Majapahit Dalam Sejarah [ 2 ]

1280

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND

Majapahit Dalam Sejarah  [  2  ]
Oleh : Agus Aris Munandar

Pencapaian peradaban dalam masa Majapahit terjadi pula dalam. bidang seni arca yang mempunyai bentuk dan gaya tersendiri. Jumlah arca yang dihasilkan dalam era Majapahit cukup banyak. Arca-arca tersebut ada yang berasal dari periode awal, kejayaan, kemunduran dan keruntuhan Majapahit. Ciri khas bentuk arca Majapahit telah ditelaah oleh para ahli. Salah satu cirinya yang kuat adalah terdapatnya garis-garis di sekitar tubuh arca. Garis ini sebagai garis sinar yang lazim disebut dengan “sinar Majapahit”. Adapun bentuk relief lingkaran yang dilengkapi dengan garis-garis sinar seringkali didapatkan di beberapa bagian candi yang disebut dengan “Surya Majapahit”.

N.J. Krom pernah mengemukakan dalam artikelnya yang berjudul “De beliden van Tjandi Rimbi’ (1912) tentang ciri-ciri arca masa Majapahit sebagai berikut:
1.    Pada kedua sisi arca dihias dengan padma yang ke luar dari pot/vas bunga.
2.    Hiasan kepala (mahkota) berbentuk kerucut (kirita makuta) dan terdapat pula ikat kepala di dahi (jamang).
3.    Perhiasan telinga berbentuk memanjang.
4.    Gerai rambut dihias dengan makara atau perhiasan lain yang sesuai.
5.    Tubuh bagian atas terbuka (tidak. memakai pakaian) kecuali perhiasan tali dada atau tali kasta (upawita).
6.    Terdapat ikat pinggang di bawah dada (anteng).
7.    Digambarkan mengenakan kain sarung berlapis-lapis.
8.    Ikat pinggang setinggi perut, di bawahnya terdapat lipatan kain yang terlihat. Selain itu, dibawah lipatan terdapat ujung tali yang menggantung di bahu kiri.
9.    Pada kedua kaki menjunfai tali-tali dari ikat pinggang setinggi perut dan di ujung tali terdapat hiasan.
10.    Wiru dan kain pada kedua sisi ‘tubuh dan di antara dua kaki, ujungnya terbelah berbentuk ekor burung layang-layang.
11.    Memakai gelang tangan, kelat bahu dan gelang kaki yang lebar.

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua ciri arca tersebut dapat secara lengkap dijumpai pada setiap arca masa Majapahit. Ciri-ciri tersebut hanya hadir pada beberapa arca penting saja, seperti arca Hari-Hara dari Candi Sumberjati, arca Parwati dari Candi Ngrimbi, arca perwujudan sepasang tokoh dan arca “Ratu Suhita” Arca-arca era Majapahit lainnya mungkin hanya memiliki sebagian ciri saja. Walaupun demikian, cukup untuk diidentifikasikan sebagai arca gaya seni Majapahit. Justru ciri yang kerapkali didapatkan pada arca-arca Majapahit, oleh Krom malah dilupakan, yaitu adanya “Sinar Majapahit” yang keluar disekeliling tubuh arca. Mungkin saja pada masa Krom menyusun karyanya, temuan arca-arca Majapahit dengan “Sinar Majapahit” belum banyak ditemukan sehingga ciri penting tersebut belum dimasukkan oleh Krom sebagai salah satu ciri arca masa Majapahit.

Pendapat Krom itu lalu mendapat “penjelasan” lebih lanjut dari W.F. Stutterheim dalam karyanya “De dateering van eenige Oost-Javaansche beeldengroepen“. Pendapat Krom antara lain menyatakan bahwa ciri arca Majapahit yang penting adalah terdapatnya bunga teratai yang keluar dari pos/vas di kanan-kiri arca, sedangkan ciri seni arca Singhasari adalah terdapat bentuk bunga teratai yang langsung keluar dari akarnya (bonggolnya) disisi kanan-kiri tubuh arca. Stutterheim menyatakan bahwa ciri teratai yang keluar dari pot sebenarnya tidak menandai zaman/periode gaya seni Singhasari ataupun Majapahit. Ciri tersebut sebenarnya menandai dinasti atau keluarga raja.

Selanjutnya, Stutterheim mengemukakan bahwa arca-arca yang diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol (akarnya) sebenarnya dapat dihubungkan dengan penggambaran raja-raja Singhasari dan keluarganya. Apabila ada keluarga Raja Singhasari mangkat dan kemudian diarcakan dalam bentuk arca perwujudan, maka arca-arca itu digambarkan dengan diapit teratai yang keluar dari akarnya, sedangkan raja-raja Majapahit dan keluarganya jika diwujudkan dalam bentuk arca, penggambarannya diapit oleh teratai yang keluar dari dalam wadah (vas, periuk, pot atau lainnya lagi).

Pendapat Stuterheim tersebut agaknya benar. Hal ini terbukti dengan arca perwujudan Rajapatni Gayatri yang berupa Prajnaparamita di Candi Bayalango. Penggambarannya diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya. Menurut Nagarakrtagama, Gayatri wafat tahun 1272 S/1350 M. Ia kemudian di-dharma-kan di Bayalan. Arcanya berwujuci Prajnaparamita. Gayatri meninggal dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Jika mengikuti pendapat Krom, seharusnya arca Prajnaparamita tersebut diapit teratai yang ke luar dari suatu wadah karena dibuat dalam masa Majapahit. Apabila mengikuti pendapat Stuttetheim, maka, arca tersebut menggambarkan Gayatri yang sebenarnya putri Raja Singhasari Krtanagara, raja terakhir Singhasari. Oleh karena itu, arca perwujudannya diapit oleh teratai yang keluar langsung dari bonggol akar-akarnya. Selain iu, arca Amoghapasa yang sekarang kepalanya hilang dan masih terdapat di halaman Candi Jago juga diapit oleh teratai yang keluar dari bonggolnya, artinya menggambarkan keluarga Raja Singhasari. Hal itu dapat dipahami karena arca tersebut menurut uraian kitab Pararaton menggambarkan Sri Rangga Wuni (Wisnuwarddhana) – ayahanda Krtanagara yang telah meninggal di-dharma-kan di Jajaghu atau Candi Jago sekarang.

Arca-arca dari masa Majapahit penggarapannya cukup halus sehingga dapat dianggap karya seni arca yang bermutu tinggi karena keindahannya, misalnya arca Hari-Hara (tinggi 2 m) dari Simping (Candi Sumberjati) di Blitar dan arca Dewi Parwati (tinggi 2 m) dari Candi Ngrimbi di Jombang. Kedua arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta. Arca Parwati diapit oleh teratai yang ke luar dari vas, menurut Stutterheim termasuk contoh gaya seni arca keluarga Majapahit. Arca Parwati itu sangat mungkin menggambarkan Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, ibu Hayam Wuruk. Sebagaimana diketahui bahwa sang ratu adalah putri dari Raja Majapahit pertama, yaitu Krtarajasa Jawawarddhana.

Menurut Nagarakrtagama terdapat bermacarn bangunan suci yang dikenal dan dijaga oleh masyarakat dalam zaman kejayaan Wilwatikta. Bangunan-bangunan suci tersebut dibawah pengawasan dua orang dharmmadyaksa (pejabat tinggi keagamaan), yaitu dharmmadyaksa ring kasaiwan yang mengurus bangunan-bangunan suci yang bernafaskan agama Hindu-saiva dan dharmmadyaksa ring kasogatan yang menjaga bangunan-bangunan suci agama Budha Mahayana. Pejabat tinggi lainnya disebut dengan mantri her haji yang mengurusi tempat-tempat keagamaan kaum Rsi, seperti tempat pertapaan, pemukiman kaum agamawan (krsyan) dan juga pusat-pusat pendidikan agama (mandala dan kadewaguruan).

Bangunan-bangunan yang berada di bawah pengawasan dua dharmmadyaksa pada masa Majapahit disebutkan dalam Nagarakrtagama pupuh 76-77. Dharmmadyaksa ring kasaiwan mengawasi empat kelompok bangunan suci, yaitu;
1.    Kuti Balay merupakan tempat pemujaan yang dilengkapi dengan bangunan pendopo (mandapa) tanpa dinding serta dilengkapi pula Bangunan tempat tinggal untuk para pendetanya (asrama).
2.    Parhyangan merupakan tempat-tempat suci untuk memuja leluhur/nenek moyang (hyang).
3.    Prasadha haji merupakan candi-candi kerajaan serta tempat pen-dharma-an kerabat raja.
4.    Sphatika i hyang merupakan tempat-tempat peringatan (?) bagi leluhur.

Adapun dharmadyaksa ring kasogatan mengawasi tanah-tanah perdikan (sima) bagi kegiatan agama Budha yang terdiri atas dua kelompok, yaitu:
1.    Kawinuya merupakan bangunan suci Budha yang secara umum bukan diperuntukkan bagi suatu sekte.
2.    Kabajradharan merupakan bangunan suci sekte bajradara-tantrayana.

Mantri her haji/air haji pada masa Majapahit termasuk kelompok mangilala drbya haji, artinya para pejabat kerajaan yang “menikmati kekayaan raja” (digaji oleh kerajaan). Maka, mereka dilarang memungut biaya apapun dalam lingkungan daerah-daerah perdikan (sima). Menurut Nagarakrtagama pupuh 75:2 dan pupuh 78:1, tugas mantri air haji adalah mengawasi sejumlah krsyan yang terdiri atas Sampud, Rupit, Pilan, Pucangan, Pawitra, Jagaddita, Butun, arca-arca lingga, saluran-saluran air (pranala) dan pancuran (jaladwara) yang dikeramatkan terdapat di tempat-tempat itu.

Kata er, air dan her dalam bahasa Jawa Kuna berarti “air”. Jika kata itu digabungkan dengan haji, seperti erhaji, air haji atau her haji secara harafiah berarti “air raja”. Pengertian itu agaknya menunjukkan bahwa pejabat er haji sebenarnya mengurusi “air suci milik raja. Maka, “air suci” itu tidak lain adalah tempat petirthaan (patirthan) yang merupakan sumber air suci. Air ini dipercaya dapat menghilangkan bermacam klesa dan kotoran setara dengan air amerta. Pada umumnya patirthan terdapat di tempat yang jauh dari keramaian, seperti di lereng gunung, di pegunungan yang berhutan lebat (contohnya Jalatunda, Belahan, Kasurangganan dan Simbatan Wetan). Para pertapa (rsi) dan kaum agamawan lainnya bermukim di tempat-tempat itu. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pejabat yang berjuluk mantri her haji mengurusi tempat-tempat bagi para pertapa dan kaum agamawan dalam perkampungan mereka (mandala).

Adapun mengenai bangunan pen-dharma-an dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk didirikan bagi kerabat raja yang telah mangkat. Hal ini juga diuraikan dalam Nagarakrtagama.
(BERSAMBUNG)

~ Article view : [420]