Karya : SH. Mintardja
Series 71
PANDAN WANGI yang juga mendengar rencana Rudita itu menjadi gelisah. Tetapi ia berterima kasih di dalam hati, bahwa anak-anak muda yang lain seakan-akan tidak berkeberatan atas keputusan yang telah diambil oleh Rudita itu, sehingga dengan demikian tidak timbul persoalan yang tegang di antara mereka.
Dalam pada itu Prastawa pun bertanya pula kepada Pandan Wangi karena Pandan Wangi belum sempat menjawab, “Jadi kemana kita, Pandan Wangi?”
“Jangan bertanya lagi,” bentak Rudita, “aku sudah menjawab.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun berkata, “Rudita. Aku ingin pergi ke hutan yang liar itu. Bukankah kita kemarin malam sudah membicarakannya.”
“Aku tidak sependapat. Kita berburu di hutan perburuan.”
“Memang ada dua macam daerah perburuan. Mereka yang berjiwa jantan akan memilih hutan yang liar itu, tetapi bagi yang berjiwa betina akan memilih hutan perburuan itu. Anehnya bahwa aku memilih hutan yang liar itu, bukan karena aku seorang gadis yang berjiwa jantan, tetapi hutan itu menyimpan binatang jauh lebih banyak dari hutan perburuan.”
“Tidak Aku tidak mau pergi ke hutan yang liar itu, yang dikatakan masih dihuni oleh berbagai jenis harimau, ular, dan serangga-serangga berbisa.”
“Sayang, bahwa kami akan pergi ke hutan itu. Ayah sudah membekali aku dengan obat pemunah racun. Dengan demikian berarti bahwa aku diperkenankannya memasuki hutan liar itu.”
“Aku juga,” tiba-tiba saja Swandaru menyahut, “Guru telah memberikan sejenis obat pemunah racun. Jika salah seorang dari kita kena racun, maka obat itu dapat ditaburkan di luka yang terkena racun itu. Namun ada pula sejenis obat yang dapat kita minum.”
Rudita memandang Swandaru sejenak. Anak yang gemuk itu semakin lama semakin menjemukan baginya. Karena itu maka jawabnya, “Jika kau sudah membawa obat itu dan akan pergi berburu ke hutan liar itu, pergilah. Ajaklah siapa saja yang ingin pergi. Tetapi rombongan ini akan berhenti di hutan perburuan itu. Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat.”
Swandaru yang gemuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan seperti acuh tidak acuh saja ia berkata, “Baiklah. Jika demikian, siapakah yang akan ikut aku pergi berburu ke hutan liar itu? Menurut Rudita, rombongan kecil ini akan berhenti di hutan perburuan, sedang yang ingin ikut bersama aku, diberinya kesempatan.”
Sejenak mereka saling berpandangan. Tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, “Aku pergi bersama Swandaru.”
“Itu urusanmu. Memang sebaiknya kalian berdua tidak pergi bersama kami.”
Tetapi tiba-tiba Prastawa pun berkata, “Aku pergi bersama Swandaru. Hutan perburuan tidak memberi kepuasan lagi bagi kita yang sudah terlalu sering berburu di dalamnya. Karena itu, mumpung kita berada di dalam suatu rombongan yang kuat, kita pergi berburu di hutan liar.”
Belum lagi Prastawa selesai berbicara, maka Pandan Wangi telah berkata pula, “Aku pun ikut bersama mereka yang pergi ke hutan liar itu.”
Keringat dingin membasahi tubuh Rudita seperti disiram dengan air. Wajahnya menjadi tegang dan dadanya bagaikan bergetar. Dipandanginya Pandan Wangi dan Prastawa berganti-ganti. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, “Jadi kalian tidak lagi menuruti keputusan yang aku ambil?”
Pandan Wangi menahan kudanya sehingga Rudita berada di sisinya. “Bukan begitu Rudita,” katanya, “tetapi kadang-kadang kita ingin sesuatu yang lain dari kebiasaan kita. Dengan demikian kita akan mendapatkan kesegaran baru di dalam perburuan ini. kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. Jika setiap kali kita berburu di hutan perburuan, baik yang ada di tepi Kali Praga mau pun yang berada di daerah Selatan dari Tanah Perdikan ini, mau pun yang di ujung Utara di lereng pegunungan itu, kita tidak akan mendapatkan apa-apa lagi selain jenis binatang yang selalu kita buru. Tetapi di hutan yang liar itu kita akan bertemu dengan jenis-jenis binatang yang lain. Kita tidak saja berburu kijang atau menjangan, tetapi kita akan bertemu dengan seekor harimau. Mungkin seekor kijang dari jenis yang lain, yang berbintik-bintik di punggungnya, atau seekor menjangan yang berleher agak panjang. Tetapi mungkin juga kita bertemu dengan binatang-binatang yang berbahaya yang dapat menambah pengalaman hidup kita. Anjing liar, babi hutan, atau sejenis ular pohon berwarna coklat.”
Terasa bulu-bulu tengkuk Rudita meremang.
“Nah, bagaimana dengan kau?” bertanya Prastawa. “Ternyata kami semuanya ikut dengan Swandaru ke hutan liar itu. Apakah kau akan memasuki hutan perburuan itu sendiri?”
Rudita tidak segera menjawab. Tampaklah matanya menjadi redup dan bahkan basah.
“Jika kau tidak berkeberatan,” berkata Pandan Wangi kemudian, “ikutlah dengan kami.”
Rudita memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu maka dengan suara parau ia berkata, “Kalian telah berbuat kesalahan karena kalian tidak menurut aku. Tetapi apa boleh buat, jika aku memang harus pergi bersama kalian. Tetapi jangan merasa bahwa kalian dapat merubah keputusanku. Keputusanku tetap seperti yang aku katakan. Meskipun kita berburu di hutan liar, tetapi hasil yang kita peroleh akan aku berikan sebagai hadiah buat Pandan Wangi.”
“Terima kasih,” sahut Pandan Wangi, “aku akan berusaha membantumu.”
“He,” Rudita membelalakkan matanya.
Sambil tersenyum Pandan Wangi berkata, “Sudahlah. Keputusan kita sudah pasti, kita pergi ke hutan liar itu.”
Rudita memandang Pandan Wangi dengan heran, namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengerti sifat dan sikap orang-orang yang pergi bersamanya berburu. Seakan-akan mereka tidak dapat ditertibkan. Mereka seakan-akan berbicara menurut kehendak dan keinginan mereka masing-masing, bahkan kadang-kadang dengan tajam memotong keputusannya.
“Kenapa aku tidak membawa pengawal dari rumahku,” berkata Rudita di dalam hati. “Orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh bukannya orang yang baik seperti orang-orangku di rumah. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak selalu membantah dan bahkan kadang-kadang menentukan sikap menurut kehendak sendiri.”
Tetapi Rudita yang sudah berada di antara orang-orang yang menurut pendapatnya bersikap aneh itu, tidak dapat berbuat lain. Bahkan menurut pendapatnya, Pandan Wangi sendiri pun ternyata bersikap aneh. Ia sama sekali tidak bersikap sebagai seorang gadis, karena ia sama sekali tidak melonjak kegirangan dan berterima kasih ketika ia berkata bahwa ia akan, memberikan hadiah dari hasil perburuan itu.
“Gila sekali,” katanya di dalam hati, “ia justru berkata bahwa ia akan berusaha membantu.”
Tetapi Rudita tidak berkata lebih banyak lagi. Iring-iringan itu sudah berbelok di sebelah hutan perdu. Sebentar lagi mereka akan melintas di sebelah hutan perburuan dan langsung pergi ke hutan yang masih liar dan pepat.
Namun sebenarnya yang disebut hutan yang masih liar itu tidak seliar Alas Mentaok. Isinya pun tidak seberbahaya Alas Mentaok, karena selain binatang buas Alas Mentaok juga menyimpan jenis-jenis serangga yang beracun, bahkan jenis semut pemakan daging. Di samping bahaya-bahaya yang terdapat di hutan-hutan yang liar itu, Mentaok juga menyimpan bahaya yang khusus, yaitu perampok dan yang terakhir orang-orang yang berusaha untuk memisahkan Mataram dari dunia peradaban yang lain. Dan bagi Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah beberapa kali menyeberangi Alas Mentaok itu, bahaya-bahaya serupa itu sudah terlalu sering dihadapinya.
Meskipun demikian, mereka tidak boleh lengah. Meskipun mereka sudah beberapa kali berhasil dengan selamat melintas hutan yang lebih dahsyat dari hutan yang dihadapi itu, namun memang mungkin sekali di hutan yang tidak selebat Mentaok itu, mereka akan bertemu dengan bahaya yang sebenarnya.
Demikianlah, sejenak kemudian mereka telah sampai di daerah hutan perburuan. Hutan yang tampaknya menjadi bersih dan terpelihara. Namun di dalam hutan perburuan itu memang masih juga terdapat beberapa jenis binatang. Bahkan satu dua masih ada juga harimau yang berkeliaran. Tetapi binatang buas itu lebih senang hidup di hutan yang masih liar, karena di hutan itu yang diburu pun masih cukup banyak.
Rudita yang masih saja berada di belakang Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sedang di hutan perburuan pun ia kadang-kadang menjadi cemas dan ketakutan. Apalagi apabila mereka harus memasuki hutan yang liar itu.
Berbeda dengan Rudita, tampak wajah Pandan Wangi menjadi cerah, seperti juga Prastawa. Kesempatan semacam itu jarang sekali mereka dapatkan. Jika mereka tidak bersama Agung Sedayu dan Swandaru, maka mungkin mereka tidak akan diperkenankan oleh Ki Gede Menoreh. Namun karena Ki Gede percaya, kepada kedua anak-anak muda itu, maka bersama Pandan Wangi dan Prastawa, mereka dianggap cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi liarnya hutan itu, karena Ki Gede pun mengetahui dengan pasti, bahwa Agung Sedayu dan Swandaru sering kali melewati daerah Alas Mentaok yang buas.
Daerah hutan perburuan dan hutan yang liar itu dipisahkan oleh sebuah lapangan rumput dan perdu yang tidak begitu luas. Karena itu, memang kadang-kadang binatang dari kedua daerah itu saling menyeberang. Namun hutan perburuan yang bersih memang bukan merupakan lapangan hidup yang menarik bagi berbagai jenis binatang.
“Itulah hutan itu,” Pandan Wangi hampir berteriak ketika mereka berada di sebelah hutan perburuan.
Agung Sedayu dan Swandaru memandang hutan itu dengan saksama. Pepohonan yang liar berserakan di sela-sela gerumbul-gerumbul yang cepat. Sulur-sulur kayu dan dedaunan merambat tumbuh berbelitan di antara pepohonan yang roboh melintang, bersandar pada pohon-pohon raksasa.
Dada Rudita bergetar melihat liarnya hutan itu. Sama sekali tidak ada lorong yang licin dan bersih melintas masuk ke dalamnya, selain sebuah lubang yang mirip dengan goa yang gelap. Kadang-kadang memang ada satu dua orang memasuki hutan itu untuk mencari kayu bakar dan barangkali lebah tawon gula. Tetapi mereka hanya memasuki hutan itu beberapa langkah saja dan tidak berani menusuk langsung ke jantung hutan itu.
Itulah bedanya dengan Alas Mentaok. Betapa lebatnya Alas Mentaok, namun di dalamnya terdapat semacam jalur yang meskipun jarang sekali dilalui orang, namun di jalur itu seakan-akan hutan menjadi agak mudah dikuasai. Tetapi di hutan yang liar ini sama sekali tidak ada jalur jalan.
“Apakah kita dapat masuk sambil membawa kuda-kuda kita?” bertanya Prastawa.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Di lebatnya Alas Mentaok, mereka masih dapat melintas dengan mengendarai seekor kuda. Tetapi di hutan itu, kuda hanya akan menambah kesulitan saja.
“Kita tinggalkan kuda kita di luar,” berkata Swandaru.
“Jadi bagaimana dengan kita?” bertanya Rudita.
Swandaru memandang anak muda yang menjadi cemas itu. Kemudian dipandanginya Pandan Wangi yang diharapkannya memberikan jawaban, agar tidak menumbuhkan salah paham.
“Tentu kita akan meninggalkan kuda dan perlengkapan kita di luar. Kita pun akan berkemah di luar. Setiap kali kita memasuki hutan ini dengan busur dan anak panah. Nyanggong di pepohonan atau mengikuti jejak binatang buruan. Jika kita lelah, kita akan kembali ke luar dan beristirahat. Memang lebih baik kita berkemah di tengah-tengah. Tetapi terlalu sulit untuk masuk ke dalamnya sambil membawa kuda dan perbekalan.”
“Aku tidak mengerti. Jadi apakah kita tidak berburu sekarang dan kemudian kembali?” bertanya Rudita.
“Kita akan berada di sini tiga hari tiga malam.”
“Tiga hari tiga malam?” wajah Rudita menjadi tegang. “Tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Aku harus kembali kepada ayah dan ibu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menyahut.
“Aku tidak pernah bepergian sampai sekian lamanya,” Rudita melanjutkan.
“Rudita,” berkata Pandan Wangi, “kita sebenarnya tidak berada di tempat yang jauh. Kita masih tetap berada di atas Tanah Perdikan Menoreh. Sebagaimana kau lihat, sebelum tengah hari kita sudah sampai di sini. Jika kita ingin kembali di dalam sekejap saja seakan-akan kita sudah berada di rumah. Seandainya dalam waktu tiga hari ini kau tidak kerasan tinggal di hutan, kau dapat pulang balik setiap saat kau kehendaki.”
Rudita mengerutkan keningnya, lalu, “Kalian tidak mengatakan bahwa kalian akan tinggal di sini tiga hari tiga malam.”
“Kami memang tidak merencanakan berapa lama kami akan tinggal di sini. Jika besok kami sudah ingin pulang, kami akan pulang. Jika kau ingin mendahului, kami persilahkan kau mendahului dan jika kau masih akan kembali lagi ke mari, kembalilah ke mari. Kenapa kita harus memikirkannya dengan kening yang berkerut-merut. Mungkin besok justru ayah datang pula ke tempat ini. Ayah dahulu juga sering berburu. Tetapi sejak kakinya menjadi agak cacat, ia seakan-akan menghentikan kegemarannya itu.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Penjelasan Pandan Wangi itu agak menenteramkan kegelisahannya. Sebenarnyalah tempat ini tidak begitu jauh dari padukuhan yang berserakan di Tanah Perdikan Menoreh.
“Sekarang,” berkata Pandan Wangi kemudian, “kita akan beristirahat dahulu sambil mencari tempat yang paling baik untuk berkemah. Tempat yang paling aman dari gangguan binatang berbisa.”
Demikianlah, mereka pun segera meloncat turun dari kuda masing-masing. Para pengiring dan orang-orang yang membawa perlengkapan rombongan kecil itu pun segera mempersiapkan tempat yang kemudian mereka pilih untuk meletakkan semua perbekalan dan alat-alat berburu mereka.
“Kita beristirahat di sini,” berkata Pandan Wangi sambil mengikat kudanya pada sebatang pohon.
Yang lain pun mengikat kuda masing-masing pula. Sambil bertolak pinggang Prastawa memandang hutan yang terbentang di hadapannya. Hutan yang lebat dan liar. Namun tampak kegembiraan membayang di wajahnya. Seperti Pandan Wangi, ia pun sebenarnya sudah jemu berburu di hutan perburuan yang tidak begitu banyak lagi menyimpan binatang buruan.
“Tetapi belum pasti, bahwa di hutan ini kau akan mendapatkan seekor binatang pun,” Agung Sedayu tiba-tiba berdesis.
Prastawa berpaling. Sambil tersenyum ia berkata, “Ya. Memang mungkin. Tentu lebih sulit berburu di daerah yang lebat ini.
“Tidak selebat yang kita duga,” sahut Apung Sedayu. “Jika kita sudah berada di dalam, maka kita akan mendapatkan jalan untuk mengejar binatang buruan. Alas Mentaok yang lebat itu pun dapat disusupi. Bukan lewat jalur jalan yang sudah ada. Tetapi lewat di antara pepohonan yang padat. Bahkan di Alas Mentaok, ada sekelompok orang yang sempat bermain hantu-hantuan.”
Prastawa mengerutkan keningnya, “Hantu-hantuan?”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ya. Tetapi baiklah kita melupakannya. Meskipun demikian kita harus selalu ingat pesan Ki Gede, bahwa di daerah yang berdekatan dengan Kali Praga, kita tidak hanya harus berhati-hati terhadap binatang buas dan serangga-serangga berbisa, tetapi juga terhadap orang-orang yang tidak kita kenal.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kadang-kadang para peronda memang menjumpai beberapa orang bersenjata. Dan kadang-kadang mereka memang menghilang di pinggir Kali Praga, menyusup ke dalam hutan perburuan itu atau hutan yang liar ini. Mungkin mereka sadar, bahwa tidak banyak tempat untuk bersembunyi di hutan perburuan itu.”
Agung sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Prastawa pun melanjutkan, “Kadang-kadang di lapangan pasir sampai ke tepian itu memang terdapat jejak beberapa ekor kuda memasuki hutan perdu. Tentu mereka telah berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh dan menghilang tidak tentu kemana.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Aku ingin menerobos hutan ini sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Itu menarik sekali,” sahut Prastawa, “kita bukan saja berburu binatang. Tetapi kita sama sekali melihat apa yang bersembunyi di balik hutan ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak dipandanginya wajah Swandaru yang sedang memandanginya pula. Dan tampaklah anak muda yang gemuk itu tersenyum. Perlahan-lahan ia mendekatinya sambil berkata, “Jika kita ingin melihat di balik hutan ini, kita tidak perlu menyusup lewat belukar yang lebat, dan barangkali berduri. Kita dapat melingkar lewat sepanjang tepian, dan kita akan sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Ah,” desah Prastawa, “itu namanya bukan berburu binatang. Dengan demikian kita tidak akan mendapat seekor pun.”
“Seekor bulus barangkali?” sahut Swandaru.
Suara tertawa Prastawa tidak dapat ditahankannya, sehingga Pandan Wangi dan orang-orang yang lain terkejut dan berpaling kepadanya.
“Hus,” desis Swandaru, “suaramu mengganggu harimau yang sedang tidur nyenyak di hutan itu.”
Prastawa menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Namun ia tidak dapat segera berhenti.
Rudita yang mendengar Prastawa tertawa menyentak itu pun segera mendekatinya dan bertanya, “Ada apa?”
Prastawa menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak ada apa-apa.”
“Apa yang kau tertawakan?”
“Bukan apa-apa,” jawab Prastawa pula.
“Tentu tidak. Tentu ada yang kau tertawakan.”
“Aku hanya tertawa. Tetapi tidak mentertawakan siapa pun juga.”
“Bohong!” tiba-tiba Rudita membentak sehingga Prastawa benar-benar terkejut. Sambil mengerutkan keningnya di pandanginya Rudita dengan tajamnya. Katanya, “Kau membentak aku?”
“Kau tidak mengatakan, siapa atau apa yang kau tertawakan. Kau sudah menghina aku. Seandainya kau mentertawakan seseorang, kau dapat menyebut namanya. Jika kau mentertawakan apa pun, kau dapat mengatakannya. Tetapi kau ingkar. Itu menyakitkan hati.”
Prastawa masih berdiri dengan tegangnya. Kini ia sudah tidak tertawa lagi. Tetapi justru keningnya menjadi berkerut-merut
Pandan Wangi yang melihatnya segera mendekatinya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Prastawa masih terlalu muda untuk setiap kali mengalah dan bahkan kadang-kadang selalu berusaha menyenangkan hati Rudita. Sejak semula Pandan Wangi sudah menduga, bahwa pada suatu saat ia akan menjadi jemu.
Tetapi perselisihan tidak boleh terjadi. Keduanya adalah saudaranya. Prastawa adalah saudara dekatnya, saudara sepupu dari aliran darah ayahnya, sedang Rudita adalah saudaranya meskipun sudah agak jauh, dari aliran darah ibunya.
Karena itu, maka sambil mendekati Rudita ia berkata, “Jangan hiraukan Prastawa. Ia masih seperti kanak-kanak saja. Ia tertawa tanpa sebab, dan bahkan kadang-kadang ia masih juga menangis tanpa diketahui alasannya.”
Rudita memandang Prastawa dengan tajamnya. Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi kedua anak muda ini mencoba menghindari tatapan matanya. Agung Sedayu tidak ingin melihat mata yang baginya mempunyai sorot yang aneh, sedang Swandaru bahkan hampir tidak dapat menahan tertawanya melihat wajah Rudita yang mempunyai kesan tersendiri itu.
“Marilah kita menyiapkan perkemahan kita,” berkata Pandan Wangi kepada Rudita, “kita akan beristirahat sejenak, kemudian kita akan melihat-melihat ke dalam hutan itu, sekaligus membawa senjata kita.”
Rudita termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera mengikuti Pandan Wangi, pergi ke tempat para pengiringnya mengatur perkemahan mereka.
“Nah, di sini kita akan beristirahat,” berkata Pandan Wangi kemudian, “jika kita lelah berburu, kita akan kembali ke tempat ini. Berbaring sejenak, dan barangkali makan atau minum. Kedua orang pengawal akan berada di sini, menyediakan keperluan kita seluruhnya.”
“Jadi berapa orang yang akan ikut berburu?”
“Selain kita, mereka ada lima orang.”
Rudita termangu-mangu. Dipandanginya tempat yang sedang dibersihkan itu sejenak. Lalu, “Kita akan tidur di sini di malam hari?”
“Kita akan berburu. Jika kita lelah, baru kita akan tidur di sini.”
“Tentu tidak di malam hari,”
“Ya, di malam hari. Tetapi tidak di tengah-tengah hutan itu. Kita mencoba mengintai buruan kita. Hanya di pinggirnya saja.”
Rudita termangu-mangu sejenak. Tanpa disadarinya bulu-bulu tengkuknya telah meremang. Namun ia mencoba menahan kecemasan dan ketakutan itu di dalam hati. Ia tidak mau mengeluh justru orang lain tampaknya bergembira. Dan lebih-lebih lagi, ia tidak mau disebut sebagai seorang penakut di antara anak-anak muda yang hampir sebayanya.
Namun ia tidak dapat mengingkari dirinya sendiri. Bagaimana pun juga, terasa jantungnya berdebaran.
Dalam pada itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan Prastawa telah bertekad untuk melintasi hutan ini sampai ke seberang, sampai ke tepian Kali Praga. Tetapi mereka memilih jalan menerobos hutan itu daripada menyusur pasir tepian, karena mereka memang ingin melihat isi hutan yang lebat itu.
“Apakah kau akan ikut?” bertanya Prastawa kepada Pandan Wangi setelah ia mengatakan rencananya.
“Tidak,” Rudita-lah yang menjawab.
Prastawa memandang Rudita sejenak. Namun ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Ditahannya semua perasaan yang menyesak dadanya. Sebenarnyalah Rudita semakin lama semakin menjemukan baginya.
“Rudita,” berkata Pandan Wangi kemudian, “bukankah kita memang sengaja pergi berburu? Karena itu, sebaiknya kita memasuki hutan. Jika ketiga anak-anak muda itu ingin menyeberangi hutan ini sampai ke pinggir Kali Praga, aku kira memang tidak ada salahnya. kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. Sebagian besar binatang buruan tentu berada di tepi seberang yang dekat dengan air. Karena itu, mau tidak mau kita harus pergi ke sana.”
“Tentu tidak. Itu hanya suatu cara untuk memaksaku pergi. Aku tidak mau.”
“Baiklah. Jika kau tidak mau, tinggallah di sini bersama kedua pengawal yang akan menunggui kuda-kuda kita dan menyediakan keperluan kita.”
“Jadi aku harus menyediakan keperluan kalian?”
“Bukan kau, kedua pengawal itu.”
Rudita memandang Pandan Wangi dengan mata yang murung. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Jadi kalian tidak mau mengurungkan niat kalian meskipun aku tidak pergi?”
“Tentu saja bahwa kami akan pergi, dengan atau tidak dengan kau.”
“O, seharusnya kalian mengurungkan niat itu karena aku tidak pergi. Tetapi kalian sama sekali tidak menghiraukan aku. Bahkan kalian akan membiarkan aku berada di antara pengawal-pengawal yang akan menyediakan keperluan kalian.”
“Jadi bagaimana? Kalau kau tidak akan pergi baiklah kau tinggal di sini. Jika kau akan pergi, marilah kita pergi bersama-sama.”
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak, lalu, “Kalian benar-benar tidak mengerti. Jika aku berkata tidak ikut, seharusnya rencana itu dibatalkan. Tetapi ternyata kalian masih juga akan pergi.”
“Kami akan tetap pergi. Kau memang boleh memilih. Pergi bersama kami menyeberangi hutan ini bersama lima orang pengiring, atau tinggal di sini dengan dua orang yang lain. Kami tidak akan memaksamu.”
“Kenapa aku harus memilih.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Biasanya aku tidak memilih. Tetapi menentukan. Dan kalian sama sekali tidak mendengarkan aku.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Prastawa, Swandaru, dan Agung Sedayu tampak betapa kesalnya mereka. Swandaru yang hampir tidak dapat menahan diri justru melangkahkan kakinya perlahan-lahan menjauh. Dipandanginya ujung pepohonan yang menjulang tinggi ke langit.
Ia terkejut ketika ia mendengar kudanya meringkik. Kemudian beberapa ekor kuda yang lain. Agung Sedayu, Pandan Wangi, dan Prastawa pun segera tertarik kepada kuda-kuda yang menjadi gelisah itu.
“Marilah kita masuk,” tiba-tiba saja Prastawa mengajak, “tentu kuda-kuda itu mencium bau binatang buas.”
“Ya,” desis Swandaru, “mungkin ada seekor harimau.”
“Mungkin seekor harimau. Angin bertiup dari Utara. Harimau itu ada di arah Utara. Mungkin harimau itu sama sekali belum mengetahui bahwa ada seekor kuda atau lebih di luar hutan ini. Namun ringkik kuda itu agaknya telah memanggilnya,” berkata Agung Sedayu.
“Jadi bagaimana dengan kita?” bertanya Prastawa.
“Aku sependapat. Kita mencarinya.”
“Atau harimau itulah yang akan keluar dari hutan ini mencari kuda.”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Jika mereka meninggalkan kuda-kuda mereka, sedang kedua pengawal itu sedang sibuk menyiapkan keperluan rombongan kecil itu mungkin sekali mereka akan lengah.
Karena itu, maka katanya kemudian, “Marilah kita memasuki hutan ini. Seandainya harimau itu sedang tidur, biarlah kita membangunkannya. Tetapi sudah tentu bahwa tidak hanya dua orang saja yang akan kita tinggalkan di sini menunggui kuda dan menyiapkan keperluan kita semuanya.”
“Jadi bagaimana?”
“Sebaiknya empat orang tinggal di sini, dan tiga orang yang lain bersama kita. Jika harimau itu tidak kita jumpai dan tiba-tiba saja berusaha menerkam kuda-kuda itu, biarlah ada beberapa orang yang melawannya. Kita tidak dapat mengorbankan seekor kuda pun bagi mereka.”
“Ya,” sahut Pandan Wangi, “kita akan pergi bertiga. Kalian berempat tinggal di sini. Jika nanti malam kita pergi memasuki hutan ini pula, kalian akan pergi bergantian.”
Pandan Wangi pun kemudian menunjuk empat orang yang tetap tinggal di luar. Menyiapkan keperluan rombongan kecil itu dan melindungi kuda-kuda mereka dari sergapan harimau.
“Ikatlah kuda-kuda itu di tempat yang agak jauh dari pepohonan hutan, agar kalian dapat melihat seandainya seekor harimau sedang merunduknya, atau bahkan sedang merunduk untuk menyergap kalian,” berkata Pandan Wangi. “Aku akan segera masuk.”
Demikianlah, maka mereka pun menyingkirkan kuda-kuda itu dan mengikatnya pada pepohonan agak jauh dari hutan. Keempat orang yang ditinggalkan oleh Pandan Wangi dan kawan-kawannya pun kemudian mempersiapkan diri mereka. Selain busur dan anak panah, mereka juga menyediakan tombak-tombak pendek.
“Anak muda yang seorang itu agaknya tidak seberani yang lain,” desis salah seorang dari mereka.
“Ya, memang Rudita mempunyai sifat yang berbeda, Sebenarnyalah Rudita masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada ikut bersama Pandan Wangi memasuki hutan yang liar itu, karena ternyata Pandan Wangi dan anak-anak muda yang lain bersama tiga orang pengiringnya benar-benar akan berburu di dalam hutan itu.”
Namun rasa-rasanya Rudita hampir menangis karena sikap dan tingkah laku mereka. Sebenarnya ia ingin Pandan Wangi berbuat sesuatu seperti yang diinginkannya. Tetapi ternyata ia sama sekali tidak menghiraukannya lagi.
“Sebenarnya ia harus mengerti dengan sendirinya, bahwa aku ingin kami semuanya tinggal di luar hutan ini. Seharusnya ia mengerti bahwa ia harus mengurungkan niatnya dan mencegah anak-anak itu pergi ke dalam hutan. Tetapi ia tidak berbuat demikian,” keluh Rudita di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun dengan hati yang berat dan dibayangi oleh kecemasan berjalan di belakang Pandan Wangi. Sedang di belakangnya lagi masih ada dua orang yang lain, Agung Sedayu dan Swandaru selain para pengiring. Dan di paling depan Prastawa berjalan dengan dada tengadah.
Dengan susah payah mereka menembus gerumbul-gerumbul liar dan kadang-kadang gerumbul-gerumbul berduri, menyusup di bawah batang-batang pohon yang roboh, silang melintang di bawah sulur-sulur kayu yang lebat dan ranting-ranting yang berpatahan.
Swandaru dan Agung Sedayu yang berjalan di belakang Rudita memandangi lebatnya hutan itu sambil mengerutkan keningnya. Ternyata hutan yang liar di daerah Menoreh ini juga lebat pepat, meskipun tidak seluas dan segarang Alas Mentaok. Namun daerah yang banyak mengandung air, tetumbuhan hutan ini rasa-rasanya menjadi sangat subur.
Gemeresak dedaunan dan ranting yang perpatahan oleh kaki-kaki serombongan kecil itu telah mengejutkan burung-burung yang bertengger di atas dahan kayu. Beberapa ekor burung berterbangan sambil mencicit menyusup dedaunan dan hilang di balik lebatnya hutan. Sedang yang lain meloncat ke dahan yang lebih tinggi lagi untuk menghindarkan diri dari bahaya yang mungkin sedang mengintai.
Rudita terkejut bukan buatan ketika ia mendengar seekor kera yang berteriak keras-keras karena ia melihat kehadiran mahluk yang jarang sekali dilihatnya, disahut oleh beberapa ekor kera yang lain yang sedang bergayutan di pepohonan.
“Itu dia,” teriak Rudita, “banyak sekali, dan alangkah besarnya. Hampir sebesar kita.”
Pandan Wangi berpaling. Dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Diam sajalah. Mereka tidak akan berbuat apa-apa, jika kita juga tidak berbuat apa-apa.”
Rudita mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian berdiam diri saja meskipun hatinya menjadi berdebar-debar. Beberapa ekor kera rasa-rasanya telah mengikuti mereka yang sedang berjalan di dalam lebatnya hutan itu.
Dalam pada itu selagi mareka berjalan perlahan-lahan maju, tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis, “Sayang sekali.”
“Kenapa?” Prastawa yang ada dipaling depanlah yang bertanya.
“Harimau itu tidak ada di sekitar tempat ini.”
“Kenapa?”
“Jika ada seekor harimau di tempat ini, tentu tidak akan ada kera yang berani bergayutan.”
“Ya,” Pandan Wangi-lah yang menyahut, “tentu tidak ada seekor harimau di tempat ini.”
“Tetapi kenapa kuda-kuda itu meringkik dan agaknya menjadi ketakutan?” bertanya Prastawa.
“Mungkin kuda-kuda itu memang mencium bau seekor harimau, tetapi harimau itu sendiri masih berada di tempat yang agak jauh, yang justru tidak tercium dari tempat ini.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, ia masih berharap untuk dapat bertemu dengan seekor binatang buruan. Bukan sekedar seekor binatang buruan yang kecil, tetapi ia mengharap dapat bertemu dengan seekor harimau.
Untuk beberapa lamanya mereka sama sekali tidak berbicara. Mereka berjalan dengan hati-hati menyusup dedaunan. Sedang Rudita yang semakin lama menjadi semakin ketakutan, hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun juga.
Namun sejenak kemudian, perhatian mereka yang sedang berburu itu tertarik oleh arus beberapa ekor burung yang berterbangan ke satu arah. Burung-burung kecil dan burung-burung yang lebih besar. Dan sejenak kemudian disusul oleh. beberapa ekor kera yang berloncatan seperti sedang berkejar-kejaran.
Sejenak anak-anak muda yang sedang berburu itu memperhatikan keadaan itu. Beberapa ekor kera yang seolah-olah sedang mengikuti mereka pun sudah tidak kelihatan lagi.
Prastawa yang ada di paling depan itu pun berhenti. Anak muda itu adalah anak muda yang berani. Tetapi ia belum menguasai kemampuan berburu sebaik-baiknya. Itulah sebabnya ia ragu-ragu, meskipun firasatnya mengatakan sesuatu kepadanya.
Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, “Siapkan senjata kalian.”
“Ya, kita harus berpencar,” desis Swandaru.
Rudita yang ketakutan tiba-tiba bergeser mendekati Pandan Wangi sambil berkata, “Kenapa kita harus berpencar? Dan kenapa kita harus menyiapkan senjata?”
Ternyata Pandan Wangi dapat menanggapi suasana seperti anak-anak muda yang lain. Maka katanya, “Tentu ada binatang buas yang sedang bergerak. Jika tidak, binatang-binatang kecil itu tidak akan berlarian.”
“Harimau maksudmu?”
“Mungkin.”
“Suara ringkik kuda yang keras itu agaknya telah menarik perhatiannya,” desis Agung Sedayu.
“Bagus sekali,” sahut Prastawa dengan serta-merta.
Anak-anak muda itu pun mulai menebar. Agung Sedayu bergeser menjauh diikuti oleh Swandaru yang pergi ke arah yang sama tetapi dengan jarak beberapa langkah, sementara Prastawa telah maju pula beberapa langkah.
“Tunggu,” desis Rudita, ketika Pandan Wangi mulai bergerak pula.
“Sst, kita berpencar,” desis Pandan Wangi.
“Aku bersamamu,” sahut Rudita.
“Bergeraklah sedikit dengan jarak yang tidak terlampau dekat. Kita maju bersama-sama.”
“Tidak, aku pergi bersamamu.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Prastawa dan kedua murid Kiai Gringsing yang termangu-mangu.
“Mereka menunggu kami,” berkata Pandan Wangi kemudian.
“Aku bersamamu.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apa boleh buat. Berjalanlah perlahan-lahan dan hati-hati. Tetapi di belakangku.”
Rudita bergeser beberapa beberapa langkah. Ketika Pandan Wangi maju masuk hutan itu lebih dalam lagi bersama anak-anak muda yang lain dalam garis lurus yang berjarak beberapa langkah, Rudita mengikutinya di belakang. Ketika ia melihat senjata yang siap di tangan masing-masing, maka hatinya menjadi gemetar. Ia membawa juga busur dan anak panah seperti yang lain. Tetapi tangannya yang memegang busur itu pun gemetar.
Sekali-sekali Agung Sedayu memandanginya. Sempat juga ia mengenang masa kecilnya. Ketika oleh kemanjaannya ia dijerumuskan ke dalam ikatan ketakutan yang membuat dunianya menjadi gelap.
“Tetapi sejak aku masih diikat oleh ketakutan, aku sudah belajar tata bela diri dan mempergunakan senjata,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun rasa-rasanya ayah Rudita pun seorang yang memiliki ilmu sehingga mungkin Rudita pun sudah mulai diajarinya pula.
“Ia harus mengalami benturan perasaan yang dahsyat untuk dapat merubahnya menjadi seorang yang lain,” berkata Agung Sedaya. Namun meskipun kadang-kadang ia malu kepada dirinya sendiri. Agung Sedayu masih juga dapat melihat perbedaan yang besar antara dirinya sendiri pada saat itu dengan Rudita. Ia sama sekali bukan seorang anak muda yang sombong, dan bukan pula anak muda yang seakan-akan merasa berkuasa atas orang lain, karena saat itu ia sudah menjadi seorang piatu. Ia hidup di dalam suasana yang berbeda dengan cara hidup Rudita kini, sehingga sikap anak muda yang manja ini kadang-kadang memang menjengkelkan, bukan sebaliknya.
Dan kini ia terpaksa menahan senyumnya melihat Rudita yang dengan wajah pucat merunduk di belakang Pandan Wangi.
Demikianlah mereka bergerak semakin lama semakin dalam. Para pengiring mereka pun ikut menebar di antara keempat anak-anak muda itu beserta Rudita di belakang Pandan Wangi.
Tetapi mereka lambat sekali maju karena pepohonan perdu yang lebat di bawah pepohonan yang besar di hutan itu. Apalagi mereka memang harus berhati-hati, karena bukan saja harimau yang buas yang harus mereka hadapi, tetapi juga binatang-binatang kecil yang berbisa.
Dalam pada itu, beberapa ekor burung masih berterbangan di antara dahan-dahan kayu, dan masih pula ada beberapa ekor kera yang sambil berteriak-teriak berloncatan di pepohonan.
Agung Sedayu yang berada di ujung dari kelompok yang sedang maju di dalam garis lurus itu sudah menyiapkan anak panah pada busurnya. Ia mengharap bahwa kemampuan bidiknya masih tetap utuh. Beberapa langkah daripadanya adalah Swandaru yang sudah siap pula. Kemudian agak di belakangnya seorang pengiring. Kemudian Pandan Wangi dan Rudita. Di sebelahnya adalah Prastawa, dan di ujung yang lain adalah kedua pengiring pula yang seperti yang lain juga sudah siap dengan senjata mereka.
Sejenak Agung Sedayu yang berpandangan tajam itu melihat sebuah gerumbul yang bergerak. Dengan sigapnya ia meloncat maju. Ketika sesuatu tersembul dari gerumbul itu, anak panahnya telah siap untuk meluncur.
Tetapi anak panah itu masih tetap pada busurnya. Dibiarkannya seekor binatang berlari kebingungan. Binatang itu tidak berani berani kembali ke tengah hutan, namun tidak pula dapat terus. Sejenak binatang itu meloncat masuk ke dalam gerumbul yang lain, kemudian berlari menghindar.
Agung Sedayu menarik nafas. Ia sadar, bahwa ia memang bukan seorang pemburu yang baik. Kadang-kadang ia masih juga diganggu oleh keragu-raguan untuk membunuh meskipun hanya seekor anak kijang.
“Kau biarkan kijang itu lari?” desis Swandaru.
Agung Sedayu tidak menjawab. Katanya di dalam hati, “Seandainya bukan seekor kijang yang masih muda. Ia dengan ketakutan ingin melepaskan diri dari kejaran binatang buas, alangkah malang nasibnya jika ia berpapasan dengan manusia yang ternyata tidak kalah buasnya dari binatang yang paling buas itu. Karena justru manusialah yang telah membunuhnya.”
Swandaru melihat keragu-raguan di mata Agung Sedayu, sehingga ia berkata, “Penyakitmu sudah kambuh lagi, Kakang. Bukan saatnya untuk ragu-ragu di saat kita sedang berburu.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Kijang yang masih sangat muda itu sudah hilang. Namun di balik belukar yang lebat itu, mungkin sekali akan mereka temukan seekor harimau yang buas.
Demikianlah mereka melangkah maju lagi. Setapak demi setapak. Sedang angin bertiup ke arah yang berlawanan. Sehingga mereka berharap bahwa hidung harimau itu tidak lebih dahulu mencium bau orang-orang yang mencoba memburunya.
Sejenak kemudian, maka terasa hutan itu menjadi sepi. Sepi sekali. Tidak terdengar teriakan kera di pepohonan, dan tidak terdengar pula kicau burung di udara.
Orang-orang yang sedang berburu itu menjadi semakin tegang. Ternyata bahwa mereka akan segera berhadapan dengan binatang buas di hutan liar itu.
Karena itu, maka anak panah mereka telah siap dipasang pada busurnya, siap untuk dilepaskan.
Tetapi beberapa saat lamanya mereka tidak melihat sesuatu yang bergerak di dalam gerumbul. Setiap kali mereka hanya melihat seekor kupu yang tidak menyadari bahaya yang ada di hutan itu.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu tertegun sejenak. Hampir berbareng dengan Swandaru ia berkata, “Aku mencium bau yang lain.”
Pandan Wangi pun menganggukkan kepalanya sambil berdesis, “Ya. Bau ini tentu bukan bau seekor harimau.”
“Aku tidak mencium bau apa pun,” berkata Prastawa.
“Cobalah perhatikan. Ada yang lain.”
Orang-orang yang sedang berburu itu pun kemudian berhenti sejenak. Seorang pengiring yang sudah berpengalaman berkata, “Berhati-hatilah. Bau ini sudah memberi peringatan kepada kita.”
“Ya, ya. Aku mencium bau itu.”
“Bau apakah yang sudah kalian cium?” bertanya Rudita. Wajahnya menjadi semakin pucat. “Aku tidak mencium bau apa pun juga.”
“Bau yang wengur ini,” berkata pengiring itu.
“Ya, tetapi bau apa?”
Sebelum orang itu menjawab, Agung Sedayu berkata sambil menunjuk kekejauhan, “Kau lihat ujung pohon itu?”
“Nah,” berkata pengiring itu, “kini sudah pasti. Bukan seekor harimau yang kita hadapi.”
Pandan Wangi pun menjadi tegang. Jarang sekali terjadi, bahwa di dalam hutan mereka akan berpapasan dengan kejadian itu.
“Apa, kenapa dengan ujung pepohonan itu,” Rudita bergeser semakin mendekati Pandan Wangi.
“Bagaimana dengan kita?” bertanya Pandan Wangi kemudian kepada pengiring itu, tanpa menghiraukan Rudita.
“Terserahlah kepada kita. Apakah kita akan memburunya juga, atau kita akan mengambil jalan lain dan menjauh seperti binatang-binatang buruan yang lain.”
“Marilah, kita lihat,” berkata Prastawa.
“Jangan terburu-buru,” berkata pengiring itu, “lebih baik bertemu dengan seekor harimau daripada kita mendekatinya.”
“Apa yang kalian lihat, apa?” desak Rudita.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ujung pepohonan itu bagaikan ditiup angin pusaran. Apakah kau benar-benar tidak mengerti, apakah yang ada di sana.”
Rudita memandang ujung pohon itu. Katanya, “Maksudmu pohon yang besar itu?”
“Ya.”
“Bukan setiap pepohonan.”
“Ya, maksudku pohon yang besar itu.”
Rudita menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak mengerti.”
Pandan Wangi memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Kemudian pengiring yang menyertainya itu.
“Katakan,” desak Rudita.
Sekali lagi Pandan Wangi memandang pengiringnya, seakan-akan menyuruhnya mengatakan tentang ujung pohon yang bergerak-gerak itu.
“Itu adalah bahaya yang paling besar di dalam hutan ini bagi binatang-binatang yang ada di dalamnya. Lebih berbahaya dari seekor harimau yang sedang lapar.”
“Aku sudah mendengar kalian mengatakannya. Tetapi apa?”
“Seekor ular naga.”
“Ular naga,” dada Rudita bagaikan berhenti bergetar, “ular naga. Jadi apakah benar ada seekor ular naga?”
“Maksudku seekor ular yang besar sekali. Orang-orang yang pernah menyaksikannya menyebutnya ular naga. Di telinganya terdapat semacam sumping kebesaran, dan bagi sejenis ular, terdapat taji di bagian ekornya.”
“O, apakah ular naga itu berkaki juga?”
Pengiring itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Ular naga biasanya tidak berkaki.”
“Tetapi kenapa ujung pohon itu seperti ditiup angin pusaran?”
“Ular itu sedang lapar.”
“Ya, tetapi kenapa ujung pohon itu?”
“Ular yang lapar membelitkan ujung ekornya pada sebatang dahan yang besar di pohon itu, kemudian kepalanya sajalah yang terayun-ayun di sekitar pohon itu. Setiap mahluk yang lewat di jarak jangkaunya, tentu akan disambarnya dan langsung ditelannya. kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. Juga seekor kijang dan bahkan seekor harimau. Tetapi sudah barang tentu, jika yang disambarnya seekor harimau maka tentu akan terjadi pergulatan yang sengit, karena seekor harimau tidak akan menyerah begitu saja. Bahkan dapat terjadi, jika pohon itu berada di tepi Kali Praga, ular itu akan menyambar seekor buaya yang sedang berjemur. Namun yang terjadi adalah pergulatan yang sengit antara ular itu dengan seekor buaya yang kuat.”
Terasa bulu-bulu tengkuk Rudita meremang, terbayang di matanya seekor naga raksasa yang buas sedang terayun-ayun di pohon itu sambil membelitkan ekornya. Kepalanya merupakan alat yang sangat berbahaya untuk menyambar mangsanya. Jika seekor harimau dapat disambarnya meskipun kemudian harus bergulat dengan sengit, apa yang dapat dilakukan oleh seseorang?
Karena itu, maka Rudita menjadi semakin ketakutan. Setiap kali ia memandang ujung pohon yang bergerak-gerak itu. Namun kemudian ia tidak dapat menahan perasaannya lagi sehingga katanya kepada Pandan Wangi, “Apakah kita tidak sebaiknya kembali saja?”
“Kita maju beberapa langkah lagi. Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan melihat seekor ular raksasa yang lapar mencari makan di tengah-tengah hutan yang lebat seperti ini.”
“Tetapi kenapa ular itu tiba-tiba saja menjadi lapar ketika kita mendekatinya?”
“Tentu tidak. Ular menjadi lapar untuk waktu yang panjang. Adalah kebetulan bahwa pada saat kita memasuki hutan ini, ular itu mulai mencari mangsanya. Tetapi tentu ular itu sudah cukup lama menahan lapar. Memang mungkin ringkik kuda yang keras itu menambah seleranya sehingga tiba-tiba saja ia berniat untuk menyambarnya. Tetapi kuda itu tidak akan melalui daerah berbahaya itu. Binatang-binatang yang lain pun biasanya menjauhinya.”
“Kenapa justru kita mendekat?”
“Kita bukan binatang yang tersesat ke daerah jangkau kepala ular yang lapar itu. Tetapi kita dengan sadar mendekatinya, sehingga kita dapat memperhitungkan jarak sebaik-baiknya.”
“Tetapi apakah gunanya kita mendekat?”
“Aku ingin melihat,” lalu Pandan Wangi memandang anak-anak muda yang lain sambil bertanya, “Bagaimana dengan kalian?”
“Aku juga belum pernah melihat, bagaimana seekor ular yang lapar mencari mangsanya,” sahut Prastawa.
“Tetapi itu berbahaya sekali,” gumam Rudita.
“Asal kita berhati-hati, kita tidak akan terjebak ke dalam mulutnya,” berkata Swandaru kemudian, “karena itu, kita harus mampu memperhitungkan setiap kemungkinan. Memang mungkin luar itu menyelusur turun sedikit, sehingga jarak jangkaunya bertambah lebar, tetapi tentu terbatas, karena panjang tubuhnya juga terbatas.”
Rudita tidak dapat memaksa kawan-kawannya berburu untuk kembali. Betapa pun ia dibelit oleh perasaan takut, namun ia terpaksa ikut maju juga mendekati sebatang pohon yang sedang diguncang oleh ular yang kelaparan itu.
“Jangan mendekat lagi,” desis Rudita.
“Sst, ular itu mempunyai telinga. Jika ia mendengar suaramu, maka perhatiannya akan tertuju sepenuhnya ke mari.”
“Dan mempunyai hidung,” desis Swandaru, “ia akan dapat mencium bau manusia.”
Rudita sama sekali tidak berani membuka mulutnya. Ia menjadi semakin lama semakin ketakutan, sehingga karena ituia bahkan sekali-sekali berpegangan pada baju Pandan Wangi.
“Sst,” Pandan Wangi kadang-kadang merasa geli juga, sehingga sekali-sekali tangan Rudita itu pun dikibaskannya.
Agung Sedayu yang melihat, betapa Rudita dicengkam oleh ketakutan menjadi kasihan karenanya. Ia sendiri pernah merasakan betapa sakitnya perasaan takut itu menyiksa dirinya.
Namun ia tidak dapat menolongnya. Ketakutan yang demikian tidak dapat ditolong dengan mengawaninya.
Dalam pada itu, mereka menjadi semakin lama semakin dekat dengan pohon yang diguncang oleh ular raksasa itu. Bau yang wengur semakin lama semakin terasa menusuk hidung, sedang daerah di sekitar tempat itu menjadi semakin sepi. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak oleh sentuhan binatang hutan selain di sekitar pohon yang bagaikan dipermainkan oleh angin pusaran itu.
“O,” Rudita menjadi gemetar ketika ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak pada pohon itu. Ternyata seperti yang lain, ia mulai dapat melihat tubuh ular yang tersangkut pada dahan pohon itu. Ular yang ternyata benar-benar ular raksasa.
Prastawa yang juga melihat ular itu, hampir saja meloncat maju didorong oleh keinginannya yang meluap melihat seluruh tubuh ular itu. Untunglah pengiring yang berpengalaman itu sempat menggamitnya dan memberikan isyarat agar ia menjadi berhati-hati.
“Kita belum melihat kepalanya,” bisik orang itu, “kita belum tahu pasti panjang ular itu.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak sekelompok orang-orang yang ingin melihat ular raksasa itu berdiri membeku. Mereka masih belum tahu pasti berapa jauh jarak jangkau kepala ular raksasa itu.
“Tinggallah kalian di sini,” berkata pengiring yang sudah banyak mengetahui seluk-beluk hutan itu, “aku akan mencoba melihat, sampai di mana jauh jangkau kepala ular itu.”
“Hati-hatilah,” desis Pandan Wangi.
“Aku akan pergi bersamanya,” berkata Agung Sedayu.
“Aku juga,” berkata Swandaru.
“Tinggallah di sini,” sahut Agung Sedayu, “jika terlalu banyak orang yang pergi, ular itu akan segera mengetahui kehadiran kita.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pengiring itu pun kemudian bergeser maju diikuti oleh Agung Sedayu. Mereka dengan hati-hati menyusup sebuah gerumbul kecil yang tidak begitu rimbun. Namun karena mereka masih belum dapat melihat kepala ular itu, maka mereka pun bergeser beberapa langkah lagi, dan berlindung di balik sebatang pohon.
“Firasatku mengatakan bahwa ular itu sudah mencium bau manusia.”
“Kita, maksudmu?”
“Ya, lihatlah gerak tubuhnya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita mendekat lagi.”
Orang itu menganggukkan kepalanya. Namun ketika ia melangkah maju, maka Agung Sedayu pun segera menyambarnya.
Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat melakukannya. Ketika orang itu berguling karena tarikan tangan Agung Sedayu, ia masih sempat melihat sesuatu bergerak digerumbul beberapa langkah di hadapannya.
Dengan tubuh yang gemetar orang itu meloncat berdiri dan bersama dengan Agung Sedayu melangkah surut ke belakang.
“Aku tidak mengira, bahwa kepala ular itu sudah begitu dekat,” berkata orang itu.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat kepala itu mulai bergerak-gerak. Agaknya ular itu tidak saja ingin menunggu, tetapi ia berusaha untuk dapat mencapai mangsanya yang belum dapat ditangkapnya itu.
Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu di balik sebatang pohon yang besar, meskipun mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat bersembunyi apabila ular itu berusaha untuk maju.
Tetapi agaknya kepala ular raksasa itu masih, saja terayun-ayun, meskipun kini agaknya lebih tertuju kepada kedua orang yang berusaha bersembunyi itu.
Agung Sedayu dan pengiring itu masih saja berdiri diam di tempatnya. Mereka sedang terpukau oleh kekaguman atas ular yang besar itu. Kepalanya yang sebesar kepala kerbau itu tampak kehitam-hitaman mengkilap seperti dilumuri minyak. Seperti cerita yang pernah mereka dengar, bahwa sebenarnyalah pada telinga ular itu seakan-akan terlukis sebuah jamang berwarna kemerah-merahan. Matanya yang tajam bagaikan memancarkan cahaya yang kekuning-kuningan.
“Mengerikan sekali,” desis pengiring itu.
“Ya, mengerikan sekali,” sahut Agung Sedayu, “ular itu tentu sangat berbahaya. Bukan saja bagi binatang-binatang hutan tetapi juga bagi seseorang yang kebetulan masuk ke dalam hutan ini. Tentu ular itu tidak selamanya bergayutan di pohon itu. Apabila ia sudah kenyang, ia akan pergi sehingga datang saatnya ia kelaparan lagi dan melakukan perbuatan yang serupa. Mungkin di tengah hutan ini, tetapi mungkin di tempat lain yang sering dikunjungi orang.”
“Jika kepalaku disambarnya,” berkata pengiring itu, “maka aku tidak akan sempat berteriak. Tubuhku akan segera dilumatkan dengan belitan yang kuat, sehingga dengan tulang-tulang yang remuk dengan mudahnya aku akan ditelan.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia terpaksa melangkah surut sambil berkata, “Ular itu agaknya akan menyerang kita.”
“Ya. Ular itu akan menyerang. Marilah kita pergi.”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah ular yang berbahaya itu akan ditinggalkan begitu saja.
Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba Agung Sedayu terkejut karena ia mendengar suara Rudita, “Jangan maju lagi. Jangan.”
“Gila,” geram Agung Sedayu, “kenapa anak itu dibawa ke mari?”
Sebenarnyalah bahwa beberapa orang yang ditinggalkan oleh Agung Sedayu itu tidak sabar lagi menunggu. Apalagi Swandaru dan Pandan Wangi disentuh pula oleh perasaan cemas apabila sesuatu telah terjadi atas Agung Sedayu dan seorang pengiringnya.
“Jangan maju lagi,” desis Agung Sedayu.
Pandan Wangi menjadi termangu-mangu, sedang Rudita yang kemudian melihat juga kepala yang terayun-ayun itu menjadi gemetar seperti orang yang sedang kedinginan.
“Hati-hatilah, Kakang,” Swandaru tiba-tiba berteriak.
Agung Sedayu dan pengiring itu meloncat menjauh. Agaknya ular raksasa itu telah berusaha menjangkau kedua mangsanya itu. Namun karena ekornya masih harus berpegangan pada dahan kayu yang besar, maka ia masih belum berhasil mencapai mahluk yang masih agak asing baginya.
Ternyata percakapan itu membuat ular raksasa itu semakin marah. Kepala yang mengerikan itu terayun-ayun semakin keras, sehingga batang pohon tempat ekornya berpegangan menjadi semakin keras bergetar.
Tetapi bukan itu saja, ternyata ular itu pun berusaha semakin menjulur ke bawah. Ternyata ia berusaha mengendorkan belitan ekornya, agar kepalanya menjadi semakin panjang menjangkau mangsanya.
Tetapi kemarahan ular raksasa itu telah mengguncang dahan pohon tempatnya bergantung semakin keras. Semakin lama semakin keras, sehingga pada suatu saat, dahan itu tidak mampu lagi menahan ayunan tubuh yang seakan-akan menjadi semakin berat.
Yang terdengar kemudian adalah dahan itu mulai retak. Sejalan dengan itu, maka kepala ular itu pun menjadi semakin rendah, dan semakin dekat menjangkau Agung Sedayu dan pengiringnya.
“Kakang, dahan itu patah,” teriak Swandaru.
Dengan gerak naluriah, maka Agung Sedayu pun menjauh. Tetapi dengan gerak naluriah pula, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi dan para pengiringnya telah menarik anak panah pada busurnya. Hampir berbareng dengan derak dahan yang patah itu, beberapa anak panah telah meluncur ke arah kepala ular raksasa itu.
Namun ternyata bahwa kepala ular yang bergerak itu tidak terlalu mudah dikenainya. Anak panah yang meluncur dari busurnya itu tidak sempat mengenai sasarannya, kecuali anak panah Agung Sedayu, meskipun tidak tepat, karena anak panah itu menembus leher.
Luka di leher ular itu, membuat ular raksasa itu menjadi seakan-akan gila. Tiba-tiba saja ular itu melonjak dan dahan yang patah itu pun berderak jatuh di tanah.
Kesakitan yang amat samgat pada lehernya, dan tubuhnya yang justru tertindih dahan yang besar itu, membuatnya semakin gila.
Ular itu bergulung-gulung seperti pusaran air. Dengan berdesis mengerikan ular itu berusaha melemparkan dahan yang besar yang menindih tubuhnya. Namun kesakitan pada lehernya bagaikan tersentuh bara besi baja.
Demikianlah, untuk beberapa saat lamanya ular raksasa itu seakan-akan bergulat dengan dirinya sendiri. Namun dengan kemarahan yang luar biasa tiba-tiba kepalanya yang mengkilap itu tegak, dengan mulut ternganga.
Ular itu bagaikan menyemburkan api dari dalam mulutnya.
Rudita benar-benar sudah kehilangan keberaniannya sama sekali. Tubuhnya menggigil seperti terbenam di dalam air embun. Bahkan ketika kawan-kawannya bergeser surut, ia sudah tidak mampu lagi mengangkat kakinya.
“Rudita,” teriak Pandan Wangi.
“O,” Rudita mencoba melangkah. Tetapi kakinya terantuk sepotong akar yang menyilang di depannya. Tiba-tiba saja ia justru terjatuh tertelungkup.
Pada saat itulah ular raksasa yang bagaikan gila itu menjulurkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Dan itu adalah Rudita yang sedang berusaha bangun.
“Rudita,” sekali lagi Pandan Wangi berteriak.
Tetapi kepala ular itu mulai bergerak, lidahnya mencuat seperti ujung api yang akan membakar tubuh Rudita yang lemah.
Sekejap semua orang yang menyaksikannya dicengkam oleh perasaan tegang. Mata ular yang membara dan taringnya yang tajam, membuat setiap jantung bagaikan berhenti berdenyut.
Namun tidak seorang pun yang menghendaki Rudita akan ditelan oleh ular yang sedang kesakitan itu. Karena itu, maka sekali lagi beberapa orang telah melepaskah anak panah. Tetapi anak panah itu tidak tepat mengenai sasarannya. Satu dua daripadanya berhasil mengenai leher ular itu dan menyusup di antara sisiknya yang bagaikan perisai besi.
“Rudita,” Pandan Wangi benar-benar menjadi cemas.
Pada saat yang paling berbahaya itu, tidak ada jalan lain kecuali mencoba mengusir ular itu dengan anak panah yang dilontarkan bagaikan hujan.
Tetapi ular itu benar-benar sudah gila. Ia sama sekali tidak menjadi surut meskipun ada beberapa anak panah yang bergayutan pada sisiknya.
Tidak ada lagi harapan yang masih tersisa di hati Rudita. Ia sempat melihat kepala ular itu merunduk menghampirinya dengan mulut menganga, lidah yang belah dan taring yang tajam.
Namun pada saat itu, Agung Sedayu masih melakukan usaha terakhir. Dengan cepatnya ia menyambar tombak pendek seorang pengiring yang sedang termangu-mangu. Dengan kemampuan bidiknya, ia melontarkan tombak itu selagi ular itu tidak sedang bergejolak seperti wajah air yang sedang mendidih.
Ternyata usaha Agung Sedayu yang terakhir itu berhasil. Pada saatnya, tombak pendek itu meluncur tepat mengenai sebelah mata ular yang marah itu.
Sekali terdengar ular itu berdesis keras sekali sambil menarik kepalanya cepat-cepat. Kemudian, sekali lagi ular itu bergumul dengan dirinya sendiri. Dengan tenaga raksasanya ia berusaha melepaskan diri dari cengkaman kesakitan. Tetapi ia tidak berhasil melepaskan diri dari ujung tombak dan beberapa anak panah yang mengenainya.
Dalam keadaan itulah, maka sekali lagi Agung Sedayu menyerang dengan anak panahnya. Tetapi ia tidak berhasil mengenainya. Anak panahnya justru meloncat mengenai tubuh ular yang sedang mengamuk itu.
Ketika ular itu sekali lagi menengadahkan kepalanya yang sudah mulai dilumuri darah dari luka-lukanya dan terutama dari sebelah matanya, Swandaru sudah sempat menarik Rudita dan menyeretnya menjauhi ular itu.
Tetapi betapa garangnya ular raksasa itu, namun akhirnya lambat laun ia kehilangan tenaganya. Darahnya yang mencucur dari lukanya, dan ujung tombak yang justru semakin dalam menancap di kepalanya, mulai menyentuh otaknya.
Akhirnya, badai yang berkecamuk itu menjadi semakin lama semakin reda. Perlahan-lahan namun pasti, maka akhirnya ular raksasa itu kehilangan segenap tenaganya dan bahkan kemudian kehilangan hidupnya. Tombak Agung Sedayu yang justru menjadi semakin dalam menghunjam di kepalanya, telah menghabisi nyawanya.
Ular raksasa itu pun akhirnya telah mati dengan meninggalkan bekas yang sangat mengerikan. Dahan-dahan yang berpatahan. Bahkan pepohonan yang tidak begitu besar pun telah roboh karenanya.
Sejenak Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa dan para pengiringnya berdiri termangu-mangu, sementara Rudita masih saja menggigil ketakutan.
Tetapi ternyata bau darah yang khusus dari darah ular raksasa itu telah mengundang penghuni rimba itu yang lain. Dari kejauhan terdengar seekor harimau mengaum dengan dahsyatnya.
“Itulah dia,” tiba-tiba saja Prastawa berdesis.
“O,” suara Rudita gemetar hampir tidak terdengar, “apa lagi yang akan datang?”
“Tentu seekor harimau yang mencium bau darah ini,” jawab Prastawa, “bahkan mungkin tidak hanya seekor.”
“O,” Rudita menjadi semakin pucat.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hutan di tepi Kali Praga ini isinya tidak kalah dahsyatnya dari Alas Mentaok, karena di Alas Mentaok yang paling berbahaya bukan saja binatangnya, tetapi perampok dan penyamunnya.
Sejenak Agung Sedayu dan kawan-kawannya menjadi termangu-mangu. Di hadapan mereka adalah hutan yang menjadi porak poranda karena amukan ular yang menjadi gila itu. Sedang lamat-lamat mereka telah mendengar seekor harimau mengaum di kejauhan.
Karena itulah maka mereka masih tetap berdiri di tempatnya. Mereka telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Meskipun ada dua ekor harimau yang berdatangan sekaligus, mereka tidak akan gentar.
Tetapi suara harimau itu tidak terdengar lagi. Mungkin harimau yang mencium bau darah seekor ular, sama sekali tidak tertarik untuk mendekatinya,
Sejenak mereka masih menunggu. Tetapi karena mereka tidak mendengar apa pun lagi, maka Agung Sedayu pun berkata, “Harimau itu tidak datang ke mari.”
“Benar begitu?” bertanya Rudita dengan serta-merta.
“Aku kira begitu.”
“Jawablah yang baik. Jangan sekedar mengira. Aku memerlukan kepastian,” suaranya masih bergetar.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun agar anak itu tidak selalu ribut, maka ia pun menjawab, “Aku pasti. Harimau itu tidak akan datang ke mari.”
Rudita memandang Agung Sedayu sejenak. Namun katanya, “Tentu kau hanya ingin menenteramkan hatiku. Jawablah yang sebenarnya. Jawablah.”
Agung Sedayu menjadi bingung. Sejenak ia termangu-mangu memandang Pandan Wangi, seolah-olah ia ingin mendapat pertolongannya untuk menjawab pertanyaan Rudita yang kacau itu.
“Rudita,” ternyata Pandan Wangi dapat menanggapi tatapan mata Agung Sedayu itu sehingga didekatinya Rudita, “memang harimau itu tidak akan datang ke mari.”
“Aku tahu, kalian hanya sekedar menenteramkan hatiku. Tetapi bagaimana sebenarnya? Apakah harimau itu datang ke mari nanti?”
“Tidak. Aku yakin tidak.”
“Jangan membohongi aku.”
“Baiklah,” berkata Pandan Wangi, “menurut perhitungan kami, harimau itu tidak akan datang. Tetapi seandainya ia datang juga, kami sudah siap menghadapinya.”
“Katakan dengan pasti. Kalian selalu mempermainkan aku.”
“Rudita,” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, “sudahlah. Jangan kau pikirkan harimau itu. Ia mempunyai kaki. Terserah ke mana ia akan pergi.”
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak, lalu, “Kau tidak menjawab sebaik-baiknya. Kenapa kalian bersikap demikian terhadapku?”
Ternyata Prastawa tidak dapat menahan hatinya sehingga ia menyahut, “Biarlah harimau itu datang. Aku akan menunggunya. Dan memang kedatangannya itu sangat aku harapkan.”
“Kau gila,” teriak Rudita, “kau ingin harimau itu datang kemari dan menerkam aku seperti yang hampir saja terjadi dengan ular raksasa itu?”
“Tentu tidak,” jawab Prastawa, “aku akan membunuhnya. Atau kau sendiri harus membunuhnya.”
Rudita memandang Prastawa dengan wajah yang tegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka terdengar suara Swandaru melengking, “He, ikut aku. Cepat.”
Semua orang memandang kepadanya. Dan sekali lagi Swandaru berkata, “Cepat, ikut aku.”
Tanpa menunggu lagi ia berjalan tergesa-gesa mendekati kepala ular raksasa yang telah mati itu.
Orang-orang lain yang tidak begitu mengerti maksudnya itu pun mengikutinya. Rudita yang ketakutan terpaksa melangkah juga dengan kaki gemetar mendekati ular raksasa itu.
Ketika Swandaru sudah berada beberapa langkah dari ular itu, maka ia pun berhenti. Dilihatnya darah yang berceceran, sedang tombak pendek yang mengenai mata ular itu masih menancap di tempatnya.
“Mengerikan,” katanya, “jika ular ini harus bergumul dengan seekor harimau, maka harimau itu tentu akan dapat diremukkan tulang-belulangnya.”
“Aku belum pernah mendengar cerita, bahwa di dalam hutan ini ada seekor ular raksasa sebesar ini,” berkata pengiring Pandan Wangi, “karena itu, kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. sebenarnya aku agak takut juga menghadapinya. Untunglah Anakmas Agung Sedayu memiliki kemampuan bidik yang luar biasa, sehingga anak panahnya yang pertama yang mengenai leher ular itu, membuatnya kehilangan ketenangannya. Dan lontaran tombak yang tepat itu ternyata telah memaksa ular itu menyerah untuk selama-lamanya.”
“Suatu kebetulan,” jawab Agung Sedayu.
“Bukan suatu kebetulan,” sahut Swandaru, “Kakang Agung Sedayu dapat membidik dan mengenai seekor burung yang sedang terbang. Aku pernah melihatnya, meskipun tidak setiap saat ia mau memamerkannya.”
“Mana mungkin,” tiba-tiba saja Rudita menyahut, “tidak ada seorang pun yang mampu mengenai seekor burung yang sedang terbang.”
Prastawa berpaling kepadanya. Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam.
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi Swandaru-lah yang berkata kemudian, “Rudita. Ternyata keinginanmu terkabul.”
“Apa?” jawab Rudita.
“Hasil buruan kita yang pertama akan kau jadikan hadiah yang akan kau berikan kepada Pandan Wangi. Nah ternyata hasil buruan kita yang pertama adalah seekor ular naga raksasa. Tentu kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa setiap hasil kita bersama adalah hakmu dan akan kau berikan sebagai hadiah kepadanya.”
Rudita tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Swandaru yang bulat itu dengan tatapan mata yang mengandung kebimbangan. Namun kemudian katanya, “Apakah ular ini baik juga aku berikan sebagai hadiah?”
Swandaru-lah yang justru terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. tentu. Kau tahu bahwa kulit ular raksasa ini mempunyai nilai yang besar.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah. Kulit ular ini akan aku hadiahkan kepadamu Pandan Wangi.”
“Ah,” wajah Pandan Wangi menegang sejenak. Sikap Rudita benar-benar merupakan sebuah lelucon yang menjemukan. Namun demikian Pandan Wangi menjawab, “Terima kasih Rudita. Aku akan membawanya pulang. Kulit ular itu tentu menjadi bahan tontonan. Jarang sekali kita melihat ular sebesar itu.”
“Jadi kau mau juga menerimanya?”
“Tentu, aku sangat berterima kasih. Aku lebih senang menerima kulit ular itu dari pada seekor kijang atau menjangan.”
“Aku senang sekali, bahwa kau mau menerimanya. Mudah-mudahan dapat menjadi kenang-kenangan sepanjang hidupmu.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Swandaru dengan sudut matanya, dilihatnya anak muda itu berpaling memandang kekejauhan, sedang Agung Sedayu sudah membelakanginya. Prastawa menarik nafas dalam-dalam sambi1 terbatuk-batuk.
“Anak ini benar-benar cengeng,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya, “bukan saja di dalam sikap, tetapi ia benar-benar cengeng di dalam segala hal.”
Hampir saja Pandan Wangi tertawa tanpa dapat ditahan lagi ketika tiba-tiba saja ia mendengar Rudita bertanya, “Tetapi bagaimana kita mendapatkan kulit ular itu?”
“Serahkan kepada para pengiring,” jawab Pandan Wangi, “mereka akan dapat mengulitinya. Mereka sudah sering menguliti seekor ular yang besar sekalipun. Tetapi tidak sebesar ular yang terbunuh ini.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Pandan Wangi bertanya kepada ketiga pengiringnya, “Kalian dapat menguliti ular itu?”
Mereka mengangguk sambil menjawab, “Tentu.”
“Kulitilah. Kita bawa kulitnya pulang.”
Salah seorang dari mereka menjawab, “Bagaimana dengan dagingnya?”
“Kita tidak memerlukannya. Biarlah dagingnya menjadi mangsa binatang hutan.”
Ketiga pengiringnya mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang berkata, “Baiklah kita mengulitinya sekarang.”
“Lakukanlah,” berkata Pandan Wangi, “kami akan beristirahat.”
“Jadi kita akan keluar dari hutan ini?” bertanya Rudita dengan serta merta.
“Tidak, kami akan beristirahat di sini.”
“O, di sini?” Rudita menjadi kecewa.
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia kemudian berkata kepada anak-anak muda yang lain, “Kita beristirahat di sini untuk menunggu mereka menguliti ular ini.”
“Tentu memerlukan waktu yang lama,” jawab Prastawa, lalu ia pun bertanya, “apakah tidak sebaiknya kita berbuat sesuatu yang lain?”
“Tidak,” jawab Pandan Wangi, “kita menunggu mereka agar jika ada sejenis binatang yang lain datang ke tempat ini, mereka tidak menemui kesulitan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya Tetapi sebenarnya ia lebih senang menerobos masuk ke dalam jantung hutan yang liar itu daripada duduk beristirahat tanpa berbuat sesuatu.
Namun seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, orang-orang yang sedang sibuk menguliti ular itu memang tidak dapat ditinggalkannya.
Dengan demikian maka mereka pun hanya sekedar beringsut dari tempatnya melihat-lihat bekas belukar yang rusak karana amukan ular raksasa itu. Dahan yang patah dan justru telah menimpa tubuh ular itu sendiri. Meskipun akhirnya ular itu dapat melepaskan diri dari himpitan dahan itu, namun luka-lukanya, apalagi sebatang tombak yang menancap tepat di matanya, dan bekas tindihan kayu itulah yang membuatnya kemudian tidak berhasil melepaskan diri dari maut.
Namun demikian, ternyata Prastawa, Agung Sedayu, dan Swandaru bergeser beberapa langkah menjauhi tempat itu tanpa mereka sadari. Mereka melangkah satu-satu sambil melihat-lihat semak-semak yang hancur, pepohonan yang roboh dan dahan-dahan yang patah.
“Apa yang terdapat di dalam lebatnya hutan itu?” tiba-tiba saja Prastawa bertanya.
“Bermacam-macam,” jawab Swandaru, “di antaranya seperti sudah kita lihat, ular raksasa ini, dan yang sudah kita dengar suaranya, beberapa ekor harimau.”
“Itu kurang menarik bagi kita,” Agung Sedayu-lah yang menyahut. “Mungkin ada penghuni yang belum pernah kita lihat. Itulah yang penting, seperti yang dikatakan oleh orang-orang Menoreh.”
“Orang-orang bersenjata?” bertanya Prastawa.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
“Jika demikian, kita harus menembus hutan ini sampai ke tepian Kali Praga. Mungkin di bagian itulah kita akan dapat menemukan, setidak-tidaknya bekasnya sebagai bahan untuk melihat keseluruhan yang pernah terjadi di daerah ini.”
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia ingin benar melihat kemungkinan yang ada dari orang-orang yang tidak dikenal itu. Pengalamannya mengatakan, bahwa sebenarnya Mataram yang sedang tumbuh itu pasti sudah dikepung. Tentu orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu mempunyai perhitungan yang luas, karena perkembangan Mataram tidak hanya datang dari satu arah. Dari segala penjuru orang berdatangan dan membuat Mataram menjadi semakin besar.
“Tetapi,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “karena daerah di sekitar Mataram mempunyai kemungkinan yang berbeda dipandang dari bermacam-macam segi, maka orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram itu pun tentu memperhitungkannya. Perhatian mereka yang terutama tentu terarah pada perbatasan yang tidak nyata di antara pusat pemerintahan Pajang dan Mataram. Sedang di perbatasan dengan daerah-daerah lain yang juga termasuk daerah Pajang, tentu tidak akan banyak mendapat perhatian mereka.”
Namun itu bukan berarti bahwa Mataram dapat mengabaikan daerah di sekitarnya. Karena orang-orang itu dapat menimbulkan kesan tersendiri di perbatasan Mataram yang sedang tumbuh ini. Seperti kesan yang mereka usahakan, bahwa orang-orang Mataram telah mengacaukan Jati Anom maka mereka pun tentu akan dapat membuat kesan yang lain di perbatasan antara Mataram yang sedang tumbuh itu dengan daerah di sekitarnya.
Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang tidak dikenal itu akan dapat menumbuhkan kesan, bahwa mereka adalah orang-orang Menoreh yang tidak senang melihat Mataram tumbuh, sehingga dengan demikian akan timbul permusuhan antara Mataram yang sedang tumbuh itu dengan Menoreh yang sebenarnya tidak tahu menahu persoalannya.
“Mungkin Ki Argapati sudah memperhitungkannya, sehingga ia merasa perlu untuk mengirimkan peronda-peronda khusus di sepanjang Kali Praga. Peronda-peronda khusus itu tentu bertugas untuk mencegah kesan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak dikenal itu, bahwa seolah-olah mereka adalah orang-orang Menoreh,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka Prastawa yang kemudian menjadi termangu-mangu itu pun bertanya, “Jadi apakah kita akan pergi menembus hutan ini sekarang?”
“Kita menunggu mereka yang sedang menguliti ular itu. Kita akan pergi bersama-sama,” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi,” Prastawa menjadi ragu-ragu.
“Tetapi apa?” bertanya Swandaru.
“Anak cengeng itu semakin lama terasa semakin mengganggu saja,” sahut Prastawa.
Swandaru tersenyum. Katanya, “Semula aku menjadi muak melihatnya, bahkan rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat aku membencinya. Terus terang, aku tidak senang pada sikapnya yang seakan-akan terlampau cemburu meskipun hubungannya dengan Pandan Wangi tidak jelas. Namun akhirnya aku tidak lagi merasa demikian. Aku justru menjadi kasihan kepadanya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku pun merasa kasihan. Aku tahu betapa tersiksanya dikejar oleh perasaan takut. Apalagi mereka yang tidak mau menyadari bahwa dirinya telah dicengkam oleh ketakutan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang ada juga perasaan itu di dalam hatiku. Tetapi bahwa ia sama sekali tidak mau menyadari keadaan dirinya itulah yang kadang-kadang hampir membuat aku kehilangan kekang atas diri sendiri. Sikapnya yang memerintah dan berkuasa itulah yang sangat menjemukan.”
“Ia adalah anak yang terlalu manja. Ia merasa bahwa dunia ini berkisar di seputarnya, dan ia adalah pusat dari segala-galanya,” berkata Agung Sedayu.
“Aku juga anak manja waktu itu,” berkata Prastawa kemudian, “aku juga menganggap dunia ini berputar untuk kepentinganku. Tetapi aku tidak menjadi begitu dungu seperti Rudita.”
“Itulah kelebihanmu,” jawab Swandaru.
“Ah,” Prastawa pun berdesah. Sekilas teringat di kepalanya, bagaimana ia berhadapan dengan Agung Sedayu sebagai lawan. Agung Sedayu pun masih seorang anak muda. Namun sikapnya telah menunjukkan kemasakan jiwa meskipun belum seutuhnya.
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Di luar kehendaknya bahwa tiba-tiba ia pun teringat kepada seorang gadis yang waktu itu datang juga ke Menoreh. Gadis yang memiliki pedang di lambung seperti Pandan Wangi. Dan gadis yang demikian memang sangat menarik perhatian.
“Tetapi gadis itu adalah bakal isteri Agung Sedayu,” berkata Prastawa di dalam hatinya.
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tidak seorang pun yang mengetahui, apakah yang terbersit di dalam hatinya. Tidak seorang pun yang melihat, seperti apa yang tampak oleh mata hati anak yang masih sangat muda itu. Sebenarnyalah bahwa wajah dan sikap Sekar Mirah yang pernah dilihatnya mempunyai sesuatu yang sangat menarik hatinya. Tetapi karena ia mengetahuinya bahwa Sekar Mirah itu adalah bakal isteri Agung Sedayu dan adik Swandaru, maka ia tidak dapat menyebut namanya, apalagi memujinya di hadapan anak-anak muda itu.
“Aku tidak dapat berbuat begitu bodoh seperti Rudita. Meskipun ia tahu, bahwa Pandan Wangi sudah dilamar oleh Swandaru namun ia masih saja bersikap demikian dungunya. Untunglah, bahwa Swandaru yang biasanya berbuat apa saja tanpa dipikirkan masak-masak, kali ini dapat mengerti sifat dan watak Rudita,” berkata Prastawa di dalam hatinya.
Dalam pada itu, para pengiring Pandan Wangi masih saja sibuk menguliti ular raksasa yang sudah terbunuh itu. Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, sedang Pandan Wangi tidak sampai hati meninggalkan mereka di dalam kesibukan itu. Apabila tiba-tiba saja datang binatang buas yang berbahaya, maka mereka tidak akan mempunyai banyak kesempatan untuk membela diri.
“Apakah kita akan menunggui mereka sampai selesai?” bertanya Rudita yang masih saja selalu berada dekat Pandan Wangi.
“Ya. Kita akan menunggui mereka sampai selesai.”
“Jika sampai malam hari mereka masih belum selesai, apakah kita juga akan berada di sini sampai malai hari?”
“Tentu, kita akan menunggui mereka sampai kapan pun.”
“Ah,” desah Rudita, “kita harus keluar dan hutan ini. Aku tidak mau berada di tempat ini sampai malam hari. Nyamuknya terlampau banyak. Semutnya amat buas dan barangkali ada ular-ular kecil yang justru berbisa. Tidak seperti ular raksasa itu. Meskipun ujudnya begitu besar, tetapi ular semacam itu, sejenis ular sawah tentu tidak berbisa. Aku tidak begitu takut kepada ular sawah betapa pun besarnya, tetapi terhadap ular yang kecil aku justru menjadi cemas, karena kita tidak dapat berhadapan langsung. Tahu-tahu kaki kita digigitnya dan kita tidak mendapat kesempatan untuk melawan.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti bahwa Prastawa pada suatu saat hampir saja tidak dapat menahan diri. Kini ketika ular raksasa itu sudah dikuliti, maka dapat saja ia mengatakan bahwa ia lebih takut kepada ular-ular kecil yang berbisa daripada ular raksasa itu.
Tetapi Pandan Wangi harus menahan perasaannya. Rudita adalah tamu keluarganya. Ia adalah saudara dari saluran darah ibunya yang sudah tidak ada lagi, sehingga karena itu, ia adalah orang yang paling berkepentingan. Untunglah bahwa ayahnya cukup berjiwa besar. Meskipun ibunya pernah mengecewakan ayahnya, namun ayahnya dapat menerima setiap orang yang masih ada sangkut pautnya dengan ibunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Ayahnya menerima mereka dengan baik, karena ayahnya mengerti, bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang dosa yang ditanggungkan oleh ibunya justru sebelum dirinya dilahirkan.
“Pandan Wangi,” berkata Rudita kemudian, “apakah sebabnya justru kita harus menunggui orang ini?”
“Tentu kita tidak akan sampai hati meninggalkan mereka bekerja di sini,” sahut Pandan Wangi.
“Biarlah Agung Sedayu dan Swandaru menunggui mereka bersama Prastawa. Kita dapat keluar dari hutan ini dan beristirahat di perkemahan yang sudah disiapkan itu. Di sana ada juga beberapa orang pengiring dan barang kali mereka sudah menyiapkan bekal kita dan memasaknya.”
“Apakah kita berdua akan keluar dari hutan ini tanpa menunggu yang lain?”
“Aku tidak memerlukan mereka,” jawab Rudita, “sebaiknya kita keluar.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, “Jadi bagaimana dengan Prastawa dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung itu?”
“Biar saja mereka berbuat sekehendak hati mereka. Aku ingin keluar.”
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya lebatnya hutan di sekitamya. Lalu katanya, “Kau masih tetap menggenggam anak panahmu. Baiklah. Kita keluar berdua. Tetapi siapkan senjata.”
“Kenapa?”
“Kau mendengar aum harimau itu? Ia tentu mencium bau darah, sehingga mungkin sekali satu atau dua ekor di antara mereka telah berada di sekitar kita saat ini.”
Wajah Rudita tiba-tiba berubah. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah benar begitu?”
“Mungkin sekali.”
“Jangan sekedar mungkin. Apakah benar ada harimau di sekitar kita.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia terlibat dalam pembicaraan yang sulit dengan Rudita. Seperti yang pernah terjadi, maka ia tidak akan dapat lagi menjawab dengan baik. Jika ia menjawab ya, maka ia tentu disangka sekedar menakut-nakuti. Tetapi kalau ia menjawab tidak, maka anak itu tentu tidak percaya karena hatinya sudah dicengkam oleh ketakutan. Karena itu, maka akhirnya Pandan Wangi menjawab, “Aku tidak tahu. Hutan ini terlampau lebat, sehingga aku tidak dapat melihat, apa yang tersembunyi di balik dedaunan dan pepohonan. Mungkin harimau itu ada, mungkin pula tidak. Tanpa dapat menyebutkan kepastian apa pun.”
Rudita memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata yang aneh. Tetapi bagaimana pun juga ia merasa, bahwa Pandan Wangi tidak mau menjawab pertanyaannya dengan baik. Itulah sebabnya hatinya menjadi semakin kecut. Hampir saja ia menangis dan bahkan berteriak. adbmcadangan.wordpress.com. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk bertahan. Seandainya di dalam keadaan serupa itu ia ada di antara ayah dan ibunya, maka ia pasti sudah memekik dan berteriak keras-keras tanpa menghiraukan perasaan ayah dan ibunya.
Pandan Wangi akhirnya menjadi iba juga melihat keadaan Rudita. Sebenarnyalah anak itu memang pantas untuk dikasihani. Hidupnya dan hari depannya adalah suatu masa yang sangat suram jika tidak terjadi perubahan yang mantap pada anak itu. Umurnya yang sudah menginjak dewasa tidak berkembang sejalan dengan sifat, watak, dan kematangan jiwanya.
Sejenak Pandan Wangi masih berdiam diri, sedang Rudita berusaha untuk menahan perasaannya yang bergejolak. Kini ia harus melihat kenyataan bahwa di luar rumahnya, orang lain tidak dapat diperlakukannya seperti ibunya, ayahnya, dan pelayan-pelayan di rumahnya. Di luar rumah setiap orang mempunyai sikap sendiri, kepentingan sendiri, dan tindakannya didasarkan kepada suatu keyakinan mereka masing-masing.
Karena itulah maka hati Rudita menjadi kuncup. Kini ia merasa terlampau kecil di antara anak-anak muda yang lain. Yang ternyata memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu, setidak-tidaknya untuk diri mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Pandan Wangi yang menjadi semakin iba itu pun berkata, “Rudita, bagaimana dengan kita sekarang?”
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak. Lalu, “Terserah kepadamu, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi mendekatinya. Katanya seperti kepada anak-anak yamg sedang merajuk, “Kita tetap di sini Rudita. Kita menunggu Kakang Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Tetapi bagaimana jika sampai malam hari?”
“Kita tetap di sini. Kita membuat perapian di malam hari agar kita tidak diganggu oleh binatang buas.”
“Apakah binatang buas takut perapian?”
“Mereka tidak mau mendekati api di malam hari.”
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Pandan Wangi sejenak seperti anak-anak yang memelas menatap wajah ibunya yang marah.
“Sudahlah. Jangan takut. Sebentar lagi kita akan mempunyai banyak kawan berbincang. Kakang Agung Sedayu dan yang lain tidak akan pergi terlalu jauh.”
Sekali lagi Rudita mengangguk.
Pandan Wangi pun kemudian duduk di atas akar sebatang kayu yang besar sambil memperhatikan pengiringnya yang sedang sibuk menguliti ular raksasa itu. Salah seorang dari mereka sudah cukup berpengalaman. Tetapi yang pernah dilakukan adalah menguliti ular yang belum sebesar ular yang terbunuh itu.
Dalam pada itu, sejenak kemudian seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun telah kembali ke tempat itu. Mereka pun segera duduk beristirahat sambil melihat bagaimana ular raksasa itu sedang dikupas.
Ternyata bahwa ketiga orang pengiring Pandan Wangi itu dapat menyelesaikan pekerjaannya tidak sampai malam hari. Dengan demikian maka mereka masih sempat keluar dari hutan itu, dan pergi ke perkemahan mereka.
Rudita hampir tidak dapat lagi berjalan menembus gerumbul liar di hutan itu, karena badannya yang sangat lelah dan lapar. Tetapi ia mencoba untuk menahannya tanpa mengatakan kepada orang lain, meskipun Pandan Wangi sudah menduganya.
Ketika mereka kemudian sampai ke perkemahan mereka di luar hutan itu, maka Rudita pun langsung merebahkan dirinya pada sebuah tikar yang memang sudah dibentangkan. Rasa-rasanya nafasnya sudah hampir putus di perjalanan ketika mereka harus meloncati batang-batang kayu yang rebah dan merunduk di bawah sulur-sulur kayu.
Bagaimana pun juga namun Rudita tetap bertahan untuk tidak menangis, meskipun matanya terasa menjadi sangat panas. Dan ia sama sekali tidak mengerti, kenapa di dalam keadaan seperti itu, Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan bahkan Pandan Wangi yang seorang gadis, masih juga dapat sekali-sekali tertawa berkepanjangan.
“Kita memerlukan air,” berkata Pandan Wangi tiba-tiba.
“Ada sebuah mata air kecil di dekat tempat ini,” berkata seorang pengiringnya yang tinggal di kemah mereka. “Aku sudah menemukannya ketika aku sedang mencari kayu bakar dan juga mencari air. Bahkan ada sebuah saluran yang membuang luapan air dari sebuah sendang kecil pada mata air itu.”
“Di mana?” bertanya Pandan Wangi. “Mumpung belum gelap.”
“Pergilah ke pohon besar yang tampak dari sini itu. Di bawah pohon itu terdapat sebuah mata air.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil membenahi pedangnya ia menyandang busur dan endong anak panahnya.
“Aku akan pergi ke mata air itu sebentar.”
Tiba-tiba Rudita yang sedang berbaring itu bangkit sambil berkata, “Aku ikut bersamamu Pandan Wangi.”
“Ah,” desis Pandan Wangi, “kau nanti pergi bersama-sama dengan anak-anak muda yang lain. Aku akan pergi sendiri lebih dahulu.”
“Tidak. Aku pergi bersamamu.”
“Itu tidak mungkin. Jika kau seorang bayi dan aku ibumu, maka kau dapat aku bawa. Tetapi sekarang ini dalam keadaan ini tentu tidak.”
Rudita menjadi kecewa, tetapi ia tidak dapat memaksanya, karena ia pun kemudian menyadari keberatan Pandan Wangi. Sehingga karena itu dengan lemahnya ia berbaring kembali di atas tikar itu. Namun hatinya justru menjadi semakin pahit. Tentu tidak akan ada yang menghiraukannya selama Pandan Wangi tidak ada. Dan tentu orang-orang yang ada itu justru akan menyakiti hatinya dengan sikap mereka yang sengaja dibuat-buat.
Tetapi ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan sendiri sekali lagi bangkit dan bertanya, “Pandan Wangi. Apakah kau akan pergi sendiri dalam keadaan yang berbahaya ini?”
Langkah Pandan Wangi tertegun. Ia berpaling sejenak. Dipandanginya wajah Rudita yang cemas. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Bukankah belik itu hanya beberapa puluh langkah saja dari tempat ini? Hanya di bawah pohon yang besar itu?”
“Tetapi sebentar lagi hari akan menjadi gelap,” sahut Rudita,
“Itu lebih baik.”
Rudita tidak menyahut lagi. Dengan hati yang kecut ia pun berbaring kembali. Sekilas dilihatnya anak-anak muda yang lain berdiri dalam satu lingkaran memandanginya.
“Mereka tentu membicarakan aku,” berkata Rudita di dalam hatinya, “mereka menjadi iri melihat Pandan Wangi selalu bersamaku. Terutama anak yang gemuk itu. Tetapi aku tidak peduli.”
Dan Rudita pun kemudian benar-benar mencoba untuk tidak mempedulikan Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa yang memang sedang bercakap-cakap. Tetapi mereka sama sekali tidak mempercakapkan Rudita. Mereka bahkan sedang memperhatikan Pandan Wangi yang pergi sendiri.
“Jangan kalian susul aku sebelum aku kembali,” berkata Pandan Wangi kepada ketiga anak-anak muda itu.
Swandaru hanya tertawa saja. Prastawa-lah yang menyahut, “Tetapi jangan tidur di belik itu. Kami pun ingin segera membersihkan diri.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Ia berjalan terus melewati beberapa gerumbul perdu, dan hilang di balik rimbunnya dedaunan.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun duduk pula di antara beberapa orang pengiring yang ingin juga beristirahat, sementara mereka yang tidak ikut berburu ular raksasa, dengan asyiknya mengamat-amati kulit ular yang dibawa oleh kawan-kawan mereka sambil bertanya tidak henti-hentinya tentang perburuan yang mendebarkan itu.
Namun tiba-tiba mereka yang sedang beristirahat itu pun terkejut ketika di kejauhan terdengar aum seekor harimau. Hampir di luar sadarnya mereka berloncatan berdiri, sementara Rudita pun bangkit pula dengan tergesa-gesa. Dengan cemas ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil bergumam dengan suara gemetar, “Harimau, apakah itu suara harimau?”
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya. Itu suara harimau.”
“Apakah harimau itu akan datang kemari?”
Agung Sedayu yang sudah mengenal serba sedikit tabiat dan sifat Rudita menjawab dengan tegas, “Tidak. Harimau itu tidak menghadap kemari.”
“Darimana kau tahu?”
“Dari getaran suaranya. Harimau itu mengaum sambil membelakangi kita. Aku tahu pasti. Jika harimau itu menghadap kita dan mencium bau kita, suaranya akan berbeda.”
Jawaban yang seakan-akan pasti dan yakin itu telah berhasil membuat Rudita diam, meskipun masih ada keragu-raguan di dalam hatinya. Namun Rudita sudah tidak bertanya lagi, meskipun ia masih saja tetap berdiri di dekat Agung Sedayu.
Swandaru dan Prastawa yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu terpaksa menahan senyum mereka sambil membelakangi Rudita. Namun mereka menjadi heran juga bahwa Agung Sedayu sendiri sama sekali tidak tertawa karena jawabannya itu.
Tetapi sebenarnyalah, bahwa ketiga anak-anak muda itu juga menjadi cemas. Mereka sama sekali tidak dapat memperhitungkan, ke mana harimau itu akan pergi. Meskipun Agung Sedayu seolah-olah menjawab dengan yakin, tetapi sebenarnya ia pun menjadi cemas karena aum harimau itu.
“Pandan Wangi tentu mendengarnya juga,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “dan tentu ia akan menyiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.”
Lebih dari Agung Sedayu, adalah Swandaru. Tetapi ia tidak dapat melanggar pesan Pandan Wangi, agar tidak seorang pun yang mendekatinya. Dan sudah barang tentu Swandaru pun tidak akan mendekatinya selagi Pandan Wangi berada di belik itu. Tetapi bagaimana jika seekor harimau sedang merunduk di belakang gadis yang sedang membersihkan diri itu dan meletakkan senjatanya di tepi belik?
Beberapa lamanya mereka berdiri termangu-mangu. Mereka tidak mendengar suara apa pun lagi, sehingga langit menjadi samar-samar.
Ketika mereka mulai menjadi cemas karena Pandan Wangi masih belum tampak, maka Rudita pun mulai kebingungan. Tetapi ia ragu-ragu untuk bertanya kepada anak-anak muda yang lain.
Namun akhirnya ia tidak dapat menekan perasaannya lagi dan berkata, “Kenapa kalian tidak menengok Pandan Wangi?”
“O,” Prastawa berpaling kepadanya, “kami tidak boleh mendekati belik itu sebelum ia datang.”
“Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu atasnya?”
Sebelum Prastawa menjawab, Agung Sedayu menda-huluinya, “Kami juga sedang berpikir, apakah yang dapat kami lakukan.”
“Pergilah. Lihatlah Pandan Wangi.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab agar ia tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati di luar sadarnya.
Tetapi mereka tidak perlu cemas terlalu lama. Sejenak kemudian mereka melihat Pandan Wangi berjalan di sela-sela gerumbul liar di pinggir hutan itu.
“Kau terlalu lama, Pandan Wangi,” Rudita-lah yang mula-mula berteriak sebelum Pandan Wangi mendekat.
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Baru setelah ia dekat ia berkata, “Aku tidak segera dapat membersihkan diri. Aum harimau itu agaknya tidak begitu jauh dari belik itu.”
Rudita mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pandan Wangi sejenak, kemudian Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa berganti-ganti.
“Pandan Wangi,” berkata Rudita kemudian, “harimau itu tidak akan datang ke mari.”
“Dari mana kau tahu?” bertanya Pandan Wangi.
“Ia tidak menghadap ke arah kita. Ia membelakangi kita.”
“Ya, darimana kau tahu?”
“Dari getaran suaranya. Jika ia menghadap kemari, getar suaranya tentu akan berbeda.”
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Mungkin. Mungkin kau dapat menangkap perbedaan itu. Tetapi aku tidak. Mudah-mudahan harimau itu benar-benar tidak akan datang kemari. Maksudku, jika ia tidak menghadap kemari, mudah-mudahan ia berjalan langsung maju sehingga justru akan menjadi semakin jauh dari tempat ini.”
Prastawa hampir tidak dapat menahan tertawanya. Karena itu maka tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah, kita pergi ke belik itu bersama-sama.”
Ternyata, Swandaru yang sudah lebih dahulu melangkah menjauh menyahut, “Marilah. Mumpung belum terlampau malam.”
“Malam masih belum mulai,” berkata Agung Sedayu.
“Sudah. Lihat, dilangit sudah ada bintang.”
“O ya. Malam memang sudah mulai. Marilah kita pergi ke belik.”
“Nah,” sahut Pandan Wangi kemudian, “bawalah Rudita serta.”
“Tidak. Aku tidak akan mandi,” jawab Rudita.
“O, kenapa?”
“Sudah terlampau malam. Aku biasa mandi dengan air panas di rumah.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam Prastawa berkata, “Baiklah, jika demikian kami akan pergi bertiga. Kemudian para pengiring pun akan bergantian pergi ke belik itu sesudah kami.”
Pandan Wangi hanya dapat menggigit bibirnya. Katanya kemudian, “Jika kau tidak akan pergi bersama mereka, baiklah, duduk sajalah di tikar itu.”
“Apakah kau akan pergi lagi Pandan Wangi?” bertanya Rudita.
“Tidak, aku tidak akan pergi.”
Demikianlah maka Rudita dan Pandan Wangi itu pun kemudian duduk di atas tikar sambil menghirup minuman hangat yang sudah disediakan oleh para pengiringnya. Bahkan kemudian bekal makanan yang mereka bawa. Jadah yang dipanasi di atas bara dan jenang alot yang manis.
“Pandan Wangi,” bertanya Rudita tiba-tiba, “kenapa kau bersikap terlampau baik terhadap ketiga anak-anak bengal itu?”
Pandan Wangi memandang anak muda itu sejenak, lalu jawabnya, “Kita harus baik terhadap siapa pun juga. Apalagi kepada tamu-tamu kita. Kita harus menghormatinya apa pun yang sebenarnya ada di dalam hati.”
“Jadi apakah sebenarnya kau membenci mereka, sehingga sikapmu itu hanya berpura-pura?”
“Ah, pertanyaanmu aneh. Marilah kita berbicara tentang hal lain. Lihat, hutan itu seperti hilang ditelan gelap.”
“Mengerikan sekali. Tetapi bukankah di sini ada banyak orang?”
“Ya. Para pengiring lengkap ada di sini.”
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Tetapi bagaimanakah sebenarnya tanggapanmu terhadap Swandaru? Bukankah Swandaru itu melamarmu?”
Meskipun bagi Pandan Wangi, Rudita tidak lebih dari seorang anak kecil meskipun ujudnya besar, namun sepercik warna merah telah membayang di pipinya. Hanya karena keremangan malam yang baru saja menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, maka warna itu tidak tampak oleh Rudita.
Apalagi ketika Rudita itu kemudian mendesak, “Bagaimana, Pandan Wangi?”
Karena gadis itu mendapatkan kesulitan untuk menjawab maka katanya kemudian, “Terserah kepada ayah. Bukankah aku seorang gadis? Ayahlah yang wajar menentukan siapakah jodohku kelak.”
“Benar begitu?” bertanya Rudita dengan serta merta.
“Kenapa?” Pandan Wangi ganti bertanya.
“Bagaimana jika ayahku menjumpai ayahmu, dan ayahmu lebih setuju dengan pendapat ayahku daripada Ki Demang di Sangkal Putung itu.”
“Ah, itu tidak mungkin,” jawab Pandan Wangi yang sama sekali tidak menyangka bahwa Rudita akan berkata demikian.
“Tetapi bukankah Paman Argapati yang akan menentukan hari depanmu.”
“Sudahlah, kita berbicara tentang yang lain. Kita harus berhati-hati selama kita berada di sini. Mungkin binatang buas itu sedang merunduk kita. Jika kita diterkamnya maka kita tidak akan dapat berbicara lagi tentang ayah kita masing-masing.”
“Apakah ada seekor harimau di sini?”
“Aku tidak tahu,” jawab Pandan Wangi tegas, agar tidak menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia berdesah, “Aku akan berbaring. Apakah api perapian itu akan dipadamkan sesudah nasi masak?”
“Tidak, api itu akan diperbesar,” jawab Pandan Wangi begitu saja terloncat dari bibirnya. Ternyata bahwa pertanyaan Rudita yang seolah-olah seperti pertanyaan kanak-kanak itu menjadi persoalan di hati Pandan Wangi, karena mungkin sekali Rudita akan menyampaikannya kepada orang tuanya.
Karena itu untuk beberapa lamanya. Pandan Wangi merenungi pertanyaan-pertanyaan Rudita itu. Ia sudah terlanjur mengatakan bahwa segala sesuatunya tergantung kepada ayahnya. Jika kemudian ayah dan ibu Rudita salah menafsirkan keterangan Rudita, akibatnya akan dapat berkepanjangan. Seandainya ayahnya tetap pada pendiriannya, karena pembicaraan dengan adbmcadangan.wordpress.com Ki Demang Sangkal Putung sudah dilakukan, maka tentu ada sesuatu yang akan tetap terasa mengganggu hubungan antara ayahnya dan ayah Rudita, apalagi Rudita adalah, saudaranya dari saluran darah ibunya yang sudah agak jauh.
“Tentu ayah Rudita cukup bijaksana,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
Dalam pada itu nasi pun segera masak. Aum harimau justru terdengar semakin jauh di tengah-tengah hutan yang liar itu sehingga orang-orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak perlu memperhatikannya lagi, meskipun mereka tidak boleh lengah, karena dapat saja terjadi seekor harimau yang lain tiba-tiba saja menerkam kuda mereka yang terikat.
“Tetapi biasanya kuda mempunyai naluri yang tajam jika ada bahaya yang mendekat. Mereka akan berteriak dengan rebut,” berkata salah seorang pengiring itu kepada kawannya.
Sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa pun telah kembali ke perkemahan. Badan mereka terasa menjadi segar. Karena itulah, maka terasa betapa mereka menjadi lapar ketika tercium bau nasi yang hangat.
Tetapi mereka tidak segera makan. Para pengiring itulah yang kemudian pergi ke belik untuk mandi, sedang anak-anak muda itu dengan penuh kewaspadaan mengawasi keadaan di sekitar mereka.
Dengan beberapa potong kayu Prastawa membuat perapian yang sudah tidak dipergunakan lagi untuk memasak itu semakin besar. Nyala api yang merah melonjak semakin lama semakin tinggi, sedang dedaunan yang merunduk diatasnya bagaikan menggeliat kepanasan.
Cahaya merah itu membuat pepohonan dan batang perdu menjadi sewarna bara. Angin yang semilir telah mengguncang lidah api itu, sehingga bayangan dedaunan bagaikan bergerak-gerak.
Sejenak Rudita memandangi bayangan yang ikut berguncang perlahan-lahan. Semakin lama rasa-rasanya bagaikan raksasa yang sedang menari-nari mengelilinginya diiring oleh irama suara cengkerik dan bilalang. Bahkan kemudian suara anjing hutan yang menyalak di kejauhan, namun yang segera terbungkam oleh aum seekor harimau.
“O,” Rudita tiba-tiba menelungkup sambil menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.
Pandan Wangi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sedang Prastawa bergeser setapak mendekatinya. Tetapi Swandaru menggamitnya sambil berkata perlahan-lahan sekali, “Biarkan saja. Aku menjadi semakin kasihan kepadanya. Mudah-mudahan ia dapat segera menenangkan hatinya.”
“Sebaiknya ia segera tidur,” sahut Agung Sedayu berbisik, “dengan demikian ia akan dapat melepaskan dirinya dari siksaan ketakutan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Rudita yang masih saja menelungkup. Sambil bergeser kembali ia berkata, “Aku pun kasihan sekali kepadanya.”
Pandan Wangi tidak begitu mendengar kata-kata mereka yang sedang berbisik-bisik. Tetapi seakan-akan ia dapat mengerti maksud mereka itu.
Demikianlah tidak seorang pun yang mengganggu Rudita yang sedang menelungkup. Mereka bahkan berharap anak muda itu segera dapat tertidur nyenyak.
Ketika mereka sudah berkumpul lagi dengan para pengiring yang bergantian mandi, maka mereka pun kemudian mulai makan dengan lahapnya. Rudita ternyata tidak mau bangun lagi. Ia menggelengkan kepalanya ketika Pandan Wangi mengajaknya makan.
“Biarlah ia tidur,” desis Agung Sedayu sekali lagi.
Setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya, barulah mereka menempatkan diri masing-masing di tempat yang mereka pilih sebagai pembaringan. Ternyata mereka tidak cukup banyak membawa tikar, sehingga sebagian dari mereka harus menimbun rerumputan kering di pinggir perapian itu.
Beberapa orang bertugas untuk berjaga-jaga sampai menjelang tengah malam. Kemudian kelompok yang lain akan berganti bertugas. Sedang kelompok terakhir adalah Agung Sedayu, Swandaru dan Prastawa,
Kelompok pertama yang terdiri dari separo daripada para pengiring itu pun kemudian duduk di pinggir perapian. Sambil memanasi telapak tangan mereka di udara malam yang dingin mereka masih saja membicarakan tentang ular naga yang berhasil mereka bunuh.
Ternyata sejenak kemudian, perkemahan itu menjadi sepi. Mereka yang akan berganti bertugas, segera berusaha untuk tidur. Sedang Pandan Wangi yang tidak termasuk dalam kelompok-kelompok yang akan berjaga-jaga, merasa dirinya menjadi pemomong Rudita secara khusus, sehingga justru karena itu ia tidak dapat meninggalkannya, meskipun anak itu pernah berbicara kepadanya tentang lamaran seorang anak muda.
Setiap kali Pandan Wangi yang berbaring tidak jauh dari Rudita itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia harus melihat apakah Rudita masih tetap dalam keadaannya.
Namun akhirnya, karena Pandan Wangi sendiri pun merasa letih, maka akhirnya ia pun tertidur juga.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka para penjaga yang bertugas pun mulai mengisi waktunya untuk melawan kantuk. Mereka tidak lagi berkumpul duduk di sekitar perapian. Tetapi dua di antara mereka berjalan mengelilingi perkemahan itu dan melihat-lihat keadaan kuda mereka.
Ternyata bahwa di bagian pertama dari malam itu tidak terjadi sesuatu. Tanpa membangunkan orang-orang lain, maka kelompok petugas pertama telah membangunkan kelompok kedua dan menyerahkan tugas mereka kepada kelompok berikutnya.
Seperti kelompok pertama, maka setiap kali dua orang dari para petugas itu berjalan-jalan berkeliling perkemahan. Selain untuk mengawasi keadaan, sebenarnya mereka memang berusaha untuk melawan kantuk yang hampir tidak tertahankan, justru karena terasa udara sangat segar di malam hari.
Namun agaknya para peronda itu tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kuda-kuda mereka sama sekali tidak terganggu, dan yang sedang tidur pun masih tetap tidur dengan nyenyaknya.
Dalam pada itu sebenarnyalah bahwa para petugas, tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengawasi mereka. Bukan mata harimau yang garang, bukan pula sepasang mata ular naga yang liar. Tetapi beberapa pasang mata manusia.
Ketika para petugas itu sedang bercakap-cakap setelah dua orang di antara mereka baru saja berkeliling, ternyata beberapa orang telah merayap mendekati perkemahan itu.
“Tentu mereka yang sedang kita cari,” desis salah seorang dari mereka.
“Mudah-mudahan,” sahut yang lain, seorang anak muda. Tetapi agaknya ialah yang memimpin kelompok yang sedang merunduk mendekati perkemahan itu.
Demikianlah mereka merayap semakin lama menjadi semakin dekat. Dengan isyarat anak muda yang memimpin kelompok itu pun kemudian memberikan perintah, agar anak buahnya segera memencar.
Dengan diam-diam, maka beberapa orang itu pun memencar mengepung perkemahan itu. Semakin lama kepungan itu pun rasa-rasanya menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, para petugas yang sedang meronda malam itu sama sekali tidak menduga, bahwa di sekitar perkemahan itu ternyata telah bertebaran beberapa orang yang tidak mereka kenal. Setelah mereka tidak merasa kantuk, maka mereka justru duduk saja mengitari perapian yang masih menyala karena setiap kali para petugas telah melemparkan potongan-potongan kayu bakar ke dalamnya.
“Rasa-rasanya malam terlampau sepi,” desis salah seorang peronda.
“Ya, malam memang terlalu sepi. Rasa-rasanya kita tidak sedang berada di pinggir hutan liar.”
“Harimau itu tentu sudah mendapatkan mangsanya sehingga karena itu tidak lagi berteriak-teriak.”
“Apakah hanya ada seekor harimau di hutan yang lebat itu?”
“Tentu tidak. Tetapi semuanya sudah kenyang, dan semuanya tidak mengaum.”
Kawan-kawannya tertawa. Sebenarnya mereka pun masih mendengar auman harimau. Tetapi jauh sekali sehingga mereka tidak perlu menghiraukannya. Namun demikian, ternyata bahwa para penjaga itu, selain menyandang pedang di lambung, mereka mempersiapkan busur dan anak panah, jika pada suatu saat mereka perlukan. Tetapi bukan saja untuk melawan harimau, karena dimalam hari pun kadang-kadang mereka melihat seekor kijang berlari-lari apabila seekor harimau lewat dekat persembunyiannya.
Tetapi malam itu, tidak ada seekor binatang pun yang mendekati perkemahan mereka. Sedang orang-orang yang berusaha mendekat itu, ternyata cukup berhati-hati, sehingga langkah mereka tidak segera didengar oleh para penjaga itu. Apalagi mereka yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
Sejenak para peronda itu masih saja duduk di sekitar perapian. Baru ketika kantuk mulai meraba mata mereka lagi, dua orang di antara mereka berdiri dan berjalan mengelilingi perkemahan itu.
Namun mereka masih belum menyadari bahwa ada beberapa orang yang sedang mengepung mereka. Karena itu, maka kedua orang itu pun kemudian kembali lagi ke tepi perapian dan duduk pula di antara mereka.
Dalam pada itu, orang-orang yang sedang mengepung itu pun merayap semakin maju. Beberapa orang terpenting berada di tempat yang terpencar. Semakin lama semakin dekat, sehingga anak muda yang memimpin mereka itu pun sempat memperhatikan kuda yang tertambat.
“Hitung, berapa ekor kuda yang ada,” desisnya perlahan-lahan sehingga kawannya berbicara pun hampir tidak mendengarnya.
“Banyak,” sahut kawannya, “kira-kira sepuluh ekor.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap kali ia mengerutkan keningnya memperhatikan para peronda. Jika dua orang di antara para peronda itu berdiri dan berjalan melingkar, maka orang-orang yang mengepung itu pun seakan-akan membeku di tempatnya, bahkan menarik nafas pun rasa-rasanya tidak mereka lakukan. Karena itulah maka para peronda itu tidak segera dapat mengetahui kehadiran mereka yang masih bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar itu.
Namun ternyata, bahwa kuda-kuda yang tertambat itulah yang lebih dahulu mengetahui kehadiran orang-orang itu. Salah seekor dari kuda-kuda itu pun tiba-tiba meringkik keras-keras dengan gelisahnya disusul oleh beberapa ekor yang lain.
Dan ringkik kuda itu telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertugas mau pun yang sedang tidur nyenyak. Karena itulah maka mereka pun segera terbangun pula.
Dengan tangkasnya para peronda itu pun segera mempersiapkan senjata sambil berpencar menatap ke segala arah membelakangi api. Demikian juga mereka yang sedang tertidur pun bangkit dan duduk sambil meraba senjata masing-masing sambil menunggu apakah yang terjadi sebenarnya.
Namun secepat itu pula pemimpin kelompok yang mengepung itu pun memberikan isyarat kepada anak buahnya dengan suatu suitan nyaring. Secepat para pengiring itu bersiap dan orang-orang yang tertidur itu bangun, maka perkemahan itu sudah terkepung rapat. Di dalam keremangan cahaya api yang kemerah-merahan, mereka melihat bayangan-bayangan hitam di sela-sela dedaunan dengan senjata telanjang di tangan.
“Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat kematian kalian,” desis anak muda yang memimpin kelompok itu.
Para peronda menjadi termangu-mangu. Ternyata jumlah orang-orang yang mengepung perkemahan itu cukup banyak.
“Lepaskan senjata kalian,” berkata suara itu pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun telah terbangun pula. Tetapi mereka masih tetap berada di tempat masing-masing. Meskipun demikian tangan mereka sudah menggenggam tangkai senjata masing-masing.
“Kalian harus menyerah sebelum kami mengambil sikap yang lebih kasar,” berkata anak muda yang memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan.
Para peronda menjadi ragu-ragu. Mereka sadar bahwa Pandan Wangi yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka telah terbangun, sehingga mereka hanya menunggu perintah daripadanya. Jika Pandan Wangi memerintahkan untuk bertempur, maka apa pun yang terjadi mereka akan bertahan mati-matian.
“Cepat, lakukan perintah kami. Letakkan senjata kalian.”
Tetapi para peronda masih ragu-ragu karena Pandan Wangi masih belum mengucapkan perintah apa pun.
Dalam pada itu Rudita yang sudah terbangun pula segera menyadari apa yang terjadi. Ialah yang mula-mula bangkit berdiri memandang keadaan di sekelilingnya.
“Jangan berbuat sesuatu yang dapat memaksa kami melepaskan senjata,” terdengar lagi suara anak muda yang memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan itu.
Rudita pun kemudian melihat bayangan kehitaman di antara dedaunan. Bahkan samar-samar ia melihat beberapa buah senjata yang berkilat-kilat.
Tiba-tiba ketakutan yang sangat telah menerkam jantungnya, seperti ketika ia melihat ular naga yang hampir saja menelannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak bersenjata dan aku menyerah.”
“Tidak,” Prastawa-lah yang tidak dapat menahan hatinya setelah ia meyakini keadaan, bahwa sebenarnyalah sekelompok orang-orang yang tidak dikenalnya telah mengepung perkemahan itu. “Kami bukan cucurut yang dapat ditakut-takuti dengan senjata.”
Suasana yang tegang itu menjadi bertambah tegang.
“Kau tidak akan berdaya,” jawab suara pemimpin kelompok itu dengan tenang, “kami bukan sekedar menakut-nakuti. Tetapi jika perlu kami pun dapat bertindak keras dan kasar.”
“Kami adalah laki-laki seperti kalian,” sahut Prastawa.
“Tidak,” tidak tiba-tiba Rudita berteriak, “kau memang bodoh sekali. Kita memang harus menyerah. Bukankah itu lebih baik.” Lalu dengan suara yang gemetar, “Aku menyerah. Jangan kalian sakiti aku. Aku tidak tahu apa-apa.”
“Pengecut,” bentak Prastawa, “menyerahlah jika kau ingin menyerah.”
Sebelum Rudita menyahut, maka yang terdengar adalah suara Agung Sedayu, “Siapakah sebenarnya kalian, dan apakah kepentingan kalian dengan kami?”
Tidak segera terdengar jawaban, Sedang Agung Sedayu pun kemudian telah berdiri pula membelakangi api menghadap kepada orang-orang yang mengepungnya, disusul oleh Swandaru yang berdiri pula di sampingnya.
Pemimpin kelompok orang-orang yang mengepung perkemahan itu melihat dua bayangan hitam di depan perapian. Tetapi mereka tidak melihat wajah kedua orang itu justru karena mereka menjadi silau oleh nyala api yang kemerah-merahan itu.
“Lepaskan senjata kalian,” suara itu terdengar lagi.
Agung Sedayu mencoba memperhatikan beberapa bayangan di sela-sela dedaunan, tetapi ia pun tidak dapat melihat mereka dengan jelas, karena mereka tidak berdiri cukup dekat.
“Sebaiknya berterus teranglah,” berkata Agung Sedayu, “dengan demikian kita menjadi pasti, apakah yang akan kita lakukan.”
“Kami akan berbicara setelah kalian melemparkan senjata kalian.”
“Cepat!” Rudita pun ikut membentak. “Jangan terlalu sombong. Apakah sulitnya melemparkan senjata dari tangan, tetapi kemudian kita selamat? Bukankah kita memang tidak berhasrat untuk pergi berperang?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapi kata-kata Rudita. Sekali lagi ia berkata lantang, “Sebut namamu atau gelarmu atau apa pun yang dapat memberikan ciri atau sebutan bagimu.”
“Sekali lagi aku mengulangi, lemparkan senjata kalian. Baru kita berbicara. Dan kalian akan segera mengenal aku.”
Tiba-tiba Swandaru menggeram, “Kami tidak akan melemparkan senjata kami. Itu adalah keputusan kami. Terserah, apa yang akan kalian lakukan. Kalian tidak bersedia untuk berbicara dalam kedudukan yang sama. Itu suatu penghinaan. Karena itu, kami akan mempertahankan harga diri kami.”
Sejenak tidak terdengar jawaban. Bayangan di antara semak-semak itu masih berdiri ditempatnya, sedang senjata mereka seakan-akan telah siap untuk menerkam. Orang-orang yang mengepung perkemahan itu tinggal menunggu perintah dari pimpinan mereka untuk meloncat maju menyerang orang-orang yang tidak bersedia melemparkan senjata mereka.
Dalam pada itu, Rudita yang semakin ketakutan berteriak dengan suara serak, “Gila! Gila! Lemparkan senjata-senjata itu. Cepat! Jika tidak, kita semua akan binasa sekedar karena kesombonganmu.”
Swandaru yang berusaha untuk menyabarkan dirinya, menggeretakkan giginya. Tetapi ia mencoba tidak menghiraukan lagi anak yang menggigil ketakutan itu. Ketika kemudian ia menebarkan tatapan matanya, maka dilihatnya para pengiring Pandan Wangi pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Pandan Wangi pun kemudian bangkit berdiri dan berkata dengan nada tinggi, “Jangan mencoba menundukkan hati kami. Kami berada di daerah kami sendiri. Kalianlah yang harus menyerah dan kalian terpaksa kami bawa menghadap ayah, Kepala Tanah Perdikan Menoreh karena kalian telah melanggar hak atas daerah kami.”
Masih belum ada jawaban.
“He, siapakah kalian?” Prastawa-lah yang berteriak kemudian.
“Gila, kalian semua sudah gila,” potong Rudita, “kenapa kalian berniat untuk berkelahi. Bukankah kita hanya akan sekedar berburu.”
Tetapi hati Rudita yang dicengkam oleh ketakutan yang menjadi semakin kuncup karena tidak seorang pun yang menghiraukannya.
Bahkan Pandan Wangi yang kemudian maju beberapa langkah sambil menggenggam hulu pedangnya yang masih ada di dalam sarungnya berkata, “Kalian jangan mencoba bukan saja menghinakan kami, tetapi kalian telah mencoba pula menghinakan kekuasaan yang ada di atas Tanah Perdikan ini. Apa pun juga yang akan terjadi, kamilah yang akan memaksa kalian menyerah, bukan sebaliknya.”
Masih tidak ada jawaban, sehingga dengan demikian Pandan Wangi dan orang-orang yang ada di dalam kepungan itu menjadi ragu-ragu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Agung Sedayu, “Kenapa kalian diam saja? Jika kalian ingin bertindak kasar, lakukanlah. Tetapi jika kalian ingin berbicara, kami akan berbicara dengan senjata di tangan seperti kalian.”
Tiba-tiba pemimpin dari orang-orang yang mengepung perkemahan itu melangkah maju. Di dalam kegelapan tampaklah seorang yang berperawakan sedang sambil membawa sebatang tombak pendek. Tetapi tombak itu kini berdiri tegak di bahu kanannya.
“Maafkan kami,” itulah yang pertama-tama diucapkannya setelah beberapa saat ia berdiam diri.
Semua orang yang menyaksikannya menjadi termangu-mangu. Bukan saja di pihak Pandan Wangi dan kawan-kawannya, tetapi orang-orang yang sedang mengepung perkemahan itu pun menjadi heran.
“Bukan maksud kami mengejutkan kalian,” berkata orang yang membawa tombak pendek itu.
Agung Sedayu yang membelakangi api mengerutkan keningnya. Kemudian dilihatnya orang yang melangkah itu semakin dekat, sehingga cahaya api yang kemerah-merahan mulai menjangkaunya.
“Apakah kalian mengenal aku?” bertanya orang itu.
Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian hampir berbareng terdengar suara Agung Sedayu dan Swandaru, “Raden Sutawijaya.”,
Orang itu tertawa. Ia melangkah semakin dekat lagi. Katanya, “Aku pun tidak segera mengenal kalian, karena kalian membelakangi api, sehingga yang tampak hanyalah wajah-wajah yang hitam. Tetapi suara seorang gadis dan apalagi ketika ia menyebut dirinya dan menghubungkan dengan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh, maka aku pun yakin bahwa tubuh yang gemuk di dalam bayangan api itu adalah Swandaru Geni. Meskipun yang tampak hanyalah bayang-bayang yang hitam, tetapi tidak ada bayang-bayang yang bulat dan begitu gagahnya selain putera dari Sangkal Putung.”
“Ah,” Swandaru berdesah, “aku tidak menyangka bahwa Raden ada di sini.”
“Aku ingin minta maaf kepada Pandan Wangi, bahwa aku sudah berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kini Raden Sutawijaya berada hanya beberapa langkah saja di hadapan dirinya.
“Tetapi apakah yang Raden kehendaki di Tanah Perdikan ini?”
“Kami sedang mencari sekelompok orang-orang yang tidak kami kenal. Mereka telah menyeberangi sungai Praga dan hilang di dalam hutan ini.”
“Apakah Raden menduga bahwa mereka orang-orang Menoreh?”
“Tidak. Bukan maksudku. Aku sama sekali tidak menduga demikian.”
Pandan Wangi adalah putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sehingga ia pun menyadari hak dan wewenangnya. Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya, “Apakah Raden tidak dapat menempuh cara lain daripada memasuki daerah ini tanpa setahu ayah atau orang-orang yang berwenang di atas Tanah Perdikan ini.”
Pertanyaan itu ternyata telah mengejutkan Raden Sutawijaya. Karena untuk sesaat ia berdiam diri. Ia mengerti, bahwa orang yang berkuasa di atas Tanah ini tentu tersinggung karena kehadirannya tanpa memberitahukan atau minta ijin lebih dahulu. Apalagi ketika Pandan Wangi berkata, “Raden, sebenarnyalah bahwa kami pun sedang berusaha menangkap orang-orang bersenjata yang tidak kami kehendaki berkeliaran di daerah kami.”
Raden Sutawijaya tidak segera menjawab. Dipandanginya Pandan Wangi yang berdiri tegak di dalam cahaya api yang kemerah-merahan.
Namun Raden Sutawijaya tidak dapat ingkar. Katanya kemudian, “Pandan Wangi. Baiklah aku minta maaf atas hal ini. Tetapi baiklah kau mendengar alasanku. Aku sedang mencari sekelompok orang-orang bersenjata. Mereka baru saja membuat sesuatu yang merugikan Mataram. Ketika mereka menyeberang Kali Praga, kami masih mengejar mereka. Tetapi malam segera turun sehingga kami tidak berhasil menangkapnya. Meskipun demikian kami tidak berhenti. Kami maju terus menembus hutan liar ini. Adalah kebetulan sekali kami melihat perapian di sini, sehingga kami menyangka bahwa kalian adalah orang yang sedang kami cari.”
“Seharusnya Tuan berhenti di seberang Kali Praga,” sahut Pandan Wangi, “jika Tuan tidak menduga bahwa mereka orang-orang Menoreh, maka Raden tidak akan mengejarnya sampai ke seberang. Raden harus mempercayakannya kepada kami, kepada orang-orang Menoreh.”
“Kami tidak mempunyai waktu lagi,” jawab Sutawijaya.
“Tentu waktu masih cukup panjang. Raden harus menyerahkan kepada kami untuk menangkapnya. Raden dengan sepasukan pengawal tidak dapat dibenarkan berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh tanpa ijin kami. Bukan karena Raden sudah mengejutkan kami sehingga kami menjadi jengkel karenanya. Tetapi seharusnyalah bahwa Raden mengetahui hal itu.”
“Ya, ya,” jawab Sutawijaya, “sudah aku akui. Dan aku sudah minta maaf.”
“Tidak kepadaku, karena bukan akulah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Sepercik ketegangan tampak di wajah Raden Sutawijaya. Karena itu ia tidak segera menjawab. Ditatapnya saja Pandan Wangi berganti-ganti dengan Agung Sedayu dan Swandaru.
Kedua anak muda murid Kiai Gringsing itu menjadi bingung. Ia sebenarnya tidak ingin terjadi ketegangan itu. Tetapi mereka pun dapat mengerti bahwa Pandan Wangi merasa tersinggung karena orang lain telah memasuki wilayahnya tanpa ijin.
Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Baiklah aku minta maaf kepada Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bukankah aku dapat minta kepadamu untuk mewakilinya?”
Pandan Wangi-lah yang kemudian termangu-mangu. Sejenak ia berpaling kepada Swandaru, seakan-akan minta pertimbangannya. Tetapi anak muda yang gemuk itu tidak sedang memandang ke arah Pandan Wangi.
Raden Sutawijaya menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Ia sedang berdiri di antara dua kepentingan. Yang sebelah, adalah harga dirinya, sedang yang lain adalah hubungan antara Tanah Mataram yang sedang tumbuh dengan Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata bahwa kepentingan Mataram-lah yang paling utama bagi Sutawijaya. Ia tidak mau merusak hubungan antara daerah yang sedang dibuka dengan daerah di sekitarnya. Bahwa ia sudah menyeberang Kali Praga di malam hari, adalah karena terdorong oleh keinginannya menangkap orang-orang yang tidak dikenal yang setiap kali selalu mengganggu pertumbuhan Mataram.
Sejenak mereka dikuasai oleh ketegangan. Semua orang memandang kepada Pandan Wangi untuk menunggui jawabannya
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya. Terserahlah tanggapan ayah terhadap hal ini.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dan ia pun bertanya, “Apakah maksudmu, Pandan Wangi.”
“Jika ayah menghendaki Raden datang sendiri kepadanya, terserahlah kepada ayah. Mungkin Raden segera akan kembali ke Mataram. Namun jika ayah menghendaki, kami dapat mengirimkan utusan untuk menyampaikan keputusan ayah kepada Raden.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, Katanya, “Baiklah. Aku mengerti bahwa kalian benar-benar merasa tersinggung. Tetapi jika kau menyampaikan persoalan ini kepada Ki Gede Menoreh, aku berharap agar dapat kau sampaikan dengan lengkap. Salam permintaan maaf, juga alasanku kenapa aku dengan terpaksa sekali menyeberangi sungai itu di malam hari. Aku sama sekali tidak ingin melanggar hak atas Tanah Perdikan ini, tetapi semata-mata karena terdorong oleh keinginan untuk menangkap mereka. Kami sudah dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali lagi, sehingga kami telah melanggar batas Tanah Perdikan Menoreh.”
“Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya kepada ayah dengan lengkap.”
“Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh dapat mengerti, dan tidak usah mengirimkan utusan mencari aku ke Mataram dan memanggil aku. Karena mungkin sekali aku tidak sedang berada di Mataram. Sebagai Putera Sultan Pajang aku kadang-kadang mendapat tugas khusus juga, tugas untuk melihat-lihat daerah Pajang yang tersebar luas di atas Tanah ini. Dari pasisir Utara sampai pasisir Selatan. Dari ujung Timur sampai ke ujung Barat. Dan untuk itu kadang-kadang aku memerlukan waktu yang panjang.”
Pandan Wangi tercenung sejenak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar, bahwa Sutawijaya masih ingin juga menunjukkan kekuasaannya, kekuasaan yang memang ada padanya sebagai putera angkat Sultan Pajang yang sebelum meninggalkan istana, bagaikan puteranya sendiri.
Dan kekuasaan Pajang itu sampai saat terakhir masih diakui meliputi daerah yang luas, termasuk Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itulah maka Pandan Wangi tidak segera menjawabnya. Pengakuan atas Pajang, dan pengakuan atas kekuasaan para pemimpin di Pajang masih dihormatinya, seperti ayahnya juga masih tetap menghormatinya.
Agung Sedayu yang menyadari bahwa Pandan Wangi berada di dalam kesulitan perasaan berusaha menolongnya. Katanya mengalihkan pembicaraan, “Jika demikian, silahkanlah, Raden. Marilah kita berbicara seenaknya sambil duduk mengelilingi perapian ini. Mungkin pembantu kami dapat merebus air dan memanasi jadah ketan dengan memanggangnya di atas bara. Kita akan dapat berbicara tentang orang-orang bersenjata yang tidak dikenal itu. Dan tentu pembicaraan akan menjadi sangat menarik.”
“Terima kasih,” jawab Sutawijaya
Pandan Wangi pun kemudian sambil mencoba menenangkan hatinya berkata, “Baiklah, silahkan Raden duduk.”
Raden Sutawijaya pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya. Mereka pun kemudian bermunculan dari balik gerumbul. Dan ternyata bahwa mereka pun tidak begitu banyak. Tidak lebih dari lima belas orang.
Namun ternyata bahwa anak buah Raden Sutawijaya itu cukup berhati-hati. Meskipun mereka kemudian duduk pula di perkemahan itu, namun mereka tetap terpencar. Masing-masing berkelompok antara empat atau lima orang.
Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru menaruh kepercayaan sepenuhnya bahwa Raden Sutawijaya tentu tidak akan berbuat sesuatu dengan cara yang tidak terpuji. Karena itulah maka mereka sama sekali tidak mencurigainya. Mereka sama sekali tidak menaruh banyak perhatian terhadap anak buahnya yang duduk di dalam gerombol-gerombol yang terpisah.
Tetapi ternyata bahwa Prastawa yang kurang mengenal Raden Sutawijaya berpendirian lain. Karena itulah maka ia duduk memisahkan diri dari mereka yang kemudian mengelilingi perapian. Ternyata Prastawa lebih senang duduk bersama para pengiring yang tidak sedang sibuk menyiapkan minuman dan makanan yang dapat menghangatkan mereka di malam hari.
Dalam pada itu Rudita menjadi kebingungan. Ia kurang mengerti, kenapa suasana tiba-tiba saja berubah. Ia menjadi heran kenapa orang-orang yang mengepung mereka itu segera menjadi lunak.
“Agaknya mereka sudah berkenalan sebelumnya,” katanya di dalam hati.
Dan ternyata bahwa pembicaraan mereka yang duduk di perapian itu pun menjadi lancar.
Dalam pada itu, Rudita yang masih termangu-mangu itu dan yang kemudian duduk di atas tikar di arah belakang Pandan Wangi mencoba memperhatikan pembicaraan mereka. Setiap kali ia mendengar nama anak muda yang bersenjata tombak pendek itu disebut-sebut sebagai Raden Sutawijaya. Dan nama itu memang pernah didengarnya. Hanya didengarnya.
“Ia menyebut dirinya sebagai putera Sultan Pajang. Apakah Raden Sutawijaya itulah yang dimaksud sebagai putera angkat Sultan Pajang seperti yang sering aku dengar?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Akhirnya Rudita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari pembicaraan yang didengarnya tentang orang-orang bersenjata yang membuat Mataram menjadi kisruh, ia yakin bahwa orang itulah yang dimaksudkannya.
Karena itu maka tiba-tiba saja ia bergeser maju. Ketika ia sudah duduk di sebelah Pandan Wangi, maka ia pun berkata, “Raden Sutawijaya. Ternyata Raden Sutawijaya adalah orang yang selama ini baru aku dengar namanya lewat cerita-cerita. Kedatangan Raden sangat mengejutkan kami dan agaknya perbawa Raden telah membuat aku ketakutan. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami tidak akan berani berbuat apa pun terhadap Raden, Putera Sultan Pajang.”
Sutawijaya berpaling. Dilihatnya Rudita dengan herannya. Apalagi ketika dilihatnya anak muda itu tertawa-tawa sambil meremas-remas tangannya sendiri.
“Raden,” berkata Rudita kemudian, “aku minta maaf akan kelancangan kawan-kawanku, juga Pandan Wangi. Meskipun agaknya mereka sudah mengenal Raden, dan barangkali bahkan sudah mengetahui kedudukan Raden, namun mereka tentu belum tahu, betapa tinggi sebenarnya kedudukan Raden itu. Sebenarnya kami sama sekali tidak pantas duduk bersama-sama dengan Raden seakan-akan kami mempunyai kedudukan yang sama dengan Raden.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu yang menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Swandaru yang justru termangu-mangu.
Ketika Rudita masih akan berbicara lagi, Pandan Wangi telah menggamitnya, sehingga niat itu diurungkannya. Namun wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan ketika Rudita justru bertanya kepada Pandan Wangi, “Kenapa?”
“Sst,” Pandan Wangi berdesis.
“Bukankah kau menggamit aku? Kenapa?”
Sutawijaya terpaksa menahan senyumnya. Dalam sekilas ia dapat mengenal sifat anak muda itu. Anak muda itu pulalah yang menjadi ketakutan ketika ia mengepung perkemahan itu. Dan anak muda ini pula yang justru ingin agar kawan-kawannya melepaskan senjatanya. Namun dengan demikian, maka Rudita tidak menjadi persoalan lagi bagi Raden Sutawijaya. Ia tahu ada sedikit kekurangan pada anak muda itu. Mungkin pengalaman atau mungkin tuntunan di dalam keluarganya yang tidak banyak memperkenalkan anak muda itu dengan sifat dunia yang keras.
Dalam pada itu Pandan Wangi masih dikejar oleh kebingungan karena Rudita masih saja bertanya kepadanya, “Kenapa kau menggamit aku he? Apakah ada sesuatu yang akan kau katakan?”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Tidak ada yang akan aku katakan.”
“Tetapi kau menggamit aku.”
“Tidak sengaja. Aku hanya menyentuhmu karena aku bergeser sedikit.”
“O,” Rudita mengangguk-angguk, “kau membuat aku kehilangan kata-kataku. Aku masih ingin berbicara dengan Raden Sutawijaya, tetapi aku lupa kata-kata yang sudah ada di ujung lidah.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Dan tiba-tiba saja Rudita berkata pula, “Ha, sekarang aku ingat. Aku ingin berkata tentang diri kita kepada Raden Sutawijaya.” Lalu sambil menghadap kepada Raden Sutawijaya ia berkata, “Raden, tentu kami tidak akan dapat menghalang-halangi apa yang akan Raden katakan. Sama sekali tidak dapat. Pandan Wangi terlampau berbangga diri karena jabatan ayahnya. adbmcadangan.wordpress.com. Tetapi dibandingkan dengan Raden, maka jabatan ayahnya sama sekali tidak berarti. Apalagi anak-anak Sangkal Putung itu. Mereka tidak lebih dari anak seorang Demang kecil.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-nya, “Kami sudah lama berkenalan. Di antara kami tidak ada lagi persoalan jabatan atau pangkat. Kami berkenalan seperti anak-anak muda berkawan satu sama lain.”
“O. Tentu karena Raden berjiwa besar. Tetapi kamilah yang harus menyadari keadaan kami. Kekecilan diri kami. Adalah sikap deksura yang tidak dapat dimaafkan, jika kami tidak menyadari keadaan kami masing-masing.”
“Terima kasih,” lalu kepada Rudita ia bertanya, “siapa namamu?”
“Rudita.”
“Terima kasih, Rudita. Kau adalah anak muda yang tahu diri. Tetapi biarlah kami bersikap seperti yang kami lakukan. Aku lebih senang berbicara dengan bebas dalam sikap yang bebas.”
“O, betapa besar jiwa Raden. Dan karena itulah kami merasa lebih kecil lagi. Seharusnya anak-anak Sangkal Putung itu bergeser mundur dan duduk bersila di atas tanah sambil menundukkan kepalanya.”
Raden Sutawijaya akhirnya menjadi jemu juga melayani. Karena itu katanya, “Terima kasih. Sebaiknya kau tidur, Anak Manis. Hari sudah terlampau malam.”
Swandaru-lah yang kemudian hampir tidak dapat menahan tertawanya. Tetapi dengan susah payah dan sambil memalingkan kepalanya, ia berhasil menyembunyikan perasaannya.
Rudita pun kemudian terdiam. Tetapi ia tidak mengerti sikap Raden Sutawijaya. Apakah kata-katanya itu sebenarnya dimaksudkan seperti yang diucapkan, atau ia mempunyai maksud lain. Karena itu maka Rudita itu pun menjadi termangu-mangu. Namun demikian, maka ia pun terdiam karenanya.
Dalam pada itu, Prastawa yang duduk di antara para pengiringnya lamat-lamat mendengar juga percakapan antara Rudita dan Raden Sutawijaya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat membungkam mulut Rudita. Tetapi dengan menahan diri ia terpaksa tetap duduk di tempatnya.
Meskipun demikian, ia masih saja tetap mengawasi kelompok-kelompok orang-orang Mataram yang duduk terpencar. Namun semakin lama kecurigaannya itu pun menjadi semakin tipis.
Sementara itu, Sutawijaya sudah terlibat lagi dalam pembicaraan yang lancar dengan Agung Sedayu, Swandaru, dan Pandan Wangi. Mereka masih saja membicarakan orang-orang bersenjata yang tidak mereka kenal.
“Raden,” berkata Agung Sedayu, “jika demikian, maka sebenarnya Mataram telah terkepung.”
“Ya. Mataram memang sudah dikepung oleh orang-orang yang tidak kita kenal itu. Sejak hantu-hantuan itu dapat kita ketahui rahasianya, maka mereka telah mengambil cara yang lebih kasar. Aku sudah mendengar laporan yang terperinci dari Ki Lurah Branjangan tentang kekacauan yang timbul di Jati Anom. Sebenarnyalah bahwa kami harus mengucapkan terima kasih kepada Kiai Gringsing dan murid-muridnya beserta Ki Sumangkar.”
“Ah. Itu sudah menjadi kewajiban kami.”
“Juga kepada Ki Ranadana dan para prajurit Pajang di Jati Anom. Tetapi kami belum sempat melakukannya.”
“Kita semuanya berkepentingan.”
“Juga semua bantuan yang telah kalian berikan kepada kami selama ini.”
“Ah, kami tidak berbuat apa-apa,” jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru berkata, “Raden, bukan maksud kami untuk menunjukkan jasa kami kepada Raden dan Mataram. Tetapi agaknya perlu Raden ketahui, bahwa jalan masuk ke Mataram dari arah Timur seakan-akan benar-benar telah tertutup.”
“Ya, kami sudah mengetahui bahwa gangguan meningkat di bagian Timur Alas Mentaok, bahkan di Alas Tambak Baya.”
“Ya. Kami menemukan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Kami terpaksa bertempur melawan orang itu bersama anak buahnya.”
“Ya, ya. Aku juga sudah mendengar laporan tentang mereka. Aku juga sudah mendengar, siapakah yang telah berhasil menyingkirkan orang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama itu.”
“Bukan maksud kami untuk menyatakan diri kami.”
“Aku mengerti. Kau tentu sekedar memberikan peringatan bahwa hal itu telah terjadi.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tentu pengawal-pengawal dari Mataram itulah yang menyampaikan laporan mengenai panembahan tidak bernama itu.
“Semuanya itu membuat aku yakin, bahwa ada kekuatan yang sebenarnya berbahaya bagi Mataram, sehingga kami tidak dapat menunggu saja,” berkata Sutawijaya kemudian. “Dan itu pulalah sebabnya yang mendorong aku memberanikan diri menyeberangi Kali Praga. Dan untuk itu aku sudah minta maaf.”
“Raden tidak perlu minta maaf,” tiba-tiba saja Rudita, telah menyela, “Menoreh adalah bagian dari Pajang. Dan Raden adalah Putera Sultan Pajang. Apa pun yang akan Raden lakukan, tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”
Raden Sutawijaya berpaling. Dipandanginya Rudita sejenak, lalu kepalanya pun terangguk-angguk, “Ya, ya. Aku, memang dapat berbuat begitu meskipun itu tidak bijaksana.”
“Kebijaksanaan Raden yang melimpah-limpah itulah yang membuat Raden benar-benar seorang besar yang berjiwa besar.”
“Terima kasih,” sahut Raden Sutawijaya. Lalu katanya kepada Swandaru, “Sebenarnyalah bahwa kami di Mataram, sedang diprihatinkan oleh persoalan-persoalan yang seakan-akan tidak henti-hentinya itu.”
Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya, “Mudah-mudahan Raden segera menemukan jalan yang paling baik untuk menyelesaikannya.”
Sutawijaya tidak segera menyahut. Dipandanginya api yang menyala semakin besar karena beberapa potong kayu yang dilemparkan ke dalamnya. Sepercik bunga api meloncat ke udara dan hilang dibawa angin yang bertiup ke Utara.
“Raden dapat menemui Ki Gede Menoreh,” berkata Agung Sedayu tiba-tiba.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan Wangi pun memandang anak muda itu dengan dahi yang berkerut-merut.
“Maksudmu?” bertanya Raden Sutawijaya.
Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Rudita sudah mendahului, “Kau jangan mencampuri persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Pandan Wangi sudah menyadari kekeliruannya. Raden Sutawijaya adalah Putera Sultan Pajang. Buat apa ia menemui Ki Gede Menoreh? Jika Raden Sutawijaya memerlukan, ialah yang akan memanggil Ki Gede menghadap. Baik di Mataram mau pun di Pajang. Bukan sebaliknya.”
Agung Sedayu hanya memandangnya sekilas. Namun ia berbicara terus, seakan-akan tidak ada seorang pun yang berbicara, “Raden. Jika Raden berhasil mengadakan semacam persetujuan dan semayan untuk bersama-sama menjaga perbatasan masing-masing, maka gerak orang-orang itu akan menjadi sangat terbatas. Apalagi apabila dapat disusun semacam pasukan pengawal gabungan. Baik dengan Tanah Perdikan Menoreh, mau pun dengan Kademangan Mangir.”
Raden Sutawijaya merenung sejenak. Pendapat itu memang sangat menarik. Agaknya memang tidak akan terdapat kesulitan dengan Tanah Perdikan Menoreh jika ia benar-benar menemui Ki Argapati. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan bagi Raden Sutawijaya adalah Mangir dan bagian Timur Alas Tambak Baya. Daerah Cupu Watu adalah daerah yang kurang dikenalnya. adbmcadangan.wordpress.com. Kemudian Kademangan Prambanan yang kadang-kadang mempunyai sikap yang kurang dimengertinya justru karena daerah itu jarang sekali dijamahnya. Kemudian jika Swandaru mempunyai pengaruh yang cukup terhadap ayahnya dan kademangannya, maka Sangkal Putung dapat diharapkannya. Namun di bawah bayangan kaki Gunung Merapi terletak daerah Jati Anom, daerah yang menjadi pusat kekuasaan senapati di daerah Selatan ini, Untara.
“Tetapi untuk membinasakan orang-orang yang sengaja mengeruhkan suasana itu, Jati Anom dapat dibawa bekerja bersama,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tidak ingkar bahwa sebenarnya ada beberapa orang perwira Pajang yang langsung atau tidak langsung, berjalan sejajar dengan orang-orang yang menghalangi pertumbuhan Mataram.
“Tidak mustahil bahwa otak dari gerakan yang gila itu sebenarnya justru ada di Pajang,” desis Sutawijaya di dalam hatinya pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayu masih menunggu jawaban anak muda yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan itu. Sejenak Sutawijaya masih merenung. Lalu jawabnya kemudian, “Pendapatmu baik sekali. Tetapi apakah orang-orang yang berkuasa di sekitar Mataram dapat mengerti maksud itu. Aku yakin, tidak ada persoalan lagi bagi Menoreh. Tetapi aku tidak tahu, apakah Ki Demang di Mangir tidak justru menjadi marah-marah kepadaku seakan-akan aku sudah memerintahnya.”
“Tetapi hal itu dapat dicoba.”
“Ya. Memang dapat dicoba. Dan aku akan menyampaikannya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebelum dengan resmi aku menemui Ki Gede Menoreh, aku minta agar Pandan Wangi menyampaikan persoalan ini, dan terlebih lagi untuk waktu yang terlampau pendek ini. Bagaimana jika kita mulai saja dengan kerja sama itu sekarang?”
“Maksud Raden?”
“Aku sedang mengejar orang-orang yang tidak aku ketahui dari mana asalnya itu. Mereka menyeberangi sungai dan hilang di dalam hutan ini.”
“Kapan?” bertanya Swandaru.
“Belum lama.”
“Sesudah malam?
“Ya, sesudah malam.”
Tetapi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Sulit sekali untuk menemukan mereka. Bukannya kami tidak bersedia. Tetapi untuk mencari mereka di tengah-tengah hutan liar itu di malam hari, adalah pekerjaan yang sangat sulit.”
Series 72
RADEN Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah mencoba menerobos hutan itu, tetapi memang terlampau sulit, sehingga lebih cepat baginya untuk melingkar di sebelah hutan liar ini. Namun dengan demikian ia telah kehilangan buruannya dan justru menemukan perkemahan Pandan Wangi di pinggir hutan itu.
“Memang sulit sekali,” berkata Sutawijaya, “tetapi jika aku menunggu sampai besok, maka aku akan kehilangan lagi.”
“Sama saja bagi Raden,” berkata Pandan Wangi, “Raden tidak akan menemukannya, meskipun Raden berusaha mencarinya malam ini.”
Sekali lagi Sutawijaya mengangguk sambil berkata, “Tetapi sama saja artinya. Dan arti itu adalah, aku kehilangan lagi buruanku.”
Pandan Wangi melihat kekecewaan yang dalam di wajah Raden Sutawijaya. Tetapi tentu tidak ada yang dapat menolongnya. Hutan yang liar itu menyimpan seribu kemungkinan yang tidak dapat diperhitungkan. Apalagi di malam hari.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Rudita yang duduk mendengarkan percakapan itu menjadi ngeri. Seandainya mereka benar-benar akan memasuki hutan itu di malam hari, maka ia akan menjadi beku karenanya.
Rudita itu terkejut ketika ia mendengar aum harimau di tengah-tengah hutan. Sejengkal ia bergeser mendekati Pandan Wangi. Sedang Prastawa yang mendengar suara itu juga justru mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak pergi dari tempat duduknya. Ia lebih senang duduk di antara para pengiringnya daripada duduk bersama-sama dengan Rudita, meskipun ia sudah tidak curiga lagi terhadap para pengawal Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, maka mereka pun sempat juga menghirup minuman panas yang dihidangkan oleh para pengiring dan bahkan makanan yang sudah dihangatkan. Nikmat sekali.
“Baiklah,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “aku akan ikut berstirahat di sini. Besok pagi-pagi benar, aku akan menyerahkan arah perjalananku kepada kalian. Apakah aku akan kembali atau aku akan mencari terus orang-orang yang selalu membuat kerusuhan di Mataram itu.”
Dan hampir di luar sadarnya Swandaru berkata, “Bagaimana jika kita pergi bersama mencarinya di seluruh hutan ini. Mungkin mereka memang bersarang di dalam hutan ini.”
“Tergantung kepada Pandan Wangi. Jika aku diizinkan, aku masih akan mencarinya di dalam hutan ini. Alangkah berterima kasihnya Mataram jika kalian pergi bersamaku.”
Sejenak tidak ada yang menyahut. Rudita yang duduk di sebelah Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Lalu katanya, “Raden, tetapi bukankah orang-orang itu sudah tidak berada di Mataram lagi?”
“Siapa?” bertanya Sutawijaya pula.
“Orang-orang yang Raden cari.”
“Sudah aku katakan, mereka telah menyeberang sungai itu, dan berada di atas Tanah Perdikan Menoreh.”
“Jika demikian sebenarnya Raden sudah tidak perlu bersusah payah lagi. Biar sajalah mereka pergi ke mana mereka kehendaki. Tetapi bukankah dengan demikian berarti mereka sudah tidak mengganggu daerah Mataram lagi?”
“Ya, sekarang mereka memang tidak mengganggu daerah Mataram lagi. Tetapi entahlah besok pagi. Atau bahkan mungkin, sekarang ini mereka telah menyeberang ke Timur dan mulai lagi mengganggu orang-orang yang tinggal di daerah yang masih agak sepi.”
Rudita mengerutkan keningnya. Katanya, “Tentu tidak, Raden. Mereka tentu sudah lari ketakutan, jika mereka mengetahui Raden sedang mengejarnya.”
Sutawijaya memandang Rudita sejenak. Jawabnya kemudian, “Ya. Mereka tentu akan lari ketakutan.”
Rudita tidak mengerti tanggapan Raden Sutawijaya yang sebenarnya. Kenapa tiba-tiba saja ia mengiakan kata-katanya. Namun dengan demikian ia menjadi terdiam.
Dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang berkata, “Jika Pandan Wangi menyetujui, aku bersedia besok pagi memasuki hutan ini untuk mencari jejak. Sekaligus berburu binatang buas. Bukankah tidak banyak bedanya? Namun jika kita kurang hati-hati, kitalah yang justru akan diburu oleh orang-orang itu, seperti kita hampir saja menjadi mangsa seekor ular naga.”
Swandaru memandang Pandan Wangi pula seolah-olah sedang menunggu. Ialah yang paling berwenang menentukan, apakah ia sependapat atau tidak.
Setelah merenung sejenak, maka Pandan Wangi pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Kita besok pergi bersama-sama.”
“Jangan pergi,” Rudita mencoba mencegahnya, “biarlah mereka pergi, Pandan Wangi. Tetapi sebaiknya kita menunggu di sini bersama para pengiring.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya seperti kepada adiknya yang kecil ketika merengek minta mainan, “Kau sajalah yang tinggal di sini bersama beberapa orang pengiring yang akan menunggui kuda kita dan menyediakan makan kita seperti sekarang ini.”
“Tetapi sebaiknya kau tidak pergi.”
“Aku ingin pergi, Rudita. Akulah tuan rumah di sini. Akulah yang paling pantas mengantarkan tamu-tamu yang menjelajahi daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tetapi mereka bukan tamu. Mereka adalah orang-orang yang ingin berperang.”
“Dan kita adalah orang-orang yang sedang berburu. Kita sudah sepakat untuk berburu di hutan liar itu,” jawab Pandan Wangi, “dan kita sekarang mendapat kawan yang cukup banyak. Bukankah semakin banyak kawan kita, perjalanan kita akan menjadi semakin aman?”
Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan gelisah. Agaknya Pandan Wangi pun sudah tidak mau mendengarkan kata-katanya lagi. Ia menyesal, bahwa ia sudah ikut di dalam rombongan, bukan saja berburu di daerah yang liar, tetapi orang-orang itu rasa-rasanya seperti orang-orang liar juga, yang sedang berkelahi melawan alam di jaman-jaman manusia hidup di daerah hutan-hutan yang lebat. Hidup di dalam jaman perburuan tiada henti-hentinya. Membunuh dan dibunuh binatang buas dan sesama manusia.
“Kini mereka pun sedang berburu manusia,” berkata Rudita di dalam hatinya.
Namun Rudita tidak akan dapat mencegah orang-orang yang masih saja suka berburu itu. Sedang untuk tinggal di perkemahan itu pun rasa-rasanya terlalu ngeri. Beberapa orang pengiring yang tinggal tentu tidak setangkas Pandan Wangi. Dan tentu tidak akan dapat membidik mata ular dengan lemparan tombak.
“Di daerah yang buas memang sebaiknya berada di antara orang-orang yang garang seperti mereka itu untuk menyelamatkan diri,” berkata Rudita di dalam hatinya.
“Pandan Wangi,” berkata Rudita kemudian, “baiklah jika demikian. Jika kau pergi, aku pun akan pergi. Apalagi jika menurut penilaianmu semakin banyak orangnya, akan menjadi semakin aman.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi jalan terlalu sulit di tengah-tengah hutan itu.”
“Itulah yang menyenangkan, Rudita. Kita sudah terlalu lama hidup dalam kesenangan. Hampir tidak pernah berbuat apa-apa, sehingga sekali-sekali kita harus melatih diri kita sendiri mengatasi kesulitan jasmaniah. Berburu di hutan liar ini adalah cara yang baik untuk itu.”
“Kalian memang mencari kesulitan. Jika kalian ingin, kalian tentu dapat menyediakan uang untuk mengupah beberapa orang untuk mendapatkan binatang buruan yang kalian kehendaki. Kijang, rusa atau kancil. Bahkan harimau loreng sekalipun asal uang itu cukup banyak.”
“Juga dapat untuk berburu orang-orang bersenjata sekalipun. Tetapi kita tidak yakin bahwa usaha itu akan dapat hasil baik seperti yang kita harapkan,” potong Sutawijaya.
“Tentu itu bukan persoalan kita, Raden. Jika kita sudah mengadakan pembicaraan, maka itu harus berhasil. Jika tidak, kita tidak usah membayarnya.”
“Mungkin hal semacam itu dapat dilakukan di dalam perburuan binatang. Sebelum kita mendapat macan loreng, kita tidak akan memberikan upahnya,” sahut Sutawijaya. “Tetapi tidak bagi perburuan orang-orang bersenjata.”
“Apa bedanya, Raden?” bertanya Rudita. “Tentu kita juga tidak akan membayar upahnya, jika mereka tidak berhasil menangkap orang yang kita cari.”
“Memang kita tidak usah membayar upahnya. Tetapi kehilangan buruan, nilainya belipat dari upah yang harus kita bayarkan,” jawab Raden Sutawijaya. “Bukan sekedar seperti binatang buruan yang banyak jumlahnya.”
Rudita tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja Raden Sutawijaya sejenak, lalu kepalanya pun tertunduk, namun agaknya Rudita itu masih belum mengerti maksud Sutawijaya.
“Rudita,” berkata Sutawijaya seperti seorang guru yang sabar mengajari muridnya yang terlampau bebal, “setiap binatang yang sama nilainya dapat dikatakan sama bagi kita. Macan loreng yang satu akan sama saja nilainya dengan macan loreng yang lain. Seekor rusa tidak banyak berbeda dengan rusa yang lain pula. Tetapi tentu tidak orang-orang bersenjata itu. Sekelompok orang bersenjata yang aku cari akan sangat berbeda nilainya dengan sekelompok yang bersenjata di sekitar perapian ini, meskipun aku hampir saja keliru. Dan tentu berbeda pula dengan sekelompok yang lain lagi yang mungkin akan kita jumpai di sepanjang perjalanan kita. Karena itu, sulit bagi kita untuk mengupah orang-orang yang sanggup berburu manusia bersenjata seperti pemburu-pemburunya itu sendiri, meskipun hal itu dapat juga sekali-sekali terjadi. Tetapi sudah tentu tidak dalam kedudukan seperti kita sekarang ini.”
Rudita tidak menjawab lagi. Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat mencegah perburuan yang menegangkan itu. Meskipun demikian, ia pun tidak berani tinggal di perkemahan itu tanpa Pandan Wangi.
“Bagaimana jika justru orang-orang yang diburu itu yang akan memburu aku dan para pengiring yang tugas di sini,” berkata Rudita di dalam hati. Namun demikian sama sekali tidak berkata apa pun juga.
Ketika Rudita kemudian terdiam, maka yang lain mulai berbicara. Swandaru yang sudah menahan hati terlampau lama itu berkata, “Baiklah kita mempergunakan sisa malam ini untuk beristirahat sebelum kita besok menyelusuri hutan belukar yang lebat itu. Dengan orang-orang bersenjata yang tidak kita kenal, maka hutan lebat di pinggir Praga ini tentu tidak akan kalah berbahayanya dari Mentaok, meskipun hutan ini tidak terlalu luas.”
“Aku sependapat,” berkata Raden Sutawija. “Kita dapat tidur sejenak. Mudah-mudahan bukan kita yang kemudian dikepung oleh sepasukan orang-orang bersenjata itu. Dan baru akan kita cari besok pagi.”
“Kuda-kuda kami adalah penjaga yang paling baik. Mereka akan segera membangunkan kami jika ada seseorang yang datang.”
“Orang-orangku akan berjaga-jaga,” berkata Sutawijaya.
“Bagus sekali. Giliranku adalah berjaga-jaga menjelang pagi. Jika demikian, maka aku tidak perlu lagi melakukannya. Aku akan menitipkannya saja kepada para pengikut Raden Sutawijaya dan kuda-kuda kami itu,” gumam Swandaru.
“Sst,” Agung Sedayu berdesis.
Swandaru berpaling. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak tanpa mengerti maksudnya, kenapa ia berdesis.
“Kau samakan saja mereka dengan kuda-kuda kita,” bisik Agung Sedayu.
“O,” Swandaru menutup mulutnya, seakan-akan ingin menahan kata-katanya yang tersisa.
Demikianlah, maka mereka pun segera mencari tempat untuk beristirahat. Sebagaimana orang-orang yang biasa bertualang, maka Sutawijaya pun segera mendapatkan tempat di atas rerumputan yang kering.
“Raden,” berkata Rudita, “kenapa Raden berbaring di tempat yang kotor itu. Marilah, silahkan Raden berbaring di atas tikar ini bersama aku, dan biarlah Pandan Wangi mempergunakan yang selembar lainnya. Biarlah anak-anak itu mencari tempat mereka masing-masing.”
Swandaru hanya memandang Rudita sejenak. Tetapi ia tidak menghiraukannya lagi, karena ia pun sama sekali tidak mempergunakan sehelai tikar pun. Demikian juga Agung Sedayu, dan apa lagi Prastawa.
Tetapi ternyata bahwa Sutawijaya menolak, katanya, “Aku biasa tidur di mana pun juga tanpa lambaran, rumput kering adalah alas yang lebih hangat dari sehelai tikar pandan. Karena itu, biarlah aku tidur di sini saja bersama-sama dengan yang lain.”
“Ah,” desah Rudita, “tetapi tidak enak bagiku. Seakan-akan aku berderajat lebih tinggi dari Raden. Karena itu silahkan Raden tidur di sini.”
Sutawijaya tertawa. Katanya, “Kau terlalu baik hati. Kau mencoba untuk menghormati orang lain yang menurut pendapatmu pantas dihormati. Tetapi biarlah aku di sini. Itu bukan salahmu. Aku sendirilah yang menentukan.”
Rudita tidak menyahut lagi. Tetapi untuk beberapa lamanya ia mengawasi saja Raden Sutawijaya yang berbaring di rerumputan kering dekat perapian. Demikian juga para pengiringnya yang segera bertebaran mencari tempat masing-masing. Namun demikian beberapa orang masih tetap duduk di tempatnya untuk berjaga-jaga, karena bahaya dapat datang setiap saat, selagi mereka tidur dengan nyenyak.
Malam itu ternyata tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Agung Sedayu dan Swandaru tidak perlu lagi bertugas di akhir malam. Bahkan keduanya sempat tidur dengan pulasnya, karena di perkemahan itu rasa-rasanya menjadi semakin aman dengan kehadiran Raden Sutawijaya bersama para pengiringnya.
Namun dalam pada itu Rudita-lah yang ternyata tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Bukan saja karena ia merasa segan kepada Raden Sutawijaya, yang menurut gambarannya adalah seorang putera sultan yang berkuasa di seluruh Pajang, namun hatinya juga digelisahkan karena besok mereka harus melanjutkan perburuan mereka. Bukan saja berburu binatang buas, tetapi juga berburu manusia. Manusia yang bersenjata lebih tajam dari taring harimau yang paling ganas.
Ketika kemudian fajar menyingsing, maka mereka pun segera bangkit dan membenahi diri. Beberapa orang dari mereka pun segera memperbesar nyala perapian dan menjerang air untuk minum.
Sementara itu. Pandan Wangi pun mendahului orang-orang lain pergi ke belik di bawah pohon yang besar itu. Kemudian baru yang lain berturut-turut membersihkan diri mereka.
“Apakah kau tidak akan mandi?” bertannya Pandan Wangi kepada Rudita.
“Aku tidak dapat pergi sendiri. Aku belum mengetahui letaknya.”
“He, kenapa sendiri? Bukankah semua juga pergi ke belik itu?”
“Aku tidak mau bersama dengan mereka.”
“Kenapa?”
Rudita menggelengkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya, katanya, “Pandan Wangi, apakah setelah semuanya selesai, kau mau mengantarkan aku?”
“Ah,” Pandan Wangi tidak dapat menahan senyumnya, katanya, “apakah kau tidak malu ditertawakan oleh orang-orang lain?”
“Mereka tidak akan mentertawakan. Aku tidak dapat berbuat lain daripada itu.”
Pandan Wangi menjadi iba juga kepada anak manja itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Marilah, agaknya semuanya sudah hampir selesai. Jika kita sampai di tempat itu, maka semuanya tentu sudah kembali ke perkemahan ini. Tetapi sudah barang tentu aku tidak dapat mendekati belik itu apabila yang lain baru mandi.”
“Ah, jika begitu, nanti saja setelah mereka selesai sama sekali.”
“Itu akan membuang waktu.”
Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan mata yang sayu, sehingga akhirnya Pandan Wangi berkata, “Baiklah. Kita menunggu sejenak.”
Demikianlah, setelah langit semakin terang barulah semuanya selesai mandi. Dan barulah Pandan Wangi mengantarkan Rudita pergi ke belik itu. Seperti seorang ibu mengantar anaknya ke pakiwan di malam hari.
Ternyata Rudita hanya mencuci mukanya. Namun demikian badannya merasa segar dan rasa-rasanya kekuatannya menjadi bertambah-tambah.
Tetapi ia menjadi heran melihat Pandan Wangi yang sama sekali tidak memperhatikannya. Yang diperhatikan justru rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu di sekitar belik itu.
“Apa yang menarik perhatianmu, Pandan Wangi?” bertanya Rudita.
Pandan Wangi tidak menyabut. Tetapi sesuatu memang sangat menarik perhatiannya.
Sejenak Rudita menjadi termangu-mangu. Dipandanginya saja Pandan Wangi yang kadang-kadang berjongkok, kadang-kadang menyibakkan dedaunan perdu.
Akhirnya Rudita justru menjadi khawatir, sehingga sekali lagi ia bertanya, “Pandan Wangi, apa yang kau lihat?”
Pandan Wangi hanya berpaling sejenak, namun kemudian ia kembali merenungi gerumbul-gerumbul di sekitarnya.
Rudita meniadi semakin cemas. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah Pandan Wangi telah kesurupan demit belik itu?”
Tetapi sejenak kemudian, Pandan Wangi itu memanggilnya, “Rudita, kemarilah.”
Dengan tergesa-gesa Rudita mendekat, meskipun beberapa langkah dari Pandan Wangi ia berhenti sambil memperhatikan gadis itu. Tetapi agaknya gadis itu tidak sedang kemasukan hantu.
“Apa yang kau perhatikan?”
“Kemarilah, lihatlah.”
“Apa?”
“Rerumputan ini.”
“He, kemana kau?” bertanya Rudita ketika ia melihat Pandan Wangi menyelusuri sesuatu.
“Telapak kaki di atas rerumputan. Ranting-ranting perdu yang berpatahan.”
“Ah, tentu orang-orang yang pergi ke belik ini lebih dahulu dari kita.”
“Mereka tidak akan sampai sejauh ini. Semula aku menduga demikian. Tetapi ketika aku perhatikan, maka ada sebuah jalur yang panjang. Tentu segerombolan orang telah lewat melalui tempat ini. Dari dalam hutan dan berbelok menyelusuri hutan perdu ini.”
“Ah, darimana kau tahu.”
“Lihat. Bekas-bekas kaki dan ranting yang patah ini datangnya dari arah itu dan kemudian menuju ke arah ini. Lihat, jalur ini adalah jalur yang panjang. Memang mungkin satu dua orang di antara mereka singgah ke belik itu, karena ada jalur yang pergi ke sana dan meninggalkan belik itu. Tetapi aku yakin, tentu bukan telapak kaki orang-orang kita sendiri, yang datang kemari setelah gelap semalam dan pagi tadi mereka pergi ke belik ini selagi masih gelap. Mereka tidak akan menyelusuri tempat ini dalam jalur yang panjang. Tetapi mereka juga tidak sempat melihat bekas-bekas ini karena gelap.”
“Ah, sudahlah, Pandan Wangi. Kau telah mencari persoalan. Jika kau yakin demikian, kau tidak perlu mengatakan kepada siapa pun.”
“Kenapa?”
“Tentu hal-hal yang sebenarnya bukan persoalan kita, akan dikupas, diurai dan dibicarakan panjang lebar, kemudian mereka akan segera memburunya.”
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Dan karena Pandan Wangi masih terdiam, Rudita bertanya, “Pandan Wangi, kenapa manusia harus saling memburu, tidak ubahnya seperti binatang buas di hutan? Siapa yang paling kuat, ialah yang berhak menentukan kehendaknya. Apakah itu masih harus berlaku di dalam jaman ini?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya memang tidak, Rudita. Kita tidak boleh saling bertengkar dan apalagi saling memburu. Tetapi bahwa manusia mempunyai sifat mempertahankan dirinya itu adalah wajar sekali. kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. Seperti halnva dengan kita sekarang. Tentu kita tidak akan mencampuri persoalan orang-orang bersenjata itu, jika mereka tidak melanggar hak kita. Kita tidak tahu, akibat apa yang dapat timbul karena pelanggaran yang mereka lakukan di atas Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi sudah tentu akibat yang tidak kita inginkan. Nah, kita sekarang sedang mempertahankan diri.”
“Mungkin keteranganmu dapat dimengerti Pandan Wangi. Tetapi bagaimana dengan Raden Sutawijaya? Orang-orang yang mungkin dianggapnya melanggar haknya telah meninggalkan daerah Malaram. Kenapa ia masih juga mengejarnya, dan karena itu kau pun merasa hakmu dilanggar?”
“Rudita,” jawab Pandan Wangi, “apa yang dilakukan itu pun sebenarnya salah satu bentuk pula dari pembelaan diri. Menurut Raden Sutawijaya, jika ia tidak berhasil menangkap orang-orang itu, maka pelanggaran-pelanggaran masih akan terus terjadi. Orang-orang itu masih saja akan menusuk Mataram dengan caranya setiap saat yang tidak terduga-duga. Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijaya mencari mereka sebagai satu cara untuk membela dirinya, membela daerah yang sedang dibukanya itu.”
“Dan kau tidak berbuat apa-apa atas pelanggaran yang dilakukan olehnya pula?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Jadi, bagaimana menurut pendapatmu? Apakah aku harus bertindak atas Raden Sutawijaya?”
“Tentu tidak, Pandan Wangi. Jangan. Ia adalah putera Sultan Pajang, meskipun putera angkat.”
“Jadi bagaimana?”
“Kau dapat berbuat serupa terhadap orang-orang lain itu. Mereka tidak mengganggu Tanah Perdikan Menoreh. Persoalannya adalah persoalan Mataram dengan orang-orang itu. Kita tidak usah mencampurinya.”
Pandan Wangi memandang Rudita sejenak, lalu, “Sayang Rudita, aku berpendapat, mereka dapat mengganggu kita di sini. Itulah sebabnya, aku bersedia ikut mencari mereka dan jika mungkin menyelesaikan semua persoalannya, sehingga tidak berkepanjangan.”
Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan mata yang suram. Namun ia tidak dapat memaksa Pandan Wangi untuk mengurungkan niatnya.
Pandan Wangi sebenarnya merasa kasian juga melihat tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun untuk menolongnya. Apalagi ia yakin, bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang dianggapnya bermanfaat bagi Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, agar Rudita tidak mempersoalkannya berkepanjangan, maka Pandan Wangi pun kemudian berkata, “Rudita, mungkin kita tidak usah pergi ke mana pun.”
Rudita memandang Pandan Wangi sambil bertanya, “Maksudmu?”
“Aku mengharap orang-orang itu hanya sekedar bermalam di tempat yang tersembunyi. Pagi ini mereka akan segera kembali lewat jalan ini pula.”
“He,” tiba-tiba saja wajah Rudita menjadi tegang, “apakah mereka akan lewat jalan ini pula?”
“Mungkin sekali.”
Rudita menjadi gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah kita kembali ke perkemahan kita, Pandan Wangi.”
“Kita menunggu sebentar. Jika mereka lewat, kita tidak perlu mencarinya lagi.”
“Kita berdua?”
“Bukankah kita mempunyai banyak kawan?”
“Tetapi mereka tidak berada di sini.”
“Aku akan memanggil kawan-kawan kita, sementara kau bertempur melawan mereka, agar mereka tidak meninggalkan tempat ini.”
“Tidak. Aku tidak ingin berkelahi. Aku tidak sampai hati melukai apalagi membunuh sesama.”
“Jadi, kau sajalah yang memanggil mereka. Aku yang berkelahi.”
“Jangan, jangan. Sebaiknya kita kembali saja ke perkemahan.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika kau menghendaki demikian, apa boleh buat.”
Keduanya pun kemudian segera kembali ke perkemahan. Rudita yang cemas, bahwa orang-orang yang lewat itu akan kembali lagi, berjalan dengan tergesa-gesa. Setiap kali ia berpaling dan berkata, “Cepatlah sedikit, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi harus menahan senyumnya melihat tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak mau membuat anak muda itu menjadi semakin sakit hati.
Demikianlah, akhirnya mereka pun sampai ke perkemahan ketika orang-orang yang ada diperapian yang masih menyala itu sudah menghirup air minum mereka yang hangat.
Pandan Wangi dan Rudita pun kemudian duduk pula di antara mereka. Setiap kali Rudita memandang sikap Swandaru dan Agung Sedayu yang dianggapnya tidak pantas di hadapan seorang putera Sultan Pajang. Bahkan Pandan Wangi pun agaknya menganggap Raden Sutawijaya itu kawan bermain saja. Namun ia masih menahan hatinya dan karena itu, ia masih berdiam diri saja.
Seperti yang diduga oleh Rudita, bahwa Pandan Wangi memang senang mencari persoalan, maka gadis itu pun kemudian menceritakan apa yang dilihatnya itu kepada orang-orang yang ada di sekitar perapian itu.
“Kau memang ingin mencari perkara,” desis Rudita, “seharusnya kau diam saja.”
“Ah, aku harus mengatakannya. Bukankah sudah menjadi keputusan kita untuk mencarinya. Jika aku tidak mengatakan, bahwa aku melihat jejak itu, kita nanti akan pergi ke arah yang salah.”
“Itu lebih baik. Jika kita tidak menemukannya, maka kita tidak akan berselisih dengan mereka.”
Pandan Wangi yang mengetahui perasaan Rudita itu, hanya tersenyum saja. Namun diteruskannya ceritanya tentang jejak yang dilihatnya itu.
“Aku ingin melihatnya,” tiba-tiba saja Raden Sutawijaya berkata.
“Nanti sajalah,” cegah Swandaru, “kita menghangatkan badan kita dengan makanan dan minuman panas ini. Kemudian kita tidak hanya sekedar melihat jejak itu. Tetapi kita sudah siap untuk berangkat mencarinya.”
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita mempersiapkan diri. Kita akan berangkat dan langsung memburu orang-orang itu.”
Demikianlah orang-orang yang ada di perkemahan itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka makan minum secukupnya karena mereka sadar, bahwa mereka akan melakukan sebuah perburuan yang gawat.
“Makanlah, Rudita,” berkata Pandan Wangi, “jika kau ingin ikut bersama kami. Mungkin malam hari kita baru kembali ke perkemahan ini, atau bahkan besok atau lusa.”
“Ah,” desah Rudita, “ayah dan ibu tentu menanti kedatanganku dengan cemas.”
“Apakah kau ingin pulang lebih dahulu? Biarlah seorang pengiring mengantarkanmu.”
“Kau sajalah, Pandan Wangi. Antarkan aku pulang dahulu.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak mungkin, Rudita, aku sudah siap berangkat bersama sekelompok kecil ini. Mudah-mudahan aku segera dapat kembali.”
Rudita termangu-mangu. Katanya kemudian, “Jika kau pergi, aku pun ikut bersamamu.”
Swandaru mengangkat bahunya. Tetapi ia tidak berkata apa pun juga. Prastawa yang menjadi semakin jemu melihat sikap anak muda itu hanya dapat berdesis perlahan-lahan.
“Jika demikian, bersiaplah. Kita akan segera berangkat.”
Sementara itu, para pengiring Pandan Wangi dan pengawal dari Mataram pun segera bersiap. Hanya tiga orang saja yang tinggal di perkemahan menunggui kuda-kuda yang tertambat dan menyiapkan makan dan minum apabila setiap saat kelompok kecil itu datang.
Sejenak kemudian, maka sekelompok pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera berangkat meninggalkan perkemahan kecil di pinggir hutan yang lebat. Kini bagi mereka yang penting tidak lagi ingin berburu binatang, tetapi mereka akan berburu manusia. Namun tentu saja bukan sekedar untuk melepaskan hasrat untuk membunuh, atau perbuatan kejahatan yang serupa. Yang penting bagi mereka adalah memelihara kedamaian di daerah masing-masing. Tetapi bahwa yang damai itu masih harus diperjuangkan dengan cara yang keras adalah suatu keadaan yang masih harus di tempuh.
Yang mula-mula mereka datangi adalah belik kecil tempat mereka mengambil air dan membersihkan diri. Mereka ingin melihat jejak yang telah dilihat oleh Pandan Wangi.
Ternyata seperti Pandan Wangi, mereka mengambil kesimpulan, bahwa jejak itu benar-benar jejak sekelompok orang-orang yang berjalan menyusup di antara hutan perdu. Tentu merekalah orang yang sedang dicari oleh Sutawijaya. Jika orang-orang itu bukan orang-orang yang dengan sengaja melalui jalan yang tidak diketahui orang lain, maka mereka tidak akan mengambil jalan itu.
“Kita sudah menemukan jejaknya,” berkata Raden Sutawijaya, kemudian, “jagalah agar kita tidak kehilangan.
“Tetapi mereka tentu sudah jauh sekali,” sahut Swandaru.
“Kita akan mencobanya. Tetapi jika kita kehilangan jejak ini, kita benar-benar tidak akan dapat menduga sama sekali, ke mana mereka akan pergi.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Seandainya kita tidak menemukan orang-orangnya, asal kita dapat menggambarkan jalur jalan yang mereka tempuh, sehingga mereka dapat menimbulkan kekacauan di pinggir-pinggir tanah yang sedang kami garap itu, maka kami akan dapat mengambil sikap.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sutawijaya itu berkata seterusnya, “Nah, mumpung masih pagi. Kita sebaiknya berangkat sekarang. Aku mempunyai beberapa orang yang ahli di dalam menyelusuri jejak.”
Demikianlah, maka dua orang pengawal Sutawijaya yang dianggap cukup berpengalaman di dalam hal menyelusuri jejak telah berjalan di depan. Mereka mengikuti bekas-bekas kaki di rerumputan yang berpatahan. Kemudian ranting-ranting perdu yang disibakkan, dan bekas-bekas yang lain yang dapat diketemukan.
Di belakang kedua orang penyelusur jejak itu berjalan Sutawijaya bersama Agung Sedayu, sedang di belakangnya Swandaru bersama Prastawa. Di belakang Swandaru, Rudita berjalan dekat di sebelah Pandan Wangi. Seakan-akan ia tidak dapat berpisah lagi dengan gadis itu. Tetapi pada saat itu, perasaan Rudita sama sekali tidak sedang menilai kecantikan gadis itu, namun ia merasa paling aman berada di dekat Pandan Wangi.
Di belakang mereka berjalanlah para pengawal Raden Sutawijaya dan beberapa orang pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata bahwa mereka tidak terlalu sulit untuk mengikuti jejak itu. Agaknya orang-orang yang menyingkir dari Mataram karena tekanan yang berat dari para pengawal tanah yang baru tumbuh itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa mereka akan diikuti jejaknya, ternyata mereka sama sekali tidak berusaha melakukan penyamaran atas jejak mereka. kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. Bahkan ada di antara mereka yang dengan senjata tajam, menyentuh pohon-pohon perdu, sehingga bekasnya tampak jelas sekali. Luka-luka baru pada pohon perdu itu masih mengembun getah.
Demikianlah mereka berjalan terus. Karena mereka tidak menerobos hutan yang lebat, maka perjalanan mereka agak lebih cepat daripada apabila mereka berjalan, di dalam hutan yang masih liar itu.
“Mereka berjalan sepanjang pinggiran hutan ini,” berkata salah seorang dari kedua orang yang mengenal jejak gerombolan itu.
“Ya. Itulah yang aneh,” sahut Pandan Wangi yang mendengar kata-kata itu.
“Kenapa aneh?” bertanya Sutawijaya.
“Jika kita berjalan terus dengan arah ini, kita akan sampai ke bukit padas yang keputih-putihan itu. Tidak ada sebuah desa pun yang terletak di kaki bukit itu.”
“Jika kita berbelok ke Timur?”
“Kita akan menerobos ujung hutan ini dan kita akan sampai ke tepi Kali Praga.”
“Apakah hutan itu memotong bukit yang membujur ke Timur itu?”
“Bukit itu tidak sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Apakah yang ada di antaranya?”
“Tidak pernah disentuh oleh kaki manusia. Tetapi itu adalah kelanjutan hutan yang liar ini.”
“Itulah yang sangat menarik. Di tempat yang jarang disentuh kaki manusia. Aku justru ingin melihatnya. Mungkin di tempat itu terdapat sarang dari gerombolan yang sedang kita cari.”
“Aku kira tidak,” sahut Pandan Wangi, “daerah itu sulit sekali didapatkan air bersih. Jika kita menggali tanah, maka akan keluar airnya juga. Tetapi air itu berwarna kemerah-merahan dan berbau tanah kapur.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Air adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan. Mungkin air berbau tanah kapur itu dapat menyegarkan pepohonan yang sesuai, tetapi tentu tidak bagi manusia. Ia tidak akan dapat hidup dengan air yang kotor, apabila di daerah lain masih dapat diketemukan air yang jernih dengan mudah.
Namun demikian, iring-iringan itu masih berjalan terus. Jejak yang mereka ikuti justru menjadi semakin jelas. Agaknya orang-orang itu menjadi semakin yakin, bahwa tidak akan ada orang lain yang akan lewat jalan itu.
Karena itulah, maka jalan mereka pun menjadi semakin cepat menuju ke daerah yang belum mereka kenal sama sekali.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu yang memperhatikan kaadaan tempat itu dengan saksama mulai berpikir. Semakin lama justru dilihatnya jalur yang seakan-akan sebuah jalan setapak. Rerumputan bagaikan menyibak sebelah-menyebelah dan kadang-kadang didapatkannya seakan-akan sebuah tangga batu cadas.
Tetapi belum lagi ia mengatakan sesuatu, Raden Sutawijaya telah menggamitnya sambil berkata, “Kau melihat sesuatu yang kurang wajar di daerah ini.”
Belum lagi Agung Sedayu menjawab, hampir berbareng Swandaru dan Pandan Wangi berdesis, “Ya. Ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian.”
“Jalur ini,” sambung Agung Sedayu.
Ternyata anak-anak muda itu hampir berbareng merasakan sesuatu yang mereka anggap tidak pada tempatnya. Seharusnya semakin jauh mereka berjalan, maka daerah itu menjadi semakin sulit dilalui dan jejak pun menjadi semakin sukar ditelusuri. Tetapi ternyata yang mereka temui adalah sebaliknya.
Karena itulah, maka mereka pun segera berhenti. Raden Sutawijaya memberi isyarat kepada dua orang kepercayaannya untuk mendekat bersama dua orangnya vang berjalan di depan. Selain mereka, maka Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun berkerumun pula mengelilinginya.
“Kita bersama-sama telah melihat sesuatu yang mencurigakan,” berkata Raden Sutawijaya. “Sudah barang tentu, bahwa kita tidak boleh terjebak dalam perangkap mereka.”
Orang-orang yang mengerumuninya mengangguk-anggukkan kepala.
“Apakah salah seorang dari kalian mengetahui makna dari keadaan ini?” bertanya Sutawijaya lebih lanjut.
Sejenak orang-orang yang mengerumuninya berdiam diri. Orang-orang yang mengawal Sutawijaya itu tampaknya ragu-ragu meskipun agaknya ada juga yang akan mereka katakan.
“Raden Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu kemudian, “agaknya kita memang sedang berjalan ke suatu tempat yang meskipun jarang sekali, tetapi sekali-sekali pernah juga dilalui orang.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di luar sadarnya, ia memandang kepada Pandan Wangi yang sedang merenungi jejak yang sedang diikutinya.
“Agaknya memang demikian,” katanya kemudian, “tetapi aku belum pernah mendengar laporan tentang daerah ini, tentang orang-orang yang sering melalui jalan ini menuju ke tempat yang agaknya belum aku kenal. Pegunungan itu merupakan batas dari jarak jelajah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Daerah seberang pegunungan itu, dan hutan yang liar yang menyilang pegunungan itu adalah daerah tidak bertuan. Maksudku, daerah itu bukan lagi termasuk daerah Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sudah tentu masih termasuk di dalam kekuasaan Pajang. Sedangkan hutan yang liar itu pun demikian juga kedudukannya. Itulah sebabnya, kami tidak dapat mengatakan sesuatu yang mungkin ada di balik pegunungan itu dan di dalam hutan yang masih sangat liar dan buas. Yang mungkin tidak kalah liarnya dengan Alas Mentaok.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Hutan itu tentu masih selebat dan seliar, dan barangkali melampaui Alas Mentaok, karena Alas Mentaok sekarang sudah mulai digarap. Dan agaknya hutan itu bukannya hutan yang sempit menjelujur sepanjang Kali Praga. Menurut pengamatanku, kita sekarang sudah menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Karena jalan yang kita tempuh bukannya sejajar dengan arus Kali Praga itu.”
“Raden benar,” sahut seorang pengawal Pandan Wangi, “kita memang menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Dan pegunungan itu pun terletak semakin jauh pula.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa ujung pegunungan yang mencuat melebihi pumcak-puncak yang lain. Agaknya pegunungan itu pun benar-benar masih liar, meskipun merupakan jalur pegunungan yang tidak terlalu tinggi.
“Kita tidak akan sampai ke pegunungan itu,” berkata Raden Sutawijaya, “tetapi kita juga tidak akan segera kembali. Kita masih akan maju mengikuti jejak ini. Tetapi kita harus lebih berhati-hati.”
“Maksud Raden?” bertanya Swandaru.
“Kita tidak boleh terjebak. Karena itu, kita harus memecah iring-iringan ini menjadi dua atau tiga kelompok kecil. Jika salah satu dari kelompok ini masuk dalam jebakan, yang lain masih sempat berusaha menolongnya.”
Agung Sedayu yang mengerutkan keningnya menyahut, “Bagus sekali. Kita memang sedang memasuki daerah yang aku kira cukup berbahaya.”
“Nah, marilah kita membagi seluruh pasukan kecil kita,” berkata Raden Sutawijaya, “menjadi dua atau tiga?”
“Dua kelompok,” sahut Swandaru.
“Baiklah,” berkata Raden Sutawijaya, “yang sekelompok akan aku pimpin sendiri. Aku akan berjalan di depan. Sedang kelompok yang kedua?”
“Biarlah dipimpin oleh Pandan Wangi,” sahut Agung Sedayu.
“Kenapa aku?”
“Kaulah yang membawa beberapa orang pengiring bersamamu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa ia adalah puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang juga berkepentingan seperti Raden Sutawijaya. Karena itu, maka ia pun kemudian menyahut, “Baiklah. Aku akan berada di kelompok kedua.”
Namun tiba-tiba saja Rudita berkata, “Kau tidak usah turut campur Pandan Wangi. Bawalah pengiringmu kembali ke perkemahan. Bukankah kita sekedar akan pergi berburu?”
Semua orang memandang wajah Rudita yang pucat karena ketakutan. Anak muda itu tentu sudah membayangkan berbagai macam bahaya yang akan mereka hadapi.
Sebenarnya setiap orang di dalam pasukan kecil itu pun membayangkannya. Mereka sependapat, bahwa mereka akan masuk ke dalam suatu jebakan. Tetapi mereka pun akan berusaha untuk memecahkan jebakan itu dan mengetahui isinya.
“Pandan Wangi,” desis Rudita, “kenapa kau diam saja?”
Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Sebenarnyalah, bahwa Rudita baginya hanya akan menjadi beban saja. Di dalam perkelaian yang seru, tentu hampir tidak ada waktunya untuk mengurusi anak cengeng itu. Tetapi untuk menyuruhnya kembali, ia harus menyediakan dua atau tiga orang pengiring. Bahkan di jalan kembali itu pun Rudita dapat setiap saat diterkam oleh bahaya. Mungkin binatang buas, mungkin orang-orang yang justru melampaui binatang buas.
“Pandan Wangi,” Rudita mengulang. Bahkan ia pun melangkah mendekati Pandan Wangi dengan lutut gemetar dan merengek seperti kanak-kanak.
“Rudita,” berkata Pandan Wangi, “kau tidak mempunyai pilihan lagi. Kita akan pergi terus. Kau pun akan pergi terus bersama dengan kami. Jika sesuatu terjadi di perjalanan ini, sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Kau tidak usah ikut berkelahi jika kita harus berkelahi. Tetapi kau juga jangan mengganggu kami jika kami sedang berkelahi.
“Apakah kau akan berkelahi?”
“Hanya satu kemungkinan. Lebih baik lagi jika kita tidak bertemu dengan siapa pun, meskipun dengan demikian berarti perjalanan ini sia-sia.”
Rudita tidak menyahut. Seperti kata Pandan Wangi, ia memang tidak mempunyai pilihan lagi. Ia harus berjalan terus, apa pun yang akan terjadi. Karena itu, maka hatinya pun menjadi semakin kecut. Bahkan kemudian setitik air matanya mengambang di pelupuknya. Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Aku sudah tersesat di antara orang-orang yang tidak saja berburu binatang, tetapi ternyata juga berburu manusia.”
“Nasibmu memang jelek, Rudita,” Prastawa yang tidak tahan lagi menjawab.
“Diam kau!” Rudita masih juga membentak.
“Kenapa kau tidak minta mayat lawan kita yang pertama sebagai hadiah buat Pandan Wangi,” sahut Prastawa kemudian.
Mendengar pertanyaan itu, terasa segenap bulu-bulu Rudita berdiri, sehingga ia tidak dapat menjawabnya. Namun Pandan Wangi-lah yang menyahut, “Sudahlah, Prastawa. Jika demikian, maka kau pun menjadi seorang yang dikuasai oleh perasaanmu saja tanpa pertimbangan nalar. Anak ini benar-benar sedang dicengkam ketakutan yang luar biasa.”
Prastawa tidak menjawab, meskipun ia berkata di dalam hatinya, “Kenapa ia masih juga dapat menyombongkan dirinya, seolah-olah ia adalah orang yang paling berkuasi di sini.” Namun ketika ia melihat wajah anak itu semakin pucat, ia pun berkata pula di dalam hatinya, “Sebenarnya kasihan juga Rudita itu.”
Demikianlah, maka kemudian mereka benar-benar telah membagi seluruh pasukan kecil itu menjadi dua kelompok.
Sekelompok dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri dengan seluruh anak buahnya, sedang kelompok yang lain dipimpin oleh Pandan Wangi, dan terdiri atas Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan para pengiring yang dibawanya dari Menoreh. Sedangkan Rudita justru menjadi beban kelompok kedua, apabila mereka benar-benar terlibat di dalam pertempuran.
Yang sekelompok, yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya itu pun kemudian berjalan mendahului dengan meninggalkan cirri-ciri baru agar kelompok berikutnya tidak kehilangan jejak. Di samping jejak yang agaknya sengaja ditinggalkan oleh orang-orang yang sedang mereka ikuti, maka Raden Sutawijaya pun memberikan tanda yang sudah saling mereka setujui. Selain tanda-tanda itu, kunjungi adbmcadangan.wordpress.com, maka beberapa orang di dalam kelompok pertama akan memberikan tanda-tanda khusus, apabila mereka telah terlibat di dalam kesulitan.
“Kami membawa panah sendaren,” berkata Pandan Wangi ketika mereka berpisah, “adalah kebiasaan kami di dalam perburuan. Jika kami saling berpisah maka kami saling memberikan tanda dengan panah sendaren.”
“Baiklah,” jawab Sutawijaya, “kami akan membawa panahmu yang dapat bersiul itu. Mungkin kami memerlukannya.”
Maka kedua kelompok itu pun maju perlahan-lahan dalam jarak yang agak jauh, sehingga bagi orang lain tidak segera diketahui, bahwa di belakang kelompok yang dipimpin oleh Sutawijaya itu terdapat kelompok yang lain lagi.
Di sepanjang jalan sempit yang ditelusuri, Sutawijaja melihat tanda yang memang semakin jelas, sehingga ia pun yakin, bahwa ada kesengajaan dari orang-orang yang sedang dicarinya itu untuk memancing mereka.
Dengan demikian, maka Sutawijaya pun menjadi semakin berhati-hati. Apalagi ketika mereka sampai ke tempat yang terbuka.
“Kelompok di belakang kita itu pun tidak akan dapat menyembunyikan diri, apabila mereka melintasi tempat terbuka ini,” berkata Sutawijaya kepada pengiringnya, “sehingga dengan demikian, orang-orang yang akan menjebak kita itu pun segera akan melihat, bahwa kita terdiri dari dua kelompok.”
Pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun salah seorang daripada mereka pun berkata, “Kita dapat memberikan tanda, agar mereka berhenti di sini.”
“O,” Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita pun akan berhenti pula di tempat yang terbuka itu. Jika benar mereka menjebak kita, mereka tidak akan telaten menunggu. Merekalah yang akan memasuki daerah terbuka ini menyerang kita, sedang kelompok orang-orang Menoreh itu tetap terlindung di sini.”
Sutawijaya mengangguk-angguk sambil memandangi medan di hadapannya. Sebuah tempat yang terbuka, meskipun tidak terlalu luas. Sedangkan tanda-tanda yang dapat dilihatnya adalah tapak-tapak kaki di atas rerumputan dan batang-batang ilalang yang berpatahan.
“Baiklah,” berkata Sutawiiaya, “berilah tanda agar kelompok orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung itu berhenti di sini. Kita akan berjalan terus dan kita akan berusaha memancing mereka keluar dan menyerang kita di tempat yang terbuka. Sementara itu orang-orang Menoreh dapat memperhatikan pertempuran itu langsung dari tempat ini, jika kehadiran mereka tidak segera diketahui.”
Demikianlah, maka salah seorang dari pengiring Raden Sutawijaya itu pun segera memberikan tanda. Di jalur sempit itu diletakkannya sebuah ranting yang menyilang. Seperti yang sudah mereka setujui, tanda itu adalah suatu isyarat agar Pandan Wangi berhenti sejenak. Jika tidak ada isyarat lain, maka beberapa saat kemudian mereka dapat melanjutkan perjalanan.
Setelah tanda itu siap, maka Sutawijaya pun kemudian membawa orang-orangnya maju beberapa langkah lagi dengan hati-hati, sehingga mereka benar-benar sampai ke mulut lorong yang bermuara di tempat terbuka itu.
Namun sebelum mereka melanjutkan perjalanan yang dengan sengaja memasuki daerah terbuka itu, salah seorang yang memiliki ketajaman pengamatan terhadap jejak-jejak berbisik, “Raden. Tidak semua orang di dalam kelompok yang sedang kita ikuti itu pergi melalui tempat terbuka ini.”
“Darimana kau tahu?”
“Sebagian dari mereka telah memisahkan diri. Aku dapat melihat jejak mereka, meskipun mereka berusaha menyamarkannya. Sedang jejak di tempat terbuka itu sengaja mereka buat agar menjadi jelas.”
“Dugaan kita benar. Mereka telah menjebak kita.”
“Ya. Dan kita pun harus berusaha menjebak mereka.”
“Bersiaplah. Kita agaknya benar-benar harus bertempur. Orang itu memancing kita sampai ke tempat yang jauh. Tentu mereka mempunyai alas kekuatan di daerah ini.”
“Tetapi kenapa justru di daerah Menoreh?”
“Di sini, di daerah sulit yang terpencil. Tetapi mungkin juga dengan maksud, agar kita terjerumus ke dalam benturan senjata dengan para pengawal Menoreh. Jika itu tidak terjadi, mereka sudah menyiapkan jebakan buat kita.”
Para pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka pun menyadari, bahwa mereka akan segera sampai ke medan yang cukup berat. Sedang beberapa orang di antara mereka, masih belum mengetahui kemampuan orang-orang Menoreh dan anak-anak muda dari Sangkal Putung itu, sehingga sebagian dari mereka sama sekali tidak memperhitungkan kehadiran orang-orang Menoreh yang mereka anggap sebagai pengawal-pengawal Tanah Perdikan, yang dilakukan sekedar selingan dari kerja mereka di sawah dan ladang.
Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijaya pun membawa para pengiringnya memasuki tempat terbuka itu. Namun mereka memusatkan perhatian mereka ke arah jejak yang lain, yang menyimpang dari jejak yang sengaja mereka tinggalkan. Jika benar orang-orang itu akan menjebak mereka, maka mereka tentu akan datang dari arah itu.
Demikianlah, dengan hati-hati pasukan kecil itu merayap maju. Dua orang yang berjalan di paling depan masih saja berpura-pura mencari jejak, meskipun sebenarnya jejak itu terlampau jelas untuk dilihat.
Namun tiba-tiba kedua, orang itu berhenti hampir di tengah-tengah tempat terbuka itu. Dengan kerut-merut dikeningnya salah seorang dari mereka berkata, “Kita benar-benar telah dijebak. Kini tentu bukan lagi sekedar dugaan. Karena itu, kita harus bersiap. Sebentar lagi kita akan terlibat di dalam perkelahian.”
Raden Sutawijaya mendekati orang itu sambil bertanya, “Apakah kau melihat suatu pertanda yang lebih pasti?”
“Jejak itu hilang di sini.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Bagaimana mungkin, jejak itu dapat hilang di tengah-tengah tempat terbuka ini? Jika mereka menepi, maka tentu ada jejak yang bagaimanapun juga mereka usahakan untuk dihilangkan.”
“Tidak ada jejak ke jurusan lain. Benar-benar tidak ada. Penyamaran tidak akan dapat dilakukan demikian sempurnanya.”
“Jadi bagaimana mungkin. Apakah mereka dapat terbang atau melenting sampai ke tepi tempat terbuka ini?”
“Tentu tidak, Raden.”
“Jadi?”
“Jalan satu-satunya adalah melangkah mundur.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya itu pun terangguk-angguk. Bahkan sekilas senyum membayang di bibirnya. Katanya perlahan-lahan, “Aku memang bodoh sekali. Aku harus lebih banyak memperhatikan jejak-jejak yang kadang-kadang tampaknya mengandung rahasia, tetapi sebenarnya persoalannya terlalu sederhana.”
Para pengiringnya pun ikut tersenyum pula, meskipun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya kemudian, “kita harus menjadi bingung di sini beberapa lama. Sementara itu kita berharap agar orang-orang Menoreh yang dipimpin oleh Pandan Wangi itu telah berada di tempatnya dan dapat melihat kita di sini dari sela-sela dedaunan. Mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa mereka harus berlindung dan tidak berdiri berderet-deret melihat kebingungan kita di pinggir tempat terbuka ini.”
“Mudah-mudahan mereka cukup cerdas,” berkata salah seorang pengiringnya, “tetapi karena mereka adalah pemburu-pemburu yang biasa berburu binatang, mungkin mereka mempunyai sikap yang lain.”
Sutawijaya memandang pengiringnya sejenak. Tetapi pendapat itu adalah wajar, karena pengiringnya itu sama sekali belum mengenal siapakah Pandan Wangi.
Namun demikian, ia berusaha untuk memberikan sedikit gambaran tentang orang-orang yang berada di dalam kelompok kedua itu. Katanya, “Mereka memang pemburu-pemburu di hutan liar. Tetapi mereka pun pemburu-pemburu orang-orang bersenjata yang tidak kita kenal, karena sudah beberapa lama Menoreh mengadakan pengawasan di sepanjang Kali Praga.”
“Tetapi mereka belum pernah menghasilkan apa-apa. Mereka belum pernah berhasil menangkap seorang pun.”
“Orang-orang bersenjata itu selalu berhasil melarikan diri. Tetapi pernah juga terjadi dua orang yang berusaha melarikan diri dengan menyeberang kembali ke Timur berhasil mereka kenai dengan anak panah dan keduanya tidak pernah berhasil mencapai tepi Kali Praga. Mayat mereka hanyut dalam arus sungai yang kebetulan sedang deras waktu itu.”
“Darimana Raden tahu?”
“Seorang tukang perahu melihat peristiwa itu, dan kemudian menceritakan kepada para peronda dari Mataram.”
Para pengiringnya, mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan demikian, maka mereka mendapat sedikit gambaran, bahwa orang-orang Menoreh pun jika keadaan memaksa, dapat juga bertempur dengan caranya.
Sejenak kemudian kelompok kecil itu masih melingkar-lingkar di tempat terbuka itu. Meskipun nampaknya mereka sedang kebingungan, namun sebenarnya mereka sedang menunggui serangan yang setiap saat dapat datang.
Dalam pada itu, kelompok yang dipimpin oleh Pandan Wangi pun menjadi semakin dekat pula dengan tempat yang terbuka itu. Namun sebelum mereka mencapai tepi dari tempat yang terbuka, mereka menemukan suatu tanda, bahwa mereka harus berhenti.
“Sepotong ranting yang menyilang ini,” berkata Pandan Wangi, “memaksa kita untuk bersiaga.”
“Kita harus berhenti di sini,” gumam Prastawa.
“Tentu ada sesuatu yang penting. Jika tidak, kita tidak usah berhenti di sini.”
Prastawa tidak menyahut. Yang kemudian berbicara adalah Swandaru, “Di hadapan kita adalah suatu daerah yang terbuka.”
Agung Sedayu yang juga melihat tanda itu, merayap beberapa langkah maju. Namun tiba-tiba ia berdesis, “Mereka berada di sana. Di tempat yang terbuka itu.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun ia pun menyusup beberapa langkah maju bersama beberapa orang yang lain. Dan mereka pun melihat, bahwa Raden Sutawijaya masih berada di tengah-tengah tempat terbuka itu.
“Mereka tampaknya sedang kebingungan mencari sesuatu,” berkata Prastawa.
“Ya,” sahut Agung Sedayu, “tampaknya mereka kehilangan jejak.”
“Mustahil,” sahut Swandaru, “lihat, jejak itu jelas sekali. Kita dapat mengikutinya tanpa kesulitan apa pun di tempat terbuka itu. Batang ilalang yang patah-patah dan bekas-bekas kaki yang jelas.”
“Tetapi jejak itu agaknya hilang di tengah-tengah.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap beberapa orang pengiring Sutawijaya dan Sutawijaya sendiri, mereka memang sedang mencari sesuatu. Dan agaknya mereka memang telah kehilangan jejak itu.
Ternyata bahwa anak-anak muda yang berada di dalam kelompok kedua itu cukup cerdas. Hampir berbareng Agung Sedayu dan Swandaru berkata, “Ternyata kita benar-benar berada di dalam jebakan.”
Dan Swandaru meneruskan, “Apa pun yang terjadi dengan jejak itu, kita benar-benar harus berhati-hati.”
“Ya,” sahut Pandan Wangi, “jejak itu dengan sengaja memancing Raden Sutawijaya ke tempat terbuka itu. Dengan demikian, maka jika benar tempat itu merupakan jebakan, akan datang serangan dari sekeliling tempat terbuka itu, termasuk dari tempat ini.”
“Kau benar,” berkata Agung Sedayu, “setidak-tidaknya dari beberapa arah. Dan kita harus berhati-hati menghadapi mereka. Bahkan mungkin kita akan bertempur lebih dahulu dari kelompok yang terjebak di tengah-tengah tempat terbuka itu.”
“Jika mereka mengambil arah ini, agaknya memang demikian. Tetapi mungkin mereka mengambil arah yang lain.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi dari sela-sela dedaunan, ia memperhatikan apa yang dilakukan oleh Sutawijaya dan para pengiringnya.
Namun bagi Agung Sedayu dan kawan-kawannya, sikap Sutawijaya cukup mengherankan. Seharusnya mereka tidak menjadi kebingungan, karena sejak semula mereka menyadari, bahwa mereka sedang menelusuri jejak yang mereka duga sebagai suatu jehakan. Seharusnya mereka bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang dari segala arah. Bahkan mereka sempat memberikan tanda kepada kelompok kedua ini, agar mereka berhenti sebelum sampai ke tempat terbuka itu.
Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Tentu mereka pun sedang berusaha memancing lawannya dengan sikap yang pura-pura itu. Meskipun mungkin mereka benar-benar menjadi bingung karena kehilangan jejak, tetapi mereka tentu tidak akan bingung menghadapi jebakan itu.”
Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sadar, bahwa jika benar Raden Sutawijaya sudah terada di tengah-tengah jebakan, sebentar lagi tentu akan terjadi perkelahian.
Di luar sadarnya, Agung Sedayu pun berpaling ke arah Rudita yang menjadi semakin pucat seperti kapas.
Sebenarnyalah, bahwa Radita telah benar-benar menjadi ketakutan. Ia pun menyadari, bahwa pembicaraan Agung Sedayu dengan kawan-kawannya itu membayangkan bahaya yang dapat menerkam mereka. Jika jebakan itu benar-benar telah di persiapkan, maka apakah mereka dapat keluar dari jebakan itu?
Karena itu, sejenak kemudian dengan lutut gemetar ia mendekati Pandan Wangi sambil berkata, “Pandan Wangi. Bukankah kau yang akan memimpin kelompok ini? Sebaiknya kau mengambil keputusan untuk kembali saja.”
Pandan Wangi memandang Rudita sesaat. Ia memang merasa terganggu dengan kehadiran anak muda itu, karena Rudita itu adalah tamunya. Jika terjadi sesuatu, maka ialah yang pertama-tama akan dibebani dengan tanggung jawab. Tetapi di dalam keadaan serupa itu, sudah barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat kembali, selagi kelompok yang dipimpin oleh Sutawijaya itu berada di dalam kesulitan.
“Pikirkan baik-baik, Pandan Wangi,” desak Rudita, “apakah gunanya kita ikut bersusah payah memburu orang yang tidak kita kenal itu?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Rudita. Sudah tentu kita pun berkepentingan. Daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Kita pun wajib membersihkan daerah ini dari orang-orang yang tidak kita kehendaki.”
“Tetapi sasaran mereka adalah Mataram. Sama sekali bukan Menoreh.”
“Dan Menoreh dijadikannya landasan mereka untuk mengganggu Mataram. Bukankah dengan demikian akan dapat timbul salah paham antara Menoreh dan Mataram. Apalagi jika saat ini kita lepaskan Raden Sutawijaya itu terjebak.”
“Tetapi kenapa kita harus mengorbankan diri sendiri?”
“Siapa yang mengorbankan diri sendiri?”
“Kita. Jika kita mati, tumpas, maka semua akan menyesal. Kau adalah anak satu-satunya. Jika kau mati, tidak ada lagi garis keturunan paman Argapati. Dan jika aku mati, maka ayah bundaku akan meratap sepanjang sisa umurnya.”
Tetapi Pandan Wangi menyahut, “Marilah kita tidak menyerah untuk mati. Meskipun hidup dan mati seseorang tidak tergantung pada diri kita masing-masing, tetapi kita wajib berusaha. Dan jika kita berusaha dengan bersungguh-sungguh, maka Yang Menciptakan kita pun akan menolong kita, selama kita berbuat dengan niat yang baik.”
“Apakah kau dapat mengatakan, yang baik bagimu apakah tentu baik bagi orang lain?”
“Ah,” jawab Pandan Wangi, “dalam keadaan ini, kita jangan berbantah tentang sikap dan pandangan hidup. Aku tahu, bahwa yang baik itu mempunyai artinya masing-masing.”
“Dan kau akan mencoba memilih sekedar baik bagimu.”
“Rudita,” Pandan Wangi menjadi jengkel, “sudahlah. Besok kita mempersoalkan batasan antara yang baik dan yang buruk. Kita sekarang menghadapi kenyataan ini. Jika kau takut, baiklah kau tetap bersembunyi di sini. Kita harus berbuat sesuatu. Kita semuanya sekarang harus bersembunyi di sini. Jika orang-orang yang menjebak itu datang menyerang, kita akan tetap menunggu. Sampai saatnya mereka memerlukan bantuan kita, kita akan meloncat ke luar dari tempat ini dan melibatkan diri di dalam pertempuran itu.”
Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian matanya menjadi berkaca-kaca.”
“Kenapa kita bersembunyi?” tiba-tiba ia bertanya.
Pandan Wangi tidak mengerti maksud pertanyaan itu.
Sejenak ia memandang Rudita yang pucat. Kemudian jawabnya, “Kita merupakan tenaga cadangan. Setiap saat kita akan menyerang mereka tanpa diduga-duga.”
“Bagaimana jika oran-orang yang kita sangka menjebak Raden Sutawijaya itu mengetahui kehadiran kita di sini?”
“Usaha kita akan gagal. Mereka akan bersiap menghadapi kita juga. Mereka tidak akan dapat kita sergap.”
“Jika kita menyatakan kepada mereka, bahwa kita tidak ikut campur?”
“Ah, tentu tidak mungkin. Kita sudah melibatkan diri.”
Rudita merenung sejenak. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Aku sudah mengambil keputusan. Kita tidak usah turut campur. Akulah yang akan meneriakkan kepada orang-orang yang barangkali masih bersembunyi, bahwa kita tidak ikut campur. Karena itu, mereka jangan memusuhi kita.”
“Rudita,” kening Pandan Wangi Jadi berkerut-merut.
“Itu keputusanku.”
“Jangan berbuat bodoh sekali,” terdengar suara Agung Sedayu, “jika kau berteriak, maka rencana Raden Sutawijaya akan kacau.”
“Aku tidak peduli.”
“Dan kita akan berganti lawan,” desis Swandaru, “kita akan dianggap memusuhi Mataram, karena Raden Sutawijaya adalah pimpinan tertinggi Mataram.”
“Aku tidak peduli, tetapi aku tidak mau dibantai oleh orang yang tidak aku kenal di sini. Dan kalian sebaiknya mendengar keputusanku ini.”
“Gila,” Prastawa menggeram.
Namun di luar dugaan mereka, agaknya Rudita benar-benar ingin berteriak. Ia benar-benar tidak ingin terlibat di dalam perkelahian yang mungkin akan terjadi. Ia Ingin meneriakkan suatu pernyataan, bahwa ia tidak akan ikut campur di dalam persoalan antara Mataram dan orang-orang yang tidak di ketahui itu.
Sambil melingkarkan kedua telapak tangannya di mulutnya, Rudita berdiri tegak sambil menengadahkan kepalanya.
“Rudita, jangan gila,” cegah Pandan Wangi yang berdiri di sampingnya.
Meskipun suara Pandan Wangi tidak begitu keras, namun Rudita berpaling juga sejenak. Tetapi tidak ada tanda-tanda, bahwa ia akan mengurungkan niatnya. Ternyata sekali lagi ia menengadahkan kepalanya dan siap untuk berteriak.
Tetapi ketika suaranya hampir saja meloncat dari mulutnya, sekali lagi tertahan karena Pandan Wangi mengguncangnya sambil berdesis, “Jangan kau lakukan.”
“Jangan mencegah semua yang sudah aku putuskan untuk aku lakukan. Seperti kau sama sekali tidak mendengarkan pendapatku, aku pun berhak berbuat serupa.”
“Ada perbedaannya. Aku tidak bergantung kepadamu. Tetapi kau bergantung kepadaku di dalam keadaan ini. Bukan maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku ingin kau menyadari kedudukan kita masing-masing di saat ini. Akulah pimpinan kelompok ini.”
“Aku sedang berusaha untuk tidak bergantung lagi kepadamu. Tetapi jika suaraku didengar oleh mereka, dan kita tidak akan mendapat kesulitan apa-apa, maka kaulah yang bergantung kepadaku nanti.”
“Jangan kau lakukan. Aku tidak mengijinkan kau berbuat gila itu.”
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak. Tetapi tiba-tiba saja sekali lagi ia melingkarkan kedua telapak tangannya sambil menengadahkan kepalanya.
Ketika sekali lagi Pandan Wangi menggamitnya, maka ia pun mengibaskan tangan Pandan Wangi.
Tetapi ketika suaranya hampir saja meloncat dari mulutnya, Rudita itu terkejut bukan kepalang. Bahkan kemudian ia terdorong surut sambil menyeringai kesakitan. Ternyata di dalam keadaan ysng gawat itu, Pandan Wangi tidak dapat berbuat lain daripada memaksa Rudita untuk diam. Sebuah tamparan yang cukup keras telah terayun menyentuh pipi Rudita.
Dengan wajah yang tegang, Rudita kemudian memandangi Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis, “Kau memukul aku, Pandan Wangi.”
“Maaf, Rudita. Aku terpaksa melakukannya.”
Mata Rudita itu pun kemudian menjadi basah dan suaranya seakan-akan tersangkut di kerongkongan, “Kenapa kau melakukannya, Pandan Wangi?”
“Aku tidak ingin kita bersama-sama binasa di sini. Aku tahu, bahwa hatimu bersih dan damai. Kau menganggap orang lain bersikap seperti kau. Jika seseorang tidak memusuhinya, maka tidak akan timbul permusuhan. Tetapi kita tidak dapat bersikap seperti itu terhadap orang-orang yang sedang kita cari sekarang ini. Apa pun yang akan kita lakukan, maka sikap mereka akan cukup tegas. Membinasakan kita yang terperosok ke dalam perangkapnya. Termasuk kita.”
Setitik air mengambang di pelupuk mata anak muda itu. Katanya di sela-sela sedu-sedannva yang tidak dapat ditahankannya, “Ternyata hatimu tidak ada bedanya dengan orang-orang lain, Pandan Wangi. Berbeda dengan namamu, maka kau sama sekali bukan sehelai daun pandan yang wangi. Kau terlampau berprasangka dan bersikap bermusuhan, justru dengan orang-orang yang sama sekali tidak kau kenal. Kau sudah kehilangan kepercayaan kepada sesama, sehingga kau selalu menaruh curiga. Dengan demikian, maka hidupmu akan selalu dikotori dengan sikap bermusuhan dan tanpa kedamaian. Prasangka, curiga, dan kehilangan kepercayaan.”
Pandan Wangi memandang wajah Rudita yang merah. Air mata yang kemudian mengalir di pipinya. Dan wajah yang basah itu sama sekali tidak membayangkan wajah seorang laki-laki.
Tetapi Pandan Wangi tidak menyahut lagi karena tiba-tiba saja Prastawa menggamitnya. Katanya, “Pandan Wangi, lihat. Raden Sutawijaya sudah bersiaga sepenuhnya. Tentu ia sudah melihat sesuatu di sekitarnya.”
“Untunglah, bahwa orang-orang itu tidak menyerang dari jurusan ini. Jika demikian, maka kita akan berkelahi lebih dahulu daripada Raden Sutawijaya.” Pandan Wangi terdiam sejenak, lalu sambil berpaling kepada Rudita ia berkata, “Rudita. Kau tetap bersembunvi di sini. Jika kau muncul juga di arena jika kita nanti terlibat di dalam perkelahian, maka kau akan mengalami kesulitan. Ingat, kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. jika kau masih ingin tetap hidup, bersembunyilah dan diamlah. Jika kau ribut, maka kau akan mati. Sebuah pedang akan menembus dadamu, dan kau akan menggeliat tanpa dapat berbuat sesuatu. Mayatmu kemudian akan terkapar dengan ujung pedang masih tetap menembus sampai ke jantung. Kau mengerti?”
Mengerikan sekali. Air mata Rudita semakin deras mengalir. Tetapi ia mengangguk ketakutan yang sangat telah memaksanya untuk tidak membantah lagi.
Ternyata seperti yang dikatakan oleh Prastawa, di tengah-tengah tempat yang terbuka itu. Raden Sutawijaya sudah menyiapkan diri. Tombak pendeknya sudah merunduk dan orang-orangnya sudah menghadap ke beberapa arah. Dengan demikian, maka kelompok Pandan Wangi pun segera mengetahui, dari arah manakah kira-kira lawan itu akan datang.
Sebenarnyalah Raden Sutawijaya telah melihat sesuatu yang bergerak-gerak di sekitar tempat yang terbuka itu. Penglihatannya yang tajam, dilengkapi dengan firasat yang menyentuh perasaannya, maka Raden Sutawijaya pun mengetahui dari arah manakah lawan-lawannya akan datang.
Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi tegang pula karenanya. Di dalam hati mereka berharap, agar orang-orang yang berusaha menjebak kelompok-kelompok itu tidak mengetahui bahwa sekelompok kecil masih tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan.
Demikianlah, sejenak kemudian perhitungan Raden Sutawijaya itu pun ternyata benar. Beberapa orang bersenjata telah muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu yang rimbun.
Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di tengah-tengah tempat terbuka itu pun menempatkan diri mereka masing-masing untuk menyongsong orang-orang yang bermunculan dari balik dedaunan, semakin lama menjadi semakin banyak.
Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar melihat kehadiran orang-orang itu. Karena itu, maka ia pun telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.
“Nah,” tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang mengepung para pengawal dari Mataram itu berkata, “baru sekarang kita berhasil bertemu muka.”
Raden Sutawijaya mencari di antara orang-orang yang mengepungnya itu. Namun tiba-tiba dadanya berdesir, ketika ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya. Sambil tertawa orang itu melangkah maju mendekatinya.
“Raden,” berkata orang itu, “di tempat ini terpaksa aku menunjukkan diri.”
“Paman Daksina?”
“Ya, Raden. Tentu Raden tidak lupa kepadaku.”
“Apa artinya ini, Paman?”
“Apakah Raden heran melihat kehadiran kami di sini?”
“Aku tidak mengerti.”
Terdengar suara tertawa orang yang disebut Daksina itu. Katanya, “Aku memang berada di antara orang-orang yang barangkali tidak kau senangi, Raden. Orang-orang yang kau anggap selama ini mengganggu Mataram.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Barangkali Raden memang tidak menyangka, bahwa aku ada di antara mereka. Tetapi inilah kenyataan itu. Aku adalah salah seorang dari mereka yang tidak senang melihat Mataram berkembang. Aku akui, bahwa di antara kami masih terdapat kepentingan yang berbeda. Namun kami telah berusaha menemukan sikap dan menyesuaikan diri kami masing-masing menghadapi Mataram. Tetapi satu hal yang bersama-sama kami sepakati tanpa ragu-ragu, yaitu menangkap Raden Sutawijaya hidup atau mati.”
Raden Sutawijaya menggeram. Katanya, “Pihak-pihak yang manakah yang kau sebut berbeda kepentingan di antara kalian?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Apakah ada gunanya kau mengerti?”
“Mungkin ada.”
“Menjelang kematianmu?”
“Jika benar demikian, maka setidak-tidaknya sebelumi aku mati, aku sudah mengerti persoalan yang sebenarnya aku hadapi. Dan jika ada satu dua orang anak buahku yang hidup dan berhasil keluar dari tempat ini, maka akan datang saatnya Ayahanda Pemanahan yang mendengar laporannya, akan bertindak tepat.”
Orang yang disebut bernama Daksina itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Coba perhatikan di sekelilingmu, Raden. Aku mempunyai jumlah orang yang lebih banyak. Dan aku yakin, bahwa Raden tidak akan dapat menang melawan aku seorang lawan seorang meskipun aku belum sesakti ayahanda Raden, Ki Gede Pemanahan dan Ayahanda Sultan Pajang. Tetapi untuk kepentinganku kali ini mencukupilah kiranya.”
“Paman akan membunuh aku?”
“Jika mungkin, aku ingin menangkapmu hidup-hidup.”
“Buat apa sebenarnya Paman menangkap aku?”
“Pertanyaanmu aneh, Raden. Yang penting bukan untuk apa, tetapi yang penting bagi kami adalah Mataram tidak boleh berdiri seperti bentuknya sekarang.”
“Siapakah sebenarnya yang berkeberatan? Paman belum menyebut pihak-pihak yang kau katakan.”
“Baiklah, Raden. Sebelum Raden terbunuh di tempat yang memang sudah kami pilih ini, biarlah aku menyebutnya. Yang pertama adalah pihakku dan beberapa orang perwira prajurit Pajang. Sultan Pajang terlampau berbaik hati menyerahkan Mataram kepada Ki Gede Pemanahan yang sebenarnya dapat disebut meninggalkan tugasnya tanpa ijin sultan sendiri.”
“Hanya itu?”
“Tidak. Tetapi masih ada kelanjutan dari cita-cita kami yang besar. Bukan sekedar persoalan Alas Mentaok.”
“Katakan jika kau memang ingin digantung oleh Ayahanda Sultan atau Ayahanda Pemanahan.”
Jangan sombong. Tidak akan ada orangmu yang akan tetap hidup. Nah, dengarlah. Bagi kami, baik Mataram maupun Pajang, sekarang tidak ada gunanya lagi. Kami harus membentuk suatu pemerintahan baru yang lebih baik dari sekarang. Kami mencoba mengirimkan beberapa orang utusan kepada para adipati di pasisir Utara untuk mengetahui keinginan mereka yang sebenarnya.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya, “Jadi inilah usaha kalian di Istana Pajang. Sebagian aku sependapat, bahwa Pajang harus dibersihkan. Dibersihkan dari orang-orang seperti Paman dan beberapa orang perwira yang Paman katakan, meskipun Paman belum menyebut namanya.”
“He?” Daksina mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Kau akan kecewa. Untara yang ragu-ragu itu, justru ia memiliki kekuasaan tertinggi di daerah Selatan, sebentar lagi tidak akan menentang kehendak kami. Sampai saat ini ia masih tetap seorang prajurit. Prajurit yang bodoh, karena otaknya terpancang di ujung senjatanya. Tetapi sebentar lagi pasukannya akan menaikkan panji-panji, rontek, dan umbul-umbul di dalam gelar-gelar perang yang besar melanda Mataram yang sudah kehilangan Sutawijaya. Maka Mataram akan segera tenggelam dan hancur sama sekali sampai tumbuhnya Mataram yang lain dalam kesatuan negara baru yang lain. Karena itu, baik Pajang maupun Mataram tidak akan berarti apa-apa lagi bagi kami.”
“Begitu mudahnya?”
Daksina mengerutkan keningnya. Ternyata Sutawijaya masih tetap tenang meskipun ia sudah mengatakan beberapa persoalan tentang rencana dan angan-angannya.
Sebenarnyalah, bahwa setelah terkejut sejenak, maka Sutawijaya berhasil menguasai perasaannya kembali. Ia memang tidak menyangka, bahwa di tempat yang sepi itu ia akan bertemu dengan Daksina, salah seorang senapati di Pajang. Seorang yang pernah ikut membina Pajang bersama Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, dan beberapa orang lainnya. Ia adalah orang yang dekat dengan Ki Manca yang juga berkedudukan penting di Pajang. Namun nama Daksina tidak sebesar Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki Juru Martani.
Meskipun demikian, kehadiran Daksina di tempat yang sepi itu benar-benar telah menggetarkan dada Sutawijaya. Namun dalam kesulitan itu ia berhasil menguasai dirinya, sehingga nampaknya ia masih saja tetap tenang.
Tetapi Sutawijaya sadar, bahwa Daksina yakin akan dapat menjebak dan menangkapnya, hidup atau mati, sehingga ia tidak segan-segan menampilkan dirinya tanpa aling-aling. Dan apalagi dengan berterus terang mengatakan gambaran yang diinginkannya atas Pajang dan Mataram.
“Raden,” berkata Daksina kemudian, “kau memang berjiwa besar dan tabah menghadapi kesulitan. Tetapi bagaimanapun juga, kebesaran jiwa dan ketabahan tidak akan dapat menolong kesulitan yang memang melampaui batas kemampuan seseorang. Yang dapat kau lakukan hanyalah sekedar memberikan kekaguman kepada kami, bahwa sampai saat matinya Sutawijaya tidak mengenal takut dan menyerah. Hanya itu. Tetapi kau tetap akan berada di dalam kekuasaan kami, hidup atau mati.”
“Begitulah. Aku memang berharap, seandainya aku mati, maka orang yang terakhir mengagumiku hendaknya adalah musuh-musuhku. Tetapi katakan sama sekali, siapakah golongan kedua yang menghendaki Pajang dan Mataram hancur bersama-sama.”
Ki Daksina memandang anak buahnya sejenak. Kemudian katanya, “Aku kali ini yakin, bahwa kau tidak akan dapat lepas dari tangan kami. Sejauh-jauh dapat kau jangkau, tetapi ilmuku pasti masih berada di atas kemampuanmu membela diri, sedang anak buahku lebih banyak dari anak buahmu. Karena itu, baiklah, agar matimu agak lebih mudah karena tidak dibebani oleh teka-teki itu.” Daksina terhenti sejenak, lalu, “Golongan yang satu lagi adalah sekelompok orang di bawah pimpinan panembahan yang menyebut dirinya Panembahan Agung Cahyakusuma. Ingat, namanya memang agak berlebih-lebihan. Panembahan yang Agung.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kenapa kau tidak senang kepada nama itu?”
“Siapa yang mengatakan bahwa aku tidak senang pada nama itu? Nama itu bagus sekali. Dan Panembahan Agung itu adalah pasangan yang setia di dalam rencana ini. Kami bersama-sama ingin menghancurkan Mataram dan Pajang.”
Namun tiba-tiba saja Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Sekarang kau dapat berkata begitu. Tetapi tentu kalian kedua belah pihak sama-sama menyakini, bahwa apabila kalian telah berhasil, maka akan timbul pertengkaran baru di antara kalian. Baik kau, atau barangkali di belakangmu masih ada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya, maupun Panembahan Agung itu, tentu ingin duduk di atas kedudukan yang paling tinggi. Kalian terpaksa saling bertempur dan saling membunuh.”
“Kau salah, Raden,” berkata Daksina, “kita sudah saling bersetuju, bahwa kami akan mendapat kedudukan kami masing-masing. Di antara kami tentu tidak akan ada pertengkaran sama sekali.”
“Jangan membohongi diri sendiri,” jawab Sutawijaya, lalu, “tetapi seandainya demikian, maka para adipati di pesisir tentu akan merupakan persoalan yang rumit bagi kalian. Siapakah yang sudi menyerahkan kepercayaan kepadamu atau kepada panembahan yang tidak dikenal itu? Padahal para adipati di pesisir memiliki kekuatan yang jauh melampaui pengaruh kalian. Kau sangka adipati-adipati itu sama sekali tidak mempunyai sikap terhadap pimpinan pemerintahan? Apakah kau sangka mereka akan menundukkan kepalanya dengan memejamkan matanya? Tentu tidak. Aku telah mengenal mereka seorang demi seorang. Dan mereka adalah prajurit-prajurit yang berpendirian.”
Daksina mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian katanya, “Baiklah, itu akan kami pikirkan kemudian. Mungkin aku memang harus menyerahkan persoalannya kepada orang yang memiliki pengaruh lebih besar daripadaku. Mungkin memang orang-orang yang namanya dikenal seperti Ki Juru Martani. Tetapi yang penting bagiku sekarang adalah membunuhmu?”
“Apakah tidak ada lagi yang akan kau katakan tentang dirimu, atau tentang nama-nama lain yang ada sangkut pautnya?”
“Tidak perlu.” Daksina berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah kau ingin juga berpesan sesuatu kepada kami. Mungkin dapat kami sampaikan kepada keluargamu atau bahkan kepada ayahandamu, Sultan Pajang?”
“Tidak. Aku tidak ingin berpesan apa pun. Kecuali jika kau memang ingin digantung.”
Daksina tertawa. Lalu katanya, “Apakah kau tidak memberikan pesan terakhir kepada gadis itu?”
Wajah Sutawijaya menjadi semburat merah.
“Jangan kau sangka, bahwa tidak ada orang yang mengerti, bahwa kau sudah berhubungan dengan gadis itu? Dan ini akan menjadi salah satu alasan, bahwa Sultan Pajang tidak akan mencarimu, apalagi menuntut kematianmu, jika kau hilang dari Mataram.”
“Jangan mengigau, Paman,” suara Sutawijaya menjadi berat.
“Ha,” desis Daksina, “kau mulai menjadi pucat. Jangan menyesal.”
Terdengar Raden Sutawijaya menggeram. Lalu, “Persetan dengan igauanmu itu. Aku tidak peduli.”
Tetapi Daksina tertawa. Bahkan untuk beberapa lamanya ia melepaskan suara tertawanya, sehingga berkumandang memenuhi seluruh tempat yang terbuka itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kawan-kawannya sampat mendengarkan pembicaraan yang tidak begitu jelas. Namun sepatah dua patah kata mereka dapat menangkap pembicaraan Sutawijaya dengan orang yang disebutnya Ki Daksina itu. Bahkan Agung Sedayu dan kawan-kawannya mendengar, bahwa Daksina telah menyebut tentang seorang gadis.
Sementara itu, di sela-sela suara tertawanya Daksina berkata, “Raden Sutawijaya, memang seorang gadis tentu akan memilih Raden daripada Sultan Pajang yang sudah menjelang saat-saat senja hari itu. Tetapi pada suatu saat, persoalan itu akan sangat menguntungkan bagi kami. Seandainya Sultan masih ingin memaafkan Raden di dalam persoalan Mataram, namun persoalan gadis dari Kalinyamat itu tentu akan membuka persoalan baru yang menentukan, yang meskipun mula-mula tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan usaha Ki Gede Pemanahan membuka Alas Mentaok, tetapi justru persoalan itulah yang akan menggagalkan semua impian bagi berdirinya suatu negeri yang di sebut Mataram.”
Wajah Raden Sutawijaya menjadi semakin tegang. Dan dengan suara yang bergetar oleh kemarahan yang menyesak di dadanya ia berkata, “Jangan banyak berbicara. Jika kau akan menangkap Sutawijaya hidup atau mati, lakukanlah. Kau tidak usah menyinggung persoalan-persoalan yang kau sendiri tidak mengetahuinya.”
“Baiklah. Jika Raden memang tidak ingin berpesan apa pun terhadap gadis itu. Tetapi Raden harus menyadari, sepeninggal Raden, Mataram akan segera terhapus. Sebuah benturan bersenjata akan segera terjadi antara Mataram dan Pajang. Kami menyadari, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit. Sepeninggal Raden, Ki Gede Pemanahan tentu akan berbuat sesuatu. Kesaktiannya yang hampir sempurna seperti juga Sultan Pajang sendiri, akan membuat kedua kekuasaan itu hancur.”
“Cukup! Sekarang, marilah kita mulai. Jangan terburu-buru mimpi. Pada saatnya kau akan dicincang oleh para adipati dari daerah Pesisir dan Bang Wetan.”
Tetapi Daksina masih saja tertawa berkepanjangan.
Namun suara tertawanya itu tiba-tiba terputus ketika ujung tombak Raden Sutawijaya hampir saja menyentuh mulutnya, sehingga Daksina itu terkejut. Ternyata ia telah lengah, sehingga hampir saja ujung tombak pendek anak muda itu tergores di wajahnya.
Ternyata Sutawijaya tidak ingin menunda-nunda lagi. Ia pun segera memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk segera menyerang.
Sejenak kemudian, di tengah-tengah tempat yang terbuka itu, telah terjadi pertempuran yang seru. Untuk beberapa saat pertempuran itu masih belum mapan. Beberapa orang masih berusaha mencari lawan masing-masing.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa anak buah Daksina memang lebih banyak dari anak buah Sutawijaya, sehingga dengan demikian, maka beberapa orang daripadanya harus melawan lebih dari seorang.
Hal itu agaknya disadari sepenuhnya oleh para pengawal dari Mataram. Karena itu, pada loncatan yang pertama mereka telah berusaha dengan tiba-tiba saja untuk mengurangi jumlah lawannya. Begitu mereka mulai, mereka telah langsung menusukkan senjata mereka ke dada lawan.
Satu dua orang dari mereka ternyata telah berhasil. Tetapi sebagian terbesar mengalami kegagalan, karena lawan-lawan mereka pun sudah bersiap pula menghadapi setiap kemungkinan.
Sejenak kemudian, barulah pertempuran itu menjadi lebih mapan pada pihak masing-masing. Di antara mereka adalah Sutawijaya yang bertempur melawan Daksina.
Ternyata pada benturan yang pertama, Daksina telah dikejutkan oleh kemampuan Raden Sutawijaya yang tidak terduga-duga. Daksina tahu sepenuhnya, bahwa Raden Sutawijaya-lah yang telah berhasil membunuh Arya Penangsang, Adipati Jipang. Tetapi kunjungi adbmcadangan.wordpress.com perkelahian itu adalah bukan perkelahian yang wajar. Sultan Pajang sendiri akan memerlukan waktu yang panjang untuk berperang tanding dan membinasakan Arya Penangsang. Kekalahan Arya Penangsang dari Sutawijaya juga disebabkan karena kudanya yang tiba-tiba saja menjadi binal dan tidak dapat dikuasainya, sehingga Sutawijaya mendapat kesempatan untuk menusukkan tombak pusaka Pajang ke lambung Arya Penangsang itu.
Tetapi menurut perhitungannya waktu itu, kemampuan Sutawijaya sendiri adalah jauh di bawah kesaktian Arya Penangsang yang memiliki keris pusaka yang dinamakannya Kiai Setan Kober.
Kini, ketika senjatanya membentur tombak Radan Sutawijaya, bahkan bukan tombak pusaka yang dipergunakannya untuk melukai lambung Arya Penangsang itu, ternyata terasa tangannya bergetar.
“Setan manakah yang telah manjing pada diri anak muda ini sehingga ia memiliki kekuatan yang begitu besar?” bertanya Daksina di dalam hatinya.
Meskipun demikian, ketika pertempuran itu sudah berjalan beberapa lamanya, ternyata bahwa kemampuan Raden Sutawijaya yang sudah meningkat dengan cepatnya itu, masih belum dapat mengimbangi kemampuan Daksina, seorang Senapati Pajang yang berpengalaman, meskipun belum sedahsyat Ki Gede Pemanahan.
“Raden,” berkata Daksina setelah mereka berkelahi beberapa lamanya, “apakah Raden tidak mempertimbangkan, bahwa sebaiknya Raden menyerah saja?”
“Paman adalah seorang prajurit,” jawab Sutawijaya, “Paman tentu tahu pendirian seorang prajurit di peperangan.”
Daksina mengerutkan keningnya. Ternyata jawaban Raden Sutawijaya itu adalah benar-benar jawaban seorang keturunan prajurit dan dibesarkan di dalam lingkungan keprajuritan.
Karena itu, maka katanya, “Baiklah, Raden. Jika demikian, maka kitalah yang akan berusaha. Menangkapmu hidup atau mati.”
“Kalian hanya dapat menyentuhku, apabila nyawaku telah terpisah dari badanku.”
“Jawaban jantan. Tetapi agaknya kami memerlukan kau hidup.”
“Dan kau akan mempergunakan aku untuk memeras Ayahanda Pemanahan agar langsung memusuhi Pajang. Dalam pertentangan antara Pajang dam Mataran itulah kalian akan mengail keuntungannya.”
“Kau memang cerdas,” desis Daksina yang tiba-tiba saja telah meneriakkan aba-aba, “bunuh semua anak buahnya dan tangkap Raden Sutawijaya hidup-hidup.”
Tetapi anak buah Sutawijaya pun bukan sekedar anak-anak cengeng. Meskipun mereka menyangka, bahwa jumlah mereka telah cukup banyak, dan ternyata perwira Pajang yang durhaka itu memiliki anak buah yang lebih banyak, namum mereka sama sekali tidak gentar.
Mereka telah berjuang dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan dirinya. Apalagi mereka tidak dapat mengharap bantuan dari siapa pun. Bagi mereka, anak-anak Menoreh dan Sangkal Putung yang belum begitu mereka kenal itu tidak akan banyak memberikan bantuan. Meskipun demikian, seandainya mereka berani hadir, tentu akan dapat setidak-tidaknya memecah perhatian anak buah Daksina.
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya masih juga, mencoba bertahan dengan kemampuan sendiri, meskipun semakin lama semakin disadarinya kenyataan, bahwa ia dan anak buahnya telah terdesak ke dalam lingkaran yang lebih sempit.
Sementara itu, di pinggir tempat terbuka itu, Agung Sedayu dan kawan-kawannya menjadi semakin tegang. Mereka melihat keadaan Raden Sutawijaya dan anak buahnya menjadi semakin gawat. Namun demikian mereka tidak dapat mendahului isyarat yang akan diberikan oleh Sutawijaya itu. Jika mereka memberanikan diri mendahului isyarat itu, maka Sutawijaya yang berjiwa prajurit dan mempunyai harga diri yang besar itu akan merasa tersinggung karenanya.
Selagi dengan tegang mereka menyaksikan pertempuran yang semakin menyempit itu. Swandaru sempat bertanya, “He, kau tahu gadis manakah yang telah disebut-sebut oleh orang yang bernama Daksina, yang ternyata salah seorang perwira dari Pajang itu sendiri?”
“Aku tidak tahu. Tetapi rasa-rasanya aku mendengar seseorang menyebut Kalinyamat.”
“Gadis itu dari Kalinyamat?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Aku tidak tahu. Apakah ada hubungannya antara Kalinyamat dan gadis itu.”
“Aku juga tidak begitu mendengarnya. Tetapi yang jelas, agaknya ada seorang gadis di dalam istana.
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Dipandanginya perkelahian itu dengan tegangnya, dan Sutawijaya menjadi semakin terdesak karenanya.
Dalam kesulitan itu, Sutawijaya tidak dapat berbuat lain. Seperti yang memang sudah direncanakan, bahwa pasukan kecilnya telah dipecah dua untuk menjawab jebakan yang mungkin dijumpai di perjalanannya. Dan kini ia benar-benar telah terjebak, sehingga kelompok kecil yang ditinggalkan di pinggir tempat terbuka ini harus diberi isyarat agar mereka segera dapat ikut terjun di dalam perkelahian ini.
Dengan sebuah suitan nyaring, Raden Sutawijaya berusaha memanggil kelompok kecil yang menurut perhitungannya pasti sudah berada di sekitar tempat terbuka itu. Karena itu, maka ia berharap bahwa Agung Sedayu atau salah seorang dari mereka akan dapat mendengar isyaratnya itu, tanpa panah sendaren.
“Raden Sutawijaya memanggil kita,” desis Prastawa.
“Ya. Aku sudah mendengar isyaratnya,” sahut Swandaru.
“Aku menunggu pemimpin kelompok,” berkata Agung Sedayu.
Pandan Wangi memandang pertempuran itu sejenak. Agaknya isyarat Raden Sutawijaya telah menumbuhkan pertanyaan pada setiap dada lawannya. Karena itu, mereka menjadi berdebar-debar sejenak. Namun firasat mereka telah mengatakan, bahwa mereka akan mendapatkan lawa-lawan yang baru.
Tetapi bagi beberapa orang pengawal Raden Sutawijaya, isyarat itu tidak banyak menumbuhkan harapan. Mereka tidak dapat mengharapkan banyak dari orang-orang Menoreh itu. Namun biarlah mereka ikut menambah jumlah mereka di medan yang semakin sesak itu.
Sejenak kemudian maka terdengar Pandan Wangi berkata, “Marilah. Mereka sudah menunggu kita.”
“Aku ikut bersamamu Pandan Wangi,” desis Rudita yang ketakutan.
“Bersembunyilah di sini,” sahut Pandan Wangi.
“Aku ikut bersamamu. Aku tidak berani kau tinggalkan sendiri di sini.”
“Jangan ganggu aku. Kau dapat terbunuh di peperangan itu.”
“Jangan tinggalkan aku.”
Pandan Wangi menjadi jengkel. Tiba-tiba saja pedangnya telah teracu di dada Rudita. Terdengar ia menggeram, “Jika kau ikuti aku selangkah saja, maka aku akan membunuhmu sendiri daripada kau dibunuh oleh orang-orang yang menjebak Raden Sutawijaya itu.”
Wajah Rudita yang pucat menjadi semakin pucat. Tubuhnya menjadi gemetar dan matanya yang berkaca-kaca bagaikan bendungan yang mulai retak. Titik air mata mengalir dari pelupuknya membasahi pipinya.
Sepercik perasaan iba mencengkam hati Pandan Wangi. Tetapi menurut perhitungan gadis itu, yang paling baik bagi Rudita di dalam saat yang gawat itu adalah bersembunyi saja di dalam semak-semak. Karena itu betapa pun hatinya bergejolak, namun ia masih tetap mengacukan pedang nya sambil berkata, “Kau tetap di sini, kau dengar?”
Rudita tidak tidak dapat menjawab. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk lemah.
Dalam pada itu, Pandan Wangi pun kemudian berkata kepada kawan-kawannya, “Marilah. Pertempuran itu menjadi semakin gawat.”
Dan Swandaru menyahut, “Beberapa orang telah terluka. Bahkan ada yang menjadi parah.”
“Bersiaplah. Kita segera memasuki arena.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian Pandan Wangi telah meloncat keluar dari gerumbul-gerumbul perdu dengan pedang di tangan, diikuti oleh Swandaru, Agung Sedayu, Prastawa, dan para pengiring yang menyertainya.
Kehadiran mereka telah mengejutkan Daksina dan kawannya. Sejenak mereka memandang beberapa orang yang berlari-lari ke tengah-tengah tempat yang terbuka itu. Namun sejenak kemudian Daksina pun tertawa, “Ha, kau ternyata cakap juga bersiasat. Kau tinggalkan beberapa orang kawan-kawanmu di dalam gerumbul-gerumbul itu. Tetapi agaknya kau terlambat memberikan isyarat. Beberapa pengawalmu telah terluka, dan baru sekarang mereka muncul.”
Sutawijaya tidak menyahut. Tetapi ia berharap bahwa kehadiran kawan-kawannya itu akan dapat menyelesaikan pertempuran itu.
“Marilah,” berkata Daksina, “kalian tidak usah segan-segan lagi. Beberapa orang kawan-kawanmu telah menitikkan darah.”
Pandan Wangi tidak menyia-nyiakan waktu. Ia pun segera terjun ke dalam arena perkelahian yang bergeser karena hadirnya orang-orang baru.
“He,” berkata Daksina kemudian, yang masih saja bertempur seorang melawan seorang dengan Raden Sutawijaya, “ternyata ada seorang gadis yang luar biasa.” Daksina berhenti sejenak, lalu, “tidak ada duanya di daerah ini. Tentu kaulah yang disebut bernama Pandan Wangi, anak satu-satunya dari Ki Gede Menoreh. Yang pada beberapa saat yang lampau telah berhasil membunuh kakak kandungnya sendiri karena memberontak terhadap ayahnya.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia segera melibatkan diri semakin sengit di dalam perkelahian itu.
Yang menjawab justru Prastawa yang sudah mulai bertempur pula, “Ya. Ia adalah Pandan Wangi. Atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh, seharusnya kalian menyerah kepada kami.”
Daksina memandang Prastawa sejenak. Kemudian ia justru tertawa, “Kau menyenangkan sekali anak muda. Siapakah kau?”
“Tidak ada artinya bagimu.”
Daksina mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian ia meloncat surut karena serangan Raden Sutawijaya tiba-tiba saja menjadi semakin dahsyat.
Karena itu, untuk beberapa saat kemudian, Daksina tidak sempat memperhatikan lawan-lawannya yang baru. Namun tiba-tiba saja ia telah dikejutkan oleh sebuah ledakan di dalam arena itu. Dan ketika ia menghindari lawannya sejenak dan mencoba melihat salah seorang lawan yang baru saja memasuki arena, ia terkejut karenanya. Ternyata di antara mereka terdapat dua orang yang bersenjata cambuk.
“Orang-orang bercambuk itu,” desisnya.
Dalam pada itu Agung Sedayu dan Swandaru telah terlibat di dalam perkelahian pula. Dengan cambuknya mereka mempertahankan diri dari serangan para pengikut Daksina.
Sejenak Daksina sempat merenungi cambuk yang meledak-ledak itu. Bahkan kemudian terbersit kata-katanya, “Jadi kalian ada di Menoreh?”
“Siapa?” bertanya Sutawijaya.
“Orang-orang bercambuk itu.”
“Apa salahnya. Apakah kau sudah mengenal mereka?”
Daksina tidak menjawab. Tetapi ia mendengar, bahwa orang-orang bercambuk itu memang sedang menuju ke Menoreh beberapa hari yang lampau, ketika orang-orang yang berada di bagian Timur dari Tanah Mataram itu menjumpainya. Bahkan orang yang paling dipercaya di dalam lingkungannya tidak berhasil mengalahkan orang-orang bercambuk itu.
“Tetapi tentu bukan anak-anak muda ini,” berkata Daksina di dalam hatinya. “Menurut pendengaranku, di antara mereka ada seorang yang sudah tua. Agaknya anak-anak muda ini adalah muridnya.” Namun kemudian tumbuh pertanyaan, “Tetapi kenapa mereka dapat bertemu dengan Sutawijaya yang sedang mengikuti jejak kami?”
Dalam kebimbangan itu, Daksina mulai melihat perubahan yang terjadi di dalam pertempuran itu. Orang-orangnya mulai mengerahkan segenap kemampuannya. Pedang Pandan Wangi, Prastawa, dan para pengiringnya ternyata merupakan tekanan yang berat bagi mereka. Apalagi di sela-sela dentang senjata itu, masih juga terdengar cambuk meledak-ledak.
“Gila,” berkata Daksina di dalam hatinya. Ia kini menyadari bahwa perhitungannya ternyata keliru. Selama ini dengan tekun orang-orangnya selalu mengamat-amati Sutawijaya di dalam tugasnya. Orang-orangnya sempat menghitung berapa orang pengawal Sutawijaya yang selalu dibawanya di dalam tugas-tugas pencahariannya terhadap orang-orang bersenjata yang telah mengganggu Tanah Mataram yang sedang tumbuh itu. Menurut perhitungannya, orang-orangnya kali ini sudah lebih dari cukup untuk menjebak Sutawijaya. Tetapi ternyata ada sesuatu di luar perhitungannya itu.
Sebuah penyesalan telah membersit di hati Daksina. Ia telah sedemikian yakinnya, bahwa ia akan dapat membinasakan Sutawijaya, sehingga ia sudah menyebut beberapa buah rencana yang sedang dipersiapkannya.
Namun Daksina itu mencoba untuk menenteramkan hatinya sendiri. “Keterangan-keterangan itu hanyalah sekedar keterangan-keterangan yang tidak penting. Tentu Sutawijaya sudah menduganya. Dan aku tidak menyebut nama-nama lain yang terlibat selain Panembahan Agung itu. Sedangkan Sutawijaya tentu tidak mengetahui siapakah sebenarnya orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu.”
Dalam pada itu, perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Para pengawal Raden Sutawijaya ternyata menjadi heran melihat orang-orang Menoreh itu berkelahi. Ternyata gadis puteri Ki Ageng Menoreh itu pun memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan melampaui kemampuan para pengawal itu sendiri.
Semakin lama, maka semakin jelas bagi Daksina, bahwa ia telah gagal menjebak Raden Sutawijaya. Bahkan ialah yang agaknya telah terjebak. Dengan meninggalkan bekas jejak dari tempat penyeberangan terus sampai ke tempat ini, ia berharap dapat menangkap anak muda yang berani itu dan mempergunakannya untuk memeras Ki Gede Pemanahan. Tetapi ternyata, bahwa usahanya itu tidak akan dapat berhasil di dalam keadaan yang demikian. Daksina tidak dapat ingkar, bahwa orang-orang bercambuk itu memang memiliki banyak kelebihan.
“Apalagi gurunya,” berkata Daksina di dalam hatinya.
Dan memang ternyata kemudian, bahwa anak buah Daksina tidak lagi mampu untuk bertahan lebih lama lagi. Setiap kali terdengar keluhan tertahan jika ujung cambuk Agung Sedayu dan Swandaru mengenai lawannya. Apalagi apabila ujung-ujung pedanglah yang menusuk ke dalam tubuh seseorang. Prastawa, anak yang masih terlalu muda itu bertempur dengan garangnya. Sebagai seorang kemanakan Ki Argapati, maka Prastawa berhasil menunjukkan kemampuannya. Meskipun belum terlampau tinggi, tetapi ia memiliki bekal yang cukup di dalam pertempuran itu.
Kedatangan Pandan Wangi beserta kelompoknya, ternyata telah berhasil menentukan akhir dari pertempuran itu. Meskipun jumlah anak buah Daksina masih lebih banyak, namun mereka tidak berdaya menghadapi senjata anak-anak Menoreh dan ujung cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.
Demikianlah, maka Daksina pun harus mengambil keputusan. Ia tidak akan dapat menyelesaikan rencananya. Tetapi ia tidak ingin bertempur benar-benar seperti seorang prajurit yang pantang meninggalkan arena.
“Jika aku mundur kali ini, bukan berarti bahwa aku kalah,” berkata Daksina di dalam hati. Meskipun ia sendiri berhasil selalu mendesak Raden Sutawijaya, tetapi anak buahnya semakin lama menjadi semakin susut. Dan Daksina pun sadar, bahwa pada suatu saat orang-orang yang bercambuk itu setelah mengalahkan lawan-lawan mereka, maka mereka pasti akan membantu Raden Sutawijaya.
“Gila,” Daksina mengumpat. Ialah yang justru terjebak oleh kekhilafannya. Ia dengan tidak berhati-hati telah mengatakan beberapa rahasia yang seharusnya hanya boleh diketahui oleh lingkungannya.
Sekali lagi ia menggeram di dalam dadanya, “Untunglah aku belum menyebut nama-nama lain.”
Demikianlah maka tidak ada pilihan lain bagi Daksina untuk menyingkir dari arena, sehingga dengan demikian, maka ia pun segera meneriakkan sebuah aba bagi anak buahnya untuk menghindar dari pertempuran itu.
Dengan demikian, ketika anak buahnya mendengar perintah yang meloncat dari mulut Daksina itu pun, mereka segera berloncatan mundur dari arena.
Ternyata mereka adalah orang-orang yang cukup terlatih. Meskipun mereka bukan semuanya prajurit-prajurit Pajang seperti Daksina, namun mereka mampu menempatkan diri mereka dalam ikatan seperti sekelompok prajurit. Mereka ternyata tidak berlari bercerai-berai. Tetapi mereka sempat mengatur pasukan sambil menarik diri.
Sudah barang tentu bahwa Sutawijaya tidak melepaskan mereka, terutama Daksina. Namun usaha untuk menangkapnya bukan usaha yang mudah, apalagi anak buahnya dengan sengaja telah melindunginya.
Meskipun di dalam gerakan surut itu beberapa orang di antara mereka telah jatuh, namun mereka sempat mencapai daerah hutan yang agak lebat. Demikian mereka mencapai daerah yang berpohon-pohon besar dan bergerumbul lebat, barulah mereka seakan-akan terpecah.
Beberapa langkah Sutawijaya masih berusaha mengejar Daksina. Tetapi ternyata medan menjadi sangat berbahaya, sehingga ia pun kemudian terpaksa menghentikan pengejaran itu dan memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk berkumpul.
Di dalam hutan perdu yang semakin dalam menjadi semakin lebat, bahkan kemudian berhubungan dengan hutan yang masih liar, akan sangat berbahaya bagi anak-buah Sutawijaya. Mereka masih belum mengenal medan, dan mereka tidak tahu, di manakah sebenarnya sarang lawan mereka.
“Jika sarang itu tidak begitu jauh lagi dari tempat ini, kitalah yang kemudian benar-benar terjebak,” berkata Raden Sutawijaya.
“Tentu,” desis Agung Sedayu, “orang itu tidak akan tinggal diam. Jika yang disebut Panembahan Agung itu adalah orang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama, maka kita benar-benar menghadapi bahaya.
“Atau bahkan orang lain yang lebih tinggi kedudukannya di dalam susunan mereka,” sahut Swandaru.
“Itu perlu kita pertimbangkan,” desis Raden Sutawijaya.
Untuk beberapa saat, anak-anak muda itu termangu-mangu. Juga Pandan Wangi tidak segera menyatakan pendapatnya. Ternyata mereka tidak sekedar menghadapi orang-orang yang tidak dikenal, tetapi di daerah yang terpencil itu justru menjadi jalur yang meskipun belum mereka ketahui dengan pasti. Tetapi agakmya mempunyai hubungan yang erat dengan sarang orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Ada beberapa yang dapat kita tangkap dari perburuan ini,” berkata Sutawijaya. “Kita tahu pasti, bahwa memang ada orang di Istana Pajang yang dengan sengaja telah mengaburkan hubungan antara Pajang dan Mataram.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu, “kita sudah lama menduga. Tetapi kini kita sudah menemukan beberapa orang dari antara mereka. Bukankah yang bernama Daksina itu seorang perwira prajurit Pajang seperti juga kakang Untara dan mertuanya?”
“Ya,” jawab Raden Sutawijaya, “bahkan orang ini memiliki kelebihan dari Untara. Umurnya lebih tua dan kemampuannya pun agaknya tidak kalah dari Untara, karena pengalamannya. Tetapi ia mempunyai sifat yang kurang baik. Dan kini ternyata, bahwa ia telah berkhianat, karena tindakannya sama sekali sekedar untuk kepentingan sendiri. Berbeda dengan Untara. kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. Seandainya pada suatu saat ia datang ke Mataram dengan prajurit segelar sepapan, itu tentu karena ia seorang senapati yang sedang menjalankan tugas.”
Yang mendengarkan keterangan Sutawijaya itu saling berpandangan sejenak. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa disadarinya. Jika terjadi demikian, maka ia akan menghadapi persoalan yang rumit. Untara adalah kakak kandungnya. Sedang ia tidak dapat ingkar, bahwa hatinya lebih condong untuk melihat Mataram yang berkembang daripada mempertahankan kehadiran Pajang.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya kemudian, “kita masih mempunyai waktu untuk berbicara. Marilah kita kembali ke perkemahan itu. Kita beristirahat sejenak, dan pada saat itu mungkin kita dapat menemukan langkah-langkah yang sebaiknya kita lakukan.”
“Baiklah,” sahut Pandan Wangi, “kita memang memerlukan banyak pertimbangan bagi tindakan selanjutnya, yang mungkin tidak akan dapat kita lakukan sendiri. Aku harus melaporkan hal ini kepada ayah.”
“Ada baiknya. Tetapi jika aku masih dapat mengatasi persoalannya, aku akan melakukannya,” berkata Raden Sutawijaya.
“Tetapi daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Pandan Wangi. “Kita tidak tahu, di manakah sarang mereka. Namun yang terjadi ini adalah di tlatah Menoreh. Dan ayah adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Kamilah yang lebih berhak dan lebih dari itu, lebih berkewajiban untuk menyelesaikannya, kecuali jika mereka telah melarikan diri ke seberang Timur Kali Praga.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kau benar. Memang daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bagi Pajang maka perburuan semacam ini sama sekali bukan suatu pelanggaran, selama dipandang perlu bagi pengamanan Pajang di dalam keseluruhan.”
“Jika Raden bertindak atas nama putera Sultan Pajang. Tetapi ternyata bahwa apa yang kita hadapi adalah berbeda. Mungkin Daksina itu dapat juga menyebut dirinya bertindak atas kepentingan Pajang di dalam keseluruhan, seandainya ia tidak terlanjur menyebut usaha perlawanannya dan bahkan permusuhan terhadap Pajang dan sekaligus Mataram,” sahut Pandan Wangi.
Terasa sesuatu bergejolak di dada Raden Sutawijaya. Ia merasakan sindiran yang tajam itu. Bahkan Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi berdebar-debar.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak ingin membuat persoalan yang tidak dikehendakinya dengan tlatah Menoreh, yang akan bersentuhan batas dengan Mataram. Apalagi Mataram memang belum memiliki bentuknya yang pasti. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Memang seharusnya Ki Argapati mengetahuinya apa yang sudah terjadi dan apa yang berada di atas Tanah Perdikannya. Mudah-mudahan Tanah Perdikan Menoreh tidak selalu diganggu oleh pihak-pihak yang bersengketa seperti sekarang ini.”
“Tetapi usaha bersama seperti yang sedang kita lakukan adalah menguntungkan sekali,” potong Agung Sedayu. “Mungkin aku tidak berhak untuk berbicara tentang Tanah Perdikan Menoreh dan tentang Tanah Mataram yang baru tumbuh. Tetapi demikianlah agaknya.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun tidak menghendaki pembicaraan itu menjadi semakin mendalam, dan yang bahkan mungkin dapat menumbuhkan salah paham. Karena itu maka katanya kemudian, “Baiklah, kita akan berbicara kemudian. Kita akan kembali ke perkemahan.
Demikianlah, kelompok-kelompok itu kembali sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan dengan wajah yang tunduk Raden Sutawijaya merenungi dua orang kawannya yang gugur, sedang beberapa orang terluka.
“Kita bawa mereka kembali ke Mataram. Sedang mayat orang-orang yang tidak dikenal itu, biarlah diurus oleh kawan-kawan mereka sendiri, yang tentu akan kembali lagi kemari.”
Maka dengan demikian, mereka pun segera meninggalkan tempat itu kembali ke perkemahan.
Namun sesuatu telah menggetarkan hati mereka. Rudita yang bersembunyi, ternyata tidak ada di tempatnya lagi.
“Rudita, Rudita,” Pandan Wangi memanggilnya dengan cemas.
“Rudita,” Prastawa mengulang lebih keras. Tetapi mereka tidak mendengar seseorang menyahut suaranya itu.
Sejenak orang-orang yang menjadi kebingungan itu berdiri termangu-mangu. Mereka mencoba untuk melihat, barangkali mereka menemukan jejak atau semacam petunjuk yang dapat dipergunakannya untuk mengetahui, setidak-tidaknya untuk menduga, ke manakah kiranya Rudita itu pergi.
Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
“Bagaimana dengan Rudita?” Pandan Wangi menjadi sangat cemas. “Akulah yang menyuruhnya bersembunyi di sini. Tetapi tiba-tiba anak itu hilang.”
“Apakah ia pergi ke perkemahan?” desis Swandaru
“Ia tidak akan berani pergi ke tempat itu sendiri.”
“Mungkin karena ia tidak tahan lagi disiksa oleh ketakutannya yang lain, ketika ia melihat perkelahian di tempat terbuka itu, apalagi ketika dilihatnya beberapa orang sudah terluka dan bahkan terbunuh.”
“Suatu kemungkinan,” sahut Prastawa. Namun dalam pada itu Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya masih berusaha untuk menemukan jejak seseorang. Mereka berdua ternyata mempunyai dugaan yang kuat bahwa Rudita telah mengalami bencana sehingga mau tidak mau mereka harus ikut memikul tanggung jawab atas hilangnya anak itu. Apalagi mereka telah dipengaruhi pula oleh perasaan iba dan kasihan. Terlebih-lebih lagi Agung Sedayu yang pernah mengalami, betapa tersiksanya dicengkam oleh perasaan takut.
Keduanya tertegun ketika mereka melihat sesuatu. Mereka melihat beberapa helai daun yang bertebaran. Bukan helai-helai daun kuning, tetapi helai-helai daun yang masih hijau. Bahkan tangkai-tangkainya tampak betapa daun-daun itu telah direnggut dari batangnya.
“Kau mempunyai pendapat tentang daun-daun itu?” bertanya Sutawijaya.
“Tentu direnggut dengan paksa. Dan ini adalah satu-satunya jejak yang dapat kita lihat.”
“Maksudmu Rudita telah pergi karena ketakutan?”
“Bukan begitu. Tentu seseorang telah memaksanya, dan ia berpegangan apa saja yang dapat digenggam.”
“Satu kemungkinan. Tetapi tentu ada jejak yang lain.”
“Itulah yang membuat aku berdebar-debar. Tentu seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi yang dapat melakukannya seandainya begitu. Ia berhasil menghilangkan jejak, kecuali daun-daun yang bertebaran itu, yang barangkali tidak sempat diperhatikannya.”
“Ya, Rudita tentu meronta-ronta.”
“Tetapi kenapa tidak berteriak?”
“Mulutnya mungkin disumbat. Atau dengan cara-cara yang lain.”
Dalam keasyikan itu, mereka ternyata telah mengikuti jejak beberapa langkah masuk ke dalam gerumbul-gerumbul. Meskipun pendek, tetapi mereka dapat menduga ke arah mana Rudita itu dibawa. Agaknya untuk memudahkan orang itu, Rudita telah dibuatnya diam.
Pandan Wangi, Swandaru, dan Prastawa pun ternyata kemudian mulai memperhatikan kedua orang itu. Perlahan-lahan mereka mendekatinya dan mengamati apakah yang sedang mereka kerjakan.
“Rudita agaknya telah dibawa orang dengan paksa,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Kau menemukan jejaknya?” bertanya Pandan Wangi.
Agung Sedayu dan Sutawijaya pun kemudian menunjukkan beberapa helai daun yang masih hijau dan nampaknya direnggut begitu saja dari tangkainya dan jatuh bertebaran.
“O,” desis Pandan Wangi, “apakah daun-daun itu dapat dijadikan petunjuk?”
“Agaknya demikian, meskipun sekedar kemungkinan. Dan orang yang membawa anak itu tentu bukan orang kebanyakan.”
Pandan Wangi menjadi pucat. Bukan karena ketakutan mendengar orang yang memiliki kelebihan itu, tetapi ia menjadi sangat cemas akan nasib Rudita. Apalagi apabila Rudita jatuh ke tangan orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Kita memang berhadapan dengan sekelompok orang yang tangguh, tetapi licik. Itulah yang menyulitkan,” berkata Sutawijaya.
“Tetapi Rudita adalah anak yang tidak tahu apa-apa. Ia justru seorang anak muda yang sama sekali tidak menyukai kekerasan meskipun sikapnya agak sombong dan tinggi hati.”
“Aku tahu. Tetapi ia tidak dapat ingkar menghadapi kenyataan yang keras dan kasar.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi hatinya kian menjadi berdebar-debar.
“Kita harus segera kembali ke perkemahan. Kita baru menduga-duga. Masih ada kemungkinan lain, yaitu Rudita dengan ketakutan lari ke perkemahan itu,” berkata Agung Sedayu.
“Marilah,” desis Pandan Wangi, “jika ia tidak ada di sana kita harus memperhitungkan langkah-langkah berikutnya.”
Demikianlah, maka mereka pun segera kembali ke perkemahan sambil membawa korban yang jatuh. Yang terluka dan yang gugur. Dengan demikian, mereka tidak dapat berjalan terlalu cepat. Mereka harus mengingat kemampuan orang-orang yang sudah hampir kehabisan darah yang mengalir dari luka.
Namun akhirnya mereka sampai juga ke perkemahan. Mereka melihat para pengiring Pandan Wangi sudah duduk melepaskan lelahnya bersandar pada sebatang pohon.
Ketika mereka melihat orang-orang yang datang itu, mereka terkejut bukan buatan. Segera mereka meloncat berdiri dan berlari-lari menyongsongnya.
“Apa yang terjadi?” hampir berbareng mereka bertanya.
Dan pertanyaan itu telah menggetarkan dada Panaan Wangi dan kawan-kawannya. Dengan demikian maka seakan-akan mereka telah memberitahukan, bahwa Rudita tidak datang kepada mereka.
Meskipun demikian, dengan nafas yang seakan-akan mengalir semakin lambat Prastawa bertanya, “Apakah Rudita datang ke mari seorang diri?”
Para pengiring yang tinggal di perkemahan itu menjadi termangu-magu. Mereka pun menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Salah seorang dari mereka bertanya, “Maksudmu Rudita yang pergi bersamamu?”
“Ya.”
Pengiring itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Ia tidak datang ke mari.”
Prastawa menjadi semakin cemas. Dan Pandan Wangi pun bertambah pucat. Katanya, “Jadi, anak itu tidak datang ke mari?”
“Tidak,” jawab salah seorang pengiring yang kemudian justru bertanya, “Tetapi, apakah yang sudah terjadi?”
“Kita bertemu dengan yang kita cari. Kita telah bertempur.”
“O,” Para pengiring itu mengerutkan keningnya. Di pandanginya beberapa orang yang terluka, bahkan yang terbunuh di pertempuran. Tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang datang dari seberang Kali Praga. Sedang orang-orang Menoreh sendiri tidak begitu parah keadaannya, meskipun ada dua orang yang terluka. Tetapi tidak berat.
“Pandan Wangi,” berkata Raden Sutawijaya, “ternyata kita tidak sedang bermain-main dan sekedar berburu kelinci. Kita di hadapkan pada lawan yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi, “hilangnya Rudita membuat keadaanku menjadi sulit. Jika kemudian timbul persoalan antara ayah Rudita dan ayahku, maka akulah yang menjadi sebab. Apalagi Rudita adalah sanak dari saluran darah ibuku. Bukan ayahku.”
“Mudah-mudahan kita dapat menemukan,” jawab Sutawijaya, “aku tidak akan tinggal diam. Aku pun ikut bertanggung jawab atas hilangnya anak itu, karena akulah yang menyebabkan kalian berburu orang-orang bersenjata yang semula tidak kita kenal itu, tetapi yang ternyata adalah orang-orang yang dikendalikan oleh para perwira Pajang sendiri yang ingin berkhianat di samping ada orang-orang lain yang sengaja memancing di air keruh.”
“Jadi, apakah yang akan Raden lakukan?”
“Aku akan menghadap Ki Argapati. Biarlah para pengawalku membawa kawan-kawannya yang gugur dan terluka kembali ke Mataram dan menyampaikan persoalan ini kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan. Aku memerlukan sepasukan pengawal pilihan. Kita bersama-sama mencari Rudita. Bukan sekedar Rudita, tetapi aku juga mempunyai pamrih yang lain. Aku harus masuk ke dalam sarang Panembahan Agung itu, agar aku dapat memadamkan apinya, bukan sekedar asapnya. Kemudian aku tinggal memperhitungkan lawan yang ada di Istana Pajang.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Raden. Kita dapat segera berangkat. Kita tidak boleh kehilangan waktu.”
“Ya, kita harus segera berangkat, sebelum kita justru yang akan terjebak di sini.”
“Ya. Aku kira Daksina tidak akan tinggal diam. Apalagi menurut pendengaranku, ia sudah mengatakan beberapa hal mengenai rencananya.”
“Ia yakin dapat membunuh aku. Dan itu tentu terjadi jika kalian tidak datang membantuku.”
“Ah, hanya suatu kebetulan.”
Demikianlah, maka mereka pun segera mengatur diri. Para pengawal dari Mataram diperintahkan untuk segera kembali ke Mataram saat itu juga, sedang yang lain berserta Raden Sutawijaya akan pergi ke Menoreh. Persoalannya tidak dapat dihentikan sampai sekian, apalagi agaknya Rudita benar-benar telah dibawa oleh salah seorang dari mereka.
“Kita tidak boleh terjebak di sini oleh kekuatan yang lebih besar lagi dari Daksina dan yang barangkali akan datang bersama-sama dengan orang yang disebutnya Panembahan Agung itu. Daksina tentu masih berusaha untuk membungkam mulutku untuk selama-lamanya,” berkata Sutawijaya kepada para pengawalnya. “Dan lebih dari itu, jika ia berhasil menangkap aku hidup-hidup, maka aku akan dapat dijadikannya alat untuk memeras Ayahanda Ki Gede Pemanahan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan mereka.”
“Baiklah, Raden,” sahut pengawal yang tertua, yang diserahi untuk memimpin kawan-kawannya, “kami akan segera berangkat.”
“Kalian tidak perlu menerobos hutan liar itu. Lebih baik kalian melingkar sedikit, tetapi perjalanan kalian akan lebih lancar dan cepat.”
“Baiklah, Raden.”
“Sebentar lagi matahari akan terbenam. Mudah-mudahan kalian tidak mengalami kesulitan. Jika Daksina berusaha mencari kalian dengan menelusuri jejak kalian, maka malam yang akan segera turun akan membantu kalian.”
“Ya, Raden.”
“Meskipun demikian, kita akan berusaha menyesatkan jejak itu. Kita yang akan pergi ke Menoreh, akan memberikan kesan agar jejak kita lebih jelas dari jejak kalian yang akan pergi ke Mataram. Kita berharap, bahwa perhatian mereka akan tertarik pada jejak yang lebih jelas itu. Untuk beberapa puluh langkah, kalian harus berusaha menyamarkan jejak kalian sejauh dapat kalian lakukan.”
“Baiklah, Raden.”
“Nah, kita harus melakukannya sekarang,” dan sambil berpaling kepada Pandan Wangi Sutawijaya berkata, “kita harus cepat berkemas.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling dilihatnya Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan para pengiringnya memperhatikan pembicaraan itu dengan saksama. Bahkan kemudian Prastawa berkata, “Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini.”
Meskipun tidak ada yang menyahut, namun setiap hati telah sependapat dengan kata-kata Prastawa itu. Mereka mempunyai perhitungan yang sama, bahwa Daksina akan membawa pasukan yang lebih kuat untuk membinasakan Sutawijaya yang sudah mendengar beberapa dari rahasia Daksina, yang dengan sombong dikatakannya. Selain daripada itu, Daksina dan kawan-kawannya memang memerlukan Sutawijaya yang akan dapat dipakainya untuk memeras Ki Gede Pemanahan.
Dengan mempergunakan nama Ki Gede Pemanahan, maka kedudukan seseorang akan menjadi kuat di mata para adipati pesisir dan Bang Wetan.
“Marilah,” berkata Sutawijaya sambil menunggu mereka yang dengan tergesa-gesa mengemasi peralatan yang mereka bawa, terutama orang-orang Menoreh. “Para pengawal dari Mataram sebaiknya segera berangkat. Mungkin Daksina akan mencegat perjalanan kalian. Karena itu, kalian harus mencari jalan lain. Sedang apabila mereka menempuh cara mengikuti jejak kalian, kami akan mencoba menyesatkannya. Di ujung hutan itu, kalian harus mencoba menyamarkan jejak kalian sejauh-jauhnya.”
Demikianlah, maka para pengawal dari Mataram itu pun berangkat mendahului orang-orang Menoreh. Mereka membawa kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang terluka.
Seperti pesan Raden Sutawijaya mereka menempuh jalan yang lain, yang tidak usah menerobos hutan liar itu, seperti jalan yang akan dilalui oleh Sutawijaya dan orang-orang Menoreh kemudian.
Setelah para pengiring Pandan Wangi selesai mengemasi peralatannya, maka mereka pun segera berangkat meninggalkan perkemahan itu. Karena Raden Sutawijaya tidak membawa kuda sendiri, maka salah seorang pengawal Pandan Wangi telah meminjamkan kudanya.
Sampai di ujung hutan, ternyata bahwa para pengawal dari Mataram itu berusaha menyamarkan jejaknya. Dengan hati-hati mereka maju dan menghindari tempat yang gembur dan sentuhan pada ranting-ranting perdu, sementara seseorang menyapu jejak mereka dan menaburkan daun-daun kering untuk menyesatkan perhatian.
Dalam pada itu, para pengiring Pandan Wangi justru menegaskan jejak mereka yang berbelok kejurusan lain. Bekas kaki-kaki kuda dan beberapa macam benda yang sengaja mereka jatuhkan, menunjukkan arah perjalanan mereka, ke pusat pemerintahan Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika matahari kemudian terbenam, Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Ada dua kemungkinan yang sama besar bagi para pengawalnya. Jika orang-orang Daksina benar-benar mencarinya, dan menyelusuri jejak perjalanan para pengawalnya, mereka akan menemui kesulitan karena gelap yang pekat. Tetapi jika mereka menempuh jalan lain dan berhasil mencegat para pengawal itu di tempat yang tepat, maka para pengawalnya tidak akan banyak memberikan perlawanan.
Tetapi para pengawal dari Mataram itu pun ternyata adalah orang yang cukup berpengalaman. Mereka tidak menyeberangi Kali Praga melalui jalan yang biasa, tetapi mereka menempuh jalan-jalan memintas yang jarang dilalui orang. Meskipun mereka agak kesulitan mencari getek-getek penyeberangan, tetapi karena ada di antara mereka yang sudah mengenal orang-orang yang memiliki getek-getek semacam itu, maka dengan sedikit penjelasan, mereka pun berhasil meminjam dari mereka dan membawa getek itu dari tempat penyeberangan yang biasa, ke tempat yang lain untuk menghindari orang-orang Daksina yang mungkin mengejar mereka atau mencegat di tempat penyeberangan yang mereka perhitungkan.
Sementara itu, Sutawijaya dan kawan-kawannya beserta para pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh pun berpacu secepat-cepatnya untuk segera dapat mencapai induk Tanah Perdikan. Bukan karena mereka ketakutan dikejar oleh Daksina, tetapi karena mereka dicemaskan oleh nasib Rudita. Mereka harus segera dapat berhubungan dengan adbmcadangan.wordpress.com. orang-orang tua seperti Ki Argapati, Kiai Gringsing, dan Sumangkar. Tanpa mereka, maka usaha untuk menemukan Rudita adalah sulit sekali. Dan selain daripada itu, tusukan langsung ke sarang orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu tentu akan sangat berguna bagi Mataram dan juga Menoreh.
Dalam pada itu, sebenarnyalah Daksina yang melarikan diri dari arena, berusaha untuk mendapatkan bantuan secukupnya. Dengan orang-orangnya yang baru dan seorang yang menyebut dirinya Putut Nantang Pati, dari padepokan yang tersembunyi, Daksina berusaha menyusul Raden Sutawijaya.
“Apakah kita tidak menghadap Panembahan Agung lebih dahulu ke Padepokan Medang?” bertanya Putut Nantang Pati.
“Kita akan kehilangan mereka, terutama Raden Sutawijaya. Perjalanan ke Padepokan Medang akan memerlukan waktu, jarak antara padepokanmu ini sampai ke padepokan Panembahan Agung sama jauhnya dengan menyelusuri jejak Sutawijaya sampai ke tepi Kali Praga.”
“Apakah kita akan menyelusuri jejaknya, atau kita akan langsung menunggunya di Kali Praga.”
“Ada beberapa tempat penyeberangan. Kita tidak dapat menentukan, penyeberangan yang mana yang dipilihnya.”
“Kita akan menemui kesulitan untuk menyelusuri jejak di malam hari.”
“Kita akan berusaha. Mereka tentu berjalan lambat, karena mereka membawa kawan-kawan mereka yang terluka.”
Dengan membawa beberapa obor mereka pun dengan tergesa-gesa berusaha menyusul Sutawijaya. Tetapi mereka memerlukan waktu, selama mereka menyiapkan diri dan mengumpulkan orang-orangnya. Meskipun demikian, mereka pun tidak mengurungkan niatnya. Menurut perhitungan Daksina, mereka akan dapat menyusul orang-orang Mataram itu.
Dengan cahaya obor mereka berusaha menyelusuri jejak orang-orang Mataram dan orang-orang Menoreh. Sejak dari arena perkelahian sehingga bekas tempat perkemahan mereka tidak menemukan kesulitan apa pun.
“Mereka belum lama meninggalkan tempat ini,” berkata Daksina.
“Ya,” jawab Putut Nantang Pati, “perapian ini masih hangat.”
“Tentu setelah mereka kembali dari arena itu.”
“Mereka sempat mengemasi barang-barang mereka.”
“Karena itu, tentu mereka belum terlalu jauh.”
“Bagaimana kalau kita menempuh jalan yang kau pasang kemarin? Jejak yang berhasil menyeret Sutawijaya sampai ke jebakan yang kau pasang?”
“Mereka tentu tidak akan menempuh jalan itu.”
“Sayang, jebakanmu tidak mengena.”
“Tentu bukan sekedar menyesali diri. Kita harus menyusulnya. Jalan yang paling baik adalah menyelusuri jejak mereka.”
Putut Nantang Pati tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian memandang ke dalam gelap. Cahaya obor yang kemerah-merahan seakan-akan membuat bayangan yang bergerak-gerak di pepohonan.
“Marilah,” berkata Daksina.
Demikianlah, mereka pun berjalan menyusuri jejak yang dapat mereka lihat di dalam cahaya obor. Beberapa orang-orang berpengalaman mengenai jejak berjalan di paling depan. Dengan ketajaman mata mereka, maka mereka dapat mengikuti jejak yang sengaja tidak disembunyikan.
“Apakah mereka akan menjebak kita seperti kita menjebak mereka? Apakah mereka dengan sengaja meninggalkan bekas agar kita terjerumus ke dalam jerat seperti kita lakukan?” gumam Daksina.
“Tentu tidak,” sahut Putut Nantang Pati, “bukankah mereka dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahan? Tentu mereka memperhitungkan juga, bahwa kau akan menyusul Raden Sutawijaya, karena bagimu Sutawijaya adalah orang yang sangat penting dan sekaligus orang yang sudah mendengar beberapa hal tentang rencana yang sebenarnya masih merupakan rahasia.”
“Ya.”
“Nah, marilah. Yakinlah, bahwa kita tidak akan terjebak. Mereka tidak akan sempat mengumpulkan orang-orang lebih banyak lagi seperti yang dapat kita lakukan. Seandainya ada satu dua orang yang semula menunggui perkemahan ini, itu tidak akan berarti apa-apa.”
Daksina tidak menjawab. Mereka maju dengan hati-hati menyusup hutan perdu.
“Orang-orang Menoreh agaknya membawa kuda. Jumlahnya tidak begitu banyak,” berkata seorang yang berpengalaman mengenali jejak.
“Ya. Di antara jejak kuda masih ada jejak kaki.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu para pengiringnya mempergunakan kuda, sedang para pengawalnya berjalan kaki, atau yang sekelompok berkuda, sedang kelompok yang lain berjalan kaki.
Untuk beberapa saat lamanya mereka mengikuti jejak itu. Namun pada suatu saat orang yang ada di paling depan berhenti sejenak. Sambil merendahkan obornya ia berkata, “Aku melihat sesuatu yang aneh di sini.”
“Ya, mereka berbelok ke Menoreh. Semuanya. Tidak ada bekas yang lain.”
“Belum tentu jika mereka pergi ke Menoreh.”
“Jurusan itu adalah jurusan ke Menoreh. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang Menoreh. Agaknya mereka akan merawat orang-orang mereka yang terluka, atau mungkin menguburkan yang terbunuh.”
Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka yang mengerti jejak itu berkata, “Tidak. Tidak semuanya pergi ke Menoreh.”
“Maksudmu?” bertanya Nantang Pati. “Tidak ada jejak yang lain kecuali jejak yang berbelok menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tetapi hanya jejak mereka yang berkuda sajalah yang menuju ke Menoreh. Tidak ada jejak kaki. Mereka yang berjalan kaki tentu tidak akan pergi ke Menoreh.”
“Lalu, ke manakah jejak kaki yang mengikuti jejak kuda itu?”
“Jejak itu hilang.”
Daksina mengerutkan keningnya. Katanya, “Mereka akan membalas menjebak kita seperti yang sudah aku lakukan. Apakah mereka juga melangkah surut seperti kita di tempat terbuka itu?”
Sejenak mereka yang mengamati jejak itu ragu-ragu. Namun tiba-tiba salah seorang berkata, “Tidak. Inilah jejak mereka. Mereka menaburkan dahan-dahan kering atau dedaunan yang hijau di atas bekas kaki mereka, agar jejak itu tidak menarik perhatian. Agaknya mereka berusaha agar jejak mereka tidak kita ketahui.”
“Jika demikian, inilah jalan yang dilalui Raden Sutawijaya. Marilah kita ikuti. Mereka tidak akan dapat menyamarkan jejaknya untuk perjalanan yang panjang. Pada suatu saat, jejak mereka akan menjadi jelas.”
“Marilah, kita percepat perjalanan ini.”
“Tetapi ternyata sulit untuk menemukan jejak yang kita ikuti. Kita benar-benar harus meneliti, seakan-akan sehelai daun demi sehelai.”
“Baiklah, tetapi kita maju terus.”
Orang-orang yang sedang mengamati jejak itu tidak menjawab. Setapak demi setapak mereka maju juga.
Namun akhirnya mereka berhasil melampaui daerah penyamaran jejak. Setelah itu, maka jejak itu pun dapat dikenal dengan mudah.
Daksina dan Putut Nantang Pati menjadi semakin bernafsu. Mereka yakin bahwa jalan yang mereka temukan adalah jalan yang benar, sehingga mereka akan segera dapat menyusul dan menangkap Raden Sutawijaya.
“Apalagi agaknya orang-orang Menoreh itu sudah memisahkan diri, termasuk orang-orang bercambuk itu,” berkata Daksina kemudian.
“Darimana kau tahu?” bertanya Putut Nanntang Pati.
“Mereka datang bersama orang-orang Menoreh. Agaknya mereka memang menjadi tamu Ki Argapati.”
Putut itu tidak menyahut lagi. Dengan obor di tangan orang yang berjalan di paling depan menjadi semakin lama semakin cepat, karena ia pun mengharap untuk dapat menyusul Raden Sutawijaya.
“Ternyata mereka memilih jalan yang tidak terduga-duga sebelumnya. Jika kita tidak mengerti jejaknva, kita tidak akan menyangka, bahwa mereka memilih jalan yang agak sulit ini, sedangkan di bagian lain terdapat jalan yang lebih lapang,” berkata Daksina.
“Mereka adalah orang-orang yang cukup berpengalaman,” sahut Putut Nantang Pati.
Daksina hanya menganguk-anggukkan kepalanya saja. Namun harapan di dadanya menjadi semakin berkembang ketika mereka sudah melalui jalan yang berbatu-batu padas dan agak sulit dilalui iring-iringan yang membawa orang-orang yang terluka dan apalagi beberapa sosok mayat, tidak akan dapat berjalan terlalu cepat.
“Mereka akan menunggu di pinggir Kali Praga,” desis salah seorang pengikut Daksina.
“Kenapa?”
“Tidak ada getek di daerah ini. Aku tahu pasti.”
“Tetapi mereka dapat mencari getek itu di tempat penyeberangan yang lain.”
“Belum tentu di malam hari seperti ini. Kebanyakan mereka yang memiliki getek tidak ada di atas geteknya. Mereka biasanya pulang dan tidur di rumah, karena tidak banyak orang menyeberang di malam hari.”
Daksina tidak menyahut. Kemungkinan-kemungkinan yang bermacam-macam memang dapat saja ditemuinya di dalam perjalanan ini. Dan dalam kegelisahan itulah, maka ia pun kemudian memerintahkan orang-orangnya berjalan lebih cepat lagi.
Dalam pada itu orang-orang yang akan menyeberang ke Mataram itu pun ternyata dapat bekerja dengan cepat. Kawan-kawan mereka, para pemilik getek itu pun dengan senang hati berusaha membantu, sehingga mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk menunggu.
Namun demikian getek-getek itu lepas dari tepi sebelah Barat, orang-orang yang ada di atasnya menjadi terkejut karenanya. Mereka melihat beberapa buah obor menyusur jalan sempit yang baru saja mereka lalui.
“Sapakah mereka?” desis salah seorang pengawal dari Mataram yang sudah mulai mengarungi derasnya arus Kali Praga.
Kawan-kawannya pun memperhatikan obor yang mendekati dengan cepat itu. Namun mereka tidak segera dapat mengetahui siapakah mereka.
“Tentu bukan Raden Sutawijaya dan orang-orang Menoreh itu,” berkata pemimpin pengawal itu kemudian, “mereka datang dengan tergesa-gesa dan tidak berada di punggung kuda.”
“Apakah orang-orang itulah yang dimaksud oleh Raden Sutawijaya akan segera menyusul kita?” desis yang lain.
“Mungkin. Mungkin sekali,” lalu katanya kepada para pendayung, “percepat sedikit.”
Salah seorang pendayung itu tersenyum sambil menjawab, “Mereka tidak akan dapat mencapai kalian setelah kalian terpisah dari tepian.”
“Tetapi mereka dapat mencari getek-getek semacam ini.”
“Mereka memerlukan waktu. Mereka harus pergi ke penyeberangan yang lain dan kemudian menyeberang dengan getek-getek itu jika ada orang yang mendayungnya.”
“Mereka dapat membangunkan para pendayung itu seperti kami membangunkan kalian.”
“Dan itu memerlukan waktu lebih banyak lagi. Sementara itu kalian sudah sampai di tepian,” tetapi pendayung itu kemudian bertanya. “Tetapi apakah masih ada kemungkinana mereka menyusul kalian di daratan seberang Kali Praga?”
Ternyata pertanyaan itu menimbulkan persoalan bagi para pengawal. Meskipun mereka berhasil mencapai seberang, dan mendahului orang-orang yang membawa obor itu, namun memang masih ada kemungkinan orang-orang itu dapat menyusul mereka di atas tlatah Tanah Mataram itu sendiri, di daerah yang masih belum berpenghuni.
“Jika demikian,” tiba-tiba pemimpin pengawal itu berkata, “Kita tidak langsung menyeberang di sini. Kita akan mengikuti arus air dan menepi di daerah penyeberangan yang sudah memiliki gardu-gardu pengawas. Setida-tidaknya jumlah kita akan bertambah dengan para pengawas itu. Sementara itu, satu dua orang penghubung berkuda, dapat memanggil bantuan pada gardu-gardu terdekat.”
“Tepat sekali,” sahut seorang pengawal.
“Beri isyarat kepada getek yang lain.”
Demikianlah, getek itu tidak langsung memotong arus sungai dan mencapai tepian di seberang. Mereka mengikuti arus Kali Praga, dan berusaha untuk menepi di daerah terdekat dengan gardu pengawas.
Dalam pada itu, Daksina dan orangnya yang sudah mencapai tepian menumpat-umpat tidak habis-habisnya. Mereka hanya dapat melihat di dalam keremangan malam, tiga getek yang menyeberangi Kali Praga yang deras arusnya itu.
“Kita mencari getek serupa,” desis Daksina.
“Di mana?” bertanya seorang pengikutnya.
“Di jalan penyeberangan. Jika para pemiliknya tidak ada, kita dapat mendayungnya sendiri menyusul mereka.”
Beberapa orang pengiringnya menjadi termangu-mangu. Sementara itu Putut Nantang Pati justru tertawa sambil berkata, “Kita hanya akan membuang waktu tanpa arti. Selama kita mencari getek di tempat penambatan, mereka sudah menjadi semakin jauh, dan bahkan mereka sudah akan meloncat ke darat.”
“Kita masih mempunyai kesempatan. Kita kejar mereka di atas tanah mereka sendiri. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sekarang aku membawa orang lebih banyak lagi dari yang telah menjebak Raden Sutawijaya tetapi gagal itu, karena kehadiran orang-orang Menoreh dan orang-orang bercambuk. Tetapi tanpa mereka, orang Mataram itu tidak akan dapat melawan kita.”
Tetapi Putut Nantang Pati menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak ada gunanya. Tentu ada gardu-gardu peronda di seberang sungai. Mereka akan naik ke tepian di tempat yang mereka anggap paling aman. Lihat, mereka tidak langsung melintas sungai ini. Tetapi mereka mengkuti arus untuk beberapa saat. Tentu hal itu dilakukan dengan maksud tertentu.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang prajurit ia pun dapat mengerti pertimbangan Putut Nantang Pati. Namun sebenarnya ia masih mempunyai harapan. Menurut perhitungannya, seandainya ada juga gardu pengawas, namun tentu di dalam gardu itu tidak akan ada sepasukan prajurit yang siap untuk bertempur. Seandainya para pengawas itu sempat membunyikan isyarat, namun agaknya Daksina akan mempunyai waktu yang cukup untuk menangkap Sutawijaya.
Namun ternyata bahwa Putut Nantang Pati tidak sependapat. Karena itu, maka Daksina pun tidak meneruskan niatnya.
“Kita akan segera kembali,” berkata Putut Nantang Pati kemudian, “adalah berbahaya sekali kita mencoba untuk menangkap Sutawijaya di atas tanah yang selama ini dipertahankannya mati-matian.”
“Baiklah,” berkata Daksina, “tetapi kali ini aku benar-benar mengalami kegagalan. Aku tidak dapat menangkap Raden Sutawijaya. Aku tidak dapat meneruskan rencanaku untuk menguasai Ki Gede Pemanahan, seperti jika Sutawijaya ada di tanganku. Dan sudah barang tentu, jalan ke Pajang bagiku akan menjadi sangat berbahaya. Mungkin sekali Raden Sutawijaya akan mengirimkan utusan untuk menghadap Sultan, seandainya Sutawijaya masih segan datang sendiri. Sutawijaya dapat melaporkan semua perbuatanku dan ceritaku kepadanya.”
“Kau memang kurang berhati-hati,” berkata Putut Nantang Pati, “kau seharusnya belajar dari kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi. Orang-orang bercambuk itu seakan-akan ada di seluruh pelosok Mataram dan sekitarnya di setiap waktu. Seakan-akan setiap ada usaha yang kita lakukan orang-orang bercambuk itulah yang menggagalkannya. Usaha mengusili para pendatang dan membuka Tanah Mataram dengan hantu-hantuan itu pun gagal. Kemudian usaha menghancurkan adbmcadangan.wordpress.com. Mataram lewat tangan Untara di Jati Anom, itu pun gagal karena orang-orang bercambuk itu pun ternyata ada di dalam rumah yang biasanya dipergunakan oleh para perwira. Kemudian usaha menutup Mataram dengan menyumbat semua jalur jalan ke Mataram itu telah dipecah pula oleh orang-orang bercambuk itu di mulut Alas Tambak Baya, padahal usaha itu nampaknya perlahan-lahan akan berhasil.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Kegagalan-kegagalan itu memang terasa sangat pahit. Namun ia masih tetap berharap untuk dapat menghancurkan Mataram. Ia masih mengharap, bahwa pertentangan antara Pajang dan Mataram tidak akan dapat dihindarkan lagi.
“Baiklah,” berkata Daksina kemudian, “aku memang kurang berhati-hati kali ini. Aku menganggap bahwa, usahaku akan berhasil, sehingga aku mengatakan sebagian dari rahasia yang seharusnya tetap tersimpan. Namun aku masih mengharap, bahwa gadis Kalinyamat itu akan dapat membakar hubungan antara ayah angkat dan anaknya yang memang sudah mulai retak.”
“Kau dapat membuktikan hubungan itu? Sekedar cerita tentang hubungan Raden Sutawijaya dengan gadis sengkeran Sultan Pajang itu tidak akan berarti apa-apa.”
“Sebentar lagi Sultan akan dapat mengetahuinya tanpa ada orang lain yang mengatakannya.”
“Maksudmu?”
“Menurut penyelidikan terakhir, gadis itu ternyata sudah mengandung.”
“He?” Putut Nantang Pati mengerutkan keningnya. Namun ia pun tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian, “Ternyata Sultan Pajang dan anak angkatnya itu tidak ada bedanya. Sutawijaya sudah terpengaruh oleh cara hidup ayah angkatnya, bukan oleh ayahnya sendiri. Jika benar gadis itu sudah mengandung, maka persoalannya akan menjadi semakin cepat. Tetapi apakah Panembahan Agung sudah mengetahuinya?”
“Aku sudah mengatakannya.”
Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jika demikian kita tidak usah cemas. Marilah kita kembali ke padepokanku.”
“Tetapi, apakah kau tidak mempertimbangkan, bahwa mungkin sekali Raden Sutawijaya akan kembali dengan membawa pasukan segelar sepapan?”
“Mereka belum melihat padepokanku. Dalam pada itu, aku akan menempatkan beberapa orang pengawas. Yang sudah ada dapat diperbanyak untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi aku kira Raden Sutawijaya tidak akan berbuat dengan tergesa-gesa, sehingga aku masih akan mempunyai waktu untuk memikirkan. Setidak-tidaknya kita mempunyai jalan untuk melarikan diri dengan aman seandainya yang datang menurut perhitungan kami tidak terlawan.”
Daksina mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku akan menjadi penghuni padepokanmu, karena aku tidak dapat kembali ke Pajang.”
Putut Nantang Pati memandang Daksina sejenak. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Kau tidak berani kembali ke Pajang, karena menurut dugaanmu Sutawijaya melaporkan kelakuanmu?”
“Ya.”
“Tentu tidak. Sultan Pajang tidak akan mempercainya, karena bagi Pajang, Sutawijaya sudah tidak mendapat kepercayaan lagi. Namun kau harus berhati-hati. Kau dapat kembali ke Pajang, tetapi untuk sementara kau tinggal di rumah kawan-kawanmu yang terpercaya, apabila sudah sampai waktunya kau harus kembali.”
“Masih ada waktu beberapa pekan. Aku mendapat ijin meninggalkan tugasku untuk waktu yang cukup panjang.” Daksina menarik nafas, kemudian, “Tetapi jika orang-orang Pajang tahu, bahwa ternyata aku mempergunakan waktuku untuk kepentingan ini?”
“Jangan pikirkan sekarang. Mari kita kembali.”
“Ke padepokanmu atau langsung ke padepokan Panembahan Agung itu?”
“Ke padepokanku.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih berpaling memandang arus Kali Praga. Namun getek-getek yang membawa orang Mataram itu sudah menjadi semakin jauh.
Pada saat Daksina, Putut Nantang Pati, dan kawan-kawannya meninggalkan tanggul Kali Praga, maka pada saat itu, beberapa ekor kuda berpacu menuju ke padukuhan induk dari Tanah Terdikan Menoreh. Bersama mereka adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Namun yang kemudian lebih senang bekerja keras membuka Alas Mentaok yang liar dan ganas untuk membangun sebuah negeri yang besar.
Derap kaki-kaki kuda itu mengejutkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Beberapa orang tergagap bangun. Namun, derap kaki-kaki kuda itu pun sudah menjadi semakin jauh.
Para peronda yang ada di gardu-gardu dengan tergesa-gesa berloncatan bangun dengan menggenggam senjata masing-masing. Apalagi sebagian dari mereka pernah mendengar, bahwa kadang ada orang-orang bersenjata yang tidak dikenal berkeliaran di sisi sebelah Timur dari Tanah Perdikan Menoreh.
Series 73
NAMUN ketika para peronda itu berusaha menghentikan iring-iringan kuda itu, maka mereka pun berloncatan minggir, karena mereka mendengar suara Pandan Wangi yang berkuda di paling depan, “Aku. Akulah yang akan lewat. Pandan Wangi.”
Seseorang sempat bertanya keras-keras, “Malam-malam begini?”
“Aku dari hutan perburuan,” sahut Pandan Wangi sambil berderap menjauh.
Para peronda itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan salah seorang dari mereka berdesis, “He, kau yakin bahwa suara itu suara Pandan Wangi.”
“He, apakah kau mengigau. Bukankah kita bersama melihat ia berada di punggung kudanya.”
“Aku tidak melihatnya begitu jelas. Obor itu tidak begitu terang.”
“Dan di belakangnya adalah Prastawa.”
“Ya, ya. Di belakangnya Prastawa. Di antara mereka terdapat kedua anak-anak muda itu, yang dahulu pernah berada di Tanah ini, ketika berkecamuk pertengkaran di antara kita.”
“Ya. Tetapi siapakah yang seorang lagi?”
“Tamu Pandan Wangi yang manja itu.”
“Rudita?” orang itu ragu-ragu. Lalu, “Bukan, tentu bukan Rudita.”
“Tetapi Rudita ikut di dalam perburuan itu.”
“Ya, tetapi anak muda itu bukan Rudita. Rudita tidak membawa sebatang tombak pendek.”
“Kau lihat kuda tanpa penunggang, sedangkan yang lain dibebani oleh dua orang?”
“Tetapi dimuati dengan beban yang cukup banyak. Meskipun agaknya tidak terlalu berat, tetapi cukup memenuhi seluruh punggungnya.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi hal itu ternyata telah menarik perhatiannya.
Namun agaknya orang-orang di gardu peronda itu tidak mengetahui, bahwa di punggung kuda yang tidak berpenumpang itu tersangkut sehelai kulit seekor ular naga yang besar, selain beberapa perlengkapan berburu yang lain. Karena itulah, maka kuda itu sengaja tidak dibebani oleh seorang pun, meskipun bebannya sebenarnya lebih berat dari seseorang.
Demikianlah, maka mereka pun kemudian memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Seperti setiap padukuhan yang lain, yang mereka lalui, maka derap kaki-kaki kuda itu pun telah mengejutkan mereka yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan dan terutama para peronda di gardu-gardu. Namun para peronda itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Pandan Wangi dan kawan-kawannya lewat. Mereka mengerti, bahwa Pandan Wangi baru kembali dari hutan perburuan.
Demikian juga, ketika derap kaki-kaki kuda itu memasuki halaman rumah Ki Argapati. Para peronda di regol halaman itu pun terkejut, meskipun memang kadang-kadang terjadi Pandan Wangi pulang dari hutan perburuan di malam hari.
Derap kaki kuda yang memasuki halaman itu pun telah membangunkan Ki Argapati dan tamu-tamunya dari Sangkal Putung. Mereka hampir berbareng telah turun ke halaman, menyambut mereka yang baru datang dari daerah perburuan.
Namun kuda yang tidak berpenumpang itu memang menarik perhatian. Sehingga Ki Argapati pun segera bertanya, “Siapakah yang tidak ada di antara kalian?”
Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sejenak ia memandang berkeliling. Tetapi karena ayah dan ibu Rudita belum nampak di antara mereka, maka ia pun segera berbisik kepada ayahnya, “Ada yang kosong Ayah, tetapi ada yang terpaksa membawa dua orang di satu punggung kuda.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Jadi sengaja kuda yang seekor itu kalian muati dengan barang-barang dan alat-alat berburu?”
“Sebagian benar,” sahut Pandan Wangi.
Ki Argapati tidak segera menangkap maksud anaknya. Ketika ia kemudian memandang berkeliling, semua penunggang kuda telah berloncatan turun.
“Kuda itu juga membawa sehelai kulit seekor naga raksasa.”
“He, naga raksasa. Di mana kau mendapatkannya?” Pandan Wangi tidak menjawab pertanyaan ayahnya, tetapi ia berkata, “Ada yang lebih menarik dari sehelai kulit naga raksasa itu.”
“Apa?”
“Rudita hilang, Ayah.”
“He,” kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan Ki Argapati dan tamu-tamunya dari Sangkal Putung, sehingga dengan serta-merta Ki Gede Menoreh berkata, “Berkatalah yang benar.”
“Benar, Ayah. Dan di antara kami sekarang adalah Raden Sutawijaya.”
“He, apakah yang kau katakan itu. Kau belum memberi penjelasan tentang Rudita, sekarang kau menyebut nama Raden Sutawijaya.”
“Ia ada di antara kami.”
“Apakah kau mengigau?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Ia memberi kesempatan seorang anak muda yang bersenjata tombak pendek melangkah maju mendekati Ki Gede Menoreh, “Ya, Paman. Aku datang bersama dengan Pandan Wangi dan pengiringnya.”
“Raden Sutawijaya?”
Beberapa orang melihat anak muda itu menyibak para pengiring Pandan Wangi dan seleret sinar obor jatuh di atas wajahnya.
Sambil tersenyum, Sutawijaya berkata selanjutnya, “Ternyata bahwa selama berburu di hutan liar itu, Pandan Wangi dan orang-orangnya banyak menjumpai ujian yang berat.”
Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Tetapi marilah, Raden, kita naik ke pendapa. Aku belum mengucapkan selamat datang kepada Raden.”
“Baiklah, Paman. Tetapi sebaiknya Paman mendengarkan dahulu cerita tentang anak muda yang disebut bernama Rudita itu.”
“O, bagaimana dengan Rudita? Apakah benar hilang?”
“Biarlah Pandan Wangi menceritakannya.”
Ki Argapati memandang Pandan Wangi sejenak, ia pun bertanya, “Bagaimanakah sebenarnya yang terjadi?”
Maka Pandan Wangi pun segera menceritakan tentang Rudita yang ditinggalkannya sendiri, karena semula ia mengkhawatirkan keselamatannya. Namun justru kemudian Rudita itu hilang tanpa jejak, selain hanya beberapa ciri yang memberikan sekedar tanda-tanda yang kurang jelas.”
“Hilang, jadi Rudita benar-benar hilang?” desis Ki Argapati.
“Ya, Ayah.”
Wajah Ki Gede Menoreh menjadi tegang. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Suatu cobaan yang berat bagi kita, Pandan Wangi.”
“Aku mengerti, Ayah,” Pandan Wangi menunduk wajahnya, “tetapi yang terjadi adalah di luar kemampuanku. Ia sangat manja dan apalagi penakut. Aku mengalami kesulitan membawanya serta di dalam perburuan.”
Ki Argapati pun kemudian berpaling memandang Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang yang berdiri di antara mereka. Mereka tidak sempat mengucapkan selamat datang kepada Raden Sutawijaya, karena Pandan Wangi tidak memberinya kesempatan. Namun Pandan Wangi tidak dapat lagi mengingat adat sopan-santun itu lagi, karena kegelisahan yang meluap di dalam hatinya.
“Kiai, kita kehilangan seorang tamu,” desis Argapati.
“Memang menyulitkan sekali,” sahut Kiai Gringsing. Lalu, “Apakah kau juga menyaksikan peristiwa itu Raden?” bertanya Kiai Gringsing kepada Raden Sutawijaya.
Barulah Raden Sutawijaya sadar, bahwa ia berhadapan dengan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung.
“O, maaf, Kiai. Aku belum sempat mengucapkan selamat bertemu lagi.”
“Selamat, Ngger. Tetapi kedatangan Angger kali ini ternyata membawa berita yang sangat mengejutkan.”
“Nanti aku akan menceritakan semua yang telah teriadi, Kiai, sehingga Kiai akan mendapat gambaran tentang peristiwa itu.”
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.
Namun Ki Argapati-lah yang kemudian mempersilahkan tamunya, “Marilah, duduklah dahulu.”
Raden Sutawijaya itu pun kemudian duduk di pendapa bersama orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung. Mereka memperbincangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi atas Rudita.
“Benar-benar kita dihadapkan pada suatu kesulitan.”
“Ayah,” pinta Pandan Wangi, “aku tidak sampai hati mengatakan hal ini kepada Paman dan Bibi. Rudita adalah anak satu-satunya bagi orang tuanya. Jika ia tidak dapat diketemukan dalam keadaan selamat, maka ayah dan ibunya akan mengalami kejutan yang sepanjang hidupnya tidak akan dapat dilupakan. Dan mereka pun akan menjadi sangat marah pula kepadaku.”
Ki Argapati tidak segera dapat menyahut.
“Ayah. Biarlah Ayah saja yang menyampaikan kepada ayah dan ibu Rudita, diikuti dengan permohonan maaf.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang pintu gandok di seberang longkangan yang masih tertutup. Di gandok itulah, ayah dan ibu Rudita bermalam selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh.
“Baiklah,” berkata Ki Argapati kemudian, “aku akan mengatakannya, meskipun aku menyadari, bahwa hal ini akan sangat mengejutkan mereka, terutama ibunya. Rudita adalah satu-satunya anak mereka yang sangat mereka manjakan. Jika Rudita itu benar-benar hilang, maka aku dapat menggambarkan, betapa pedihnya hati mereka.”
“Tetapi Ayah dapat menjelaskan, bahwa kami akan mencarinya. Kami akan membawa pengawal lebih banyak lagi, karena ternyata di daerah ujung dari Tanah Perdikan kita, terdapat sebuah padepokan yang agaknya dipergunakan oleh seseorang yang menamakan dirinya Panembahan Agung itu.”
“Mungkin masih di batas telatah Menoreh, tetapi mungkin pula di seberang,” desis Sutawijaya menyela, “kau masih belum tahu pasti letak padepokan itu. Bahkan mungkin bukan sebuah padepokan, tetapi hanya sekedar sarang yang mereka pergunakan untuk sementara.”
“Mungkin, memang mungkin. Mencari Rudita bukannya pekerjaan yang mudah,” desis Ki Argapati, “namun bagaimanapun juga kita bertanggung jawab atas hilangnya anak itu. Anak yang sama sekali tidak pernah menyiapkan dirinya menghadapi kekerasan, meskipun ayahnya seorang yang memiliki banyak kelebihan. Bukan saja kanuragan, tetapi menurut pendengaranku, ia memiliki ilmu yang jarang dimiliki oleh seseorang. Selain pandangannya yang tajam dan jauh, yang mampu menembus batas waktu kini, yang sudah lampau dan yang akan datang, namun ia juga memiliki kemampuan-kemampuan lain yang bukan sekedar kasat mata.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat olehnya pemomongnya di masa kanak-kanak yang kini seakan-akan telah hilang dari lingkungan Istana Pajang, Ki Gilingwesi, yang menurut pendengarannya terakhir bertapa di atas Gunung Merapi. Orang itu pun menurut pendengarannya memiliki ilmu yang gaib.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Ki Argapati yang ikut berprihatin atas hilangnya Rudita. Tetapi pembicaraan mengenai ilmu yang gaib itu telah menyentuh perasaannya.
Sebenarnyalah balwa Kiai Gringsing pernah mempelajarinya. Tetapi ilmu itu disimpannya rapat-rapat di dalam dirinya. Ilmu yang seakan-akan memiliki kemampuan jauh di luar jangkauan akal itu sebenarnya tidak banyak berpengaruh. Namun di dalam saat-saat tertentu, ilmu semacam itu memang dapat dipergunakannya. Meskipun Kiai Gringsing sadar, bahwa ilmu yang gaib semacam itu, tidak hanya ada satu atau dua jenis, tetapi ada bermacam-macam, sehingga yang satu tidak sama dengan yang lain. Demikian juga ilmu yang pernah dipelajari oleh Kiai Gringsing itu jauh berbeda dengan ilmu yang dimiliki oleh ayah Rudita. Kiai Gringsing tidak sanggup untuk melihat menembus batas waktu, apalagi yang cukup jauh. Ia hanya dapat memperhitungkan berdasarkan pengalaman, kenyataan-kenyataan yang pernah terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya. Perhitungan demikian memang tidak selamanya tepat, tetapi apabila ia yakin, maka dapat juga agaknya dijadikan pegangan.
Keyakinan itulah yang menjadi dasar ilmu Kiai Gringsing. Ia tidak dapat membakar hutan dengan tatapan matanya. Ia tidak dapat menjadikan dirinya kebal tanpa dapat dilukai senjata. Dan ia tidak dapat menciptakan bentuk-bentuk bayangan yang seakan-akan menjadi suatu kenyataan.
Namun Kiai Gringsing memiliki ilmu yang disebutnya sekedar sebuah perisai. Itulah yang memberikan kemantapan pada pribadinya. Selain perisai dalam bentuk olah kanuragan, namun ia memiliki kemampuan menyadari kediriannya, kepribadiannya. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing tidak mudah ditembus oleh ilmu yang gaib dari orang lain. Ia tidak mudah dapat dipengaruhi dengan cara yang betapapun juga. Panca inderanyalah yang seakan-akan menjadi kebal dari pengaruh ilmu gaib itu. Dan ilmu itulah ilmu gaib yang dimiliki oleh Kiai Gringsing. Ilmu yang karena keyakinannya atas dirinya di dalam hubungannya dengan Penciptanya, dengan kemurnian indera dan angan-angan, sehingga ia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh gaib yang lain.
“Tetapi agaknya ayah Rudita memiliki ilmu yang lain,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “selain kemampuannya menembus waktu, agaknya ia mampu berbuat sesuatu. Tetapi ia orang baik. Dan itulah kelebihannya yang paling berharga.”
Demikianlah, maka pertemuan yang tiba-tiba itu agaknya telah menegangkan hati. Apalagi Ki Argapati, yang kakinya masih belum dapat pulih sama sekali, meskipun ia masih tetap seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain.
“Besok aku akan mengatakannya,” desis Ki Argapati tiba-tiba.
“Tetapi apakah mereka tidak akan terbangun mendengar kita berbicara di pendapa ini?” bertanya Pandan Wangi.
“Ternyata mereka tidak juga keluar.”
“Terserah kepada Ayah. Sebentar lagi fajar akan segera menyingsing.”
“Sekarang, beristirahatlah. Aku akan berbicara dengan orang-orang tua.”
Pandan Wangi dan anak-anak muda yang lain pun segera meninggalkan pendapa itu. Yang tinggal hanyalah orang-orang tua yang masih tetap mencari jalan, bagaimana mereka akan berbuat untuk menyelamatkan Rudita.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah ayah Rudita sudah terbangun. Sebuah getaran yang dahsyat telah menggetarkan dadanya. Karena itulah, maka justru ia sedang mencoba mengetahui apakah maknanya.
Dengan daya penglihatan batinnya, ayah Rudita ingin mengetahui getaran apakah sebenarnya yang telah mengguncang jantungnya itu.
Perlahan-lahan ayah Rudita itu berhasil melihat di dalam isyarat yang gaib, peristiwa yang menimpa anaknya. Meskipun ia tidak melihat pasti, apakah yang sudah terjadi, tetapi ia melihat, bahwa anaknya sedang dicengkam oleh bahaya yang mengancam nyawanya.
Ayah Rudita itu pun menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang ayah, ia menjadi sangat cemas. Namun di dalam penglihatannya, ia masih mempunyai harapan untuk menemukan anaknya, karena sampai saat itu, anaknya masih dianggapnya selamat.
“Tetapi apakah yang dapat aku lakukan?” berkata laki-laki itu di dalam hatinya. “Jika ibunya mengetahui, maka aku akan lebih banyak dicengkam oleh kebingungan, sehingga penglihatanku akan menjadi kabur. Namun bagaimanapun juga, adalah kewajibanku untuk menemukannya.”
Tanpa membangunkan isterinya, laki-laki itu pun bangkit dari pembaringan dan melangkah keluar. Derit pintu gandok agaknya terdengar dari pendapa, sehingga orang-orang yang ada di pendapa itu pun berpaling kepadanya.
Terasa dada Ki Argapati menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang tua Rudita dapat menuntut pertanggungan jawab Pandan Wangi. Namun agaknya yang terjadi itu adalah di luar kemampuan anak gadisnya dan kawan-kawannya.
Perlahan-lahan ayah Rudita mendekati Ki Argapati. Sekilas ia tersenyum. Kemudian ia pun menyapanya, “Ki Gede masih juga berjaga-jaga di pendapa menjelang fajar?”
Ki Argapati pun masih mencoba tersenyum dan mempersilahkan laki-laki itu duduk.
Sejenak ia menjadi termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata dengan suara yang tertahan-tahan, “Pandan Wangi telah datang dari daerah perburuannya.”
“O,” laki-laki itu mengangguk-angguk. Dan ia pun mulai merasakan kebenaran getaran isyarat di dalam dirinya. Jika Pandan Wangi telah datang, dan Rudita tidak besertanya, maka ia benar-benar telah dicengkam oleh bahaya.
“Tetapi,” suara Ki Argapati menjadi bertambah dalam, “Rudita tidak datang bersamanya.”
Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan ia bertanya, “Di manakah anak itu?”
Ki Argapati pun kemudian menceritakan apa yang sudah terjadi atas Rudita, betapapun beratnya.
“Tetapi Pandan Wangi bersedia untuk mencarinya. Ia akan segera menyiapkan pengawal yang lebih banyak. Dan sudah barang tentu, kami tidak akan membiarkan anak-anak itu berkeliaran tanpa pengawasan kami setelah peristiwa ini terjadi.”
Ayah Rudita itu termenung sejenak. Terbayang di rongga matanya, bagaimanakah terkejut isterinya jika ia mendengarnya. Namun ia pun sadar, bahwa ia tidak dapat mempersalahkan siapa pun juga. Yang terjadi adalah seolah-olah sebuah kecelakaan bagi Rudita, dan dalam persoalan itu, tidak akan dapat menyalahkan orang lain.
“Besok, jika pasukan pengawal terpilih sudah siap, ia akan segera berangkat. Tetapi kami pun harus berhati-hati, agar kami tidak terjebak, dan tidak sebagai serangga menjelang api. Karena sebenarnyalah kami tidak mengetahui, betapa besar pasukan orang-orang yang tidak kita kenali itu. Kita masih harus memperhitungkan, apakah Daksina, seorang perwira dari Pajang itu hanya seorang diri di daerah yang masih buas itu atau ia membawa sepasukan prajurit bawahannya dari Pajang.”
Ayah Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang semuanya harus diperhitungkan. Dan aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Pandan Wangi mencari anak itu. Dan apalagi dengan orang-orang yang mendapat kepercayaan Ki Gede.”
“Aku sendiri akan pergi,” berkata Ki Gede.
“Tetapi……” sahut ayah Rudita.
“Kakiku sudah berangsur menjadi semakin baik. Meskipun perlahan-lahan sekali, namun semakin lama terasa kemajuannya, karena aku membiasakan mempergunakannya. Mungkin kakiku tidak bertambah baik. Tetapi akulah yang menjadi biasa dengan kaki yang cacat ini.”
“Tetapi sebaiknya Ki Argapati tetap di rumah. Biarlah aku mengikuti anak-anak itu mencari Rudita.”
“Tidak ada salahnya aku ikut. Aku ingin melihat padepokan orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung.”
“Panembahan Agung,” ayah Rudita mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Aku pernah mendengar nama itu. Atau nama yang mirip dengan itu. Seorang yang menyebut dirinya Panembahan Panjer Bumi. Tetapi mungkin juga orangnya lain. Panembahan Panjer Bumi adalah seorang yang diliputi rahasia dan berkeliaran di sebelah Utara pegunungan kapur itu.”
“Memang ada banyak orang yang menyebut dirinya panembahan,” sahut Kiai Gringsing. “Aku juga pernah bertemu dengan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tanpa nama.”
Ayah Rudita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih diterangi oleh sebuah harapan meskipun samar-samar. Tetapi sampai kapan harapan itu dapat dipegangnya. Jika saatnya terjadi atas Rudita, maka harapan itu pun akan segera padam.
“Memang tidak ada jalan lain kecuali segera mencarinya. Aku tidak kuasa untuk mencegah sesuatu yang mungkin terjadi atasnya dengan kemampuanku dari rumah ini,” katanya di dalam hati.
“Ki Argapati,” berkata ayah Rudita kemudian, “aku pun akan mempersiapkan diri. Barangkali sudah sepantasnya aku, ayahnya, ikut mencarinya. Mungkin ada suatu yang dapat aku lakukan untuk menyelamatkannya.”
Ki Argapati tidak akan dapat menolak. Tentu orang tua Rudita itu pun dicengkam oleh kegelisahan. Meskipun ia memiliki ilmu untuk menembus batas waktu dan tempat, namun ia tidak akan dapat berbuat sesuatu atas yang terjadi selain menangkap isyaratnya. Dan isyarat yang gelap akan membuat hatinya menjadi semakin gelap.
“Kadang-kadang beruntung juga rasanya, bahwa aku tidak mengetahui apa yang terjadi, meskipun hanya sekedar isyarat yang samar-samar. Dengan demikian usaha, dan ihtiar tidak akan dilemahkan oleh isyarat-isyarat itu, apalagi apabila kita salah mengurai arti dari isyarat itu,” berkata Ki Argapat di dalam hatinya, karena ia sadar bahwa yang terjadi itu akan tetap terjadi, ada atau tidak ada isyarat. “Tetapi,” ia melanjutkan, “kadang-kadang isyarat memang menjadi pendorong untuk berbuat sesuatu.”
Dalam pada itu, maka malam pun menjadi semakin lama semakin tipis. Cahaya kemerah-merahan mulai membayang di langit. Dan cahaya kemerah-merahan itu adalah isyarat akan datangnya fajar, disambut oleh kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan.
“Baiklah aku berkemas,” berkata ayah Rudita, “bukankah kita akan segera berangkat mencari Rudita?”
“Memang semakin cepat semakin baik. Jejaknya mungkin masih membekas, dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita harapkan barangkali masih dapat dihindarkan,” sahut Ki Argapati. “Jika fajar menjadi semakin terang, aku akan memerintahkan para pengawal bersiap. Para pengawal pilihan, karena kita akan menjelang suatu daerah yang belum pernah kita jajagi.”
Demikianlah, maka ayah Rudita itu pun kemudian meninggalkan pendapa itu. Ia pun sebenarnya bukan saja dibingungkan oleh hilangnya Rudita, tetapi juga untuk menemukan cara mengatakan hal itu kepada isterinya.
Dalam pada itu, selagi Ki Argapati masih duduk di pendapa bersama Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung, maka Pandan Wangi pun telah berada di dalam biliknya. Beberapa saat lamanya ia duduk merenung. Kadang-kadang hatinya menjadi kelam. Bagaimanapun juga ia sangat terpengaruh oleh hilangnya Rudita, seolah-olah segenap pertanggungan jawab ada di atas pundaknya.
Sementara itu, di gandok yang lain, Agung Sedayu dan Swandaru duduk bersama Raden Sutawijaya dan Prastawa. Mereka pun masih juga dibayangi oleh peristiwa yang baru saja terjadi.
“Jika kalian tidak bertemu dengan kami, maka anak itu tidak akan hilang,” desis Raden Sutawijaya.
“Kita tidak dapat mencari kesalahan pada diri kita masing-masing, Raden,” sahut Agung Sedayu. “Kita semuanya bersalah. Yang penting, bagaimana kita akan dapat menemukannya kembali.”
“Aku mengharap, hari ini pasukan yang lebih kuat akan datang langsung kemari. Orang-orangku yang membawa korban kawan-kawannya itu pasti sudah sampai di tlatah Mataram jika mereka tidak terjebak oleh Daksina. Dan mereka akan mengatakan semuanya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan. Dan ayahanda akan mengetahui, apakah yang sebaiknya dilakukan buat aku dan terlebih-lebih buat Mataram.”
Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa mengangguk-angguk. Sejenak mereka berdiam diri, namun tiba-tiba saja di luar dugaan Swandaru bertanya, “Tetapi Raden, barangkali pertanyaanku tidak menyenangkan. Namun karena aku sendiri sedang dipengaruhi oleh suasana yang serupa, maka agaknya aku ingin bertanya, apakah mungkin ancaman Daksina itu dapat dilakukannya, karena ia menyebut seorang gadis yang tersangkut di dalam persoalan antara Mataram dan Pajang?”
“Ah,” desis Raden Sutawijaya yang tiba-tiba menjadi tersipu-sipu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya ia tertarik juga pada pertanyaan Swandaru itu. Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan Prastawa-lah yang seakan-akan tanpa disadari pula mendesak, “Ah, agaknya Raden memang sudah saatnya untuk kawin.”
Wajah Sutawijaya menjadi semakin merah. Meskipun demikian ia menjawab, “Tidak ada persoalan apa-apa. Agaknya aku memang sudah terlibat dalam hubungan dengai seorang gadis. Tetapi bukankah itu wajar? Jika Daksina mencoba memeras dengan ceritanya yang bukan-bukan, itu sama sekali bukan kebenaran.”
“Tetapi apakah salahnya jika Raden Sutawijaya memang sebenarnya berhubungan dengan seorang gadis seperti juga Swandaru sekarang?” sahut Prastawa. “Ia datang untuk melamar Pandan Wangi. Bukankah itu wajar?”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi menilik sikapnya ada sesuatu yang sengaja dirahasiakannya. Karena itu maka katanya kemudian, “Sudahlah, kita berbicara tentang persoalan lain.”
Prastawa tersenyum. Katanya, “Baiklah, kita berbicara tentang soal lain. Tetapi jika pada saatnya Raden benar-benar menemukan seorang gadis, maka kami mengharap agar Raden bersedia menerima kedatangan kami, diundang atau tidak diundang.”
Raden Sutawijaya hanya tersenyum saja. Tetapi ia kemudian berkata, “Sebaiknya kita berbicara tentang Rudita. Begitu pasukanku tiba, kita akan berangkat. Pasukan yang aku minta adalah pasukan pengawal yang terpilih. Tidak hanya sepuluh sampai duapuluh orang. Tetapi adbmcadangan.wordpress.com paling sedikit aku harus membawa tigapuluh orang. Kita akan mengepung sarang gerombolan orang-orang yang telah mengambil Rudita itu. Dan barangkali di antara mereka terdapat prajurit-prajurit Pajang selain Daksina.”
“Tetapi Raden,” Agung Sedayu bertanya, “apakah Raden pasti bahwa yang mengambil Rudita itu termasuk golongan Daksina dan kawan-kawannya. Apakah tidak mungkin ada pihak lain yang melakukannya dengan tujuan yang tidak ada hubungannya dengan Daksina?”
“Itu memang mungkin terjadi,” berkata Sutawijaya, “tetapi di dalam keadaan itu, agaknya tentu orang-orang Daksina yang melakukannya dengan maksud-maksud tertentu.”
Yang mendengarkan keterangan Sutawijaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun berpendapat, bahwa yang mengambil Rudita tentu orang-orang di pihak Daksina, meskipun mereka kadang-kadang juga disentuh oleh pertanyaan, bahwa ada pihak lain yang mengambil keuntungan.
“Tetapi siapa?” pertanyaan lain menyusul, dan di susul pula oleh sebuah dugaan, “Barangkali ayah Rudita mempunyai lawan atau saling bersaing.”
Dalam pada itu, ternyata perintah Ki Gede Menoreh untuk mengumpulkan para pengawal terpilih telah berpencar ke segenap padukuhan yang termasuk tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Setiap padukuhan wajib mengirimkan dua atau tiga orang yang paling baik di antara para pengawal yang ada di padukuhan itu.
Namun ternyata, bahwa para pengawal yang membawa perintah itu harus menjelaskan, bahwa yang diperlukan hanya dua atau tiga orang. Bukan sepuluh orang.
Beberapa orang pengawal menjadi kecewa, bahwa mereka tidak mendapat kesempatan kali itu. Namun mereka harus tunduk kepada setiap pemimpin kelompok yang menunjuk orang-orang terbaik di lingkungan mereka.
“Ada persoalan yang cukup gawat,” berkata utusan Ki Gede Menoreh itu kepada para pengawal. “Seorang tamu Ki Gede ternyata telah hilang. Kita bersama-sama wajib mencarinya.”
Para pengawal mengangguk-angguk.
“Selain yang pergi bersama kami, maka yang tinggal pun harus bersiaga di padukuhan masing-masing. Jika kalian melihat orang-orang yang mencurigakan, apalagi membawa tamu Ki Gede itu, kalian harus cepat bertindak. Mungkin orang yang membawa tamu itu seorang yang sakti. Tetapi jika kalian sempat membunyikan isyarat, maka pengawal dari padukuhan di sekitar kalian akan datang. Betapa saktinya seseorang, tetapi kemampuannya pasti terbatas. Jika jumlah kita cukup banyak, maka mereka pun tentu akan dapat kita kuasai.”
Demikianlah, maka para pengawal itu pun mulai berkumpul di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Pada saat di halaman mulai berdatangan beberapa orang pengawal, maka ibu Rudita menangis di dalam biliknya. Anaknya yang sangat dikasihinya itu tiba-tiba telah hilang.
“Apakah sengaja, Pandan Wangi dan anak-anak muda dari Sangkal Putung itu meninggalkan Rudita di hutan?” desis ibu Rudita di antara isaknya.
“Tentu tidak. Yang datang malam tadi bukan saja Pandan Wangi dan anak-anak muda Sangkal Putung itu, tetapi juga Raden Sutawijaya, putera angkat Sultan Pajang, yang sebenarnya adalah anak laki-laki Ki Gede Pemanahan.”
“Tetapi nampaknya anak-anak Sangkal Putung itu iri melihat kehadiran Rudita di sini. Apalagi anak yang datang untuk melamar Pandan Wangi. Mungkin anak itu sudah dibakar oleh perasaan cemburu.”
Tetapi suaminya menggelengkan kepalanya, “Tentu tidak. Yang terjadi adalah sebuah kecelakaan.”
“Kau yakin?”
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak dapat melihat sampai ke soal yang sekecil-kecilnya di dalam pandangan indera gaibnya, namun untuk meyakinkan isterinya ia berkata, “Ya. Aku dapat membedakan getar di dalam diriku. Sebenarnyalah aku sudah merasa, bahwa sesuatu terjadi atas Rudita. Dan aku merasa, bahwa yang terjadi adalah suatu kecelakaan.”
Isterinya tidak membantah lagi. Ia percaya kepada suaminya, bahwa ia memiliki kemampuan melihat. Namun demikian, sebenarnya ada kecurigaan juga padanya, bahwa suaminya tidak berkata sebenarnya seperti yang dilihatnya. Tetapi ibu Rudita itu tidak mendesaknya lagi.
Sementara itu, halaman rumah Ki Gede Menoreh semakin lama menjadi semakin sibuk. Para pengawal terpilih dari beberapa padukuhan telah datang dengan perlengkapan perang menurut kebiasaan masing-masing. Ada yang membawa tombak pendek, pedang, perisai dan ada pula yang membawa bindi bergerigi.
Sutawijaya dan anak-anak muda dari Sangkal Putung menyaksikan kesibukan itu dari serambi gandok. Sementara itu Prastawa telah sibuk menyiapkan semua kelengkapan yang diperlukan untuk melakukan perburuan yang lebih besar itu.
“Ki Demang,” berkata Ki Argapati kepada Ki Demang Sangkal Putung, “aku minta maaf, bahwa pembicaraan kita terpaksa diselingi dengan persiapan perang seperti ini. Aku terpaksa minta diri beberapa saat untuk menemukan tamu yang hilang itu. Jika tidak, maka akan dapat terjadi salah paham antara aku dan orang tua Rudita, terutama ibunya yang sangat mengasihinya. Biarlah Ki Demang tinggal di sini beberapa saat lamanya. Aku mengharap, bahwa kami tidak memerlukan waktu terlampau lama.”
“Tetapi menurut pendengaranku, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar akan ikut serta dengan pasukan pengawal ini.”
“Ya. Mereka akan pergi bersama kami, juga ayah Rudita akan pergi.”
“Anakku pun akan pergi. Karena itu, biarlah aku pergi juga.”
“Sebaiknya Ki Demang tetap tinggal di sini.”
“Biarlah aku pergi. Aku ingin melihat apa yang akan terjadi. Apalagi Swandaru pun akan ikut pula bersama Angger Pandan Wangi.”
“Ya. Pandan Wangi merasa bertanggung jawab.”
“Raden Sutawijaya merasa bertanggung jawab pula.”
“Ya. Kami akan pergi bersama-sama,” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “aku masih mengharap Ki Demang tinggal di rumah ini.”
“Terima kasih Ki Gede. Tetapi aku mohon diijinkan ikut serta.”
Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegahnya lagi.
Demikianlah, persiapan itu menjadi semakin lengkap. Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian memanggil Raden Sutawijaya ke pendapa bersama tamu-tamunya. Termasuk ayah Rudita. “Kita sudah bersiaga,” berkata Ki Argapati, “kita akan segera berangkat mencari Rudita. Ternyata semuanya kita akan berangkat. Memang sebenarnya kita mengharap, bahwa adbmcadangan.wordpress.com ada yang tinggal. Ada yang mengharap aku tinggal, tetapi aku sendiri mengharap Ki Demang yang tinggal, yang lain mengharap orang lain lagi. Namun agaknya kita bersama-sama ingin mencari Rudita. Bagi Raden Sutawijaya dan bagi Menoreh, tentu ada juga alasan-alasan lain. Bukan saja mencari Rudita, tetapi ada sangkut pautnya juga dengan keamanan bagi Mataram dan Menoreh untuk selanjutnya.”
“Apakah kita akan segera berangkat?” bertanya Raden Sutawijaya.
“Ya. Kita sudah siap. Aku akan memberikan beberapa petunjuk. Dan aku akan minta seseorang yang aku anggap sudah mengenal daerah di sekitar tempat kejadian itu untuk memberikan beberapa keterangan mengenai daerah yang masih dapat kita anggap asing itu.”
“Tetapi aku berharap agar keberangkatan ini dapat ditunda beberapa saat saja.”
“Kenapa?” tiba-tiba ayah Rudita memotong.
“Aku sudah mengirimkan orang-orangku kembali ke Mataram dengan pesan, agar Ayahanda Ki Gede Pemanahan memerintahkan beberapa puluh pengawal terpilih untuk mengikuti aku pergi ke sarang Daksina dan orang-orangnya. Kita tidak tahu, apakah di sana ada sepasukan prajurit Pajang yang berpihak kepada Daksina. Karena itu, maka kita harus berhati-hati. Pasukan kita harus pasukan yang kuat. Jika kita terpaksa menghadapi kekuatan yang besar. Kecuali jika kita sempat mengirimkan seseorang atau dua untuk menyelidiki daerah itu terlebih dahulu.”
“Tetapi itu akan memakan waktu Raden,” berkata ayah Rudita.
“Maksudmu, apakah kita tidak dapat menunggu pasukan pengawal dari Mataram?”
Ayah Rudita menjadi termangu-mangu, demikian juga Ki Gede Menoreh. Karena itu, maka untuk beberapa saat mereka tidak segera dapat mengambil keputusan.
“Ki Gede,” berkata Sutawijaya, “menilik kelengkapan orang-orang yang di bawa oleh Daksina, ada suatu kelompok yang teratur di bawah satu perintah. Menurut dugaanku, Daksina bukan orang tertinggi. Baik di dalam lingkungan orang-orang bersenjata itu, maupun perwira Pajang yang sengaja ingin melihat Pajang menjadi semakin lemah dan apabila mungkin hancur bersama Mataram. Karena itu, kita harus memperhitungkan kekuatan mereka baik-baik, agar bukan kitalah yang bagaikan serangga masuk ke dalam api.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh Sutawijaya. Dan ia pun sudah berpikir seperti itu, Namun Ki Gede Menoreh dipengaruhi oleh tanggung jawabnya atas hilangnya Rudita, sehingga karena itu, maka ia menjawab, “Kami tidak berkeberatan menunggu pasukan pengawal dari Mataram. Semakin kuat kita, itu semakin baik. Tetapi kita tidak boleh terlambat, sebab yang ingin kita selamatkan adalah nyawa seseorang.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir, lalu katanya, “Ki Gede, bagaimana jika kita membagi pasukan. Bagaimana jika Ki Gede berangkat dahulu. Dengan demikian, maka apabila ada kesempatan Ki Gede dapat segera bertindak, Tetapi jika keadaan tidak memungkinkan Ki Gede dapat menunggu kedatanganku bersama pasukanku. Aku berharap, bahwa hari ini mereka akan sampai. Mereka akan menuju ke induk tanah perdikan ini dengan tanda-tanda damai dari Mataram, agar tidak menimbulkan salah paham dengan para pengawal Menoreh, apabila mereka belum sempat mendengar berita tentang kedatangan pasukan pengawal dari Mataram itu, yang sebenarnya aku harap pagi ini dapat diberitahukan kepada pengawal di sepanjang Kali Praga.”
Pendapat Sutawijaya itu agaknya merupakan jalan tengah yang baik. Sejenak Ki Gede Menoreh memandang ayah Rudita yang kecemasan.
“Ki Gede,” berkata ayah Rudita, “pendapat Raden Sutawijaya itu adalah pendapat yang baik. Kita berangkat lebih dahulu. Sementara itu kita berjanji untuk bertemu di tempat yang kita tentukan.”
Ki Argapati ternyata sependapat. Katanya, “Baiklah. Kami akan berangkat lebih dahulu Raden. Kami akan mencoba mendekati tempat yang pernah Raden kunjungi bersama Pandan Wangi itu. Namun kami pun tidak akan dapat sampai sebelum kami mengirimkan satu dua orang untuk mengamati keadaan. Tetapi sementara itu, kami sudah berada di dekat tempat itu.”
“Baiklah. Biarlah kami segera menyusul,” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “tetapi jika diperkenankan, biarlah Agung Sedayu dan Swandaru pergi bersamaku, sementara Pandan Wangi dan Prastawa akan dapat menjadi penunjuk jalan bagi Ki Gede.”
Ki Gede Menoreh memandang kedua anak-anak muda Sangkal Putung itu sejenak, kemudian dipandanginya Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung.
“Biarlah ia pergi bersama Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi untuk melepaskan anak-anak itu pergi tanpa pengawasan agaknya meragukan juga. Karena itu, kita yang tua-tua pun sebaiknya membagi tugas. Biarlah Adi Sumangkar pergi bersama Ki Gede, sedang aku dan Ki Demang akan menyusul bersama Raden Sutawijaya.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun sadar, bahwa yang akan mereka amati bukannya sekedar orang kebanyakan.
Dengan demikian maka mereka pun bersepakat untuk membagi pasukan mereka menjadi dua kelompok. Pasukan Mataram di bawah pimpinan Sutawijaya akan berangkat kemudian, bersama dengan Agung Sedayu dan Swandaru disertai oleh Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung yang tidak sampai hati melepaskan Swandaru pergi, meskipun sebenarnya bahaya yang akan dihadapi akan menjadi lebih besar bagi Ki Demang daripada Swandaru sendiri apabila mereka benar-benar berhasil, menemukan sarang orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu.
Dalam pada itu kelompok yang lain, yang terdiri dari pengawal terpilih Tanah Perdikan Menoreh mendahului di bawah pimpinan Ki Argapati sendiri yang kakinya masih belum pulih sama sekali. Dalam kelompok itu akan berangkat pula ayah Rudita, Ki Sumangkar dan Pandan Wangi serta Prastawa.
“Nah,” berkata Ki Argapati, “kita membagi kerja. Kita akan bertemu di kaki bukit padas itu. Kita sudah menentukan isyarat yang harus kita ketahui jika kita terlibat dalam pertentangan di malam hari.”
“Ya, Ki Gede. Kami akan segera menyusul demikian pasukan Raden Sutawijaya datang,” sahut Kiai Gringsing. “Sebenarnyalah bahwa kita harus berhati-hati. Selama ini aku sudah menjumpai beberapa orang yang pilih tanding. Pada masa Mataram dibayangi oleh hantu-hantuan, maka kami mengenal orang-orang yang bernama Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Kemudian kami mengenal orang-orang yang luar biasa menyerang para perwira Pajang di Jati Anom. Dan di perjalanan ke Menoreh kami bertemu dengan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama. Bahkan mungkin masih ada nama-nama lain yang berada di sudut yang lain dari Mataram dan Pajang, itulah sebabnya, maka tidak mustahil bahwa di dalam sarang mereka terdapat orang-orang semacam itu, ditambah dengan perwira-perwira Pajang yang mungkin terlibat.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ternyata persiapan mereka cukup lama. Tetapi sayang, bahwa mereka tidak dapat menyalurkan kemampuan sekian banyak orang untuk tujuan yang lebih baik dari pamrih pribadi.”
“Ya. Dan untunglah, bahwa mereka tidak dapat mengerahkan kemampuan mereka dalam saat yang tepat, atau barangkali mereka salah menilai lawan-lawannya, sehingga seorang demi seorang pemimpin-pemimpin mereka yang mumpuni itu terbunuh,” jawab Kiai Graigsing. “Namun mungkin juga ada pertentangan yang terpendam di antara mereka sendiri, sehingga kadang-kadang yang segolongan sengaja membiarkan golongan yang lain menjadi semakin lemah.”
“Kita masih diliputi oleh teka-teki. Baiklah, kita sekarang berpisah. Agaknya pasukan Menoreh telah benar-benar siap untuk berangkat.”
“Ki Gede,” potong Raden Sutawijaya, “aku berharap agar Ki Gede memberitahukan para pengawas, bahwa pasukan Mataram akan datang.”
“Baiklah, Raden. Pada saat kita berangkat, maka akan aku memerintahkan dua orang pengawal untuk menghubungi para pengawas.”
“Terima kasih, Ki Gede,” sahut Sutawijaya, “dengan demikian, maka agaknya kita sudah dapat melakukan tugas kita masing-masing sesuai dengan perjanjian.”
Demikianlah, maka Ki Gede memeriksa para pengawal itu untuk terakhir kalinya. Kemudian dipesankannya kepada para pengawal yang tinggal untuk mengawasi keadaan sebaik-baiknya. Mereka mendapat gambaran ke mana Ki Argapati akan pergi. Jika terjadi sesuatu di Tanah Perdikan itu, maka mereka akan dapat segera menghubungi Ki Argapati. Di beberapa tempat, Ki Gede akan memberikan isyarat dan tanda-tanda bagi orang-orang yang akan mencarinya. Sebaliknya, jika Ki Gede Menoreh memerlukan, maka pasukan cadangan harus sudah siap. Dalam keadaan mendesak, Ki Argapati akan mengirimkan penghubung berkuda, dan pasukan cadangan itu harus menyusul. Sebagian dari mereka adalah pasukan berkuda yang harus mencapai sasaran lebih cepat, sementara yang lain menyusul.
Ketika semuanya sudah siap, maka pasukan pengawal Menoreh itu mulai berangkat. Sesaat Ki Gede berpaling ke gandok. Dilihatnya ibu Rudita menangis tersedu-sedu berdiri di muka pintu memandang suaminya dengan sepenuh harap.
“Aku akan membawanya kembali,” berkata ayah Rudita yang sudah siap untuk berangkat.
Isterinya hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Berdoalah. Semua peristiwa yang terjadi tergatung kepada keputusan Yang Maha Kuasa. Kini aku sedang berusaha sebagai suatu kenyataan permohonanku dan permohonanmu. Mudah-mudahan dikabulkan.”
Sekali lagi isterinya mengangguk.
KI Gege Menoreh menarik nafas dalam-dalam, sedang Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia mengerti, betapa sedihnya hati perempuan itu.
Demikianlah, setelah semua perjanjian dan pesan dianggapnya sudah cukup, berangkatlah pasukan pengawal terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mendapat keterangan dari orang-orang yang dianggap mengerti tentang daerah yang akan mereka datangi, ditambah dengan keterangan Prastawa dan Pandan Wangi.
Bersamaan dengan itu, maka dua orang pengawal berkuda telah pergi ke perbatasan di pinggir Kali Praga untuk memberitahukan, bahwa pasukan Mataram akan datang. Tetapi sama sekali tidak akan mengganggu Tanah Perdikan Menoreh, sebab mereka berniat untuk menemukan sarang orang-orang bersenjata yang sering mengganggu perkembangan Mataram dengan segala macam cara.
Sementara itu, Kiai Gringsing, kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan Raden Sutawijaya masih berada di induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika matahari memanjat semakin tinggi mereka menjadi gelisah, karena pasukan Mataram masih belum datang.
Tetapi mereka pun sadar, bahwa perjalanan dari Mataram ke Tanah Perdikan Menoreh memang memerlukan waktu. Seandainya orang-orang yang mengikuti Raden Sutawijaya itu selamat sampai ke Mataram dan menghadap Ayahanda Ki Gede Pemanahan, maka tentu diperlukan waktu untuk menyiapkan sepasukan pengawal pilihan. Pasukan yang terlatih baik untuk menghadapi segala macam medan. Menghadapi perang, dan menghadapi keragu-raguan rakyat di sepanjang daerah yang sedang dibuka.
Sementara itu, maka kedatangan para pengawal Mataram tanpa Raden Sutawujaya memang mengejutkan sekali. Apalagi mereka membawa beberapa sosok mayat dan orang-orang yang terluka.
Keterangan yang diberikan oleh para pengawal yang kembali ke Mataram telah menimbulkan kecemasan di hati Ki Gede Pemanahan. Ia sadar, bahwa yang dihadapi Sutawijaya tentu sekelompok orang-orang yang pilih tanding, sehingga dengan demikian maka wajarlah, apabila Sutawijaya memerlukan sepasukan pengawal yang kuat.
Sementara Ki Gede Pemanahan memerintahkan menyiapkan sepasukan pengawal yang kuat, maka ia sendiri telah dicengkam oleh kebimbangan yang tajam. Sebagai seorang ayah dan sebagai seorang pemimpin ia tidak akan dapat membiarkan Sutawijaya pergi sendiri. Tetapi untuk meninggalkan Mataram yang sedang berkembang dan sedang digoncang oleh berbagai macam keadaan itu. Ki Gede pun tidak sampai hati pula. Ada banyak persoalan yang dapat tumbuh dengan tiba-tiba di Mataram. Sikap Pajang yang meragukan dan mungkin justru goncangan dari dalam. Jika orang yang dengan sengaja ingin mengurungkan berdirinya Mataram, melihat bahwa Mataram sedang kosong, maka ada saja yang dapat terjadi. Apalagi pasukan-pasukan terpercaya juga sedang berada di luar.
Dalam kebimbangan itulah Ki Gede Pemanahan memerlukan berbicara dengan seorang tua yang selalu dekat dengan dirinya. Orang tua yang sangat bijaksana dan mempunyai berbagai macam ilmu yang mapan di dalam olah kajiwan dan kanuragan, yang kebetulan berada di Mataram.
“Ki Juru Martani, persoalan ini sangat meragukan. Aku ingin pergi, tetapi aku juga ingin tetap menunggui Mataram,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Siapa saja yang telah pergi?”
“Aku tidak tahu. Tetapi Sutawijaya memerlukan sepasukan prajurit terkuat. Di daerah Tanah Perdikan Menoreh ia bertemu dengan Daksina, yang ternyata telah berkhianat terhadap Pajang dan menghendaki Pajang dan Mataram hancur bersama-sama.”
“Daksina,” ulang Ki Juru Martani, “sikapnya memang tidak meyakinkan. Tetapi siapa saja yang ada di pihak Sutawijaya selain para pengawal Mataram? Apakah ia bekerja bersama dengan orang-orang Menoreh?”
“Hampir secara kebetulan. Bahkan hampir saja terjadi salah paham. Untunglah, bahwa akhirnya mereka bekerja bersama dengan baik. Namun ternyata bahwa menurut perhitungan Sutawijava, ia tidak akan mampu memasuki daerah orang-orang bersenjata itu tanpa kekuatan yang lebih besar. Ia masih menyangsikan, apakah Daksina itu tidak dibayangi oleh kekuatan yang jauh lebih besar lagi.”
“Apakah ia bertemu dengan Ki Gede Menoreh?”
“Waktu itu belum. Tetapi ia akan menemuinya. Yang ikut bersama Sutawijaya waktu itu adalah anak gadisnya. Pandan Wangi. Anak gadis yang aneh, yang mempunyai kemampuan seperti seorang anak muda vang terlatih baik. Di samping itu di antara mereka terdapat anak-anak muda bercambuk.”
“Siapakah mereka?”
“Murid dari seseorang yang menyebutnya Kiai Gringsing.”
“Nama itu memang pernah aku dengar. Apakah kau pernah bertemu dengan orang itu?”
“Ia selalu menghindar. Sejak kekalahan Tohpati ia sudah berada di antara pasukan Pajang pada waktu itu. Aku sendiri datang mengambil sisa-sisa pasukan Jipang yang menyerah. Tetapi orang itu tidak aku jumpai. Mungkin kita bertemu selintas, tetapi tidak dalam waktu yang cukup untuk mengenalnya.”
“Apakah ada sesuatu yang dirahasiakannya?”
“Aku tidak tahu. Tetapi Sutawijaya juga tidak percaya bahwa, Kiai Gringsing yang juga disebut Ki Tanu Metir itu benar-benar hanya seorang dukun padesan. Ia memiliki ilmu yang hampir sempurna.”
“Itu bukan pertanda.”
“Ya. Memang ada juga orang-orang yang hidup terpencil tetapi memiliki kemampuan keprajuritan yang tinggi. Tetapi ada alasan Sutawijaya untuk menganggapnya bahwa ia bukan orang kebanyakan.”
“Apakah orang itu ada di Menoreh?”
“Ya. Dan murid-muridnya sudah terlibat.”
“Jika demikian, kau dapat percaya kepadanya untuk sementara. Biarlah ia ikut pergi. Setidak-tidaknya ia akan mengamat-amati muridnya.”
“Sudah berulang kali ia berbuat sesuatu untuk kepentingan Mataram,” berkata Ki Gede Pemanahan. Kemudian diceritakannya apa yang didengarnya dari laporan-laporan yang diterimanya tentang orang bercambuk itu.
“Jika demikian, kau tidak usah cemas lagi. Menurut perhitunganku, Ki Argapati dan Kiai Gringsing itu tentu akan melibatkan dirinya jika lawan anak-anak itu terlampau kuat. Bukan berarti kau dapat melepaskan tanggung jawabmu atas anakmu, tetapi Mataram memang tidak dapat kau tinggalkan. Untuk mengimbanginya, kau harus mengirimkan sepasukan prajurit yang benar-benar kuat. Jika orang-orang itu tidak ada di antara pasukan pengawal Mataram nanti, maka pasukan itu sendiri dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalahnya, setidak-tidaknya melindungi diri sendiri.
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh Ki Juru Martani itu sebenarnya memang sudah dipikirkannya. Namun dengan demikian, ia menjadi semakin yakin, bahwa ia memang harus tetap berada di Mataram. Bahayanya sangat besar bagi daerah yang sedang tumbuh ini apabila ia pergi meninggalkannya dalam keadaan yang belum mantap itu.
Demikianlah, maka Ki Gede Pemanahan pun segera mengirimkan sepasukan pengawal yang paling kuat. Agar mereka segera sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan memerintahkan agar mereka pergi berkuda. Ki Gede juga mendengar laporan, bahwa di antara anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh ada yang telah hilang. Dan hilangnya Rudita itu memberikan gambaran kepada Ki Gede Pemanahan, bahwa lawan yang dihadapi memang bukan lawan yang ringan.
Di antara perwira yang pergi di dalam pasukan itu adalah Ki Lurah Branjangan. Ia adalah perwira yang berpengalaman. Dan Ki Lurah Branjangan telah mengenal dengan baik perwira Pajang yang berada di tlatah Tanah Perdikan Menoreh dan bernama Daksina itu. Di samping Ki Lurah Branjangan, Ki Gede Pemanahan juga mengirimkan pengawal-pengawal kepercayaannya.
“Jagalah anak itu baik-baik,” pesan Ki Gede Pemanahan kepada Ki Lurah Branjangan dan kawan-kawannya, “kalian akan masuk ke dalam sarang harimau. Dan kalian tidak tahu, ada berapa ekor harimau yang ada di dalam sarang itu. Aku berharap bahwa orang bercambuk itu dapat di bawa bekerja bersama. Setidak-tidaknya tidak menghalangi kalian.”
“Aku percaya kepadanya, Ki Gede,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Aku pernah melihat pengabdiannya di Jati Anom. Benar-benar tanpa pamrih.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hati-hatiah. Kalian merupakan pasukan berkuda terkuat yang pernah disusun oleh Mataram yang muda ini.”
“Mudah-mudahan Mataram tetap tidak goyah sepeninggal pasukan terkuat ini jika terjali sesuatu, Ki Gede.”
“Tentu tidak. Aku sudah mengatur keseimbangan kekuatan yang kita miliki.”
Demikianlah, maka pasukan berkuda itu pun segera berangkat meninggalkan Mataram. Mereka menyusur jalan yang langsung menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang tukang perahu terkejut melihat pasukan itu. Bahkan ada yang menduga, bahwa terjadi perselisihan antara Mataram dan Menoreh.
“Tentu tidak. Pasukan itu terlalu kecil untuk mengatasi perselisihan dengan Menoreh,” berkata salah seorang tukang perahu itu. “Pasukan ini hanya terdiri oleh kira-kira tigapuluh atau tigapuluh lima orang.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti, bahwa pasukan itu memang terlalu kecil jika benar-benar terjadi perselisihan dengan Menoreh yang lebih tua dan cukup kuat itu.
Dengan beberapa buah perahu, maka pasukan pengawal itu menyeberangi sungai beserta kuda-kuda mereka. Di sebelah Barat Kali Praga, maka pasukan itu pun segera menyusun diri dan meneruskan perjalanan.
Namun, mereka terhenti ketika mereka bertemu dengan empat orang pengawal berkuda dari Tanah Perdikan Menoreh. Ki Lurah Branjangan yang memimpin pasukan kecil itu pun segera menemui para pengawal dari Menoreh itu.
Tetapi sebelum Ki Lurah Branjangan bertanya sesuatu, salah seorang pengawal itu berkata, “Kami sudah menerima perintah untuk menerima pasukan pengawal dari Mataram. Kami persilahkan pasukan ini lewat. Raden Sutawijaya sudah terlalu lama menunggu.
“Terima kasih, Ki Sanak.” jawab Ki Lurah Branjangan.
Demikianlah, maka pasukan berkuda itu pun segera berpacu menuju ke induk Tanah Perdikan. Di sepanjang jalan, derap kaki kuda itu menghambur-hamburkan debu di atas jalan berbatu-batu. Namun demikian, orang-orang Menoreh sudah banyak yang mendengar akan kedatangan pasukan pengawal dari Mataram dalam usahanya untuk menenteramkan Tanah yang sedang tumbuh itu dan bekerja bersama dengan Ki Argapati.
“Selain usaha itu tidak merugikan Menoreh, dan bahkan menguntungkan, Ki Argapati sudah dipaksa oleh hilangnya Rudita,” berkata seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh kepada kawan-kawannya.
Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia sependapat, bahwa orang-orang bersenjata yang berkeliaran itu memang harus dipagari. Jika mereka gagal mengganggu Mataram, maka mereka akan menjadi segerombol orang-orang bersenjata yang berbuat tanpa tujuan. Dan itu akan menjadi sangat berbahaya bagi Tanah Perdikan Menoreh. Selama ini gerakan gerombolan itu lebih di arahkan untuk menghancurkan Mataram. Tetapi arah itu dapat berkembang, bahkan juga dapat berkisar dari arah semula.
Dalam pada itu, pasukan pengawal berkuda itu pun menjadi semakin lama semakin dekat dengan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dan mereka pun sadar, bahwa Raden Sutawijaya sedang menunggu dengan gelisah.
Sebenarnyalah, bahwa Sutawijaya sudah menjadi sangat gelisah. Bukan saja karena matahari sudah sampai ke puncak langit, tetapi ia juga menjadi cemas, bahwa orang-orangnya yang kembali ke Mataram itu tidak akan pernah mencapai tujuannya. Karena itu kunjungi adbmcadangan.wordpress.com maka dalam kegelisahannya ia berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru, “Jika perlu aku akan menjemput pasukan itu ke Mataram. Aku akan pergi dari Mataram langsung ke tempat itu, ke tempat yang sudah kita janjikan dengan Ki Gede Menoreh. Aku harus bertindak lebih cepat daripada menunggu saja.”
“Tetapi bagaimana jika kita berselisih jalan.”
Sutawijaya menarik nafas. Memang kemungkinan itu dapat saja terjadi. Dengan demikian, maka waktunya akan menjadi semakin panjang.
Tetapi jika ia menunggu saia, dan pasukan itu tidak kunjung datang, maka ia pun akan banyak sekali kehilangan waktu.
Namun demikian, menurut perhitungan Kiai Gringsing, pasukan pengawal yang dipimpin oleh Ki Argapati sendiri cukup kuat untuk mempertahankan diri apabila mereka bertemu dengan pasukan lawan di perjalanan. Tetapi untuk menembus masuk ke daerah yang kurang dikenal itu, mereka pasti memerlukan pasukan Mataram yang kuat sekali. Karena daerah itu hampir masih belum dikenal sama sekali.
Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya tidak usah menjadi semakin gelisah, karena sejenak kemudian dua orang Pengawal Tanah Perdikan Menoreh melaporkan, bahwa mereka sudah melihat pasukan Mataram datang.
“Bagus,” desis Raden Sutawijaya, “kita akan segera berangkat.”
“Biarlah mereka beristirahat dahulu,” berkata Kii Gringsing. “Mereka baru saja menempuh perjalanan yang jauh.”
“Mereka berkuda,” sahut pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melihat kehadiran para pengawal dari Mataram itu.
“Tetapi mereka tentu lelah dan haus. Biarlah mereka beristirahat sebentar untuk makan dan minum. Kita akan segera menyusul pasukan pengawal Tanah Perdikan ini.”
Demikianlah maka pasukan Pengawal Tanah Perdikan itu pun kemudian menyongsong pasukan berkuda yang baru datang. Mereka dibawa langsung ke rumah Ki Gede Menoreh yang ditunggui oleh bebeapa orang kepercayaan Ki Gede, karena Ki Gede sendiri justru sudah berangkat mendahului.
Seperti yang dikatakan Kiai Gringsing, maka mereka masih sempat untuk minum seteguk air dan makan sepotong makanan. Kemudian mereka sudah harus berkemas lagi.
“Sesudah kuda-kuda itu beristirahat sejenak, minum dan makan pula, kita akan berangkat,” berkata Sutawijaya. “Kita harus menyusul pasukan Ki Argapati yang sudah lebih dahulu berangkat. Secepat mungkin.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Kiai Gringsing sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Baiklah, Raden. Kita akan berangkat. Apakah Kiai Gringsing itu juga akan ikut serta?”
“Ya. Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Bahkan dengan Ki Demang Sangkal Putung pula.”
Ki Lurah Branjangan masih saja mengangguk-angguk. Katanya pula, “Setiap kali Kiai Gringsing tentu ada di antara kami. Wanakerti pernah bercerita tentang Kiai, dan di Jati Anom aku menyaksikan sendiri. Kemudian laporan dari para petugas tentang orang yang menyebut dirinya panembahan tanpa nama. Dan sekarang Kiai berada di antara kami pula.”
“Dan yang telah mendahului kita adalah Ki Gede Menoreh, puterinya Pandan Wangi, ayah dari anak yang hilang itu dan Ki Sumangkar.”
“O,” desis Ki Lurah Branjangan, “jadi Ki Sumangkar pergi juga?”
“Ya.”
“Sebenarnya kita sudah cukup lengkap. Mudah-mudahan Daksina tidak menyimpan sederetan nama orang-orang yang memiliki kemampuan seperti pemimpin-pemimpin di golongan mereka yang pernah dikalahkan oleh Kiai Gringsing.”
“Mudah-mudahan,” berkata Raden Sutawijaya, “meskipun seandainya demikian, kita akan berusaha melakukan tugas kita sebaik-baiknya.”
Dalam pada itu, maka beberapa orang yang memberikan, makan dan air kepada kuda-kuda itu pun telah selesai pula. Sejenak mereka masih menunggu. Kemudian Raden Sutawijaya pun berkata, “Aku kira kita tidak akan dapat berbuat banyak hari ini. Jika kita sampai di tempat tujuan, maka hari tentu sudah gelap. Apalagi kita masih mencari hubungan dan beberapa keterangan tentang daerah yang masih belum kita kenal itu.”
“Seakan-akan kita akan meloncat ke dalam gelap,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Tepat. Dan kita tidak tahu, apakah yang ada di balik kegelapan itu. Kengerian atau kegelapan yang pekat tanpa batas.”
“Atau kita akan mendapatkan apa yang kita cari.”
“Ada seribu kemungkinan. Tetapi kita harus menempuhnya.”
Demikianlah, maka selelah semuanya siap, maka Raden Sutawijaya pun minta diri kepada orang-orang yang diserahi pimpinan atas Tanah Perdikan Menoreh selama Ki Argapati tidak ada di tempat. Demikian juga Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Demang Sangkal Putung. Kiai Gringsing masih sempat memperingatkan pesan-pesan yang diberikan oleh Ki Argapati. Pasukan pengawal cadangan harus selalu siap. Lebih-lebih pasukan berkuda yang meskipun jumlahnya tidak banyak, namun akan dapat membantu dengan cepat. Sedangkan apabila ada kesulitan, sebaiknya segera mencari hubungan dengan Ki Argapati di tempat-tempat yang sudah ditentukan atau tanda-tanda yang diketemukan.
Meskipun mereka sadar, bahwa hari itu mereka tidak akan dapat segera bertindak langsung, namun mereka pun berangkat juga, karena mereka mengerti bahwa Ki Gede Menoreh dan ayah Rudita tentu sudah menunggu. Apalagi apabila mereka sudah diketahui oleh beberapa orang pengawas yang dipasang oleh Daksina, karena Daksina pun pasti mempunyai perhitungan, bahwa akan datang beberapa orang yang akan mencarinya. Dan pasukan yang akan datang itu tentu lebih kuat dari pasukan Sutawijaya.
Sutawijaya yang ada di paling depan dari pasukan pegawalnya, sekali-sekali memandang langit yang menjadi kemerah-merahan. Awan yang putih keabu-abuan bergumpal di ujung cakrawala.
Hampir tidak ada seorang pun yang saling berbicara di dalam iring-iringan itu. Seakan-akan semuanya sedang dicengkam oleh angan-angan, tentang apakah kira-kira yang akan mereka jumpai di perjalanan.
Kiai Gringsing pun agaknya segan untuk mulai berbicara. Ia duduk sambil menunduk di atas punggung kudanya, sedang Agung Sedayu dan Swandaru hanya kadang-kadang saling berpandangan.
Berbeda dengan mereka, maka agaknya di dalam kegelisahannya, Ki Demang sempat memperhatikan air yang mengalir di parit-parit yang membujur lurus membelah tanah persawahan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata di dalam hatinya, “Menoreh memang maju di bidang pertanian. Parit-parit mengalir deras dan tersalur ke segenap bagian bulak yang luas itu. Tidak terlalu banyak pematang yang silang menyilang, dan cara bertanam padi yang cermat.”
Tetapi Ki Demang tidak dapat memperhatikan sawah itu terlampau lama. Setiap kali dadanya berdesir jika teringat olehnya, bahwa perjalanan itu akan menuju ke tempat yang tidak menentu untuk menyelamatkan Rudita.
“Ada seribu kemungkinan dapat terjadi,” katanya di dalam hati, “dan ada seribu kemungkinan pula yang dapat terjadi atas Swandaru dan Pandan Wangi.”
Tetapi Ki Demang berusaha untuk menyembunyikan kesan itu, sehingga karena itu, ia pun duduk saja sambil berdiam diri di atas kudanya.
Iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi langit pun menjadi semakin suram.
“Kita akan bermalam di tempat yang sudah ditentukan. Kemudian kita mencari hubungan dengan pasukan Ki Argapati,” berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut sepatah kata pun.
Dalam pada itu, pasukan Ki Argapati yang mendahului pasukan dari Mataram itu pun menjadi semakin dekat dari sebuah tempat terbuka yang menjadi arena pertempuran antara Raden Sutawijaya dengan Daksina.
“Kita sudah hampir sampai,” berkata Pandan Wangi.
“Sampai di mana?”
“Arena pertempuran itu. Di pinggir arena itulah Rudita semula bersembunyi. Tetapi ia tidak dapat aku ketemukan kembali.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian mereka melihat sebuah tempat yang terbuka, yang dikatakan oleh Pandan Wangi, daerah yang menjadi ajang perkelahian antara pasukan pengawal Mataram dan Menoreh melawan Daksina dan anak buahnya.
“Kita berhenti di pinggir daerah terbuka itu,” Desis Ki Argapati.
“Ya. Kita sudah berjanji bertemu di tempat Rudita hilang.”
“Di tempat Rudita hilang, atau di ujumg pegunungan itu.”
Pandan Wangi memandang pegunungan di hadapannya. Masih beberapa ratus patok lagi.
“Kita berhenti di tempat Rudita itu hilang. Kita sempat berbicara untuk menentukan sikap, sementara kita dapat melihat tempat itu, barangkali kita menemukan sesuatu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilecutnya kudanya, sehingga ia berada di paling depan. Sejenak ia berpaling memandang hutan liar di sebelah jalan yang dilaluinya. Hutan tempat mereka berburu seekor ular raksasa.
Tetapi kini mereka tidak memasuki hutan liar itu, tetapi menyelusur di sebelahnya dan langsung pergi ke tempat pertempuran itu terjadi.
Beberapa saat kemudian, mereka pun segera sampai di tempat yang mereka tentukan sebagai titik pertama pertemuan dengan pasukan pengawal Mataram.
Ketika Pandan Wangi meloncat dari punggung kudanya disusul oleh Prastawa, maka yang lain pun segera turun pula. Mereka mengikat kuda masing-masing pada pohon-pohon perdu di sekitarnya.
“Jangan di tempat Rudita itu terakhir kali kau lihat,” berkata Ki Argapati.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Maka dibawanya kudanya agak menjauh. Agaknya ayahnya masih akan mencoba menemukan jejak yang barangkali dapat dipergunakannya untuk menjadi petunjuk.
Sejenak kemudian Ki Argapati, Ki Sumangkar, dan ayah Rudita itu pun segera menyelidiki tempat Rudita yang terakhir kali diketahui oleh Pandan Wangi.
Tetapi seperti Pandan Wangi dan anak-anak muda sebelumnya, mereka tidak menemukan jejak apapun juga selain dugaan yang sama, bahwa Rudita sempat meronta dan tangannya menggapai dedaunan di sekitarnya. Setelah itu maka ia pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
“Kita hanya dapat mengetahui beberapa langkah dari jejak ini,” berkata Ki Argapati.
“Ya. Kita hanya mengetahui arah. Dan kita pun mengetahui, bahwa yang membawa Rudita adalah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.”
Ki Argapati mengangguk-angguk. Dipandanginya saja tempat itu seakan-akan ia masih mencoba mencarinya.
Dalam pada itu, ayah Rudita pun segera maju ke depan. Dengan suara gemetar ia berkata, “Ki Gede, biarlah aku mencoba mengetahui, ke manakah Rudita itu dibawa. Kita memang mengetahui arahnya, tetapi hanya beberapa langkah. Dan mudah-mudahan aku menemukan arah yang sebenarnya.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian dibiarkannya ayah anak yang hilang itu memusatkan inderanya.
Sejenak orang-orang yang ada di sekitar ayah Rudita itu pun terdiam. Seakan-akan mereka ikut terhempas ke dalam suatu suasana yang asing. Mereka melihat ayah Rudita itu berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kepalanya tertunduk, sedang matanya menjadi redup setengah terpejam.
Ki Argapati dan Ki Sumangkar, yang memiliki pengalaman lahir dan batin yang luas, merasakan getar di dalam diri masing-masing, sehingga dengan demikian mereka mengerti sepenuhnya, bahwa ayah Rudita itu sedang mencari hubungan dengan anaknya dengan caranya. Tetapi menilik keadaan Rudita, maka sentuhan dengan getaran ayahnya itu tentu agak sulit. Anak itu terlampau ringan untuk ditemukan oleh getar indera karena justru keadaannya. Dan itulah anehnya kehidupan. kunjungi adbmcadangan.wordpress.com Seorang anak tidak selalu berhasil dibentuk seperti kehendak orang tuanya karena berbagai sebab. Justru bagi Rudita adalah sebab yang ada di dalam keluarganya sendiri. Ibunya hampir tidak pernah mau mengerti, bahwa Rudita pun memerlukan perjuangan bagi hari depannya. Ia tidak akan dapat selalu bersandar kepada orang tuanya.
Tetapi ayahnya masih tetap berusaha. Dengan memusatkan segenap tenaga lahir dan batinnya, ia berusaha untuk mendapat sedikit petunjuk tentang anaknya yang hilang itu, meskipun pangkal bertolaknya pun terlampau kecil, sekedar arah dan kemungkinan saat-saat Rudita hilang.
Ki Argapati dan Ki Sumangkar pun menjadi semakin tegang. Apalagi Pandan Wangi, Prastawa, dan para pengiringnya ketika mereka melihat wajah ayah Rudita itu meniadi merah padam.
Tetapi ia masih tetap berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di dadanya, serta kepalanya masih saja tertunduk dan matanya redup setengah terpejam.
Orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat tubuh itu menjadi gemetar, sesaat wajahnya menjadi seakan-akan kelam. Pekat, dan mata itu benar-benar telah terpejam.
Ayah Rudita sudah sampai pada puncak pencapaian dengan ilmunya. Seakan-akan tubuhnya itu telah dihisap oleh suasana yang tidak dapat diraba dari luar kediriannya.
Dan itulah yang terjadi padanya. Ayah Rudita seakan-akan telah terpisah dari wadagnya dan mencapai suatu keadaan tanpa bentuk, selain isyarat-isyarat yang lembut yang hanya dapat dikenal oleh ilmu yang khusus.
Namun itulah sebenarnya hakekat dari ilmunya. Pengenalan pada isyarat-isyarat yang dapat disentuh dengan perasaannya, yang sebenarnya ada pada diri setiap orang. Namun kebanyakan orang tidak menyediakan diri sampai ke pusat penangkapan inderanya serta tidak mempelajari bentuk, jenis dan makna isyarat-isyarat itu.
Sejenak kemudian, setiap gerak di dalam tubuh ayah Rudita itu pun berhenti selain, urat-urat yang tiada terkuasai oleh kehendak. Nafasnya pun seolah-olah terputus, dan matanya seakan-akan terpejam semakin rapat.
Namun dalam pada itu, Ki Argapati dan Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti, bahwa ayah Rudita itu sudah selesai dengan usahanya.
Dan sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian ayah Rudita itu membuka matanya. Wajahnya sudah menjadi seperti biasa, meskipun masih tampak keletihan membayang disorot mata itu.
Ayah Rudita itu pun menarik nafas dalam-dalam. Tidak hanya sekali, tetapi tiga kali.
Ki Gede Menoreh pun kemudian mendekatinya sambil bertanya, “Apakah kau menemukan isyarat.”
Laki-laki itu mengangguk lemah. Katanya, “Isyarat itu lemah sekali, Ki Gede. Tetapi aku mengharap bahwa Rudita masih selamat. Rasanya aku memang dapat menyentuhnya.”
“Apakah kau dapat mengatakan, bagaimana dengan arah yang kita tempuh dan keadaan Rudita sekarang?”
“Samar-samar aku dapat menemukan arah itu. Dan kita sudah berjalan di jalan yang benar. Aku akan mencoba merabanya lagi setelah kita ada di ujung pegunungan itu. Rasa-rasanya ia ada di sana.” Ayah Rudita itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku pun menemukan sesuatu yang mendebarkan jantung.”
“Apakah itu?”
“Isyarat seperti yang pernah aku sentuh beberapa tahun yang lalu. Bahkan di sekitar sepuluh tahun yang lalu? Saat Rudita masih kanak-kanak.”
“Apakah isyarat itu?”
“Sentuhan pertama saat aku mendengar nama Panembahan Agung, aku tergetar oleh nama yang pernah aku dengar, yaitu Panembahan yang menamakan dirinya Panjer Bumi. Kini tiba-tiba terasa, bahwa sentuhan itu seakan-akan memperkuat dugaan kita, bahwa di belakang semua persoalan yang tumbuh di Mataram ini berdiri Panembahan yang menyebut dirinya Panjer Bumi itu, meskipun ia dapat menyebut dirinya dengan seribu nama.”
“Bagaimana kau sampai pada dugaan itu?”
“Getaran dan isyarat yang tersentuh selagi aku mencari Rudita. Bahkan aku menduga, bahwa yang membawa Rudita itu adalah Panembahan Panjer Bumi atau orang-orangnya yang terpercaya. Namun agaknya Panembahan Panjer Bumi tidak mengetahui, bahwa Rudita itu adalah anakku. Jika ia mengetahui, maka ia akan memagarinya sehingga aku sama sekali tidak akan dapat menyentuhnya. Dengan demikian aku akan kehilangan segala arah untuk menemukannya dengan ilmuku. Tetapi ternyata bahwa Tuhan masih berkenan memberikan sedikit petunjuk, di manakah anak itu berada.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Sumangkar, dilihatnya orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita akan selalu berdoa,” berkata Ki Sumangkar, “mudah-mudahan kita berhasil menemukannya.”
“Mudah-mudahan,” berkata ayah Rudita, “namun jika rabaanku benar, dan orang itu benar-benar Panembahan yang pernah menyebut dirinya bernama Panjer Bumi, kita memang harus berhati-hati. Ia mempelajari semacam ilmu dari daerah asing, sehingga ia memiliki kemampuan menciptakan barang-barang semu yang dapat membingungkan bagi mereka yang menjumpainya.”
Orang-orang yang mendengar keterangan ayah Rudita itu mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan Wangi pun bertanya, “Apakah maksud dengan barang-barang semu itu?”
“Benda-benda yang sebenarnya tidak ada, tetapi ada pada mata kita. Ia mempengaruhi langsung pusat syaraf kita di seberang indera penglihatan kita dengan ilmunva, sehingga kadang-kadang indera penglihatan kita terganggu karenanya di dalam tangkapan pusat kedirian kita yang wadag.”
Prastawa pun mendesak maju sambil bertanya, “Jadi kita seakan-akan dapat melihat sesuatu bentuk yang sebenarnya tidak ada?”
“Ya.”
“Dan bagaimana dengan indera pendengar dan peraba?”
“Semuanya dapat terpengaruh seperti juga indera penglihatan kita. Getaran ilmunya akan langsung mempengaruhi kita di seberang rangsang pada indera kita, sehingga seakan-akan kita dapat melihat, mendengar dan meraba. Bahkan mencium bau dari benda-benda yang sebenarnya tidak ada. Tetapi tentu hal itu karena pengenalan kita. Seandainya yang terbentuk itu benda semu yang di dalam bentuknya yang benar kita belum pernah melihatnya, dan belum pernah mengenal dan mendengar tentang benda itu, maka yang langsung dapat dipengaruhi adalah sekedar indera penglihatan menurut rekaan khayali kita sendiri, yang barangkali tidak sama bagi setiap orang. Kemudian barulah berkembang pada indera kita yang lain yang seperti juga indera penglihatan maka tangkapan pusat syaraf dan kedirian kita akan berbeda.”
Prastawa mengerutkan keningnya. Ia masih belum dapat menangkap seutuhnya kata-kata ayah Rudita itu, sehingga ayah Rudita itu perlu menjelaskannya, “Misalnya. Aku ingin mempengaruhi kau untuk menciptakan bentuk sebuah binatang yang di sebut gajah. Sedangkan seandainya orang-orang yang ingin kita pengaruhi dengan ilmu kita itu belum pernah melihat gajah. Maka yang akan tercipta sebagai bentuk semu, yang satu dengan yang lain akan berbeda. Hanya bentuk dalam keseluruhan tentu saja mirip seperti yang dilontarkan oleh orang yang memiliki ilmu itu. Tetapi di dalam bagian-bagian kecilnya akan terdapat perbedaan. Jika kita bersama-sama meraba, maka yang seorang tidak mendapat kesan vang sama dengan orang yang lain. Yang seorang menganggap kulitnya licin seperti belut, yang lain agak kasar seperti seekor kerbau. Bahkan mungkin yang menganggap bulu-bulunya kasar seperti bulu landak.”
Mereka yang mendengarkannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan orang yang aneh di dalam pandangan mereka.
“Karena itu,” berkata ayah Rudita, “kita harus bersiap menghadapi kemampuan yang dahsyat itu.”
“Mengagumkan. Jika benar demikian, kita akan menghadapi rintangan yang berat sekali. Apalagi aku. Tentu aku tidak akan dapat mengenal, manakah benda-benda yang asli dan manakah yang semu.”
“Memang sulit,” sahut ayah Rudita, “jika kau melihat sebuah rakit di tepi sungai yang sedang banjir. Sedang sebenarnya rakit itu adalah benda semu karena pengaruh seseorang pada pusat syarafmu, maka mungkin sekali kau akan tertipu. Kau akan turun ke dalam rakit itu. Untuk sekejap kau memang merasa berada di atas sebuah rakit. Tetapi kemudian kau akan menyadari bahwa kau telah hanyut di bawa banjir. Biasanya kesadaran yang demikian datang terlambat setelah kau tidak mampu berbuat sesuatu.”
“O,” beberapa orang menjadi berdebar-debar.
“Karena itu, pengamanan yang paling mudah bagi kalian adalah, tidak berbuat apa-apa. Jika kau dicengkam oleh suasana semu jangan berbuat apa-apa, meskipun dapat berakibat buruk bagi kalian, karena kediaman kalian itu akan memberi kesempatan bagi musuh-musuhmu untuk berbuat sesuatu.”
“Jadi bagaimana mengatasinya.”
“Sulit sekali. Yang paling mungkin adalah, memusatkan kehendak kita untuk tetap melihat bentuk yang sebenarnya dari yang kau hadapi. Jika di pinggir kali itu tidak ada rakit, maka meskipun rakit itu tampak padamu namun kau dapat membedakan tangkapan semu itu dan tangkapan indera penglihatanmu. Jika keduanya menjadi baur dan seakan-akan bertumpuk, kau memang harus memilih. Dan manakah yang paling mungkin ada disesuaikan dengan keadaan dan kemungkinan di sekitarmu.”
Yang mendengarkan penjelasan itu menjadi termangu-mangu. Namun ayah Rudita itu kemudian berkata, “Jangan menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan adalah tanda-tanda kekalahan di dalam persoalan ini. Kalian harus cepat mengambil keputusan tanpa ragu-ragu. Namun itu sulit sekali, dan akibatnya dapat sangat berbahaya. Mudah-mudahan kalian berhasil di dalam taraf yang paling dangkal.”
“Baiklah,” tiba-tiba Prastawa menyahut, “aku akan mencoba. Aku akan mencoba melihat kebenaran indera penglihatanmu. Mudah-mudaan aku berhasil.”
Dalam pada itu, maka ayah Ruditapun berkata, “Jika demikian apakah kita akan berangkat terus?”
Ki Argapati menjadi ragu-ragu sejenak. Ia harus memikirkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Jika Panembahan Agung dan yang disebut oleh ayah Rudita itu bernama Panembahan Panjer Bumi itu benar-benar memiliki ilmu yang dahsyat itu, maka kedudukan pasukannya tentu akan menjadi sulit. Panembahan itu dapat mempengaruhi penglihatan dalam pengertian khayali pada pengawal-pengawalnya. Dan bahkan dapat membuat mereka saling tidak mengenal dan bahkan bertentangan satu sama lain, karena sebagian dari mereka akan berubah menjadi lawan-lawannya. Panembahan itu sama sekali tidak perlu mempunyai pasukan. Pasukan lawannyalah yang akan menjadi pasukannya, karena pengaruh ilmunya yang membuat orang lain menjadi bingung.
Ayah Rudita mengetahui keragu-raguan itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Ki Gede. Kita masih agak jauh dari padepokan itu. Menurut dugaanku, kita masih dapat maju lagi seperti yang kita rencanakan. Kita memberi tanda di tempat ini kepada Raden Sutawijaya agar jika mereka datang, mereka pun akan menyusul kita sampai ke ujung pegunungan itu.”
Ki Argapati mengerti, betapa kegelisahan mencengkam hati ayah dari anak yang hilang itu. Karena itu, maka ia pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Kita akan maju sampai tempat terakhir dari persetujuan kita dengan pasukan yang akan menyusul.”
Demikianlah, setelah memberikan tanda-tanda yang diperlukan seperti yang sudah mereka bicarakan dengan Raden Sutawijaya, maka mereka pun kemudian bergerak maju. Mereka melintasi lapangan terbuka yang menjadi ajang pertempuran antara para pengawal Mataram dengan anak buah Daksina. Dan ternyata, bahwa mayat orang-orang Daksina yang berserakan telah tidak ada lagi di tempatnya. Tidak ada bekasnya bahwa mayat itu menjadi mangsa binatang. Karena itu maka mereka pun menduga, bahwa mayat-mayat itu telah disingkirkan oleh kawan-kawan mereka.
Perlahan-lahan pasukan itu maju. Semakin lama semakin dekat dengan ujung pegunungan yang tidak begitu tinggi.
Namun dalam pada itu, maka langit pun menjadi kemerah-merahan oleh matahari yang semakin rendah. Tetapi mereka berusaha untuk sampai ke tujuan sebelum daerah itu menjadi gelap pekat.
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya pun telah mendekati daerah hutan liar. Mereka dengan segera dapat mengenal bekas kaki-kaki kuda dari pasukan yang mendahului mereka. Tetapi ternyata kuda pasukan Mataram adalah kuda yang jauh lebih baik dari kuda yang dipergunakan oleh para pengawal Menoreh. Sebagian dari para pengawal itu mempergunakan kuda yang sebenarnya kurang tegar. Tetapi bagi perjalanan mereka agaknya sudah cukup memadai. Dan sudah barang tentu, bahwa para pemimpin Menoreh yang mempergunakan kuda yang lebih baik, menyesuaikan diri dengan para pengawalnya.
Dengan demikian maka jarak antara kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Meskipun perjalanan berikutnya adalah perjalanan yang agak sulit, tetapi kuda-kuda mereka dapat maju terus mengikuti jejak pasukan sebelumnya, melewati pinggiran hutan yang liar.
Tetapi ketika mereka sampai di sebelah arena perkelahian di tempat terbuka itu, matahari telah menjadi merah. Mereka masih sempat melihat tanda-tanda yang dibuat oleh pasukan sebelumnya, namun sejenak kemudian maka senja menjadi gelap.
“Kita terpaksa berhenti di sini,” berkata Sutawijaya perjalanan di malam hari tidak menguntungkan bagi kita. Selain kita membawa kuda dan perbekalan yang lain, maka kita harus memperhitungkan juga pasukan tersembunyi yang setiap saat dapat menyergap dan menghilang. Dalam perjalanan di malam hari kita akan menjadi sasaran yang menguntungkan mereka.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Raden Sutawijaya. Dan menurut dugaannya, maka pasukan yang dibawa oleh Ki Argapati tentu sudah tidak terlalu jauh lagi di hadanan mereka. Apalagi agaknya pasukan itu cukup lama berhenti di tempat itu untuk menyelidiki keadaan yang akan mereka hadapi.
Malam itu kedua pasukan dari Menoreh dan Mataram itu berhenti di tempat yang berbeda. Pasukan Mataram mengetahui, bahwa pasukan Menoreh berada tidak begitu jauh lagi dari mereka, tetapi sebaliknya pasukan Menoreh menjadi agak gelisah, bahwa mereka belum mendapat hubungan dengan Raden Sutawijaya.
“Apakah Mataram benar akan mengirimkan pasukannya?” bertanya Prastawa kepada Pandan Wangi.
“Aku kira demikian. Tetapi mereka memang memerlukan waktu.”
“Seandainya tidak, maka Kiai Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung dan kedua anak-anak muda itu akan menyusul kita,” desis seorang pengawalnya.
Pandan Wangi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun di dalam hatinya ia berkata, “Seandainya mereka tidak datang sama sekali, kita harus tetap maju mencari anak itu. Mungkin kita akan menghadapi seorang panembahan yang sakti, tetapi betapa pun saktinya, ia tentu mempunyai kelemahan di dalam kesalahan yang pernah dilakukannya. Jika ia orang yang sempurna lahir dan batinnya, tentu ia tidak akan mempergunakan kesaktian yang ada padanya untuk tujuan-tujuan yang sekedar memanjakan nafsu diri dan ketamakan saja. Sedang perbuatan yang demikian bertentangan dengan kebenaran. Dan apalagi dengan pancaran kasih Penciptanya. Karena itu, seakan-akan ada suatu keyakinan di dalam hati, bahwa akan datang saatnya orang itu harus menyerah kepada hukum keadilan. Hukum yang tertinggi yang tidak dibuat oleh tangan manusia.”
Demikianlah, malam itu dilampaui dengan selamat. Tidak ada perapian, tidak ada pembicaraan. Mereka makan sekedar bekal yang mereka bawa. Dan di malam yang sepi itu ayah Rudita sempat mencoba menangkap keadaan anaknya.
Seperti yang pernah dilakukan, maka ternyata bahwa ternyata isyarat yang ditangkapnya, Rudita masih tetap selamat. Dan ia masih berharap, bahwa orang yang mengambil Rudita itu bukan orang yang pernah menyebut diri Panembahan Panjer Bumi. kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. Seandainya Panembahan Agung juga Panembahan Panjer Bumi, maka ia mengharap agar orang itu tidak mengetahui, bahwa Rudita adalah anaknya. Sebab dengan demikian, ia akan dapat menutup setiap usahanya untuk mengadakan sentuhan dengan anaknya itu di dalam getaran pribadinya.
Dalam pada itu, ketika fajar mulai mewarnai langit, Sutawijaya sudah mulai bersiap dengan seluruh pasukannya. Menjelang matahari terbit, maka pasukan berkuda itu pun mulai maju dan menyusuri daerah terbuka seperti yang dilalui oleh pasukan pengawal dari Menoreh.
Apalagi ketika kemudian matahari mulai terbit dan warna merah di langit pun seakan-akan mulai menyibak. Maka jejak kaki kuda yang mendahului pasukan pengawal dari Mataram itu menjadi tampak semakin jelas.
“Kita harus segera menyusul mereka, sebelum terjadi sesuatu,” desis Sutawilaya, “supaya kita sempat mengadakan pembicaraan lebih jauh.”
Ternyata bahwa Ki Argapati memang menunggunya. Karena itu, maka seperti yang direncanakan, kedua pasukan itu pun dapat bertemu.
Dengan singkat Ki Argapati mengatakan kepada Kiai Gringsing, bahwa usaha ayah Rudita untuk mengetahui serba sedikit tentang anaknya sudah berhasil. Tetapi sudah barang tentu apa yang berada di rentangan jarak antara ayah Rudita itu dengan anaknya tidak diketahuinya. Mungkin pasukan segelar sepapan. Mungkin tebing yang curam dan tinggi. Mungkin padang rumput yang penuh dengan ular berbisa, dan masih banyak lagi kemungkinan yang dapat terjadi.
“Apakah Rudita ada di sarang Daksina?” bertanya Raden Sutawijaya
“Masih belum aku ketahui, Raden,” jawab ayah Rudita, “aku hanya berhasil mengetahui bahwa Rudita masih hidup. Hanya itu. Dan sedikit petunjuk tentang arahnya. Selain itu gelap.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Tetapi menurut perhitungan nalarku, bukan ilmu peraba seperti ilmu yang kau miliki itu. Daksina tentu tidak berada jauh dari tempat ini. Ia berani menjebak pasukanku di daerah terbuka itu. Tentu ia mempunyai suatu keyakinan tentang medan, selain pasukannya. Karena itu maka aku yakin, bahwa Daksina telah mengenal tempat ini dengan baik, dan itu berarti ia berada tidak jauh dari tempat ini. Kecuali jika ia sedang berada di Pajang.
“Perhitungan itu sesuai,” sahut Pandan Wangi, “aku juga berpendapat demikian.”
“Perhitungan nalarku pun dapat mengerti, bahwa kita sudah dekat dengan sarang orang-orang bersenjata itu,” sahut ayah Rudita, “bahkan kurang sesuai dengan sentuhan ilmuku. Menurut penglihatanku, Rudita masih berada di tempat yang agak jauh. Jika Rudita berada di sarang orang yang bernama Daksina itu, maka ia pun pasti berada di tempat yang tidak terlampau jauh. Sehingga dengan demikian maka ada dua kemungkinan. Kita salah hitung tentang sarang Daksina, atau Rudita memang tidak ada di sarang itu, tetapi di tempat yang lain.”
“Masih ada satu kemungkinan lagi,” berkata Sutawijaya.
“Apa Raden?”
“Dugaanmu tentang Rudita menurut sentuhan ilmumu itu keliru.”
Ayah Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya, “Itu pun mungkin sekali, Raden. Mungkin aku salah mengurai isyarat yang aku terima dari Rudita tanpa sesadarnya itu.”
“Nah, jika demikian, marilah kita segera menentukan sikap. Apakah yang sebaiknya kita lakukan?”
“Untuk sementara kita belum dapat berbuat apa-apa. Kita maju beberapa patok lagi. Kemudian kita akan menilai keadaan dan jika perlu mengirimkan pengawas untuk melihat-lihat suasana,” jawab Ki Gede Menoreh.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Sebaiknya sejak kini dua orang pengawas akan mendahului kita. Kemudian dua lagi mengiringinya. Jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan maka mereka harus memberikan isyarat.”
Demikianlah, maka kedua pasukan nengawal itu menunjuk empat orang yang akan mendahului perjalanan mereka. Dua orang yang terdepan adalah seorang dari Mataram dan seorang dari Menoreh yang dianggap sedikit banyak mengetahui daerah yang terasing itu. Sedang kedua orang berikutnya pun terdiri dari pengawas Mataram dan Menoreh.
Keempat orang itu berjalan kaki mendahului pasukan mereka. Sedang kuda-kuda mereka berada di dalam iring-iringan pasukan pengawal di belakang mereka.
Setelah beberapa patok mereka maju, mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Daerah itu tampaknya sebagai suatu daerah yang tidak pernah disentuh kaki.
“Tetapi rasa-rasanya ada penghuni di daerah sekitar tempat ini,” desis pengawal dari Menoreh yang berjalan di paling depan.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Sekedar firasat. Tetapi aku melihat jalur jalan di lereng bukit itu.”
“Ya. Tetapi tidak ke jurusan ini.”
“Memang sulit untuk sampai ke jalur jalan kecil itu. Tetapi kita harus mencapainya.”
“Tentu tidak mungkin bagi mereka yang berkuda.”
“Kita akan melihatnya.”
Kedua orang itu pun kemudian maju lebih jauh lagi diikuti oleh kedua yang lain. Ternyata bahwa jalan memang semakin lama semakin sulit, sehingga setiap kali mereka harus berhenti dan menilai, apakah jalan itu masih dapat dilalui kuda.
“Kuda-kuda itu memang harus ditinggalkan di sini,” berkata yang seorang.
“Tidak,” jawab yang lain, “biarlah pasukan itu berhenti di sini. Kita akan menyelidiki lebih jauh.”
Kawannya berpikir sejenak, lalu, “Baik. Itu pikiran yang baik. Biarlah kedua pengawas di belakang kita itu berhenti memberitahukan kepada Ki Argapati dan Raden Sutawijaya.”
“Biarlah keduanya pergi di belakang kita. Jika terjadi sesuatu atas kita, mereka dapat menyampaikan laporan. Sementara kita dapat memberikan tanda dan isyarat agar pasukan itu berhenti.”
Demikianlah maka, kedua orang pengawas di paling depan itu pun kemudian memberikan isyarat agar pasukan di belakang mereka itu pun berhenti. Tetapi kedua pengawas itu masih memerlukan kedua pengawas yang mengikuti mereka, sehingga sejenak mereka masih harus menunggu dan berbicara di antara mereka berempat.
“Kami membawa panah sendaren,” berkata pengawas dari Mataram.
“Kita mungkin memerlukannya jika perlu. Tetapi suara panah sendaren segera menarik perhatian. Dan isyarat dengan panah sendaren kadang-kadang langsung memberikan isyarat kepada lawan sekaligus.”
“Apa salahnya jika mereka memang sudah melihat kita. Kita dapat melontarkan panah sendaren ke arah yang tidak tepat, sehingga meskipun suaranya dapat ditangkap oleh kawan-kawan kita, tetapi arah panah itu tidak memberikan petunjuk kepada lawan di mana pasukan kita yang sebenarnya.”
“Ya. Kita akan mempergunakannya,” sahut yang lain, “yang penting, kita harus dapat mencapai jalur jalan yang menuju ke Utara di lereng sebelah itu. Aku menduga bahwa ada padukuhan yang berpenghuni.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Daerah ini benar-benar daerah terpisah dari Tanah Perdikan Menoreh, karena hubungan yang dilakukan oleh orang-orang di lereng pegunungan itu adalah dengan daerah di seberang pebukitan.
“Daerah itu dilingkari oleh hutan yang lebat, dibatasi oleh pegunungan dan sangat terpencil,” berkata salah seorang pengawas dari Mataram. “Aku tidak tahu kenapa seseorang membangun padukuhan atau padepokan di tempat yang sangat terasing ini.”
Yang lain hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Namun ternyata yang seorang berdesis, “Memang sulit diduga. Tetapi aku kira, mereka sengaja mengasingkan diri untuk mematangkan ilmu mereka. Baru kemudian mereka akan turun dari padepokan ini untuk melakukan rencananya. Tentu sebuah rencana yang besar.”
“Memang mungkin. Tetapi sebaiknya kita melihatnya. Apakah padepokan itu sudah sudah cukup lama berada di tempat itu, atau sekedar sebagai tempat persembunyian, atau katakan sebagai alas perjuangan mereka.”
Demikianlah, maka para pengawas itu pun mulai maju lagi melalui jalan yang sulit. Tebing yang curam dan kadang-kadang rumpil.
“Kita tentu salah jalan,” berkata salah seorang pengawas itu, “jika Daksina dapat membawa pasukan lewat jalan ini, kita tentu akan dapat menemukan bekas kaki mereka.”
“O, alangkah bodohnya kita. Kenapa kita tidak mencari jejak mereka saja?”
“Dan kembali lagi sampai ke tempat terbuka itu?”
Kawannya terdiam. Namun kini mereka mulai tertarik kepada setiap kemungkinan untuk menemukan jejak kaki seseorang atau sekelompok orang.
Tetapi usaha itu tidak segera berhasil. Mereka tidak segera menemukan jejak kaki seseorang.
Namun tiba-tiba salah seorang dari kedua pengawas yang berada di paling depan itu tertegun sejenak. Diamatinya tebing yang ada di sampingnya. Lalu katanya, “Kau lihat batu-batu kerikil bercampur padas itu?”
“Ya, kenapa?”
“Seakan-akan meluncur dari atas tebing itu.”
“Ya.”
“Mungkin ada sentuhan kaki di atas batu-batu padas itu, sehingga batu-batu kerikil dan batu-batu padas itu meluncur turun meskipun tidak begitu banyak.”
“Mungkin angin, mungkin binatang liar. Tetapi kita dapat mencoba. Kita memanjat tebing itu dan melihat apakah ada jejak di atas.”
Keduanya pun kemudian memanjat tebing yang agak terjal, sehingga untuk beberapa saat mereka seolah-olah berada di tempat terbuka melekat pada lereng pegunungan. Kedua pengawas yang berada di belakang mereka dapat melihat keduanya dengan jelas.
“Kita tunggu sehingga keduanya hilang,” desis salah seorang pengawas yang berada di belakang mereka. “Barulah kemudian kita memanjat.”
Namun di luar pengetahuan mereka, sepasang mata tengah memandang kedua pengawas yang sedang memanjat itu. Ketika keduanya sudah berada hampir di bibir lereng itu, maka orang itu pun bergeser beberapa langkah. Kemudian ia meloncat berdiri sambil meraih anak panah dari endongnya dan melekatkannya pada tali busurnya.
Perlahan-lahan ia menarik tali busur itu. Pengawas yang sedang memanjat itu merupakan sasaran yang baik, meskipun keduanya selalu bergerak-gerak tidak menentu.
Sejenak orang itu masih membidik. Tetapi rasa-rasanya masih saja terganggu oleh dedaunan yang bergerak disentuh angin. Karena itu maka ia bergeser maju lagi. Ia tidak perlu lagi bersembunyi karena sasarannya sedang memanjat tebing, sehingga mereka tidak akan dapat memberikan perlawanan.
Tetapi sekali-sekali ia masih saja mengumpat, karena kedua orang itu seakan-akan tidak mau juga diam. Mereka merayap dan kadang-kadang bergeser ke samping.
Namun kemudian busur itu pun semakin merenggang. Dan sesaat kemudian sebuah anak panah telah meluncur dengan derasnya.
Yang terdengar kemudian adalah, sebuah keluh tertahan. Anak panah itu ternyata telah mengenai sasarannya, meskipun tidak tepat di punggung, karena justru ketika anak panah itu meluncur maka sasarannya telah bergerak ke samping. Meskipun demikian, anak panah itu ternyata telah menancap pada lengan tangan kanannya
Pengawas itu kehilangan keseimbangan. Sejenak ia masih bertahan. Namun kemudian perlahan-lahan ia meluncur turun.
Bahwa anak panah itu tidak tepat mengenai punggung dan langsung membunuhnya, orang yang melepaskannya itu pun menggeram. Tangannya sekali lagi mencabut anak panah dari endongnya dan sejenak kemudian anak panah itu pun sudah melekat di tali busurnya. Yang kemudian akan menjadi sasarannya adalah justru pengawas yang seorang lagi, yang karena kawannya telah meluncur turun, ia pun berusaha untuk meluncur pula, karena ia pun mengira bahwa orang yang melontarkan anak panah itu tentu sedang membidiknya pula.
Tetapi sementara itu, selagi kedua pengawas yang terdahulu dicengkam oleh kecemasan, maka kedua pengawas yang berada di belakang mereka, dan yang sedang mengamati bagaimana keduanya memanjat, tebing itu pun terkejut bukan buatan. Mereka juga melihat anak panah itu menancap di lengan kawannya. Dan mereka melihat kawannya itu kesakitan dan meluncur turun disusul oleh yang seorang lagi.
Naluri keprajuritan mereka segera menggerakkan mereka. Yang seorang memang membawa busur dan anak panah meskipun terutama akan dipergunakan untuk memberikan isyarat. Tetapi agaknya kini busur itu harus dipergunakan untuk kepentingan yang lain.
Dengan cepatnya tangannya meraih sebatang anak panah dan sejenak kemudian anak panah itu telah siap diluncurkan.
Demikianlah, maka mereka tidak terlampau sulit mencari sasarannya. Ternyata orang yang melepaskan anak panah itu kini berdiri tegak dengan tali busur yang renggang. Ia masih berusaha membidik kedua pengawas yang berusaha bersembunyi di balik dedaunan yang hanya beberapa lembar di lereng pegunungan.
“Tidak ada tempat untuk bersembunyi,” orang itu masih sempat menggeram. Kini tangannya menarik tali busurnya semakin renggang.
Kedua pengawas yang menjadi sasaran itu pun telah melihat lawannya yang berdiri di atas tebing di sebelah pepohonan. Tetapi mereka tidak mendapat tempat yang baik untuk bersembunyi. Yang ada hanya batang-batang perdu yang tipis. Apalagi mereka sudah tidak dapat meluncur lebih jauh lagi. Jika mereka berusaha untuk turun lagi, maka mereka akan berada di tempat yang terbuka sama sekali meskipun di bawah tebing itu mereka akan menemukan gerumbul-gerumbul yang agak rimbun.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa. Orang yang menarik busur itu membidik sambil berkata, “Kali ini aku akan mengenai lehermu. Bukan sekedar tanganmu. Aku terlalu tergesa-gesa, sehingga bidikanku yang pertama meleset. Dan itu tidak pernah terjadi.”
Pengawas yang seorang, yang tidak terluka oleh anak panah itu pun segera menarik pedangnya. Tidak ada cara lain daripada berusaha menangkis anak panah itu apabila mungkin.
“Jangan gila. Jangan mencoba menangkis anak panahku. Seandainya yang pertama kau berhasil, namun anak panahku kemudian akan datang beruntun seperti hujan. Dan kalian berdua tentu segera mati terbunuh.”
Kedua pengawas itu tidak menjawab. Yang seorang masih saja menyeringai menahan sakit, sedang yang lain bersiap untuk mencoba melakukan perlawanan.
Namun dalam pada itu, karena perhatian orang yang memegang busur itu tertuju kepada kedua pengawas yang seakan-akan sudah tidak akan dapat lari lagi dari maut itu, maka ia sama sekali tidak menduga, bahwa sebuah anak panah yang lain sedang dibidikkan ke arahnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian suasana dicengkam oleh ketegangan. Ketika orang yang berada di atas tebing di sebelah itu benar-benar ingin melepaskan anak panahnya, tiba-tiba saja terdengar ia memekik keras-keras. Tubuhnya menjadi gemetar, dan anak panah di tangannya pun lepas tanpa menyentuh sasarannya. Bahkan kemudian para pengawas yang merasa sudah tidak akan dapat melepaskan diri dari maut itu melihat sebuah anak panah menancap di dada orang itu.
“Curang, curang,” orang itu masih berteriak, “ada orang lain yang ikut campur.”
Sama sekali tidak ada jawaban. Tetapi keemnat pengawas itu melihat orang itu terhuyung-huyung dan kemudian jatuh terjerembab tepat di pinggir tebing pegunungan, sehingga tubuhnya itu pun kemudian meluncur turun beberapa langkah dan terhenti karena menyangkut pohon-pohon perdu di lereng pegunungan itu.
Barulah kemudian kedua pengawas yang hampir saja disentuh oleh maut itu menyadari, bahwa seorang kawannya tidak saja membawa busur dan anak panah sendaren. Tetapi di dalam endongnya terdapat juga anak panah yang lain, yang kemudian ternyata telah menyelamatkannya.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian mereka pun menyadari, bahwa agaknya mereka telah masuk ke dalam daerah pengawasan lawan.
Karena itu, maka yang pertama-tama mereka lakukan, bukannya melepaskan anak panah yang menancap di lengan. Tetapi orang yang kesakitan itu ternyata masih mampu berpikir bening, sehingga sambil menyeringai ia berkata, “Kita turun. Mungkin ada orang lain yang akan membidik kita di sini.”
Demikianlah keduanya pun kemudian meluncur turun. Untunglah bahwa mereka sempat mencapai tempat yang ditumbuhi oleh pepohonan yang rimbun, karena pada saat yang bersamaan, seorang yang mendengar orang yang memanah pengawas dari Mataram itu mengaduh, segera berlari mendekatinya.
Dari tempat yang tersembunyi, keempat orang yang mendahului pasukan dari Mataram dan Menoreh itu melihat seseorang yang agaknya sedang mencari kawannya. Sejenak ia termangu-mangu, namun sejenak kemudian ia mendengar kawannya itu menggeram di tebing pegunungan dan tersangkut pada pohon-pohon perdu.
“He, kenapa kau?” ia bertanya.
Tetapi tidak ada jawaban selain erang kesakitan.
“Apakah kau terjerumus?”
Masih tidak ada jawaban.
Namun agaknya orang itu pun kemudian melihat darah. Ketika orang yang terluka itu menggeliat, tampaklah di dadanya masih terbenam sebuah anak panah.
Orang itu terkejut bukan kepalang. Dengan wajah yang tegang ia berdiri memandang berkeliling. Namun dengan demikian ia menjadi sasaran yang pasti bagi pengawas dari Mataram itu.
Sesaat kemudian ketika orang itu mulai menyadari bahwa ia berada dalam bahaya dan bergerak surut, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Namun kini orang itu dengan sadar telah memberikan isyarat kepada kawannya. Bahkan ketika ia mulai terhuyung-huyuung dan menghilang di pepohonan, masih terdengar ia bersuit nyaring meskipun anak panah telah menembus dadanya.
“Sekarang, kitalah yang harus melarikan diri,” desis pengawal dari Mataram itu, “mereka akan segera berdatangan dan mengepung kita.”
“Marilah. Kita harus segera memberikan laporan.”
“Tetapi anak panah ini?”
Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun berusaha mencabut anak panah itu.
Pengawal yang terluka itu mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan sakit. Namun ia masih juga mengaduh tertahan. Rasa-rasanya sakit di lengannya itu menjalar sampai keubun-ubunnya.
Dengan dibalut ikat kepala, maka mereka pun kemudian berusaha menahan darah yang mengalir dari luka itu. Sementara itu maka mereka pun berusaha untuk menarik diri dan kembali kepada induk pasukan mereka.
Sambil menyeringai kesakitan, ditolong oleh kawan-kawannya, maka pengawas yang terluka itu menyingkir dari daerah yang berbahaya.
Dalam pada itu, ternyata isyarat yang dipekikkan oleh pengawas yang dadanya tertembus anak panah itu pun telah didengar oleh beberapa orang. Dengan tergesa-gesa mereka pun segera berlari-larian mendapatkannya.
Dengan nafas yang terengah-engah pengawas yang terluka itu masih sempat mengatakan apa yang terjadi dan apa yang dilihatnya di tebing, bahwa seorang kawannya terbaring dan terluka tersangkut pada pepohonan perdu.
“Siapakah yang telah melukaimu?” bertanya salah seorang dari mereka.
Pengawas yang terluka itu menggeleng. Suaranya menjadi semakin lambat, “Aku tidak tahu.”
Kawan-kawannya menjadi termangu-mangu sejenak. Lalu, “Cepat, bawa orang ini menghadap ke padepokan. Mudah-mudahan ia masih sempat diobati.”
“Tentu orang Mataram yang kita temui di tempat terbuka dan yang telah gagal kita jebak itu. Mereka tentu datang kembali dengan pasukan yang lebih besar seperti yang kita duga.”
“Kita sudah menyiapkan jebakan yang lebih baik. Cepat bawa orang ini ke padepokan sekaligus melaporkan apa yang terjadi. Kita akan mengambil kawan kita yang tersangkut di lereng itu.”
Dua orang di antara mereka telah membawa kawan mereka yang terluka itu, sedang yang lain pun kemudian pergi ke tebing sebelah.
“Lindungi kami,” desis salah seorang dari mereka, “kami akan mencoba mengambilnya.”
Demikianlah, beberapa orang berdiri berderet di atas tebing dengan anak panah yang siap pada tali busur, sementara dua orang yang lain dengan hati-hati menuruni tebing untuk mengambil kawannya yang tersangkut di pohon perdu.
Namun ketika mereka meraba orang itu, ternyata orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
“Ia sudah mati,” desis salah seorang dari keduanya.
“Gila,” geram yang lain, “pembunuhan yang tidak dapat dimaafkan. Marilah kita bawa naik dan kita bawa kembali ke padepokan. Kita memang harus sudah siap menghadapi segala kemungkinan.”
Demikianlah, maka mayat itu pun segera dibawa kembali ke padepokan. Sementara itu, penjagaan di lereng pebukitan itu justru diperketat.
“Sudah kita duga, mereka akan menempuh jalan ini. Kita sudah siap menyambut mereka. Dan kita akan menghancurkan mereka sebelum mereka sampai di pintu padepokan.”
“Tetapi yang datang tentu bukan sekedar lima belas orang.”
“Mungkin tiga puluh. Bahkan lima puluh orang pun akan kami persilahkan.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang dikatakan itu agaknya memang tidak berlebih-lebihan. Beberapa orang yang tersebar di beberapa tempat untuk kepentingan yang sama, menahan perkembangan Mataram, telah ditarik. Apalagi di antara mereka terdapat beberapa orang yang datang dari Pajang. Orang-orang yang sependapat dengan Daksina. Bahkan ada di antara mereka adalah prajurit-prajurit seperti Daksina sendiri.
“Kita memang sudah siap,” desisnya kemudian, “prajurit-prajurit yang lepas dari kesatuannya itu pun merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan oleh orang-orang Mataram.”
Tetapi seorang yang bertubuh kecil kekurus-kurusan mencibirkan bibirnya sambil berkata, “Kita tidak memerlukan mereka sekarang. Bahkan mereka akan mendatangkan kesulitan saja pada kita. Lihat, apakah rencananya menjebak Sutawijaya itu berhasil? kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. Kita telah kehilangan beberapa orang kawan kita.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Apalagi apabila prajurit-prajurit yang meninggalkan kesatuannya itu sempat menimbulkan kecurigaan di antara mereka sendiri. Maka Pajang pun tentu tidak hanya akan tinggal diam. Ia sudah kehilangan seorang perwira. Beberapa orang prajurit. Maka kecurigaan itu akan memaksa Pajang meneliti seorang demi seorang. Nah, kau tahu, bahwa hal itu sangat merugikan.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu, “Tetapi tanpa mereka kita tidak cukup kuat. Apalagi jika benar-benar terjadi usaha yang besar itu.”
“Sst,” desis yang lain, “jangan didengar oleh anak-anak liar itu. Mereka tidak akan dapat menahan rahasia jika mereka terbentur pada kesulitan.”
Kawannya mangangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya beberapa orang pengawas yang ada di sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak banyak mengerti tentang dirinya. Kenapa mereka berada di dalam lingkungan yang tersembunyi itu. Mereka tidak menyadari, apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan. Yang mereka inginkan hanyalah kemungkinan yang jauh lebih baik bagi hari-hari depan mereka tanpa mengetahui alasan dan tindakan yang sekarang ini mereka perbuat.
“Tetapi,” berkata salah seorang dari mereka, “usaha untuk menyingkirkan kekuasaan Pajang sekarang ini memerlukan mereka. Memerlukan prajurit-prajurit dan perwira-perwira Pajang itu sendiri.”
“Tetapi tidak sekarang. Tidak dalam keadaan seperti ini. Dan bagi kita, mereka hanya kita perlukan untuk sementara.”
Kawannya tertawa kecil. Sambil memandang orang yang berkeliaran di sekitarnya ia berkata, “Bukan hanya kita berpendapat demikian. Orang terpenting di Pajang yang tentu ada, meskipun kita sendiri belum mengetahuinya, tentu berpendapat, bahwa kita pun hanya mereka perlukan untuk sementara. Dengan demikian, kita saling menyadari, bahwa pada saatnya kita akan menentukan, siapakah yang lebih besar pengaruhnya.”
Beberapa orang yang termasuk orang-orang penting di dalam lingkungan sebuah gerombolan yang besar, yang selalu membayangi perkembangan Mataram itu pun terdiam, ketika mereka melihat sekelompok orang mendekati mereka.
“Daksina,” desis salah seorang dari mereka.
Yang datang itu adalah Daksina. Seorang perwira Pajang yang tidak dapat kembali lagi kepada pasukannya, karena ia menyangka bahwa Sutawijaya tentu akan membuat laporan tentang dirinya kepada para Panglima di Pajang. Karena itu, maka ia pun harus tetap menetap di tempat itu, meskipun ia masih akan selalu berhubungan dengan perwira-perwira Pajang yang lain, yang telah menyiapkan suatu rencana yang besar bagi perkembangan pemerintahan di atas Pulau yang manis ini.
Ketika Daksina mendekati mereka, maka mereka pun mengangguk hormat. Salah seorang berkata, “Pengawasan cukup baik. Mereka tidak akan berhasil melewati daerah ini tanpa sepengetahuan kita.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih. Tetapi kita sudah menyusun pertahanan. Daerah ini bukan garis terakhir yang harus kita pertahankan. Salah seorang telah menghadap Panembahan Agung menyampaikan laporan tentang perkembangan keadaan.”
“Apakah laporan semacam itu diperlukan,” bertanya salah seorang.
“Kenapa tidak?” bertanya Daksina. “Aku telah mengirimkan laporan kepada pimpinanku di Pajang pula seperti yang kami sampaikan kepada Panembahan Agung.”
“Mungkin laporan ke Pajang itu perlu. Tetapi bukankah Panembahan Agung mempunyai kemampuan untuk melihat apa yang tidak dilihat oleh indera wadagnya?”
“O,” Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya, “memang begitu. Tetapi tidak setiap persoalan dapat diketahuinya dengan pasti sampai kepada bagian-bagiannya. Mungkin Panembahan Agung kini sudah mengetahui, bahwa ada semacam bahaya yang sedang merayap mendekati padepokannya. Tetapi selebihnya masih harus didengar laporan-laporan. Panembahan Agung tidak dapat melihat seolah-olah ia berdiri di bibir bumi dan mengetahui segala isinya, seperti kita melihat segerombolan cengkerik di dalam kotak aduan.”
“Begitu?” salah seorang dari orang-orang yang mendengarkan itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Mungkin kau benar. Tetapi mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa Panembahan Agung mempunyai kelebihan bukan saja secara wadag, misalnya olah kanuragan. Tetapi juga secara halus.”
“Aku percaya,” sahut Daksina, “tetapi kemampuan itu pun terbatas.
“Dan kelebihan apakah yang dimiliki oleh panglimamu di Pajang?” tiba-tiba seseorang bertanya dengan nada tinggi.
Daksina mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya sambil menahan nafasnya.
Sejenak suasana justru menjadi tegang. Daksina dan beberapa orang prajurit Pajang yang mengiringinya memandang orang-orang yang berada di sekitarnya itu dengan tatapan mata yang tajam. Namun demikian, Daksina masih berusaha untuk menahan diri. Karena itu, maka sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Apakah kita akan membuat perhitungan untung rugi dari ikatan yang kita adakan ini?”
Para pengikut Panembahan Agung itu tidak segera menjawab. Terasa bahwa Daksina masih berusaha menahan perasaannya. Karena itu, maka sebagian dari mereka pun berusaha untuk menahan diri pula agar mereka tidak saling menyinggung.
Namun dalam pada itu, seseorang yang bertanya tentang pemimpin prajurit di Pajang itu agaknya masih belum puas, sehingga ia masih juga mengulanginya, “Kau belum menjawab. Apakah kelebihan panglimamu itu? Seandainya datang saatnya kita harus memilih, siapakah yang akan memegang perintah tertinggi di antara kita, siapakah yang paling pantas?”
Daksina memandang orang itu dengan tajamnya. Namun agaknya ia tidak ingin menjawab. Bahkan ia berpaling memandang ke arah yang lain.
Tetapi salah seorang pengiringnya yang tidak dapat menahan hati menyahut, “Kau belum mengenal panglima kami di Pajang. Tetapi kau pun tidak akan dapat membanggakan Panembahan Agung itu dengan berlebih-lebihan. Jika ia mengetahui segala sesuatu yang terjadi, maka kita tidak akan pernah mengalami kekalahan yang berat. Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak akan mati. Kita tidak akan gagal menguasai para perwira di Jati Anom. Tetapi baiklah, jika kesalahan itu dibebankan kepada perhitungan kami yang saat itu berada di Pajang. Tetapi bagaimana dengan kegagalan orang-orangmu di perbatasan Alas Tambak Baya? Apakah Panembahan Agung membiarkan saja apabila hal itu sudah diketahui sebelumnya.”
“Cukup,” potong lawannya, “kau akan dikutuk menjadi batu jika kau berani menghinakannya. Kau kira ia tidak mengetahui apa yang kau katakan.”
“Memang sudah cukup,” berkata Daksina kemudian, “perselisihan yang demikian tidak ada gunanya. Bukan karena aku sekarang menumpang di padepokanmu. Tetapi kita menghadapi persoalan yang jauh lebih besar. Baiklah kita menguasai diri kita masing-masing, dan biarlah kita mempergunakan kemampuan kita masing-masing. Jika Panembahan Agung itu memiliki penglihatan tanpa batas, baiklah. Tetapi jika kami dan Panglima kami di Pajang memiliki kemampuan memperhitungkan keadaan, baiklah.”
“Aku setuju,” berkata pengikut Panembahan Agung yang sudah agak lebih tua dari kawan-kawannya, “kita menghadapi pasukan Mataram yang bergerak maju mendekati padepokan ini. Dua orang telah menjadi korban. Karena itu, kita harus selalu bersiap-siap menghadapi mereka. Perselisihan di antara kita tidak akan ada gunanya.”
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orangnya yang masih tegang dan demikian pula pengikut-pengikut Panembahan Agung itu. Namun mereka sudah terdiam.
Sejenak Daksina masih berdiri di tempat itu memandang tebing pegunungan yang terbentang di hadapannya.
Tidak ada jalur jalan yang baik yang menghubungkan tempat itu dengan daerah luar. Yang ada hanyalah lereng-lereng yang berkelok-kelok, yang memang mungkin dipergunakan untuk merayap naik, seperti yang selalu dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di daerah itu. Mereka sengaja tidak membuat jalur jalan tertentu, agar tempat itu tetap terpisah. Terutama dengan daerah Menoreh, sehingga jika ada jalur jalan setapak, jalan itu menuju ke arah yang lain di seberang pebukitan.
“Apakah sudah ada pengawas yang berada di depan tempat ini?” bertanya Daksina kemudian.
“Ya. Pengawasan sudah kami susun sebaik-baiknya. Apalagi setelah kami kehilangan dua orang pengawas di tempat ini.”
“Dan orang yang melepaskan anak panah itu tidak dapat kalian ketemukan?”
“Tidak. Sulit untuk mencari. Apalagi mungkin mereka berjumlah besar, meskipun aku yakin, bahwa mereka pun tentu sekedar merintis jalan. Karena itu, kita sedang menunggu pasukan yang kuat itu datang dari arah yang sama dengan arah kedatangan mereka. Menurut perhitungan kami, mereka akan melalui jalur lereng ini. Meskipun demikian, di tempat lain pun telah diletakkan pengawasan yang baik.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan menemui Putut Nantang Pati. Mungkin ada persoalan yang perlu kita siapkan.”
Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka hanya memandang Daksina melangkah menjauh dan kemudian hilang di balik pepohonan.
“He,” salah seorang pengikut Panembahan Agung itu berdesis, “seakan-akan ia sedang memeriksa pengawasan yang kita susun. Apakah ia berhak berbuat demikian?”
“Sudahlah,” sahut yang lebih tua, “jangan hiraukan. Ia seorang perwira. Adalah kebiasaannya untuk memeriksa pasukan.”
“Tetapi kita bukan prajurit Pajang.”
“Meskipun bukan, tetapi kita kini berada dalam satu ikatan dengan mereka.”
“Meskipun demikian, yang berwenang memerintah kita di sini adalah Putut Nantang Pati. Bukan Daksina.”
“Sudah ada persetujuan di antara keduanya. Putut Nantang Pati dan Daksina, bahwa keduanya dianggap memiliki kekuasaan dan wewenang yang sama.”
“Ah, itu hanya dugaanmu. Aku belum pernah mendengarnya.”
“Kenapa hal itu kau ributkan? Lihat, daerah pengawasan kita itu. Mungkin pasukan Mataram kini sudah menyusup di bawah rimbunnya pepohonan itu. Bahkan mungkin perintisnya sudah sampai di bawah kaki kita dengan anak panah siap pada busurnya.”
Para pengawas yang sedang berbincang itu pun kemudian terdiam. Perhatian mereka segera tertuju ke lembah di hadapan mereka. Lembah yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun, yang cukup rapat untuk menyembunyikan diri.
Tetapi jika yang lewat itu sebuah pasukan, maka tentu tidak akan mungkin lepas dari pengawasan orang-orang itu. Apalagi di hadapan mereka masih ada tiga orang pengawas terdepan.
Sementara itu, para pengawas dari Mataram dan Menoreh yang kembali kepada induk pasukannya segera melaporkan apa yang telah terjadi atas mereka. Bahkan di antara mereka terdapat seorang yang terluka. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, namun karena darah yang mengalir dari luka, maka orang itu menjadi sangat lemah.
Untunglah, bahwa di antara mereka terdapat Kiai Gringsing, sehingga dengan cekatan dukun tua itu pun segera mencoba untuk menolongnya.
“Namun dengan demikian, maka mereka pun segera mendapat gambaran, bahwa lawan mereka memang telah dekat di hadapan mereka, sehingga karena itu, mereka harus sudah mempersiapkan diri menghadapi pertempuran.
“Kita tidak dapat maju lagi sambil berkuda,” berkata para pengawas itu, “jalan sangat sulit.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak, seolah-olah ingin bertanya, apakah ia dapat terus mengikuti perjalanan pasukan ini.
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, namun agaknya Ki Gede Menoreh dapat menangkapnya. Karena itu sambil tersenyum ia berkata, “Jangan cemas Raden. Aku dapat berjalan dengan baik meskipun barangkali tidak seimbang lagi. Tetapi kakiku cukup kuat, setelah sekian lamanya mengalami pengobatan terus-menerus. Obat yang sejak kaki itu terluka, telah diberikan oleh Kiai Gringsing.”
“Aku hanya memberikan petunjuk dedaunan yang dapat dipergunakan,” sahut Kiai Gringsing.
Dan Ki Argapati masih juga tersenyum, “Sama saja artinya bagiku. Dan sekarang, aku merasa hampir pulih kembali, meskipun tampaknya tubuhku seperti berat sebelah.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian tumbuh pula pertanyaan yang seolah-olah diucapkannya kepada diri sendiri, “Bagaimana dengan kuda-kuda kita?”
“Biarlah kuda-kuda itu kita tinggalkan di sini. Aku rasa di sekitar tempat ini cukup banyak rerumputan yang hijau. Biarlah kuda-kuda itu kita ikat dengan tali yang agak panjang, agar mereka sempat makan rerumputan sehari suntuk. Bahkan dua tiga hari jika kita tidak segera kembali.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya, “tetapi jika kita kelak tidak sempat kembali, maka biarlah jika ada salah seorang dari kita yang tetap hidup, akan melepaskan kuda-kuda ini. Biarlah mereka menjadi kuda liar yang menghuni hutan itu.”
“Ah,” desis Ki Argapati, lalu, “sebaiknya kita berdoa, agar perjalanan kita dilindungi oleh Tuhan, karena kita sama sekali tidak bermaksud jahat. Kita sedang berusaha untuk berbuat kebaikan di antara sesama sesuai dengan kewajiban kewadagan kita.”
Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Baiklah Ki Gede. Kita percayakan perjalanan ini kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.”
“Yang kita lakukan adalah sebuah usaha.”
Orang-orang yang mendengar pembicaraan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mereka pun ikut serta mengucapkan kata-kata itu.
Dalam pada itu, maka pasukan itu pun segera bersiap. Mereka telah menggenggam senjata masing-masing meskipun jaraknya masih ada beberapa ratus langkah, lewat jalan yang sulit, sehingga masih memerlukan waktu yang cukup panjang.
Namun dalam pada itu, Ki Waskita, ayah Rudita tampaknya menjadi selalu bimbang. Bahkan kemudian terdengar ia berdesis, “Aku menjadi bingung. Apakah aku sekarang sudah tidak mampu lagi menangkap isyarat yang aku terima?”
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
“Menurut tangkapanku, Rudita masih berada di tempat yang agak jauh, meskipun kita memang berjalan ke arah yang benar. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kita memang sudah di ambang pintu sarang lawan Apakah jika demikian Rudita tidak berada di sarang yang sedang kita dekati.”
“Jangan mengambil kesimpulan dahulu. Mungkin ada sesuatu yang kurang wajar terjadi pada dirimu,” sahut Kiai Gringsing.
“Apa maksud Kiai?”
“Mungkin kau dapat melihat dan mengungkap isyarat bagi orang lain. Tetapi kali ini adalah anakmu sendiri, sehingga di dalam memusatan pikiran kau dipengaruhi oleh kecemasan dan kegelisahan. Atau justru persoalannya menyangkut anakmu sendiri, kau menjadi kurang yakin pada tanggapanmu. Dengan demikian akan dapat menimbulkan kekeruhan di dalam tangkapan isyarat itu, sehingga uraiannya pun menjadi kusut pula.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi rasa-rasanya aku sudah menerima isyarat, dan sudah aku terjemahkan dengan baik.” Ia berhenti seienak, lalu, “Atau mungkin Rudita memang tidak ada di dalam sarang itu. Mungkin ia disembunyikan di tempat yang jauh, atau yang mengambilnya memang tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan orang yang akan kita temui sebentar lagi.”
“Sudah aku katakan,” potong Raden Sutawijaya, “ada kemungkinan kau keliru. Tetapi ada kemungkinan kita tertipu oleh pengawas yang sedang berkeliaran jauh dari sarangnya. Atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi marilah kita berbuat sesuatu agar ada usaha kita untuk melakukan penyelamatan bagi sesama. Keselamatan Rudita, dan umumnya keselamatan Tanah Perdikan ini dan Tanah Mataram.”
Ayah Rudita tidak menjawab lagi. Namun ia pun sudah siap untuk berangkat.
Sejenak kemudian, maka para pengawal itu pun segera mengikat kuda-kuda masing-masing pada sebatang pohon di sekitar rerumputan yang hijau dengan tali yang agak panjang, sehingga jarak jangkau kuda-kuda itu menjadi agak jauh. Agaknya Sutawijaya menganggap bahwa tidak akan ada gunanya, seandainya satu dua orang harus tinggal menunggui kuda-kuda itu, karena apabila beberapa orang lawan merunduk mereka, maka mereka pun akan mati terbunuh. Sehingga karena itu mereka membiarkan saja kuda-kuda itu tidak di tunggu. Apalagi menurut perhitungannya jarak yang akan ditempuh sudah tidak begitu jauh lagi.
Ketika para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Tanah Mataram itu sudah siap, maka merekapun segera bergerak maju ke arah sarang lawan disela-sela pebukitan itu.
Namun demikian salah seorang dari mereka masih juga bergumam, “Bagaimana jika seekor harimau datang ke tempat kuda-kuda itu tertambat?”
“Harimau itu tidak akan sampai ke tempat itu. Mereka tidak mau menyeberangi daerah terbuka yang agak luas, kemudian menyusup ke hutan perdu. Di hutan itu sendiri terdapat cukup makanan bagi mereka,” jawab yang lain.
Tetapi kawannya masih juga berpaling, seakan-akan ia merasa berat hati meninggalkan kudanya, karena kuda itu sudah bertahun-tahun dipeliharanya dengan baik. Kuda yang merupakan kawan yang paling akrab di setiap keadaan.
Meskipun demikian, ia harus berjalan terus bersama dengan seluruh pasukannya. Mereka telah mendapat gambaran dari medan yang harus mereka tempuh.
Ketika mereka sampai di ujung lembah, maka pengawas yang telah mendahului mereka sebelumnya berpendapat, bahwa sebaiknya mereka menempuh beberapa jalan. Yang pertama adalah jalur jalan di sela-sela pepohonan di dalam lembah. Yang lain naik melalui tebing. Mereka telah mencoba memanjat tebing itu di tengah-tengah perjalanan untuk mengetahui apakah ada jejak kaki di atasnya, tetapi selagi mereka memanjat, mereka telah mendapat serangan. Menurut perhitungan mereka, jalan tebing itu akan sampai kepada tempat yang akan mereka capai. Sedang sekelompok lagi akan melalui lereng sebelah untuk mencapai tempat para pengawas di lereng itu.
Sejenak para pemimpin pasukan dari kedua belah pihak membicarakan pendapat para pengawas itu. Sutawijaya yang dialiri darah muda itu segera menjawab, “Baik. Kita akan datang dari tiga arah. Kita masing-masing akan selalu berhubungan dengan isyarat-isyarat.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun sependapat dengan rencana itu, meskipun ia sadar, bahwa jalur isyarat harus terpelihara sebaik-baiknya, karena meskipun jarak dari ketiga pasukan itu tidak akan jauh, tetapi jika diperlukan, pasukan yang sekelompok tentu agak sulit untuk mencapai kelompok yang lain, sehingga diperlukan waktu yang agak panjang.
Ketika hal itu dikemukakannya kepada Raden Sutawijaya, maka anak muda itu pun berkata, “Peringatan Ki Gede itu akan bermanfaat sekali. Ingat, daerah yang akan kita lalui adalah daerah yang sulit. Jika salah sebuah kelompok disergap, maka isyarat itu harus secepatnya di berikan, agar kelompok yang lain akan segera dapat mengambil sikap. Apabila kelompok itu sendiri berhadapan juga dengan lawan, maka kelompok itu pun harus segera memberikan isyarat.”
Para pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Melihat medan yang terbentang di hadapan mereka, maka mereka sadar, bahwa mereka akan menghadapi tugas yang berat.
Namun dalam pada itu, selagi mereka mempersiapkan diri dan membagi di dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, ayah Rudita tiba-tiba saja berkata, “Aku mendapat petunjuk, bahwa kita berjalan ke arah yang salah. Baru saja aku menyadari. Jika kalian tidak berkeberatan, aku akan mengulangi perjalanan ini sehingga aku dapat menemukan titik perubanan arah dari perjalanan yang seharusnya kita tempuh.”
Semua orang memandanginya dengan bimbang. Apalagi Sutawijaya, sehingga katanya, “Ki Waskita, sebaiknya kita membuktikan lebih dahulu apa yang sedang kita hadapi.”
“Aku yakin, bahwa Rudita tidak ada di tempat yang sedang kita tuju, atau kita sudah tersesat oleh jebakan lawan.”
Sutawijaya menjadi tidak sabar. Namun ketika ia akan berbicara. Kiai Gringsing telah menggamitnya. Ia-lah yang kemudian melangkah mendekati ayah Rudita itu sambil berkata, “Ki Waskita. Memang, mungkin sekali petunjuk itu benar. Tetapi jika kita berhasil menemukan tempat mereka, meskipun bukan tempat persembunyian Rudita, kita akan dapat bertanya kepada mereka, di manakah Rudita itu di sembunyikan.”
“Kiai,” jawab ayah Rudita itu,” jika orang yang menyembunyikan Rudita itu mengetahui, bahwa pertahanan mereka pecah, maka mereka tentu akan menyingkirkan Rudita, atau mungkin mengambil tindakan lain, karena kita tidak tahu, apakah sebenarnya keinginan mereka dengan Rudita.”
“Jadi bagaimana sebaiknya menurut pertimbanganmu?”
“Kiai. Aku menyadari, bahwa usaha kalian bukan saja untuk kepentingan Rudita, meskipun aku berterima kasih bahwa Rudita merupakan cambuk utama dari keberangkatan pasukan ini. Karena itu, aku sama sekali tidak dapat mengganggu atau merubah sikap dan keputusan kepemimpinan pasukan ini. Tetapi karena aku selalu dibarengi oleh penglihatan yang lain dari perhitungan keprajuritan, maka aku minta ijin, perkenankanlah aku menelusuri jalanku sendiri. Dengan demikian usaha kita akan berjalan beriringan. Aku tidak tahu siapakah yang akan berhasil lebih dahulu. Namun aku sebelumnya mengucap beribu terima kasih atas jerih payah kalian.”
Mereka yang mendengar kata-kata ayah Rudita itu terkejut. Ternyata bahwa Ki Waskita benar-benar yakin akan isyarat-isyarat yang ditangkapnya, sehingga karena itu maka ia lebih senang menempuh jalan lain dari jalan yang bersama-sama telah mereka pilih.
Untuk beberapa saat. Kiai Gringsing termenung. Bahkan kemudian dipandanginya Ki Argapati, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, dan kemudian Sutawijaya, seolah-olah ia ingin mengetahui bagaimana pendapat mereka masing-masing.
Ki Argapati, selain merasa bertanggung jawab atas Tanah Perdikan Menoreh, juga menganggap bahwa ayah Rudita adalah tamunya, sehingga karena itu ia bertanya, “Apakah hal itu sudah kau pertimbangkan masak-masak?”
“Aku kira aku tidak mempunyai pilihan lain. Rasa-rasanya aku yakin, bahwa aku mengetahui dengan tepat, di manakah Rudita kini berada. Tetapi aku juga menganggap berdasarkan perhitungan nalar, bahwa arah yang kita tempuh untuk mencapai padepokan itu pun benar. Karena itu, jalan yang paling baik bagi kita adalah berpisah di sini. Kita kelak akan bertemu lagi apabila kita masing-masing berhasil dengan usaha ini.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jalan yang kau pilih adalah jalan yang sangat berbahaya.”
“Aku tahu. Tetapi aku kira, jalan itu adalah yang paling dekat untuk mencapai Rudita.”
“Apalagi jika benar-benar Panembahan Agung itu adalah panembahan yang pernah kau sebut mempunyai kemampuan yang luar biasa, sehingga ia mampu menciptakan bentuk semu dengan mempengaruhi syaraf kita di seberang indera penglihatan dan bahkan indera kita yang lain.”
“Aku akan berusaha mengatasinya. Mudah-mudahan aku masih dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh panembahan itu.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya, sedang beberapa orang lain yang mendengarnya menjadi berdebar-debar. Agaknya Ki Waskita itu selain memiliki penglihatan yang dapat menembus batas tempat dan waktu, juga memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmu panembahan yang disebutkannya.
“KI Gede,” berkata ayah Rudita itu kemudian, “biarlah aku mencobanya. Aku harap Ki Gede memberi aku kesempatan.”
Orang-orang tua itu saling berpandangan sejenak. Mereka menjadi ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Apalagi anak-anak-muda yang saling berpandangan yang satu dengan yang lain.
“Ki Waskita,” berkata Sumangkar kemudian, “baiklah, jika Ki Waskita memilih jalan itu. Tetapi sebaiknya kau tidak pergi seorang diri agar ada kawan berbincang di sepanjang jalan. Biarlah aku pergi bersamamu. Mudah-mudahan aku tidak mengganggu di perjalanan karena yang akan kita hadapi adalah orang yang memiliki ilmu yang seakan-akan tanpa dapat dibatasi.”
“Sebenarnya bukan ilmu yang dahsyat,” berkata Ki Waskita, “yang dilakukan hanya sekedar mengelabuhi indera kita. Jika kita sadar, dan dengan sepenuh hati menguasai indera kita sendiri, tanpa menyentuh ilmu orang itu pun kita dapat menyelamatkan diri kita.”
“Jika demikian, semuanya masih terserah kepada Ki Gede Menoreh dan Raden Sutawijaya. Jika perjalanan kita tidak dirasa mengganggu, maka aku kira mereka tidak akan berkeberatan.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia berkata kepada Ki Waskita, “Sebenarnya kami ingin kau tetap bersama dengan kami. Tetapi jika kau yakin akan penglihatan mata hatimu atas anakmu, aku tidak dapat mencegahnya. Sebab jika kelak terjadi sesuatu atas anak itu karena kelambatan kami, maka kami akan dibebani oleh pertanggungan jawab yang sangat berat, justru karena kau pernah menyatakan sikap yang lain. Karena itu, marilah kita bersama-sama berusaha kunjungi adbmcadangan.wordpress.com. Kau dengan caramu, kami dengan cara kami. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita semuanya, sehingga kita dapat menyelesaikan tugas kita kali ini. Bukan saja bagi keselamatan Rudita, tetapi juga bagi ketenteraman di daerah Menoreh dan Mataram. Dan yang lebih luas lagi adalah bagi Pajang keseluruhan.”
“Terima kasih Ki Gede. Dan aku pun mengucapkan terima kasih kepada Ki Sumangkar yang sudah bersedia mengawani aku di perjalanan. Tentu bukan sekedar kawan berbincang. Tetapi juga kawan di segala keadaan.
Kiai Gringsing memandang Ki Sumangkar sejenak, lalu katanya, “Baiklah. Hati-hatilah. Mudah-mudahan kita semua selamat dan berhasil.”
Ayah Rudita dan Ki Sumangkar pun kemudian minta diri kepada para pemimpin kelompok kedua pasukan itu. Kepada Ki Demang Sangkal Putung, kepada kedua murid Kiai Gringsing, Pandan Wangi, Prastawa, para pemimpin pasukan pengawal Mataram dan kemudian melambaikan tangannya kepada seluruh pasukan.
Dengan diiringi oleh tatapan mata dan jantung yang berdebar-debar, keduanya pun kemudian melangkah menyusuri jalan kembali. Ki Waskita ingin mengulang perjalanan itu dan ingin menangkap isyarat, di mana ia harus berbelok ke arah yang benar.
Tanpa disadari Ki Sumangkar pun meraba senjatanya. Ia merasa perlu mempersiapkan diri selengkap-lengkapnya untuk menghadapi keadaan yang kurang dimengertinya itu.
Namun ia adalah seseorang yang berpengalaman. Ia adalah adik seperguruan Patih Mantahun yang pernah disebut bernyawa rangkap. Karena itu, maka ia pun segera berusaha menyesuaikan diri dengan medan yang dihadapinya.
Dalam pada itu, Ki Waskita yang memiliki penglihatan yang dapat menembus batas waktu dan tempat itu pun dengan ketajaman ilmunya berusaha mengetahui, ke mana ia harus pergi. Ketika ia merasa bahwa ia sudah menemukan titik yang dicarinya, maka ia pun berkata, “Ki Sumangkar, kita harus berbelok ke arah Barat.”
“Justru ke arah Barat?” bertanya Sumangkar.
Ki Waskita menganggukkan kepalanya. Sejenak ia masih mencoba meyakinkan dirinya. Dan katanya kemudian, “Aku yakin, Ki Sumangkar. Aku harus menuju ke arah Barat. Aku tidak tahu, daerah apakah yang akan kita temui. Tetapi di sanalah anakku itu di sembunyikan.”
Ki Sumangkar hanya rnengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia mengikuti saja di belakang ayah Rudita yang dituntun oleh sentuhan hubungan getaran yang terjalin antara dirinya dengan Rudita. Apalagi Rudita adalah anaknya, sehingga jalinan itu terasa semakin mantap.
Demikianlah, mereka menyusuri lereng pegunungan. Menyusup gerumbul-gerumbul perdu dan padang ilalang. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa saja yang mungkin mereka jumpai di perjalanan.
“Bukan perjalanan yang amat dekat” berkata ayah Rudita kepada Sumangkar, “karena itu aku agak cemas. Ketika perhitungan nalarku sependapat dengan Raden Sutawijaya, bahwa kita sudah dekat dengan persembunyian orang-orang yang mungkin melarikan Rudita.”
“Memang mungkin demikian,” sahut Sumangkar, “persembunyian mereka sudah dekat. Tetapi Rudita di tempatkan di tempat lain dan terasing.”
“Itu pun mencemaskan. Seperti sudah aku katakan, jika orang-orang yang menyembunyikan Rudita mencemaskan keselamatan mereka sendiri, atau gerombolannya, maka Rudita akan mengalami nasib yang sangat jelek.”
Ki Sumangkar tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Sementara itu mereka pun berjalan semakin cepat menembus gerumbul-gerumbul liar di lereng pebukitan.
Dalam pada itu, pasukan pengawal dari Mataram dan Menoreh itu pun sudah bergerak kembali. Mereka benar-benar membagi diri menjadi tiga kelompok. Yang berjalan di tengah adalah kelompok Raden Sutawijaya dengan sepasukan pengawal dari Mataram yang kuat, bersama para pemimpinnya yang dapat dipercaya.
Yang kemudian memanjat tebing yang diduga dilalui oleh orang-orang Daksina, dipimpin oleh Kiai Gringsing dan kedua muridnya bersama Ki Demang Sangkal Putung dengan sebagian pengawal dari Menoreh. Sedang sebagian lagi pengawal dari Menoreh mengitari lereng sebelah, dan akan sampai di tebing sebelah. Mereka akan merunduk para penjaga di pihak lawan yang mengawasi pintu gerbang memasuki daerah mereka yang terpencil itu.
Dengan pengalaman yang pernah terjadi atas para pengawas yang mendahului perjalanan mereka, maka setiap kelompok pasukan telah mempersiapkan beberapa orangnya untuk menghadapi pertempuran jarak jauh. Karena lawan-lawan mereka mempergunakan anak panah, maka untuk melindungi gerakan pasukan seluruhnya, merekapun mempersiapkan beberapa orang yang dipersenjatai dengan panah, meskipun sebagian dari kepentingan mereka adalah untuk memberikan isyarat-isyarat.
Pasukan yang di tengah, yang dipimpin oleh Sutawijaya adalah kelompok yang terkuat. Mereka terdiri dari pasukan pengawal berkuda dari Mataram, meskipun saat itu mereka tidak dapat mempergunakan kuda-kuda mereka. Namun mereka adalah orang-orang adbmcadangan.wordpress.com yang berpengalatnan. Yang memiliki ilmu bukan saja yang mereka terima selama mereka menjadi seorang pengawal. Tetapi mereka pada umumnya telah memiliki ilmu sebagai bekal pendadaran mereka memasuki pasukan pengawal Mataram. Bahkan sebagian dari mereka adalah bekas prajurit-prajurit Pajang yang berpengaruh. Di antara mereka adalah Ki Lurah Branjangan.
Menurut perhitungan, maka pertahanan terkuat dari pihak lawan adalah yang di tempatkan di lembah itu. Mereka tentu berpendapat, bahwa pasukan Sutawijaya akan melalui jalan itu.
Sementara itu Kiai Gringsing pun maju terus meskipun perlahan. Mereka berjalan di sepanjang tebing yang agak miring. Sebuah jalur yang dapat mereka lalui menyelusur di sisi tebing itu. Beberapa batang pohon tumbuh di lereng dan di pinggir jalan setapak itu.
“Tunggu,” berkata Kiai Gringsing, “ternyata bahwa dugaan para pengawas itu benar. Kita menemukan jejak kaki yang menyelusuri lereng ini.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan keningnya. Mereka pun mengamati tempat di sekitar mereka dengan saksama. Dan mereka memang menemukan sesuatu yan mencurigakan, yang mungkin adalah jejak kaki seseorang yang sudah diusahakan untuk dihapuskan.
“Kita berjalan lewat jalur yang benar,” desis Kiai Gringsing.
“Apakah kita akan memberikan isyarat?” bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
“Belum sekarang,” sahut Kiai Gringsing.
Sementara itu pasukan di lereng seberang pun maju terus lewat di bawah rimbunnya dedaunan. Kelompok itu di pimpin langsung oleh Ki Argapati. Meskipun kaki Ki Argapati masih belum pulih sama sekali, namun ia tidak mengalami kesulitan apa pun berjalan di lereng yang terjal bertelekan pada tangkai tombak pendeknya.
Di belakangnya berjalan Pandan Wangi dan Prastawa. Sedang mengikuti mereka itu adalah sekelompok yang bagi Menoreh adalah pengawal yang paling baik, seperti juga pengawal terpilih dari Mataram. Para pengawal dari Menoreh itu pun sebagian besar telah memiliki pengalaman, bukan saja disadap dari cerita-cerita dan kitab-kitab, tetapi mereka pun pernah mengalami berbagai macam suasana medan yang berbeda-beda.
Dalam pada itu, selagi para pengawal dari Mataram dan Menoreh merayap maju mendekati sarang orang-orang yang tidak banyak mereka kenal, termasuk Daksina, maka di padepokan yang terpencil, seseorang sedang berbicara dengan dua orang yang agaknya siap untuk menempuh perjalanan yang agak jauh dan sulit.
“Kau harus singgah di padesan itu untuk mengambil kuda. Kau harus segera sampai di Mataram,” berkata seseorang yang menyebut dirinya Putut Nantang Pati.
“Ya. Kami akan berpacu secepat dapat kami lakukan,” jawab salah seorang dari keduanya.
“Aku yakin, bahwa pasukan yang kuat akan datang. Tetapi kami tidak akan mempertahankan padepokan ini dengan sepenuh kekuatan. Kami sudah mengatur, bahwa kami akan segera menarik diri jika pertempuran telah berkobar, kecuali jika kami yakin bahwa kami dapat menumpas lawan yang datang itu. Pertahanan kami yang sebenarnya adalah di depan padepokan Panembahan Agung. Kami akan melihat suatu permainan yang sangat menarik. Orang-orang Mataram akan menjadi kebingungan melawan ilmu Panembahan Agung.”
“Ya. Sebenarnya aku pun ingin melihatnya.”
“Tidak. Kalian harus pergi seperti yang sudah kita sepakati dengan Daksina. Kemampuan Panembahan Agung itu pun terbatas. Jika ia menghadapi pasukan segelar sepapan, maka pada suatu saat, jika lawannya itu tidak juga segera dapat disingkirkan, maka kemampuan ilmu itu berkurang, karena Panembahan akan menjadi lelah.
Series 74
“TETAPI tentu lawan sudah sangat lemah, dan kita tinggal menghancurkan mereka seperti memijat buah ranti.”
“Kau benar. Namun segala jalan akan kita tempuh. Kau harus berusaha dapat menghadap Ki Gede Pemanahan atau orang yang dipercaya, yang dapat diyakini akan menyampaikan kabar itu kepada Ki Gede.”
“Ya. Kami akan berusaha.”
“Nah, berangkatlah. Saat ini Sutawijaya tentu berada di perjalanan. Jika tidak, sekiranya Sutawijaya ada di Mataram, kau dapat mengambil kebijaksanaan lain.”
“Baik.”
“Jangan lupa. Kau harus menyebut, bahwa gadis yang telah terjerat oleh Raden Sutawijaya itu adalah salah seorang gadis dari Kalinyamat, yang sedianya disimpan untuk Sultan Pajang. Jika Ki Gede Pemanahan mendengar, ia tentu akan marah kepada puteranya, karena akan dapat menumbuhkan persoalan baru di Mataram. Bukan persoalan Tanah Mataram lagi, tetapi karena kelancangan Raden Sutawijaya. Kemarahan Ki Gede Pemanahan akan mempengaruhi usaha Raden Sutawijaya kali ini. Jika ia berhasil memasuki padepokan ini hari ini juga, maka besok akan datang utusan dari Mataram untuk memanggilnya.”
Kedua orang yang sudah bersiap untuk berangkat itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan waktu yang sudah kita perhitungkan tidak meleset. Pada saat yang bersamaan, maka akan tersebar desas-desus tentang persoalan yang sama di Pajang. Jika kemudian Sultan Pajang mendengar dan mengambil tindakan, semuanya akan menjadi lebih lancar.”
Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Semula kita sudah hampir kehabisan akal. Api apakah yang akan kita pergunakan untuk membakar hubungan antara Pajang dan Mataram yang memang sudah agak buruk. Usaha kita selalu gagal. Untunglah bahwa Raden Sutawijaya sendiri telah menyediakan persoalan baru bagi kita, sehingga agaknya kali ini Sultan Pajang yang tidak dapat mengendalikan diri terhadap perempuan itu akan marah dan mengambil tindakan bukan saja secara pribadi terhadap Raden Sutawijaya karena telah berani menyadap kegadisan simpanannya, puteri dari Kalinyamat itu.”
“Aku kira persoalan ini merupakan persoalan yang sangat gawat bagi Mataram. Mudah-mudahan Sultan Pajang akan segera menjatuhkan hukuman. Jika Raden Sutawijaya melawan, maka benturan itu tidak akan dapat dihindarkan lagi. Justru bukan atas usaha kita.”
“Baiklah, segeralah berangkat. Hati-hati, jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Kalian memang bekas prajurit-prajurit Pajang yang akan dapat bersikap benar-benar seperti orang Pajang.”
Demikianlah, selagi padepokan itu sedang diancam oleh bahaya yang memang sudah disadari oleh Putut Nantang Pati, namun mereka masih juga mengirimkan orangnya pergi ke Mataram untuk mempengaruhi Ki Gede Pemanahan agar memanggil Raden Sutawijaya. Tentu Raden Sutawijaya menjadi sangat kecewa dan perlawanannya pun tidak akan segigih semula. Adalah menyenangkan sekali jika mereka berhasil menangkap Raden Sutawijaya hidup-hidup, kemudian dipergunakan untuk memeras ayahandanya, Ki Gede Pemanahan agar ia bersedia diperalat, dan menempatkan orang-orang dari padepokan Panembahan Agung untuk memegang jabatan-jabatan penting di Mataram, yang memungkinkan memancing pertentangan terbuka dengan Pajang atas nama Mataram yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan.
Kedua orang utusan ke Mataram itu pun kemudian menuruni pebukitan rendah itu melalui jalur yang berseberangan dengan arah kedatangan para pengawal dari Mataram dan Menoreh. Di padukuhan tidak terlampau jauh dari kaki pebukitan itu, mereka akan dapat mengambil kuda mereka untuk menempuh perjalanan ke Mataram. Tetapi mereka tidak dapat mengambil jalan yang menghubungkan Menoreh dan Mataram. Mereka harus melingkar sedikit, meskipun jaraknya juga tidak akan bergeser terlalu jauh.
Putut Nantang Pati yang kemudian menemui Daksina mengatakan bahwa dua orang sudah berangkat ke Mataram. Mereka harus berusaha menyampaikan berita itu kepada Ki Gede Pemanahan secepatnya.
“Tetapi apakah berita itu dapat dipercaya?” bertanya Putut Nantang Pati kepada Daksina.
“Maksudmu berita tentang Raden Sutawijaya itu?” Daksina ganti bertanya.
“Ya.”
“Yakinlah. Jika seandainya saja kedua puteri yang dijanjikan Ratu Kalinyamat itu dipanggil ke dalam istana dan ditanya seorang demi seorang, maka akan ternyata bahwa berita itu bukan sekedar berita bohong. Bahkan menurut pendengaranku, salah seorang dari kedua puteri itu sudah mengandung.”
“Ah.”
“Percayalah.”
“Jika demikian kita tidak perlu memancing persoalan lagi. Pajang tentu akan datang ke Mataram, menghukum Raden Sutawijaya.”
“Nah, bukankah kita tidak perlu mengorbankan orang-orang seperti yang terjadi di Jati Anom.”
“Kita masih belum mengetahui hal itu. Tetapi kini kita tinggal menunggu Mataram dahulu akan hancur. Baru kemudian kita akan membangun Mataram yang kuat. Bersama Mangir kita akan dapat menghancurkan Pajang. Apalagi jika kita berhasil memeras Ki Gede Pemanahan.
“Bagaimana jika Pemanahan ikut musna bersama Mataram dan Sutawijaya sendiri.”
“Bukan soal lagi bagi kita. Kita akan membangun sebuah negeri yang lebih baik dari Mataram sekarang dan sudah barang tentu lebih kuat.”
Daksina mengerutkan keningnya. Dipandanginya Putut Nantang Pati sejenak, lalu katanya, “Tetapi persoalan Mataram bukan sekedar persoalan Mataram itu sendiri, Pajang pun bukan sekedar kota Pajang yang kita lihat itu. Tetapi jika kita berbicara tentang Pajang, kita harus mengingat kekuatan para adipati di daerah Pesisir Utara dan Bang Wetan.”
Putut Nantang Pati tidak segera menyahut. Ia mencoba membayangkan kekuatan yang tersembunyi di belakang Pajang. Kekuatan para Adipati itu. Tanpa sesadarnya ia berdesis, “Jika saja kita dapat memaksa Ki Gede Pemanahan. Ia mempunyai pengaruh yang kuat atas para adipati.”
Daksina mengangguk-angguk, “Itu memang harus dipikirkan masak-masak. Sutawijaya harus tertangkap hidup-hidup. Jika perintah Ki Gede Pemanahan untuk memanggilnya sampai, ia akan kehilangan segala gairah. Nah, kesempatan itu akan kita pergunakan.”
“Ada dua kemungkinan. Ia kehilangan gairah untuk meneruskan pertempuran, atau justru karena putus asa ia menjadi liar dan berkelahi dengan buasnya.”
“Kedua-duanya baik bagi kita. Jika ia menjadi liar dan gelap hati, maka Panembahan Agung akan segera menguasainya. Dengan kekuatan ilmunya ia dapat memaksa Sutawijaya untuk diam. Jika tiba-tiba saja di sekeliling anak muda itu terdapat sebuah pagar besi, maka ia tentu akan segera menyerah.”
Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya dan bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya, sebenarnya. Bukankah menurut ceritamu dan anak buahmu, Panembahan Agung dapat menciptakan yang tidak ada menjadi ada?”
“Bukan menciptakan yang ada menjadi ada.”
“Jadi bagaimana?”
“Membuat yang tidak ada seolah-olah ada. Itulah kekuatan ilmunya.”
Daksina tersenyum. Namun tiba-tiba saja ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan apa pun di wajahnya. Namun yang sekilas itu dapat tertangkap oleh Putut Nantang Pati, sehingga wajah Putut itu menjadi tegang sejenak. Putut Nantang Pati menyadari bahwa Daksina tidak begitu membanggakan ilmu Panembahan Agung. Mungkin Daksina masih belum pernah menyaksikannya sendiri dan apalagi mengalami, yang diketahui oleh Daksina adalah bahwa Panembahan Agung mempunyai beberapa orang pembantu yang dapat dibanggakan. Termasuk Putut Nantang Pati sendiri selain mereka yang telah terbunuh seorang demi seorang di Alas Mentaok sendiri dan di Jati Anom.
“Sekali-sekali kau memang harus mengetahui, betapa besarnya kekuatan ilmu Panembahan Agung. Ia mampu menyesatkan indera seseorang. Bahkan kau.”
“Ya,” jawab Daksina yang tidak ingin menyakiti hati Putut Nantang Pati justru di saat mereka menghadapi pasukan Mataram yang kuat.
Putut Nantang Pati terdiam. Memang masih harus dibuktikan bahwa kekuatan yang demikian itu dimiliki oleh Panembahan Agung.
Namun selagi mereka terdiam untuk sejenak, tiba-tiba telah datang dengan tergesa-gesa seorang cantrik dari padepokan Medang. Padepokan Panembahan Agung.
“Aku mendapat perintah untuk menyampaikan pesan,” berkata cantrik itu.
“Apakah pesan itu?”
“Kalian di sini harus menyiapkan diri untuk menghadapi lawan yang kuat sekali. Yang datang bukan saja para pengawal dari Mataram, tetapi juga para pengawal dari Menoreh. Di antara mereka terdapat orang-orang yang harus diperhitungkan.”
“He?” Putut Nantang Pati terkejut. Demikian pula Daksina sehingga ia bergeser maju.
Sejenak mereka berdua memandangi cantrik itu dengan wajah yang tegang. Namun kemudian Putut Nantang Pati menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Ya. Aku percaya. Tapi bukankah pertahanan yang sebenarnya di hadapan padepokan Panembahan Agung sudah dipersiapkan?”
“Ya. Semuanya sudah siap. Jika Panembahan Agung itu menyampaikan pesan kepada padepokan ini, agar mereka yang di sini tidak terjebak, dan berkesempatan untuk menghindari korban yang akan berjatuhan.”
“Terima kasih. Kami di sini akan berhati-hati menghadapi pasukan yang sangat kuat itu.”
Daksina yang untuk beberapa saat berdiam diri kemudian berkata, “Apakah jaringan pengawas sandi Panembahan Agung jauh lebih ketat dari pengawasanmu justru kau berada di sini sekedar merupakan bayangan padepokan Panembahan Agung? Bukankah seharusnya kita yang berada di sinilah yang memberikan laporan kepadanya tentang gerakan pasukan lawan seperti yang pernah kita laporkan itu?”
Putut Nantang Pati tersenyum. Katanya, “Kau mulai melihat kelebihan Panembahan Agung. Jika ia ingin melihat sesuatu, maka ia tidak perlu menembus batas tempat dan jarak. Ia dapat melihat dari kejauhan apa yang akan terjadi meskipun sekedar berupa isyarat.”
“Apakah itu yang disebut sebangsa aji Sapta Pangrasa, Sapta Pameling, dan Sapta Pengrungu, yang dapat melihat, mendengar, dan bahkan berbicara dari jarak yang jauh?”
“Aku tidak pernah mempersoalkan nama. Ketika aku mulai mempelajari ilmu itu, aku sama sekali tidak peduli bahwa Panembahan Agung menyebutnya sebagai aji Pangangen-angen.”
Daksina mengerutkan keningnya. Dan Putut Nantang Pati tersenyum sambil berkata, “Tetapi sayang, bahwa aku baru dalam tahap permulaan ketika kami di sini harus sudah mulai dengan segala macam usaha menggagalkah berdirinya Mataram sehingga aku belum menguasai permulaannya saja dari ilmu itu.”
Daksina tidak menjawab. Tetapi ia mulai berdebar-debar membayangkan jenis ilmu yang disebut ilmu Pangangen-angen itu.
“Baiklah,” berkata Putut Nantang Pati kemudian kepada cantrik yang mendengarkan pembicaraan itu dengan heran, “kembalilah kepada Panembahan Agung. Beritahukan kepadanya bahwa aku akan menyesuaikan diri dengan keadaan lawan dan rencana kita semula.”
Sepeninggal cantrik itu, maka Putut Nantang Pati masih saja tersenyum-senyum dan berkata, “Mungkin kau tidak percaya. Tetapi baiklah. Aku tidak akan bercerita tentang Panembahan Agung dengan cara yang berlebih-lebihan. Aku harap kau akan dapat melihatnya sendiri. Meskipun demikian kami tidak dapat ingkar, bahwa ilmunya pun terbatas. Maksudku, bahwa ia bukan orang yang dapat melihat seisi bumi ini.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Aku memang tidak pernah menolak kenyataan serupa itu. Tetapi di dalam perang yang cukup besar, maka ilmu itu tidak akan dapat menyeluruh. Maksudku, kemampuan pengaruhnya pun terbatas. Tidak semua pasukan lawan dapat dipengaruhi oleh ilmu itu.”
“Kau benar. Tetapi jika yang terpengaruh itu senapatinya, maka keadaan lawan itu akan menjadi gawat.”
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Marilah,” berkata Putut Nantang Pati, “pasukan Mataram dan Menoreh itu tentu sudah menjadi semakin dekat. Kita harus menyesuaikan diri dengan kekuatan mereka. Jalur untuk menarik diri sudah kita persiapkan baik-baik. Mudah-mudahan pasukan Mataram dan Menoreh itu akan terpancing dan kita dapat menjebaknya di lembah di hadapan padepokan Panembahan Agung. Seandainya lembah itu tidak dapat dipengaruhi oleh ilmu Panembahan Agung yang disebutnya aji Pangangan-angen itu, namun keadaan Pasukan Mataram dan Menoreh tentu akan berada di dalam kesulitan. Kami akan dapat menggulingkan batu-batu padas dan akan menimpa mereka seperti menimbuni puluhan mayat di dalam satu lubang yang besar.”
“Jangan terlampau berbangga atas diri sendiri,” sahut Daksina, “di dalam lingkungan keprajuritan Pajang, maka setiap sikap yang terlampau berbangga atas diri sendiri, merupakan suatu cela yang besar.”
“Aku tahu. Meskipun aku belum pernah menjadi seorang prajurit, apalagi seorang perwira, tetapi aku mempelajari ilmu keprajuritan. Namun jika aku mengatakan tentang prajurit Mataram dan Menoreh, maka itu karena aku yakin akan berhasil.”
Daksina mengangguk-angguk pula.
“Marilah ke pengawasan yang terdepan,” berkata Putut Nantang Pati, “kita akan melihat kehadiran pasukan Mataram dan Menoreh. Panembahan Agung menyebut beberapa orang yang memiliki ilmu yang perlu diperhitungkan. Mungkin mereka adalah orang-orang bercambuk itu.”
“Tentu mereka yang dimaksudkan.”
“Kita tidak usah cemas. Meskipun barangkali aku sendiri tidak dapat mengalahkannya seperti para pemimpin kepercayaan kami yang berada di perbatasan Alas Mentaok dan juga Kiai Damar dan bahkan Kiai Telapak Jalak, tapi aku tidak akan cemas menghadapi mereka. Sebentar lagi mereka akan berkubur di lembah yang curam itu.”
“Kau yakin?”
“Kenapa tidak?”
“Kau yakin dapat lolos dari tangannya ke dalam jalur yang sudah kau buat?”
“Aku yakin. Beberapa orang prajurit sudah mapan untuk melindungi aku dengan senjata jarak jauh. Dan bukankah kau akan ikut bersamaku?”
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Putut Nantang Pati percaya sepenuhnya kepada penglihatan Panembahan Agung, namun ia mempergunakan juga perhitungannya untuk setiap rencana yang disusunnya. Dan ia tidak dapat mengingkari ketelitian adbmcadangan.wordpress.com rencana Putut Nantang Pati untuk menghindari pertempuran jika agaknya mereka tidak akan dapat menahan pasukan lawan yang bakal datang. Apalagi setelah mereka mendapat keterangan, bahwa yang datang bukan saja para pengawal Mataram di bawah pimpinan Sutawijaya, tetapi beserta mereka adalah pasukan pengawal Menoreh.
“Tentu anak gadis Ki Argapati itu,” berkata Daksina di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka mereka berdua pun pergi ke lereng di kaki pebukitan itu. Dari balik pepohonan mereka melihat lembah dan lereng di hadapan mereka.
“Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan datang?” bertanya Putut Nantang Pati kepada para pengawas yang bertebaran di antara gerumbul-gerumbul liar.
“Belum,” sahut salah seorang dari mereka.
“Jangan lengah. Gerumbul-gerumbul di lereng itu memang memungkinkan untuk berlindung.”
“Tetapi tidak untuk berlindung sebuah pasukan.”
Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Berhati-hatilah, aku akan pergi ke depan.”
Putut Nantang Pati, Daksina, dan beberapa orang pengawalnya pun maju lagi untuk menemui para pengawas yang paling depan. Dengan hati-hati mereka merayap tebing di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun.
Dalam pada itu, kelompok-kelompok pasukan Mataram dan Menoreh maju semakin dekat. Mereka menyusup di antara pepohonan. Namun kadang-kadang mereka harus melalui tempat yang terbuka beberapa langkah, sehingga memungkinkan para pengawas lawan dapat melihat mereka.
Dan ternyata demikianlah yang terjadi. Ketika pasukan pengawal Menoreh yang dipimpin oleh Ki Argapati menjadi semakin dekat, dan sekilas mereka terpaksa menyeberangi daerah terbuka, salah seorang dari para pengawas terdepan dari padepokan Putut Nantang Pati dapat melihatnya. Sejenak orang itu memperhatikan seseorang yang merunduk sambil berlari-lari. Kemudian orang-orang berikutnya.
Pengawas itu pun kemudian menggamit kawan-kawannya dan dengan ujung jarinya menunjuk ke arah pasukan yang mendekat.
“Mereka justru melalui jalan itu,” desis salah seorang dari mereka, “agaknya mereka akan langsung memotong pasukan kita, karena dari lereng itulah salah seorang kawan kami telah melepaskan anak panah. Mereka tentu menduga bahwa di tempat itu kini sudah disiapkan pengawasan yang ketat.”
“Tetapi kehadiran mereka harus kita laporkan”
“Tentu. Nah, siapakah yang akan pergi?”
Salah seorang dari para pengawas itu pun kemudian merayap naik untuk melaporkan, bahwa mereka telah melihat sebuah pasukan yang mendekati padepokan mereka.
Tetapi orang itu terhenti, justru karena mereka bertemu dengan Putut Nantang Pati dan Daksina, sehingga dengan demikian maka Putut Nantang Pati dan Daksina sempat melihat sendiri pasukan yang bergerak maju itu. Tetapi keduanya tidak sempat melihat, siapakah yang telah memimpin pasukan mereka,
“Tidak terlalu banyak,” desis Putut Nantang Pati. “Adalah kesombongan tiada taranya bahwa hanya dengan pasukan yang sangat kecil, bahkan hanya sekelompok kecil pasukan pengawal mereka akan menembus padepokanku.”
“Jangan menyangka demikian,” desis Daksina.
“Kenapa?”
“Aku yang mencoba menjebak mereka justru pernah terjebak. Kau sangka bahwa yang kita lihat itu sudah seluruh pasukan?”
“Kalau begitu, siapakah mereka?”
“Mungkin mereka hanyalah sekedar pengawas yang merintis perjalanan. Mungkin sepasukan pengawal yang sudah pasrah akan nyawanya. Mungkin mereka sekedar menjajagi, dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Namun kita harus berhati-hati menghadapi pasukan dari Mataram dan Menoreh.”
“Kau dasarkan pertimbanganmu kepada peringatan yang telah diberikan oleh Panembahan Agung?”
Daksina mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Bukan hanya pesan itu, tetapi menurut perhitunganku, demikian akan jadinya. Aku pernah mengalaminya.”
Putut Nantang Pati mengangguk-angguk, lalu katanya kepada para pengawas, “Kalian tetap di sini. Jika kalian tergesa-gesa, kalian tidak usah datang kepada kami. Kalian dapat melemparkan isyarat.”
Demikianlah maka Putut Nantang Pati dan Daksina itu pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali kepada induk pasukannya. Sesuai dengan peringatan Daksina, maka Putut Nantang Pati pun harus berhati-hati. Diperintahkannya sebagian dari pasukannya untuk bersiap menghadapi jalur arah kelompok lawan yang mendekati mereka.
“Tahan mereka. Tetapi ingat, jika tengara itu berbunyi, kalian harus menarik diri, lewat lekuk yang ditentukan sebelumnya itu. Jika pasukan lawan mengejar kalian lewat jalur jalan itu, maka akan dapat kita menghancurkannya selagi mereka menerobos lembah yang sempit itu. Putuskan tali pengikat batang-batang kayu itu. Dan lembah yang sempit itu akan menjadi kuburan yang besar. Tetapi jika mereka berhasil menerobos masuk meskipun hanya sisa-sisanya saja, mereka akan kita hancurkan di pertahanan terkuat, di hadapan padepokan Panembahan Agung,” berkata Putut Nantang Pati kepada seorang pemimpin kelompok pengawalnya.
Putut Nantang Pati dan Daksina pun kemudian kembali ke induk pasukannya. Mereka sudah menempatkan diri mereka di medan yang mereka pilih. Jika keadaan memaksa mereka akan dengan mudah menarik diri. Dengan sedikit arah tipuan, mereka akan dapat menjebak pasukan lewat sebuah lembah yang sempit, yang memang dipersiapkan untuk mengubur pasukan Mataram dan Menoreh dengan pokok-pokok kayu yang diikat dengan tali yang kuat diatas tebing. Jika tali-tali itu diputuskan dengan kapak, maka pokok-pokok kayu itu akan menggelinding melanda batu-batu padas dilereng sebelah menyebelah lembah yang sempit itu dan bersama-sama menimbun pasukan yang sedang lewat.
“Terlalu sulit untuk melarikan diri. Apalagi tali yang pertama-tama diputuskan adalah di kedua ujung lembah itu,” berkata Putut Nantang Pati.
“Tetapi bagaimana jika pasukan Mataram dan Menoreh itu berjalan dalam jarak yang panjang, sehingga seluruh pasukannya menjadi panjang sekali?” bertanya Daksina.
“Kita mengambil pangkalnya sehingga ujungnya akan terjebak dan tidak akan mungkin melarikan diri lagi.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Cara yang sederhana itu memang memungkinkan untuk mengurangi kekuatan pasukan Mataram dan Menoreh, dan terutama menimbulkan kekacauan di antara mereka. Dalam kekacauan itulah maka pasukannya akan dapat menyerang dan membinasakan lawan sebanyak-banyaknya.
Namun dalam pada itu, selagi Putut Nantang Pati dan Daksina mempersiapkan diri, maka para pengawas di paling depan itu pun terkejut. Ternyata selain para pengawal yang mereka lihat menyusur tebing dan agaknya berniat langsung memotong pasukan bersenjata panah itu, mereka melihat pasukan yang lebih besar merayap maju di lembah pegunungan itu, di sela-sela pepohonan yang rimbun.
“O,” desis salah seorang dari mereka, “tentu induk pasukannya.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mereka memang pandai menyusun kekuatan. Kekuatan yang tidak terlampau besar akan dapat dipergunakan dengan baik jika pimpinannya cakap mengatur laku dan gelar.”
“Gelar apakah yang kita lihat sekarang?”
“Kita belum melihatnya. Agaknya mereka pun masih belum membuka gelar. Mereka baru sekedar merayap mendekat.”
“Tetapi mereka menyusun diri dalam urut-urutan yang panjang. Seorang demi seorang dalam jarak beberapa langkah.”
“Itulah kelebihan mereka. Susunan barisan yang demikian memang sulit untuk dijebak dalam kepungan.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Lalu, “Kita harus memberikan isyarat secepatnya. Ternyata yang datang benar-benar sebuah pasukan yang kuat.
“Kita tidak perlu memberikan isyarat. Kita dapat menggabungkan diri saja langsung dengan induk pasukan. Kita sudah melihat arah pasukan induk yang datang dari Mataram dan Menoreh itu. Agaknya pasukan yang besar itulah pasukan Mataram, sedang pasukan yang kecil yang menyusur lereng itu adalah pasukan pengawal Menoreh.”
Kawannya merenung sejenak, lalu, “Baiklah. Kita pergi ke induk pasukan. Tetapi hati-hati, jangan sampai mereka melihat kita.”
Demikianlah para pengawas itu pun dengan hati-hati telah meninggalkan tempatnya menggabungkan diri ke induk pasukan sekaligus melaporkan apa yang dilihatnya.
“Kami tidak memberikan isyarat agar mereka tidak segera mengetahui bahwa kita akan menyambut kedatangannya.”
“Baiklah. Pasukan induk kita pun akan menyambut mereka sebelum mereka kita seret lewat jebakan yang sudah dipersiapkan. Sementara itu, sebuah pasukan kecil akan menahan pasukan yang menyelusuri lereng itu. Agaknya mereka menganggap bahwa pasukan kita yang mempergunakan panah, masih tetap berada di lereng itu,” desis Putut Nantang Pati.
“Apakah mereka tidak kita pancing sama sekali turun ke lembah?” bertanya Daksina.
“Tetapi pasukan kecil itu jika berjalan terus akan dapat mengganggu orang-orang kita yang berada di tebing, yang siap memotong tali-temali itu.”
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Tetapi meskipun pasukan itu kecil, namun aku kira pasukan itu cukup kuat. Apalagi jika para pemimpin Menoreh dan orang-orang bercambuk itu ada di sana, maka kita akan kehilangan banyak kesempatan.”
“Kita akan menahan mereka dengan pasukan yang kuat. Aku sendiri akan memimpin pasukan itu, sambil melindungi orang-orang yang akan memotong tali. Aku harap kau memimpin induk pasukan yang sebagian juga terdiri dari prajurit-prajurit Pajang untuk menahan Sutawijaya. Aku kira induk pasukan itu memang orang-orang Mataram. Jika yang datang Ki Pemanahan sendiri dengan pasukan yang memang tidak akan dapat kita hadapi, kau harus memberikan isyarat, agar aku dapat mempertimbangkan keadaan dan jika perlu segera berusaha menjebak mereka.”
Daksina menganggukkan kepalanya. Ia pun segera mempersiapkan diri dan membagi pasukan. Sebuah pasukan kecil yang kuat akan menghadapi sekelompok pasukan pengawal yang menyusuri tebing, sedang yang lain akan turun ke lembah dan menyambut induk pasukan sebelum mereka akan menyeret pasukan Mataram itu ke dalam kuburan raksasa yang sudah dipersiapkan.
Sejenak kemudian maka pasukan itu pun segera terbagi. Putut Nantang Pati sendiri memimpin pasukan kecil itu dan memisahkan diri dari pasukan induk menyelusur tebing menyongsong lawan. Tetapi mereka tidak terlalu jauh maju, karena sebagian dari mereka harus melindungi orang-orangnya yang siap dengan kapak di tangan untuk memotong tali jebakan.
Dalam pada itu, Daksina pun mulai menuruni tebing dengan penunjuk jalan para pengawas yang melihat pasukan Mataram mendatangi mereka, sedang Putut Nantang Pati yang sudah melihat sendiri pasukan yang mendatangi menyelusur tebang, tidak memerlukan penunjuk jalan sama sekali.
Tetapi Daksina memang tidak ingin bertempur mati-matian. Tugasnya hanya sekedar menahan pasukan itu dan kemudian memancing mereka karena ternyata pasukan itu terlampau kuat untuk dihancurkan dengan kekuatan pasukannya.
Sambil menggenggam senjatanya, Daksina maju diikuti oleh pasukan yang sebenarnya juga cukup kuat. Apalagi di antara mereka terdapat beberapa orang bekas prajurit Pajang yang bertekad untuk ikut serta dengan Daksina, apa pun yang terjadi. Tetapi karena nafsu perlawanan mereka tidak sekuat pengawal Mataram, maka sudah barang tentu bahwa hal itu akan mempengaruhi jalannya peperangan.
Setiap orang di dalam pasukan itu sudah mengetahui dengan pasti, bahwa mereka akan segera menarik diri, jika lawan cukup kuat. Karena itu, gairah untuk bertempur sebelum mereka sampai di pertahanan yang terakhir, di hadapan padepokan Panembahan Agung, agaknya memang sangat kecil selain sekedar mempertahankan hidup, karena mereka tidak mau mati lebih dahulu sebelum mereka melihat, betapa para pengawal Mataram dan Menoreh itu akan kebingungan menghadapi ilmu Panembahan Agung yang sakti.
Di bagian lain dari tebing pegunungan itu, beberapa orang sudah siap dengan anak panah. Mereka harus melindungi pasukan yang sedang mundur lewat sebuah lembah yang sempit dengan anak panah itu. Kemudian, jika pasukan lawan mengejar terus, dan itulah yang memang diharapkan, maka mereka harus memberikan isyarat kepada orang-orang yang memegang kapak di tangannya untuk memotong tali temali yang mengikat beberapa batang pokok kayu yang panjang.
Dengan demikian, maka anak panah mereka tidak boleh menghentikan sama sekali laju lawan. Anak panah itu tugasnya hanya sekedar menahan agar pasukan Panembahan Agung terpisah dari pasukan yang mengejarnya beberapa puluh langkah.
Sementara itu, di lembah yang ditumbuhi oleh pepohon yang pepat, seolah-olah sebuah hutan kecil, pasukan Daksina berhenti. Mereka mempersiapkan diri untuk menyergap pasukan Mataram yang pasti akan melalui daerah itu pula. Beberapa orang di antara mereka memanjat dahan-dahan yang rendah dengan pedang di tangan. Jika lawan mereka lewat dibawahnya, maka mereka yang memanjat itu sudah siap untuk meloncat menerkam sambil menghunjamkan senjata mereka masing-masing di punggung atau dada lawan.
Dalam pada itu, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya, maju terus selangkah demi selangkah. Mereka menjadi berhati-hati karena seakan-akan mereka telah mendapat firasat bahwa musuh memang sudah ada di depan hidung mereka.
Apalagi para pengawas yang mendahului dan yang salah seorang telah terluka itu berkata, “Sebentar lagi kita akan sampai ke tempat para pengawas yang bersenjatakan anak panah itu. Mereka berada di tebing itu.”
“Sekelompok dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh melalui tebing itu. Bukankah maksud kelompok kecil itu juga untuk melindungi pasukan ini jika pengawal yang bersenjatakan anak panah itu masih tetap berada di tempatnya, dan apalagi ditambah jumlahnya,” sahut Sutawijaya.
Pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Mudah-mudahan mereka menemukan tempat itu, dan justru tidak terjebak.”
Sementara pasukan yang di lembah itu maju, maka Ki Argapati pun membawa pasukannya maju pula. Menurut petunjuk, agaknya sekelompok pengawal dari Menoreh itu memang sudah berada dekat dengan tempat yang disebut oleh para pengawal sebagai pusat pertahanan pasukan bersenjata jarak jauh.
“Kita harus menemukan mereka, sebelum mereka sempat menghujani pasukan Mataram itu dengan anak panah,” berkata Ki Argapati kepada anak gadisnya.
“Ya, Ayah. Tetapi agaknya mereka sudah berpindah tempat. Jika mereka merasa bahwa kehadiran mereka sudah diketahui, maka mereka akan mencari tempat yang lebih baik lagi.”
“Tidak ada tempat yang agaknya lebih baik dari tempat itu. Namun demikian, agaknya kini mereka merasa terganggu. Mudah-mudahan pasukan pengawal dari Mataram itu dapat mempergunakan kesempatan. Mereka harus segera maju. Tetapi jika adbmcadangan.wordpress.com mereka tidak mendapatkan serangan di tempat yang mereka duga, maka mereka akan menjadi semakin berhati-hati dan akan berarti bahwa perjalanan mereka akan menjadi semakin lambat, sebab menurut perhitungan mereka lawan telah berpindah di tempat yang belum mereka ketahui.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Agaknya mereka telah berada beberapa langkah saja, seperti yang ditunjukkan oleh para pengawas, dari tempat orang-orang Daksina melepaskan anak panah kepada pengawas yang memanjat tebing.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketegangan mulai menjalari dadanya. Ternyata bahwa lawan pun membuat perhitungan yang cukup cermat.
Dari tempatnya Ki Argapati melihat ke lembah di bawahnya. Sejenak ia memperhatikan setiap gerakan. Dan tiba-tiba saja ia melihat bayangan memintas sekejap dari bawah pohon yang satu ke pohon yang lain.
“Pandan Wangi,” desisnya, “kemari.”
Pandan Wangi pun bergeser maju diikuti oleh Prastawa.
“Aku melihat seseorang meskipun hanya sepintas. Aku tidak dapat menyebutkan siapa orang itu. Tetapi arahnya bukan arah yang ditempuh oleh pasukan Mataram.”
“Maksud Ayah?”
“Marilah kita tunggu sejenak. Barangkali kita berkesempatan melihatnya lagi di sela-sela pepohonan yang rimbun.”
Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi ia bergeser maju diikuti oleh Prastawa. Sejenak mereka berjongkok sambil berdiam diri di balik dedaunan. Namun dari tempat mereka, mereka dapat melihat lembah di bawah.
Sejenak kemudian mereka pun melihat seseorang bergerak di bawah pepohonan itu pula. Meskipun tidak jelas namun mereka mendapat kesan, bahwa orang itu tentu bukan bagian dari pasukan Mataram yang bergerak maju.
“Ya,” desis Prastawa, “seolah-olah orang itu bukan bagian dari pasukan yang bergerak.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Pandan Wangi menyahut dengan kata-kata yang bernada gelisah, “Apakah mereka bukan bagian dari pasukan lawan yang sedang menunggu?”
“Itulah yang akan aku katakan. Tetapi kita harus meyakinkan lebih dahulu.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Namun ketika mereka melihat orang-orang yang kurang cermat bersembunyi itu melintas lagi, maka mereka pun segera mengambil kesimpulan.
“Pasukan lawan telah menunggu pasukan Mataram itu,” berkata Ki Argapati, “kita harus memberitahukan kepada mereka, apa yang telah kita lihat.”
“Apakah kita akan mengirimkan seseorang menuruni tebing dan menemui Raden Sutawijaya?”
“Terlambat. Pasukan Raden Sutawijaya tentu sudah amat dekat dengan orang-orang yang menunggu. Jika dengan tiba-tiba pasukan itu terlibat dalam perkelahian sebelum mereka bersiap, maka akibatnya akan sangat merugikan.”
“Jadi bagaimana menurut pertimbangan Ayah?”
“Kita memberikan isyarat.”
“Bagaimana kita akan memberikan isyarat, kita belum tahu pasti, di mana pasukan mereka berada.”
“Kita lepaskan senjata-senjata jarak jauh langsung kepada orang yang agaknya sedang bersembunyi di hutan kecil itu.”
“Gunanya?”
“Jika mereka melakukan perlawanan, maka pasukan Raden Sutawijaya tentu akan melibat, bahwa di hadapannya ada sepasukan lawan yang sedang menunggu, sehingga isyarat itu datang dari mereka sendiri.”
“Tetapi akibatnya, kehadiran kita pun akan diketahui pula.”
“Biarlah, kita sudah siap bertempur. Jika ternyata kekuatan kita tidak memadai pasukan lawan yang barangkali juga sedang menunggu kita, kita akan memberikan isyarat lagi. Tetapi jika kita bersama-sama mengalami tekanan yang berat, apa boleh buat.”
“Masih ada sekelompok yang mungkin masih bebas.”
“Belum tentu. Mungkin mereka pun menjumpai lawan yang bertebaran.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak menjawab, namun agaknya ia menyetujuinya.
Karena itu, maka sejenak kemudian, setelah mereka menjadi semakin yakin akan keadaan yang mereka hadapi, maka Ki Argapati pun kemudian memerintahkan beberapa orang yang membawa busur dan anak panah untuk bersiap.
“Salah seorang dari kalian yang membawa perisai, perlihatkan dirimu. Mereka akan berbuat sesuatu, dan kita akan menjadi semakin yakin atas mereka,” perintah Ki Argapati. “Sedang yang lain siap untuk melontarkan anak panah kalian.”
Beberapa orang pun kemudian bergeser menepi. Seseorang yang membawa perisai pun kemudian melangkah maju, justru menampakkan diri di atas tebing.
Ternyata usaha Ki Argapati itu berhasil memancing perhatian lawan yang sedang bersembunyi. Ketka seseorang melihat seorang pengawal Menoreh itu berdiri di tebing, maka orang itu pun segera melaporkannya kepada Daksina.
“Siapakah orang itu?” bertanya Daksina.
“Kita tidak mengetahuinya, tetapi jelas bukan salah seorang dari kita.”
Daksina menjadi ragu-ragu sejenak. Namun selagi ia belum mengambil keputusan, dilihatnya sebatang anak panah yang meluncur jatuh di sela-sela dedaunan.
“He, anak panah siapakah itu?”
Salah seorang memungut anak panah itu. Dan dengan suara bergetar ia menyahut, “Bukan anak panah kita. Ujung bedornya pipih dan bulu keseimbangannya melingkar.”
“Anak panah itu berputar selagi meluncur,” desis Daksina, “tentu anak panah orang Menoreh.”
Sebenarnyalah bahwa Ki Argapati telah memerintahkan melepaskan anak panah. Meskipun mereka tidak melihat seseorang namun mereka melepaskan juga anak panah ke arah yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian mereka.
Dalam pada itu Daksina menjadi termangu-mangu. Apalagi ketika sebuah anak panah yang lain meluncur pula jatuh di antara mereka.
“Tentu orang yang berdiri di tebing itu melihat kita.”
“Apakah yang dapat kita lakukan?”
“Apa boleh buat. Kita tunggu sejenak, jika anak panah itu masih meluncur, kita akan membalas meskipun dengan demikian kehadiran kita di sini akan diketahui oleh pasukan di hadapan kita. Bukankah jika sebagian dari mereka sudah melihat kita, maka tidak ada gunanya lagi kita bersembunyi? Tetapi selagi mungkin, kita akan menghindari.”
Namun dalam pada itu, bukan saja Daksina dan orang-orangnya yang melihat orang berperisai itu. Ternyata Putut Nantang Pati pun telah melihatnya pula.
“Gila,” geram Putut Nantang Pati, “ternyata pasukan yang menyelusur tebing inilah yang mengetahui lebih dahulu pasukan yang dipimpin Daksina, yang berusaha menyergap pasukan yang datang dan lembah. Jangan beri kesempatan. Kita harus menyerangnya lebih dahulu selagi perhatian mereka tertuju kepada orang-orang di lembah itu.”
Anak buah Putut Nantang Pati pun kemudian menyiapkan diri. Mereka tidak lagi menunggu. Tetapi kini mereka merayap maju menyerang kedudukan Ki Argapati yang sedang memancing perlawanan orang-orang yang ada di lembah.
Kedatangan Putut Nantang Pati telah mengejutkan pengawas yang dengan penuh kewaspadaan memperhatikan suasana di sekitarnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia pun meneriakkan isyarat, bahwa sepasukan lawan telah mendekat.
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, lalu, “Kita hadapi lawan yang datang. Tetapi biarlah dua tiga orang meneruskan pancingan mereka. Lemparkan anak panah yang lebih banyak. Tetapi hati-hati bagi mereka yang tidak menyandang perisai. Jangan menjadi arah bidikan yang mapan. Berusahalah tetap bersembunyi di balik pepohonan.” Lalu katanya kepada Pandan Wangi dan Prastawa, “Hati-hati1ah, kita menghadapi lawan yang belum kita ketahui kekuatannya.”
Demikianlah maka Ki Argapati telah mempersiapkan dirinya dengan tombak pendeknya. Dalam keadaan itu, terasa kakinya memang agak mengganggu. Jika saja kakinya tidak menjadi cacat meskipun berangsur pulih, maka ia akan dapat berbuat lebih banyak lagi, siapa pun yang dihadapinya.
Sejenak Pandan Wangi memandangi ayahnya, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan tentang keadaan ayahnya itu.
“Kakiku sudah baik Pandan Wangi,” tiba-tiba ayahnya berdesis seakan-akan ia mengetahui kegelisahan yang memancar dari tatapan mata anak gadisnya.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
“Hati-hatilah,” desis ayahnya, “aku sudah mendengar suara pasukan itu mendekat.”
Pandan Wangi pun kemudian mempersiapkan dirinya. Kali ini ia membawa sepasang pedang. Disampingnya Prastawa pun telah mempersiapkan dirinya pula. Ia pun bersenjata pedang yang lebih besar dari pedang Pandan Wangi.
“Beberapa orang di antara kalian, naiklah lebih tinggi,” perintah Ki Argapati, “usahakan agar kalian dapat bergerak lebih leluasa. Kita harus menyadari, bahwa lawan-lawan kita akan mempergunakan cara yang sering mereka tempuh. Kasar dan sedikit liar. Karena itu, kalian harus mempunyai ruang yang agak luas untuk melawan mereka.”
Dengan demikian, maka sekelompok pengawal dari Menoreh yang terpilih itu pun segera memencar. Mereka telah bersiap dengan senjata masing-masing. Beberapa orang di dalam kelompok tersendiri bersenjatakan tombak pendek. Yang lain pedang dan seorang yang berbadan tinggi kekar membawa sepasang bindi yang besar. Sedang mereka yang memanjat tebing lebih tinggi lagi selain bersenjata pedang, mereka pun memiliki beberapa buah pisau-pisau kecil diikat pinggangnya. Mereka adalah pengawal yang telah terlatih mempergunakan lemparan-lemparan pisau belati kecil.
Dalam pada itu, beberapa orang di antara mereka masih saja melontarkan anak panah ke lembah. Mereka semakin pasti bahwa yang ada di lembah itu bukan pasukan Mataram.
Tetapi Daksina ternyata tidak mudah terpancing. Diperintahkannya anak buahnya untuk tetap berdiam diri.
“Jangan memberikan perlawanan. Musuh yang kita tunggu adalah mereka yang akan datang lewat lembah ini. Serahkan mereka yang di atas tebing kepada Putut Nantang Pati dan kelompoknya. Kita tetap menunggu di sini.”
Anak buahnya pun menyadari keadaan mereka, sehingga karena itu, mereka pun segera berusaha berlindung di balik pepohonan dan dedaunan yang rimbun. Namun demikian, anak panah yang diberi bulu-bulu keseimbangan membelit dan berbedor pipih itu, kadang-kadang dapat menembus rimbunnya dedaunan karena putaran anak panah itu.
Sejenak Ki Argapati menilai keadaan. Ia pun sadar, bahwa Daksina seorang perwira dari Pajang itu bukannya anak kecil. Apalagi kehadiran Ki Argapati telah benar-benar diketahui oleh lawannya, sehingga akhirnya ia berkata lantang, “Berikan isyarat panah sendaren. Pasukan di lembah agaknya sudah berada di hadapan pasukan yang bersembunyi untuk menjebak.”
Begitu perintah itu selesai, maka benturan sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Pasukan Putut Nantang Pati melanda para pengawal Menoreh bagaikan banjir. Tetapi pasukan pengawal dari Menoreh itu sudah bersiaga, sehingga mereka pun sudah siap menyambut kedatangan lawannya.
Ternyata bahwa usaha Ki Argapati mengurangi jumlah lawannya pada benturan pertama itu pun berhasil. Para pengawal yang berada di tebing yang agak lebih tinggi, menyambut kedatangan lawan mereka dengan lontaran pisau-pisau kecilnya, sehingga beberapa orang lawan pun terluka karenanya. Bahkan lemparan yang tepat mengenai pundak kanan, seakan-akan adbmcadangan.wordpress.com membuat lawan itu menjadi lumpuh dan tidak dapat menggerakkan senjatanya lagi. Kecuali mereka tidak biasa mempergunakan senjata di tangan kiri, juga agaknya darah yang mengalir telah merampas sebagian besar dari tenaganya. Apalagi mereka yang langsung terpotong nadi pundaknya.
Namun demikian, beberapa orang yang berada di belakang pertempuran itu masih sempat melemparkan isyarat. Tiga buah anak panah sendaren meluncur sambil bersiul.
Dalam pada itu, pasukan Sutawijaya memang sudah berada semakin dekat pada jebakan yang dipasang oleh Daksina. Dan agaknya suara panah sendaren itu memang menarik perhatian. Namun yang mula-mula terlintas di angan-angan Sutawijaya adalah isyarat bahwa pasukan Ki Argapati sudah terlibat di dalam pertempuran.
“Lihat,” berkata Sutawijaya yang dapat melihat dari jarak yang jauh pertempuran di atas tebing, “mereka sudah mulai. Tetapi kau lihat beberapa orang berdiri di tebing dengan busur dan anak panah itu?”
Beberapa orang pimpinan pengawalnya memandang ke arah tebing itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka harus memperhitungkan apakah yang sebenarnya sudah terjadi.
“Mereka melemparkan anak panah ke lembah di depan kita,” desis Ki Lurah Branjangan.
“Dan itu sangat menarik perhatian,” sahut Sutawijaya.
Tetapi orang-orang yang melemparkan anak panah itu pun segera menghilang. Mereka ternyata telah terlibat di dalam pertempuran.
Sejenak Sutawijaya menilai keadaan. Meskipun hanya sepintas, namun anak panah yang dilontarkan ke lembah itu harus diperhitungkan.
“Isyarat dan arah anak panah itu agaknya mempunyai maksud tertentu,” berkata Sutawijaya kemudian. “Apa salahnya kita berhati-hati sekali. Agaknya mereka memberi peringatan kepada kita, bahwa di lembah di hadapan kita ini pun, para pengawal padepokan ini telah menunggu.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Mungkin. Memang mungkin sekali. Agaknya mereka pun telah memecah pasukannya.”
“Pengalaman mereka atas kegagalan yang pernah terjadi membuat mereka semakin berhati-hati,” desis Sutawijaya.
“Jika demikian, marilah kita maju dengan waspada. Kita tidak dapat membuat gelar yang wajar karena keadaan medan. Tetapi kita akan bergerak maju dalam tiga deret. Yang tengah akan lewat dasar lembah. Yang dua melalui sisi sebelah-menyebelah. Di dalam keadaan yang belum kita ketahui, kita dapat merubah kedudukan. Tetapi ada baiknya jika pasukan yang menjadi sayap itu berjalan seiring meskipun mereka harus berjalan di tebing yang miring.”
“Sayap itu lebih baik sedikit maju,” sahut Ki Lurah Branjangan yang sudah memiliki pengalaman yang cukup, “justru induk pasukan agak mundur beberapa langkah. Kita mungkin akan jatuh dalam keadaan perang brubuh, atau sebelah-menyebelah dari sayap ini akan melanda lawan dalam gelar glatik neba. Tetapi jika lawan berpencar maka perang brubuh itulah yang paling mungkin terjadi.”
“Baiklah. Kita mempersiapkan diri menghadapi keadaan itu. Kita harus mengenal diri kita sebaik-baiknya. Di dalam perang brubuh kita masih harus tetap berada di dalam satu kesatuan.”
Demikianlah maka Lurah Branjangan segera mengatur pasukannya. Ia sendiri berada di sayap kanan, dan seorang senapati yang dipercaya berada di sayap kiri.
“Kita akan bertemu dengan Daksina,” desis Sutawijaya.
“Jangan dilawan seorang diri. Raden harus melihat kenyataan bahwa Daksina memiliki kelebihan. Jika aku yang menjumpainya, aku pun akan melawannya di dalam lingkaran perang brubuh, bukan seorang diri. Aku sudah mempersiapkan beberapa orang untuk menghadapinya. Sebaiknya sambil berjalan maju setiap barisan mempersiapkan dirinya.”
“Baiklah,” berkata Raden Sutawijaya, “aku akan bersiap menghadapinya. Sekelompok pengawal akan menyertaiku melawannya jika aku menjumpainya. Demikian juga seharusnya yang dilakukan oleh penjawat kiri dari gelar yang sederhana ini.”
Demikianlah maka perlahan-lahan pasukan itu maju. Kedua sayap pasukan berjalan mendahului beberapa langkah dan mereka berjalan menyelusuri tebing yang miring. Sedang di tengah-tengah Sutawijaya dan pengawal-pengawalnya berderap maju mendekati daerah yang seolah-olah terasa menjadi semakin rimbun.
Firasat keprajuritannya seakan-akan memberitahukan kepadanya bahwa beberapa langkah lagi, ia harus memperhatikan setiap lembar daun dan setiap batang ranting, karena seakan-akan Sutawijaya itu melihat bayangan yang bersembunyi dan sedang mengintip pasukannya.
Di hadapan mereka, Daksina menunggu dengan tegang. Dua orang pengawas terdepan hampir tidak sabar menunggu kedatangan lawan. Namun mereka pun terkejut ketika mereka melihat pasukan lawan itu mendatangi dalam barisan yang panjang di tebing yang miring. Bukan hanya di sebelah, tetapi sebelah-menyebelah.
“Gila,” desis pengawas itu, “kita menunggu mereka di tengah lembah.”
“Cepat kita laporkan, agar pasukan kita sempat merubah keadaan.”
Kedua pengawas itu pun kemudian berlari-lari meninggalkan tempatnya, melaporkan apa yang dilihatnya tentang pasukan lawannya itu.
“Gila,” geram Daksina, “cepat rubah keadaan ini. Kita akan menghadapi lawan yang berada di sisi sebelah-menyebelah. Tidak ada gunanya kalian menunggu di dahan-dahan dan belakang gerumbul. Mereka akan menusuk lambung. Jika mungkin mereka akan menerobos ke dalam pasukan kita. Dengan demikian, kita akan mengalami kesulitan menarik diri. Karena kita harus bertempur dalam medan yang dibatasi oleh garis tegas, maka kita harus menahan pasukan lawan.”
Demikianlah, maka pasukan Daksina itu pun segera merubah garis pertahanan mereka. Sebagian dari mereka justru berada di sisi tebing. Mereka harus menghentikan gerakan maju sehingga pasukan lawan tidak akan dapat menerobos masuk ke dalam garis pertahanan mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua pasukan sayap itu pun mendekati letak pasukan lawan. Pada jarak beberapa puluh langkah, mereka sudah saling menyadari, bahwa mereka kini telah benar-benar berhadapan. Karena itulah, maka setiap senjata sudah mulai merunduk dan setiap tangan mulai bergetar.
Kedua pimpinan pengawal yang menjadi penjawat kanan dan kiri dari pasukan Mataram segera meneriakkan aba-aba. Sejenak kemudian pasukannya maju sejauh-jauh dapat dijangkau sebelum lawannya menyongsong mereka dengan garis pertahanan yang rapat, karena mereka memang berkeinginan untuk menarik garis medan yang tegas.
Demikianlah, maka kedua pasukan itu mulai terlibat dalam pertempuran. Daksina, seorang perwira yang berpengalaman itu berhasil membendung pasukan lawannya, sehingga kedua sayap itu tidak dapat bergerak maju sama sekali. Bahkan mereka tidak dapat menghindarkan tekanan pasukan Daksina yang berat, sehingga pasukan yang berjajar surut itu mulai menebar.
Ki Lurah Branjangan yang ada di sayap kanan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa yang dihadapi adalah seorang perwira yang mumpuni. Karena itu, ketika ia melihat Daksna mengayun-ayunkan pedangnya ia berbisik kepada dua orang kepercayaannya, “Kawani aku mengikat perwira itu dalam pertempuran agar anak buahnya kehilangan bimbingan.”
“Tetapi ia bukan satu-satunya senapati.”
“Kau benar, tetapi tidak ada orang lain yang meliki kemampuan seperti Daksina.”
Demikianlah Ki Lurah Branjangan dengan dua orang pengawal kepercayaannya, menerobos riuhnya pertempuran, mendekati senapati lawan.
“Daksina,” panggil Ki Lurah Branjangan, “aku tidak mengira bahwa kita akan bertemu lagi.”
Daksina mengerutkan keningnya, lalu katanya, “He, kaukah itu pengkhianat. Ternyata kau berada di Mataram tanpa meninggalkan pesan apa pun bagi pasukanmu.”
Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Jangan membual. Aku meninggalkan lingkungan keprajuritan Pajang setelah aku minta diri. Aku tidak lari seperti kau. He, apakah kau mendapat perintah dari Kanjeng Sultan Pajang untuk mengacaukan Mataram?”
Daksina berpikir sejenak, lalu, “Ya. Kau pandai menebak.”
Tetapi Ki Lurah Branjangan justru tertawa, “Jangan seperti kanak-kanak. Bukankah kau pernah bercerita kepada Raden Sutawijaya tentang rencanamu untuk mengadu dombakan Mataram dan Pajang.”
“Aku menjawab pertanyaan kanak-kanak dengan istilah kanak-kanak pula. Jika kau sudah tahu, apa gunanya kau bertanya?”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Agaknya tidak ada kesempatan untuk banyak berbicara. Karena itu, maka ia pun segera melangkah maju dan mengulurkan pedangnya lurus ke depan. Dua orang pengawal kepercayaannya pun maju pula dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
“O, inikah cara orang Mataram bertempur? Sejak kapan kau kehilangan sifat jantanmu, Branjangan. Aku kira kau masih tetap seperti ketika kau berada di Pajang, pernyata kau tidak ubahnya Sutawijaya yang bertempur bersama beberapa orang sekaligus. He, di mana Sutawijaya? Apakah ia memimpin kelompok prajurit yang berjalan di atas tebing itu?”
“Daksina,” sahut Branjangan, “kita tidak sedang berperang tanding. Di dalam perang brubuh semacam ini, tidak akan sempat menghitung berapa jumlah prajurit kita masing-masing. Apakah jika kita harus bertempur seorang melawan seorang, jika ada kelebihan di satu pihak, prajurit itu harus duduk saja menonton? Jika seorang lawan mati maka seorang dari pihak yang lain harus keluar gelanggang.”
“Ah, kau sudah pandai membela diri. Baik. Jika kau akan berkelahi dengan kelompokmu. Aku berterima kasih karena dengan demikian kau mengakui, bahwa Daksina memang bukan lawanmu.”
“Di dalam peperangan semua orang adalah lawan semua orang.”
“Bagus. Bersiaplah untuk mati.”
Ki Lurah Branjangan tidak menyahut. Tetapi ia mempersiapkan dirinya dengan penuh kewaspadaan, karena sebenarnyalah ia mengerti, bahwa Daksina memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajurit Pajang yang lain, sehingga karena itulah maka ia merayap dari pangkat yang satu ke pangkat di atasnya.
Sejenak kemudian mereka pun mulai terlibat di dalam pertempuran. Daksina harus berhadapan dengan Ki Lurah Branjangan dibantu oleh dua orang pengawalnya.
Namun ternyata bahwa Daksina benar-benar seorang yang tangguh. Ia mampu menghadapi ketiga lawannya dengan gigih. Sekali-sekali seorang dua orang pasukannya berusaha membantunya. Namun setiap kali pengawal Mataram yang lain telah memisahkan mereka dari lingkaran pertempuran itu.
Meskipun demikian, orang-orang Daksina adalah orang-orang yang terlatih baik. Di antara mereka terdapat bekas prajurit-prajurit Pajang seperti juga pasukan dari Mataram. Sehingga karena itu, maka amat sulitlah bagi Ki Lurah Branjangan untuk sepenuhnya bertempur bersama kedua pengawalnya yang terpercaya itu. Setiap kali mereka bertiga gagal melakukan tekanan serentak, karena orang-orang Daksina pun cukup cekatan menanggapi keadaan.
Ki Lurah Branjangan mengumpat di dalam hati. Daksina masih tetap seorang perwira yang cerdik di medan. Sayang, ia telah melakukan kesalahan menurut penilaiannya, karena ia terlibat dalam perbuatan yang bagi Lurah Branjangan, semata-mata memanjakan kepentingan dan pamrih sendiri.
Perkelahian di medan itu pun menjadi semakin riuh. Tetapi ternyata bahwa pasukan Daksina berhasil menahan arus pasukan Mataram. Di kedua sisi lembah itu telah terjadi pertempuran yang seru, sehingga selain terdengar gemerincing senjata, gemeretak gigi dan hentakan kaki, juga terdengar derak ranting-ranting patah dan dedaunan yang runtuh sebelum saatnya.
Di sayap yang lain pasukan Mataram pun sama sekali tidak dapat mendesak lawannya yang bertahan pada satu garis pertahanan yang tegas.
Dengan demikian maka usaha Daksina untuk menahan pasukan penyerang itu berhasil. Ia masih harus bertempur untuk beberapa saat. Ia ingin menjajagi kekuatan lawannya, yang menurut penilaiannya tidak sekuat yang disangkanya.
“Jika aku berhasil menghancurkannya di sini, apa salahnya,” berkata Daksina. “Pertempuran ini tidak perlu menyentuh padepokan Panembahan Agung.”
Namun Daksina itu masih juga dibayangi oleh keragu-raguan. Yang dihadapinya adalah Lurah Branjangan. Sehingga karena itu, maka ia pun masih menunggu seseorang yang tentu ada di antara lawan-lawannya, yaitu Sutawijaya.
Bahkan selagi bertempur melawan Ki Lurah Branjangan, Daksina yang curiga dan apalagi dilambari oleh firasatnya sebagai seorang prajurit, ia masih sempat memerintahkan dua orang anak buahnya untuk mencari Sutawijaya.
“Jika ia berpakaian seperti pengawal biasa, kalian pun tentu akan mengenalnya.”
Tetapi selagi kedua orang anak buah Daksina itu bergeser dari tempatnya, mereka terkejut bukan kepalang. Sekelompok pengawal ternyata telah menusuk daerah pertempuran itu langsung dipimpin oleh Sutawijaya sendiri.
Kedatangan pasukan itu memang mengejutkan Daksina yang segera mendapat laporan. Karena itu, maka ia pun kemudian memerintahkan beberapa orang untuk mengambil alih perlawanannya terhadap Ki Lurah Branjangan. Daksina sendiri kemudian bersama beberapa orang pengawal langsung menyongsong Sutawijaya.
Ternyata kedatangan Sutawijaya telah menggoncangkan pertempuran itu. Kekuatan pasukan Mataram telah bertambah besar, sehingga tidak ada harapan sama sekali bagi Daksina untuk menunjukkan kebesarannya dengan menghancurkan pasukan Mataram sebelum mereka mendekati padepokan Panembahahan Agung.
“Gila,” desis Daksina, “agaknya Mataram benar-benar ingin menyelesaikan pertikaiannya dengan Panembahan Agung.”
Namun dalam pada itu, Daksina masih dapat tersenyum sambil berkata di dalam hati, “Jika kalian tidak binasa di sini, kalian akan binasa dikubur di leher lembah itu. Dan jika masih ada juga yang lolos, maka kalian menjadi sasaran yang paling menyenangkan dalam pertahanan terakhir dari susunan pengawal padepokan Panembahan Agung.”
Ternyata bahwa yang terjadi kemudian benar-benar tidak tertahankan lagi oleh Daksina. Itulah sebabnya, maka ia mulai dengan susunan perlawanan seperti yang direncanakan. Sekedar bertahan menurut batas lurus sepanjang lebar lembah daerah pertempuran itu. Kemudian, mereka akan segera mengundurkan diri, yang ternyata harus dilakukan lebih cepat dari yang diperkirakan karena tekanan lawan yang cukup berat, dengan korban yang lebih banyak pula dari perhitungannya.
Sekali-sekali Daksina masih sempat mencoba melihat pertempuran diatas tebing. Sekilas ia masih melihat senjata berkilat. Kadang-kadang ia mendengar sorak yang gemuruh di atas tebing itu meskipun pertempuran tidak seriuh di dalam lembah. Tetapi agaknya anak buah Putut Nantang Pati berusaha menghalau lawannya seperti sedang mengejar tupai. Mengayunkan senjata sambil berteriak-teriak.
Tetapi Ki Argapati yang sudah menduga sebelumnya, sama sekali tidak terkejut menghadapi cara lawannya. Untuk meneguhkan hati anak buahnya, maka Ki Argapati pun kadang-kadang meneriakkan aba-aba yang keras. Di sebelah-menyebelahnya, Pandan Wangi dan Prastawa mendesak lawannya yang bertempur dengan kasar.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Putut Nantang Pati benar-benar seorang yang pilih tanding. Dengan tangkasnya ia menghadapi Ki Argapati yang bersenjata tombak pendek. Kakinya yang kokoh itu berloncatan di atas tanah, berbatu padas. Sedang senjatanya berputar seperti baling-baling. Sebilah pedang besar yang bermata rangkap sebelah-menyebelah.
Namun Ki Argapati adalah seorang yang matang di dalam ilmunya, apalagi ia memiliki pengalaman yang cukup banyak di sepanjang hidupnya. Sehingga dengan demikian, ia dapat dengan tenang menghadapi Putut Nantang pati, murid terpercaya dari Panembahan Agung.
Tetapi ketika pertempuran itu berlangsung beberapa saat lamanya, terasa sesuatu agak mengganggu. Meskipun Ki Argapati semula berhasil sedikit demi sedikit mendesak lawannya, namun semakin lama terasa sesuatu yang tidak wajar pada kakinya yang cacat. Rasa-rasanya di dalam daging dipaha dan dilututnya terdapat duri yang tajam, yang mulai menusuk dagingnya.
“Ah,” Ki Argapati mengeluh di dalam hati, “apakah kakiku tiba-tiba saja akan kambuh lagi?”
Tetapi Ki Argapati berusaha untuk menahan rasa sakit yang semakin mengganggunya. Untuk beberapa saat ia masih mampu bertempur tanpa menunjukkan tanda-tanda kelemahan pada kakinya. Yang dilihat lawannya sejak mereka mulai terlibat di dalam pertempuran adalah, bahwa kaki Ki Argapati itu cacat dan timpang. Tetapi ternyata bahwa ketika mereka terlibat langsung, kemampuan Ki Argapati telah mengejutkan Putut Nantang Pati, sehingga perlahan-lahan Putut itu harus mengakui, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang tidak akan dapat diatasinya.
Namun, Putut Nantang Pati juga tidak yakin bahwa ia akan dapat dikalahkan. Meskipun Ki Argapati memiliki ilmu yang dahsyat, namun kakinya itu telah menahannya untuk berbuat terlampau banyak. Dan kelemahan kaki ini merupakan peluang yang mungkin dapat dipergunakan oleh Putut Nantang Pati.
Ki Argapati menyadari perhitungan itu. Dan apalagi ketika kakinya merasa semakin lama semakin sakit. Gerakannya mulai terganggu oleh perasaan pedih yang menyengat-nyengat, sehingga Ki Argapati terpaksa memusatkan perlawanannya pada kecepatan ujung tombaknya saja.
Betapa pun Ki Argapati berusaha, namun lawannya yang memiliki kemampuan yang hampir mengimbanginya itu pun merasa, bahwa ada perubahan padanya. Beberapa kali Putut Nantang Pati meyakinkan, bahwa Ki Argapati tidak lagi mampu mempergunakan kakinya dengan wajar. Sekali-sekali Putut itu menyerang dengan garangnya, kemudian berkisar dengan cepat. Selangkah ia surut dengan menyilangkan senjata. Tetapi Ki Argapati tidak meloncat menyerangnya. Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu hanya mencoba menjulurkan tombak pendeknya di sela-sela ayunan pedang Putut yang besar. Tetapi dengan mencondongkan tubuhnya, Putut Nantang Pati dengan mudah menghindarkan dirinya.
Beberapa saat kemudian, setelah Putut Nantang Pati itu yakin bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya tiba-tiba saja ia tertawa berkepanjangan.
“Sayang,” katanya, “kedatanganmu kali ini hanya sekedar mengantarkan nyawamu. Aku tahu bahwa yang bersenjata tombak pendek dalam lambaran ilmu yang mapan ini adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang tidak terkalahkan. Seseorang yang tidak saja mampu bertempur di darat tetapi juga dilautan. Tetapi aku pun tahu, bahwa agaknya Kepala Tanah Perdikan yang perkasa ini mengindap penyakit yang parah di kakinya.”
Mendengar kata-kata itu, Ki Argapati menjadi tegang. Ia sadar, bahwa Putut Nantang Pati telah mengetahui kelemahannya.
“Nah, Ki Gede Menoreh,” berkata Putut Nantang Pati, “jangan menyesal bahwa kau sudah melibatkan diri dengan persoalan yang sebenarnya tidak menjadi urusanmu.”
Ki Argapati sama sekali tidak menjawab. Bahkan selagi Putut Nantang Pati berteriak sambil tertawa berkepanjangan, Ki Argapati berdiri saja di tempatnya. Ia merasa mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak. Sekali-sekali ia sempat memijit kakinya yang terasa sakit.
“Ki Gede,” berkata Putut Nantang Pati kemudian, “cobalah menyadari kesalahanmu sebelum kau mati. Kenapa kau bersedia membantu orang-orang Mataram? Jika Mataram menjadi besar di bawah pimpinan Sutawijaya itu, maka Menoreh akan tertutup sama sekali oleh kekuasaannya, sehingga Menoreh tidak akan lebih besar dari sebuah pedukuhan yang tidak berarti. Jika Mataram tidak sempat berdiri dan pemerintahan masih tetap berada di Pajang, Menoreh mendapat kesempatan untuk mengembangkan dirinya menjadi sebuah Tanah Perdikan yang besar dan luas.”
Ki Argapati masih tetap berdiam diri. Ia merasa bahwa kakinya yang sempat beristirahat itu menjadi agak baik. Karena itu ia mengharap agar Putut Nantang Pati itu berbicara saja berkepanjangan.
Tetapi ternyata bahwa Pandan Wangi yang bertempur dengan tangkasnya itu pun mendengar kata-kata Putut Nantang Pati tentang kaki ayahnya. Karena itu, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Beberapa saat ia terdesak oleh dua orang lawannya sekaligus. Namun kemudian ia menjadi mapan kembali. Apalagi tiba-tiba saja Prastawa bagaikan seekor burung elang menyambar dengan pedangnya, sehingga kedua orang lawan Pandan Wangi itu terdesak surut.
“Prastawa,” desis Pandan Wangi, “jaga mereka agar tidak mengganggu aku. Kau dengar bahwa ayah mulai disengat oleh rasa sakit di kakinya?”
“Lepaskan mereka,” berkata Prastawa yang kemudian bertempur dengan garangnya. Pedangnya menyambar-nyambar seperti kuku-kuku yang tajam dari seekor burung elang raksasa yang marah.
Di bagian lain dari pertempuran itu, pasukan pengawal Menoreh mulai mendesak lawannya dengan perlahan-lahan, berapa orang yang benar-benar terlatih berhasil bertahan dan bahkan kemudian menunjukkan bahwa mereka pun memiliki pengalaman bertempur yang dapat mengimbangi anak buah Putut Nantang Pati. Betapa pun kasarnya lawan mereka, tetapi karena sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka para pengawal itu tidak terkejut dan menjadi bingung.
Namun dalam pada itu, Ki Argapati sendirilah yang tidak berhasil mempertahankan desakan Putut Nantang Pati. Ketika Putut Nantang Pati selesai berbicara dan tertawa, maka mulailah ia memusatkan serangan-serangannya.
“Sekarang memang sudah waktunya kau menjalani hukuman atas kelancanganmu. Sebelum kau mencapai batas pertahanan Panembahan Agung, kau akan mati lebih dahulu. Sayang, kau tidak akan pernah melihat kesaktiannya yang tidak ada taranya. Jika kau tidak mempercayainya, maka sepanjang hidupmu, kau tidak akan pernah melihat buktinya.”
Ki Argapati masih tetap berdiam diri. Tetapi tangannya rasa-rasanya menjadi semakin mantap menggenggam tombaknya.
Sejenak kemudian serangan Putut Nantang Pati itu pun menjadi semakin dahsyat. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa kelemahan Ki Argapati ada pada kakinya. Itulah sebabnya maka ia berloncatan dengan lincahnya, menyerang lawannya dari segala arah.
Ternyata bahwa waktu yang hanya sejenak, yang seakan-akan memberi kesempatan kepada kakinya yang sakit untuk beristirahat, tidak berarti apa-apa sama sekali. Ketika ia mulai terlibat lagi dalam pertempuran melawan Putut Nantang Pati, maka perlahan-lahan perasaan sakitnya itu pun kambuh kembali.
Pandan Wangi yang berhasil mendekati ayahnya melihat kelemahan itu pula. Karena itu, maka ia pun segera menyerang Putut Nantang Pati dengan pedang rangkapnya.
Putut Nantang Pati terkejut sehingga ia melangkah surut. Namun ia pun tertawa sambil berkata, “He, agaknya kaulah yang bernama Pandan Wangi.”
“Wangi,” desis Ki Argapati kemudian, “menyingkirlah.”
“Aku akan menyingkirkan orang ini, Ayah.”
“Serahkan ia kepadaku, Wangi.”
Pandan Wangi yang menyadari keadaan ayahnya tidak segera meninggalkan Putut Nantang Pati. Ia justru menyerangnya semakin garang sehingga untuk beberapa saat lamanya Putut Nantang Pati harus berusaha menghindarkan serangan-serangan itu.
Betapa pun kemampuan Pandan Wangi yang berkembang dengan pesat, namun ia masih belum dapat mengimbangi Putut yang garang itu. Karena itulah, maka dalam waktu yang singkat Nantang Pati segera dapat menguasai keadaan.
Namun dalam pada itu, Ki Argapati telah menempatkan diri di dalam pertempuran melawan Putut itu pula, meskipun ia hanya dapat mempergunakan tangannya, sehingga dengan demikian Putut Nantang Pati harus bertempur melawan dua orang sekaligus.
Tetapi karena kaki Ki Argapati benar-benar tidak mampu lagi mengimbangi kemampuan ilmunya, maka geraknya pun menjadi sangat terbatas.
Dalam keadaan yang demikian itulah Ki Argapati sempat menyebut kebesaran nama Tuhan. Ia memang yakin bahwa kemampuan manusia sangat terbatas. Meskipun ia memiliki ilmu yang sempurna sekali pun, namun dibatasi oleh kemampuan jasmaniahnya, maka ilmu itu seakan-akan tidak banyak berguna lagi. Dan tidak seorang manusia pun yang dapat melawan susutnya kemampuan jasmaniah apabila umurnya sudah mencapai batas. Semakin tua seseorang memang akan menjadi semakin matang. Tetapi apabila kemampuan jasmaniah sudah mulai susut, maka kunjungi adbmcadangan.wordpress.com setiap orang harus mengakui pertanda ini. Dan terpujilah nama Tuhan yang Adil dan Maha Kuasa, yang dengan pertanda alam menunjukkan Kuasa-Nya yang tanpa batas.
Dan pertanda itu kini terasa oleh Ki Argapati. Betapa pun ilmu yang selama ini disempurnakan di dalam dirinya, namun ia tidak akan dapat melawan sakit di kakinya sendiri. Dan Ki Argapati menerima keadaannya meskipun bukan berarti bahwa ia harus berputus asa.
Sementara itu Pandan Wangi-lah yang mengambil alih serangan-serangan beruntun. Namun serangan-serangannya tidak merupakan bahaya yang sebenarnya bagi Putut Nantang Pati. Sekali-sekali ia menghindar, namun kemudian dengan ragu-ragu ia mendesak gadis Menoreh itu.
“Pandan Wangi,” berkata Putut Nantang Pati, “sebenarnya kau tidak pantas melawan aku. Aku ingin perang tanding di dalam arena ini melawan Ki Argapati. Sebaiknya kau tidak usah mengganggu. Setelah aku selesai dengan Ki Argapati, maka akan datang giliranmu. Tetapi aku tidak ingin membunuh seorang gadis yang cantik seperti kau.”
Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi ia menyerang semakin garang.
Putut Nantang Pati akhirnya menjadi marah juga kepada Pandan Wangi. Bahkan ia pun kemudian ingin menyingkirkan gadis itu, atau menghentikan perlawanannya, meskipun ia tidak ingin membunuhnya agar gadis itu tidak mengganggu perkelahiannya dengan Ki Argapati.
Karena itulah, maka Putut Nantang Pati ingin memisahkan Pandan Wangi dari ayahnya. Selagi mereka masih tetap bertempur berpasangan, maka Pandan Wangi yang masih belum memiliki ilmu setinggi ayahnya itu, seakan-akan mampu mengisi kekurangan pada kaki Ki Argapati. Tetapi jika keduanya terpisah, maka Putut Nantang Pati akan dapat mengalahkannya.
Tetapi Pandan Wangi pun mampu berpikir dengan baik. Setiap kali Putut Nantang Pati memancingnya, maka Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tetap berdiri saja di sisi ayahnya dengan pedang rangkapnya. Dibiarkannya Putut Nantang Pati yang meloncat menjauh yang seakan-akan membiarkan dirinya diserang oleh Pandan Wangi.
Akhirnya Putut Nantang Pati benar-benar menjadi marah. Karena itu ia tidak lagi mengekang diri. Karena ia merasa tidak akan dapat lagi memisahkan gadis itu dari ayahnya, tiba-tiba saja ia memberikan isyarat kepada anak buahnya, dan berteriak, “Pisahkan gadis itu dari ayahnya.”
Beberapa orang anak buahnya yang mendengar aba-aba itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka mencoba melepaskan lawan-lawannya dan beberapa orang berusaha mendekati Pandan Wangi.
Tetapi ternyata bahwa aba-aba itu merupakan aba-aba juga bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan terutama bagi Prastawa. Itulah sebabnya, maka mereka pun memusatkan perlawanan mereka agar anak buah Putut Nantang Pati tidak sempat menyerang Pandan Wangi yang bertempur berpasangan dengan ayahnya Ki Argapati yang tidak lagi memiliki kemampuannya yang utuh.
Dengan demikian pertempuran itu pun berkisar di seputar Ki Argapati, sehingga dengan demikian maka ruang dari para pengawal di kedua belah pihak itu pun menjadi sangat sempit. Namun demikian keadaan itu justru menjadi berbahaya bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, beberapa orang anak buah Putut Nantang Pati yang berada di belakang garis pertempuran itu telah mempersiapkan diri mereka dengan kapak dan beberapa orang yang lain dengan anak panah. Jika pertempuran di lembah itu bergeser karena Daksina menarik diri, maka mereka harus menahan orang-orang Mataram dengan anak panah mereka. Kemudian, membiarkan mereka lewat apabila kedua pasukan itu telah terpisah, sementara itu orang-orang lain harus memotong tali-tali pengikat batang-batang kayu dengan kapak.
Sebenarnyalah banwa Daksina tidak berhasrat untuk bertempur lebih lama lagi. Korban telah berjatuhan, dan tidak ada kemungkinan sama sekali untuk bertahan. Karena itu, maka ia harus segera menarik diri melalui lembah yang sempit. Jika sebagian pasukan Mataram itu telah dibinasakan di lembah itu, maka sebagian yang lain akan dengan mudah dikalahkan.
“Mudah-mudahan Sutawijaya tetap hidup dan dapat kita tangkap hidup-hidup,” berkata Daksina di dalam hatinya.
Demikianlah maka Daksina pun akhirnya mengambil keputusan untuk dengan perlahan-lahan mundur. Pasukan Mataram itu harus mengikutinya sampai mereka masuk ke dalam lembah yang sempit.
“Sutawijaya tentu ada di ujung pasukannya,” berkata Daksina di dalam hatinya. “Jika pokok-pokok kayu dan batu-batu itu menimpa bagian tengah dan ekor pasukan Mataram, maka yang tersisa adalah bagian ujungnya bersama Sutawijaya.”
Seperti yang sudah dijanjikan, jika Daksina mulai menarik diri, maka ia akan memberikan isyarat kepada Putut Nantang Pati, karena Putut itu pun harus menarik diri pula setelah orang-orangnya selesai dengan tugasnya, meruntuhkan tebing dengan pokok-pokok kayu dan batu-batu padas. Orang-orang yang semula menunggui tali-temali dan mereka yang menyandang anak panah akan dapat membantunya menahan pasukan Ki Argapati. Apabila Ki Argapati mengejarnya terus, selewat lembah yang sempit, maka pasukan Daksina yang sudah kehilangan lawan itu akan membantunya menghancurkan pasukan Menoreh itu.
Sejenak kemudian maka terdengar suara tanda di lembah. Seseorang yang membawa kentongan kecil telah memukulnya dengan irama titir. Selain isyarat kepada Putut Nantang Pati, maka suara titir dari sebuah kentongan kecil itu pun merupakan perintah bagi setiap orang untuk bersiap di tugasnya masing-masing. Mereka yang berada di sebelah-menyebelah tebing harus siap dengan kapak-kapak dan busur mereka. Sedang pasukan yang ada di lembah itu harus menarik diri dengan hati-hati melalui jalan yang sudah ditentukan. Dan Putut Nantang Pati pun harus menyesuaikan dirinya.
Ketika isyarat itu berbunyi, maka pasukan Daksina pun mulai mengatur diri. Sambil melakukan perlawanan sejauh dapat mereka berikan, mereka pun mulai menarik dari. Ternyata Sutawijaya dan orang-orang terpenting di dalam pasukannya tidak dapat menerobos garis pertahanan yang sengaja dibuat oleh pasukan yang sedang menarik diri itu, karena Daksina adalah seorang yang memiliki ilmu melampaui siapa saja di dalam pasukan Mataram. Kelompok-kelompok di dalam pasukan pengawal Mataram tidak banyak berarti, karena Daksina pun telah menyusun kekuatan serupa. Karena itu yang dapat dilakukan oleh Sutawijaya adalah mendesak lawannya dan menjatuhkan korban sebanyak-banyaknya, meskipun hal itu pun terlampau sulit dilakukan. Apalagi ketika lembah semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin sempit.
Sejenak Sutawijaya memandang tebing dihadapannya. Rasa-rasanya tebing itu akan bertemu diujung lembah. Namun sebenarnyalah bahwa di antara kedua tebing itu terdapat sebuah lembah yang sempit. Dan di sebelah-menyebelah itulah beberapa orang lawan telah siap menunggu untuk menjebaknya.
Dalam pada itu, Putut Nantang Pati pun terpengaruh pula oleh suara isyarat itu. Meskipun pasukannya tidak akan dengan mudah didesak oleh pasukan Menoreh, apalagi setelah kelemahan kaki Ki Argapati menjadi semakin parah, namun ia harus menyesuaikan diri dengan seluruh gerakan dari pasukannya.
Karena itulah, maka pasukan Putut Nantang Pati itu pum kemudian mulai mengundurkan diri perlahan-lahan. Mereka tidak boleh melampaui anak buahnya yang akan menimbuni lembah dengan pokok-pokok kayu dan batu-batu, karena pasukannya harus melindungi mereka agar mereka dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Ketika pasukan lawan itu menarik diri, maka Ki Argapati yang merasa dirinya terhimpit oleh kesulitan di kakinya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar bahwa yang terjadi itu sebenarnya baru permulaan saja dari pekerjaan mereka yang sulit. Meskipun demikian, bahwa pasukannya berhasil melampaui babak pertama dari keseluruhan perjuangan ini, membuatnya cukup berbesar hati.
“Ayah, isyarat itu meragukan,” desis Pandan Wangi kepada ayahnya ketika ia menolongnya maju mendekati pasukan lawan yang menarik diri.
“Ya, memang menimbulkan kecurigaan. Tetapi berhati-hatilah. Tahan agar Prastawa tidak mendesak pasukan lawan terlampau maju. Bahwa mereka mengundurkan itu perlu diperhitungkan.”
“Mungkin pasukan Raden Sutawijaya berhasil mendesak lawannya.”
“Mungkin. Dan kemungkinan yang lain pun dapat terjadi.”
Pandan Wangi menyadarinya. Karena itu, maka ia pun kemudian minta agar Prastawa mengendalikan pasukannya untuk tidak mendesak lawan terlampau rapat. Selain isyarat yang didengarnya itu dianggap meragukan, juga karena di antara mereka masih ada Putut Nantang Pati.
“Apakah kita biarkan mereka terlepas dari tangan kita?”
“Apa boleh buat. Kekuatan kita tidak cukup untuk menahan mereka. Jika kita memaksa diri, korban akan semakin banyak berjatuhan. Apalagi Ayah agaknya telah terganggu oleh perasaan sakit di kakinya.”
Putut Nantang Pati pun menyadari, bahwa lawannya yang terbatas itu tidak mendesaknya. Karena itulah maka ia merasa mempunyai peluang yang cukup untuk mengatur orang-orangnya yang akan memotong tali dan mengubur pasukan Mataram yang sedang ada di lembah.
Karena itu, maka Putut Nantang Pati pun tidak jadi terlampau tergesa-gesa. Ia sendiri kemudian meninggalkan pasukannya yang baru mundur setelah ia yakin bahwa Ki Argapati dan anaknya tidak mengejarnya terus.
“Kalian bertahan di sini,” perintahnya kepada anak buahnya, “jika pasukan Menoreh itu mendesakmu, kalian mundur saja perlahan-lahan. Sementara itu kita akan selesai dengan tugas yang harus diperhitungkan dengan tepat itu, jika kita terlalu cepat memotong tali, maka justru pasukan kitalah yang akan terkubur di lembah.”
Anak buah Putut itu pun mengerti, bahwa sebenarnyalah yang dikerjakan oleh orang-orang yang memegang kapak itu harus tepat. Karena itulah maka mereka pun menyadari, bahwa mereka harus melindunginya baik-baik.
Tetapi karena pasukan Menoreh yang seakan-akan kehilangan senopatinya itu tidak mengejarnya, maka mereka pun tidak harus berjuang mati-matian. Namun di dalam kesempatan itu mereka sempat menghitung kawan-kawannya yang menjadi korban dan terluka.
Dalam pada itu, Putut Nantang Pati sendiri sudah berada di antara mereka yang berada di lereng tebing di atas lembah yang sempit itu. Sambil berlindung di balik pepohonan Putut Nantang Pati memperhatikan setiap gerakan yang ada di lembah.
“Itulah mereka,” desisnya, “pasukan Daksina sudah mendekati lembah.”
Anak buahnya menjadi tegang.
“Biarlah mereka lewat. Mereka harus mundur sambil mempertahankan diri. Jika ujung pasukan Mataram sudah masuk, maka kalian harus melemparkan anak-anak panah sehingga pasukan yang mendesak itu tertahan sejenak di lembah. Biar sajalah jika sebagian ujung pasukan Mataram itu lolos termasuk Sutawijaya. Kekuatan mereka tidak akan berarti apa-apa, meskipun ditambah dengan orang-orang Menoreh yang dipimpin oleh Argapati sendiri itu.”
Anak buahnya tidak menjawab. Tetapi ketegangan telah mulai merayapi dadanya.
“Jika kalian mulai melepaskan anak panah, kalian harus memperhitungkan, apakah orang-orang kita di tebing sebelah juga melakukannya. Jika tidak, maka kita harus memberikan isyarat. Mungkin mereka tidak memperhatikan yang tepat atau barangkali mereka sedang lengah.”
Demikianlah setiap saat rasa-rasanya dada mereka semakin bergetar. Sebentar lagi mereka akan membuat sebuah kuburan raksasa di lembah ini. Mereka tidak akan sempat lari kemana pun, karena pokok kayu dan bebatuan itu yang pertama-tama akan runtuh adalah bagian ujung dan pangkal dari lembah yang sempit itu dari kedua belah pihak tebing di sebelah-menyebelah.
Dalam pada itu Daksina berhasil menarik pasukannya seperti yang direncanakan. Ia sendiri bertahan pada bagian terakhir dari pasukannya yang bergerak mundur bersama beberapa orang yang memang sudah ditentukan. Orang-yang memiliki kemampuan melampaui orang-orang lain sehingga mereka berhasil melawan Raden Sutawijaya dan para pemimpin dari Mataram yang lain.
Ketika pasukan mereka mendekati mulut lembah yang sempit, Sutawijaya sudah mulai diragukan oleh gerakan lawannya. Tetapi ia tidak mengetahui, apakah yang akan terjadi di lembah yang sempit itu.
Namun Sutawijaya tidak mempunyai banyak kesempatan untuk memperhitungkan keadaannya. Ia merasa bahwa pasukannya akan mampu menghancurkan lawannya apabila ada kesempatan. Kemungkinan yang terkilas di dalam hatinya adalah bahwa Daksina ingin bertahan di mulut lembah yang sempit agar pasukannya tidak terjebak dalam kepungan.
“Kita akan memanjat tebing meskipun agak curam,” desis Sutawijaya di dalam hatinya, karena menurut perhitungannya, tebing itu masih dapat dipanjat.
Daksina yang membawa pasukannya mundur itu pun menjadi berdebar-debar. Jika orang-orang di atas tebing itu salah membuat perhitungan, maka rencana itu akan gagal. Beberapa potong kayu yang membujur tidak akan dapat berguling dengan cepat. Mungkin beberapa bongkah batu yang sudah dipersiapkan, dengan satu dorongan akan dapat berguling dengan cepat dan meruntuhkan batu-batu padas dan mendorong pokok-pokok kayu untuk meluncur semakin cepat di atas batu-batu di tebing. Pohon-pohon perdu yang tumbuh di lereng itu tentu tidak akan dapat menahan meluncurnya kayu dan batu.
Perlahan-lahan Daksina pun kemudian memasuki lembah yang sempit. Sebagian dari pasukannya sudah mendahuluinya. Sedang Daksina sendiri bersama orang terpilih masih bertahan beberapa saat di mulut lembah itu.
Pada saat itulah, maka Putut Nantang Pati yang memperhatikan perkelahian itu dari atas tebing sambil berlindung di balik pepohonan mulai memperhatikan keadaan. Dengan tegang ia mengikuti setiap gerakan yang dilakukan oleh Daksina. Selangkah demi selangkah Daksina dan beberapa orang terpilih itu mundur masuk ke dalam lembah sempit itu.
“Pisahkan pasukan Mataram itu dengan Daksina.”
“Perkelahian itu masih terjadi.”
“Jangan pada garis pertempuran. Biar saja Sutawijaya dan orang pentingnya mendesak. Tetapi pasukannya harus kalian hentikan agar ada sedikit jarak. Apabila mereka maju lagi dan pangkal pasukannya itu sudah berada di ujung lembah, maka tali yang pertama harus dipotong. Kayu yang besar dan melintang itu akan menggelinding, disusul oleh tali-tali yang lain dan batu-batu yang harus didorong.”
Pembantu Putut Nantang Pati itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Siapkan orang-orangmu yang membawa panah,” desis Putut Nantang Pati.
Demikianlah ketika Sutawijaya mendesak lebih jauh, sehingga sebagian besar dari pasukannya sudah berada di lembah yang sempit, Putut Nantang Pati pun menjatuhkan perintah, dan meluncurlah anak panah dari tebing itu.
Serangan itu mengejutkan anak buah Sutawijaya. Tetapi segera mereka menyesuaikan diri. Yang berperisai segera melindungi bukan saja dirinya sendiri, tetapi para pengawal di sebelah-menyebelahnya. Sedang yang tidak berperisai berusaha menangkis anak panah itu dengan senjata yang ada pada mereka. Dengan demikian maka kemajuan pasukan Mataram itu mulai terhambat. Beberapa orang yang lengah, tersentuh oleh ujung anak panah sehingga kulit mereka pun terluka.
Namun agaknya orang-orang yang berdiri di atas tebing itu tidak berani meluncurkan anak panahnya pada pasukan pengawal Mataram yang justru sedang bertempur. Karena dengan demikian anak panah itu akan dapat mengenai kawan mereka sendiri.
Para pengawal Mataram itu pun kemudian menjadi marah kepada orang-orang di tebing. Beberapa orang dari mereka yang membawa busur dan anak panah, segera mendapat perlindungan dari kawan-kawannya yang berperisai, dan melontarkan serangan balasan dengan anak panah pula. Serangan balasan itu berhasil mengurangi deras anak panah lawannya, karena orang-orang yang berdiri di tebing itu pun harus menyerang sambil berlindung pula.
Tetapi yang penting bagi Putut Nantang Pati adalah, bahwa orang-orangnya berhasil mengurangi laju desakan para pengawal Mataram. Bahkan dengan serangan itu mereka telah berhasil memisahkan bagian dari pasukan Mataram itu dengan pemimpin-pemimpinnya yang masih saja mendesak sambil bertempur.
“Apakah kita meluncurkan pokok-pokok kayu dan batu sekarang?” bertanya salah seorang anak buah Putut Nantang Pati.
“Biarlah mereka masuk ke dalam lembah seluruhnya,” jawab Putut Nantang Pati.
Namun demikian, agaknya ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ternyata anak buahnya yang ada di tebing seberang tidak melemparkan anak panah mereka ke dalam lembah itu seperti yang diharapkan.
“Kenapa hanya satu dua orang saja yang meluncurkan anak panah dari tebing seberang?” bertanya Putut Nantang Pati.
Orang yang ditanya itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu. Seharusnya mereka dapat meluncurkan anak panah lebih banyak lagi.”
Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin mereka merasa bahwa kita sudah cukup banyak melemparkan anak panah dan berhasil memisahkan ujung dan tubuh pasukan pengawal yang harus menyusuri jalan sempit dan agak sulit itu, sehingga sebagian dari mereka menyiapkan diri untuk memotong kayu melemparkan batu-batu padas itu.”
“Mungkin, memang mungkin sekali,” jawab yang diajak berbicara.
Putut Nantang Pati pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia bahkan kemudian yakin bahwa memang demikianlah yang terjadi. Tali temali dan batu-batu itu sebaiknya memang harus diluncurkan serentak. Yang lebih cepat akan menimpa orang-orang Mataram itu adalah bebatuan. Baru kemudian pokok-pokok kayu yang malang melintang sehingga mereka tidak akan sempat melarikan diri kemana pun juga.
Sementara itu, pasukan pengawal Menoreh yang ada di atas tebing, terkejut pula melihat anak panah yang meluncur ke lembah memotong pasukan pengawal dari Mataram. Karena itu, maka Ki Argapati yang terganggu oleh kakinya itu pun menjadi tegang.
“Ayah,” berkata Pandan Wangi, “bagaimana dengan penyerang-penyerang itu?”
Ki Argapati termenung sejenak. Ia sadar, bahwa orang-orang yang bersenjata panah itu ada di belakang pasukan Putut Nantang Pati yang mengundurkan diri. Pasukan kecil itu tentu akan menutup jalan apabila pengawal Menoreh berusaha menghentikan serangan anak panah itu.
“Ayah, kita tidak akan dapat tinggal diam.”
“Ya. Kita tidak akan dapat tinggal diam,” sahut Prastawa.
“Benar. Tetapi kita harus menemukan jalan untuk menghentikannya. Adalah terlalu sulit untuk menembus orang-orang yang menahan kita di sini. Pimpinannya adalah orang yang cukup tangguh. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan dapat terjerat pula karenanya.”
Prastawa termangu-mangu sejenak. Tatapan matanya merayap memanjat tebing. Tetapi tebing itu semakin tinggi menjadi semakin curam. Bahkan seakan-akan batu-batu padas di atas mereka merupakan sebuah dinding yang tegak.
“Kita tidak dapat menyerang dari tempat yang lebih tinggi,” berkata Prastawa.
“Ya,” desis Pandan Wangi, lalu, “bagaimana kalau kita maju terus, Ayah? Setidak-tidaknya kita dapat memecah perhatian mereka jika terjadi pertempuran.”
“Tetapi orang yang memimpin perlawanan itu berbahaya bagimu, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat membiarkan hal itu terjadi.
Tiba-tiba saja Prastawa yang melihat anak panah meluncur ke lembah itu berkata mengejut, “Aku tahu. Kita menyerang mereka dari tempat ini.”
“Maksudmu?”
“Kita mendekat sedikit. Kita menyerang mereka dengan anak panah pula. Yang ada pada kita saja, sekedar untuk mengurangi tekanan atas para pengawal Mataram itu.”
Pandan Wangi berpikir sejenak, lalu, “Tidak banyak gunanya. Tetapi ada baiknya juga.”
“Cobalah,” berkata Ki Argapati.
Prastawa pun segera menyiapkan beberapa orang yang membawa busur dan anak panah. Kemudian mereka melontarkan anak panah mereka melampaui para pengawal Padepokan Putut Nantang Pati yang melindungi orang-orangnya yang sudah siap dengan kapak.
Namun sementara itu, pasukan Sutawijaya sudah semakin dalam masuk kelembah yang sempit itu. Ternyata pengaruh anak panah yang dilontarkan oleh pengawal Menoreh tidak begitu terasa pengaruhnya oleh Putut Nantang Pati yang sudah siap menjatuhkan perintah memotong tali-tali pengikat kayu dan bebatuan.
Dalam pada itu, Sutawijaya yang tidak menduga sama sekali bahwa di atas tebing sebelah-menyebelah telah disiapkan batang-batang kayu dan bebatuan untuk mengubur pasukannya, masih selalu mendesak. Sutawijaya pun tahu bahwa sebagian pasukannya di bagian belakang telah tertahan. Tetapi ia tidak mau melepaskan Daksina, sehingga ia berusaha untuk mendesak terus. Menurut perhitungannya, jika mereka sudah lewat leher lembah yang sempit itu, maka ia akan mendapat kesempatan untuk bertempur bersama anak buahnya lagi seperti yang sudah terjadi.
Selagi Sutawijaya dan para pemimpin pasukan pengawal Mataram berhasil mendesak lawannya terus, maka bagian dari pasukannya yang ada di belakang benar-benar tertahan oleh anak panah yang meluncur dari tebing sebelah-menyebelah. Tetapi yang dari arah pasukan yang di pimpin oleh Argapati-lah serangan itu datang jauh lebih banyak. Dari tebing sebelah adbmcadangan.wordpress.com hanya ada beberapa anak panah sajalah yang meluncur, dan itu pun hampir tidak menyentuh sasaran sama sekali. Namun pasukan pengawal dari Mataram itu pun sama sekali tidak menduga bahwa ditebing itu pun pokok-pokok kayu dan bebatuan siap untuk meluncur menimpa tubuh mereka sampai hancur.
Demikianlah, ketika pasukan Mataram itu seluruhnya sudah masuk ke dalam lembah yang sempit itu, maka Putut Nantang Pati mulai mengangkat tangannya tanpa menghiraukan serangan anak panah dari anak buah Argapati. Meskipun anak panah itu akhirnya terasa mengganggu juga.
Berbareng dengan itu, orang-orangnya pun mulai mengangkat kapaknya pula, siap untuk memotong tali-temali.
“Bunyikan tanda itu, kita akan memotong tali. Mereka seluruhnya sudah masuk,” teriak Putut Nantang Pati.
Sejenak kemudian maka terdengar suara kentongan yang berteriak lima ganda. Suatu pertanda bahwa mereka, harus mulai memotong tali-tali.
Sesaat kemudian tangan Putut Nantang Pati itu pun terayun turun, sehingga beberapa orang yang memperhatikan tangan itu pun mengayunkan kapak mereka pula memotong tali-temali yang mengikat batang-batang kayu yang siap meluncur. Yang lain mendorong batu-batu padas sehingga batu-batu itu mulai bergeser setapak demi setapak dan ketika batu itu sudah sampai di bibir tebing, maka dengan suara gemuruh batu-batu itu berguling turun.
Namun pada saat yang bersamaan, terdengar suara cambuk meledak. Sesaat kemudian terdengar beberapa orang berteriak berbareng seperti diatur, “Naik ke tebing kiri. Cepat sebelum kalian terkubur di lembah.”
Sekali dua kali suara itu tidak segera dimengerti. Tetapi kemudian mereka pun mendengar suara gemuruh di tebing sebelah kanan. Beberapa pohon perdu di atas tebing itu tampak terguncang, dan debu berhamburan.
Dalam waktu yang singkat mereka menyadari apa yang sedang mereka hadapi. Tebing yang tinggi itu bagaikan runtuh menimpa mereka dan mengubur mereka di lembah yang sempit itu.
Tetapi dalam kecemasan itu mereka mendengar suara itu lagi, “Cepat naik ke tebing kiri.”
Suara cambuk itu agaknya menjadi jaminan, bahwa yang berteriak itu bukannya sekedar orang-orang yang dengan sengaja menjebak mereka, tetapi suara itu pasti datang dari Kiai Gringsing atau murid-muridnya.
Karena itu, maka mereka pun tidak berpikir panjang lagi. Selagi batu dan batang-batang kayu itu belum menimpa kepala mereka, maka mereka pun segera berloncatan memanjat tebing sebelah kiri secepat dapat mereka lakukan. Bukan saja orang-orang yang terpisah di belakang, tetapi juga orang-orang yang sedang bertempur di bagian depan, sehingga dengan demikian, maka seakan-akan Daksina telah ditinggalkan begitu saja oleh lawan-lawannya. Bagi pengawal Mataram, memang lebih baik bertempur melawan Daksina dan Panembahan Agung sekali pun daripada harus bertempur melawan tebing-tebing yang runtuh.
Daksina sejenak tercenung mendengar suara yang bergemuruh itu. Tetapi ia pun segera terkejut ketika mendengar teriakan dari tebing sebelah dengan pertanda ledakan cambuk, bahwa orang-orang Mataram itu supaya memanjat saja ke tebing kiri.
“Apakah sebenarnya yang sudah terjadi?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi yang terjadi adalah sedemikian cepatnya. Begitu orang-orang Mataram itu mulai naik, maka batu-batu pun runtuh bersama batang-batang kayu. Bukan saja yang memang sudah dipersiapkan, tetapi batu-batu tebing yang tertimpa pun ikut runtuh pula.
Satu dua orang yang tidak sempat meloncat naik, hampir saja ditimpa oleh reruntuhan itu jika kawan-kawannya tidak cepat menyambar tangannya dan menyeretnya naik meskipun hanya selangkah dua langkah.
Namun reruntuhan itu bukannya tidak menelan korban. Dan itulah yang membakar hati Sutawijaya dan para pemimpin pasukan dari Mataram. Sutawijaya yang pula memanjat tebing, dapat menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa ada di antara anak buahnya yang dengan teriakan nyaring ditelan oleh gumpalan batu padas.
Tetapi bahwa reruntuhan itu hanya datang dari tebing yang sebelah, telah mengejutkan Daksina dan anak buahnya. Juga Putut Nantang Pati yang berdiri di tebing. Ia tidak segera mengerti, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Usaha yang sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya itu, ternyata tidak berhasil memusnakan sebagian besar prajurit Mataram. Bahwa ada juga korban di antara mereka, namun sama sekali tidak berarti. Kekuatan pasukan pengawal Mataram hampir tidak berkurang sama sekali. Kekuatan mereka ternyata masih tetap utuh.
Tetapi meskipun Daksina dicengkam oleh keheranan atas anak buahnya di tebing sebelah, bahkan dari tebing itu terdengar suara cambuk dan isyarat agar orang-orang Mataram naik ke tebing sebelah kiri, namun ia tetap melaksanakan rencananya. Mundur ke belakang leher lembah yang sempit.
Pasukan Mataram yang kemudian bertengger di lereng tebing tidak banyak dapat berbuat. Lembah itu masih di saput oleh debu yang tebal, dan sekali-sekali masih terdengar batu dan pokok-pokok kayu yang runtuh.
Ketika suara yang gemuruh di lembah itu sudah tenang, maka debu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Orang-orang Mataram mulai dapat melihat, apa yang kini ada di lembah itu.
“Mengerikan sekali,” desis Ki Lurah Branjangan.
Sutawijaya memandang pokok-pokok kayu yang malang melintang dan batu-batu padas yang menimbuni lembah sempit itu dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan tiada terhingga. Dengan suara gemetar ia berkata, “Hampir saja kalian berkubur di lembah itu. Mungkin aku yang berada di garis pertempuran tidak akan tertimbun karena mereka tidak ingin menimbun orang-orang mereka sendiri. Tetapi sebagian besar dari kita tidak akan sempat dapat keluar dari lembah ini.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya memandang para pengawal Mataram yang masih di tebing, tampaklah wajah mereka yang pucat dan perasaan yang bergejolak, betapa pun keberanian mendasari perjuangan mereka, tetapi yang disaksikannya adalah peristiwa yang mengerikan sekali. Dan mereka pun menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berperang melawan pokok-pokok kayu dan bebatuan yang runtuh itu. Sehingga dengan demikian maka sebagian dari mereka akan musna di bawah reruntuhan itu.
Di atas tebing, Ki Argapati dan anak buahnya menjadi termenung pula beberapa lamanya. Mereka melihat tebing yang bagaikan disapu oleh arus banjir bandang. Pohon perdu dan gerumbul-gerumbul di tebing telah larut oleh arus pokok-pokok kayu dan batu-batu padas yang sengaja digulingkan oleh orang-orang Putut Nantang Pati.
Demikian dahsyatnya reruntuhan di tebing itu, sehingga segenap perhatian seluruh pasukan Ki Argapati tertumpah pada debu putih dan suara gemuruh. Dengan demikian mereka tidak sempat memperhatikan, bahwa Putut Nantang Pati dan anak buahnya pun telah menarik diri pula.
“Apakah kita akan turun?” bertanya Pandan Wangi.
“Ya,” jawab ayahnya, “kita mencari jalan. Kita harus menemui Raden Sutawijaya.”
“Kita melingkari daerah yang runtuh itu,” berkata Prastawa.
“Tetapi bagaimana dengan kaki Ayah?”
“Kita turun perlahan-lahan,” jawab ayahnya.
Dengan dibantu oleh Pandan Wangi dan Prastawa maka Ki Argapati pun kemudian melingkari daerah yang runtuh itu turun ke lembah. Meskipun agak sulit, tetapi akhirnya ia sampai juga ke lembah yang sempit yang sudah ditimbuni oleh pokok-pokok kayu dan batu.
Sutawijaya yang melihat Ki Argapati itu pun turun pula. Dengan wajah yang tegang ia memandang reruntuhan itu sambil berdesis, “Lembah ini ternyata telah menjadi kuburan beberapa orang anak buahku.”
“O,” Ki Argapati mengangguk perlahan, “rasa-rasanya bukit ini akan runtuh. Aku tidak menyangka sama sekali bahwa mereka telah menyiapkan jebakan. Aku kira mereka hanya akan menyerang dengan anak panah dari atas tebing, sehingga yang kami lakukan pun tidak berhasil mencegah tebing ini runtuh.”
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita memang tidak menyangka. Tetapi kita masih dilindungi oleh Maha Pencipta. Agaknya Kiai Gringsing menemukan cara untuk menyelamatkan kita.”
Ki Argapati mengangguk-angguk pula. Ketika ia memandang ke atas tebing, maka dilihatnya Kiai Gringsing dan beberapa orang anak buahnya bersama Agung Sedayu dan Swandaru menuruni tebing.
“Terima kasih atas peringatan yang Kiai berikan kepada kami sehingga kami sempat menghindarkan diri,” berkata Sutawijaya kepada Kiai Gringsing ketika orang tua itu telah berada di lembah itu pula.
“Tetapi lembah ini masih tetap berbahaya. Beberapa orang pengawal dari Menoreh tetap berada di atas tebing untuk mengawal daerah ini dan beberapa orang tawanan.”
“Maksud Kiai?”
“Bukankah Daksina menyiapkan orang-orangnya di sebelah-menyebelah tebing?”
“Ya. Kami mendapat serangan anak panah dari kedua tebing”
“Kamilah yang melemparkan anak panah itu agar Daksina dan orang-orangnya, apalagi yang ditebing seberang tidak curiga bahwa kami telah berhasil menguasai orang-orangnya. Meskipun anak panah kami tidak mengenai sasaran, tetapi mereka menganggap bahwa anak buah mereka masih tetap ada di tempatnya.”
Sutawijaya dan Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mulai mengerti, apa yang sudah dikerjakan oleh Kiai Gringsing. Namun mereka menjadi tegang karena Kiai Gringsing berkata kemudian, “Sebaiknya kita meninggalkan lembah ini. Aku ingin meruntuhkan batu-batu padas dan batang-batang kayu yang ada di tebing kiri.”
“Jadi ditebing itu juga ada batang-batang kayu dan batu-batu yang siap mereka luncurkan?”
“Ya. Jika rencana mereka berhasil, maka pasukan Mataram tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dari dua tebing sebelah-menyebelah, batang-batang kayu dan batu-batu meluncur menimbuni lembah itu bersama seluruh pasukan pengawal dari Mataram. Dan tamatlah usaha kita untuk membebaskan Rudita.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar ia memandang ke tebing di sebelah kiri. Tidak tampak sesuatu yang dapat memberikan kesan, bahwa di tebing itu masih bergayutan nafas-nafas maut yang sudah siap menerkam mereka.
“Marilah,” berkata Sutawijaya kemudian, “kita berjalan maju. Meskipun dengan demikian kita sudah terpisah dari Daksina dan anak buahnya, namun kita akan dapat menyelusur jejaknya. Kita akan menemukan persembunyiannya, dan barangkali juga Rudita.”
“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi kita sekarang mempunyai beban beberapa orang tawanan. Beberapa orang yang lain terpaksa dimusnakan, karena mereka melawan dan berusaha memberikan isyarat. Namun selain itu, aku berpendapat, bahwa batu dan batang-batang kayu itu sebaiknya diruntuhkan saja sama sekali agar tidak berbahaya bagi siapa pun juga kelak. Karena tali-tali itu semakin lama akan menjadi semakin rapuh, sehingga pada suatu ketika akan putus dengan sendirinya. Apabila pada saat itu ada orang di lembah ini, siapa pun juga, maka batu dan kayu itu akan berbahaya bagi mereka.”
Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai. Marilah kita menyingkir. Biarlah batu dan kayu-kayu itu diruntuhkan sama sekali.”
Demikianlah maka mereka pun segera menyingkir. Beberapa orang kemudian memotong tali temali yang mengikat batang-batang kayu dan mendorong batu-batu yang memang sudah dipersiapkan.
Tebing pegunungan itu bagaikan diguncang oleh gempa. Sekali lagi debu mengepul di udara. Dan batu-batu padas pun hanyut menimbuni lembah yang sempit itu.
Sutawijaya adalah seorang anak muda yang hampir tidak mengenal takut. Tetapi ketika ia melihat batang-batang kayu dan batu-batu padas yang tertimbun itu, rasa-rasanya ia menjadi terlampau kecil. Terasa betapa perkasanya alam, dan siapa yang berhasil menjinakkannya dan mempergunakannya, maka ia akan mendapat kekuatan yang tidak terlawan. adbmcadangan.wordpress.com Bukan saja pasukan berkuda dari Mataram yang terpilih, tetapi pasukan yang mana pun juga dari permukaan bumi ini, tidak akan mampu melawan batu-batu padas dan batang-batang kayu yang meluncur itu selain keajaiban.
“Kita perlu beristirahat,” berkata Sutawijaya setelah getar di dadanya, “terutama agaknya Ki Gede Menoreh mulai diganggu oleh perasaan sakit di kakinya.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat ingkar lagi.
“Baiklah,” katanya, “kakiku memang mulai mengganggu.”
Kiai Gringsing pun kemudian mendekatinya. Perlahan-lahan dirabanya kakinya, dan katanya, “Ya. Kita memang perlu beristirahat.”
Untuk beberapa lamanya pasukan yang kemudian telah bergabung kembali itu pun beristirahat. Dalam kesempatan itu Kiai Gringsing mencoba mengurangi perasaan sakit pada kaki Ki Argapati dengan memberikan sejenis serbuk yang harus dicairkannya lebih dahulu.
Dengan air persediaan untuk minum yang dibawa oleh para pengawal yang bertugas untuk menyiapkan perbekalan, maka serbuk itu pun kemudian diaduk di dalam air dari digosokkan pada kaki yang sakit itu.
Terasa kaki itu menjadi panas. Namun kemudian perasaan sakit itu pun menjadi semakin berkurang, meskipun hanya untuk sementara.
“Kita masih harus menempuh jalan yang panjang,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Ya. Kita akan menghadapi garis pertahanan yang tentu akan disusun oleh Daksina.”
“Ya, dan tetindih pasukan kecil yang menghentikan pasukan kami,” sahut Ki Gede Menoreh, “ternyata adalah orang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Aku tidak dapat mengalahkannya.”
Mereka yang mendengar keterangan itu terkejut. Namun Pandan Wangi menjelaskan, “Tetapi Ayah tidak saja melawan orang itu, tetapi Ayah juga harus melawan perasaan sakit di kakinya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi sebenarnyalah orang itu memiliki ilmu yang tinggi,” sahut Ki Argapati, “agaknya ia lebih baik atau setidak-tidaknya mempunyai ilmu yang setingkat dengan Daksina.”
“Ya,” sambung Pandan Wangi.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang dihadapi agaknya benar-benar suatu gerombolan yang sudah dipersiapkan.
Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Sumangkar yang sedang menempuh perjalanan yang berat di lereng tebing-tebing yang terjal, tiba-tiba terhenti. Agaknya ada sesuatu yang mengganggu perasaan Ki Waskita sehingga untuk beberapa saat ia berdiri sambil memejamkan matanya.
Ki Sumangkar yang mengerti bahwa Ki Waskita sedang mencoba menghubungkan getaran di dalam dirinya dengan alam luas di sekitarnya, sama sekali tidak mengganggunya.
“Ki Sumangkar,” tiba-tiba Ki Waskita berdesis, “ada sesuatu yang perlu diperhatikan.”
“Apakah itu?”
“Aku tidak tahu. Tetapi pasukan Mataram memang perlu mendapat peringatan. Mungkin aku menangkap isyarat, bahwa mereka akan menghadapi rintangan yang berat. Aku kira aku hanya dicemaskan oleh kegelisahanku. Tetapi aku ternyata mendapatkan isyarat itu. Bahaya yang besar yang berlapis-lapis.” Ia berhenti sejenak. “O, isyarat itu menjadi kabur. Aku akan berhenti di sini sejenak untuk menemukannya kembali.”
Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya. Ia pun menjadi berdebar-debar. Meskipun pasukan itu adalah pasukan yang cukup kuat, namun lawannya pun adalah lawan yang kuat pula.
Sejenak Ki Waskita berdiri diam. Kepalanya tunduk dan tangannya bersilang di dada.
“Mereka telah melepaskan diri dari bahaya yang besar, yang hampir saja memusnakan seluruh pasukan,” Ki Waskita seakan-akan bergumam untuk diri sendiri. Kepalanya masih tertunduk dan matanya masih terpejam. “Tetapi itu bukannya rintangan yang terakhir.”
Ki Sumangkar tidak menjawab. Tetapi wajahnya pun menjadi tegang pula.
Sejenak kemudian ayah Rudita itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata kepada Ki Sumangkar, “Jalan memang cukup berbahaya.”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Medan memang berat. Tetapi agaknya Daksina benar-benar menyiapkan dirinya untuk menyongsong pasukan pengawal dari Mataram itu.”
“Bukan saja Daksina. Di belakang bukit ini telah tersusun kekuatan yang luar biasa. Pertahanan yang berlapis-lapis. Senjata yang mencuat di segala sudut bagaikan batang ilalang. Dan lebih dari itu adalah kemampuan yang aneh dari orang yang disebut Panembahan Agung itu.”
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya, “Jadi menurut pertimbanganmu, apakah yang sebaiknya kita lakukan?”
“Kita mendekat. Aku masih tetap yakin, bahwa aku akan menemukan tempat anakku itu. Dan tujuan yang dicapai oleh Raden Sutawijaya adalah tujuan yang semu. Bukan pusat dari kekuatan lawan yang sebenarnya. Aku semakin yakin. Mungkin Raden Sutawijaya akan segera menemukan tempat yang dicarinya. Tetapi ia masih harus melanjutkan perjalanan.”
Ki Sumangkar masih mengangguk-angguk.
“Baiklah kita berjalan terus,” berkata Ki Waskita kemudian, “mudah-mudahan kita dapat melihat, apa yang ada di sekitar bukit sebelah.”
“Tetapi,” bertanya Sumangkar ragu-ragu, “jika benar Panembahan Agung memiliki indera yang lain dari indera wadagnya, apakah ia tidak akan mampu melihat kehadiran kita?”
“Kita dapat berusaha mengaburkan penglihatan itu. Seperti juga Panembahan Agung. Jika ia mengetahui bahwa aku akan mendekat, maka ia pun tentu akan mengaburkan penglihatanku atas mereka. Tetapi Panembahan Agung itu tentu belum melihat kehadiranku sampai di sini.”
“Apakah dalam keadaan kita sekarang ini, Panembahan Agung akan melihat?”
“Tidak. Selain agaknya Panembahan Agung memusatkan perhatiannya pada gerak yang besar dari pasukan pengawal dari Mataram, maka aku pun akan selalu berusaha menyamarkan diri ke dalam getar alam yang luas.”
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia mengerti bahwa Ki Waskita memiliki ketajaman penglihatan batiniah. Tetapi agaknya terlalu sulit baginya untuk mengerti bahwa Ki Waskita dapat menyamarkan diri ke dalam getar alam di sekitarnya.
“Mungkin ia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga penglihatan batin Panembahan Agung menangkapnya sebagai getar alam benda di sekitarnya. Seperti kayu dan batu atau bahkan seperti mendung yang lewat di langit.”
Tetapi Sumangkar tidak bertanya.
“Marilah kita maju lagi,” berkata Ki Waskita. “Kita berusaha untuk melihat padepokan itu. Jika mungkin aku akan masuk ke dalam dan melihat dari dekat, apa yang sudah dilakukan. Jika tidak, kita akan melihat dari kejauhan. Dan jika perlu kita harus memberitahukan kepada pasukan Pengawal Mataram dan Menoreh, apa yang sebenarnya mereka hadapi.”
Ki Sumangkar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Dan ia pun kemudian mengikuti ayah dari anak yang hilang itu, berjalan di sepanjang tebing yang sulit. Mereka berusaha melintasi salah sebuah puncak bukit kecil yang berbatu padas untuk melihat, apa yang ada di seberang.
Dengan susah payah, akhirnya mereka pun berhasil mencapai puncak bukit. Dengan keringat yang membasahi segenap tubuh, mereka berdiri termangu-mangu memandang puncak yang hanya ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul yang jarang.
“Kita akan melintasi puncak itu,” berkata Ki Waskita, “kemudian kita akan menuruni lereng sebelah, dan kita sudah akan berada di dalam lingkaran pengawasan Panembahan Agung.”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seseorang yang memiliki pengalaman yang luas di medan yang betapa pun beratnya. Tetapi agaknya kali ini ia akan sampai ke medan yang sangat berat. Selain melawan pasukan lawan yang sudah menunggu, maka lereng pegunungan dan batu-batu padas di bawah kakinya, akan merupakan lawan yang harus diperhitungkan pula.
Demikianlah mereka pun kemudian berjalan di atas batu padas di puncak bukit yang membujur di antara beberapa bukit yang lain itu. Meskipun mereka masih belum terlalu dekat, tetapi mereka harus berhati-hati. Mereka sejauh mungkin berjalan di antara semak-semak yang tumbuh di antara batu-batu padas yang retak-retak oleh terik matahari.
Setelah melintasi puncak itu, maka mereka pun segera sampai di tebing seberang. Namun rasa-rasanya nafas mereka mulai bekejaran oleh letih yang merayapi seluruh tubuh.
“Kita beristirahat dahulu di sini,” berkata Ki Waskita, “perjalanan kita masih jauh, meskipun kita sudah dekat dengan padepokan yang kita cari. Aku tidak dapat membayangkan bentuk padepokan itu. Mungkin sebuah padesan kecil, mungkin bentuk yang lain. Tetapi dugaanku kuat, Rudita ada di sini.”
Demikianlah maka Ki Waskita itu pun kemudian duduk di bawah gerumbul dan berlindung dari kemungkinan dapat dilihat oleh lawan. Ki Sumangkar yang masih mengawasi medan sejenak itu pun kemudian duduk pula di sebelah ayah Rudita yang mulai merenung lagi. Sambil menyilangkan tangan di dadanya, kepalanya pun tunduk dalam-dalam.
Seperti yang selalu dilakukan, maka Ki Sumangkar pun sama sekali tidak mengganggunya. Ia sadar, betapa gelisahnya hati Ki Waskita yang kehilangan satu-satunya anak laki-laki.
Sejenak kemudian Ki Waskita itu mengangkat kepalanya. Dan seakan-akan kepada dirinya sendiri ia bergumam, “Aku yakin, anakku masih tetap sehat. Ia ada di sekitar tempat ini. Padukuhan yang akan diketemukan oleh Raden Sutawijaya adalah padukuhan yang kurang berarti. Tetapi ia sudah harus melalui pertempuran-pertempuran yang menelan korban.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Kita masih mempunyai waktu. Jika nafas kita sudah teratur kembali, kita akan mendekati padukuhan itu. Tetapi kita harus membuat perhitungan sebaik-baiknya agar kita tidak terjebak di dalam kesulitan yang tidak teratasi.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia mengedarkan tatapan matanya, lalu, “Apakah pasukan Raden Sutawijaya itu masih akan memerlukan waktu yang panjang untuk sampai ke tempat ini?”
“Ya. Kita telah memintas meskipun ternyata jalan yang kita lalui sangat sulit. Selain daripada itu, Raden Sutawijaya harus melalui pertahanan demi pertahanan. Dan itu juga memerlukan waktu. Bahkan mungkin pasukan Mataram dan Menoreh akan bermalam sebelum memasuki daerah pertahanan yang sebenarnya dari padepok Panembahan Agung. Dan agaknya itu akan lebih baik.”
Sumangkar masih mengangguk-angguk.
“Dan kita pun harus menyesuaikan diri dengan pasukan Mataram yang bakal datang itu.”
Sumangkar tidak menyahut. Dipandanginya wajah langit yang jernih dan awan yang sedang berarak. Puncak pebukitan yang berlapis-lapis dan lembah yang kehijau-hijauan.
Sumangkar mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Di lembah itu tentu ada pategalan.”
Ki Waskita mengangguk. Katanya, “Aku juga mengira demikian.”
Sumangkar menjadi heran mendengar jawaban itu. Meskipun ia tidak bertanya sesuatu, tetapi rasa-rasanya Ki Waskita dapat menebak pertanyaan yang tersimpan di hati Sumangkar. Maka katanya, “Yang hijau lebat itu tentu tanaman yang diatur dengan tangan manusia. Tentu aku tidak dapat melihat segala sesuatunya seperti aku melihat alam. Sudah berkali-kali aku katakan, bahwa aku hanya menerima isyarat. Dan sudah barang tentu isyarat itu kadang-kadang kabur, adbmcadangan.wordpress.com kadang-kadang agak lebih jelas. Dan aku tidak dapat dengan mudah membedakan, belukar, hutan, perdu, dan tanah pategalan. Tetapi indera wadagkulah yang dapat melihat dan kemudian menduga, bahwa di lembah itu memang terdapat tanah pategalan yang agaknya ditanami buah-buahan dan pohon-pohon perdu yang menghasilkan.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Jika demikian, kita benar-benar telah memasuki daerah Panembahan Agung. Agaknya tanah pategalan itu merupakan cadangan persediaan makanan apabila mereka tidak sempat mencari perbekalan keluar daerah pegunungan ini.”
“Agaknya memang demikian. Kita akan mendekati daerah pategalan itu dan kemudian menelusur mendekati pusat padepokannya.”
Sumangkar tidak menyahut lagi. Tetapi seolah-olah ia mencoba memandang menembus lembah dan tebing.
Dalam pada itu, pasukan pengawal Mataram dan Menoreh masih beristirahat. Meskipun demikian, mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Beberapa orang maju beberapa langkah dan mengawasi keadaan. Dengan pengalaman yang mendebarkan itu, mereka harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
“Tentu tidak di tebing itu,” desis seorang pengawal kepada kawannya yang berbaring di sampingnya, di atas rerumputan sambil memandangi tebing di hadapannya.
“Ya, tentu tidak dengan cara seperti yang sudah di lakukan. Selain tebing itu agak landai, maka lembah ini bukannya tempat yang baik untuk mengubur sepasukan pengawal, karena lembah ini terlampau luas untuk keperluan itu.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia menjadi ngeri mengenang kawannya yang begitu saja ditelan oleh batu dan batang-batang kayu tanpa dapat berbuat sesuatu.
“Tubuhnya tentu hancur di bawah timbunan batu-batu itu,” desisnya dengan suara yang datar.
“Apa?” bertanya kawannya.
“Mereka yang tertimbun batu di lembah itu.”
Kawannya menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, Ki Argapati sudah mulai merasa sehat kembali meskipun ia sadar, bahwa kakinya akan tetap menjadi gangguan. Jika ia berbuat sesuatu yang memerlukan gerak dan kekuatan kakinya, maka seperti yang sudah terjadi, ia akan kehilangan kemampuan mempergunakan kakinya itu. Dengan obat yang digosokkan di kakinya, perasaan sakit yang menyengat itu menjadi jauh berkurang. Tetapi tentu keadaan kakinya yang sebenarnya masih belum berubah. Karena itu Ki Argapati harus memperhitungkan setiap tindakannya dengan tepat menghadapi medan yang semakin berat.
Sementara itu, pasukan Daksina yang mengundurkan diri dan bergabung kembali dengan Putut Nantang Pati itu pun telah berada di padepokan. Tetapi padepokan itu memang sudah dikosongkannya. Dengan para penjaga yang tersisa maka mereka pun menarik pasukannya ke pertahanan di hadapan padepokan Panembahan Agung.
Meskipun demikian, Daksina yang memiliki pengalaman perang yang cukup dan Putut Nantang Pati yang pengenal daerah pertahanannya dengan baik, tidak melepaskan pasukan Mataram begitu saja berjalan dengan lancar menyusuri jejak mereka.
Karena itulah, maka mereka pun meninggalkan beberapa kelompok yang harus mengganggu perjalanan pasukan pengawal dari Mataram dan dari Menoreh.
Kelompok-kelompok itu harus berada di tebing-tebing yang cukup tinggi. Mereka akan melontarkan anak panah kepada pasukan Mataram dan Menoreh. Kemudian apabila pasukan-pasukan itu mencoba membalas, mereka dapat menghilang di balik gerumbul-gerumbul di atas tebing. Meskipun gerumbul-gerumbul itu tidak lebat, namun cukup baik untuk melindungkan diri.
Demikianlah, ketika pasukan Mataram dan pasukan Menoreh itu sudah cukup beristirahat, maka mereka pun segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun menilik sinar matahari yang menjadi semakin kuning, mereka harus memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi. Mereka tidak dapat mengesampingkan perhitungan hari yang semakin mendekati ujungnya.
“Kita akan maju beberapa ratus langkah lagi,” berkata Sutawijaya, “jika sekiranya kita perlu bermalam sebelum kita menemukan sarang mereka, kita pun akan beristirahat.”
Orang-orang yang ada di sekitamya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mereka pun menganggap bahwa hari sudah terlalu jauh untuk mulai dengan sebuah perjuangan merebut padepokan yang kuat dan mencari Rudita di dalamnya, karena mereka masih belum tahu pasti, di manakah anak itu disembunyikan.
“Kita terpaksa mengikat kalian,” berkata Sutawijaya kepada beberapa orang tawanan yang dibawa oleh pasukan Mataram dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu. “Jika tidak, kalian akan mempersulit keadaan kami.”
Tawanan-tawanan itu hanya menundukkan kepalanya saja.
“Nah, marilah,” berkata Sutawijaya kemudian, lalu ia berpaling kepada Ki Argapati, “apakah Ki Gede sudah siap untuk memulai lagi?”
Betapa pun juga Ki Argapati itu menjawab, “Sudah. Aku sudah siap.”
Sejenak kemudian pasukan itu pun mulai bergerak. Seorang prajurit yang baru saja memejamkan matanya, terpaksa berjalan dengan malasnya di samping kawannya yang mulai enggan melanjutkan perjalanan itu. Tetapi karena yang dilakukan itu adalah sebuah kewajiban, maka ia pun berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa pasukan itu bukanlah segerombolan orang yang pergi bertamasya di lembah dan ngarai.
Dengan hati-hati dua orang pengawal dari Menoreh berjalan di paling depan sambil berusaha mengenal arah lawannya. Mereka menyusur jejak kaki pasukan Daksina dan Putut Nantang Pati yang mengundurkan diri.
Meskipun demikian, mereka tidak dapat dengan tergesa-gesa maju, karena mereka masih harus memperhatikan setiap keadaan yang mungkin dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan untuk menjebak mereka. Setiap gerumbul, setiap tebing padas yang menjorok dan setiap tikungan di lembah yang semakin luas itu.
Seluruh pasukan itu menjadi berdebar-debar ketika mereka hampir bersamaan melihat sebuah jalan setapak di tebing yang membelit meloncati sebuah ujung dari pebukitan itu ke arah seberang dan seakan-akan hilang di balik gerumbul-gerumbul di puncak bukit.
“Jalur jalan itulah agaknya yang kita lihat sambungannya di balik pebukitan itu, dan menuju ke padesan di sebelah,” desis pengawas yang pernah mendahului pasukan itu.
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat menyahut, karena mereka mendengar Raden Sutawijaya berkata, “kita tentu sudah mendekati padepokan mereka.”
Kiai Gringsing yang berjalan di sebelahnya menyahut, “Ya. Agaknya padepokan yang mereka pergunakan sebagai sarang itu, merupakan padesan yang cukup luas dan terlindung. Jalur jalan itulah agaknya yang menghubungkan sarang mereka dengan dunia luar, apa pun bentuknya. Memang mungkin sebuah padesan atau padepokan, tetapi mungkin pula sebuah goa yang besar dan dalam.”
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apa pun bentuknya, kita harus menguasainya dan sekaligus mencari Rudita. Tetapi yang tidak kalah pentingnya, adalah menghancurkan mereka, agar mereka tidak akan dapat mengganggu Mataram dan juga Tanah Perdikan Menoreh.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi terbayang padanya, sebuah padesan yang dijaga oleh sepasukan pengawal yang kuat di setiap sudut dan di luar padesan itu berbaris sepasukan pengawal dan prajurit-prajurit Pajang yang telah mencoba berkhianat. Baik terhadap Pajang yang masih berdiri, mau pun kepada Mataram yang sedang tumbuh dan berkembang, sehingga dengan demikian, terbayang juga sebuah kesulitan yang benar-benar memerlukan tenaga sepenuhnya.
Belum lagi mereka sempat meneruskan pembicaraan, maka mereka pun terkejut ketika dari atas tebing, dari balik gerumbul-gerumbul yang lebat, meluncur beberapa buah anak panah. Semakin lama semakin banyak.
Dengan serta-merta, mereka yang berperisai di dalam pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun berloncatan maju. Mereka berusaha menahan anak panah itu dengan perisai agar tidak mengenai seorang pun di antara mereka.
Meskipun demikian, ada juga satu dua dari anak panah itu yang berhasil melukai para pengawal. Tetapi luka-luka itu tidak begitu parah dan tidak berbahaya, sehingga hampir tidak berarti bagi kekuatan kedua pasukan itu. Namun demikian anak panah semacam itu tentu akan memperlambat gerak maju kedua pasukan itu.
Seperti yang dikehendaki oleh Daksina dengan orang-orangnya itu, maka sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh memang harus berhenti. Beberapa orang yang bersenjata panah pun segera berlindung di balik perisai kawan-kawannya dan membalas melontarkan anak panah ke atas tebing.
Tetapi dengan demikian, yang lain tidak tinggal diam melihat pertempuran jarak jauh itu. Beberapa orang segera menebar, dan merayap perlahan-lahan ke atas tebing, melingkar agak jauh dari pertempuran itu. Seperti sapit urang mereka dengan hati-hati mendekat, mencepit orang-orang yang sedang melemparkan anak panah.
Tetapi orang-orang itu pun cukup berwaspada, sehingga mereka pun segera menarik diri ke dalam gerumbul-gerumbul liar. Namun ternyata bahwa kehadiran pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang tiba-tiba saja di sebelah-menyebelah itu memang tidak mereka perhitungkan lebih dahulu, maka di dalam gerak mundur itu pun mereka harus meninggalkan korban.
“Orang-orang Mataram dan Menoreh memang gila,” desis salah seorang pengawal padepokan Putut Nantang Pati yang sedang melarikan diri itu.
“Ya. Kami menyangka bahwa mereka akan sekedar mencari tempat bersembunyi. Sejauh-jauhnya mereka akan membalas dengan panah dari lembah.”
“Ternyata sebagian dari mereka memanjat tebing dan menjepit kita dari dua arah.”
Kawan-kawannya terdiam. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan bahwa akan ada korban yang jatuh dalam serangan yang demikian. Namun ternyata bahwa tiga orang kawan mereka tidak dapat kembali bersama mereka.
Dalam pada itu, pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun segera berkumpul. Namun Raden Sutawijaya cukup cerdas menanggapi keadaan. Katanya, “Mereka hanya sekedar mengganggu perjalanan kami.”
“Meskipun demikian, kami tidak dapat membiarkan mereka menghujani pasukan ini dengan anak panah,” sahut Ki Lurah Branjangan.
“Ya, dan kita sudah mengusir mereka.”
“Tetapi kita akan menjumpainya lagi di beberapa tempat. Seperti yang Raden katakan, mereka sengaja memperlambat perjalanan kita, dan terlebih-lebih lagi jika mereka berhasil, mereka ingin mengganggu ketabahan hati kita,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya, Kiai.”
“Jika demikian menurut pertimbanganku, apakah kita tidak lebih baik bermalam sebelum kita berada di muka padepokan itu. Kita tidak mengenal medan sebaik-baiknya, seperti mereka mengenalnya. Karena itu, kita tidak berani mendekat lagi. Kita masih belum tahu, apalagi yang akan dipergunakan oleh Daksina dan barangkali Panembahan Agung itu untuk menjebak kita.”
“Maksud, Kiai, bahwa di malam hari banyak peristiwa yang dapat terjadi?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “dan saat ini, matahari sudah terlampau rendah.”
Raden Sutawijaya tidak segera menyahut. Tetapi dipandanginya wajah Ki Argapati yang berkerut-merut.
“Aku sependapat, Raden,” berkata Ki Argapati kemudian, “jika kita bermalam di sini, di tempat yang masih belum terlampau dekat dengan padepokan, kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan tindakan yang perlu, pengawasan yang agak longgar, dan barangkali jika ada jebakan-jebakan yang mungkin telah dipasang di padepokan itu tanpa sepengetahuan kita.”
“Baiklah,” berkata Raden Sutawijaya, “kita bermalam di sini. Kita akan membuat beberapa kelompok penjagaan beberapa puluh langkah di hadapan kita, dan di sudut-sudut yang kita anggap perlu. Tidak mustahil mereka akan menghujani anak panah di malam hari selagi sebagian besar dari kita sedang tertidur nyenyak.”
“Ya. Kita harus berada di sela-sela gerumbul sehingga kita sedikit terlindung dari anak panah yang tiba-tiba saja datangnya. Kita harus menyiapkan perisai sebanyak mungkin ada pada kita dan kulit kayu yang mungkin dapat dipergunakan untuk melawan anak panah itu,” berkata Ki Argapati. “Selain itu, pengawasan yang ketat, yang seakan-akan melingkari tempat ini.”
“Beberapa orang akan berada di lereng sebelah. Mungkin mereka dapat berbuat sesuatu jika ada orang yang menyerang kita dari tempat yang tinggi itu.”
Demikianlah, maka mereka pun segera mengatur diri, mencari tempat yang sebaik-baiknya untuk bermalam, sebelum mereka berada di depan padukuhan yang mereka sangka langsung padukuhan Panembahan Agung.
Namun dalam pada itu, orang yang ditugaskan untuk melontarkan berita tentang Raden Sutawijaya telah berhasil masuk ke pusat pemerintahan Mataram. Bahkan ia sempat menyampaikannya kepada orang-orang di dalam lingkungan keluarga Ki Gede Pemanahan, bahwa Raden Sutawijaya telah berhubungan dengan salah seorang gadis dari Kalinyamat yang sebenarnya akan dipersembahkan kepada Sultan Pajang sendiri, sehingga gadis itu mengandung.
Beberapa orang yang mendengar itu mengerutkan keningnya dan berkata, “Ah, tentu tidak.”
“Tentu tidak,” dan yang lain pun, “tentu tidak.”
Namun akhirnya berita itu pun sampai juga kepada Ki Gede Pemanahan pada hari itu juga, karena seorang abdinya yang menjadi sangat cemas mendengar berita itu, langsung menghadap Ki Gede Pemanahan dan dengan tubuh gemetar menyampaikannya.
Ki Gede Pemanahan menahan nafasnya. Hatinya melonjak, tetapi sebagai seorang yang telah mengendap, maka ia tidak tergesa-gesa memberikan tanggapan betapa pun sesak dadanya.
Tetapi bagaimana pun juga, berita tentang Raden Sutawijaya itu tentu sudah tersebar. Tidak usah menunggu sampai matahari terbenam. Para pengawal tentu akan saling membicarakannya.
“Siapakah yang mula-mula mengatakannya?” bertanya Ki Gede Pemanahan kepada abdinya.
“Kami tidak mengetahui Ki Gede. Tetapi baru saja kami melihat seorang prajurit Pajang di sini. Mungkin prajurit itu telah membawa berita tentang Raden Sutawijaya. Bahkan aku mendengar bahwa prajurit itu berusaha menghadap Ki Gede Pemanahan.”
Tetapi Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku belum dapat mempercayainya. Tetapi aku pun tidak dapat mengabaikan kabar ini.”
“Demikianlah sebaiknya Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede mendapatkan kepastian dari berita itu.” Abdi itu berhenti sejenak, lalu, “apakah Ki Gede akan memanggil prajurit Pajang itu menghadap?”
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Tetapi ia bukan seorang yang sekedar mempergunakan perasaannya. Ia mendengar bahwa beberapa orang prajurit Pajang telah meninggalkan kesatuannya karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang lain yang merasa dirinya akan mampu menguasai telalah yang luas. Dari pesisir Utara sampai ke pesisir Selatan. Dari adbmcadangan.wordpress.com ujung Kulon sampai ujung Timur. Apalagi prajurit Pajang itu memang melihat sikap dan tingkah laku yang semakin lama semakin jauh menyimpang dari Sultan Pajang sendiri. Pengendalian daerah yang tidak lagi berpegang pada dasar-dasar yang sama-sama diletakkan seperti pada saat ia berhasil mengangkat dirinya sebagai Sultan Pajang.
“Baiklah,” berkata Ki Gede Pemanahan kepada abdinya, “aku memperhatikan laporanmu. Tetapi sebaiknya kau pergi ke Pajang dan mencari kebenaran, apakah Sutawijaya benar-benar telah melakukan perbuatan itu atau tidak.”
“Jadi aku harus menyelusur berita ini, Ki Gede?”
“Tidak. Kau tidak perlu mencari siapakah sumber berita itu. Tetapi kau harus berusaha mendengar dari orang yang dapat kau percaya di Pajang, apakah benar salah orang gadis dari Kalinyamat itu sudah berhubungan dengan Sutawijaya dan bahkan sudah mengandung seperti berita yang kau dengar itu.”
“Baiklah, Ki Gede. Dan apakah Raden Sutawijaya perlu diberitahukan akan hal ini, agar ia dapat berbuat sesuatu? Jika tidak benar, biarlah ia membersihkan namanya.”
“Tetapi jika benar?” potong Ki Gede Pemanahan.
Abdi itu menundukkan kepalanya. Namun di luar kehendaknya sendiri ia berkata, “Ia sudah terlalu lama berada dibawah asuhan ayahanda angkatnya, Sultan Pajang.”
“Kenapa?”
“Apakah tindakan dan tingkah laku Sultan Pajang telah berpengaruh pula atasnya?”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas teringat olehnya sebutir kelapa muda di Giring. Kelapa muda yang menurut Ki Ageng Giring akan mendatangkan keluhuran bagi yang meneguk airnya.
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ketika abdinya bertanya kepadanya, maka Ki Gede itu pun seakan-akan terbangun dari mimpinya yang menumbuhkan harapan itu.
“Ki Gede,” bertanya abdinya itu, “apakah sebaiknya aku segera berangkat, atau menunggu kedatangan Raden Sutawijaya yang sedang pergi ke seberang Kali Praga?”
“Berangkatlah,” jawab Ki Gede Pemanahan, “mungkin kau memerlukan waktu yang tidak hanya satu dua hari. Bukankah kau masih mempunyai sanak keluarga di Pajang.”
“Cukup banyak, Ki Gede,” sahut abdi itu, “mungkin aku akan segera mendapatkan keterangan tentang berita itu.”
Demikianlah maka abdi itu pun segera pergi ke Pajang dikawal oleh beberapa orang pengawal, dan kemudian dilepaskan pergi sendiri setelah melampaui hutan yang terakhir yang masih meragukan pengamanannya. Namun agaknya, Panembahan Agung telah benar-benar menarik orang-orangnya menghadapi kedatangan Raden Sutawijaya dan Ki Argapati.
“Jemput aku di sini dua hari lagi. Jika aku belum datang, maka tunggu sampai hari ketiga dan keempat.”
“Bagaimana jika aku berada di sini sebulan lamanya?” bertanya pengawal yang mengantarkannya.
“Barangkali itu lebih baik. Tetapi jika aku mati di hutan itu, kau akan digantung oleh Ki Gede Pemanahan.”
Pemimpin pengawal itu tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja abdi terdekat dari Ki Gede Pemanahan itu memacu kudanya ke arah Timur.
“Perjalanan yang cukup jauh,” berkata abdi itu di dalam hatinya.
Matahari yang tenggelam membuat hatinya ragu-ragu, apakah ia akan meneruskan perjalanannya di malam hari? Tetapi ia berpacu terus.
“Aku akan bermalam di Candi Sari,” katanya di dalam hati, karena ia mempunyai seorang saudara yang tinggal di dekat Candi Sari.
Kedatangannya di Candi Sari memang mengejutkan. Namun ia berhasil memberikan keterangan sehingga saudaranya yang menjadi berdebar-debar itu menepuk bahunya, sambil berdesis, “Kau mengejutkan kami.”
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya yang bermalam di lembah di perbukitan sebelah Barat Kali Praga, terkejut ketika seseorang membangunkannya.
“Ada apa?” ia bertanya.
“Kami melihat api obor di atas bukit itu,” berkata seorang pengawas.
“Awasi denga baik,” perintahnya, “aku tetap di sini.”
Pengawas itu pun mengangguk. Perlahan-lahan ia meninggalkan Sutawijaya yang berbaring lagi di atas rerumputan kering. Namun ia pun melihat sekilas sebuah obor yang seakan-akan menusup pepohonan jauh di atas bukit, seperti seekor burung kemamang yang terbang di sela-sela gerumbul-gerumbul.
“Tentu orang-orang Daksina,” katanya di dalam hati, “tetapi apa maksudnya dengan sengaja menunjukkan kehadirannya di bukit itu?”
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kesimpulannya adalah, bahwa obor itu sekedar memancing perhatian, dan di sekitar obor itu justru, tidak akan ada apa-apa sama sekali.
Tetapi tiba-tiba saja Raden Sutawijaya bangkit. Dipanggilnya pengawal yang terdekat. Katanya kemudian setengah berbisik, “Hubungi Ki Lurah Branjangan. Beritahukan agar para pengawas berhati-hati. Obor itu tentu sekedar pancingan, agar perhatian kita terampas olehnya, tapi yang justru berbahaya akan datang dari arah lain. Kemudian hubungi pula Ki Argapati dan Kiai Gringsing atau kedua muridnya.”
Pengawal itu pun kemudian pergi meninggalkan Sutawijaya yang duduk termenung.
Yang mula-mula dihubungi adalah Ki Lurah Branjangan yang perhatiannya memang tertarik kepada obor yang bergerak itu.
“Baiklah,” katanya setelah mendengar penjelasan pengawal itu atas perintah Raden Sutawijaya, “kami akan mengawasi obor itu. Tetapi kami akan mengawasi bagian-bagian yang lain pula, yang menjadi daerah pengawasanku dengan baik. Tetapi sebaiknya orang-orang Tanah Perdikan Menoreh diberitahukan juga, agar mereka tidak menjadi lengah, meskipun di sana ada Ki Argapati dan Kiai Gringsing.”
“Aku memang akan menghubunginya.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti Raden Sutawijaya ia pun kemudian duduk di antara beberapa orang pengawal.
“Hati-hatilah,” desis Ki Lurah Branjangan, “awasi segala arah.”
Dan perintah itu pun kemudian menjalar dari seorang ke orang yang lain.
Ketika pengawal yang menghubungi Ki Argapati sampai ke tempatnya di ujung lain dari lembah itu, dilihatnya Ki Argapati justru sedang duduk bersama Kiai Gringsing.
“O,” desis pengawal itu, “selamat malam Ki Gede.”
“Selamat malam,” jawab Ki Gede, “apakah ada kepentinganmu datang kemari?”
“Tidak apa-apa Ki Gede. Hanya barangkali Ki Gede juga melihat obor di sela-sela pepohonan itu?”
“Ya, kami sedang memperhatikannya.”
Pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu di sampaikannya pesan Sutawijaya.
“Terima kasih,” sahut Ki Argapati, “tetapi sebenarnya kami punya rencana tersendiri. Kami ingin melihat apakah sebenarnya obor itu.”
“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu, “tetapi barangkali benar juga kata Raden Sutawijaya, bahwa obor itu hanya sekedar pancingan saja.”
“Kemungkinan yang paling besar. Tetapi kita pun akan memancing mereka. Baiklah, aku akan menemui Raden Sutawijaya.”
“Silahkan Ki Gede,” jawab pengawal itu, lalu, “obor itu sampai sekarang masih ada. Seakan-akan sekedar melingkari tempat ini.”
Ki Argapati dan Kiai Gringsing pun kemudian pergi menemui Raden Sutawijaya. Mereka ternyata bersepakat untuk memancing lawannya yang barangkali sedang memancing mereka pula.
“Sebagian dari pengawal ini akan terpancing oleh obor itu,” berkata Ki Argapati, “tetapi dengan diam-diam yang lain menunggu, apakah yang akan terjadi.”
“Ya,” sahut Raden Sutawijaya, “obor itu berhenti,” tiba-tiba Raden Sutawijaya menunjuk. “He, tidak hanya ada satu obor, dua, eh, tiga.”
“Mereka akan membuat kesan, bahwa mereka akan menyerang dari sana. Karena itu, kita akan terpancing karenanya. Tetapi kita akan mengawasi setiap arah.”
Setelah rencana itu kemudian disepakati, maka kedua pasukan itu pun menyebarkan perintah untuk memanggil setiap pimpinan kelompok, dan perintah berikutnya pun diberikan dengan singkat.
Para pengawal yang sedang tidur itu pun segera terbangun. Beberapa orang kemudian memencar menghubungi para pengawas yang terpisah.
Pada saat yang ditentukan maka pasukan yang sedang beristirahat itu pun seakan-akan telah terbangun. Dengan riuhnya mereka menyongsong lawan yang datang dengan membawa obor di atas tebing. Namun di bagian lain, pasukan Mataram dan Menoreh telah siap untuk menghadapi kemungkinan.
Tetapi beberapa lamanya mereka merayap maju, mereka sama sekali tidak menjumpai siapa pun. Sedang mereka yang berjaga-jaga di bagian lain pun sama sekali tidak menemukan pasukan lawan yang merayap mendekat.
“Kita benar-benar terpancing,” desis Ki Argapati, “mereka agaknya hanya meletakkan obor itu pada cabang batang pohon dan meninggalkannya.”
Raden Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Namun mereka yang ada di lereng bukit itu terbelalak ketika mereka melihat di bagian lain api obor itu seakan-akan menjadi semakin lama semakin besar, semakin besar. Bahkan bukan hanya tiga, tetapi lima, sembilan dan lebih dari dua belas.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Kiai Gringsing berdesis perlahan-lahan, “Kita sudah berhadapan dengan ilmu Panembahan Agung. Tetapi tentu bukan orang itu sendiri yang melontarkannya.”
Yang mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu terkejut. Sejenak mereka tertegun. Namun ketika mereka memandang api yang berada di atas tebing itu, maka mereka pun mulai dijalari oleh kecurigaan.
“Api itu bukan tiruan api yang sempurna,” berkata Kiai Gringsing, “karena itu, menurut pendapatku, orang yang melontarkan ilmu itu adalah orang yang baru mulai belajar pada Panembahan Agung. Mungkin ia muridnya yang terpercaya, tetapi di dalam ilmunya yang satu ini, ia adalah murid yang baru sama sekali.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Kiai benar. Obor-obor itu seperti api yang terpisah dari alam sekelilingnya. Jika obor itu adalah bayangan semu yang sempurna, maka obor itu akan melemparkan cahayanya atas alam di sekitarnya. Tetapi obor itu tidak menumbuhkan bayangan dan nyalanya seakan-akan tidak menerangi pepohonan di sekitarnya.”
Kiai Gringsing mengusap keringatnya yang mengembun di kening. Ternyata bahwa medan kali ini adalah medan yang benar-benar berat. Jika mereka benar-benar bertemu dengan seseorang yang menyebut dirinya bernama Panembahan Agung, maka mereka tentu akan mengalami kesulitan.
Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa, serta para pengawal pun mengangguk-anggukkan kepala pula. Mereka juga menyadari keanehan dari api yang menyala semakin besar dan banyak. Namun yang sampai pada suatu saat, api itu menjadi susut kembali.
“Itukah ilmu yang dimiliki oleh Panembahan Agung?” bertanya Sutawijaya.
“Ya. Dan tentu lebih sempurna,” sahut Kiai Gringsing.
Sutawijaya menjadi termangu-mangu. Bahkan kemudian ia berkata, “Pasukan kita akan mengalami kesulitan. Mereka dapat membuat rintangan-rintangan semu yang membingungkan.”
“Benar Raden. Apalagi Panembahan Agung sendiri.”
“Apakah Kiai tidak dapat mengatasi kesulitan ini?”
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Raden. Aku mempunyai cara untuk melawan pengaruh bayangan-bayangan semu itu di dalam diriku. Aku dapat menguasai indera wadagku, dan menghapuskan bayangan semu. Aku pernah mempelajari ilmu itu. Tetapi hanya untuk diriku sendiri. Aku tidak mempunyai kemampuan untuk melawan ilmu semacam itu bagi orang lain.”
“Baiklah,” Raden Sutawijaya yang masih dialiri darah mudanya itu menyahut, “itu sudah cukup. Kiai akan berdiri di paling depan dari pasukan ini. Kiai dapat memberikan aba-aba kepada kami apa yang sebaiknya harus kami jakukan. Jika kita melihat sesuatu, Kiai dapat mengatakan, apakah yang kita lihat itu sebenarnya memang ada.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak, lalu katanya, “Memang mungkin dapat dicoba. Tetapi jika pertempuran terjadi di antara kita dengan mereka, maka kesempatan itu terlampau kecil.”
“Itu lebih, baik daripada tidak sama sekali.”
“Tetapi Kiai,” berkata Ki Argapati, “jika pertempuran sudah terjadi, apakah Panembahan Agung masih dapat melontarkan ilmunya dengan bentuk-bentuk semu itu khusus bagi kita dan tidak mempengaruhi anak buahnya sendiri?”
“Itulah yang aku kurang mengerti,” berkata Kiai Gringsing, “Panembahan Agung dapat memilih sasaran bagi ilmunya. Tetapi di dalam campur baurnya pertempuran, maka bentuk-bentuk semu agaknya akan mempengaruhi orang-orang mereka juga.”
Ki Argapati menganggukkan kepalanya. Desisnya, “Jika demikian kita harus berusaha untuk segera melibatkan diri di dalam pertempuran.”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya, obor-obor itu sudah menjadi semakin kecil dan kemudian hilang di dalam kegelapan.
“Marilah kita kembali ke tempat kita semula. Kita sedang disuguhi suatu permainan yang kurang menarik,” berkata Kiai Gringsing.
Pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun segera kembali ke tempat mereka semula. Tetapi Kiai Gringsing, Ki Argapati, kedua muridnya, Pandan Wangi, dan Prastawa berkumpul di ujung lembah. Bahkan Ki Demang Sangkal Putung yang tidak banyak berbuat apa-apa itu berkata, “Benar-benar sebuah pertahanan yang kuat sekali.”
“Ya, Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing, “jika ada dua atau tiga orang yang memiliki dasar ilmu itu, meskipun belum berkembang sama sekali, kita sudah akan terganggu semalam suntuk.”
“Kenapa harus dua atau tiga orang?”
“Tentu tidak akan dapat dilakukan oleh seorang. Mereka yang baru mulai dengan ilmu ini, masih harus mengerahkan segenap daya pikir dan rasa untuk menimbulkan bayangan semu seperti ini. Orang itu memerlukan waktu yang agak lama dan pengerahan segenap kemampuan.”
~ Article view : [182]