Api di Bukit Menoreh [ series 55-60 ]

1039

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND

Karya : SH. Mintardja

 

Series 55

 

AGUNG Sedayu yang sedang memperhatikan kedatangan pengawas yang berkumis itu terkejut, ketika Swandaru berteriak, “Awas, Kakang!”

Agung Sedayu sadar, bahwa orang yang jatuh itu masih mungkin berbuat sesuatu. Karena itu ia pun segera berpaling ke arahnya. Tepat pada saatnya, Agung Sedayu melihat orang itu berusaha bangkit dan melemparkan lagi sebuah pisau kecil ke arahnya.

Untunglah, bahwa Agung Sedayu tidak terlambat. Ia masih sempat mengelak, sekaligus memungut sebuah batu dan melontarkannya ke arah orang yang kini sudah duduk itu.

Ternyata lemparan Agung Sedayu kali ini, dari jarak yarg lebih dekat, disertai kemarahan yang melonjak di dadanya, telah menumbuhkan akibat yang parah. Lemparannya kali ini mengenai dada orang itu. Sejenak serasa nafasnya terhenti mengalir. Kemudian, semuanya menjadi gelap. Dan orang itu pun menjadi pingsan.

Tetapi kini Agung Sedayu masih harus menghadapi pengawas yang berkumis itu. Dengan wajah yang merah padam ia mendekati Agung Sedayu sambil berkata, “Kau memang anak gila. Apakah kau sadari, apa yang telah kau lakukan?”

Agung Sedayu berdiri tegak di atas kedua kakinya yang merenggang. Semuanya sudah terlanjur menjadi kisruh. Karena itu, maka ia harus menghadapi lawannya itu. Kalau tidak, maka agaknya ia sendirilah yang akan menjadi korban.

Sementara itu, selagi semua perhatian tertuju kepada Agung Sedayu dan pengawas yang berkumis itu, Kiai Gringsing mendapat kesempatan untuk merawat pemimpin pengawas yang terluka punggungnya. Dengan hati-hati Kiai Gringsing mencabut pisau itu. Sejenak ia tertegun. Pisau itu pun agaknya beracun pula.

Untunglah bahwa di dalam keadaan yang gawat, di antara orang-orang yang selalu bermain-main dengan racun, ia sudah menyiapkan beberapa jenis obat-obatan. Tanpa menarik perhatian orang lain. Kiai Gringsing segera menaburkan serbuk obat ke atas luka itu. Kemudian dimasukkannya sebutir obat yang lain ke dalam mulutnya. Desisnya, “Telanlah. Kau akan sembuh.”

Di antara sadar dan tidak, pemimpin pengawas itu berusaha menelan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing, sementara lukanya terasa menjadi sangat panas.

“Jangan terkejut. Lukamu memang terasa sakit, tapi kau akan sembuh. Percayalah dan berdoalah agar Tuhan menolongmu.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun terpaksa menyeringai menahan sakit yang menggigit punggungnya.

Dalam pada itu, pengawas yang berkumis itu pun telah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu. Beberapa orang perlahan-lahan bergeser mendekatinya. Wanakerti pun telah berada di dekat keduanya yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

“Kau sadar apa yang telah kau lakukan?” bertanya petugas yang berkumis itu.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah pengawas yang berkumis itu dan Wanakerti berganti-ganti. Bahkan kadang-kadang ia masih sempat berpaling ke arah orang yang kini terbaring pingsan di samping gundukan padas

Dalam pada itu, Swandaru yang sudah mendapat kesempatan beristirahat sejenak, telah berdiri pula. Tertatih-tatih ia berjalan mendekati kakak seperguruannya. Kini ia sudah berhasil menarik cambuknya yang melilit kaki orang yang kekurus-kurusan yang ternyata sedang pingsan pula.

“Aku jadi sangat bingung,” berkata Swandaru kemudian tanpa menghiraukan apa pun. “Orang-orang di sini adalah orang-orang yang sangat aneh bagiku. Aku sama sekali tidak mengerti akan tingkah laku mereka.”

“Diam!” bentak orang berkumis itu. “Atau kau akan aku bunuh sama sekali dengan saudaramu ini.”

“Jangan. Aku memang masih ingin hidup.”

Orang berkumis itu menggeram, sementara Agung Sedayu berkata, “Kenapa kita tidak mencoba berbicara dengan baik. Mungkin kita hanya sekedar salah paham. Dengan berbicara berterus terang, semua persoalan akan dapat diselesaikan.”

“Tidak ada gunanya!” teriak pengawas berkumis itu.

“Anak itu benar,” berkata Wanakerti, “kita masih mempunyai banyak kemungkinan selain kekerasan.”

“Aku melihat perkembangan keadaan dari ketiga orang ini. Kedua orang yang sudah dikalahkan oleh anak yang gemuk ini sudah berusaha untuk berbicara, jauh sebelum peristiwa ini terjadi.”

“Bukan pembicaraan,” sahut Agung Sedayu, “tetapi pengusiran. Setiap kali kita berbicara, maka yang disebut-sebutnya hanyalah, agar kami meninggalkan tanah garapan ini tanpa alasan yang masuk akal. Mereka menghendaki kami pergi. Hanya itu. Sudah tentu kami berkeberatan, karena para petugas pun tidak menginginkan demikian.”

“Ya,” berkata Wanakerti, “kami memang tidak berkeberatan. Hanya, keonaran memang harus diusut sebaik-baiknya.”

“Jangan ikut campur,” bentak prajurit berkumis itu, “apakah kau ingin mengalami nasib seperti pemimpin kita itu?”

“Tidak akan mungkin lagi. Lihat, pelempar pisau itu sedang pingsan.”

“Orang itu memang sedang pingsan. Tetapi ia tidak mengalami gangguan yang berarti. Ia sekedar tidak menyadari keadaan dirinya. Namun lemparanmu memang dahsyat sekali. Bukankah kau telah melemparnya dengan batu?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu.

“Itu adalah kesalahan yang besar. Kau sudah berani melawan pengawas. Pengawas daerah yang sedang dibuka ini. Kau sudah mencederai orang lain.”

“Sekali lagi bukan maksudku. Kalau kau perkenankan, biarlah aku menolong orangmu itu. Dan orang itu sama sekali bukan petugas di sini. Seterusnya kita akan berbicara dengan mulut, bukan dengan ujung senjata macam apa pun juga.”

“Jangan mencoba menghindari tanggung jawab. Sekarang serahkan kedua tanganmu. Kau memang harus diikat.”

“Jangan bertindak sendiri,” berkata Wanakerti. “Aku juga seorang petugas seperti kau. Kau bukan pimpinan di sini. Kau dan aku tidak akan berbeda. Hakmu sama dengan hakku dan wewenangmu sama dengan wewenangku.”

“Tetapi ada yang lain,” petugas itu menggeram, “kemampuanmu sama sekali tidak akan dapat menyamai kemampuanku. Kau tidak lebih baik dari orang yang tinggi kekar, yang sama sekali tidak berdaya melawan anak yang gemuk itu. Dan kau tidak akan dapat melawan aku.”

“Aku tidak sendiri,” suara Wanakerti menjadi berat. Meskipun ia sadar, bahwa petugas yang berkumis itu pasti mempunyai kelebihan dari para petugas yang lain. Tetapi Wanakerti pun sadar bahwa petugas yang seorang ini pasti mempunyai latar belakang tersendiri pula, sehingga ia bertindak sebelum membicarakannya dengan kawan-kawannya.

Dalam pada itu, para petugas yang lain pun telah berada di sekitar Wanakerti. Wajah mereka menjadi tegang. Betapapun juga, setelah Wanakerti menyatakan perasaannya, para pengawas yang lain pun ikut pula menyadari, apakah yang sebenarnya mereka hadapi.

Pengawas yang berkumis itu pun menjadi bertambah tegang. Sekali-sekali dipalingkannya wajahnya kepada orang yang pingsan di samping seonggok batu padas. Dengan demikian, maka segalanya telah berubah. Orang yang pingsan itu sama sekali tidak lagi dapat membantunya.

Meskipun demikian pengawas yang gemuk itu sama sekali tidak menyerah. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya sambil berkata lantang, “Aku telah bertindak tepat menurut pendapatku. Siapa pun yang akan menghalangi, harus aku singkirkan. Aku tidak peduli apakah mereka itu para petugas sendiri.”

Wanakerti maju selangkah. Katanya, “Pemimpin kita telah cedera. Kita bukan orang yang terlampau dungu untuk menilai keadaan. Setiap orang akan dapat menghubungkan, orang yang tinggi kekar, orang yang kekurus-kurusan, kau, dan orang yang pingsan itu. Aku tidak tahu, hubungan apakah yang sudah kalian jalin selama ini. Tetapi sudah tentu, maksud kalian sama sekali tidak akan kami benarkan. Kami, para petugas terpaksa harus menangkap kau dan orang-orang lain itu.”

“Persetan!” geram orang berkumis itu, “Ayo, siapa dahulu yang akan mati.”

Agung Sedayu menjadi bingung. Tetapi ketika ia maju selangkah, Wanakerti berkata, “Serahkan kepada kami. Kamilah yang akan menyelesaikannya.”

Orang berkumis itu menggeram. Dengan mata yang kemerah-merahan dilihatnya tiga orang pengawas telah mengepungnya.

“Menyerahlah. Kami yang seharusnya berlima, kini tinggal bertiga, setelah pemimpin kami terluka dan kau berada di luar lingkungan kami. Tetapi kami masih tetap akan menjalankan tugas kami sebaik-baiknya.”

Pengawas yang berkumis itu memandang ketiga kawannya berganti-ganti. Wajah yang tegang menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba saja ia tertawa berkepanjangan.

“Aku mengenal kalian bertiga dengan baik,” berkata orang berkumis itu di antara derai tertawanya. “Kalian sama sekali tidak akan mampu berbuat apa-apa. Aku tahu pasti, bahwa kalian adalah pengecut-pengecut yang hanya mampu menyembunyikan diri. Coba katakan kepadaku, kenapa kalian semalam tidak berani keluar dari gardu pengawas itu meskipun kalian tahu, bahwa rumah ini terbakar? Kalian adalah petugas yang harus menjaga ketenteraman daerah dari apa pun juga. Juga seandainya di daerah ini ada hantu-hantu. Tetapi kalian tidak mampu. Kalian tidak dapat mengatasi kesulitan hubungan antara para pembuka hutan dengan hantu-hantu sehingga korban masih saja berjatuhan. Yang terakhir, suatu isyarat yang sangat berat. Api. Sedang ketiga orang ini masih saja berkeras kepala.”

“Kami akui,” jawab Wanakerti, “kami tidak dapat melakukan tugas kami dengan baik. Ternyata usahamu selama ini telah berhasil. Kau berhasil menakut-nakuti kami apabila kami akan melakukan suatu tindakan.”

“Itu adalah kebodohan kalian. Kebodohan orang yang kalian sebut pemimpin kalian itu.”

“Jangan banyak bicara,” berkata Wanakerti kemudian, “menyerahlah.”

“Kau gila. Pemimpinmu sudah mati. Sebentar lagi kau dan semua orang yang tidak tunduk kepada perintahku.”

“Kau sudah memberontak kepada Ki Gede Pemanahan.”

“Kau. Kaulah yang sama sekali tidak mampu menjalankan tugas yang dibebankan kepada kalian. Termasuk pemimpin yang dungu itu. Nah, apa katamu?”

Wanakerti tidak menyahut. Ia maju selangkah, diikuti oleh kawan-kawannya dari arah yang lain.

“Jadi kita akan bertempur?” bertanya orang berkumis itu.

Wanakerti masih tetap diam. Tetapi setapak demi setapak ia maju terus.

Orang berkumis itu pun kemudian segera menyiapkan dirinya. Agaknya ia tidak akan dapat menghindar lagi. Ia harus melawan ketiga kawan-kawannya.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing sudah berhasil mengatasi saat-saat yang paling berbahaya dari pemimpin pengawas yang terluka. Perlahan-lahan pemimpin pengawas itu merasa tubuhnya bertambah baik, meskipun ia menjadi sangat lemah karena racun-racun yang bertambah tajam. Kalau saja tidak ada orang tua itu, maka ia pasti sudah mati di dalam beberapa kejapan mata saja.

Kiai Gringsing pun merasa bahwa usahanya berhasil. Karena itu, kini ia dapat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang tinggi kekar itu sedang menunggui kawannya yang masih pingsan.

“Apakah kawanmu itu akan kau biarkan saja?” bertanya Gringsing.

Orang yang tinggi kekar itu menjadi bingung.

“Kemarilah,” berkata Kiai Gringsing.

Orang itu masih saja ragu-ragu.

“Kemarilah. Aku tidak menggigit.”

Dengan bimbang orang yang tinggi kekar itu melangkah mendekati Kiai Gringsing. Kegarangannya selama ini sama sekali sudah lenyap. Bahkan wajahnya tampak menjadi pucat dan suram.

“Kau harus mencari air,” berkata Kiai Gringsing setelah orang yang tinggi kekar itu mendekat. “Teteskanlah ke dalam mulutnya. Setitik demi setitik. Jangan terlampau banyak supaya kau tidak membunuhnya, karena titik air itu justru akan menyumbat kerongkongannya. Bawalah orang itu ke barak. Bukankah kau bertubuh raksasa. Kau pasti kuat membawanya. Nanti aku akan datang menolongnya. Luka-luka itu tidak berbahaya meskipun terasa sakit sekali. Bersihkan darahnya dan usahakan menahan apabila masih ada yang mengalir dari luka-luka itu. Tetapi luka-luka itu adalah luka-luka yang dangkal saja.

Orang yang tinggi kekar itu seakan-akan sudah tidak mampu berpikir sama sekali. Di antara sadar dan tidak, ia kemudian kembali kepada kawannya yang pingsan. Diangkatnya kawannya itu dengan kedua tangannya, kemudian dibawanya meninggalkan arena yang masih diliputi oleh ketegangan.

Karena kini semua perhatian tertuju kepada para pengawas yang sudah siap untuk bertempur, tidak seorang pun yang menghiraukan orang yang kekar itu, selain Swandaru. Tetapi Swandaru pun kemudian membiarkannya ketika ia mendapat isyarat dari gurunya.

“Kenapa orang itu kau biarkan pergi?” bertanya pemimpin pengawal yang masih terlampau lemah itu.

“Mereka tidak akan pergi. Orang yang tinggi kekar itu sudah kehabisan nalar. Ia akan menurut apa yang akan aku katakan. Apalagi keduanya itu pun sama sekali tidak penting. Aku menganggap bahwa bawahanmu yang berkumis itulah yang termasuk orang penting dari lingkungan yang belum kita kenal ini. Juga orang yang pingsan, yang melemparkan pisau ke punggungmu.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kau dan anak-anakmu?”

“Aku dan anak-anakku. Itu sudah betul.”

“Ya, namamu dan kedudukanmu.”

“Sudah aku katakan. Kami ingin ikut membuka hutan ini karena kami tidak lagi mempunyai harapan apa-apa di daerah kami yang lama.”

“Kau sangka aku percaya?”

“Sekarang tentu tidak. Tetapi biarlah untuk sementara itulah aku. Percaya atau tidak percaya.”

Pemimpin pengawas itu menarik nafas dalam-dalam.

“Kau dapat duduk sendiri?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya.”

“Baiklah. Aku akan mengambil orang yang pingsan itu sebentar. Sudah tentu aku tidak akan melepaskannya seperti orang yang kekurus-kurusan itu.”

Pemimpin pengawas itu merenung sejenak. Dipandanginya orang-orang yang sedang mengerumuni para pengawas yang justru telah berselisih di antara mereka, sehingga pemimpin pengawas itu tidak dapat melihat, apa yang sedang terjadi di arena.

“Tunggulah, aku tidak akan lama,” desis Kiai Gringsing.

Pengawas itu menganggukkan kepalanya.

Kiai Gringsing pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa ke tempat orang yang sedang pingsan karena hentakkan batu yang telah dilemparkan oleh Agung Sedayu. Karena pengawas yang berkumis itu sedang memusatkan perhatiannya kepada tiga orang lawannya yang mengepungnya, maka ia sama sekali tidak sempat melihat, bahwa seseorang telah mengambil orang yang pingsan itu.

Pada saat Kiat Gringsing mendekatinya, ternyata orang itu sudah mulai membuka matanya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika ia mulai sadar, maka dengan susah payah ia pun mencoba untuk bangkit. Tetapi pada saat itu sepasang tangan yang kuat telah mencengkam pundaknya. Sejenak ia menyeringai, namun tiba-tiba ia telah kehilangan kesadarannya kembali.

Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing pun kemudian membawanya kepada pemimpin pengawas yang terluka. Diletakkannya orang yang pingsan itu di sampingnya sambil berkata, “Ia masih pingsan. Sebentar lagi ia akan sadar.”

“Bagaimana kalau ia lari? Aku sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk berbuat sesuatu.”

“Sebaiknya tangan dan kakinya diikat saja.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan kain panjangnya sendiri, orang itu pun telah diikat tangan dan kakinya, sehingga apabila ia sadar kelak ia tidak akan dapat lari dan berbuat apapun.

“Kau sekarang dapat menungguinya,” desis Kiai Gringsing.

“Kau?”

“Aku akan melihat apa yang terjadi. Agaknya anak buahmu telah berselisih pendapat.”

“Ya. Tetapi ternyata orang yang berkumis itu cukup berbahaya. Ia pasti mempunyai bekal untuk menyombongkan dirinya seperti itu.”

“Aku akan melihat. Jagalah orang yang terikat ini baik-baik. Keadaanmu pun pasti akan segera berangsur baik.”

Pengawas itu menganggukkan kepalanya. Dengan susah payah, dicabutnya pedangnya sambil berkata, “Kalau ia memberontak aku tinggal menghunjamkan pedangku saja.”

“Jangan kau bunuh. Kita memerlukannya.”

“Aku tahu. Tetapi ujung pedangku akan dapat menakut-nakutinya, meskipun aku tidak mampu mengangkatnya sama sekali.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun sejenak kemudian, ia pun pergi meninggalkan pemimpin pengawas yang masih sangat lemah itu untuk melihat apa yang telah terjadi di dalam lingkaran orang-orang yang sedang tegang.

Ternyata bahwa suasana telah memuncak. Hampir bersamaan ketiga pengawas itu telah menyerang.

Tetapi ternyata orang berkumis itu benar-benar tangkas, dengan lincahnya ia berloncatan menghindari serangan yang datang dari tiga arah itu. Bahkan ia masih juga sempat menggeliat, sambil mengayunkan tangan kirinya.

Meskipun tidak terlalu keras, tetapi sisi telapak tangan itu masih juga sempat mengenai pundak salah seorang lawannya, sehingga orang itu menyeringai menahan sakit.

Namun dalam pada itu, para pengawas itu pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka menyerang pula berurutan dari arah yang berlainan.

Meskipun demikian, ternyata orang yang berkumis itu masih mampu untuk menempatkan dirinya. Ia sama sekali tidak gentar melawan ketiga kawan-kawannya, meskipun dalam penilaian wajar, ketiga pengawas itu cukup mempunyai kemampuan. Bahkan kemampuan seorang prajurit. Tetapi lawannya yang seorang itu memang seorang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Sejenak mereka bertempur melingkar-lingkar. Semakin lama semakin seru. Tetapi juga ternyata bahwa ketiga orang itu tidak akan segera dapat menguasai keadaan.

Agaknya kelima pengawas itu merasa, bahwa dengan begitu saja mereka tidak akan dapat menangkap orang yang berkumis itu. Karena itu maka tiba-tiba salah seorang dari ketiganya telah mencabut pedangnya sambil berkata, “Aku terpaksa memaksamu untuk menyerah sekarang.”

Tetapi orang yang berkumis itu justru tertawa. Katanya, “Apakah kita akan mempergunakan senjata?”

“Ya,” jawab pengawas yang telah mencabut pedangnya.

Orang yang berkumis itu memandanginya sejenak. Kemudian dipandanginya pula kedua orang lawannya yang lain. Mereka pun agaknya telah siap pula mencabut senjata mereka.

Yang berdebar-debar kemudian adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing, yang telah ikut menyaksikan perkelahian itu pula. Agaknya senjata-senjata itu justru akan berbahaya bagi Wanakerti sendiri bersama kedua kawannya. Menilik sikap dan geraknya, orang yang berkumis itu memang bukan orang kebanyakan. Ia bukan tataran seorang pengawas bawahan.

“Siapakah yang menempatkannya di dalam lingkungan pengawas itu?” bertanya Kiai Gringsing di dalam hatinya. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di sela-sela orang yang berkerumun, ia melihat tawanannya masih terbaring ditunggui oleh pemimpin pengawas yang terluka itu.

“Kalianlah yang telah mulai dengan senjata,” berkata orang yang berkumis itu. “Kalau terjadi sesuatu atas kalian, bukan salahku. Sebenarnya aku hanya ingin membawa kalian menghadap Ki Gede Pemanahan atau Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi dengan senjata-senjata itu, mungkin keadaan akan berbeda. Mungkin ujung senjata kita akan mengambil keputusan lain. Kalian mengerti?”

Ketiga pengawas yang lain tidak menyahut.

“Nah, bersiaplah,” desis orang berkumis itu. Ketiga pengawas yang lain itu pun masih tetap berdiam diri. Wanakerti memandang orang berkumis itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia menyadari, bahwa orang yang berkumis itu memiliki beberapa kelebihan. Tetapi tanggung jawabnya kini justru serasa tergugah.

Orang berkumis itu bergeser beberapa langkah. Ditatapnya ketiga ujung pedang lawannya berganti-ganti. Tetapi tampaknya ia sama sekali tidak gentar menghadapi mereka.

Di luar lingkaran orang-orang yang dengan tegang menyaksikan perkelahian itu, perlahan-lahan orang yang melemparkan pisau belati beracun ke arah punggung pemimpin pengawas itu mulai sadar. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Namun kemudian disadarinya bahwa tangan dan kakinya telah terikat.

“Setan alas!” ia menggeram.

“Apa kabar, Ki Sanak?” sapa pemimpin pengawas yang ada di belakang orang yang terikat itu.

Dengan susah payah orang itu berpaling. Ia terperanjat melihat pemimpin pengawas itu duduk sambil menggenggam pedang yang teracu kepadanya, “Aku dapat juga membunuhmu. Meskipun pedangku tidak beracun seperti pisaumu,” pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya, “He, agaknya kita pernah bertemu.”

Orang itu berusaha sama sekali untuk melepaskan tangannya. Tetapi ia tidak berhasil.

“Ha,” berkata pemimpin pengawas itu, “aku ingat, bukankah kau dukun yang tinggal di gubug sebelah dari gubug yang roboh oleh angin dua hari yang lalu? He, bukankah kau dukun itu?”

Orang yang terikat itu sama sekali tidak menjawab.

“Kenapa kau lakukan hal itu atasku, he? Apakah kau termasuk orang-orang yang bergabung dalam suatu gerombolan dengan maksud-maksud tertentu?”

Orang itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kadang-kadang ia masih menyeringai menahan sakit di dadanya yang terkena lemparan batu Agung Sedayu.

“Kenapa, he? Selama ini kau dihormati karena kau dapat menolong sesamamu di sini. Hanya orang-orang yang mengalami gangguan hantu-hantu saja yang tidak dapat kau obati, itu pun kau dapat menunjukkan agar kami berhubungan dengan dukun yang tinggal terpencil itu. Ternyata di dalam keadaan ini kau telah memusuhi kami, para petugas.”

Orang itu masih tetap berdiam diri. Kini ia berbaring diam membelakangi pemimpin pengawas itu.

“Dengar,” desis pemimpin pengawas itu, “meskipun aku terluka, aku masih dapat membunuhmu.”

Dukun itu mengerutkan keningnya ketika terasa ujung pedang pemimpin pengawas itu menyentuh punggungnya.

“Di bagian inilah kira-kira pisaumu menancap di punggungku. Aku pun dapat melubangi punggungmu di bagian ini pula. Tetapi sayang bahwa pedangku tidak beracun,” namun tiba-tiba pemimpin pengawas itu berkata. “He, inilah pisaumu yang dicabut dari punggungku. Meskipun sudah merasuk ke tubuhku, namun agaknya masih ada juga sisa racun yang dapat membumbui darahmu.”

Orang itu terkejut sehingga ia tersentak. Tetapi karena kaki dan tangannya terikat, ia hanya dapat berguling. Dengan wajah yang tegang ia melihat pemimpin pengawas itu menggenggam sebilah pisau yang dikenalnya baik-baik. Pisaunya sendiri.

“Kau kenal pisau ini?”

“Jangan. Jangan. Pisau itu sangat beracun.”

“Pisau, ini telah tertancap di punggungku. Sampai saat ini aku masih terlampau lemah karena racun ini. Aku masih belum mampu berdiri tegak. Tetapi aku masih mampu bergeser mendekati kau, kemudian menggoreskan pisau ini memotong urat nadimu di pergelangan tangan.”

“Jangan. Jangan.”

“Kalau kau mempunyai obat pemunah racun di dalam tubuhmu, kau pun akan mati juga, karena darahmu akan mengalir lewat nadimu yang terputus sampai jantungmu kering.”

“Jangan berbuat begitu.”

“Kenapa? Kau sudah berbuat atasku. Kenapa aku tidak boleh berbuat atasmu?”

“Tetapi, tetapi aku tidak ingin membunuhmu.”

Meskipun punggungnya masih terasa pedih, pemimpin pengawas itu masih juga dapat tertawa. Katanya, “Kau tidak bermaksud membunuhku?”

Orang itu terdiam.

“Baiklah, aku tidak akan membunuhmu sekarang. Kau sangat diperlukan bersama seorang pengawasku yang telah memberontak.”

Orang itu kian menjadi tegang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pemimpin pengawas itu masih sempat hidup, dan masih juga ada orang yang berani melawan kehendak pengawas yang berkumis itu. Bahkan ternyata orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan itu sudah tidak berdaya.

“Apa yang kau renungkan?” bertanya pemimpin pengawas itu.

“Bukan apa-apa,” jawab dukun yang terikat itu.

“Bukan apa-apa? Tentu kau sedang merenungkan sesuatu. Apa kau tidak mau menjawab?”

Orang itu terdiam. Tetapi ujung pedang pengawas itu menyentuh tubuhnya, “Katakan, apa yang sedang kau renungkan.”

“Bukan apa-apa,” orang itu tergagap.

“Bohong!” pemimpin pengawas itu menekankan ujung pedangnya. “Atau dengan pisau beracun ini.”

“Jangan, jangan. Aku sedang berpikir, kenapa aku telah terlibat di dalam persoalan yang tidak aku ketahui ini.”

“Nah. Kau sebaiknya memang harus menjawab, meskipun aku tahu bahwa kau berbohong. Kau dapat mengatakan apa saja, karena aku tidak dapat melihat gambaran dari angan-anganmu itu. Tetapi aku bukan orang yang terlampau bodoh untuk sama sekali tidak dapat mereka-reka, yang sedang kau pikirkan.”

Orang itu masih tetap berdiam diri.

“Baiklah aku memang belum mempunyai kekuatan untuk memaksamu berbicara. Kini aku sedang menunggu akhir dari perkelahian itu.”

Tanpa sesadarnya orang itu pun mencoba memandang ke arah orang-orang yang melingkari para pengawas yang sedang berselisih itu. Tetapi ia tidak berhasil melihat, selain punggung-punggung orang-orang yang berdiri dengan tegangnya.

“Kawanmu itu sedang mencoba membela dirinya. Para pengawas yang lain sudah siap menangkapnya. Dengan demikian akan mendapat gambaran yang jelas, apakah sebenarnya yang telah terjadi di daerah ini.”

“Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa.”

“Setidak-tidaknya kami dapat menangkap beberapa orang yang dapat membahayakan daerah ini.”

“Itulah kebodohanmu.”

“Apa?” pemimpin pengawal itu membentak. “Kau menganggap aku bodoh?”

Dukun yang terikat itu merasa ujung pedang pemimpin pengawas itu semakin menekan tubuhnya. “Coba ulangi lagi, apakah aku memang terlampau bodoh?”

“Tidak. Bukan maksudku,” sahut orang itu dengan serta merta.

“Nah, sebenarnya itulah gambaran angan-anganmu yang sebenarnya tentang aku. Tetapi biarlah. Aku memang tidak ingin membunuhmu sekarang.”

Orang itu tidak menyahut. Tetapi ia merasa aneh dan heran, bahwa pemimpin pengawas itu masih saja tetap hidup. Tidak ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari bisa yang diulaskan pada pisaunya. Tetapi ternyata pemimpin pengawas itu masih tetap hidup.

Dalam pada itu, ketiga pengawas yang sedang berhadapan dengan orang berkumis itu, telah mulai menyerang berganti-ganti, sehingga perkelahian pun telah mulai berlangsung. Semakin lama menjadi semakin seru dan mendebarkan jantung.

Meskipun pengawas yang berkumis itu hanya seorang diri dan harus menghadapi tiga orang kawannya, namun ternyata ia memang memiliki bekal yang cukup baik, sehingga ia masih tetap mampu bertahan.

Bahkan kadang-kadang ia masih juga sempat menyerang dengan dahsyatnya, sehingga ketiga lawan-lawannya terkejut karenanya.

Demikianlah, maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Namun dengan demikian justru menjadi semakin nyata, bahwa ketiga pengawas termasuk Wanakerti sama sekali tidak mampu mengimbangi orang berkumis itu.

Semakin lama, orang itu justru menjadi semakin lincah. Pedangnya menyambar-nyambar seperti seekor burung sikatan. Cepat dan langsung mengarah ke bagian-bagian yang berbahaya.

Mereka yang menyaksikan perkelahian itu terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar keluhan tertahan, dan seleret warna merah membekas di lengan salah seorang pengawas yang bertempur bertiga bersama-sama. Kemudian setitik demi setitik darah mulai mengucur dari luka itu, menodai bajunya.

Sejenak kemudian terdengar suara pengawas yang berkumis itu tertawa sambil berkata, “Nah. Darah mulai menitik dari lukamu. Jangan salahkan aku kalau kalian nanti tidak akan dapat keluar lagi dari lingkaran perkelahian ini.”

Demikian lantangnya suara orang berkumis itu sehingga tanpa sesadarnya dukun yang terluka itu berkata, “Nah. kau dengar? Apakah kau sangka kawan-kawanmu itu akan berhasil menangkapnya?”

Pemimpin pengawas itu merenung sejenak. Kemudian ia mendengar lagi orang berkumis itu berkata keras-keras, “Jangan menyesal. Semuanya sudah terlanjur. Kita harus mengakhiri persoalan ini dengan pedang yang sudah dicabut dari sarungnya.”

Tidak terdengar jawaban sama sekali. Tetapi ujung pedang pemimpin pengawas itu telah menekan tubuh orang yang terikat itu, “Kau pun akan mati.”

“Kenapa aku?”

“Kalau orang berkumis itu menang, ia pun akan membunuh aku pula. Karena itu, sebelum aku mati, kau harus mati lebih dahulu.”

“Kenapa aku?”

“Jangan berpura-pura. Kenapa kau melempar aku dengan pisau ketika aku berselisih dengan orang itu?”

“Tetapi, tetapi ……,” orang itu menjadi tergagap.

“Nah, jangan banyak bicara lagi. Kita tunggu. Kalau lingkaran orang-orang itu menyibak, dan yang keluar dari lingkaran itu pengawas yang berkumis, maka aku akan segera menghunjamkan pedangku kepadamu dan menyembunyikan pisau itu di tanganku. Begitu ia mendekat, mengayunkan pedangnya keleherku, aku masih sempat melemparkanya dengan pisau beracun ini dan melukainya meskipun hanya sebaris kecil, seperti goresan ujung duri.”

“Tetapi, apakah kau tidak berpikir, bahwa dengan menghidupi aku, kau akan tetap hidup pula?”

“Aku tidak berpengharapan lagi. Kalau aku membiarkan kau hidup, aku memang teramat bodoh.”

Wajah dukun itu menegang sejenak. Ia berusaha untuk menemukan akal, agar orang berkumis itu berkesempatan menolongnya.

“Orang ini masih sangat lemah,” desisnya di dalam hati, “kalau aku berguling-guling agak cepat, ia tidak akan mampu mengejarku. Pada saat aku yakin akan kemenangan pengawas itu, aku harus cepat-cepat berguling menjauh sambil berteriak-teriak.”

Demikianlah, maka dukun yang terikat itu menunggu kesempatan untuk mendapatkan pertolongan. Karena itu, maka ia selalu saja mengawasi, kalau-kalau orang-orang yang melingkari arena itu mulai menyibak.

Tetapi agaknya perkelahian itu masih berlangsung terus. Meskipun seorang dari ketiga pengawas yang bertempur bersama itu sudah terluka, namun mereka masih tetap bertempur mati-matian.

Namun keadaan selanjutnya telah membuat beberapa orang menjadi kian menegang. Agaknya ketiga orang itu sama sekali tidak akan mampu mengimbangi lawannya yang hanya seorang itu. Ternyata bahwa seorang yang lain telah tergores pula oleh senjata orang berkumis itu, bahkan juga Wanakerti sendiri.

Swandaru yang berdiri di belakang Agung Sedayu, menyaksikan perkelahian itu dengan dada berdebar-debar. Bahkan kemudian ia melangkah maju sambil meremas ujung cambuknya.

Agung Sedayu menahan nafasnya. Sekali-sekali ia berpaling kepada gurunya yang telah menjadi cemas pula. Tetapi Kiai Gringsing masih tetap berdiri diam di tempatnya.

Demikianlah, perkelahian itu semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa ketiga pengawas yang berkelahi bersama-sama itu berada di dalam bahaya. Orang berkumis itu dengan lincahnya berloncatan dengan senjata yang menyambar-nyambar. Meskipun demikian, Wanakerti dan kedua kawannya telah mencoba berbuat sebaik-baiknya yang dapat dilakukannya. Mereka mengadakan perlawanan mati-matian, meskipun mereka menyadari bahwa mereka berada di dalam bahaya yang dapat merampas nyawanya.

Swandaru yang tidak dapat menahan diri melihat perkelahian itu, berbisik kepada Agung Sedayu, “Apakah kita akan membiarkan ketiganya mati? Atau seandainya kita akan berbuat sesuatu, kita menunggu korban itu berjatuhan lebih dahulu, atau kita tidak akan berbuat apa-apa sama sekali.”

“Kita akan berbuat sesuatu,” bisik Agung Sedayu. “Berbuat atau tidak berbuat kita pasti akan tersudut, karena orang berkumis itu memang berminat membunuh kita. Ketiga pengawas itu hanya sekedar mencoba mencegahnya.”

“Karena itu kita tidak boleh membiarkan mereka menjadi korban,” Swandaru berdesis pula. “Tetapi apakah pedang itu beracun juga?”

“Tampaknya tidak. Pedang itu adalah pedang pengawas. Orang itu yakin akan dapat mengalahkan lawannya. Tetapi tidak mustahil bahwa ia membawa senjata beracun pula, seperti yang lain.”

Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu, “Aku akan mencegah mereka terbunuh.”

“Jangan kau. Kau masih lelah. Nafasmu belum pulih.”

“Jadi.”

“Aku akan minta ijin pada guru.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Cepatlah, sebelum salah seorang dari mereka menjadi korban. Apalagi ketiga-tiganya.”

Agung Sedayu pun kemudian bergeser mendekati gurunya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, agaknya gurunya telah mengetahuinya, sehingga ia mendahuluinya berkata lambat, “Hati-hatilah. Pedang itu pasti bukan senjata satu-satunya. Tetapi ingat, jangan bunuh orang itu. Kami memerlukannya.”

Agung Sedayu mengangguk. Namun di dalam hati ia berkata, “Mudah-mudahan aku tidak kehilangan kesempatan untuk menangkapnya hidup-hidup. Atau justru akulah yang ditangkapnya.”

Demikianlah, sejenak kemudian salah seorang pengawas yang berkelahi itu terloncat surut. Sebuah luka yang agak dalam telah menyobek bahunya, sehingga ia menjadi semakin lemah karenanya. Dengan demikian, maka kedudukan ketiga pengawas itu menjadi semakin sulit.

Orang berkumis itu tertegun sejenak. Ketika ia melihat ketiga lawannya termangu-mangu, ia pun tertawa berkepanjangan sambil berkata, “Nah, apakah kalian menyesal?”

Ketiga lawannya sama sekali tidak menyahut.

“Sayang, kalian tidak akan mendapat kesempatan lagi.”

Wanakerti menggeretakkan giginya. Suara tertawa itu memang sangat menyakitkan hati.

“Aku sama sekali tidak ingin mendapat belas kasihanmu,” geram Wanakerti, “karena kami merasa sanggup melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Kau mengerti?”

“Maksudmu kau akan bertempur sampai mati?”

“Maksudku, aku akan membunuhmu.”

Orang berkumis itu tertawa semakin keras. Namun tiba-tiba suara tertawanya berhenti ketika Wanakerti berkata, “Sebenarnya kami tidak memerlukan kau lagi. Seandainya kau tidak dapat kami tangkap, dan bahkan seandainya kamu akan mati sekalipun, kami tidak akan berkeberatan. Kawanmu yang pingsan itu agaknya telah diambil oleh para petugas yang lain. Ia akan dapat banyak memberikan keterangan.”

“He,” orang itu terkejut. Tetapi ketika ia berpaling yang dilihatnya adalah orang-orang yang berkerumun.

“Minggir,” ia berteriak.

Ternyata beberapa orang menjadi ketakutan dan segera menyibak. Di sela-sela orang-orang yang telah menyibak itu, orang berkumis itu hanya dapat melihat seonggok batu padas. Kawannya memang sudah tidak berada di tempatnya.

“Aku melihat seseorang mengambilnya,” berkata Wanakerti, “dan aku sengaja memancing perhatianmu. Kini, apa yang hendak kau katakan kepada Ki Gede Pemanahan seandainya ia datang kemari?”

Orang berkumis itu menjadi tegang sejenak. Namun kemudian ia menggeram, “Licik. Licik sekali.”

Wanakerti tidak menjawab. Meskipun lukanya terasa pedih, tetapi ia mencoba untuk tertawa, “Kami tidak berkeberatan untuk mati. Tetapi segala usahamu di sini akan gagal.”

Dalam pada itu, orang yang terikat itu pun dapat mendengar serba sedikit pembicaraan mereka yang berada di arena. Apalagi suara orang berkumis yang keras dan lantang itu. Sejenak meloncat di hatinya keinginannya untuk berteriak, memberitahukan kepada orang berkumis itu, bahwa ia masih berada di tempat itu, meskipun terikat.

Tetapi ketika mulutnya hampir saja bergerak, ujung pedang pemimpin pengawas itu telah menyentuh bukan saja punggung atau lambungnya, tetapi mulutnya.

“Aku tahu, kau akan berteriak memanggilnya,” desis pemimpin pengawas itu.

Orang yang terikat itu mengumpat di dalam hati. Tetapi ia memang tidak mendapat kesempatan untuk berteriak. Karena itu, ia tidak berhasil memberikan isyarat apa pun kepada orang berkumis yang berada di arena.

Orang berkumis yang telah berhasil melukai ketiga lawannya itu menjadi termangu-mangu. Ia sudah berusaha mencegah anak gembala tua yang melempar dukun yang pingsan itu dengan batu. Tetapi kini ternyata ada orang lain yang melakukannya.

“Siapakah yang telah berani mengambilnya?” ia menggeram.

Wanakerti berdesis menahan sakit. Namun kemudian ia menjawab, “Aku tidak tahu. Tetapi menurut sikap dan pakaiannya, ia adalah utusan atau setidak-tidaknya pengawas yang sedang bertugas melihat-lihat perkembangan daerah ini.”

“Bohong, kau bohong. Aku tidak mendengar suara kuda. Kalau benar mereka yang kau maksudkan, mereka pasti datang berkuda. Mereka tidak akan langsung mengetahui apa yang telah terjadi di sini.”

Wanakerti mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat menjawab. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku tidak tahu pasti siapakah yang telah mengambilnya. Tetapi pasti bukan dari golonganmu.”

Orang berkumis itu menggeram. Katanya, “Orang itu pasti belum terlampau jauh. Aku harus menemukannya.”

Tiba-tiba saja orang itu ingin segera menyelesaikan pekerjaannya di arena ini. Karena itu, maka wajahnya menjadi merah dan tatapan matanya menjadi liar.

“Kalian harus segera mati, supaya aku segera dapat menangkap orang yang telah mencuri orang yang pingsan itu.”

Wanakerti tidak menyahut. Bersama kedua kawan-kawannya yang telah terluka ia pun segera bersiap. Tetapi kini ia sudah berhasil mempengaruhi perasaan orang itu, sehingga ia akan selalu diganggu oleh kegelisahannya.

Ternyata bahwa kedua kawan Wanakerti yang telah terluka itu pun mengerti maksudnya. Mereka harus bertahan sejauh-jauh dapat dilakukan. Semakin lama orang berkumis itu akan menjadi semakin gelisah, sehingga pengamatannya atas dirinya sendiri pasti akan berkurang.

Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun terulang lagi. Tetapi meskipun orang berkumis itu menjadi gelisah namun ia masih tetap garang. Bahkan sikap dan geraknya menjadi semakin kasar, meskipun kadang-kadang tergesa-gesa dan kurang cermat.

Wanakerti tidak lagi berusaha menyerang. Ia hanya sekedar bertahan dan mengganggu orang berkumis itu apabila ia sedang menyerang kawannya yang paling lemah, yang pundak, tangan dan bahunya sudah terluka.

Meskipun demikian, namun Wanakerti dan kedua kawannya benar-benar berada di dalam kesulitan. Mereka semakin terdesak dan kehilangan kesempatan, sehingga pada suatu saat, orang berkumis itu berteriak, “Aku sudah tidak sabar lagi. Kalian memang harus mati sekarang, di sini.”

Pedang orang berkumis itu pun kemudian berputar semakin cepat menyambar-nyambar ke segala arah.

Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata kepadanya, “He, jangan cemas. Dukun yang pingsan itu kini sedang diobati. Seseorang telah membawanya ke tempat Kiai Damar. Karena di sini tidak ada dukun yang lain selain dirinya sendiri, maka hanya Kiai Damar-lah yang akan dapat menolongnya.”

Ternyata kata-kata Agung Sedayu telah menarik perhatian orang berkumis itu, sehingga ia tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu yang telah maju beberapa langkah mendekatinya.

“Darimana kau tahu?” bertanya orang berkumis itu.

“Seseorang telah mengambilnya. Aku kira ia akan dibawa kepada Kiai Damar.”

“Ya, darimana kau tahu?”

Pertanyaan itu ternyata telah membingungkan Agung Sedayu, sehingga sekenanya saja ia menjawab, “Aku hanya menduga. Tetapi, kenapa kau begitu bernafsu untuk mempertahankan orang yang pingsan itu? Seharusnya kau relakan saja orang itu. Karena ia telah melukai pemimpinmu.”

“Tidak sekedar melukai. Luka yang sekecil ujung jarum pun akan berarti kematian.”

“Tetapi pemimpinmu masih belum mati.”

“Bohong!”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada gurunya. Ketika gurunya menganggukkan kepalanya, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.

“Baiklah,” katanya kemudian kepada orang berkumis itu, “kau akan dapat melihatnya sendiri.”

“Bohong. Kau akan menjebak aku?”

“Tidak,” jawab Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, pemimpin pengawas itu pun menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Agung Sedayu. Tetapi percakapan yang sebagian didengarnya itu telah mendebarkan jantungnya.

Karena itu, maka ia pun menekankan pedangnya kini di leher tawanannya sambil menyembunyikan pisau di bawah rerumputan. Setiap saat ia siap menghunjamkan pedangnya ke leher tawanannya dan kemudian menggoreskan pisau, itu apabila orang berkumis itu mendekatinya. Betapa lemah tubuhnya, tetapi ia pasti masih sanggup melemparkan pisau pada jarak yang sangat dekat dan melukainya.

Sejenak kemudian pemimpin pengawas itu malahan mendengar Agung Sedayu berkata lantang, “Menyibaklah. Biarlah orang ini melihat, bahwa pemimpinnya masih dan akan tetap hidup.”

Beberapa orang yang mengerumuni arena itu pun segera menyibak. Dan apa yang dilihat oleh orang berkumis itu memang telah mengejutkannya. Pemimpin pengawas itu duduk di rerumputan sambil mengacukan pedang ke leher dukun yang pingsan itu.

“Setan alas, siapakah yang telah berkhianat?” ia berteriak. Tetapi ketika ia melangkah mendekati mereka Agung Sedayu berkata, “Jangan pergi ke sana. Perkelahian ini masih belum selesai.”

Langkah orang berkumis itu terhenti. Sejenak ia memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Sekali-sekali ia masih juga memandang Wanakerti dan kedua kawannya berganti-ganti.

Dengan nada yang dalam ia menggeram, “Jadi maksudmu, agar aku membunuh ketiga orang ini dahulu?”

“Bukan begitu,” jawab Agung Sedayu, “sebaiknya kau tidak usah mengurus orang itu. Pemimpin pengawas itu telah berhasil menangkap orang yang melempar punggungnya dengan pisau, dan bahwa orang itu telah terikat di sana. Biarlah nanti Ki Gede Pemanahan atau puteranya yang akan mengadili.”

Orang berkumis itu menjadi termangu-mangu sejenak. Ia menjadi bingung menghadapi keadaan yang tidak disangka-sangkanya. Banyak hal yang tiba-tiba saja harus dihadapinya. Hadirnya tiga orang ayah beranak itu sejak semula memang telah menimbulkan kecurigaan, sehingga dengan segala macam usaha, bersama-sama dengan kawan-kawannya ia telah berusaha mengusirnya. Tetapi kini justru ia dihadapkan pada keadaan yang tidak dimengertinya. Kenapa pemimpin pengawas itu dapat bertahan dari bisa racun yang sangat tajam. Dan alangkah menjengkelkan sekali bahwa anak yang gemuk itu dapat mengalahkan kedua kawannya yang terdahulu, sehingga ia harus ikut bertindak hari ini bersama dukun yang justru telah tertangkap itu.

Semuanya sama sekali tidak seperti yang direncanakan, karena perhitungannya tentang ayah dan kedua anak-anaknya itu meleset. Dan kini ia harus berhadapan dengan mereka seorang diri.

“Persetan,” orang itu menggeram di dalam hatinya, “ketiga pengawas itu sudah tidak berdaya. Anak ini kalau perlu harus dibinasakan lebih dahulu.”

Karena itu, maka orang berkumis itu kemudian berkata, “Siapa yang akan menghalangi aku? Aku akan mengambil orang yang terikat itu. Aku memerlukannya.”

“Apakah yang akan kau lakukan?”

“Itu urusanku.”

“Tetapi ia telah membuat suatu kesalahan yang besar. Dan adalah wajar sekali kalau dia diikat dan kemudian diserahkan kepada Ki Gede Pemanahan.”

Orang berkumis itu berpikir sejenak. Siapakah yang telah mengikat orang itu? Sudah pasti ada orang yang telah melakukannya. Apalagi pemimpin pengawas itu masih juga belum mati meskipun punggungnya telah terkena racun.

Dalam kebingungan itu terdengar suara Agung Sedayu, “Sudahlah. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menjeratmu sendiri. Lebih baik kau menyerah. Kami tidak akan membunuhmu seperti apabila kau yang menguasai kami. Kami adalah orang-orang yang mengerti tentang keharusan mempergunakan saluran-saluran tertentu untuk menjatuhkan hukuman, meskipun kami dapat menguasai kau. Meskipun dengan sewenang-wenang kami dapat memperlakukan apa saja atasmu. Tetapi kami pun sadar, bahwa itu tidak akan dibenarkan oleh Ki Gede Pemanahan dan puteranya, Raden Sutawijaya, sehingga kami harus membawamu menghadap sesuai dengan keharusan yang berlaku.” Sambil terpaling kepada para pengawas yang sudah terluka ia bertanya, “Bukankah begitu?”

“Kalau ia menyerah,” sahut Wanakerti. “Tetapi ia sudah melakukan perlawanan dan melukai kami.”

“Meskipun demikian, kalau ia menyerah, ia akan mendapat kesempatan.”

“Tetapi kalau ia melawan, kami akan membunuhnya berramai-ramai. Bahkan kami akan mempergunakan tenaga orang-orang yang ada di sini untuk menangkapnya atau membunuhnya seperti rapogan macan di alun-alun.”

Orang berkumis itu menjadi tegang.

“Karena itu, menyerahlah selagi masih ada kesempatan. Kau tidak mempunyai kawan lagi yang dapat membantumu, sedang kami ini mempunyai banyak sekali tenaga yang dapat berbuat sesuatu atasmu.”

Sejenak orang itu masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menggeram, “Ayo, siapa yang akan menangkap aku?” Bahkan kemudian ia berteriak, “Siapa? Siapa yang akan ikut campur di dalam perkelahian ini? Mari, mari.” Sejenak kemudian orang berkumis itu mengacukan pedangnya kepada orang-orang yang mengerumuni arena itu, “Mari, mari, siapa yang akan ikut mati di sini?”

Tetapi orang-orang yang berdiri di sekitarnya itu pun berdesakan mundur. Mereka adalah petani-petani miskin yang mempertaruhkan waktunya dengan suatu harapan, membuka tanah baru untuk keluarga mereka. Mereka sama sekali tidak ingin melakukan apa pun yang bersifat kekerasan, apalagi mempergunakan senjata. Mereka bukan orang-orang yang biasa berkelahi. Mereka hanya sekedar ingin membuka tanah pertanian baru.

“Ayo siapa?”

Tidak seorang pun yang berani tetap berdiri di tempatnya.

“Nah, lihat. Mereka adalah kelinci-kelinci yang ketakutan melihat taring serigala. Ayo, jangan terlampau lama. Kita selesaikan persoalan kita, kemudian aku akan menyelesaikan pemimpin pengawas yang dungu itu.”

Orang berkumis itu telah menjadi liar. Matanya menjadi merah dan nafasnya tersengal-sengal. Selangkah ia maju mendekati Wanakerti sambil berdesis, “Kaulah yang harus mati lebih dahulu.”

Agung Sedayu melihat suasana yang semakin berat bagi Wanakerti dan kawan-kawannya. Mereka pasti tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Luka-luka mereka pun perlu mendapat perawatan agar mereka tidak menjadi kehabisan darah.

“Kalian sudah terlampau lemah karena luka-luka itu,” berkata Agung Sedayu kepada Wanakerti, “beristirahatlah. Rawatlah luka-lukamu agar darahnya berhenti mengalir.”

Wanakerti mengerutkan keningnya. Tetapi ia harus mengakui bahwa tangannya memang sudah hampir tidak dapat bergerak lagi. Apalagi kawannya yang mengalami tekanan yang lebih berat, serta luka-lukanya pun lebih parah.

Tetapi apakah ia dapat melepaskan tugasnya begitu saja? Padahal ia tahu pasti bahwa orang itu cukup berbahaya, bahkan agaknya ia memang telah bersepakat untuk membunuh pemimpinnya.

“Aku harus menangkapnya,” Wanakerti menggeram, “atau aku harus beristirahat dan membiarkan ia membunuh aku, kawan-kawanku, serta pemimpin kami itu?”

“Aku akan mencoba mencegahnya,” desis Agung Sedayu.

Wanakerti memandang Agung Sedayu sejenak. Anak itu tampaknya memang tidak bergurau. Tetapi apakah ia mampu melawan orang berkumis itu seorang diri?

“He,” teriak orang berkumis, “jadi kaulah yang akan menggantikan ketiga pengawas ini, he? Kau memang terlampau sombong. Tiga orang bersenjata pedang tidak berhasil mengalahkan aku. Apa kau sangka karena adikmu yang gemuk itu mampu mengalahkan kedua cucurut itu, lalu kau pun dapat mengalahkan aku?”

“Soalnya bukan kalah atau menang. Tetapi kami yakin, bahwa kami akan dapat menghentikan segala macam perbuatanmu yang telah menggoncangkan daerah ini.”

“Persetan!” ia menggeram. “Kalian memang ingin mati.”

“Tentu tidak. Kami akan dapat berbuat banyak. Kalau aku tidak dapat menangkap kau sendiri, maka ketiga pengawas ini setelah beristirahat akan dapat membantuku. Juga adikku yang gemuk itu, dan mungkin satu dua orang di antara para penonton ini pun bersedia membantu meskipun hanya melempari kau dengan batu dari kejauhan.”

“Gila, gila! Ayo cepat mulai. Jangan banyak bicara lagi.”

Orang berkumis itu pun segera maju mendekati Agung Sedayu. Pedangnya yang tajam terayun-ayun mengerikan. Sedang matanya yang merah menjadi semakin merah.

“Kau harus mati. Mati!”

Agung Sedayu memang merasa bahwa ia harus berhati-hati. Ia tidak dapat bergurau melawan orang ini. Kecuali ia memang mempunyai ilmu yang cukup, orang itu pun telah dilambari dengan kemarahan yang memuncak. Sehingga dengan demikian, maka ia harus benar-benar berhati-hati menghadapinya.

Ketika orang itu melangkah semakin dekat. Agung Sedayu pun segera bersiaga. Orang-orang yang berdiri mengelilingi arena itu menjadi semakin tegang. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi pening, hampir pingsan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Namun dengan demikian, mereka hari ini telah melupakan kerja mereka melanjutkan pembukaan hutan ini. Tetapi agaknya penyelesaian dari persoalan di arena ini akan menjadi landasan keadaan daerah ini untuk selanjutnya.

Orang-orang itu mengerutkan keningnya ketika mereka melihat, seperti Swandaru, Agung Sedayu pun telah mengurai sesuatu di lambungnya. Sebuah cambuk panjang, seperti senjata anak yang gemuk itu.

“Setiap gembala memang menyimpan cambuk,” desis Agung Sedayu. Lalu, “Memang cambuk ini mempunyai bermacam-macam guna.”

Orang berkumis itu tidak menyahut. Tetapi ia melangkah semakin dekat dan pedangnya kemudian mulai bergetar.

Agung Sedayu sadar, bahwa orang itu agaknya benar-benar sudah akan mulai. Karena itu, maka ia pun harus segera bersiap.

Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah meloncat dengan pedang terjulur menyerang Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu telah bersiap menghindarinya. Ia meloncat ke samping sambil mengibaskan cambuknya sendal pancing.

Terdengar cambuk itu meledak memekakkan telinga. Namun orang berkumis itu pun cukup tangkas. Ia berhasil menghindari dengan suatu loncatan yang cepat dan panjang.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia semakin menyadari, bahwa lawannya memang seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Dengan demikian maka ia tidak boleh lengah. Ia belum tahu pasti, sampai berapa jauh lawannya memiliki kemampuan.

Sejenak Agung Sedayu memandang wajah gurunya. Dan wajah itu pun tampaknya menjadi tegang pula karenanya.

Orang berkumis itu pun kemudian telah bersiap pula untuk menyerang. Tetapi seperti Agung Sedayu, ia menyadari bahwa lawannya kali ini meskipun hanya seorang, tetapi lebih berbahaya dari ketiga pengawas yang hampir saja dikalahkannya itu. Apalagi senjatanya yang lentur itu tampaknya memang sangat berbahaya baginya. Dengan senjata semacam itu pula, anak muda yang gemuk itu berhasil merebut senjata lawannya.

Sejenak kemudian maka keduanya pun segera terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin seru. Setiap kali terdengar ledakan cambuk Agung Sedayu di antara kilatan daun pedang lawannya yang memantulkan cahaya matahari, yang semakin terik pula.

Orang yang menyaksikan perkelahian itu pun menjadi semakin tegang. Mereka seakan-akan telah membeku di tempatnya. Mata mereka hampir tidak berkedip sama sekali. Kedua orang yang berkelahi itu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Masing-masing menguasai senjata yang ada di tangannya.

Pedang orang berkumis itu berputaran seperti baling-baling melindungi dirinya. Sekali-sekali pedang itu mematuk seperti seekor ular menyelinap di antara ujung cambuk lawannya. Sejenak kemudian pedang itu menyambar dengan derasnya, mendatar setinggi bahu.

Orang berkumis itu memang benar-benar cekatan. Apalagi dilandasi oleh kemarahan yang memuncak, sehingga seolah-olah ia mendapat tambahan kekuatan untuk mengayunkan pedangnya.

Namun cambuk Agung Sedayu mampu mengimbangi kelincahan ujung pedang itu. Cambuknya berputaran meledak-ledak. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu berhasil menyentuh lawannya meskipun tidak meninggalkan bekas. Namun sentuhan-sentuhan itu semakin lama menjadi semakin sering. Bahkan semakin keras. Apalagi setelah Agung Sedayu berhasil menyesuaikan dirinya dengan tata gerak lawannya.

Maka sejenak kemudian perkelahian itu pun menjadi semakin cepat. Orang berkumis itu segera menyadari, bahwa lawannya bukanlah seorang anak gembala yang sekedar mampu menyombongkan diri.

Tetapi lebih daripada itu, maka orang berkumis itu pun menyadari pula, bahwa kedatangan ayah dan kedua anaknya itu bukanlah sekedar tanpa maksud. Kalau mereka benar-benar sekedar ingin membuka tanah garapan yang baru, maka mereka tidak akan berbuat sampai sedemikian jauh.

Namun pendapat itu ternyata justru telah membuatnya semakin gelisah. Sehingga akhirnya tidak ada kesimpulan lain kecuali membinasakan semuanya, selagi hal ini masih belum didengar oleh lingkungan yang lebih tinggi lagi. Ia akan dapat membuat cerita apa pun untuk mengelabuhi atasannya. Sedangkan orang-orang lain yang menyaksikan perkelahian itu, akan dapat dibungkamnya dengan menakut-nakuti dan mengancam mereka. Mereka pasti akan menjadi semakin ketakutan apabila kepada mereka diyakinkan bahwa apa yang telah terjadi, telah membuat hantu-hantu Alas Mentaok menjadi semakin marah. Mereka masih belum kehilangan kepercayaan mereka terhadap hantu.

Dengan demikian maka orang berkumis itu pun kemudian berkelahi semakin garang. Pedangnya berputar-putar dan menyambar-nyambar dengan cepatnya.

Namun lawannya pun dapat berbuat lebih cepat pula. Pedang itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu sama sekali.

Swandaru menyaksikan perkelahian itu dengan tegangnya. Namun Kiai Gringsing kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin bahwa Agung Sedayu akan dapat menpertahankan dirinya kalau ia tidak membuat kesalahan.

Sementara itu, pemimpin pengawas yang terluka di punggungnya masih juga meletakkan ujung pedangnya di tubuh tawanannya. Bahkan kemudian seperti acuh tak acuh dibiarkan ujung pedang itu menyentuh-nyentuh lehernya.

Dukun yang terikat itu mengumpat-umpat di dalam hati. Apalagi ketika ia melihat pemimpin pengawas itu kini sama sekali tidak memegangi hulu pedangnya. Diletakkannya saja hulu pedang itu dipangkuannya, sedang ujungnya terasa menyentuh-nyentuh kulit lehernya.

Tetapi akhirnya orang yang terikat itu tidak dapat membiarkan ujung pedang itu semakin menekan lehernya sehingga sambil beringsut ia berkata, “Ujung pedang itu menyakiti leherku. Kalau kau bergerak tanpa kau sadari, ujungnya dapat menembus tenggorokan.”

“O, maaf. Tetapi aku tidak sempat memegangi tangkainya. Tanganku masih terlampau lemah karena luka di punggung. Agaknya luka di leher memang lebih berbahaya dari luka di punggung. Tetapi apa boleh buat. Kalau kau tidak melukai punggungku, maka aku akan dapat menggenggam tangkai pedangku itu. Tetapi sekarang aku merasa sangat malas. Kalau terpaksa ujungnya perlahan-lahan masuk ke lehermu, itu namanya suatu kecelakaan. Maaf.”

“Anak setan!” orang itu mengumpat. Tetapi mulutnya segera terkatup ketika pemimpin pengawas itu justru menekankan ujung pedangnya sambil bertanya, “Apa? Apa katamu?”

Tawanannya hanya diam saja.

“Ayo, ulangi.”

Dukun yang terikat itu menggeleng sambil menyeringai.

“Kalau sekali lagi kau mengumpat, aku gores lehermu dengan ujung pedang ini.”

Sekali lagi dukun itu menggelengkan kepalanya.

Dalam pada itu perkelahian di arena menjadi semakin sengit. Namun ternyata, ujung cambuk Agung Sedayu semakin banyak membuat jalur-jalur mereka di kulit lawannya, sehingga pada suatu saat, darah telah menitik dari luka-lukanya.

Orang berkumis itu menggeram. Ia tidak akan dapat membiarkan dirinya menjadi tawanan. Ia tidak mau di tangkap oleh siapa pun juga. Kini ia harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda itu. Apalagi apabila adiknya yang gemuk, yang sudah mendapat kesempatan beristirahat, bersama-sama dengan para pengawas yang lain akan bertindak.

Tetapi ia tidak mendapatkan cara untuk melepaskan diri. Ketika ia mencoba memandang orang-orang yang berdiri di paling depan dari lingkaran perkelahian itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia melihat anak muda yang gemuk itu masih menggenggam cambuknya, kemudian ketiga pengawas yang berpencar. Agaknya mereka telah berhasil memampatkan darah dari luka-luka mereka. Dan orang berkumis itu sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa gembala tua itulah yang telah membagikan obat untuk mereka.

Orang berkumis itu kini benar-benar merasa terkepung. Meskipun ia tidak dapat dikalahkan oleh ketiga pengawas itu, namun di pinggir arena itu berdiri ketiganya dan anak yang gemuk itu, ditambah lawannya yang masih segar di arena dengan cambuk di tangan.

Tetapi ia tidak boleh menyerah. Apa pun yang akan terjadi atasnya, bahkan mati pun akan lebih baik daripada ia dapat ditangkap dan diperas segala macam keterangan yang diketahuinya.

“Persetan dukun itu!” ia menggeram di dalam hatinya. “Ia tidak akan membuka mulutnya kalau ia benar-benar seorang jantan. Ia harus mati pula seandainya aku mati di arena ini.”

Namun orang berkumis itu masih mempunyai harapan betapapun tipisnya. Seperti dugaan Kiai Gringsing, pedang itu memang bukan satu-satunya senjatanya.

Kiai Gringsing yang ada di pinggir arena itu pun menjadi semakin waspada. Semakin terdesak lawan Agung Sedayu, Kiai Gringsing pun semakin tajam mengamati gerak orang berkumis itu. Dalam keadaan yang terjepit dan putus asa ia akan dapat melakukan sesuatu yang sangat berbahaya bagi Agung Sedayu.

Demikiankah, maka kemudian ternyata dugaan Kiai Gringsing itu tidak salah. Setelah orang berkumis itu benar-benar merasa tidak dapat bertahan lagi, maka sampailah ia kepada puncak kemampuan yang ada padanya. Oleh keputus-asaan yang tidak terhindarkan lagi, maka ia bertekad untuk berbuat apa saja yang dapat dilakukan.

“Aku tidak mau mati sendiri. Biarlah kita mati bersama,” katanya di dalam hati. “Apabila di dalam puncak perkelahian ini beberapa orang di luar arena menjadi korban, itu sama sekali bukan salahku.”

Sesaat kemudian terasa oleh Agung Sedayu, orang berkumis itu mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Dengan sisa tenaganya, ia menyerang Agung Sedayu dengan garangnya. Namun seperti serangan-serangannya yang lampau, maka ia sama sekali tidak berhasil mengenai lawan-nya, meskipun di dalam keadaan terakhir Agung Sedayu pun telah menjadi basah oleh keringatnya. Bahkan nafasnya pun menjadi semakin cepat mengalir. Ia telah memeras tenaganya untuk selalu menghindari serangan-serangan lawannya yang berbahaya dan menahan serangan-serangan itu dengan lecutan-lecutan cambuk yang memekakkan telinga. Namun dengan demikian, ia sudah mengerahkan sebagian besar tenaganya.

Dalam keadaan yang demikian itulah, ia harus semakin berhati-hati, karena seperti peringatan yang diberikan oleh gurunya, bahwa pedang itu bukan satu-satunya senjata lawannya.

Kiai Gringsing pun tanpa sesadarnya melangkah maju. Ia melihat pandangan yang aneh memancar di mata orang berkumis itu.

Sejenak kemudian, sekali lagi orang itu menyerang Agung Sedayu dengan sisa tenaganya. Namun ketika cambuk Agung Sedayu meledak dan mengenai pundaknya ia terloncat mundur.

Tetapi pada saat ia berputar menjauhi lawannya, Kiai Gringsing melihat bagaimana ia menarik sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian dicabutnya tutup bumbung kecil itu. Ketika ia menghadap Agung Sedayu, maka dengan tangan kiri ia sudah siap menyerang Agung Sedayu dengan bumbung itu.

Agung Sedayu melihat juga bumbung kecil itu. Tetapi ia tidak segera mengerti, bagaimanakah cara lawannya menyerang dengan senjatanya yang aneh. Semula ia mengira bahwa bumbung itu akan dilemparkannya dengan kekuatan yang melampaui kekuatan manusia sewajarnya, didukung oleh tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya. Karena itu, ia pun segera bersiap untuk menghindarinya. Karena ia tidak dapat menduga betapa besar tenaga itu, maka yang paling baik adalah menghindari benturan dengan cara apa pun, karena ia sendiri masih belum berhasil sepenuhnya mengungkat tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya untuk dibangunkan setiap saat, dan dalam waktu yang hanya sekejap.

Sejenak kemudian ia melihat mata orang berkumis itu menjadi liar. Diedarkannya tatapan matanya ke sekelilingnya. Namun kemudian ia menggeram, “Kalian semua akan mati. Kalian semua yang berdiri di hadapanku. Kemudian akan datang giliran orang-orang lain yang ada di seputar arena ini.”

Kata-kata dalam nada yang dalam itu telah mendirikan segenap bulu-bulu di tubuh orang-orang yang mendengarnya. Apalagi apabila terlihat oleh mereka, mata orang berkumis yang menjadi merah dan liar itu.

Sejenak ia masih mengacu-acukan bumbung itu. Katanya, “Jangan menyesal. Serbuk beracun ini akan membunuh kalian. Aku akan menaburkannya. Setiap butir, akan membunuh seorang dari antara kalian.”

Ancaman itu benar-benar sangat mengerikan. Bahkan Agung Sedayu pun tertegun sejenak. Tetapi akhirnya ia sadar, bahwa orang itu tidak hanya sekedar menakut-nakuti, karena orang-orang di dalam lingkungan mereka adalah orang-orang yang selalu bermain-main dengan racun. Karena itu ia pun segera mengerti, bahwa bumbung itu memang berisi serbuk racun yang keras sekali.

Sebentar lagi orang itu pasti akan mengibaskan bumbung itu, sehingga isinya akan menghambur keluar, berpencar mengenai orang-orang yang ada di bagian depannya. Agaknya ia masih belum akan puas. Ia akan berputar dengan bumbung yang lain dan mengibaskannya pula, sehingga orang-orang yang terkena kemudian akan mati.

“Gila,” desis Agung Sedayu, “jangan bermain-main dengan racun.”

Orang itu menatap Agung Sedayu sejenak, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak, “Nah, ternyata kau pun menjadi ketakutan mendengar ancaman ini. Tetapi apa boleh buat. Kau memang harus mati. Kalau ada orang lain yang akan mati pula, itu adalah nasib mereka. Nasib mereka lah yang memang kurang baik pada hari ini.”

Agung Sedayu memandang bumbung itu dengan wajah yang tegang. Jarak yang memisahkan mereka cukup panjang, karena orang berkumis itu meloncat beberapa langkah surut.

“Kalau kau mendekat, maka itu akan berarti mempercepat kematianmu bersama dengan orang-orang di sekitarmu,” berkata orang itu lantang.

“Itu tidak adil,” sahut Agung Sedayu, “hanya akulah yang bertempur melawan kau. Kau tidak seharusnya membunuh orang lain kecuali aku.”

“Aku sudah bertempur melawan tiga cucurut itu. Mereka pun harus mati. Kemudian anak muda yang gemuk itu, kau, ayahmu, pemimpin pengawas yang dungu itu dan orang-orang yang berdiri di sekitar arena ini, yang melihat kecurangan dan pengkhianatan kalian tetapi tidak mau berbuat apa-apa. Itu pun merupakan suatu kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Dipandanginya saja bumbung di tangan kiri orang berkumis itu, sedang di tangan kanan masih tetap tergenggam pedangnya.

“Isi bumbung itulah agaknya yang berbahaya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi ia masih belum dapat menebak dengan pasti, apakah isi itu. Namun yang pasti, senjata itu mengandung racun. Serbuk racun apa pun wujudnya. Serbuk besi, baja, batu atau tulang?

Karena itu, maka ia harus berhati-hati. Ia sudah menerima obat pemunah racun dari gurunya. Tetapi kalau serbuk racun itu mengenai seluruh atau sebagian besar tubuhnya, apakah ia sempat melumurkan obat itu? Dan apakah obat yang ditelannya sudah cukup kuat untuk menahan racun yang keras dan tajam, yang tersimpan di dalam serbuk itu? Bahkan seandainya mungkin, untuk beberapa saat ia akan kehilangan kesempatan untuk melawan. Demikian juga orang-orang lain.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ujung cambuknya tidak dapat mencapai jarak antara dirinya dan orang berkumis itu.

Dalam ketegangan itu ia mendengar orang berkumis itu tertawa, “Jangan menjadi pucat. Apakah kau ketakutan?”

Agung Sedaya menggeram. Ketika ia memandang gurunya dan Swandaru, mereka pun berdiri pada jarak yang tidak tercapai oleh juntai cambuk mereka.

“Ha, kau akan minta tolong kepada adikmu yang gemuk itu?” desis orang berkumis itu, “Jangan coba-coba. Setiap gerak dari siapa pun juga akan berakibat gawat. Aku masih memberi kau kesempatan mengucapkan pesan terakhir sebelum aku mengibaskan bumbung ini.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dilihatnya bumbung di tangan kiri orang berkumis itu.

“Cepat!” bentaknya, “Kalau kau tidak mau berbicara, aku akan segera membunuhmu.”

Perlahan-lahan orang berkumis itu mengangkat bumbungnya tinggi-tinggi.

Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Sekali-sekali ditatapnya wajah gurunya, kemudian wajah adiknya yang gemuk. Diremasnya tangkai dan ujung cambuknya dan bahkan kemudian diacukannya cambuknya itu sambil berkata, “Tunggu. Tunggu sebentar.”

“Apa yang harus aku tunggu?” bertanya orang berkumis itu.

“Jangan kau taburkan serbukmu itu dengan cara yang sama sekali tidak berperikemanusiaan,” berkata Agung Sedayu. “Kau akan membunuh banyak orang di belakangku.”

“Sudah aku katakan. Nasib merekalah yang jelek.”

“Kalau kau tidak menghendaki aku pergi, biarlah mereka yang pergi.”

“Jangan banyak bicara. Aku sudah cukup memberi kesempatan kepadamu. Sekarang katakan pesanmu.”

“Tunggu, tunggu,” Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi tergagap. Sambil mengacu-acukan cambuknya ia berkata, “aku masih akan berbicara. Tidak tentang diriku sendiri. Tetapi tentang orang-orang ini.”

“Bicaralah tentang dirimu sendiri.”

“Tunggu,” tangan Agung Sedayu menjadi gemetar, dan tiba-tiba saja cambuknya terjatuh. Dengan serta-merta ia memungut cambuknya sambil berkata tergagap, “aku minta waktu sebentar.”

Orang berkumis itu tiba-tiba tertawa menyentak. Ia senang sekali melihat Agung Sedayu yang kebingungan, namun kemudian ia berkata, “Sudah cukup. Aku sudah muak melihat kau, meskipun sebenarnya aku senang sekali melihat kau ketakutan.”

“Belum, belum cukup. Kau harus memberi kesempatan orang-orang lain ini pergi. Taburan serbukmu akan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Apakah kau tidak dapat mengambil cara lain, misalnya dengan mengumpulkan kami, orang-orang yang akan kau bunuh dan mengusir orang-orang yang tidak berkepentingan?”

Orang berkumis itu berpikir sejenak. Ketika seseorang di pinggir arena bergerak, ia membentak, “Diam di tempatmu! Atau kau dahulu yang mati.”

“Tetapi, tetapi ……..,” minta orang itu, “kami tidak ikut apa-apa di dalam persoalan ini. Kami hanya sekedar melihat.”

“Ya, kami tidak bersalah,” teriak yang lain.

“Biarkan kami pergi. Kami tidak akan mencampuri persoalan kalian.”

“Ya, kami tidak. Kami tidak.”

Dan tiba-tiba orang berkumis itu membentak, “Diam. Diam! Kalian sama sekali tidak membantuku selagi aku dalam kesulitan. Sekarang kalian mengemis belas kasianku. Gila! Itu adalah pikiran gila. Matilah kalian bersama anak muda yang sombong ini, yang merasa dirinya tidak terkalahkan. Sambil menunggu saat matimu, berdoalah agar kau tidak terjerumus ke dalam neraka.”

“Ampunkan kami, ampunkan kami,” minta orang-orang yang berada di pinggir arena. Tanpa mereka sadari mereka pun mulai berdesak-desakan mencari perlindungan yang satu pada yang lain, sehingga mereka pun justru dorong-mendorong di antara mereka.

“Menyenangkan sekali. Pemandangan yang paling menarik yang pernah aku lihat. Seorang anak muda perkasa yang ketakutan menghadapi maut, dan sekelompok tikus-tikus yang ketakutan pula, saling berdesakan.”

Namun kini Agung Sedayu sudah tidak menjadi gelisah lagi. Bahkan kemudian ia maju selangkah sambil berkata, “Baiklah. Kalau kau sudah tidak mau mendengarkan aku lagi.”

Orang berkumis itu mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia membentak, “Gila! Kau menantang?”

“Bukan maksudku, tetapi kau sudah tidak mau mendengar lagi. Apa boleh buat.”

Orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Kemudian ia menggeram, “Bagus! Aku memang harus cepat-cepat membunuhmu.”

Orang itu pun maju selangkah pula. Ia mengangkat tabung serbuknya semakin tinggi, sedang matanya menjadi semakin merah dan liar oleh nafsunya yang membakar dadanya. Nafsu membunuh dan membinasakan lawannya.

Orang-orang yang berdiri di belakang Agung Sedayu tidak menghiraukan apa pun lagi. Tiba-tiba mereka berlarian tidak menentu, saling melanggar dan berdesakan menjauhi arena. Beberapa orang terjatuh dan terinjak oleh kawan-kawan mereka.

Pada saat itulah orang yang berkumis itu siap untuk mengibaskan tabung serbuknya. Ia mengangkat bumbungnya semakin tinggi dan siap mengayunkannya ke arah Agung Sedayu.

Ternyata bukan saja orang-orang yang berada di belakang Agung Sedayu, tetapi hampir semua orang di sekeliling arena itu menjadi ketakutan. Mereka merasa bahwa orang berkumis itu akan membunuh mereka semua dengan serbuk mautnya. Karena itu, hampir semua orang berlari-larian berpencaran tanpa tujuan, asal menjauhi lingkaran yang mengerikan itu.

Orang-orang yang hatinya sekecil menir, bahkan tidak sempat lagi melarikan diri. Mereka terduduk di tanah dengan tubuh gemetar.

Yang masih tetap berdiri tegak di tempatnya adalah Agung Sedayu, Swandaru dan Kiai Gringsing. Selain mereka adalah ketiga pengawas yang terluka yang berdiri berpencaran.

Sejenak kemudian, di dalam kekacauan yang kisruh, orang-orang yang berlari-larian itu masih mendengar suara jerit melengking tinggi. Beberapa orang mencoba menutup telinga mereka, sambil berlari semakin kencang. Mereka membayangkan bahwa anak muda yang bersenjata cambuk itu pun kemudian tergolek di tanah dengan tubuh yang hangus kebiru-biruan.

Ketiga pengawas yang berdiri tegang di pinggir lingkaran perkelahian itu pun terkejut bukan kepalang. Ternyata mereka, masih sempat melihat orang berkumis itu siap mengayunkan bumbungnya. Namun tiba-tiba sesuatu telah membentur bumbung itu, sehingga justru serbuk yang ada di dalamnya tertumpah mengenai tubuhnya sendiri.

Suara jerit yang melengking itu adalah suara orang berkumis itu sendiri.

Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Namun wajahnya menjadi tegang dan bahkan seolah-olah ia membeku di tempatnya.

“Kau berhasil, Agung Sedayu,” desis Kiai Gringsing yang masih menggenggam sebuah bumbung kecil pula meskipun bumbung ini berisi obat-obat yang berharga, “hampir saja aku melemparkannya untuk membentur bumbung orang berkumis itu. Tetapi agaknya kau sendiri telah dapat mengenainya.”

Swandaru pun mendekatinya sambil berkata, “Aku akan melemparkan cambukku. Aku tidak dapat berpikir lagi.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Dari mana kau mendapat batu yang kau lontarkan tepat mengenai bumbung itu?” bertanya Swandaru.

Agung Sedayu masih mencoba menenangkan jantungnya yang bergolak.

Ketiga pengawas yang masih berdiri di seputar arena maut itu pun mendekati Agung Sedayu pula. Seperti Swandaru, mereka pun bertanya, “Darimana kau mendapatkan batu itu?”

“Cambukku telah terjatuh,” jawab Agung Sedayu, “ketika aku memungutnya, aku menggenggam sebutir batu.”

“Tetapi kau luar biasa. Kau dapat membidik dengan tepat bumbung di tangan orang berkumis itu.”

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jangankan bumbung sebesar itu,” sahut Swandaru dengan bangga, seolah ia sendirilah yang telah berhasil, “sedang telur burung pipit di pucuk pohon cemara pun dapat dikenainya.”

Ketiga pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Luar biasa,” desis Wanakerti, “kami sudah menyangka, bahwa kita akan mati bersama-sama.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Perlahan-lahan ia maju mendekati orang berkumis yang terbaring di tanah. Tubuhnya menjadi merah biru seperti terbakar.

“Apakah Guru tidak dapat berbuat apa-apa atasnya?” bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing mendekati orang itu. Tetapi ia berusaha untuk tidak menyentuh racun yang justru berhamburan di sekitar tubuh itu.

“Racun itu keras sekali. Karena itu jangan terlampau dekat,” berkata Kiai Gringsing. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata, “Agaknya aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi atasnya. Racun itu sudah mengenai mata dan masuk ke dalam jalur pernafasan, karena serbuk itu menghambur mengenai wajahnya.”

“Jadi kita biarkan orang itu mati?”

“Orang itu sudah mati,” jawab Kiai Gringsing.

“O,” Agung Sedayu menundukkan kepalanya, “mengerikan sekali.”

“Ya,” berkata gurunya. “Kalau serbuk itu mengenaimu dan orang-orang lain, akibatnya akan seperti itu juga. Kau tidak akan sempat menahan racun itu dengan obat pemunah macam apa pun.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Racun yang berhamburan di sekitar orang itu pun cukup berbahaya. Karena itu, harus diusahakan untuk menguranginya.”

“Apa yang akan Guru lakukan?”

“Aku akan mancoba mencairkan racun pemunahnya, meskipun hanya sekedar mengurangi ketajaman racun ini. Racun pemunah itu kita cairkan, kemudian kita siramkan ke sekeliling tempat itu. Kita akan menunggu sampai besok. Kalau pemunah itu berhasil, kita akan dapat mengambil mayat itu dan menguburkannya.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia benar-benar telah berhadapan dengan sejenis racun yang tajam sekali. Apalagi apabila racun itu langsung masuk ke dalam jalur pernafasan.

“Untunglah, bahwa aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Tiba-tiba saja terbersit akal untuk memungut batu. Kalau tidak, maka aku akan hangus seperti orang itu pula.”

“Sudahlah,” berkata Kiai Gringsing, “kita masih harus mencoba membersihkan tempat ini dari racun itu.” Lalu katanya kepada para pengawas, “Kalau kalian masih mempunyai kekuatan, silahkan kembali ke gardu pengawas. Nanti aku akan mengobati luka-luka itu. Aku dan anak-anakku akan mengurusi tempat ini supaya tidak berbahaya bagi orang lewat.”

Ketiga pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Wanakerti berkata, “Tetapi bagaimana dengan pemimpin kami itu?”

Kiai Gringsing pun kemudian berpaling. Dilihatnya pemimpin pengawas itu masih duduk saja di tempatnya.

Meskipun demikian pemimpin pengawas itu menjadi tegang pula. Ia tidak segera tahu apa yang terjadi di arena. Namun ketika ia melihat orang tua dan kedua anaknya, ketiga pengawas bawahannya masih berdiri tegak, ia pun menarik nafas dalam-dalam.

“Kita harus membawanya ke gardu pengawas,” berkata Wanakerti.

“Ya. Tetapi bagaimana? Kita sendiri hampir tidak dapat membawa tubuh kita masing-masing. Apalagi membawa seseorang,” jawab kawannya.

Mereka saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak segera menemukan jawaban.

“Bagaimana dengan tawanan yang terikat itu?” bertanya Swandaru. “Apakah mungkin ia menolong?”

“Tetapi ia terikat,” sahut Wanakerti.

“Lepaskan ikatannya sementara ia harus membantu pemimpin pengawas itu berjalan. Kalian bertiga dapat mengawasi di belakangnya. Supaya ia tidak mungkin lari lagi, siapkan pedang kalian di punggungnya. Meskipun kalian sudah lemah, tetapi kalian pasti masih dapat menguasainya. Apalagi kalian bertiga.”

Ketiga pengawas itu saling berpandangan sejenak. Akhirnya mereka mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Baiklah kita coba,” berkata Wanakerti, “mungkin kita masih dapat menguasainya. Nanti, di gardu pengawas orang itu akan segera kita ikat lagi.”

Demikianlah, maka ketiga pengawas itu diikuti oleh Kiai Gringsing bersama kedua muridnya mendekati pemimpin pengawas yang terluka. Mereka memberitahukan maksud mereka kepada keduanya, kepada pemimpin pengawas itu dan kepada tawanan mereka.

“Aku tidak mau,” geram tawanan itu.

“Coba ucapkan sekali lagi,” desis Swandaru sambil mengangkat cambuknya. “Ayo ulangi.”

Tawanan itu memandang Swandaru dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Tetapi ia tidak mengulanginya, ia sadar bahwa ujung cambuk itu akan dapat menyobek bukan saja pakaiannya, tetapi juga kulitnya.

“Nah, lepaskan talinya,” berkata Swandaru kemudian kepada ketiga pengawas yang sudah berjongkok di samping pemimpinnya.

“Kalian terluka?” bertanya pemimpin itu.

“Ya,” sahut Wanakerti, “ia jauh lebih parah daripadaku. Untunglah bahwa Ki Sanak itu dapat memberi obat pemampat darah, sehingga kami tidak kehabisan tenaga karenanya.”

“Omong kosong,” tawanan itulah yang menyahut, “tidak ada orang yang dapat memampatkan darah dan mengobati luka-luka selain aku. Apalagi luka-luka beracun.”

“Jangan mengigau,” jawab pemimpin pengawas itu, “kau lihat bahwa aku tidak mati karena racunmu, meskipun aku menjadi sangat lemah saat ini?”

Dukun yang telah menjadi tawanan itu mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi heran, kenapa pemimpin pengawas itu tidak mati.

“Nah, apa katamu sekarang? Apakah kau masih tetap tidak mau mematuhi perintahku?” bertanya pemimpin pengawas itu.

“Katakanlah, apakah kau tidak mau menolongnya?” bertanya Agung Sedayu pula.

Orang itu menjadi termangu-mangu. Tetapi setiap kali ia melihat ujung cambuk yang berjuntai menyentuh kakinya, kemudian ujung-ujung pedang yang berkilat-kilat, hatinya menjadi susut.

“Jawablah,” desak Swandaru.

“Tetapi ……..”

“Jawablah,” sekali lagi Swandaru mendesaknya sambil memutar cambuknya.

“Ya, ya. Aku akan menolongnya.”

“Terima kasih,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Lepaskan talinya.”

“Tetapi hati-hatilah,” berkata Swandaru, “jangan biarkan orang itu lari. Ia sangat penting bagi kita.”

“Ya. Kami akan menjaganya sebaik-baiknya. Meskipun aku terluka, tetapi tenagaku serasa masih cukup kuat untuk menghunjamkan ujung pedang.”

Demikianlah, maka dukun itu pun kemudian dibebaskan dari ikatannya. Setelah ia berdiri tegak, maka di bawah ancaman pedang, ia menolong pemimpin pengawas yang terluka itu.

“Bawa pedangku,” berkata pemimpin pengawas itu kepada Wanakerti.

Wanakerti menerima pedang itu sambil bertanya, “Kenapa tidak disarungkan saja?”

“Berbahaya. Orang ini dapat menyalahgunakan senjata itu,” jawabnya. Namun tidak setahu siapa pun, ia membawa pisau beracun yang diambilnya di medan dan diselusupkannya di dalam sarung pedangnya. Meskipun sarung itu terlampau longgar, namun tangkai pisau belati itu tidak dapat masuk seluruhnya ke dalam.

Tertatih-tatih mereka pun kemudian berjalan menuju ke gardu pengawas. Tawanan itu telah memapah pemimpin pengawas yang masih lemah. Sedang ketiga pengawas yang lain, betapapun lemahnya namun mereka masih harus mengikuti dukun yang memapah pemimpin mereka dan langsung mengawasi dengan saksama.

Sementara itu Kiai Gringsing bersama kedua anaknya telah sibuk mencari upih atau dedaunan yang cukup lebar untuk menampung air. Mereka harus mencairkan sejenis racun yang ada pada Kiai Gringsing untuk memunahkan racun yang tersebar di sekitar mayat orang berkumis itu.

Akhirnya mereka mendapatkan daun lumbu yang besar, yang dapat mereka pergunakan seperlunya.

Dalam daun lumbu itulah mereka mencairkan racun pemunah itu. Kedua murid Kiai Gringsing itu masing-masing memegang selembar daun lumbu yang besar. Kemudian setelah ditaburi racun yang dilarutkan ke dalam air, maka cairan itu pun dipercikkan kepada mayat orang berkumis itu dan sekitarnya.

“Jangan mendekat,” Kiai Gringsing memperingatkan kedua muridnya.

Sejenak, kemudian ketiganya berdiri saja mengawasi apa yang terjadi. Mereka tidak melihat apa pun juga selain gelembung-gelembung kecil di kulit orang berkumis yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Gelembung-gelembung yang hanya sesaat, kemudian pecah dan mengeluarkan asap yang tipis.

Agung Sedayu dan Swandaru berdiri membeku di tempatnya. Meskipun mereka belum memahami betapa kerja berjenis-jenis racun, tetapi yang mereka lihat itu telah mendirikan bulu roma mereka.

Bukan saja di tubuh orang berkumis itu, tetapi juga di atas pasir dan tanah di sekitarnya. Tetapi tidak sejelas yang mereka lihat pada tubuh mayat yang masih terbujur itu.

“Tidak ada kesempatan untuk menolong orang yang terkena serbuk racun itu. Apalagi apabila sudah masuk ke dalam arus pernafasan. Racun itu adalah reramuan dari jenis racun ular dan racun tumbuh-tumbuhan yang dapat melukai kulit,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi bagaimana dengan obat pemunah itu?” bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak dapat banyak menolong seandainya racun itu belum membunuhnya sekalipun. Aku hanya dapat memperlunak dan mempercepat hilangnya daya perusak dari racun itu atas jaringan-jaringan tubuh manusia, bahkan binatang yang kebal akan racun ular sekalipun.”

Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa atas mayat itu hari ini. Kita terpaksa meninggalkannya di sini.”

“Bagaimana dengan binatang buas, Guru?” bertanya Swandaru.

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia kemudian menjawab, “Binatang buas yang berani menjamah mayat itu akan terkena racun pula. Harimau adalah binatang yang termasuk tahan terhadap racun. Tetapi kalau ia menjilatnya hari ini, ia pasti akan mati.”

“Hanya hari ini?”

“Mudah-mudahan racun itu akan segera menjadi lemah dan kehilangan kemampuannya yang mengerikan.”

“Jadi, apakah kita tidak dapat berbuat apa-apa?” bertanya Agung Sedayu.

Gurunya menggelengkan kepalanya, “Apa boleh buat. Kita tidak dapat mengatasi persoalannya.”

Kedua muridnya itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Tetapi mereka hanya dapat berdiri tegak memandangi mayat yang terbujur di tanah. Kulitnya benar-benar menjadi seperti hangus. Apalagi di tempat-tempat yang langsung tersentuh oleh serbuk racun yang dahsyat itu.

“Kenapa ia sendiri tidak mempergunakan pemunah atau obat yang membuat mereka sendiri kebal akan racun?” bertanya Swandaru tiba-tiba.

“Memang seseorang dapat membekali dirinya dengan semacam obat yang dapat membuatnya kebal terhadap racun. Tetapi itu pun sangat terbatas. Hanya orang-orang yang benar-benar ahli dan menguasai persoalan segala jenis racun sajalah yang dapat melakukannya. Seseorang yang berusaha untuk mengebalkan dirinya terhadap racun-racun tertentu, harus meracuni dirinya lebih dahulu. Itulah yang sulit. Kalau takarannya tidak tepat, maka orang itu telah membunuh dirinya sendiri. Tetapi kalau ia berhasil, maka ia akan dapat menjadi kebal untuk bertahun-tahun lamanya.

Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku pernah mempelajarinya,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “tetapi belum sempurna sekali, sehingga aku masih ragu-ragu untuk mencobanya. Kalau aku pada suatu saat tidak lagi melakukan pengembaraan dan petualangan serupa ini, mungkin aku akan berhasil setelah melakukan percobaan-percobaan atas berjenis-jenis binatang termasuk ular, dan tumbuh-tumbuhan.”

“Kapan hal itu akan Guru lakukan?” bertanya Swandaru.

“Pertanyaan aneh,” sahut gurunya, “aku tidak tahu.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dan gurunya masih berkata terus, “Tergantung kepada keadaanku, keadaan di sekitarku dan keadaan kalian berdua.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedayu, maka dilihatnya anak muda itu justru menundukkan kepalanya.

Swandaru pun tidak bertanya lagi. Kini ia kembali merenungi mayat yang hangus itu.

Sementara itu, para pengawas berjalan tertatih-tatih menuju ke gardu mereka. Dukun yang menjadi tawanan mereka itu pun dengan tanpa dapat berbuat apa-apa, harus memapah pemimpin pengawas yang telah dilukainya sendiri, sedang di punggungnya, tiga ujung pedang telah siap untuk melubangi tubuhnya apabila ia berbuat sesuatu.

Tetapi ternyata dukun itu bukan seseorang yang mudah berputus asa. Ia masih juga mencari akal, bagaimana ia dapat melepaskan dirinya. Ia sadar, bahwa orang berkumis itu telah mati. Dengan demikian, maka ia merupakan tawanan tunggal yang pasti akan dihadapkan kepada para pemimpin di Mataram. Ia akan menjadi sumber keterangan tentang keadaan di daerah yang kisruh ini.

“Kalau aku mencoba menutup mulut, aku pasti, aku akan diperasnya sampai darahku kering,” desisnya. Meskipun ia baru berangan-angan, tetapi terasa bulu-bulu tengkuknya telah berdiri. Orang-orang Mataram akan dapat banyak berbuat hal itu.

Dadanya berdesir apabila terbayang ujung-ujung pisau yang akan menyentuhnya apabila ia kelak dihukum picis. Hukuman yang paling terkutuk buat seorang pengkhianat.

“Aku pasti dianggapnya seorang pengkhianat,” katanya di dalam hati. “Ki Gede Pemanahan dan puteranya dapat saja memutuskan untuk menghukum aku dengan cara demikian. Hukum picis yang mengerikan itu.”

Dengan demikian, maka dukun yang menjadi tawanan itu masih tetap berusaha, bagaimana ia dapat lolos dari semua kemungkinan yang mengerikan itu.

Sekali-sekali ia mencoba memandang pemimpin pengawas yang terluka itu dengan sudut matanya. Tetapi ia tidak dapat menangkap kesan apa pun, karena pemimpin pengawas itu sekali-sekali masih saja menyeringai menahan sakit.

Ketika ia mencoba berpaling, terasa hampir bersamaan ketiga ujung pedang para pengawas yang terluka itu menyentuh tubuhnya.

“Kau akan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan dirimu sendiri?” bentak Wanakerti.

Tawanan itu menarik nafas. Memang ketiga pengawas itu selalu bersiaga dengan ujung pedangnya, sehingga setiap usaha untuk melarikan diri, agaknya memang sulit dilakukan. Namun demikian, apakah itu berarti bahwa ia harus menyerah untuk dihukum picis?

“Aku harus menemukan cara,” ia berdesis di dalam dadanya.

Dalam pada itu, mereka pun setapak demi setapak maju. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan gardu pengawas. Apabila ia kemudian meletakkan pemimpin pengawas itu di gardu, maka ketiga pengawas yang lain itu akan segera mengikatnya kembali dan besok atau lusa menyerahkannya kepada Ki Gede Pemanahan.

Ketika dukun itu kemudian memandang ke depan, hatinya berdesir. Gardu pengawas itu sudah tidak begitu jauh lagi di hadapannya. Sebelum sampai ke gardu itu ia harus mendapat akal. Harus.

Selangkah demi selangkah ia maju. Dalam pada itu dadanya pun menjadi semakin berdebar-debar.

Namun yang dilakukan kemudian adalah menundukkan kepalanya. Dipapahnya pemimpin yang terluka itu sebaik-baiknya. Bahkan seperti memapah anak sendiri yang sedang sakit.

Dengan demikian ia berharap, bahwa pengawas yang lain menjadi lengah. Ia ingin mendapat waktu sekejap saja, untuk dapat melarikan diri seperti yang diinginkannya.

“Para pengawas itu terluka. Mereka agaknya sudah sangat lemah. Kalau aku dapat meloncat selangkah menjauh, maka mereka pasti tidak akan dapat mengejar aku. Agaknya aku masih cukup kuat untuk berlari dan bersembunyi di dalam hutan itu.”

Akhirnya dukun yang tertawan itu memutuskan, bahwa ia akan melakukannya. Lari.

Semakin dekat mereka dengan gardu pengawas, hati dukun itu menjadi kian berdebar-debar. Ia memerlukan waktu hanya selangkah maju.

Kini mereka sudah siap memasuki halaman sempit di depan gardu pengawas. Dengan demikian maka dukun itu pun segera mulai mempersiapkan dirinya. Ia tidak berbuat sesuatu ketika mereka memasuki halaman yang ber-pagar kayu itu. Pagar itu sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. Ia akan dengan mudahnya meloncati pagar yang tidak begitu tinggi itu.

Yang diperlukannya kemudian adalah kesempatan itu. Kesempatan yang hanya sekejap saja.

Ketika mereka sudah sampai di depan gardu pengawas, maka dukun itu merasa, waktunya memang sudah tiba. Ia tidak dapat menunggu lagi, karena apabila sudah terlanjur masuk, maka ia tidak akan dapat keluar lagi tanpa terikat kaki dan tangannya.

Demikianlah, maka ketika ia benar-benar sudah hampir melangkah memasuki ruangan gardu pengawas, maka tiba-tiba saja ia bertindak. Dengan kecepatan yang tinggi, ia memutar pemimpin pengawas itu, kemudian didorongnya ke arah ketiga pengawas yang mengikutinya.

Semua itu terjadi di dalam sekejap mata. Apalagi ketiga pengawas itu tidak menduga sama sekali. Dukun itu tampaknya sudah menjadi sangat jinak, bahkan berpaling pun tidak berani lagi. Namun tiba-tiba mereka melihat pemimpin pengawas yang terluka itu seakan-akan terlempar ke arah mereka.

Yang dapat mereka lakukan adalah menyingkirkan ujung pedang-pedang mereka agar tidak justru mengenai pemimpin mereka yang terlempar itu. Namun sejenak kemudian mereka harus berusaha menahan pemimpin mereka yang terlempar itu agar ia tidak jatuh.

Tetapi ternyata para pengawas itu sudah begitu lemahnya. Ketika mereka menahan pemimpin mereka, maka justru mereka pun telah terdorong selangkah surut, kemudian tanpa dapat mempertahankan keseimbangan mereka lagi, mereka pun berjatuhan saling menimpa, sehingga ketiganya tidak dapat bertahan sama sekali, jatuh tindih menindih.

Sejenak dukun itu menikmati kemenangannya. Ia melihat para pengawas itu tidak berdaya lagi. Mereka tidak akan dapat segera bangkit dan mengejarnya. Seandainya salah seorang dari mereka dapat segera bangun kembali, ia tidak akan dapat berbuat banyak. Bahkan, seandainya mereka bertiga sekalipun, dukun itu tidak akan gentar lagi menghadapinya.

Karena itu, dukun itu seolah-olah tidak menghiraukan para pengawas itu lagi. Sejenak ia masih melihat mereka menggeliat dan mencoba berkisar dari tempat mereka, dan tertatih-tatih mereka mencoba untuk bangkit.

Dukun itu tertawa berkepanjangan. Ia berdiri beberapa langkah sambil bertolak pinggang.

“Kenapa aku harus lari?” ia berkata. “Kenapa aku tidak membunuh kalian saja?”

Ternyata ketiga pengawas yang mengawal pemimpin mereka yang terluka itu tidak segera dapat bangkit dan berdiri tegak. Namun demikian dukun itu berkata, “Tetapi kalau kalian benar-benar mengerahkan sisa-sisa tenaga kalian, agaknya cukup berbahaya juga bagiku. Aku memang tidak setangkas kawanku yang kalian bunuh itu. Namun demikian, aku yakin kalian tidak akan dapat menangkap aku.”

“Gila. Jangan mencoba berlari,” desis Wanakerti.

Tetapi orang itu tertawa, “Kau akan mengejar aku? Silahkan. Aku akan melihat apakah kalian masih mampu melangkahkan kaki?”

Wanakerti dan kedua kawannya yang sudah berhasil berdiri menggeretakkan giginya. Mereka sadar, bahwa mereka sudah tidak akan dapat lagi berlari seperti apabila mereka tidak sedang terluka. Namun demikian, Wanakerti masih mencoba berkata, “Jangan merasa bahwa kau menang kali ini. Kau pun pasti tidak akan dapat lari secepat yang kau inginkan karena kau pun baru saja sadar dari pingsan yang panjang.”

“Tetapi, aku sudah merasa segar sekarang,” jawab orang itu, “jauh lebih segar dari kalian yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.”

“Persetan,” Wanakerti maju selangkah.

Orang itu mundur selangkah sambil berkata, “Ha, kau akan mencoba mendekat? Sia-sia. Kau harus merelakan aku pergi sekarang ke mana aku suka. Di sekitar tempat ini tidak ada orang yang dapat membantumu. Orang-orang yang tinggal di barak sudah lari bercerai-berai. Mungkin mereka kembali ke barak atau bersembunyi di mana saja. Sedang ketiga orang, ayah dan anaknya itu, masih sibuk mengurusi mayat orang berkumis itu. Yang ada sekarang adalah kalian dan aku. Pemimpin kalian itu sama sekali sudah tidak dapat bangkit, dan kalian bertiga hanya mampu berjalan tertatih-tatih meskipun kalian berpedang.”

“Tetapi kami tidak akan membiarkan kau lari,” geram salah seorang kawan Wanakerti. Betapapun lemahnya, namun ia melangkah maju juga berpencaran, seolah-olah mereka akan mengepung orang berkumis itu.

Tetapi sikap para pengawas itu tampak sangat lucu di mata dukun yang telah berhasil melepaskan diri itu. Sambil tertawa ia berkata, “Aku seakan-akan melihat tiga ekor siput merayap-rayap. Apakah kalian ingin berlomba lari? Aku memang tidak dapat lari setangkas kijang. Tetapi sudah pasti, jauh lebih cepat dari tiga ekor siput. Asal aku tidak dapat kalian tipu, maka aku pasti akan dapat menyelamatkan diri.”

Ketiga pengawas itu masih juga mencoba maju.

“Cukup,” berkata orang yang sudah berhasil melepaskan dirinya itu, “kalian tidak usah merayap-rayap lagi. Aku sekarang akan lari. Lari jauh sekali melintasi hutan dan pegunungan. Tetapi itu akan jauh lebih baik daripada aku kalian serahkan kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya.”

“Jangan lari. Mari kita berhadapan secara jantan.”

“Kali ini aku sama sekali tidak memerlukan sikap jantan itu. Aku lebih baik lari saja, meskipun kalian menganggap aku bersikap licik, betina atau segala macam istilah yang paling jelek dan menyakitkan hati. Tetapi aku tidak akan menjadi sakit hati kemudian karena harga diri aku berbuat bodoh melawan kalian. Sekarang, yang paling baik bagiku memang lari. Lari sejauh-jauhnya.”

Wanakerti menggeretakkan giginya. Tetapi ia memang tidak akan dapat mengejar orang itu. Apa pun yang dilakukan, maka ia sudah tidak berpengharapan lagi untuk menangkapnya. Karena itu ia hanya dapat mengumpat-umpat meskipun ia masih juga berusaha mendekati lawannya.

Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara tertawa. Katanya, “Lepaskan niatmu yang gila itu. Kalian tidak akan mampu menangkap aku kecuali ketiga orang yang menyusup di dalam lingkungan orang-orang yang membuka hutan itu datang kemari. Mereka adalah orang-orang gila yang berpura-pura,” orang itu berhenti sejenak. Lalu, “Selamat tinggal. Mudah-mudahan kalian diterkam harimau lapar yang tersesat sampai kemari.”

“Gila! Anak setan!” Wanakerti yang menjadi marah bukan kepalang hanya dapat mengumpat-umpat saja. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang itu kemudian memutar dirinya dan siap untuk berlari meninggal-kan mereka.

Tetapi Wanakerti dan kedua kawannya tiba-tiba saja terkejut bukan buatan. Ketika orang itu meloncat maju selangkah, tiba-tiba ia tertegun. Sejenak ia terhuyung-huyung, kemudian dengan wajah yang pucat pasi ia berpaling.

“Siapa, siapa yang telah melakukannya?”

Orang itu masih berdiri sejenak, namun kemudian tubuhnya mulai gemetar, akhirnya ia pun terjatuh di tanah.

Wanakerti dan kedua kawannya menyaksikan hal itu dengan pandangan yang tidak berkedip. Sejenak kemudian ia sadar, apa yang telah terjadi.

Ternyata pemimpin pengawas yang sangat lemah itu masih berhasil mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk melemparkan sebilah pisau kepada orang yang akan melarikan diri itu, tepat mengenai punggungnya meskipun tidak menghunjam terlampau dalam, karena tenaganya sudah tidak memungkinkan. Tetapi sentuhan yang panas seperti bara, kemudian perasaan sakit yang segera menjalar ke segenap tubuh disertai kekejangan yang perlahan-lahan mencengkamnya, dukun itu sadar, bahwa ia telah terkena racun yang kuat sekali.

Itulah sebabnya ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang dilakukan, sedangkan racun itu terlampau cepat mengalir di dalam arus darah, beredar ke segenap tubuhnya.

Ketika Wanakerti berpaling, memandang pemimpinnya, ternyata pemimpinnya itu sudah berbaring di tanah. Nafasnya terengah-engah dan matanya sudah separo terpejam.

“Kenapa kau?” bertanya Wanakerti sambil melangkah mendekatinya. Ia pun kemudian bersama kawan-kawannya berjongkok di sampingnya.

“Aku telah mencoba melepaskan seluruh sisa tenaga yang ada,” suara pemimpin pengawas itu menjadi serak. “Aku melemparkan pisau itu kepadanya. Terpaksa sekali, karena tidak ada jalan lain untuk menangkapnya, meskipun kita sangat memerlukannya.”

“Ya, pisau itu mengenainya,” sahut salah seorang pengawas.

“Ia akan mati karena racun yang kuat. Tunggu dulu. Jangan kau sentuh orang itu. Tunggulah gembala tua beserta kedua anaknya itu. Mungkin mereka dapat memberikan nasehat kepada kalian.”

Wanakerti dan kawannya mengangguk. Namun ia tidak sempat bertanya lagi karena pemimpin pengawas itu kemudian jatuh pingsan.

Sejenak kemudian ketiga pengawas yang telah menjadi sangat letih itu, kebingungan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka sama sekali tidak mengerti, bagaimana mereka harus menolong pemimpin mereka yang pingsan karena kehabisan tenaga itu. Sedang mereka sendiri pun rasa-rasanya hampir menjadi pingsan pula.

Wanakerti yang masih merasa paling baik di antara kawan-kawannya berkata, “Tidak ada jalan lain. Aku akan memanggil gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu. Aku mengharap bahwa mereka akan dapat membantu kita.”

“Ya, ternyata mereka pun memahami ilmu obat-obatan. Bahkan mungkin lebih baik dari dukun yang terbunuh itu,” sahut kawannya.

“Tunggulah kalian berdua di sini.”

Kedua kawannya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa tubuh mereka sendiri sudah tidak wajar lagi. Kadang-kadang mata mereka menjadi berkunang-kunang dan seolah-olah di telinganya terngiang suara berdesing yang berputaran tidak henti-hentinya.

Demikianlah, maka Wanakerti pun segera berjalan tertatih-tatih mencari Kiai Gringsing beserta kedua muridnya, yang untunglah bahwa mereka masih berdiri tegak, menunggui mayat orang berkumis yang menjadi ajang pertarungan dua jenis racun.

“Mudah-mudahan aku berhasil,” berkata Kiai Gringsing, “sehingga besok mayat itu dapat dikuburkan dengan baik.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Baiklah, kita tinggalkan saja mayat itu. Sudah tentu kita tidak akan menungguinya sampai besok.”

“Lalu, kemana kita sekarang?” bertanya Swandaru.

“Kita pulang ke barak untuk sementara.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi sebelum mereka beranjak dari tempat mereka, mereka melihat Wanakerti yang lemah berjalan tertatih-tatih mendekati mereka.

“Guru,” desis Agung Sedayu, “kenapa Ki Wanakerti datang pula kemari?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Marilah, kita pergi mendapatkannya.”

Ketiganya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa menyongsong Wanakerti yang sudah menjadi semakin lemah. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya kian menjadi pucat.

“Kenapa Tuan kemari?” bertanya Kiai Gringsing.

Wanakerti menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali, seakan-akan ingin mengendapkan nafasnya yang melonjak-lonjak.

“Panggil namaku, Wanakerti,” desisnya. “Ternyata kalian adalah orang-orang aneh di sini.”

Kiai Gringsing tidak menyahut. Dibiarkannya Wanakerti berkata selanjutnya, “Aku minta kalian datang ke gardu pengawas.”

“Kenapa?”

“Pemimpin kami pingsan.”

“O, kenapa?”

Dengan singkat Wanakerti menceritakan apa yang sudah terjadi atas pemimpinnya dan atas dukun yang menjadi tawanannya itu.

“Jadi dukun itu terbunuh?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya.”

“Tidak ada harapan untuk diobati?”

“Aku kira ia sudah mati. Aku tidak berani merabanya, mungkin racun itu akan berpengaruh atas aku yang sudah terlampau lemah ini.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Satu-satunya orang yang akan dapat memberikan keterangan mengenai teki-teki di daerah ini justru sudah terbunuh. Dengan demikian maka mereka telah kehilangan satu-satunya sumber keterangan mengenai rahasia yang selama ini menyelubungi daerah ini.

“Kami tidak sengaja membunuhnya,” berkata Wanakerti, “tetapi agaknya memang lebih baik begitu daripada ia berhasil melarikan diri dan memberikan keterangan-keterangan kepada kawan-kawannya. Sebab aku yakin bahwa mereka tidak berdiri sendiri. Orang berkumis, kawan kami itu, agaknya orang yang bertanggung jawab di daerah ini.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kita masih mempunyai dua orang. Tetapi mereka tidak akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting. Mereka hanya tenaga yang diumpankan.”

“Siapa?”

“Orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan itu.”

Wanakerti mengangguk-angguk pula. Tetapi ia pun sependapat bahwa keduanya pasti tidak akan banyak mengetahui tentang gerakan mereka sendiri.

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing. “Kemudian bagaimana dengan pemimpinmu itu?”

“Ia jatuh pingsan setelah melontarkan pisau ke punggung orang yang berusaha melarikan diri itu.”

“Marilah kita lihat.”

Mereka pun kemudian berjalan perlahan-lahan ke gardu pengawas karena Wanakerti sudah menjadi kian letih dan lemah. Swandaru yang tidak telaten kemudian mendekatinya sambil berkata, “Marilah, aku bantu kau berjalan.”

Wanakerti pun kemudian bergantung pada pundak Swandaru. Dengan demikian maka mereka pun dapat berjalan lebih cepat.

“Mereka yang pingsan segera memerlukan bantuan,” berkata Swandaru kemudian.

Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya, “Terima kasih,” katanya.

Sejenak kemudian mereka pun telah sampai ke halaman gardu pengawas. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya ketika dilihatnya, bukan saja pemimpin pengawas itu yang pingsan, tetapi salah seorang dari kedua pengawas yang tinggal, telah menjadi pingsan pula, sedang yang seorang lagi telah menjadi sangat lemah dan duduk di samping kawannya yang pingsan itu.

Wanakerti pun menjadi cemas. Meskipun tubuhnya sendiri serasa tidak bertulang lagi, namun ia berusaha secepat-cepatnya menghampiri kawan-kawannya yang pingsan.

“Kenapa mereka, Ki Sanak?” Wanakerti bertanya kepada Kiai Gringsing yang sudah berjongkok pula di samping mereka yang sedang pingsan.

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah pengawas yang masih tetap sadar, meskipun menjadi lemah sekali.

Pengawas itu seakan-akan dapat mengerti pertanyaan yang terbayang di mata Kiai Gringsing, sehingga ia menjawab, “Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ia pingsan.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bergumam, “Kalian terlampau lelah.”

“Jadi, maksud Ki Sanak, mereka tidak terkena racun?” bertanya Wanakerti.

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.

“Tidak,” jawabnya, “mereka tidak terkena racun yang lain. Pemimpinmu ini memang terkena racun, tetapi kekuatan racun itu sudah teratasi.”

Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kecemasan masih saja membayang di wajahnya. Dan ia pun bertanya pula, “Tetapi apakah keadaan mereka tidak berbahaya?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. “Tidak. Mereka hanya kehabisan tenaga.”

Kemudian Kiai Gringsing pun mulai meraba-raba tubuh para pengawas yang pingsan itu. Dikendorkannya ikat pinggang mereka, kemudian perlahan-lahan Kiai Gringsing menggerak-gerakkan tangan pemimpin pengawas itu, sedang Agung Sedayu melakukan hal yang sama pada pengawas yang lain.

“Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “ambillah air dingin.”

Swandaru pun kemudian mengambil air kendi di dalam gardu pengawas. Oleh Kiai Gringsing, bibir mereka yang pingsan itu dibasahinya dengan titik-titik air yang dingin. Setitik demi setitik.

Ternyata bahwa kesejukan air itu telah menyejukkan tubuh-tubuh yang lemah itu. Perlahan-lahan mereka mulai bergerak-gerak. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah membuka mata mereka dan mencoba mengenali keadaan di sekelilingnya. Kemudian mereka mencoba mengingat-ingat apakah yang telah terjadi atas diri mereka masing-masing.

Wanakerti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kedua kawannya yang pingsan itu sudah mulai menyadari dirinya. Bahkan pengawas yang seorang, telah berusaha untuk bangkit perlahan-lahan.

Sambil menggosok matanya ia memandang tubuh yang terbujur berapa langkah daripadanya, “Ya, orang itu sudah mati.”

“Aku menyesal,” berkata Kiai Gringsing.

“Aku tidak melihat jalan lain,” pemimpin pengawas itulah yang menjawab.

“Ya. Agaknya keadaanlah yang sudah menentukan. Tetapi dengan demikian kita kehilangan sumber keterangan, dan kita masih tetap menghadapi suatu rahasia yang gelap.”

Pemimpin pengawas yang terluka itu pun kemudian mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, dan berusaha untuk bangkit. Agung Sedayu yang melihatnya, segera menolongnya sehingga pemimpin pengawas itu pun kemudian duduk bersandar pada tangannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Badanku menjadi lemah sekali.”

“Beristirahatlah.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kami semua, para pengawas sama sekali sudah tidak berdaya lagi apabila ada sesuatu yang terjadi di sini saat ini. Aku sendiri rasa-rasanya sudah hampir mati, ketiga sisa orang-orangku pun agaknya sudah menjadi sangat letih.”

“Untuk sementara tidak akan ada apa-apa lagi. Untuk sementara,” sahut Kiai Gringsing.

“Belum tentu. Berita kematian kedua orang itu akan segera didengar oleh kawan-kawan mereka. Dan mereka akan segera mengambil tindakan.”

“Mungkin,” Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “tetapi kematian mereka telah menutup segala kemungkinan kita di sini untuk menyelusur suatu kumpulan yang bagi kita sekarang masih merupakan suatu rahasia.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk pula.

“Karena itu,” sambung Kiai Gringsing, “justru keduanya terbunuh, maka kawan-kawan mereka akan berbuat dengan lebih berhati-hati. Seandainya salah seorang dari mereka masih hidup, mungkin ada usaha-usaha yang segera mereka lakukan untuk mengambil orangnya atau membinasakan sama sekali.”

Pemimpin pengawal itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sekarang,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “marilah kita masuk ke dalam gardu pengawas. Agaknya gardu itu sepi.”

“Ya. Beberapa orang pembantu kami agaknya menjadi ketakutan dan bersembunyi. Aku kira mereka semua berkumpul di dalam barak.”

“Mereka harus ditenangkan.”

“Ya. Tetapi kami tidak dapat berbuat banyak saat ini.”

“Nantilah kita pikirkan. Marilah, kita masuk ke dalam.”

Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian ikut pula menolong, membimbing pengawas-pengawas yang masih sangat lemah itu, sedang Kiai Gringsing menolong pemimpin pengawas yang agak parah itu.

Setelah mereka duduk di sebuah amben di dalam gardu, maka pemimpin pengawas itu berkata, “Ki Sanak. Meskipun aku belum tahu siapakah kau sebenarnya, tetapi aku telah mempercayaimu. Karena itu selama kami tidak dapat menjalankan tugas, maka terserahlah kepada kalian, apa yang sebaiknya kalian lakukan di sini.”

Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Bukan begitu. Kau tetap memegang tugasmu. Kami akan membantu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak lalu, “Tetapi apakah tidak ada penghubung yang selalu datang kemari?”

Pemimpin pengawas itu termangu-mangu sebentar. Kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Setiap kali memang ada pengawas yang datang kemari dari pusat tanah yang baru dibuka ini. Tetapi baru dua hari yang lalu penghubung yang terakhir datang kemari, sehingga mungkin masih tiga empat hari lagi penghubung berikutnya akan datang.”

“Kitalah yang akan memberikan laporan,” sahut Wanakerti.

“Apakah kau mampu?” bertanya pemimpin pengawas itu.

“Aku mampu. Mungkin besok badanku akan terasa bertambah baik. Dengan seekor kuda, aku kira aku akan sampai.”

“Sendiri? Di dalam keadaan seperti ini, kau tidak boleh menganggap perjalanan ke pusat kota Mataram ini seperti sebuah tamasya yang menyenangkan.”

“Berdua atau bertiga.”

“Apakah kawan-kawanmu sudah siap untuk pergi? Mereka terlampau lemah.”

“Besok atau selambat-lambatnya lusa, kami sudah siap apabila penghubung dari pusat tanah Mataram belum juga datang,” sahut seorang pengawas.

“Atau,” sambung Wanakerti, “barangkali kita dapat minta tolong kepada salah seorang dari Ki Sanak ini untuk menemani aku pergi ke Mataram.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya sejenak. Namun kemudian ia tersenyum sambil menyahut, “Jangan di antara kami. Kami adalah orang-orang padesan yang sama sekali tidak mengerti unggah-ungguh.”

“Ah, kalian masih saja berpura-pura,” berkata pemimpin pengawas itu. “Tetapi seandainya demikian itu pun sama sekali tidak akan mengganggu, salah seorang dari kalian hanya mengawasi selama perjalanan. Biarlah Wana-kerti nanti yang menghadap pada pimpinan pengawal tanah ini.”

Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Maaf. Kami akan membantu kalian apa saja yang dapat kami lakukan. Tetapi di sini. Tidak ke pusat pemerintahan dari tanah yang baru ini.”

“ Kenapa?”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Kami benar-benar tidak pantas. Kami adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Berilah kami pekerjaan di sini. Kami akan dengan senang hati melakukannya.”

Pemimpin pengawas itu merasa heran, “Kenapa gembala itu berkeberatan apabila salah seorang dari mereka itu mengawasi salah seorang pengawas pergi ke Mataram. Banyak sekali dugaan yang melintas di kepalanya. Apakah benar mereka merasa tidak pantas menghadap pimpinan Pemerintahan Mataram, sehingga dengan demikian mereka merasa rendah diri? Atau mereka malas untuk melibatkan diri secara langsung di dalam persoalan ini, atau menurut pertimbangan mereka, jalan ke Mataram sama sekali tidak aman? Tetapi mustahil kalau mereka takut untuk menempuh perjalanan itu. Pasti mereka mempunyai alasan lain. Mungkin mereka memang merasa rendah diri, tetapi mungkin juga mereka segan untuk melibatkan diri langsung di dalam persoalan-persolan pengamanan daerah yang baru dibuka ini.”

Karena itu maka pemimpin pengawas itu tidak mau memaksanya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah. Kalian akan mendapat tugas kalian di sini. Yang sebenarnya lebih tepat, kami akan minta tolong kepada kalian untuk membantu kami di sini.”

“Kami tidak akan berkeberatan,” jawab Kiai Gringsing.

“Selama ini kalian kami minta tinggal di gardu ini.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Tetapi aku kira saat ini orang-orang di barak itu menjadi tegang. Mereka harus ditenangkan.”

“Ya. Kami masih akan minta kepada kalian untuk menenangkan mereka.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah,” katanya, “aku akan pergi ke barak itu. Biarlah anak-anakku di sini. Aku akan membawa dua tiga orang untuk menguburkan mayat itu.”

“Apakah mayat itu tidak berbahaya?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Racun yang menyerangnya langsung masuk ke dalam saluran darahnya. Berbeda dengan serbuk racun seperti yang membunuh pengawas yang berkumis itu.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, aku minta diri untuk pergi ke barak. Biarlah anak-anakku menyelesaikan pekerjaan kalian di sini apabila memang diperlukan.”

“Ya. Aku berterima kasih.”

“Kalian berdua tinggal di sini. Aku kira untuk sementara tidak akan ada apa-apa lagi. Meskipun demikian, kau berdua jangan lengah,” berkata Kiai Gringsing kepada kedua muridnya.

“Baiklah,” jawab Agung Sedayu.

Namun Swandaru kemudian berkata, “Apakah hari ini tidak ada rangsum?”

“Ah,” desah Agung Sedayu, “tidak ada orang yang sempat masak pagi ini.”

“Mereka pasti sudah masak ketika keributan ini terjadi. Mungkin mereka belum sempat membungkusnya. Adalah kebetulan sekali apabila aku boleh membungkus sendiri.”

“Hati-hatilah, Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “bersihkan tanganmu. Meskipun hanya sedikit sekali, kau pasti sudah bersentuhan dengan racun. Kalau begitu saja kau menyuap mulutmu dengan tanganmu, mungkin di dalam makanan itu akan ikut tertelan racun di tanganmu itu. Walaupun tidak membahayakan jiwa, tetapi pasti dapat menumbuhkan gangguan pada pernafasan dan syaraf. Nah, sebelum rangsum itu datang, bersihkan tangan dan tubuhmu.”

“Kapan rangsum itu akan datang?”

“Mungkin sore nanti,” Agung Sedayu-lah yang menyahut.

Swandaru berpaling. Namun kemudian ia bergumam di dalam mulutnya sehingga tidak seorang pun yang mendengar.

Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun meninggalkan gardu itu, pergi ke barak untuk menenteramkan hati orang-orang yang ada di sana.

Ternyata memang seperti yang diduganya, orang-orang di dalam barak itu pun telah dilanda oleh kebingungan, kecemasan dan ketakutan yang amat sangat. Bahkan ada di antara mereka yang lari dari pinggir arena perkelahian antara pengawas berkumis dengan Agung Sedayu, masih tetap bersembunyi. Mereka tidak berani menampakkan mereka karena mereka menyangka, bahwa orang berkumis itu benar-benar akan mengamuk dan membunuh setiap orang yang dijumpainya.

Ketika Kiai Gringsing sampai ke barak, dilihatnya berapa orang yang ada di barak itu memandanginya seperti orang asing. Mereka duduk di sudut-sudut sambil mengerutkan leher mereka, bahkan ada di antara mereka yang telah membungkus semua milik mereka.

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar karenanya. Ia tidak boleh salah langkah supaya orang-orang di dalam barak itu tidak menjadi semakin ketakutan.

Karena itu, ketika ia memasuki barak itu, dicobanya untuk tersenyum. Namun senyumnya justru membuat orang-orang yang ada di dalam barak itu bertanya-tanya.

Meskipun demikian ada sedikit kelegaan di hati orang-orang yang ada di dalam barak itu. Ternyata orang tua itu masih hidup. Dan ia datang ke barak itu dengan tenang. Hampir bersamaan tumbuhlah pertanyaan di setiap dada. “Lalu kemanakah perginya orang berkumis itu?”

Kiai Gringsing agaknya mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati orang-orang itu. Ia pun sadar, untuk menenangkan mereka, mereka harus tahu bahwa orang yang mereka takuti itu sudah tidak ada lagi. Karena itu, maka katanya, “Sekarang kalian tidak perlu takut lagi. Aku yang hampir mati ketakutan, sekarang sudah dapat mengangkat kepala sambil tertawa.”

Beberapa orang saling berpandangan sejenak.

“Bukankah kalian takut kepada orang yang mengamuk dan mengancam akan membunuh kita semua itu?” bertanya Kiai Gringsing.

Tanpa disadarinya, beberapa orang menganggukkan kepalanya.

“Orang itu sudah tidak ada lagi.”

Orang-orang di dalam barak itu mengerutkan keningnya. Salah seorang yang duduk di sudut memberanikan diri untuk bertanya, “Ke mana pengawas itu sekarang?”

“Ia sudah terbunuh.”

Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Tetapi Kiai Gringsing sadar, bahwa sebagian dari mereka hampir tidak dapat mempercayainya.

“Orang itu terbunuh oleh racunnya sendiri. Ketika ia mengangkat bumbung racun itu tinggi-tinggi, ternyata racun itu sudah tumpah dan mengenai hidungnya, sehingga masuk ke jalur pernafasannya. Akhirnya justru ia mati oleh senjatanya sendiri.”

Kiai Gringsing melihat wajah-wajah yang menegang. Mereka saling berpandangan. Tetapi agaknya mereka tidak meyakini.

“Apakah kalian ingin melihatnya?”

Tidak seorang pun yang menjawabnya.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ketakutan yang amat sangat memang telah melanda seisi barak itu.

“He,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “di manakah kawan-kawan yang lain? Apakah mereka pergi bekerja?”

Tidak ada jawaban. Dan Kiai Gringsing hanya menarik nafas dan menarik nafas. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia pergi ke tempatnya. Kemudian duduk sambil menggeliat, “Aku akan tidur di sini. Ternyata lebih aman daripada di tempat-tempat lain. Semalam aku hampir terbakar hidup-hidup.”

Beberapa orang di sekitarnya masih saja mematung.

Namun Kiai Giingsing tidak menghiraukan mereka lagi. Apakah mereka mendengarkan atau tidak. Kiai Gringsing langsung saja berbicara, “Memang mengerikan sekali. Orang berkumis itu harus mati oleh senjatanya sendiri. Kini kita pasti akan merasa aman dan tidak akan terganggu lagi. Setidak-tidaknya untuk sementara.”

Beberapa orang yang ada di dalam barak itu mendengarkan kata-kata itu. Tetapi mereka masih juga berdiam diri.

Dan tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya, “He, apakah kalian sudah makan? Anak-anakku sudah lapar sejak perkelahian itu. Mereka telah memeras tenaga. Tetapi mereka masih belum makan.”

Masih belum ada jawaban, tetapi beberapa orang sudah mulai menyadari bahwa keadaan memang sudah mulai tenang.

Dan seseorang yang tadi bertanya, bertanya lagi, “Jadi, pengawas berkumis itu benar-benar sudah tidak ada lagi?”

“Percayalah. Ia sudah meninggal. Kau dapat melihat mayatnya yang masih terbaring di tempatnya, karena racun yang keras, sehingga masih terlampau berbahaya apabila disentuh tangan.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. “Jadi, sekarang kita telah bebas daripadanya?”

“Ya. Kita sudah bebas.”

“Kau berkata sebenarnya?”

“Percayalah. Aku tidak akan berbohong. Buat apa aku berbohong kepada kalian?”

“Di mana anak-anakmu sekarang? Apakah mereka masih hidup?”

“Tentu. Mereka berada di gardu pengawas. Mereka sedang merawat pemimpin pengawas yang terluka itu.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan seorang yang lain berkata, “Apakah tidak akan mungkin lagi kami dibunuh bersama-sama?”

“Siapakah sekarang yang akan membunuh kita? Kita memang sudah bebas. Kita dapat bekerja dengan tenang.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi, apakah rangsum sudah datang?”

“Tidak ada yang sempat membuatnya. Di dapur pasti tidak ada orang. Mereka bersembunyi seperti sebagian besar dari orang-orang di sini.”

“Kenapa mereka bersembunyi?”

“Mereka tidak mau mati.”

“Dan kenapa kalian tidak?”

Orang-orang itu tidak segera menyahut. Sejenak mereka saling berpandangan, seolah-olah mereka pun bertanya pula satu kepada yang lain, seperti pertanyaan yang diucapkan oleh Kiai Gringsing.

Namun sejenak kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Kami pun sudah siap untuk lari, Ki Sanak. Beberapa orang yang ada di serambi itu akan memberitahukan kepada kita apabila mereka melihat orang itu datang. Dan kita sudah siap untuk lari menanggalkan barak ini. Tetapi kami memang mengharap bahwa orang itu tidak akan datang kemari. Karena kami baginya adalah orang-orang yang tidak berarti sama sekali.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Di mana orang yang bertubuh tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu?”

Orang-orang di dalam barak itu mengerutkan keningnya, “Mereka tidak datang kemari. Mungkin mereka ada di dapur.”

Kiai Gringsing termenung sejenak. Keduanya yang sudah sangat lemah itu pasti tidak akan dapat pergi terlampau jauh. Apalagi orang yang kekurus-kurusan itu. Tenaganya seakan-akan sudah habis diperas di perkelahian melawan Swandaru.

“Aku akan pergi ke dapur,” desis Kiai Gringsing, “aku sudah sangat lapar. Apalagi anak-anakku.”

“Di manakah mereka sekarang?” bertanya seseorang.

“Di gardu pengawas.”

Orang-orang itu pun kemudian terdiam. Meskipun pada sorot mata mereka memancar berbagai pertanyaan, namun mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi.

Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan barak itu dan pergi ke barak yang lain, yang dipergunakan sebagai dapur dan penampungan perempuan dan anak-anak.

Kiai Gringsing terkejut ketika ia memasuki barak itu. Suasananya benar-benar seperti suasana kuburan. Meskipun perempuan dan anak-anak tidak melihat apa yang terjadi, tetapi agaknya mereka memang sudah mendengar, bahwa telah terjadi sesuatu yang dapat mengancam ketenangan mereka.

Di barak itu, Kiai Gringsing melihat beberapa orang perempuan memeluk anak-anaknya sambil menyediakan barangnya, pakaiannya dan semua miliknya yang telah terbungkus dengan kain di sisinya. Agaknya ia merasa, bahwa apabila ia harus lari meninggalkan barak itu semuanya sudah dipersiapkannya.

Ternyata kedatangan Kiai Gringsing telah mengejutkan mereka. Mereka yang ketakutan menjadi semakin ketakutan. Anak-anak sudah tidak berani menangis lagi. Mereka menahan isak mereka di dalam dada, sehingga dada mereka justru menjadi terlampau sakit.

Kiai Gringsing menyadari keadaan itu. Karena itu, maka untuk mengurangi ketegangan, ia bertanya kepada siapa pun yang ada di dalam barak, “He, apakah kalian sudah menanak nasi?”

Tidak seorang pun yang menjawab.

“Bukankah biasanya kalian membantu menanak nasi dan menyiapkan makan orang-orang yang akan bekerja di hutan?”

Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi beberapa orang menganggukkan kepalanya.

“Agaknya kalian telah terpengaruh oleh keributan itu. Kenapa kalian menjadi ketakutan? Semuanya sekarang sudah diselesaikan. Kalian harus percaya kepada para pengawas. Ternyata para pengawas sudah berhasil mengatasi keadaan yang sebenarnya memang tidak berarti apa-apa. Hanya keributan kecil yang segera dapat dikuasai.”

Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Tetapi tampak wajah-wajah mereka dibayangi oleh kebimbangan.

“Apakah kalian ragu-ragu?”

Tidak ada yang menjawab. Namun hampir bersamaan beberapa orang memandang ke pintu butulan yang menuju ke dapur.

Kiai Gringsing adalah orang tua yang berpengalaman. Pandangan beberapa orang itu agaknya telah menarik perhatiannya. Karena itu, maka ia pun maju selangkah sambil berkata, “Aku akan melihat, apakah kalian sudah mulai masak.”

Beberapa wajah menegang karenanya. Tetapi Kiai Gringsing pura-pura tidak mengetahuinya. Ia maju selangkah lagi sambil berkata, “Kalau sudah ada nasi saja yang masak, maka cukuplah kiranya. Nasi dan garam.”

Perempuan-perempuan itu menjadi semakin tegang. Tetapi tidak seorang pun yang mencegah Kiai Gringsing. Namun semua memandanginya dengan mata yang hampir tidak berkedip.

Kiai Gringsing menyadari keadaan itu. Karena itu, ia pun menjadi semakin berhati-hati. Dengan penuh kewaspadaan ia mendekati pintu butulan. Kemudian dengan kesiagaan sepenuhnya ia melangkah masuk ke dapur.

Tetapi ia tidak segera melihat seseorang. Namun Kiai Gringsing yang mempunyai pendengaran yang tajam, segera mendengar arus nafas di sekitar ruangan itu.

Ketika Kiai Gringsing memandang berkeliling ruangan yang belum pernah dimasukinya sebelumnya itu, dilihatnya sebuah pintu butulan pula. Dan Kiai Gringsing yakin, suara tarikan nafas itu berasal dari luar pintu.

Sejenak Kiai Gringsing berdiri di tempatnya. Dipandanginya keadaan di sekelilingnya. Ruang itu memang sepi. Tidak ada seorang pun di dalamnya. Beberapa peralatan dapur masih berserakan di sana-sini. Kelapa yang baru se-paro selesai diparut. Nasi yang sudah masak, tetapi masih belum sempat disenduk dari kukusan, sementara api di perapian sudah padam.

“Dapur ini agaknya telah ditinggalkan dengan tergesa-gesa,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Ternyata di sini tidak ada seorang laki-laki pun. Semua orang laki-laki melarikan diri, bersembunyi atau pergi ke barak sebelah mencari kawan. Di sini tinggal beberapa orang perempuan dan anak-anak yang sudah siap pula untuk lari.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara nafas itu lagi. Lebih jelas lagi. Apalagi kalau ia sendiri menahan nafasnya. Maka tarikan nafas yang didengarnya itu seperti hembusan angin di lubang-lubang dinding dapur itu.

Perlahan-lahan, Kiai Gringsing maju mendekati pintu butulan. Ia sendiri berusaha untuk mengatur pernafasannya supaya orang di balik pintu itu tidak mendengarnya.

Kiai Gringsing berhenti beberapa langkah di depan pintu. Sejenak ia berdiri tegang. Namun kemudian ia meneruskan langkahnya. Dari tarikan nafas orang itu Kiai Gringsing segera mengetahui, bahwa orang itu tidak terlampau berbahaya baginya, atau orang itu sengaja memancingnya.

Namun Kiai Gringsing kemudian menyadarinya bahwa suara tarikan nafas itu bukan sekedar tarikan nafas seseorang. Tetapi, pasti dua orang.

Sejenak kemudian Kiai Gringsing telah melekat pintu leregan itu. Dengan hati-hati ia menempelkan telinganya. “Tidak salah lagi. Dua orang.”

Tiba-tiba tangannya menghentakkan daun pintu butulan itu. Ketika pintu itu terbuka dilihatnya sebuah ruang kecil. Serambi yang diberi dinding.

Ketika ia melangkah masuk, di dalam ruang yang agak kegelapan karena tidak ada seberkas sinar pun yang masuk, Kiai Gringsing melihat dua orang yang terbaring di lantai. Salah seorang dari mereka mencoba untuk berdiri. Tetapi ia sudah tidak dapat tegak dengan segera. Sambil berpegangan tiang akhirnya ia berhasil berdiri juga. Orang itu adalah orang yang bertubuh kekar, yang sudah dikalahkan oleh Swandaru.

“Kau,” desis orang itu.

“Ya.”

“Apa maksudmu datang kemari?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat, apakah kau dapat lari jauh dari tempat ini.”

“Aku hampir mati kehabisan tenaga. Kawanku ini juga. Karena itu aku beristirahat di sini.”

“Sebelum melarikan diri?”

“Kami tidak akan melarikan diri.”

“Selagi kalian masih belum sehat benar. Tetapi pada saatnya kalian akan lari juga.”

Orang itu menggeleng, “Aku tidak akan lari.”

Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Dilihatnya orang yang kekurus-kurusan yang tubuhnya penuh dengan jalur-jalur bekas ujung senjata Swandaru itu pun mencoba untuk bangkit dan duduk. Namun ia masih selalu menyeringai menahan sakit.

“Berbaringlah,” berkata Kiai Gringsing. Tetapi orang itu agaknya tidak menghiraukannya. Dengan susah payah akhirnya ia berhasil duduk bersandar kedua tangannya.

“Seluruh tubuhku terasa sakit dan pedih seperti berbaring di atas bara,” desisnya.

“Tetapi itu akan lebih baik daripada kau mencoba berbuat sesuatu. Luka-lukamu akan berdarah lebih banyak lagi. Kekuatanmu akan menjadi semakin susut. Dan barangkali kau akan pingsan sekali lagi untuk waktu yang lebih lama. Bahkan kalau kau tidak menjaga dirimu baik-baik, kau akan pingsan selama-lamanya.”

“Kau menakut-nakuti aku.”

“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Dan kau sekarang memang tidak perlu takut lagi kepadaku. Apalagi kepada hantu-hantu yang akan marah karena aku dan anak-anakku.”

Wajah keduanya menjadi tegang.

“Sudah aku katakan. Jangan terlampau menghiraukan aku dan anak-anakku. Biarlah kami ditelan hantu-hantu itu. Sekarang akibatnya kau sendirilah yang menanggung,” berkata Kiai Gringsing. “Karena kau ingin menyelamatkan orang-orang di barak itu, maka kau telah menumbuhkan keonaran.”

“Kami tidak bermaksud membuat keonaran,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu. “Kami tetap pada pendirian kami, hantu-hantu itu akan dapat marah kepada kami semuanya. Kepada kita.”

“Sekali lagi aku katakan. Jangan hiraukan kami.”

“Tidak mungkin.”

“Dengar. Apakah wajar kalau kalian mencoba mencegah kemungkinan malapetaka melanda seisi barak karena hantu-hantu itu marah, tetapi pengawas berkumis yang garang itu akan membunuh orang-orang itu.”

“O, benarkah begitu?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Orang berkumis itu sudah mati. Dukun itu pun sudah mati pula. Yang tinggal adalah kalian berdua.”

“Kenapa dengan kami berdua?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa. Tetapi kenapa kalian berada di sini? Tidak di barak?”

“Aku merasa lebih tenang di sini. Sakit kami tidak terganggu dan kami dapat beristirahat.”

Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Tetapi ia masih berdiri di tempatnya. Sejenak ia merenungi keduanya. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan segera mengobati keduanya atau tidak.

Tetapi justru karena luka-luka keduanya tidak berbahaya bagi jiwa mereka, maka Kiai Gringsing mengambil keputusan untuk membiarkan saja mereka dahulu, agar mereka tidak dapat pergi meninggalkan tempat itu.

“Bagaimanapun juga, keduanya masih diperlukan,” katanya di dalam hati, “meskipun pengetahuannya tentang lingkungannya terlampau sedikit, tetapi mungkin ia dapat menunjukkan jalur yang dapat ditelusur lebih jauh, sehingga akhirnya dapat diketemukan pusat dari usaha yang masih belum dapat diketahui dengan pasti itu.”

“Sudahlah,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku juga tidak akan mengganggu kalian. Beristirahatlah.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka memandang saja wajah Kiai Gringsing dengan sorot mata yang membayangkan keheranan. Mereka sama sekali tidak berbuat apa pun ketika Kiai Gringsing kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu.

Dimuka pintu ia berpaling sambil berkata, “Kalian memang harus beristirahat. Tidurlah supaya keadaan tubuh kalian segera menjadi baik.”

Kedua orang itu sama sekali tidak menjawab, selain memandang dengan mata mereka yang hampir tidak berkedip.

Tetapi keduanya terkejut ketika Kiai Gringsing kemudian tidak saja menutup pintu. Tetapi pintu itu di selaraknya dari luar.

“He, Ki Sanak,” orang yang kekar itu berteriak, “apa artinya ini?”

“Tidak apa-apa,” jawab Kiai Gringsing dari luar, “supaya kalian dapat beristirahat dengan tenang. Jangan cemas, aku tidak akan pergi jauh. Aku selalu ada di sekitar tempat ini, sehingga apabila kalian memerlukan aku, kalian dapat berteriak memanggil.”

“Tetapi kenapa pintu itu diselarak?”

“Tidak apa-apa. Sudah aku katakan, tidak apa-apa.”

“Buka sajalah. Buka sajalah. Kalau aku memerlukan keluar dari tempat ini, aku tidak usah berteriak memanggil siapa pun.”

“Jangan,” sahut Kiai Gringsing, “nanti kau akan terganggu oleh orang-orang yang keluar masuk ruangan ini.”

“Tidak, tidak,” dan tiba-tiba saja tertatih-tatih orang yang tinggi kekar itu melangkah ke pintu. Sambil memukul-mukul daun pintu leregan ia berkata, “Buka, buka pintu ini.”

“Tentu, nanti aku akan membukanya. Sekarang biarlah saja dahulu. Jangan hiraukan pintu itu. Sudah aku katakan, kau akan dapat beristirahat dengan tenang.”

Kiai Gringsing pun kemudian tidak menghiraukan orang itu lagi, meskipun ia masih memukul-mukul pintu. Meskipun demikian, orang tua itu masih juga ragu-ragu meninggalkan tempat itu. Perlahan-lahan saja ia melangkah memasuki ruang yang lain.

Dilihatnya beberapa orang perempuan dan anak-anak menjadi semakin cemas. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi.

“Jangan takut,” berkata Kiai Gringsing, karena ia yakin, perempuan-perempuan itu telah mendengar suara orang yang tinggi kekar itu berteriak-teriak. Katanya kemudian, “Orang itu tidak akan terbuat apa-apa. Ia marah kepadaku. Tidak kepada kalian. Aku sengaja menutup dan menyelarak pintu itu dari luar. Jangan dibuka, supaya ia tidak pergi.”

Perempuan dan anak-anak itu memandanginya seperti memandang sebuah tontonan yang paling mencemaskan, seperti mereka melihat seorang penari yang kehilangan kesadaran oleh irama gamelan yang cepat dan menikam dirinya sendiri meskipun tidak terluka.

Kiai Gringsing sadar sepenuhnya akan hal itu. Perempuan dan anak-anak itu memang telah dicengkam oleh kecemasan. Tetapi mereka tidak berani mengatakannya.

“Mereka memerlukan perlindungan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Sayang, bahwa laki-laki yang ada di barak itu telah terpengaruh oleh lingkungan yang dibangkitkan oleh orang-orang itu, sehingga selalu diliputi oleh ketakutan. Bahkan para pengawas pun telah terpengaruh pula, justru karena di dalam lingkungan mereka pun terdapat seorang yang ikut serta di dalam usaha menakut-nakuti para pekerja.”

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing teringat kepada kedua muridnya. Mungkin ia dapat membagi tugas. Salah seorang tetap di gardu pengawas, yang lain menunggui kedua orang ini.

Kiai Gringsing tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada perempuan dan anak-anak yang ketakutan itu, “Tunggulah sebentar. Aku akan mencari kawan untuk kalian.”

Kiai Gringsing pun kemudian segera pergi dengan tergesa-gesa kembali ke barak. Ia mengajak beberapa orang yang masih mempunyai sedikit keberanian untuk mengubur mayat dukun yang terbunuh oleh pisau belati beracun, pisaunya sendiri yang dilemparkannya kepada pemimpin pengawas, tetapi yang kemudian justru kembali menikam punggungnya.

Kepada beberapa orang yang lain ia berpesan, bahwa sebentar lagi anaknya akan datang dan memerlukan beberapa kawan sekedar untuk menghilangkan kejemuan, menunggui kedua orang yang sedang beristirahat di sebelah dapur.

Agung Sedayu-lah yang kemudian mendapat tugas untuk menunggui kedua orang yang berada di serambi dapur itu. Bersama dua orang yang diajaknya dari barak, ia pergi ke tempat kedua orang itu terkurung.

“Apakah mereka tidak melarikan diri?” bertanya salah seorang dari dua orang yang diajaknya itu.

“Menurut ayahku, pintunya telah diselarak dari luar.”

“Tetapi mereka pasti dapat membuka dinding yang tidak terlampau kuat. Melepas tali-talinya kemudian menyuruk keluar.”

“Keduanya sangat lemah,” jawab Agung Sedayu. “Menurut Ayah keduanya tidak akan mampu berbuat banyak.”

 

Series 56

 

KEDUA orang kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah benar orang tua itu ayahmu?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, “Ya, kenapa?” jawabnya.

“Wajahmu sama sekali tidak mempunyai persamaan dengan orang tua itu. Apakah kau anak tirinya?”

“Bukan, aku memang anaknya.”

“Saudaramu, yang bernama Sangkan itu pun tidak mirip sama sekali dengan ayahmu, dan dengan kau sendiri.”

Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Kalau ia tidak segemuk itu, kalian akan segera melihat persamaan itu. Tetapi ia menjadi sangat gemuk, sehingga kehilangan bentuk.”

Kedua orang yang mengawaninya itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mencoba membayangkan wajah Swandaru apabila ia tidak menjadi segemuk itu.

“Mungkin, mungkin,” yang seorang berdesis.

“Apa yang mungkin?” bertanya kawannya.

“Kalau anak muda itu tidak terlampau gemuk. mungkin ia mirip dengan kakaknya dan ayahnya.”

“Tetapi,” bertanya yang lain, “kenapa adikmu dapat segemuk itu, tetapi kau tidak?”

“Anak itu lahir di musim hujan, dan aku lahir di musim kemarau,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.

Kedua orang itu pun tersenyum pula. Sekilas mereka melupakan kecemasan yang selama ini telah mencengkam seluruh isi barak, dan orang-orang yang masih bersembunyi di sekitar tempat itu.

Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka melangkahkan kaki mereka dengan ayunan yang teratur, justru karena mereka sedang tenggelam dalam angan-angan masing-masing.

Kadang-kadang terlintas di kepala kedua orang yang mengawani Agung Sedayu itu, ketakutan dan kecemasan yang selama ini selalu menghantui seisi barak dan bahkan para pengawas. Anak muda itu, bersama adik dan ayahnya, ternyata telah melahirkan suasana yang baru bagi mereka, meskipun mereka masih belum tahu pasti, apakah yang akan terjadi selanjutnya tanpa orang yang kekar, yang kekurus-kurusan dan orang-orang lain yang selama ini memegang sebagian besar peranan di dalam lingkungan mereka.

“Orang-orang ini akan segera menggantikan mereka,” berkata kedua orang itu di dalam hatinya, “dan kami semuanya masih belum mengetahui, apakah keadaan akan menjadi lebih baik atau bahkan sebaliknya?”

Sambil merenungi angan-angan masing-masing, maka mereka pun kemudian menjadi semakin dekat dengan barak yang sebagian telah dipergunakan sebagai dapur.

“Kita sudah hampir sampai,” desis Agung Sedayu.

“Ya. Tetapi bagaimana kalau kedua orang itu sudah menjadi pulih kembali dan melarikan diri?”

“Kita akan mencegah mereka.”

“Kalau mereka melawan?”

“Kita akan menangkap mereka.”

Kedua kawan Agung Sedayu itu tidak menyahut. Tetapi mereka merasa ngeri apabila mereka pun harus berkelahi menangkap kedua orang yang selama ini mereka takuti. Terlebih-lebih lagi orang yang tinggi dan kekar itu, meskipun ternyata bahwa orang yang kekurus-kurusan itu mempunyai peranan yang lebih penting dari orang yang tinggi kekar itu. Ketika mereka memasuki pintu barak itu, mereka masih melihat perempuan dan anak-anak duduk diam di tempatnya. Seakan-akan mereka sama sekali tidak berani beranjak dari tempat mereka. Dengan wajah yang tegang dan dibayangi oleh ketakutan, mereka memandang ketiga orang yang memasuki barak mereka itu.

Sejenak, Agung Sedayu dan kedua kawannya berdiri saja di muka pintu nemandangi seisi barak. Namun sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata, “Kami bertiga datang untuk menemani kalian di barak ini, supaya kalian tidak terlampau ketakutan. Kami akan mencoba menjaga kalian dari segala macam kemungkinan yang tidak kita kehendaki bersama-sama.”

Beberapa orang perempuan saling berpandangan. Tetapi sorot mata mereka masih tetap membayangkan keragu-raguan dan kebimbangan.

“Ya,” sahut salah seorang kawan Agung Sedayu, “kami akan berada di tempat ini untuk beberapa saat. Bukankah kalian tidak berkeberatan?”

Sekali lagi perempuan-perempuan yang ada di dalam barak itu saling berpandangan. Tetapi mereka masih tetap berdiam diri. Namun demikian, karena kedua kawan Agung Sedayu itu telah mereka kenal dengan baik sebelumnya, maka kedatangan mereka benar-benar telah mengurangi perasaan takut yang mencengkam.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata kepada kedua kawannya, “Tinggallah kalian di sini. Aku akan melihat, apakah kedua orang itu masih ada di tempatnya?”

Agung Sedayu tidak menunggu jawaban kawan-kawannya. Ia pun segera melangkah masuk lewat pintu butulan sampai ke dapur. Kemudian seperti petunjuk yang sudah diberikan oleh Kiai Gringsing, ia pergi ke pintu yang masih diselarak.

Di muka pintu. itu Agung Sedayu berhenti sejenak. Dengan seksama ia mencoba mendengarkan tarikan nafas dari dalamnya, sedang ia sendiri berusaha untuk menahan nafasnya sebaik-baiknya.

“Mereka masih ada di dalam,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.

Namun demikian Agung Sedayu menjadi curiga, karena ia mendengar suara gemerisik dan derak bambu yang patah.

“Apakah yang mereka lakukan?” bertanya Agung Sedayu kepada dirinya sendiri.

Kecurigaan Agung Sedayu pun bertambah-tambah pula, karena suara itu semakin lama justru menjadi semakin keras, sejalan dengan tarikan nafas yang semakin memburu.

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak mendapat lubang yang cukup besar untuk mengintip apa saja yang telah mereka lakukan di dalam bilik yang sempit itu.

Karena Agung Sedayu tidak ingin menduga-duga saja untuk selanjutnya, maka Agung Sedayu pun dengan hati-hati mendekati selarak pintu butulan. Perlahan-lahan pula ia mengangkat selarak itu. Kemudian menyentak ia mendorong pintu butulan itu ke samping, sehingga pintu itu pun terbuka.

Dada Agung Sedayu berdesir. Ia melihat orang yang tinggi kekar itu, betapapun lemahnya masih mencoba untuk membuka dinding bilik yang tidak terlampau kuat itu.

Betapa terkejut mereka berdua ketika mereka menyadari, bahwa pintu yang diselarak itu kini sudah terbuka, dan seorang anak muda berdiri di muka pintu itu sambil menyaksikan apa yang telah mereka lakukan,

Sejenak Agung Sedayu berdiri tegang memandang orang yang tinggi kekar, yang masih mencoba membuka dinding. Namun tanpa sesadarnya ia pun kemudian melangkah maju mendekatinya sambil berkata, “Apakah kau masih berusaha untuk lari?”

Tanpa diduga-duga, orang yang tinggi kekar itu mengerahkan segenap tenaga yang masih tersisa padanya. Dengan serta-merta ia berdiri dan menyerang Agung Sedayu.

Agung Sedayu yang mengerti benar, bahwa orang itu sebenarnya sudah terlampau lemah, sama sekali tidak melawan. Ia hanya mengelakkan dirinya. Selangkah ia bergeser ke samping sambil memutar tubuhnya.

Ternyata, karena serangannya sama sekali tidak menyentuh anak muda itu, orang yang kekar itu terdorong oleh sisa kekuatannya sendiri, yang sudah dihentakkan sejauh-jauh dapat dilakukan. Sehingga dengan demikian, ia terhuyung-huyung dan dengan kerasnya jatuh terjerembab. Kepalanya membentur tiang barak itu, yang untung, terbuat dari bambu, sehingga tidak begitu menyakitinya.

Namun demikian, sisa tenaga orang itu seakan-akan benar-benar telah terkuras habis. Dengan demikian, maka orang yang tinggi kekar itu sama sekali tidak lagi menyimpan tenaga yang cukup dapat membawanya bangkit.

Agung Sedayu menarik nafas menyaksikan orang itu terbaring diam. Namun dari sorot matanya, Agung Sedayu masih dapat membaca apa yang tergores di hatinya. Agaknya orang itu cukup keras kepala.

“Kau berbaring saja di situ?” bertanya Agung Sedayu kepada orang yang tinggi kekar.

Orang itu menggeram, sekilas dipandanginya kawannya yang masih juga terlampau lemah, berbaring di tengah-tengah ruangan.

“Seandainya kau berbasil membuka dinding ruangan ini, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Agung Sedayu pula.

Orang itu masih tidak menjawab.

“Apakah kau akan lari? Seandainya kau dapat melarikan dirimu, bagaimana dengan kawanmu yang sudah sangat lemah ini?”

Sekali lagi orang yang tinggi kekar itu menggeram. Tetapi ia masih belum dapat bangkit. Dipandanginya saja Agung Sedayu dengan sorot mata yang semakin menyala.

“Kau telah melakukan sesuatu yang ternyata merugikan dirimu sendiri,” berkata Agung Sedayu. Lalu, “Usahamu untuk melarikan diri, telah menumbuhkan suatu keinginan padaku untuk mengikatmu pada tiang barak ini.”

“Gila!” tiba-tiba orang itu membentak.

“Kalau kemudian kekuatanmu pulih kembali, dan kau memaksa untuk lari, maka tiang barak yang tidak begitu kuat ini akan terseret dan atap ini akan runtuh menimpa kau dan kawanmu itu.”

“Gila, kau benar-benar anak gila! Aku tidak mau, aku tidak mau!”

“Tentu kau tidak mau. Tetapi seperti kawanmu yang lemah sekali itu pun pasti tidak mau apabila adikku bertanya kepadanya, apakah ia mau dipukuli dengan cambuk? Juga pemimpin pengawas itu akan membiarkan dirinya terluka di punggung? Tentu tidak. Tetapi kita kadang-kadang memang harus menerima perlakuan yang tidak sesuai dengan keinginan kita sendiri. Bukankah begitu?”

“Persetan!”

“Tetapi, terpaksa sekali. Terpaksa sekali, aku berbuat demikian.”

Wajah orang yang tinggi kekar itu tiba-tiba menyala. Ia masih berusaha untuk bangkit. Tetapi tubuhnya memang sudah terlampau lemah, sehingga ia harus berpegangan pada dinding.

“Kau jangan berbuat gila!” orang itu masih mencoba berteriak.

“Tidak. Aku berbuat demikian, karena kau sama sekali tidak mau menunjukkan sikap bersahabat. Kau masih juga ingin melarikan diri.”

Wajah orang itu kini berubah menjadi liar. Sejenak ia memandang berkeliling. Kemudian dengan tiba-tiba saja ia meloncat dan mencoba berlari menerobos pintu.

Agung Sedayu tidak segera mengejarnya. Ia tahu bahwa orang itu tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk melarikan diri dari bilik itu. Dengan demikian, maka dengan tenang Agung Sedayu melangkah ke luar pintu ruangan itu.

Ia menarik nafas ketika ia melihat orang yang tinggi kekar itu terjerembab di muka perapian. Untunglah bahwa api memang sudah padam, sehingga tangannya yang terperosok ke dalamnya tidak terbakar karenanya, meskipun abunya masih cukup panas.

“Sudah aku katakan,” berkata Agung Sedayu, “kau masih terlampau lemah. Dan kau tidak akan dapat ingkar dari perlakuan yang harus kau jalani. Marilah, aku tolong kau kembali ke ruang kecil itu.”

“Tidak, tidak!”

Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi. Diangkatnya orang itu untuk berdiri dan dipapahnya kembali ke dalam bilik sempit dan pengap itu.

Meskipun orang itu masih berusaha melawan, bahkan mencoba mencekik Agung Sedayu yang memapahnya, namun Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Dengan mudahnya ia mengibaskan tangan orang itu sambil berkata, “Jangan berbuat demikian, nanti aku banting kau.”

Orang itu menggeram. Namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tulang-tulangnya serasa sudah terlepas dari tubuhnya, dan otot-ototnya menjadi tidak bertenaga.

Karena itu, ia tidak dapat berbuat lain kecuali menurut saja, dibawa oleh Agung Sedayu ke dalam bilik yang sempit itu.

“Tunggulah di sini sebentar, aku akan mencari seutas tali.”

“Gila!” ia menggeram.

Agung Sedayu tidak menyahut. Ia melangkah keluar meninggalkan orang itu duduk bersandar di dinding. Namun Agung Sedayu tidak lupa menyelarak pintu itu rapat-rapat.

Ketika ia masuk ke ruang sebelah, ia masih tetap melihat orang-orang yang kecemasan. Bahkan kedua kawannya pun tampaknya masih juga ragu-ragu menghadapi keadaan.

Ketika keduanya melihat Agung Sedayu, maka dengan serta-merta keduanya bertanya hampir berbareng, “Sudah?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, “Apa yang sudah?” ia bertanya.

“Apakah kita sudah selesai dan dapat kembali ke barak kita sendiri?” bertanya salah seorang dari mereka.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang di tempat ini benar-benar telah dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Namun jawabnya kemudian, “Kita tidak sekedar melihat orang-orang yang ada di sebelah dapur itu. Kita harus menungguinya. Jadi, tugas kita masih panjang.”

“Di sini?”

“Apa salahnya? Bukankah kita memang harus melindungi perempuan dan anak-anak? Bukankah perempuan yang ada di barak ini dan anak-anaknya adalah isteri kalian dan anak-anak kalian?”

“Aku belum beristeri,” berkata salah seorang dari keduanya.

“Aku juga belum,” jawab Agung Sedayu, “tetapi adalah kewajiban kita melindungi perempuan dan anak-anak.”

Kedua kawannya itu saling berpandangan. Dan mereka mendengar Agung Sedayu meneruskan, “Seharusnya kita berbuat sesuatu yang dapat memberikan ketenteraman di hati perempuan dan anak-anak di sini. Bukan sebaliknya.”

Kedua orang itu tidak menyahut. Mereka menundukkan kepala mereka. Tetapi mereka tidak dapat mengusir begitu saja perasaan takut dan cemas yang seakan-akan sudah bersarang di dalam hati mereka. Namun demikian, mereka mengerti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Mereka memang tidak boleh menambah ketakutan dan kecemasan di dalam barak ini.

“Duduklah di situ,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kawani perempuan dan anak-anak yang ketakutan. Kalian harus yakin bahwa untuk sementara pasti tidak akan terjadi apa-apa. Dan dalam waktu yang sementara itu, para pengawas sudah akan dapat membuat hubungan dengan induk pasukan mereka. Kalian tidak akan ditakut-takuti lagi.”

Kedua orang itu memandang Agung Sedayu sejenak. Salah seorang dari keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya. Mudah-mudahan.”

“Aku yakin. Kalian pun harus yakin.”

Keduanya mengangguk-angguk pula. Namun salah seorang dari mereka kemudian bertanya, “Sekarang kau mau ke mana?”

“Tidak ke mana-mana. Aku memerlukan seutas tali.”

“Untuk apa?”

“Untuk mengikat pintu,” jawab Agung Sedayu sambil melangkahkan kakinya ke luar barak.

Di halaman, Agung Sedayu mendapatkan beberapa potong tali dari bambu bekas pengikat kayu. Tetapi ketika ia mengambil tali itu, terasa tali itu terlampau keras.

“Tali-tali ini akan melukai tangannya,” katanya kepada diri sendiri. Karena itu, maka Agung Sedayu pun tidak mau mempergunakannya, ia mencari tali yang lebih lunak lagi. Tali dari sabut.

Akhirnya ia menemukannya di sudut barak itu. Mungkin tali itu bekas tali pengikat barang-barang dan alat-alat untuk dapur. Meskipun tali itu bukan dari sabut, tetapi dari lulup kayu, namun tali itu cukup lunak untuk mengikat orang yang keras kepala itu.

Agung Sedayu pun kemudian membawa tali itu masuk ke dalam bilik kecil di sebelah dapur. Orang yang tinggi kekar itu telah merangkak dan bergeser dari tempatnya. Ia masih berusaha melepas tali-tali dinding. Tetapi ia masih belum berhasil ketika Agung Sedayu masuk ke dalam bilik itu.

“Tidak. Aku tidak mau!” orang itu tiba-tiba berteriak ketika ia melihat Agung Sedayu membawa seutas tali.

“Jangan melawan,” berkata Agung Sedayu, “kalau kau melawan, tanganmu mungkin akan terluka. Tetapi kalau kau diam, maka tidak akan menumbuhkan gangguan apa pun padamu.”

“Aku bukan seekor kerbau yang membiarkan hidungnya dicocok dengan tali keluh. Tidak. Aku tidak mau.”

“Apakah kau ingin aku melubangi hidungmu seperti seekor kerbau?”

“Tidak, tidak!”

“Kalau begitu, serahkan tanganmu. Aku akan mengikatnya pada tiang ini.”

Mata orang itu menjadi merah menyala. Tetapi ia akhirnya harus menyadari, bahwa tenaganya benar-benar sudah tidak dapat dipergunakannya lagi.

Meskipun demikian, ia masih meronta juga ketika Agung Sedayu kemudian mengikat tangannya.

“Maaf. Kalau tidak, kau pasti akan berusaha melarikan dirimu. Aku terpaksa berbuat demikian, karena aku tidak akan dapat terus-menerus menunggui kau di dalam bilik yang pengap ini.”

“Gila!” orang itu berteriak. “Kau sangka aku kerasan tinggal di dalam bilik ini?”

“Untuk sementara. Lebih baik kau melepaskan segala pikiran dan angan-angan untuk keluar dalam waktu dekat. Dengan demikian kau akan dapat tidur nyenyak.”

“Persetan!” orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat melawan, ketika Agung Sedayu kemudian mengikat orang itu pada tiang bambu Petung yang besar.

Sejenak, Agung Sedayu memandangi seorang lagi yang berbaring dengan lemahnya. Luka-lukanya membujur lintang di tubuhnya. Pakaiannya yang sudah terkoyak-koyak sama sekali tidak lagi dapat menutupi dada dan lengannya yang sobek. Darah yang beku seakan-akan telah membalut seluruh permukaan kulitnya.

“Guru masih belum mengobatinya,” desis Agung Sedayu di dalam hati. Tetapi Agung Sedayu tahu benar alasan gurunya, kenapa ia masih membiarkan saja orang itu.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun dengan tenang meninggalkan kedua orang itu. Yang seorang sudah diikatnya erat-erat, dan tidak akan dapat lolos lagi, sedang yang seorang masih terlampau lemah untuk meninggalkan tempatnya.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun keluar dari tempat itu dan kembali kepada kedua orang kawan-kawannya yang masih duduk di tempatnya. Keduanya duduk dengan tegangnya, tetapi keduanya tidak bercakap-cakap sama sekali.

Baru ketika mereka melihat Agung Sedayu, salah seorang bertanya, “Bagaimana dengan kita?”

“Kita akan duduk-duduk di sini untuk beberapa lama. Bukankah kita tidak mempunyai pekerjaan apa pun hari ini?”

“Apa yang akan kita kerjakan hari ini?”

“Tidak apa-apa. Kita duduk-duduk di sini. Kalau kita lapar, di dapur ada nasi cukup banyak.”

“Nasi?”

“Ya, nasi. Apakah kalian tidak melihat? Kita mengharap bahwa mereka yang bertugas untuk menyediakan makan akan segera kembali dan dapat membungkus nasi seperti biasanya. Kalau tidak, kita akan kelaparan hari ini.”

Kedua orang itu tidak menyahut.

“Kalau mereka menyadari keadaan, maka seorang demi seorang pasti akan segera datang.”

Kedua kawannya masih tetap berdiam diri.

“Marilah, kita duduk di serambi depan. Di sini udaranya terlampau panas.”

Keduanya sama sekali tidak menjawab. Tetapi ketika Agung Sedayu melangkah keluar, keduanya mengikutinya di belakang.

Ketika Agung Sedayu sudah hilang di balik pintu, tanpa sesadamya, beberapa orang di dalam barak itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka merasa seolah-olah tekanan yang menyesak di dalam dada mereka sudah mulai mengendor, meskipun mereka masih tetap dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan.

Di serambi depan, Agung Sedayu duduk bersandar dinding sambil menjelujurkan kakinya. Desisnya, “Desir angin membuat aku mengantuk.”

“Jangan tidur,” tiba-tiba seorang kawannya menyahut.

“Kenapa?”

Sejenak ia terdiam, namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak apa-apa.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bangunkanlah kalau aku tertidur. Semalam suntuk aku hampir tidak memejamkan mata sama sekali.”

Keduanya tampak ragu-ragu. Tetapi mereka pun menganggukkan kepalanya.

Agaknya Agung Ssdayu yang kemudian memejamkan matanya itu, dapat menimbulkan kesan tersendiri. Anak muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ketakutan dan kecemasan. Bahkan begitu mudahnya ia memejamkan mata meskipun barangkali tidak segera jatuh tertidur.

Sementara itu, Kiai Gringsing yang telah selesai mengubur dukun yang terbunuh itu pun terpaksa mengantarkan kembali beberapa orang yang pergi bersamanya dari barak. Sedang Swandaru ditinggalkannya mengawani para pengawas yang masih belum sembuh dari kelelahan dan kesakitan.

“Tidak akan ada apa-apa untuk sementara,” berkata Kiai Gringsing kepada para pengawas dan Agung Sedayu. “Tetapi kalau terjadi sesuatu, panggil aku dengan tengara, kentongan, atau apa saja.”

“Baiklah,” jawab pemimpin pengawas yang masih berbaring di amben bambu di dalam gardunya.

Kiai Gringsing pun kemudian bersama-sama dengan beberapa orang berjalan kembali ke barak. Tetapi Kiai Gringsing sengaja menempuh jalan melingkar. Katanya, “Kalau ada di antara mereka yang bersembunyi melihat kita berjalan dari gardu pengawas, mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa keadaan telah berangsur baik.”

Kawan-kawannya yang berjalan bersamanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tetapi apakah mereka akan melihat kita?”

“Mudah-mudahan. Mereka akan keluar dari persembunyian mereka, setelah sekian lama duduk di bawah gerumbul-gerumbul yang lebat dan di atas tanah yang lembab. Barangkali mereka menjadi jemu digigit nyamuk dan semut merah. Tetapi karena mereka masih belum berani keluar dari pinggir hutan, mereka pasti hanya mengintip saja.”

Orang-orang yang berjalan bersama Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sebenarnyalah bahwa memang satu dua orang yang sedang bersembunyi melihat Kiai Gringsing berjalan bersama beberapa orang menuju ke barak mereka. Dengan ragu-ragu mereka mengikuti saja dengan tatapan mata yang suram. Sekali-kali mereka berdesah, dan mereka yang bersembunyi dua tiga orang bersama-sama, saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka masih tetap saja berdiam diri.

Ternyata Kiai Gringsing membawa mereka berjalan lewat bekas arena perkelahian. Dengan tengkuk yang meremang, orang-orang itu melihat pengawas yang berkumis itu masih terbujur di tempatnya,

“Tidak ada seorang pun yang dapat menyentuhnya hari ini,” berkata Kiai Gringsing. “Mudah-mudahan besok kita dapat menguburkannya.”

Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, bukankah kalian sudah melihat, bahwa tidak akan ada apa-apa lagi untuk sementara?”

“Tetapi. Tetapi,” salah seorang dari mereka menjawab, “bagaimana dengan orang yang tinggi kekar, dan orang yang kekurus-kurusan itu?”

“Mereka ada di dapur. Mereka sudah menjadi jinak,” jawab Kiai Gringsing. “Apakah kalian akan bertemu dengan mereka?”

Tetapi agaknya orang-orang itu sama sekali tidak berniat untuk bertemu dengan kedua orang itu. Apalagi membantu mengawasi mereka. Bagi mereka memang lebih baik ikut dengan orang tua itu menguburkan mayat yang sudah pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa.

“Siapakah yang kemudian pergi mengawani anak muda itu?” mereka pun bertanya di dalam hati, karena Kiai Gringsing memang sudah memberitahukan sebelumnya, bahwa beberapa orang nanti akan diajak oleh seorang anaknya menunggui kedua orang itu.

Namun demikian, perlahan-lahan Kiai Gringsing berhasil menumbuhkan ketenangan di hati orang-orang yang ketakutan itu. Meskipun untuk beberapa saat lamanya, mereka pasti masih selalu dipengaruhi oleh perasaan takut dan ngeri.

Sejenak kemudian, mereka pun melintasi sebuah tempat terbuka yang agak panjang. Tempat yang sudah bersih dari pepohonan hutan, yang sedianya akan dipergunakan menjadi tanah pekarangan. Tetapi karena orang-orang di tempat itu selalu dibayangi oleh ketakutan, maka rencana itu masih belum dapat dilakukan.

Apalagi saat itu, daerah yang terbuka itu benar-benar seperti kuburan. Sepi. Tidak ada sesosok tubuh pun yang tampak melintas, selain Kiai Gringsing dan orang-orang yang mengikutinya. Beberapa buah rumah yang sudah jadi pun seakan-akan seperti cungkup-cungkup yang sepi.

Namun di belakang mereka, beberapa orang yang bersembunyi di pinggir-pinggir hutan pun segera mengikuti. Bahkan beberapa orang berlari-lari dan menggabungkan diri pada iring-iringan kecil itu, sehingga tampaknya semakin lama menjadi semakin panjang.

Perasaan mereka menjadi semakin tenang, ketika mereka sudah berada di barak. Mereka segera duduk di tempat masing-masing dengan nafas yang tertahan-tahan. Beberapa orang kemudian menarik nafas dalam-dalam dan mengucapkan sukur di dalam hati, bahwa mereka tidak ikut serta menjadi korban pertentangan yang tiba-tiba saja terjadi.

“Nah,” bertanya Kiai Gringsing, “siapakah di antara kalian yang mendapat tugas di dapur hari ini?”

Beberapa orang saling berpandangan.

“Siapa? Sayang bahan-bahan yang telah masak di dapur. Dan bukankah kita hari ini memerlukan makan pula?”

Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Marilah,” ajak Kiai Gringsing, “kita pergi ke dapur. Yang bertugas kami harapkan untuk melakukan tugasnya seperti biasa. Semua persoalan yang terjadi, anggaplah sudah selesai untuk sementara.”

Meskipun masih belum ada yang menyahut, tetapi Kiai Gringsing sudah melihat kesanggupan pada beberapa wajah di antara mereka. Karena itu katanya kemudian, “Marilah, siapa yang akan membantu menyelesaikan makan kita, ikutlah aku. Yang lain kami harap tinggal di sini sambil menunggu rangsum yang nanti akan segera kami kirimkan, meskipun seandainya hanya sekedar nasi dengan garam atau dengan sambal kelapa.”

Kiai Gringsing menunggu sesaat. Kemudian ia pun melangkah keluar barak itu. Beberapa orang pun kemudian bergeser dari tempatnya. Ketika seseorang berdiri, maka beberapa orang yang lain pun telah berdiri pula dan mengikuti langkah Kiai Gringsing pergi ke barak yang lain. Mereka sebagian adalah orang-orang yang memang bertugas di dapur hari ini, yang seharusnya dibantu oleh beberapa orang perempuan.

Jalan setapak yang menghubungkan kedua barak itu yang biasanya di siang hari sering dilalui orang-orang yang pergi hilir-mudik, masih juga terlampau sepi. Tidak ada seorang pun yang berani berjalan sendiri, meskipun suasana sudah menjadi semakin tenang.

Di serambi depan barak yang lain, Agung Sedayu masih saja duduk bersandar dinding sambil menjelujurkan kakinya. Bahkan sekilas ia terlena oleh kelelahan. Sedang kedua kawannya yang duduk di sampingnya, seakan-akan sedang menungguinya. Menunggui anak-anak yang baru saja dapat tertidur setelah bermain-main sehari penuh.

Agung Sedayu terperanjat ketika salah seorang kawannya itu tiba-tiba menggamitnya sambil berkata, “He, lihat. Mereka sudah datang?”

“Siapa?” bertanya Agung Sedayu.

Namun setelah menggosok matanya yang kemerah-merahan, ia pun segera melihat bahwa yang datang adalah gurunya bersama beberapa orang yang lain.

“Kenapa mereka kemari?” desis kawan Agung Sedayu yang lain.

Agung Sedayu menggelengkan kepalanya, “Entahlah. Tetapi mereka tampaknya sudah berhasil mengatasi ketakutan mereka. Lihatlah, wajah-wajah mereka sudah menjadi bening.”

Kedua kawan Agung Sedayu itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sejenak kemudian, Kiai Gringsing pun sudah ada di serambi itu pula. Sambil tersenyum ia berkata, “Inilah beberapa orang yang akan membantu menyelenggarakan rangsum kita hari ini. Apakah ada beberapa orang perempuan yang siap membantu pula?”

“Aku belum menanyakannya. Tetapi kalau dapur itu sudah dipanasi oleh perapian, aku rasa mereka pun akan segera melakukannya,” jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Silahkanlah. Kami akan tetap tinggal di sini menunggu lauk masak. Apa pun wujudnya.”

Beberapa orang pun kemudian pergi ke dapur. Mereka membenahi beberapa macam alat yang masih berserakan. Beberapa orang perempuan kemudian telah berani bangkit dari tempatnya dan masuk dengan ragu-ragu ke dalam dapur. Dengan hati yang berdebar-debar mereka memandang dinding pintu yang diselarak oleh Agung Sedayu. Kepada laki-laki yang ada di dalam dapur itu, mereka berdesis lambat sekali, “Jangan membuka pintu itu.”

“Kenapa?”

“Di situlah kedua orang itu bersembunyi.”

“O, bukankah mereka tidak bersembunyi? Orang tua dan anaknya itu sudah mengetahuinya, bahwa mereka ada di dalam.”

Perempuan itu tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi tatapan mata mereka, masih membayangkan kecemasan.

Seorang laki-laki yang ingin disebut lebih berani dari kawan-kawannya melangkah mendekati pintu yang diselarak itu. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bahkan kemudian ia pun bertanya kepada seorang perempuan, “Kenapa diselarak dari luar?”

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Namun perempuan yang lain berdesis, “Aku mendengar mereka bertengkar.”

“Siapa?”

“Anak muda itu. Tetapi aku tidak tahu apa yang dipertengkarkan. Dari dalam barak, suara mereka tidak jelas terdengar.”

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mendekati pintu, seolah-olah ingin meyakinkan apakah pintu itu benar-benar tidak dapat lagi dibuka dari dalam. Kemudian berlagak seperti seorang yang menyaksikan kerja bawahannya, ia mengangguk-angguk sambil berdesis lambat, “Baik. Baik. Selarak itu sudah mapan. Aku kira, mereka tidak akan dapat membuka lagi dari dalam.”

Dengan demikian maka orang-orang yang bekerja di dapur itu merasa semakin tenang. Di dalam bilik tertutup itu sama sekali tidak terdengar suara apa pun. Agaknya orang-orang yang ada di dalam sama sekali sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

Karena itu, maka sebentar kemudian bau masakan sudah mulai memenuhi dapur. Perlahan-lahan oleh kesibukan masing-masing, mereka hampir melupakan peristiwa yang sudah mencengkam jantung mereka. Kini mereka disibukkan oleh air yang sudah mendidih, santan yang harus dituang, kemudian dedaunan yang sedang direbus, sedang yang lain menyiapkan daun pisang untuk membungkus nasi yang akan dibagikan sebagai rangsum orang-orang yang ada di barak dan para pengawas.

Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang masih duduk di serambi depan, merasa bahwa usaha mereka sudah sebagian berhasil. Perempuan-perempuan di dalam barak itu pun sudah tidak lagi dibayangi oleh wajah-wajah yang gelap, penuh ketakutan dan kecemasan.

“Aku akan kembali ke gardu pengawas,” desis Kiai Gringsing.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku akan menunggui barak ini. Menunggu nasi masak.”

“Kalau nasi masak jangan lupa, bawa rangsum kami ke gardu itu,” sahut Kiai Gringsing.

“Baiklah.”

“Tetapi, aku ingin melihat orang-orang itu sejenak.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang?” ia bertanya.

Kiai Gringsing merenung sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku akan melihatnya sejenak sekarang.”

“Aku telah mengikatnya. Mereka selalu berusaha melarikan diri dengan membuka dinding,” desis Agung Sedayu perlahan-lahan sekali.

“Keduanya?”

“Orang yang tinggi kekar. Yang seorang masih terlampau lemah.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sejenak kemudian ia pun bangkit dan berkata, “Aku akan melihatnya sekarang.”

Agung Sedayu kemudian bangkit pula dan mengikutinya. Beberapa orang memandangi keduanya dengan sorot mata yang memancarkan berbagai macam pertanyaan. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu tidak terucapkan.

Diiringi oleh agung Sedayu, maka Kiai Gringsing segera masuk ke dalam dapur. Ia menjadi ragu-ragu ketika ia melihat orang-orang di dalam dapur itu sedang sibuk. Kalau terjadi sesuatu, maka hal itu pasti akan mengganggu. Karena itu, Kiai Gringsing tidak langsung masuk ke dalam bilik yang tertutup itu. Bersama Agung Sedayu ia berputar-putar sejenak di dalam dapur, melihat-lihat berbagai macam masakan yang sedang dipanasi. Namun kemudian mereka berdua sampai pada dinding yang memisahkan bilik kecil itu.

Sejenak mereka berdua berdiri sambil berdiam diri. Namun sejenak kemudian, tampak kening Kiai Gringsing menjadi berkerut. Perlahan-lahan ia berbisik kepada Agung Sedayu, “Kau menangkap sesuatu yang tidak wajar di dalam bilik kecil itu?”

Agung Sedayu tidak segera menyahut.

“Kau mendengar sesuatu di dalam?” bertanya Kiai Gringsing.

Agung Sedayu menggeleng, “Tidak.”

“Justru tidak itulah, aku menjadi curiga.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, “Ya,” katanya di dalam hati, “aku justru tidak mendengar sesuatu. Tarikan nafas pun tidak.”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Namun ia tidak berkata apa pun juga. Meskipun demikian wajahnya tampak menjadi tegang.

“Apakah kita melihat sekarang?” bertanya Agung Sedayu.

“Tunggu. Justru ada sesuatu yang kurang wajar, aku tidak ingin membuka pintu ini. Aku tidak mau mengganggu kerja yang sudah mulai lancar.”

“Lalu?”

“Marilah kita melihatnya dari luar.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian mengikuti gurunya melangkah keluar dapur dan kemudian turun ke halaman. Dengan tanpa menarik perhatian mereka segera melingkar lewat di sebelah barak itu langsung pergi ke belakang, ke bagian luar dari bilik kecil di sebelah dapur.

Belum lagi mereka sampai, mereka telah melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sebuah dinding di sudut bilik itu ternyata telah terbuka.

“Guru,” desis Agung Sedayu.

“Marilah kita lihat,” sahut gurunya sebelum Agung Sedayu selesai berbicara.

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa mendekati dinding yang ternyata sudah terbuka itu.

Sejenak mereka berdiri termangu-mangu di muka dinding yang terbuka itu. Namun telah merayap di dalam hati mereka, bahwa yang tidak mereka harapkan itu sudah terjadi. Orang-orang yang mereka anggap sudah tidak akan dapat melarikan diri itu, ternyata berhasil membuka dinding bambu.

“Marilah kita melihatnya,” desis Kiai Gringsing.

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

Perlahan-lahan, Kiai Gringsing mendekati lubang sudut dinding itu.

Perlahan-lahan pula ia berjongkok dan membuka dinding itu semakin lebar. Setelah ia yakin tidak ada bahaya apa pun, maka ia pun segera menyuruk masuk ke dalamnya dengan hati-hati.

Agung Sedayu yang masih berdiri di luar menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ia mendapat isyarat dari gurunya, agar ia pun masuk pula ke dalamnya.

Seperti gurunya, Agung Sedayu pun menyuruk pula masuk. Tetapi begitu ia berdiri di dalam bilik itu, matanya tiba-tiba terbelalak.

Dilihatnya orang yang tinggi kekar, yang diikatnya dengan tampar lulup itu, ternyata telah tidak bernyawa lagi. Sedang orang yang kekurus-kurusan, yang di anggapnya masih terlampau lemah, telah tidak ada di dalam bilik yang pengap itu.

Terasa dada Agung Sedayu bergetar dahsyat sekali. Ia merasa bahwa ia sudah salah hitung. Ternyata bahwa ia kali ini tidak berbuat tepat atas kedua orang itu.

Tetapi ketika Agung Sedayu akan membuka mulutnya, gurunya berdesis sambil meletakkan jari telunjuknya di muka bibirnya. Kemudian ia berbisik, “Hati-hatilah. Jangan merusak suasana. Orang-orang di dapur itu sudah mulai tenang. Kalau mereka tahu apa yang terjadi di sini, mereka akan segera menjadi gelisah dan ketakutan.”

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Karena itu, maka ia pun bertanya perlahan-lahan sekali, “Kenapa orang itu mati, Guru?”

Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Didekatinya orang yang tinggi kekar, yang ternyata memang sudah tidak bernyawa lagi itu.

“Ia mati lemas,” berkata gurunya, “pernafasannya agaknya telah tersumbat.”

“Maksud Guru, apakah karena ia terikat, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari kemungkinan pernafasannya terganggu itu?”

Gurunya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Ia masih sempat menggelengkan kepalanya. Tetapi pasti sudah terjadi sesuatu. Orang yang kekurus-kurusaan itu ternyata telah pergi.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

“Bagaimana pendapatmu tentang orang itu?”

“Menurut dugaanku, ia masih terlampau lemah, Guru.”

“Apakah yang telah diperbuatnya ketika kau mengikat orang ini?”

“Tidak apa-apa. Ia berbaring saja. Aku kira ia sama sekali sudah tidak sempat berbuat apa-apa.”

“Itulah kelebihannya. Dengan demikian, maka kita memang telah salah hitung. Aku pun menyangka bahwa ia masih terlampau lemah. Tetapi kini aku berpikir lain. Ia sengaja membuat dirinya demikian, sehingga menumbuhkan kesan, bahwa ia masih terlampau lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa.”

“Jadi?”

“Ia sudah berhasil mengelabuhi kita. Orang itu telah melarikan diri.”

“Tetapi bagaimana dengan orang ini? Kenapa ia tidak berusaha melepaskan ikatannya dan membawanya pergi? Bukankah orang ini justru masih lebih kuat dari padanya?”

“Begitulah tampaknya. Tetapi aku kira, orang yang kekurus-kurusan itu menganggap peran orang ini sudah selesai, ia tidak memerlukannya lagi, sehingga karena itu, maka orang ini telah dibunuhnya. Kau telah membantunya dengan mengikat tangan dan kakinya.”

“Aku tidak sengaja.”

“Ya. Kau memang tidak sengaja. Kau memang tidak bersalah. Tetapi hal itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia tinggal menutup lubang pernafasannya saja, sehingga kawannya itu akan mati lemas.”

Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Desisnya, “Aku akan mencarinya sampai ketemu.”

Tetapi gurunya menggelengkan kepalanya, “Jangan kau. Kau masih terlampau muda untuk menjelajahi hutan ini.”

“Meskipun ia berhasil keluar dan tempat ini, tetapi ia pasti belum begitu jauh.”

“Mungkin, tetapi kita tidak tahu dengan pasti, isi dari hutan belantara di sekitar tempat ini.”

“Jadi, apakah kita akan membiarkan orang itu pergi?”

“Aku akan mencarinya. Tetapi seandainya tidak aku ketemukan, apa boleh buat. Namun itu berarti bahwa kita harus lebih berhati-hati, dan kita harus lebih cepat lagi menghubungi Ki Gede Pemanahan.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Para pengawas itu akan menjadi segera baik kembali. Mereka akan pergi bertiga menemui Ki Gede Pemanahan atau puteranya. Biarlah pemimpin pengawal dan kita bertiga di sini mengambil alih untuk sementara tugas-tugas itu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, biarlah aku mencarinya sekarang. Namun meskipun aku menemukannya itu bukan berarti, bahwa kita dapat melepaskan kewaspadaan. Ternyata daerah ini benar-benar telah dikelilingi oleh suatu kelompok yang belum kita ketahui dengan pasti, maksud dan tujuannya.”

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

“Mudah-mudahan aku dapat menemukan orang itu. Aku kira ia memang belum terlampau jauh dari tempat ini. Tetapi aku masih harus mencari arah yang tepat untuk menemukannya.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Namun angan-angannya melambung ke segenap penjuru. Terbayang di rongga matanya, orang yang lemah itu berjalan tertatih-tatih menyuruk di antara semak-semak yang rimbun. Namun usaha untuk melarikan diri itu benar telah menyakitkan hatinya.

“Guru,” berkata Agung Sedayu kemudian, “apakah aku diperkenankan ikut mencari orang itu?”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Kau tinggal di sini. Orang-orang itu harus tetap tenang. Kalau mereka dihinggapi lagi oleh ketakutan, maka mereka hanya akan menyusahkan saja. Usahakan agar mereka tetap bekerja di dapur, dan agar makan dapat dikirim ke barak dan gardu pengawas.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku akan pergi sekarang. Kalau ada kesempatan, beritahu adikmu, supaya ia tidak menunggu. Beritahukan kepadanya apa yang sudah terjadi. Para pengawas memang perlu mengetahui, tetapi orang lain tidak. Maksudku, tidak sekarang. Mungkin nanti atau kapan saja, mereka pun perlu mengetahuinya.”

“Ya, Guru.”

“Kembalilah ke dapur. Kau harus berlaku seperti orang-orang kebanyakan untuk sementara, meskipun mereka sudah melihat kelebihanmu.”

“Ya, Guru.

“Hati-hatilah, aku akan pergi.”

“Tetapi, apakah guru tidak makan lebih dahulu? Aku kira semuanya sudah masak.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Ditepuknya bahu Agung Sedayu sambil berkata, “Ah, kenapa kau bertanya begitu? Kalau orang-orang di dapur itulah yang bertanya kepadaku, itu sama sekali tidak aneh. Tetapi sekarang kau yang bertanya tentang makan itu. Apakah aku belum pernah mengatakan kepadamu bahwa aku pernah berpuasa sampai enam bulan penuh dan hanya sekedar makan seadanya di sore hari? Kalau aku berbicara tentang nasi masak, lauk–pauk, dan rangsum barangkali kau tahu maksudnya.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Ternyata kadang-kadang ia masih salah menangkap maksud gurunya. Sambil mengangguk-angguk keeil ia berdesis, “Ya, agaknya Guru ingin membuat kesan bahwa semuanya sudah tenang, dan membelokkan perhatian orang-orang ini.”

Sekali lagi Kiai Gringsing menepuk pundak Agung Sedayu. Kemudian ia berkata pula, “Sudahlah. Tungguilah mereka. Ikutlah dengan mereka, apa yang sebaiknya mereka lakukan. Aku akan mencoba mencari jejak orang yang hilang ini. Yang sebenarnya berbahaya bukan orang yang aku cari itu sendiri, tetapi apa yang akan dikerjakannya kemudian.”

“Baik, Guru.”

“Sekarang, marilah kita keluar dari tempat ini. Jangan kau sentuh dahulu mayat itu, supaya tidak menumbuhkan kekacauan di ruang sebelah. Biarlah ia di tempatnya. Nanti apabila kita sudah mendapatkan waktu yang tepat, baiklah kita selenggarakan sebagaimana seharusnya.”

Agung Sedayu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia pun kemudian mengikutinya, ketika gurunya keluar dari bilik yang sempit itu.

Sejenak kemudian, Kiai Gringsing sudah mulai melihat-lihat jejak yang barangkali dapat menunjukkan, kemana orang yang kekurus-kurusan itu pergi.

Ternyata rerumputan liar di sekitar barak itu telah menolongnya. Orang yang kekurus-kurusan itu sama sekali tidak sempat menghapus jejaknya. Rerumputan yang patah oleh injakan kakinya segera dapat dilihat oleh Kiai Gringsing.

“Agung Sedayu,” katanya, “untuk sementara aku dapat menemukan jejaknya. Aku akan mencoba mengikutinya. Tetapi apabila ia sempat masuk ke hutan, maka pencaharian itu akan menjadi semakin sulit. Meskipun begitu, aku akan mencoba mencarinya sehari ini. Kalau aku gagal hari ini, aku akan menghentikannya.”

“Baiklah, Guru. Aku akan berada di tengah-tengah mereka yang sedang bekerja di dapur itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkahkan kakinya, mengikuti jejak orang yang kekurus-kurusan.

Dari jejak itu Kiai Gringsing dapat menduga bahwa orang itu pasti masih terlampau lemah. Kadang ia melihat bekas kaki yang diseret di atas rerumputan.

“Mudah-mudahan orang itu masih belum terlampau jauh,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Namun sudah jelas baginya, bahwa jejak itu menuju langsung ke dalam hutan belukar yang masih belum digarap.

Kiai Gringsing pun kemudian berhenti sejenak ketika ia sudah sampai di tempat yang liar, rerumputan alang-alang, dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat. Ditatapnya daerah di sekelilingnya dengan seksama, kemudian dipandanginya hutan yang lebat, beberapa ratus langkah lagi di hadapannya.

“Orang itu pasti masuk ke sana,” desisnya. Tetapi gerumbul-gerumbul liar, pohon-pohon perdu, dan bahkan batu-batu besar, akan dapat menjadi tempat persembunyian yang baik.

Tetapi Kiai Gringsing masih belum kehilangan jejak. Semakin tinggi batang-batang ilalang, semakin jelas jejak itu pergi ke mana.

Sesekali Kiai Gringsing melihat jejak itu masuk ke dalam gerumbul. Tetapi ia masih dapat menemukan jejak kelanjutannya, sehingga Kiai Gringsing masih berjalan mengikutinya. Dan bahkan semakin jelas, bahwa orang itu telah masuk ke dalam hutan.

Kiai Gringsing tidak dapat menganggap tugas itu dapat dikerjakan sambil lalu saja. Mungkin orang yang kekurus-kurusan itu sendiri memang sudah tidak berbahaya, tetapi apa yang berada di dalam hutan yang lebat itu merupakan suatu rahasia baginya. Rahasia yang tidak mudah dapat dipecahkannya. Seolah-olah ia harus berjalan dan meraba-raba di dalam gelap yang pekat.

Tetapi Kiai Gringsing tidak mengurungkan niatnya, ia tetap ingin mengikuti jejak orang yang kekurus-kurusan itu. Ia ingin lebih hanyak tahu tentang keadaan yang sebenarnya, di sekitar daerah pembukaan hutan ini.

Persoalan yang selama ini menarik perhatiannya adalah ketakutan orang-orang di dalam barak dan bahkan para pengawas terhadap hantu-hantu. Kemudian peristiwa yang timbul berturut-turut di saat-saat terakhir. Namun dalam pada itu, bagi Kiai Gringsing tidak lagi dapat memisah-misahkan, hantu-hantu yang menakutkan itu dengan tindakan-tindakan, perbuatan-perbuatan orang-orang yang terpaksa mengorbankan dirinya.

Demikianlah, maka dengan penuh kewaspadaan, Kiai Gringsing bergerak maju mengikuti jejak kaki di atas rerumputan. Semakin lama semakin dekat dengan hutan yang lebat.

“Apakah orang kekurus-kurusan, yang telah terluka itu, tidak takut memasuki hutan yang liar itu?” bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri, “dalam keadaan itu, maka ia pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa seandainya ada seekor harimau lapar yang menjumpainya.”

Tetapi ternyata orang itu telah memilih bersembunyi ke dalam hutan yang lebat itu. Agaknya menurut perhitungannya, ia lebih baik bertemu, dan kalau perlu membuat perhitungan dengan biatang buas daripada dengan manusia, jenisnya sendiri.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Memang pada suatu saat, seseorang lebih merasa dirinya aman hidup di tempat yang terasing dari manusia lainnya, meskipun ada kemungkinan ia harus berhadapan dengan seekor binatang buas. Pada suatu saat, memang manusia menjadi mahluk yang lebih menakutkan bagi manusia lainnya dari segala jenis makhluk yang lain, termasuk binatang yang paling buas sekalipun. Demikian juga agaknya bagi orang yang kekurus-kurusan itu. Manusia saat ini adalah mahluk yang paling ditakutinya. Apalagi manusia-manusia tertentu yang memang ingin menangkapnya.”

Kiai Gringsing pun kemudian tertegun sejenak, ketika ia telah sampai di tempat yang mulai rimbun. Beberapa batang pohon yang dikelilingi oleh semak-semak yang dapat bertebaran di sana-sini, di antara batang-batang ilalang setinggi dada.

Dengan demikian Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati. Setiap saat ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Bukan saja binatang buas, tetapi mungkin bahaya-bahaya yang lain telah mengancamnya pula.

Sampai di tempat yang mulai rimbun itu, Kiai Gringsing masih belum kehilangan jejak. Ia masih melihat bekas kaki yang menuju langsung masuk ke dalam hutan yang lebat. Bahkan di beberapa tempat, ia melihat orang yang diikutinya itu beristirahat. Bekas-bekas rerumputan yang berpatahan menimbulkan dugaan padanya, bahwa orang yang kekurus-kurusan itu telah benar-benar kelelahan dan duduk di atas rerumputan liar, atau bahkan berbaring sama sekali. Sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing memperhitungkan bahwa orang itu masih belum terlampau jauh di hadapannya. Bahkan, mungkin ia telah hampir dapat menyusulnya.

Dengan demikian, Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati. Banyak kemungkinan yang dihadapinya di balik rimbunnya dedaunan dan lebatnya pepohonan.

Langkah Kiai Gringsing pun menjadi semakin perlahan-lahan. Ia mencoba mempergunakan segenap inderanya untuk memperhatikan setiap bunyi apapun. Desir dedaunan yang disentuh angin, atau derik ranting-ranting yang patah.

Dada Kiai Gringsing berdesir ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara burung kedasih di kejauhan. Suara burung kedasih seperti yang pernah didengarnya di tempat kerjanya. Di tempat Kiai Gringsing dan kedua muridnya membuka hutan. Tetapi kali ini Kiai Gringsing menangkap irama yang berbeda dari suara burung kedasih yang pernah didengarnya. Kali ini suara burung itu terdengar semakin lamban dan tidak terus seperti yang pernah didengarnya.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengerti bahwa suara burung itu, bukanlah suara burung yang sewajarnya. Ia mencoba menarik hubungan antara suara burung yang yang sering didengarnya dengan suara burung yang kini sedang melengking hampir tidak putus-putusnya dalam irama yang berbeda.

Perlahan-lahan Kiai Gringsing itu melangkah terus. Ia kini ingin melihat, siapa atau apakah yang telah menimbulkan bunyi itu. Apakah benar-benar seekor burung kedasih, atau sama sekali bukan seekor burung.

Dengan dada yang berdebar-debar Kiai Gringsing berusaha untuk tidak mengejutkan sumber bunyi itu. Ia harus menjaga langkahnya baik-baik. Bukan saja langkahnya, tetapi juga pernafasannya.

Sekali lagi Kiai Gringsing tertegun. Di kejauhan ia mendengar pula suara burung kedasih. Mirip dengan suara yang masih saja bergema di antara pepohonan hutan. Bahkan seolah-olah suara burung itu menjadi saling sahut-menyahut.

“Akhirnya menjadi semakin jelas,” desisnya, “usaha membuka hutan ini memang menghadapi tantangan yang berat. Ternyata ada suatu kekuatan yang tersusun rapi dan luas, yang membayangi usaha perluasan Tanah Mataram.”

Namun Kiai Gringsing tidak dapat membayangkan apakah usaha untuk merintangi perluasan Tanah Mataram ini hanya terbatas di daerah ini saja, atau tersebar di seluruh medan kerja dari rencana pembukaan hutan Mentaok ini?

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menjadi semakin dekat dengan sumber bunyi yang menyerupai suara burung kedasih itu, sehingga suara itu menjadi semakin jelas karenanya. Sedang di kejauhan masih juga terdengar bunyi yang lain, yang seolah-olah sedang menjawab keluhan yang memelas dari suara burung yang semakin dekat ini.

“Suatu cara yang baik,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “isyarat yang tidak mudah diketahui oleh orang lain.”

Dengan demikian Kiai Gringsing kini mempunyai dua petunjuk untuk melangkah maju. Bekas-bekas kaki yang menjadi semakin samar karena semak-semak yang menjadi rimbun dan pepohonan kian lebat, dan suara burung kedasih itu. Tetapi Kiai Gringsing masih juga belum yakin, bahwa ada hubungan yang erat antara suara burung itu dengan orang yang kekurus-kurusan yang telah melarikan diri setelah membunuh kawannya, orang yang tinggi kekar, yang sedang diikat oleh Agung Sedayu.

Karena itu, maka Kiai Gringsing masih harus melihat dan membuktikan apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya.

Demikianlah, perlahan-lahan ia bergerak maju. Semakin lama semakin dekat. Suara burung kedasih itu kini seakan-akan sudah berada di depan hidungnya.

Dalam pada itu suara burung kedasih yang lain pun, rasa-rasanya menjadi semakin dekat pula. Seakan-akan kedua bunyi itu sedang berusaha saling mendekati.

Dengan menahan nafasnya, Kiai Gringsing menyusup ke dalam semak-semak. Kini ia sudah berada di dalam hutan yang semakin lebat. Suara itu sudah terlampau dekat daripadanya.

Kiai Gringsing tertegun sejenak. Dadanya berdesir ketika ia menyibakkan dedaunan yang rimbun. Kini ia melihat dengan sepasang matanya, bahwa suara burung kedasih itu sama sekali bukan suara seekor burung. Di balik sebatang kayu yang besar, ia melihat dengan jelas seseorang bersandar dengan lemahnya. Dengan nafas yang terengah-engah ia tengah menirukan suara burung kedasih yang seakan-akan sedang mengeluh. Dan orang itu adalah orang yang kekurus-kurusan yang badannya dipenuhi oleh luka-luka bekas ujung cambuk Swandaru.

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata orang itu bukannya orang yang dengan mudah menyerah pada keadaan. Meskipun tubuhnya sudah terlampau lelah, namun ia masih juga berusaha untuk melarikan diri dan menghubungi kawan-kawannya.

Dengan demikian maka Kiai Gringsing tidak segera bertindak sesuatu. Ia justru berusaha bersembunyi. Ia ingin melihat apa yang akan segera terjadi. Ia mengharap seseorang, yang menyambut dengan suara burung kedasih itu pula, akan datang ke tempat itu, untuk menolong kawannya yang terluka ini.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun dengan hati-hati sekali berusaha pula untuk mendapat tempat yang mapan, yang dengan agak mudah dapat mengintip orang yang kini sedang bersandar dengan lemahnya pada sebatang pohon besar.

Dengan dada yang berdebar-debar, Kiai Gringsing pun menunggu. Seperti orang yang kekurus-kurusan itu, maka terasa waktu berjalan dengan lambatnya. Dengan gelisah, setiap kali orang itu menirukan suara burung kedasih, yang selalu disahut oleh suara yang lain, yang terdengar semakin lama menjadi semakin dekat.

“Mudah-mudahan aku dapat menemukan mereka,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Kalau seseorang datang, aku berharap bahwa orang itu akan mampu memberikan banyak keterangan tentang ligkungannya, yang merupakan rahasia bagi orang-orang yang sedang membuka hutan ini. Tetapi aku sama sekali masih belum dapat menilai, berapa banyak dan berapa tinggi kemampuan mereka.”

Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati, ketika ia mendengar suara burung kedasih itu semakin dekat. Semakin lama semakin dekat. Bahkan Kiai Gringsing kemudian hampir tidak dapat menarik nafas lagi ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang muncul dari balik semak-semak.

Kiai Gringsing terkejut melihat orang itu. Orang itu adalah dukun yang pernah didatanginya. Dukun yang mengaku dirinya mampu berhubungan dengan hantu-hantu di Alas Mentaok.

Sejenak Kiai Gringsing terpesona. Agaknya memang ada suatu kumpulan orang-orang yang telah menyusun dirinya dalam suatu ikatan yang rapi. Masih mempunyai tugasnya sendiri di tempat yang sudah mereka bagi sebaik-baiknya. Di lingkungan pengawas, di lingkungan pendatang dan bahkan dukun itu yang menampung persoalan-persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh orang-orang di dalam lingkungan masing-masing.

Dengan penuh minat Kiai Gringsing memperhatikan, apa yang akan terjadi di hadapannya. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tidak menumbuhkan bunyi apa pun yang akan dapat mengganggu pertemuan itu.

“Hem,” dukun itu menarik nafas dalam-dalam, “ternyata kau tidak mampu menyelesaikan tugasmu dengan baik.”

Orang yang kekurus-kurusan itu menyahut, “Maaf. Bukan aku tidak mampu. Tetapi kali ini kita berhadapan dengan orang-orang gila yang harus diperhitungkan.”

“Kenapa kau?” bertanya dukun itu.

“Aku tidak dapat melawan senjata anak muda yang gemuk itu. Anak Truna Podang.”

“Anak yang menurut keterangan, bernama Sangkan itu?”

“Ya. Tetapi aku kemudian pasti, bahwa itu bukan namanya. Seperti Truna Podang itu pun pasti bukan namanya pula.”

Dukun itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah kau sudah berusaha sebaik-baiknya?”

“Tentu. Bahkan semua orang di antara kami sudah bergerak saat itu.”

“Dan kalian tetap tidak berhasil?” Orang yang terluka itu menggelengkan kepalanya, “Aku lemah sekali.”

“Di mana kawan-kawanmu sekarang?”

“Semuanya sudah terbunuh.”

“Semuanya? Juga pengawas itu?”

“Ya.”

“Gila! Bukankah kalian mempunyai jenis senjata yang tidak dimiliki oleh orang lain? Bukankah kalian telah dibekali dengan senjata-senjata beracun?”

“Ya. Tetapi kami tidak mampu melawannya. Dan ternyata racun itu bukan tidak terlawan. Kami sudah mempergunakan segala macam cara. Tetapi kami tidak berhasil melawan Truna Podang beserta kedua anak-anaknya.”

Dukun itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang kekurus-kurusan itu dengan saksama seolah-olah ia ingin menyakinkan apakah kata-kata yang diucapkannya itu benar.

Sejenak kemudian, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat luka yang silang-melintang di tubuh orang yang kekurus-kurusan itu.

“Untunglah bahwa kau masih hidup,” desis dukun yang bernama Ki Damar itu. “Apakah semua kawan-kawanmu sudah mati.”

“Ya. Semua sudah mati.”

Dukun itu menggeram., “Dan kau pun luka-luka parah. Agaknya kau pun hampir mati pula.”

“Ya. Kalau aku dibiarkan begini untuk tiga hari, barangkali aku memang akan mati. Tetapi kalau kau mengobati aku, aku akan berusaha untuk bertahan.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku akan mengobatimu. Mungkin kita masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.”

“Aku masih melihat kemungkinan itu. Terutama apabila Truna Podang dan kedua anaknya dapat disingkirkan.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku sendiri akan menemuinya. Aku sendiri akan membunuhnya dengan cara apa pun. Tetapi aku kira, kia tidak perlu lagi mempergunakan cara yang berbelit-belit. Kalau pada suatu saat ia bekerja di tanah garapannya, kita temui saja orang itu. Kita langsung membunuhnya. Menusuk perutnya dengan pedang. Begitu?”

“Tetapi tidak semudah itu. Ia mampu berkelahi. Kedua anak-anaknya adalah anak-anak muda yang berbahaya. Aku tidak tahu, apakah ayahnya juga berbahaya.”

“Aku tidak akan sendiri. Aku akan datang dengan dua atau tiga orang, sehingga aku yakin bahwa aku akan dapat membunuhnya.”

“Terserahlah. Sekarang, aku memerlukan pertolongan.”

“Baiklah aku akan membawamu ke gubugku.”

“Tetapi, aku sudah tidak mampu lagi berjalan sendiri.”

“Apakah aku harus mendukungmu?”

“Tidak perlu. Tetapi kau harus membantu aku berjalan.”

“Baiklah, beruntunglah kau bahwa aku tidak memutuskan untuk membunuhmu saja daripada kau menambah tugas tanpa arti.”

“Jangan menganggap aku tidak berarti lagi. Aku dapat banyak memberikan bahan kepadamu, tentang Truna Podang dan kedua anak-anaknya.”

“Baiklah. Marilah, aku akan memapahmu.” Demikianlah, maka Kiai Damar pun segera berusaha menolong orang yang kekurus-kurusan itu dan memapahnya berjalan perlahan-lahan.

Dalam pada itu Kiai Gringsing yang menunggui keduanya menjadi termangu-mangu. Ia tidak segera dapat menentukan apakah yang sebaiknya dilakukannya. Namun kemudian ia memutuskan untuk membiarkan saja keduanya pergi. Ia masih memerlukannya, untuk mengetahui hubungan yang lebih luas lagi dari mereka itu. Kiai Gringsing memperhitungkan, bahwa Kiai Damar pasti akan menghubungi kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian, Kiai Gringsing mengharap bahwa ia pada suatu saat akan dapat menemukan sebagian besar dari anggauta kelompok dari orang-orang yang selama ini selalu membayangi kerja orang-orang yang sedang membuka hutan itu.

Dengan demikian maka Kiai Gringsing masih saja tetap di dalam persembunyiannya. Bahkan ia masih juga mencoba menahan desah nafasnya agar tidak didengar oleh kedua orang itu.

Dari tempatnya Kiai Gringsing melihat keduanya berjalan tertatih-tatih menembus gerumbul-gerumbul yang lebat, menyusup di antara pepohonan dan semak-semak berduri.

Namun Kiai Gringsing itu pun berkata di dalam hatinya, “Tetapi apakah mereka pasti pergi ke rumah Kiai Damar yang dahulu? Yang pernah aku datangi?”

Karena itu, maka timbullah keinginan Kiai Gringsing untuk melihat dan mengikuti ke mana mereka itu pergi.

Demikianlah maka dengan hati-hati Kiai Gringsing mencoba untuk mengikutinya. Dari jarak yang agak jauh Kiai Gringsing dengan hati-hati menyusup pula di antara pepohonan dan meloncat dari sebatang pohon yang besar ke batang yang lain, mengikuti kedua orang yang berjalan perlahan-lahan.

“Orang itu termasuk orang yang kuat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Ia memang pernah menjajagi kekuatan Kiai Damar di satu malam, selagi ia datang kepadanya untuk mendapatkan obat untuk Swandaru, yang bahkan bersamaan dengan beberapa orang pengawal Tanah Mataram. Dalam keadaan yang tidak menentu dan penuh dengan keragu-raguan Kiai Damar sama sekali tidak dapat berbuat banyak. Tetapi apabila mereka harus bertempur dalam kesiagaan penuh dan beradu dada, maka Kiai Damar pasti akan dapat berbuat lebih banyak lagi.

Beberapa saat lamanya, Kiai Gringsing mengikuti keduanya. Dan akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya memang pergi ke gubug Kiai Damar. Gubug yang terpencil di pinggir hutan yang lebat, di antara batu-batu besar yang berserakan.

“Orang itu pasti mempunyai suatu cita-cita,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Kalau tidak, ia pasti tidak akan mau menyepikan diri di tempat ini. Di tempat yang terasing dan bahkan berbahaya. Sewaktu-waktu ia akan berhadapan dengan binatang buas yang tersesat sampai ke gubugnya.”

Setelah Kiai Gringsing yakin bahwa kedua orang itu benar-benar berada di dalam gubug itu, maka iapun segera beringsut menjauh.

“Rumah ini pasti akan menjadi pusat pertemuan,” katanya di dalam hati. “Orang-orang lain dari lingkungan mereka, apabila masih ada, pasti akan datang. Setidak-tidaknya malam nanti aku harus melihat, apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi untuk bertindak terlampau tergesa-gesa agaknya memang sangat berbahaya sekali. Karena itu aku harus membuat perhitungan-perhitungan yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan ini.”

Kadang-kadang memang timbul niat di hati Kiai Gringsing untuk berusaha menangkap keduanya sama sekali. Tetapi niat itu dapat dicegahnya sendiri oleh perhitungan-perhitungan yang lebih masak.

“Aku tidak perlu bersusah payah setiap kali datang mengintip rumah ini,” katanya di dalam hati. “Mereka akan mencari aku di tempat kerjaku.”

Namun dengan demikian Kiai Gringsing harus menjadi lebih berhati-bati. Setiap saat ia dapat diserang oleh Kiai Damar bersama pembantu-pembantunya, yang disebutnya dua atau tiga orang, sedang orang yang kekurus-kurusan itu telah dapat memberikan gambaran kekuatan Swandaru dan Agung Sedayu. Orang yang kekurus-kurusan itu tentu dapat mengatakan bahwa Swandaru telah dapat mengalahkan orang yang tinggi kekar, yang justru kini terbunuh di dalam bilik sempit itu, setelah ia menolong orang yang kekurus-kurusan itu, dan orang yang kekurus-kurusan itu sendiri. Kemudian Agung Sedayu telah berhasil mengalahkan pula pengawas berkumis yang ternyata adalah anggauta dari kumpulan mereka pula.

Tanpa sesadarnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara ia sudah menjadi semakin jauh dari gubug Kiai Damar. Dengan demikian maka langkahnya pun menjadi semakin cepat pula, menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar. Ia telah memilih jalan di antara pepohonan dan perdu seperti pada saat ia datang.

Ketika ia sampai di dapur, ternyata orang-orang di dapur telah selesai dengan kerja mereka. Mereka telah membagikan rangsum menurut jumlah yang biasa mereka buat. Agung Sedayu-lah yang mengawal mereka, yang mengirimkan rangsum ke barak yang lain, dan ke gardu pengawas.

Ketika ia melihat gurunya datang, segera ia mendapatkannya.

“Bagaimana, Guru?” bisiknya.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Orang itu, orang yang mati di bilik sebelah, harus segera kita kuburkan.”

“Bagaimana dengan orang yang kekurus-kurusan itu?”

“Kita menghadapi suatu lingkungan yang sama sekali tidak mengenal belas perikemanusiaan. Mereka yang tidak dapat dipergunakan lagi, biasanya memang dibunuhnya, seperti orang yang tinggi kekar itu, meskipun orang itu pula yang menolong orang yang kekurus-kurusan itu berjalan.”

“Kenapa tidak sebaliknya? Kenapa bukan orang yang tinggi kekar itulah yang membunuh orang yang kekurus-kurusan selagi ia tidak berdaya?”

“Agaknya orang yang kekurus-kurusan itu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Bukankah kau melihat sikapnya terhadap orang yang tinggi kekar itu?”

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

“Nantilah aku ceritakan. Sekarang, masuklah ke dalam bilik itu lewat belakang. Lepaskan talinya dan kita akan mengatakan bahwa ia mati karena luka-lukanya, sedang kawannya yang lain telah pergi. Aku mengharap bahwa hal itu tidak menimbulkan persoalan baru bagi orang di barak ini.”

Meskipun demikian, agaknya hal itu telah menimbulkan kejutan pula bagi orang-orang di barak itu. Mereka untuk beberapa saat telah dicengkam kembali oleh ketakutan dan kecemasan. Tetapi Kiai Gringsing telah berhasil mengatasinya dengan berbagai macam cara.

“Sebaiknya orang itu memang pergi saja. Ia sudah tidak dapat menempatkan diri di antara kita,” berkata Kiai Gringsing kepada mereka. “Kalau orang yang kekurus-kurusan itu masih ada di sini, maka ia masih saja dapat menumbuhkan persoalan-persoalan yang tidak kita inginkan.”

Orang-orang di barak itu mengangguk-angguk.

“Karena itu,” berkata Kiai Gringsing, “lupakan saja orang itu.”

“Apakah ia tidak mendendam?” bertanya salah seorang dari orang-orang di dalam barak itu.

“Tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ia hanya seorang diri. Kita di sini terdiri dari banyak orang. Kenapa kita mesti mencemaskannya? Selama ini kita memang tidak pernah berbuat apa-apa selain ketakutan. Bukankah begitu?”

Orang-orang di barak itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian, beberapa orang laki-laki yang masih ada di tempat itu, bersama Agung Sedayu dan Kiai Gringsing telah menguburkan mayat itu agak jauh dari barak mereka.

Ketika malam kemudian datang, barak-barak di pinggir hutan itu agaknya telah dicengkam oleh ketakutan yang sangat. Meskipun Kiai Gringsing telah berusaha untuk menjelaskan, bahwa malam itu pasti tidak akan terjadi sesuatu.

Namun, hati yang telah dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan itu, sama sekali tidak berdaya untuk menghalaukannya.

Karena itu, maka Kiai Gringsing berusaha untuk tinggal bersama dengan orang-orang yang ketakutan itu, agar mereka menjadi agak tenang. Bahkan para pengawaslah yang dibawanya ke dalam barak, bersama-sama menjadi suatu kelompok yang sedikit dapat memberikan ketenangan. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berada di barak yang lain, bersama perempuan dan anak-anak.

Namun Kiai Gringsing telah sempat memberitahukan apa yang didengarnya dari Kiai Damar kepada kedua muridnya, bahwa mereka memang sedang terancam. Terutama apabila mereka sedang berada di lapangan kerja mereka.

“Kami akan menunggu,” desis Swandaru. “Besok kita akan pergi ke tempat kerja itu.”

“Kita harus berhati-hati, Swandaru,” berkata gurunya. Lalu, “Biarlah besok kita perbincangkan. Malam ini kita akan beristirakat sebaik-baiknya.”

Kedua anak-anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hal itu tetap menjadi beban pikiran mereka hampir semalam suntuk. Dan Swandaru masih juga sempat berkata kepada Agung Sedayu, “Sudah cukup lama kita berada di sini. Sebaiknya kita segera menyelesaikan masalah ini. Memang kalau perlu dengan kekerasan dan tidak usah dengan segala macam tirai yang membosankan ini.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia pun telah jemu pula dengan permainan yang mereka lakukan di tempat sepi yang terpencil ini. Baginya sebenarnya akan lebih senang tinggal di Kademangan Sangkal Putung. Daerah itu pasti menjadi bertambah ramai setelah keadaan bertambah baik.

Namun tiba-tiba dadanya berdesir tajam. Sekilas terbayang kakaknya, Untara, bersama pasukannya yang bersiaga penuh berada di Jati Anom justru menghadap ke Mataram, tanah yang sedang dibuka ini.

“Apakah salah paham antara Pajang dan Mataram akan semakin berlarut-larut?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

“Apakah orang-orang yang berjiwa besar seperti Ki Gede Pemanahan dan Sultan Pajang itu tidak dapat menemukan jalan keluar dari kesalahpahaman ini?”

Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Betapapun besarnya jiwa seseorang, apabila kepentingan-kepentingan puncak masing-masing sudah saling berbenturan, maka mereka akan kembali kepada sifat manusiawi yang berpijak pada kepentingan sendiri.

“Apa yang kau renungkan?” bertanya Swandaru tiba-tiba.

Agung Sedayu terkejut. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Kau melamun?”

“Aku mengantuk.”

“Aku tidak percaya. Matamu masih bening, dan tatapan matamu melambung ke dunia yang lain.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kita harus tidur sekarang.”

“Kau belum menjawab. Bagaimana pendapatmu tentang keadaan ini? Apakah kita akan berlarut-larut menghadapi masalah yang menjemukan ini? Kalau aku menjadi guru, aku akan datang ke rumah orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Damar itu. Aku tangkap saja orang itu dan aku bawa menghadap Ki Gede Pemanahan. Terserah apa yang akan dilakukan olehnya atas Kiai Damar, dan kita akan segera dapat kembali ke Sangkal Putung supaya ayah dan ibu segera dapat berbuat sesuatu.”

“Berbuat apa?” bertanya Agung Sedayu. Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Tidak berbuat apa-apa.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah kau ingin ayah dan ibumu segera pergi ke Menoreh?” Swandaru tidak menjawab.

“Kenapa kau diam saja? Atau barangkali tidak begitu?”

“Ah kau,” desis Swandaru kemudian, “agaknya memang lebih baik kalau kita tidur. Bukankah kau sudah mengantuk?”

Agung Sedayu menggeleng, “Tidak. Mataku masih bening dan tatapan mataku melambung ke dunia yang lain.

“Ah kau,” sahut Swandaru. Tetapi ia pun kemudian menjatuhkan dirinya dan tidur melingkar di bawah kain panjangnya.

Agung Sedayu tersenyum. Ia masih juga berkata “Sst, apakah kau sedang menyiapkan sebuah mimpi?”

“Aku tidak mendengar.”

“Apa yang tidak kau dengar.”

“Pertanyaanmu.”

“Tetapi kau dapat menjawab dengan tepat.”

Swandaru tidak menyahut lagi. Ia menutup kupingnya dengan ujung jari telunjuknya.

Agung Sedayu pun kemudian terdiam pula. Dipandanginya ruangan yang luas di barak itu. Semua orang sudah berbaring diam di tempatnya masing-masing, meskipun ada juga di antara mereka yang tidak dapat tidur sama sekali karena ketakutan. Anak-anak kecil dipeluk oleh ibunya dengan dada yang berdebar-debar. Bahkan ada seorang ibu yang menitikkan air mata di kening anaknya.

“Kenapa aku membawamu ke neraka ini,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Suaminya sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun di tempatnya yang lama. Kini mereka mencoba mengadu nasib, ikut serta membuka hutan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan baru sebagai seorang petani.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar suara ayam jantan berkokok bersahutan. Tengah malam telah lewat. Dan ia sama sekali tidak dapat memejamkan matanya, sementara ayam-ayam jantan yang dipelihara oleh orang-orang yang membuka hutan itu masih saja berkokok tidak henti-hentinya.

Ketika malam menjadi semakin hening, pikiran Agung Sedayu merantau semakin jauh. Dicobanya membayangkan apa yang dapat terjadi di daerah ini dan apa yang bakal terjadi atas dirinya sendiri.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Swandaru melingkar diam di tempatnya. Tetapi ternyata menurut tarikan nafasnya anak yang gemuk itu masih juga belum tidur, sehingga Agung Sedayu tersenyum melihatnya. Katanya perlahan-lahan, “Kau akan menjadi pening, justru karena kau berpura-pura tidur.”

Swandaru sama sekali tidak menyahut. Dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa lirih, “Perutmu akan menjadi semakin besar, kalau kau tidur dengan cara itu.”

Swandaru masih diam. Ia sama sekali tidak bergerak. Bahkan ia memejamkan matanya semakin rapat.

Agung Sedayu masih juga duduk di sisinya. Sekali lagi ia menyapu ruangan itu dengan tatapan matanya. Dan ruangan itu menjadi kian hening karenanya.

Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu terkejut. Lamat-lamat ia mendengar derap kaki kuda. Semakin lama semakin dekat, sehingga hatinya pun menjadi berdebar-debar karenanya.

Agaknya Swandaru pun mendengarnya pula. Perlahan-lahan ia menelentang dan mendengarkan bunyi telapak kaki kuda itu dengan saksama.

“Derap kaki kuda,” desisnya.

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.

Ketika Swandaru bangkit, maka Agung Sedayu pun memberikan isyarat kepadanya, agar ia tidak mengejutkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak.

“Siapakah mereka itu?” bisik Swandaru. Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak mengerti.”

Swandaru pun kemudian terdiam. Dengan dada yang berdebar-debar ia mendengarkan derap yang semakin lama semakin dekat itu.

Ternyata bahwa bunyi derap kaki-kaki kuda itu telah membangunkan beberapa orang di dalam barak itu. Dengan wajah ketakutan mereka bangkit perlahan-lahan dan duduk dengan tubuh gemetar.

Agung Sedayu dan Swandaru masih belum beranjak dari tempatnya. Derap kaki kuda itu memang mendebarkan jantung. Tetapi kedua anak muda itu tidak segera dapat berbuat apa-apa. Ia melihat ketakutan yang mencekap barak ini.

“Bagaimana dengan kita?” bertanya Swandaru berbisik.

“Maksudmu?”

“Apakah kita akan melihat, siapakah yang berkuda itu?”

“Kita menunggu di sini. Lihat, orang-orang itu menjadi ketakutan. Kalau kita pergi, mereka akan kehilangan ketenangan sama sekali. Apalagi kita masih belum tahu, siapakah yang datang itu? Kita harus berhati-hati di daerah yang asing ini.”

“Kau memang terlampau berhati-hati, Kakang.”

“Bukankah guru berpesan begitu?”

Swandaru tidak menyahut. Tetapi dirabanya senjatanya yang melilit di lambungnya. Kakinya sudah gatal-gatal untuk meloncat, melihat siapakah yang berkuda jauh lewat tengah malam itu?

Sejenak mereka mendengar derap kuda itu berhenti. Namun sejenak kemudian mereka telah mendengarnya lagi. Bukan saja derap kaki-kaki kuda, tetapi kini mereka telah mendengar suara gemerincing yang menyentuh bulu-bulu roma mereka.

“Suara itu,” desis Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Suara itu adalah suara yang telah mereka kenal, suara hantu.

“Aku akan melihat,” desis Swandaru.

“Jangan,” sahut Agung Sedayu. “Biarlah guru mengambil sikap menanggapi keadaan ini.”

“Kau selalu ragu-ragu, Kakang.”

“Kita harus mempunyai perhitungan. Bukan sekedar menuruti perasaan. Aku pun ingin untuk segera melihat. Tetapi kita tidak tahu, apakah yang sebenarnya kita hadapi. Apalagi kita tidak akan dapat begitu saja meninggalkan orang-orang di dalam barak ini menjadi semakin ketakutan.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menggerutu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tetap duduk di tempatnya.

Suara derap kaki kuda dan suara gemerincing itu semakin lama menjadi semakin jelas. Dengan demikian maka orang-orang di dalam barak itu hampir semuanya terbangun karenanya, kecuali anak-anak. Mereka menjadi cemas dan ketakutan. Tubuh mereka menggigil seperti kedinginan.

Sesekali Swandaru berpaling memandang kakak seperguruannya. Seolah-olah ia ingin bertanya, apakah mereka akan tetap diam saja?

Agaknya Agung Sedayu dapat merasakan gejolak hati Swandaru. Sehingga ia pun berbisik, “Kita tetap di sini. Kalau ada sesuatu yang langsung mengganggu barak ini, kita harus berbuat sesuatu. Tetapi kita tidak terjun ke medan yang tidak kita kenal, kecuali apabila tidak ada jalan lain.”

Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia justru bersandar dinding sambil memejamkan matanya. Seolah-olah ia tidak mengacuhkan lagi suara gemerincing yang semakin dekat.

Setelah mengelilingi barak itu dua kali, maka suara gemerincing itu pun kemudian menjauh. Semakin lama semakin jauh.

Beberapa orang menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap dada mereka. Seorang perempuan muda menitikkan air matanya sambil memeluk anaknya.

Tetapi Swandaru menggeretakkan giginya sambil menggeram, “Kalau kita tidak berbuat apa-apa, maka hal ini akan terjadi terus menerus untuk selanjutnya. Kita akan kehilangan kesempatan untuk mencari penyelesaian.”

“Kita harus yakin dan mengetahui dengan pasti, apa yang sedang kita hadapi.”

“Dengan duduk diam di sini?”

Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Bukan begitu. Tetapi kita dapat berbicara dahulu dengan guru.”

Swandaru tidak menyahut. Dipandanginya nyala api pelita yang bergetar disentuh angin.

“Kemana suara itu pergi?” desis Swandaru.

“Aku kira kuda yang bergemerincing itu pergi ke barak sebelah.”

“Guru pasti akan mendengar juga.”

“Ya, guru dan para pengawas yang ada di sana akan mengambil kesimpulan.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia sama sekali kecewa bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, benarlah dugaan Agung Sedayu. Derap kaki-kaki kuda yang diikuti oleh suara gemerincing itu memang menuju ke barak yang lain. Semakin lama semakin dekat dan kemudian mengelilinginya pula seperti di barak yang ditunggui oleh Agung Sedayu dan Swandaru.

Kiai Gringsing yang ternyata masih juga belum tidur, terkejut pula mendengar suara itu. Sejenak ia mengangkat wajahnya dengan tatapan mata yang tegang. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata di dalam hati, “Suatu kumpulan dari orang-orang yang keras kepala dan teratur baik. Mereka bergerak demikian cepatnya, sehingga malam ini mereka sudah dapat berbuat sesuatu.”

Seperti orang-orang perempuan dan anak-anak serta orang-orang yang ada di barak sebelah, maka barak itu pun segera dicengkam pula oleh ketakutan yang sangat, setelah orang-orang di barak itu terbangun.

Sejenak mereka saling memandang. Kemudian mereka menjadi pucat dan gemetar. Bahkan para pengawas yang ada di dalam barak itu pun menjadi gelisah pula. Terlebih-lebih orang-orang yang hanya mendapat tempat di serambi yang terbuka. Mereka sama sekali tidak berani mengangkat kepala mereka. Mereka justru menutupi diri mereka dengan selimut.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Keadaan itu memang harus dirubah. Orang itu tidak boleh terlampau mudah dicengkam oleh ketakutan.

Tetapi suasana itu sudah berlangsung untuk waktu yang lama. Setiap saat mereka selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan, sehingga tanpa mereka sadari, bayangan serupa itu lambat laun seakan-akan telah terpahat di dalam dada mereka.

Dan kini, selagi mereka baru saja dicengkam oleh ketakutan sepanjang hari, mereka telah mendengar suara itu kembali. Suara yang selama ini telah membuat orang-orang di dalam barak itu kehilangan akal.

Kiai Gringsing masih saja berada di tempatnya. Diperhatikannya saja suara itu dengan saksama. Semakin lama semakin dekat.

“Tentu bukan orang kebanyakan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Orang yang kekurus-kurusan itu pasti sudah memberitahukan tingkat kemampuan Swandaru dan Agung Sedayu. Kini mereka masih juga berani mendekati tempat ini. Mereka pasti yakin, setidak-tidaknya mereka dapat melawan Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama.”

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menahan dirinya, maka pasti akan terjadi sesuatu yang tidak dinginkannya. Apalagi apabila teringat oleh Kiai Gringsing, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang bermain-main dengan racun. Racun yang tajam sekalipun mereka pergunakan. Bahkan berupa serbuk seperti yang telah mengenai diri sendiri.

“Kami di sini harus mempersiapkan diri untuk menghadapi perang yang mengerikan melawan orang-orang itu. Melawan racun yang kejam, di tangan orang-orang yang kejam,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Dalam kegelisahannya itu tiba-tiba ia bergeser dan berdesis, “Aku akan melihatnya.”

“Jangan gila,” sahut pemimpin penjaga yang terluka di punggungnya.

“Kenapa?”

“Kita sedang menghadapi suatu lingkungan kelompok orang-orang gila yang sengaja membuat keributan. Sekarang kau akan menyeret hantu-hantu ke dalam persoalan kita di sini.”

“Kau menganggap bahwa orang-orang yang membuat onar itu tidak ada bubungannya dengan suara gemerincing itu?”

“Tentu tidak,” jawab pemimpin pengawas itu. “Aku tidak ingin melibatkan hantu-hantu itu di dalam keadaan yang sulit ini.”

“Kita harus membatasi diri,” berkata Wanakerti kemudian.

“Jadi, kalian menganggap bahwa kita sedang berada di hadapan dua lingkungan yang berbeda? Orang-orang yang bermain-main dengan racun itu dan yang lain, hantu-hantu?”

Para pengawas itu tidak segera menyahut. Tetapi dada mereka menjadi semakin berdebar-debar karena suara gemerincing yang semakin dekat.

“Dengarlah, Ki Wanakerti,” desis Kiai Gringsing, “kita jangan terlampau tergoncang pada kepercayaan kita selama ini. Kepercayaan yang membuat kita selalu dibayangi oleh ketakutan. Kalau benar hantu-hantu itu memusuhi kita atau lebih jelas lagi, kalau memang ada hantu-hantu itu, maka mereka pasti sudah berbuat lebih banyak dari hanya sekedar menakut-nakuti kita dengan suara gemerincing di kejauhan. Apalagi apabila kuda-kuda semberani itu benar-benar kuda hantu-hantu yang berkuasa di Alas Mentaok, kita pasti tidak akan mendengar derap kakinya, karena kuda-kuda itu pasti tidak menyentuh tanah. Tetapi apakah kita pernah mendengar gemerincing itu di atas atap barak kita?”

“Kami pernah mendengar suara berdesing di atas barak kita di saat-saat tertentu.”

“Suara apa?”

“Kami tidak tahu. Suara berdesing yang melingkar-lingkar.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Memang ia harus bersabar dan perlahan-lahan. Ketakutan yang sudah terlampau lama mencengkam mereka, tidak akan segera dapat dihapus begitu saja.

“Marilah kita besok membuatnya,” berkata Kiai Gringsing.

“Membuat apa?”

“Suara berdesing yang melingkar-lingkar itu.”

Wajah para pengawas itu menjadi tegang. Dan Kiai Gringsing meneruskan, “Sudahlah. Aku akan keluar sebentar. Aku tidak akan mengganggu hantu-hantu itu. Tetapi aku akan melihat anak-anakku. Mereka adalah anak-anak bengal, justru aku ingin agar anak-anakku tidak mengganggu hantu-hantu itu.”

Para pengawas itu saling berpandangan sejenak. Dan Kiai Gringsing berkata pula, “Aku tidak mau membiarkan anak-anakku kesiku atau kena kutuk. Apakah kalian, tidak berkeberatan?”

Sejenak mereka saling berpandangan.

Kiai Gringsing membiarkan mereka bepikir sejenak. Namun ia melihat keragu-raguan yang memancar di hati para pengawas itu. Agaknya mereka sama sekali belum dapat melepaskan diri dari ketakutan yang selama ini mencengkam daerah yang sedang dibuka ini.

“Aku tidak dapat membiarkan anak-anakku itu,” desak Kiai Gringsing.

Akhirnya pemimpin pengawas itu mengangguk. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Kau termasuk orang baru di sini. Kami adalah orang-orang yang sudah sekian lama dan mengalami banyak masalah yang kadang-kadang tidak masuk akal.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, aku mengerti,” katanya. “Aku hanya sekedar menengok anak-anakku.”

Para pengawas kemudian hanya memandangi saja ketika Kiai Gringsing keluar dari pintu barak, masuk kegelapan malam. Orang-orang yang ada di dalam barak menahan nafas mereka ketika mereka melihat orang tua yang mereka kenal bernama Truna Podang itu meninggalkan barak. Sedang orang-orang yang ada di serambi sama sekali sudah tidak melihatnya lagi, karena mereka sama sekali tidak berani mengangkat wajah-wajah mereka.

Ketika Kiai Gringsing menjejakkan kakinya di halaman barak itu, ia mengerutkan keningnya. Ternyata suara derap kaki kuda itu sudah menjauh.

Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Aku terlambat kali ini. Tetapi aku berharap, mereka akan segera datang lagi.”

Namun Kiai Gringsing meneruskan langkahnya pergi ke barak sebelah. Ia benar-benar ingin melihat apakah Agung Sedayu dan Swandaru masih tetap berada di tempatnya.

Ketika ia sampai ke pintu barak, dilihatnya suasana di barak itu pun tidak ada bedanya dengan barak yang ditinggalkannya. Tetapi di barak ini, pintunya tidak terbuka selebar pintu baraknya, dan di serambi luar tidak terlampau banyak orang-orang yang sedang tidur. Hanya laki-laki yang sudah kurang kuat bekerja di lapangan, yang mendapat tugas membantu mengurus dapurlah yang berada di serambi. Mereka berbaring sambil menutup seluruh tubuh mereka yang menggigil dengan kain panjang. Agaknya mereka pun telah dicengkam oleh ketakutan pula.

“Di manakah anak-anak itu?” desis Kiai Gringsing. Perlahan-lahan ia mendorong pintu lereg ke samping. Hati-hati sekali, agar tidak mengejutkan orang-orang yang sedang ketakutan itu.

Tetapi suara berderit yang lambat itu justru telah mendebarkan hati Agung Sedayu dan Swandaru yang ada di dalam barak itu. Tanpa berjanji mereka serentak berdiri. Perlahan-lahan mereka bergeser mendekati pintu itu sambil meraba hulu senjata masing-masing.

Tetapi langkah mereka segera terhenti ketika mereka mendengar suara berdesis, “Agung Sedayu, Swandaru, apakah kalian ada di dalam?”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Jantungku sudah berdetak semakin cepat. Aku kira aku akan mendapat kesempatan malam ini.”

“Ah kau,” desis Agung Sedayu.

Sejenak kemudian mereka melihat gurunya menjengukkan kepalanya. Ketika dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru masih berdiri melekat dinding, Kiai Gringsing segera bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian?”

“Aku kira hantu itu datang kemari. Aku sudah ingin sekali berkenalan.”

“Kau tidak mengejarnya?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah kakak seperguruannya sejenak. Lalu, “Kakang Agung Sedayu mencegahnya. Kalau tidak, aku memang sudah akan mengejarnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah kita duduk. Aku akan berbicara sedikit.”

Mereka pun kemudian duduk di serambi, di sisi pintu.

Beberapa orang yang ada di dalam dan di luar barak, mencoba mengintip ketiga orang itu dari sela-sela kain selimutnya. Tetapi karena ketiga orang itu tampaknya duduk dengan tenang, maka mereka mulai berani menarik selimut mereka dan perlahan-lahan mengangkat kepala. Seolah-olah mereka ingin membuktikan, apakah yang mereka lihat itu benar-benar Truna Podang bersama dua anaknya atau hanya sekedar bayangan hantu saja?

Kiai Gringsing yang duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru menyadari akan hal itu. Tetapi mereka seolah-olah tidak memperhatikannya sama sekali. Mereka memang sengaja membuat kesan, bahwa mereka dapat berbicara dengan tenang meskipun hantu-hantu itu baru saja lewat.

“Jadi kau memang ingin mengejar hantu itu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya. Aku berkeyakinan bahwa yang naik kuda dengan suara gemerincing itu sama sekali bukan hantu. Tetapi mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin membuat suasana di daerah ini menjadi buram.”

“Ya. Tetapi kita harus masih membuktikan.”

“Karena itu aku ingin menangkap satu atau dua hantu.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, ”Hal serupa inilah yang memang harus aku peringatkan. Jadilah pengalaman Swandaru, supaya kau tidak terlibat dalam kesulitan.”

Swandaru mengerutkan keningnya, “Aku tidak mengerti maksud, Guru. Apakah Guru membenarkan sikapku untuk menangkap atau justru sebaliknya?”

Gurunya masih tersenyum. Jawabnya, “Jangan berkecil hati. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. Lain kali, pikirkanlah setiap tindakan lebih masak lagi. Untunglah bahwa di sini ada kakakmu, sehingga ia dapat mencegahmu.”

“O,” Swandaru berpaling ke arah Agung Sedayu, “jadinya aku yang salah. Aku kira, Guru membenarkan sikapku. Hampir saja aku menunjuk hidung Kakang Agung Sedayu sambil mencibir.”

Kiai Gringsing tertawa karenanya. Katanya, “Begitulah kira-kira.”

“Jadi bagaimana seharusnya yang kami lakukan, Guru?” bertanya Swandaru kemudian.

“Dengarlah. Sekarang aku berkata sebenarnya. Orang-orang yang kita hadapi adalah orang-orang yang memiliki kemampuan bermain-main dengan racun. Kalau benar dugaan kita, bahwa yang kita sangka hantu itu sama sekali bukan hantu, tetapi sebagian dari mereka, maka kita akan berhadapan dengan segala jenis senjata racun itu. Padahal kita sama sekali belum siap melakukannya sekarang. Apakah kau mengerti?”

Swandaru mengerutkan keningnya semakin tinggi. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Sedang gurunya berkata terus, “Karena itu kita harus segera mempersiapkan diri kita, karena memang mereka ingin membunuh kita apabila kita sudah ada di lapangan kerja itu.”

Kedua murid Kiai Gringsing itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini mereka menyadari, betapa berbahayanya bertindak tergesa-gesa terhadap orang-orang yang tidak begitu mereka kenal, tetapi sudah mereka ketahui, bahwa orang-orang itu telah mempergunakan racun untuk membinasakan lawan.

“Nah, sudahlah,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “hari sudah hampir pagi. Kalau kalian masih sempat, ada waktu sedikit buat beristirahat. Aku kira kalian memang perlu beristirahat.”

Tanpa disadari, kedua murid Kiai Gringsing itu pun memandang warna kehitaman di halaman yang sudah mulai dibayangi oleh warna merah.

“Aku akan kembali,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Baiklah, Guru,” berkata Agung Sedayu, “kami menyadari kedudukan kami sekarang.”

“Ya. Perhitungkan setiap tindakan. Kau mengerti, Swandaru?”

“Ya, Guru.”

“Sudahlah, beristirahatlah. Waktu tinggal sempit sekali, sebelum fajar menyingsing. Aku kira di hari yang akan datang ini, tidak akan ada seorang pun yang akan pergi bekerja.”

“Tetapi bagaimana dengan mayat pengawas itu, Guru?”

“Nanti akan kita lihat.”

Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan barak itu. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru kemudian mencoba membaringkan dirinya di atas anyaman daun kelapa, di serambi barak itu. Agaknya Swandaru masih dapat mempergunakan kesempatan itu, sehingga sekilas ia masih dapat tertidur. Sedang Agung Sedayu hanyalah sekedar lupa diri untuk sesaat. Tetapi hampir setiap bunyi masih tetap didengarnya. Demikian pula bunyi ayam jantan di ujung pagi.

Orang-orang di kedua barak itu, masih ragu-ragu untuk keluar dari barak masing-masing oleh ketakutan yang telah mencengkam hati mereka. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru di barak yang satu dan Kiai Gringsing di barak yang lain, mendahului mereka pergi ke pakiwan dan membersihkan dirinya. Karena itu, maka mereka pun ragu-ragu, satu dua di antara mereka pun segera mengikutinya, meskipun mereka menunggu hari menjadi terang.

Ternyata dugaan Kiai Gringsing tepat, bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai minat untuk pergi bekerja pada hari itu. Bahkan para pengawas pun masih tetap ragu-ragu.

Wanakerti dan kedua kawannya sudah menjadi semakin sehat. Bahkan pemimpin mereka yang terluka itu pun sudah menjadi berangsur baik.

“Kenapa tiba-tiba kalian telah diterkam oleh ketakutan itu kembali?” bertanya Kiai Gringsing kepada mereka. “Bukankah kalian mengerti, bahwa orang yang berkumis itu telah berhasil menggelitik hati kalian, para pengawas? Tetapi ketika terdengar lagi suara gemerincing itu, kalian benar-benar kehabisan akal.”

Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Di siang hari mereka merasa, seakan-akan mereka benar-benar telah menyadari kekeliruan mereka, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam ketakutan yang tidak pada tempatnya. Tetapi apabila malam tiba, terasa bulu tengkuk mereka masih juga berdiri. Mereka justru masih mempercayai bahwa suara gemerincing itu adalah suara hantu.

“Agaknya kita tidak akan bekerja hari ini,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi aku masih mempunyai kerja khusus yang harus aku lakukan.”

“Apa?”

“Mengubur mayat itu, apabila sudah memungkinkan. Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Wanakerti menyahut, “Ya. Agaknya kita memang tidak akan bekerja hari ini. Tetapi kerja yang satu itu pun agaknya telah menimbulkan kesibukan yang menarik di hari ini.”

Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita akan segera pergi ke tempat itu, apabila matahari sudah naik setinggi ujung pepohonan.”

Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah memanggil kedua muridnya yang akan dibawanya pergi melihat mayat pengawas berkumis itu. Beberapa orang yang sedikit mempunyai keberanian, serta para pengawas yang tidak terluka, ikut serta bersama Kiai Gringsing pergi ke tempat mayat itu.

“Yang lain, kami harap melakukan tugas kalian dengan baik seperti biasanya,” berkata Kiai Gringsing. “Yang bekerja di dapur diharap menyiapkan makan seperti biasa, sedang yang lain dipersilahkan ikut membantu.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun kemudian pergi melihat mayat yang kemarin mereka tinggalkan. Para pengawas dan beberapa orang pergi mengiringkannya sambil membawa alat untuk menguburkan mayat itu.

Tetapi langkah Kiai Gringsing pun tertegun. Wajahnya menjadi tegang. Dan ia pun kemudian berhenti sambil menebarkan pandangan matanya berkeliling.

“Apa, Guru?” bertanya Agung Sedayu perlahan-lahan.

“Bukankah mayat itu kemarin terletak di sini?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Kemarin mayat itu ada di sini. Bukan begitu?” ia pun bertanya pula kepada Swandaru.

“Ya. Di sini. Betul di sini,” desis Swandaru. Sebelum mereka membicarakan hal itu lebih lanjut.

Wanakerti telah menggamit Truna Podang sambil bertanya, “He, apakah aku keliru? Bukankah kemarin mayat itu tergolek di samping batang perdu yang kering itu?”

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, ”batang perdu itu kering oleh serbuk racun yang barangkali tertabur sampai ke akarnya. Dan mayat itu memang tergolek beberapa langkah di dekatnya.”

“Mayat itu hilang,” desis Wanakerti.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tetap menegang.

Tangan Kiai Gringsing segera menangkap lengan Swandaru ketika anak muda itu hampir saja melangkah mendekati bekas tempat mayat itu.

Swandaru tertegun karenanya. Dipandanginya wajah gurunya yang tampak bersungguh-sungguh. Sambil menarik tangan Swandaru gurunya berkata, “Jangan tergesa-gesa, Swandaru. Aku masih belum yakin, apakah racun yang bertaburan di sekitar tempat itu sudah tidak berbahaya lagi.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya. Hampir aku tidak teringat lagi. Tetapi, karena mayat itu sudah tidak ada lagi, aku kira pasti sudah ada seseorang yang merabanya.”

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Diamatinya tempat itu dengan saksama. Dan tiba-tiba saja ia melangkah maju sambil berdesis, “Mudah-mudahan aku berhasil. Lihat, seekor kadal.”

“Kenapa dengan kadal itu?” bertanya kedua murid-nya hampir berbareng.

“Ia masih tetap hidup meskipun ia berada di dalam daerah yang berbahaya. Aku kira, usahaku untuk mempercepat lenyapnya bisa racun itu berhasil, meskipun seandainya tidak seluruhnya.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Wanakerti dan para pengawas pun telah berdiri di samping mereka sambil memperhatikan percakapan itu pula.

“Tetapi,” bertanya Wanakerti, “sudah barang tentu, mayat itu di ambil semalam. Apakah yang mengambil mayat itu sama sekali tidak akan terpengaruh oleh racun, meskipun seandainya binatang buas?”

“Tentu racun itu masih ada pengaruhnya, meskipun seandainya binatang buas yang mengambilnya. Tetapi…..” kata-kata Kiai Gringsing terhenti.

Wanakerti, para pengawas dan orang-orang yang mendengar kata-kata Kiai Gringsing yang tidak selesai itu tiba-tiba mengerutkan kening mereka, beberapa orang tergetar hatinya. Apalagi ketika mereka mendengar Wanakerti menegaskan, ”Tetapi kau maksud bukan manusia dan bukan pula binatang buas?”

“Ah,” Kiai Gringsing menyahut dengan serta-merta, “hantu, begitu?”

Wanakerti memandang wajah Kiai Gringsing dengan sorot mata yang aneh, sedang Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Sama sekali tidak. Hantu-hantu tidak memerlukannya.”

“Jadi siapakah maksudmu?”

“Kawan-kawannya.”

“Kawan-kawan orang berkumis itu?”

“Ya. Mereka yang terdiri dari satu lingkungan dengan orang berkumis itu. Dengan orang yang tinggi kekar yang meninggal di barak dan orang yang kekurus-kurusan.”

“Jadi, siapakah yang mengambil? Orang yang kekurus-kurusan itu?”

Kiai Gringsing menggeleng, “Bukan. Tetapi bukankah semalam kita mendengar derap kaki kuda?”

“Ah,” hampir bersamaan beberapa orang berdesah.

“Jadi kalian tetap menyangka bahwa mereka itu hantu yang naik kuda semberani?”

Tidak seorang pun yang menyahut.

“Kita dapat mencurigainya,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Memang mungkin sekali orang berkuda semalam.”

Para pengawas itu masih tetap berdiam diri.

“Baiklah, aku akan melihat, kemana kira-kira mayat itu pergi,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Tunggulah kalian di sini. Aku akan mendekat.”

Kedua muridnya menjadi tegang sesaat. Tetapi kemudian mereka dapat menenangkan hati mereka, karena mereka percaya bahwa gurunya pasti sudah membuat perhitungan yang sebaik-baiknya.

Para pengawal dan orang-orang yang ikut serta ke tempat itu pun menjadi berdebar-debar melihat Kiai Gringsing berjalan dengan hati-hati mendekati bekas tempat mayat itu terbaring.

Dengan seksama ia memperhatikan tempat itu. Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah ia menemukan sesuatu. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu mengikuti beberapa langkah menjauhi tempat itu.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing mengamati rerumputan di sekitarnya. Ketika ia sudah berada di luar daerah yang disangkanya masih mempunyai pengaruh karena racun, ia pun memanggil kedua muridnya dan para pengawas.

“Lihatlah,” berkata Kiai Gringsing kepada mereka, “kalian dapat melihat bekas kaki kuda.”

Kedua muridnya dan para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dan yang di sini adalah bekas sesuatu yang diseret begitu saja. Bekas rerumputan dan batang-batang perdu yang roboh menunjukkan, bahwa benda yang diseret itu cukup berat.”

“Maksud Guru, mayat itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Demikianlah agaknya. Mereka mengerti bahwa racun pada tubuh mayat itu berbahaya. Karena itu mereka tidak membawanya, tetapi mereka menjeratnya, kemudian menyeretnya.”

Bulu-bulu kuduk mereka yang mendengar keterangan itu meremang. Ternyata orang-orang yang termasuk di dalam kelompok itu adalah orang-orang yang hampir tidak berperasaan.

“Kenapa mereka memerlukan mayat itu?” bertanya Agung Sedayu pula.

Kiai Gringsing merenung sejenak. Kemudian jawabnya, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi agaknya mereka akan menyelidiki hasil pekerjaan racun-racun pada tubuh seseorang. Tetapi apabila mereka kurang teliti, maka mereka tidak akan memperhitungkan cairan yang sudah aku berikan itu.

Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Dan mereka mendengar Kiai Gringsing berkata, “Nah, apakah kalian masih menyangka bahwa suara gemerincing itu suara hantu?”

Para pengawas itu masih ragu-ragu. Meskipun menurut pertimbangan nalar mereka, mereka memastikan bahwa mereka tidak berhadapan dengan hantu, namun mereka masih juga tetap ragu-ragu.

“Apa pun yang kita hadapi,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.”

Para pengawas dan murid-murid Kiai Gringsing tidak menyahut. Mereka dapat membayangkan apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu. Sekelompok orang yang berani, tangguh dan dapat melakukan tindakan apa pun juga, meskipun bertentangan dengan perikemanusiaan. Karena itu, maka mereka pun harus sangat berhati-hati.

“Tidak ada yang dapat kita lakukan di sini sekarang,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “marilah kita kembali ke barak.”

“Tetapi bagaimana dengan orang itu?” bertanya Wanakerti.

“Siapa?”

“Yang mayatnya hilang itu.”

“Ia sudah berada di antara kawan-kawannya. Biarlah, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Para pengawas itu pun kemudian hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Berbagai macam persoalan telah bergulat di dalam hati. Mereka harus berdiri di antara kebimbangan perasaan dan tugas-tugas mereka sebagai seorang pengawas.

“Kita akan membicarakannya nanti,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Mereka, orang-orang yang ada di tempat itu, yang berniat untuk mengubur orang berkumis itu, segera diikuti Kiai Gringsing dan para pengawas kembali ke barak.

“Laporan itu harus segera sampai,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Ya,” Wanakerti menyahut, “Ki Gede Pemanahan harus segera tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Hanya ada satu jalan,” berkata pemimpin pengawas yang terluka, “kita mengirimkan orang untuk menghadap.”

Sejenak mereka berdiam diri. Bagaimanapun juga, di dalam hati para pengawas masih juga berkecamuk bayangan-bayangan yang mengerikan. Kadang-kadang masih juga tumbuh pertanyaan, “Kalau kita tidak berhadapan dengan hantu-hantu, lalu siapakah atau apakah yang pernah tampak sebagai jerangkong yang mengerikan naik seekor kuda yang bercahaya itu?”

Tetapi para pengawas itu tidak mengucapkan pertanyaan itu.

Namun ternyata pertanyaan yang serupa bergolak di setiap dada orang-orang yang ada di dalam barak. Bagi mereka, hantu hampir merupakan suatu keyakinan yang tidak dapat dibantah lagi. Karena itu, mereka masih selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran jerangkong, kemamang, dan hantu-hantu yang wujudnya mengerikan. Tetapi hampir merupakan keyakinan pula bagi mereka, bahwa di belakang mereka adalah hantu-hantu yang bermartabat tinggi, gendruwo dan prayangan, didampingi oleh peri yang cantik-cantik.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku memang merasa wajib untuk membantu para pekerja, segera mendapatkan ketenangan. Karena itu, biarlah kami akan mencobanya.”

“Apa yang akan kalian lakukan?”

“Kalau kalian bersedia melakukannya, kalian memang harus pergi menemui Ki Gede Pemanahan atau puteranya. Laporkan apa yang terjadi di sini. Seluruhnya, jangan ada yang terlampaui. Sementara aku akan menyingkir, tetapi apabila perlu kami akan segera datang.”

“Kemana?” bertanya pemimpin pengawas itu.

“Agaknya aku dan kedua anak-anakkulah yang menjadi pusat perhatian mereka. Pada saat kami menempati rumah yang kosong itu, mereka sudah mulai menyerang kami. Mereka telah memasukkan ular-ular berbisa ke dalam rumah itu, kemudian mereka membakarnya ketika mereka sadar, bahwa ular-ular itu tidak berhasil membinasakan kami.”

Para pengawas itu menjadi tegang.

“Bagi kami sebenarnya sudah jelas, bahwa kami tidak melawan hantu. Yang belum jelas, siapakah lawan kami sebenarnya dan maksud mereka mengganggu kita di sini?”

Para pengawas masih belum menjawab.

“Nah, apakah kalian sependapat?”

“Lalu bagaimanakah dengan orang-orang di dalam barak ini?”

“Biarlah, untuk sementara, biarlah mereka berada di dalam keadaan itu. Supaya mereka tidak menjadi sasaran pula seperti kami bertiga, dan mungkin sebentar lagi kalian, para pengawas.”

Pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, “Itu adalah tugas kami. Besok para pengawas akan pergi ke Mataram, menghadap Raden Sutawijaya. Biarlah aku di sini mengawani orang-orang di dalam barak ini. Dan kalian bertiga dapat membuat rencana yang kalian anggap baik. Aku percaya kepada kalian.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Adalah aneh sekali, bahwa selama ini kami seolah-olah telah terbius. Kami tidak pernah gentar dan takut mati menghadapi perampok yang betapapun garangnya. Tetapi kenapa tiba-tiba kami menjadi ketakutan apabila kami mendengar gemerincing di malam hari atau derap kaki kuda dan jerangkong yang berkeliaran di pinggir hutan?”

“Mudah-mudahan kalian menemukan pribadi kalian kembali sebagai pengawas.”

“Baik, baik. Kami akan mencoba. Sudah cukup lama kami dibayangi oleh perasaan yang tidak dapat kami pahami sendiri. Ternyata orang berkumis yang ada di antara kami itu telah berhasil melumpuhkan kami tanpa merampas senjata-senjata kami.”

“Nah, agaknya kita akan dapat bekeria bersama,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “kami akan berada di tempat kerja kami. Kami harap orang-orang di dalam barak ini beristirahat dahulu sampai persoalan ini menjadi semakin jelas, atau menunggu keputusan Raden Sutawijaya, agar tidak jatuh korban yang tidak berarti.”

Para pengawas menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Tetapi bagaimana kalian sendiri? Apakah kalian sanggup mengatasi setiap kesulitan hanya bertiga?”

“Mudah-mudahan”

“Aku percaya kepada kalian. Truna Podang sekarang bukan Truna Podang pada saat ia datang. Kalau anak-anakmu yang kadang-kadang lupa memanggilmu guru itu mampu berbuat demikian, maka aku yakin, ayahnya pun dapat berbuat lebih banyak lagi.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengharap bahwa ia akan segera berhasil membangunkan para pengawas yang seolah-olah sedang terbius oleh perasaan takut dan cemas, meskipun mereka bukan penakut. Tetapi, mereka merasa bahwa mereka tidak akan berdaya sama sekali untuk melawan hantu-hantu. Itulah sebabnya maka lambat laun, mereka hanya dapat menyembunyikan diri mereka, apabila mereka mendengar suara-suara aneh di sekitar mereka, atau bentuk-bentuk yang agak membingungkan tanpa menyelidikinya lebih teliti lagi.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan pemimpin pengawas itu kemudian berpendapat, bahwa mereka harus segera melakukan sesuatu. Para pengawas yang lain pun tidak merasa berkeberatan apabila mereka harus segera pergi ke Mataram menghadap Raden Sutawijaya.

“Kami sudah sehat kembali,” berkata Wanakerti.

“Kami akan pergi besok,” sahut yang lain.

“Bagus,” jawab pemimpinnya, “kalian adalah pengawal Tanah Mataram yang baru dibuka. Jangan takut menghadapi bahaya apa pun juga.”

“Kami akan melakukannya. Dan kami menyadari setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Di siang hari kami tidak akan bertemu dengan hantu-hantu, tetapi kami sadar bahwa di balik pepohonan itu memang banyak sekali terdapat rahasia yang belum dapat kami pecahkan. Namun demikian, itu adalah kemungkinan-kemungkinan yang memang harus kami atasi.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Kalian telah berada di tempat kalian kembali, setelah kalian sekian lamanya hanyut di dalam arus yang tidak menentu.”

“Ya. Kami mengucapkan terima kasih. Kehadiran kalian di sini banyak memberikan manfaat kepada kami dan kepada tanah ini. Mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan dan puteranya akan dapat mengerti, apa yang telah kalian lakukan di sini.”

Kiai Gringsing tersenyum. “Itu tidak perlu.”

Dalam pada itu, maka baik Kiai Gringsing maupun para pengawas berusaha untuk membiarkan orang-orang yang ada di dalam barak itu di dalam keadaannya untuk sementara. Untuk sedikit memberikan ketenangan kepada mereka, maka mereka harus menjalankan tugas mereka sehari-hari, kecuali pergi ke hutan, menebang, dan membuka hutan.

Di pagi hari berikutnya, orang-orang di barak itu menjadi heran melihat Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya mempersiapkan alat-alat mereka, sehingga salah seorang dari mereka bertanya. ”Kemanakah kau sepagi ini?”

“Aku akan mulai bekerja lagi. Sudah cukup agaknya aku dan anak-anakku beristirahat.”

“Tetapi, bagaimana dengan kami?”

Pemimpin pengawas yang mendengar percakapan itu menyahut, “Biarlah kalian beristirahat dahulu. Orang itu tidak dapat dicegah lagi. Semua akan menjadi tanggung jawabnya sendiri.”

Orang di barak itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Beberapa orang pun bergumam, “Orang itu adalah orang yang aneh. Tetapi mereka seakan-akan tidak dapat diatur.”

Tetapi mereka tidak mengatakannya kepada para pengawas. Mereka merasa tidak berhak untuk ikut mencampurinya apabila para pengawas memang sudah mengijinkannya.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun segera meninggalkan barak itu menuju ke tempat kerja mereka. Kiai Gringsing memang sadar sepenuhnya, bahwa bahaya agaknya telah menunggunya bersama kedua anaknya itu. Tetapi ia harus melakukannya apabila ia ingin mengetahui latar belakang dari semua yang pernah terjadi itu.

“Mudah-mudahan para pengawas akan sampai ke hadapan Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya. Mudah-mudahan mereka tidak terhenti di jalan dan menjadi korban pula dari keganasan orang-orang yang masih menjadi rahasia itu.

Di tengah perjalanannya menuju ke tempat kerjanya, Kiai Gringsing masih juga mempersiapkan kedua muridnya untuk menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi apabila mereka harus berhadapan dengan racun seperti yang pernah terjadi dengan Swandaru. Karena itu, maka diberinya kedua muridnya itu masing-masing sebutir obat reramuan yang akan dapat sedikit memberi perlindungan kepada tubuh mereka.

“Makanlah,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan kalian akan dapat bertahan apabila kalian terkena racun. Setidak-tidaknya akan membantu daya tahan tubuh kalian sendiri. Obat itu akan langsung berpengaruh atas darah kalian. Tetapi kalian jangan terkejut, bahwa untuk beberapa lama tubuh kalian akan merasa panas, dan barangkali sedikit pening. Tetapi itu tidak berbahaya. Perasaan-perasaan itu akan hilang kemudian dan obat dari sejenis racun itu pula akan dapat sedikit memberikan perlindungan kepada kalian untuk beberapa lama, apabila kalian benar-benar harus bergulat melawan racun. Menurut penyelidikanku, racun yang dipergunakan di sini pada umumnya adalah racun ular.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka pun kemudian menelan obat yang diberikan oleh gurunya itu.

“Kita tidak tahu, apakah orang-orang itu akan bertindak cepat seperti yang mereka lakukan kemarin malam. Kita sama sekali tidak menyangka, bahwa malam itu juga, mereka sudah sempat membuat suara gemerincing itu sambil mengambil mayat kawan-kawannya sekaligus. Agaknya mereka memang tidak ingin menunda-nunda waktu lagi. Dengan demikian, maka persoalan kita pun agaknya tidak akan tertunda pula.”

Swandaru mengangguk-angguk sambil berkata, “Kenapa kita tidak melawan mereka dengan racun pula, Guru. Misalnya, kita membuat ujung senjata kita beracun, sehingga tiap sentuhan akan dapat membunuh mereka.”

Gurunya tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Swandaru sejenak dengan tatapan mata yang suram. Pertanyaan itu agaknya telah menggetarkan dadanya.

Namun sejenak kemudian ia menjawab, “Swandaru. Bukahkah pada suatu ketika, kita ingin mengalahkan lawan kita tanpa membunuhnya, meskipun untuk melumpuhkannya kita harus melukainya? Kalau senjata kita beracun, kemungkinan itu hampir tidak ada sama sekali. Kalau kita sudah mencabut senjata, itu berarti kita akan melakukan permusuhan, berhasil atau tidak berhasil, tetapi niat itu sudah ada.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Apalagi jenis senjata kita bukanlah jenis senjata yang mempunyai wrangka. Kalau senjata kita beracun maka senjata itu akan berbahaya bagi diri kita sendiri.”

Swandaru menjadi berdebar-debar mendengar jawaban itu. Ia merasa bahwa pertanyaannya tidak begitu menyenangkan gurunya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia kemudian berkata, “Aku mengerti, Guru.”

Mereka pun kemudian tidak berbicara lagi sampai ke tempat tujuan. Mereka melihat batang-batang pohon masih silang melintang seperti saat terakhir mereka datang beberapa hari yang lalu.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa sesadarnya. Dan ia masih berbisik sekali lagi, “Hati-hatilah.”

Kedua muridnya tidak menjawab. Tetapi mereka telah menyiapkan diri mereka untuk menghadapi setiap kemungkinan.

“Marilah kita mulai,” berkata gurunya kemudian.

Ketiga orang itu pun kemudian mengambil beberapa jenis alat-alat mereka yang mereka simpan di bawah sebatang pohon. Alat-alat yang berat, yang tidak setiap hari mereka bawa kembali ke barak.

Sebentar kemudian maka ketiganya telah mulai dengan kerja mereka. Memotong pepohonan yang sudah ditebang oleh pendatang sebelumnya, tetapi yang tidak sempat menyelesaikan kerja itu, karena mereka terusir oleh perasaan takut.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi di langit, maka mereka pun segera menjadi basah oleh keringat yang seakan-akan mengembun dari seluruh wajah kulit mereka. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk mengusap keringat yang mengalir di kening.

Tetapi setelah sekian lama mereka terlibat dalam persoalan yang memusingkan, kini terasa, betapa segarnya bekerja di alam terbuka, di bawah sinar matahari yang belum terlampau panas, dan angin yang berhembus dari Selatan. Dikejauhan terdengar burung-burung liar berkicau, seakan-akan ikut memuji langit yang cerah dibayangi oleh mega putih yang bergerak didorong oleh angin yang lembut.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat gurunya bekerja dengan tekunnya, seakan-akan pekerjaan itu harus selesai sehari ini. Sedang Swandaru yang gemuk itu sesekali menggeliat sambil menekan lambungnya.

Tetapi tiba-tiba saja, hampir berbareng mereka mengangkat kepala ketika dari dalam hutan yang lebat, terdengar suara burung kedasih.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berpaling kepada murid-muridnya ia berkata, “Seperti yang kita duga, mereka bekerja cepat dan tidak mensia-siakan waktu.”

Swandaru menyahut, “Baik sekali, Guru. Pekerjaan kita pun akan segera selesai.” Ia terdiam sejenak, lalu “Aku akan berteriak. Bukankah suara burung kedasih yang menjemukan itu akan terdiam apabila ia terkejut.”

“Biar sajalah. Kalau ia lelah, ia akan terdiam dengan sendirinya. Tetapi kita tidak boleh mengabaikan isyarat itu. Aku kira ia mengisyaratkan bahwa hari ini kita telah berada di lapangan kerja kita ini.”

Swandaru menggeliat sambil menepuk punggungnya sendiri. Katanya, “Aku lebih senang berkelahi daripada terbungkuk-bungkuk memotong kayu. Punggungku menjadi sakit.”

“Kau terlampau gemuk,” desis Agung Sedayu. Lalu, “Tetapi bukankah kerja ini masih lebih baik dari mencangkul di sawah? Di sawah kita harus lebih dalam membungkukkan badan kita.”

Swandaru mengangguk-angguk. “Ya. Tetapi di sawah aku tidak diganggu oleh suara burung kedasih yang menjemukan itu.”

“Bekerjalah,” potong Kiai Gringsing. “Kita pura-purta tidak tahu tentang suara burung itu.”

Ketiganya pun kemudian melanjutkan kerja mereka, memotong pepohonan yang silang melintang.

Dalam pada itu, tiga ekor kuda sedang berlari dengan kencangnya di jalan setapak di tengah-tengah hutan. Mereka adalah Wanakerti dan kawan-kawannya. Ketika mereka merasa bahwa tubuh mereka telah menjadi baik dan pulih kembali, mereka merasa wajib untuk segera melaporkan semua peristiwa yang terjadi di daerah pengawasan mereka kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya.

Dengan pedang di lambung mereka berpacu secepat-cepatnya.

Bagaimanapun juga, namun hati mereka tergetar ketika mereka menjadi semakin dalam menyusup ke dalam hutan, lewat jalan yang sempit dan kotor, karena jarang sekali dilalui orang. Sesekali kuda-kuda mereka harus meloncati pepohonan yang roboh melintang di jalan, kemudian menyusup di bawah cabang-cabang dan sulur kayu yang terjuntai di atas lorong sempit itu.

Tetapi para pengawas itu pun telah bertekad, apa pun yang akan terjadi, mereka harus melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.

Demikianlah maka derap kaki-kaki kuda itu pun bergema di antara kekayuan. Gemeretak di atas tanah berbatu padas.

Wanakerti mengerutkan keningnya ketika ia mendengar derap kaki kuda yang lain. Bukan gema dari kaki-kaki kuda mereka sendiri, kepada kawannya yang berpacu di belakangnya ia bertanya, “Apakah kau mendengar derap kaki kuda yang lain, bukan gema suara kaki-kaki kuda kita sendiri?”

Orang itu mencoba mempertajam pendengarannya Dan ia pun kemudian menjawab, “Ya, aku mendengar.”

Sejenak kemudian mereka pun saling berdiam diri. Tetapi mereka mencoba untuk mengetahui dengan pasti, dari arah manakah suara derap kaki-kaki kuda itn.

“Di belakang kita,” desis orang yang paling belakang.

Wanakerti menganggukkan kepalanya. “Ya, di belakang kita. Agaknya memang ada orang yang mengejar kita.”

Kedua kawannva tidak segera menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi ketika mereka berpaling, rimbunnya dedaunan masih saja menghalangi pandangan mata mereka sehingga mereka tidak melihat lagi jalur jalan yang baru saja mereka lalui.

“Apakah kita akan berhenti ?” bertanya salah seorang dari kawan Wanakarti itu.

“Kenapa?”

“Kita melihat siapakah yang mengejar kita itu.” Wanakerti tidak segera menjawab. Tanpa sesadarnya ia meraba senjatanya. Namun kemudian ia berkata, “Kita berjalan terus. Kalau mereka berhasil mengejar dan mengganggu kita, kita akan melawan. Lawan kami di adbmcadangan dotwordpress dotcom. Tetapi kalau tidak, lebih baik kita berjalan terus. Bukan karena kita takut menghadapi siapa pun, tetapi lebih baik bagi kita apabila kita dapat mencapai Mataram dan melaporkan keadaan di daerah pengawasan kita.”

Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Mereka justru memacu kuda mereka semakin cepat. Tanpa menghiraukan apa pun lagi, mereka berusaha secepat-cepatnya dapat menyampaikan laporan mereka tentang daerah pengawasan mereka.

Derap kuda yang mengejar mereka pun menjadi semakin cepat pula. Agaknya mereka berusaha untuk dapat menyusul ketiga pengawas yang mendahului itu.

“Banyak sekali,” tiba-tiba Wanakerti bergumam seperti kepada diri sendiri, ”lebih dari lima ekor kuda.”

“Ya. Lebih dari lima ekor kuda.”

“Pasti bukan kawan-kawan kita. Ternyata mereka juga mempunyai persiapan yang baik sekali.”

Tidak ada yang menjawab. Mereka kini berpacu pada jalur jalan yang agak lurus dan panjang. Karena itu, ketika mereka berpaling, mereka dapat melihat dari sela-sela dedaunan yang mencuat ke tengah lorong sempit itu, beberapa ekor kuda berpacu di belakang mereka.

“Orang-oang yang tidak kita kenal,” berkata pengawas yang paling belakang. “Memang lebih dari lima orang.”

“Kita tidak melayaninya. Kalau kita gagal sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan tidak akan segera mengetahui apa yang sudah terjadi.

Demikianiah maka Wanakerti dan kedua kawannya berusaha mempercepat derap kuda mereka. Mereka benar-benar tidak ingin bertempur melawan orang-orang yang tidak dikenal yang mengejar di belakang mereka. Tetapi mereka merasa wajib untuk segera menghadap para pemimpin tertinggi dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini.

Tetapi agaknya orang-orang yang mengejar mereka itu pun tidak ingin melepaskan ketiga pengawas itu. Mereka pun berusaha untuk dapat mengejar buruan mereka. Karena itu, mereka pun telah melecut kuda mereka agar berlari lebih cepat lagi.

Ternyata bahwa orang-orang yang tidak dikenal itu lebih berpengalaman. Kuda-kuda mereka pun agaknya lebih mengenal jalan-jalan yang sempit dan sulit itu. Karena itu, maka jarak mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat.

Meskipun demikian Wanakerti dan kawan-kawannya masih tetap berusaha. Jarak yang ada itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

“Mereka akan mengejar kita sebelum kita keluar dari hutan ini,” desis seorang kawannya. Lalu, “Pergi dahulu. Aku, akan mencoba menghambat mereka.”

“Jangan gila,” sahut Wanakerti.

“Ya. Kami berdua,” berkata yang lain. “Salah seorang dari kita harus sampai ke tempat tujuan.”

“Kalian akan membunuh diri. Mereka tidak memerlukan waktu yang lama untuk membunuh kalian, kemudian mengejar aku pula. Kalian akan dilempar dengan pisau beracun. Kemudian mereka sama sekali tidak perlu berhenti menunggui mayat kalian.”

“Tentu tidak semudah itu. Kami akan mencoba menahan mereka meskipun hanya beberapa saat saja. Kau akan mendapat kesempatan itu.”

“Tidak. Aku tidak sependapat. Kita berpacu terus. Kedua kawannya tidak menyahut lagi. Yang paling belakang menyadari sepenuhnya, bahwa jarak mereka menjadi semakin pendek. Tetapi kalau kuda mereka tidak terganggu, untuk menutup jarak yang pendek itu memang memerlukan waktu.

Dengan demikian maka kedua kelompok itu masih saja berpacu beriringan. Orang-orang yang mengejar para pengawas itu pun kemudian berteriak-teriak seperti anak-anak yang sedang mengejar tupai. Mereka mengharap agar dengan demikian, perasaan para pengawas itu terpengaruh karenanya.

Tetapi Wanakerti berkata kepada kedua kawan-kawannya. “Jangan hiraukan. Kita akan dapat mencapai gardu peronda yang pertama.

“Berapa orang peronda yang ada di sana?”

“Aku tidak tahu. Tetapi jumlah kita akan bertambah. Aku dapat ikut menahan mereka, sedang salah seorang dari kita akan meneruskan perjalanan.”

Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Karena itu, mereka pun berpacu semakin cepat.

Beberapa saat kemudian, maka lorong yang sempit itu nampaknya menjadi semakin lapang. Dedaunan dan sulur-sulur kayu tidak lagi banyak yang bergayutan di atas jalan itu. Dengan demikian, para pengawas itu merasa, bahwa sebentar lagi mereka akan segera keluar dari dalam hutan. Tetapi mereka masih harus melintasi sebuah hutan perdu dan lapangan rumput yang agak luas di pinggir hutan yang tebal ini.

Demikianlah, maka kuda-kuda itu pun berpacu semakin cepat, karena jalan yang menjadi semakin lapang. Sejenak kemudian, hutan menjadi semakin tipis, sehingga di hadapan mereka kini terbentang sebuah hutan rindang. Padang perdu yang liar berserakan di antara batang-batang ilalang setinggi dada.

“Sebentar lagi kita tkan sampai ke gardu pengawas yang pertama di daerah yang baru dipersiapkan untuk dibuka itu,” desis Wanakerti. “Mudah-mudahan di sana terdapat cukup banyak orang untuk melawan orang-orang yang mengejar kita itu.”

Kawan-kawannya tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil melecut kuda-kuda mereka.

Ternyata orang-orang yang tidak dikenal, yang berusaha mengejar mereka pun berpacu semakin cepat pula. Mereka masih saja berteriak-teriak seperti sedang mengejar tupai. Bahkan ada di antara mereka yang sudah mengacu-acukan senjata mereka. Pedang yang mengkilap. Namun dengan demikian justru Wanakerti menjadi agak tenang. Katanya di dalam hati ketika ia melihat kilatan pedang itu, “Agaknya pedang itu tidak beracun.”

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melintasi padang perdu yang seakan-akan ditaburi oleh gerumbul-gerumbul liar. Dan kini mereka justru berpacu di padang ilalang yang lebat. Sedang di hadapan mereka terdapat hutan rindang lagi. Hutan yang tidak begitu lebat, yang kini sedang dipersiapkan untuk dibuka pula.

Dengan hati yang berdebar-debar mereka berpacu terus. Di ujung lorong yang memasuki hutan yang rindang itu terdapat sebuah gardu pengawas.

Agaknya orang-orang yang. mengejar mereka mengetahui juga bahwa para pengawas itu ingin mencapai gardu di pinggir padang rumput itu. Sehingga karena itu, mereka pun berusaha semakin keras untuk mengejar buruannya.

Tetapi agaknya para pengawas itu pun memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai kuda-kuda mereka. Karena itu, maka mereka pun tidak segera dapat disusul oleh orang-orang yang tidak dikenal, yang mengejar mereka sambil mengacu-acukan senjata.

“Di depan kita itulah gardu pengawas itu,” teriak Wanakerti tanpa sesadarnya.

“Ya” sahut kawan-kawannya hampir berbareng.

“Mereka pasti sudah mendengar derap kaki kuda kita,“ desis Wanakerti.

Kedua kawannya tidak menjawab.

Tetapi Wanakerti menjadi berdebar-debar. Kalau mereka sudah mendengar derap kaki-kaki kuda itu, maka mereka pasti akan turun ke lorong ini. Tetapi Wanakerti dan kawannya tidak melihat seorang pun di hadapan mereka.

“Kenapa gardu itu sepi?” desis salah seorang.

Wanakerti tidak menyahut. Tetapi ia berpacu semakin cepat, secepat dapat dilakukan oleh kudanya.

Sejenak kemudian mereka sudah menjadi semakin dekat. Sekejap lagi mereka akan sampai ke depan gardu itu. Mereka sndah melihat sebuah kentongan yang tergantung di depan. Tetapi mereka sama sekali belum melihat seorang pun.

Dengan demikian maka Wanakerti menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak sempat menduga-duga karena sejenak kemudian mereka sudah berada di depan gardu itu.

Tetapi alangkah kecewa hati para pengawas itu. Ternyata gardu itu memang kosong. Sama sekali kosong. Menilik sarang laba-laba yang bergayutan di sana-sini, maka gardu itu pasti sudah beberapa hari tidak dipergunakan.

“Gardu ini kosong,” teriak salah seorang dari ketiga pengawas itu.

Wajah Wanakerti pun tiba-tiba menjadi tegang. Penunggang kuda yang mengejar mereka menjadi semakin dekat pula. Karena itu ia harus segera mengambil suatu sikap.

“Kita berlari terus,” perintahnya kepada kedua kawan-kawannya. ”Jangan membantah dahulu. Kita berpikir sambil berjalan.”

Ketiganya pun kemudian berpacu pula. Tetapi jarak mereka kini menjadi semakin dekat dari pengejarannya.

“Kau, salah seorang dari kalian, ambil jalan simpang. Hati-hati. Kami berdua akan memancing mereka terus,” berkata Wanakerti.

“Kaulah yang mengambil jalan simpang. Kau yang mengetahui semua persoalan dengan gamblang. Biarlah kami berdua yang melawan mereka.”

“Jalankan perintahku. Aku mendapat kekuasaan dari pemimpin kita untuk memimpin perjalanan ini. Cepat.”

Keduanya saling berpandangan. Tetapi Wanakerti berteriak sambil menunjuk orang yang bermata tajam, ”Kaulah yang mengambil jalan simpang. Di depan kita ada tikungan. Lakukan perintah ini.”

Orang yang bermata tajam itu tidak dapat membantah lagi. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk mengambil simpangan di sebelah tikungan.

Ketika kuda-kuda itu berbelok, maka sekali lagi Wanakerti berkata, “Sekarang. Lakukan. Hati-hatilah.”

Orang yang bermata tajam itu pun kemudian menarik kendali kudanya kekanan, sehingga dengan serta-merta kudanya pun berbelok pula kekanan, menyusup gerumbul-gerumbul yang rimbun di pinggir hutan yang rindang itu. Tetapi orang itu tidak berpacu terus. Untuk tidak menarik perhatian, maka ia pun segera menghentikan kudanya dan bersembunyi di balik gerumbul yang lebat.

Ternyata perhatian orang-orang yang mengejar mereka itu, tetap terpancang pada Wanakerti dan seorang kawannya yang berpacu terus. Mereka tidak segera memperhatikan bahwa salah seorang dari ketiganya telah berbelok dan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang lebat.

Demikian orang-orang yang mengejarnya itu lewat, maka orang bermata tajam itu segera memacu kudanya pula, justru menyeberangi lorong sempit itu beberapa langkah dari tempatnya berbelok meninggalkan lorong itu.

Ternyata beberapa saat kemudian, orang-orang yang mengejar Wanakerti pun menyadari, bahwa seorang dari buruannya telah hilang.

Sejenak kemudian mereka masih mencoba meyakinkan apakah yang berpacu di depan mereka itu tinggal dua orang. Namun sejenak kemudian seseorang yang agaknya menjadi pemimpin mereka berteriak, “Yang dua di antara kalian kembali. Cari yang seorang. Ia pasti hilang di tikungan. Jangan sampai lolos dari tanganmu berdua.”

Dua orang yang berkuda di paling belakang segera menarik kendali kuda mereka. Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian berbalik ke tikungan, sedang tiga orang yang lain mengejar Wanakerti dan seorang kawannya.

Ketika dua orang yang berbalik itu sampai di tikungan, mereka menjadi termangu-mangu sejenak. Mereka tidak segera menemukan jejak. Kemanakah yang seorang itu berlari?

“Pasti belum terlampau jauh.”

“Ya. Tetapi ke mana?”

Keduanya pun kemudian meloncat turun. Dengan teliti mereka mencoba mengamati bekas-bekas telapak kaki kuda yang bertebaran di lorong sempit itu.

Tiba-tiba saja seorang dari mereka menemukan bekas kaki kuda yang berbelok masuk ke gerumbul di antara batang-batang ilalang. Dengan serta-merta ia berkata “Lihat. Bekas kaki kuda ini.”

Yang seorang pun segera mendekatinva. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, ia berbelok kemari.”

“Keduanya pun segera berlari kekuda masing-masing. Dengan tergesa-gesa mereka berlompatan naik. dan sejenak kemudian merekapun mencoba mengikuti bekas kaki kuda yang masuk ke dalam rimbunnya batang ilalang yang liar, sehingga mereka tidak begitu sulit untuk menemukan jejak itu selanjutnya.

Tetapi mereka terhenti sejenak karena bekas-bekas kaki itu menjadi kabur ketika jejak itu masuk ke dalam gerumbul. Mereka memerlukan waktu sejenak untuk menemukan, dari mana bekas kaki itu keluar lagi.

“Cepat, kita ikuti. Kita jangan kehilangan lagi.” Sambil mengumpat-umpat mereka berhasil mengikuti jejak itu, melingkari beberapa buah rumpun perdu, kemudian justru menyilang kembali jalan sempit yang sudah dilaluinya.

“Cerdik sekali,” desis yang seorang dari mereka, “ia mencoba menghilangkan jejak.”

“Tetapi kita bukan anak kecil yang dapat dikelabuinya. Kalau ia berhasil menghapus jejaknya, maka barulah kita akan kehilangan pengamatan.”

Yang lain tidak menyahut. Tetapi mereka kini berpacu di antara batang ilalang. Mereka tidak lagi melalui jalan sempit yang sering dilalui orang meskipun jarang sekali. Tetapi kini mereka benar-benar melintas padang yang liar.

“Jurusan ini sama sekali tidak menguntungkannya,” berkata salah seorang dari mereka. ”Orang itu akan terjerumus kedalam rawa-rawa.”

“Itu akan mempermudah pekerjaan kita. Kita tinggal membenamkannya saja. Kita ikat sebuah batu di lehernya. Kemudian kita lemparkan orang itu ke dalam lumpur. Ia akan terbenam perlahan-lahan.”

“Tidak pada lehernya. Pada kakinya. Mungkin akan lebih menyenangkan baginya. Akan diperlukan waktu dua hari sebelum kepalanya terbenam sama sekali.

Kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka berpacu semakin cepat. Mereka sama sekali tidak kehilangan jejak yang diikutinya Seperti sengaja memberikan petunjuk bagi orang yang mengejarnya, bekas-bekas kaki kuda dan rerumputan yang tersibak, telah menuntun kedua orang itu semakin lama menjadi semakin mendekati buruannya.

Dalam pada itu, Wanakerti masih berpacu secepat-cepatnya. Tetapi ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat lepas dari orang-orang yang mengejarnya. Gardu pengawas berikutnya masih agak jauh, sedang orang-orang yang mengejarnya menjadi semakin dekat.

“Agaknya kita akan bertempur,” berkata Wanakerti kepada kawannya yang tinggal seorang.

“Ya. Tetapi mereka pun tinggal tiga orang, Yang lain telah kembali berusaha mengejar kawan kita yang berbelok di tikungan.”

“Mudah-mudahan ia dapat lolos dan menyampaikan laporan kepada para pemimpin di Mataram tentang daerah kerja kita.”

Kawannya tidak menyahut. Dilecutnya kudanya, dan kuda itu pun seakan-akan telah melonjak dan terbang di atas jalan yang sempit.

Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Wanakerti, jarak yang sudah dekat itu pun menjadi semakin dekat. Yang tiga orang itu pun masih juga berteriak-teriak sambil mengacungkan pedangnya.

“Pedang itu agaknya tidak beracun,” desis Wanakerti.

“Darimana kau tahu?”

“Senjata beracun biasanya tidak mengkilap, tetapi buram dan hitam kemerah-merahanan seperti karat.”

“Mudah-mudahan,” desis kawannya. Lalu, “Apakah kita tidak sebaiknya berhenti saja?”

“Kita harus berusaha sampai sejauh-jauh dapat kita lakukan. Semakin dekat dengan gardu pengawas yang kedua akan menjadi semakin baik. Apalagi kalau kita dapat mencapai gardu itu.”

“Terlampau sulit. Kuda-kuda kita kalah berpengalaman.”

“Apa boleh buat,” desis Wanakerti pula.

Namun demikian mereka masih berpacu terus, sehingga pada suatu saat, kuda-kuda yang mengejar mereka itu menjadi semakin dekat.

“Kita mencari tempat yang agak lapang desis Wanakerti.

“Kita akan bertempur sekarang?”

“Tidak ada jalan lain. Kita akan bertempur di atas punggung kuda.”

“Aku bekas pasukan berkuda dari Demak,” sahut kawannya.

“Kau lupa akulah juara watangan bagi para pengawal tanah ini, kecuali para pemimpin.”

Kedua orang itu pun kemudian memencar ke daerah yang agak luas. Di atas batang ilalang setinggi dada, mereka mempersiapkan diri, menyongsong lawan mereka yang mengejarnya.

“He, kalian akan menyerah?” teriak salah seorang dari mereka yang mengejarnya.

Wanakerti tidak menjawab. Tetapi ia mencabut pedangnya. Kudanya kini sudah berputar menghadap ke arah ketiga penunggang kuda yang sudah semakin dekat.

Dengan isyarat Wanakerti pun kemudian memerintahkan kepada kawannya untuk menyerang bersama-sama dari jurusan yang berbeda selagi ketiga penunggang kuda itu masih belum mapan.

Sejenak kemudian maka kedua ekor kuda itu bagaikan melompat dan menyerang. Ternyata Wanakerti dan kawannya benar-benar mempunyai pengalaman yang baik untuk bertempur di atas punggung kuda.

Tetapi ternyata pula bahwa lawan mereka pun cukup mampu untuk mengelakkan serangan itu. Bahkan sambil mengumpat-umpat pemimpin mereka berteriak, “Bunuh saja tikus-tikus sombong itu. Kalau kalian menyerah, kalian akan selamat.”

Wanakerti seolah-olah sudah tidak sempat lagi untuk mengucapkan sepatah kata pun. Ia sama sekali tidak menghiraukan apa saja yang dikatakan oleh lawannya. Namun pedangnya sajalah yang berputar seperti baling-baling.

Sejenak kemudian maka Wanakerti dan kawannya telah terlibat dalam perkelahian sengit. Meskipun Wanakerti dan kawannya mempunyai pengalaman yang cukup, tetapi mereka harus melayani tiga orang. Karena itu, Wanakerti tidak membiarkan salah seorang dari mereka dikerubut dua. Dengan demikian maka perkelahian itu akan segera selesai. Yang dikerubut itu pasti akan segera dapat dikalahkan, sehingga kesempatan untuk mengalahkan yang lain pun menjadi semakin besar.

Karena itu, maka Wanakerti bertempur seperti sepasang elang yang menyambar silang-menyilang. Sejenak ia melayani seorang lawannya. Namun kemudian kudanya melonjak dan menyambar lawannya yang lain. Demikian pula kawannya, bekas seorang prajurit berkuda. Dengan garangnya ia menyerang sambil memutar pedangnya. Kemudian berputar menjauh.

Meskipun demikian, mereka harus mengakui, bahwa ketiga lawannya adalah orang-orang yang tangguh. Orang-orang yang berpengalaman bertempur di atas punggung kuda pula.

Sekilas Wanakerti teringat kepada seorang kawannya yang telah terbunuh oleh racunnya sendiri. Orang berkumis yang sebenarnya sekedar menyusupkan diri di dalam lingkungan para pengawas itu. Ternyata orang itu mampu melawan tiga orang pengawas sekaligus.

“Waktu itu, hatiku telah dibakar oleh kekecilan arti diri sendiri,” berkata Wanakerti kepada dirinya. “Tetapi sekarang aku tidak.”

Meskipun demikian, ternyata Wanakerti dan kawannya segera merasa, bahwa untuk melawan ketiga orang itu adalah pekerjaan yang terlampau berat bagi mereka.

Tetapi Wanakerti dan kawannya sama sekali tidak berputus asa. Dengan sekuat-kuat tenaga mereka bertempur. Bahkan bagi Wanakerti, pertempuran itu hanya sekedar berarti mengikat ketiga orang itu. Kalau kemudian ia dan kawannya itu gugur, itu adalah kemungkinan yang sudah diperhitungkan sejak ia memasuki lingkungan pengawal Tanah Mataram yang baru dibuka ini. Di dalam menjalankan tugas, kemungkinan itu pasti ada.

Yang diharapkan olehnya satu-satunya adalah, agar kawannya yang seorang lagi mampu melepaskan dirinya dan berhasil menghadap para pemimpin di Mataram. Sukurlah kalau dapat langsung menghadap Mas Ngabehi Loring Pasar.

Dengan demikian maka Wanakerti dan kawannya itu pun justru menjadi tenang. Bencana yang tertinggi, mati, sama sekali tidak menakutkan lagi bagi mereka berdua. Sehingga dengan demikian keduanya mampu bertempur sambil berpikir. Mereka tidak saja menumpahkan segenap kemampuan, tetapi juga mereka mempergunakan otak mereka, bagaimana mereka dapat bertahan sejauh-jauh dapat mereka lakukan.

Maka, semakin lama perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Wanakerti dan kawannya ternyata dapat bekerja bersama sebaik-baiknya. Mereka seolah-olah menjelajahi padang ilalang itu dengan kuda mereka yang berlari-lari melingkari menyilang dan kadang-kadang mereka bertempur beradu punggung.

“Selan alas!“ pemimpin orang-orang yang mengejar Wanakerti itu mengumpat. “Kalian ternyata sangat licik. Kalian tidak bertempur secara jantan.”

“Apakah ukuran kejantanan itu?” bertanya Wanakerti.

“Berkelahi beradu dada. Tidak berlari-lari dan berputar-putar.”

“Bertempur beradu dada seorang lawan seorang, atau berapa saja jumlah yang ada ?”

“Persetan. Aku tidak peduli.”

“Kalian atau kamilah yang tidak jantan?”

“Kalian memang harus mampus.”

“Kenapa?” bertanya kawan Wanakerti sambil menyambar dengan pedangnya. Ketika lawannya mengelakkan pedang itu, terdengar kedua senjata itu beradu.

“Kalian, para pengawas memang harus mati.”

“Apa salah kami?”

Mereka tidak menjawab lagi. Tetapi mereka menekan kedua pengawas itu semakin berat. Kadang-kadang mereka memang mencoba memisahkan Wanakerti dari kawannya. Mereka akan membinasakan keduanya seorang demi seorang. Tetapi hal itu disadari oleh kedua pengawas itu, sehingga mereka selalu berusaha, agar perkelahian itu tidak dapat diurai menjadi dua lingkaran pertempuran.

Namun, terasa tenaga kedua pengawas itu menjadi semakin susut setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk tetap bertahan.

 

Series 57

 

KETIGA orang lawannya yang mengetahui bahwa tenaga kedua pengawas itu sudah semakin susut, justru berusaha untuk segera dapat membinasakan mereka. Mereka menjadi semakin garang dan serangannyapun menjadi semakin cepat.

Dalam pada itu, seorang pengawas yang memisahkan diri masih juga berpacu diatas punggung kudanya. Ia mencoba untuk meninggalkan pengejarnya. Menurut perhitungannya, apabila para pengejarnya mengetahui bahwa buruannya berkurang seorang, sebagian dari mereka pasti akan kembali dan mencarinya

Seperti yang dikatakan oleh pengejarnya, bahwa pengawas itu memang menuju kedaerah rawa-rawa. Tetapi pengawas itu telah mengenal daerah itu dengan. baik pula, karena ia memang pernah mengelilinginya. Ia pernah meronda mengitari hutan dan belukar, bahkan sebelum mereka mulai membuka hutan. Ia pernah mengawal Raden Sutawijaya mencari tempat yang paling baik untuk dijadikan padukuhan dan tanah persawahan.

Dan kini ia melewati daerah itu lagi.

Justru didaerah yang berawa-rawa itulah ia ingin menghilangkan jejaknya. Diatas tanah yang basah dan digenangi air setinggi mata kaki, pengawal itu ingin menghilangkan jejak kaki kudanya.

Tetapi lebih daripada itu, ia tahu pasti, bahwa diujung rawa-rawa inipun ada pula sebuah gardu peronda.

“Mudah-mudahan gardu itu tidak kosong seperti gardu diujung padang ilalang itu.” desisnya.

Karena itu, maka ia mencoba berpacu lebih cepat lagi. Setelah melalui daerah yang berair beberapa lama, maka iapun segera berbelok dan mencari daerah yang sama sekali tidak berlumpur. Kalau ia sampai kedaerah yang lebih gembur lagi didaerah rawa-rawa itu, maka ia justru akan menemui kesulitan. Kaki-kaki kudanya akan dapat terperosok kedalam lumpur dan tidak akan dapat berlari cepat lagi, bahkan mungkin ia akan terjerumus kedalam daerah yang seakan-akan dapat menghisapnya masuk terbenam kedalam lumpur.

Tetapi ternyata usahanya itu sia-sia. Para pengejarnya masih dapat menemukan jejaknya didalam air yang sangat dangkal.

“Gila” desis salah scorang pengejarnya “apakah ia akan membunuh diri dengan membenamkan dirinya ke dalam rawa-rawa?”

“Mungkin sekali ia sudah menjadi berputus asa.” Keduanya tersenyum. Senyumnya benar-benar mengerikan sekali.

Aku mempunyai seutas tali. Kita benar-benar akan mengikat sebuah batu dikakinya.”

Yang lain tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia berkata. “Ia mulai menjauhi rawa-rawa. Kalau begitu ia mencoba untuk melenyapkan jejaknya. Kasihan. Kita masih akan tetap mengikutinya. Sebentar lagi kita akan menemukannya.”

Keduanyapun kemudian memacu kudanya pula. Semakin cepat.

Pengawas yang bermata tajam itupun masih juga tetap berpacu. Ia mengharapkan, bahwa ia akan dapat menunaikan tugas yang dibebankan kepadanya.

Ternyata bahwa usaha yang dilakukannya itu kini tidak sia-sia. Ketika ia melampaui tanah yang basah, ia segera sampai kepadang rumput yang sempit. Dihadapannya adalah sebuah hutan rindang disisi sebelah Timur. Dipinggir hutan itu ada pula sebuah gardu pengawas.

Tetapi menilik tempat yang menjadi sepi itu, agaknya seperti diujung lorong yang dilampauinya, gardu itu kosong pula. Gardu itu sudah tidak ditunggui seorang pengawaspun.

Namun demikian ia masih tidak menjadi gelisah. Ia masih belum melihat seorangpun yang mengejar dibelakangnya.

Tetapi hatinya tiba-tiba melonjak ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang berdiri didepan gardu, sedang gardu itu sudah sangat dekat. Dengan demikian maka iapun segera menarik kendali kudanya sehingga kuda itu berdiri sambil meringkik keras-keras.

“Siapa kau?” sapa orang yang berdiri didepan gardu itu.

Pengawas itu tidak segera menyahut. Dicobanya untuk menguasai kudanya. Ketika kuda itu sudah tenang, barulah ia berkata. “Apakah kalian tidak mengenal aku?”

Seorang yang masih berada didalam gardu segera meloncat keluar. Hampir berteriak ia berkata “Kau? Bukankah kau bertugas mengawasi daerah yang sedang dibuka itu?”

“Ya. Aku akan segera menghadap Raden Sutawijaya atau siapapun pemimpin tertinggi Tanah Mataram.”

“Kenapa ?”

“Ada sesuatu yang akan aku sampaikan”

“Kenapa kau menempuh jalan ini? Bukankah ada jalan yang lebih dekat dan lebih baik?”

Pengawas itu menarik natas dalam-dalam untuk menenangkan debar jantungnya. Kemudian diceritakannya apa yang telah terjadi atasnya.

“Jadi bagaimana dengan Wanakerti?” Pengawas itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu. Bahkan, aku kira, ada satu dua orang yang akan “mencoba mengikuti jejakku.

Para pengawas digardu itupun saling berpandangan sejenak.

“Berapa orang kalian disini?”

“Kami semua sepuluh orang disini. Tetapi yang tiga orang sedang menghadap ke Mataram. Setiap hari tiga diantara kami menghubungkan gardu ini dengan gardu induk”

Pengawas itu berpikir sejenak. Kemudian katanya. “Aku menyerahkan persoalan ini kepada kalian. Apakah aku harus menunggu orang-orang yang mengejarku disini atau aku harus segera melanjutkan perjalanan.”

“Teruskan! Serahkan orang-orang yang mengejarmu itu Kepadaku apabila ia sampai ketempat ini pula.”

“Baiklah. Aku akan terus.”

“Jangan pergi sendiri. Dua orang akan mengawanimu. Kami masih cukup banyak orang disini.”

Maka pengawas yang bermata tajam itupun segera melanjutkan perjalanannya menghadap para pemimpin Tanah Mataram. Dua orang dari gardu yang baru saja dilaluinya itupun mengawaninya.

“Kenapa begitu banyak orang digardu itu?” bertanya pengawas bermata tajam itu kepada kedua kawannya.

“Daerah ini masih merupakan daerah yang sedang direncanakan untuk dibuka. Daerah ini masih sangat sepi, sehingga akan menjemukan sekali apabila kami bertugas, disini hanya berdua atau paling banyak lima orang. Smakin banyak kawan, semakin hilanglah kejemuan disini.” jawab salah seorang.

“Apakah hanya itu alasannya?”

“Ya.”

“Tidak ada alasan lain?”

“Tidak. Mungkin tidak sampai sepuluh orang yang bertugas bersamamu. Tetapi kau mempunyai banyak sekali kawan, sehingga daerahmu tidak lagi merupakan daerah yang sangat menjemukan, meskipun kini kau menghadapi persoalan lain.”

“Apakah didaerah ini kalian tidak memperhitungkan hantu misalnya?”

Keduanya sama sekali tidak menyahut. Sejenak mereka hanya saling berpandangan saja, sementara kaki kuda mereka berderap semakin cepat. Pengawas yang bermata tajam itupvm sama sekali tidak bertanya lagi. Dicambuknya kudanya supaya menjadi semakin cepat berlari.

Dalam pada itu, para pengawas yang masih tinggal digardu menunggu orang-orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu. Tetapi untuk beberapa saat mereka tidak melihat seorangpun lewat sehingga mereka justru menjadi gelisah.

“Apakah mereka mengetahui bahwa disini ada gardu peronda?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Mungkin sekali.” jawab yang lain.

“Berapa orang menurut perhitunganmu, seandainya benar-benar ada Orang yang mengejarnya.”

“Paling banyak tiga orang. Bukankah mereka hanya berlima atau enam? Sedang Wanakerti masih berpacu bersama seorang kawan yaag lain.”

“Ya, agaknya demikianlah perbandingan menurut perhitungan kita.” orang itu berhenti sejenak, lalu “aku ingin menyongsong mereka. Marilah, kita bertiga. yang dua orang tinggal digardu. Kita akan membawa alat yang dapat memberikan isyarat apabila salah satu pihak diantara kita mengalami kesulitan. Biarlah kentongan yang besar itu menjadi alat untuk memberikan isyarat diantara kita akan membawa kentongan yang kecil.”

Beberapa orang saling berpandangan. Namun kemudian seorang kawannya berkata “Itu akan lebih baik. Kita akan segera mendapatkan kepastian.”

Demikianlah kemudian tiga orang pengawas telah siap diatas punggung kuda dengan senjata masing-masing. Mereka akan menyongsong orang-orang yang diduga sedang mengejar pengawas yang bermata tajam itu, sedang dua orang yang lain tetap menunggui gardu pengawas itu.

“Tetapi kalian tidak boleh kehilangan perhitungan” pesan pemimpin pengawas digardu itu “kalian tidak boleh terpancing sehingga kalian meninggalkan tempat ini terlampau jauh. Kalau kami tidak dapat mendengar isyarat yang kalian berikan, maka kami tidak akan berbuat apa-apa, seandainya kalian memerlukan.”

“Baiklah. Kami akan segera kemball apabila kami tidak menjumpainya.”

Demikianlah, maka ketiga orang itupun menyelusur jejak kuda pengawas yang bermata tajam itu, Justru kearah yang berlawanan. Mereka mengharap bahwa mereka akan segera dapat menemui orang-orang yang mengejar pengawas itu.

Tetapi setelah sejenak mereka menyelusuri jejak itu mereka sama sekali tidak menjumpai apapun. Di padang rumput yang sempit dihadapan merekapun, sama sekali tidak mereka lihat orang-orang berkuda.

“Tidak ada seorangpun yang mengejarnya” desis salah seorang dari mereka.

Yang lain mengangguk-angukkan kepalanya. Namun ia berkata “Kita maju beberapa langkah lagi.”

Ketiga pengawas itupun maju lagi beberapa puluh langkah sambil mengamat-amati jejak kuda diatas rerumputan.

Tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat beberapa buah jejak yang lain dari jejak kaki kuda pengawas bermata tajam itu. Dengan serta-merta salah seorang dari mereka meloncat turun sambil berkata “Jejak ini berbelok.”

Yang lain mengerutkan keningnya. Salah seorang dari keduanya berkata “Kalau begitu pengawas itu terjebak. Pengejarnya menyadari bahwa dihadapan ini ada gardu. Mereka nasti melingkar dan memotong jalan.”

“Cepat, kita kembali. Mungkin mereka mengalami kesulitan.”

“Tetapi bekas ini hanya bekas dua ekor kuda.”

“Meskipun demikian kita tidak tahu, betapa tinggi kemampuan mereka. Apakah ketiga. orang pengawas itu akan mampu melawan mereka berdua.”

“Setidaknya mereka akan mampu bertahan. Demikianlah maka ketiga pengawas itupun segera berpacu meninggalkan tempat itu. Sampai didepan gardu pengawas mereka berhenti sejenak untuk menyampaikan pengamatan mereka.

“Baiklah, lihatlah apakah dugaan kalian itu benar. Ketiganyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka, menyusul para pengawas yang telah mendahului.

Dalam pada itu, ketiga pengawas yang lebih dahulu sama sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja mereka telah diberhentikan oleh dua orang yang berwajah garang, bersenjata telanjang dan bermata liar.

“Nah, apakah kalian menyangka, aku terlampau bodoh mengejarmu lewat gardu peronda itu? berkata salah seorang dari mereka.

Ternyata kehadiran kedua orang yang tidak disangka-sangka itu telah mengejutkan ketiga pengawas yang sedang berpacu untuk menghadap para pemimpin Tanah Mataram. Karena itu, merekapun dengan serta-merta telah menarik kekang kuda mereka.

“Kalian tidak akan dapat lari” berkata salah seorang dari kedua orang yang mencegat itu” meskipun kini kalian bertiga, tetapi kalian tidak akan dapat melawan kami berdua.”

Para pengawas itu terdiam sejenak. Namun kemudian salah seorang dan mereka berkata “Kalian belum mengenal kami. Apakah kalian yakin akan hal itu?”

“Kami tahu pasti, sampai berapa jauh kemampuan para pengawas. Seorang dari kami akan cukup kuat untuk melawan kalian bertiga. Apalagi kami berdua.”

“Darimana kalian mendapat nilai imbangan itu?”

“Kami meyakininya.”

Kalau begitu, sebaiknya memang kita buktikan.”

Kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu mengerutkan keningnya. Namun keduanyapun kemudian tertawa. Salah seorang berkata “Kalian memang keras kepala.”

Para pengawas itu tidak menjawab. Tetapi mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Sejenak kemudian maka kedua belah pihakpun telah menjadi semakin tegang. Kuda-kuda mereka selangkah demi selangkah maju saling mendekati.

Dalam kesempatan itu salah seorang pengawas dari gardu yang baru saja dilewati itu berkata kepada kawannya yang bermata tajam “Kalau kita sudah mulai bertempur, kau harus segera meneruskan perjalananmu. Jaraknya sudah tidak begitu jauh lagi.”

“Tetapi bagaimana dengan kalian disini?”

“Serahkan kepada kami. Jumlah merekapun hanya dua orang dan kami juga berdua.”

“Tetapi begaimana dengan kemampuan mereka.”

“Jangan hiraukan. Itu adalah cara yang lama untuk menurunkan keberanian lawan. Kami sudah biasa menghadani cara-cara yang licik itu”

Pengawas bermata tajam itu tidak segera menjawab, dipandangnya kedua lawannya yang sudah menjadi semakin dekat. Menilik wajah mereka yang kasar dan bengis, maka mereka pasti dapat berbuat apa saja untuk mengalahkan, lawannya. meskipun dengan curang jika perlu.

“Jangan pikirkan kami” desis kawannya “berita yang kau bawa harus segera sampai. Ditambah lagi dengan pengejaran yang mereka lakukan ini”

Pengawas bermata tajam itu tidak sempat menjawab. Kedua kawannya tiba-tiba sudah menyambar dengan pedang yang berputar seperti baling-baling.

Tetapi para pengawas itupun sudah bersiaga, sehingga mereka masih sempat menghindari serangan yang pertama itu”

Dengan demikian maka perkelahian diantara merekapun segera mulai membakar jalan sepi dihutan yang rindang itu. Mereka bertempur berputar-putar diantara pepohonan dan rimbunnya batang-batang perdu.

Ternyata kedua orang yang berwajah kasar itu bukan orang yang luar biasa seperti yang mereka katakan. Mereka tidak segera berhenti mengatasi kemampuan ketiga pengawas yang bertempur berpasangan.

Namun sejenak kemudian salah seorang dari para pengawas itupun memberikari isyarat, agar pengawas bermata tajam itu segera meninggalkan perkelahian.

Pengawas bermata tajam itu ragu-ragu sejenak. Namun dengan hati yang berat, ia terpaksa meninggalkan medan. Ia sadar bahwa berita yang dibawanya adalah berita yang cukup penting yang harus disampaikan kepada para pemimpin tertinggi di Mataram.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian iapun segera meningkatkan arena, dan berpacu menuju ke pusat Tanah Mataram.

Kedua pengejarnya terkejut melihat pengawas itu meninggalkan arena. Tetapi mereka tidak dapat mengejarnya, karena dua orang pengawas yang lain, selalu membayanginya, bahkan menyerang mereka dengan garangnya, tanpa memberi kesempatan sama sekali untuk beringsut dari medan.

“Biarlah ia pergi” desis salah seorang pengawas.

“Licik” sahut salah seorang lawannya.

“Siapa yang licik?”

“Yang lari itu.”

“Tidak. Ia ingin memberi kesempatan agar kami bersikap jantan. Kami ingin bertempur seorang melawan seoang.”

“Persetan !” geram salah seorang dari kedua lawannya “kalian memang ingin membunuh diri.”

PerKelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha dengan segenap kemampuanya untuk segera dapat menguasai lawan masing-masing.

Namun kemudian ternyata bahwa kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu mempunyai kelebihan dari kedua pengawas itu. Mereka adalah orang-orang yang kasar yang tidak merasa terikat oleh peraturan apapun, sehingga mereka dapat berbuat. apa saja sesuka hati, asal dapat menguntungkan mereka didalam perkelahian itu.

Dengan demikian maka kedua pengawas itupun akhirnya merasa terdesak. Mereka tidak tahan melawan kekasaran dan kekuatan kedua lawannya. Namun demikian mereka bertempur terus, apapun yang bakal dan mungkin teriadi atas mereka berdua.

Dalam pada itu, pengawas bermata tajam itu berpacu terus menuju kepusat Tanah Mataram. Ia sudah mengorbankan kawan-kawannya untuk menahan pengejar-pengejarnya. Wanakerti dan seorang kawannya terpaksa berusaha memancing lawan mereka, agar ia mendapat kesempatan. Kini kedua pengawas itupun berbuat serupa.

Perkelahian diantara kedua pengawas itupun semakin lama menjadi semakin berat sebelah. Kedua orang lawannya benar-benar orang yang kasar dan dapat berbuat apa saja, tanpa menghiraukan tata perkelahian yang sewajarnya.

Karena itu, maka kedua pengawas itupun kemudian hanya sekedar menahan mereka, kadang-kadang mereka menghindar, melingkar-lingkar diantara pepohonan. Tetapi kadang-kadang Mereka menyerang dengan garangnya.

“Sudah aku duga” geram salah seorang dari kedua orang-orang yang tidak dikenal itu “para pengawal Tanah Mataram adalah orang-orang yang licik.”

Kedua pengawas itu tidak menjawab. Mereka bertempur terus dengan cara mereka. Yang penting bagi mereka, pengawas bermata tajam itu sampai kepusat Tanah Mataram.

Namun kedua lawannya sama sekali tidak puas dengan perkelahian yang seakan-akan hanya sekedar berkejar-kejaran itu. Merekapun kemudian menjadi semakin garang. Serangan mereka datang bertubi-tubi seperti badai dimusim ke Sanga.

Kedua pengawal itupun menjadi semakin terdesak. Mereka menjadi semakin kehilangan kesempatan untuk melawan. Bahkan mereka hampir tidak dapat berbuat apa-apa selain menghindar.

Tetapi dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang yang tidak dikenal itu berkata “kalian telah mengganggu usahaku menangkap seorang kawanmu itu. Kalianlah yang akan menjadi gantinya. Kalian akan aku bunuh dengan cara yang pasti tidak akan kalian senangi.”

“Persetan” desis salah seorang dari kedua pengawas itu.

“Kami sudah jemu bertempur dengan cara ini. Kalian harus segera mati, dan kami masih akan mengejar orang yang lari itu.”

“Kita akan berbuat seperti mereka” berkata kawannya “aku akan mengejar yang lari itu. Kau sendiri dapat menyelesaikan pengawas-pengawas yang licik ini.”

Kawannya berfikir sejenak. Kemudian ia mengangguk “Pikiran yang bagus. Kenapa baru sekarang kau katakan. Cepat, kejarlah orang itu.”

Yang lain segera bersiap untuk mengejar pengawas bermata tajam itu. Namun setiap kali pengawas yang lain telah mengganggunya, menyerang dengan tiba-tiba kemudian menghindar jauh-jauh.

Akhirnya orang itu tidak menghiraukannya lagi. Ia harus segera mengejar pengawas bermata tajam itu. Mungkin masih ada kesempatan baginya.

Tanpa menghiraukan serangan-serangan yang datang kemudian, orang itupun segera memacu kudanya. Tetapi seorang dari kedua pengawas itu tidak mau melepaskannya. Iapun segera mengejarnya pula. Menurut perhitungannya, apabila orang itu berhasil mengeiar pengawas bermata tajam. ia akan dapat membantu melawannya. Sedang seorang kawannya yang ditinggalkannya biarlah mencari kesempatan untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi karena pengawas bermata tajam itulah yang membawa pesan bagi para para pemimpin di pusat Tanah Mataram, maka orang itulah yang wajib mendapat perlindungan lebih dahulu.

“Ia akan dapat bertahan atau menyingkir kalau keadaan memaksa” katanya didalam hati.

Ternyata penyawas yang ditinggalkan seorang diri itupun menyadari keadaannya. Sikap yang diambil oleh kawannya itu dapat dibenarkannya. Karena itu, maka untuk selanjutnya, ia harus menghadapi lawannya, benar-benar seorang melawan seorang.

“Para pengawas pada umumnya memang bodoh” geram lawannya yang seorang itu “sekarang aku mendapat kesempatan untuk berbuat sesuka hatlku atasmu. Kau tidak akan dapat bertahan sepenginang lagi. Atau barangkali kau akan menyerah?”

Pengawas yang seorang itu tidak menyahut. Ia sudah bertekad untuk bertempur mati-matian.

“Katakan, cara yang manakah yang paling menarik bagimu untuk mati. Kalau kau menyerah, maka permintaannmu itu akau aku penuhi. Dipancung atau digantung pada cabang pepohonan atau cara yang Iain?”

Pengawas itu sama sekali tidak menjawab. Justru ia telah menyerang semakin garang. Meskipun demikian, kemampuan orang yang tidak dikenal itu memang lebih tinggi daripadanya. Sejenak kemudian maka iapun rnenjadi semakin sulit untuk dapat tetap bertahan.

Ketika keadaan hampir tidak dapat dikuasainya lagi, dan selagi pengawas itu sedang mempertimbangkan dua pilihan mati atau menarik diri dari perkelahian dan kembali kegardu, tiba-tiba tiga ekor kuda berderap mendekati tempat itu. Mereka adalah para pengawas yang sedang menyelusuri telapak kaki-kai kuda yang mereka ketemukan melingkari gardu.

“Nah, akhirnya kita ketemukan mereka disini” berkatalah seorang dari mereka.

“Ya, inilah orang itu” pengawas yang hampir saja kehilangan kesempatan itu berteriak, sedang lawannya menjadi berdebar-debar menghadapi keadaan yang tidak terduga-duga.

“Apakah kalian bertiga?” bertanya pengawas yang sedang bertempur itu.

“Ya.”

“Susullah orang yang lain. Orang yang tidak dikenal itu datang berdua. Yang seorang sedang menyusul pengawas yang membawa pesan itu.”

“Berapa orang?”

“Seorang.”

“Dimana kawanmu.”

“Ia sudah mendahului, mengejar orang itu.”

Ketiga orang itu berpikir sejenak. Lalu “Berapa orang kau perlukan kawan disini untuk menangkap orang ini?”

“Satu orang. Berdua dengan aku. Aku sendiri tidak dapat mengalahkannya, tetapi kalau berdua, kemungkinan untuk menangkapnya menjadi semakin besar.”

Ketiga orang pengawas yang baru datang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka maju mendekati kawannya yang sedang bertempur sambil berkata “Aku akan menangkapnya.”

“Baiklah, kami akan mengejar yang seorang lagi.

“Huh” geram orang yang tidak dikenal itu “kalian sangka kami seekor kambing yang jinak. Ayo, kalian berempat sekaligus tidak akan dapat menangkap aku.”

“Jangan hiraukan” sahut yang sedang berkelahi melawannya “kejarlah yang lain. Ia hanya memancing agar kalian tetap disini.”

“Persetan. Kalau kalian ingin membunuh diri, cobalah.”

Kedua pengawas itu tidak menghiraukannya lagi. Mereka segera berpacu menyusul yang seorang lagi, yang sedang mencoba menangkap pengawas yang bermata tajam, yang berusaha untuk menyampaikan pesan kepusat Tanah Mataram.

Demikianlah maka dua orang pengawas yang tinggal itu kini bertempur melawan seorang dari kedua orang yang tidak dikenal itu. Ternyata bahwa perhitungan pengawas yang pertama tidak jauh meleset. Mereka berdua dalam pasangan yang baik segera dapat mengatasi keadaan.

Dengan demikian maka keduanyapun bertempur lebih mantap lagi. Mereka ingin menangkap orang yang tidak dikenal itu hidup-hidup sebagai bahan untuk mencari latar belakang dari persoalan yang masih gelap itu.

Tetapi orang itupun tidak mudah menyerah. Ia berkelahi dengan garangnya. Kudanya adalah kuda yang cukup lincah. Apalagi penunggangnya adalah penunggang yang benar-benar menguasainya.

Demikianlah perkelahian yang terjadi itu semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi meskipun kedua pengawal Tanah Mataram itu berhasil mendesak lawannya, namun untuk menangkapnya agaknya terlampau sulit. Bahkan untuk mengalahkannyapun tidak akan segera dapat dilakukan.

Sementara itu, pengawas bermata tajam yang membawa pesan untuk para pemimpin Tanah Mataram itu masih saja berpacu dengan cepatnya. Ia sadar, bahwa jalan yang ditempuh ternyata menyimpan banyak bahaya yang kadang-kadang tidak diduga-duganya. Karena itu, semakin cepat ia sampai, akan semakin baik baginya dan bagi Mataram.

Hatinya menjadi berdebar-debar ketika gerbang pusat Tanah Mataram yang masih bersifat sementara sudah dilihatnya. Justru ia merasa bahwa kudanya menjadi semakin lamban. Beberapa ratus langkah lagi ia akan memasuki gerbang dan dengan demikian kemungkinan bahaya yang akan mengganggunya akan menjadi semakin berkurang. Dipintu gerbang itu pasti terdapat beberapa orang pengawal yang dapat melindunginya apabila ia masih juga dikejar oleh bahaya.

Sesekali pengawas yang berpacu itu masih juga berpaling. Dan bahkan tiba-tiba dadanya berdesir ketika dikejauhan ia melihat debu yang mengepul tinggi.

“Masih juga ada yang mengejar aku” desisnya. Dan debu itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Namun demikian pengawal itu tidak cemas lagi meskipun ia harus berhadapan dengan siapapun. Sebelum kuda yang berpacu dibelakang itu menyusulnya, ia pasti sudah sampai diregol pusat Tanah Mataram.

“Orang itu benar-benar tidak mempergunakan otaknya” gumam pengawas itu kepada diri sendiri “semula aku menyangka bahwa mereka. adalah orang-orang yang cerdik meskipun licik. Mereka telah melingkari gardu dan memotong jalan. Tetapi kini mereka begitu Bernafsu mengejar aku.”

Namun demikian ia menjadi berdebar-debar “lalu bagaimana dengan kedua pengawas yang bertempur melawannya? Apakah keduanya tidak berhasil menahan mereka, atau justru mereka telah dapat dikalahkan.”

Dan tiba-tiba saja ia menjadi cemas memikirkan nasib kedua pengawas yang mencoba menahan kedua orang yang mengejarnya itu.

Sejenak kemudian maka kudanyapun menjjadi semakin dekat dengan regol pusat Tanah Mataram, sedang debu yang mengepul dibelakangnyapun menjadi sema dekat pula.

Tiba-tiba pengawas itu ingin menunggu. Apalagi setelah yakin bahwa yang mengejarnya hanya seorang saja.

Karena itu, beberapa puluh langkah didepan regol ia berhenti. Beberapa ujung senjata telah dilihatnya mencuat dari mulut gardu diregol itu. Bahkan ia sudah melihay seorang penjaga berjalan ketengah-tengah gerbang.

“Aku akan menunggunya, Aku ingin tahu nasib kedua pengawas itu.”

Sejenak kemudian kuda yang mengejarnya rnenjadi semakin dekat semakin dekat. Dan tiba-tiba saja pengawas yang menunggu itu mengerutkan keningnya. Yang mengejarnya sama sekali bukan salah seorang dari kedua orang yang tidak dikenal itu, tetapi justru salah seorang dari kedua pengawas yang mencoba menahan kedua orang itu.

“He” orang itu berteriak “apakah kau disusul oleh salah seorang pengejarmu?”

Pengawas itu menggeleng “Tidak. Bukankah ia bertempur dengan kau dan kawanmu?”

“Tetapi ia melepaskan diri dan mengejarmu. Aku mengejar dibelakangnya. Namun tiba-tiba diantara semak-semak yang rimbun dihutan rindang sebelah, orang itu telah hilang.”

“He?”

‘“Kalau begitu aku harus segera kembali. Ia pasti melingkar dan kembali kemedan semula,”

Pengawas bermata tajam itu tidak sempat menyahut. Tetapi ia kini sadar, bahwa kedua orang yang mengejarnya itu sama, sekali bukan orang-orang dungu seperti yang disangkanya. Tetapi mereka benar-benar orang yang cerdik dan licik.

Pengawas itu hanya dapat termangu-mangu sejenak melihat kawannya berpacu kembali berbalik arah.

Tetapi iapun segera terkejut ketika ia mendengar derap kuda dari regol sebelah, regol pusat Tanah Mataram.

Ketika ia berpaling dilihatnya dua orang berpacu kearahnya dengan membawa senjata telanjang. Agaknya mereka adalah para petugas yang curiga melihatnya, karena mereka masih belum tahu apa yang sudah dilakukan. Ketika kedua penunggang kuda itu telah berada beberapa langkah dihadapannya, maka iapun segera mengenal bahwa salah seorang dari keduanya telah dikenalnya dengan baik.

“He kau” teriak orang itu “Kenapa kau berada disini?”

“Aku akan menghadap Ki Gede atau Raden Sutawijaya.” jawab pengawas bermata tajam itu.

Kini kedua ekor kuda itu telah berhenti. Dan pengawas dari gerbang itu bertanya pula “Ada sesuatu yang akan kau sampaikan?”

“Ya. Sesuatu yang penting sekali.”

“Siapa yang berkuda itu” bertanya pengawas gerbang itu sambil memandang debu yang mengepul.

“Aku mempunyai cerita yang sangat panjang dan berbelit-belit. Tetapi apakah aku dapat menghadap.”

“Marilah. Kita akan menghubungi para pemimpin pengawal yang barangkali dapat membawa kau menghadap. Tetapi siapa orang itu?”

“Marilah. Aku akan bercerita sambil berjalan.” Ketiganyapun kemudian menuju kegerbang. Pengawas bermata tajam itu sempat bercerita tentang pokok-pokok persoalan yang dihadapinya.

“Kalau begitu kau memang harus segera menghadap”

Maka pengawas bermata tajam itupun segera dihadapkan kepada pemimpin penjaga gerbang yang kemudian membawanya menghadap para pemimpin Tanah Mataram yang baru dibuka itu.

Dalam pada itu, pengawas yang berpacu kembali itu pun segera bertemu dengan dua orang kawannya yang menyusulnya. Dengan heran kedua kawannya itu bertanya “Kenapa kau kembali? Dimana orang itu.”

“Kita kembali. Mereka adalah orang-orang yang licik.”

“Ya, tetapi dimana buruanmu?”

“Ia menghilang, ia pasti kembali kemedan semula lewat diantara pepohonan. Ia agaknya benar-benar menguasai daerah ini”

Ketiganyapun segera berpacu kembali kemedan yang baru saja mereka tinggalkan.

Perhitungan mereka itupun ternyata benar. Orang yang mereka cari memang melingkar dan bersembunyi di balik gerumbul untuk mendapat kesempatan kembali kemedan dan membinasakan pengawas yang seorang lagi. Tetapi ketika ia sampai dimedan, dilihatnya dua orang pengawas sedang bertempur melawan seorang kawannya.

‘“He, kau melawan dua orang kelinci itu” ia berkata lantang.”

“Ya. Dimana buruanmu?” bertanya kawannya sambil bertempur melawan dua orang pengawas.

“Telah menjadi lumpur. Aku sudah membunuhnya. Kedua pengawas itu terkejut. Dan mereka mendengar orang itu tertawa “Jangan terkejut. Sebentar lagi kalian akan menjadi makanan burung gagak pula.”

“Persetan” salah seorang dari kedua pengawas itu menggeram “kau berdua harus menebus dengan penuh penyesalan.”

Tetapi kedua orang itu tertawa hampir berbareng “Bagaimana mungkin kalian dapat melakukannya? Kalian akan segera mati pula.”

Kedua pengawas itu tidak menyahut, tetapi mereka bertempur lebih dahsyat lagi.

Sejenak kemudian merekapun segera mendengar suara derap kaki-kaki kuda. Wajah dari orang-orang tak dikenal itu menjadi liar. Dan tiba-tiba saja salah seorang dari mereka memberikan isyarat. Sebelum para pengawas menyadari keadaan mereka, maka tiba-tiba saja kedua orang itu telah meloncat meninggalkan gelanggang.

“Jangan lari” teriak para pengawas.

Namun mereka tidak menghiraukannya. Kuda-kuda merekapun segera menyusup kedalam gerumbul-gerumbil liar dan berlari seperti dikejar hantu. Para pengawas mencoba mengejarnya. Tetapi mereka tidak dapat rnengikuti pada jarak yang mantap. Sejenak kemudian kedua orang itu, seakan-akan telah hilang ditelan oleh gerumbul-gerumbul liar.

“Kita ikuti jejaknya” desis yang seorang.

“Mereka akan menjadi semakin jauh. Kita tidak akan dapat mengejar mereka, dan kita tidak tahu, jalan yang mereka tempuh akan sampai kemana?”

Para pengawas yang lainpun segera sampai ketempat itu pula. Salah seorang yang paling tua segera berkata “Berbahaya sekali untuk mengikuti jejak mereka. Seperti yang sering kita dengar, hutan ini memang menyimpan banyak sekali rahasia, terutama didaerah Utara. Kini kita melihat sendiri sebagian. dari isi hutan ini selain hantu-hantu yang berkeliaran dimalam hari.”

Para pengawas itu hanya dapat mengangguk-anggukan kepalanya.

“Dimana pengawas yang membawa pesan itu? Apakah benar ia sudah terbunuh?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Ia sudah sampai digerbang. Kini ia pasti sudah menghadapi para pemimpin dipusat Tanah Mataram itu.”

Para pengawas itu mengangguk-anggukan kepala mereka. Salah seorang dari mereka berdesis” Perkembangan dari tanah ini memang harus menghadapi masalah-masalah yang cukup berat. Kita masih belum berbicara tentang Tanah disekitar hutan Mentaok. Mangir misalnya. Menoreh dan daerah sebelah Timur yang subur. Apalagi kalau kita berbicara tentang Pajang.”

Yang lain hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.

“Kita kembali kegardu” desis salah seorang kemudian.

Para pengawas itupun kemudian segera kembali kegardu mereka. Peristiwa yang baru saja terjadi itu telah berkesan dihati mereka. Bahkan mereka menjadi berdebar-debar, apakah tidak ada sesuatu yang telah terjadi digardu yang sedang mereka tinggalkan itu?

Mereka menarik natas dalam-dalam ketika mereka melihat gardu masih tetap utuh dengan pengawas yang tinggal didalamnya.

Dalam pada itu, dipusat tanah Mataram, pengawas yang membawa pesan dari Kiai Gringsing itupun telah dibawa menghadap beberapa orang pemimpin. Adalah kebetulan sekali bahwa diantara mereka terdapat Raden Sutawijaya sendiri.

“Apa yang telah terjadi? Hantu-hantu yang mengamuk?.” bertanya Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.

Pengawas bermata tajam itu menggelengkan kepalanya “Kali ini bukan hantu, tuan.”

“Apakah hantu-hantu itu sudah tidak pernah mengganggu daerahmu lagi?”

“Masih. Bahkan yang terakhir menjadi semakin sering meskipun kami terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan baru tentang hantu-hantu itu.”

“Apa katamu?”

“Tetapi sebelum semuanya aku sampaikan, apakah aku boleh mohon sesuatu?”

“Apa?”

“Diperjalanan kami, kakang Wanakerti telah menahan beberapa, orang yang mengejar kami. Aku cemas akan nasibnya.”

“He, dimana?” ‘

“Dijalan lurus yang menuju kemari dari daerah pengawasan kami. Aku telah mengambil jalan simpang untuk menghindari mereka.”

“Sudah lama itu terjadi?”

“Mungkin mereka sedang bertempur sekarang. Aku berbelok ketika tiga orang mengejar kakang Wanakerti dengan seorang kawan yang lain.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.

“Aku juga mengalami gangguan diperjalanan. Menurut perkiraan waktu, aku mulai bertempur pada saat kakang Wanakerti dapat terkejar oleh orang-orang itu. Mudah-mudahan mereka berdua dapat bertahan.”

“Apakah kau sudah lama berkelahi?”

“Aku tidak pernah berkelahi bersungguh-sungguh. Aku hanya sekedar berlari-larianan, karena kawan-kawan yang lainlah yang selalu menahan pengejar-pengejarku.”

“Kalau begitu pasti belum terlampau lama.” Sutawijaya itupun kemudian berpaling kepada seorang pemimpin pengawal “Bawa lima orang kawan-kawanmu. Lihat, apa yang terjadi dengan Wanakeri itu.”

Pengawal itu mengangguk dalam-dalam. Iapun kemudian meninggalkan pertemuan itu Bersama lima orang pengawal yang lain, merekapun kemudian berpacu menyusur jalan menuju kedaerah pengawasan Wanakerti. Jalan yang hanya satu jalur. Kalau benar keterangan pengawas yang datang itu, maka mereka pasti akan menjumpai Wanakerti dan kawannya diperjalanan itu.

“Nah, sekarang katakan apa yang sudah terjadi didaerahmu”

Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia mengatur pernafasannya. Kemudian iapun mulai menceritakan apa yang sudah terjadi didaerah pengawasannya sejak beberapa hari yang lalu. Keributan yang timbul dan beberapa kematian yang sudah terjadi. Senjata beracun dan mayat yang hilang. Kemudian suara gemerincing dimalam bari dan perkelahian-perkelahian yang seru.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun pengawas yang lelah itu tidak dapat menceritakan dengan teratur, namun Sutawijaya dan para pemimpin Tanah Mataram sudah dapat membayangkan apa yang sudah terjadi.

“Siapakah ketiga orang yang kau katakan telah mengambil peranan didalam daerahmu itu?”

“Kami mengenalnya bernama Truna Podang tuan.” Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Nama itu belum pernah didengamya.

“Bagaimana dengan kedua anak-anaknya? Bukankah kau mengatakan Truna Podang mempunyai dua orang anak laki-laki?”

“Ya, tuan. Yang seorang gemuk dan yang seorang sedang.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya Kemudian “senjatanya?”

“Mereka bersenjata cambuk, Ya, mereka menyebut diri mereka sebagai gembala yang hendak mendapatkan daerah baru karena didaerah mereka yang lama, mereka sama sekali tidak dapat hidup dengan wajar.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya “Anaknya yang seorang gemuk dan yang seorang sedang. Mereka bersenjata cambuk. Begitu?”

“Ya.”

Orang-orang yang ada ditempat itu menjadi heran ketika mereka melihat Sutawijaya tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata “Baiklah. Biarlah orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu membantu kalian. Untuk sementara kami tidak berkeberatan. Para pemimpin Tanah yang sedang kita buka ini mengucapkan terima kasih kepada mereka.”

Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula, meskipun ia masih juga merasa heran. Seolah-olah Sutawijaya itu pernah melihat, setidaknya pernah mendengar serba sedikit tentang Truna Podang itu.

“Jadi, bagaimanakah dengan kami?” bertanya pengawas bermata tajam.

Aku sendiri akan datang” berkata Sutawijaya “daerah pengawasanmu memang gawat. Tetapi seperti sudah aku katakan, ketiga orang itu memang dapat membantu.”

Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap heran. Ia merasa bahwa keterangannya mengenai ketiga orang itu belum cukup banyak. Tetapi Raden Sutawijaya langsung mempercayai mereka.

“Sebelum aku sempat datang” berkata Sutawijaya selanjutnya “aku akan mengirimkan beberapa orang untuk membantu mengawasi daerah itu.”

Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan Kepalanya.

“Kita menunggu para pengawal yang menjemput Wanakerti” berkata Sutawijaya selanjutnya.

Dalam pada itu keadaan Wanakerti benar-benar sudah parah. Hanya karena ia merasa bertanggung-jawab agar pesan yang dibawa oleh seorang kawannya sampai, ia bertempur sampai apapun yang akan terjadi atasnya. Apalagi menilik pengenalan ketiga lawannya atas daerah itu, maka melarikan diripun bukan jalan yang dapat ditempuh

Disaat-saat terakhir Wanakerti benar-benar sudah hampir tidak dapat melakukan perlawanan sama sekali. Luka-luka ditubuhnya sudah silang menyilang didada dan dipunggung. Meskipun demikian bersama kawannya, Wanakerti masih tetap menggenggam senjata ditangan.

Namun demikian ia dipaksa untuk mendengar lawanya berkata sambil tertawa “Jangan menyesal. Aku sedang menunggu kedua kawanku yang mengejar seorang pengawas yang licik. Tetapi iapun tidak akan luput dari tangannya. Kalau kedua kawan-kawanku itu sudah datang, maka kami berlima akan membunuh kalian. Aku tidak mau mengecewakan kedua kawanku, karena mereka tidak mendapat bagian melihat suatu pertunjukan yang sangat menyenangkan ini.

Wanakerti tidak menjawab. Ia merasa sebagai barang mainan yang nasibnya seolah-olah sama sekali tergantung kepada ketiga orang lawannya. Demikian juga agaknya pengawas yang lain, meskipun ia masih juga tetap memegang senjatanya.

Tenaga kedua. pengawas itu sudah hampir lenyap sama sekali karena darah yang meleleh dari luka. Seandainya ketiga orang itu ingin segera membunuhnya, maka mereka tidak akan mendapat kesukaran lagi. Tetapi agaknya mereka memang ingin membiarkan kedua pengawas itu mengalami penderitaan sebelum hidup mereka diakhiri.

“Kami harus mendapat keyakinan, apakah yang terjadi dengan kedua kawan-kawanku” berkata salah seorang dari mereka “kalau mereka berhasil, maka kalian akan mendapat jalan kematian yang lebih baik. Tetapi kalau mereka gagal, maka kemarahan kami akan tertumpah kepa da kalian berdua. Kami akan mengikat kalian pada sebelah kaki dan akan menyeret kalian dibelakang kuda kami melintasi semak-semak berduri. Nah, apakah kalian menyada nasib kalian.

Wanakerti menggeram. Betapapun lemahnya, ia masih tetap duduk diatas punggung kuda sambil membawa senjata. Memang dicobanya untuk mencari jalan, melepaskan diri. Sesekali dipandanginya jalur jalan yang menuju kepusat Tanah Mataram. Namun kedua pengawas itu tidak akan dapat dengan mudah melepaskan diri dari arena perkelahian yang semakin tidak seimbang itu.

Bahkan sebelum kedua pengawas itu mencoba untuk menghindarkan diri, salah seorang dari ketiga orang yang tidak dikenal itu sudah mentertawakannya sambil berkata “Jangan mencoba untuk berlari lagi. Selagi kau masih utuh, kau tidak dapat melepaskan dirimu. Apalagi sekarang, disaat nyawamu sudah berada diujung ubun-ubunmu. Wanakerti menggeram. Tetapi ia memang sudah tidak berdaya.

Dalam pada itu, salah seorang dari ketiga lawannya tiba-tiba bertanya “Apakah kita akan menunggu?”

Dan salah seorang diantara mereka menjawab “Ya. Kita akan menunggu sebentar. Kalau ia dapat membawa yang seorang itu, maka permainan kita akan lengkap.”

“Kita akan membunuh mereka?”

“Apakah tidak sebaiknya kita akan membawa mereka hidup-hidup. Kita memerlukan mereka bertiga meskipun kelak kita akan membunuhnya pula dengan cara yang dapat dipikirkan kemudian. Bukankah Itu lebih baik.”

“Aku kira, kita tidak memerlukannya lagi. Keduanya lebih baik diselesaikan saja sekarang. Mereka akan menjadi beban pengawasan.” tertak yang lain.

“Kita memerlukan keterangan.”

“Kita akan mengambilnya digardu pengawas. Disana masih ada beberapa orang yang pantas untuk memberikan keterangan. Bahkan pemimpin pengawas yang luka itu.” berkata orang itu dengan garangnya “aku sudah muak melihat kedua kelinci ini.”

Kedua kawannya mengerutkan keningnya. Dan orang yang garang itu berkata selanjutnya “Sudah aku katakan, aku akan mengikat sebelah kakinya dibelakang kuda. Kita tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Pekerjaan kita masih cukup banyak.”

“Yang seorang lagi?” bertanya yang lain.

“Biarlah kedua anak-anak itu yang rnengurusnya. Sejenak mereka terdiam. Tetapi ketiga pasang mata yang menyala itu memandang Wanakerti dengan seorang kawannya, seolah-olah akan membakarnya hidup-hidup.

“Sekarang. Tangkap mereka hidup-hidup. Kemudian sebelah kakinya. Sebelah saja.”

Kedua kawannya saling berpandangan. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Ketiga orang itupun kemudian memencar mengepung Wanakerti dan kawannya, Semakin lama ketiganya menjadi semakin rapat. Ditengah-tengah Wanakerti dan kawannya menjadi semakin tegang pula Namun kemudian Wanakerti menggeram “Kalian hanya akan dapat menyentuh mayat kami. Kami masih bersenjata, dan kami masih bertenaga untuk melawan kalian.

Ketiga lawan para pengawas itupun tertegun sejenak. Memang sulit bagi mereka untuk menangkap keduanya hidup-hidup. Mereka pasti akan melawan dengan segenap sisa kemampuan mereka. Bagi keduanya memang lebih baik mati oleh senjata yang membelah dadanya daripada mati bagai permainan.

“Sulit juga untuk menangkap kedua tikus kecil” desis salah seorang dari mereka yang mengepung kedua pengawas itu “Kedua tikus yang sudah berputus asa akan dapat membunuh dirinya dengan cara apapun.”

“Aku tidak peduli” desis yang lain “seandainya keduanya akan membunuh dirinya, apaboleh buat. Kita sudah terlalu lama menungguinya. Aku sudah jemu. Aku sudah puas melihat betapa wajahnya dibayangi oleh ketakutan yang tidak terkirakan.”

Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian kuda-kuda itupun sudah bergerak lagi. Semakin la ma menjadi semakin dekat.

Namun sekali lagi mereka tertegun ketika merek mendengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Dua ekor kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat.

“Itulah kawan-kawan kita” desis salah seorang dari mereka.

Ketiganyapun menjadi termangu-mangu. Dengan ragu-ragu mereka menunggu.

“Bagaimana kalau orang lain?” desis salah seorang dari mereka.

“Kita bunuh sama sekali.”

Namun sejenak kemudian muncullah dua ekor kuda. Diatas punggungnya dua orang duduk dengan nafas terengah-engah.

“He bagaimana dengan kalian?” bertanya salah seorang dari ketiganya setelah mereka melihat bahwa yang datang memang kawan-kawan mereka.

“Tugas kami sudah selesai” jawab mereka hampir berbareng.

“Bagaimana dengan pengawas yang lari itu?”

“Aku sudah membunuhnya. Aku ikat sebongkah batu padas dikakinya. Kemudian kami lemparkan orang itu hidup-hidup kedalam rawa-rawa.”

“Bagus. Sekarang tinggal kedua orang ini. Apakah akan kita ikat dan kita tarik dibelakang kaki kuda?”

“Tetapi kita harus berbuat cepat” berkata salah seorang dari kedua orang yang baru datang itu “mungkin ada beberapa orang yang menyelusuri jejak kami. Tetapi mereka memerlukan waktu untuk sampai ketempat ini. Meskipun demikian kita tidak boleh lengah. Kita harus segera menyelesaikan, apapun cara yang kita kehendaki”

Sejenak orang-orang yang tidak dikenal itu berdiam diri. Dengan tatapan mata yang liar dipandanginya Wanakerti dan kawannya yang masih duduk sambil menggenggam senjata mereka meskipun hampir diseluruh tubuh mereka telah tergores luka.

“Apakah mereka akan datang?” tiba-tiba salah seorang bertanya,

“Mungkin sekali.”

“Kalau begitu kita harus segera membunuhnya” orang itu menggeram.

Namun belum lagi mereka berbuat sesuatu, terdengarlah pula derap kaki-kaki kuda yang menggetarkan hutan yang rindang itu. Semakin lama semakin dekat.

“Siapakah mereka itu?” desis salah seorang dari kelima orang itu.

“Tetapi tidak secepat itu. Para pengawal itu memerlukan waktu yang cukup lama.” yang lain menyahut, kemudian “arahnya tidak sejalan dengan arah yang aku lalui. Mereka pasti bukan orang-orang yang mengejar aku.”

“Lalu siapa?”

Kedua orang yang datang kemudian itu menggelengkan kepalanya. Namun sekilas terlintas didalam angan-angannya, pengawas bermata tajam itu pasti sudah sampai dipusat Tanah Mataram. Ia pasti sudah melaporkan apa yang terjadi. Karena itu, mungkin sekali iring-iringan ini adalah para pengawal yang mendapat laporan dari pengawas yang dikejarnya.

Tetapi ia sudah terlanjur mengatakan bahwa pengawas itu sudah dibunuhnya, meskipun maksudnya sama sekali bukan untuk mengelabui kawan-kawannya, tetapi sekedar untuk membuat Wanakerti semakin berkecil hati.

Sejenak mereka dicengkam oleh keragu-raguan. Dan waktu yang sejenak itu telah dipergunakan oleh Wanakerti sebaik-baiknya. Ketika ia melihat kebimbangan melanda jantung orang-orang yang mengejarnya itu, maka dengan tangannya ia memberi isyarat kepada kawannya. Karena itu, sejenak kemudian maka dengan tiba-tiba mereka telah melecut kuda-kuda mereka dengan ujung kendali yang segera meloncat dan berlari sekencang-kencangnya.

“Gila” teriak salah seorang dari mereka “kail tidak akan lepas dari tangan kami.”

Memang orang-orang itupun dengan tangkasnya segera menyusul. Jarak diantara mereka memang tidak begitu jauh. Beberapa saat kemudian, Wanakerti pasti tidak akan dapat melepaskan diri lagi.

Tetapi yang membuat kelima orang itu menjadi bimbang adalah derap kuda yang semakin dekat. Dan mereka tidak dapat menebak siapakah yang bakal datang itu.

Meskipun Wanakerti juga tidak mengetahui siapa yang datang, namun ia telah berbuat untung-untungan. Kalau yang datang itu lawan, biarlah ia mati semakin cepat. Tetapi kalau yang datahng itu kawan, ia akan mendapatkan harapan untuk hidup.

Kuda-kuda para pengejarnya kini tinggal beberapa langkah lagi. Sejenak kemudian maka ujung pedang mereka akan dapat menghunjam dipunggungnya.

Tetapi keduanya tidak menyerah. Sekali mereka berpaling, dan mereka melihat ujung pedang yang sudah teracu. Namun keduanyapun masih menggenggam pedang pula ditangan.

Tetapi, dalam pada itu, derap kaki-kaki kuda dihadapan merekapun telah menjadi semakin dekat pula.

Ketika tiba-tiba kemudian muncul beberapa orang penunggang kuda dari balik tikungan, hati Wanakerti serasa tersentuh embun. Jelas baginya bahwa mereka adalah para pengawal. Karena itu, maka terasa harapan didadanya menjalar kesegenap tubuhnya. Bukan saja ia ingin untuk tetap hidup, tetapi apabila seorang kawannya yang telah mengambil jalan simpang itu benar-benar terbunuh, maka ia masih mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pesan pemimpinnya dan orang yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu.

Berbeda dengan Wanakerti, maka orang-orang yang mengejarnya terperanjat ketika mereka melihat para pengawal itu. Bahkan kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itupun tidak menduga bahwa mereka datang begitu cepatnya.

Tetapi kini mereka telah benar-benar berhadapan. Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi mereka daripada bertempur. Apalagi ketika mereka melihat bahwa yang datang itu tidak lebih dari enam orang saja, sedang Wanakerti dan kawannya sudah tidak berdaya sama sekali.

Meskipun demikian, orang yang mengejar dipaling depan, masih juga ingin melepaskan sakit hatinya. Karena tangannya masih belum sempat menjangkau kawan wanakerti yang berkuda dibelakang, maka tiba-tiba saja ia telah melemparkan pedangnya kepunggung pengawas itu.

Para pengawal yang sudah semakin dekat melihat orang itu mengayunkan tangannya, sehingga salah seorang dari mereka telah, berteriak. “Awas punggungmu.”

Pengawas yang berkuda dibelakang itu berpaling. Ia melihat pedang meluncur kepunggungnya. Dengan sisa-sisa tenaganya ia mencoba menangkis serangan itu, tetapi ia tidak berhasil seluruhnya. Ujung pedang itu sudah terlampau dekat, sehingga ia hanya sempat merubah arahnya. Tetapi pedang itu masih juga menghunjam dipundaknya.

Perasaan sakit yang tajam serasa telah menghentakkan sisa tenaganya. Tanpa sesadarnya tangannya telah menarik kendali kudanya sehingga kudanya berbelok masuk kedalam semak-semak dipinggir jalur jalan setapak itu. Tetapi sentuhan ranting-ranting pepohonan pada tubuhnya sama sekali tidak tertahan lagi. Sejenak kemudian pengawas itu pun terpelanting dan jatuh diatas dedaunan kering.

Tetapi ia sudah tidak dapat merasakan apapun lagi. Semuanya terasa menjadi gelap. Dan sejenak kemudian lapun menjadi pingsan karenanya.

Wanakerti yang kemudian berpaling, melihat hal itu pula. Karena itu, tiba-tiba timbullah kemarahan yang meluap-luap didadanya. Tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri, ia menarik kekang kudanya sehingga kudanya telah berputar menghadap pengejarnya.

Untunglah bahwa pada saat itu, para pengawal telah sampai ditempatnya pula, sehingga ketika para pengejarnya menyerang Wanakerti yang lemah, beberapa orang pengawal yang lain sekaligus telah melindunginya. Kuda-kuda mereka menyambar dengan dahsyatnya, dan tenaga mereka yang segar telah berhasil menyelamatkan Wanakerti dari sambaran pedang orang-orang yang sedang mnarah itu.

Seorang pengawal yang lain, langsung memburu ketika ia melihat seorang diantara orang-orang tidak dikenal Itu langsung meloncat turun dari kudanya. Ia adalah orang yang telah melemparkan pedangnya. Agaknya ia sedang berusaha mengambil pedangnya yang masih tertancap dipundak salah seorang pengawas yang pingsan itu.

Agaknya ia tidak puas setelah ia berhasil menarik pedangnya. Dengan geramnya ia mengayunkan pedang itu keleher lawannya yang sedang pingsan. Tetapi ia terkejut ketika sebuah pedang yang lain telah menyambar pedangnya itu, sehingga hampir saja pedang itu terloncat dari tangannya.

“Persetan” ia menggeram. Ketika ia memutar tubuhnya, seorang pengawal telah menyerangnya sambil duduk diatas punggung kuda.

Dengan demikian orang itu terpaksa melayani lawannya. Apalagi Iawannya ternyata seorang pengawal yang tangkas. Kudanyapun kuda yang lincah pula, sehingga setiap kali kaki-kaki kuda itu hampir menginjaknya.

Sejenak kemudian orang itu berusaha membebaskan dirinya. Kemudian ia berlari kekudanya sendiri yang masih berdiri termangu-mangu.

Tetapi pengawai yang marah, yang melihat seorang kawannya terbaring ditanah tidak membiarkannya. Ia menyangka bahwa kawannya itu telah terbunuh. Karena itu, maka darahnyapun telah mendidih sampai ke kepala.

Dengan demikian, selagi lawannya meloncat kepunggung kuda, iapun telah menyambarnya dengan ujung senjatanya, sehingga lawannya menjadi bingung sejenak. Dengan demikian maka tangannya tidak dapat menguasai kendali kudanya dengan baik, sehingga kudanyapun kemudian berputar sambil meringkik.

Saat-saat yang lemah itu ternyata telah mengakhiri semua petualangan yang pernah dilakukannya. Dengan dahsyatnya lawannya menyerangnya, dilambari oleh kemarahan yang meluap-luap. Apalagi pengawal yang datang ini adalah pengawal pilihan yang mampu mempergunakan senjatanya sebaik-baiknya.

Maka sebelum ia berhasil menempatkan dirinya diatas punggung kuda, sebuah tusukan yang kuat telah membelah punggungnya. Sekali terdengar ia mengeluh tertahan, kemudian dengan sisa tenaganya ia masih mencoba berpegangan pada suri kudanya. Tetapi sejenak kemudian kedua tangannyapun terlepas, dan orang itu terjatuh ditanah. Darah yang merah membasahi rerumputan disekitarnya. Ia masih sempat mencoba meraih pedangnya yang terjatuh, tetapi sejenak kemudian iapun menutup matanya untuk selama-lamanya.

Kematian salah seorang dari antara kelima orang yang tidak dikenal itu telah menumbuhkan kemarahan yang meluap-luap pada keempat kawan-kawannya. Hampir berbareng mereka menggeram dan menyerang lawan-lawan mereka dengan garangnya. Senjata mereka berputaran dengan dahsyatnya. Sejenak kemudian arena pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Tetapi kini jumlah para pengawal menjadi lebih banyak. Apalagi mereka adalah pengawal-pengawal pilihan yang masih segar, sehingga karena itu, maka merekapun segera berhasil menguasai keadaan. Keempat orang itulah yang kini dalam keadaan terdesak bagaimanapun juga mereka berusaha.

Tetapi ternyata bahwa ikatan diantara mereka agak berbeda dari ikatan kesatuan para pengawal. Orang-orang itu lebih mementingkan keselamatan diri mereka sendiri dari pada kesetia kawanan. Dengan demikian, ketika mereka merasa bahwa mereka sudah tidak akan dapat bertahan lagi, maka mulailah mereka berpikir untuk menyelamatkan diri.

Namun demikian, mereka sama sekali tidak saling menghiraukan yang satu dari yang lain. Didalam keadaan yang sulit, mereka harus dapat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Bahkan kalau perlu, salah seorang dari mereka dapat dikorbankan oleh kawan-kawan mereka sendiri. Sejenak kemudian, maka usaha untuk menyelamatkan diri itupun sudah mulai mereka lakukan. Salah seorang dari keempat orang yang sedang bertempur itu, dengan serta merta telah memacu kudanya menembus semak-semak dan hilang didalam rimbunnya dedaunan.

Hal serupa itu sama sekali memang tidak terduga-duga. Karena itu, pengawal yang sedang menghadapinya justru tertegun sejenak. Namun mereka tidak ingin kehilangan orang itu, sehingga ketika mereka menyadari keadaan maka dua orang dari para pengawai itu telah berusaha mengejarnya. Yang lain, yang masih bertempur diarena itupun ternyata berusaha juga untuk dapat menyelamatkan diri. Namun ketika salah seorang dari mereka sudah mendahului, para pengawal itupun menjadi semakin hati-hati.

Malanglah nasib salah seorang dari orang-orang yang tidak dikenal itu. Ketika ia mencoba melarikan dirinya, maka sebuah ujung pedang telah menggores lehernya. Meskipun demikian, ia masih tetap bertahan diatas punggung kudanya untuk beberapa saat. Tetapi akhirnya iapun terlempar dari punggung kudanya yang berlari seperti angin.

Yang tinggal kemudian adalah dua orang dari antara mereka. Keduanya masih berkelahi mati-matian. Tetapi merekapun sedang berusaha mendapat kesempatan untuk lari. Namun kesempatan itu benar-benar telah menjadi semakin sempit, karena para pengawal sudah mengetahui, bahwa tiba-tiba saja mereka dapat meninggalkan gelanggang.

Namun ternyata kedua orang inipun sama sekali tidak ingin menyerah. Mereka telah berjuang dengan segenap tenaga yang ada padanya. Bahkan ketika hampir seluruh tubuh mereka telah dibasahi oleh keringat dan darah, mereka masih juga belum menyerah.

Wanakerti yang lemah, sama sekali tidak dapat lagi ikut didalam pertempuran itu. Kudanya berdiri menepi, sedang Wanakerti dengan susah payah mencoba untuk meloncat turun. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya yang serasa menjadi terlampau berat mendekati seorang kawannya yang masih terbaring ditanah. Darah masih saja mengalir dari luka-lukanya, terutama luka dipundaknya. Dengan kain pengawas itu sendiri yang disobeknya, maka Wanakerti berusaha untuk menyumbat arus darah kawannya itu. Meskipun tidak sempurna, namun usahanya agaknya dapat menolong juga.

Wanakerti terkejut ketika ia mendengar jerit yang melengking dari arena. Ia masih melihat salah seorang dari kedua lawan para pengawal itu menggeliat diatas punggung kudanya. kemudian terlempar jatuh pula diatas tanah. Tanpa dikehendaki seekor kuda dari para pengawal yang berlari-larian itu telah menginjak dadanya, sehingga kemudian orang itu tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya Sebuah luka telah menganga pula dilambungnya.

Namun pekik kesakitan itu telah dapat dimanfaatkan oleh kawannya yang tinggal seorang. Dengan sigapnya ia memacu kudanya menembus diantara dua orang lawannya yang sedang berpaling karena mendengar teriakan itu. Kuda itu langsung menyusup masuk kedalam lebatnya batang-batang perdu disebelah jalur jalan setapak.

“Tangkap hidup-hidup” teriak pemimpin pengawal itu.

Beberapa orang segera mengejarnya menyusup pula diantara semak-semak yang rimbun. Namun agaknya orang itu benar-benar telah menguasai medan. Ia lebih mengenal daerah yang dilaluinya, sehingga dengan cepatnya, orang itu telah meninggalkan pengejar-pengejarnya semakin jauh.

Para pengawal masih berusaha mengikuti jejak kuda itu. Tetapi semakin lama menjadi semakin sulit. Daun-daun yang kuning, yang tertimbun diantara batang-batang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu agak mempersulit pengenalan mereka atas jejak kaki kuda yang diikutinya.

Ketika mereka sampai pada semak-semak berduri dan batang-batang menjalar yang berjuntaian dari pepohonan yang besar, maka jejak yang diikutinya seakan-akan telah hilang begitu saja.

Sejenak para pengawal itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, dilihatnya dedaunan yang menjadi semakin lebat. Kalau mereka maju terus, mereka akan memasuki daerah hutan yang semakin rapat.

“Apakah kita akan maju terus?” bertanya salah seorang dari mereka.

Yang lain tidak segera menjawab. Dibelakang mereka adalah hutan perdu dan batang-batang ilalang yang liar. Tetapi dihadapan mereka adalah hutan kayu yang mulai rapat.

Para pengawal itu mulai ragu-ragu, apakah mereka akan berhasil mengejar orang yang lari itu. Jejak yang mereka selusuripun menjadi semakin samar-samar karena dedaunan yang tebal disekitar mereka.

“Sukar sekali untuk menemukan mereka dihutan yang mulai rapat itu” desis pemimpin pengawal

Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sekilas mereka memandang pada sulur-sulur kayu yang berjuntai dari pepohonan, bergulat dengan batang-batang yang merambat.

“Memang sulit” desis seorang pengawal.

“Kita terpaksa melepaskannya” berkata pemimpin pengawal itu “tetapi ada juga baiknya. Ia akan dapat mengatakan kepada kawan-kawannya yang belum kita ketahui, bahwa pengawal Tanah Mataram sudah siap menghadapi mereka.”

Para pengawal mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dengan demikian mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan suatu kekuatan yang belum dapat mereka perhitungkan.

“Kita akan menghadap Raden Sutawijaya” berkata pemimpin pengawal itu.

“Kita menunggu kawan-kawan kita yang mengejar orang yang pertama kali meninggalkan gelanggang” sahut yang lain.

“Ya, kita akan kembali. Wanakerti menunggu.”

Para pengawal itupun kemudian kembali ke bekas arena perkelahian yang menjadi bosah-basah. Batang-batang ilalang seolah-olah telah digilas oleh roda-roda bergigi silang menyilang.

Ketika para pengawal itu sampai, mereka melihat Kawan-kawannyapun telah berada ditempat itu pula menunggu Wanakerti yang meskipun sudah sangat lemah, tetapi masih juga berusaha menolong kawannya yang sedang pingsan.

“Ia masih belum sadar” desis Wanakerti.

Para pengawal itupun segera berjongkok disampingnya. Mereka dengan berdebar memandang wajah pengawas yang pucat dan mata yang terpejam. Tiba-tiba pemimpin pengawal itu bergeser maju. Dirabanya dada pengawas itu, dan bahkan kemudian dilekatkannya telinganya. Dengan wajah yang tegang, tangannya meraba mata pengawas itu dan dibukanya sedikit.

“Kenapa?” bertanya Wanakerti.

Pemimpin pengawas itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara yang berat ia berkata “Ia sudah meninggal.”

‘“He” Wanakerti mengerutkan keningnya “ia sudah meninggal?”

Pemimpin pengawas itu mengangguk.

Kepala Ki Wanakertipun segera tertunduk dalam-dalam merenungi wajah kawannya itu. Terasa tenggorokannya seakan-akan telah tersumbat. Ia telah berjuang bersamanya selama perjalanan yang meskipun tidak terlampau jauh, tetapi cukup berat itu.

“Ia sudah mendahului kita didalam tugasnya.”

“Ya. Ia sudah gugur didalam perjuangan menegakkan Tanah Mataram yang sedang tumbuh ini.”

Para pengawal yang lain pun telah menundukkan kepala mereka pula. Salah seorang kawan mereka telah gugur menghadapi rahasia yang masih samar-samar yang tersembunyi dibelakang Alas Mentaok. Rahasia tentang hantu-hantu itu masih belum terpecahkan, dan kini mereka menghadapi rahasia baru yang tidak kalah rumitnya. Namun setiap pengawal itu mulai menghubung-hubungkan didalam hatinya, apakah tidak ada sangkut pautnya kedua rahasia yang besar yang tersimpan didalam lebatnya hutan Mentaok itu.

Sejenak kemudian maka pemimpin pengawal itupun berkata “Marilah, kita bawa tubuhnya kepusat Tanah Mataram.”

“Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya.”

“Tetapi sebelumnya kita akan mengubur dulu mayat-mayat itu.” pemimpin pengawal itu melanjutkan.

Maka merekapun kemudian mengubur mayat-mayat yang terbunuh didalam peperangan. Karena mereka tidak dapat menggali tanah cukup dalam, maka diatas kuburan itu telah ditimbun batu-batu besar, agar tidak diganggu oleh binatang buas yang berkeliaran terutama dimalam hari.

Demikianlah maka para pengawal itupun kemudian kembali kepusat Tanah Mataram. Mereka hanya dapat menyelamatkan Wanakerti, sedang kawannya tidak lagi dapat menghindarkan diri, berkorban untuk daerah yang baru dibuka itu.

“Aku kehilangan kedua kawanku” desis Wanakerti disepanjang jalan.

“siapa?”

“Yang seorang lagi, yang bermata tajam, yang seharusnya menyampaikan berita tentang daerah kami itu Kami sudah berusaha memancing para pengejamya Tetapi merekapun telah membagi diri. Ketika mereka kembali mereka mengatakan bahwa kawanku itupun sudah terbunuh.”

Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Katanya “Tidak. Kawanmu sama sekali tidak terbunuh. Orang itulah yang memberitahukan kepada kami, bahwa kau telah terjepit diperjalanan karena kau memancing orang-orang yang mengejarmu, dan memberi kesempatan kepada kawanmu itu untuk berpacu terus.”

“Jadi orang itu masih hidup?”’

“Ya, dan ia sudah menyampaikan pesan yang dibawanya kepada Raden Sutawijaya, karena ia dapat langsung menghadapnya.”

Ki wanakerti menarik nafas dalam-dalam. ”Sukurlah. Tuhan telah melindungi perjalanannya. Kalau ia gagal, aku kira, akupun telah mati terbunuh pula didalam perkelahian ini. Tetapi, meskipun aku selamat, seorang kawanku telah meninggal.”

Tidak seorangpun yang menyahut. Namun kuda mereka masih berlari dijalan setapak, kembali kepusat Tanah Mataram.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya sudah menghadap ayahanda Ki Gede Pemanahan, dan menyampaikan segala sesuatu yang didengarnya dari pengawas bermata tajam itu.

Ki Gede Pemanahan mendengarkan keterangan puteranya dengan saksama. Sekali wajahnya menegang dan sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jadi siapakah menurut pendapatmu orang bercambuk itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

Sutawijaya tersenyum sambil menjawab “Tidak ada duanya didunia. Orang itu pasti Kiai Gringsing dani murid-muridnya.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya. Pasti orang Itu. Apakah kau ingin menemuinya?”

“Bagaimana dengan ayahanda?”

“Sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Gringsing itu. Tetapi ketika aku datang ke Sangkal Putung disaat-saat pasukan terakhir dari Tohpati menyerah, agaknya orang itu sengaja menghindarkan dirinya, meskipun ia tidak menghindar darimu. Aku tidak tahu, kenapa ia berbuat begitu. Karena itu, sekarang sebaiknya kau sajalah yang datang ketempat itu. Lihatlah, apakah dugaanmu benar bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing bersama kedua muridnya. Dan sekaligus kau akan mendapat gambaran dari keadaan yang sebenarnya didaerah itu. Apa yang terjadi akan dapat menjadi bahan pertimbangan yang dapat ditrapkan didaerah-daerah lain yang mengalami gangguan yang serupa. Agaknya hampir disegala sudut tanah ini telah dicengkam oleh ketakutan. Mereka menganggap bahwa hantu-hantu di Alas Mentaok telah keluar seluruhnya, bersama seluruh pasukan yang ada untuk mengganggu manusia yang dianggap merebut kerajaannya.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, kau akan mendapat kesempatan untuk mempelajari keadaan itu. Aku yakin bahwa yang terjadi disana adalah sebagian dari seluruh rencana yang besar dari pihak yang belum kita ketahui maksudnya. Namun ternyata mereka telah mempergunakan kekerasan sehingga jatuh korban manusia.”

“Apakah ayahanda berpendapat bahwa hantu-hantu itu merupakan sebagian dari rencana itu.”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya. Aku menganggap demikian.”

Sutawijaya masih mengangguk-angguk. Akhirnya ia berkata “Baiklah ayah. Aku akan pergi secepatnya. Besok aku akan membawa sepasukan kecil pengawal. Mudah-mudahan aku berhasil.”

“Baiklah. Bawalah pengawal yang datang menghadapmu.”

“Baik. ayah. Aku akan tinggal didaerah itu untuk beberapa saat.”

“Tetapi kau harus taertindak cepat. Kau jangan terlampau lama terikat pada suatu daerah. Tanah Mataram yang semakin luas ini memerlukan perhatianmu. Bukan saja segi ketenteraman, tetapi juga perkembangan tata perdagangan dan perniagaan, hubungan dengan daerah-daerah disekitar Tanah Mataram dan bermacam-macam masalah lainnya.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa tugas yang dihadapinya adalah berat sekali. Tetapi itu sudah disadarinya sejak ia berkeputusan untuk membuka Alas Menta ok menjadi suatu daerah yang akan dijadikannya sebuah negeri yang ramai.

“Alas Mentaok harus dapat menyusul daerah lain yang lebih dahulu telah dibuka” berkata Sutawijaya didalam hatinya yang keras seperti batu hitam “tidak saja dapat mengimbangi daerah disekitarnya, Tanah-tanah Perdikan tetapi harus dapat mengimbangi daerah Kadipaten yang telah jauh mendahului.”

Tanpa disadarinya, Sutawijaya sebenarnya telah berpacu didalam hatinya dengan seorang Perwira pasukan Pajang, kawan ayahnya yang telah lebih dahulu menerima daerah Pati yang sudah menjadi ramai.

“Kenapa ayahanda Sultan Pajang sama sekali tidak berkeberatan melihat perkembangan daerah-daerah lain, tetapi tiba-tiba saja telah mencurigai aku dan ayahanda Pemanahan

Pertanyaan Itu selalu mengganggunya. Namun Sutawijaya menyadari, karena ayahanda Ki Gede Pemanahan telah meninggalkan istana Pajang sebelum Tanah ini dengan resmi diserahkan.

Disore harinya Sutawijaya telah menyiapkan sebuah pasukan kecil yang akan pergi kebagian Utara dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini. Ia berkenan juga mengunjungi Wanakerti yang masih sangat lemah karena luka-lukanya.

“Kau tinggal saja disini Ki Wanakerti” berkata Sutawijaya “biarlah seorang kawanmu itulah yang akan mengantarkan kami.”

“Tidak tuan. Aku mohon agar aku diperkenankan untuk ikut serta kembali kedaerah itu. Besok aku pasti sudah sehat kembali. Aku sudah mendapat obat yang baik disini bagi luka-lukaku.”

“Tetapi kau masih sangat lemah.”

“Aku sudah sehat. Apabila tuan memperkenankan, aku mohon agar aku diperbolehkan ikut serta. Bukankah kita hanya akan sekedar duduk diatas punggung kuda?”

“Kau telah mengalami sendiri. Bagaimana kalau terjadi sesuatu diperjalanan?”

“Aku akan menyingkir. Aku merasa bahwa aku memang belum cukup kuat untuk bertempur. Tetapi aku juga tidak akan mengganggu. Aku akan mencoba menjaga diriku sendiri.”

Sutawijaya tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata “Baiklah. Jika kau berkeras hati untuk pergi bersama kami besok. Tetapi sekarang berusahalah beristirahat sebaik-baiknya, supaya besok kau menjadi semakin segar.”

“Terima kasih tuan. Aku merasa bahwa luka-lukaku kini sudah sembuh sama sekali.”

“Jangan terseret oleh arus perasaan lihatlah kenyataanmu sekarang. Kau masih memerlukan perawatan. Karena itu beristirahatlah.”

“Ya tuan. Aku akan beristirahat sebaik-baiknya.”

Dalam pada itu, sebuah kelompok kecil para pengawas telah disiapkan. Besok pagi-pagi benar mereka akan berangkat dipimpin langsung oleh Raden Sutawijaya. Dan agaknya Raden Sutawijayapun telah mengambil keputusan bahwa kedua pengawas yang datang itu besok akan pergi bersama-sama dengan mereka, meskipun Wanakerti masih sangat lemah. Namun mereka terpaksa melepaskan seorang kawan mereka yang ternyata telah gugur diperjalanan.

Sementara itu, dipinggir hutan yang sedang dibuka, Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah kembali pula sampai kebarak. Mereka melihat pemimpin pengawas yang tertuka itu telah duduk diserambi barak, bersandar dinding bersama beberapa orang laki-laki. Agaknya mereka sedang memperbincangkan keadaan mereka dan usaha mereka untuk membuka hutan yang penuh dengan rahasia itu.

Ketika pemimpin pengawas itu melihat Kiai Gringsing beserta kedua muridnya, iapun menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis ”Ternyata mereka selamat.”

“Kenapa?” bertanya salah seorang yang duduk disampingnya.

Pemimpin pengawas itu memandanginya dengan heran. Bahkan kemudian iapun bertanya “Kenapa kau bertanya begitu? Apakah kau tidak mengetahui keadaan terakhir dari daerah ini.”

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya. Aku mengerti. Tetapi bukankah orang-orang itu termasuk orang-orang yang aneh? Bukan saja keberaniannya, tetapi ternyata mereka dapat mengatasi kesulitan yang timbul karena sikap-sikap yang keras dan bahkan senjata-senjata racun yang mengerikan itu.

Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk pula “Ya” katanya, “sebenarnya kita tidak perlu mencemaskannya. Namun demikian, kita tidak tahu pasti dan sama sekali tidak mempunyai gambaran, siapa dan berapa jumlah kekuatan yang tersembunyi dibalik rimbunnya dedaunan Hutan Mentaok. Itulah yang membuat kita menjadi ragu-ragu.”

Setiap laki-laki yang mendengar keterangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka, sementara Kiai Gringsing telah berdiri ditangga barak.

“Apakah keadaanmu sudah baik?” bertanya Kiai Gringsing kepada pemimpin pengawas itu.

“Ya, keadaanku sudah berangsur baik.”

“Sukurlah” katanya kemudian sambil naik keserambi, sementara kedua anaknya pergi membersihkan diri ke perigi.

“Apakah kau tidak menjumpai sesuatu?” bertanya pemimpin pengawas itu.

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya “Tidak. Tidak ada apa-apa. Kami bekerja penuh seperti biasa.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk. “Sukurlah” katanya kemudian.

Kiai Gringsingpun kemudian berdiri pula menyusul kedua muridnya membersihkan dirinya, sementara senja yang merah telah menyelubungi daerah yang masih saja dibayangi oleh kecemasan karena rahasia yang teisimpan di Alas Mentaok masih belum terpecahkan.

Setelah ketiganya selesai. maka merekapun segera kembali kebarak. Mereka menunggu pemimpin pengawas itu terpisah dari orang-orang lain, supaya laporannya tentang suara burung kedasih tidak menambah kegelisahan mereka.

“Jadi kalian mendengar suara burung itu terus-menerus?” bertanya pemimpin pengawas itu.

“Ya” jawab Kiai Gringsing.

“Apakah menurut dugaanmu suara itu sama sekali bukan suara burung yang sebenarnya?”

Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. “Memang bukan. Aku yakin bahwa suara itu adalah suatu isyarat saja.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Kalau begitu kalian memang harus sangat berhati-hati. Kita memang menghadapi suatu keadaan yang sulit. Kita disini mengharap bahwa para pengawas berhasil mencapai pusat Tanah Mataram sehingga mereka dapat menyampaikan laporan itu kepada para pemimpin tertinggi di Mataram.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia juga merasa cemas. Diperjalanan banyak hal yang dapat terjadi. Tetapi apabila mereka selamat, mereka pasti sudah sampai di Mataram dan laporan itu pasti sudah didengar oleh Ki Gede Pemanahan atau puteranya Sutawijaya.

“Kita harus menunggu sampai besok” berkata pemimpin pengawas itu” kalau mereka sampai pada alamatnya, besok pasti akan datang beberapa orang baru.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun didalam kepalanya herkecamuk berbagai masalah yang dapat terjadi malam nanti. Meskipun mereka hanya harus menunggu semalam, tetapi yang semalam itu akan dapat terjadi banyak persoalan. Apalagi apabila para pengawas itu tidak berhasil mencapai Mataram. Maka keadaan pasti akan menjadi lebih sulit lagi.

Demikianlah ketika malam turun, Kiai Gringsing mulai membagi tugas dengan murid-muridnya. Kedua muridnya harus pergi kebarak yang lain untuk memberikan sedikit ketenangan kepada orang-orang yang tinggal disana. Sementara Kiai Gringsing bersama pemimpin pengawas yang terluka itu tinggal dibarak itu.

“Kalau terjadi sesuatu yang tidak dapat kalian atasi sendiri, kalian harus memberikan tanda,” berkata gurunya “disana ada sebuah kentongan kecil. Pergunakanlah apabila perlu. Akupun akan berbuat serupa. Apabila perlu. aku akan memanggil kalian pula kemari.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanyapun kemudian turun kehalaman yang sudah disaput oleh kehitaman malam. Namun langkah mereka tertegun ketika mereka melihat sebuah bayangan yang berjalan perlahan-lahan menuju kepada keduanya. Begitu langsung dan tanpa ragu-ragu sama sekali.

Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar. Tanpa mereka sadari, maka merekapun kemudian bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kiai Gringsingpun kemudian melihat bayangan yang mendatang itu pula. Selangkah ia maju sampai kebibir tangga. Dengan tajamnya ia memandang bayangan yang semakin lama menjadi semakin dekat.

Sejenak mereka menjadi curiga. Tidak ada seorangpun diantara orang-orang yang tinggal dibarak itu yang berani berjalan setenang itu didalam malam yang sudah mulai gelap selain Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Tetapi bayangan itu agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan disekitarnya.

Semakin dekat, Kiai Gringsing menjadi semakin jelas. siapakah yang datang itu. Bahkan kemudian iapun turun kehalaman sambil berdesis kepada kedua muridnya “Adi Sumangkar.”

“Paman Sumangkar” hampir berbareng kedua muridnya mengulang.

“Ya.”

Ketika cahaya lampu diserambi barak menyambar wajah bayangan itu, maka semakin jelaslah, bahwa orang itu memang benar Sumangkar.

Sambil tersenyum ia melangkah semakin dekat. Tetapi sebelum ia menyapa Kiai Gringsing, Kiai Gringsing sudah menyongsongnya sambil berbisik “Namaku Truna Podang.”

“O” desis Sumangkar sambil mengguncang lengan Kiai Gringsing “apakah kakang selamat selama ini.”

Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya “seperti yang kau lihat. Kedua anak-anakkupun selamat pula semuanya. Kau?”

Sumangkar tertawa. Ia segera menangkap, bahwa kali ini Kiai Gringsing berperan sebagai seorang yang bernama Truna Podang. Sedang kedua murid-muridnya adalah anak-anak Truna Podang.

Sumangkarpun kemudian diajaknya kebarak. Agung Sedayu dan Swandaru bergantian menyampaikan salam keselamatan.

“Tetapi” berkata Kiai Gringsing “kedatanganmu membuat aku berdebar-debar.

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya “Aku memang sudah menyangka, bahwa kedatanganku akan membuat kalian disini berdebar-debar. Tetapi aku tidak membawa kabar apa-apa yang mendebarkan itu.”

Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk pula. Kemudian diperkenalkannya Sumangkar kepada pemimpin pengawas yang terluka itu. sehingga Sumangkar menjadi heran karenanya. Tanpa sesadarnya ia bertanya “Kenapa luka itu?”

“Kita akan saling bercerita nanti. Sekarang, apakah kau akan mandi dahulu dan makan?”

Sumangkar mengangguk sambil menjawab “Baiklah. Dimanakah letak perigi?”

“Tunjukkanlah pamanmu Sedayu” berkata Kiai Gringsing.

Sumangkarpun kemudian diantar oleh Agung Sedayu pergi kesumur untuk membersihkan dirinya setelah menempuh perjalanan yang jauh.

Setelah makan secukupnya, maka mulailah mereka bercerita tentang keadaan masing-masing. Tetapi karena Sumangkar tidak tahu benar keadaan Kiai Gringsing saat itu, maka ia hampir tidak pernah menyebutkan kepentingannya datang ketempat itu. Yang paling banyak bercerita adalah justru Kiai Gringsing sendiri.

“Luka-luka pada punggung pemimpin pengawas itu cukup berat” berkata Kiai Gringsing “untunglah bahwa pada pengawas yang lain cukup cepat mengatasi persoalannya.”

“Bukan para pengawas” sahut pemimpin pengawas itu “tetapi Ki Truna Podang dan kedua anak-anaknyalah yang mengatasi kesulitan saat itu.”

Sumangkar hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

“Nah” berkata Kiai Gringsing kemudian “barangkali kau masih terlampau lelah. Kau memerlukan istirahat.”

“Ya, aku lelah sekali.”

“Tetapi beruntunglah bahwa kau dapat sampai ketempat ini tanpa gangguan apapun diperjalananmu.”

“Aku kira memang begitu. Aku sama sekali tidak menjumpai gangguan apapun juga.”

Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan Sumangkar untuk beristirahat. Karena kehadiran Sumangkar, maka Kiai Gringsing terpaksa merubah pembagian kerjanya. Ki Sumangkar dipersilahkan tidur dibarak yang lain bersama Agung Sedayu, sedang Swandaru tinggal bersama gurunya, meskipun sebenarnya ia ingin tidur bersama Agung Sedayu.

“Kau dapat mengatakan keadaan tempat ini kepada pamanmu.” bisik Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu “barang kali kau akan mendapat kesempatan. Dan kau dapat bertanya kepadanya, kenapa ia datang ketempat ini.”

“Baik guru” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.

Keduanyapun kemudian pergi kebarak yang lain, yang dihuni oleh perempuan-perempuan dan laki-laki yang bertugas didapur yang pada umumnya adalah laki-laki tua dan anak-anak.

Disepanjang jalur jalan setapak yang menghubungkan kedua barak itu, Agung Sedayu sudah mulai menceritakan keadaan daerah yang baru dibuka itu. Kemudian diceritakannya pula, kematian-kematian yang terjadi, bahkan mayat-mayat yang telah hilang.

“Untunglah gurumu seorang dukun yang luar biasa” desis Sumangkar.

“Ya, untung sajalah.”

“Dan apakah bahaya itu sampai saat ini masih mengancam?”

“Justru kita berada didalam keadaan yang menegangkan. Kami berbesar hati bahwa tiba-tiba saja paman datang, seakan-akan paman sudah mengetahui kesulitan kami.

“Aku sama sekali tidak tahu kesulitan itu. Aku justru datang atas permintaan. Ki Demang Sangkal Putung untuk menjemput anaknya dan kau sama sekali. Terutama Nyai Demang di Sangkal Putung sudah sangat rindu kepada anaknya yang gemuk itu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang Swandaru telah meninggalkan ibunya untuk waktu yang terlampau lama. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, maka sudah sewajarnya kalau ibunya terlampau merindukannya, apalagi selama itu ia tidak tahu dengan pasti kabar beritanya.

“Dan paman dapat langsung menemukan kami dibarak itu?” bertanya.Agung Sedayu kemudian.

“Tidak. Aku menjelajahi beberapa bagian dan hutan yang sedang dibuka itu. Aku sudah sampai digardu pengawas yang kosong. Kemudian menyusur sepanjang jalan yang agaknya setiap hari dilalui oleh para pekerja yang sedang membuka hutan ini Maka akupun sampai pula dibarak ini Adalah kebetulan sekali, aku menjumpai kalian. Kalau tidak, aku pasti akan bertanya tentang seorang tua yang bernama Kiai Gringsing. dan kedua muridnya yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni.”

Agung Sedayu tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata “Guru memang mempergunakan nama lain. Tetapi itu sudah hampir tidak berarti lagi, karena kami disini sudah melibatkan diri dalam pergulatan yang semakin lama agaknya akan menjadi semakin seru

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Apakah tidak ada petugas-petugas keamanan yang melindungi daerah ini?”

“Ada, bukankah paman sudah bertemu dengan pemimpin pengawas yang terluka itu?”

“Ya, tetapi dimana para pengawas yang lain sekarang?”

“Mereka pergi kepusat pemerintahan di Mataram.”

“Yang lain?”

Semuanya. Mereka hanya tiga orang. Perjalanan ke pusat pemerintahan Tanah Mataram yang baru dibuka itupun agaknya cukup berbahaya.”

Sumangkar mengangguk-angguk pula. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Dilihatnya cahaya lampu diserambi barak yang satu lagi. Barak yang sebagian dipergunakan sebagai dapur untuk menyiapkan rangsum orang-orang yang sedang membuka hutan itu.

Ketika mereka memasuki barak itu, beberapa orang menjadi bertanya-tanya didalam hati. Yang seorang telah mereka kenal, anak orang tua yang bernama Truna Podang itu Tetapi yang seorang agaknya orang baru didaerah itu.

Agung Sedayu yang melihat pertanyaan membayang disetiap wajah tanpa diminta telah menjelaskan “Orang ini adalah pamanku. Paman Sumangkar. Paman datang untuk menjemput kami karena ibu kami sudah terlampau merindukan anak-anaknya.”

Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ada diantara mereka, seorang laki-laki yang rambutnya sudah berwarna dua bertanya “Lalu bagaimana dengan kami disini? Apakah kami dilepaskan tanpa perlindungan sama sekali.”

“Para pengawas yang pergi ke Mataram itu akan segera datang membawa sepasukan pengawal”

“Tetapi apakah mereka dapat melawan hantu-hantu?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Mereka masih saja selalu dibayangi oleh hantu-hantu yang mengerikan.

“Jangan takut” sahut Agung Sedayu kemudian “para pengawal itu pasti akan membawa satu dua orang yang dapat berhubungan langsung dengan hantu-hantu. Apakah kalian menyangsikan, bahwa di Mataram tersimpan pusaka-pusaka yang dapat menguasai hantu-hantu”

“Kalau memang demikian” jawab orang itu “kenapa orang-orang yang berkuasa di Mataram tidak berbuat apa-apa sebelumnya?”

“Ah, tentu mereka sudah banyak berbuat. Mereka selalu merondai daerah hutan-hutan yang wingit. Tetapi mereka tidak pernah menjumpai hantu-hantu itu sehingga mereka menyangka, bahwa hantu-hantu itu sudah tidak mengganggu lagi.

“Tetapi apa yang terjadi disini? Hantu-hantu itu masih tetap menguasai kami.”

“Itulah yang dilaporkan oleh para pengawas diantaranya, selain orang-orang yang telah mengganggu ketenteraman kami disini.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi nampaknya ia masih belum puas. Meskipun demikian ia sudah tidak bertanya lagi.

Agung Sedayu dan Sumangkarpun kemudian duduk diserambi barak itu, dibawah cahaya lampu yang bergoyang disentuh angin malam, Diluar suara cengkerik bersahut-sahutan dibarengi suara ilalang.

Bukan hanya sekedar suara binatang-binatang kecil disela-sela rerumputan. Namun kemudian lama-lama mereka mendengar suara harimau yang mengaum ditengah-tengah hutan yang lebat. Tetapi suara harimau sama sekali tidak menarik perhatian lagi bagi orang-orang didalam barak. Mereka sama sekali tidak takut melawan harimau. Mereka beramai-ramai akan dapat membunuhnya dengan tombak-tombak panjang.

Tetapi ketika mereka mendengar suara burung kedasih yang memelas, maka orang-orang didalam barak itu mulai mengerutkan lehernya kebawah selimut-selimut mereka.

Seorang perempuan dengan hati yang berdebar-debar masih mendengar Agung Sedayu dan Sumangkar bercakap-cakap di serambi. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak berani berbuat apa-apa. Apalagi karena suara burung kedasih itu rasa-rasanya menjadi semakin dekat.

Agung Sedayupim kemudian mengerutkan keningnya. Suara burung itu dikenalnya sejak lama. Karena itu, maka iapun berbisik “Paman, agaknya malam inipun kita akan mendapat tamu selain paman.”

“Siapa?”

“Hantu-hantu itu. Barangkali paman ingin mendengar suaranya?”

“Ya.”

“Marilah kita masuk. Kalau mereka melihat kita tetap disini, mungkin mereka akan merubah niatnya. Kita akan berbaring diantara mereka.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku memang ingin melihat hantu itu.”

“Untuk sementara kita hanya dapat mendengar.” Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengerti jawaban Agung Sedayu itu. Agaknya Agung Sedayu dapat menangkap perasaan Ki Sumangkar, sehingga karena itu ia berkata “Hantu-hantu itu tidak mendekati barak-barak ini. Mereka hanya lewat sambil memperdengarkan bunyi-bunyi yang aneh”

“Kitalah yang mendekat.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berpaling memandangi orang-orang lain yang ada didalam barak itu. Katanya “Mereka menjadi sangat ketakutan. Apabila terjadi sesuatu, mereka akan langsung menyalahkan kita. Sementara ini kita sedang berusaha mengambil hati mereka, terutama dibarak yang satu itu. Kalau Kita berhasil membuka hati mereka meskipun perlahan-lahan, pekerjaan kita akan lebih mudah lagi Para pengawas agaknya sudah mulai terbuka hati dan tanggapannya terhadap hantu-hantu itu. Tetapi para penghuni yang lain agaknya belum.”

Ki Sumangkar mengerutkan keningnya pula. Perlahan-lahan ia bergumam seperti ditujukan kepada diri sendiri. “Lalu kapan tugas ini selesai? Semuanya harus dikerjakan lambat laun dan telaten. Padahal Ki Demang Sangkal Putung suami isteri sudah begitu rindunya kepada Swandaru dan betapa rindunya pula kepada suatu peristiwa yang akan menyangkut hidup keluarga mereka.”

“Apa itu paman?” bertanya Agung Sedayu.

“Kalau aku boleh berterus terang, Ki Demang suami isteri sudah sangat ingin menimang seorang cucu.”

“Ah” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sedang wajahnya tiba-tiba menjadi kemerah-merahan.

“Ki Demang sudah mendengar berita yang aku sampaikan kepadanya, bahwa anak laki-lakinya sudah mengikat diri dengan seorang gadis Menoreh, Pandan Wangi. Sedang masalahmu ngger, Ki Demang suami isteri sudah mengetahui jauh sebelumnya.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalau masalah pinggiran hutan ini mengikat kalian disini, lalu kapan kalian akan kembali ke Sangkal Putung? Apakah kalian juga akan menunggu daerah ini menjadi kota dari berkembang menjadi suatu negeri?”

Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya “Aku tidak tahu paman. Terserah kepada guru kelak. Apakah kita akan segera kembali, atau masih ada masalah yang kita tunggu disini.”

“Sebenarnya aku ingin berbicara dengan Kiai Gringsing. Tetapi malam ini aku ditaruhnya disini, sehingga aku tidak dapat berbincang. Agaknya aku tahu maksudnya. Ia sedang memusatkan perhatiannya kepada daerah ini, sehingga ia tidak mau terganggu.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Namun tanpa sesadarnya kepalanya masih juga terangguk-angguk.

Sejenak keduanyapun kemudian saling berdiam diri. Angin malam yang sejuk mengusap kening mereka. Namun Agung Sedayu kemudian mengangkat kepalanya ketika ia raendengar suara gemerincing dikejauhan.

“Nah, mereka datang” desis Agung Sedayu. Marilah kita masuk dan berbaring didalam.”

Sumangkar mengerutkan Keningnya. Katanya ”Kalau begitu caramu, sampai kapan kau akan menemukannya?”

“Guru telah membuat rencana. Guru tidak ingin menangkap hantu-hantu kecil itu. Guru ingin mengetahui sampai dimanakah permainan mereka itu akan berlangsung dan siapakah sebenarnya yang berdiri dipaling belakang.”

Sumangkar mengangguk-angguk. Iapun kemudian dengan tergesa-gesa masuk kedalam barak. Seperti biasanya, pintu barak itu tidak pernah tertutup rapat. Tetapi keduanya tidak akan dapat mengintainya dari balik pintu, karena justru diluar malam menjadi semakin gelap.

Suara gemerincing itu semakin lama menjadi semakin dekat. Kemudian beberapa kali mengelilingi barak itu. Namun suara gemerincing itu tidak juga. segera pergi seperti biasanya. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kali ini hantu-hantu itu agak menyimpang dari kebiasaannya. Namun demikian beberapa saat kemudian hantu-hantu itupun segera menjauh dan suaranya semakin hilang kearah barak yang sebuah lagi.

Tiba-tiba saja timbullah niat Agung Sedayu untuk mengikutinya. Ia tidak ingin mengganggu hantu-hantu itu sebelum mendapat perintah gurunya. Ia hanya ingin melihat dan mengikuti, apa saja yang telah mereka lakukan malam ini.

Ketika ia mengatakan niatnya kepada Ki Sumangkar, orang tua itupun menyetujuinya. Katanya “Aku juga ingin melihat, barangkali akan sangat menarik bagiku dan barangkali akan dapat menjadi oleh-oleh nanti kalau kita kembali ke Sangkal Putung.”

Keduanyapun kemudian beringsut dari tempatnya. Orang-orang didalam barak itu masih tetap berkerudung selimut-selimut mereka, sehingga dengan demikian mereka tidak menghiraukan lagi kedua orang itu. Mereka tidak melihat keduanya beringsut dan keluar dari barak. Ketika mereka mendengar derit pintu. tidak seorangpun yang berani mengangkat kepalanya, melihat. siapakah yang sudah menggerakkan daun pintu itu.

Agung Sedayu dan Sumangkarpun kemudian berlari sambil merunduk melintasi halaman yang tidak seluas halaman barak yang satu. Sambil berlindung dibalik semak-semak merekapun berusaha untuk mengikuti suara gemerincing yang semakin lama menjadi semakin jauh.

“Mereka menuju kebarak yang lain” desis Agung Sedayu.

Sumangkar tidak menyahut. Ia hanya menganggukkan kepalanya saja.

Semakin lama merakapun menjadi semakin dekat dengan suara gemerincing itu. Tetapi mereka masih belum dapat melihat bentuknya sama sekali.

Karena itu merekapun menjadi semakin maju, sehingga mereka menjadi semakin mendekati barak yang ditunggui oleh Kiai Gringsing dan swandaru.

Dalam pada itu, orang-orang dibarak itupun telah menjadi ketakutan. Meskipun mereka mencoba untuk menguasai nalar mereka, tetapi mereka benar-benar telah diterkam oleh ketakutan. Mereka tidak dapat melepaskan tekanan perasaan yang selama ini telah mencengkam jantung mereka, sehingga bagaimanapun juga. suara gemerincing itu masih membuat mereka gemetar. Bahkan pemimpin pengawas yang terluka itu masih juga menjadi berdebar-debar. Ia sudah tidak akan takut menghadapi apapun yang dapat dilihatnya. Mati bukan lagi suatu yang menghantuinya dan bahkan ia sudah mulai menilai hantu-hantu itu dengan pertimbangan yang lain. Meskipun demikian, ketakutan dan kecemasan yang menerkamnya untuk waktu yang lama masih juga tetap membekas. Betapapun juga ia menimbang dengan akal, namun suara gemerincing itu masih tetap mendebarkan jantungnya.

“Mereka sudah datang guru” desis Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Kita tidak memerlukan hantu-hantu kecil seperti itu. Mungkin jerangkong, tetekan, tuyul dan sebangsanya. Mereka tidak lebih dari orang-orang yang tinggi kekar, yang terbunuh didapur itu atau setinggi-tingginya orang yang kekurus-kurusan itu.

“Apakah kita tidak memerlukan mereka? Mereka pasti akan dapat memberikan beberapa keterangan tentang gerakan yang telah mereka lakukan selama ini.”

“Tidak banyak yang mereka ketahui.”

“Tetapi itu akan lebih baik daripada kita tidak mendapat keterangan apapun juga guru.”

“Swandaru” berkata gurunya “mungkin kita mendapat beberapa penjelasan dari mereka. Tetapi akibatnya, tingkat yang lebih tinggi dari mereka akan segera mempersiapkan diri. Mungkin mereka dapat menghapus hal-hal yang diketahul oleh hantu-hantu kecil itu karena memang tidak terlampau banyak.”

“Jadi bagaimana maksud guru?”

“Aku ingin mengalami, bahwa beberapa , orang dari mereka, termasuk orang-orang pentingnya datang mengunjungi kita ditempat kerja kita itu.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara suara gemerincing itupun menjadi semakin dekat. Namun karena itu, orang-orang disekitar Swandaru dan gurunya itupun, sudah menyelimuti diri mereka rapat-rapat. Bahkan pemimpin pengawas yang duduk disudut ruangan menjadi pucat pula, meskipun ia masih tetap bertahan ditempatnya.

Kiai Gringsing dan Swandarupun kemudian saling berdiam diri. Mereka memperhatikan suara yang semakin lama menjadi semakin dekat itu. Dan kemudian seperti biasanya, pada jarak tertentu suara itu mengitari barak beberapa kali.

Namun kali ini, suara gemerincing itu tidak juga segera pergi menjauh. Suara itu justru menjadi semakin mendekat.

Swandaru memandang wajah Kiai Gringsing yang menegang. Tetapi Kiai Gringsing masih tetap duduk ditempatnya.

“Aneh guru” desis swandaru “agak lain dari kebiasaan mereka.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun kelainan itu acaknya telah menambah ketakutan disetiap dada. Orang-orang didalam barak itu menjadi semakin kecil melingkarkan dirinya. Selimut mereka menjadi semakin rapat menutun seluruh tubuh.

Orang yang berbaring disamping. Swandaru, dan masih juga mendengar Swandaru berdesis, mengumpat didalam hatinya “O, anak gila. Apa saja yang mereka percakapkan. Benar juga pendapat orang yang kekurus-kurusan itu. Kekerasan hatinya dapat menumbuhkan bencana.”

Tetapi Swandaru masih juga berdesis, dan orang-orang yang berbaring tidak jauh daripadanya masih mendengar, meskipun mereka tidak mengerti isinya. Dan Swandaru memang masih berkata “Mereka justru mendekat guru.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian berkata “Kita menghadapi persoalan yang khusus. Karena itu bersiaplah.! Mungkin kita memerlukan penyelesaian yang khusus kali ini.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia tersenyum sambil meraba seniatanya.

“Aku ingin menangkap tuyul guru.”

“Ssst” gurunya berdesis.

Keduanya menjadi tegang. Apalagi pengawas yang masih duduk ditempatnya. Lukanya rasa-rasanya menjadi semakin parah dan wajahnyapun bertambah pucat. Apalagi orang-orang yang sudah menjadi semakin ketakutan. yang berbaring semakin rapat bersembunyi dibawah selimut.

Dengan demikian maka suasana didalam barak itu benar-benar dibayangi oleh ketakutan yang luar biasa. Nafas-nafas menjadi sesak, dan darah serasa berhenti diurat nadi, karena jantung telah berhenti berdenyut. Sejenak kemudian suara gemerincing itu menjadi semakin dekat. Agaknya beberapa langkah saja dari dinding barak. Tetapi justru dinding belakang. Dan akhirnya suara gemerincing itu tidak beringsut lagi. Meskipun suaranya menurun, tetapi setiap orang didalam barak itu sadar, bahwa hantu-hantu itu masih tetap berada dibelakang barak mereka.

Sejenak kemudian, jantung mereka serasa terlepas dari tangkainya ketika dari belakang barak itu terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh, seperti suara seorang kakek yang sedang kegirangan. Atau didalam pendengaran orang-orang yang ketakutan itu, seperti suara hantu yang mendapat sesosok mayat baru. Mengerikan sekali. Dan suara itu ternyata terdengar berkepanjangan tidak henti-hentinya.

Tidak ada seorangpun yeng berani bergerak. Bahkan rasa-rasanya untuk menarik nafaspun tidak ada lagi kesempatan. Udara didalam barak itu menjadi terasa aneh, seperti udara tanah pekuburan.

Pemimpin pengawas yang terluka itu masih duduk ditempatnya. Namun seakan-akan ia sudah membeku oleh suara yang mengerikan itu. Beberapa kali ia mencoba menghalaukan cengkaman perasaan itu dengan nalar dan pertimbangan-pertimbangan sehatnya. Namun setiap kali ia gagal. Dan tubuhnyapun menjadi gemetar pula karenanya.

Kiai Gringsing menjadi tegang sejenak. Hantu-hantu itu dengan sengaja mendekati dan mengganggu barak itu. Bagi Kiai Gringsing itu adalah suatu pertanda, bahwa yang datang bukanlah hantu-hantu kecil seperti yang dikatakannya.

Mereka pasti sudah mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Hantu-hantu itu pasti sudah tahu bahwa dibarak itu ada Agung Sedayu dan Swandaru yang telah berhasil mengalahkan beberapa orang dari antara mereka yang diliputi oleh rahasia itu. Karena itu, apabila mereka dengan sengaja datang kebarak ini, mereka pasti sudah memperhitungkannya.”

“Mereka ternyata mendatangi barak ini” desis Kiai Gringsing.

Swandaru menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Hati-hatilah” desis gurunya “kalau mereka berani berbuat demikian, mereka pasti sudah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Bahkan mungkin berdasarkan atas perhitungan mereka karena para pengawas telah menghubungi pusat Tanah Mataram.”

Swandaru masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari kata-kata gurunya. Hantu-hantu itu pasti sudah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Karena itu, ia memang harus berhati-hati.

“Kau sudah menelan sebutir obat siang tadi. Obat itu pasti masih berpengaruh atasmu. Apabila kau tersentuh racun dari hantu-hantu yang barangkali karena putus-asa atau kehabisan akal akan menyerang kita, kau masih dapat bertahan, Demikian juga Agung Sedayu. Kita disini tidak tahu apa saja yang dikerjakannya sekarang.”

Swandaru memandang gurunya sejenak, lalu “Apakah kita akan menunggu mereka, atau kita akan keluar dari barak ini?”

“Kita akan melihat perkembangan keadaan.” Belum lagi Kiai Gringsing diam sama sekali, terdengar suara tertawa itu meninggi. Kemudian melengking mengerikan. Dari sela-sela suara yang masih berkepanjangan itu terdengar suara yang lain “He penghuni barak yang bodoh.”

Ternyata suara itu benar-benar telah mengguncang setiap hati, sehingga beberapa orang hampir menjadi pingsan karenanya. Mereka menjadi semakin ketakutan mendengar suara yang bercampur baur dibelakang barak mereka itu.

“Ada kesalahan yang besar yang telah kalian lakukan.” suara itu masih menggetar diantara suara tertawa yang tidak terputus.

“Aneh guru” Swandaru tiba-tiba berdesis.

“Apa yang aneh?” bertanya gurunya.

“Suara itu, Bagaimana mungkin seseorang dapat berbicara sambil tertawa dengan suara yang melengking-lengking itu?”

“Kau yang aneh?”

“Kenapa aku?”

“Seharusnya kau tidak bertanya demikian. Apakah ada ketentuan dari manapun, bahwa hantu-hantu tidak boleh datang berdua, bertiga atau barangkali berpuluh-puluh yang telah mengepung barak ini?”

“O” Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya pula. “Ya, mereka pasti datang dalam jumlah yang cukup.”

Dalam pada itu suara dari belakang barak itu berkata terus “Karena itu, kami menuntut agar kalian menyesali kesalahan itu.”

Suara itu seakan-akan bergema diseluruh luangan barak yang membujur panjang itu, dan singgah disetiap telinga sehingga orang-orang yang ada didalamnya menjadi semakin ketakutan. Seandainya tubuh mereka disayat pisaupun agaknya tidak akan dapat menitikkan setetes darah yang masih merah.

“Kalian telah membuat beberapa kematian justru orang-orang yang dapat mengerti tentang kami. Justru orang-orang yang paling baik diantara kalian, dan yang bersedia bersama dengan kami. Orang-orang itulah yang selama ini menjadi jembatan diantara kita. Tetapi orang-orang itu justru sudah kalian bunuh” suara itu berhenti sejenak. Dan yang terdengar kemudian bagaikan seekor harimau yang menggeram. Lalu “Sudah tentu kami akan menuntut balas. Mereka adalah orang-orang yang baik, sehingga karena itu nilai mereka bagi kami berbanding satu dengan sepuluh. Seorang dari orang-orang yang baik itu, akan kami tuntut ganti sepuluh orang dari antara kalian.”

Tubuh-tubuh yang terbaring didalam barak itu menjadi semakin gemetar. Tidak seorangpun yang berani bergerak sama sekali. Apalagi setelah mereka mendengar tuntutan hantu-hantu itu. Maka rasa-rasanya nyawa mereka telah berada diubun-ubun. Seorang yang tidak tahan lagi mendengar suara-suara itu ternyata telah jatuh pingsan tanpa ada yang mengetahuinya, karena selimut yang menutup seluruh tubuhnya.

“Ayo” berkata hattu itu “siapakah yang akan mati lebih dahulu saat ini.” suara itu berhenti sejenak seakan-akan memberi kesempatan kepada orang-orang didalam barak itu untuk berpikir. Tetapi kemudian suara itu berkata “Namun demikian, kami masih memberi kesempatan kepada kalian untuk minta maaf kepada kami dengan satu syarat. Menyerahkan orang-orang gila yang ada didalam barak kalian itu kepada kami. Tiga orang ayah beranak itu harus menjadi tumbal apabila kalian menghendaki keselamatan.”

Barak itu menjadi hening. Ketakutan yang sangat telah mencengkam mereka, seperti kesepian yang dipenuhi oleh suasana maut yang telah membayangi setiap perasaan.

Kiai Gringsing dan Swandaru menjadi semakin tegang. Sejenak mereka saling berpandangan. Tanpa berjanji mereka hampir berbareng berpaling kepada pemimpin pengawas yang bersandar disudut.

Orang-orang didalam barak itu kemudian mendengar hantu diluar berteriak dengan suara yang mengguncang jantung. “Ayo. Kalau kalian tidak bersedia menyerahkan tiga orang itu, kalian akan mengalami nasib yang jelek. Sedikitnya duapuluh orang akan mati dengan cara yang sangat mengerikan buat manusia, tetapi menyenangkan buat hantu-hantu.”

Tidak ada seorangpun yang berani memberikan tanggapan.

“Kenapa kalian diam saja?” teriak hantu-hantu itu “apakah kalian tidak rela? Kalau begitu, bersiaplah. Dua puluh orang akan mati. O tidak, duapuluh lima. Aku memerlukan duapuluh lima orang. Mereka akan menjadi budak-budak didunia kami. Dunia halus dengan wadag-wadag mereka supaya kami dapat menyakiti setiap saat.”

Mengerikan sekali. Mengerikan sekali. Dan hantu-hantu itu berkata selanjutnya “Aku memberi waktu kalian untuk berpikir sejenak.”

Suasana yang aneh telah mencekam barak itu. Beberapa orang tiba-tiba beringsut ditempatnya. Perlahan-lahan mereka menarik selimut mereka, dan dari sela-sela jari tangan, mereka mencoba mencari Kiai Gringsing dan anak-anaknya. Yang mereka lihat kemudian adalah Truna Podang itu duduk hanya dengan satu anaknya karena anaknya yang lain pergi kebarak sebelah bersama seorang tamunya.

Dalam ketegangan itu ternyata telah terjadi pergolakan disetiap dada. Ketakutan yang dahsyat telah mendorong mereka untuk berpikir, apakah mereka akan menyerahkan orang tua bersama kedua anak-anaknya itu.

Tanpa dikehendaki, dua orang yang menjengukkan kepalanya saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak segera berbuat apa-apa.

Sementara itu, pemimpin pengawas yang terluka masih juga bersandar dinding. Ia mencoba dengan segenap kemampuan akalnya untuk menentang permintaan hantu-hantu itu. Perlahan-lahan ia berhasil menguasai perasaannya, sehingga akhirnya ia berketetapan bahwa permintaan itu adalah permintaan yang sangat gila. Hantu yang manapun tidak akan sempat memberikan pilihan semacam itu. Seandainya mereka mempunyai kekuasaan, maka mereka akan dapat berbuat sekehendak hati mereka tanpa pertimbangan-pertimbangan yang sangat memuakkan itu.

Meskipun demikian, bayangan keragu-raguan masih mengabut dikepalanya, sehingga pemimpin pengawas itu masih belum berbuat apa-apa.

Ketegangan yang memuncak itupun akhirnya telah mengusik setiap orang yang berbaring didalam barak itu. Setiap orang menginginkan agar dirinya sendiri diselamatkan, meskipun karena itu, orang lain harus dikorbankan. Didalam pilihan yang demikian seseorang akan berpijak pada sifat manusiawi. Bertahan diri dengan cara apapun juga Hanya orang-orang yang merniliki kelebihan hakiki sajalah yang sanggup menyingkirkan sifat itu, dan bersedia berkorban untuk kepentingan orang lain. Perasaan yang demikian, adalah perasaan kasih yang tertinggi yang dimiliki oleh seseorang untuk sesamanya, meskipun kadang-kadang seseorang tidak tepat meletakkan dasar pertimbangan, sehingga dengan pahit terjadi pengorbanan tulus yang sia-sia.

Demikianlah yang sedang bergolak disetiap hati orang-orang didalam barak itu. Mereka lebih senang mengorbankan tiga orang seperti yang diminta oleh hantu-hantu itu. Bukan karena mereka memperhitungkan bahwa tiga itu jauh lebih sedikit dari duapuluh apalagi duapuluh lima, tetapi karena yang tiga orang itu bukanlah diri mereka sendiri. Yang tiga itu adalah orang-orang yang sudah ditunjuk oleh hantu-hantu. Bahkan seandainya korban akan dituntut jauh lebih banyak dari itu, jauh lebih banyak dari duapuluh lima, tetapi yang lebih dari duapuluh lima itu bukan diri mereka sendiri, merekapun pasti akan memilih jumlah itu

Namun suasana didalam barak itu masih tetap sepi meskipun terasa dibakar oleh keterangan yang memuncak. Semua orang telah memandang Kiai Gringsing yang masih tetap duduk ditempatnya dari sela-sela selimut yang mereka singkapkan.

Tiba-tiba mereka terkejut karena suara diluar menyentak “He, apakah kalian sudah mendapat pilihan?” Tidak ada jawaban sama sekali.

“Aku masih memberi kesempatan kepada kalian. Yang harus kalian lakukan didalam pilihan ini adalah, apabila kalian memilih mengorbankan tiga orang itu, segera lakukanlah. Bunuhlah mereka. atau setidak-tidaknya usirlah mereka keluar. Kami akan menangkap dan membantu kalian membunuh mereka di dalam kegelapan. Kami tidak senang berada didalam cahaya lampu yang silau, meskipun apabila perlu kami dapat memadamkannya. Tetapi kalau kalian tidak melakukannya, maka kalian yang akan menjadi korban.”

“Duapuluh lima orang! Mungkin kau, mungkin kau, kau, kau, kau atau anak-anakmu atau saudara-saudaramu atau kalian semuanya sekeluarga.”

Dada orang-orang didalam barak itu mulai bergolak. Perasaan mereka yang kabur menjadi semakin gelap, sehingga tiba-tiba salah seorang yang ketakutan tanpa dapat dikekang berteriak “Kita bunuh mereka. Kita bunuh mereka.”

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Tidak mungkin melawan orang-orang bodoh yang tidak berdaya itu. Meskipun ia dapat berbuat apa saja, tetapi ia tidak akan dapat mengorbankan mereka didalam kebodohannya itu. Sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing justru menjadi bimbang sejenak.

Namun dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing, Swandaru dan pemimpin pengawas itu dicengkam oleh keragu-raguan, terdengarlah diluar suara lain yang besar berkumandang diudara “He hantu-hantu kerdil, apakah kerja kalian disitu? Kalian hanya dapat menakut-nakuti tikus-tikus kecil itu. Ketahuilah, aku adalah Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi,”

Suara itu ternyata telah menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. Bahkan Kiai Gringsing dan Swandarupun menjadi tegang sejenak. Ketika mereka berpaling kepada pengawas yang duduk dengan lemahnya, mereka melihat pemimpin pengawas itu beringsut dari tempatnya.

Belum lagi seseorang sempat berbuat apapun, suara itu terdengar lagi “He hantu-hantu yang tidak tahu adat. Aku sudah mengadakan pembicaraan dengan rajamu. Sekarang kalian berbuat menurut kehendakmu sendiri.”

Malam serasa menjadi bertambah sepi dan tegang. Dan suara itu masih berkata “Adalah perbuatan yang terkutuk sekali apabila kau menuntut ganti orang-orang yang berpihak kepadamu itu sejumlah duapuluh lima orang, atau tiga orang ayah beranak itu. Aku adalah Kiai Dadang Wesi. Aku sudah berjanji untuk melindungi mereka dari ancaman siapapun juga. Termasuk ancaman orang-orang, eh, hantu-hantu gila seperti kalian. Sebab dengan perbuatan kalian itu, kalian telah menodai nama dan kuasa hantu-hantu yang sebenarnya. Sebagai utusan dari Gunung Merapi, aku memperingatkan, agar kalian melepaskan tuntutan kalian itu.”

Orang-orang didalam barak itupun menjadi kian membeku. Orang yang sudah terlanjur berteriak untuk membunuh ketiga ayah beranak itupun seakan-akan telah mematung ditempatnya. Hatinya benar-benar telah terguncang. Sama sekali tidak disangkanya, bahwa diluar baraknya ada jenis hantu yang lain, yang juga pernah didengarnya. Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi

“Apakah kalian tidak ingin mengurungkan tuntutan kalian itu?” masih terdengar suara dari hantu yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.

Namun tidak ada jawaban sama sekali. Suara tertawa yang melengking-lengking itupun telah lenyap seperti disapu angin malam yang bertiup dari Selatan.

Orang-orang didalam barak itu bagaikan sabut yang diguncang ombak dilautan yang luas. Perasaan mereka benar-benar telah terombang-ambing tanpa dapat mereka kendalikan lagi. Beberapa orang diantara mereka sudah tidak dapat mempergunakan nalar, sehingga meskipun mereka masih tetap sadar, tetapi mereka tidak lebih dari sesosok tubuh yang kosong sama sekali.

Mereka yang masih sadar, tiba-tiba saja mendengar desis dan bisik yang lembut dibelakang gardu. Tetapi mereka tidak dapat menangkap sama sekali apa yang sedang diperbincangkan. Tetapi terbayang didalam angan-angan mereka, beberapa sosok hantu sedang berdiri termangu-mangu, menghadapi jenis hantu yang lain, yang mempunyai kuasa yang sama dengan mereka.

Perlahan-lahan pemimpin pengawas yang terluka itu beringsut mendekati Kiai Gringsing yang duduk tegang disamping Swandaru. Tetapi ketika ia sudah berada beberapa jengkal dari orang tua itu, pemimpin pengawas itu masih juga tetap terdiam.

Sejenak kemudian malam kembali disayat oleh suara yang dalam dan berat “Apa katamu he hantu-hantu kecil Jerangkong, tetekan, tuyul, culi dan wedon-wedon cengeng. Ayo, aku memberi kalian waktu sejenak. Kalau kalian tidak pergi dari tempat itu, aku. Kiai Dandang Wesi akan bertindak. Aku tahu, bahwa pemimpin-pemimpinmu tidak akan senang atas tindakanku ini, tetapi pemimpin-pemimpinmu yang tertinggi pasti akan berterima kasih kepadaku.”

“Persetan” tiba-tiba terdengar suara dari belakang barak. Tetapi sebelum dilanjutkannya, dikejauhan terdengar suara menyahut “Ya. kalian memang setan-setan.”

“Diam” suara dibelakang gardu itu berteriak “kami bukan saja terdiri dari hantu-hantu kecil.”

“Ya, aku memang melihat diantara kalian ada genderuwo. Tetapi sudah tentu genderuwo yang bengal. Yang tidak tunduk kepada atasannya”.

“Sudahlah, jangan banyak bicara. Tinggalkan tempat itu, atau aku akan membakar kalian dengan api neraka yang paling panas. Kalian tahu, bahwa aku dapat menceburkan kau ke kawah Gunung Merapi?”

“Jangan membual. Aku tetap pada pendirianku. Aku akan membunuh tidak saja duapuluh lima orang tetapi semua orang didalam barak ini.”

“Kau mengundang bencana bagi seluruh Alas Mentaok. Itu berarti perang dengan Gunung Merapi dan pegunungan disekitarnya, Merbabu dan pegunungan Somawana, Gajah Mungkur sampai ke Hutan Kedung Pati. Dan ini sama sekali tidak dikehendaki oleh raja kalian.”

Sejenak tidak ada jawaban. Kembali terdengar suara berbisik dibelakang gardu. Seakan-akan hantu-hantu itu sedang merundingkan apa yang sebaiknya dilakukannya.

“Ingat” teriak suara dikejauhan “kalian berdiri sendiri. Alas Tambak Baya, Ereng-ereng Kali Praga dan Daerah Gunung Sepikul pun tidak sependapat dengan cara kalian. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak; namun bersama-sama dengan kami mereka akan merupakan lawan yang berat bagi Alas Mentaok. Apalagi dendam yang membara dihati mereka tidak akan dapat dipadamkan untuk waktu yang berabad-abad karena tindakan kalian selama ini. Mereka selalu terdesak dan kalian hinakan sebagai hantu-hantu yang tidak mempunyai kekuasaan halus seperti kalian.”

Ketegangan rasa-rasanya telah menghanguskan setiap jantung dari orang-orang yang tinggal didalam barak itu. Mereka tidak tahu, apakah mereka berpengharapan atau menjadi semakin ketakutan mendengar percakapan hantu-hantu itu. Hanya Kiai Gringsing dan Swandaru sajalah yang semakin lama justru menjadi semakin tenang. Bahkan Swandaru menjadi tersenyum ketika ia mendengar suara hantu dikejauhan menjadi serak, bahkan kemudian terbatuk-batuk.

“Agaknya kita sudah harus mulai” desis Kiai Gringsing.

“Apakah sebenarnya yang telah terjadi ?” bertanya pemimpin pengawas itu.

“Kalau hantu-hantu itu benar-benar akan bertempur, kita tidak akan dapat tetap tinggal diam disini.”

Pemimpin pengawas itu memandang Kiai Gringsing dengan heran. Ia tidak segera mengerti maksud orang yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu.

“Ki Sanak” berkata Kiai Gringsing itu kemudian “agaknya hantu-hantu itu sudah sampai pada puncak kesabarannya. Mereka memerlukan aku dan kedua anak-anakku. Tetapi seperti yang dijanjikan maka Kiai Dandang Wesi benar-benar akan melindungi kita disini. Dan aku percaya bahwa kuasa Kiai Dandang Wesi itu tidak kalah dari hantu-hantu kerdil itu.

Pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya. Sedang Kiai Gringsing berkata terus, kini kepada seisi barak “Nah, sekarang siapakah diantara kalian yang masih ingin membunuh aku” suaranya justru menjadi lantang dan teras, seakan-akan dengan sengaja diperdengarkan kepada hantu-hantu itu “disini selain hantu-hantu kerdil itu ada juga hantu-hantu lain yang lebih dekat dari manusia, yaitu Kiai Dandang Wesi. Bukan sekedar wedon cengeng atau jerangkong kurus, tetapi Kiai Dandang Wesi adalah Perayangan. Jenis hantu tertinggi yang menguasai daerah Gunung Merapi.”

“Omong kosong” tiba-tiba terdengar suara dibelakang barak. Ternyata hantu-hantu yang mendengar suara Kiai Gringsing itu telah membantah langsung pernyataan orang tua itu “aku tetap pada pendirianku. Membunuh kalian atau tiga orang ayah beranak.”

“Bagus” berkata Kiai Gringsing “aku serahkan kepada isi barak ini. Membunuh aku atau kalian terbunuh. Tetapi siapa yang membunuh aku, maka Kiai Dandang Wesi akan membalas sampai tujuh keturunan. Kalian akan di tumpas kelor dengan bayi-bayi kalian.”

Swandaru yang berada disamping Kiai Gringsing hampir tidak dapat menahan tertawanya, ia merasa seakan-akan melihat suatu pertunjukan lelucon yang sangat menarik, sehingga gurunya tidak lagi sempat meneliti kata-katanya. Bagaimana mungkin orang dapat menumpas sampai tujuh turunan. Kalau satu turunan sudah ditumpas, maka tidak akan ada keturunan kedua apalagi sampai ketujuh. Namun demikian Swandaru masih tetap berusaha untuk tidak merusak suasana. Ia tidak mau dengan tiba-tiba saja menghentakkan ketegangan yang masih mencengkam, supaya perasaan orang-orang didalam barak itu tidak tersentak-sentak.

Tetapi Swandaru tahu benar, apa yang sedang terjadi diluar barak. Ia tidak dapat dikelabuhi, bahwa suara dikejauhan yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi adalah suara Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu yang pernah mendengar nama Kiai Dandang Wesi dari gurunya dan mendengar ceritanya, segera mengambil alih persoalan. Agung Sedayu sadar, bahwa karena gurunya berada didalam barak itu, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk menghadapi hantu-hantu itu dengan cara yang serupa.

“Aku tidak tahu apa yang kau lakukan” bisik Sumangkar yang berjongkok disamping Agung Sedayu dibalik rimbunnya dedaunan.

Agung Sedayu meraba lehernya yang sakit karena ia harus berteriak-teriak dengan nada suara yang rendah dan dalam. Sambll menelan ludahnya ia memandang Sumangkar yang keheran-heranan.

“Kita sedang bermain hantu-hantuan desis Agung Sedayu kemudian” agaknya guru sudah dapat menangkap apa yang aku lakukan.”

“Tetapi bagaimana dengan hantu-hantu itu ?”

“Seperti yang kita lihat. Mereka adalah manusia-manusia biasa. Hanya ada dua diantara mereka yang memakai pakaian seperti hantu. Dua orang itulah yang apabila terpaksa harus menampakkan dirinya. Tetapi yang lain, yang bersembunyi dikegelapan itu sama sekali tidak menyerupai hantu.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat lima atau enam orang mengendap-endap dibelakang barak, di tambah dengan dua sosok hantu yang tinggi dan berkepala jerangkong.

“Permainan mereka hampir habis” desis Agung Sedayu.

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, apalagi yang akan mereka lakukan” gumam Agung Sedayu.

Agung Sedayu dan Sumangkarpun merayap semakin dekat. Tiba-tiba saja Agung Sedayu memungut sebuah batu. Ia melihat hantu-hantu itu mulai melempari barak dengan batu-batu pula.

“Aku akan membalas” desis Agung Sedayu. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan membidik yang tinggi Agung Sedayupun kemudian dengan sekuat tenaga melempar hantu yang berkepala tengkorak itu. Demikian kerasnya, sehingga gemeletuk batu yang mengenai tengkorak itu telah mengejutkan sekelompok orang-orang itu. Apalagi, hantu yang berkepala tengkorak itu menjadi sedemikian terkejutnya, sehingga tanpa sesadarnya ia mengaduh.

“Ssst” desis kawannya. Namun batu yang lain telah mengenai punggung salah seorang diantaranya.

“Nah” teriak Agung Sedayu “marilah kita berperang dengan batu. Kalian jangan melempari barak itu. Akulah Kiai Dandang Wesi.”

Suasana menjadi hening dan kian menegang. Orang-orang didalam barak sudah hampir menjadi pingsan seluruhnya, kecuali Kiai Gringsing, Swandaru dan pemimpin pengawas itu, ketika beberapa butir batu berjatuhan menembus atap daun ilalang apalagi ketika mereka mendengar hantu-hantu itu berkata “Sebentar lagi aku akan menjatuhkan batu-batu yang membara. Barak ini akan terbakar dan kalian akan terpanggang didalamnya.

Tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara dikejauhan, suara hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Dan suara dikejauhan itu berkumandang lagi “Kalau kalian menjatuhkan batu-batu yang membara, aku akan melimpahkan hujan yang deras. Batu-batumu tidak akan berguna sama sekali.”

“Aku akan mendatangkan angin prahara Barak ini akan hancur bersama isinya.”

Aku akan menciptakan tirai yang tidak kasat mata Angin prahara itu tidak akan menyentuh selembar ilalangpun diatap barak itu.”

Suasana yang tegang menjadi semakin tegang. Bahkan Swandaru yang ada didalam barak itupun mulai mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa seterusnya ia tidak akan dapat untuk tetap berdiam diri duduk sambil mendengarkan hantu-hantu itu berbantah.

Dan dengan dada yang bergejolak ia mendengar hantu-hantu dibelakang barak itu berteriak “Omong kosong. Kalau kau benar-benar hantu dari Gunung Merapi dan mempunyai kuasa untuk menciptakan hujan dan angin, apalagi tirai yang tidak kasat mata, ayo, segera tunjukkanlah kepada kami.”

“Kami hanya akan melakukan kalau kalian mendahului. Kami bukan sejenis tuyul yang suka menyombongkan diri tanpa alasan. Nah, mulailah dengan batu-batu yang membara. Lihat, langit sudah mulai mendung.”

“Sst” desis Sumangkar perlahan-lahan “bintang bertaburan dilangit.”

“O” Agung Sedayu menengadahkan kepalanya. Tetapi sejenak tidak ada suara yang menyahut.

Namun demikian Agung Sedayu harus mulai menyiapkan dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan lain. Hantu-hantu itu agaknya sudah mulai jemu berdebat. Mereka harus berbuat sesuatu.

“Paman Sumangkar” bisik Agung Sedayu “maaf kalau kedatangan paman disini akan disambut dengan permainan yang barangkali tidak menyenangkan bagi paman. Tetapi apaboleh buat. Agaknya kami sudah tidak akan dapat menunda lagi. Siang tadi beberapa pengawas telah pergi kepusat pemerintahan di Tanah Mataram. Agaknya hal itu sangat berpengaruh pada mereka. Mungkin mereka menemukan bahan-bahan atau persoalan-persoalan yang memaksa mereka untuk segera bertindak malam ini.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia menjawab, dilihatnya bayangan hantu-hantu didalam keremangan malam itu mulai bergerak-gerak memencar.

“Mereka sudah mulai.” desis Agung Sedayu. Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya “Jadi apa yang akan kia lakukan sekarang?”

“Menghadapi mereka?” bisik Agung Sedayu.

“Bertempur”

Agung Sedayu memandang Sumangkar sejenak. Ia sadar, bahwa orang tua itu masih lelah karena perjalanannya. Seharusnya ia beristirahat dan tidur nyenyak. Tetapi kini ia mau tidak mau harus melibatkan diri didalam perkelahian yang mungkin akan terjadi.

“Maaf paman. Apakah paman masih sangat lelah?” akhirnya Agung Sedayu bertanya.

“Pertanyaanmu aneh ngger. Tetapi baiklah aku menjawab. Aku tidak lelah.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berbisik pula “Mereka akan mengepung kami disini.”

“Ya. Hantu yang berkepala tengkorak Itu sudah melepas kepalanya. Mungkin ia merasa terganggu apabila ia harus berkelahi sambil memegang tangkai kepalanya itu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, Kini ia benar-benar harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Seperti pesan gurunya bahwa ia harus berhati-hati kalau hantu-hantu itu datang lagi, berarti mereka sudah siap menghadapi orang-orang didalam barak yang sudah mereka ketahui kekuatannya. Yang telah dapat mengalahkan orang-orangnya yang ada diantara orang-orang yang tinggal didalam barak itu, bahkan yang ada diantara para pengawas. Dengan demikian, mereka pasti yakin akan dapat mengatasi kekuatan yang ada dibarak ini.

Ternyata dugaan Agung Sedayu itu benar. Hantu-hantu itu telah merayap memencar dan berusaha mengepung Agung Sedayu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Dari ternyata pula bahwa jumlah mereka lebih banyak dari yang disangka. Didalam gelapnya malam Agung Sedayu dari Sumangkar tidak dapat menghitung dengan pasti, berapa jumlah mereka. Namun ketika bayangan itu mulai memisah diri dan bergeser dari tempat mereka bersembunyi, tampaklah bahwa jumlah mereka cukup banyak.

“Berapa orang paman?” bertanya Agung Sedayu.

Sumangkar menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berbisik “Lebih dari sepuluh.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dibarak ini kini ada empat orang yang akan dapat bekerja bersama, sedang pemimpin pengawas yang terluka itu pasti masih belum dapat berbuat banyak.

Tanpa berjanji maka Sumangkar dan Agung Sedayupun merenggang dua langkah. Mereka menghadap kearah yang berlawanan untuk dapat mengawasi seluruh keadaan disekitar mereka.

Namun malam menjadi sangat gelap. Sejenak mereka tidak melihat sesuatu selain hitamnya malam dan bintang-bintang dilangit. Namun lambat laun mereka melihat dari daunan yang bergerak-gerak beberapa langkah dihadapan mereka. Telinga mereka yang tajampun mulai mendengar desir ranting-ranting yang tersibak.

“Mereka sudah mulai.” bisik Sumangkar yang mundur setapak mendekati Agung Sedayu “apakah yang harus aku lakukan? Menangkap atau mengusir mereka?”

“Kita ingin menangkap hantu paman. Satu atau dua diantara mereka. Kita ingin mendapat keterangan.”

“Bagaimana dengan gurumu dan Swandaru?”

“Kalau mereka tahu apa yang terjadi, mereka pasti tidak akan tinggal diam.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah” desisnya.

Keduanyapun kemudian saling berdiam diri. Tetapi medan disekitar mereka tidak menguntungkan. Pepohonan perdu agak terlampau rimbun, sehingga pasti akan mengganggu. Namun mereka masih tetap menunggu ditempatnya.

Mereka mengangkat wajah ketika mereka mendengar salah seorang dari hantu-hantu itu berkata “Menyerahlah. Kalian tidak akan dapat lari lagi.”

Sejenak Sumangkar dan Agung Sedayu saling berpandangan. Namun mereka tidak akan segera mengatakan sesuatu, apalagi menjawab ancaman hantu-hantu yang agaknya telah mengepung mereka.

“Menyerahlah” terdengar lagi suara itu.

Tetapi Agung Sedayu dan Sumangkar masih tetap berdiam diri. Bahkan mereka mencoba menahan nafas mereka agar tidak segera dapat dikenal tempat mereka bersembunyi.

Dalam pada itu, didalam barak Kiai Gringsing dan Swandaru menjadi berdebar-debar menanggapi perkembangan keadaan. Dari kata-kata yang didengarnya, mereka dapat membayangkan, apakah yang kini sedang berkecamuk dibelakang barak itu. Agaknya hantu-hantu itu sudah mulai mengancam dan bahkan siap untuk menyerang.

Kiai Gringsing yang tidak mengetahui imbangan kekuatan mereka menjadi cemas. Karena itu, maka iapun kemudian berkata “Aku akan melihat apa yang sudah terjadi.”

“Tetapi……” pengawas itu menjadi ragu-ragu.

“Aku dan anakku ini tidak akan dapat tinggal diam. Kalau mereka ingin menelan kami sebagai ganti isi barak ini, kami tidak akan berkeberatan. Tetapi aku yakin, bahwa Kiai Dandang Wesi itu benar-benar akan melindungi kami disini.”

Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban. Ia masih sempat melihat beberapa wajah yang tersembul dari selimut mereka. Tetapi wajah-wajah itu adalah wajah-wajah yang pucat.

Orang-orang didalam barak itu sama sekali sudah tidak tahu lagi, bagaimana mereka akan menanggapi keadaan. Namun justru karena itu maka mereka tidak dapat menilai apakah sebenarnya yang sedang terjadi.

“Tinggallah disini” berkata Kiai Gringsing kepada pemimpin pengawas itu.

“Apakah kalian benar-benar akan melihat apa yang akan terjadi diluar?”

“Ya.”

“Hati-hati1ah. Kita sama sekali tidak tabu, apakah yang sesungguhnya terjadi. Aku menjadi sangat bingung dan tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.”

“Tinggallah disini. Kau sedang terluka. Aku kira, aku tidak akan mengalami apapun.”

Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban pemimpin pengawas itu. Iapun segera berdiri dan melangkah keluar pintu, diikuti oleh Swandaru. Namun diserambi mereka berhenti sejenak. Kiai Gringsing mencoba menebarkan pandangan matanya kesekeliling halaman barak itu. Tetapi ia tidak melihat sesuatu Malam semakin lama menjadi semakin gelap.

“Hati-hatilah Swandaru” berkata Kiai Gringsing” kita akan berusaha mendekati mereka dibelakang barak.

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.

Keduanyapun kemudian menuruni tangga serambi. Orang-orang yang berada diserambi itu sama sekali tidak berani menggerakkan tubuhnya sama sekali. Bahkan jarinyapun tidak.

Kiai Gringsing dan Swandarupun kemudian mengendap-endap melekat dinding samping barak itu menuju kebelakang. Disudut mereka berhenti sejenak untuk mendengarkan suara-suara yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka.

Dalam pada itu mereka mendengar suara “Jangan mencoba mengelak lagi. Nasibmu sudah kami tentukan.”

Agung Sedayu dan Sumangkar masih tetap berdiam diri. Tetapi mereka sudah bersiaga sepenuhnya. Apabila hantu-hantu itu mendekat, maka mereka telah siap menyerang mereka dan kemudian bertempur melawan sejumlah hantu-hantu itu.

“Ayo” terdengar hantu-hantu itu berteriak “kenapa kau diam saja. Apakah Kiai Dandang Wesi sudah mati, atau sudah lari kembali ke Gunung Merapi.”

Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu, tiba-tiba dikejauhan, disudut barak yang gelap terdengar suara yang aneh. Semakin lama semakin keras. Akhirnya meledaklah suara tertawa yang berkumandang “He hantu-hantu bodoh. Apakah yang kau tunggui disitu? Aku sudah disini. Akulah Kiai Dandang Wesi.”

Suara itu benar-benar telah mengejutkan hantu-hantu yang sudah mengepung Agung Sedayu dan Sumangkar. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa suara itu telah berpindah kesudut barak. Sehingga karena itu, mereka terdiam sejenak tanpa dapat berbuat sesuatu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ketika Sumangkar memandanginya, ia mengangguk kecil. Agaknya kedua orang itu segera dapat mengetahui, bahwa suara itu pasti suara Kiai Gringsing atau Swandaru yang telah dapat rnembayangkan suasana yang telah terjadi

Suasana dibelakang barak itu menjadi hening sesaat. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang semakin lirih disudut barak itu.

“Apakah kalian benar-benar berusaha melawan Kiai Dandang Wesi?” suara disudut barak itu terdengar lagi. Kali ini melengking-lengking.

Agung Sedayu dan Sumangkarpun kemudian bersembunyi semakin rapat. Mereka berjongkok didalam rimbunnya daun perdu. Dengan susah payah mereka mencoba mengatur jalan pernafasan mereka, supaya hantu-hantu yang mengepung mereka tidak dapat mendengarnya.

“He, apakah kalian sedang berburu jengkerik” suara disudut barak itu terdengar pula” kalau kalian ingin melawan Kiai Dandang Wesi, kemarilah. Mungkin satu dua diantara kalian pernah bertemu dengan Kiai Dandang Wesi.

Sejenak kemudian disudut halaman itu tampaklah bayangan hitam yang tidak berbentuk, melenting-lenting disentuh oleh cahaya obor yang menerobos sela-sela dinding barak. Tetapi kemudian seakan-akan tenggelam kembali kedalam kegelapan disudut.

Suasana dibelakang barak itu terasa menjadi semakin tegang. Selain suara tertawa yang aneh dari Kiai Dandang Wesi, tidak ada seorangpun yang berbicara.

Karena semuanya terdiam, maka sejenak kemudian Kiai Dandang Wesi itu berkata pula. ”Kenapa kalian sekarang diam? Apakah hantu-hantu Alas Mentaok sudah mati, atau sudah lari bersembunyi?”

Masih belum ada jawaban. Namun sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sumangkar mendengar gemerisik didekat mereka. Agaknya beberapa orang sedang merangkak-rangkak saling mendekati.

Keduanya semakin mengerutkan tubuh mereka. Apalagi ketika ternyata beberapa orang berhenti didekat keduanya. Dan Agung Sedayu serta Sumangkar itupun kemudian mendengar beberapa orang saling berbisik “Gila. Apakah kalian percaya bahwa yang datang itu benar-benar hantu Gunung Merapi?”

Tidak ada seorangpun yang menyahut.

“Aku masih ingin membuktikannya. Mungkin orang-orang gila itu telah mencoba memancing kita. Mereka juga tidak percaya kepada hantu-hantu Alas Mentaok, sehingga mereka mempergunakan cara yang sama untuk mengatasi ketakutan orang-orang dibarak itu.”

“Tetapi mereka baru saja berada ditempat ini atau disekitarnya. Tiba-tiba saja ia sudah berada disudut barak selagi kita sedang mengepungnya.”

Sejenak mereka terdiam Namun kemudian seseorang diantara mereka berkata “Marilah kita buktikan. Seandainya benar kita berhadapan dengan hantu Gunung Merapi, kitapun tidak boleh menyerah.”

Maka Agung Sedayu dan Sumagkarpun menjadi semakin berdebar-debar. Ia mendengar hantu-hantu yang sedang berbincang itu bergeser dari tempatnya. Kalau saja tanpa mereka sadari mereka melanggarnya, maka semuanyapun harus segera dimulai.

Tetapi mereka ternyata meninggalkan tempat itu tanpa mengetahui kehadiran Agung Sedayu dan Sumangkar. Mereka telah merayap mendekati sudut barak. Semakin lama semakin menjauhi Agung Sedayu.

“Mereka sudah jauh paman” desis Agung Sedayu.

“Bagaimana dengan kita?”

“Kitapun akan bergeser. Aku harus menyesuaikan diri dengan kegemaran guru bermain-main seperti ini. Kita berpindah tempat.”

Keduanyapun kemudian berpindah tempat. Dengan hati-hati mereka bergeser mendekati barak. Tetapi mereka masih tetap berdiam diri menunggu perkembangan keadaan, sementara Kiai Dandang Wesi pun sudah diam pula.

Sejenak kemudian maka terdengarlah dari kegelapan suara dari salah seorang yang mengaku hantu-hantu Alas Mentaok “Kiai Dandang Wesi. Cobalah tampilkan dirimu Kita akan saling memperkenalkan.diri.”

“Aku sudah mengenal rajamu” sahut suara di sudut barak.

“Tetapi kita belum berkenalan. Mau tidak mau kau harus menunjukkan kepada kami, kenyataan tentang hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi. Kami sudah mengepungmu. Kau tidak akan dapat lari lagi.

Sejenak mereka menunggu. Tetapi mereka tidak mendengar jawaban apapun.

“He, jawablah. Apakah kau menjadi ketakutan?” Masih belum ada jawaban.

“Kiai Dandang Wesi” panggil seseorang dari persembunyiannya “kenapa kau diam saja.”

Tidak terdengar suara apapun.

“He, apakah kau sudah membeku?”

Sekali lagi hantu-hantu itu dikejutkan oleh suara tertawa ditempat lain. Suara itu semakin lama semakin tinggi. Namun tiba-tiba suara itu terputus. Yang terdengar kemudian adalah. Kata-katanya “Aku disini. Aku disini. He, siapakah yang kalian cari disitu?”

 

Series 58

 

AGUNG SEDAYU dan Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan mereka segera dapat menebak, “suara itu suara Swandaru.”

“Anak itu senang sekali bermain-main dengan cara ini,” desis Agung Sedayu.

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka pun mendengar suara melengking tinggi, “Kalian benar-benar telah menjadi pikun. He, apakah hantu-hantu di Alas Mentaok itu sudah pada pikun? Atau memang kalian adalah jadi-jadian dari orang-orang yang sudah pikun dan kehilangan akal? Aku di sini. Akulah Kiai Dandang Wesi yang kalian cari,” suara itu terputus sejenak oleh batuk-batuk kecil. Tetapi agaknya Swandaru memang anak bengal, katanya, “Maaf, aku sedang terbatuk-batuk. Di Gunung Merapi memang sedang berjangkit penyakit batuk khusus bagi hantu-hantu.”

“Gila,” desis Agung Sedayu, “Swandaru tidak dapat bermain dengan baik.”

Ternyata kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan hati orang-orang yang sedang berusaha mengepung Kiai Dandang Wesi. Orang-orang yang menyebut diri mereka hantu-hantu Alas Mentaok. Karena itu salah seorang dari mereka segera berteriak, “Omong kosong! Kalian mencoba mengelabuhi kami. Aku tahu, kalian bukan terdiri dari seseorang. Ternyata kalian berada di beberapa tempat dan bermain hantu-hantuan.”

Swandaru masih juga menjawab, “Bodoh sekali. Aku adalah Kiai Dandang Wesi. Apakah kau tidak percaya.”

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun berkata kepada Sumangkar, “Paman, Swandaru dan Guru telah memencar. Sebaiknya aku pun akan memisahkan diri. Kita sudah berada di dalam keadaan yang cukup jelas. Kita akan bertempur. Tetapi sebaiknya kita mencoba untuk menurunkan gelora keberanian mereka. Kalau mereka menjadi agak bingung maka jantung mereka pun akan susut.”

Sumangkar menganggukkan kepalanya. “Hati-hatilah,” desisnya.

Agung Sedayu pun kemudian merayap menjauhkan diri dari Sumangkar. Permainan mereka akan segera sampai ke puncaknya, dan mereka pun akan segera berbuat sesuatu.

Sementara itu, keadaan di belakang barak itu masih saja hening dan tegang. Orang-orang yang menyebut dirinya hantu-hantu Alas Mentaok itu masih diliputi oleh keragu-raguan. Sementara Swandaru pun tidak lagi berteriak-teriak karena lehernya sudah mulai terasa serak.

Selagi orang-orang yang berusaha mengepung yang menyebut darinya Kiai Dandang Wesi itu masih diliputi oleh keragu-raguan, maka terdengar suara melengking di tempat yang lain pula. Suara Agung Sedayu, “Ayo, tangkaplah aku. Aku sudah berpindah tempat, sedang kalian masih saja membeku. Apakah dengan demikian kalian akan mampu menangkap kami?”

Tidak terdengar jawaban. Tetapi Agung Sedayu melihat bayangan yang bergerak-gerak di dalam gelapnya malam. Sejenak kemudian dari dalam rimbunnya dedaunan Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, dan Sumangkar yang memencar itu melihat sesuatu yang berkilat-kilat tersembul dari dalam gerumbul. Bahkan kemudian tampak benda itu seakan-akan bercahaya di dalam gelapnya malam.

“Permainan apa lagi yang sedang mereka lakukan?” bertanya Kiai Gringsing dan murid-muridnya di dalam hati.

Ketika cahaya itu kemudian hilang, maka mereka pun melihat bayangan yang lain bergerak-gerak mendekati. Seperti yang diduga oleh Sumangkar. Kira-kira sepuluh orang. Agaknya benda yang bercahaya itu merupakan tanda untuk mengumpulkan orang-orang mereka.

Agung Sedayu menjadi semakin ingin tahu, apakah yang akan mereka percakapkan. Karena itu, ia pun kemudian merayap mendekati kelompok yang telah terkumpul itu.

Namun ternyata, bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga gurunya, Swandaru dan Sumangkar ingin tahu apa yang akan mereka perbincangkan.

Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari orang-orang itu berkata, “Nah, kita sudah berhasil. Agaknya bukan kita sajalah yang tertarik oleh tanda itu. Agaknya hantu dari Gunung Merapi itu sudah mendekat pula.”

Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Pasti ada seorang yang berilmu cukup tinggi di antara mereka. Seorang atau bahkan lebih, karena mereka segera menangkap desah nafas orang yang sedang merayap mendekati.

Tetapi sekali lagi Agung Sedayu mengumpat. Ternyata Swandaru yang serak itu tidak berhasil menahan gatal-gatal di lehernya. Ialah agaknya yang telah memungkinkan orang-orang itu mendengar kehadirannya, karena Agung Sedayu pun kemudian berhasil menangkap desah nafasnya. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu mengetahui bahwa adik seperguruannya itu juga sudah ada di dekatnya.

Dengan hati-hati ia bergeser, mendekati. Tetapi ia tidak berani menyentuhnya. Kalau Swandaru itu terkejut, maka ia pasti akan segera berbuat sesuatu dan kehadiran mereka akan segera diketahui lebih pasti lagi.

“Ayo, jangan hanya mengintip di dalam gelap. Kemarilah. Kita akan bersama-sama melepaskan kedok kita,” berkata salah seorang dari mereka.

Tetapi tidak ada seorang pun yang menyahut. Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar yang sudah ada di sekitar tempat itu masih tetap berada di dalam persembunyian mereka, di balik dedaunan yang rimbun.

“Baiklah,” berkata suara itu, “kamilah yang akan mulai. Kami akan berbuat sesuatu. Kalau kalian masih tetap bersembunyi, maka kami akan membakar barak itu. Itu adalah usaha kami yang terakhir untuk memancing kalian keluar dari persembunyian.”

Tetapi masih belum ada jawaban. Kiai Gringsing masih juga berdiam diri di tempatnya.

“Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera melakukannya,” desis salah seorang dari mereka.

Sejenak kemudian orang-orang itu pun berdiri dari persembunyiannya. Namun tanpa disangka-sangka salah seorang dari mereka dengan cepatnya telah meloncat ke arah persembunyian Swandaru. Agaknya suara desah nafasnyalah yang telah didengar oleh orang-orang itu, karena lehernya yang gatal setelah ia berteriak-teriak.

Untunglah bahwa Swandaru telah bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi orang yang menyerangnya itu masih belum tahu pasti di mana ia bersembunyi. Dengan demikian, maka Swandaru masih mendapat kesempatan untuk berguling menjauh dan mengurai senjata yang membelit lambungnya.

Tetapi yang terdengar lebih dahulu adalah ledakan cambuk di arah yang lain. Ternyata Kiai Gringsing berusaha menarik perhatian orang-orang itu, supaya mereka tidak memusatkan serangan mereka kepada Swandaru.

Usaha Kiai Gringsing itu pun berhasil. Beberapa orang segera berloncatan menyerangnya. Namun di saat yang hampir bersamaan, cambuk Agung Sedayu pun telah meledak pula, hampir berbareng dengan cambuk Swandaru sendiri.

Orang-orang yang menyebut diri mereka hantu-hantu Alas Mentaok itu kini merasa bahwa lawan mereka telah genap tiga orang. Tiga orang yang agaknya telah dituntutnya dari orang-orang di dalam barak itu. Tiga orang yang bersenjata cambuk.

“Tangkap mereka hidup-hidup,” terdengar perintah dari salah seorang lawan-lawan Kiai Gringsing itu, “kita memerlukan keterangannya. Siapakah yang telah menempatkannya di dalam barak ini.”

Tidak terdengar jawaban. Tetapi pertempuran telah terjadi di tiga lingkaran. Agung Sedayu melawan beberapa orang, Swandaru juga dan demikian pula Kiai Gringsing.

Sumangkar masih tetap diam di tempatnya. Sejenak ia mengamati perkelahian itu. Apakah di dalam kelompok lawan Kiai Gringsing itu terdapat orang yang harus mendapat perhatian.

Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada empat orang yang tampaknya memimpin kawan-kawannya di dalam olah kanuragan. Satu di antara mereka adalah orang yang terkuat, yang justru menyerang Swandaru yang pertama kali.

Sumangkar menjadi berdebar-debar. Orang itu bukan sekedar orang-orang kebanyakan. Apalagi orang yang kini sedang berusaha untuk segera berhasil menguasai Swandaru yang tampak mengalami kesulitan.

“Siapakah orang ini?” pertanyaan itu mengetuk jantung Sumangkar.

“Tangkap mereka hidup-hidup,” terdengar orang itu memberikan perintah, “atau setidak-tidaknya mereka bertiga jangan sampai terbunuh seandainya kalian harus melukainya.”

Tidak ada jawaban. Tetapi serangan mereka menjadi semakin garang. Mereka tampaknya berusaha sungguh-sungguh untuk dapat menguasai Kiai Gringsing beserta anak-anaknya dengan segera.

Meskipun salah seorang dari orang-orang terkuat ikut serta bertempur melawan Agung Sedayu namun Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan seperti Swandaru. Agung Sedayu yang melawan tiga orang sekaligus, masih sempat meloncat surut, mencari tempat yang agak lapang, sehingga ia dapat mempergunakan senjatanya dengan leluasa. Ujung senjatanya tidak tersangkut ranting-ranting atau pohon-pohon perdu, meskipun ranting-ranting itu pun kemudian seakan-akan ditebas dengan pedang, namun kadang-kadang terasa geraknya terganggu juga.

Kiai Gringsing yang bertempur di lingkaran yang lain, harus melawan lima orang sekaligus. Adalah kebetulan sekali bahwa bukan orang-orang terkuat yang menghadapinya. Sementara Swandaru dengan susah payah mencoba mempertahankan diri dari sergapan empat orang yang bertempur dengan garangnya.

“Swandarulah yang berada di dalam bahaya yang sebenarnya,” berkata Sumangkar di dalam hatinya.

Dan tiba-tiba hatinya dijalari oleh keinginannya untuk menyesuaikan diri dengan cara yang telah dilakukan oleh Kiai Gringsing. Tanpa setahu lawan-lawannya, ia berhasil mengambil kerudung hitam yang justru semula dipergunakan oleh hantu-hantu Alas Mentaok itu. Kemudian dipungutnya pula tengkorak yang sudah mereka tanggalkan dari tangkainya.

Sumangkar pun kemudian mempergunakan kerudung itu. Dengan hati-hati ia mendekati Swandaru yang selalu terdesak surut.

Kiai Gringsing pun menjadi cemas melihat keadaan muridnya yang muda itu. Karena itu maka ia pun segera mengerahkan kemampuannya untuk menerobos kepungan kelima lawan-lawannya yang tidak begitu berat baginya. Meskipun demikian, ia masih memerlukan waktu beberapa saat untuk dapat menembus kepungan mereka. Sedang waktu yang beberapa saat itu ternyata sangat gawat bagi Swandaru. Orang terkuat dari lawan-lawan mereka benar-benar berusaha untuk dapat menangkap Swandaru. Serangannya bagaikan angin ribut yang menghantam dari segala arah.

Sejenak kemudian Swandaru telah menjadi pening. Ia kehilangan keseimbangannya untuk melawan serangan-serangan yang membadai dari segala arah itu. Bahkan kemudian senjatanya seakan-akan sudah tidak berdaya lagi untuk menahan mereka. Apalagi salah seorang dari mereka adalah orang yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Swandaru sendiri.

Kecemasan yang tajam telah menyengat hati Kiai Gringsing ketika ia melihat Swandaru terdorong jauh ke belakang, sehingga ia hampir kehilangan keseimbangannya. Dengan susah payah ia mencoba berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tetapi ia masih juga terhuyung-huyung. Dengan demikian maka ketika datang serangan berikutnya, Swandaru sama sekali tidak berhasil bertahan. Ketika ia melihat pedang yang terjulur lurus ke dadanya, ia masih sempat melecutkan cambuknya. Tetapi sentuhan kaki di lambungnya, telah membuat Swandaru terlempar ke samping dan jatuh terbanting melanggar sebatang pohon perdu, sehingga pohon itu ikut roboh pula.

Pada saat itulah orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa itu meloncat mendekati Swandaru. Ia sudah siap menerkam anak itu dan membuatnya tidak berdaya. Dengan demikian, ia akan segera dapat membantu kawan-kawannya yang lain.

Namun disaat yang gawat itu, Kiai Gringsing telah berhasil melepaskan diri dari lawan-lawannya. Dengan sigapnya ia meloncat sambil meledakkan cambuknya tepat di belakang orang yang sedang berusaha menerkam Swandaru yang masih terbaring di tanah. Ternyata suara cambuk itu telah membuatnya terkejut. Sejenak ia berpaling, dan dilihatnya Kiai Gringsing telah menyerangnya dengan garangnya.

Namun dalam pada itu, lawan-lawan Kiai Gringsing sendiri telah memburunya. Lawan-lawan Swandaru pun ikut mengepungnya pula, termasuk orang yang terkuat di antara mereka.

Kiai Gringsing terkejut ketika ia melihat wajah orang itu. Orang yang dengan mudahnya dapat menguasai Swandaru. Orang itu adalah Kiai Damar.

“Kau Kiai Damar,” desis Kiai Gringsing.

“Huh, aku sudah mengira bahwa kau sama sekali bukan seorang gembala yang dungu. Tetapi umurmu tidak akan dapat diperpanjang lagi. Kau akan jatuh ke tangan kami. Kami akan memeras keteranganmu sebelum kalian mati di bawah kaki-kaki kuda kami.” Kiai Damar berhenti sejenak, lalu, “Beberapa orangku terbunuh siang ini. Kami datang menuntut balas. Pengawas-pengawasmu yang gila itu akan kami musnahkan bersamamu dan anak-anakmu itu.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia harus menghadapi tugas yang cukup berat. Ia mengharap bahwa Swandaru akan dapat mempergunakan kesempatan itu, melepaskan diri dan kembali turun di peperangan.

Namun dalam pada itu, di dalam ketegangan yang memuncak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah tengkorak yang terlontar diudara dan jatuh tepat di antara mereka yang telah siap untuk mempertaruhkan jiwanya. Apalagi sejenak kemudian disusul oleh suara yang melengking tinggi, “Jangan takut. Kiai Dandang Wesi tidak akan mengingkari janjinya. Aku akan melindungi kalian dari setiap bencana. Inilah aku, Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi.”

Ternyata suara yang melengking tinggi itu telah memberikan pengaruh yang luar biasa. Beberapa di antara mereka yang berkelahi melawan Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya itu menjadi bingung sesaat.

Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing sendiri segera dapat mengetahui, bahwa yang kini sedang bermain hantu-hantuan itu adalah Sumangkar. Bahkan Swandaru yang telah meloncat bangun itu masih sempat tersenyum. Agaknya Ki Sumangkar pun telah dijangkiti kebiasaan gurunya yang kadang-kadang aneh.

Selagi keadaan diliputi oleh keragu-raguan dan kebimbangan itulah maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya seakan-akan mendapat kesempatan. Dengan lantang maka Kiai Gringsing pun berkata, “Nah menyerahlah. Kalau tidak, maka Kiai Dandang Wesi akan menggilas kalian dengan kekerasan.”

Namun Kiai Damar dan anak buahnya itu justru seperti terbangun dari mimpinya. Apalagi ketika Kiai Damar berteriak, “Persetan dengan hantu-hantu dari Gunung Merapi. Kami sudah terlanjur mulai. Apa pun yang akan terjadi, akan kami hadapi.”

“Jangan sombong,” sahut Kiai Gringsing, lalu, “kau harus merasa bahwa kau tidak akan berdaya menghadapi hantu yang sebenarnya, bukan sekedar hantu-hantuan seperti orang-orangmu. Tengkorak yang dipasang di atas tongkat dan dilekati dengan kunang-kunang itu sama sekali tidak menakutkan. Kerudung hitam dan kuda-kuda yang bersayap itu seperti mainan kanak-anak yang jemu bermain kuda-kudaan dari pelepah pisang.”

“Diam!” teriak Kiai Damar. “Kau akan segera binasa. Kami akan melanjutkan usaha kami menakut-nakuti orang-orang di dalam barak itu dan kemudian menguasainya setelah kalian bertiga mati.”

“Kau lupa Kiai Dandang Wesi.”

“Persetan, ia tidak mampu melawan kami.”

Belum lagi mulutnya terkatup, maka sesosok tubuh yang berkerudung hitam telah tampil di dalam pertempuran itu. Seperti yang pernah diceritakan oleh Agung Sedayu, pengalamannya dengan Kiai Dandang Wesi, maka Sumangkar yang berkerudung hitam itu pun mencoba menyesuaikan diri. Mula-mula ia melingkar di tanah, seperti seonggok batu yang hitam kemudian melenting tinggi. Lalu dengan, tiba-tiba pula menyerang orang-orang yang menyebut dirinya hantu-hantu dari Alas Mentaok itu.

Gerak dan tingkah laku Sumangkar benar-benar telah mengejutkan mereka. Mereka tidak mengira bahwa akan hadir di tengah peperangan itu, suatu bentuk yang sangat mendebarkan jantung mereka. Apalagi bentuk yang aneh itu ternyata sangat berbahaya.

Demikianlah maka mereka pun segera terlibat di dalam perkelahian melawan Kiai Gringsing, kedua anak-anaknya dan sesosok tubuh yang menyebut dirinya hantu dari Gunung Merapi.

Kiai Damar yang memimpin kawannya, merasa wajib untuk melawan musuh yang mereka anggap paling kuat, yaitu hantu dari Gunung Merapi itu. Namun sebenarnyalah bahwa hantu itu adalah hantu yang benar-benar lincah dan berbahaya.

Demikianlah di belakang barak itu telah terjadi perkelahian yang semakin lama semakin sengit. Beberapa orang terkuat dari rombongan Kiai Damar itu telah dibagi. Masing-masing dikawani oleh orang-orang lain, berusaha untuk dapat menangkap lawan mereka hidup-hidup. Bahkan Kiai Damar pun telah mencoba pula, apabila mungkin menangkap hantu-hantu dari Gunung Merapi itu.

Namun kekuatan lawan mereka benar-benar tidak mereka duga sebelumnya. Mereka hanya mengira bahwa kekuatan lawannya itu sedikit melampaui orang-orang mereka yang telah terbunuh. Tetapi ternyata bahwa mereka menjumpai kekuatan yang luar biasa. Menurut perhitungan mereka, mereka yang berjumlah lebih dari sepuluh orang itu telah cukup kuat untuk menangkap tiga orang yang mereka anggap telah menghalang-halangi usaha mereka itu. Bahkan mereka menyangka bahwa orang-orang di dalam barak itu akan dapat mereka pengaruhi ikut serta, bahkan mengeroyok beramai-ramai ketiga orang tersebut. Namun perhitungan mereka ternyata telah meleset. Tiga orang itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa, ditambah dengan hadirnya sesosok tubuh yang sama sekali berada di luar dugaan, yaitu sesosok tubuh dengan pakaian hitam dan menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi.

Demikianlah, maka masing-masing telah bertempur melawan tiga orang sekaligus. Juga Kiai Dandang Wesi telah berkelahi melawan tiga orang, dan di antara ketiga orang itu ialah Kiai Damar sendiri.

Dalam pada itu, orang-orang di dalam barak itu pun seakan-akan telah benar-benar membeku. Mereka hanya mendengar suara cambuk meledak-ledak, kemudian beberapa kalimat-kalimat yang merontokkan isi dada mereka.

Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi sebenarnya di belakang barak mereka. Namun terbayang di kepala mereka, seakan-akan hantu-hantu sedang berkelahi mati-matian. Mereka berterbangan dan sambar-menyambar. Sesosok hilang dan yang lain telah membakar dirinya dan berusaha menyentuh lawannya dengan nyala yang berkobar. Tetapi kemudian telah memancar air dari tubuh sesosok hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi memandamkan api itu. Tetapi api itu kemudian menjelma seekor naga raksasa yang siap menelan lawannya. Namun sudah tentu hantu dari Gunung Merapi dan pasukannya akan tidak membiarkan dirinya ditelan oleh ular naga. Mereka segera berubah menjadi seekor harimau sebesar gunung anakan. Sedang di pihak lain, tengkorak-tengkorak berkeliaran melawan hantu-hantu bermata bara.

Tetapi di antara mereka terdapat tiga orang manusia yang bersenjata cambuk itu. Cambuknya terdengar meledak-ledak memekakkan telinga.

“Apakah mereka dapat mengimbangi kemarahan hantu-hantu itu?” pertanyaan itu setiap kali telah melonjak di dalam setiap dada. Namun ada di antara mereka yang berkata di dalam hati, “Ketiga orang itu pasti orang-orang yang sebenarnya dapat melihat hantu dan cambuk mereka itu mempunyai kekuatan yang dahsyat.”

Meskipun demikian kecemasan yang memuncak telah mencengkam hati mereka. Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali tidak dapat membayangkan apa pun juga dan meskipun mereka tidak pingsan, tetapi mereka seakan-akan telah kehilangan segenap kesadaran.

Pemimpin pengawas yang terluka itu pun menjadi cemas pula. Sejenak terbayang perkelahian yang dahsyat antara orang tua yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu dengan beberapa orang dari gerombolan yang tidak dikenal. Namun ia pun membayangkan juga betapa dahsyatnya hantu-hantu yang sedang bertempur. Di dalam kepalanya terbayang campur baur yang buram. Dan pemimpin pengawas itu tidak berani membuat gambaran yang tegas, apakah yang sebenarnya berkelahi itu adalah manusia-manusia seperti Truna Podang atau hantu-hantu dari Alas Mentaok melawan hantu-hantu dari Gunung Merapi. Bahkan akhirnya pemimpin pengawas itu bertanya kepada diri sendiri, “Apakah Truna Podang itulah yaug menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi?”

Tetapi pemimpin pengawas itu ternyata telah membuat kesimpulan yang terbalik. Katanya, “Kalau begitu Truna Podang itu bukan manusia sewajarnya. Ia tentu hantu dari Gunung Merapi yang membuat dirinya seperti manusia untuk menolong kami. Juga kedua anak-anaknya itu pasti anak-anak jin atau perayangan.”

Dalam pada itu perkelahian di belakang barak itu masih berlangsung terus. Agung Sedayu bertempur dengan gigihnya melawan lawan-lawannya bersenjata pedang. Setiap kali cambuknya meledak dan menyentuh tubuh lawannya terdengar keluhan tertahan. Ujung cambuk Agung Sedayu, seperti juga ujung cambuk Swandaru dan gurunya, di beberapa bagian terikat oleh karah-karah besi baja yang dapat menyobek tubuh.

Di bagian lain Swandaru yang sudah mulai dapat bernafas karena kekuatan lawannya telah menjadi jauh berkurang, bertempur sambil berputar-putar. Ia masih juga sempat melihat bagaimana gurunya, mendesak terus lawan-lawannya, betapa pun lawan-lawannya berjuang dengan gigihnya. Bahkan kemudian Kiai Gringsing berhasil menguasai mereka, sehingga mereka seakan-akan tidak berdaya sama sekali.

Dibagian lain, Kiai Dandang Wesi yang berkerudung hitam masih juga bertempur melawan Kiai Damar beserta kedua kawan-kawannya. Ternyata permainannya itu terasa agak mengganggunya sehingga Sumangkar tidak dapat bertempur sewajarnya. Ia hanya dapat melenting-lenting dan meloncat-loncat. Sekali-sekali melempar lawan-lawannya dengan batu, kemudian menghindar jauh-jauh.

Akhirnya Sumangkar tidak telaten lagi mempergunakan kerudung hitam itu. Kerudung itu pun kemudian disingsingkannya dan disangkutkan di pundaknya. Katanya, “Kalau hantu-hantu di Alas Mentaok bertempur dengan mengambil bentuk sebagai seorang manusia, apa salahnya aku menyesuaikan diriku. Aku akan mengambil bentukku sebelum aku menjadi perayangan. Inilah Kiai Dandang Wesi, Abdi Dalem Pajang pemomong Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar di masa kanak-kanaknya.”

Kiai Damar yang bertempur melawan Sumangkar yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi itu tidak menyahut. Tetapi sejenak ia terpengaruh juga melihat bentuk Ki Sumangkar, yang tampaknya memang sudah cukup tua. Janggutnya telah memutih dan di wajahnya telah tampak kerut-merut ketuaannya.

Dalam kesuraman malam, Kiai Damar tidak dapat melihat bentuk wajah itu sejelas-jelasnya, namun, ternyata bahwa tandang Sumangkar kemudian benar-benar di luar dugaan Kiai Damar. Bahkan di dalam hatinya ia justru menjadi ragu-ragu. Apakah benar orang itu adalah perayangan yang telah musna dengan raganya? Hanya di dalam saat-saat tertentu saja muncul kembali dalam bentuknya dan wadagnya itu?

Keragu-raguan Kiai Damar itu ternyata di dalam tata geraknya. Senjatanya tidak menjadi semakin garang lagi, bahkan kadang-kadang terasa agak menurun.

Sumangkar yang mengetahui keragu-raguan itu berusaha menekannya semakin dalam. Katanya, “Inilah ujudku yang sebenarnya. Kalau pada sekitar dua puluh tahun yang lampau kau pernah menjelajahi daerah Demak lama kemudian Pajang dan sekitarnya, maka kau pasti pernah bertemu dengan seorang yang bernama Kiai Dandang Wesi. Itu adalah aku. Dua puluhan tahun atau lebih sedikit, aku juga sudah setua ini. Dalam bentuk perayangan aku tidak bertambah tua sampai akhir dari bumi ini. Seratus tahun, dua ratus tahun mendatang, aku akan tetap setua ini.”

Dada Kiai Damar menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ternyata ia tidak mau surut. Ia mencoba berkelahi terus bersama kawan-kawannya. Bahkan untuk mengusir keragu-raguannya sendiri ia berkata, “Jangan dengarkan igauannya. Marilah kita tangkap ia hidup-hidup. Ia akan menjadi saksi yang paling menarik bagi kita semuanya.”

Dengan demikian, maka Kiai Damar pun berusaha untuk semakin menekan lawannya yang kini sudah berbentuk, yaitu Sumangkar, yang masih saja nekat menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi.

Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin sengit. Sumangkar yang sudah tidak memiliki tongkatnya lagi, karena telah diberikannya kepada Sekar Mirah, kini ternyata telah mempergunakan jenis senjata yang lain. Sepasang trisula bertangkai pendek. Senjata jenis itu adalah senjata kecil berujung tiga. Panjangnya tidak lebih dari dua jengkal. Tetapi di tangan seorang yang hampir mumpuni seperti Sumangkar, senjata di antara sepasang trisula itu, ternyata terikat pada seutas rantai baja yang kuat, sehingga trisula itu dapat dilontarkannya dan kemudian ditarik kembali, seperti jenis senjata bulatan-bulatan besi yang berduri.

“Eh,” berkata Swandaru di dalam hatinya, “orang tua itu sempat juga membuat mainan aneh itu.”

Dan ternyata bahwa senjata itu segera dapat mempengaruhi perkelahian. Lawannya yang belum menjajagi betapa dahsyatnya senjata itu, segera terlihat dalam kesulitan. Seorang kawan Kiai Damar yang menyerang sekuat-kuatnya, telah kehilangan pedangnya yang terjepit pada trisula yang diputar dengan cepatnya.

Tangan orang itu tidak cukup kuat menahan putaran pedangnya sendiri, sehingga pedang yang terlepas itu terlempar beberapa langkah daripadanya.

Kiai Damar yang melihat hal itu menggeram sambil meloncat maju. Senjatanya terjulur lurus-lurus ke depan. Namun ketika senjatanya itu tersentuh trisula Ki Sumangkar, maka Kiai Damar pun segera menariknya kembali sebelum Sumangkar sempat memutarnya di sela ujung-ujung trisulanya.

Namun demikian tekanan Kiai Damar berhasil memberi kesempatan kepada kawannya untuk memungut pedangnya yang terjatuh. Bahkan kemudian mereka bertiga telah berhasil kembali mengepung Ki Sumangkar yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi itu.

Namun, ketika tekanan ketiga orang itu datang bersama-sama dari tiga arah, Ki Sumangkar segera memutar trisulanya pada rantainya. Demikian cepatnya sehingga melontarlah bunyi desing yang mengerikan.

“Setan alas,” Kiai Damar mengumpat. Dan Sumangkar yang sudah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu menyahut, “Kaulah setan alas, aku hantu dari Gunung.”

“Tutup mulutmu,” Kiai Damar menjadi semakin marah. Namun ia tidak segera berhasil menembus putaran trisula Ki SumSangkar yang justru menjadi semakin cepat.

Yang paling parah adalah orang-orang yang mengeroyok Kiai Gringsing. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Cambuk orang tua itu meledak-ledak tidak henti-hentinya, membuat telinga mereka seakan-akan tidak dapat bertahan dan bahkan kepala mereka menjadi pening. Belum lagi sentuhan-sentuhan ujung juntai cambuk itu, yang telah melukai kulit mereka dan membuat jalur-jalur merah silang menyilang.

Agaknya Kiai Gringsing memang tidak ingin membinasakan mereka. Seperti yang diinginkan, ia hendak menangkap mereka hidup-hidup supaya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat dibayangkan, apakah sebenarnya yang mereka kehendaki dengan mengganggu para pekerja yang sedang membuka hutan ini.

Dalam pada itu Agung Sedayu dengan mengerahkan tenaganya berhasil mengimbangi lawannya. Bahkan karena orang-orang yang terkuat dari lawan-lawannya telah berkumpul melawan Sumangkar dan Kiai Gringsing, maka lambat laun ia berhasil menguasai lawannya meskipun tidak akan segera dapat mengalahkan mereka. Sedangkan Swandaru masih harus berjuang mati-matian untuk mendesak lawan-lawannya. Namun kadang-kadang ia berhasil mengenai salah seorang dari mereka dan masih juga berkesempatan melihat, betapa dahsyatnya trisula Ki Sumangkar.

“Bukan main,” desisnya, “setelah ia kehilangan tongkatnya yang mengerikan, kini ia membuat senjata yang tidak kalah garangnya. Bahkan sepasang. Sebentar lagi, Sekar Mirah pun pasti akan mampu juga bermain-main dengan baling-baling maut itu.”

Dan senjata itu ternyata telah menggelisahkan Kiai Damar. Meskipun Ki Sumangkar tidak segera dapat menguasai Kiai Damar beserta kawan-kawannya, namun karena Kiai Damar sendiri tidak juga segera dapat memenangkan perkelahian itu, ia menjadi cemas. Kiai Damar yang merasa dirinya orang terkuat, bersama dua orang kawannya sama sekali tidak segera dapat menang atas lawannya. Apalagi kawan-kawannya yang lain. Dan ternyata pula ketika ia sempat melihat, betapa Kiai Gringsing dengan mudahnya menggiring ketiga lawannya. Kiai Gringsing bermaksud menekan mereka ke dinding barak. Kemudian membuat mereka tidak berdaya.

Kiai Damar menggeram di dalam hatinya. Ia sadar bahwa sebentar lagi, ketiga orang yang melawan gembala tua itu pasti akan segera dikuasainya. Orang tua itu pasti akan dapat membantu lawannya yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi itu.

Karena itu, Kiai Damar telah berjuang sekuat-kuatnya. Meskipun dengan susah payah, ketiga orang terkuat itu perlahan-lahan sekarang berhasil mendesak Sumangkar yang bersenjata dahsyat itu. Untunglah, bahwa Sumangkar dapat mempertahankan jarak jangkau lawan-lawannya dengan trisulanya yang diputarnya pada rantainya.

Meskipun perlahan-lahan Sumangkar sendiri terdesak, tetapi ia sama sekali tidak cemas. Ia pasti akan dapat bertahan untuk waktu yang lama. Kekuatan nafasnya akan membantunya mengatasi kesulitannya. Pada suatu saat, ketiga lawannya pasti akan susut kekuatannya. Sedang Sumangkar yang tua itu berusaha untuk tetap menyimpan tenaga cadangan, sehingga pada suatu saat, ia akan menguasai medan itu setelah lawannya menjadi lelah. Apalagi setelah ia melihat bahwa Agung Sedayu, Swandaru dan apalagi Kiai Gringsing tidak memerlukan bantuannya sama sekali. Dengan demikian ia dapat berkelahi sesuai dengan kemampuan dan perhitungannya. Ia merasa tidak akan dapat memaksa lawan-lawannya tunduk kepadanya, karena ilmu mereka cukup tinggi. Tetapi ia dapat memaksa lawannya mengarahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka, sehingga mereka kehilangan pengamatan dan penghematan tenaga itu. Perhitungan yang matang itulah yang telah membuatnya semakin tenang menghadapi lawan-lawannya yang tangguh.

Tetapi Kiai Damar benar-benar tidak dapat menolong kawan-kawannya yang semakin lama menjadi semakin tersudut di dinding barak. Cambuk Kiai Gringsing kali ini tidak menggiring kambing-kambing di lapangan rumput. Tetapi kali ini ia menggiring tiga orang yang menyebut dirinya hantu Alas Mentaok.

“Besok aku akan dapat memperlihatkan hantu-hantu ini kepada penghuni barak,” katanya, “dan kalian tidak usah takut, bahwa penghuni-penghuni barak akan berbuat sesuatu atas kalian. Mungkin ada juga di antara mereka yang ingin melihat kalian melenyapkan diri seperti asap, atau ingin melihat kalian berkepala tengkorak naik kuda sembrani dan sebagainya seperti yang pernah kalian perlihatkan kepada mereka di malam hari.”

Kata-kata Kiai Gringsing itu benar-benar membuat Kiai Damar dan kawan-kawannya menjadi sakit hati. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Mereka masih harus menghadapi lawan masing-masing. Apalagi Kiai Damar yang merasa orang terkuat di antara mereka, bersama dua orang kawannya, tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.

Dalam pada itu Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing melihat juga, betapa Sumangkar berusaha dengan cermat untuk dapat mengimbangi lawan-lawannya. Ternyata Kiai Damar cukup memiliki bekal untuk bertempur melawan Sumangkar, dibantu oleh dua orang terkuat pula di antara mereka.

“Aku harus segera menyelesaikannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati.

Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin seru. Kiai Damar berusaha semakin keras untuk dapat segera mengalahkan lawannya. Apalagi ketika ia melihat, ketiga kawannya yang bertempur melawan Kiai Gringsing menjadi terdesak karenanya.

Karena usaha Kiai Damar tidak segera dapat berhasil, maka ia pun kemudian mengambil jalan yang terakhir yang dapat dilakukan. Dalam perkelahian yang sengit, tiba-tiba tangan kirinya telah menggenggam sebilah keris pusakanya.

Sumangkar adalah orang yang cukup berpengalaman. Karena itu ketika ia melihat keris Kiai Damar, maka ia pun menjadi berdebar-debar karenanya. Keris yang berwarna kehitam-hitaman tanpa memantulkan cahaya sama sekali itu tampaknya bagaikan wajah yang buram penuh dengan kemurkaan dan dendam.

“Warangan keris itu pasti mengandung racun yang kuat,” desis Sumangkar di dalam hatinya.

Dalam pada itu, sekilas Sumangkar teringat kepada senjatanya yang dahsyat. Tongkat berkepala tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan.

Namun yang ada padanya kini adalah sepasang trisula itu. Apa pun yang dihadapinya, maka ia hanya dapat mempergunakan sepasang trisula itu.

Ternyata, bukan saja Sumangkar yang menjadi berdebar-debar melihat senjata itu. Kiai Gringsing yang juga melihatnya, menjadi berdebar-debar juga. Seperti Sumangkar, ia pun segera mengetahui bahaya senjata Kiai Damar itu pasti mengandung warangan yang sangat tajam.

“Senjata itu sangat berbahaya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Apalagi Ki Sumangkar harus menghadapi tiga orang lawan yang cukup tangguh.”

Karena itu, Kiai Gringsing tidak dapat memperpanjang waktu lagi. Tiba-tiba cambuknya menggelepar dan sekaligus dua orang lawannya memekik kesakitan. Ketika cambuknya sekali lagi meledak seorang di antara lawan-lawannya itu terlempar dan jatuh pingsan. Kedua lawannya yang lain menjadi terkejut melihat akibat senjata yang dahsyat itu. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Selagi mereka termangu-mangu, maka cambuk itu telah menghantam punggung keduanya hampir bersamaan. Sekali lagi keduanya terdorong ke samping. Dengan susah payah mereka berusaha mempertahankan keseimbangan mereka. Namun semua usaha itu sama sekali tidak berarti. Dengan dahsyatnya Kiai Gringsing menekan, lawannya tanpa memberi kesempatan apa pun. Cambuknya terdengar meledak kembali, dan kedua orang lawannya itu pun terlempar jatuh, dan keduanya menjadi pingsan pula.

Kini Kiai Gringsing telah berdiri bebas. Sejenak ia menarik nafas dalam-dalam sambil melihat, bagaimana Sumangkar dengan susah payah berusaha mempertahankan diri.

Melawan keris beracun itu Sumangkar tidak dapat sekedar memperpanjang waktu dan menunggu lawan-lawannya menjadi lelah. Untuk mengurangi tekanan lawan, maka ia pun kemudian harus mengambil sikap yang dapat mempengaruhi jalan pertempuran itu.

Dengan sepasang trisula kecilnya Sumangkar berusaha menyerang lawan-lawannya. Yang sebuah diputarnya di atas kepalanya untuk mempertahankan jarak dari lawannya. Namun apabila sekali-sekali senjata lawannya berhasil menyusup, maka dengan trisulanya yang lain ia berusaha melindungi dirinya, terutama dari sentuhan ujung keris Kiai Damar.

Sejenak, Sumangkar berhasil merubah keadaan. Ia tidak lagi membiarkan dirinya terdesak, agar ia tidak selalu dikejar oleh senjata beracun itu. Tetapi ialah yang kemudian memegang peran di dalam gerak perkelahian itu, justru karena ia melihat bahaya yang mengancamnya.

Namun demikian, keris Kiai Damar benar-benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap kali, hanya dengan susah payah Sumangkar berhasil menghindar, menangkis dan kadang-kadang mendesak Kiai Damar untuk meloncat surut. Tetapi di saat lain, bahaya yang sebenarnya hampir-hampir saja menyentuhnya.

Kiai Gringsing tidak dapat tinggal diam. Ia pun kemudian mendekati arena perkelahian Sumangkar sambil berkata, “Kiai Dandang Wesi. Kenapa kau bertempur dengan ragu-ragu. Jangan disesali seandainya terpaksa kau membunuh mereka. Mereka adalah orang-orang, eh, hantu-hantu yang tidak menurut perintah rajanya di Alas Mentaok ini.”

Tidak terdengar jawaban sama sekali. Tetapi semuanya menjadi jelas. Kiai Damar harus melepaskan dua orang kawannya untuk melawan Truna Podang. Ia sendiri masih tetap bertempur menghadapi Sumangkar dengan senjata pusakanya.

“Jangankan manusia, jin, peri atau perayangan,” berkata Kiai Damar, “bahkan gunung akan runtuh dan lautan akan kering tersentuh oleh pusakaku ini.”

Sumangkar tidak menjawab. Ia sadar, betapa dahsyatnya kemampuan keris itu.

Namun yang menjawab adalah Kiai Gringsing, “Gunung dan lautan tidak dapat berusaha menghindar atau menangkis. Tetapi beda dengan Kiai Dandang Wesi. Itulah sebabnya, maka kau dapat meruntuhkan perlawanannya dan mengeringkan darahnya.”

Demikianlah akhir dari perkelahian itu segera menjadi jelas. Kiai Damar tidak sempat menjawab kata-kata Kiai Gringsing, karena Sumangkar segera menyerangnya.

Tanpa dua orang kawan yang membantunya, ternyata bahwa Kiai Damar tidak dapat mengimbangi kemampuan Sumangkar, meskipun Kiai Damar mempergunakan pusakanya yang beracun itu. Ternyata senjata Sumangkar di tangan orang yang cakap menggerakkannya, terlampau sulit untuk ditembus.

Sejenak kemudian, segera tampak bahwa Kiai Damar terdesak karenanya. Betapa pun orang itu berusaha, namun Sumangkar adalah seorang tua yang cukup berpengalaman. Ia adalah seorang yang disegani di Jipang hampir seperti Patih Mantahun sendiri.

Persoalan yang dihadapi ini benar-benar tidak masuk perhitungan Kiai Damar. Dengan kawan-kawannya yang lebih dari sepuluh orang itu ia merasa bahwa ia pasti akan segera dapat menyelesaikan tugasnya. Ia merasa pasti bahwa ia akan dapat menangkap Truna Podang bersama dua anaknya.

Tetapi yang dihadapinya ternyata jauh berbeda dari rencananya itu. Truna Podang ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan kedua anaknya tidak juga dapat dikalahkan oleh masing-masing tiga orang kawan-kawannya yang terpilih.

“Siapakah mereka itu?” pertanyaan itu telah mengganggu pikiran Kiai Damar.

Tetapi Kiai Damar sadar, ia tidak boleh hanya sekedar berteka-teki. Ia harus membuat perhitungan yang semasak-masaknya menghadapi keadaan ini. Dan Kiai Damar pun menyadari, bahwa ia tidak boleh mengorbankan semua kawan-kawannya itu untuk suatu tugas yang sia-sia. Tetapi Kiai Damar tidak juga dapat meninggalkan mereka hidup-hidup, terutama orang-orang terpenting, karena mereka akan dapat memberikan keterangan tentang keadaan mereka sendiri, meskipun Kiai Damar sendiri sadar, bahwa orang-orang itu sebenarnya tidak terlampau banyak yang diketahui. Mereka hanya tahu bahwa Kiai Damar adalah seorang dukun. Mereka tunduk pada perintahnya, dan barangkali satu dua di antara mereka tahu, bahwa masih ada orang lain di belakang Kiai Damar, namun mereka pasti tidak dapat mengatakan tentang orang lain itu.

Kiai Damar menyadari keadaannya itu sepenuhnya. Apalagi ketika ia mendengar sebuah keluhan yang panjang. Seorang lagi kawannya yang melawan Kiai Gringsing terlempar ke samping, kemudian jatuh berguling.

“Gila,” desis Kiai Damar. Dan tidak menunggu lebih lama lagi, ia pun segera mengambil keputusan. Mumpung malam masih panjang. Ia masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu menjelang pagi hari.

“Besok pagi kami akan bertambah sulit. Para pengawas yang berhasil menerobos pengawasan dan sampai ke pusat Tanah Mataram itu pasti akan kembali sambil membawa orang-orang baru. Bersama tiga orang gila dan seorang yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi, maka sulitlah kiranya, untuk berbuat sesuatu di sini.”

Tetapi Kiai Damar tidak dapat berbuat banyak. Rencananya untuk membinasakan tiga orang ini lebih dahulu, dan kemudian orang-orang baru yang datang besok, ternyata tidak berhasil. Bahkan beberapa orang-orangnya telah dilumpuhkan.

Maka sejenak kemudian terjadilah sesuatu yang tidak terduga-duga itu. Kiai Damar yang tidak mau bertempur lebih lama, tiba-tiba meloncat sambil bersuit nyaring. Tanpa menunggu lagi, ditinggalkannya Ki Sumangkar.

Tetapi Kiai Damar tidak segera meninggalkan arena. Ia sadar, bahwa kawan-kawannya pun tidak akan dengan mudah melepaskan diri. Juga orang-orang yang melawan Kiai Gringsing, yang kini tinggal seorang, dan yang sebenarnya sudah tidak berdaya sama sekali. Dua orang yang mula-mula bersamanya melawan Sumangkar adalah orang-orang yang termasuk penting di dalam lingkungannya. Kedua orang itu mengerti serba sedikit hubungan yang lebih jauh di belakang Kiai Damar di dalam usahanya menguasai daerah yang sedang dibuka. Tetapi agaknya usahanya masih jauh dari sasaran. Bahkan untuk menyingkirkan tiga orang itu pun ia tidak berhasil.

Adalah mengejutkan sekali, bahwa justru pada saat Kiai Damar meninggalkan arena, ia masih sempat meloncat mendekati kedua kawannya di tanah, dan yang seorang yang melangkah surut didesak oleh Kiai Gringsing.

Hampir tidak masuk akal, bahwa Kiai Damar itu berlari sambil menggoreskan ujung kerisnya kepada kedua orang itu. Yang mula-mula dilukainya adalah orang yang terbaring di tanah sambil mengerang, kemudian sebuah goresan mengenai tangan kawannya yang justru sedang bertempur melawan Kiai Gringsing.

Sementara itu, kawan-kawannya yang lain pun, telah mencoba meninggalkan gelanggang. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak sempat melakukannya. Apalagi tiga orang yang melawan Swandaru. Disaat terakhir, Swandaru telah mengerahkan segenap kemampuannya, ketika ia mendengar Kiai Damar bersuit nyaring. Ia tahu benar maksudnya. Karena itu, maka dengan sepenuh kemampuannya ia telah melumpuhkan tiga orang lawannya tanpa ampun. Ledakan cambuknya telah mengenai leher, wajah dan yang seorang yang sudah sempat melangkah lari, telah dijerat kakinya dengan ujung cambuk itu, sehingga ia jatuh terjerembab. Sebelum ia sempat bangkit, maka ujung cambuk Swandaru telah membuatnya pingsan.

Hanya seorang saja lawan Agung Sedayu yang berhasil lolos. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu ketika ia mendengar orang itu seakan-akan merintih mohon ampun. Kalau saja Agung Sedayu tidak dibayangi oleh keragu-raguannya, ia sempat meraih sebutir batu dan melempar punggung orang yang kemudian seakan-akan tenggelam di balik dedaunan. Tetapi, tangannya serasa menjadi sangat berat, ketika ia mendengar orang itu seakan-akan menangis.

Tetapi dua orang lawannya yang lain telah terbaring di tanah. Yang seorang pingsan sedang yang lain merintih, kesakitan karena lambungnya sobek oleh karah-karah besi cambuk Agung Sedayu.

Arena pertempuran itu menjadi hening sejenak. Kiai Gringsing masih dicengkam oleh keheranan dan bahkan terkejut melihat Kiai Damar, yang dengan keris pusakanya, telah melukai kawan-kawannya sendiri, yang dua orang itu.

“Yang dua orang ini pasti orang-orang penting,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Karena itu, sejenak kemudian Kiai Gringsing menyadari, betapa pentingnya keterangan dari kedua orang itu, kalau ia berhasil menyelamatkannya.

Tetapi kedua orang yang telah dilukai oleh Kiai Damar itu bagaikan orang gila. Keduanya sama sekali tidak menyangka, bahwa justru Kiai Damar sendirilah yang telah berusaha membunuhnya. Karena itu, terbayang di wajah keduanya, perasaan marah, kecewa, penyesalan dan dendam yang bercampur baur, sehingga mereka berteriak-teriak sambil berguling-guling tidak menentu. Meskipun tubuh mereka menjadi lemah dengan cepatnya, namun seakan-akan mereka tidak mau menerima kenyataan itu.

“Kiai Damar, tunggu, tunggu aku,” teriak salah seorang dari mereka sambil meronta-ronta. Sebenarnya ia masih dapat berlari meninggalkan arena kalau mendapat kesempatan. Tetapi menurut perhitungan Kiai Damar, ia pasti tidak akan dapat lepas dari tangan Kiai Gringsing yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu. Karena itu, sambil berlari meninggalkan arena, ia masih sempat menggoreskan pusakanya. Bagi Kiai Damar, kedua orang yang mengerti tentang keadaannya, dan beberapa macam persoalan yang menyangkut tentang dirinya, lebih baik dimusnahkan, apabila memang tidak ada harapan untuk diselamatkan. Sedang orang-orang lain adalah pengikut-pengikut kecil yang hampir tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya di dalam lingkungan mereka. Seandainya ada juga yang mengerti, maka keterangan mereka tidak akan cukup banyak.

Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru memandang kedua orang yang sedang diraba oleh maut itu dengan hati yang berdebar-debar.

Mereka melihat suatu pergulatan yang dahsyat antara kenyataan dan pemberontakan di dalam diri mereka.

“Marilah, kita mencoba menolong mereka,” berkata Kiai Gringsing.

Sumangkar menganggukkan kepalanya.

“Cobalah, tahan tubuhnya, agar ia tidak meronta-ronta. Aku akan berusaha mengobatinya.”

Sumangkar pun kemudian melangkah mendekati salah seorang dari mereka. Yang seorang itu agaknya masih cukup mempunyai kekuatan untuk bertahan seandainya ia sempat ditolong. Tetapi karena ia selalu meronta-ronta maka racun warangan keris itu seakan-akan telah dipercepat menjalari seluruh tubuhnya.

Dengan hati-hati Sumangkar mendekatinya. Kemudian dengan cepatnya ia menerkam kedua tangannya dan memeganginya erat-erat.

“Inilah lukanya,” berkata Sumangkar sambil menahan tubuh orang itu.

Tetapi ia masih tetap meronta-ronta. Sambil berteriak ia berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi tubuhnya sudah menjadi sangat lemah. Keringat dingin mengalir seperti terperas dari tubuh itu.

Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing mengambil serbuk obat dari bumbung kecilnya. Dengan susah payah ditaburkan serbuk itu di atas luka di tangannya. Namun demikian, Kiai Gringsing sudah tidak berpengharapan lagi. Luka itu cukup dalam, sehingga racun yang menyusup ke dalam darah pun dengan cepatnya menjalar ke seluruh tubuh, dan mencengkam jantung.

Kiai Gringsing masih mendengar orang itu berteriak mengumpat. Tetapi suaranya yang parau seakan-akan hilang di tenggorokan. Namun semua orang masih sempat mendengar orang itu mencaci maki Kiai Damar yang telah membunuhnya.

Sejenak kemudian ia pun terdiam. Obat Kiai Gringsing yang sudah mulai bekerja tidak berhasil menolongnya. Sejenak kemudian ia pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika tiba-tiba ia teringat pada orang yang satu lagi, ia pun segera bangkit pula. Tetapi keadaan orang itu agaknya lebih buruk lagi dari kawannya. Sebelum Kiai Gringsing berbuat sesuatu, ia pun telah meninggal pula. Tubuhnya yang memang sudah terlampau lemah, sama sekali tidak mempunyai daya tahan yang cukup untuk menahan arus racun dari lukanya keseluruh tubuhnya dan menghentikan detak jantungnya.

Agung Sedayu dan Swandaru menjadi ngeri melihat peristiwa itu. Alangkah kejamnya. Mereka dengan hati yang dingin membunuh kawan-kawan sendiri apabila sudah tidak diperlukan lagi, atau dianggap berbahaya bagi mereka.

Sumangkar pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Mengerikan sekali.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya ia melangkah mendekati orang-orang lain yang masih terbaring di tanah. Beberapa orang sudah mulai sadar, akan tetapi tubuh mereka terasa sama sekali tidak bertenaga.

Dari dua belas orang yang datang ke barak itu, dua di antara mereka sempat melarikan dirinya, yang dua terbunuh oleh kawannya sendiri, sedang yang lain sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk berbuat sesuatu. Seorang lawan Swandaru ternyata luka sangat berat dan mengancam jiwanya. Demikian juga seorang lawan Agung Sedayu yang luka di lambung meskipun ia tidak pingsan. Sedang lawan-lawan Kiai Gringsing yang pingsan justru tidak berbahaya bagi jiwa mereka.

“Marilah, kita bawa mereka ke barak,” berkata Kiai Gringsing.

Sumangkar menganggukkan kepalanya.

Kemudian bertiga bersama Agung Sedayu dan Swandaru, Sumangkar mengusung orang-orang yang terluka. Sedang Kiai Gringsing tetap mengawasi keadaan, apabila ada perkembangan baru yang mencemaskan.

Satu demi satu mereka diletakkan di serambi. Sedang orang-orang yang ada di serambi itu menjadi ketakutan dan menyibak karenanya.

“Jangan takut,” berkata Agung Sedayu, “mereka tidak akan berbuat apa-apa.”

Tidak ada seorang pun yang menyahut. Tetapi tatapan mata mereka yang suram, membayangkan kecemasan yang tiada taranya.

Akhirnya, semuanya telah terbaring di serambi barak. Kiai Gringsing pun telah berada di serambi itu pula. Satu demi satu luka mereka mendapat pengobatan. Terutama mereka yang luka parah.

Orang-orang di serambi barak yang melihat orang-orang itu terbaring diam, perlahan-lahan menjadi agak berani juga mendekat. Bahkan salah seorang dari mereka yang berjongkok di belakang Agung Sedayu bertanya lirih, “Siapakah mereka itu?”

Sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru telah mendahului menyahut, “Coba katakan, siapakah mereka menurut dugaanmu.”

Orang itu tidak segera menyahut. Dipandanginya Swandaru yang berwajah bulat itu meskipun kini agak susut.

“Tebaklah.”

Orang itu ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab, “Orang itu adalah korban dari hantu-hantu yang marah itu.”

“He, bukankah ia marah kepada kita di sini?”

“Tetapi orang-orang itu dibawanya dari barak-barak yang lain di tempat yang lain.”

“Coba terka, ke mana mereka, maksudku hantu-hantu itu sekarang pargi.”

Orang itu tidak dapat menjawab. Sementara orang-orang lain yang mendengar pembicaraan itu semuanya memandang Swandaru dengan wajah yang bertanya-tanya.

“Ke mana? Coba terka ke mana perginya hantu-hantu itu?”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

Akhirnya Swandaru itu berkata, “Inilah hantu-hantu itu. Merekalah yang menyebut dirinya hantu-hantu. Mereka pulalah yang sering menakut-nakuti kalian dengan tengkorak yang dilekati kunang-kunang atau kuda yang diberi kerincing dikakinya dan dilekati kunang-kunang pula di bagian-bagian tubuhnya.”

Sejenak orang-orang di serambi barak itu terpaku diam. Namun kemudian salah seorang berkata, “Tetapi, ada di antara kita yang pernah melihat hantu-hantu itu.”

Swandaru mengerutkan keningnya sejenak. Tiba-tiba ia berlari menghambur ke belakang barak itu. Sejenak kemudian ia kembali sambil membawa sebatang tongkat, dan di ujung tongkat itu ditaruhnya tengkorak yang ditemukannya di belakang barak itu.

“Inilah hantu itu. Apakah kalian percaya?” bertanya Swandaru kepada mereka. “Lihatlah, betapa menakutkan hantu-hantu ini. Kemudian mereka berkerudung hitam. Lihat, kain yang tersangkut di leher Ki Sumangkar itu. Itu-lah kerudung hantu-hantu itu. Kami telah terlibat dalam perkelahian melawan hantu-hantu kecil dari Alas Mentaok. Ternyata hantu-hantu tidak lebih dari orang gila yang mencoba menakut-nakuti kita. Sekarang kalian melihat, apakah hantu-hantu itu benar-benar menakutkan? Hantu-hantu itu sekarang sudah tidak berdaya sama sekali.”

Beberapa orang saling berpandangan sejenak.

“Cobalah. Sentuhlah kakinya atau tangannya. Kalian akan merasa bahwa kalian sama sekali tidak bersentuhan dengan hantu-hantu. Tetapi kalian akan merasakan kehangatan kulitnya dan denyut nadinya. Hantu-hantu tidak berdarah, dan karena itu tubuhnya sama sekali tidak mempunyai panas sama sekali.”

Beberapa orang masih tetap ragu-ragu. Tetapi seorang yang masih muda merayap maju. Meskipun ragu-ragu juga tetapi tangannya kemudian dijulurkannya perlahan-lahan.

Tetapi ketika orang yang terbaring dihadapannya itu menggeliat, ia meloncat mundur.

“Jangan takut.”

Orang-orang yang terbaring karena luka-lukanya itu pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka merasa bahwa berpuluh-puluh pasang mata memandangi mereka dengan tajamnya, penuh kebencian dan penuh dendam. Apabila mereka sadar, bahwa yang dihadapinya itu adalah orang-orang yang sudah tidak berdaya, maka sikap mereka akan dapat membahayakan.

“Sentuhlah,” desis Swandaru.

Sekali lagi orang itu mengulurkan tangannya. Kali ini ia memaksa dirinya sehingga akhirnya ia menyentuh tangan orang yang sedang terbaring karena lukanya.

“Nah, apa katamu.”

Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian sekali lagi ia menyentuhnya. Bahkan kemudian tiba-tiba ia mencengkam tangan itu. Dengan serta-merta tangan itu ditariknya sambil menggeram, “Jadi kau yang menjadi hantu jadi-jadian itu, he.”

Hampir saja orang itu meremas wajah orang yang sedang terluka itu. Namun Swandaru yang berdiri di sampingnya dengan cepatnya menangkap tangannya sambil berkata, “Hantu-hantu itu sudah menjadi jinak. Jangan kau apa-apakan dia. Biarlah ia menikmati luka-lukanya. Kalau luka-luka itu sudah sembuh, maka kita akan memeliharanya. Mungkin kita memerlukannya.”

Orang yang hampir saja mencengkam wajah orang yang terluka itu terpaksa melepaskannya. Tetapi tiba-tiba ia berkata, “He, orang-orang yang tinggal di barak ini, yang selama ini telah dibayangi oleh ketakutan terhadap hantu-hantu. Sekarang kita sudah berhadapan dengan mereka, sehingga karena itu, apakah yang akan kita lakukan terhadap mereka.”

“Itu pasti akan mereka akui. Baiklah mereka akan kita serahkan saja kepada para petugas yang besok akan datang.”

“Tidak. Mereka tidak akan kita serahkan kepada orang lain. Mereka akan kami adili di sini. Kamilah yang akan menjatuhkan hukuman kepada mereka.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia melihat beberapa orang telah bergerak mendekat. Bahkan orang-orang yang berada di dalam barak pun telah berdesakan di muka pintu.”

“Ya, serahkan kepada kami. Serahkan kepada kami.”

Sejenak kemudian suasana menjadi semakin tegang. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Kiai Gringsing dan Sumangkar pun telah bergeser mendekatinya pula. Bahkan Kiai Gringsing berbisik ditelinga muridnya, “Pertahankan. Pertahankan orang-orang itu.”

Agung Sedayu menjadi semakin mantap. Namun sebelum ia berkata lagi, terdengar suara diambang pintu, “Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atas mereka. Akulah pemimpin pengawas di sini. Mereka akan diserahkan kepadaku dan aku akan menyerahkan mereka kepada atasanku.”

Kini semua orang memandang kepada pemimpin pengawas yang memaksa dirinya untuk berdiri bersandar tiang pintu.

Sejenak orang-orang itu terdiam. Mereka memandang pengawas itu sejenak. Namun orang yang marah itu agaknya sulit mengendalikan diri. Salah seorang dari mereka berteriak, “Kami tidak akan menyerahkan kepada siapa pun juga. Kami akan mengadilinya sendiri.”

“Itu tidak mungkin. Orang-orang itu akan dibawa ke Mataram. Kita semuanya sangat memerlukan mereka. Keterangan mereka akan dapat membantu kita seterusnya.”

“Aku tidak peduli.”

“Ya, kami tidak peduli,” sahut yang lain. Dan yang lain berteriak, “Bunuh saja. Mereka membuat kita malu dan muak.”

Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja di dalam ketegangan itu, ia tidak melihat Swandaru.

“Kemanakah anak ini pergi?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi agaknya Kiai Gringsing dan Sumangkar pun bertanya-tanya pula di dalam hati.

“Tidak apa,” terdengar suara Agung Sedayu, “kalian tidak akan berbuat apa-apa.”

“Tetapi mereka telah menakut-nakuti kami untuk waktu yang cukup lama sehingga kami telah kehilangan banyak sekali kawan dan kehilangan banyak waktu.”

“Tetapi kalian tidak akan berbuat apa-apa.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Agung Sedayu dan orang yang terbaring itu berganti-ganti.

Namun dalam pada itu terkilas dikepalanya, ketakutan yang selama ini telah merusak semua usaha orang-orang di dalam barak ini. Beberapa orang telah meninggalkan tempat mencari tempat baru karena mereka tidak dapat lagi kembali ke tempat mereka yang lama. Kemudian beberapa orang yang lain tidak lagi berani keluar dari baraknya sehingga lebih baik bekerja saja di dapur. Dan banyak lagi persoalan yang telah mengungkat kemarahannya. Orang itu menjadi malu kalau dikenangnya, bagaimana ia bersembunyi di balik selimut apabila terdengar suara gemerincing dan derap kaki-kaki kuda.

Karena itu, dengan wajah yang kemudian menjadi merah padam ia berkata, “Orang-orang ini telah membuat kami di sini mengalami banyak sekali gangguan. Karena itu, serahkanlah mereka kepada kami. Kami akan mengadili mereka dengan cara kami.”

Permintaan itu telah mengguncangkan jantung orang-orang yang sedang terbaring diam karena luka-luka mereka. Tetapi yang lukanya tidak begitu parah perlahan-lahan mencoba mengumpulkan kekuatan yang masih ada. Tentu tidak menyenangkan sekali jatuh ditangan orang-orang yang sedang marah karena ledakan perasaan yang sudah lama ditekan.

Beberapa orang merasa, lebih baik lari atau melawan dan kemudian mati di dalam perlawanan itu apabila tidak berhasil lolos sama sekali, daripada menjadi permainan.

Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab, “Sebaiknya kalian tidak berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya. Mereka sudah tidak akan dapat menakut-nakuti kalian lagi.”

“Tetapi mereka pernah melakukannya. Mereka pernah membuat hati kita kecut sehingga kami kehilangan gairah untuk berbuat sesuatu.”

Namun mereka tidak sempat mencari anak yang gemuk itu. Mereka kini benar-benar dicengkam oleh kecemasan, bahwa orang-orang di barak itu tidak dapat dikendalikan lagi.

“Kalian jangan melindungi mereka,” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak. Seorang yang bertubuh besar meskipun agak pendek berdiri di sudut serambi. “Akulah yang akan membunuhnya. Aku telah banyak sekali dikecewakan oleh orang-orang gila itu. Aku sudah meninggalkan gubug yang sudah aku bangun itu untuk beberapa saat dan tidur berjejal-jejal di sini.”

“Kenapa kau berbuat begitu?” bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.

“Orang-orang itulah yang telah menakut-nakuti kami.”

“Salahmu sendiri bahwa kau menjadi takut.”

“Kalau aku tidak takut, mereka akan membunuh aku.”

“Dan kau, kau, kau dan yang lain lagi, sama sekali tidak berani melawan, kalian hanya berani bersembunyi. Bahkan menyalahkan kami yang dengan susah payah berusaha membongkar kejahatan ini. Sekarang, kalian akan memaksa kami menyerahkan mereka kepada kalian,” jawab Agung Sedayu, “tentu kami tidak mau. Misalnya orang berburu, kamilah yang mendapat binatang buruan. Terserah kepada kami, apa yang akan kami lakukan.”

“Tepat,” sahut pemimpin pengawas.

Keadaan menjadi hening sejenak, meskipun wajah-wajah menjadi semakin tegang. Namun sejenak kemudian meledaklah perasaan yang selama ini tertekan, “Kami tidak peduli. Kami memerlukan mereka. Kami akan mencincang mereka di halaman. Siapa yang melindungi, akan kami sertakan pula. Akan kami cincang pula di antara mereka di halaman.”

“Ya, ambil saja dengan paksa.”

“Bunuh saja.”

Agung Sedayu menjadi bingung. Orang-orang itu bagaikan orang yang kehilangan kesadaran. Kalau satu dua orang di antara mereka kemudian berdiri dan maju selangkah, maka keadaan akan menjadi kacau. Mereka tidak ubahnya dengan orang-orang yang sakit ingatan, yang sama sekali tidak dapat mengekang dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, di dalam lingkungan orang banyak, seseorang akan dapat kehilangan dirinya sendiri. Seseorang akan dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang ada disekitarnya tanpa memikirkan akibatnya.

Kiai Gringsing dan Sumangkar pun menjadi berdebar-debar pula. Seperti Agung Sedayu, mereka tidak segera mengerti, apa yang sebaik-baiknya dikerjakan. Sedang pemimpin pengawas yang berdiri bersandar pintu pun menjadi bingung pula. Apalagi pemimpin pengawas itu menyadari, betapa pentingnya keterangan-keterangan yang dapat didengar dari hantu-hantu yang kini sudah tidak berdaya itu.

“He, kenapa kita menunggu?” bertanya orang yang bertubuh besar dan pendek.

“Ya, apa yang kita tunggu. Ambil saja mereka semuanya, Kita cincang bersama-sama.”

“Kalian tidak akan dapat mengambil mereka,” berkata Agung Sedayu sambil mengurai cambuknya. “Aku sudah bertempur mati-matian melawan hantu-hantu Alas Mentaok ini. Sebagian dari mereka lari, dan sebagian dapat kami tangkap. Hantu-hantu itu sama sekali tidak dapat mengalahkan kami. Apalagi kalian. Ayo, siapakah di antara kalian yang jantan. Majulah lebih dahulu. Siapa yang akan mencincang mereka dan orang yang melindunginya sama sekali. Akulah yang melindungi mereka.”

Sejenak orang-orang itu terbungkam. Tetapi suasana yang panas itu menjadi semakin panas ketika seseorang berkata, “Jumlah kita lipat sepuluh lebih dari jumlah mereka. Mereka tidak akan dapat menahan arus kemarahan kita.”

“Kita paksa anak itu.”

“Kami bersenjata,” geram Agung Sedayu.

Sekali lagi orang-orang itu terdiam. Namun kemudian seseorang berkata, “Tidak peduli. Tangkap mereka.”

Ketika Agung Sedayu melihat sorot mata mereka yang marah, harapannya untuk dapat menahan arus kemarahan mereka menjadi pudar. Adalah tidak mungkin baginya bersama guru dan Sumangkar, untuk melayani orang-orang yang tidak bersenjata itu. Orang-orang bingung yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kalau ia bersama gurunya dan Sumangkar berbuat sesuatu, maka akibatnya akan sangat parah bagi orang-orang itu. Tetapi kalau ia tidak berbuat sesuatu, maka hantu-hantu Alas Mentaok itu akan menjadi korban dan mereka akan kehilangan sumber keterangan meskipun sedikit.

Sebelum Agung Sedayu berbuat sesuatu, maka ia sudah melihat satu dua orang mulai bergerak. Dan ia menjadi semakin berdebar-debar ketika beberapa orang telah berdiri serentak.

“Bagaimana, Guru,” desis Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tidak juga segera menjawab. Seperti Sumangkar ia pun menjadi kebingungan. Apakah yang sebaiknya dilakukan. Kalau ia terpaksa mempergunakan kekerasan, maka akibatnya sama sekali tidak dikehendakinya. Selama ini ia berbuat sesuatu, yang dapat membahayakan jiwanya, justru untuk kepentingan orang-orang itu. Tetapi kini orang-orang itu justru marah kepadanya.

Sebelum Kiai Gringsing menemukan cara yang sebaik-baiknya, maka meledaklah kemarahan orang-orang di dalam barak itu. Beberapa orang hampir berbareng berdiri sambil berteriak, “Ambil, ambil saja.”

“Tidak,” tiba-tiba Agung Sedayu berteriak untuk mengatasi suara riuh mereka. Dan hampir berbareng dengan itu, orang-orang yang merasa dirinya masih mampu bangkit, tiba-tiba pula telah mencoba bangkit pula perlahan-lahan.

Ternyata beberapa orang yang bergerak-gerak, dan kemudian duduk di serambi sambil menyeringai itu berpengaruh. Apalagi ketika salah seorang dari mereka berdiri dengan terhuyung-huyung.

Agung Sedayu melihat gelagat itu. Karena itu, maka ia berkata, “Mereka tidak rela menyerahkan diri mereka kepada kalian. Ternyata salah seorang dari mereka telah bangkit berdiri. Sebentar lagi semuanya akan berdiri dan aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan.”

Serambi itu menjadi hening.

Agung Sedayu melihat sorot mata keragu-raguan di setiap wajah. Orang-orang dibarak itu sejenak memandang Agung Sedayu, sejenak kemudian gurunya dan Sumangkar, lalu sesosok tubuh yang kemudian berdiri meskipun pakaiannya telah bernoda darah.

Tetapi selagi mereka ragu-ragu, salah seorang berkata lantang, “Kenapa kita ragu-ragu, kenapa? Mereka sudah tidak berdaya. Orang-orang yang melindungi mereka itu pun juga tidak berdaya.”

“Ya, mereka sudah tidak berdaya.”

“Mereka sudah tidak akan dapat melawan. Cepat, cincang saja…”

Sekali lagi orang-orang di dalam barak itu mulai bergerak. Agung Sedayu yang kebingungan, tiba-tiba saja telah menggerakkan cambuknya, sehingga suara ledakan yang memekakkan telinga telah menyobek malam yang panas.

Kejutan suara cambuk Agung Sedayu memang membuat mereka tertegun. Tetapi tidak membuat mereka surut. Mereka masih bergerak pula mendekati orang-orang yang masih sangat lemah itu.

Agung Sedayu benar-benar telah kehabisan akal. Gurunya dan Sumangkar pun masih belum menemukan jalan sama sekali.

Namun selagi suasana memanjat menjadi semakin panas, tiba-tiba setiap telinga tergerak ketika tiba-tiba mereka mendengar suara gemerincing. Semakin lama semakin dekat. Suara gemerincing seperti yang selalu mereka dengar selama ini. Suara hantu-hantu dari Alas Mentaok.

Tiba-tiba terasa bulu kuduk orang-orang yang sedang marah itu meremang. Semakin keras suara itu, mereka pun menjadi semakin berkerut.

“Hantu-hantu yang lain telah datang lagi,” desis Agung Sedayu.

Serambi barak yang hampir saja direnggut oleh udara maut itu tiba-tiba menjadi hening. Namun terasa setiap dada menjadi tegang.

Beberapa orang yang semula berdiri dengan garangnya, tiba-tiba melangkah surut dan perlahan-lahan berkerut berdesakan. Beberapa orang segera membaringkan dirinya dan berselimut kain sampai ke ujung kepalanya. Sedang beberapa orang yang lain membeku di tempatnya.

“Hantu-hantu itu datang lagi,” sekali lagi Agung Sedayu berdesis, “kali ini pasti lebih banyak. Mereka pasti akan mengambil kawan-kawannya yang sudah kamanungsan, dan membuat mereka menjadi hantu kembali.”

Orang-orang yang mendengar kata-kata Agung Sedayu menjadi semakin kecut. Kini mereka telah kehilangan segala kemauan dan bahkan seolah-olah mereka telah kehilangan kesadaran. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan bibir mereka bergetar.

“Nah, siapakah yang masih akan mencincang hantu-hantu ini,” bertanya Agung Sedayu. “Tetapi jelas bukan aku, bukan ayah dan bukan pamanku yang baru sore ini datang. Ayo, siapa?”

Tidak ada seorang pun yang berani menyahut.

“Tetapi hantu-hantu yang kamanungsan itu pasti dapat bercerita, siapakah yang akan mencincang mereka apabila kawan-kawannya yang lebih kuat akan datang, yang barangkali tidak akan terlawan lagi oleh kami.”

Setiap dada serasa hampir retak oleh ketakutan yang bergejolak. Apalagi ketika suara gemerincing itu menjadi semakin dekat. Dekat sekali di samping barak.

“He, kenapa kalian bersembunyi di balik selimut?” bertanya Agung Sedayu. “Apakah kalian sudah kehilangan kegarangan kalian? Kalian akan mencincang siapa saja, termasuk mereka yang akan melindungi hantu-hantu yang sudah kamanungsan itu. Sekarang kawan-kawan mereka pasti akan melindungi dan membuat mereka kembali ke dalam dunia mereka. Dunia hantu. Kenapa kalian tidak menyingsingkan lengan baju kalian dan mencincang hantu-hantu yang lain itu.”

Sama sekali tidak ada jawaban. Tetapi serasa darah orang-orang di serambi itu sudah tidak mengalir lagi.

Tiba-tiba mereka mendengar Agung Sedayu menahan suara tertawanya. Tetapi agaknya Swandaru tidak dapat, sehingga tiba-tiba meledaklah suara tertawanya berkepanjangan.

Tetapi bagi orang-orang yang ketakutan itu, suara tertawa Swandaru terdengar sangat mengerikan. Seolah-olah berpuluh-puluh hantu telah tertawa bersama-sama melihat bakal korban mereka telah meringkuk di bawah kain panjang masing-masing.

“He, lihat. Lihatlah, siapa aku,” teriak Swandaru yang membawa sebatang tongkat yang digantungi beberapa kerincing. Setiap kali tongkat itu dihentakkan di atas tanah, maka terdengar suara gemerincing dari beberapa buah kerincing yang bergantungan pada tongkat itu.

Tetapi tidak seorang pun yang berani membuka kerudung kain panjang mereka yang menutupi kepala. Baik mereka yang sudah melingkar berbaring di lantai atau di mana saja mereka sempat, atau mereka yang masih tidak sempat berbaring dan duduk memeluk lututnya, membenamkan kepalanya di bawah tangannya sambil berselubung kain panjang.

“Lihat aku,” teriak Swandaru sambil mengguncang guncang tongkatnya. Bahkan kemudian tongkatnya telah dihentak-hentakkan di atas beberapa kepala yang tersembunyi.

“Buka selimutmu, lihat aku.”

Tetapi tidak ada seorang pun yang berani. Bahkan ketika ujung tongkat itu menyentuh seseorang, maka orang itu pun segera jatuh pingsan. Orang itu merasa, seolah-olah ujung jari mautlah yang telah merabanya.

Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Karena tidak ada seorang pun yang mau melihatnya, tiba-tiba tangannya terjulur dan menarik dengan paksa beberapa lembar selimut yang menyelimuti orang-orang yang ketakutan.

Satu dua di antara mereka masih tetap menyembunyikan wajahnya. Tetapi yang lain kemudian jatuh terguling dan pingsan pula.

Namun demikian ada juga satu dua orang yang dengan terpaksa sekali melihat tongkat yang diacu-acukan Swandaru. Sesaat ia tidak percaya kepada penglihatannya. Namun sambil menyembunyikan wajah mereka, beberapa orang itu berusaha melihat dari sela-sela lingkaran tangan mereka.

Dan yang mereka lihat memang Swandaru mengguncang-guncang sebatang tongkat yang digayuti oleh beberapa buah kerincing.

Dengan ragu-ragu satu dua orang mengangkat wajah mereka. Yang mereka lihat sama sekali tidak berubah. Anak Truna Podang yang gemuk itulah yang bermain-main dengan kerincing.

Tiba-tiba seseorang di antara mereka bertanya, “Apakah kau anak Truna Podang?”

“Siapa, siapa aku. Coba tebak? Apakah kau sangka aku sesosok hantu yang membentuk diriku seperti anak Truna Podang?”

“Tetapi?” orang itu ragu-ragu.

“Akulah yang sejak tadi bermain dengan kerincing-kerincing ini. Apakah kalian tahu maksudku?”

Tidak ada yang menjawab. Meskipun demikian satu dua orang kini telah membuka kerudung mereka meskipun dengan ragu-ragu.

“Aku ingin melihat, apakah benar-benar kalian orang-orang jantan. Kalian berniat ingin mengadili orang-orang yang terluka itu. Tetapi apakah kalian benar-benar berhak?”

Sejenak suasana menjadi sepi. Beberapa orang yang telah berani membuka kerudung mereka saling berpandangan. Bahkan beberapa orang yang berbaring melingkar, telah bangkit dan duduk termangu-mangu.

Mula-mula mereka sama sekali tidak tahu, bagaimana menanggapi keadaan itu. Mereka hanya memandang saja Swandaru yang berdiri sambil memegangi tongkat yang digantungi kerincing-kerincing itu.

Namun sejenak kemudian orang yang besar agak pendek itulah yang berteriak untuk pertama kali, “He anak gila. Kau telah mempermainkan aku, mempermainkan kami.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Sebelum ia menyahut orang yang lain telah berteriak pula, “Ya. Kau mempermainkan kami.”

“Apa maksudmu mempermainkan kami?” bertanya yang lain.

Dan tiba-tiba orang yang pendek itu berkata, “Kalian memang orang-orang gila. Sekarang sudah jelas bagi kami, bahwa kami selama ini telah dipermainkan orang. Bahkan selagi kami dicengkam oleh ketegangan kali ini pun ada juga orang yang mempermainkan kami. Sekarang kami akan menuntut balas. Kami akan memuaskan hati kami yang selama ini tertekan.”

Suasana di serambi barak itu menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba semua orang telah dikejutkan oleh suara tertawa Swandaru yang meledak. Sambil menunjuk kepada orang yang pendek itu ia berkata, “He, kenapa kau dapat dipermainkan orang? Kenapa? Apalagi untuk waktu yang lama?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sebelum ia menjawab, Swandaru telah mendahului, “Karena kau penakut. Semua orang yang ada di barak ini penakut dan pengecut. Aku masih menghormati seorang penakut yang merasa dirinya penakut. Tetapi kau tidak. Kau adalah seorang penakut, tetapi juga pengecut. Di dalam keadaan yang gawat, kau sembunyi di bawah selimutmu rapat-rapat. Tetapi kalau kau menghadapi orang-orang sakit yang hampir mati, kau bertolak pinggang seperti seorang pahlawan. Ayo, di mana kejantananmu? Kejantanan bukan berarti berani membunuh orang-orang tidak berdaya. Atau bahkan yang dengan penuh dendam mencekik lawan-lawan yang memang sudah hampir mati.”

Dan Agung Sedayu pun menyambung, “Bukan pula semata-mata karena kita berani bertempur dan berani mati. Tetapi kejantanan juga mengandung segi-segi perikemanusiaan dan pengakuan terhadap kenyataan. Seorang kesatria sebagai lambang kejantanan bukan semata-mata yang menyandang pedang di peperangan, yang membunuh musuh dengan ujung senjata dan membelah dada lawan tanpa berpaling. Tetapi sifat-sifat kesatria adalah ngabehi. Meliputi sifat-sifat baik yang menyeluruh. Kesatria jantan bukan saja berjiwa seluas lautan yang mampu menampung semua persoalan dan selapang langit yang menyerap semua masalah dengan kesabaran.”

Sejenak serambi itu menjadi sepi. Orang-orang yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menundukkan kepalanya. Tetapi bukan saja orang-orang itu yang mendengarkannya dengan sentuhan-sentuhan di dalam hati. Bahkan Swandaru pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ada beberapa perbedaan dari kata-kata Agung Sedayu itu dengan kata-kata yang akan diucapkannya. Namun ia bahkan ikut mencoba memahami kata-kata Agung Sedayu itu.

Tanpa sesadarnya Swandaru berpaling, memandang wajah gurunya. Tetapi gurunya tidak sedang memandanginya. Orang tua itu sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.

“Untunglah, aku belum mengatakannya,” desis Swandaru di dalam hati. Hampir saja ia mengatakan, “Bahwa seseorang yang jantan, adalah seseorang yang berani menengadahkan dadanya. Yang berani bertempur seorang lawan seorang dalam keadaan yang seimbang. Bukan melawan orang-orang sakit dan hampir mati. Yang dengan jujur membunuh musuhnya berhadapan.”

“Itu hanya sebagian saja,” Swandaru mengangguk-angguk sendiri oleh kata-katanya di dalam hatinya itu. “Agaknya apa yang akan aku katakan memang kurang lengkap.”

Orang-orang diserambi barak itu mematung sejenak. Kata-kata Agung Sedayu agaknya benar-benar telah menusuk langsung ke pusat jantung.

“Nah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “sekarang cobalah lihat. Apakah yang sudah terjadi atas kalian dan apa yang sekarang kalian hadapi. Kalau memang menurut pertimbangan kalian, orang-orang jantan yang bersifat kesatria, orang-orang yang sudah tidak berdaya ini harus dibunuh atau dicincang, demikian pula orang-orang yang kalian anggap melindungi mereka, maka aku akan mempersilahkan. Cincanglah mereka yang selama ini telah mengganggu kalian dan membuat kalian ketakutan seperti kelinci mendengar gonggong anjing liar di hutan-hutan.”

Tidak ada seorang pun yang menyahut.

Kiai Gringsing dan Sumangkar yang berdiri di sebelah Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya muridnya yang tua ini memiliki ketajaman sikap menghadapi ketegangan yang sudah memuncak, meskipun agaknya Swandaru pun akan dapat mengatasinya dengan caranya sendiri. Tetapi Kiai Gringsing semakin melihat perbedaan sifat dari keduanya. Keduanya mempunyai kelebihan masing-masing tetapi juga kekurangan masing-masing.

Karena tidak seorang pun yang berkata sepatah kata pun, maka Agung Sedayu meneruskan, “Sekarang, bagaimana? Apakah kalian akan melangsungkan niat kalian.”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada yang rendah, “Baiklah. Terserahlah kepada kalian. Kalau kalian masih ingin melakukannya, silahkan, sekarang juga. Kalau tidak, aku silahkan kalian kembali ke tempat kalian masing-masing. Sebentar lagi fajar akan datang. Kalau masalah ini tidak segera kita selesaikan, maka kita akan menghadapi persoalan yang lain. Apalagi matahari telah terbit, kita akan menunggu kedatangan para pengawas dari pusat Tanah Mataram. Apabila utusan kita sampai ke tujuan, mereka pasti akan kembali besok pagi.”

Sejenak Agung Sedayu menunggu, karena tidak ada yang bergerak sekali lagi ia berkata, “Apa pun yang akan terjadi, lakukanlah sekarang. Cepat.”

Tetapi tidak seorang pun yang segera beranjak dari tempatnya. Apakah mereka akan meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat masing-masing, atau mereka akan melakukan niatnya, membalas sakit hati setelah sekian lama mereka merasa dipermainkan.

Karena itu sekali lagi Agung Sedayu berkata agak keras, “He, kenapa kalian hanya berdiam diri dengan mulut ternganga. Berbuatlah sesuatu supaya kami dapat mengambil sikap. Apa yang akan kalian lakukan, lakukanlah. Segera, sebelum kami membuat keputusan baru. Bergeraklah. Membalas dendam atau kembali ke tempat masing-masing.”

Ketika Agung Sedayu melihat beberapa orang yang kemudian bergerak, ia pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu pasti, apakah yang akan mereka lakukan.

Tetapi ketika orang-orang itu mulai berdiri dengan kepala tunduk, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang itu menyadari diri mereka, dan perlahan-lahan mereka berjalan ke tempat masing-masing.

Kiai Gringsing, Sumangkar, dan Swandaru pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Sejenak mereka saling berpandangan.

Swandaru yang masih memegang tongkat berkerincing itu kemudian mengangguk-angguk sambil memandangi orang-orang bergeser dari tempat masing-masing perlahan-lahan. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesis, “Benda-benda macam inilah yang telah membuat kalian selama ini kehilangan kepribadian, kehilangan kesempatan dan bahkan seakan-akan telah kehilangan harapan. Sebenarnya benda ini adalah benda yang sederhana sekali. Tongkat yang digantungi dengan kerincing-kerincing. Sebuah tengkorak dan kerudung hitam. Mungkin juga seekor atau dua ekor kuda. Selebihnya, yang paling menakutkan adalah hati kalian sendiri. Kalian sendirilah yang membuat benda-benda sederhana ini menjadi hantu-hantu Alas Mentaok.”

Tidak ada yang menyahut. Tetapi kata-kata yang dilontarkan sambil tersenyum-senyum itu ternyata mampu juga menyentuh perasaan orang-orang di dalam barak itu. Sebenarnyalah bahwa yang paling menakutkan bagi mereka adalah hati mereka sendiri. Bayangan-bayangan yang mengerikan yang mereka buat sendiri.

Sejenak kemudian, orang-orang di serambi itu telah duduk di tempat masing-masing. Orang-orang yang berdesakan di pintu pun telah duduk pula di dalam sambil menekurkan kepala mereka.

Pengawas yang masih bersandar pintu itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan susah payah ia berjalan berpegangan dinding, mendekati Agung Sedayu. Kemudian ditepuknya bahunya sambil berkata, “Kau berhasil, Anak Muda. Aku sudah kehabisan akal. Aku cemas, apabila orang-orang yang bodoh ini berkeras kepala, dan kalian bertahan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian kepada para pengawas apabila mereka datang. Aku sudah membayangkan, apabila terjadi benturan yang tidak dapat dihindarkan, korban pasti akan bertambah. Ujung cambuk kalian yang seperti mempunyai mata itu, benar-benar sangat berbahaya.”

Agung Sedayu tersenyum sambil menyahut, “Terima kasih. Pujian itu terlampau berlebih-lebihan.”

“Aku berkata sebenarnya.”

Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Ia memandang orang yang terakhir duduk di tempatnya. Kemudian menundukkan kepalanya.

“Mereka telah kembali ke tempat masing-masing,” berkata pemimpin pengawas itu.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian kepada orang itu, “Terima kasih. Kalian ternyata telah membantu kami, memelihara ketenangan di dalam barak ini. Sekarang, biarlah orang-orang yang terluka ini dapat beristirahat dengan tenang, tugas kami di sini tinggal mengawasi. Kami minta bantuan kalian, agar kalian ikut serta menjaga orang-orang ini, agar tidak seorang pun yang dapat lolos. Kita besok akan menyerahkan mereka kepada para pengawas yang akan datang dari pusat pemerintahan Mataram.”

Orang-orang itu masih menundukkan kepala mereka.

“Nah, baiklah. Kita anggap semua persoalan kini sudah selesai. Persoalan berikutnya adalah persoalan para petugas dari Mataram dan pemimpin pengawas di sini.”

Orang-orang itu masih menundukkan kepalanya,

“Sekarang, apabila masih sempat, silahkan beristirahat. Kalian dapat tidur nyenyak menghabiskan malam yang tinggal sedikit. Kami pun akan tidur pula. Besok kami akan minta bantuan kalian, mengubur mayat yang kini masih ada di belakang barak ini.”

“Mayat?” orang-orang itu bertanya di dalam hatinya.

Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, Agung Sedayu menangkap sorot mata mereka, katanya, “Ya, dua sosok mayat. Di antara hantu-hantu itu ada yang terbunuh. Dan dengan demikian akan semakin jelas bagi kalian, bahwa sebenarnya mereka adalah manusia yang terdiri dari daging dan tulang seperti kita. Sama sekali bukan hantu dari Alas Mentaok seperti yang kalian percaya saat ini. Kalau aku berkerudung sambil membawa tengkorak yang dilekati dengan kunang-kunang itu, kalian pasti tidak akan ketakutan, karena seperti yang dikatakan oleh adikku itu, ketakutan itu datang dari diri kita sendiri. Sekarang, kalian pun sudah tahu dengan pasti, sehingga kalian tidak akan takut lagi mendengar suara gemerincing, suara derap kaki kuda, dari melihat di dalam gelapnya malam, sesosok hantu hitam berkepala tengkorak. Karena mereka adalah orang-orang yang kini terbaring di hadapan kalian karena luka-luka mereka.”

Orang-orang di dalam barak itu merasa diri mereka semakin kecil. Namun seolah-olah mereka telah mengucapkan janji, bahwa mereka tidak akan terperosok untuk kedua kalinya ke dalam keadaan yang memalukan itu. Mereka tidak akan mau lagi menjadi permainan siapa pun juga. Mereka datang untuk membuka hutan. Dan kini harapan itu seakan-akan telah terbit kembali.

“Sudahlah, tidurlah,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Bersama dengan Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar, dan pemimpin pengawas itu, mereka menepi dan duduk bersandar dinding.

Tetapi ternyata mereka tidak mendapat kesempatan cukup untuk beristirahat. Langit di sebelah Timur pun mulai menjadi kemerah-merahah.

“Hampir pagi,” desis Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tidurlah kalau kau lelah. Masih ada waktu sedikit sebelum matahari terbit.”

“Apakah Guru tidak beristirahat?”

“Tidurlah kau berdua. Aku dan pamanmu Sumangkar akan duduk di sini. Waktu yang sedikit ini menyimpan bermacam-macam kemungkinan bagi barak ini.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Dipandanginya wajah pemimpin pengawas yang berkerut-merut. Kemudian wajah Agung Sedayu dan Sumangkar. Lalu perlahan-lahan ia meneruskan, “Pagi ini akan dapat menjadi pagi yang cerah dan tenang. Tetapi saat-saat ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Kalau Kiai Damar menyadari bahwa kehadiran para pengawas dari Mataram menjadi semakin dekat, maka ada kemungkinan mereka mempergunakan waktu yang pendek ini sebaik-baiknya.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sedang pemimpin pengawas itu beringsut mendekat, “Benarkah begitu?”

“Ini hanya suatu kemungkinan. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa mereka belum siap melakukan hal itu dan menundanya sampai waktu yang tidak dapat kita perhitungkan. Jika demikian kita akan dapat beristirahat untuk beberapa hari. Mereka pasti memerlukan waktu untuk mengetahui kekuatan para pengawas di daerah ini.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengharap bahwa setelah sembuh aku akan tetap diperkenankan tinggal di daerah ini, meskipun karena selama ini aku sudah gagal, aku tidak lagi menjadi tetua para pengawas. Aku puas apabila aku dapat melihat akhir dari permainan yang gila itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kau akan tetap berada di sini. Kau adalah salah seorang yang telah mengenal daerah ini sebaik-baiknya. Mengenal perkembangan keadaan dan masa-masa yang paling pahit di daerah ini.”

“Tetapi aku gagal mengatasi kesulitan. Usaha perluasan tanah garapan di sini menjadi sangat mundur. Bahkan aku pun telah terseret ke dalam suatu keadaan yang memalukan sekali. Aku sama sekali tidak berdaya melawan hantu-hantu itu, meskipun ternyata mereka sama sekali tidak berbeda dengan kita yang berkulit dan daging.”

“Meskipun kau tahu akan hal itu, tetapi memang sulit untuk melawan mereka. Ternyata jumlah mereka cukup banyak. Hari ini lebih dari sepuluh orang telah datang. Aku kira, di tempat persembunyian mereka, masih ada orang-orang yang lebih banyak lagi.”

“Kita dapat bertanya kepada orang-orang yang terluka itu.”

“Ya. Kita akan mendapatkan beberapa keterangan dari mereka meskipun tidak banyak. Besok kalau luka-luka mereka telah tidak membahayakan jiwanya, kita akan dapat mendengarnya.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Agung Sedayu berbisik, “Guru, apakah tidak mungkin mereka akan berbuat seperti orang yang kita simpan di dapur itu?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu, “Mungkin. Memang mungkin sekali.”

“Apakah yang dilakukan?” bertanya Sumangkar.

“Mereka membunuh kawan mereka sendiri sebelum melarikan diri. Maksudnya sudah jelas, agar kawannya tidak dapat memberikan penjelasan.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Kiai Gringsing pun berkata, “Karena itu, kita akan mengawasi mereka sebaik-baiknya. Apabila besok para pengawal itu benar-benar datang, kita akan mendapat banyak kawan untuk melakukannya.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya mudah-mudahan mereka benar-benar datang besok.”

“Bagaimana kalau tidak?” desis Swandaru,

“Kau yang akan menjaga mereka sepanjang hari.”

“Kau?”

“Aku akan tidur.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian di sandarkannya tubuhnya pada dinding barak sambil memejamkan matanya, “Aku yang akan tidur lebih dahulu.”

Agung Sedayu memandanginya sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesah, “Matahari sudah akan terbit.”

Dalam pada itu, perlahan-lahan langit menjadi semakin merah. Ternyata sampai saatnya pagi mulai memancar, tidak terjadi sesuatu, meskipun itu bukan berarti bahwa bahaya telah dapat diabaikan. Kemungkinan orang-orang itu datang di siang hari pun ada, apalagi setelah mereka tidak berhasil menakut-nakuti dengan kedok hantu-hantu Alas Mentaok. Mereka tidak dapat memilih jalan lain daripada menyatakan diri mereka sewajarnya.

Meskipun demikian, suasana pagi yang cerah telah membuat ketegangan-ketegangan di dalam barak itu menjadi agak mereda. Beberapa orang telah berani keluar dari dalam barak, mengambil air di sumur. Apalagi karena Kiai Gringsing berkata kepada mereka, “Sekarang kalian tahu, kalau kalian menjumpai apa pun, itu adalah manusia-manusia biasa seperti kita. Tinggal tergantung kepada kita sendiri. Apakah kita seorang penakut atau bukan.”

Demikianlah perlahan-lahan barak itu seakan-akan terbangun dari tidurnya. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera pergi ke barak yang lain untuk menenangkan ketegangan yang ada di dalam barak itu. Meskipun tidak pasti bagi mereka, apakah yang terjadi, tetapi hati mereka telah dicengkam olen kecemasan sepanjang malam.

Sumangkar dan Kiai Gringsing bergantian pergi mengambil air untuk membersihkan diri. Mereka masih harus mengawasi orang yang meskipun terluka, tetapi ada di antara mereka yang sudah dapat bangkit berdiri dan berjalan meskipun lemah.

Ketika hari menjadi semakin terang, orang-orang di dalam barak itu dengan diam-diam, memerlukan memperhatikan orang-orang yang terluka yang selama itu mereka sangka hantu-hantu.

Ternyata mereka adalah orang-orang biasa. Orang-orang yang mempunyai wadag seperti mereka sendiri. Tangan, kaki, kepala, dan anggauta-anggauta badan yang lain.

Kadang-kadang terasa juga hati mereka melonjak. Darah mereka merasa panas apabila mereka mengenangkan, apa saja yang pernah mereka alami di dalam barak itu. Tetapi mereka tidak berani melanggar pesan Agung Sedayu, dan agaknya mereka pun masih juga mempunyai harga diri, untuk tidak bertindak kasar terhadap orang-orang yang sudah tidak berdaya.

Ketika matahari sudah menjadi semakin tinggi. Kiai Gringsing telah memanggil Agung Sedayu dan Swandaru, “Kedua mayat yang masih ada di belakang barak itu harus dikuburkan.”

“Adi Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing, “tunggulah di sini. Orang-orang itu masih memerlukan pengawasan. Aku akan mengubur kedua orang di belakang barak itu.”

Ki Sumangkar mengangguk sambil menjawab, “Silahkan. Mudah-mudahan aku tidak tertidur.”

Mereka pun kemudian mengajak beberapa orang untuk pergi ke belakang barak. Orang-orang yang ikut dengan Kiai Gringsing itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak melihat, tetapi berdasarkan pendengaran mereka semalam dan bekas-bekas yang mereka jumpai kini, terasa dada mereka tergetar. Alangkah dahsyatnya perkelahian itu. Pohon-pohon perdu bertebaran seperti ditebas. Tanahnya bagaikan dibajak. Bahkan rerumputan pun telah terungkat beserta akar-akarnya.

“Mengerikan sekali,” seorang berdesis perlahan-lahan.

“Apa?” bertanya yang lain.

“Kau tidak melihat bekas perkelahian ini?”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa juga bulu-bulu tengkuknya meremang.

Sejenak kemudian mereka pun telah menemukan dua sosok mayat yang terbaring tidak berjauhan.

“Inilah mereka,” berkata Swandaru. Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya. Tubuh mayat itu menjadi kebiru-biruan. Wajahnya tegang, seolah-olah sedang menahan kesakitan yang amat sangat. Kedua belah matanya terbuka dan jari-jarinya seolah-olah sedang mencengkeram.

“Mengerikan sekali,” desis Swandaru. “Tampaknya mereka telah dicengkam oleh perasaan sakit yang tidak terhingga.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sebenarnya, meskipun perasaan sakit itu juga menjadi sebab ketakutannya menghadapi maut, namun yang lebih parah dari itu adalah ketidak-ikhlasannya menjelang tangan maut mencengkam mereka. Mereka menyesal, kecewa, dan segala macam perasaan sakit, karena sebelum mereka menghembuskan nafasnya yang penghabisan, mereka menyadari, bahwa ternyata kawan mereka sendirilah yang telah membunuh mereka dengan semena-mena. Itulah yang membuat mereka dihantui oleh sentuhan maut itu.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka adalah anak-anak muda yang pernah menyaksikan kematian-kematian di peperangan. Tetapi kali ini mereka masih juga merasa ngeri. Terbayang dimata mereka, penderitaan yang tidak terhingga menyertai kematian mereka.

“Racun itu bekerja dengan sempurna,” desis Kiai Gringsing.

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang yang menyaksikan pun menjadi ngeri pula. Penderitaan itu terlampau berat.

Demikianlah mereka kemudian menyelenggarakan penguburan mayat itu secukupnya. Bagaimana pun juga mereka harus memperlakukan mereka sebagai sesamanya.

Ketika semuanya sudah selesai, maka orang-orang itu pun kembali ke barak mereka. Mereka duduk-duduk di tangga serambi. Yang mereka bicarakan adalah orang-orang yang kini masih berada di serambi itu. Sebagian masih terbaring diam, sedang yang lain duduk bersandar dinding sambil menundukkan kepala mereka. Mereka merasa seakan-akan setiap mata memandang mereka dengan tajamnya. Ejekan dan umpatan membayang di wajah-wajah orang yang berada di sekitarnya.

Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru pun kemudian duduk pula diserambi itu bersama Ki Sumangkar dan pemimpin pengawas yang masih belum sembuh benar dari lukanya itu.

Sementara itu sepasukan kecil pengawal berkuda sedang berpacu melewati jalan-jalan kecil menuju ke hutan yang sedang dibuka dan yang selalu diganggu oleh hantu-hantu. Sebenarnya hampir di semua daerah, tetapi yang didiami oleh Ki Truna Pedang itulah yang seakan-akan merupakan letusan yang paling keras, sehingga perhatian Mataram langsung tertuju ke daerah itu.

Di daerah lain, hantu-hantu masih tetap berkuasa karena tidak ada orang yang berusaha untuk meyakinkan, bahwa mereka sebenarnya bukan hantu.

Ki Gede Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya, agaknya terlampau sibuk, sehingga mereka tidak sempat secara terus-menerus mengawasi suatu daerah tertentu.

Tetapi kini mereka terpaksa mengkhususkan persoalan yang mereka hadapi karena ada perkembangan yang khusus pula.

Sekelompok pengawal berkuda itu langsung dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri. Di tangannya digenggamnya tombak pusakanya, sedang di lambungnya terselip keris Kiai Naga Kumala.

Sambil memandang lurus ke depan, Raden Sutawijaya berkuda di belakang pengawas yang datang memberitahukan apa yang sudah terjadi, sedang di belakangnya Wanakerti yang sebenarnya masih belum sehat benar, tidak mau tinggal di Mataram. Bagaimana pun juga ia menyatakan keinginannya untuk ikut serta kembali ke tempat tugasnya.

“Aku ingin melihat akhir cerita yang mendebarkan itu?” katanya di dalam hati.

Berdasarkan pengalaman para pengawas yang pergi ke Mataram untuk menyampaikan laporan itu, maka mereka harus berhati-hati. Meskipun kelompok itu agak lebih besar dari hanya tiga orang, namun kemungkinan yang tidak terduga-duga dapat saja terjadi.

Raden Sutawijaya yang diiringi oleh sepuluh, orang pengawas itu telah mulai menyusup hutan-hutan rindang. Kuda mereka kini tidak dapat berlari terlampau cepat. Jalan yang sempit itu kadang-kadang tertutup oleh sampah dan ranting-ranting pepohonan yang patah. Sulur-sulur kayu yang bergayutan pada dahan-dahan pepohonan telah mengganggu perjalanan itu pula.

Tetapi lebih daripada itu, setiap saat mereka dapat saja dengan tiba-tiba diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal dan jumlahnya sama sekali tidak dapat mereka bayangkan. Mereka sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang gerombolan orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan yang lebat itu.

Kadang-kadang dada mereka menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka menyandang pusaka rangkap, tetapi seandainya tiba-tiba mereka dihadapkan pada sekelompok orang-orang yang ganas itu sebanyak lima puluh orang, apakah mereka akan dapat melawan.

Tetapi hati mereka menjadi teguh apabila mereka melihat Raden Sutawijaya yang berkuda di depan mereka, selalu menengadahkan wajahnya memandang lurus ke depan.

Dalam pada itu, selagi pasukan itu beriringan di dalam hutan yang tidak begitu lebat, beberapa pasang mata mengikutinya dengan saksama. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berjambang lebat mengatupkan giginya rapat-rapat. Perlahan-lahan ia berdesis kepada orang yang berdiri di sampingnya. Dan orang itu adalah Kiai Damar, “Sayang, kita tidak membawa orang cukup untuk menghancurkan mereka.”

“Hati-hatilah,” berkata Kiai Damar, “ternyata daerah Mataram menyimpan banyak rahasia yang tidak kita ketahui. Kita yang merasa telah mengenal hutan ini sebaik-baiknya, namun ternyata perhitungan kita masih keliru juga. Semalam aku telah gagal lagi. Ternyata orang-orang tua yang ada di dalam barak itu bukan orang-orang kebanyakan. Kau harus membuat perhitungan yang cermat untuk menentukan sikap di sini.”

“Aku akan menghadap guru,” berkata orang berjambang itu.

Kiai Damar mengerutkan keningnya. Katanya, “Itu akan lebih baik daripada kita bertindak sendiri. Aku tidak dapat mengimbangi salah seorang dari dua orang tua-tua yang ada di barak itu. Dan barangkali kau masih harus menyediakan tenaga sepenuhnya untuk melawan anak-anaknya.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Karena itu aku akan menghadap guru. Tidak ada seorang manusia pun yang akan dapat melawannya. Bahkan seandainya Ki Gede Pemanahan sendiri akan turun ke gelanggang, maka itu akan berarti rencananya semakin cepat musnah. Ia tidak akan berhasil menyelesaikan kerja ini.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Mudah-mudahan orang tua itu tidak berkeberatan.”

“Tentu tidak? Bukankah guru juga yang menganjurkan kita melakukan ini semua? Dan Paman menyetujuinya?”

“Ya,” Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya, “tetapi menghancurkan mereka bukan penyelesaian yang tuntas. Seandainya Ki Gede Pemanahan terusir dari Mentaok sekali pun, bahkan terbunuh, maka kau masih akan menghadapi soal-soal lain.”

“Itu sudah aku perhitungkan, Paman. Maksud Paman, bahwa kekuasaan Sultan Pajang masih tetap mencakup hutan Mentaok.”

“Ya.”

“Sultan Pajang akan berterima kasih kalau usaha Pemanahan gagal. Bukankah dengan berat hati Sultan Pajang menyerahkan Mataram kepada Pemanahan? Kalau Sultan tidak mengingat putera angkatnya itu anak Pemanahan, maka aku kira Pemanahan justru sudah digantungnya di alun-alun.”

“Mungkin begitulah kalau kau yang kebetulan menjadi Sultan Pajang. Seorang Raja tidak akan berbuat demikian. Ia telah berjanji untuk menyerahkan Pati dan Alas Mentaok kepada mereka yang dapat membunuh Arya Penangsang. Penjawi sudah mendapatkan Pati, dan wajar sekali kalau Pemanahan menuntut Bumi Mentaok.”

“Tetapi Sultan juga tahu, bahwa yang membunuh sebenarnya bukan Pemanahan dan Penjawi, tetapi putera angkatnya itu.”

“Tentu. Tetapi laporan yang diterimanya menyebut bahwa yang melakukan adalah Penjawi dan Pemanahan. Ia tidak akan dapat ingkar akan janjinya. Siapa pun yang melakukannya, tetapi keduanya yang menyatakan dirinya tanpa ada orang lain yang mengemukakan keberatannya.”

“Nah, karena itulah maka kegagalan Pemanahan akan menyenangkan hatinya. Karena ia memberikan Mataram tidak dengan ikhlas hati.”

“Lalu bagaimana dengan Pati?”

Orang berjambang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.

“Sultan Pajang tidak pernah mempersoalkan Pati. Kenapa ia berkeberatan atas Mentaok?” bertanya Kiai Damar.

“Mentaok terlampau dekat dengan pusat pemerintahan Pajang.”

“Bukan itu. Tetapi bagi Sultan Pajang, menyerahkan Mentaok secara resmi tidak ada gunanya, karena akhirnya ia akan memberikan juga kedudukan kepada anak Pemanahan. Buat apa Pemanahan harus menuntut haknya apabila kelak akan temurun juga kepada Sutawijaya. Tentu Sultan Pajang menilai juga hal itu. Tetapi ia pasti tidak akan berkeberatan apabila pada suatu saat Mentaok dapat menjadi ramai. Bukankah kelak Sutawijaya juga yang akan menjadi penguasa daerah ini? Apakah kelak ia akan menguasai Mataram sebagai seorang putera raja yang mewakili kekuasaan ayahnya, atau sebagai seorang adipati, seperti Sultan Pajang dahulu atau sebagai kepala suatu daerah yang mendapat hak sebagai tanah perdikan, itu masih belum jelas.”

“Tetapi seperti yang Paman katakan sendiri, Sultan agaknya memang mencurigai niat Pemanahan. Inilah yang harus dimanfaatkan.”

Kiai Damar merenung sejenak. Keningnya masih juga berkerut-merut. Tetapi kini iring-iringan yang dipimpin Raden Sutawijaya sudah menjadi semakin jauh dan hilang di balik rimbunnya dedaunan.

“Bagaimana kau dapat memanfaatkan kecurigaan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan atau justru kepada putera angkatnya itu?”

“Serahkan kepadaku. Sultan pasti akan segera menggerakkan senapati muda yang dikuasakan didaerah Selatan ini. Apakah kau kenal dengan Untara?”

“Orangnya belum. Tetapi namanya sudah. Hampir setiap orang di daerah Selatan mengenalnya. Menurut pendengaranku, Untara-lah yang menyelesaikan masalah orang-orang Jipang yang kehilangan pegangan sesudah Arya Penangsang gugur.”

“Ya. Ia telah berhasil membunuh Tohpati, Macan Kepatihan.”

“Apakah yang dapat dilakukan oleh Untara?”

“Untara adalah seorang senapati. Ia akan menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Sultan Pajang. Ia adalah seorang yang setia. Ia ikut berjuang menegakkan Pajang.

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan Untara benar-benar seorang senapati yang baik.”

“Tentu.”

“Tetapi,” berkata Kiai Damar, “apa hubungannya dengan usaha kita sekarang?”

“Kita akan mendesak Sutawijaya. Kita akan melontarkannya ke luar dari dalam hutan. Dan kita berharap bahwa kita dapat berbuat sesuatu di istana untuk memancing Untara mendekati pusat pemerintahan tanah yang baru di-buka ini, sehingga Sutawijaya akan menghadapi kesulitan. Ia harus mengatasi perlawanan dari dalam hutan ini, yang meskipun agaknya cara kita yang pertama sudah gagal karena kehadiran orang-orang gila yang menyebut dirinya gembala itu, tetapi kita akan mencari cara lain, bahkan kalau perlu seperti yang sudah kita lakukan. Beradu dada. Kita menyerang di setiap saat, kemudian kita akan menarik diri. Selain itu, Sutawijaya harus selalu berhati-hati menghadapi pasukan Untara yang mendekati pusat pemerintahan tanah Mataram.”

Kiai Damar mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak untuk mencoba mencernakan kata-kata orang berkumis itu. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku kurang mengerti jalan pikiranmu.”

“Paman,” berkata orang itu, “katakanlah bahwa Sultan Pajang tidak banyak mempunyai tuntutan atas tanah Mataram. Ia sudah memberikan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan kecurigaan itu, kecurigaan atas Ki Gede Pemanahan, sehingga ia berada di simpang jalan. Ia melepaskan Mataram dengan harapan agar putera angkatnya dapat mempergunakannya sebaik-baiknya, tetapi juga ia curiga kalau Mataram kelak justru menjadi besar di bawah Ki Gede Pemanahan.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih juga berkata, “Ada beberapa perbedaan tangkapan. Tetapi pada dasarnya kau telah mencoba mengerti pikiranku. Aku juga mengerti jalan pikiranmu. Kau akan menempuh dua jalan apa pun yang ada di dalam hati Sultan Pajang. Kita harus dapat meraba-raba. Tetapi kalau kau berhasil, mungkin kau akan mendapat tempat yang baik. Aku setuju. Tetapi kau harus berhati-hati agar kau tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang dapat membawamu ke tiang gantungan.”

Orang berjambang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan selalu minta nasehat guru.”

“Aku tahu, gurumu jugalah yang mempunyai pikiran itu.”

“Ya.”

“Ia adalah orang yang paling benci terhadap Pemanahan justru karena Pemanahan membuka hutan ini. Mudah-mudahan orang Mangir dapat bekerja bersama dengan kita di sini.”

Orang berjambang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai Damar berkata, “Tetapi apakah kau akan segera pergi ke Pajang?”

“Aku akan menunggu sejenak. Kemudian aku akan pergi ke Pajang lewat Jati Anom. Kalau mungkin aku akan melihat kesiagaan Untara meskipun aku tidak akan menemuinya. Kalau pada suatu saat aku datang ke Jati Anom, aku akan membawa perintah dari Pajang kepada, Untara untuk memagari Mataram dengan pasukan.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya. Tetapi kau harus menyesuaikan dirimu setiap saat ada perubahan tanggapan atas sikap dan pendapat Sultan Pajang.”

Orang itu mengangguk.

“Marilah, kita kembali. Kita melakukan persiapan baru menghadapi perkembangan keadaan. Kita menyusun rencana dari dalam hutan ini, sebelum kau berhasil menggiring Untara datang ke pinggir Alas Mentaok.”

Orang-orang itu pun kemudian meninggalkan tempat persembunyiannya. Kuda-kuda yang mereka intip pun sudah menjadi sangat jauh.

Dalam pada itu Sutawijaya dan pasukannya pun yang kecil itu maju terus mendekati barak yang telah menarik perhatian itu. Semakin lama semakin dekat. Ternyata mereka tidak menemui kesulitan apa pun di perjalanan mereka yang melelahkan.

Derap kaki-kaki kuda yang mendekati barak itu pun segera didengar oleh orang-orang yang sedang duduk-duduk di sekitar barak mereka. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera bangkit dan turun ke halaman. Banyak kemungkinan dapat terjadi dengan derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu, ia pun harus berhati-hati.

Kiai Gringsing dan Sumangkar pun telah berdiri pula di tangga serambi, sedang beberapa orang yang terluka itu menjadi berdebar-debar pula. Mereka tahu benar bahwa dua orang kawannya yang terbunuh itu justru mati oleh kawan mereka sendiri. Itulah sebabnya mereka menjadi sangat cemas, siapa pun yang datang. Ia cemas kalau yang datang itu para pengawal dari Mataram, karena mereka akan segera diserahkan untuk mendapatkan hukuman. Tetapi mereka juga cemas apabila yang datang itu kawan-kawan mereka sendiri.

Sejenak kemudian kuda-kuda itu telah memasuki halaman barak di pinggir hutan. Dibayangi oleh sebuah senyum di bibirnya, Sutawijaya memandang Agung Sedayu dan Swandaru yang datang menyongsongnya.

“Aku sudah menduga,” kata-kata itulah yang pertama-tama diucapkan oleh Sutawijaya.

Tetapi anak muda yang masih di atas punggung kuda itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru membungkukkan badannya dalam-dalam sambil berkata, “Kami di sini semuanya mengucapkan selamat datang. Meskipun kami belum mengetahui siapakah Tuan, tetapi kami pasti, bahwa Tuan adalah salah seorang pemimpin dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini.”

Pengawal yang berkuda di paling depan sudah meloncat dari kudanya. Ia tidak sempat memikirkan, kenapa Sutawijaya berkata, bahwa ia ‘sudah menduga’.

“Yang datang adalah puteranya Ki Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar,” berkata pengawas itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru.

“Hormat kami berdua bagi Raden Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hati ia menggerutu, “Anak-anak ini sudah kejangkitan penyakit gurunya.”

Tetapi Sutawijaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Bahkan tiba-tiba ia bertanya, “Di mana ayahmu?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia tersenyum kecil. Ternyata Sutawijaya mengerti bahwa ia tidak ingin segera menyebut nama Agung Sedayu.

“Itulah, Tuan,” jawab Agung Sedayu sambil menunjuk kepada seorang tua yang berdiri di tangga, di samping Sumangkar.

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba pula ia berdesis, “Paman Sumangkar ada di sini pula?”

Agung Sedayu tidak menyahut.

Tetapi Sutawijaya pun kemudian tersenyum. Sambil turun dari kudanya ia berkata, “Kaliankah yang disebut orang-orang yang bersenjata cambuk?”

Agung Sedayu mengangguk, “Memang kami adalah keturunan gembala yang selalu membawa cambuk.”

Sutawijaya menepuk bahu Agung Sedayu sambil berbisik, “Macam kau. Kenapa kau masih saja suka bermain-main.”

“Kami menghadapi hantu-hantu,” desis Agung Sedayu.

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam.

Para pengiringnya pun kemudian telah turun pula dari kuda mereka, dan menambatkannya di halaman. Perlahan-lahan mereka melangkah maju mendekati barak. Pemimpin pengawas yang terluka dengan susah payah, dibimbing oleh Kiai Gringsing berusaha untuk menyongsong kedatangan Sutawijaya.

“Kaukah yang terluka?”

“Ya, Tuan,” jawab pemimpin pengawas itu.

“Dan kau gembala tua yang bersenjata cambuk dan berkain Gringsing itu?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab sambil tersenyum pula, “Sampai begitu teliti laporan itu sampai kepada Tuan. Apakah pengawas itu menyebut bahwa berkain gringsing yang sudah lusuh?”

Sutawijaya tertawa. Tetapi pengawas yang berdiri di belakangnya, yang membawa laporan kepada putera Pemanahan itu menjadi terheran-heran. Ia sama sekali tidak menyebutkan pakaian orang tua itu, apalagi menyebutkan berkain gringsing. Ia hanya mengatakan bahwa gembala itu bersama dua anaknya bersenjata cambuk.

“Inilah tempat yang ada,” berkata pemimpin pengawas yang terluka itu. “Kami tidak dapat mempersilahkan pada tempat yang lebih baik.”

Sutawijaya memandang pemimpin pengawas itu sejenak, lalu, “Agaknya lukamu cukup parah. Beristirahatlah. Jangan kau risaukan tempat untuk rombongan kami. Kami adalah sama-sama prajurit dan pengawal Tanah yang baru dibuka ini. Kami harus menyesuaikan diri di dalam segala keadaan.”

Pemimpin pengawas itu menganggukkan kepalanya

“Aku ingin mendengar berita tentang daerah ini. Biarlah kawanmu yang kemarin datang ke Mataram bercerita tentang perjalanannya yang sangat berat, sehingga salah seorang dari mereka telah menjadi korban.”

“He?” pemimpin pengawas itu terkejut. Sutawijaya berpaling kepada pengawas yang datang kepadanya sambil berkata, “Nanti kau ceritakan perjalananmu dan Wanakerti kepadanya. Sekarang aku ingin mendengar laporannya tentang daerah ini.”

Pemimpin pengawas itu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Tetapi kami ingin mempersilahkan Tuan duduk sejenak.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian berjalan ke serambi barak bersama pemimpin pengawas itu, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, Swandaru, dan Sumangkar.

“Apakah kau juga seorang gembala?” bertanya Sutawijaya kepada Sumangkar sambil tertawa. “Jika kau juga seorang gembala tunjukkan cambukmu kepadaku.”

Sumangkar tersenyum. Sambil membungkukkan badannya ia berkata, “Yang aku gembalakan bukan domba, Tuan. Tetapi diriku sendiri.”

Sutawijaya pun tertawa pula.

Ternyata sikap Sutawijaya kepada keempat orang itu membuat pemimpin pengawas dan para pengawas yang lain menjadi heran. Bahkan orang-orang yang kemudian berkerumun di bawah tangga serambi pun menjadi heran pula. Tetapi mereka tidak bertanya apa pun tentang mereka.

Tetapi ketika mata Sutawijaya menyentuh orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu pun ia mengerutkan keningnya. Dan sebelum ia berkata sesuatu, pemimpin pengawas itu sudah mendahuluinya, “Itulah yang akan aku laporkan kepada Tuan.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian duduk di serambi itu di atas tikar yang sudah kumal, sedang para pengiringnya tetap berada di halaman.

Sejenak Sutawijaya masih memandangi orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu. Sedang orang-orang yang terluka itu pun menjadi semakin cemas karenanya. Yang datang ternyata adalah pemimpin tertinggi dari Mataram. Beberapa di antara mereka yang sudah dapat duduk bersandar dinding, tiba-tiba telah membaringkan dirinya pula di samping kawan-kawannya.

“Itulah hantu-hantu Alas Mentaok yang kamanungsan,” berkata Kiai Gringsing.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hantu-hantu yang malang. Apakah mereka kehilangan kesaktian mereka untuk melenyapkan diri?”

“Hantu-hantu yang sudah terlanjur tersentuh tangan manusia tidak akan dapat melenyapkan dirinya lagi. Itulah sebabnya aku katakan kepada Tuan, mereka adalah hantu yang kamanungsan. Apalagi sesudah matahari terbit, mereka tidak akan berdaya sama sekali.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah mereka sudah dapat diajak berbicara dengan bahasa manusia.”

“Tentu, Tuan, tetapi luka-luka mereka kadang-kadang masih mengganggu. Mungkin Tuan harus menunggu beberapa saat. Kalau keadaan mereka menjadi baik, maka mereka akan segera dapat menjawab pertanyaan yang diberikan kepada mereka.”

Sutawijaya masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia bertanya, “Darimana kalian dapat menangkap hantu-hantu itu?”

“Mereka datang sendiri kemari. Semalam,” jawab Kiai Gringsing.

“Menyenangkan sekali,” desis Sutawijaya. Orang-orang yang terluka itu mendengarkan percakapan Sutawijaya dan gembala tua yang bersenjata cambuk itu dengan hati yang terasa menjadi semakin panas. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi sekarang, di hadapan pemimpin tertinggi Mataram yang membawa beberapa orang pengawal.

Kiai Gringsing pun kemudian berkata kepada pemimpin pengawas itu, “Kaulah yang berkewajiban untuk menyampaikan laporan tentang keadaan di daerah ini.”

“Ya. Akulah yang berkewajiban,” tetapi ia kemudian berkata kepada Sutawijaya, “Tetapi maaf Tuan. Ternyata Ki Truna Podang lebih banyak mengetahui keadaan di daerah ini daripada aku. Apalagi setelah aku terluka. Karena itu, apabila Tuan tidak berkeberatan, biarlah Ki Truna Podang sajalah yang memberikan laporan tentang daerah ini atas namaku.”

“O, jadi orang inilah yang bernama Truna Podang.”

Pemimpin pengawas itu justru menjadi termangu-mangu, sedang pengawas yang membawa laporan ke Mataram pun, yang mendengar juga dari bawah tangga, menjadi heran. Ia memang menyebut nama orang tua itu Truna Podang, gembala yang bersenjata cambuk.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Mungkin aku dianggap orang yang banyak berbicara, sehingga akulah yang paling pantas untuk menyampaikan laporan ini.”

“Ah,” pemimpin pengawas itu berdesah. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak menyatakan keheranannya, bahwa di hadapan Raden Sutawijaya, gembala tua itu seakan-akan berbicara sesuka hatinya. Dan agaknya Sutawijaya sendiri bersikap aneh pula terhadap gembala itu beserta anak-anak dan tamunya.

Kiai Gringsing pun kemudian menceritakan kepada Sutawijaya apa yang sudah terjadi di sekitar barak itu. Diberinya sedikit pengantar tentang apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya. Pertentangan-pertentangan yang timbul, sikap yang kasar dan mencurigakan. Kemudian perselisihan di antara mereka sendiri. Akhirnya terjadilah peristiwa semalam. Dan Kiai Gringsing tidak lupa pula mengatakan, bahwa mereka telah membunuh kawan-kawan mereka yang tidak mereka perlukan lagi.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Samar-samar ia dapat membayangkan apa yang sudah terjadi. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Apakah jadinya kalau Kiai Gringsing tidak datang ke tempat ini.”

Namun dengan demikian Sutawijaya segera dapat mengambil kesimpulan pula, bahwa di tempat-tempat lain yang selalu diganggu oleh hantu-hantu itu pun pasti terjadi persoalan yang serupa. Yang mengganggu itu pasti sama sekali bukan hantu, seperti yang terjadi di tempat ini.

“Jika demikian, mereka pasti mempunyai kekuatan yang cukup dan jumlah orang yang memadai. Mereka ternyata menguasai daerah yang luas di sekitar Alas Mentaok. Hampir setiap daerah pembukaan hutan, hantu-hantu itu selalu mengganggu mereka dan berusaha mendesak mereka keluar dari tlatah hutan Mentaok.”

“Kita sudah dapat menduga, apakah maksud mereka. Tetapi maksud yang lebih dalam lagi, kita masih harus meraba-raba.”

“Ya. Mula-mula mereka akan menggagalkan pembukaan hutan ini. Selanjutnya, kita belum tahu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kita mempunyai beberapa orang tawanan. Kita akan segera dapat bertanya kepada mereka apabila keadaan mereka berangsur baik.”

“Ya. Tetapi apakah peristiwa ini tidak akan mempengaruhi sikap mereka di daerah-daerah yang lain?”

“Memang mungkin. Tetapi aku kira mereka sedang memusatkan perhatian mereka di tempat ini. Di tempat yang mereka anggap tidak menguntungkan dan berbahaya.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sebagai seorang pemimpin ia tidak membatasi sudut pandangannya sekedar daerah yang sedang dihadapinya. Tetapi Sutawijaya mulai membuat gambaran apa yang dapat terjadi di daerah-daerah lain. Mungkin pembalasan dendam, mungkin pelepasan sakit hati atau semacam itu. Bahkan di beberapa tempat yang masih belum mendengar peristiwa ini, pasti masih selalu dibayangi oleh ketakutan karena hantu-hantu Alas Mentaok.

Tetapi agaknya hantu-hantu itu kini memang justru sedang menyoroti daerah yang mereka anggap sebagai pintu gerbang dari kegagalan mereka. Meskipun mereka dapat berbuat banyak di daerah lain, namun dari daerah ini pasti akan tersebar berita tentang peristiwa yang telah terjadi di sini.

Sementara itu Sutawijaya masih merenungi daerah yang sedang dibinanya. Mataram. Daerah yang sedang dikembangkannya menjadi suatu negeri yang ramai. Namun kini ia harus menghadapi rintangan yang cukup berat baginya.

Sejenak kemudian maka Sutawijaya itu pun berkata, “Aku mempunyai perhitungan, bahwa mereka, maksudku orang-orang yang tidak kita kenal itu, pasti sedang menyiapkan orang-orangnya yang terpencar. Mereka pasti menyiapkan diri untuk suatu tindakan yang cermat atas daerah ini. Mereka harus dapat menyembunyikan kekalahan mereka serapat-rapatnya, supaya mereka masih mempunyai lapangan yang luas untuk membuat rencana-rencana baru bagi daerah-daerah yang lain.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” jawab orang tua itu, “Beberapa dari orang-orang mereka itu tertawan di sini. Mereka pasti mempunyai rencana untuk itu. Mengambil mereka, atau membinasakan mereka sama sekali.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Bahkan mungkin ia akan berbuat lebih jauh lagi di sini.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya halaman yang terhampar di depan barak itu. Kemudian pepohonan yang jarang, dikelilingi oleh pagar yang lemah. Di muka barak itu sebuah jalan menghubungkan regol halaman ini dengan gardu pengawas yang kosong. Sedang ujung lain adalah barak yang sebuah lagi.

“Untuk sementara kita hanya dapat bertahan,” berkata Sutawijaya. “Aku tidak memperhitungkan sampai sejauh ini ketika aku belum melihat keadaan terakhir. Sedang para pengawas yang datang ke Mataram itu pun masih belum dapat mengatakannya, karena hal itu terjadi setelah mereka meninggalkan tempat ini.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah ada di antara mereka yang sudah dapat diajak berbicara?” bertanya Sutawijaya.

Kiai Gringsing mengangguk.

“Ada dua atau tiga orang yang meskipun tidak terlalu banyak, dapat dimintakan keterangan kepada mereka.

“Aku ingin berbicara dengan mereka. Sedikit saja.”

“Silahkan.”

Sementara orang-orang di dalam barak itu menyediakan minuman panas untuk Sutawijaya dan pengiringnya, Sutawijaya sendiri bangkit berdiri diikuti oleh Kiai Gringsing mendekati orang-orang yang terluka.

“Orang yang berdahi lebar itulah yang agaknya dapat dibawa berbicara meskipun tidak terlampau banyak. Lukanya tidak begitu parah. Bahkan ia sudah dapat duduk bersandar dinding.”

Sutawijaya memandang orang yang berdahi lebar itu. Katanya kemudian, “Apanya yang terluka?”

“Pundak dan lambungnya. Darahnya kadang-kadang masih mengalir apabila ia terlalu banyak bergerak. Orang ini agak keras kepala. Kadang-kadang ia menggeliat atau bangkit dengan tiba-tiba.”

“Tetapi masih ada tempat untuk mencekiknya atau menikam dengan keris pusaka ini.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sutawijaya itu. Apalagi ketika Sutawijaya kemudian berdiri setapak di samping orang itu.

“Siapa namamu?” bertanya Sutawijaya.

Orang itu tidak menyahut.

“Siapa namamu?”

Orang itu masih diam saja.

“Kau tidak mau menjawab? Baiklah. Sekarang aku bertanya tentang yang lain. Siapakah pemimpin yang tertinggi yang kau kenal di dalam gerombolanmu. Katakanlah, hantu yang paling tinggi derajatnya. Apakah kau kenal?”

Orang itu tidak menyahut.

“Dan berapa orang yang ada di dalam lingkunganmu seluruhnya yang tersebar di hutan ini?”

Orang itu sama sekali tidak menjawab.

Tetapi orang yang berdahi lebar itu, bahkan kawannya yang berbaring di sekitarnya, terkejut ketika tiba-tiba saja Sutawijaya tertawa, “Bagus. Memang seharusnya kau tidak menjawab. Kau adalah laki-laki yang sudah berjanji untuk terjun ke dalam dunia yang hitam. Karena itu, kau harus tetap bertekad di dalam keadaan apa pun juga untuk bersatu di dalam ikatan batin dengan kawan-kawanmu, meskipun kadang-kadang pemimpinmu sendiri kurang mempercayaimu. Terbukti ada di antara kawan-kawanmu yang mati terbunuh oleh pemimpin-pemimpinmu sendiri, pemimpin-pemimpin kecil.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Nah, sebelum kau dibunuh oleh kawan-kawanmu sendiri, kau harus menunjukku bahwa kau adalah seorang laki-laki. Ketahuilah, bahwa pada suatu saat, kalian akan kami tempatkan di halaman ini sambil mengikat kalian pada tiang-tiang. Kalian akan menjadi sasaran latihan memanah yang baik sekali bagi kawan-kawan kalian yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar di sekitar banjar ini. Kalau mereka tidak pandai memanah, maka mereka akan merayap dengan diam-diam mendekati kalian di malam hari, dan menikam dada kalian dengan keris, atau dengan tombak. Apakah kalian mengerti?”

Orang itu masih membeku. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Bahkan kawan-kawannya yang lain, yang terluka parah pun menjadi semakin kecut.

“Tetapi sebelum itu, kami akan berusaha memeras keterangan dari kalian dengan segala cara. Kami tahu, bahwa kalian adalah orang-orang jantan, yang tidak akan membuka mulut kalian. Karena itulah maka kami akan memperlakukan kalian sebagai laki-laki jantan. Kami akan menyiksa kalian dengan cara yang paling kejam yang pernah disebut oleh manusia beradab.”

Kata-kata Sutawijaya itu benar-benar telah mengejutkan orang-orang yang mendengarnya. Bukan saja orang-orang yang sedang terluka, yang terbaring sebagai tawanan, tetapi juga orang-orang di barak itu. Bahkan Kiai Gringsing dan kedua muridnya serta Sumangkar pun menjadi heran pula.

“Apakah kemarahan Raden Sutawijaya benar-benar telah sampai ke puncak ubun-ubunnya, sehingga ia akan memperlakukan orang-orang yang sudah tidak berdaya itu sedemikian kejamnya,” pertanyaan itu timbul di setiap dada.

Namun demikian, ada juga orang-orang yang berkata di dalam hati. “Nah, ternyata putera Ki Gede Pemanahan pun memperlakukan demikian. Kenapa orang tua dan kedua anak-anaknya itu telah mencegah kami? Seandainya Raden Sutawijaya itu ada di sini, aku kira kita akan dapat melakukannya, meskipun harus membiarkan dua atau tiga di antaranya tetap hidup untuk memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan.”

Tetapi kini tawanan-tawanan itu sudah berada di tangan Sutawijaya. Orang-orang yang masih dibakar oleh dendam itu hanya dapat menunggu. Mungkin mereka akan mendapat giliran pula untuk melepaskan sakit hati mereka

“Bersiaplah,” berkata Sutawijaya, “kau, orang yang berdahi lebar yang tidak mau menyebut namanya dan tidak mau menjawab semua pertanyaanku itulah yang harus mengalaminya pertama-tama. Kau tidak berkeberatan?”

Wajah orang itu menjadi pucat

“He, kenapa kau menjadi pucat seperti orang yang ketakutan? Bukankah kau seorang laki yang sudah menentukan sikap? Jangan menjadi pengecut. Jangan membuat lingkungan yang kau pilih menjadi malu. Kau harus menengadahkan wajah dan dadamu sambil berkata, “Inilah aku. Salah seorang dari segerombolan orang-orang yang telah menghimpun diri dengan rahasia. Kami terdiri dari laki-laki jantan yang tidak gentar menghadapi setiap kemungkinan” Bukankah begitu? Dengan demikian kau masih dapat berbangga di saat-saat terakhir.”

Orang berdahi lebar itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin pucat.

“Bawalah orang ini,” perintah Sutawijaya sambil berpaling kepada pengiringnya, “bawalah orang ini ke belakang barak ini. Aku ingin melihat, sampai di mana ia mempertahankan kejantanannya. Sediakan sepotong dahan cangkring yang berduri rapat dan semangkuk air garam.”

“Jangan, jangan,” tiba-tiba orang berdahi lebar itu berteriak.

“Kenapa kau berteriak seperti seorang pengecut? Kau adalah seorang laki-laki. Sebelum dadamu remuk dan kulitmu terluka arang kranjang, kau tidak boleh menjawab setiap pertanyaanku. Dengan demikian kau akan menodai kejantanan kalian.” Lalu sekali lagi Sutawijaya memerintahkan kepada pengiringnya, “Bawa orang ini ke belakang barak.”

Ketika beberapa orang naik ke serambi, orang itu tiba-tiba bangkit berdiri. Dengan sisa tenaganya ia ingin meloncat dan berlari. Tetapi ternyata Sutawijaya benar-benar tangkas. Dengan cepatnya ia menangkap lengan orang itu dan menariknya, “Kau mau lari?”

“Ampun,” teriaknya. Lukanya tiba-tiba terasa menjadi demikian sakitnya disertai dengan perasaan takut yang luar biasa.

“Jangan meronta-ronta seperti kanak-kanak,” berkata Sutawijaya, “lukamu akan berdarah lagi.”

“Jangan, jangan,” orang itu masih tetap meronta ketika dua orang pengawal memegang lengannya dan membawanya turun dari serambi.

“Jagalah luka-lukamu. Kenapa kau tiba-tiba saja menjadi seorang pengecut.”

Orang itu tidak sempat menjawab. Ia masih saja berteriak dan meronta-ronta. Tetapi kedua pengawal itu membawanya langsung ke belakang serambi.

“Seorang pun tidak boleh melihat caraku memeriksa orang itu,” berkata Sutawijaya sambil mengedarkan pandangan matanya. “Para pengawalku akan menjaga. Siapa yang memaksa ingin melihat, akan mengalami nasib yang serupa dengan orang itu. Aku tidak ingin kalian tidak dapat tidur sepanjang hidup kalian karena kalian melihat, bagaimana aku menyiksa orang yang tidak mau menjawab pertanyaanku. Hanya orang-orang yang aku tunjuk sajalah yang boleh mengikuti aku.”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

“Aku minta perintah ini ditaati,” berkata Sutawijaya kemudian. Dan diperintahkannya para pengawalnya untuk mengawasi orang-orang di barak itu. Katanya kemudian, “Para tawanan ini pun harus diawasi baik-baik. Siapa yang mencoba melarikan diri, ia pasti akan menyesal, karena ia akan mengalami perlakuan yang lebih mengerikan.”

Barak itu telah dicengkam oleh kengerian yang memuncak. Dada mereka menjadi tegang dan darah mereka serasa menjadi semakin lambat mengalir.

Sutawijaya kemudian meninggalkan serambi itu, pergi ke belakang barak. Yang dibawanya adalah Truna Podang beserta kedua anaknya dan Sumangkar. Seorang pengawal dan pemimpin pengawas yang terluka itu.

“Kalau kau ingin membalas, kau akan mendapat kesempatan,” berkata Sutawijaya. Tetapi pemimpin pengawas itu tidak menjawab. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa demikianlah yang akan dijumpainya, justru setelah Sutawijaya sendiri datang.

Orang yang berdahi lebar itu masih saja meronta-ronta. Apalagi ketika ia melihat kehadiran Sutawijaya. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Jangan, jangan, jangan Tuan. Aku minta ampun. Aku minta ampun.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dilihatnya orang itu menjadi sangat ketakutan. Wajahnya menjadi seputih kapas dan matanya meratap minta belas kasihan.

Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru serta pemimpin pengawas yang terluka itu masih berdiri termangu-mangu. Namun terasa dada mereka terguncang-guncang oleh keheranan akan sikap Sutawijaya. Apalagi pemimpin pengawas yang terluka itu, yang masih belum dapat berdiri tegak sendiri, sehingga ia masih memerlukan pertolongan Agung Sedayu.

Tetapi orang-orang itu menjadi semakin heran, bahwa Sutawijaya sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih berdiri saja sambil memandang orang yang berteriak-teriak itu, “Ampun, aku minta ampun.”

Ketika Sutawijaya perlahan-lahan melangkah maju, maka nyawa orang itu serasa sudah melekat di ubun-ubun. Karena itu ia berteriak semakin keras.

Kawan-kawannya yang masih ada di serambi, mendengar teriakan itu meskipun tidak begitu jelas. Namun setiap kali dada mereka berdesir. Terbayang di rongga mata mereka, kawannya yang berdahi lebar itu sedang mengalami siksaan yang tiada taranya, sehingga orang itu berteriak-teriak tidak menentu.

“Jangan, jangan,” teriak orang berdahi lebar itu.

Sutawijaya masih berdiri memandanginya dengan tajamnya. Perlahan-lahan ia mengangkat tangannya. Dengan ujung jarinya ia menyentuh lambung orang yang berdahi lebar itu.

Oleh ketakutan yang dahsyat, maka sentuhan itu terasa bagaikan duri-duri cangkring yang tajam tergores dikulitnya. Karena itu ia berteriak semakin keras.

“He,”desis Sutawijaya, “kenapa kau berteriak-teriak? Apakah aku sudah berbuat sesuatu?”

Pertanyaan itu telah menghentikan teriakan-akan yang seakan-akan mengumandang memenuhi pinggir hutan yang sedang dibuka itu.

“Kenapa kau berteriak-teriak?” ulang Sutawijaya, “Coba katakan, apakah aku sudah berbuat sesuatu? Aku memang akan menyiksamu dengan cara yang paling kejam seperti sudah aku katakan. Aku ingin memeras semua keteranganmu tentang dirimu sendiri dan tentang gerombolanmu yang selama ini berkedok sebagai hantu-hantu di Alas Mentaok. Kalau kau tidak mau berbicara, maka aku akan mempergunakan segala macam cara tanpa menghiraukan perikemanusiaan. Tanpa menghiraukan belas kasihan dan peradaban manusia.”

“Jangan, jangan,” orang itu memohon. Suaranya merintih seperti ujung nyawanya sudah mulai lepas dari tubuhnya.

“Kenapa kau melarang? Itu terserah kepadaku. Selain Ayahanda Pemanahan, tidak ada orang yang lebih berkuasa dari aku di sini. Aku dapat berbuat apa saja. Aku dapat membunuh siapa saja tanpa dapat dituntut oleh seorang pun. Aku tidak takut oleh dendam siapa pun juga.”

Tubuh orang itu kini menggigil seperti sedang kedinginan.

“Lepaskan,” perintah Sutawijaya kepada kedua pengawalnya yang memegangi orang itu.

Pengawalnya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi Sutawijaya mengulangi, “Lepaskan. Sediakan saja tali yang cukup panjang. Apabila ia mencoba lari, ikatlah kedua tangannya dengan tali yang direntang pada dua batang pohon. Setiap orang akan lewat di sampingnya dan melakukan hukuman picis.”

“Tidak. Tidak,” orang itu berteriak lagi.

Perlahan-lahan kedua pengawal itu melepaskan pegangannya. Namun orang yang ketakutan itu hampir tidak dapat berdiri sendiri. Bukan saja karena lukanya, tetapi karena ia benar-benar dicengkam oleh kengerian mendengar ancaman-ancaman Sutawijaya.

Tetapi, Sutawijaya kemudian justru tersenyum. Dengan terus terang ia berkata, “Aku kecewa melihat sikapmu. Kau pasti bukan orang yang dapat dibanggakan oleh gerombolanmu. Sebelum kau tersentuh apa pun, kau sudah ketakutan setengah mati. Ayo, bersiaplah menerima siksaan yang paling berat.”

“Jangan, jangan, Tuan.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia membentak, “Siapa namamu?”

“Sura Mudal,” orang itu membentak pula diluar sadarnya.

“Kau menbentak aku he?”

“Tidak, tidak, Tuan. Aku tidak sengaja.”

“Nah, sekarang kau dapat memilih. Kau menjawab setiap pertanyaanku, atau aku benar-benar harus melakukan seperti yang aku katakan?”

Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, Swandaru, dan pemimpin pengawas yang terluka itu menarik nafas dalam-dalam. Kini mereka sadar bahwa Sutawijaya telah melakukan suatu permainan yang berhasil. Bahkan Kiai Gringsing mengusap keningnya yang basah sambil berkata kepada diri sendiri, “Ternyata putera Pemanahan ini pandai juga berkelakar, meskipun orang lain hampir menjadi pingsan karenanya.”

“Apakah kau dapat memilih?” bertanya Sutawijaya.

“Ya, ya. Aku dapat memilih.”

“Yang manakah yang kau pilih? Tubuhmu dilecut dengan ranting pohon cangkring yang berduri rapat kemudian disiram dengan air garam?”

“Tidak, tidak, Tuan. Jangan itu.”

“Jadi?”

“Aku, aku akan menjawab pertanyaan Tuan.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ternyata kau cukup bijaksana. Karena itu, duduklah. Kita berbicara dengan baik.”

Orang itu menjadi bingung melihat sikap Sutawijaya. Kini Sutawijaya tiba-tiba menjadi ramah dan baik.

“Duduklah,” berkata Sutawijaya. Ia sendiri mendahului duduk di bebatur barak bersandar dinding, diikuti oleh orang-orang lain yang menunggui pemeriksaan itu.

Tetapi orang yang menyebut dirinya Sura Mudal itu masih berdiri dengan gemetar. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan karena kecemasan dan ketakutan yang mencengkam jantung.

“Duduklah,” sekali lagi Sutawijaya mempersilahkannnya dengan ramah, “jangan takut. Kalau kau dapat menempuh kebijaksanaan ini aku sangat hormat kepadamu. Sebenarnya memang tidak ada gunanya menyakiti diri sendiri. Tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadamu, adalah suatu perbuatan yang sia-sia. Kau akan mengalami penderitaan. Sedang yang kau simpan itu pun akhirnya akan terloncat pula dari bibirmu karena segala macam cara. Mungkin cara yang belum pernah kau bayangkan.”

Orang itu masih berdiri kebingungan.

“Nah, kau sudah menjawab siapa namamu,” berkata Sutawijaya, “sekarang duduklah di sini. Di sampingku.”

Dengan ragu-ragu orang itu melangkah maju. Sekali-sekali ia masih menyeringai karena luka-lukanya yang terasa sakit.

“Kau bernama Sura Mudal bukan?” berkata Sutawijaya kemudian. “Nah, sekarang katakan, siapakah pemimpinmu?”

“Kiai Damar,” jawab orang itu.

“Apakah Kiai Damar itu pemimpin tertinggi di dalam lingkunganmu?”

“Tidak. Masih ada orang lain yang tidak aku ketahui.”

“Darimana kau tahu bahwa masih ada orang lain.”

“Aku sering melihat seseorang yang datang ke gubug Kiai Damar. Orang yang tinggi dan berjambang lebat.”

“Siapakah namanya?”

Orang itu menggelengkan kepalanya.

“Siapa namanya?” desak Sutawijaya.

“Benar, aku tidak tahu, Tuan. Aku tidak tahu.”

Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa orang itu tidak mengetahuinya.

“Coba sebutkan, berapa orang jumlah kawan-kawanmu seluruhnya?”

“Aku tidak tahu, Tuan.”

“He, kau tidak tahu? Kau tidak tahu jumlah orang-orang di dalam gerombolanmu.”

“Ya, ya, Tuan. Eh, maksudku aku tidak tahu. Tetapi yang ada bersama-sama dengan Kiai Damar, aku dapat mengetahuinya.”

“Berapa orang yang diserahkan kepada Kiai Damar?”

“Lima belas orang, ditambah dua orang penghubung.”

“Dua orang penghubung? Di mana yang dua orang itu?”

“Yang seorang tidak bersama kami sekarang. Yang seorang semalam ikut di dalam serangan ini. Tetapi mungkin ia mati terbunuh.”

“Salah seorang dari dua orang yang mati itu?”

“Agaknya benar, Tuan. Sebab ia tidak ada di antara kami yang tertangkap.”

“Ada dua orang yang mati. Tetapi dibunuh oleh Kiai Damar sendiri. Seorang dapat melarikan diri bersama Kiai Damar dan sisanya adalah kalian.”

Orang berdahi lebar itu mengangguk-angguk.

“Nah, yang manakah yang kau maksud dengan penghubung itu? Yang terbunuh atau yang melarikan diri?”

Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak melihat keduanya. Juga yang melarikan diri aku tidak tahu pasti. Tetapi satu di antara tiga orang yang tidak ada di antara kami itulah penghubung itu.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Penghubung itu pasti mengetahui agak banyak tentang kelompok rahasia yang selama ini mengganggu usahanya membuka Alas Mentaok.

“Sekarang, ceritakan, apa saja yang pernah kau lakukan selama kau berperan sebagai hantu-hantu kecil di Alas Mentaok ini,” berkata Sutawijaya kemudian.

Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ketika Sutawijaya meraba lengannya, ia berkata, “Ya, ya. Aku akan bercerita tentang Alas Mentaok.”

“Bukan tentang Alas Mentaok. Tetapi tentang dirimu sendiri. Apakah kau tahu maksudku?”

“Ya, ya. Aku tahu.”

“Nah, apa saja yang sudah kau lakukan sebagai hantu Alas Mentaok.”

Orang itu masih dicengkam oleh keragu-raguan. Namun sekali lagi Sutawijaya meraba tangannya sambil berkata, “Kulitmu memang liat sekali.”

“Tidak. Tidak.” Dan orang itu pun mulai bercerita. Hampir tidak ada yang dilampauinya, apa yang diketahuinya diceritakannya kepada Sutawijaya.

Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru yang mendengar cerita itu pula, mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini menjadi semakin jelas, apa saja yang selama ini mereka hadapi. Kini ternyata pula orang yang pernah dengan ketakutan mendekap Swandaru di tempat kerjanya, adalah orang-orang Kiai Damar pula. Kemudian ular dan bahkan api itu.

“Jadi, kau hanya mengenal Kiai Damar sebagai pemimpinmu?”

“Ya, Tuan, Kiai Damar yang sekarang.”

“Yang sekarang? Apakah ada Kiai Damar yang dahulu.”

Orang itu tidak segera menjawab.

“Katakanlah,” Sutawijaya bergeser setapak mendekati orang itu.

“Ya, ya. Kiai Damar memang pernah berganti. Tetapi kedua orang itu memang mirip sekali.”

“Ah, apakah kau sedang bermimpi? Mungkin orangnya memang sama. Tetapi supaya menimbulkan kesan yang lain, dibuatnya cerita yang aneh-aneh itu.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Bukan, memang bukan orang lain. Tetapi Kiai Damar yang dahulu sudah mati. Tetapi ia hidup lagi. Orang itu adalah Kiai Damar yang sekarang. Tetapi ada beberapa hal yang dahulu sudah tidak diingatnya lagi.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling memandang Kiai Gringsing yang termangu-mangu.

Untuk beberapa lama orang-orang yang duduk di belakang barak itu saling berdiam diri. Mereka sedang merenungi angan-angan masing-masing yang mengambang dari waktu ke waktu. Mereka seakan-akan melihat apa yang telah terjadi selama ini di daerah yang sedang dibuka itu. Semula orang-orang itu datang dengan membawa harapan untuk mendapat tanah yang lebih baik dari daerah yang mereka tinggalkan. Mereka membawa harapan untuk hidup di dalam suatu negeri yang makmur, adil, dan harapan untuk mendapat kesempatan yang baik karena mereka termasuk orang-orang yang membuka tanah. Mereka termasuk perintis-perintis jalan untuk masuk ke Alas Mentaok lebih dalam lagi. Namun kemudian mereka telah dicengkam oleh ketakutan. Beberapa orang menjadi putus asa dan meninggalkan daerah yang sudah mulai mereka buka. Sebagian masih bertahan karena mereka sudah tidak mempunyai tempat untuk kembali. Namun setiap hari mereka selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Hari depan mereka menjadi suram, dan harapan-harapan yang sudah mereka susun pada saat mereka berangkat itu satu-satu menjadi pecah berserakan seperti kepingan mangkuk yang jatuh di atas batu hitam. Apalagi di saat-saat terakhir. Mereka hampir menjadi gila karenanya. Mereka kehilangan segala macam harapan dan gairah bagi masa depan mereka. Mereka bahkan merasa bahwa maut setiap saat telah membelai kepala mereka.

Tetapi mereka tiba-tiba saja telah dikejutkan oleh peristiwa semalam. Orang yang menyebut dirinya Truna Podang, dan yang selama ini mereka anggap sebagai seorang yang aneh, sombong dan tidak mengenal takut itu, bersama anak-anaknya telah berhasil menangkap hantu-hantu yang selama ini menakut-nakuti mereka.

Peristiwa ini adalah merupakan suatu tingkatan baru di dalam perjalanan hidup mereka. Harapan yang telah musnah itu, selapis demi selapis telah mereka susun kembali di dalam hati.

Tetapi semuanya masih belum mantap. Persoalan hantu-hantu itu masih belum selesai Mungkin masih akan ada akibat-akibat yang menimpa orang-orang yang diombang-ambingkan oleh keadaan itu.

Orang-orang yang terluka, yang terbaring di serambi depan menjadi semakin cemas dan berdebar-debar. Kawannya yang dibawa ke belakang barak itu sudah tidak terdengar suaranya lagi. Mereka menyangka bahwa orang berdahi lebar itu, telah terbaring di tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Mung-kin tubuhnya telah hancur disayat oleh duri-duri cangkring yang tajam. Darah bercampur keringat telah membasahi seburuh tubuhnya yang tidak berbentuk lagi.

 

Series 59

 

SESEORANG bergumam di dalam hatinya “Setan” ternyata anak Pemanahan itu lebih biadab dari orang-orang Kiai Damar. Mereka lebih kejam dari Kiai Damar sendiri.

Terasa seakan-akan detak jantung di dalam dada mereka menjadi semakin keras, seperti bunyi bedug yang dipukul sekuat tenaga.

Dalam pada itu, Sutawijaya yang duduk di belakang serambi masih saja berdiam diri. Namun kemudian ia pun berkata kepada seorang pengawalnya, “Bawa orang ini menyingkir. Jangan kau kembalikan kepada kawannya.”

“Jadi, ke mana orang ini kami bawa?” bertanya pengawalnya.

Sutawijaya merenung sejenak. Lalu “Bungkus orang itu dengan kainnya, dan angkatlah ke dalam barak. Baringkan ia di sudut yang agak terpisah.”

“Aku dapat berjalan sendiri tuan,” berkata orang berdahi lebar itu.

“Tentu. Kau tentu dapat berjalan sendiri. Tetapi aku menghendaki, kau diangkat di atas pundak salah seorang pengawalku.”

Sura Mudal itu tidak dapat membantah lagi. Ia kini tahu juga maksud Raden Sutawijaya, yang ingin menakut-nakuti kawannya agar mereka menyangka, bahwa ia sendiri sudah tidak berdaya, atau bahkan sudah mati.

Sura Mudal yang masih cukup kuat itu pun kemudian dibungkus dengan kain panjangnya. Meski pun cukup berat, namun ia pun kemudian diangkat di atas pundak salah seorang pengawal Sutawijaya.

“Kakekku tidak pernah mendukungku begini,” desis pengawal yang membawanya.

Sura Mudal sendiri hampir saja tersenyum. Tetapi kemudian ia menyeringai karena luka-lukanya yang terasa sakit tersentuh tangan pengawal yang mengangkatnya itu. Apalagi ia menjadi terlampau sesak untuk bernafas karena kain panjangnya menutup seluruh tubuh dan kepalanya.

Ternyata Sura Mudal yang dibungkus dengan kain panjangnya sendiri itu membuat kawannya hampir pingsan karenanya. Mereka melihat orang berdahi lebar itu dengan lemahnya tersangkut di pundak seorang pengawal yang membawanya langsung masuk ke dalam barak. Di bawah tangga pengawal itu berdesis kepada kawannya yang menjaga tawanan yang lain, “Jangan ada yang dapat melihat orang ini.”

Kawannya menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Beberapa orang dari orang-orang yang terluka itu seolah-olah merasa tubuhnya menjadi semakin sakit dan pedih karena luka-lukanya. Mereka merasa bahwa nasib mereka menjadi terlampau buruk. Mereka ternyata jatuh di tangan orang yang paling kejam yang pernah mereka temui, meski pun selama ini mereka hidup di dalam lingkungan yang seakan-akan liar.

“Orang-orang yang merasa dirinya beradab itu pun mampu melakukan kebuasan yang paling liar,” desis mereka.

Dalam pada itu, Sutawijaya masih duduk di belakang gardu. Beberapa saat ia merenung pula. Namun kemudian ia berkata, “Di daerah Selatan perlu juga untuk mendapat perlindungan. Tetapi kita tidak mendapat kesempatan untuk pergi saat ini. Daerah ini perlu mendapat perlindungan khusus untuk sementara.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sutawijaya berkata selanjutnya, “Kalau di daerah ini ada Kiai Damar, di daerah Selatan ada seorang dukun yang bernama Kiai Tapak Jalak.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia sudah pernah mendengar nama Kiai Telapak Jalak. Ia pernah mendengar beberapa orang peronda yang datang ke rumah Kiai Damar menyebut nama itu Kiai Telapak Jalak, seorang dukun pula seperti Kiai Damar di daerah Selatan. Namun dengan demikian Kiai Gringsing pun dapat menduga bahwa tugas Kiai Telapak Jalak, tidak lebih dan tidak kurang adalah sama dengan tugas Kiai Damar di daerah ini. Dengan demikian, maka pasti ada orang yang lebih tinggi lagi dari keduanya. Mungkin orang yang berjambang lebat seperti dikatakan oleh orang berdahi lebar yang bernama Sura Mudal itu.

Karena Kiai Gringsing tidak menyahut, maka Sutawijaya pun berkata pula, “Agaknya baik Kiai Damar mau pun Kiai Telapak Jalak telah berusaha untuk membuat dirinya disaput oleh rahasia. Kelebihan-kelebihan yang tidak masuk akal. Dengan demikian ia akan dapat mempengaruhi sikap bawahannya terhadapnya. Ternyata bukan orang-orang di dalam barak ini sajalah yang telah ditakut-takutinya. Tetapi orang-orangnya sendiri pun telah dikelabuinya. Bagaimana mungkin Sura Mudal berpendapat dan mempercayainya bahwa Kiai Damar pernah berganti. Entah secara wadag entah secara halus. Kalau Sura Mudal mengatakan bahwa Kiai Damar pernah mati dan hidup lagi, maka sudah pasti hal itu di maksudkan untuk memperkuat anggapan anak buahnya, bahwa Kiai Damar benar-benar seorang yang luar biasa. Yang mengerti apa yang tidak dimengerti oleh orang lain, yang mengenal apa yang tidak dikenal oleh orang lain.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ternyata usahanya itu sedikit banyak dapat berhasil. Ia berhasil menguasai orang-orangnya dan menggerakkannya di daerah hutan yang sedang dibuka ini.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling, memandang wajah Ki Sumangkar, dilihatnya kerut-merut yang dalam tergores di keningnya. Tetapi Sutawijaya tidak menegurnya. Ia mengerti, apa yang dipikirkan oleh orang tua itu. Orang tua itu adalah seorang penghuni Kepatihan Jipang. Bahkan seorang saudara seperguruan dengan Patih Mantahun, Patih yang sangat taat dan setia kepada Adipati Jipang, Arya Penangsang. Arya Penangsang yang telah dibunuhnya, dibunuh oleh Sutawijaya dengan ujung tombak. Karena pembunuhan itulah maka Pemananan mendapat Tanah Matatam. Tanah yang kini sedang dibuka.

Tetapi Sutawijaya percaya, bagaimana pun juga perasaan pedih dan sakit tersangkut di hati orang tua itu, namun kini Sumangkar bukan orang yang berdiri berseberangan dengan usahanya membuka tanah ini, sebagai hadiah karena kematian Arya Penangsang.

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Meski pun ia tidak tahu pasti apa yang tersimpan di dalam setiap dada, namun ia percaya, bahwa tanggapannya itu tidak begitu jauh dari kebenaran.

Untuk sejenak, kembali mereka terlempar dalam kebekuan. Masing-masing menerawangi angan-angan sendiri dalam warna yang berbeda-beda.

Sutawijaya pulalah yang pertama-tama berbicara di antara mereka. “Baiklah. Untuk selanjutnya kita tidak dapat duduk berdiam diri saja. Kita harus bersiap menghadapi kemungkinan lain yang dapat terjadi.”

Seperti orang-orang yang terbangun dari tidurnya, maka yang lain pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Ketika Sutawijaya berdiri, maka Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Sumangkar pun berdiri pula.

“Bagaimana dengan orang-orang di barak ini?” bertanya Sutawijaya kemudian kepada pemimpin pengawas yang terluka itu.

“Apa maksud Tuan?”

“Setelah mereka menyadari, bahwa selama ini mereka telah diperdayakan oleh hantu-hantuan itu?”

“Mereka marah, Tuan. Hampir saja orang-orang yang terluka itu mereka cincang.”

“Bagus,” desis Sutawijaya. Dan pemimpin pengawas itu menjadi heran karenanya. Namun Sutawijaya segera melanjutkannya, “Kita harus memanfaatkan mereka. Aku tidak yakin bahwa sebenarnya mereka penakut. Mungkin mereka merasa tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap hantu-hantu. Tetapi terhadap orang-orang yang menjadikan dirinya hantu, mereka tidak akan takut.”

“Ya, Tuan,” pemimpin pengawas itu menganggu-anggukkan kepalanya, “aku kira begitu.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Truna Podang ia berkata, “Marilah, kita mencoba menjajagi perasaan mereka. Bagaimana pendapatmu kalau kita membuat sepasukan prajurit yang dapat mengawal diri mereka sendiri. Maksudku, kita jadikan setiap orang di sini prajurit yang akan menjaga barak ini seisinya.”

“Bagus, Tuan. Aku akan membantu.”

“Yang penting, mereka harus bangun. Mereka harus sadar, bahwa selama ini mereka telah terbius oleh mimpi buruk yang memalukan,” berkata Sutawijaya kemudian. “Kita harus berterus terang bahwa menurut perhitungan kita, barak ini akan dilanda oleh arus kemarahan Kiai Damar yang pasti akan membawa kawannya yang lain. Mungkin Kiai Telapak Jalak, bahkan mungkin orang yang setingkat lebih tinggi daripadanya. Bukan sekedar lebih tinggi kedudukan di dalam tata urutan mereka, tetapi juga lebih tinggi ilmunya.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah kau sependapat?”

“Tentu,” jawab Truna Podang, “aku kira tidak ada jalan yang lebih baik.”

“Marilah,” ajak Sutawijaya, “kita harus segera mulai. Siapa tahu, mereka akan datang hari ini, siang atau malam.”

Mereka pun kemudian bergerak dan berjalan ke serambi depan barak itu. Ketika orang-orang yang terluka melihat Sutawijaya, maka rasa-rasanya darah mereka sudah membeku. Apalagi ketika Sutawijaya berdiri di tangga di sisi mereka.

Sejenak Sutawijaya berdiri mematung. Dipandanginya orang-orang yang terbaring itu. Satu demi satu. Setiap sentuhan tatapan matanya, serasa menikam langsung ke pusat jantung.

“Siapa berikutnya?” bertanya Sutawijaya. Tubuh-tubuh yang tidak berdaya itu kini menggigil karenanya. Serasa tajamnya ujung duri cangkring telah menyentuh kulit.

“Adalah suatu kebodohan,” berkata Sutawijaya “bahwa akhirnya orang berdahi lebar itu berbicara juga tentang dirinya, tentang Kiai Damar, tentang orang yang tinggi kekar dan berkumis, dan tentang bermacam-macam lagi. Ternyata ia bukan seorang laki-laki jantan. Sebelum tubuhnya arang kranjang, ia sudah bercerita tanpa diminta,“ Sutawijaya berhenti sejenak. “Tetapi sudah terlambat,” ia meneruskan, “ia tidak sempat menyelesaikan ceritanya ketika tiba-tiba ia pingsan. Mungkin ia sudah mati sekarang.”

Sekali lagi Sutawijaya berhenti. Dipandanginya orang-orang itu kembali dari orang yang pertama. Satu demi satu. “Apakah kalian juga akan berbuat serupa? Sebaiknya kalian memilih sebelum semuanya terlanjur terjadi atas diri kalian. Berbicara sebelum tubuh kalian hancur, atau diam sampai mati sebagai seorang laki-laki. Adalah tidak pantas sekali bahwa setelah kulitnya tersayat-sayat, barulah ia mencoba berbicara.

Kata-kata Sutawijaya benar-benar telah mengerutkan kulit mereka. Dengan demikian maka setiap orang berusaha menghindari sentuhan mata Sutawijaya yang bagaikan bara itu.

“Ayo, siapa lagi?” bertanya Sutawijaya.

Serambi itu justru menjadi sepi. Sepi sekali.

“Baiklah. Aku lelah sekali saat ini. Nanti, apabila aku sudah jemu berbicara, aku akan mengambil salah seorang dari kalian. Dan orang itulah yang harus berbicara, atau berteriak-teriak kesakitan.”

Sutawijaya tidak menghiraukan orang-orang yang menggigil itu lagi. Ia pun kemudian berjalan ke tengah-tengah serambi. Kemudian ia pun duduk pula bersama dengan Kiai Gringsing, murid-muridnya, dan Sumangkar serta pemimpin pengawas yang terluka itu.

“Bagaimana kita akan mulai?” bertanya Sutawijaya. “Apakah orang-orang itu kita kumpulkan, kemudian salah seorang dari kita sesorah di hadapan mereka?”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku kira tidak ada jalan lain”

Sutawijaya termenung sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata, “Aku akan meminjam seorang dari tawanan itu.”

“Untuk apa?” bertanya Kiai Gringsing.

Sutawijaya tidak segera menyahut. Namun wajahnya menjadi terang. Secercah senyum yang kecil membayang di bibirnya.

Tiba-tiba putera Pemanahan itu memanggil salah seorang pengawalnya. Katanya, “Ambil salah seorang dari orang-orang yang terluka itu. Yang paling baik dari mereka.” Lalu pada Kiai Gringsing ia bertanya, “Yang manakah yang tidak terlampau parah lukanya, Kiai?”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia tidak dapat segera menangkap maksud Sutawijaya. Namun kini Kiai Gringsing menyadari, bahwa Sutawijaya tidak akan berbuat seperti apa yang dikatakannya. Ia hanya sekedar menakut-nakuti seperti hantu-hantu yang menakut-nakuti orang-orang dibarak ini. Karena itu, maka tanpa mencemaskan nasibnya, ia menunjuk salah seorang dari mereka.

“Ambillah orang yang pendek, agak gemuk itu,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Namun baru saja para pengawal mendekatinya, orang itu sudah meronta-ronta. Sekuat tenaga ia berteriak-teriak “Jangan aku, jangan aku. Ambil yang lain.”

Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Ditariknya orang itu dari antara kawannya dan dibawanya menghadap Sutawijaya.

“Bawa orang itu ke halaman perintah Sutawijaya. Meskipun orang itu meronta-ronta, tetapi ia tidak berdaya untuk menghindar. Oleh dua orang pengawal ia dibawa ke halaman.

Sutawijaya pun kemudian turun ke halaman diikuti oleh beberapa orang dan beberapa pengawal.

“He, orang-orang di dalam Barak,” berkata Sutawijaya lantang “apakah kalian tidak ingin melihat hantu ini?”

Orang-orang di dalam barak menjadi heran.

“Hantu adalah mahluk halus yang tidak kasat mata dan tidak tersentuh tangan. Tetapi hantu yang sudah kamanungsan seperti ini, tidak ubahnya seperti kita. Tubuhnya dapat diraba, dan dari nadinya dapat menitik darah yang merah seperti darah kita. Kalau kalian ingin membuktikan, kalian akan mendapat kesempatan.”

“O, tidak, tidak,” orang pendek itu berteriak-teriak

Beberapa orang di barak itu saling berpandangan. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Selama ini ternyata kalian telah menjadi bahan permainan mereka. Kalian diperbodoh dan ternyata kalian benar-benar menjadi ketakutan. Dan orang yang memperbodoh kalian dan menakut-nakuti kalian adalah orang ini.”

Orang-orang dibarak itu menjadi semakin berdebar-debar.

“Kemarilah. Lihatlah orang ini.”

Beberapa orang yang menyimpan dendam di dalam hati mereka, mulai bertanya-tanya apakah yang dapat mereka lakukan.

“Sekarang orang ini sudah berada di tangan kita. Apakah kalian tidak ingin berbuat sesuatu, setelah kalian menjadi bahan tertawaan mereka.”

Kebencian dan dendam yang semula mulai mengendap, tiba-tiba telah terungkat kembali, sehingga beberapa orang mulai bergerak turun ke halaman. Yang semula duduk di sekitar halaman pun seorang demi seorang telah berdiri pula.

“Mendekatlah. Mendekatlah. Lihatlah tampangnya baik-baik.”

“Jangan, jangan,” orang itu berteriak-teriak pula.

Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya. Ia kini berdiri di tengah-tengah halaman di hadapan orang yang berteriak-teriak itu. Bahkan dengan mengangkat wajahnya Sutawijaya melambaikan tangannya kepada orang-orang yang masih ragu-ragu di dalam barak. “Kemarilah. Jangan ragu-ragu.”

Orang-orang itu pun kemudian turun pula ke halaman. Mereka mengerumuni Sutawijaya yang berjalan hilir-mudik.

“Nah, apakah semuanya sudah berdiri di sini?” bertanya Sutawijaya kemudian.

Tetapi tidak ada yang menjawab.

“Baiklah. Meski pun seandainya belum seluruhnya maka sebagian terbesar telah ada di sini. Nah, sekarang apakah yang sebaiknya kita perbuat? Apakah kalian dengan senang hati menerima perlakuan hantu-hantu gila ini atas kalian selama ini?”

Tidak ada jawaban. Wajah-wajah itu masih tampak ragu-ragu. Beberapa orang di antara mereka hanyalah saling berpandangan tanpa berbuat sesuatu.

Dan Sutawijaya meneruskan, “Apakah kalian tidak ingin berbuat sesuatu setelah kalian dipermainkan oleh mereka? Atau kalian merasa bahwa memang sepantasnya kalian diperlakukan demikian?”

“Tidak!” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak.

“Bagus,” sahut Sutawijaya “sudah tentu tidak. Bagaimana yang lain?”

“Tidak. Kami tidak rela dihinakan.”

Sutawijaya tertawa. Katanya, “Kejantanan kalian sudah mulai terangkat. Ayo, apakah sebaiknya yang kita lakukan?”

“Hukum orang itu,” desis salah seorang dari mereka, meskipun masih ragu-ragu.

“Ya, hukum orang itu,” yang lain menyahut.

“Hukum picis,” tiba-tiba salah seorang yang lain berteriak.

“Ya, hukum picis.”

“Hukum picis.”

Kemudian hampir setiap mulut berteriak menuntut orang itu dihukum picis.

Orang yang terluka, yang masih dipegangi oleh dua orang pengawal itu mulai meronta-ronta. Wajahnya sudah menjadi seputih kapas, dan nafasnya seakan-akan sudah tinggal menyangkut di ujung hidungnya.

“Jangan, jangan” teriaknya. Tetapi tubuhnya sudah mulai menggigil. Ia tidak dapat berdiri sendiri, sehingga ia harus dijaga agar tidak roboh di tanah.

“Apakah kalian merasa bahwa selama ini kalian menjadi permainan orang-orang yang menyebut dirinya hantu?”

“Ya, mereka telah mempermainkan kami.”

“Bagus. Kalian akan dapat melepaskan dendam kalian. Kalian adalah laki-laki yang tidak mau dihinakan.”

“Ya, serahkan kepada kami.”

“Tentu. Kami akan membantu kalian,” Sutawijaya mengangguk-angguk. “Kami berkepentingan pula atas hantu-hantu itu. Kami berbangga hati karena kami melihat, bahwa sebenarnya kalian bukan penakut seperti yang kami sangka semula. Dan kini kalian telah menunjukkan bahwa kalian pun memiliki harga diri yang tinggi.”

Orang-orang yang berdiri mengelilingi Sutawijaya dan orang yang terluka itu terdiam sejenak. Mereka mendengarkan kata-kata Sutawijaya dengan saksama.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Pemimpin pengawas yang terluka, yang berdiri di tangga bersandar tiang menjadi berdebar-debar pula karenanya.

Sementara itu Sutawijaya berkata pula, “Pada saatnya kalian akan dapat mengadili orang-orang yang telah menghinakan kalian. Seperti orang ini, ia harus mendapat hukuman sepantasnya.”

“Ya, ia harus dihukum,” orang-orang itu bersahut-sahutan.

“Tetapi,” Sutawijaya kemudian berkata, “tidak adillah kiranya kalau hanya orang ini seorang diri. Masih ada yang lain yang juga berbuat serupa seperti orang ini. Orang-orang yang berada di serambi itu.”

“Mereka juga. Mereka juga,” orang-orang itu berteriak-teriak.

“Ya, mereka juga.”

“Ambil mereka. Kita ikat di halaman ini.”

“Ya, ambil mereka.”

“Tunggu,” suara Sutawijaya mengatasi, sehingga orang-orang itu terdiam karenanya.

“Kita akan menghukum mereka yang bersalah, tetapi kita harus adil. Karena itu, bukan saja orang ini dan orang-orang yang berada di serambi itu. Tetapi semua yang terlibat di dalam kesalahan.”

Suasana tiba-tiba menjadi hening. Wajah-wajah yang merah oleh kemarahan yang sudah mulai terungkat itu pun menjadi terheran-heran.

“Dengar,” berkata Sutawijaya, “selain orang-orang yang telah berhasil kita tawan ini, ternyata masih banyak lagi orang-orang yang terlibat di dalam kesalahan itu. Kita harus berusaha menghukum semuanya. Karena itu, kita harus menangkap mereka. Orang-orang yang ada di barak ini pun akan kita hukum. Kalau perlu hukum picis. Semuanya. Tetapi tentu tidak sekarang. Kami masih ingin mendapatkan yang lain. Orang-orang ini dapat kita pergunakan sebagai umpan untuk memancing mereka.”

Orang-orang di sekitar Sutawijaya itu pun menjadi semakin diam.

“Aku bangga bahwa kalian mempunyai harga diri dan keberanian, sehingga kalian ingin menghukum mereka. Tetapi keberanian itu pasti bukan sekedar terbatas untuk menjatuhkan hukuman, sudah tentu bukan sekedar terhadap orang-orang yang sudah berada di tangan kita. Tetapi kalian pasti akan berusaha menangkap orang-orang yang bersalah itu lebih banyak lagi.”

Orang-orang itu menjadi termangu-mangu. Beberapa di antara mereka saling berpandangan. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Marilah kita tunjukkan bahwa kita memang mempunyai harga diri.”

Orang-orang yang mendengar kata-kata Sutawijaya itu seakan-akan membeku di tempatnya. Kini samar-samar mereka telah dapat menangkap maksud Putera Ki Gede Pemanahan itu, sehingga beberapa orang telah menundukkan kepala. Sementara Sutawijaya masih berkata lantang, “Apa yang telah terjadi sekarang ini, ternyata belum merupakan akhir dari persoalan kita. Kita baru dapat menemukan bulu-bulunya saja, tetapi kita belum berhasil menangkap otak dari persoalan seluruhnya. Kita belum menemukan siapakah sebenarnya yang telah menghinakan kita. Juga kita belum mengerti, apakah maksud mereka sebenarnya? Aku mencoba untuk mendapat keterangan dari seorang di antara mereka. Tetapi aku tidak mendapatkan apa-apa daripadanya. Ia tidak banyak mengetahui tentang dirinya sendiri. Meski pun ia dilecuti dengan ranting-ranting cangkring sampai mati sekali pun keterangan yang kita perlukan tidak akan dapat diberikannya, karena ia memang tidak mengerti. Yang dikatakan hanyalah Kiai Damar, orang-orangnya dan orang berkumis yang sering mengunjungi dukun itu. Selebihnya ia tidak dapat berkata apa-apa. Meski pun aku akan memeras keterangan satu demi satu dari orang-orang itu, tetapi kesimpulan yang dapat kita ambil sekarang adalah, di balik belukar di dalam hutan itu masih bersembunyi beberapa orang yang tidak kita kenal. Ingat, beberapa orang. Bukan beberapa sosok hantu. Mereka pasti masih akan datang lagi ke barak ini. Entah mereka masih ingin disebut hantu dan mengenakan pakaian hantu-hantu itu, atau mereka datang dengan wajar sebagai manusia seperti kita. Tetapi kita sudah tahu, bahwa mereka adalah manusia-manusia. Mereka akan datang untuk menuntut dendam yang membakar hati mereka, karena mereka telah kehilangan beberapa orang kawan. Atau mereka ingin membunuh kawan mereka yang ada di sini dan tidak dapat diharapkan lagi di dalam perjuangan mereka. Bagi mereka, kawan-kawan yang memang sudah tidak dapat dipergunakan lagi itu, memang lebih baik dibinasakan sama sekali daripada membuka rahasia yang betapa pun kecilnya.”

Ketika Sutawijaya berhenti sejenak, maka orang-orang yang berdiri mengitarinya telah menundukkan kepala sambil berkata kepada diri sendiri, “Jadi, apakah yang selama ini telah aku lakukan di sini?”

Sementara itu Sutawijaya berkata, “Jika kalian sependapat, kalian harus sadar, bahwa kalian benar-benar telah dipermainkan tidak oleh hantu-hantu tetapi oleh sesama kita. Orang-orang ini ternyata masih belum puas. Mereka masih akan datang. Mungkin kali ini mereka akan berterus-terang kepada kita, bahwa mereka ingin menghancurkan kita secara manusia. Tidak lagi melalui samaran yang hampir berhasil itu.”

Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepala. Dan Sutawijaya tiba-tiba bertanya, “Kalau benar mereka datang dengan pakaian wajar seperti kita, bukan dengan samaran mereka, apakah yang akan kita kerjakan? Apa kita akan masuk dengan tergesa-gesa ke dalam barak dan selimut hingga menutup kepala?”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

“Jadi bagaimana? Apakah yang akan kita lakukan Diam saja seperti sekarang?”

Masih belum ada jawaban.

“Jadi kita sudah melupakan harga diri kita karena kita segan berbuat sesuatu yang lebih besar daripada mencincang orang-orang yang tidak berarti dan lebih-lebih lagi sudah tidak berdaya? Nah, jawablah. Kalau kalian tetap berdiam diri seperti sekarang, aku pun tidak akan berkeberatan. Tetapi aku akan segera minta diri. Kedua orang tua dan anak-anaknya ini akan ikut bersama aku. Kamilah yang akan mencari sarang mereka di tengah-tengah hutan. Tetapi kalau kami berselisih jalan, dan mereka datang ke barak ini, sama sekali bukan salah kami.”

Sejenak kegelisahan membayang di wajah orang-orang itu. Mereka menjadi tegang ketika Sutawijaya bertanya lagi, “Jawablah. Apakah kalian akan berbuat sesuatu atau sekedar berdiam diri begini?”

Dalam keragu-raguan terdengar seseorang berkata, “Kami akan berbuat sesuatu.”

Suara yang agaknya ragu-ragu itu ternyata telah menggerakkan setiap hati. Belum lagi Sutawijaya bertanya, beberapa orang telah berteriak, “Kami tidak akan berdiam diri. Kami akan berbuat sesuatu untuk mempertahankan diri. Kami akan berkelahi.”

Sutawijaya tidak segera menyahut. Dibiarkannya suara-suara itu menggelepar sampai tuntas.

Ketika tidak ada lagi yang berteriak-teriak, maka Sutawijaya-lah yang berkata, “Bagus, terima kasih, itulah namanya laki-laki jantan. Kalian harus membela diri, membela hak kalian. Kalian harus mempertahankan milik kalian, termasuk jiwa kalian,” Sutawijaya berhenti sejenak. “Jika demikian, kalian sama sekali tidak memerlukan orang sakit-sakitan ini. Biarlah mereka terbaring di serambi sampai saatnya kita mengambil keputusan tentang mereka. Sekarang kita menunggu. Menunggu orang-orang yang tidak puas dengan peristiwa yang baru saja terjadi ini. Mereka pasti akan datang dengan jumlah yang lebih besar. Apalagi apabila mereka tahu, bahwa aku berada di tempat ini. Aku adalah sasaran yang menyenangkan sekali bagi mereka. Tetapi apabila mereka datang, dan berhasil menguasai daerah ini pasti bukan sekedar aku sajalah yang akan mereka cincang.”

Semua orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing dan kedua muridnya, serta Sumangkar pun mengangguk-angguk pula. Mereka memuji di dalam hati kecakapan Sutawijaya mempengaruhi orang-orang di dalam barak itu sehingga mereka menyadari kedudukan mereka.

“Jika demikian,” berkata Sutawijaya, “persiapkan diri kalian sejak sekarang. Kalian harus memiliki senjata apabila kalian benar-benar ingin berjuang untuk daerah yang telah kalian buka. Kalian harus bersedia dan bersiap menghadapi apa pun juga, termasuk pertempuran. Kalian harus bersiap untuk berkelahi, sehingga karena itu, siapkanlah senjata apa pun juga.”

Orang-orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Mereka tidak segera meyakini kata-kata itu sebagai suatu sikap yang harus dilakukan dalam suasana yang gawat itu.

Karena itu, maka Sutawijaya pun mengulanginya, “Apakah yang kalian tunggu? Apakah baru kemudian apabila mereka telah datang menyerang kalian baru berusaha mendapatkan senjata? Sekarang, carilah senjata apa saja. Pedang, parang, kapak, tombak dan apa saja. Cobalah kalian mengenal senjata kalian dengan baik, sehingga apabila diperlukan kalian tidak akan canggung lagi mempergunakannya. Sebab kalian akan berhadapan dengan manusia seperti kita yang juga memegang senjata. Mereka pun berusaha untuk mempergunakan seniata mereka pula terhadap kita. Apakah kalian mengerti? Jika kalian mengerti, mulailah sekarang, kemudian kembalilah ke halaman ini.”

Sejenak mereka masih termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ketika salah seorang dari mereka bergerak, maka orang-orang itu pun segera berlari-larian mencari senjata apa saja yang dapat mereka ketemukan. Seperti yang dikatakan oleh Sutawijaya, mereka memegang parang, pedang, kapak, tombak dan apa saja.

Sejenak kemudian mereka telah berada di halaman itu kembali dengan senjata masing-masing. Mereka yang tidak mendapatkan senjata apa saja, telah membawa sepotong kayu atau pemukul kentongan atau selumbat kelapa.

Sutawijaya tersenyum melihat orang-orang yang berlari-larian. Sambil mendekati Kiai Gringsing ia berkata, “Aku mengharap kita berhasil. Kalau benar akan datang serangan yang lebih besar, mereka akan sangat berpengaruh, setidak-tidaknya mereka akan menyusutkan keberanian lawan betapa pun tabahnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katannya, “Tetapi kita tidak dapat mengumpulkan mereka.”

“Tentu tidak. Aku membawa beberapa orang pengawal, selain aku sendiri. Disini ada Truna Podang bersama anak-anaknya, dan ada pula Paman Sumangkar. Apakah kita sama sekali tidak berbuat sesuatu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk.

“Kita pencar orang-orang kita. Masing-masing disertai orang-orang dari barak ini. Bagaimana pun juga mereka pasti akan berpengaruh.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kita akan memberikan beberapa petunjuk, agar mereka dapat menghadapi lawan dengan teratur. Justru tidak mengganggu para pengawal dan kita masing-masing.”

Sekali lagi Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dalam pada itu orang-orang dari barak itu sudah mengelilingi Sutawijaya kembali. Dengan menengadahkan kepalanya Sutawijaya berkata, “Nah, kalian ternyata merupakan prajurit-prajurit yang gagah berani. Mungkin ada di antara kalian yang sama sekali belum pernah mengalami pertempuran. Karena itu, biarlah orang-orangku memberikan beberapa petunjuk kepada kalian. Mereka akan memberikan beberapa macam cara melakukan pertempuran di dalam kelompok-kelompok. Masing-masing tidak dapat berjuang sendiri-sendiri tanpa menghiraukan kawannya. Hanya orang-orang yang khusus sajalah yang dapat melepaskan diri dari ikatan kesatuannya. Misalnya para senapati di peperangan yang besar, yang karena tugasnya ia harus berada di sembarang tempat yang memerlukannya. Atau orang-orang yang khusus ditunjuk di dalam benturan kelompok-kelompok kecil.

Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, mulailah,” berkata Sutawijaya yang kemudian memanggil pemimpin pengawalnya. “Serahkanlah mereka kepada anak buahmu agar mereka mendapatkan gambaran, apa yang harus mereka kerjakan apabila benar-benar akan terjadi pertempuran. Sebab menurut perhitungan kita, mereka masih akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar lagi.”

Demikianlah maka para pengawal itu telah melakukan tugas masing-masing. Orang-orang di dalam barak itu dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengawal. Mereka mendapat beberapa petunjuk dan tuntunan, apa yang harus mereka lakukan apabila mereka terlibat dalam pertempuran yang seru.

“Yang penting,” berkata salah seorang dari para pengawal itu, “kalian tidak boleh kehilangan akal dan menjadi kebingungan. Jika terjadi demikian, maka kalian sudah menjadi separo kalah. Kalian harus tetap sadar, dan mempergunakan nalar untuk mempertahankan diri.”

Orang-orang itu pun mengangguk-anggukkan kepala. Dengan penuh minat mereka mengikuti semua petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para pengawal. Bagaimana mereka menghadapi lawan. Bagaimana mereka harus bekerja bersama, menyelamatkan kawan mereka yang agaknya lemah dan terdesak. Berusaha menyediakan satu dua orang yang terlepas dari ikatan perkelahian lawan, apalagi apabila jumlahnya lebih banyak. Orang-orang itulah yang harus bertindak apabila ada di antara mereka yang benar-benar memerlukan pertolongan.

Sementara para pengawal itu memberikan beberapa pengertian tentang pertempuran di dalam kelompok-kelompok kecil, maka Sutawijaya-lah yang menunggui orang-orang yang terluka bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar, sementara Agung Sedayu dan Swandaru melihat-lihat bagaimana orang-orang yang selama ini selalu dicengkam oleh ketakutan itu mencoba membentuk diri mereka menjadi pengawal-pengawal buat diri mereka sendiri.

Tetapi melihat niat yang mantap terpancar di wajah mereka, maka para pengawal itu pun menjadi semakin mantap pula. Mereka akan dapat banyak membantu apabila jumlah lawan nanti jika mereka benar-benar datang, banyak pula.

“Kalau hari ini mereka tidak menyerang, maka orang-orang itu akan mendapat kesempatan menerima beberapa petunjuk untuk mempergunakan senjata,” berkata Sutawijaya kemudian. “Hal itu agaknya perlu juga bagi mereka. Mereka sama sekali belum pernah mempergunakan senjata-senjata itu untuk bertempur. Bertempur yang sebenarnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti Sutawijaya ia juga memperhitungkan bahwa orang-orang yang tersembunyi di balik pepohonan itu pasti akan melakukan sesuatu. Mungkin untuk sekedar membalas dendam sakit hati, tetapi juga mungkin sekali untuk membatasi berita kegagalan mereka di daerah ini. Kehadiran Sutawijaya yang pasti mereka ketahui, karena orang-orang mereka seakan tersebar di setiap punggung pepohonan, akan menarik perhatian mereka. Apalagi mereka mengetahui, bahwa pengawal Sutawijaya kali ini tidak begitu banyak.

“Angger,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “sebenarnya kami di sini tidak merasa cemas akan diri kami. Tetapi apabila mereka benar-benar berusaha untuk berbuat sesuatu terhadap angger Sutawijaya dengan jumlah kekuatan yang tidak seimbang, maka apakah angger tidak sebaiknya mengirimkan beberapa orang untuk memberitahukan semua keadaan di daerah ini kepada Ayahanda Ki Gede Pe manahan?”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi perasaannya yang tajam menangkap keragu-raguan yang tersirat di dalam kata-kata dan tatapan mata Kiai Gringsing. Karena itu ia menjawab, “Kiai, naluri keprajuritanku mengatakan kepadaku, bahwa daerah ini agaknya sudah terkepung rapat-rapat. Seolah-olah aku melihat orang itu bersembunyi di balik pepohonan, menunggu satu dua orang pengawal lewat.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia pun melihat di dalam firasatnya, bahwa memang tempat itu selalu diawasi oleh beberapa orang. Tetapi sudah tentu, bahwa kepungan itu bukan tidak mungkin untuk diterobos.

Namun demikian orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sulit bagi para pengawal itu untuk berusaha menerobos kepungan. Kecuali kalau ia sendiri dan Sumangkar-lah yang berangkat. Tetapi berat juga rasanya meninggalkan daerah yang seakan-akan telah menjadi terpencil ini. Yang akan datang pasti bukan hanya Kiai Damar seorang diri di antara anak buahnya. Setelah ia dikalahkan oleh Sumangkar, maka orang itu pasti membuat penilaian lain.

Karena itu, baik Kiai Gringsing, maupun Sutawijaya akhirnya meletakkan kepercayaan mereka kepada apa yang ada di tempat itu. Beberapa pengawal pilihan, dua orang murid Kiai Gringsing, di samping Kiai Gringsing sendiri dan Sumangkar. Kedua orang tua itu adalah orang yang memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dan kemudian Sutawijaya sendiri.

“Mudah-mudahann orang di dalam barak itu justru tidak mengganggu,” katanya di dalam hati.

Namun demikian Sutawijaya masih tetap mempunyai keyakinan, bahwa ia akan dapat mengatasi setiap kesulitan yang bakal timbul di daerah itu.

Dalam pada itu, beberapa orang yang telah mendapat petunjuk dari para pengawal itu pun mendapat sedikit gambaran, apakah yang sebaiknya mereka lakukan apabila mereka harus berkelahi di dalam kelompok-kelompok. Mereka tidak dapat berkelahi menurut selera masing-masing. Mereka harus mengingat kesatuan masing-masing, sehingga mereka akan merasa diri mereka satu.

“Ingat,” berkata salah seorang pengawal, “setiap orang di dalam kelompok masing-masing tidak ubahnya anggauta badan sendiri. Meskipun kalian mempergunakan tangan di dalam perkelahian, tetapi punggung kalian harus dijaga jangan sampai terluka.”

Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepala.

Ketika para pengawal menganggap penjelasan mereka sudah cukup, maka orang-orang itu pun kemudian beristirahat di sekitar barak. Mereka masih juga memperbincangkan apa yang mereka dengar dari para pengawal. Bahkan ada satu dua orang di antara mereka yang mencoba-coba senjatanya. Mereka yang hanya membawa sepotong kayu, berusaha untuk mendapatkan senjata yang lebih baik.

Tetapi selagi mereka sibuk dengan persoalan masing-masing, halaman barak itu telah digetarkan oleh derap kaki-kaki kuda. Sutawijaya dan orang-orang yang ada di serambi pun segera meloncat berdiri dengan senjata siap di tangan.

Namun yang datang hanyalah tiga orang. Tiga orang yang tidak dikenal. Mereka memasuki halaman barak itu dengan mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi.

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Diiringi oleh Kiai Gringsing dan Sumangkar mereka turun dan menyongsong orang-orang berkuda itu.

“Siapakah kalian?” bertanya Sutawijaya. Orang-orang itu memandang Sutawijaya dengan tajamnya.

Jawab salah seorang dari mereka, “Kami adalah utusan Prabu Mataram Kajiman.”

“Jangan keras kepala,” Swandaru-lah yang menyahut. Tetapi Agung Sedayu menggamitnya, sehingga Swandaru terdiam.

“Turunlah dari kudamu,” berkata Sutawijaya.

“Aku adalah utusan Maharaja yang Besar. Aku berhak berbicara di atas punggung kuda.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling dan berkata kepada Kiai Gringsing, “Mereka tidak perlu dilayani. Aku tidak akan berbicara dengan orang-orang yang tidak mengenal sopan.”

“Jangan sombong. Kau harus menghormati Raja Besar dari Mataram Lama.”

“Aku Putera Sultan Hadiwijaya yang kekuasaannya meliputi Alas Mentaok. Turun dari kudamu. Atau, pergi dari halaman ini.”

Sejenak ketiga orang itu saling berpandangan. Bagaimanapun juga mereka menjaga harga diri mereka, namun wibawa Sutawijaya telah memaksanya mempertimbangkan sikapnya.

“Baiklah,” berkata salah seorang dari mereka, “aku akan turun, tetapi sama sekali bukan karena kekuasaanmu. Aku melimpahkan kemurahan hati Raja Agung di Mataram.”

Sutawijaya mengatupkan giginya rapat-rapat. Darah mudanya mulai menjadi panas. Namun ia masih berusaha menahan hati. Di dalam persoalan yang masih diliputi teka-teki ini ia harus berhati-hati. Apalagi menyangkut seluruh isi barak ini.

Karena itu, Sutawijaya tidak menjawab. Dipandanginya ketiga orang itu berganti-ganti. Kemudian setelah ketiganya berdiri ditanah. Sutawijaya berkata “Cepat katakan, apakah keperluanmu.”

“Aku adalah utusan dari Raja Besar di Mataram” berkata salah seorang dari mereka.

Ternyata Swandarulah yang sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia berkata, “Masih juga kau menyebut Kerajaan Mataram Kajiman di dalam keadaan ini? Kerajaan Kiai Damar barangkali?”

Sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya dan berbisik, “Biarlah ia menyelesaikan kata-katanya.”

Swandaru menelan ludahnya. Dengan susah payah ia mencoba mengendapkan perasaannya.

Namun dengan demikian, Sutawijaya yang jantungnya sudah mulai menggelegak itu pun justru telah mereda. Bahkan ia berpaling memandang Swandaru yang wajahnya menjadi merah padam.

“Aku tidak dapat mendengarnya,” desis Swandaru, “telingaku serasa terbakar.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun tampak sekilas senyum dibibirnya, meski pun hampir saja ia sendiri tidak dapat mengendalikan dirinya pula.

“Nah,” berkata Sutawjaya yang justru menjadi agak tenang, “cepat, katakan maksudmu.”

“Aku mendapat perintah dari Maharaja di Mataram.”

Hampir saja Swandaru melangkah maju sambil berteriak. Tetapi Agung Sedayu sudah mendahului menahannya sambil berdesis, “Sst.”

Nafas Swandaru menjadi terengah-engah dan keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.

“Kenapa kau yang menjadi begitu gelisah?” bisik Agung Sedayu.

Swandaru mengerutkan keningnya.

Dalam pada itu salah seorang dari ketiga utusan itu berkata, “Yang pertama kami menyampaikan limpahan kebaikan budi Sri Baginda, bahwa kami diperkenankan menemui kalian di sini.”

Sutawijaya yang menahan hati menggeram. Sementara dada Swandaru hampir meledak. Sedangkan Kiai Gringsing dan Sumangkar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata itu. Ketika Kiai Gringsing berpaling, ia mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Swahdaru yang merah padam menahan hati.

Selangkah Kiai Gringsing mendekati Swandaru, dan kemudian berbisik, “Bukan kaulah yang harus menanggapinya.”

“Aku tidak tahan, Guru. Apakah mereka tidak mengakui semua yang sudah terjadi semalam, beberapa hari yang lalu dan semuanya yang pernah terjadi?”

“Tenanglah,” desis gurunya.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak.

Ketiga orang berkuda itu perhatiannya justru tertuju Kepada Swandaru. Sambil memandanginya dengan tajam, salah seorang dari mereka berkata, “Kalian harus mendengarkan titah Maharaja Mataram sebaik-baiknya. Kalau kalian berbicara di antara kalian, maka kalian akan mendapat hukuman yang seberat-beratnya.”

Swandaru benar-benar tidak dapat menahan hati. Bukan saja Swandaru, tetapi kata-katanya yang terakhir itu sudah mengguncang perasaan Agung Sedayu pula. Tetapi sebelum keduanya berkata sesuatu, ternyata Sutawijaya pun sudah sampai pada batas kesabarannya, sehingga tiba-tiba saja ia membentak, “Berbicaralah wajar. Jangan mengigau seperti orang gila. Kami bukan tikus-tikus yang dapat kau takut-takuti dengan tingkah laku orang tidak waras itu. Ingat, kau berhadapan dengan Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, Putera Sultan Pajang. Kalau kau tidak segera menyampaikan maksud kedatanganmu, aku akan memerintahkan kepada pengawalku untuk menangkap kalian. Kalian sama sekali tidak bernilai sebagai utusan yang bebas untuk datang dan pergi. Tetapi kalian adalah brandal-brandal licik yang tidak berguna sama sekali bagiku. Kini bicaralah, selagi aku masih mempunyai belas kasihan.”

Sutawijaya memandang ketiga orang itu dengan sorot mata yang seakan-akan membara. “Aku tahu kau pasti diajar untuk menumbuhkan wibawa pada sikap dan kata-katamu. Tetapi karena kalian orang-orang kerdil, maka kalian tidak akan dapat melakukannya, selain mirip dengan cucurut yang mohon belas kasihan karena kebodohanmu itu. Kau mengerti?”

Tiba-tiba saja ketiga orang itu menjadi pucat. Usahanya untuk membangunkan wibawa di dalam diri mereka, ternyata dapat disebut dengan tepat oleh Sutawijaya, sehingga dengan demikian, hati mereka justru susut dengan tiba-tiba. Namun demikian, meski pun dengan kaki gemetar, salah seorang dari mereka masih mencoba berkata, “Baiklah. Aku akan menyampaikan titah itu.”

“Tutup mulutmu!” bentak Sutawijaya. “Kalau kau masih berbuat gila, aku sobek mulutmu. Aku tidak takut apa pun juga. Aku sudah bertekad menumpas kalian. Seandainya aku membunuh kalian bertiga, aku tidak akan menyesal dan gentar karena pembalasan kawanmu. Jangan mengharap kau dapat kami perlakukan sebagai duta yang terhormat dan berharga untuk dilindungi.”

Wajah mereka rnenjadi semakin pucat. Dan seorang yang lain berkata, “Baik, baik. Aku akan berkata seperti pesan yang harus aku sampaikan kepadamu, eh kepada Tuan, eh, kepadamu.”

“Cepat.”

“Kami, kami mendapat tugas untuk mohon, eh, minta agar kawan kami diserahkan kepada kami sekarang.”

“Apa? Kami harus menyerahkan orang-orang itu kepadamu sekarang juga?”

Pertanyaan Sutawijaya itu ternyata telah menggetarkan hati ketiga orang berkuda itu. Betapa mereka berusaha membesarkan diri mereka sendiri, namun kebesaran Sutawijaya agaknya memang menyilaukan mereka.

“Coba ulangi,” berkata Sutawijaya seperti kepada anak-anak yang gelisah karena berbuat suatu kesalahan.

“Ulangi!” Sutawijaya membentak.

“Ya, ya. Kami mendapat tugas untuk membawa kawan-kawan kami yang ada dibarak ini.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bertanya, “Dan kau sudah siap untuk melakukannya?”

Orang-orang itu menjadi ragu-ragu.

“Apakah kalian sudah siap membawa kawan mereka yang terluka itu?”

“Coba katakan, bagaimana kalian akan membawa mereka. Mereka terluka parah. Mereka tidak dapat berjalan sendiri. Sedangkan kalian hanya bertiga.”

Pertanyaan itu sederhana sekali. Sama sekali tidak menyangkut persoalan-persoalan yang mendalam tentang penyerahan orang-orang itu. Pertanyaan itu hanya sekedar tentang cara membawa mereka. Namun ketiga orang itu benar-benar menjadi bingung.

“Kenapa kalian bingung?” bertanya Sutawijaya pula. “Bukankah dari sarangmu kau sudah berniat untuk mengambil mereka, dan dengan demikian semuanya sudah kalian atur sebaik-baiknya? Bahkan kalian sempat mencoba menakut-nakuti kami di sini dengan cara orang kerdil itu?”

Ketiga orang itu tidak segera menjawab.

“Ayo katakan. Kalau kalian dapat membawa mereka dengan cara yang wajar bagi seorang kawan aku akan memberikan mereka kepadamu sekarang.”

Orang-orang itu masih kebingungan. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Kalau memang diperkenankan, kami akan kembali kepada kawan kami untuk mengambil mereka kemari.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa pendek, “Ternyata hantu-hantu Alas Mentaok pandai juga mencari akal. Tetapi sayang, aku tidak setuju.”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak, tetapi mereka tidak segera berkata sesuatu.

“Baiklah,” berkata Sutawijaya, “katakan kepada pemimpinmu bahwa aku, Sutawijaya, yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, berkeberatan menyerahkan orang-orang yang sudah jatuh ke tangan kami kepada kalian.”

Wajah ketiga orang itu menegang sejenak. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Sekarang pulanglah. Kembalilah kepada orang yang menyuruhmu kemari dan yang mengajarimu bagaimana menjadi seorang besar. Tetapi jiwa yang kerdil akan tetap memancar pada sikap yang kerdil pula.”

Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak segera beranjak dari tempatnya.

“Cepat perpi, selagi kalian masih sempat? Atau kalian ingin melihat kawanmu yang hampir mati di serambi itu? Tetapi jika kalian mendekati mereka, maka kalian tidak akan dapat keluar lagi dari halaman ini.”

Ketiga orang itu masih berdiri termangu-mangu.

“Apakah masih ada yang akan kalian katakan?” bertanya Sutawijaya. “Katakanlah. Mungkin kau mendapat pesan dari pimpinanmu untuk menakut-nakuti kami? Untuk mengatakan bahwa tempat ini sudah terkepung rapat-rapat tanpa dapat ditembus oleh ujung duri sekali pun? Bahwa mereka akan datang menumpas kami dengan cara yang paling mengerikan sesuai dengan gelar yang mereka sebut, Maharaja Kajiman? Ayo, apalagi. Pilihlah kata-kata yang paling dahsyat dari perbendaharaan bahasamu.”

Dada ketiga orang itu berdesir tajam sekali. Ternyata Sutawijaya itu dapat menebak tepat, seakan-akan ia melihat apa yang tersimpan di dalam hati mereka. Namun justru mereka menjadi semakin diam. Bahkan hampir berbareng ketiganya menundukkan kepala.

“Nah, kalau memang sudah tidak ada lagi yang akan kalian katakan, tinggalkan tempat ini. Aku menjadi beriba hati melihat wajah-wajah kalian yang memelas. Aku tidak akan membunuh kalian bertiga. Tetapi katakan, katakan kepada pimpinanmu bahwa aku akan membunuh siapa saja yang datang kemudian dengan cara seperti yang kalian pergunakan. Menyombongkan diri dan mencoba berbohong meski pun kalian tahu, bahwa semuanya tidak akan berarti apa-apa. Dan itu adalah suatu kebohongan yang besar bagi diri kalian sendiri, seolah-olah kalian akan dapat menghapus kenyataan yang sudah terjadi. Apakah kalian mengerti?”

Ketiga orang itu tiba-tiba saja menganggukkan kepala mereka.

“Sekarang pergilah, pergilah.”

“Baik, baik Tuan.”

Dengan tergesa-gesa mereka meloncat ke punggung kuda mereka. Tetapi mereka pun segera berloncatan turun kembali dengan tergesa-gesa. Bahkan salah seorang dari mereka hampir saja jatuh terjerembab, ketika mereka mendengar Swandaru membentak, “Jangan naik ke atas kudamu. Turun! Bawa kudamu ke luar halaman lebih dahulu.”

“Ah,” Kiai Gringsing berdesis. Tetapi hampir semua orang yang menyaksikan tingkah laku ketiga orang berkuda itu tersenyum.

Setelah berada di luar halaman, barulah ketiganya meloncat ke punggung kuda mereka. Sekali lagi mereka berpaling, dan mereka melihat wajah-wajah yang sedang memandangi mereka. Wajah-wajah yang seakan-akan memancarkan suatu wibawa yang agung. Terlebih-lebih lagi anak muda yang bernama Raden Sutawijaya, putera Ki Gede Pemanahan yang juga menjadi putera angkat Sultan Pajang.

Sejenak kemudian, ketiga orang itu pun meninggalkan barak itu. Semakin lama kuda mereka berpacu semakin cepat menyusup ke dalam rimbunnya dedaunan dan hilang di kejauhan, ditelan oleh pepohonan hutan yang semakin dalam menjadi semakin lebat. Tetapi ketiga orang itu telah mengenal jalan sebaik-baiknya.

Setelah menyusup di rimbunnya dedaunan hutan yang cukup lebat, maka mereka pun sampai ke sebuah longkangan kecil. Sebuah lapangan rumput sempit yang seakan-akan sengaja dibuat di tengah-tengah hutan itu, karena pepohonan tidak dapat tumbuh di atas tanah yang berbatu-batu padas.

Ketiga orang itu berhenti sejenak. Mereka memandang berkeliling. Kemudian salah seorang dari mereka terdengar melontarkan bunyi yang sudah banyak dikenal. Suara burung kedasih.

Agaknya suaranya itu telah memanggil beberapa orang keluar dari lebatnya hutan disekeliling lapangan sempit itu. Seorang di antara mereka adalah Kiai Damar.

“Apa kata mereka?” bertanya Kiai Damar.

Ketiga orang itu termangu-mangu, sejenak.

“He, apakah kata mereka? Apakah kau dapat bertemu langsung dengan Sutawijaya?”

Ketiga orang itu pun kemudian turun dari punggung kuda mereka. Salah seorang dari mereka menjawab, “Ya, kami sudah bertemu dengan Sutawijaya sendiri.”

“Kau lakukan seperti pesanku sebelumnya?”

“Ya.”

“Kau tidak turun dari kudamu?”

“Ya. Aku tidak turun dari punggung kuda.”

“Bagus. Apa katanya.”

Orang itu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menjawab, “Tidak apa-apa. Ia tidak mempersoalkannya.”

“Anak setan! Apakah ia tidak bertanya kenapa kau tidak turun dari punggung kuda dan dengan demikian memberi kesempatan kepadamu untuk menjawab seperti yang aku katakan?”

“Ya, ya, mereka memang bertanya, kenapa aku tidak turun dari kuda. Mereka menganggap bahwa berbicara dengan tetap duduk di atas punggung kuda adalah tidak sopan sama sekali. Apalagi di halaman barak itu.”

Kiai Damar mengerutkan keningnya. Sambil membentak ia bertanya, “Jadi bagaimana sebenarnya?”

“Raden Sutawijaya memang mengatakan demikian. Dan aku disuruhnya turun. Tetapi aku tidak mau.”

“Dan kau katakan juga alasan itu?”

“Ya. Aku berkata bahwa aku adalah utusan dari Kerajaan Mataram Kajiman.”

“Lalu?”

“Lalu,” orang itu menjadi ragu-ragu.

“Lalu, apa katanya? Apakah ia mengangguk-anggukkan kepalanya, apakah ia bertanya lagi, dan apakah ia menjadi ketakutan dan kemudian mendengarkan semua permintaanmu?”

Orang itu menggeleng. Jawabnya “Tidak. Ia tidak berbuat demikian.”

“Lalu, apa katanya?”

“Aku dipaksanya juga turun. Ia mengetahui segalanya. Ia mengetahui, bahwa sikapku sama sekali tidak wajar.”

“Dan kau mau juga turun?”

Orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak dipandanginya kedua kawannya. Tetapi keduanya menundukkan kepala mereka.

“He, apakah kalian turun juga?”

Perlahan-lahan orang itu menganggukkan kepalanya. Suaranya menjadi lambat sekali, “Ya, aku terpaksa turun.”

“Gila kau!” Kiai Damar tiba-tiba meloncat maju dan mencengkam baju orang itu. Sambil mengguncang-guncangnya ia berkata, “Kau ternyata tidak mampu melakukan tugas yang aku bebankan kepadamu. Ternyata kau tidak lebih dari tikus celurut yang licik. Kenapa kau tidak dapat mengatasi wibawanya dengan kepribadianmu yang kuat? Aku kira hatimu benar-benar berlapis baja. Ternyata kau sama sekali tidak mampu melakukan tugas ini.”

“Tetapi, tetapi,” orang itu tergagap, “ternyata Sutawijaya mempunyai perbawa yang lain. Aku tidak dapat menatap matanya dan aku tidak berhasil menolak perintahnya.”

“Kau yang pengecut!” bentak Kiai Damar lebih keras lagi sambil mengguncang-guncangnya lebih keras pula. Lalu tiba-tiba orang itu menggeram, “Kau memang pantas dibunuh. Kau tidak berguna sama sekali di sini.”

Orang itu menjadi pucat. Lalu, ”Ampun. Tetapi aku jangan dibunuh. Lebih baik bagiku untuk ikut serta di dalam peperangan melawan Sutawijaya sekali pun daripada harus bersikap seperti yang Kiai pesankan. Dan barangkali seandainya aku harus mati, aku memilih mati di peperangan.”

Kiai Damar menggeretakkan giginya. Sambil mendorong orang itu, ia melepaskan bajunya. Namun dengan demikian orang itu seakan-akan telah terlempar jatuh hampir di kaki kudanya.

Sambil menghentakkan tangannya Kiai Damar pun kemudian berkata, “Memang tidak ada jalan lain, aku harus merebut mereka dengan kekerasan.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Bukankah kau juga akan mengatakan bahwa kau gagal membawa orang-orang itu kemari.”

“Ya, tetapi…………”

“Diam. Aku tidak bertanya kepadamu. Aku sudah tahu. Kau menjadi ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkata apa-apa karena kau menjadi gemetar.” Kiai Damar diam sejenak, lalu, “tidak ada jalan lain. Selagi daerah itu masih terpisah, dan selagi pengawal yang datang belum begitu banyak. Kita akan mengerahkan segenap kekuatan. Kita merebut orang-orang itu, atau kita akan menghancurkan semuanya, agar kegagalan-kegagalan di daerah ini tidak diketahui oleh daerah-daerah lain. Seandainya orang-orang di daerah pembukaan hutan yang lain mendengar, bahwa daerah ini hancur lebur karena kesiku oleh hantu-hantu dari Kerajaan Mataram, maka kedudukan kita akan menjadi semakin kuat di daerah itu.”

Orang-orang yang ada di tempat itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kemudian mendengar Kiai Damar berkata, “Sudah tentu, kita memerlukan bantuan beberapa orang kuat lagi.”

Orang-orang Kiai Damar itu masih mengangguk-anggukkan kepala mereka, Mereka pun agaknya sadar, tanpa bantuan orang-orang kuat seperti Kiai Damar, maka tidak akan ada gunanya, meski pun jumlah mereka akan ditambah.

“Kita akan segera menghubungi Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Damar seterusnya, “kemudian kita hancurkan saja barak itu. Kalau kita tidak berhasil membawa orang-orang kita yang tertawan, dan tidak pula berhasil menghancurkan barak, maka semua yang memungkinkan membuka rahasia kita harus kita musnahkan.”

“Jumlah mereka tidak begitu banyak,” berkata salah seorang dari mereka. “Pengawal Sutawijaya tidak banyak. Kekuatan mereka sangat terbatas.”

“Ya. Kita harus segera berbuat sesuatu sebelum ada pengawal yang lain menambah jumlah itu,” sahut Kiai Damar. ”Sekarang kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita tidak boleh gagal lagi.”

Anak buahnya tidak menjawab lagi. Mereka pun segera pergi menghilang di dalam lebatnya pepohonan. Namun masih juga terdengar Kiai Damar berkata “Awasi daerah itu baik-baik, jangan ada seorang pun yang lolos dan sempat menghubungi orang di luar daerah itu.”

Demikianlah, maka daerah terpencil itu memang benar-benar sudah terkepung, seperti tanggapan naluriah dan sesuai dengan firasat orang-orang yang ada di dalam kepungan itu. Di antaranya adalah Sutawijaya, Sumangkar, Kiai Gringssing, dan murid-muridnya.

“Angger Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing kemudian setelah mereka saling berdiam diri sejenak, “sebaiknya orang-orang yang berada di barak sebelah, disatukan di dalam barak ini saja. Adalah sangat berbahaya, apabila mereka terpencar di dua tempat yang yang agak berjauhan. Mungkin orang-orang yang tidak kita ketahui itu akan berbuat licik, dengan mempergunakan perempuan dan anak-anak kita sendiri sebagai perisai.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Pendapat itu memang harus diperhatikan. Sudah tentu orang-orang di daerah terpencil ini harus berusaha melindungi perempuan dan anak sebaik-baiknya.

Karena itu, maka Sutawijaya pun kemudian memerintahkan beberapa orang pengawalnya, beserta beberapa orang laki-laki dari barak itu, disertai kedua murid Kiai Gringsing, untuk membawa mereka menjadi satu di dalam barak ini.

“Kita akan menjadi saling berdesak-desakkan, “berkata Kiai Gringsing, ”tetapi itu adalah cara yang paling baik untuk menjaga keselamatan mereka. Laki-laki yang telah menyatakan dirinya ikut serta menjadi pengawal, akan berada di luar barak dan memberikan tempatnya kepada perempuan dan anak-anak”

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah membawa perempuan dan anak-anak yang gelisah ke dalam barak itu. Betapa kecemasan membayang di wajah mereka. Anak-anak saling berpegangan ujung baju ibunya yang pucat karena ketakutan pula. Beberapa lama mereka selalu hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Tetapi mereka belum pernah mengalami masa-masa seperti itu. Mereka belum pernah mengungsi dari barak mereka, dan tinggal di barak yang lain, meninggalkan dapur dan alat-alatnya yang setiap hari menjadi tanggung jawab mereka.

Tetapi agaknya kini keadaan sudah menjadi semakin memuncak, sehingga mereka harus mengungsi dari tempat mereka.

“Alat-alat dapur yang penting harus dibawa,” berkata seorang pengawal, “kita tidak harus berhenti makan. Justru di dalam keadaan ini kita harus makan sebanyak-banyaknya. Apakah sisa bahan mentah sudah menipis?”

“Tidak,” jawab seorang laki-laki tua, “bahan mentah masih cukup banyak.”

Orang-orang itu pun kemudian hilir-mudik mengarabil alat-alat dapur dan bahan-bahan mentah yang diperlukan. Seperti kata-kata pengawal itu, bahwa mereka tidak harus berhenti makan.

Demikianlah, maka mereka kini tinggal bersama-sama di dalam satu barak. Dengan demikian, mereka tidak perlu membagi tenaga untuk melindungi dua tempat yang terpisah. Kini mereka dapat memusatkan pertahanan mereka di sekitar satu barak itu saja.

Ternyata bahwa sampai matahari tenggelam tidak terjadi apa pun pada barak itu. Namun mereka harus berhati-hati bahwa di malam hari semuanya dapat terjadi. Karena itu, maka setiap orang harus tetap bersiaga.

Dalam waktu yang sangat sempit itu, para pengawal masih mencoba memberikan beberapa petunjuk untuk mempergunakan senjata masing-masing, bagi mereka yang sama sekali belum pernah mengalami perkelahian sama sekati. Sebagian dari mereka, meski pun dimasa kanak-anak, pada umumnya sudah pernah mengalaminya. Namun apa yang akan mereka hadapi kini adalah jauh berbeda daripada berkelahi di antara kawan sendiri.

Sebagian dari mereka, mencoba mengayunkan pedangnya menebas kayu yang ditanam kuat-kuat ditanah. Mereka belajar menangkis serangan dan mencoba menghindar. Semuanya adalah serba sedikit dan sekedarnya. Namun yang penting bagi mereka, bagaimana mereka menempatkan diri di dalam perkelahian bersama.

Ketika malam yang semakin kelam kemudian turun menyelubungi daerah yang terpencil itu, maka para pengawal pun mulai bertebaran di sekitar barak bersama-sama beberapa orang laki-laki dan terutama mereka yang masih cukup muda. Sutawijaya sendiri duduk di atas tangga serambi bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar, sementara Agung Sedayu dan Swandaru berjalan hilir-mudik di sekitar barak itu.

“Kita harus menyiapkan perangkap” desis Swandaru.

“Apa maksudmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku kira mereka tidak sekedar datang berjalan kaki. Satu dua di antara mereka pasti ada yang berkuda.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sejenak ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian dahinya berkerut-merut.

“Bagaimana kau akan menjebak mereka?” bertanya Agung Sedayu.

“Dengan tali. Aku akan mengikat tali pada pepohonan setinggi lutut. Kura-kuda itu akan melanggar tali-tali itu dan aku kira, mereka akan jatuh terguling.”

“Ya. Penunggangnya akan terlempar jatuh. Tetapi mereka akan segera bangun dan langsung menyerang barak ini meski pun tidak di atas punggung kuda.”

“Bukankah dengan demikian, kita dapat mengurangi kemampuan pasukan mereka?”

“Pengaruhnya kecil sekali.”

Swandaru merenung sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam “Ya kecil sekali. Tetapi kejutan itu akan mengganggu gerakan mereka. Setidak-tidaknya menghambat kecepatan maju pasukan lawan.”

Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Katanya, “Memang ada pengaruhnya. Apakah kau akan mencobanya? Kita harus membuat tali lulup yang panjang. Kemudian kita mengikatnya dari pohon ke pohon, setinggi lutut.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Besok pagi-pagi aku akan mencari lulup sebanyak-banyaknya. Aku akan membuat tampar dan aku akan membuat perangkap-perangkap itu. Aku juga akan membuat lubang-lubang yang dalam, yang akan kita tutup dengan dedaunan. Kuda-kuda mereka pasti akan terperosok ke dalamnya. Bahkan seandainya mereka tidak berkuda pun, mereka akan terjerumus dan memerlukan waktu untuk memanjat ke atas.”

“Bagaimana kalau kita sendiri yang terjerumus ke dalamnya?”

“Kita akan memberikan tanda. Tanda itu akan kita beritahukan kepada semua orang di barak ini agar bukan merekalah yang justru terperosok masuk.”

“Tetapi bagaimana kalau mereka datang malam ini?

Swandaru menarik nafas. Jawabnya “Kita tidak sempat.”

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Mereka masih berjalan hilir-mudik dari satu sudut ke sudut yang lain, sambil mengawasi orang-orang yang bertebaran di sekitar barak. Bahkan masih juga ada yang mencoba-coba bermain dengan senjata. Ada yang barlatih mempergunakan parang, tombak, sebuah kapak, dan bahkan ada yang membiasakan diri mempergunakan sepotong kayu panjang sebesar lengan tangannya, yang ujungnya diruncingkan, sebagai pengganti tombak. Ada juga yang mempergunakan panah dan busur yang biasa mereka pergunakan untuk berburu.

“Tetapi kalau lawanmu sudah berada di depan hidungmu, kau tidak akan dapat mempergunakan lagi,” berkata Agung Sedayu kepada orang itu. Lalu, “Jadi kau harus mempergunakan senjata rangkap selain busur dan anak panah.”

“Apa?” ia bertanya.

“Apa saja.”

Orang itu termenung sejenak, lalu, “Aku mempunyai tongkat sepotong besi.”

“Nah, pergunakan tongkatmu itu,” sahut Agung Sedayu. “Cobalah, bagaimana sebaiknya kau mempergunakan tongkat itu sebagai senjata. Para pengawal itu akan dengan senang hati mengajarmu.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi tampaknya wajahnya tidak yakin bahwa tongkatnya itu dapat dipergunakannya sebagai senjata. Bahkan ia bertanya, “Tetapi tongkat itu tidak tajam ujungnya. Apakah aku dapat mempergunakan?”

“Ujung cambukku juga tidak tajam seperti pedang.”

“Ya. Ya. Aku akan mencoba mengenal cara untuk mempergunakannya.”

Orang itu pun kemudian berlari-lari masuk ke dalam barak. Bahkan kadang-kadang ia harus melangkahi seseorang yang sedang berbaring dengan gelisah.

“Ada apa?” bertanya seorang tua.

“Tongkatku,” jawabnya singkat.

Maka sejenak kemudian ia sudah diajari oleh seorang pengawal, bagaimana sebaiknya mempergunakan sebatang tongkat sebagai senjata, meskipun malam sudah menjadi semakin malam.

“Sudahlah,” berkata para pangawal yang masih juga memberikan beberapa petunjuk. Lalu, “Sekarang sebaiknya kalian tidur. Di mana pun juga, karena tempat kalian dipergunakan oleh perempuan dan anak-anak. Kalian dapat tidur di emper-emper samping barak dengan sehelai ketepe, anyaman belarak. Atau di atas rumput kering, atau di mana saja. Biarlah kami para pengawal yang mengawasi keadaan. Kalian tidak perlu lagi takut kepada hantu, karena hantu-hantu itu kini telah kemanungsan dan tidak lagi dapat kembali menjadi hantu.”

Orang-orang dari barak itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka memang sudah merasa lelah dan kantuk, sehingga di mana pun mereka merebahkan diri, mereka akan segera tertidur dengan tenang. Mereka tahu, bahwa para pengawal akan tetap berjaga-jaga, dan hantu-hantu pun sudah tidak akan mengusik lagi.

Para pengawallah yang kemudian membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil yang bergantian mengawasi barak itu dari segala penjuru bersama Agung Sedayu dan Swandaru.

Tetapi sampai cahaya fajar memerah di langit, sama sekali tidak ada seorang pun yang datang mendekati barak itu. Orang-orang yang tertidur dapat mendengkur sampai pagi tanpa ada yang mengusiknya.

Dalam pada itu, Kiai Damar memang belum siap untuk menyerang malam itu. Ia sedang menghubungi beberapa pihak untuk mendapat kekuatan yang meyakinkan. Kiai Telapak Jalak pun telah dihubunginya pula. Beberapa orang bersama Kiai Telapak Jalak sendiri telah datang untuk mengetahui, siapa sajakah yang ada di barak itu, sehingga Kiai Damar tidak dapat menyelesaikannya sendiri.

“Gembala yang kepanjingan setan itu,” geram Kiai Damar setelah ia bercerita panjang lebar kepada Kiai Telapak Jalak.

Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebenarnya ia tidak begitu yakin pada cerita Kiai Damar. Bagaimana mungkin gembala dan anak-anaknya itu mampu mengalahkan Kiai Damar bersama orang-orangnya yang jumlahnya lebih banyak.

“Apakah kau tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang membuat kau kurang cermat menilai keadaan?” bertanya Kiai Telapak Jalak.

“Tidak. Aku kira aku sudah mencoba menimbangnya berulang kali. Aku tidak dapat mengalahkan salah seorang dari orang-orang yang ada di barak itu. Orang-orangku pun dapat dikalahkan oleh gembala dan dua anak-anaknya. Ketika satu demi satu orang-orangku jatuh, maka tidak ada jalan lain bagiku daripada menyingkir sebelum mereka sempat beramai-ramai menangkap aku.”

Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah kau tidak melihat tanda-tanda yang aneh pada mereka? Atau barangkali ciri-ciri yang khusus?”

Kiai Damar menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Tetapi seandainya dapat juga disebut ciri, gembala itu mempergunakan cambuk sebagai senjatanya. Demikian juga kedua anak-anaknya. Tetapi yang seorang lagi mempergunakan jenis senjata yang lain. Benar-benar senjata. Sepasang trisula kecil dengan seutas rantai.”

Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Aku belum pernah mengalami perkelahian dengan orang-orang yang memiliki jenis senjata itu. Tetapi, mungkin mereka mempergunakan segala jenis senjata yang dapat mereka ketemukan, kecuali seorang dari padanya, yang mempergunakan sepasang trisula itu.”

“Dan satu hal yang menarik. Mereka mencoba menyebut-nyebut nama Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi.”

“Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi. Setelah dengan singkat Kiai Damar menceritakan Kiai Dandang Wesi, maka Kiai Telapak Jalak pun berkata, “Mereka ingin membalas cara-cara yang kita pergunakan. Mereka akan melawan hantu dengan hantu.”

“Aku sudah menduga.”

“Aku sependapat, bahwa daerah ini harus dibereskan dahulu. Di daerahku, aku masih tetap menguasai keadaan. Orang-orang yang membuka hutan di daerah itu, masih selalu ketakutan mendengar gemerincing kaki-kaki kuda di malam hari. Orang-orangku yang ada di antara mereka pun masih dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Demikian juga orang-orang Kiai Branjangan di ujung Selatan. Ia masih juga berhasil menguasai daerahnya baik-baik. Bahkan hampir setiap hari berdatangan ke tempatnya yang terpencil itu, orang-orang yang mohon berkah dan perlindungan. Dengan mulutnya ia berhasil semakin memperkecil arti usaha pembukaan hutan itu.”

Kiai Damar mendengarkannya dengan saksama. Dan tiba-tiba ia berkata, ”Apakah kita perlu mengundang Kiai Branjangan?”

Kiai Telapak Jalak menggelengkan kepala. Katanya, ”Kau tidak percaya kepada dirimu sendiri. Hanya Ki Gede Pemanahan sajalah yang dapat mengalahkan kita di daerah ini. Biarlah kita mencoba menghadapi mereka. Biarlah aku melawan orang yang bersenjata trisula itu. Kau kuasai orang bercambuk, yang kau sebut sebagai gembala itu.”

“Kita masih harus memperhitungkan anak-anaknya.”

“Kita pilih, dua orang kita yang terbaik.”

“Raden Sutawijaya?”

“Kita sediakan dua orang pilihan yang lain.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jumlah pengawal Raden Sutawijaya itu pun tidak begitu banyak,” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak. ”Bagaimana dengan orang-orang di barak itu sendiri?”

“Mereka dapat diabaikan. Mereka masih selalu dibayangi oleh ketakutan. Seandainya mereka berusaha berbuat sesuatu, kekuatan mereka tidak akan banyak berarti.”

Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan pula. Ia sudah mempunyai gambaran, berapa besarnya kekuatan yang akan dihadapinya. Sebagai seorang yang berilmu tinggi di dalam olah kanuragan, maka Kiai Telapak Jalak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri. Ia menganggap bahwa selama ini Kiai Damar telah salah hitung. Kiai Damar terlampau menganggap ringan atas orang-orang aneh di antara mereka yang tinggal di dalam barak.

“Besok pengawas-pengawas kita akan mendekati barak itu,” berkata Kiai Telapak Jalak. ”Aku ingin mengerti keadaan di sekitarnya. Sesudah itu baru kita akan menyerang dan melenyapkan segala bekas-bekas yang ada di daerah ini. Kita harus menghilangkan semua kesan, bahwa di sini pernah ada barak, para penghuninya, gardu-gardu pengawas, dan bahkan bahwa di daerah ini pernah dikunjungi oleh Sutawijaya.”

“Tetapi, bagaimanakah sikap Pajang atas kejadian itu?”

“Kita akan menyebarkan pendapat, bahwa mereka telah dikutuk oleh hantu-hantu Alas Mentaok. Hanya orang-orang di daerah ini sajalah yang sedikit banyak telah mengetahui rahasia hantu-hantu itu. Karena itu, apabila mereka dilenyapkan, maka lenyap pulalah semua anggapan, bahwa sebenarnya bukan hantu-hantulah yang telah mengganggu mereka selama ini.”

Kiai Damar sependapat dengan Kiai Telapak Jalak. Mereka menunda serangan mereka untuk membuat perhitungan-perhitungan yang lebih baik.

Kiai Telapak Jalak masih akan mengirimkan orang-orangnya untuk mengetahui keadaan di sekitar barak itu, sehingga dengan demikian ia akan dapat memperhitungkan keadaan dengan tepat, setidak-tidaknya lebih baik dari yang pernah dilakukan oleh Kiai Damar.

Karena itulah, maka di malam pertama itu, tidak ada suatu tindakan apa pun yang dilakukan oleh Kiai Damar dengan pasukannya. Demikian pulalah agaknya dihari berikutnya, selain beberapa orang pengawas yang mencoba mendekati barak.

Ketika malam telah lampau tanpa terjadi sesuatu, maka orang-orang di dalam barak itu mulai meragukan perhitungan Sutawijaya. Mereka menganggap bahwa kemenangan gembala itu pasti akan membuat lawan menjadi semakin ketakutan, bukan sebaliknya.

Tetapi baik Sutawijaya mau pun Kiai Gringsing dan kedua muridnya masih tetap di dalam pendirian mereka. Bahkan mereka menganjurkan agar orang-orang di barak itu mempergunakan waktu yang pendek itu untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kesulitan yang dapat saja datang setiap saat.

Mula-mula mereka agak segan juga. Lebih baik bagi mereka untuk beristirahat, berbaring-baring di atas anyaman belarak jambe, atau duduk-duduk di serambi. Tetapi karena desakan para pengawal, maka mereka pun berdiri juga di halaman sambil membawa senjata masing-masing.

Sejenak kemudian mereka pun berlatih kembali mengayunkan dan mempergunakan senjata mereka. Mereka menebas batang-batang kayu dengan pedang, menusuk-nusuk kayu yang lunak dengan ujung tombak. Mencoba menangkis serangan dan mencoba pula menghindar.

Tetapi ketika keringat mereka mulai mengalir, kembali mereka dijalari oleh keseganan. Tetapi mereka terpaksa memaksa diri masing-masing untuk tetap memegang senjata di halaman.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru tidak ikut serta menunggui latihan-latihan itu. Mereka pergi ke dalam gerumbul-gerumbul di sekitar barak. Dengan lulup kayu, mereka mencoba merentang dari pohon yang satu ke pohon yang lain.

“Apabila mereka berlari dengan tergesa-gesa, mereka tidak akan melihatnya di malam hari, Kakang,” berkata Swandaru.

“Apakah menurut perhitunganmu, mereka akan menyerang di malam hari?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Sekedar kebiasaan. Mereka biasa bergerak di malam hari selagi mereka bermain hantu-hantuan. Pasti tidak akan terpikir oleh mereka untuk berbuat sesuatu di siang hari.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Alasan yang sederhana sekali. Sama sekali bukan didasari oleh perhitungan medan yang bakal terjadi apabila mereka menyerang, tetapi sekedar didasari alasan yang sangat sederhana. Namun demikian, dugaan itu masuk akal juga.

“Apakah kau mempunyai dugaan lain?“

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, ”Aku juga berpendapat demikian. Mereka akan datang di malam hari. Tetapi bukan sekedar karena kebiasaan. Tetapi mereka pasti menganggap bahwa di malam hari orang-orang di barak kita selalu dibayangi oleh ketakutan. Meskipun seandainya mereka sadar, bahwa orang-orang di barak kita tidak lagi takut terhadap hantu-hantu jadi-jadian itu, tetapi kesan yang mereka dapat adalah, malam hari yang gelap adalah saat-saat yang menakutkan sekali. Di dalam gelapnya malam, apa pun dapat terjadi.”

Swandaru-lah yang kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, ”Pertimbangan yang terlampau sulit. Kenapa kau tidak mencari alasan yang mudah dan dapat masuk akal? Barangkali kau sekedar tidak mau kalah dengan pikiranku.”

“Macammu,” desis Agung Sedayu.

“Kalau tidak, kenapa kau tidak mengiakan saja pendapatku?”

“Baiklah, aku sependapat dengan kau. Aku mengiakan pendapatmu.”

“Sudah tentu aku tidak puas dengan cara itu.”

“Jangan ribut,” sahut Agung Sedayu kemudian, ”sekarang, manakah yang akan dipasang rintangan-rintangan tersembunyi ini?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk, ”Ya, ya. Kita sedang memasang rintangan-rintangan.”

Setelah mereka menimbang-nimbang sejenak, maka mereka pun menemukan beberapa arah yang menurut pertimbangan mereka, akan dilalui orang-orang yang akan mendekati barak itu. Kalau sebelum mereka sampai ke tempat itu, maka orang-orang dari barak itu sudah menunjukkan perlawanan, maka orang-orang yang datang itu pasti akan segera berlari menyerang. Rintangan-rintangan ini akan dapat menahan laju serangan itu dan memberi kesempatan orang-orang yang sedang bertahan menjadi mapan, menghadapi lawan-lawan mereka yang berdatangan, tetapi tidak seperti banjir yang melanda tanggul di tikungan yang dalam.”

Demikianlah Agung Sedayu dan Swandaru telah merentangkan beberapa utas tali lulup setinggi betis, dengan harapan agar lawan mereka mulai terganggu sebelum pertempuran yang sebenarnya mulai.

Tanpa mereka sadari, maka kedua orang itu pun menjadi semakin jauh.

“Haus sekali,” desis Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang sekelilingnya, barulah ia sadar, bahwa ia telah berada di tempat yang memang cukup jauh.

“Aku haus sekali,” sekali lagi Swandaru berdesis.

“Marilah kita kembali. Kalau kita mempunyai waktu, kita akan pergi memasang tali-tali semacam ini di arah yang lain.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula. ”Tentu kita akan pergi keempat arah dan memasang perangkap di semua tempat itu.”

“Aku akan beristirahat dahulu sejenak,” berkata Swandaru kemudian. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah sebatang pohon yang rimbun meskipun tidak begitu tinggi, yang tumbuh di antara batang-batang perdu.

Agung Sedayu pun ikut pula duduk di sampingnya. Tetapi ia tidak bersandar pohon itu.

Tiba-tiba saja keduanya terkejut ketika mereka mendengar kuda meringkik. Dengan serta-merta mereka, menjatuhkan diri dan berguling menyusup ke dalam batang-batang perdu.

“Kuda. Aku mendengar ringkik kuda, benar?”

“Ya, aku juga mendengar.”

Keduanya pun kemudian bersembunyi semakin rapat. Sambil saling berpandangan mereka mendengar suara derap kuda semakin lama semakin dekat.

Keduanya hampir tidak bernafas lagi ketika kuda-kuda itu berhenti beberapa langkah saja di hadapan mereka bersembunyi.

“Jangan terlampau dekat,” berkata salah seorang dari orang-orang berkuda itu.

“Masih terlampau jauh.”

“Tidak. Kita sudah dekat dengan barak itu. Kita tinggalkan kuda-kuda kita di sini. Kita akan melihat, apa yang dikerjakan oleh orang-orang di dalam barak itu.”

Dada Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar. Kalau orang-orang itu berjalan terus, apakah mereka tetap di atas punggung kudanya, atau mereka mendekat dengan berjalan kaki, maka mereka pasti akan melihat rahasia yang baru saja dipasang. Tali-tali lulup yang terentang di antara pepohonan.

“Apakah kita akan mendekati barak itu sekarang?”

“Ya,” jawab kawannya.

“Baiklah. Kita akan berjalan kaki supaya kedatangan kita tidak mereka ketahui.”

Swandaru menggamit Agung Sedayu yang mulai dibasahi oleh keringat dinginnya, ia menjadi bimbang. Apakah orang-orang itu akan dibiarkannya saja, atau sebaiknya orang-orang itu ditangkapnya? Keduanya tidak memberikan keuntungan bagi barak itu. Kalau orang yang datang itu dibiarkannya. Mereka akan mengetahui rahasia tentang tali-tali dan barangkali juga mereka akan melihat dari kejauhan, orang-orang yang sedang berlatih di halaman barak itu. Tetapi kalau mereka akan ditangkapnya, maka ketidak-hadiran mereka kembali ke dalam lingkungan mereka, akan dapat menumbuhkan kecurigaan dan persoalan bagi mereka, sehingga mereka akan menjadi lebih berhati-hati dan bahkan akan lebih memperkuat pasukan yang akan datang ke barak ini, karena baik Agung Sedayu mau pun Swandaru yakin, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang dikirim oleh Kiai Damar untuk melihat keadaan.

Dalam keragu-raguan itu, Agung Sedayu melihat orang-orang itu sudah siap untuk turun dan kuda-kuda mereka.

“Empat orang,” katannya di dalam hati.

Tiba-tiba saja tanpa disengaja, tangannya menyentuh sebutir batu sebesar telur. Batu itu ternyata telah menumbuhkan suatu pemecahan yang barangkali dapat dilakukannya. Sambil menunjukkan batu itu kepada Swandaru, Agung Sedayu memberikan isyarat, bahwa ia akan melempar kuda yang berhenti beberapa langkah dari mereka itu.

Swandaru mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Ia mengerti, bahwa Agung Sedayu akan mengejutkan kuda-kuda itu, sehingga kuda-kuda itu pasti akan berlari-larian dan sukar dikendalikan.

Demikianlah, maka Agung Sedayu bergeser setapak maju. Kedua tangannya menggenggam masing-masing sebutir batu. Ketika kuda-kuda itu berdiri beberapa langkah daripadanya, dan ketika penunggangnya siap meloncat turun, maka Agung Sedayu pun segera melepaskan kedua butir batu itu, kearah dua ekor kuda yang berdiri di paling depan.

Ternyata usaha Agung Sedayu itu berhasil seperti yang diharapkan. Kedua ekor kuda itu terkejut bukan buatan. Keduanya hampir berbareng melonjak berdiri sambil meringkik keras-keras. Kemudian meloncat dan berlari tidak tentu arah.

Kedua ekor kuda yang lain pun ikut terkejut pula. Tetapi tidak seperti kedua ekor kuda yang pertama, sehingga keduanya masih dapat dikuasai, meskipun keduanya juga berlari secepat-cepatnya. Namun dengan susah payah kedua penunggangnya berhasil menarik kekangnya untuk menentukan arah, agar mereka tidak terperosok justru masuk ke dalam barak. Dengan demikian maka kedua kuda yang terakhir itu berpacu kembali ke arah darimana mereka datang.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya melihat hasil usahanya, sedang Swandaru tidak dapat menahan tertawanya. Tetapi suara tertawanya itu terputus, ketika Agung Sedayu berkata, ”He, kemana yang dua tadi berlari?”

“Entahlah,” Swandaru menggelengkan kepalanya, ”mungkin ke arah barak.“

“Marilah kita lihat. Kalau mereka tidak berhasil mengendalikan kuda-kuda mereka, maka kuda-kuda itu pasti akan tersangkut tali yang sudah kita rentang.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia pun meloncat berdiri seperti anak-anak yang mendapat mainan. Katanya, ”Ayo kita kejar.”

“Kau akan mengejar kuda-kuda yang sedang liar?”

“Maksudku, kita lihat, barangkali kedua ekor kuda beserta penunggangnya itu sedang berbaring di gerumbul-gerumbul liar itu.”

Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian berlari-larian sambil mencoba mengamati jejak kuda-kuda yang sedang kehilangan kekangan itu.

Ternyata mereka berhasil menemukan jejak itu. Rerumputan yang patah terinjak-injak, bekasnya di tanah yang gembur dan ranting perdu yang patah.

Sejenak kemudian Agung Sedayu berdesis dan menggamit Swandaru, ”Aku mendengar suara.”

Swandaru pun berhenti. Ia memang mendengar suara beberapa langkah di hadapannya. Ringkik kuda, gemerasak dedaunan dan desah seseorang.

“Pasti salah seorang dari keduanya. Jebakanku mengena,” berkata Agung Sedayu. Lalu, ”Uruslah. Bawalah ke barak. Mungkin aku masih harus mencari yang satu lagi.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, ”Tidak ada jejak ke arah lain. Keduanya ke arah ini.”

Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Ia melihat jejak yang tidak sejalan. Karena itu ia menjawab, ”Lihat, mereka beriringan sampai ke tempat ini. Tetapi kuda-kuda itu bagaikan binal, sehingga penunggangnya tidak dapat menguasainya. Jejak ini pasti salah satu di antaranya. Berputar-putar menerjang gerumbul-gerumbul ini, kemudian berbelok ke kiri.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia mengangguk-angguk.

“Cepat, sebelum ia sempat lari,” berkata Agung Sedayu yang tidak menunggu jawabnya, segera berlari mengikuti jejak kuda yang seekor lagi.

Swandaru yang dengan tergesa-gesa mendekati suara ribut itu pun segera menyakini, bahwa suara itu adalah suara kuda yang sedang berusaha melepaskan diri dari belitan tali-tali lulupnya. Sedang penunggangnya pun agaknya terpelanting dan terjatuh pula di dekatnya. Ternyata Swandaru telah mendengar orang itu mengumpat-umpat tidak keruan.

Swandaru yang sudah menjadi semakin dekat, menjadi lebih berhati-hati. Ia kini bersembunyi di balik dedaunan. Namun ketika ia sudah melihat penunggang kuda itu seorang diri sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya, maka ia pun merayap semakin dekat lagi.

Sejenak kemudian, maka penunggang kuda itu berusaha menenangkan kudanya yang masih berusaha untuk bangkit. Ditepuk-tepuknya lehernya dan dipanggilnya namanya dengan suara lembut

Perlahan-lahan kudanya menjadi semakin jinak. Apalagi ketika kemudian kuda itu berhasil bangun dan berdiri di atas keempat kakinya.

Sambil memegang kendali, penunggangnya masih saja mengusap leher kudanya yang sudah mulai dapat dijinakkan. Meskipun kadang-kadang kuda itu masih menengadahkan kepalanya sambil meringkik tetapi kuda itu sudah tidak berusaha untuk lari lagi.

Setelah kudanya menjadi tenang, maka penunggangnya melanjutkan umpatannya. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah.

Namun sejenak kemudian ia pun terkejut ketika tiba-tiba saja seorang anak muda yang gemuk telah berdiri di hadapannya. Sambil tertawa Swandaru memandanginya dengan tatapan mata yang aneh.

“Kasihan,” desis Swandaru, ”apakah kau terjatuh?”

“Siapa kau?” bertanya orang itu.

“Kau ingin tahu tentang aku?”

Sekali lagi orang itu mengumpat. Dan ia bertanya lagi, “Apa maumu datang kemari?”

“Aku melihat kudamu menjadi gila. Aku mencoba melihat apakah yang terjadi kemudian. Agaknya kau terjatuh.”

“Gila.”

“Ya. Kudamu yang gila.”

“Kau yang gila.”

“Kenapa aku?”

Pertanyaan itu telah membuat penunggang kuda itu menjadi bingung. Karena itu sejenak ia tidak menjawab. Dan karena ia terdiam, maka Swandaru pun berkata pula, ”Hati-hatilah untuk lain kali. Hutan ini meskipun tidak begitu lebat di bagian ini, tetapi banyak rintangan yang dapat menjerat kaki kudamu.”

Orang itu masih berdiam diri. Agaknya ia belum menyadari bahwa kaki kudanya telah terjerat oleh tali lulup yang memang dipasang seseorang.

“Persetan,” orang itu menggeram. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya sekali lagi, ”Siapa kau?”

Tiba-tiba saja Swandaru ingin mengganggunya. Maka jawabnya, ”Apakah kau belum pernah melihat aku?”

“Belum,” orang itu menggeleng.

“Semua orang Mataram mengenal aku. Apalagi orang orang yang sudah berada di pusat tanah ini.”

“Siapa kau?”orang itu tidak sabar.

“Jangan membentak-bentak. Aku sedang akan menyebutkan siapa aku ini.“

“Cepat, sebut namamu.”

“Aku adalah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”

Sejenak orang itu terdiam. Wajahnya menjadi tegang dan matanya memancarkan sorot yang aneh.

Swandaru tertawa di dalam hatinya. Ia menyangka bahwa orang itu terkejut, bahwa tiba-tiba tanpa disangka-sangkanya ia berhadapan dengan Sutawijaya.

Tetapi dugaan Swandaru ternyata salah. Sambil menuding wajahnya, orang itu berkata, ”Jangan mencoba berbohong. Aku sudah mengenal orang yang bernama Sutawijaya. Sutawijaya tidak gemuk seperti macammu. Meskipun tidak kurus, tetapi tubuhnya langsing seperti kebanyakan orang-orang Istana.”

“Jadi kau tidak percaya?”

“Kau benar-benar gila. Aku tidak percaya.”

“Baiklah. Terserahlah kepadamu. Mungkin kau pernah melihat aku beberapa bulan yang lampau. Aku memang belum segemuk ini. Baru tiga hari aku menjadi gemuk seperti ini.”

Orang itu kini merasa, bahwa anak muda yang gemuk itu sengaja mempermainkannya. Karena itu, maka kemarahannya pun telah memuncak sampai diujung ubun-ubun. Katanya, ”Aku tidak peduli siapakah kau ini. Tetapi kau sudah membuat aku marah. Karena itu, bukan salahku, kalau aku membunuhmu.”

“Jangan berkata dengan istilah yang mendirikan bulu-bulu kudukku. Jangan sebut kematian. Lebih baik kau berbicara tentang dirimu sendiri.”

“Persetan,” giginya menjadi gemeretak, ”kau memang harus dicincang di sini.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dilihatnya orang itu menambatkan kudanya yang sudah jinak kembali pada sebatang pohon perdu.

Dengan demikian Swandaru pun kemudian mempersiapkan dirinya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa setelah menambatkan kudanya, orang itu pasti akan segera menyerangnya.

Dugaan Swandaru itu sama sekali tidak salah. Dengan wajah yang merah padam, orang itu melangkah setapak demi setapak mendekatinya.

”Apakah kau orang dari barak itu?” orang itu menggeram.

“Ya,” jawab Swandaru.

“Adalah kebetulan sekali. Agaknya kau terlibat juga dalam kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang barak itu atas anak buah Kiai Damar.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dan ia pun bertanya, “Apakah kau bukan anak buah Kiai Damar?”

Orang itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, ”Aku datang atas permintaan Kiai Damar. Barangkali tidak ada salahnya kalau kau tahu serba sedikit tentang aku, sebelum kau mati.”

“Ya. Aku ingin mendengar.”

“Sudah kau dengar. Aku bukan anak buah Kiai Damar.”

Swandaru mengerutkan keningnya, ”Jadi hanya itu? Hanya sekedar mengetahui bahwa kau bukan anak buah Kiai Damar.”

“Itu sudah cukup. Sekarang kau akan mati.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Sekarang aku tahu. Justru karena kau bukan anak buah dari Kiai Damar. Kau pun pasti belum mengenal aku.”

“Jangan sebut dirimu Sutawijaya lagi. Aku muak mendengarnya. Aku sudah pernah mengenal Sutawijaya. Aku pernah melihatnya.”

“Tidak. Aku tidak akan menyebut lagi bahwa aku Sutawijaya. Tetapi setiap anak buah Kiai Damar pasti mengenal aku, karena aku pernah berkelahi melawan mereka dan Kiai Damar.”

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Ya. Kiai Damar memang pernah mengatakan kegagalannya. Agaknya kau salah seorang dari mereka. Siapa kau?”

“Itu sudah cukup. Kau sudah terlampau banyak mengetahui tentang diriku. Bahwa aku pernah bertempur dengan Kiai Damar, itu adalah pengetahuan yang cukup berharga bagimu sebelum kau mati di sini.”

“Setan alas,” kemarahan orang itu pun segera memuncak. Ia mengerti, bahwa anak yang gemuk itu memang sengaja mempermainkannya. Karena itu, tanpa berkata sepatah kata pun lagi, ia langsung menyerang Swandaru dengan garangnya.

Swandaru yang selalu berhati-hati, sama sekali tidak terkejut menerima serangan itu. Karena itu ia pun segera menghindarkan dirinya. Tangan orang itu terayun tidak lebih dari sejengkal dari pipinya.

Namun yang mengejutkan Swandaru adalah desing tangan itu. Dengan demikian ia dapat menjajagi betapa besar kekuatan lawannya, sehingga dengan demikian ia pun harus menjadi semakin berhati-hati menghadapinya.

Sejenak kemudian maka mereka pun terlibat dalam perkelahian yang sengit. Orang itu berusaha untuk mengalahkan Swandaru secepat-cepatnya, karena ia sadar, bahwa ia sudah berada di dekat barak yang ingin diamatinya. Ringkik kudanya mungkin dapat didengar dari barak, dan itu berarti memanggil satu dua orang dari mereka. Kalau yang datang Sutawijaya sendiri, maka ia tidak akan dapat pergi lagi dari tempat itu dan kembali kepada induk gerombolannya.

Tetapi tanpa diduganya, ia mendapat lawan yang terlampau kuat baginya. Swandaru yang telah dapat menilai kekuatan lawannya, tidak mau mengambil akibat buruk daripadanya, sehingga ia pun telah bertempur bersungguh-sungguh.

Dengan demikian, maka dalam waktu yang singkat, segera anak muda yang gemuk itu berhasil menguasai lawannya, meskipun ia masih memerlukan waktu untuk mengalahkannya.

Seperti pesan Agung Sedayu, Swandaru ingin menangkap orang itu hidup-hidup. Dengan demikian, orang itu akan merupakan sumber keterangan tentang orang-orang yang tidak dikenal yang telah mengepung barak ini. Apalagi Swandaru mendengar dari orang itu, bahwa ia sama sekali bukan anak buah Kiai Damar. Dengan demikian Swandaru menduga, bahwa Kiai Damar telah memanggil kelompok-kelompok lain untuk menyerang barak itu kembali.

Tetapi menangkap orang itu hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi setelah orang itu sadar, bahwa lawannya bukanlah anak muda yang dengan mudah dapat dikalahkan, maka ia pun segera menarik senjata dari sarungnya. Sehelai pedang yang panjang.

Swandaru masih melawannya dengan tangannya untuk beberapa saat. Namun akhirnya, ia menyadari, bahwa dengan demikian, ia menghadapi kemungkinan yang kurang baik baginya. Itulah sebabnya, maka ia pun segera mengurai senjatanya, sehelai cambuk dengan juntai yang panjang.

Tiba-tiba lawannya mengerutkan keningnya. Kini ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan salah seorang dari orang-orang bercambuk seperti yang dikatakan oleh Kiai Damar.

“Ya, yang seorang adalah anak yang gemuk ini. Aku baru ingat cerita itu sekarang,” katanya di dalam hati. Namun dengan demikian orang itu menjadi semakin berhati-hati. Ternyata lawannya adalah seorang yang tangguh.

Namun sejenak kemudian, orang itu merasa, bahwa ia harus melihat kenyataan. Betapa pun nafsunya membakar dadanya untuk membunuh lawannya, tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa lawannya mempunyai kelebihan daripadanya.

Karena itu, maka orang itu terpaksa berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk menang. Tetapi sudah tentu, bahwa ia tidak akan bersedia menyerahkan dirinya. Sebab ia sadar, akibat apa yang dapat timbul apabila ia jatuh ke tangan para pengawal Tanah Mataram ini.

Tetapi ternyata bahwa Swandaru-lah yang memegang arah jalanannya perkelahian itu. Meskipun orang berkuda itu merencanakan segala macam usaha, namun Swandaru berhasil memaksakan kehendaknya sedikit demi sedikit.

Akhirnya orang itu sampai pada suatu kesimpulan bahwa, ia harus melarikan diri. Ia tidak menyangka, bahwa orang bercambuk yang dikatakan oleh Kiai Damar itu benar-benar orang yang luar biasa. Semula ia menduga, bahwa anak buah Kiai Damar-lah yang sama sekali tidak mampu mempertahankan diri. Tetapi setelah ia mengalami perkelahian, barulah ia sadar, bahwa lawannya memang seorang anak muda yang tangguh.

Karena itu, orang itu berusaha untuk mendapat kesempatan. Setiap kali ia mencoba bergeser mendekati kudanya. Tetapi ia merasa, bahwa ia tidak akan mendapat kesempatan itu. Selagi ia melepas tali tambatan kudanya, anak muda yang gemuk itu pasti sudah berhasil menangkapnya.

“Aku harus lari. Lari saja tanpa membawa kuda itu kembali,” katanya di dalam hati.

Tetapi malang baginya. Ketika ia meloncat surut, kemudian berusaha melarikan diri, ternyata ujung cambuk Swandaru telah membelit kakinya, sehingga ia pun tertelungkup.

Dengan cepatnya ia meloncat berdiri. Tetapi demikian ia tegak, tangan Swandaru telah menerkam pergelangan tangannya dan memilinnya kebelakang, sehingga tangan itu tidak lagi dapat mempertahankan genggaman senjatanya

Sejenak ia menyeringai menahan sakit. Namun kemudian ia masih juga berusaha melepaskan dirinya. Tetapi semakin kuat ia berusaha menarik tangannya, semakin kuat pula tekanan tangan Swandaru pada pergelangannya dan sekaligus pada punggungnya, sehingga tangannya seakan-akan patah karenanya.

“Jangan, jangan,” ia berdesis.

”Tanganmu akan patah. Dan kau akan kehilangan kegaranganmu.”

“Jangan.”

“Aku tidak peduli. Aku akan membawa potongan tanganmu kembali ke barak dan menyerahkannya kepada Sutawijaya sebagai bukti, bahwa aku telah menemukan seseorang yang sedang mengintai barak ini.”

“Jangan. Jangan dipatahkan tanganku.”

“Aku tidak memerlukan tanganmu lagi.”

“Tetapi, tetapi… aku masih memerlukannya.”

“Oh, maksudmu, aku pun memerlukan sebelah tanganmu, atau sebaiknya kedua-duanya.”

“Jangan, jangan.”

Swandaru semakin menekankan tangan yang terpilin itu pada punggung orang itu sambil mendorongnya maju.

”Tanganmu akan patah.”

“Jangan.”

Tanpa disadari oleh orang itu, Swandaru selalu mendorongnya semakin dekat dengan barak. Setapak demi setapak mereka maju terus.

“Tanganmu itu sangat berharga bagiku,” desis Swandaru.

“Jangan, jangan.”

Swandaru mendorongnya terus. Sehingga akhirnya mereka menjadi semakin dekat. Ketika mereka keluar dari segerumbul perdu, mereka sampai pada sebuah lapangan rumput yang meskipun masih juga ditumbuhi oleh batang perdu yang bergerumbul di sana-sini, namun mereka dapat memandang ke jarak yang agak jauh. Dengan demikian maka orang yang tangannya terpilin itu pun segera menyadari keadaannya. Di kejauhan dilihatnya beberapa orang berjalan hilir-mudik di halaman sebuah barak yang besar. Meskipun jarak itu masih belum dekat benar, dan bahkan masih juga dibayangi oleh beberapa gerumbul, tetapi orang itu tahu benar, bahwa ia telah dipaksa untuk pergi ke barak itu.

Tiba-tiba saja orang menghentakkan tangannya. Tetapi pegangan tangan Swandaru bagaikan besi yang menjepit pergelangannya, sehingga dengan demikian tangannya itu justru menjadi semakin sakit karenanya.

“Jangan mencoba melepaskan diri,” geram swandaru.

“Jangan bawa aku ke sana.”

“Kenapa?”

“Aku tidak mau. Aku tidak mau.”

“Baiklah, kalau begitu kembalilah kepada orang yang menyuruhmu kemari.”

Orang itu menjadi heran mendengar jawaban Swandaru.

”Ya, kembalilah. Pergilah cepat. Tetapi, masih ada tetapinya,” Swandaru berhenti sejenak, ”kedua tanganmu harus kau tinggal.”

“Gila,” geram orang itu.

“Apa, apa kau bilang?“ Swandaru menekan tangan itu semakin keras.

“Tidak, tidak.”

“Kau memang tidak mempunyai pilihan lain. Kau harus mengikuti aku pergi ke barak itu. Kau harus menghadap Sutawijaya dan menjawab semua pertanyaannya, sebelum tubuhmu hancur menjadi kepingan tulang-tulang. Kau mengerti.”

Terasa tubuh orang itu meremang. Dan Swandaru berkata terus, ”Karena itu, jawab sajalah semua pertanyaannya sebelum ia menjadi marah. Kau mengerti? Orang yang menjawab semua pertanyaannya dengan baik, tidak akan mengalami apa pun juga.”

Dada orang itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Kini tangannya telah berada di dalam genggaman jari-jari Swandaru.

“Kenapa aku tidak melawannya sampai mati,” ia menggeram.

Swandaru yang mendengar justru menyahut, ”Kau tidak akan mati.”

Orang itu menggeram, tetapi ia tidak dapat banyak berbuat. Tangannya seolah-olah sudah tidak dapat dikuasainya sendiri. Yang terasa hanyalah sengatan-sengatan rasa sakit yang semakin tajam.

Dengan demikian, ia tidak dapat menolak ketika Swandaru mendorongnya masuk ke halaman barak. Beberapa orang yang ada di halaman itu tertegun dan memandanginya dengan sorot mata yang aneh.

Tetapi Swandaru terkejut ketika ia melihat Agung Sedayu sudah duduk di serambi barak itu bersama Sutawijaya. Karena itu, maka ia pun segera bertanya, ”Kenapa kau sudah duduk di situ, Kakang?”

Agung Sedayu tidak segera menyahut. Tetapi ia justru bertanya, ”Itukah orang yang berkuda bersama empat orang kawannya?”

“Ya. Aku ketemukan ia sedang bergumul dengan kudanya.”

“Di mana kuda itu?”

Barulah Swandaru teringat, bahwa kuda orang itu masih terikat di semak-semak.

“He, kuda itu bermanfaat juga bagi kita di sini,” desisnya. ”Baiklah aku akan mengambilnya setelah orang ini aku serahkan. Tetapi bagaimana dengan kau?”

Agung sedayu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk seseorang yang sedang diobati oleh Kiai Gringsing karena luka-luka di kepalanya.

“Kau apakan orang itu?” bertanya Swandaru.

“Aku telah mendukungnya.”

Swandaru mengerutkan keningnya.

“Ia jatuh dari kudanya yang gila. Agaknya kepalanya membentur sesuatu. Aku menemukannya dalam keadaan pingsan.”

Swandaru mengumpat perlahan-lahan. Katanya, ”Kau menemukannya pingsan sehingga kau tidak perlu berkelahi.”

“Apakah kau berkelahi?”

“Bertanyalah kepada orang ini,” jawab Swandaru sambil mendorong tangan orang itu.

Orang itu menyeringai kesakitan karena tangannya yang terpilin. Tetapi ia tidak menyahut.

“Kenapa kau diam saja,” bentak Swandaru, ”ayo katakan.”

“Apakah yang harus aku katakan?”

“Jawab dari pertanyaan itu.”

“Apakah yang ditanyakan.”

Swandaru menjadi jengkel. Tangannya memilin tangan orang itu semakin keras, hingga orang itu menjadi semakin kesakitan. Akhirnya ia terpaksa berkata, ”Ya, ya. Kita sudah berkelahi sebentar.”

“Sebut, siapa yang kalah dan siapa yang menang,” desak Swandaru.

“Anak bengal,” desis Agung Sedayu sambil tersenyum. Bahkan Sutawijaya dan Sumangkar pun tersenyum pula. Hanya Kiai Gringsing sajalah yang mengerutkan keningnya. Di mana-mana Swandaru berbuat menurut kesenangannya sendiri dalam keadaan apa pun juga.

Tetapi Swandaru masih juga memaksanya menjawab, “Ayo jawab. Siapa yang menang dan siapa yang kalah.”

“Ya, ya,” orang itu menyeringai, ”kau yang menang. Kaulah yang menang.”

“Sebut yang kalah.”

“Aku. Akulah yang kalah.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Bagus. Kau jujur. Kau dapat berkata sebenarnya. Karena itu, nanti untuk seterusnya kau harus juga menjawab semua pertanyaan dengan sebenarnya. Kalau kau tidak mau menjawab, bukan sekedar tanganmulah yang akan dipilin, tetapi kumismu, eh, lehermu.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ketika tangan Swandaru mengendor, ia dapat melihat satu-satu orang yang duduk di serambi.

Tetapi sekali lagi ia terkejut ketika Swandaru bertanya, ”Nah, kalau kau benar-benar pernah, melihat Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring pasar, yang manakah orangnya.”

“Ah kau,” Agung Sedayu-lah yang menyahut. Ia tidak tahan lagi melihat gurau Swandaru. Sambil mengerutkan dahinya ia berkata, ”Pakaian kita masing-masing telah menunjukkan. Meskipun seandainya ia belum pernah melihat sekali pun.”

“Menurut pengakuannya ia pernah melihat Raden Sutawijaya. Ia tidak percaya ketika aku menyebut namaku Raden Sutawijaya. Katanya Raden Sutawijaya tidak segemuk aku.”

Raden Sutawijaya tidak dapat menahan senyumnya. Karena itu ia pun kemudian berkata, ”Biarlah ia menunjuk, siapakah di antara kami yang bernama Sutawijaya. Ia pasti akan melihat bentuk lahiriah kita. Pakaian kita misalnya.”

Orang itu justru menjadi ragu-ragu. Ia memang pernah melihat Raden Sutawijaya Tetapi hanya sekilas di pusat tanah Mataram, ketika ia sengaja menyusup ke sana. Tetapi kini ia melihat dua orang anak muda yang duduk di serambi itu, sehingga ia menjadi ragu-ragu, meskipun menilik pakaiannya ia akan segera dapat menunjuk siapakah yang sebenarnya Raden Sutawijaya. Tetapi justru karena Sutawijaya sendiri berkata demikian, ia menjadi bimbang.

“Cepat, sebut yang mana. Salah satu dari kedua anak-anak muda yang duduk itu atau aku. Tetapi jelas, bukan salah satu dari dua orang tua-tua itu,” desak Swandaru.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dibiarkannya saja Swandaru mengisi waktunya dengan kelakarnya. Orang tua itu pun kembali meneliti luka-luka di kepala orang yang terbanting dari kuda yang liar itu.

Akhirnya, untung-untungan orang itu menunjuk Sutawijaya yang sebenarnya sambil berkata, ”Itulah Raden Sutawijaya.”

“Bagus,” desis Swandaru, ”kebetulan kau menunjuk orang yang benar. Orang yang akan segera memeriksamu dengan seribu macam pertanyaan. Nah, jawablah pertanyaannya, supaya tubuhmu tidak tersayat. Lihat, di sini ada beberapa orang tawanan seperti kau, yang mengalami pemeriksaan sebelumnya.”

Terasa tubuh orang itu meremang. Tanpa sesadarnya ia memandang ke arah Swandaru menudingkan jarinya. Dilihatnya beberapa orang yang duduk dengan lesu dan wajah yang pucat.

“Tentu akan segera datang giliranmu,” berkata Swandaru.

Orang itu tidak menjawab. Ketika Swandaru mendorongnya semakin maju, ia pun maju tertatih-tatih.

“Orang ini memerlukan pengawasan khusus,” berkata Swandaru kemudian, ”ia akan dapat melepaskan diri dan lari kepada kawan-kawannya, apabila kita lengah.”

“Kita terpaksa mengikatnya,” berkata Sutawijaya.

“Tidak mau,” orang itu berteriak, ”aku bukan seekor kuda liar.”

“Jangan hiraukan,” berkata Sutawijaya, ”orang itu memang harus diikat pada tiang.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, ”Aku kira itu adalah cara yang terbaik agar orang ini tidak lari.”

Bagaimana pun juga orang itu meronta-ronta, namun Swandaru mendorongnya ke sebuah tiang bambu petung yang besar. Karena orang itu masih berteriak-teriak saja, maka Sutawijaya pun berkata, ”Kalau orang itu tidak mau diikat, baiklah. Tetapi sebagai jaminan bahwa ia tidak akan lari, patahkanlah kedua kakinya.”

“Tidak mau, tidak mau. Kalian adalah manusia yang paling kejam yang pernah aku temui.”

“Mungkin,” sahut Sutawijaya, ”karena itu jangan mencoba untuk membantah kemauan kami.”

Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia hanya dapat mengumpat-umpat di dalam hati ketika seorang pengawal benar-benar telah mengikatnya pada sebuah tiang.

Dalam pada itu, setelah Swandaru duduk di serambi, maka ia pun bertanya kepada Agung Sedayu, “Bukankah dengan cara ini tidak ada bedanya, bahwa Kiai Damar dan orang-orangnya akan menaruh kecurigaan, seperti kalau kita menangkap saja mereka berempat?”

“Tetapi lain,” berkata Agung Sedayu, ”dalam hal ini, kawan-kawannya benar-benar telah melihat bahwa kuda itu menjadi liar dan melonjak-lonjak. Mereka masih mempunyai beberapa dugaan. Penunggangnya itu dibawa lari ke tempat yang tidak diketahui, atau kemungkinan yang sebenarnya dapat terjadi seperti yang seorang itu.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya, ”Meskipun demikian, pasti juga ada dugaan bahwa orang-orangnya itu telah jatuh ke tangan kita di sini.”

“Orang itu bukan orang Kiai Damar.”

“Orang siapa?”

“Kiai Damar telah minta kepada orang lain untuk membantunya. Orang itu adalah salah seorang dari orang-orang yang didatangkannya itu. Mungkin satu atau dua orang dari empat orang berkuda itu adalah orang-orang Kiai Damar, tetapi yang lain bukan.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Aku memerlukan keterangannya,” katanya.

Sejenak kemudian Sutawijaya pun sudah berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang sudah diikat pada tiang itu. Sambil mengacukan ujung tombak pada hidung orang itu ia bertanya, ”Jadi kau bukan orang Kiai Damar?”

Orang itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Sutawijaya dengan tajamnya.

“O, kau baru memandang aku? Kau ingin mengenal aku lebih baik lagi? Baiklah. Aku memang bernama Sutawijaya. Akulah yang sudah membunuh orang-orang yang melawan kehendak Ayahanda Pemanahan yang ingin membuka hutan ini menjadi sebuah negeri yang besar. Mungkin memang akulah orang yang paling kejam di dunia ini.”

Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, ”Sekarang jawablah, siapakah kau ini? Kalau kau bukan anak buah Kiai Damar, siapakah yang membawamu kemari?”

Orang itu masih berdiam diri. Dipandanginya Sutawijaya dengan tatapan mata yang aneh.

“Kau memandang aku seperti memandang hantu,” berkata Sutawijaya. ”Matamulah yang paling memuakkan bagiku. Karena itu, mata itukah yang akan aku ambil dari dalam rongganya di batok kepalamu.”

Tiba-tiba saja Sutawijaya sudah mendekat dan meraba dahinya sambil mengangkat ujung tombaknya, ”Jangan menyesal, bahwa untuk seterusnya kau tidak akan melihat wajahmu lagi. Kau tidak akan melihat hijaunya dedaunan dan semaraknya bunga kantil pada ujung batang dan ranting-rantingnya. Kau tidak akan dapat pula melihat cahaya fajar yang kemerah-merahan, membayang di ujung langit di antara gemerlapnya bintang. Kau tidak akan melihat cahaya matahari pagi yang riang meloncat di dedaunan yang hijau. Sekarang, tengadahkan wajahmu, aku akan mengambil kedua biji matamu.”

Ketika Sutawijaya menekan dahinya, tiba-tiba saja orang itu berteriak, ”Jangan, jangan.”

“Apa peduliku?”

“Jangan. Aku tidak mau menjadi buta.”

“Aku tidak peduli.”

“Jangan, jangan.”

Tiba-tiba saja Sutawijaya mencengkam baju orang itu. Sambil mengguncangnya ia bertanya mengejut, ”Siapa yang membawamu kemari? Siapa yang memperbantukan kau pada Kiai Damar.”

“Ki Lurah,” jawabnya menyentak pula.

Sambil menarik leher baju orang itu Sutawijaya membentak lagi, ”Sebut namanya. Atau matamu akan meloncat ke luar.”

“Kiai Telapak Jalak.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dilepaskannya baju orang itu. Terdengar ia menggeram, ”Ternyata keduanya adalah orang-orang yang menerima jalur perintah yang serupa. Sama sekali bukan kekuatan, yang terpisah seperti yang kita duga semula. Yang seolah-olah keduanya belum saling mengenal. Sekarang semuanya menjadi semakin jelas bagi kita.”

Orang-orang yang mendengar keterangan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Para pengawal yang mengikuti Sutawijaya pun menjadi jelas pula. Semula mereka menganggap bahwa keduanya tidak mempunyai hubungan. Bahkan mereka menganggap bahwa Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar belum saling mengenal. Hanya kebetulan saja keduanya mampu berhubungan dengan hantu-hantu Alas Mentaok.

Sambil memandang orang yang terikat itu, Sutawijaya berkata, ”Jadi sekarang Kiai Telapak Jalak juga ada di sini?”

Orang itu mengangguk meskipun tidak menjawab sama sekali.

“Terima kasih. Aku mengerti, bahwa mereka akan menghancurkan barak ini dengan kekuatan yang mereka gabungkan itu. Itulah sebabnya kami harus bersiaga sepenuhnya,” berkata Sutawijaya.

Kemudian kepada pengawalnya ia berkata, ”Kumpulkan orang-orang semuanya. Mereka harus menghentikan latihan-latihan mereka. Mereka harus mendapat penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya. Mereka harus mendapat penjelasan pula tentang medan yang bakal mereka hadapi, karena aku yakin bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak hanya akan sekedar bermain-main.”

Lalu, sambil mengacukan tombaknya di muka hidung orang yang terikat itu Sutawijaya bertanya, ”Apakah ada orang-orang tua atau orang-orang yang terpilih.”

Orang yang terikat itu menggelengkan kepalauya.

“Baiklah,” berkata Sutawijaya, ”untuk sementara aku percaya. Dan untuk sementara kau dapat beristirahat bersandar tiang itu.”

Sutawijaya pun kemudian meninggalkan orang yang masih terikat itu. Sejenak kemudian ia sudah duduk di serambi bersama dengan Sumangkar dan Kiai Gringsing beserta kedua muridnya.

Dalam pada itu, maka orang-orang dari barak itu pun sudah berkumpul pula. Para pengawal telah mencoba menjelaskan apa yang akan terjadi.

“Kami sama sekali tidak berniat untuk menakut-nakuti kalian karena kalian memang bukan penakut. Tetapi kalian memang lebih baik mengetahui keadaan yang sebenarnya supaya kalian tidak terkejut karenanya, dan justru menjadi kehilangan akal. Sejak sekarang kalian sudah harus mempersiapkan hati kalian masing-masing untuk menghadapi keadaan yang bakal datang,” berkata salah seorang pengawal kepada orang dari barak itu. ”Semuanya yang bakal terjadi memang tergantung sekali kepada kalian. Kalau kalian gigih mempertahankan diri, kalian akan selamat. Tetapi kalau kalian menyerahkan diri kalian kepada keadaan, kepada kehendak dan keputusan lawan, maka nasib kalian pun akan berada di tangan mereka. Kau dapat melihat beberapa contoh di sini. Orang yang menyerahkan dirinya karena sebab apa pun, akan mengalami nasib yang tidak menyenangkan. Karena itu, kalian tidak boleh mengalami hal itu. Kalian harus berjuang sebaik-baiknya.”

Orang-orang yang mendengarkan uraian pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Seakan-akan mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah dicengkam oleh ketakutan tanpa arti. Dan ketakutan mereka itulah yang telah membuat mereka hidup dalam keadaan yang sangat tertekan.

Kini seakan-akan mereka menghadap kepada suatu keadaan, yang baru, yang diletakkan di hadapan mereka. Mereka mempunyai kesempatan untuk menentukan keadaan itu.

Di serambi, Sutawijaya pun telah berbicara panjang lebar dengan Kiai Gringsing dan Sumangkar, apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Kiai Telapak Jalak menurut pendengaran Sutawijaya dari para pengawalnya adalah seorang yang memang pilih tanding. Itulah sebabnya maka mereka harus benar-benar berhati-hati.

“Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan,” berkata Kiai Gringsing, ”juga atas kemungkinan penggunaan racun.”

“Ya.”

“Untunglah di sini aku menemukan sejenis tumbuhkan yang dapat menawarkan racun. Berhari-hari aku menyelidikinya, akhirnya aku berkesimpulan bahwa pohon itu memang mempunyai kekuatan penawar.”

“Pohon apakah itu?”

“Daunnya kecil bersirip ganda”

“Darimana Kiai tahu?”

“Semula aku hanya menduga-duga. Pohon sejenis perdu itu terdapat banyak sekali di halaman dukun yang terbunuh itu, seakan-akan sengaja telah ditanam. Dan agaknya memang demikian. Aku tidak pasti apakah kasiatnya. Tetapi karena dukun itu mempunyai kemampuan menawarkan racun, aku sudah berpikir ke arah itu. Apalagi, ketika di dapur rumahnya yang kecil aku menemukan daun-daun pohon perdu itu yang sudah kering. Yang sudah dipanasi. Aku yakin bahwa dedaunan itu mengandung kasiat. Ternyata penyelidikanku berhasil. Dedaunan itu mempunyai kekuatan menawarkan racun. Yang aku belum tahu, sampai berapa lama kekuatan itu tetap ada di dalam tubuh seseorang.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak heran, kalau dalam setiap kesempatan seorang dukun seperti Kiai Gringsing itu melakukan percobaan-percobaan.

Tetapi Sutawijaya berkata, ”Hal itu pasti akan menguntungkan sekali. Tetapi mudah-mudahan mereka tidak mempergunakan racun. Racun adalah bahan yang sukar dibuat, sehingga hanya orang-orang penting sajalah yang akan mempergunakannya.”

“Ya. Mudah-mudahan. Tetapi kita harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Persediaan yang ada padaku sudah sangat menipis. Aku sudah cemas apabila pada suatu saat kita akan kehabisan penawarnya. Namun tiba-tiba aku telah menemukannya.”

Demikianlah, maka orang-orang yang berada di barak itu sudah menyiapkan diri dalam segala kemungkinan. Ia yakin bahwa serangan yang bakal datang pasti sudah diperhitungkan benar-benar oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.

Tetapi bahwa ada dua orang dari antara, mereka yang hari ini tidak kembali, memang mungkin akan menumbuhkah persoalan-persoalan baru di dalam lingkungan mereka.

Tetapi agaknya Agung Sedayu sudah mempergunakan cara yang paling baik untuk dilakukan. Ia ingin membuat kesan, bahwa kedua orang itu sama sekali tidak ditangkap oleh Sutawijaya dan pengawalnya. Yang terjadi seolah-olah hanyalah sekedar kecelakaan.

Sejenak kemudian maka persiapan para pengawal dan orang-orang di barak itu pun telah ditingkatkan pula. Swandaru masih sempat melepaskan tali kuda dari orang yang telah ditangkapnya. Tetapi kuda itu tidak dibawanya kembali ke barak, seperti yang direncanakan. Kiai Gringsing menasehatkan agar kuda itu dilepaskan saja. Kalau kawan-kawan orang yang tertangkap itu menemukannya, maka mereka pasti tidak akan segera menduga, bahwa kedua kawannya telah tertangkap. Mereka akan menyangka, bahwa keduanya mengalami kecelakaan selama kuda-kuda itu menjadi liar. Kiai Gringsing mengharap, bahwa mereka memperhitungkan, seandainya kawan-kawannya tertangkap, pasti beserta kudanya sekaligus.

Ternyata perhitungan Kiai Gringsing itu berhasil. Setelah dua orang, dari keempat orang yang menyelidiki barak itu berhasil kembali ke sarang mereka, maka mereka segera membuat rencana baru. Empat orang lain, bersama dua orang yang sempat kembali itu telah dikirim untuk melihat keadaan dan mencari kedua kawannya yang hilang.

Tetapi mereka hanya menemukan kuda-kuda yang lepas. Keduanya berusaha untuk kembali ke sarang mereka. Dan kedua ekor kuda itu telah di ketemukan oleh keenam orang yang mencarinya.

“Di mana penunggangnya?” salah seorang berdesis.

“Kuda-kuda ini benar-benar menjadi liar,” sahut yang lain, yang melihat luka dipaha kudanya. Agaknya kuda itu telah berlari tanpa menghiraukan apa pun juga, sehingga kakinya telah tergores sebatang ranting yang patah.

“Bagaimanakah nasib penunggangnya?” orang-orang itu masih saja bertanya-tanya.

Namun dengan demikian mereka tidak lagi berusaha mendekati barak dari arah yang dilalui semula. Mereka mencari jalan lain untuk mencoba mendekat. Dengan demikian, mereka tidak menemukan tali-tali lulup yang telah di rentangkan oleh Swandaru dan Agung Sedayu di arah depan barak.

Keenam orang itu telah melingkar, agak jauh. Setelah, menambatkan kuda-kuda mereka, maka mereka pun merayap mendekat. Mereka ternyata datang dari arah belakang, sehingga dengan demikian, tidak banyaklah yang dapat mereka lihat.

“Tidak ada persiapan yang khusus,” desis salah seorang dari mereka. Dari kejauhan mereka memang melihat seseorang yang berdiri di sudut barak. Kemudian berjalan hilir-mudik sejenak, lalu duduk di bebatur batu.

”Mungkin orang itu memang sedang menjaga barak itu,” berkata salah seorang dari mereka.

Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sejenak mereka bersembunyi di balik semak-semak sambil memperhatikan barak itu baik-baik. Mereka mencoba untuk melihat kalau ada persiapan-persiapan khusus yang perlu mereka beritahukan kepada lurahnya.

”Bukankah tidak ada hal-hal yang menarik perhatian,” berkata salah seorang dari mereka.

“Tidak,” yang lain menyahut, ”Adalah kebiasaan yang wajar bahwa satu dua orang berjaga-jaga di sekitar tempat yang dihuni oleh orang-orang penting. Kali ini Sutawijaya, meskipun aku kira hanya untuk waktu yang singkat. Tetapi sayang, bahwa ia tidak akan pernah kembali ke pusat pemerintahan Tanah Mataram.”

“Apakah dengan demikian kita tidak akan dimusnakan oleh Sultan Pajang?”

Orang yang berbicara tentang Sutawijaya itu tersenyum, ”Memang orang-orang Kiai Telapak Jalak tidak banyak yang mengetahui persoalan ini. Orang-orang Kiai Damar pun sangat terbatas sekali. Tetapi kami sudah mendapat penjelasan, bahwa Sultan Pajang menjadi sangat marah karena Mataram justru telah dibuka menjadi sebuah negeri.”

“Siapa yang mengatakannya?” bertanya kawannya, ”aku kira itu mustahil sekali.”

“Tetapi aku percaya. Kepergian Pemanahan tanpa pamit membuat Sultan Pajang marah. Dengan terpaksa sekali ia menyerahkan Alas Mentaok yang begitu saja dibuka oleh Pemanahan sebelum secara resmi Sultan memberikan. Jadi kemarahan Sultan Pajang kepada Sutawijaya, putera angkatnya yang sejak kecil dipelihara dengan baik, adalah wajar sekali.”

“Omong kosong,” tiba-tiba orang lain lagi memotong, ”seakan-akan kau seorang tumenggung yang mengerti benar akan persoalan itu. Kau pasti mendengar cerita itu dari orang ke lima, ke tujuh atau bahkan ke seratus kali dari sumbernya. Kita memang tidak tahu apa-apa. Kita amati saja barak itu. Kita laporkan apa yang kita lihat. Apakah Sultan Pajang akan murka atau tidak, itu bukan persoalan, kita di sini.”

Kawan-kawannya tersenyum. Wajah orang yang bercerita tentang Sultan Pajang itu menjadi kemerah-merahan. Tetapi sejenak kemudian ia pun tersenyum pula. Katanya, ”Mungkin aku mendengar dari orang yang langsung berkepentingan.”

“Uh, kau pasti mendengar ketika aku bercerita semalam,” bantah kawannya yang memotong pembicaraannya. Lalu, ”Aku pun hanya mendengar dari orang lain yang sedang mengisi waktunya dengan berbicara.”

“He, apakah aku mendengar dari kau.”

“Tentu. Kau mendengar dari aku, dan sekarang kau menceritakannya kembali kepadaku. Sekarang kita tidak usah menghiraukannya lagi. Kita akan menghancurkan barak ini. Hancur lebur menjadi abu yang paling lembut.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Memang itulah tugas mereka. Apakah dengan demikian mereka akan dihancurkan oleh Sultan Pajang, atau justru akan mendapat hadiah Tanah Mataram, mereka tidak peduli.

“Apakah kita tidak perlu melihat bagian depan dari barak ini?”

Kawannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, ”Kita sudah melihat sebagian. Kalau kuda-kuda liar tadi berlari-larian sampai ke dekat barak ini, maka orang-orang di barak itu justru akan mengintai apakah ada orang-orang lain yang datang. Kalau kita gagal lagi, tidak akan ada keterangan yang akan sampai kepada Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tentang daerah ini.”

Yang lain tidak menyahut. Mereka memandang pemimpin kelompok yang harus membuat keputusan terakhir.

“Kita sudah cukup,” berkata pemimpin kelompok itu, ”kita yang hanya merupakan kelompok kecil ini memang sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang sangat berbahaya. Misalnya melihat barak dari bagian depan.”

“Jadi?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Kita kembali dan melaporkan apa yang telah kita lihat.”

“Nanti malam kita akan menghancurkan semuanya itu. Kenapa Kiai Damar harus minta bantuan kami kalau yang dihadapi hanya orang-orang malas di dalam barak itu.”

“Jangan berkata begitu,”salah seorang menjawab, ”di antara mereka ada orang yang tidak terkalahkan.”

“Suatu mimpi yang menarik,” desis orang yang lain sambil tertawa.

“Coba sajalah nanti malam. Lehermu akan terjerat oleh ujung cambuk.”

“Memang mimpi yang buruk. Orang-orang tidak terkalahkan yang bersenjata cambuk.”

Yang lain tidak menjawab lagi meskipun hatinya menjadi panas. Tetapi ia yakin bahwa apabila orang-orang Kiai Telapak Jalak itu sudah mengalaminya sendiri, maka mereka pasti akan berkata lain.

Tetapi salah seorang dari orang-orang Kiai Telapak Jalak itu masih berkata, ”Nanti malam aku akan menangkap orang-orang bercambuk itu. Aku ingin menunjukkan kepada kalian bahwa mereka tidak lebih dari penghuni-penghuni barak yang lain.”

Kawannya berbicara masih tetap berdiam diri saja, meskipun hatinya mengumpat-umpat.

Demikianlah, maka sekelompok kecil orang-orang yang mengintai barak itu kemudian menarik diri masuk ke dalam gerumbul yang lebih lebat lagi. Sejenak kemudian mereka pun telah menghilang dan kembali kepada kuda-kuda mereka.

“Kita harus segera memberikan laporan,” berkata pemimpin kelompok itu, ”semua jalan sudah rata. Kita akan segera dapat menyelesaikan tugas ini. Kita harus kembali segera ke daerah garapan kami yang sampai saat ini masih dapat kami pelihara dengan baik. Tetapi kalau orang-orang di dalam barak ini tidak dihancurkan, maka mereka pasti akan menyebarkan berita yang sangat merugikan bagi kita.”

Mereka pun kemudian berloncatan keatas punggung kuda masing-masing. Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun segera berderap dan menghilang di dalam rimbunnya semak-semak.

Yang sama sekali tidak mereka ketahui, bahwa sepasang mata selalu mengikuti mereka sejak mereka datang, bersembunyi di dalam semak-semak di belakang barak dan kemudian kembali ke kuda-kuda mereka.

Setelah orang-orang itu hilang di balik semak-semak, maka orang yang mengikuti mereka itu pun berdiri tegak sambil menggeliat. Agaknya punggungnya terasa pegal-pegal setelah sekian lama terbungkuk-bungkuk sambil menahan nafas.

“Nanti malam agaknya mereka akan kembali,” desis orang itu yang tidak lain adalah Kiai Gringsing. Kecurigaannya bahwa akan ada orang baru lagi yang menyelidiki barak itu serta mencari kawan-kawannya ternyata benar. Ia berhasil melihat sekelompok kecil orang-orang yang ingin melihat-lihat barak dan kesiagaannya itu.

“Untunglah bahwa latihan-latihan sudah selesai. Kalau masih, mereka pasti mempunyai perhitungan lain. Mereka pasti akan memperkuat pasukan mereka dan mereka akan lebih berhati-hati. Kini yang mereka perhitungkan adalah Sutawijaya dan pengawalnya,” katanya di dalam hati. ”Tetapi sudah tentu Kiai Telapak Jalak sendiri akan mengambil kesimpulan lain. Agaknya Kiai Telapak Jalak termasuk orang yang agak lebih tinggi tingkat ilmunya dari Kiai Damar. Dan rencana mereka benar-benar bukan rencana yang tanggung-tanggung. Memusnakan seluruh isi barak ini sampai lumat.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seisi barak itu harus benar-benar bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak tahu pasti, berapakah jumlah orang-orang yang nanti malam akan menyerang barak ini. Ia juga tidak mengetahui, ada berapa orang yang perlu diperhitungkan untuk mendapat perlawanan khusus.

“Untunglah Adi Sumangkar datang menjemput Swandaru dalam keadaan yang sulit dan berbahaya ini. Kalau tidak, mungkin kami akan mengalami banyak kesulitan,” desisnya.

Kiai Gringsing pun kemudian segera kembali ke barak. Ia segera memberitahukan apa yang dilihatnya kepada Sutawijaya.

“Jadi nanti malam mereka akan datang?”

“Menurut orang-orang itu.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus mempersiapkan penyambutan sebaik-baiknya. Semua kekuatan harus dikerahkan karena mereka tidak mendapat gambaran yang pasti dari kekuatan lawan. Yang dapat menjadi bahan pertimbangan adalah, bahwa dua kekuatan yang ada di ujung-ujung hutan ini telah dipersatukan untuk membinasakan isi barak ini.

Setiap orang di dalam barak itu menyadari, Sutawijaya memang tidak merahasiakan lagi apa yang akan terjadi. Bahkan sekali lagi ia minta para pengawalnya menjelaskan semuanya itu.

“Mereka akan membinasakan barak ini menjadi debu. Semua orang akan dibunuh tanpa ampun. Mereka ingin melenyapkan segala macam cerita tentang daerah ini. Kegagalan mereka menakut-nakuti kalian sebagai hantu Alas Mentaok. Mereka menjaga agar kegagalan itu tidak akan menjalar ke daerah-daerah lain. Dengan demikian mereka harus menghapuskan sumber yang dapat menyebarkan cerita itu. Yaitu kita semua. Kita semua akan mereka bunuh. Bahkan bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga perempuan dan anak-anak.”

Berita itu memang menumbuhkan ketakutan yang tiada taranya. Perempuan-perempuan mulai menggigil memeluk anak-anak mereka yang dengan heran melihat ibunya menitikkan air matanya.

“Kenapa kita dahulu tersesat ke neraka ini,” keluh seorang perempuan sambil menciumi anaknya.

Akibat yang timbul dari ketakutan itu ternyata luar biasa. Laki-laki yang semula gemetar mendengar ancaman itu, tiba-tiba menggeletakkan giginya melihat isterinya menangisi anaknya yang masih bayi.

“Anak itu tidak tahu apa-apa,” laki-laki itu menggeram di dalam hatinya.

Demikianlah tekad yang bulat telah menggelepar, di dalam dadanya, ”Biarlah aku mati. Tetapi perempuan dan anak-anak harus diselamatkan.”

“Nah,” berkata para pengawal kemudian, ”sekali lagi tergantung kepada kita di sini. Apakah kita akan menyerahkan leher kita, leher isteri tercinta dan anak-anak tersayang kepada serigala-serigala yang buas itu, atau kita masih berusaha untuk mempertahankan diri dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.”

Demikianlah, ancaman itu justru telah menumbuhkan, kebulatan tekad bagi setiap lakì-laki di barak itu untuk mempertahankan dirinya. Mereka telah menemukan kesadaran, berbuat sesuatu atau tidak, mereka akan dibinasakan. Diam pun mereka akan dibinasakan juga. Dari pada mati berpeluk tangan, lebih baik mati bertolak pinggang.

Dengan demikian, maka setiap orang kemudian menyatakan dirinya untuk ikut di dalam perlawanan. Bahkan orang tua-tua pun telah menyatakan kesediaannya. Seorang yang berambut seputih kapas mengacukan tangannya sambil berkata, ”Aku pun pernah menjadi pengawal padesanku. Aku pernah berlatih mempergunakan senjata. Berilah aku senjata. Aku akan berkelahi.“

Para pengawal mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi menurut pembagian tugas yang telah mereka perbincangkan, orang-orang tua akan menjaga pintu-pintu barak. Mereka baru akan berkelahi di dalam perlawanan yang terakhir, apabila ada satu dua orang lawan yang berhasil menembus pertahanan dan sengaja akan melakukan perbuatan terkutuk dan tidak berperikemanusiaan terhadap perempuan dan anak-anak. Bahkan salah seorang pengawal berkata kepada perempuan yang mendukung anak-anak mereka, ”Bukan saja laki-laki, tetapi setiap ibu yang mendukung anaknya pun pasti akan mempertahankan anak-anaknya dengan cara apa pun.”

Demikianlah seisi barak itu pun benar-benar telah dibakar oleh kesiagaan tertinggi dengan tekad yang membara di dalam hati. Mereka sadar, bahwa laki-laki adalah tempat bergantung bagi seluruh keluarga, juga di dalam keadaan yang paling gawat, sehingga sepantasnyalah laki-laki mempertaruhkan nyawa mereka untuk anak dan isteri.

“Kita menunggu sampai hari menjadi gelap,” berkata Sutawijaya. ”Kita tidak tahu, apakah di sekeliling kita tidak ada satu dua orang yang sedang mengintai kita.”

Ketika senja sudah turun, ternyata bahwa Sutawijaya pun telah mengirimkan beberapa orang ke sekeliling barak itu untuk melihat saat-saat lawan mereka mendekati barak. Mereka harus segera mengirimkan tanda dengan panah sendaren apabila keadaan sudah meningkat menjadi semakin gawat.

“Aku ikut dengan kalian,” berkata Swandaru.

“Kau tetap di sini,” berkata Sutawijaya, ”kita akan memperhitungkan setiap persoalan yang timbul.”

Swandaru tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya Agung Sedayu dengan tatapan mata yang gelisah.

“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.

Agung Sedayu justru tersenyum. Katanya, ”Kenapa tidak kau katakan saja supaya para pengawas itu tidak terperosok ke dalam pasanganmu?”

“Apa yang sudah kau lakukan?” bertanya gurunya.

“Kami memasang perangkap. Kami telah merentangkan tali-tali lulup di semak-semak sebelah.”

“Kenapa kau pasang tali-tali itu?”

“Kami ingin menahan laju orang-orang yang menyerang barak ini.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti Sutawijaya dan Sumangkar, ia pun tersenyum. ”Agaknya perangkapmu itu pula yang telah menjerat kaki-kaki kuda yang menjadi liar itu.”

“Ya. Tetapi aku cemas, bahwa justru pengawas kita sendiri yang terjerat kakinya. Karena itu, aku akan ikut serta dan menunjukkan jerat-jerat yang telah kami pasang.”

Tetapi Sutawijaya menggeleng, ”Tidak. Asal saja mereka sudah mengetahuinya, mereka akan berhati-hati. Mereka akan selalu mengingat-ingat di mana mereka menemukan jerat.”

Swandaru mengangguk. Tetapi ia masih tetap mencemaskan para pengawas. Kalau mereka tergesa-gesa mundur apabila lawan sudah mendekat, maka mereka tidak akan lagi dapat mengingat tali-tali yang terentang itu.

Tetapi Swandaru tidak dapat berbuat lain. Sutawijaya telah memutuskan mengirim tiga orang pengawas yang terpisah. Mereka hanya sekedar memberikan tanda-tanda. Tetapi mereka sendiri harus segera bergabung dengan induk pasukan.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera berpencar setelah Swandaru menunjukkan kepada mereka, di mana ia merentangkan tali-tali lulup. Bahkan ada di antaranya yang diikat berganda.

Sepeninggal orang-orang itu, gelap malam telah menyelubungi barak yang terpencil itu, Sutawijaya pun kemudian memerintahkan setiap kelompok yang sudah disusun mulai menyiapkan dirinya. Mereka harus siap di segala saat. Karena itu, maka senjata-senjata mereka tidak boleh terpisah lagi dari tangan masing-masing.

Selain tiga orang yang memencar, Sutawijaya juga meletakkan beberapa orang pengawas dekat di luar halaman barak itu. Seandainya para pengawas yang berpencar itu tidak berhasil melihat gerakan lawan, dan tiba-tiba saja mereka telah berada di dekat halaman, maka masih ada juga yang sempat memberikan tanda bagi orang-orang yang sudah siap menunggu itu.

Demikianlah, sekejap demi sekejap, malam merayap semakin dalam. Gelap yang menjadi semakin pekat telah membatasi jarak pandangan orang-orang yang ada di serambi barak.

Apalagi malam itu, di serambi sama sekali tidak dipasang lampu minyak seperti biasa. Tetapi kali ini lampu minyak yang biasanya tergantung di serambi telah digantungkan pada sebatang pohon di sudut halaman dan yang lain di mulut regol butulan yang tertutup rapat. Bahkan lampu di dalam barak pun seakan-akan tidak sempat menembus lubang-lubang dinding karena memang sengaja diredupkan, dan bahkan ditutup dengan helai-helai daun pisang.

Tetapi dalam pada itu, di serambi dan di segala sudut barak, setiap laki-laki telah siap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi.

“Kalau kalian bingung menghadapi seseorang, apakah ia lawan atau bukan, sebutlah kata-kata sandi yang sudah kita tentukan. Kalau orang itu tidak menjawab, maka ia pasti lawan yang harus kita hadapi,” berkata para pengawal.

Semua orang di dalam barak itu sudah mengenal kata-kata sandi yang harus mereka ucapkan. Mereka tidak boleh melupakannya agar tidak menimbulkan salah paham di antara kawan sendiri

Di langit perlahan-lahan bintang gemintang bergeser ke Barat. Angin malam yang sejuk berhembus di sela-sela dedaunan mengusap wajah-wajah yang tegang di sekitar barak itu. Derik bilalang di daun ilalang terdengar sahut-menyahut tidak putus-putusnya.

“Kalian dapat menunggu sambil beristirahat,” ber-kata salah seorang pengawal yang memimpin sekelompak kecil laki-laki penghuni barak itu, ”duduklah. Berbuatlah seenaknya seperti tidak akan terjadi apa-apa, meskipun dalam kesiap-siagaan. Kita akan mendapat tanda apabila bahaya itu sebenarnya akan datang.”

Seorang laki-laki muda tiba-tiba menjawab, ”Mereka akan datang dekat tengah malam.”

“Darimana kau tahu?” bertanya pengawal itu.

“Demikianlah kebiasaan mereka. Selagi mereka masih bermain hantu-hantuan, mereka datang dekat tengah malam. Aku kira kali ini pun mereka akan datang dekat tengah malam.”

“Memang masuk akal. Mereka tidak akan dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang sudah berlangsung lama. Di daerah Selatan, hantu-hantu itu juga keluar dekat tengah malam. Kami pun pernah terjebak dalam kepercayaan atas hantu-hantu itu, meskipun kami ragu-ragu. Tetapi sekarang kami yakin, bahwa yang terjadi di daerah Selatan tidak banyak bedanya dengan daerah ini. Agaknya kedatangan laki-laki yang bersenjata cambuk bersama dua orang anaknya itu sangat menentukan bagi daerah ini dan bahkan ujung-ujung yang lain dari daerah yang sedang dibuka ini.”

“Ya, orang-orang itulah yang dengan caranya yang kadang-kadang aneh dan tidak kami mengerti, akhirnya mengungkapkan semuanya yang selama ini masih gelap bagi kami di sini. Hantu-hantu, jerangkong, kuda semberani, dan segala macam lagi. Tetapi kini kami sudah berdiri berhadapan dalam keadaan yang pasti. Apa pun yang akan terjadi.”

 

Series 60

 

PENGAWAL itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah. Beristirahatlah sambil menunggu. Mungkin. Kita memang harus menunggu sampai mendekati tengah malam.”

Dalam pada itu di serambi Sutawijaya duduk bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar. Di belakang Sutawijaya pengawas yang terluka itu pun duduk pula bersandar tiang. Tetapi ditangannya sudah siap pula sehelai pedang. Meskipun lukanya masih terasa sakit, namun ia tidak akan dapat duduk berpangku tangan apabila keadaan menjadi semakin panas. Sedang Swandaru dan Agung Sedayu duduk di tangga memandang ke dalam kegelapan malam, seolah-olah ingin melihat langsung orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang sedang merayap mendekati barak itu.

Swandaru yang gelisah itu pun kemudian berkata, “Aku tidak sabar lagi. Apakah yang mereka tunggu. Malam sudah cukup gelap. Kita pun sudah siap. Apalagi?”

“Sst,” desis Agung Sedayu, “mereka tidak akan menyerang begitu saja tanpa perhitungan.”

“Apalagi yang mereka perhitungkan?”

“Itulah yang kita tidak tahu.”

“Aku akan tidur saja.”

“Nah, itulah salah satu hal yang mereka tunggu.”

“Apa?”

“Orang-orang di barak ini menjadi jemu menunggu dan tidur pulas.”

“Ah,” Swandaru berdesah, “ada-ada saja kau ini. Sudah tentu aku mempunyai perhitungan sendiri.”

“Apa?”

“Kalau aku tidur, aku pasti sudah mempercayakan pengawasan kepada orang lain.”

“Siapa?”

“Kau. Belum saja aku selesai berbicara. Aku akan tidur. Kau yang harus mengawasi keadaan. Kalau musuh itu datang, kau harus membangunkan aku. Tetapi jaga, jangan sampai aku terkejut. Kalau aku terkejut, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa karena bingung.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sedang berpikir, bagaimana ia harus menjawab. Tetapi ternyata Swandaru sudah berkata, “Jangan mengada-ada. Kau tidak usah menjawab. Kau tinggal menjalankan perintah. Tidak ada alasan untuk mengelak.”

“Aku tidak akan mengelak,” berkata Agung Sedayu, “tetapi aku ingin bertanya, di mana kau akan tidur?”

“He?”

“Di mana kau akan tidur? Di sini? Bersandar dinding atau bersandar aku?”

“Tidak bersandar. Aku dapat tidur sambil duduk tanpa bersandar apa pun.”

“Cobalah,” berkata Agung Sedayu, “aku ingin melihat.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun menyilangkan kedua tangannya di dada. Matanya pun segera terpejam.

Tetapi ia pun segera membelalakkan matanya ketika Agung Sedayu berdiri dan melangkah pergi.

“He, kemana kau?”

“Melihat musuh di luar pagar. Kalau ada aku akan membangunkan kau.”

“Ah kau,” Swandaru pun kemudian berdiri dan meloncat menyusul Agung Sedayu.

“Kenapa kau tidak jadi tidur?”

“Aku sudah puas tidur sejenak. Aku tidak kantuk lagi.”

Keduanya pun kemudian menghilangkan kejemuan mereka sambil berjalan hilir-mudik di halaman. Di beberapa tempat mereka melihat kelompok-kelompok kecil yang berserakan. Masing-masing dipimpin oleh seorang pengawal. Setiap kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Kelompok-kelompok yang sedang ditinggalkan oleh pimpinannya mengawasi keadaan, masih harus bergabung dengan kelompok yang lain sampai pengawal yang harus memimpinnya itu kembali.

“Cukup banyak,” desis Agung Sedayu, “selain orang-orang tua yang bertugas menjaga pintu-pintu masuk ke dalam barak, ada kira-kira duapuluh lima orang yang telah bersiaga untuk bertempur apabila orang-orang Kiai Damar itu benar-benar datang.”

“Ya. Dua puluh lima orang, ditambah dengan para pengawal itu sendiri dan kita berlima.”

“Kenapa lima?”

“Kita berdua, guru, Ki Sumangkar, dan Raden Sutawijaya.”

“Pemimpin pengawas itu?”

“Jangan dihitung. Kalau kau mau menghitung juga laki-laki berambut putih itu.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi tampaknya kekuatan itu cukup baik untuk menghadapi setiap kemungkinan. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, berapa jumlah sebenarnya dari kekuatan Kiai Damar dan Kiai Te-lapak Jalak. Keterangan dari orang yang dapat ditangkapnya tidak akan dapat dipergunakan sebagai pegangan. Masih ada kemungkinan bahwa orang itu sengaja membuat kesan yang salah, agar orang-orang dibarak ini menjadi lengah.

Namun demikian, keterangan-keterangan yang dapat disadap dari orang-orang itu akan dapat dijadikan bahan pertimbangan.

Demikianlah malarn pun menjadi semakin malam. Orang-orang yang menunggu dengan berdebar-debar itu semakin lama menjadi semakin jemu sehingga suasana di barak itu terasa menjadi semakin gelisah.

“Kegelisahan adalah lawan yang harus diatasi pula,” berkata seorang pengawal kepada orang-orang di dalam kelompoknya. Dan seorang pengawal yang lain yang berdiri tidak jauh daripadanya bersama kelompok kecilnya, menyambung, “Kalau kita tidak dapat mengatasi kegelisahan semacam ini, maka kita akan kehilangan kewaspadaan. Kesabaran dan keseimbangan di dalam keadaan semacam ini dituntut oleh keadaan. Lawan kita agaknya sengaja menunggu sampai kita menjadi jemu dan kehilangan ketajaman pengamatan atas keadaan yang berkembang selanjutnya.”

Orang-orang di dalam kelompok-kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mencoba untuk menyadari keadaannya. Mereka mencoba untuk menenangkan perasaannya masing-masing.

Sejenak kemudian seorang pengawal yang berdiri di sudut barak menengadahkan kepalanya ke langit. Dilihatnya bintang gubug penceng di ujung Selatan, hampir berdiri tegak lurus. Karena itu, maka ia pun berkata, “Hampir tengah malam. Adakah saat-saat semacam ini yang selalu dipilih oleh hantu-hantu itu untuk keluar dari sarang mereka?”

“Ya,” jawab salah seorang dari penghuni barak yang ada di dalam kelompok itu.

“Bagus. Kita akan menunggu sejenak.”

Belum lagi kata-kata itu lenyap dari pendengaran, tiba-tiba seisi barak itu dikejutkan oleh suara derap kaki-kaki kuda. Tetapi tidak begitu banyak. Namun yang menggetarkan setiap dada penghuni barak itu adalah suara gemerincing yang semakin lama menjadi semakin keras.

“Hantu itu datang lagi,” terdengar desis seseorang. Untunglah bahwa tidak seorang pun yang mendengarnya. Namun demikian, hampir setiap dada telah mengucapkan kata-kata yang serupa,

Orang-orang yang ada di serambi pun segera berloncatan berdiri. Tetapi Kiai Gringsing segera mencegah mereka, “Jangan tergesa-gesa mengambil sikap. Kita menunggu perkembangan keadaan. Bukan inilah lawan yang sebenarnya.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin Kiai benar. Tetapi aku akan berada di antara para pengawal dan orang-orang dari barak ini yang sudah bersiaga di halaman.”

“Kita pergi bersama-sama.”

Demikianlah mereka pun segera menuruni tangga serambi barak itu. Sejenak mereka berdiri di dalam kegelapan untuk menuai keadaan yang bakal berkembang.

“Kuda itu datang dari arah belakang,” berkata Kiai Gringsing. Mereka masih ingin mempengaruhi perasaan kita dengan cara yang sudah sekian lama dipergunakannya.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Kiai Gringsing. Orang itu masih berusaha mempergunakan sisa-sisa pengaruh yang mereka tanamkan untuk waktu yang lama atas perasaan orang-orang di dalam barak itu. Dan sedikit banyak usaha mereka itu berguna pula. Masih saja ada di antara orang-orang penghuni barak itu yang meremang mendengar bunyi gemerincing yang menggelitik jantung itu.

Beberapa orang telah berusaha memerangi perasaan itu dengan nalar. Mereka mencoba meyakini, bahwa sebenarnya hantu-hantu itu adalah permainan yang menggelikan saja, seperti anak-anak bermain hantu-hantuan di malam hari. Siapa yang penakut, akan menjadi benar-benar ketakutan karenanya, meskipun mereka tahu benar, bahwa mereka sedang bermain-main.

Sejenak kemudian suara gemerincing itu pun menjadi semakin dekat. Namun kemudian berhenti beberapa puluh langkah dari barak.

“Mereka berhenti,” berkata Sutawijaya.

“Mereka agak menjadi bingung karena lampu-lampu itu telah berubah letaknya. Mereka tidak mempunyai ancar-ancar lagi.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Biasanya mereka mengelilingi barak ini,” desis Kiai Gringsing yang berdiri di tempat yang terlindung.

Sutawijaya tidak menyahut.

Namun ternyata bahwa dugaan mereka itu benar. Kuda-kuda itu mulai bergerak kembali dan mencoba mengelilingi barak. Tetapi karena mereka kehilangan ancar-ancar, maka mereka telah mengambil jarak yang agak panjang.

“Mereka berusaha meredupkan gairah keberanian kita di sini,” berkata Kiai Gringsing, “kemudian pasukan mereka yang sebenarnya akan datang.”

“Ya.”

“Kita harus mulai bersiap-siap.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diperintahkannya seorang pengawal untuk menyampaikan perintahnya.

Sejenak kemudian pengawal itu telah mengelilingi halaman meskipun ia berusaha selalu berada di dalam kegelapan dan perintah Sutawijaya pun telah tersebar, “Bersiap.”

“Kita hampir mulai,” berkata salah seorang pengawal kepada orang-orang di dalam kelompoknya, “bersiaplah. Lahir dan batin.”

“Suara gemerincing itu?” tiba-tiba salah seorang bertanya.

“Hantu-hantu Alas Mentaok. Tetapi hantu-hantu yang ini sama sekali tidak menakutkan lagi. Bukankah di serambi kita juga telah menahan beberapa sosok hantu semacam itu.”

Dada orang itu berdesir. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam kepada diri sendiri. “Tidak ada hantu. Yang ada adalah orang-orang liar yang buas itu. Aku harus melawan sebelum mereka membinasakan seluruh keluargaku.”

Dengan demikian hatinya yang sudah mulai tumelung, tiba-tiba telah tengadah kembali. Sambil menggeretakkan giginya ia telah mempersiapkan senjatanya untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Orang-orang yang ada di halaman barak itu telah bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Setiap saat mereka dapat mulai. Mereka tinggal menunggu perintah untuk bertempur.

Dalam pada itu, suara gemerincing itu pun bergerak perlahan-lahan sekali. Tidak seperti yang biasa mereka lakukan. Rasa-rasanya barak itu sudah berubah.

Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa sebenarnya hanya lampu-lampu sajalah yang berubah letaknya. Barak itu masih tetap berada di tempatnya. Perlahan-lahan mereka mulai melihat cahaya yang sangat redup membayang di dalam dinding barak.

“Pasti akal Sutawijaya,” desis salah seorang dari hantu-hantu itu. “Marilah kita teruskan perjalanan ini. Kita harus berputar tiga kali. Sesudah itu, maka pasukan yang bersembunyi di sekitar barak ini akan segera menyerbu. Putaran kita merupakan aba-aba bagi mereka.”

Suara gemerincing itu pun kemudian bergerak pula. Mereka telah mengelilingi hampir separo bagian dari perjalanan mereka.

Namun dalam pada itu, salah seorang pengawas yang ada di luar barak telah berhasil menyusup kembali masuk ke halaman. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Aku tidak melepaskan panah sendaren karena aku mempunyai kesempatan untuk kembali. Mereka sudah bergerak mendekat. Tetapi mereka agaknya masih menunggu.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera mengambil sikap. Sambil memandang ke dalam kegelapan ia berkata, “Kita akan menunggu mereka. Semua orang di halaman ini sudah bersiaga.”

Pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.

“Kembalilah ke dalam kelompokmu. Kau tidak usah mendekati lawan lagi. Kita sudah dapat menduga di mana mereka berada.”

Belum lagi percakapan itu selesai, ternyata pengawas yang lain pun telah melihat kedatangan orang-orang yang hendak menyerang barak itu. Tetapi ia tidak berbuat seperti pengawas yang terdahulu. Ternyata ia lebih senang melepaskan anak panah sendaren.

Suara sendaren itu pun berdesing menyobek sepinya malam. Namun demikian, suaranya bagaikan gelora yang dahsyat di setiap dada. Baik di dada orang-orang yang menunggu di barak, mau pun orang-orang yang sedang mengendap-endap di gerumbul-gerumbul.

“Agaknya pengawas dari barak itu telah melihat gerakan kita,” desis Kiai Damar yang berdiri di samping Kiai Telapak Jalak. “Suara panah sendaren itu pasti suatu isyarat bagi mereka.”

Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergumam. “Kenapa orang-orangmu yang berkuda melingkari barak itu sebagai isyarat, berjalan terlampau lamban.”

“Tidak begitu kebiasaan mereka. Suara gemerincing itu memang seolah-olah tidak bergerak.”

Kiai Telapak Jalak menjadi tegang. Agaknya sudah tidak ada gunanya lagi menunggu isyarat suara gemerincing itu melingkari barak sampai tiga kali. Ia yakin bahwa pengawas-pengawas yang mengawal Sutawijaya dapat bertindak jauh lebih sempurna dari orang-orang di barak itu. Mereka sudah mempunyai banyak pengalaman sehingga mereka mengerti gunanya pengawasan.

Dalam pada itu, orang-orang yang berkuda dengan kerincing itu pun menjadi bingung. Mereka juga mendengar suara panah sendaren yang terbang di udara. Dan mereka juga mengerti, bahwa di kelompoknya tidak seorang pun yang mempergunakan isyarat itu.

“Pasti suara isyarat orang-orang Sutawijaya,” desis salah seorang dari mereka.

“Kita percepat langkah kuda kita.”

“Kita hampir tersesat. Lampu-lampu di barak itu membingungkan.”

“Kita sekarang sudah mengetahuinya dengan pasti. Kita dapat berpacu agak cepat.”

“Baiklah. Kita akan berpacu.”

Mereka pun segera mencambuk kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu pun segera berloncatan di dalam gelap. Menyusup di antara gerumbul-gerumbul yang liar.

Namun ternyata mereka sama sekali tidak mengerti, bahwa di hadapan barak agak menjorok masuk ke dalam padang perdu, Swandaru dan Agung Sedayu telah merentangkan tali-tali lulup, sehingga karena itu, maka hampir bersamaan, dua ekor kuda telah terjerat. Kuda yang lain menjadi sangat terkejut karenanya, sehingga ketika dua ekor kuda yang terjerat itu jatuh terjerembab, maka yang lain pun menjadi liar pula karenanya. Namun seperti yang dua itu, kuda-kuda yang lain pun telah terjerat pula dan berjatuhan tindih-menindih.

Suara ribut dan ringkik kuda itu telah mengejutkan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak di kejauhan. Mereka segera menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sewajarnya.

Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berkata, “Kita menempuh cara kedua. Kita melontarkan panah api. Pasti terjadi sesuatu dengan hantu-hantuanmu itu.”

Kiai Damar tidak menyahut. Ia pun segera menyalakan api dan membakar dimik belirang. Setelah ujung sebuah panah api dibakarnya, maka panah itu pun segera dilontarkannya ke udara.

Sebuah nyala yang merah telah naik memanjat langit. Sinarnya memancar ke segenap arah, sehingga orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun dapat melihatnya. Karena itu, maka mereka menyadari bahwa telah jatuh perintah bagi mereka untuk menyerang isi barak yang terpencil itu.

Seperti banjir bandang, orang-orang itu pun segera berloncatan maju. Sambil berteriak-teriak mengerikan mereka mengacukan senjata mereka. Sementara Kiai Damar meneriakkan perintah, “Jangan ada yang tersisa!”

Dalam pada itu, di halaman barak, Sutawijaya, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar, menyaksikan pula nyala api yang terbang di udara. Mereka pun segera menduga, bahwa itu pasti suatu perintah bagi orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.

Karena itu, maka Sutawijaya pun segera meneriakkan perintah kepada para pengawas yang memimpin kelompok-kelompok kecil untuk bersiap menghadapi lawan yang sebentar lagi pasti akan datang.

Para pengawal yang bertugas mengawasi keadaan pun telah bermunculan masuk kembali ke halaman. Mereka segera berlari-lari ke kelompoknya dan langsung membawa mereka ke pagar halaman.

“Kita menyambut mereka. Kita tidak akan menunggu. Kita harus menyongsong mereka,” berkata para pengawal.

Kelompok-kelompok kecil itu pun kemudian berloncatan dengan senjata terhunus. Sekali para pengawal memperingatkan, kalau mereka menyerah, berarti kepala mereka akan terpisah. Bukan saja kepala mereka, tetapi juga anak-anak dan isteri mereka.

Ternyata orang-orang Kiai Damar itu tidak semuanya datang dari depan. Ada beberapa kelompok yang menyerang barak itu dari belakang. Namun Sutawijaya pun telah meletakkan beberapa kelompok kecil untuk melawan kemungkinan itu.

Sejenak kemudian barak itu menjadi hiruk-pikuk. Suara derap kaki terdengar di segala penjuru. Di kejauhan orang-orang Kiai Damar berteriak-teriak mengerikan.

Sutawijaya masih berdiri tegak di halaman. Ia harus menguasai seluruh medan. Karena itu, maka katanya kepada Agung Sedayu dan Swandaru, “Tinggallah di sini. Awasilah bagian belakang dari barak ini. Kalau jumlah mereka ternyata terlampau banyak, maka kau berdua harus ikut campur pula. Aku bersama gurumu dan Ki Sumangkar akan menyongsong mereka.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apabila kau bertemu dengan Kiai Damar atau Kiai Telapak Jalak, kau harus memberikan isyarat agar gurumu datang membantumu.”

“Apakah isyarat itu.”

“Suruh seseorang membunyikan kentongan dua ganda.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin ikut menyongsong lawan yang datang dari depan, tetapi yang datang dari belakang pun merupakan bahaya yang harus mendapat perhatian.

Sejenak kemudian Sutawijaya yang kali ini membawa tombaknya segera berlari menyongsong lawan diikuti oleh Kiai Gringsing dan Sumangkar. Menilik isyarat yang melonjak ke udara dari arah depan, maka agaknya pemimpin-pemimpin mereka pun ada di sana pula.

Agung Sedayu dan Swandaru yang masih berdiri di halaman menjadi termangu-mangu sejenak. Ketika mereka berpaling, dilihatnya beberapa laki-laki bersenjata berdiri di serambi. Mereka adalah laki-laki yang telah mendekati separo baya. Mereka harus menjaga perempuan dan anak-anak apabila ada di antara lawan yang berhasil menerobos pertahanan.

Ternyata bahwa mereka pun telah berbuat sebaik-baiknya.

Mereka tidak saja berdiri di muka pintu, tetapi dalam kelompok-kelompok kecil mereka berdiri di sudut-sudut barak. Empat atau lima orang. Beberapa di antara mereka benar-benar berdiri di muka pintu, sedang yang lebih tua lagi dari mereka berada di dalam barak. Tetapi yang ada di dalam barak itu pun telah mempersenjatai diri mereka bersama anak-anak tanggung.

“Pertahanan yang berlapis-lapis ini agaknya cukup baik,” berkata Agung Sedayu. Lalu, “Marilah kita melihat di bagian belakang dari barak ini.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.

Keduanya pun kemudian berjalan tergesa-gesa ke bagian belakang dari barak itu, karena dari arah itu pun beberapa orang musuh agaknya berusaha menembus pertahanan para pengawal yang memimpin beberapa orang dari barak itu. Tetapi pertahanan di bagian belakang itu tidak begitu kuat dibandingkan dengan jumlah orang-orang yang ada di bagian depan dan samping sebelah-menyebelah.

Belum lagi keduanya sampai di halaman belakang, mereka terkejut ketika mereka melihat dua orang yang berlari-larian langsung menuju ke barak dengan senjata terhunus. Menilik sikap dan tandangnya, mereka pasti bukan pengawal Sutawijaya dan bukan pula orang dari barak itu. Agaknya dua orang lawan telah berhasil menyusup mendekati barak.

Ketika Agung Sedayu hampir saja meloncat mengejar, Swandaru berkata, “Kita lihat, apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang tua itu.”

“Ah kau, apakah kita menunggu jatuhnya korban.”

“Tidak, Kita membayanginya.”

Keduanya pun kemudian berlari-lari mengikuti orang itu.

Agaknya orang itu langsung menuju ke serambi. Mereka membawa perintah dari pemimpin mereka, membunuh setiap orang di dalam barak itu. Kalau mungkin menimbulkan keributan, agar perempuan dan anak-anak berteriak-teriak dengan kerasnya, dan mempengaruhi perlawanan suami-suami mereka.

Tetapi kedua orang itu terkejut. Ternyata masih ada beberapa orang laki-laki di serambi, meskipun laki-laki yang sudah agak lanjut usia.

Karena itu, keduanya pun segera berhenti mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang tidak terduga-duga itu. Empat orang laki-laki telah mendekati keduanya. Bahkan masih, ada tiga orang lagi dari sudut serambi itu. Tujuh orang.

Kedua orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun mereka sadar, bahwa tujuh orang itu bukanlah pengawal-pengawal yang sudah mapan mempergunakan senjata.

Agaknya orang-orang tua itu pun tidak banyak membuang waktu. Salah seorang dari mereka mengucapkan kata-kata sandi. Tetapi dua orang itu tidak dapat menjawab dengan tepat. Karena itu, hampir berbareng ketujuh laki-laki itu menyerangnya.

Adalah di luar dugaan. Salah seorang laki-laki tua itu ternyata dengan tangkasnya menggerakkan senjatanya. Sambil menyerang salah seorang lawan ia berkata, “Aku pernah menjadi pengawal padukuhanku. Aku pernah mendapat latihan olah kanuragan dari kakekku selagi aku berumur 20 tahun. Ternyata sekarang aku baru mempergunakannya.”

Tetapi bukan seorang itu saja yang membuat lawannya berdebar-debar. Laki-laki lain pun telah menyerang lawan mereka yang lain sambil berkata, “Aku pernah mengikuti pendadaran menjadi seorang prajurit ketika aku muda meskipun dari orang-orang ini.”

Namun demikian, ternyata mereka tidak setangkas lawan-lawannya. Hampir saja senjata lawan-lawan mereka langsung menembus tubuh mereka. Untunglah bahwa mereka berjumlah tujuh orang seluruhnya, sehingga dengan demikian dua orang lawan itu pun agaknya harus berjuang mati-matian.

“Gila,” geram salah seorang dari kedua orang yang berhasil menyusup ke halaman itu, “orang-orang ini benar-benar sudah jemu hidup.”

“Lebih baik kamilah yang mati lebih dahulu daripada perempuan dan anak-anak.”

“Kalian akan mati dan perempuan dan anak-anak itu pun akan mati pula.”

“Jangan membual.”

Ternyata meskipun ketujuh orang itu sudah hampir sampai ke pertengahan abad, namun tenaga mereka masih hampir utuh. Mereka masih sanggup mengayunkan kapak menebang pohon-pohon raksasa di hutan-hutan. Dan kini mereka pun masih sanggup mengayunkan senjata mereka melawan dua orang.

Tetapi kawan-kawannya yang lain agaknya tidak sampai hati membiarkan ke tujuh orang itu berkelahi mati-matian. Yang berada di sudut lain pun segera membagi diri. Mereka berada di sana empat orang. Yang dua berkata, “Aku akan membantu mereka. Kau awasi keadaan. Kalau kau melihat ada orang datang, berteriaklah memanggil kami.”

“Baiklah,” jawab yang lain.

Yang dua orang pun segera berlari-lari mendekati medan perkelahian di halaman itu. Bahkan tiga orang anak-anak muda tanggung yang berada di dalam barak pun telah keluar pula meskipun ibuya melarangnya, “Jangan Ngger. Jangan.”

“Aku hanya akan melihat saja, Ibu.”

Tepat pada saat kedua orang yang berlari-lari dari sudut yang lain itu mendekat, salah seorang dari ketujuh orang yang berkelahi itu berdesis. Ujung senjata lawannya telah mengenai lengannya, sehingga ia harus meloncat mundur. Tetapi dua orang lain segera menggantikannya.

Anak-anak tanggung itu pun akhirnya tidak hanya sekedar melihat saja. Mereka pun ikut pula mengurung dua orang lawan yang tidak menduga akan mendapat lawan sekian banyaknya.

Di serambi, kawan-kawannya yang sudah tertawan lebih dahulu menjadi gelisah pula. Tetapi mereka mendapat penjagaan yang cukup kuat, selain tangan mereka telah terikat.

Beberapa orang di antara mereka mulai mencoba untuk merencanakan suatu usaha, agar mereka dapat terlepas. Tetapi meskipun yang menjaga mereka adalah orang-orang tua, namun ikatan tangan mereka yang dikaitkan dengan ikatan kawannya yang lain, sepasang demi sepasang, sangat mengganggunya, selain luka-luka yang memang masih terasa terlampau sakit.

Tetapi mereka pun sadar, apabila mereka tidak dapat lepas dari ikatannya, apabila kawan-kawannya tidak mendapat kesempatan membebaskannya, maka akibatnya pasti akan sebaliknya. Kawan-kawannya pasti akan justru membunuhnya.

Sekilas mereka memandang senjata-senjata terhunus di tangan laki-laki yang sudah mendekati setengah abad. Salah seorang dari mereka berkata kepada diri sendiri, “Kalau saja aku mendapat kesempatan melepaskan tanganku. Orang-orang tua itu tidak akan banyak berarti bagiku.”

Belum lagi orang-orang itu menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melepaskan diri, ternyata mereka mendengar orang-orang di sudut barak itu berteriak-teriak, “Bunuh saja. Bunuh saja keduanya.”

Tetapi orang-orang itu tidak dapat melihat dengan jelas, apa yang terjadi di sudut barak itu.

Dalam pada itu, ternyata bahwa salah seorang dari kedua orang yang menyusup ke halaman itu, tidak mampu lagi menahan serangan-serangan sekian banyak ujung senjata. Bahkan ketika sepotong besi yang panjang menyentuh matanya, ia kehilangan keseimbangan. Sekejap ia memejamkan matanya. Namun yang sekejap itu berakibat kekal padanya, karena sehelai pedang telah terhunjam di dadanya. Kemudian disusul oleh tikaman-tikaman yang hampir bersamaan waktunya. Dengan demikian maka orang itu pun segera roboh di tanah untuk tidak akan pernah bangun kembali.

Kini yang melakukan perlawanan atas mereka tinggal seorang saja. Meskipun ia sudah berhasil melukai beberapa orang, tetapi luka-luka yang tidak berarti sama sekali.

Ia sadar, bahwa ia seorang diri tidak akan dapat melawan sekian banyak orang, meskipun mereka bukan pengawal tanah Mataram. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk segera menyingkir dan kembali ke induk pasukannya saja.

Karena itu, maka sejenak kemudian, ia pun segera meloncat ke luar dari lingkaran perkelahian dan langsung berlari kencang-kencang meninggalkan orang-orang yang masih mengejarnya.

Tetapi malang baginya. Di dalam kegelapan kakinya ternyata telah terjerat sesuatu, sehingga ia pun terpelanting dan jatuh tertelungkup.

Ternyata ujung cambuk Swandaru telah menjeratnya, sehingga ia tidak berhasil melarikan dirinya. Sepasang tangan yang kuat telah memilin tangannya tanpa ampun lagi.

“Ikat saja orang ini,” berkata Swandaru kepada orang-orang yang mengejarnya.

“Bunuh saja.”

“Jangan. Ia sudah menyerah. Ikat saja kuat-kuat. Orang ini masih berbahaya. Meskipun demikian, jangan kalian bunuh.”

Orang-orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang segera maju sambil berkata, “Ikat saja ia erat-erat. Kemudian kita ikat orang itu dengan tiang.”

Tanpa diduga-duga ia menyambar ikat kepala orang yang tangannya masih terpilin itu. Kemudian dengan ikat kepala itu, ia mengikat tangan orang yang masih berbahaya itu erat-erat.

Katanya, “Marilah orang ini kita bawa ke serambi.”

Ternyata kemenangan itu telah mengungkat keberanian orang tua-tua itu lebih bergelora lagi. Mereka seakan-akan sudah tidak mengenal takut lagi menghadapi setiap kemungkinan. Setelah mengikat orang itu, mereka pun kemudian turun ke halaman dan berjalan hilir-mudik dengan senjata di tangan.

Dalam pada itu. Swandaru dan Agung Sedayu masih saja berdiri di samping barak. Mereka pun kemudian berkisar ke belakang. Di dalam gelapnya malam mereka tidak segera melihat, apa yang terjadi di gerumbul-gerumbul di belakang barak itu.

“Agaknya kekuatan lawan pun terpusat di arah depan,” desis Swandaru. “Ternyata tidak ada seorang pun yang berhasil menembus pertahanan dua kelompok kecil yang dipimpin oleh dua orang pengawal.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi lamat-lamat ia memang mendengar suara perkelahian.

“Suara itu semakin lama menjadi semakin dekat,” desis Agung Sedayu.

Wajah Swandaru menegang. Katanya, “Kalau begitu, mereka pasti terdesak.”

“Marilah kita lihat.”

Keduanya pun kemudian berloncatan berlari masuk ke dalam gelapnya malam. Dalam pada itu Swandaru masih sempat bergumam, “Orang-orang tua di halaman itu masih dapat dipercaya.”

Di arah depan barak, pasukan lawan memang cukup kuat. Ketika saatnya telah dataug, serta isyarat telah mereka lontarkan ke udara karena suara gemerincing itu tidak dapat berputar secara wajar, maka mereka pun seperti banjir yang memecahkan bendungan, langsung mencoba menyerbu ke halaman barak.

Tetapi tanpa mereka sadari, ternyata sebagian dari mereka telah terpelanting karena kaki-kaki mereka telah terjerat oleh tali-tali lulup yang direntangkan oleh Swandaru dan Agung Sedayu dari batang perdu yang satu kebatang yang lain. Tali-tali lulup yang putus telah mengguncang pohon-pohon perdu di gerumbul dan membuat kejutan-kejutan yang langsung menghambat laju orang-orang yang menyerbu barak itu.

Dengan demikian, maka usaha Swandaru ada juga hasilnya. Serangan itu terpaksa terhambat. Laju banjir itu pun tidak seperti yang mereka rencanakan, untuk memberikan kesan yang mengerikan pada serangan yang pertama. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang kakinya terkilir dan dahinya membentur batu.

Terdengar mereka yang terjerat oleh tali-tali lulup itu mengumpat tidak habis-habisnya. Apalagi mereka yang oleh kejutan itu, senjatanya telah terlepas. Di dalam kegelapan orang itu harus merunduk-runduk mencari senjatanya yang terjatuh.

“He, apa kerjamu?” bentak kawannya.

“Senjataku terjatuh.”

“Bodoh kau. Seorang prajurit yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah kehilangan separo dari nyawanya.”

“Itulah sebabnya aku mencari separo nyawaku yang hilang.”

“Persetan,” kawannya menggeram. Tetapi ketika kawannya itu meloncat meninggalkan orang yang sedang mencari senjata itu, kakinya sendiri terjerat pula, sehingga ia pun jatuh menelungkup. Senjatanya pun terlepas dan ter-pelanting jatuh ke dalam gerumbul perdu.

“Setan alas!” ia mengumpat.

Dalam pada itu kawannya yang terdahulu kehilangan senjatanya, sudah dapat menemukannya. Didekatinya kawannya yang terjatuh kemudian sambil berkata, “Apa yang kau cari?”

“Gila, senjataku pun terjatuh.”

“Bodoh kau. Seorang prjaurit yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah kehilangan separo nyawanya.”

Kawannya menggeretakkan giginya. Tetapi ia pun segera menjawab, “Itulah sebabnya aku mencari separo nyawaku yang hilang.”

“Macammu,” desis kawannya yang sudah menemukan senjatanya. Tetapi ia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa-gesa ia pun segera maju menyusul kawan-kawannya meskipun ia harus berhati-hati karena ia tidak mau terjerat lagi oleh tali-tali lulup.

Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang melihat laju orang-orangnya tertahan-tahan mengumpat pula di dalam hati. Laju pasukan pada benturan yang pertama itu cukup berpengaruh. Apalagi lawannya adalah orang-orang yang tidak berpengalaman dalam peperangan. Hanya beberapa orang sajalah yang mempunyai kemampuan mempergunakan senjata sebaik-baiknya.

Demikianlah maka akhirnya dua pasukan itu pun bertemu. Tetapi tidak di tepi halaman seperti yang diharapkan oleh orang-orang Kiai Damar, karena pasukan yang mempertahankan barak itu sudah agak maju menyongsong mereka.

Memang ada satu dua orang yang lolos, dan mencoba langsung menyerbu ke barak untuk mempengaruhi hati orang-orang barak yang sedang berkelahi itu. Tetapi orang-orang tua yang pernah memenangkan perkelahian, menjadi semakin terbesar hati, sehingga mereka pun berjuang semakin gigih. Setiap orang yang mencoba memasuki barak itu pasti berhasil mereka lumpuhkan beramai-ramai. Itulah yang tidak pernah diduga oleh orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.

Demikianlah maka perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang yang bertempur menjadi semakin bernafsu. Demikian juga penghuni barak yang selama itu hanyalah sekedar mengayunkan kapak-kapak mereka menebang pepohonan, tetapi kini mereka mengayunkan senjata mereka sekuat tenaga untuk melawan orang-orang yang akan menghancurkan segala usaha yang selama ini pernah mereka rintis.

Dengan demikian, meskipun mereka bukan orang-orang yang cakap mempermainkan senjata tetapi kekuatan ayunan senjatanya dapat dibanggakan, sehingga lawan-lawan mereka pun menjadi ngeri juga karenanya.

Di samping orang-orang yang bertenaga raksasa itu, para pengawal dan pengawas yang ada di antara mereka pun bertempur mati-matian. Mereka bukan sekedar orang-orang yang dapat memegang senjata, tetapi terlebih-lebih pengawal Sutawijaya adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang mempunyai kemampuan bertempur melampaui seorang prajurit biasa.

Sutawijaya sendiri bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar masih berdiri termangu-mangu. Sejenak mereka memperhatikan medan yang meluas, hampir meliputi separo lingkaran. Sedang mereka pun mengetahuinya, bahwa di belakang barak pun ada juga orang-orang Kiai Damar yang mencoba menem-bus pertahanan. Tetapi mereka percaya bahwa Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu orang-orang yang bertahan di belakang dengan kekuatan yang kecil.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan Swandaru telah terjun ke dalam kancah perkelahian. Jumlah lawan memang tidak begitu banyak. Tetapi mereka berhasil mendesak para penghuni barak yang hanya dipimpin oleh dua atau tiga orang pengawal. Namun kehadiran Agung Sedayu dan Swandaru ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali.

Meskipun keduanya tidak bernafsu untuk membunuh, tetapi mereka sadar, bahwa mereka harus melumpuhkan lawannya. Membuat mereka pingsan atau membuat mereka tidak berdaya sama sekali. Namun demikian apabila ada yang terbunuh juga di antara mereka, sama sekali bukanlah yang dikehendaki.

Sejenak kemudian di bagian belakang barak itu telah bergema suara cambuk Agung Sedayu dan Swandaru. Meledak-ledak seperti menghentak-hentak jantung. Semakin lama semakin sering, dan setiap kali terdengar seseorang mengaduh tertahan.

Seorang laki-laki yang berkumis lebat tetapi berkepala botak, menggeram, “Nah, sekarang barulah aku mendapat kesempatan. Aku tidak percaya bahwa cambuk itu mampu melawan sepasang pedangku.”

Dengan garangnya orang berkumis itu pun segera meloncat menyerang Agung Sedayu.

Selangkah Agung Sedayu meloncat surut. Ia melihat orang berkumis lebat di dalam keremangan malam. Semula ia termangu-mangu melihat ikat kepala orang itu berkilat-kilat. Tetapi ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak memakai ikat kepala. Botak kepalanyalah yang memantulkan cahaya bintang gemintang di langit yang jernih.

“Sekarang kau akan mati,” desis orang botak itu.

Agung Sedayu meloncat surut sekali lagi. Ternyata bahwa sepasang pedang orang itu memang garang. Yang satu mematuk, sedang yang lain tiba-tiba terayun mendatar.

“Jangan lari,” orang itu berteriak, “inikah yang dikatakan orang bercambuk itu? Sama sekali tidak seperti yang pernah aku dengar. Apakah memang begitu caramu berkelahi?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “beginilah caraku berkelahi.”

“Licik. Kalau begitu …”

Tetapi orang itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba selaput telinganya serasa pecah. Cambuk Agung Sedayu meledak dengan dahsyatnya beberapa jengkal saja dari kepalanya.

“Gila,” orang berkepala botak dan berkumis lebat itu mengumpat. Namun sekali lagi ia harus menundukkan kepalanya dalam-dalam karena ujung cambuk Agung Sedayu berdesing di atas kepalanya.

Selanjutnya Agung Sedayu tidak memberinya kesempatan. Ujung cambuknya menyusup di antara sepasang pedang lawannya, seperti seekor lalat. Sekali-sekali hinggap di tubuhnya, kemudian terbang lagi dengan cepatnya.

“Kubunuh, kau,” orang itu berteriak sekali lagi. Pedangnya berputar semakin cepat dan garang. Namun ujung cambuk Agung Sedayu masih juga sempat hinggap di kulitnya, meskipun belum menumbuhkan luka-luka yang parah.

Namun demikian, sentuhan-sentuhan ujung cambuk itu membuatnya seakan-akan berdiri di atas bara. Setiap kali ia berloncatan menghindar, kemudian maju menyerang dengan dahsyatnya, meskipun serangannya sama sekali tidak pernah menyentuh lawannya.

Dalam pada itu, justru ujung cambuk Agung Sedayu-lah yang semakin sering mengenainya. Semakin lama semakin keras, sehingga kemudian terasa, kulitnya seakan-akan terkelupas. Darah mulai menitik dari luka-luka yang timbul oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu itu.

Di bagian lain, Swandaru harus berkelahi melawan dua orang sekaligus. Yang seorang gemuk hampir seperti dirinya sendiri, sedang yang lain bertubuh tinggi dan besar, bersenjata tombak pendek, bergerigi seperti duri pandan.

“Juntai cambukmu akan rantas tersentuh senjataku,” orang yang tinggi itu bergumam.

Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan ia berkata kepada lawannya yang gemuk, “Kenapa kau tidak memakai baju? Kulitmu akan terkelupas oleh ujung cambukku. Kalau kau masih mempunyainya, ambillah, pakailah bajumu sekedar untuk mengurangi jalur-jalur merah biru di punggungmu.”

“Persetan!” ia membentak. Suaranya melengking seperti suara perempuan.

“He, suaramu aneh,” desis Swandaru.

“Gila. Kau masih sempat berbicara tentang suara,” orang yang tinggi besar itulah yang menjawab.

Swandaru tiba-tiba justru tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Cambuknya semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga kedua lawannya itu pun menjadi semakin bingung karenanya.

Dalam pada itu, para pengawal dan orang-orang yang tinggal di dalam barak itu pun masih berkelahi mati-matian. Jumlah lawan memang agak lebih banyak di bagian belakang ini. Tetapi ternyata bahwa para pengawal pun cukup tangkas. Apalagi karena Agung Sedayu kemudian tidak mengikatkan diri pada lawannya yang seorang itu. Orang yang berkumis lebat dan berkepala botak. Setiap kali Agung Sedayu masih juga sempat menyerang siapa pun yang mendekatinya. Dan serangan Agung Sedayu itu ternyata benar-benar mengejutkan.

Demikian pula orang berkepala botak itu. Semakin lama ia pun semakin menyadari keadaannya. Sebenarnya, bahwa orang yang bersenjata cambuk itu adalah orang yang luar biasa, sambil berloncatan kian kemari, membantu orang-orang lain di dalam perkelahian itu, ia masih sempat melukainya. Semakin lama semakin banyak. Jalur-jalur merah biru menjadi silang-menyilang dipunggung dan lengannya.

“Anak ini memang anak setan,” desisnya, “aku harus membunuhnya beramai-ramai. Kalau orang ini sudah mati, maka, aku akan dapat segera membunuh orang-orang lain di dalam perkelahian ini.”

Demikianlah, maka orang itu pun memberi isyarat kepada tiga orang yang lain untuk bersama-sama melawan Agung Sedayu. Menurut perhitungan orang berkepala botak itu, apabila Agung Sedayu sudah terbunuh, maka semuanya akan berjalan lancar.

Tetapi perhitungan itu pun tidak terlampau mudah dilakukan. Dengan demikian, maka orang-orang lain di dalam perkelahian itu menjadi lebih bebas lagi karena lawannya berkurang. Orang-orang dari barak yang semula menjadi cemas dan kadang-kadang bingung, kini mereka merasa lapang, karena lawan-lawan mereka telah terhisap oleh Agung Sedayu. Demikian juga pengawal yang ada di arena perkelahian itu, sehingga mereka pun segera berhasil mendesak lawan mereka.

Sejenak kemudian perkelahian itu menjadi semakin berat sebelah. Agung Sedayu dan Swandaru menganggap bahwa tenaganya mungkin diperlukan pula di medan yang lain, sehingga akhirnya mereka pun mengerahkan segenap kemampuan mereka. Cambuk kedua anak-anak muda itu segera meledak-ledak semakin keras dan cepat. Ujungnya yang berkarah besi baja, rasa-rasanya menjadi semacam ujung pedang. Setiap sentuhan, tidak lagi sekedar meninggalkan bekas merah biru, tetapi ujung cambuk itu mampu merobek kulit dan membuat luka memanjang yang mengalirkan darah yang segar.

“Anak setan!” geram orang berkepala botak itu. Tetapi ia pun segera menyeringai ketika ujung cambuk Agung Sedayu justru menyentuh botaknya meskipun tidak terlampau keras.

Pasukan yang menyerang barak itu pun semakin lama menjadi semakin terdesak. Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama dengan para pengawal dan orang-orang yang tinggal di dalam barak itu berusaha sekuat-kuatnya untuk segera menyelesaikan perkelahian itu.

Meskipun jumlah para penyerang itu agak lebih banyak, namun sebagian terbesar dari mereka berkerumun di sekitar Agung Sedayu dan Swandaru. Namun demikian, mereka sama sekali tidak berhasil mendesaknya. Bahkan, cambuk kedua anak-anak muda itu kadang-kadang telah membuat mereka kebingungan dan saling membentur di antara mereka sendiri.

Namun demikian korban-korban di kedua belah pihak tidak dapat dihindarkan lagi. Demikian juga pada lingkaran perkelahian di belakang barak itu. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak didorong oleh nafsu untuk membunuh, namun mereka tidak dapat menilik dengan saksama akibat dari ujung cambuk masing-masing, sehingga ada juga di antara mereka yang terlempar dan terbanting di atas tanah, namun tidak akan dapat bangkit kembali.

Di bagian depan dari barak itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Berbeda dengan pertempuran di bagian belakang, di bagian depan jumlah para penyerang tidak lebih banyak dari mereka yang mempertahankan barak itu. Tetapi nilai mereka seorang demi seorang agak jauh berbeda. Di dalam perkelahian yang lebih besar, ternyata orang-orang yang menghuni barak itu masih juga kebingungan. Meskipun pemimpin-pemimpin kelompok mereka, sempat memberikan aba-aba, namun kadang-kadang mereka tidak dapat berbuat apa pun juga, selain kebingungan.

Dengan demikian, maka pasukan penyerang itu pun segera dapat mendesak orang-orang yang mencoba mempertahankan baraknya. Meskipun para pengawal sudah berjuang sekuat tenaga mereka, tetapi tenaga mereka pun sangat terbatas.

Sutawijaya yang melihat hal itu, menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan demikian ia tidak akan dapat tinggal diam menunggu. Dengan tombak yang bergetar di tangannya, ia berkata kepada Kiai Gringsing dan Sumangkar, “Aku akan mulai Kiai. Keadaan menjadi semakin buruk.”

“Marilah, kita akan mulai bersama-sama,” desis Kiai Gringsing.

“Kiai harus mengamati, apakah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak juga sudah mulai. Mereka adalah orang-orang yang berbahaya, yang harus mendapat perhatian khusus.”

“Aku akan mencari, Ngger. Tetapi sambil mencari, aku dapat berbuat sesuatu untuk mengurangi perlawanan musuh.”

Sutawijaya tidak menyahut. Dengan tombak yang merunduk ia maju mendekati arena yang menjadi semakin sibuk.

Sejenak kemudian Sutawijaya telah terjun di dalam pertempuran. Pertempuran yang seru, namun dipenuhi oleh keragu-raguan. Di dalam gelapnya malam tidak mudah untuk segera membedakan, manakah kawan dan manakah lawan. Namun apabila keduanya sudah bertemu, maka mereka pun akan berkelahi mati-matian.

Agaknya Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak mengetahui akan hal itu. Karena itu, maka mereka pun berusaha, agar tidak terjadi terlampau banyak kesalahan dan keragu-raguan. Supaya anak buahnya tidak lagi harus membuang banyak waktu sebelum menghunjamkan pedangnya karena kebimbangan.

Orang-orang yang tinggal di dalam barak, dan yang ternyata ikut melakukan perlawanan, adalah lawan-lawan yang sangat lunak. Hanya karena kegelapan dan keragu-raguan sajalah, mereka masih sempat hidup terus.

Dengan demikian, maka Kiai Damar pun segera memerintahkan beberapa orangnya yang memang sudah ditentukannya, untuk segera menyalakan obor. Selain itu, panah-panah api pun diterbangkannya ke udara, sehingga medan itu bagaikan hujan api yang berjatuhan dari langit.

Sejenak kemudian medan yang ribut itu menjadi semakin terang. Beberapa orang maju ke medan dengan obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, atau menancapkan obor-obor mereka di tanah dan menyelipkannya di cabang-cabang batang perdu.

Ternyata bahwa obor-obor itu sangat berguna bagi mereka. Di dalam keremangan cahayanya yang kemerah-merahan, mereka segera mengenal, yang manakah lawan-lawan mereka, bahkan mereka dapat mengenal pula, yang manakah pengawal yang memang cakap mempergunakan senjata, dan yang manakah orang-orang yang dapat dengan mudah mereka sergap dan mereka jadikan korban.

Tetapi sejenak kemudian dada mereka menjadi berdebar-debar, ketika justru cahaya obor itu telah memberikan banyak petunjuk pula bagi Sutawijaya. Itulah sebabnya, maka di medan pertempuran yang menjadi terang itu, tiba-tiba telah timbul kebingungan. Seorang anak muda dengan tombak di tangan, telah meloncat dengan lincahnya menyelusupi medan sambil memutar tombaknya itu.

“Anak setan!” salah seorang lawannya menggeram. Hampir saja hidungnya tersentuh ujung tombak itu. Namun ia tidak sempat berbuat banyak ketika tiba-tiba saja pundaknyalah yang telah tergores oleh ujung tombak yang terbang bagaikan sikatan menyambar bilalang.

Demikianlah kehadiran Sutawijaya di medan peperangan, itu memberikan banyak pengaruh bagi orang-orangnya. Para pengawal yang harus berjuang mati-matian, bukan saja mempertahankan dirinya sendiri, tetapi kadang-kadang harus juga melindungi anak buahnya itu, menjadi sedikit lapang. Lawan-lawannya menjadi agak bingung dan memecah perhatian di antara mereka.

Tetapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun tidak tinggal diam di tempatnya. Mereka pun melihat bayangan yang bagaikan berterbangan kian kemari, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

“Itulah Sutawijaya,” desis Kiai Telapak Jalak.

Kiai Damar mengerutkan keningnya. Katanya, “Bagaimana maksudmu dengan anak itu?”

“Kita binasakan.”

“Baik, lalu?”

“Kau menghadangnya di ujung sebelah, aku di ujung yang lain. Jangan ragu-ragu, kita akan membunuhnya.”

Kiai Damar mengangguk-angguk, tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya. Sikapnya menunjukkan keragu-raguan yang mengganggu hatinya.

“Kenapa kau masih diam saja?”

“Tetapi, bukankah Raden Sutawijaya itu putera Ki Gede Pemanahan dan putera angkat Sultan Pajang.”

“Semua orang sudah tahu. Jangan ragu-ragu. Tidak ada hukuman yang dapat diperhitungkan jika kita membunuh lawan di peperangan. Sultan Pajang pun tidak akan marah.” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu, “Jika Pema-nahan marah karena ia kehilangan anaknya, itu adalah salahnya sendiri.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Berhati-hatilah terhadap orang bercambuk atau orang yang berada di pihaknya, bersenjata jenis lentur pula, bahkan rantai.”

Kiai Telapak Jalak menggeram, “Seperti anak-anak yang pergi mencari kayu di hutan. Pesan ayah bundanya berkepanjangan.”

“Aku hanya memperingatkanmu. Aku sudah mengalaminya.”

“Terima kasih. Sekarang, kau pergi ke ujung sebelah. Aku di ujung yang lain. Sutawijaya berada di antara kedua ujung itu sambil membuat lawan-lawannya menjadi bingung.”

“Kita akan menghentikannya.”

Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun segera berpisah. Mereka pergi ke kedua ujung yang berlawanan. Namun mereka tidak sekedar pergi ke ujung. Di sepanjang langkahnya, mereka pun mencoba untuk menggetarkan dada pasukan lawannya.

Namun Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak lengah. Mereka pun segera melihat keadaan medan yang seakan-akan terguncang. Sejenak mereka melihat pengaruh Sutawijaya, namun sejenak kemudian seperti didorong oleh gelombang pasang, pasukan yang mempertahankan barak itu terdesak.

“Nah, itulah dia,” desis Kiai Gringsing ketika ia melihat Kiai Damar, “agaknya orang itu mencarimu.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tetapi ia hanya seorang diri. Seharusnya ia berada bersama orang yang disebut bernama Kiai Telapak Jalak.”

“Kita belum mengenal orang yang bernama Kiai Telapak Jalak dengan baik. Mungkin ia berada di sekitarnya.”

“Mungkin di tempat lain,” sahut Kiai Gringsing. “Jagalah Kiai Damar. Jangan beri ia kesempatan. Aku akan mencari orang yang bernama Kiai Telapak Jalak. Mungkin ia berada di ujung yang lain. Atau bahkan mungkin ia sedang berusaha mengalahkan Raden Sutawijaya.”

“Baiklah. Aku akan menemui Kiai Damar. Meskipun barangkali tidak berkenan di hatinya, apa boleh buat,” berkata Sumangkar.

“Ya. Kali ini kita tidak boleh gagal lagi. Persoalan tanah ini harus segera menjadi jernih. Apalagi persoalannya kemudian beralih menjadi persoalan dengan Pajang, itu bukan soal kita lagi. Tetapi kita sudah membantu membebaskan mereka yang sedang berusaha membuka hutan ini dari gangguan hantu-hantu kerdil ini.”

“Ya. Dan aku akan segera dapat membantu Agung Sedayu dan Swandaru ke Sangkal Putung. Kalau aku juga tidak segera kembali, hati Ki Demang berdua, bahkan Sekar Mirah akan menjadi semakin cemas.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Lihat, Kiai Damar tidak pandang lawan. Orang-orang yang tidak mampu berbuat banyak itu telah diserangnya. Cepat, lindungilah mereka.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian meloncat menyongsong Kiai Damar yang seolah-olah sedang mengamuk.

Meskipun Kiai Damar sadar, bahwa di antara mereka yang tinggal di dalam barak itu ada orang-orang yang harus mendapat perhatiannya, namun kehadiran Sumangkar yang tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Bahkan dengan tanpa sesadarnya ia berkata, “Kau lagi?”

“Ya. Aku lagi,” jawab Sumangkar. “Selama kau masih datang kembali, aku pun akan datang lagi menjemputmu.”

“Persetan. Sekarang aku tidak akan membiarkan kau hidup. Sekarang kau akan mati.”

Sumangkar tidak merasa perlu untuk menjawab. Ia langsung mengambil alih Kiai Damar dari lawan-lawannya yang kebingungan. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun segera terlibat dalam perkelahian yang seru.

Di tempat lain, Sutawijaya masih sibuk menghalau lawan-lawannya yang masih selalu mendesak terus. Para pengawal menjadi agak kecut juga melihat orang-orang yang bertempur bersama mereka menjadi bingung. Ternyata penghuni barak yang tidak pernah mengalami peperangan dan hanya mendapat petunjuk sekedarnya itu, masih belum mampu menyesuaikan diri dengan peperangan yang sengit. Perang yang seakan-akan tidak teratur lagi. Perang brubuh.

Apalagi apabila sekali-sekali mereka mendengar seorang di antara mereka berteriak kesakitan, karena tubuh mereka tersentuh senjata, sehingga kadang-kadang para pengawal tidak lagi sempat bertempur dengan mantap.

Kehadiran Sutawijaya di medan ternyata telah memberikan nafas baru kepada mereka, Sutawijaya yang bagaikan burung sikatan itu, terbang dari satu lingkaran peperangan ke lingkaran yang lain, sehingga hati para pengawal menjadi agak lapang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengerahkan kemampuan mereka terhadap lawan-lawannya sendiri, karena lawan-lawannya yang lain menjadi kisruh oleh kehadiran Sutawijaya.

Tetapi tiba-tiba langkah Sutawijaya terhenti. Seseorang telah berada di hadapannya sambil bertolak pinggang. Dengan sorot mata yang tajam, orang itu berkata, “Raden, hentikan cara itu. Korban akan terlampau banyak karena pokalmu.”

Sutawijaya tertegun sejenak. Diamatinya orang yang berdiri bertolak pinggang di hadapannya itu. Dan sebelum ia bertanya, maka orang itu telah mendahuluinya, “Akulah yang disebut Kiai Telapak Jalak.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya sejenak orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak itu. Agaknya orang itu terlampau yakin akan dirinya.

“Sayang, bahwa kita bertemu dalam keadaan seperti ini,” berkata Kiai Telapak Jalak.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, sayang sekali. Tetapi apakah sebenarnya yang kalian kehendaki, sehingga kalian terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang kasar ini?”

“Pertanyaanmu terlampau sederhana. Sebagai seorang yang bercita-cita membuka sebuah hutan sebesar hutan Mentaok, kau seharusnya sudah dapat menjawab pertayaanmu sendiri.”

“O, begitu? Sayang, aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Mungkin otakku memang tumpul atau barangkali aku tidak cukup mempelajari persoalan ini. Tetapi aku akan bertanya sekali lagi kepadamu, apa pun yang kau katakan tentang diriku.”

“Ini adalah suatu ciri bagi Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Telapak Jalak. Lalu, “Kau adalah gambaran dari anak-anak muda yang keras kepala.”

“Ya. Itu benar. Lalu?”

“Dan aku masih harus menjawab pertanyaanmu?”

“Ya, aku masih mengharap jawaban itu.”

“Baiklah.” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu, “Kami tidak menghendaki kalian membuka Alas Mentaok.”

“Kenapa?”

“Ada bermacam-macam alasan. Di antaranya, aku tidak senang melihat kau dan ayahmu Pemanahan berkuasa di sini.”

“Itukah alasanmu yang paling penting.”

“Sekali lagi kau menunjukkan kebodohanmu sebagai seorang putera Pemanahan dan apalagi putera angkat Sultan Pajang.”

“O, mungkin nanti kau akan menjumpainya kebodohan berikutnya. Tetapi apa jawabmu?”

“Aku kira aku lebih baik tidak menjawab. Sekarang, jangan menyesal bahwa kau akan mati di tanganku. Sudah lama aku berniat untuk melakukannya, tetapi agaknya baru sekarang aku mendapat kesempatan.”

“Kiai Telapak Jalak,” berkata Sutawijaya, “sebenarnya usahaku untuk membuka Hutan Mentaok sudah pasti tidak akan merugikan siapa pun juga. Tanah ini akan menjadi tanah garapan yang subur. Yang akan bermanfaat bagi daerah di sekitarnya. Jalur perdagangan akan menjadi semakin banyak dan ramai. Demikian juga bagi Pajang. Jadi apakah salahnya aku melakukannya?”

“Tidak selamanya menguntungkan,” jawab Kiai Telapak Jalak. “Tetapi biarlah aku tidak perlu menggurui kau, karena itu bersedialah untuk menutup segala rencanamu dengan mengakhiri hidupmu. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melihat Putera Sultan Pajang yang terkenal sakti tanpa tanding itu mati di pinggir Alas Mentaok, seperti matinya para pendatang yang sekedar ingin memiliki secuwil tanah garapan.”

“Jangan mengigau. Tetapi kalau kau tidak mau mengatakan alasanmu, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak, Kiai Damar, dan orang-orang yang berdiri di belakangnya pasti mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat sesuatu. Bukan sekedar digerakkan oleh perasaan iri yang berlebih-lebihan. Tidak sekedar digerakkan oleh perasaan tidak senang melihat tanah ini terbuka dan berkembang di samping daerah-daerah yang telah terbuka lebih dahulu di sekitarnya.”

“Cukup!” potong Kiai Telapak Jalak. “Itu dugaan yang sangat kerdil dari seorang Putera Sultan Pajang.”

“Salahmu sendiri, karena kau tidak mengatakan alasan yang sebenarnya.”

“Persetan. Jangan membuang waktu. Semua orang sudah berkeringat dan bahkan menitikkan darah. Sekarang kau harus mati.”

Sutawijaya melihat mata Kiai Telapak Jalak yang berkilat-kilat kena cahaya obor yang kemerah-merahan. Karena itu, ia pun segera bersiap. Namun ia sadar sepenuhnya bahwa Kiai Telapak Jalak adalah seorang yang pilih tanding. Karena itu, sepercik pertanyaan telah menyentuh hatinya, “Apakah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak menemukannya?”

Tetapi sebagai seorang prajurit Sutawijaya tidak akan lari dari gelanggang. Karena itu, apa pun yang akan terjadi, ia sudah siap menghadapinya.

“Kau masih ada kesempatan sejenak untuk menyebut nama ayahmu. Sejenak lagi kau akan mati terkapar di tanah,” berkata Kiai Telapak Jalak. “Aku tidak memerlukan waktu lebih dari tiga tarikan nafas untuk membunuhmu. Kalau ayahmu datang kemari, barulah aku mendapat lawan. Tetapi kematianmu pasti akan membangunkannya.”

“Jangan omong kosong. Kalau kau mampu melakukan, lakukanlah. Tetapi selama ini kau tidak berani menampakkan dirimu. Apalagi menghadapi Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”

Kiai Telapak Jalak tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia maju mendekati Sutawijaya dengan mata yang menyala-nyala. Ia merasa bahwa tugas ini adalah sebagian dari satu-satunya cara yang dapat ditempuh untuk membatasi kegagalan Kiai Damar di daerah ini.

Sutawijaya pun telah siap pula menghadapi setiap kemungkinan. Tombaknya segera merunduk. Dengan kokohnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang sedikit merendah pada lututnya.

Sementara itu, di sekitarnya, pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya. Para pengawalnya telah berjuang mati-matian untuk tetap dapat bertahan.

Sejenak Kiai Telapak Jalak memandang arena yang remang-remang. Kemudian ditatapnya wajah Sutawijaya yang menegang. Namun kemudian ia pun telah siap untuk menerkam lawannya.

“Raden,” berkata Kiai Telapak Jalak, “kalau aku tidak berhasil membunuh Raden Sutawijaya dalam tiga tarikan nafas, maka aku akan berlutut dan menyembah di bawah kakimu. Aku akan menyerahkan leherku untuk dipancung atau digantung sama sekali.”

Sutawijaya tidak menyahut. Betapa pun tabah hatinya, namun terasa dadanya tergetar juga mendengar ancaman itu. Kiai Telapak Jalak pasti tidak sekedar menakut-nakutinya. Tetapi ia pasti merasa mampu untuk melakukannya.

“Tetapi aku bukan cacing,” geram Sutawijaya di dalam hatinya, sehingga dalam pada itu ia pun yakin bahwa ia akan dapat menghindar dari ancaman itu. Ia pasti akan dapat bertahan lebih dari tiga tarikan nafas.

“Nah, Raden,” berkata Kiai Telapak Jalak, “aku akan segera mulai. Hitungan akan dimulai sejak aku melontarkan seranganku yang pertama, yang aku yakin, bahwa, kau tidak akan dapat menghindarkan diri, sehingga aku tidak akan memerlukan waktu lebih panjang lagi.”

Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi tombaknya kini telah bergetar di tangannya, siap menerima serangan Kiai Telapak Jalak.

“Ha, kau sudah gemetar,” desis Kiai Telapak Jalak.

Sutawijaya masih tetap berdiam diri.

“Seandainya tidak ada sinar obor yang kemerah-merahan, maka wajahnya akan tampak lebih putih dari kapas.”

Tiba-tiba Sutawijaya menggeram, “Cepat. Lakukan kalau kau mampu. Atau kau hanya sekedar berbicara saja? Atau kau ingin mempengaruhi perasaanku dengan ancaman dan pengaruh ketidak-sabaranku?

“Ah, kau pandai juga menebak. Sebagian benar. Tetapi jangan menyangka, bahwa aku tidak akan dapat melakukan apa yang sudah aku katakan.”

Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi ia tidak lengah. Dan ia berusaha untuk tetap menjaga perasaannya, agar tidak menjadi kehilangan keseimbangan.

Tetapi agaknya sudah sampai saatnya Kiai Telapak Jalak melakukan rencananya. Karena itu, maka suasana menjadi kian menegang.

Namun dalam pada itu, sepasang mata selalu mengikuti pembicaraan itu dengan saksama. Perlahan-lahan orang yang memiliki sepasang mata yang tajam itu bergeser semakin mendekat, sehingga akhirnya ia berdiri di balik gerumbul beberapa langkah saja di belakang Sutawijaya. Orang itu adalah Kiai Gringsing.

Dalam penilaian Kiai Gringsing, Kiai Telapak Jalak memang seorang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Bahkan Kiai Gringsing menganggap bahwa Kiai Telapak Jalak memang tidak sekedar membual. Mungkin ia benar-benar dapat melakukan seperti apa yang dikatakannya.

Dengan demikian maka Kiai Gringsing tidak akan dapat membiarkan hal itu terjadi. Kalau serangan pertama berarti maut bagi Sutawijaya, maka ia tidak akan dapat kesempatan lagi untuk menyelamatkannya.

Karena itu, Kiai Gringsing harus bertindak sesuatu sebelum serangan yang pertama itu.

Maka ketika ia melihat Kiai Telapak Jalak benar-benar telah mempersiapkan serangannya dengan masak, tiba-tiba saja terdengar Kiai Gringsing berkata, “He, Kiai, apakah kau akan melawan Raden Sutawijaya?”

Kiai Telapak Jalak terperanjat. Sejenak ia mencari, namun segera diketemukannya Kiai Gringsing yang melangkah dari balik gerumbul mendekati Sutawijaya.

“Minggir kau,” bentak Kiai Telapak Jalak, “aku tidak sedang bermain-main.”

“Aku tahu. Tetapi aku minta waktu sedikit. Aku akan berbicara dengan Raden Sutawijaya.”

“Apa yang akan kau katakan?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tanpa melepaskan kewaspadaan ia berkata, “Raden, pasukan yang mempertahankan barak ini agak terdesak. Setiap orang menunggu pertolongan Raden. Karena itu, aku ingin mempersilahkan Raden menolong mereka, agar mereka agak mendapat kesempatan untuk bernafas.”

“Siapa kau?” bentak Kiai Telapak Jalak. Tetapi Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Katanya, “Silahkan. Keadaan menjadi semakin genting. Beberapa orang telah terluka. Raden tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Aku sudah tidak mampu lagi menolong keadaan. Yang dapat menahan arus serangan lawan tidak ada orang lain kecuali Raden sendiri.”

“Gila kau,” bentak Kiai Telapak Jalak, sedang Sutawijaya agak termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia sadar, apa yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing dengan bahasa yang sering dipergunakan oleh orang tua itu. Agaknya Kiai Gringsing mengharap ia meninggalkan lawannya yang berbahaya dan siap untuk mengambil alih persoalan.

“Cepatlah, Raden. Keadaan sudah sangat mendesak,” sejenak Kiai Gringsing terdiam. Sambil memandang Kiai Telapak Jalak, Kiai Gringsing berkata, “Biarlah aku mengurusi yang seorang ini. Tetapi yang banyak orang itu aku serahkan kepada Raden.”

Sutawijaya menarik nafas. Dengan gaya Kiai Gringsing ia menjawab, “Baiklah, Kiai. Sayang, aku harus meninggalkan lawanku yang seorang ini.”

“Persetan, jangan lari.”

“Aku mempunyai tugas yang lebih penting. Biarlah pemomongku ini sajalah yang melayanimu.”

“Tunggu,” ternyata Kiai Telapak Jalak tidak ingin melepaskan Sutawijaya yang seakan-akan telah berada di dalam telapak tangannya.

Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan Kiai Telapak Jalak. Seakan-akan ia tidak mengacuhkannya lagi, meskipun sebenarnya ia masih sempat melihat kesiap-siagaan Kiai Gringsing, karena ia menduga pula, bahwa Kiai Telapak Jalak tidak akan begitu saja menerima keadaan itu.

Ternyata dugaan itu pun segera terjadi. Selagi Sutawijaya melangkah pergi, Kiai Telapak Jalak sekali lagi menghentikannya, “Berhenti. Aku akan menyerangmu. Melawan atau tidak melawan.”

Meskipun dada Sutawijaya berdesir, tetapi ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak akan tinggal diam, sehingga ia telah menyerahkan nasibnya bulat-bulat kepada Kiai Gringsing itu.

Kemarahan yang menghentak dada Kiai Telapak Jalak tidak dapat ditahan lagi. Meskipun Sutawijaya membelakanginya, namun Kiai Telapak Jalak segera menyerangnya sambil berteriak nyaring, “Salahmu sendiri kalau punggungmulah yang terbakar karena sentuhan tanganku.”

Kiai Telapak Jalak sama sekali tidak menunggu jawaban, sedangkan Sutawijaya pun sama sekali tidak berpaling, meskipun terasa juga punggungnya meremang.

Sekejap kemudian. Kiai Telapak Jalak telah meloncat memukul punggung Sutawijaya dengan sisi telapak tangannya. Kiai Telapak Jalak yang merasa terhina oleh sikap Sutawijaya itu telah berniat untuk membunuhnya dengan pukulannya yang pertama itu.

Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut bukan buatan, ia tidak menyangka sama sekali bahwa serangannya itu akan membentur kekuatan yang tidak pernah diperhitungkannya sama sekali, sehingga karena itu, justru Kiai Telapak Jalak-lah yang terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh di tanah.

Sutawijaya yang mendengar benturan itu berpaling sejenak. Ia masih melihat Kiai Telapak Jalak meloncat berdiri dengan sigapnya. Namun demikian, karena ia tidak bersedia sama sekali menghadapi hal itu, maka terasa juga dadanya menjadi sesak.

“Berhati-hatilah sedikit, Kiai Telapak Jalak,” Sutawijaya masih sempat berkata. “Jangan tergelincir lagi untuk kedua kalinya.”

“Persetan,” geram Kiai Telapak Jalak, “jangan licik. Hadapi aku.”

Sutawijaya tidak menjawab. Ia langsung meninggalkan tempat itu. Ia sadar, bahwa pertempuran yang berkobar semakin seru itu sama sekali tidak menguntungkan pihaknya. Karena itu, setelah mempercayakan perlawanan atas Kiai Telapak Jalak kepada Kiai Gringsing, maka Sutawijaya mulai dengan penjelajahannya kembali. Ia bertempur dari ujung sampai ke ujung yang lain.

Dalam pada itu, Kiai Telapak Jalak hampir tidak dapat menahan kemarahan yang meledak di dadanya. Namun demikian, ia sadar bahwa kini ia bertemu dengan lawan yang sebenarnya, meskipun bukan Ki Gede Pemanahan. Dan ia pun kini harus mengakui, bahwa selama ini bukanlah Kiai Damar yang salah menilai kemampuan lawannya. Tetapi bahwa di dalam barak itu ada orang-orang yang memiliki kelebihan dari sesamanya, kini telah dilihatnya sendiri sebagai suatu kenyataan.

Tetapi Kiai Telapak Jalak pun sadar bahwa ia masih belum mempergunakan seluruh kemampuannya. Ia masih belum mengukur kekuatan lawannya dengan sewajarnya. Kekuatan yang dilepaskan itu, menurut penilaiannya, sudah cukup kuat untuk mematahkan tulang belakang Sutawijaya betapa pun anak muda itu telah menempa dirinya.

Karena itu, dengan wajah yang merah padam ia berdiri tegak menghadap Kiai Gringsing sambil berkata, “Siapakah sebenarnya kau?”

Kiai Gringsing maju pula selangkah. Dengan nada yang rendah ia berkata, “Namaku Truna Podang.”

“Persetan. Iblis seperti kau pasti mempunyai seribu nama. Kau sangka aku percaya?”

“Tidak. Aku memang sudah menduga bahwa kau tidak akan percaya bahwa namaku Truna Podang, seperti aku juga tidak percaya bahwa namamu Telapak Jalak. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa kita sama-sama meminjam nama jenis burung yang hampir sama. Podang dan Jalak. Keduanya sejenis burung oceh-ocehan. Burung yang setiap matahari terbit, mulai berkicau tanpa ujung dan pangkal. Begitu?”

Kiai Telapak Jalak menggeretakkan giginya

“Tetapi jenis podang memiliki bulu yang warnanya lebih cantik dari seekor burung jalak.”

“Cukup, Cukup. Agaknya di dalam barak ini terdapat juga orang gila seperti kau.”

“Mungkin. Tetapi aku sebenarnya adalah pemomong Raden Sutawijaya.”

“Tentu kau yang menyebut dirimu Dandang Wesi.”

“Kenapa aku?”

“Kau dan Dandang Wesi sama-sama mengaku menjadi pemomong Sutawijaya. Tidak mungkin hal itu suatu kebetulan.”

“O, kau keliru. Aku mengenal Kiai Dandang Wesi. Ia adalah pemomong Sutawijaya di masa kecilnya. Tetapi ia sudah meninggal. Akulah yang kemudian menggantinya.”

“Jangan kau bohongi aku seperti kau membohongi anak-anak.”

“Terserahlah kepadamu. Mungkin aku memang memperlakukan kau seperti kanak-kanak.”

“Diam, diam kau,” Kiai Telapak Jalak membentak-bentak. Tetapi suaranya seakan-akan tenggelam dalam hiruk-pikuk peperangan yang semakin ribut. Di sana-sini terdengar teriakan kemarahan, namun juga jerit kesakitan dan keluhan yang tertahan-tahan.

“Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “sebenarnya aku ingin berbicara sebagai orang tua kepada orang tua. Apakah kau bersedia?”

Kiai Telapak Jalak menjadi termangu-mangu sejenak. Ia merasakan, suatu perbawa yang telah mempengaruhi perasaannya. Sehingga di luar kesabarannya sendiri ia menganggukkan kepalanya, “Berbicaralah.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan sudut matanya ia memandang hiruk-pikuk peperangan. Ia mengharap bahwa kehadiran Raden Sutawijaya mempunyai banyak pengaruh di medan, sehingga semakin lama ia berbicara dengan Kiai Telapak Jalak, maka kesempatan Raden Sutawijaya menjadi semakin besar. Kemudian pertempurannya dengan orang ini tidak akan terlampau banyak berpengaruh. Sedangkan Kiai Damar, sudah pasti tidak akan dapat mengatasi Sumangkar seperti yang pernah terjadi.

“Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing, “sedikit atau banyak, kami telah mengetahui niatmu menggagalkan usaha Raden Sutawijaya membuka Alas Mentaok. Kalian tidak senang melihat daerah baru yang akan segera berkembang ini. Kenapa? Apakah kau hanya sekedar iri atau kau memang mempunyai suatu rencana lain tentang daerah ini? Kenapa kau tidak berterus terang membicarakannya dengan Ki Gede Pemanahan? Kalau rencanamu itu baik, maka Ki Gede Pemanahan pasti tidak akan menolaknya. Kenapa kau mengambil jalan yang panjang seandainya tujuanmu tidak terlampau jauh.”

Kiai Telapak Jalak memandang Kiai Gringsing dengan sorot mata yang seakan-akan menyala. Dengan suara yang parau ia menjawab, “Truna Podang. Siapakah kau sebenarnya dan apakah keuntunganmu mencampuri urusanku? Apakah Pemanahan merasa dirinya tidak mampu lagi mengatasi persoalan ini, sehingga ia memerlukan orang-orang seperti kau?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tentu tidak. Aku kira Pemanahan tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di sini sekarang. Kalau ia tahu, bahwa di sini ada Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak bersama-sama, maka ia tidak akan membiarkan anak laki-lakinya yang hanya satu-satunya itu datang kemari. Ia pasti akan pergi sendiri dan tidak hanya membawa beberapa orang pengawal. Tetapi segelar sepapan. Dan kalian akan ditumpasnya tanpa ampun.”

“Persetan!”

“Bukankah kau sengaja menghancurkan usahanya dengan cara yang lain dari cara seorang laki-laki jantan? Kau telah membuat hantu-hantuan untuk menakut-nakuti orang-orang yang sedang membuka hutan. Kau berharap bahwa mereka meninggalkan tempat ini dan mengurungkan niatnya, setelah kau ambil keuntungannya. Setelah beberapa dari mereka berhasil menebang kayu-kayu raksasa di pinggiran Alas Mentaok. Kelak, apabila kau berhasil mengusir dengan caramu, maka akan datang orang-orang lain yang mengaku telah membuka hutan ini tanpa menitikkan keringat sama sekali.”

“Cukup!” teriak Kiai Telapak Jalak. “Kau orang-orang kerdil yang tidak dapat menjangkau cara berpikir seseorang yang bercita-cita. Kau tentu tidak mengerti apa yang kami inginkan. Dan kau hanya akan sampai pada suatu ke-simpulan iri hati dan ketamakan melulu.”

“Apakah kau dapat mengatakan yang lain?”

Kiai Telapak Jalak menelan ludahnya. Ada semacam tuntutan untuk mengatakan alasan yang lebih bernilai dari yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu maka Kiai Telapak Jalak yang tidak dapat menahan gelora di dadanya itu berkata, “Orang-orang kerdil macam kalian memang tidak dapat berpikir panjang. Mungkin kau memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi kau benar seorang yang tidak lebih baik dari seekor kerbau yang kuat, tetapi terlampau dungu untuk bersikap.” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak. Tiba-tiba saja ia merasa sesuatu telah terjadi di dalam pertempuran yang sengit itu. Namun ia mempercayakannya kepada Kiai Damar bahwa pada suatu saat Kiai Damar akan bertemu dengan Raden Sutawijaya dan membunuhnya. Ia tidak menyangka bahwa orang-orang yang berilmu melampaui orang-orang kebanyakan di dalam peperangan ini berjumlah tidak hanya seorang saja. Seorang yang sedang dihadapinya. Sedang yang lain, meskipun mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, tetapi tidak akan dapat melampaui Kiai Damar dan pasukannya. Orang-orang bercambuk yang pernah didengarnya, tentu tidak akan dapat melawan lima atau enam orang-orang pilihannya sekaligus seperti Sutawijaya sendiri. Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak menyangka, bahwa Sutawijaya tidak berkelahi di satu tempat, tetapi ia bagaikan terbang dari ujung sampai ke ujung, sedang anak-anak muda yang bercambuk itu berada di belakang barak.

“Sebentar lagi,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya, “orang-orang yang sedang berkelahi ini akan berteriak ketakutan diterkam oleh kengerian yang amat sangat. Mereka akan melihat orang-orangku yang akan melemparkan mayat anak, isteri, dan orang tua mereka yang tinggal di dalam barak itu. Orang-orangku yang memasuki barak lewat belakang itu, akan membuat barak seisinya menjadi neraka yang paling jahanam.”

Tanpa disadarinya Kiai Telapak Jalak memandang ke arah barak yang diliputi oleh kegelapan. Tetapi ia berkata pula di dalam hati, “Sebentar lagi barak itu akan menyala, dan semuanya akan segera selesai. Semua orang akan menyesal. Sutawijaya pun akan menyesal melihat mayat yang bergelimpangan. Mayat perempuan dan anak-anak. kemudian disusul mayat laki-laki yang berkelahi ini dan para pengawal. Yang terakhir Sutawijaya akan menyesali kematiannya sendiri.”

Karena Kiai Telapak Jalak tidak segera meneruskan kata-katanya, maka Kiai Gringsing pun menyahut, “He, kenapa kau merenung sebelum kau selesai. Kau baru mengatakan aku sedungu kerbau. Tetapi kau belum mengatakan, kenapa aku kau anggap orang yang dungu?”

“Kau hanya berpikir pendek. Iri, tamak, bengis, dan sebagainya. Tetapi apakah kau mengerti, bahwa yang dilakukan oleh Pemanahan ini tidak berkenan di hati Sultan Pajang?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Memang ia sudah menduga, bahwa orang-orang itu akan mencoba menarik keuntungan dari hubungan yang seakan-akan mulai retak setelah Pemanahan meninggalkan Pajang karena janji Sultan Pajang itu tidak segera dipenuhi. Tetapi sampai berapa jauh mereka mempergunakan dalih itu masih ingin diketahui oleh Kiai Gringsing.

Karena itu maka Kiai Gringsing pun bertanya, “Apakah kau yakin pada apa yang kau katakan? Bukankah Raden Sutawijaya putera angkat Sultan Pajang?”

“Ya. Itulah kekerdilan jiwa Pemanahan. Kalau ia tidak usah menuntut tanah ini, maka persoalannya akan tetap jernih. Sebagai putera Sultan Pajang, maka Sutawijaya akan mendapat tidak hanya sekedar Alas Mentaok, tetapi jauh lebih banyak dari itu. Jauh lebih luas dari Tanah yang kalian sebut Mataram Baru ini.

“Apakah kau lupa, bahwa di Pajang ada Pangeran Benawa?”

“Pangeran Benawa akan mewarisi tahta Pajang. Sutawijaya setidak-tidaknya akan menjadi seorang Adipati. Adipati yang besar dan tidak perlu berdiri di balik pintu yang tertutup seperti sekarang ini.”

“Ah, kau memang aneh. Kau agaknya banyak mengetahui tentang hubungan itu. Hubungan antara Pemanahan dan Sultan Pajang. Tetapi semuanya itu kau nilai berdasarkan atas pertimbanganmu sendiri. Apakah hubunganmu dengan persoalan itu? Persoalan itu adalah persoalan Sultan Pajang dengan Pemanahan. Bukan persoalanmu dan bukan persoalanku. Kalau Sultan Pajang berkeputusan mengusirnya, biarlah ia mengusirnya. Kalau kemudian ternyata Sultan Pajang, entah karena segan atau karena Sutawijaya itu anak angkatnya, dan mengesahkan pembukaan hutan ini dan ingat Telapak Jalak, bahwa hal itu sudah dilakukan, itu pun urusannya mereka pula.”

“Itu tidak adil. Sultan Pajang tidak melalaikan apa yang lurus bagi pemerintahannya. Ia membenarkan sikap memberontak dari Pemanahan. Menurut pendapatku, Pemanahan justru harus dihukum. Tidak justru mendapat pengesahan atas pemberontakan yang dilakukan.”

“Kiai Telapak Jalak. Kenapa kau mempergunakan istilah-istilah yang mendebarkan jantung. Apakah dapat dibenarkan bahwa kau menganggap Pemanahan telah memberontak. Dan bahkan Sultan Pajang sendiri telah membersihkan pemberontak itu? Kau terlampau mengada-ada.”

“Truna Podang. Apakah yang kau ketahui tentang persoalan ini? Kau mungkin pernah berguru pada seorang guru sakti. Tetapi gurumu tinggal di ujung pegunungan kapur yang tandus, sehingga tidak sepantasnya kau berbicara tentang Sultan Pajang.”

“O, begitu?” sahut Kiai Gringsing. “Karena itu sebaiknya kita tidak mempersoalkannya. Aku kira kau pun sebaiknya tidak membuang-buang waktu untuk itu. Serahkanlah semuanya kepada kebijaksanaan Sultan Pajang. Seandainya Sultan Pajang membenarkan pemberontakan itu sekalipun, apakah hakmu untuk ikut mencampurinya, apalagi dengan caramu?”

Wajah Kiai Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang tersangkut di semak-semak.

“Persetan!” katanya. “Aku adalah salah satu dari sekelompok orang-orang yang menghendaki tegaknya keadilan di Pajang dan seluruh daerahnya, termasuk Alas Mentaok. Cara-cara yang ditempuh oleh Pemanahan adalah cara-cara yang kotor dan tidak dapat dibiarkan.”

“Kalau kemudian Sultan Pajang membenarkannya, bukankah itu berarti bahwa kau juga telah memberontak kepada rajamu.”

“Demi kebenaran.”

“Itu juga yang pernah diucapkan oleh Pemanahan ketika ia memutuskan untuk membuka hutan ini. Demi kebenaran dan keadilan. Pati sudah diserahkan. Mentaok pun harus segera diserahkan. Nah, kau melihat persamaannya?”

Darah Kiai Telapak Jalak serasa telah mendidih. Ternyata orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu bukan orang yang sama sekali tidak mengerti persoalan Tanah Mentaok ini. Sehingga dengan demikian, maka semakin besarlah tanda tanya di dalam hati Kiai Telapak Jalak, siapakah sebenarnya orang yang sedang dihadapinya ini. Namun agaknya orang itu sama sekali tidak berniat untuk mengatakan tentang dirinya.

“Apa peduliku,” geram Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya, “kalau aku membinasakannya maka tidak akan ada persoalan apa pun lagi.”

Karena itu, maka dengan suara bergetar ia berkata, “Kita tidak usah mempersoalkannya. Bukankah kita sudah bertemu di medan?”

“Tetapi belum terlambat, Kiai Telapak Jalak. Kalau kau bersedia menarik orang-orangmu, maka aku kira, persoalan ini pun akan segera selesai. Aku menjamin bahwa Raden Sutawijaya tidak akan menuntut kau dan orang-orangmu apabila kau dan orang-orangmu benar-benar dengan ikhlas menghentikan semua kegiatan yang tidak berarti ini. Kau harus meninggalkan Alas Mentaok dan menghentikan segala macam kegiatanmu, membuat hantu-hantuan dan menakut-nakuti orang-orang yang sedang bekerja.”

Tetapi Kiai Telapak Jalak menggeram, “Gila. Kau sangka dirimu begitu pentingnya sehingga kau dapat mengambil sikap seakan-akan kaulah yang menentukan segala sesuatunya?”

“Bukan aku, tetapi kau.”

“Tidak. Aku sudah berkeputusan untuk membinasakan semua orang yang ada di sini, agar berita tentang badarnya beberapa jenis hantu yang dibuat oleh Kiai Damar tidak tersebar di mana-mana. Dan bahkan akan tersebar berita, bahwa di sini telah berjangkit wabah yang maha dahsyat, karena orang-orang di sini tidak lagi menghormati penghuni Alas Mentaok yang sebenarnya. Kau mengerti?”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini sudah pasti baginya, bahwa ia tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini seperti yang dicobanya itu. Tetapi ia benar-benar harus mempergunakan kekerasan yang pasti tidak hanya akan berhenti sampai di sini. Karena di dalam perkem-bangan persoalan yang didengarnya dari berbagai pihak pasti ada hubungan yang rapat antara orang-orang itu dengan beberapa orang yang ada di dalam istana Pajang.

“Apa boleh buat,” berkata Kiai Gringsing, “kau terlampau sadar akan kelebihanmu. Dan kau terlampau sadar bahwa di belakangmu berdiri dukungan yang kuat, entah dari orang-orang di istana atau orang-orang yang erat hubungannya dengan orang-orang istana.”

“Bohong!”

“Kau selalu menyebut hubungan antara tanah ini dengan Sultan Pajang, karena persoalan itulah yang selalu kau dengar dari orang-orang yang berdiri di belakangmu.”

“Berangan-anganlah dan mengigaulah sekehendak hatimu. Sebentar lagi mulutmu akan terkatup untuk selama-lamanya.”

Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Ia kini mempersiapkan dirinya untuk menghadapi perkelahian yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak adalah orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Kiai Damar dan memiliki keya-kinan yang teguh akan dirinya sendiri.

Sejenak kemudian, maka Kiai Telapak Jalak yang kecewa karena lepasnya Sutawijaya itu pun telah menumpahkan kemarahannya kepada Kiai Gringsing. Dengan gigi gemeretak, ia pun mendekat selangkah demi selangkah. Kemudian, dengan garangnya ia menyerang sambil berkata, “Aku percaya bahwa aku tidak akan dapat membunuhmu pada serangan pertama seperti kalau yang berdiri di sini Raden Sutawijaya. Tetapi cepat atau lambat, kau pun akan mati pula di sini. Kemudian seisi barak ini akan menjadi mayat-mayat berserakan di sepanjang jalan-jalan kecil di hutan ini. Merekalah yang kelak akan benar-benar menjadi hantu yang berkeliaran siang dan malam di Alas Mentaok ini.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar siap menghadapi serangan itu. Dengan sigapnya ia menghindarkan dirinya dan bahkan dengan serta-merta ia telah menyerangnya pula.

Namun Kiai Telapak Jalak pun cukup tangkas untuk menghindar sehingga serangan Kiai Gringsing pun tidak mengenai sasarannya.

Demikianlah maka keduanya segera terlibat di dalam perkelahian yang sengit. Dengan cepatnya mereka saling menyerang silih berganti. Tangan-tangan mereka terayun-ayun seperti sayap-sayap burung yang sambar-menyambar.

Dalam pada itu, selagi mereka bertempur dengan sengitnya, Kiai Telapak Jalak masih menunggu hasil serangan orang-orangnya dari arah belakang barak. Mereka harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi jalannya pertempuran. Mereka harus membuat perempuan dan anak-anak berteriak ketakutan, membunuh mereka dan melemparkan mayat mereka di tengah-tengah pertempuran ini. Dengan demikian maka perlawanan orang-orang dari barak ini dan para pengawal pasti akan segera dapat dipatahkan.

Tetapi hal itu tidak juga segera terjadi. Tidak ada jerit di kejauhan, dan tidak ada sesosok mayat pun yang terlempar ke tengah-tengah medan. Bahkan yang terdengar di kejauhan adalah ledakan cambuk yang sahut-menyahut.

Ternyata suara cambuk itu telah menggelisahkannya. Ia pernah mendengar dari Kiai Damar, orang-orang bercambuk yang pernah dihadapinya.

“Agaknya ada sesuatu yang tidak berjalan seperti yang aku rencanakan,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hati.

Dengan demikian, maka ia berniat untuk segera meninggalkan mayat lawannya, apabila ia segera dapat membunuhnya. Kemudian membunuh setiap orang yang ada di dalam pertempuran itu.

Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berusaha menyelesaikan peperangan itu. Dikerahkannya segala kemampuan untuk mengalahkan Kiai Gringsing.

Namun ternyata ia menghadapi lawan yang jauh lebih berat dari yang diduganya semula. Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu tidak sekedar dapat menyamai Kiai Damar. Tetapi orang tua ini ternyata memiliki banyak kelebihan yang menggetarkan jantungnya.

Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun tidak ingin memperpanjang pertempuran. Dengan serta-merta dari balik bajunya, ia mencabut sebilah cundrik. Cundrik yang berwarna kehitam-hitaman.

Dada Kiai Gringsing berdesir melihat senjata itu. Senjata yang memang telah diduga ada pada orang yang bernama Kiai Telapak Jalak, dan pasti juga pada Kiai Damar. Racun. Senjata itu pasti menyimpan racun yang sangat tajam.

Didasari dengan kecepatan tangan Kiai Telapak Jalak, maka cundrik itu pasti akan sangat berbahaya. Bahkan seandainya Kiai Telapak Jalak itu menjadi liar, dan berlari-lari di sepanjang medan sambil mengayun-ayunkan cundriknya maka sebelum fajar, semua orang pasti akan sudah mati.

“Kalian memang suka bermain-main dengan racun,” desis Kiai Gringsing kemudian.

“He, kau mengenal juga bahwa senjataku beracun.”

Kiai Gringsing tidak dapat lengah barang sekejap pun. Kalau senjata itu tidak berada di tangan Kiai Telapak Jalak, maka pasti tidak akan terlampau berbahaya. Tetapi kini senjata itu ada di tangan Kiai Telapak Jalak, sehingga bahayanya akan menjadi berlipat ganda.

Karena itu, sebelum bahaya yang sebenarnya menerkamnya, maka Kiai Gringsing pun meloncat surut untuk mendapatkan kesempatan, mengambil sebutir obat dari bumbung di kantong ikat pinggangnya. Sebelum serangan berikutnya datang, obat itu sudah ditelannya.

Kiai Telapak Jalak justru tertegun sejenak. Ia melihat Kiai Gringsing mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Yang mula-mula terlintas di kepalanya adalah jenis senjata yang belum dikenalnya. Karena itu Kiai Telapak Jalak segera mempersiapkan dirinya menghadapi jenis senjata itu.

Namun ternyata Kiai Gringsing sekedar mengambil sebutir reramuan obat dari kantong ikat pinggangnya itu. “Apa yang kau telan?” bertanya Kiai Telapak Jalak.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia telah mencoba membentengi dirinya dengan berjenis-jenis obat. Menurut perhitungannya, racun yang berada pada senjata Kiai Telapak Jalak pasti termasuk racun yang terbaik.

Namun demikian, terkilas juga di angan-angan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan kedua muridnya. Mereka pun sudah membawa bekal obat untuk mengurangi kerja racun yang paling tajam sekali pun. Tetapi menurut perhitungannya, yang ada di tangan Kiai Telapak Jalak itulah yang pasti paling berbahaya.

“He, apa yang kau telan? Apakah kau mau membunuh diri?” Kiai Telapak Jalak mendesak. “Kalau kau ingin membunuh diri, kau tidak usah menelan racun itu, karena aku akan menolongmu.”

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Terasa tubuhnya menjadi panas. Adalah kebetulan sekali bahwa Kiai Telapak Jalak tidak segera menyerangnya.

Tetapi ternyata Kiai Telapak Jalak tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian menyadari, bahwa Kiai Gringsing pasti sudah menelan obat yang dapat mengurangi ketajaman racun senjatanya. Namun demikian Kiai Telapak Jalak masih berkata, “Kau akan menyesal. Kau sangka ada obat yang dapat menawarkan jenis racunku? Seandainya reramuanmu mandi, namun pasti ada akibat yang tinggal pada tubuhmu. Mungkin kelumpuhan sebagian atau bahkan kelumpuhan mutlak.”

Kiai Gringsing sengaja tidak menjawab kata-kata Kiai Telapak Jalak itu, karena Kiai Telapak Jalak pasti akan segera mengetahui bahwa suaranya bergetar.

Namun Kiai Gringsing tidak dapat menunda perkelahian lebih lama lagi karena Kiai Telapak Jalak pun segera menyerangnya pula.

Untuk mengatasi kesulitan di saat-saat obat yang ditelannya sedang bekerja di dalam dirinya. Kiai Gringsing sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ia hanya sekedar menghindar dan meloncat surut. Tubuhnya rasa-rasanya masih belum cukup kuat untuk bertempur langsung melawan serangan-serangan Kiai Telapak Jalak.

Sejenak Kiai Telapak Jalak menjadi heran. Tetapi kewaspadaannya justru menahannya untuk melakukan tekanan yang lebih besar lagi. Bahkan ia menduga, bahwa Kiai Gringsing yang menyebut dirinya Truna Podang itu sedang mempersiapkan suatu cara yang tidak disangka-sangkanya untuk menjebaknya. Di saat-saat mereka mulai bertempur, Truna Podang mampu melawannya dengan gigihnya, namun tiba-tiba kini ia bertempur dengan cara yang lain.

“Apakah orang ini termasuk orang yang licik?” bertanya Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya. “Setelah ia melihat senjataku ini, ia kehilangan keberanian untuk melawan?”

Tetapi keragu-raguan Kiai Telapak Jalak yang menahannya untuk tidak segera menyerang itu memberi peluang kepada Kiai Gringsing untuk mempersiapkan dirinya.

Perlahan-lahan terasa obat yang ditelannya telah menjalari seluruh tubuhnya. Setelah seluruh kulitnya basah karena keringat, maka terasalah udara malam yang sejuk mulai menyelusuri kulitnya. Sejalan dengan perasaan itu, Kiai Gringsing merasa bahwa ia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan seandainya di dalam perkelahian itu ia akan tergores oleh ujung keris Kiai Telapak Jalak.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing kini tidak lagi berloncatan surut. Kini ia berdiri tegak menghadapi lawannya yang menggenggam sebuah keris yang berwarna kehitam-hitaman.

Namun Kiai Gringsing tidak ingin melawan keris itu dengan tangannya, sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing pun segera mengurai senjatanya, sehelai cambuk yang berjuntai panjang.

Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Ketika tampak olehnya cambuk itu, maka ia bergumam kepada diri sendiri, “Inilah agaknya orang bercambuk itu. Sudah tentu ia adalah orang pilihan. Kalau orang-orang bercambuk yang masih muda itu mampu menggetarkan orang-orang Kiai Damar, maka yang tua ini pun pasti dapat berbuat jauh lebih banyak lagi.” Dan sadar pulalah Kiai Telapak Jalak, bahwa selama ini pastilah lawannya sedang mencernakan obatnya di dalam tubuhnya.

Dengan demikian, maka Kiai Telapak Jalak pun tidak akan lengah lagi. Ia harus bertempur mati-matian. Untuk melawan cambuk itu, ia tidak dapat mempergunakan senjata berjarak pendek sependek kerisnya. Mungkin untuk melawan orang lain yang bersenjata apa pun juga, ia tidak memerlukan senjata yang lain, tetapi melawan orang bercambuk ini, Kiai Telapak Jalak memerlukan senjata yang lain untuk merangkapi keris pusakanya.

Ketika cambuk Kiai Gringsing mulai meledak, maka Kiai Telapak Jalak pun melepas rantai yang membelit lambungnya. Dengan rantai di tangan kanan dan kerisnya di tangan kiri, ia pun telah siap melawan Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk itu.

Pertempuran itu pun kemudian menjadi semakin dahsyat. Kedua jenis senjata serupa itu berdesingan di antara dentang senjata yang beradu di medan. Sambar-menyambar dan desak-mendesak. Setiap kali kedua jenis senjata itu saling membelit, namun kemudian dengan kekuatan raksasa yang tarik-menarik, belitan itu pun segera terlepas dan perkelahian pun berlangsung pula lebih dahsyat lagi.

Demikian pula pertempuran yang berlangsung di seluruh arena. Sutawijaya yang bagaikan elang berterbangan itu membuat lawan-lawannya menjadi ngeri dan bertanya-tanya di dalam hati, “Apakah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak segera dapat menyelesaikan lawan-lawannya dan membiarkan burung elang ini berterbangan menyambar-nyambar?”

Tetapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak ternyata tidak muncul juga di arena yang panjang itu. Hanya orang-orang yang bertempur di sekitarnya sajalah yang melihat kedua orang kebanggaan mereka itu bertempur dengan sengitnya. Namun mereka pun segera melihat juga, bahwa keduanya sama sekali tidak akan segera dapat mengatasi lawan-lawannya. Apalagi Kiai Damar, yang selalu terdesak mundur betapa pun ia berusaha menahan arus serangan Sumangkar.

Tetapi Kiai Telapak Jalak pun segera merasa, bahwa orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu pun memiliki ilmu yang tinggi. Di dalam pertempuran itu, Kiai Telapak Jalak merasakan bahwa Truna Podang benar-benar telah menguasai ilmunya dalam ungkapan yang matang.

Cambuk yang berputar-putar seperti baling-baling. Lecutan yang tiba-tiba dan ayunan mendatar yang menyambar lambung membuat Kiai Telapak Jalak harus berpikir beberapa kali tentang lawannya.

Truna Podang pasti bukan seorang yang sekedar pernah mendapat tempaan oleh seorang guru padesan yang tinggal di padukuhan kecil dan sedikit mempelajari olah kanuragan yang kasar, dan membentuknya sendiri setelah menyadap beberapa tata gerak alam yang dikenalnya sehari-hari. Tetapi orang yang menamakan diri Truna Podang itu pasti seorang yang mempelajari ilmunya berdasarkan atas pengamatan dan pengolahan yang matang, sehingga seakan-akan Kiai Telapak Jalak merasa telah berhadapan dengan Ki Gede Pemanahan sendiri.

Dengan demikian maka perlahan-lahan telah tumbuh kecemasan di hati Kiai Telapak Jalak. Apakah ia benar-benar telah terjebak bersama Kiai Damar ke dalam jarring-jaring yang memang sudah dipersiapkan.

“Persetan,” Kiai Telapak Jalak menggeram.

Namun bagaimana pun juga ia tetap tidak dapat mendesak lawannya. Rantainya yang berdesing-desing dan kerisnya yang buram namun memancarkan pantulan cahaya maut, sama sekali tidak berhasil mendesak Kiai Gringsing. Betapa pun Kiai Telapak Jalak mengerahkan segenap kemam-puannya. Bahkan setapak demi setapak ia harus melangkah surut.

Apalagi setelah beberapa lama orang-orang yang ditugaskannya untuk menghancurkan barak tidak segera menunjukkan hasilnya. Dengan demikian usahanya untuk menghancurkan ketahanan dan ketabahan hati orang-orang dari barak itu beserta para pengawal tidak dapat berlangsung. Ledakan-ledakan cambuk di kejauhan telah membuat hati Kiai Telapak Jalak menjadi semakin cemas.

Tetapi Kiai Telapak Jalak adalah orang yang matang di dalam sikap dan tandang. Itulah sebabnya, ia masih tetap bertempur sekuat tenaganya. Kelebihan Truna Podang dari padanya, bukanlah kelebihan yang menentukan. Kalau Truna Podang berbuat sedikit kesalahan, maka ia masih mempunyai harapan untuk membunuhnya. Dengan racun di kerisnya, atau langsung menusuk pusat jantungnya. Sehingga karena itulah maka ia pun masih juga bertempur sekuat tenaga.

Di medan yang lain, di belakang barak, Agung Sedayu, Swandaru, serta kawan-kawannya benar-benar telah berhasil menguasai medan. Lawan-lawan mereka sama sekali sudah tidak berdaya. Beberapa orang terbaring di tanah dengan luka-luka di tubuhnya, sedang beberapa orang yang lain, tidak lagi dapat menghindarkan diri dari kematian, karena kelengahan mereka atau karena kemarahan orang dari barak itu atau para pengawal. Tetapi kematian memang tidak dapat dihindarkan dari peperangan, karena kematian adalah bunga dari peperangan.

Apalagi karena di antara orang-orang penghuni barak itu pun ada juga yang menjadi korban. Kematian kawan-kawan mereka itulah yang telah membakar hati setiap orang, sehingga apabila Agung Sedayu tidak berusaha mencegahnya kematian masih akan bertambah-tambah.

“Mereka tidak dapat menahan perasaan,” desis Swandaru.

“Itulah yang harus kita jaga. Kalau keseimbangan perasaan itu tidak dapat dijaga, akibatnya akan meniadi semakin parah.”

“Bukan salah mereka. Mereka melihat kawan-kawan mereka terluka, apalagi ada pula yang terbunuh.”

“Memang, bukan salah mereka. Pergolakan perasaan yang terjadi di medan adalah wajar. Tetapi alangkah baiknya kalau kita dapat mengendalikan diri. Tanpa menambah kematian, tugas-tugas kita dapat kita selesaikan.”

“Memang bagus sekali. Tetapi di seluruh Pajang dan Mataram, agaknya hanya ada seorang saja yang mampu berbuat seperti kau, Kakang.”

“Guru mengajarku.”

“O,” Swandaru mengangguk-angguk, “dua. Yang seorang adalah guru sendiri.”

“Raden Sutawijaya juga tidak membunuh lawan-lawannya yang sudah menyerah. Apalagi yang sudah tidak berdaya.”

“Tiga. Tiga dengan Raden Sutawijaya.”

“Sudah tentu Raden Sutawijaya tidak berbuat demikian tanpa tuntunan.”

“Ki Gede Pemanahan. Bukankah kau akan mengatakan bahwa Ki Gede Pemanahan juga pasti berbuat demikian. Baiklah. Ternyata ada empat orang. Begitu? Apakah kau masih akan menambah lagi.”

“Ya.”

“Siapa?”

“Swandaru Geni. Bukankah begitu?”

“Macam kau,” desis Swandaru, namun kemudian ia menjawab, “Ya, Swandaru memang seorang pengampun.”

Agung Sedayu memandang wajah Swandaru sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum.

“Baiklah. Marilah kita berbuat sesuatu. Lawan-lawan kita sudah tidak berdaya. Yang lain melarikan diri.”

“Apakah kau yakin bahwa mereka memang melarikan diri?”

“Aku yakin.”

Swandaru mengangguk-angguk, lalu katanya, “Biarlah mereka yang terluka dirawat sebaik-baiknya. Kita melihat medan di depan barak. Apakah mereka masih memerlukan tenaga?”

Agung Sedayu merenung sejenak. Pertempuran di belakang barak itu sudah dapat dikatakan selesai. Tidak ada lagi perlawanan yang berarti. Satu dua orang mencoba untuk melepaskan diri. Tetapi mereka tidak dapat lagi menghindar karena luka-luka mereka.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata kepada seorang pengawal, “Terserah kepada Ki Sanak. Biarlah yang luka-luka mendapat perawatan. Kami berdua akan pergi ke medan di depan barak.”

“Baiklah. Aku akan menyelenggarakan penyelesaian sebaik-baiknya,” jawab pengawal itu.

Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian pergi kebagian depan barak yang masih dihangatkan oleh perkelahian yang sengit. Obor-obor yang dinyalakan oleh orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak memberi banyak petunjuk kepada Agung Sedayu dan Swandaru.

“Mereka memerlukan obor-obor itu,” bisik Swandaru.

“Kiai Damar yakin akan memenangkan perkelahian ini, sehingga untuk mempercepat penyelesaian, mereka perlu dapat membedakan dengan segera, yang mana kawan dan yang mana lawan-lawan yang harus dihancurkannya.”

“Tetapi agaknya mereka tidak akan segera berhasil.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Dengan hati-hati mereka mendekati medan. Namun dengan demikian segera dapat mereka lihat apa yang sebenarnya telah terjadi.

Pertempuran yang sengit itu hampir dapat dikatakan seimbang. Namun Sutawijaya yang menjelajahi medan memang membuat lawan mereka menjadi bingung. Tombaknya yang berputar-putar bagaikan baling-baling membuat orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak berloncatan menjauh, semen-tara di beberapa tempat pengawal-pengawal Sutawijaya dapat mem-pergunakan setiap kesempatan itu sebaik-baiknya. Bahkan orang-orang yang tinggal di barak itu, yang semula mulai menjadi kecut, perlahan-lahan telah tergugah lagi keberanian mereka. Meskipun mereka tidak setangkas lawan, tetapi petunjuk-petunjuk yang mereka dapat untuk bertempur berpasangan, ternyata sangat berguna bagi mereka, meskipun petunjuk-petunjuk itu terlampau singkat.

“Apakah kita akan ikut?” bertanya Swandaru.

“Kita belum melihat, di mana Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak,” sahut Agung Sedayu.

“Itu urusan guru dan Ki Sumangkar.”

“Ya. Tetapi kita harus yakin, bahwa keduanya sudah menemukan lawan masing-masing.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak segera melibatkan diri dalam perkelahian itu. Sejenak merasa masih sempat menyelusuri medan dan melihat sengitnya pertempuran.

Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mereka melihat, Bagaimana Kiai Damar berjuang mati-matian untuk mengelakkan serangan Sumangkar yang melandanya bagaikan angin taufan.

“Dukun sakti yang bergelimang racun itu tidak akan dapat bertahan terlampau lama,” desis Agung Sedayu.

“Ya. Ki Sumangkar akan segera menyelesaikan.”

“Sekarang Kita lihat, guru pasti sedang bertempur melawan Kiai Telapak Jalak.”

Dan keduanya pun bergeser selangkah demi selangkah. Akhirnya mereka pun menemukan arena perkelahian yang dahsyat antara Kiai Gringsing melawan Kiai Telapak Jalak. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding. Meskipun Kiai Gringsing berhasil mendesaknya, namun belum merupakan suatu keyakinan bahwa ia akan berhasil mengalahkan lawannya.

“Kita tidak akan dapat mencampurinya,” desis Agung Sedayu.

“Lalu?” bertanya Swandaru.

“Kita terjun ke medan.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia melihat bayangan seseorang yang melintas di medan dengan tombak yang berputar-putar.

“Itulah Raden Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu.

“Kita mengikutinya.”

“Tidak perlu. Kita membuat arena sendiri.”

Swandaru menganggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian mendekati medan yang masih riuh.

“Kami akan ikut serta di medan ini,” berkata Agung Sedayu kepada Raden Sutawijaya.

Sutawijaya mundur selangkah. Jawabnya, “Apakah tugasmu sudah selesai?”

“Ya. Kami sudah selesai.”

“Baiklah. Kita tidak boleh gagal kali ini. Kita harus menyelesaikannya dengan tuntas. Kesempatan seperti kali ini belum tentu akan terulang kembali.”

“Kami akan berbuat sebaik-baiknya.”

“Kita membagi medan. Kalian di sini. Aku di ujung yang lain.

“Ya. Kami akan bertempur di sini.”

Sutawijaya pun kemudian meloncat kembali menerjunkan diri ke medan. Tombaknya berputar semakin cepat. Perlahan ia bergeser ke ujung pertempuran yang lain, sedang Agung Sedayu dan Swandaru kini menghadapi tugas yang baru di medan yang riuh itu.

Sejenak keduanya saling berpandangan. Kemudian terdengar Swandaru berdesis, “Kita akan mulai?”

“Ya. Marilah.”

Swandaru mengangguk-angguk. Dan mereka berdua pun kemudian mulai mengayun-ayunkan cambuk mereka.

Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Swandaru pun telah berada di tengah-tengah dentang senjata. Sejenak mereka mengamati medan, dan sejenak kemudian Swandaru-lah yang pertama-tama meledakkan cambuknya memekakkan telinga.

Suara cambuk itu ternyata telah mendebarkan setiap jantung. Beberapa orang yang bertempur tidak jauh dari Kiai Telapak Jalak telah dibisingkan oleh ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing yang berhasil melawan Kiai Telapak Jalak. Kini di bagian lain dari medan itu telah digetarkan oleh suara cambuk yang lain pula.

Kehadiran Swandaru dan Agung Sedayu ternyata benar-benar telah merubah keseimbangan medan. Meskipun tampaknya mereka hanya berdua di antara pertempuran yang ramai, namun yang dua orang itu mempunyai arti yang luas. Agung Sedayu dan Swandaru yang telah melakukan latihan-latihan khusus untuk waktu yang lama, mempunyai pengaruh yang besar bagi lawan-lawannya. Mereka berdua tidak sekedar mengikat dua orang lawan, tetapi masing-masing telah bertempur melawan beberapa orang sekaligus. Seperti Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru bergerak meskipun tidak begitu luas di sepanjang separo lingkaran medan. Sedang Sutawijaya bergerak di bagian yang lain.

Demikianlah, maka satu demi satu lawan-lawan kedua anak-anak muda itu dilumpuhkan. Ujung cambuk mereka yang meledak-ledak, mampu menyobek kulit dan meninggalkan goresan-goresan yang merah biru di tubuh lawan.

Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak dapat mengingkari lagi kenyataan yang terjadi di medan. Apalagi Kiai Telapak Jalak yang menganggap selama ini Kiai Damar tidak mampu melakukan tugasnya karena gangguan-gangguan kecil. Tetapi ternyata bahwa orang-orang yang ada di dalam barak itu bukan sekedar gangguan-gangguan kecil seperti yang disangkanya.

Kini ia harus mengalami sendiri, betapa beratnya bertempur melawan mereka. Selain orang-orang yang aneh, yang tidak sewajarnya berada di antara orang-orang yang sedang membuka hutan, ternyata penghuni barak itu pun sudah tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan gemerincingnya kaki-kaki kuda semberani, dengan tengkorak yang bercahaya karena dilekati kunang-kunang setelah dioles dengan getah yang lekat.

Orang-orang yang tinggal di barak itu ternyata justru telah berani mengangkat senjata untuk melawan mereka di medan pertempuran bersama-sama para pengawal yang jumlahnya tidak begitu banyak.

“Kalau saja keadaan di barak ini wajar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya, “mereka pasti sudah hancur. Mereka pasti sudah binasa sampai keakar-akarnya. Perempuan dan anak-anak, dan bahkan Sutawijaya pun akan binasa pula di sini.”

Tetapi kenyataan yang dihadapi benar-benar di luar perhitungan mereka. Dua orang di antara mereka berhasil menghadapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bukan saja menahan keduanya, tetapi bahkan mendesaknya.

Demikianlah maka lambat laun akhir dari pertempuran itu menjadi semakin jelas. Betapa pun juga orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak bertempur dengan cara mereka, namun mereka tidak berhasil mendesak lawannya.

Mereka tidak lagi dapat menakut-nakuti lawannya. Karena dengan cara itu justru telah membuat Swandaru tertawa terbahak-bahak. Ketika ada seorang yang menyerangnya sambil berteriak, maka dengan tangkasnya Swandaru bergeser sambil meledakkan cambuknya untuk membuat lawannya itu terdiam. Bahkan menitikkan darah.

Kiai Damar pun semakin lama menjadi semakin parah. Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak akan dapat mengalahkan Sumangkar yang selalu mendesaknya.

Yang paling menyakitkan hati Kiai Damar ialah usaha Sumangkar untuk mengalahkannya dengan memaksanya memeras tenaga sehingga ia akan menjadi lelah dan tidak mampu melawan lagi. Meskipun kadang-kadang Sumangkar mendapat kesempatan untuk mendesaknya dan bahkan membinasakannya, namun Sumangkar agaknya masih juga merasa segan.

Sebenarnyalah Sumangkar mengetahui kepentingan Sutawijaya dengan lawannya. Kalau salah seorang dari pemimpin mereka itu dapat ditangkap hidup-hidup, maka Sutawijaya akan mendapat kesempatan untuk menyadap keterangan dari padanya. Dan Kiai Damar adalah salah seorang dari pemimpin-pemimpin itu. Menurut perhitungan Sumangkar, lebih mudah menangkap Kiai Damar dari pada Kiai Telapak Jalak, karena menurut penilaian Sumangkar, Kiai Telapak Jalak agaknya memiliki kemampuan yang lebih besar dari Kiai Damar.

Demikianlah, Sumangkar berusaha untuk membuat Kiai Damar tidak berdaya dan kehilangan kemampuan perlawanannya. Dengan menekan Kiai Damar terus-menurus, tanpa memberinya kesempatan bernafas, Sumangkar mengharap orang itu kehabisan tenaga.

Tetapi agaknya Kiai Damar menyadarinya, sehingga karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk melepaskan dirinya. Ia tidak bernafsu lagi membunuh lawannya dengan senjata-senjata beracun, karena ia yakin bahwa di antara orang-orang aneh yang tinggal di barak itu pasti ada yang memiliki kemampuan yang besar untuk melawan racun, sehingga racun tidak akan lagi mempunyai banyak arti. Sebagai seorang yang mengerti tentang racun, Kiai Damar pun mengerti, bahwa seseorang dapat membekali dirinya dengan obat-obat untuk menawarkan diri, setidak-tidaknya untuk mengurangi kekuatan racun yang menyerang urat darahnya.

Dalam menghadapi Sumangkar, Kiai Damar ingin mempergunakan cara yang lain. Seperti cara yang sering dipergunakan, maka ia tidak segan mengorbankan anak buahnya untuk kepentingannya.

Ketika ia mengalami kesulitan yang memuncak, maka terdengarlah suara isyarat dari mulutnya. Mula-mula Sumangkar tertegun sejenak mendengar isyarat itu. Namun ia segera menyadari, bahwa Kiai Damar telah berusaha untuk merubah keseimbangan perkelahian itu.

Ternyata setelah isyarat itu bergema di medan pertempuran yang bergeser semakin jauh dari barak itu, empat orang pengawal pilihan Kiai Damar telah berloncatan mendekatinya. Seperti yang dipesankan oleh Kiai Damar, apabila diperlukan, mereka harus datang dan membantunya menghadapi musuh-musuhnya.

Meskipun dengan demikian, orang-orangnya yang lain mengalami banyak kesulitan, namun Kiai Damar tidak mempedulikan. Kepada mereka Kiai Damar selalu memberikan alasan yang tampaknya masuk akal.

Dalam keadaan yang demikian, maka alasan yang paling baik yang dipergunakan oleh Kiai Damar adalah, bahwa lawannya yang paling berat itu harus segera dibinasakan. Dengan demikian maka ia akan segera dapat membantu kesulitan-kesulitan yang lain di dalam pasukannya.

Demikianlah maka sesaat kemudian Sumangkar harus menghadapi lima orang sekaligus. Kiai Damar dan empat orang kepercayaannya.

Meskipun Ki Sumangkar mempunyai kelebihan dari Kiai Damar, tetapi untuk melawan lima orang sekaligus, terasa juga betapa beratnya.

Kiai Damar yang merupakan pusat dari perlawanan, menghadapi Ki Sumangkar dari depan. Sedang empat orang yang lain menyerangnya dari segenap arah.

Dengan memeras kemampuannya, Sumangkar masih tetap dapat mempertahankan dirinya. Betapa dahsyatnya serangan-serangan lawannya, namun Sumangkar masih selalu mendapat kesempatan untuk menghindar. Bahkan sekali-sekali ia masih juga mampu menyerang.

Namun lambat laun, karena Sumangkar telah mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya terasa menjadi semakin susut.

Dengan demikian, Sumangkar terpaksa menempuh usaha yang lain. Ia tidak dapat memaksa dirinya untuk berkelahi tanpa melukai lawannya Bahkan seandainya lawannya terbunuh juga, maka itu di luar kemampuannya, meskipun ia masih tetap berusaha menangkapnya hidup-hidup. Tetapi sudah tentu bahwa Sumangkar sendiri tidak ingin dirinya sendirilah yang justru menjadi korban.

Karena itu, kemudian Sumangkar bukan saja memeras segenap kemampuannya, tetapi juga tidak lagi sangat berhati-hati agar tidak menimbulkan kematian pada lawannya, terutama Kiai Damar.

“Kalau aku masih tetap bertempur dengan cara ini, maka pada akhirnya, akulah yang akan menjadi mayat di medan ini,” katanya di dalam hati.

Dengan demikian, maka tandang Sumangkar pun segera berubah. Senjatanya semakin cepat berputar. Kini pengerahan tenaganya tidak saja ditujukan kepada keempat kawan Kiai Damar, dan sebagian yang lain untuk menghindarkan diri dari ujung senjata lawannya, namun kini justru ia memusatkan serangannya kepada Kiai Damar.

Kiai Damar dan kawan-kawannya pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Kalau mereka segera berhasil membinasakan Sumangkar, maka mereka akan segera dapat membantu kawan-kawannya di dalam pertempuran yang berlangsung itu.

Karena itulah maka pertempuran itu menjadi semakin ribut dan sengit. Senjata masing-masing berputaran dan menyambar-nyambar. Semakin lama mereka semakin dalam terbenam dalam perkelahian yang seru.

Betapa pun juga Kiai Damar berusaha, tetapi bersama kawan-kawannya ia tidak dapat segera mengalahkan Sumangkar. Apalagi ketika Sumangkar tidak lagi mengekang diri, sehingga justru senjatanyalah yang telah menguasai arena perkelahian itu.

Namun Sumangkar terlonjak dan terkejut bukan buatan, ketika terasa ujung senjata telah menyengat lengannya. Tanpa sesadarnya tangan kirinya telah merabanya, dan terasa titik darah yang hangat memerah di telapak tangannya itu.

Dengan geramnya Sumangkar menggeretakkan giginya Ternyata ialah yang telah terluka lebih dahulu. Ujung tombak salah seorang lawannya telah menyentuh lengannya dan melukainya.

“Persetan,” ia pun kemudian menggeram.

Luka itulah yang telah membakar jantungnya. Ditatapnya lawannya berganti-ganti. Sorot matanya yang memancarkan kemarahan, menjadi merah di dalam cahaya obor yang bergetar ditiup angin malam.

“Aku akan membunuh kalian,” desisnya.

Lawan-lawannya bergetar mendengar suara Sumangkar yang berat itu. Namun darah yang menitik dan luka Sumangkar, membuat lawan-lawannya itu agak berbesar hati. Ternyata Sumangkar dapat juga dilukai dan menitikkan darah. Dengan demikian, maka mereka harus berusaha terus-menerus untuk menambah luka di tubuh orang itu.

Tetapi Sumangkar menyadari keadaannya. Karena itu, ia pun kemudian bertempur seperti angin pusaran. Berputaran menggulung lawannya dalam suatu putaran yang membingungkan. Senjatanya terjulur semakin dalam dan berputar di atas kepalanya. Tetapi ujung-ujung trisulanya menyambar menebarkan udara maut.

Sejenak kemudian di dalam lingkaran perkelahian itu terdengar keluhan tertahan. Ternyata bahwa ujung senjata Sumangkar telah berhasil menyambar punggung seorang lawannya yang sedang berusaha menjauhinya. Tetapi terlambat. Punggung itu bagaikan sobek melintang, mengucurkan darah.

Namun bersamaan dengan itu, lawannya yang lain telah berhasil menyentuh tubuh Sumangkar pula. Kali ini mengenai pahanya dan membuat luka pula, meskipun hanya segores kecil.

Kemarahan Sumangkar pun menjadi semakin memuncak. Dan tiba-tiba saja serangannya menjadi semakin cepat seperti badai. Kini sasaran utamanya justru Kiai Damar sendiri, karena orang itulah orang yang paling kuat dan paling banyak menghisap tenaganya namun memberikan kesempatan kepada kawan-kawannya untuk melukainya sedikit demi sedikit.

“Persetan,” Sumangkar menggeram, “aku akan membunuhmu. Bukan salahku.”

Dan tekanan yang dahsyat pun kemudian melanda Kiai Damar. Dengan susah payah ia mengerahkan tenaganya untuk menghindarkan diri dari amukan badai yang melanda dirinya. Bahkan kawan-kawannya pun telah membantunya melawan amukan Sumangkar. Namun usaha mereka itu rasa-rasanya sia-sia. Sumangkar benar-benar telah sampai ke puncak kemampuannya, sehingga akhir dari pertempuran itu pun sudah menjadi semakin jelas membayang. Seolah-olah setiap orang sudah dapat meramalkannya, apa yang akan terjadi.

Agaknya luka-luka di tubuh Sumangkar telah membuatnya marah tiada taranya, sehingga dengan demikian ia sudah kehilangan segala macam pertimbangan untuk menangkap lawannya hidup-hidup.

Ketika perasaan yang pedih menyengat tubuhnya karena luka-lukanya, maka dengan segenap kemampuan yang ada ia menghentakkan senjatanya. Memutarnya dan tiba-tiba ia merubah arah putarannya. Dengan dahsyatnya ujung senjata yang berantai itu mematuk ke dada Kiai Damar.

Serangan itu benar-benar mengejutkan. Tetapi Kiai Damar masih sempat mengelakkan dirinya. Dengan sigapnya ia meloncat surut. Sambil berputar kiai Damar memiringkan tubuhnya, sehingga senjata lawan itu lewat di sisi tubuhnya.

Tetapi Sumangkar tidak melepaskannya. Sekali diputarnya senjatanya di atas kepalanya untuk mencegah serangan-serangan yang datang dari kawan-kawan Kiai Damar, kemudian sebuah serangan sendal pancing sekali lagi mengejar Kiai Damar.

Kiai Damar yang sedang mencoba memperbaiki keadaannya sekali lagi terkejut. Sekali lagi ia melangkah surut. Namun kali ini Sumangkar tidak mau melepaskannya lagi. Titik darah dari luka di tubuhnya telah membuatnya sampai ke puncak kemarahan.

Tiba-tiba saja Sumangkar itu merendah pada lututnya sambil melemparkan senjatanya. Kemudian memutarnya rendah setinggi lambung.

Kali ini Kiai Damar tidak sempat mengelak lagi. Dengan segenap kemampuannya ia mencoba memukul senjata Sumangkar itu dengan senjatanya. Namun Sumangkar benar-benar menguasai jenis senjatanya yang baru itu, sehingga dengan menghentakkan rantai ditangannya, Kiai Damar tidak berhasil menyentuh senjata lawannya. Bahkan begitu senjatanya terayun, ujung senjata Sumangkar mematuk dengan cepatnya.

Tidak ada kesempatan buat menghindar dan menangkis. Senjata Sumangkar itu meluncur bagaikan kilat di langit. Begitu cepat dan deras, sehingga meskipun Kiai Damar masih mencoba memiringkan tubuhnya, namun senjata itu berhasil mengenai dadanya.

Terdengar, pekik yang terputus. Kiai Damar terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika Sumangkar menarik senjatanya, Kiai Damar tersentak selangkah maju, kemudian jatuh tertelungkup.

Kiai Damar tidak sempat bangkit kembali. Ia hanya dapat bergerak setapak maju dan memutar tubuhnya menelentang. Namun kemudian tangannya terkulai di sisi tubuhnya.

Orang yang selama ini membuat seisi barak itu ketakutan, dan membuat Alas Mentaok di ujung ini menjadi penuh rahasia dan teka-teki, kini sudah tidak ada lagi. Kemarahan Sumangkar yang terluka dan menghadapi beberapa orang lawan sekaligus telah mengakhiri hidupnya dengan luka yang menganga di dadanya.

Kematian Kiai Damar telah menggemparkan anak buahnya. Orang-orang yang bertempur bersamanya melawan Sumangkar tiba-tiba berloncatan menjauh. Bagi mereka, Kiai Damar adalah seorang yang pilih tanding. Namun orang itu kini tergolek tidak bernyawa.

Sejenak Sumangkar berdiri mematung memandangi mayat Kiai Damar. Barulah ia menemukan kesadarannya kembali tentang pentingnya orang yang bernama Kiai Damar itu apabila ia dapat menangkapnya hidup-hidup. Tetapi kesadarannya itu telah terlambat, karena Kiai Damar telah terbunuh oleh kemarahannya.

“Seandainya orang itu masih hidup,” desis Sumangkar di dalam hatinya. Kini seolah-olah ia melihat di dalam dada Kiai Damar yang terbelah itu tersimpan berbagai macam keterangan tentang rahasia yang selama ini menyelubungi Alas Mentaok. Namun bersama dengan kematiannya, maka rahasia itu masih belum dapat terungkap seluruhnya.

“Mudah-mudahan Kiai Gringsing mampu menahan perasaannya. Mudah-mudahan ia tidak diamuk oleh kemarahan, sehingga ia berhasil menangkap lawannya hidup-hidup,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya.

Namun tiba-tiba terbersit suatu ingatan, seandainya Kiai Telapak Jalak masih bertempur melawan Kiai Gringsing, maka ia akan dapat membantunya, menangkap orang itu hidup-hidup.

Oleh pikiran itu, Ki Sumangkar pun segera meninggalkan tempatnya. Ternyata lawan-lawannya tidak seorang pun yang berani menghalanginya. Dibiarkannya Sumangkar pergi ke mana pun yang dikehendaki.

Sambil berjalan Sumangkar menilai luka-luka di tubuhnya. Ternyata luka itu sama sekali tidak berbahaya. Namun demikian, ia pun terpaksa berhenti sejenak, menaburkan serbuk obat yang dapat memampatkan darah.

Ketika baru saja ia melangkah, maka ia pun tertegun pula. Dilihatnya seseorang bertempur dengan dahsyatnya. Menyambar-nyambar dengan tombak di tangan.

“Hem,” Sumangkar menarik nafas, “Raden Sutawijaya.”

Maka ditinggalkannya Sutawijaya yang sedang bertempur itu. Ia bergeser semakin jauh mencari Kiai Telapak Jalak yang pasti sudah bertempur melawan Kiai Gringsing.

Namun sekali lagi ia tertegun. Suara cambuk meledak-ledak memekakkan telinga. Sekilas Sumangkar melihat Agung Sedayu dan Swandaru mendesak lawannya tanpa tertahankan lagi.

“Sebenarnya pertempuran ini sudah akan berakhir,” gumamnya. “Di semua bagian dari medan, mereka terdesak terus. Kunci dari persoalan ini terletak pada Kiai Telapak Jalak. Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”

Sumangkar pun kemudian mempercepat langkahnya. Kalau mungkin Kiai Telapak Jalak harus tertangkap hidup-hidup untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang perbuatan mereka selama ini. Untuk mendapatkan keterangan siapakah yang ada di antara mereka dan yang penting, siapakah penggerak yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak sendiri atau masih ada orang lain lagi di sampingnya.

Sejenak kemudian Ki Sumangkar itu pun telah menjadi semakin dekat dengan arena perkelahian antara Kiai Gringsing dan Telapak Jalak. Sumangkar sudah mendengar lecutan cambuk yang meledak-ledak, melampaui getar ledakan cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.

“Agaknya perkelahian itu sangat sengit,” berkata Ki Sumangkar di dalam hati.

Ternyata seperti yang diduganya. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka dilihatnya perkelahian yang semakin dahsyat. Baik Kiai Telapak Jalak, mau pun Kiai Gringsing telah berada di dalam puncak kemampuannya. Dan agaknya Kiai Telapak Jalak pun termasuk seorang yang pilih tanding.

Meskipun dengan pasti Kiai Griugsing dapat mendesak lawannya, namun masih diperlukan waktu yang lama untuk dapat menguasai Kiai Telapak Jalak sepenuhnya. Apalagi Sumangkar pun melihat, bahwa di tangan Kiai Telapak Jalak tergenggam senjata yang beracun, sedang di tangan yang lain seutas rantai yang diputarnya seperti baling-baling.

“Hem,” desis Sumangkar, “racun itu memang berbahaya.”

Karena itu maka Sumangkar pun menjadi berhati-hati. Ia sadar, bahwa racun itu dapat mengantar seseorang ke lubang kubur.

Tetapi ia pernah mendapat sejenis obat yang diberikan oleh Kiai Griugsing untuk mengurangi ketajaman racun yang mengenainya.

Untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya, maka Sumangkar pun kemudian mengambil obat itu dan ditelannya pula. Dengan demikian, maka kemungkinan yang berbahaya atas dirinya, dapat dikurangi sekecil-kecilnya.

Sejenak tubuh Ki Sumangkar pun terasa menjadi panas. Bahkan ia merasa dadanya bergetar. Obat itu agaknya telah mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Sehingga dengan demikian untuk beberapa saat, ia akan menjadi orang yang agak kebal terhadap racun, selama daya kekuatan obat itu masih bekerja di tubuhnya.

Setelah tubuhnya tidak lagi merasa gemetar, maka Ki Sumangkar pun melangkah semakin cepat dari arena perkelahian yang sangat dahsyat itu.

Kehadirannya telah mengejutkan Kiai Telapak Jalak. Ia masih belum mengerti, sampai berapa jauh kemampuan Ki Sumangkar. Tetapi menilik sikap dan tatapan matanya, orang ini pasti bukan penghuni kebanyakan dari barak itu. Orang ini pasti salah seorang dari penghuni-penghuni aneh dari barak yang akan dihancurkannya.

“Betapa tangkasnya orang yang agaknya bernama Kiai Telapak Jalak,” terdengar suara Sumangkar.

“Ya. Seorang yang pilih tanding,” sahut Kiai Gringsing.

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya perkelahian yang semakin dahsyat karena keduanya benar-benar telah mengerahkan puncak kemampuan mereka.

“Bagaimana dengan kau?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku sudah selesai. Tetapi sayang sekali, aku tidak berhasil menangkapnya hidup-hidup.”

“Jadi?”

Sumangkar tidak segera menjawab. Ia melihat serangan Telapak Jalak yang tiba-tiba saja hampir mengenai tangan Kiai Gringsing. Untunglah ia dengan cepat dan tepat pada waktunya menarik tangannya, sehingga keris Kiai Telapak Jalak tidak menyentuhnya sama sekali.

“Aku terpaksa membunuhnya. Kiai Damar bertempur bersama-sama dengan empat orang pengawalnya, sehingga aku terluka,” berkata Sumangkar sambil melihat perkelahian itu. “Luka itulah yang membuat aku kehilangan kesempatan untuk menangkapnya hidup-hidup. Apalagi di antara lima orang lawan.”

“Jadi Kiai Damar terbunuh?” Kiai Gringsing menegaskan.

“Ya.”

“Bohong!” tiba-tiba Kiai Telapak Jalak memotong. “Kalian berbohong. Kalian sengaja membuat cerita itu untuk mempengaruhi gairah perlawananku. Kalian telah mempergunakan cara yang paling licik di dalam pertempuran ini.”

“Apakah gunanya aku berbohong,” desis Sumangkar, “bukan saja Kiai Damar, tetapi orang-orangmu yang lain pun telah menjadi pecah berserakan. Mereka tidak akan mampu melawan Raden Sutawijaya dan kedua anak-anak muda yang bersenjata cambuk itu pula. Apalagi sepeninggal Kiai Damar.”

“Bohong, aku tidak percaya.”

“Baiklah. Terserah kepadamu, apakah kau akan mempercayainya atau tidak. Tetapi kedatanganku kemari adalah karena aku sudah tidak mempunyai tugas lagi di ujung lain dari pertempuran ini. Aku mengharap bahwa di sini aku akan dapat bekerja bersama lawanmu itu untuk menangkapmu hidup-hidup.”

“Gila. Kau menghina aku.”

“Aku berniat demikian. Terserah, apakah Ki Truna Podang setuju.”

Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia percaya bahwa Kiai Damar memang sudah terbunuh. Karena itu, maka ia pun mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk menangkap Kiai Telapak Jalak hidup-hidup.

Sejenak Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi serangan Kiai Telapak Jalak justru menjadi semakin dahsyat. Seakan-akan Kiai Telapak Jalak ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan dapat dengan mudah dikalahkan.

Namun kehadiran Sumangkar itu benar-benar telah merupakan sebuah persoalan baginya. Kalau benar orang itu berusaha bersama Truna Podang untuk menangkapnya hidup-hidup, apakah ia akan dapat melepaskan diri, apalagi mengalahkan keduanya?

Kiai Telapak Jalak tidak dapat mengingkari, bahwa untuk melawan Truna Podang seorang diri, ia sudah mengalami kesulitan, apalagi melawan dua orang yang agaknya mempunyai ilmu yang setingkat, atau setidak-tidaknya tidak banyak berselisih.

Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak segera silau terhadap angan-angannya itu. Ia masih ingin membuktikan, apakah benar-benar ia tidak dapat melawan keduanya atau melepaskan diri dari keduanya.

Demikianlah maka Kiai Telapak Jalak masih juga bertempur. Tetapi ketika Sumangkar benar-benar telah mulai, meskipun baru beberapa saat, telah terasa padanya, bahwa kekuatan kedua orang itu merupakan kekuatan yang tidak akan dapat terlawan.

Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “O, inikah cara kalian bertempur? Kalau kalian tidak mampu bertempur sendiri, maka kalian mulai bertempur berpasangan?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, namun kemudian ia menjawab, “Agaknya memang demikian cara kita bertempur di peperangan. Memang agak lain dengan apabila kita sudah berjanji untuk melakukan perang tanding. Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak menghiraukan berapa orang yang bertempur dalam perang brubuh itu. Mungkin berpasangan, mungkin justru sekelompok lawan sekelompak yang jumlahnya tidak perlu diatur sama.”

“Tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak berarti. Mereka bukan pimpinan pasukan apalagi senapati.”

“Tidak ada bedanya di peperangan. Aku juga bukan pemimpin pasukan, dan juga bukan senapati.”

“Pengecut. Tetapi kau pasti orang penting di sini.”

“Kiai Damar berkelahi bersama empat orang kawannya,” sahut Sumangkar, “sehingga aku harus bertempur melawan lima orang sekaligus termasuk Kiai Damar.”

“Omong kosong!”

“Terserah kepadamu. Tetapi aku tidak melihat keberatan apa pun untuk berperang dalam pasangan,” berkata Sumangkar pula.

“Tetapi aku dapat menantang kalian untuk berperang tanding seorang lawan seorang.”

“Terlambat. Kalau kau ajukan tantangan itu sejak kau datang, maka salah seorang dari kami pasti akan melayaninya. Tetapi kali ini tidak. Kami akan tetap bertempur berpasangan. Sebenarnya aku yakin bahwa aku akan dapat menyelesaikan pertempuran ini kalau aku hanya sekedar ingin membunuhmu. Tetapi sekarang aku ingin menangkapmu. Menangkapmu hidup-hidup, sehingga untuk itu justru akan jauh lebih sukar.”

“Persetan!” Kiai Telapak Jalak menggeram. Ia merasa benar-benar terhina. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Agaknya ia telah terjebak memasuki sarang harimau lapar bersama Kiai Damar. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa di dalam barak ini ada orang-orang yang memiliki kemampuan begitu tinggi.

“Aku terlampau meremehkan laporan Kiai Damar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya. “Aku sangka Kiai Damar sekedar menyembunyikan kelemahan. Tetapi ternyata kini aku benar-benar terperangkap.”

Meskipun demikian, Kiai Telapak Jalak masih berusaha terus. Ia kini tidak lagi berjuang untuk mengalahkan lawannya, tetapi sekedar untuk melepaskan dirinya. Kalau ia tertangkap hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas untuk memberikan keterangan-tentang semua perbuatannya bersama Kiai Damar. Ia harus mempertanggung jawabkannya dan menyebut beberapa nama yang berhubungan dengan itu.

“Tidak, itu tidak mungkin,” berkata Kiai Telapak Jalak, “salah seorang dari kami harus tetap hidup. Kalau aku mati biarlah aku mati, tetapi adikku itu harus tetap hidup untuk menyambung nama keluarga kami. Syukurlah bahwa pada suatu saat ia berhasil dengan usahanya, dan membalaskan dendam sakit hatiku. Tetapi mulutku tidak boleh menyebut namanya dalam keadaan apa pun juga. Ia harus tetap berada di istana Pajang dan berbuat sesuai dengan keadaan yang akan berkembang kemudian.”

Karena itulah maka tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa Kiai Telapak Jalak akan menyerah. Bagaimana pun juga, ia masih tetap bertempur dengan gigihnya. Bahkan orang itu sama sekali sudah tidak mengenal takut lagi.

Memang tidak mudah menangkap orang seperti Kiai Telapak Jalak, karena ia telah berbuat atas dasar suatu keyakinan. Salah atau benar, maka orang seperti Kiai Telapak Jalak sangat sulit untuk ditundukkan. Mungkin jasmaniahnya dapat dihancurkan, tetapi ia pasti akan mati bersama keyakinannya.

“Apa boleh buat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “aku terpaksa melukainya. Mungkin membuatnya pingsan. Kalau tidak, mustahil aku berhasil menangkapnya. Apalagi keris beracun itu masih tetap di tangannya meskipun sudah menelan penawarnya.”

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun mempertajam serangannya. Ia tidak menghindarkan kemungkinan melukai lawannya, sehingga dengan demikian, maka ledakan cambuknya menjadi kian dahsyat pula.

Sumangkar agaknya mengerti pula keputusan sikap yang diambil oleh Kiai Gringsing, sehingga ia pun perlu mengimbanginya. Trisula keduanya pun berputaran semakin cepat menyambar-nyambar, kemudian mematuk dengan dahsyatnya.

“Setan alas!” Kiai Telapak Jalak mengumpat. Serangan-serangan itu benar-benar telah membingungkannya. Ia tidak dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan yang datangnya seperti banjir yang melandanya dari segenap arah, meskipun ia sudah berloncatan bagaikan berdiri di atas seonggok bara.

Maka, ketika serangan kedua orang-orang tua yang memiliki ilmu yang melampaui manusia kebanyakan itu datang semakin cepat, maka sampailah saatnya Kiai Telapak Jalak tidak dapat meningkatkan lagi kemampuannya. Kemampuan manusia yang terbatas pula. Ternyata bahwa batas itu pada suatu saat tidak lagi dapat dilampauinya betapa pun ia berusaha.

Demikianlah, maka ketika Kiai Telapak Jalak menghindari patukan ujung-ujung trisula Sumangkar, ia tidak mampu lagi berbuat apa pun juga ketika ujung cambuk Kiai Gringsing mengenainya.

Yang terdengar di antara ledakan cambuk itu adalah desis yang tertahan. Bahkan kemudian Kiai Telapak Jalak mengumpat sambil berusaha meloncat sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun, demikian ia menjejakkan kakinya di atas tanah, serangan Sumangkar telah mengejarnya.

“Setan alas!” Kiai Telapak Jalak mengumpat-umpat. Sebuah goresan yang merah biru telah melingkar di lengannya, di bawah bajunya yang tersayat.

“Menyerahlah, Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak ada jalan lagi bagimu untuk meninggalkan arena ini.”

Kiai Telapak Jalak tidak menyahut. Tetapi ia justru menjadi semakin garang. Sekali-sekali ia masih mencoba menyerang juga, kemudian berusaha menembus dua lingkaran senjata, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.

Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak berhasil. Kedua lawannya mempergunakan pula senjata sejenis dengan senjatanya sendiri. Senjata lentur.

“Menyerahlah,” sekali lagi terdengar suara Kiai Gringsing.

“Persetan!” geram Kiai Telapak Jalak.

“Jadi kau benar-benar tidak mau menyerah?”

“Aku menyerah setelah, aku terbujur menjadi mayat.”

“Kau memang jantan, Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi aku akan berusaha agar tidak terjadi demikian.”

Wajah Kiai Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang sudah mulai redup.

“Lihat, pasukanmu telah jauh didorong oleh para pengawal, orang-orang dari barak ini yang selama beberapa waktu menjadi bulan-bulanan orang-orangmu dan orang-orang Kiai Damar. Mereka hidup dalam ketakutan dan himpitan perasaan. Tetapi sekarang perasaan yang tidak tertahankan lagi itu telah meledak. Apalagi di antara mereka terdapat Raden Sutawijaya sendiri dan dua orang anak-anakku yang bersenjata cambuk.”

“Persetan, persetan! Aku bukan tikus yang takut melihat kucing. Batas ketakutan adalah mati. Dan aku tidak takut mati.”

“Tidak,” sahut Kiai Gringsing, “masih ada yang lebih kau takuti daripada mati.”

“Tidak ada.”

“Ada. Kau tidak berani menyerah.”

“Gila. Aku belum gila seperti yang kau sangka. Aku masih tetap menyadari keadaanku. Dan aku akan memilih mati sebagai laki-laki daripada aku harus menyerah kepada kalian berdua.”

Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Memang tidak ada harapan untuk menunggu Kiai Telapak Jalak menyerah. Karena itu Kiai Telapak Jalak harus dipaksa untuk menyerah sebelum ia menjadi mayat. Satu-satunya jalan adalah membuatnya pingsan. Sudah tentu terpaksa sekali melukainya. Namun Kiai Gringsing berharap untuk dapat mengobatinya apabila luka itu tidak terlampau parah.

Dengan demikian, maka tidak ada gunanya lagi menakut-nakuti, mengancam dan membujuknya. Yang dilakukan kemudian adalah tekanan-tekanan yang lebih berat terhadap Kiai Telapak Jalak. Apalagi Sumangkar mengerti sepenuhnya sikap Kiai Gringsing itu, sehingga ia pun menyerangnya semakin dahsyat pula.

Kiai Telapak Jalak pun menjadi semakin bingung. Seakan-akan sudah tidak ada tempat lagi baginya untuk berpijak. Kemana pun ia berloncatan, kedua ujung senjata lawannya itu selalu mengejarnya.

Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Lebih baik dadanya pecah karena senjata daripada ia harus menyerah kepada kedua lawannya itu. Karena itulah maka ia masih tetap bertempur dengan gigihnya.

Tetapi tenaganya yang semakin surut itu membuat geraknya semakin lamban. Sedangkan senjata Kiai Gringsing dan Sumangkar justru menjadi semakin cepat.

Sebuah ledakan cambuk Kiai Gringsing telah mendorongnya ke samping. Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut bukan buatan, ketika terasa ujung trisula yang tajam telah menusuk pundaknya.

~ Article view : [189]