. Aku percaya bahwa orang itu tidak akan berkhianat meskipun aku sudah hampir tidak dapat mengingatnya lagi siapakah dan bagaimanakah bentuk wajahnya.”

Kerti mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya pula, “Tetapi bukankah keadaan Ki Gede menjadi semakin sulit.”

Ki Gede adalah seseorang yang memiliki pengetahuan yang jauh lebih luas dari orang-orangnya. Dalam keadaan yang demikian ia masih dapat membuat perhitungan atas dirinya sendiri. Katanya, “Mudah-mudahan aku menjadi segera lebih baik, Kerti. Mungkin benturan antara kekuatan racun pada senjata Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas lukaku, telah terjadi di dalam arus darahku. Tetapi kalau aku mampu mengatasinya, maka aku akan segera baik.”

Kerti tidak menjawab. Tetapi kecemasan masih membayang di wajahnya, di wajah Wrahasta dan di wajah Samekta, bahkan di wajah-wajah yang lain.

Dalam keadaan yang demikian, ternyata bahwa orang-orang di sekitar Ki Gede itu tidak mampu lagi untuk menenteramkan hati mereka sendiri, apalagi bagi yang sedang terluka. Setiap kali mereka berdesah untuk melepaskan ketegangan yang menghimpit dada mereka.

Dalam ketegangan, mereka yang berada di sekitar Ki Gede berdiri tegak dalam kediaman. Mereka memandang wajah Ki Gede yang pucat dan suram. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menunggu apa yang akan terjadi atas Ki Gede kemudian. Namun di dalam hati mereka tidak sepi dari doa dan harapan atas kemurahan Tuhan Maha Pencipta.

Nafas Ki Gede Menoreh pun menjadi semakin deras. Arus panas di dalam darahnya menyebabkannya basah oleh keringat.

Pandan Wangi akhirnya tidak dapat menahan ketegangan di dalam dirinya sehingga terloncatlah pertanyaannya kepada Kerti, “Paman, obat apakah yang telah dipergunakan oleh ayah?”

“Seseorang telah memberi obat itu di bawah Pucang Kembar, Ngger.”

“Siapakah orang itu?”

Kerti mengangkat bahunya sambil berdesah, “Aku baru melihatnya sekali itu. Namanya Gupala.”

“Oh,” Pandan Wangi terperanjat, “jadi ayah mempergunakan obat dari seseorang yang belum jelas bagi Paman dan bagi ayah sendiri?”

Kerti menjadi ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ki Gede yang pucat. Namun sebelum Kerti menjawab, terdengar suara Ki Gede lirih, “Aku tidak berprasangka jelek kepada anak yang gemuk itu, Kerti. Aku harap bahwa aku akan menjadi semakin baik setelah benturan yang terjadi antara kekuatan racun dan obat itu mereda.”

Kerti tidak menjawab, dan Pandan Wangi pun tidak bertanya lagi. Mereka kini berdiri seperti patung menyaksikan Ki Gede yang terbaring diam sambil memejamkan matanya. Dicobanya untuk memusatkan segenap sisa-sisa tenaganya dalam perjuangannya mengatasi keadaan yang gawat pada dirinya. Tetapi Ki Gede meletakkan dirinya pada lambaran yang mapan. Pasrah setulus hati kepada Kekuasaan Yang Tertinggi.

Ruangan itu kini menjadi sepi. Perempuan tua pemilik rumah itu sudah tidak menenun lagi. Meskipun ia berdiri di luar pintu, namun ia dapat ikut merasakan, betapa ketegangan mencengkam ruang di dalam.

Hanya nafas-nafas yang tertahan sajalah yang terdengar. Hampir tidak ada mata yang sempat berkedip. Semuanya menatap wajah Ki Gede yang pucat pasi. Kadang-kadang mereka memandangi nafasnya yang bekejaran dan dadanya yang menggelombang. Tangannya yang gemetar bersilang di atas dadanya, sedang kedua kakinya terbujur lurus di bawah selimut kain panjang.

Sekali-kali mereka melihat Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali Pandan Wangi mengusap keringat yang mengembun di kening ayahnya, perlahan-lahan sekali. Tetapi Pandan Wangi tidak berani bertanya sesuatu.

Dadanya berdesir ketika ia melihat tombak pendek ayahnya terbaring di sisi tubuh Ki Argapati itu. Belum dimasukkan ke dalam selongsongnya, meskipun sudah berwrangka.

Tiba-tiba dendamnya kepada Ki Tambak Wedi melonjak sampai ke ujung ubun-ubun. Kalau terjadi sesuatu atas ayahnya, maka segala kesalahan adalah tanggung jawab iblis tua itu. Sejak ayahnya kawin dengan ibunya yang sudah mengandung kakaknya Sidanti, kemudian kemelutnya Tanah Perdikan Menoreh adalah akibat semata-mata dari kelahiran Sidanti, dan akhirnya keadaan ayahnya yang parah saat ini.

Tanpa sesadarnya, maka Pandan Wangi menggeretakkan giginya, sehingga Kerti berpaling ke arahnya. Orang tua itu segera dapat menangkap betapa kemarahan menyala di hati gadis yang perkasa itu.

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia segera menyadari, bahwa tidak ada seorang pun yang akan mampu melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Gede Menoreh. Apalagi di lingkungan mereka terdapat orang-orang yang bernama Ki Peda Sura, Sidanti, Argajaya, dan orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya.

Dalam ketegangan keadaan itu, Kerti mencoba menilai keadaan secermat-cermatnya. Pasukan Samekta telah terpukul mundur, bahkan bersama-sama dengan para pengawal pilihan yang dipimpin oleh Wrahasta. Tetapi apakah yang dapat dilakukan Samekta dan Wrahasta menghadapi Sidanti dan Argajaya? Adalah suatu keajaiban bahwa Pandan Wangi tidak terbunuh atau tertangkap ketika ia berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi Pandan Wangi masih belum mengatakan, apakah sebabnya ia berhasil melepaskan dirinya.

Angan-angan mereka itu segera tersentak ketika mereka mendengar desah Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya, kemudian sekali lagi menarik nafas dalam-dalam.

“Ayah,” desis Pandan Wangi. Ki Gede tidak segera menjawab.

“Ayah, Ayah,” Pandan Wangi menjadi pucat, “Ayah.”

Hampir saja ia menjerit sambil memeluk ayahnya, apabila Kerti tidak segera menahannya, “Jangan, Ngger. Jangan membuat ayah terkejut. Lihat, nafasnya menjadi semakin teratur.”

“Tetapi….”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung ketika Kerti tidak juga melepaskannya. Lenyaplah gambaran seorang prajurit yang tangkas di peperangan. Yang ada kini adalah seorang gadis yang kecemasan menunggui ayahnya, satu-satunya orang tuanya yang ada, yang sedang dibelai maut.

“Tidak, Ngger. Lihatlah. Ayah sedang mencoba mengatasi kesulitan yang ada di dalam dirinya dengan memusatkan segenap kemampuanya dan kekuatan yang tersisa. Ayah sedang memohon kepada Tuhan dengan segenap hatinya, segenap budinya. Marilah kita ikut berdoa di dalam hati.”

“Tetapi, tetapi, bagaimanakah keadaan ayah itu nanti.”

“Jangan cemas. Kita pasrahkan keadaannya kepada Penciptanya. Tetapi menilik tata-lahir yang kasat mata, keadaan ayahmu menjadi semakin baik.”

“Tetapi, tetapi, apakah obat itu bukan justru menyesatkan?”

Pertanyaan itu menyentuh perasaan Kerti yang betapapun kecilnya mempunyai dugaan serupa pula. Tetapi ia yakin, bahwa Ki Gede sendiri, seorang yang hampir mumpuni, pasti dapat membedakan, apakah yang sedang terjadi atas dirinya, sehingga karena Ki Gede sendiri sama sekali tidak berprasangka, maka ia tidak berbuat apa-apa.

“Paman,” Pandan Wangi mendesak, “apakah tidak ada seorang dukun yang cukup cakap untuk mengetahui, apakah yang menyebabkan ayah menjadi terlampau panas dan parah seperti ini.”

Kerti tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Seandainya ada seorang dukun yang cakap tentang obat-obatan, namun Ki Argapati sendiri telah mantap mempergunakan obat dari orang yang belum begitu dikenalnya itu. Tetapi meskipun demikian, ikhtiar itu harus dilakukan. Pendapat Pandan Wangi itu dapat diusahakan seandainya mungkin.

Karena itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis, “Memang hal itu pun akan dapat kami coba.”

Kerti pun kemudian berbisik kepada seseorang yang berdiri di belakangnya, untuk menghubungi pemimpin-pemimpin pengawal yang lain. Yang mungkin dapat memanggil seseorang yang mampu menolong keadaan Ki Gede yang sedang parah itu.

Orang itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku akan mencoba.”

“Tetapi orang itu harus benar-benar dapat dipercaya. Lebih baik apabila orang itu tinggal di daerah ini. Orang yang selama ini selalu berhubungan dengan Ki Gede dalam soal obat-obatan ternyata kini telah berada di pihak Sidanti.”

“Ki Wasi?” bertanya orang itu.

Kerti mengangguk. “Ya, orang itu ternyata kini berpihak kepada lawan meskipun selama ini ia selalu dekat dengan Ki Gede dalam soal obat-obatan.”

Pengawal itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi bukankah obat yang dipergunakan oleh Ki Gede ini bukan obat dari Ki Wasi.”

Kerti menggelengkan kepalanya. “Bukan, aku kira bukan.” Namun terbersit keragu-raguan di dalam dadanya. Apakah anak yang gemuk itu bukan sekedar suruhan Ki Wasi untuk meracuni Ki Argapati?

“Ah, kenapa aku menjadi terlampau cemas,” berkata Kerti di dalam hatinya. “Ki Gede telah mengenal ciri-ciri orang yang memberinya obat. Agaknya Ki Gede mempercayainya. Kenapa aku menjadi terlalu gelisah?”

Kerti mengangguk ketika pengawal itu berkata, “Baiklah aku pergi sekarang. Mudah-mudahan di padesan ini aku dapat menemukannya. Yang benar-benar baik dan dapat dipercaya.”

“Pergilah. Asal bukan Ki Wasi dan Ki Muni. Kedua-duanya tidak lagi dapat dipercaya.”

Pengawal itu segera pergi meninggalkan ruangan itu, untuk mencoba memenuhi permintaan Kerti dan Pandan Wangi.

Pandan Wangi, Wrahasta, Kerti, dan beberapa orang yang lain masih saja mengerumuni Ki Argapati dengan dada yang dicengkam oleh ketegangan. Ki Argapati masih terbaring diam sambil memejamkan matanya, dengan tangan bersilang di dadanya.

“Bagaimana keadaan ayah, Paman?” Pandan Wangi berbisik dalam kecemasan yang mencengkam.

“Kita hanya dapat menunggu, Ngger. Tetapi setidak-tidaknya keadaannya tidak menjadi semakin parah. Bahkan, lihatlah, pernafasannya sudah jauh lebih baik dan teratur.”

“Ayah telah mengerahkan tenaganya untuk mengatur jalan pernafasannya. Tetapi apakah ia dapat bertahan?”

Kerti tidak menjawab. Tetapi kecemasan yang sangat membayang di matanya. Keningnya yang telah berkerut, menjadi semakin berkerut-merut.

Wrahasta yang berdiri tegak di samping Kerti, sama sekali tidak bergerak. Ia pun tidak kalah cemasnya dari Kerti dan Samekta. Tetapi seperti juga Samekta, ia berusaha untuk menekan kecemasannya di dalam hatinya. Apalagi mereka tidak melihat langsung seperti Kerti, seseorang yang kurang mereka kenal memberikan obat kepada Ki Gede, dan obat itu telah ditaburkan di atas lukanya.

Di halaman rumah itu, pengawal yang mendapat tugas dari Kerti untuk mencari seorang dukun, segera melakukan tugasnya. Dengan tergesa-gesa ia berlalu dari halaman rumah itu, menghubungi seorang penduduk untuk menanyakan apakah di padukuhan itu ada seorang dukun yang baik untuk mengobati luka-luka baru, luka-luka karena senjata dan racun.

Tetapi pengawal itu kecewa ketika ia melihat orang itu menggelengkan kepala. ”Sayang, di desa ini tidak ada seorang pun yang pantas untuk mengobati luka. Apakah Ki Gede terluka parah?”

“Ya, Ki Gede terluka.”

“Apakah luka itu berbahaya bagi jiwanya?”

Pengawal itu terdiam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Namun kediamannya telah memberikan kesan kepada orang yang bertanya kepadanya, bahwa memang keadaan Ki Gede cukup berbahaya.

Berita tentang keadaan Ki Gede itu pun segera tersiar. Orang orang yang berdiri di luar halaman, di gardu-gardu dan hampir di segala tempat, telah mempercakapkan keadaan Ki Gede Menoreh. Mereka menjadi sangat berprihatin. Pada saat tanah perdikan ini mengalami bencana, maka pada saat yang demikian Ki Gede berada dalam keadaan luka parah, dan bahkan membahayakan jiwanya.

Pada saat orang-orang di seluruh padesan itu sedang berdoa untuk keselamatan Ki Gede, seluruh pengawal yang mundur ke dalam daerah itu, dan seluruh peududuk di daerah-daerah yang masih setia kepadanya, mengharapkan kesembuhannnya, maka para pengawal di jurusan Timur padesan itu telah dikejutkan oleh suara panah sendaren yang meluncur dari dalam daerah lingkungan bambu berduri.

Suara panah sendaren itu benar-benar telah menarik perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal yang berada di daerah itu segera memberikan perintah. ”Dua orang pergi bersama aku.”

Ketiganya segera meloncat ke atas punggung kuda berlari ke arah panah sendaren itu meluncur. Namun agaknya mereka telah terlambat. Panah itu jatuh ke dalam sebuah pategalan yang agak rimbun. Ketika kuda mereka mendekat, maka mereka melihat seekor kuda meluncur dengan cepatnya, menerobos dedaunan berlari ke jurusan induk kademangan.

“Seorang penghubung atau petugas sandi dari Sidanti.”

“Marilah kita kejar,” geram salah seorang pengawal itu.

Tetapi pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya, “Tidak akan dapat kita capai. Kuda itu tidak kalah baiknya dengan kuda-kuda kita. Kita kalah waktu dan kita pasti akan terjebak.”

Tetapi panah itu sangat menarik perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal itu berkata seterusnya, ”Kita harus melaporkan, bahwa di dalam lingkungan kita pasti ada petugas sandi Sidanti yang telah melepaskan panah sendaren itu.”

Ketiga pengawal berkuda itu segera berpacu kembali. Dengan segera mereka pun berusaha menemui Samekta yang sedang menunggui Ki Gede yang sedang sakit.

“Ada apa?” bertanya Samekta berbisik.

Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. Beberapa langkah ia bergeser diikuti oleh Samekta yamg mengerti maksud pengawal itu. Lalu katanya, ”Seseorang telah melepasksan panah sendaren dari ujung desa ini.”

Samekta mengerutkan keningnya. Berita itu merupakan berita penting baginya.

“Kami bertiga sudah berusaha untuk mengejar panah sendaren itu, karena kami yakin bahwa seseorang telah menunggunya. Tetapi ternyata kami terlambat.”

“Kenapa?”

“Panah sendaren itu merupakan sesuatu yang tiba-tiba bagi kami. Ketika kami berkuda menyusul arah panah itu, maka seekor kuda yang lain telah berlari kencang-kencang dari petegalan sebelah.”

“Apakah kalian tidak mengejarnya?”

“Sudah terlampau jauh.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa mustahil para pengawal dapat berbuat terlampau cepat dan tiba-tiba, memacu kudanya secepat anak panah pula.

Tetapi peristiwa itu tidak akan dapat dibiarkannya saja. Maka sebelum ia menemukan pemecahan ia berkata, ”Awasi keadaan baik-baik. Usahakan untuk mengetahui, siapakah yang telah melepaskan anak panah itu, atau setidak-tidaknya berusaha untuk mencegah, jangan sampai hal serupa itu terulang.”

Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya. Kemudian ia minta diri, meninggalkan rumah itu. Sekali ia berpaling, mencoba memandang wajah Ki Gede dari sela-sela yang mengerumuninya. Wajah itu masih juga pucat, dan mata Ki Gede masih saja terpejam.

Kerti yang berdiri di samping Pandan Wangi dengan gelisahnya menunggu orang yang disuruhnya mencari seorang dukun yang mungkin dapat membantu Ki Argapati, tetapi orang itu masih juga belum datang. Sedang keadaan Ki Gede merupakan teka-teki yang menegangkan bagi mereka yang tidak begitu mengerti tentang persoalan serupa itu.

Dengan tergesa-gesa Kerti menyongsongnya, ketika orang yang disuruhnya itu memasuki pintu. Tetapi ia menjadi kecewa ketika orang itu mengangkat bahunya sambil berkata, ”Tidak ada. Tidak ada seorang pun yang dapat melakukannya dengan meyakinkan. Di sini memang ada dukun-dukun kecil yang hanya mampu mengobati luka-luka kecil. Mungkin sakit sawan atau kerasukan. Tetapi tidak untuk melawan luka yaug begitu parah.”

Kerti menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi semakin cemas. Tetapi ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Perlahan-lahan ia melangkah kembali ke tempatnya di samping Pandan Wangi.

“Bagaimana, Paman?” bisik Pandan Wangi.

“Belum, Ngger. Orang itu belum menemukan. Tetapi yang lain masih akan berusaha terus.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kecemasan yang sangat membayang di wajahnya. Tetapi seperti juga Kerti, ia pun tidak mampu berbuat apa-apa selain menunggu. Menunggu dan berdoa di dalam hati. Ia masih mengharap, bahwa secepatnya akan ada orang yang datang untuk membantu memperingan penderitaan Ki Gede dengan segala cara. Namun sebenarnya ia tidak akan dapat mengharap siapa pun. Kerti pun tidak, karena orang yang disuruhnya itu, tidak lagi berusaha untuk mendapatkan orang lain. Tidak ada orang yang dapat diharapkannya lagi.

Namun sementara itu, seseorang berjalan tertatih-tatih mendekati gardu penjagaan. Dengan nafas terengah-engah ia berkata kepada para penjaga, ”Aku akan keluar, Ngger.”

“Apakah keperluanmu, Kek?” bertanya seorang pengawal.

“Aku akan mencari seorang dukun yang baik, yang mungkin mampu mengobati luka-luka Ki Argapati.”

“Kemana kau akan pergi?”

“Kemana pun juga. Ki Samekta menyuruh aku mendapatkannya segera di mana pun.”

Beberapa orang pengawal saling berpandangan sejenak. Ketika pemimpin pengawal menganggukkan kepalanya, maka pengawal itu berkata, “Pergilah. Hati-hati, Kek. Keadaan semakin gawat.”

“O, tidak ada lagi halangannya buat seorang seperti aku, Ngger. Aku sudah tua.”

“Tetapi kau harus hati-hati. Apalagi kalau orang lain tahu bahwa kau mencari obat untuk Ki Argapati.”

“Baik, Ngger.”

Orang itu pun kemudian berjalan tersuruk-suruk di panasnya matahari meninggalkan padesan yang dilingkungi oleh pering ori yang rapat, membentengi tempat pemusatan pasukan induk pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang terdesak dari padukuhan induk.

Berita tentang luka Ki Argapati memang sudah tersebar sampai hampir seluruh tanah perdikan. Tetapi tidak seorang pun di luar lingkungan pagar pering ori yang tahu keadaan sebenarnya dari luka Ki Gede itu. Ki Tambak Wedi yang tahu benar tentang luka itu pun, tidak dapat membayangkan akibatnya. Apakah yang kemudian terjadi dengan Ki Gede itu. Apakah luka itu menjadi bertambah parah, ataukah Ki Gede dapat mengabaikannya. Ketika Ki Tambak Wedi meninggalkannya, tampaknya Ki Gede masih tetap segar dan mampu melawannya.

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi memerlukan keterangan. Yang diharapkannya adalah beberapa orang yang memang sudah berada di dalam lingkungan pering ori itu, di padukuhan kecil tempat induk pasukan Menoreh menempatkan dirinya.

Ketika seorang petugas sandinya datang dan melaporkan bahwa sudah ada tanda panah sendaren dari seseorang di dalam lingkungan pasukan Menoreh, maka harapan Ki Tambak Wedi menjadi semakin besar untuk segera dapat mengetahui apakah yang telah terjadi dengan Ki Argapati.

“Ia pasti segera datang,“ desisnya.

Sidanti mengannguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sekilas dilihatnya wajah Argajaya dengan sudut matanya. Wajah itu pun sama sekali tidak memberikan kesan apa pun juga.

Sementara itu, orang tua yang keluar dari daerah tertutup, pemusatan pasukan Menoreh semakin lama menjadi semakin jauh dari regol desa. Ketika orang tua itu berbelok dan masuk ke dalam daerah pategalan, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam. Punggungnya yang selama ini terbungkuk-bungkuk menjadi tegak kembali. Sambil menggeliat ditekankannya kedua tangannya di lambungnya sambil bergumam lirih, “Hem, serasa hampir patah punggungku.”

Sejenak kemudian orang itu berpaling. Sama sekali tidak dilihatnya seseorang menyusulnya. Daerah itu benar-benar merupakan daerah mati.

“Aku harus segera menyampaikannya kepada Sidanti, bahwa luka Ki Argapati sangat parah, bahkan hampir merenggut jiwanya,” katanya di dalam hati.

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika ia akan melangkahkan kakinya ia mendengar gemerisik di sampingnya. Cepat ia meloncat dan bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Sejenak kemudian dari balik rimbunnya dedaunan, muncul seseorang sambil berkata, “Hem, aku sudah mengira.”

Orang tua itu terperanjat. Orang yang muncul dari balik rimbunnya dedaunan itu adalah salah seorang pengawal Menoreh.

“Apa yang kau duga?” bertanya orang tua itu.

“Aku bercuriga melihat kau keluar dari padesan untuk mencari obat buat Ki Argapati. Ki Samekta tidak akan memerintahkan kepadamu, seandainya ia benar-benar memerlukan. Ternyata belum terlampau jauh, kau telah membuka kedokmu. Kau ternyata tidak terlampau tua seperti yang kau perankan. Kau belum begitu lemah dan belum saatnya berjalan tersuruk-suruk. Bahkan agaknya kau masih mampu untuk bertempur.”

“Hem,” orang tua itu menarik nafas, “Hidung petugas sandi pengawal Menoreh cukup tajam.”

“Bukankah kau juga orang Menoreh? Kita pasti sudah pernah berjumpa sebelum ini. Aku pernah mengenalmu, tetapi tidak tertatih-tatih dan tersuruk-suruk seperti keadaanmu pada saat kau keluar dari regol desa itu. Itulah yang membuat aku bercuriga. Tetapi kau tetap dilepaskan, seolah-olah kami sama sekali tidak menaruh perhatian atasmu. Nah, sekarang, marilah kita kembali saja. Kalau kau tidak terlalu banyak ribut, maka kau tidak akan mengalami nasib terlampau jelek.”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Sesaat ia tegak seolah-olah membeku. Namun tiba-tiba, secepat kilat ia mencabut sehelai keris kecil dari wrangkanya di bawah bajunya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi ia langsung menyerang, menusuk dada.

Tetapi pengawal dari Menoreh itu pun telah mempersiapkan dirinya. Sehingga dengan demikian, maka ia pun mampu untuk meloncat menghindari serangan itu.

“Hem, kau melawan, Kek?” katanya.

Orang tua itu tidak menjawab, Tetapi serangannya telah berulang lagi. Semakin lama semakin cepat. Kerisnya mematuk-matuk dengan dahsyatnya seperti seekor bilalang yang melenting-lenting untuk hinggap di tubuh pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.

Dengan demikian, maka petugas sandi dari Menoreh itu tidak dapat terus-menerus menghindar dan menghindar. Akhirnya ia pun harus bertempur pula.

Sesaat kemudian kedua tangannya telah menggenggam sepasang pisau belati pendek, yang segera terayun-ayun dengan dahsyatnya, menyambar-nyambar mengimbangi gerak keris lawannya.

Demikianlah, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing ternyata adalah orang-orang terpilih. Orang orang yang memiliki beberapa kelebihan dari kawan-kawan mereka sehingga mereka mendapat tugas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya.

Setelah perkelahian itu berlangsung beberapa saat, maka ternyata bahwa pengawal tanah perdikan yang sedang bertempur itu memiliki beberapa kelebihan dari lawannya. Umurnya masih jauh lebih muda dan nafasnya masih tetap segar, meskipun ia telah memeras kemampuannya. Sedang orang tua yang bersenjata keris itu semakin lama telah menjadi semakin susut tenaganya. Nafasnya mulai mengganggunya, dan ketuaannya agaknya berpengaruh juga atas kelincahannya, meskipun sebenarnya ia tidak perlu berjalan tertatih-tatih dan tersuruk-suruk.

Orang tua yang merasa dirinya terdesak itu segera mengerahkan tenaganya. Dicobanya untuk mengimbangi kemampuan lawannya. Tetapi ternyata bahwa lawannya pun berusaha sekuat tenaganya untuk segera mengakhiri perkelahian itu.

Dalam keadaan serupa itu, maka tidak ada jalan lain bagi orang tua itu daripada melarikan diri. Ia merasa bahwa ia mempunyai kecakapan yang melebihi orang-oran kebanyakan. Ia mampu berlari cepat sekali.

Namun sebelum ia mulai melepaskan langkah pertamanya, tiba-tiba sekali lagi mereka dikejutkan oleh gemerisik dedaunan di sekitar mereka. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu meloncat surut ketika ia melihat bahwa orang yang datang itu adalah orang Sidanti.

“Hem, aku sudah menyangka,” desis orang itu.

“Apa?” bertanya orang tua yang hampir kehabisan nafas sambil bertolak pinggang.

“Aku menyangka bahwa perjalananmu terganggu.” Kemudian ia berpaling kepada petugas sandi yang baru saja berkelahi itu, “Kau dapat menemukannya, bahwa ia adalah seorang petugas kami?”

Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu menjawab, “Kita adalah orang-orang Menoreh. Sudah tentu kita sudah pernah saling bertemu dan saling mengenal meskipun belum begitu rapat. Aku juga pernah mengenal kau sebagai bekas pengawal tanah perdikan ini. Kau pun pasti sudah mengenal aku pula.”

“Bukan aku yang bekas pengawal tanah perdikan ini, tetapi kau.”

Pengawal itu mengerutkan keningnya. Ditatapnya kedua orang pengikut Sidanti itu berganti-ganti.

“Jangan menyesal, karena kau mengikuti aku,” berkata orang tua itu. “Memang sudah lazimya terjadi di daerah peperangan. Kalau seseorang gagal membinasakan lawannya, maka ia sendirilah yang mungkin akan menjadi binasa. Bukankah begitu?”

Pengawal itu menganggukkan kepalanya. “Ya, itu sudah aku sadari sebelumnya.”

Jawaban itu membuat kedua orang pengikut Sidanti terdiam sejenak. Mereka saling berpandangan. Mau tidak mau mereka harus mengagumi lawannya, yang menempatkan dirinya di atas landasan yang mantap.

Dan sejenak kemudian pengawal itu berkata pula, “Nah, sekarang bagaimana? Aku tetap dalam pendirianku. Kau, Kek, harus kembali. Bahkan kalau mungkin kau yang baru saja menyusul, akan aku tangkap pula.”

Orang tua, yang ternyata petugas sandi itu, menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau terlampau dibutakan oleh kesetiaanmu yang tidak akan ada artinya, sehingga kau tidak dapat melihat yang terbentang di hadapan hidungmu. Kau berdiri berhadapan dengan kami berdua. Melawan aku sendiri kau tidak segera dapat menang. Sehingga menurut takaran yang wajar, kau tidak akan menang melawan kami berdua bersama-sama. Tetapi kau masih juga berkata akan membawa aku kembali dan menangkap kawanku ini.”

“Apa pun yang akan terjadi atasku.”

Lawannya, yang datang kemudian, tertawa pendek. Katanya, “Orang-orang yang sampai saat ini masih juga menjadi pengikut Argapati memang tergolong orang-orang gila serupa ini.”

“Terserahlah menurut penilaianmu. Sebab aku yakin, bahwa kau sendiri sebenarnya dapat menimbang, menilai dan membuat perbandingan-perbandingan, antara Ki Argapati dan Sidanti. Siapakah yang salah dan siapakah yang benar.”

“Aku sudah menyangka, bahwa kau akan berpendirian serupa itu. Orang-orang semacam kau ini memang dapat berbuat membabi buta sampai sisa nyawamu yang terakhir. Karena itu, kami memang tidak dapat berbicara dengan kau. Yang dapat kami lakukan adalah memaksa kau dengan kekerasan untuk melihat ke-nyataan, bahwa mayatmu akan terkapar di pategalan ini. Dengan demikian maka kedatanganku di sini tidak akan sia-sia. Sebab sesuai dengan perhitungan Sidanti, memang mungkin sekali seseorang akan mengikuti kakek ini keluar. Ternyata perhitungan itu benar. Sedang kalau aku tidak juga segera kembali, maka tidak mustahil Sidanti akan mengirimkan lagi lebih dari satu orang untuk menjemput aku. Jika demikian, maka kami berharap dapat menangkap kau hidup-hidup. Keterangammu tentang Ki Argapati dam daerah pertahanannya yang terakhir pasti akan sangat kami butuhkan. Betapa pun juga kau bersumpah setia, namun kami akan berusaha memeras segala macam keterangan dari mulutmu. Selama kulitmu masih belum sekeras baja, dan dagingmu belum menjadi batu.”

Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu mengerutkan keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi semakin cepat. Apa yang dikatakan oleh kedua orang itu memang tidak mustahil akan terjadi atas dirinya apabila ia berhasil ditangkap hidup-hidup.

“Aku masih belum terlampau jauh dari regol desa. Kalau aku berbasil membawa mereka keluar dari pategalan ini, meloncati tikungan, maka pasti akan ada seorang yang dapat melihat kami,” berkata orang itu di dalam hatinya. Maka dengan demikian ia bertekad untuk dengan segala cara menyelesaikan tugasnya sebaik-baiknya. Tetapi ia pun menyadari akibat yang paling parah dapat terjadi atasnya pula.

Orang itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar orang itu, petugas sandi Sidanti itu berkata, “Bagaiamana? Apa sudah kau pertimbangkan? Mati atau ikut kami. Ada dua kemungkinan dapat terjadi atasmu apabila kau berada di antara kami. Kalau kau menyerah dengan suka rela dan memberikan keterangan dengan sejujur-jujurnya, kau akan mendapat tempat yang baik. Tetapi kalau kau terpaksa kami tangkap dengan kekerasan, akibatnya akan lain.”

“Kemungkinan-kemungkinan itu semuanya tidak aku kehendaki,” jawab pengawal itu.

“Aku sudah menduga, karena itu, kami terpaksa melumpuhkan kau. Kalau mungkin menangkap kau hidup-hidup. Kalau tidak membunuhmu dan membiarkan bangkaimu dimakan anjing liar di pategalan ini.”

Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiaga sepenuhnya. Kedua pisaunya yang telah siap di tangannya digengggamnya erat-erat.

Kedua petugas dari pihak Sidanti itu pun segera bersiap pula. Keduanya saling berpencar dan mencari sudut-sudut serangan dari arah yang berbeda. Kakek tua dengan keris kecilnya seolah-olah mendapat tenaga baru di dalam dirinya, sedang orang yang baru datang itu, benar-benar masih cukup segar. Selain dari kesegaran tubuhnya, maka di tangannya tergenggam sehelai senjata panjang. Pedang.

Tetapi Pengawal yang hanya seorang diri itu tidak akan menyerah. Ia dapat berusaha sedikit demi sedikit berkisar dari tempatnya, dan muncul di tempat yang terbuka, dengan harapan orang-orang yang berada di regol padesan tempat pemusatan pasukan Menoreh dapat melihatnya, meskipun tidak terlampau jelas. Tetapi titik-titik yang bergerak-gerak pasti akan menarik perhatian mereka.

Kedua pihak kini tidak lagi saling berbicara. Mereka telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Seperti mendung yang hitam tebal tergantung di langit.

Demikianlah maka sejenak kemudian mereka telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Seorang berhadapan dengan dua orang.

Dengan segala kemampuan yang ada padanya, pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu bertahan. Sesuai dengan rencananya, maka ia pun segera bergeser dari satu titik ke titik yang lain. Supaya lawan-lawannya tidak segera menyadari caranya, maka arah yang pertama-tama ditempuh justru masuk semakin dalam ke dalam pategalarn. Namun kemudian melingkar-lingkar dan bergeser perlahan-lahan menepi.

Tetapi ternyata kedua lawannya bukan orang-orang yang berotak terlampau tumpul. Sesaat kemudian dada pengawal itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar salah seorang lawannya berkata, “Ha, kau akan memancing kami keluar dari pategalan ini. Dengan demikian kau akan mengharap, kawan-kawanmu di regol padesan sebelah dapat melihat kita yang sedang berkelahi.”

Pengawal itu menggeram. Sejenak kemudian dikerahkannya segenap kemampuannya sambil menggeretakkan giginya.

Tetapi betapapun juga, menghadapi dua orang lawan yang mempunyai kemampuan yang cukup, adalah pekerjaan yang terlampau berat baginya. Sedangkan ia sadar kalau ia tidak berhasil, maka rahasia tentang Ki Gede yang parah itu akan segera sampai ke telinga Ki Tambak Wedi.

Kalau Ki Tambak Wedi kemudian dapat mendengar tentang keadaan Ki Argapati maka tidak mustahil, bahwa ia akan memanfaatkan keadaan. Ki Tambak Wedi dapat mengambil kesempatan selagi Ki Argapati masih belum dapat bangkit dari pembaringannya dan memimpin perlawanan.

“Tidak ada orang lain yang dapat melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Argapati,” berkata pengawal itu di dalam hatinya. Tetapi dalam pada itu ia pun harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan kedua lawannya itu, betapapun juga caranya. Apalagi kedua lawannya itu mengerti, bahwa ia akan membawa mereka ke luar dari pategalan supaya para pengawal yang bertugas di regol desa dapat melihat mereka yang sedang berkelahi.

Tetapi agaknya kedua orang itu tidak mau dipancingnya untuk hal itu.

“Jangan banyak tingkah,” berkata salah seorang dari kedua orang yang berpihak kepada Sidanti, “Kau hanya dapat memilih, menyerah atau terbunuh.”

Pengawal itu tidak menyahut, tetapi terdengar ia menggeram. Tandangnya menjadi semakin garang. Sepasang pisau belatinya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun untuk mengatasi kedua lawannya memang terlampau sulit.

Semakin lama maka semakin ternyata, bahwa ia menjadi kian terdesak. Tidak ada lagi usaha yang dapat dilakukan. Seandainya ia berkeras hati untuk bertempur terus, maka sudah dapat dipastikan bahwa ia akan mati. Kematiannya tidak akan banyak memberikan arti bagi Menoreh. Sebab mayatnya akan berkubur tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Tidak ada orang yang tahu, apakah yang sudah terjadi atasnya dan tidak akan ada orang yang tahu bahwa seseorang akan menyampaikan berita, keadaan Ki Gede kepada Ki Tambak Wedi.

“Aku harus mencobanya,” berkata pengawal itu.

Maka sekali lagi ia mencobakan caranya. Memancing kedua lawannya menepi. Tetapi setiap kali lawannya itu tertawa sambil berkata, “Ha, kami bukan anak-anak yang dapat kau jerat dengan permainanmu.”

“Persetan!” teriak pengawal itu. “Aku pun tidak mau mati di tangan kalian berdua.”

“Mau tidak mau, kami akan membunuhmu.”

Tetapi setiap kali pengawal itu selalu menghindar dan berloncatan menjauh.

“Pengecut!” teriak orang-orang Sidanti, “Kau ternyata tidak cukup jantan untuk melakukan tugas sandimu.”

“He,” orang itu tertawa pentdek, “seorang petugas sandi kadang-kadang memang memerlukan sikap yang licik. Bahkan kadang kadang curang. Katakan, apakah kalian cukup jantan juga berkelahi berpasangan melawan aku seorang diri?”

“Tetapi kau sudah terjun ke arena. Prajurit hanya dapat dihentikan oleh maut apabila ia bertempur.”

“Hanya prajurit-prajurit yang tidak mempunyai otaklah yang berpendirian demikian. Kakek ini pun tidak berbuat demikian. Setelah ia terjun dalam perang tanding melawan aku, maka ia telah mengingkari kejantanannya dengan membiarkan kau ikut bersamanya, bersama-sama mengeroyok aku.”

“Persetan!” sahut kakek tua. “Apa pun yang sudah kita lakukan maka aku berkeputusan, kau harus dibinasakan.”

Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu tidak sempat untuk menjawab. Kedua lawannya mendesaknya semakin sengit. Tetapi ia telah bertekad untuk menghindarinya apabila keadaan memang terlampau sulit baginya. Sebab hal itu akan lebih baik bagi pasukannya. Mereka dapat mengerti dan mempersiapkan diri sebelumnya.

Tetapi ia harus menyesal, bahwa ia terpaksa melepaskan orang yang hampir-hampir dapat ditangkapnya itu. Orang itu pasti membawa berita tentang Ki Argapati sanpai ke telinga lawan-lawannya.

“Apa boleh buat,” katanya di dalam hati, “Aku tidak mampu mengatasinya.”

Dengan demikian maka ia berusaha untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Kedua orang lawannya pun tidak berani mengejarnya terus, sebab dengan demikian, mereka akan keluar dari pategalan dan pasti akan menumbuhkan kecurigaan kepada orang-orang Menoreh di padesaan sebelah.

“Hem, kau benar-benar akan lari,” berkata kakek tua itu, “baiklah. Bukan aku yang menyusul kau, tetapi kaulah yang menyusul aku. Aku tahu maksudmu, supaya aku tidak dapat menyampaikan berita sakitnya Ki Argapati kepadi Sidanti. Tetapi kau tidak berhasil. Kau terpaksa membiarkan kami pergi. Kami akan segera menyampaikan berita itu, dan kau dapat membayangkan akibatnya. Tanpa Argapati, prajurit Menoreh akan menjadi lumpuh. Dengarlah bahwa di pihak Sidanti ada nama-nama Ki Tambak Wedi, Sidanti sendiri, Ki Argajaya, Ki Peda Sura, dan masih banyak lagi. Siapakah yang berada di pihakmu? Pandan Wangi? Cobalah renungkan. Dari mana kalian akan memenangkan peperangan ini? Seandainya kekuatan prajurit di kedua belah pihak seimbang, maka senapati-senapatinyalah yang akan menentukan kemenangan.”

“Ada kelebihan di pihak kami yang tidak kalian miliki,” jawab pengawal itu, “yaitu pengabdian yang tulus. Kau tidak. Kau juga tidak. Orang-orang di pihakmu berkelahi karena pamrih-pamrih pribadi.”

“Pamrih-pamrih itulah yang telah mendorong kami untuk bertekad memenangkan peperangan ini. Pamrih-pamrih yang kami sadari. Bukan kesetiaan yang buta seperti kalian. Sebab orang-orang seperti kalian tidak lebih dari pancadan-pancadan yang hidup tetapi tidak mampu untuk berpikir. Kalian akan menjadi alat tempat orang-orang besar di pihakmu itu berdiri.”

“Itulah tekad kami. Sebab kami percaya bahwa orang-orang yang akan berdiri di atas kami adalah orang-orang yang benar berwenang dan benar-benar orang yang akan berpikir tentang kami dan Tanah kami.”

Hampir bersamaan kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripada mereka itu berkata, “Jadilah seperti yang kau ingini. Tetapi bagaimana sekarang? Mati, atau menyerah atau membiarkan kami membawa berita tentang keadaan Ki Gede Menoreh?”

Pengawal itu tidak menjawab. Ia benar-benar tersudut dalam keadaan tanpa dapat memilih. Karena itu, maka kini ia berdiri tegak dengan sepasang senjata di tangannya, namun ia tidak berbuat sesuatu ketika kedua lawannya itu melangkah surut, “Biarlah kami ampuni kau sekali ini. Kau akan tetap hidup. Sebab aku tidak mau kau seret ke luar pategalan ini.”

Pengawal itu tidak menjawab. Kenyataan itu harus dihadapinya. Ia memang tidak mampu untuk melawan kedua pengikut Sidanti itu, betapa pun juga ia memeras tenaganya. Tetapi ia pun tidak mau mati sebelum menyampaikan kabar tentang petugas sandi itu kepada pimpinannya.

Karena itu, dengan hati yang bergolak ia terpaksa membiarkan kedua orang itu beringsut semakin jauh. Apalagi ketika ia mendengar salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata, “Selamat tinggal. Berita tentang Ki Gede Menoreh akan segera tersebar. Tetapi mudah-mudahan Argapati sendiri tidak sempat mendengarnya karena lukanya yang parah itu. Aku tidak yakin kalau ia akan dapat disembuhkan oleh dukun yang betapa pun pandainya.”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi pengawal itu. Perasaannya menjadi terlampau pahit mengalami peristiwa yang mengecewakan itu. Ia terpaksa membiarkan lawan-lawannya pergi sambil mentertawakannya. Sedang suatu berita yang sangat penting akan mereka bawa kepada lawan.

Sejenak kemudian kedua orang itu pun lenyap di balik dedaunan yang rimbun, seperti lenyapnya harapan petugas sandi dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu untuk mempertahankan rahasia tentang sakitnya Ki Argapati.

“Peronda-peronda di gardu itu terlampau malas,” ia menggeram. “Tidak seorang pun yang melihat, apa yang telah, terjadi di sini.”

Dengan penuh penyesalan ia melangkahkan kakinya kembali kepada pemimpinnya untuk segera melaporkan peristiwa itu. Di dalam kepalanya telah terbayang berbagai kemungkinan yang pahit bagi pasukan Menoreh. Ki Tambak Wedi pasti akan segera mempergunakan kesempatan untuk menghantam pasukan induk yang masih belum berhasil menghimpun diri sebaik-baiknya itu. Apalagi Ki Argapati sedang terluka parah dan Pandan Wangi sedang dibebani oleh perasaan duka seorang gadis yang sedang nenunggui ayahnya yang sudah mulai dibelai oleh tangan-tangan maut.

Dalam pada itu, tanpa setahu pengawal itu, sepasang mata selalu mengikutinya dari balik rimbunnya dedaunan. Dengan ragu-ragu seseorang melihat segala peristiwa yang terjadi. Hampir-hampir ia tidak dapat menahan diri lagi, dan menerjunkan diri dalam arena perkelahian itu. Tetapi ia selalu memegang pesan seseorang yang diseganinya. Dan pesan itu berbunyi, “Jangan langsung mencampuri persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kita harus menunggu, apabila saat itu telah datang, barulah kita menyatakan diri dalam sikap yang pasti. Kini kita akan berbuat dalam kesempatan-kesempatan yang sangat terbatas. Kita mengharap bahwa orang-orang yang sedang bertengkar itu menemukan penyelesaian yang tidak terlampau parah.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pengawal yang dengan tergesa-gesa meninggalkan petegalan itu.

“Keadaan sudah terlampau parah,” desisnya. “Aku kira tidak akan ada jalan untuk kembali dan menghindari benturan-benturan yang lebih dahsyat lagi. Tetapi baiklah, aku menunggu. Mungkin satu dua hari akan segera ternyata, sikap apa yang akan kami ambil.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia pun segera meninggalkan pategalan itu sambil bergumam, “Aku harus melaporkannya. Kalau Ki Tambak Wedi mengetahui keadaan Ki Argapati, maka keadaan memang dapat menjadi semakin panas.”

Maka dengan sigapnya orang itu segera meloncat menyusup di antara rimbunnya pepohonan, sambil mengikatkan sebuah cambuk yang berjuntai panjang di bawah bajunya.

Sementara itu, pengawal yang baru saja berkelahi dengan orang-orang Sidanti berjalan semakin lama semakin cepat, bahkan berlari-lari kecil. Dengan nafas terengah-engah ia mendekati regol. Belum lagi ia mendekat terdengar ia mengumpat, “Kalian adalah orang-orang gila yang malas.”

Pemimpin pengawal yang sedang bertugas mengerutkan keningnya, “Kenapa?”

“Kalian telah berbuat suatu kesalahan, sehingga orang tua yang berjalan tersuruk-suruk itu tolos dari tanganku.”

“Kenapa justru aku yang bersalah,” bertanya pemimpin itu.

“Aku tidak mampu melawan mereka berdua.”

“Berdua?”

“Ya. Dan kau tidak mengirimkan seorang pun untuk melihat apa yang telah terjadi. Kalau aku mati di pategalan itu, maka tidak seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi dan bahwa berita tentang sakitnya Ki Gede yang parah itu telah sampai ke telinga Tambak Wedi.”

“He, apakah kau sedang bermimpi. Cobalah, katakan apa yang sebenarnya terjadi. Orang tua yang tersuruk-suruk hampir mati itu dapat lolos dari tanganmu?”

“Kalian bukan petugas sandi. Tetapi kalian harus dapat memperhitungkan bahwa gila sekali apabila Sidanti benar-benar mengirimkan orang yang sudah tidak tegak lagi berjalan.”

Mereka saling berpandangan. Dan mereka mendengar petugas sandi itu menceritakan serba singkat, apa yang telah terjadi.”

“Sidanti mengirimkan orangnya untuk melihat apa yang terjadi atas petugas sandinya, ketika menurut perhitungannya jarak yang ditetapkannya terlampau jauh.”

“Jarak yang mana?”

“Antara panah sendaren dan kedatangan orang yang mengirimkannya.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa bahwa ia tidak cukup cepat menanggapi keadaan. Tetapi ia masih juga berkata, “Tetapi aku tidak dapat memperhitungkan waktu serupa itu. Aku melepaskan kau mengikuti orang tua itu. Aku tidak tahu batas waktu yang kau perlukan. Aku kira kau sedang mengikutinya sampai ke pinggir sungai untuk kemudian membenamkan orang tua itu ke dalamnya.”

Petugas sandi itu tidak menjawab. Tetapi ia bergumam, “Aku harus segera melaporkannya.”

Pemimpin peronda itu pun bergumam, “Kita meninggalkan kewaspadaan. Keadaan akan cepat meningkat.”

“Nah, bukankah hal itu kau sadari,” sahut pengawal yang baru saja bertempur melawan orang-orang Sidanti itu.

“Kami, seisi padesan ini, dan bahkan seluruh pasukan Menoreh akan menyadarinya. Sekarang, sampaikan laporan itu, supaya kami mendapat perintah secara resmi, apa yang harus kami lakukan di sini dan mungkin di seluruh daerah yang masih setia kepada Ki Argapati.”

Petugas sandi itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditinggalkannya regol desa itu, dan dengan tergesa-gesa pergi menemui pimpinan tertinggi pengawal Tanah Perdikan Menoreh, Samekta yang sedang menunggui Ki Argapati yang sedang sakit.

Sementara itu, Ki Argapati yang sedang terbaring, masih juga memejamkan matanya. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam, dan sekali-sekali ujung ibu jari kakinya bergerak-gerak. Namun kemudian diam kembali, seolah-olah sedang membeku.

Pandan Wangi mengerti, bahwa ayahnya sedang memusatkan segenap kemampuannya, untuk menenangkan dirinya. Ayahnya sedang mengatasi kesulitan yang terjadi di dalam tubuhnya akibat benturan racun dari senjata Ki Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas luka itu. Namun dalam kegelisahan ia sekali lagi bertanya perlahan-lahan kepada Kerti, “Paman, manakah orang itu? Apakah ia akan menunggu sampai terlambat?”

“Tidak, Ngger,” bisik Kerti, “tentu tidak. Sebentar lagi ia akan datang.”

Namun dalam pada itu, Kerti telah dicengkam oleh. kegelisahannya yang baru. Sebab ia tahu benar, bahwa tidak seorang pun lagi yang pergi mencari seorang dukun. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakannya kepada Pandan Wangi yang kecemasan itu.

Samekta yang mendengar pertanyaan Pandan Wangi itu pun menjadi gelisah pula. Dukun manakah yang akan dapat mengobati keadaan Ki Gede yang sudah menjadi kian parah itu?

Namun bagaimana pun juga, mereka masih mempunyai tempat untuk menggantungkan harapan. Mereka yakin akan kekuasan Yang Maha Besar, sehingga segala sesuatu akan sangat tergantung ditangan-Nya.

Dalam ketegangan itu, seseorang masuk ke dalam ruangannya langsung menemui Samekta. Mereka berbisik sejenak, kemudian Samekta bergeser dari tempatnya.

“Seseorang telah terlibat dalam perkelahian melawan orang-orang Sidanti. Salah seorang dari mereka keluar dari desa ini. Karena orang itu mencurigakan, maka seorang petugas sandi mengikutinya. Tetapi kawannya sempat menolongnya, sehingga mereka lolos.”

Samekta mengerutkan keningnya. Desisnya, “Kenapa ia dapat keluar dari daerah ini tanpa pengawasan?”

“Perhitungan kami yang salah,” pemimpin pengawal itu menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi dengan seorang kakek-kakek dari seorang petugas sandinya.

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketegangan semakin membayangi wajahnya. Ia sadar, sepertinya pengawal menyadari, bahwa apabila berita itu sampai kepada Ki Tambak Wedi, dan Ki Tambak Wedi meyakini akan kebenarannya karena mendengar langsung dari mulut petugasnya, bukan sekedar berita dari mulut ke mulut bahwa Ki Argapati dalam keadaan parah, maka keadaan akan cepat meningkat.

Karena itu, maka katanya, “Kita harus segera mempersiapkan diri. Untuk sementara semua pasukan supaya ditarik untuk melindungi desa ini dan desa pengungsian para keluarga. Tempat tempat lain terpaksa kita lepaskan untuk sementara. Kita tidak boleh terpotong-potong menjadi sayatan-sayatan kecil yang akan digulung sedikit demi sedikit.”

Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya.

“Tetapi apakah kau yakin bahwa orang itu orang Sidanti.”

“Menurut laporannya, agaknya cukup meyakinkan.”

“Di mana orang itu?”

“Ia menunggu di luar.”

Samekta segera melangkah keluar. Ditemuinya petugas sandi yang langsung berkelahi melawan orang-orang Sidanti. Dan ia pun segera mengulangi ceritanya, seperti cerita pemimpin pengawal itu.

Sekali lagi Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada pemimpin pengawal itu ia berkata, “Hubungi semua pemimpin. Pasukan berkuda supaya dipersiapkan. Mereka harus dapat mengimbangi dengan cepat gerakan pasukan Sidanti. Kalau Sidanti datang menyerang, maka pasukan itu harus meninggalkan tempat ini, menyerang kedudukan-kedudukan Sidanti yang lemah untuk memecahkan perhatian mereka. Kalau perlu, mereka terpaksa mengorbankan satu dua rumah yang kelak akan kita perhitungkan untuk menimbulkan api.”

Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya. Ia menyadari sepenuhnya perintah itu.

“Itulah yang harus kalian kerjakan untuk sementara. Aku akan membicarakannya nanti, dan mungkin akan datang perintah berikutnya bagi kalian.”

“Baik,” sahut pemimpin pengawal itu, yang segera minta diri untuk mempersiapkan semua kekuatan yang ada di pihak Ki Argapati. Mereka kini tidak akan dapat mundur lagi. Mereka harus bertahan sampai kesempatan yang terakhir apabila Sidanti benar-benar menyerang. Dan mereka harus mempersiapkan benar-benar pasukan berkuda yang akan terbang ke segenap penjuru Tanah Perdikan ini. Cepat bergerak, dan cepat menghilang apabila keadaan memaksa.

Ternyata berita itu telah membuat Samekta menjadi semakin pening. Tetapi ia tidak akan segera memberitahukannya kepada Pandan Wangi. Biarlah gadis itu melepaskan diri untuk sementara dari persoalan perang. Biarlah ia menunggui ayahnya yang sedang sakit, sebagai seorang gadis yang meletakkan harapannya, bahwa orang yang sedang sakit itu kini merupakan satu-satunya orang tempat bergantung. Ia tinggal satu-satunya orang yang akan dapat melindunginya.

Karena itu, maka diam-diam digamitnya Wrahasta dan Kerti. Mereka bergeser beberapa langkah, dan dengan perlahan-lahan sekali mereka membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.

“Marilah kita bicarakan dengan tenang,” minta Wrahasta.

“Tidak sekarang. Kalian dapat memikirkannya, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Kita tidak akan dapat meninggalkan Ki Gede dalam keadaannya. Aku sudah memberikan perintah sementara untuk mempersiapkan semua kekuatan di tempat pengungsian dan desa ini. Tidak terpecah belah, di samping satu kekuatan berkuda yang akan selalu mengimbangi gerakan Sidanti. Pasukan itu harus dapat bergerak cepat, mencapai segala penjuru dengan tiba-tiba dan melepaskan diri dengan tiba-tiba. Kalau perlu mereka harus membuat gerakan di sekitar padukuhan induk untuk mengelabuhi Sidanti dan Ki Tambak Wedi.”

Wrahasta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadarnya, mereka berpaling dan memandang Ki Gede yang sedang terbaring. Sedang Pandan Wangi dengan penuh kecemasan berdiri di sisinya. Sekali Pandan Wangi meraba tubuh ayahnya. Tiba-tiba saja ia hampir terpekik. Ketika ia tidak melihat Kerti berdiri di sampingnya, maka segera ia berpaling mencarinya.

“Paman,” desis Pandan Wangi ketika tampak olehnya Kerti berdiri bersama Samekta dengan Wrahasta , “Tubuh ayah sudah tidak panas lagi.”

Hampir terloncat Samekta, Wrahasta, dan Kerti mendekat dengan tergesa-gesa. Hampir bersamaan pula mereka meraba kaki Ki Gede. Dan benarlah kata Pandan Wangi, kaki itu sudah tidak panas lagi. Tetapi justru dengan demikian Kerti menjadi berdebar-debar. Karena apabila panas bagian kepala dan kaki tidak seimbang, maka keadaan yang demikian akan sangat berbahaya bagi Ki Gede.

Karena itu, maka perlahan-lahan Kerti beringsut maju. Perlahan-lahan pula dirabanya tangan Ki Gede. Tangan itu pun kini sudah tidak panas pula. Kemudian dengan tangan gemetar Kerti mencoba meraba leher Ki Argapati. Secercah warna yang cerah membayang di wajahnya. Leher itu pun telah menjadi sejuk seperti tubuhnya sendiri.

Dengan penuh pengharapan Kerti berkata perlahan-lahan, “Ya. Tubuh Ki Gede sudah tidak panas lagi.”

“Pernafasannya pun telah berjalan wajar,” sahut Wrahasta.

“Kita akan berdoa terus,” gumam Samekta.

Kerti dan Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang selalu berdoa di dalam hati. Ternyata doa mereka telah didengar-Nya.

Dengan penuh pegharapan kini mereka menunggui Ki Gede yang sedang terbaring. Wajah-wajah mereka tidak lagi dilukisi kecemasan dan kebingungan. Tetapi wajah-wajah itu tampak diwarnai oleh kesegaran nafas Ki Argapati yang semakin lancar.

“Ayah,” Pandan Wangi berdesis ketika ia melihat ayahnya membuka matanya.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Seolah-olah ia menjadi terlampau haus menghirup kesegaran udara Tanah Perdikan Menoreh.

“Ayah,” Pandan Wangi mengulangi.

Yang pertama-tama dipandang oleh Ki Argapati adalah wajah puterinya. Kemudian orang-orang di sekitarnya. Samekta, Wrahasta, Kerti, dan orang-orang lain.

Sekali lagi Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan berkata, “Mudah-mudahan aku dapat mengatasi kesulitan di dalam diriku.”

Tubuh Ki Gede telah menjadi sejuk. Agaknya darah Ki Gede pun mengalir dengan wajar.

Kepala Ki Argapati bergerak-gerak. Ia mengangguk kecil sambil berkata lirih, “Obat yang kita terima dari anak yang gemuk itu ternyata terlampau baik.”

“Bagaimana ayah?” potong Pandan Wangi. “Apakah itu suatu bentuk pengkhianatan.”

“O, kau salah terima Wangi,” jawab Ki Argapati. “Kita harus berterima kasih kepadanya. Tak ada obat semujarab obat yang diberikan kepadaku. Seadainya aku tidak mendapat obat daripadanya, maka keadaan ini akan sangat jauh berbeda, Wangi. Berterima kasih pulalah kita kepada Yang Maha Bijaksana, yang telah mempertemukan aku dengan orang bercambuk itu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Orang bercambuk, Ayah?”

“Ya.”

Wajah Pandan Wangi menegang. Tetapi ia tidak segera mengucapkan kata-kata. Teringatlah olehnya, seorang anak muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala. Seorang anak muda yang mempersenjatai dirinya dengan cambuk.

“Kenapa Wangi? Apakah kau heran mendengar sebutan orang bercambuk itu?”

Pandan Wangi beringsut setapak. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ayah. Siapakah orang bercambuk itu?”

“Aku tidak begitu jelas, Wangi. Tetapi aku yakin, bahwa ia bermaksud baik.”

“Di manakah ayah mengenalnya sebelum ini?”

“Ketika ayah masih muda, di dalam lingkungan istana Demak.”

Pandan Wangi terkejut mendengar jawaban itu. Dengan kening yang berkerut-merut ia bertanya, “Berapa kira-kira umur orang bercambuk itu ayah?”

“Seumur ayah.”

“Tidak,” tiba-tiba Pandan Wangi membantah. “Ia masih muda. Bahkan lebih muda dari Kakang Sidanti.”

Kini Ki Argapati-lah yang mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Digerakkannya tangannya sedikit, kemudian kakinya.

“Pandan Wangi,” orang tua itu bergumam, “aku mengenalnya ketika kami masih sama-sama muda. Tidak mungkin ia kini nampak lebih muda dari Sidanti.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu tiba-tiba terbayang sebuah senyum dibibirnya, “O, barangkali kau pernah melihat orang yang bersenjatakan sebuah cambuk? Seorang anak muda yang gemuk hampir bulat?”

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Jangan bangun, Ayah. Lebih baik Ayah berbaring sejenak, sampai keadaan Ayah menjadi cukup baik.”

Ki Argapati yang ingin mencoba untuk bangkit meletakkan kepalanya kembali. Kerti dan Samekta pun mencegahnya pula.

“Luka itu akan berdarah lagi Ki Gede,” berkata Kerti.

“Ya, sebaiknya Ki Gede beristirahat secukupnya,” sambung Samekta.

“Aku sudah merasa cukup baik.”

Pandan Wangi menggeleng, “Belum, Ayah. Ayah masih perlu beristirahat.”

Ki Argapati menganguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia kembali kepada persoalan orang bercambuk. Katanya, “Bukankah yang kau lihat anak muda yang gemuk bulat? Anak itulah yang memberi aku obat yang sangat baik ini.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah tidak dicengkam oleh kecemasan yang hampir tidak tertahankan. Wajah ayahnya, meskipun masih pucat, tetapi sudah tidak lagi seputih kapas. Dengan ragu-ragu ia menjawab pertanyaan ayahnya, “Aku tidak mengenal seorang anak muda yang gemuk bulat ayah?”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sejengkal ia beringsut. Kemudian, “Lalu siapakah yang kau maksud dengan seorang yang masih lebih muda dengan Sidanti itu?”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Kerti, Samekta, Wrahasta, dan orang-orang lain di sekitarnya. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Beberapa orang pengawal pernah juga melihatnya. Seorang gembala yang sering menggembalakan kambingnya di sekitar daerah perbatasan sebelum kami menarik diri.”

“Oh,” Argapati tersenyum, “sudah tentu bukan seorang gembala yang aku maksudkan. Yang aku maksudkan dengan seorang bercambuk adalah seseorang yang mempergunakan cambuk sebagai ciri pribadinya atau lebih tepat, sebagai senjatanya.”

“Ya, begitulah gembala itu ayah. Seorang gembala yang masih muda semuda Kakang Sidanti, bahkan masih lebih muda lagi.”

Argapati mengerutkan dahinya. Sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Ditelekankannya tangannya pada dadanya di bawah lukanya. Kemudian ia bergeser sedikit sambil bergumam, “Apakah ada orang lain yang mempunyai ciri yang serupa. Tetapi bagaimanakah dengan anak muda yang kau katakan itu? Apakah ia berbuat baik terhadap kau atau sebaliknya?”

“Ia seorang gembala, Ayah.”

“Hanya sekedar seorang gembala? Di sini ada berpuluh-puluh gembala yang membawa cambuk. Tetapi agaknya yang seorang ini agak lain. Apakah tanggapanmu memang demikian?”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tanpa sesadarnya ia memandang wajah Wrahasta dengan sudut matanya. Tetapi orang yang bertubuh raksasa itu sedang menekurkan kepalanya.

“Ia mempunyai beberapa kelebihan dari gembala-gembala yang lain, Ayah.”

Argapati mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat Wrahasta yang tiba-tiba mengangkat wajahnya.

“Apakah kelebihan itu?”

“Ia mampu berkelahi seperti seorang pengawal.”

“Ah,” desah Argapati, “hampir setiap anak muda di daerah ini dapat sekedar membela dirinya.”

“Bukan sekedar membela dirinya,” sahut Pandan Wangi. Tetapi sejenak ia terdiam dalam keragu-raguan.

Argapati tidak segera mendesaknya. Bahkan ia berkata, “Orang lain yang mempunyai ciri serupa itu, sebuah cambuk, adalah seorang anak muda yang bertubuh gemuk. Ia menyebut dirinya sebagai anak orang bercambuk yang tidak menampakkan diri. Mungkin orang itulah yang pernah kau lihat dan mengaku sebagai seorang gembala, tetapi mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain.”

“Tetapi anak muda itu tidak gemuk, Ayah.”

“Apakah kau kenal namanya?”

Sekali lagi Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Dan sekali lagi tanpa sesadarnya ia memandangi wajah Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak sedang memandangnya, justru ia sedang memandangi wajah Ki Gede yang menunggu jawaban anaknya.

Namun akhirnya Pandan Wangi menyebutnya juga, “Namanya Gupita, Ayah.”

“He?” Argapati mengingat-ingat. Sambil memandang wajah Kerti ia berkata, “Anak yang gemuk itu menyebut dirinya bernama Gupala.”

“O,” dengan serta-merta Pandan Wangi menyahut, “kalau begitu, kedua anak muda itu memang bersaudara. Menurut Gupita, ia mempunyai seorang saudara laki-laki dan seorang ayah. Mereka adalah gembala-gembala yang tinggal di tlatah Menoreh.”

Kini Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Hem, sekarang aku mempunyai sedikit bayangan tentang mereka. Jadi ada dua anak muda yang mengaku dirinya anak orang bercambuk itu.”

“Yang satu bernama Gupala dan yang lain bernama Gupita,” Kerti menyahut.

“Ya, begitulah menurut pengakuan mereka.” Argapati berhenti sejenak, lalu kepada Pandan Wangi ia bertanya, “Wangi, apakah kelebihan gembala yang kau maksudkan itu? Apakah ia sudah berbuat sesuatu yang menyatakan dirinya, sehingga kau mengambil kesimpulan demikian tentang anak itu ?”

Pandan Wangi mengangguk perlahan-lahan. Kini, ketika sekali lagi ia berpaling ke arah Wrahasta, pandangan mereka pun beradu. Cepat Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Betapa pun juga ia adalah seorang gadis. Hatinya berdebar ketika ia melihat sorot yang aneh terpancar dari sepasang mata Wrahasta.

Sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Tanpa sesadarnya ia meraba-raba kaki ayahnya. Tetapi Argapati tidak tahu, apakah yang sebenarnya bergetar di dalam dada puterinya. Ia tidak tahu, bahwa Wrahasta menaruh hati kepada gadis itu, dan bahwa gembala yang memiliki cambuk yang aneh itu telah menumbuhkan suatu perasaan yang aneh pada puterinya.

Karena itu, maka Ki Gede itu mendesaknya, “Apakah kelebihan yang kau maksud pada gembala itu Wangi?”

Pandan Wangi tidak dapat mengelak lagi sehingga dengan demikian betapa pun beratnya ia harus menjawab, “Ayah, bukankah Ayah sudah mendengar bahwa aku terpaksa bertempur melawan Ki Peda Sura karena aku terpisah dari pasukanku?”

Ki Argapati mengangguk.

“Dan bukankah Ayah tahu, bahwa aku tidak akan mungkin mengalahkan Ki Peda Sura dalam keadaanku sekarang?”

Sekali lagi Argapati mengangguk sambil berkata, “Tetapi kemampuanmu tidak terpaut banyak menurut penilaianku, Wangi.”

“Ya, namun aku tidak akan dapat melepaskan diriku dari padanya. Ia sudah bertekad untuk menangkap aku hidup-hidup. Tanpa melukai kulitku dan apalagi membunuhku.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa keadaan itu benar-benar merupakan keadaan yang sangat berbahaya bagi puterinya. Ki Peda Sura yang menyimpan pengalaman cukup di dalam dirinya merupakan lawan yang pasti tidak akan dapat diimbangi oleh Pandan Wangi.

Tetapi ternyata bahwa Pandan Wangi berhasil melepaskan dirinya dengan selamat, sehingga karena itu Ki Argapati bertanya, “Tetapi kau selamat sampai saat ini, Wangi. Bahkan ketika aku memasuki padesan ini dengan mata berkunang-kunang dan pikiran yang kusut karena aku merasa kehilangan kau, kau sempat beristirahat dengan tenangnya.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Ya, Ayah. Aku sempat melarikan diri dari tangan Ki Peda Sura dan pasukannya.”

“He, Ki Peda Sura dan pasukannya?” Ki Argapati menjadi heran, “Jangan sombong, Anakku. Ki Peda Sura sendiri pun pasti akan mampu menangkapmu kalau ia mau.”

“Benar, Ayah. Kami melepaskan diri daripadanya. Bahkan kami sempat melukai Ki Peda Sura yang kemudian dipapah oleh orang-orangnya meninggalkan medan, tepat pada saat pasukan Kakang Sidanti datang membantu.”

“O,” Ki Argapati mengerutkan keningnya, “aku menjadi pening. Bagaimana mungkin kau dapat berbuat demikian? Tetapi siapakah yang kau maksud dengan kami?”

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah yang ada di seputar ayahnya berbaring. Dan ketika tatapan matanya berbenturan dengan mata Wrahasta maka sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam.

“Ayah,” suara Pandan Wangi menjadi terlampau dalam. Adalah terlampau sulit baginya untuk bercerita tentang anak muda yang menyebut dirinya Gupita itu. Meskipun mereka bertemu di medan perang, namun betapapun juga, Pandan Wangi adalah seorang gadis. Meskipun demikian dipaksakannya ia bercerita.

“Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa gembala itu mempunyai kelebihan dari gembala-gembala yang lain. Ketika aku sudah hampir kehilangan akal dalam perlawananku atas Ki Peda Sura yang memang ingin menangkap aku hidup-hidup aku sudah memutuskan untuk lebih baik mati daripada tertangkap. Aku dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas diriku, seandainya Peda Sura benar-benar dapat membawa aku hidup-hidup.” Pandan Wangi berhenti sejenak. Tampaklah wajahnya menjadi semburat merah. Suaranya menjadi semakin dalam dan hampir-hampir tidak terdengar. Lalu sambungnya, “Dalam saat seperti itu. datanglah gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita. Ia mencoba melepaskan aku dari tangan Ki Peda Sura, sehingga ketika kami melawan bersama-sama, Ki Peda Sura itu terluka.”

Ki Argapati mendengar cerita itu dengan dada berdebar-debar. Ia menjadi semakin yakin, bahwa orang bercambuk itu mempunyai kepentingan dengan daerah ini. Meskipun ia tidak tahu, kepentingan apa saja yang mengikatnya, namun kehadirannya dalam keadaan seperti ini membuat Ki Argapati berharap-harap cemas.

Berbeda dengan tanggapan orang-orang lain yang berada di ruangan itu yang menganggap bahwa kehadiran anak muda yang menyebut dirinya Gupita sebagai suatu kurnia, maka Wrahasta yang bertubuh raksasa itu menangkapnya dari sudut yang berbeda. Ketika dengan sudut matanya Pandan Wangi mencoba melihat kesan di wajah Wrahasta, maka terasa sebuah desir yang lembut menyentuh jantungnya. Wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu mejadi tegang. Dan sejenak kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Apakah Ki Gede dapat mempercayainya?”

Ki Gede menggerakkan kepalanya. Ia mengerutkan keningnya ketika tampak olehnya wajah Wrahasta yang menegang.

“Maksudmu, cerita Pandan Wangi?” bertanya Ki Gede.

“Bukan,” jawab Wrahasta. “Mungkin Pandan Wangi mengatakan sebenarnya apa yang dialaminya. Tetapi anak yang menamakan dirinya Gupita itu.”

Ki Gede tidak segera menjawab. Tapi tampaklah keheranan terpancar di pandangan matanya.

“Kita sama sekali belum mengenalnya dengan baik. Kita tidak tahu, apakah maksudnya menolong Pandan Wangi,” sambung Wrahasta. “Apakah itu bukan sekedar suatu permainan yang sudah diatur olehnya dengan Sidanti dan Peda Sura?”

Pandan Wangi terkejut mendengarnya. Maka tanpa sesadarnya ia menyahut, “Ki Peda Sura sendiri terluka pada saat itu.”

Tiba-tiba saja Wrahasta tertawa pendek. Dengan wajahnya yang aneh ia menjawab, “Itu mungkin sekali. Dengan demikian ia akan berhasil mengelabuhi tanggapanmu atasnya. Gembala itu akan mendapat kepercayaan daripadamu dan terlebih-lebih lagi dari Ki Gede. Dalam suatu kesempatan ia akan menikam kita dari belakang.” Wrahasta berhenti sejenak. Suara tertawanya telah lenyap. Dan dengan bersungguh-sungguh ia berkata, “Tetapi seandainya tidak demikian, seandainya ia tidak mempunyai hubungan dengan Sidanti maka ia pasti akan memanfaatkan keadaan di Tanah Perdikan ini. Ia mungkin sekali akan mengail di air keruh untuk kepentingan pribadinya.”

Sekali lagi wajah Pandan Wangi menjadi semburat merah, bibirnya menjadi gemetar, tetapi tidak sepatah kata pun yang meloncat. Sementara itu Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa mereka sengaja mereka berpaling dan saling memandang. Dari loncatan sorot mata mereka, mereka telah saling berbicara. Mereka segera dapat menangkap isi hati masing-masing. Dan mereka seolah-olah berbicara satu sama lain, “Wrahasta merasa tersinggung, kenapa bukan ia sendirilah yang menolong Pandan Wangi. Lebih daripada itu ia merasa kuwatir, bahwa anak muda yang bernama Gupita itu dapat mengganggu hubungan yang sedang dirintisnya dengan Pandan Wangi.” Namun orang-orang tua itu tidak segara ikut serta menanggapi persoalan itu secara langsung. Mereka harus berhati-hati. Dalam keadaan serupa ini, setiap percikan kekecewaan akan dapat mengganggu keadaan yang semakin lama menjadi semakin gawat.

Ki Gede yang tidak mengerti persoalan yang sebenarnya tidak segera menjawab. Tetapi keheranannya masih membayang di wajahnya. Kenapa tanggapan Wrahasta terlampau miring. Padahal orang-orang yang menyatakan ciri pribadi mereka dengan cambuk itu, telah menunjukkan maksud baik mereka.

Tetapi Ki Gede tidak segera menyahut. Dicobanya untuk mengerti tanggapan Wrahasta. Betapa pun buramnya, namun Ki Gede melihat juga arah yang dapat dipakai sebagai dasar pikiran Wrahasta.

“Wrahasta terlampau hati-hati,” berkata Ki Gede didalam hatinya. “Ia sendiri belum pernah mengenal orang-orang bercambuk itu, sehingga kecurigaannya itu pun beralasan.”

Dengan demikian maka ruangan itu menjadi sepi sejenak. Namun di dalam kesenyapan itu, dada Pandan Wangi telah digelisahkan oleh gemuruhnya perasaannya. Ia mengerti, apakah sebabnya Wrahasta bersikap demikian. Sebagai seorang gadis ia merasakan getaran yang memancar dari hati anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tetapi sebagai seorang gadis ia pun merasakan getar di dalam dadanya sendiri, apabila ia mengenang, atau berbicara apalagi menyebut nama anak muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala itu.

Dalam keheningan itu terdengar Ki Argapati bertanya, “Pandan Wangi, aku ingin mendengar, apakah yang sebenarnya telah terjadi atasmu pada saat kau bertempur melawan Ki Peda Sura. Aku ingin kau bercerita dari awal sampai akhir, berurutan seperti apa yang telah terjadi sebenarnya.”

Terasa dada Pandan Wangi berdentangan. Sebenarnya ia memang ingin menceritakan, sehingga bagian-bagian yang paling kecil sekalipun. Ia ingin bercerita bahwa anak muda itu telah menolongnya sehingga mereka jatuh berguling di atas tanah yang kotor. Ia ingin bercerita bahwa anak muda yang menyebut dirinya bernama Gupita itu menarik tangannya berlari-lari di atas pematang dan tanah yang becek berlumpur. Di atas genangan air yang memantulkan cahaya bulan yang penuh, yang bergayutan di langit yang biru bersih.

Tiba-tiba Pandan Wangi itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia menggeram di dalam hatinya, “Tidak. Aku adalah seorang dari sekian banyak pengawal Tanah Perdikan ini. Yang menarik perhatianku seharusnya bukan pantulan cahaya bulan yang bulat. Bukan birunya langit yang digantungi oleh bintang gemintang. Bukan selembar awan putih yang hanyut dalam hembusan angin dari samodra. Bukan. Bukan. Yang penting bagiku, Peda Sura telah kami lukai. Aku telah berhasil melepaskan diri dari tangannya dan pasukanku telah berhasil mengundurkan diri dengan korban yang sekecil-kecilnya.”

Namun justru dengan demikian, tidak sepatah kata pun yang meloncat dari bibirnya.

Samekta dan Kerti pun menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu betapa sulitnya Pandan Wangi mengatakan apa yang telah dialaminya menilik ceritanya yang baru dikatakannya sepotong-sepotong. Apalagi ketika mereka melihat, wajah Wrahasta yang menjadi tegang. Apabila Pandan Wangi menceritakan sekali lagi, bahkan lebih banyak lagi tentang anak muda yang mengaku sebagai seorang gembala itu, maka mereka menjadi cemas bahwa perasaan Wrahasta akan benar-benar terluka. Karena itu, maka sebelum Pandan Wangi dapat mengatasi kebimbangannya, terdengar Samekta berkata, “Ki Gede, ada banyak soal yang harus kita bicarakan. Sebenarnya Ki Gede masih harus banyak beristirahat. Karena itu, sebaiknya cerita-cerita itu dapat ditunda untuk lain kali. Sekarang kami mengharap Ki Gede menenteramkan hati, dan apabila mungkin tidur meskipun hanya sekejap.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata sambil tersenyum, “Kau benar Samekta. Aku memang harus beristirahat. Tetapi mendengarkan cerita Pandan Wangi bagiku merupakan suatu kesegaran baru di dalam diri yang tegang selama ini. Aku akan berbangga dan bahkan mengagumi anak ini. Dengan demikian, segala kepahitan atas kekalahan yang aku alami ini akan terhibur karenanya.”

“Tetapi bukankah Ki Gede tidak kalah?” potong Kerti, “Semua yang terjadi, sehingga Ki Gede menderita luka, bukanlah suatu kekalahan. Tetapi itu adalah suatu kecurangan. Ki Gede tidak akan terluka apabila Ki Tambak Wedi sanggup bertempur beradu dada.”

Ki Gede tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja Pandan Wangi menyahut, “Apakah Tambak Wedi berbuat curang sehingga Ayah terluka parah di dadanya?”

Kerti mengangguk. Jawabnya, “Akalmu telah membawa aku menyaksikan apa yang terjadi. Karena kami menyangka bahwa kau lari lagi dari halaman dan pergi ke Pucang Kembar, maka aku pun telah pergi ke sana pula. Agaknya kau memang bermaksud demikian.”

Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi kepalanya ditundukkannya dalam-dalam, seolah-olah ia sedang mencoba menyembunyikan perasaan yang mengambang di wajahnya.

“Hem,” tiba-tiba Samekta menarik nafas dalam-dalam, “Kita telah terlibat lagi dalam suatu pembicaraan. Biarlah Ki Gede beristirahat sejenak, agar lukanya menjadi semakin baik. Apalagi apabila Ki Gede dapat tidur. Karena itu, maka marilah kita tinggalkan ruangan ini.”

Mereka yang berdiri di seputar pembaringan Ki Gede itu saling berpandangan sejenak. Kemudian terdengar suara Kerti, “Baiklah. Sekarang marilah kita tinggalkan ruangan ini. Ki Gede memang perlu beristirahat.”

Ketika Kerti dan Samekta berpaling ke arah Wrahasta, maka dilihatnya wajah anak muda itu masih juga tetap tegang.

“Marilah, Wrahasta,” berkata Kerti sareh.

Wrahasta masih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bergumam, “Marilah.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada Ki Gede, “Kami minta diri sejenak, Ki Gede. Kami masih menyimpan banyak persoalan. Nanti apabila Ki Gede sudah beristirahat, kami akan menyampaikan persoalan-persoalan itu.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu untuk sejenak. Terasa sesuatu yang kurang wajar terjadi di antara orang-orangnya itu. Tetapi ia tidak dapat meraba, apakah yang kurang itu. Meskipun demikian ia mengangguk sambil berkata, “Silahkan. Silahkan. Aku memang ingin beristirahat. Tetapi aku minta Pandan Wangi tetap berada di sini menungguiku. Mungkin aku haus atau lapar atau memerlukan apa pun.”

“Tentu, Ayah,” sahut Pandan Wangi dengan serta-merta sebelum orang lain menyahut. Ia tidak mau apabila ia harus menyingkir pula dari samping ayahnya. Ia ingin menungguinya, dan lebih daripada itu, serasa dadanya dipenuhi oleh cerita yang harus ditumpahkannya kepada ayahnya. Hanya kepada ayahnya.

Samekta dan Kerti saling berpandangan sejenak. Tanpa mereka sadari keduanya memandang Wrahasta dengan sudut mata mereka. Untunglah bahwa Wrahasta tidak memperhatikan sikap itu sehingga tidak menimbulkan persoalan apa pun di dalam dirinya.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Kerti berkata, “Wangi, ayahmu minta kau tetap menungguinya. Layanilah. Kami akan minta diri sejenak.”

“Silahkanlah, Paman,” sahut Pandan Wangi.

Sejenak kemudian maka ruangan itu pun telah menjadi lengang. Yang tinggal di dalamnya adalah Ki Argapati yang berbaring di pembaringan bambu dan Pandan Wangi, yang menungguinya duduk di pembaringan itu pula. Sementara itu Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin yang lain pergi ke tempat yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan sementara pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Supaya persoalan mereka, terutama Wrahasta, terbatas pada masalah Tanah Perdikan, tidak langsung menyentuh soal pribadi, maka Samekta segera membawa mereka ke dalam suatu pembicaraan mengenai laporan yang didengarnya, bahwa seseorang dari desa ini telah lolos untuk melaporkan keadaan Ki Gede yang senyatanya kepada Ki Tambak Wedi.

“Laporan itu berbahaya bagi kita di sini,” berkata Samekta, “sebab apabila Ki Tambak Wedi yakin akan keadaan Ki Argapati, maka ia akan segera mengambil keputusan.”

Kerti dan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahaya itu memang terbayang di dalam kepala mereka. Apabila dalam saat yang pendek Sidanti membawa seluruh pasukannya ke desa ini, maka keadaan akan menjadi sangat gawat. Meskipun seluruh pasukan pengawal yang tersebar di segala tempat ditarik, maka untuk mempertahankan diri, pasti akan terlampau sulit.

 

Series 39

“AKU sudah menyebarkan perintah untuk menarik semua pasukan. Dan aku juga sudah menyiapkan pasukan berkuda yang akan mengimbangi semua gerak lawan, kalau perlu dengan melakukan kekerasan dan mengorbankan beberapa buah rumah penduduk yang kelak akan kita perhitungkan.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Terbayang di dalam angan-angannya seakan-akan sekelompok burung elang yang terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Pasukan yang demikian memang dapat maempengaruhi pertimbanggan lawan dan kadang-kadang dapat mengalihkan gerakan pasukan. Tetapi orang-orang yang berada di dalam pasukan itu harus benar-benar orang-orang terpilih. Bukan saja kemampuannya bertempur, tetapi lebih dari pada itu, adalah ketabahan hati mereka menghadapi semua keadaan, kesadaran mereka akan perjuangannya dan ketiadaan pamrih bagi diri sendiri.

“Apakah orang-orangnya sudah dipilih?” Wrahasta kemudian bertanya. “Sebab untuk menjadi anggauta pasukan itu, beberapa syarat harus dipenuhi. Apalagi apabila ada di antara mereka yang mempunyai cacad pribadi. Maka mereka pasti akan melakukan hal-hal yang merugikan nama baik pasukan Pengawal Tanah Perdikan ini.”

“Aku mengharap demikian,” sahut Samekta. “Pada saat terakhir aku sendirilah yang akan menentukan orang-orangnya dari mereka yang telah ditunjuk.”

Wrahasta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mencoba membayangkan, apakah yang akan dapat terjadi apabila dalam waktu yang singkat kedua pihak harus berbenturan lagi. Keduanya akan menjadi semakin parah. Tetapi terlebih parah lagi adalah pasukan Ki Argapati. Sudah tentu Ki Tambak Wedi akan ikut di dalam pasukan itu bersama Sidanti dan Ki Argajaya. Mungkin Ki Peda Sura dan orang-orang lain yang belum diketahuinya.

Jika demikian, maka sulitlah bagi pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk mempertahankan diri. Mungkin pasukan berkuda itu akan mampu mengurai pemusatan pasukan Sidanti. Namun sudah tentu tidak akan cukup kuat untuk ikut menentukan akhir dari keseluruhan.

“Tetapi kita berusaha. Kita memang harus berbuat sesuatu,” tiba-tiba saja Kerti berdesis. “Kita tidak akan menyerahkan diri kita untuk dibantai tanpa melakukan perlawanan. Setiap laki-laki harus ikut di dalam pasukan.”

Samekta mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya, “Sampai saat ini hampir tidak ada laki-laki yang tersisa. Yang kita harapkan untuk menambahkan kekuatan adalah orangg-orang tua yang sampai saat ini justru telah meletakkan senjata mereka, tetapi mereka cukup mempunyai pengalaman dan kemampuan. Mereka harus kita bawa kembali ke medan-medan dan menarik senjata-senjata mereka dari wrangkanya. Mereka akan didampingi oleh anak-anak muda yang merupakan kekuatan mereka, sedang mereka, dengan pengalaman dan kemampuan mereka, akan mengarahkan kekuatan itu ke sasaran yang benar.”

Sekali lagi Kerti den Wrahasta itu mengangguk-anggukkan kepala.

“Aku harus mendapat laporan tentang perintahku,” berkata Samekta kemudian. Lalu katanya, “Kalian ada pendapat?”

Kerti dan Wrahasta menggelengkan kepala mereka. “Aku kira untuk sementara, gerakan itu sudah cukup,” sahut Kerti.

“Kita memerlukan senjata jarak jauh lebih banyak lagi,” berkata Wrahasta kemudian. “Tekanan pada pintu-pintu masuk padesan ini perlu kita kurangi dengan panah-panah apabila mereka benar-benar datang. Kita harus membuat tempat-tempat yang mapan di atas bambu-bambu ori untuk menempatkan pasukan panah kita.”

“Ya, aku kira kau dapat melakukannya. Berikan perintah itu kepada pasukan yang berkepentingan.”

Wrahasta menganggukkan kepalanya. Ia tidak menunggu sehingga waktu akan terlalu habis oleh meningkatnya keadaan. Segera ia berdiri dan melangkah ke luar, mempersiapkan keadaan pintu gerbang masuk ke padesan di empat penjuru dengan menempatkan pasukan berpanah di sela-sela pering ori.

Samekta dan Kerti masih saja berbicara tentang keadaan pasukan mereka. Kesulitan-kesulitan yang akan mereka hadapi dan cara-cara yang akan dapat ditempuh untuk mengatasi setiap kesulitan itu.

“Pada saatnya kita harus menyampaikan kepada Ki Argapati supaya kita tidak salah jalan,” berkata Kerti. “Meskipun saat ini masih belum memungkinkan karena lukanya, namun aku mengharap bahwa sesudah ia beristirahat, ia akan dapat dibawa berbincang-bincang. Meskipun Ki Gede sendiri tidak akan ikut turun ke peperangan, tetapi nasehatnya sangat kita perlukan.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum dapat membayangkan, seandainya Ki Gede mengetahui semua persoalan, apakah ada seseorang yang dapat mencegahnya, supaya ia tidak meninggalkan pembaringannya, turun ke medan perang meskipun lukanya belum sembuh?

“Tetapi kita harus berhati-hati,” desis Samekta. “Kita mengenal sifat Ki Gede Menoreh baik-baik.”

“Ya,” sahut Kerti. “Hampir saja aku tidak berhasil mengajaknya masuk ke desa ini. Demikian ia mendengar bahwa Pandan Wangi terpisah dari pasukanya, hampir saja ia kehilangan kesadaran dirinya.”

“Karena itu, maka untuk sementara kita akan berusaha mengatasi semua persoalan di sini tanpa mengganggu Ki Argapati,” berkata Samekta kemudian.

“Ya, tetapi bagaimanakah kira-kira perasaan Ki Gede, apabila suatu ketika kita minta ia meninggalkan desa ini karena pasukan Sidanti sudah di ambang pintu dan tidak dapat dibendung lagi?”

Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku mempunyai perhitungan, bahwa keadan yang demikian tidak akan terlampau cepat terjadi. Aku percaya kepada Wrahasta dan aku mengharap hahwa pasukan berkuda yang akan tersusun itu dapat mengganggu susunan rencana Ki Tambak Wedi. Aku masih mengharap mudah-mudahan Ki Argapati cepat sembuh dan mampu memimpin pasukannya.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Obat yang didapatkannya dari orang bercambuk itu benar-benar baik. Setelah mengalami benturan yang dahsyat di dalam tubuhnya. Ki Argapati tampak menjadi segar.”

“Tetapi apakah masih ada sisa obat itu?”

Kerti menggelengkan kepalannya. “Tidak. Semua sudah habis ditaburkan di atas lukanya. Kalau daya penyembuh obat itu tidak berkurang, maka aku mengharap Ki Gede akan bisa lekas sembuh.”

Samekta tidak menyahut. Tetapi wajahnya menunjukkan keragu-raguan. Biasanya obat hanya mempunyai daya penyembuh yang sangat terbatas, sehingga setiap kali obat itu harus diganti. Meskipun demikian Samekta tidak mengatakannya. Bahkan ia berdoa mudah-mudahan obat yang satu ini mempunyai kelebihan dari obat-obat yang lain. Sehingga terloncat dari bibirnya, “Apabila Ki Gede lekas sembuh, maka kita akan hidup kembali. Kita akan menengadahkan kepala kita. Pasukan yang ada masih cukup kuat untuk merebut kembali seluruh Tanah ini dari pengkhianatan.”

Kerti mengangguk-angguk pula. Tetapi tiba-tiba ia bergumam, “Persoalan yang harus didengar oleh Ki Gede bukan saja persoalan Tanah Perdikan ini.”

“Apa lagi?”

“Pandan Wangi.”

“Kenapa Pandan Wangi? Meskipun ia seorang gadis tetapi ia adalah seorang senapati yang baik. Bahkan terlampau baik. Bahwa ia terpisah dari pasukannya, adalah karena rasa tanggung jawabnya yang berlebih-lebihan, apalagi ia sama sekali belum berpengalaman.”

“Bukan itu. Aku tahu bahwa ia adalah seorang senapati yang baik di medan perang. Tetapi ia adalah seorang gadis. Itulah lihat kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi oleh yang harus diketahui oleh Ki Argapati.”

Samekta mengerutkan keningnya. Ia tidak segera menangkap reaksi dari Kerti. Namun ia mengangguk-angukkan kepalanya ketika ia mendengar Kerti berkata, “Maksudku, persoalan Pandan Wangi sebagai seorang gadis. Bukankah kau pernah berkata, bahwa sesuatu tergetar di dalam dada Wrahasta tentang Pandan Wangi.”

“O,” sahut Samekta penuh pengertian, “ya, itu pun merupakan suatu persoalan bagi Ki Argapati.”

“Mudah-mudahan Pandan Wangi tidak mempersoalkannya sekarang dengan ayahnya”

“Mungkin ia asyik bercerita tentang gembala itu.” Tiba-tiba Samekta mengangkat wajahnya seolah-olah ia sedang mengenang sesuatu “Gembala itu?”

“Kenapa dengan gembala itu?” bertanya Kerti.

“Aku pernah menyangkanya seorang gembala yang jujur tetapi dungu,” desis Samekta. “Tetapi ternyata akulah yang dungu.”

“Kau pernah bertemu dengan gembala itu?”

Samekta tersenyum. Jawabnya “Terlalu sekali. Ketika aku mendengar ia menyebut namanya, aku katakan kepadanya, bahwa namanya terlampau baik, lebih baik dari namaku. Apa jawabnya setelah ia mengetahui namaku? Katanya, ‘Ya, memang namaku lebih baik dari Samekta, meskipun Samekta juga sudah cukup baik, tetapi tidak sebaik Gupita.’”

“O,” Kerti pun tersenyum.

“Aku menyangkanya seorang yang dungu. Ketika aku melihat kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi oleh bayangan harapan dari seorang gembala untuk mendapatkan perlindungan,” suara Samekta menurun. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Pantas, kata-katanya saat itu, betapa terasa kedunguannya, namun cukup membuat aku pening. Ia bertanya, ‘Apakah kalau ada seseorang yang merampas kambing-kambingku, merampas hakku, orang itu tidak dihukum?’ Dan pertanyaan itu membuat aku pening.”

“Apa jawabmu?”

“Kalau aku tahu tentang anak itu sebenarnya, jawabku pasti lain. Tetapi saat itu aku menjawab, ‘Bahwa mereka yang melanggar peraturan, merampas kambing, merampas hak seseorang itu mempunyai pedang di lambungnya. Untuk menghukumnya, diperlukan pedang yang lebih tajam dari pedang mereka.’”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Samekta berkata, “Tentu ia mentertawakan jawabanku saat itu, seolah-olah ketetapan dan tegaknya peraturan itu semata-mata berada di ujung pedang.”

“Ternyata ia bukan anak yang dungu seperti yang kamu sangka.”

“Ya. Kalau benar kata Pandan Wangi, bahwa Gupita itulah yang menolongnya, dan bersama-sama melukai Ki Peda Sura, maka kilatan matanya saat itu adalah pertanda bahwa ia mempunyai sesuatu yang tersimpan di dadanya. Sekarang aku menyadari keadaanya saat itu. Itulah agaknya sebabnya ia sama sekali tidak menyingkirkan kambing-kambingnya ketika orang-orang liar yang berada di pihak Sidanti mendatanginya. Ternyata ia siap untuk menghadapi keenam orang yang tetah mencegat Pandan Wangi saat itu.”

Kerti masih mengagguk-anggukkan kepalanya. Namun timbul kekhawatiran di dalam dadanya. Pandan Wangi adalah seorang gadis. Kalau ia sudah mulai mengagumi seorang anak muda, maka kadang-kadang seorang gadis tidak lagi mampu memisahkannya, apakah ia mengaguminya sebagai seorang prajurit yang tangkas di peperangan, ataukah ia mengaguminya sebagai seorang anak muda yang lembut, atau justru sikapnya yang kasar, yang telah menyentuh hatinya, atau perasaan apa pun. Perasaan yang berbeda-beda dalam bentuk dan sifatnya itu, kadang-kadang dibaurkan menjadi satu di dalam hati seorang gadis.

Namun hal yang demikian adalah suatu hal yang sudah wajar. Kalau tidak ada persoalan-persoalan yang lain, maka hal itu tidak perlu dipersoalkan, atau dicemaskan.

Tetapi tidak demikian halnya dengan Pandan Wangi. Sebelum Pandan Wangi berbicara tentang gembala itu, maka seorang anak muda yang lain, yang hampir setiap hari keduaya bertemu pandang, telah lebih dulu mengaitkan cita-cita hidupnya kepadanya. Dan anak muda itu mempunyai peranan yang cukup penting bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Samekta agaknya menangkap getar perasaan Kerti, sehingga ia berkata lirih, “Sudah tentu hadirnya gembala itu merupakan persoaIaan baru bagi Ki Argapati. Mungkin persoalan ini akan dapat berkepanjangan. Gembala itu pasti bukan tanpa maksud melibatkan dirinya dalam masalah Tanah Perdikan Menoreh.”

Jawab Kerti, “Ternyata gembala itu masih akan bertambah satu lagi dengan seorang anak muda yang gemuk, yang menyebut dirinya bernama Gupala.”

Samekta tidak segera menyahut. Kadang-kadang ia menyesali keadaan itu, keadaan yang kurang menguntungkan pada saat-saat serupa ini. Justru karena Pandan Wangi seorang gadis. Kalau Pandan Wangi bukan seorang gadis, kehadiran gembala itu akan dapat menumbuhkan harapan yang pasti, selagi ia bermaksud baik dan tanpa pamrih yang dapat merugikan tanah perdikan ini. Tetapi keadaannya agak berbeda karena Pandan Wangi adalah seorang gadis.

Sementara itu, di induk Tanah Perdikan Menoreh, Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan beberapa orang pemimpin pasukannya sedang sibuk berbicara tentang Ki Argapati. Petugas sandinya yang berhasil keluar dari padesan tempat pemusatan pasukan Menoreh, telah sampai dengan selamat di padukuhan induk dan langsung menemui pimpinan tertingginya.

“Apakah kau pasti bahwa sakit Argapati cukup parah?”

“Ya,” jawab orang tua itu, “aku pasti. Aku melihat sendiri, bagaimana ia turun dari kuda, kemudian dengan susah naik ke rumah yang disediakan untuk puterinya, Pandan Wangi. Aku mendengar langsung dari seorang pengawal yang mendapat tugas untuk mencari seorang dukun yang cukup baik.”

“Apakah kau tidak menawarkan Ki Wasi. Bukankah Ki Wasi dahulu hampir tidak pernah terpisah dari Ki Argapati.”

Kakek petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Ketika mengedarkan pandangan matanya ia melihat seorang laki-laki, berkumis dan berjanggut pendek tersenyum kepadanya. Tanpa ditanya orang itu berkata perlahan-lahan, “Sayang. Aku tidak dapat mengikuti jalan pikiran Ki Airgapati yang telah sampai hati memusuhi puteranya sendiri. Adalah tidak pantas bagi seorang ayah berbuat demikian. Betapapun besar kesalahan seorang anak, tetapi ia adalah setitik dari darahnya. Apakah seorang anak terpaksa melakukan perlawanan atas ayahnya, maka kesalahan yang sebenarnya pasti terletak kepada ayah itu sendiri. Setidak-tidaknya ia tidak berbasil membentuk anaknya menjadi seorang anak yang berbakti. Apalagi sikap yang terlampau keras seperti yang dilakukan oleh Ki Gede saat ini terhadap satu-satunya puteranya yang justru kelak akan mewarisi Tanah ini.”

Setiap orang di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menjadi semakin yakin dan mantap untuk berperang di pihak Sidanti. Namun beberapa orang yang lain acuh tidak acuh saja mendengar kata-kata itu. Orang-orang yang datang dari luar Menoreh sama sekali tidak peduli, apakah yang mereka persoalkan. Apakah ada perselisihan antara anak dan ayah, apakah ada sekelompok yang sedang mamperjuangkan cita-cita, apakah ada pihak-pihak yang sedang menuntut haknya, apakah ada apa pun juga, namun semua itu akan dapat mereka manfaatkan untuk kepentingan mereka masing-masing.

“Persetan,” berkata salah seorang dari mereka di dalam hatinya. “Aku tidak peduIi. Tetapi persengketaan ini harus segera menjalar. Sampai saat ini aku belum berhasil mendapatkan apa pun. Ternyata setan-setan yang lain telah mendahului aku. Kecuali sebuah pendok sepuhan dan sebuah timang kecil, aku belum mendapat apa-apa lagi.”

Berbeda dengan mereka, maka getar dalam dada Sidanti terasa menjadi semakin cepat mengalir. Ia menyadari bahwa pemahaman Ki Wasi atas dirinya ternyata keliru. Apakah kata orang tua itu seandainya ia tahu, bahwa Sidanti sama sekali bukan titik darah Ki Argapati?

Tetapi ditahankannya perasaan itu jauh-jauh di dalam dadanya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada kakek petugas sandi itu, “Siapakah yang memberi obat kepada Ki Argapati?”

Kakek tua itu menggeleng. “Kami tidak tahu. Tetapi mereka sedang mencari.”

Tiba-tiba dari sela-sela mereka yang berada di dalam ruangan itu terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Seorang laki-laki tua, berkumis, berjanggut, dan berambut jarang, tertawa sampai terangguk-angguk. Ikat kepalanya yang dililitkan begitu saja di kepalanya tanpa menutupi sebagian daripadanya, menunjukkan kejarangan rambutnya di ubun-ubun. Di kedua belah tangan laki-laki tua itu mempergunakan sepasang binggel akar kayu berlian, dan di lehernya tersangkut berbagai macam benda-benda yang dianggapnya keramat. Taring celeng mati ngurak, biji asam berangkai genap, sepotong besi berwarna kuning, tiga bongkah batu kecil berwarna telon bersap tiga, dan beberapa macam benda-benda yang lain. Sedang pada ikat pinggangnya tergantung sebuah tempurung kecil berisikan berbagai reramuan obat-obatnya dan sebuah kantong kain berisikan barbagai macam bunga-bunga yang dianggapnya aneh. Bunga semboja bermahkota genap. Bunga telasih putih, bunga pohung sungsang, dan bunga sekar jagad.

Sejenak semua mata terpancang kepada orang tua itu. Dengan matanya yang tajam orang tua itu memandang kepada petugas sandi yang memberitakan terutama keadaan Argapati. Sejenak kemudian ia berkata, “Apakah Argapati atau orang-orangnya tidak menyebut namaku?”

Petugas sandi itu menggeleng. Namun tiba-tiba ia berkata, “Ya, nama Kiai disebutnya juga.”

“Apa kata Argapati tentang aku?”

“Bukan Argapati, tetapi salah seorang pengawal yang bertugas mencari dukun yang dapat dipercaya.”

“Apa katanya?”

“Argapati mencari seorang dukun. Tetapi bukan Ki Wasi dan Ki Muni.”

Sekali lagi suara tertawa laki-laki tua, yang bernama Ki Muni itu meledak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Tetapi tiba-tiba suara tertawanya terputus. Dikerutkannya dahinya sambil berkata, “Tetapi aku tidak mempunyai alasan yang sama seperti Ki Wasi. Pada saat Argapati masih berkuasa, Ki Wasi betah duduk sehari muput, bahkan semalam suntuk, menjagainya dengan setia. Mengurut kakinya dan mengobati luka-lukanya kalau kakinya terantuk tlundak pintu. Tetapi aku tidak. Sejak semula aku menentangnya. Aku pernah menantangnya berperang tanding. Tetapi Argapati tidak bersedia. Karena itu, sampai saat ini pun aku tetap menentangnya.”

“Jangan ngundat-undat, Kakang Muni,” potong Ki Wasi. “Kau tidak berkata dengan jujur. Apakah yang pernah kau lakukan saat itu hampir setiap orang mengertahuinya. Tetapi aku tidak perlu mengungkapnya kembali. Yang penting adalah apa yang kini sedang kita hadapi. Syukurlah kau mampu menghadapi Ki Argapati itu dalam perang tanding seperti Ki Tambak Wedi. Dengan demikian maka nama Ki Muni akan segera dipasang di samping nama-nama Ki Argapati, Ki Tambak Wedi, dan nama-nama lain yang sejajar dengan nama-nama itu.”

Sepercik warna merah menjalar di wajah Ki Muni. Tiba-tiba wajah itu menjadi tegang. Dari sepasang matanya memancar kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Dengan suara yang berat ia menggeram, “Persetan dengan kau, Adi Wasi. Apa kau sangka aku tidak mampu meremas mulutmu itu, he? Dahulu kau menjilat telapak kaki Argapati, sekarang kau bersimpuh di hadapan Angger Sidanti. Huh, orang seperti kau memang tidak dapat dipercaya sepenuh hati.”

Ki Wasi menarik nafas dalam-dalam. Tampak betapa ia terlampau sulit menahan perasaannya. Tetapi ia masih dapat berkata sareh, “Apakah kita akan berbantah dan saling mengungkapkan kenistaan di masa lampau? Kalau itu yang kau kehendaki, maka aku akan bersedia. Bahkan kalau kau masih juga belum puas, dan kau menghendaki yang lain, maka meskipun aku sudah merasa cukup tua, tetapi aku masih ingin mencoba mempertahankan harga diriku, Kakang.”

Sekali lagi suara tertawa Ki Muni meledak memenuhi ruangan. Beberapa orang ikut terseret dalam ketegangan itu. Sejenak mereka hanyut dalam perbantahan yang semakin seru. Tetapi tiba-tiba Argajaya tersenyum dalam hatinya. Ia mengenal kedua orang itu dan ia mengetahui apa yang telah mereka lakukan di masa-masa lampau mereka.

Karena itu, adalah sangat menggelikan apabila orang berbicara tentang diri sendiri di saat ini, di mana keadaan telah meningkat menjadi semakin panas.

Agaknya Ki Muni masih juga ingin menjawab. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi memotong, “Ya, aku tahu semuanya. Aku bukan seorang yang tuli. Aku telah mendengar tentang kalian selengkapnya. Tetapi marilah kita lupakan masa lampau itu. Kita kini sedang menghadapi tugas yang cukup berat. Kami mengharap kalian berdua selau berada dalam tugas kalian sebaik-baiknya. Aku tidak akan menempatkan Ki Muni di medan-medan perang untuk menghadapi langsung Ki Argapati atau menempatkan Ki Wasi sebagai seorang senapati perang untuk merebut Karang Sari atau Patemon, atau daerah-daerah lain yang kini masih dikuasai oleh orang-orang Argapati. Tetapi aku minta setiap saat kalian dapat menyembuhkan orang-orang yang terluka di peperangan. Itu adalah tugas kalian. Kalian tidak usah bertengkar berebut benar tentang pendirian masing-masing. Baik di saat ini maupun di saat-saat lampau.”

Keduanya tidak menjawab. Sesaat mereka saling memandang, namun kemudian mereka melemparkan pandangan mata mereka jauh-jauh keluar dari ruangan itu ke titik-titik di kejauhan.

“Yang perlu kita pertimbangkan sekarang, apakah yang sebaiknya kita lakukan,” berkata Ki Tambak Wedi. “Kalau benar-benar Argapati terluka parah, apakah ia akan dapat sembuh? Mungkin ada dukun-dukun kecil yang mencoba mengobatinya pula. Tetapi apakah mereka mampu membersihkan racun pada luka Ki Argapati itu. Kalau tidak, maka betapapun lambatnya, luka itu akan menjalar dan akan menghancurkan kulit dan dagingnya.”

“Tetapi Ki Argapati sendiri mengerti, bagaimana ia harus mengobati luka-luka,” berkata Ki Wasi.

“Ya, ilmu itu sekedar dimilikinya seperti aku juga mengerti serba sedikit. Tetapi untuk melawan luka yang parah, diperlukan seorang yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang itu seperti Ki Wasi dan Ki Muni.”

“Tentu,” sahut Ki Muni. “Kalau benar ia terluka parah, maka biarkan saja ia sehari dua hari. Ia akan mati dengan sendirinya.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebagai seorang yang cukup mempunyai pertimbangan tentang peperangan ia berpendirian lain. Ia tidak dapat menunggu sampai Argapati itu mati dengan sendirinya. Ia tidak dapat menunggu waktu yang tidak berkepastian. Sebagai seseorang yang mempunyai perhitungan medan, pikirannya agak lain dari pikiran Ki Muni. Maka katanya, “Memang Argapati mungkin akan mati dengan sendirinya. Tetapi kita tidak dapat melepaskan waktu ini, di saat-saat Argapati menjelang hari terakhirnya. Kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”

“Apakah yang akan kita lakukan Kiai?” bertanya Argajaya.

Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Tetapi ia melihat kilatan mata Sidanti, bahwa anak ini telah menangkap maksudnya. Bahkan Sidanti-lah yang mendahului berkata, “Kita hancurkan sisa-sisa pasukan Argapati itu selagi mereka belum mampu bangun dari pingsan. Kalau kita menunda-nunda lagi, mungkin ada sesuatu yang dapat menolong Argapati sehingga keadaan akan segera berubah.”

Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang senopati pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, ia tidak dapat berpendirian lain, kecuali membenarkan sikap Sidanti. Tetapi betapa pun juga terasa sesuatu berdesir di dadanya. Argapati yang sedang dibicarakan itu adalah kakaknya.

“Tetapi aku sudah bertekad untuk menyingkirkannya,” katanya di dalam hati. “Kemudian, aku harus menempuh perjuangan dalam babak yang baru. Aku pasti tidak akan dapat melihat Sidanti menjadi kepala Tanah Perdikan ini. Dan aku juga tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya, bahwa ia akan memberi kesempatan kepadaku ikut serta di dalam pemerintahan. Apalagi apabila dengan landasan Tanah Perdikan ini Ki Tambak Wedi dapat membawa Sidanti merayap ke singgasana Pajang.”

Argajaya terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya kepadanya, “Bagaimanakah sebaiknya? Apakah kau sependapat dengan Sidanti.”

“Ya. Ya,” Argajaya tergagap, “aku sependapat. Memang tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh sekarang.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang menurut perhitungan yang paling tepat, pasukannya harus segera bergerak, memukul pasukan Argapati yang sedang terluka parah itu. Menurut perhitungan keprajuritan, maka pasukan Argapati tidak akan dapat bertahan. Mereka tidak mempunyai pimpinan yang dapat mengimbangi para pemimpin dari pasukan Sidanti.

Tetapi ternyata Ki Tambak Wedi masih tampak ragu-ragu. Sekali-sekali dipandanginya wajah Sidanti, kemudian wajah Argajaya, lalu beredar kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan itu.

“Kita harus segera melakukannya, Guru,” berkata Sidanti kemudian. “Lebih cepat lebih baik. Selama orang-orang Argapati masih berada dalam kegelisahan.”

“Ya, ya,” Ki Tambak Wedi mengangguk-angguk, “tetapi kita jangan kehilangan perhitungan. Kita harus mempertimbangkan keadaan dari segala segi.”

“Apalagi yang harus kita pertimbangkan, Guru? Kita sudah siap. Seandainya sekarang pun kita sudah siap untuk melakukannya. Tetapi menurut pertimbanganku, nanti malam kita bergerak. Kita tidak usah menunggu besok.”

Tetapi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kita cukup kuat bergerak di siang hari. Bagiku gerakan di siang hari dalam keadaan ini akan lebih menguntungkan. Kesempatan untuk melarikan diri lebih kecil bagi Argapati yang sakit itu. Kita akan dapat melihat segala gerakan timbal-balik. Kita akan dapat menunjukkan kemenangan-kemenangan kita kepada para pengikut Argapati itu, sehingga nafsu perlawanan mereka pun pasti akan terpengaruh.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Dapat banyak terjadi dalam waktu semalam ini. Mungkin timbul berbagai macam perubahan keadaan.”

“Itu memang mungkin sekali,” jawab Ki Tambak Wedi, “tetapi kita jangan tergesa-gesa, sehingga kita kehilangan pertimbangan nalar.”

“Apalagi yang dapat menghambat gerakan kita?” bertanya Sidanti.

“Marilah kita perhitungkan,” berkata Ki Tambak Wedi, kemudian. “Peristiwa yang terjadi atas sekelompok orang yang telah aku persiapkan di sekitar Pucang Kembar telah menumbuhkan banyak pertanyaan di hatiku.”

“Itu pasti pokal pasukan-pasukan Argapati yang memang telah dipersiapkan dahulu.”

“Mereka sama sekali tidak mengetahui, tentang sekelompok orang kita itu.”

“Kelompok mereka pun akan melakukan seperti apa yang kita persiapkan atas Guru.”

“Aku tidak berkesan demikian, Sidanti. Aku melihatnya lebih jauh dari sekedar kebetulan itu.”

“Lalu apakah yang telah terjadi menurut pertimbangan Guru?”

“Aku menjumpai keanehan. Aku telah menemukan bekas perkelahian antara sekelompok orang-orang kita itu dengan lawan mereka. Tetapi aku tidak dapat membayangkan, siapakah lawan mereka itu. Kalau mereka adalah sekelompok orang-orang Menoreh, maka akibat dari pertempuran itu pasti berbeda. Aku tidak banyak menemukan bekas-bekas dari perkelahian itu. Aku hanya melihat tiga mayat yang terbaring di sana. Kemudian ke manakah perginya yang lain?”

“Mereka berselisih dan saling bertempur. Bukankah aku telah mengatakan, bahwa kemungkinan itu dapat terjadi?”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Memang kemungkinan ini dapat terjadi. Tetapi kemungkinan itu terlampau kecil. Mereka berangkat dalam keadaan yang baik tanpa ada tanda-tanda perselisihan apa pun di antara mereka. Sedangkan seandainya demikian, di antara kedua pihak itu yang masih hidup pasti akan sampai kepada kita untuk melaporkan keadaan itu.”

“Tidak, Guru. Aku pasti bahwa sebagian dari mereka ingin berkhianat. Sebagian ingin mencegah. Tetapi agaknya mereka yang berada di pihak yang teguh itu terlampau lemah. Mungkin memang hanya tiga orang itu yang semuanya mati terbunuh.”

“Lalu apakah yang dilakukan oleh yang lain?”

“Mereka melarikan diri.”

Ki Tambak Wedi mengernyitkan keningnya. Ia tidak melihat keuntungan apa pun dari mereka yang disangka melarikan diri itu. Tetapi seandainya demikian, maka luka-luka pada ketiga mayat itu pasti akan berbicara, bahwa mereka telah terbunuh dalam perkelahian yang tidak seimbang. Tetapi luka-luka pada mayat itu sangat mencurigakannya.

“Apakah Guru masih tetap ragu-ragu?”

Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Dengan nada yang dalam ia bergumam, “Lalu siapakah yang telah melukai Ki Peda Sura itu? Seorang anak muda yang tiba-tiba saja berkelahi di pihak Pandan Wangi?”

Tidak seorang pun yang segera dapat menjawab. Ki Peda Sura sendiri masih belum bernafsu untuk bercerita tentang anak muda yang melukainya bersama Pandan Wangi. Agaknya orang itu memang berusaha untuk berdiam diri tentang luka yang dideritanya.

“Tidak masuk akal,” gumam Ki Peda Sura di dalam hatinya ketika orang-orang yang berusaha mengetahui persoalannya telah pergi. “Anak muda itu hanya bersenjata sehelai cambuk.”

Dengan demikian maka orang-orang lain tidak mendapat gambaran yang jelas tentang anak muda yang telah berhasil melukai Ki Peda Sura itu bersama Pandan Wangi. Agaknya Ki Peda Sura telah tersinggung harga dirinya, karena senjata lawannya hanya sehelai cambuk.

Tetapi pertanyaan Ki Tambak Wedi tentang orang yang telah melukai Ki Peda Sura itu memang menumbuhkan persoalan di dalam hati Sidanti. Betapa pun juga ia berusaha menyembunyikan perasaannya tentang hal itu, untuk sekedar menuruti nafsunya yang menyala-nyala, namun ia tidak dapat ingkar, bahwa sebenarnya ia merasakan adanya suatu kekuatan yang kurang dikenalnya ikut campur di dalam persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kekuatan yang sampai saat ini masih diselubungi oleh kabut yang tebal.

Ketika angan-angannya terbang melintasi Kali Praga dan melintasi Alas Mentaok, maka Sidanti tiba-tiba menggeram, “Persetan, seandainya mereka hadir di sini, maka umur mereka pasti akan tinggal seumur kembang bakung.”

Namun kadang-kadang tumbuh pula getar di dalam hatinya. Angan-angannya kadang-kadang tidak hanya terhenti pada jarak yang dekat dari Alas Mentaok. Namun kadang-kadang ia sampai pada persoalan Tanah Alas Mentaok itu sendiri. Ia pernah mendengar betapa keras tuntutan Ki Gede Pemanahan atas Bumi Mentaok yang oleh Adiwijaya telah disanggupkan akan diberikan kepadanya setelah ia berhasil menyingkirkan Aryo Penangsang.

Terbayang di dalam angan-angannya seorang anak muda dengan sebatang tombak pendek di tangannya.

“Tidak mungkin. Anak itu tidak akan berkeliaran di sini.”

Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Diangkatnya wajahnya dan dipandanginya bayang-bayang dedaunan di halaman yang bergerak-gerak.

“Apa yaug kau pikirkan, Sidanti?” bertanya Ki Tambak Wedi.

“Memang mungkin ada kekuatan dari luar Tanah ini, Guru.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Itulah yang akan aku katakan kepadamu, kepada Angger Argajaya, dan kepada semuanya di sini. Kekuatan yang masih samar-samar tetapi sudah terasa kehadirannya ini harus kita pertimbangkan sebaik-baiknya.”

“Kekuatan dari manakah menurut dugaan Ki Tambak Wedi?” bertanya Ki Muni yang lehernya dikalungi dengan berbagai macam jimat.

“Kami belum tahu.”

Sekali lagi Ki Muni tertawa. Katanya, “Kita kadang-kadang memang dibayangi oleh dugaan-dugaan kita yang samar-samar tetapi menakutkan. Kalau ada kekuatan itu, maka berapakah jumlah mereka? Segelar sepapan atau berapa?”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Ki Muni, kekuatan yang hanya satu dua orang, tetapi memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan, akan sangat berarti bagi kita masing-masing. Katakanlah bahwa pasukan kita di sini dan pasukan Argapati telah sama-sama mengalami luka parah. Katakanlah bahwa kekuatan kami kini seimbang. Maka setiap kehadiran kekuatan itu akan segera merubah keseimbangan itu.”

“Ah,” Ki Muni mengeluh, “Kiai adalah seorang yang memiliki pengalaman yang pasti jauh lebih banyak dari aku di sini. Tetapi tampaknya Kiai terlampau hati-hati. Cobalah perhitungkan. Kalau selama ini kekuatan pasukan kita seimbang dengan kekuatan Argapati, maka kita pasti tidak akan berhasil mendesaknya. Padahal seperti yang kau ketahui, Kiai, kita di sini belum mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Ki Wasi dan aku masih belum ikut berbuat sesuatu kecuali mengobati orang sakit. Meskipun kami tidak setangkas Ki Tambak Wedi, tetapi cobalah, pada suatu ketika aku ingin bertemu dengan orang yang bernama Argapati itu.”

Ki Tambak Wedi menarik keningnya. Ia melihat wajah Sidanti yang berkerut. Tetapi ketika Sidanti itu akan menjawab, maka segera anak muda itu digamitnya. Ia tahu benar bahwa Sidanti dan Argajaya menjadi muak mendengar orang itu membual. Meskipun demikian mereka tidak juga meniadakan kekuatan yang ada pada orang itu.

“Baiklah, Ki Muni,” sahut Ki Tambak Wedi, “suatu ketika keinginanmu itu akan terjadi. Suatu ketika Argapati akan sembuh dari sakitnya dan kau akan mendapat kesempatan pertama untuk melawannya.”

Tiba-tiba wajah Ki Muni menjadi tegang. Namun hanya sejenak. Sejenak kemudian terdengar suara tertawanya, “Sayang. Sayang sekali. Aku menjadi cemas bahwa cita-cita yang demikian itu tidak akan pernah dapat terjadi. Besok atau lusa, Argapati akan mati.”

“Bagaimana kalau ia tetap hidup?”

“Tidak mungkin,” jawab orang yang berkalung jimat di lehernya itu. “Seandainya ada obat untuknya, maka aku akan melawannya dengan cara lain. Aku akan membunuhnya dengan caraku. Aku akan menenungnya. Aku dapat membunuh tanpa meraba tubuhnya.” Dan suara tertawa orang itu menggema lagi di seluruh ruangan.

Ki Wasi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Kawannya yang seorang ini memang mempunyai tabiat yang aneh. Tetapi tidak seorang pun yang berhasrat untuk mencegahnya. Hampir semua orang telah mengenalnya sebagai seorang pembual terbesar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kecuali seorang pembual sebenarnyalah bahwa memang ia seorang dukun yang baik. Ia terkenal bukan hanya sekedar mengobati luka-luka lama dan baru, mengobati penyakit di dalam tubuh seseorang, atau penyakit-penyakit yang tiba-tiba, tetapi ia memiliki kekuatan gaib yang dapat dipergunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Setiap orang memperkatakannya sebagai seorang juru tenung yang sakti.

“Baiklah,” berkata Ki Tambak Wedi yang mempelajari juga ilmu semacam itu, meskipun ia lebih mementingkan olah kanuragan. “Tetapi kita harus membuat perhitungan-perhitungan lahiriah. Kita barus memperhitungkan setiap kemungkinan adanya kekuatan yang ikut campur dalam persoalan ini.”

Ki Muni kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia tidak dapat ingkar, bahwa menghadapi persoalan perang antara keluarga ini, perhitungan-perhitiungan atas dasar penilaian keprajuritan harus dimatangkan. Hanya dalam perselisihan pribadi sajalah, maka caranya itu dapat diterapkan. Kekuatan tenungnya pun ternyata hanya terbatas. Dan mau tidak mau Ki Muni harus mengakui di dalam hatinya, bahwa Ki Tambak Wedi pun memiliki pengetahuan yang serupa.

“Lalu apakah yang sebaiknya kami lakukan menurut Guru?” bertanya Sidanti.

“Kita harus menjajagi keadaan,” jawab gurunya.

Sidanti mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat mengerti apakah yang dimaksud dengan gurunya. Namun Ki Tambak Wedi pun kemudian menguraikan rencananya, menjajagi keadaan dalam waktu sehari dua hari sambil mengikuti perkembangan keadaan Ki Gede Menoreh yang terluka parah itu.

Demikianlah kedua belah pihak telah memperkuat diri sendiri, membuat rencana untuk menghadapi setiap perkembangan keadaan dan mencoba untuk saling mengetahui rencana dan usaha masing-masing pihak.

Sementara itu, malam pun kemudian hadir di permukaan bumi. Semakin lama menjadi semakin gelap. Di tempat pemusatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta tempat pengungsian para keluarga yang juga dijaga cukup kuat, para peronda telah hilir-mudik dengan kewaspadaan tertinggi. Mereka berjalan dari gardu ke gardu, menyusuri setiap lorong dan menjaga setiap pintu keluar dan masuk padesan.

Di mulut-mulut lorong, pada tempat-tempat tertentu telah dibuat tempat-tempat di antara duri dari pering ori, planggrangan untuk para pengawal yang akan memperkuat pertahanan tempat-tempat kedudukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan senjata-senjata jarak jauh, panah dan bandil, pelempar tombak kecil-kecil dan pelempar batu-batu dengan ujung-ujung bambu yang lentur.

Namun begitu tegang hati para pemimpin pengawal tanah perdikan, mereka sama sekali tidak ingin mengganggu Ki Argapati pada saat-saat ia masih habis bergulat dengan lukanya. Dibiarkannya Ki Argapati beristirahat ditemani oleh puterinya, meskipun Pandan Wangi sendiri banyak bercerita tentang pertempuran yang telah dialaminya. Namun Pandan Wangi tidak menggelisahkan ayahnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam waktu singkat. Pandan Wangi sendiri tidak tahu pasti, bahwa ada seorang petugas sandi yang lolos dari tempat ini dan yang akan dapat mengabarkan tentang keadaan Ki Gede, sehingga akibat daripadanya akan berbahaya bagi pertahanan para penggawal.

Samekta sendiri pada saat itu hilir-mudik bersama-sama dengan Wrahasta memeriksa setiap gardu-gardu terpenting. Melihat kesiap-siagaan pasukan pengawal yang ditempatkan di depan mulut-mulut lorong masuk di empat penjuru. Melihat kelengkapan senjata-senjata jarak jauh dan bahkan Samekta sendiri telah mengunjungi padesan di sebelah, tempat keluarga mereka diungsikan, dijaga oleh kekuatan yang cukup untuk melindungi mereka dari setiap sergapan. Samekta telah mengatur pasukannya sedemikian, sehingga kedua tempat itu akan selalu dapat diamatinya dengan baik. Dan arus pasukannya akan dapat berpindah-pindah dengan cepat dan lancar. Telah diperhitungkannya kemungkinan pasukan lawan berusaha untuk memotong hubungan antara kedua tempat itu, atau menyerang dari arah yang lain.

Namun demikian, Ki Argapati bukan seorang pemalas yang hanya ingin berbaring diam di pembaringannya. Bagaimanapun juga, ketajaman perasaan keprajuritannya telah memperhitungkan semua persoalan yang telah terjadi. Meskipun Ki Argapati tidak tahu bahwa ada seorang yang telah melepaskan berita tentang sakitnya yang parah, namun ia memperhitungkannya seandainya hal yang demikian itu terjadi. Karena itu, maka setelah ia cukup puas berbicara dengan Pandan Wangi, seseorang disuruhnya memanggil Samekta menghadapnya.

Tanpa diduga-duga Ki Gede bertanya, “Bagaimana dengan persiapanmu, Samekta?”

Samekta menarik nafas dalam-dalam, jawabnya, “Cukup baik, Ki Gede. Tetapi kita tidak perlu cemas untuk saat-saat yang pendek ini. Aku memperhitungkannya bahwa setidak-tidaknya malam ini tidak akan terjadi sesuatu.”

Tetapi dada Samekta berdebar-debar ketika ia melihat Ki Argapati mengernyitkan keningnya sambil berkata, “Apakah kau tidak mempersiapkan pasukanmu dalam kesiagaan tertinggi?”

Samekta menjadi ragu-ragu.

“Kalau kau menganggap bahwa malam ini tidak akan terjadi sesuatu maka kau ternyata telah lengah Samekta.”

Samekta menjadi semakin ragu-ragu menghadapi pembicaraan itu.

“Samekta,” berkata Ki Gede lirih, “kita sudah kehilangan waktu satu senja. Karena itu kejarlah keterlambatan itu sekarang. Kau harus berusaha mempersiapkan orang-orangmu seolah-olah malam ini pasukan lawan akan menyerang kita. Seharusnya kau memperhitungkan kemungkinan itu. Seharusnya kau memperhitungkan kemungkinan bahwa berita tentang lukaku yang parah ini akan sampai ketelinga Ki Tambak Wedi. Bukankah begitu? Dengan demikian maka apabila perhitungan Tambak Wedi sejalan dengan perhitunganku, kesempatan ini pasti akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak ada seorang pun yang akan mampu berhadapan seorang lawan seorang dengan Ki Tambak Wedi. Apalagi di dalam pasukannya telah ada Sidanti dan Argajaya. Peda Sura yang barangkali telah berangsur baik dan beberapa orang lain.”

Sesaat Samekta tidak dapat menyahut. Ternyata meskipun ia tidak membicarakannya dengan Ki Argapati tentang perkembangan terakhir, maka itu tidak berarti bahwa ia telah memberi kesempatan kepada Ki Argapati untuk beristirahat dengan tenang dan tanpa memikirkan persoalan perang yang sedang berkobar itu.

Karena Samekta tidak segera menjawab, maka Ki Argapati mendesaknya, “Apakah dasar perhitunganmu, bahwa malam ini tidak akan terjadi sesuatu?”

Samekta tidak dapat ingkar lagi. Maka dengan terus terang ia berkata, “Ki Gede. Sebenarnya kita memang telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Sebenarnya aku mempunyai perhitungan yang serupa. Tetapi kami tidak bermaksud untuk mengganggu Ki Gede sehingga kami memang sengaja membuat suasana seolah-olah tidak menegang.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia merasakan, betapa orang-orangnya berusaha dengan sungguh-sungguh membantunya dalam keadaan yang paling sulit. Bukan saja untuk mempertahankan kekuasaannya di atas Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga berusaha sungguh-sungguh untuk membuatnya tenang dalam keadaannya kini.

Perlahan-lahan terdengar Ki Argapati berkata, “Terima kasih, Samekta. Aku memang sudah menyangka, bahwa kalian tidak akan sebodoh itu, membiarkan diri kita kehilangan kewaspadaan. Usaha kalian untuk membuat hatiku tenteram sangat aku hargai. Namun sebaiknya jangan membuat aku seperti kepompong yang tidak mengerti arah. Sebaiknya kalian membicarakan semua masalah dengan aku.”

Samekta tidak menyahut. Ditundukkanya kepalanya dalam-dalam. Ia sudah tidak akan dapat ingkar lagi. Tetapi ia menarik nafas ketika ia mendengar Ki Argapati berkata, “Tetapi aku tahu bahwa maksud kalian baik. Dan karena itulah maka aku mengucapkan terima kasih.”

Samekta hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun ia menjadi sadar, bahwa ketajaman perasaan Ki Gede sebagai seorang prajurit memang tidak dapat diselebungi dengan cara apa pun.

“Untuk seterusnya Samekta,” berkata Ki Gede itu kemudian, “sampaikan semua persoalan kepadaku. Meskipun aku sadar, bahwa aku masih belum mampu berbuat terlampau banyak, tetapi mudah-mudahan aku masih dapat ikut berbicara dan berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita lakukan.”

“Maafkan kami, Ki Gede,” berkata Samekta kemudian. “Untuk seterusnya aku akan selalu melaporkan semua perkembangan kepada Ki Gede.”

“Terima kasih,” Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang aku ingin mendengar apa yang telah kau kerjakan.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan singkat diberitahukannya apa saja yang telah dipersiapkan. Pasukan yang bersenjata panah di mulut-mulut lorong, pasukan berkuda dan kesiagaan di seluruh padesan ini dan padesan tempat para keluarga ditempatkan. Jalur hubungan di antara keduanya dan segala macam kemungkinan yang lain.

“Ternyata kalian benar-benar tidak mengecewakan. Kalian telah mencoba membuat imbangan yang baik dalam keadaan yang sulit serupa ini. Baiklah, sekarang pergilah ke pasukanmu yang sedang bersiap-siap itu. Aku ingin mendengar laporan setiap kali. Kau dapat menyuruh orang lain menemui aku. Kerti atau Wrahasta atau orang lain lagi.”

“Baiklah, Ki Gede,” sahut Samekta yang kemudian minta diri kembali ke pasukannya. Ke rumah yang dipergunakan sebagai pusat pimpinan pasukan pengawal yang sedang tersisih dari induk Tanah Perdikan Menoreh.

Belum lagi Samekta sampai kerumah itu, ia tertegun melihat Wrahasta berjalan tergesa-gesa menemuinya. Sebelum ia bertanya Wrahasta telah berkata, “Aku sangka kau masih berada di tempat Ki Gede beristirahat.”

“Apakah ada sesuatu yang penting?”

“Ya,” sahut anak muda bertubuh raksasa itu,

“Apakah yang sudah terjadi?”

“Seorang petugas sandi melihat gerakan pasukan lawan menuju kemari.”

Dada Samekta menjadi berdebar-debar. Tetapi hal itu memang sudah termasuk dalam perhitungannya. Karena itu maka sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Bukankah semua bagian di dalam pasukan kita sudah siap pada tugasnya masing-masing”

Wrahasta mengangguk sambil menjawab, “Ya. Semua sudah di tempatnya masing-masing.”

“Bagaimana dengan pasukan berkuda?”

“Pasukan itulah yang menunggu perintah.”

Samekta berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Panggilah pemimpin pasukan berkuda itu.”

Wrahasta pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi untuk memanggil orang yang mendapat kepercayaan memimpin pasukan berkuda. Pasukan yang khusus dibentuk untuk menanggapi keadaan yang sulit itu. Pasukan yang terdiri dari anak-anak muda yang sudah cukup berpengalaman bertempur di atas punggung kuda. Memiliki keberanian dan kecepatan berpikir. Pasukan ini adalah pasukan andalan yang akan dapat mempengaruhi keadaan.

Sejenak kemudian, di rumah tempat pimpinan pasukan Pengawal Tanah Perdikan, seorang anak muda yang bertubuh tegap, berjambang lebat dan bermata tajam menghadap Samekta dengan dada tengadah. Wajahnya memancarkan api tekad yang menyala di dadanya. Di lehernya tersangkut secarik kain putih sebagai pertanda keikhlasan hatinya di dalam pengabdiannya.

“Wigatri,” berkata Samekta, “kepadamulah kami meletakkan harapan. Kami mengharap bahwa pasukanmu berhasil setiap kali merubah suasana. Tetapi ingat, kalian jangan bertindak terlampau jauh. Kalian harus tetap ingat, bahwa semua pihak yang sedang bertengkar ini adalah saudara kita sendiri. Memang ada beberapa orang yang mencoba menarik keuntungan dari peristiwa ini. Tetapi hal itu jangan kau jadikan alasan untuk berbuat sewenang-wenang.” Samekta berhenti sejenak, lalu, “Kalian dapat berbuat agak keras untuk menarik perhatian lawan ke arahmu. Tetapi jangan mengorbankan rakyat yang tidak tahu-menahu tentang pertengkaran yang sedang terjadi ini. Apakah kau dapat mengerti?”

Anak muda yang bernama Wigatri itu menganggukkan kepalanya, “Ya, Paman, aku mengerti.”

“Nah, kuasai tugasmu baik-baik. Kalian dapat menimbulkan kebingungan dan bahkan dapat menyalakan api di malam hari, namun korban yang kau berikan harus seimbang dengan tujuan tindakanmu itu. Apakah kau mengerti?”

“Ya, Paman.”

“Mungkin ada anak buahmu yang terlampau dikendalikan oleh perasaannya. Nah, itu adalah tanggung jawabmu.” Samekta berhenti sejenak, lalu, “Sekarang, kalian harus berusaha berada di luar lingkaran pasukan Sidanti yang bergerak kemari.”

Anak muda yang bernama Wigatri itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Hanya debar jantungnya sajalah yang terasa menjadi semakin keras memukul dinding dadanya.

Dan ia mendengar Samekta berkata seterusnya, “Sekarang pergilah. Atau masih ada pertanyaan?”

Wigatri menyahut, “Apakah Sidanti sudah mulai bergerak?”

“Pasukannya bergerak kemari. Tidak mustahil padesan ini dikepungnya. Karena itu, kau harus segera pergi, supaya kalian tidak berada juga di dalam kepungan.

“Baik, Paman. Bukankah kami harus membuat kesan bahwa pasukan Menoreh telah menyerang di tempat-tempat tertentu?”

“Ya. Tetapi kalian harus menunggu isyarat. Kalau tidak ada isyarat itu, kalian harus tetap berada di sekitar tempat ini. Mungkin kalian kami perlukan untuk memecah kepungan Sidanti dan menyerang mereka dari belakang”

“Baik.”

“Ingat, segala macam isyarat akan kami berikan seperti yang sudah kami beritahukan.”

“Baik, Paman,” jawab Wigatri. “Sekarang, perkenankan kami pergi.”

“Hati-hatilah.”

Wigatri pun segera minta diri kepada para pemimpin yang lain. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pasukannya yang ternyata selalu siap sedia di segala saat. Wigatri tidak memerlukan waktu lama untuk mempersiapkan diri dan seluruh pasukannya. Sejenak kemudian, kesepian malam telah dipecahkan oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari-lari meninggalkan padesan.

Sementara itu Samekta telah mengirim penghubung menghadap Ki Gede menyampaikan semua berita tentang pasukan Sidanti dan persiapan yang dilakukannya.

Di luar padesan itu, Wigatri membawa pasukannya berpacu ke arah yang telah ditunjuk oleh para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan ke arah yang berbeda dari arah gerakan pasukan Sidanti.

Tidak terlampau jauh dari padesan mereka berhenti, menunggu perkembangan keadaan. Para pemimpin di padesan yang baru saja ditinggalkan pasti akan memberinya isyarat untuk melakukan sesuatu gerakan.

Meskipun demikian, Wigatri tidak lengah dengan menempatkan beberapa orang anggautanya untuk mengawasi keaadan.

Ketegangan yang merata telah mencengkam seluruh padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan tempat-tempat pengungsian keluarga mereka. Para pengawal sama sekali tidak melepaskan senjata-senjata mereka dari tangan. Bahkan hampir setiap laki-laki, tua muda yang meskipun bukan pasukan pengawal, namun mereka telah menempatkan diri dalam barisan.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka ketegangan pun menjadi semakin memuncak. Beberapa orang petugas sandi secara terus-menerus melaporkan tentang gerakan lawan.

“Mereka telah berada di depan hidung kita,” berkata salah seorang petugas sandi.

Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin yang lain berdiri tegak di mulut lorong desa, di luar regol. Mata mereka beredar di kegelapan, seolah-olah ingin melihat, apa saja yang tersembunyi di balik layar yang hitam pekat itu.

Tiba-tiba hampir berbareng mereka tersentak. Mereka melihat seleret api di kejauhan. Obor.

“Aku melihat obor,” desis Kerti.

“Ya,” sahut Wrahasta.

Tetapi dada mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika tiba-tiba obor itu seolah-olah terpecah menjadi percikan api yang berpuluh-puluh jumlahnya dan berpencaran di hadapan pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu pada jarak yang tidak terlampau jauh.

“Mereka berusaha untuk mengepung padesan ini,” desis Samekta.

Kerti dan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadarnya mereka berpaling dan melihat beberapa buah planggrangan pada carang-carang pering ori. Beberapa orang pengawal dengan busur di tangan mereka telah siap untuk menyambut kedatangan lawan.

“Mereka sudah siap,” desis Wrahasta. “Pasukan yang lain pun telah siap. Kita akan menutup regol ini dan menyambut mereka dengan lontaran tombak-tombak apabila mereka mencoba memecahkan pintu. Pasukan kita tidak akan mendekati pintu itu, sehingga dengan demikian tidak akan mungkin terjadi salah bidik.”

“Bagus,” sahut Samekta. “Kita bertahan di dalam lingkungan pering ori. Tetapi siapakah yang memimpin pasukan di tempat pengungsian itu?”

“Untuk sementara mereka dipimpin oleh pimpinan kelompok masing-masing sambil menunggu perintah lebih lanjut.”

Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Salah satu orang dari kita harus ke sana.”

“Aku akan pergi” sahut Kerti.

Kerti tidak menunggu jawaban. Segera ia pergi mengambil seekor kuda. Bersama dua orang pengawal ia meninggalkan desa itu menuju ke desa sebelah untuk memimpin pasukan pengawal yang sedang berusaha melindungi para pengungsi dan anak-anak.

Seorang penghubung telah dikirim pula oleh Samekta untuk memberitahukan hal itu kepada Ki Argapati sambil melaporkan segala persiapan yang telah dilakukannya.

Ki Argapati mendengarkan laporan itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Setelah ia menjadi tenang, maka ia menyadari betapa lukanya itu sangat berbahaya, apabila ia tidak berhasil mengendalikan diri. Tetapi apabila keadaan menjadi semakin memuncak, apakah ia akan berbaring terus di pembaringannya?

Dengan pandangan mata yang sayu dan wajah yang pucat ia berkata kepada Pandan Wangi, “Lihatlah apa yang terjadi.”

“Baik, Ayah,” jawab Pandan Wangi.

“Aku harus mendengar setiap perkembangan yang terjadi.”

“Ya, Ayah”

Dan Pandan Wangi itu pun segera minta diri kepada ayahnya, turun ke halaman dan pergi ke ujung lorong. Dengan langkah yang tetap dan dada tengadah ia berjalan menyusuri jalan padesan. Tangan kanannya tanpa disadarinya telah meraba-raba hulu pedangnya.

Tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia melihat seorang anak muda yang bertubuh raksasa berdiri di pinggir jalan sambil membungkuk hormat kepadanya.

“Ah,” Pandan Wangi berdesah.

“Kemana kau, Wangi?” bertanya Wrahasta.

“Ayah menyuruh aku melihat apa yang sebenarnya terjadi ke ujung jalan.”

“Desa ini sudah dikepung.”

“Itulah yang akan aku lihat.”

“Kita harus bekerja dengan sepenuh tenaga. Bukan kita berkecil hati, Wangi, tetapi kita tidak boleh mengabaikan kenyataan, bahwa kita berada dalam kesulitan.”

Pandan Wangi menyadari pula akan hal ini. Karena itu maka ia pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya Wrahasta. Kita semua menyadarinya. Tetapi kita tidak dapat berbuat lain daripada bertempur. Bertempur sampai kemungkinan yang terakhir.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin masih ada jalan. Kita masih dapat surut beberapa langkah ke padesan yang lain. Seandainya hal ini harus terjadi, maka kita harus berdasar pada suatu kemungkinan, bahwa kita akan dapat merebut semua kedudukan kembali.”

Pandan Wangi tidak menjawab, Tetapi debar jantungnya menjadi semakin cepat. Apalagi ketika ia mendengar Wrahasta berkata, “Meskipun demikian, Wangi, aku masih menyisihkan waktu untuk kepentingan pribadiku.”

“Ah,” sekali lagi Pandan Wangi berdesah, “kita semua sedang disibukkan oleh tugas kita masing-masing.”

“Pandan Wangi,” kata-kata Wrahasta menurun, “mungkin aku tidak akan dapat melihat matahari terbit esok pagi. Namun sebelum itu aku ingin mendengar jawabanmu. Aku ingin kepastian, Wangi, bukan sekedar teka-teki.”

Terasa tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar oleh debar yang semakin meugguncang dadanya. Namun dengan demikian justru mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam.

“Kenapa kau diam saja, Wangi?”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan. Beberapa saat yang lalu ia telah mencoba memberikan harapan di hati anak muda yang bertubuh raksasa itu, meskipun tidak memancar dari lubuk hatinya. Dan kini sekali lagi ia dihadapkan pada kesulitan yang sama.

Untuk mengalihkan pembicaraan, Pandan Wangi mencoba mengelak, “Ayah menunggu aku, Wrahasta. Aku harus segera pergi ke gardu di ujung lorong ini.”

“Kau hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengucapkan sepatah kata, Wangi.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin pepat. Sedang punggungnya telah menjadi basah oleh keringat dingin. Saat yang dihadapi oleh Tanah Perdikan Menoreh adalah saat yang paling gawat. Kalau saja ia bukan puteri Kepala Tanah Perdikan, maka Wrahasta tidak akan dapat mempergunakan saat-saat yang demikian ini untuk menekankan maksudnya.

Meskipun Pandan Wangi tidak menyangsikan kesetiaan Wrahasta atas Tanah ini, namun ia menyadari, bahwa keadaan anak muda ini dapat menggoncangkan perasaannya apabila ia menjadi kecewa.

Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat sekelompok peronda lewat. Dengan serta-merta ia bertanya, “Di manakah paman Samekta dan paman Kerti?”

Tetapi yang menjawab adalah Wrahasta, “Paman Samekta berada di regol desa, sedang Paman Kerti pergi ke tempat pengungsian. Ia harus memimpin pasukan yang berada di sana.”

Dada Pandan Wangi kembali menjadi berdebar-debar ketika para peronda itu meneruskan langkahnya.

Sejenak kemudian mereka berdua berdiri mematung dalam kediaman. Yang terdengar lamat-lamat adalah suara angkup nangka dan derik jengkerik di kebun.

Namun tiba-tiba mereka berpaling ketika mereka mendengar langkah tergesa-gesa menuju ke arah mereka. Beberapa langkah lagi orang itu berhenti, sambil berdesis, “Wrahasta?”

“Ya,” sahut Wrahasta.

“Ki Samekta memanggilmu.”

“Mengapa?”

“Obor-obor itu mulai bergerak.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan Pandan Wangi yang masih berdiri termangu-mangu, diikuti oleh orang yang memanggilnya.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Untuk sementara ia dapat melepaskan dirinya dari cengkaman kebingungan. Namun kemudian kakinya segera terayun menyusul Wrahasta. Ia pun ingin segera tahu, apa yang telah terjadi.

Di muka regol Samekta berdiri dengan tegangnya. Ketika Wrahasta kemudian telah berada di sampingnya, ia berkata, “Lihat, orang-orang Sidanti benar-benar ingin mengepung padesan ini dari segala arah.”

“Bodoh sekali,” desis Wrahasta.

“Jangan segera mengambil kesimpulan itu. Kita tidak tahu kemantapan pasukan mereka. Mereka mungkin hanya menyebarkan obor keliling desa ini, sedang ia menempatkan kekuatan mereka pada tempat yang telah mereka perhitungkan.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tiba-tiba mereka berpaling ketika mereka mendengar suara Pandan Wangi, “Tetapi gelar itu bukan gelar yang baik untuk menyerang.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan mantap ia menyahut, “Kau benar, Wangi. Ternyata pandanganmu mengenai gelar keprajuritan cukup tajam meskipun kau belum pernah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Dengan menebarkan orang-orangnya, Sidanti pasti akan mengambil sikap itu.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi berkerut mendengar pujian itu. Apalagi ketika disadarinya bahwa beberapa orang memandanginya dengan berbagai macam tanggapan yang kurang dimengertinya.

“Meskipun demikian,” berkata Samekta, “kita tidak boleh lengah. Kita tidak dapat melihat apa yang telah mereka persiapkan sebenarnya. Kita tidak tahu apa yang terdapat di kegelapan itu. Kita hanya melihat obor-obor itu terpencar. Tetapi apakah orang-orang mereka benar-benar terpencar, masih belum kita ketahui. Kita masih menunggu beberapa petugas sandi kita.”

Pandan Wangi akan menyahut. Tetapi terasa bahwa Samekta telah meluruskatn tanggapannya atas pasukan lawan meskipun sebagian terbesar pendapatnya dibenarkan.

“Ayah minta aku memberitahukan apa yang terjadi,” berkata Pandan Wangi kemudian.

“Ya, tunggulah sampai ada perkembangan seterusnya. Sampai saat ini kita tidak melihat sesuatu yang mencemaskan.”

“Tetapi ayah menunggu.”

“Seseorang akan menghubungi Ki Argapati dan menyampaikan laporan bahwa keadaan tidak berubah. Kau masih tetap di sini menunggu perkembangan.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada penghubung itu ia berpesan, bahwa apabila keadaan meningkat, ia sendiri akan datang memberitahukan kepada ayahnya.

“Kita dapat beristirahat sejenak,” berkata Samekta, “sementara pengawasan akan diperketat.”

“Bagaimana dengan pasukan berkuda?”

“Aku sudah memesan mereka, agar mereka tidak meninggalkan padesan ini sebelum ada isyarat. Mereka akan jemu menunggu perkembangan berikutnya tanpa berbuat sesuatu.”

“Tidak, mereka pasti juga melihat obor-obor itu,”

Wrahasta tidak menjawab.

Sejenak kemudian para pemimpin itu pun pergi ke tempat pimpinan untuk beristirahat dan berbicara tentang keadaan. Pandan Wangi ikut bersama mereka. Ia tidak mau terpisah dari orang-orang lain, supaya Wrahasta tidak mendapat kesempatan untuk menyudutkannya ke dalam kesulitan.

Sementara itu, di seputar padesan, pasukan Sidanti mengepung dengan seluruh kekuatan. Meskipun demikian, mereka memang tidak akan segera menyerang. Mereka sedang mempertimbangkan kekuatan yang ada di kedua belah pihak. Gerakannya kali ini hanya sekedar memberikan tekanan-tekanan kepada hati pasukan Argapati, sambil menjajagi keadaan. Karena itu, maka pasukan itu tidak segera mengadakan gerakan sama sekali. Mereka berada di tempatnya sambil menggenggam senjata masing-masing. Meskipun demikian mereka memerlukan seluruh kekuatan yang ada, supaya apabila setiap saat justru pasukan Argapati yang menyergap mereka, mereka tidak menjadi terpecah-belah dan kalang kabut.

Bahkan di dalam pasukan itu ikut pula Ki Tambak Wedi sendiri, beserta Sidanti dan Argajaya.

“Apakah yang dapat kita ketahui dengan penjajagan ini, Guru?” bertanya Sidanti.

“Kita sekedar melihat suasana. Apabila keadaan yang demikian ini terjadi berulang-ulang, maka pasti akan berpengaruh atas kebulatan hati mereka. Semakin lama mereka pasti akan menjadi kecut dan berkecil hati. sehingga pada saatnya, kita akan meruntuhkan segenap keberanian mereka. Sementara itu kita akan dapat mengetahui apakah sebenarnya kekuatan yang mencampuri keadaan ini cukup berat sehingga kita perlu memperhitungkannya.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Sambil bertolak pinggang ia berdiri tegak memandangi cahaya lampu yang berkeredipan di dalam padesan di hadapannya yang meloncat dari sela-sela rimbunnya pering ori yang melingkari desa itu. Sebuah obor menyala di pintu regol. Lamat-lamat Sidanti dapat melihat beberapa orang yang hilir-mudik di bawah obor di luar regol itu.

“Mereka tidak menutup pintu regol,” desis Sidanti

“Mereka bukan orang-orang yang terlampau bodoh,” sahut Argajaya, “sehingga mereka mengerti, bahwa cara kita ini sama sekali bukan gelar untuk menyerang mereka. Obor-obor yang tersebar itu hanya sekedar memberikan kesan bahwa kita akan mengepung mereka supaya mereka terpisah dari lingkungan di luar kedua desa sebelah-menyebelah ini. Tetapi mereka pun sadar bahwa mereka pasti akan dapat memecahkan kepungan yang terlampau tipis ini.”

“Ya,” sahut Tambak Wedi, “memang bukan itu tujuan kita. Kita akan membuat mereka menjadi cemas, gelisah, dan perasaan-perasaan lain yang tidak menentu. Apalagi dalam saat Argapati sedang luka parah. Aku mengharap bahwa Argapati tidak dapat mengendalikan diri, sehingga keadaan ini telah membuatnya semakin parah.”

Argajaya tidak menyahut. Ia dapat mengerti tujuan Ki Tambak Wedi yang mempergunakan berbagai cara untuk mtnghancurkan lawannya. Tidak saja dengan kekuatan badaniah, tetapi denggan memypengaruhi segi kejiwaan lawannya, ia berusaha memperlemah daya perlawanaan mereka.

Tetapi yang terlebih penting adalah usaha Ki Tambak Wedi untuk menilai kekuatan lawan secara langsung. Ternyata beberapa orang yang berhasil merayap mendekati regol di dalam kegelapan, telah kembali kepadanya.

“Apa yang kau lihat?” bertanya Sidanti tidak sabar.

“Beberapa orang pemimpin yang berdiri di luar regol,” jawab penghubung itu. “Tetapi sekarang mereka telah masuk lagi.”

“Ya, mereka pasti menganggap bahwa gerakan ini tidak terlampau berbahaya, meskipun mereka cukup bersiaga,” sahut Sidanti.

“Tetapi siapakah yang kau lihat?”

“Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa orang pemimpin pengawal yang lain.”

“Apakah ada orang yang belum kau kenal yang pantas kau curigai sebagai orang yang bukan berasal dari tanah perdikan ini di antara mereka?”

Orang Sidanti yang berhasil mendekati regol padesan tempat pemusatan pasukan pengawal tanah perdikan itu mencoba mengingat-ingat siapa sajakah di antara mereka yang berada di regol desa. Wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah yang tidak asing lagi baginya, meskipun ada di antara mereka yang belum dikenalnya. Tetapi sama sekali tidak ada kesan bahwa di antara mereka ada orang yang tidak dikenal.

Karena itu maka jawabnya sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak melihat yang pantas aku curigai. Mereka adalah orang-orang Menoreh.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Teka-teki tentang kelompok kecilnya di Pucang Kembar sampai saat itu masih belum terjawab.

“Tidak ada orang lain,” tiba-tiba Sidanti berdesis.

“Belum dapat dipastikan,” sahut Ki Tambak Wedi, “mungkin mereka berada di dalam regol.”

Orang yaug berhasil keluar dari padesan itu pun tidak mengatakan bahwa ada orang-orang yang tidak dikenal berada di dalam desa itu.

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.

“Yang datang bersama Ki Argapati yang terluka itu pun hanya Pandan Wangi, Kerti, dan beberapa pengawal yang semua telah di kenalnya sebagai orang-orang Menoreh,” sambung Sidanti pula.

“Ya, ya,” sahut Ki Tambak Wedi, “mungkin juga begitu. Tetapi hatiku belum mantap. Aku masih ingin melihat dan menunggu beberapa hari. Tetapi padesan ini harus tetap kita awasi. Kita akan meletakkan sebagian dari kekuatan kita di padesan terdekat, dengan jalur-jalur penghubung yang baik dengan induk tanah perdikan ini.”

Sebelum Sidanti menjawab terdengar suara tertawa Ki Muni yang berdiri di belakang Ki Tambak Wedi, “Kapan pun kita melakukannya akibatnya tidak akan jauh berbeda. Kita tidak perlu tergesa-gesa. Tetapi seandainya sekarang pun, tidak akan banyak terdapat rintangan-rintangan. Aku sudah melihat apa yang akan terjadi. Dari ilmuku aku tahu bahwa Argapati sekarang sedang sekarat. Malam nanti, selambat-lambatnya besok pagi, ia akan mati. Memang terdapat perlawanan yang baik dari dalam dirinya yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi kekuatan itu juga terbatas.” Ki Muni berhenti sejenak. Sambil mengerutkan dahinya ia berkumat-kamit. Kemudian katanya, “Pada saat Argapati mati, maka seluruh kekuatan pasukannya akan terpukul dari dalam diri mereka sendiri. Keberanian, tekad, dan kemauan mereka akan runtuh bersama mayat Argapati yang akan dikuburkan di dalam bumi. Nah, kalian tidak akan terlampau sulit untuk mengalahkannya. Dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak saja kalian akan dapat mematahkan perlawanan mereka. Dan mereka pun akan tidak ubahnya seperti kerbau yang paling bodoh.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia tidak mempergunakan perhitungan serupa itu menghadapi Argapati. Tetapi ia tidak menolak keterangan Ki Muni itu. Sebab menurut keyakinan Ki Tambak Wedi sendiri, memang ada ilmu yang dapat melihat peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, seperti apa yang pernah dipelajarinya meskipun tidak mendalam. Tetapi menghadapi Argapati, ia lebih cenderung mempergunakan perhitungan tata keprajuritan. Keteguhan hati Argapati pasti akan mempersulit penglihatannya melalui ilmu-ilmunya yang masih belum sempurna.

Namun ia tidak mengerti, betapa jauh Ki Muni menguasai ilmu serupa itu. Tetapi apa yang dikatakannya memang masuk akal. Argapati akan mati, malam ini atau besok pagi-pagi. Pasukannya akan kehilangan gairah perlawannya dan akan segera dapat dikalahkan.

Meskipun demikian Ki Tambak Wedi masih juga ragu-ragu.

“Kita pasti tidak akan memasuki tempat itu malam ini,” tiba-tiba ia bergumam. “Kita masih belum mendapatkan kemantapan.”

“Itu pun tidak menjadi soal,” jawab Ki Muni. “Adalah lebih baik apabila kita menunggu Argapati mati. Kita tidak akan melepaskan korban terlampau banyak.”

“Tetapi bagaimana kalau ia nanti dapat sembuh,” potong Sidanti.

“Penglihatanku tidak pernah salah,” sahut Ki Muni. “Hanya oleh sebab yang tidak terduga-duga hal itu dapat terjadi. Tetapi hal yang tidak terduga-duga itu pun tidak aku lihat, sehingga sembilan dari sepuluh kemungkinan, Argapati akan mati.”

“Apakah Ki Muni dapat juga melihat hadirnya kekuatan dari luar Menoreh pada pihak Ki Gede?” bertanya Sidanti tiba-tiba.

Wajah Ki Muni menjadi berkerut-merut. Ditatapnya wajah Sidanti sejenak. Kemudian sambil menggelengkan kepala ia menjawab, “Aku belum berusaha melihatnya. Aku baru berusaha melihat kemungkinan yang akan terjadi pada Ki Gede. Aku ternyata khilaf, bahwa aku tidak melihat kemungkinan itu sama sekali.”

Sidanti menarik keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa pun, ia agak kurang tertarik dengan cara yang dipergunakan oleh Ki Muni. Baginya, perhitungan jasmaniahlah yang paling baik dipergunakan didalam gelar perang seperti saat ini.

“Baiklah, kita menunggu segala kemungkinan dan perkembangan keadaan. Tetapi kita tetap di tempat. Kita kepung desa ini supaya pasukan Argapati menjadi tintrim dan cemas menghadapi keadaan mereka di saat-saat mendatang. Seandainya kita masih belum mendapatkan kepastian, maka besok malam hal yang serupa ini pun akan kita lakukan, sementara itu petugas-petugas sandi akan berusaha melihat apa yang ada di dalam lingkungan pagar pering ori itu.”

Tidak ada seorang pun yang menjawab. Argajaya agaknya telah kehilangan gairah untuk ikut campur dalam percakapan itu. Betapapun juga Argapati adalah saudara kandungnya. Kemungkinan bahwa kakaknya itu akan mati, ternyata mempengaruhi pikirannya pula. Kadang-kadang timbullah keragu-raguannya atas kemungkinan yang akan dapat dicapai dengan caranya ini. Sesudah Argapati dikalahkan, bagaimana dengan dirinya? Apakah ia akan berhasil mengusir Ki Tambak Wedi dan Sidanti?

“Tetapi Sidanti bukan trah Argapati dan ia tidak akan berhak untuk mempergunakan nama itu dan gelar Ki Gede Menoreh,” katanya di dalam hati, namun kemudian, “Tetapi apakah aku mampu menghadapinya, dan apakah orang-orang Menoreh mempercayainya seandainya aku mengatakan keadaan yang sebenarnya.”

Keragu-raguan yang tajam telah meledak di dalam hati Argajaya. Sekali-sekali disambarnya wajah Sidanti, kemudian wajah Ki Tambak Wedi. Kedua wajah itu memang mirip. Sidanti memang bukan hanya sekedar murid Ki Tambak Wedi.

Terbayang di rongga mata Argajaya bayangan wajah kakak iparnya, Rara Wulan. Menurut anggapannya saat itu, Rara Wulan adalah seorang perempuan yang paling baik yang dikenalnya. Seorang penurut. Seorang yang sangat berbakti kepada suaminya. Seorang yang tidak pernah menimbulkan persoalan di dalam rumah tangganya.

“Semua itu hanya sekedar tebusan dari dosa-dosanya,” gumamnya di dalam hati.

Ketika Argajaya menarik nafas dalam-dalam, ia melihat Sidanti memandanginya. Hanya sekilas, kemudian anak muda itu melangkah beberapa langkah dan duduk di atas rerumputan yang basah oleh embun. Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi pun melangkah pergi diiringi oleh Ki Muni, sedang Argajaya masih tetap berada di tempatnya.

Argajaya pun kemudian meletakkan dirinya pula, duduk di atas sebuah batu sambil memandangi padesan di depannya. Desa kecil yang berpagar rapat dengan batang-batang pering ori. Beberapa berkas cahaya lampu memancar menggores gelapnya malam.

Sekali lagi Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Ki Wasi duduk di belakang.

“He,” sapa Ki Wasi, “apakah yang kau renungkan?”

“Tanah ini,” sahut Argajaya.

Ki Wasi bergeser selangkah maju dan duduk di sisi Argajaya. Tanpa sesadarnya ia pun merenungi desa di hadapannya. Kemudian ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Tidak ada orang lain yang berada di dekatnya.

“Akhirnya api berkobar tanpa dapat dikendalikan,” desis Ki Wasi.

Argajaya menganggukkan kepalanya. “Ya. Tanah ini telah terbakar hangus. Kelak kita hanya akan mendapatkan abunya saja.”

Ki Wasi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku kehilangan pertimbangan, yang manakah sebenarnya yang paling baik aku lakukan. Ketika aku melihat kau berdiri di pihak Sidanti, maka aku yang dicengkam oleh keragu-raguan segera memisahkan diri dari Ki Argapati.”

“Ya,” sahut Argajaya.

“Sayang, bahwa Argapati lebih senang kepada kedudukannya daripada kepada anak laki-lakinya, yang sebenarnya dapat menjadi penerus cita-citanya.”

Terasa dada Argajaya berdesir. Namun ia menjawab terbata-bata, “Ya, ya. Kakang Argapati tidak mau mengalah.”

“Angger Argajaya,” berkata Ki Wasi, “apakah Angger Argajaya sama sekali tidak mempunyai pengaruh untuk memperingatkan Ki Argapati agar ia mengurungkan niatnya memusuhi puteranya sendiri? Yang paling menderita dalam persoalan ini adalah Menoreh. Pertentangan antara ayah dan anak itu akan membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam Tanah ini. Apabila Ki Argapati bersedia mengalah, kemudian memberikan kesempatan kepada yang muda untuk ikut memimpin pemerintahan meskipun masih tetap dalam pengawasan yang tua-tua, maka keadaan akan menjadi berbeda. Sebaliknya Sidanti juga jangan meninggalkan ayahnya sama sekali, yang sampai saat ini telah menunjukkan kemampuannya, menjadikan Menoreh Tanah Perdikan yang besar dan disegani.”

Argajaya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Ki Wasi. Memang seharusnya demikian.”

Tetapi Argajaya tidak mengatakan kepada Ki Wasi hubungan yang sebenarnya antara Argapati dan Sidanti. Juga hubungan antara Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan dirinya sendiri dengan Pajang. Juga tidak tentang nafsu yang menyala-nyala di dalam dada Sidanti dan sudah tentu di dalam dadanya sendiri, untuk meloncat ke jenjang yang paling atas dari segala macam jabatan.

“Sekarang keadaan telah menjadi parah,” sambung Ki Wasi. “Ki Argapati sendiri mengalami luka-luka parah dan tidak seorang pun yang dapat menolongnya. Aku pun tidak, meskipun sebelum ini aku terlampau dekat dengan Ki Gede.”

Argajaya tidak menyahut. Ketika ia berpaling dilihatnya mata Ki Wasi menjadi suram. Pandangan mata yang suram itu seolah-olah meluncur jauh menembus dinding pering ori yang rapat itu. Dan tiba-tiba Argajaya mendengar Ki Wasi bergumam, “Lepas dari semua masalah, adalah kewajibanku untuk menyembuhkan orang yang sakit. Sebenarnya aku ingin pergi mendapatkan Ki Argapati. Tetapi agaknya Ki Argapati sendiri telah menutup kemungkinan itu. Ki Argapati atau orang yang dekat denganya, mungkin Samekta, mungkin Kerti, atau mungkin Angger Wrahasta, telah melarang dan menolak aku dan Ki Muni.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tanpa ilmu macam apa pun, memang sudah dapat diramalkan bahwa Ki Argapati akan menemui ajalnya.” suara Ki Wasi merendah. “Sayang. Sayang sekali.”

Argajaya seolah-olah membeku di tempatnya. Seperti Ki Wasi, ia pun kemudian memandangi keredip lampu minyak di dalam padesan itu. Ditatapnya kemudian nyala obor di depan regol. Kemudian terdengar ia berdesah perlahan-lahan.

Sementara itu, Samekta, Wrahasta, dan Pandan Wangi sedang duduk melingkari lampu minyak di atas ajuk-ajuk yang rendah. Mereka berkesimpulan bahwa Sidanti tidak akan menyerang malam ini.

“Mereka ingin meruntuhkan ketahanan hati kita,” berkata Samekta. “Meskipun demikian, kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan.”

“Mereka pasti menyangka bahwa luka Ki Gede menjadi semakin parah,” sahut Wrahasta.

“Tetapi pasti ada sesuatu yang menahan mereka. Kalau mereka yakin Ki Gede menjadi semakin parah, maka mereka pasti akan menyerang malam ini. Dan sudah tentu mereka tidak akan memasang gelar seperti saat ini.”

“Kita hanya dapat menunggu perkembangan berikutnya.”

“Kita tahan dulu pasukan berkuda itu untuk tidak melakukan gerakan apa pun. Terasa bahwa ada sesuatu yang masih harus dipertimbangkan oleh Ki Tambak Wedi. Sesuatu yang kita masih belum tahu dengan pasti.”

Wrahasta menganguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disengaja dipandanginya mata Pandan Wangi yang suram. Tetapi gadis itu menunduk dalam-dalam.

Meskipun Pandan Wangi seolah-olah tidak ikut di dalam pembicaraan itu, namun di dalam hatinya ia sedang mencoba mencari-cari kebenaran kata-kata Samekta, bahwa Ki Tambak Wedi masih harus mempertimbangkan sesuatu. Sesuatu yang belum dapat dimengertinya. Tetapi dalam pada itu Pandan Wangi mencoba menghubungkannya dengan orang-orang bercambuk yang telah memberi obat kepada ayahnya dan yang telah melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura.

“Mereka tidak hanya satu orang,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya. “Yang aku lihat pasti bukan yang dilihat oleh ayah. Bukan karena namanya berbeda. Nama dapat dibuat seribu macam bagi seseorang. Tetapi ciri orang yang menolongku itu sama sekali tidak sama dengan anak muda yang menyerahkan obat itu kepada ayah. Yang menurut ayah, adalah seorang anak muda yang gemuk. Persamaan di antara mereka adalah keduanya mempergunakan cambuk sebagai senjata mereka, atau sebagai tanda pengenal mereka. Orang-orang itulah agaknya yang sedang dipertimbangkan oleh Ki Tambak Wedi. Mungkin yang dikatakan oleh Gupita ayahnya itulah yang harus diperhitungkan oleh Ki Tambak Wedi. Ayah Gupita yang sampai saat ini masih belum dapat dikenal siapakah orangnya.”

Tetapi Pandan Wangi menyimpan pendapatnya itu di dalam hati. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia tidak ingin mempersoalkan anak-anak muda bercambuk itu di hadapan Wrahasta.

Sementara itu malampun menjadi semakin malam. Para penjaga dan para peronda tidak melihat gerakan-gerakan yang berbahaya dari pasukan Sidanti. Beberapa di antara obor-obor mereka telah padam karena kehabisan minyak. Tetapi petugas-petugas sandi telah tersebar di tengah-tengah sawah, di antara kedua pasukan yang telah siap itu. Petugas sandi dari kedua belah pihak. Mereka saling mengintai untuk melihat apabila ada gerakan-gerakan yang aneh dan tanpa terduga-duga.

Di tepi pategalan, di ujung bulak, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Wigatri menunggu dalam kegelisahan. Tetapi karena mereka melihat obor yang berkeredipan di seputar desa tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka segera mereka menyadari, bahwa pasukan Sidanti benar-benar telah mengepung desa itu. Karena itu, maka mereka terpaksa menyabarkan diri mereka, menunggu isyarat yang akan diberikan, apabila diperlukan.

“Apakah kita hanya akan menunggu semalam suntuk?” bertanya salah seorang dari mereka kepada Wigatri.

“Kita hanya dapat menunggu. Aku mendapat pesan, bahwa setiap gerakan yang akan kita lakukan, harus berdasarkan kepada isyarat yang akan diberikan. Mungkin kita harus pergi dan menarik perhatian pasukan lawan itu di tempat-tempat lain dengan menyalakan api yang cukup besar. Tetapi mungkin juga kita diperlukan untuk membantu mengurangi kepungan itu.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, anak muda yang bertanya kepadanya melangkah pergi, kembali ke kudanya. Namun tampak kegelisahan menyekat rongga dadanya. Meskipun demikian mereka masih cukup sabar menunggu segala macam perintah dan mentaatinya.

Sebenarnya Wigatri sendiri pun telah menjadi gelisah pula. Sekali-sekali dibelainya leher kudanya yang diikatkannya pada sebatang pohon. Kemudian berjalan hilir-mudik sambil menundukkan kepalanya. Beberapa orang yang lain duduk terpencar di atas rerumputan sambil membelai senjata-senjata mereka. Namun demikian, beberapa di antara mereka yang sedang bertugas untuk mengawasi keadaan, telah berada di tempatnya dengan sepenuh kewaspadaan.

“Kalian dapat beristirahat sebaik-baiknya,” berkata Wigatri kepada kawan-kawannya yang tidak sedang bertugas. “Kalian boleh berbaring atau apa pun. Tetapi setiap saat kalian harus sudah siap meloncat ke punggung kuda kalian.”

Maka beberapa orang dari mereka pun kemudian dengan tenangnya berbaring di rumput yang basah oleh embun. Tetapi kehangatan dada mereka membuat mereka sama sekali tidak merasakan betapa dinginnya malam. Bahkan ada di antara mereka yang duduk di antara sadar dan tidak karena diserang oleh kantuk. Sebagian terbesar dari mereka memperhitungkan, bahwa malam ini mereka hanya sekedar berpindah tidur saja dari barak-barak mereka di dalam padesan.

Sebenarnyalah bahwa malam itu tidak ada sesuatu yang terjadi. Menjelang fajar, Sidanti telah menarik pasukannya. Namun seperti yang telah dipesankan Ki Tambak Wedi untuk menempatkan beberapa bagian dari pasukannya di tempat yang lebih dekat dengan padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita harus berusaha agar mereka tidak mendapat kesempatan mengumpulkan bahan makanan,” berkata Ki Tambak Wedi.

“Tetapi persediaan mereka masih cukup banyak,” jawab Sidanti.

Tetapi Ki Muni menggeleng. “Tidak. Aku yakin bahwa mereka akan kehabisan padi. Tetapi sebelum itu mereka pasti sudah menyerah apabila Argapati mati. Hanya satu dua orang saja dari mereka yang telah menjadi gila, akan mengadakan perlawanan terus.” Ki Muni berhenti sejenak. “Lalu setelah fajar menyingsing, aku ingin mendengar suara tangis Pandan Wangi, menangisi mayat ayahnya.”

“Seandainya benar Argapati mati,” sahut Ki Wasi, “hal itu pasti akan dirahasiakan untuk sementara.”

Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. “Ya. Pasti. Tetapi kita harus berusaha untuk selalu mendengar berita tentang Ki Argapati. Apakah sampai saat ini masih ada petugas sandi yang berada di dalam desa itu?”

“Ya,” sahut Argajaya, “masih ada dua orang kita di dalam desa itu. Keduanya adalah penduduk desa itu sendiri. Mereka tidak akan mudah keluar dari desa itu. Sehingga mereka hanya akan dapat memberikan isyarat-isyarat saja tentang keadaan di dalam.”

“Tetapi kita sulit untuk mengerti isyarat itu,” jawab Sidanti. “Kita tidak sempat membuat persetujuan, apakah yang akan dilakukan dan tanda-tanda apakah yang akan diberikan seandainya Argapati meninggal atau ada orang lain yang ikut campur di dalam peperangan ini.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi hal tersebut adalah memang benar.

Ki Tambak Wedi pun kemudian hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sulit baginya untuk dapat mengetahui keadaan di dalam lingkaran pering ori itu. Tetapi ia tidak segera menjadi putus asa. Kedua orang itu pasti akan menemukan akal untuk menyampaikan berita terutama berita terpenting dari dalam, seandainya mereka benar-benar tidak dapat lolos lagi dengan cara apa pun.

Dalamn pada itu, ketika pasukan Tambak Wedi ditarik dari sekitar tempat pemusatan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka para penghuni desa itu pun merasa seolah-olah mereka dapat mulai bernafas lagi. Tetapi itu bukan berarti bahwa bahaya yang sebenarnya telah lenyap. Mereka menyadari, bahwa di siang hari pun kemungkinan yang sama akan dapat terjadi. Bahkan mungkin pada saatnya Ki Tambak Wedi akan menyerang desa itu di siang hari.

Pandan Wangi, yang telah berada di samping ayahnya, melaporkan semua yang terjadi. Ternyata bahwa pasukan kakaknya, Sidanti, hanya sekedar membuat suatu gerakan untuk mengetuk ketabahan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan, “Sidanti menuggu berita kematianku.”

Pandan Wangi tidak segera menyahut, tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.

“Tetapi aku heran bahwa Sidanti tidak benar-benar menyerang malam ini,” gumam Ki Argapati kemudian. “Berita tentang lukaku yang parah pasti telah sampai kepada mereka.”

Pandan Wangi kemudian menganggukkan kepalanya pula. Jawabnya, “Kita memang menyangka bahwa Kakang Sidanti akan mempergunakan kesempatan ini.”

“Ternyata serangan itu tidak dilakukannya,” sambung ayahnya. “Dengan demikian kita akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti memperhitungkan kemungkinan lain yang dapat terjadi.”

Pandan Wangi sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata perhitunggan ayahnya sesuai dengan perhitungan Samekta dan para pemimpin yang lain. Bahkan Kerti yang kemudian kembali ke desa itu pun mengatakan serupa itu pula.

“Wangi,” berkata ayahnya, “agaknya Ki Tambak Wedi telah mencium hadirnya orang bercambuk itu di tlatah Menoreh. Aku tidak tahu, dalam bentuk apakah gambaran Ki Tambak Wedi itu, apakah ia memang sudah mengenalnya atau pernah mendengar namanya atau mungkin ia hanya menduga-duga, tetapi aku kira Ki Tambak Wedi memperhitungkan hadirnya kekuatan yang lain di atas tanah perdikan ini. Ketika kami bertempur di bawah Pucang Kembar, dan Ki Tambak Wedi berhasil melukai aku agaknya memang telah terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga. Tambak Wedi yang menunggu kehadiran orang-orangnya yang memang sudah dipersiapkan menjadi kecewa. Bahkan yang datang hanyalah seorang yang telah terluka parah. Inilah agaknya yang menahan Ki Tambak Wedi untuk bertindak malam ini. Agaknya ia perlu menjajagi apa yang ada di dalam lingkungan pertahanan ini.”

Pandan Wangi masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ayahnya meneruskannya, “Tetapi hati-hatilah selanjutnya. Sebab sebagaimana kau ketahui, bahwa tidak ada kekuatan apa pun di luar kekuatan kita sendiri. Aku berterima kasih bahwa aku telah diselamatkan oleh obat yang diberikannya. Tetapi seandainya Ki Tambak Wedi tidak ragu-ragu dan menyerang malam tadi, mungkin kita sudah terpecah menjadi kepingan-kepingan yang sama sekali tidak berarti lagi.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu, “Namun sekarang kita pun masih harus berprihatin. Kalau daya kemampuan obat ini kemudian lenyap, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat melanjutkan pengobatan atas lukaku. Aku tidak dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi kemudian. Mungkin aku dapat mencoba mencari dedaunan yartg dapat menolong. Tetapi aku bukan seorang yang mempelajari ilmu pengobatan dengan baik. Karena itu keragu-raguan Ki Tambak Wedi harus kita manfaatkan. Pasukan berkuda itu mungkin dapat membantu. Mereka harus berbuat dan mencoba menghilangkan jejak mereka supaya mereka tidak dikenal sebagai orang-orang Menoreh. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi akan tetap menganggap bahwa memang ada kekuatan lain yang hadir di atas Tanah Perdikan ini untuk mengimbanginya. Aku mempunyai pikiran, bahwa beberapa orang dari pasukan berkuda itu supaya mempergunakan cambuk yang panjang juntainya, tetapi bertangkai pendek. Aku mengharap, pasukan itu dapat menimbulkan persoalan baru bagi Ki Tambak Wedi, sementara kita menunggu, apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang bercambuk itu.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk pula. Ia mengerti maksud ayahnya. Sebelum ayahnya mampu berbuat sesuatu, ayahnya akan mengaburkan perhitungan Ki Tambak Wedi dengan caranya. Orang-orang bercambuk itu agaknya telah menumbuhkan pikiran baru pada ayahnya. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk itu,” katanya di dalam hati.

“Panggillah Samekta,” berkata Ki Argapati kemudian.

“Baik, Ayah,” jawab Pandan Wangi yang kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Tetapi Pandan Wangi tidak pergi sendiri. Ia masih selalu berusaha menghindari pertemuan seorang diri dengan Wrahasta. Sehingga karena itu, maka disuruhnya seorang pengawal untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Samekta.

Samekta mendengarkan cara Ki Argapati itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti maksud Ki Gede Menoreh. Namun ia bertanya, “Tetapi Ki Gede, bagaimanakah sikap orang bercambuk itu sendiri? Apakah Gupala, Gupita, dan orang yang diakuinya sebagai ayahnya itu tidak merasa terlanggar haknya?”

“Mudah-mudahan tidak, Samekta. Aku mengharap seandainya demikian, mereka akan menemui aku.”

Sekali lagi Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah berdiam sejenak ia berkata, “Kami akan mencoba Ki Gede. Aku akan membuat agar empat orang di antara mereka, menjadi bayangan dari orang-orang bercambuk itu. Mudah-mudahan hal ini justru tidak menumbuhkan persoalan baru bagi Menoreh.”

Demikianlah maka Samekta mencoba untuk memenuhi cara yang harus ditempuhnya menurut petunjuk Ki Gede Menoreh, untuk menunda gerakan Ki Tambak Wedi sampai pada suatu saat Ki Argapati telah menjadi berangsur baik, maka ia harus mengaburkan perhatian Ki Tambak Wedi dengan gelar sandi, seakan-akan ada unsur kekuatan baru yang harus diperhitungkan setidak-tidaknya oleh Ki Tambak Wedi.

Maka ketika malam kemudian mendekat, maka pasukan berkuda yang dipimpin Wigatri telah bersiap pula. Demikian mereka mendengar laporan bahwa pasukan Sidanti bergerak seperti malam kemarin mendekati desa, maka pasukan berkuda itu dilepas oleh Samekta dengan tugas yang khusus. Sekali lagi Samekta berpesan, jangan menimbulkan korban yang tidak berarti. Baik bagi anggauta pasukan berkuda itu sendiri, maupun pada sasaran yang akan dituju.

Samekta sendiri bersama Wrahasta dan Pandan Wangi berdiri tegak di muka regol desa untuk melihat obor-obor yang seolah-olah merayap mendekati mereka. Tetapi seperti malam yang lampau obor-obor itu berhenti pada jarak yang tidak terlampau dekat dalam gelar yang sama seperti yang pernah terjadi.

“Mereka masih belum akan menyerang,” desis Samekta. “Itu hanya sekedar pameran kekuatan.”

Wrahasta menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku juga menyangka demikian. Tetapi kemungkinan yang lain dapat terjadi. Apakah paman Kerti sudah siap di tempatnya?”

“Ya. Ia telah pergi ke desa sebelah.”

Kemudian mereka pun terdiam. Ki Argapati pun telah mendengar laporan, bahwa pasukan Sidanti telah datang untuk kedua kalinya. Dan bahwa pasukan Menoreh pun telah siap menghadapi segenap kemungkinan.

Namun seperti malam yang telah lewat, pasukan Sidanti itu tidak segera berbuat sesuatu. Mereka berada dalam jarak yang tetap sambil duduk-duduk dan bahkan ada yang terkantuk-kantuk bersandar sebatang pohon atau saling bersandar punggung.

Samekta dan para pemimpin yang lain pun kemudian masuk ke dalam regol desa dan setelah sekedar memeriksa pasukannya, maka mereka pun segera kembali ke tempat pimpinan. Namun tampak di wajah-wajah mereka, sesuatu yang menegang di dadanya. Para pemimpin itu tidak dapat melepaskan diri dari ingatan mereka tentang pasukan berkuda yang sudah harus mulai melakukan tugas mereka.

Sejenak kemudian mereka terkejut ketika seorang pengawal dengan teresa-gesa masuk ke rumah itu. Dengan tergesa-gesa pula ia berkata, “Ki Samekta, aku, eh, para pengawas mendengar suara titir di kejauhan. Kami melihat warna semburat merah di langit.”

“Kebakaran maksudmu?”

Pengawal itu mungangguk, “Ya.”

Sejenak para pemimpin itu saling berpandangan. Segera mereka mengetahui, bahwa Wigatri telah berbuat sesuatu.

“Dari arah mana kau melihat api itu?”

“Di padukuhan induk.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Wigatri masih juga dibakar oleh darah mudanya. Agaknya pasukan berkuda itu langsung membuat huru-hara di padukuhan induk, atau padukuhan-padukuhan lain dekat padukuhan induk.

“Mereka adalah anak-anak yang berani,” gumam Wrahasta.

Samekta menganguk-anggukkan kepalanya. Keberanian anak-anak muda itu memang tidak disangsikan lagi. Namun yang masih perlu ditekankan kepada Wigatri adalah pertimbangan di samping luapan perasaan yang hampir tidak terkendali.

“Marilah kita melihat,” desis Samekta. “Dan Ki Argapati pun harus segera mendengar laporan ini pula.”

Sejenak kemudian maka Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa orang pemimpin yang lain pun segera keluar regol untuk melihat apa yang terjadi, sedang seorang penghubung telah langsung pergi melaporkan kepada Ki Argapati.

Ketika para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh melihat langit yang diwarnai oleh nyala api, serta suara titir yang seolah-olah memekik-mekik, maka terasa dada mereka pun tergetar.

“Rumah siapakah yang telah menjadi korban pertama ini?” desis Samekta.

“Wigatri tahu benar, siapakah yang masih harus mendapat perlindungan, dan siapakah yang benar-benar telah berkhianat,” sahut Wrahasta yang masih dialiri oleh darah mudanya pula.

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak ia tidak menyahut. Yang dipandanginya kini adalah obor-obor yang menjadi gelisah pula. Agaknya api dan suara titir itu telah menarik perhatian pasukan Sidanti yang sedang mengepung padesan itu.

“Apakah yang sudah terjadi?” bertanya Ki Tambak Wedi.

“Kebakaran,” jawab Argajaya. “Tetapi titir itu adalah pertanda bahwa daerah itu dilanda oleh bahaya”

Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia tidak segera mengambil kesimpulan.

“Kita harus melihat apa yang telah terjadi,” berkata Sidanti.

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera terpengaruh oleh keadaan itu. Sebagai seorang yang cukup berpengalaman ia mampu mengendalikan diri dan berbuat dengan kepala yang dingin.

“Kita harus segera menarik pasukan ini,” tiba-tiba Ki Muni memotong dengan nafas tersengal-sengal, “aku melihat api dan mendengar suara titir.”

“Kami telah melihatnya pula,” sahut Argajaya.

“Kalau begitu, kita harus segera kembali. Kita harus segera melawan serangan yang membabi buta itu.”

“Tunggu,” potong Ki Tambak Wedi, “jangan seperti anak-anak kehilangan makanan.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Kita tetap di sini. Perintahkan dua orang untuk melihat apa yang telah terjadi.”

“O, jadi kau menunggu seluruh padukuhan induk menjadi karang abang?” teriak Ki Muni.

“Cepat!” Ki Tambak Wedi seolah-olah tidak mendengar suara Ki Muni. “Kemudian mereka harus datang kemari lagi. Berkuda.”

Sejenak kemudian maka dua orang anak buah Sidanti meninggalkan pasukannya untuk kembali ke pedukuhan induk. Mereka harus melihat apa yang telah terjadi. Dan mereka pun harus segera kembali, bahkan berkuda.

Dengan demikian, maka keduanya segera berlari-lari kecil memintas persawahan. Berlari-lari sepanjang pematang dan meloncat parit-parit kecil. Sementara itu di kejauhan masih dilihatnya warna merah menjilat langit.

Samekta dan para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih berada di tempatnya. Mereka rnenjadi berdebar-debar ketika mereka melihat, sama sekali tidak ada perubahan pada gelar lawannya. Betapa gelisah obor-obor yang melingkari padesan itu, namun obor itu tidak beranjak dari daerah lingkarannya.

“Apakah Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memperhatikan kebakaran itu?” desis Wrahasta.

“Ki Tambak Wedi adalah orang yang cukup berpengalaman” sahut Samekta. “Mungkin ia sedang menimbang-nimbang. Mungkin ia sedang memerintahkan satu dua orang untuk melihat apa yang sedang terjadi. Atau masih ada kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi aku yakin, bahwa yang terjadi akan berpengaruh pada lawan kita.”

Wrahasta tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya seolah-olah menyala memandangi obor-obor yang masih saja berada di kejauhan.

“Kita tidak perlu menungguinya di sini,” berkata Samekta kemudian. “Kami akan mendapat laporan segera apabila terjadi perubahan keadaan. Di tengah-tengah sawah itu bertebaran para petugas sandi yang akan dapat memberitahukan setiap gerakan lawan.”

Wrahasta menganggukkan kepalanya. “Baik. Sementara kita menunggu perkembangan keadaan.”

Samekta dan para pemimpin yang lain pun segera masuk dan kembali ke tempat pimpinan. Sementara para petugas tetap mengawasi keadaan dengan saksama.

Di luar padesan itu, agak di kejauhan, Ki Tambak Wedi menunggu orang-orangnya dengan gelisah. Sementara itu Ki Muni menggerutu tidak habis-habisnya. Sedang Sidanti, Argajaya, dan Ki Wasi duduk merenung sambil sekali-sekali mengawasi warna merah di langit.

Ketika mereka telah hampir kehilangan kesabaran, maka terdengarlah derap dua ekor kuda mendekat. Semakin lama semakin dekat. Ternyata mereka adalah dua orang petugas yang telah dikirim oleh Sidanti untuk melihat keadaan.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Sidanti tidak sabar. “Sebuah serangan dari sepasukan berkuda,” jawab salah seorang dari mereka.

“Pasukan berkuda?” tanya Argajaya meloncat berdiri.

“Siapakah mereka itu?” desak Sidanti.

“Kami tidak dapat menyebutkan, siapakah mereka itu. Hampir semua dari mereka memakai secarik kain putih di lehernya, dan bahkan sebagian untuk menutup wajah mereka sehingga hanya mata mereka sajalah yang tampak.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, sedang Sidanti dan Argajaya menggeram hampir bersamaan.

“Jangan terkejut,” Ki Tambak Wedi berkata dengan nada datar. “Dalam keadaan yang sulit, orang-orang Menoreh pasti telah membuat permainan yang memuakkan.”

“Dalam sekaratnya Argapati masih dapat membuat onar,” sahut Ki Muni.

“Tetapi bukankah Argapati telah mati. Kalau tidak semalam maka pasti siang tadi. Bukankah begitu Ki Muni?” sahut Sidanti yang mulai menjadi jengkel terhadap orang yang banyak bicara itu.

Mata Ki Muni terbelalak mendengar kata-kata Sidanti itu. Hampir saja ia berteriak, tetapi ketika dilihatnya Ki Tambak Wedi maka maksudnya itu pun diurungkannya.

“Siapa tahu,” ia bergumam. “Tidak seorang pun mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Argapati. Mungkin ia memang sudah mati sekarang.”

“Kita tidak berbicara tentang kemungkinan,” sahut Sidanti, “kita sekarang berbicara tentang semua persoalan yang benar-benar terjadi dan telah terjadi.” Lalu kepada kedua orang berkuda itu ia bertanya, “Apakah yang dapat kau katakan tentang mereka itu?”

Kedua orang itu termenung sejenak, katanya, “Mungkin bukan sesuatu yang penting untuk diketahui, tetapi yang kami dengar pada mereka, adalah sesuatu yang tidak lazim terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh ini.”

“Apa, apa yang kau dengar itu?”

“Di antara mereka terdapat beberapa orang yang bersenjata cambuk. Demikian keterangan yang aku dengar dari mereka yang melihat langsung orang-orang berkuda itu.”

Hampir bersamaan Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti terloncat maju. Dan hampir bersamaan pula mereka bertanya, “Orang bercambuk?”

“Ya,” jawab orang itu. Tapi ia sendiri menjadi heran. Kenapa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya terperanjat mendengar keterangannya.

“Apakah kau berkata sebenarnya?” bertanya Sidanti.

“Demikianlah menurut pendengaranku. Aku sendiri tidak sempat menyaksikan. Ketika aku sampai di tempat itu mereka telah pergi sambil meninggalkan api.”

Ternyata berita itu bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya adalah berita yang mendebarkan jantung. Meskipun mereka belum dapat meyakinkan perasaan mereka, tapi tanggapan mereka atas berita itu langsung meloncat ke peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di seberang alas Mentaok.

Dua orang yang bertugas melihat keadaan dan mengabarkanya itu menjadi semakin heran. Agaknya senjata cambuk itu benar-benar telah menarik perhatian. Bahkan seorang yang telah hampir mumpuni seperti Ki Tambak Wedi pun masih juga terkejut mendengar berita tentang cambuk itu.

Sementara itu Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya saling berpandangan sejenak. Meskipun mereka tidak mengucapkan kata-kata, tetapi seolah-olah mereka telah berbicara panjang lebar tentang segala macam kemungkinan.

Dan sejenak kemudian Ki Tambak Wedi bertanya, “Apakah yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang bersenjata cambuk itu? Apakah mereka membunuh lawan-lawannya atau membuat para peronda ketakutan?”

Salah seorang dari kedua petugas itu menjawab, “Tidak, Kiai. Mereka tidak berbuat apa-apa. Memang mereka berkelahi sejenak. Hanya sejenak, karena kemampuan mereka seolah-olah tidak terlawan, sedang senjata mereka yang aneh itu terlampau liar. Tetapi mereka tidak membunuh seorang pun. Mereka hanya membakar dua buah gubug kecil yang sudah hampir roboh, sebuah gardu, dan dua buah kandang kuda yang kosong, karena kuda-kudanya telah dikumpulkan dan dipakai oleh pasukan kita.”

Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Mereka tidak melihat apa yang telah terjadi. Tetapi gambaran itu samakin mendekatkannya kepada suatu dugaan tentang seseorang yang paling dibencinya selama ini, sejak ia berada di Tambak Wedi. Bahwa orang-orang yang bersenjata cambuk itu tidak melakukan pembunuhan dan sekedar membakar barang-barang yang tidak penting seolah-olah sengaja dipilihnya, semakin menguatkan dugaannya atas sifat dan watak orang itu.

“Apakah pasukan kecil yang telah aku persiapkan di Pucang Kembar juga telah dibinasakan oleh orang yang bersenjata cambuk itu?” pertanyaan itu telah tumbuh di hati Ki Tambak Wedi. Sedang Sidanti dan Argajaya seolah-olah telah dicengkam oleh suatu perasaan yang tidak menentu.

Dengan demikian maka sejenak para pemimpin dari pasukan yang menentang kekuasaan Argapati itu terdiam dalam cengkaman yang menggelora.

“Aku tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi?” bertanya Ki Muni. “Kenapa berita tentang orang-orang yang bersenjata cambuk itu tampaknya terlampau membingungkan, bahkan mencemaskan?”

Ki Tambak Wedi berpaling. Katanya, “Pada saatnya kau akan tahu bahwa pengetahuanmu tentang obat-obatan itu sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan orang yang bersenjata cambuk itu.”

“He, siapakah orang itu?”

“Belum pasti. Tetapi sebaiknya kau dan Ki Wasi pada saatnya berkenalan dengannya.”

Ki Wasi mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Siapakah orang itu?”

Tetapi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu. Semuanya masih sekedar dugaan. Kalau aku telah melihat sendiri, maka semua akan menjadi jelas.”

“Tetapi bagaimana Ki Tambak Wedi akan melihat mereka? Apakah gerakan mereka dapat diduga sebelumnya?” bertanya Ki Wasi kemudian.

Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi berkata, “Kita harus berusaha. Tepatnya aku akan berusaha supaya suatu ketika aku dapat bertemu dengan mereka di mana pun.”

Ki Wasi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Ki Muni maju beberapa langkah. “Ki Tambak Wedi, tidak seorang pun di dunia ini yang dapat melampaui kepandaian Ki Muni dalam hal obat-obatan. Mungkin aku tidak dapat mengalahkan Ki Tambak Wedi dalam olah kanuragan. Tegasnya kalau kita berkelahi dengan pedang, maka aku pasti akan kalah. Tetapi aku punya cara lain untuk mengalahkan lawanku. Ilmu itu tidak akan dapat dilawan. Seperti ilmu obat-obatan yang aku miliki. Aku menguasai segala macam racun dan penawarnya, segala macam dedaunan dan akar-akaran, bisa ular, kumbang, kemladean, kadal hijau berleher merah, semut salaka, laba-laba hijau bergelang perak, dan segala macam binatang. Tidak ada seorang pun yang mampu menguasai ilmu seperti itu.”

“Kita tidak perlu segala macam ilmu tetek bengek itu,” potong Sidanti dengan kesalnya. “Aku memerlukan kekuatan yang dapat mengalahkan orang-orang yang bersenjata cambuk itu. Habis perkara. Aku tidak peduli dengan apa ia melawan. Dengan pedang, dengan tombak, atau dengan mulutnya.”

Wajah Ki Muni itu serasa disengat oleh api. Sejenak ia berdiri tegak di tempatnya, seperti tonggak yang mati. Betapa dadanya menggelora, namun mulutnya serasa terkunci.

Ki Tambak Wedi menjadi berdebar-debar juga mendengar kata-kata Sildanti yang terlampau tajam itu, sehingga ia mencoba untuk menenangkan gelora di dada Ki Muni. “Jagalah sedikit perasaanmu Sidanti. Kita masih belum tahu pasti siapa orang itu. Kegelisahanmu terlampau berlebih-lebihan sehingga kau tidak sadar lagi apa yang kau ucapkan.”

Sidanti sudah hampir membuka mulutnya, namun Ki Tambak Wedi segera mendahului, “Tetapi yang penting sekarang mana yang pertama-tama harus kita lakukan.”

Ki Muni masih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa, selagi Ki Tambak Wedi masih ada di dekatnya. Ia merasa cukup mampu untuk membungkam mulut Sidanti yang menyakitkan hati itu, tetapi terhadap Ki Tambak Wedi ia merasa sama sekali tidak akan mampu mengimbanginya. Itulah sebabnya ia terpaksa menyimpan segala macam perasaan di dalam dadanya.

Namun di dalam hatinya ia bergumam, “Pada suatu saat anak itu pasti akan berlutut sambil minta maaf kepadaku, apabila aku dapat membuktikan, bahwa dengan ilmuku aku mampu membunuh siapa pun juga dari kejauhan. Kalau benar ada orang-orang bercambuk itu, aku dapat menggendamnya sehingga tanpa sesadarnya mereka akan datang kepadaku. Mudah-mudahan hatinya tidak berlapis baja, sehingga hal itu mungkin aku lakukan. Sesuatu yang tidak akan terjadi pada Argapati yang berhati teguh itu.”

Berita tentang orang-orang yang bersenjata cambuk itu benar-benar mencapai sasarannya. Ternyata sejak saat itu, maka pertimbangan Ki Tambak Wedi menjadi semakin jelimet. Ia tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa dan tidak dapat terlampau percaya bahwa Ki Argapati benar-benar akan mati.

“Setan bercambuk itu adalah dukun yang hampir tidak ada duanya,” desisnya. “Kalau benar-benar ia berada di Menoreh, maka keadaan akan menjadi lain. Aku harus lebih berhati-hati.”

Sidanti yang duduk di sampingnya tidak menyahut. Namun kerut-merut di keningnya membayangkan betapa hatinya bergolak dengan dahsyatnya.

“Aku harus berusaha melihat, apakah dugaanku benar,” berkata Ki Tambak Wedi. “Kalau kita hanya ditakut-takuti oleh bayangan kita sendiri, maka kita adalah orang yang paling bodoh di muka bumi ini.”

Demikianlah Ki Tambak Wedi benar-benar bertekad untuk dapat melihat sendiri, siapakah orang yang bersenjata cambuk itu.

Dengan demikian maka di malam berikutnya ia tidak ikut bersama-sama pasukan Sidanti yang masih berusaha menurunkan ketabahan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan mengepung pusat pertahanannya. Pasukannya kali itu dipercayakannya kepada Sidanti dan Argajaya, didampingi oleh Ki Wasi dan Ki Muni beserta beberapa orang yang datang dari luar Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Tambak Wedi sendiri telah menyusup ke tempat yang mungkin akan didatangi atau dilewati pasukan berkuda yang semalam telah membakar beberapa buah kandang dan gardu. Mungkin mereka akan kembali lagi atau pergi ke daerah di sekitarnya.

Sebelum itu Ki Tambak Wedi telah memerlukan menemui Ki Peda Sura untuk meyakinkan pendengarannya tentang lawan Ki Peda Sura.

“Seorang anak muda,” jawab Ki Peda Sura. Sebenarnya ia tidak senang untuk menyebutnya karena harga dirinya.

“Apakah Ki Peda Sura dapat mengenal cirinya?”

“Tidak ada kekhususannya. Ia adalah seorang anak muda yang mengagumkan. Lebih tangkas dari Pandan Wangi, sehingga mereka berdua berhasil melukai aku.”

“Apakah kau dapat menyebutkan sesuatu yang aneh atau yang agak lain dari para pengawal tanah perdikan?”

“Aku yakin ia bukan anak tanah perdikan ini.”

“Apakah jenis senjatanya?”

Ki Peda Sura tidak segera menjawab. Sebenarnya terlampau berat untuk menyebutkan bahwa anak muda itu bersenjatakan cambuk. Hanya sekedar cambuk.

Tetapi karena Ki Tambak Wedi telah mendesaknya, maka mau tidak mau ia mengatakannya juga, “Memang aneh. Senjata anak muda itu adalah sebuah cambuk. Cambuk yang berjuntai panjang dan bertangkai pendek.”

Dada Ki Tambak Wedi berdesir mendengar jawaban itu. Keyakinannya tentang lawannya yang paling diseganinya di seberang Alas Mentaok menjadi semakin nyata terbayang di kepalanya. Karena itu, maka tiba-tiba orang tua itu menggeram.

“Apakah kau pernah melihat atau mendengar sesuatu tentang orang yang bersenjata cambuk itu?” bertanya Ki Peda Sura.

Ki Tambak Wedi tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia justru minta diri dan berkata, “Aku akan melihat, apakah yang sebenarnya sedang kita hadapi ini. Apakah kita sedang berhadapan dengan kelinci atau dengan harimau loreng.”

Ki Peda Sura yang masih belum sembuh benar heran mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak sempat bertanya sesuatu karena Ki Tambak Wedi segera pergi meninggalkannya.

Tetapi sayang bahwa malam itu Ki Tambak Wedi tidak bertemu dengan orang-orang berkuda dan yang di antara mereka itu bersenjata cambuk. Ternyata orang-orang berkuda itu telah menempuh jalan yang lain sama sekali dari jalan yang diduga oleh Ki Tambak Wedi. Orang-orang berkuda itu sama sekali tidak menimbulkan kerusakan dan bencana apa pun. Mereka hanya mendatangi beberapa gardu. Membentak para peronda yang sebenarnya mereka ketahui dengan pasti, bahwa orang-orang itu berpihak kepada Sidanti, tetapi mereka sama sekali tidak dilukainya.

Seperti pada saat ia datang dengan tiba-tiba, maka dengan tiba-tiba pula mereka pergi sambil meninggalkan getar yang meledak dari ujung-ujung cambuk mereka.

“Beberapa orang bersenjata cambuk,” bisik para peronda itu.

Kawannya menganggukkan kepalanya sambil meraba lehernya. “He, apakah lehermu ini tidak putus?”

“Kenapa?” bertanya yang lain.

“Seharusnya mereka menyembelih kita seperti menyembelih kambing. Tetapi mereka pergi tanpa berbuat sesuatu.”

Keheranan yang ternyata merata di beberapa gardu yang lain. Agaknya orang-orang berkuda dan bercambuk itu telah mendatangi beberapa buah gardu berturut-turut.

Sebenarnyalah bahwa orang-orang berkuda itu telah mendapat pesan dari Ki Argapati untuk tidak membunuh apabila tidak terpaksa. Mereka yang menyaksikan kehadiran orang-orang berkuda itu harus dibiarkan hidup supaya mereka dapat bercerita tentang apa yang dilihatnya. Tentang orang-orang berkuda dan tentang orang-orang yang bersenjata cambuk.

Ketika laporan itu sampai ke telinga Ki Tambak Wedi, maka kemarahannya pun meluap sampai ke ubun-ubun. Memang terlampau sulit baginya untuk menjelajahi daerah seluas Tanah Perdikan Menoreh untuk berusaha bertemu dengan orang-orang berkuda yang mempunyai tujuan tidak menentu itu.

“Aku akan menjelajahi daerah ini malam nanti dengan kuda pula. Aku akan menyilang semua jalan dan lorong-lorong,” ia menggeram.

“Aku ikut pergi bersama Guru,” minta Sidanti.

“Kau tetap berada di pasukanmu. Kalau desa itu tidak kita kepung mungkin pasukan berkuda itu pun tidak bergerak,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kau tidak usah mencemaskanku. Aku pasti bahwa seandainya dugaan kita benar, yang pergi bersama orang-orang berkuda itu bukan yang tua. Tetapi anak-anak yang masih sepanas nafas mudamu.”

Demikianlah maka pada malam berikutnya, Ki Tambak Wedi benar-benar pergi seorang diri di atas punggung kuda, menyelusuri jalan dan lorong, untuk menemukan serombongan pasukan berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh di malam hari. Tetapi usaha Ki Tambak Wedi itu tidak segera dapat berhasil karena ada beratus-ratus jalan silang menyilang di atas Tanah Perdikan Menoreh.

Namun sementara itu kekuasan Argapati benar-benar telah terkurung dalam daerah yang sangat sempit. Di siang hari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang dapat berhubungan dengan padesan-padesan di sekitar tempat mereka bertahan. Namun semakin lama orang-orang di padesan itu pun menjadi semakin ketakutan. Orang-orang Sidanti selalu mengancam siapa saja yang berhuhungan dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apa lagi bagi mereka yang bersedia memberikan perbekalan. Meskipun demikian, masih juga ada orang-orang yang dengan beraninya berusaha membantu para pengawal yang seolah-olah terkurung dalam pemusatan pasukannya.

Sementara itu luka Ki Argapati sendiri menjadi semakin berangsur berkurang. Tetapi betapa lambatnya perkembangan kesehatannya, karena obat yang diterimanya dari orang bercambuk itu seolah-olah sudah tidak dapat membantunya sama sekali. Kekuatannya menjadi hambar setelah berhari-hari melekat di atas luka. Namun luka itu kini tidak lagi berbahaya bagi jiwanya. Luka itu kini telah menjadi luka biasa, karena racunnya telah menjadi tawar. Meskipun demikian, luka biasa yang sekian panjang dan dalamnya di dada adalah luka yang terlampau parah.

Persoalan-persoalan itu, tentang luka, tentang bahan makanan yang menipis, tentang kesempatan bergerak yang semakin sempit, dan tentang berbagai macam hal, selalu menimbulkan masalah bagi para pemimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Setiap hari mereka berusaha mencari pemecahan yang paling baik yang dapat dilakukan. Tetapi mereka masih belum menemukan jalan yang lurus dan lapang. Yang dapat mereka lakukan adalah mengatasi kesulitan buat sementara dan sementara.

Namun apa yang didengar oleh Argapati, dapat memberinya sedikit harapan. Ternyata beberapa petugas sandinya telah menangkap hasil usahanya, gelar sandi. Orang-orang di seluruh Menoreh kini membicarakan orang-orang berkuda, dan orang-orang yang ada diantara mereka, yang mempergunakan cambuk sebagai senjata menonjolkan senjata-senjata cambuk itu, sehingga benar-benar berkesan pada orang-orang yang melihatnya dan bahkan mengalami sekali dua kali disengat oleh ujung senjata yang aneh itu. Tetapi kesan mereka pada umumnya adalah menganggap orang-orang berkuda dan terutama orang yang bersenjatakan cambuk itu terlampau aneh.

Ternyata berita tentang orang-orang bercambuk itu benar-benar telah merata sebelum Ki Tambak Wedi berhasil menemukan mereka pada suatu saat. Hampir saja Ki Tambak Wedi menjadi jemu. Namun adalah tugasnya untuk berusaha memecahkan teka-teki tentang orang-orang berkuda itu.

“Kalau aku tidak segera berhasil menemukan mereka, aku harus berada di mulut sumbernya, sehingga aku dapat melihat mereka keluar dari padesan itu dan mengikuti sampai jarak yang cukup, meskipun dapat berakibat mereka membatalkan perjalanan mereka apabila mereka merasa seseorang mengikuti mereka,” berkata Ki Tambak Wedi dalam hatinya. Memang agak sulit baginya untuk mengikuti mereka dengan berkuda pula tanpa diketahui oleh orang-orang berkuda itu sampai jarak yang cukup jauh dari padesan tempat pasukan pengawal yang masih setia kepada Argapati itu bertahan. Tetapi apabila tidak ada jalan lain yang dapat dipilih, maka jalan itu pun akan dilalukannya. Sudah tentu Ki Tambak Wedi tidak akan menghentikan orang-orang berkuda itu selagi mereka masih berada di sekitar pemusatan pasukan Menoreh itu. Sebab dengan demikian, mereka masih akan dapat memberikan tanda-tanda sandi untuk mengundang orang-orang tua yang mungkin berada di tempat itu, terutama orang bercambuk itu.

Tetapi ternyata berita tentang orang-orang yang bersenjata cambuk itu tidak hanya menggelisahkan Ki Tambak Wedi saja. Pada saat Ki Tambak Wedi berusaha mati-matian untuk menjumpai mereka, maka di sebuah gubug terpencil, di sudut desa yang kecil, dua orang anak muda sedang duduk menghadapi seorang tua yang duduk tepekur di atas sehelai tikar yang dibentangkan di atas jerami kering.

“Kami juga telah mendengar, Guru,” berkata salah seorang anak muda yang menyebut dirinya bernama Gupita.

“Hampir setiap mulut mengatakan tentang serombongan orang-orang berkuda dan bersenjata cambuk,” sambung yang lain, seorang anak muda gemuk bulat, dan menamakan dirinya Gupala.

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah kita terpaksa melibatkan diri kita dengan langsung ke dalam persoalan ini?”

“Kita tidak akan dapat tinggal diam, Guru,” sahut Gupita. “Kita akan berkepentingnn langsung. Apakah kita dapat melihat Sidanti dan Ki Tambak Wedi menguasai daerah ini?”

Orang tua itu tidak segera menjawab. Dan Gupita melanjutkannya, “Kalau kali ini mereka berhasil, maka mereka akan menginginkan lebih banyak lagi.”

“Mereka akan melintasi alas Mentaok, Guru. Prambanan akan terancam dan Sangkal Putung adalah pancadan yang paling baik untuk pergi ke Pajang.”

“Ya. Ya,” jawab orang tua itu, “kalian benar.”

“Adalah kewajiban kita untuk berbuat sesuatu di sini.”

Orang tua itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi aku menyesal, cara yang ditempuh oleh Argapati itu seolah-olah telah menyudutkan kita ke dalam persoalan ini. Apa pun yang akan kita lakukan, kesan yang didapat oleh Ki Tambak Wedi adalah bahwa orang-orang yang bersenjata cambuk itu telah ikut serta secara langsung. Mungkin Argapati menganggap dan memperhitungkan, bahwa Ki Tambak Wedi pun pernah mendengar dan mengenal orang-orang yang bersenjata cambuk. Sekalipun cara ini dipakai oleh Ki Argapati untuk memaksa orang-orang bercambuk yang sesungguhnya untuk tampil di arena.”

Kedua anak-anak muda yang bernama Gupita dan Gupala itu pun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mereka menyadari kebenaran kata-kata gurunya. Tetapi dorongan di dalam hati mereka sendiri menghendaki, agar mereka secara langsung ikut serta di dalam persoaan ini. Apalagi anak muda yang gemuk itu, yang merasa langsung terancam apabila Sidanti benar-benar dapat menguasai tanah perdikan yang besar ini.

Namun mereka tidak berani menekankan pendapat mereka. Mereka pun menyadari bahwa gurunya itu sebenarnya condong kepada sikapnya pula. Tetapi sebagai orang tua, gurunya pasti jauh lebih berhati-hati daripada mereka sendiri.

“Sekarang kita tidak dapat menghindar lagi,” berkata orang tua itu selanjutnya, “sehingga mau tidak mau kita harus menentukan sikap.”

“Apakah yang akan kita lakukan, Guru?” bertanya Gupita.

“Kita terpaksa melibatkan diri kita. Meskipun demikian kita tidak akan berbuat tergesa-gesa,” jawab gurunya.

“Tetapi keadaan telah memanjat semakin panas. Kalau malam yang pertama sejak Argapati terluka itu, Ki Tambak Wedi mengambil langkah yang benar maka Ki Gede Menoreh pasti akan menjadi semakin parah. Bukan saja lukanya tetapi juga kedudukannya.”

Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita sudah tentu tidak akan membiarkannya. Aku melihat keragu-raguan sikap Tambak Wedi pada malam itu, menilik gelar yang dipergunakan, sehingga aku pasti bahwa Tambak Wedi tidak akan segera berbuat sesuatu. Kegagalan Tambak Wedi di Pucang Kembar pasti diperhitungkannya juga. Kemudian kekalahan Ki Peda Sura dan tanda-tanda lain yang dapat menghambat maksud Ki Tambak Wedi, ditambah kecerdasan berpikir orang-orang Argapati dengan membentuk pasukan berkuda itu. Apalagi Argapati telah membuat tiruan dari orang-orang yang bersenjata cambuk seperti kita. Sekaligus ia mendapat dua keuntungan. Ia dapat membuat Ki Tambak Wedi semakin ragu-ragu dan memaksa kita untuk tampil.”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak segera menyahut.

“Sekarang,” berkata orang tua itu, “kita harus mulai. Tetapi kita tidak akan dapat dengan serta-merta datang menemui Argapati. Kita harus menilai suasana lebih dahulu, sementara Ki Tambak Wedi jangan sampai melihat lebih dahulu, bahwa kita sebenarnya hadir di sini.”

“Tetapi bagaimanakah kalau Ki Tambak Wedi itu segera tahu bahwa orang-orang berkuda itu sama sekali bukan orang-orang yang dibayangkannya? Bukankah dengan demikian ia akan segera menyerang Ki Argapati?” bertanya Gupita.

“Mungkin,” jawab gurunya. “Kita pun tidak akan menunda terlampau lama. Dalam pada itu, obat yang kita berikan kepada Ki Argapati itu pun pasti sudah hambar. Ia memerlukan obat baru. Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang mencampur obat itu dengan jenis obat-obatan yang lain yang dapat memperlemah daya penyembuhnya atau bahkan saling memunahkan. Dan mudah-mudahan tidak pula disusupi oleh obat dari Ki Wasi atau lebih-lebih lagi Ki Muni.”

“Jadi, apakah kita akan menemui Ki Argapati untuk menyerahkan obat itu?” bertanya Gupala.

“Ya,” jawab gurunya, “tetapi kita memerlukan cara yang tidak terlampau kasar.”

“Maksud Guru?”

“Salah seorang dari kita harus dapat melihat suasana lebih dahulu, supaya kita tidak menemukan kesulitan. Kita minta waktu kepada Argapati kapan ia dapat menerima kita. Kalau tidak, mungkin kita akan berurusan dengan para peronda dan para pengawal. Apabila demikian keadaan kita akan dapat menjadi sulit, sebab mereka sama sekali belum mengenal kita.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian Gupala berkata, “Baiklah. Aku akan nencoba mencari kesempatan untuk bertemu dengan Ki Argapati.”

“Jangan kau, Gupala.”

“Kenapa Guru?”

“Bentuk tubuhmu terlampau mudah untuk dikenal. Setiap orang akan mengatakan bahwa satu di antara orang-orang bercambuk itu bertubuh gemuk bulat. Nah, setiap orang akan segera mengenal siapa kau sebenarnya.”

“Bukankah kita tidak berkeberatan, Guru, seandainya Ki Tambak Wedi segera mengetahui?”

“Sementara ini jangan. Aku sebenarnya senang juga melihat Tambak Wedi kebingungan. Semalam aku melihat ia berpacu dengan kudanya seperti orang gila. Mungkin ia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri, siapakah sebenarnya orang-orang bercambuk itu. Kalau ia segera menemukan kepastian karena orang-orangnya mengenalmu, maka ia akan segera menentukan sikap. Apa pun yang akan dilakukannya.”

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disengajanya, ia memandangi anggauta badannya. Tangannya yang sebesar pering petung, kaki-kakinya dan jari-jarinya. “Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam.

“Jadi, Kakang Gupita lagi yang mendapat kesempatan. Kali ini seperti waktu yang terdahulu?”

Gurunya tersenyum, dan Gupita pun tersenyum.

“Baiklah,” Gupala seakan-akan mengeluh.

“Lain kali kau akan mendapat kesempatan pula dalam tugas yang yang lain.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun sorot matanya membayangkan hatinya yang kecewa.

“Kapan aku harus membawa obat itu, Guru?” bertanya Gupita,

“Segera. Tetapi kau harus berusaha, bahwa kau akan bertemu dengan Ki Argapati sendiri. Aku akan mengawasi kau dari kejauhan bersama Gupala.”

“Tetapi,” tiba-tiba Gupala memotong, “Ki Argapati justru pernah mengenal aku.”

“Tetapi bukan petugas sandi Ki Tambak Wedi. Kalau salah seorang dari mereka melihat kau dan mengatakannya kepada Ki Tambak Wedi, maka segera Ki Tambak Wedi yakin, bahwa orang bercambuk yang gemuk bulat itu adalah kau. Sudah tentu bersama kita semua.”

Gupala tidak segera menyahut. Tetapi ia tidak mengerti kenapa gurunya berkeberatan. Bukankah pada saatnya nanti Ki Tambak Wedi akan tahu juga bahwa mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh ini bersama-sama?

Namun demikian Gupala memang harus mematuhinya. Sehingga betapa ia berkeinginan untuk berperanan, namun niat itu harus disimpannya saja di dalam hati.

Maka setelah menyediakan beberapa jenis obat-obatan yang akan dapat menolong Ki Argapati dari lukanya yang parah, maka Gupita pun segera harus berangkat. Gurunya memberinya beberapa macam pesan apabila ia menghadapi kesulitan. Sementara ia mendekati padesan tempat pemusatan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, gurunya dan Gupala akan mengawasinya dari kejauhan.

“Kalau kau benar-benar tidak dapat mengatasi kesulitan yang datang dengan tiba-tiba, maka panggillah kami dengan ledakan cambukmu,” pesan gurunya. “Kami tidak akan terlampau jauh daripadamu.”

“Baik, Guru,” jawab Gupita yang segera minta diri kepada gurunya dan kepada adik seperguruannya.

Dengan hati-hati Gupita, gembala yang bersenjata cambuk itu pun segera pergi mendekati padukuhan tempat pemusatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kali ini ia tidak membawa seekor kambing pun. Ia harus dapat menerobos masuk dan menyerahkan obat itu kepada Ki Argapati sendiri sambil membicarakan kemungkinan, bahwa gurunya akan datang sendiri untuk menemui Ki Argapati.

Di padukuhan yang dilingkari dengan pohon pering ori, para pemimpin pasukan pengawal selalu dipeningkan oleh kesulitan-kesulitan yang setiap saat timbul. Kekurangan makanan telah mulai membayang, meskipun di lumbung masih ada persediaan. Namun persediaan itu telah menipis. Sedang tidak seorang pun dari orang-orang padukuhan itu yang dapat keluar untuk menggarap sawah mereka, karena dengan demikian akan dapat membahayakan kedudukan para prajurit. Yang mereka harapkan adalah bantuan bahan makanan dari daerah di sekitar desa itu, yang kini semakin ketat diawasi oleh orang-orang Sidanti yang agaknya lebih leluasa berkeliaran hampir di seluruh daerah tanah perdikan ini.

Selain masalah-masalah yang tumbuh pada lingkungan pasukan itu sendiri, maka Pandan Wangi juga dibebani oleh persoalan pribadi yang kadang-kadang membuatnya kehilangan akal. Sebagai seorang gadis, kadang-kadang Pandan Wangi mengurung dirinya di dalam biliknya sambil menangis. Pertanyaan Wrahasta benar-benar telah membuatnya cemas. Tetapi sampai begitu jauh, ia sama sekali tidak berani mengatakannya kepada ayahnya. Sehingga kegelapan hati itu disimpannya sendiri di dalam dadanya.

Masalah-masalah yang menyangkut Tanah Perdikan Menoreh dapat diperbincangkannya dengan banyak orang. Betapapun berat, namun agak lapanglah rasa dadanya, karena beban itu ditanggungkan oleh orang-orang lain pula. Tetapi beban perasaannya yang satu ini sama sekali harus dipikulnya sendiri. Tidak ada kawan untuk berbagi. Ayahnya juga tidak. Karena luka ayahnya sendiri masih cukup parah, sedang obatnya pun telah hampir punah daya penyembuhnya. Dengan demikian ia tidak sampai hati untuk menambah beban perasaan Argapati yang sedang disaput oleh keprihatinan itu.

Untuk sementara yang dapat dilakukan oleh Pandan Wangi adalah selalu berusaha untuk menghindari pertemuan seorang dengan seorang dari Wrahasta. Setiap kali ia selalu berusaha untuk berada di dekat Kerti atau Samekta, bahkan pemimpin pasukan yang lain kecuali Wrahasta, meskipun ia berusaha sedapat-dapat dilakukan, untuk tidak menimbulkan kesan yang menyakitkan hati pada anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Sebenarnyalah bahwa Wrahasta selalu mencari kesempatan untuk dapat menemui Pandan Wangi seorang diri. Namun usahanya itu masih belum pernah berhasil. Setiap kali pasti ada orang lain di antara mereka. Dan orang lain itu rasa-rasanya benar-benar mengganggunya.

Di siang hari, Pandan Wangi lebih banyak bersama-sama dengan pamomongnya yang tua, Kerti. Hampir setiap saat Kerti selalu dibawanya. Meskipun tidak jelas, tetapi Pandan Wangi telah membayangkan kesulitannya kepada orang tua itu. Tetapi di malam hari, Kerti selalu berada di desa sebelah untuk memimpin pasukan yang mengawal keluarga dalam pengungsian.

“Apakah Paman Kerti harus bertugas di sana setiap malam?” bertanya Pandan Wangi ketika mereka bersama-sama berdiri di mulut regol.

Kerti menganggukkan kepalanya sambil menjawab “Ya, aku harus pergi ke sana.”

“Apakah tidak dapat secara bergilir, orang lain yang harus memimpin pasukan itu?”

“Tentu saja dapat,” jawab Kerti, “tetapi kini masih belum waktunya.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sedang memanjat langit. Cahayanya masih belum terlampau panas, namun kecerahan sinarnya membuat dedaunan seakan-akan ikut bersinar.

Namun Pandan Wangi itu tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak sempat menikmati cahaya pagi yang segar ini sepuas-puasnya seperti ketika tanah perdikan ini masih belum dibakar oleh api kedengkian dan nafsu. Ketika itu, apabila ia berpakaian seperti yang dikenakannya kini, adalah saat-saat yang menyenangkan. Karena dengan pakaian ini ia pasti berada di padang perburuan bersamn Kerti dan satu dua pengawal. Tetapi kini tidak. Kalau kali ini ia berada di padang perburuan, adalah perburuan yang paling buas yang dikenalnya. Berburu sesamanya, manusia.

Angan-angan itu telah membuat Pandan Wangi menjadi semakin muram. Dengan mata yang sayu ditatapnya sinar matahari yang jatuh di atas rerumputan liar di tanah persawahan yang tidak sempat disentuh oleh tangan.

“Tanah itu benar telah kering,” desisnya.

Kerti berpaling. Ia mendengar suara Pandan Wangi, tetapi ia tidak segera menyahut.

Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya. Sesuatu telah menyentuh hatinya lewat telinganya. Suara seruling.

Mula-mula Pandan Wangi ragu-ragu atas pendengarannya sendiri. Di dalam keadaan serupa ini, apakah ada seseorang yang sempat meniup serulingnya? Apalagi suara itu datang dari arah luar benteng bambu berduri yang meugelilingi desa itu.

Tiba-tiba teringat olehnya seorang gembala yang biasa bermain-main dengan serulingnya. Ia pernah menemui gembala itu bermain seruling di muka pasukan pengawal tanah perdikan ini yang sudah dalam kesiagaan tertinggi sewaktu masih berada di induk tanah perdikan. Gembala itu bermain dengan nyamannya seolah-olah tidak terjadi sesuatu di sekitarnya.

Kini, ia mendengar suara seruling itu pula. Juga di hadapan hidung para pengawal yang sedang dalam kesiagaan tertinggi.

Dalam kebimbangan itu Pandan Wangi berpaling, memandangi wajah Kerti. Sekilas Pandan Wangi melihat kening orang tua itu bergerak-gerak. Dan tanpa disadarinya ia bertanya, “Apakah Paman Kerti mendengar sesuatu?”

Kerti mengangguk ragu. Namun ia menjawab, “Aku mendengar suara seruling dari balik rerungkudan di tengah-tengah sawah yang tidak digarap itu.”

“Ya, aku mendengarnya pula,” berkata Pandan Wangi kemudian.

“Aneh,” desis Kerti.

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Didengarkannya suara seruling itu dengan seksama. Semakin lama rnenjadi semakin nyata mengalun bersama angin yang berhembus dari Utara. Kadang-kadang meninggi, kemudian turun merendah, seperti kegelisahan yang sedang merayap di hati Pandan Wangi.

“Gembala itu pula,” berkata Pandan Wangi lambat.

“Gembala yang mana Wangi?”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia menjawab, “Paman Samekta pernah melihatnya.”

“Lalu?”

“Apakah Paman Kerti tidak melihatnya ketika aku menjumpainya di pinggir padukuhan induk tanah perdikan ini, dahulu?”

Kerti mengerutkan keningnya.

“Mungkin Paman memang tidak ada waktu itu. Tetapi seperti sekarang, ia bersenandung dengan serulingnya di depan hidung para pengawal. Aku mencurigainya waktu itu. Aku sangka ia adalah salah seorang petugas sandi Kakang Sidanti.”

“Sekarang pun kau harus mencurigainya.”

Kerti menjadi heran ketika ia melihat Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan dapat mencurigainya lagi, Paman.”

“Kenapa?”

“Orang itulah yang bernama Gupita, yang telah membebaskan aku dari tangan Ki Peda Sura.”

Wajah Kerti yang tua itu rnenjadi semakin berkerut-kerut. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, “Jadi orang inilah yang kau katakan itu Wangi?”

“Ya, Paman.”

Kerti terdiam sejenak. Sekilas melonjak di dalam kenangannya, seseorang yang gemuk bulat memberikan obat kepada Ki Gede Menoreh, dan ternyata obat itu telah menolongnya. Anak muda yang gemuk bulat itu juga bersenjata sebuah cambuk yang berjuntai panjangg dan bertangkai pendek, seperti yang pernah diceritakan oleh Pandan Wangi tentang seorang gembala yang bernama Gupita, yang telah menolong melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura.

“Ternyata cerita tentang orang-orang bercambuk itu telah berkembang di Tanah ini,” gumam Kerti.

“Ya, apalagi setelah di antara pasukan berkuda itu terdapat juga beberapa orang bercambuk,” jawab Pandan Wangi.

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Di dalam dadanya telah bergulat beberapa macam pendapat tentang orang yangg menyebut dirinya Gupita itu. Ia dapat mengerti bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat mencurigainya, tetapi ia tidak dapat menolak seluruh pendapat Wrahasta yang dengan hati-hati menanggapi peristiwa itu. Tidak mustahil bahwa Sidanti telah membuat gelar sandi seperti yang dilakukan oleh Ki Argapati dengan menempatkan seseorang untuk dengan sengaja menghubungi Pandan Wangi dan menolong membebaskannya dari tangan Ki Peda Sura.

“Tetapi,” katanya di dalam hati, “Ki Gede mempercayainya.” Namun segera timbul persoalan di dalam dirinya. “Apakah benar, bahwa Gupita dan Gupala itu bersumber pada satu keluarga atau suatu perguruan? Apakah mereka tidak justru berdiri berseberangan dengan berebut ciri dari manusia bercambuk itu, namun sebenarnya mereka semuanya sama sekali bukan orang yang dimaksud oleh Ki Argapati. Atau bahkan semuanya telah dipersiapkan dengan cermat oleh Ki Tambak Wedi? Namun jika demikian, maka Ki Argapati itu pasti sudah tidak akan dapat tertolong lagi. Obat itu pasti akan mempercepat kematiannya. Namun justru obat itu ternyata bermanfaat baginya.”

Pertanyaan yang bersimpang siur telah mengganggu jantung Kerti. Semuanya dapat terjadi. Semuanya dapat keliru, tetapi mungkin juga semua tanggapan Ki Argapati dan Pandan Wangi tentang orang-orang bercambuk itu benar. Dan apakah kira-kira sikap Wrahasta terhadap orang itu nanti apabila ia mendengarnya juga?

Kerti tersedak dari angan-angannya ketika ia mendengar suara Pandan Wangi, “Apa yang akan kau lakukan?”

Ketika Kerti mengangkat wajahnya dilihatnya dua orang pengawal dengan tombak di tangan telah berdiri beberapa langkah di belakangnya.

“Aku mendengar suara seruling,” sahut pengawal itu hampir bersamaan.

“Lalu?” desak Pandan Wangi.

“Kami ingin melihatnya. Terlampau mencurigakan bahwa ada seseorang bermain seruling di tengah-tengah sawah yang kering itu.”

“Aku juga mendengar,” berkata Pandan Wangi. “Biarlah aku dan Paman Kerti sajalah melihatnya.”

Kedua pengawal itu saling berpandangan sejenak. Bahkan Kerti pun rnenjadi termangu-mangu. Sehingga salah seorang dari pengawal itu berkata, “Apakah tidak terlampau berbahaya apabila kalian berdua yang pergi melihatnya.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Di pandanginya wajah kedua pengawal yang berdiri tegak itu. Kemudian berpindah kepada wajah Kerti yang tegang.

Sejenak kemudian terdengar suara Pandan Wangi, “Apakah perbuatan yang serupa yang akan kalian lakukan tidak berbahaya bagi kalian?”

“Bukan begitu,” jawab salah seorang dari kedua pengawal itu. “Betapapun juga bahaya itu akan menimpa kami, tetapi kami tidaklah sepenting kalian berdua bagi tanah perdikan ini.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia terdiam mendengar jawaban pengawal itu. Begitu besar pengorbanan yang disediakan untuk kepentingannya dan kepentingan Tanah ini. Tidak dihiraukannya lagi, apakah yang akan terjadi atas diri mereka sendiri.”

“Kita akan pergi bersama-sama,” berkata Pandan Wangi kemudian.

Kedua pengawal itu masih ragu-ragu. Namun salah seorang dari mereka akhirnya berkata, “Kalau memang itu yang kau kehendaki, baiklah. Kami akan melakukanya.”

Maka pergilah mereka berempat dengan hati-hati kearah suara seruling yang masih saja mengalun di sela-sela desir angin yang berhembus di antara dedaunan. Daun rerumputan yang liar dan batang-batang ilalang yang menjadi semakin tinggi.

Para peronda di gardu melihat keempatnya berjalan semakin lama semakin jauh. Beberapa orang menjadi cemas dan berbisik di antara mereka, “Kenapa Ki Kerti dan Pandan Wangi pergi juga.”

Kawannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Entahlah. Tetapi meskipun ia seorang gadis. Pandan Wangi mempunyai kelebihan dari kita semua. Bahkan Ki Kerti dan Ki Samekta tidak dapat menyamainya. Ternyata pada saat ia berkelahi melawan Ki Peda Sura.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi adalah seorang gadis yang luar biasa.

Meskipun demikian, kepergiannya itu telah membuat para pengawal menjadi cemas. Sehingga dengan demikian maka tanpa mereka kehendaki dan tanpa berjanji mereka telah bersiap, berdiri berjajar di muka gardu di regol desa. Setiap saat mereka siap untuk meloncat ke arah suara seruling di balik ilalang itu.

Dari sela-sela rerumputan yang meninggi, gerumbul-gerumbul perdu yang liar, para peronda masih melihat bagian kepala Pandan Wangi dan ketiga kawannya berjalan semakin jauh. Sedang suara seruling yang melonjak-lonjak itu pun masih juga menyentuh telinga mereka.

Orang-orang di depan gardu itu menahan nafas mereka ketika mereka melihat Pandan Wangi berhenti. Agaknya Pandan Wangi telah menjumpai sumber suara seruling itu.

Sebenarnyalah bahwa kini Pandan Wangi telah berdiri beberapa langkah di belakang seorang anak muda yang duduk di bekas pematang yang kering sambil meniup serulingnya. Agaknya ia begitu asyik bermain sehingga kehadiran orang-orang yang mendekatinya itu tidak dapat menggangunya. Meskipun Pandan Wangi telah berdiri beberapa langkah di belakangnya, namun anak muda itu masih saja berlagu dengan kesungguhan hatinya.

Kerti berdiri termangu-mangu di belakang Pandan Wangi. Kalau anak muda ini yang dimaksud oleh Pandan Wangi, bersama-sama mengalahkan Ki Peda Sura, maka adalah mustahil, bahwa ia tidak mendengar kehadiran mereka berempat.

Berbeda dengan tanggapan Pandan Wangi. Gadis itu yakin, bahwa gembala yang meniup seruling itu pasti sudah mendengar kehadirannya, tetapi sengaja ia berbuat seolah-olah tidak mengetahui kedatangannya.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sikap anak muda yang meniup seruling itu terasa lain di dalam hatinya. Kalau selama ini ia selalu dihadapkan kepada ketegangan, kecemasan dan berbagai macam perasaan yang membuatnya terlampau lelah lahir dan batin maka, sikap gembala itu memberinya suasana yang berbeda. Terasa bahwa gembala itu sengaja ingin bergurau seperti kebiasaan anak yang pernah dilihatnya. Gembala itu kadang-kadang bersikap seperti seorang gembala yang dungu, yang membuat Samekta kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaannya ketika mereka bertemu setelah ia dicegat oleh orang-orang liar yang berpihak kepada Sidanti.

Sepercik kesegaran melonjak di dalam hati Pandan Wangi yang seolah-olah selama ini menjadi kering. Timbullah niatnya untuk menanggapi sikap gembala yang pura-pura tidak tahu kehadirannya itu. Karena itu maka tiba-tiba ia berpaling. Sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, Pandan Wangi melangkah perlahan-lahan menjauhi gembala yang sedang bersenandung dengan serulingnya itu.

Kerti dan kedua pengawal yang datang bersamanya menjadi bingung. Tetapi mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun karena Pandan Wangi masih tetap meletakkan telunjuknya di muka bibirnya yang terkatup rapat-rapat.

Kerti dan kedua pengawal itu pun berjalan pula sambil kebingungan di belakang Pandan Wangi.

Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun ketika tiba-tiba suara seruling itu berhenti. Tetapi sebelum mereka berpaling Pandan Wangi telah berkata lantang, “Mari Paman, kita tidak akan mengganggu orang yang sedang terlampau asyik bermain dengan serulingnya. Kita tidak akan mematahkan arus perasaan yang sedang terungkap lewat nada-nada. Begitu mencekam seperti batu karang dibelai angin pegunungan.”

“Maafkan aku,” tiba-tiba terdengar gembala itu berkata, “maafkan aku. Aku tidak mendengar kehadiran Tuan-tuan di sini.”

Namun suara Pandan Wangi masih tetap lantang, “Kita sama sekali tidak cukup berharga untuk dapat mematahkan kidung yang syahdu itu.”

“Bukan, bukan maksudku.”

Tetapi Pandan Wangi tidak berhenti. Ia masih terus melangkah meskipun perlahan-lahan. Sedang kedua pengawal tanah perdikan yang mengikutinya berjalan dengan penuh kebingungan. Sekali-sekali mereka berpaling. Dilihatnya gembala yang meniup seruling itu melangkah tergesa-gesa di belakangnya.

Namun Kerti yang tua segera tanggap atas keadaan itu. Karena itu, maka tanpa dikehendakinya ia menarik nafas dalam sekali.

Pandan Wangi masih juga melangkah menuju ke padesan kembali diikuti oleh ketiga kawan-kawannya. Sedangkan gembala yang baru saja bersenandung dengan serulingnya itu masih saja mengikutinya dari belakang sambil berkata, “Maafkan aku. Bukan maksudku untuk mengabaikan kedatangan Tuan-tuan. Sebenarnya aku memang tidak mengetahuinya.”

“Bohong!” jawab Pandan Wangi. “Kalau kau tidak mengetahui kedatangan kami, kenapa kau sekarang dapat mengikuti kami.”

”Aku mendengar kalian berbalik meninggalkan aku. Sebelum itu aku benar-benar tidak mendengarnya.”

“Aku tidak percaya. Kau sengaja mengabaikan kedatangan kami.”

“Sungguh mati.”

“Dan sekarang, apakah alasanmu mengikuti aku? Ini adalah daerah kami.”

“Aku akan minta maaf,” jawab gembala itu, lalu, “dan aku akan menawarkan sebuah cerita yang sangat menarik. Sama menariknya dengan cerita Arjuna Wiwaha.”

Langkah Pandan Wangi tertegun sejenak. Tanpa sesadarnya ia memandangi wajah Kerti yang tua. Tanpa sesadarnya pula Kerti yang tua itu tersenyum.

Sepercik warna merah membayang di pipi Pandan Wangi. Tiba-tiba ia menundukkan kepalanya. Sesuatu terasa berdesir di dadanya.

Kini gembala yang menamakan dirinya Gupita itu telah berdiri di hadapan Pandan Wangi dan Kerti. Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia berkata, “Maafkan aku, Kiai.”

Kerti tidak menyahut, tetapi ia berpaling kepada Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi masih menundukkan kepalanya. Sedang kedua pengawal yang ikut bersama mereka itu pun menjadi bingung. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?

Tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi lirih, “Silahkan, Paman. Aku hanya mengantarkan Paman mencari suara seruling itu. Kalau Paman memang mencurigainya, silahkan Paman bertanya dan memeriksanya.”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba terbayang di rongga matanya seorang anak muda yang bertubuh raksasa, yang selama ini telah menggelisahkan dada Pandan Wangi. Sebagai seorang yang telah cukup berpengalaman, segera Kerti menarik garis yang akan bersilang di antara mereka.

Tanpa sesadarnya orang tua itu menggelengkan kepalanya. Namun diangkatnya wajahnya ketika ia mendengar gembala itu bertanya, “Kenapa Kiai mencurigai aku?”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus berbuat sesuai dengan keadaan yang menyudutkankannya saat itu untuk menolong Pandan Wangi.

“Ya, anak muda,” berkata Kerti. “Adalah mencurigakan sekali, bahwa dalam keadaan yang demikian kau bersenandung dengan serulingmu di muka regol desa kami.”

“Apakah aku telah melanggar suatu peraturan di daerah ini?” bertanya gembala itu.

“Memang tidak ada peraturan yang melarang seseorang membunyikan seruling di sini. Tetapi bahwa ada juga yang melakukanya adalah menarik sekali.”

“Apakah anehnya, Kiai. Aku berjalan lewat jalan di depan kita itu. Karena aku merasa lelah, aku beristirahat di tempat yang teduh sambil membunyikan seruling untuk melupakan kesibukanku sehari-hari.”

Sekali lagi Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia telah cukup tua untuk menangapi persoalan itu. Karena itu maka katanya kemudian, “Sebaiknya kau mengatakan, apakah maksudmu dengan perbuatanmu itu. Aku pernah mendengar cerita tentang kau, Ngger, bahwa kau adalah seorang gembala yang bernama Gupita, bukankah begitu? Yang pernah bertempur melawan Ki Peda Sura untuk menolong membantu Angger Pandan Wangi membebaskan dirinya dari tangan hantu itu. Dengan demikian, maka akan sangat menarik sekali cerita Angger yang menurut penilaianmu sendiri sama menariknya dengan Arjuna Wiwaha. Atau barangkali harus ditegaskan, Arjuna Wiwaha yang mendapat hadiah seorang bidadari karena jasa-jasanya bagi bumi ini?”

“Ah,” gembala itu berdesis. Ketika ia memandang Pandan Wangi dengan sudut matanya maka dilihatnya gadis itu masih saja menundukkan kepalanya. “Maaf Kiai. Ceritaku sebenarnya sama sekali tidak menarik. Aku hanya ingin memaksa Kiai dan Tuan-tuan yang lain terhenti. Sebab sebenarnya aku memang mempunyai sebuah cerita meskipun tidak akan dapat memikat perhatian.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Kami sudah menyangka. Karena itu kami mencari suara serulingmu. Kehadiranmu pasti bukan tanpa maksud. Bukankah begitu?”

“Begitulah. Tetapi kenapa Tuan-tuan begitu saja akan meningalkan aku sebelum bertanya sesuatu kepadaku hanya karena aku terlambat menyapa Tuan-tuan?”

“Ah,” Kerti berdesah, “bertanyalah kepada Angger Pandan Wangi.”

“Kenapa kepadaku,” dengan serta-merta Pandan Wangi menyahut.

“Bukankah Angger yang memerintahkan kepada kami untuk meninggalkannya.”

“Ah,” Pandan Wangi-lah yang kemudian berdesah “Pamanlah pemimpin rombongan kami. Aku hanya tunduk kepada perintah Paman.”

Kerti tersenyum di dalam hati. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah, biarlah aku yang menyusun alasan.” Kerti berhenti sejenak, lalu, “Begini anak muda. Sebenarnyalah bahwa kami sudah tahu. Seandainya kami melangkah pergi, kau pasti akan menyusul kami. Bukankah begitu? Ternyata dugaan kami benar seluruhnya. Dengan serta-merta kau mengikuti kami.

“Meskipun semula kau berpura-pura tidak mengetahui kehadiran kami. Nah, begitulah kira-kira.”

Kini wajah gembala itulah yang sejenak menjadi kemerah-merahan. Namun sejenak kemudian ia segera dapat menguasai parasaannya dan berkata, “Baiklah, aku tidak akan menyangkal.”

“Nah, sekarang apa ceritamu itu?” bertanya Kerti.

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab pertanyaan itu tiba-tiba matanya terlempar kepada seseorang yang dengan tergesa-gesa datang ke arah mereka. Seorang anak muda yang bertubuh raksasa bersama dua orang pengawal.

Dada Kerti berdesir ia melihat Wrahasta datang. Orang tua itu mendapat firasat bahwa masalah yang akan terjadi di antara mereka, bukanlah sekedar persoalan-persoalan yang menyangkut masalah Tanah Perdikan ini dalam segala segi hubungannya. Tetapi masalahnya akan menyentuh hati anak muda yang bertubuh raksasa itu, sebagai persoalan pribadi, meskipun dapat dibentuk menurut kepentingannya, sebagai persoalan Tanah ini.

Tetapi Kerti tidak mengucapkannya dalam kalimat-kalimat. Namun pandangan matanya yang buram agaknya telah berhasil menyentuh perasaan Pandan Wangi.

Sebelum Wrahasta itu mendekat, ia sudah bertanya lantang “He, kenapa kau berada di situ, Pandan Wangi?”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Wrahasta dengan tajamnya. Namun karena jarak mereka masih agak jauh, maka ditunggunya saja Wrahasta itu mendekat.

“Kenapa, Pandan Wangi?” desak Wrahasta.

Pandan Wangi masih belum menjawab. Sekali-sekali disentuhnya wajah Kerti dengan sudut matanya. Tampaklah wajah orang itu menyorotkan kecemasan hatinya.

Langkah Wrahasta semakin lama menjadi semakin cepat. Beberapa langkah dari Pandan Wangi, sekali lagi ia bertanya, “Kenapa kau berada di sini?”

“Aku menunggu kau mendekat Wrahasta. Aku tidak dapat berteriak sekeras kau.”

“Hem,” Wrahasta berdesah, “apakah kau tidak mempunyai kerja yang lain dari mengurusi seseorang macam anak itu?”

Terasa sesuatu bergetar di dada Pandan Wangi. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditunggunya Wrahasta semakin dekat, dan yang kemudian berhenti beberapa langkah di hadapannya.

Tetapi setelah berada di antara Pandan Wangi, Kerti, dan Gupita, Wrahasta tidak lagi bertanya kepada Pandan Wangi. Ditatapnya wajah Gupita tajam-tajam. Kemudian meloncatlah pertanyaannya, “Kaukah orang yang membunyikan seruling itu?”

“Ya, Tuan,” jawab Gupita.

“Kenapa?”

Gupita menjadi bingung mendapat pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Pandan Wangi sekilas, kemudian Kerti, para pengawal dan yang terakhir Wrahasta.

“Mengapa kau berada di tempat ini?”

“Kebetulan sekali, Tuan. Hanya kebetulan saja aku berada di tempat ini.”

Sebelum Wrahasta bertanya lebih banyak lagi. Pandan Wangi memotongnya, “Wrahasta, anak muda inilah gembala yang pernah aku ceritakan kepada ayah.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tanpa disangka-sangkanya ia menjawab, “Aku sudah menduga.”

“Apakah kau sudah tahu atau mengenal ciri-cirinya.”

“Tidak. Tetapi bahwa kau memerlukan turun sendiri ke tengah-tengah bulak untuk menyongsongnya, tentu orang ini adalah seseorang yang pantas mendapat kehormatan.”

Jawaban itu telah menggoncangkan dada Pandan Wangi. Sebagai seorang gadis, maka langsung ia dapat menangkap maksud kata-kata Wrahasta itu. Namun dengan demikian getar di dadanya justru serasa membungkam mulutnya. Sejenak ia berdiri mematung dengan jantung yang berdentangan.

Kerti yang tua menarik nafas dalam-dalam. Dugaanya tidak akan terlampau jauh berkisar dari sasaran. Sementara Gupita sendiri berdiri dengan gelisahnya. Di wajahnya membayang keheranan dan kecemasan menghadapi sikap Wrahasta itu.

Karena tidak seorang pun yang menjawab kata-katanya, maka Wrahasta berkata pula, “He anak muda. Apakah kau tidak berpikir bahwa kehadiranmu di daerah ini dapat menumbuhkan kecurigaan pada kami?”

Gupita tidak segera menyahut. Namun wajahnya kini menjadi kian bersungguh-sungguh.

“Apakah kau kira bahwa permainan serulingmu itu hanya sekedar dapat memikat hati gadis-gadis dan tidak menumbuhkan persoalan pada para pengawal?”

Sekali lagi getar yang tajam tergores di mata Pandan Wangi. Tetapi ia masih saja terbungkam, dan Kerti pun masih belum dapat menyesuaikan dirinya dengan pembicaraan itu.

“Tuan,” Gupita-lah yang kemudian menjawab, “bukan maksudku untuk berbuat yang bukan-bukan. Sudah tentu bahwa aku bukan sekedar kebetulan sepenuhnya berada di tempat ini. Tetapi benar-benar suatu kebetulan bahwa Tuan-tuan inilah yang datang melihat seseorang yang dengan serulingnya berada di depan regol desa ini.”

“Nah, kau sudah mulai berubah. Ternyata bahwa di dalam dirimu tersimpan persoalan yang kau selimuti dengan berbagai macam dalih dan sikap yang pada saatnya akan terungkap satu demi satu. Nah, sekarang sebutkan, kenapa kau berada di tempat ini? Meskipun aku tahu bahwa kau akan dapat menyebut seribu macam alasan, namun aku akan mencoba mendengarnya.”

Gupita mengerutkan keningnya. Orang yang bertubuh raksasa ini tidak dapat ditanggapinya dengan sikap yang aneh-aneh. Ia harus bersungguh-sungguh, namun ia tidak akan dapat melanggar pesan gurunya, bahwa ia harus berusaha bertemu dengan Ki Argapati.

Tetapi kehadiran orang ini telah membuat rencananya menjadi kabur. Pada saat Pandan Wangi datang kepadanya, karena suara serulingnya, ia telah berbesar hati, bahwa ia akan mendapat jalan yang cukup lancar. Tetapi ternyata kini ia berhadapan dengan sikap yang lain.

Sekilas disambarnya wajah Pandan Wangi. Ia mengharap gadis itu mengambil sikap sebagai seorang puteri Kepala Tanah Perdikan, dan memberinya jalan yang lurus untuk menghadap ayahnya. Tetapi agaknya Pandan Wangi hanya menundukkan kepalanya saja. Gadis itu ternyata tidak berbuat sesuatu, seolah-olah Wrahastalah yang paling berkuasa di dalam lingkungan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Sejenak suasana menjadi hening. Hanya nafas mereka sajalah yang terdengar memburu dari lubang-lubang hidung. Wrahasta berdiri dengan sorot mata yang memancarkan kecurigaan dan bahkan kebencian kepada orang yang belum dikenalnya itu.

“Cepat, katakan,” Wrahasta menggeram, “kenapa kau berada di tempat ini dalam keadaan yang panas ini?”

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Betapapun sulitnya tetapi ia harus tetap berusaha untuk dapat menghadap Ki Argapati sesuai dengan pesan gurunya.

“Katakan!” berteriak Wrahasta,

“Baiklah,” jawab Gupita yang tidak akan dapat menghindar lagi. Tetapi sekali lagi ia terperosok ke dalam keadaan yang semakin sulit. Anak muda itu sama sekali tidak mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Wrahasta. Ia sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan yang lain daripada kecurigaan seorang pengawal atas kehadirannya di tempat yang tidak sewajarnya. Dan ia dapat mengerti. Karena itu, maka ia mencoba mencari alasan lain, yang menurut perhitungannya tidak akan dapat disangkutkan dengan kemelutnya keadaan, dengan pertentangan yang terjadi antara Ki Argapati dan puteranya Sidanti.

Tetapi jawabnya ternyata telah membuat telinga Wrahasta menjadi merah. Berkata gembala itu, “Sebenarnya kedatanganku sama sekali tidak bersangkut paut dengan keadaan tanah perndikan ini. Aku hanya ingin menemui seseorang yang pernah aku kenal. Beberapa kali kami telah bertemu sebelumnya. Karena aku tidak berani mendekati regol desa yang agaknya dijaga kuat maka aku berusaha memanggilnya dengan suara serulingku. Ternyata ia benar-benar datang.”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Bukan saja dada Wrahasta yang terbakar oleh perasaannya sebagai seorang laki-laki muda, tetapi juga Kerti, para pengawal dan bahkan Pandan Wangi sendiri. Kerti yang tua itu dan Pandan Wangi, menjadi sangat cemas. Mereka dapat menduga, apa yang akan menyala di hati Wrahasta.

Dugaan mereka itu ternyata tepat. Wrahasta yang wajahnya menjadi merah padam itu terbungkam sesaat. Ia tahu pasti bahwa yang dimaksud Gupita itu adalah Pandan Wangi.

Melihat sikap orang-orang Menoreh itu Gupita menjadi bingung. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa usahanya menghindari masalah yang dianggapnya dapat mengganggu rencananya itu agaknya telah menumbuhkan persoalan yang lebih rumit.

Sejenak kemudian sambil menggeretakkan giginya Wrahasta berkata lantang, “Kau kira apa he, gadis ini? Apa kau kira sebegitu rendah dan bersedia secara sadar menghubungi seorang gembala yang tidak punya sangkan paran macam kau?” Wrahasta berhenti sejenak untuk mengatur getar darahnya, kemudian, “Ternyata kau tidak lebih dari orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi di perjalanan meskipun caramu lain. Kau mengelabuinya dengan macam-macam perbuatanmu untuk membuat Pandan Wangi menjadi kagum. Kau bersepakat dengan Peda Sura agar kau dapat menimbulkan kesan yang baik dari Pandan Wangi dan menganggapmu sebagai seorang pahlawan. Tetapi justru karena itu, kau adalah orang yang jauh lebih berbahaya dari laki-laki yang kasar dan buas itu, tetapi juga lebih licik. Adalah lebih baik bertempur beradu dada, daripada mempergunakan cara seperti yang kau lakukan itu. Apalagi dengan demikian kau akan mendapatkan rahasia dan keterangan mengenai apa pun juga di dalam daerah tertutup kami ini.”

Tuduhan itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh Gupita sehingga ia menjadi semakin bingung. Sejenak ia masih saja berdiri termangu-mangu. Ia tidak tahu, apakah yang sebaiknya dilakukan, karena ia sama sekali tidak menyangka akan menghadapi masalah serupa itu.

Namun sebelum Gupita menyadari keadaannya, ia semakin terkejut ketika ia mendengar Wrahasta berkata lantang, “Kau menjadi tawananku.”

Gupita tersentak. Wajahnya menegang sejenak. Namun kemudian dicobanya untuk menekan perasaannya. Dengan gemetar ia berkata, “Apakah salahku?”

“Kau berada di daerah terlarang. Apa pun alasanmu.”

“Tetapi aku mempunyai alasan. Aku tidak akan mencampuri persoalan tanah perdikan ini. Persoalanku adalah persoalan pribadi yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan soal apa pun.”

“Bohong, bohong!” Wrahasta menjadi semakin marah. Justru persoalan pribadi itulah yang telah membakar jantungnya. Tetapi ternyata hal itu sama sekali tidak disadari oleh Gupita yang kebingungan.

“Jangan mencoba melawan. Jangan kau sangka bahwa karena kau telah berhasil mengalahkan Ki Peda Sura, maka kami akan menjadi ketakutan. Kami, para pengawal tahu benar, bahwa semua itu hanyalah sebuah permainan yang sama sekali tidak menarik. Dan kami pun tahu benar banwa dengan demikian kau akan mendapatkan keuntungan yang berganda, kau akan mendapatkan rahasia yang diperlukan oleh Sidanti dari dalam lingkungan kami, dan sekaligus kau akan mendapatkan seorang gadis yang masih terlampau hijau. Pandan Wangi memang tidak akan berprasangka apa pun, karena hatinya yang masih terlampau bersih. Ia bersikap terlalu jujur terhadap siapa pun. Tetapi sayang, bahwa suatu ketika ia terperosok dalam suatu pertemuan dengan seorang semacam kau.”

Gupita menjadi semakin bingung. Sekilas dicobanya untuk memandang wajah Pandan Wangi, tetapi ia tidak dapat melihat kesan yang tersirat pada wajah itu. Ia hanya melihat wajah gadis itu pun menjadi tegang. Kemudian ditatapnya wajah Kerti yang tua. Wajah itu pun menjadi tegang pula. Namun seperti pada wajah Pandan Wangi, ia tidak dapat mengerti, apakah yang sebenarnya bergolak di hati orang tua itu.

Dada Gupita menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Wrahasta berkata lantang, “Ikutilah kami. Jangan mencoba melawan perintah ini. Aku tidak bermain-main. Dalam keadaan serupa ini, kesalahan yang kecil sekalipun dapat menyeret kami ke neraka. Karena itu, kami tidak dapat bersikap lain terhadapmu.”

Darah Gupita serasa bergolak di dalam jantungnya. Sikap Wrahasta benar-benar tidak menyenangkannya. Tetapi meskipun demikian ia masih mencoba untuk mengerti. Ditrapkannya keadaan yang dihadapi oleh Wrahasta itu pada dirinya sendiri. Apakah yang akan dilakukannya seandainya ia menjadi pengawal tanah perdikan yang kemelut, dan menjumpai seseorang yang mencurigakan seperti dirinya itu?

“Aku hanya dapat mengharap bantuan Pandan Wangi,” katanya di dalam hati. “Sikap pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu adalah wajar.”

Tetapi dalam pada itu, Pandan Wangi sendiri mengalami kesulitan yang tiada taranya. Ia tahu benar, mengapa Wrahasta bersikap terlampau keras terhadap gembala itu. Laki-laki muda yang bertubuh raksasa itu tidak hanya sekedar bercuriga terhadap Gupita, tetapi dadanya telah dibakar oleh perasaan cemburu. Karena itu, maka gadis itu tidak dapat segera mengambil sikap. Kalau ia mencoba untuk melindungi Gupita, maka api yang menyala di dada Wrahasta pasti akan semakin berkobar. Sikap itu akan menjadi minyak yang terpercik ke dalam api di dalam dada raksasa muda itu. Tetapi untuk membiarkan Gupita menjadi tawanan Wrahasta, agaknya perasaannya pun terasa terlampau berat.

Dalam kesulitan itu tanpa disadarinya, dipandanginya wajah Kerti seakan-akan ia minta bantuan kepada pemomongnya itu. Kerti menarik nafas. Pandangan mata Pandan Wangi itu ternyata telah menyentuh hatinya. Karena itu, maka kemudian ia melangkah maju sambil berkata, “Angger Wrahasta, serahkan gembala ini kepadaku. Aku memang sudah berpendirian serupa. Sebelum Angger datang, maka gembala ini sudah menjadi tawananku, maksudku, tawanan kita. Aku berhasrat untuk membawanya kepada Ki Samekta, atau bahkan langsung Ki Argapati. Sebab di Pucang Kembar, Ki Argapati memamg sudah berhubungan dengan seorang anak muda yang bernama Gupala yang barangkali ada bersangkut paut dengan Gupita ini.”

“Ya, ya,” sela Gupita. “Gupala adalah adikku.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi perasaannya sebagai seorang anak muda agaknya lebih tebal menyelimuti pertimbangannya, sehingga ia menggeram.

“Ia harus berkata sebenarnya. Aku tidak berhasrat membawanya kepada siapa pun juga. Aku ingin memaksanya untuk mengakui, bahwa sebenarnya ia adalah petugas sandi Sidanti.”

“Tidak. Sama sekali tidak,” bantah Gupita.

“Diam!” bentak Wrahasta. Lalu, “Sekali lagi aku katakan, kau adalah tawananku.”

Gupita masih akan menjawab, tetapi sebelum mulutnya terbuka, maka ia melangkah surut. Ujung pedang Wrahasta yang besar dan panjang itu telah menyentuh dadanya.

“Jangan banyak bicara!” Wrahasta hampir berteriak. “Ayo berjalanlah!”

Sorot mata Gupita tiba-tiba menyala. Tetapi dengan sepenuh tenaganya ia mencoba menekan perasaan yang bergolak di dalam dadanya. Yang penting baginya adalah kesempatan untuk memasuki pusat pertahanan para pengawal dan kemudian berusaha bertemu dengan Ki Argapati. Tetapi apabila ia mengadakan perlawanan, maka jalan untuk menghadap Ki Argapati akan menjadi semakin jauh.”

 

 

Series 40

KARENA itu, maka timbullah niatnya untuk berkata langsung saja berterus terang. Ia harus mengatakan, bahwa ia mendapat tugas untuk menemui Ki Argapati. Bahkan ia menyesal, bahwa ia menunda-nunda untuk mengatakannya, sehingga keadaan menjadi semakin memburuk.

“Cepat,” bentak Wrahasta sambil menekankan pedangnya, “ayo berjalanlah!”

“Aku akan mengatakannya,” berkata Gupita. “Aku akan mengatakan keperluanku sebenarnya.”

“Aku tidak bertanya kepadamu sekarang. Berjalanlah.”

Gupita menarik nafas. Tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menurut perintah itu. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menuju ke mulut desa. Sedang Wrahasta kemudian berjalan dibelakangnya sambil menekankan ujung pedangnya.

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Pandan Wangi, maka dilihatnya tubuh gadis itu gemetar. Betapa dahsyatnya pergolakan yang terjadi di dada gadis itu. Ia merasa berada dalam simpang jalan yang kedua-duanya akan membawanya ke dalam kesulitan. Kalau ia membiarkan Wrahasta berbuat sesuka hatinya, maka ia merasa bersalah terhadap gembala yang telah menyelamatkannya itu. Tetapi setiap sikap yang seolah-olah berpihak kepadanya, akan mendorong Wrahasta menjadi semakin kehilangan nalarnya.

“Angger Pandan Wangi,” bisik Kerti, “cara yang sebaik-baiknya adalah menyampaikannya kepada Ki Argapati. Ki Argapati akan bersikap. Kau dapat meminta ayahmu untuk memanggil gembala itu langsung.”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Itu adalah jalan yang paling baik Paman. Tetapi aku tidak tahu, apakah ayah akan mendengarkan kata-kataku.”

“Ayahmu telah mengenal Gupala yang memberikan obat kepadanya. Ia pasti akan mempertimbangkannya dengan baik apabila kau katakan bahwa Gupita adalah kakaknya.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk, “Baik, Paman, aku akan menghadap ayah.”

Pandan Wangi, Kerti, dan dua orang pengawal yang datang bersamanya segera melangkah kembali ke regol halaman. Di muka mereka, Wrahasta mendorong-dorong punggung Gupita dengan ujung pedangnya diikuti oleh kedua pengawalnya.

“Cepat, jangan berbuat sesuatu yang dapat memaksa aku menghunjamkan ujung pedang ini ke punggungmu.”

Gupita tidak menyahut. Tetapi ia memang tidak berhasrat untuk melawan. Ia masih berpengharapan untuk mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Argapati. Kalau ia tidak membuat para pengawal itu semakin marah maka para pengawal itu pun pasti tidak akan berlaku berlebih-lebihan.

Namun Gupita itu memang sama sekali tidak tahu, apakah yang telah mendorong Wrahasta berlaku sedemikian kasarnya terhadapnya.

Para pengawal yang berada di regol desa, kini telah berdiri berdesak-desakan. Beberapa orang yang tidak bertugas sekalipun ingin melihat, apa yang sedang terjadi. Mereka saling bertanya dan berbisik-bisik ketika mereka melihat Wrahasta membawa seseorang menuju ke arah mereka.

“Siapakah orang itu?” desis seseorang.

“Orang itulah yang membunyikan seruling di balik gerumbul-gerumbul itu.”

“Memang mencurigakan.”

Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menjadi semakin tegang ketika mereka melihat Wrahasta mendorong orang itu dengan pedang terhunus. Sementara para pengawalnya, Pandan Wangi, dan Kerti berjalan di belakang.

Ketika Wrahasta menjadi semakin dekat, maka para pengawal di muka regol itu pun bersibak, untuk memberi jalan kepada pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu.

Di hadapan para pengawal itu Wrahasta berhenti sesaat sambil berkata, “Orang ini adalah petugas sandi yang dikirim oleh Sidanti untuk mengamat-amati pertahanan kita di siang hari. Nanti malam mereka akan datang lagi. Pada suatu saat, apabila mereka sudah tahu pasti tentang keadaan kita, maka mereka tidak akan sekedar menakut-nakuti kita dengan obor-obor mereka. Mereka pasti akan benar-benar menusuk pertahanan ini dengan perhitungan yang telah matang.”

“Kau keliru,” sahut Gupita, “aku akan menjelaskan.”

“Diam!” bentak Wrahasta. “Aku tidak memerlukan segala macam dongengan khayal itu. Aku ingin tahu keadaanmu sebenarnya. Dan kau harus mengatakan, siapakah sebenarnya kau.”

“Aku akan mengatakan, tetapi aku sama sekali bukan orang Sidanti,” jawab Gupita.

“Bohong!“ teriak Wrahasta, yang tiba-tiba telah mengacukan pedangnya di hadapan hidung Gupita.

Gupita tidak menyahut lagi. Ia harus menahan hati, untuk menemukan kesempatan yang baik. Ia percaya bahwa orang-orang Menoreh adalah orang-orang yang memiliki harga diri yang tinggi, dan mereka bukan termasuk orang-orang yang menyukai kekerasan. Karena itu, Gupita masih mempunyai harapan, bahwa ia akan dapat mengatakan yang sebenarnya kepada para pengawal itu.

Namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam regol tanpa berpaling lagi kepadanya. Hampir saja ia berteriak memanggil, namun niatnya itu segera diurungkannya, supaya ia tidak menambah persoalan lagi. Agaknya memang orang yang bertubuh raksasa inilah yang kini mendapat kekuasaan untuk berbuat apa saja yang dianggapnya perlu untuk melindungi Tanah ini.

Tanpa disadarinya, tangan Gupita itu meraba-raba kantong bajunya. Di dalamnya terdapat sebungkus obat obatan yang harus diserahkannya kepada Ki Argapati.

“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam, “aku mempunyai sekedar bukti. Mudah-mudahan mereka dapat mempercayainya.”

Gupita itu sama sekali tidak melawan ketika ia didorong masuk ke dalam regol dan dibawa oleh Wrahasta dengan beberapa orang pengawal menuju ke sebuah halaman rumah yang agak luas. Rumah yang selama ini dipergunakan oleh para pemimpin pengawal sebagai pusat pimpinan mereka.

Samekta yang berada di rumah itu terkejut melihat Wrahasta membawa seseorang masuk ke halaman. Apalagi ketika ia melihat, orang yang dibawa itu adalah gembala yang pernah dikenalnya, Gupita.

Dengan tergesa-gesa Samekta turun dari pendapa menemui Wrahasta di halaman sambil bertanya, “Dari mana kau bawa anak muda itu?”

“Aku menemukannya di muka regol. Aku yakin sekarang, bahwa orang ini memang seorang petugas sandi yang sengaja dikirim oleh Sidanti.”

Samekta menarik keningnya. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya Kerti berjalan memasuki regol itu pula. Ia mendapat pesan dari Pandan Wangi, supaya ia berusaha melindungi Gupita sebelum ia dapat bertemu dengan ayahnya Ki Argapati.

“Aku mendapatkannya di depan regol,” berkata Kerti sambil melangkah mendekat.

Samekta menjadi bingung. Keduanya mengatakan kepadanya, bahwa mereka masing-masinglah yang mendapatkan Gupita itu.

“Tetapi Paman Kerti tidak berbuat apa-apa. Seperti orang yang kena tenung ia berdiri saja seperti patung. Akulah yang menangkapnya.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Samekta memandangi wajah Kerti, tetapi Kerti tidak menyahut. Karena itu maka Samekta pun kemudian bertanya kepada Wrahasta, “Apakah yang dilakukannya?”

Pertanyaan itu telah membingungkan Wrahasta, sehingga sejenak ia tidak menyahut. Yang terdengar adalah suara Kerti, “Bersenandung dengan serulingnya itu.”

Samekta mengerutkan keningnya, Dan Kerti berbicara terus, “Aku dan Angger Pandan Wangi tertarik akan suara seruling itu. Ketika aku melihatnya, maka aku dapati Angger Gupita. Sebelum kami sempat berbuat sesuatu, maka datanglah Angger Wrahasta.”

“Adalah mencurigakan sekali bahwa seseorang datang ke tempat ini sekedar untuk bersenandung,” sahut Wrahasta kemudian. “Ia pasti mempunyai tugas yang jauh lebih penting daripada bermain seruling di tempat yang berbahaya itu. Hanya orang-orang gila sajalah yang tidak tahu, bahwa daerah ini adalah daerah garis perang.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang tidak akan masuk di akal, apabila Gupita datang tanpa maksud. Tetapi maksud kedatangannya itulah yang harus diketahuinya.

Sebelum Samekta berbuat sesuatu, tiba-tiba terdengar suara Wrahasta lantang, “Periksa, apakah ia menyembunyikan senjata.”

Perintah itu telah mengejutkan. Bukan saja Gupita, tetapi juga Samekta, apalagi Kerti, sehingga dengan serta-merta ia berkata, “Tunggu. Kita belum bertanya sesuatu kepadanya.”

“Kita akan bertanya,“ potong Wrahasta, “tetapi kita harus yakin bahwa ia tidak akan berbahaya lagi. Karena itu, orang ini harus dilihat, apakah ia membawa senjata yang tersembunyi.”

Kerti masih akan menjawab, tetapi niatnya diurungkan ketika ia merasa seseorang menggamitnya. Ternyata orang itu adalah Samekta sendiri. Ketika Kerti sedang memandangi wajahnya, maka Samekta itu pun mengedipkan matanya, seolah-olah ia memberikan isyarat, “Biarlah apa saja yang akan dilakukannya.”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berbisik, “Aku terpaksa berterus-terang kepadamu. Aku mendapat perintah dari Pandan Wangi untuk melindungi anak muda itu.”

“Di mana Pandan Wangi sekarang?” bertanya Samekta perlahan-lahan.

“Ia pergi ke ayahnya. Ia tidak dapat mencegah Wrahasta menangkap laki-laki muda itu. Agaknya perasaan cemburunya jauh lebih besar dari kecurigaannya sebagai seorang pemimpin pengawal.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat kini Wrahasta berdiri bertolak pinggang di hadapan Gupita. Beberapa orang pengawal telah mengerumuninya untuk mulai melihat apakah ia tidak bersenjata.

“Hem,” Samekta berdesah, “anak muda yang bertubuh raksasa itu telah menimbulkan kesulitan baru pada kita yang sedang terdesak ini. Melihat sikap dan tingkah lakunya, aku yakin, anak itu bukan berpihak kepada Sidanti.”

“Aku juga berpendirian begitu, meskipun kita masih harus tetap mencurigainya,” sahut Kerti. “Namun tingkah laku Wrahasta sudah agak berlebih-lebihan.”

“Biarkanlah, apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak bernafsu untuk membunuhnya.”

Sementara itu, beberapa orang pengawal telah mulai melakukan tugasnya. Sementara terdengar suara Wrahasta lantang, “Buka bajunya.”

Gupita mengerutkan dahinya. Ia terpaksa berkata, “Tuan, di dalam baju ini tersimpan sesuatu yang sangat berharga. Berharga bagi aku dan berharga bagi kalian.”

“Omong kosong. Justru usahamu untuk menipu kami itulah yang memaksa kami semakin bernafsu untuk melihatnya.” Kemudian kepada para pengawal ia berteriak, “Cepat, buka bajunya!”

Ketika para pengawal mulai meraba tubuhnya, tiba-tiba Gupita itu melangkah surut sambil berkata, “Aku dapat membuka bajuku sendiri. Aku akan membukanya dan menunjukkannya kepada kalian, apakah yang aku bawa.”

Para pengawal yang telah mulai mengulurkan tangannya itu, terpesona sesaat, sehingga mereka berdiri saja mematung. Mereka tidak berbuat sesuatu ketika Gupita mengambil bungkusan dari kantong bajunya.

“Lihat,” katanya, “inilah sesuatu yang aku katakan itu. Ini adalah obat untuk Ki Argapati seperti obat yang pernah diterimanya dahulu. Di antara para pengawalnya pasti tahu, bahwa seorang anak muda yang bertubuh gemuk dan bernama Gupala telah memberi obat kepadanya ketika ia terluka di Pucang Kembar. Bertanyalah kepada Ki Gede apakah kata-kataku itu mengandung kebenaran.” Gupita berhenti sejenak, lalu, “Nah, siapakah di antara kalian yang melihat, apa yang terjadi di Pucang Kembar itu?”

Tanpa sesadarnya Kerti melangkah maju sambil berkata, “Akulah saksinya. Aku melihat apa yang telah terjadi itu, dan aku membenarkannya.”

Sepercik warna merah telah membakar wajah Wrahasta. Namun kemudian ia berkata, “Kenapa bukan anak yang gemuk itulah yang saat ini datang kemari? Kenapa kau? Ki Argapati memang pernah berkata bahwa seseorang, anak yang gemuk itu telah datang kepadanya di Pucang Kembar. Tetapi bukan kau. Dan kau dapat membuat cerita tentang anak muda yang bernama Gupala, kemudian kau menyebut dirimu dengan nama yang mirip nama anak yang gemuk itu. Tetapi apa buktimu bahwa kau mengenal apalagi saudara anak yang gemuk itu. Obat itu sama sekali bukan jaminan. Justru aku bercuriga, apakah obat itu bukan racun yang dapat membakar luka Ki Argapati dan membuatnya cidera.”

Dada Gupita bergolak karenanya. Obatnya tidak dapat menolongnya, dan bahkan keterangan Kerti itu pun sama sekali tidak dihiraukannya. Karena itu, maka sejenak Gupita menjadi bimbang. Apakah ia harus mempertahankan dirinya dengan kekerasan. Mungkin ia dapat melepaskan dirinya dan lari lewat regol padesan. Apabila ia sudah berada di luar, maka ia akan bebas.

Tetapi sekali lagi niat itu diurungkannya. Dengan demikian ia akan membuat jarak menjadi semakin jauh. Dan ia tidak yakin, apakah ia dapat melarikan diri, menyusup sekian banyak pengawal di padesan ini.

Perlahan-lahan Gupita menarik nafas. Ia masih mencoba memandang ke sekelilingnya, apakah ia dapat menemukan Pandan Wangi. Tetapi ia sekali lagi menjadi kecewa. Pandan Wangi tidak ada di antara orang Menoreh yang mengerumuninya. Meskipun demikian, ia masih mempunyai harapan, bahwa orang tua yang bernama Kerti itu pada saatnya akan memberinya jalan mengghadap Ki Argapati.

Sementara itu, Pandan Wangi melangkah. Cepat-cepat dan bahkan hampir berlari-lari ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia harus segera menyampaikan apa yang telah terjadi, supaya ayahnya dapat menolong gembala yang telah menyelamatkannya dari tangan Peda Sura itu.

Tetapi alangkah kecewa gadis itu. Ketika ia menengok bilik ayahnya, ternyata ayahnya sedang tidur dengan nyenyaknya.

“Kau, Nini,” desis seseorang. Ternyata Pandan Wangi terkejut sehingga hampir saja ia meloncat.

“Oh,” ia menarik nafas. Ternyata suara itu adalah suara perempuan tua pemilik rumah.

“Ki Argapati baru saja dapat tidur. Tubuhnya agak menjadi panas lagi. Menurut keterangannya, obat pada lukanya sudah hampir menjadi tawar. Kalau ia tidak segera mendapat obat yang baru, maka keadaannya akan dapat menjadi berbahaya, Ngger.”

Wajah Pandan Wangi menegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu perempuan tua yang membantu melayani ayahnya itu berkata, “Biarlah ayah beristirahat. Bukankah kau juga akan beristirahat. Kalau ayah terkejut dan terbangun, maka badannya akan menjadi semakin terasa sakit.”

Sejenak Pandan Wangi terpukau di tempatnya dalam kebingungannya. Tetapi kemudian ia menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ditinggalkannya pintu bilik ayahnya menuju ke dalam biliknya sendiri. Dengan dada yang berdebar-debar ia masuk, kemudian meletakkan dirinya di pembaringannya.

Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin gelisah. Apakah yang kira-kira kini dilakukan oleh Wrahasta atas gembala yang bernama Gupita itu?

Dalam kegelisahannya itu, Pandan Wangi berbaring sejenak, kemudian bangkit berdiri. Melangkah hilir-mudik sambil meremas-remas jari-jari tangannya sendiri. Sekali-kali dirabanya hulu pedangnya. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengambil kesimpulan sesuatu.

Di halaman pusat pimpinan pasukan pengawal Menoreh, Gupita dilingkari oleh beberapa pengawal yang bersenjata. Di tangannya masih tergenggam sebungkus obat dari gurunya yang harus diserahkan kepada Ki Argapati. Tetapi ternyata pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu tidak mau mempercayainya, sehingga dengan demikian Gupita merasa, bahwa ia benar-benar berada di ambang pintu kesulitan.

“Kenapa Pandan Wangi sama sekali tidak berpengaruh atas anak buah ayahnya?” pertanyaan itu melonjak di dalam dada Gupita. Ia sama sekali tidak dapat mengerti, bahwa Pandan Wangi sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu, dan bahkan meninggalkannya.

Gupita terkejut ketika Wrahasta kemudian berkata, “Buka bajunya. Kenapa kalian berdiri saja mematung.”

Para pengawal yang berdiri di seputar Gupita itu pun terkejut pula. Serentak mereka bergerak. Tetapi sekali lagi mereka tertegun ketika Gupita berkata, “Sudah aku katakan. Aku akan membuka bajuku sendiri. Tetapi ingat, aku sudah mengatakan yang sebenarnya, bahwa bungkusan ini adalah obat untuk kepala tanah perdikanmu yang terluka itu. Kalau ia terlambat menerimanya, dan akibat dari kelambatan ini telah membahayakan jiwanya, itu sama sekali bukan salahku.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Sejenak ia terpengaruh oleh kata-kata Gupita itu.

Lebih-lebih lagi Kerti. Hampir saja ia melangkah maju. Tetapi sekali lagi Samekta menggamitnya dan berkata lirih, “Kalau kita berusaha mencegahnya, anak muda itu akan marah. Dengan demikian pasti akan timbul persoalan di antara kita. Kita tunggu saja apa yang akan dilakukan, asal tidak membahayakan jiwa anak muda itu.”

“Tetapi siapakah yang akan menanggung akibatnya, apabila obat itu terlambat, apalagi rusak.”

Samekta termenung sejenak. Lalu katanya “Kita awasi saja, apa yang akan dilakukan oleh Wrahasta.”

“Kau yang mendapat wewenang memimpin seluruh pasukan pengawal. Kau bertanggung jawab atas semuanya ini.”

Dada Samekta berdesir. Kerti yang tua, yang senang bergurau itu tidak pernah berkata demikian bersungguh-sungguh kepadanya. Agaknya ia memang sedang dibingungkan oleh keadaan yang dihadapinya. Namun demikian Samekta itu mengangguk dan menjawab, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk menjaga, agar tidak terjadi sesuatu atas anak muda itu dan obatnya sekali. Bukankah saat ini Pandan Wangi sedang menghadap ayahnya? Kalau Ki Argapati mempercayainya, maka gadis itu akan segera datang atas nama Ki Argapati, dan berbuat atas namanya pula. Tetapi kalau tidak, itu berarti bahwa Ki Argapati pun meragukan gembala itu, sehingga kita memang perlu berhati-hati.”

Debar di dada Kerti terasa menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia mengerti kesulitan yang dihadapi Samekta pula. Pemimpin tertinggi pasukan Pengawal itu tidak ingin mengecewakan Wrahasta, yang tenaganya kini sangat diperlukan. Tetapi apakah dengan demikian, anak muda yang membawa obat untuk Ki Argapati itu akan dikorbankan?

Yang diharapkannya segera datang kini adalah Pandan Wangi. Ia akan dapat menolong Gupita atas nama ayahnya, dan menyelamatkan obat itu pula.

Tetapi Kerti terkejut ketika ia mendengar Wrahasta berbicara, “Nah, kalau kau berkata sebenarnya, bahwa obat itu benar-benar akan dapat menyembuhkan Ki Argapati, cobalah, cicipi barang sedikit.”

“Tidak mumgkin,” jawab Gupita, “Obat ini adalah obat untuk luka Ki Argapati. Obat yang harus ditaburkan atas luka itu. Sama sekali bukan obat untuk diminum atau dimakan, karena obat ini mengandung racun.”

“Nah,” tiba-tiba Wrahasta berteriak, “kau sekarang sudah mengaku, bahwa obat yang kau katakan itu adalah racun. Dengan demikian jelas, bahwa kau benar-benar orang Sidanti yang akan mencoba membunuh Ki Argapati dengan cara yang sangat licik setelah kau berhasil mempengaruhi Pandan Wangi.”

Wajah Gupita menjadi merah. Hampir-hampir ia kehilangan akal. Namun dengan sekuat tenaga ia masih berusaha menahan dirinya. Ia masih mengharap perubahan yang dapat terjadi pada para pengawal yang mengerumuninya. Terutama Kerti.

Sementara itu Kerti sendiri menjadi sangat gelisah. Pandan Wangi masih belum nampak datang. Setiap kali ia memandang ke arah regol halaman menunggu kedatangan gadis itu. Namun setiap kali yang dilihatnya adalah pengawal-pengawal yang berdatangan untuk melihat apa yang telah terjadi di halaman itu.

“Nah,” berkata Wrahasta kemudian, “sekarang kalau kau tidak senang orang lain membuka bajumu. Bukalah. Apakah kau membawa senjata yang kau sembunyikan dengan licik pula?”

Gupita menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat menolak. Karena itu, maka dengan hati-hati disimpannya lagi bungkusan obat itu di dalam kantong bajunya yang kemudian perlahan-lahan dibukanya.

“Aku akan membuka bajuku. Tetapi aku tidak mau menanggung akibatnya apabila obat itu rusak. Percaya atau tidak percaya, aku ingin menyerahkan obat itu langsung kepada Ki Argapati,” berkata Gupita.

“Itu tergantung dari keputusanku,” sahut Wrahasta, “karena itu aku ingin melihat apakah kau mampu membuktikan bahwa dirimu bukan petugas sandi dari Sidanti dan gurunya yang gila itu.”

Sesaat kemudian semua mata terpusat kepada Gupita yang berada di tengah lingkaran manusia. Semua mata mengikuti gerak tangannya yang dengan enggan telah membuka bajunya sendiri

Tiba-tiba hampir setiap mulut berdesis ketika mereka dengan terperanjat melihat sesuatu yang melilit pada tubuh Gupita, di luar ikat pinggangnya. “Cambuk.”

“Anak muda itu membawa cambuk,” gumam seorang pengawal yang gemuk.

”Ya. Ia membawa cambuk,” sahut yang lain.

Meskipun Samekta sudah pernah melihat Gupita membawa cambuk, tetapi ia mengerutkan keningnya. Cambuk yang dibawanya kini bukan sekedar cambuk seperti yang pernah dilihatnya. Cambuk seorang gembala. Tetapi cambuk yang dilihatnya kini, benar-benar sehelai cambuk yang mendebarkan jantung.

Kerti yang tua mengangguk-anggukkan kepalanya, Tanpa sesadarnya ia bergumam, “Ya, cambuk semacam itulah yang pernah aku lihat di Pucang Kembar. Anak muda yang gemuk dan bernama Gupala membawa cambuk serupa itu pula.”

Yang kemudian berdiri mematung adalah Wrahasta. Sejenak ia terpukau oleh cambuk yang dibawa oleh Gupita. Meskipun cambuk itu belum terurai, namun terasa bahwa cambuk itu bukanlah cambuk kebanyakan.

Tetapi lebih dari pada itu, ia telah dibebani oleh berbagai perasaan yang berbenturan. Sebagai seorang pengawal ia berdebar-debar karena ia melihat seorang anak muda yang membawa cambuk. Selama ini ia membuat tiruan dengan mempersenjatai beberapa orang pengawal berkuda, menjadi bayangan dari orang-orang yang bersenjatakan cambuk. Seperti cerita Ki Gede, seseorang telah ditemuinya di bawah Pucang Kembar dengan cambuknya, dan yang diceritakan oleh Pandan Wangi bahwa seorang anak muda yang bersenjata cambuk telah menyelamatkannya.

Namun di dalam dadanya itu pula bergolak perasaan cemburu seorang anak muda yang menggelegak tidak terkendalikan. Agaknya anak muda inilah yang telah mendapat pujian dan dikagumi oleh Pandan Wangi justru karena cambuknya itu.

Tiba-tiba kejantanan Wrahasta mendidih di dalam dada yang serasa telah terbakar itu. Berbagai perasaan yang saling berbenturan telah menjadikannya semakin bingung, sehingga sikapnya pun menjadi kabur. Namun harga dirinya sebagai seorang laki-laki telah meledak dengan dahsyatnya.

Maka sejenak kemudian Wrahasta itu pun maju selangkah, masuk kedalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Dengan bertolak pinggang ia berkata lantang, “He Gupita. Aku pernah mendengar betapa dahsyatnya cambukmu itu. Aku pernah mendengar seseorang yang lain, yang bersenjatakan cambuk, telah menarik kepercayaan Ki Argapati pula. Bahkan kami semuanya di sini yang mabuk akan cerita-cerita kepahlawanan manusia-manusia bersenjata cambuk itu, telah membuat bayangannya, dengan mempersenjatai beberapa orang dengan cambuk pula. Maksud kami adalah cukup jelas. Kami ingin menakut-nakuti Sidanti dengan cambuk itu. Tetapi kami di sini sama sekali belum mengetahui siapakah sebenarnya manusia-manusia yang penuh dengan rahasia itu. Apakah kami tidak justru ditertawakan oleh Sidanti dan gurunya, karena manusia-manusia bercambuk itu sebenarnya adalah orang-orang mereka.”

“Kalau juga Gupala yang kau maksud,” potong Gupita, “maka Ki Argapati pasti sudah tidak akan dapat kembali lagi. Dengan racun yang memperkuat bisa warangan senjata Ki Tambak Wedi betapapun lemahnya, maka Ki Argapati akan segera meninggal. Tetapi seperti yang kalian lihat, Ki Argapati masih tetap hidup sampai saat ini. Apakah dengan demikian kalian masih meragukan kami? Bahkan sekarang aku datang untuk memperbaharui obat yang pasti telah tidak mempunyai daya penyembuh lagi.”

Wrahasta tidak segera menyahut. Kata-kata itu memang mengandung kebenaran. Tetapi api kecemburuannya agaknya telah membuat akalnya menjadi hangus sehingga ia berkata, “Kenapa bukan Gupala itu yang datang kemari, sehingga salah seorang dari kami akan segera mengenalnya? Kenapa orang lain yang bernama Gupita? Mungkin aku dapat mempercayainya apabila Gupala sendiri datang kemari. Tetapi aku masih belum mempercayai kau. Kini aku ingin membuktikan apakah kau benar-benar mampu menolong Pandan Wangi, melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura. Apakah itu bukan sekedar permainan yang licik untuk menjerat kepercayaan Pandan Wangi terhadap kau. Dan kau sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut apa pun dengan Gupala. Kalau kau menyebut ciri yang sama, cambuk itu, maka setiap orang dapat membuat cambuk serupa itu.”

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu menghadapi keadaan itu. Segala macam pertimbangan telah melingkar-lingkar di kepalanya seperti sifat-sifatnya yang dibawanya sejak kanak-kanak. Ia mencoba mencari jalan yang paling baik yang dapat ditempuhnya untuk menghadapi keadaan ini. Keadaan yang tidak diduga-duganya sama sekali.

Tanpa sesadarnya matanya hinggap pada wajah Kerti yang tegang. Kemudian dipandanginya Samekta dan para pemimpin yang lain. Tetapi para pemimpin itu pun telah dicengkam oleh kebingungan. Mereka tidak dapat mencegah Wrahasta, agar Wrahasta tidak marah dan menimbulkan kesulitan di antara para pemimpin itu sendiri. Samekta yang merasa bertanggung jawab oleh semua peristiwa di dalam lingkungan pagar pering ori itu pun menjadi semakin bingung. Seperti Kerti maka harapannya kemudian adalah keputusan Ki Argapati sendiri.

“Cepat!” tiba-tiba Wrahasta berteriak.

Gupita yang masih kebingungan itu pun bertanya, “Apakah maksudmu sebenarnya?”

“Aku ingin melihat, apakah kau benar-benar dapat membebaskan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura.” Dan Wrahasta itu pun kemudian berteriak kepada para pengawal, “Beri aku sehelai cambuk yang sering dibawa oleh para pengawal berkuda. Aku ingin melihat, apakah orang bercambuk ini benar harus dikagumi. Dan bahwa tidak ada orang lain yang dapat mempergunakan cambuk sebaik anak ini.”

Melihat sikap Wrahasta yang seolah-olah telah kehilangan kendali itu Kerti dan Samekta menjadi semakin cemas. Untuk membiarkannya berkelahi melawan anak muda yang bersenjata cambuk itu pun Samekta harus membuat pertimbangan yang menegangkan syarafnya. Seandainya Wrahasta dapat dikalahkan, maka ia akan menjadi semakin bermata-gelap dan akan mempergunakan kewenangannya untuk menghancurkan orang itu. Tetapi apabila ia menang, maka ia pun akan dapat berbuat di luar dugaan. Wrahasta pasti akan menjadi semakin tidak percaya lagi kepada Gupita, atau justru mempergunakam kesempatan itu untuk memuaskan hatinya yang sedang dibakar oleh kecemburuan.

Karena itu, maka Samekta segera melangkah maju sambil berkata, “Sudahlah Wrahasta. Aku kira kau tidak perlu menitikkan keringatmu untuk masalah-masalah yang tidak berarti. Biarlah aku menyelesaikan anak ini. Bukan aku sendiri, tetapi biarlah kita bersama-sama mencari penyelesaian yang semudah-mudahnya tanpa menyulitkan diri sendiri.”

“Tidak,” potong Wrahasta tanpa menunggu Samekta selesai berbicara. “Aku bukan pengecut.”

“Memang bukan,” jawab Samekta. “Aku sependapat, bahwa anak muda itu adalah tawanan kita. Kita berhak mendapat keterangan daripadanya tanpa cara yang begitu sulit. Tidak sewajarnya bahwa kita, atau salah seorang dari kita harus melayaninya berkelahi dengan tujuan apa pun.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Kata-kata Samekta itu telah menyentuh hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa dihadapkan ke muka cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Dan tiba-tiba ia merasa bahwa perkelahian itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan sikapnya sebagai pengawal tanah perdikan yang berhadapan dengan seorang tawanan. Tetapi sikapnya adalah sikap seorang laki-laki muda yang sedang dibakar oleh perasaan cemburu.

Sejenak Wrahasta tidak menjawab. Ia mencoba menemukan keseimbangan dalam dirinya. Namun ternyata harga dirinya sebagai seorang laki-laki, apalagi laki-laki muda yang dialasi oleh perasaan cemburu, sama sekali tidak dapat dikendalikannya.

Karena itu, maka Wrahasta itu menjawab, “Tidak. Aku tidak ingin dibayangi oleh gambaran-gambaran yang tidak benar. Seolah-olah tidak ada laki-laki di atas tanah perdikan ini, sehingga untuk menyelamatkan Pandan Wangi diperlukan orang lain yang sama sekali tidak dikenal. Apalagi bayangan orang-orang bercambuk yang setiap saat ikut serta dalam pasukan berkuda itu agaknya telah membuat gambaran yang suram dari kepercayaan atas diri sendiri di atas tanah ini. Apakah kita terlampau menggantungkan diri kepada orang lain yang tidak kita kenal, sehingga kita harus mengorbankan harga diri kita? Tidak. Marilah kita lihat, apakah manfaatnya kita mengagumi orang-orang bercambuk.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Didekatinya Wrahasta yang berdiri tegang.

“Sebaiknya kau tenangkan dirimu.”

“Aku tidak sedang kehilangan akal,” jawabnya lantang. “Aku masih tetap menyadari apa yang aku lakukan. Karena itu, jangan ganggu aku.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia berpaling, memandangi wajah Kerti yang kecemasan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak akan dapat mencegah Wrahasta dengan perintah sebagai pimpinan tertinggi pasukan Menoreh di hadapan sekian banyak pengawal dan bahkan seorang yang datang dari luar lingkungan mereka. Perintah yang demikian pasti akan menyiggung perasaan Wrahasta. Mungkin ia akan mematuhi perintah itu sebagai seorang bawahan, tetapi ia pasti akan menyimpan sesuatu yang dapat meledak setiap saat, justru Tanah ini sedang dalam bahaya. Tetapi apabila Wrahasta tidak mau mendengar perintahnya, maka ia pasti akan tersinggung pula. Dan mungkin ia sendiri akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat lebih mempertajam persoalan ini.

Karena itu, maka Samekta tidak dapat melarang Wrahasta melakukan rencana. Namun ia berpesan, “Ingat Wrahasta. Di atas kita masih ada Ki Argapati. Mungkin ia mempunyai sikap sendiri.”

“Aku menunggu setiap perintahnya,” desis Wrahasta. “Tetapi sebelum ada perintah dari Ki Argapati, aku akan berbuat menurut kebijaksanaanku.”

Gupita masih saja berdiri mematung. Namun dadanya menjadi berdebar-debar. Apalagi setelah Wrahasta memegang sehelai cambuk yang mirip dengan cambuknya sendiri. Berjuntai panjang dan bertangkai pendek.

“Cepat, uraikan cambukmu itu,” berkata Wrahasta lantang.

Gupita masih tetap termangu-mangu. Diedarkannya pandangan matanya ke sekitamya. Yang dilihatnya adalah sorot-sorot mata yang tegang dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, Kerti dan Samekta berdiri dengan penuh kebimbangan. Mereka sekali-sekali berpaling ke arah regol halaman, sambil mengharap kehadiran Pandan Wangi yang akan bertindak atas nama ayahnya untuk mencegah perkelahian yang tidak akan banyak berarti apa-apa dari segi pengamanan Tanah Perdikan Menoreh, bahkan mungkin sebaliknya.

“Cepat!” Wrahasta berteriak. “Kalau kau tidak berusaha untuk membela diri, jangan menyalahkan aku, kalau kulitmu akan terkelupas.”

Gupita mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Bukan maksudku untuk berkelahi di sini. Aku datang untuk menyampaikan obat kepada Ki Argapati. Tetapi aku disudutkan kepada suatu keharusan untuk berkelahi. Meskipun demikian, aku ingin berpesan kepada kalian yang melingkari arena ini. Seandainya aku tidak dapat lagi menyampaikan obat itu, aku minta tolong kepada kalian yang bersedia, semata-mata untuk kepentingan tanah perdikan kalian, agar obat itu, sampai kepada Ki Argapati. Apakah kemudian akan dipergunakan atau akan dibuangnya, itu terserah kepada Ki Gede sendiri.” Gupita berhenti sejenak, kemudian ditatapnya wajah anak muda yang bertubuh raksasa, jauh lebih besar dari tubuhnya sendiri. Kemudian perlahan-lahan ia mengurai cambuknya setelah meletakkan bajunya di tepi arena sambil berkata dalam nada yang datar, “Marilah, aku sudah bersedia.”

Wajah Wrahasta yang merah menjadi semakin merah. Meskipun demikian terpercik secercah keheranan di dalam hatinya. Meskipun Gupita itu berada di dalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun wajahnya sama sekali tidak membayangkan ketakutan dan kecemasan. Yang dilihatnya pada wajah itu hanyalah sekedar keragu-raguan. Justru karena itu maka Wrahasta yang bertubuh raksasa itu menjadi berdebar-debar. Namun demikian, Wrahasta terlampau percaya kepada dirinya, kepada kekuatan raksasanya. Sedang anak muda yang berdiri di hadapannya adalah anak muda yang terlampau biasa. Tingginya tidak lebih dari pundaknya.

“Bagus,” geram Wrahasta kemudian. “Kau memang seorang anak muda yang berani. Tetapi kau harus menyesal, bahwa kau telah terperosok ke dalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”

“Aku sama sekali tidak terperosok ke dalam lingkungan pering ori ini,” sahut Gupita. “Aku sengaja masuk ke dalamnya.”

“Persetan!” potong Wrahasta yang perlahan-lahan melangkah mendekat. Cambuknya telah mulai berputar, dan sejenak kemudian cambuk itu pun meledak memekakkan telinga.

Tetapi ternyata bahwa suara cambuk itu adalah ledakan yang wajar dari hentakan juntainya yang panjang. Sama sekali tidak menumbuhkan getar apa pun di dalam dada orang-orang yang berkerumun itu, kecuali sentuhan langsung pada selaput telinga mereka.

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Dari ledakan suara cambuk itu ia dapat menduga, bahwa sebenarnya Wrahasta hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya saja. Tetapi agaknya anak muda itu tidak berlatih untuk membangkitkan tenaga cadangan yang memang telah tersedia di dalam dirinya. Apabila ia berhasil memecahkan teka-teki tentang kekuatan cadangan yang memang kurang dikenal oleh hampir setiap pribadi yang tidak mesu diri dalam olah kanuragan, maka Wrahasta akan mampu menumbangkan gunung anakan.

Meskipun demikian Gupita tidak kehilangan kewaspadaan. Mungkin Wrahasta belum benar-benar mulai. Mungkin ia pun sedang berusaha untuk menilai lawannya pula. Karena itu, maka Gupita pun tetap bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, para pengawal yang memutari arena itu menjadi kian berdebar-debar. Mereka melihat wajah Wrahasta yang merah tegang. Agaknya pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu akan ber-sungguh-sungguh. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pada umumnya telah mengenal, betapa anak muda itu memiliki kekuatan yang seimbang dengan bentuk tubuhnya. Sehingga dengan demikian, maka apabila ujung cambuknya mengenai lawannya, maka kulitnya pasti akan terkelupas.

Sesaat kemudian cambuk Wrahasta itu pun telah meledak lagi. Sekali lagi dan sekali lagi. Ia semakin maju mendekati Gupita yang masih berdiri tegak di tempatnya.

Sejenak Gupita mencoba memandang wajah Kerti dari Samekta berganti-ganti. Terbayang di wajah orang tua-tua itu kecemasan yang mencengkam jantung mereka.

Tanpa sesadarnya Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terdorong ke dalam suatu kesulitan. Apakah ia harus melawan bersungguh-sungguh, yang bagaimanapun juga akan dapat menumbuhkan perasaan tidak senang pada para pengawal itu apabila ia mengalahkan Wrahasta. Tetapi apabila ia harus membiarkan dirinya dirajang oleh cambuk Wrahasta, agaknya ia berkeberatan juga.

Gupita tidak sempat berpikir lebih panjang lagi. Wrahasta telah menjadi semakin dekat, dan setiap kali cambuknya selalu meledak-ledak tidak henti-hentinya.

Maka Gupita tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapinya. Karena itu maka kemudian ia bergeser setapak ke samping. Dengan gerak naluriah, maka ujung cambuknya pun mulai terayun-ayun, kemudian melingkar beberapa kali. Sejenak kemudian, maka terdengar cambuk itu meledak pula. Tetapi Gupita sama sekali tidak ingin menimbulkan berbagai macam kesan pada orang-orang Menoreh dan terutama kepada gurunya. Kalau ia meledakkan cambuknya dengan segenap kemampuan yang ada padanya, dalam pemusatan kekuatan di dalam dirinya, maka hal itu akan dapat menumbuhkan pertanyaan pada guru dan saudara seperguruannya. Mungkin mereka akan menyangka, bahwa ia berada dalam bahaya yang sulit diatasi.

“Tetapi apabila terpaksa, aku tidak dapat ingkar lagi,” desisnya di dalam hati.

Maka sejenak kemudian Wrahastalah yang telah memulai dengan serangannya. Ujung cambuknya mematuk deras sekali, seperti seekor burung sikatan mematuk bilalang. Untunglah bahwa Gupita tidak kehilangan kesiagaan, sehingga dengan tangkasnya la meloncat. menghindari sambaran cambuk lawannya

Namun ternyata, loncatan Gupita yang melampaui kecepatan sambaran cambuk Wrahasta itu benar-benar telah menarik perhatian. Kerti dan Samekta hampir bersamaan berdesis. Bahkan terdengar Kerti bergumam, “Terlampau cepat.”

Samekta berpaling. Sambil mengangguk ia berkata, “Memang terlampau cepat bagi Wrahasta.”

Perkelahian di arena itu pun kemudian menjadi semakin cepat. Cambuk Wrahasta menyambar-nyambar tidak henti-hentinya, seolah-olah ia sama sekali tidak memberi kesempatan lawannya unluk membalas. Namun lawannya pun terlampau lincah, sehingga serangan-serangannya hampir tidak menyentuh sasarannya. Sekali-sekali memang ujung cambuk Wrahasta dapat mengenai lawannya sehingga menumbuhkan jalur-jalur merah, tetapi sama sekali tidak seimbang dengan tenaga yang telah diperas dari tangan anak muda yang bertubuh raksasa itu.

“Gembala itu tidak sempat membalas,” desis beberapa orang yang mengelilingi arena itu. Sedang yang lain mengangguk anggukkan kepalanya.

“Tetapi ia terlampau lincah,” bisik salah seorang dari mereka.

“Melampaui kecepatan ujung cambuk Ki Wrahasta,” yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka terpukau melihat ketangkasan Gupita menghindari sambaran senjata Wrahasta. Sedang cambuknya sendiri seakan-akan masih belum dipergunakan. Ia hanya sekedar menahan arus serangan Wrahasta dengan sekali-kali menyentuhnya dengan ujung senjatanya itu.

Namun dengan demikian hati Wrahasta menjadi semakin panas karenanya. Sentuhan-sentuhan ujung cambuk Gupita serasa minyak yang tumpah ke dalam api.

Karena itu, maka tandang Wrahasta menjadi semakin lama semakin garang. Cambuknya menjadi semakin cepat berputaran dan semakin sering meledak-ledak. Namun Gupita masih juga mampu menghindarinya, sambil sekali-sekali melepaskan serangan yang tidak berbahaya. Karena Gupita masih saja dicengkam oleh keragu-raguan, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Sementara itu Pandan Wangi masih mondar-mandir dengan gelisahnya di dalam biliknya. Sekali-sekali ia melangkah ke luar dan melihat ke dalam bilik ayahnya lewat celah-celah pintu yang dibukanya sedikit. Tetapi ternyata ayahnya masih tidur dengan nyenyaknya. Sehingga dengan demikian hatinya menjadi semakin gelisah. Terbayang di rongga matanya apa saja yang dapat dilakukan oleh Wrahasta atas Gupita. Wrahasta akan dapat mempergunakan kekuasaannnya dengan mengerahkan para pengawal. Apabila terjadi demikian, maka jarak antara orang-orang Menoreh dengan orang-orang bercambuk itu, khususnya Gupita akan menjadi semakin jauh.

Dalam kegelisahan itu Pandan Wangi melakukan apa saja untuk mengisi waktu. Berjalan kian kemari, minum dari kendi yang ada di dalam ruang dalam rumah itu, kemudian kembali ke dalam biliknya berbaring, tetapi sejenak kemudian ia telah bangkit lagi dan berjalan hilir-mudik.

Akhirnya Pandan Wangi itu tidak dapat bersabar lagi. Perlahan-lahan ia membuka pintu bilik ayahnya dan berjalan dengan hati-hati masuk. Tetapi ketika ia telah berada di sisi pembaringan ayahnya ia tidak berani membangunkannya. Karena itu maka gadis itu pun melangkah perlahan-lahan dan duduk di pembaringan ayahnya.

Tetapi ternyata perasaan Ki Argapati demikian tajamnya, sahingga betapapun Pandan Wangi berhati-hati meletakkan dirinya, namun gerak pembaringannya yang sangat lambat itu telah membangunkan Ki Gede Menoreh. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan perlahan-lahan pula ia berdesis, “Kau, Wangi.”

Ternyata Pandan Wangi-lah yang terkejut sehingga ia terlonjak berdiri. Ia tdak menyangka bahwa sentuhan tubuhnya pada pembaringan ayahnya itu telah membangunkannya.

“Maaf, Ayah, apakah aku mengejutkan, Ayah?”

Ki Argapati menggelengkan kepalanya, “Tidak, Pandan Wangi. Aku tidak terkejut.”

“Tetapi Ayah terbangun karenanya.”

“Aku sudah cukup lama tertidur. Seharusnya aku memang sudah bangun.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia ingin segera dapat mengatakan keperluannya. Tetapi justru tertahan di dalam dadanya, sehingga ia menjadi terlampau gelisah. Keringat dingin telah mengalir membasahi punggung dan keningnya.

Ki Argapati itu pun kemudian melihat kegelisahan yang terbayang di dalam sikap puterinya, sehingga karena itu, maka ia pun bertanya, “Pandan Wangi. Aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku padamu. Mungkin kau dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan.”

Dada Pandan Wangi berdesir. Adalah kebetulan sekali bahwa ayahnya bertanya kepadanya. Karena itu, maka ia pun tidak membuang waktu lagi. Jawabnya, “Ya, Ayah, aku memang sedang gelisah. Aku menunggu Ayah terbangun. Tetapi meskipun demikian aku sama sekali tidak sengaja membangunkan Ayah.”

“Ya, ya. Aku tidak menuntut kau kenapa kau membuat aku terbangun. Tetapi kenapa kau menjadi demikian gelisah?”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah tubuh Ayah menjadi panas lagi?”

Ki Argapati tdak segera menjawab. Ditatapnya wajah Pandan Wangi yang basah oleh keringat. Baru sejenak kemudian sambil mengangguk ia berdesis, “Sedikit Pandan Wangi. Hanya sedikit. Dan kau tidak perlu menjadi gelisah karenanya.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Kalimat-kalimat yang telah tersusun kini berdesakan di dalam dadanya, sehingga justru karena itu ia menjadi tergagap. “Tidak, Ayah. Aku tidak gelisah.”

Dipandanginya wajah puterinya itu tajam-tajam. Dengan demikian Ki Argapati menjadi semakin yakin, bahwa gadisnya sedang diganggu oleh kegelisahan atau kecemasan.

“Tenanglah, Pandan Wangi. Kau dapat bercerita perlahan-lahan, apakah yang telah membayangi perasaanmu kini.”

Sekali lagi Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya, mengatur perasaannya agar ia dapat mengucapkan kata katanya dengan baik. Sejenak kemudian maka barulah ia dapat memulainya, meskipun masih bersimpang siur, “Ayah. Orang bercambuk itu telah datang.”

Ki Argapati mengerutkan dahinya. ”Siapakah yang kau maksud?”

“Orang bercambuk yang pernah aku katakan, Ayah. Ia membawa obat untuk Ayah.”

“Tenanglah Pandan Wangi. Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa ada seseorang datang mencari aku dan membawa obat untukku?”

“Ya, Ayah, gembala itu. Tetapi bukan yang gemuk.”

Ki Argapati perlahan-lahan bangkit dan duduk di pembaringannya. Dengan sareh ia berkata, “Cobalah, endapkan perasaanmu. Jangan tergesa-gesa supaya kata-katamu tidak tumpang-suh.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Kini ia berusaha dengan sungguh-sungguh agar ia dapat berkata sebaik-baiknya. Semakin kisruh kalimatnya, maka semakin panjang waktu yang terbuang. Maka setelah sejenak ia berdiam diri, maka barulah ia dapat mengatakan dengan teratur, apa yang dilihatnya di depan regol desa, apa yang dilakukan oleh Wrahasta terhadap Gupita. Tetapi Pandan Wangi masih belum berani mengatakan latar belakang dari sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Ki Argapati mendengarkan cerita Pandan Wangi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan dada yang berdebar-debar tumbuhlah harapannya untuk dapat mengobati luka-lukanya dengan baik. Tetapi agaknya sikap Wrahasta tidak dapat dimengertinya.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Ki Argapati mempertimbangkan cerita Pandan Wangi itu dengan cermatnya. Dicobanya untuk menilai segala segi sebaik-baiknya. Sudah tentu, bahwa Wrahasta berbuat demikian sesuai dengan penilaiannya sendiri. Dan ia tidak akan segera dapat menganggapnya bersalah.

“Ayah,” berkata Pandan Wangi, “mungkin Wrahasta akan menjatuhkan hukuman kepada anak itu. Seharusnya Ayah mencoba mencegahnya.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Sudah tentu Wrahasta mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan tindakannya. Aku mengenalinya sebagai seorang pengawal yang cermat dan tegas. Tanpa pertimbangan tertentu, ia tidak akan berbuat tergesa-gesa.”

“Tetapi, tetapi…,” sahut Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi tidak dapat mengatakan bahwa Wrahasta telah dibakar oleh perasaan cemburu.

“Percayalah Wangi, bahwa Wrahasta tidak akan berbuat tanpa alasan tertentu. Seandainya Wrahasta salah menilai gembala itu, maka Samekta dan Kerti dapat memberinya pertimbangan.”

“Kerti sudah mencoba Ayah, tetapi Wrahasta sama sekali tidak mendengarkannya.”

Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Tenanglah, Wangi. Setelah para pengawal yakin bahwa anak itu dapat dipercayanya, maka gembala itu pasti akan mereka bawa kemari.”

“Tidak, Ayah,” Pandan Wangi menjadi semakin cemas, “Wrahasta menjadi seakan-akan gila. Ia tidak mau mendengar nasehat Paman Kerti dan pendapatku.”

Namun di luar dugaan Pandan Wangi, Ki Argapati justru tersenyum sambil berkata sareh, “Tenanglah. Tenanglah. Aku percaya kepada para pemimpin pengawal itu. Mereka tidak akan berbuat tanpa pertimbangan yang masak. Mereka pun bukan orang-orang yang suka kepada kekerasan. Gembala itu bagi mereka adalah orang lain, sehingga untuk meyakinkan dirinya, Wrahasta telah berbuat demikian. Tetapi tidak akan terjadi sesuatu atas anak muda itu. Aku pun sangat mengharapkannya untuk mendapat obat yang baik bagi luka-lukaku.”

Pandan Wangi terbungkam karenanya. Namun kegelisahannya seolah-olah telah membakar seluruh isi dadanya.

Sebenarnya Ki Argapati sendiri menjadi gelisah. Tidak menjadi kebiasaan Wrahasta berbuat demikian kasar terhadap seseorang. Namun setiap kali ia mencoba memahami sikap itu. Apa yang dikatakannya kepada Pandan Wangi itu pun ditujukannya kepada diri sendiri, supaya ia tidak menjadi semakin berdebar-debar menghadapi keadaan dan menghadapi lukanya sendiri. Namun demikian, perasaannya pun ternyata terganggu juga.

“Tetapi sebaiknya aku menunggu,” katanya kemudian dengan tiba-tiba.

Pandan Wangi terkejut. Gadis itu kemudian meloncat dan berjongkok di samping pembaringan ayahnya. “Jangan, Ayah. Ayah jangan menunggu saja. Semuanya akan terjadi tidak seperti yang kita kehendaki. Wrahasta akan menjadi mata gelap, dan menghukum anak yang tidak bersalah itu.”

Ki Argapati termenung sejenak. Sudah tentu bahwa kecemasan Pandan Wangi itu pun pasti bukan tidak beralasan. Tetapi bukanlah kebiasaan Ki Argapati untuk tidak mempercayai para pemimpin pengawal. Apalagi dalam keadaan seperti ini, sehingga kemudian ia berkata, “Tidak akan terjadi tindakan yang berlebih-lebihan. Sebaiknya kita menunggu. Wrahasta sendiri pasti akan datang kepadaku menyampaikan masalah itu. Ia tidak pernah berbuat sesuatu yang penting tanpa setahuku.”

“Tetapi kali ini lain, Ayah, kali ini ia tidak berbuat sebagai pemimpin pengawal Tanah ini.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Lalu apakah yang dilakukannya?”

Pandan Wangi tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi sikapnya semakin gelisah.

“Sebaiknya Ayah memanggil Wrahasta untuk mendengarkan keterangan daripadanya sekarang.”

“Ia akan datang sendiri, Wangi.”

“Tetapi,” kata-kata Pandan Wangi terpotong. Kini kegelisahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Namun ayahnya seolah-olah acuh tidak acuh saja mendengar keterangannya.

“Beristirahatlah,” berkata ayah kemudian, “Kau terlampau lelah, sehingga kau mudah sekali menjadi bingung. Tidak ada yang perlu diragukan lagi pada para pengawal yang kini berada didaerah bambu ori ini. Mereka yang tidak setia pada umumnya telah lari lebih dahulu. Mereka yang ketakutan pun sudah menyingkir. Sebaiknya kita tidak menyakiti hati mereka yang kini berada di sini.”

“Oh,” Pandan Wangi berdesah. Perlahan-lahan ia berkata, “Yang menggelisahkan aku adalah obat yang dibawa oleh anak muda itu, Ayah. Kalau obat itu tidak sampai kepada Ayah, maka semua harapan akan menjadi sia-sia.”

“Aku rasa tidak akan ada seorang pun yang tidak menghendaki demikian, Wangi. Sekali lagi aku menyatakan kepercayaanku kepada para pemimpin pengawal. Kepada Samekta, Kerti, Wrahasta, dan yang lain-lain. Mereka pasti akan berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan kita bersama.”

Pandan Wangi menjadi pening mendengar jawaban ayahnya. Seolah-olah ia menjadi putus-asa. Terbayang di rongga matanya, Wrahasta yang bertubuh raksasa itu berbuat tanpa dapat dihalangi lagi untuk melepaskan perasaan cemburunya terhadap Gupita. Namun Pandan Wangi pun mencemaskan nasib ayahnya, dan nasib Tanah ini. Kalau Gupita terpaksa melawan, maka keadaan akan menjadi semakin kalut, karena Pandan Wangi tahu benar, kekuatan yang tersimpan di dalam diri gembala bercambuk itu.

Dalam pada itu, di arena, Wrahasta semakin lama menjadi semakin marah. Ia sudah hampir menjadi lupa diri karena ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan semakin lama Gupita itu rasa-rasanya menjadi semakin lincah. Cambuk Wrahasta yang semakin cepat bergetar, semakin sering meledak-ledak, tidak juga dapat melukai lawannya. Dengan demikian maka harga diri raksasa itu telah tersinggung karenanya, apalagi di hadapan para pengawal bawahannya.

Para pemimpin pasukan pengawal yang berada di luar arena, menjadi semakin cemas melihat perkelahian itu. Apalagi Kerti dan Samekta. Mereka melihat Wrahasta semakin lama menjadi semakin kehilangan pengamatan diri. Dan Wrahasta bukanlah anak yang baru semalam pandai memegang senjata. Karena itu, apabila ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, maka lawannya pun harus berusaha mengimbanginya pula. Kalau benar kata Pandan Wangi, bahwa Gupita itu mampu bersama-sama dengan gadis itu melawan Ki Peda Sura dan bahkan melukainya, maka perkelahian ini pasti akan menjadi sebab timbulnya persoalan-persoalan baru pada Tanah Perdikan Menoreh.

“Gupita tidak berdiri sendiri,” gumam Samekta.

Kerti mengangguk-anggukkan kepala. Hampir di luar sadarnya ia berkata, ”Apakah baru sekarang kau sadari persoalan itu?”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi di arena itu sudah terlanjur terjadi perkelahian yang seru. Agaknya Samekta kini telah terlambat untuk menarik Wrahasta dari arena. Anak muda yang bertubuh raksasa itu telah benar-benar dibakar oleh kemarahannya, sehingga nalarnya sudah tidak akan dapat dipergunakannya lagi dengan lurus.

Gupita pun semakin lama menjadi semakin bingung pula. Sudah tentu ia tidak akan mungkin untuk sekedar menghindari serangan-serangan Wrahasta terus-menerus tanpa berbuat sesuatu. Betapapun tinggi ilmunya dan betapapun jauh jaraknya, tetapi ternyata dibanding cambuk anak muda yang bertubuh dan bertenaga raksasa itu telah mulai menyentuh kulitnya.

Sekali-sekali Gupita itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh keragu-raguan ia menghadapi lawannya di arena yang asing baginya.

Namun tiba-tiba terkenang olehnya, bagaimana seorang senapati muda dari Pajang, Untara, dahulu menghadapi Sidanti setelah selesai perlombaan memanah. Sidanti yang pada waktu itu sedang dibakar oleh kemarahannya pula. Adalah mustahil bagi Untara yang dapat mengalahkan Tohpati itu, apabila ia tidak dapat mengalahkan Sidanti pula. Tetapi Untara tidak mau menyakiti hati Sidanti dengan mengalahkannya di muka orang-orang Sangkal Putung dan di hadapan para prajurit Pajang.

“Cara itu adalah cara yang baik untuk menghentikan perkelahian,” desisnya. Namun kemudian timbul pertanyaan, “Tetapi bagaimana kemudian kalau Wrahasta mempergunakan orang-orangnya untuk mencampuri perkelahian ini?”

Sekali lagi Gupita dicengkam oleh keragu-raguan. Namun di cobanya untuk mengambil sikap, “Entahlah. Tetapi sekarang aku akan berbuat seperti yang terjadi atas Sidanti itu.”

Dengan demikian maka kini Gupita telah dapat menempatkan dirinya. Sekali-sekali ia harus melawan serangan dengan serangan. Sentuhan ujung cambuk dengan sentuhan pula. Namun harus dijaga, supaya lawannya itu tidak semata-mata dikalahkannya di hadapan pasukannya sendiri.

Maka sejenak kemudian perkelahian itu pun berlangsung semakin cepat. Kini Gupita tidak terlampau banyak lagi menghindar. Tidak lagi melonjak-lonjak dikejar oleh senjata lawannya. Bahkan sekali-sekali ia mulai menyerang, meskipun tidak langsung ke pusat-pusat tubuh Wrahasta yang berbahaya.

Wrahasta merasakan perubahan sikap Gupita. Ia kini melihat bahwa Gupita sama sekali belum melayaninya sewajarnya. Karena itu Wrahasta justru merasa direndahkan oleh gembala yang telah membakar hatinya.

Raksasa muda itu kemudian menggeretakkan giginya, ia telah benar-benar kehilangan pertimbangan. Ia ingin berkelahi, sebenarnya berkelahi. Karena itu, maka ia pun segera mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya.

Ternyata Wrahasta benar-benar berkekuatan raksasa seperti tubuhnya. Cambuknya meledak-ledak semakin keras memekakkan telinga. Namun bagi Gupita, ledakan cambuk Wrahasta itu tidak lebih dari ledakan cambuk seorang gembala yang bertubuh dan berkekuatan raksasa. Itu saja, tanpa menumbuhkan getaran yang dapat menusuk ke pusat jantung karena disalurkan oleh kekuatan yang tersimpan di dalam diri.

Pada saat-saat ketegangan di arena menjadi semakin memuncak, kegelisahan di dada Pandan Wangi pun memuncak pula. Karena ayahnya masih belum memutuskan untuk memanggil Wrahasta atau Gupita, atau kedua-duanya, maka sekali lagi ia mendesaknya, “Ayah, berbuatlah sesuatu. Jangan Ayah membiarkan keduanya dibakar oleh perasaan mereka. Gupita tidak hanya seorang diri di tlatah Menoreh ini. Ayah jangan membiarkan timbul persoalan-persoalan baru, yang dengan demikian akan mengurungkan maksud baik orang-orang bercambuk itu. Obat itu Ayah, obat itu harus diselamatkan.”

Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Sebuah pertanyaan menjadi semakin tajam tergores di dinding hatinya, “Apakah yang telah terjadi sebenarnya?”

Kegelisahan Pandan Wangi itu telah menggelisahkan hati Ki Argapati pula. Namun ia masih juga mempertimbangkan perasaan para pemimpin pasukannya dalam keadaan serupa ini.

“Ayah, hentikan semuanya itu, Ayah.”

“Pandan Wangi,” berkata ayahnya, “Aku masih belum dapat meninggalkan pembaringan ini.”

“Aku akan pergi atas nama Ayah.”

Argapati tidak segera menyahut.

“Kalau Ayah mencemaskan Wrahasta, bahwa ia akan tersinggung karenanya, maka sebaiknya Ayah memanggil keduanya. Wrahasta dan Gupita bersama Paman Kerti dan Paman Samekta.”

Argapati masih dicengkam oleh keragu-raguan. Tetapi ia tidak dapat membiarkan keadaan menjadi semakin tegang karena kegelisahan Pandan Wangi yang memuncak. Karena itu, maka perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya. Katanya, “Tetapi hati-hatilah. Jangan menyakitkan hati orang lain.”

“Terima kasih, Ayah,” Pandan Wangi terlonjak. Kemudian diraihnya tombak pendek ayahnya sambil berkata, “Atas nama Ki Gede Menoreh.”

Tanpa menunggu jawaban apa pun Pandan Wangi berlari ke luar dari bilik ayahnya dan menghambur ke halaman sambil menjinjing tombak pendek ayahnya, sebagai pertanda bahwa ia berbuat atas nama Ki Argapati sendiri.

Tanpa menghiraukan para penjaga dan orang-orang yang memandanginya di sepanjang jalan, Pandan Wangi berlari-lari ke pusat pimpinan para pengawal. Kali ini tidak saja dengan sepasang pedang di lambungnya tetapi juga sebatang tombak pendek, meskipun masih di dalam selongsongnya.

Sementara itu, perkelahian antara Wrahasta dan Gupita menjadi semakin sengit. Gupita semakin lama semakin banyak melakukan serangan-serangan yang membuat Wrahasta harus bekerja lebih keras. Meskipun demikian serangan-serangan Gupita nampaknya tidak terlampau berbahaya, dan selalu dapat dielakkan oleh Wrahasta. Namun dengan demikian Wrahasta harus memeras tenaganya untuk selalu menghindari ujung cambuk Gupita yang seolah-olah mempunyai mata melampaui ketajaman matanya. Sehingga karena itu, maka Wrahasta harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya, agar ujung cambuk Gupita tidak terlampau sering menyentuhnya.

Meskipun demikian Gupita tidak mendesaknya terus. Sekali-sekali diberinya kesempatan Wrahasta menyerangnya, bahkan menyentuh kulitnya, namun sejenak kemudian keadaan berganti pula.

Dalam perkelahian yang demikian, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu benar-benar telah memeras segenap kemampuan dan tenaganya. Nafasnya pun semakin lama menjadi semakin deras mengalir seperti keringatnya yang semakin terperas membasahi pakaiannya. Tenaganya pun menjadi semakin kendor, sehingga senjatanya tidak lagi terlampau sering meledak-ledak.

Wrahasta adalah seorang yang memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Namun agaknya Gupita telah berhasil memancingnya untuk mencurahkan segenap kemampuannya sehingga tenaganya pun segera menjadi susut.

Anak muda yang bertubuh raksasa, yang terlibat langsung dalam perkelahian itu sendiri tidak begitu menyadari keadaannya. Tetapi orang-orang tua yang mempunyai pandangan yang agak baik atas perkelahian itu, misalnya Kerti dan Samekta, dapat melihat, bahwa sebenarnya Wrahasta telah mencoba berkelahi di luar kemampuannya.

“Aku percaya kepada keterangan Pandan Wangi,” desis Kerti tiba-tiba.

“Tentang siapa?” bertanya Samekta.

“Bahwa anak itu benar-benar mampu bertahan bersama-sama dengan Angger Pandan Wangi sendiri terhadap Ki Peda Sura.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, aku pun percaya.”

Kerti mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Kalau begitu dalih Wrahasta bahwa ia telah bersekutu dengan Ki Peda Sura itu sama sekali tidak dapat dipertahankan.”

“Ya. Memang tidak. Sejak semula aku sudah meragukan dalih itu. Dan kita sudah mengetahui dalih yang sebenarnya, yang telah membuat Wrahasta menjadi mata gelap.”

“Dan kau pemimpin tertinggi di sini, tidak berbuat apa-apa. Biarpun kau sudah mengetahuinya.”

Samekta mengerutkan alisnya. Jawabnya, “Kau tidak membantu kesulitan perasaanku. Kau justru membuat aku menjadi semakin bingung.”

“Berbuatlah tegas. Tegas sebagai seorang pemimpin tertinggi.”

“Tetapi itu tidak berarti bahwa kita boleh melepaskan kebijaksanaan. Coba katakan, apa yang harus aku lakukan kalau Wrahasta menolak perintahku? Apakah aku harus memaksanya di hadapan para pengawal, sementara Sidanti siap menerkam kita di luar pagar pring ori ini.”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. ”Maaf,” katanya, lalu, “tetapi lihatlah.”

Samekta memandang perkelahian di tengah-tengah arena dengan wajah yang tegang. Dilihatnya keduanya menjadi semakin lemah. Bahkan sekali-sekali Wrahasta menjadi terhuyung-huyung karena dorongan kekuatannya sendiri. Setiap ia melecutkan cambuknya, maka hampir-hampir ia pun ikut terjerembab. Sedangkan cambuk itu sudah hampir tidak berbunyi sama sekali.

Di pihak lain, Gupita pun telah menjadi terlampau letih. Samekta dan Kerti melihat gembala itu tertatih-tatih mempertahankan keseimbangannya. Namun mata kedua orang tua-tua itu cukup tajam. Mereka melihat bahwa keadaan Gupita sebenarnya tidak separah itu.

“Anak itu ternyata cukup bijaksana,” desis Samekta tiba-tiba. Wajahnya yang tegang menjadi agak mengendor. Dari sorot matanya tampaklah, bahwa tekanan perasaanya telah berkurang. ”Mudah-mudahan perkelahian itu akan selesai dengan baik.”

Kerti pun tiba-tiba tersenyum, “Anak muda yang dewasa menghadapi persoalannya. Pantaslah bahwa ia mampu menyelamatkan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura.”

Namun tiba-tiba kedua orang tua itu dikejutkan oleh suara Wrahasta yang gemetar dan terputus-putus karena nafasnya yang memburu,” He, ternyata dugaanku benar.” Ia berhenti sejenak, lalu, “orang semacam kau mustahil dapat melepaskan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura. Kalau kau tidak bersekutu dengan orang itu, maka kau pasti sudah terbunuh olehnya. Kau sama sekali tidak mampu mengalahkan aku, apalagi Ki Peda Sura.”

Dada Gupita berdesir mendengar tuduhan itu. Agaknya Wrahasta mencari arti yang lain dari perkelahian yang diharapkannya dapat selesai tanpa menyakitkan hatinya. Karena itu, maka sejenak ia berdiri mematung.

Dalam kebingungan itu ia mendengar Wrahasta berkata terus sambil terengah-engah, “Karena itu, meskipun aku tidak juga dapat mengalahkan kau, namun aku sudah menemukan bukti bahwa kau adalah termasuk orang-orang yang tidak dikenal di Tanah ini. Yang bekerja bersama Ki Peda Sura dan Ki Tambak Wedi untuk melihat keadaan dan rahasia kami setelah kau berhasil mempengaruhi perasaan Pandan Wangi, seorang gadis yang masih terlampau hijau dan jujur menghadapi dunia yang penuh dengan noda-noda hitam. Nah, sekarang kau tidak akan dapat ingkar lagi. Kau harus mempertanggungjawabkannya sebagai seorang laki-laki.”

Gupita masih terpaku di tempatnya. Sedang Kerti dan Samekta sejenak saling memandang. Ternyata harapan mereka, bahwa perkelahian itu akan berakhir tanpa membuat Wrahasta menjadi sakit hati, agaknya tidak terpenuhi. Wrahasta benar-benar telah kehilangan keseimbangan berpikir sehingga sikapnya menjadi kasar dan berbahaya.

“Kau tidak dapat tinggal diam,” desis Kerti kepada Samekta. “Meskipun kau harus bijaksana, tetapi kau harus mencegah hal-hal yang dapat membahayakan anak muda yang membawa obat untuk Ki Argapati itu.”

Samekta menjadi tegang sesaat. Dan sebelum ia berbuat sesuatu maka Wrahasta telah berteriak kepada para pengawal, “Nah, kalian telah menyaksikan sendiri. Sekarang, kepunglah anak gila ini. Jangan sampai ia melepaskan dirinya.”

Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang cukup terlatih, sehingga tiba-tiba mereka pun bergerak dalam suatu lingkaran yang menjadi rapat. Dalam sekejap maka di tangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing.

“Nah, kau akan lari ke mana lagi gembala yang licik?” desis Wrahasta.

Dada Gupita menjadi semakin berdebar-debar. Keadaan berkembang semakin memburuk. Tanpa sesadarnya, ia menggenggam cambuknya erat-erat.

“Aku tidak mau mati seperti kerbau dibantai di pembantaian,” katanya di dalam hati. Meskipun segala macam pertimbangan dan keragu-raguan menjalari kepalanya, namun yang pertama-tama harus dikerjakan adalah mempertahankan diri.

Tetapi sebelum para pengawal berbuat sesuatu, maka Samekta telah berada di tengah-tengah arena. Dipandangnya Gupita sesaat, kemudian diedarkannya pandangan matanya ke setiap wajah di sekelilingnya.

“Terima kasih,” desisnya, “kalian telah berbuat sebaik-baiknya untuk tanah ini. Anak muda ini memang tidak boleh lari dengan membawa berita apa pun dari lingkungan kita. Karena itu, maka aku sendiri akan menangkapnya. Kalau ia berusaha melawan, aku akan menyelesaikannya. Aku harus membawanya menghadap Ki Argapati.”

Sejenak arena itu menjadi sepi. Kata-kata Samekta telah menghunjam ke dalam setiap hati. Dan mereka sama sekali tidak melihat keberatan apa pun. Ki Samekta sendiri akan menangkapnya. Menyerah atau melawan, sehingga mereka tidak perlu bertindak beramai-ramai. Sedang Gupita sendiri agaknya dapat menangkap maksud yang tersirat di dalam sikap Samekta itu, sehingga ia sama sekali tidak bersikap untuk melawan.

“Nah,” berkata Samekta, “apakah kau akan melawan atau lebih baik menyerah dan menghadap Ki Argapati?”

Gupita menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Aku menyerah, Kiai. Aku tidak ingin melakukan perlawanan apa pun sebenarnya.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekali lagi ia terkejut oleh suara Wrahasta, “Buat apa ia dibawa menghadap Ki Argapati? Kalau sudah jelas, siapakah orang ini, maka kita dapat memutuskan sendiri, apa yang sebaiknya kita lakukan. Ki Argapati sedang terluka parah. Ia harus beristirahat. Kita tidak dapat mengganggunya dengan persoalan-persoalan yang sama sekali tidak berarti. Karena itu, serahkan saja anak ini kepada para pengawal. Kepadaku dan kepada para pemimpin pengawal yang lain.”

Samekta mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menduga bahwa Wrahasta akan mencegahnya membawa Gupita menghadap Ki Argapati. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat menyerahkannya kepada Wrahasta dan para pemimpin pengawal yang lain, yang tidak mengerti masalah yang sebenarnya.

Karena itu maka katanya, “Kita tidak akan dapat bertindak sendiri. Persoalan ini bukan sekedar persoalan kecil. Masalah anak muda ini menyangkut berbagai macam soal. Obat itu, hubungannya dengan anak muda yang gemuk yang memberikan obat kepada Ki Argapati di Pucang Kembar, hubungannya dengan Ki Peda Sura, dengan Sidanti dan Ki Tambak Wedi. Orang ini memang kita perlukan. Justru karena itu maka kita harus membawanya langsung kepada Ki Argapati.”

“Tidak!” potong Wrahasta dengan wajah yang merah. Sikap itu tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ia selalu menghormati orang-orang tua yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripadanya. Tetapi kali ini ia bersikap lain. Dan sikap ini memang sudah diperhitungkan oleh Samekta. Karena itu maka Samekta pun berkata pula, “Kita tidak boleh mendahului keputusan Ki Argapati, Wrahasta. Ki Argapati telah berpesan, bahwa setiap persoalan harus dibicarakan lebih dahulu. Aku kira, termasuk persoalan anak muda ini.”

“Tidak! Tidak! Aku akan memaksanya berbicara lebih dahulu. Ia belum mengucapkan pengakuan apa pun meskipun aku telah menemukan bukti yang tidak akan dapat dipungkiri. Karena itu, aku akan memaksanya berbicara.” Kemudian kepada para pengawal ia berteriak, “Ayo, ikat orang ini!”

Tetapi para pengawal menjadi bingung. Tatapan mata Samekta terlampau tajam beredar ke setiap wajah, sehingga para pengawal itu pun justru menundukkan kepala mereka.

“Ayo cepat!” teriak Wrahasta seperti orang gila. “Kenapa kalian diam saja, he?”

“Jangan tergesa-gesa,” potong Samekta. Kata-katanya tidak dilontarkan terlampau keras, tetapi pengaruhnya telah menahan semua pengawal untuk berbuat sesuatu.

Wrahasta yang marah menjadi semakin marah. Ia benar-benar telah lupa akan kedudukannya. Tiba-tiba cambuk di tangannya dilemparkannya dan dalam sekejap ia telah menggenggam pedang di tangannya. Dengan garangnya ia menggeram, “Aku tidak biasa mempergunakan senjata macam itu. Aku akan mempergunakan pedangku. Dada anak itu akan aku sobek silang empat kalau ia tidak mau berbicara.”

Bagaimana pun juga Samekta masih menjadi bingung. Dipandanginya wajah Kerti untuk mendapat pertimbangan. Adalah tidak pada tempatnya apabila ia harus bertindak dengan kekerasan pula. Tetapi wajah Kerti yang tegang itu pun tidak memberinya petunjuk apa pun juga.

Sementara itu Pandan Wangi masih berlari sekencang-kencangnya sambil menjinjing tombak ayahnya. Ia tidak mau terlambat dan tinggal melihat bekas-bekasnya saja yang akan dapat merontokkan jantungnya.

Puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali tidak mempedulikan lagi, bahwa beberapa orang peronda di gardu-gardu memperhatikannya dengan heran. Bahkan satu dua orang berusaha untuk mengikutinya sambil bergumam di antara mereka.

“Apakah yang telah terjadi dengan Pandan Wangi.”

“Mungkin ia akan melihat tawanan itu pula,“ jawab yang lain.

“Tetapi tombak itu?”

Yang lain menggelengkan kepalanya. “Entahlah.”

Di arena keadaan menjadi semakin tegang, Wrahasta telah benar-benar kehilangan segala pertimbangan. Ia sama sekali tidak mempedulikan lagi Samekta dan kemudian Kerti yang masuk ke dalam arena pula.

“Minggir kalian!” tiba-tiba Wrahasta membentak orang-orang tua itu. “Aku akan mengurus persoalan ini sampai selesai.”

“Wrahasta, sadarlah keadaanmu,” desis Kerti perlahan-lahan. “Kau telah melanggar keharusan seorang pengawal. Samekta adalah pemimpin tertinggi di daerah ini sekarang, sebagaimana ditunjuk oleh Ki Argapati.”

Sejenak Wrahasta tertegun. Namun ketika dilihatnya wajah gembala yang ragu-ragu itu, maka tiba-tiba ia berteriak, “Aku menangkapnya pada saat ia melakukan pengkhianatan atas Tanah ini. Sebelum ia berbicara tentang dirinya sebenar-benarnya, aku tidak akan melepaskannya dan menyerahkannya kepada atasanku. Sekarang, minggirlah. Aku akan memaksanya berbicara, dan kemudian terserah kepada kalian. Itu adalah hakku.” Lalu kepada para pengawal ia berteriak, “Cepat, ikat anak ini pada batang sawo itu. Ia harus berbicara tentang dirinya.”

“Wrahasta,” berkata Samekta, “jangan kau paksa anak ini mengaku akan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Apalagi apabila dengan dasar pengakuan yang kau paksakan itu, kemudian kau menjatuhkan hukuman atasnya. Itu bukan sifat seorang yang berpijak pada kebenaran.”

Wajah Wrahasta menjadi semakin tegang. Sekali lagi ia berteriak, “Aku mempunyai bukti. Aku mempunyai bukti yang cukup.” Dan sekali lagi ia berkata kepada para pengawal itu pula, “Ayo cepat, kenapa kalian seperti orang mimpi?”

Samekta menjadi semakin bingung. Sedang Kerti berusaha menahan dirinya supaya ia pun tidak kehilangan keseimbangan melihat tingkah laku Wrahasta yang benar-benar seperti orang gila itu.

Karena Samekta dan Kerti kemudian tidak berbuat apa pun lagi oleh kebimbangan dan kebingungan, maka para pengawal kini memusatkan perhatiannya kepada Wrahasta. Meskipun mereka masih diliputi oleh keragu-raguaan pula, namun tanpa sesadar mereka, para pengawal itu telah bergerak maju.

“Cepat!” teriak Wrahasta. Kepada Gupita ia berkata, “Jangan mencoba melawan. Kalau kau berbuat gila, maka kau akan dicincang sewalang-walang.”

Ancaman itu membuat Samekta dan Kerti menjadi semakin bimbang. Sehingga Samekta terpaksa berkata di dalam hatinya, “Apa boleh buat. Aku harus menjatuhkan perintah atas dasar keyakinanku bahwa anak muda itu tidak bersalah. Entahlah, apa yang akan terjadi serta segala akibatnya. Tetapi obat itu sangat diperlukan oleh Ki Argapati.”

Dalam ketegangan yang semakin memuncak itu, para pengawal mulai melangkah maju, mempersempit kepungan mereka dengan senjata di tangan masing-masing.

Samekta tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya, memandang para pengawal yang telah mulai bergerak.

Tetapi sebelum ia mengucapkan sepatah kata pun, tiba-tiba terdengar suara melengking dalam nada yang tinggi, “Tunggu, tunggu.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Dada mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat seorang gadis dengan sepasang pedang di lambung, berjalan tergesa-gesa ke arah arena yang sedang bergerak-gerak.

Semua orang kemudian terpaku di tempatnya. Langkah Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Beberapa orang segera menyibak untuk memberinya jalan, masuk ke dalam lingkaran arena.

Samekta, Kerti, dan Wrahasta berdiri dengan tegangnya. Mata mereka tertarik kepada tombak pendek yang masih berada di dalam selongsong itu.

Sejenak kemudian terdengar suara Wrahasta berat, “Apakah maksudmu datang kemari, Pandan Wangi?”

“Aku berbuat atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh,” jawab gadis itu sambil mengangkat tombak yang masih berada di dalam selongsongnya. “Aku harus memanggil Paman Samekta untuk menghadap.”

Samekta mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Aku?”

“Ya. Paman Samekta dan paman Kerti beserta Kakang Wrahasta, dengan membawa tawanan kalian itu.”

Hampir bersamaan Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba wajah Wrahasta yang tegang menjadi semakin tegang, seolah-olah hendak meledak. Katanya, “Tidak. Itu tidak perlu. Aku akan menyelesaikannya lebih dahulu. Ia harus berbicara tentang dirinya. Baru kemudian ia dihadapkan kepada Ki Argapati. Sebelum ia mengaku, adalah hakku untuk memeriksanya.”

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu, Kakang Wrahasta. Aku hanya melakukannya. Supaya tidak timbul persoalan, maka Ayah memerintahkan kepadaku untuk membawa tombak ini, pertanda bahwa apa yang aku lakukan adalah atas nama pimpinan tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Kalau tindakan ini kau anggap kurang bijaksana, bertanyalah nanti kepada ayah. Aku hanya sekedar melakukan perintahnya.”

“Aku tidak akan memberikan,” teriak Wrahasta.

Pandan Wangi terdiam sejenak. Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya wajah-wajah yang ragu-ragu, bimbang dan bahkan kebingungan.

Tetapi agaknya Pandan Wangi cukup kuat mempertahankan sikapnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Perintah Kepala Tanah Perdikan Mlenoreh, Paman Samekta, Paman Kerti, dan kakang Wrahasta harus segera membawa gembala itu menghadap ayah.”

“Tidak mungkin,” potong Wrahasta.

“Atas nama Kepala Tanah Perdikan ini, kalian harus berangkat sekarang. Sekarang.”

Wrahasta berdiri dengan kaki gemetar memandangi wajah Pandan Wangi. Tetapi wajah gadis itu di dalam tangkapan matanya kini, seolah-olah bukan wajah Pandan Wangi yang biasa dilihatnya sehari-hari. Bukan wajah lembut yang ramah, bukan pula wajah seorang gadis yang sayu dan murung. Tetapi wajah itu seolah-olah wajah seorang senapati perang yang berada di medan, dalam sikap dan ucapan.

Sejenak arena itu menjadi sepi. Semua mata memandang wajah Pandan Wangi yang berdiri tegak dengan tombak pendek di tangannya.

Sejenak kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Wrahasta, “Baiklah, Pandan Wangi. Aku akan tunduk kepada setiap perintah Ki Gede Menoreh atau atas namanya.”

Dada Pandan Wangi berdesir mendengar kata-kata Wrahasta itu. Justru dengan demikian sejenak ia terbungkam. Namun sekilas dipandanginya Kerti dan Samekta yang sedang saling berpandangan.

Gupita pun menarik nafas dalam-dalam. Terasa ia terlepas dari suatu ikatan yang membelitnya. Bukan karena ia merasa terlepas dari bahaya yang mungkin dapat mengancam jiwanya, tetapi ia merasa terlepas dari suatu keadaan yang membuatnya cemas dan ragu-ragu.

Yang kemudian terdengar adalah suara Samekta, “Kami akan segera menghadap, Pandan Wangi.”

“Baiklah, Paman. Kita akan pergi bersama-sama.”

Samekta menganggukkan kepalanya Kemudian ia berkata kepada Gupita, “Simpanlah senjatamu dan pakailah bajumu.”

“Baik, Kiai,” jawab Gupita sambil membungkukkan kepalanya. Kemudian diambilnya bajunya, dan dikenakannya. Ketika teraba olehnya bungkusan obat di kantong bajunya, terasa hatinya menjadi dingin. Obat itu baginya adalah barang yang terpenting yang harus disampaikan kepada alamat yang ditunjuk oleh gurunya.

Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi, Samekta, Kerti, dan Wrahasta segera membawa Gupita menghadap Ki Argapati.

Sementara itu Ki Argapati berbaring dengan gelisah menunggu kedatangan puterinya. Ia kadang-kadang menjadi cemas kalau Wrahasta menjadi salah paham. Bagaimanakah kira-kira sikap Pandan Wangi apabila Wrahasta tidak mau mematuhi perintah itu.

Ia bangkit ketika terdengar langkah memasuki ruangan dalam mendekati biliknya. Sejenak kemudian dari balik pintu muncullah Pandan Wangi dengan tombak pendek di tangannya.

“Bagaimana, Wangi?” bertanya ayahnya.

“Mereka telah datang, Ayah.”

“Di mana mereka sekarang?”

“Di luar bilik ini, Ayah.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Bawa mereka masuk. Tetapi letakkan dulu tombak itu.”

Pandan Wangi mengangguk. Diletakkannya tombak pendek ayahnya di samping pembaringan, dan kemudian ia pun melangkah.

Sejenak kemudian maka Pandan Wangi bersama para pemimpin pengawal itu pun masuk ke dalam bilik Argapati sambil membawa Gupita bersama mereka.

Dengan kepala tunduk mereka berdiri berjajar di muka pintu. Di paling ujung adalah Gupita yang berdiri di samping Samekta.

Ki Argapati memandangi mereka satu demi satu. Dilihatnya keringat yang membasahi wajah dan pakaian Wrahasta. Agaknya ia telah berbuat sesuatu dengan mengerahkan tenaganya.

Perlahan-lahan Ki Argapati berkata, “Anak muda inikah yang bernama Gupita?”

Gupita mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan pula ia menjawab sambil mengangguk dalam-dalam, “Ya, Ki Gede. Aku bernama Gupita, seorang gembala.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang hampir mumpuni, segera ia melihat, bahwa apa yang dikatakan Pandan Wangi tentang anak muda yang telah membantu meloloskan diri dari tangan Ki Peda Sura itu, sama sekali tidak berlebih-lebihan.

“Aku telah mendengar tentang kau,” berkata Ki Argapati kemudian. “Tetapi aku ingin mendengar dari kau sendiri, siapakah sebenarnya kau, dan apakah maksudmu datang kemari.”

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dipandanginya orang-orang yang berada di dalam bilik itu satu demi satu. Namun tidak segera berkata apa pun.

Yang bertanya kemudian adalah Ki Argapati kembali, tetapi kepada Samekta, “Apakah kau sudah bertanya sesuatu kepadanya?”

Samekta ragu-ragu sejenak, kemudian jawabnya, “Belum, Ki Gede.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia memandangi Wrahasta yang masih tunduk. Kepada anak muda yang bertubuh raksasa ini pun Ki Gede bertanya, “Apakah kau juga belum bertanya kepadanya?”

Wrahasta mengangguk, jawabnya, “Aku sedang berusaha bertanya kepadanya, Ki Gede. Tetapi agaknya Gupita tidak ingin menjawab.”

Ki Argapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya kemudian Kerti dan Samekta berganti-ganti. Tetapi keduanya pun masih menundukkan kepala mereka. Agaknya tidak seorang pun dari keduanya yang ingin memberi penjelasan.

Gupita sendiri memang tidak ingin membuat persoalan. Karena itu maka ia pun tidak berbicara sama sekali tentang apa yang telah terjadi. Ketika Ki Gede kemudian bertanya lagi kepadanya tentang dirinya, maka anak muda itu menjawab, “Ki Gede, yang terpenting kedatanganku adalah untuk menyerahkan obat kepada Ki Gede. Menurut perhitungan ayah, obat yang dahulu diberikannya lewat adikku pasti sudah tidak mempunyai daya penyembuh lagi. Itulah sebabnya maka aku harus menghadap Ki Gede untuk menyampaikan obat itu sekarang.”

“Ya, aku sudah mendengar pula,” Ki Gede diam sejenak, lalu, “Apakah ada salah paham di antara para pengawal terhadapmu?”

Gupita ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak, Ki Gede. Tidak ada salah paham yang berarti. Semuanya adalah terbatas pada tindakan pengamanan sebagaimana seharusnya dilakukan oleh para petugas dan para pengawal.”

Yang mendengar jawaban itu mengerutkan kening mereka. Jawaban itu sama sekali bukan jawaban seorang gembala kambing.

Tetapi yang paling memperhatikan sikap itu adalah Ki Gede sendiri. Kini ia menjadi semakin yakin, bahwa ia telah berhubungan dengan seseorang yang memang pernah dikenalnya, meskipun sejak itu sudah diselimuti oleh rahasia yang tidak mudah ditebak. Namun orang yang berada di belakang anak-anak muda ini, pasti orang bercambuk yang aneh itu.

Tetapi tiba-tiba Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya, “Jadi ayahmu menyuruhmu memberikan obat lagi kepadaku?”

Pertanyaan itu telah mengejutkan Gupita, sehingga tergagap ia menjawab, “Ya, Ki Gede. Ayah menyuruhku memberikan obat ini, karena obat yang diberikannya lewat adikku sudah terlampau lama.”

“Gupita,” desis Ki Gede seolah-olah ia sedang mengingat sesuatu, “Berapa umur ayahmu?”

Kini Gupita menjadi bingung. Pertanyaan itu pun. sama sekali tidak disangka-sangkanya. Namun ia menjawab, “Umur ayah sudah lewat setengah abad, Ki Gede?”

“Ya, maksudku apakah ia sudah terlampau tua atau masih seumurku ini?”

“Ya, umur ayah kira-kira seumur dengan Ki Gede.”

Tampak sesuatu melintas di wajah Ki Gede yang tenang. Namun tidak seorang pun yang dapat menangkap, bahwa sesuatu sudah bergetar di dadamya. Orang tua itu berkata di hatinya, “Orang bercambuk itu sudah melampaui setengah abad sejak aku melihatnya beberapa puluh tahun yang lampau, ketika aku masih terlalu muda. Apakah umurnya tidak bertambah-tambah juga?” Namun ketegangan merayapi hatinya ketika teringat olehnya seseorang yang mirip dengan anak muda yang berdiri di depannya, “Aku seolah-olah melihat anak muda itu kembali. Anak muda yang cakap dan sopan seperti anak muda ini. Tetapi saat itu umurku pun masih terlampau muda.” Kata-kata itu melingkar-lingkar di dalam dada Ki Argapati. Tetapi ia tidak segera dapat meagambil kesimpulan apa pun.

Baru sejenak kemudian ia berkata, “Manakah obat itu? Dan apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”

Gupita mengambil sebungkus obat dari kantong bajunya. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Kemudian diserahkannya sebungkus obat itu kepada Ki Gede yang menerimanya dengan tangan gemetar. Agaknya tubuhnya telah dijalari oleh rasa sakit yang bersumber pada lukanya. Ki Gede itu tampak agak menggigil, meskipun tubuhnya menjadi panas.

“Apakah obat ini harus ditaburkan di atas lukaku?” bertanya Ki Gede.

Gupita mengangguk, “Ya Ki Gede. Obat itu sebagian harus ditaburkan di atas luka. Tetapi tidak sekaligus. Ki Gede dapat mempergunakannya untuk tiga empat kali. Sedang bungkusan kecil yang ada di dalam bungkusan itu juga, hendaknya dicairkan dengan air secukupnya. Obat itu harus diminum Ki Gede.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah-wajah para pemimpin pengawal yang berdiri tegang di hadapannya.

Ki Gede melihat keragu-raguan yang membayang di wajah-wajah itu, bahkan di wajah Pandan Wangi.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa orang-orang itu meragukan obat yang diberikan oleh Gupita dan sekaligus mencemaskan nasibnya. Karena itu maka katanya, “Gupita, apakah ayahmu yakin bahwa obat ini akan dapat menyembuhkan luka-lukaku?”

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, “Ki Gede, ayah tidak pernah merasa dirinya sendiri mampu berbuat demikian, apalagi meyakini. Sebaiknya kita berusaha bersama-sama. Sambil memohon kepada Yang Maha Murah, tetapi ayah yakin bahwa sebenarnya Tuhan Maha Murah. Karena itu ayah tidak pernah berputus asa untuk berusaha dalam ilmu pengobatan ini.”

Sekali lagi, orang-orang yang mendengar jawaban itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu pun sama sekali bukan sekedar jawaban seorang gembala.

Ki Argapati sendiri mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Marilah kita berusaha. Tetapi sebelum itu aku ingin mengetahui tentang kau lebih banyak lagi, apalagi tentang ayahmu. Apakah kau tidak berkeberatan? Kau belum menjawab pertanyaanku, apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”

Dengan ragu-ragu Gupita menganggukkan kepalanya. Tetapi tatapan matanya beredar ke seluruh ruangan. Disambarnya wajah-wajah yang kaku tegang dari para pengawal yang berada di dalam bilik itu juga.

Agaknya Ki Gede mengerti maksud anak muda itu. Ia ingin berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarnya. Karena itu, maka setelah dipertimbangkannya sejenak ia berkata kepada para pengawalnya, “Maaf Samekta, aku akan berbicara dengan anak ini tanpa didengar oleh orang lain. Aku persilahkan kalian keluar sebentar. Nanti kalian akan mengerti, apa yang sebaiknya kita lakukan.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi yang pertama-tama berkata di antara mereka adalah Wrahasta, “Apakah Ki Gede mempercayainya bahwa ia tidak akan berbuat sesuatu di dalam bilik ini, pada saat Ki Gede sedang sakit?”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih atas peringatanmu Wrahasta. Aku tahu, bahwa kau dan para pengawal yang lain merasa bertanggung jawab atas keselamatanku. Aku hargai sikap kalian. Tetapi kali ini aku minta kalian mempercayainya. Aku akan berbuat sebaik-baiknya.”

Sejenak para pengawal itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa pun ketika sekali lagi Ki Gede berkata, “Biarlah anak ini mendapat kesempatan. Keluarlah kalian sebentar bersama Pandan Wangi.”

Ternyata Pandan Wangi pun menjadi ragu-ragu. Namun ketika akan membuka mulutnya, ayahnya mendahuluinya, “Keluarlah sebentar, Pandan Wangi. Aku perlu berbicara dengan Gupita sejenak. Semuanya semata-mata untuk kepentingan Tanah ini, tentu saja untuk kepentinganku pula. Kalau aku segera sembuh, maka aku akan segera dapat berbuat sejauh-jauh mungkin dapat aku lakukan bagi Tanah ini. Apakah kalian mengerti?”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Kerti, dan sejenak kemudian ayahnya. Namun ketika ia memandang wajah Gupita, dan anak muda itu sedang memandanginya pula, maka sepercik warna merah membayang di pipinya. Sambil menundukkan kepalanya ia menjawab, “Baik, Ayah. Aku akan keluar bersama para pemimpin pengawal.”

“Terima kasih. Aku mengharap kalian dapat mengerti.”

Maka Pandan Wangi pun segera melangkah keluar. Meskipun tampak keragu-raguan membayang di matanya, tetapi ia mematuhi perintah ayahnya. Demikian pula para pemimrpin pengawal. Mereka mencoba untuk menyerahkan semua tanggung jawab kepada Ki Argapati sendiri. Dan mereka mencoba untuk percaya, bahwa pandangan Ki Argapati pasti jauh lebih tajam dari mereka.

Tetapi Wrahasta mempunyai persoalan yang lain. Ia tidak sekedar dirisaukan oleh kecurigaannya apakah anak muda itu tidak akan berkhianat. Meskipun Pandan Wangi ikut meninggalkan bilik itu bersamanya dan kedua pemimpin pengawal yang lain, namun perasaan cemburu yang tergores di dadanya tidak juga menjadi susut. Apalagi sampai saat itu Pandan Wangi belum pernah menjawab pertanyaannya dengan memuaskan. Itulah sebabnya, maka persoalannya dengan anak muda yang bernama Gupita itu jauh lebih banyak dari orang-orang lain. Bahkan Wrahasta menjadi cemas, apabila benar-benar anak muda itu berhasil menolong Ki Argapati, dan karena itu, ia akan dapat menarik perhatiannya, apalagi Pandan Wangi sendiri telah terjerat pula olehnya, maka semua mimpinya akan pecah bertebaran.

Namun untuk sementara ia tidak akan dapat berbuat sesuatu, ia harus tunduk kepada perintah Ki Argapati.

Sementara itu, Gupita masih berdiri di depan pintu. Ki Gede yang mencoba duduk di tepi pembaringannya tampak gemetar karena lukanya yang terasa menjadi pedih dan tubuhnya menjadi panas.

“Silahkan berbaring, Ki Gede,” berkata Gupita. Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Maaf anak muda, aku memang harus berbaring.”

“Ya, Ki Gede masih belum boleh terlampau banyak bergerak. Silahkan membuka baju Ki Gede, aku akan membantu menaburkan obat itu.”

Ki Gede tidak segera menyahut. Bagaimanapun juga, anak muda yang belum pernah dikenalnya ini kadang-kadang memang menumbuhkan kebimbangan di hatinya. Tetapi Ki Gede tidak segera menyahut. Dengan tangan yang bergetar dibukanya bungkusan obat yang diterimanya dari anak muda itu.

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Obat ini memang mirip sekali dengan obat yang pernah diterimanya dahulu. Tetapi ia tidak dapat menyebutnya dengan jelas, apakah warnanya juga serupa, karena saat anak muda yang gemuk itu memberikan obat kepadanya, ia tidak dapat melihat dengan jelas, apalagi di dalam keremangan malam di bawah Pucang Kembar.

Gupita yang melihat keragu-raguan membayang di wajah Ki Gede berkata, “Obatnya memang agak berbeda dengan yang pernah Ki Gede pergunakan dahulu. Obat yang dahulu adalah obat untuk luka baru. Tetapi obat ini adalah obat untuk mengobati luka Ki Gede yang telah selang beberapa hari itu.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun tidak menolak ketika Gupita mendekatinya dan kemudian dengan hati-hati menaburkan obat di atas luka Ki Gede.

“Setiap dua atau tiga hari, obat ini harus diperbaharui,” berkata Gupita kemudian. “Mudah-mudahan Ki Gede akan sembuh dan segera dapat memimpin pasukan kembali.”

Ki Argapati mengangguk-angguk pula. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, mudah-mudahan. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak menunggu aku sampai sembuh. Mereka telah memperketat kepungan mereka dan mempertajam tekanan mereka, tidak saja atas padesan ini, tetapi juga dan bahkan terutama adalah sumber persediaan makan kami.”

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Ki Argapati sudah mulai mempercayainya benar-benar. Sehingga akan sampai saatnya ia menyampaikan pesan gurunya kepadanya.

“Tetapi gerakan yang dilakukan oleh Ki Gede telah berhasil membuat Ki Tambak Wedi kebingungan,” berkata Gupita kemudian.

Ki Argapati mengerutkan keningnya, “Apakah yang kau maksudkan?”

“Pasukan berkuda dan orang-orang bercambuk di antara mereka.”

“Oh,” Ki Gede tersenyum. Katanya, “Maafkan kami. Sampaikan kepada ayahmu, bahwa kami tidak sengaja untuk menyeretnya ke dalam persoalan ini.”

“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita cepat-cepat. “Tidak hanya kamilah yang berhak mempergunakan senjata semacam itu. Setiap orang memang berhak pula. Juga pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Gede masih juga tersenyum. Katanya, “Apakah kau dan ayahmu tersinggung karenanya? Baiklah aku berterus terang, dan aku harap kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa aku memang ingin membangunkannya dari tidurnya yang terlampau nyenyak.”

Gupita pun tersenyum pula. Ia merasa bahwa pintu telah terbuka baginya untuk menyampaikan pesan gurunya. Karena itu maka katanya kemudian dengan hati-hati, “Ki Gede, sebenarnyalah aku mendapat pesan dari ayahku selain obat untuk luka Ki Gede itu.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian ia menyeringai menahan sakit yang menghentak di lukanya.

“Apakah luka itu terasa pedih, Ki Gede?” bertanya Gupita ketika ia melihat kesan di wajah Ki Argapati.

“Ya. Pedih sekali.”

“Itu pertanda bahwa obat itu mulai bekerja. Jangan cemas, Ki Gede. Beberapa saat perasaan pedih itu serasa menyengat-nyengat. Tetapi kemudian akan hilang dengan sendirinya. Begitulah menurut ayah.”

“Ya, Mudah-mudahan kata-kata ayahmu itu benar.”

“Menurut pengalaman ayah, demikianlah. Kemudian luka itu tidak perlu ditutup. Namun sebaiknya luka itu tidak tergores oleh baju Ki Gede.”

“Ya, ya,” sahut Ki Gede, namun kemudian ia berkata, “sekarang, coba katakan, apakah pesan ayahmu itu? Aku harap bahwa ayahmu dapat memberi beberapa petunjuk untuk memecahkan kesulitan di atas Tanah ini.”

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Gede memang telah mempunyai kepercayaan kepada gurunya, meskipun agaknya Ki Gede belum yakin siapakah sebenarnya orang yang telah memberinya obat itu.

Dengan demikian maka agaknya semuanya akan dapat berjalan dengan lancar, tanpa salah paham yang lebih dalam lagi.

“Ki Gede,” berkata Gupita, “sebenarnyalah ayah tidak akan dapat tinggal diam di dalam tidurnya yang nyenyak.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun tersenyum.

“Pada saatnya ayah pasti akan melibatkan diri di dalam persoalan ini.”

“Aku sudah menyangka,” sahut Argapati.

“Untuk itu ayah minta maaf. Bukan maksud ayah untuk mencampuri persoalan Ki Gede.”

Ki Gede tidak menyahut.

“Tetapi,” Gupita meneruskan, “Ayah melihat bahaya yang akan mengancam bukan saja Tanah ini, apabila Sidanti berhasil menguasai pimpinan bersama gurunya Ki Tambak Wedi.” Gupita berhenti sejenak, lalu, “Maaf Ki Gede, mungkin putera Ki Gede sendiri tidak akan tersesat apabila ia tidak kebetulan berada di dalam lingkungan padepokan Tambak Wedi. Kami tidak tahu, apakah alasan yang telah mendorong Ki Gede menyerahkannya kepada seorang yang terlampau bernafsu untuk menjadi seorang yang sangat berkuasa.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya kemudian menunduk.

“Maaf, Ki Gede. Bukan maksudku untuk menyentuh perasaan Ki Gede,” cepat-cepat Gupita menyambung kata-katanya.

Ki Argapati menggelengkan kepalanya, “Tidak apa, Anak Muda. Aku memang sudah merasa, bahwa sebagian dari kesalahan itu memang ada padaku. Pada yang tua-tua di Tanah ini, dan guru anak itu. Nah, teruskan pesan ayahmu. Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku tidak akan menyalahkan kau. Tanggapanmu atau tanggapan ayahmu memang tepat. Teruskan.”

“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita kemudian. ”Bukan itulah pesan ayahku yang terpenting. Tetapi yang harus aku sampaikan kepada Ki Gede adalah keinginan ayah untuk menghadap Ki Gede. Sudah tentu ayah tidak akan dapat begitu saja memasuki daerah ini. Itulah sebabnya aku yang disuruhnya untuk merambah jalan. Itu pun telah menimbulkan sedikit salah paham. Tetapi salah paham yang tidak berarti.”

“Ayahmu akan datang kemari?”

“Itu kalau Ki Gede berkenan di hati.”

“Tentu. Tentu. Kenapa tidak saja langsung menemui para penjaga dan berkata bahwa ia akan bertemu dengan aku?”

“Dalam keadaan serupa ini mudah sekali timbul persoalan-persoalan yang tidak terduga-duga. Aku pun sudah mengatakan demikian, bahkan dengan menunjukkan obat itu. Tetapi wajar sekali kalau para pengawal tidak segera mempercayainya. Memang kehadiran seorang gembala tua seperti ayah, akan merupakan sesuatu yang tampaknya tidak wajar dalam keadaan serupa ini.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Ayahmu memang membuat dirinya menjadi tidak wajar. Aku tidak tahu, kenapa ia harus menyebut dirinya sebagai seorang gembala tua? Dan kau menyebut dirimu sebagai anaknya?”

Dada Gupita berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menyadari keadaannya. Sudah tentu orang seperti Ki Argapati tidak akan dengan mudah mempercayai cerita tentang dua orang gembala dengan seorang ayahnya yang tua.

“Gupita,” berkata Ki Argapati kemudian, “aku memanggilmu Gupita, karena kau menyebut dirimu bernama demikian. Aku kira aku pernah berkenalan dengan orang yang kau sebut ayahmu. Aku memang mengenal orang yang bersenjata cambuk itu, meskipun sejak itu orang yang bersenjata cambuk itu selalu membuat dirinya menjadi kabur. Tetapi aku tidak tahu, apakah maksudnya dan apakah alasannya. Seperti aku sekarang juga tidak tahu, kenapa ayahmu itu pun tidak menyatakan dirinya dalam keadaan sewajarnya. Tetapi itu tidak penting bagiku. Teka-teki itu memang tidak akan aku cari. Yang penting sekarang adalah kehadirannya itu. Aku menunggunya dengan senang hati.”

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun melihat keanehan pada dirinya sendiri. Agaknya penyakit gurunya untuk membuat dirinya berwajah dan bernama seribu telah menular kepada dirinya tanpa disadarinya. Kenapa namanya harus berganti, dan kenapa ia menyebut dirinya seorang gembala?”

Gupita menarik nafas. “Aku berada di daerah asing yang sedang disaput oleh kemelutnya api peperangan,” desisnya di dalam hati. Dan alasan itu sudah agak memberinya kepuasan, apalagi apabila disebutnya juga, agar Sidanti tidak segera tahu kehadirannya bersama guru dan saudara seperguruannya.

Tetapi semuanya itu pasti akan segera berakhir. Apabila gurunya pada suatu saat bertemu dengan Ki Argapati, maka semuanya akan babar. Dan ia tidak perlu mengingat-ingat nama yang kadang-kadang membuatnya bingung sendiri.

Karena itu, maka kemudian ia berkata, “Ki Gede, ayah pasti akan mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan itu. Selebihnya, ayah akan mengatakannya sendiri, apakah sebabnya ia berada di Tanah ini dan apakah sebabnya ia tidak menyatakan dirinya sewajarnya, apabila benar seperti yang Ki Gede sebutkan.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, “Aku menunggu. Setiap saat pintu regol akan terbuka bagi orang yang kau sebut ayahmu itu. Aku mempercayainya. Obatnya agaknya akan dapat menolongku.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu, “Perasaan pedih itu sudah berangsur hilang.”

“Berbaringlah dan beristirahatlah Ki Gede. Mudah-mudahan Ki Gede akan segera sembuh,” sahut Gupita, yang kemudian minta diri. “Sebaiknya aku segera mengatakannya kepada ayah. Aku harus segera menemuinya. Agaknya suhu api di atas bukit ini cepat sekali meningkat.”

“Kau benar. Semakin cepat, semakin baik sebelum Ki Tambak Wedi mengetahui, bahwa orang-orang berkuda itu bukan orang yang berhak mempergunakan sebutan orang-orang bercambuk.”

Gupita menganggukkan kepalanya. Tetapi terbersit kecemasan di dalam hatinya. Mungkin Ki Gede benar-benar mengharap kehadiran gurunya, tetapi bagaimana dengan para pengawal? Kedatangannya telah menumbuhkan salah paham, dan hampir-hampir saja menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang sulit.

Karena itu, maka dengan agak ragu-ragu ia bertanya, “Ki Gede, apakah tanda yang harus kami berikan kepada para pengawal, supaya kami dapat masuk ke daerah ini dengan tidak menimbulkan salah paham?”

“Ah,” desah Ki Gede, “bukankah sebagian dari para pengawal telah mengenalmu? Meskipun demikian baiklah, aku akan mengatakannya kepada para pengawal, bahwa kalian akan mendapat kesempatan untuk masuk. Terutama kepada para pemimpin.”

“Terima kasih, Ki Gede,” sahut Gupita.

“Panggillah mereka yang berada di luar pintu itu.”

“Baik Ki Gede,” sahut Gupita yang kemudian melangkah ke luar ruangan. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya ketiga pemimpin pengawal masih berdiri di ruangan itu. Mereka duduk di atas sehelai tikar di muka pintu yang menghadap ke pringgitan, dan langsung dapat melihat ke luar, lewat pintu pendapa.

“Tuan-tuan dipersilahkan masuk,” berkata Gupita sambil membungkukkan kepalanya.

Sejenak ketiga pemimpin pengawal itu saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kerti segera berdiri disusul oleh Samekta dan kemudian Wrahasta.

“Apakah Ki Gede memanggil kami?” bertanya Kerti.

“Kenapa kita bertanya kepadanya?” sahut Wrahasta. “Ia orang asing di sini. Marilah kita bertanya langsung kepada Ki Gede.”

Gupita mengerutkan keningnya. Pemimpin pengawal yang seorang ini yang bertubuh raksasa, agaknya terlampau membencinya tanpa diketahui sebab-sebabnya. Meskipun demikian, ia mencoba untuk menenteramkan hatinya. Mungkin karena anak muda yang bertubuh raksasa itu sudah terlanjur bersikap keras terhadapnya, sehingga ia tidak akan dapat merubah sikap itu dengan tiba-tiba.

Ketiga pemimpin pengawal itu pun segera melangkah masuk. Mereka berdiri berjajar di dekat pembaringan Ki Argapati. sedang Gupita kemudian berdiri beberapa langkah di belakang mereka.

“Pandan Wangi tidak ada di antara mereka,” pertanyaan itu telah mengusik hati Gupita. Tetapi ia tidak berani bertanya.

Ternyata Ki Gede-lah yang kemudian bertanya, “Di manakah Pandan Wangi?”

Sebelum salah seorang dari mereka menjawab. terdengar suara Pandan Wangi, “Aku di sini, Ayah.” Maka sejenak kemudian gadis itu menjengukkan kepalanya. Tangannya menjinjing beberapa mangkuk berisi air sere yang hangat. Beberapa potong gula kelapa dan seonggok jenang alot.”

“Oh,” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sepercik kebanggaan telah memulasi hatinya yang sedang prihatin. Meskipun putrinya itu membawa sepasang pedang di lambungnya, namun ia tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang gadis.

Ketika Pandan Wangi kemudian hilang di balik pintu, maka Ki Gede berkata, “Pandan Wangi telah menyediakan minum kalian. Tetapi baiklah aku ingin memberikan beberapa pesan. Pada saatnya, Gupita akan pergi dan kembali lagi ke padukuhan ini bersama saudaranya yang gemuk dan ayahnya. Aku mengharap kalian dapat menerima mereka dengan baik, karena mereka adalah tamu-tamuku. Aku memerlukan mereka terutama karena obat yang ternyata sangat bermanfaat bagiku. Selainnya akan kita lihat, hubungan apa lagi yang dapat kita buat dengan mereka untuk selanjutnya.”

Samekta, Kerti, dan Wrahasta tidak segera menjawab. Bagi Samekta dan Kerti, persoalan itu tidak banyak menimbulkan masalah di dalam diri mereka. Mereka percaya bahwa Ki Gede berbuat dengan cukup berhati-hati. Dan kewajibannya adalah mengamankan daerah ini dari segala kemungkinan seandainya ketiganya benar-benar akan datang. Mereka harus diawasi sebaik-baiknya. Selebihnya, Ki Gede pasti akan memberi petunjuk-petunjuk.

Tetapi persoalan bagi Wrahasta bertambah lagi dengan masalah pribadinya. Namun sudah tentu ia tidak dapat mengatakannya. Disimpannya saja perasaan kecewanya itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, betapa dalam ia mencoba menanam perasaan itu di hadapan Ki Argapati, namun dari sikapnya, Samekta dan Kerti masih sempat membacanya.

Para pemimpin itu kemudian mengangkat wajah-wajah mereka ketika mereka mendengar Ki Gede melanjutkan, “Sementara ini baru itulah yang dapat aku katakan. Selebihnya akan kalian ketahui nanti setelah ayah Gupita ini berada di dalam lingkungan kita. Setidak-tidaknya kita akan mendapat seorang yang mengerti tentang obat-obatan, yang akan memberi banyak pertolongan bagi kita yang terluka.”

“Kita akan menyambutnya dengan senang hati, Ki Gede,” jawab Samekta. “Ternyata sampai saat ini kita tidak mempunyai seorang pun yang dengan sungguh-sungguh dapat memberikan pengobatan. Yang kita lakukan hanyalah sekedar memperingan penderitaan para korban. Di pihak Sidanti paling sedikit ada dua orang yang mampu melakukannya. Ki Wasi dan Ki Muni.”

“Tetapi,” tiba-tiba Wrahasta memotong, “betapapun tanggapan kita terhadap kedua orang itu, namun bagi Sidanti, keduanya cukup meyakinkan. Keduanya benar-benar dapat dipercaya. Apakah kita dapat meyakini pula, bahwa gembala tua itu dapat kita percaya?”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau adalah seorang pengawal yang baik, Wrahasta. Kau menanggapi setiap persoalan dengan penuh tanggung jawab. Aku berterima kasih kepadamu. Adalah wajar sekali, bahwa kita tidak akan segera mempercayai seseorang. Juga gembala tua itu. Namun biarlah ia datang, aku akan melihat apakah kita bersama akan mempercayakan diri kita kepadanya di dalam masalah pengobatan, atau kita akan berbuat lain.”

Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, Ki Gede.”

“Nah, sekarang minumlah. Kemudian Gupita akan segera pergi untuk memanggil ayahnya. Hari ini atau besok ia akan kembali.”

Sekali lagi Wrahasta menganggukkan kepalanya. Samekta, Kerti, dan Gupita pun mengangguk pula. Sejenak kemudian maka mereka pun telah berada di luar ruangan, duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih sambil minum air sere dengan gula kelapa.

Tetapi Gupita tidak dapat menikmatinya terlampau lama. Segera ia minta diri untuk kembali ke rumahnya dan membawa ayahnya menghadap Ki Argapati.

“Besok aku baru akan menghadap bersama ayah,” berkata Gupita kepada para pemimpin pengawal itu.

“Kami mengharap kedatangan kalian,” sahut Samekta. “Mudah-mudahan dengan demikian, kalian dapat memperingan pekerjaan kami.”

“Kami akan berusaha,” jawab Gupita.

Maka Gupita pun segera minta diri kepada Pandan Wangi, untuk menjemput gembala tua yang disebutnya ayahnya.

Samekta, Kerti, dan Wrahasta mengantarkannya sampai ke regol padesan. Ketika mereka telah berada di luar regol, maka Samekta berkata, “Selamat jalan. Di hadapan kita terbentang sebuah lapangan yang menyimpan seribu macam rahasia dan teka-teki. Kita tidak tahu apa saja yang tersimpan di dalamnya sekarang. Mungkin di depan kita ini bersembunyi orang-orang Sidanti, tetapi juga mungkin petugas-petugas sandi kita sendiri. Atau kedua-duanya. Dengan demikian maka segala macam peristiwa dapat saja terjadi atasmu.”

“Terima kasih,” jawab Gupita, “aku akan berhati-hati. Mudah-mudahan aku tidak menemui kesulitan, Apabila aku menjumpai bahaya yang tidak dapat aku atasi, aku akan lari kembali masuk ke padukuhan ini.”

“Baiklah,” jawab Kerti, “Kami menunggu kedatanganmu bersama ayahmu.”

Gupita pun kemudian menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku akan segera kembali.”

Maka sejenak kemudian Gupita itu pun segera melangkah meninggalkan regol padukuhan itu. Tetapi hatinya berdesir ketika ia mendengar Wrahasta berkata, “Tunggu. Aku perlu mengatakan sesuatu kepadamu.”

Gupita menghentikan langkah. Namun Wrahasta berkata, “Berjalanlah terus. Aku akan menemani kau.”

Debar jantung Gupita menjadi semakin cepat. Ia tidak mengerti apakah maksud Wrahasta. Bahkan Kerti pun bertanya, “Kemanakah kau akan pergi, Wrahasta?”

“Ke tengah-tengah bulak itu,” jawab anak muda yang bertubuh raksasa itu.

“Kenapa?” bertanya Samekta pula.

“Jangan takut aku akan dijebak oleh Sidanti,” jawab Wrahasta. “Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diri sendiri. Aku pun tidak akan pergi terlampau jauh dan terlalu lama. Dan aku pun tidak akan berbuat apa-apa atas anak ini.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah Kerti yang menjadi semakin tegang. Tetapi mereka tidak dapat menahan Wrahasta. Bahkan di dalam hati Samekta berkata, “Wrahasta tidak akan mampu berbuat apa pun atas anak itu. Dan anak itu pun cukup dewasa menghadapi persoalannya, sehingga tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menggagalkan pembicaraan yang telah dibuatnya dengan Ki Argapati.”

Sementara itu Gupita dan Wrahasta telah melangkah semakin jauh. Dengan dada yang berdebar-debar Kerti dan Samekla memandang mereka yang berjalan tanpa berpaling lagi.

Apalagi Gupita yang semakin tidak mengerti atas sikap Wrahasta. Dadanya pun menjadi kian berdebar-debar. Bukan karena Wrahasta seorang anak muda yang pilih tanding, tetapi justru karena tanggapannya yang berbeda dengan para pemimpin yang lain.

“Gupita,” tiba-tiba terdengar suara Wrahasta datar, “apakah kau besok benar-benar akan kembali?”

Gupita menjadi semakin heran. Namun ia menjawab, “Sudah tentu, Tuan. Sudah tentu aku akan kembali.”

“Bagaimana dengan adikmu yang gemuk itu?”

“Mungkin ia pun akan ikut pula bersama kami.”

Wrahasta berhenti sejenak. Kemudian, katanya, “Sebaiknya hanya ayah dan adikmu itu saja besok yang datang kembali. Tanpa kau.”

“Kenapa?” dengan serta-merta Gupita bertanya.

“Aku tidak senang melihat kehadiranmu di padukuhan ini.”

Gupita tidak segera menyahut. Langkahnya menjadi semakin lambat. Dicobanya untuk memandang wajah raksasa yang berjalan menunduk disampingnya. Tetapi teka-teki itu tidak terjawab.

“Kedatanganmu telah mengganggu ketenteraman hatiku,” berkata Wrahasta selanjutnya. “Karena itu, aku terpaksa melarangmu datang sekali lagi.”

“Tetapi, tetapi aku telah berjanji kepada Ki Argapati, bahwa aku akan membawa ayah dan adikku.”

“Suruh saja adikmu mengantar ayahmu itu.”

“Terlampau berbahaya. Kemelut di Tanah ini dapat menimbulkan kemungkinan apa pun terhadap ayahku yang telah tua, dan adikku yang masih terlampau kanak-kanak.”

“Itu bukan urusanku. Yang penting harus kau ingat, kau tidak boleh memasuki padukuhan ini sekali lagi.”

“Itu tidak mungkin,” jawab Gupita, “aku sudah berjanji bahwa aku akan membawa ayah besok datang menghadap Ki Argapati. Aku tidak tahu pasti apakah Gupala dapat ikut bersama kami, apalagi mengantar ayah tanpa aku.”

“Terserah kepada keputusanmu,” geram Wrahasta kemudian. “Tetapi kalau kau datang sekali lagi, maka kita untuk seterusnya tidak akan dapat menjadi kawan yang baik. Mungkin kau belum merasakan pada hari-hari pertama. Tetapi selanjutnya, kalau bukan aku, maka kaulah yang akan mengambil sikap demikian. Bermusuhan.”

“Aku tidak mengerti. Apakah sebabnya maka kita harus membuat garis pemisah. Kalau hal itu hanya sekedar karena keterlanjuran Tuan dalam salah paham yang baru saja terjadi, maka itu bukanlah sikap yang matang. Itu masih berada di dalam daerah pemikiran anak-anak.”

Wrahasta tidak segera menjawab. Ia menjadi ragu-ragu, apakah sebaiknya yang dikatakan. Apakah ia akan berterus terang, bahwa ia tidak senang melihat hubungan antara anak yang menyebut dirinya bernama Gupita itu dengan Pandan Wangi?

“Tidak,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Aku tidak perlu mengatakan alasan itu. Aku mempunyai wewenang yang cukup di lingkungan para pengawal Tanah Perdikan. Aku tidak perlu merendahkan diri, memohon kepadanya agar gembala ini memberi aku kesempatan.”

Karena itu, maka Wrahasta itu pun kemudian menjawab, “Aku tidak perlu mengatakan apakah sebabnya. Tetapi kau tidak disenangi di daerah kami, karena sikapmu yang sombong. Mungkin adikmu mempunyai watak yang berbeda, sehingga orang-orang Menoreh dapat menerimanya dengan senang hati bersama ayahmu.”

“Tetapi sudah aku katakan,” sahut Gupita, “aku masih harus mengantar ayah kemari.”

“Terserah kepadamu. Aku sudah memberi kau peringatan. Kalau kau tidak mengindahkannya, maka lambat atau cepat, kau akan menyesal.”

Gupita masih akan menyahut, tetapi ia tidak mendapat kesempatan, karena Wrahasta menghentikan langkahnya sambil berkata, “Berjalanlah terus. Renungkan kata-kataku. Aku sudah mencoba memperingatkan kau.”

“Maaf,” sahut Gupita, “tetapi aku akan mencoba merenungkannya. Namun besok aku harus datang kembali bersama ayah dan adikku. Itu tidak dapat aku ingkari, sebab sudah aku katakan kepada Ki Gede, ketika aku berbicara dengan Ki Gede sendiri. Tak ada perintah dari siapa pun yang dapat membatalkan pembicaraanku dengan Ki Gede, karena menurut pengertianku, Ki Gede adalah orang tertinggi di tlatah ini.”

Terasa suatu hentakan telah memukul dada Wrahasta. Hampir saja ia kehilangan pertimbangan lagi. Untunglah bahwa Gupita kemudian meneruskan langkahnya sambil berkata, “Selamat tinggal. Aku akan pulang. Semua persoalan bagi keluargaku hanya berkisar pada pengobatan bagi Ki Gede. Tidak ada yang lain.”

Wrahasta menggeram. Tetapi ia tidak menyahut. Dipandanginya saja langkah Gupita yang semakin menjauh tanpa berpaling lagi, menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar dan ilalang yang tumbuh di atas tanah persawahan yang tidak digarap, karena saluran airnya yang tidak dapat mengalir. Tidak seorang pun yang berani mencoba menelusur ujung dari saluran yang berada di tempat yang paling berbahaya, di hidung pasukan Sidanti.

Wrahasta memandang Gupita sampai hilang di balik dedaunan. Sekali lagi ia menggeram. Katanya, “Anak itu keras kepala. Kalau ia benar-benar tidak mau menurut perintahku, aku akan berbuat sesuatu. Hubungannya dengan Pandan Wangi harus diputuskan.”

Dengan langkah yang berat, Wrahasta berjalan kembali ke mulut desa. Di muka regol Samekta dan Kerti masih berdiri dengan tegang mengawasinya. Ketika kedua anak-anak muda itu telah berpisah, maka Samekta menarik nafas dalam. Katanya, “Agaknya Wrahasta mencoba menjelaskan persoalannya.”

Kerti tidak segera menjawab. Namun tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk.

“Mudah-mudahan tidak menjadi bibit persoalan di masa datang,” gumam Samekta kemudian, “selagi kita menghadapi masalah yang terlampau berat. Sawah-sawah yang kering, dan persediaan makanan yang menipis.”

Kerti masih mengangguk-angguk. Baru kemudian ia menjawab, “Kita harus segera berbuat sesuatu.”

“Harus, tetapi apakah yang dapat kita lakukan selama ini adalah kemungkinan yang paling tinggi. Kita tidak akan dapat merebut daerah yang mana pun sebelum Ki Gede sembuh. Terlampau berat bagi kita untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Ki Argajaya, dan Ki Peda Sura. Agaknya Ki Wasi dan Ki Muni pun akan ikut pula secara langsung. Bahkan mungkin Ki Peda Sura akan membawa dendamnya pula atas Pandan Wangi.”

Kerti pun kemudian terdiam. Kata-kata Samekta itu tidak dapat diingkarinya. Tidak ada seorang pun yang akan mampu memimpin pasukan Menoreh menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura, ditambah lagi dengan Ki Wasi dan Ki Muni. “Gembala yang mampu membuat obat itu harus segera datang. Kalau ia mengobati secara langsung, maka kesembuhan Ki Gede akan menjadi lebih cepat.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tidak segera mengambil kesempatan.”

Kerti tidak menyahut lagi. Sementara itu Wrahasta sudah menjadi semakin dekat.

“Kenapa dengan anak itu?” bertanya Kerti kemudian.

Wrahasta mengangkat bahunya yang bidang sambil menggeram, “Anak setan, ia terlampau keras kepala.”

“Apa yang dikatakannya.”

“Ia merasa dirinya terlampau berjasa. Ia merasa bahwa kesembuhan Ki Gede disebabkan karena keluarganya, sehingga dengan demikian, maka merekalah yang merasa telah membebaskan Tanah Menoreh apabila kelak Ki Argapati dapat merebut kembali daerah demi daerah.”

Sejenak Samekta dan Kerti saling berpandangan. Bagi mereka, kata-kata Wrahasta itu agak terlampau aneh menilik sifat dan watak gembala yang menyebut dirinya Gupita itu. Namun mereka tak menyahut sepatah kata pun.

Ternyata Wrahasta pun tidak berhenti meskipun Samekta dan Kerti masih berdiri di tempatnya. Wrahasta itu berjalan langsung menuju ke regol dan hilang di balik pintu. Yang kemudian masih tetap berdiri di tempatnya adalah para pengawal dan para petugas di regol desa itu.

Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian mereka pun melangkah perlahan-lahan. Sampai di depan regol Samekta berkata kepada para pengawal, “Hati-hatilah. Di mana pemimpin kelom-pokmu?”

Dengan tergopoh-gopoh seorang anak muda maju ke depan sambil menjawab, “Akulah yang bertanggung jawab kini, Kiai.”

“Sampaikan kepada setiap pengganti, bahwa pada saatnya gembala itu akan kembali lagi bersama dengan adik dan ayahnya. Mereka telah mendapat ijin langsung dari Ki Gede. Kalau kalian ragu-ragu, hubungilah aku.”

Pemimpin kelompok itu tidak segera menjawab. Tetapi ia berpaling ke arah Gupita hilang di balik gerumbul di tengah-tengah sawah yang telah menjadi liar. Namun kemudian dipandanginya pintu regol, seolah-olah ingin melihat ke manakah Wrahasta pergi sekarang.

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang tertera di dalam dada pemimpin kelompok itu. Ia tahu benar bahwa baru saja terjadi persoalan yang se-akan-akan belum terselesaikan antara Wrahasta dan gembala itu. Belum ada pernyataan, bahwa gembala itu tidak bersalah, dan tuduhan Wrahasta terhadapnya ternyata tidak benar. Bahkan sampai saat terakhir ia masih melihat sikap Wrahasta yang tegang terhadap gembala yang baru saja meninggalkan pedukuhan mereka.

“Anak itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sidanti,” berkata Samekta kemudian. ”Tetapi adalah sewajarnya bahwa Wrahasta harus bersikap hati-hati. Kita semua pun harus bersikap hati-hati. Namun agaknya Ki Gede sendiri melihat, bahwa ketiga ayah beranak itu sama sekali tidak berbahaya bagi kita, dan bahkan mereka akan dapat membantu pengobatan Ki Gede yang sedang parah.”

Pemimpin kelompok itu menganggukkan kepalanya. “Baik. Kami akan menerima mereka dengan hati-hati.”

“Bagus,” sahut Samekta. “Pesan ini berlaku bagi setiap pengganti di gardu ini.”

Sekali lagi pemimpin kelompok itu mengangguk, “Baik.”

Samekta dan Kerti pun segera melangkah masuk ke dalam regol. Namun terasa dada mereka telah dibebani oleh sesuatu yang seolah-olah menyangkut pada tangkai jantung. Sikap Wrahasta agaknya berpengaruh pula pada para pengawal.

Sementara itu, Gupita berjalan semakin lama semakin cepat. Dicarinya tempat-tempat yang dapat memberinya perlindungan dari sudut-sudut pandangan kedua belah pihak. Ia tidak ingin diikuti, maupun di amat-amati, baik oleh orang-orang Samekta sendiri, apalagi orang-orang Sidanti. Itulah sebabnya kemudian ia menyusup masuk ke dalam pategalan yang bera, berjalan di antara rimbunnya gerumbul perdu yang liar.

Ketika Gupita telah sampai di gubugnya yang kecil, maka segera diceritakannya perjalanannya kepada gurunya yang disebutnya sebagai ayahnya. Adik seperguruannya, mendengarkannya dengan dada yang berdebar-debar.

Tiba-tiba saja ia memotong, “Kenapa tidak kau putar saja leher anak yang bertubuh raksasa itu? Bukankah dengan demikian setiap mata menjadi terbuka, bahwa kami tidak sedang merunduk-runduk minta sesuap nasi kepada mereka?”

“Ah,” gurunya menyahut, “itu kurang bijaksana. Apa yang dilakukan Gupita telah mendekati sikap yang paling baik. Agaknya dugaan kita benar, bahwa telah terjadi semacam pertandingan cambuk.”

“Apakah Guru mengetahui?”

“Aku mendengar lecutan-lecutan cambuk dari pategalan yang kering di sebelah padukuhan itu. Tetapi karena kau tidak memperdengarkan ledakan yang dapat kami anggap bersungguh-sungguh, maka kami pun tidak mengambil sikap sesuatu. Tetapi betapa pun juga, aku menganggap bahwa perjalanan pendahuluanmu telah berhasil. Kau telah bertemu dengan Ki Argapati dan menyampaikan pesanku kepadanya. Besok kita harus benar-benar datang dan membantu kesulitan yang sedang dihadapi oleh Kepala Tanah Perdikan yang sedang prihatin itu.”

“Baik, Guru,” sahut Gupita.

“Nanti malam kita akan melihat dari dekat, apakah yang telah dilakukan, baik oleh orang-orang Argapati maupun oleh orang-orang Tambak Wedi.”

“Kepungan yang dilakukan itu telah menjadi semakin rapat dan menyempit, Guru.”

“Kesan itu memang sengaja ditimbulkan oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi Tambak Wedi sendiri masih tetap dalam keragu-raguan. Usaha Ki Argapati untuk membuat kesan yang merata, hampir di seluruh daerah Menoreh, tentang orang-orang bercambuk itu agaknya juga cukup berhasil.”

“Tetapi apakah Ki Tambak Wedi tidak akan dengan tiba-tiba saja menyergap?”

“Dapat juga terjadi. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi sedang berusaha untuk meyakinkan dirinya, apakah orang-orang bercambuk itu benar-benar kalian. Setelah ia yakin, pasti ia akan segera bertindak. Keyakinan itu perlu baginya untuk memperhitungkan keseimbangan dari kedua pasukan. Sampai saat ini selisih kekuatan di antara keduanya tidak begitu tampak, meskipun Ki Argapati menjadi semakin terjepit. Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa Ki Argapati, meskipun ia tidak sedang terluka, tidak akan berani melawan pasukannya di tempat terbuka. Ki Tambak Wedi tahu pasti, bahwa kekuatan Argapati hanya akan dapat mengimbanginya dengan bantuan perlindungan seperti yang terjadi sekarang. Karena itu, Ki Tambak Wedi dapat lebih leluasa bergerak, karena pasukannya agak lebih baik dan lincah. Terutama orang-orang yang bukan berasal dari daerah ini sendiri.”

Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja Gupala bertanya, “Lalu apakah yang dapat kita lakukan bertiga?”

Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya sambil tersenyum, “Unsur pimpinan memegang peranan yang penting. Dalam perang seperti yang pernah terjadi di Sangkal Putung, maka apabila pimpinannya telah tidak berdaya, maka pengaruhnya akan tajam sekali terhadap anak buahnya. Karena itu, kita akan membantu, berdiri pada setiap pasukan untuk menghadapi orang orang seperti Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, Ki Wasi, Ki Muni, dan beberapa orang yang lain. Sedang di pihak Ki Argapati selama ini hanya ada dua orang yang terpercaya. Ki Argapati sendiri yang kebetulan sedang terluka dan Pandan Wangi. Pemimpin-pemimpinnya yang lain masih agak jauh ketinggalan dari orang-orang Tambak Wedi.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi cerah. Sambil tersenyum ia berkata, “Sudah terlampau lama kita diperam di dalam gubug yang sempit ini. Kita akan bangun dan menggeliat untuk mengendorkan urat-urat kita yang hampir membeku.”

Mendengar kata-kata Gupala, maka gurunya menarik nafas dalm-dalam. Muridnya yang muda ini memang agak lain dari kakak seperguruannya. Namun orang tua itu tidak berkata apa pun. Bahkan kemudian ia bangkit dan berkata, “Beristirahatlah. Nanti malam kita berjalan-jalan.”

Kedua muridnya mengangguk. Dan Gupita menjawab, “Baik, Guru.”

Orang tua itu pun kemudian melangkah ke luar ruangan gubug kecil itu, pergi ke belakang, ke kandang kambing. Dilontarkannya beberapa gumpal rumput segar sambil bergumam, “Akan sampai saatnya kita berpisah. Ternyata aku bukanlah seorang gembala yang baik.”

Sementara itu Gupita dan Gupala masih duduk di dalam. Sejenak mereka berdiam diri, tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Gupita masih mencoba mencari sebab, kenapa Wrahasta sangat membencinya, bahkan mengancamnya supaya tidak datang ke padukuhan itu sekali lagi.

“Aku baru bertemu untuk pertama kali,” berkata Gupita di dalam hatinya, “tetapi sikapnya sangat menyakitkan hati.”

Namun Gupita itu terkejut ketika terasa adik seperguruannya yang gemuk itu menggamitnya sambil bertanya, “Kapan kita pergi kepada Ki Gede Menoreh itu?”

“Besok, setelah nanti malam kita melihat keadaan,” jawab Gupita.

“He,” desis Gupala perlahan-lahan sambil bergeser mendekat. Gupita mengerutkan keningnya. Agaknya adiknya yang gemuk itu mempunyai persoalan yang penting dan rahasia. Karena itu dengan sungguh-sungguh ia mendengarkannya ketika Gupala bertanya, “Kau sudah bertemu dengan Ki Argapati, bukan?”

“Ya,” Gupita mengangguk.

“Tetapi kau belum bercerita kepadaku lebih banyak tentang gadis berpedang rangkap itu.”

Gupita menjadi heran, “Kenapa? Apakah yang harus aku ceritakan tentang gadis berpedang rangkap itu?”

Tiba-tiba Gupala tersenyum. Senyum yang aneh mengambang di bibirnya, sehingga pipinya yang gembung itu bergerak-gerak, “Maksudku, apakah gadis itu cantik?”

“Oh,” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku sangka kau ingin mengetahui, apakah gadis berpedang rangkap itu mampu mengalahkan Sidanti.”

“Bukankah ia adiknya?”

“Ya, tetapi menilik ketangkasannya dan kemampuannya berkelahi melawan Ki Peda Sura, ia akan mampu mengimbangi Sidanti, meskipun aku tidak mengatakan bahwa ia dapat mengalahkan kakaknya itu. Kalau mereka bertemu dan terlibat dalam perkelahian, maka akan terulanglah benturan kekuatan dari perguruan Tambak Wedi dan perguruan Menoreh.”

“Ya, ya,” potong Gupala, “tetapi kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah gadis itu cantik.”

“Ah,” Gupita berdesah, “apakah kepentingan kita dengan gadis itu? Cantik atau tidak cantik, tidak ada bedanya bagi peperangan ini.”

Kini Gupala-lah yang mengerutkan dahinya. Sambil menggerutu ia berdiri, “Kenapa kau berahasia? Bukankah kau sudah bertemu beberapa kali dengan gadis itu.”

“Tetapi aku lebih memperhatikan pedangnya daripada wajahnya.”

Tiba-tiba Gupala berhenti. Sambil mengacungkan jarinya ia berkata, “Awas kalau kau tidak mau memperkenalkan aku dengan puteri Kepala Tanah Perdikan itu. Nanti adikku akan aku minta kembali dari padamu. Setuju?”

“Ah,” potong Gupita dengan serta-merta, “ada-ada saja kau ini.”

Gupala tidak menyahut. Terus saja ia melangkah ke luar. Namun ketika ia sudah berada di luar, terdengar suara tertawanya berkepanjangan.

Gupita yang masih duduk di tempatnya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja membayang di rongga matanya wajah-wajah gadis yang pernah dikenalnya. Seorang gadis yang manja, dan yang seorang adalah seorang gadis yang merasa wajib berdiri sendiri karena ia telah kehilangan ibunya. Tetapi keduanya adalah gadis-gadis yang keras hati.

Gupita menghentakkan dirinya, sambil meloncat berdiri. Dalam keadaan serupa itu, tidak sewajarnya ia berpikir tentang gadis-gadis. Karena itu maka ia pun segera melangkah ke luar menyusul adiknya. Pergi mencari kayu bakar di kebun belakang.

Sementara itu Gupala telah duduk pada sebuah cabang pohon rambutan yang sedang berbuah. Sambil mengunyah ia melempari Gupita dengan kulitnya. Ketika Gupita menengadahkan wajahnya Gupala berkata, “Aku tidak sabar menunggu saat itu datang. Bahkan matahari itu kini serasa menjadi terlampau malas.”

“Sebentar lagi senja akan datang. Kita akan segera bersiap untuk pergi.”

Gupala segera meloncat turun sambil berkata lantang, “Aku akan mandi dulu.”

“Kenapa mandi?” bertanya Gupita. “Meskipun kau harus juga mandi, tetapi kenapa kau tidak berkata, bahwa kau akan mempersiapkan senjatamu.”

“Senjata itu tidak pernah terpisah daripadaku. Tetapi aku memang perlu mandi. Siapa tahu, nanti malam aku bertemu dengan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh dengan sepasang pedang di lambungnya.”

Gupita menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebelum ia menjawab, Gupala telah berlari menyusup ke gerumbul di belakang halaman rumahnya menuju ke sungai untuk mandi. Yang terdengar hanyalah derai tertawanya yang renyah.

Demikianlah, maka ketika matahari telah tenggelam di balik pebukitan, maka Gupita bersama guru dan adik seperguruannya telah siap untuk berangkat. Karena banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi maka ketiganya benar-benar berada dalam kesiagaan sepenuhnya. Mereka akan melihat dua kekuatan yang setiap kali berhadapan, namun mereka masing-masing masih ragu-ragu untuk memulainya.

“Hati-hatilah Gupala,” pesan gurunya sebelum mereka berangkat, “Kita tidak akan pergi melamar puteri Ki Argapati. Kita akan melihat ujung-ujung senjata yang telah merunduk.”

“He,” Gupala mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tertawa dan berkata, “apakah salahnya kalau sekaligus kita pergi melamar.”

“Kau akan kecewa kalau kau sudah melihatnya,” potong Gupita. “Gadis itu meskipun tangkas tetapi berparas sama sekali tidak menarik.”

Gupala tidak menjawab. Tetapi ia tertawa saja berkepanjangan. Suaranya itu terputus ketika gurunya berkata, “Marilah kita berangkat supaya kita tidak terlambat. Kita akan melihat bagaimana Ki Tambak Wedi membawa pasukannya setiap kali untuk menakut-nakuti lawannya.”

Sejenak Gupita memandangi adik seperguruannya. Kemudian keduanya tersenyum. Namun Gupala tidak berkata sepatah kata pun lagi. Tangannyalah yang kemudian meraba-raba senjatanya yang melingkar di bawah bajunya.

Ketiganya pun kemudian meninggalkan halaman gubug mereka, setelah Gupita dan Gupala menyediakan rumput yang cukup bagi kambing-kambing mereka.

“Mudah-mudahan mereka datang lagi malam ini,” berkata gembala tua itu kepada kedua muridnya.

“Mudah-mudahan,” desis Gupala.

“Tetapi kita tidak dapat mengabaikan usaha Ki Tambak Wedi untuk menemukan orang-orang berkuda. Agaknya sampai malam ini ia masih berusaha terus.”

Gupita dan Gupala tidak menyahut. Tetapi mereka masih mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu kaki-kaki mereka masih terus melangkah mendekati pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita harus memilih jalan yang paling aman,” berkata orang tua itu. “Kita tidak akan melalui jalan ini. Kita akan menyusup ke pategalan yang tidak ditanami itu, supaya kita lepas dari setiap pengawasan.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika kemudian gurunya berbelok masuk ke dalam pategalan, maka keduanya mengikutinya pula.

Sementara gelap malam mulai menjamah Tanah Perdikan Menoreh. Semakin lama menjadi semakin gelap. Namun ketiga orang itu masih saja berjalan dengan hati-hati, menyusup gerumbul-gerumbul perdu.

Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika gembala tua itu berhenti sambil mengangkat tangan kanannya.

“Ada apa, Guru?” bertanya Gupala.

“Sst,” desis gurunya, “Kau dengar suara gemeremang itu.”

Kedua muridnya mencoba memasang telinganya. Sebenarnyalah mereka mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap.

“Hati-hati,” desis gembala tua itu, “Tunggulah di sini. Tahanlah suara pernafasanmu. Kita belum tahu siapakah mereka ini. Biarlah aku saja yang mendekat. Mungkin Ki Tambak Wedi di antara mereka.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil berjongkok di belakang segerumbul perdu. Sementara itu guru mereka telah mulai merayap mendekati sumber suara itu.

“Apakah mereka akan lewat di sini?” terdengar seseorang berbicara.

“Ya. Mereka akan mengambil jalan ini. Setiap kali mereka keluar dari sarang mereka, mereka memilih jalan ini, kemudian setelah sarang mereka terkepung, mereka mulai berkeliaran hampir ke segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh.”

Gembala tua yang menjadi semakin dekat, menjadi berdebar-debar mendengar suara itu. Suara itu adalah suara Ki Tambak Wedi. Sejenak kemudian, suara itu terdengar lagi, “Mereka tidak dapat aku temui di tempat lain, karena setiap kali mereka merubah arah. Aku sudah mencari mereka dengan menyilang Tanah ini. Tetapi aku tidak pernah menemui mereka di perjalanan. Kali ini aku tidak sabar lagi. Kita tunggu saja mereka di depan hidung pusat pertahanan mereka. Kita menghadapi dua kemungkinan. Mereka lari masuk kembali ke dalam sarang atau para pengawal yang lain keluar setelah mereka mendapat isyarat dari orang-orang berkuda.”

“Mereka sombong. Mereka adalah pengawal-pengawal terpilih. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi apa pun juga, sehingga mereka tidak akan mudah menjadi bingung.”

“Tetapi jumlah mereka tidak seberapa. Bukankah Kiai sudah mempersiapkan pasukan yang akan menjebak, apabila pengawal itu nanti keluar dari daerah pertahanan mereka untuk menolong orang-orang berkuda ini, jika mereka sempat memberikan isyarat?”

“Ya, tetapi dengan cara ini aku tidak yakin, apakah aku akan dapat mengetahui, apalagi menangkap orang-orang bercambuk itu. Apakah aku dapat mengetahui, bahwa mereka sebenarnya orang-orang yang dapat disebut orang-orang bercambuk, bukan sekedar permainan yang licik dari Argapati.”

“Kita dapat melihatnya, bahkan lebih baik kalau kita dapat menangkapnya.”

“Itulah yang aku ragukan. Sedang untuk seterusnya kita tidak akan mendapat kesempatan, karena mereka pasti tidak akan meninggalkan sarang mereka itu lagi.”

“Kita harus bekerja sebaik-baiknya. Kita kepung mereka, supaya tidak seorang pun yang dapat lolos. Kita serahkan para pengawal yang akan datang membantu kepada pasukan yang lain, yang bertugas untuk menjebak mereka.”

“Ya, aku memang telah mengatur sebelumnya,” terdengar suara Ki Tambak Wedi berat. “Mereka harus datang dalam dua rombongan. Yang pertama mendahului yang lain, dan bersiap menjebak orang-orang Menoreh. Mereka harus bersembunyi di tempat yang sebaik-baiknya. Sedang yang lain akan datang menurut gelar yang biasa kita pergunakan. Dengan demikian orang-orang Menoreh tidak akan melihat gelar sandi kita untuk menjebak beberapa bagian dari orang-orang mereka. Seandainya kita gagal mengetahui siapakah orang-orang yang bersenjata cambuk itu, namun setidak-tidaknya kita sudah akan dapat mengurangi sebagian dari kekuatan mereka.”

“Ya, ya. Apa pun yang akan terjadi, kita akan mendapat keuntungan daripadanya. Bukankah begitu, Kiai?”

“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi, lalu, “bersiaplah. Menurut beberapa petugas sandi, saat-saat beginilah mereka itu lewat. Sebetar lagi, seperti biasa, pasukan kita akan mengepung padukuhan itu. Aku harap mereka yang akan menjebak orang-orang Menoreh telah bersiap pula.”

Dada gembala tua itu menjadi berdebar-debar. Ternyata Ki Tambak Wedi yang tidak berhasil menemukan orang-orang berkuda itu, kini bertekad untuk mencegat mereka di depan sarangnya.

“Mereka harus diberi tahu rencana ini,” gumam orang tua itu di dalam hatinya. “Kalau tidak, maka benturan ini akan dapat menjadi pepucuk dari peraug yang sebenarnya. Sedang agaknya Ki Argapati masih belum siap menghadapi keadaan yang demikian. Apalagi apabila pasukannya terpancing keluar. Maka mereka pasti akan mengalami bencana.”

Orang tua itu pun segera beringsut surut. Ditemuinya kedua muridnya dan dengan singkat diberitahukannya, apa yang didengarnya dari Ki Tambak Wedi langsung.

“Sampaikan persoalan ini kepada pimpinan pengawal,” desisnya perlahan-lahan kepada Gupita.

Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Kalau aku kembali seorang diri ke padukuhan itu mungkin aku akan mengalami akibat yang kurang baik, Guru. Wrahasta sangat membenciku tanpa aku ketahui sebab-sebabnya.”

“Tetapi tidak ada orang lain yang dapat menghubunginya,” jawab gurunya.

“Aku, Guru. Aku dapat pergi juga ke padukuhan itu menemui Ki Argapati atau pemimpin pengawal yang lain,” sahut Gupala.

“Ah,” desah gurunya, “kita belum tahu, apakah sebabnya Wrahasta membenci Gupita. Mungkin ia akan memperlakukan hal serupa itu, dan kau lebih tidak dapat mengendalikan dirimu lagi.”

“Aku akan berusaha, Guru,” jawab Gupala.

Gurunya tidak segera menjawab. Sambil menundukkan kepalanya ia berkata lambat, seolah-olah kepada diri sendiri, “Pasukan berkuda itu akan dicegat tidak saja oleh Ki Tambak Wedi, tetapi oleh sepasukan pengikut Ki Tambak Wedi itu. Kemudian telah disediakan pasukan yang akan menjebak seandainya para pengawal mengirimkan bantuan apabila orang-orang berkuda yang terlibat dalam perkelahian itu memintanya. Sementara itu pasukan Tambak Wedi yang lain telah merayap mendekati padukuhan ini dengan diam-diam, sebelum mereka muncul seperti apa yang biasa mereka lakukan.” Kemudian dengan tegang ia berkata, “Pasukan itu pasti akan hancur, Gupita. Mereka hanya akan mendapat kesempatan untuk mundur masuk ke dalam padukuhan. Sepanjang perjalanan mundur itu, korban pasti akan berjatuhan. Sementara pasukan berkuda itu pun tidak akan dapat tertolong lagi. Apalagi apabila induk pasukan mereka terpancing keluar tanpa seorang pemimpin yang pantas untuk melawan Ki Tambak Wedi, Ki Peda Sura, Sidanti, Argajaya, dan yang lain-lain. Maka pasukan Argapati akan tamat sampai malam ini.”

“Kenapa aku tidak pernah mendapat kesempatan, guru?” desak Gupala.

“Bukan begitu, Gupala. Kecuali keberanian, tugas ini memerlukan kesabaran. Nah, kesabaran itulah yang kadang-kadang tidak dapat kau kuasai. Kau, seperti ketika aku muda, mempunyai darah yang agak panas. Kau masih sering tergerak oleh perasaan sebelum kau pertimbangkan masak-masak, sehingga kadang-kadang kau akan terjerumus ke dalam suatu persoalan yang tidak kita kehendaki.”

“Tetapi aku akan selalu ingat, Guru, bahwa aku akan bersabar.”

Gurunya yang tua itu menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu, ia tidak segera mengambil keputusan. Namun waktu yang sejenak itu agaknya telah merubah segala-galanya, karena tiba-tiba orang tua mengangkat wajahnya.

“Terlambat,” desisnya, “Aku mendengar derap kuda di kejauhan.”

“Oh,” hampir saja kedua muridnya itu meloncat bersama seandainya gurunya tidak menahannya.

“Sst, hati-hatilah. Ki Tambak Wedi berada di depan kita.”

“Lalu apakah yang akan kita kerjakan?” bertanya kedua muridnya hampir bersamaan.

“Tak ada jalan lain untuk menyelamatkan mereka. Aku akan menahan orang-orang berkuda itu, dan menyuruh mereka kembali apabila mereka bersedia. Sudah tentu Ki Tambak Wedi melihat aku meskipun aku mengharap, ia tidak segera dapat mengenal. Dengan demikian aku akan memancingnya. Kau coba mengusir orang-orangnya yang tertinggal sampai aku memanggil kalian dengan isyarat. Kalian harus segera meninggalkan mereka dan menghilang, kemudian kembali pulang. Aku akan membayangi Ki Tambak Wedi. Tetapi ingat, jangan memakai cambuk.”

Gupita dan Gupala ternyata tidak sempat bertanya lagi. Sejenak kemudian gurunya telah meloncat dan menghilang di dalam kegelapan tanpa menimbulkan gemerisik pada dedaunan.

“Bagaimana dengan kita?” bertanya Gupala.

“Hati-hati,” jawab Gupita, “di depan kita ada Ki Tambak Wedi. Kita tidak akan dapat mendekatinya seperti Guru.”

Tiba-tiba keduanya diam ketika mereka mendengar suara seseorang dengan lantang “He, aku dengar derap kuda itu.”

“Kenapa orang itu berteriak-teriak?” bertanya Gupala.

“Mereka tidak menyangka ada seorang pun yang mendengarnya.”

“Semua bersiap,” terdengar suara yang lain. Kemudian beberapa patah kata yang tidak dapat ditangkap dengan jelas.

“Marilah kita mendekat. Perhatian mereka pasti sudah tercurah kepada derap kuda itu. Tetapi kita harus berhati-hati.”

Keduanya kemudian merangkak dengan sangat hati-hati mendekat ke tepi jalan. Namun kemudian terdengar seseorang berdesis, “Sst, jangan berteriak-teriak lagi. Mereka sudah mendekat. Kalau mereka mendengar atau mengetahui kehadiran kita, mereka akan kembali masuk ke dalam sarang mereka.” Suara itu berhenti, kemudian, “Nah, kita harus yakin bahwa keterangan petugas-petugas sandi kita benar. Orang-orang berkuda itu adalah mereka. Soalnya, apakah benar di antara mereka ada orang-orang yang bersenjata cambuk. Bukan sembarang cambuk.”

Dada Gupita dan Gupala berdesir. Namun seluruh perhatian orang-orang itu benar-benar telah tercurah kepada derap kuda yang sudah menjadi semakin lama semakin dekat.

“Aku akan menghentikan mereka,” berkata Tambak Wedi. “Kalian tahu apa yang kalian lakukan. Kepung. Aku ingin menangkap orang bercambuk itu dan meyakinkan apakah aku tidak tertipu selama ini.”

Suasana menjadi hening sejenak. Suara derap kaki-kaki kuda itu pun menjadi semakin lama semakin jelas dan semakin dekat. Gupita dan Gupala tanpa sesadarnya beringsut semakin dekat. Agaknya perhatian orang-orang yang diintainya benar-benar telah terikat oleh derap kuda yang mendatang itu.

Ternyata bahwa Gupita dan Gupala pun menjadi kehilangan pertimbangan. Mereka merayap semakin dekat lagi, sehingga pada suatu saat ia dapat melihat bayangan orang-orang yang menunggu pasukan berkuda itu. Mereka telah bersiap di balik dedaunan di pinggir jalan, sedang Ki Tambak Wedi sendiri berdiri bertolak pinggang.

Gupala yang semakin bernafsu untuk dapat melihat lebih jelas, terdorong semakin maju, dan bahkan tiba-tiba kakinya menginjak sepotong kayu kering, sehingga menimbulkan suara gemerisik di sela-sela derap kaki-kaki kuda yang semakin dekat.

Gupita cepat-cepat menggamitnya dan memberinya isyarat. Namun agaknya sudah terlambat. Tiba-tiba orang yang bertolak pinggamg di pinggir jalan itu berpaling dan bergumam, “Ada orang lain di belakang kita.”

Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Mereka segera mengerti, bahwa mereka berdualah yang dimaksud.

Sejenak mereka saling berpandangan, Namun mata Gupala yang berkilat-kilat seolah-olah berkata, “Apa boleh buat. Kalau tidak ada pilihan lain, kita akan berkelahi.”

Sementara itu seseorang dari orang-orang Ki Tambak Wedi itu bertanya, “Siapa yang Kiai maksud?”

“Di belakang kita ada orang yang sengaja mengintai kita. Kita tunggu sampai orang-orang berkuda itu datang. Satu atau dua orang bertugas menangkap orang yang bersembunyi itu.”

“Kenapa tidak sekarang.”

“Jangan bikin ribut, supaya orang-orang berkuda itu tidak mengetahui kehadiran kita. Orang-orang itu lebih penting bagiku dari pada petugas-petugas sandi yang mengintai kita itu.”

“Bagaimana kalau ia lari?”

“Aku akan menangkap sendiri.”

Gupita dan Gupala menjadi berdebar-debar. Memang tidak baik untuk melarikan diri. Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi itu akan dapat memecahkan tengkuk mereka. Karena itu, maka yang paling baik adalah mencari tempat yang terlindung oleh pepohonan.

“Untuk melawan iblis itu, aku terpaksa mempergunakan cambukku,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Terpaksa. Dan bahkan mungkin akan dapat memanggil guru untuk datang.”

Tetapi untuk sesaat Ki Tambak Wedi masih berdiri tegak di tempatnya. Ia tidak mau merusak rencananya, menangkap orang-orang berkuda yang semakin mendekat.

Tiba-tiba iblis tua itu berdesis, “Bersiaplah kalian.”

Orang-orangnya telah menggenggam senjata ditangan masing-masing. Mereka telah siap untuk meloncat dan mengepung orang-orang berkuda itu. Beberapa orang merayap melebar. Sementara Ki Tambak Wedi bergumam, “Kalau aku menghentikan mereka dan yang lain mengepungnya. Jangan lupa tikus di belakang kita. Dua orang harus menangkapnya.”

Sementara itu, pasukan berkuda yang keluar dari padukuhan yang menjadi pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sama sekali tidak menyangka, bahwa di hadapannya telah menunggu seorang iblis yang menggetarkan setiap orang yang mendengar namanya. Karena itu, tanpa prasangka apa pun mereka berpacu untuk melakukan tugas mereka seperti biasanya. Mereka akan mengelilingi beberapa tempat di Tanah Perdikan Menoreh. Membuat kesan seolah-olah orang-orang bercambuk telah ikut campur dalam persoalan Tanah Perdikan ini dan berdiri di pihak Ki Argapati.

Namun tiba-tiba pemimpin mereka, yang berpacu di paling depan terkejut ketika tiba-tiba ia melihat seseorang meloncat di hadapannya sambil mengangkat tangannya.

“Berhenti,” teriak orang itu.

Orang itu benar-benar telah mengejutkan setiap orang di dalam pasukan berkuda itu, sehingga dengan serta-merta mereka menarik kekang kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu meringkik berkepanjangan.

“Siapa kau?” bertanya pemimpin pasukan berkuda itu.

“Kalian tidak perlu tahu siapa aku,” jawab orang yang berdiri di tengah jalan itu. “Kalau kalian ingin selamat dari bencana yang paling mengerikan yang akan terjadi atas pasukan kalian dan seluruh pasukan Menoreh, kembalilah.”

“Apa maksudmu?”

“Besok kau akan tahu, sekarang cepat pergi. Cepat sebelum orang pertama menjadi korban.”

Pemimpin pasukan berkuda itu ragu-ragu. Mereka bukan penakut yang mudah menjadi gemetar karena bertemu dengan lawan yang bagaimana pun juga. Karena itu, maka mereka bahkan mendesak maju. Seorang anak muda yang berkumis kecil berkata, “Minggir, atau kau akan terinjak kaki-kaki kuda kami.”

“Aku berkata sebenarnya. Cepat. Waktu terlampau sempit.”

“Jangan mencoba menakut-nakuti kami.”

“Aku tidak menakut-nakuti kalian.”

“Minggir,” sekali lagi pemimpin pasukan itu berkata lantang.

Namun orang yang berdiri di tengah jalan itu tak sempat menjawab. Terdengar beberapa puluh langkah di belakangnya seseorang bertanya “He, siapa berdiri di situ?”

“Itulah suara iblis itu,” desis orang yang menghentikan pasukan berkuda itu.

Pemimpin pasukan berkuda itu menjadi semakin ragu-ragu. Dan ia mendengar suara itu pula “He siapa yang berada di situ?”

“Cepat,” desis orang yang berdiri di tengah jalan, “sebentar lagi kalian akan terkepung. Pasukan Sidanti telah bersiap. Jangan terlambat.”

“Kami bukan pengecut,” jawab pemimpin pasukan itu.

“Benar kalian bukan pengecut, tetapi juga bukan pemimpin pasukan yang bodoh. Kau tidak sekedar bertanggung jawab atas jiwamu sendiri, tetapi jiwa seluruh pasukanmu. Kalau mereka mati dengan menggenggam arti bagi perjuangan kalian, kalian adalah pahlawan. Tetapi bukan orang-orang bodoh yang membunuh dirinya tanpa guna.”

Pemimpin pasukan berkuda itu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Karena itu ia tidak segera dapat mengambil sikap. Bahkan ia tidak mengerti, apakah ia dapat mempercayai kata-kata orang yang belum dikenalnya itu atau tidak.

Sementara itu, Ki Tambak Wedi pun terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja ada orang yang meloncat ke tengah jalan dan merusakkan rencananya.

Karena itu maka ia pun tanpa sesadarnya berteriak-teriak bertanya siapakah orang yang telah berbuat gila itu. Namun orang itu sama sekali tidak menjawab.

Dengan demikian, maka dada Ki Tambak Wedi serasa telah terbakar oleh kemarahan yang memuncak. Dengan lantang ia memberikan perintah kepada orang-orangnya, “Bersiaplah kalian. Kita tidak akan menunggu lagi. Kita akan segera mengepung mereka, selagi mereka belum sempat lari.”

Tetapi Ki Tambak Wedi itu mendengar orang yang berdiri di tengah jalan itu berkata, “Cepat, pergilah. Kau dengar perintah itu? Perintah untuk mengepung kalian.”

Namun pemimpin pengawal itu sekali lagi berteriak, “Kami bukan pengecut.”

“Kau dapat membuat pertimbangan nanti, apakah tindakan itu suatu tindakan pengecut.”

Yang tidak dapat menahan hatinya adalah Ki Tambak Wedi. Tiba-tiba tangannya bergetar, dan sebuah gelang-gelang besi telah meluncur menyambar bayangan yang berdiri di tengah jalan menghentikan orang-orang berkuda itu.

Tetapi sekali lagi Ki Tambak Wedi terkejut. Ternyata orang yang berdiri di tengah jalan itu mampu meloncat secepat sambaran gelang-gelang besinya. Dengan satu langkah yang cepat gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur secengkang di muka dadanya.

Namun malanglah. Tiba-tiba seekor kuda melengking tinggi. Kemudian terjatuh karena kaki depannya tersentuh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi.

Penunggangnya pun terlempar dan terguling di tanah. Sementara orang yang menghentikan mereka berkata, “Lihat, iblis itu sudah mulai. Setiap gelang besi akan mampu membunuh seorang dari kalian, belum lagi pasukannya yang bersembunyi di balik semak-semak. Karena itu, cepat, sebelum terlambat.”

Peristiwa yang terjadi itu agaknya dapat memberikan suatu keyakinan kepada pemimpin pasukan berkuda itu, bahwa sebenarnyalah mereka akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka desakan orang yang menghentikannya itu menjadi pertimbangannya.

Ki Tambak Wedi, yang gagal mengenai orang yang membuatnya terlampau marah itu, menjadi heran. Di atas Tanah Perdikan ini, selain Argapati yang terluka, masih juga ada orang yang mampu menghindari serangannya. Sayang, bahwa keremangan malam tidak memberinya kesempatan melihat wajah orang itu dengan jelas dalam jarak yang belum terlampau dekat.

“Mungkin sesuatu kebetulan ia berhasil menghindar,” ia menggeram. Dan berbareng dengan itu, sekali lagi tangannya bergetar. Ia ingin meyakinkan, apakah orang itu benar-benar mampu menghindari serangannya.

“Iblis manakah yang telah mencampuri persoalanku,” Ki Tampak Wedi mengumpat. Sekali lagi ia melihat orang itu meloncat dengan lincahnya menghindari gelang-gelang besinya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian ketika seseorang berteriak dan jatuh dari punggung kudanya. Sekali ia menggeliat, kemudian ia tidak bernafas lagi,

“Jangan kau biarkan korban berjatuhan. Cepat, pergi.”

Sementara itu Ki Tambak Wedi berteriak, “Ayo, kepung mereka sekarang!”

Dalam keragu-raguan pemimpin pasukan berkuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja kudanya melonjak karena terkejut. Ternyata orang yang berdiri di tengah jalan itu telah melemparnya dengan kerikil. Dengan demikian maka pemimpin pengawal itu tidak dapat berbuat lain, kecuali menarik kekang kudanya dan berputar kembali ke arah pemusatan pasukannya.

“Kita kembali,” perintahnya.

Beberapa orang masih juga ragu-ragu. Tetapi mereka pun segera memutar kuda masing-masing dan berpacu kembali. Seorang pengawal yang telah kehilangan kudanya meloncat ke punggung kuda seorang kawannya.

Tepat pada saatnya, beberapa orang berlari-lari meloncat parit di pinggir jalan. Diam-diam mereka merayap di dalam pategalan mendekati orang-orang berkuda itu. Tetapi pada saat yang bersamaan, pada saat mereka berada pada jarak yang diperlukan, pasukan berkuda itu telah berputar arah.

Satu dua orang masih sempat menghadang di tengah jalan. Tetapi mereka terpaksa berloncatan menepi ketika kaki-kaki kuda berderap kearah mereka. Sekali-sekali terdengar ledakan cambuk dari antara orang-orang berkuda itu.

“Setan!” teriak Ki Tambak Wedi. “Kejar mereka!”

Tetapi tidak seorang pun yang dapat berlari secepat langkah kaki-kaki kuda. Sementara itu orang yang telah menghentikan orang-orang berkuda itu pun segera meloncati parit yang kering di pinggir jalan dan berlari sekencang-kencangnya menyusup ke dalam pategalan di sisi jalan itu, justru tempat yang baru saja ditinggalkan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang berloncatan ke tengah jalan.

“Tangkap orang itu,” teriak Ki Tambak Wedi.

Tetapi tidak seorang pun yang mampu melakukannya. Gerakannya terlampau cepat dan tidak diduga-duga.

Ki Tambak Wedi tidak dapat menaham hatinya lagi. Segera ia pun meloncat dan berusaha mengejar orang yang telah merusakkan rencananya itu. Namun orang yang dikejarnya mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghilang. Karena itu, maka dengan mengumpat-umpat tidak habis-habisnya Ki Tambak Wedi berputar di dalam pategalan yang kering itu untuk mencari orang yang telah membuat darahnya mendidih.

“Tidak masuk akal,” berteriak-teriak untuk melepaskan kemarahan yang menyesakkan dadanya. Lalu, “Ayo, bantu aku mencarinya. Kepung tempat ini rapat-rapat. Jangan sampai ada seekor bilalang yang dapat keluar.”

Ternyata perhatian Ki Tambak Wedi telah tertumpah sepenuhnya kepada orang yang telah merusak rencananya itu. Ia tidak memperhatikan lagi orang-orang berkuda yang menjadi semakin jauh. Ia tidak berusaha untuk melepaskan gelang-gelang besi sebanyak-banyaknya, menyerang orang-orang berkuda yang sedang menarik diri, mundur masuk ke dalam pusat pertahanannya.

Sementara itu, dua orang dari pasukan kecil Ki Tambak Wedi itu, seperti yang diperintahkan, berusaha menangkap orang-orang yang mengintai mereka. Dengan pedang terhunus mereka meloncat menyerang, ketika mereka melihat bayangan hitam tersembul di balik pepohonan. Bayangan itu adalah Gupala yang dengan sengaja menampakkan diri, ketika ia mengetahui, bahwa hanya dua orang yang tinggal untuk menangkapnya bersama kakak seperguruannya.

Tetapi salah seorang di antaranya terperanjat bukan kepalang. Ia tidak menyangka bahwa orang yang diserangnya itu justru meloncat maju dan langsung menerkam pinggangnya di bawah ayunan senjatanya.

Ternyata dorongan terkaman Gupala telah membuat keduanya jatuh berguling-guling. Namun dalam pada itu, sejenak kemudian hanya Gupala sajalah yang bangkit dan berdiri di samping lawannya yang diam terbaring di tanah.

“He, kau apakan orang itu?” desis Gupita.

“Aku tidak sengaja. Tetapi ia terlampau lemah. Mudah-mudahan ia tidak mati.”

Kawannya yang seorang lagi berdiri dengan mulut ternganga. Ia tidak mengerti, bagaimana hal itu dapat terjadi. Sehingga karena itu, untuk sesaat ia berdiri saja dengan pedang di tangan tanpa berbuat sesuatu.

Ketika ia menyadari dirinya, maka segera ia merasa, bahwa ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa melawan kedua bayangan hitam yang telah menegakkan bulu-bulunya.

“Apakah aku telah bertemu dengan bayangan iblis yang paling laknat di bumi Menoreh?” pertanyaan itu telah membuat orang itu menjadi gemetar.

“Lari,” demikianlah keputusan yang diambilnya, “Biarlah Ki Tambak Wedi menyelesaikan persoalannya dengan iblis-iblis ini.”

Tetapi ketika ia mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia telah membentur sesuatu. Ketika ia sempat memandangnya, ternyata yang dibenturnya adalah salah seorang dari kedua bayangan hitam yang menakutkan itu.

“Jangan lari,” bayangan itu berdesis.

Orang itu menjadi semakin menggigil. Dengan membabi buta diayunkannya pedangnya. Tetapi ayunan itu sama sekali tidak menyentuh sesuatu.

“Pergi, pergi kau iblis,” geram orang itu,

“Kita tidak akan pergi. Aku tidak, kau pun tidak,” desis Gupala.

Sekali lagi orang itu mengayunkan pedangnya. Namun sekali lagi pedangnya menyambar angin.

“Jangan menjadi gila,” desis Gupala pula. “Aku tidak apa-apa. Aku bukan sejenis hantu peminum darah.”

Tetapi orang itu justru menjadi semakin takut. Keringat dinginnya telah mengalir membasahi seluruh tubuhnya.

Sementara itu Gupita menyaksikan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Kemudian kepalanya tergeleng lemah sambil berdesis di dalam hatinya, “Anak bengal itu sukar untuk mengendalikan diri.”

Tetapi Gupita tidak dapat mencegahnya supaya tidak membuat anak itu semakin bernafsu.

Ternyata orang yang menggenggam pedang itu semakin lama menjadi semakin takut karena Gupala belum juga berbuat sesuatu kecuali selalu berdiri di mukanya. Kalau orang itu berusaha beringsut ke samping, Gupala ikut beringsut pula. Apabila orang itu berusaha melangkah ke arah lain Gupala meloncat dan berdiri di depannya sambil menyeringai. Setiap kali orang itu menebaskan pedangnya, Gupala meloncat selangkah surut, namun kemudian ia meloncat kembali ke tempatnya.

Orang itu benar-benar menjadi ketakutan, dan bahkan hampir menjadi kehilangan akal. Matanya nanar memandang keadaan di sekitarnya. Setiap kali ia melihat bayangan yang masih saja berdiri di depannya dengan gemetar. Apalagi kalau ia melihat bayangan yang lain, yang berdiri saja seolah-olah membeku di antara dedaunan.

“Pergi, pergi,“ orang itu berdesis.

“He, jangan berteriak,” gumam Gupala seperti kepada anak-anak yang takut melihat ular merambat di kakinya, “Tenang-tenang sajalah. Aku tidak apa-apa.”

“Pergi, pergi,” suara orang itu menjadi semakin keras.

“Kalau kau berteriak, maka aku akan membungkammu untuk selama-lamanya,” desis Gupala.

Orang itu terdiam sejenak. Tetapi ia selalu bergeser surut apabila Gupala melangkah maju.

Yang tidak sabar kemudian justru Gupita. Ketika Gupala masih saja bermain-main, maka ia pun berkata, “Marilah, kita akan kehabisan waktu.”

“Kita sudah tidak mempunyai kerja lagi bukan?” jawab Gupala. “Aku tidak mau kehilangan permainan ini.”

Tetapi tiba-tiba Gupala meloncat menyentuh mulut orang itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata orang itu terpaksa mengurungkan niatnya untuk berteriak. Yang dikerjakan adalah mengayun-ayunkan pedangnya seperti orang yang telah benar-benar menjadi gila. Tetapi pedangnya justru menyentuh pepohonan perdu dan mematahkan ranting-rantingnya.

“Iblis,” ia mengumpat. Dan Gupala pun tertawa, “Dengar,” berkata Gupala, “yang sebenarnya iblis adalah Ki Tambak Wedi. Kau tahu. Karena kau termasuk salah seorang pengikutnya, maka kau pun termasuk setan atau gendruwo kecil-kecilan.”

Orang itu tidak segera menjawab karena jantungnya menjadi semakin berdentangan. Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Gupita, “Marilah. Aku sudah jemu.”

“Jadi, aku apakan sebaiknya orang ini, Kakang.”

Gupita tidak segera menjawab. Dipandangimya Gupala dan orang itu berganti-ganti. Gupala yang berdiri dengan garangnya, dan orang yang ketakutan itu meskipun ia berpedang.

Tiba-tiba Gupita menggelengkan kepalanya. Tumbuhlah ibanya kepada orang itu. Ketakutan adalah perasaan yang sangat mengerikan. Ia pernah merasakan, betapa seseorang dikejar-kejar oleh rasa takut. Seorang prajurit akan memilih kematian yang langsung daripada ia harus mengalami ketakutan. Demikian juga agaknya orang itu. Seandainya lehernya langsung dipatahkan, maka itu akan lebih baik baginya.

Tetapi kematian itu pun tidak perlu bagi prajurit Tambak Wedi itu. Karena itu maka katanya, “Gupala, serahkan yang seorang ini kepadaku.”

“He, aku memerlukannya.”

“Kau sudah menyelesaikan yang seorang. Mudah-mudahan ia tidak mati.”

”Akan kau apakan orang yang satu ini.”

“Serahkanlah kepadaku.”

Orang yang memegang pedang itu berdiri termangu-mangu. Dadanya menjadi semakin berdentangan. Apalagi ketika sejenak kemudian ia melihat bayangan yang seorang lagi maju mendekatinya.

“Terserahlah kepadamu,” desis Gupala kemudian.

Gupita tidak menjawab. Ia langsung maju mendekati orang itu sehingga orang itu pun melangkah surut. Seperti ketika Gupala mengganggunya, maka dengan gila ia memutar pedangnya.

Namun sejenak kemudian, di belakang ayunan pedang orang itu, Gupita meloncat dengan kecepatan yang tidak dimengerti oleh lawannya. Tangan kanannya menangkap pergelangan tangan, sedang tangan kirinya mencengkam tengkuk.

Semuanya itu hanya berlangsung beberapa kejapan mata. Kemudian perlahan-lahan Gupita meletakkan orang itu berbaring di tanah dan merampas pedangnya.

“Biarlah ia tidur sampai Ki Tambak Wedi membangunkannya.”

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia melangkah mendekati yang seorang lagi. Sambil meraba-raba dadanya ia berdesis, “Orang ini pun belum mati.”

“Marilah kita tinggalkan mereka. Kita segera pulang sebelum kita bertemu dengan Ki Tambak Wedi. Bawalah senjata orang itu. Kita masing-masing mempunyai sebuah pedang.”

“Untuk apa?” bertanya Gupala.

“Mungkin kita memerlukannya. Kalau tidak, kita memerlukan untuk mencari kayu.”

Gupala tidak menjawab. Diambilnya senjata orang yang masih terkapar di tanah itu. Dan sejenak kemudian maka mereka pun meninggalkan lawan-lawan mereka yang sudah tidak berdaya.

~ Article view : [240]