oleh S.H. Mintardja
[ Seri 10 ]
DAKSINA BERJALAN PERLAHAN-LAHAN MENDEKATI pintu. Ruangan itu telah kosong. Kedua orang yang menghadap akuwu telah pergi.
“He, siapa itu?” teriak akuwu dari dalam biliknya.
“Hamba Tuanku, Daksina.”
“Kenapa kau pergi terlalu lama?”
“Hamba masih harus mencari lontar yang Tuanku kehendaki.”
“Bukankah kau juga yang dahulu menyimpannya, he?”
“Hamba Akuwu.”
“Kenapa terlalu lama?”
“Hamba, hamba lupa di deretan yang mana hamba dahulu meletakkan Tuanku,” sahut Daksina tergagap.
“Sekarang kau mau apa?”
“Hamba akan membaca.”
“Pergi! Pergi! Aku tidak mau mendengar kau membaca di malam begini. Apakah kau sangka besok sudah tidak ada waktu? Dan apakah sengaja kau cari berlama-lama sehingga aku mengantuk dan menjadi jemu menunggu?”
“Tidak Tuanku. Tidak. Perintah Tuanku pun telah terlalu malam.”
“Apa. Kau menyalahkan aku?”
“Bukan Tuanku. Bukan maksud hamba.”
“Sekarang kau pergi. Pergi!”
Daksina menjadi ketakutan. Tersuruk-suruk ia berjalan cepat-cepat menjauhi bilik Tunggul Ametung sambil bersungut-sungut akuwu benar-benar aneh. Tetapi kemudian ia menyesal karena ia terlalu lama pergi mengambil lontar itu. “Pelayan dalam itu benar-benar gila, ia memberi aku jenang alot, sehingga aku menjadi terlalu lama,” gumamnya sambil berjalan ke biliknya sendiri. Beberapa orang pelayan yang sedang bertugas memandanginya dengan malas sambil sekali-sekali menguap. Apa saja yang dilakukan anak itu malam-malam begini.
Tetapi tiba-tiba anak itu terkejut ketika lengannya ditangkap oleh sebuah tangan yang kuat. Ketika ia berpaling di lihatnya pelayan dalam yang tadi mencegahnya di muka bilik penyimpanan lontar.
“He. Mau ke mana kau?”
“Tidur.”
“Jadi kau benar-benar berbohong ya?”
“Kenapa?”
“Akuwu tidak memerintahkanmu membaca lontar itu.”
” Oh,” Daksina menjadi tergagap. Namun ia berhasil juga menjelaskan, “Aku sudah mulai membaca. Tetapi karena jenang alotmu itu maka suaraku menjadi serak tidak seperti biasanya, sehingga akuwu marah, dari aku diusirnya. Nah, sekarang kau harus menebus kesalahanmu itu. Kalau aku tidak makan jenang alotmu, maka aku tidak akan mendapat marah.”
“Anak setan! Bukankah itu salahmu sendiri?”
“Besok ransum pagimu harus kau berikan kepadaku. Kalau tidak, maka aku akan menyampaikan kepada Akuwu, bahwa kau menyimpan makanan di gardumu.”
“Apa salahnya? Tidak ada larangan berbuat demikian.
“Tetapi karena makananmu itu suaraku menjadi parau.”
“Pergi! Pergi, jangan mengigau!” bentak pelayan dalam itu sambil mendorong Daksina pergi.
Suasana halaman istana itu menjadi sepi. Tiga orang perempuan duduk diam di samping regol halaman dalam. Dalam keremangan cahaya obor di kejauhan, mereka tampaknya seperti bayang-bayang hitam yang duduk mematung.
Dengan gelisah mereka menunggu. Bahkan hampir tidak sabar salah seorang berkata, “Bibi emban. Tolong tengoklah ke ruang dalam apakah Kakang Witantra masih berada di sana?”
“Masih Ngger. Masih. Baru saja aku melihat mereka turun dari ruangan itu. Tetapi mereka tidak segera berjalan keluar.”
“Ke mana mereka itu?”
“Mungkin Anakmas Witantra perlu melihat-lihat beberapa buah gardu penjagaan. Penjagaan di halaman belakang yang dilakukan oleh para prajurit pengawal.
Orang yang bertanya itu, yang tidak lain adalah Nyai Witantra menarik nafas panjang. Ingin ia berlari masuk ke dalam istana, namun ia menjadi ragu-ragu.
Untuk melepaskan kejemuannya, maka ia bertanya, “Bibi emban. Apakah kau melihat Akuwu membawa seorang gadis dari pedesaan?”
Emban itu mengerutkan keningnya Kemudian jawabnya ragu-ragu, “Aku kira demikian Nyai. Apakah ada hubungannya dengan Anakmas Witantra?”
Perempuan yang lain, yang sejak semula selalu berdiam diri mendengarkan percakapan mereka tersentak mendengar jawaban itu, dan tiba-tiba bertanya, “Apakah gadis itu berada di dalam istana ini pula?”
Kembali emban itu menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu, dari mana dan kenapa akuwu membawa gadis itu. Sehingga karena itu maka jawabnya, “Entahlah. Aku tidak tahu.”
Pemomong Ken Dedes menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat mendesaknya lagi. Sehingga kembali mereka berdiam diri. Duduk mematung dalam kegelisahan hati masing-masing.
Mereka tersentak ketika tiba-tiba mereka melihat dua sosok tubuh yang berjalan ke arah mereka. Ketika mereka sudah dapat melihat dengan jelas, maka berbisiklah emban itu, “Nah. Itulah. Baiklah aku meninggalkan kalian di sini.”
“Tunggu!” cegah Nyai Witantra.
“Apa yang harus aku tunggu?”
Nyai Witantra tidak menjawab. Tetapi ujung kain emban itu dipeganginya, sehingga emban itu tidak dapat meninggalkannya.
Witantra pun terkejut melihat tiga orang perempuan duduk di samping regol. Ia menjadi semakin terkejut lagi ketika diketahuinya bahwa salah seorang dari mereka adalah istrinya.
“He. Kaukah itu Nyai?”
“Ya Kakang ,” jawab Nyai Witantra.
“Apakah kerjamu di sini?”
Nyai Witantra menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak tahu benar apa yang sudah terjadi, namun kini ia melihat suaminya berjalan berdua dengan Ken Arok tanpa pengawalan. Menurut tangkapan perasaannya, maka suaminya tidak sedang dalam kesulitan-kesulitan. Namun meskipun demikian ia menjawab, “Aku mencemaskan kau Kakang. Aku ingin tahu, apakah yang terjadi denganmu dan Adi Ken Arok.”
“Oh,” Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia tersenyum —Marilah pulang Nyai.
“Tetapi bagaimana dengan Kakang dan Adi Ken Arok
“Tidak apa-apa. Marilah pulang. Biarlah aku nanti bercerita tentang diriku, tentang Adi Ken Arok dan tentang yang lain-lain.
Nyai Witantra sekali lagi menarik nafas lega. Katanya, “Syukurlah kalau tidak ada apa-apa dengan Kakang dan Adi Ken Arok.”
“Nah. Marilah kita pulang,” ajak Witantra.
“Tetapi,” suara Nyai Witantra terputus. Di palingkannya wajahnya dan ditatapnya wajah pemomong Ken Dedes yang menjadi semakin gelisah.
“Tetapi?” ulang Witantra,”Adakah soal lain yang akan kau kerjakan pula?”
“Bukan aku Kakang, tetapi Bibi ini.”
“Oh, apakah yang akan dilakukan?”
“Ia mencari momongannya Ken Dedes. Apakah gadis itu berada di dalam istana ini?”
Witantra diam sejenak. Ia tahu benar bahwa Ken Dedes berada di dalam istana. Tetapi ia tidak tahu, apakah ke hadiran pemomongnya itu akan berkenan di hati akuwu. Karena itu maka katanya berterus terang, “Ya. Gadis itu berada di dalam istana. Tetapi aku tidak tahu, apakah dengan demikian, maka akuwu akan mengizinkan orang lain masuk ke dalamnya. Karena itu, baiklah besok aku bawa Bibi itu menghadap.
Pemomong Ken Dedes menjadi tidak bersabar menunggu hari esok. Namun ia tidak dapat memaksa. Ia tidak mau kehilangan kesempatan. Apabila akuwu menjadi marah dan kecewa, maka kesempatan baginya akan tertutup rapat-rapat. Karena itu, ia tidak membantah. Namun dengan demikian, pemomong Ken Dedes itu menjadi sedikit tenang. Ia kini sudah tahu, di mana momongannya berada.
Kemudian Witantra dan istrinya beserta pemomong Ken Dedes itu pun kembali ke rumahnya. Kepada emban yang mengawani Nyai Witantra menunggu suaminya, Witantra berpesan
“Emban. Kalau kau dapat masuk ke sentong tengen, sampaikanlah kepada gadis itu, bahwa pemomongnya telah berada di Tumapel. Besuk ia akan dapat bertemu. Mudah-mudahan dengan demikian ia menjadi agak tenang.
Emban itu mengangguk hormat.
Malam telah menjadi semakin larut. Bintang-bintang di langit bergayutan pada dataran yang biru pekat. Satu-satu tampak bintang-bintang yang seakan-akan lepas dari tangkainya, meluncur jauh ke arah barat dan hilang meresap di dalam kelam.
Malam itu Witantra menceritakan segala yang diketahuinya dengan berterus terang. Dari yang paling awal, hingga yang paling akhir.
Nyai Witantra mengangkat wajahnya memandang asap pelita yang menggapai-gapai kepanasan. Ditahankannya perasaan yang bergolak di dalam dirinya. Meskipun suaminya terlepas dari segenap hukuman, namun ia akan menghadapi pekerjaan yang berbahaya Witantra telah pula menceritakan, bahwa ia harus memisahkan Kuda Sempana dari gadis itu dengan cara yang sudah ditempuh oleh Kuda Sempana sendiri. Kekerasan.
Persoalan itu akan menjadi persoalan yang aneh sekali. Persoalan yang tidak lazim terjadi di antara manusia-manusia yang menghargai kemanusiaannya. Persoalan yang seakan-akan dapat dipecahkan dengan kekerasan oleh satu pihak tanpa menghiraukan pihak yang berkepentingan. Dalam persoalan yang sulit itu, Ken Dedes sendiri tidak dapat turut menentukan sikapnya.
Tetapi suaminya akan merebut gadis itu bukan karena nafsu seperti apa yang dilakukan oleh Kuda Sempana. Bahkan sebaliknya. Ia ingin melepaskan gadis itu dari penderitaan yang akan dialaminya sepanjang hidupnya. Meskipun Witantra pada suatu saat akan bertempur, namun kini ia akan melakukannya dengan hati yang terang, untuk tujuan yang terang pula. Sehingga meskipun Nyai Witantra tidak dapat menekan kecemasan hatinya, tetapi suaminya berbuat di atas lindasan yang kuat. Sebagai seorang prajurit maka adalah menjadi kewajiban Witantra untuk melepaskan perbuatan-perbuatan yang dapat membahayakan jiwanya. Bertempur. Namun bukanlah untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Tetapi sebaliknya.
Dan kini Witantra itu telah dihadapkan pada kemungkinan itu. Perang tanding, melawan Kuda Sempana.
Ken Arok malam itu tidak ikut kembali ke rumah Witantra. Anak muda itu langsung kembali ke baraknya sendiri. Di perjalanan itu kepalanya selalu dipenuhi oleh berbagai persoalan yang bercampur baur. Heran, kecewa, ngeri dan cemas. Seakan-akan terbayang kembali di muka wajahnya, apa yang pernah dilakukannya dan disusul kemudian oleh apa yang telah dilakukan oleh Kuda Sempana dan Tunggul Ametung. Apapun yang akan dilakukan oleh Tunggul Ametung, namun Ken Dedes itu hatinya telah terluka. Dan luka itu amat parahnya. Tak mungkin seseorang akan dapat menyembuhkan luka itu, bahkan seandainya Ken Dedes itu dijadikannya permaisuri sekalipun.
“Kasihan gadis itu,” desisnya di dalam hati, dan diteruskannya, “untunglah Witantra bersedia untuk melepaskannya. Setidak-tidaknya akan mengurangi penderitaan yang akan dialaminya.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. “Kasihan,” desahnya berulang-ulang. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sendiri takut melibatkan dirinya dalam persoalan itu. Ia takut apabila ia benar-benar harus mengalami akibat dari persoalan-persoalan itu. Bukan takut seandainya ia harus bertempur melawan siapa pun, tetapi ia takut apabila ia harus menjadi pengganti orang yang telah hilang dari hati Ken Dedes. “Aku adalah orang yang paling kotor di dunia ini,” gumamnya, “Lebih kotor dari Kuda Sempana. Mungkin Kuda Sempana baru melakukan hal ini untuk pertama kalinya, sedang aku telah melakukannya berulang-ulang. Meskipun ada beberapa perbedaan, namun pada hakikatnya adalah sama saja.”
Ken Arok itu terkejut, ketika tiba-tiba seseorang meloncat ke tengah-tengah jalan yang dilewatinya. Dengan isyarat tangannya orang itu menghentikannya.
Ken Arok menarik kekang kudanya yang memang berjalan perlahan-lahan. Ketika diamatinya orang itu maka kemudian diketahuinya, bahwa orang itu adalah Kuda Sempana.
“Adi Ken Arok kah itu?”
“Ya,” sahut Ken Arok pendek.
“Kau datang dari istana bersama Witantra?”
“Ya.”
Kuda Sempana berjalan perlahan-lahan mendekati Ken Arok yang masih duduk di punggung kudanya. Dengan suara parau Kuda Sempana bertanya, “Apa kerjamu di istana?”
Ken Arok mengerutkan keningnya Kemudian jawabnya, “Dari mana kau tahu aku dari istana?”
“Kau sendiri mengatakannya.”
“Aku menjawab pertanyaanmu.”
“Beberapa orang melihat kau masuk ke istana. Beberapa orang pelayan dalam dan para emban. Aku telah datang ke istana. Namun kalian baru menghadap akuwu, sehingga aku membatalkan niatku.”
“Oh. Jadi kau sudah tahu.”
Kuda Sempana mengangkat alisnya. Dengan tajamnya ia mencoba melihat wajah Ken Arok dalam kegelapan malam. Namun Kuda Sempana tidak menemukan kesan apa-apa pada wajah itu.
“Apa yang kalian bicarakan?” bertanya Kuda Sempana kemudian.
“Bukan apa-apa.”
“Mustahil! Akuwu memanggil kalian pada saat-saat yang tidak sewajarnya. Pasti ada yang penting kalian bicarakan dengan Akuwu Tunggul Ametung.”
“Ya.”
“Apa?”
“Akuwu marah kepada Kakang Witantra dan kepadaku atas sikap kami berdua.”
“Hanya marah?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian dijawabnya, “Ya. Hanya marah. Apakah kau ingin tindakan lebih dari itu?”
“Telah terucapkan oleh Akuwu Tunggul Ametung, bahwa Witantra akan digantung di alun-alun. Apakah ucapan itu telah dicabut?”
“Ya.”
“Akh. Gila! Dengan demikian maka setiap keputusan akan dapat dicabut tanpa alasan. itu tidak bijaksana. Seorang Akuwu harus tetap pada pendiriannya. Sekali ia menjatuhkan keputusan, maka keputusan itu harus dilaksanakan.”
Ken Arok tidak menjawab. Ia sudah sedemikian lelahnya, sehingga segera ia ingin kembali ke biliknya, menjatuhkan diri dan kalau mungkin tidur. Karena itu dibiarkannya Kuda Sempana melepaskan perasaannya, tanpa diganggunya.
Namun Kuda Sempana menjadi jengkel karenanya. Seakan-akan Ken Arok itu telah tidak mengacuhkannya. Karena itu maka ia berkata lebih keras, “He, Adi Ken Arok. Bukankah aku berkata sebenarnya. Bukankah Akuwu harus menepati keputusannya menghukum Witantra di alun-alun?”
“Itu terserah kepada Akuwu,” sahut Ken Arok yang menjadi semakin jemu mendengar kata-kata Kuda Sempana.
“Tetapi adalah tidak bijaksana dan menurunkan kewibawaannya apabila seorang Akuwu mencabut keputusan tanpa alasan. Akuwu sudah mengucapkan perintah untuk menggantung Witantra karena menentang perintah Akuwu dalam saat yang sulit. itu adalah suatu pemberontakan. Dan hukuman bagi seorang pemberontak adalah hukum gantung di alun-alun. Kenapa tiba-tiba Akuwu mengubah keputusan itu, hanya dengan memarahinya. itu tidak Adil! itu tidak Adil!”
Ken Arok masih duduk terkantuk-kantuk di atas punggung kudanya. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Kuda Sempana. Ia tidak mau menyinggung perasaannya. Tetapi kata-katanya semakin lama semakin menjemukan, sehingga kemudian dengan suara parau ia menjawab, “Kakang. Sebaiknya pertanyaan itu Kakang sampaikan saja kepada Akuwu. Tidak kepadaku.”
Kuda Sempana memandang Ken Arok seperti hendak di telannya bulat-bulat. Dengan wajah tegang ia berkata, “He, Adi Ken Arok. Apakah sebenarnya yang telah kalian bicarakan sehingga akuwu membatalkan hukumannya?”
“Itulah. Akuwu marah kepada kami. Dan tanpa kami duga- duga, Akuwu telah membatalkan hukumannya.”
“Bohong!” bentak Kuda Sempana, “kalian mesti membuat rencana- rencana yang lain, yang memberikan kemungkinan- kemungkinan untuk melepaskan kalian dari hukuman.”
“Ken Arok mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Pelupuk matanya hampir-hampir tak dapat lagi ditariknya. Sekali ia menguap, dan telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka itu. Dengan malasnya ia menjawab, “Kakang. Bertanyalah kepada Kakang Witantra. Hari ini telah terlampau malam untuk berbicara. Biarlah aku beristirahat. Bukankah sebentar lagi kami sudah di bangunkan oleh kokok ayam. Marilah kita pergunakan kesempatan yang tinggal sesaat ini sebaik-baiknya.”
“Aku juga belum beristirahat. Tetapi aku tidak lelah. Aku tidak mengantuk. Dan aku akan berbicara sampai aku mendapat penjelasan yang memuaskan.”
“Silakan Kakang. Kalau Kakang tidak mengantuk, kalau Kakang tidak lelah, dan kalau Kakang mau bangun sampai fajar, silakan. Tetapi aku lelah dan mengantuk. Aku ingin beristirahat.”
“Tidak. Sebelum kau menjelaskan apa yang telah kalian bicarakan.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Di langit dilihatnya bintang berhamburan. Sekali-kali kelelawar terbang di atas kepalanya. Kelelawar yang sedang mencari mangsanya. Ketika dilihatnya beberapa kelelawar yang beterbangan itu. Ken Arok tersenyum di dalam hati. Ia sendiri tidak tahu, kenapa pendeta di Sagenggeng pernah berkata kepadanya, bahwa dari kepalanya telah keluar berbondong-bondong kelelawar yang merusak buah jambunya.
“Lucu,” gumam Ken Arek di dalam hatinya, “apakah kepalaku ini sarang kelelawar?”
Namun Ken Arok terkejut ketika Kuda Sempana membentaknya, “He, Adi. Kenapa kau berdiam diri?”
“Ah,” desah Ken Arok, “aku benar-benar mengantuk.”
“Jawab pertanyaanku ini! Kenapa akuwu membatalkan hukumannya kepada Witantra?”
“Hanya Akuwulah yang dapat menjawab. Bertanyalah kepada Akuwu. Jangan kepadaku.”
Kuda Sempana menjadi marah mendengar jawaban Ken Arok itu. Karena itu ia melangkah semakin dekat. Dengan dada tengadah ia berkata, “Adi. Kau adalah seorang hamba yang belum lama berada di lingkungan istana. Sedang aku, dapatlah dikatakan sejak bayi aku berada di sini. Karena itu jangan mencoba menghina aku.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia menjawab, “Tidak Kakang. Aku sama sekali tidak menghina. Aku berkata sebenarnya. Karena itu biarkan aku pergi supaya Kakang tidak tersinggung melihat sikapku. Sebenarnyalah karena aku tidak dapat mencegah kantukku.”
Tetapi jawaban Ken Arok itu benar-benar tidak menyenangkan Kuda Sempana, karena itu ia berkata pula, “Adi. Sekarang turunlah dari kudamu. Beri aku penjelasan. Semakin cepat itu kau lakukan, maka semakin cepat kau dapat beristirahat.
Ken Arok memandang Kuda Sempana dengan penuh keragu-raguan. Tetapi bukan kewajibannyalah untuk memberitahukan persoalan yang terjadi di istana. Biarlah besok atau kapan saja Witantra yang menemui Kuda Sempana dan mengatakan persoalan itu. Bukan dirinya, sebab ia tidak mau terlibat semakin jauh.
Karena itulah maka ia menjawab, “Kakang Kuda Sempana. Sekali lagi aku beri tahukan, bertanyalah kepada Akuwu Tumapel atau kepada Kakang Witantra.”
“Jangan keras kepala!” bentak Kuda Sempana semakin marah.
Namun Ken Arok pun menjawab tegas, “Jangan memaksa!”
Selangkah Kuda Sempana maju mendekati Ken Arok sambil berkata, “Turunlah! Jangan membuat aku marah!”
“Kau yang membuat aku marah,” sahut Ken Arok, “sebab bukan hanya Kuda Sempana saja yang dapat menjadi marah.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya, namun hatinya menjadi semakin menyala. Dengan gigi gemeretak ia berkata, “Adi Ken Arok. Apakah kau membanggakan tanganmu yang mampu membunuh seorang prajurit dengan tangan itu? jangan sombong karenanya. Kau lihat, aku juga mampu membunuh Wiraprana dengan tanganku. Kau lihat dengan kedua belah matamu yang bulat itu bukan? Nah, sekarang katakan kepadaku, apa yang kalian bicarakan dengan Akuwu, atau aku terpaksa memaksamu?”
Tubuh Ken Arok tiba-tiba menjadi gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kuda Sempana dapat berlaku sekasar itu. Tetapi ia sendiri adalah bekas seorang penyamun, pembunuh, perampok dan bahkan seorang hantu di padang rumput Karautan. Kini ia telah mendapat tuntunan yang dapat mengatur segala gerak dan tingkah lakunya, sehingga kekuatan-kekuatan yang dianugerahkan kepadanya, telah dapat disusunnya menjadi suatu kekuatan yang dahsyat. Karena itu, maka ia sama sekali tidak takut menghadapi Kuda Sempana seandainya terpaksa ia harus berkelahi. Tetapi kembali ia menjadi ragu-ragu. Ketika ia hampir saja meloncat dari punggung kudanya, maka diingatnya kembali kata-kata Akuwu Tumapel kepada Witantra, bahwa ia harus merebut Ken Dedes dengan kekerasan. Bukan untuk dirinya atau untuk Witantra, namun perbuatan itu dilakukan asal saja dapat membebaskan Ken Dedes dari Kuda Sempana. Karena itu, maka kali ini Ken Arok menjadi bimbang. Kalau sampai dirinya terlibat dalam perkelahian dengan Kuda Sempana, maka apa yang akan di lakukan oleh Witantra akan menjadi hambar. Mungkin Witantra dan Akuwu Tunggul Ametung akan marah kepadanya. Karena itu, maka biarlah Witantra kelak berhadapan dengan Kuda Sempana dalam persoalan itu. Ia tidak akan mendahului.
Dengan demikian, ketika Ken Arok itu melihat Kuda Sempana selangkah lagi maju. maka dengan serta-merta ditariknya kendali kudanya dan dengan ujung kendali dilecutnya kuda itu.
Kuda itu terkejut bukan kepalang. Dengan kerasnya kuda itu meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya. Namun sejenak kemudian kuda itu meloncat dan menghambur ke dalam kelamnya malam.
Kuda Sempana pun terkejut melihat kuda itu meloncat. Dengan tangkasnya ia meloncat ke samping dan dengan marahnya ia melihat kuda itu berlari menjauhinya.
“Pengecut!” umpatnya, “aku sangka kau seorang jantan.”
Dari kejauhan Ken Arok menjawab, “Aku menghindar kali ini Kakang. Kalau kau tidak puas, buatlah persoalan yang lain pada kesempatan yang lain. Aku akan mencoba melayani.”
“Setan! Berhenti kalau kau laki-laki!”
Tetapi Ken Arok telah semakin jauh. Derap kudanya gemeretak di atas batu-batu di jalanan. Semakin lama semakin lambat dan akhirnya lenyap dalam keheningan malam.
“Pengecut!” gumamnya.
Kuda Sempana itu terkejut ketika ia mendengar gerit pintu di belakangnya. Agaknya penghuninya mencoba melihat apa yang terjadi di jalan. Ketika ia mendengar suara ribut-ribut, ia mencoba mengintip dari lubang-lubang dinding, namun ketika ia tidak melihat apa-apa, maka terpaksa dibukanya pintu rumahnya. Seberkas sinar pelita yang lemah meluncur dari secercah pintu yang terbuka itu. Namun hanya sebentar, kemudian pintu itu telah tertutup kembali.
Kuda Sempana mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia berjalan ke barak Ken Arok. Ia tidak puas dengan pertemuan yang menyakitkan hati itu. Anak itu akan dicarinya dan dipaksanya untuk berkata. Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Ken Arok berhasil melawan Mahisa Agni dengan baik. Bahkan belum dapat dilihat apakah ia akan dikalahkan. Kuda Sempana melihat bahwa dalam perkelahian itu, Mahisa Agni itu telah berusaha melepaskan kekuatan tertinggi yang disimpan dalam dirinya. Ah, mungkin Mahisa Agni menjadi bingung menghadapi persoalan itu. Kalau ia masih senang, maka aku sangka Ken Arok itu akan dengan mudah dikalahkan. Kalau ia berani melawan aku, maka aku kira ia akan luluh menjadi debu, apabila tersentuh kekuatan aji Kala Bama.
Kuda Sempana itu pun semakin mempercepat langkahnya. ia hampir tidak sabar lagi ketika tampak olehnya barak Ken Arok yang membujur di belakang sebuah halaman yang luas.
Seorang penjaga yang bertugas di pintu gerbang tiba-tiba merundukkan tombaknya sambil bertanya, “Siapa?”
“Minggir! Aku pecahkan kepalamu nanti,” sahut Kuda Sempana kasar.
“Oh. Kau Kakang Kuda Sempana?”
“Apakah Ken Arok sudah pulang?”
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Belum Kakang.”
“Jangan bohong. Kau mau mencoba melindunginya?”
Penjaga itu menjadi bingung. Ia tidak tahu persoalan apakah yang sudah terjadi. Karena itu sekali lagi ia menjawab, “Belum. Aku tahu pasti, Ken Arok belum kembali ke barak.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Ken Arok yang mendahuluinya berkuda itu pasti sudah sampai di sini. Karena itu ia menjadi jengkel mendengar jawaban itu. Sehingga sekali lagi ia membentak, “Jangan bohong! Atau kau tertidur dalam tugasmu?”
“Tidak,” jawab penjaga itu.
“Apa yang tidak?”
“Tidak bohong dan tidak tertidur.”
“Kalau begitu kau sengaja melindunginya. Minggir! Biarlah aku cari sendiri anak itu di dalam biliknya.”
Penjaga itu sudah kenal betul siapakah Kuda Sempana. Ia adalah anggota yang lebih tua daripadanya. Karena itu maka dibiarkannya Kuda Sempana itu masuk.
Dengan langkah yang panjang-panjang Kuda Sempana langsung menuju ke bilik Ken Arok. Dengan serta-merta ditariknya daun pintu leregan yang terkatup.
Ketika pintu itu bergerit, maka terkejutlah tiga orang penghuni bilik itu. Dengan tangkasnya mereka berloncatan dari pembaringan mereka. Tetapi ketika mereka melihat Kuda Sempana berdiri di muka pintu, maka terdengarlah mereka berdesah dan mengumpat di dalam hati mereka.
“Kau mengejutkan kami Kakang,” berkata salah seorang daripadanya.
Kuda Sempana sama sekali tak acuh mendengar perkataan itu. Dengan nanar ditebarkannya pandangan matanya ke segenap sudut ruang itu. Namun Ken Arok benar tidak ada di dalam biliknya itu.
“Siapakah yang kau cari?” bertanya yang lain.
“Ken Arok,” jawab Kuda Sempana singkat.
“Bukankah Ken Arok pergi bersamamu berburu sejak pagi tadi?”
Kuda Sempana tidak menjawab, bahkan berpaling ke pada orang yang berkata itu pun tidak. Segera ia melangkah meninggalkan bilik itu sambil mengumpat di dalam hatinya, “Ke mana anak setan ini pergi?”
Tetapi Kuda Sempana sudah kehilangan nafsu untuk mencarinya. Karena itu, maka ia pun segera meninggalkan barak itu untuk kembali ke baraknya sendiri. Namun kepalanya selalu diganggu oleh persoalan-persoalan yang tidak menentu. Tentang Akuwu Tunggul Ametung, tentang Witantra dan tentang Ken Dedes. Kalau akuwu melepaskan perlindungannya kepadanya, maka dikhawatirkan bahwa Mahisa Agni akan segera datang menyusul Adiknya. Atau …. Kuda Sempana menghentakkan giginya.
“Akuwu itu pun tidak ubahnya seperti hantu-hantu yang berkeliaran di kuburan. Setiap saat ia dapat menerkam dan mencelakakan. Kenapa gadis itu aku biarkan tinggal di dalam istana?”
Tetapi Kuda Sempana tidak pergi ke istana. Di regol masih dilihatnya penjaga yang berdiri terkantuk-kantuk.
“He, kau kantuk lagi?”
“Tidak,” sahut penjaga itu. Dan dilihatnya Kuda Sempana berjalan tergesa-gesa meninggalkan halaman itu.
Ketika Kuda Sempana telah hilang di dalam kegelapan malam, maka barulah penjaga itu teringat bahwa baru saja dilihatnya seekor kuda yang berlari kencang dan membelok di ujung jalan sebelum melampaui penjagaannya.
“Kalau Ken Arok masih membawa kudanya, maka pasti kuda yang membelok itu tadi,” gumam penjaga itu kepada diri sendiri.
Dan sebenarnyalah Ken Arok mengurungkan niatnya kembali ke pondoknya. Ia merasa tidak tenang di dalam barak itu. Menurut perhitungannya. Kuda Sempana pasti akan menyusulnya dan mengganggunya lagi, sehingga ia tidak akan sempat untuk beristirahat. Karena itu Ken Arok memacu kudanya ke rumah Witantra. Ia mengharap dapat beristirahat di rumah itu. Dan seandainya Kuda Sempana mencarinya ke sana, biarlah Witantra yang memberinya jawaban
Ketika ia memasuki halaman rumah Witantra, ternyata Witantra pun baru saja sampai. Sebab ia terpaksa menuntun kudanya dan berjalan bersama istri dan pemomong Ken -Dedes.
Kehadiran Ken Arok itu benar-benar mengejutkannya, tetapi ketika Ken Arok telah me
nceritakan apa yang terjadi, maka Witantra itu pun tersenyum. Katanya, “Nah, kalau Adi mau tidur, tidurlah, meskipun hanya di atas sehelai tikar.”
“Biarlah. Aku ingin beristirahat tampak diganggu oleh siapa pun. Karena itu aku berlari kemari.”
Ken Arok itu pun segera dipersilakan tidur di ruang tengah, namun Ken Arok itu berkata, “Biarlah aku tidur di luar Kakang, udara terlalu panas.”
“Di luar terlalu dingin,” sahut Witantra.
“Tidak. Di luar udara segar dan sejuk.”
Sambil menjinjing sehelai tikar Ken Arok pergi ke samping rumah. Seperti pada masa-masanya yang telah lampau segera ia memanjat ke atas kedogan kuda dan tidur dengan nyenyaknya beralaskan tikar dan jerami.
Tetapi di dalam rumah itu, Witantra tidak segera dapat memejamkan matanya. Ia sedang membuat gambaran-gambaran tentang usahanya untuk menolong Ken Dedes dari ketakutan dan derita sepanjang umurnya.
“Besok aku harus menemui Kuda Sempana,” desisnya. Dan dipaksanya dirinya melupakan sejenak apa saja yang akan terjadi. Ketika malam sudah hampir menjelang pagi, barulah Witantra dapat tertidur sesaat.
Namun seisi rumah itu pun segera terkejut ketika terdengar derap kaki-kaki kuda memasuki halaman rumah itu. Sebelum mereka menjadi sadar benar, maka terdengarlah ketokan yang keras pada pintu depan.
Witantra meloncat dari pembaringannya. Namun ia tidak segera beralih membuka pintu rumahnya. Sesaat ia memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Ketika ketokan itu masih saja berulang berkali-kali maka terdengar Witantra bertanya, “Siapa?”
“Aku,” terdengar jawaban di luar pintu, “Kuda Sempana.”
“Oh,” Witantra menarik nafas panjang, dan gumamnya di dalam hati, “Ternyata anak ini tidak bersabar sampai matahari memancar kembali.”
Perlahan-lahan Witantra pergi ke pintu rumahnya. Istrinya yang terbangun pula, berdiri dengan tegang di muka sentongnya. Ketika Witantra lewat di sampingnya, maka terdengar istrinya berbisik, “Hati-hatilah Kakang.”
“Anak itu tidak akan apa-apa. Ia belum tahu segenap persoalan yang harus dilakukannya. Kedatangannya pasti hanya di dorong oleh kegelisahan yang tak dapat ditundanya.
Istrinya tidak menjawab. Namun wajahnya masih saja tegang seperti hatinya yang tegang pula.
Di muka pintu Witantra masih bertanya, “Adi Kuda Sempana, kenapa Adi datang di pagi-pagi buta ini?”
“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan Kakang,” jawab Kuda Sempana.
Sesaat kemudian terdengar pintu bergerit terbuka. Di muka pintu berdiri Kuda Sempana dengan nafas terengah-engah. Dipandanginya wajah Witantra dengan penuh kecurigaan.
“Marilah,” Witantra mempersilakan.
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak Kakang. Aku hanya ingin tahu, apakah yang Kakang perbincangkan dengan Akuwu bersama Adi Ken Arok?”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa Adi tidak menunggu sampai besok siang?”
“Aku tidak tahan. Hatiku seakan-akan selalu diganggu oleh pertemuan kalian.
“Kenapa?” bertanya Witantra.
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Hatinya menjadi berdebar-debar dan kata-katanya seakan-akan tersangkut di kerongkongan.
Di samping rumah itu, di atas kandang kuda, Ken Arok mendengar pula kehadiran Kuda Sempana. Namun dengan malasnya ia menggeliat dan berusaha untuk tidur kembali.
Tetapi percakapan antara Witantra dan Kuda Sempana ternyata menarik perhatiannya, sehingga justru ia mencoba menangkap setiap kata yang meluncur dari sela-sela Bibir mereka.
Sejenak kemudian terdengar Kuda Sempana menjawab, “Kakang, pertemuan yang terjadi di istana malam tadi adalah tidak wajar.”
“Apa yang tidak wajar?”
“Akuwu tidak biasa memanggil seseorang di malam hari apabila tidak terlalu penting.”
“Ya. Memang Akuwu memanggil pada sore hari. Namun aku masih harus mandi dan makan dahulu, sehingga aku datang terlambat.”
“Kalau Kakang yang terlambat, tidak mungkin Akuwu akan menerima Kakang. Bahkan mungkin Kakang telah diusirnya.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia menjadi ragu-ragu Apakah ia akan mengatakan apa yang didengarnya dari Akuwu saat itu juga. Tetapi tebersit di dalam hatinya, apabila mungkiri biarlah ditemuinya saja Kuda Sempana pada kesempatan yang lebih baik. Tidak di pagi-pagi buta dan apabila ia tidak sedang dibakar oleh kebingungan.
Karena itu, maka sekali lagi Witantra itu berkata, “Adi Kuda Sempana. Duduklah. Dan marilah kita berbicara dengan tenang. Apabila Adi tidak juga mau duduk, maka setiap pembicaraan pasti akan tergesa-gesa.”
“Tidak Kakang. Aku hanya perlu sepatah dua patah kata dari Kakang. Apakah yang dibicarakan akuwu malam tadi?”
Witantra mengerutkan keningnya. Sambil menebarkan pandangan matanya ke seluruh halaman ia berkata, “Apakah Adi Kuda Sempana belum mendengarnya dari Adi Ken Arok.”
Kuda Sempana menggeleng. “Belum,” jawabnya.
“Kenapa Adi tidak bertanya saja kepadanya?”
Anak muda yang bernama Kuda Sempana itu mengernyitkan alisnya. Dengan jengkel ia menjawab, “Aku sudah bertanya kepadanya, tetapi ia minta kepadaku untuk menanyakan saja kepada Kakang Witantra.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih mencoba menunggu sampai siang. Katanya, “Baiklah, nanti aku akan datang ke barakmu. Aku akan minta Adi Ken Arok menceritakan apa yang telah didengarnya dari akuwu.
“Kenapa nanti? Dan kenapa Ken Arok?” sahut Kuda Sempana semakin jengkel, “Ken Arok minta kepadaku untuk menghubungi Kakang. Kakang sekarang berkata, akan membawa Ken Arok. Apakah aku ini kalian sangka seperti sebuah balok permainan yang dapat dilemparkan ke sana kemari.”
“Bukan itu maksudku Adi. Tetapi kali ini adalah bukan waktu yang tepat untuk berbincang. Biarlah istri dan ibuku tidur sampai fajar. Kedatangan Adi benar-benar mengejutkan mereka.”
“Kalian selalu mementingkan kepentingan diri. Ken Arok juga berkata demikian. Ia ingin segera tidur. Kakang juga hanya berpikir tentang keluarga Kakang. Tetapi Kakang tidak mau mengerti perasaanku. Semalam aku tidak dapat tidur. Semalam aku selalu diburu oleh kegelisahan.”
“Bukankah itu juga suatu perbuatan yang hanya mementingkan kepentinganmu sendiri? Kalau kita berbuat dengan memperhatikan kepentingan orang lain, maka kau tidak akan datang kemari di pagi buta ini. Kau pasti akan menunggu sampai hari besok.”
Kuda Sempana terdiam. Namun kemudian ia menjawab, “Nah. Sekarang aku minta Kakang mengatakan. Dua tiga patah kata saja. Bagaimana sikap Akuwu terhadap gadis itu?”
“Gadis itu menjadi sakit karenanya.”
“Aku bertanya tentang sikap Akuwu terhadap gadis itu.
“Oh. Akuwu mencoba mengobatinya. Telah dipanggil olehnya seorang dukun yang baik.”
“Bukan itu!” Kuda Sempana tiba-tiba membentak, “Sikap perasaan Akuwu sebagai laki-laki terhadap perempuan.”
Witantra menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian katanya, “Kuda Sempana tinggalkan tempat ini. Kau tahu siapa aku? Perwira prajurit pengawal istana dan akuwu. Kau dengar perintah ini, hai pelayan dalam?”
Telinga Kuda Sempana seakan-akan seperti tersentuh api mendengar kata-kata itu.
Sesaat ia terpaku, namun giginya gemeretak menekan kemarahan yang melonjak-lonjak di hatinya. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri. Sebagai seorang laki-laki yang telah berani melakukan perbuatan yang berbahaya, melarikan seorang gadis, maka apapun yang akan menghalanginya, pasti akan diterjangnya. Tetapi kali ini ia berhadapan dengan seorang perwira pengawal istana dan akuwu. Karena itu ia menjadi ragu-ragu. Bukan karena ia takut untuk berkelahi melawannya, tetapi apakah dengan demikian ia tidak melanggar ketentuan sebagai seorang hamba istana.
Sejenak Kuda Sempana berdiri tegang. Dipandanginya mata Witantra yang seakan-akan menyala membakar jantungnya Namun kemudian pandangan matanya itu terlempar jauh ke sudut halaman.
Yang terdengar kemudian adalah suara Witantra, “Tinggalkan tempat ini!”
Dada Kuda Sempana berdebar-debar keras sekali. Selangkah ia surut namun kemudian jawabnya, “Kakang Witantra, ternyata Kakang tidak mau menolong meringankan perasaanku. Baik. Selagi aku terikat pada ketentuan dan peraturan, aku menaati perintahmu. Tetapi pada suatu ketika kita akan berdiri di luar garis jabatan kita masing-masing. Dalam kesempatan itu kita akan bertemu sebagai dua orang laki-laki. Kali ini kau masih dapat mempergunakan kekuasaanmu untuk mengusir aku. Namun pada saatnya kau akan terbungkam.”
“Kuda Sempana!” geram Witantra, “Saat itu tidak akan lama lagi datang. Di mana kita akan berhadapan sebagai dua orang laki-laki tanpa tanda- tanda jabatan masing-masing.”
Kuda Sempana membelalakkan matanya. Timbullah kecurigaan yang semakin besar di dalam dirinya. Sehingga karena itu ia berkata, “Aku tidak sabar lagi menunggu saat itu datang.”
“Pergilah!” hardik Witantra, “Kau tidak akan menunggu sampai matahari terbenam di hari yang akan datang nanti.”
Sekali lagi Kuda Sempana menggeretakkan giginya. Dipandangnya wajah Witantra sekali lagi. Kemudian cepat-cepat ia memutar tubuhnya. dan berjalan tergesa-gesa ke kudanya. Sesaat kemudian terdengarlah langkah kudanya menderu di keremangan fajar yang sudah mulai membayang di timur.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ditengadahkan wajahnya, dan dilihatnya bintang pagi berkilauan di tenggara. Cahaya yang kemerah-merahan sudah mulai membayangi langit. Dan di kejauhan ayam jantan riuh berkokok bersahutan.
Ketika Witantra akan melangkah memasuki rumahnya, dilihatnya Ken Arok berjalan dari samping rumahnya. Sekali ia menggeliat kemudian katanya, “Kakang Kuda Sempana benar-benar diombang-ambingkan oleh perasaannya sendiri.
“Itu adalah hukumannya yang pertama,” sahut Witantra.
“Ya. Hukuman itu masih akan bertambah-tambah.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula, “Perbuatan-perbuatan yang demikian tidak akan mendatangkan ketenteraman di dalam hati. Nah, marilah, Masuklah. Apakah kau dapat tidur pagi ini?”
“Sebentar. Derap kaki kuda Kakang Kuda Sempana telah membangunkan aku.”
Kembali Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kembali Witantra itu berkata, “Marilah. Masuklah.”
“Terima kasih. Biarlah aku mandi dahulu.”
Setelah mereka membersihkan diri masing-masing, barulah mereka duduk di ruang depan rumah Witantra itu sambil menghangatkan diri dengan air daun sere. Meskipun demikian, angan-angan mereka sama sekali tidak melekat pada keadaan mereka saat itu. Mereka sedang sibuk membayangkan, apa yang akan terjadi seterusnya.
“Apakah kita akan menghadap Akuwu?” bertanya Ken Arok.
“Tidak, Akuwu telah mengeluarkan perintah. Aku akan langsung datang kepada Kuda Sempana. Hari ini persoalan harus selesai. Sehingga besok, gadis itu sudah tidak lagi terlibat dalam arus ketakutan dan kecemasan.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kalau demikian apakah kita langsung pergi ke barak Kakang Kuda Sempana.”
“Ya,” jawab Witantra, “marilah kita pergi ke sana.”
Keduanya segera berdiri. Ketika Ken Arok berjalan ke luar, Witantra masuk ke dalam mencari istrinya.
“Aku akan pergi Nyai,” pamitnya.
Nyai Witantra sudah tahu, apa yang akan dilakukan oleh suaminya. Karena itu mau tidak mau, maka hatinya pun menjadi cemas.
“Hati-hatilah Kakang,” suaranya lirih, hampir tidak dapat meloncat dari Bibirnya yang tipis.
“Aku akan mencoba menjaga diriku baik-baik,” sahut Witantra.
Ibunya, yang kemudian datang pula, menepuk pundak anaknya sambil berkata, “Kau adalah seorang prajurit.”
“Ya. Dan kali ini aku tidak sedang menghadapi musuh-musuh Tumapel, tetapi aku sedang berjuang untuk mencoba menyelamatkan sesama.”
“Itu juga pekerjaan seorang kesatria,” bisik ibunya.
Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar suara yang bernada tinggi, “Kakang Witantra selalu mencari kesulitan.”
Witantra berpaling. Dilihatnya Ken Umang bersandar tiang pintu sentongnya. Dengan mengangkat dadanya ia berkata, “Kalau Kakang tidak mencampuri persoalan itu, maka Kakang tidak akan dihadapkan pada persoalan-persoalan yang rumit. Kalau Kakang pergi berperang pedang di tangan, menghadapi musuh-musuh Tumapel, maka akan berbanggalah seluruh rakyat Tumapel. Tetapi kali ini? Kakang berkelahi untuk seorang perempuan yang tak tahu diri. Perempuan pedesaan apa yang dicita-citakan? Menjadi istri Akuwu barangkali? Istri Tunggul Ametung?”
“Umang!” potong Nyai Witantra, “Jangan berkata lagi tentang persoalan yang tidak kau ketahui.”
“Aku tahu seluruh persoalannya.”
“Tidak!” potong Witantra, “Persoalan ini tidak terlalu sederhana. Bukan sekedar persoalan merebut perempuan. Tetapi persoalan ini adalah persoalan kemanusiaan. Persoalan yang lebih berharga dari segenap persoalan.”
Ken Umang mencibirkan Bibirnya sambil mengangkat wajahnya. Hidungnya yang kecil, runcing seakan-akan membayangkan hatinya yang runcing pula.
Kemudian sambil tersenyum Ken Umang itu berkata, “Kakang Witantra ingin menjadi pahlawan kemanusiaan.”
Wajah Witantra menjadi semburat merah. Tetapi ia tidak mau melayani anak-anak sebaya Ken Umang. Seorang anak yang sedang dilanda oleh arus pancaroba. Seorang anak gadis yang belum menemukan alas berpijak. Karena itu maka bisiknya kepada istrinya, “Awasi Adikmu. Ia sedang berada di daerah yang paling berbahaya di sepanjang perjalanan hidupnya. Ia memandang dunia dari dirinya dan berpusar pada dirinya pula. Dalam usia yang demikian, maka berkecamuklah di dalam dadanya, iri, cemburu, cita-cita dan nafsu. Kalau sekali ia salah berpijak maka ia akan tersesat untuk seterusnya.”
“Alangkah sulitnya menguasai anak itu,” desak kakak perempuannya.
“Mudah-mudahan kau berhasil,” sahut Witantra, yang kemudian sekali lagi ia minta diri.
Istrinya, ibunya dan Ken Umang mengantar Witantra dan Ken Arok sampai ke muka regol. Wajah Nyai Witantra masih saja disaput oleh kecemasan hatinya. Ia tahu benar, apa yang akan dilakukan oleh suaminya. Mengemban tugas kemanusiaan, memisahkan gadis yang malang dari Panawijen itu dari Kuda Sempana.
Agak jauh dari mereka, berdirilah emban pemomong Ken Dedes dengan penuh kebimbangan. Sekali ia melangkah maju, dan langkah itu terhenti ketika Ken Umang berpaling kepadanya.
“He, Nini tua,” bertanya Ken Umang, “Apakah momonganmu itu terlalu amat cantik, sehingga seisi istana menjadi bingung karenanya?”
Pemomong Ken Dedes mengerutkan keningnya. Namun kata-kata itu dijawabnya, “Tidak Ngger. Momonganku adalah seorang gadis pedesaan yang sederhana.”
“Nah, bukankah kau ikut berbangga karenanya? Lihat, semua orang di dalam Istana Akuwu Tumapel memperbincangkannya. Ken Dedes. Ken Dedes. Kau lihat, Kakang Witantra, perwira pengawal istana dan pengawal akuwu itu pun menjadi sangat sibuknya. Seorang anak muda pelayan dalam yang tidur di sini semalam pun menjadi ribut. Belum lagi pelayan dalam yang bernama Kuda Sempana yang hampir gila dibuatnya.”
Emban tua itu tidak menjawab Bahkan ditundukkannya wajahnya. Banyak kata-kata yang bergolak di dalam dadanya. Namun ditahannya kata-kata itu kuat-kuat, dan disimpannya baik-baik, Tetapi ternyata terloncat jawaban dari Nyai Witantra, kakak perempuan Ken Umang itu sendiri.
“Umang, Bibi tua tidak tahu apa-apa. Dan apakah salah Ken Dedes, apabila seluruh isi istana menjadi ribut. Bahkan seandainya seluruh laki-laki di Tumapel terbakar pula hatinya melihat kehadirannya di istana serta melihat kecantikannya. Umang, kau juga seorang gadis yang cantik. Namun beruntunglah nasibmu, bahwa kau tidak usah mengalami bencana seperti Ken Dedes. Sebentar lagi kau juga akan meningkat dewasa sepenuhnya. Hati-hatilah.”
Sekali lagi Ken Umang mengangkat dagunya. Kedua matanya yang redup memandang emban tua itu dengan pancaran yang aneh. Namun ia tidak membantah kata-kata kakaknya. Di dalam hatinya tebersitlah kebanggaannya atas kecantikannya. Seperti yang didengarnya dari kakaknya perempuan itu, dari mertua kakaknya dan dari beberapa orang lagi. Sekali-kali ia becermin juga di wajah air yang tenang. Dan memang wajahnya pun tidak kurang cantiknya. Sebentarlah lagi, seandainya bunga, maka bunga itu akan berkembang.
Tetapi kenapa kecantikannya itu tidak mampu menggetarkan istana seperti Ken Dedes? Ia akan berbangga seandainya laki-laki datang bersimpuh kepadanya. Ia akan dapat berbuat banyak dengan kesempatan seperti yang didapatkan oleh Ken Dedes itu. Tetapi ternyata Ken Dedes menyesali nasibnya itu.
“Alangkah bodohnya,” geram Ken Umang di dalam hatinya, “Kalau aku, maka aku akan dapat memilih di antara mereka. Dengan berbagai sayembara, maka akhirnya aku mendapatkan yang paling baik di antara mereka. Mungkin sayembara tanding. Mungkin sayembara pilih. Mungkin sayembara bebana atau apapun yang menyenangkan. Ah. Dasar gadis pedesaan. Gadis yang dikungkung oleh perasaan yang sempit. Yang menilai cinta sebagai nyawanya sendiri. Bagiku, cinta adalah kehidupan ini. Kehidupan yang memberi aku kepuasan. Yang memberi aku apa yang aku inginkan kini. Itulah cinta yang bijaksana. Cinta yang terasa segarnya sebagai meneguk air kelapa ketika kita sedang kehausan. Bukan cinta yang selalu dirundung malang. Cinta yang dibungai oleh air mata dan penyesalan.”
Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Disimpannya penilaiannya atas cinta itu di dalam hatinya. Tetapi seolah-olah ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa ia akan dapat menemukan cinta seperti yang diharapkannya itu.
Dengan langkah yang pendek-pendek Ken Umang berjalan kembali masuk ke dalam rumah. Sekali ia berpaling dan dilihatnya ketiga orang perempuan masih berdiri di tempatnya. Nyai Witantra memandanginya sampai ia hilang masuk ke balik pintu.
“Anak itu anak yang terlalu bengal,” desisnya.
“Sabarlah Nyai,” sahut ibu Witantra, “mudah-mudahan semakin banyak umurnya, ia akan menjadi semakin menyadari arti hidupnya. Hidup seorang gadis, yang kelak akan menjadi seorang perempuan dan syukurlah menjadi seorang ibu.”
Nyai Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Mudah-mudahan. Tetapi tidak semua gadis mengalami masa yang tajam setajam pergolakan yang terjadi dalam diri Ken Umang. Aku juga pernah merasakan ketidaktentuan dalam hidup dan cita-cita. Namun segera aku dapat menemukan keseimbangan. Namun anak itu tidak.
“Ajarilah perlahan-lahan,” berkata mertuanya.
Nyai Witantra pun kemudian terdiam. Dipandanginya pintu rumahnya yang masih terbuka. Namun Adiknya sudah tidak tampak lagi. Karena itu maka segera ia mempersilakan ibunya masuk dan mempersilakan emban tua pemomong Ken Dedes itu pula beserta mereka.
Malam itu, Akuwu Tunggul Ametung hampir tidak dapat tertidur pula. Sekali-kali ia bangkit berjalan hilir mudik di dalam biliknya. Namun ketika terasa udara terlalu panas, maka akuwu itu pun berjalan keluar ruangan dengan sebuah kepet di tangannya. Di serambi, di luar ruangan dalam dilihatnya seorang pelayan duduk terkantuk-kantuk menunggu seandainya ada perintah daripadanya Sedang di sudut halaman dilihatnya pelita yang suram dalam gardu penjagaan para prajurit.
Tetapi di serambi itu pun terasa panasnya masih menyengat tubuhnya. Keringatnya mengalir membasmi seluruh wajah kulitnya. Tetapi Tunggul Ametung tidak menyadari, bahwa sebenarnya yang paling panas malam itu adalah nyala kegelisahan di dalam dadanya sendiri. Karena itu, ke manapun ia pergi, dan bahkan seandainya ia berendam di dalam air dingin sekalipun, maka tubuhnya pasti masih akan terasa panas.
Tanpa disengajanya, maka akuwu itu kemudian berjalan ke samping, menembus pintu dan sampailah ia di ruangan pusat istana Tumapel. Di belakang ruangan itulah berjajar tiga buah ruangan yang disebut sentong kiwa, sentong tengah dan sentong tengen. Kakinya seolah-olah bergerak saja dengan sendiri, sehingga akuwu itu terkejut ketika dilihatnya seorang emban tidur mendengkur beralaskan selendangnya di muka pintu sentong tengen.
Hampir-hampir Tunggul Ametung membentaknya. Tetapi untunglah segera ia teringat kepada gadis yang pingsan di dalam bilik kanan itu. Karena itu maka niatnya diurungkan Bahkan perlahan-lahan sambil berjingkat Tunggul Ametung berjalan mendekati sentong tengen itu. Ketika ia menjenguk ke dalam dilihatnya Nyai Puroni pun tertidur sambil meletakkan kepalanya di pembaringan Ken Dedes.
Akuwu menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya gadis yang pingsan itu kini telah tertidur pula, meskipun tampak gelisah. Sekali-kali dilihatnya gadis itu menggeliat, kemudian terdengar suara keluhan perlahan-lahan. Namun gadis itu tertidur kembali.
“Gadis itu tertidur karena kelelahan. Lelah lahir dan batinnya,” gumam Tunggul Ametung kepada diri sendiri.
Tetapi Tunggul Ametung itu tidak segera beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba ia terpaku kepada wajah gadis yang sedang tidur di pembaringan itu. Wajahnya yang pedih menahan sakit hati, matanya yang bendul karena menangis dan bibinya yang tipis bergerak-gerak melontarkan keluhan yang sedih. Namun semuanya itu benar-benar telah memukau hatinya. Baru kini ia sempat memandang wajah itu dengan seksama. Wajah yang wajar bersih tanpa selapis pulasan apapun. Bahkan tampaklah air matanya masih juga membasahi ujung-ujung rambut dan bantalnya.
“Hem,” akuwu itu menarik nafas dalam-dalam, “Kasihan. Gadis yang bersih itu kini kehilangan kegemitangan masa depannya. Kehitangan kekasih yang dicintainya. Kehitangan kemerdekaan dirinya dan kehilangan apapun yang dimilikinya apa bila ia benar-benar jatuh ke tangan Kuda Sempana.
“Hem, setan itu benar-benar telah menjebak aku.”
Tetapi desah itu pun terputus. Akuwu menggelengkan kepalanya. Ia telah berbuat di hadapan saksi-saksi. Ia tidak akan dapat melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Ia tidak akan berkata bahwa perbuatan itu dilakukan oleh Kuda Sempana. Ia tidak akan bisa menghukum orang lain karena perkosaan atas kemanusiaan. Semua telah terjadi di hadapan hidungnya.
“Hem,” sekali lagi Tunggul Ametung itu menggeram. Dan sekali dipandanginya wajah gadis yang sedang tertidur itu. Wajah yang wajar bersin tanpa selapis pulasan apapun.
“Kalau aku dapat mencarikan ganti yang hilang dari gadis itu,” katanya di dalam hati, “Seandainya aku memiliki seseorang yang bernama Wiraprana. Seandainya aku dapat menghidupkannya kembali. Seandainya, ya seandainya semua itu belum terjadi Tetapi itu adalah angan-angan yang mustahil terjadi. Sekarang, ya, apa yang dapat dilakukannya?”
Hati Tunggul Ametung berdesir ketika Ken Dedes itu bergerak. Namun kembali gadis itu diam. Namun tampaklah wajah itu berkerut seakan-akan menahan pedih yang menggores-gores hatinya.
“Kasihan,” desis akuwu.
Dan tiba-tiba saja melonjaklah sesuatu di dalam hati akuwu itu. Darahnya yang gelisah. seakan-akan mendidih karenanya. Matanya itu tajam-tajam memandangi wajah Ken Dedes yang wajar, bersih dan muram ia tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja tebersitlah suara di dalam hatinya, “Tunggul Ametung, kesalahan ini terletak di pundakmu. Karena itu kaulah yang harus menebusnya. Semua milikmu tidak akan cukup banyak untuk mengganti kepedihan hati gadis itu. Gadis yang sebenarnya bukan gadis pedesaan kebanyakan seperti yang kau saksikan sendiri. Dari tubuh gadis memancar cahaya yang tidak dapat kau lihat dengan mata wadagmu. Namun sekali-sekali tampak oleh mata hatimu.”
Tunggul Ametung itu menjadi berdebar-debar suara itu terngiang di dalam rongga hatinya. Semakin lama semakin keras. Sehingga Akuwu Tumapel itu menjadi bingung karenanya.
Dalam kebingungan itu sekali lagi mata hatinya melihat keganjilan itu. Tubuh Ken Dedes tiba-tiba menjadi bercahaya. Hanya sekilas saja, sekilas pada saat Tunggul Ametung seakan-akan kehilangan kesadarannya. Namun ketika ia mencoba membuka matanya lebar-lebar kembali ia melihat gadis itu terbujur diam. Gadis pedesaan, dengan kain lurik kasar dan rambut yang terurai lepas.
Tunggul Ametung itu menjadi gemetar. Ia mengalami suat u peristiwa yang tidak dimengertinya. Sedang suara yang terngiang di telinga hatinya menjadi semakin keras Dan seolah-olah mengguntur tidak henti-hentinya.
Akuwu itu benar-benar diganggu oleh indera halusnya. Meskipun wadagnya sama sekali tidak mengalami rangsang apapun, namun telinga hatinya telah mendengar suara itu, dan mata hatinya telah melihat cahaya ini. Perpaduan dari penghayatan hatinya itu, menumbuhkan akibat yang luar biasa pada dirinya. Dan tiba-tiba pula, di luar kemauannya. terdengar akuwu itu bergumam perlahan-lahan, “Akan aku tebus semua kesalahan ini. Akan aku ganti yang hilang dari gadis itu dengan semua yang aku miliki, termasuk tanah Tumapel.”
Kata-kata janji itu seakan-akan disambut oleh suara guruh yang menggelegar dan guntur yang bersahut-sahutan di antara kilat yang bersambung. Suaranya bergelora seolah-olah menggugurkan Gunung Kawi, Gunung Arjuna dan Gunung Semeru.
Akuwu itu pun kemudian menjadi gemetar. Hampir-hampir ia tidak dapat lagi berdiri tegak pada kedua kakinya. Dengan tangan yang menggigil dicobanya untuk berpegangan pada tiang-tiang pintu sentong tengen sambil memejamkan matanya. Seandainya istana ini roboh karena petir dan guntur, biarlah ia tidak menyaksikannya.
Namun tiang-tiang itu masih tegak di tempatnya. Istana itu sama sekali tidak bergoyang. Sehingga sesaat kemudian, ketika gemuruh itu telah mereda, terasa dada Tunggul Ametung menjadi sesak. Kini disadarinya, bahwa guruh yang bergelora dan kilat yang bersambung di antara gemuruhnya guntur adalah bergolaknya dadanya sendiri. Dadanya yang pepat dan seakan-akan sebuah waduk raksasa yang dilanda banjir empat puluh malam. Dadal, jebol tanpa dapat ditahankan lagi. Gulung gemulungnya air bah itu ternyata telah melanda segenap dinding hatinya.
Tunggul Ametung itu perlahan-lahan membuka matanya. Masih dilihatnya pelita yang tersangkut di thundaknya. Masih dilihatnya perhiasan-perhiasan dinding ukiran masih berada di tempatnya. Dan ketika ia meraba tubuhnya, terasa alangkah dinginnya.
Namun sekali lagi Tunggul Ametung terkejut, sehingga ia terlonjak di tempatnya. Tepat ia berpaling dan kembali didengarnya suara itu. Perlahan-lahan menghantam dadanya seperti runtuhnya Gunung Semeru, “Tuanku, Akuwu Tunggul Ametung. Apakah kata-kata Tuanku telah Tuanku pertimbangkan sebaik-baiknya?”
Kembali rubuh Tunggul Ametung menjadi gemetar. Keringat dinginnya mengalir membasahi segenap tubuhnya. Kini diketahuinya dengan pasti, bahwa Nyai Puroni, dukun tua itulah yang berkata kepadanya. Dukun tua yang telah terbangun dari tidurnya.
Dengan terbata-bata Tunggul Ametung bertanya, “Nyai, apakah yang kau dengar?”
“Kata-kata Tuanku?”
“Apa yang aku katakan?”
Nyai Puroni menarik nafas dalam-dalam. Sambil menyembah ia berkata, “Tuanku telah mengucapkan sebuah janji.”
Tubuh Tunggul Ametung menjadi semakin gemetar. Dengan nada parau ia bertanya, “Apakah yang aku ucapkan?”
“Janji,” sahut Nyai Puroni, “dan janji itu terlampau berat untuk dapat dipenuhi.”
Kini Tunggul Ametung tidak saja berpegangan tiang-tiang pintu bilik itu, tetapi kini ia terpaksa menyandarkan seluruh tubuhnya pada tiang itu. Ya, kini semuanya jelas baginya. Ia telah mengucapkan janji, dan janji itu benar-benar sangat berat untuk dipenuhi. Namun ia tidak dapat mengingkarinya. Janji itu telah terucapkan dan seseorang telah mendengarnya. Meskipun orang itu akan dapat menyimpan rahasia apa bila dimintanya, namun ia tidak dapat mengingkari pendengarannya sendiri. Telinga hatinya yang dengan pasti telah mendengar janji itu. Dan bahkan janji itu seakan-akan telah terngiang kembali di telinganya. Semakin jelas, kata demi kata, Akan aku tebus semua kesalahan ini. Akan aku ganti yang hilang dari gadis itu dengan semua yang aku miliki, termasuk Tanah Tumapel ini.
Tunggul Ametung memejamkan matanya.
Ruangan itu untuk sesaat dilanda oleh kesepian. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang semakin cepat mengalir. Di luar pintu terdengar emban itu masih tidur mendengkur. Seakan-akan tidak pernah terpikir olehnya apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang akan terjadi.
Namun sejenak kemudian terdengarlah suara Nyai Puroni perlahan-lahan, “Tuanku. Meskipun janji itu telah Tuanku ucapkan, tetapi belum seorang pun yang mendengarnya selain aku. Karena itu, Tuanku, seandainya pertimbangan Tuanku kemudian berkata lain, sebaliknya Tuanku menyadari keadaan Tuanku sebagai seorang akuwu.”
Tunggul Ametung masih memejamkan matanya. Kata-kata itu didengarnya dengan baik. Sehingga terjadilah suatu per golakan yang dahsyat di dalam hatinya. Ketika ia membuka matanya dilihatnya Ken Dedes terbaring diam di pembaringan. Sebuah kain lurik yang kasar dan kesederhanaan wajahnya benar-benar telah mengungkapkan kesederhanaannya sebagai gadis pedesaan.
Kini hati akuwu itu menjadi ragu-ragu. Gadis itu adalah gadis pedesaan. Apakah pedulinya seandainya ia menjadi sengsara dan kehilangan masa depannya. Ia adalah satu dari ribuan gadis desa. Gadis yang tidak akan berarti apa-apa bagi tanah ini, bagi Tumapel. Kenapa selama ini ia dipusingkan olehnya. Hanya oleh seorang gadis desa. Kalau ia ingin menolongnya, maka dapatlah ia menolong dengan cara yang semudah-mudahnya. Mengembalikan gadis itu ke kampungnya. Mengancam Kuda Sempana untuk tidak mengganggunya lagi. Dan selesailah pekerjaannya.
Tetapi bagaimana dengan Wiraprana yang telah mati itu. Dan bagaimana dengan masa depan gadis itu.
“Ah,” terdengar sebuah keluhan di dalam hati Tunggul Ametung, “ada beribu-ribu anak muda di pedesaan itu. Biarlah ia memilih. Nanti biarlah aku yang membawa anak muda itu kepadanya sebagai ganti Wiraprana.”
Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba mata Tunggul Ametung menjadi terbelalak. Sekali lagi ia melihat cahaya yang memancar dari tubuh Ken Dedes, seakan-akan memancar dari dalam tubuh itu. Namun kembali cahaya itu tidak tertangkap oleh matanya.
“Oh,” akuwu itu mengeluh, “Nyai. Nyai Puroni. Apakah aku sudah menjadi gila he?”
Nyai Puroni menjadi cemas melihat Tunggal Ametung kemudian menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
“Tuanku,” desis Nyai Puroni.
“Nyai, aku melihat lagi cahaya itu. Aku melihat lagi. Namun mataku tidak kuasa untuk menangkap.”
“Apa Tuanku. Apakah yang Tuanku lihat?”
Akuwu Tunggul Ametung masih menutupi kedua belah matanya dengan tangannya sambil bersandar di uger-uger pintu. Ia kini benar-benar menjadi pening, dan dengan terbata-bata mencoba menjawab pertanyaan Nyai Puroni, “Aku melihat cahaya itu Nyai. Cahaya yang seakan-akan memancar dari tubuh gadis Panawijen itu. Namun aku tidak kuasa menatap cahaya itu. Demikian akan mencoba memandangnya, maka cahaya itu pun lenyaplah.”
Nyai Puroni menjadi bingung pula. Ia tidak melihat apa-apa pada gadis itu. Tidak melihat cahaya dan tidak melihat sesuatu sama sekali. Namun demikian dibiarkannya saja Akuwu meratapi dirinya, sebab Nyai Puroni itu pun tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab.
Tiba-tiba Tunggul Ametung itu mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia berkata kepada Nyai Puroni, “Nyai. Bagaimana pendapatmu tentang aku? Apakah aku sudah gila atau aku masih cukup sehat?”
“Tuanku,” jawab Nyai Puroni, “pertanyaan Tuanku masih menyatakan bahwa Tuanku sehat sesehat-sehatnya. Mungkin Tuanku lelah atau bingung. Namun setelah Tuanku tenang kembali, maka Tuanku pasti akan menemukan kesegaran pikiran. Juga tentang janji yang Tuanku ucapkan.”
“Ya. Mungkin kau benar Nyai,” berkata Tunggul Ametung, “tetapi janji itu sudah terlanjur aku ucapkan. Aku wajib untuk memenuhinya.”
Nyai Puroni tidak segera menjawab. Ketika ia mencoba memandang wajah Tunggul Ametung, maka dilihatnya cahaya mata Akuwu Tumapel itu melekat pada wajah Ken Dedes, sehingga karena itu maka Nyai Puroni bergumam di dalam hatinya, “Hem. ternyata Akuwu Tunggul Ametung sedang jatuh cinta. Bagi orang yang sedang jatuh cinta, maka semuanya pasti akan direlakan. Bahkan nyawanya sekalipun. Apalagi miliknya yang lain.”
Kesimpulan itu telah menenangkan Nyai Puroni sendiri. Ia tidak lagi heran melihat sikap Tunggul Ametung. Sebagai seorang yang telah lanjut usia, telah banyak yang dilihatnya tentang seorang yang jatuh cinta. Bahkan dalam cerita-cerita pun banyak yang telah didengarnya, seorang raja yang jatuh cinta pada seorang gadis padepokan, gadis seorang pendeta. Meskipun gadis itu melontarkan permintaan yang hampir tak masuk di akal, namun raja itu memenuhinya dengan janji, apabila kelak mereka berputra, maka kerajaan harus diserahkan kepada putra itu. Dan kini Akuwu Tunggul Ametung pun sedang dalam keadaan demikian. Tumapel telah dipertaruhkan, meskipun istilah yang dipergunakannya berbeda.
Sejenak mereka saling berdiam diri dengan angan-angan di kepala masing-masing. Akuwu Tunggul Ametung yang menjadi semakin gelisah dan Nyai Puroni yang telah menemukan sebab dari kegelisahan itu. Di luar pintu seorang emban masih saja tidur dengan nyenyaknya tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi di dalam bilik itu. Bahkan seandainya Gunung Kawi itu runtuh, maka seakan-akan ia tidak akan dapat mendengarnya.
Baru sesaat kemudian, Tunggul Ametung menjadi seolah-olah menyadari dirinya sepenuhnya. Tertatih-tatih ia berjalan beberapa langkah, kemudian kepada Nyai Puroni ia berkata, “Rawat gadis itu baik-baik Nyai. Gadis itu adalah gadis yang sangat malang.”
Nyai Puroni menyembah sambil menjawab, “Ya Tuanku. Akan hamba coba.”
Akuwu itu pun kemudian berjalan keluar bilik sebelah kanan Di muka pintu masih dilihatnya seorang emban yang tidur nyenyak. Tiba-tiba timbullah iri di hatinya. Emban itu saja dapat tidur sedemikian nyenyaknya di lantai serta hanya beralaskan selembar selendang yang tipis. Kenapa ia, seorang Akuwu yang telah disediakan pembaringan yang hangat dan baik untuknya, masih juga tidak dapat tidur senyenyak itu? Karena itu, maka ketika Akuwu berjalan di samping emban yang tidur, dengan sengaja kakinya menginjak tangan emban itu, sehingga emban itu terkejut bukan main. Dengan serta-merta ia memekik kecil dan hampir saja ia mengumpat-umpat sejadinya. Untunglah segera ia membuka matanya, dan ketika dilihatnya akuwu berjalan menjauh segera ia bangkit sambil berkata tersendat-sendat, “Ampun Tuanku. Ampun.”
Tetapi Tunggul Ametung sama sekali tidak berpaling ia berjalan terus meninggalkan ruangan pusat istananya dan masuk ke ruangan dalam. Langsung ia masuk ke dalam biliknya serta menjatuhkan dirinya di atas pembaringannya.
Ketika didengarnya langkah di luar pintu, ia membentak keras-keras, “Siapa itu?”
“Hamba Tuanku. Pelayan dalam yang sedang bertugas.”
“Gila! Pergi! Aku mau tidur, mengerti?”
“Hamba Tuanku,” sahut pelayan dalam itu sambil berjalan menjauh.
Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin jauh menuju ke ujung pagi. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Semakin lama semakin riuh seperti suara hati Tunggul Ametung. Namun dengan demikian akuwu itu menjadi jengkel bukan buatan. Ia ingin tidur sepulas-pulasnya, namun suara ayam jantan itu sangat mengganggunya. Bahkan ayam-ayamnya sendiri yang jumlahnya belasan itu pun berkokok pula bergantian.
“Hem. Aku sumbat mulutnya besok,” desisnya. Tetapi akuwu tak akan kuasa menghentikan kokok ayam itu. Ayam itu pasti akan berkokok selagi matahari masih akan terbit. Mereka baru akan berhenti apabila leher mereka telah patah. Namun ayam-ayam jantan yang lain masih akan berkokok pula. Demikianlah akuwu tidak dapat pula menindas perasaan yang tumbuh di dalam hatinya. Sekali ia berhasil menolak perasaan itu dengan alasan-alasan yang dibuat, namun perasaan yang lain telah mengguncangkan pula. Sehingga kini Tunggul Ametung tidak dapat mengingkari lagi, bahwa wajah gadis pedesaan itu selalu mengganggu ketenangannya.
Namun akhirnya malam itu pun dilampauinya pula. Ketika pagi yang jernih telah tumbuh, maka teringatlah ia akan pesannya kepada Witantra untuk membuat penyelesaian dengan Kuda Sempana.
Tunggul Ametung itu menjadi semakin gelisah. Apakah Witantra berhasil melakukan tugasnya? Tunggul Ametung telah melihat ketangkasan Kuda Sempana dalam olah kesaktian. Dengan tangannya ia telah membunuh Wiraprana.
“Kalau Witantra gagal,” desis akuwu itu sambil bangkit dari pembaringannya, “maka aku sendiri yang akan menundukkannya.”
Tunggul Ametung kemudian tidak dapat lagi berbaring di pembaringannya. Cahaya Matahari yang segar telah menusuk-nusuk lubang dinding menerangi biliknya. Semakin lama semakin terang, sehingga sinar pelita di dalam bilik itu hilang tenggelam dalam cahaya matahari pagi.
Ketika Akuwu Tunggul Ametung berteriak-teriak untuk menyiapkan air hangat, maka pada saat itulah kuda Witantra dan Ken Arok berlari kencang menuju ke barak Kuda Sempana, yang terletak beberapa puluh langkah dari barak Ken Arok.
Demikian mereka melewati gerbang baraknya sendiri, seorang kawannya berteriak memanggil, “He, Ken Arok. Dari mana kau?”
Ken Arok memperlambat jalan kudanya, kemudian berhenti sama sekali. Sedang Witantra berhenti beberapa depa di sampingnya.
“Kenapa?” bertanya Ken Arok.
“Semalam kau tidak pulang,
“Ya.”
“Kenapa kau tidak pulang?”
“Aku ikut Kakang Witantra.”
Kawan Ken Arok itu berpaling. Ketika dilihatnya Witantra berpaling pula kepadanya kawan Ken Arok itu mengangguk-angguk dalam sambil berkata, “Selamat pagi Kakang Witantra.”
“Selamat pagi,” sahut Witantra.
Kawan Ken Arok itu pun kemudian berkata pula kepada Ken Arok, “Ken Arok semalam seseorang mencarimu.”
“Siapa?”
“Kuda Sempana. Kakang Kuda Sempana.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia tersenyum. Jawabnya, “Aku sudah menyangka.”
Witantra pun menganggukkan kepalanya. Di dalam hati ia bergumam, “Kuda Sempana. benar-benar menjadi hampir gila. Sekali ia terjerumus dalam perbuatan terkutuk itu, maka ia akan benar-benar menjadi orang yang kehilangan kejernihan pikiran.”
Kawan Kuda Sempana itu pun berkata, “Agaknya Kakang Kuda Sempana mempunyai kepentingan yang mendesak, sehingga lewat tengah malam ia datang.”
“Apa katanya?: bertanya Ken Arok.
Kawannya menggeleng sambil menjawab, “Tak ada yang dikatakan. Tetapi bukankah kau semalam telah hampir kembali ke barak ini? Menurut seorang yang bertugas, ia melihat seekor kuda membelok di kelokan sebelah. Apakah kuda itu kudamu, dan kau mengurungkan niatmu kembali ke barak ini?”
“Tidak. Bukan aku,” sahut Ken Arok sambil menarik kekang kudanya, “Saat ini pun aku belum akan pulang. Aku masih harus mengikuti Kakang Witantra.”
Ken Arok tidak menunggu jawaban dari kawannya itu, kepada Witantra ia berkata, “Marilah Kakang.”
Kuda-kuda itu pun kemudian bergerak kembali. Kawan Ken Arok memandangi mereka dengan penuh keheranan. Terasa suatu kesibukan telah terjadi. Tetapi ia tidak tahu, apakah, sebenarnya yang telah terjadi. Dari seorang kawannya ia mendengar, bahwa Kuda Sempana telah mengambil seorang gadis Panawijen atas izin akuwu. Tetapi kenapa kemudian beberapa orang menjadi sibuk?
“Persetan!” gumam kawan Ken Arok itu sambil melangkah ke parit di belakang barak mereka.
Witantra dan Ken Arok itu pun kemudian sampai pula di muka regol barak Kuda Sempana. Betapapun juga, namun perasaan mereka menjadi berdebar-debar. Mereka tahu, bahwa Kuda Sempana bukanlah seorang yang berhati kecil, juga bukan orang yang tidak berkesaktian. Apalagi dilambari oleh nafsunya yang meluap-luap untuk memiliki gadis itu, maka sudah tentu Kuda Sempana akan berjuang mati-matian untuk mempertahankannya.
Witantra pun menyadari keadaannya. Ia akan dihadapkan pada suatu perjuangan yang berat. Mungkin Kuda Sempana tidak akan dapat diajak berunding dengan baik untuk membuat ketentuan-ketentuan dari tantangan yang akan disampaikan. Kuda Sempana tidak akan ingat lagi kepada suba sita dan tata tertib perang tanding. Sehingga perkelahian mereka, baru akan diakhiri dengan kematian. Setidak-tidaknya salah seorang harus menjadi lumpuh dan tidak berdaya lagi. Kalau Kuda Sempana berhasil melumpuhkannya, maka sudah pasti, Witantra itu tidak akan punya harapan untuk hidup. Sebab Kuda Sempana sedang dicengkam oleh nafsu dan kemarahan. Tetapi Witantra tidak menjadi kecut. Disadarinya tugasnya kali ini. Agak berbeda dengan tugas seorang prajurit dalam menghadapi lawan-lawan tanah pusakanya. Tetapi kini ia berdiri di atas kejantanan kemanusiaan. Betapapun Kuda Sempana kehilangan kesadaran diri, namun Witantra harus menjaga supaya dirinya tidak juga kehilangan keseimbangan perasaan.
Perlahan-lahan kuda-kuda itu memasuki halaman. Seorang yang bertugas di dalam regol segera melangkah maju. Tetapi ketika dilihatnya Witantra, maka segera ia menundukkan wajahnya sambil menyapa, “Kakang Witantra.”
“Ya,” sahut Witantra masih di atas punggung kudanya, “Apakah Kuda Sempana sudah bangun?”
Orang itu mengangkat wajahnya. Ditatapnya mata Witantra sesaat, namun kembali ia menundukkan wajahnya sambil menjawab, “Sudah Kakang. Tetapi Kakang Kuda Sempana telah pergi.”
“He?” dada Witantra berdesir, dan Ken Arok pun terkejut pula karenanya.
“Ke mana?” bertanya Witantra serta-merta.
Penjaga regol itu menggeleng. Namun tiba-tiba seperti orang yang baru tersadar dari lamunannya ia berkata, “Mungkin ke istana. Baru saja ia datang dari rumah seseorang sambil mengumpat-umpat, tetapi segera ia pergi lagi dengan tergesa-gesa. Kakang Kuda Sempana semalam benar-benar seperti orang bingung.”
Witantra dan Ken Arok itu pun saling berpandangan. Apakah Kuda Sempana itu pergi ke rumahnya atau benar-benar ke istana? Namun kemudian Witantra itu pun bertanya meyakinkan, “Apakah Kuda Sempana tidak meninggalkan pesan?”
Penjaga itu menggeleng, “Tidak.”
Witantra menganggukkan kepalanya. Tetapi ia pun mulai gelisah. Kalau benar Kuda Sempana itu pergi ke istana, maka apakah yang akan dilakukan? Karena itu maka ia berkata, “Marilah kita lihat.”
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik Kakang, marilah kita pergi.”
Kepada penjaga itu pun kemudian Witantra berkata, ” Aku akan menyusulnya ke istana.”
“Silakan Kakang.”
“Kalau Kuda Sempana datang sebelum menemui aku di manapun, katakanlah bahwa aku menunggunya di istana.”
“Baik Kakang,” sahut penjaga itu.
Witantra dan Ken Arok pun segera berpacu ke istana. Di sepanjang jalan mereka hampir tidak berkata-kata. Masing-masing sedang sibuk dengan diri mereka sendiri. Bahkan mereka pun kadang-kadang merasa geli. Seorang gadis desa, telah benar-benar menggemparkan seisi Istana Tumapel. Seorang akuwu, perwira-perwira, prajurit dan pelayan-pelayan dalam yang terkemuka.
Demikian mereka sampai di halaman luar istana, maka segera mereka berloncatan turun. Kepada penjaga regol mereka menyerahkan kuda-kuda mereka, dan kepada mereka, para penjaga, Witantra bertanya, “Apakah kalian melihat Kuda Sempana?”
Penjaga itu mengangguk. Jawabnya, “Ya. Ya, Tuan. Aku melihatnya. Belum lama ia masuk ke dalam.”
“Sendiri?”
“Ya Tuan. Sendiri.”
“Apakah keperluannya?”
“Katanya, Kakang Kuda Sempana akan menghadap Akuwu.”
“Bukankah hari ini bukan hari paseban dan hari penghadapan?”
“Khusus, Tuan. Ada keperluan khusus.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada para penjaga itu ia berkata, “Aku juga akan menghadap Akuwu.”
Para penjaga sudah mengenal siapakah Witantra dan Ken Arok. Karena itu, maka dibiarkannya mereka memasuki halaman dalam istana untuk menghadap Akuwu Tunggul Ametung.
Ketika mereka memasuki halaman dalam dan melingkari dinding samping menyusur ke ruang dalam, maka mereka terkejut. Segera langkah mereka terhenti. Di bawah pohon kemuning dilihatnya Kuda Sempana berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya. Namun ketika Kuda Sempana melihat kehadiran Witantra Ken Arok, maka ia pun terkejut. Dengan serta-merta ia berjalan menyongsong mereka sambil bertanya, “Akan ke manakah kalian berdua?”
“Mencarimu,” sahut Witantra singkat.
“Oh,” desah Kuda Sempana.
“Aku telah datang ke pondokmu. Namun penjaga regol mengatakan bahwa kau telah pergi ke istana.”
“Ya. Aku tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Aku ingin mendengar langsung dari Akuwu.”
Witantra tersenyum. Meskipun senyumnya, senyum yang hambar.
“Kau sama sekali tidak dapat menyabarkan diri, Adi Kuda Sempana. Sebenarnya tak ada yang memaksa kau terlalu tergesa-gesa. Semuanya telah diserahkan kepadaku oleh Akuwu.”
“Mungkin,” sahut Kuda Sempana, “tetapi kau terlalu lamban. Aku sudah bertemu dengan Ken Arok semalam, dan aku telah datang pula ke rumahmu pagi-pagi benar. Namun kalian tidak memberitahukannya kepadaku.”
“Kami hanya ingin kau bersabar sampai hari ini.”
“Kalian mempermainkan aku. Dan sekarang aku sama sekali tidak membutuhkan kalian. Aku akan menghadap Akuwu langsung.”
“Akuwu telah berpesan kepadaku. Dan pesan itu akan aku sampaikan kepadamu sekarang. Tidak di rumahku. Sebab dengan demikian maka persoalan ini akan diketahui oleh istri dan orang-orang lain di rumahku. Dan itu tidak perlu.”
“Bohong. Kau senang melihat aku kebingungan.”
“Terserahlah kalau kau tidak percaya. Nah, sekarang, marilah kita ke belakang istana. Kau tidak perlu menghadap Akuwu.”
“Tidak. Aku tidak memerlukan kalian. Aku harus menghadap Akuwu sendiri. Dan aku akan mendapat penjelasan langsung daripadanya. Apa saja yang telah kalian per cakapkan dan perbincangkan semalam.”
Witantra menarik alisnya. Ditatapnya wajah Kuda Sempana yang merah padam. Matanya yang menyala, bukan saja karena hatinya yang bergelora, tetapi juga karena semalam ia sama sekati tidak tidur sekejap pun.
“Adi Kuda Sempana,” berkata Witantra kemudian, “Jangan menghadap Akuwu pagi ini. Akuwu sedang sibuk.”
“Apakah yang disibukkannya? Akuwu pasti akan menerima aku. Gadis itu masih berada di dalam istana. Aku datang untuk mengambilnya.”
Witantra menarik nafas. Katanya, “Dengarlah pesan Akuwu itu.”
“Tidak. Aku tidak perlu.”
“Hem,” Witantra menggeram. Namun kemudian ia bertanya, “Kenapa kau masih saja di sini?”
“Aku telah menyampaikan pesan lewat seorang juru panebah. Aku masih harus menunggu beberapa saat. Akuwu sedang mendengarkan Daksina membaca kakawin.”
“He?” Witantra terkejut, “sepagi ini?”
“Ya.”
Witantra terdiam. Sekali dipandangnya wajah Ken Arok yang tegang Ketika mereka mencoba mendengarkan baik-baik, terdengarlah lamat-lamat suara Daksina dalam alunan kakawin Bharatayudha.
“Jadi Daksina itu membaca untuk Akuwu?”
“Ya,” sahut Kuda Sempana pendek.
Witantra menggelengkan kepalanya. Ditemuinya Kuda Sempana dan Tunggul Ametung dalam keadaan yang sama. Bingung.
Sejenak mereka bertiga saling berdiam diri. Dalam keheningan itu terdengar suara Daksina semakin jelas.
Angin pagi yang lembut berhembus perlahan menggerakkan daun kemuning, serta menggugurkan bunga-bunganya yang kering. Lamat-lamat terdengar suara burung-burung liar yang beterbangan dari dahan ke dahan, berkicau seperti suara senda yang riang. Seperti kanak-kanak yang sedang berkejaran, mereka berloncatan dari satu pohon ke pohon yang lain.
Namun hati mereka bertiga, Witantra, Ken Arok dan Kuda Sempana sama sekali tidak seriang pagi itu.
Sekali-sekali Witantra berpaling, memandang wajah Ken Arok seperti sedang minta pertimbangan. Namun Ken Arok hanya dapat menundukkan wajahnya, memandangi butiran-butiran batu-batu kecil yang bertebaran di halaman.
Namun kesepian itu kemudian dipecahkan oleh suara Witantra kepada Kuda Sempana, ” Adi Kuda Sempana. Lebih baik kau tidak usah menunggu Akuwu yang sedang mendengarkan Daksina membaca kakawin itu. Marilah aku beri tahukan, apa yang harus kau dengar.”
“Tidak!” sahut Kuda Sempana tegas, “Kalau kalian benar-benar mendapat pesan Akuwu, maka kalian pasti sudah mengatakannya. Sekarang ternyata kalian hanya mencoba mencegah aku bertemu dengan Akuwu. Mungkin kalian kemarin mendengar hal-hal yang tidak kalian senangi tentang diriku, sehingga kalian mencoba menahan keterangan itu.”
“Hem,” Witantra menggeram. Dicobanya untuk menahan gelora di dalam hatinya. Baru kemudian ia berkata, “Mungkin kau benar Adi. Mungkin aku menahan beberapa persoalan yang harus aku sampaikan kepadamu. Tetapi aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Aku ingin dapat menyampaikan kepadamu dalam suasana yang tenang. Tidak dalam suasana yang tergesa-gesa dan tegang. Aku ingin setiap persoalan dapat kau mengerti dengan baik. Dan aku ingin kita masing-masing dapat menempatkan diri kita pada keadaan yang sewajarnya.”
“Huh,” desah Kuda Sempana, “kalau benar demikian, tunggulah sampai aku menghadap Akuwu.”
“Tidak ada gunanya.”
“Mungkin bagi kalian. Tetapi bagiku kesempatan itu akan sangat bermanfaat. Setidak-tidaknya aku dapat mengambil gadis itu dahulu.”
“Kau tidak akan dapat mengambilnya,” tiba-tiba terdengar suara Ken Arok yang agaknya sudah kehabisan kesabarannya.
Kata-kata itu benar-benar mengejutkan Kuda Sempana. Dan bahkan Witantra pun terkejut pula. Dengan serta-merta Kuda Sempana melangkah maju mendekatinya sambil membelalakkan matanya. Katanya, “Apa katamu? Aku tidak dapat mengambil gadis itu?”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam ia menjadi sangat menyesal akan ketelanjurannya, Namun kata-kata itu telah terloncat dari bibirnya dan Kuda Sempana pun telah mendengarnya. Karena itu dengan penuh kebimbangan ia memandang wajah Witantra, seakan-akan bertanya kepadanya, apa yang harus dikatakannya seterusnya. Namun Witantra sendiri masih belum dapat menguasai perasaannya, sehingga karena itu ia masih saja berdiri mematung.
Kuda Sempana yang seakan-akan mendengar meledaknya guruh di telinganya itu mendesak Ken Arok, “Kenapa aku tidak dapat mengambil gadis itu?”
Setelah berpikir sejenak. Witantralah akhirnya menemukan jawaban juga, “Gadis itu jatuh sakit dan pingsan berkali-kali. Kalau kau ganggu lagi dia, mungkin gadis itu akan mati.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Namun tampaklah betapa ia ragu-ragu mendengar jawaban itu. Dalam pada itu Ken Arok menjadi berdebar-debar. Sebenarnya ia tidak sependapat dengan Witantra yang terlalu berhati-hati, dan tidak langsung mengatakan keperluannya. Bukankah akhirnya Kuda Sempana akan mendengarnya juga. Sebaiknya Witantra berkata berterus terang. Tetapi bukan dirinya. Karena itu, maka ia menjadi lebih berhati-hati supaya mulutnya tidak melonjak-lonjak, didesak hatinya yang tidak dapat bersabar lagi.
Yang terdengar kemudian adalah jawaban Kuda Sempana, “Aku tidak percaya. Aku akan menghadap Akuwu sekarang.”
“Apakah Akuwu sudah memanggilmu?”
“Belum, tetapi aku akan masuk ke ruang dalam.”
“Akuwu akan menjadi marah.”
“Tidak. Aku akan mengulangi permohonanku untuk menghadap lewat juru panebah yang berada di muka pintu itu.”
Kuda Sempana tidak menunggu jawaban Witantra dan Ken Arok. Dengan tergesa-gesa ia berjalan melingkari sudut belakang istana dan menjumpai juru panebah yang duduk di tangga istana. Dengan wajah yang merah pada Kuda Sempana membentak meskipun suaranya tidak terlalu keras, “He, kenapa kau hanya duduk terkantuk-kantuk?”
Juru panebah itu terkejut, “Ya, ya Tuan.”
Kuda Sempana menjadi semakin marah mendengar jawaban itu dan berkata kasar, “Apa kau tidak tahu, bahwa aku mempunyai keperluan yang sangat penting. Ayo, kembali masuk ke bilik peraduan Akuwu. Sampaikan kepada akuwu, bahwa Kuda Sempana ingin menghadap.”
“Tetapi aku sudah menyampaikan Tuan. Dan Tuan di perintahkan untuk menunggu.”
“Sampai kapan, he? Sampai aku menjadi tua?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Tetapi Daksina masih membaca kakawin itu di dalam bilik Baginda.”
“Cobalah, sekali lagi.”
“Aku takut.”
“Kalau kau tidak mau menyampaikan sekali lagi, awas, aku bunuh kau anak cucu!”
“Oh. Ampun Tuan. Kenapa Tuan marah kepadaku?”
Sebelum Kuda Sempana menjawab, terdengarlah suara di belakang Kuda Sempana, “Sampaikan kepada Akuwu, bahwa kali ini Witantra yang akan menghadap.”
“Gila!” desis Kuda Sempana sambil memutar tubuhnya menghadap Witantra, “Kali ini kau akan merusak rencanaku pula?”
Witantra sama sekali tidak menanggapi sikap Kuda Sempana, bahkan dengan tersenyum ia berkata, “Jangan marah Kuda Sempana. Kalau juru panebah itu mengulangi permohonanmu untuk menghadap Akuwu, maka Akuwu pasti akan sangat marah. Mungkin kau malahan diusir dari istana. Kalau permohonan ini diajukan oleh orang lain, maka pertimbangannya akan lain. Mungkin Akuwu akan berhenti mendengarkan kakawin d«n menerima aku. Dalam pada itu kau akan mendapat kesempatan untuk menghadap pula. Bukankah dengan demikian sekaligus kau akan tahu, apakah aku telah menyembunyikan beberapa keterangan atau tidak. Dan kau akan tahu pula, apakah aku berbuat demikian karena perasaan iri dan semacam itu.”
Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baik. Baik. Kita bersama menghadap Akuwu.”
“Aku hormati sikapmu,” desis Ken Arok.
Sekali lagi Kuda Sempana membelalakkan matanya Ia tidak senang mendengar kata-kata itu dari mulut Ken Arok. Kalau Witantra yang mengucapkannya, maka ia akan berbangga. Tetapi Ken Arok adalah seorang pelayan dalam yang baru saja masuk di istana. Sehingga ucapannya itu kurang bernilai baginya. Terapi ternyata Ken Arok sama sekali tidak berpaling ketika sinar mata Kuda Sempana menghunjam di biji matanya. Bahkan mata Ken Arok itu pun menjadi seakan-akan bersinar langsung menembus selaput mata Kuda Sempana dan menusuk langsung ke dalam otaknya.
Kuda Sempana yang kemudian memalingkan wajahnya. Untuk menyembunyikan perasaannya, segera ia membentak kepada juru panebah yang masih duduk kebingungan, “Ayo cepat. Pergi sekali lagi menghadap Akuwu. Kakang Witantra akan menghadap.”
“Ya, ya Tuan,” sahut orang itu sambil merangkak naik ke istana.
Kemudian Kuda Sempana, Witantra dan Ken Arok diam dalam ketegangan. Mereka tinggal menunggu, apakah akuwu bersedia menerima mereka atau mereka harus menunggu lagi. Ken Arok yang agaknya jemu berdiri, segera melangkah ke tangga, dan duduk di sana sambil bersandar dinding.
Sekali ia menguap, kemudian gumamnya, “Hem, semalam aku hampir tak dapat tidur sama sekali.”
Kuda Sempana dan Witantra berpaling, kepadanya. Sahut Witantra, “Barangkali di antara kita bertiga kaulah yang paling lama dapat beristirahat.”
“Ken Arok tersenyum, “Mungkin.”
Kuda Sempana yang akan memotong percakapan itu, mengurungkan niatnya ketika didengarnya suara Daksina berhenti. Mereka menduga, bahwa juru panebah itu sudah masuk ke dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu maka dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Kuda Sempana benar-benar hampir tidak sabar menunggu.. Ingin ia langsung meloncat masuk ke dalam ruang dalam itu dan langsung ke ruang pusat istana. Dari sana ia akan dapat melihat sentong tengen, di mana Ken Dedes dibaringkannya kemarin.
Tetapi ia tidak dapat berbuat begitu. Istana itu adalah istana Akuwu Tunggul Ametung. Karena itu, betapapun ia bernafsu, namun ia terpaksa menunggu dengan hati yang gelisah.
Sesaat kemudian mereka mendengar langkah-langkah di dalam ruangan dalam. Langkah itu seolah-olah terlalu lambat sehingga hampir-hampir Kuda Sempana berteriak memanggilnya.
Ketika juru panebah itu muncul dari balik pintu, Kuda Sempana dengan serta-merta bertanya, “Bagaimana?”
“Akuwu menunggu Tuan-tuan di ruang paseban dalam.”
Kuda Sempana tidak menunggu apa-apa lagi. Segera ia melangkah menaiki tangga, masuk ke ruang dalam dan langsung berjalan ke ruang paseban dalam. Witantra dan Ken Arok pun kemudian melangkah pula mengikutinya.
Namun mereka menjadi kecewa ketika ruangan itu masih kosong. Akuwu belum nampak. Tetapi mereka lega ketika mereka melihat batu hitam, tempat duduk Akuwu Tunggul Ametung, telah terbuka kerudung putihnya yang telah diambil oleh salah seorang juru panebah.
Suara Daksina telah tidak terdengar lagi. Dengan demikian mereka mengharap bahwa segera akuwu akan datang menerima mereka.
Ternyata akuwu itu pun tidak terlalu lama membiarkan mereka menunggu. Sejenak kemudian masuklah Akuwu Tunggul Ametung ke dalam ruangan itu, diantar oleh seorang emban, Daksina dan seorang juru panebah, dan seorang juru panginang
Ketika akuwu itu duduk di atas batu hitam palenggahannya, maka dada Kuda Sempana seolah-olah hampir meledak karena ketidaksabarannya. Akuwu itu berjalan seperti seorang pengantin sakit-sakitan, duduk dengan lesunya dan kemudian mengipaskan kainnya.
Kuda Sempana itu menarik nafas dalam.
Baru sejenak kemudian akuwu itu mulai bertanya ke pada mereka. Dengan segala macam adat dan upacara. Menanyakan keselamatan dan kesejahteraan masing-masing.
“Aneh. Tunggul Ametung adalah akuwu yang hampir tak pernah mengacuhkan adat itu. Ia berbuat sesuka hatinya. Sekali-sekali ia bertanya tentang keselamatan orang-orangnya, namun lain kali ia mulai dengan bentakan-bentakan dan umpatan-umpatan. Tetapi kali ini Akuwu agaknya sedang menikmati kedudukannya sebagai seorang akuwu,” keluh Kuda Sempana di dalam hatinya.
Namun sebenarnya Akuwu Tunggul Ametung itu pun sedang mencoba menenangkan perasaan yang bergolak. Ketika ia melihat ketiga orang itu bersama-sama menghadap, maka berdesirlah dadanya. Untuk sekedar menenteramkan hatinya, maka mulailah akuwu dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berarti. Tetapi ia tidak akan dapat bertanya hal-hal yang demikian itu terus menerus. Disadarinya bahwa akhirnya pembicaraan mereka akan menginjak ke persoalannya. Karena itu, maka akuwu tidak merasa perlu untuk memperpanjang segala macam pertanyaan yang aneh-aneh.
Maka akuwu pun kemudian tidak membiarkan dirinya diamuk oleh keragu-raguan dan kecemasan. Biarlah seandainya orang-orang itu bertiga menemukan titik-titik pertemuan untuk bersama-sama menghadapinya. Mungkin Witantra tidak sampai hati mengatakan pesannya, tetapi mungkin pula mereka bersama-sama akan menghancurkannya. Tetapi apapun yang akan dihadapi, maka akuwu akan menengadahkan wajahnya dan akan berperisai dadanya. Tunggul Ametung bukan seorang pengecut.
Karena itu, maka sesaat kemudian terdengar akuwu itu bertanya, “Kuda Sempana. Kaulah yang pertama-tama menyampaikan pesan untuk menghadap. Apakah kepentinganmu?”
Kuda Sempana menarik nafas. Sembari ia bergeser maju, seolah-olah takut suaranya tidak akan dapat didengar oleh Tunggul Ametung. Katanya serak, “Tuanku. Hamba hanya ingin menjemput gadis Panawijen itu.”
Tunggul Ametung terkejut mendengar permintaan itu. Dengan serta-merta ia berpaling memandangi wajah Witantra yang gelap. Bahkan kemudian wajah akuwu itu pun menjadi semburat merah. Berbagai persoalan bergulung-gulung di dalam dadanya. Apakah Witantra benar-benar belum menyampaikannya kepada Kuda Sempana? Apakah justru Witantra datang untuk membantu Kuda Sempana? Akuwu menjadi gelisah. Benar-benar tidak diketahuinya bagaimanakah sebenarnya hati Witantra dan Ken Arok.
Akuwu yang selama ini tidak pernah ragu-ragu kepada Witantra, tiba-tiba menjadi curiga. Sejak Witantra menolak perintahnya di Panawijen. Meskipun kemarin perwira pengawalnya itu seolah-olah sependapat dengan pendapatnya tentang gadis Panawijen itu, namun kenapa tiba-tiba saja ia menghadap bersama Kuda Sempana. Kalau ia benar-benar melakukan apa yang dikatakannya, maka Kuda Sempana tidak akan berkata seperti itu. Atau mereka benar-benar telah bersepakat untuk melawannya, meskipun kelak akan timbul persoalan di antara mereka sendiri? Apakah Witantra kemarin hanya memancing, agar Kuda Sempana dapat diperalat olehnya?
Witantra merasakan keraguan Tunggul Ametung. Karena itu maka segera ia berkata, “Akuwu, hamba memang belum mengatakan pesan Tuanku.”
“Kenapa?” dengan serta-merta terloncat pertanyaan dari mulut Tunggul Ametung. Namun sekali lagi Tunggul Ametung menengadahkan wajahnya ia adalah seorang yang memiliki berbagai kekuatan di dalam tubuhnya, yang seandainya perlu, akan dibangunkannya pada saat-saat itu.
“Hamba belum mendapat kesempatan. Ketika pagi-pagi tadi hamba datang ke pondok Adi Kuda Sempana, Adi Kuda Sempana telah pergi ke istana.”
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Agaknya perasaannya sendirilah yang telah menggelapkan nalarnya. Kesalahan-kesalahan yang telah membebani perasaannya itulah yang telah menimbulkan berbagai prasangka dan kecurigaan. Namun jawaban Witantra itu sama sekali belum memuaskannya, sehingga ia bertanya pula, “Kau telah bertemu dengan Kuda Sempana sebelum datang menghadap. Kenapa kau tidak berkata apa-apa kepadanya?”
“Kuda Sempana tidak mau mendengarkan, Tuanku. Ia ingin menghadap Tuanku dan mendengar langsung tentang persoalan y mg kita bicarakan dari Tuanku sendiri.”
Akuwu mengerutkan keningnya. Kini ditatapnya wajah Kuda Sempana dengan tajamnya. Kemudian terdengar ia menggeram, “Benarkah demikian Kuda Sempana?”
“Ya, Tuanku.”
“Aku telah memberikan perintah kepada Witantra. Kenapa kau menolak?”
“Sikapnya sangat menyakitkan hatiku.”
“Kenapa?”
“Semalam aku telah menemui kedua-duanya. Adi Ken Arok dan Kakang Witantra, tetapi mereka menolak memberitahukan sesuatu kepadaku, Dibiarkannya aku menunggu dalam kegelisahan.”
Tunggul Ametung sekali lagi mengerutkan keningnya. Kemudian kepada Witantra dan Ken Arok ia bertanya, “Benarkah demikian?”
“Hamba Tuanku,” sahut Witantra, “hamba ingin menyampaikannya pagi ini.”
Dalam pada itu Kuda Sempana menyahut, “Sengaja mereka membiarkan aku mengalami guncangan-guncangan batin di malam itu. Sebenarnya aku tidak melihat perbedaan apa-apa. Malam tadi atau pagi ini.”
“Tidak ada bedanya,” sahut Akuwu Tumapel itu, “Kenapa kau tunda-tunda sehingga Kuda Sempana terpaksa datang sendiri kepadaku?”
Witantra mengangkat wajahnya sesaat, kemudian kembali ia tunduk sambil menjawab, “Maksud hamba, hamba ingin mengatakannya dengan tenang setiap persoalan, setiap kemungkinan, dan setiap perjanjian.”
“Perjanjian?” potong Kuda Sempana, wajahnya tampak berkerut-kerut penuh persoalan.
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata pula, “Apakah semalam kau tidak menemukan ketenangan itu. Justru malam hari?”
“Tuanku benar,” sahut Kuda Sempana, “sebenarnya di malam hari segalanya menjadi lebih tenang. Tetapi Kakang Witantra sengaja membiarkan aku menghadap Akuwu sendiri.”
Witantra menarik nafas panjang. Kemudian sekali ia berpaling kepada Ken Arok. Dilihatnya Ken Arok menggigit Bibirnya untuk menahan perasaannya yang bergelora. Ia sudah benar-benar kehilangan kesabaran. Kalau saja tidak di hadapan akuwu, maka ia akan berkata lantang, ‘Kuda Sempana. Gadis itu sudah bukan hakmu lagi. Kalau kau marah, kau mau apa. Kita dapat berkelahi, sebab kami tidak takut kepadamu’. Tetapi di Hadapan Tunggul Ametung, ia hanya dapat mengumpat-umpat di dalam hati
Akhirnya Witantra itu pun berkata, “Ampun Tuanku. Kuda Sempana datang ke rumah hamba. Adalah tidak mungkin hamba membicarakannya di hadapan istri hamba. sebab hamba tidak yakin Adi Kuda Sempana dapat menahan hatinya. Karena itu hamba datang ke pondoknya. Seandainya Adi Kuda Sempana tidak dapat menahan diri, maka akan hamba layani apa saja yang akan dilakukannya. Tidak di rumahku, tidak di hadapan istriku yang akan banyak mempengaruhi perasaan hamba.”
Telinga Kuda Sempana benar-benar serasa tersengat mendengar penjelasan Witantra itu. Terasa kini bahwa ada sesuatu yang tidak wajar. Karena itu, maka hatinya menjadi semakin gelisah dan kehilangan kesabaran. Dari dahi dan keningnya mengalir keringat yang dingin. Sekali-kali tampak ia mengusap wajahnya, namun kemudian terdengar ia menggeretakkan giginya.
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata, “Ya. Alasanmu dapat aku mengerti Witantra. Nah. Kalau demikian katakanlah sekarang.”
“Jangan Kakang Witantra,” potong Kuda Sempana, “Kenapa bukan Tuanku sendiri yang memberikan perintah kepada hamba untuk berbuat apa saja.”
Tunggul Ametung menarik nafas. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Persoalan ini benar membuatnya pening. Namun kemudian ditemukannya keseimbangannya dengan baik, sehingga akuwu itu berkata lantang, “Aku perintahkan kepadamu, he Kuda Sempana, untuk mendengarkan penjelasan dari Witantra.”
Kuda Sempana menggeram. Namun ia tidak berani membantah. Karena itu maka ia hanya dapat menundukkan kepalanya. Namun hatinya serasa melonjak-lonjak hampir tak. terkendali.
Witantra membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian sahutnya, “Titah Akuwu akan hamba laksanakan.”
“Berkatalah,” potong Kuda Sempana.
Witantra memandang akuwu untuk sepintas. Ketika Akuwu mengangguk, maka mulailah Witantra berkata, “Adi Kuda Sempana. Adalah sudah Adi ketahui, bahwa persoalan timbal balik dan saling berturutan akan dapat terjadi. Apa yang Adi lakukan dapat pula dilakukan oleh orang lain. Dan apa yang Adi kehendaki dapat pula dikehendaki oleh orang lain.”
“Aku tidak tahu, apakah maksud Kakang dengan kata-kata yang tak dapat aku mengerti itu. Katakanlah, apa yang harus Kakang katakan kepadaku. Nah, itulah sebabnya aku lebih senang mendengarnya dari orang lain daripada Kakang Witantra yang tidak pernahi berterus terang.”
Akuwu mengerutkan keningnya dan Witantra menarik nafas dalam-dalam. Namun yang terdengar adalah gumam Ken Arok lirih, “Ya, sebaiknya Kakang Witantra berterus terang. Akan dibuka kembali sayembara tanding.”
“He?” alangkah terkejutnya Kuda Sempana. Dan bahkan Witantra dan Tunggul Ametung pun terkejut pula. Tetapi segera mereka mencoba menguasai diri mereka masing-masing.
Witantra mengangguk-angguk. Disadarinya bahwa agaknya ia mencoba terlalu hati-hati sehingga baik Kuda Sempana maupun Ken Arok, menjadi tidak bersabar. Karena itu maka Katanya, “Baiklah. Baiklah aku akan berkata berterus terang supaya semuanya menjadi lekas jelas. Supaya tidak menimbulkan berbagai pertanyaan yang terlalu lama mengganggu perasaan meskipun maksudku, supaya aku dapat menjelaskan dengan baik
dan hati-hati, namun agaknya kalian tidak bersabar, sehingga….”
“Itukah yang akan kau katakan? Alasan-alasan yang menjadi semakin melingkar-lingkar. Aku menjadi semakin pening mendengarnya,” potong Kuda Sempana. Sementara itu Ken Arok menggaruk-garuk kepalanya dengan ujung telunjuknya.
“Oh,” desah Witantra. ia adalah seorang prajurit. Ia lebih pandai memainkan pedang daripada berbicara. Karena itu, maka ia menjadi bingung. Namun ia tidak mau gagal hanya untuk mengucapkan sebuah tantangan. Meskipun tantangan ini agak berbeda dengan tantangan yang harus diucapkan kepada lawan yang sesungguhnya. Maka kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam, meloncatlah dari mulutnya, “Ya, ya. Akan aku katakan, bahwa Adi Kuda Sempana harus mengalami sikap yang sama dengan yang pernah dilakukannya. Kini seseorang berusaha mengambil gadis Panawijen itu dengan cara yang sama dengan yang telah kau lakukan.”
Wajah Kuda Sempana segera memerah bara, Sejenak ia terbungkam, namun terdengar giginya gemeretak menahan marah. Sepasang matanya memandang Witantra dengan sinar yang ganjil.
Ruang paseban dalam itu menjadi sepi. Hanya desah nafas yang memburu terdengar bersahut-sahutan.
Tetapi sejenak kemudian terdengarlah suara Kuda Sempana meledak dalam kesepian itu, “Setan belang! Siapakah yang akan merebut gadis itu dari tanganku? Aku telah mengambilnya dengan susah payah. Aku sadari kemungkinan yang sama itu terjadi. Tetapi aku pun laki-laki. Aku pertahankan gadis itu dengan nyawaku.”
“Aku telah menyangka,” sahut Witantra. Meskipun suaranya agak gemetar, namun ia masih tetap tenang, “bahwa Adi tidak akan membiarkannya diambil orang setelah Adi menempuh segala macam cara untuk mendapatkannya.”
“Nah. Katakan kepadaku, siapakah laki-laki itu? Kakang sendiri atau siapa?”
“Aku telah beristri. Aku tidak akan mengambil istri yang lain dari istriku itu.”
“Ya. Itu bukan urusanku. Tetapi siapa?”
Witantra ragu-ragu sejenak. Sekali ditatapnya wajah akuwu. Namun Tunggul Ametung yang garang itu menundukkan wajahnya.
“Adi Kuda Sempana,” sahut Witantra, “siapa pun yang akan mengambil gadis itu bukan soal. Tetapi aku ingin menjelaskan siapakah, yang akan melakukan sayembara tanding untuk itu.”
“Sama sekali bukan sayembara,” potong Kuda Sempana, “sayembara adalah tuntutan gadis itu. Tetapi apa yang akan terjadi adalah kebiadaban. Perkosaan dan perampasan. Nah siapakah orangnya?”
“Oh,” desah Ken Arok mendengar kata-kata Kuda Sempana. Namun ia tidak meneruskannya. Tetapi di dalam hatinya berkecamuk perasaan yang aneh. Kuda Sempana itu dapat berkata dengan mulutnya sendiri. Kebiadaban, perkosaan dan perampasan. Alangkah anehnya manusia ini. Ia dapat mengatakannya untuk orang lain, tetapi terhadap tingkah lakunya sendiri?
Dan terdengar Witantra menjawab, “Mungkin Adi benar. Namun ini adalah akibat perbuatan Adi yang serupa pula.”
Wajah Kuda Sempana menjadi semakin membara mendengar jawaban Witantra itu. Ditatapnya mata Witantra seperti hendak ditembus sampai ke jantungnya untuk melihat siapakah orang yang telah berkhianat itu.
Dalam kemarahan terdengar ia menggeram, “Kakang Witantra, sebutkan orang itu! Apakah akan dinamakan sayembara tanding, apakah akan dinamakan apa saja. Aku tidak akan berkeberatan. Sekarang, besok atau kapan. Namun bagiku lebih cepat lebih baik.”
“Baiklah Adi,” sahut Witantra, “meskipun demikian, marilah kita sebutkan peraturan yang akan berlaku dalam perang tanding itu.”
“Omong kosong dengan segala macam peraturan. Aku tidak berbicara tentang peraturan, pada saat aku mengambil gadis itu,” jawab Kuda Sempana.
“Tetapi itu kurang baik. Marilah kita bersikap seperti orang-orang yang mempunyai adat. Adat yang akan menampakkan sifat-sifat kejantanan kita. Kita tidak sekedar ingin menang, tetapi kita uji, apakah kita laki-laki jantan, apakah kita selicik setan.”
“Bagus. Apakah peraturanmu?”
“Yang kalah harus mengaku kalah. Tak ada persoalan lagi di kemudian hari. Gadis itu berada di tangan yang menang. Apapun yang akan dilakukan atas gadis itu.”
“Apakah tandanya kalah?”
“Menyerah, atau menjadi tidak berdaya.”
“Sampai mati.”
“Itu tidak perlu.”
“Pengecut. Kalau salah seorang terbunuh apakah yang lain masih harus dihukum karena melakukan pembunuhan?”
Witantra mengerutkan keningnya. Kuda Sempana benar-benar sulit untuk diredakan. Namun Witantra dapat mengerti pula perasaannya. Karena itu, disadarinya bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan yang sangat berat. Sejenak ia mengalami kesulitan mendengar pertanyaan Kuda Sempana itu, sehingga ia berdiam diri untuk menirnbang-nimbang.
Yang terdengar adalah suara Ken Arok perlahan-lahan, “Tidak.”
Witantra berpaling. Ken Arok yang merasa terlanjur mengucapkan kata-kata itu, segera menundukkan wajahnya. Ketika Witantra memandang wajah Tunggul Ametung sesaat tampaklah wajah itu menjadi tegang.
“Apa yang kau maksud Adi?” bertanya Witantra.
Ken Arok menjadi ragu-ragu, Meskipun demikian ia menjawab sambil menundukkan wajahnya, “Maksudku, kalau terpaksa terbunuh, bukankah itu berarti suatu kecelakaan? Kecelakaan yang tidak dapat dihindarkan, sehingga pihak yang lain tidak dapat dinyatakan bersalah.”
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian gumamnya lirih, “Ya demikianlah.”
“Bagus!” sambut Kuda Sempana sambil menggosokkan telapak tangannya. Seolah-olah pada saat itu juga telah siap melepaskan kekuatan pamungkasnya, Aji Kala Bama.
Kemudian terdengar Witantra berkata, “Kau sependapat?”
“Aku sependapat,” sahut Kuda Sempana, “Tetapi sebutkan kepadaku. Siapakah yang akan memasuki gelanggang?”
“Itu tidak penting, kau akan melihatnya nanti di arena.”
“Tidak perlu kau rahasiakan Kakang, Sekarang atau nanti aku akan melihatnya,” bantah Kuda Sempana. Tetapi ia menjadi ragu-ragu untuk sesaat, apakah orang itu Mahisa Agni?
“Agni terluka,” katanya di dalam hati.
Witantra ragu-ragu sejenak. Sekali-sekali ia melihat Kuda Sempana memandang Ken Arok dengan tajamnya. Kuda Sempana itu pun menaruh curiga, pula kepada pelayan dalam yang baru itu. Tetapi ketika dilihatnya Ken Arok menundukkan wajahnya, maka segera ia mendesak, “Siapa?”
Witantra menggigit Bibirnya. Banyak persoalan yang mengganggu perasaannya saat itu. tetapi kemudian hatinya menjadi bulat, gadis itu harus diselamatkan.
Karena itu, maka kemudian ia menjawab perlahan-lahan, “Aku, Adi.”
“Kau. Kau?” teriak Kuda Sempana hampir tidak percaya, Matanya seolah-olah hampir meloncat dari kepalanya. Sesaat ia terpukau, namun kemudian ia tertawa, Tertawa aneh sekali. Di antara suara tertawanya ia berkata, “Kau, jadi kau yang telah beristri seperti yang kau katakan tadi jatuh cinta kepada gadis Panawijen itu? Kalau demikian, maka aku benar-benar berbahagia. Gadis itu pasti gadis cantik sekali. Kalau tidak, maka tidak akan ia membuatmu gila Kakang Witantra. Lalu mau kau apakah istrimu yang tua itu? Kau buang? Kau buang? Atau kau madu?”
Witantra membiarkan Kuda Sempana mengumpat-umpat. Dibiarkannya anak muda itu melepaskan perasaan yang menghimpit dadanya dengan suara tertawanya yang menyakitkan hati itu. Tetapi, ternyata Ken Aroklah yang tidak tahan mendengarnya, sehingga sekali-kali ia mengangkat dagunya. Tetapi sebelum ia berkata apa-apa, terdengar suara Tunggul Ametung menggelegar memenuhi ruangan itu. Agaknya Akuwu Tumapel itu pun menjadi muak mendengar kata-kata Kuda Sempana.
“Tutup mulutmu Kuda Sempana! Jangan terlalu sombong! Dengar, gadis itu sama sekali tidak untuk Witantra. Tetapi aku. Aku. Ya. Akuwu Tunggul Ametung yang akan mengambilnya. Tetapi aku tidak mau memaksakan kehendak ini dengan kekuasaan, meskipun aku dapat melakukannya. Witantra akan berkelahi untukku. Tetapi kalau itu kau anggap tidak adil, maka ayo, pilihlah di antara kami. Aku sendiri atau Witantra yang akan maju ke arena. Aku sebagai Tunggul Ametung. Sama sekali tidak membawa kekuasaan Akuwu Tumapel untuk persoalan ini.”
Mulut Kuda Sempana segera terkatup rapat. Meskipun demikian hatinya bergelora dahsyat sekali. Ternyata Akuwu Tunggul Ametunglah yang akan mengambil Ken Dedes. Benar-benar tidak diduganya. Sesaat ia menyesal bahwa ia telah memungkinkan akuwu itu melihat wajah Ken Dedes. Namun kemudian ia menjadi tatag kembali. Akuwu tidak akan membawa kekuasaannya dalam persoalan ini. Sehingga ia diberinya izin memilih lawan Tunggul Ametung atau Witantra yang akan mewakilinya.
Untuk sesaat mulut orang-orang di ruangan itu tertutup rapat-rapat. Tak seorang pun yang segera mengucapkan kata-kata. Yang terdengar adalah nafas mereka bersahut-sahutan seakan-akan sedang berpacu.
Kuda Sempana yang dicengkam oleh kedahsyatan gelora di dadanya duduk terpaku dengan tubuh gemetar. Sekejap dipandanginya wajah Tunggul Ametung yang tegang, sejenak kemudian ia berpaling ke arah Witantra yang duduk terpekur. Sekali-sekali ditatapnya juga kepala Ken Arok yang tunduk. Namun Tunggul Ametung tidak menunjuknya menjadi salah seorang yang dapat dipilihnya untuk menjadi lawannya.
Sesaat Kuda Sempana menimbang-nimbang. Apakah ia harus memilih Tunggul Ametung atau ia harus menunjuk Witantra? Kuda Sempana pernah mendengar kesaktian mereka berdua. Meskipun Kuda Sempana sebagai seorang pelayan dalam belum pernah pergi berperang bersama dengan salah seorang dari mereka, namun telah didengarnya, betapa nama-nama mereka menjadi buah bibir kawan dan lawan. Kini ia harus memilih salah seorang daripadanya. Tetapi Kuda Sempana kemudian menengadahkan wajahnya.
“Aku bukan prajurit pengawal raja,” katanya di dalam hati, “tetapi aku dipercaya untuk menjadi seorang pelayan dalam. Aku adalah seorang yang telah mendalami ilmu yang jarang dimiliki orang, Kala Bama. Meskipun seandainya mereka memiliki kekuatan melampaui kekuatan manusia biasa, maka dengan Kala Bama mereka pasti akan luluh.”
Tetapi Kuda Sempana menjadi ragu-ragu sesaat. Mahisa Agni adalah contoh dari mereka yang tidak dapat dihancurkan dengan Kala Bama. Berbeda dengan Wiraprana, yang mati oleh tangannya tanpa kesaktiannya itu dipergunakan.
Ketika ia sedang sibuk menimbang-nimbang terdengar Tunggul Ametung yang hampir pingsan karena ketegangan itu, berteriak, “Ayo, apakah kau tiba-tiba menjadi bisu? Pilih di antara kami berdua, aku atau Witantra!”
Kuda Sempana menarik keningnya. Ia harus cepat-cepat memberikan keputusan. Yang pernah didengarnya, Tunggul Ametung adalah seorang yang sakti tiada taranya. Ia memiliki sebuah pusaka, sebuah tongkat, atau lebih mirip sebuah penggada yang berwarna kekuning-kuningan. Sebuah penggada dari besi baja kuning. Alangkah saktinya pusaka itu, sehingga dengan agak berlebih-lebihan dikatakan orang, bahwa gunung akan runtuh dan lautan akan kering disambar oleh pusaka itu.
Kuda Sempana meraba kerisnya. Keris ini pun sakti bukan buatan. Dengan menunjukkan ujungnya, tanpa menyentuhnya, maka hutan rimba akan terbakar dan bintang bulan akan runtuh ke bumi. Tetapi segera ia menjadi kecewa, Mahisa Agni mampu meruntuhkan keris itu dari tangannya. Mahisa Agni tidak terbakar seperti hutan rimba, dan tidak runtuh seperti bulan bintang.
“Hem,” ia menggeram, “keris ini akan mampu membunuh lawannya, apabila aku berhasil menggoreskan pada kulit lawan.”
Karena itu, maka ia tidak akan memilih Tunggul Ametung.
Akhirnya setelah bulat tekadnya, maka diangkatnya wajahnya sambil berkata, “Ampun Tuanku. Hamba akan memilih Kakang Witantra untuk maju, meskipun Tuanku yang menghendaki gadis itu.”
Tunggul Ametung memandang Kuda Sempana dengan tajamnya.
“Kenapa?” ia bertanya
“Kakang Witantra lebih baik bagi hamba,” jawab Kuda Sempana lancar.
Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Sesaat ia menjadi bimbang. Apakah Witantra dapat memenuhi janjinya, membebaskan gadis Panawijen itu, sebab sudah dilihatnya Kuda Sempana mampu membunuh Wiraprana dengan tangannya tanpa kesulitan. Namun Witantra adalah prajuritnya yang tepercaya, sehingga akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Jadilah. Aku akan menyaksikan perang tanding ini. Kapan akan kalian lakukan?”
“Sekarang,” sahut Kuda Sempana.
Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu benar perasaan yang sedang bergolak di dalam dada Kuda Sempana. Karena itu ia bertanya kepada Witantra, “Bagaimana pendapatmu?”
“Aku sudah menyangka bahwa Adi Kuda Sempana tidak akan dapat bersabar. Aku tidak berkeberatan. Sekarang,” jawab Witantra.
“Bagus. Aku siap menunggumu di luar Kakang Witantra,” berkata Kuda Sempana sambil beringsut dari tempatnya.
“Tunggu!” Tunggul Ametung menahannya. Katanya kemudian, “Aku akan memanggil beberapa orang saksi. Beberapa orang prajurit dan beberapa orang pelayan dalam.”
“Terserah pada Tuanku. Aku tunggu kau di alun-alun, Kakang.”
“Tidak di alun-alun,” potong Tunggul Ametung, “tetapi di halaman belakang istana ini.”
“Kenapa? Biarlah rakyat Tumapel menyaksikan perang tanding ini. Menyaksikan betapa Kuda Sempana mempertahankan haknya yang akan direbut orang.”
“Gila kau!” sahut Tunggul Ametung, “Apa kau sangka gadis itu sudah menjadi hakmu? Tidak, Kuda Sempana. Gadis itu belum hakmu. Akuwu Tunggul Ametung yang sengaja datang ke Panawijen untuk melindungnya dari kekotoran tanganmu, tahu?”
Kuda Sempana terkejut mendengar jawaban akuwu itu. Tetapi Witantra dan Ken Arok sama sekali tidak, sebab mereka sudah berjanji, bahwa akuwu akan mempertanggungjawabkan pengambilan gadis itu, seolah-olah untuknya sendiri. Hal itu akan lebih baik baginya. Sedang, apabila ternyata Ken Dedes telah bebas dari tangan Kuda Sempana, maka biarlah gadis itu menentukan kehendaknya sebagai tebusan atas kesalahan yang telah terlanjur dilakukan oleh Tunggul Ametung itu.
Dan sebelum Kuda Sempana menjawab akuwu itu meneruskan, “Aku beri kesempatan kau melakukan perang tanding, sebab aku tahu bahwa kau pun merasa berhak pula atas gadis itu. Tetapi tidak di muka rakyat Tumapel. Rakyat Tumapel pasti akan menuntutmu, memenggal lehermu di alun-alun sebab kau telah berani mencoba merebut gadis itu dari tanganku, tangan Akuwu Tumapel.”
Kuda Sempana menjadi bingung mendengar keterangan akuwu itu Namun kemudian ia tidak peduli lagi. Cepat-cepat ia beringsut dan berjalan keluar dengan tanpa berkata sepatah kata pun.
Sesaat kemudian Witantra pun mundur pula dari hadapan akuwu, sehingga tinggallah kemudian Ken Arok yang mendapat perintah dari akuwu untuk mengundang beberapa orang perwira prajurit dari berbagai kesatuan dan para pimpinan pelayan dalam.
Sepeninggal Ken Arok, maka Tunggul Ametung segera masuk ke dalam biliknya, mengenakan pakaian kebesarannya untuk menanti persiapan yang dibuat oleh Witantra di halaman belakang istana. Sebuah arena kecil.
Kepada beberapa orang juru taman Witantra memerintahkan menyiapkan tempat itu. Membentangkan tikar pandan di sekelilingnya dan beberapa perlengkapan yang lain.
Kuda Sempana yang melihat itu sama sekali tidak bersabar. Dengan lantang ia berkata, “Apa perlunya segala macam persiapan itu? Di sini kita bisa bertempur. Di manapun dan tanpa persiapan apapun.”
“Biarlah kali ini kita lakukan dengan baik, Adi. Meskipun tidak sempurna, biarlah kita lakukan dengan upacara perang tanding antara kesatria.”
“Persetan!” sahut Kuda Sempana yang kemudian berjalan mendekati Witantra, “Kakang Witantra, coba katakan kepadaku, hadiah apa yang dijanjikan kepadamu, sehingga demikian bernafsu kau memisahkan Ken Dedes dariku. Apakah kau dijanjikan untuk menjabat pangkat yang lebih tinggi, bukan sekedar perwira pengawal akuwu, tetapi akan diangkat menjadi senapati agung misalnya, atau Panglima Tumapel atau apa?”
Witantra memandang wajah Kuda Sempana yang penuh hinaan itu dengan tenang. Sekali ia mengangguk-anggukkan kepala, dan kemudian menjawab, “Aku tidak akan menerima hadiah apapun, Adi.”
“Omong kosong!” Kuda Sempana mencibirkan bibirnya, “Lalu apakah pamrihmu? Perempuan itu sendiri?”
Witantra menggelengkan kepalanya, tetapi sebelum ia menjawab Kuda Sempana telah mendahuluinya, “Atau kau sudah diganggu oleh penyakit syaraf. Lihat istana Tumapel gempar hanya karena seorang gadis. Akuwu ternyata curang. Ia mengantarkan aku dan merestui aku mengambil Ken Dedes, tetapi akhirnya ia berkata bahwa ia melindungi gadis itu dari kekotoran tanganku. Apakah demikian nilai janji Akuwu sekarang?”
“Tetapi kau telah menipunya. Nah, apakah demikian, nilai kemanusiaan sekarang?”
“Omong kosong!” kembali Kuda Sempana mencibirkan bibirnya dan kembali ia berkata, “Seluruh isi istana sudah gila. Karena seorang gadis desa, maka istana Tumapel menjadi gempar. Seorang perwira pengawal istana turun ke arena untuk merebut gadis desa itu. Huh!”
Witantra memandang Kuda Sempana dengan tajamnya. Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Kuda Sempana, persoalan ini bagiku bukan sekedar persoalan seorang gadis. Bukan sekedar soal perempuan itu. Tetapi persoalan ini merupakan contoh dari persoalan yang jauh lebih besar. Persoalan kemanusiaan, kebenaran, hak dan kewajiban.”
“Oh?” Kuda Sempana mengangkat wajahnya sambil menarik bibirnya ke sisi. Matanya diredupkannya sambil berkata, “Kakang Witantra ingin menjadi pahlawan?”
“Mungkin,” sahut Witantra sambil mengerutkan keningnya, “tetapi pahlawan atau bukan pahlawan adalah kewajibanku untuk mencegah kelaliman. Gadis itu adalah perwujudan dari tindak sewenang-wenang itu. Kali ini seorang gadis, keluarganya dan bahkan perasaan seluruh rakyat Panawijen. Namun gadis itu dapat berbentuk lain. Kalau kau telah berani merampas kebebasan seorang gadis untuk memenuhi keinginanmu, maka lain kali kau akan berbuat jauh lebih besar. Kalau kau memiliki kekuasaan, maka kau akan melakukannya melampaui apa yang kau lakukan sekarang. Mungkin kau akan merampas hak-hak yang jauh lebih berharga. Tidak hanya satu jiwa, tetapi beribu-ribu. Yang penting bukan gadis itu, gadis yang hanya satu gadis pedesaan. Tetapi yang penting adalah persoalannya. Kau merampas hak kemanusiaannya, dan adalah kewajibanku untuk mencegahnya. Itulah. Dan perkosaan yang kau lakukan dapat berupa perkosaan atas seorang gadis, tetapi juga dapat lain.”
Kuda Sempana menjadi tegang. Ia kini tidak mencibirkan bibirnya lagi. Tidak menarik bibir itu ke sisi dan tidak meredupkan matanya. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Katanya, “Kau mencoba menghubungkannya, dengan persoalan yang disebut persoalannya, bukan bentuknya. Tetapi kau lupa bahwa untuk kepentingan yang lebih besar maka aku berbuat demikian. Dengan gadis itu di sisiku, aku akan lebih banyak berbuat untuk Tumapel untuk tanah ini.”
“Alasan yang terlalu dibuat-buat. Kau ingin mengatakan bahwa apa yang terjadi adalah suai u pengorbanan buat masalah yang lebih besar? Omong kosong! Yang terjadi adalah korban nafsumu yang tak terkendali. Kali ini kau bernafsu atas gadis itu, tetapi lain kali kau bernafsu untuk menjadi akuwu. Dapatkah kau katakan bahwa jabatan akuwu akan memberi kesempatan kepadamu berbuat lebih banyak atas tanah ini? Tumapel?”
“Persetan dengan uraianmu yang bodoh! Nah, kalau demikian apalagi yang kita tunggu?”
“Akuwu,” sahut Witantra.
Kuda Sempana menggeram. Ia benar-benar tidak dapat bersabar lagi. Namun Kuda Sempana itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Sebentar kemudian datang Akuwu Tunggul Ametung diiringi oleh beberapa orang perwira. Di wajah-wajah mereka terbayanglah berbagai pertanyaan dan keragu-raguan. Namun di antara mereka, telah juga beredar kabar dari mulut ke mulut, bahwa Istana Tumapel sedang digemparkan oleh seorang gadis Panawijen. Namun beberapa orang perwira dapat mengerti, kenapa Witantra telah menyediakan dirinya dalam persoalan yang tampaknya tidak lebih dari rebutan seorang gadis itu, tetapi yang bagi Witantra, pandangannya jauh menembus pada pokok persoalannya. Kemanusiaan, kebenaran dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di hari-hari berikutnya, supaya tidak semua orang dapat berbuat seperti Kuda Sempana. Memenuhi nafsu sendiri dengan mengorbankan apa saja, bahkan nama Akuwu Tunggul Ametung sendiri.
Ketika Kuda Sempana melihat beberapa orang yang datang ke arena itu, maka ia menjadi gelisah. Ia menjadi cemas kalau akuwu sekali lagi mengingkari janji. Apabila ia berhasil mengalahkan Witantra maka akuwu akan dapat membuat alasan-alasan lain untuk menyingkirkannya. Sebab di tangan Tunggul Ametung terletak kekuasaan Tumapel. Ia ragu-ragu, apakah benar akuwu dalam hal ini tidak ingin mempergunakan kekuasaan? Bukankah karena kekuasaan akuwu pula maka Witantra dapat mewakilnya.
Tetapi Kuda Sempana tidak mau memusingkan dengan angan-angan yang mencemaskan. Ia akan berteriak di hadapan para satria itu perjanjian yang telah dibuatnya dengan Witantra dan akuwu. Apabila akuwu mengingkarinya biarlah para perwira itu akan dapat menilainya
Sesaat kemudian Kuda Sempana dengan tidak sabar sama sekali telah meloncat ke tengah-tengah gelanggang yang dikelilingi oleh beberapa orang perwira yang duduk di atas selapis tikar pandan. Witantra pun kemudian maju pula setelah menyembah dan berkata kepada Tunggul Ametung, “Hamba akan mencoba berbuat sebaik-baiknya.”
Akuwu Tunggul Ametung tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil penuh kebimbangan. Perasaan kini justru tidak setenang malam tadi. Perasaannya kini mulai bergolak kembali. Ia takut, sebenarnya takut, bahwa Witantra tidak akan dapat mengalahkan Kuda Sempana. Perasaan akuwu kini bukanlah sekedar ingin membebaskan Ken Dedes dari tangan Kuda Sempana, namun tanpa diketahuinya sendiri, perasaan itu telah terdorong semakin jauh. Ia benar-benar ingin memenangkan sayembara ini. Memenangkan untuk memiliki hasil kemenangannya.
Beberapa orang perwira duduk acuh tak acuh. Bahkan ada di antara mereka menggerutu tak habis-habisnya. Kenapa ia harus menyaksikan perkelahian yang berpusar pada persoalan seorang gadis. Namun beberapa perwira yang lain menjadi cemas. Mereka memuji kejujuran Witantra dalam per kelahian itu. Ia benar-benar seorang yang tidak terlibat dalam suatu kepentingan pribadi atas gadis itu.
Ken Arok yang duduk di tepi arena itu pun memandang mereka yang telah siap bertempur dengan pandangan yang suram. Hatinya menjadi berdebar-debar dan bahkan suatu perasaan aneh telah merayapi hatinya. Seperti beberapa orang yang lain, maka Ken Arok jauh lebih dalam memuji Witantra di dalam hatinya. Ia benar-benar satu-satunya orang yang berjuang tanpa pamrih. Ia bertempur benar-benar untuk menegakkan kemanusiaan, hak atas dasar kewajiban.
Ketika ia berpaling dan menyambar wajah Akuwu Tunggul Ametung yang tunduk, maka katanya di dalam hati, “Akuwu berbuat seperti sekarang ini karena ia dikejar oleh perasaan bersalah, ia ingin menembus kesalahannya itu dengan membebaskan kembali Ken Dedes dan menghukum Kuda Sempana dengan cara lain. Cara yang tidak semata-mata mengingkari tingkah laku sendiri. Sedang Mahisa Agni yang terluka itu, berjuang untuk menyelamatkan adiknya. Untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran. Kuda Sempana bersedia bertempur di arena karena ia dilanda oleh nafsu yang tak terkendali. Nafsu untuk memiliki Ken Dedes meskipun hanya wadagnya saja.”
Tetapi tidak demikian dengan Witantra. Ken Dedes bukan sanak bukan kadang, bukan pula seorang gadis yang telah menyeret nafsunya, dan bukan pula gustinya. Bukan apa-apa. Ia benar-benar dapat mencuci tangannya seperti perwira-perwira yang lain, yang acuh tak acuh atas persoalan itu. Ia dapat tidur nyenyak dengan istri dan keluarganya di rumah. Atau apabila ia harus melihat perkelahian di arena ia dapat memuji, namun dapat pula mencela salah seorang daripadanya sambil membelai kumisnya tanpa bahaya. Namun kini ia telah terjun ke arena dengan suka rela, karena ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kemanusiaan telah diperkosa oleh kesewenang-wenangan. Ia melihat ketidakadilan dan ia melihat seseorang yang dapat memperalat kekuasaan dan pedang untuk mencapai maksudnya. Karena itu, Witantra yang merasa memiliki pedang pula di lambungnya, telah turun ke arena untuk melawan pedang dalam kesewenang-wenangannya.
Tak sepatah kata pun yang diucapkan Akuwu Tunggul Ametung sebelum perang tanding itu dimulai. Tak ada orang lain yang diperintahkannya untuk berbicara. Ia hanya menganggukkan kepalanya dan bergumam lirih, “Mulailah.”
Witantra mengangguk hormat, kemudian memutar tubuhnya menghadap Kuda Sempana. Namun Kuda Sempanalah yang kemudian berkata lantang, “Para perwira prajurit, kawan-kawanku pelayan dalam dan para pimpinan pemerintahan. Tuanku Akuwu telah melepaskan janji, arena ini adalah keputusan tertinggi. Siapa yang menang ia berhak menentukan sikapnya atas gadis Panawijen yang sekarang sedang sakit di istana. Dan aku sengaja turun karena untuk mempertahankan hakku atasnya.”
Belum lagi mulut Kuda Sempana terkatup rapat, terdengar akuwu membentak, “Jangan banyak bicara! Kalau kau tidak segera mulai, maka lawanmu adalah aku sendiri.”
Semua orang terkejut mendengar akuwu membentak. Beberapa orang menjadi kecut dan bingung, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Namun beberapa orang tersenyum di dalam hati, “Keduanya adalah orang-orang muda.”
Kuda Sempana pun terdiam pula. Ketika ia mencoba mencuri pandang, di pangkuan Tunggul Ametung terletak sebuah benda yang kuning gemerlap. Itulah pusakanya, yang dapat menggugurkan gunung dan dapat mengeringkan lautan. Sekali lagi tanpa disengajanya, Kuda Sempana meraba kerisnya. Kerisnya itu ada di lambungnya. Tetapi ketika ia memandangi tubuh Witantra keseluruhannya, maka Witantra sama sekali tidak membawa senjata apapun.
Meskipun demikian. Kuda Sempana itu masih juga berkata, bahkan ditujukan kepada Akuwu Tunggul Ametung, “Tidak, Tuanku hamba junjung. Hamba hanya ingin supaya para perwira mengetahui, apakah yang harus kami lakukan.”
“Diam! Diam! Diam!” teriak Akuwu Tunggul Ametung. Secengkang ia beringsut. Tetapi Witantra yang menjadi cemas kalau Tunggul Ametung itu kemudian berdiri dan menerjunkan diri ke arena, maka segera ia meloncat menyerang sambil berteriak, “Adi Kuda Sempana, aku akan segera mulai.”
Kuda Sempana melihat Witantra mulai dengan serangannya, namun tidak berbahaya. Meskipun demikian, Kuda Sempana menggeser ke samping untuk menghindari serangan itu.
Tetapi agaknya Kuda Sempana itu masih belum puas dengan apa yang dikatakannya. Ia masih ingin berteriak lagi memperkecil arti tindakan Tunggul Ametung itu. Membatasi persoalannya sebagai suatu persoalan berebut gadis di antara dua orang jejaka. Bukan soal seperti yang dikatakan oleh Witantra, yang memandangnya dari segi lain. Dari segi hak, kemanusiaan dan beban kewajibannya sebagai seorang kesatria. Karena itu, maka sekali lagi ia mencoba berteriak sambil meloncat surut. Namun Witantra melihat gelagat itu. Betapapun ia tetap dalam ketenangannya, tetapi perbuatan Kuda Sempana itu benar-benar tak menyenangkan. Karena itu, demi kian Kuda Sempana mulai membuka mulutnya, maka mulai pulalah serangan Witantra berikutnya. Bukan sekedar serangan untuk mengejutkan lawannya. tetapi serangan kali ini benar-benar mengarah ke titik-titik yang berbahaya bagi lawannya. Sambil melontarkan diri, Witantra menyambar leher Kuda Sempana dengan ibu jarinya. Sedang tangannya yang lain masih berusaha menyerang perut lawannya dengan ujung-ujung jari pula.
Kuda Sempana kali ini benar-benar terkejut melihat gerak itu. Gerak yang langsung berusaha menyelesaikan perkelahian dengan menutup lubang pernafasannya. Karena itu, maka ia tidak sempat untuk berteriak lantang, namun sekali ia harus bergeser surut sambil merendahkan dirinya, sedang tangannya berusaha untuk memukul tangan Witantra ke samping. Tetapi Witantra dengan cepatnya menarik tangannya. Sekali ia berputar di atas satu kakinya, dan tiba tumitnya melayang dalam gerak melingkar menyambar lambung Kuda Sempana.
Kuda Sempana mengumpat di dalam hatinya. Witantra benar-benar tidak memberinya kesempatan. Karena itu, maka segera dilepaskannya maksudnya untuk berteriak-teriak di hadapan para perwira. Kini dipusatkannya segenap perhatiannya kepada Witantra.
“Hem,” Kuda Sempana menggeram, gumamnya di dalam hati, “Alangkah banyak rintangan yang harus aku lampaui. Untuk mendapatkan seorang istri yang cantik, aku harus berkali-kali mempertaruhkannya nyawaku. Tetapi Ken Dedes bagiku adalah lambang keteguhan tekadku. Kalau aku tidak mampu mempertahankannya maka dalam persoalan-persoalan yang lain aku pun akan selalu gagal.”
Dengan demikian, maka gerak Kuda Sempana menjadi semakin mantap. Kepada Wiraprana, kepada Mahisa Agni ia pernah berkata bahwa bagi seorang kesatria, wanita sama harganya dengan pusaka dan nyawanya. Karena itu, maka apapun yang akan ditempuh, maka Ken Dedes harus menjadi miliknya.
Ketika Matahari merambat semakin tinggi di langit, maka angin lembah pun semakin cepat mengalir, mendorong awan yang putih kelabu mengalir ke utara. Segumpal-segumpal. Dan kadang-kadang menyapu wajah matahari yang suram, seolah-olah matahari itu ingin menyembunyikan wajahnya dalam kecemasan melihat perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru.
Demikian perkelahian itu mulai, demikian segenap perhatian tercurah ke dalam arena. Beberapa perwira yang semula acuh tak acuh saja, kini terpaksa melihat, bahwa keduanya tidak hanya sekedar bermain-main.
Tunggul Ametung sendiri, seakan-akan sebuah patung batu yang diam membeku. Namun betapa tegang wajahnya memandangi perkelahian itu. Semula, sebenarnyalah bahwa ia hampir saja meloncat ke dalam arena dan mendorong Witantra pergi, seandainya Witantra tidak segera mulai dengan serangannya. Akuwu sudah tidak dapat lagi mempertimbangkan, apakah dengan demikian namanya tidak akan terganggu karenanya. Sebab beberapa orang akan tetap menganggap bahwa Akuwu Tunggul Ametung bertempur dengan tangannya hanya untuk mendapatkan seorang gadis desa. Tetapi kini, akuwu masih memiliki kewibawaan. Seandainya yang terjadi itu sebuah sayembara tanding, maka seseorang perwira prajuritnya telah melakukan perintahnya. Seandainya ia berhasil maka namanya akan menjadi semakin baik, bahwa prajuritnya saja telah mampu menyelesaikan pekerjaan itu. Apalagi kalau ditanganinya sendiri.
Tetapi apapun yang terjadi, maka adalah pasti, bahwa masih akan ada orang yang mencibirkan bibirnya sambil berkata, “Kenapa Tunggul Ametung, seorang akuwu yang berkuasa di Tumapel, telah terlibat dalam persoalan seorang gadis dengan pelayan dalamnya sendiri?”
Namun mungkin ada orang lain yang menjawab, “Tetapi akuwu tidak berbuat sewenang-wenang. Ia memberi kesempatan kepada pelayan dalam itu untuk berjuang, meskipun seandainya ia mau, maka pelayan dalam itu dapat dibunuhnya tanpa sebab.”
Tetapi akuwu tidak dapat berbuat begitu. Meskipun di sudut hatinya yang paling jauh tersimpan pula kata-kata itu, mempergunakan kekuasaan untuk membunuh Kuda Sempana, namun beberapa orang telah menjadi saksi, bahwa akuwu sendiri telah mengantarkan Kuda Sempana mengambil gadis itu ke Panawijen.
Perkelahian antara Witantra dan Kuda Sempana itu semakin lama menjadi semakin seru. Masing-masing adalah seorang yang mendalami ilmu tata perkelahian dengan tekunnya. Meski pun umur Witantra terpaut beberapa tahun lebih tua, namun tenaga mereka berdua masih dalam tingkat yang sedang berkembang. Baik Witantra maupun Kuda Sempana. Karena itulah maka keduanya menjadi seperti sepasang burung rajawali yang bersabung di udara. Saling menyambar dan saling menerkam. Lontar melontar dalam kekuatan orang-orang muda. Desak mendesak silih berganti.
Meskipun demikian, Akuwu Tunggul Ametung selalu mengumpat di dalam hatinya. Ia melihat betapa gerak Witantra terlalu lamban. Kalau dirinya sendiri yang berada di arena itu, maka ia sudah akan menemukan beberapa kesempatan untuk menjatuhkan, atau setidak-tidaknya menekan lawannya. Dan sebenarnyalah akuwu dapat melakukannya. Ia tidak hanya sekedar dapat mencela, sebab akuwu sendiri mampu bergerak secepat burung walet yang menyambar ikan di wajah lautan. Namun apabila Tunggul Ametung memperhatikan Kuda Sempana, maka akuwu itu menarik nafasnya dalam-dalam. Witantra terlalu lamban dibanding dengan lawannya.
Sehingga dengan demikian maka perkelahian itu berlangsung dalam suasana yang semakin lama semakin tegang. Apalagi Kuda Sempana semakin lama menjadi semakin kehilangan pertimbangan. Yang ada di dalam kepalanya tinggallah suatu tekad untuk menghancurkan lawannya. Bukan saja sekedar mengalahkan, menundukkan untuk mendapat kemenangan, namun Kuda Sempana yang marah itu benar-benar ingin mengalahkan lawannya dalam tingkat yang tertinggi. Mati. Itulah sebabnya ia memeras segenap kemampuan dan ilmunya. Ia ingin mencengangkan semua orang yang melihatnya. Seorang pelayan dalam telah berhasil mengalahkan sampai mati seorang perwira prajurit. Dengan demikian maka tidak saja ia akan berhasil memiliki seorang gadis yang telah menjadikannya gila, namun ia akan mendapat tempat yang baik di hati para pemimpin Tumapel. Tetapi apabila teringat olehnya, bahwa Witantra itu sedang mewakili Akuwu Tunggul Ametung, maka hatinya menjadi suram. Ia benar-benar dihadapkan pada persoalan yang amat pelik. Maju tatu, mundur ajur. Kalau ia berhasil mengalahkan Witantra, maka apakah akuwu benar-benar akan memenuhi janjinya? Tetapi apabila ia dapat dikalahkan, lenyaplah semua impiannya atas seorang gadis yang selama ini telah membungai lereng Gunung Kawi.
“Persetan dengan keputusan Akuwu nanti!” katanya di dalam hati, “Namun semua orang yang hadir ini telah mengetahui persoalan yang sedang terjadi. Kalau Akuwu tidak menepati janjinya, maka para kesatria akan mengutuknya.”
Karena itulah maka Kuda Sempana benar-benar berkelahi tanpa pengekangan diri. Setiap kesempatan dipergunakannya sebaik-baiknya untuk membinasakan lawannya. Ia sama sekali tidak canggung dan ragu-ragu. Apa saja yang dilakukan meluncur lepas dengan sekuat tenaganya. Geraknya semakin lama semakin lincah, menyambar-nyambar tanpa mempertimbangkan, apa yang sedang dilakukan oleh lawannya.
Witantra yang masih berusaha membatasi semua geraknya, merasakan tekanan Kuda Sempana semakin lama semakin keras. Bahkan kemudian ia melihat serangan-serangan Kuda Sempana atas bagian-bagian tubuhnya yang benar-benar berbahaya. Lambung leher dan bahkan mata. Witantra yang tenang itu akhirnya merasa juga, bahwa Kuda Sempana bertempur dalam tingkatan yang menentukan hidup atau mati.
Witantra menggeram perlahan-lahan. Ia masih saja dijalari oleh kebimbangan. Apakah ia akan mengimbangi kegilaan Kuda Sempana itu? Apabila demikian, maka tidak ada bedanya antara mereka keduanya. Tetapi apabila ia tidak berbuat serupa, dengan mengekang semua serangan maka ia semakin lama pasti akan di sudutkan ke dalam kesulitan.
Ketika sekali ia mencoba memandang wajah Akuwu Tumapel, dilihatnya wajah itu merah padam seolah-olah hampir meledak. Tunggul Ametung itu menggigit bibirnya sambil mengepalkan kedua tangannya, yang bahkan sekali-kali memukul kaki-kakinya sendiri.
Witantra menyadari kegelisahan Tunggul Ametung. Akuwu itu pasti melihat keragu-raguannya. Akuwu itu pasti melihat bahwa ia dalam kebimbangan. Sehingga karena kebimbangannya itu ia banyak terdesak. Dan itu menggelisahkan sekali.
[divider line_type=”Full Width Line” custom_height=””]
Source : www.agusharis.net
~ Article view : [331]