Karya : SH. Mintardja
Series 61
SAMBIL menyeringai Kiai Telapak Jalak memutar rantainya seperti baling-baling. Tetapi cambuk Kiai Gringsing menyerangnya mendatar serendah lututnya, sehingga memaksa Kiai Telapak Jalak meloncat tinggi-tinggi. Tetapi begitu kakinya menyentuh tanah, sekali lagi ujung cambuk itu melecut lambungnya dan mengoyak bajunya. Bukan saja bajunya, tetapi juga kulitnya telah menitikkan darah.
Kiai Telapak Jalak mengumpat-umpat. Tetapi umpatannya tidak dapat menyelamatkannya. Ia terputar setengah lingkaran ketika sekali lagi ujung trisula Sumangkar mendorongnya di punggung, dan sebelum ia terjatuh, cambuk Kiai Gringsing membelit dadanya, dan hentakan sendal pancing telah membuatnya terputar dan tidak lagi berhasil menjaga keseimbangannya.
Sejenak kemudian Kiai Telapak Jalak, orang yang memiliki kemampuan melampaui orang biasa itu, tidak lagi dapat bertahan untuk tetap berdiri. Terhuyung-huyung sambil berputaran ia akhirnya jatuh terlentang di atas tanah yang lembab.
“Cepat,” desis Kiai Gringsing. Sumangkar pun meloncat maju. Ia berhasil menginjak tangan kanan Kiai Telapak Jalak yang menggenggam senjata. Ia mengharap bahwa dengan demikian Kiai Telapak Jalak dapat dipaksanya menyerah. Tetapi Ki Sumangkar terpaksa meloncat melepaskannya lagi, karena Kiai Telapak Jalak masih berusaha mematuk kaki Sumangkar dengan kerisnya.
Pada saat itulah, cambuk Kiai Gringsing meledak dan ujungnya telah membelit tangan Kiai Telapak Jalak. Dengan suatu hentakan yang kuat Kiai Gringsing mencoba menarik tangan itu agar kerisnya dapat terlepas.
Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak mau melepaskan kerisnya begitu saja. Ia masih mencoba menghentakkan tangannya. Tetapi ternyata bahwa kekuatan Kiai Gringsing tidak dapat diatasinya. Bahkan tanpa disadarinya, pergelangan tangannya yang terbelit ujung cambuk itu terluka karenanya.
Meskipun demikian Kiai Telapak Jalak tidak mau menyerah. Ia masih mencoba untuk menguasai dirinya. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia mendekapkan tangannya, kemudian sekali ia berguling dan menyerang Kiai Gringsing dengan kakinya yang melenting dengan kerasnya.
Kiai Gringsing tidak menyangka bahwa di dalam keadaan itu Kiai Telapak Jalak masih mampu menyerangnya, sehingga karena itu ia justru terperanjat karenanya. Ia tidak mendapat kesempatan untuk menarik cambuknya dan sudah tentu ia tidak ingin melepaskannya. Karena itu, sambil mengerahkan kekuatannya ia menarik cambuknya itu.
Ternyata kekuatan tarikan cambuk Kiai Gringsing justru telah memutar tubuh Kiai Telapak Jalak dan menolongnya untuk melenting dan tegak berdiri meskipun ia masih belum berhasil melepaskan pergelangan tangannya. Namun dengan demikian ia mempunyai kesempatan yang lebih baik daripada apabila ia masih terbaring di tanah. Tanpa menghiraukan apa pun juga ia meloncat menyerang Kiai Gringsing dengan rantainya sekuat-kuat dapat dilakukan.
Tetapi Kiai Gringsing pun tidak tinggal diam. Sekali lagi ia menghentakkan cambuknya sehingga Kiai Telapak Jalak terseret beberapa langkah. Dengan demikian maka serangannya tidak lagi pada sasarannya.
Namun demikian Kiai Telapak Jalak sama sekali tidak menyerah. Ia masih berusaha mengurai ujung cambuk di tangannya. Dan agaknya Kiai Gringsing kali ini tidak, menghalanginya, sehingga akhirnya tangannya itu pun terlepas, meskipun tangan itu telah terluka.
Tetapi Kiai Gringsing tidak membiarkannya. Begitu ujung-cambuknya lepas, maka sekali lagi ujung cambuk itu meledak memekakkan telinga. Dan sebuah jalur merah telah melekat di dada Kiai Telapak Jalak.
Sumangkar yang sejenak terpukau oleh peristiwa itu tiba-tiba seperti tersadar dari lamunannya. Tiba-tiba saja ia melemparkan trisulanya mematuk Kiai Telapak Jalak yang sedang kehilangan keseimbangan oleh sentuhan ujung cambuk Kiai Gringsing. Dengan demikian maka ia sama sekali tidak dapat menghindar lagi. Sekali lagi lambungnya tersobek oleh luka karena ujung senjata Ki Sumangkar.
Kiai Telapak Jalak terdorong selangkah ke samping. Tetapi ia masih tetap berdiri. Wajahnya menjadi merah padam. Namun tidak terlintas sama sekali niatnya untuk menyerah.
Ketika kedua serangan datang beruntun dari Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing, maka Kiai Telapak Jalak sudah benar-benar tidak berdaya. Jangankan menghindar dan menyerang kembali, sedangkan menangkis pun tidak ada lagi sisa tenaganya yang cukup. Karena itu, maka ia pun segera terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang.
Namun demikian tatapan matanya masih tetap membara. Sorot matanya itu masih tetap menantang dan pantang menyerah. Kedua jenis senjatanya pun masih tetap pula di dalam genggaman.
“Menyerahlah,” desak Kiai Gringsing, “kau akan mendapat keringanan.”
– – Persetan,” ia menggeram. Namun dalam pada itu, mata Kiai Telapak Jalak se-
Olah-olah menjadi liar ketika ia melihat Raden Sutawijaya telah berada didekat arena itu sambil berkata,” Semuanya sudah selesai. Mereka telah dapat kami usir. Hanya sebagian kecil sajalah yang masih melakukan perlawanan. Sebentar lagi para pengawal akan segera dapat menguasai mereka.”
“Persetan,” sekali lagi Kiai Telapak Jalak menggeram.
“Menyerahlah,” desak Kiai Gringsing berulang kali, “aku akan menjamin bahwa kau akan mendapat sekedar pengampunan.”
“Aku tidak memerlukan belas kasian. Bunuhlah kalau kau mampu membunuh aku.”
“Baiklah,” Sutawijaya-lah yang menyahut sambil menggeretakkan gigi. ”Aku tidak pernah meleset dari sasaran apabila aku melontarkan tombak pendekku ini.”
Tetapi ketika Sutawijaya mengangkat tombaknya, Kiai Gringsing menggamitnya sambil berbisik, “Kita memerlukannya hidup-hidup.”
“O, ya,” barulah Sutawijaya sadar betapa pentingnya Kiai Telapak Jalak itu, sehingga karena itu, maka ia pun mengurungkan niatnya.
“Ayo, cepat. Lakukanlah Sutawijaya,“ tantang Kiai Telapak Jalak, “jangan ragu-ragu. Inilah aku, Kiai Telapak Jalak. Lontarkanlah tombakmu itu.”
Tetapi Sutawijaya menggeleng, “Tidak. Aku tidak akan melemparkan, tombak itu. Kami di sini sedang menunggu kedua anak Truna Podang. Kami akan mengepungmu rapat-rapat dan menangkapmu hidup-hidup. Kau sadar bahwa kau amat penting bagi kami?”
“Persetan!“ teriak Kiai Telapak Jalak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan swandaru segera hadir pula di arena itu, setelah orang-orang Kiai Telapak Jalak yang masih tersisa terusir dari medan. Sedangkan yang lain jatuh sebagai korban atau luka-luka sehingga mereka tidak dapat beringsut lagi dari tempatnya.
“Nah, kita kepung orang ini rapat-rapat. Kita akan menangkapnya hidup-hidup.”
Mata Kiai Telapak Jalak menjadi nanar. Ia melihat lima orang mengelilingi, masing-masing dengan senjata di tangan. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak berhasrat benar-benar membunuhnya. Senjata-senjata itu tidak mereka pergunakan sebaiknya meskipun ia sudah tidak berdaya lagi.
Namun dengan demikian, kegelisahan telah memuncak di hatinya. Ia sadar sepenuhnya apa yang akan terjadi atasnya apabila ia berhasil ditangkap hidup-hidup oleh Raden Sutawijaya. Ia pasti akan dibawa ke pusat pemerintahan tanah yang baru dibuka ini. Dihadapkan pada Ki Gede Pemanahan dan kemudian dipaksa untuk mengatakan siapa saja yang pernah berhubungan dengan dirinya dan usahanya yang gagal itu.
“Tidak!“ ia menggeretakkan giginya. Ia sudah mendapat kebulatan tekad. Ia tidak akan tertangkap hidup-hidup dan tidak akan pernah mengatakan kepada siapa pun juga, siapa yang sebenarnya terlibat di dalam usaha untuk menggagalkan rencana pembukaan Alas Mentaok dan membuat Mataram menjadi besar.
Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa ia tidak akan dapat keluar dari kepungan kelima orang yang kini berdiri mengitarinya dengan senjata di tangan masing-masing.
Dada Kiai Telapak Jalak menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat kelima orang itu maju setapak demi setapak semakin dekat. Pada saatnya, mereka pasti akan meloncat menerkamnya dan mengikat kedua tangan di punggungnya.
Sejenak Kiai Telapak Jalak masih berdiri terhuyung-huyung. Tangannya yang gemetar masih juga bergerak mengayun-ayunkan rantainya. Tetapi kekuatannya sama sekali sudah tidak berbahaya lagi bagi siapa pun juga, apalagi bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Dalam keadaannya itu, masih juga terdengar Kiai Gringsing berkata, “Apakah kau masih tidak ingin menyerah.”
Kiai Telapak Jalak memandanginya. Dan sekali lagi ia menggeram, “Persetan. Aku akan membunuh kalian berlima.”
Belum lagi gema suaranya dihanyutkan angin, telah terdengar cambuk Kiai Gringsing meledak. Sekali lagi pergelangan tangan Kiai Telapak Jalak terbelit oleh ujung cambuk kiai Gringsing. Namun dengan sisa-sisa tenaganya, Kiai Telapak Jalak masih juga tidak melepaskan kerisnya. Keris pusakanya yang selama ini selalu berhasil menyelesaikan persoalan yang paling sulit yang dihadapinya.
Dalam pada itu, selagi tangan Kiai Telapak Jalak terbelit oleh ujung cambuk Kiai Gringsing, maka sekali lagi terdengar cambuk meledak. Cambuk Agung Sedayu yang membelit rantai di tangan kanan Kiai Telapak Jalak.
Karena perhatiannya terpusat kepada kerisnya, serta sisa-sisa tenaganya yang semakin susut, maka Kiai Telapak Jalak tidak dapat mempertahankan senjatanya itu. Rantai itu pun kemudian terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah dari padanya.
Berbareng dengan itu, Ki Sumangkar pun melonpat maju. Tangannya telah terjulur ketengkuk Kiai Telapak Jalak. Ia ingin membuat orang yang keras hati itu menjadi pingsan.
Tetapi di dalam saat-saat terakhir itu Kiai Telapak Jalak masih sempat menghindar. Tanpa diduga oleh Ki Sumangkar, Kiai Telapak Jalak masih sempat membungkukkan kepalanya, justru pada saat Kiai Gringsing mencoba menarik tangannya.
Dengan demikian maka Kiai Telapak Jalak itu pun terhentak beberapa langkah oleh tarikan cambuk Kiai Gringsing yang membelit pergelangannya.
Kiai Telapak Jalak masih sempat menyadari keadaannya. Ia masih sempat melihat orang-orang yang berdiri di sekitarnya itu hampir bersamaan meloncat maju untuk menerkamnya. Karena itu, maka ia pun harus mengambil sikap terakhir untuk menghindarkan dirinya dari tangkapan orang-orang itu.
Tetapi ia tidak lagi dapat berbuat sesuatu dengan kerisnya, karena tangannya seakan-akan telah terikat dengan ujung cambuk Kiai Gringsing. Ia tidak dapat lagi mengayunkan keris itu meskipun masih tetap di dalam genggamannya.
Namun demikian ia tidak mau menyerah. Begitu tangan-tangan mulai menyentuh tubuhnya, maka tanpa diduga-duga, Kiai Telapak Jalak telah menggoreskan pergelangan tangan kanannya pada ujung kerisnya sendiri. Goresan yang dalam dan dengan demikian telah memotong urat nadinya.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar terkejut bukan buatan. Sekali lagi Kiai Gringsing mencoba menbentakkan ujung cambuknya. Namun ia sudah terlambat. Ujung keris itu telah melukai tangan Kiai Telapak Jalak sendiri.
Sejenak kelima orang yang mengitarinya itu berdiri termangu-mangu. Mereka melihat Kiai Telapak Jalak yang lemah itu kemudian berjongkok sambil menyeringai menahan sakit-sakit di tubuhnya.
“Kalian tidak akan dapat menangkap aku hidup-hidup,“ ia masih berdesis. Tetapi suaranya telah hampir tidak terdengar lagi.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia masih sanggup mengobati luka-luka di tubuh Kiai Telapak Jalak. Tetapi racun keris itu akan bekerja sangat cepat di tubuh pemiliknya. Apalagi Kiai Gringsing yakin, bahwa Kiai Telapak Jalak pasti tidak akan bersedia untuk menelan obat yang dapat mengurangi kekerasan kerja racun itu. Terlebih-lehih lagi, tubuh Kiai Telapak Jalak sudah terlampau lemah oleh luka-lukanya dan darahnya yang mengalir tidak henti-hentinya.
Namun sejenak kemudian darahnya seakan-akan telah membeku. Titik-titik darah dari luka-lukanya, semakin sendat mengalir. Namun dengan demikian tubuh itu pun menjadi semakin tidak berdaya.
Dan akhirnya, Sutawijaya dan orang-orang yang mengelilingi Kiai Telapak Jalak itu melihat orang yang keras hati itu pun terjatuh dan tidak akan bangkit untuk selama-lamanya.
Kiai Telapak Jalak meninggal. Meninggal oleh kerisnya sendiri. Namun demikian, kelima orang yang berdiri di sekelilingnya masih juga menundukkan kepalanya. Ternyata Kiai Telapak Jalak benar-benar seorang yang keras hati. Namun sayang, bahwa ia telah mengeraskan hatinya di dalam kesesatannya.
Orang-orang yang berdiri di sekitar Kiai Telapak Jalak yang sudah meninggal itu seakan-akan tersedar dari angan-angan mereka, ketika mereka mendengar sorak di arena. Ternyata orang-orang Kiai Telapak Jalak yang terakhir telah melarikan dirinya, meninggalkan kawan-kawannya yang terluka dan terbunuh di peperangan itu.
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kematian Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar merupakan satu langkah maju bagi usahanya membuka Alas Mentaok. Tetapi kematian kedua orang itu ternyata mendekap rahasia yang masih tersimpan di balik pepohonan yang lebat di hutan Mentaok. Sutawijaya berpendapat, bahwa pasti masih ada orang-orang lain yang terlibat di dalam gerombolan mereka. Pasti bukan sekedar Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Jalan pikiran orang-orang yang berada di sekeliling Kiai Telapak Jalak yang sudah terbujur di tanah itu ternyata tidak jauh berbeda. Mereka telah membayangkan sesosok tubuh yang diliputi oleh rahasia. Dan orang yang penuh rahasia itu pasti berhubungan atau malahan berada di istana Pajang.
Dan tiba-tiba saja angan-angan Agung Sedayu bergeser kepada kakaknya Untara yang menurut pendengarannya kini berada di daerah yang langsung dapat dibayangi perkembangan Alas Mentaok.
“Tetapi pasti bukan Kakang Untara,“ Agung Sedayu menghentakkan giginya rapat-rapat. “Ia seorang prajurit. Seorang senapati yang memiliki prajurit segelar sepapan. Meskipun ia mendapat perintah untuk membayangi daerah yang baru berkembang ini, namun tentu ia akan mempergunakan cara seorang prajurit. Bukan cara yang licik dengan bermain hantu-hantuan.”
Tetapi Agung Sedayu tetap menyimpan persoalan itu di dalam hatinya. Meskipun ia masih juga dibayangi oleh kebimbangan, tetapi ia berusaha untuk mengendapkan hal itu di dalam dirinya sendiri.
“Mungkin orang lain tidak akan berpikir sejauh itu,“ katanya di dalam hati. “Kalau aku bertanya kepada seseorang, maka justru akan dapat menimbulkan persoalan bagi mereka yang sebelumnya tidak pernah mempertimbangkannya.”
Demikianlah, maka ketika matahari kemudian memanasi hutan Mentaok, para pengawal dan penghuni barak yang tidak mengalami cidera apa pun, segera menjadi sibuk pula mengurusi kawan-kawannya yang telah terluka dan bahkan ada juga yang dengan kerongkongan yang serasa kering, mengangkat tubuh-tubuh sahabatnya yang gugur di dalam peperangan itu.
“Kita tidak dapat menghindarkan korban di antara kita,“ berkata Sutawijaya. “Jer basuki mawa beya. Kita harus menyerahkan tebusan bagi kesejahteraan yang kita perjuangkan. Kita masih dapat mengucap syukur bahwa korban yang jatuh itu bukan diri kita.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu dengan tekanan yang dalam Ia meneruskan, “Kita masih mendapat kesempatan hidup dan menghirup udara tanah yang telah kita bebaskan ini, untuk beberapa lamanya. Tetapi yang telah menjadi korban itu tidak akan lagi dapat melihat, apa yang akan terjadi atas tanah ini kelak.”
Para penghuni barak itu mendengarkannya dengan sepenuh perhatian. Dan Sutawijaya pun berkata selanjutnya, “Karena itu, kita tidak akan pernah melupakan mereka. Demikianlah seharusnya. Kalau kita kelak berhasil dengan usaha kita, maka kita sudah dialasi dengan pengorbanan-pengorbanan yang tidak ternilai harganya. Kalau kita kelak berhasil membuat padukuhan-padukuhan yang subur di atas tanah ini, kita tidak boleh melupakan tawur yang telah berhamburan, yang akan menjadi pupuk buat kesuburan tanah ini. Dan itu bukan berarti bahwa kita, untuk selanjutnya tidak akan dapat berbuat sesuatu yang mempunyai nilai yang sama dengan pengorbanan yang telah mereka berikan. Bukan berarti bahwa apa yang kita lakukan kemudian sekedar menyelesaikan persoalan yang telah dimulai. Kita masih mempunyai kesempatan yang luas untuk berbuat sesuatu bagi tanah ini. Kita masih harus mengisi wadah yang sekarang kita bina dengan pengorbanan yang mahal. Tetapi kita harus selalu ingat, bahwa pernah terjadi perjuangan yang memungkinkan kita membuat pengorbanan-pengorbanan lain dan mengembangkan usaha kita di atas tanah ini.”
Orang-orang yang mendengarkan kata-kata Sutawijaya itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Rasa-rasanya kata-kata itu meresap sampai ke tulang sungsum. Mereka yang menyaksikan sendiri pengorbanan yang telah diberikan oleh kawan-kawannya yang kini telah terbujur tidak bernafas, dan ada pula yang menjadi cacat buat seumur hidupnya, tidak akan dapat melupakannya.
“Mereka tidak akan dapat menuntut penghargaan apa pun, dan seandainya mereka masih menyadari keadaannya, mereka pun tidak akan menuntut penghargaan atas perjuangannya. Juga bagi keluarganya yang ditinggalkan. Soalnya terletak pada kita sendiri. Dalam diri kita masih tersimpan budi yang akan terungkapkan di dalam segala tindak-tanduk dan tingkah laku. Dan apakah yang dapat kita lakukan buat mereka dan keluarga mereka?” Sekali lagi Sutawijaya berhenti. Sekali ia menarik nafas, lalu, “Mudah-mudahan anak-anak yang sekarang masih terlampau kecil untuk mengingat apa yang baru saja terjadi, dan apalagi yang akan lahir kemudian akan dapat mendengar, bahwa pernah terjadi pengorbanan-pengorbanan yang tidak ternilai harganya. Seperti air dalam segala bentuk dan manfaatnya, namun di suatu tempat yang barangkali tidak pernah dihiraukan lagi, terdapatlah sumbernya. Mungkin di lereng-lereng gunung yang diselimuti oleh hutan-hutan yang lebat, mungkin di tengah-tengah belukar yang tersembunyi.”
Orang-orang yang mendengar kelanjutan kata-kata itu pun masih juga mengangguk-angguk. Mereka menyadari sepenuhnya apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dengan demikian, maka dengan kesungguhan hati, mereka pun segera menyelenggarakan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya.
Tetapi ketakutan dan kecemasan, terutama pada perempuan dan anak-anak, tidak segera dapat dihapuskan dari barak itu. Apalagi mereka yang telah kehilangan salah seorang dari keluarga mereka. Suami, ayah, atau anak laki-laki mereka. Maka hari-hari berikutnya merupakan hari yang sangat suram.
Namun sejak pertempuran yang menentukan itu, harapan-harapan yang selama itu telah hampir pudar, mulai tumbuh kembali di hati setiap orang. Mereka berharap bahwa untuk seterusnya mereka akan dapat bekerja dengan tenang tanpa gangguan lagi.
Dalam pada itu Sutawijaya pun telah memerintahkan tiga orang pengawal untuk pergi ke pusat pemerintahan Mataram, mengambil beberapa buah pedati dan beberapa orang pengawal untuk mengambil orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang tertawan, menyerah dan luka-luka. Mereka akan dibawa untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebih saksama, sehingga memungkinkan Mataram mengambil sikap yang sebaik-baiknya terhadap daerah yang telah terbuka.
Sutawijaya pun telah memerintahkan beberapa orang pengawal lewat ketiga orang pengawalnya yang pergi ke Mataram, untuk menenteramkan daerah-daerah lain yang mengalami keadaan serupa. Daerah-daerah yang sedang dibuka, tetapi terhenti karena gangguan hantu-hantu. Para pengawal itu harus dapat menjelaskan keadaan yang sebenarnya telah terjadi. Mereka harus memberitahukan dan meyakinkan, bahwa pemimpin-pemimpin dari hantu-hantuan itu telah terbunuh. Sehingga dengan demikian maka usaha pembukaan hutan Mentaok akan menjadi lancar kembali.
Setelah semuanya tersedia, pedati-pedati dan kelengkapannya, beberapa orang pengawal yang cukup kuat, Sutawijaya pun minta diri kepada orang-orang yang tinggal di barak itu.
“Ternyata kalian adalah orang-orang yang mampu menjaga diri sendiri. Aku percaya bahwa kalian akan-tetap menjadi pengawal kerja kalian sendiri. Selain itu, beberapa pengawalku telah aku tinggalkan di sini di bawah pimpinan Wanakerti. Mereka, akan memimpin kalian di dalam olah kanuragan. Jangan jemu melatih diri meskipun tampaknya daerah ini telah menjadi tenang. Tetapi siapa tahu, bahwa akan datang lagi gangguan-gangguan yang sengaja ingin merintangi usaha kalian.“
Orang-orang yang tinggal di barak itu mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku akan minta diri, karena aku harus kembali ke Mataram. Dalam waktu yang tidak lama, aku akan mengirimkan alat-alat yang lebih baik bagi kalian di sini dan di samping itu, aku juga akan memberikan senjata yang baik buat kalian.”
Orang-orang itu masih juga mengangguk-anggukkan kepala.
Sejenak Sutawijaya terdiam. Dipandanginya orang-orang yang berkumpul di halaman itu. Laki-laki, perempuan, dan kanak-anak. Dan di ujung dilihatnya Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru berdiri di samping beberapa orang pengawal.
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Bukan baru sekali ini dukun tua itu berbuat sesuatu untuk ketenteraman hati sesama. Di Sangkal Putung ia telah berbuat sesuatu pula. Bahkan hampir menentukan, bahwa kekuatan Macan Kepatihan dapat dikalahkan, meskipun di antara mereka terdapat Sumangkar, yang kini berada pula di situ, tetapi dalam kedudukan yang berlawanan.
Hancurnya Padepokan Tambak Wedi, sehingga Sidanti kehilangan pangkal berpijak dan terpaksa kembali ke Menoreh. Tetapi kedatangannya di kampung halamannya sama sekali tidak menumbuhkan kemanfaatan, justru sebaliknya.
Di Menoreh itu pun dukun tua itu hadir dan berbuat banyak sekali. Tanpa dukun tua itu, penyelesaian atas Tanah Perdikan Menoreh pasti akan mengalami banyak sekali perbedaan dengan apa yang terjadi sekarang.
Kini, di dalam kesulitan yang hampir menggagalkan usahanya membuka tanah garapan baru di Alas Mentaok, Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah hadir pula.
“Suatu perbuatan yang terpuji,“ desis Sutawijaya di dalam hati, “benar-benar tanpa pamrih.”
Tetapi Sutawijaya tidak dapat berangan-angan terlampau lama. Orang-orang yang berkumpul di halaman itu masih berada di tempatnya. Dan mereka masih menunggu, apakah yang akan dikatakannya selanjutnya.
Dan Sutawijaya itu pun berkata, “Aku akan segera meninggalkan tempat ini. Aku akan membawa semua tawanan dan mengajak Ki Truna Podang bersama kawannya dan anak-anaknya bersama kami menghadap Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Semua orang dengan serta-merta berpaling kepada Kiai Gringsing yang mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya wajah Sumangkar. Namun kemudian ia berkata, “Maaf Raden. Sebenarnya kami senang sekali mendapat kesempatan itu. Kami memang ingin melihat dan apalagi menghadap Ki Gede Pemanahan. Tetapi sayang sekali, bahwa kami tidak dapat melakukannya sekarang. Kami masih mempunyai suatu kepentingan pribadi yang tidak dapat kami tunda lagi.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Teringat juga padanya saat-saat Kiai Gringsing menghindari pertemuan dengan Ki Gede Pemanahan di Sangkal Putung. Karena itu, justru timbullah keinginannya untuk mengetahui apakah sebabnya, Kiai Gringsing tidak bersedia menghadap ayahanda Ki Gede Pemanahan.
“Kiai,“ berkata Sutawijaya, “Kiai selalu menghindari pertemuan dengan ayahanda. Apakah ada suatu sebab yang memaksa Kiai berbuat demikian?”
“Tentu tidak, Raden. Aku belum kenal secara pribadi dengan Ki Gede Pemanahan, sehingga aku pun tidak mempunyai persoalan apa pun. Tetapi sudah aku katakan, kami mempunyai persoalan pribadi yang tidak dapat ditunda. Mungkin Raden mengerti juga serba sedikit, hubungan kami dengan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Sutawijaya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa Swandaru adalah putera Ki Demang Sangkal Putung. Namun hal itu justru tidak akan menjadi persoalan. Yang agaknya masih harus dipersoalkan adalah hubungan Agung Sedayu dengan anak perempuan Ki Demang Sangkal Putung.
Namun demikian Sutawijaya masih juga memerlukan beberapa keterangan dari orang tua itu. Sehingga dengan demikian ia berkata, “Baiklah Kiai. Tetapi aku masih akan bertemu dengan Kiai sejenak sebelum aku meninggalkan tempat ini.”
Kemudian kepada penghuni barak itu Sutawijaya berkata, “Aku bersama pengawalku akan minta diri. Wanakerti akan tinggal di sini bersama beberapa orang pengawal. Setiap saat aku akan datang melihat perkembangan tanah yang sedang kalian buka, untuk selalu dapat menyediakan yang kalian perlukan tepat pada waktunya.”
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang, siapkan orang-orang yang terluka. Mereka akan naik di atas pedati. Dan aku minta maaf kepada tawanan-tawanan yang harus kami perlakukan dengan agak tertib, karena kami kekurangan orang yang dapat mengamat-amat kalian, sehingga kami terpaksa mempergunakan tali-tali untuk sementara.”
Para tawanan saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian menundukkan kepala mereka.
“Kita akan segera berangkat,“ berkata Sutawijaya kemudian. Lalu kepada pengawalnya ia berkata, “Siapkan semuanya sebaik-baiknya.”
Tetapi sebelum berangkat Sutawijaya melangkah mendekati Kiai Gringsing sambil berbisik, “Mataram memerlukan bantuan kalian. Dan agaknya kalian sudah mulai di daerah yang sedang dibuka ini. Kami mengucapkan terima kasih. Tetapi kami masih mengharap bantuan yang jauh lebih besar.”
Kiai Gringsing tertawa, “Apakah yang dapat kami lakukan? Kami adalah orang-orang kecil yang tidak banyak dapat berbuat. Namun demikian, biarlah kami berusaha berbuat sebaik-baiknya untuk membantu perkembangan tanah ini.”
“Terima kasih,“ lalu, “salamku buat Untara. Aku tahu ia berada di Jati Anom bersama sebuah pasukan yang kuat. Tolong, berikan penjelasan, agar Untara tidak mengawasi kami seperti ketika ia mengawasi gerakan Tambak Wedi di lereng Merapi, atau sisa-sisa pasukan Tohpati yang berkeliaran di sekitar Sangkal Putung.”
Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar karenanya. Sejenak ditatapnya wajah gurunya, namun ia tidak mengatakan sesuatu.
“Untara adalah seorang yang sudah menemukan kemantapan berpikir,“ berkata Kiai Gringsing. “Meskipun ia masih muda, tetapi jiwanya sudah matang.”
“Tetapi ia seorang Senapati,“ sahut Sutawijaya. “Ia akan menjalankan perintah yang diterimanya dengan baik. Dan Untara adalah seorang senapati yang baik.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun katanya kemudian, “Tetapi Untara pasti mempunyai kebijaksanaan di dalam menjalankan tugasnya. Ia bukan seorang yang hanya mampu melakukan sesuatu tanpa pertimbangan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku berharap demikian. Tetapi mungkin juga Untara mempunyai sikap yang keras terhadap tanah yang baru dibuka ini.”
Kiai Gringsing memandang Sutawijaya sejenak, lalu bertanya, “Kenapa Raden mempunyai prasangka yang demikian? Seakan-akan antara Mataram yang baru dibuka ini, dengan Pajang, ada mendung yang mengalir mengantarainya. Bukankah Raden Putera Sultan Pajang terkasih, yang menerima kepercayaan membawa tombak pusaka istana Pajang, Kanjeng Kiai Pleret?”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam.
“Aku memang pernah mendengar, bahwa seakan-akan Sultan Pajang akan mengingkari janjinya atas tanah Mentaok.”
“Ya, Kiai. Ayahanda Sultan tidak lagi teringat akan janjinya itu setelah Ayahanda Sultan menyerahkan Pati dan terlebih-lebih lagi setelah Ayahanda Sultan menerima hadiah dari Kanjeng Ratu Kalinyamat, yang pada saat itu sedang bertapa di bukit tanpa mengenakan pakaian sama sekali, selain rambutnya sendiri, sepasang gadis yang cantik. Dan agaknya itulah kelemahan Ayahanda Sultan Pajang. Meskipun usianya semakin lanjut, namun gadis-gadis muda yang cantik akan dapat ikut serta menentukan sikapnya di dalam pemerintahan yang mula-mula tampak penuh dengan kewibawaan.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada orang yang dapat mencegahnya. Terlebih-lebih orang-orang tua seperti Ki Gede Pemanahan, seharusnya sudah mengetahui kebiasaan itu. Sejak muda, Mas Karebet adalah seorang laki-laki yang senang bergaul dengan gadis-gadis manis.”
“Tetapi hal itu jangan mempengaruhi sikap dan kewibawaannya sebagai seorang raja.”
“Tetapi khusus mengenai Mataram, Raden, agaknya Ayahanda Sultan Pajang merasa tidak perlu menyerahkannya sekarang, karena akhirnya akan jatuh juga ke tangan puteranya, seandainya tidak lewat Ki Gede Pemanahan.”
”Itu sekedar dugaan Kiai, sedang Pati sudah berpacu cepat sekali. Pati sudah mempunyai kekuatan sebagai sebuah kadipaten pesisir yang cukup besar.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Seleret dipandanginya wajah Sumangkar yang untuk beberapa lama tinggal di Kepatihan Jipang, sehingga ia pun pasti memahami dan bahkan pasti mempunyai sikap terhadap perkembangan pemerintahan di Pajang. Tetapi dalam keadannya sekarang, lebih baik kalau ia diam.
Juga di dalam pembicaraan antara Kiai Gringsing dan Raden Sutawijaya Ki Sumangkar tidak menyahut sama sekali. Bahkan ia selalu menundukkan wajahnya, atau melemparkan tatapan matanya jauh-jauh. Ia selalu mencoba menghindari pandangan mata Kiai Gringsing atau Raden Sutawijaya.
Namun, tiba-tiba saja di luar keinginannya, justru Raden Sutawijaya-lah yang bertanya kepada Ki Sumangkar, “Kiai, bagaimana pendapatmu? Ki Sumangkar adalah orang yang mengikuti perkembangan pemerintahan Pajang sejak lama, meskipun arah pandangannya dari Jipang. Tetapi bagaimana pendapat Paman?”
Ki Sumangkar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia menjawab, “Sebaiknya aku tidak memikirkan lagi masalah-masalah serupa itu Raden. Aku akan membawa Angger Swandaru kembali kepada ayah dan ibunya, dan membawa Angger Agung Sedayu kepada ……, eh, ke Sangkal Putung.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih juga bertanya, “Apakah Kiai sama sekali tidak mempunyai sikap apa pun terhadap persoalan ini.”
“Aku memang tidak pernah memikirkannya, Raden, sehingga karena itu, sudah barang tentu aku sampai sekarang tidak mempunyai sikap.”
Sutawijaya tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah. Aku percaya bahwa kalian mempunyai sudut pandangan yang benar terhadap Pajang saat ini. Pajang yang sudah lain dari Pajang yang dahulu.”
“Ya. Tentu Pajang yang lain, karena Pajang sekarang tidak mempunyai seorang Panglima pasukan yang bernama Ki Gede Pemanahan. Juga Putera Angkat Sultan Pajang yang tidak berada di istana lagi.”
“Sebagai seorang anak aku tetap berbakti kepada orang tua. Orang tuaku sendiri, dan orang tua angkatku. Karena itu, sampaikan kepada orang-orang Pajang, bahwa aku tetap berbakti kepada Ayahanda Sultan.
“Tetapi sebagai seorang prajurit yang bercita-cita untuk membuka Alas Mentaok, Raden sudah menempuh jalan sendiri.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk sekali lagi ia berkata, “Baiklah. Tetapi kalian tidak akan salah menilai apa yang sedang kami lakukan di sini. Demikian juga hendaknya Untara dan pasukannya yang mendapat beban di daerah Selatan ini.”
“Baiklah, Raden. Aku akan mencoba. Aku pun percaya bahwa sebenarnya tidak ada persoalan antara dua daerah ini. Memang hati kita sebagai manusia kadang-kadang dicengkam oleh berbagai macam perasaan. Namun karena kita mempunyai nalar pertimbangan, maka kita harus dapat menemukan keseimbangan dari perasaan kita itu.”
“Terima kasih, Kiai. Aku akan selalu mencoba mencari keseimbangan itu. Perasaan yang barangkali terlalu meluap-luap, atau bahkan sebaliknya telah membeku sama sekali.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau dan Ayahanda Ki Gede Pemanahan pasti tidak kurang bijaksana menanggapi masalah ini.”
Sutawijaya pun tersenyum pula. Katanya, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kami masih dapat melihat perbedaan antara salah dan benar, antara baik dan buruk. Sudah tentu bukan saja penilaian atas kepentingan pribadi kami semata-mata, tetapi lebih dari itu kepentingan bagi kita semua, bagi rakyat Pajang pada umumnya.”
“Ya, ya. Demikianlah. Dan aku percaya bahwa kau dan ayahanda akan menemukan keseimbangan itu.”
Sutawijaya tidak mempersoalkannya lagi. Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat membentuk sikap di dalam hati Kiai Gringsing dan Sumangkar. Mereka pasti mempunyai sikap sendiri yang telah matang di dalam diri mereka.
Karena itulah maka Sutawijaya pun segera minta diri. Semuanya telah siap di halaman barak itu. Orang-orang yang terluka telah berada di dalam pedati. Tawanan-tawanan yang terpaksa masih harus diikat tangannya, karena tidak cukup banyak orang yang mengawasi mereka, seandainya mereka tidak terikat.
Sejenak kemudian maka Sutawijaya bersama rombongannya itu pun meninggalkan barak itu. Beberapa pengawal berkuda berada di depan, kemudian yang lain di belakang, dan di sisi sebelah-menyebelah dari rombongan itu.
Kepergian Sutawijaya menumbuhkan harapan baru bagi barak terpencil itu. Ia pasti tidak akan melupakan daerah yang baru dibuka itu untuk seterusnya, sehingga peralatan mereka pasti akan menjadi semakin cukup. Selain itu, mereka pun telah mendapat beberapa macam senjata yang baik, yang dapat mereka pergunakan untuk melindungi diri mereka setiap saat. Memang pasti masih ada sisa-sisa anak buah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak, yang meskipun sudah kehilangan induknya, tetapi mereka masih juga bergerak tanpa tujuan. Sekedar melepaskan dendam atau tujuan-tujuan kejahatan semata-mata.
Namun Kiai Gringsing masih selalu mengatakan kepada para pengawal, “Telapak Jalak mungkin bukan orang terakhir. Namun setidak-tidaknya pekerjaanmu sudah menjadi semakin ringan, untuk beberapa lama. Meskipun demikian, kesempatan ini adalah kesempatan penempaan lahir dan batin bagi orang-orang di barak ini. Mereka baru saja menemukan dirinya kembali. Kemenangan itu telah membuat mereka sadar, bahwa mereka pun laki-laki. Pupuklah dan binalah dari hari ke hari. Mereka akan menjadi pembantu-pembantu yang baik. Anak-anak mudanya tidak akan lagi mempercayakan keselamatan dirinya dan keluarganya kepada orang lain, selain kepada diri mereka sendiri.”
Para pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Di mata mereka orang tua itu kini bukan lagi seorang gembala yang sekedar ingin mendapat tanah garapan di daerah baru ini dan bernama Truna Pedang.
“Tetapi bukankah Kiai akan tinggal bersama kami di sini untuk beberapa lama?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Sayang. Kami masih mempunyai tugas tertentu. Kami akan pergi ke Sangkal Putung untuk menyelesaikan tugas ini. Meskipun tugas pribadi,” jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum.
“Tugas yang tidak dapat lagi ditunda-tunda,“ sambung Swandaru, lalu “terutama bagi kakangku ini.”
“Ah kau,“ desis Agung Sedayu. “Kau sudah terlampau rindu pada bunyi angkup di kampung halaman. Kenapa hanya aku?”
“Ya, sekedar angkup nangka dan barangkali bunyi penggeret menjelang senja. Tetapi kau lain.”
“Ah,” Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Kalau ia masih juga menjawab, tentu Swandaru akan semakin berkepanjangan. Karena itu, maka Agung Sedayu lebih senang berdiam diri.
“Jadi, Kiai berdua dan anak-anak muda ini benar-benar akan segera meninggalkan kami di sini?” bertanya salah seorang pengawal.
“Terpaksa sekali. Tetapi kami tidak akan melupakan tanah yang baru dibuka dan bernama Mataram ini. Pada, suatu saat kami akan datang kembali untuk menengok kalian. Mungkin sebulan, mungkin setengah tahun atau kapan pun. Mungkin tanah ini sudah menjadi sebuah kota yang ramai dan berpenduduk padat, dikelilingi oleh dinding batu yang kuat dan beregol ukir-ukiran yang disungging dengan warna-warna cemerlang.”
“Mudah-mudahan, Kiai. Dan kami yang ada di sini sekarang akan disebut sebagai cikal bakal dari kota yang akan lahir ini.”
Kiai Gringsing tersenyum. Lalu, “Besok kami terpaksa meninggalkan daerah ini. Berbuatlah sebaik-baiknya bagi para penghuni yang sedang berpengharapan. Kini mereka akan bekerja lebih keras. Tetapi ambillah waktu sedikit untuk membuat mereka menjadi pengawal kampung halaman sendiri.”
“Baiklah, Kiai. Kami akan mencoba. Mudah-mudahan kami tidak akan dilanda oleh badai sepeninggal Kiai. Mudah-mudahan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak menjadi orang-orang terakhir, meskipun masih juga ada sisanya tetapi hendaknya sekedar anak buahnya. Bukan orang yang justru lebih kuat lagi dari Kiai Telapak Jalak.
“Nama yang pernah kita dengar adalah kedua nama itu. Menurut perhitunganku, tidak akan ada lagi nama baru yang tebih besar dari Kiai Telapak Jalak untuk sementara. Seandainya kelak timbul juga, maka ia adalah lawan bagi Ki Gede Pemanahan yang pasti tidak akan tinggal diam.”
Para pengawal itu meng angguKJfcan kepalanya. Meskipun kadang-kadang masih juga membayang kecemasan atas nasib barak ini, tetapi rasa2ny keadaan memang akan men-jadi semakin cerah.”
Dalam pada itu, Sutawijaya yang membawa beberapa orang pengawal yang terluka dan tawanan-tawanan, menyelasuri jalan-jalan di antara pepohonan hutan menuju ke pusat pemerintahan tanah Mataram yang sedang dikembangkan itu. Begitu sulitnya perjalanan, sehingga iring-iringan itu bagaikan siput yang merayap lambat sekali. Sekali-sekali roda pedati yang ditarik oleh sepasang lembu telah terperosok ke dalam tanah yang gembur, sehingga beberapa orang harus turun dari kudanya dan membantu mendorong dan mengangkat roda yang terperosok itu.
Namun demikian, mereka pun semakin lama semakin dekat pula ke tujuannya.
Dengan wajah yang basah oleh keringat, pakaian yang kotor dan kusut, para pengawal itu memasuki kota yang sedang berkembang itu. Beberapa orang yang berdiri di pintu gerbang menjadi terheran-heran melihat kedatangan. iring-iringan itu. Beberapa pengawal berkuda yang pakaiannya bernoda lumpur, mengiringi beberapa pedati berisi orang-orang yang terluka dan bahkan ada yang terikat.
Tetapi cerita tentang tawanan, orang-orang terluka, dan bahkan cerita tentang hantu-hantuan yang selama ini mencemaskan hati itu segera tersiar dari telinga ke telinga. Bahkan beberapa orang segera mengetahui, mereka yang tertawan itu adalah hantu-hantu yang selama ini membayangi tanah yang baru dibuka itu.
“O, jadi merekakah hantu-hantu itu?” bertanya salah seorang yang menjadi terheran-heran. “Tetapi kenapa mereka dapat tertangkap dan bahkan terikat.”
“Sama sekali bukan hantu. Tetapi mereka menakut-nakuti seakan-akan mereka adalah hantu-hantu yang berkuasa. Yang dapat melenyapkan diri, dapat berubah bentuk dan berkuda semberani.”
“Jadi sekedar hantu-hantuan?”
“Ya.”
“Setan alas. Dan hampir setiap orang menjadi ketakutan, terutama mereka yang sedang membuka tanah garapan baru. Beberapa orang yang tidak tahan lagi terhadap gangguan hantu-hantu itu telah mengurungkan niatnya dan meninggalkan tanah yang sedang dibuka itu.”
Kawannya hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya, karena sebenarnya ia sendiri termasuk orang yang menyingkir dan lebih senang tinggal di tempat yang menjadi ramai meskipun hanya sekedar menjadi pekerja pada seorang pemilik kebun kelapa yang luas.
Dalam pada itu, setelah menyerahkan para tawanan kepada para pengawal, maka Sutawijaja pun langsung menghadap kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan untuk memberikan keterangan tentang orang-orang itu.
Dengan wajah yang tegang Ki Gede Pemanahan mendengarkan laporan puteranya. Sekali-sekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya, namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
“Adalah kebetulan sekali orang tua itu ada di sana,” berkata Ki Gede Pemanahan. “Kalau tidak, maka semuanya pasti akan gagal. Dan ada kemungkinan pula, kau tidak akan kembali lagi kepadaku.”
“Ya, Ayah, memang suatu kebetulan. Tetapi aku memang pernah minta kepada mereka untuk membantuku ketika mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ya. Tetapi hal ini menjadi suatu pelajaran bagi kita. Aku merasa lengah menghadapi keadaan ini. Aku kira persoalannya tidak akan menjadi begitu jauh dan dalam. Ternyata di balik hutan ini bersembunyi orang-orang sekuat Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Seharusnya aku sendiri terjun ke dalam pertempuran itu. Kini aku merasa bahwa seakan-akan aku acuh tidak acuh terhadap tanah yang justru sedang dibuka ini. Tanah yang telah menumbuhkan ketegangan antara kita dengan Sultan Pajang.”
Sutawijaya tidak menyahut. Ia mengerti, kenapa ayahnya menyesal bahwa ia seakan-akan tidak berbuat apa-apa sama sekali untuk menghadapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bahkan orang lain yang hampir tidak berkepentingan itulah yang telah menyelesaikan.
“Sutawijaya,“ berkata Ki Gede Pemanahan, ”aku harus menemuinya. Aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya.”
“Aku sudah mengundang mereka untuk datang kemari, Ayah,“ sahut Sutawijaya, “tetapi Kiai Gringsing agaknya berkeberatan. Ia harus segera pergi ke Sangkal Putung. Karena Ki Demang di Sangkal Putung sudah menunggu anaknya dengan cemas. Swandaru sudah terlampau lama pergi meninggalkannya ayah dan ibunya.”
”Apakah mereka sudah berangkat?”
”Aku tidak tahu, Ayah. Tetapi mereka masih akan tinggal beberapa lama di barak itu.”
Ki Gede Pemanahan merenung sejenak. Orang tua itu menimbulkan berbagai persoalan di dalam hatinya. Di Sangkal Putung Kiai Gringsing telah menghindari pembicaraan dengan dirinya sehingga ia tidak dapat mengucapkan terima kasih kepadanya, meskipun Kiai Gringsing telah ikut serta menyelesaikan persoalan Macan Kepatihan. Kemudian masih banyak lagi yang dilakukannya yang langsung bersinggungan dengan tugasnya, sebagai Panglima prajurit Pajang pada waktu itu.
Tanpa Kiai Gringsing, agaknya Tambak Wedi masih belum juga dapat selesai secepat itu, meskipun Ki Tambak Wedi dan Sidanti saat itu berhasil meloloskan diri. Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan kedua muridnya itu pulalah yang menyusul Ki Tambak Wedi dan Sidanti ke Tanah Perdikan Menoreh, dan membantu menyelesaikan persoalannya pula.
“Sutawijaya,“ berkata Ki Gede Pemanahan pula, “aku akan pergi ke barak itu. Mudah-mudahan orang tua itu masih berada di sana. Aku ingin menyampaikan terima kasih kepadanya dan barangkali aku akan dapat mengenalinya kembali, seandainya aku pernah bertemu sebelumnya dengan orang itu.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dengan nada yang tinggi ia bertanya, “Jadi Ayahanda akan pergi menemuinya?”
“Ya. Aku akan menemuinya.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa persoalan yang telah terjadi itu merupakan persoalan yang besar. Persoalan yang hampir saja menggagalkan seluruh kerja yang sudah dimulai ini, karena ayahnya itu ternyata sangat menyesal. Bahwa selama ini ia menganggap persoalan hantu-hantuan itu akan dapat diselesaikan oleh puteranya dan pengawalnya yang terpercaya. Namun ternyata, tanpa Kiai Gringsing anaknya pasti sudah binasa. Sehingga tanpa Sutawijaya, baginya semua kerja yang sudah dimulai itu tidak akan ada artinya. Tanpa Sutawijaya maka segala cita-cita dan usaha sama sekali tidak akan berguna lagi bagi dirinya sendiri. Karena Sutawijaya merupakan lambang dari harapan di masa mendatang di atas Tanah yang sedang dibukanya ini.
“Jadi, kapan Ayah akan berangkat.”
“Secepatnya. Besok bila matahari terbit, aku sudah berada di atas punggung kuda.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin menyakini arti dari perbuatan Kiai Gringsing, Sumangkar, dan kedua anak-anak muda itu. Sengaja atau tidak sengaja, mereka telah membuka kemungkinan bagi tanah ini untuk berkembang selanjutnya.
Demikianlah, di pagi hari berikutnya, Ki Gede Pemanahan sendirilah yang pergi menemui Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Ki Sumangkar yang dahulu pernah berdiri berseberangan ketika Pajang harus menghadapi Jipang sebagai lawan, meskipun keduanya diperintah oleh adipati yang masih mempunyai hubungan darah yang dekat.
Dalam perjalanan itu, Ki Gede Pemanahan disertai puteranya Raden Sutawijaya dan pengawal-pengawal pilihan. Bagaimana pun juga mereka masih harus berhati-hati menghadapi Alas Mentaok yang padat pepat. Yang ternyata menyimpan rahasia yang tidak mudah diungkapkan. Seperti rahasia yang didekap sampai saat matinya oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Hanya sebagian sajalah dari rahasia itu yang sudah terungkapkan. Tetapi masih ada bagian-bagian yang tersembunyi dan yang bahkan mungkin tidak kalah berbahaya dari yang sudah pernah terjadi.
Maka di bawah tusukan cahaya matahari pagi yang menembus dedaunan, sebuah iring-iringan telah meninggalkan pusat pemerintahan tanah Mataram menuju ke daerah yang baru dibuka di tepi Alas Mentaok.
Meskipun menurut perhitungan Sutawijaya, tidak akan ada lagi bahaya yang mengancam di sepanjang perjalanan, namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya telah tersembunyi di balik pepohonan di sepanjang jalan. Tetapi seandainya ada juga sepasukan orang-orang jahat yang menghadang perjalanan itu, sebenarnya mereka tidak perlu cemas. Bahkan seandainya Kiai Telapak Jalak bangkit dari kuburnya atau seseorang yang setingkat dalam olah kanuragan akan berdiri di tengah jalan. Karena di antara mereka terdapat Ki Gede Pemanahan sendiri.
Demikianlah maka iring-iringan itu pun kemudian menerobos hutan semakin dalam. Hutan-hutan yang semula rindang, dan jarang, namun kadang-kadang mereka harus menembus hutan yang lebih pepat.
Akhirnya mereka pun menjadi semakin dekat dengan daerah yang sedang dibuka, dan yang hampir saja kehilangan segala kesempatannya itu.
“Daerah inilah yang menjadi daerah pengaruh Kiai Damar,“ berkata Sutawijaya kepada ayahnya.
“Dan Kiai Telapak Jalak?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Di ujung yang lain dari daerah hutan yang sedang dibuka ini. Ternyata mereka telah digerakkan oleh satu tangan. Mungkin Kiai Telapak Jalak sendiri, tetapi mungkin masih ada orang lain. Rahasia itulah yang masih harus kita singkapkan. Namun agaknya kekuatan mereka telah hancur bersama kematian Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Dan mereka memerlukan waktu yang panjang untuk memulainya lagi. Mereka tidak akan dapat mempergunakan cara yang lama, menakut-nakuti dengan kedok hantu-hantuan yang naik kuda semberani.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dan selama ini kita pun ikut juga percaya kepada hantu-hantu itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Aku selalu berusaha menemukan mereka, Ayah. Hampir setiap kali aku meronda. Tetapi aku tidak pernah menemukannya.”
“Dan para pemimpin pengawal mulai menghubungi Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar.”
“Kami mencoba menenteramkan hati mereka yang ketakutan. Tetapi hasilnya justru sebaliknya. Ternyata keduanya adalah pelaku-pelaku utama dari pasukan hantu-hantuan itu.
Ki Gede Pemanahan tidak menjawab lagi. Ketika ia menatap jalan sempit di hadapannya, tampaklah di ujung jalan setapak itu, cahaya yang menerawang di antara pepohonan hutan.
“Daerah itulah yang sudah ditinggalkan oleh penggarapnya. Mereka menjadi ketakutan dan tidak lagi berani meneruskan kerja mereka, membuka tanah garapan baru.”
“Dan kita tidak berhasil mencegah hal itu?”
“Tidak, Ayah. Mereka telah menjadi ketakutan. Kami sudah mencoba menempatkan beberapa orang pengawal di antara mereka. Tetapi kita telah gagal. Ternyata di antara para pengawal itu terdapat juga kaki tangan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang menumbuhkan keragu-raguan di antara para pengawal sendiri.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini terasa betapa jauh akibat yang timbul dari persoalan yang semula dianggapnya sebagai persoalan yang kecil, yang perlahan-lahan akan dapat diatasi.
Sejenak kemudian mereka pun melintasi daerah yang sudah mulai dibuka. Pepohonan yang besar sudah roboh membujur lintang. Bahkan di sana-sini terdapat beberapa buah gubug yang sudah mulai rusak dan tidak terpelihara.
“Mereka sudah mulai membuka padukuhan-padukuhan kecil. Tetapi mereka segera menarik diri ketika mereka merasa di ganggu oleh hantu-hantu,” berkata Sutawijaya pula.
“Ternyata keterangan yang selama ini kau berikan kepadaku tidak lengkap Sutawijaya. Kau tidak menggambarkan apa yang terjadi sebenarnya.”
“Bukan maksudku, Ayah. Aku menganggap bahwa persoalannya tidak begitu penting untuk aku sampaikan kepada Ayah. Aku kira, aku akan dapat mengatasinya sendiri sampai pada keadaan terakhir. Tetapi ternyata kita berhadapan dengan orang-orang yang mumpuni. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga merupakan seorang perencana yang baik untuk mencoba menggagalkan usaha yang besar ini.”
Ki Gede Pemanahan tidak segera menjawab. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Terbayang betapa ketakutan dan kengerian yang menyelubungi tanah-tanah garapan yang sedang dibuka itu. Dan terbayang pula, usaha yang tidak kenal lelah dari Kiai Gringsing, murid-muridnya bersama Sumangkar untuk membuka kedok hantu-hantuan itu.
Sejenak kemudian mereka pun telah berada di dekat barak yang sudah mulai ramai lagi oleh kesibukan penghuni-penghuninya yang sedang mengemasi alat-alat mereka yang selama ini hampir tidak pernah mereka sentuh. Mereka sudah akan mulai lagi dengan kerja mereka, membuka hutan yang lebat itu untuk tanah garapan.
Ternyata kedatangan pasukan kecil itu benar-benar telah mengejutkan para pengawal. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa Sutawijaya akan begitu cepatnya kembali, apalagi bersama Ki Gede Pemanahan sendiri.
Karena itu, maka setiap orang di barak itu menjadi sibuk. Ada yang mempersiapkan tempat, ada yang berlari-lari ke dapur dan ada yang langsung menyongsong kedatangan pemimpin tertinggi dari Tanah Mataram yang sedang di buka itu.
Kedatangan Ki Gede Pemanahan disertai putera dan beberapa orang pengawal benar-benar tidak terduga-duga, sehingga para pengawal pun menjadi bingung menerimanya.
Sejenak kemudian Ki Gede Pemanahan pun telah duduk di serambi barak yang masih belum teratur, karena anak-anak dan perempuan masih berada di barak itu pula. Mereka masih belum berani kembali ke barak yang diperuntukkan bagi mereka, meskipun agaknya keadaan telah menjadi semakin baik.
Setelah menanyakan keadaan barak dan tanah yang akan mereka garap kembali, maka mulailah Ki Gede Pemanahan mencari-cari. Tetapi tidak ada seorang pun yang pernah dikenalnya atau pernah dilihatnya sebelumnya. Bahkan di antara mereka Ki Gede Pemanahan tidak melihat pula Sumangkar.
Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan pun segera bertanya kepada Wanakerti, “Apakah orang yang menamakan dirinya Truna Podang masih ada di sini?”
Wanakerti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Ki Truna Podang telah meninggalkan tempat ini bersama seorang saudaranya dan kedua anak-anaknya.”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar tidak mau menemuinya. Mungkin ia merasa belum datang saatnya, atau barangkali ia benar-benar tidak mempunyai waktu lagi untuk berada lebih lama di pinggir hutan itu.
“Mereka pergi ke Sangkal Putung,“ desis Sutawijaya. “Kalau kita menyusul mereka berkuda, kita pasti akan menemukan mereka di perjalanan.”
Ki Gede Pemanahan menggelengkan kepalanya.
“Jadi maksud Ayah?”
Ki Gede Pemanahan merenung sejenak. Kemudian katanya, “Kita akan bermalam di sini. Besok kita kembali.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun rencana itu telah membuat Wanakerti menjadi bingung tetapi juga merasa tenteram. Sepeninggal Kiai Gringsing malam itu, mereka telah ditunggui oleh Ki Gede Pemanahan sendiri, sehingga seandainya masih juga ada bahaya yang mengancam barak itu, akan segera dapat teratasi. Tetapi di samping itu ia menjadi bingung juga, di mana nanti malam Ki Gede Pemanahan akan dipersilahkan tidur. Barak itu merupakan sebuah ruangan yang memanjang hampir tanpa batas. Di dalam barak itu, bahkan sampai di serambinya, telah penuh berderet-deret tikar dan alas tidur bagi penghuninya.
Agaknya Ki Gede melihat kegelisahan Wanakerti. Karena itu maka katanya, “Jangan bingung di mana aku akan tidur nanti malam. Aku adalah seorang prajurit. Setidaknya bekas seorang prajurit. Di masa kecil pun aku hidup di sebuah padesan yang bernama Sela. Aku sudah biasa tidur di sembarang tempat. Aku dapat tidur sambil duduk, bahkan sambil bersandar dan berdiri.”
Wanakerti tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Dalam pada itu, selagi Ki Gede Pemanahan berada, di daerah yang baru dibuka, yang baru saja dilanda oleh badai yang hampir menggagalkan segala usaha itu, Kiai Gringsing dan kedua muridnya bersama Ki Sumangkar sedang berjalan menuju ke Sangkal Putung.
Mereka berangkat hampir bersamaan waktunya dengan keberangkatan Ki Gede Pemanahan dari pusat pemerintahan tanah Mataram. Tetapi jarak yang ditempuh oleh Kiai Gringsing lebih panjang dari jarak yang dilalui oleh Ki Gede Pemanahan. Apalagi Kiai Gringsing bersama murid-muridnya dan Sumangkar hanya sekedar berjalan kaki, sedang Ki Gede Pemanahan dan pengiringnya naik di atas punggung kuda.
Perjalanan yang sedang dilakukan itu merupakan perjalanan yang mendebarkan hati bagi Swandaru dan Agung Sedayu. Swandaru tiba-tiba saja merasa rindu kepada ayah dan ibunya, kepada adiknya dan kawan-kawannya bermain. Sedang Agung Sedayu mulai dibayangi oleh wajah Sekar Mirah. Wajah yang kadang-kadang lunak dan lembut, tetapi kadang-kadang menyala seperti api yang berkobar-kobar. Tatapan matanya yang kadang-kadang tampak redup itu dapat dengan tiba-tiba pula memancarkan sikapnya yang angkuh dan tinggi hati.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana pun juga ia sudah tertambat kepada gadis itu.
“Tidak ada manusia yang sempurna,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya “tentu ada kelebihan dan kekurangan. Demikian juga pada Sekar Mirah. Aku melihat kelebihan yang ada pada dirinya sebagai seorang gadis yang lincah dan gembira, tetapi ada juga beberapa kekurangan. Namun mudah-mudahan aku kelak akan dapat menuntunnya. Membina kelebihan-kelebihan yang ada padanya, dan menyingkirkan kekurangan-kekurangannya, meskipun tidak sempurna.”
Namun tiba-tiba di luar kehendaknya sendiri, terbayang pula wajah seorang gadis lain yang mereka tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh. Gadis yang mempunyai sifat yang berbeda dengan Sekar Mirah. Meskipun keduanya sama-sama anak perempuan tunggal, tetapi puteri Ki Argapati itu sama sekali tidak manja, tidak tinggi hati dan hidup dalam suasana prihatin karena ibunya meninggal sejak lama, sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan bermanja-manja.
“Kalau mereka kelak kawin,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “Swandarulah agaknya yang akan menjadi manja.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Dipandanginya jari-jari kakinya yang melangkah, di antara rerumputan yang kering. Namun kemudian ia berkata pula di dalam hatinya, “Mudah-mudahan mereka kelak berbahagia. Dan mudah-mudahan aku pun berbahagia juga.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya ia telah berada di paling belakang dari iring-iringan kecil yang menyusup di hutan yang semakin lebat. Meskipun tidak selebat dan seluas Alas Mentaok, tetapi Tambak Baya juga termasuk hutan yang jarang-jarang dilalui orang. Bahkan kadang-kadang beberapa orang perampok telah menunggu di pinggir jalan setapak di tengah-tengah hutan. Apabila ada beberapa orang pedagang yang lewat, maka kadang-kadang mereka berani mengganggu dan merampas barang-barang yang dibawanya. Tetapi pada umumnya pedagang-pedagang yang berani lewat Alas Tambak Baya adalah pedagang-pedagang pang percaya kepada kemampuan diri atau membawa beberapa orang yang dapat melindungi mereka dari para penjahat itu.
Tetapi iring-iringan itu sama sekali tidak perlu menghiraukan apakah mereka akan bertemu dengan penjahat atau tidak. Mereka sama sekali tidak membawa barang-barang yang berharga selain senjata masing-masing. Dan agaknya tidak ada sekelompok penjahat di Alas Mentaok pun yang dapat mengganggu iring-iringan yang terdiri dari empat orang itu. Tetapi mereka adalah Kiai Gringsing dan dua muridnya serta Ki Sumangkar.
Ketika mereka sampai di tengah-tengah Alas Mentaok, mereka pun tertegun sejenak, ketika mereka mendengar suara gemeremang di hadapan mereka. Kiai Gringsing yang berjalan di paling depan berpaling. Sambil menunjuk ia berkata, “Aku kira serombongan pedagang yang lewat.”
“Ya,“ jawab Sumangkar. ”Kalau mereka penjahat, mereka tidak akan berbicara di antara mereka selagi ada orang lewat.”
“Tetapi kita harus ber-hati-hati,“ desis Kiai Gringsing yang mendengar desir dedaunan di sekitarnya. Namun ia berdiri saja di tempatnya, seperti juga Sumangkar dan kedua muridnya, seolah-olah mereka sama sekali tidak mengetahuinya.
Sejenak kemudian beberapa orang bersenjata bermunculan di sekitarnya. Lima orang.
“He, siapakah kalian?, bertanya salah seorang.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kini ia mengerti, bahwa orang-orang yang bergeremang itu sengaja menarik perhatian mereka, agar kedatangan kawan-kawannya yang mengepung itu tidak diketahui.
“Siapa?” bentak salah seorang dari mereka.
Kiai Gringsing masih belum menjawab. Diamatinya saja mereka seorang demi seorang.
Dalam pada itu suara orang-orang yang berseragam itu pun menjadi semakin dekat. Ketika terdengar seorang dari mereka bersiul maka salah seorang dari kelima orang bersenjata itu pun menjawab dengan sebuah siulan pula.
Sejenak kemudian muncullah beberapa orang menuntun beberapa ekor kuda kerdil yang dimuati dengan berbagai macam barang. Mereka benar pedagang-pedagang yang menyeberang hutan Mentaok bersama beberapa orang pengawal.
Beberapa orang di antara mereka ternyata bersenjata pula, dan ikut serta mengepung Kiai Gringsing bersama murid-muridnya dan Ki Sumangkar.
“Kalian belum menjawab. Siapakah kalian?”
“Namaku Truna Podang,“ jawab Kiai Gringsing. Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Lalu salah seorang bertanya pula, ”Apa maksudmu berada di tengah-tengah hutan ini?”
“Kami akan pergi ke Sangkal Putung.”
“Jadi kalian bukan penjahat yang akan menyamun kami?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak.”
”Dan kalian tidak takut berjalan hanya berempat di hutan Tambak Baya ini?” bertanya yang lain.
“Kenapa takut?”
“Di hutan ini kadang-kadang ada perampok dan penyamun.”
“Kami tidak membawa apa pun juga. Seandainya kami bertemu dengan perampok atau penyamun, maka apa yang dimintanya akan kami berikan.”
“Kalau nyawamu?”
“Apa boleh buat.”
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian berbicara di antara mereka sendiri.
“Kita berjalan terus,“ berkata para pengawal itu.
Namun demikian seorang pedagang yang berambut putih tetapi masih cukup tegap dan kuat berkata, “Apakah kau tidak menjumpai penyamun di perjalananmu?”
“Tidak. Aku tidak menjumpai seorang pun.”
“Darimanakah kalian sebenarnya?”
“Kami datang dari Alas Mentaok. Dari daerah yang baru dibuka itu. Kami akan kembali ke Sangkal Putung untuk mengambil alat-alat lebih banyak lagi. Agaknya tanah yang sedang dibuka itu akan menjadi daerah yang ramai.”
Para pedagang dan pengawal itu tidak bertanya lagi. Mereka pun segera meneruskan perjalanannya. Agaknya mereka pun akan pergi ke Mataram atau daerah-daerah yang telah agak ramai di dekat Pasisir Kidul, di pinggir Kali Praga.
Sepeninggal mereka maka Kiai Grhigsing pun berkata, “Perdagangan ke daerah yang baru dibuka itu dan sekitarnya pasti menjadi semakin ramai. Jalan ini ternyata menjadi semakin banyak dilalui, menilik rerumputan yang sudah menjadi gundul di jalan setapak ini.”
Ki Sumangkar pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, ”Ya. Perdagangan di daerah Selatan akan mengalir ke Barat, tidak lagi ke Timur. Namun dengan demikian ketegangan antara daerah-daerah yang berkepentingan pun kian menjadi-jadi.”
“Mudah-mudahan tidak menumbuhkan persoalan yang sama tidak dikehendaki.”
Sumangkar masih ingin menjawab. Tetapi tiba-tiba ia menelan ludahnya seakan-akan ia telah menelan kata-kata yang hampir terloncat dari bibirnya. Di dalam hati ia bergumam, “Aku lebih baik diam. Aku kira aku tidak perlu memberikan tanggapan atas kedua daerah yang sedang berkembang itu. Kalau lidahku salah ucap, maka akan dapat menumbuhkan banyak persoalan pada diriku, justru karena aku berasal dari Jipang.”
Mereka pun kemudian meneruskan perjalanan mereka pula di bawah sinar matahari yang semakin condong ke Barat, menyusup di antara dedaunan, membuat garis-garis yang kemerah-merahan.
Ternyata perjalanan di daerah yang masih berhutan lebat itu telah membuat langkah mereka menjadi agak lambat. Mereka harus menghindari kayu-kayu yang roboh dan merunduk di bawah dahan-dahan yang digayuti oleh sulur-sulur yang rendah. Namun karena jalan yang agaknya menjadi sering dilalui, maka mereka tidak banyak menjumpai kesulitan yang berarti.
Meski pun demikian mereka tidak dapat mencapai Sangkal Putung di hari itu juga. Ketika matahari terbenam, mereka masih harus berjalan terus. Mereka mencoba menghindari padukuhan-padukuhan yang ramai di daerah Prambanan, supaya tidak menumbuhkan kecurigaan karena mereka masih kurang dikenal di Kademangan itu. Mereka lebih senang berjalan di bulak-bulak panjang atau apabila terpaksa, melintasi padukuhan-padukuhan kecil saja. Namun sekali-sekali mereka tidak dapat menghindari sebuah padukuhan yang cukup besar di hadapan perjalanan mereka. Tetapi karena hari masih belum terlampau malam, maka mereka pun tidak banyak mengalami gangguan. Hanya kadang-kadang seorang dua orang yang berdiri di ujung padukuhan menyapanya dan bertanya tujuannya. Tetapi mereka tidak pernah menghentikannya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersungguh-sungguh. Apalagi gardu-gardu peronda masih belum terisi, sehingga mereka tidak banyak mengalami gangguan.
Demikianlah mereka berjalan semakin cepat. Setelah mereka melintas beberapa padukuhan, maka mereka kembali memasuki hutan-hutan yang membujur di Timur. Tetapi hutan-hutan itu sudah bukan lagi hutan-hutan lebat. Di pinggir hutan itu telah banyak terdapat tanah garapan. Namun agaknya karena masih belum dibuat parit-parit yang dapat mengairinya, tanah garapan yang masih merupakan pategalan itu masih belum banyak menghasilkan.
Meskipun demikian, di hutan-hutan yang tidak begitu lebat itu masih juga terdapat beberapa pasang harimau yang kadang-kadang mengganggu padukuhan-padukuhan di sekitarnya.
Namun demikian Kiai Gringsing dan kedua muridnya beserta Sumangkar telah bertekad untuk berjalan terus, sehingga mereka akan sampai ke Sangkal Putung sebelum tengah malam.
Untunglah bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ketahanan tubuh yeng baik karena latihan-latihan yang berat sebelumnya, sehingga meskipun mereka berjalan sehari penuh, bahkan lebih hampir separo malam deagan waktu istirahat yang sangat pendek, namun mereka masih tampak cukup segar.
Demikianlah ketika mereka menjadi semakin dekat dengan Kademangan Sangkal Putung, maka mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Kademangan itu sudah agak lama mereka tinggalkan, sehingga mungkin sudah ada beberapa perubahan yang cukup berarti.
Namun kini Sangkal Putung sudah bukan menjadi daerah yang perlu mendapat perlindungan prajurit karena tidak ada lagi gangguan yang dapat mengancam kademangan itu. Widura sudah tidak berada lagi di Sangkal Putung. Tetapi bersama-sama dengan Untara mereka berada di Jati Anom
“Agar tidak nampak jelas, bahwa mereka sedang mengamat-amati perkembangan daerah baru itu,“ desis Agung Sedayu di dalam hati. “Adalah kebetulan Kakang Untara berasal dari Jati Anom.”
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya kepada siapa pun juga, meskipun ia mengira bahwa baik Kiai Gringsing maupun Sumangkar dan bahkan juga Swandaru, mempunyai pikiran yang serupa itu pula.
Tiba-tiba saja langkah mereka berempat itu tertegun ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda. Sejenak kemudian muncullah di hadapan mereka dalam keremangan malam, bayangan beberapa orang berkuda mendekatinya, sehingga mereka pun harus segera menepi.
Tetapi ketika tampak oleh para penunggangnya, maka kuda-kuda itu pun segera berhenti beberapa langkah dari Kiai Gringsing dan rombongannya.
“Siapakah kalian?” terdengar salah seorang dari mereka bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Agaknya mereka sedang meronda. Namun memang agak berlebih-lebihan, bahwa di daerah yang aman ini mereka meronda bersama-sama empat orang sekaligus.
“Tetapi mungkin juga mereka mempunyai kepentingan lain,“ desis Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Siapa, he?” prajurit itu mengulangi.
“Kami orang-orang Sangkal Putung, Tuan,“ jawab Kiai Gringsing.
“Dari mana?”
Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu, namun kemudian, “Kami baru saja kembali dari Prambanan menengok saudara kami yang tinggal di sana.”
“Kenapa malam-malam begini? Kenapa tidak besok pagi atau siang tadi.”
“Kami berangkat pagi-pagi dari Sangkal Putung. Dan kami berusaha untuk hari ini juga sampai di rumah kami, karena besok kami mempunjai kewajiban di sawah dan ladang kami.”
Sejenak prajurit-prajurit itu mengamat-amati Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Karena tidak ada yang mencurigakan, maka prajurit-prajurit itu pun kemudian berkata, “Hati-hatilah.”
Kiai Gringsing memandang orang-orang berkuda itu sejenak. Namun ia tidak sempat menjawab dan bertanya apa pun lagi. Orang-orang berkuda itu pun segera meninggalkan mereka berdiri termangu-mangu.
Ketika orang-orang berkuda itu sudah menjadi semakin jauh, maka Kiai Gringsing pun berdesis, “Kenapa harus berhati-hati? Bukankah daerah ini sekarang menjadi daerah yang aman?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Daerah ini sebenarnya termasuk daerah yang aman sekarang. Mungkin sebagai prajurit adalah menjadi kebiasaannya untuk berpesan begitu kepada bawahannya, atau kepada siapa pun juga.”
Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi pesan itu telah berkesan di hatinya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi tentang pesan itu.
Ternyata seperti gurunya, Agung Sedayu pun mempersoalkan pesan itu di hatinya. Namun kemudian ia berkata, “Mungkin aku terlampau peka mendengar setiap pesan orang lain setelah aku berada di daerah yang selalu diliputi oleh kegelisahan untuk waktu yang agak lama. Mudah-mudahan tidak ada persoalan apa pun yang tumbuh lagi di daerah ini.”
Demikianlah maka keempat orang itu pun melanjutkan perjalanan mereka ke Sangkal Putung. Jarak itu menjadi semakin lama semakin pendek, sehingga akhirnya kaki mereka pun telah melangkah masuk ke dalam lingkungan wilayah Kademangan Sangkal Putung.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sambil menengadahkan kepalanya ia berkata, “Alangkah segarnya udara Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia pun berkata, “Ya. Alangkah segarnya udara Sangkal Putung. Setelah sekian lama kita meninggalkan daerah ini, masih juga daerah ini bersedia menerima kita lagi.”
Tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu pun tiba-tiba telah menarik nafas dalam-dalam pula, seolah-olah udara di atas daerah Sangkal Putung itu memang memberikan kesegaran bagi mereka.
Demikianlah maka mereka pun segera melanjutkan langkah mereka. Seperti ketika berada di Prambanan, mereka pun berusaha menghindari padukuhan-padukuhan yang ramai agar perjalanan mereka tidak terganggu. Apalagi apabila orang-orang padukuhan itu mengenal mereka sebagai Swandaru, maka langkahnya pasti akan terhenti setiap kali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan sangat menjemukan sebelum ia menghadap ayah dan ibunya, demang di Sangkal Putung.
Karena itu, maka mereka pun berusaha melalui jalan-jalan di bulak-bulak dan bahkan kadang-kadang lewat pematang yang memintas. Selain menghindari orang-orang Sangkal Putung yang kebetulan sedang meronda, dengan demikian mereka pun akan segera sampai ke induk kademangan.
Tetapi, apabila perlu, untuk menghindari peronda di gardu-gardu yang terletak di mulut lorong padukuhan, maka mereka justru lewat jalan yang agak memutar, sekedar untuk menghindari gardu itu. Sebab Swandaru menganggap bahwa di gardu-gardu itu pasti masih banyak anak-anak muda yang sedang meronda atau sekedar duduk sambil berbicara bersama kawan-kawannya.
Dengan demikian maka perjalanan mereka benar-benar tidak terganggu. Ada juga satu dua orang yang sedang berada di sawah menunggui air parit yang mengaliri sawahnya itu. Tetapi orang-orang itu agaknya tidak berusaha menyapanya. Bahkan mereka seakan-akan tidak melihat mereka atau sama sekali acuh tidak acuh.
Namun sikap-sikap itu tidak begitu menarik perhatian, apalagi Swandaru yang ingin segera sampai ke rumahnya. Menemui ibu bapanya.
Ketika mereka turun ke jalan yang langsung menusuk padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, maka dada Swandaru menjadi semakin berdebar-debar. Juga dada Agung Sedayu. Bahkan terasa kakinya menjadi berat untuk melangkah maju. Berbagai perasaan telah bergulat di dalam dirinya. Tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang pesan Sutawijaya yang tiba-tiba telah meloncat di kepalanya. Pesan untuk kakaknya Untara yang seolah-olah telah menempatkan dirinya ke dalam suatu keadaan yang dipisahkan oleh batas yang tidak kasat mata.
Tetapi Agung Sedayu berusaha menenangkan dirinya. Katanya di dalam hati, “Biarlah aku pikirkan besok. Aku masih belum akan bertemu dengan Kakang Untara malam ini. Bahkan besok pun belum.”
Seperti yang mereka duga, maka di regol padukuhan itu masih juga terdapat sebuah gardu yang terisi oleh beberapa orang peronda. Dan mereka berempat tidak akan dapat menghindari para peronda itu, kecuali apabila mereka memasuki padukuhan itu lewat jalan-jalan sempit di antara kebun-kebun yang rimbun.
Ternyata bahwa para peronda itu melihat mereka di dalam keremangan malam. Salah seorang dari para peronda itu meloncat turun dari gardu dan berjalan maju beberapa langkah disusul oleh dua orang yang lain.
“Berhentilah, Ki Sanak,“ sapa salah seorang peronda itu “siapakah kalian?”
Kiai Gringsing, dua orang muridnya dan Sumangkar berhenti beberapa langkah dari peronda itu.
“Siapakah kalian dan hendak pergi ke mana?”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun sudah tentu bahwa kepada orang-orang Sangkal Putung ia tidak akan dapat menyembunyikan diri. Terlebih-lebih lagi Swandaru dan Agung Sedayu yang pasti sudah dikenal oleh anak-anak muda. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjawab, “Aku mengantar putera Ki Demang.”
Para peronda itu mengangkat wajahnya. Sesuatu terlintas pada kesan di wajah mereka. Bahkan mereka pun saling berpandangan sejenak, lalu salah seorang dari mereka berkata, “Putera Ki Demang yang manakah yang kalian maksudkan?”
Kiai Gringsing menepuk bahu Swandaru, lalu didorongnya anak muda itu maju selangkah sambil berkata, “Apakah kalian pernah mengenal anak muda yang bulat ini.”
Para peronda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian hampir berbareng mereka berdesis, “Swandaru. Swandarukah ini?”
Swandaru tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, saja melihat tingkah laku para peronda itu. Mereka yang masih berada di atas gardu itu pun segera berloncatan turun. Serentak mereka maju mendekati anak muda yang gemuk itu dan mencoba mengamat-amatinya di dalam keremangan malam.
“He, kaukah Swandaru Geni?” seorang anak muda maju.
“Apakah kau tidak mengenal aku lagi?” jawab Swandaru.
“O, kau,“ seorang anak muda yang lain langsung menepuk perutnya. “Kau masih juga sebulat jeruk gulung.”
Para peronda itu pun segera mengelilingi dan hampir tidak menghiraukan lagi orang-orang yang lain, yang datang bersama Swandaru itu. Berebutan mereka memberikan salam dan menepuk bagian-bagian tubuhnya. Pundaknya, lengannya, perutnya bahkan punggungnya.
“Kau agak susut sedikit,“ berkata seorang anak muda yang tinggi kekurus-kurusan, “tetapi dengan demikian kau menjadi semakin tampan.”
“Ya, badanmu agak susut sedikit.”
“Ya. Swandaru menjadi bertambah langsing.”
Dan seperti yang dicemaskan Swandaru itu pun terjadilah. Seperti grojogan sewu, kawan-kawannya melontarkan seribu macam pertanyaan berurutan sehingga Swandaru menjadi bingung.
“Ke mana saja kau selama ini, Swandaru?” dan sebelum Swandaru menjawab, yang lain telah memotong, “Kami sangat merindukan kau. Apakah kau pergi bertapa he?” Dan yang lain, “He, apakah kau membawa oleh-oleh buat kami?”
Swandaru tertawa saja. Katanya kemudian, “Simpanlah pertanyaan kalian. Aku akan segera menemui ayah dan ibu lebih dahulu. Besok datanglah ke kademangan. Kita dapat berbicara semalam suntuk sambil membakar sate. Setuju?”
“Ya, baik, baik. Besok kita akan datang. Kau harus memotong seekor kambing yang gemuk dan muda.”
“Semuda kau?” bertanya Swandaru.
Anak-anak muda itu tertawa, dan Swandaru berkata, “Sekarang, aku minta ijin untuk menemui ayah ibuku lebih dahulu, karena mereka memang sedang menunggu kedatanganku.”
“Ya, ya. Silahkan. Tetapi besok jangan ingkar janji.”
“Aku tidak pernah ingkar. Aku undang kalian besok ke rumah. Aku akan memotong seekor kelinci, eh, seekor kambing. Kambing yang paling baik buat makan bersama kawan-kawan sekalian.”
Demikianlah maka Swandaru pun minta diri kepada kawan-kawannya, yang melepaskannya sambil berkata hampir berbareng, “Besok kami akan datang. Lepas matahari turun di Barat.”
“Ya. Lepas matahari turun.”
“Menjelang senja. Aku datang menjelang senja.”
“Baik, baik. Menjelang senja.”
“Jadi, yang mana?”
“Aku menunggu kapan pun kalian datang,” sahut Swandaru.
Anak-anak muda itu tertawa. Mereka kemudian memandang Swandaru berjalan di antara tiga orang kawan-kawannya. Semakin lama semakin jauh dari gerdu itu dan hilang di dalam gelapnya malam. Mereka masuk ke jalan padukuhan semakin dalam menuju ke halaman rumah. Kademangan.
“Siapakah tiga orang yang lain?” bertanya salah seorang anak muda yang berdiri di sebelah gardu.
Kawannya menggelengkan kepalanya. ”Entahlah. Mungkin pengiring-pengiringnya.”
“Aku pernah melihat. Mereka adalah orang-orang yang dahulu berada di Kademangan atau di banjar. Yang tua itu pun aku pernah melihat. Yang seorang agaknya yang selalu mengawasi Sekar Mirah, apalagi kalau bepergian.”
“O ya. Orang tua itu agaknya pemomong Sekar Mirah. Tetapi tidak sejak kecil. Mungkin karena ia menjadi semakin dewasa dan semakin cantik diperlukan seorang pengawas yang khusus.”
“Yang seorang, kita pun pasti pernah melihat. Dahulu, ketika daerah ini masih dibayangi oleh kekuatan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.”
“O, ya. Dan yang muda itu adalah adik Untara, aku ingat, Anak muda itu adik Panglima pasukan Pajang di daerah ini. Anak muda yang berasal dari Jati Anom.”
“O, ya. Aku ingat sekarang. Anak muda yang rendah hati yang ternyata telah menyelamatkan padukuhan ini dari terkaman Tohpati. Aku ingat sekarang. Aku ingat bagaimana ia datang ke padukuhan ini. Bagaimana ia mendapat banyak perhatian dari setiap orang, dan terutama Sekar Mirah. Bagaimana kemudian Sidanti menjadi cemburu kepadanya. O, jelas sekali. Kenapa aku tadi tidak menyapanya, he? Kenapa aku, dan kau dan kita semua tidak bertanya apa pun kepadanya?”
“Kita agaknya ragu-ragu. Atau belum teringat tentang dirinya dan kedua orang tua-tua itu.”
“Ah besok kita bertemu lagi dengan mereka. Besok kita akan dijamu oleh Swandaru dengan seekor kambing yang gemuk dan muda. Kita dapat bertanya tentang apa saja dan tentang anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Ha, bukankah namanya Agung Sedayu?”
“Ya, namanya Agung Sedayu. Sekarang kita ingat jelas tentang dirinya. Agung Sedayu. Agung Sedayu.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas teringat oleh mereka, apa yang pernah dilakukan oleh Agung Sedayu. Di tengah malam ia datang seorang diri selagi Sangkal Putung dibayangi oleh kekuatan sepasukan prajurit Jipang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan. Hampir tidak masuk akal bahwa seorang anak muda yang bukan prajurit, mempunyai keberanian seperti Agung Sedayu.
“Tentu ia memiliki keberanian yang berlebihan,“ berkata mereka di dalam hati, “karena ia adalah adik seorang senapati muda yang namanya sejajar dengan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu.”
Namun mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa Agung Sedayu saat itu hampir pingsan ketika ia melihat pohon randu alas yang besar di tikungan, yang seolah-olah mencegatnya dengan sorot matanya yang hanya sebuah. Gendruwo yang hanya bermata tunggal.
Dan tidak seorang pun yang membayangkan pula, bagaimana Agung Sedayu berusaha melarikan diri dari kejaran Alap-alap Jalatunda. Sehingga dengan ketakutan ia membenamkan diri ke dalam parit di pinggir jalan.
Tetapi semuanya itu seolah-olah tidak membekas lagi di dalam diri Agung Sedayu itu. Seperti yang dilihat oleh orang-orang Sangkal Putung, Agung Sedayu adalah pahlawan bagi mereka, bagi Sangkal Putung. Pahlawan yang rendah bati.
Demikianlah maka keempat orang itu sudah menjadi semakin dekat dengan halaman rumah Ki Demang di Sangkal Putung. Dengan demikian hati anak-anak muda itu pun menjadi semakin berdebar-debar.
Apalagi ketika mereka melihat sebuah pelita di gardu yang ada di pinggir regol halaman kademangan. Dada Swandaru pun serasa terguncang karenanya. Sudah lama sekali ia tidak melihat suasana itu. Suasana yang rasa-rasanya seperti di dalam mimpi, setelah untuk beberapa lamanya Swandaru berada di pinggir Alas Mentaok bergulat dengan hantu-hantuan yang dikendalikan oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Seperti di gardu di ujung lorong, maka para peronda di regol halamannya itu pun menjadi ribut. Mereka mengerumuni Swandaru sambil menepuk-nepuk tubuhnya yang gemuk itu.
“Seluruh kademangan sudah menunggu kedatanganmu,“ berkata salah seorang dari mereka.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Terima kasih. Agaknya karena itulah aku selalu keduten di belakang telinga.”
Agaknya keributan di halaman itu telah membangunkan Ki Demang di Sangkal Putung, sehingga ia pun kemudian bangkit dan pergi ke pintu pringgitan.
“Kenapa anak-anak itu menjadi ribut?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Ki Demang pun kemudian membuka pintu pringgitan, dan menjenguk ke halaman. Dilihatnya beberapa orang yang berkerumun sambil berbicara di antara mereka.
Sejenak Ki Demang termangu-mangu. Namun kemudian ia pun melangkah mendekati para peronda yang sedang ribut itu.
Tiba-tiba saja langkah Ki Demang tertegun. Lamat-lamat ia mendengar suara yang dikenalnya baik-baik. Suara anaknya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya dari tangga pendapa, ”He, siapa itu?”
Semua orang berpaling ke arahnya. Juga Swandaru, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar.
“Ayah,“ tiba-tiba Swandaru berteriak. Sejenak kemudian ia pun segera berlari mendapatkan ayahnya yang berdiri di tangga pendapa.”
“Ayah, aku datang,” desis swandaru kemudian sambil memeluk perut ayahnya karena ayahnya masih berada di atas tangga.
“Kau sudah pulang?” suara ayahnya tiba-tiba menjadi dalam. Ditepuknya kepala anaknya beberapa kali. Lalu, ”Dengan siapa kau datang?”
Swandaru melepaskan ayahnya sambil berpaling. Dilihatnya Kiai Gringsing, Sumangkar, dan Agung Sedayu melangkah mendekatinya.
“O, selamat datang Kiai,“ sapa Ki Demang sambil turun dari tangga. ”Marilah, silahkan.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar menganggukkan kepalanya. Hampir berbareng mereka menjawab, “Terima kasih Ki Demang.”
“Dan agaknya kau juga Sedayu.”
“Ya, Ki Demang.”
“Kakang Sedayu pasti selalu bersama kami,“ potong Swandaru. “Ia tidak akan berani ditinggalkan di mana pun juga.”
“Ah,“ desis Ki Demang, lalu “marilah. Silahkan, masuk ke pringgitan.”
Mereka pun kemudian naik ke pendapa dan masuk ke pringgitan. Dengan tergesa-gesa seorang anak muda telah membentangkan tikar yang putih untuk tempat duduk mereka.
Tetapi Swandaru tidak ikut duduk bersama mereka. Ia langsung masuk ke ruang dalam sambil memanggil, “Ibu, ibu. Aku sudah datang.”
Sekar Mirah yang mendengar suara kakaknya segera meloncat dari pembaringannya. Sambil berlari-lari ia mendorong daun pintu biliknya dan langsung pergi, ke ruang dalam.
Tetapi Swandaru telah masuk ke bilik ibunya. Ketika Sekar Mirah menyusulnya, dilihatnya ibunya yang duduk di pembaringan memeluk kepala kakaknya yang berlutut di hadapannya.
“Sudah lama sekali aku menunggu. Aku menjadi cemas kalau terjadi sesuatu atasmu, sehingga aku minta pertolongan Ki Sumangkar untuk mencarimu. Yang pertama bersama dengan Sekar Mirah. Kemudian Ki Sumangkar pergi sendiri. Apakah kau tidak bertemu dengan orang itu?” berkata ibunya dengan suara serak
“Aku datang bersama Ki Sumangkar, Kakang Agung Sedayu, dan Kiai Gringsing.”
“O,” Sekar Mirah-lah yang menyahut, “kau datang bersama Kakang Agung Sedayu?”
Swandaru berpaling. Ditatapnya mata Sekar Mirah yang seakan-akan memancar cerah sekali. Karena itu maka timbullah keinginan Swandaru untuk mengganggunya, katanya, “Kenapa kau bertanya tentang Agung Sedayu? Kau belum bertanya tentang aku. Tentang keselamatanku dan keselamatan gurumu.”
Wajah Sekar Mirah menjadi merah.
“Aku memang datang bersama Agung Sedayu. Tetapi anak itu terus pergi ke Jati Anom. Ia sudah terlampau rindu kepada kakaknya Untara dan sanak kadangnya.”
“Bohong. Ia pasti singgah ke mari.”
“Buat apa singgah ke mari? Di sini tidak ada siapa pun yang termasuk keluarganya.”
Sekar Mirah tidak memperdulikannya lagi. Tiba-tiba saja ia berlari ke luar.
“Mirah, Mirah. Tunggu dulu,” panggil Swandaru.
”Mirah,“ panggil ibunya “jangan tergesa-gesa menemuinya.”
Tetapi Sekar Mirah tidak mendengarnya. Ia berlari melintasi ruang dalam langsung ke pringgitan. Ia tahu bahwa tamu-tamu itu pasti berada di pringgitan.
Tetapi ketika ia sampai ke pintu pringgitan, hampir saja ia melanggar ayahnya yang melangkah masuk.
“O,“ desis Sekar Mirah.
“Kau mau ke mana Mirah?” bertanya ayahnya.
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi kepalanya ditundukkannya.
Ayahnya tidak bertanya lagi. Dibimbingnya saja Sekar Mirah kembali ke bilik ibunya. Katanya “Nah, itu kakakmu sudah datang. Bukankah selama ini kau selalu bertanya, kenapa Swandaru masih belum datang. Sekarang ia sudah datang.”
“Kakang Swandaru selalu mengganggu aku. Ia masih nakal seperti dahulu,” Sekar Mirah bersungut-sungut.
Ayahnya memandang Swandaru yang masih berlutut. Tetapi anak muda itu pun kemudian ditarik oleh ibunya dan didudukkannya di bibir pembaringan.
“Aku hanya mengatakan kalau Kakang Agung Sedayu datang bersama aku, Ayah. Lalu Sekar Mirah berlari-lari ke pringgitan meskipun aku sudah mencegahnya.”
“Hanya itu?”
“Ya, hanya itu.”
“Bohong. Kau katakan bahwa kakang Agung Sedayu langsung pergi ke Jati Anom.”
“Seandainya demikian, apa salahnya?” bertanya ayahnya.
“Ah, Ayah,” Sekar Mirah mencubit ayahnya sehingga ayahnya menyeringai.
“Sudah, sudah Mirah. Ia tidak pergi ke Jati Anom. Ia ada di sini.“
”Aku tidak memerlukan anak itu. Aku hanya ingin membuktikan bahwa Kakang Swandaru berbohong.”
“Sudahlah,“ desis ibunya sambil bangkit berdiri.
“Mirah. Marilah kita pergi ke dapur.”
Sekar Mirah tidak menyahut.
Dan ibunya bertanya pula kepada Swandaru, “Sejak kapan kalian berangkat dari tempat tinggal kalian yang terakhir?”
“Sejak matahari terbit, Ibu,“ jawab Swandaru. “Sehari penuh aku tidak makan apa pun, ditambah ujung malam ini. Akn memang lapar sekali.”
“Ah,“ potong Sekar Mirah, “itukah caramu berprihatin? Seharusnya kau tidak mengeluh meskipun tiga hari tiga malam kau tidak makan.”
“Aku juga tidak makan, bukan saja tiga hari tiga malam, tetapi lebih dari sepekan.”
“Tidak makan apa?” bertanya Sekar Mirah.
“Tidak makan, kerikil.”
Ayah dan ibunya tersenyum mendengar jawaban itu. Sekar Mirah justru memberengut. Tetapi ia segera pergi ke luar. Ketika ia tidak dapat menahan senyumnya, ia pun pergi menghindar. Ia tidak mau memperlihatkan senyum itu kepada Swandaru.
Demikianlah, maka ibu Swandaru dan Sekar Mirah pun segera pergi ke dapur. Seorang pelayan pun dibangunkannya pula untuk membantu mereka menyiapkan minum dan makan, karena mereka hampir tidak makan nasi di sepanjang perjalanan.
Tetapi sebenarnya hal itu tidak mengganggu sama sekali. Apa lagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang sudah melatih diri menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga sulitnya. Sedangkan Agung Sedayu dan Swandaru pun sudah berlatih pula mengurangi makan dan minum serta keperluan-keperluan jasmaniah yang lain, untuk membiasakan diri apabila mereka menghadapi keadaan yang sulit sekali di luar perhitungan mereka.
Selagi Nyai Demang berada di dapur, maka berita tentang kedatangan Swandaru bersama Agung Sedayu itu sudah menjalar. Para peronda yang berkeliling di malam hari mengatakannya kepada setiap orang yang ditemuinya. Orang-orang yang ada di gardu-gardu kecil di sudut-sudut padesan, orang yang pergi ke sawah untuk menengok apakah air sudah mengalir, dan orang-orang yang kebetulan keluar rumah di malam hari.
Ketika dua orang peronda yang berkeliling lewat di depan rumah seorang kawannya yang baru saja melahirkan anaknya, dan di pendapa rumah itu beberapa orang anak muda sedang duduk berkelakar dan di pringgitan orang-orang tua sedang mengelilingi sebuah lampu minyak dan kitab yang berisi kidung, maka kedua peronda itu singgah juga sejenak. Kepada anak-anak muda di pringgitan mereka bercerita, bahwa Swandaru telah pulang bersama Agung Sedayu.
“He,“ seseorang menyahut, “kalau begitu kita pergi ke sana sekarang.”
“Jangan sekarang. Ia masih lelah. Besok kita diundang untuk makan dan mendengarkan ceritanya. Ia akan memotong seekor kambing.”
Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian berita itu telah menjalar dari mulut ke mulut, karena anak-anak muda itu pun segera berbisik di antara mereka sambung-menyambung.
Ketika kedua orang peronda itu meninggalkan halaman, maka semua orang yang ada di rumah itu sudah mendengar bahwa Swandaru telah datang. Mereka diundang besok sore untuk berkunjung ke rumahnya. Malam ini Swandaru masih sangat lelah. Mungkin juga besok pagi.
“Ia akan memotong seekor kambing,” berkata salah seorang dari antara mereka.
“Seekor kambing?” bertanya yang lain.
“Ya, seekor kambing yang gemuk dan muda.”
“Ah, itu tidak akan berarti sama sekali. Besok aku kira semua orang mendengar kedatangannya. Kalau ia minta kita semua datang pada sore hari, maka aku kira seekor kambing tidak akan mencukupi sama sekali. Paling sedikit ia harus memotong tiga ekor kambing.”
“Tiga?”
“Ya.”
Kawannya merenung sejenak. Lalu “Tunggu. Kalau tiga ekor, aku kira terlampau banyak buat Swandaru. Kalau seekor, memang terlampau kurang.”
“Ah, macam kau. Kenapa kau ribut tentang kambing itu? Besok kita datang menyambutnya. Tidak peduli apakah ia akan memotong seekor kambing, tiga ekor kambing atau seekor gajah sekali pun,” potong kawan yang lain.
“Oh,“ kawan-kawannya pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah seisi rumah itu kini berbicara tentang Swandaru, putera Ki Demang yang sudah agak lama merantau bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir, dukun tua itu.
“Apakah yang sudah mereka lakukan selama merantau?” pertanyaan itu selalu melonjak di dada kawan-kawannya. Mereka menghubungkan kepergian Swandaru itu dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi di Sangkal Putung.
“Tentu sebuah cerita yang mendebarkan jantung,“ desis seorang anak muda yang berambut jarang.
“Apa yang mendebarkan?” bertanya anak muda yang duduk di sisinya.
“Pengalaman Swandaru selama ia pergi merantau. Apa yang pernah dijumpainya di perjalanan pasti sangat menarik perhatian.”
Kawannya mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut lagi.
Dalam pada itu, orang-orang tua yang duduk di pringgitan agak terganggu juga sedikit mendengar berita itu. Namun mereka pun segera melanjutkan acara mereka. Seseorang yang sedang membaca sebuah kidung pun segera melanjutkannya dengan suaranya yang panjang mengalun memenuhi ruangan.
Dalam pada itu, Swandaru di rumahnya sedang sibuk membersihkan diri di pakiwan. Sehari-harian ia berjalan, sehingga debu yang kotor telah melekat di tubuhnya yang basah karena keringat. Pakaiannya yang kusut dan kakinya yang terasa penat.
Air sumur di malam hari terasa sangat segar menyiram tubuhnya yang lelah. Seakan-akan air di Sangkal Putung jauh lebih segar dari air di mana pun juga daerah yang pernah dikunjungi.
Setelah Swandaru selesai, maka berturut-turut Agung Sedayu, Kiai Gringsing, dan Sumangkar pun mandi pula membersihkan dirinya. Mereka masing-masing mendapat pakaian yang baru dari Ki Demang Sangkal Putung karena pakaian mereka yang telah kotor dan kusut. Namun Kiai Gringsing agaknya segan juga melepaskan kain gringsingnya, sehingga katanya, “Biarlah kain itu besok aku cuci. Aku masih memerlukannya.”
“Besok aku akan membeli kain gringsing yang baru,” berkata Ki Demang. “Kiai akan mendapat ganti yang lebih, baik dari kain itu.”
Tetapi Kiai Gringsing tersenyum. ”Terima kasih. Untuk sementara kain ini masih dapat aku pergunakan. Aku hanya harus mencucinya besok.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak memaksanya, karena ia menganggap bahwa Kiai Gringsing memerlukan ciri bagi dirinya selain senjatanya yang aneh itu.
Meskipun hari sudah menjadi semakin malam, namun di kademangan itu masih juga terdengar suara riuh. Ketika nasi sudah masak, mereka pun segera makan bersama-sama. Bukan saja Ki Demang dengan keluarganya, tetapi juga bersama dengan para peronda di gardu yang kemudian dipanggil naik ke pringgitan.
Ternyata anak-anak muda itu tidak sabar lagi menunggu besok. Mereka sudah mulai mengajukan beberapa pertanyaan kepada Swandaru, apakah yang dilihat dan dialami selama perjalanannya itu.
“Besok saja aku akan bercerita,“ berkata Swandaru. “Sekarang aku sedang lapar dan karena itu aku lebih senang menyuapi mulutku daripada berbicara.”
Kawan-kawannya tertawa. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun ikut pula menyuapi mulut mereka, meskipun sebenarnya mereka tidak lapar, karena mereka sudah makan di permulaan malam itu.
Dalam pada itu, selagi mereka sedang sibuk menyuapi mulut masing-masing, Sekar Mirah berdiri di balik pintu pringgitan yang sedikit terbuka. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang makan pula di antara anak-anak muda itu. Ada semacam kerinduan yang melonjak di dadanya. Ia ingin segera berbicara banyak dengan anak muda itu. Tetapi ia belum sempat. Ia baru dapat menyapanya sepatah dua patah kata sebelum Agung Sedayu mandi. Namun kemudian ia sibuk sendiri membantu ibunya menyediakan makan dan minum.
Tiba-tiba saja Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu yang agak lain di wajah Agung Sedayu. Ketika ia mendahului pulang ke Sangkal Putung bersama Sumangkar, ia sudah merasakan perbedaan itu. Dan kini tampaknya menjadi semakin jelas.
Agung Sedayu yang masih saja tersenyum-senyum melihat tingkah laku kakaknya itu, kini pada sorot matanya memancar kedewasaan yang semakin matang. Sikapnya menjadi semakin mantap dan tidak lagi dibayangi oleh kegelisahan.
“Mudah-mudahan ia tidak lagi selalu ragu-ragu dan dibebani oleh pertimbangan-pertimbangan yang membingungkan,“ berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.
Sekar Mirah itu terkejut ketika terasa pundaknya digamit oleh seseorang. Ketika ia berpaling, dilihatnya ibunya berdiri di belakangnya.
“Apa yang kau intip, Mirah?”
“Ah, ibu. Aku tidak mengintip siapa pun. Aku ingin menghitung berapa orang yang duduk di pringgitan.”
“Bukankah hidangan sudah dihidangkan? Buat apalagi kau menghitungnya?”
“O,” Sekar Mirah tergagap, namun, “Kakang Swandaru makannya banyak sekali. Aku takut kalau ada yang kurang.”
Ibunya tidak menyahut lagi. Dibimbingnya Sekar Mirah ke ruang dalam sambil berkata, “Kalau kau lelah, tidurlah. Semuanya sudah selesai. Biarlah nanti sisa makanan itu dibenahi oleh para pelayan.”
Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. “Aku belum kantuk ibu. Aku masih ingin duduk-duduk di sini mendengarkan percakapan itu. Tetapi, apakah ibu tidak ingin menemui mereka pula?”
“Tentu, Mirah. Tetapi tidak sekarang. Nanti, apabila mereka sudah selesai makan.”
“Dan aku juga akan mengawani ibu.”
Ibunya tersenyum, “Jadi kau tidak lelah?”
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya.
Demikianlah, ketika mereka sudah selesai makan, dan Sekar Mirah serta pembantunya sudah selesai menyingkirkan sisa-isa jamuan itu, bersama ibunya Sekar Mirah mendapat kesempatan untuk duduk bersama di pringgitan. Namun terasa ada ketegangan di dalam dirinya. Setiap kali ia memandang wajah Agung Sedayu hatinya menjadi berdebar. Dan setiap kali ia berkata kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan Kakang Sedayu tidak lagi selalu dibayangi oleh keragu-raguan untuk berbuat sesuatu.”
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Ki Demang pun kemudian berkata, “Nah, tentu kalian sudah sangat lelah. Kami persilahkan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar untuk beristirahat di gandok Kulon bersama Agung Sedayu.” Lalu katanya kepada Swandaru, “Terserah kau memilih tempat. Di mana kau akan tidur?”
“Aku tidur bersama di gandok ayah.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Seseorang telah membenahi gandok Kulon dan mempersiapkan ruang-ruang tidur buat keempat orang yang baru datang itu.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya serta Sumangkar pun meninggalkan pringgitan dan pergi ke gandok Kulon. Sedang para peronda pun kembali ke gardu di regol halaman.
Yang masih tinggal di pringgitan kemudian adalah Ki Demang Sangkal Putung dan isterinya serta Sekar Mirah. Mereka masih berbincang sebentar sebelum mereka pun kemudian masuk kembali ke dalam bilik masing-masing.
Ternyata kawan-kawan Swandaru tidak sabar menunggu sampai senja. Di pagi harinya, selagi Swandaru baru bangun dari tidurnya yang agak kesiangan, beberapa orang telah duduk di gardu. Mereka ingin segera mendengar cerita putera Ki Demang yang gemuk itu, apa saja yang dialaminya selama perjalanannya yang agak terlampau lama bagi anak-anak muda Sangkal Putung.
”Ha, itulah. Ia sudah bangun,“ desis seorang anak muda berambut kemerah-merahan.
Swandaru menggosok matanya yang masih terasa berat. Ketika beberapa orang mendatanginya ia berkata, “Aku baru saja bangun. Nanti malam aku akan memotong kambing.”
“Aku tidak perlu kambing. Aku ingin dengar kau bercerita.”
“Kambing dan cerita. Aku sekarang masih lelah sekali. Aku baru dapat tidur menjelang dini hari. Aku masih akan tidur lagi.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu, “Kita tunggu saja ia di pembaringannya. Jangan beri kesempatan untuk tidur lagi.”
“Jangan terlampau kejam. Dilarang menyiksa orang.”
Swandaru tersenyum. Jawabnya, “Mari ikut saja tidur bersama aku.”
“Ah, kau sangka aku tidak punya kerja selain tidur.”
“Kalau begitu bekerjalah dahulu. Kalian akan pergi ke sawah? Pergilah. Nanti setelah kalian selesai, kalian datang kemari. Aku pun pasti sudah selesai pula.”
“Apa yang sudah kau selesaikan?”
“Tidur.”
Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah. Marilah kita pergi ke sawah saja. Biarlah ia memuaskan diri dengan tidur sehari penuh. Tetapi nanti malam kau pasti akan terjaga semalam suntuk.”
Swandaru tidak menjawab. Ia hanya tertawa saja sambil memandangi kawan-kawannya yang pergi meninggalkan halaman itu.
Dalam pada itu, selagi Swandaru masih berdiri tegak, Agung Sedayu mendekatinya sambil berdesis, “Aku akan pergi sebentar ke Jati Anom. Aku ingin segera bertemu Kakang Untara.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Swandaru ingin meyakinkan, apakah Agung Sedayu bersungguh-sungguh, ataukah ia hanya sekedar ingin mengatakan bahwa ia ingin juga pergi ke Jati Anom segera.
Tetapi agaknya Agung Sedayu bersungguh-sungguh. Tampak sesuatu membayang di sorot matanya.
“Kau benar-benar akan pergi?” bertanya Swandaru.
“Ya.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang? Sekarang ini?”
“Ya.”
Swandaru memandang wajah Agung Sedayu sejenak. Kini ialah yang menatap dengan sorot mata yang aneh. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa kau begitu tergesa-gesa pergi ke Jati Anom?”
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ada sesuatu yang terasa mengganggu perasaannya. Seakan-akan ada suatu dorongan di dalam dadanya untuk segera menemui Untara. Ia sendiri tidak mengerti, dorongan apakah yang telah membuatnya gelisah.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru pun berkata, ”Kakang Agung Sedayu, sebaiknya kau beristirahat barang sehari dua hari di sini. Kelak aku akan mengantarkanmu pergi ke Jati Anom. Aku pun ingin bertemu dengan Kakang Untara dan Paman Widura.”
“Ya, kelak kita akan pergi bersama-sama. Mungkin juga guru dan paman Sumangkar. Tetapi aku ingin segera menemuinya. Mungkin karena aku adalah adiknya. Kakang Untara adalah satu-satunya saudaraku yang ada. Bahkan pangganti ayah ibuku.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kau sudah minta diri kepada guru?”
Agung Sedayu menggeleng. “Belum. Nanti aku akan minta ijin kepada guru, paman Sumangkar, dan Ki Demang.”
“Tinggallah semalam ini di sini. Nanti kata akan menerima banyak sekali kawan-kawan kita dari Sangkal Putung. Aku sudah berjanji untuk memotong kambing. Tentu tidak hanya seekor. Mungkin dua ekor. Ayah tentu tidak akan berkeberatan.”
“Aku akan berusaha telah berada di halaman ini kembali sebelum senja. Karena itu, aku ingin berangkat secepat-cepatnya. Aku akan mempergunakan seekor kuda.”
Swandaru termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Sebaiknya kau minta diri kepada guru.”
“Tentu. Aku akan minta diri apabila guru telah selesai membersihkan dirinya.”
Swandaru tidak menjawab. Dilihatnya Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sedang duduk di amben bambu di ruang depan gandok Kulon.
“Agaknya guru sudah selesai,” gumam Agung Sedayu.
Swandaru tidak menyahut. Diikutinya saja Agung Sedayu yang kemudian melangkah pergi menemui gurunya.
Kedatangan Agung Sedayu dengan wajah yang tampaknya bersungguh-sungguh diiringi oleh Swandaru yang masih belum mandi, ternyata telah menarik perhatian gurunya. Sehingga sebelum salah seorang dari kedua anak-anak muda itu berkata sesuatu, Kiai Gringsing sudah bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting kalian bicarakan?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ia pun kemudian duduk di amben itu pula bersama Swandaru.
“Guru,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku ingin minta ijin untuk menemui Kakang Untara. Sudah lama sekali aku tidak bertemu sejak aku meninggalkan Sangkal Putung.”
Gurunya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Agung sedayu sejenak, lalu, “Kenapa begitu tergesa-gesa, Sedayu. Sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan kakakmu. Mungkin kita dapat saling bercerita tentang keadaan kita masing-masing. Untara, kau, aku, Swandaru, dan barangkali juga Adi Sumangkar.”
“Ya, Guru. Di kesempatan lain aku akan ikut serta di dalam pertemuan yang demikian. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang mendorong aku untuk pergi menemuinya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu dan Untara adalah dua orang saudara tanpa orang ketiga. Orang tua mereka telah meninggal, sehingga keduanya adalah anak-anak yatim piatu. Untara bagi Agung Sedayu adalah ayah sekaligus ibunya. Di dalam banyak hal, Untara-lah yang membuat Agung Sedayu menjadi seorang anak muda. Meskipun pada mulanya seorang anak muda penakut karena ibunya terlampau memanjakannya.
Tetapi untuk melepaskannya Kiai Gringsing agak ragu-ragu juga. Ia tahu bahwa ada persoalan antara Sutawijaya dengan Sultan Pajang. Agaknya Untara tahu, bahwa Agung Sedayu berada di daerah Mataram. Mungkin berita itu telah didengarnya dari mulut ke mulut, setelah Sekar Mirah menyusulnya bersama Sumangkar.
Jika demikian, maka pasti sudah ada prasangka betapa pun lemahnya pada Untara terhadap adiknya, sehingga apabila di dalam pembicaraan selanjutnya ada di antara keduanya yang agak terdorong kata, maka dapat terjadi kedua kakak-beradik itu berselisih.
Agung Sedayu melihat keragu-raguan yang membayang di wajah gurunya, dan Agung Sedayu pun menyadari apakah sebabnya. Namun justru karena itu, ia menjadi semakin ingin bertemu dengan kakaknya. Rasa-rasanya seandainya ada sesuatu di hati kakaknya, biarlah ia segera mendengar, dan dengan demikian ia akan segera dapat memberikan beberapa penjelasan apabila diperlukan.
“Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “kalau, kau masih dapat menahan perasaanmu, tundalah barang satu dua hari. Hatimu pasti sudah mapan. Kau sudah tidak lelah lagi seperti saat ini, sehingga nalar pun akan terpengaruh juga. Hatimu menjadi gelap dan akalmu menjadi pendek.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tetapi dorongan di hatinya untuk bertemu dengan kakaknya tidak dapat ditahankannya lagi.
“Bagaimana, Sedayu?” bertanya gurunya.
”Guru,“ jawab Agung Sedayu, “aku merasa bahwa aku segera ingin bertemu dengan Kakang Untara. Sejauh dapat aku lakukan, aku akan menghindarkan diri dari setiap pembicaraan mengenai perkembangan keadaan. Aku didorong oleh kerinduanku kepada keluarga dan sanak-kadang yang ada di Jati Anom.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak yakin, bahwa hanya karena kerinduan itu saja Agung Sedayu yang telah merantau beberapa lama itu tidak dapat menundanya sehari saja lagi. Tentu ada sesuatu yang bergolak di dadanya, yang seakan-akan mendesaknya untuk segera mendapatkan penyelesaian.
Namun akhirnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat bahwa muridnya itu kini sudah menjadi semakin dewasa. Mungkin Untara pun akan menganggapnya sebagai anak muda yang telah dewasa pula. Ia tidak akan memperlakukan adiknya itu seperti di saat-saat Sedayu masih di Jati Anom, yang dengan ketakutan metigikuti kakaknya pergi ke Sangkal Putung.
“Baiklah, Agung Sedayu,“ berkata gurunya kemudian, “kalau kau memang ingin menemui kakakmu di Jati Anom, aku tidak berkeberatan. Tetapi aku berpesan kepadamu, bersikaplah dewasa.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia menjawab, Swandaru telah mendahuluinya, “Aku ikut bersamanya, Guru. Bukankah Kakang Agung Sedayu akan kembali kerumah ini sebelum senja?”
Tetapi gurunya menggelengkan kepalanya, “Kau tidak usah ikut Swandaru. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibumu akan berkeberatan. Kau baru saja datang dari perjalanan yang agak lama. Sehingga mereka masih ingin banyak berbicara tentang pengalamanmu, perjalananmu, dan kau halus mempertanggung jawabkan perutmu yang susut itu.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun memang seperti yang dikatakan oleh gurunya, ayah dan ibunya pasti akan berkeberatan apabila ia pergi bersama Agung Sedayu.
Karena itu, maka Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Agung Sedayu sejenak. Memang terbayang di wajah itu perasaan yang tertahan. Yang agaknya terlampau memberati dadanya, sehingga Agung Sedayu ingin mendapat saluran untuk melepaskannya.
Demikianlah, maka Agung Sedayu pun segera minta diri kepada Ki Demang, berdua dan Sekar Mirah. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan mereka, terutama Sekar Mirah.
“Kenapa begitu tergesa-gesa?”
“Senja nanti aku akan kembali ke rumah ini. Aku ingin ikut menyambut kawan-kawan yang akan berdatangan ke mari.”
“Tetapi,“ Sekar Mirah memotong. Namun ia tidak melanjutkan kata-katanya yang serasa tersangkut di kerongkongan.
Agung Sedayu berpaling memandanginya. Tetapi Sekar Mirah segera menundukkan kepalanya.
“Adalah menjadi kewajibanku untuk segera menemuinya,“ berkata Agung Sedayu. “Aku adalah saudaranya yang muda. Mungkin selama ini Kakang Untara menjadi cemas juga memikirkan nasibku di perjalanan yang tidak terbatas waktu itu.”
“Tidak,“ tiba-tiba Sekar Mirah memotong. “Kakang Untara tidak pernah datang kemari untuk bertanya tentang kau. Apalagi tentang Kakang Swandaru.”
“Ah,“ desis ayahnya, “Untara bukan anak-anak yang mempunyai banyak waktu setelah pulang dari menghalau burung di sawah. Anakmas Untara adalah seorang senapati yang bertanggung jawab atas pasukan segelar sepapan yang berada di Jati Anom sekarang. Tentu ia tidak mempunyai waktu untuk sering datang kemari.”
“Tetapi hubungannya dengan kakang Agung Sedayu adalah hubungan pribadi. Kalau ia tidak mempunyai waktu, ia dapat menyuruh satu dua orang bawahannya.”
“Kau sendiri mengatakannya, bahwa hubungan itu adalah hubungan pribadi Kenapa ia harus menyangkut bawahannya untuk keperluan yang sangat pribadi itu?”
“Maksudku, ia pasti mempunyai pelayan atau kawan atau orang yang dapat diupahnya untuk hal itu.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia menjawab, Agung Sedayu sudah mendahuluinya, “Itu adalah kewajibanku. Akulah yang muda. Karena itu supaya aku tidak bertindak deksura, akulah yang akan datang kepadanya.”
“Baiklah,” berkata Ki Demang kemudian, “apabila gurumu tidak berkeberatan, aku pun tidak berkeberatan. Tetapi senja nanti kau benar-benar diharap sudah ada di halaman ini.”
“Ya. Aku akan kembali sebelum senja. Aku tidak memerlukan waktu yang lama di Jati Anom. Besok di kesempatan lain aku akan kembali ke Jati Anom dan tinggal beberapa hari di sana.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajah Sekar Mirah tampak suram. Dan bahkan ia masih juga bersungut-sungut, “Kenapa harus hari ini?”
Agung Sedayu tidak menyahut. Sebenarnya ingin juga ia tinggal di Sangkal Putung hari itu. Tetapi desakan di dadanya itu tidak dapat ditundanya lagi.
Karena itu, maka setelah mempersiapkan seekor kuda, Agung Sedayu pun segera berangkat meninggalkan Sangkal Putung. Di regol halaman Sekar Mirah mendekatinya sambil berkata, “Kau harus cepat kembali. Kau lebih mementingkan Kakang Untara daripada aku di sini.”
“Bukan begitu, Mirah, tetapi ikatan yang ada di antara aku dan Kakang Untara memang berlainan dari ikatan yang ada pada diri kita. Tetapi aku akan segera kembali. Aku tidak akan melampaui senja.”
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya, seakan-akan ia kurang percaya kepada kata-katanya. Sehingga karena itu Agung Sedayu meneruskan, “Kalau aku tergesa-gesa menemui Kakang Untara, itu hanyalah karena aku adiknya.”
“Tetapi bagaimanakah kalau Kakang Untara kemudian menahanmu di sana, agar kau tidak segera kembali ke Sangkal Putung dengan alasan apa pun juga?”
“Tidak, Mirah. Kakang Untara tidak memerlukan aku di dalam tugasnya, ia sudah mempunyai pasukan yang kuat. Segelar sepapan. Buat apa aku seorang diri di dalam pasukannya?”
“Kakang Untara ingin kau menjadi seorang prajurit Pajang yang baik.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Tidak. Aku tidak akan disuruhnya tinggal di sana. Ia tidak memerlukan aku.”
Sekar Mirah tidak menyahut lagi. Meskipun hatinya menjadi berdebar-debar.
Demikianlah, setelah sekali lagi mohon diri, maka Agung Sedayu itu pun segera memacu kudanya pergi ke Jati Anom untuk menemui kakaknya. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang mendorongnya, agar ia segera bertemu dan apa pun yang akan dikatakan oleh kakaknya, biarlah ia segera mendengar.
“Tetapi mungkin hanya sekedar prasangka,“ desisnya di dalam hati, “justru karena pesan Raden Sutawijaya itu.”
Tetapi Agung Sedayu ingin segera membuktikan, sehingga karena itu, ia memacu kudanya semakin cepat.
Di dalam perjalanan itu, sempat juga ia mengenang bagaimana ia pertama kali pergi ke Sangkal Putung di malam yang gelap dalam hujan dan angin. Bagaimana ia menjadi ketakutan dari hampir-hampir tidak sanggup melanjutkan perjalanan.
“Aku hampir mati ketakutan,“ desisnya. Tanpa disadari sebuah senyum telah tersungging di bibirnya. Bahkan dibayangkannya, apakah yang akan terjadi atasnya, seandainya ia masih belum berhasil memecahkan kungkungan yang membelenggu hatinya saat itu, dan tiba-tiba saja ia terlempar ke Alas Mentaok seperti yang baru saja dialaminya.
“Aku tidak akan lebih baik dari orang-orang yang ketakutan di barak itu,“ katanya kepada diri sendiri.
Ketika Agung Sedayu sampai di Dukuh Pakuwon tiba-tiba saja ia ingin melihat rumah yang pernah didiami oleh Kiai Gringsing. Bahkan seakan-akan memang di padukuhan itulah tempat tinggal Kiai Gringsing yang sebenarnya, karena di rumah itu pula ia mulai mengenalnya.
Karena itu ketika ia sampai pada sebuah tikungan yang membelah padukuhan itu, tiba-tiba saja ia telah berbelok, menyelusuri jalan kecil yang langsung menuju ke rumah Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu tertegun ketika ia sampai di depan regol kecil sebuah halaman yang tidak begitu luas. Halaman yang kotor dan liar. Halaman itu adalah halaman rumah Ki Tanu Metir yang juga bernama Kiai Gringsing.
Seperti ditarik oleh sebuah pesona yang tidak dimengertinya sendiri, Agung Sedayu memasuki halaman rumah itu. Bahkan ia pun kemudian meloncat turun dari kudanya.
Tetapi Agung Sedayu berdiri saja di halaman sambil memandang berkeliling, memandang rerumputan liar, sarang laba-laba yang bergayutan di sudut-sudut rumah dan kandang yang kosong.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia tidak melangkah lebih dekat lagi. Sebenarnya ia ingin juga masuk ke rumah itu, tetapi niatnya diurungkannya. Ia ingin segera menemui kakaknya.
Tetapi langkahnya tertegun sejenak, ketika dilihatnya seseorang yang berjalan di lorong sempit. Orang yang memandanginya dengan penuh keheranan, tetapi juga dibayangi oleh perasaan takut dan cemas.
“Ki Sanak,“ tiba-tiba Agung Sedayu menyapanya, “apakah kau tinggal di padukuhan ini juga?”
“Ya, ya, Tuan,” orang itu tergagap, “aku memang tinggal di padukuhan ini.”
“Apakah kau kenal dengan penghuni rumah ini?”
“O,“ orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “orang yang tinggal di rumah ini adalah seorang dukun tua.”
“Di manakah ia sekarang?”
“Tidak seorang pun yang mengetahui nasibnya, Tuan. Selagi daerah ini menjadi daerah yang gawat, menjadi ajang benturan antara pasukan Pajang dan sisa-sisa prajurit Jipang, orang tua itu telah hilang.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ia adalah seorang dukun yang baik, Tuan. Dukun yang suka sekali menolong sesamanya. Bukan saja orang-orang di sekitar tempat tinggalnya saja yang datang kepadanya waktu itu. Tetapi dari padukuhan-padukuhan lain pun banyak yang datang berobat kepadanya. Dan ia berhasil menyembuhkannya.”
“Seorang dukun?” Agung Sedayu mengulang. ”Dukun yang dapat menyembuhkan orang sakit?”
“Ya, Tuan, menyembuhkan orang sakit. Tetapi ia mempunyai cara tersendiri. Ia mempergunakan dedaunan dan akar-akaran sebagai obat. Tidak dengan cara-cara yang ajaib yang tidak dapat kami mengerti.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kenangannya tentang masa lampaunya justru menjadi semakin jelas. Tentang rumah ini dan tentang Untara yang terluka ketika ia berkelahi melawan beberapa orang sekaligus. Di antaranya adalah Pande Besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda.
“Terima kasih, terima kasih,“ tiba-tiba Agung Sedayu bergumam.
“Apakah Tuan mempunyai sesuatu maksud?” bertanya orang itu.
“Tidak,“ jawab Agung Sedayu, “aku tidak bermaksud apa-apa.”
Orang itu memandang Agung Sedayu dengan heran. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi. Dituntunnya kudanya keluar dari halaman yang kotor itu, kemudian langsung meloncat ke punggungnya.
Namun ia masih berpaling sekali. Dilihatnya orang yang masih berada di halaman itu keheran-heranan. Tetapi Agung Sedayu hanya melambaikan tangannya saja sambil tersenyum.
Sejenak kemudian kudanya pun sudah berpacu pula. Semakin lama semakin jauh dari Dukuh Pakuwon.
Demikianlah maka derap kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat dengan Jati Anom. Setelah melampaui Sendang Gabus, maka dada Agung Sedayu pun menjadi berdebar-debar. Di hadapannya adalah padukuhan Jati Anom. Sejenak kemudian ia akan sampai dan bertemu dengan kakaknya, Untara.
Tiba-tiba terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Ada sesuatu yang menggelisahkannya. Justru karena Sutawijaya berpesan kepadanya, agar orang-orang Pajang termasuk Untara, tidak mencurigainya.
Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Dhentakkannya kakinya pada perut kudanya, sehingga kudanya pun berlari menuju ke padukuhan tempat kelahirannya.
Terasa sesuatu melonjak di dadanya, ketika ia melihat sebuah gardu di mulut lorong. Gardu yang dahulu belum pernah ada. Dan di depan gardu itu dilihat dua oraug prajurit berdiri sambil menyandang senjata.
“Hem,“ desis Agung Sedayu, “prajurit-prajurit Pajang benar-benar dalam keadaan siaga.”
Tetapi Agung Sedayu pun mencoba mengambil kesimpulan, “Namun agaknya para senapati Pajang masih juga ragu-ragu. Ternyata mereka masih saja berada di Jati Anom. Kalau mereka menganggap perkembangan Tanah Mataram itu benar-benar membahayakan, mereka pasti akan bergeser maju. Mungkin mereka akan kembali ke Sangkal Putung. Tetapi mungkin juga di Prambanan atau lebih maju lagi di seberang Kali Opak, pada tempat yang memotong garis lurus dari Mataram ke Pajang.”
Dalam pada itu kuda Agung Sedayu telah berada beberapa langkah dari gardu di mulut lorong. Ia melihat salah seorang dari kedua prajurit itu maju beberapa langkah dan berdiri di tengah jalan. Sambil mengangkat tangan kanannya ia berkata, “Berhenti, Ki Sanak.”
Agung Sedayu menarik kekang kudanya. Ia masih ingat prajurit Pajang di Sangkal Putung pernah bertanya kepadanya ketika ia datang untuk pertama kalinya ke kademangan itu ‘Apakah Ki Sanak tidak turun?’
Karena itu maka kali ini Agung Sedayu segera turun dari kudanya untuk memenuhi tata kesopanan bagi seorang penunggang kuda yang melalui sebuah penjagaan yang dianggap penting.
“Siapakah kau?” bertanya prajurit itu.
Agung Sedayu menatap wajah prajurit itu sejenak. Tetapi ia memang belum pernah mengenalnya, demikian juga agaknya prajurit itu masih belum mengenalnya.
Karena itu maka jawabnya, “Aku anak Jati Anom.”
“He,“ prajurit itu mengerutkan keningnya, ”kau anak Jati Anom? Siapa namamu?”
“Agung Sedayu.”
Prajurit itu merenung sejenak. Katanya, “Aku mengenal hampir semua anak-anak muda di Jati Anom. Tetapi aku belum pernah melihat kau.”
“Sudah lama aku pergi. Aku berada di Sangkal Pulung.”
“O,“ prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “kau anak siapa?”
Agung Sedayu termenung sejenak, dalam keragu-raguan. Ia tidak ingin menyebut dirinya langsung sebagai adik Untara apabila tidak diperlukan sekali, agar tidak menumbuhkan kesan yang tidak dikehendaki pada prajurit itu. Karena itu, maka ia pun menjawab pertanyaan prajurit itu, ”Ayah dan ibuku sudah lama meninggal dunia.”
“Ya, tetapi siapa mereka?”
Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya, “Namanya Ki Sadewa.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Ia memang belum pernah mendengar nama itu, sehingga tanpa disadarinya ia berpaling memandangi wajah kawannya yang berdiri di depan gardu.
“Siapa?” bertanya kawannya sambil melangkah mendekat.
“Agung Sedayu.”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Tetapi sebelum ia menjawab, Agung Sedayu sudah bertanya lebih dahulu, “Apakah Jati Anom sekarang menjadi daerah tertutup?”
Kedua prajurit itu terdiam sejenak, namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Jati Anom belum menjadi daerah tertutup.”
“Kalau begitu aku dapat lewat meskipun kalian tidak mengenal aku dan orang tuaku yang sudah meninggal.”
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Namun mereka pun kemudian menganggukkan kepala mereka, “Ya. Kau dapat lewat.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Terima kasih. Aku akan menengok kampung halaman yang sudah lama aku tinggalkan.”
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari keduanya menyahut, “Silahkan. Tetapi kau harus menjaga diri. Meskipun Jati Anom belum merupakan daerah tertutup, namun daerah ini merupakan daerah pengawas. Setiap orang akan diawasi dan harus bertanggung jawab atas tingkah lakunya di sini.”
Agung Sedayu mengangguk. ”Ya. Aku mengerti. Aku akan bertanggung jawab atas segala perbuatan dan tingkah lakuku selama aku berada di Jati Anom.”
Kedua prajurit itu saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka melangkah minggir. Salah seorang dari mereka berkata, “Silahkan.”
Agung Sedayu pun kemudian meloncat kepunggung kudanya. Setelah la mengangguk hormat, maka kudanya pun mulai melangkah memasuki lorong daerah kelahirannya.
Dada Agung Sedayu pun mulai berdebar-debar ketika ia melihat keadaan di padukuhan Jati Anom. Suasananya mirip dengan suasana padukuhan-padukuhan di Sangkal Putung pada saat mereka menghadapi pasukan Tohpati yang berusaha merebut daerah perbekalan itu. Hampir di setiap lorong ia bertemu dengan prajurit Pajang yang berjalan sambil memandanginya dengan heran. Di setiap simpang empat dan apalagi di halaman Banjar. Agaknya Banjar padukuhan itu pun telah dipergunakan sebagai tempat tinggal para prajurit. Bukan saja banjar padukuhan, tetapi juga satu dua rumah-rumah yang paling besar. Dan mungkin juga kademangan seperti Kademangan Sangkal Putung.
Agung Sedayu herjalan terus. Ia tertegun ketika ia melihat seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu di simpang tiga. Anak muda itu adalah anak muda yang pernah dikenalnya. Justru adalah kawannya bermain dan mereka bersama-sama sibuk menghadapi padepokan Tambak Wedi sebelum padepokan itu dihancurkan.
“Kau Sedayu?” sapa anak muda itu.
Agung Sedayu pun segera meloncat dari punggung kudanya.
“Ya,“ jawab Agung Sedayu sambil mengguncang pundak anak muda itu, “kau sekarang tampak gagah sekali Juga.”
Anak muda yang bernama Juga itu tertawa.
“Kau juga menjadi seorang prajurit?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya. Aku mendapat kesempatan itu. Dan aku senang melakukannya. Apalagi untuk sementara aku akan tetap tinggal di padukuhan sendiri, selama Untara masih berada di sini juga.
Agung Sedayu tersenyum. Dipandanginya kawannya yang bernama Juga itu dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya.
“Apa yang aneh padaku?” bertanya anak muda itu.
Agung Sedayu kini tertawa. Jawabnya, “Tidak ada yang aneh. Tetapi kau pantas menjadi seorang prajurit.”
Juga pun tertawa, “Ada-ada saja kau, Sedayu. Aku kira kau pun akan menjadi seorang prajurit pula seperti Untara. Kau tentu akan mendapat kesempatan pula. Apalagi kau adiknya.”
“He, kau aneh. Apakah adik seorang senapati akan selalu mendapat kesempatan untuk menjadi seorang prajurit? Bukankah untuk menjadi seorang prajurit diperlukan syarat-syarat tertentu dan harus melakukan pendadaran?”
“Ya.”
“Meskipun aku adik Kakang Untara, tetapi kalau aku tidak memenuhi syarat, maka aku tidak akan dapat diterima menjadi seorang prajurit.”
“Ah kau,“ desah Juga, “kau sangka kami, anak-anak Jati Anom tidak tahu tentang kau? Tidak tahu apa yang kau lakukan di Sangkal Putung dan di padepokan Tambak Wedi?”
“Ah, aku tidak berbuat apa-apa.”
Juga menepuk bahu Agung Sedayu, katanya, “Memang tidak seorang pun yang menyangka bahwa kau akan menjadi anak muda yang mengagumkan seperti ini. Di masa kanak-kanak kau lain sekali.”
Agung sedayu tersenyum. Memang masa kanak-anaknya dapat menimbulkan kesan yang lucu di dalam dirinya. Di masa hatinya selalu diliputi oleh perasaan takut dan cemas. Gelisah dan ketidak-tentuan.
Tetapi yang telah terukir di jiwanya itu sama sekali tidak akan dapat terhapus sama sekali. Meskipun ia telah berhasil memecahkan ikatan ketakutan yang selalu menyelubungi dirinya, namun bekasnya masih tampak sampai saat ini. Keragu-raguan dan pertimbangan yang terlalu berkepanjangan masih saja mempengaruhinya dalam menentukan sikap dan keputusan.
Agung Sedayu itu terperanjat ketika Juga bertanya, “Apakah kau sekarang akan menemui kakakmu?”
Agung Sedayu mengangguk, “Ya. Tetapi aku juga akan melihat rumah yang telah lama aku tinggalkan.”
“Untara tinggal di rumahnya bersama beberapa orang pemimpin pasukan ini.”
“O,“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, “jadi aku tidak usah mencarinya ke mana-mana.”
“Ya. Pulang sajalah. Kau akan menemukan orang yang kau cari.”
“Terima kasih. Apakah kau akan pergi ke sana juga?”
Juga menggeleng. Jawabnya, “Aku tinggal di banjar.”
Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Kalau begitu, aku akan pulang ke rumah dahulu menemui Kakang Untara. Kemudian aku akan melihat-lihat padukuhan ini.”
“Bukankah kau akan kembali ke padukuhan ini?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia pun kemudian menjawab, “Ya. Aku akan kembali ke Jati Anom. Tetapi tidak segera. Aku masih mempunyai beberapa persoalan yang harus aku selesaikan.”
“Apa?”
“Ah, hanya persoalan pribadi.”
“He? Persoalan pribadi?” Juga mengerutkan keningnya, kemudian, “Ha, aku tahu. Tentu persoalan anak muda. Kalau begitu, kami, anak-anak Jati Anom setelah merayakan hari bahagia Untara, akan segera merayakan hari besarmu.”
“He,“ justru Agung Sedayu terkejut. “Ada apa dengan kakang Untara?”
“Kenapa kau bertanya? Bukankah kau adiknya?”
Agung Sedayu menjadi bimbang sesaat. Namun kemudian ia berkata, “Sudah lama aku tidak bertemu Kakang Untara.”
“Temuilah. Ia pasti akan mengatakannya kepadamu,” sahut Juga sambil tersenyum.
Agung Sedayu memandang Juga sejenak, Ia melihat kelucuan membayang di wajah anak muda itu, sehingga Agung Sedayu pun kemudian tersenyum pula.
“Nah, silahkan. Aku kira Untara ada di rumah saat ini.”
“Kau selalu mengada-ada saja,“ gumam Agung Sedayu sambil tertawa. “Tetapi ceritamu tentang Kakang Untara sangat menarik. Berbeda dengan dugaanmu tentang aku.”
Juga tertawa pula. Katanya, “Kau masih belum mengaku. Tetapi aku berani bertaruh hitamnya kuku. Kau pasti akan membicarakan masalahmu sendiri dengan Untara. Masalah anak muda.”
Agung Sedayu akan menjawab, tetapi Juga mendahului, “Jangan membantah. Aku hanya sekedar menyatakan selamat. Aku ikut gembira bahwa akhirnya seorang demi seorang anak-anak muda Jati Anom akan menginjak dunia yang baru. Kau kira cerita tentang gadis Sangkal Putung itu tidak aku dengar?”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Tetapi ia kemudian tidak mendapat kesempatan menjawab, karena Juga kemudian berkata, “Ah, silahkan. Aku tidak akan mendahului persoalan kalian.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat menjawab karena Juga segera melangkah pergi sambil melambaikan tangannya.
Sejenak Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia meloncat ke punggung kudanya dan meneruskan perjalanannya, menuju ke rumahnya yang kini telah diperguuakan sebagai tempat pimpinan pasukan Pajang yang bertugas di daerah Selatan.
Agung Sedayu tidak menghiraukan lagi apabila beberapa orang prajurit yang tidak dikenalnya memandangnya dengan heran. Meskipun tidak terlampau cepat, namun kudanya berlari juga di sepanjang jalan padukuhan menuju ke rumahnya.
Tetapi agaknya ada juga prajurit Pajang yang bersifat aneh. Prajurit-prajurit muda yang belum sempat menunjukkan kelebihannya di medan perang yang sesungguhnya. Kadang-kadang mereka tiba-tiba saja ingin berbuat sesuatu untuk membuktikan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang mempunyai kelebihan dari orang lain.
Seorang prajurit muda yang mempunyai sifat yang demikian, ternyata tidak senang melihat Agung Sedayu berkuda di jalan padukuhan tanpa berpaling memandangnya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “He, anak muda. Berhentilah sebentar.”
Agung Sedayu berpaling. Ketika ia sadar, bahwa prajurit itu berbicara kepadanya, maka ia pun segera menarik kekang kudanya.
“Ke mari!“ bentak prajurit itu.
Agung Sedayu menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya prajurit muda yang berdiri bertolak pinggang di antara dua orang kawannya yang masih muda-muda juga.
“Kemari, cepat!”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap tidak beranjak dari tempatnya.
“Kemari! Apakah kau tidak mendengar?”
Agung Sedayu menarik nafas untuk menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba saja terbayang di rongga matanya, wajah Sidanti yang sudah tidak ada lagi. Sifat-sifat sombong dan angkuh kini dilihatnya juga pada wajah prajurit muda.
Sebenarnya Agung Sedayu tidak senang diperlakukan demikian, karena ia tahu, bahwa prajurit itu memang tidak berhak berbuat demikian. Tetapi untuk menghindari keributan, maka ia pun segera meloncat turun dan selangkah demi selangkah mendekati prajurit muda itu. Prajurit-prajurit itu belum pernah dilihatnya, sehingga Agung Sedayu berkesimpulan, bahwa sebagian besar dari prajurit-prajurit yang ada di Jati Anom bukannya prajurit yang pernah tinggal di Sangkal Putung. Agaknya prajurit Untara sekarang adalah prajurit-prajurit muda yang masih mengidap darah yang mudah mendidih.
“Siapa kau, he? Kau sangka bahwa kau seorang tumenggung. Seharusnya kau berjalan sambil menuntun kudamu. Kau malahan memacu kudamu di jalan padukuhan yang sempit ini. Apalagi kau berpapasan dengan prajurit-prajurit Pajang. Apakah para penjaga gardu di regol padukuhan ini tidak menegurmu?”
“Maaf,“ jawab Agung Sedayu “aku tidak tahu, dan para prajurit di gardu tidak memberitahukan kepadaku, bahwa aku harus menuntun kudaku di sepanjang jalan padukuhan.”
“Siapa kau dan di mana rumahmu?”
“Namaku Agung Sedayu. Rumahku Jati Anom ini. Aku akan kembali menengok halaman dan rumah yang sudah lama aku tinggalkan.”
“Bohong! Aku belum pernah melihat wajahmu.”
“Aku sudah berpapasan dengan Juga. Ia juga seorang prajurit. Aku kenal anak muda itu, karena kami berasal dari padukuhan ini.”
“Jangan mengelabui kami. Seandainya kau kenal juga anak-anak muda di padukuhan ini, namun kau sudah bertindak deksura. Kau sama sekali tidak menghormati prajurit.”
“Aku minta maaf.”
“Persetan. Aku muak melihat wajahmu. Kau pantas mendapat sedikit peringatan.”
“Aku minta maaf. Aku tidak tahu.”
“Maaf, maaf macammu. Kau sangka kesalahanmu dapat hapus dengan minta maaf.”
“Jadi?“ Agung Sedayu tidak mengerti maksud prajurit itu.
Namun agaknya prajurit itu memang sekedar ingin berselisih sehingga tiba-tiba saja ia telah menyambar ikat kepala Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkannya sehingga dengan cepat pula ia berhasil mengelak.
“He, kau berani melawan aku?”
“Bukan maksudku,“ sahut Agung Sedayu.
“Tetapi kau mengelak.”
“Jangan kau rusakkan ikat kepalaku.”
Prajurit itu memandang Agung Sedayu dengan marahnya. Selangkah ia maju mendekati Agung Sedayu yang melangkah surut.
Ternyata dua orang kawannya bersikap agak lain. Sambil menggamit kawannya yang marah, salah seorang dari mereka berkata, “Sudahlah. Jangan hiraukan anak dungu itu.”
“Biar aku memberinya sedikit peringatan. Kalau dibiarkan saja demikian, maka ia akan menjadi semakin deksura. Ia akan tidak menghargai lagi kepada kita. Disangkanya siapa kita ini?”
Kedua kawannya itu saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka pun mengangkat bahu. Kawannya itu tidak mau lagi diperingatkannya.
“He, Agung Sedayu. Jangan mengelak. Kau harus membiarkan, aku mengambil ikat kepalamu dan membanting di tanah, kemudian akan aku injak dengan dua belah kakiku.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar menghadapi masalah yang meskipun sederhana, tetapi membingungkan. Ia dapat saja berbuat sesuatu untuk mempertahankan ikat kepalanya. Bukan sekedar ikat kepalanya itu, tetapi harga dirinya. Namun dengan demikian ia akan berselisih dengan seorang prajurit. Kalau kakaknya mendengar, mungkin akan dapat menimbulkan salah pengertian, justru karena ia datang dari daerah baru yang sedang diawasi, Mataram.
“Cepat, tundukkan kepalamu!“ perintah prajurit itu.
Tetapi Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu.
“Cepat, atau aku harus bertindak?”
“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “sebenarnya aku tidak ingin berselisih. Aku sudah mencoba menghindar sejauh mungkin. Tetapi kau selalu memaksa aku untuk mempertahankan harga diriku.”
“Kau mau apa?” bentak prajurit muda itu.
“Tentu saja aku berkeberatan kalau kau menghina aku. Kalau kau memerlukan ikat kepala yang lain, barangkali aku dapat mengusahakan. Tetapi bukan ikat kepala yang sedang aku pakai sekarang ini.”
“Aku memang akan menghinakan kau, karena kau terlampau sombong.”
“Aku berkeberatan.”
“Jadi kau akan melawan?”
“Tidak. Tetapi aku akan mempertahankan ikat kepalaku.”
“Gila,“ prajurit itu menjadi semakin marah. Selangkah ia maju. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar seseorang berkata, “He, apa yang terjadi?”
Semuanya yang ada di tempat itu berpaling. Ternyata Juga datang dengan tergesa-gesa mendekati mereka yang sedang bertengkar.
“Kenapa kalian bertengkar?”
“Anak ini terlampau sombong,“ berkata prajurit muda itu, “ia tidak mau menuntun kudanya di sepanjang jalan padukuhan ini.”
“Ah kau,“ desis Juga, “sudahlah. Pergilah Sedayu.”
“Tunggu,“ potong prajurit itu, “begitu saja ia akan pergi? Aku sudah mengatakan, ia terlampau sombong. Ia tidak menghiraukan sama sekali kepada prajurit-prajurit Pajang yang ada di Jati Anom. Apakah dikiranya kami ini orang-orang liar di sini?”
Series 62
“JANGAN terlampau memanjakan perasaanmu. Biarkan Sedayu pergi. Memang tidak ada keharusan untuk menuntun kuda di sepanjang lorong padukuhan. Karena itu, ia melakukannya. Petugas-petugas di regol pun tidak melarangnya atau memperingatkannya.”
“Persetan,” geram prajurit muda itu, “tetapi ia sudah menghina aku.”
Juga akan menjawab. Tetapi kedua kawan prajurit itu berkata, “Ia menjadi kambuh lagi. Bukankah memang begitu sifatnya?”
“Tetapi ia harus dicegah,” sahut Juga.
“Kami sudah mencoba, tetapi ia tidak menghiraukan.”
Juga mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Terserah kepada Sedayu. Kami akan menjadi saksi apa yang telah terjadi sebenarnya di sini. Kalau kau tidak bersedia diperlakukan demikian, terserahlah kepadamu.”
“He, apa maksudmu?” bertanya prajurit muda itu.
“Kalian adalah anak-anak muda. Agaknya kalian ingin menyelesaikan persoalan yang paling kecil sekali pun dengan cara anak muda.”
“Tetapi aku prajurit.”
“Itulah kesalahanmu yang terbesar. Kalau kau mau menunjukkan kemudaanmu, kekuatanmu, lepaskan dahulu sebutan itu,” jawab Juga. Lalu, “Aku juga seorang prajurit. Tetapi aku menganggap sikapmu keliru.”
“Persetan,” dan tiba-tiba prajurit muda itu memandang wajah Agung Sedayu dengan sorot mata yang seakan-akan membara, ”aku akan menghajarmu.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kedatangannya di Jati Anom pagi ini kurang meuguntungkannya sehingga ia harus bertengkar lebih dahulu dengan seorang prajurit.
Tetapi tanpa diduga-duga Juga berkata, ”Kalau kau menganggap, perlu membela diri, lakukanlah Sedayu. Kami sudah berusaha mencegahnya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Mungkin ia masih ingin mengukur, sampai di mana kemampuannya yang sebenarnya.”
Prajurit muda itu berpaling. Dipandanginya Juga dengan tajamnya. Tetapi Juga agaknya acuh tidak acuh saja. Sedang kedua kawannya yang lain justru tersenyum-senyum. Salah seorang berkata, “Anak itu memang anak bengal.”
Juga bergeser mendekatinya sambil berbisik, “Tetapi kali ini ia akan menyesal.”
Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya. ”Kenapa?” hampir berbareng mereka bertanya.
Tetapi Juga tidak menjawab. Sebuah senyum yang aneh terbayang di bibirnya.
Kedua prajurit itu pun menjadi heran. Sejenak mereka memandang wajah Juga yang aneh.
Salah seorang dari kedua prajurit itu bertanya, “Kau kenal anak itu?”
“Anak itu kawanku berkelahi sejak kecil. Dan aku tidak pernah kalah. Apalagi ia penakut dan cengeng di masa kanak-kanak.”
“Apakah sekarang ia masih seorang penakut dan cengeng?”
”Lihat sajalah.”
Kedua prajurit itu terdiam. Mereka memandang kedua anak muda yang saling berhadapan. Yang seorang berpakaian prajurit, yang lain tidak.
Ternyata beberapa orang yang kebetulan lewat di lorong itu menjadi tertarik pula. Mereka semula tidak menyangka bahwa prajurit-prajurit itu telah bertengkar di pinggir lorong. Namun orang-orang yang lewat kemudian mengetahui, bahwa ternyata keduanya menjadi semakin tegang.
Tetapi tidak seorang pun yang berani menegurnya. Mereka hanya memandang dari kejauhan dengan kecemasan. Sekali-sekali mereka memandang prajurit-prajurit yang berdiri didekac kedua anak-anak muda yang sedang bertengkar itu. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa.
“Aku masih memberi kau kesempatan,” bentak prajurit yang sedang bertengkar dengan Agung Sedayu itu, “tetapi kalau kesempatan sekali ini kau sia-siakan, aku akan bertindak keras.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
“Berjongkok dan aku akan menginjak ikat kepalamu yang harus kau bentangkan di tanah.”
Mata Agung Sedayu menjadi merah. Penghinaan itu benar-benar tidak dapat diterimanya. Meskipun demikian ia tidak berbuat sesuatu selain berdiri tegak di tempatnya.
“Kau tidak mau melakukan? Tidak mau? Aku menghitung sampai tiga.”
Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak.
“Satu, dua,” prajurit itulah yang menjadi tegang sekali, sedang Agung Sedayu sama sekali tidak bergerak.
“Tiga,” teriak prajurit itu.
Tetapi Agung Sedayu tetap di tempatnya.
Prajurit itu menjadi marah sekali. Sambil menggeram ia melangkah semakin dekat, ”Kau memang gila.”
Karena Agung Sedayu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, maka prajurit itu pun maju semakin dekat.
Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu melangkah surut beberapa langkah. Sambil memegang kendali kudanya ia berkata, ”Aku akan pergi saja. Aku tidak akan melayani perbuatan yang tidak pada tempatnya ini.”
”Gila, kau tidak akan dapat pergi.”
Agung Sedayu ternyata tidak sempat meloncat ke punggung kudanya karena prajurit itu tiba-tiba saja meloncat menyerangnya.
Kini tidak ada jalan lain bagi Agung Sedayu selain mempertahankan dirinya.
Sebagai seorang anak muda yang memiliki pengalaman yang cukup serta berbekal ilmu yang cukup pula. Agung Sedayu dapat menilai bobot dari Berangan lawannya. Karena itu, tanpa melepaskan kendali kuda yang dipeganginya dengan tangan kiri, tangan kanannya menangkap tangan prajurit yang terayun ke keningnya. Dengan satu putaran, maka tangan itu pun terpilin ke belakang oleh putaran tubuhnya sendiri. Sedang genggaman tangan Agung Sedayu serasa himpitan besi yang meretakkan tulang-tulangnya.
Tiba-tiba saja prajurit itu berteriak kesakitan. Ia pernah mengalami latihan yang berat dan pendadaran sebelum menjadi seorang prajurit. Tetapi tiba-tiba saja tangannya sekali terpilin ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Sambil menekankan tangan itu ke punggungnya Agung Sedayu berdesis, ”Apakah kau masih memerlukan ikat kepala.”
“Aduh. Jangan kau patahkan tanganku. Aduh.”
“Jawab pertanyaanku.”
“Aduh, gila kau. Juga, he, kenapa kalian diam saja?”
Kedua kawannya terkejut melihat ketangkasan Agung Sedayu yang masih tetap memegang kendali kudanya. Tetapi ketika keduanya mulai melangkah, Juga berkata, ”Biarkan ia mengenal anak muda yang akan dihinakan itu.”
“Setan kau, Juga,” teriak prajurit yang kesakitan itu.
“Salahmu. Aku sudah memperingatkan.”
Ketika Agung Sedayu menekan sedikit lagi, terdengar ia mengaduh semakin keras.
“Aku akan mematahkan tangan ini,” desis Agung Sedayu.
“Jangan, jangan.”
“Nah, kau belum menjawab. Apakah kau masih memerlukan ikat kepala?”
Karena prajurit itu tidak segera menjawab, maka tangan Agung Sedayu semakin keras menekan.
“Jawablah.”
“Ya, ya, eh maksudku tidak. Aku tidak akan……,” ia menyeringai semakin lebar. ”Juga, kau gila.”
“Jangan mengharap bantuan orang lain. Kau sudah memulainya. Kau juga yang harus menyelesaikan,” jawab Juga.
”Gila. Tetapi kau akan dihukum karena kau melawan seorang prajurit. Kawan-kawanku akan datang menghancurkan kau atau kau akan dibawa menghadap senapati. Mungkin kau dapat digantung karena perlawananmu ini. Kau sudah memberontak.”
“Aku tidak peduli. Tetapi jawab pertanyaanku.”
Oleh tekanan yang semakin keras, prajurit itu berteriak, ”Tidak, aku tidak memerlukannya lagi.”
Agung Sedayu pun kemudian mendorong prajurit itu sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab ketika tangan itu dilepaskan.
“Setan alas!” prajurit itu mengumpat dengan geramnya. Wajahnya menjadi merah. Hampir saja ia menarik kerisnya. Tetapi Agung Sedayu sudah meloncat ke atas punggung kudanya dan pergi meninggalkannya.
Tetapi prajurit muda yang ditinggalkannya itu mengumpat-umpat. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa dengan satu gerakan yang sederhana, bahkan dengan satu tangan, sedang tangan yang lain masih memegang kendali kuda, ia sudah tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
“Jangan lari, Pengecut!” teriak prajurit itu.
Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya.
“Kita berkelahi dengan senjata.”
Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin jauh.
Karena Agung Sedayu tidak ada lagi, maka kemarahan prajurit muda itu kini ditujukan kepada Juga, yang seolah-olah telah menghalang-halangi kawan-kawannya untuk membantu.
”Kau memang gila, Juga. Kau senang melihat aku dihina orang di padukuhan ini? Apakah karena kau sudah mengenalnya sehingga kau lebih dekat dengan orang gila itu daripada kesetia-kawananmu terhadap sesama prajurit.”
“Jadi, maksudmu?”
“Hajar anak itu sampai biru bengap. Kenapa kau cegah kawan-kawan untuk membantu aku?”
“Kau menghina kedudukanmu sendiri. Kau menghina harga diri prajurit Pajang. Apakah prajurit Pajang hanya dapat berkelahi dengan curang? Kalau kau memang jantan, kau sendirilah yang harus menyelesaikannya. Bukan aku, bukan orang lain, dan bukan beramai-ramai seluruh pasukan segelar sepapan.”
“Persetan. Ternyata kau bukan kawan yang baik bagi kami. Kalau begitu, apakah kau akan menggantikannya?”
“Maksudmu berkelahi melawan kau?” bertanya Juga.
“Ya.”
“Ah,” salah seorang prajurit yang lain mencegah, ”persoalannya sudah lain sama sekali. Sudahlah. Kita bukan anak-anak lagi.”
“Tetapi ia bersikap bermusuhan terhadapku. Ia berpihak pada anak gila itu.”
“Aku memang lebih baik berkelahi dengan kau daripada melawan anak itu. Bukan karena aku kawannya sejak kecil, tetapi kami berempat tidak akan dapat menang. Bersenjata atau tidak bersenjata. Apalagi aku sama sekali tidak ingin membuat persoalan ini berkepanjangan. Bahkan mungkin kita akan dapat dilemparkan dari tugas keprajuritan.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. “Kenapa?” ia bertanya.
“Pertama, kaulah yang bersalah. Kau bersikap kasar dan seolah-olah kau adalah orang yang paling berkuasa.”
“Bohong!”
“Tunggu. Aku belum selesai. Yang kedua, aku tidak mau berhadapan dengan senapati daerah Selatan.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Katanya, ”Gila, kenapa mesti berhadapan dengan senapati kita.”
“Anak itu, anak yang akan kau hinakan itu adalah Agung Sedayu. Ia anak Jati Anom.”
“Aku sudah tahu.”
“Senapati kita juga anak Jati Anom.”
“Aku sudah tahu.” Tetapi prajurit itu kemudian bertanya, ”Apakah unsur kampung halaman sangat mempengaruhi perasaan dan sikap senapati, sehingga apa pun persoalannya ia akan berpihak kepada orang se padukuhan?”
“Tidak. Bukan begitu. Ia adalah seorang yang berdiri tegak di atas tugas keprajuritannya. Tetapi seperti yang aku katakan, justru karena itulah ia akan bertindak terhadap kita, apabila kita bersalah, meskipun kita seorang prajurit. Tetapi lebih daripada itu, kita sudah bersalah terhadap Agung Sedayu.”
“Kenapa dengan Agung Sedayu. Apakah kelebihannya?”
“Agung Sedayu adalah adik senapati itu. Agung Sedayu adalah adik seayah dan seibu dari Untara.”
“He,” mata prajurit muda itu terbelalak karenanya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada yang sumbang ia berkata, ”Ah, kau bohong. Kau hanya akan menakut-nakuti aku.”
“Aku tidak berbohong. Keduanya adalah kawanku bermain. Dan keduanya adalah anak-anak Jati Anom ini. Selebihnya kau tahu sendiri. Dengan sebelah tangannya ia membuatmu tidak berdaya.”
Prajurit itu sejenak mematung. Dan Juga berkata selanjutnya, ”Untunglah bahwa anak itu adalah anak yang paling sabar yang pernah aku kenal. Kalau saja ia berbuat sesuatu atasmu, maka aku kira kau tidak akan mengenal matahari mencapai puncak di hari ini. Kalau saja sifat-sifat Agung Sedayu itu sama seperti Untara, maka kau pasti sudah digilasnya. Bukan saja kau, tetapi kami yang lain ini juga.”
Tubuh prajurit muda itu tiba-tiba saja menjadi gemetar. Dengan suara yang dalam ia berkata, ”Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku sejak mula-mula?”
“Aku datang setelah kalian bertengkar. Dan aku tahu sifat-sifatmu sebelumnya, sehingga sekali-sekali kau memang perlu mendapat peringatan. Kali ini kau bertemu dengan adik Untara itu.”
“Tetapi, tetapi bagaimana dengan senapati? Apakah benar-benar aku akan diusir dari tugas keprajuritan?”
Juga menggelengkan kepalanya. Katanya, ”Kalau kau jera melakukan tindakan-tindakan yang tercela itu, kau tidak akan diapa-apakan. Aku kira Agung Sedayu bukan orang tumbak cucukan. Ia tidak akan melaporkannya kepada kakaknya. Bahkan mungkin ia akan berusaha melindungimu. Ia memang anak yang aneh menurut pendengaranku dan aku sudah melihatnya sendiri saat ini.”
Prajurit muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih membayang kegelisahan di wajahnya. Sekali ia menelan ludahnya, namun ia tidak dapat segera menenangkan hatinya. Bahkan setiap kali ia masih berkata, “Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku.”
“Suatu pelajaran buatmu,” sahut Juga.
Dalam pada itu Agung Sedayu telah sampai di depan regol rumahnya. Dengan dada yang berdebar-debar, ia pun turun dari kudanya, dan dituntunnya mendekati regol itu. Beberapa orang prajurit yang berada di regol itu memandanginya dengan heran. Seorang dari prajurit-prajurit itu yang sedang bertugas jaga sambil membawa senjata, melangkah maju menyongsongnya.
“Kau akan kemana, Anak Muda?” bertanya prajurit itu.
“Aku akan masuk ke halaman rumah ini.”
“Apakah kau mempunyai suatu keperluan?”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Mereka pasti belum tahu bahwa ia adalah pemiiik rumah itu bersama-sama dengan Untara yang mempergunakannya sebagai tempat tinggal para pemimpin pasukan Pajang di Jati Anom. Karena itu barangkali lebih baik langsung mengatakan siapakah ia sebenarnya supaya tidak timbul lagi salah paham.
“Apakah keperluanmu?” prajurit itu mendesak.
“Aku akan menemui Kakang Untara.”
”Kau akan menemui Senapati?”
“Ya.”
“Apakah keperluanmu?”
“Keperluan pribadi. Aku adalah adiknya.”
Para prajurit itu saling berpandangan sejenak. Salah seorang dari mereka yang sedang bertugas itu pun kemudian bertanya. ”Apakah kau benar-benar adik Senapati Untara?”
“Ya. Aku adik sekandungnya. Rumah ini adalah rumah kami. Dan aku akan masuk menemuinya.”
Tetapi agaknya prajurit-prajurit itu masih ragu-ragu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba mereka mendengar seorang memanggilnya, ”He, kau Sedayu?”
Semua orang berpaling. Dilihatnya seorang prajurit muda berlari-lari mendapatkan Agung Sedayu.
“Bukankah kau Agung Sedayu?” prajurit itu mencoba meyakinkan setelah ia berdiri berhadapan.
“Ya. Aku Agung Sedayu. Kau Surat? Kau juga menjadi prajurit?”
“Ya. Aku juga menjadi prajurit.”
“Juga pun menjadi prajurit.”
“Ya, Juga menjadi prajurit juga. Di mana kau selama ini?”
“Aku pergi bertualang.”
“Dan sekarang kau pulang?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Surat berkata kepada kawannya, ”Inilah Agung Sedayu. Adik sekandung Senapati kita.”
Prajurit-prajurit yang berdiri di pintu regol itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini tidak ragu-ragu. Salah seorang dari mereka ternyata telah mengenalnya.
“Aku akan menemui Kakang Untara.”
“Aku lihat ia ada di dalam. Masuklah.”
“Terima kasih.”
Agung Sedayu pun kemudian sambil menganggukkan kepalanya menuntun kudanya masuk ke halaman rumahnya yang sudah agak lama ditinggalkannya.
“Berikan kudamu,” berkata Surat.
Agung Sedayu memandanginya sejenak, lalu menyerahkan kendali kudanya kepada prajurit itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan melintasi pendapa. Ketika ia sampai di serambi pendapa ia melihat seorang perwira melintas. Sesaat perwira itu berhenti memandangnya. Tetapi ia tidak menyapanya. Ia langsung melangkah meninggalkan pendapa.
Agung Sedayu menarik nafas. Ada juga perwira yang tinggi hati. Atau, karena ia menjadi seorang perwira, maka ia menjadi tinggi hati.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling dilihatnya prajurit-prajurit yang bertugas di regol memandanginya dengan tatapan mata yang aneh.
“Aku yang memiliki rumah ini,” berkata Agung Sedayu di dalam hati. ”Aku dapat berbuat apa saja sekehendakku.”
Maka Agung Sedayu pun segera melangkah naik ke pendapa. Diamat-amatinya perhiasan yang melekat di dinding yang menyekat pendapa itu dengan pringgitan. Sebuah perisai, tombak pendek yang bersilang, dan sebuah busur.
Tetapi letak hiasan itu sama sekali tidak memberikan keseimbangan bentuk bagi keseluruhan dinding itu. Agaknya senjata-senjata itu asal saja digantungkan, tanpa menghiraukan letak dan bidang.
Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar pintu berderit. Seorang perwira melangkah keluar dari pintu pringgitan. Perwira yang dilihatnya melintas tanpa menyapanya tadi.
Sejenak perwira itu berdiri keheran-heranan. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Baru kemudian ia bertanya, ”He, kenapa kau ada di situ?”
Agung Sedayu memandangnya sejenak. Lalu menjawab, ”Aku akan bertemu dengan Kakang Untara.”
“Siapa kau?”
“Agung Sedayu.”
“Siapa Agung Sedayu?”
“Adik Untara.”
Perwira itu memandanginya sejenak, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Jadi kaulah yang bernama Agung Sedayu. Adik Untara yang dikabarkan berada di Mataram?
Dada Agung Sedayu berdesir. Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian ia menjawab tegas, ”Ya. Aku baru datang dari Mataram.”
“Bagus. Kau pasti seorang prajurit atau pengawal tanah yang baru dibuka itu. Benar?”
“Apakah Kakang Untara berkata begitu?”
Perwira itu terdiam sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berkata apa pun juga, ia pun segera melangkah pergi.
Agung Sedayu menjadi terheran-heran melihat tingkah perwira itu. Ia belum pernah mengenalnya dan sebaliknya. Tetapi perwira itu sikapnya sama sekali tidak menyenangkannya. Bahkan setelah ia mengetahui, bahwa ia adalah adik Untara.
Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Kini ia tidak mau lagi berdiri termangu-mangu di pendapa. Meskipun semula ia ragu-ragu namun kemudian dibulatkannya hatinya, untuk langsung masuk ke pringgitan.
Setelah menenangkan hatinya sejenak, maka ia pun melangkah dengan hati tetap menuju ke pintu pringgitan.
Tetapi sekali lagi langkahnya terhenti. Di muka pintu ia berpapasan dengan seorang perwira yang lain. Perwira itu pun agaknya terkejut. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak, lalu ia bertanya dengan dahi yang berkerut-merut, ”Siapa kau?”
Agung Sedayu tidak mau berputar-putar lagi. Langsung ia menjawab, ”Aku Agung Sedayu. Adik Kakang Untara.”
“O, jadi kau yang bernama Agung Sedayu?”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu, ”Ya. Akulah Agung Sedayu.”
Tiba-tiba saja di luar dugaan Agung Sedayu perwira itu mempersilahkan dengan ramahnya. ”Marilah. Marilah. Kakakmu sudah menunggu. Silahkan masuk ke pringgitan. Aku akan memanggilnya. Ia berada di belakang.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berkata, ”Terima kasih.”
Ketika perwira itu kemudian masuk ke ruang dalam, Agung Sedayu menyesal karenanya, bahwa ia bersikap terlampau angkuh justru kepada perwira yang ramah. Ia menyangka, bahwa perwira ini pun akan bersikap angkuh seperti yang dijumpainya pertama-tama.
Sejenak kemudian pintu dari ruang dalam itu pun terbuka. Seorang anak muda yang tegap dan berwajah dalam melangkahi tlundak pintu sambil memandang Agung Sedayu dengan tajamnya.
“Kakang Untara,” Agung Sedayu berdesis.”
“Kau Sedayu,” suara Untara dalam.
Agung Sedayu pun kemudian dengan serta-merta mendapatkan kakaknya, yang kemudian mencengkam pundaknya. Sambil mengguncang-guncang pundak adiknya Untara bertata, ”Akhirnya kau pulang juga, Sedayu. Kau bertambah dewasa dan sorot matamu menjadi bercahaya. Aku sudah cemas bahwa aku akan kehilangan seorang adik. Tetapi ternyata bahwa kau benar-benar datang kepadaku lagi.”
Dada Agung Sedayu berguncang mendengar kata-kata kakaknya. Tetapi ia mencoba untuk tidak mempersoalkannya di hatinya. Sudah lama mereka tidak bertemu. Dan Agung Sedayu tahu benar bagaimana kakaknya sangat mengharap kedatangannya. Agung Sedayu adalah satu-satunya adiknya. Satu-satunya saudaranya yang sejak kecil selalu dilindunginya, dibimbing dan diharapkannya untuk menjadi seorang anak muda yang baik. Kebanggaannya melonjak sejak Agung Sedayu berhasil memecahkan kunkungan ketakutan yang membalut jiwanya pada waktu itu, pada waktu ia menitikkan darahnya untuk yang pertama kali di arena perang tanding melawan Sidanti, meskipun ia masih belum berbuat sebaik-baiknya.
Karena itu untuk sesaat Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya kakaknya mengguncang-guncangnya. Dan Untara berkata seterusnya, ”Badanmu bertambah kokoh. Pasti hasil tempaan dukun tua yang baik itu. Aku berharap bahwa kau benar-benar akan menjadi seorang prajurit yang baik.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi terasa jantungnya menjadi semakin berdebaran.
“Duduklah Sedayu,” berkata Untara kemudian.
“Terima kasih, Kakang,” jawab Agung Sedayu.
Agung Sedayu pun kemudian duduk di pringgitan bersama Untara dan seorang peiwira yang memanggil Untara.
“Inilah adikku yang aku katakan itu,” berkata Untara kepada kawannya.
“Ya. Aku sudah bertanya kepadanya, dan ia mengatakan bahwa ia adalah adikmu.”
“Ia memang mempunyai sifat-sifat aneh.”
Agung Sedayu hanya dapat tersenyum ketika perwira itu tersenyum pula.
”Kapan kau datang dari petualanganmu, Sedayu?” bertanya untara kemudian.
“Semalam, Kakang.”
Untara mengerutkan keningnya, ”Kau langsung pergi ke Sangkal Putung?”
”Ya. Karena kami pergi bersama anak Ki Demang Sangkal Putung itu. Dan pagi-pagi aku sudah berangkat dari Sangkal Putung kemari. Tetapi aku tiba-tiba saja ingin melihat rumah Ki Tanu Metir, sehingga aku agak siang juga sampai di sini.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tanpa diduga oleh Agung Sedayu, Untara berkata, ”Dan kau memerlukan berkelahi juga sebentar.”
“O.“
“Laporan itu sudah aku dengar.”
Agung Sedayu terdiam sejenak. Begitu cepat laporan itu sampai kepada kakaknya. Ia tidak melihat seorang pun yang melaporkannya. Dan ia sendiri pergi berkuda. Tetapi ternyata laporan itu datang lebih dahulu daripadanya.”
”Kau heran, dari mana aku mendengar?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Kami mempunyai jaring-jaring yang rapi di segala bidang. Hubungan yang cepat dan pengawasan yang rapat. Itulah sebabnya, setiap persoalan segera sampai padaku. Meskipun kau berkuda, tetapi seseorang yang berjalan memintas, lewat pekarangan akan datang lebih dahulu daripadamu.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
“Tetapi kau sudah bersikap benar. Prajurit-prajurit muda itu memang perlu mendapat peringatan.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kakaknya tidak marah kepadanya dan tidak menghubungkan persoalan itu dengan persoalan-persoalan lain yang sebenarnya memang tidak mempunyai hubungan apa pun.
Sejenak kemudian beberapa orang perwira pembantu Untara pun datang menemui Agung Sedayu pula. Dua orang yang sudah setengah umur, sedang dua orang yang lain masih muda. Tetapi Agung Sedayu tidak melihat perwira yang bersikap acuh tidak acuh kepadanya.
Setelah memperkenalkan diri mereka masing-masing, maka perwira itu pun segera bertanya beberapa hal tentang tamunya. Dan mau tidak, mau pembicaraan mereka pun berkisar pada perjalanan Agung Sedayu dan tanpa dapat menghindar lagi mereka sampai juga pada daerah yang sedang dibuka itu.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sebelum ia dapat berbicara dengan kakaknya sendiri, maka ia sudah harus berbicara dengan beberapa orang sekaligus.
“Apakah Mataram sudah berhasil mengatasi kesulitan-kesulitannya?” bertanya salah seorang dari perwira itu.
“Belum seluruhnya,” jawab Agung Sedayu, ”masih banyak yang harus diatasi.”
“Apa saja yang masih menghambat perkembangan daerah itu?”
“Masih banyak. Daerah yang keras dan hutan yang lebat.”
Dan tiba-tiba saja seorang perwira yang sudah setengah umur bertanya, ”Bagaimana dengan hantu-hantu itu?”
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata Pajang banyak mengetahui tentang perkembangan daerah baru itu. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi termangu-mangu sejenak.
“Bukankah orang-orang yang bekerja di Alas Mentaok selalu diganggu oleh hantu-hantu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Mungkin akan segera dapat diatasi.”
Perwira itu mengerutkan keningnya, ”Apakah Mataram dapat menemukan cara untuk melawan hantu-hantu itu?”
Agung Sedayu memandang Untara sejenak, tampak sebuah senyum yang membayang di bibirnya. Karena itu maka Agung Sedayu berkata, ”Laporan itu pasti sudah sampai di sini. Apa yang sebenarnya telah terjadi di Mataram.“
Perwira itu pun memandang wajah Untara pula. Keduanya tiba-tiba saja tersenyum hampir berbareng. Dengan demikian maka Agung Sedayu mengambil kesimpulan bahwa Pajang telah mendapat laporan tentang segala, peristiwa yang terjadi di Mataram.
“Laporan itu belum lengkap,” berkata Untara, “tetapi sebagian memang sudah ada pada kami. Di samping harus mengatasi kesulitan yang timbul, dari alam yang keras, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan masih harus melawan gangguan hantu-hantu. Tetapi agaknya hantu-hantu itu lambat laun akan berhasil didesak ke luar dari Alas Mentaok. Bukankah begitu? Meskipun dengan demikian belum berarti semua kesulitan dapat diatasi.”
Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Bahkan ia berharap bahwa demikianlah hendaknya sehingga ia tidak perlu memberikan keterangan tentang Mataram. Tetapi ternyata justru Untara-lah yang kemudian bertanya, ”Agung Sedayu, bagaimana pendapatmu tentang usaha Raden Sutawijaya itu? Apakah akan berhasil seperti yang dikehendakinya atau tidak?”
Agung Sedayu berpikir sejenak, namun kemudian ia menjawab, ”Aku tidak dapat mengatakan, Kakang. Aku tidak tahu sampai ke manakah rencana Raden Sutawijaya itu. Apakah ia akan sekedar membangun sebuah padukuhan yang besar atau sebuah kota atau yang lainnya. Kalau menurut pendengaranku Mataram itu sudah diserahkan kepada Ki Gede Pemanahan, maka kemungkinan Raden Sutawijaya akan mendapatkan bentuk Tanah Perdikan. Tetapi Pati berkembang ke arah yang lain. Pati akan menjadi sebuah Kadipaten.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, ”Bagaimana menurut pendapatmu Sedayu, apakah Mataram mempunyai kemungkinan yang baik di hari depan.”
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Dan dengan hati-hati ia menjawab, ”Masih tergantung sekali kepada banyak hal, Kakang. Tetapi aku tidak banyak mengetahui. Aku tidak mengetahui siapa-siapa yang berdiri di belakang Ki Gede Pemanahan. Apakah mereka orang-orang yang cukup mampu membantu Ki Gede memperkembangkan daerah itu. Juga masih tergantung sekali kepada daerah yang ada di sekitarnya. Terutama daerah-daerah yang lebih dahulu menjadi ramai.”
Untara masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Agung Sedayu berbuat dengan hati-hati sekali. Mungkin karena di antara mereka terdapat beberapa orang yang belum dikenalnya dengan baik.
Tetapi tanpa diduga-duga oleh Agung Sedayu, Untara berkata, ”Mudah-mudahan Ki Gede berhasil menundukkan alam yang keras itu. Mataram sudah jauh ketinggalan dari Pati.”
Sejenak Agung Sedayu terpukau oleh kata-kata itu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ketegangan di dalam diri Untara menilik dari kata-katanya itu. Namun demikian Agung Sedayu pun sadar, bahwa kakaknya memiliki ketajaman sikap dan tanggapan. Sekali terloncat kata-katanya yang agak menjorok terlampau jauh, maka akan terbukalah pembicaraan mengenai Mataram dengan agak mendalam. Karena itu, Agung Sedayu berusaha membatasi pembicaraannya dalam batas-batas penglihatannya yang dangkal. Ia berharap bahwa hal-hal yang mendalam, kelak gurunyalah yang akan memberikan penjelasan.
Namun demikian Untara berkata selanjutnya, ”Mudah-mudahan Mataram segera menjadi besar dan membuktikan pula, bahwa Mataram ditangani oleh bekas senapati tertinggi di Pajang bersama putera angkat Sultan Pajang. Sehingga dengan demikian, Pajang akan menjadi semakin mantap dan tegak kembali setelah mengalami goncangan-goncangan yang keras.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat menangkap ungkapan kata-kata Untara. Bagaimana pun juga, memang tampak batas yang kabur. Tetapi agaknya Untara bukan seorang yang bersikap keras terhadap perkembangan daerah baru ini.
Tetapi Agung Sedayu tetap berhati-hati di dalam setiap pembicaraan. Ia berusaha mengelakkan persoalan-persoalan yang dapat melibatnya dalam pembicaraan yang mendalam.
Namun di dalam kesempatan yang tidak disangka-sangka seorang perwira yang sudah setengah umur itu berkata, ”Mudah-mudahan persoalan Mataram tidak berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat, selagi senapati didaerah Selatan ini menghadapi masa-masa yang paling indah di dalam hidupnya.”
“O,” Agung Sedayu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan serta-merta ia berkata, ”Aku sudah mendengar. Semula aku bingung mendengar berita itu. Telapi kini aku sudah yakin.”
“Ah,” Untara tersenyum, ”sebenarnya kurang mapan. Selagi Pajang menghadapi persoalan-persoalan yang gawat, datang pula persoalan pribadi itu. Mula-mula aku benci melihat hubungan Agung Sedayu dengan gadis Sangkal Putung. Namun akhirnya aku menyadari bahwa hal itu tidak akan terhindar dari jalan hidup seseorang. Maka supaya aku tidak menjadi sentuhan, aku akan segera memberikan jalan baginya.”
“Itulah alasannya?” bertanya Agung Sedayu. Untara tersenyum sedang beberapa orang perwira yang ada di pringgitan itu tertawa.
“Memang salah satu dari sekian banyak alasan adalah itu,” jawab Untara, “tetapi sudah tentu ada alasan-alasan yang lain yang tidak semua orang boleh mengetahuinya.”
Mereka pun tertawa semakin keras. Dan seorang perwira yang lain berkata, ”Kenapa kalian tidak menyelenggarakan perhelatan itu berbareng saja bulan depan?”
Untara memandang Agung Sedayu sejenak. Namun mereka berdua pun tertawa bersamaan.
“Aku menyangka bahwa Kakang Untara tidak akan pernah dekat dengan seorang gadis. Tetapi pada suatu saat ia telah berpacu mendahului aku,” berkata Agung Sedayu sambil tertawa pula.
“Bukan salahku,” sahut Untara.
“Jadi siapa yang bersalah?”
“Paman Widura.”
“O,” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Barulah ia teringat kepada pamannya meskipun sejak dari Sangkal Putung ia sudah berhasrat untuk mengunjunginya. Karena itu maka Agung Sedayu pun berkata, ”Aku akan menengok Paman Widura. Apakah ia ada di rumah atau paman ikut di dalam kesatuan Kakang Untara ini?”
Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya, ”Paman Widura merasa telah terlampau tua untuk menjadi seorang prajurit. Karena itu kini ia telah mengundurkan dirinya.”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sedang perwira yang telah setengah umur itu pun berkata, “Mungkin umurnya belum setua aku. Ia lebih muda satu atau dua tahun dari padaku. Tetapi beberapa waktu berselang ia telah mengundurkan diri. Bahkan rasa-rasanya seperti dengan tiba-tiba saja.”
Agung Sedayu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Pamannya adalah seorang prajurit yang baik. Tetapi pada suatu saat, ia memang wajar merasa bahwa tugasnya telah selesai.
“Ia mengharap anak-anak mudalah yang akan melanjutkan tugasnya,” berkata perwira itu. ”Ia berbangga bahwa kemanakannya telah menjabat sebagai seorang senapati yang terpercaya. Namun ia masih berharap bahwa kemanakannya yang seorang lagi akan mengikuti jejak kakaknya.”
Agung Sedayu masih tersenyum meskipun dadanya menjadi berdebar-debar. Karena itu, ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, ”Jadi, Kakang Untara akan melangsungkan perkawinan di bulan mendatang?”
Untara mengangguk. Katanya, ”Mudah-mudahan suasana tidak berubah. Semuanya telah diatur oleh Paman Widura.”
Untara terdiam sejenak, lalu, ”Tetapi dari mana kau mendengarnya?”
“Di jalan padukuhan ini aku bertemu dengan Juga. Dikiranya aku sudah mengerti rencana itu.”
“Aku juga kurang mengerti,“ berkata Untara sambil tersenyum pula, ”paman Widura-lah yang paling tahu.”
“Aku akan segera menemui Paman Widura.”
“Kapan kau akan kesana?”
“Sekarang, atau sebentar lagi.”
“Ah,” desah Untara, ”kenapa tergesa-gesa? Besok atau malam nanti kita pergi bersama-sama.”
Agung Sedayu berdesir mendengar ajakan itu. Tetapi ia berusaha untuk menahan perasaannya, sehingga kesan itu sama sekali tidak terbayang di wajahnya. Tetapi ia menjawab, ”Aku sudah terlalu lama tidak berjumpa.”
“Tetapi tidak perlu sekarang. Kau belum makan di sini,” cegah Untara.
Agung Sedayu tidak memaksa. Tetapi ia mulai dijalari oleh kegelisahan. Kakaknya pasti tidak akan membayangkan bahwa ia akan kembali ke Sangkal Putung hari ini. Tetapi seandainya ia tidak kembali, maka tanggapan Ki Demang Sangkal Putung beserta anak-anaknya pasti sangat tidak baik.
“Hanya guru sajalah yang tahu keadaanku yang sebenarnya di dalam hubungan keluarga ini. Yang lain sama sekali tidak akan dapat mengerti. Mereka memandang persoalan ini dari segi mereka sendiri.”
Namun Agung Sedayu sudah merasa berjanji bahwa senja nanti ia sudah harus berada di Sangkal Putung kembali.
Meskipun kegelisahan itu terasa semakin mencengkamnya, namun Agung Sedayu masih berhasil menguasai perasaannya, sehingga kegelisahan itu sama sekali tidak berkesan di hatinya.
Demikianlah maka sejenak kemudian Agung Sedayu telah mendapat hidangan dari juru madaran para perwira Pajang yang tinggal dirumah Itu. Semangkuk minuman panas dan makanan beberapa potong.
Namun dalam pada itu, selagi tangannya menyuapi mulutnya dengan makanan, Agung Sedayu masih juga berpikir, bagaimana caranya ia nanti minta diri dan memaksa kembali ke Sangkal Putung.
“Kalau saja aku tidak datang kemari,” berkata Agung Sedayu didalam hati. Namun dijawabnya sendiri, ”Kakang Untara akan marah kepadaku kalau ia tahu bahwa aku tidak segera menemuinya setelah aku datang di Sangkal Putung. Dan apalagi hatiku pasti akan selalu digelisahkan oleh bayangan kabur yang membatasi Pajang dan Mataram. Ternyata Kakang Untara tidak bersikap keras. Jauh berbeda dari bayanganku semula. Namun yang paling mencemaskan adalah justru harapan Kakang Untara, bahwa Mataram akan merupakan tiang yang dapat memperkokoh tegaknya Pajang. Selain itu juga harapan Kakang Untara, bahwa aku akan menjadi prajurit Pajang pula.”
Karena kesibukan mulut mereka yang ada di pringgitan itu mengunyah makanan, maka mereka pun terdiam untuk sejenak. Tetapi justru karena mereka diam itulah angan-angan Agung Sedayu telah mengembara.
Namun tiba-tiba para perwira yang ada di pringgitan itu berpaling ketika mereka mendengar pintu bergerit. Seorang perwira yang lain telah muncul dari balik daun pintu. Sejenak ia berdiri diam memandang setiap orang yang ada di pringgitan itu. Perwira itu adalah perwira yang acuh tidak acuh terhadap kehadiran Agung Sedayu.
“O,” berkata Untara kemudian, ”kemarilah. Duduklah Adi Ranajaya.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Perwira itu ternyata bernama Ranajaya.
Ranajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkah mendekat dan kemudian duduk pula di antara mereka.
“Ini adalah adikku,” berkata Untara.
“Ya, aku sudah mendengarnya “
“O, dari siapa kau mendengar?”
“Dari anak itu sendiri. Ia berdiri di pendapa seperti seorang yang kehilangan akal. Karena aku belum pernah melihatnya, maka aku bertanya kepadanya. Ternyata ia adalah Agung Sedayu, adik Kakang Untara.”
Untara mengerutkan keningnya.
“Ia adalah seorang pendukung berdirinya Mataram. Kedatangannya ditandai dengan pertengkaran. Ia sudah berkelai dengan seorang prajurit anak buahku.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, ”Jangan kaget Sedayu. Kami yang tinggal di sini sudah mengenalnya baik-baik. Tetapi karena kau baru mengenalnya sekarang, kau wajib mengetahui bahwa Adi Ranajaya sangat benci kepada orang-orang yang sedang sibuk membangun Mataram. Dan adalah sifatnya, kadang-kadang kata-katanva melontar tanpa kendali.” Untara diam sejenak, lalu di pandanginya perwira yang bernama Ranajaya itu, ”Sebenarnya aku juga tidak senang mendengar kata-kata itu. Bukan karena Agung Sedayu adalah adikku. Tetapi tuduhanmu yang serta-merta, bahwa setiap orang yang datang dari Mataram adalah pendukung berdirinya Mataram dapat menimbulkan salah paham. Siapa pun yang datang.”
“Tetapi aku tidak akan mengatakan begitu, seandainya ia tidak dengan sengaja melawan dan menunjukkan kelebihannya dari seorang prajurit Pajang.”
“Itu bukan kata-kata seorang perwira. Adalah picik sekali apabila kau segera menarik kesimpulan dari percekcokan itu untuk menentukan seseorang berpihak kepada Mataram. Apalagi karena kau sudah mengetahui apakah sebabnya.” Untara terdiam sejenak, lalu, ”Tetapi apakah keberatanmu seandainya Agung Sedayu, atau katakanlah seseorang yang membantu berdirinya Mataram di Alas Mentaok itu? Katakan, apakah keberatanmu?“
Wajah perwira itu menjadi merah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Untara akan menjawabnya langsung di hadapan para perwira yang lain. Itu bukan menjadi kebiasaannya. Namun kali ini Ranajaya berpendapat bahwa Agung Sedayu adalah justru adik Untara sendiri. Biasanya Untara tidak pernah membantah apabila ia memaki-maki orang-orang Mataram, termasuk Raden Sutawijaya. Biasanya Untara hanya tersenyum dan berkata, ”Sudahlah. Jangan membuat dirimu sendiri menjadi sakit.” Tetapi kini Untara langsung mencelanya.
“Adi Ranajaya,” berkata Untara, ”soalnya tidak semudah itu untuk menjatuhkan tuduhan terhadap Mataram dan terhadap orang-orang yang pernah berhubungan dengan Mataram. Kalau memang benar Mataram akan memberontak terhadap Pajang, akulah senapati di sini. Aku akan menerima perintah untuk menghancurkannya, meskipun di sana ada Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Meskipun aku tahu bahwa Ki Gede Pemanahan seorang yang mumpuni, tetapi perang bukannya perang tanding. Karena itu untuk seterusnya jangan memperuncing keadaan. Selagi kita menjajagi kemauan Ki Gede Pemanahan, kau jangan menambah suasana menjadi buram. Kata-katamu itu adalah racun bagi prajurit-prajurit kecil. Bukankah aku sudah pernah memperingatkan, jangan berkata seperti itu di hadapan orang lain, selain di hadapan kami. Para perwira yang sudah mengenal watak dan tabiatmu.”
Wajah Ranajaya menjadi semakin merah. Namun kemudian ia pun menundukkan kepalanya. Kali ini ia tidak dapat membawa pembicaraan yang keras terhadap Mataram.
Dengan demikian, maka sejenak suasana menjadi hening, meskipun terasa ada juga ketegangan. Agung Sedayu sama sekali tidak ingin mengatakan apa pun juga agar tidak menimbulkan salah paham. Tetapi ia masih tetap kagum kepada kakaknya yang mencoba berdiri di atas segala masalah yang hanya sekedar meloncat dari perasaan dan prasangka. Sebagai prajurit ia memerlukan bukti-bukti untuk menentukan suatu keputusan yang bersifat menghukum. Meskipun hanya sekedar dengan kata-kata.
Namun dalam pada itu Ranajaya mengumpat-umpat di dalam hati. Meskipun ia menundukkan kepalanya tetapi ia menggeram, ”Akan aku sampaikan hal ini kepada Kakang Tumenggung.”
Kehadiran Ranajaya itu ternyata membuat suasana menjadi lain. Wajah-wajah di ruangan itu tidak lagi tampak jernih dan tidak ada lagi senyum di bibir. Dengan kaku mereka mencoba melepaskan ketegangan dengan meneguk minuman dan makan sepotong makanan. Tetapi rasa-rasanya minuman dan makanan itu tidak lagi sesedap semula.
Untuk melepaskan kejanggalan di dalam pertemuan itu, tiba-tiba Agung Sedayu-lah yang memulainya, ”Kakang Untara. Apakah Kakang memperkenankan aku pergi ke rumah paman Widura sekarang saja?”
“Sekarang?” Untara mengerutkan keningnya.
“Ya, sekarang. Aku sudah terlalu rindu kepada paman dan keluarganya. Aku akan segera kembali kemari apabila aku sudah bertemu. Aku hanya akan sekedar bertemu saja.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Suasana di rumah itu memang menjadi kurang baik, dan bahkan ada terasa ketegangan di hati masing-masing. Karena itu, agaknya ada juga baiknya Agung Sedayu menyingkir sejenak, untuk nanti kembali lagi.
“Bagaimana pertimbangan Kakang,” desak Agung Sedayu.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia menjawab, “Baiklah, Agung Sedayu. Kau boleh pergi ke pamanmu Widura. Tetapi jangan terlampau lama. Kita akan makan siang ini di sini.”
“Tetapi bagaimana kalau Paman memaksa aku untuk makan di sana?” jawab Agung Sedayu yang mencoba mencuci suasana.
“Katakan, bahwa kau sudah makan.”
“Tetapi aku dapat gagal kedua-duanya. Kepada Paman Widura aku berkata, bahwa aku sudah makan, tetapi kemudian ketika aku sampai di sini, aku tidak mendapat bagian lagi.”
Beberapa orang di antara mereka tersenyum. Tetapi perwira yang bernama Ranajaya masih menundukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak acuh lagi atas semua pembicaraan. Hanya karena keseganannya kepada Untara sajalah, maka ia tidak pergi meninggalkan ruang itu.
“Jangan takut,” jawab Untara kemudian, “kami akan menyediakan makan buatmu. Dua orang prajurit akan menjaganya, supaya makan persediaanmu itu tidak dicuri orang.”
Agung Sedayu pun tersenyum pula. Lalu katanya, “Kalau begitu aku minta diri, Kakang.” Kemudian kepada perwira-perwira yang ada, Sedayu berkata, “Aku minta diri. Nanti aku akan segera kembali. Aku hanya sekedar ingin bertemu lebih dahulu. Mungkin di kesempatan lain, aku akan membicarakan hari-hari yang baik buat Kakang Untara. Bukankah hari itu masih belum ditentukan, meskipun di bulan depan.”
“Ah,” sahut seorang perwira yang lain, “tentu sudah. Tetapi ada dua atau tiga pilihan dari hari-hari terakhir di bulan depan. Bukankah begitu?” bertanya perwira itu kepada Untara.
Untara hanya tersenyum saja.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun meninggalkan pringgitan yang rasa-rasanya menjadi terlampau panas itu. Ketika ia berada ke pendapa, terasa udara yang segar menyentuh tubuhnya.
Untara dan beberapa orang perwira yang lain mengantarnya sampai ke tangga pendapa. Kemudian Agung Sedayu minta diri sekali lagi, “Aku akan membawa kudaku, Kakang, supaya perjalananku agak cepat.”
“Ah ada-ada saja kau, Sedayu. Selagi kau menyiapkan kudamu, kalau kau berjalan kaki, kau sudah akan sampai,” sahut Untara.
Sambil tersenyum Agung Sedayu menjawab, “Tetapi aku kira, masih lebih cepat di atas punggung seekor kuda.”
“Terserahlah,” desis Untara.
Agung Sedayu pun kemudian mengambil kudanya, dan menuntunnya sampai ke luar regol. Setelah ia melampaui penjagaan prajurit di regol halaman itu, ia pun segera meloncat naik ke punggung kudanya yang segera berlari ke rumah pamannya, Widura.
Kedatangan Agung Sedayu di rumah pamannya benar-benar mengejutkan. Seisi rumah menyambutnya dengan wajah-wajah yang cerah, seperti mereka menyambut anak sendiri. Bagi Widura dan keluarganya, Agung Sedayu memang seperti anak sendiri. Apalagi kini Agung Sedayu bukan lagi anak cengeng seperti ketika ia datang ke Sangkal Putung untuk yang pertama kali.
“Kau benar-benar seorang anak muda yang gagah Sedayu,” berkata Widura sambil mengguncang-guncangkan lengan Agung Sedayu. “Tubuhmu kuat dan liat. Kau pasti telah tumbuh menjadi seorang yang benar-benar dewasa.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
“Marilah, duduklah.”
Agung Sedayu pun kemudian di bawa oleh pamannya ke pringgitan. Hampir seisi rumah ikut pula menyambutnya. Anak-anak Widura pun untuk beberapa lamanya ikut pula duduk di sebelah menyebelah Agung Sedayu.
“Kau sama sekali lain dari kau yang dahulu, Sedayu,” berkata Widura. Lalu, “Kau berkembang cepat sekali. Rasa-rasanya baru kemarin kau datang di Sangkal Putung dengan wajah pucat dan gemetar.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
“Salah paham yang timbul pada anak-anak muda Sangkal Putung waktu itu, hampir saja membawa kesulitan yang dalam bagimu.”
Agung Sedayu tersenyum. Dipandanginya wajah pamannya sejenak, lalu katanya, “Memang lucu sekali, Paman.”
“Kau mereka anggap sebagai seorang pahlawan. Tidak ada seorang pun yang berani melintasi jalan ke Sangkal Putung seorang diri seperti yang kau lakukan. Aku pun tidak. Dan barangkali, kau yang sudah berkembang sekarang ini, tidak akan mencoba melakukannya lagi seandainya kau menghadapi saat yang sama.”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia menjawab, “Tetapi Kakang Untara akan melakukannya saat itu. Padahal Kakang Untara pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi ia seorang senapati. Jarak itu akan ditempuh tanpa pengawalan sama sekali.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Untara adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memang agak lain dari anak-anak muda pada umumnya. Selain ilmunya yang cukup, dan ternyata ia mampu mengalahkan Tohpati, juga ia memiliki keberanian yang luar biasa. Saat itu ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan pasukan Pajang yang ada di Sangkal Putung, sehingga meskipun ia dapat berbuat lain, tetapi jalan yang paling baik ditempuh adalah menghubungi aku di Sangkal Putung. Ia tidak sempat memanggil pengawal-pengawalnya, karena waktunya tinggal semalam. Namun ternyata, bahwa kaulah yang berhasil menyampaikannya berita itu kepadaku, tepat pada waktunya. Kalau kau terlambat, maka aku kira jalan peperangan di daerah Selatan itu akan menjadi berbeda.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja terasa bulu-bulunya meremang. Peperangan di Sangkal Putung memang menumbuhkan kenangan yang khusus di dalam dirinya. Ngeri, lucu, dan mendebarkan. Terlebih-lebih dari itu, ia telah tersangkut pula pada seorang gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah.
Tiba-tiba saja dadanya menjadi berdebar-debar. Seperti kakaknya, maka persoalan itu pasti akan ditangani oleh pamannya. Ia tidak mempunyai ayah dan ibu lagi. Sudah tentu, semuanya akan terserah kepada Widura dan Untara.
Tetapi Agung Sedayu masih belum dapat mengatakannya.
Meskipun demikian, ia dapat juga bertanya tentang hari-hari perkawinan Untara yang akan diselenggarakan bulan depan.
Widura tertawa. Jawabnya, “Memang sudah waktunya bagi Untara. Umurnya sudah lebih dari cukup. Jabatannya baik dan agar ia tidak terlalu kaku, ia memerlukan seorang isteri yang sabar dan mengerti akan tugasnya sebagai seorang prajurit.”
Agung Sedaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bakal isterinya adalah seorang gadis yang baik. Memang agak berbeda dengan Sekar Mirah yang lincah dan gembira. Isteri Untara adalah seorang gadis pendiam. Namun mudah-mudahan gadis itu akan dapat memberikan arti bagi hidup Untara yang kering dan agak kaku. Ia seakan-akan menenggelamkan diri di dalam kebekuan ketentuan seorang prajurit, sehingga dirinya sebagai seseorang di antara kehidupan yang luas agak menjadi janggal karenanya.”
Agung Sedayu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau Untara sudah kawin, maka jalan bagimu akan menjadi terbuka semakin lebar. Tidak ada lagi keseganan apa pun, apabila pada suatu saat, kau harus menginjakkan kakimu ke jenjang perkawinan.”
“Tetapi aku masih seorang petualang, Paman. Aku belum mempunyai pegangan untuk hidup kelak. Berbeda dengan Kakang Untara.”
“Apakah yang harus menjadi pegangan? Maksudmu, kau belum memegang suatu jabatan apa pun?”
“Ya, Paman.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau adalah calon prajurit yang baik, Sedayu. Kau akan dapat menjadi seorang prajurit, yang tidak usah mulai dari bawah sekali. Kalau kau mau, kau akan dapat kesempatan. Bukan karena kau adik Untara, tetapi karena kau memiliki kemampuan. Kau dapat menempuh pendadaran untuk langsung menjadi seorang lurah prajurit. Meskipun mula-mula kau akan memimpin suatu kelompok kecil, namun dalam waktu singkat kau akan menanjak.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja kepalanya menunduk. Katanya, “Itulah yang merisaukan hatiku, Paman.”
“Kenapa?”
“Kakang Untara memang ingin aku menjadi seorang prajurit. Agaknya Paman juga menginginkan aku menjadi seorang prajurit.”
Widura tidak segera menyahut.
“Tetapi sayang, Paman. Untuk saat ini, aku masih belum ingin memasuki bidang keprajuritan.”
Widura menjadi heran mendengar jawaban itu, sehingga sambil mengerutkan dahinya ia bertanya, “Kenapa Sedayu? Apakah kau sama sekali tidak membayangkan pengabdian lewat tugas seorang prajurit?”
“Tentu juga terbayang pengabdian yang dapat aku berikan kepada negeri ini, Paman. Tetapi tidak dalam saat yang singkat. Dan bukankah aku masih mempunyai kesempatan untuk mengabdi lewat banyak saluran?”
Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya, ya. Kau dapat memilih bidang pengabdianmu sendiri. Tetapi apakah keberatanmu untuk menjadi seorang prajurit? Di dalam masa-masa yang buram ini, tenagamu sangat diperlukan oleh Pajang.”
Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Tetapi Hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata pamannya juga menginginkannya menjadi seorang prajurit.
Namun tiba-tiba tanpa disadarinya sendiri, tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya, “Kenapa Paman mengundurkan diri dan keprajuritan?”
Widura terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Aku sudah terlalu tua.”
“Aku melihat seorang perwira yang lebih tua dari Paman.”
“Tetapi sudah tentu waktu pengabdianku lebih panjang daripadanya. Mungkin ia memasuki lapangan keprajuritan setelah ia berumur jauh lebih tua dari saat-saat aku memasuki tugas itu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang jawaban itu mungkin sekali terjadi. Namun Agung Sedayu masih bertanya, “Tetapi Paman, bukankah saat-saat ini Pajang memerlukan prajurit yang cukup berpengalaman, seperti kata Paman sendiri, suasananya kini sedang buram. Bukankah begitu, Paman?”
Widura pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya, “Ya. Mungkin tenaga paman memang masih dibutuhkan.” Widura tidak melanjutkannya. Namun terasa sesuatu agaknya tersangkut di hatinya.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ia menunggu pamannya mengatakan sesuatu, tetapi Widura justru hanya menarik nafasnya dalam-dalam. Tetapi ia tidak meneruskan kata-katanya.
Karena itu maka sejenak mereka terdiam. Seakan-akan mereka kehabisan bahan untuk berbicara.
Namun untuk mengatasi kebekuan itu, tiba-tiba saja Widura berkata, “Agung Sedayu. Tunggulah sejenak. Aku harus menangkap seekor ayam yang paling besar, untuk menjamumu hari ini. Kau akan makan di sini siang ini.”
Tetapi Agung Sedayu berkata cepat-cepat, “Paman, Kakang Untara berpesan kepadaku, agar aku segera kembali. Kakang Untara menunggu aku makan siang ini bersama para perwira yang tinggal di rumah kami.”
“Benar begitu?”
“Benar, Paman. Aku mengucapkan terima kasih atas sambutan Paman. Tetapi maaf, aku tidak akan membuat Kakang Untara kecewa.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kamilah yang kecewa. Kalau begitu nanti malam kau harus makan di sini.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat menyimpannya lebih lama lagi, sehingga ia pun menjawab, “Nanti sore aku harus kembali ke Sangkal Pulung.”
“He, kembali ke Sangkal Putung? Bukankah kau anak Jati Anom?”
“Ya, Paman, tetapi aku sudah berjanji kepada Ki Demang dan kepada Adi Swandaru, bahwa nanti sebelum senja aku harus sudah berada di Sangkal Putung.”
“Ah, tentu mereka minta kau kembali. Seandainya itu tidak bersungguh-sungguh, maka mereka pasti akan sekedar mengatakannya untuk memenuhi adat pergaulan. Tentu mereka tidak akan mengatakan kepadamu, agar kau tidak usah kembali saja.”
“Bukan, Paman. Bukan karena itu. Anak-anak muda Sangkal Putung nanti senja akan berkumpul menyambut kedatangan kami. Aku dan Swandaru. Mereka menganggap aku sebagai keluarga mereka, karena aku pernah tinggal di Sangkal Putung untuk beberapa lama.”
“Ya. Mungkin begitu. Mungkin kau masih tetap mereka anggap sebagai pahlawan. Tanpa kau, Sangkal Putung mungkin tidak akan mengalami masa-masa sebaik sekarang.”
“Tetapi keakraban, kekeluargaanlah yang agaknya mendorong mereka menyambut kedatanganku.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesis, “Sejak kanak-kanak, kau berada di Jati Anom dan Banyu Asri. Tetapi tidak seorang pun yang menyambut kedatanganmu seperti anak-anak muda Sangkal Putung. Aku tidak tahu, kenapa kau lebih dekat dengan Sangkal Putung dari Jati Anom dan Banyu Asri. Mungkin karena kau berada di Sangkal Putung dalam keadaan yang gawat, sehingga anak-anak mudanya merasa senasib dengan kau, atau karena kau seorang pahlawan. Tetapi demikianlah agaknya.”
Tiba-tiba saja terkilas di angan-angan Agung Sedayu, sikap anak-anak muda Sangkal Putung yang sesungguhnya. Sebenarnya mereka pun sama sekali tidak ingin menyambut kedatangannya. Kedatangan Agung Sedayu. Tetapi yang telah menggerakkan anak-anak muda Sangkal Putung sebenarnya adalah kedatangan Swandaru. Putera Demang Sangkal Putung itu pun pasti tidak akan berbuat apa-apa. Seperti juga anak-anak Jati Anom dan Banyu Asri. Mereka hanya akan menyambutnya sebagai kawan yang sudah lama tidak bertemu di sepanjang jalan atau di simpang-simpang tiga apabila berpapasan.
Tiba-tiba saja kepala Agung Sedayu justru tertunduk. Ia merasa, bahwa seolah-olah ia justru terlepas dari akarnya. Ia bukan lagi anak Jati Anom, tetapi juga bukan anak Sangkal Putung.
“Jadi,” Berkata Widura kemudian, “kau akan kembali ke Sangkal Putung hari ini?”
Begitu saja terloncat jawabnya, “Ya, Paman.”
“Dan kau sudah mengatakan kepada Untara?”
Agung Sedayu menggeleng, “Belum, Paman. Aku belum dapat mengatakannya.”
“Kalau begitu, Untara pasti menyangka, bahwa kau kini telah kembali. Pulang ke rumah sendiri.”
“Mungkin Kakang Untara berpendapat demikian, Paman. Dan itulah yang membuat aku bingung. Bagaimana aku kembali ke Sangkal Putung hari ini. Besok atau lusa, aku akan kembali lagi kemari.”
Tiba-tiba Widura tersenyum. Katanya, “Tetapi aku tidak dapat menahanmu. Juga sebaiknya Untara tidak. Aku kira bukan sambutan anak-anak muda Sangkal Putung itulah yang penting bagimu.”
Wajah Agung Sedayu menjadi merah sekilas. Sambil menundukkan kepalanya, ia berdesis, “Mungkin juga begitu, Paman.”
“Aku dapat mengerti, Sedayu. Tetapi barangkali berbeda dengan kakakmu. Ia merasa lebih berhak berbuat atasmu, karena kebiasaannya sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Mungkin ia akan melarang kau pergi ke Sangkal Putung hari ini.”
“Tetapi aku sudah berjanji untuk kembali.”
“Tentu tidak akan ada akibat apa-apa, seandainya kau menundanya sampai besok. Asal kau benar-benar kembali. Kau tidak akan secepat itu kehilangan.”
“Tetapi ……,” Agung Sedayu menjadi semakin tunduk.
“Tentu orang-orang Sangkal Putung mengetahui, bahwa kau kembali ke kampung halaman. Bertemu dengan sanak saudara. Tentu kau tidak akan dapat secepat itu kembali.”
Agung Sedayu tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Yang terbayang kemudian justru wajah Sekar Mirah yang memberengut. Wajah Swandaru yang kecewa, dan anak-anak muda Sangkal Putung yang berkelakar sambil mengunyah daging kambing.
“Mungkin anak-anak Sangkal Putung itu tidak menghiraukan kehadiranku. Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah dan Swandaru?” persoalan itulah yang kemudian selalu mengganggunya, sehingga untuk sesaat ia merenung.
Tetapi Widura justru tertawa melihat wajah Agung Sedayu yang menegang serta keningnya yang berkerut. Katanya, “Jangan risau. Kalau kau berkata berterus-terang, maka Untara akan mengerti. Aku mengharap Untara sekarang sudah lain. Ia sekarang mulai mengenal seorang gadis dan mulai mempelajari watak-wataknya.”
Agung Sedayu memandang wajah pamannya sejenak, namun kemudian ia pun tersenyum.
“Mudah-mudahan Kakang Untara mengerti,” desisnya. Lalu, “memang aku melihat perbedaan sikap Kakang Untara sekarang. Aku menyangka, bahwa Kakang Untara akan menyambutku dengan sikap yang dingin, dan bahkan marah karena aku terlampau lama pergi, apalagi aku kembali ke Sangkal Putung lebih dahulu. Tetapi ternyata Kakang Untara tidak berbuat demikian. Ia menerima aku dengan ramah, meskipun ia tahu, bahwa aku baru saja bertengkar dengan prajuritnya.”
“He,” Widura-lah yang terkejut, “kau sudah mulai bertengkar?”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
“Ya, Paman. Aku terpaksa bertengkar.”
“Kenapa?”
Agung Sedayu pun segera menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi kepada pamannya. Bahwa ia tidak dapat mengelak sama sekali pertengkaran yang telah dipaksakan kepadanya itu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Itu memang membuat setiap perwira Pajang menjadi prihatin. Tetapi ada juga baiknya mereka bertemu dengan kau.”
“Ya, Paman. Kakang Untara juga berkata demikian. Tetapi seorang perwira yang lain agaknya bersikap lain pula.”
“Siapa?
“Ranajaya,” jawab Agung Sedayu. “Mungkin ia tidak senang karena kedatanganku ditandai dengan pertengkaran dengan prajurit yang kebetulan adalah bawahannya. Tetapi mungkin juga karena aku datang dari Mataram, seperti yang dikatakan Kakang Untara.”
“Ranajaya,” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, “ia memang mempunyai sikap yang aneh. Ia merasa dirinya terlampau penting di dalam pasukan Untara. Dan anak itu sangat membenci perkembangan Mataram yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya.”
“Aku semula menyangka, bahwa Kakang Untara pun akan bersikap demikian. Tetapi ternyata tidak. Bahkan Kakang Untara telah mencela sikap Ranajaya itu langsung di hadapan para perwira yang lain.”
“Sikapnya memang tercela,” tiba-tiba saja Widura berkata. Tetapi ia pun kemudian menelan ludahnya, seakan-akan ingin menelan kata-katanya itu kembali.
“Kenapa, Paman?”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah bukan prajurit lagi. Aku tidak akan dapat membuat penilaian apa pun atas mereka.”
“Bukan penilaian, Paman, tetapi aku hanya sekedar ingin mendapat gambaran tentang sikap para perwira itu, agar aku dapat mencoba menyesuaikan diri.”
Widura memandang Agung Sedayu sejenak, dan tiba-tiba saja ia tersenyum, “Kau dahulu pendiam, Sedayu. Sekarang kau pandai juga memancing persoalan.”
Agung Sedayu pun tersenyum pula. Katanya, “Aku tidak berhasrat memancing persoalan, Paman. Tetapi aku benar-benar ingin mengetahui, terutama latar belakang dari sikap Ranajaya.”
Sejenak Widura merenung. Namun kemudian ia berkata, “Ada beberapa orang perwira yang tidak senang sekali melihat Mataram berkembang. Aku tidak tahu pasti apakah latar belakangnya. Bahkan mereka mulai mengarah pada suatu anggapan, bahwa Mataram akan membuat dirinya kuat untuk bersaing dengan Pajang.”
“Ah,” desis Agung Sedayu, “apakah pikiran itu benar?”
Widura memandang Agung Sedayu sejenak, lalu, “Kaulah yang datang dari Mataram. Kau tentu dapat mengatakan, apakah hal itu benar atau tidak benar.”
Kini Agung Sedayu-lah yang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku tidak terlampau lama di Mataram, Paman. Dan aku tidak mendapat kesempatan banyak.”
“Apa yang kau lihat di Mataram? Nanti kita sama-sama mengambil kesimpulan.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu diceritakannya hal-hal yang penting saja, yang telah terjadi. Bahkan ia pun mengatakan pesan Raden Sutawijaya kepada Untara dan para perwira Pajang.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Pasti ada salah paham. Tetapi aku menyangka, ada orang yang dengan sengaja meniup-niupkan kesalah-pahaman itu. Beberapa perwira Pajang sendiri telah termakan oleh hembusan-hembusan cerita tentang persiapan Mataram.”
“Apa yang dapat dipersiapkan saat ini, Paman? Mataram baru sibuk menundukkan alam. Kalau Mataram membangun kekuatan, maka yang menjadi sasarannya adalah alam itu sendiri. Hutan yang lebat dan daerah rawa-rawa.”
“Memang masuk akal. Tetapi kau harus dapat menghubungkan peristiwa yang terjadi di Alas Mentaok itu sendiri dengan hal-hal yang terjadi di istana Pajang. Usaha melawan pembukaan Alas Mentaok di medan dan usaha-usaha untuk menentangnya di istana. Tidak mustahil, bahwa ada hubungan di antara mereka. Yang aku tidak tahu, apakah sikap itu ditujukan kepada Mataram atau justru Pajang.”
“Maksud Paman?”
“Mereka yang menentang langsung, agaknya sudah jelas, bahwa mereka tidak menghendaki Ki Gede Pemanahan membuka hutan itu. Tetapi mereka yang dengan desas-desus mengadu domba antara Mataram dan Pajang, masih perlu diketahui latar belakangnya. Apakah mereka menghendaki usaha membuka Mataram gagal seperti hantu-hantu yang kau katakan itu, atau justru menghendaki Pajang runtuh.
Agung Sedayu mendengarkan keterangan pamannya dengan saksama. Memang ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Baik di Alas Mentaok sendiri, maupun di dalam Istana Pajang. Namun demikian, Agung Sedayu bertanya, “Paman, kalau ada usaha untuk meruntuhkan Pajang oleh orang-orang dari lingkungan istana sendiri, apakah pamrihnya?”
Widura mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu, yang dengan penuh minat mendengarkan keterangannya. Lalu katanya, “Pajang memang belum mantap benar sekarang ini. Dengan demikian, maka ada saja adipati-adipati yang tidak menginginkan Pajang menjadi kuat. Kalau Pajang runtuh, siapakah di antara para adipati yang kuat, akan dapat menyatakan dirinya sebagai penguasa atas tanah ini.”
“Tetapi bukankah dengan demikian, akan berarti pertumpahan darah?”
“Ya Sedayu. Mungkin kau dan mungkin juga aku, meskipun aku bekas seorang prajurit, tidak menginginkan pertumpahan darah itu terjadi. Tetapi mungkin ada juga orang yang merasa berbahagia hidup di tengah-tengah pergolakan dan pertumpahan darah. Mungkin ada orang yang merasa berbesar hati, bahkan merupakan kebanggaan apabila mendapat kesempatan berdiri di atas bangkai-bangkai. Semakin tinggi timbunan bangkai di bawah kakinya, ia akan merasa semakin berbangga.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pengetahuannya tentang Kerajaan Pajang dan kekuasaan yang ada padanya sangat kecil. Bahkan yang pernah dilihatnya adalah hanya sejengkal kecil dari Pajang seluruhnya. Karena itu, dengan susah payah ia mencoba untuk membayangkan keterangan pamannya. Daerah pasisir dari Barat menjelujur ke Timur. Daerah-daerah yang diperintah oleh adipati dan tanah-tanah perdikan yang besar.
Apabila ikatan dari sekumpulan pemerintahan itu lepas, maka negara ini akan menjadi porak poranda.
“Tetapi,” tiba-tiba Widura berkata, “jangan kau pikirkan kata-kataku. Mungkin aku adalah seorang pemimpin buruk yang paling baik di seluruh Pajang.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang seperti seseorang yang baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang buruk yang dibuat oleh pamannya, sehingga tanpa disadarinya, Agung Sedayu mengusap matanya dengan lengan bajunya.
Sesaat mereka tidak berbicara. Tetapi angan-angan merekalah yang hilir-mudik tidak menentu, menjelajahi daerah yang tidak dapat mereka kenal dengan baik.
“Ah, sudahlah,” berkata Widura kemudian, “lupakan semuanya. Kita berbicara tentang Untara dan bakal isterinya.”
Agung Sedayu tersenyum.
“Kau wajib mengenalnya baik-baik,” berkata Widura. Kemudian diceritakannya serba sedikit tentang gadis itu sambil menikmati hidangan yang telah dihidangkan di hadapan mereka.
Samar-samar Agung Sedayu dapat membayangkan, bagaimanakah sifat dari gadis itu. Sama sekali tidak seperti Sekar Mirah yang manja, keras hati, dan mempunyai harga diri yang agak berlebih-lebihan. Juga tidak seperti Pandan Wangi, yang menyerahkan dirinya kepada masa depan bagi tanah perdikannya. Seorang anak perempuan yang bakti kepada ayahnya, sepeninggal ibunya. Dan seorang gadis yang berjiwa prajurit.
Bakal isteri Untara itu adalah seorang gadis pendiam. Tidak dapat bermain pedang dan olah kanuragan seperti Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Tetapi ia pantas menjadi isteri seorang perwira, karena sifat-sifatnya. Ia dapat membuat Untara menjadi seorang senapati besar dengan kelembutan hatinya. Ia dapat membuat Untara melepaskan semua kepentingan pribadinya untuk mengabdi kepada tugasnya sebagai seorang senapati.
“Setelah Untara selesai, kau akan segera menyusul,” desis Widura.
“Ah, masih terlampau cepat. Bukankah saudara sekandung tidak boleh kawin di dalam tahun yang sama?”
“Ya. Tetapi tahun ini hampir habis. Bulan depan adalah bulan terakhir dari tahun ini. Kemudian tiga bulan kemudian adalah bulan yang baik pula bagi perkawinan.”
“Tidak, Paman. Tidak tiga bulan lagi. Mungkin tiga tahun atau barangkali lima tahun.”
“Mungkin kau tidak akan terpengaruh. Tetapi lain bagi Sekar Mirah.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk.
Tetapi sejenak kemudian, tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Ah, aku akan minta diri, Paman. Aku akan kembali kepada Kakang Untara. Mudah-mudahan aku dapat menemukan alasan yang baik untuk kembali ke Sangkal Putung. Mudah-mudahan Kakang Untara dapat mengerti, dan mudah-mudahan tidak menimbulkan masalah apa pun juga.”
“Kenapa begitu tergesa-gesa?”
“Jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlampau jauh. Aku akan dapat hilir-mudik setiap hari.”
“Kakakmu tentu akan bertanya, kenapa kau tidak pulang saja ke Jati Anom, hanya apabila perlu, baru kau pergi ke Sangkal Putung.”
“Ah, Paman,” sahut Agung Sedayu.
Pamannya hanya tersenyum. Tetapi sorot matanya memancarkan pengertian sepenuhnya atas keadaan Agung Sedayu.
Kemudian setelah minta diri kepada seluruh keluarga pamannya, Agung Sedayu pun kembali kepada kakaknya. Tetapi ia masih tetap dibebani oleh kegelisahan. Bagaimana ia akan minta diri nanti, dan apakah alasan yang sebaik-baiknya selain harapan, bahwa kakaknya akan dapat mengerti akan keadaannya.
Dengan demikian, maka di sepanjang jalan kepala Agung Sedayu selalu tertunduk. Kudanya pun hanya berjalan perlahan-lahan, tidak lebih cepat dari langkah seorang yang berjalan kaki.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat kepada gurunya. Sejenak ia mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berdesis kepada diri sendiri, “Apakah aku dapat mempergunakan guru sebagai alasan untuk kembali ke Sangkal Putung? Mungkin aku dapat berkata, bahwa guru mengharap aku malam ini menghadap. Ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan.”
Agung Sedayu menarik nafas. Memang mungkin. Tetapi ia masih belum tahu pasti tanggapan Untara atas hal itu.
Tetapi Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat beberapa orang prajurit yang berdiri di tepi jalan. Di antara mereka adalah perwira yang bernama Ranajaya, dan yang membuatnya semakin berdebar-debar adalah di antara para prajurit itu terdapat prajurit yang menyerangnya di saat ia datang. Prajurit yang akan menghinakannya dengan menginjak ikat kepalanya.
“Ah, apa saja yang akan mereka lakukan?” Agung Sedayu berdesah di dalam dirinya. “Kenapa ada juga perwira Pajang yang memiliki sifat-sifat pengecut itu?”
Tetapi Agung Sedayu tidak berhenti. Kudanya melangkah terus perlahan-lahan, semakin lama semakin dekat.
Beberapa langkah di hadapan perwira itu. Agung Sedayu menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Mungkin dengan tiba-tiba, prajurit itu berbuat sesuatu yang tidak disangka-sankanya. Tetapi mungkin juga mereka menghentikannya dan mengajaknya bertengkar.
Ternyata perwira itu benar-benar telah menghentikannya. Dengan suara datar ia berkata, “Berhentilah dulu, Agung Sedayu.”
Agung Sedayu berhenti tepat di hadapannya. Tetapi ia tidak turun dari kudanya.
“Aku akan bertanya serba sedikit,” berkata perwira itu.
“Kalau aku dapat menjawab, aku akan menjawab,” sahut Agung Sedayu.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Jangan terlampau sombong. Yang menjadi perwira atasanku adalah Untara. Bukan kau. Jadi kau tidak dapat berbuat seperti Untara kepadaku. Ia berhak mencela aku. Marah kepadaku dan sesuka hatinya. Tetapi kau tidak.” Perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Turunlah.”
“Aku memang bukan Kakang Untara,” jawab Agung Sedayu, “tetapi aku juga bukan prajurit bawahanmu, sehingga kau tidak berhak memerintah aku.”
Wajah perwira itu menjadi merah. Tetapi ia masih menahan perasaannya. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu bukan saja adik Untara, tetapi ia sendiri mampu berbuat seperti Untara. Ternyata prajuritnya sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, meskipun Agung Sedayu melawannya sambil memegang kendali kuda dengan satu tangannya.
“Kau memang terlampau sombong. Tetapi baiklah. Aku dapat berbicara dengan seseorang yang tetap duduk di atas punggung kuda seperti Sutawijaya. Kau kenal Sutawijaya bukan? Ia adalah salah satu contoh dari kesombongan yang tiada taranya. Ia tidak pernah turun dari kudanya dengan siapa pun ia berbicara, meskipun dengan orang yang lebih tua sekalipun. Tetapi ia adalah putera angkat Sultan Pajang.”
Agung Sedayu hanya dapat menahan perasaannya yang mulai tergelitik oleh kata-kata perwira itu. Tetapi ia masih tetap duduk di atas punggung kudanya.
“Agung Sedayu,” berkata perwira itu kemudian, “aku minta kau menjawab dengan jujur. Apakah Sutawijaya benar-benar sudah menyusun sebuah pasukan yang kuat dan siap untuk berperang?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya perwira itu sejenak, lalu, “Siapakah yang mengatakannya?”
“Aku bertanya kepadamu. Bukankah kau baru saja datang dari Mataram? Kau pasti mendengar apa yang sudah terjadi di daerah yang baru dibuka itu.”
“Aku hanya lewat.”
“Meskipun demikian, kau pasti sudah mendengar apa yang telah terjadi. Kalau yang lewat itu seorang pedagang ternak atau pedagang emas, mungkin mereka tidak akan tertarik kepada persoalan keprajuritan. Tetapi yang lewat adalah Agung Sedayu, adik Untara yang menjadi senapati pasukan Pajang di daerah Selatan, daerah yang langsung menjadi jalur penghubung antara Pajang dan Mataram, pasti memperhatikan masalah-masalah serupa itu.
Agung Sedayu merenung sejenak. Namun tiba-tiba ia merasa mendapat kesempatan untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Mataram, untuk menghindari salah paham. Dengan demikian, ia sudah membantu serba sedikit usaha pendekatan antara ayah dan anak. Antara Sultan Pajang dan Raden Sutawijaya. Karena itu, maka tiba-tiba saja atas kehendaknya sendiri, Agung Sedayu turun dari kudanya.
Perwira Pajang yang bernama Ranajaya itu justru surut selangkah. Dengan penuh kecurigaan ia memandang Agung Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya.
“Apa yang kau kehendaki?” bertanya Ranajaya.
“Bukankah aku harus menjawab pertanyaanmu?” sahut Agung Sedayu. “Dan aku memang akan menjawab pertanyaan itu.”
“O,” Ranajaya maju pula selangkah. Namun ia masih tetap berhati-hati.
Agung Sedayu mengeluh di dalam hatinya. Seakan-akan Ranajaya memandangnya sebagai orang yang paling sombong dan licik. Namun Agung Sedayu mencoba untuk mengesampingkannya. Ia ingin membantu usaha pendekatan yang selalu dicoba oleh Sutawijaya
“Menurut penglihatanku,” berkata Agung Sedayu, “Mataram benar-benar sedang memusatkan perhatiannya pada pembukaan hutan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda persiapan prajurit, dan apalagi perlawanan terhadap pihak mana pun juga. Aku memang singgah beberapa saat di Mataram. Tetapi yang aku lihat adalah pengerahan tenaga untuk memperluas tanah garapan. Hanya itu. Dan mereka terdiri dari petani-petani yang hanya mengenal kapak dan parang untuk menebang kayu. Bukan pedang dan tombak.
Perwira yang bernama Ranajaya itu mengerutkan keningnya. Tetapi tampak pada sorot matanya, bahwa ia tidak percaya dengan keterangan Agung Sedayu itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Agung Sedayu, ingat, kakakmulah yang akan mendapat tugas untuk berhadapan langsung dengan Mataram. Kau harus memberikan keterangan yana benar. Mungkin sampai saat ini, kakakmu masih belum menaruh curiga atasmu. Tetapi apabila kau tidak mau memberikan keterangan yang sebenarnya, maka kau dapat dianggap telah berkhianat kepada Pajang. Dan kau tentu sudah kenal kepada Untara. Meskipun kau adiknya, kau akan dapat digantungnya di regol padukuhan Jati Anom. Di gerbang kampung halamanmu sendiri.”
Agung Sedayu semakin tidak senang mendengar kata-katanya. Tetapi ia tidak mau mempertajam persoalan Pajang dan Mataram. Maka katanya, “Sudahlah. Aku tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak dari yang aku ketahui. Aku memang tidak akan mengatakan yang tidak sebenarnya. Justru karena itu, aku tidak mau mengarang sebuah cerita untuk menyenangkan hatimu, seolah-olah bayanganmu tentang Mataram yang di pagari dengan pasukan dan ujung senjata itu, benar-benar telah terjadi.”
Ranajaya membelalakkan matanya sambil membentak, “Ingat, dengan siapa kau berbicara.”
“Dan ingat,” sahut Agung Sedayu, “aku bukan bawahanmu.”
Ranajaya menggerelakkan giginya. Geramnya, “Kau salah seorang telik sandi dari Mataram. Kau mendapat, tugas untuk mengetahui kekuatan Pajang di Jati Anom, justru karena kau adik Untara. Agaknya Untara kini benar-benar telah lengah, dan membiarkan kau berkeliaran di sini.”
Agung Sedayu menahan perasaannya yang bergolak dengan susah payah. Ternyata perwira yang bernama Ranajaya ini justru bukan seorang prajurit yang baik. Ia selalu dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Namun mungkin, ia memang mendapat gambaran yang salah tentang Mataram. Karena itu, Agung Sedayu berkata, “Aku kira kau memang mendapat keterangan yang tidak sebenarnya sebelumnya. Coba katakan, siapakah yang sudah memberikan keterangan kepadamu tentang Mataram seperti yang kau gambarkan itu?”
“Jangan mencoba bersembunyi lagi. Sebentar lagi aku akan dapat membuktikan, bahwa kau memang seorang telik sandi. Dan Untara sendirilah yang akan menangkapmu dan menggantungmu di padukuhanmu sendiri.”
“Apakah kau pernah melihat Alas Mentaok?”
Perwira itu tidak segera menyahut.
“Kalau belum, apakah kau bersedia sekali-sekali pergi ke Alas Mentaok? Aku bersedia menunjukkan jalan. Kau dapat mengenakan pakaian keprajuritanmu tanpa diganggu oleh lalat sekalipun. Aku akan menanggung keselamatanmu. Kau akan melihat, bahwa di Mataram tidak ada apa-apa sama sekali. Tidak ada persiapan, tidak ada prajurit, dan tidak ada rasa permusuhan dengan siapa pun juga. Mataram sampai saat ini berjalan maju dengan wajar. Bahkan dengan banyak rintangan. Apakah dengan demikian Mataram sempat membuat persoalan dengan kekuasaan yang ada di sekitarnya, apalagi kekuasaan Pajang.”
Ranajaya mengerutkan keningnya. Ia mulai menyadari bahwa Agung Sedayu bukan anak-anak yang takut dengan bentakan-bentakan kasar. Agung Sedayu benar adik Untara, yang memiliki banyak kesamaan, tetapi juga banyak kelainan.
Karena itu, Ranajaya tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih sempat mengancam, “Agung Sedayu, kau harus bersikap baik di sini. Jangan menimbulkan kecurigaan dan tingkah laku yang dapat menyeretmu ke tiang gantungan.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Sejenak ia memandang wajah Ranajaya, yang seakan-akan membayangkan kebencian yang sangat dalam terhadap Mataram dan pemimpin-pemimpinnya.
“Aku kira benar juga dugaan-dugaan, bahwa ada satu dua orang yang telah berbuat curang di dalam istana. Mungkin saat-saat ini mereka baru berhasil menghasut para perwira dan para prajurit. Mungkin lain kali senapati yang lebih tinggi dan kemudian panglima prajurit, pepatih Pajang dan semua kadang sentana. Akhirnya Sultan Hadiwijaya sendiri akan mempercayainya, bahwa Mataram benar-benar akan memberontak terhadap kekuasaan Pajang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Agung Sedayu seakan-akan tersadar, ketika ia mendengar Ranajaya berkata, “Pergilah. Aku tidak memerlukan kau lagi hari ini.”
Terasa dada Agung Sedayu berdesir. Sikap perwira itu benar-benar telah memuakkan. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan perasaannya dan menjawab, “Sekehendakkulah. Apakah aku akan pergi, apakah aku akan tetap di sini. Aku berada di kampung halamanku sendiri. Sejak kecil aku bermain-main di sepanjang jalan ini tanpa ada yang mengganggu gugat. Sekarang aku dapat berjalan menyusur jalan ini, ke sana ke mari sehari sepuluh kali.”
“Gila. Kau adalah orang yang lebih sombong lagi dari Sutawijaya.”
“Aku tidak peduli. Apakah aku melampaui kesombongan Sutawijaya, dan menyamai kesombonganmu atau tidak, itu adalah persoalanku.”
“Diam!” bentak perwira itu. “Jangan berani mempermainkan seorang perwira Pajang. Kau akan menyesal. Seandainya aku tidak mengenal kau sebagai adik Untara, kau sudah menjadi permainan anak buahku di sini.”
“Bukan begitu kebiasaan seorang prajurit. Seorang prajurit adalah seorang yang bersikap jantan. Apakah kau mengerti arti dari sikap jantan itu?”
Tubuh perwira itu menggigil, apalagi ketika Agung Sedayu berkata, “Aku akan mengatakan kepada Kakang Untara, apakah yang sebaiknya aku lakukan menghadapi seorang perwira macam kau ini. Dan aku memang tidak pernah membayangkan, bahwa ada seorang perwira Pajang yang mempunyai sifat semacam ini.”
Tetapi Agung Sedayu tidak menunggu jawaban. Ia pun segera meloncat ke punggung kudanya dan memacu kudanya meninggalkan perwira yang bernama Ranajaya itu.
Ranajaya pun menjadi ragu-ragu. Kemarahan yang memuncak di kepalanya hampir melepaskan segala macam pertimbangannya. Untunglah, bahwa ia masih tetap sadar, bahwa Agung Sedayu adalah adik Untara, sehingga masih ada juga keseganannya untuk berbuat sesuatu.
“Tetapi lepas dari daerah Jati Anom, aku dapat berbuat apa pun juga di luar pengetahuan Untara. Kalau aku berbuat jantan seperti yang dikatakan Agung Sedayu, tidak ada seorang pun yang akan menuntut aku,” berkata perwira itu di dalam hatinya. Lalu sambil membusungkan dadanya ia berkata, “Tetapi seandainya Untara marah juga, aku dapat berhubungan dengan Kakang Tumenggung, yang mempunyai pengaruh tidak kalah dari Untara di istana.”
Perwira itu menggeretakkan giginya. Tetapi tanpa berkata apa pun juga, ia pun segera pergi meninggalkan tempat itu diikuti oleh beberapa orang prajuritnya.
“Anak itu memang keras kepala,” desis seorang prajurit, “ia tidak saja berani menentang seorang prajurit, tetapi juga seorang perwira.”
“Ia merasa mendapat perlindungan dari kakaknya, seorang senapati,” jawab yang lain.
“Itu akan membuatnya keras kepala.”
Tetapi mereka pun kemudian terdiam, apabila sekilas melonjak di dalam hati mereka, kenyataan yang sebenarnya mereka hadapi tentang Agung sedayu itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun menjadi semakin dekat dengan rumahnya. Selain debar jantungnya yang belum reda, ia sudah mulai dirayapi kegelisahan yang lain, yang tanpa disengaja telah dilupakannya untuk sejenak. Kegelisahan menjelang sore hari, untuk minta diri kepada kakaknya.
Ternyata kedatangannya memang sudah ditunggu oleh Untara dan beberapa orang perwira yang lain. Setelah duduk sebentar, maka mereka pun kemudian mulai menikmati makan siang yang sudah disediakan.
Namun selama tangannya menyuapi mulutnya, Agung Sedayu masih saja digelisahkan oleh keharusannya minta diri. Sedangkan matahari semakin lama semakin bergeser turun ke Barat.
Demikianlah, setelah selesai makan dan setelah mereka berbicara serba sedikit, mulailah Agung Sedayu mengatur hatinya, untuk menyampaikan niatnya, bahwa ia akan kembali ke Sangkal Putung sore itu.
Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar kembali, ketika Untara berkata, “Bilikmu semasa anak-anak masih tersedia buatmu, Sedayu. Meskipun selama ini bilik itu kami pergunakan, tetapi malam ini dan seterusnya akan dapat kau pakai lagi, seperti pada masa kecilmu. Bedanya, dahulu kau menempati bilik itu bersama ibu, tetapi sekarang kau harus berani tidur sendiri.”
Para perwira yang mendengar kelakar Untara itu, tertawa. Agaknya mereka telah mendengar cerita tentang Agung Sedayu semasa menjelang remaja. Bahwa ia adalah seorang penakut yang kadang-kadang menjengkelkan sekali. Bukan saja karena ia tidak berani menghadapi kawan-kawannya yang nakal, tetapi ia adalah anak yang takut sekali kepada gelap, hantu, dan semacamnya.
Agung Sedayu sendiri tersenyum mendengarnya, meskipun debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Tetapi aku tidak dapat diam sampai senja,” tiba-tiba saja timbul pikiran di dalam dirinya, “sebaiknya aku berterus terang. Apa pun yang akan dikatakan oleh Kakang Untara terhadapku. Mudah-mudahan Kakang Untara tidak menghubungkan masalah ini dengan kedatanganku dari Mataram. Seolah-olah aku tidak mau lagi berada di lingkungan prajurit Pajang, karena aku mempunyai ikatan tertentu dengan Mataram. Jika demikian maka Ranajaya akan mendapat kesempatan meniup-niupkan pendapatnya yang salah itu.”
Karena itu, satu-satunya alasan yang akan dikemukakan oleh Agung Sedayu adalah gurunya. Gurunya minta ia kembali ke Sangkal Pulung sore ini, karena ada persoalan yang akan dibicarakan mengenai dirinya dalam hubungan guru dan murid.
“Juga mudah-mudahan tidak ada salah paham pada Kakang Untara. Kalau ia menganggap Guru pun berpihak pada Mataram, maka aku akan mendapat kesulitan,” katanya pula didalam hatinya.
Karena itu, setelah suara tawa para perwira mereda, Agung Sedayu mencoba untuk mulai berbicara, mumpung Ranajaya tidak ada di dalam ruangan itu. “Kakang, sebenarnya aku senang sekali bermalam di rumah ini. Rumahku sendiri. Apalagi di dalam bilikku semasa kanak-kanak. Tetapi……,” Agung Sedayu menjadi ragu-ragu.
“Tetapi, kenapa?” Untara bertanya.
“Bukan maksudku tidak menghargai Kakang Untara dan para perwira. Tetapi sebenarnya, bahwa sejak aku berangkat, aku sudah mendapat pesan, bahwa senja ini aku harus kembali ke Sangkal Putung.”
“Kembali ke Sangkal Putung?” Untara mengerutkan keningnya.
“Ya, Kakang, tidak ada apa-apa. Tetapi demikianlah pesan Guru. Besok aku akan segera kembali lagi ke mari, dan aku akan tinggal di rumah ini. Aku senang sekali mendapat banyak kawan di sini, Kakang Untara dan para perwira Pajang.”
Untara memandang Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak segera mengatakan sesuatu.
Agung Sedayu pun menjadi bimbang. Bahkan kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam. Sekilas ia mencoba untuk menatap wajah-wajah para perwira yang duduk di sekitarnya. Tetapi ia tidak tahu, kesan apakah yang membayang di wajah mereka.
Namun dengan demikian, maka dada Agung Sedayu pun menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak ia menunggu jawaban kakaknya, tetapi rasa-rasanya sudah berhari-hari kakaknya itu diam saja memandangnya dengan tajam.
Ruangan itu menjadi hening, seakan-akan tidak berpenghuni. Hanya tarikan nafas yang gelisah terdengar susul-menyusul. Betapa hati Agung Sedayu menggelepar. Tetapi ia masih tetap harus menunggu.
Namun Agung Sedayu yang tertunduk dalam-dalam itu terperanjat, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara Untara. Justru suara tertawanya. Karena itu dengan serta-merta ia mengangkat wajahnya, dan dengan penuh pertanyaan ditatapnya wajah kakaknya yang tampak aneh baginya.
Sejenak kemudian, setelah suara tertawanya mereda, barulah Untara menjawab, “Kau berbohong, Sedayu.”
Berbagai perasaan bercampur baur di dada Agung Serayu. Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati kakaknya. Karena itu, maka tergagap ia menjawab, “Aku tidak berbohong, Kakang.”
“Kau tentu berbohong. Kau katakan, bahwa gurumu memanggilmu sore ini?”
“Ya, ya, ya Kakang.”
Tetapi Untara tertawa pula.
Agung Sedayu benar-benar menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia duduk di atas tikar yang membara. Ia bergeser sejengkal surut.
“Jangan kau sangka aku tidak tahu,” berkata Untara, “bukankah baru tadi malam kau sampai di Sangkal Putung? Dan karena kau segan kepada sanak kadang di Jati Anom, kau memaksa diri untuk datang menemui aku, yang selama ini kau anggap sebagai ganti ayah dan ibu?”
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi kepalanya telah tertunduk semakin dalam. Namun di dalam hatinya ia berkata, “Bukan hanya karena keseganan itu. Aku ingin segera mendapat kesan tentang Kakang, bagaimana sikap Kakang terhadap Mataram.”
“Agung Sedayu,” berkata Untara kemudian. Karena suara Untara menjadi bersungguh-sungguh, maka Agung Sedayu pun mengangkat wajahnya. “Kalau dahulu,” Untara meneruskan, “ mungkin aku akan bertanya, kenapa gurumu memanggil kau sore ini. Mungkin aku tidak mempercayaimu dan memaksamu tinggal di sini, karena aku adalah kakakmu. Tetapi sekarang aku bersikap lain. Aku sekarang tahu, kalau kau sekedar berbohong, karena kau malu mengatakan alasan yang sebenarnya. Namun seandainya gurumu sekalipun yang menyuruh kau kembali sore ini, kau pasti tidak akan menjadi sangat gelisah, seandainya kau tidak dapat memenuhinya, karena kau berharap, bahwa gurumu mengerti kesulitanmu. Tetapi sekarang pasti bukan gurumu yang mengharap kau cepat kembali.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
“Ayo, berkatalah terus terang. Jangan mencoba terbohong.”
Agung Sedayu justru menjadi semakin membeku. Dan ia menjadi bingung ketika, Untara sekali lagi tertawa berbahak-bahak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Beberapa orang perwira yang hadir tersenyum geli melihat sikap Untara dan melihat Agung Sedayu yang kebingungan. Namun mereka sendiri tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Untara.
“Agung Sedayu,” berkata Untara kemudian setelah suara tertawanya mereda, “kau tahu, dan barangkali kau mendengar dari Paman Widura lebih banyak lagi tentang aku dan masa-masa menjelang perkawinanku? Nah, baru setelah aku akan kawin aku tahu, bahwa kau berbohong. Bukankah begitu? Sama sekali bukan Kiai Gringsing yang memaksamu pulang, tetapi pasti Sekar Mirah. Ayo, jangan ingkar. Aku tahu pasti.”
Dada Agung Sedayu berdesir. Tetapi ia mendengar kakaknya berkata di sela-sela suara tertawanya, “Aku akan menyerah sekarang. Mungkin dahulu aku akan berkeras. Tetapi sekarang aku tahu, bahwa keharusan yang paling ditaati, adalah keharusan serupa itu. Dan aku sama sekali tidak berkeberatan, karena kau pun pasti akan memaksa, seandainya aku minta kau tinggal di sini malam ini. Kau pasti lebih memberatkan pesan Sekar Mirah dari pesan siapa pun, termasuk gurumu sendiri.”
Agung Sedayu membeku sejenak. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Suatu sorongan perasaan yang tidak terduga-duga, seakan-akan ia telah terbanting dalam suatu keadaan yang sangat asing. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa kakaknya akan bersikap demikian lunak dan lembut menghadapi keadaannya. Sehingga karena itu, sejenak ia terbungkam sambil memandangi wajah Untara yang masih saja dibayangi oleh suara tertawanya.
“Ha, kau akan mungkir?”
Tetapi Agung Sedayu kini sadar, bahwa kakaknya sekedar berkelakar. Kakaknya ternyata tidak berbuat apa-apa seperti yang dibayangkannya. Kakaknya tidak membentaknya dan tidak memaksanya dengan kekerasan, karena perasaannya tersinggung. Kakaknya ternyata bersikap lain sekali dengan bayangan-bayangan yang tampak di angan-angannya.
Karena itu, maka Agung Sedayu pun tersenyum pula, meskipun kepalanya tertunduk dalam-dalam, tetapi ketegangan yang melonjak di hatinya kini telah lenyap.
“Aku mendapat pesan Guru,” berkata Agung Sedayu hampir tidak terdengar.
“Bohong. Kau sekarang pandai berbohong. Katakan saja terus terang, bahwa Sekar Mirah berpesan dengan bersungguh-sungguh, bahwa kau harus segera kembali ke Sangkal Putung, karena, kau baru datang semalam.” Untara masih tertawa, lalu, “Baiklah. Sampaikan salamku kepada Sekar Mirah, kepada Swandaru dan Ki Demang berdua. Apalagi kepada gurumu dan Ki Sumangkar yang masih tinggal di sana. Aku minta maaf, bahwa sampai kini aku masih belum sempat mengunjunginya karena bermacam-macam kesibukan.”
Dan seorang perwira menyahut, “Yang paling sibuk adalah persoalannya dengan Kakang Widura.”
“Ah,” Untara berdesah. Tetapi yang ada di ruang itu hampir berbareng tertawa, kecuali seorang perwira yang masih berdiri di luar pintu, Ranajaya.
Demikianlah, ternyata Agung Sedayu menemukan Untara yang sudah agak lama ditinggalkannya bertualang itu, lain sama sekali dengan Untara yang dibayangkannya. Ternyata kakaknya sama sekali tidak berkeberatan, apabila sore itu ia kembali ke Sangkal Putung. Bahkan kakaknya dapat menebak alasannya yang sebenarnya, kenapa ia menjadi gelisah ketika matahari menjadi semakin rendah.
“Jadi, Kakang tidak berkeberatan, apabila aku kembali ke Sangkal Putung?” tiba-tiba hampir di luar sadarnya ia bertanya.
“Jadi, apakah aku harus berkeberatan?” jawab Untara sambil tersenyum.
“Tentu tidak. Memang aku mengharap Kakang tidak berkeberatan.”
“Aku mengerti kepentinganmu, Sedayu. Karena itu, aku tidak berkeberatan sama sekali. Kembalilah ke Sangkal Putung. Dan kembalilah kemari, apabila kau sudah mempunyai waktu. Ajaklah mereka kemari. Kami akan menerima dengan senang hati.”
“Siapakah mereka itu?” bertanya seorang perwira yang sudah setengah umur sambil tersenyum.
Untara pun tersenyum pula. Jawabnya, “Kelak kalian akan tahu.”
Demikianlah, Agung Sedayu pun segera minta diri. Ia berjanji dalam waktu dekat, bahkan besok, ia pasti sudah ada di Jati Anom kembali. Jarak antara Jati Anom Sangkal Putung tidak terlampau jauh. Dan jalan di antara kedua daerah ini sekarang sudah aman.
“Dahulu, di dalam kemelutnya api peperangan, Agung Sedayu berani pergi ke Sangkal Putung seorang diri dan apalagi di malam hari,” Untara masih bergurau juga.
Dalam pada itu, Ranajaya yang mendengar bahwa Agung Sedayu akan kembali ke Sangkal Putung, telah mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangan itu.
Tiba-tiba saja timbul rencananya untuk berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun justru meninggalkan pintu pringgitan dan dengan tergesa-gesa pergi ke kebun belakang.
Sejenak kemudian, seekor kuda telah berderap melalui pintu butulan meninggalkan halaman rumah itu. Di atas punggung kuda itu adalah perwira prajurit Pajang yang bernama Ranajaya.
Di tikungan ketika ia menjumpai sekelompok prajurit bawahannya, ia pun membisikkan sesuatu. Tiga orang di antaranya tergesa-gesa meninggalkan tikungan itu dan berlari-lari mengambil seekor kuda bagi masing-masing di pondok mereka.
Tidak seorang pun yang tahu, apakah yang akan mereka lakukan, selain prajurit-prajurit itu sendiri.
Sementara itu, Agung Sedayu yang sudah minta diri itu pun, kemudian keluar dari rumahnya dan turun ke halaman. Sambil sekali lagi minta diri, ia pun mengambil kudanya dan segera meninggalkan halaman itu dengan kesan yang terasa asing di hatinya. Asing karena tanggapan yang diterima sama sekali lain dari bayangan yang selama ini menggelisahkannya.
Namun dalam pada itu, ketika ia sampai di ujung lorong, di mulut padukuhannya, Juga, seorang prajurit muda, menghentikannya. Tangannya melambai-lambai, sedangkan wajahnya tampak berkerut-merut.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ada kesan yang aneh pada anak muda itu, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun menghentikan kudanya pula.
“Agung Sedayu,” berkata Juga, “agaknya ada sesuatu yang tidak wajar. Prajurit yang kau kalahkan itu ternyata mempunyai rencananya tersendiri.”
“Apa?” bertanya Agung Sedayu.
“Agaknya ia ingin melibatkan seorang perwira di dalam persoalan, yang sebenarnya dapat dianggapnya selesai.”
“Maksudmu?”
“Belum lama berselang, Ranajaya telah mendahului keluar dari padukuhan ini, yang kemudian disusul oleh ketiga orang prajurit bawahannya, yang salah seorang di antara mereka adalah yang telah kau kalahkan.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Agaknya Juga tidak mengerti seluruh persoalannya dengan Ranajaya. Namun hal itu membuat Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.
Karena itu, sejenak Agung Sedayu berpikir. Tetapi ia tidak menemukan jalan yang sebaik-baiknya untuk menentukan sikap.
“Aku akan kembali kepada Kakang Untara,” berkata Agung Sedayu, “kalau Kakang Untara tidak berkeberatan, aku akan melayaninya. Tetapi dengan demikian tidak ada persoalan antara aku dan Kakang Untara. Kalau Kakang Untara berkeberatan, aku akan mengambil jalan lain ke Sangkal Putung, meskipun agak jauh.”
“Aku rasa itu adalah jalan yang sebaik-baiknya,” sahut Juga.
Agung Sedayu pun segera memutar kudanya dan berlari kembali ke rumahnya yang dipergunakan sebagai tempat tinggal para perwira itu.
Untara yang masih ada di pendapa terkejut, melihat adiknya kembali, sehingga karena itu, dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya.
Sejenak, Agung Sedayu ragu-ragu, karena di sebelah kakaknya ada beberapa orang perwira yang lain.
“Katakanlah,” berkata kakaknya setelah Agung Sedayu turun dari kudanya.
Maka dengan singkat Agung Sedayu pun mengatakan persoalannya, seperti yang dikatakan oleh Juga.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada para perwira, “Marilah kita menjadi saksi. Pergilah dahulu Agung Sedayu. Kami akan menyusul. Layani kehendaknya. Kau tidak usah cemas, bahwa ia akan menyalah-gunakan kekuasaannya sebagai seorang prajurit, karena aku sudah mengetahui persoalannya. Aku akan menyertakan seorang saksi sebelum aku sampai di tempat itu. Supaya mereka melakukan rencana yang sebenarnya, biarlah seorang prajurit saja pergi bersamamu. Prajurit yang dapat diabaikan oleh Ranajaya.”
Agung Sedayu memandang kakaknya sejenak. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata kakaknya benar-benar seorang prajurit yang tidak emban cinde emban silatan. Siapa pun yang bersalah, ia akan menunjuk dengan jarinya atas kesalahan itu.
Sejenak kemudian, seorang prajurit yang ditunjuk oleh Untara pun telah bersiap. Dan sekali lagi Untara berpesan, “Pergilah. Hati-hatilah. Ia seorang perwira yang baik di medan peperangan. Prajurit yang menyertaimu adalah seorang yang berasal dari Macanam. Ia akan mengatakan, bahwa kebetulan kalian berangkat bersama-sama dari Jati Anom.”
Agung Sedayu mengerti maksud kakaknya. Karena itu, maka ia pun segera minta diri dan berpacu ke luar padukuhan Jati Anom, bersama seorang prajurit yang berasal dari Macanan.
“Perananmu hanyalah menjadi saksi sebelum Kakang Untara sampai ke tempat itu.”
“Ya.”
“Apakah Ranajaya sudah mengenalmu?”
“Ya. Ranajaya sudah mengenal aku. Ketiga prajurit yang lain itu pun mengenal aku pula.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya kudanya berpacu terlampau lambat. Sebelum senja ia harus sudah sampai di Sangkal Putung, sedang ia masih akan mendapat rintangan di jalan menuju ke Sangkal Putung itu.
Ternyata apa yang dikatakan Juga itu benar. Belum terlampau jauh keduanya keluar dari Kademangan Jati Anom, maka mereka melihat beberapa ekor kuda berhenti di tengah jalan.
Semakin dekat, Agung Sedayu melihat semakin jelas empat orang berdiri termangu-manggu di tepi jalan itu pula.
“Ternyata mereka benar-benar menunggu aku,” desis Agung Sedayu.
“Ranajaya memang mempunyai sifat yang aneh. Kawan-kawannya, para perwira Pajang, menjadi heran pula melihat sikapnya. Semakin banyak umur seseorang, seharusnya ia menjadi semakin mengendap. Tetapi ternyata tidak demikian dengan Ranajaya. Ia justru menjadi semakin aneh. Semakin tua dan semakin tinggi pangkat dan jabatannya, ia seakan-akan menjadi mabuk.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi keningnya menjadi semakin berkerut-merut. Agaknya memang sulit untuk menghindarkan dirinya.
Sejenak kemudian Agung Sedayu dan prajurit dari Macanan itu menjadi kian mendekat. Dengan dada yang berdebar-debar, Agung Sedayu melihat perwira itu bergeser ke tengah jalan.
Tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi tegang, ketika ia melihat prajurit yang datang bersama Agung Sedayu. Dengan geram perwira itu berkata, “Kau Japa? Kenapa kau mengawal Agung Sedayu?”
“Aku sama sekali tidak mengawal. Aku kebetulan sekali ingin menengok keluargaku di Macanan.”
“Tetapi kenapa kali ini kau berkuda? Bukankah biasanya kau berjalan kaki saja?”
“Aku prajurit dari pasukan berkuda. Apa salahnya aku pulang berkuda sekali-kali di dalam hidupku.”
“Japa. Ingat, dengan, siapa kau berbicara.”
Japa mengerutkan keningnya. Ia memang berbicara dengan seorang perwira, sehingga karena itu, ia tidak dapat menjawab. Bahkan ia pun segera meloncat turun dari kudanya.
“Bersikaplah sebagai seorang prajurit terhadap seorang perwira.”
“Ya,” sahut Japa singkat sambil berdiri tegak di samping kudanya.
Tetapi dalam pada itu, Agung Sedayu masih tetap duduk di atas punggung kudanya yang berdiri termangu-manggu.
“Japa,” berkata Ranajaya, “kalau kau memang ingin pulang ke Macanan, pulanglah.”
“Aku akan pergi bersama-sama Agung Sedayu.”
“Pergilah dahulu.”
“Aku menunggunya.”
“Kau akan mencampuri urusan kami?”
“Tidak. Aku tidak akan membuat persoalan bagi diriku sendiri. Aku hanya akan menunggu. Itu saja. Tidak ada niat yang lain.”
Ranajaya menjadi tidak sabar lagi. Karena katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi kalau kau ikut campur dalam persoalan ini, maka akibatnya akan membuatmu menyesal sekali.”
“Aku tidak akan berbuat apa-apa.”
Ranajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Biarlah. Menepilah.”
Japa pun kemudian bergeser menepi menuntun kudanya.
Dalam pada itu, Ranajaya memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Seakan-akan Ranajaya melihat seseorang yang belum pernah dikenalnya, bahkan seseorang yang tidak sewajarnya.
“Agung Sedayu,” geram Ranajaya, “apakah kau tidak mau turun dari kuda?”
“Sudah aku katakan Ranajaya, itu adalah hakku. Dan sekarang aku ingin cepat-cepat sampai ke Sangkal Putung sebelum senja.”
“Kau harus turun.”
“Jangan mengganggu perjalananku. Aku tergesa-gesa.”
“Kau harus turun. Aku tahu, dengan sebelah tanganmu kau dapat mengalahkan anak buahku. Tetapi jangan kau sangka, Ranajaya sekedar seorang prajurit cengeng macam anak itu,” berkata Ranajaya sambil menunjuk prajurit yang telah dikalahkan oleh Agung Sedayu hanya dengan sebelah tangannya.
“Aku percaya Ranajaya,” jawab Agung Sedayu kemudian, “aku percaya. Dan sekarang berilah jalan. Aku akan lewat. Hanya sekedar lewat.”
Tetapi Ranajaya menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku ingin tahu yang sebenarnya. Apakah sebenarnya yang kau andalkan, maka kau bersikap begini sombong.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan di saat-saat ia berangkat dari Sangkal Putung, bahwa justru sikap seorang perwira yang angkuh inilah yang telah menghambat perjalanannya. Sama sekali bukan karena Untara melarangnya kembali.
“Ranajaya,” berkata Agung Sedayu kemudian, “sebaiknya kita tidak membuat persoalan ini berkepanjangan. Aku berbangga, bahwa para perwira tidak membuat persoalan atasku, karena aku bertengkar dengan seorang prajurit. Tetapi tiba-tiba salah seorang perwira telah berbuat serupa, seperti prajurit yang justru dianggap tidak benar oleh Untara, bukan sebagai kakakku, tetapi sebagai perwira tertinggi di daerah ini.”
“Urusan Untara adalah urusan keprajuritan. Ia tidak perlu mengurusi sikap-sikap sombong seperti sikapmu ini.” Ranajaya berhenti sejenak, lalu, “Dan bukankah kau sendiri yang menuntut sikap jantan di antara kita?”
Agung Sedayu merasa, bahwa ia tidak akan dapat menghindar lagi. Apalagi ketika Ranajaya berkata, “Agung Sedayu. Yang penting bagiku, aku akan memaksa kau bercerita tentang Mataram. Kau harus berkata sebenarnya. Kalau kau ingin menghindari sikap jantan yang kau tuntut itu, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang Mataram?”
Agung Sedayu berpikir sejenak. Agaknya ia dapat mencoba menghindari pertengkaran, selama masalah Mataram itu dapat memberi kepuasan kepada Ranajaya. Karena itu, maka katanya, “Apakah yang ingin kau ketahui tentang Mataram?”
“Siapa saja yang telah dibunuh oleh Sutawijaya di daerah yang sedang dibuka? Kau tentu tahu, dan kau tentu dapat mengatakan, siapakah pembunuhnya yang sebenarnya.”
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu. Tetapi dengan demikian ia justru ingin mendengar pertanyaan Ranajaya lebih lanjut. Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab, “Sepengetahuanku Ranajaya, tidak ada orang yang sengaja dibunuh. Memang ada pertempuran-pertempuran kecil dengan mereka yang sengaja mengganggu pembukaan Alas Mentaok. Tetapi itu bukan pembunuhan.”
“Ya, sebutkan siapa saja yang terbunuh di dalam peperangan itu?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. “Tentu aku tidak dapat mengatakan seorang demi seorang.”
“Bohong!” tiba-tiba Ranajaya membentak. “Pajang harus mendapat bahan selengkapnya sebelum bertindak tepat. Nah, berapa ribu orang sudah disiapkan oleh Sutawijaya untuk melawan Pajang.”
“Inilah yang berbahaya,” berkata Agung Sedayu. “Berulang kali aku katakan. Tidak ada persiapan prajurit. Tidak ada.”
“Bohong! Bohong! Aku akan memaksamu berkata.”
“Tidak ada yang akan aku katakan.”
“Itulah yang aku ingin tahu sebenarnya. Kau harus menyebut besar pasukan Mataram. Siapakah pimpinan mereka. Aku tahu, ada beberapa orang perwira yang telah terbujuk oleh Sutawijaya yang curang itu. Dan di mana saja mereka menempatkan pusat-pusat pertahanannya. Jangan ingkar, bahwa kau pasti salah seorang telik sandi yang dikirim oleh Sutawijaya. Menurut penyelidikan kami, kau bersahabat dengan Sutawijaya sejak Tohpati masih berkuasa di daerah ini. Kau berdua dengan anak Demang Sangkal Putung telah mengikutinya ke Alas Mentaok, jauh sebelum Pemanahan berontak dan dengan kekerasan menduduki daerah yang belum resmi diserahkan kepadanya. Hanya karena kebesaran hati Sultan Hadiwijaya, maka Pemanahan diperkenankan membuka hutan itu. Tetapi ternyata kebaikan hati Sultan Hadiwijaya itu telah disalah-artikan oleh Pemanahan, sehingga mereka menganggap Pajang sudah terlampau lemah menghadapinya.”
Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Itu tidak benar. Dari mana kau mendapatkan cerita itu? Mungkin seorang nenek yang sedang menidurkan cucunya akan bercerita semacam itu.”
“Kau tentu tidak akan mengatakannya. Karena itu, aku akan memaksamu. Aku akan mendengar keterangan tentang Mataram menurut caraku. Kemudian kau akan aku seret kembali ke Jati Anom untuk membuktikan kepada mereka, bahwa kau adalah telik sandi yang harus kita curigai, meskipun kau adik Untara atau katakanlah justru kau adik Untara.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau Untara meyakini, bahwa kau seorang petugas sandi dari sahabatmu yang licik dan curang itu, kau akan mendapat perlakuan yang lain meskipun ia kakakmu sendiri.”
“Jadi kau ingin menunjukkan jasa yang berlebih-lebihan kepada Kakang Untara? Atau kau ingin dianggap sebagai pahlawan besar bagi Pajang?”
“Tutup mulutmu! Kalau kau ingin berbicara, berbicaralah tentang pengkhianatan Sutawijaya. Jangan berkata tentang yang lain.”
Agung Sedayu merenung sejenak, lalu, “Kalau begitu lebih baik aku tidak berbicara tentang apa pun juga.”
“Gila. Aku akan memaksamu. Ayo, turun dari kudamu! Atau aku akan menyeretmu. Aku dapat memaksa kau berkata.”
“Mungkin kau dapat memaksa aku berkata. Tetapi yang aku katakan bukanlah hal yang sebenarnya terjadi. Tetapi hanya sekedar memenuhi keinginanmu.”
“Kau benar gila,” dan tiba-tiba saja wajah Ranajaya menjadi merah membara. Sejenak kemudian ia beringsut maju.
Agung Sedayu tidak melihat jalan lain daripada membela diri. Tetapi ia tidak mau berkelahi di atas punggung kudanya, agar Ranajaya tidak terinjak oleh kaki-kaki kuda itu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera meloncat turun sambil berkata, “Japa, tolong, pegangi kudaku.”
“O, anak yang malang. Kau benar-benar akan menyesal,” geram Ranajaya.
Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia sudah berusaha menghindari pertengkaran, namun ia tidak berhasil.
Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya. Ia tidak tahu, seberapa jauh kemampuan Ranajaya. Karena itu, ia tidak ingin terpelanting pada sasaran pertama.
Ranajaya yang benar-benar telah tidak dapat mengendalikan dirinya, melangkah semakin lama semakin mendekat. Matanya seakan-akan telah menyala. Seakan-akan ia benar-benar berhadapan dengan seorang petugas sandi dari Mataram yang berhasil menyusup di antara pasukan Pajang.
Demikianlah bagi Ranajaya, Agung Sedayu memang mencurigakan. Sebenarnya ia sudah mendengar nama itu beberapa lama. Bahkan ia telah berhasil mengetahui serba sedikit tentang Agung Sedayu.
Masih terngiang di telinganya pesan seorang Tumenggung dari Pajang, “Kau harus mencari keterangan tentang sepasang anak-anak muda yang bersenjata cambuk. Salah seorang dari mereka adalah adik Untara.”
Sebenarnya bagi Agung Sedayu sendiri, pengenalan Ranajaya atas dirinya itu pun agaknya menumbuhkan teka-teki. Tetapi ia tidak sempat bertanya, dan ia yakin bahwa Ranajaya tidak akan mau mengatakannya.
“Agaknya cukup banyak prajurit Pajang yang mengenal aku sejak di Sangkal Putung, sampai pecahnya padepokan Tambak Wedi,” katanya di dalam hati. “Tetapi ternyata Ranajaya telah mencari hubungan keakrabanku dengan Raden Sutawijaya saat itu dengan kedatangan dari Mataram sekarang. Apalagi aku memang pernah pergi ke Alas Mentaok, sebelum daerah itu dibuka justru bersama-sama dengan Raden Sutawijaya.”
Agaknya peristiwa-peristiwa itulah yang telah dijalin oleh Ranajaya menjadi suatu kesimpulan, bahwa kedatangannya kali ini adalah atas perintah dan tugas dari Sutawijaya.
“Untunglah, bahwa Kakang Untara mengenal aku dengan baik, sehingga ia tidak mudah percaya dengan cerita-cerita itu,” katanya pula di dalam hatinya.
Namun sementara itu. Ranajaya telah berdiri beberapa langkah saja di hadapannya. Sambil menggeram ia menunjuk wajah Agung Sedayu, “Jangan ingkar. Aku sudah banyak mendengar perananmu, peranan orang-orang bercambuk di Alas Mentaok. Aku kira tidak banyak jumlahnya, orang-orang yang bersenjata cambuk seperti senjatamu dan gurumu.”
“Siapa yang menyampaikan hal itu kepadamu?”
“Tidak ada gunanya kau mengerti,” Ranajaya membelalakkan matanya. “Apakah kau mengaku?”
“Aku mengaku, bahwa aku mempunyai senjata cambuk. Hanya itu.”
“Persetan,” Ranajaya agaknya sudah tidak sabar lagi. Selangkah lagi ia maju, sehingga karena itu, Agung Sedayu pun telah siap menghadapi serangannya yang pertama.
Agung Sedayu tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun masih terdengar Ranajaya berkata, “Kau akan terpaksa mengatakannya, Anak Gila.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi matanya yang tajam segera melihat kaki Ranajaya terangkat. Cepat sekali, seperti anak panah yang meloncat dari busurnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak tinggal diam. Dengan cepat pula ia bergeser dan melingkar di atas tumit satu kakinya, sehingga kaki Ranajaya terjulur sejengkal di sisi lambungnya. Bahkan dengan cepat pula, Agung Sedayu memukul pergelangan kaki itu dengan sisi telapak tangannya. Namun agaknya Ranajaya dapat bergerak sangat tangkas. Sebelum tangan Agung Sedayu mengenai pergelangan kakinya, Ranajaya telah melingkar, melontarkan kakinya itu menjauhi Agung Sedayu. Dan begitu kaki yang terjulur itu melekat di atas tanah, maka dengan sebuah loncatan kecil, Ranajaya melenting menyerang Agung Sedayu dengan kakinya yang lain.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ranajaya benar-benar seorang perwira yang lincah. Tetapi ia tidak membiarkan tubuhnya disakiti. Dengan tangkasnya Agung Sedayu merendahkan dirinya. Tiba-tiba saja kakinya melingkar mendatar, hanya sejengkal di atas tanah menyapu satu kaki Ranajaya, sementara satu kakinya masih terjulur. Dengan perhitungan yang tepat, maka pada saat kaki yang terlonjak sedikit itu menginjak tanah, sedang yang lain masih terjulur lurus, kaki Agung Sedayu telah mengenainya.
Gerakan Agung Sedayu yang cepat itu sama sekali tidak terduga-duga oleh Ranajaya. Karena itu, ketika kakinya yang menginjak tanah itu terlempar, maka ia pun jatuh pula terbanting.
Tetapi Ranajaya tidak membiarkan serangan berikutnya. Dengan cepat pula ia berguling beberapa kali menjauh. Kemudian melenting seperti seekor bilalang yang meloncat. Kemudian dengan lincahnya ia jatuh di atas kedua kakinya yang renggang, langsung bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Itulah sebabnya Ranajaya menjadi sombong. Ia ternyata seorang perwira yang benar-benar tangkas dan perkasa. Sentuhan pada bagian tubuhnya, memberikan sedikit petunjuk bagi Agung Sedayu, bahwa lawannya adalah seorang yang tidak saja lincah dan cepat, tetapi juga seorang yang kuat. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan mendatang.
Sejenak keduanya berdiri tegak di tempatnya. Namun kemudian hampir berbareng keduanya bergeser mendekat. Memang agaknya tidak ada jalan penyelesaian yang lain daripada kekerasan. Dan Agung Sedayu memang tidak akan menghindar lagi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Masing-masing adalah seorang yang tangkas, cepat dan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.
Para prajurit yang ada di luar arena hanya dapat melihat perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar.
Sekali-sekali wajah mereka menegang, namun kemudian sebuah senyum tampak membayang di bibir mereka. Tetapi sejenak kemudian kening mereka menjadi berkerut-merut.
Para prajurit yang mengikuti Ranajaya hampir berbareng bersorak, ketika mereka melihat Agung Sedayu terlempar beberapa langkah, karena hempasan kaki Ranajaya yang tepat mengenai lambungnya. Namun Agung Sedayu tidak terjatuh. Ia masih sempat mengelak ketika serangan berikutnya mengarah pelipisnya.
Japa mengikuti perkelahian itu dengan tegang pula. Tetapi tampaknya ia tetap tenang, seolah-olah ia tidak terseret ke dalam suasana yang semakin lama menjadi semakin panas itu.
Ranajaya yang merasa dirinya seorang perwira yang terkemuka di medan-medan perang, merasa heran, bahwa Agung Sedayu tidak segera dapat dikalahkan. Ia sadar, bahwa Untara, adalah seorang prajurit linuwih. Tetapi apakah dengan demikian, dengan sendirinya Agung Sedayu juga menjadi seorang yang perkasa?
Karena itu, maka Ranajaya pun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Ia ingin segera memaksa Agung Sedayu menyerah, dan menjawab semua pertanyaannya tentang Mataram, tentang Alas Mentaok dan tentang tugas yang dibebankan kepadanya oleh Sutawijaya. Jika ia berhasil, maka ia akan mengejutkan seluruh Jati Anom dan Untara sendiri, bahwa adiknya ternyata adalah telik sandi yang diselusupkan oleh Sutawijaya ke belakang garis pertahanan Pajang.
Tetapi Agung Sedayu pun semakin lama menjadi semakin panas pula. Semula ia memang tidak memeras kemampuannya, karena ia masih mempunyai perasaan segan dan hormat kepada prajurit Pajang, apalagi seorang perwira. Tetapi karena tubuhnya semakin sering dikenai serangan-serangan Ranajaya dan menjadi semakin terasa sakit, akhirnya Agung Sedayu pun tidak mau mengekang diri lagi.
“Aku harus bersungguh-sungguh,” katanya di dalam hati, “apa pun akibatnya. Kalau tidak, maka aku akan benar-benar menjadi bengkak-bengkak.”
Dengan demikian, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Agung Sedayu pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia tidak lagi mencoba menghindarkan kemungkinan yang pahit bagi perwira itu. Ia tidak lagi menghiraukan, apakah perwira itu akan menjadi sangat malu, apabila ia tidak dapat memenangkan perkelahian itu, atau setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh Agung Sedayu.
Kalau semula Agung Sedayu tidak ingin mengalahkan lawannya dengan semena-mena di hadapan prajurit-prajuritnya, maka pikiran itu pun semakin lama menjadi semakin kabur, karena serangan Ranajaya yang semakin menyakiti badannya.
Sejak itulah, maka tampak perubahan pada keseimbangan perkelahian itu. Karena Agung Sedayu pun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya, maka justru Ranajaya yang semakin bernafsu untuk segera memenangkan perkelahian itulah yang menjadi semakin terdesak.
Hampir tidak masuk akal lagi Ranajaya, bahwa ia merasa semakin lama semakin berat melawan tandang Agung Sedayu. Ternyata anak muda itu memiliki kemampuan yang jauh melampaui kemampuan yang diperkirakannya. Meskipun demikian, Ranajaya adalah seorang perwira yang berpengalaman, meskipun ia masih muda. Karena itulah, maka meskipun sekali-sekali ia tampak terdesak, tetapi ia masih mampu melakukan perlawanan sebaik-baiknya. Serangan-serangannya bahkan sekali-sekali masih juga dapat mengenai sasarannya.
Tetapi kini serangan Agung Sedayu mulai mengenai tubuhnya. Sambaran tangan Agung Sedayu bagaikan ayunan sekeping besi yang berat. Dan tangan itu telah menyentuhnya. Tidak hanya satu kali, dua kali. Tetapi beberapa kali.
Perkelahian itu pun semakin lama benar-benar menjadi semakin dahsyat. Agung Sedayu kini mulai berusaha menguasai lawannya. Langkahnya semakin lincah dan cepat, sehingga seakan-akan ia berada di segala arah bagi lawannya.
Perlahan-lahan perkelahian itu pun bergeser menepi. Begitu dahsyatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah berdiri tepat di pinggir tanggul sawah yang sedang digenangi air.
Sebuah serangan Ranajaya yang cepat dan tidak terduga-duga, ternyata berhasil menyusup pertahanan tangan Agung Sedayu langsung mengenai dadanya. Terasa pukulan tangan Ranajaya itu bagaikan memecahkan dinding dadanya, sehingga Agung Sedayu terdorong surut. Sedang di belakang Agung Sedayu adalah sawah yang basah berlumpur.
Tetapi Agung Sedayu tidak mau terlempar sendiri ke dalam genangan lumpur itu. Dengan tangkasnya ia masih berhasil menangkap pergelangan tangan Ranajaya, sehingga keduanya bagaikan terlempar ke dalam air yang berwarna coklat kehitam-hitaman.
Para prajurit yang menyaksikan perkelahian itu, seakan-akan telah membeku di tempatnya. Tetapi ketika mereka melihat keduanya terjatuh ke dalam lumpur, maka mereka pun hampir serentak meloncat maju, dan berdiri tegak di pinggir pematang.
Tertatih-tatih keduanya berusaha meloncat berdiri. Tetapi ternyata lumpur yang kotor, yang telah melumuri seluruh tubuh dan pakaian, membuat hati mereka semakin panas. Sehingga perkelahian selanjutnya adalah benar-benar perkelahian yang menentukan, meskipun keduanya masih tidak bersenjata.
Dalam pada itu, para prajurit yang berdiri di pinggir sawah, tidak sampai hati membiarkan perwiranya berkelahi berlumuran lumpur tanpa berbuat apa-apa. Apalagi mereka melihat setiap kali keduanya terlempar jatuh, bangun lagi dengan lumpur yang semakin tebal.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian salah seorang berdesis, “Apakah kita dapat membantu?”
“Tunggu. Kita harus mendapat perintah atau ijin dahulu. Kalau tidak, kita akan justru dimarahinya.”
Kawannya menjadi termangu-mangu. Namun setiap kali keningnya berkerut-merut. Lumpur yang melumuri seluruh tubuh Ranajaya dan Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin tebal pula. Apalagi ketika menjadi semakin jelas bagi para prajurit, bahwa Ranajaya selain harus bergulat melawan lumpur, ternyata juga bahwa ia menjadi semakin terdesak.
Agung Sedayu yang merasa, bahwa tubuhnya menjadi sangat kotor dan menjadi pedih-pedih karena air, berniat untuk segera mengakhiri perkelahian. Karena itu, maka ia berkelahi semakin garang, meskipun ia masih juga berada di dalam lumpur.
Ternyata, bahwa Ranajaya tidak mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Meskipun Ranajaya seorang prajurit yang berpengalaman, tetapi Agung Sedayu pernah mengalami medan yang bermacam-macam, sehingga karena itu, maka ia telah berhasil benar-benar menguasai lawannya, seorang perwira pasukan Pajang.
Dengan demikian, maka prajurit-prajuritnya benar-benar tidak dapat tinggal diam. Salah seorang bergerak maju sambil berkata, “Ijinkan kami ikut menangkap telik sandi itu.”
Perwira Pajang yang sedang berkelahi itu tidak segera menjawab. Ia masih dibayangi oleh sifat keperwiraannya, sehingga karena itu, ia tidak segera membenarkan prajurit-prajuritnya ikut di dalam perkelahian itu.
Kerena Ranajaya tidak menyahut, maka seorang prajurit yang lain berteriak pula, “Apakah kami diijinkan untuk ikut menangkap anak itu?”
Masih tidak ada jawaban.
Dan sekali lagi prajurit di pinggir sawah itu berkata, “Kami minta ijin itu.”
Tetapi perwira yang sedang berkelahi itu tidak memberikan jawaban apa pun. Ia tidak ingin berkelahi dengan curang. Sebagai seorang perwira ia masih mempunyai harga diri yang cukup, sehingga ia tidak mengiakan permintaan prajurit-prajuritnya itu.
Sikap itu ternyata menumbuhkan perasaan hormat pada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang menyadari, bahwa sebentar lagi ia pasti akan menguasai lawannya sepenuhnya, merasa kagum, bahwa meskipun Ranajaya termasuk seorang perwira yang bengal, tetapi ia tidak mau bertempur bersama prajurit-prajuritnya untuk melawan Agung Sedayu.
Tetapi prajurit-prajuritnyalah yang menjadi gelisah. Karena Ranajaya tidak menyahut, maka mereka pun akan mengambil sikap sendiri. Salah seorang berkata, “ Ki Ranajaya tidak melarang, meskipun tidak mengiakan.”
“Kita bertindak sendiri,” sahut yang lain.
Tetapi yang lain lagi berkata, “Tetapi ia adik Ki Untara.”
Sejenak prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian, “Kalau benar ia telik sandi, meskipun adiknya Ki Untara, kita memang harus menangkapnya.”
Kawannya termangu-mamgu sejenak, namun kemudian, “Tanggung jawab ada pada Ki Ranajaya. Marilah, kita berbuat sesuatu.”
Sejenak prajurit-prajurit itu bimbang. Namun sejenak kemudian mereka beringsut maju.
Tetapi ketika mereka benar-benar akan terjun ke dalam lumpur, mereka terhenti, karena Japa yang ada di belakang mereka berkata, “He, apakah kalian akan ikut campur?”
“Kami akan menangkap petugas sandi dari Mataram itu.”
“Jangan. Ki Ranajaya akan marah kepada kalian. Kau telah minta ijin kepadanya, tetapi ia tidak menjawab. Kau tahu harga diri seorang satria?”
Ketiga prajurit itu mengerutkan keningnya.
“Biarkanlah perkelahian itu.”
Ketiga prajurit itu merenung sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Soalnya bukan perang tanding. Tetapi kami akan menangkap seorang telik sandi bersama-sama.”
“Tuduhan itu tidak beralasan sama sekali. Kalian harus tahu, bahwa Ki Ranajaya adalah seorang yang sangat membenci Sutawijaya. Aku tidak tahu sebabnya. Karena itulah, maka penilaiannya terhadap kawan Raden Sutawijaya juga tidak longgar lagi. Seakan-akan semua orang yang pernah berkenalan dengan Raden Sutawijaya adalah musuh Pajang. Bahkan kita belum yakin, apakah Raden Sutawijaya sendiri memusuhi Pajang?”
Ketiga prajurit itu menjadi semakin bimbang. Dan Japa berkata, “Biarlah keduanya menyelesaikan persoalan mereka. Soalnya bukan Mataram atau Pajang. Bukan telik sandi atau prajurit yang setia. Keduanya adalah anak-anak yang masih muda. Yang satu tidak mau tersinggung oleh yang lain. Itu saja. Karena itu, marilah kita sekedar menjadi saksi.”
“Ah. Kau berpikir terlampau pendek. Ki Ranajaya tidak sekedar berpikir tentang dirinya sendiri. Ia menyadari kedudukan Pajang di hadapan Mataram yang sedang tumbuh.”
“Itu adalah omong kosong. Percayalah, bahwa mereka keduanya adalah anak-anak muda yang sombong, angkuh dan terlampau memuja harga diri, sehingga hatinya mudah tersinggung. Itulah sebabnya, mereka berkelahi. Bukan apa-apa. Jangan dihubungkan dengan soal-soal yang tidak kita mengerti.”
“Persetan,” sahut seorang prajurit, “tetapi kita harus berbuat sesuatu.”
Japa menggelengkan kepalanya, “Jangan. Aku tidak sependapat.”
“Tetapi kami tidak dapat membiarkan hal ini terjadi.”
“Biar sajalah.”
“Kau sama sekali tidak mau membantu seorang perwira atasannya yang sedang menjalankan tugas.”
“Aku dari pasukan berkuda. Bukan dari pasukanmu. Aku memang harus hormat kepada perwira yang mana pun. Tetapi tidak mencampuri persoalan pribadinya. Apa lagi ia memang agak terlampau mudah tersinggung.”
“Terserah. Tetapi kami akan membantunya.”
Tetapi Japa menggeleng, “Jangan. Kau tahu arti kata-kataku ini? Biarkan saja apa yang akan terjadi.”
Ketiga prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Sekali dipandanginya wajah Japa yang berkerut-merut, namun kemudian mereka berpaling kepada Ranajaya yang semakin sering jatuh, terbanting ke dalam lumpur.
Sebenarnyalah, prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu. Mereka bertiga telah mengenal prajurit dari pasukan berkuda yang bernama Japa itu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawan prajuritnya. Beberapa orang justru mengatakan, bahwa ia mempunyai aji welut putih, sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun sulitnya, namun lawan-lawannya tidak akan dapat menangkapnya. Bahkan sekaligus mempunyai aji lembu sekilan, sehingga seakan-akan ia menjadi kebal, meskipun oleh kekuatan yang dapat melampaui daya tahan aji lembu sekilannya, ia dapat juga dikenainya.
Tetapi sejenak kemudian Japa itu pun berkata, “Dengarlah kata-kataku. Aku yakin, bahwa aku sependapat dengan Ki Ranajaya.”
“Kau lihat, Ki Ranajaya kini terdesak. Apakah kau dapat membayangkan, bagaimana tanggapannya terhadap kami yang sekedar menonton di sini. Kalau kami mengatakan, bahwa kaulah yang mencegah kami, maka kau akan menjadi sasaran kemarahannya. Meskipun kau mempunyai aji welut putih dan lembu sekilan sekalipun, kau tidak akan dapat melawan Ki Ranajaya.”
“He, siapa yang mengatakan bahwa aku mempunyai aji welut putih dan apalagi lembu sekilan? Sama sekali tidak. Kalau aku mencegah kalian, itu adalah karena aku yakin, Ki Ranajaya akan membenarkan sikapku. Kalau ikut campur, maka itu akan berarti, bahwa kau telah menurunkan sikap satrianya. Seandainya kalian berempat berhasil mengalahkan Agung Sedayu, itu sama sekali bukan kebanggaan. Besok kalian pasti akan dihukum oleh Ki Ranajaya, karena kalian telah menghinanya, seolah-olah perwira itu tidak dapat mengatasi persoalannya, atau tidak dapat bersikap seperti seorang laki-laki yang sebenarnya.”
Ketiga prajurit itu menjadi bingung. Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Lalu apa gunanya kami dibawanya serta?”
“Maksudnya, kalian akan menjadi saksi apa yang telah terjadi. Seandainya terjadi kecelakaan dalam perkelahian itu, maka itu adalah akibat yang tidak dapat dihindari. Yang lain tidak dapat dituntut, karena keduanya telah berhadapan sebagai laki-laki atas kehendak masing-masing.”
Ketiga prajurit itu menjadi termangu-mangu. Tetapi kini ia melihat Ranajaya terlempar beberapa langkah dan jatuh terlentang di dalam lumpur. Hampir seluruh tubuhnya terbenam di dalam air yang kotor di sela-sela tanaman padi muda, yang menjadi porak-poranda dan bosah-baseh.
Dengan susah payah ia berusaha berdiri. Tetapi Agung Sedayu telah berkeputusan untuk mengakhiri perkelahian itu, sehingga begitu Ranajaya tegak, maka ia pun segera menyerang dengan dahsyatnya. Sebuah pukulan yang tidak terelakkan telah mengenai dagunya.
Sebenarnyalah, bahwa tenaga Ranajaya telah susut. Karena itu pukulan Agung Sedayu itu terasa begitu dahsyatnya, sehingga kepala Ranajaya terangkat dan sekali lagi ia terhuyung-huyung. Tetapi kali ini Agung Sedayu memburunya. Sebuah pukulan berikutnya mengenai perutnya.
Ranajaya membungkuk kesakitan. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Sekali lagi Agung Sedayu mengayunkan tangannya. Kali ini mengenai bagian bawah telinganya.
Terasa kepala Ranajaya bagaikan terputar. Kini ia terlempar dan tanpa dapat menjaga keseimbangannya lagi, ia pun terjatuh menelentang.
Tenaga perwira muda itu bagaikan telah terhisap habis. Kepalanya menjadi pening, dan pandangan matanya seakan-akan berputaran. Awan yang terbang di langit bagaikan runtuh menimpa dadanya.
Tetapi Ranajaya tidak pingsan, meskipun ia tidak dapat lagi bangkit berdiri. Ia hanya dapat mengangkat kepalanya dan duduk di dalam lumpur yang basah.
Agung Sedayu berdiri tegak dengan kaki renggang. Dipandanginya wajah Ranajaya yang pucat, namun memancarkan kemarahan yang tiada taranya.
“Kau memang gila,” perwira itu menggeram, “aku akan membunuhmu, pengkhianat.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya Ranajaya mengumpat-umpat.
Tetapi dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika tangan Ranajaya meraba hulu kerisnya yang kotor oleh lumpur itu. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Aku benar-benar akan membunuhmu. Segores luka di kulitmu telah cukup untuk membuatmu tidak dapat lari lagi dari tangan maut.”
Agung Sedayu memandang tangan Ranajaya dengan dada yang berdebar-debar. Perwira itu benar-benar menjadi mata gelap, sehingga ia tidak lagi dapat berpikir bening. Keris bukannya sekedar barang mainan, yang dapat dipergunakan setiap saat yang disukainya. Tetapi keris akan langsung berhubungan dengan jiwa seseorang, apabila dipergunakan.
“Apakah aku juga akan mempergunakan senjata?” pertanyaan itu telah mengetuk hatinya.
Meskipun Ranajaya telah menjadi semakin lemah, tetapi keris di tangannya akan langsung berbahaya bagi jiwanya. Apalagi keris itu adalah keris seorang perwira. Sudah barang tentu kalau keris itu bukanlah keris kebanyakan yang dijajakan di pasar-pasar.
Sejenak Agung Sedayu jadi membeku. Keragu-raguaan yang dahsyat telah mencekam dadanya.
Dalam pada itu, Ranajaya agaknya benar-benar akan menarik keris dari wrangkanya. Sejenak ia masih memandang Agung Sedayu sambil menggeram, “Kau akan menyesal. Kau tidak akan melihat matahari terbenam, apalagi sampai ke Sangkal Putung pada waktunya.”
Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Ia tidak menyangka, bahwa Ranajaya benar-benar telah kehilangan pegangan, sehingga tidak lagi dipertimbangkan, bahwa kerisnya akan mungkin merenggut nyawa seseorang.
Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu termangu-mangu, mereka yang ada di sekitar arena perkelahian itu, terkejut oleh derap kuda, yang semakin lama menjadi semakin mendekat, sehingga hampir berbareng mereka berpaling.
Tangan Ranajaya yang telah melekat di hulu kerisnya, perlahan-lahan terkulai. Wajahnya yang pucat itu menegang, ketika ia melihat orang yang berkuda paling depan dari beberapa orang penunggang kuda yang mendekati arena. Orang itu adalah Untara.
Para prajurit yang berdiri di tepi sawah itu pun menjadi termangu-mangu. Mereka tidak menyangka, bahwa Untara akan sampai ke tempat itu juga.
Dalam pada itu, ketika Untara dan beberapa orang pengiringnya menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah meledak suara tertawanya, seolah-olah ia sedang melihat suatu permainan yang lucu sekali. Bahkan Untara yang tertawa terbahak-bahak itu, terpaksa memegangi perutnya yang berguncang-guncang.
Demikian kudanya sampai di pinggir sawah berlumpur itu, ia pun segera meloncat turun diikuti oleh para pengiringnya. Namun ia masih saja tertawa berkepanjangan.
Para pengiringnya yang semula menjadi tegang, itu pun ikut pula tertawa melihat kedua orang yang berlumuran dengan lumpur yang basah itu.
“He, apakah kerja kalian di sana?” bertanya Untara sambil berdiri di pematang.
Agung Sedayu yang memang sudah mengerti, bahwa kakaknva akan menyusul segera melangkah menepi. Kakinya terbenam sampai di atas mata kakinya itu.
“Kemarilah, kemarilah. Apakah kalian termasuk golongan kerbau yang sedang berkubang?” bertanya Untara di sela-sela suara tertawanya.
Kedua orang itu tidak menjawab. Ranajaya pun kemudian melangkah pula menepi. Tetapi karena tenaganya memang sudah susut, serta kakinya yang membenam agak dalam, maka langkahnya pun tampaknya menjadi sangat berat.
Sejenak kemudian keduanya telah berdiri di atas pematang di tepi sawah yang berlumpur itu. Tetapi keduanya menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
“He, apakah yang telah kalian lakukan?” bertanya Untara masih sambil tertawa.
Keduanya tidak menjawab.
“Apakah kalian mencoba berkubang, atau mandi di air yang sangat dangkal ini, atau kalian mempunyai kesibukan lain, misalnya mencari belut?”
Keduanya masih terdiam.
“Kenapa kalian diam saja?” suara Untara menurun, dan tertawanya pun sudah mereda. “Lihat, tanaman padi yang hijau itu menjadi rusak. Pakaian kalian yang bagus itu kini mempunyai warna yang lain. Apakah sebenarnya yang telah kalian lakukan?”
Ranajaya dan Agung Sedayu masih tetap berdiam diri.
Untara pun kemudian berpaling kepada prajurit-prajurit yang berdiri berjajar sambil menundukkan kepala mereka pula, “He,” bertanya Untara, ternyata kalian mendapat tontonan yang menyenangkan. Sayang, aku datang terlambat.”
Tidak seorang pun yang berani mengangkat kepalanya. Bahkan kepala-kepala itu menjadi semakin tunduk. Hanya Japa sajalah yang meskipun menundukkan kepalanya pula, tetapi ia sempat tersenyum di dalam hati.
Dalam pada itu, Untara berkata selanjutnya, tetapi dalam nada yang berbeda, “Nah, setelah kalian puas dengan sikap jantan kalian, apakah yang kalian peroleh?”
Masih tidak ada jawaban.
“Kepuasan? Kebanggaan atau apa?”
Agung Sedayu menarik nafas. Ketika ia mencoba memandang Ranajaya dengan sudut matanya, dilihatnya perwira itu masih tetap menunduk.
“Adi Ranajaya,” berkata Untara kemudian, “memang itukah yang kau kehendaki?”
Ranajaya menggigit bibirnya.
“Baiklah,” berkata Untara kemudian, “kalian tentu tidak akan mengatakan apa-apa. Tetapi aku sudah dapat menduga, apa yang baru saja terjadi di sini. Perkelahian karena masing-masing tidak mau sedikit saja tersinggung perasaannya. Atau barang kali karena kebencian yang tidak mempunyai dasar alasan, tetapi sudah berkobar membakar urat nadi. Inilah yang kalian temukan sekarang. Sakit, kotor, dan apalagi ada orang yang melihat, memalukan sekali. Untunglah, bahwa saat-saat menjelang senja, hampir tidak ada orang lagi di sawah dan tidak ada orang yang kebetulan lewat di jalan ini.”
Tetapi belum lagi Untara terdiam, di kejauhan dilihatnya seseorang berjalan merunduk menjauhi tempat itu.
“He, ternyata ada juga yang menonton perkelahian ini dari jauh. Tetapi mereka pasti tidak akan berani melerai, karena di sini berdiri beberapa orang prajurit. Apalagi melerai, mendekat pun tidak berani.”
Semua berpaling ke arah tatapan mata Untara. Tetapi mereka tidak melihat apa pun lagi, karena orang itu sudah bersembunyi di balik hijaunya batang padi yang tumbuh agak lebih besar. Sambil merangkak orang itu pergi menjauh, agar ia tidak terlibat di dalam perkelahian yang terjadi itu.
“Tentu tidak hanya seorang itu,” berkata Untara, “karena itu, jadikanlah hal ini pengalaman, bahwa seorang prajurit tidak akan berselisih di sembarang tempat dan di sembarang waktu, karena sembarang persoalan.”
Ranajaya hanya menundukkan kepalanya saja tanpa berkata sepatah kata pun. Usahanya untuk memaksa Agung Sedayu mengaku, bahwa ia seorang petugas sandi dari Mataram telah gagal, meskipun ia masih tetap berpendapat demikian, ia masih tetap menganggap bahwa justru karena Agung Sedayu itu adik Untara, senapati yang bertugas di daerah Selatan ini, maka ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik tanpa dicurigai. Dan agaknya Untara memang tidak menaruh curiga sama sekali kepada adiknya itu.
“Tetapi,” berkata Untara, “jika sudah terjadi demikian, kalian telah menjadi puas. Kalian telah melepaskan gejolak di dalam hati, meskipun akibatnya barangkali tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya. Apakah kata para prajurit dan para perwira, jika mereka melihat seorang Ranajaya dalam pakaiannya yang aneh sekarang ini? Dan apa kata Ki Demang di Sangkal Putung, terlebih-lebih Sekar Mirah, jika mereka melihat Agung Sedayu yang baru keluar dari kubangan?”
Tidak seorang pun yang menyahut.
“Nah, sekarang bagaimana dengan kalian berdua?” Keduanya tidak segera menjawab.
“Apakah kalian akan tetap memakai pakaian itu, atau kalian akan berganti pakaian di sini?”
Series 63
MASIH tidak ada jawaban.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kini justru harus menahan kegelian yang hampir meledak, melihat dua orang anak muda yang berdiri tegak seperti tikus di dalam kubangan.
“Baiklah. Terserah apa yang akan kalian lakukan.
Aku akan kembali,” tetapi Untara menjadi ragu-ragu, apakah kalau keduanya ditinggalkan di tempat itu, mereka tidak akan terlibat lagi dalam perkelahian? Meskipun jelas baginya, bahwa Ranajaya tidak akan dapat mengimbangin kemampuan Agung Sedayu. Tetapi bahwa tangan Ranajaya telah melekat di hulu kerisnya, menjadi pertimbangan yang berat bagi Untara.
Karena itu, maka katanya kemudian, “Adi Ranajaya. Marilah kita kembali. Sebaiknya kau meminjam baju salah seorang prajuritmu. Biarlah ia tidak mengenakan baju.”
Sejenak Ranajaya termangu-mangu, sedang ketiga prajuritnya menjadi berdebar-debar.
“Marilah,” desak Untara.
Ranajaya yang mengenal sifat dan tabiat Untara, tidak dapat membantah lagi. Ia tahu, bahwa Untara ingin memisahkannya dari Agung Sedayu, supaya perkelahian itu tidak terulang kembali, selain Ranajaya memang harus mengakui, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan adik senapati itu. Namun demikian, Ranajaya masih juga termangu-mangu. Tetapi ketika Untara mendesaknya sekali lagi, maka katanya kepada salah seorang prajuritnya, “Berikan bajumu.”
“Tetapi, apakah aku tidak berbaju?”
“Bukankah hampir setiap saat kau tidak berbaju?”
“Tetapi di pondok kami. Tidak di sini.”
“Berikan baju itu.”
“Apakah juga kain panjang dan celana?”
“Tidak. Hanya bajumu. Kain panjang dan celana tidak begitu menarik perhatian.”
Prajurit itu ragu-ragu sejenak. Namun sebelum ia melepas bajunya, Untara berkata, “Yang seorang lagi, berikan bajumu kepada Agung Sedayu. Besok baju itu akan dikembalikan, atau ditukar dengan yang baru.”
Kawannya pun menjadi berdebar-debar juga. Apakah mereka harus memasuki padukuhan tanpa baju? Meskipun sehari-hari mereka memang biasa tidak mengenakan baju, tetapi tidak berkuda di sepanjang jalan.
Karena keragu-raguan itu, maka Untara pun berkata, “Kalian berdua yang tidak berbaju, tinggallah di sini. Kawanmu yang seorang akan kembali lagi kemari membawa baju kalian. Ia akan mengambilnya di padukuhan.”
Kedua prajurit itu mengangguk-angguk. Agaknya itu memang lebih baik.
Demikianlah, sejenak kemudian Ranajaya telah berpacu bersama Untara kembali ke padukuhan Jati Anom. Meskipun kain panjang dan celana Ranajaya basah kuyup dan kotor oleh lumpur, namun tidak akan menarik perhatian, seperti seandainya bajunyalah yang berlumuran dengan lumpur yang coklat kehitam-hitaman.
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun sudah mengenakan baju prajurit pengiring Ranajaya yang masih tinggal. Sejenak ia mengamat-amati baju yang agak terlampau sempit dan pendek. Tetapi itu lebih baik daripada memakai baju yang basah dan kotor.
“Bagaimana dengan kau?” bertanya Agung Sedayu kepada Japa.
Japa merenung sejenak, lalu berkata perlahan-lahan sekali, “Aku sudah terlanjur mengatakan, bahwa aku akan menengok keluargaku. Aku akan terus.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia memandang kedua prajurit yang masih berdiri termangu-mangu.
“Tinggallah di sini,” berkata Japa kemudian, “kami akan melanjutkan perjalanan.”
Kedua prajurit itu memandangnya dengan tatapan mata yang aneh, sedang Japa justru malahan tersenyum sambil berkata, “Jangan menyesal. Kalian tidak akan kedinginan, karena sebentar lagi kawanmu itu akan datang.”
“Kenapa bukan bajumu saja yang dipakainya?” berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
Japa yang kemudian tertawa menjawab, “Agaknya memang lebih baik bajumu daripada bajuku. Apalagi aku akan pergi menengok keluargaku.”
“Persetan!” prajurit itu mengumpat.
Japa tidak menghiraukannya lagi, meskipun ia masih juga tertawa. Sekali ia berpaling, namun kemudian kudanya pun berlari bersama kuda Agung Sedayu yang merasa sudah agak lambat.
Tetapi Japa tidak mengikuti Agung Sedayu sampai ke Sangkal Putung. Karena ia sudah terlanjur meninggalkan Jati Anom, maka ia pun kemudian benar-benar pergi menengok keluarganya, meskipun ia akan segera kembali.
Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera berpacu sendiri. Semakin lama semakin cepat, karena langit pun menjadi semakin suram. Warna-warna merah senja menjadi pudar ketika bayangan malam mulai turun.
“Swandaru pasti sudah menunggu kedatanganku,” katanya kepada diri sendiri. “Bahkan mungkin anak-anak muda yang tidak sabar itu, telah menjadi ribut di halaman kademangan. Mungkin mereka sama sekali tidak berpikir untuk menunggu kedatanganku.”
Dan Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Memang ia tidak yakin bahwa anak-anak muda Sangkal Putung memerlukannya. Mereka barangkali sama sekali tidak menghiraukan lagi, apakah ada Agung Sedayu atau tidak di halaman kademangan senja itu. Tetapi yang pasti baginya, keluarga Ki Demang sendiri pasti sudah menunggunya. Apalagi Sekar Mirah dan juga Kiai Gringsing.
“Aku tidak peduli, apakah anak-anak muda Sangkal Putung memerlukan aku,” katanya di dalam hati, “tetapi aku harus segera sampai di kademangan.”
Dalam pada itu, di Kademangan Sangkal Putung, anak-anak muda sudah mulai berdatangan. Bahkan mereka tidak sabar lagi untuk menunggu sampai senja. Sejak matahari condong, beberapa orang sudah berada di gardu di regol halaman. Tetapi Swandaru tidak keluar dari gandok. Bahkan ia pun kemudian tidur mendekur di dalam biliknya.
Tetapi Swandaru tidak mengingkari janjinya. Ia sudah minta kepada ayahnya untuk memotong kambing. Kawan-kawannya akan datang menemuinya dan Agung Sedayu.
“Nanti sore?” bertanya ibunya ketika ia mendengar permintaan itu.
“Ya.”
“Bagaimana aku harus menyiapkan?”
“Panggil semua tetangga untuk membantu Ibu,” jawab Swandaru sambil mengerutkan keningnya.
“Tidak mungkin,” sahut Sekar Mirah. “Besok saja.”
“Aku sudah berjanji. Ayah dapat memanggil juru masak yang baik. He, apakah Pak Ranu masih ada?”
“Ya.”
“Panggil saja Pak Ranu. Ia pasti akan dapat menyiapkannya sore nanti.”
Ibunya menarik nafas. Jika demikian, ia tidak akan dapat menunda lagi. Bahkan Sekar Mirah pun berkata, “Biarlah Pak Ranu dipanggil, Ibu. Ia agaknya akan dapat menyelenggarakannya. Ia mempunyai beberapa orang pembantu yang cekatan.”
Demikianlah, maka ketika senja turun, Pak Ranu benar-benar sudah dapat menyiapkan hidangan yang akan disuguhkan pada anak-anak muda yang akan datang menemui Swandaru di pendapa kademangan.
Setelah Swandaru bangun dan membersihkan diri serta berganti pakaian, maka ia pun segera turun ke halaman. Demikan ia tampak, maka anak-anak muda yang sudah ada di gardu pun segera mendapatkannya. Semakin lama semakin banyak.
“Marilah, naiklah ke pendapa,” berkata Swandaru.
Di pendapa, seseorang telah membentangkan tikar hampir sepenuh pendapa itu. Swandaru sendiri tidak mengetahui, berapa orang kawan-kawannya yang bakal datang. Mungkin tidak begitu banyak, tetapi mungkin banyak sekali. Sehingga karena itu pulalah, maka ibu Swandaru menahan Ranu agar tidak pulang dahulu ke rumah, meskipun ia sudah selesai menyiapkan hidangan.
“Bukankah tinggal menghidangkannya saja, Nyai Demang?” berkata Ranu.
“Tunggu sampai kita pasti, bahwa hidangan ini tidak kurang.”
Ranu tersenyum. Jawabnya, “Seandainya kurang, apakah kami harus menyiapkan kekurangan itu?”
“Tentu.”
“Tetapi itu tidak mungkin lagi.”
“Tentu mungkin. Kau dapat berbuat apa saja, karena kau mempunyai pengalaman yang cukup. Kau tentu lebih tahu daripada kami, apa yang harus kita lakukan. Misalnya, kita harus menangkap beberapa ekor ayam atau apa pun yang segera dapat dilakukan.”
Ranu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia memenuhi permintaan Nyai Demang.
Ketika senja menjadi semakin gelap, maka anak-anak muda semakin banyak berdatangan. Tetapi di antara mereka masih belum tampak Agung Sedayu.
Swandaru menjadi gelisah. Meskipun ia dapat menerima kawan-kawannya seorang diri, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang pasti akan sangat beraneka macam, namun Swandaru benar-benar mengharap kedatangan Agung Sedayu.
Tetapi yang lebih gelisah daripadanya adalah Sekar Mirah. Setiap kali ia mengintip dari sela-sela daun pintu, apakah Agung Sedayu sudah datang dan langsung duduk di pendapa.
Tetapi sampai saatnya bayangan hitam turun menyelubungi Sangkal Putung, Agung Sedayu masih belum tampak.
Kiai Gringsing dan Sumangkar, yang duduk di serambi gandok pun menjadi gelisah pula. Mungkin Agung Sedayu diminta oleh Untara untuk bermalam. Tetapi mungkin juga sesuatu dapat terjadi di perjalanan.
“Kakang Agung Sedayu selalu ingkar janji,” Sekar Mirah menggerutu sendiri. Bahkan ia telah datang menanyakannya kepada Kiai Gringsing.
“Aku belum melihatnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Ia selalu ingkar,” desis Sekar Mirah.
“Bukan selalu,” sahut Sumangkar, “berapa kali ia ingkar.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Namun ia pun kemudian meninggalkan gandok itu.
Dalam pada itu, pendapa Kademangan Sangkal Putung, semakin lama menjadi semakin banyak anak-anak muda yang berdatangan. Seperti yang diduga oleh Swandaru, maka selain anak-anak muda dari induk padukuhan di Kademangan Sangkal Putung, ada juga satu dua orang yang datang dari padukuhan-padukuhan yang lain. Namun jumlah mereka ternyata masih belum mencemaskan ibunya yang sedang menyiapkan hidangan di belakang.
“Swandaru,” berkata salah seorang dari anak-anak muda, “sekarang kau berdiri di ujung. Kau mulai bercerita tentang perjalananmu. Kemudian barulah kau mengucapkan syukur bahwa kau telah selamat kembali di Sangkal Putung. Kami akan menyertaimu.”
“Itulah yang penting,” sahut seorang anak muda yang lain.
Hampir berbareng anak-anak muda itu tertawa.
“Kita masih menunggu,” sahut Swandaru kemudian.
“Siapa lagi yang kita tunggu? kita tidak mengundang siapa pun, sehingga kita tidak tahu, siapa yang belum datang sekarang ini. Kami berdatangan atas kehendak kami sendiri.”
“Bukan kawan-kawan yang lain. Ayah akan hadir di pendapa ini juga. Selain ayah, juga Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar. Kalau saatnya pertemuan ini akan kita mulai, aku akan mengundang mereka.”
“Panggillah sekarang. Aku ingin segera mendengar ceritamu tentang daerah yang kau jelajahi.”
“Kemudian segera ingin mendengar kau menyatakan syukur dan kami akan mengantar ucapan syukur itu bersama-sama.”
“Bukan itu. Yang penting, syarat ucapan syukur itu.”
“Ya, ya. Segera akan kita mulai. Sebentar lagi. Aku masih menunggu.”
“Siapa lagi?”
“Kakang Agung Sedayu.”
“O,” anak-anak muda itu saling berpandangan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, mereka saling berbicara di antara mereka sendiri.
“Agung Sedayu, adik Senapati Untara. Apakah kau sudah lupa? Anak muda yang berjasa di saat-saat Tohpati masih berkeliaran di sekitar daerah ini. Tanpa Agung Sedayu, entahlah apa jadinya Sangkal Putung sekarang ini.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “O, ya. Aku ingat sekarang. Anak muda yang berkelahi melawan Sidanti.”
“Ya, agaknya Sidanti memang berkhianat. Ia sudah berani melawan Untara di alun-alun.”
Kawannya mengerutkan keningnya.
“Ketika diadakan lomba memanah. Bukankah saat itu, saat hadirnya Untara di daerah ini?”
“Ya, ya. Aku ingat sekarang. Sidanti bukan saja berani melawan Untara, tetapi Sekar Mirah memang membuat hatinya menjadi panas. Bukankah sebelum datang Agung Sedayu, Sekar Mirah tampaknya begitu dekat dengan Sidanti?”
“Di mana Sidanti sekarang?”
“Tidak seorang pun yang tahu. Ketika ia terusir dari Sangkal Putung, bukankah ia pergi ke padepokan gurunya di Tambak Wedi? Tetapi akhirnya Tambak Wedi dihancurkan oleh Untara, yang disertai pula oleh Agung Sedayu dan Swandaru. Dan Sidanti pun terusir lagi dari Tambak Wedi.”
“Ia kembali ke Menoreh,” sahut kawan yang duduk di sebelahnya. Lalu, “Dan desas-desus yang kami dengar, Sidanti telah terbunuh di rumah sendiri.”
“Siapa yang membunuhnya?”
“Dengar cerita Swandaru nanti. Bukan aku. Aku juga tidak tahu pasti, apa yang terjadi.”
Anak-anak muda yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi, karena Agung Sedayu belum juga datang, maka mereka pun menjadi gelisah. Rasa-rasanya sudah satu hari satu malam mereka duduk di pendapa. Bahkan lampu sudah dinyalakan di segenap sudut rumah Ki Demang. Beberapa obor telah dipasang di halaman. Tetapi Agung Sedayu belum juga datang.
“Ia tidak akan datang,” berkata salah seorang dari anak-anak muda yang tidak sabar lagi.
“Ia tentu datang,” jawab Swandaru.
Dalam kegelisahan itu mereka pun kemudian dikejutkan oleh derap kaki seekor kuda, yang berlari langsung memasuki halaman kademangan. Serentak anak-anak muda yang berada di pendapa itu pun berpaling. Mereka melihat di dalam cahaya obor, seorang anak muda yang langsung meloncat dari punggung kuda yang berhenti di depan gandok.
“Ia telah datang,” berkata Swandaru lantang.
“Ya, Agung Sedayu telah datang,” sahut yang lain.
“Nah, sekarang ia benar-benar telah datang!” teriak beberapa orang hampir berbareng.
Agung Sedayu terkejut mendengar anak-anak muda itu menyambut kedatangannya. Seolah-olah ia merupakan orang yang sangat penting bagi mereka.
Tetapi Agung Sedayu pun kemudian sadar, bahwa bukan karena ia dianggap orang yang penting di Sangkal Putung. Tetapi sambutan itu adalah ledakan dari kejemuan mereka, setelah mereka menunggu beberapa lama di pendapa.
“Kemarilah,” Swandaru pun kemudian turun dari pendapa menyongsongnya, “pergilah langsung ke pendapa. Kami menunggu kedatanganmu.”
“Aku akan berganti pakaian dahulu.”
“Ah. Tidak usah. Tidak perlu. Marilah,” Swandaru menarik lengan Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Lihat kain panjangku.”
“Kenapa?”
“Rabalah.”
Swandaru terkejut ketika teraba olehnya kain panjang Agung Sedayu yang basah dan kotor oleh lumpur.
Dengan wajah yang bertanya-tanya ditatapnya Agung Sedayu yang termangu-mangu, sehingga sejenak mereka saling berdiam diri. Kiai Gringsing beserta Sumangkar yang juga melihat kehadiran Agung Sedayu pun mendekatinya pula sambil bertanya, “Kenapa kau, Sedayu?”
Agung Sedayu memandang gurunya sejenak, kemudian katanya, “Sedikit rintangan di perjalanan, Guru?”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat baju Agung Sedayu, bukanlah baju yang dipakainya ketika ia berangkat. Baju ini agaknya kurang sesuai dengan badan Agung Sedayu.
“Kau berganti baju?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya. Bajuku juga basah dan kotor oleh lumpur,” berkata Agung Sedayu sambil mengambil bajunya yang kotor, yang disangkutkan di kudanya.
“Apa yang sudah terjadi?” bertanya Swandaru.
“Sudahlah,” potong gurunya, “nanti sajalah kau bercerita. Sekarang cepat berganti pakaian. Anak-anak muda itu sudah menjadi gelisah menunggu kedatanganmu.”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, “baiklah. Aku akan segera berganti pakaian.”
Setelah mengikat kendali kudanya, maka Agung Sedayu pun segera masuk ke biliknya bersama Swandaru. Sambil berbisik ia bertanya, “Swandaru, apakah kalian sudah lama menunggu? Dan apakah, apakah ………”
“Sekar Mirah maksudmu?”
Agung Sedayu mengangguk.
“Sejak sore tadi ia marah-marah saja. Dikiranya kau tidak akan kembali hari ini.”
Agung Sedayu menarik nafas. “Ada sesuatu. Nanti aku ceritakan. Aku akan pergi ke pakiwan saja dahulu.”
“Cepat. Aku menunggu di pendapa. Aku akan mempersilahkan ayah dan guru bersama Ki Sumangkar, untuk duduk meskipun hanya sekedar menunggui pertemuan ini. Anak-anak itu pasti tidak akan telaten duduk terlampau lama. Tetapi waktu yang pendek itu pasti mereka pergunakan untuk bertanya tentang masalah yang aneh-aneh, yang barangkali tidak pernah kita pikirkan.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
“Kalau bau makanan sudah menyentuh hidung mereka, mereka pasti akan segera diam.”
“Baiklah. Aku akan mandi sebentar. Kembalilah ke pendapa.”
Swandaru pun kemudian kembali naik ke pendapa setelah ia mempersilahkan Ki Demang, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar untuk duduk bersama anak-anak muda di pendapa itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa pergi ke pakiwan sambil menjinjing pakaian kering. Ia harus segera mandi dan berganti pakaian, karena agaknya anak-anak muda itu sudah lama menunggu.
“Tentu Swandaru yang menyuruh mereka menunggu. Bukan atas kehendak mereka sendiri, karena mereka tidak lagi mengenal aku, atau mereka tidak lagi mempedulikan aku.”
Tetapi ketika Agung Sedayu sudah sampai di mulut pintu pakiwan, langkahnya tertegun ketika didengarnya suara Sekar Mirah, “Sebelum senja aku akan datang.”
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri di pintu butulan yang langsung masuk ke dapur.
“Ada persoalan yang menghambat perjalananku, Mirah,” jawab Agung Sedayu.
“O, tentu ada persoalan itu. Dan persoalan itu dapat datang setiap saat, kapan saja diperlukan untuk membuat alasan.”
“Ah, kau selalu aneh-aneh saja. Lihat, pakaianku kotor sekali.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat. Sambil berjalan ia berkata, “Siapa pun dapat mengotori pakaiannya. Apakah kau akan mengatakan bahwa kau terjatuh dari kuda?”
“Tidak. Tetapi lihatlah.”
Sekar Mirah sudah berdiri di hadapan Agung Sedayu.
“Lihatlah kain panjangku.”
Sekar Mirah meraba kain panjang yang kotor dan basah itu.
“Kau terperosok ke dalam parit?”
Tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat, ketika ia dengan sengaja masuk ke dalam parit karena Alap-alap Jalatunda mengejarnya selagi ia memenuhi perintah kakaknya, Untara.
“Ya, kau jatuh ke dalam parit?”
“Tidak. Nantilah aku bercerita, anak-anak muda itu menunggu aku.”
“O, jadi kau dengan tergesa-gesa kembali dan dengan tergesa-gesa pergi ke pakiwan karena anak-anak muda itu?”
“Bukankah mereka sudah lama menunggu? Meskipun mereka tidak memerlukan aku, tetapi agaknya Swandaru minta mereka menunggu.”
“O, jadi itulah yang kau ingat selama perjalananmu? Seandainya anak-anak itu tidak menunggumu, maka kau tidak peduli lagi kepada rumah ini?”
Agung Sedayu menjadi bingung.
“Ya? Begitu? Berkatalah bahwa kau datang untuk anak-anak itu. Bukan untuk yang lain.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia mengerti, bahwa ia telah menyinggung perasaan gadis itu. Perasaannya yang memang agak mudah tersinggung.
“Mirah. Tentu bukan itu. Ada hal yang lain yang memaksa aku kembali ke rumah ini. Apakah artinya anak-anak muda itu buatku, karena sebenarnya mereka pun tidak memerlukan aku.”
“Kenapa kau tergesa-gesa sekali untuk menemui mereka?”
“Ini hanyalah sekedar sopan-santun. Kadang-kadang kita mengesampingkan kepentingan kita sendiri untuk memenuhi hasrat banyak orang. Kau mengerti? itu bukan berarti bahwa mereka lebih penting dari yang lain.”
“Omong kosong. Kalau kau lebih mementingkan orang-orang itu, silahkan. Aku memang bukan orang penting bagimu.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang murung. Ternyata Sekar Mirah mempunyai kepentingannya sendiri, tanpa menghiraukan anak-anak muda yang sudah berkumpul di pendapa.
“Baiklah, Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “biarlah Swandaru menemui anak-anak muda itu. Aku akan mandi dahulu. Nanti sesudah mandi, aku juga tidak akan menemui mereka, karena agaknya mereka tidak banyak mempunyai kepentingan dengan aku.”
“Huh,” Sekar Mirah mencibirkan bibirnya, “kau merajuk. Kau sengaja tidak mau hadir karena aku, begitu?”
“Bukan begitu. Bukankah kau menganggap bahwa aku lebih mementingkan anak-anak itu daripada kau? Karena itu baiklah, aku sebenarnya memang tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan mereka. Karena itu, aku dapat saja membuat alasan. Pening, lelah atau apa saja.”
“Tetapi kau hanya berpura-pura saja. Sekedar untuk memenuhi keinginanku,” Sekar Mirah menyahut. “Tidak. Pergilah kepada mereka. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Kalau kau tidak datang kepada mereka, apa yang akan kau lakukan atasku?”
“Ah,” Agung Sedayu mengeluh. Ia tidak mengerti apa yang sebaiknya dilakukan. Karena itu, sejenak ia berdiri termangu-mangu.
Selagi Agung Sedayu masih berdiri di muka pintu pakiwan, terdengar seseorang berjalan dengan tergesa-gesa di dalam dapur dan langsung muncul di pintu butulan.
“He, kau masih berdiri saja di situ, Kakang Sedayu. Anak-anak itu sudah menunggumu.”
“O,” Agung Sedayu masih kebingungan, “tetapi, aku belum mandi.”
“Cepat mandilah.”
“Mulailah saja pertemuan itu. Nanti aku akan menyusul.”
“Ah, aneh-aneh saja kau. Sudah sekian lama mereka menunggu. Kalau pertemuan itu dapat dimulai tanpa kau, pasti sudah aku mulai sejak sore tadi. Ayah, guru dan Paman Sumangkar juga sudah duduk di pendapa. Cepat sedikit.”
“Tetapi ……”
“Ah, cepatlah.” Swandaru itu pun lalu berpaling kepada Sekar Mirah, “Kau jangan menunggui di situ, Mirah. Kakang Agung Sedayu agaknya masih merasa malu. Tinggalkanlah, biarlah ia mandi.”
“Apa kau bilang? Kau sangka aku menunggui Kakang Agung Sedayu? Buat apa aku menungguinya. Biarlah ia mandi dan pergi mendapatkan anak-anak muda itu. Itu sama sekali bukan urusanku.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Agaknya anak ini kurang sajen. Apa kau memang akan memandikannya?”
Sekar Mirah menjadi semakin jengkel. Tiba-tiba saja diraihnya siwur dari batok kelapa di atas gentong air, dan dilemparkannya ke arah Swandaru.
Untunglah Swandaru melihat siwur itu melontar ke arahnya sehingga ia sempat mengelak.
Namun siwur itu ternyata menghantam tiang pintu sehingga pecah berkeping-keping.
Swandaru benar-benar terkejut melihat lemparan adiknya yang keras itu. Kalau saja siwur itu mengenainya, maka ia pasti akan menjadi kesakitan.
Tetapi bukan saja Swandaru, Agung Sedayu pun terkejut pula. Bahkan Sekar Mirah sendiri terkejut bukan buatan.
“Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kau sekarang bukan kau dahulu. Kau pernah melempar Swandaru dengan mangkuk tanah dan bahkan dengan sebuah kendi berisi air. Tetapi itu dahulu. Sekarang kau sudah lain. Kalau lemparanmu mengena, akibatnya pun akan berbeda dengan lemparanmu dahulu.”
Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Sementara itu ibunya bertanya, “Apakah yang pecah itu, Mirah?”
“Siwur, Ibu, terjatuh.”
“Ah, hati-hatilah,” tetapi ibunya tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, Sekar Mirah merasa menyesal sekali, bahwa ia masih saja kurang mengamati perasaannya. Kini ia sudah lain. Tangannya adalah tangan yang sudah mengalami latihan olah kanuragan, sehingga tenaganya pun sudah berlipat.
Sejenak ia memandang Swandaru yang masih berdiri di depan pintu. Anak yang gemuk itu menjadi marah pula. Lemparan itu benar-benar berbahaya baginya.
Tetapi Sekar Mirah segera mendekatinya sambil berkata, “Maaf, Kakang. Aku masih saja kehilangan pengamatan diri. Aku tidak sengaja menyakitimu. Aku benar-benar tidak ingat lagi. Aku masih saja menyangka bahwa aku, masih aku yang dahulu.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ditepuknya kepala Sekar Mirah sambil berdesis, “Aku kira kau sudah kepanjingan demit. Hati-hatilah, Mirah. Kalau kau tidak berhasil menguasai dirimu, kau akan terjerat dalam bahaya. Bukan kau sendiri, tetapi dapat terjadi pembantu-pembantumu, atau kelak anak-anakmu.”
“Ah.”
“Sudahlah. Sekarang pergilah. Atau kau akan menunggui Kakang Agung Sedayu mandi? Atau kau justru akan memegang obor untuk menerangi pakiwan?”
“Ah kau, itulah yang menyebabkan aku sering lupa diri. Aku ingin melempar kau dengan batu bata.”
Swandaru tersenyum. Tetapi ia pun kemudian melangkah masuk sambil bergumam, “Cepatlah sedikit Kakang Agung Sedayu. Mirah, tolonglah Kakang Agung Sedayu biar cepat selesai.”
Sekar Mirah masih akan menjawab. Tetapi Swandaru segera berlari masuk ke dalam. Sekar Mirah pun menyusulnya dengan tergesa-gesa. Tetapi Swandaru telah masuk ke ruang dalam dan hilang di balik pintu pringgitan.
Agung Sedayu yang tertinggal di pakiwan menarik nafas dalam-dalam. Sampai saat ini, ia masih belum dapat mengikuti jalan pikiran Sekar Mirah dengan baik.
Ternyata Sekar Mirah masih seorang gadis yang manja dan melihat berbagai masalah dari sudut pandangan sendiri. Ia lebih mementingkan dirinya sendiri dari anak-anak muda yang sudah lama berada di pendapa rumahnya.
“Mudah-mudahan ia segera menemukan kesadaran, bahwa pusaran persoalan pada diri sendiri kurang menguntungkan di dalam pergaulan yang luas. Sebab dengan demikian, maka setiap orang yang memandang kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang banyak, akan saling berbenturan tanpa ada pendekatan sama sekali,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun ia pun sadar, bahwa ia harus mengatakannya kepada Sekar Mirah.
“Kapan saja ada kesempatan. Ia cepat menjadi salah paham,” desis Agung Sedayu pula.
Dalam pada itu, setelah ia selesai mandi dan berpakaian, maka ia pun segera pergi ke pendapa. Dengan kepala tunduk ia berjalan terbongkok-bongkok mendekati gurunya dan Swandaru. Di sebelah mereka telah duduk pula Ki Demang dan Ki Sumangkar. Bahkan ada beberapa orang bebahu kademangan yang kebetulan saja datang, ikut pula duduk di antara mereka, di antaranya adalah Ki Jagabaya.
Setelah Agung Sedayu duduk di antara mereka, maka barulah Swandaru mau memulai pertemuan itu. Dengan sikapnya yang lucu, masih seperti dahulu, ia pun berdiri di muka pintu pringgitan. Setelah menebarkan pandangan matanya sejenak, ke segenap kawan-kawannya yang hadir, maka mulailah ia berbicara.
“Maaf. Aku terpaksa berdiri,” katanya mula-mula.
“Apakah kau perlukan ancik-ancik, supaya kau menjadi lebih tinggi sedikit?” bertanya seseorang.
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tertawa ketika kawan-kawannya tertawa pula.
Sejenak kemudian, mulailah Swandaru bercerita. Sejak ia meninggalkan Sangkal Putung. Ia bercerita tentang sebuah perjalanan. Mula-mula ke Tanah Perdikan Menoreh, kemudian kembali dan singgah sebentar di Alas Mentaok.
Justru beberapa hal yang lucu-lucu sajalah yang diceritakan. Bagaimana mereka pernah kehabisan bahan makan. Bagaimana mereka menjadi gembala kambing, tetapi kambingnya hampir habis disembelihnya. Tetapi Swandaru sengaja menghindari persoalan-persoalan yang berat dan berkesan dalam. Ia tidak menceritakan pertentangan antar keluarga yang terjadi di Menoreh. Ia tidak menceritakan korban yang berjatuhan di dalam pertentangan di antara keluarga sendiri itu. Demikian juga, ia tidak menceritakan keterlibatannya di dalam persoalan Menoreh, karena usahanya menemukan dan menyelesaikan masalahnya dengan Sidanti, agar tidak berkesan bahwa mereka telah didorong oleh dendam yang membara di dalam hati.
“Anak itu sudah agak mengendap,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Syukurlah kalau ia menyadari, bahwa hal-hal lain yang bersifat kekerasan tidak ada manfaatnya diceritakan di hadapan banyak orang.”
Tetapi tiba-tiba saja di antara anak-anak muda yang duduk di pendapa itu, ada yang bertanya, “Bagaimanakah berita Sidanti?”
Swandaru mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu ternyata tidak sedang memandang kepadanya.
Namun Swandaru yang gemuk itu tiba-tiba saja berkata, “Aku sudah terlampau banyak bercerita. Bertanyalah kepada Kakang Agung Sedayu.”
Agung Sedayu terkejut. Sebenarnya ia tidak begitu banyak mendengar cerita Swandaru, karena ia sedang asyik merenungi dirinya sendiri dan mencoba menerawang tabiat dan sifat-sifat Sekar Mirah. Karena itu, ia menjadi agak terkejut mendengar namanya disebut-sebut.
“Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru, “aku sudah banyak bercerita tentang perjalanan kita. Tiba-tiba saja ada yang bertanya tentang Sidanti. Biarlah kau saja yang menjawabnya.”
“Ah, kenapa aku? Jawablah sama sekali.”
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia pun segera duduk di samping Agung Sedayu. Sambil mendorong Agung Sedayu ia berkata, “Anak-anak muda Sangkal Putung tentu masih ingat, bahwa kau adalah adik Untara. Bahwa kau adalah anak muda yang pernah berjasa atas Sangkal Putung. Dan mereka pasti masih ingat, kau mempunyai persoalan tersendiri dengan Sidanti.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia berdesis, “Kau mau enakmu sendiri.”
Swandaru tidak menghiraukan. Sambil tertawa, sekali lagi ia mendorong Agung Sedayu agar berdiri.
Agung Sedayu pun kemudian berdiri dengan ragu-ragu. Tetapi ia pun sadar, bahwa kekerasan tidak ada manfaatnya diuraikan di pertemuan itu. Karena itu, maka jawabnya singkat, “Sayang sekali. Umur Sidanti tidak terlampau panjang. Tetapi itu adalah suatu kebetulan yang tidak disengaja.”
“Kenapa?” seorang yang lain mendesak.
Bahkan terdengar seseorang bertanya, “Kaukah yang membunuhnya?”
“Bukan. Bukan aku. Di Menoreh selain menggembala kambing, kami memelihara kambing kami sebaik-baiknya. Sehingga pada suatu saat, kami terkejut melihat jumlah kambing kami yang meningkat dengan cepat.”
“He,” potong yang lain, “bukankah Swandaru hampir setiap hari memotong kambing-kambing itu, sehingga hampir habis karenanya?”
Agung Sedayu terkejut. Ternyata ceritanya agak berbeda, karena ia tidak begitu mendengarkan cerita Swandaru. Namun sambil tersenyum Agung Sedayu menyahut, “Demikianlah pada mulanya. Tetapi aku mengancam, kalau ia terus-menerus memotong kambing-kambing itu, aku tidak akan mau ikut memeliharanya lagi. Aku akan menjualnya dan menukarkannya dengan beberapa ekor lembu. Biarlah ia coba-coba memotong lembu setiap hari satu.”
Anak-anak yang mendengarkan cerita Agung Sedayu itu tertawa, tetapi Swandaru sendiri bersungut-sungut sambil bergumam, “Ada-ada saja. Ternyata ia tertidur ketika aku bercerita, sehingga ia terpaksa mengarang cerita sendiri.”
Demikianlah, pertemuan itu menjadi pertemuan yang sangat meriah. Swandaru dan Agung Sedayu bercerita berganti-ganti. Namun seperti berjanji, mereka selalu menghindari cerita-cerita tentang kekerasan dan apalagi yang langsung menyinggung usaha pembukaan hutan Mentaok dengan hantu-hantunya. Mereka menyinggung saja beberapa hal yang tidak akan melihatkan mereka ke dalam kesulitan, karena suasana yang kurang baik antara Mataram dan Pajang, di antara anak-anak muda itu pasti ada satu dua yang pernah berhubungan dengan orang-orang Pajang atau orang-orang Mataram, sehingga persoalan yang menyangkut keduanya akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri.
Karena itu, terlebih-lebih Swandaru, menceritakan saja tentang dirinya sendiri.
Namun masih ada juga yang teringat, bahwa pertanyaan tentang Sidanti masih belum terjawab sepenuhnya, sehingga ia bertanya di antara suara riuh kawan-kawannya, “He, bagaimana dengan kematian Sidanti itu?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Setelah merenung sejenak, maka jawabnya, “Kadang-kadang hukum Tuhan tampak dengan jelas. Tetapi kadang-kadang hanya samar-samar saja apabila kita tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.” Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu, “Demikian agaknya dengan Sidanti. Ia meninggal karena hukum itu dengan tegas berlaku atasnya.”
“Siapakah yang membunuhnya?”
“Tidak ada yang sengaja membunuhnya. Tetapi ia meninggal oleh goresan senjata adiknya sendiri tanpa di kehendakinya. Tegasnya, suatu kecelakaan justru pada saat Sidanti menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Baik terhadap tanah ini, maupun terhadap keluarganya.”
Tetapi keterangan Agung Sedayu itu tidak memuaskan mereka, sehingga justru hampir berbareng beberapa orang bertanya, “Kenapa kecelakaan itu terjadi?”
Agung Sedayu menarik nafas. Ia kini berada dalam kesulitan untuk menghindari cerita yang panjang dan Sidanti.
Tetapi tiba-tiba saja Swandaru berkata lantang, “He, kita tunda dahulu cerita perjalanan ini. Ternyata dari balik dinding aku mendapat isyarat, bahwa kita harus menyediakan waktu sejenak. Bukan saja dirantau aku selalu memotong kambing, di sini pun aku melakukannya juga.”
Tiba-tiba saja pendapa itu menjadi riuh. Beberapa orang berkata, “Bagus. Semakin cepat semakin baik.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Swandaru telah berhasil membebaskannya dari kesulitan. Agung Sedayu mengharap, bahwa kemudian anak-anak itu tidak akan sempat bertanya-tanya lagi, apabila mereka mulai menyuapi mulut mereka dengan nasi hangat dan daging kambing.
Sementara itu, ternyata Sekar Mirah yang mendengarkan pertemuan itu dari balik dinding pun menjadi geli sendiri. Kadang-kadang ia terpaksa tertawa sendiri mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh dan jawaban Swandaru atau Agung Sedayu yang sama sekali tidak diduga-duganya. Serba sedikit Sekar Mirah sendiri melihat apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, ia kadang-kadang harus menahan suara tertawanya dengan telapak tangannya apabila jawaban-jawaban yang diberikan sama sekali tidak menyinggung persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Bahkan kadang-kadang jawaban Swandaru dan Agung Sedayu menjadi bersimpang-siur.
Kiai Gringsing dan Sumangkar pun harus menahan kegelian mereka mendengarkan Swandaru yang seolah-olah begitu saja berkicau tanpa ujung dan pangkal. Namun kadang-kadang hati mereka pun menjadi berdebar-debar apabila keterangan kedua anak muda itu mulai bersilang.
Tetapi ternyata hidangan yang kemudian mulai mengalir, telah menghentikan segala macam pertanyaan anak-anak muda di pendapa yang kadang-kadang memang terasa tegang. Mereka lebih tertarik kepada hidangan itu daripada cerita Swandaru dan Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, selagi anak-anak muda Sangkal Putung sibuk menikmati hidangan itu sambil berkelakar, maka seorang anak muda yang duduk di sudut yang agak jauh dari lampu minyak, berdesis kepada kawan yang duduk di sampingnya, “Jadi inikah putera Ki Demang Sangkal Putung itu?”
“Ya, itulah yang bernama Swandaru.”
“Gambaranku tentang putera Ki Demang itu ternyata keliru. Karena itu aku memerlukannya hadir untuk melihat tampang anak muda yang seakan-akan menjadi buah bibir orang-orang sekademangan, seolah-olah hanya ia sendirilah laki-laki di Sangkal Putung ini.”
“He, kenapa kau?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya menyesali diriku sendiri. Kenapa selama ini aku membayangkan putera Ki Demang sebagai seorang anak muda yang gagah, berwibawa dan bermata tajam.”
“Bukankah kau tahu bahwa Swandaru itu sejak dahulu segemuk itu. Ini pun ia telah agak susut sedikit.”
“Aku belum pernah melihatnya. Aku tinggal pada paman di Sangkal Putung, setelah ia pergi bertualang.”
“O,” kawan di sampingnya mengangguk-angguk, “sejak dahulu demikianlah bentuk Swandaru.”
“Aku sangat terpengaruh oleh wujud adiknya, Sekar Mirah. Ternyata Sekar Mirah sama sekali tidak pantas mempunyai seorang kakak seperti itu. Gemuk, tidak cukup tinggi dan sama sekali tidak berwibawa. Buat apa ia tertawa-tertawa seperti orang yang tidak waras?” anak muda itu berhenti sejenak. Lalu, “Jadi yang seorang itu kawannya?”
“Kau belum kenal dengan keduanya. Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu. Swandaru adalah pimpinan pasukan pengawal yang terdiri dari anak-anak muda. Pasukan itu dibentuk terutama untuk membantu menghadapi Tohpati saat itu.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir tidak berkedip ia menatap Swandaru dengan sifat-sifatnya yang sudah dikenal baik oleh kawan-kawannya. Ia adalah anak muda yang banyak tertawa dan senang bergurau, meskipun kadang-kadang hatinya melonjak apabila ia mempunyai suatu keinginan. Meskipun bibirnya selalu tersenyum, namun hatinya dapat menjadi sekeras batu.
“Pada suatu saat aku akan mengenalnya juga,” berkata anak muda itu, “mudah-mudahan aku kerasan tinggal bersama paman, sehingga aku sempat menilai apakah pemimpin pasukan pengawal Sangkal Putung, yang sekaligus adalah putera Ki Demang itu benar-benar seorang anak muda yang pantas menjadi seorang pemimpin pengawal.”
Kawannya berbicara mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja tangannya berhenti menyuapi mulutnya. Dengan sungguh-sungguh ia berkata, “Ia adalah anak yang sangat kuat, tangkas, dan baik.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menarik sudut bibirnya ia bertanya, “Dan kawannya itu?”
“O, anak muda itu adalah adik Untara. Tentu ia seorang yang memiliki kemampuan hampir seperti Untara sendiri.”
“Kenapa ia berada di sini?”
“Ia berada di sini sejak Tohpati masih memimpin pasukannya. Ia termasuk salah seorang yang berjasa bagi Sangkal Putung.”
“Ya, tetapi bukankah ia bukan anak Sangkal Putung?”
“Ia anak Jati Anom. “
“Kenapa ia tidak kembali ke Jati Anom? Bukankah Jati Anom tidak begitu jauh?”
“Ia baru saja datang dari Jati Anom.”
“Aku tahu. kita dipaksa untuk duduk di sini sekedar menunggunya. Aku menjadi jemu. Kalau aku tidak mengingat sopan santun, aku sudah pergi sejak tadi. Tetapi kenapa ia datang juga kemari dan bermalam di rumah ini? Tidak di Jati Anom, di rumahnya sendiri?”
Kawannya yang duduk di sampingnya menarik nafas dalam-dalam. Ia agak segan untuk mengatakannya. Namun dengan terpaksa ia menjawab, “Ada hubungan yang lain pada keduanya. Keduanya mempunyai seorang guru yang sama. Dan agaknya ada hubungan yang lain pula pada Agung Sedayu itu dengan adik Swandaru.”
“Huh, itulah agaknya,” anak muda itu berhenti. Lalu, “Yang mana yang kau maksud dengan gurunya?”
“Apakah ia berada di sini juga?”
“Ya. Orang tua yang duduk di sampingnya.”
“O, orang tua yang selalu terangguk-angguk itu? Pantas ia tertawa-tertawa juga seperti murid-muridnya. Agaknya ketiganya memang orang-orang yang kurang waras.”
“Kenapa kau berkata begitu?”
“Bukankah lain perbawa yang tampak di wajah Ki Demang? Tenang dan mantap. Tanpa tertawa-tawa seperti orang kurang sajen? Memang sekali-sekali ia tertawa untuk memuaskan anaknya. Tetapi sikapnya mantap. Sangat berbeda dengan orang tua yang sakit-sakitan itu. Ia memang pantas untuk menjadi seorang penggembala. Jika gurunya demikian, bagaimanakah kira-kira dengan muridnya?”
Kawannya yang duduk di sampingnya tidak menyahut lagi. Agaknya anak muda itu tidak senang melihat sikap Swandaru. Ia terlampau bersikap dalam dan bersungguh-sungguh menanggapi setiap persoalan sehingga ia tidak biasa bergurau dan berkelakar.
“Kelak ia akan mengerti,” berkata anak Sangkal Putung itu di dalam hatinya, “ia orang baru di sini. Mungkin kebiasaan dan pergaulannya di tempatnya yang lama masih sangat berpengaruh.”
Dengan demikian, maka ia tidak lagi menghiraukan sikap dan perasaan anak muda itu. Dibiarkannya saja anak muda itu duduk dengan tegangnya. Makanan yang dihidangkan kepadanya, hampir tidak disentuhnya. Memang ada juga ia makan sesuap dua suap. Tetapi itu pun telah di paksakannya.
“Aku hampir tidak tahan lagi,” geramnya kemudian, “aku menjadi muak melihat sikapnya. Benar-benar di luar dugaanku. Sebenarnya aku ingin ikut mengaguminya sebagai seorang putera Demang di Sangkal Putung dan sebagai kakak Sekar Mirah. Tetapi benar-benar mengecewakan.”
“Ah,” kawannya berbicara berdesah. Ia pun jemu mendengar anak muda itu selalu mencela sikap Swandaru dan Agung Sedayu. “Kalau kau memang tidak tahan, lebih baik kau tidak menghiraukan lagi. Sikapnya, juga ceritanya. Makan sajalah. Sebentar lagi pertemuan ini akan selesai.”
“Kau sangka aku hanya mencari makan, datang ke pendapa kademangan ini?”
“Tentu tidak. Tetapi karena makan itu sudah dihidangkan, marilah kita makan.”
Tetapi anak muda itu meenggeleng. Sekali-sekali ia masih memandang Swandaru dan Agung Sedayu yang masih saja bercerita berganti-ganti di sela-sela tangannya yang masih saja menyuapi mulutnya. Tetapi ceritanya sudah berkisar jauh dari cerita tentang Sidanti.
Akhirnya anak muda yang duduk di sudut itu benar-benar tidak tahan lagi menunggu pertemuan itu selesai. Maka tanpa minta diri, ia pun menyelinap dan meninggalkan pendapa itu. Untunglah Swandaru dan Agung Sedayu tidak begitu menghiraukannya, sehingga mereka acuh tidak acuh saja, meskipun mereka melihat juga seseorang yang melintas di halaman. Mereka hanya menyangka bahwa orang itu pasti salah seorang yang kebetulan sedang bertugas di gardu. Bahkan Swandaru itu pun tiba-tiba ingat dan bertanya, “He, apakah masih ada yang tinggal di gardu?”
“Tidak,” seseorang menjawab, “akulah yang sebenarnya bertugas meronda malam ini. Tetapi aku lebih senang duduk di sini bersama tiga orang kawan daripada di gardu yang gelap dan tanpa semangkuk air panas dan nasi hangat.”
Kawan-kawannya pun tertawa.
Namun tiba-tiba mereka terkejut. mendengar kentongan yang tiba-tiba saja berbunyi keras sekali memecah heningnya malam.
Pendapa yang riuh itu tiba-tiba menjadi hening. Semula orang seakan-akan telah dicengkam oleh suara kentongan itu. Namun sejenak kemudian mereka menarik nafas sambil berkata, “Dara muluk.”
“Aku kira ada sesuatu yang terjadi selagi kita duduk di sini,” desis yang lain.
Namun Swandaru mengerutkan keningnya sambil berkata, “Kenapa kentongan itu dipukul dengan nada dara muluk? Apakah kini kita telah sampai pada tengah malam?”
Seorang yang duduk di pinggir pun kemudian meloncat keluar. Sambil berpegangan sebatang pohon ia mencoba melihat bintang Gubug Penceng di ujung Selatan.
“Masih belum tengah malam. Masih agak jauh,” berkata anak muda yang mengamati bintang Gubug Penceng itu.
“Jadi siapakah yang telah membunyikan kentongan belum waktunya itu?”
“Entahlah.”
Seorang anak muda yang duduk dengan orang baru itu mulai curiga. Anak muda yang jemu melihat pertemuan itulah agaknya yang telah membuat gaduh. Tetapi karena ia belum yakin, maka ia tidak mengatakan apa-apa.
“Coba lihatlah, siapakah yang telah membunyikan kentongan itu. Mungkin ia baru saja terbangun dari tidurnya. Atau barangkali justru dalam keadaan tidak sadar,” berkata Swandaru, “kemudian ajaklah ia kemari, kita selesaikan pertemuan ini sebentar.”
“Baiklah,” berkata anak muda itu.
“Tunggu,” berkata Ki Jagabaya, “marilah. Aku ikut bersamamu. Anak-anak muda mudah menjadi salah paham. Tetapi mungkin juga seseorang ingin memperingatkan, bahwa justru kita semua berada di sini, keamanan dapat terganggu.”
“Daerah ini sudah aman,” berkata Ki Demang, “hampir tidak pernah terjadi kejahatan apa pun. Apalagi yang sekarang berkumpul adalah anak-anak muda yang sebaya dengan Swandaru. Orang tua-tua masih tetap berada di rumah masing-masing, dan barangkali sekelompok berada juga di pojok desa atau di gardu-gardu.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah. Tetapi aku ingin melihat orang yang sedang ngelindur itu.”
Ki Jagabaya pun kemudian turun dari pendapa itu pula, dan pergi ke gardu di simpang tiga, di tengah-tengah induk kademangan. Mereka kenal betul bahwa suara kentongan itu adalah kentongan yang berada di gardu itu.
Ketika Ki Jagabaya beserta dua orang anak muda yang mengiringinya sampai ke tempat itu, mereka menjadi termangu-mangu. Mereka tidak melihat seorang pun. Anak-anak muda maupun orang-orang tua.
“Kosong,” desis Ki Jagabaya.
“Tetapi kentongan ini masih bergoyang. Tentu seseorang baru saja membunyikannya. Lalu ditinggalkannya pergi.”
“Apakah maksudnya? Kalau ia mempunyai sesuatu keinginan, ia tentu tinggal di sini dan menunggu satu atau dua orang datang, karena pertanda yang dibunyikan memang bukan pertanda di saat yang biasa, yang hanya di-bunyikan di tengah-tengah malam.”
“Aku kira, orang itu benar-benar orang yang sedang ngelindur. Ia terbangun selagi ia tertidur di gardu ini. Dengan serta-merta ia memukul kentongan sebelum ia sadar sepenuhnya. Baru ketika ia menyadari dirinya ia merasa telah membuat kesalahan dan dengan diam-diam meninggalkan gardu ini.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Pasti hanya suatu kesalahan,” katanya di dalam hati, “kalau ada hal-hal yang mencurigakan, seseorang tidak akan memukul kentongan. Apalagi dalam nada dara muluk yang memang mempunyai arti yang khusus. Di malam hari dara muluk menjadi pertanda tengah malam, sedang di siang hari mempunyai artinya tersendiri pula. Sedangkan apabila benar-benar ada bahaya, tentu mereka memukul pertanda yang khusus pula. Dua ganda, tiga ganda, atau titir.”
“Sudahlah, Ki Jagabaya. Biarlah saja orang bingung itu. Marilah kita kembali ke kademangan. Barangkali Swandaru masih mempunyai hidangan.”
“Ah, kau. Semua hidangan sudah dikeluarkan ke pendapa. Apa lagi yang kau cari? Nagasari, wajik ketan, hawug-hawug dan nasi panas dengan daging kambing? Apalagi yang akan kau tunggu?”
Anak-anak muda itu tersenyum. Tetapi mereka tidak menyahut. Mereka mengikuti saja ketika Ki Jagabaya melangkah kembali ke kademangan. Tetapi langkah mereka tiba-tiba tertegun. Mereka benar-benar terheran-heran, ketika mendengar sekali lagi suara kentongan dalam nada dara muluk.
“He, apakah ada orang gila di padukuhan ini?” bertanya Ki Jagabaya.
“Kentongan di simpang empat ke kuburan,” desis seorang dari kedua anak muda.
“Ya,” sahut Ki Jagabaya.
“Aku akan ke sana,” desis salah seorang dari kedua anak muda itu pula.
“Marilah.”
“Aku akan mendahului,” dan tanpa menunggu jawaban Ki Jagabaya salah seorang dari keduanya telah berlari mendahului. Anak itu mengambil jalan memintas, bahkan kadang-kadang menyusup halaman-halaman kosong yang terbuka. Tetapi sekali lagi ia menjadi kecewa. Sekali lagi ia hanya menemukan kentongan yang masih bergoyang, tetapi tidak seorang pun yang dilihatnya.
“Apakah ada setan dari kuburan itu yang bangkit dan membuat gaduh?” anak muda itu menggeram. Tetapi ia benar-benar tidak melihat apa pun. Jalan ke kuburan itu seakan-akan menjadi semakin gelap pekat dan menakutkan.
Sejenak kemudian, Ki Jagabaya dan anak muda yang seorang lagi telah datang pula ke tempat itu. Mereka pun terheran-heran pula melihat kentongan yang masih bergoyang dan gardu yang kosong.
“Apakah bukan kau yang menyentuh kentongan itu?” bertanya Ki Jagabaya,
“Bukan, bukan aku,” jawab anak muda yang telah datang lebih dahulu. “Aku menemukan kentongan ini sudah bergoyang.” Lalu tanpa sesadarnya ia memandang jalan yang menuju ke kuburan.
Ki Jagabaya seolah-olah mengerti apa yang terlintas di kepala anak muda itu, sehingga katanya, “Tentu bukan demit dari kuburan itu. Tetapi siapa dan apa maksudnya?” Sejenak mereka merenung. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari kedua anak-anak muda itu bergumam, “Sudahlah. Biar saja ia memukul seluruh kentongan yang ada di padukuhan induk ini. Asal ia tidak memukul dalam nada titir atau tiga ganda. Jika demikian, maka padukuhan ini akan benar-benar menjadi kacau.”
“Ya dan tentu hanya gardu-gardu kosong sajalah yang ia datangi, selagi anak-anak muda berada di kademangan. Tetapi ketika aku berangkat ke kademangan, aku melihat beberapa orang tua yang melepaskan lelah setelah bekerja sehari penuh, duduk dan saling bercerita di simpang tiga, di pinggir desa, di sebelah gardu. Satu dua ada juga yang berbaring di dalamnya. Mungkin di gardu di pojok desa pun ada isinya juga,” berkata Ki Jagabaya.
“Jika demikian marilah, kita kembali saja.”
Ketiganya pun kemudian kembali ke kademangan, meskipun mereka tidak dapat melepaskan pertanyaan yang membelit hati. “Apakah maksudnya?”
Tetapi sekali lagi mereka terkejut. Jauh di ujung lorong, terdengar pula suara kentongan dalam nada dara muluk. Namun Ki Jagabaya berkata, “Biarlah. Meskipun ini pasti bukan kerja orang ngelindur, kita tidak akan berlari-lari ke ujung desa untuk melihat kentongan yang bergoyang-goyang.”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-nganggukkan kepalanya.
“Tetapi kita tidak akan membiarkannya.”
“Jadi?” kedua anak-anak muda itu menjadi bingung.
Kita pergi ke gardu-gardu yang kosong. Kita tahu, urutan perjalanan anak atau orang atau siapa pun yang membunyikan kentongan itu. Mula-mula yang dibunyikan adalah kentongan di gardu di simpang tiga di bawah pohon aren, kemudian di simpang empat ke kuburan. Kini kentongan di ujung lorong. Nah, kalian dapat membayangkan jalan yang dilaluinya. Menurut perhitunganku, ia akan berjalan lewat jalan kecil di pinggir desa ini, dan ia akan sampai ke gardu di sebelah kelokan parit itu. Jika gardu itu tidak ditempati beberapa orang yang sedang duduk-duduk melepaskan lelah, ia pasti akan memukul kentongan itu pula.”
“Jadi, apakah kita akan langsung pergi ke sana?”
“Ya. Kita pilih jalan memintas. Mungkin kita dapat mendahuluinya.”
Demikianlah, mereka dengan tergesa-gesa pergi ke gardu di kelokan parit di pinggir desa. Mereka memperhitungkan, bahwa orang yang sengaja membuat gaduh itu, akan sampai pula ke tempat itu dan memukul kentongan yang ada di gardu itu pula.
Ternyata ketika mereka sampai ke gardu itu, mereka masih belum mendengar bunyi kentongan, dan kentongan di gardu itu masih belum bergoyang.
“Kita bersembunyi,” berkata Ki Jagabaya, “kita tunggu sejenak. Orang itu akan segera sampai kemari. Untunglah gardu ini pun kebetulan kosong, sehingga kita akan dapat menangkap orang yang memukul kentongan tanpa kita ketahui maksudnya itu.”
Ki Jagabaya dan anak-anak muda yang mengikutinya itu pun kemudian bersembunyi di balik semak-semak. Sejenak mereka menunggu dengan sabar, bahwa orang yang mereka cari akan datang ke tempat itu pula.
“Lama sekali,” desis anak muda yang seorang, “menurut perhitungan, ia pasti sudah sampai ke gardu ini jika ia memang pergi kemari.”
“Mungkin ia tidak langsung berjalan ke gardu ini.”
Mungkin ia singgah sebentar di mana pun atau barangkali ia duduk-duduk sebentar di pematang,” jawab yang lain.
“Mungkin kita akan berhadapan dengan seorang yang tidak waras. Tetapi siapakah orang di kademangan ini yang tidak waras ingatannya dan sering bermain-main dengan kentongan?”
“Ssst,” desis Ki Jagabaya. Mereka memang mendengar sebuah desir yang lembut. Namun ternyata bukan seseorang.
“Seekor kadal.”
“Atau ular. Aku takut sekali kepada ular.”
“Tidak, tentu bukan ular. Diamlah. Supaya orang itu tidak mengurungkan niatnya,” desis Ki Jagabaya.
Mereka pun kemudian terdiam. Dengan dada yang berdebar-debar mereka menunggu. Mereka tidak menghiraukan gigitan nyamuk yang gatal di tubuh mereka.
Namun mereka hampir terlonjak, ketika mereka mendengar kentongan berbunyi. Tetapi sama sekali bukan kentongan di gardu itu. Bukan kentongan yang mereka intai sekian lamanya.
“Setan alas!” salah seorang dari anak muda itu mengumpat sambil meloncat berdiri. “Aku sudah gatal-gatal, digigit nyamuk. Ternyata ia tidak berbelok ke kiri ketika ia berada di ujung lorong tetapi berbelok ke kanan menyelusur jalan pematang itu.”
“Gila,” yang lain ikut pula mengumpat, “agaknya ia memang orang gila.”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam sambil menekan punggungnya yang gatal. Katanya, “Hampir sesak nafasku duduk di balik semak-semak itu, ternyata orang itu tidak menempuh jalan ini. Benar, ia pasti berbelok ke kanan di ujung lorong itu. Dan kita sudah kehilangan kesempatan.”
Salah seorang dari kedua anak muda itu pun mengumpat-umpat, sedang yang lain berkata, “Kita kembali saja ke kademangan.”
Ki Jagabaya masih berdiri termangu-mangu. Ternyata, ia telah salah hitung, sehingga beberapa saat lamanya mereka menjadi umpan nyamuk dengan sia-sia.
“Baiklah,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “kita kembali ke kademangan.”
“Sejak tadi aku sudah mengajak, kita kembali ke kademangan. Di sana ada minuman hangat. Sedang yang kita lakukan adalah tidak ada artinya.”
“Hus!” bentak Ki Jagabaya. “Kita berusaha, apakah usaha kita berhasil atau tidak, itu tergantung pada keadaan. Tetapi kita memang harus berusaha.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Namun Ki Jagabaya sendirilah yang kemudian menggerutu, “Agaknya orang itu memang orang gila. Tetapi kalau ia membunyikan kentongan dengan nada yang lain, tiga atau dua ganda misalnya, maka Sangkal Putung akan dibuat kacau olehnya.”
Kedua anak-anak muda yang mengikutinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka sudah tidak berminat lagi untuk mencari dan mencegah orang yang mereka anggap kurang waras itu.
Di perjalanan kembali ke kademangan, mereka bertemu dengan tiga orang yang berjalan menyusuri jalan padukuhan, yang ternyata juga sedang mencari orang yang membunyikan kentongan dengan cara yang aneh itu.
“Kami tidak menemukannya,” berkata Ki Jagabaya.
“Aneh sekali,” berkata salah seorang dari ketiga orang itu, “kami yang sedang duduk di pojok desa menjadi terheran-heran. Bunyi kentongan itu sendiri tidak aneh bagi kami, tetapi saat-saat yang tidak sesuai dan apalagi sampai terulang beberapa kali, membuat kami bertanya-tanya.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kami berada di kademangan ketika kentongan itu mula-mula dibunyikan. Kami sudah mencoba mencari sampai ke ujung lorong.”
“Aku akan berkeliling terus,” berkata salah seorang dari ketiga orang itu, “mungkin ada sesuatu yang tidak wajar. Bukankah anak-anak muda sedang berkumpul di kademangan?”
“Ya. Tetapi dalam keadaan yang aneh ini, sebagian dari mereka harus pergi ke gardu-gardu. Setidak-tidaknya untuk
mencegah agar orang itu tidak membunyikan kentongan semalam suntuk.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Dan mereka pun kemudian minta diri untuk meneruskan usaha mereka, menemukan orang yang aneh itu.
Dalam pada itu, anak muda yang duduk di samping kawannya yang baru itu menjadi semakin curiga ketika ia mendengar kentongan berbunyi untuk kedua dan apalagi ketiga kalinya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya pada orang lain, karena ia masih belum meyakinkannya. Karena itu, maka selagi orang di pendapa itu menjadi termangu-mangu, ia pun mengajak salah seorang kawannya untuk meninggalkan pertemuan itu.
“Kemana?” bertanya kawannya.
“Kita cari anak itu,” jawabnya.
“Siapa?”
“Anak baru yang tinggal pada pamannya itu.”
“Wita maksudmu?”
“Ya. Wita.”
“Kenapa dengan Wita?”
“Kita mencarinya.”
Kawannya termangu-mangu sejenak. Lalu, “Aku kira pertemuan ini pun akan segera berakhir.”
“Mungkin belum. Nanti, apabila keadaan sudah tenang, mereka akan melanjutkannya. Mereka akan berkelakar semalam suntuk.”
“Baiklah. Marilah. Nanti kita kembali.”
Keduanya pun kemudian turun dari pendapa tanpa minta diri kepada siapa pun. Mereka berniat untuk segera kembali lagi, apabila keadaan menjadi tenang. Apabila tidak ada lagi bunyi kentongan yang gila itu.
Baru ketika mereka sudah berada di luar halaman, anak muda yang duduk di sebelah Wita itu bercerita tentang sikap dan tingkah laku Wita.
“Aku tidak begitu menghiraukannya,” sahut kawannya, “tetapi menilik sikapnya sehari-hari memang mungkin sekali ia berbuat demikian. Tetapi apakah maksudnya, ia memukul kentongan di beberapa tempat?”
“Untuk melepaskan kejengkelannya. Tetapi aku kira ia memang ingin membubarkan pertemuan yang dianggapnya menjemukan ini.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Langkah mereka kemudian tertegun ketika mereka bertemu Ki Jagabaya yang justru akan kembali ke kademangan.
“Mau kemana, kalian?” bertanya Ki Jagabaya.
“Kami ingin menemukan orang yang bermain-main dengan kentongan itu.”
“O, pergilah,” berkata Ki Jagabaya, “apakah pertemuan sudah bubar?”
“Belum, dan sebaiknya Ki Jagabaya menganjurkan agar mereka tidak usah tergesa-gesa membubarkan diri. Biarlah mereka berkelakar semalam suntuk. Kami berdua berharap dapat segera menemukan orang itu.”
“Bukan hanya kau berdua. Kami bertiga, orang-orang tua yang semula duduk-duduk di pojok desa dan barangkali masih ada lagi. Tetapi kami belum menemukannya.”
“Mungkin kami berdua akan menemukannya.”
“Mudah-mudahan,” desis Ki Jagabaya sambil meneruskan langkahnya kembali ke kademangan.
Dalam pada itu, kedua anak-anak muda itu pun berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka berharap dapat menemukannya sebelum ia sempat membunyikan kentongan berikutnya.
Seperti Ki Jagabaya, keduanya memperhitungkan juga arah jalan yang kira-kira ditempuh oleh anak muda yang dicarinya. Seperti setiap orang di padukuhan itu, keduanya pun mengenal ciri-ciri bunyi kentongan di setiap gardu, sehingga karena itu, maka keduanya pun dapat memperhitungkan pula kemana kira-kira orang yang dicarinya itu pergi.
“Ia pulang ke rumah pamannya,” berkata salah seorang dari mereka.
“Ya, meskipun agak melingkar.”
“Tetapi di antara gardu di simpang tiga dan di jalan ke kuburan itu ada sebuah gardu lagi. Kenapa ia tidak memukul kentongan yang ada di gardu itu?”
“Mungkin gardu itu ada orangnya.”
“Orang-orang itu tentu mencurigainya.”
“Kalau ia tahu di gardu itu ada orang maka ia akan menghindar. Atau kemungkinan lain, kedua gardu itu dianggapnya terlampau dekat, sehingga ia tidak merasa perlu memukul kentongannya.”
Kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, tanpa mereka sadari, langkah mereka menjadi semakin cepat. Bahkan kadang-kadang mereka meloncati pagar-pagar rendah dan melintas di halaman.
Sejenak kemudian mereka pun telah sampai ke regol sebuah halaman yang luas. Halaman rumah seorang yang kaya. Orang itu adalah paman Wita. Dan di rumah itu pula Wita tinggal, selama ia berada di Sangkal Putung.
Kita tunggu sebentar. Mungkin ia belum sampai.
Sebaiknya kita menyongsongnya. Masih ada satu gardu sebelah tikungan itu. Kalau kita dapat mendahuluinya, dan ternyata gardu itu kosong, kita mengharap ia akan membunyikannya pula.
Kawannya tidak menjawab, tetapi kepalanya terangguk-angguk.
Keduanya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa ke tikungan, beberapa puluh langkah saja dari regol halaman rumah itu. Mereka mengharap, bahwa mereka akan dapat mendahului Wita yang agaknya mengambil jalan melingkar.
Tetapi sebelum mereka sampai di tikungan, mereka terkejut. Ternyata dari gardu itu telah terdengar suara kentongan dalam nada dara muluk.
“Ia sudah di sana. Marilah, cepat sedikit.”
Keduanya pun segera berlari-lari kecil. Tetapi ketika mereka sampai tepat di sudut tikungan, maka mereka pun segera meloncat masuk ke dalam halaman. Dari halaman itulah mereka merayap mendekati gardu.
Tepat seperti yang mereka duga. Yang membunyikan kentongan itu adalah Wita. Dengan penuh nafsu ia mengayunkan alat pemukul kentongan itu, dan membuat nada dara muluk sekeras-kerasnya.
“Gardu itu ternyata kosong.”
“Ya. Anak-anak yang seharusnya berada di gardu ini masih berada di halaman kademangan.”
“Tetapi, bukankah seharusnya bukan hanya anak-anak muda saja yang meronda? Tetapi juga orang tua-tua?”
“Mereka menjadi segan apabila anak-anak muda tidak ada di gardu. Apalagi setelah keadaan menjadi semakin baik. Yang selalu berada di gardu-gardu itu setiap malam hanyalah anak-anak muda saja.”
Yang seorang tidak menyahut. Nada dara muluk itu sudah mulai menurun. Sebentar lagi kentongan itu akan berhenti.
“Kita mendekat.”
“Biarlah ia meletakkan pemukulnya, supaya bukan kepalamu yang kemudian menjadi sasaran.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala, sehingga dengan demikian mereka masih tetap berada di tempat sambil berdiam diri.
Baru sejenak kemudian, suara kentongan itu berhenti. Dengan tergesa-gesa Wita meletakkan pemukul kentongan di sudut gardu. Kemudian dengan tergesa-gesa pula ia melangkah meninggalkan gardu itu.
Tetapi langkahnya tertegun, ketika tiba-tiba saja kedua anak-anak muda yang sejak tadi mengintainya itu meloncat di hadapannya dari balik dinding batu halaman di sudut tikungan.
Wita mundur selangkah. Namun kemudian ia lebih senang mendahului bertanya, “Apa kerjamu di sini?”
Salah seorang dari kedua anak-anak muda itu melangkah maju. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Wita, bahkan ia pun bertanya pula, “Kenapa hal itu kau lakukan, Wita?”
Wita tidak segera menjawab. Dipandanginya kedua anak-anak muda itu berganti-ganti. Namun kemudian ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, seolah-olah sedang mencari seseorang di dalam gelapnya malam.
“Kami hanya berdua,” desis salah seorang dari kedua anak muda itu. Lalu, “Kau belum menjawab. Kenapa hal itu kau lakukan, Wita?”
Wita memandang anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian jawabnya, “Tidak apa-apa.”
“Tetapi bukankah kau sudah mengetahui, bahwa pokalmu itu dapat menimbaikan kegelisahan?”
“Aku membunyikan kentongan dalam nada dara muluk. Tidak ada orang yang akan menjadi gelisah.”
“Tentu ada. Pertama, kau membunyikan kentongan sebelum waktunya. Lihat, bintang Gubug Penceng belum di tengah. Kedua, kau memukul kentongan di beberapa tempat berturut-turut. Bukankah hal itu dapat menggelisahkan, selagi anak-anak muda berada di halaman kademangan?”
“Itulah salah mereka.”
“Yang mana?”
“Kenapa mereka berada di halaman kademangan dan membiarkan gardu-gardu menjadi kosong? Memang ada satu dua gardu yang berisi. Tetapi hanya beberapa orang-orang tua yang tidak berani apa-apa apabila terjadi sesuatu di padukuhan ini.”
Kedua pemuda itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka menyadari, bahwa bukan itulah alasan Wita yang sebenarnya, sehingga karena itu, salah seorang dari mereka pun kemudian berkata, “Kademangan Sangkal Putung pada saat ini dalam keadaan aman. Meskipun demikian kita tidak lengah sama sekali. Di beberapa gardu masih ada orang-orang yang kau sebut orang-orang tua yang tidak berarti apa-apa. Tetapi mereka masih akan mampu membunyikan tanda bahaya apabila terjadi sesuatu.”
“Apakah bahaya itu akan lenyap dengan sendirinya hanya karena suara kentongan dua ganda atau tiga ganda, bahkan titir sekalipun?”
“Tentu tidak. Tetapi kau juga tahu, bahwa anak-anak muda sekarang sedang berkumpul di kademangan. Apabila ada tanda bahaya itu, maka mereka pun akan segera dapat bertindak. Bahkan serentak, karena mereka telah berkumpul.”
“Dan bahaya itu harus menunggu sampai anak-anak muda itu bersiap?”
“Tentu tidak, Wita. Tetapi, bukankah sampai saat ini tidak terjadi apa-apa, selain kericuhan yang timbul karena suara kentonganmu?”
“Aku hanya ingin membuktikan bahwa banyak gardu-gardu yang kosong. Kalau aku seorang penjahat, aku sudah dapat berbuat apa pun dengan leluasa.”
“Tetapi kau tahu, bahwa aku berhasil menemukan kau.”
Wajah Wita menjadi merah. Tetapi katanya, “Kembalilah ke kademangan. Aku jemu melihat pertemuan itu. Swandaru menjadi aleman dan merasa dirinya orang terbesar di seluruh Sangkal Putung.”
“Pertemuan itu akan berlangsung semalam suntuk.”
“Bodoh sekali. Itu sangat memuakkan.”
“Kalau kau tidak senang pada pertemuan itu, kau boleh dan ternyata sudah meninggalkannya. Tetapi jangan ganggu ketenangan kademangan ini.”
“Aku tidak mau melihat seorang anak muda yang aleman, yang merasa dirinya menjadi orang penting dan dihormati oleh anak-anak muda seluruh Sangkal Putung.”
“Kami memang menghormatinya.”
“Aku tidak mau.”
“Itu terserah kepadamu. Dan kau memang bukan anak Sangkal Putung.”
Jawaban itu benar-benar membuat Wita tersinggung. Jawabnya, “Aku memang bukan anak Sangkal Putung. Aku tidak peduli apa yang terjadi di sini. Aku tidak peduli apakah anak-anak itu akan terganggu oleh suara kentonganku.”
“Tetapi kau mengganggu ketenangan Sangkal Putung. Itu tidak boleh terjadi. Kau boleh tidak sependapat dengan kami, bahkan menjadi muak terhadap sikap kami, karena kami menyambut salah seorang kawan kami bahkan pemimpin dari anak-anak muda Sangkal Putung. Itu adalah hak kami, orang di luar lingkungan kami tidak akan dapat menghalangi kami dan tentu tidak akan kami biarkan membuat keributan di sini. Kami menghormati tamu yang datang di daerah kami, tetapi kami tidak akan merelakan perbuatan yang dapat mengganggu ketenangan kami.”
“Ah. Kalian memang penjilat-penjilat yang dungu.”
“Wita!” tiba-tiba salah seorang dari kedua anak muda itu maju semakin dekat. Ia benar-benar menjadi marah meskipun ia masih berusaha menahan diri, “Jangan menghina kami. Kau dapat membuat keadaanmu menjadi sulit di sini meskipun aku tahu, bahwa pada suatu saat kau akan meninggalkan Sangkal Putung. Tetapi kesulitan itu akan memercik kepada pamanmu yang sebenarnya tidak tahu menahu dan kami hormati di sini.”
“Persetan! Apa sebenarnya maumu? Aku memang ingin membuat pertemuan yang memuakkan itu menjadi berantakan. Aku muak. Muak sekali melihat Swandaru dan Agung Sedayu yang seakan-akan dua orang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa kemenangan. Apakah sebenarnya yang telah mereka lakukan, sehingga kalian menjadi seperti orang yang terbius di dalam suatu sikap yang rendah? Katakanlah mereka adalah dua orang anak-anak muda yang perkasa semasa perang melawan sisa-sisa pasukan Jipang. Tetapi yang menjadi pahlawan bukan kedua anak-anak itu, tetapi Untara. Meskipun Agung Sedayu itu adik Untara, tetapi ia bukan apa-apa bagiku.”
“Sudahlah, Wita, kalau kau ingin pulang, pulanglah. Tetapi jangan kau ulangi lagi perbuatan itu.”
“Apa pedulimu. Sebenarnya sejak tadi aku memang mau pulang. Tetapi kau berdua menghalangi jalanku. Nah, kalian mau apa?”
Telinga kedua anak-anak muda itu menjadi panas. Karena itu salah seorang dari mereka berkata, “Aku masih berusaha memperingatkan kau, Wita. Jangan membuat persoalan yang menyulitkan keadaanmu di sini.”
“Aku tidak takut,” sahut Wita, “aku adalah seseorang yang biasa menghadapi kesulitan. Aku tidak gentar menghadapi apa pun. Kasar atau halus.”
“Tetapi kau berada di lingkungan lain dari lingkunganmu sendiri.”
“Jadi kalian mau mengeroyok aku? Silahkan, silahkan. Panggil Swandaru dan Agung Sedayu. Bahkan guru mereka sama sekali. Biarlah mereka mengeroyok aku. Apakah kalian sangka aku takut? Kalau perlu aku dapat memanggil anak-anak padukuhanku. Aku tidak berdiri sendiri, meskipun tampaknya sekarang aku memang sendiri. Tetapi itu tidak perlu. Aku dapat melawan kalian bersama Swandaru dan Agung Sedayu sekaligus.”
“Kau belum mengenal Swandaru dan Agung Sedayu.”
“Persetan. Panggil mereka kemari!”
“Aku tidak akan memanggil siapa pun,” salah seorang dari kedua anak muda itu akhirnya kehabisan kesabaran. “Aku sudah memperingatkan kau, jangan membuat gaduh di sini.”
Tetapi ternyata, Wita adalah orang yang keras kepala. Ia sama sekali tidak mau surut. Bahkan dengan dada tengadah ia berkata, “Kau tidak dapat menakut-nakuti aku. Aku seorang yang dikagumi di padukuhanku. Lebih dari Swandaru dan Agung Sedayu. Aku adalah pelindung dari setiap orang. Siapa yang berani menentang aku, mereka akan menyesal. Aku tidak pernah berbuat apa pun di sini karena aku menghormati kalian sebagai tuan rumah. Tetapi kalian ternyata sangat memuakkan. Dan karena itu, maka aku tidak perlu lagi menahan diri untuk berbuat sesuatu. Aku pernah berbuat apa saja terhadap orang yang menentang aku. Bukan sekedar berkelahi, aku juga pernah membunuh orang yang keras kepala.”
Anak muda Sangkal Putung itu pun ternyata tidak juga mau mundur. Sebagai anak muda yang pernah mengalami pergolakan pada masa-masa Tohpati masih mempunyai kekuatan, dan yang pernah mengikuti dan mengalami pertempuran-pertempuran yang menegangkan urat syaraf, maka ia pun tidak gentar sama sekali.
“Kau terlalu sombong,” ia menggeram, “aku akan mencegahmu kalau kau tetap berkeras hati untuk membuat keributan di daerah ini.”
“Persetan. Ayo, panggil kawan-kawanmu.”
Anak muda Sangkal Putung itu tidak menyahut. Selangkah ia maju, sedang kawannya memperhatikannya dengan hati yang tegang.
Tiba-tiba saja keduanya telah siap untuk berkelahi. Tidak ada yang berusaha memisahkan mereka. Anak muda Sangkal Putung yang seorang, yang berdiri beberapa langkah dari keduanya pun tidak berbuat apa pun juga.
Demikianlah maka sejenak kemudian keduanya sudah terlibat dalam perkelahian. Semakin lama semakin sengit. Masing-masing tidak lagi mengekang diri, sehingga dengan demikian mereka telah berkelahi sekuat-kuat tenaga mereka.
Namun ternyata bahwa Wita memang mempunyai kelebihan. Setiap kali anak muda Sangkal Putung itu pun terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh. Semakin lama semakin sering, sehingga kemudian ternyata bahwa keadaannya menjadi terlalu payah.
Tetapi ia pun ternyata seorang anak muda yang keras hati. Ia sama sekali tidak mau mundur. Bagaimanapun juga ia tetap berkelahi sejadi-jadinya.
Namun tenaganya memang terbatas juga. Sehingga pada suatu saat, tenaganya sudah tidak memungkinkan lagi untuk melawan dengan baik. Bertubi-tubi pukulan lawannya mengenainya, sehingga setiap kali ia terdorong dan terbanting jatuh.
“Ia sudah tidak dapat melawan. Kami mengakui kemenanganmu,” berkata anak muda Sangkal Putung yang seorang.
“Kenapa kau berdiri saja?” Wita membentak dengan sombongnya, “Kenapa kau tidak berkelahi bersama-sama?”
“Bukan kebiasaan kami. Sekarang, dengan jujur kami mengakui bahwa kau menang. Tetapi hentikan pukulan-pukulanmu yang gila itu. Agaknya kau memang tidak berperikemanusiaan.”
“Aku tidak peduli. Ia harus mendapat ajaran dari kesombongannya.”
Ternyata Wita benar-benar tidak menghiraukan peringatan anak muda Sangkal Patung itu. Bahkan ia menarik baju lawannya yang sudah menjadi sangat lemah. Mengangkatnya berdiri dan sekali lagi memukul perutnya, sehingga anak muda itu terbungkuk sesaat. Namun tangan Wita yang lain telah menyambar dagunya sehingga lawannya itu terangkat dan jatuh menelentang.
Wita ternyata masih belum puas. Hampir saja ia menginjak dada lawannya, seandainya anak muda yang lain itu tidak melangkah mendekat sambil berkata, “Kau tidak ubahnya seperti binatang buas. Hentikan atau aku akan ikut campur.”
“O, kau akan ikut serta? Apakah kau ingin mengalami nasib yang serupa?”
“Aku tidak peduli. Tetapi tingkah lakumu memang keterlaluan. Aku terpaksa sekali ikut campur, meskipun itu bukan kebiasaan kami.”
“Persetan! Ayo, kita coba. Apakah kau akan mengalami nasib yang justru lebih buruk dari kawanmu itu.”
Anak muda Sangkal Putung itu menggeretakkan giginya. Ia sadar bahwa lawannya memang mempunyai kelebihan. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat membiarkannya berbuat sewenang-wenang terhadap kawannya yang sama sekali tidak mampu lagi untuk melawan.
Demikianlah, keduanya telah berhadapan dan saling bersiap. Tetapi Wita ternyata kini tidak lagi setegang semula. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Besok pagi setiap orang pasti akan mempercakapkan kalian berdua. Tetapi aku memang tidak ingin membunuh kali ini, karena aku menghormati kalian, tuan rumah di Sangkal Putung ini. Dan aku akan menunggu siapa saja yang merasa tersinggung oleh perbuatanku ini. Aku tidak akan lari.”
“Persetan!” anak muda Sangkal Putung itu menggeram.
Tetapi sebelum perkelahian itu berlangsung mereka terkejut karena mereka mendengar suara tertawa pula. Kemudian dari balik dinding batu, seorang anak muda yang gemuk meloncat dan berdiri beberapa langkah di samping Wita.
“Swandaru,” desis anak muda Sangkal Putung itu.
Swandaru tertawa. Katanya, “Orang tua-tua yang mencari bunyi kentongan itu sempat mengintai kalian berkelahi. Tetapi mereka tidak berani berbuat apa-apa, karena mereka memang sudah terlalu tua untuk berkelahi. Namun mereka sempat menyampaikan cerita itu kepadaku lengkap dengan alasan-alasan yang didengarnya selama kalian bertengkar. Maksudku, tamu kita ini dengan kawan kita yang sudah tidak mampu bangkit itu.”
“Persetan! Kalau kau akan mengeroyok aku, lakukanlah,” geram Wita.
Swandaru masih saja tertawa. Ia berpaling ketika Agung Sedayu, Kiai Gringsing, Sumangkar, dan beberapa orang bermunculan pula di tempat itu.
Wita memandang mereka di dalam keremangan dengan wajah yang menjadi tegang kembali. Namun sejenak kemudian, ia berkata dengan nada tinggi dan wajah yang tengadah, “Hah, bukankah usahaku sudah berhasil?”
“Aku memang ingin membubarkan pertemuan yang memuakkan itu. Pertemuan yang seolah-olah menyambut seorang pahlawan besar, yang datang dari medan membawa kemenangan.”
Tetapi Swandaru menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Pertemuan itu berlangsung terus. Anak-anak muda itu masih ada di kademangan. Di dapur, para juru masak sedang menyiapkan suguhan baru yang hangat bagi mereka, karena kami akan berada di pendapa kademangan itu semalam suntuk untuk menghormati kedatanganku, pemimpin pengawal Kademangan Sangkal Putung, putera laki-laki satu-satunya dari Ki Demang dan yang baru pulang di sebuah petualangan, yang pernah menjadi senapati pasukan Sangkal Putung melawan pasukan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.”
“Persetan!” teriak Wita.
“Nanti dulu, aku belum selesai,” sahut Swandaru. “Sampai di mana tadi aku sesumbar? O, ya. Aku adalah senapati pasukan Sangkal Putung yang pernah dua atau tiga kali dipukul oleh Sidanti tanpa berani membalas.”
“Ah,” tanpa sesadarnya Agung Sedayu berdesah, sedang Kiai Gringsing dan Sumangkar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
“Ternyata dugaanku benar!” Wita benar-benar berteriak, “Aku memang berhadapan dengan orang yang tidak waras.”
“Jangan berteriak-teriak,” potong Swandaru, “kau dapat membangunkan orang-orang yang tinggal sebelah-menyebelah.”
Tetapi ternyata bahwa, orang-orang itu ada yang memang sudah terbangun sejak suara kentongan bernada dara muluk yang pertama berbunyi. Karena itu, ketika mereka mendengar ribut-ribut di tikungan, mereka mencoba mengintip dari sela-sela dinding rumah mereka. Tetapi yang mereka lihat adalah kehitaman malam yang kelam. Mereka sama sekali tidak keluar dari rumah mereka, meskipun lamat-amat mereka mendengar suara orang di tikungan, karena keadaan yang mereka hadapi sama sekali tidak jelas. Tetapi kini mereka mendengar suara teriakan-teriakan yang keras, sehingga mau tidak mau, mereka pun ingin melihat apa yang telah terjadi sebenarnya. Bukan saja yang terbangun karena suara kentongan, tetapi teriakan-teriakan Wita itu pun telah menimbulkan kegaduhan. Mereka yang semula tidak menghiraukan suara kentongan dara muluk yang tidak pada waktunya dan berulang kali itu, sehingga jatuh tertidur kembali, kini tidak lagi dapat acuh tidak acuh, ketika mereka mendengar teriakan-teriakan yang keras, yang telah membangunkan mereka pula.
Satu dua di antara penghuni di sekitar tikungan itu pun mencoba untuk mendengarkan lebih jelas lagi. Ternyata yang mereka dengar adalah suara bentakan-bentakan, sehingga mereka pun kemudian dengan hati-hati keluar pula dari rumahnya, dan pergi ke tikungan.
Dalam pada itu, Wita menjadi semakin marah melihat sikap Swandaru. Ternyata Swandaru berbeda sekali dari kedua anak-anak muda Sangkal Putung yang terdahulu. Namun demikian, Wita menganggap bahwa sikap itu adalah bentuk dari sikap aleman dan manja saja, sehingga karena itu maka katanya dengan kasar, “Swandaru. Kau kira aku menjadi kagum atau heran atau kemudian lilih kemarahanku mendengar kau berkicau? Kau kira aku lalu mengurungkan tuntutanku agar pertemuan yang memuakkan itu bubar, bahkan tertawa-tertawa karena kau mencoba melucu? Tidak. Aku tidak peduli pada sikapmu itu. Bahkan aku menganggap sikapmulah yang membuat pertemuan itu memuakkan, seperti sikap yang baru saja kau perlihatkan.”
Sepercik warna merah melonjak di wajah Swandaru. Ia bukan seorang anak muda yang berhati lapang selapang lautan. Namun demikian, ia masih mencoba untuk tersenyum. Katanya, “Kenapa kau marah-marah seperti kejatuhan sarang semut? Jangan cepat menjadi mata gelap. Kau sudah memukuli seorang kawanku sampai hampir pingsan. Lihat, tanpa ditolong oleh kawannya, ia tidak akan dapat bangkit dan menepi. Apakah kau masih kurang puas?”
“Persetan. Bukankah kalian berdatangan untuk mengeroyok aku? Mari, mari, lakukanlah. Aku sudah sedia. Aku tidak akan lari.”
“Tidak,” berkata Swandaru, “besok kau akan kembali ke padukuhanmu dan membawa kawan-kawanmu menyerang Sangkal Putung. Itu tidak bijaksana.”
Wita menggeretakkan giginya. Katanya, “Tidak. Aku tidak akan melakukannya, kalau kalian menjadi ketakutan.”
“Benar begitu?”
“Benar. Aku bukan pengecut yang licik.”
“Bagus. Marilah anak ini kita tangkap beramai-ramai,” Swandaru berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi niat kami hanyalah menghentikan agar kau tidak lagi memukul setiap kentongan di Sangkal Putung.”
“Aku tidak peduli. Cepat. Kalau kalian akan berkelahi berbareng.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Anak semacam ini memang perlu diperingatkan. Tetapi agaknya Wita memang seorang anak muda yang mempunyai kelebihan. Karena itu, Swandaru pun merasa bahwa ia harus berhati-hati. Belum lagi ia sempat mentertawakan Agung Sedayu karena pakaiannya yang basah kuyup dan yang belum sempat diceritakan seluruhnya apa sebabnya, ternyata di padukuhan ini pun timbul pula masalah yang hampir serupa, meskipun landasannya berbeda.
Swandaru terperanjat ketika tiba-tiba saja Wita berteriak, “Ayo, siapa yang dahulu?”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia maju mendekat sambil berkata, kali ini dengan bersungguh-sungguh, “Wita, apakah kau benar-benar akan berkelahi?”
“Apakah kau takut, meskipun kalian datang bersama sekian banyak orang?”
Swandaru harus berusaha untuk tetap dapat mengendalikan dirinya, agar ia tidak berbuat sesuatu yang dapat membuat kesulitan di kemudian hari. Namun sikap Wita benar-benar telah membuatnya marah, meskipun ia masih belum berbuat apa-apa.
“Wita,” berkata Swandaru, “kita belum berkenalan secara pribadi. Kenapa tiba-tiba saja kita sudah bermusuhan seolah-olah kita pernah terlibat dalam persoalan yang gawat?”
“Jangan banyak bicara. Kalau kalian mau mengeroyok aku, cepat lakukan. Aku sudah mulai mengantuk.”
“Baik,” sahut Swandaru, “kita akan mengeroyokmu karena kau sendiri yang menantang. Kami akan mengikatmu di tiang gardu, sedang satu tanganmu akan kami lepaskan agar kau dapat membunyikan kentongan semalam suntuk. Bukankah itu kegemaranmu?”
Wita tidak menjawab, tetapi ia melangkah mendekati Swandaru sambil membentak, “Cepat! Ayo, siapa yang maju?”
“Mari, mari,” berkata Swandaru, “kita tangkap anak ini bersama-sama. Bukankah kita sering menangkap bajing bersama-sama di masa kanak-kanak? Sekarang kita akan menangkap celeret gombel,” Swandaru berhenti sejenak. Lalu, “He, Wita, bukankah kau pernah melihat celeret gombel? Celeret gombel yang hanya sebesar jari itu pasti dengan sombong mencoba mengguncang-guncang pohon betapa pun besarnya, seolah-olah ia tidak yakin bahwa pohon itu kuat menahan tubuhnya.”
Wita yang merasa sindiran Swandaru itu bagaikan pisau yang tergores di jantungnya, benar-benar tidak dapat menahan hati lagi. Ia mengerti maksud itu. Bahkan ia mengerti. bahwa Swandaru menganggapnya seperti seekor celeret gombel yang tidak tahu diri.
Karena itu, Wita tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia menyerang Swandaru yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Swandaru yang marah itu masih sempat memancing serangan Wita. Namun Swandaru itu pun ternyata kini telah menjadi semakin dewasa pula, sehingga ia masih dapat mengendalikan dirinya untuk tidak berbuat berlebih-lebihan.
Dengan demikian, ketika ia melihat Wita menyerangnya, Swandaru itu pun segera menghindar. Ia tidak langsung menyerang tengkuk lawannya sehingga pingsan. Tetapi ia pun mencoba menyentuh pundaknya dengan tangan kirinya.
Tetapi Wita masih sempat menghindar pula. Sambil menggeliat, ia memutar tubuhnya, sehingga serangan Swandaru yang tidak bersungguh-sungguh itu, tidak mengenai sasarannya.
Ternyata Wita salah mengerti terhadap serangan itu. Ia tiba-tiba saja merasa dirinya benar-benar seorang yang cukup lincah dan tangkas. Karena itu, maka dengan garangnya ia telah menyerang Swandaru dengan kakinya, langsung mengarah lambung.
“Anak bengal,” desis Swandaru di dalam hatinya. Serangan Wita itu telah membuatnya semakin tidak senang. Tetapi ia tidak ingin mencelakai anak muda yang bukan anak Sangkal Putung itu sendiri. Karena itu, betapa pun kemarahan membara di hatinya, namun Swandaru masih tetap menahan diri. Sehingga dengan demikian, ia hanya berusaha untuk menghindari serangan-serangan yang kemudian datang bagaikan banjir bandang.
Tetapi semakin seru Wita menyerang, semakin sadarlah lawannya, bahwa sebenarnya Wita adalah anak muda yang sedang di dalam perkembangan ilmu kanuragan yang dituntutnya, itulah sebabnya ia merasa dirinya tidak terkalahkan oleh siapa pun juga.
Agung Sedayu yang melihat perkelahian itu di dalam keremangan malam pun menarik nafas dalam-dalam. Kali ini ia memuji di dalam hati, “Untunglah bahwa Swandaru tidak dihinggapi penyakitnya, sehingga ia tidak berbuat hal-hal yang aneh atas anak muda itu. Agaknya Wita baru saja mulai berguru kepada seseorang, sehingga ia masih merasa perlu untuk menilai ilmu yang sedang dituntutnya. Sayang bahwa sikapnya terlampau kasar dan sombong.”
Demikianlah, Wita semakin lama menjadi semakin garang. Tetapi Swandaru sama sekali tidak berusaha menghentikannya dengan serangan yang berbahaya. Dibiarkannya saja Wita meloncat-loncat dan berputar-putar.
“Ia akan kelelahan sendiri,” berkata Swandaru.
Kiai Gringsing dan Sumangkar masih juga menunggui perkelahian itu. Tetapi mereka tidak lagi menjadi tegang melihat sikap Swandaru. Agaknya Swandaru kali ini benar-benar masih dapat mengendalikan diri, meskipun ia telah menjadi marah melihat sikap Wita.
“Biarlah aku kembali ke kademangan,” berkata Sumangkar. “Ki Demang dan anak-anak muda yang masih tinggal akan menjadi gelisah dan mungkin di luar keinginan kita, mereka akan melakukan hal-hal yang tidak wajar, apabila mereka berdatangan ke mari.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya sambil mengangguk-angguk, “Baiklah. Aku akan menunggui Swandaru. Mudah-mudahan ia tidak kehilangan kesabaran.”
Sumangkar pun kemudian kembali ke kademangan untuk menenteramkan anak muda yang masih tinggal. Mereka harus tahu, bahwa sebenarnya tidak terjadi sesuatu yang perlu dicemaskan.
Demikianlah, Swandaru masih berkelahi. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi anak-anak muda dan orang-orang yang ada di sekitarnya pun segera mengetahui, bahwa Swandaru mampu mengatasi lawannya tanpa berbuat dengan bersungguh-sungguh. Bahkan kadang-kadang Swandaru hanya sekedar mendorong lawannya apabila ia menyerang, sehingga atas dorongan kekuatan sendiri dan sentuhan tangan Swandaru, Wita telah terjerembab di tanah.
Tetapi agaknya Wita sendiri tidak menyadari. Ia masih bertempur sekuat tenaganya. Ia merasa bahwa Swandaru belum pernah mengenainya pada tempat-tempat yang berbahaya. Karena itu, maka ia masih tetap salah mengerti. Disangkanya, Swandaru memang tidak mampu berbuat lebih dari yang dilakukannya itu.
Demikianlah, perkelahian itu berlangsung terus. Dan Agung Sedayu pun mengerti, Swandaru akan membiarkan lawannya menjadi lelah sendiri.
Namun ternyata, bahwa nafas Wita cukup panjang. Setelah bertempur sekian lama, nafasnya masih juga mengalir dengan teratur.
Karena itu, maka Swandaru pun kemudian menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan tetap mempergunakan cara yang sudah dimulainya itu untuk memaksa Wita mengakui kelemahannya?
“Tetapi aku akan memerlukan waktu yang lama,” berkata Swandaru di dalam hati. “Apakah anak-anak di pendapa itu tidak menjadi gelisah dan bahkan menyusul aku ke mari? Jika demikian, maka nasib Wita tidak akan dapat dibayangkan lagi. Kalau anak-anak itu menjadi marah, maka akibatnya tidak akan menguntuhgkan bagi siapa pun juga.”
Namun selagi Swandaru berada dalam keragu-raguan itu Agung Sedayu agaknya dapat melihat, karena sikapnya yang tidak menentu. Kadang-kadang Swandaru tampak ingin tetap menghindarkan diri dari setiap benturan yang terjadi dan membiarkan Wita berhenti dengan sendirinya. Tetapi kadang-kadang ia bersikap lain. Kadang-kadang ia mulai bersikap keras.
Karena itu, agar Swandaru tidak berbuat sesuatu yang dapat membahayakan lawannya, Agung Sedayu berkata, “Kau mempunyai waktu yang panjang, Swandaru. Paman Sumangkar telah kembali ke kademangan untuk mengabarkan, bahwa sebenarnya tidak terjadi apa-apa di sini.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu, tiba-tiba saja ia tertawa sambil menyahut, “Apakah kau tahu apa yang aku pikirkan?”
“Sikapmu yang ragu-ragu.”
“Ah, aku sama sekali tidak ragu-ragu. Aku sudah menentukan sikap yang pasti menghadapi keadaan ini.”
“Tetapi kadang-kadang kau kehilangan pegangan. Kadang-kadang kau bersikap hampir bersungguh-sungguh.”
“Mungkin, tetapi bukan maksudku. Aku tetap pada pendirianku, bahwa aku akan dapat menghentikannya dengan cara ini.”
“Teruskan, cara yang kau tempuh sudah baik.”
“Diam, diam!” tiba-tiba Wita menjerit. Ia benar-benar merasa terhina, bahwa Swandaru masih sempat berbicara dengan Agung sedayu selagi ia berkelahi. Bahkan Wita merasa telah mengerahkan segenap kemampuannya. Karena itu, sikap Swandaru yang berbicara seenaknya membuatnya benar-benar menjadi sakit hati.
“Kau terlalu sombong anak gemuk,” geram Wita. “Aku akan membuktikan, bahwa aku akan memenangkan perkelahian ini.”
“Marilah kita lihat,” berkata Swandaru, “kalau kau berhasil, aku sembah kau.”
Wita tidak menyahut. Tetapi dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk menekan lawannya. Tetapi Swandaru masih bertempur sambil tersenyum-senyum. Kadang-kadang ia menghindar, kadang-kadang berloncatan surut, bahkan hampir berlari-lari.
“Licik, pengecut. Jangan lari.”
“Aku tidak akan lari. Aku sedang menghindar. Bukankah di dalam perkelahian yang mana pun, seseorang diperbolehkan menghindar? Maksudku, bukankah menghindar itu bukan perbuatan licik?”
“Persetan!” teriak Wita. Dengan demikian, maka ia pun menjadi semakin garang. Serangan-serangannya datang membadai tanpa henti-hentinya. Tetapi ternyata, bahwa ia sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh lawannya, yang dengan lincah dan sigap menghindarinya.
Namun lambat laun Wita pun menyadari, bahwa sebenarnya Swandaru tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh. Bahwa sebenarnya Swandaru hanya sekedar memancingnya untuk menyerang dan menyerang, tanpa melakukan perlawanan.
Tetapi kesadaran itu datangnya telah terlambat. Betapapun panjang nafasnya, namun akhirnya ia pun menjadi terengah-engah. Tenaganya semakin susut, sehingga serangannya menjadi semakin tidak terarah.
Namun demikian, Swandaru masih tetap memancingnya. Kadang-kadang ia berdiri selangkah di depannya. Kemudian meloncat dengan cepatnya, hampir tidak diketahui bagaimana mungkin dilakukan, anak itu sudah berada di sisinya.
Wita yang hampir kehabisan nafas itu sudah hampir tidak mampu berbuat apa-apa. Dalam keadaan yang demikian Swandaru menjadi kambuh lagi. Sekali-sekali ia menepuk bahu Wita sambil berdesis, “He, he, apakah kau mencari sasaran yang paling baik di tubuhku? Ini, lihatlah. Kalau kau berhasil mengenainya, aku menyerah,” berkata Swandaru sambil menunjukkan dahinya. “Kau tidak usah memukul sampai kepalaku pening. Kalau kau berhasil menyentuh saja, kau menang.”
“Gila!” teriak Wita. “Kau pun tidak dapat melakukannya.”
“He, kau sangka aku tidak dapat menyentuh dahimu?”
“Tidak.”
Belum lagi mulut Wita terkatup, tangan Swandaru telah mendorong dahinya sehingga ia hampir terjatuh.
“Kau bilang aku tidak mampu?”
“Curang. Aku belum mapan.”
“O, begitu?”
Tetapi tenaga Wita benar-benar sudah habis. Nafasnya seperti akan terputus di tenggorokan.
“Bagaimana?” bertanya Swandaru.
“Persetan!” desis Wita, “Ayo, keroyok aku.”
“Ah,” Swandaru berdesis, namun ia pun kemudian tertawa, “jangan menipu diri sendiri. Berkatalah sebenarnya, bahwa kau sudah tidak mampu lagi untuk berkelahi. Aku pun akan berhenti pula, dan kita mulai berbicara dengan mulut.”
“Tidak ada yang akan kita bicarakan. Serang aku atau kalian pergi dari sini.”
“Kemana aku dan anak-anak muda Sangkal Putung harus pergi? Ini padukuhan dan kademangan kami.”
“Persetan, persetan!”
Ternyata sifat yang keras itu sangat menjengkelkan Swandaru. Maka katanya, “Wita, apakah kau tidak melihat kenyataan yang kau hadapi?”
“Aku akan berkelahi terus. Aku adalah laki-laki. Tidak seorang pun yang dapat memaksakan kehendaknya atasku, … uh …” suaranya terputus. Swandaru yang benar-benar telah menjadi jengkel, telah memukul pipi Wita yang sedang berbicara itu sehingga suaranya patah.
Sejenak Wita berdiri sambil meraba-raba pipinya. Ia tidak dapat ingkar, bahwa pipinya menjadi sakit sekali. Sentuhan tangan Swandaru yang gemuk itu ternyata telah benar-benar membuatnya menyeringai.
“Nah, apa katamu?” bertanya Swandaru. “Aku dapat berbuat lebih banyak. Bukan sekedar memukul pipimu. Aku dapat merontokkan gigimu dan membuat kau pingsan, seperti kawanku itu.”
Wita menggeretakan giginya. Tetapi ia sadar bahwa ia berhadapan dengan Swandaru, yang lain dari anak-anak muda Sangkal Putung yang telah dikalahkannya.
Tetapi ternyata, Wita sama sekali tidak menerima kekalahannya dengan ikhlas. Pipinya yang sakit telah membakar dendam di hatinya. Sehingga karena itu, tanpa berkata sepatah pun ia meninggalkan tikungan itu.
Swandaru tidak berusaha mencegahnya. Bahkan ketika seorang anak muda meloncat maju dan memandanginya dengan heran, ia berkata, “Aku tahu. Ia mendendam. Tetapi jika aku berbuat lebih banyak, dendam di hatinya akan menjadi semakin menyala. Dari manakah sebenarnya anak itu?”
“Ia adalah anak Semangkak.”
“Semangkak? Kenapa aku belum pernah mengenalnya?”
“Entahlah. Memang kita sudah banyak mengenal anak-anak dari padukuhan Semangkak. Tetapi kita belum pernah mengenal anak itu sebelumnya.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bergumam, “Tentu ada juga anak-anak Semangkak yang belum kita kenal dan belum mengenal kita. Dan kita tahu, siapakah anak-anak muda dari Semangkak dan apa saja yang pernah dilakukan selama ini, sehingga membuat para bebahu kademangannya dan orang-orang tua di Semangkak sendiri menjadi pening.”
“Ya. Ternyata anak-anak Semangkak sendiri telah terpecah. Yang separo tidak lagi menghendaki cara hidup yang tidak wajar, sedang yang lain masih saja tidak mau meninggalkan jalan mereka yang sesat, sehingga tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan di antara mereka di Semangkak.”
Swandaru mengangguk-angguk, perlahan-lahan ia berdesis, “Kita tidak tahu, dari lingkungan yang manakah Wita itu.”
“Menilik sikapnya sebelum ini, ia termasuk anak yang tidak banyak tingkah. Tetapi ternyata, sekarang kita harus berpikir lain.”
Swandaru mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Terbayang dendam anak Semangkak itu dapat menyala semakin besar. Apalagi apabila ia termasuk lingkungan anak-anak yang justru membuat keluarga Semangkak sendiri menjadi sulit.
“Sudahlah,” berkata Swandaru kemudian, “kita kembali ke kademangan. Mudah-mudahan, Wita tidak mempersoalkannya lebih jauh.”
“Besok kita akan melihat, apakah ia masih berada di rumah pamannya atau tidak. Jika tidak, kita harus bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.”
Swandaru tidak menyahut. Dipandanginya jalan yang gelap, yang seakan-akan telah menelan Wita beberapa saat yang lalu. Sekilas terbayang di kepalanya, beberapa waktu yang lampau, anak-anak muda Sangkal Putung berkeliaran hampir di setiap sudut kademangan, untuk mengawasi kemungkinan orang-orang Tohpati yang menyusup masuk ke kademangannya.
“Apakah sekarang kita harus berbuat seperti itu, sekedar untuk menghadapi anak-anak dari kademangan yang lain?” katanya di dalam hati.
Tetapi Swandaru tidak mengucapkannya. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Marilah kita kembali ke kademangan. Jangan hiraukan lagi Wita, setidak-tidaknya untuk malam ini.”
Agung Sedayu yang selama itu berdiri diam di samping gurunya, mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Swandaru, Wita itu dapat diabaikan, setidak-tidaknya untuk malam ini. Entahlah untuk besok atau lusa.
Demikianlah maka mereka yang berkerumun di tikungan itu pun segera bubar. Ada yang kembali ke kademangan, tetapi orang-orang tua, kembali pulang ke rumah masing-masing, meskipun ada juga satu dua orang yang duduk-duduk di gardu terdekat. Mereka masih saja memperbincangkan peristiwa yang baru saja terjadi.
Di kademangan, ternyata cerita tentang Wita itu pun segera menjalar dari mulut ke mulut. Setiap orang yang ada di pendapa pun segera mengetahui apa yang telah terjadi.
“Ada-ada saja,” gumam Ki Jagabaya, “persoalan anak-anak muda jaman ini memang membuat kepala ini menjadi botak.”
Ki Demang memandang wajah Ki Jagabaya yang tegang sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Persoalan yang perlu mendapat perhatian yang mendalam.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun pembicaraan itu pun segera terputus. Ia mendengar gelak yang meledak di antara anak-anak muda yang duduk di sudut. Ternyata mereka sudah mulai berkelakar kembali.
Pendapa kademangan itu pun menjadi riuh kembali. Ki Demang yang duduk di sebelah Ki Jagabaya berkata, “Anak-anak muda sebanyak ini, bahkan jauh lebih banyak lagi, memerlukan perhatian. Jika mereka kehilangan pegangan apa yang sebaiknya mereka lakukan, maka kita akan dihadapkan pada tanda bahaya yang tidak kalah dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pasukan Tohpati saat itu.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Anak-anak yang tumbuh semakin dewasa, ingin juga menunjukkan sifat kejantanan dan kepahlawanan seperti kakak-kakaknya. Tetapi, sasaran mereka kini tidak tersedia seperti pada saat Tohpati ada di luar kademangan ini, sehingga kadang-kadang mereka menimbulkan persoalan tersendiri.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Dengan nada rendah ia menyahut, “Untunglah, bahwa anak-anak muda di Sangkal Putung sampai saat ini masih tetap terkendali. Mudah-mudahan kita tidak menghadapi kesulitan yang akan mereka timbulkan kemudian.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun merasa beruntung bahwa anak-anak muda Sangkal Putung masih menyadari kedudukannya. Mereka masih tetap menyadari, bahwa masa depan Sangkal Putung ada di tangan mereka, sehingga mereka tidak menyia-nyiakan masa muda mereka.
“Sebagian terbesar dari anak-anak muda kita yang ikut di dalam perjuangan menyelamatkan Sangkal Putung, masih ada di antara mereka,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “sehingga mereka masih tetap menyadari arti dari perjuangan itu sepenuhnya.”
“Kita harus berhati-hati, Ki Jagabaya. Kalau kita lengah, maka peristiwa-peristiwa yang tidak kita kehendaki, dapat saja tumbuh di kademangan ini.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Di sebelah mereka, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun hanya duduk sambil berdiam diri. Mereka memandangi anak-anak muda yang berkelakar dengan gembira, hampir semalam suntuk. Swandaru sendiri duduk bersandar dinding sambil terkantuk-kantuk. Sedang Agung Sedayu hanya tersenyum-senyum saja menanggapi kelakar anak-anak muda Sangkal Putung.
Anak-anak muda itu seakan-akan tersadar, dari suasana yang telah memukau mereka, ketika mereka mendengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Ketika mereka berpaling ke halaman, mereka pun telah melihat bayangan kemerah-merahan di pepohonan.
“Fajar,” desis salah seorang dari mereka.
“O, ternyata kita berada di pendapa ini semalam suntuk.”
“Ya. Marilah kita pulang. Siang nanti aku masih harus menyelesaikan garapan di sawahku.”
Anak-anak itu pun kemudian minta diri dan pulang ke rumah masing-masing. Tetapi ada juga di antara mereka yang malas berjalan pulang. Mereka langsung berkerudung kain panjang dan berbaring di pendapa Kademangan Sangkal Putung.
“Kepalang tanggung untuk pulang,” desis salah seorang dari mereka, “aku akan tidur saja di sini. Nanti, kalau nasi sudah masak, barulah aku pulang.”
Swandaru tidak dapat mengusir mereka. Namun ia pun terpaksa ikut tidur di pendapa itu pula, menghabiskan ujung malam yang masih tersisa. Demikian pula dengan Agung Sedayu. Ia tidak dapat meninggalkan mereka yang berbaring silang-menyilang di antara daun-daun pembungkus makanan yang masih berserakan.
Tetapi Kiai Gringsing, Sumangkar, Ki Demang, Ki Jagabaya, dan orang-orang tua yang lain pun meninggalkan pendapa yang menjadi lengang. Mereka pun segera pergi ke bilik masing-masing dan yang lain pulang ke rumah.
Namun demikian, terutama Ki Demang dan Ki Jagabaya, masih juga memikirkan akibat yang dapat timbul oleh persoalan yang tampaknya terlampau kecil. Persoalan yang seakan-akan begitu saja dapat dilupakan, tetapi yang sebenarnya akan dapat menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.
Sebenarnyalah, di pagi-pagi buta, Wita telah minta diri kepada pamannya untuk segera pulang ke Semangkak.
“He, kenapa begitu tergesa-gesa? Bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau akan berada di sini sampai ayahmu menjemputmu, atau bahkan kau akan tetap tinggal di sini? Aku memerlukan bantuanmu menjelang bertanam padi di musim mendatang.”
“Aku hanya akan menengok ayah dan ibu sebentar saja, Paman. Mungkin sehari atau dua hari. Aku akan segera kembali.”
“Apakah kau mempunyai keperluan khusus, yang agaknya kau segan mengatakannya?” bertanya bibinya.
“Tidak, Bibi. Tidak apa-apa. Aku hanya akan menengok keluarga di Semangkak barang sehari dua hari. Sudah lama aku tinggal di sini. Aku sudah ingin melihat adik-adikku meskipun hanya sekilas.”
Paman dan bibinya memang merasa agak curiga. Tetapi mereka tidak dapat mencegahnya. Karena itu, Wita diberinya bekal uang sedikit yang barangkali diperlukan di perjalanan.
Baru ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan Wita telah menjadi semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung, pamannya mendengar peristiwa yang telah terjadi semalam.
“O, jadi. Wita telah berbuat onar di sini? Aku memang mendengar bunyi kentongan berturut-turut. Tetapi kenapa aku tidak mendengar bahwa di tikungan sebelah telah terjadi keributan?” berkata paman Wita kepada tetangganya, yang memberitahukan persoalan kemanakannya.
“Tidak banyak yang mendengar. Hanya, orang-orang yang tinggal di sebelah-menyebelah tikungan itu saja.”
Pamannya berpikir sejenak. Lalu, “Kalau begitu aku akan menyusulnya. Aku akan pergi ke Semangkak menemui kakang, ayah Wita. Anak itu harus mendapat pengertian, bahwa yang dilakukan itu sama sekali tidak baik baginya, bagiku, dan bagi orang tuanya sendiri.”
Tetangganya tidak menyahut. ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Sebaiknya aku menemui Swandaru dan Ki Demang, sebelum aku pergi ke Semangkak,” berkata paman Wita.
“Itu lebih baik,” sahut tetangganya, “kau akan mendapat penjelasan yang jelas, apa yang sebenarnya telah terjadi.”
Paman Wita itu pun kemudian dengan dada yang berdebar-debar pergi ke kademangan. Ia kenal benar dengan kemanakannya yang tampaknya baik dan diam. Tetapi kadang-kadang hatinya memang meledak-ledak, sehingga orang tuanya sendiri menjadi cemas akan perkembangannya. Itulah sebabnya Wita diserahkan kepadanya, yang mempunyai pengaruh agak kuat pada anak itu. Biasanya Wita menurut apa yang dikatakan oleh pamannya. Namun pada suatu saat, Wita telah membuat pamannya itu menjadi gelisah.
Di kademangan, paman Wita berhasil menemui Swandaru. Bahkan Ki Demang pun ikut menemuinya pula.
“Ada baiknya kau pergi ke Semangkak,” berkata Ki Demang. “Kau dapat memberi penjelasan kepada orang tuanya, supaya tidak salah paham. Siapakah sebenarnya kakangmu yang tinggal di Semangkak itu?” bertanya Ki Demang kemudian.
Paman Wita mengerutkan keningnya. Apakah kira-kira Ki Demang sudah mengenal kakaknya yang tinggal di Semangkak?
“Kakakmu laki-laki atau perempuan?” desak Ki Demang.
“Saudaraku adalah ibu Wita,” jawab paman Wita itu, “tetapi ayahnya pun masih ada sangkut pautnya, meskipun sekedar muntu katutan sambel.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Siapakah nama bapaknya?”
“Santa,” jawab paman Wita, “orang memanggilnya Santa duwur.”
“O,” Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya pula, “aku sudah mengenalnya. Memang ada dua Santa yang aku kenal di Semangkak. Yang seorang pendek dan yang seorang tinggi. Kakakmu adalah Santa yang tinggi itu.”
“Ya, Ki Demang.”
“Ia adalah suami kakak perempuanmu.”
“Ya. Kakak perempuanku yang sulung.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu katanya, “Baiklah kau menemuinya. Seingatku, Santa termasuk orang yang keras hati juga. Agaknya sifatnya itu menurun pada anaknya.”
Demikianlah, maka paman Wita hari itu memerlukan menyusul kemanakannya. Ia mempunyai dugaan, bahwa Wita menaruh dendam kepada anak-anak Sangkal Putung.
Karena itu, ia harus segera sampai ke Semangkak dan menemui kakaknya.
“Tetapi agaknya Kakang Santa tidak lagi merasa mampu mengendalikan anaknya. Betapapun keras hatinya, namun ternyata bahwa ia tidak berhasil menundukkan hati anaknya, sekedar dengan kekerasan,” berkata paman Wita di dalam hatinya.
Demikianlah, maka sebelum matahari sampai ke puncak langit, paman Wita sudah sampai ke rumah kakaknya. Ternyata kedatangannya telah mengejutkan seisi rumah itu.
“O, baru saja Wita datang, kau sudah menyusulnya. Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya kakaknya.
Paman Wita menggeleng sambil tersenyum, “Tidak, Kakang. Tidak ada apa-apa. Bahkan aku khawatir, kenapa tiba-tiba saja Wita kepingin pulang.”
Kakaknya suami isteri menarik nafas lega. Sambil tersenyum Santa berkata, “Aku sudah kecemasan melihat kedatanganmu. Syukurlah kalau tidak ada apa-apa terjadi di Sangkal Putung.”
“Tidak, Kakang. Memang tidak ada apa-apa,” paman Wita terdiam sejenak. Lalu, “Di mana Wita sekarang?”
“Entahlah. Mungkin ia menemui kawan-kawannya setelah sekian lama tidak ketemu.”
“Apakah ia tidak mengatakan sesuatu?”
Santa mengerutkan keningnya. “Maksudmu?” ia bertanya.
“Tidak apa-apa. Maksudku, apakah Wita mempunyai suatu keperluan yang penting, tetapi ia tidak berani berterus terang? pakaian misalnya, atau apa pun yang lain?”
Tetapi ayah dan ibunya menggelengkan kepalanya. “Ia tidak mengatakan apa-apa.”
Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sikapnya ternyata membuat ayahnya menjadi curiga, sehingga ia mendesaknya, “Apakah sebenarnya yang terjadi?”
Pamahnya tidak segera menjawab, tetapi ia bertanya, “Di mana Wita sekarang?”
Santa mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia menjawab, “Aku tidak tahu. Ia pergi kepada kawan-kawannya.”
Pamannya mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak segera berkata sesuatu.
Ibu Wita-lah yang kemudian berdiri memanggil adik Wita. Kepadanya ia bertanya, “Di mana kakakmu?”
“Ia pergi ke gardu, Ibu.”
“Ke gardu? Apakah kerjanya di sana?”
Adiknya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu, ia berada di gardu bersama beberapa orang.”
“Beberapa orang?”
“Ya. Dengan anak-anak muda sebaya Kakang Wita. Agaknya Kakang sedang bercerita. Tetapi aku tidak boleh mendekat.”
Paman Wita mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Coba, lihatlah, apakah ia masih di gardu itu.”
Adik Wita itu memandang ayahnya sejenak. Ketika ayahnya menganggukkan kepalanya, maka anak itu pun segera berlari ke luar.
Sepeninggal anak itu, maka barulah pamannya berterus terang apa yang terjadi. Apa yang sudah dilakukan oleh Wita, sehingga telah terjadi bentrokan antara Wita dengan anak-anak Sangkal Putung.
“Gila!” orang tuanya menggeram, “Wita memang pantas dihajar, ia membuat aku malu. Aku kenal baik dengan Demang Sangkal Putung. Kelakuannya ternyata telah membuat aku malu. Anak itu memang pantas dihajar.”
“Jangan,” cegah pamannya. Lalu, “Jangan dengan cara itu.”
Ibu Wita pun menjadi pucat. Setiap kali ia melihat suaminya menghajar anak-anaknya, ia hanya dapat menekan dadanya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi ketakutan dan sama sekali tidak tahu apa yang pantas dilakukan.
“Lalu, mau kau apakan anak itu?” bertanya ayahnya kepada adik iparnya.
“Kita mencari jalan lain. Tetapi kalau anak itu dipaksa dengan kekerasan, pada saat-saat serupa ini, akibatnya tidak akan menguntungkan baginya dan bagi keluarga ini.”
“Anak itu membuat aku menjadi gila,” gumam ayahnya. “Tentu ia mengumpulkan kawan-kawannya. Tentu ia akan membalas dendam kepada anak-anak Sangkal Putung.”
“Mungkin,” jawab pamannya. Tetapi, sebelum ia meneruskan kata-katanya, adik Wita sudah berlari-lari masuk ke ruangan itu sambil berkata, “Anak-anak yang berkumpul di gardu menjadi semakin banyak.”
“Nah, apa kataku. Aku harus mencegahnya.”
Paman Wita menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi kecemasan yang sangat telah merambat di dadanya. Ia sadar, bahwa anak-anak Semangkak adalah anak-anak yang mempunyai ikatan yang kuat satu dengan yang lain, sehingga tidak mustahil bahwa Wita telah mempengaruhi kawan-kawannya untuk membalas sakit hatinya.
“Aku akan pergi ke gardu,” berkata ayah Wita.
“Tunggu,” berkata isterinya, “jangan bertindak terlampau keras di hadapan kawan-kawannya. Ia akan tersinggung dan justru akan berbuat lebih kasar lagi.”
“Aku tidak peduli.”
“Biarlah aku menemuinya,” berkata paman Wita, “aku akan mencoba memanggilnya pulang.”
“Biarlah pamannya yang memanggilnya,” berkata ibu Wita.
Ayahnya berpikir sejenak. Lalu, “Baiklah. Panggillah pulang.”
Paman Wita itu pun segera pergi ke gardu yang ditunjukkan oleh kemanakannya yang kecil. Tetapi ia menjadi termangu-mangu, ketika ia melihat anak-anak muda yang berkumpul di gardu itu. Sehingga karena itu langkahnya terhenti.
“Apakah kakangmu ada di antara mereka?” bertanya paman Wita.
“Ya, Paman.”
“Panggil ia kemari. Aku akan berbicara.”
Adik Wita itu mengerutkan lehernya. Katanya, “Kakang tentu akan marah kepadaku.”
Pamannya tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian melangkah mendekati gardu yang penuh dengan anak-anak muda.
Tetapi ketika ia sampai di dekat gardu itu, ia menjadi heran. Tidak seorang pun yang memperhatikannya Tampaknya mereka sedang sibuk sendiri, dan bahkan dengan herannya ia mendengar beberapa orang di antara mereka sedang bertengkar.
“Aku tidak mau ikut campur,” terdengar seseorang berbicara mengatasi suara kawan-kawannya.
“Terserah kepadamu. Tetapi kau akan terpencil dari lingkungan kami, bahkan kami tidak akan bertanggung jawab terhadap keselamatanmu.”
“Ayo, siapa berani melawan aku sekarang? Jangan mengancam. Kalau ada yang merasa berkeberatan karena aku tidak ikut-ikutan berbuat gila itu, katakan sekarang. Aku tidak takut. Dua atau tiga orang sekaligus termasuk Wita sendiri.”
“Gila,” dengus Wita.
Tetapi kawannya itu menjawab, “Jangan kau sangka bahwa kau adalah anak yang paling kuat di Semangkak. Kau telah mencemarkan nama baik padukuhan kita. Sekarang kau membujuk anak-anak mudanya untuk berbuat gila di Sangkal Putung. Apakah kau sangka tindakan semacam itu benar dan baik?”
“Tutup mulutmu. Kalau tidak ikut, pergi saja dari sini.”
“Sekehendakku. Aku anak Semangkak. Aku boleh berada di mana saja di padukuhan ini.”
“Jangan keras kepala. Kau akan benar-benar terpencil dan nasibmu ada di tangan kami.”
“Persetan. Aku berani menghadapi akibat itu. Kalian mau apa? Dan jangan di sangka bahwa aku berdiri sendiri. Coba, siapakah dari anak-anak muda sebelah selokan ada di sini dan mau membantu kalian? Tidak ada. Mereka menyadari kebodohan cara yang kalian tempuh sekarang. Dan siapakah di antara kalian yang tidak mengenal Jumena, Data, Urip dan Wana? Ayo katakan, siapakah yang dapat mengimbangi kemampuan mereka berkelahi? Tetapi mereka tidak mau berpihak kepadamu, meskipun mereka anak-anak Semangkak juga, karena mereka tidak mau melibatkan diri dalam perbuatan yang bodoh itu.”
Sejenak anak-anak muda itu terdiam. Namun tiba-tiba Wita berteriak, “Persetan dengan mereka. Aku adalah salah seorang dari mereka sebelumnya, seperti kau juga. Tetapi kalau kalian meninggalkan ikatan persahabatan ini karena kalian telah menjadi pengecut, aku tidak peduli.”
“Terserah. Aku sudah berusaha mencegah kalian. Kalian akan mengalami bencana yang tidak pernah kalian duga-duga di Sangkal Putung. Kita, lebih-lebih kakak-kakak kita, pasti mengetahui, apa yang pernah dilakukan oleh anak-anak muda Sangkal Putung pada saat daerah ini masih dibayangi oleh pasukan Tohpati yang menggetarkan itu.”
“Mereka tidak berbuat apa-apa. Pasukan Pajang yang berada di Sangkal Putung itulah yang telah berbuat banyak, untuk menyelamatkan kademangan itu.”
“Terserah. Terserah. Aku tidak akan ikut campur.”
“Aku tidak peduli!” geram Wita.
Sejenak kemudian, anak-anak yang berkerumun itu mulai menyibak. Dari antara mereka, seseorang melangkah tergesa-gesa meninggalkan gardu itu, itulah agaknya anak muda yang tidak mau ikut campur dengan kawan-kawannya, yang ternyata telah dibakar oleh keinginan untuk berkelahi, untuk sekedar menunjukkan bahwa mereka adalah laki-laki.
Ternyata paman Wita mengetahui gelagat yang tidak menguntungkan itu. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui kemanakannya. Ia yakin bahwa dalam keadaan serupa itu, kata-katanya tidak akan didengarnya. Karena itu, maka ia ingin menunggu saat yang lebih baik, karena menurut perhitungannya, anak-anak Semangkak itu pasti menunggu senja untuk bertindak.
Karena itu, maka sebelum anak-anak muda itu menyadari kehadirannya, maka ia pun segera menyelinap ke dalam sebuah tikungan kecil dan berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu, menjauhi gardu sambil menggandeng adik Wita.
“Kemana kita, Paman?”
“Kita pulang ke rumahmu. Apakah ada jalan yang sampai ke sana lewat jalan ini?”
“Ada. Jalan ini memang akan tembus ke jalan di belakang rumah kami. Dan kami dapat memasuki kebun belakang lewat pintu regol butulan.”
“Marilah.”
Keduanya pun kemudian berjalan semakin cepat lewat jalan sempit. Setelah meloncati parit dan beberapa kali berbelok, maka mereka pun kemudian sampai ke jalan yang akan melewati kebun belakang rumah Wita.
Kedatangan mereka yang tergesa-gesa mengejutkan ayah dan ibu Wita, sehingga dengan serta-merta mereka bertanya, “Kenapa dengan Wita?”
Pamannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak apa-apa. Tetapi aku tidak sempat menemuinya, karena ia sedang sibuk berbincang dengan kawan-kawannya.”
“O,” kedua orang tua Wita itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ayah Wita itu pun bertanya, “Kenapa kau lewat jalan belakang?”
Paman Wita termenung sejenak sambil memandang kemanakan yang diajaknya berjalan cepat-cepat melewati jalan sempit itu. Namun kemudian Paman Wita itu tersenyum. Katanya, “Anak itu ingin menunjukkan jalan lain untuk pulang ke rumahnya.”
Santa memandang anaknya sejenak. Namun tampak olehnya bahwa jawaban itu pasti bukan jawaban yang sebenarnya, karena sorot mata anaknya yang aneh.
Karena itu, maka ia pun mendesaknya, “Apakah yang sebenarnya dilakukan oleh anak itu?”
Paman Wita itu pun tidak segera dapat menjelaskan apa yang telah disaksikannya. Ia masih mencoba mencari, cara yang baik untuk mencegah hal itu. Jika ayah Wita menjadi marah dan tidak terkendali lagi, maka hal itu akan mendorong Wita menjadi semakin kasar dan mendendam.
“Apakah kau melihat sesuatu yang mencemaskan?” ayah Wita mendesak.
“Kakang,” berkata paman Wita itu kemudian, “memang tidak mudah mengurusi anak-anak muda saat ini.”
“Apa yang sudah mereka lakukan?”
“Memang ada usaha untuk membalas dendam.”
“Gila! Aku memang harus mencarinya.”
“Ia sudah pergi,” cepat-cepat paman Wita menyahut, “tetapi aku kira ia masih akan pulang. Aku tidak tahu pasti, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi kita mencoba menunggunya. Mungkin ia masih akan pulang, sebelum pergi ke Sangkal Putung.”
“Itulah yang mencemaskan. Suasana padukuhan ini menjadi semakin jelek karena anak-anak yang kehilangan arah. Wita memang harus dihajar.”
“Itu tidak akan menolong,” berkata iparnya, “kita harus menemukan suatu cara yang baik untuk menghindarkan anak-anak kita dari suasana yang suram itu.”
“Dengan kekerasan saja, mereka tidak jera. Apa yang dapat kita lakukan kemudian?”
“Mungkin dengan cara yang justru tidak kasar dan keras.”
“Persetan!” geram ayah Wita. “Aku sudah pening dibuatnya. Biar saja ia datang ke Sangkal Putung. Ia akan tahu, anak-anak muda Sangkal Putung tidak dapat dianggap ringan. Mereka telah terlatih menghadapi bahaya yang sebenarnya. Hampir seperti sepasukan prajurit.”
Paman Wita mengerutkan keningnya.
“Aku tidak peduli lagi,” Santa masih menggeram.
“Tetapi, tetapi, bagaimana kalau terjadi sesuatu atasnya?” ibu Wita-lah yang menjadi sangat cemas.
“Itu akan menjadi pelajaran baginya.”
“Kalau yang terjadi itu membahayakan? Ia adalah sebab dari keributan ini.”
“Biar saja, biar saja. Hanya ada dua jalan bagiku. Menyeretnya pulang dan menghajarnya, atau membiarkannya sama sekali.”
“Tetapi, ia tidak menyadari apa yang dilakukannya.”
“Anak itu sudah cukup besar untuk mengerti baik dan buruk. Aku tidak lagi dapat berbuat apa-apa. Ketika ia mempelajari olah kanuragan, sebenarnya aku sudah mencemaskannya jika ia tidak mendapat tuntunan, bukan saja lahir tetapi batinnya. Akibatnya ia senang berkelahi, karena ia dianggap salah seorang dari beberapa orang terbaik yang mendapat tuntunan olah kanuragan itu.”
“Siapakah gurunya?”
“Bekas seorang prajurit. Ia memberikan tuntunan itu bagi anak-anak muda di Semangkak bersama-sama. Penilikan seorang demi seorang agaknya memang kurang.”
Paman Wita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan menemuinya. Mudah-mudahan ia dapat mencegah murid-muridnya. Orang itu tentu mempunyai pengaruh yang kuat bagi anak-anak yang mendapat latihan daripadanya.”
Santa mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun menganggukkan kepalanya, “Cobalah. Temuilah orang itu. Kemanakanmu itu dapat mengantarkan kau.”
Demikianlah, dengan diantar oleh adik Wita, pamannya itu pergi ke rumah seorang bekas prajurit, yang selama ini memberikan bimbingan olah kanuragan kepada anak-anak muda Semangkak.
“Mudah-mudahan ia berada di rumah,” desis adik Wita.
“Apakah ia sering pergi?”
“Ya.”
“Kemana?”
“Adu ayam.”
“He?” paman Wita mengerutkan keningnya. “Jadi ia senang menyabung ayam?”
“Ya. Bukan saja menyabung ayam. Tetapi juga berjudi.”
Paman Wita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bekas prajurit itu sering menyabung ayam dan berjudi. Jadi apakah dengan demikian sikap dan tuntunan kerohanian bagi anak-anak latihnya dapat dipertanggung jawabkan?
Tetapi, paman Wita masih ingin membuktikan. Mudah-mudahan ia dapat mengerti, dan berusaha mencegah anak-anaknya untuk tidak melanjutkan usaha mereka melepaskan sakit hati anak-anak Sangkal Putung, karena anak-anak Sangkal Putung mempunyai kemampuan yang agak lebih baik dari anak-anak muda di padukuhan lain.
Karena itu, langkah paman Wita itu pun menjadi semakin cepat. Ia ingin segera menenangkan masalah yang sedang bergolak. Rasa-rasanya ia berdiri di atas padukuhan yang sedang membara dan siap untuk meledak.
“Itulah rumahnya,” berkata adik Wita.
“O,” pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya dadanya menjadi berdebar-debar. Kedatangannya mungkin akan dapat menimbulkan salah paham, karena ia dapat disangka telah mencampuri persoalan perguruannya.
“Tetapi yang dilakukan belum dapat digolongkan dalam bentuk perguruan, karena sifatnya yang terbuka,” berkata paman Wita di dalam hatinya. Namun demikian, ia masih tetap dibayangi oleh kecemasannya.
Sejenak kemudian, maka mereka berdua pun telah memasuki regol halaman rumah yang sedang. Tetapi nampaknya rumah itu agak kurang terpelihara. Beberapa bagian dari sudut-sudutnya telah berlubang, bahkan sebelah dindingnya telah miring.
“Agaknya penghuni rumah itu tidak sempat memelihara rumahnya,” berkata paman Wita di dalam hatinya.”
Sejenak ia berdiri termangu-mangu di depan pintu rumah yang tertutup itu. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah kemanakannya yang berkerut-merut.
“Benar di sini ia tinggal?” ia sekedar bertanya saja untuk melepaskan ketegangan di dadanya.
Kemanakannya menganggukkan kepalanya. Dengan tangan yang agak gemetar, maka paman Wita itu pun segera mengetuk pintu rumah yang tertutup itu.
“Mungkin ia tidak ada di rumah,” berkata adik Wita.
“Apakah ia tinggal seorang diri?”
“Tidak. Isterinya ada di rumah. Ia tidak pernah pergi kecuali membeli garam dan gula di pojok desa.”
Pamannya mengangguk-angguk. Sekali lagi ia mengetuk pintu.
“Siapa?” terdengar suara seorang perempuan.
“Itukah isterinya?” paman Wita berdesis.
Kemanakannya menganggukkan kepalanya, “Ya. Tidak ada orang lain di rumah itu.”
Sejenak kemudian, pintu rumah itu terbuka. Seorang perempuan setengah tua menjengukkan kepalanya dari sela-sela pintu. Namun sebelum paman Wita bertanya, perempuan itu sudah mendahuluinya, “Suamiku tidak ada di rumah. Ia pergi membawa ayam aduan. Carilah di kalangan sabung ayam, atau di tempat perjudian.” Paman Wita mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Di manakah kalangan sabung ayam itu?”
“Aku tidak tahu. Ada empat tempat yang sering dikunjunginya, dan beberapa tempat perjudian. Aku tidak tahu di mana ia sekarang berada.”
“Apakah ia akan pulang segera?”
“Aku tidak pernah tahu, kapan ia akan pulang. Mungkin hari ini, mungkin besok atau lusa. Aku tidak pernah tahu, dan aku tidak pernah ingin tahu.”
Paman Wita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun juga, apalagi ketika ia masih belum beranjak dari tempatnya, pintu itu sudah tertutup kembali.
“Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah kita akan mencarinya, Paman?”
“Kemana?”
“Aku tahu empat tempat menyabung ayam yang dimaksud.”
“Dan tempat berjudi itu?”
Adik Wita menggelengkan kepalanya. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Mungkin ayah mengetahuinya.”
“Ayahmu mengetahui tempat-tempat itu?”
“Mungkin.”
“Marilah kita pulang.”
“Sekali lagi, mereka kembali ke rumah Santa dengan tergesa-gesa. Sekali lagi, ayah dan ibu Santa menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka, terutama ibunya, menjadi sangat kecewa ketika adiknya itu mengatakan bahwa bekas prajurit itu tidak ada di rumah.
“Sudahlah. Aku tidak akan memikirkannya lagi,” desis ayah Wita.
“Tetapi anak itu tidak menyadari keadaannya,” berkata isterinya.
“Aku sudah kehabisan akal. Agaknya memang lebih baik baginya untuk mendapat pelajaran sekali-sekali. Kalau ia tahu apa yang terjadi akibat perbuatannya, ia akan berpikir tentang dirinya lebih dalam.”
“Tetapi akibatnya mungkin di luar dugaan kita,” sahut isterinya.
“Ya, Kakang. Kita harus berusaha mencegahnya,” berkata iparnya. “Memang akibatnya mungkin tidak kita bayangkan. Di Sangkal Putung pun ada anak-anak muda seperti Wita. Anak-anak muda yang baru tumbuh setelah perang selesai. Mereka juga ingin disebut pahlawan seperti angkatan sebelumnya. Tetapi mereka salah jalan. Mereka tidak berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kampung halamannya, tetapi mereka sekedar memperlihatkan kejantanannya. Karena bagi mereka, kejantanan itu sejalan dengan kepahlawanan tanpa mengingat arti dari perbuatannya itu bagi kampung halamannya dan sesamanya.”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak dibenarkan untuk mencari Wita di antara kawan-kawannya, karena hal itu akan dapat membuatnya menjadi semakin kasar. Sekarang aku didesak harus berbuat sesuatu. Apa yang harus aku lakukan?”
“Kakang,” berkata paman Wita, “aku akan kembali ke Sangkal Putung. Kalau mungkin, aku akan mencegah anak-anak Sangkal Putung. Tetapi, Kakang pun harus berusaha menemui bekas prajurit itu. Ia adalah satu-satunya orang yang masih mungkin mempunyai pengaruh atas Wita dan kawan-kawannya.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Menemui Ki Demang di Sangkal Putung.”
Santa mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir. Tetapi sekali lagi ia menggeleng, “Tidak. Aku tidak mau mengurusi anak itu lagi.”
“Jangan, Kakang,” berkata adik iparnya, “kau harus tetap berusaha. Aku juga akan berusaha. Mudah-mudahan Ki Demang di Sangkal Putung dapat mengerti.”
“Kalau ia dapat mengerti, apa yang akan dilakukannya?”
“Menguasai anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Mustahil. Apalagi anak-anak muda Sangkal Putung merasa dirinya kuat dan di dalam hal ini, kalau benar ceritamu, anak Semangkak-lah yang salah.”
“Tetapi apakah jeleknya kita mencobanya?” Namun demikian, sekilas terbayang di angan-angan paman Wita itu, seorang anak muda yang gemuk tertawa di tangga pendapa kademangan. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah Swandaru dapat mengerti?”
Sejenak Santa pun merenung. Ketika tanpa sesadarnya ia berpaling memandang wajah isterinya, dilihatnya mata itu basah.
“Hem,” Santa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian dalam nada yang rendah, “Baiklah. Aku akan berusaha menemui penjudi, penyabung ayam dan pemabuk itu.”
“Mungkin ia dapat mencegah anak-anak Semangkak.”
“Atau justru ikut serta dengan mereka.”
“Ah. Tentu tidak. Seharusnya tidak.”
“Baiklah. Aku akan mencarinya. Tetapi tentu amat sulit untuk menemukannya.”
“Sebaiknya Kakang berusaha. Sekarang aku akan kembali ke Sangkal Putung. Kepergian Wita memang menimbulkan kecurigaan. Supaya tidak terjadi sesuatu, kita yang tua-tua inilah yang harus berusaha.”
Santa tidak menjawab. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia duduk saja merenung memandang ke kejauhan.
“Sudahlah, Kakang,” berkata adik iparnya, “aku akan segera kembali, supaya kita tidak terlambat. Bukankah Kakang akan segera pergi juga, mencari orang yang mengajari anak-anak Semangkak berkelahi itu?”
Santa mengangguk. Jawabnya kosong, “Ya. Aku juga akan pergi.”
Demikianlah, maka paman Wita itu pun segera minta diri kepada kakaknya suami isteri. Dengan tergesa-gesa, ia meninggalkan Semangkak dan kembali ke Sangkal Putung.
Dadanya menjadi semakin berdebar-debar, ketika dari kejauhan ia melihat anak-anak muda yang berkumpul di gardu itu sudah berpindah ke sudut desa, sehingga ia pun terpaksa mengambil jalan lain, melintasi pematang yang justru malahan memintas lebih dekat.
Meskipun paman Wita itu lewat di tempat terbuka, namun agaknya anak muda Semangkak itu tidak begitu menghiraukannya. Jika mereka mengerti, bahwa seseorang dari Sangkal Putung mengetahui persiapan mereka, mungkin mereka akan mengambil suatu sikap. Setidak-tidaknya menahan paman Wita itu untuk tetap tinggal di Semangkak sampai senja.
Tetapi paman Wita ternyata lepas dari perhatian anak-anak muda itu, sehingga ia berhasil meninggalkan Semangkak dan kembali ke Sangkal Putung.
Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat bahwa beberapa anak muda Sangkal Putung pun telah berkumpul di sudut desa. Meskipun tidak sebanyak anak-anak muda Semangkak.
“Berbahaya sekali,” berkata paman Wita itu di dalam hatinya, “yang berdiri di sudut desa itu adalah anak-anak muda Sangkal Putung yang baru berkembang. Yang pernah melihat peperangan di jaman pasukan Tohpati ada di sekitar daerah mereka, tetapi yang pada saat itu masih merupakan kekuatan cadangan. Karena mereka dianggap masih belum cukup masak untuk turun ke pertempuran.”
Karena itu, seolah-olah paman Wita itu telah didera untuk berjalan lebih cepat lagi, agar ia segera dapat berbicara dengan Ki Demang di Sangkal Putung.
Untunglah, bahwa Ki Demang Sangkal Putung ada di rumahnya. Bahkan Swandaru yang masih lelah, ada juga di pendapa, bersama dengan Agung Sedayu. Sedang Sumangkar dan Kiai Gringsing, duduk di serambi gandok menghadapi mangkok air hangat dan beberapa potong makanan.
“O, silahkan,” Ki Demang mempersilahkan tamunya, “marilah. Duduklah di sini.”
Paman Wita itu pun kemudian duduk di pendapa. Tetapi nafasnya masih juga terengah-engah, sehingga Ki Demang segera bertanya dengan cemas, “Apakah kau sudah pergi ke Semangkak?”
“Aku datang dari Semangkak.”
“O, bagaimana dengan Santa?”
“Kakang Santa tidak apa-apa. Tetapi anak-anak muda Semangkak-lah yang telah berhasil dipengaruhi oleh Wita.”
“Mereka akan membalas dendam?” bertanya Swandaru dengan serta-merta.
Paman Wita menganggukkan kepalanya.
“Gila!” Swandaru menggeram, “Alangkah bodohnya anak-anak Semangkak.”
“Tidak. Tidak semua anak-anak Semangkak bodoh. Ada juga di antara mereka yang tidak sependapat dengan Wita.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara itu paman Wita pun menceritakan apa yang telah dilihatnya di Semangkak.
“Ternyata ada juga ekor dari peristiwa itu,” desis Ki Demang. “Aku tidak menghendaki terjadi bentrokan antara anak-anak kita di padukuhan induk ini, dengan anak-anak Semangkak.”
“Kita perlu menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka adalah anak-anak yang tidak tahu diri.”
“Ah,” desah Agung Sedayu. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya. Bahkan Swandaru-lah yang bertanya, “Kenapa?”
Agung Sedayu menarik nafas. Sejenak dipandanginya wajah Ki Demang, kemudian wajah Swandaru yang bulat.
“Apa yang akan kau katakan?” bertanya Swandaru kemudian kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia masih memandang Ki Demang sejenak, seolah-olah untuk mendapatkan pertimbangan. Tetapi Ki Demang tampaknya sedang merenungi persoalan yang sedang dihadapinya.
“Apa yang akan kau katakan?” Swandaru mendesak, “Kenapa kau menjadi ragu-ragu?”
“Apakah yang akan kau lakukan menghadapi persoalan ini?” bertanya Agung Sedayu kepada Swandaru.
Swandaru tidak segera menyahut. Ia-lah yang kini merenung, sekilas dipandanginya paman Wita, kemudian ayahnya dan sejenak kemudian, ia menatap wajah Agung Sedayu.
“Apakah kau juga akan mengumpulkan anak-anak muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu pula.
Swandaru masih termangu-mangu. Tetapi ia kemudian menyahut, “Anak Semangkak itu harus menyadari, bahwa merekalah yang sebenarnya bersalah, apabila mereka benar-benar akan datang ke Sangkal Putung untuk membalas dendam.”
“Belum tentu kalau anak-anak Semangkak itu bersalah. Mungkin Wita-lah yang telah memutar-balikkan persoalannya, sehingga kawan-kawannya dapat dihasutnya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Memang mungkin sekali.”
“Itulah sebabnya, kita harus berhati-hati menghadapi keadaan serupa ini,” Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu, “Anak-anak Semangkak tidak dapat kita samakan dengan anak buah Tohpati, atau seperti orang-orang Menoreh yang berpihak pada Sidanti waktu itu, atau seperti anak buah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.”
“Ya, aku mengerti,” Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, “tetapi, apakah kita akan membiarkan mereka berbuat sesuka hati di Sangkal Putung?”
“Itulah yang harus kita pikirkan. Bagaimana kita mencegah hal itu, tanpa menimbulkan benturan di antara kita, itulah yang penting. Di dalam hal ini, bukanlah masalah harga diri dan bukan sekali-sekali suatu perjuangan mempertahankan hak milik serta kebebasan. Tetapi masalahnya adalah masalah yang tumbuh di sudut lain dari segi-segi kehidupan anak-anak muda.”
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ketika ia berpaling kepada ayahnya, Ki Demang berkata, “Angger Agung Sedayu benar. Kita tidak boleh berbenturan dengan anak-anak muda dari Kademangan tetangga. Kita akan menghubungi bebahu Kademangan Semangkak. Mereka pun harus berusaha mencegah anak-anak mereka.”
Series 64
“BEBAHU Kademangan Semangkak agaknya telah mengalami kesulitan mengendalikan anak-anak mudanya. Tetapi masih juga dapat dicoba” berkata paman Wita.
“Biarlah Ki Jagabaya pergi ke Semangkak.”
“Aku akan ikut serta” berkata paman Wita.
“Baiklah. Kalau begitu, pergilah kerumah Ki Jagabaya, dan bawalah ia ke Semangkak. Katakan bahwa kau telah menemui aku disini.”
“Baiklah Ki Demang.”
“Aku akan berusaha agar anak-anak Sangkal Putung tidak mengimbanginya.”
“Terima kasih. Aku akan segera pergi kerumah Ki Jagabaya. Mudah-mudahan ia ada dirumah.”
Demikianlah, sepeninggal paman Wita, Ki Demang dengan prihatin mencoba mencari jalan, agar benturan antara anak-anak muda itu dapat dihindarkan. Namun demikian Ki Demangpun merasa, bahwa sulitlah kiranya untuk menekan perasaan anak-anak muda di Sangkal Putung.
“Kita harus berusaha” berkata Ki Demang kemudian “dan sebagian besar dari masalah ini terletak ditanganmu Swandaru.”
Swandaru tidak segera menyahut.
“Kau harus berhasil menguasai mereka sebelum anak-anak Semangkak itu datang.”
“Apa yang sebaiknya aku lakukan ayah?”
“Kau harus menyingkirkan anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Jadi kita akan mengungsi ?”
Pertanyaan itu benar-benar sulit untuk menjawabnya. Memang dalam menghadapi keadaan ini, perasaan dan nalar tidak dapat selalu sejalan. Sebagai suatu Kademangan yang besar dan kuat, anak-anak muda Sangkal Putung pasti merasa terhina apabila mereka harus lari dan bersembunyi karena kedatangan anak-anak Semangkak Tetapi menurut pertimbangan nalar, perkelahian yang demikian biasanya akan membawa akibat yang berlarut-larut.
“Memang sulit” tiba-tiba Ki Demang berdesis ”tetapi aku ingin bahwa benturan itu dapat terhindar tanpa merendahkan diri kalian. Aku tahu, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung tidak mau di sebut lari, licik atau apalagi takut.”
Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kita harus menemukan jalan itu” berkata Ki Demang kemudian.
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata “Kita bersembunyi meskipun tidak lari.”
“Maksudmu ?”
“Beberapa orang saja diantara kita akan berada di Kademangan. Kita bersembunyi diatap kandang. Kita melihat apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Semangkak apabila bebahu Kademangan mereka tidak dapat mencegah mereka. Kalau mereka dapat diajak berbicara syukurlah. Ki Demang dan Ki Jagabaya setelah pulang dari Semangkak akan berbicara dengan mereka. Baru apabila hal itu tidak mungkin dilakukan, kami, beberapa orang anak-anak muda akan mencoba mengusir mereka. Hanya beberapa saja, supaya perasaan kami dapat dikendalikan. Kalau jumlah kami terlalu besar, maka kami akan kehilangan kemanapun untuk mengendalikan diri, karena pengaruh orang banyak. Didalam suatu lingkungan yang besar, kita akan dapat kehilangan kepribadian.”
Swandaru merenung sejenak. Ditatapnya wajah ayahnya yang berkerut-merut. Agaknya Ki Demang sedang mencoba merenungkan kata-kata Agung Sedayu itu.
“jadi maksudmu, anak-anak muda Sangkal Putung jangan berbuat apa-apa?” bertanya Swandaru.
“Ya. Kecuali beberapa orang yang justru sudah berpikir dewasa.”
Ki Demanglah yang kemudian menyahut “Tetapi ada juga bahayanya. Jika mereka tidak dapat diajak berbicara, apa yang akan kita lakukan dengan beberapa orang itu? Apalagi kalau mereka menganggap bahwa anak-anak Sangkal Putung lari ketakutan, dan mereka berbuat diluar dugaan”
“Misalnya?”
“Mungkin angan-anganku terlampau berlebih-lebihan. Tetapi kalau mereka membakar rumah ini?”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya “Memang dapat saja terjadi. Ledakan kemarahan yang tidak menemukan sasaran memang akan dapat menimbulkan bencana diluar dugaan. Tetapi sebelunmya kita memang harus memperhitungkan dengan cermat. Yang akan tinggal di Kademangan adalah beberapa anak muda yang bukan saja dewasa cara berpikir, tetapi juga cara bertindak. Aku dan Swandaru akan tetap berada disini. Kita masih memerlukan lima orang anak muda lagi.”
“Hanya bertujuh ?”
“Aku kira sudah cukup. Kalau kami mengalami kesulitan, untuk sementara Ki Sumangkar dan guru akan berusaha memperlambat usaha anak-anak Semangkak itu, sementara salah seorang diantara kami akan membunyikan tanda untuk memanggil beberapa orang, hanya beberapa orang tertentu. Demikian berturut-turut, dengan tanda yang berbeda-beda.”
“Tampaknya terlampau sulit untuk dijalankan.”
“Aku yakin, bahwa kita akan dapat melakukannva. Susunan kesatuan pengawal yang masih ada di Sangkal Putung sangat menguntungkan. Kita menghubungi pemimpin-pemimpin kelompok. Mereka harus bertanggung jawab atas anak buah masing-masing.”
Swandaru menarik nafas. Katanya ”Aneh sekali. Selama ini kita memanggil pemimpin-pemimpin kelompok untuk menyiapkan para pengawal apabila ada musuh mendatang, kini kita berbuat sebaliknya. Kita mengumpulkan para pengawal untuk menyingkir.”
“Sesekali. Memang ada kalanya siput berjalan mundur.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ayahnya berkata “Swandaru. Ternyata pendapat angger Agung Sedayu itu baik. Cobalah kita lakukan. Aku pada dasarnya tidak menghendaki terjadi bentrokan antara anak-anak muda dari satu Kademangan dengan Kademangan yang lain. Itu hanya akan membuang-buang tenaga dan terlebih-lebih lagi, kita kehilangan ikatan kekeluargaan yang justru harus kita bina.
Swandarupun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “baiklah. Aku akan memanggil mereka, para pemimpin kelompok.”
Tetapi Swandaru tidak memanggil mereka dengan kentongan di Kademangan. Tanpa mengajak Agung Sedayu ia pergi ke Banjar, dan memanggil para pemimpin kelompok pengawal dengan pertanda kentongan dari banjar.
Setiap anak muda Sangkal Putung dapat membedakan suara kentongan di banjar Kademangan, karena kentongan itu termasuk salah satu dari beberara kentongan terbesar yang ada di Sangkal Putung dengan warna nada khusus.
Ternyata suara kentongan itu telah mengejutkan beberapa orang anak muda. Apalagi mereka yang dengan curiga mengikuti peristiwa yang terjadi semalam.
“Apakah kita akan bertindak sesuatu?” bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.
“Kita pergi ke Banjar.”
Ternyata di banjar Swandaru mengumpulkan beberapa pemimpin kelompok diruangan dalam. Ia memberikan penjelasan khusus dan terperinci, agar mereka tidak melakukan kesalahan yang akibatnya justru bertentangan dengan yang mereka kehendaki sebenarnya.
“Apakah kalian sudah cukup jelas ?” bertanya Swandaru kemudian.
“Ya.” sahut mereka hampir berbareng “cukup jelas.”
“Kita menghindari becturan jasmaniah. Itu tidak baik dan sama sekali tidak bermanfaat.”
“Kami mengerti.”
“Lima orang yang aku sebutkan, ikut aku ke Kademangan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.”
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ikatan mereka tidak seerat pada saat-saat Tohpati ada didepan hidung mereka, namun ternyata bahwa para pemimpin kelompok itu masih mampu menghubungi anak buahnya. Tetapi tugas mereka bertambah. Mereka harus mengatur juga anak-anak muda yang masih belum terikat didalam kelompok-kelompok pengawal. Namun demikian, agaknya anak-anak muda yang pernah menjadi pengawal Kademangan Sangkal Putung disaat-saat yang gawat itu, masih mempunyai pengaruh yang kuat pada anak-anak muda yang sedang menyusul tumbuh di bawah mereka selapis.
Dalam pada itu, paman Wita bersama Ki Jagabaya dengan tergesa-gesa pergi ke Semangkak. Mereka bermaksud langsung pergi menemui bebahu Kademangan Semangkak.
Tetapi diluar dugaan, ketika mereka memasuki gerbang padukuhan Semangkak tiba-tiba saia mereka berpapasan dengan segerombol anak-anak muda. Diantara mereka terdapat Wita.
“Paman?” wajah Wita menjadi tegang. Pamannyapun menjadi berdebar-debar juga, Dipandanginya Wita yang berada diantara kawan-kawannya, anak-anak mnda yang tampaknya sedang dibius oleh dendam yang tidak mereka mengerti sebab yang sebenarnya.
Sejenak suasana menjadi tegang. Kawan-kawan Wita berdiri termangu-mangu. Sesekali mereka memandang wajah Wita yang berkerut-merut kemudian memandang wajah orang yang mereka jumpai itu.
Baru kemudian Wita bertanya “Paman akan kemana?”
Paman Wita menjadi bingung sejenak. Tetapi ia menemukan jawaban juga “Aku akan menemui ayahmu.”
“Untuk apa ?”
“Aku agak cemas, kau pagi-pagi sekali sudah meninggalkan rumah kami. Jangan-angan ayahmu menjadi salah paham tentang kau.”
“Aku dapat mengatakan persoalanku kepada ayah, bahwa paman tidak apa-apa.”
“Tetapi boleh jadi ayahmu menganggap bahwa kau tidak mau mengatakan persoalan yang sebenarnya. Karena itu, aku akan menemuinya, supaya ayahmu tidak marah kepadaku.”
“Tidak usah. Paman tidak usah pergi kerumah.”
“Kenapa ?”
“Sebaiknya paman tidak usah menemui ayah atau ibu atau siapapun juga.”
“Aku tidak mengerti Wita.”
“Maaf paman. Kami persilahkan paman kembali. Kami sedang sibuk disini.”
“O” paman Wita menandang anak-anak Semangkek itu dengan dada yang berdebar-debar. Tampak wajah-wajah muda yang tegang, tetapi membayangkan pergolakan didalam diri mereka. Ada sesuatu yang bergejolak didalam hati mereka. Gejolak yang seakan-akan terrbendung, sehingga pada suatu saat memerlukan penyaluran.
“Betapa dahsyatnya tenaga yang tersimpan didalam diri mereka” berkata paman Wita didalam hatinya “kalau saja tenaga yang sedahsat itu dapat disalurkan. Maka tenaga yang dahsyat itu pasti akan dapat membangkitkan kerja yang besar bagi Semangkak.”
Tetapi paman Wita tidak mendapat kesempatan, karena Wita berkata “Paman, kami persilahkan paman kembaii.” Wita berhenti sejenak, lalu sambil memandang Ki Jagabaya, Wita berkata “Ki Jagabaya dari Sangkal Putung pun akan kami persilahkan kembali ke Sangkal Putung. Kami tidak dapat menerima paman dan Ki Jagabaya dalam keadaan ini.”
“Kenapa. dan apakah yang akan kalian lakukan ?”
“Tidak ada apa-apa paman Kami sedang mengerahkan tenaga anak muda Semangkak untuk membangun jalan-jalan yang sudah terlampau jelek.”
“Alangkah baiknya jika demikian. Lakukanlah. Tetapi aku akan menemui ayahmu.”
“Tidak usah. Paman harus kembali ke Sangkal Putung.
Paman Wita menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang Sangkal Putung itu adalah orang tua-tua yang cukup berpengalaman, sehingga mereka merasa, dalam keadaan yang demikian, mereka tidak akan dapat memaksakan kehendak mereka. Karena itu, maka Ki Jagabayapun kemudian berkata” Baiklah. Kalau kalian tidak mengijinkan kami memasuki daerah Semangkak, kami akan segera kembali.”
Paman Wita mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia memandang tatapan mata Ki Jagabaya, seolah-olah ia dapat membaca isi hatinya” Kita mencari jalan lain.”
Karena itu, paman Witapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata “Baiklah. Baiklah, kami akan kembali ke Sangkal Putung.”
“Terima kasih. Paman dan Ki Jagababaya memang harus kembali ke Sangkal Putung, Tetapi kami ingin memberikan penghormatan kepada paman dan Ki Jagabaya”
“Maksudmu ?” bertanya paman Wita,
“Sebentar lagi matahari akan segera turun dan tenggelam. Kami ingin mengantar paman berdua.”
“He ?” wajah paman Wita menjadi merah
“Paman kami persilahkan menunggu sejenak. Kita akan pergi bersama-sama.”
“Gila” teriak paman Wita “kau jangan asal berkata saja Wita.”
“Maaf paman. Kami justru ingin berbuat baik. Kami ingin mengantar paman dan Ki Jagabaya.”
“Itu tidak sopan. Itu perbuatan gila-gilaan. Aku mengerti maksudmu. Jangan kau kira aku anak kecil yang dungu.
Wita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling memandang wajah kawan-kawannya. Dan hampir berbareng kawan-kawannya berkata “Kau benar Wita.”
“Nah, bukankah kawan-kawanku bersedia juga mengantar paman nanti? Tetapi nanti sore paman. Dan bukankah paman tidak akan terlalu lama menunggu.”
Wajah paman Wita menjadi semakin tegang. Seharian ia telah berjalan hilir mudik, dipadukuhannya sendiri dan di Semangkak. Tetapi tiba-tiba anak-anak muda Semangkak itu telah menahannya.
Dalam pada itu Ki Jagabayapun menjadi marah bukan buatan. Tetapi ia masih berusaha menahan dirinya. Adalah tidak pantas apabila ia harus bertengkar dengan anak-anak. Apalagi apabila ia harus mempergunakan kekerasan. Karena itu, untuk sesaat ia tidak menyahut. Ia sedang mencari akal, untuk melepaskan diri dari tangan anaak-anak muda yang sedang dibakar oleh dendam dihatinya,
“Sudahlah” berkata Wita kemudian “paman dan Ki Jagabaya tidak usah memikirkan keadaan kami. anak-anak muda di Semangkak maupun di Sangkal Putung. Kami sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap kami sendiri.
“Baiklah” berkata Ki Jagabaya “kalian memang sudah cukup dewasa, Tetapi kenapa kalian harus menahan kami berdua? Apakah huburgannya dengan perbaikan jalan itu?”
Wita mengerutkan keningnya. Tetapi iapun menjawab. “Memang tidak ada. Tetapi maaf, kami terpaksa melakukannya. Kami sudah membuat suatu rencana. Dan Ki Jagabaya jangan merusak rencana kami itu.”
Terasa darah Ki Jagabaya semakin cepat mengalir. Kalau saja ia tidak selalu berusaha menyadari dirinya, bahwa ia berhadapan dengan anak-anak, maka ia pasti telah berusaha untuk membebaskan diri tanpa menghiraukan akibatnya.
Tetapi berhadapan dengan anak-anak muda yang sedang marah pula dibakar oleh dendam dan sakit hati, ia harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain, Pertimbangan orang tua.
Dalam pada itu Wita berkata selanjutnya “Kami mengharap agar paman dan Ki Jagabaya tidak berusaha mengganggu kami. Kami memang tidak akan memperbaiki jalan. Tentu paman berdua sudah mengetahuinya, dan tentu kedatangan paman dan Ki Jagabaya ada hubungannya dengan masalah tersebut meskipun barangkali baru menduga-duga.”
Benar-benar diluar dugaan paman Wita, ketika KI Jagabaya kemudian berdesah sambil berkata “Apa boleh buat.”
“Terima kasih atas sikap paman yang baik itu. Sekarang paman kami persilahkan singgah dirumah salah seorang kawan kami diujung desa.”.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada paman Wita ia berkata “Kita tidak usah membuat ribut-ribut disini. Sebentar lagi senja akan datang.”
“Tetapi ……?” bertanya paman Wita. Namun suaranya tertahan ketika dilihatnya mata anak-anak muda itu bagaikan menyala
“Tidak bijaksana kita bertegang terhadap anak-anak.” Paman Wita akhirnya mengangguk “Baiklah jika Ki Jagabaya memutuskan demikian.”
“Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih” lalu Wita itupun berkata kepada kawannya “bawa keduanya untuk singgah kerumahmu sebentar. Ajaklah dua orang untuk mengawaninya. agar Ki Jagabaya dan paman mempunyai teman bercakap-cakap.”
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Ternyata anak-anak itu cukup berhati-hati, sehingga mereka perlu mengirimkan dua orang untuk mengawasinya, selain anak muda yang mempunyai rumah itu sendiri.
Tetapi jalan yang dicari Ki Jagabaya semakin jelas tampak olehnya. Baginya, tiga anak-anak muda itu tidak akan begitu sulit untuk menerobosnya, apalagi berdua dengan paman Wita.
Demikianlah maka mereka berlima berjalan memasuki halaman rumah diujung desa. Rumah yang tampaknya begitu sepi dan kotor.
“Inilah rumahku” berkata anak muda yang membawanya “rumah ini sudah lama kosong. Rumah ini sebenarnya rumah kakek. Tetapi kakek telah meninggal.”
“Dimana ayah dan ibumu?”
“Ayah dan ibuku berada dirumah ayah sendiri. Akulah yang menunggu rumah ini.”
“Sendiri ?”
“Ya sendiri.”
“Bagaimana kau makan sehari-hari ?”
“Rumah ayah tidak begitu jauh. Aku makan dirumah. Ayah berada diujung yang lain dari desa ini.”
“O” Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika mereka memasuki rumah itu. Perkakas rumah yang tidak teratur, bumbung berserakan disana-sini. Dan yang membuat Ki Jagabaya dan paman Wita menjadi berdebar-debar adalah bau tuak yang memenuhi ruangan.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Jagabaya berkata “inikah agaknya tempat yang dipergunakan oleh anak-anak muda Semangkak untuk berkumpul, duduk-duduk dan berbicara tentang macma-macam hal dimalam hari?”
“Ya, justru karena rumahku kosong.” Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi tidak semua anak-anak Semangkak sering datang kemari. Anak-anak yang merasa dirinya piyayi tidak pernah sudi menginjak rumahku yang jelek ini. Mereka adalah anak-anak muda yang merasa dirinya terlalu bersih.”
Ki Jagabaya masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Silahkan duduk” anak muda itu mempersilahkan. Ki Jagabaya dan paman Witapun segera memasuki bagian dalam dari rumah itu. Terasa seakan-akan nafas mereka menjodi sesak oleh udara yanp lembab.
“Aku akan duduk diserambi saja” berkata Ki Jagabaya.
“Maaf Ki Jagabaya” jawab anak muda yang mempunyai rumah itu “aku biasa menerima tamu diruang dalam.”
Ki Jagabaya menarik nafas. Tetapi ia tidak membantah.
Demikianlah mereka duduk diruang dalam yang gelap. Terasa sinar matahari yang semakin rendah tidak lagi dapat menerobos masuk pintu yang rendah untuk mencapai bagian dalam rumah yang kotor itu, sehingga bau tuak semakin menusuk hidung.
“Apakah kalian minum tuak ?” tiba-tiba Ki Jagabaya bertanya.
Anak-anak muda itu tertawa. Salah seorang dari mereka menjawab.”Setiap laki-laki pantas minum tuak.”
“Dan kalian adalah laki-laki.”
“Ya. Kami minum tuak.” ketiga anak-anak muda itu tertawa.
Tanpa disadarinya terasa bulu-bulu tengkuk paman Wita meremang. Ini adalah gambaran hidup Wita sendiri dipadukuhannya, sehingga ayahnya mengirimkannya ke Sangkal Putung. Tetapi justru karena itu, maka kini tumbuhlah persoalan yang gawat antara kedua padukuhan itu.
Ki Jagabayapun kemudian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja dinding-dinding yang memutari ruangan itu. Kotor dan penuh dengan sarang laba-laba.
Tetapi Ki Jagabaya tidak menunjukkan sikap yang dapat menimbulkan kecurigaan. Ia duduk saja sambil mengangguk-angguk. Ketika anak-anak itu menawarkan tuak kepadanya, tiba-tiba saja ia tersenyum ”Masih ada?”
Paman Wita terkejut mendengar pertanyaan itu. Apalagi ketika ia melihat wajah Ki Jagabaya yang tersenyum-senyum ketika anak-anak muda itu memandanginya dengan heran pula.
“He” berkata Ki Jagabaya lebih lanjut ”masih ada?”
“Apakah Ki Jagabaya benar-benar menghendaki?”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Ya, sejak semalam aku tidak minum tuak.”
“Jadi benar-benar Ki Jagabaya mau minum?”
“Tetapi aku hanya mau minum tuak yang baik.”
“O tentu Ki Jagabaya. Kamipun tidak mau minum tuak yang jelek.”
“Baik. Baik. Terima kasih.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri dan masuk keruang sebelah. Ketika ia keluar dijinjingnya sebuah bumbung besar berisi tuak. dan beberapa bumbung-bumbung kecil.
“Marilah Ki Jagabaya” anak muda itu memberikan sebuah bumbung kecil kepada Ki Jagabaya dan kemudian menuangi bumbung itu dengan tuak.
Ki Jagabaya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sambil mengangkat bumbung itu dihidungnya ia berkata ”Ah. Ini tuak untuk anak-anak. Bukan tuak untuk seorang laki-laki.”
“Kenapa?”
Ki Jagabayapun kemudian mencicipi tua itu “Tidak ada rasanya sama sekali. Hanya manis saja.”
“Ah” ketiga anak-anak muda itu hampir berbareng berdesah. Salah seorang berkata “Tuak ini tuak yang baik.”
Wajah Ki Jagabaya menjadi berkerut merut. Tetapi ia masih memegang bumbung berisi tuak itu.
“Silahkan Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya tidak segera meminumnya. Katanya pula “Seperti minum legen mentah. Manis dan menghilangkan haus.”
“Tentu tidak.” anak-anak muda itu saling berpandangan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menuang tuak itu kedalam bumbungnya sendiri. Satu kali teguk isi bumbung itu telah kering.
“Benar-benar tuak malang. Tuak itu sudah disimpan lama sekali. Apakah masih kurang keras bagi Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Tetapi anak muda itu telah menuang tuak itu sekali lagi kebumbungnya sendiri. Bahkan anak-anak yang lainpun berbuat serupa pula. Mereka kemudian meneguk isi bumbung itu sampai habis. Tetapi mereka mengisinya pula demikian berkali-kali, sehingga lambat laun kepala mereka menjadi pening.
Selagi mereka sibuk, dengan diam-diam, tanpa diketahui oleh anak-anak itu, Ki Jagabaya telah membuang isi bumbungnya kelantai yang terbuat dari tanah. Kemudian ia berpura-pura meneguk tuak itu sampai bumbungnya kering.
“Benar-benar” tiba-tiba ia berkata “tuak ini memang tuak yang baik. Tetapi bagiku tidak ubahnya seperti legen, seperti yang sudah aku katakan. Mari isi bumbungku lagi.
Anak-anak itu telah menuang bumbung tuak itu pula kedalam bumbung Ki Jagabaya, tetapi mereka tidak lupa menuang kedalam bumbungnya sendiri. Sementara Ki Jagabaya membuang tuak itu kesudut ruangan, anak-anak muda itu sudah menghabiskan beberapa bumbung lagi.
“Cukup” berkata salah seorang dari mereka “kepalaku pening.”
Yang, lainpun mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih memegang bumbung-bumbung kecil ditangan mereka.
Ketika mereka hampir meletakkan bumbung-bumbung kecil itu, Ki Jagabaya telah mengacungkan bumbungnya sekali lagi sambil berkata “Beri aku lagi. Sebumbung penuh. Tuak semanis legen ini memang enak. Tetapi tidak memuaskan.”
Sambil terhuyung-huyung anak yang memegang bumbung tuak itu mengisi bumbung Ki Jagabaya tidak saja menjadi penuh, tetapi bahkan melimpah-limpah.
Sambil tertawa ia berkata “Ki Jagabaya juga seorang peminum yang baik. Mari, mari kita minum bersama-sama.
Sekali lagi dan sekali lagi anak-anak itu mengisi bumbungnya. Mereka meneguk tuak tanpa ragu-ragu lagi, seperti yang selalu mereka lakukan.
Ki Jagabaya memandang anak-anak muda itu dengan tegangnya. Akhirnya ketiga anak-anak muda itu menjadi mabuk dan terkapar sambil mengigau tanpa arah.
“Mereka menjadi mabuk” berkata Ki Jagabaya “kita harus segera pergi.”
“Ya Kita tinggalkan rumah lembab ini. Kite segera kembali ke Sangkal Putung”
“Tidak. Kita pergi ke Kademangan Semangkak.” Dengan hati-hati Ki Jagabaya itu menjengukkan kepalanya. Ketika halaman itu ternyata sepi, maka iapun segera mengajak paman Wita segera keluar. Namun ia masih sempat mendengar anak muda itu mengigau “Kita bunuh saja Swandaru yang gila itu.”
Dalam pada itu Ki Jagabayapun segera meninggalkan halaman rumah itu diikuti oleh paman Wita. Dengan hati-hati mereka keluar regol dan kemudian hampir berlari-lari mereka meliatas sebuah simpang tiga dan kemudian hilang masuk kejalan sempit. Meskipun masih belum senja, tetapi jalan sempit itu sudah sunyi. Dengan demikian Ki Jagabaya dapat berjalan cepat-cepat menuju ke Kademangan.
Kedatangan Ki Jagabaya Sangkal Putung itu benar-benar telah mengejutkan. Semula mereka menyangka, bahwa Ki Jagabaya itu sedang mengejar seseorang yang akan ditangkapnya. Tetapi orang itu orang Semangkak. Namun akhirnya dahi Demang Semangkak itu menjadi tegang, ketika ia mendengar keterangan Ki Jagabaya mengenai anak-anak muda mereka.
“Huh, kami memang hampir menjadi gila dibuatnya” desis Ki Demang Semangkak.
Ki Jagabaya dari Sangkal Putung dan paman Wita mengangguk-angguk. Mereka menyadari kesulitan yang dihadapi oleh Ki Demang di Semangkak.
“Mereka telah bersiap untuk berangkat” berkata Ki Jagabaya.
“Tidak semua anak-anak muda bersikap seperti mereka” berkata Ki Demang “tetapi karena yang lain tidak suka keributan, mereka tidak berbuat apa-apa. Bahkan mereka seakan-akan telah menyingkir dari pergaulan yang suram itu.”
“Kita dapat mencegah mereka” berkata seorang bebahu Kademangan Semangkak” aku akan memanggil anak-anak muda yang lain, yang tidak sependapat dengan mereka”
“Ah” Ki Demang berdesah “tentu akibatnya tidak menyenangkan. Mereka bahkan akan berkelahi sesama anak-anak Semangkak.”
“Itu lebih baik daripada mereka dihancurkan oleh anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Aku akan berusaha agar anak-anak muda Sangkal Putung tidak melibatkan diri.”
“Bagaimana mungkin. Anak-anak Semangkak akan datang ke Sangkal Putung.” Ki Demang berpikir sejenak “anak-anak itu memang harus dicegah. Tetapi tidak bijaksana kalau anak-anak kita harus saling berkelahi. Aku akan mencoba sekali lagi.”
Tetapi bebahu Kademangan itu menggelengkan kepalanya “Apakah hal itu mungkin ?”
“Aku akan mencoba. Aku akan memanggil Ki Jagabaya di Semangkak.”
“Silahkan Ki Demang” berkata Ki Jagabaya di Sangkal Putung “aku akan mendahului. Semuanya terserah kepada kebijaksanaan Ki Demang. Kita mengutamakan keselamatan anak-anak kita. Keselamatan badaniah dan keselamatan rohaniah.”
“Ya. Kita memang bertanggung jawab. Orang-orang tua merekapun harus bertanggung jawab. Kesalahan anak-anak muda itu sebagian adalah kesalahan orang-orang tua pula.”
“Baiklah. Sebelum terjadi sesuatu, aku harus berada di Sangkal Putung.”
“Silahkan. Aku juga akan segera berbuat sesuatu.” Ki Jagabaya dan paman Witapun segera meninggalkan
Kademangan. Mereka mengambil jalan lain sehingga mereka tidak berpapasan lagi dengan anak-anak muda Semangkak yang semakin lama menjadi semakin banyak menjelang senja.
Dengan tergesa-gesa Ki Jagabaya meloncati parit kemudian menyelusuri pematang kembali ke Sangkal Putung.
“Bekas prajurit yang mengajari anak-anak itu olah kanuragan juga sedang dicari oleh kakang Santa” berkata paman Wita “mudah-mudahan ia dapat membantu mencegah persoalan ini”
“Mudah-mudahan” gumam Ki Jagabaya sambil melangkah lebih cepat lagi.
Dalam pada itu, anak-anak yang berkumpul diregol padukuhan Semangkak menjadi gelisah ketika matahari menjadi semakin rendah. Mereka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu.
“Ki Jagabaya sudah terlalu lama menunggu” berkata salah seorang dari mereka hampir diluar sadarnya.
“Biar saja. Sesekali duduk termenung di Kademangan tetangga bersama anak-anak muda.”
“Bagaimana dengan pamanmu, Wita ?” bertanya salah seorang kawannya.
“Ia selalu ingin mencampuri persoalanku. Mudah-mudahan ia menjadi jera, dan tidak lagi merasa lebih berpengaruh atasku dari ayahku sendiri.”
Kawannya tertawa. Ia akan mengumpat-umpat sepekan tidak ada habis-habisnya. Tetapi kasihan juga kalau ia menjadi sasaran kemarahan anak-anak Sangkal Putung besok atau lusa.
“Salahnya sendiri. Tetapi anak-anak Sangkal Putung pasti tidak akan berani berbuat apa-apa lagi. Mereka harus menyadari, bahwa Sangkal Putung bukan Kademangan terkuat di daerah Selatan ini. Mungkin disaat Tohpati berkeliaran di sini, Sangkal Putung menjadi sasaran. Tetapi itu bukan berarti bahwa anak-anak muda Sangkal Putung menjadi sekuat prajurit-prajurit Pajang. Dan itu bukan berarti bahwa anak-anak Semangkak tidak berbuat apa-apa waktu itu.”
“Sekarang kita akan membuktikan. Kita akan merusak semua gardu di Sangkal Putung, dan memecah semua kentongan. Swandaru harus menyadari, bahwa ia adalah seorang anak muda biasa. Bukan seorang pahlawan besar yang pantas membanggakan diri.” gumam salah seorang dari mereka meskipun ia tidak mengenal Swandaru dari dekat.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, salah seorang dari anak-anak muda itu berkata “Senja itu telah datang. Marilah kita bersiap. Kita sudah terlalu lama duduk disini.”
“Ambil Ki Jagabaya dan paman” berkata Wita “kita bawa mereka bersama. Mereka akan menyaksikan anak-anak muda kebanggaan mereka itu lari lintang pukang melihat kedatangan kita.”
Demikianlah dua orang anak muda pergi kerumah di ujung desa untuk mengambil Ki Jagabaya dan paman Wita.
Tetapi ketika mereka sampal kerumah itu, mereka menjadi terkejut. Ternyata yang mereka jumpai adalah ketiga kawan-kawan mereka yang sedang tidur karena mabuk tuak.
“Gila” teriak salah seorang dari kedua anak-anak muda itu “mereka mabuk tuak.”
“Mari, kita bangunkan mereka. Ki Jagabava pasti sudah lari.”
Dengan susah payah maka ketiga anak-anak muda itu di bangunkan. Tetapi karena kesadaran mereka masih belum pulih kembali, maka yang mereka ucapkanpun tidak lebih dari sebuah igauan yang tidak menentu.
“Kalian sudah gila” bentak kawannya “dimana Ki Jagabaya dan paman Wita itu ?”
Anak-anak muda yang baru terbangun itu menggelengkan kepalanya.
“Kalian yang menunggui mereka disini.”
Perlahan-lahan ingatan anak-anak yang mabuk itu merayapi otaknya kembali. Meskipun masih kabur namun mereka mulai teringat kepada Ki Jagabaya dan paman Wita Karena itu maka dengan wajah yang tegang salah seorang dari mereka bertanya “Ya, dimana Ki Jagabaya ?”
“Lari” sahut yang lain “ia pasti lari. Licik sekali. Ia membuat kita mabuk.”
“Bodoh. Bodoh sekali. Kalian telah mabuk dan membiarkan Ki Jagabaya Sangkal Putung bersama paman Wita itu pergi.”
“Mereka akan segera memberitahukan hal ini kepada anak-anak muda Sangkal Putung sehingga mereka sempat mempersiapkan diri.”
“Gila. Mari kita segera kembali keregol. Kita harus berangkat sekarang.”
Demikianlah anak-anak muda itu berlari-lari pergi keregol padukuhan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka memberitahukan bahwa Ki Jagabaya dan paman Wita telah pergi tanpa diketahui oleh anak-anak yang menjaganya, karena mereka telah mabuk.
“Berbahaya sekali” desis Wita “jika mereka mencapai Sangkal Putung, maka anak-anak muda Sangkal Putung sempat mempersiapkan diri.”
“Kalau begitu kita harus segera berangkat. Meskipun Ki Jagabaya datang lebih dahulu dari kita, tetapi mereka pasti belum sempat mengadakan persiapan apapun untuk menyambut kedatangan kita. Sementara itu kita sudah dapat membuat mereka terkejut dengan membakar gardu-gardu dan menghajar siapapun yang kita jumpai.
Mereka masih harus terpencar-pencar. Jika mereka sempat berkumpul, mereka akan dapat menyusun kekuatan.”
Demikianlah, maka anak-anak muda itu memutuskan untuk segera berangkat. Seperti orang yang pergi berperang, mereka membawa bermacam-macam senjata.
Beberapa orang yang melihat mereka meninggalkan padukuhan Semangkak menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka hanya dapat saling bertanya. apakah yang akan dilakukan oleh anak-anak muda itu.
Sementara itu, Ki Demang di Semangkak setelah memanggil Ki Jagabaya dengan tergesa-gesa pergi pula diregol padukuhan Semangkak. Tetapi ternyata anak-anak Semangkak telah berangkat. Mereka tidak dapat mencegahnya lagi. karena mereka datang terlambat beberapa saat.
“Kenapa mereka tidak menunggu senja?” bertanya Ki Demang kepada diri sendiri. Menurut Ki Jagabaya di Sangkal Putung, anak-anak itu akan berangkat setelah senja.
Tetapi ketika Ki Demang menengadahkan wajahnya ke langit, maka matahari telah hampir kehilangan sinarnya. Senja memang sudah mulai turun perlahan-lahan.
“Jadi bagaimana sebaiknya Ki Jagabaya ?” bertanya Ki Demang kemudian.
“Kita menyusul mereka.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya “Ya, kita menyusul mereka.”
Dengan demikian, maka Ki Demang bersama Ki Jagabaya diiringi oleh beberapa-bebahu yang lain pergi menyusul anak-anak muda dari Semangkak itu. Kali ini mereka harus benar-benar berhasil mencegah mereka. Kalau tidak, maka keadaan anak-anak muda mereka justru akan menjadi semakin parah.
Dalam nada itu, anak-anak muda Semangkak itupun dengan tergesa-gesa pula pergi ke Sangkal Putung. Bahkan kadang-kadang mereka berlari-lari kecil melintasi bulak, menyusur pematang.
Beberapa orang yang masih berada disawah melihat iring-iringan itu dengan hati yang berdebar-debar. Didalam hati mereka bertanya “Apalagi yang akan dilakukan oleh anak-anak itu?”
Namun mereka hanya dapat memandang iring-iringan itu dari kejauhan dan dengan hati yang cemas.
Sementara itu, Sangkal Putung telah mempersiapkan diri menyambut kedatangan anak-anak Semangkak dengan caranya. Tidak ada seorang anak mudapun yang tampak, Yang ada di Kademangan adalah Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang bebahu. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sengaja berada didalam gandok, karena langsung atau tidak langsung, Kiai Gringsing mempunyai hubungan dengan Swandaru. Meskipun Ki Demang sendiri adalah ayah Swandaru. tetapi dalam kedudukannya sebagai Demang Sangkal Putung, ia tidak dapat ingkar akan tugasnya, menghadapi kemungkinan yang manapun juga yang dapat terjadi.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru dan beberapa orang anak muda terpilih, bersembunyi diatas kandang. Jika keadaan memaksa, maka merekapun tidak akan dapat membiarkannya. Sedang didalam rumah Ki Demang masih ada seorang lagi yang dapat membantu mereka apabila diperlukan. Sekar Mirah. Tetapi bagi Sumangkar, jika tidak memaksa sekali, Sekar Mirah lebih baik berada didapur daripada ikut didalam keributan itu.
Yang datang lebih dahulu ke Kademangan itu adalah Ki Jagabaya bersama paman Wita. Mereka dapat sekedar memberikan gambaran apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Semangkak itu.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Memang terlampau sulit untuk mengendalikan anak-anak yang sudah terlanjur lepas dari ikatan kepribadian kita yang sebenarnya lembut. Kita memang harus berhati-hati.”
“Kalau mereka mengetahui aku melepaskan diri, maka mereka pasti akan segera menyusul.”
Belum lagi Ki Demang menjawab, maka seorang pengawas datang dengan tergesa-gesa melaporkan, bahwa anak-anak muda Semangkak telah datang.
“Bersembunyilah. Untung kami sempat memberikan penjelasan kepada anak-anak muda dan menenangkan penduduk. Biarlah aku menerimanya. Mereka pasti akan langsung menuju kemari mencari Swandaru.” berkata Ki Demang.
“Bagaimana jika mereka keras kepala dan tidak mau mendengarkan penjelasan Ki Demang?”
Ki Demang mengangkat bahunya. Sejenak ia memandang Ki Jagabaya, kemudian orang-orang yang ada disekitarnya. Baru kemudian ia menjawab “Kita mengharap mereka akan mendengar penjelasan-penjelasan.”
“Syukurlah kalau pimpinan Kademangan Semangkak sendiri berhasil mencegah mereka.”
“Mereka sudah diambang pintu Sangkal Putung.” Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kalau pimpinan Kademangannya sendiri tidak dihiraukannya, apalagi pimpinan Kademangan tetangga, terlebih-lebih anak-anak itu memang merasa mempunyai persoalan dengan Sangkal Putung.
Dalam kebimbangan itu Ki Demang berkata sekali lagi kepada anak muda yang mengawasi anak-anak Semangkak itu “Bersembunyilah. Kawan-kawanmu ada dikandang.”
“Baiklah” desis anak itu.
Baru saja la hilang dari pendapa, terdengar dikejauhan suara anak-anak muda yang berteriak-teriak tidak menentu. Berteriak-teriak seperti orang yang sedang mengejar tupai.
“Serahkan Swandaru. Serahkan Swandaru. Kalau tidak, Sangkal Putung menjadi lautan api.”
Yang mendengar teriakan-akan itu menjadi ngeri juga. Anak-anak muda dalam jumlah yang besar beriring-iringan sambil berteriak-teriak disepanjang jalan Sangkal Putung.
“Mereka datang” desis Ki Demang.
Ki Jagabaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, anak-anak muda Semangkak yang datang di Sangkal Putung itu merasa, bahwa kehadirannya tidak di ketahui oleh anak-anak muda Sangkal Putung, temyata tidak ada seorangpun yang menahan kedatangan mereka. Namun ketika mereka masuk lebih dalam, dan tidak seorangpun yang mereka jumpai di gardu-gardu atau dimanapun, mereka mulai curiga. Bahkan salah seorang dari mereka berkata “Pengecut. Ternyata anak-anak Sangkal Putung yang merasa dirinya mampu melawan pasukan Tohpati ketika itu, kini hanya berani menyembunyikan diri. Tidak seorangpun berani keluar dari rumahnya.”
“Kita langsung pergi kerumah Swandaru.”
“Ya, kita langsung pergi ke Kademangan. Kita temui Ki Demang dan kita minta Swandaru. Kalau Ki Demang tidak mau memberikan, kita jadikan Kademangan Sangkal Putung karang abang”
“Ya, kita jadikan Ki Demang tanggungan, sebelum kita mendapatkan Swandaru yang sombong itu.”
“Akulah yang akan mengurus Kademangan Sangkal Putung.” berkata Wita memotong kata-kata kawan-kawannya.
Kawan-kawannyapun tidak menyahut lagi. Dengan tergesa-gesa mereka pergi ke Kademangan. Sepanjang jalan yang sudah mulai gelap mereka sama sekali tidak menjumpai seorangpun. Bukan saja anak-anak muda, tetapi seakan-akan Sangkal Putung itu telah berubah menjadi sebuah kuburan yang besar. Sepi.
Sementara itu, Ki Demang di Semangkak berlari-lari menyusul anak-anak mudanya yang telah berangkat mendahului waktu yang diperkirakan. Mereka menjadi cemas, kalau sesuatu telah terjadi. Jika mereka terlambat, maka semuanya hanya akan dapat disesali.
Namun selagi ia masih berlari-lari ditengah sawah, anak-anak muda Semangkak telah memasuki halaman Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang segera memancar dihalaman, dikebun belakang dan yang lain mendekati pendapa.
Ki Demang di Sangkal Putung menjadi berdebar-debar juga. Kali ini ia tidak menghadapi pasukan Tohpati. Tetapi yang datang adalah anak-anak muda dari Semangkak. Anak-anak muda yang justru sedang tumbuh.
Seperti senja yang menjadi gelap, maka masa depan anak-anak muda itupun menjadi gelap. Jika mereka hanya dicengkam oleh kesibukan yang tidak berarti apa-apa itu, maka hari depan mereka, bahkan hari depan Semangkak pasti akan suram.
Ketika anak-anak muda Semangkak itu berdiri dibawah tangga pendapa Kademangan, maka seseorang telah menyalakan lampu dipendapa itu.
“Ki Demang di Sangkal Putung” berkata Wita yang agaknya telah menjadi pemimpin anak-anak Semangkak “kami ingin berbicara sedikit.”
Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi iapun kemudian berdiri dan berjalan ketangga pendapa diringi oleh Ki Jagabaya dan para bebahu. Juga paman Wita mengikutinya dengan cemas.
“Ya, aku memang sedang menunggu kalian” ber kata Ki Demang.
Dengan wajah yang tegang mereka memandang Ki Jagabaya dan paman Wita yang sudah berada d pendapa itu pula.
“Paman dan Ki Jagabaya sudah ada disini” desis Wita.
“Ya, maaf bahwa kami terpaksa mendahului..”
“Kalian sudah membujuk anak-anak yang menunggui kalian untuk minum tuak dan menjadi mabuk.”
“Merekalah yang memaksa aku minum tuak.”
“Bohong” teriak anak yang baru saja sadar dari mabuknya itu.
“Sudahlah” berkata Wita “sekarang kami akan segera saja menyampaikan keperluan kami.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya
“Serahkan Swandaru.”
Ki Demang menarik nalas dalam-dalam. Sejenak ia memandang Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya tidak sedang memandangnya.
“Anak-anak” berkata Ki Demang kemudian”Aku sedang digelisahkan oleh anakku itu. Ia tidak ada dirumah sejak siang hari”
“Bohong” teriak Wita. “ternyata Ki Jagabaya telah menyuruhnya bersembunyi. Sekarang, tunjukkan kepada kami, dimana anak itu bersembunyi. Kami hanya memerlukan Swandaru. Tetapi jika kami tidak menemukannya, kami akan berbuat atas siapa saja.”
Ki Demang menjadi semakin cemas melihat wajah-wajah yang tegang itu. Seakan-akan mereka sudah tidak mau lagi mendengarkah kata-kata orang lain. Namun demikian Ki Demang masih mencoba berkata “Sudah aku katakan bahwa Swandaru pergi. Mungkin ia sudah menduga bahwa kalian akan datang. Karena itu, iapun telah pergi meninggalkan rumah ini.”
“Bohong, aku tidak percaya” teriak Wita “aku minta Swandaru diserahkan.”
“Bakar saja rumahnya” teriak salah seorang dari anak-anak muda itu.
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi Witapun berpaling kepadanya dan memberikan isyarat agar anak itu diam.
“Wita” berkata Ki Demang kemudian “sebenarnya kita dapat membatasi persoalan ini. Yang kecil memang dapat kita tiup-tiup menjadi besar. Tetapi jika kita berkeinginan, maka yang besarpun dapat kita jadikan kecil.”
“Aku tidak akan berbicara. Yang kami tuntut, serahkan Swandaru. Hanya itu.”
“Cobalah, bayangkan kembali apa yang terjadi. Apakah yang terjadi itu cukup besar untuk mengorbankan jalinan kekeluargaan antara Semangkak dan Sangkal Putung.”
“Cukup, cukup” teriak Wita “aku hormati orang tua-tua. Tetapi jika ia mencoba menghalang-halangi aku, apa boleh buat.”
Kata-kata itu benar-benar menyakitkan hati. Tetapi Ki Demang adalah orang tua yang mencoba mengerti jalan pikiran anak-anak muda yang sesat sekalipun. Maka katanya ”Tidak baik kita terlalu memanjakan perasaan kita. Cobalah, dengarkan kata-kataku.”
“Tidak. Sudah cukup banyak. Serahkan Swandaru.” Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika lagi seorang yang berkata”
Bakar setiap gardu yang ada di Sangkal Putung. Bakar rumah ini jika Swandaru tidak kita ketemukan.”
“Membakar sebuah bangunan akibatnya akan luas sekali” berkata Ki Demang “bukan saja orang-orang tertentu, tetapi seluruh keluarganya akan menderita. Anakku bukan saja Swandaru. Tetapi aku mempunyai keluarga yang lain yang tidak tahu menahu.”
“Cukup, cukup. Jangan membujuk.”
“Aku tidak membujuk. Jika ada sesuatu yang kalian anggap salah, aku minta maaf bagi Swandaru. Tetapi marilah, duduklah. Semuanya atau sebagian yang dapat kalian anggap mewakili kalian. Kita dapat berbicara dengan baik.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak mau berbicara lagi.”
“Cobalah sebentar. Apa salahnya kita mempergunakan akal dari sekedar perasaan. Kalian adalah anak-anak muda. Sedang gadis-gadis yang menolak kawinpun kadang-kadang dapat juga diajak berbicara dengan nalar. Tentu kalian, laki-laki Semangkak, dapat juga berbicara dengan nalar yang bening.
“Diam, diam” Wita membentak” Ki Demang. Jangan membuat kami, anak-anak muda, kehilangan sikap hormat kami kepadamu dan kepada orang-orang tua di Sangkal Putung. Tunjukkanlah kepada kami dimana Swandaru dan anak-anak muda Sangkal Putung bersembunyi”
“Silahkan. Marilah, aku mengharap kalian duduk sejenak.”
“Tidak. Tidak” teriak Wita semakin keras untuk mengatasi sentuhan kata-kata Ki Demang. Sementara kawan-kawannya mulai berteriak pula “Tangkap Demang Sangkal Putung”
“Ki Demang” berkata Wita “kalau Ki Demang tidak mau menunjukkan, maaf, kami akan mencarinya sendiri kedalam rumah ini.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam.
“Minggirlah Ki Demang. Kami akan memasuki rumah ini untuk mencari Swandaru. Hanya Swandaru.”
“Itu tidak sopan” berkata Ki Demang.
“Kami tidak peduli. Kami memaksa untuk memasuki rumah ini meskipun Ki Demang berkeberatan.”
“Kita tidak usah minta ijin kepadanya” teriak anak muda yang lain.
Suasana semakin meningkat tegang. Ki Demang masih berdiri ditempatnya. Anak-anak yang sedang dibakar oleh perasaannya, didalam kumpulan orang banyak, memang terlampau sulit untuk diajak berbicara. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat dengan kekerasan, karena akibatnya akan menambah keadaan menjadi semakin parah.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba terdengar suara diregol halaman “Tunggu, tunggu.”
Semua orang berpaling kepadanya. Temyata Ki Demang di Semangkak diikuti oleh Ki Jagabaya beserta beberapa orang bebahu datang dengan tergesa-gesa.
“Mereka datang” seorang kawan Wita berbisik.
“Aku tidak peduli” desis Wita.
“Ya, kita tidak peduli.”
Dengan nafas terengah-engah Ki Demang di Semangkak langsung naik kependapa mendapatkan Ki Demang di Sangkal Putung sambil berkata “Maaf Ki Demang. Kami agak terlambat. Untunglah semuanya belum terjadi.”
Ternyata Wita mendengar kata-kata Ki Demang di Semangkak itu dan langsung menyahut “Semuanya tetap akan terjadi.”
Wajah Ki Demang di Semangkak menjadi merah padam. Dengan nada yang keras ia berkata “Wita. Apakah kau sudah gila?”
“Mungkin Ki Demang. Mungkin kami memang sudah gila. Tetapi kami tidak akan surut.”
“Gila. Kalian telah melakukan kesalahan yang besar sekali. Aku akan mencegah kalian dengan cara apapun.”
“Seperti yang aku katakan kepada Ki Demang di Sangkal Putung, jangan menghilangkan sikap hormat kami kepada orang tua-tua. Menepilah. Cepat.”
“Tidak” teriak Ki Demang di Semangkak “aku tidak akan menepi. Kalau kalian akan berbuat gila, akulah korban yang pertama.”
Anak-anak Sangkal Putung itu menjadi semakin tegang. Sejenak mereka tercenung melihat sikap Ki Demang Semangkak yang ternyata justru lebih keras dari sikap Ki Demang di Sangkal Putung.
Tetapi nalar anak-anak itu benar-benar sudah menjadi butek. Karena itu, maka salah seorang dari mereka berteriak “Kami tidak peduli. Siapapun korban yang pertama. Jika seseorang mencoba menghalangi kami, maka kami akan bertindak.”
“Ayo, lakukan. Lakukanlah” teriak Ki Demang yang menjadi sangat marah.
Tetapi Ki Demang Sangkal Putung menjadi cemas. Jika suasana bertambah panas, dan terjadi sesuatu diantara mereka, maka Kademangan Sangkal Putunglah yang akan menjadi korban. Mungkin anak-anak itu benar-benar akan membakar rumah ini. Dan jika demikian, maka sulitlah untuk mencoba mengendalikan anak-anak Sangkal Putung sendiri.
Karena itu. maka ia masih mencoba menengahi. ” Tunggulah. Aku minta kita berbicara.”
“Mereka tidak dapat diajak berbicara lagi” geram Ki Demang di Semangkak.
“Aku akan mengatakan sekali lagi kepada mereka, bahwa rumah ini tidak saja didiami oleh Swandaru. Aku, isteriku dan seorang anak gadisku. Mereka tidak tahu menahu tentang tingkah laku Swandaru. Karena itu, jangan membuat mereka menjadi ketakutan.”
Tiba-tiba Wita mengerutkan keningnya. Kata-kata Ki Demang itu justru membuka persoalan baru baginya, sehingga tanpa diduga-duga ia berkata “Apakah mereka ada dirumah ?”
Tanpa prasangka jelek, Ki Demang menjawab ””Ya, mereka ketakutan dibelakang.”
“Terima kasih. Aku akan mengambil Sekar Mirah”
“He ?” Ki Demang di Sangkal Putung, Ki Demang Semangkak dan semua orang yang mendengar kata-kata itu terkejut bukan kepalang.
“Jangan terkejut” berkata Wita “aku memerlukan Sekar Mirah.”
“Kenapa dengan Sekar Mirah ?” bertanya Ki Demang.
“Sebelum Swandaru datang menjemput adiknya Sekar Mirah tidak akan aku lepaskan.”
“Gila, itu lebih gila lagi” Ki Demang di Semangkak masih berteriak “sudah aku katakan. Aku akan menghalangi kegilaan kalian. Biarlah aku menjadi korban yang pertama. Kalian sudah cukup banyak membuat aku sakit hati, membuat aku pening dan gelisah. Sekarang ini adalah puncak dari kegilaan kalian.”
“Jangan menghinakan diri sendiri Ki Demang” berkata Wita “kami tetap pada pendirian kami. Jika Swandaru tidak ada, kami memerlukan Sekar Mirah..”
Suasana yang tegang menjadi semakin tegang. Tiba-tiba saja seorang anak muda yang lain berteriak “Bawa gadis itu.”
Hampir berbareng beberapa orang menyahut “Ya. Bawa gadis itu. Bawa gadis itu.”
“Diam. Diam” teriak Ki Demang di Semangkak.
Tetapi justru anak-anak muda itu mendesak maju ketangga. Bahkan beberapa orang yang semula berdiri dipinggir halaman, melangkah pula mendekat sambil berteriak “Ya, bawa gadis itu.”
Suasana menjadi semakin panas. Ki Jagabaya Semangkak yang tidak banyak berbicara seperti kebiasaannya sehari, melangkah maju dengan wajah yang membara. Tiba-tiba saja ia memutar kerisnya sambil berteriak “Kalian, kalian akan melawan aku?”
Anak-anak muda Semangkak itu terhenti sejenak, namun kemudian Wita berteriak pula “Menepilah Ki Jagabaya. Aku hanya memerlukan gadis itu, agar Swandarulah yang kelak menjemputnya.”
Orang-orang tua yang marah dipendapa itu justru terbungkam. Tetapi mereka tentu tidak akan membiarkan semuanya itu berlangsung, apapun yang akan terjadi atas diri mereka. Karena itu, tanpa berjanji, merekapun mulai bergerak melebar, seakan-akan ingin menahan arus gelombang yang menghantam tebing.
Tetapi anak-anak muda Semangkak itu bagaikan sedang mabuk tuak. Tidak ada cara untuk menahan mereka.
Namun demikian, tiba-tiba semua orang yang ada dihalaman itu tergetar ketika mereka mendengar suara seorang gadis yang melengking “Aku setuju.”
Suara itu benar-benar telah mengejutkan setiap telinga yang mendengarnya, Apalagi ketika mereka kemudian melihat Sekar Mirah naik kependapa dari arah samping.
“Mirah” desis Ki Demang Sangkal Putung.
“Aku sependapat dengan usul Wita. Biarlah ia membawa aku. Atau laki-laki yang manapun juga dari Semangkak.”
“Mirah” wajah Ki Demang menjadi merah. “Tetapi aku mempunyai syarat.”
“Apa syaratmu” Wita berteriak.
“Hanya laki-laki yang mampu memaksa aku dengan kekerasan yang dapat membawa aku ke Semangkak. Tetapi laki-laki itu harus laki-laki jantan, yang berani bertindak atas tanggung jawabnya sendiri.”
Halaman itu bagaikan dicengkam oleh kesenyapan yang tajam. Setiap orang menahan nafasnya sambil memandang Sekar Mirah yang berdiri ditengah-tengah pendapa, dalam cahaya samar-samar lampu minyak.
“Mirah” terdengar suara lain berdesis. Agaknya Sumangkar yang mengikuti peristiwa itu menjadi cemas pula.
Sekar Mirah hanya berpaling, tetapi ia tidak surut. Bahkan ia berkata selanjutnya “Nah, laki-laki Semangkak yang manakah yang akan membawa aku serta ?”
Setiap orang masih saja terheran-heran. Mereka sama sekali belum mengetahui maksud Sekar Mirah itu, sementara Sumangkar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Temyata perasaan Sekar Mirahpun telah terlanjur menyala seperti anak-anak Semangkak yang datang kerumahnya itu.
Ki Demang di Sangkal Putungpun kemudian menyadari, bahwa ia sudah berbuat suatu kesalahan. Yang selama ini diperhatikan dan dijaganya agar tidak melonjak adalah perasaan anak-anak mudanya, Atas usaha Swandaru, anak-anak muda itu dapat dikendalikan. Tetapi Ki Demang dan para bebahu Sangkal Putung agaknya telah lupa, bahwa disamping anak-anak muda itu masih ada seorang lagi yang perlu diperhatikan. Orang itu adalah anak gadisnya, Sekar Mirah.
Tetapi kini sudah terlambat. Sekar Mirah sudah berada dipendapa. Bahkan telah menantang anak-anak muda Semangkak yang datang kerumahnya.
Dalam pada itu anak-anak muda Semangkak masih dicengkam oleh keheranan. Mereka belum tahu pasti maksud Sekar Mirah. Karena itu, maka Witapun bertanya pula.
“Jelaskan madsudmu Mirah.”
“Baik” Sekar Mirah mendekat tanpa ragu-ragu. Ternyata bahwa pakaian Sekar Mirah membuat anak-anak muda Semangkak semakin heran. Sekar Mirah berpakaian seperti seorang laki-laki. Meskipun ia tidak memakai ikat kepala, tetapi rambutnya telah disanggulnya tinggi-tinggi dan diikatnya erat-erat.
“Wita” berkata Sekar Mirah “kau sudah beberapa lama berada di Sangkal Putung. Tentu tidak akan kami duga, bahwa kau pada suatu saat akan datang membawa kawan-kawanmu. Tetapi itu sudah terjadi. Sekarang, kita lanjutkan persetujuan kita. Kalau kau mau membawa aku, bawalah. Tetapi syaratnya, kalau kau dapat mengalahkan aku.”
Wajah Wita menjadi merah sesaat. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia mendapat tantangan dari seorang gadis. Dari Sekar Mirah. Dan apalagi ketika Sekar Mirah melanjutkan “Jika kau menang, taruhannya adalah diriku. Apapun yang akan kau perbuat, Karena aku adalah barang taruhan. Tetapi kalau kau kalah, bawa kawan-kawanmu pergi. Kau setuju?”
Wita masih berdiri tegang. Di Semangkak ia terhitung anak muda yang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya diantara beberapa orang yang lain yang tidak banyak jumlahnya, tetapi yang justru tidak mau membantunya saat ini.
“Kenapa kau diam saja Wita” desak Sekar Mirah.
Tetapi Wita masih berdiri termangu-mangu.
Dalam pada itu Ki Demang Sangkal Putunglah yang bergeser mendekati Sekar Mirah sambil berdesis “Kau sudah gila Mirah.”
Sekar Mirah justru tersenyum sambil berbisik “Terpaksa ayah. Jika tidak demikian, aku kira keadaan akan menjadi semakin buruk. Mereka tidak dapat diajak berbicara lagi.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam.
Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung, maka Ki Demang di Semangkak serta bebahu lainnya berdiri saja terheran-heran. Ia tidak mengerti, apakah Sekar Mirah itu bersungguh-sungguh atau suatu cara penyelesaian yang tidak dimengertinya.
Tetapi agaknya gadis itu bersungguh-sungguh. Ternyata ia berkata “Ayo, siapakah yang akan mewakili kalian jika bukan Wita. Aku memberi kesempatan kepada tiga orang anak-anak muda dari Semangkak. Mereka harus berkelahi seorang demi seorang, justru untuk menghormati harga diri kalian. Kemudian kita masing-masing harus memenuhi perjanjian yang telah kita buat, Kalau aku kalah, akulah taruhannya, meskipun aku harus menjadi juru masak atau pekatik kuda sekalipun. Tetapi kalau kalian kalah, kalian harus pergi,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Beberapa langkah ia maju mendekati anak-anak muda Semangkak yang sudah mulai naik tangga pendapa “Cepat, tentukan wakil-wakil kalian.”
Wita yang ragu-ragu berdiri saja ditempatnya. Dipandanginya Sekar Mirah dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip. Ketika gadis itu berdiri beberapa langkah di hadapannya, ternyata bahwa gadis itu memang terlalu cantik.
Selagi Wita masih ragu-ragu, tiba-tiba saja terdengar suara dibelakang “Baik. Aku terima perjanjian itu. Aku akan mewakili kawan-kawanku.”
“Nah, aku sudah menemukan lawan” berkata Sekar Mirah Masih ada kesempatan bagi dua orang.”
“Gila” teriak Wita “tetapi kalau itu yang kau kehendaki, baiklah. Aku menjadi orang ketiga, dan masih ada kesempatan bagi orang kedua.”
Seorang anak muda jangkung mengacukan tangannya. Katanya “Aku orang kedua itu.”
Ketiganya memang anak-anak terpandang di Sangkal Putung. Mereka adalah anak muda yang paling menyulitkan pimpinan Kademangan. Dan kini mereka pulalah yang akan mewakili kawan-kawannya mencoba mengalahkan Sekar Mirah dan membawanya ke Semangkak.
“Bagus” berkata Sekar Mirah kemudian “minggirlah yang lain. Kita membuat arena, Kalian harus berdiri mengelilingi arena itu dan tidak boleh ikut campur didalam perkelahian, karena kalian sudah diwakili. Aku percaya bahwa mulut anak-anak muda Semangkak masih dapat dipercaya. Kalian masih cukup jantan untuk menepati janji kalian sendiri.”
Sekar Mirah seakan-akan tidak menghiraukan apapun lagi. Ia langsung berjalan menerobos anak-anak muda Semangkak yang masih berdiri di tangga pendapa. Tetapi justru dengan demikian mereka telah menyibak dengan sendirinya.
“Marilah.” ajak Sekar Mirah “lingkari arena yang kita buat dihalaman ini. Tanpa tali dan tanpa gawar. Kita melakukan sayembara tanding.”
Tiba-tiba saja halaman itu telah dicengkam oleh ketegangan yang lain. Bukan karena anak-anak Semangkak akan membakar rumah itu, tetapi perhatian mereka kini justru terpusat pada seorang gadis yang berpakaian seperti seperti orang laki-laki berdiri bertolak pinggang ditengah-tengah halaman Kademangan Sangkal Putung.
“Ki Demang” desis Demang Semangkak “bagaimana dengan gadismu itu?”
Ki Demang di Sangkal Putung hanya menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia mencemaskan nasib Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa ia telah melupakan gadisnya itu, sehingga menghadapi kedatangan anak-anak muda dari Semangkak, ia tidak berpesan apapun juga kepadanya.
“Kini Sekar Mirah sudah mengatakan suatu ketentuan. Adalah menjadi sifatnya. bahwa ia tidak akan menarik kata-katanya” berkata Ki Demang Sangkal Putung itu dengan nada yang datar.
“Tetapi” sahut Ki Demang di Semangkak “apakah ia tidak memikirkan akibatnya? Mungkin ia masih mengharap bahwa anak-anak Semangkak itu menghargai kegadisannya dan bersifat jantan. Tetapi mereka adalah anak-anak bengal yang tidak berperasaan lagi. Apakah kau tidak mencoba untuk mencegahnya sebelum terlambat? Anak-anak itu pasti akan memperlakukannya seperti yang dikatakannya itu. Bukan sekedar juru masak, atau pekatik kuda, tetapi pasti lebih dari itu. Tebusannya adalah Swandaru sendiri.
“Mudah-mudahan ia dapat menjaga dirinya” desis Ki Demang Sangkal Putung “aku harus menghargai kata-katanya. Jika tidak, ia akan berbuat aneh-aneh. Meskipun ia seorang gadis, tetapi jiwanya sekeras batu padas. Dan ia ingin bersikap jantan meskipun kadang-kadang tidak mengena sasarannya.
“Tetapi masih belum terlanjur.”
“Terlambat” desis Ki Demang Sangkal Putung.
Keduanya dan para bebahu kedua Kademangan itu kini berdiri tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Ki Demang Sangkal Putung maju menyibakkan anak-anak muda Semangkak yang telah mengelilingi sebuah arena yang cukup luas didalam gelap yang samar-samar. Sinar lampu minyak dipendapa tidak begitu terasa pengaruhnya, meskipun memberikan bayangan yang kemerah-merahan.
Ki Demang dan para bebahu dari kedua Kademangan itupun kemudian berdiri mengelilingi arena itu pula. Yang berdiri ditengah-tengah lingkaran itu adalah Sekar Mirah dan seorang anak muda Semangkak. Anak muda yang berwajah keras dan bertubuh kekar meskipun tidak begitu tinggi. Rambutnya yang mencuat dari ikat kepalanya yang tidak mapan, bergayutan dibelakang telinganya. Bahkan seperti segumpal ijuk yang tidak terpelihara.
“Aku akan memboyongmu” desisnya. Kawan-kawannya yang semula tegang, tiba-tiba tertawa melihat tingkah lakunya. Bahkan anak itu berkata selanjutnya “Kau terlalu cantik untuk menjadi juru dang atau juru pengangsu. Apalagi pekatik kuda. Kau akan menjadi pekatikku saja.”
Sekali lagi suara tertawa meledak disekitar arena itu.
“Kau tentu tidak akan menyesal atas perjanjian yang kau buat sendiri.” berkata anak muda itu lebih lanjut, lalu “tetapi kau memang cantik. Aku tidak mengerti, kenapa kau membuat semacam sayembara tanding. Apakah kau sebenarnya memang ingin memilih salah seorang diantara kami tetapi jalan inilah yang dapat kau tempuh ?”
Suara tertawa anak-anak muda Semangkak itu bagai meledak. Dan anak muda itu bagaikan mabuk mendengar suara kawan-kawannya, sehingga ia menjadi semakin berani “Nah, sekarang katakanlah bahwa kau sudah kalah. Aku akan membawamu pulang ke Semangkak. Aku akan berhenti berkelahi. Berkelahi hampir setiap hari aku lakukan. Aku akan tinggal dirumah peninggalan ayah dan ibuku yang kini dipakai oleh ibu tiriku. Aku akan merampasnya kembali dan memberikannya kepadamu.”
Ketika suara tertawa mengguruh, Ki Demang dl Sangkal Putung sempat menilai anak muda yang seperti kehilangan keseimbangan itu. Ternyata ia mempunyai ibu tiri. Itulah agaknya yang telah menggoncangkan sendi-sendi ketenangan hidup berkeluarga. Dan anak itu mencari pelarian ketempat yang keliru.
“Kenapa kau diam saja?” anak itu menjadi semakin berani. Selangkah ia maju “Sayang sekali, kalau aku harus berkelahi melawan gadis semanis kau. Apakah kau benar-benar bermaksud berkelahi dalam arti berkelahi?”
Suara tertawa bagaikan menggetarkan rumah Kademangan. Tetapi suara itu tiba-tiba terputus ketika anak muda yang ada diarena itu mengaduh tertahan. Ternyata Sekar Mirah telah menampar pipinya ketika anak muda itu menjadi semakin dekat.
“Oh” anak muda itu meloncat mundur “kau memukul?”
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi ia menjadi muak melihat tingkah lakunya. Anak muda itu maju selangkah sambil berkata “Jadi kau betul-betul ingin berkelahi? Apakah kau sudah berlatih bantingan?”
Sebelum anak-anak muda yang lain sempat tertawa. sekali lagi tangan Sekar Mirah telah melekat dipipinya. Kali ini agak lebih keras sehingga anak muda itu menyeringai sambil mengusapnya
“Bukan main” ia mulai menjadi tegang ”kau ingin berkelahi sungguh-sungguh? Baik. Aku akan melayanimu. Aku sering berkelahi dengan seribu macam cara Aku mempelajari olah kanuragan. Aku sering bantingan dan binten. Aku mampu menguasai tangan dan kakiku baik-baik. Dan aku akan menaklukkan kau tanpa menyakitimu.”
Tetapi sekali lagi sebuah pukulan mengenai bukan saja pipinya, tetapi kini pelipisnya sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.
Kawan-kawannya yang semula selalu tertawa kini mulai mengerutkan kening. Ternyata bahwa gadis yang bernama Sekar Mirah itu tidak sekedar bermain-main. Ia ingin benar-benar berkelahi. Karena itu, merekapun mulai bersungguh-sungguh.
Demikianlah, anak muda yang mulai benar-benar merasa sakit itu tidak lagi menganggap Sekar Mirah sebagai golek kayu yang dapat dilela-lela. Karena itu, iapun kini maju dengan berhati-hati.
“Mulailah” geram Sekar Mirah “jangan menganggap aku seekor tikus jika kau seekor kucing. Tetapi aku adalah Sekar Mirah.”
Anak muda itu memang sudah mulai bersungguh-sungguh. Tetapi kepalanya sudah menjadi pening karena pukulan tangan Sekar Mirah dipelipisnya itu.
Tetapi anak muda dari Semangkak itu benar-benar telah berniat untuk menundukkan Sekar Mirah yang meskipun agak galak, tetapi cantik. Karena itu, maka dengan kening yang berkerut-merut ia melangkah mendekatinya.
Sekar Mirah sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan ditengadahkannya dadanya sambil bertolak pinggang.
“Gila” anak muda yang kini berdiri dihadapannya itu berdesis. Digeleng-gelengkannya kepalanya untuk mengusir perasaannya yang kisruh melihat sikap Sekar Mirah yang menantang itu.
“Kenapa kau masih diam saja?” bertanya Sekar Mirah “atau aku yang harus mulai?”
Anak muda itu seolah-olah mulai tersadar dari mimpi indahnya. Yang berdiri dihadapannya tidak kurang dari seekor macan betina yang dapat mencengkamnya dengan kuku-kukunya yang tajam.
Dengan demikian maka anak muda itupun segera rnempersiapkan dirinya. Ia tidak mau dldahului, diterkam oleh Sekar Mirah. Lebih baik ialah yang meloncat menerkamnya dan membantingnya ditanah. Jika ia sudah tidak berdaya, maka ia akan dapat membawanya pulang.
Sejenak kemudian anak muda itu mengambil ancang-ancang. Kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun. lagi, iapun meloncat sambil mengembangkan tangannya menerkam Sekar Mirah sambil berkata didalam hati “Aku tidak peduli apa saja yang akan dikatakan oleh kawan-kawanku. Aku akan menerkamnya seperti menerkam seekor kijang. Hal itu sudah dikehendaki oleh gadis itu sendiri.”
Namun yang terjadi adalah diluar dugaannya. Ketika kedua tangannya yang berkembang itu hampir menyentuh tubuh Sekar Mirah, maka dengan tangkasnya Sekar Mirah bergeser selangkah kesamping. Kemudian didorongnya anak muda yang masih terayun oleh kekuatannya sendiri itu, sehingga dua kekuatan yang tergabung itu seakan-akan telah melemparkannya dengan kerasnya.
Anak muda itu sama sekali tidak dapat menjaga keseimbangannya. Seperti menyuruk ia meluncur dan jatuh terjerembab. Adalah diluar dugaan bahwa kepalanya telah membentur tangga pendapa yang pertama ketika kawan-kawannya justru menyibak melihat ia seakan-akan sedang menyerudukkan kepalanya.
Masih terdengar ia mengaduh perlahan-lahan. Tetapi sejenak kemudian iapun menjadi pingsan.
Wita berdiri termangu-mangu. Demikian juga anak-anak muda Semangkak yang lain. Bahkan bebahu Sangkal Putung sendiri terheran-heran melihat ketangkasan Sekar Mirah itu. Apalagi ternyata bahwa anak muda Semangkak itu tidak segera dapat bangkit lagi.
Beberapa orang kawannyapun segera mengerumuninya dan mengguncang-guncangnya. Tetapi untuk beberapa lama anak muda itu tetap diam.
“Nah” suara Sekar Mirah telah menyobek ketegangan itu “apakah aku harus menunggu ia sadar, atau aku akan melayani orang kedua?”
Tidak segera ada jawaban. Dan karena itu maka Sekar Mirahlah yang mengambil keputusan “Bangunkan kawanmu yang pingsan itu. Marilah, kita isi waktu kita dengan orang kedua.”
Tetapi masih tidak ada iawaban.
“Ayo, siapa yang menyatakan dirinya orang kedua diadalam sayembara ini?”
Tidak seorangpun yang menampakkan dirinya.
Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Diedarkannya tatapan matanya yang tajam berkeliling. Tetapi karena belum ada. yang memasuki arena, maka sekali lagi Sekar Mirah berkata “Cepat. Mumpung belum terlampau malam.”
Sekar Mirah berpaling ketika ia mendengar sedikit ribut dibelakangnya. Ketika ia memperhatikan tempat itu, dilihatnya beberapa anak muda Semangkak sedang mendorong kawannya.
“Bukankah kau yang menyatakan diri menjadi orang kedua” desis salah seorang dari mereka.
“Majulah. Tangkaplah gadis itu dan bawalah pulang ke Semangkak.”
Tetapi anak muda jangkung yang didorong-dorongnya itu tidak juga mau maju.
Sekar Mirah dapat mengenali anak muda itu, betapapun lemahnya cahaya lampu dipendapa. Karena itu maka katanya “Nah, bukankah kau yang akan bertaruh kini ?”
Tetapi anak muda itu menggeleng “Tidak. Aku tidak.”
“Bukankah kau sudah menyatakan dirimu?”
“Tidak. Tidak pantas aku berkelahi dengan perempuan.”
“Kenapa ?” bertanya Sekar Mirah.
“Tidak adil.”
“Apa yang tidak adil ?”
“Jika aku menang, hal itu dianggap biasa, Laki-laki menang atas seorang perempuan. Tetapi kalau aku kalah, memalukan sekali.”
“Tidak peduli. Kalau kau mau berkelahi, mari.” Tetapi laki-laki itu menggeleng.
Wita yang berdiri termangu-mangu tiba-tiba menggeretakkan giginya. Sambil melangkah maju ia menggeram “Minggir, biarlah aku selesaikan perempuan ini. Aku tidak peduli kata orang. Dan aku tidak peduli taruhan apa yang akan aku terima. Tetapi perempuan ini sudah menyatakan diri sebagai tebusan. Aku akan menganggapnya berhadapan sendiri dengan Swandaru. Jangan menyesal kalau aku benar-benar akan berkelahi seperti aku berkelahi melawan Swandaru.”
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak gentar. Bahkan dengan serta-merta ia bertanya, ”Bukankah kau dengan mudah dapat dikalahkan oleh kakang Swandaru?”
“Persetan, aku belum siap. Seperti kawanku yang kau kalahkan itu sebenarnya hanya karena ia tidak siap menghadapl kenyataan ini. Ia terlampau menganggap kau sebagai seorang gadis sombong yang kesurupan.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi iapun dapat mengerti bahwa lawannya yang pingsan itu menganggapnya tidak lebih dari seorang gadis yang keras kepala, sehingga karena itu ia kurang berhati-hati menghadapinya.
Tetapi kali ini lawannya tidak akan dapat didorongnya begitu saja sehingga kepalanya membentur tangga. Lawannya yang terakhir ini pasti akan berusaha menentukan keadaan, jika lawannya itu menang, maka ia akan menjadi taruhan dan hanya dapat diambil oleh Swandaru sendiri.
Dengan demikian Sekar Mirah pun bersiaga sebaik-baiknya. Ia tidak mau menjadi korban janjinya sendiri. Namun ia sudah dapat menduga, bahwa lawannya jauh berada di bawah kemampuan kakaknya Swandaru. Itulah sebabnya, maka Sekar Mirah berani menjadikan dirinya sebagai taruhan didalam perkelahian ini.
Sejenak kemudian Wita yang melangkah semakin dekat berkata dengan lantang “Bersiaplah. Sebentar lagi kau akan berada di Semangkak.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Ditatapnya tangan Wita dengan tajamnya. Ternyata bahwa Witapun tidak menunggu jawaban Sekar Mirah. Tangan itu segera bergerak menyerang Sekar Mirah.
Agaknya Wita benar-benar tidak bermain-main. Serangannya datang dengan derasnya menyambar kening Sekar Mirah.
Sekar Mirah terkejut mendapat serangan yang langsung mengarah ke keningnya. Namun itu baginya merupakan pertanda bahwa Wita tidak lagi bermain-main. Ia benar-benar ingin menjatuhkannya. Bukan saja untuk membawanya sebagai tanggungan, sampai saatnya Swandaru datang mengambilnya, yang tentu tidak akan diberikannya begitu saja, tetapi Wita tentu ingin juga memperbaiki nama anak-anak muda Semangkak yang tercemar oleh kekalahan kawannya dalam waktu yang terlalu singkat. Apalagi kawannya yang kedua menjadi berkerut terlampau kecil, setelah ia melihat kekalahan orang yang pertama.
Tetapi Sekar Mirah adalah seorang gadis yang memiliki bekal terlampau banyak untuk sekedar melawan Wita. Meskipun Sekar Mirah cukup berhati-hati, namun segera tampak pada setiap orang yang menyaksikan, bahwa Sekar Mirah adalah lawan yang berat bagi Wita.
Sambil mengelakkan serangan pertama. Sekar Mirahpun telah menyerang lambung Wita. Tetapi Wita masih sempat menggeliat dan mengelakkan serangan itu, meskipun ia hampir kehilangan keseimbangan. Apalagi ternyata Sekar Mirah melihat kelemahan sesaat itu, sehingga ia meloncat memburunya. Tetapi Wita menyadari kelemahannya, sehingga karena itu, ia justru berguling sama sekali untuk menjauhi lawannya. Dengan lincahnya ia melenting dan berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya didadanya. Tetapi ia terkejut bukan buatan, bahwa begitu ia tegak, tangan Sekar Mirah telah mendorongnya.
Kali ini Wita tidak dapat bertahan lagi. Dorongan Sekar Mirah itu telah melemparkannya jatuh terlentang, meskipun dengan cepatnya ia berhasil meloncat berdiri. Namun dengan demikian, hampir setiap orang sudah dapat menilai kemampuan dari kedua orang yang sedang-berkelahi itu. Dengan dada berdebar-debar anak-anak muda Semangkak menyaksikan kelanjutan yang akan berlangsung. Hanya dengan keajaiban sajalah wita akan dapat bertahan terus, apalagi memenangkan perkelahian itu.
Dalam pada itu, Ki Demang di Sangkal Putung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Sekar Mirah yang keras hati itu, mampu juga menahan diri. Ia tidak dengan serta merta mengalahkan lawannya, apalagi membuatnya terluka parah. Dengan demikian ia tidak membakar perasaan anak-anak muda Semangkak yang memang sedang panas itu. Agaknya Sekar Mirah kali ini berusaha mengalahkan lawannya dengan hati-hati.
Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu dan beberapa orang kawannya tidak lagi berada dikandang. Selagi halaman Kademangan itu diriuhkan oleh suara tertawa dan teriakan-akan liar anak-anak muda Semangkak, sebelum Sekar Mirah mulai berkelahi, anak-anak Semangkak yang tersebar di halaman berlari-larian ingin melihat apa yang terjadi dihalamnan. Swandaru dan Agung Sedayu beserta kawan-kawannya, yang merasa tidak akan mendapat pengawasan lagi, segera turun dari kandang dan dengan hati-hati menyelinap didalam kegelapan. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat melihat apa yang terjadi dihalaman karena anak-anak Semangkak telah melingkari arena sehingga merekapun segera berusaha memanjat sebatang pohon. Dari atas dahan mereka berhasil menyaksikan, bagaimana Sekar Mirah berkelahi melawan Wita.
Agung Sedayu menyaksikan perkelahian itu dengan dada berdebar-debar. Bukan karena la mencemaskan Sekar Mirah, bahwa ia akan dapat dikalahkan oleh Wita, tetapi justru karena perasaan Sekar Mirah sendiri yang melonjak-lonjak, yang akan dapat membuat suasana lebih memburuk.
Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin seru. Tetapi Wita hampir tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk berbuat sesuatu. Semakin lama serangan Sekar Mirah menjadi semakin cepat, meskipun tidak berbahaya. Namun demikian, kadang-kadang wajah Wita menjadi merah padam, apabila beberapa kali ia harus jatuh berguling-guling. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa adik Swandaru itu ternyata benar-benar memiliki kemampuan berkelahi. Bahkan kemampuannya berada diatasnya.
Tetapi alangkah memalukan sekali kalau ia harus menyerah. Karena itu, Wita menjadi semakin bernafsu. Di kerahkan semua tenaga untuk mencoba memenangkan perkelahian Itu. Namun ia sama sekali tidak mempunyai harapan apapun.
Karena itu, timbullah sifatnya yang licik. Ia harus berusaha membangkitkan kemarahan anak-anak Semangkak sebelum ia berhasil dikalahkan. Dengan demikian la tidak akan terlampau terhina oleh kekalahan itu. Ia tidak memikirkan akibat apa yang akan dapat timbul dari kelicikannya itu.
Sesaat berikutnya Wita masih berkelahi. Meskipun ia selalu terdesak mundur, namun ia ingin membuat kesan, bahwa ia sengaja menjauhi lawannya. Setiap kali ia siap untuk menyerang, tetapi serangan itu diurungkannya.
Melihat sikap Wita, Sekar Mirah menjadi termangu-mangu. Ia memang tidak ingin menghinakan anak Semangkak itu dihadapan kawan-kawannya dengan berlebih-lebihan. Ia tidak ingin membuat Wita semakin mendendam. Karena itu, iapun mengurangi tekanannya dan mencoba mengerti maksud lawannya.
Tetapi keadaan itu telah dimanfaatkan oleh Wita yang kemudian meloncat surut sambil berkata “Ternyata tidak ada untungnya aku berkelahi melawan perempuan.”
Sekar Mirahpun terhenti pula. Dengan dahi yang berkerut-merut ia memandang Wita dengan tajamnya. Namun ia tidak akan menyangka sama sekali kalau Wita kemudian berteri’ak “He anak-anak Semangkak. Aku tidak mau berkelahi lagi dengan perempuan. Beberapa langkah lagi aku pasti akan dapat menjatuhkannya. Tetapi aku tentu akan ditertawakan orang. Jika aku menang, memang tidak akan ada seorangpun yang mengagumi, tetapi jika aku mengalah, disangkanya aku dapat dikalahkan oleh perempuan. Apalagi jika aku benar-benar kalah. Kali ini aku masih mempunyai belas kasihan kepadanya. Aku sadar, jika gadis itu aku bawa ke Semangkak, akibatnya tidak akan baik baginya dan bagi kita sendiri. Karena itu, jangan hiraukan dia, cari Swandaru sampai ketemu. Kalau perlu, bakar saja rumah ini.”
“Tunggu” Sekar Mirah yang mendengar kata-kata Wita itu terkejut. Bahkan Ki Demang dan bebahu dari kedua Kademangan itupun terkejut pula “kau licik. Kau kalah, tetapi kau tidak mau mengakui karena kau ingin mengingkari perjanjian yang sudah kita setujui bersama. Semula aku masih mempunyai harga diri.”
“Aku masih mempunyai harga diri. Karena itu aku tidak mau berkelahi melawan perempuan.”
“Tidak. Mari kita teruskah. Kita tepati perjanjian kita. Kalau perlu, kita yakini kemenangan yang terjadi. Kita berkelahi dengan senjata. Kita tentukan siapa yang mati diantara kita. Dengan demikian tidak akan ada yang dapat ditipu lagi, siapa yang sebenarnya kalah dan menang.
Tantangan Sekar Mirah itu benar-benar mendebarkan jantung. Agaknya gadis itu benar-benar telah kehilangan kesabaran. Ia merasa telah diingkari oleh anak Semangkak itu.
Sehingga dengan demikian usahanya untuk mencapa penyelesaian tanpa menimbulkan korban tidak dapat dilakukannya. Bahkan Wita telah dengan licik menghindari akhir dari perkelahian ini
Kemarahan itu tidak dapat ditahankannya lagi, sehingga karena Wita masih termangu-mangu, Sekar Mirah mendesaknya “Ayo. Kita tegaskan. Siapa yang kalah dan siapa yang menang dengan taruhan nyawa. Tidak saja taruhan wadagku dan sikap jantanmu.”
Wita masih termangu-mangu. Namun ternyata bahwa ia benar-benar seorang anak muda yang licik, sehingga dengan tidak malu-malu sama sekali ia menjawab “Aku tidak peduli, tetapi berkelahi dengan perempuan benar-benar telah merendahkan derajatku.” Lalu katanya kepada kawan-kawannya “Ayo, jangan hiraukan perempuan kesurupan itu. Kita cari Swandaru. Tetapi kalau perempuan itu menghalangi, terserah kepada kalian. Apakah kalian akan menangkapnya beramai-ramai atau akan melumpuhkannya, terserah kepada kalian.”
Darah Sekar Mirah serasa mendidih karenanya. Jika saat itu ia membawa pedang, maka ia pasti sudah mencabut pedangnya. Tetapi karena la tidak menduga, bahwa lawannya adalah orang yang licik, maka ia tidak bersenjata karenanya. Dalam kekalutan itu Sekar Mirah teringat kepada gurunya. Tentu gurunya tidak akan mengijinkan jika ia mempergunakan senjata. Apalagi senjata tongkat berkepala tengkorak itu. Namun ia mengharap juga gurunya berbuat sesuatu untuk meredakan suasana. Atau bahkan memerintahkannya berrtempur sama sekali.
Sekar Mirah tahu bahwa dihalaman rumahnya ada dua orang tua yang pasti tidak akan terlawan. Kiai Gringsing dan Sumangkar. Ia tahu pula bahwa kedua Demang dan bebahu kedua Kademangan itu pasti tidak akan membiarkan anak-anak Semangkak itu berbuat liar. Selain mereka masih ada juga Swandaru, Agung Sedayu dan beberapa orang anak muda Sangkal Putung yang terpilih didalam kandang.
Tetapi Sekar Mirahpun tahu, bahwa bukan penyelesaian dengan cara itulah ysng dikehendaki. Namun demikian, apabila keadaan memaksa, apa boleh buat.
Dalam pada itu wajah-wajah anak Semangkak telah menjadi tegang, seperti wajah Ki Demang dan bebahu dari kedua Kademangan itu. Bahkan Ki Jagabaya dari Semangkak sendiri telah menjadi gelisah dan sesekali menatap wajah Ki Demang di Semangkak, seolah-olah menunggu jatuhnya perintah.
Dalam ketegangan itu sekali lagi terdengar suara Wita “Ayo, jangan termangu-mangu. Kita sudah memutuskan untuk mengambil Swandaru, apapun yang akan terjadi.”
Swandaru sendiri telah menjadi gemetar. Bukan karena ketakutan Tetapi kemarahan yang menghentak-hentak dadanya, hampir tidak tertahankan lagi jika setiap kali Agung Sedayu tidak menggamitnya. Hampir saja ia meloncat turun dari riahan yang rendah itu. Namun Agung Sedayu masih berhasil mencegahnya. Tunggu. Kita lihat perkembangan keadaan.”
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung itu digetarkan oleh suara tertawa yang berkepanjangan. Semua orang yang berada dihalaman itu berpalitjg. Didalam keremangan cahaya pelita, seseorang naik kependapa sambil tertawa, diiringi oleh beberapa anak muda yang kemudian berdiri saja ditangga. Bersama mereka telah datang pula ayah Wita dan adiknya yang masih kecil itu.
Dada Wita berdesir melihat kehadiran mereka. Ia tidak segera mengetahui maksud kehadiran orang yang tertawa itu, apalagi bersama ayah dan adiknya.
Ki Demang di Semangkak serta bebahunya berdiri termangu-mangu sambil menahan gelora didada masing-masing.
“Orang itulah yang telah membuat onar” bisik Ki Jagabaya ketelinga Ki Demang.
“Ya, ialah yang telah mengajari anak-anak Semangkak berkelahi. Kehadirannya akan menambah keruh suasana. Jika ia membela anak yang telah dilatihnya itu, suasana akan bertambah buruk. Apalagi ia membawa beberapa orang anak muda pula, yang agaknya justru lebih matang dari anak-anak ini.”
“Ya. Mereka adalah murid-muridnya terdekat.”
Ki Demang di Semangkak menjadi semakin tegang.
Tetapi ia sudah bertekad untuk mencegah kegilaan anak-anak muda Kademangannya. Apapun yang akan terjadi dan apapun yang akan dikatakan orang atasnya, ia tetap akan berkelahi melawan anak-anak yang sudah tidak dapat dicegahnya dengan kata-kata. Ia yakin bahwa orang-orang Sangkal Putung itupun pasti akan membantunya, meskipun Ki Demang di Semangkak ita menjadi heran, kenapa anak-anak-muda Sangkal Putung tidak seorangpun yang nampak. Menilik kemampuan Sekar Mirah, seorang gadis, maka kemampuan anak-anak mudanya pasti akan menggetarkan jantung. Tetapi Ki Demangpun menduga, bahwa anak-anak itu dengan sengaja telah disingkirkan sekedar untuk menghindari bentrokan. Bukan karena anak-anak Sangkal Putung menjadi ketakutan dan bersembunyi.
Suara tertawa itupun semakin mereda. Bahkan kemudian berhenti dengan tiba-tiba. Sambil bertolak pinggang orang itu kemudian bertanya “He, mana Wita?”
Wita berdiri termangu-mangu ditempatnya.
“Ha, jangan bersembunyi. Kemari. Kemari.” Wita masih berdiri mematung ditempatnya.
“Wita, kemari. Ini ayahmu mencarimu.” Wita sama sekali tidak beranjak.
“Ternyata kau benar-benar seorang anak muda yang berani. Kau tidak mau dihinakan oleh Swandaru, dan sekarang kau datang untuk menuntut balas.”
Kata-kata itu benar-benar telah menegangkan jantung Swandaru yang meskipun amat-lamat, dapat mendengarnya juga. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya.
“Aku bunuh orang gila itu” desis Swandaru.
“Tunggu” sahut Agung Sedayu.
Dalam pada itu orang yang berdiri dibibir pendapa berkata lagi “Tetapi sayang, bahwa kau bukan seorang laki-laki jantan. Kau hanya berani melakukan pembalasan beramai-ramai seperti nonton wayang beber. Tetapi kau tidak berani menengadahkan dadamu” orang itu berhenti sejenak, lalu “apalagi setelah aku melihat kekalahanmu dari Sekar Mirah. Aku menjadi sangat malu.”
Wajah Wita. menjadi merah padam. Dengan serta-merta ia menjawab “Aku belum kalah.”
Orang itu tertawa meledak sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Katanya ketika suara tertawanya mereda. “Kau dapat menipu adikmu yang kecil itu. Tetapi kau tidak dapat menipu aku. Kau kalah. Kalah mutlak” tiba-tiba suaranya meninggi dan bersungguh-sungguh “Wita, aku tidak malu karena kau kalah. Adalah wajar kalau kau kalah, kalah karena bekalmu terlampau sedikit dibandingkan dengan gadis itu. Tetapi yang membuat aku sangat malu adalah bahwa kau justru tidak mau mengakui kekalahan itu” Lalu suaranya bertambah keras, bahkan membentak-bentak “Ternyata kau sudah gila. Kau sama sekali tidak dapat dianggap seorang yang baik didalam segala hal. Selagi kau sudan kalah mutlak, kau masih mengelak, dan menganjurkan membakar rumah ini. Itu gila, gila sekali” ia berhenti sejenak. Suaranya menjadi bergetar, karena ia berusaha menahan perasaannya yang meluap-luap.
”Kedatanganmu ke Sangkal Putung bersama tikus-tikus dungu itu sudah membuat aku sangat kecewa. Itukah hasil yang kalian peroleh dari ajaran-ajaan olah kanuragan yang aku berikan? Aku mengakui, bahwa aku tidak menilik kau seorang demi seorang dari segi sikap dan sifat. Tetapi bukan maksudku agar kau memusuhi tetangga-tetangga Kademangan dengan sikap yang bodoh” orang itu berhenti sejenak, lalu “kalian membuat aku kehilangan kesempatan untuk menang kali ini. Ketika ayah Wita menyusul aku diperjudian, aku sebenarnya sedang berada diatas angin. Aku sedang menan jak mendekap kemenangan demi kemenangan. Tiba-tiba saja aku harus berhenti. Dan tentu aku kehilangan kesempatan. Jika aku mulai lagi, mungkin aku akan kalah” lalu suaranya tampir berteriak “Kalianlah yang gila. Wita dan kawan-kawannya itu sudah gila. Aku tidak dapat membiarkan kalian mencoba mengganggu Sangkal Putung. Karena itu aku korbankan kemenangan-kemenangan yang akan aku dapatkan dari perjudian itu. Aku tidak ingin melihat atau mendengar kebodohan kalian. Meskipun aku penjudi, pemabuk, penyabung ayam, tetapi aku tidak mau bersikap licik dan pengecut. Dan kalian adalah anak-anak yang paling bodoh diseluruh muka bumi. Kenapa kalian tidak pernah berpikir kenapa kalian tidak menjumpai seorang anak mudapun dari Sangkal Putung? Alangkah bodohnya. Alangkah sombongnya kalian dan otak kalian memang sudah membeku. Aku adalah bekas seorang prajurit. Karena umurku aku tidak lagi berada dikesatuanku. Aku pernah ikut bertempur melawan Tohpati di Sangkal Putung dibawah pimpinan Ki Widura dan Ki Untara. Kalau anak-anak Sangkal Putung ingin melawan, kalian dapat ditumpas seperti pasukan Tohpati. Mengerti ? Mengerti ? He ?” orang itu telah berteriak-teriak tidak menentu karena kemarahan yang memuncak. Dan tiba-tiba saja suaranya merendah “Ayo… kalian kembali ke Semangkak. Wita sudah membuat perjanjian, jika ia kalah dari Sekar Mirah, kalian akan dibawanya kembali. Dan Wita sudah kalah. Mutlak. Tiga Wita bersama-sama tidak akan menang atas Sekar Mirah. Ayo, cepat pulang, atau aku akan memukul kalian seorang demi seorang.”
Ketika orang itu berhenti berbicara, maka halaman itu tiba-tiba saja menjadi sepi. Semua mata terpancang kepadanya dan kepada anak-anak muda yang berdiri ditangga dihadapannya.
Karena tidak ada seorangpun yang berbicara maka bekas prajurit itu pulalah yang memecah kesenyapan “Kenapa kalian berdiri bingung disitu. Ayo pulang, kataku. Aku datang bersama kawan-kawanmu yang masih dapat berpikir jernih dan tidak mau bersama kalian berbuat gila di Sangkal Putung ini. Apakah aku harus memaksa dengan kekerasan atau aku akan membiarkan kalian menjadi endog pangamun-amun di Sangkal Putung, karena orang-orang dan anak-anak muda di Sangkal Putung menjadi muak melihat kebodohan kalian ?
Anak-anak muda itu masih termangu-mangu.
“Aku akan menghitung sampai tiga. Satu, dua…” Ternyata anak-anak muda Semangkak itu mulai bergerak surut tanpa mereka sadari. Bahkan Witapun mundur selangkah. Lalu, bekas prajurit itu melanjutkan ”Tiga.”
Seperti air surut, anak-anak muda Semangkak itu bergerak. mundur. Namun mereka masih mendengar bekas prajurit itu berkata “Nah, bagus. Kita pulang bersama-sama. Ikuti aku. Kalau ada yang berani berbuat sesuatu, aku patahkah tangannya” Lalu orang itu berpaling kepada bebahu Kademangan Sangkal Putung dan Semangkak. “Maaf Ki Demang berdua. Biarlah aku giring kambing-kambing bodoh ini kembali ke Semangkak. Mereka sudah merampas kesempatanku untuk menang lebih banyak. Jika aku kembali keperjudian, mungkin aku akan kalah. Seandainya ayah Wita tidak mencari aku dan aku tidak perlu meninggalkan perjudian, mungkin besok aku sudah menjadi seorang yang kaya raya.”
“Terima kasih atas pengorbananmu” jawab Ki Demang di Semangkak “Mudah-mudahan anak-anak asuhanmu itu tidak menjadi bengal lagi.”
“Aku akan mengawasinya baik-baik.” Demikianlah maka bekas prajurit itu telah menggiring anak-anak Semangkak kembali ke Kademangan mereka. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada mematuhi perintah itu. Bagaimanapun juga mereka harus memperhitungkan jumlah lawan mereka yang semakin banyak. Dan lawan yang terutama adalah kawan-kawan mereka sendiri dari Semangkak yang justru mereka segani bersama bekas prajurit yang selama ini mereka anggap sebagai guru mereka.
Dengan dada yang berdebar-debar anak Semangkak itu melangkah perlahan-lahan meninggalkan Kademangan. Apapun yang bergejolak didalam hati, namun mereka harus kembali ke Semangkak.
Wita yang berjalan dipaling depan menundukkan kepalanya. Iapun harus mundur meskipun hatinya sebenarnya memberontak. Ia ingin melihat Kademangan Sangkal Putung menjadi bosah baseh dan menemukan Swandaru yang bersembunyi ketakutan. Ia ingin mengikat anak yang gemuk bulat itu dan memukuli perutnya dan pipinya yang gembung.
Tetapi pengasuhnya didalam olah kanuragan telah mencegahnya dan menggiring mereka kembali dengan kecewa.
“Kami gagal kali ini” desis Wita “orang itu menggagalkan rencana yang sudah kami susun baik-baik.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi kawannya itu sudah mulai ragu-ragu, jika seandainya niat itu diteruskan, apakah tidak akan timbul akibat-akibat lain yang lebih buruk.
Sebenarnyalah memang ada beberapa tanggapan dari anak-anak muda Semangkak itu. Ada yang berkata didalam hatinya “Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terlanjur.” Tetapi ada yang mengumpat “Gila orang itu. Kenapa kami diegahnya ? Jika tidak, kami akan mendapatkan umpan yang menyenangkan sekali. Seekor kelinci gemuk dan seorang gadis cantik sekaligus. Jika kami beramai-ramai menangkapnya, menyeretnya ke Semangkak, tidak akan ada yang menyalahkan kami.” Meskipun timbul juga persoalan didaiam hatinya. “Bagaimana jika anak-anak Sangkal Putung marah dan menyusulnya ?”
“Persetan” dijawabnya sendiri jika anak-anak Sangkal Putung mempunyai keberanian, ia pasti sudah menyongsong kedatangan kami karena mereka pasti sudah mendengar sebelumnya. Jagabaya Sangkal Putung itu pasti sudah memberitahukan kepada anak-anak Sangkal Putung, dan mereka hanya berani bersembunyi. Adalah omong kosong bahwa mereka ikut bertempur melawan pasukan Tohpati saat itu.”
Namun belum lagi angan-angannya itu berakhir, anak-anak muda Semangkak yang sudah sampai dipintu gerbang Kademangan induk, terkejut bukan kepalang ketika mereka melihat beberapa orang anak muda berdiri didalam kegelapan. Mereka hanya melihat bayangan mereka dibawah cahaya lampu minyak diemper gardu.
“Gila, ada juga anak muda yang berani menampakkan diri” desis Wita didalam hati. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Diujung belakang iring-iringan anak-anak Semangkak itu terdapat pengasuhnya didalam olah kanuragan, dan kawan-kawannya dari Semangkak yang memang agak mereka segani. “Jika tidak ada mereka, anak-anak Sangkal Putung yang ada digardu itu dapat menjadi sasaran yang menyenangkan setelah kami dikecewakan habis-habisan.”
Wita hanya dapat menggeretakkan giginya. Tetapi rasa-rasanya tangannya memang menjadi gatal. Bahkan ia berkata kepada diri sendiri “Apa boleh buat. Apakah aku dapat menyeret salah seorang dari mereka tanpa ribut-ribut?’
Namun ternyata anak-anak muda Sangkal Putung yang melihat iring-iringan itu lewat, segera menyingkir menepi, Mereka meloncati parit diluar padukuhan dan berdiri diseberang parit.
Tetapi, dada anak-anak Semangkak itu tiba-tiba bergetar dahsyat sekali. Ketika mereka keluar dari padukuhan itu, barulah mereka melihat suatu kenyataan tentang anak-anak muda Sangkal Putung. Yang berdiri diluar padesan, diseberang parit itu, bukannya sekedar anak-anak muda yang dilihatnya pada cahaya lampu minyak digardu disudut halaman, sehingga apabila timbul niat salah seorang dari mereka untuk membakar gardu itu, maka niat itu harus dipikirkannya berulang kali
Ketika mereka mula-mula memandang kedalam gelap, setelah mereka melintasi sinar pelita digardu, mereka menjadi termangu-mangu. Seakan-akan mereka melihat tanaman disawah, diluar padesan itu tumbuh demikian rapatnya setinggi tubuh manusia. Bahkan hampir seperti sebuah dinding yang membujur disebelah parit.
Namun kemudian barulah dapat mereka lihat dengan jelas, setelah merekapun ada dibulak itu. Yang mereka lihat sama sekali bukan tanaman jagung raksasa yang rapat berhimpit-himpitan, bukan pula sebuah dinding batu dipinggir parit, tetapi yang mereka lihat adalah anak-anak muda Sangkal Putung yang berdiri berjajar rapat disebelah menyebelah jalan.
Darah anak-anak muda Semangkak itu bagaikan berhenti mengalir. Mereka tidak dapat mengirakan, berapa jumlah anak-anak muda Sangkal Putung itu. Mungkin empat atau lima kali lipat jumlah mereka.
Tetapi ternyata anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya. berdiri saja seakan-akan membeku.
Ketika anak-anak Semangkak menyadari bahwa disebelah menyebelah mereka berdiri anak-anak Sangkal Putung dalam jumlah yang tidak mereka duga, terasa betapa kecutnya hati mereka. Anak-anak bengal yang semula membusungkan dada, menjadi semakin berkerut melihat kenyataan itu. Mereka mulai ragu-ragu sejak seorang gadis bernama Sekar Mirah dengan mudahnya berhasil mengalahkan anak-anak muda Semangkak yang mereka anggap anak-anak terbaik dikalangan mereka. Apalagi kini mereka melihat anak-anak mudanya dalam jumlah yang tidak dapat mereka perkirakan.
Wita sendiri yang berjalan didepan rasa-rasanya hampir tidak lagi dapat mengangkat kakinya. Kakinya itu seakan-akan menjadi berat, dan meskipun ia melangkah terus, tetapi seakan-akan ia tidak bergerak maju. Setiap kali ia memandang dengan sudut matanya, masih saja dilihatnya bayangan hitam yang berderet diseberang parit.
“Gila, mereka memang gila” ia menggeram didalam hatinya. Namun ia dapat juga berpikir “Jika Seorang gadis dapat mengalahkan aku, apa saja yang dapat dilakukan oleh anak-anak muda Sangkal Putung itu ?”
Wita terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara dibelakang iring-iringan anak-anak Semangkak itu ”Ha, ternyata dugaanku benar. Anak-anak Sangkal Putung yang sekarang masih seperti anak-anak mudanya pada masa-masa Tohpati ada dimulut gerbang Kademangan kalian. He. apakah masih ada diantara kalian yang mengenal aku?”
Tidak terdengar jawaban.
“Siapakah yang masih mengenal aku ? Dimana Swandaru ?”
Baru kemudian terdengar jawaban “Ia berada dirumahnya.
“Dirumahnya? Jadi ia berada di Kademangan ?”
“Ya. Ia sudah siap melindungi rumahnya jika terjadi sesuatu bersama Agung Sedayu.”
“Maksudmu adik Senapati Untara?”
“Ya, bersama gurunya dan guru Tohpati.”
“He gila kau. Gurunya dan guru Tohpati ?”
“Ya, Kiai Gringsing dan paman guru Tohpati, Sumangkar.”
“Bukan main, bukan main” bekas prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu ”Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Ternyata kalian bersikap cukup dewasa. Kalian tidak terpancing oleh kebodohan anakku ini. Dan kalian telah menang tanpa mengalahkan kami.”
Anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak menjawab. Namun terdengar anak muda yang lain berkata “Selamat jalan mudah-mudahan hal yang serupa tidak terulang lagi.”
“Terima kasih. Terima kasih. Aku akan menjaganya. Seharusnya aku menang diperjudian malam ini. Hari ini adalah hari yang paling baik bagiku. Tetapi lewat tengah malam. kemujuran itu sudah beralih pada orang lain.” lalu iapun mengumpat “anak setan. Kalian sudah mengganggu Kemujurunku malam ini.”
Anak-anak Semangkak itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Hati mereka memang sudah berkerut. Dan mereka tidak berani memandang wajah-wajah anak Sangkal Putung meskipun didalam kegelapan.
Ternyata bahwa anak-anak Sangkal Putung yang berdiri memanjang dipinggir jalan itu cukup banyak. Rasa-rasanya pagar itu tidak habis-habisnya sampai ketengah bulak. Dan rasa-rasanya kaki anak-anak muda Semangkak itu semakin lama menjadi semakin berat. Mereka yang berdiri dipinggir jalan tidak sekedar anak-anak dari induk Kademangan saja, tetapi juga dari padukuhan-padukuhan lain di Kademangan Sangkal Putung. Susunan tata hubungan anak-anak muda Sangkal Putung yang dibentuk sejak Tohpati masih berada dihadapan hidung mereka, temyata masih memungkinkan mereka bergerak cepat dan teratur. Meskipun mereka berkumpul dalam jumlah yang besar, tetapi mereka tetap terkendali oleh pemimpin kelompok yang harus bertanggung jawab kepada Swandaru.
Demikianlah, ketika Wita berhasil mencapai ujung dari pagar manusia itu, tiba-tiba langkahnya menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ia sudah terlepas dari hisapan tanah disepanjang jalan, dan terasa kakinya menjadi semakin ringan. Demikian pula kawan-kawannya yang lain. Mereka berjalan semakin cepat, bahkan seolah-olah mereka telah berlari-lari kecil.
Dengan kepala tunduk mereka mau tidak mau harus meresapi suatu pengalaman baru didalam hidup. Mau tidak mau mereka harus mulai menilai kembali perbuatan yang baru saja mereka lakukan. Terlebih-lebih Wita. Meskipun mula-mula ia berusaha untuk mencari alasan yang dapat menyenangkan hatinya sendiri, namun akhirnya ia jatuh kedalarn suatu pengakuan, bahwa perbuatan yang baru saja dilakukan adalah perbuatan yang bodoh.
Kini hatinya menjadi berdebar-debar. Pengasuhnya itu pasti akan marah-marah tiada terkirakan. Mungkin ia benar-benar akan memukuli anak-anak muda itu seorang demi seorang. Atau bahkan tidak mau lagi mengajari mereka dengan olah kanuragan. Jika demikian maka kawan-kawannya itu pasti akan mulai menyalahkannya, karena ia adalah sumber dari peristiwa ini.
Sejenak Wita yang gelisah itu berpaling. Dilihatnya kawan-kawannya berjalan dengan kepala tunduk pula.
Demikianlah maka anak-anak muda itu berjalan semakin cepat tanpa berbicara lagi yang satu dengan yang lain. Yang masih terdengar bergeremang adalah bekas prajurit yang berjalan bersama beberapa anak muda yang tidak mau membantu Wita. Karena setiap kali bekas prajurit itu masih saja berkata — Aku kehilangan kesempatan. Jika aku menang dan menjadi kaya, kalian akan aku belikan sepasang ayam yang paling baik. Ayam-ayam itu akan bertelur dan menetas menjadi banyak. Kalian dapat menjualnya dan membeli kambing”
Tidak seorangpun yang menyahut. Tetapi beberapa orang dtantara mereka hanya tersenyum saja.
Sepeninggal anak-anak Semangkak, maka para bebahu Semangkakpun segera minta diri. Seperti juga ayah Wita, maka para bebahu Kademangan Semangkak itupun minta maaf atas segala kelalaian mereka mengurusi anak-anak itu.
“Kami akan berusaha lebih baik lagi dimasa datang” berkata Ki Demang di Semangkak “kami menjadi iri melihat, bagaimana kalian disini berhasil menguasai anak-anak muda kalian.”
“Anak-anak muda itu sendiri bersedia membantu kami. Mereka berusaha mengendalikan diri masing-masing” sahut Ki Demang di Sangkal Putung “tetapi itu bukan berarti bahwa tidak ada persoalan sama sekali disini”
“Tetapi aku melihat Kademanganmu selalu tenang.”
“Kadang-kadang ada juga gelombang-gelombang kecil didalam tata pergaulan. Tetapi justru perjuangan untuk mempertahankan Kademangan ini dari kehancuran itulah yang telah mengikat anak-anak kita. meskipun ada juga yang berusaha melupakannya seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi.”
“Salah” desis Ki Demang di Semangkak “kalian yang sudah mempunyai kesempatan yang baik harus tetap memelihara kesadaran itu. Kesadaran atas pengorbanan yang pernah kalian berikan untuk mempertahankan Kademangan ini dari kehancuran. Kami yang meskipun juga mengalami tetapi tidak sedahsyat Sangkal Putung, telah terlanjur kehilangan ikatan itu. Dan ini adalah kesalahan kami yang terbesar.”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Perjuangan itu adalah puncak perjuangan bagi kalian. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah akibat dari perjuangan kalian dibantu oleh prajurit Pajang.”
“Setiap masa mempunyai puncak-puncak perjuangan masing-masing, yang merupakan mata rantai perjalanan sejarah Kademangan ini menjelang masa depan yang baik. Setiap masa menyimpan kemungkinan yang sama dan setaraf dalam pembentukan wajah Kademangan ini. Namun yang satu tidak boleh bertentangan dengan yang lain. Yang kemudian tidak boleh menghapuskan nilai-nilai yang hakiki yang pernah dicapai sebelumnya, apalagi jika diingat korban-korban yang pernah jatuh. Tentu mereka tidak akan merelakan dirinya menjadi korban tanpa suatu keyakinan atas tujuan perjuangannya. Itulah yang kita kenang. Dan tujuan itu tidak boleh menyimpang. Sekarang dan seterusnya”
Ki Demang di Semangkak dan bebahunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Aku akan berusaha. Kami di Semangkak pernah mengalaminya juga meskipun tidak sebesar Sangkal Putung. Tetapi itu bukan berarti bahwa kami sekarang dapat berbuat sekehendak hati. Dan inilah yang sudah terjadi didaerah kami. Tuak, judi, sabung ayam dan semuanya yang sama sekali tidak pernah dibayangkan akan berkembang sampai demikian luasnya.”
“Dan yang tidak pernah dibayangkan oleh siapapun juga disaat-saat kita menggenggam senjata dipeperangan” tiba-tiba terdengar suara lain dibelakang mereka.
Ketika mereka berpaling dilihatnya Swandaru datang diikuti oleh Agung Sedayu.
“O, kau” desis Ki Demang di Semangkak “dimana kau selama ini? Adikmu telah membuat kami semuanya kagum. Meskipun ia seorang gadis, namun tindakannya yang tepat hampir menentukan. Kelicikan sebagian anak-anak muda Semangkak itu akhirnya dapat diatasi oleh guru mereka sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia berpaling memandang Sekar Mirah yang duduk ditangga pendapa. Sambil tersenyum ia berkata “Kau tentu kecewa bahwa anak-anak muda itu tidak berhasil mengalahkan kau.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
“Aku juga ikut berharap agar salah seorang dari mereka dapat menang atasmu, dan kau akan ikut berani dengan mereka.”
Sekar Mirah menjadi tegang sejenak, namun kemudian tangannya meraba-raba dibawah kakinya. Ketika terpegang olehnya sebutir batu maka batu itupun segera dilemparkan kepada kakaknya sambil berkata “Kaulah yang membuat gara-gara.”
“Eh, jangan” Swandaru sempat menghindar. Ketika Sekar Mirah mencari batu berikutnya, Swandarupun segera berlindung dibalik ayahnya yang sedang berdiri berhadapan dengan Ki Demang Semangkak.
“Sst, ketegangan didada kami masih belum mereda” berkata Ki Demang “jangan bergurau. Ki Demang di Semangkak masih ada disini.”
“O” Swandaru menganggukkan kepalanya sambil berkata “aku melihat semuanya dari dahan pohon disebelah halaman.”
Ki Demang di Semangkak mengerutkan keningnya. Didalam kegelapan ia melihat beberapa anak muda berdiri termangu-mangu.
“Ternyata bahwa kalian mampu mengendalikan diri. Perjuangan yang berat dimasa lewat itu membuat kalian benar-benar menjadi anak muda yang masak. Yang bertanggung jawab.”
“Ah, Ki Demang memuji.” sahut Swandaru “tidak semua anak-anak muda Semangkak mudah dibakar oleh api perasaan sendiri. Tetapi karena jumlah mereka yang dewasa lebih sedikit dari mereka yang sedang bergulat dalam pembentukan pribadi itu ternyata bahwa mereka tampaknya justru tersisih.”
Demikianlah, sejenak kemudian Ki Demang di Semangkakpun minta diri kepada Ki Demang di Sangkal putung. Bersama beberapa orang bebahu yang lain iapun kemudian meninggalkan halaman Kademangan. Tetapi agaknya Ki Demang Sangkal Putung tidak melepaskannya begitu saja. Maka diantarkannya Ki Demang itu sampai lepas dari padukuhan induk Sangkal Putung.
Didepan regol, kedua Demang itu mengerutkan keningnya. Mereka masih menjumpai anak-anak muda Sangkal Putung diluar padesan berdiri berjajar disebelah menyebelah jalan.
“Apa yang terjadi?” Ki Demang Sangkal Putung bertanya dengan cemas.
Namun jawab salah seorang dari anak-anak muda itu membuatnya menarik nafas lega “Tidak ada apa-apa Ki Demang.”
“Jadi, darimanakah kalian ?” bertanya Ki Demang di Semangkak.
“Kami baru datang menyingkirkan diri.”
“O” Ki Demang di Semangkak mengangguk-anggukkan kepalanya “terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian telah menghindari benturan yang dapat terjadi.”
Anak muda itu tidak menyahut. Ia hanya tersenyum saja.
“Aku minta diri” berkata Ki Demang di Semangkak kepada anak-anak muda itu “mudah-mudahan persoalannya tidak akan terulang lagi. Aku minta maaf.”
“Mudah-mudahan Ki Demang” sahut anak-anak muda itu.
Ki Demang di Semangkak dan beberapa orang Semangkak yang lain itupun segera meninggalkan Sangkal Putung. Ternyata mereka telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengendalikan anak mudanya. Bahkan ayah Wita yang hampir saja melepaskan anaknya yang tidak dapat diaturnya lagi, untuk kali yang terakhir berusaha menghindarkan benturan antara anak-anak Semangkak dan Sangkal Putung.
Meskipun demikian kadang-kadang tumbuh juga dihati Demang di Semangkak, bahkan para bebahu yang lain yang hampir-hampir tidak dapat menahan kejengkelannya terhadap anak-anak mereka sendiri pendirian. “Jika anak-anak Semangkak itu sudah menjadi babak belur oleh anak-Sangkal Putung, barulah mereka akan jera.”
Dalam pada itu, sepeninggal para bebahu Kademangan Semangkak, Ki Demang di Sangkal Putung berbisik kepada Swandaru “Apa kerja anak-anak itu diluar regol ? Apakah mereka dengan sengaja memancing persoalan atas Semangkak yang justru sudah berhasil didorong keluar dari Kademangan ini?”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya “Mereka tidak berbuat apa-apa ayah.”
“Tetapi kenapa mereka berada disitu ? Dalam keadaan yang panas, sesuatu masih mungkin terjadi. Bukankah aku minta kau menyingkirkan anak-anak itu ?”
“Aku memang sudah menyingkirkan mereka. Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu ? Aku memang minta mereka tidak pergi terlampau jauh.”
Namun Ki Demang memotong “Dan kau memang meminta kepada mereka agar mereka berdiri berderet-deret jika anak-anak Semangkak itu kembali meninggalkan Sangkal Putung. Kau ingin mengatakan kepada mereka bahwa sebenarnya anak-anak muda Semangkak itu sama sekali tidak ada arti apa-apa bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Kau ingin mengatakan. Jika kami mau, kalian akan dapat kami hancurkan. Bukankah begitu ?”
Swandaru tidak menyahut.
“Permainanmu termasuk berbahaya Swandaru masih juga tidak dapat melepaskan perasaanmu sama sekali. Disatu pihak kau menyingkirkan anak-anak muda itu agar tidak terjadi benturan, tetapi dilain pihak, kesombongan masih saja belum dapat kau tekan sedalam-dalamnya. Kau masih tidak mau disebut, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung lari. Bukankah begitu?”
Swandaru masih belum menyahut. Kepalanya tertunduk semakin dalam.
“Bayangkan. Kau mengumpulkan anak-anak muda sekian banyaknya, jika terjadi sesuatu, anak-anak Semangkak itu pasti akan babak belur. Jika sudah terpercik setitik api pertengkaran, kau tidak akan dapat mencegahnva lagi. Dan jika akibatnya terlampau berat bagi anak-anak Semangkak, maka anak-anak yang lain, yang sebenarnya tidak ikut-ikutan, akan menjadi sakit hati juga. Bagaimanapun juga mereka adalah kawan-kawan sepermainan. Bahkan mungkin mereka akan berusaha berbuat sesuatu untuk menghapuskan sakit hati mereka itu.”
Swandaru mengangguk-angguk keeil. Dipandanginva anak-anak muda Sangkal Putung yang masih berkeliaran diluar regol.
“Nah, akan kau suruh kemana mereka sekarang. Tentu ada sesuatu yang tersimpan didalam dada dan masih belum tersalur. Mereka tidak akan puas berdiri saja dipinggir desa, kemudian pulang tanpa berbuat apa-apa.”
Swandaru menjadi bingung. Ditatapnya waiah Agung Sedayu sejenak, seolah-olah la ingin bertanya “Bagaimana sebaiknya ?”
Tetapi Agung Sedayu ternyata menyesali pula sikap Swandaru yang seolah-olah bermain-main dengan api disamping seonggok jerami yang basah karena minyak.
“Lalu apakah yang sebaiknya kita kerjakan ayah ?” bertanya Swandaru kemudian.
Ki Demang di Sangkal Putung termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak akan dapat membiarkan anak-anak itu begitu saja dan bubar dengan sendirinya. Karena itu, maka katanya kepada Swandaru “Suruhlah mereka bubar. Tetapi kau harus berusaha agar anak-anak itu tidak kecewa setelah berdiri saja tanpa berbuat apa-apa.”
“Jadi bagaimana ?”
“Mereka harus berada digardu-gardu dipadukuhan mereka masing-masing. Katakan kepada mereka, bahwa keadaan sudah akan mereda dengan perlahan-lahan. Jika tidak ada apa-apa lagi, maka kau sendiri akan berkeliling kesetiap gardu.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Itu berarti bahwa semalam suntuk ia tidak akan dapat tidur, karena ia pergi dari gardu ke gardu. Dari padukuhan ke padukuhan.
Tetapi Swandaru tidak dapat menolak. Ia harus memberikan imbangan, karena anak-anak muda itu telah berkumpul di Kademangan induk untuk sekedar berdiri berjajar di pinggir jalan.
“Untunglah bahwa mereka cukup kuat menahan perasaan” berkata Swandaru didalam hatinya. Baru kini ia merasa, permainan itu cukup berbahaya. Dan untuk sekedar memanjakan harga dirinya.
“Kenapa kau diam saja Swandaru ?” bertanya ayahnya.
Swandaru mengangguk sambil menjawab ”Ya Aku akan menemui mereka.”
“Cepat. Aku akan kembali. Para bebahu yang lainpun akan kembali”
Demikianlah maka dengan langkah yang berat Swandaru pergi keluar regol padukuhannya. Atas permintaanya maka Agung Sedayupun mengikutinya pula.
Hati Swandaru menjadi berdebar-debar ketika ia melih-anak-anak muda itu masih utuh dan menunggunya. Agaknya mereka dengan patuh memenuhi segala pesannya untuk menahan diri jika tidak ada persoalan yang tidak terhindarkan lagi, karena anak-anak Semangkak telah memulai
“Apa yang harus kita lakukan sekarang Swandaru” bertanya salah seorang dari mereka.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya “Pertama-tama kita bersyukur bahwa tidak terjadi sesuatu diantara kita dengan anak-anak Semangkak itu.”
“Aku berpikir lain” desis seorang dari mereka aku merasa kecewa bahwa mereka tidak berbuat apa-apa. Jika mereka memulainya akan ada alasan bagi kita untuk memukul mereka sampai jera.”
“Ya, dan kita ternyata hanya sekedar berdiri saja menjadi makanan nyamuk.”
“Tetapi kita sudah berbangga.”
“Apa yang dapat kita banggakan.” bertanya seorang yang bertubuh tinggi.
“Kita berhasil menahan perasaan yang bergejolak di dalam dada kita. Itu adalah suatu perjuangan tersendiri. Perjuangan yang paling berat. Yang tidak dapat dilakukan oleh anak-anak muda Semangkak sehingga mereka datang berramai-ramai kemari. Sedang kita yang yakin akan kelebihan dan kemenangan kita, tidak berbuat apapun juga meskipun anak-anak Semangkak itu sudah berada dihadapan hidung kita.
Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
“Lalu sekarang ?”bertanya salah seorang dari mereka.
“Sebagian dari kewajiban kita sudah selesai. Mudah-mudahan tidak ada akibat apapun yang menyusul.”
Anak-anak yang lebih muda dari Swandaru menjadi kecewa. Tetapi yang lebih tua dari merekapun kemudian berkata “Marilah kita kembali. Lebih baik tidak terjadi sesuatu daripada kita harus mempersoalkannya sampai berkepanjangan”
“Selanjutnya aku akan memberi kabar kepada kalian” berkata Swandaru kemudian.
“Kabar apa ?” bertanya salah seorang dari mereka
“Aku akan memberikan kabar tentang perkembangan keadaan. Apapun yang akan terjadi, aku akan menemui kalian digardu-gardu dipadukuhan kalian.”
“Kau akan mengelilingi Kademangan ?”
“Ya.”
“Semalam suntuk?”
“Ya.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak Kemudian salah seorang bertanya”Kau benar-benar akan mengelilingi Kademangan ini?”
“Ya, kenapa ?” jawab Swandaru” didalam keadaan yang tenang dan aman seperti sekarang, mengelilingi Kademangan adalah suatu tamasya yang menarik. Apalagi dimalam hari. Sedang disaat Kademangan ini berada di ujung kuku Tohpati, aku kadang-kadang harus mengelilingi Kademangan ini dimalam hati.”
Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka percaya bahwa Swandaru memang ikut menghayati perjuangan melawan Tohpati seperti beberapa orang anak-anak muda itu. Sedang mereka yang lebih muda saat itu, mengetahui pula, bahwa Swandaru merupakan seorang yang ikut memimpin anak-anak muda Sangkal Putung.
Demikianlah, maka dengan hati yang kecewa, anak-anak muda itu kembali kepadukuhan masing-masing. Meskipun mereka berhasil menahan perasaan namun sebenarnya, sebagian besar dari mereka ingin berbuat sesuatu, ingin membuat anak-anak muda Semangkak itu menjadi jera. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan itu.
Karena itu, mereka melepaskan kekecewaan itu dengan duduk-duduk dan berbaring digardu-gardu. Berbicara, berkelakar dan bahkan ada yang melontarkan tembang macapat keras-keras.
“Kau kawani aku” berkata Swandaru kepada Agung Sedayu.
“Mengelilingi Kademangan ?”
“Ya.”
Agung Sedayu menggelengkan kepala sambil menyahut ”Aku lelah sekali. Pergilah sendiri. Apakah kau takut ?”
“Takut tidak. Tetapi seorang diri dimalam begini menyelusur bulak adalah kerja yang menjemukan sekali.”
“Salahmu.”
“Kenapa salahku ?”
“Kau suruh anak-anak itu berkumpul didepan regol.”
“Kalau terjadi sesuatu ?”
“Asal mereka tahu. Dengan kentongan kita dapat memanggil mereka tanpa membuat mereka jemu berdiri dipinggir parit bernyamuk itu.”
Swandaru tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak mendapat kesan apapun dari wajah yang kosong itu.
“Jadi kau juga menyalahkan aku seperti ayah?” bertanya Swandaru.
“Ya. Barangkali setiap orang di Sangkal Putung menganggap kau salah.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian berkata “Baiklah. Katakanlah aku telah melakukan kesalahan. Tetapi kau harus mau mengawani aku mengelilingi Sangkal Putung.”
Agung Sedayu menggeleng “Aku akan tidur.”
“Aku akan memukul kentongan” berkata Swandaru.
“Kenapa?”
“Kau orang asing disini.”
“Ah” Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
“Pilih salah satu” berkata Swandaru “pergi bersamaku atau aku memanggil anak-anak itu kemari Disini ada orang asing. Biarlah mereka menyalurkan kekecewaannya disini, sehingga dengan demikian aku tidak usah pergi mengelilingi Kademangan.”
“Ah, macammu.”
“Swandaru tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba ia tertawa sambil berkata “Kau tinggal memilih. Aku akan menghitung sampai tiga. Kau harus menentukan pilihan.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia berjalan kembali ke Kademangan.
“Jika kau tidak menjawab, artinya kau bersedia. Kita memang harus kembali ke Kademangan mengambil kuda.”
“Macam kau” gumam Agung Sedayu “cepat sedikit, sehingga kita masih mempunyai kesempatan untuk tidur barang sekejap.”
Swandaru masih tertawa. Tetapi iapun berlari-lari dibelakang Agung Sedayu kembali ke Kademangan untuk mengambil kuda.
Sejenak kemudian mereka berdua telah menjelajahi Kademangan Sangkal Putung diatas punggung kuda. Disetiap bulak mereka seakan-akan berpacu, agar mereka segera mencapai padukuhan berikutnya. Disetiap padukuhan mereka berhenti pada gardu-gardu yang berserakan sekedar menampakkan diri untuk mengurangi perasaan kecewa yang mencengkam. Namun anak-anak muda yang lebih besar dapat juga memberikan penjelasan sehingga anak yang lebih muda dapat mengerti, maksud dan tujuan Swandaru.
“Swandaru ingin membuat mereka jera tanpa menimbulkan benturan” berkata salah seorang pemimpin kelompok kepada anak buahnya.
“Aku lebih senang berkelahi” desis seorang anak tanggung yang baru saja meningkat masa yang gelisah.
“Mungkin kau senang mendapat suatu pengalaman. Tetapi akibatnya akan berkepanjangan. Kita tidak ingin berperang melawan Semangkak meskipun kita menang, karena kita memiliki ikatan kesatuan dengan Kademangan disekitar Sangkal Putung.
Anak-anak yang lebih muda itu tidak menjawab. Mereka mencoba untuk mengerti arti kata-kata kawannya yang lebih tua itu.
Demikianlah Swandaru dan Agung Sedayu benar-benar telah mengelilingi Kademangan Sangkal Putung tanpa ada yang dilampauinya. Terutama padukuhan-padukuhan yang terdekat dengan induk Kademangan, yang telah mengirimkan beberapa orang anak-anak mudanya untuk pergi ke Sangkal Putung, berdiri berderet-deret ditepi parit.
Dalam pada itu, di Kademangan Ki Demang Sangkal Putung masih berbicara sejenak dengan para bebahu Kademangan dan kedua orang guru yang tinggal di Kademangan itu pula, Kiai Gringsing dan Sumangkar. Tetapi karena malam menjadi semakin larut, maka para bebahu yang lainpun segera minta diri pula.
“Swandaru masih belum mencapai separo perjalanannya” desis Ki Jagabaya “kasihan anak itu.”
Ki Demang tidak menyahut. la hanya tersenyum saja ia tahu benar, bahwa keadaan di Kademangan ini sudah cukup baik, sehingga tidak akan ada bahaya diperjalanan.
Kecuali kalau karena lelah dan kantuk, anak itu dilemparkan oleh kudanya. Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu adalah penunggang kuda yang baik.
Demikianlah, setelah Kademangan itu menjadi sepi, Kiai Gringsing dan Sumangkar duduk diserambi gandok. Pendapa Kademangan telah menjadi lengang dan dihalamanpun tidak ada lagi anak-anak muda yang berkeliaran, selain beberapa orang yang berada di gardu. Keduanya masih belum dapat tidur jika Swandaru dan Agung Sedayu masih belum datang kembali.
Namun selain kedua anak-anak muda itu, keduanya melihat keadaan yang berkembang didaerah Selatan ini dengan sudut pandangan mereka sendiri. Meskipun demikian agaknya keduanya mendapatkan beberapa persesuaian penilaian atas keadaan itu.
“Mudah-mudahan goncangan-angan atas nilai peradaban ini tidak berkembang terus” berkata Kiai Gringsing “sebab dengan demikian keadaan akan semakin goyah, sejalan dengan perkembangan hubungan yang memburuk antara Pajang dan Mataram. Menurut Agung Sedayu, diantara para prajurit Pajang telah berkembang suatu pandangan yang sangat buruk terhadap Mataram. Bahkan ada diantara perwira yang tidak dapat mempergunakan nalarnya lagi.”
“Kesan keseluruhan, ada kecurigaan yang semakin lama semakin memuncak” sahut Sumangkar.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu “Dan disini kita menemukan goncangan-goncangan semacam itu pula, meskipun dari segi yang berbeda. Jika anak-anak muda itu tidak terkendali, maka jika terjadi sesuatu antara Mataram dan Pajang, yang seharusnya masih mungkin dikendalikan, namun api itu pasti sudah membakar jiwa anak-anak muda yang masih belum punya pegangan hidup itu. Mereka tidak akan menyadari arti dari persoalannya, tetapi mereka akan menjadi minyak yang paling peka terhadap api itu.”
“Itulah yang mencemaskan” berkata Sumangkar kemudian ”suasana yang berkembang mirip sekali dengan keadaan menjelang Pajang berdiri. Saling curiga mencurigai, saling mendendam dan berkelahi tanpa sebab.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata Sumangkar yang pernah tinggal di Kepatihan Jipang memandang keadaan ini bukan saja dipermukaannya. Bukan saja riak-riak kecil diatas wajah air yang bergetar karena angin. Tetapi Sumangkar sudah menilai arus yang mengalir dibawah gelombang yang katon.
Dan Kiai Gringsingpun sebenarnya menjadi sangat cemas pula. Jika para prajurit Pajang tidak lagi mempunyai kepercayaan terhadap kehadiran Mataram, maka pengaruhnya pasti akan meluas.
Tetapi keduanya kini tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu. Keduanya bukan orang-orang istana dan bukan pula perwira tertinggi prajurit Pajang. Karena itu, mereka hanya dapat berharap, agar para pemimpin di Pajang mampu mengendalikan dirinya, sehingga persoalannya dengan Mataram dapat diselesaikan sewajarnya.
Demikianlah keduanya untuk beberapa lamanya masih saja berbincang. Meskipun tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk ikut menentukan perkembangan keadaan secara pasti, tetapi mereka berketetapan hati akan menempug segala cara jikalau mungkin, untuk membantu menjernihkan suasana.
“Tetapi Sultan Pajang ternyata bukan seorang yang teguh memegang pendirian” berkata Sumangkar tiba-tiba.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sumangkar adalah adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang dikalahkan oleh Sultan Pajang, sehingga penilaiannya pasti masih dipengaruhi oleh keadaannya itu.
Namun Sumangkar melanjutkan” Aku adalah orang yang paling lunak menghadapi Pajang pada saat Jipang masih kuat. Aku memang berpengharapan, bahwa Sultan Pajang yang sekarang akan dapat mengembangkan kebesaran Demak yang hancur karena setiap orang ingin berkuasa. Setiap orang merasa dirinya berhak dan mampu memerintah. Tetapi yang terjadi adalah kehancuran yang hampir tidak dapat ditolong lagi. Dalam keadaan yang gawat itu tampil Adiwijaya. Adipati Pajang. Namun setelah ia berhasil mewarisi kekuasaan Demak, maka pemerintahan yang dipimpinnya sama sekali tidak berkembang. Orang-orang yang paling penting disekitarnya, ternyata telah pergi. Meskipun orang-orang itu lahir dari celah-celah rakyat kecil, tetapi kemampuan mereka dalam olah kanuragan dan tata pemerintahan memberikan banyak keuntungan bagi Pajang dan bagi Adiwijaya sendiri. Tetapi orang-orang itu kini tidak ada lagi diistana. Mereka telah berada di Pati dan Mataram yang baru dibuka.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah lama ia bergaul dengan Sumangkar. Tetapi jarang sekali ia menyatakan pendapatnya tentang pemerintahan Pajang. Kini agaknya ia tidak dapat menahan kecewa yang mendesak didalam hatinya terhadap Sultan Adiwijaya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak banyak menanggapinya dalam keadaan yang semakin parah, Sumangkar pasti tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya dahulu. Dan seakan-akan terbayang dimatanya kata-kata hatinya ”Jika Arya Penangsang yang berhasil menduduki tahta, keadaan akan berbeda.”
Namun bagi Kiai Gringsing, baik Arya Penangsang maupun Adiwijaya, ternyata terdapat kelemahan-kelemahan yang mengganggu perkembangan negeri ini. Adiwijaya yang membinasakan Arya Penangsang dengan dorongan Ratu Kalinyamat, yang bahkan telah menyediakan dua orang gadis cantik buatnya, kini semakin dalam tenggelam dalam kebesarannya sendiri. Adiwijaya sibuk dengan persoalan-persoalan pribadinya, sehingga pemerintahannya seakan-akan telah dikesampingkan. Sejak Pajang berkuasa, maka tidak ada perubahan penting yang tumbuh dan tidak ada pembaharuan dapat menguntungkan rakyatnya.
Tetapi itu tidak berarti bahwa jika Arya Penangsang memegang pimpinan, Jipang akan mampu mengangkat bekas daerah kekuasaan Demak menjadi suatu negara besar. Arya Penangsang memang lebih lincah dan cita-citanya pasti melambung tinggi.
Tetapi ia adalah orang yang keras hati yang pasti akan lebih mementingkan kekerasan dari pembicaraan-pembicaraan yang baik.
Tiba-tiba Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sehingga Sumangkar berpaling kepadanya. Tetapi Kiai Gringsing tidak berkata apapun juga.
“O” desis Sumangkar “apakah aku sudah berbicara terlampau banyak ?”
“Tidak, tidak” cepat-cepat Kiai Gringsing menyahut. Aku senang mendengar pendapatmu tentang Pajang, Pati dan Mataram. Dengan demikian barulah kau tampak, bahwa kau bukan sekedar seorang juru masak Tohpati dihutan-hutan rindang itu. Tetapi kau benar-benar adik seperguru Patih Mantahun dari Jipang.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku telah mendapat pengampunan khusus dari Pajang. Saat itu Pemanahanlah yang membawa aku menghadap Sultan Adiwijaya. Dan aku merasa sangat berterima kasih. Sultan Adiwijaya memang seorang yang sabar dan menaruh kasihan kepada rakyatnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih menunggu, kelanjutan dari kata-kata Sumangkar. Namun Sumangkar tidak berkata apapun.
Sekali lagi Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tentu kalimat Sumangkar itu masih ada kelanjutannya. Ia pasti akan memperbandingkan sifat-sifat yang baik yang ada pada Adiwijaya dan kelemahan-kelemahannya. Tetapi kata-kata yang sudah disusunnya itu ditelannya kembali.
Justru karena itu, maka Kiai Gringsinglah yang berkata “Sultan Adiwijaya memang seorang yang sabar dan menaruh banyak belas kasihan. Tetapi cita-citanya yang meledak-ledak dimasa mudanya tiba-tiba terhenti diantara isteri-istri dan selir-selirnya.”
“Ah.”
“Memang bukan kau yang mengatakannya. Tetapi aku.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menanggapinya. Bagaimanapun juga ia masih selalu dibayangi oleh keadaannya beberapa saat yang lampau. Bagaimanapun juga ia berada didalam pasukan Tohpati yang telah mengeraskan hatinya, melawan Pajang sepeninggal Arya Penangsang.
Kiai Gringsingpun tidak mempersoalkannya lagi. Iapun sadar, bahwa Sumangkar pasti masih belum dapat dibawa berbicara terbuka sepenuhnya. Ia pasti belum dapat mengatakan seluruhnya yang tersimpan didalam hati. Juga karena ia merasa berhutang budi kepada Sultan Pajang, tetapi juga kepada Ki Gede Pemanahan.
Meskipun demikian, pandangan yang tajam dari kedua orang tua itu, mendapatkan tanggapan dan penilaian yang serupa tentang Pajang meskipun sebagian masih disimpan didalam hati.
Bahkan penilaian mereka sampai juga kepada Pangeran Benawa, Putera Sultan Pajang yang seharusnya diangkat menjadi Putera Mahkota. Tetapi menilik sikapnya yang lemah, ia tidak akan mungkin dapat mengangkat Pajang melampaui ayahnya, Sultan Adiwijaya. Pangeran Benawa adalah putera yang sangat dikasihi oleh ayah bundanya. Namun dengan demikian, Pangeran itu menjadi manja dan kehilangan kesempatan untuk menempa diri didalam linigkungan, yang lebih keras. Seperti kerasnya tantangan yang dihadapi oleh pajang saat itu.
Pangeran Benawa menganggap bahwa perjuangan ayahnya telah sampai pada titik akhir. Seakan-akan semuanya sudah tercapai. Seakan-akan Pajang telah menjadi tenang dan bahkan tertidur nyenyak.
Pangeran Benawa tidak mengenal kerasnya benturan perjuangan membuka Alas Mentaok. Tidak melihat gejolak gelombang dipesisir yang diperintah oleh para Adipati. Tidak mendengar desau angin yang menghembus lajar para nelayan dan lebih-lebih lagi pedagang asing yang merapat dipantai, meskipun sampai juga ditelinganya, bagaimana perjuangan leluhurnya, Pangeran Pati Unus yang menjelajahi lautan.
Bergesernya pemerintahan dari Demak masuk kedaerah yang semakin dalam telah memisahkan Pajang dari keakraban dengan buih lautan.
“Pusat pemerintahan tidak perlu berada dipantai” berkata Kiai Gringsing didalam hatinya “tetapi pimpinan pemerintahan harus menyadari, betapa pentingnya air lautan bagi tanah ini.”
Dan hidup yang dilingkungi oleh gemerlapnya istana dan cantiknya wanita telah memisahkan Adiwijaya dan Puteranya dari kerasnya gelombang dan pepohonan hutan.
Terlebih-lebih lagi, Pajang tidak berhasil menguasai hasrat hidup dan kesatuan pandangan hidup yang tercermin di dalam persoalan-persoalan kecil di Sangkal Putung dan Jati anom. Namun persoalan-persoalan kecil itu tumbuh justru pada jalur arus antara Pajang dan Mataram.
Dalam pada itu, kedua orang-orang tua yang seakan-akan lelap dalam angan-angan masing-masing itu terkejut ketika mereka mendengar derap kuda memasuki halaman.
“Mereka datang” berkata Ki Sumangkar. Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya sambil berdiri diikuti oleh Sumangkar. Keduanyapun kemudian luar dari gandok, menyongsong kedua anak-anak muda yang baru datang setelah mengelilingi seluruh Kademangan. Namun dalam pada itu, langitpun sudah mulai semburat merah. Hampir fajar.
“Perjalanan yang menyenangkan” Swandaru meloncat turun dari kudanya sambil tersenyum. Ketika seseorang datang kepadanya, maka diserahkannya kudanya-sama sekali dengan kuda Agung Sedayu yang telah turun pula.
“Aku hampir tertidur dipunggung kuda” Swandaru meneruskan. “Untunglah aku tidak seorang diri, sehingga ada kawan berbicara ditengah-tengah bulak yang dingin.
“Beristirahatlah” Berkata Kiai Gringsing kepada kedua muridnya.
“Aku akan mencuci kaki” desis Agung Sedayu sambil melangkah ke pakiwan bersama Swandaru. Tetapi langkah mereka berhenti dilongkangan ketika mereka melihat Sekar Mirah berdiri dipintu butulan.
“Kau tidak mengajak aku” ia bersungut-sungut.
“Jangan mencari perkara. Mengelilingi Kademangandimalam hari terasa sangat melelahkan. Tidur sajalah”
“Bukankah kau baru saja berkelahi” sahut Swandaru.
“Sayang, Wita tidak bersungguh-sungguh.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi ketika ia mencari sesuatu dibawah kakinya, Swandaru segera berlari meninggalkannya langsung ke pakiwan dibelakang rumah.
Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. la belum sempat berbicara banyak dengan gadis itu sejak ia kembali dari Alas Mentaok, karena ia segera pergi ke Jati Anom dan begitu ia kembaii, ia sudah dihadapkan pada anak-anak muda yang berkumpul dipendapa, bahkan persoalan kentongan itupun telah merampas perhatiannya. Dihari berikutnya, suasana Kademangan diliputi oleh kegelisahan karena pokal Wita pula, sehingga waktunya seakan-akan terampas habis untuk ikut berbicara tentang kemungkinan yang bakal terjadi. Apalagi semalaman ia harus bersembunyi di kandang, memanjat pohon dan mengelilingi Kademangan diatas punggung kuda.
Tetapi keduanya tidak berbicara apapun. Namun sentuhan tatapan mata merekalah yang banyak melontarkan isi hati masing-masing.
Tiba-tiba saja Sekar Mirah melangkah surut, masuk kedalam sambil berkata “Selamat tidur kakang.”
Agung Sedayu mengangguk kaku. Sebelum ia menjawab, pintu itu sudah tertutup.
Perlahan-lahan ia melangkah menyusul Swandaru dengan kepala tunduk. Terbayang kesibukan yang akan segera terjadi di Jati Anom jika kakaknya kawin kelak. Setelah itu, jalan telah terbuka pula baginya.
Setelah membersihkan dirinya, maka iapun kemudian kembali kepada gurunya, menyusul Swandaru yang telah lebih dahulu. Sejenak mereka menunggu gurunya yang juga pergi kepakiwan bersama Ki Sumangkar untuk kemudian bersama-sama menghadap Tuhannya, dalam suatu saat yang khusuk.
Setelah selesai, barulah Agung Sedayu dan Swandaru pergi beristirahat, berbaring-baring sejenak didalam bilik gandok itu.
Mereka bangkit ketika gurunya masuk keruangan itu bersama Ki Sumangkar, namun gurunya segera berkata “Berbaringlah. Kau perlu beristirahat.”
“Kami tidak terlalu lelah” jawab Agung Sedayu.
“Tidak. Kau tentu lelah. Seandainya tidak, berbaringlah. Aku tidak akan membicarakan masalah yang berat. Aku hanya akan berbicara saja untuk mengisi waktu sampai matahari naik.”
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata “Maaf, kami berbaring.”
“Ya, berbaringlah.”
Swandarupun menyahut “Tetapi dengan berbaring, aku dapat tertidur tanpa aku sadari,”
“Tidurlah jika kau mengantuk.”
Swandaru tersenyum. Tetapi ia memang lebih senang berbaring daripada duduk dibibir amben bambunya, setelah hampir semalam suntuk ia duduk diatas punggung kuda.
“Bagaimana dengan anak-anak muda itu?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Tidak apa-apa guru” jawab Swandaru “meskipun mereka masih berkeliaran dan berkumpul di-gardu-gardu, tetapi mereka sudah dapat ditenangkan.”
“Kehadiranmu memang dapat menenangkan mereka, meskipun kekecewaan masih tetap ada didalam hati. Namun mereka merasa kau perhatikan, sehingga meskipun malam telah larut, kau kunjungi mereka digardu-gardu.”
“Ya.”
“Jadikanlah suatu pengalaman” berkata Kiai Gringsing “anak-anak muda yang sudah bergerak, tetapi tidak mendapat sasaran, kadang-kadang dapat menumbuhkan persoalan tersendiri. Namun demikian, didalam keadaan yang semakin gawat ini, cobalah memelihara ikatan yang telah ada.”
Swandaru mengerutkan keningnya.
“Disadari atau tidak disadari, Sangkal Putung akan tersentuh oleh perkembangan hubungan antara Pajang dan Mataram. Jika hubungan itu semakin baik, daerah inipun akan menjadi semakin baik, tetapi jika hubungan itu memburuk, maka daerah ini akan mengalami kesulitan pula, karena daerah ini berada dijalur lurus antara Pajang dan Mataram.”
Swandaru mengerutkan keningnya. la menyadari, bahwa persoalan Pajang dan Mataram pasti akan mempengaruhi Kademangannya. Persoalan Jipang dan Pajangpun menyangkut keamanan dan ketenteraman Sangkal Putung, apalagi Mataram dan Pajang.
Justru karena Sangkal Putung merupakan daerah yang subur, maka Sangkal Putung akan dapat dijadikan daerah perbekalan yang mantap. Baik Mataram maupun Pajang didalam keadaan yang memburuk, memerlukan daerah perbekalan.
“Karena itu Swandaru” berkata Kiai Gringsing “sebelum persoalan yang menyangkut daerah ini menjadi semakin gawat, meskipun bukan itu yang kami harapkan, maka kau lebih dahulu dapat menyiapkan dirimu sendiri dan Agung Sedayu. Maksudku, sebelum kau terlibat didalam persoalan yang berlarut-larut tanpa diketahui ujung dan lebih baik kau selesaikan dahulu persoalan-persoalan pribadimu.
Tiba-tiba hampir berbareng Swandaru dan Agung Sedayu bangkit. Hampir berbarengan pula keduanya bertanya “Maksud guru?”
“Tentu persoalan-persoalan kalian berdua sebagai anak-anak muda. Bukankah menurut Agung Sedayu, anakmas Untara juga hampir menginjak masa baru didalam hidupnya ? Nah, jika demikian, Swandaru dan Agung Sedayupun dapat segera menyusulnya. Tetapi tentu terlebih dahulu, persoalan-persoalan yang menyangkut adat upacara harus dipenuhi.”
Kedua anak-anak muda itu menundukkan kepalanya, ”Maksudku, setelah anakmas Untara selesai, ayahmu Swandaru, harus segera datang ke Menoreh. Ki Gede Menoreh pasti sudah terlampau lama menunggu. Apalagi ia kini menjadi cacat. Tentu ia memerlukan seseorang yang akan segera menjadi pelindung Pandan Wangi. Berbareng dengan itu, anakmas Untarapun harus menghadap Ki Demang Sangkal Putung, untuk minta secara resmi, agar Sekar Mirah diperkenankan hidup bersama Agung Sedayu.”
Series 65
KEDUA anak-anak muda itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi keduanya hanya menundukkan kepalanya saja, meskipun keduanya dapat mengerti, bahwa yang dikatakan oleh gurunya itu memang bukan sekedar persoalan yang tidak bersungguh-sungguh yang dapat sekedar didengarkannya sambil berbaring. Namun demikian keduanya tidak dapat segera menanggapinya.
Tetapi Kiai Gringsing pun memang tidak memerlukan jawaban. Ia hanya sekedar memberi bahan pertimbangan bagi anak-anak itu agar dikemukakannya kepada orang tuanya.
Tetapi Swandaru ternyata bertanya, “Apakah ayah dan ibu harus pergi menempuh jarak sejauh itu, Guru?”
“Ya. Terutama ayahmu. Tetapi karena perjalanan yang sulit, maka agaknya ibumu tidak usah ikut pun tidak akan menimbulkan persoalan apa pun. Selain Nyai Gede Argapati juga sudah tidak ada lagi, Ki Gede pun akan menyadari, betapa sulitnya perjalanan seorang perempuan melintasi Alas Mentaok, yang meskipun sebagian sudah dibuka. Menyeberangi Kali Opak dan menghadapi kerusuhan yang dapat timbul di sepanjang jalan. Karena setiap saat dapat tumbuh kelompok-kelompok penyamun yang mengganggu jalan di daerah yang berhutan-hutan. Apalagi daerah yang semakin ramai, tetapi belum dilengkapi dengan jalur-jalur jalan yang memadai.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, bahwa hal itu memang harus dilakukan dan ayahnya pun harus tidak berkeberatan. Tetapi yang menjadi persoalan kemudian adalah, apakah dalam keadaan yang semakin gawat, ayahnya dapat meninggalkan Sangkal Putung.
“Tetapi Untara, seorang senapati yang bertanggung jawab di daerah Selatan ini sempat juga memikirkan kebutuhan manusiawi. Sebagai seorang laki-laki, ia akan sampai juga pada suatu saat, bahwa ia harus hidup bersama dengan seorang isteri,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Namun kemudian, “Tetapi ia tidak perlu meninggalkan tugasnya.”
Tetapi Swandaru tidak mengatakan persoalan itu. Waktunya masih cukup panjang. Setelah bulan depan. Setelah Untara benar-benar kawin, sehingga ayahnya akan sempat menghadiri perkawinan itu.
Demikianlah, ternyata bahwa Untara tidak sekeras yang dibayangkan oleh Agung Sedayu sebelumnya. Ternyata ia menerima adiknya dengan baik, setiap Agung Sedayu berkunjung kepadanya bahkan sekali-sekali bersama-sama dengan Swandaru.
“He, kau masih saja bulat,” berkata Untara ketika Swandaru datang untuk pertama kalinya ke Jati Anom.
Swandaru tertawa.
“Tetapi kau jadi bertambah pendek,” Untara meneruskan.
“Mungkin,” jawab Swandaru, “aku memang bertambah pendek. Tetapi Kakang Untara bertambah tampan. Aku belum pernah melihat Kakang Untara berpakaian serasi sekarang.
“Ah.”
“Semakin dekat dengan hari-hari yang mendebarkan itu, Kakang Untara harus lebih banyak mesu diri. Berpuasa dan banyak memberi kepada orang lain, agar kelak Kakang Untara mendapat seorang anak yang seperti dicita-citakan.”
Untara tertawa. Selama di Sangkal Putung ia mengenal Swandaru sebagai seorang anak muda yang terbuka hatinya, suka bergurau, tetapi hatinya sekeras batu.
Namun ternyata, hubungan yang akrab antara Untara dan adiknya, apalagi dengan Swandaru, menimbulkan ketidak-puasan bagi sebagian perwiranya. Kebencian mereka kepada Agung Sedayu masih saja melekat di hati mereka. Terutama perwira yang pernah dikalahkan di dalam perkelahian di tengah sawah oleh Agung Sedayu.
Tetapi Untara adalah seorang senapati yang sangat berpengaruh bagi mereka, sehingga tidak seorangpun yang dengan terang-terangan berani menentangnya.
Saat perkawinan Untara itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Sebagai seorang senapati, maka para perwira tinggi di Pajang, mau tidak mau harus memperhatikan hari yang penting bagi jalur kehidupan Untara itu. Karena itu, maka Jati Anom pun untuk beberapa saat menjadi pusat perhatian bagi pemimpin pemerintahan di Pajang.
Yang akan dirayakan adalah seorang senapati besar, sedang yang memangku perhelatan yang akan berlangsung adalah Widura, pengganti ayah ibunya, juga seorang bekas prajurit Pajang yang namanya dikenal sejak perlawanan yang sangat berat menghadapi tekanan Tohpati di Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang di Jati Anom sibuk menghadapi hari yang besar bagi Untara, yang menjadi semakin dekat, Agung Sedayu dan Swandaru yang sedang berada di luar padukuhannya terkejut, ketika dijumpainya seorang yang berdiri di tengah jalan menghentikan langkahnya. Menilik pakaiannya, ia bukan orang Sangkal Putung, bukan pula dari padukuhan di sekitarnya. Pakaiannya yang kotor dan kumal menunjukkan, bahwa ia telah menempuh suatu perjalanan yang jauh. Namun dua pasang mata yang tajam itu, melihat di balik bajunya, sebilah keris yang dianggar di lambungnya.
“Bukankah Ki Sanak yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni,” bertanya orang itu.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menyahut. Namun akhirnya hampir berbareng mereka berkata lantang, “Wanakerti.”
Orang itu membuka tudung kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kalian masih mengenal aku.”
Sambil menepuk pundaknya Agung Sedayu menyahut, “Wajahmu hampir tidak aku kenal karena debu yang melekat. Tetapi aku tidak lupa warna suaramu.”
Wanakerti tertawa.
“Marilah, datanglah ke rumahku. Bukankah kau memang mencari kami berdua?”
Wanakerti menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku memang mencari kalian berdua. Tetapi aku tidak akan singgah ke Kademangan Sangkal Putung.”
“Kenapa?”
Wanakerti tidak segera menjawab. Keragu-raguan membayang pada sorot matanya. Namun kemudian ia berkata, “Apakah aku masih berhadapan dengan Agung Sedayu dan Swandaru yang dahulu.”
Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Yang menyahut adalah Agung Sedayu, “Kaulah yang terasa asing bagiku. Kenapa tiba-tiba saja kau bertanya demikian?”
Wanakerti tersenyum. Jawabnya kemudian, “Jika demikian, kalian masih tetap Agung Sedayu dan Swandaru yang aku kenal dan yang dikenal baik oleh Raden Sutawijaya.”
“Kau mengemban tugas dari Raden Sutawijaya?” Agung Sedayu langsung menyentuh persoalan yang dibawa oleh Wanakerti.
Wanakerti menganggukkan kepalanya.
“Apakah kau akan mengatakan kepadaku?”
“Ya. Hanya Agung Sedayu-lah yang dapat menjawabnya dengan tepat jika dikehendakinya.”
“Kau aneh,” desis Agung Sedayu.
“Maksudku, aku hanya ingin berhati-hati.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba mengerti, kenapa Wanakerti menjadi sangat berhati-hati terhadapnya setelah ia berada di Sangkal Putung.
“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, kemudian, “aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu kalau aku mengerti.”
“Kau tentu mengerti,” Wanakerti tersenyum.
Agung Sedayu mencoba tersenyum pula betapa pun hambarnya.
“Agung Sedayu,” berkata Wanakerti, “aku hanya ingin mendapat kepastian, apakah Untara benar-benar akan kawin?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kau tentu sudah mendengarnya.”
“Ya. Aku memang mendengar cerita, bahwa Untara akan segera kawin. Karena itu aku akan meyakinkannya.”
“Kau terlampau teliti. Maksudku Raden Sutawijaya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Kau tentu sudah mendapat bahan yang lengkap dari hari perkawinan itu.”
“Aku memang harus mendapat bahan yang lengkap. Jika aku kembali ke Mataram, aku harus memberikan perincian yang sekecil-kecilnya dari perkawinan itu. Dan aku mengharapkan dapat memenuhi tugas itu. Karena itu, aku menemuimu.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
“Bagiku kau adalah seorang yang paling dekat dengan Untara, dan kau adalah orang yang sudah aku kenal dan mengenal aku dan Raden Sutawijaya.”
“Apakah yang sebenarnya ingin kau ketahui? Hari perkawinannya atau siapakah isterinya?”
“Kedua-duanya, dan kenapa Untara kawin dengan puteri Rangga Parasta?”
“O, jadi kau sudah tahu, dengan siapa Kakang Untara akan kawin?” Aku juga sudah mendengar, bahwa isteri Kakang Untara bernama Tundunsari, puteri Rangga Parasta. Tetapi aku tidak tahu apakah sebabnya? Menurut paman Widura, isteri Kakang Untara sebaiknya adalah seorang gadis yang mengerti tentang Kakang Untara, sabar, dan luruh. Menurut pendapatku, Tundunsari memenuhi syarat itu, sehingga agaknya Paman Widura-lah yang telah menghubungkannya.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Memang mungkin suatu kebetulan. Tetapi Rangga Parasta adalah salah seorang yang tidak pernah sesuai jalan pikirannya dengan Ki Gede Pemanahan, hampir di segala hal.”
“Ah,” desis Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng. “Tanggapan itu agaknya sudah terlampau jauh,” sahut Agung Sedayu
“Barangkali Kakang Untara tidak pernah memikirkannya,” sambung Swandaru.
“Memang mungkin sekali. Untara mungkin tidak pernah memikirkan hal itu. Tetapi siapakah yang menempatkan Untara pada tempat yang akan menjadi pusat persoalan itulah yang ingin aku ketahui.”
Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Itu pun tidak ada hubungannya apa-apa. Tentu Paman Widura yang menjadi penghubung. Mungkin Paman Widura sama sekali tidak menghiraukan persoalan-persoalan semacam itu.”
Wanakerti tersenyum. Katanya, “Widura adalah bekas seorang pemimpin prajurit Pajang.”
“Jadi kau menyangka, bahwa bukan saja kebetulan kalau Paman Widura memilih Tundunsari bagi isteri Kakang Untara?”
“Mungkin bukan Widura sendiri. Aku sangka pasti ada perantara yang lain yang telah mempertemukan Widura dengan Rangga Parasta.”
“Aku tahu. Paman Widura mengenal Rangga Parasta dengan baik. Mungkin dalam suatu kunjungan atau dalam suatu pembicaraan masalah itu tersentuh, sehingga terbukalah jalan bagi persoalan itu untuk seterusnya.”
Wanakerti mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi kemungkinan yang aku katakan, bukan mustahil. Seseorang yang ingin menyeret langsung Untara ke dalam persoalan yang gawat ini dengan mempergunakan hubungan yang paling erat di dalam hidup seseorang. Kau tentu sudah tahu, bahwa banyak prajurit yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Mereka merindukan Pajang yang besar. Tetapi mereka kehilangan harapan karena sifat Sultan Pajang yang dengan perlahan-lahan telah berubah dari perjuangan yang gigih untuk mencapai cita-citanya kepada kemukten yang berlebih-lebihan sekarang ini. Namun mereka tidak ingin melihat orang lainlah yang akan dapat meneruskan perjuangan Pajang untuk mencapai kebesarannya, meskipun pusat pemerintahan itu kelak akan berganti nama.”
“Ki Wanakerti,” bertanya Agung Sedayu, “apakah kira-kira demikian juga yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya, jika aku langsung menjumpainya?”
Tiba-tiba saja wajah Wanakerti menegang. Namun sejenak kemudian ia tertawa, “Memang mungkin tidak tepat seperti yang aku katakan. Agaknya kau memang seorang anak muda yang tangkas. Kau agaknya menangkap sikapku sendiri terselip di antara kata-kataku. Namun demikian, sikap Raden Sutawijaya tidak akan jauh berbeda.”
“Kau sudah mengambil kesimpulan, Ki Wanakerti,” berkata Swandaru. “Agaknya Raden Sutawijaya belum mengambil kesimpulan sejauh itu.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku keliru. Ternyata aku berbicara dengan murid-murid Truna Podang. Tetapi pada dasarnya, tugas itu memang harus aku jalankan.”
“Aku percaya, bahwa Raden Sutawijaya ingin mendapat bahan pertimbangan tentang perkawinan Kakang Untara dengan Tundunsari. Tetapi belum mengambil sikap seperti yang kau katakan.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ternyata ia berhadapan dengan anak-anak muda yang berpikir dengan tangkas, seperti ketangkasan mereka dalam olah kanuragan. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan surut beberapa langkah. Aku akan membatasi pertanyaanku dengan pertanyaan-pertanyaanku yang pertama. Apakah perkawinan Untara dengan puteri Rangga Parasta itu hanya suatu kebetulan atau ada seseorang yang sengaja menjerat Untara ke dalam suatu sikap yang keras terhadap Mataram?”
“Ki Wanakerti,” berkata Agung Sedayu, “aku yakin, bahwa Kakang Untara bukan anak-anak lagi. Ia adalah seorang senapati yang sudah dewasa. Senapati yang mempunyai sikap yang masak. Jika ia sudah menempatkan dirinya di bawah perintah Sultan Pajang, ia akan menjalankannya, menjadi atau tidak menjadi menantu Rangga Parasta. Tetapi kalau Kakang Untara bersikap lunak terhadap Mataram, ia akan tetap bersikap demikian. Jika kemudian ada perkembangan sikapnya, itu sama sekali bukan karena ia memperisteri puteri Rangga Parasta, tetapi itu adalah perkembangan nalarnya sendiri.”
Ki Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku mengerti. Tetapi kalian tidak boleh mengabaikan pengaruh seorang perempuan di dalam jalan kehidupan kita. Mungkin karena kalian belum kawin sajalah kalian tidak menyadari betapa pentingnya. Kau lihat, apa yang terjadi dengan Sultan Pajang sekarang ini?”
“Kau berkata lagi tentang sikapmu sendiri.”
“O, maaf. Tetapi baiklah. Mudah-mudahan tanggapanmu terhadap Untara tepat. Kau adalah adiknya dan kau pasti mengenal sifat-sifatnya.”
“Aku yakin. Demikian juga sikap Paman Widura.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Jadi tepatnya kapan Untara akan kawin?”
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Mereka tampak ragu-ragu untuk menjawab.
“Aku tidak akan berbuat apa-apa,” berkata Wanakerti. “Juga Raden Sutawijaya tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin tahu. Maaf, apakah perkawinan inilah yang sebenarnya meningkatkan kesibukan pasukan Pajang di Jati Anom?”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku mengerti. Baiklah. Perkawinan akan berlangsung sepuluh hari lagi. Tentu kehadiran para prajurit di Jati Anom adalah karena perkawinan Kakang Untara. Bukan karena perkawinan itu sekedar sebagai alasan yang tersamar untuk meningkatkan kegiatan para prajurit Pajang yang sedang menghadapi Mataram, atau katakanlah, bahwa selagi Untara kawin, pasukan yang sudah dipersiapkan akan maju mendekat ke Mataram, bahkan lebih jelek lagi dari itu, menyerang Mataram.”
Wajah Wanakerti menegang sejenak. Namun sekali lagi ia tersenyum dan berkata, “Terima kasih. Beruntunglah, bahwa aku berbicara dengan anak-anak muda yang dewasa. Aku kira bahan-bahan yang harus aku kumpulkan untuk sementara sudah cukup.”
“Apakah Ki Wanakerti benar-benar tidak akan singgah ke rumahku?” bertanya Swandaru.
“Terima kasih. Lain kali aku akan singgah. Sekarang aku harus secepatnya kembali. Raden Sutawijaya menunggu keteranganku.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Swandaru masih juga berkata, “Ki Wanakerti. Guru, eh maksudku Ki Truna Podang akan senang sekali menerimamu, jika kau mau singgah.”
“Maaf, sampaikan kepada Kiai Gringsing, bukankah gurumu bernama Kiai Gringsing?” sahut Wanakerti. “Bahkan kali ini aku tidak akan dapat singgah.”
“Sayang sekali. Jika Ki Wanakerti dapat bertemu, maka setidak-tidaknya guru akan teringat kepada hutan yang lebat itu dan mungkin kau akan mendengar pertanyaannya, bagaimana sikapmu dan sikap Raden Sutawijaya terhadap Pangeran Benawa.”
“Ah,” sekali lagi wajah Wanakerti menegang. Tetapi ia pun tersenyum pula sambil berkata, “Pangeran Benawa adalah seorang yang baik menurut Raden Sutawijaya. Terlalu baik.” Namun kemudian Wanakerti berkata, “Sudahlah. Lain kali kita berbicara banyak tentang Pajang, tentang Sultan Adiwijaya, tentang Pangeran Benawa.”
“Dan tentang Raden Sutawijaya sendiri,” potong Agung Sedayu.
“Ya, tentang Raden Sutawijaya sendiri,” Wanakerti mengangguk-angguk. “Sekarang aku minta diri. Aku menunggu kalian sejak pagi di bawah pohon randu itu. Aku yakin, bahwa suatu saat kalian akan keluar dari padukuhan.”
“Kebetulan sekali. Bagaimana kalau aku tidak keluar juga?”
“Terpaksa sekali aku berjalan melalui regol kademangan. Tetapi aku memang tidak ingin singgah. Maaf. Sekarang aku minta diri.”
“Apakah kau tidak membawa tunggangan?”
Wanakerti tidak menjawab, tetapi ia tersenyum.
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. Bahkan Swandaru berkata, “Aku tahu, kau sembunyikan kudamu, atau seseorang menunggumu di tempat lain sambil menunggui kudamu. Apakah kau sekarang menjadi petugas sandi dari Mataram?”
“Ah,” Wanakerti berdesis. Tetapi ia tidak menjawab selain senyumnya yang masih saja tampak di bibir.
“Hati-hatilah. Jangan kau sesorah di simpang empat, ‘inilah petugas sandi dari Mataram,’ supaya orang-orang itu tahu bahwa kau seorang petugas sandi.”
“Ah,” Agung Sedayu-lah yang kemudian menggamit Swandaru.
“Terima kasih,” berkata Wanakerti sambil masih saja tersenyum. “Aku minta diri.”
Demikianlah, maka Wanakerti pun segera meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru yang masih termangu-mangu untuk sesaat. Namun ketika Wanakerti menjadi semakin jauh, maka Agung Sedayu pun berkata, “Marilah kita kembali. Kita beritahukan kedatangannya kepada guru.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih memandang Wanakerti yang berjalan semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat. Desisnya, “Di mana kudanya ditinggalkan?”
“Tentu agak jauh. Tetapi biarlah. Kita sekarang menemui guru.”
Keduanya pun kemudian segera kembali ke Kademangan. Yang pertama-tama mereka beritahu tentang kehadiran Wanakerti adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing kemudian berkata, “Ternyata ketegangan yang ada antara Mataram dan Pajang semakin lama semakin meningkat, meskipun masih belum sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Tetapi agaknya Mataram pun selalu bercuriga seperti juga para prajurit di Pajang.”
“Setiap orang membuat terjemahan sendiri mengenai keadaan yang berkembang,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sumangkar pun berkata, “Mungkin sekedar suatu sikap berhati-hati.”
“Ya,” berkata Swandaru, “tetapi agak berlebih-lebihan.”
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka memang membayangkan hubungan batin yang semakin renggang telah terjadi antara Sultan Pajang dengan putera angkatnya, Raden Sutawijaya. Keduanya tidak dapat menemukan jalan yang menghindarkan mereka dari ketegangan itu.
“Tetapi Mataram tidak akan berbuat sesuatu lebih dahulu,” berkata Kiai Gringsing. “Kecuali Mataram memang belum siap, aku kira para pemimpin di Mataram masih menaruh hormat kepada Sultan Pajang, meskipun ternyata mereka tidak lagi dapat bekerja bersama.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka pun berpendapat, bahwa Sutawijaya tidak akan mengambil sikap yang keras terhadap Pajang jika tidak terpaksa.
Namun mereka pun sadar, bahwa yang menentukan bukan saja Sutawijaya. Orang-orang yang langsung berada di lingkungan keprajuritan dapat memancing suasana, sehingga pada suatu saat, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain kekerasan.
Demikian juga agaknya para prajurit Pajang. Mereka tidak ingin menunggu Mataram menjadi kuat. Bahkan beberapa orang di antara mereka berpendapat, Mataram harus dihancurkan segera sebelum berkembang.
Tetapi pemimpin tertinggi dari kedua daerah yang semakin lama menjadi semakin jauh itu masih selalu mencoba mengekang diri, agar mereka tidak terperosok ke dalam pertentangan yang semakin dalam.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar tidak menganggap perlu menyampaikan hal itu kepada Untara. Dengan demikian akan dapat menimbulkan ketegangan perasaan justru menjelang hari perkawinannya. Karena mereka berpendapat, Mataram tidak akan berbuat kasar.
Namun demikian, memang mungkin sekali ada orang yang berusaha memancing di air keruh, atau sengaja menimbulkan kesan tentang hubungan yang semakin jelek antara Pajang dan Mataram. Orang-orang yang licik seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak, dapat saja berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kesan seakan-akan pihak-pihak yang sedang dibakar oleh ketegangan itulah yang telah berbuat. Bahkan mungkin orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang kecewa atas kegagalan mereka, sengaja membuat keributan di sekitar Jati Anom dan menyebut dirinya orang-orang dari Mataram, sehingga dengan demikian, mereka akan dapat mengambil keuntungan dari pertentangan yang akan terjadi.
“Apakah kita dapat berbuat sesuatu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Mungkin kita dapat berbuat sesuatu,” jawab gurunya. “Dalam saat-saat perkawinan itu, kita pasti akan hadir. Nah kita dapat berhati-hati menanggapi setiap persoalan. Di tempat itu tentu akan penuh dengan perwira dari Pajang kawan-kawan Untara. Jika penjagaan tidak cukup baik, memang mungkin sekali timbul persoalan yang tidak kita kehendaki dari orang-orang yang sengaja akan mengambil keuntungan dari suasana yang memburuk itu.”
“Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati. Kita adalah orang-orang yang berdiri di luar pertentangan itu sendiri, “berkata Sumangkar, “sehingga kita dapat memandang persoalannya dari jarak yang cukup.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan, dan mereka pun telah menyediakan diri mereka untuk melihat setiap kemungkinan yang tidak diharapkan selama perkawinan Senapati Pajang yang berkuasa di daerah Selatan ini berlangsung, apalagi di datam kemelutnya ketegangan yang semakin memuncak.
Demikianlah, semakin dekat dengan hari-hari perkawinan, Widura yang akan menjadi orang tua Untara, menjadi semakin sibuk. Rumahnya menjadi semakin ramai oleh orang-orang yang mulai menyiapkan segala sesuatu. Dari rumah itulah, Untara akan berangkat ke rumah mempelai perempuan beberapa hari sebelum hari perkawinan. Dan pada hari yang kelima, di rumah Widura itulah akan diselenggarakan upacara menerima sepasang pengantin itu oleh orang tua penganten laki-laki yang akan dilakukan oleh Widura.
Hari-hari yang menegangkan adalah justru pada hari kelima. Pada hari upacara sepasaran dan menjemput pengantin itulah, kemungkinan-kemungkinan dapat terjadi, karena justru rumah Untara di Jati Anom, sedang mempelai perempuan, putera Rangga Parasta, berada jauh di belakang garis tegang antara Pajang dan Mataram, karena Rangga Parasta tinggal di Pengging.
Tetapi Rangga Parasta sendiri jarang sekali berada di rumahnya. Ia hampir selalu berada di Pajang karena setiap saat ia diperlukan oleh pimpinan tertinggi pemerintahan di Pajang.
Demikianlah, maka menjelang keberangkatan Untara ke Pengging beberapa hari menjelang hari perkawinan itu, Agung Sedayu sudah berada di Jati Anom. Sebagai seorang saudara muda, ia ikut sibuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Bahkan Swandaru pun ternyata bersedia tinggal bersamanya di rumah Widura untuk mengawaninya.
“Kenapa kau tidak tinggal di rumahmu sendiri?” bertanya Swandaru. “Bukankah rumahmu cukup besar. Bahkan seandainya Untara merayakan perkawinannya di rumahnya itu pun agaknya pantas juga, karena rumah itu cukup baik.”
“Rumah itu kini dipergunakan untuk kepentingan prajurit Pajang. Apalagi Paman Widura yang mewakili ayah dan ibu minta Untara tinggal di sini. Agaknya Paman Widura ingin sekali-sekali menyelenggarakan perhelatan, karena anak-anaknya sendiri masih terlalu muda untuk kawin.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa Untara seorang senapati besar dari Pajang itu, pasti akan merelakan rumahnya untuk kepentingan para prajurit, meskipun ia sendiri membutuhkannya.
“Jadi, bagaimana dengan kau kelak?” tibat-tiba saja Swandaru bertanya.
“Bagaimana dengan aku?”
“Ya, jika kau kawin kelak, dan rumah itu masih saja ditempati para prajurit.”
“Mereka tidak akan tinggal di rumah itu untuk selamannya. Aku juga tidak tahu, di mana Kakang Untara akan tinggal setelah ia kawin. Apakah ia akan tinggal bersama-sama dengan para perwira itu, atau ia akan tinggal bersama Paman Widura.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Dalam pada itu, rumah Widura menjadi semakin sibuk. Untara sudah meninggalkan rumahnya sendiri yang dihuni oleh para perwira dan tinggal bersama Widura. Tugasnya sehari-hari telah diserahkannya kepada perwira yang tertua kedudukan dan umurnya. Tetapi hal-hal yang penting masih tetap ditanganinya sendiri.
“Kau sudah harus mulai mengurangi makan dan minum,” gurau Swandaru yang juga tinggal bersama Agung Sedayu di rumah Widura menjelang hari perkawinan itu.
Untara tertawa, jawabnya, “Aku harus makan dan minum lebih banyak lagi, supaya aku kelihatan agak gemuk. Kalau kau kelak kawin, maka setahun sebelumnya kau harus sudah mengurangi makan dan minum supaya kau sedikit ramping karenanya.”
Keduanya tertawa. Agung Sedayu yang ada di antara mereka pun tertawa pula. Namun di dalam hati Agung Sedayu melihat perubahan, meskipun perlahan-lahan, pada diri kakaknya. Sebelum kakaknya berbicara tentang kawin, wajahnya selalu bersungguh-sungguh dan hampir tidak pernah tersenyum, apalagi tertawa. Tetapi kini ia sudah dapat bergurau.
Tiba-tiba terngiang kata-kata Wanakerti di telinganya, “Mungkin karena kalian belum kawin sajalah kalian tidak menyadari betapa pengaruhnya,” dan sebelumnya, “Tetapi kalian tidak boleh mengabaikan pengaruh seorang perempuan di dalam jalan kehidupan kita.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Belum lagi Untara kawin, pengaruh itu sudah nampak padanya. Apalagi kelak, jika setiap hari Untara akan bergaul dengan isterinya. Jika isterinya mempunyai sikap tertentu, sikap itu pasti akan berpengaruh betapapun kecilnya.
“Tergantung kepada sifat seorang perempuan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Ia dapat berpengaruh baik dan dapat berpengaruh kurang baik, bahkan dapat menjadi buruk.”
Dan tiba-tiba saja terbersit suatu pertanyaan di dalam dirinya, “Bagaimana dengan Sekar Mirah?”
Agung Sedayu mencoba untuk menilai gadis Sangkal Putung itu. Namun sebelum ia menemukan sesuatu padanya, terdengar Untara berkata, “Aku berterima kasih jika kalian mau tinggal di sini selama aku berada di Pengging. Menjelang hari kelima setelah hari perkawinan, Paman Widura pasti sibuk sekali. Apakah kalian bersedia?”
“Tentu,” sahut Swandaru, “aku senang tinggal di sini, asal dapur Paman Widura masih terus berasap. Tetapi jika api sudah padam, aku akan segera kembali ke Sangkal Putung.”
Sekali lagi mereka tertawa. Dan Swandaru pun kemudian berkata, “Guru akan datang juga bersama Ki Sumangkar pada hari kelima itu. Mereka akan datang bersama ayah, ibu, dan Sekar Mirah. Mereka akan ikut merayakan upacara ngunduh penganten pada hari kelima itu.”
“Tentu. Paman Widura dengan resmi sudah mengundang mereka. Tetapi sudah tentu, bahwa mereka tidak akan datang tepat pada hari sepasaran itu. Kami mengharap mereka datang sehari atau dua hari sebelumnya.”
“Ayah terlampau sibuk. Tetapi mungkin guru dan Ki Sumangkar.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas tampak sesuatu membayang di wajahnya, namun ia pun kemudian tersenyum, “Beberapa orang prajurit akan ikut membantu Paman Widura pula. Jika tidak, Paman Widura pasti akan terlalu lelah.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka pun dapat menangkap ungkapan yang terloncat dari keterangan itu. Bahkan rumah ini memang memerlukan pengamanan yang sebaik-baiknya menjelang hari-hari yang akan menjadi sangat ramai itu. Para prajurit yang akan berada di halaman rumah ini tentu bukan sekedar membantu memasang tarub dan membuat pagar-pagar batas di halaman.
Agaknya Untara pun mengetahui, bahwa Agung Sedayu dan Swandaru yang memiliki ketajaman daya tangkap itu dapat mengerti maksud kata-katanya, sehingga karena itu, maka Untara pun tersenyum sambil berkata, “Bukankah Paman Widura memang perlu dibantu?”
“Ya, ya,” sahut Agung Sedayu, “Paman Widura memang perlu dibantu oleh para prajurit, meskipun anak-anak muda Jati Anom cukup banyak yang pandai memasang tarub.”
Untara tertawa. Agung Sedayu dan Swandaru pun tertawa pula.
“Itulah sulitnya,” berkata Untara kemudian. “Sebenarnya aku lebih senang hidup dalam suasana yang wajar. Jika kalian kawin, tidak banyak orang akan mempersoalkan. Dan sudah barang tentu tidak banyak orang yang berniat untuk berbuat sesuatu. Tetapi itulah kesulitanku. Aku harus memperhatikan banyak segi yang mungkin dapat terjadi.”
“Itu pun wajar,” sahut Swandaru, “setiap persoalan mempunyai neracanya masing-masing. Ada yang baik ada yang buruk. Ada yang menguntungkan ada yang justru merepotkan. Demikian juga yang akan terjadi dengan Kakang Untara. Jika aku kawin, tidak akan ada sekelompok perwira yang akan mengiringi aku, tidak ada sepasukan kehormatan yang akan berjalan di depanku dan tidak akan ada salam selamat dari Sultan Pajang. Tetapi aku juga tidak perlu mengawasi setiap sudut rumahku, karena tidak akan ada kemungkinan gangguan apa pun juga, selain dari laki-laki yang kebetulan jatuh cinta kepada bakal isteriku.”
Untara tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang yang sedang sibuk di halaman berpaling kepadanya. Untara nampaknya memang gembira sekali menjelang hari perkawinannya itu.
“Selama ini Kakang Untara selalu bergulat dengan tugas-tugas keprajuritannya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hati. “Sekarang ia dapat melupakan tugas-tugas itu sejenak, sehingga ia sempat bergurau dan tertawa dengan bebas tanpa diganggu oleh perkembangan keamanan dan ketegangan yang semakin meningkat di perbatasan Alas Mentaok.”
Namun dalam pada itu, selagi mereka bergurau dan tertawa berkepanjangan di pendapa, seseorang naik dengan tergesa-gesa. Meskipun ia tidak berpakaian seorang prajurit, tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti seorang petugas sandi yang diperbantukan kepada Widura di dalam perhelatan itu.
“Ki Untara,” ia berkata dengan suara yang dalam, “ada sekelompok orang memasuki padukuhan Jati Anom.”
“Siapa menurut dugaanmu?”
“Kami belum mendapat kepastian, tetapi kami kira mereka datang dari Mataram.”
“Mataram,” Untara mengerutkan keningnya, sedang Agung Sedayu dan Swandaru pun terkejut pula karenanya.
“Apakah kau sudah melaporkan kepada pimpinan yang aku serahi tugas pengamanan daerah ini?
“Tidak. Mereka bukan sepasukan prajurit bersenjata.”
“Jadi?”
“Sepasukan prajurit sudah siap di sekitar jalan masuk ke paduhan ini. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Apa yang mereka lakukan?”
“Mereka adalah sekelompok orang yang membawa lima atau enam buah jodang yang dihiasi dengan janur-janur kuning. Mereka menuju ke rumah ini.”
“Jodang? Dari mana kau bilang? Dari Mataram?” Untara menjadi tegang sejenak.
“Mungkin. Tetapi kami belum mendapat kepastian.”
“Apakah para penjaga regol tidak menghentikan mereka dan bertanya tentang mereka?”
“Ya, sedang dilakukan.”
Untara menjadi berdebar-debar. Karena itu, maka ia pun segera berkata, “Kemasi pendapa ini. Bentangkan tikar yang baik. Jika benar mereka datang dari Mataram, mereka adalah tamu-tamu terhormat.” Untara berhenti sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Aku akan membenahi pakaian, dan panggillah Paman Widura.”
Agung Sedayu pun kemudian bergeser. Ketika Swandaru akan ikut pula, Untara mencegahnya, “Kau di sini. Sebelum Paman Widura datang, temuilah jika mereka naik ke pendapa. Kau mewakili aku sampai aku selesai.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Karena itu, ketika Agung Sedayu pergi mencari Widura dan Untara masuk ke ruang dalam, Swandaru masih tetap berada di pendapa. Bahkan ia turut membantu membentangkan tikar yang lebih baik dari yang mereka pakai sehari-hari.
Sejenak kemudian, orang-orang yang tinggal di sebelah-menyebelah yang dilalui oleh iring-iringan itu pun saling berdesakan di pinggir jalan yang menghubungkan jalan-jalan padukuhan di Kademangan Jati Anom. Orang-orang dari Banyu Asri pun dengan terheran-heran melihat sekelompok orang-orang dalam pakaian kebesaran dan kelengkapan yang sangat baik membawa beberapa buah jodang yang dihias sebaik-baiknya pula dengan janur kuning dan kain berwarna.
“Tentu hadiah dari Sultan Pajang untuk Untara,” desis seseorang. “Anak Ki Sidewa itu ternyata bernasib baik. Ia mempunyai kedudukan yang terpandang dan mendapat perhatian khusus dari Sultan.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi pakaian kebesaran yang dipakai oleh orang-orang yang membawa jodang itu sangat mempesona. Seakan-akan orang-orang itu sedang mengikuti upacara terbesar di Istana Pajang.
Meskipun demikian, pakaian kebesaran yang mengagumkan itu ternyata telah kotor oleh debu. Tampaknya mereka sudah menempuh jalan yang panjang sebelum mereka memasuki Kademangan Jati Anom. Ternyata pula, bahwa di antara iring-iringan itu terdapat beberapa pengawal bersenjata, untuk menjaga agar barang-barang itu tidak dirampas oleh orang-orang jahat di sepanjang jalan.
Dengan dikawal oleh para prajurit Pajang yang bertugas di Kademangan Jati Anom, maka iring-iringan itu pun menuju ke rumah Widura yang sedang sibuk.
Widura yaug diberi tahu oleh Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa membenahi pakaiannya. Tetapi justru karena itu, ia tidak segera mengerti siapakah yang sebenarnya telah datang itu.
“Dari mana?” bertanya Widura sekali lagi. “Apakah aku tidak salah dengar?”
“Dari Mataram, menurut keterangan orang yang menyampaikan berita itu kepada Kakang Untara.”
“Mataram, maksudmu dari Raden Sutawijaya?”
“Masih belum jelas, Paman.”
Widura mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian segera pergi ke pendapa.
Widura menjadi semakin berdebar-debar, ketika dua orang prajurit datang menemuinya. Hampir berbisik salah seorang berkata, “Mereka benar-benar datang dari Mataram.”
Widura menarik nafas dalarn-dalam. Katanya, “Siapakah yang telah menyampaikan berita perkawinan Untara kepada Raden Sutawijaya?”
Prajurit-prajurit itu menggelengkan kepalanya.
“Di mana mereka sekarang?” bertanya Widura pula.
“Sebentar lagi mereka akan memasuki halaman ini. Kini mereka sudah menyelusuri jalan padukuhan ini. Agaknya mereka sudah melampaui simpang empat dan gardu penjagaan itu.”
Widura mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Apakah sebenarnya yang telah menggerakkan orang-orang Mataram mengirimkan sekelompok orang-orangnya dengan membawa beberapa buah jodang? Apakah di dalam jodang itu berisi barang-barang untuk kelengkapan pengantin atau barang-barang lain?
Selagi Widura masih termangu-mangu, maka tampaklah iring-iringan itu mendekati regol rumahnya, sehingga karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia pun segera menyongsongnya diikuti oleh Agung Sedayu dan Swandaru.
Widura terperanjat, ketika ia memandang wajah orang yang berjalan di paling depan sambil tersenyum kepadanya. Orang itu dikenalnya benar-benar. Ia adalah kawan di dalam perjuangan menegakkan Pajang selagi Demak mulai runtuh.
“Ki Lurah Branjangan?” tanpa sesadarnya ia berdesis.
Orang yang dipanggilnya Ki Lurah Branjangan itu tertawa. Katanya, “Kau masih ingat kepadaku Kakang Widura. Memang, para prajurit waktu itu memanggil aku Branjangan.”
“Tentu, aku tidak akan lupa kepadamu.”
Orang itu masih tertawa. Katanya, “Aku masih tetap tidak dapat berkembang. Pendek, kecil, dan seperti ini.”
“Tetapi kau benar-benar seekor burung branjangan. Lincah dan lebih dari itu tidak terkendali.”
Ki Lurah Branjangan dan mereka yang mendengarnya tertawa. Agung Sedayu dan Swandaru pun tersenyum pula.
“Marilah, marilah,” baru Widura sadar, bahwa ia harus mempersilahkan tamunya.
Tamunya tertawa pula. Katanya, “Aku kira kau akan menerima aku di halaman.”
“Marilah, silahkan.” Lalu dipersilahkannya pula para pengiringnya, “Marilah Ki Sanak, silahkanlah naik ke pendapa.”
Ki Lurah Branjangan bersama kawan-kawannya pun segera naik ke pendapa. Beberapa orang prajurit Pajang yang mengawal mereka dari ujung kademangan segera memencar dan duduk di halaman, di bawah rimbunnya pepohonan.
Mereka yang naik ke pendapa itu pun segera dipersilahkan duduk setelah mereka meletakkan jodang-jodang yang mereka bawa dihiasi dengan kain beraneka warna dan ditutup pula dengan kain lurik berwarna cerah.
Setelah mereka duduk melingkar di atas tikar yang putih, yang baru saja dibentangkan di pendapa itu, maka Widura segera bertanya tentang keselamatan perjalanan mereka.
“Perjalanan yang melelahkan,” jawab Ki Lurah Branjangan, “tetapi kami semuanya selamat.”
“Kedatangan kalian sangat mengejutkan. Apalagi aku mendengar keterangan, bahwa kalian datang dari Mataram, bukan dari Pajang.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Ya, aku memang datang dari Mataram.”
“Aku menjadi lebih terkejut lagi, bahwa yang memimpin iring-iringan dari Mataram itu adalah kau, Ki Lurah Branjangan.”
“O, kenapa kau terkejut?”
Widura tidak segera menyahut. Sejenak ia mencoba merenungi tamunya dan mengenang beberapa waktu yang lampau selagi mereka bersama-sama berada dalam satu medan menghadapi keretakan yang terjadi setelah Demak pecah.
Tetapi Widura tidak ingin mempersoalkannya selagi tamunya baru saja duduk. Ia tidak ingin merusak seluruh suasana dari pertemuan itu, meskipun ia termasuk salah seorang perwira Pajang yang tidak mengambil sikap yang tajam terhadap persoalan Mataram.
Karena itu, maka Widura itu pun berkata, “Ah, baiklah kita tidak berbicara tentang kau. Tetapi aku ingin berbicara tentang jodang-jodang itu.”
Ki Lurah Branjangan tertawa, seperti biasanya ia adalah seorang yang suka tertawa, “Aku mendapat perintah dari Raden Sutawijaya untuk membawa jodang-jodang itu kemari. He, di mana Ki Untara?”
Widura mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, maka kemanakannya itu berkata, “Kakang Untara baru masuk ke dalam biliknya. Sebentar lagi ia akan datang.”
“Ke bilik pengantin?” Ki Lurah Branjangan tertawa. Namun tiba-tiba suara tertawanya terputus, “Siapakah anak muda ini?”
“Kemanakanku, adik Untara. Dan yang seorang adalah sahabatnya, putera Ki Demang di Sangkal Putung.”
Ki Lurah Branjangan memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Ada kesan yang khusus terbayang di wajahnya. Sejenak kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baru sekarang aku berkesempatan bertemu muka dengan anak muda yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru.”
Widura mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Apakah kau pernah mengenal namanya?”
“Hampir semua orang Mataram mengenal namanya. Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar.”
“Ah,” Agung Sedayu segera menyahut, “adalah kebetulan kami lewat bagian hutan yang sedang dibuka itu. Dan adalah kebetulan, bahwa Raden Sutawijaya hadir pada daerah penebangan yang sulit. Sebelum itu, aku sudah mengenal Raden Sutawijaya justru di sini. Di garis perang antara Sangkal Putung dan Jati Anom pada saat Tohpati masih berada di sekitar daerah ini.”
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi kita belum pernah bertemu. Ketika Ki Widura mendapat tugas di daerah Selatan, aku justru pergi ke Timur. Tetapi daerah Timur tidak seberat yang dihadapi oleh pasukan di daerah Selatan ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu Ki Lurah itu berkata pula, “Karena itu aku baru mendengar namamu, ketika aku sudah berada di Mataram. Setiap mulut menyebut namamu. Apalagi Wanakerti.”
“Terima kasih. Tetapi barangkali pujian itu agak berlebih-lebihan. Aku tidak berbuat apa-apa di Mataram.”
Ki Lurah Branjangan tertawa. Lalu katanya, “Baiklah. Kau memang rendah hati. Kawanmu yang gemuk itu pun menjadi buah bibir. Setiap orang menjadi heran, meskipun tubuhnya gemuk, namun lincahnya melampaui kijang di medan pertempuran.”
“Kami tidak bertempur,” potong Swandaru. “Memang kami pernah bermain hantu-hantuan. Tetapi itu bukan pertempuran.”
Sekali lagi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Baiklah. Sekarang aku sempat memperkenalkan diriku. Orang-orang menyebutku Branjangan. Tetapi namaku bukan itu. Salah pamanmu Widura. Ialah yang pertama-tama menyebutku Branjangan. Kalau kau ingin mengetahui, namaku yang sebenarnya adalah Mudal. Eh, nama yang sebenarnya lebih jelek dari nama yang diberikan oleh pamanmu. Karena itu, aku lebih senang dipanggil Ki Lurah Branjangan daripada Ki Lurah Mudal.”
Agung Sedayu dan Swandaru tertawa pula. Ternyata orang yang bertubuh pendek dan kecil ini senang juga berkelakar.
Namun tiba-tiba Branjangan bertanya, “He, di mana Ki Untara? Bukankah pengantin perempuannya belum ada di sini.”
“Tentu belum. Perkawinan belum berlangsung.”
“Syukurlah. Jadi aku masih belum terlambat,” sahut Branjangan. “Tetapi, kenapa ia lama sekali belum juga keluar dari biliknya?”
Dan tiba-tiba saja terdengar suara Untara, “Selamat datang Ki Lurah Branjangan.”
Ki Lurah Branjangan berpaling. Dilihatnya Untara sudah berdiri di muka pintu, “Ha, inilah pengantinnya. Alangkah tampannya Ki Untara sekarang, menjelang hari perkawinannya.”
Untara tersenyum. Jawabnya, “Aku berpakaian rapi bukan karena aku akan kawin lusa. Tetapi aku harus menghormati tamu-tamuku dengan pakaian kebesaran yang mengagumkan.”
“Ah,” Ki Lurah Branjangan tertawa pula. Sambil mengangguk dalam-dalam, ia kemudian berkata, “Aku sekedar mengemban tugas dari Raden Sutawijaya di Mataram.”
Untara mengangguk-angguk. Kemudian ia pun duduk di hadapan Ki Lurah Branjangan, di samping pamannya, Widura.
“Aku tidak mengira, bahwa akan ada utusan dari Mataram menjelang perkawinanku. Dan aku tidak mengira, bahwa Ki Lurah Branjangan akan datang pula hari ini.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa baik Untara mau pun Widura menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja ia menjadi seorang utusan dari Mataram. Tetapi ia tidak akan mempersoalkannya lebih dahulu seperti yang dikehendaki Widura. Lebih baik mempersoalkan jodang-jodang itu dahulu daripada dirinya sendiri.
Karena itu, setelah mereka berbicara sejenak, tentang perjalanan Ki Lurah Branjangan dari Mataram, maka ia pun berkata, “Ki Untara. Kali ini aku adalah utusan Raden Sutawijaya yang direstui oleh ayahandanya Ki Gede Pemanahan, untuk menyampaikan beberapa buah kenang-kenangan, atau katakanlah sumbangan, bagi hari perkawinanmu. Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan minta maaf, bahwa keduanya tidak dapat hadir, baik di hari perkawinanmu di Pengging beberapa hari mendatang, maupun dalam upacara sepekan di rumah ini.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku menjadi sangat berbesar hati. Hampir di luar kemungkinan yang aku perhitungkan, bahwa Raden Sutawijaya dan ayahandanya Ki Gede Pemanahan masih juga ingat kepadaku. Apalagi aku sengaja tidak memohon kehadiran mereka berdua, karena di dalam suasana prihatin ini, kami tidak akan menyelenggarakan upacara selengkapnya. Semuanya asal dapat terlaksana dengan syah sesuai dengan keharusan dan kepercayaan kita.”
“Ya,” Branjangan mengangguk-angguk, “ternyata kau bijaksana.” Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Juga aku mendapat pesan dari Ki Gede Pemanahan, agar menyampaikan salam dan ucapan selamat kepada bakal ayah mertuamu, Rangga Parasta. Juga kepadanya, Ki Gede Pemanahan minta maaf, bahwa Ki Gede tidak dapat menghadiri perkawinan puterinya.”
Dada Untara berdesir mendengarnya. Ia tahu benar, kedua orang itu mempunyai sikap yang hampir berlawanan. Apalagi ketika Ki Gede Pemanahan mengambil sikap yang tajam terhadap Sultan Pajang dengan meninggalkan istana dan kembali ke Sela, bahkan kemudian langsung membuka Alas Mentaok sebelum mendapat persetujuan resmi dari Sultan Adiwijaya.
Tetapi Untara mencoba untuk menyembunyikan perasaannya agar tidak menampakkan kesan di wajahnya. Bahkan kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, ya. Aku akan menyampaikannya. Rangga Parasta pasti akan senang sekali mendapat pesan dari Ki Gede, meskipun Ki Gede Pemanahan tidak dapat hadir.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dicobanya untuk menangkap kesan di wajah Untara, tetapi yang tampak kemudian adalah sebuah senyum yang cerah.
“Demikianlah,” berkata Branjangan pula, “aku datang untuk menyerahkan isi dari jodang-jodang ini. Barangkali dapat kau pergunakan pada hari perkawinanmu. Jangan dinilai ujud barang-barangnya yang barangkali tidak berharga, tetapi keinginan Raden Sutawijaya untuk memberikan tanda kekeluargaan bagimu.”
“Aku mengucapkan berbu-ribu terima kasih. Harap kau sampaikan kepada Raden Sutawijaya, bahwa aku menerima dengan sepenuh hati.” Lalu katanya kepada pamannya, “Paman, aku persilahkan Paman menerimanya.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Ki Lurah Branjangan. Jodang-jodang ini akan aku terima dan akan aku bawa masuk ke dalam. Apakah jodang-jodangnya nanti akan kalian bawa kembali setelah isinya aku terima?”
Ki Lurah Branjangan tertawa sambil menjawab, “Tidak. Tidak. Kami tidak akan membawa jodangnya kembali ke Mataram. Kami menyerahkan semuanya beserta tempatnya.”
Widura pun tersenyum pula, katanya, “Terima kasih. Terlebih-lebih lagi terima kasih.”
Kemudian bersama Agung Sedayu, Swandaru, dan beberapa orang pembantu, yang sebenarnya adalah prajurit-prajurit Pajang, jodang-jodang itu dibawa masuk ke dalam. Swandaru yang mengusung sebuah jodang bersama Agung Sedayu, setelah meletakkannya di ruang dalam, menyingkap tutup jodang itu sedikit. Katanya, “Bukan main, kau lihat setumpuk kain panjang dalam satu jodang?”
“Sst,” Agung Sedayu berdesis, “jangan.”
“Aku hanya ingin melihat. Mungkin di jodang yang lain kau akan menemukan segulung kain sutera. Yang lain lagi beberapa puluh lembar ikat kepala, sabuk, kamus, dan timang. Yang lain lagi, yang lain lagi. Tentu bermacam-macam sekali.”
“Sudahlah. Tentu banyak sekali. Yang memberikan sumbangan adalah Raden Sutawijaya. Sampai saat ini ia masih Putera Sultan Pajang.”
“Anak angkat.”
“Ya, tetapi kedudukan itu masih tetap.”
Keduanya pun kemudian kembali ke pendapa dan duduk di antara tamu-tamunya. Beberapa orang pelayan telah menyuguhkan hidangan bagi tamu-tamunya. Minuman panas dan beberapa macam makanan.
Sejenak mereka masih sempat berbicara tentang hari-hari perkawinan. Tentang rencana yang akan dilaksanakan dalam urut-urutan upacara sampai upacara terakhir di rumah Widura.
Namun kemudian, terasa bahwa pembicaraan Ki Lurah Branjangan mulai tidak lancar lagi. Kadang-kadang ia mendehem, dan kadang-kadang ia tampak gelisah. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu, kemudian Swandaru yang duduk di antara mereka.
Mereka yang menemui Ki Lurah Branjangan melihat perubahan sikap itu. Untara, yang meskipun masih muda, tetapi ia sudah cukup matang menanggapi berbagai macam persoalan segera bertanya, “Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan? Aku kira selain isi jodang yang telah kami terima dengan perasaan terima kasih yang tidak terhingga itu, kau tentu menerima beberapa pesan pula untuk kami.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sekali lagi ia memandang Agung Sedayu dan Swandaru.
“Katakanlah. Mereka adalah anak-anak baik. Mereka tidak akan mengganggu. Jika yang kau katakan itu suatu rahasia yang besar, mereka tidak akan membocorkannya, kecuali kalau kau memang minta agar mereka meninggalkan pertemuan ini.”
Ki Lurah Branjangan ragu-ragu sejenak. Namun kemudian, “Biarlah mereka di sini. Mereka sudah mengenal Raden Sutawijaya, dan mereka agaknya belum lama meninggalkan Alas Mentaok yang sedang dibuka itu.”
“Ya, mereka baru datang dari Mentaok. Menurut keterangannya, ia ikut membuka hutan, meskipun hanya beberapa lama.”
“Ya. Raden Sutawijaya juga mengatakan demikian.”
“Kalau kau tidak berkeberatan, aku tidak akan menyuruh mereka pergi.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Biar sajalah mereka mendengar. Aku pun yakin, bahwa mereka bukan orang lain bagi kita.”
“Bagi kita?” bertanya Widura.
“Ya. Bagi orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram.”
Untara dan Widura saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak berkata apa pun juga. Yang berkata selanjutnya adalah Branjangan, “Baiklah aku sedikit berbicara tentang diriku sendiri lebih dahulu.” Ia berhenti sejenak, lalu berpaling kepada kawan-kawannya, “Mereka pun tidak perlu dicurigai. Aku percaya kepada kawan-kawanku.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang aku berada di Mataram. Aku mengikuti Raden Sutawijaya sejak ia mulai menetap di daerah baru itu.”
“Kenapa kau pergi ke Mataram?” tiba-tiba Untara bertanya.
“Tidak apa-apa. Sama saja bagiku. Mataram adalah kelanjutan dari Pajang, karena Raden Sutawijaya adalah putera angkat Sultan Pajang.”
“Kalau sama saja, kenapa kau tinggalkan Pajang dan pergi ke Mataram, suatu daerah baru? Kalau sama saja kenapa kau menentukan suatu perubahan dan menjatuhkan pilihan?”
Ki Lurah Branjangan tertawa. Jawabnya, “Bukan pilihan yang mutlak.”
Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Widura, maka dilihatnya, bahwa pada wajah itu pun tersirat kesan yang aneh.
Dan sejenak kemudian, Untara pun bertanya, “Apakah yang kau maksudkan, Ki Lurah Branjangan?”
“Maksudku, bahwa pilihanku bukan karena sesuatu. Bukan karena yang baru lebih baik dari yang lama. Tetapi aku hanya ingin suasana yang bergerak. Maju terus tidak berhenti, seperti yang terjadi di Pajang sekarang.”
Untara memandang wajah Ki Lurah Branjangan sejenak, lalu, “Apakah menurut penilaianmu, Pajang tidak akan berkembang?”
“Aku tidak melihat sesuatu yang bergerak di Pajang. Semuanya berjalan seperti yang telah berjalan. Seakan-akan Pajang adalah sebuah sungai di satu musim. Airnya mengalir dengan tenangnya. Pagi, siang, sore dan malam.” Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Tetapi Mataram yang baru adalah sebatang sungai di musim pancaroba. Kadang-kadang airnya hampir kering, tetapi kadang-kadang banjir bandang. Gerak yang demikianlah yang menarik hati. Kemungkinan masa depan dari Mataram bagiku akan lebih baik dari Pajang. Mungkin hal ini disebabkan karena Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda. Sedang Sultan Pajang telah menjadi semakin tua dan semakin jauh tenggelam ke dalam kamukten.”
“Mungkin kau benar. Tetapi kau lupa, bahwa di Pajang ada juga seorang anak muda yang akan mampu menggerakkan Pajang nanti pada saatnya.”
“Pangeran Benawa maksudmu?”
“Ya.”
Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat mengatakan sesuatu tentang Pangeran Benawa yang baik hati. Seorang yang ramah dan tidak pernah mendendam seseorang, betapa pun besar kesalahan orang itu atasnya. Yang tidak sampai hati menjatuhkan hukuman kepada orang yang bersalah, dan yang tidak berani memandang seekor kucing menerkam seekor tikus. Ia mengampuni semua orang yang mengaku bersalah, dan yang tidak mengaku sekalipun. Bahkan ia tidak akan mempertahankan miliknya, jika ia melihat seorang pencuri mengambilnya.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kebenaran dari tanggapan Branjangan atas Pangeran Benawa. Tetapi itu bukan berarti bahwa Pajang harus ditinggalkan. Sebagai seorang perwira yang ikut berjuang membina Pajang sejak berdirinya, maka Untara tidak akan dapat membiarkan Pajang jatuh ke dalam kelemahannya sendiri, justru karena kebaikan hati yang melimpah ruah.
Tetapi sebelum Untara menjawab, Ki Lurah Branjangan telah mendahuluinya, “Tetapi bukan maksudku untuk mempersoalkan apakah kita harus memilih Pajang atau Mataram. Sudah aku katakan, keduanya sama, karena arah perkembangannya seharusnya akan menemukan titik sentuhan. Tetapi kini aku melihat Mataram bergolak lebih dahsyat. Hanya itu. Dan memang bukan maksudku untuk mempersoalkan, kenapa aku berada di sana, dan kalian di sini.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Ada pesan yang lebih penting dari itu, Ki Untara. Meskipun aku belum pernah, dan itu hanyalah suatu kebetulan, berada di bawah pimpinanmu sebagai seorang senapati, tetapi aku sudah mendengar, bahwa kau adalah seorang senapati yang mumpuni.”
Untara dan Widura tidak menyahut. Tetapi mereka menjadi berdebar-debar.
“Jangan takut, bahwa aku akan membujukmu setelah aku menyerahkan sumbangan itu,” Ki Lurah Branjangan masih sempat tertawa
Dan Untara pun menjawab, “Hanya anak-anak yang diam menangis jika diberi sebongkah gula.”
Branjangan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas sambil berkata, “Hampir aku lupa, bahwa aku berbicara dengan Ki Untara.”
“Katakan pesan yang penting itu,“ Untara menjadi tidak sabar.
“He, aku sekarang adalah seorang tamu menjelang perhelatan perkawinanmu. Bukan seorang prajurit di medan.”
Untara menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Baiklah,” berkata Ki Lurah Brajangan, “bagaimanapun juga, aku memilih cara yang paling lunak untuk berbicara. Aku tidak biasa mempersoalkan sesuatu yang bagaimanapun besarnya dengan tegang.”
“Baik, baik. Katakanlah, ini bukan perintah.”
Branjangan tertawa. Jawabnya, “Baiklah,” ia berhenti pula sambil memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Tetapi keduanya tidak berbuat apa pun juga.
“Ki Untara,” suara Ki Lurah Branjangan merendah, “bagaimanapun juga, harus kita akui, bahwa ada ketegangan antara Pajang dan Mataram.”
“Ya,” sahut Untara pendek.
“Dan kau adalah seorang senapati tertinggi di daerah Selatan ini, daerah yang langsung berhadapan dengan garis ketegangan itu.”
“Ya.”
“Itulah sebabnya, aku harus menemuimu atas perintah Raden Sutawijaya, selain menyerahkan sumbangan. Kita masing-masing harus menjaga, agar kesibukanmu mengurus hari perkawinanmu ini tidak dimanfaatkan orang yang ingin mengail di air yang keruh. Bukankah di hari-hari perkawinanmu itu nanti, Jati Anom dan Banyu Asri akan penuh dengan prajurit, terutama perwira-perwira tinggi? Aku tahu, kau pasti sudah menyiapkan penjagaan. Tetapi sekedar untuk melindungi keselamatan para perwira itu. Namun di samping itu, kita harus berusaha untuk menghapus setiap kesan buruk yang timbul selama kesibukanmu itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Ia masih belum jelas atas maksud Ki Lurah Branjangan, meskipun ia mengerti arah pembicaraanya itu.
Tetapi Untara tidak bertanya. Ia menunggu saja Branjangan melanjutkan kata-katanya. Dan sejenak kemudian Braniangan pun berkata, “Tugasku adalah menyampaikan permintaan kepadamu, agar kami, dari Mataram diperkenakan ikut serta mengawasi keamanan selama berlangsung perkawinanmu.”
Untara mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar permintaan itu, sehingga ia bertanya, “Ki Lurah, bagaimana mungkin Mataram akan ikut menjaga keamanan di daerah ini. Aku sudah mempercayakan semuanya kepada anak buahku. Dan Pajang tidak kekurangan prajurit untuk menjaga keamanan, jangankan Jati Anom dan Banyu Asri, bahkan prajurit Pajang masih sanggup menjaga keamanan di seluruh Pajang.”
“Aku mengerti, aku mengerti. Tetapi maksudku, bukannya karena kami menganggap Pajang tidak mempunyai kekuatan. Tetapi sekedar menjaga agar tidak terjadi salah paham.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Ki Untara. Di Mataram telah terjadi peristiwa yang pahit. Beberapa orang telah membuat para pekerja menjadi ketakutan dengan hantu-hantuannya. Kemudian tersebar desas-desus, bahwa hantu-hantu itu sebenarnya adalah usaha dari orang-orang Pajang yang tidak ingin melihat Mataram berkembang. Dan tentu saja kami tidak mempercayainya. Jika Pajang tidak ingin melihat Mataram berkembang, maka para pemimpin di Pajang tidak perlu membuat hantu-hantuan. Mereka dapat datang dengan pasukan segelar sepapan. Maka Mataram akan hapus dalam waktu satu hari saja.”
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap diam saja. Dan Ki Lurah Branjangan pun meneruskan, “Yang kami cemaskan Ki Untara, jika ada orang-orang yang dengan sengaja membakar ketegangan yang memang telah ada. Sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mengacaukan acara perkawinanmu, dan mengaku sebagai orang-orang Mataram.”
“Kami tidak berkeberatan. Kami akan menumpas mereka karena kami mempunyai pasukan yang cukup.”
“Kami percaya. Tetapi soalnya bukan sekedar menumpas. Tetapi, bahwa Pajang harus yakin, bahwa Mataram tidak akan berbuat demikian. Tugas yang dibebankan kepada kami, bukannya ikut membantu menumpas kejahatan serupa itu. Tetapi untuk mengenal, apakah mereka benar-benar orang Mataram. Jika benar, maka kami tidak akan segan-segan mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka kami akan dapat mengatakan kepada mereka, bahwa Mataram tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka, sehingga dengan demikian, mereka akan tersudut pada sebuah pengakuan, siapakah sebenarnya mereka, karena mereka tidak mengenal kami.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya Widura sejenak. Ternyata, permintaan Ki Lurah Branjangan itu memang masuk akal. Orang-orang Mataram sendiri mencemaskan jika ada segolongan orang yang memancing kekeruhan. Jika mereka menamakan diri orang-orang Mataram dan mengacaukan perhelatan yang dikunjungi oleh sejumlah perwira, apalagi jika mereka berhasil menjatuhkan korban, maka pembalasan pasti akan di tujukan kepada Mataram.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Untara berkata, “Apakah kau mencemaskan hal itu dapat terjadi?”
“Kita wajib berjaga-jaga. Ada banyak pihak yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Antara lain orang-orang yang ingin membuka hutan itu untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak senang melihat Raden Sutawijaya berhasil membuat Alas Mentaok menjadi suatu negeri yang ramai. Contoh yang jelas, yang diketahui pula oleh Agung Sedayu dan Swandaru, usaha Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Tetapi kami tidak yakin, bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu orang puncak yang menggerakkan usaha untuk menggagalkan pembukaan Alas Mentaok. Kami memperhitungkan, bahwa masih ada orang-orang lain di belakang mereka, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita kehendaki itu tidak terjadi.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia memandang Widura, seolah-olah minta pertimbangan daripadanya. Tetapi Widura tidak memberikan kesan apa pun. Namun demikian, agaknya Widura juga tidak menolak pesan dari Raden Sutawijaya itu.
“Kau dapat mempertimbangkan, Ki Untara,” berkata Ki Lurah Branjangan, “aku tidak tergesa-gesa. Jika kau setuju, maka akulah yang mendapat tugas untuk itu, beserta orang-orang yang sekarang bersamaku membawa barang-barang dari Raden Sutawijaya. Selain kami, menurut pesan Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu, karena ia mengenal beberapa orang Mataram dan beberapa orang perwira Pajang. Sementara penghubung antara kami di sini dan pimpinan kami di Mataram adalah Wanakerti dan dua orang kawannya.”
Untara mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Agung Sedayu dan Swandaru, tampaklah kedua anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Mereka belum mengenal Ki Lurah Branjangan. Apakah pesan itu benar-benar datang dari Raden Sutawijaya, apakah sekedar atas kehendaknya sendiri, karena Ki Lurah Branjangan itu pernah mendengar namanya dan tiba-tiba saja ditemukannya mereka di sini.
“Baiklah Ki Lurah. Kami minta kalian tinggal di sini. Kami akan mempertimbangkan. Karena aku tidak sendiri, maka aku akan memanggil beberapa orang perwira untuk membicarakannya.”
“Silahkan. Kami akan menunggu keputusan. Apa pun yang akan kalian putuskan, kami akan tunduk.”
“Ya, kamilah yang memegang tanggung jawab keamanan, bukan saja di daerah Jati Anom dan Banyu Asri, tetapi juga di daerah Mataram sendiri. Karena itu, keputusan kami memang mengikat bagi kalian dan bagi Mataram yang sampai saat ini masih belum mendapat bentuk yang pasti.”
Ki Lurah Branjangan mengangkat wajahnya dan bergeser setapak. Tetapi kemudian menarik nafas sambil berkata, “Ya. Demikianlah, Mataram memang belum mempunyai bentuk yang jelas.”
Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Di dalam keadaan yang demikian sifat-sifat keprajuritan Untara-lah yang melonjak. Sebagai seorang senapati yang langsung berhadapan dengan batas yang samar dari daerah baru, yang memang belum mempunyai bentuk, Untara harus mempunyai sikap. Dan sikapnya ternyata jelas di dalam hubungan yang resmi. “Mataram adalah daerah tanggung jawabnya, meskipun di Mataram ada Raden Sutawijaya, putera angkat Sultan Pajang dan Ki Gede Pemanahan yang pernah menjadi panglima pasukan Pajang. Tetapi di Mataram, mereka tidak lagi berada pada kedudukannya itu.”
Ki Lurah Branjangan yang mengenal Untara tidak juga mengingkarinya. Sebab dari segi tata pemerintahan, Mataram memang berada di bawah Pajang, sehingga kekuasaan senapati di daerah Selatan ini pun masih juga mencakup daerah yang kemudian disebut Mataram, di Alas Mentaok. Ki Lurah Branjangan pun sadar, bahwa setiap perdebatan mengenai kekuasaan di Mataram, hanya akan mendorong Untara bersikap lebih keras. Menurut pengamatan orang-orang Mataram, sebenarnya Untara bukannya orang yang dengan kekuasaannya berusaha menindas perkembangan Mataram. Untara sendiri tidak berkeberatan melihat Mataram berkembang, namun sudah pasti, bahwa Mataram yang berkembang itu adalah bagian dari Pajang, kecuali jika Sultan Pajang memberikan bentuk yang lain kelak. Sehingga karena itu, maka ia pun hanya sekedar mengangguk-angguk saja.
Dalam pada itu, maka Untara pun sejenak kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.
“Silahkan beristirahat di gandok Wetan,” berkata Widura pula kepada para tamunya. Lalu kepada Agung Sedayu, “Antarkan Ki Lurah beserta kawan-kawannya ke gandok.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Bersama Swandaru maka mereka pun mempersilahkan Ki Lurah Branjangan bersama para pengiringnya pergi ke gandok Wetan.
Namun ketika Agung Sedayu dan Swandaru akan kembali lagi ke pendapa setelah Ki Lurah Branjangan duduk di amben bambu yang besar di gandok itu, langkahnya tertegun. Ki Lurah itu memanggilnya hampir berbisik, “Kemarilah. Duduklah di sini.”
Kedua anak-anak muda itu menjadi heran. Tetapi ketika mereka melihat Ki Lurah Branjangan tertawa, mereka pun segera duduk di sampingnya.
“Aku membawa pesan dari Raden Sutawijaya bagi kalian,” berkata ki Lurah Branjangan. “Bukan apa-apa, sekedar salam dan ucapan selamat atas perkawinan kakakmu.”
“O, terima kasih,” sahut Agung Sedayu.
“Dan barangkali Raden Sutawijaya tahu pasti, bahwa aku akan bertemu dengan kalian berdua di sini. Maka Raden Sutawijaya menyampaikan harapannya, agar kalian suka membantu tugasku di sini dan dalam waktu yang dekat berkunjung ke Mataram.”
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak, lalu, “Kami tidak berkeberatan,” sahut Agung Sedayu. “Kami mengerti, bahwa Mataram tidak ingin terjerumus ke dalam kesulitan menghadapi Pajang. Jika ada orang yang memancing persoalan dan dengan sengaja membenturkan Mataram atas Pajang, dalam keadaan seperti sekarang, Mataram memang akan mengalami banyak kesulitan.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau terlampau banyak mengetahui tentang Mataram. Siapakah yang mengatakan kepadamu?”
“Tidak ada. Dan aku hanya menduga-duga.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Kini ia melihat sendiri, betapa tangkasnya anak muda itu berpikir, sehingga karena itu ia tidak dapat bersikap sebagaimana ia menghadapi anak-anak.
Sebelum Ki Lurah Branjangan berkata lebih lanjut, Agung Sedayu sudah berdiri dan berkata, “Silahkan Ki Lurah beristirahat. Ruang dan bilik gandok ini akan segera dibersihkan. Jika Kakang Untara sependapat, maka Ki Lurah akan berada di sini secepat-cepatnya sepuluh hari sampai Kakang Untara selesai dengan upacara ngunduh penganten.”
“Terima kasih,” sahut Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian meninggalkan Ki Lurah itu duduk termangu-mangu. Seorang pembantunya yang terdekat segera duduk di sampingnya sambil berkata, “Anak ini ternyata cukup matang untuk menanggapi setiap persoalan. Ki Lurah tidak dapat menganggapnya sebagai anak-anak lagi. Sikap Ki Lurah kurang bersungguh-sungguh.”
“Aku keliru. Ketika aku memperkenalkan diri, aku menganggap keduanya masih terlalu muda, sehingga aku bersikap sekenanya. Ternyata kedua anak-anak muda itu telah mentertawakan aku di dalam hati. Mereka bersikap matang, meskipun agaknya dapat juga dibawa bergurau.”
“Tentu mereka merasa geli mendengar pujian-pujian bagi mereka, seperti anak-anak yang sedang belajar berdiri.”
“Ya, aku kira mereka aka senang dengan pujian-pujian itu seperti kebanyakan anak-anak muda di masa pancaroba. Bukankah menilik umur mereka, mereka adalah anak-anak yang menginjak masa gelisah dan mendambakan kebanggaan dan pujian? Tetapi tidak bagi mereka. Hampir saja aku minta mereka menyingkir, ketika aku akan berbicara dengan Untara setelah aku memujinya.”
“Itulah sebabnya, maka Raden sutawijaya memanggil mereka, atau setidak-tidaknya mengharap kedatangan mereka. Bukan sekedar anak-anak muda yang kebetulan mampu berkelahi, tetapi mereka mampu juga berpikir,” desis Ki Lurah Branjangan lebih lanjut. Lalu tiba-tiba suaranya merendah, “Lalu betapa kemampuan yang dimiliki oleh guru mereka. Kemampuan lahir dan kemampuan berpikir.”
Pembantunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Agaknya memang ada tetesan darah orang besar pada keduanya, Untara dan adiknya. Jika Agung Sedayu terjun ke dalam lingkungan keprajuritan, maka ia akan memiliki kemampuan seperti Untara di medan mau pun menanggapi keseluruhan keadaan dan suasana.”
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Lurah Branjangan dan para pengiringnya, serta setelah Agung Sedayu dan Swandaru kembali ke pendapa, maka Untara pun mulai minta pendapat mereka tentang pesan Raden Sutawijaya.
“Aku dapat mengerti,” berkata Widura, “agar tidak semua noda-noda hitam dilemparkan kepada orang-orang Mataram.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Apakah itu bukan sekedar usaha untuk mencuci tangan?”
“Aku rasa bukan maksudnya,” berkata Widura pula, “orang-orang Mataram pun menyadari ketegangan yang seakan-akan semakin lama menjadi semakin runcing. Tetapi kita semuanya tidak mengerti, apakah sebabnya. Sultan Adiwijaya sudah menyerahkan tanah Mentaok kepada Pemanahan. Sebenarnya tidak ada persoalan lagi yang perlu menambah ketegangan.”
“Tetapi tindakan Ki Gede Pemanahan sudah menimbulkan kesan yang tegang.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang kebangkitan Mataram dapat diurai dalam banyak arti. Terlebih-lebih lagi usaha-usaha yang sengaja membenturkan daerah yang baru berkembang itu agar hancur sama sekali,” desis Widura.
“Adalah wajar, bahwa perkembangan Mataram yang dimulai dengan ketegangan itu akan selalu dibayangi oleh ketegangan pula,” desis Untara.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak juga hatinya untuk ikut berbicara. Betapapun ia ragu-ragu, namun akhirnya ia berkata pula, “Kakang Untara, menurut penglihatanku, Mataram berkembang dengan wajar. Kenapa Pajang tidak pernah mempersoalkan perkembangan daerah-daerah lain kecuali Mataram?”
Untara mengerutkan keningnya. Sambil memandang wajah Agung Sedayu dengan kerut-merut di kening, Untara bertanya, “Misalnya?”
Agung Sedayu menjadi semakin ragu-ragu melihat tanggapan kakaknya. Tetapi karena ia sudah terlanjur mengatakannya, maka ia pun harus manjawabnya, “Sependengaranku, Pati. Jika tidak yang terlalu besar, daerah Mangir, dan daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada persoalan yang mendahului perkembangan daerah itu. Menoreh telah mendapatkan bentuknya. Karena Argapati pernah berjasa kepada pimpinan pemerintahan pada waktu itu. Menoreh mendapatkan bentuk Tanah Perdikan. Mangir adalah sebuah kademangan yang besar di daerah Selatan. Tidak pernah ada persoalan apa-apa dengan Mangir. Juga Pati diterima oleh Ki Penjawi dengan wajar. Sedangkan daerah pesisir masih harus ditertibkan, karena ada beberapa orang Adipati yang merasa tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pajang setelah Demak lenyap. Nah, bukankah tidak hanya Mataram saja yang menjadi persoalan kini?”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa, bahwa pengetahuannya tentang Pajang memang hanya terlampau sedikit dibandingkan dengan kakaknya, Untara. Bahkan Swandaru pun ikut mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Perhatiannya terhadap pemerintahan sebenarnya cukup besar. Tetapi ia tidak sempat mempersoalkannya dengan orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang hal itu.
“Mataram adalah salah satu persoalan di antara banyak persoalan yang di hadapi oleh Pajang,” berkata Untara selanjutnya, “Pajang masih harus meneruskan usaha Demak untuk mempersatukan seluruh daerah yang pernah menjadi suatu ikatan negara yang besar.”
Agung Sedayu dan Swandaru masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” berkata Untara kemudian, “kita kembali kepada persoalan semula. Kita sebaiknya memang menerima tawaran itu tanpa prasangka. Jika ternyata mereka menyalah-gunakan kepercayaan yang kita berikan, mereka pasti akan menyesal.” Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Sedayu, agaknya Raden Sutawijaya masih teringat kepadamu. Kau dapat membantu kami dan orang-orang Mataram. Kau dapat berdiri di tengah, agar kami tidak saling menyalahi. Kau mengerti?”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik Kakang. Aku bersedia.”
“Tetapi sebaiknya kau minta gurumu datang bersama Ki Sumangkar. Orang-orang tua mempunyai pendapat yang baik, yang kadang-kadang melampaui pendapat para pemimpin pemerintahan. Katakanlah, bahwa aku mengundang mereka sebelum aku pergi ke Pengging. Aku minta keduanya mengawani paman Widura di sini. Namun demikian, aku akan bertemu dengan beberapa orang perwira untuk menyampaikan maksud Ki Lurah Branjangan. Aku kira kebanyakan dari mereka tidak pula akan menolak. Mungkin ada satu dua orang yang berpendirian terlampau tajam. Tetapi aku dapat memerintahkan kepada mereka untuk melunakkan sikapnya, atau aku bawa saja mereka sebagai pengiringku ke Pengging.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Bukankah begitu, Paman?”
“Aku sependapat Untara, dan aku senang sekali mendapat kawan Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar.”
“Jika demikian, biarlah Agung Sedayu menjemput mereka. Ia dapat segera pergi dan segera pula kembali. Sangkal Putung tidak terlampau jauh. Tetapi aku tidak minta Ki Demang datang sekarang. Aku tahu, bahwa ia tidak dapat meninggalkan kewajibannya begitu saja. Bukankah begitu, Swandaru?”
Swandaru tersenyum sambil mengangguk, “Ya, begitulah.”
“Tetapi tentu kau akan memberitahukan kepada Demang di Jati Anom,” potong Widura.
“Ia akan datang malam nanti untuk ikut tirakatan di sini,” sahut Untara.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak usah menunggu sampai menjelang hari sepasaran dan ngunduh penganten. Sebenarnya kedua orang tua itu akan datang menjelang hari-hari penjemputan sepasang penganten dan upacara di rumah Widura. Namun agaknya karena persoalan yang tiba-tiba itu. Agung Sedayu dan Swandaru harus mempercepat kehadiran mereka, sementara Untara akan berbicara dengan para perwira.
Seperti yang diduga oleh Untara, maka beberapa orang perwira sama sekali tidak berkeberatan, ketika Untara menyampaikan permintaan Ki Lurah Branjangan atas pesan Raden Sutawijaya di dalam pertemuan yang segera diadakan di rumah Untara. Tetapi juga seperti yang diduga oleh Untara, ada juga beberapa orang di antara mereka yang sambil mencibirkan bibirnya bergumam di antara mereka.
“Sebenarnya aku tidak sependapat.”
Tetapi pengaruh Untara terlalu besar atas mereka, sehingga tidak seorang pun yang langsung berani menolak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru telah berpacu ke Sangkal Putung. Mereka harus menyampaikan permintaan Untara agar Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bersedia untuk datang ke Jati Anom menjelang keberangkatan Untara ke Pengging, bukan menjelang upacara kedatangannya dari Pengging bersama isterinya kelak.
Kedatangannya di Sangkal Putung memang agak menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati. Baik pada Kiai Gringsing dan Sumangkar, maupun pada Ki Demang Sangkal Putung. Mereka akan berada di Jati Anom sampai upacara pengantin selesai seluruhnya. Namun tiba-tiba mereka telah muncul, justru sebelum Untara berangkat ke Pengging.
Tetapi ketika Agung Sedayu dan Swandaru melihat kesan di wajah-wajah itu, maka mereka pun segera menyampakan kepentingan mereka kepada orang-orang tua itu. Agung Sedayu pun segera bercerita kepada gurunya dan Ki Sumangkar, sedang Swandaru segera menemui ayahnya.
“Jadi kami diminta segera datang ke Jati Anom?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya,” jawab Agung Sedayu.
“Kapan kita akan berangkat?”
“Hari ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Tetapi jangan hari ini. Besok pagi-pagi benar kita berangkat. Udaranya tentu segar dan perjalanan kita akan menyenangkan.”
Agung Sedayu merenung sejenak. Tetapi ia ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
“Tentu Angger Untara akan memakluminya.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Aku akan berbicara dengan Swandaru lebih dahulu.”
Ternyata Swandaru yang berada di dalam rumahnya bersama ayah dan ibunya pun menggeliat sambil berkata, “Memang sebaiknya besok saja, Kakang. Aku malas untuk kembali sekarang.”
“Tetapi mereka menunggu kita,” sahut Agung Sedayu.
Sebelum Swandaru menyahut, terdengar dari balik pintu ruang dalam suara seorang perempuan, “Biar sajalah kalau Kakang Sedayu akan kembali sendiri. Kau, Kiai Gringsing, dan Guru pasti akan pergi paling cepat besok pagi.”
Agung Sedayu memandang ke arah daun pintu yang separo terbuka, tetapi ia tidak melihat orang yang menyahut kata-katanya meskipun ia tahu, bahwa suara itu adalah suara Sekar Mirah.
Karena itu, Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat membantah lagi.
Swandaru yang sudah hampir menjawab sebelum Sekar Mirah, tersenyum sambil mencibirkan bibirnya. Bahkan kemudian ia berbisik, “Nah, apakah Kakang Agung Sedayu masih akan membantah lagi.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat wajah Ki Demang dan Nyai Demang tersenyum pula.
“Baiklah,” Agung Sedayu pun kemudian berdesis lambat, seolah-olah hanya ingin didengarnya sendiri, “kita akan kembali besok saja ke Jati Anom.”
Demikianlah, di sore hari, Agung Sedayu sempat juga bercakap-cakap dengan Sekar Mirah, meskipun Agung Sedayu masih saja dibatasi oleh perasaannya yang kurang terbuka. Ragu-ragu dan kebimbangan masih selalu membayanginya. Bukan tentang Sekar Mirah sendiri, tetapi tentang sikap yang dianggapnya baik terhadap Sekar Mirah.
“Jadi, banyak sekali perwira-perwira yang akan datang?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya, beberapa orang perwira tinggi kawan-kawan Kakang Untara akan datang.”
“Juga isteri-isteri mereka?”
“Tentu. Mereka yang sudah beristeri akan datang bersama isteri-isteri mereka.”
“Dan anak-anak gadis mereka?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnva. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Aku tidak tahu. Dan aku pun tidak tahu apakah ada perwira kawan-kawan Kakang Untara yang sudah mempunyai anak gadis.”
“Tentu ada. Dan jika demikian, sebaiknya aku tidak usah datang.”
“Kenapa?”
“Ayah dan ibu juga tidak usah datang.”
“Kenapa? Kenapa, he?” Agung Sedayu menjadi bingung.
“Aku tentu tidak akan mendapat tempat. Ayah dan ibu pun pasti hanya akan tersisih. Jika tamu-tamunya adalah para perwira, maka ayah, sekedar seorang Demang, pasti hanya akan mendapat tempat di sudut yang paling gelap.”
“Ah, ada-ada saja kau, Mirah.”
Sekar Mirah tidak segera menyahut. Tetapi sambil bersungut-sungut ia menatap ke kejauhan. Memang terbayang di rongga matanya, ayah dan ibunya duduk di sudut yang tersendiri. Ayahnya yang berada di pendapa sama sekali tidak dihiraukan oleh para perwira yang hadir karena ayahnya hanyalah seorang Demang, sedang ibunya yang duduk di pringgitan pun sama sekali tidak mendapat perhatian di antara isteri-isteri perwira tinggi dari Pajang. Sedang dirinya sendiri pun sama sekali tidak mendapat tempat, karena Agung Sedayu sibuk melayani para tamu dan persiapan jamuan di belakang. Sedang gadis-gadis dari kota tidak akan menghiraukannya.
Agung Sedayu yang melihat Sekar Mirah bersungut-sungut menarik nafas sambil berkata, “Kau jangan membayangkan jamuan yang diselenggarakan kelak sebagai jamuan yang besar sekali, dan yang akan dihadiri oleh para tamu tertinggi dari Pajang. Sama sekali tidak, Sekar Mirah. Memang ada beberapa orang perwira tinggi yang akan hadir. Tetapi sebagian besar tamu Kakang Untara adalah sanak kadang sendiri. Tetangga-tetangga di Jati Anom dan para bebahu. Justru para perwira dan isteri-isterinyalah yang akan disediakan tempat tersendiri.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Lalu, “Benar?”
“Tentu.”
“Dan aku?”
“Ada saudara-saudaraku yang akan mengawanimu. Sanak kadang yang masih dekat dalam hubungan keluarga. Mereka akan senang sekali melihat kau, karena sebagian dari mereka telah mendengar namamu.”
“Dari mana mereka mendengar namaku?”
“Bukankah Paman Widura pernah mengenalmu. Dan bukankah Kakang Untara juga pernah berada di Sangkal Putung? Seperti Kakang Untara, maka Paman Widura-lah yang akan menjadi pengganti ibu bapaku.”
“Bukan Kakang Untara?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Lalu, “Ya, mungkin Kakang Untara dan Paman Widura sekaligus.”
“Kakang Untara sudah mempunyai sisihan. Ia akan dapat bertindak sebagai ibu dan ayahmu. Dan itu adalah kewajibannya. Kecuali jika Paman Widura menghendaki.”
“Kita serahkan saja kepada keduanya.”
“Tetapi tentu kita akan lebih berbangga, bahwa yang akan menerima kita di dalam lingkungan keluarga adalah Kakang Untara.”
“Kenapa?”
“Bukankah Kakang Untara seorang senapati besar, lebih besar dari Paman Widura? Bukankah dengan demikian, akan memberikan kebanggaan yang lebih besar pula kepada kita?”
Terasa sesuatu berdesir di dada Agung Sedayu. Pengenalannya tentang Sekar Mirah menjadi semakin bertambah. Sekar Mirah bukan saja seorang gadis yang tinggi hati, tetapi di antara orang-orang yang dianggapnya lebih besar, ia merasa rendah diri. Dan Agung Sedayu tidak ingkar, bahwa sifat-sifat yang demikian memang ada juga padanya. Namun dalam pada itu, tercetus juga suatu imbangan yang meledak di hatinya. Untuk mengatasi rasa rendah diri itu, Sekar Mirah ingin tampak menjadi seorang yang besar. Yang agung, di samping pada dasarnya ia seorang yang mempunyai keinginan dan cita-cita yang melonjak-lonjak.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya. Bahkan ia berusaha menyembunyikan kesan itu jauh-jauh. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku akan minta kepada Kakang Untara, agar aku pun mendapat kesempatan mencicipi kebesarannya.”
Ketika kemudian malam menjadi gelap, maka Agung Sedayu dan Swandaru berada di gandok bersama gurunya dan Ki Sumangkar. Ketika sekar Mirah datang pula ke gandok itu, Swandaru segera mengusirnya, “He, masuk ke dalam. Jangan berada di sini.”
“Kenapa?” bertanya Sekar Mirah, “aku akan bertemu dengan guruku.”
“Macammu. Kau pasti mencari Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah menjadi merah sejenak. Diambilnya ajuk-ajuk lampu di atas bancik dan dilemparkannya kepada Swandaru. Tetapi Swandaru sempat menghindar. “Jangan, jangan Mirah. Kau merusak barang-barang saja.”
Kini Sekar Mirah memegang kendi berisi air. Katanya, “Ayo, sekali lagi kau ulangi.”
Swandaru kini berdiri di belakang Agung Sedayu. Katanya, “Jawablah, Kakang. Ternyata Sekar Mirah tidak mencari kau.”
Sekar Mirah meletakkan kendi itu sambil bergeramang. Tetapi ia pun segera meninggalkan gandok dan masuk ke dalam.
Sepeninggal Sekar Mirah, Swandaru tidak dapat menahan tertawanya.
“Jangan kau ganggu Sekar Mirah itu lagi,” berkata gurunya, “ia sedang dipengaruhi oleh angan-angannya. Angan-angan tentang dirinya sendiri, justru karena Untara akan segera kawin.”
“Kenapa? Apa hubungannya dengan perkawinan Kakang Untara.”
Ki Sumangkar tersenyum sambil menjawab, “Gadis itu sudah berangan-angan tentang dirinya. Setelah Untara, maka akan segera datang saatnya, Agung Sedayu kawin.”
“O,” Swandaru mengangguk-angguk. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, Agung Sedayu mendahului, “Tetapi apakah Sekar Mirah akan kawin mendahului kakaknya?”
“Apa salahnya,” Swandaru mengerutkan keningnya.
“Tidak ada salahnya. Tetapi alangkah baiknya, jika kakaknya akan kawin lebih dahulu. Dan itu berarti kita akan segera pergi ke Menoreh. Kita akan menempuh perjalanan yang jauh dan melintasi garis tegang antara Pajang dan Mataram, meskipun garis itu tidak dapat ditentukan di mana.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab lagi. Bahkan tangannya segera menutup mulutnya yang sedang menguap.
“Aku akan tidur. Biarlah semuanya itu terjadi di dalam mimpi. Agaknya menyenangkan juga.”
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
Demikianlah, di pagi hari berikutnya, Agung Sedayu dan Swandaru bersama gurunya dan Ki Sumangkar pun segera bersiap memenuhi undangan Untara. Langsung atau tidak langsung, rasa-rasanya ada juga kewajiban mereka untuk ikut berbicara tentang Pajang dan Mataram. Dan Untara yang akan meninggalkan Jati Anom kini memerlukannya.
“Jika Kakang Agung Sedayu tidak menjemputku, kelak menjelang upacara sepasaran di rumah Paman Widura, aku segan untuk datang,” Sekar Mirah bersungut-sungut.
“Apabila mungkin, aku akan menjemputmu dan menjemput Ki dan Nyi Demang di Sangkal Putung,” berkata Agung Sedayu ketika ia sudah siap untuk berangkat.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah melintasi bulak persawahan di luar padukuhan Sangkal Putung. Mereka memilih jalan di sisi sebelah Timur, menyusuri hutan-hutan yang rindang di ujung bulak. Semakin jauh hutan itu masih juga agak lebat dan kadang-kadang seekor harimau yang lapar sampai juga di jalan di pinggir hutan itu.
Tetapi keempat orang itu sama sekali tidak mencemaskan diri mereka, meskipun mereka bertemu empat ekor harimau sekaligus.
Yang menarik perhatian ketika mereka menyusuri pinggir hutan itu adalah suara burung-burung liar di saat-saat matahari memanjat naik. Riang bersahut-sahutan, seakan-akan mereka benar-benar telah menikmati kedamaian yang mantap.
Kiai Gringsing yang berkuda di paling depan tiba-tiba saja terhenti, sehingga mereka yang berada di belakangnya pun terhenti pula. Bahkan orang tua itu kemudian meloncat turun sambil mengamat-amati keadaan di sekitarnya, dan menyusup masuk beberapa langkah ke dalam hutan rindang itu.
Ki Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru pun kemudian berloncatan turun pula. Hampir berbareng perhatian mereka pun segera tertarik pula oleh seonggok abu yang di perhatikan oleh Kiai Gringsing.
“Perapian,” desis Kiai Gringsing.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” ia menyahut, “agaknya ada beberapa orang yang membuat perapian di sini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya ranting-ranting perdu di sekitarnya berpatahan dan rumput-rumput pun roboh terinjak kaki orang, dan bahkan agaknya ada di antara mereka yang berbaring. Beberapa lembar daun pembungkus makanan bertebaran pula di sekitar tempat itu.
“Ada beberapa orang yang semalam bermalam di sini,” berkata Kiai Gringsing, “dan itu sangat menarik perhatian.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia bergumam, “Orang-orang asing bagi daerah ini. Agaknya mereka membawa bekal makanan.”
Agung Sedayu dan Swandaru pun mengangguk-angguk pula. Meskipun mereka tidak memberikan tanggapannya, namun mereka mulai berpikir dan menghubungkan hal itu dengan kemungkinan yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.
“Memang ada sesuatu yang harus kita perhatikan,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “baiklah hal ini dapat kita jadikan bahan persoalan dengan Angger Untara dan Ki Lurah Branjangan itu.”
Agung Sedayu yang masih saja mengangguk-angguk kemudian bertanya, “Jadi, di manakah kira-kira mereka sekarang?”
Kiai Gringsing dan Sumangkar berbareng menggeleng. Yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing, “Kita tidak tahu, ke mana mereka pergi. Mungkin mereka berkeliaran di sekitar Jati Anom untuk mendapat bahan yang lebih lengkap tentang daerah itu, dan kemungkinan yang akan dilakukan di dalam upacara penganten itu.”
“Dan di malam hari mereka akan berkumpul lagi di sini,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi seperti yang diduganya, Agung Sedayu kemudian berkata, “Kita dapat mengintainya di sini, di malam hari.”
“Ya,” Swandaru menyambung, “kita dapat mengetahui, siapakah mereka itu. Jika perlu, kita akan menghancurkan mereka sebelum mereka berbuat apa-apa.”
“Kau selalu tergesa-gesa,” potong Agung Sedayu, “kita harus yakin dahulu tentang mereka.”
“Tentu, kita harus yakin dahulu. Karena itu, baiklah nanti malam kita lihat. Siapakah yang ada di sekitar hutan ini?”
“Mungkin mereka tidak kembali ke tempat ini, tetapi mereka akan berada di tempat lain,” berkata Kiai Gringsing.
Dan Sumangkar menyahut, “Tetapi tidak akan jauh dari tempat ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah, marilah kita meneruskan perjalanan yang pendek ini. Mungkin kita dapat menemukan jawab di Jati Anom. Siapa tahu, mereka justru para prajurit yang sedang nganglang untuk mengawasi keadaan.”
Setelah sekali lagi mereka meneliti tempat itu, dan tidak menemukan tanda-tanda baru, mereka pun segera meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom, dengan membawa sebuah laporan tentang perapian di hutan kecil agak menjorok masuk dari jalan setapak di pinggir hutan itu.
Demikianlah, maka perjalanan ke Jati Anom itu tidak memakan waktu terlalu lama. Ketika Matahari naik di atas ujung pepohonan, mereka pun telah sampai ke daerah kademangan itu.
Meskipun Jati Anom yang sudah mulai miring karena letaknya di lereng Merapi itu tidak sesubur Sangkal Putung, namun sawahnya pun tampak hijau sejauh mata memandang. Pematang-pematang yang bagaikan tangga raksasa memanjat semakin lama menjadi semakin tinggi di lereng Gunung Merapi. Namun demikian masih juga tampak dataran-dataran yang rata seluas jangkauan mata.
Derap beberapa ekor kuda di tengah-tengah bulak itu memang menarik perhatian para petani yang bekerja di sawah. Namun mereka pun mengetahui bahwa seorang senapati dari Pajang yang kebetulan berasal dan kini berada di Jati Anom akan melangsungkan perkawinannya, sehingga dengan demikian Jati Anom telah menjadi semakin ramai. Bukan saja orang-orang yang berkepentingan dengan hari perkawinan Untara, tetapi juga prajurit-prajurit memperpendek gelombang pengamatan mereka. Setiap kali dua orang prajurit berkuda melintasi bulak-bulak panjang yang memisahkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Bahkan mereka mengawasi juga pinggiran hutan di atas padukuhan Jati Anom dan di daerah sebelah Timur.
Kedatangan Kiai Gringsing dan Sumangkar di rumah Widura telah disambut dengan akrab. Sebagai orang yang meskipun bukan berasal dan berada di dalam lingkungan pemerintahan dan pimpinan keprajuritan, namun keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan. Bahkan Untara tahu benar, bahwa sebenarnya Sumangkar bukan sekedar seorang yang tidak berarti di Kepatihan Jipang pada masa pemerintahan Adipati Penangsang yang diembani oleh Patih Mantahun.
Setelah duduk sejenak sambil berbicara tentang keselamatan masing-masing serta meneguk air panas, barulah Untara mengatakan maksudnya mempersilahkan keduanya hadir di Jati Anom lebih cepat dari rencana mereka.
“Justru selagi aku tidak berada di tempat, Paman Widura memerlukan kawan yang dapat dibawa berbincang,” berkata Untara kemudian. “Bahkan aku mengharap Kiai berdua hadir kemarin di Jati Anom. Aku sudah gelisah, apakah Kiai berdua agak berkeberatan meninggalkan Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Bukan berkeberatan. Tetapi kami ingin berkuda di pagi hari yang segar seperti ini”
Untara tersenyum. Sambi mengangguk-angguk ia pun kemudian mulai mengatakan maksudnya.
“Di gandok itulah Ki Lurah Branjangan beserta pengiringnya beristirahat.”
Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk pula, “Agung Sedayu sudah mengatakan serba sedikit. Dan sekarang aku menjadi semakin jelas.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kita memang terus berhati-hati. Dan bukankah Anakmas Untara sudah memperhitungkan semua kemungkinan dan mempersiapkan para prajurit?”
“Ya,” Untara mengangguk-angguk pula, “tetapi prajurit Pajang telah bersikap. Bahkan sebagian dari mereka terlampau keras menentang Mataram. Barangkali Agung Sedayu pernah bercerita apa yang dialaminya karena kecurigaan prajurit Pajang yarg berlebih-lebihan. Karena itu, di dalam persoalan yang terlalu lembut dan licin, mereka kurang dapat menanggapinya. Juga Ki Lurah Branjangan yang datang dan Mataram itu sudah bersikap, meskipun ia masih berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Karena itu, aku memerlukan pihak yang dapat menguasai keadaan ini sebaik-baiknya di samping kedua belah pihak akan berjalan sesuai dengan garis tugas masing-masing.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Untara telah menemukan pengalaman baru di dalam sikapnya, sehingga ia bukan lagi Untara yang terlampau tajam. Meskipun demikian, masih tampak pada sikap dan kata-katanya, Untara adalah seorang senapati perang, yang pada saat-saat tertentu pasti akan tampil dalam sikap dan tindakan-tindakan seorang senapati.
“Apakah Kiai bersedia membantu kami dan Paman Widura di dalam hal ini?” desak Untara.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak berkeberatan. Aku akan membantu Anakmas.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Sumangkar yang juga sedang mengangguk-angguk, lalu katanya, “Dan kami sudah mulai melihat sesuatu, yang barangkali penting Anakmas ketahui.”
Untara menjadi tegang sejenak, lalu, “Maksud Kiai, sesuatu yang menyangkut persoalan yang kita bicarakan ini?”
Kiai Gringsing pun mengangguk. Lalu dikatakannya apa yang dilihatnya di dalam perjalanannya ke Jati Anom.
“Apakah mungkin para prajurit yang sedang nganglang berhenti dan membuat perapian?” Kiai Gringsing mencoba bertanya.
“Tidak, tentu tidak mungkin,” Untara merenung sejenak. “Itulah yang penting. Memang persoalan-persoalan yang kadang-kadang tidak pernah kita duga sebelumnya. Aku akan memerintahkan para prajurit untuk menelitinya.”
“Jangan tergesa-gesa, Anakmas. Seperti yang kau katakan, bahwa prajurit-prajurit itu sebagian telah bersikap keras menghadapi ketegangan antara Pajang dan Mataram. Ketegangan yang justru tumbuhnya dari atas.”
“Jadi?”
“Biarlah kami melihatnya. Nanti malam kami akan mencoba meyakinkan, apakah sebenarnya yang telah kami lihat itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Jika Kiai memerlukan, kami dapat menyediakan beberapa orang prajurit.”
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Jangan menimbulkan kesan yang tegang, agar upacara perkawinan Anakmas dapat berjalan dengan tenang. Kami hanya memerlukan ijin Anakmas. Dan kami akan mencoba berbuat dengan hati-hati, karena kami sadari, di mana kami sedang berdiri.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Adalah di luar kebiasaannya untuk begitu saja mempercayakan tugas yang berat kepada orang lain, bukan kepada lingkungannya. Ia mempunyai sekelompok petugas sandi yang dapat melakukan tugas-tugas serupa itu. Namun demikian, benar juga kata Kiai Gringsing. Jika ia memerintahkan pasukan sandinya dan menemukan sesuatu yang dianggapnya penting, maka akan timbul ketegangan dalam lingkungan prajurit Pajang. Ketegangan itu tentu akan berpengaruh pada hari perkawinannya yang segera akan berlangsung.
Sejenak Untara merenungi kata-kata Kiai Gringsing. Namung kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Aneh sekali. Tiba-tiba saja aku setuju dengan pendapat Kiai. Namun hal itu justru karena aku sudah mengenal Kiai berdua bersama murid-murid Kiai.”
“Terima kasih atas kepercayaan ini. Nanti malam kami akan mencoba mengetahui apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orang yang membuat perapian di hutan itu.”
“Silahkan Kiai. Tetapi kami berharap, bahwa tidak akan timbul salah paham dengan petugas-petugas sandi dari Pajang. Jika kalian terpaksa berselisih pendapat, maka kalian harus berkata berterus terang, bahwa kalian mendapat tugas khusus dari aku, dari senapati di daerah Selatan ini, supaya persoalan kalian dikembalikan kepadaku. Aku berharap, agar kalian tidak bertindak langsung terhadap petugas sandi itu, karena aku yakin bahwa tidak ada seorang pun dari petugas-petugas sandi Pajang yang dapat berbuat seperti Kiai.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Memang tugas di medan yang sedang dibayangi oleh ketegangan ini memerlukan kewaspadaan yang tinggi, karena kadang-kadang petugas-petugas khusus semacam yang akan mereka jalani itu dapat mengakibatkan, justru mereka harus berhadapan dengan berbagai pihak.
Namun Kiai Gringsing memahami pesan itu, sehingga karena itu, maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah, Anakmas. Kami akan melakukan semua pesan Anakmas. Dan karena itulah, maka sore nanti kami minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung, agar kepergian kami tidak menimbulkan kecurigaan.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Silahkan. Kiai dapat menempuh jalan yang mana pun yang baik bagi Kiai. Namun sebelumnya, Kiai dapat bertemu dengan Ki Lurah Branjangan, sekedar memperkenalkan diri.”
Kiai Gringsing memandang Sumangkar sejenak, namun kemudian ia mengangguk pula sambil berkata, “Baiklah. Aku akan memperkenalkan diri dengan salah seorang petugas dari Mataram. Aku kira Mataram memang perlu menyusun jaringan pengamanan bagi diri mereka sendiri.”
“Ya, tetapi Mataram masih berada di dalam lingkungan Pajang, sehingga tanggung jawab keamanannya seluruhnya masih menjadi tanggung jawabku.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun menyahut, “Ya, ya. Memang segala sesuatunya, Mataram harus mempertanggung-jawabkannya kepada Pajang, dalam hal ini kepada senapati yang mendapat tanggung jawab di daerah Selatan, yang langsung berhadapan dengan Mataram.”
“Bukan yang berhadapan dengan Mataram,” sahut Untara, “tetapi yang kekuasaannya meliputi Mataram.”
“O,” sekali lagi Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “ya, yang kekuasaannya meliputi daerah Selatan sampai ke Alas Mentaok.”
Tampak wajah Untara menegang sedikit. Namun ia pun kemudian berusaha untuk menghilangkan segala kesan itu. Sambil tersenyum Untara berkata, “Kiai benar. Kekuasaanku sampai ke Alas Mentaok dengan segala isi dan perkembangan yang terjadi atasnya, karena bentuk penyerahan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan masih belum jelas.”
Kiai Gringsing tidak menyahut lagi, selain mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia memandang Sumangkar, dan Sumangkar pun ternyata baru mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada menangkap siratan sikap Untara yang sebenarnya sebagai seorang prajurit Pajang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua orang tua itu pun diperkenalkan dengan Ki Lurah Branjangan. Namun ternyata pertemuan Ki Lurah Branjangan dengan Ki Sumangkar telah menumbuhkan keheranan sejenak. Tetapi sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan tersenyum sambil tertawa, “Ki Sumangkar, aku sudah mendengar pengampunan khusus dari Sultan Pajang atasmu.”
Sumangkar hanya tersenyum saja, sementara Kiai Gringsing bertanya, “Jadi kalian sudah saling mengenal?”
Sumangkar mengangguk. Katanya, “Aku mengenalnya sebagai Ki Lurah Mudal.”
“Nama itu terlalu jelek. Ki Widura lebih senang menyebut aku Ki Lurah Branjangan.”
Demikianlah, mereka sempat berbicara sejenak dengan akrabnya, seolah-olah mereka bertemu dengan kawan sendiri dari lingkungan yang sama.
Ketika kemudian matahari menjadi semakin rendah, maka Kiai Gringsing dan Sumangkar pun segera minta diri. Mereka berpura-pura akan kmbali ke Sangkal Putung bersama Agung Sedayu dan Swandaru. Hanya Untara dan Widura sajalah yang mengetahui, bahwa mereka berniat untuk mengintai orang-orang yang tidak dikenal yang telah membuat perapian di hutan yang terbentang di pinggir jalan, antara Sangkal Putung dan Jati Anom.
“Bagaimana dengan kuda-kuda ini?” bertanya Swandaru ketika mereka mendekati hutan rindang itu. “Apakah kuda-kuda ini tidak justru mengganggu?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu, “Kita ikat kuda-kuda itu agak jauh dari hutan.”
Mereka berempat pun kemudian menuju ke sebuah pategalan di ujung hutan. Mereka mengikat kuda-kuda mereka di tengah pategalan dan tersembunyi, sehingga tidak mudah diketahui oleh orang-orang yang lewat di pinggir pategalan itu.
“Bagaimana kalau pemiliknya menengok pategalan ini di malam nanti?” bertanya Swandaru.
“Jarang sekali seseorang pergi ke pategalan yang kebetulan sedang mulai ditanami. Jika pohung ini menjelang mengambil buahnya, barulah setiap kali mereka menengok di malam hari.”
“Kita menunggu gelap di sini?” bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
“Ya, kita menunggu gelap di sini. Tempat ini terlindung oleh pepohonan yang cukup rimbun,” sahut gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan hilir-mudik, dicobanya untuk membayangkan apa yang akan mereka lakukan, apabila hari menjadi gelap.
Tiba-tiba saja ia berhenti dan bertanya kepada gurunya, “Apakah mungkin orang yang membuat perapian itu orang-orang yang tidak dikenal di daerah ini, Guru?”
Gurunya menganggukkan kepalanya. “Ya,” jawabnya, “agaknya mereka orang asing di sini.”
“Jika mereka orang asing, apakah perapian itu tidak mengundang para peronda untuk mendekatinya?”
“Bukankah mereka berada di tempat yang terlindung agak menjorok masuk. Dan menurut perhitungan mereka, para peronda dari Jati Anom tidak akan sampai ke tempat mereka membuat perapian itu.”
“Agaknya memang demikianlah,” sambung Sumangkar. “Ternyata tidak seorang peronda pun yang pernah melaporkan tentang perapian kepada Untara.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Dan sebentar lagi kita akan melihat, siapakah sebenarnya mereka itu.”
Ketika matahari menjadi semakin rendah dan hilang di balik cakrawala, maka mereka pun segera mulai bersiap-siap. Mereka harus mendahului orang-orang yang ingin mereka ketahui keadaannya itu.
Karena itu, ketika malam mulai turun, mereka berempat pun segera meninggalkan kuda-kuda mereka. Dengan hati-hati mereka berjalan menuju ke hutan yang tidak begitu lebat, yang membentang di sebelah jalan ke Sangkal Putung.
“Bagaimana jika ada harimau yang sampai ke pategalan itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Kemungkinan itu kecil sekali. Terlalu jauh bagi seekor harimau. Kecuali apabila harimau itu benar-benar kelaparan. Tetapi mudah-mudahan tidak ada seekor harimau yang pergi ke pategalan, karena biasanya mereka tidak akan menjumpai apa pun di sana. Agaknya harimau-harimau yang kelaparan lebih senang pergi ke padesan untuk mencuri ternak.”
Demikianlah, maka mereka berempat pun segera masuk ke dalam daerah hutan yang sudah menjadi gelap. Mereka menempatkan diri mereka di tempat yang cukup terlindung, tetapi mereka dapat melihat lapangan rumput yang diselingi oleh pohon-pohon perdu di luar hutan sampai ke pinggir jalan. Dari kegelapan mereka akan dapat melihat bayangan yang bergerak-gerak di tempat yang terbuka, apabila orang-orang itu benar-benar datang lagi ke sekitar tempat itu.
Untuk memperluas jarak jangkau pengamatan mereka, maka mereka berempat tidak berada di tempat yang sama. Kiai Gringsing dan Swandaru memanjat sebatang pohon yang tidak jauh dari bekas perapian yang mereka ketemukan agak menjorok ke dalam, sedang Ki Sumangkar dan Agung Sedayu berada di dalam semak-semak, justru di bibir hutan itu.
“Apakah mereka akan kembali, Guru?” bertanya Swandaru.
“Kita tidak tahu,” jawab gurunya, “tetapi aku mengharap mereka akan kembali. Mereka akan membuat perapian lagi, dan berbicara tentang tugas-tugas mereka.”
Swandaru menganggukkan kepalanya.
“Tetapi memang mungkin pula mereka menemukan tempat lain yang lebih baik. Dan apabila demikian, kita akan sia-sia semalam suntuk di tempat ini,” sambung gurunya.
Swandaru mengerutkan keningnya Tetapi ia hanya berdesah di dalam dirinya, “Jika demikian, kamilah yang lebih bodoh dari orang-orang itu.”
Namun keduanya tidak terbicara lagi. Swandaru duduk di atas dahan yang besar, bersandar batangnya yang condong, sedang gurunya duduk sambil berjuntai, seperti sedang duduk di sebuah ayunan yang tergantung tinggi-tinggi.
Agung Sedayu dan Sumangkar pun tidak banyak berbicara. Mereka lebih memusatkan perhatian mereka kepada keadaan di sekitarnya, sehingga mereka tidak ubahnya seperti patung-patung yang membeku.
Mereka mulai menjadi geisah, ketika malam menjadi semakin malam, namun tidak seorang pun yang tampak lewat di dekat mereka, apalagi berhenti dan membuat perapian. Tetapi meskipun demikian, mereka masih tetap menahan hati, karena mereka masih berpengharapan, bahwa mereka tidak akan gagal.
Selagi mereka termangu-mangu menunggu orang-orang yang belum mereka ketahui dengan pasti itu, tiba-tiba Kiai Gringsing yang duduk berjuntai di atas sebatang dahan itu mengerutkan keningnya. Kemudian digamitnya Swandaru yang duduk terkantuk-kantuk.
“Ssst, jangan tidur,” desisnya.
Swandaru menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak tidur.”
“Lihatlah,” bisik gurunya kemudian.
Swandaru mengangkat wajahnya mencari sesuatu di dalam rimbunnya dedaunan.
“Bukan di sana, tetapi lihat itu.”
“Api,” desis Swandaru dengan serta merta sambil membelalakkan matanya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Di sela-sela batang pepohonan mereka melihat samar-samar nyala api di dalam kegelapan. Meskipun tidak tepat di tempat yang kemarin, tetapi perapian itu tidak berada terlalu jauh.
“Marilah kita melihat,” bisik Swandaru.
“Jangan tergesa-gesa. Kita belum tahu, siapakah mereka itu. Jika mereka memiliki kemampuan indra yang melampaui manusia biasa, maka kita harus sangat berhati-hati. Tetapi mudah-mudahan mereka orang-orang biasa seperti kita.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam hatinya ia berkata, “Guru juga orang yang melampaui kewajaran manusia yang lain.”
Sejenak Kiai Gringsing masih tetap berada di tempatnya. Perapian yang mereka lihat sedikit bertambah besar, namun kemudian susut kembali. Agaknya orang-orang yang mengerumuninya berusaha agar perapian itu tidak menjadi begitu besar.
“Apakah Kakang Agung Sedayu juga melihatnya?” bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Mungkin tidak. Tempatnya tidak memungkinkan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Apakah kita akan memberitahukan kepadanya dan Paman Sumangkar?”
“Ya. Aku akan memberitahukan. Tunggulah kau di sini. Jika ada sesuatu yang penting, kau dapat memberitahukan kepadaku dengan isyarat.”
“Apakah isyarat itu?”
“Kau dapat menirukan suara burung kedasih seperti orang-orang di Alas Tambak Baya?”
“Ya.”
“Nah, itulah isyaratnya jika perlu sekali. Tetapi aku tidak akan lama, karena mereka berada tidak jauh dari tempat ini, asal saja mereka tidak berpindah tempat.”
Kiai Gringsing kemudian, turun dengan hati-hati. Ketika ia sudah berdiri di tanah, ia tidak segera bergeser. Dengan ketajaman panca indranya ia meyakinkan lebih dahulu, bahwa tidak ada orang yang berada di sekitar tempat itu.
Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka Kiai Gringsing itu mulai bergeser mendekati tempat Sumangkar dan Agung Sedayu bersembunyi.
Ternyata mereka berdua tidak beranjak dari tempatnya. Namun karena Sumangkar tidak tahu, bahwa Kiai Gringsing akan datang kepadanya, maka desir dedaunan yang tersentuh oleh tubuh Kiai Gringsing membuatnya bersiap-siap. Bahkan digamitnya Agung Sedayu yang duduk di sampingnya.
Agung Sedayu pun kemudian mempersiapkan dirinya pula. Suara desir itu lambat laun didengarnya pula.
Namun mereka berdua itu menarik nafas, ketika mereka mendengar suara Kiai Gringsing lirih, “Adi Sumangkar?”
“Kiai Gringsing?” Sumangkar menyahut.
“Ya. Aku.”
Sumangkar pun kemudian bergeser ketika Kiai Gringsing menjadi semakin dekat di luar gerumbul tempatnya bersembunyi. Sambil menjenguk keluar ia berkata, “Apakah Kiai melihat sesuatu?”
“Ya. Aku sudah melihat sesuatu.”
“O, adakah mereka lewat di dekat tempat Kiai bersembunyi di hutan itu?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak. Aku tidak melihat mereka lewat. Mungkin mereka mengambil jalan lain. Tetapi aku sudah melihat perapian itu.”
“Jika demikian, mereka sudah ada di tempatnya.”
“Perapian itu bergeser sedikit.”
“Jadi, maksud Kiai?”
“Marilah, kita melihat apa yang mereka lakukan.”
Sumangkar pun kemudian menggamit Agung Sedayu dan memberinya isyarat untuk mengikutinya.
“Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “Kau mengawani Swandaru di atas dahan pohon itu. Aku dan pamanmu Sumangkar akan melihat, siapakah yang telah membuat perapian itu?”
“Kenapa kami tidak ikut melihatnya pula, Guru?” bertanya Agung Sedayu yang menjadi kecewa karenanya. Ia sudah sampai ke tempat itu dan duduk di dalam semak-semak. Tetapi tiba-tiba ia tidak diperbolehkan ikut mengetahui siapakah sebenarnya yang berada di sekitar perapian itu.
Kiai Gringsing dapat membaca perasaan kecewa itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau dan Swandaru berada di belakang. Jangan mendekat sebelum aku memberikan isyarat. Kita masih belum tahu ketajaman indra orang-orang di sekitar perapian itu.”
Demikianlah, setelah mereka singgah sejenak untuk memanggil Swandaru, mereka berempat pun segera pergi mendekati perapian yang samar-samar. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru berada beberapa langkah di belakang Kiai Gringsing dan Sumangkar.
Dengan hati-hati sekali, kedua orang tua itu merayap semakin dekat. Setiap langkah, mereka perhitungkan baik-baik, agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengejutkan atau menunjukkan kepada orang-orang di sekitar perapian itu, bahwa ada orang yang sedang mengintai. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti saja dari jarak yang agak jauh, namun tidak sampai kehilangan arah, karena malam yang serasa menjadi semakin gelap di dalam rimbunnya hutan yang meskipun tidak begitu lebat.
Demikianlah, akhirnya kedua orang tua-tua itu berhasil mendekati perapian itu. Mereka berdiri di balik pepohonan sambil mengatur pernafasan, agar orang-orang di sekitar perapian itu tidak mengetahui kehadiran mereka.
Beberapa saat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berada di tempatnya, mereka masih belum mendengar orang-orang itu berbicara satu patah kata pun. Mereka duduk sambil menundukkan kepala di sekeliling perapian sambil memanasi badannya.
“Tidak, bukan hanya badannya,” berkata Kiai Gringsing dan Sumangkar di dalam hatinya ketika mereka melihat semakin jelas, bahwa dua orang di antara mereka sedang memanggang beberapa potong daging binatang.
“Apakah mereka beberapa orang pemburu yang sedang berburu di hutan ini?” bertanya kedua orang tua-tua itu di dalam hati pula.
Namun mereka mengerutkan keningnya, ketika mereka melihat kulit domba teronggok di samping lingkaran itu.
“Tentu bukan pemburu,” keduanya mendapat kepastian. “Pemburu-pemburu tidak akan menyembelih kambing di hutan perburuannya.”
Karena itu, maka keduanya menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui siapakah mereka itu.
Agung Sedayu dan Swandaru duduk beberapa langkah dari gurunya. Mereka pun melihat merahnya api di dedaunan dan pepohonan. Namun mereka tidak dapat melihat dengan jelas, siapa saja yang berada di sekitar perapian itu dan apa saja yang sedang mereka lakukan.
Ketika Swandaru akan berbisik sesuatu, Agung Sedayu meletakkan jari telunjuknya di bibir anak muda yang gemuk itu, sehingga Swandaru mengurungkan loncatan kata-katanya yang sudah ada di tenggorokan.
Baru setelah daging yang mereka panggang di perapian itu masak, terdengar salah seorang dari mereka berbicara, “Kita makan sekarang.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka pun kemudian bergeser sedikit. Salah seorang dari orang-orang yang mengelilingi perapian itu pun berdiri dan melangkah beberapa langkah untuk mengambil beberapa bungkus nasi.
Kiai Gringsing dan Sumangkar harus menahan hati mereka. Dengan demikian keduanya harus duduk menunggu sampai orang-orang itu selesai makan dan berbicara sesuatu, sehingga keduanya mendapatkan suatu kesimpulan tentang orang-orang itu. Sementara itu yang dapat dilakukan adalah sekedar menghitung orang-orang itu. Meskipun agak sulit, namun akhirnya Kiai Gringsing berdesis di dalam hati, “Tujuh orang.”
Sambil menunggu mereka makan, maka Kiai Gringsing memberi isyarat kepada Sumangkar untuk mendapat pertimbangan memanggil murid-muridnya. Menurut penilaiannya, orang-orang yang berada di perapian itu bukanlah orang-orang yang memiliki kemampuan melampuii orang kebanyakan.
Ki Sumangkar yang mengerti isyarat itu pun mengangguk, karena ia pun sependapat dengan Kiai Gringsing.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah mulai menjadi jemu, kini dapat ikut serta menunggui orang-orang yang sedang makan itu. Namun dengan demikian mereka pun menemukan kejemuan baru. Orang-orang yang sedang makan itu membuat Agung Sedayu dan Swandaru menjadi tidak sabar lagi menunggu.
Tetapi mereka harus memaksa diri duduk saja merenung. Bahkan Swandaru sudah mulai terkantuk-kantuk, bersandar sebatang pohon, justru membelakangi. orang-orang yang sedang makan itu.
Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika terdengar, derap kaki kuda di kejauhan. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Dan ternyata, bahwa bukan saja Kiai Gringsing dan muridnya serta Ki Sumangkar sajalah yang terkejut, tetapi juga orang-orang yang sedang mengelilingi perapian itu. Tiba-tiba saja terdengar perintah, “Padamkan api.”
Beberapa orang segera berdiri dan mencakup tanah kering dan dihamburkannya di atas perapian, sehingga sejenak kemudian api itu pun menjadi padam, meskipun masih juga tampak asap yang mengepul. Namun ketika angin berhembus, asap itu pun segera pecah berserakan.
Derap kaki kuda itu pun menjadi semakin dekat. Tetapi ternyata, bahwa kuda-kuda itu sama sekali tidak berhenti. Agaknya beberapa orang peronda telah lewat di jalan yang membujur di pinggir hutan itu.
“Anak setan,” terdengar salah seorang dari orang-orang yang mengitari perapian yang telah padam itu mengumpat. “Malam kemarin tidak ada seorang pun yang lewat. Sekarang peronda-peronda itu berkeliling sampai ke tempat ini.”
“Apakah ada orang yang berhasil mencium kehadiran kita di sini?” bertanya yang lain.
“Aku belum mendapatkan tanda-tanda itu,” sahut yang mula-mula berbicara, yang agaknya adalah pemimpin mereka.
“Makanlah,” desis suara yang lain, “kita akan segera pergi.”
“Sudah habis,” terdengar jawaban.
Namun tiba-tiba yang lain lagi berkata, “Nasiku tumpah. Aku tergesa-gesa berdiri, ketika api perapian itu harus dipadamkan.”
“Tinggal daunnya,” jawab yang lain, “aku tahu, kau makan daging kambing, serta tulangnya sekali. Biasanya kau makan nasi serta daunnya.”
“Sst,” desis pemimpin mereka, “kita masih harus mengawasi kesiagaan Untara semalam ini. Besok kita dapat memastikan, di mana kita akan mulai, karena besok lusa, Untara sudah harus pergi ke Pengging. Sepeninggal Untara kita harus bertindak dengan cepat, supaya kesan yang kita timbulkan tidak sempat mendapatkan penyelidikannya langsung. Hanya Untara-lah yang masih dapat berpikir bening menghadapi Mataram. Pada umumnya, para prajurit sudah diracuni oleh kecurigaan.”
“Bagaimana dengan Widura?”
Widura sudah bukan prajurit lagi. Ia sudah jemu, karena ketuaannya yang semakin mengganggu tugas-tugas keprajuritannya.”
“Ia belum terlalu tua.”
Terdengar suara tertawa pendek. Namun untuk beberapa lamanya tidak terdengar suara yang lain.
Maka sejenak kemudian, hutan itu telah dicengkam oleh kesenyapan. Yang terdengar adalah suara binatang malam di kejauhan. Suara burung hantu dan bilalang yang berdelik di rerumputan.
Yang mula-mula terdengar adalah suara pemimpin dari orang-orang yang duduk di sekitar perapian yang sudah padam itu, “Tidak seorang pun yang dapat membaca pikiran orang lain dengan tepat. Tetapi agaknya Widura itu pun sudah jemu mengabdikan diri kepada Sultan Adiwijaya. Tetapi karena ia tidak mau berkhianat, maka lebih baik baginya untuk mengundurkan diri saja dari lingkungannya.”
“Apakah Ki Lurah yakin?” tiba-tiba terdengar suara yang berat.
“Aku yakin. Banyak prajurit yang lari ke Mataram. Lurah Branjangan lari pula di samping Ki Lurah Mahoni dan Ki Lurah Sarimpat.”
“Tetapi hubungan Mataram dengan Pajang masih belum dapat diambil kesimpulan apa pun juga,” suara yang berat itu terdengar lagi. “Ternyata menurut beberapa orang petugas kami, Raden Sutawijaya telah mengirimkan beberapa jodang sumbangan kepada Untara.”
“Kau bodoh sekali,” berkata pemimpinnya, “itu sekedar suatu cara untuk menahan, agar Pajang jangan terlalu cepat bertindak, sebelum Mataram siap.”
“Begitu?”
“Ya. Dan adalah tugas kita untuk memancing tindakan Pajang terhadap Mataram. Tepat setelah Untara meninggalkan Jati Anom.”
Sejenak kemudian tidak terdengar jawaban sama sekali. Yang terdengar hanyalah nafas-nafas yang berdesah.
Kiai Gringsing dan Sumangkar yang duduk berdekatan saling memandang sejenak. Tanpa disadarinya keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata yang mereka duga telah benar-benar terjadi. Orang-orang itu adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin menimbulkan benturan langsung antara Pajang dan Mataram secepatnya.
Namun keduanya masih belum dapat menyatakan pendapatnya. Mereka masih harus menunggu sejenak, untuk melihat perkembangan yang bakal terjadi.
“Marilah kita pergi,” terdengar suara pemimpinnya, “kita melihat keadaan di Jati Anom. Kita masih mempunyai waktu sampai malam besok. Di dalam waktu itu kita harus sudah dapat menentukan, apakah yang akan kita lakukan dan di mana?”
“Sekarang kita sudah mendapat gambaran itu,” sahut suara yang lain.
Kiai Gringsing dan Sumangkar bersama kedua anak-anak muda yang mengikutinya itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka menjadi kecewa, karena ternyata orang-orang itu tidak mengatakan apa pun tentang rencana itu. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, “Marilah kita pergi.”
“Kita memutari Jati Anom dari sebelah Timur. Kita akan mencari kemungkinan yang lebih baik dari yang telah kita dapatkan apabila mungkin. Kita lewati Lemah Cengkar dan melihat hutan kecil di sebelahnya.”
“Arah itu tidak menguntungkan,” sahut yang lain.
“Marilah kita coba melihatnya.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Di dalam kegelapan, Kiai Gringsing dan Sumangkar hampir tidak dapat melihat orang-orang itu. Namun pandangan mata mereka yang tajam, masih juga dapat menangkap bayangan-bayangan yang bergerak-gerak dan kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.
Sejenak kemudian, mereka telah benar-benar hilang di dalam kegelapan terlindung oleh pepohonan. Bahkan langkah kaki mereka serta desih dedaunan telah tidak terdengar lagi.
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih harus berbisik, “Mereka pergi ke sebelah Timur Jati Anom.”
“Ya. Orang-orang itulah yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Branjangan,” sahut Sumangkar.
“Tetapi mereka mengetahui, bahwa Raden Sutawijaya mengirimkan orang ke Jati Anom.”
“Tetapi mereka tidak memperhitungkan sejauh Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin Mataram. Mereka hanya sekedar menduga, bahwa Mataram yang agaknya tidak mereka ketahui siapa orangnya itu telah menyerahkan sebuah bingkisan yang banyak kepada Untara.”
“Tetapi siapakah mereka sebenarnya, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Kami belum tahu pasti.”
“Apakah mereka bukan justru orang-orang Pajang sendiri yang menghendaki agar segera mendapat perintah untuk menghancurkan Mataram.”
Kiai Gringsing menggeleng, “Nadanya bukan orang Pajang. Dan agaknya Untara telah berbicara dengan beberapa orang senapati yang lain, sehingga para pemimpin prajurit di Pajang mengetahui rencana Ki Lurah Brajangan. Dan mereka tidak akan dengan membabi buta meneruskan rencananya untuk mengaku orang-orang Mataram, karena mereka akan segera dikenal oleh Ki Lurah Branjangan itu.”
“Jadi kesimpulan Guru?” sahut Swandaru.
“Bukan orang-orang Pajang, tetapi pasti juga bukan orang Mataram.”
“Apakah mungkin mereka pengikut-pengikut Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak?”
“Bahkan mungkin kedudukan mereka lebih tinggi dari para hantu di Alas Mentaok itu,” sahut Kiai Gringsing. “Mungkin di antara mereka terdapat orang yang sebenarnya berada di belakang tabir dan menggerakkan kendali atas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak serta orang-orang yang lain lagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Swandaru bertanya, “Tetapi, jika mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari Kiai Telapak Jalak, apakah mereka tidak sangat berbahaya, Guru? Dan apakah kita akan dapat mengikutinya dan menyadap pembicaraan mereka?”
“Tentu bukan orang-orang yang duduk di perapian itu. Maksudku, yang akan memimpin mereka. Yang memimpin keseluruhan gerak dari orang-orang yang tidak mau melihat Mataram menjadi tempat yang ramai, seperti juga sebagian orang-orang Pajang yang tidak mau melihat Mataram menjadi sebuah kota.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayu masih juga bertanya, “Guru, apakah sebabnya Pajang berkeberatan? Bukankah Pati, dan kota-kota di pesisir berkembang dengan pesat pula? Adipati-adipati di daerah Timur juga menumbuhkan persoalan-persoalan tersendiri. Tetapi mengapa perhatian Sultan Adiwijaya justru ditujukan kepada daerah yang baru berkembang. Daerah yang masih terlalu lemah, dibandingkan dengan daerah para adipati yang sudah tumbuh semakin kuat itu? Atau barangkali akulah yang sama sekali tidak dapat membayangkan kesiagaan prajurit Pajang di daerah-daerah lain yang dianggapnya juga bergolak?”
“Tidak, Agung Sedayu. Perhatian Pajang kini terutama tertuju kepada Mataram.”
“Jika demikian, kenapa, Guru?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Meskipun kadipaten yang lain lebih kuat dari Mataram sekarang, Agung Sedayu, tetapi di daerah-daerah itu tidak ada sebuah nama yang mempunyai pengaruh sebesar Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Di daerah pesisir tidak ada seorang pun yang sangat dihormati oleh Sultan Adiwijaya seperti Ki Gede Pemanahan dan yang memiliki kemampuan mengemudikan pemerintahan seperti orang tua itu. Itulah sebabnya, beberapa orang di Pajang menjadi sangat cemas melihat perkembangan Mataram. Terutama para senapati yang masih tetap menganggap, Pajang sebagai pusat dari perkembangan tanah ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti keterangan gurunya itu. Ternyata, bahwa seseorang memang dapat menjadi sangat berpengaruh atas suatu persoalan yang sedang berkembang.
Namun sebelum Agung Sedayu bertanya lebih lanjut, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Kita mengikutinya sampai ke Lemah Cengkar.”
“Bagaimana dengan kuda-kuda itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Biar saja ia berada di pategalan itu. Tidak akan terjadi apa-apa atas mereka. Mungkin kuda-kuda itu sekarang sedang tidur dengan nyenyak.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
“Kita akan memintas, sehingga kita akan mendahului mereka sampai ke Lemah Cengkar,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Apakah mereka tidak juga memilih jalan memintas?” bertanya Agung Sedayu.
“Agaknya mereka bukan orang yang tinggal di sekitar daerah ini. Mereka tidak mengenal jalan-jalan sempit di tengah hutan ini.”
“Apakah Guru mengenalnya?”
“He, bukankah aku orang Dukuh Pakuwon.”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gurunya, yang juga bernama Tami Metir, itu memang pernah tinggal di Pakuwon untuk waktu yang cukup lama, sehingga tidak mustahil, jika dukun tua dari Dukuh Pakuwon itu mengenal jalan-jalan setapak di daerah ini.
Demikianlah, maka mereka berempat pun segera berangkat menyusuri pinggiran hutan. Namun kemudian mereka pun segera memotong, setelah mereka menemukan sebuah jalan sempit yang memintas. Mereka menyusup pepohonan dan pohon-pohon perdu. Tetapi hutan ini tidak seganas Alas Tambak Baya, apalagi Alas Mentaok. Karena itu, bagi keempat orang itu, perjalanan mereka bukannya perjalanan yang terlampau sulit.
Meskipun demikian, terbersit juga sebuah kenangan di dalam hati Agung Sedayu. Sejak kecil ia mendengar cerita tentang Lemah Cengkar yang angker. Menurut kata orang, di daerah Lemah Cengkar terdapat seekor harimau putih yang jauh lebih besar dari harimau kebanyakan. Bahkan lebih besar dari Macan Gembong sekalipun. Sudah tentu, bahwa menurut cerita macan putih itu sama sekali bukan harimau sebenarnya, tetapi harimau jadi-jadian.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terkenang pula ketika ia untuk pertama kali mengikuti kakaknya, Untara. Betapa ia dibayangi oleh wajah-wajah hantu yang menakutkan. Untunglah, ketika ia berada di Alas Mentaok, hatinya sudah tabah menghadapi wajah-wajah hantu yang menakutkan itu. Jika sekiranya ia dilepaskan di daerah Alas Mentaok selagi ia masih dibelenggu oleh perasaan takutnya, maka ia tidak akan lebih baik dari orang-orang yang ketakutan di daerah yang sedang dibuka itu.
Tetapi kini, Agung Sedayu tidak lagi dihantui oleh cerita tentang Macan Putih di Lemah Cengkar. Bahkan sejenak kemudian, pikirannya sudah beralih kepada orang-orang yang sedang diikutinya itu.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan daerah Lemah Cengkar. Sebuah hutan kecil terbentang di sebelah Utara daerah yang masih liar itu. Beberapa batang pohon yang besar tumbuh di antara kekerdilan semak-semak. Dan di atas sebuah puntuk kecil terdapat sebuah batu yang aneh. Seolah-olah batu itu diatur oleh tangan manusia dan diletakkannya di atas gumuk kecil itu.
“Kita menunggu di sini. Mereka pasti akan melintas jalan ini,” berkata Kiai Gringsing.
Kedua muridnya dan Ki Sumangkar hanya menganggukkan kepalanya. Mereka percaya, bahwa Kiai Gringsing seakan-akan memiliki firasat yang sangat tajam.
Demikianlah, mereka kemudian bersembunyi di balik semak-semak untuk menunggu orang-orang yang semula mengelilingi perapian dan yang kemudian berusaha untuk menemukan pangkal yang baik bagi usaha mereka mengacaukan Jati Anom.
Ternyata bahwa perhitungan Kiai Gringsing tidak salah. Sejenak kemudian, mereka telah mendengar suara ranting-ranting perdu yang berpatahan.
“Kalian di sini, Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini kita tidak sekedar mengintai orang-orang yang duduk mengelilingi perapian. Tetapi kita akan mengikuti mereka bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Jangan pergi ke mana pun. Aku berdua bersama Ki Sumangkar akan mengikuti mereka dan akan mencari kalian ke tempat ini jika kami sudah merasa cukup.”
Ia melihat kekecewaan membayang di wajah kedua muridnya. Namun kali ini Kiai Gringsing tidak dapat mempertimbangkan kemungkinan lain yang lebih baik.
Betapa pun kecewa bergejolak di dalam hatinya, namun kedua murid Kiai Gringsing itu harus mematuhi kata-kata gurunya, karena hal itu pasti sudah dipertimbangkannya baik-baik.
Sesaat kemudian, maka ketujuh orang yang sedang mereka tunggu itu pun lewat beberapa langkah di hadapan Kiai Gringsing menuju ke rumpun-rumpun perdu yang lebih lebat di pinggir hutan kecil agak ke Utara.
Dengan isyarat, Kiai Gringsing mengajak Ki Sumangkar untuk segera mengikuti mereka Tetapi untuk sementara keduanya tidak berani mendekat, karena mereka masih berada di tempat yang agak terbuka.
Namun ketika kemudian mereka memasuki hutan perdu yang liar, barulah keduanya berusaha untuk mengikutinya dari jarak yang semakin dekat.
“Ternyata tempat ini cukup baik,” desis salah seorang dari mereka.
Tidak ada yang segera menanggapi. Tetapi mereka berjalan terus menelusuri rumpun-rumpun perdu yang menjadi semakin lebat, dan kemudian sampai di daerah hutan kecil yang gelap.
Sesaat kemudian, pemimpin mereka itu pun berkata, “Kita berhenti sebentar. Kita pertimbangkan tempat ini.”
Orang-orang itu pun kemudian berhenti. Mereka berdiri menghadap ke Jati Anom.
“Kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan,” berkata pemimpinnya, “apakah tempat ini lebih menguntungkan atau tidak, dibandingkan dengan hutan mlandingan sebelah Barat Jati Anom?”
Kawan-kawannya tidak segera menyahut.
“Kita akan menyerang Jati Anom dan berusaha membuat kegaduhan sejauh-jauh mungkin. Kita mengharap betapapun mereka bersiaga, namun mereka akan lengah juga sepeninggal Untara, karena pengamanan mereka pasti sebagian terbesar mereka tujukan bagi Untara dan para perwira yang hadir di Jati Anom dan akan membawa Untara ke Pengging. Kegaduhan yang timbul pasti akan segera membuat Rangga Parasta marah dan mempengaruhi Untara untuk segera bertindak setelah hari-hari pertamanya dilewatinya. Dari tempat ini, kita dapat mencapai Sendang Gabus tanpa kesulitan. Kita akan menghindari jalan langsung ke Banyu Asri. Yang harus kita lakukan adalah memasuki rumah Untara. Bukan rumah Widura.”
“Tetapi prajurit Pajang sebagian terbesar ada di banjar kademangan. Jika kita tidak segera mencapai rumah Untara, maka para peronda akan sempat membangunkan para prajurit yang ada di banjar dan juga yang berpencaran di sekitarnya,” sahut seseorang.
“Kita akan berputar lewat sebelah Selatan. Justru di sebelah Timur Banyu Asri.”
“Jika demikian, apakah tidak lebih baik kita berada di sebelah Barat. Jika kita terpaksa harus secepatnya menghilang, kita dapat naik ke lereng Merapi, dan bersembunyi di sekitar bekas padepokan Tambak Wedi.”
“Tetapi untuk mencapai rumah Untara yang dipergunakan sebagai tempat tinggal para perwira itu, kita lebih baik datang dari arah ini. Kita akan membunuh beberapa orang perwira, kemudian kita dapat menghilang ke Barat, karena jika ada kesempatan membangunkan para prajurit di banjar, mereka akan datang dari arah Timur.
“Jadi kenapa kita harus datang dari arah Timur juga?”
“Supaya tidak menimbulkan kemungkinan ada persiapan lebih dahulu di bagian Barat, jika memang ada satu dua orang peronda yang melihat salah seorang dari kita yang akan menyusup masuk. Dan jarak untuk mencapai rumah Untara agaknya lebih aman, karena pengamanan daerah ini pasti akan ditekankan di daerah Barat, karena mereka masih harus mengawasi rumah Widura.”
“Jadi kenapa kita tidak menghindar ke Timur juga?” bertanya yang lain.
“Sudah aku katakan, jika ada satu dua orang yang sempat membunyikan tengara, prajurit-prajurit yang ada di banjar akan bangun dan mereka akan datang dari arah Timur. Namun kita berharap, bahwa mereka masih tetap nyenyak ketika kita datang.”
Sejenak tidak ada seorang pun yang segera menyahut. Agaknya mereka sedang merenungi rencana itu. Daerah ini memang baik mereka jadikan daerah persiapan. Sedang daerah lereng Merapi adalah daerah yang baik untuk mereka jadikan tempat menghindar. Batu-batu padas yang besar dan liku-liku lereng yang berselimut batang-batang perdu memberikan kemungkinan lolos yang sebesar-besarnya. Apalagi mereka sempat meninggalkan Kademangan Jati Anom, kemudian memasuki alas mlandingan yang meskipun tidak begitu luas, mereka akan dapat hampir memastikan untuk berhasil menyelamatkan diri di lereng-lereng yang berbatu padas.
Untuk beberapa saat lamanya orang-orang itu masih berdiam diri sambil mengawasi keadaan di sekitarnya. Tetapi gelap malam rasa-rasanya menjadi semakin pepat, sehingga sejenak kemudian, salah seorang dari mereka berkata, “Aku kira kita dapat mengajukan rencana ini. Tetapi sebaiknya besok siang kita melihat keadaan ini untuk mendapatkan kepastian.”
“Di siang hari?”
“Ya.”
“Berbahaya sekali.”
“Tentu tidak perlu kita semua berbareng datang kemari. Aku akan datang dengan seorang dari kalian.”
“Hanya dua orang?”
“Ya, tentu tidak akan menumbuhkan kecurigaan. Adalah merupakan hal yang biasa bila dua orang berjalan bersama-sama. Apakah yang aneh? Jika kita datang bertujuh, memang hal itu akan dapat menumbuhkan persoalan.”
Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang mereka harus melihat keadaan ini di siang hari supaya mereka dapat memastikan apa yang harus mereka lakukan.
“Marilah, kita sekarang pergi.”
“Apakah kita tidak melihat Jati Anom?”
“Tidak ada yang baru di Jati Anom. Besok pun tidak ada. Tetapi besok kita dapat melihat Banyu Asri yang sepi, setelah Untara pergi. Lusa kita akan melakukan rencana kita memasuki Jati Anom itu.”
Tidak ada seorang pun yang menyahut.
“Marilah,” gumam pemimpinnya itu sambil melangkah.
Sejenak kemudian mereka pun berjalan berurutan meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, Sumangkar dan Kiai Gringsing yang mengintip mereka, membiarkan mereka pergi. Mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu, selain memandang bayangan yang kehitam-hitaman itu hilang di dalam kelam.
Sejenak kemudian, barulah mereka berdiri sambil menggeliat. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing berdesis, “Rencana yang baik.”
Sumangkar pun mengangguk-angguk pula, katanya, “Tentu rencana ini di susun oleh orang yang cukup berpengalaman.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing, “kita harus berhati-hati. Kita tidak dapat menghadapi mereka tanpa orang lain.”
“Prajurit-prajurit itu?”
“Kita harus berhati-hati. Siapa tahu, bahwa ada orang-orang mereka yang menyusup di dalam lingkungan keprajuritan.”
Sumangkar mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menemukan sesuatu untuk mengatasi persoalan itu.
“Marilah, kita kembali kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Barangkali kita akan menemukan sikap sambil berjalan.”
Keduanya pun segera kembali ke tempat mereka meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru. Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika dilihatnya Swandaru sedang tidur dengan nyenyaknya.
“Dapat juga ia tidur nyenyak,” desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Ia kecewa sekali karena kami tidak boleh ikut serta. Karena itu, lebih baik baginya untuk tidur saja daripada menggerutu tidak habis-habisnya.”
Kedua orang tua-tua itu pun tersenyum.
Ternyata percakapan itu telah membangunkan Swandaru, sehingga sambil menggeliat ia berkata, “Apakah sekarang sudah fajar pagi?”
“Sudah lewat,” jawab Agung Sedayu.
Swandaru pun kemudian berdiri sambil bertanya, “Dimana orang-orang itu, Guru?”
“Sudah pergi.”
“Pergi? Dan kita membiarkan mereka pergi tanpa berbuat apa-apa?”
“Kita tidak berbuat apa-apa.”
“Kenapa guru?” Agung Sedayu pun bertanya, “bukankah mereka orang-orang yang berbahaya?”
“Ya. Mereka memang orang-orang yang berbahaya. Tetapi kita tidak dapat berbuat sesuatu atas mereka itu sekarang. Dengan demikian, kita tidak akan dapat menemukan kepalanya, kecuali ekornya saja, seperti seekor cicak, meskipun kita mematahkan ekornya, maka ekor itu akan segera tumbuh kembali.”
Kedua murid-muridnya tidak menjawab, meskipun mereka belum mengerti alasan gurunya itu yang sebenarnya.
“Mereka bukannya orang-orang terpenting dari lingkungan mereka,” berkata Kiai Gringsing. “Mereka hanyalah semacam penunjuk jalan, atau petugas-petugas sandi.”
“Tetapi jika kita menangkap mereka, maka mereka tidak akan dapat memberikan keterangan lebih jauh kepada atasan mereka.”
“Ya, karena mereka tidak kembali kepadanya. Tetapi, bahwa mereka tidak kembali ke pangkalan itu pasti menimbulkan persoalan bagi mereka. Jika mereka bukan orang-orang yang sangat dungu, maka mereka pasti akan segera merubah rencana mereka. Perubahan rencana itu sangat merugikan bagi kita. Sekarang kita sudah dapat mengetahui rencana ini. Agaknya mereka mendapat kepercayaan penuh untuk menentukan dari mana mereka datang dan kemana mereka akan pergi. Jika rencana itu berubah, kita tidak akan dapat mengerti, apakah yang akan mereka lakukan kemudian.”
“Tetapi apakah kita dapat memastikan, bahwa pendapat orang-orang itu akan diterima oleh atasannya?”
“Menilik pembicaraan mereka, mereka adalah satu-satunya kelompok yang mendapat tugas untuk menentukan garis serangan,” jawab gurunya, namun kemudian, “tetapi memang tidak mustahil, bahwa mereka hanya dapat memberikan bahan dan pertimbangan. Meskipun demikian inti dari rencana itu sudah kita ketahui, sehingga kita dapat menentukan sikap.”
~ Article view : [386]