Pelangi di Langit Singasari [ 48 ]

626

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND

oleh S.H. Mintardja

[ Seri 48 ]

 

WITANTRA mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan ingkar. Kalau benar katamu, itu adalah tanggung jawabku. Untuk seterusnya, sampai pembunuhnya itu diketemukan, aku akan selalu berusaha. Bahkan apabila perlu, kau dapat membawa cantrik itu kemari, untuk melihat sendiri, siapakah orang yang dicurigainya. Aku atau perwira-perwira yang aku percaya akan membawanya berkunjung ke setiap orang, terutama yang pantas dicurigai. Apabila pada suatu saat ia bertemu dengan orangnya, maka ia akan segera mengenalnya”.

“Terima kasih Witantra”.

“Untuk sementara, aku kira lebih baik kau tinggal di Tumapel. Aku akan mengadakan penyelidikan terus-menerus. Mudah-mudahan aku dapat membantumu dalam waktu yang singkat. Aku harus segera membersihkan nama baik pasukanku. Kalau benar aku dapat menemukan di dalam lingkunganku, maka ia harus menerima hukuman yang seberat-beratnya”.

Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Sebenarnya ia senang sekali mendapat tawaran Witantra untuk tinggal di Tumapel. Tetapi apabila sekilas terbayang wajah adik ipar Witantra itu, terasa bulu-bulu tengkuk Mahisa Agni meremang.

“Bagaimana Agni? Apakah kau bersedia? Pada suatu saat aku mungkin akan memerlukanmu untuk menghubungi cantrik yang melihat sendiri wajah prajurit itu”.

Mahisa Agni tidak segera menyahut, ia berdiri di antara dua masalah yang sama-sama berat baginya, ia memang ingin tinggal di Tumapel untuk sementara. Dengan demikian, ia akan ikut membantu menemukan pembunuh pamannya. Tetapi rumah itu serasa didiami oleh sesosok hantu betina.

“Bagaimana?” desak Witantra.

Namun bagaimanapun juga akhirnya Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Ia menganggap kematian pamannya adalah masalah yang penting yang harus dapat dipecahkannya. Apabila ternyata ia tidak dapat tinggal di rumah Witantra, ia akan mencari tempat yang lain, yang mungkin dapat ditempatinya untuk sementara.

Dalam pada itu, tiba-tiba sekilas meloncat di dalam angan-angannya seorang yang bernama Ken Arok. Seorang yang pernah dikenalnya dengan baik, yang menurut pendengarannya, telah membantunya dan membantu pamannya pada saat-saat ia berada di dalam kekuasaan Kebo Sindet. Bahkan Ken Arok saat itu tidak memperhitungkan keselamatannya sendiri.

“Tetapi anak muda itu tidak tinggal di rumahnya. Ia tinggal di dalam barak. Sudah tentu aku tidak dapat tinggal bersamanya” katanya di dalam hati.

“Nah, apabila demikian” terdengar suara Witantra, “Kau akan tinggal di gandok kanan. Setiap saat kau dapat keluar dan memasukinya tanpa terganggu, karena gandok kanan mempunyai pintu masuk ke dalam bilik-biliknya tersendiri”.

“Terima kasih Witantra” sahut Mahisa Agni. Witantra kemudian membawa Mahisa Agni ke dalam bilik yang diperuntukkannya. Tetapi begitu Witantra meninggalkannya di dalam bilik itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Dimuka pintu bilik itu berdiri seorang gadis sambil tersenyum, “Bukankah kakang Witantra cukup baik terhadapmu?”

“Mudah-mudahan kau kerasan tinggal di sini”.

“Mudah-mudahan”.

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya, “Ya, aku sangat berterima kasih”.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar suara tertawa gadis itu menjauh. Kemudian, hilang perlahan-lahan.

Atas persetujuan Witantra, Mahisa Agni pada suatu kesempatan telah pergi menemui Ken Arok di baraknya. Dengan penuh harapan Mahisa Agni ingin menyampaikan persoalannya kepada anak muda yang baik itu. Ia yakin, bahwa Ken Arok pasti tidak akan berkeberatan untuk membantunya.

Ternyata kedatangan Mahisa Agni telah sangat mengejutkan anak muda itu, sehingga sejenak ia berdiri dengan tegangnya seperti melihat hantu yang sangat menakutkan.

“Apakah kedatanganku terasa aneh bagimu Ken Arok?” bertanya Mahisa Agni tanpa prasangka apapun.

“Tidak, tidak” Ken Arok tergagap, “Aku senang sekali mendapat kunjunganmu. Apakah kau baru saja datang dari Karautan atau Panawijen lama?”

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Tidak Ken Arok. Aku baru saja datang dari Lulumbang”.

Terasa darah Ken Arok berguncang di dalam jantungnya. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sejenak kemudian terasa dadanya menjadi seakan-akan pepat. Berbagai prasangka telah timbul di dalam hatinya. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri dan berbuat sesuatu di luar sadarnya. Untunglah bahwa ia masih berhasil mengekang dirinya. Ia masih berhasil menahan hati, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya, betapapun berat tekanan di dadanya.

Bahkan kemudian Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tenangnya ia bertanya, “Apakah kau baru mengunjungi pamanmu? Dan apakah Empu Gandring baik-baik saja?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesah, “Pamanku bernasib kurang baik”.

“Kenapa?” Ken Arok tampak terkejut.

“Pamanku telah mati terbunuh”.

“He” Ken Arok menjadi tegang sejenak. Namun dadanya menjadi semakin lapang. Dengan demikian, jelas baginya bahwa Mahisa Agni sama sekali tidak menaruh prasangka apapun terhadapnya.

“Aku datang kerumahnya di malam hari, tetapi aku tinggal menemukan mayatnya di dalam sanggarnya”.

“Aneh” jawab Ken Arok, “Empu Gandring adalah seorang yang pilih tanding dalam olah kanuragan”.

“Ya, tetapi ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan”.

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Mahisa Agni menceriterakan apa yang dilihatnya.

“Pengecut” Ken Arok menggeram, “Apakah pamrih orang itu dengan membunuh Empu Gandring?”

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Dan tidak seorang pun yang tahu”.

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Apakah tidak ada ciri-ciri yang dapat menunjukkan siapakah pembunuh itu?”

“Ada” sahut Mahisa Agni, “Seorang prajurit dengan selempang tali berwarna kuning keemasan”.

“Prajurit pengawal istana” ia berseru.

“Ya, pengawal istana”.

“Apakah kau sudah bertemu dengan Witantra?”

“Aku tinggal di rumahnya, sementara aku mencari siapakah pembunuh pamanku itu. Witantra sedang menyelidiki semua anak buahnya. Mudah-mudahan akan segera diketemukan”.

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Aku akan membantumu Mahisa Agni. Aku akan berusaha untulk ikut mencari siapakah orangnya di dalam lingkungan prajurit pengawal. Meskipun aku bukan dari lingkungan itu, tetapi karena aku seorang pelayan dalam, maka tugas-tugasku hampir bersamaan dengan para pengawal. Dengan demikian aku banyak mengenal mereka bahkan seperti lingkungan sendiri. Dengan tidak langsung aku akan berusaha menemukan orang-orang yang pada saat terbunuhnya Empu Gandring tidak berada di tempatnya”.

“Terima kasih Ken Arok. Aku memang mengharapkan bantuanmu dan bantuan segala pihak. Mudah-mudahan segera berhasil”.

“Baiklah. Tetapi, sampai kapan kau berada di Tumapel?”

“Aku tidak tahu”.

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan sungguh-sungguh ia berkata, “Tetapi hati-hatilah Mahisa Agni. Agaknya pembunuhan itu telah direncanakan untuk maksud tertentu. Kehadiranmu di sini pasti akan menjadi perhatian prajurit itu”.

“Aku sudah memperhitungkan” jawab Mahisa Agni, “Tetapi aku tidak mempunyai jalan lain”.

“Sebenarnya kau tidak perlu berada di Tumapel. Kau dapat kembali ke Karautan atau ke Lulumbang. Serahkan persoalanmu di sini kepadaku dan kepada Witantra. Setiap saat aku atau Witantra akan menghubungimu di mana kau tinggal”.

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Sementara aku akan tinggal di Tumapel. Tetapi sudah tentu tidak terlampau lama, karena pekerjaanku sendiri. Apabila orang itu masih belum dapat kita ketemukan, maka pada suatu saat aku harus meninggalkan kota ini. Aku berterima kasih sebelumnya kepadamu dan kepada Witantra atas semua bantuan yang akan kalian berikan kepadaku”.

“Itu sudah menjadi kuwajibanku. Juga menjadi kuwajiban Witantra. Ia harus bertanggung jawab atas orang-orangnya, meskipun seandainya orang itu masih mempunyai sangkut paut dengannya”.

“Ya, Witantra memang tidak ingkar”.

“Aku percaya. Bukan watak Witantra untuk mengingkari tanggung jawabnya. Tetapi, aku pesan kepadamu Agni. Sungguh. Agar kau berhati-hati. Pembunuh pamanmu adalah seorang yang kejam dan yang paling berbahaya, ia seorang yang licik”.

“Aku menyadari. Karena itu aku akan tetap berhati-hati. Dan atas perhitungan semacam itu pulalah, aku mempersiapkan diriku sebaik-baiknya. Aku membawa senjata paman yang paling terpercaya. Mungkin sewaktu-waktu berguna bagiku”.

Dada Ken Arok berdesir mendengar keterangan itu. Senjata Empu Gandring yang terpercaya. Senjata itu pasti senjata yang paling baik yang pernah dibuatnya, karena senjata itu dipergunakannya sendiri. Ia tidak akan membuat senjata yang lain yang akan melampaui senjatanya sendiri.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni pun segera minta diri untuk segera kembali ke rumah Witantra. Setelah sekali lagi ia mengucapkan terima kasih, maka ia pun meninggalkan barak anak muda anggauta pelayan dalam Istana Tumapel itu.

Ken Arok yang masih berdiri di regol halaman memandangi Mahisa Agni sampai hilang di tikungan. Namun sesaat kemudian ia menggeretakkan giginya, “Kenapa kau ikut campur persoalan pamanmu Agni. Dengan demikian, maka kau pun harus dimusnahkan. Sayang, kau masih terlampau muda untuk mati. Tetapi apa boleh buat”.

Ken Arok menghentakkan kakinya. Kemudian menggeram. Ia merasa sangat terganggu atas kehadiran Mahisa Agni di Tumapel. Ia pasti akan bekerja sama dengan Witantra, dan apalagi apabila Mahisa Agni kemudian berhubungan dengan Ken Dedes. Mungkin Permaisuri itu tidak akan dapat menahan hatinya untuk mengatakan rahasianya kepada kakaknya, satu-satunya keluarganya. Apabila demikian, maka Mahisa Agni pasti akan mencari hubungan atas segala peristiwa yang telah terjadi. Kepergiannya, sikap dan tindak tanduknya, pasti akan dapat mengarahkan kecurigaan Mahisa Agni dan Witantra.

“Adalah salahmu sendiri anak yang malang, apabila suatu ketika mayatnya terkapar di tengah jalan di kota Tumapel tanpa ada seorang pun yang mengetahui sebab-sebabnya” gumam Ken Arok kepada diri sendiri.

Sejenak kemudian Ken Arok pun segera masuk ke dalam biliknya. Dijatuhkannya dirinya di pembaringannya sambil mereka-reka apakah yang seharusnya dilakukan.

Dihari-hari berikutnya, selama Mahisa Agni masih berada di Tumapel, ia selalu menghubungi Witantra dan Ken Arok dalam segala tindakannya. Sehingga kedua orang itu jelas mengetahui, apakah yang sedang dilakukan oleh Mahisa Agni pada suatu saat.

“Aku sama sekali belum dapat mengatakan tentang kemungkinan untuk menemukan pembunuh itu” berkata Witantra pada suatu ketika.

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Pada suatu ketika, kita harus melihat keluar lingkungan pasukan pengawal. Siapa saja yang pada saat-saat itu tidak berada di Tumapel dan di rumah masing-masing”.

Tetapi Witantra menggeleng, “Tidak mungkin Agni. Terlampau, banyak orang yang harus dihubungi. Dan waktu pun sudah melangkah semakin jauh dari peristiwa itu”.

Mahisa Agni menyadarinya, tetapi ia masih belum berputus asa. Katanya kemudian, “Aku akan minta tolong kepada Ken Arok, untuk melakukan penyelidikan di luar lingkungan Pengawal Istana”.

“Memang hal itu dapat diusahakan. Tetapi hasilnya sangat kecil untuk diharapkan. Meskipun demikian, aku akan membantumu mengusahakannya”.

“Terima kasih”.

Dengan demikian Mahisa Agni masih akan tinggal beberapa hari lagi di Tumapel. Ia masih belum puas dan masih merasa belum selesai, apabila ia harus meninggalkan kota pada saat itu. Karena itu, maka ia masih tetap berusaha untuk berbuat sesuatu.

Dalam kepepatan hati, kadang-kadang Mahisa Agni berjalan saja tanpa tujuan di malam hari di sepanjang jalan Tumapel. Kadang-kadang sendiri dan kadang-kadang bersama Witantra. Bahkan kadang-kadang juga di siang hari. Menyusuri jalan tanpa tujuan.

Kadang-kadang ia singgah di barak Ken Arok untuk berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi Mahisa Agni tidak pernah mendapatkan petunjuk yang dapat memberinya jalan terang.

“Kita akan berusaha terus Agni” berkata Ken Arok, “Tetapi sampai kapan, dan sampai sejauh mana, aku tidak dapat mengatakan. Karena itu, apa tidak lebih baik bagimu untuk menyerahkan persoalan ini kepada Witantra. Aku akan embantunya sekuat-kuat tenagaku”.

Mahisa Agni yang merasa sudah terlampau lama tinggal di Tumapel mengerutkan keningnya.

“Aku akan mempertimbangkannya” jawabnya.

Sepeninggal Mahisa Agni, Ken Arok menjadi gelisah. Tiba-tiba ia mengenakan pakaian seorang prajurit. Dibawah kainnya disembunyikannya sebuah tali berwarna kuning keemasan. Kemudian dengan diam-diam ia meninggalkan baraknya, melalui pintu butulan lewat saat matahari terbenam.

Sementara itu Mahisa Agni berjalan sambil merenung, menyusuri jalan yang telah menjadi semakin sepi, karena malam menjadi semakin dalam. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak menghiraukannya. Hanya sekali-kali dikerlingnya lampu-lampu yang dipasang di regol-regol halaman, dan di sudut-sudut simpang jalan. Tetapi tidak ada yang menarik perhatiannya. Karena itu, maka ia berjalan saja dengan kepala menunduk.

Sementara itu sapasang mata yang jalang, selalu mengawasinya. Diikutinya saja langkah anak muda itu dengan hati-hati. Dengan kemampuan yang tinggi, orang itu mengikuti langkah Mahisa Agni pada jarak yang tidak terlampau jauh.

Namun ternyata Mahisa Agni memiliki ketajaman indera di luar dugaan orang yang mengikutinya. Orang itu sama sekali tidak tahu, bahwa justru di dalam tangan Kebo Sindet, Mahisa Agni telah menemukan inti dari ilmunya, bahkan bergabung dengan ilmu yang didapatinya dari Empu Sada dan kekerasan jasmaniah yang disadapnya dari tata gerak Kebo Sindet.

Dengan demikian, maka ketajaman inderanya yang terlatih itu segera mengetahui, bahwa seseorang telah mengikutinya. Desir dedaunan, gemerisik rumput-rumput kering tersentuh kaki, telah menyentuh telinganya.

Tetapi Mahisa Agni tidak segera memberikan tanggapan. Meskipun dadanya menjadi berdebar-debar, namun ia tidak merubah sikapnya. Bahkan ia mengharap, mudah-mudahan terjadi sesuatu, ia pasti bahwa yang akan terjadi itu ada hubungannya dengan kehadirannya di Tumapel seperti yang dikatakan oleh Keri Arok.

Langkah Mahisa Agni pun semakin lama menjadi semakin mendekati rumah Witantra. Sebelum sampai ke rumah itu, ia akan melewat suatu halaman yang masih belum digarap, meskipun sudah dipagari.

“Aku harus berhati-hati” desisnya, “Mungkin orang itu akan berbuat sesuatu, apabila aku lewat di dekat halaman yang masih kosong itu. Ia pasti menghindari agar tidak seorang pun yang akan ikut campur dalam persoalan ini”.

Dengan demikian maka Mahisa Agni pun menjadi semakin berhati-hati. Dipasangnya pendengarannya baik-baik untuk mengetahui, apakah desir lembut yang didengarnya itu masih saja mengikutinya.

Sejenak Mahisa Agni sempat memandang bintang-bintang yang bergayutan di langit. Selembar mega yang putih hanyut dibawa oleh arus angin ke Utara.

Sejenak kemudian dadanya berdesir. Gemersik di pinggir halaman menjadi semakin jelas baginya. Dan apalagi ketika ia telah sampai di depan halaman yang masih kosong itu.

Ternyata bayangan yang mengikuti Mahisa Agni itu un telah siap untuk menerkam korbannya. Agaknya ia tidak akan bekerja tanggung-tanggung. Ditangannya telah tergenggam sehelai keris yang luar biasa, yang seakan-akan bercahaya kebiru-biruan di dalam gelapnya malam. Namun diantara cahayanya yang biru itu terdapat beberapa bintik warna kekuning-kuningan.

Dengan susah payah orang itu menahan nafasnya. Ia memang menunggu Mahisa Agni sampai di depan halaman kosong itu, supaya apabila timbul beberapa keributan, suaranya tidak segera didengar oleh rumah di sebelah jalan.

“Aku harus membunuhnya pada tikaman yang pertama” desis bayangan itu di dalam hatinya. Karena itu, maka ia berusaha untuk semakin dekat dengan Mahisa Agni, “Ia tidak boleh mendapat kesempatan untuk melawan”.

Ketika saat yang ditunggunya itu tiba, maka dengan serta-merta sosok tubuh yang mengikuti Mahisa Agni itu pun meloncat dari dalam kegelapan. Demikian cepatnya, seakan-akan meluncur dari langit yang kehitam-hitaman. Sebelah tangannya mengembang, sedang tangannya yang lain, siap menghujamkan senjatanya ke dada Mahisa Agni.

Namun agaknya Mahisa Agni pun telah menunggu saat itu pula. Ia mengerti dan menyadari sepenuhnya apa yang akan terjadi. Karena itu, maka ia tidak terkejut ketika ia mendengar desir loncatan seseorang menerkamnya.

Mahisa Agni ternyata tidak kalah tangkasnya dari bayangan yang menerkamnya itu. Sebagai seorang anak muda yang menyimpan ilmu yang matang, maka Mahisa Agni sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan sigapnya ia meloncat sambil merendahkan dirinya, sehingga tangan bayangan yang mengembang itu tidak sempat menyentuhnya. Namun dengan demikian, maka tiba-tiba tangannya yang lain terayun deras sekali, dalam usahanya menyentuh Mahisa Agni dengan senjatanya yang mengerikan itu.

Sekali lagi Mahisa Agni harus bergeser. Kali inipun ia berhasil menghindari sambaran senjata itu. Namun ketika senjata itu meluncur beberapa cengkang dari kulitnya, hatinya berdesir tajam. Terasa udara yang panas menyambarnya, dan dilihatnya cahaya kebiru-biruan di dalam gelapnya malam. Dan dilihatnya pula, bintik-bintik yang kekuning-kuningan itu.

“Bukan main” ia berdesis, “Senjata ini bukan senjata kebanyakan. Senjata ini adalah senjata yang luar biasa. Pasti buatan seorang Empu yang nggegirisi”.

Dan Mahisa Agni seterusnya tidak sempat untuk merenungi kedahsyatan lawannya. Gabungan antara gerak yang demikian cepatnya dan senjata yang pilih tanding. Karena sejenak kemudian ia mendengar geram yang berat dan serangan yang mengejutkan.

Untunglah, bahwa Mahisa Agni telah berhasil menguasai ilmu gurunya hampir sempurna. Dalam olah kanuragan Mahisa Agni sudah tidak kalah lagi dari Empu Purwa, Empu Sada, Panji Bojong Santi dan orang-orang sejajarnya. Itulah sebabnya, maka meskipun ia harus melawan seseorang yang luar biasa dengan senjata yang luar biasa pula, ia masih mampu untuk bertahan.

Sementara itu, bayangan yang menerkam Mahisa Agni itu pun ternyata terkejut bukan buatan melihat tata gerak Mahisa Agni. Ia tidak menyangka, bahwa Mahisa Agni mampu menghindar dan untuk kemudian menghindari pula ayunan senjatanya yang nggegirisi itu, sehingga dengan demikian usahanya untuk membunuh Mahisa Agni pada serangannya yang pertama ternyata telah gagal.

“Untunglah aku mengenakan pakaian ini” desis bayangan itu di dalam hatinya.

Dan ternyata Mahisa Agni yang kini telah siap menghadapi setiap kemungkinan itu melihat, bahwa lawannya adalah seorang prajurit yang memakai selempang tali berwarna kuning keemasan.

Dengan segera Mahisa Agni menemukan hubungan yang hampir pasti, bahwa orang inilah yang telah membunuh pamannya. Namun yang dihadapinya itu ternyata tidak mau menampakkan wajahnya yang sebenarnya. Orang itu ternyata telah menutup sebagian besar wajahnya dengan selembar kain berwarna gelap.

Dengan demikian maka nafsu Mahisa Agni untuk menemukan pembunuh pamannya seolah-olah seperti api dihembus angin. Ia yakin bahwa orang ini harus ditangkap. Seandainya bukan orang ini yang melakukannya, namun pasti ada hubungan yang erat antara orang ini dan pembunuh pamannya. Tetapi menilik kelengkapan yang ada pada orang itu, maka hampir dapat dipastikan, orang ini sendirilah yang telah membunuh pamannya. Keris yang berwarna kebiru-biruan itu, selempang berwarna kuning keemasan, adalah tanda yang meyakinkan. Apalagi usaha orang itu untuk membunuhnya. Kalau tidak ada sangkut paut apapun maka sudah tentu tidak akan ada usaha pembunuhan ini.

“Benar juga peringatan Ken Arok itu” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “Tetapi adalah kebetulan sekali aku dapat bertemu. Dengan senjata yang demikian inilah agaknya ia berhasil membunuh Empu Gandring, dan senjata ini pulalah agaknya yang telah dipakainya untuk memecah paron itu”.

Sedang orang yang merasa gagal untuk membunuh Mahisa Agni pada serangannya yang pertama itu pun menjadi semakin bernafsu pula untuk segera menyelesaikan pekerjaannya.

Dengan demikian maka keduanya segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Orang yang menyerang Mahisa Agni itu mempergunakan sebilah keris yang berwarna kebiru-biruan berbintik kuning, sedang Mahisa Agni pun segera mencabut kerisnya pula. Keris pamannya yang besar, yang menyilang di punggungnya.

Namun ternyata kedua keris itu telah membuat keduanya terkejut. Keris Mahisa Agni pun ternyata berwarna kebiru-biruan di dalam gelapnya malam.

“Oh” desis orang itu di dalam hatinya, “Keris itu pun berwarna kebiru-biruan”.

Keduanya pun kemudian menjadi sadar, bahwa di tangan lawannya tergenggam senjata-senjata yang luar biasa. Kelengahan yang paling kecil pun dapat membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidup mereka.

Meskipun, perkelahian itu menjadi semakin lama semakin sengit, tetapi ternyata keduanya tidak dapat berkelahi pada puncak kemampuan masing-masing.

Orang yang ingin membunuh Mahisa Agni itu harus bertempur sambil berusaha menyembunyikan kediriannya. ia harus berbuat dan bersuara sedemikian, sehingga Mahisa Agni tidak akan segera dapat mengenalnya. Ia harus menyembunyikan tata gerak perkelahian yang dimilikinya, kebiasaannya dan berbagai macam ciri yang ada padanya. Ia harus berkelahi dengan tata gerak yang disaputnya dengan tata gerak yang dibuat-buat. Kadang-kadang ia hampir kehilangan kendali apabila nafsunya telah membakar jantungnya. Tetapi setiap kali ia berusaha untuk menjaga dirinya. Pada dasarnya tata-gerak yang dimilikinya adalah tata-gerak yang kasar dan keras. Dalam keadaan yang memaksa ia menjadi buas dan liar, sebuas binatang di dalam hutan dan seliar hantu di Padang Karautan. Tetapi ia tidak dapat berbuat demikian melawan Mahisa Agni. Itulah sebabnya, maka ia tidak berada di puncak kemampuannya.

Sedang Mahisa Agni pun harus berhati-hati. Ia sadar, bahwa keris pamannya itu adalah sebilah keris yang dahsyat. Kalau ia menyentuh tubuh lawannya, maka sulit baginya untuk mengharapkan lawannya itu dapat bertahan untuk hidup. Padahal ia ingin menangkap lawannya itu hidup-hidup. Ia ingin mendengar keterangan tentang pamannya. Apakah latar belakang dari pembunuhan yang keji dan licik itu.

Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun harus menjaga dirinya. Ia ingin mengalahkan lawannya, tetapi tidak membunuhnya.

Padahal keduanya adalah orang-orang yang aneh. Mahisa Agni, dalam umurnya yang semuda itu, ternyata telah memiliki ilmu yang sukar dicari tandingnya. Sama sekali tidak diduga oleh lawannya itu, bahwa Mahisa Agni ternyata adalah seorang yang pilih tanding. Tetapi. lawannya itu pun adalah orang yang aneh. Ia memiliki ketahanan tubuh dan kecepatan bergerak yang luar biasa. Meskipun kadang-kadang ia menjadi bingung dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Apabila demikian, maka ia pun segera meloncat dengan loncatan yang aneh, mengambil jarak dari lawannya.

Meskipun, Mahisa Agni mempunyai kelebihan dari lawannya, bahwa senjatanya lebih panjang, namun ia kurang dapat memanfaatkannya, karena ia tidak ingin mambunuh lawannya. Yang bergetar di dalam dadanya, ialah suatu keinginan untuk menangkapnya hidup-hidup. Ia akan membawanya kepada Witantra dan menuntut diadilinya sesuai dengan keharusan seorang prajurit. Namun disamping itu, maka latar belakang pembunuhan itu pun pasti akan segera dapat diungkapkannya.

Tetapi untuk menangkap orang itu sama sulitnya seperti menangkap angin. Apalagi di tangan orang itu pun tergenggam sebilah keris yang mengerikan.

Meskipun demikian, tetapi Mahisa Agni berusaha sekuat tenaga dan kemampuannya. Dikerahkannya ilmunya, untuk memungkinkannya menangkap orang itu hidup-hidup. Sedangkan, orang itu pun mengerahkan segenap kemampuannya, untuk bertahan dengan tetap menyembunyikan kediriannya.

Justru dengan demikian maka keduanya pun menjadi terlampau tegang. Keduanya berusaha menahan diri agar mereka tidak terlanjur melakukan kesalahan yang akibatnya akan sangat merugikan diri masing-masing. Apabia orang yang menyerang Mahisa Agni itu terbunuh, maka Mahisa Agni akan merasa kehilangan jalur pengamatannya untuk seterusnya. Sedang orang yang menyerangnya itu pun harus tetap bertahan untuk tidak melepaskan kemampuannya yang sebenarnya. Sebab dengan demikian maka Mahisa Agni pasti akan segera mengenalnya sebagai hantu yang pernah berkeliaran di Padang Karautan.

Tetapi betapapun juga, keduanya pasti tidak mau terkalahkan. Itulah sebabnya maka mareka masih saja berkelahi semakin seru, sehingga keringat merekapun seakan-akan telah terperas dari dalam tubuh mereka. Sedang debu yang berhamburan oleh kaki-kaki merekapun telah melekat pula pada tubuh yang basah itu.

Ternyata kedua-duanya telah dihinggapi oleh perasaan heran tiada taranya. Lawan Mahisa Agni menjadi heran, bahwa anak muda itu kini mempunyai kemampuan yang luar biasa, sedang Mahisa Agni menjadi heran, bahwa ia pun tidak segera dapat menangkap orang itu.

“Aku pernah bertempur melawan Kebo Sindet, dan akupun masih tetap hidup” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “Tetapi sekarang aku tidak dapat menangkap prajurit pengawal ini. Adalah aneh sekali bahwa seorang prajurit pengawal memiliki kemampuan yang sedemikian tinggi dalam tata-gerak yang kurang dikenal, dan bahkan agak kabur. Apabila setiap prajurit pengawai memiliki kemampuan setinggi prajurit ini, maka Tumapel pasti akan menjadi sangat kuat”.

“Tetapi menurut pengamatanku, kemampuan Witantra sendiri pun tidak akan setinggi prajurit ini, kecuali apabila disaat-saat terakhir ia sempat menempa dirinya”.

Tetapi Mahisa Agni telah memutuskan di dalam hatinya, bahwa ia harus menangkap orang itu hidup-hidup. Ia harus mendengar dari mulutnya sebuah pengakuan, kenapa Empu Gandring dibunuhnya. Sedang orang yang menyerangnya itu pun telah memutuskan di dalam hatinya, bahwa Mahisa Agni harus dibunuh.

Namun bahwa orang itu mempergunakan menutup wajah, telah sangat menarik perhatian Mahisa Agni. Ia menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui, siapakah orang yang tiba-tiba saja telah menyerangnya dan yang menurut dugaannya, telah membunuh Empu Gandring itu pula.

Semakin sengit keduanya bertempur, maka semakin terasa oleh orang yang bertutup muka itu, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Agni. Seandainya ia tidak harus menyembunyikan dirinya dalam tata gerak sekalipun, belum pasti ia dapat menang, apalagi selama ia masih belum dapat mencurahkan segenap kemampuannya.

“Kenapa aku harus merahasiakan diri” kadang-kadang tumbuh pertanyaan itu di dalam hatinya, “Bukankah aku akan membunuhnya? Meskipun ia mengerti siapa aku, namun ia tidak akan dapat berkata lagi kepada siapapun, karena ia akan segera terkapar di tanah. Mati”. Tetapi ternyata ia manjadi ragu-ragu sendiri, “Apakah aku dapat melakukannya?”

Ternyata kemudian bahwa Mahisa Agni memang seorang yang luar biasa. Apalagi di tangannya tergenggam senjata yang dahsyat pula. Sehingga akhirnya lawannya pun harus mengakui, bahwa tidak akan mungkin untuk memenangkan perkelahian itu.

“Aku memang harus tetap merahasiakan diriku” gumam orang itu.

Mahisa Agni pun semakin lama menjadi semakin bernafsu. Bahkan terbersit pertanyaan di dalam hatinya, “Bagaimana kalau aku tidak dapat menangkapnya hidup-hidup?”

“Tidak ada pilihan lain” gumam Mahisa Agni di dalam hatinya, “Kalau aku tidak dapat menangkapnya hidup, aku akan menangkapnya mati. Meskipun aku tidak akan mendapat keterangan apapun tentang pembunuhan itu, tetapi aku akan dapat membuktikan, bahwa pembunuhan itu memang seorang pengawal istana. Dan Witantra pasti akan mengenalnya. Bahkan mungkin akupun dapat mengenalnya apabila tutup wajahya itu dapat aku singkapkan”.

Dengan demikian, maka tata gerak Mahisa Agni pun menjadi semakin mantap. Bahkan kadang-kadang ia tidak lagi mengendalikan dirinya. Apalagi katika semakin lama tangannya menjadi semakin basah oleh keringat, dan hatinya menjadi semakin terbakar oleh kemarahannya.

Tetapi, sejalan dengan itu, maka orang yang menyerangnya dengan tiba-tiba itu pun menjadi semakin menyadari dirinya.

Sehingga kemudian berkembang pendirian di dalam hatinya, “Gila. Aku tidak akan berhasil membunuhnya. Bahkan apabila aku tidak segera berbuat sesuatu, akulah yang pasti akan mati terbunuh. Bukan saja semua rencanaku gagal, tetapi setiap orang akan mengatakan, bahwa akulah pembunuh Empu Gandring yang telah menyamar memakai pakaian seorang prajurit pengawal”.

Memang orang itu sama sekali tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Mahisa Agni tidak dapat dibunuh semudah ia sangka. Bahkan setelah barkelahi beberapa lama, menjadi semakin nyata bahwa Mahisa Agni memang memiliki kemampuan yang luar biasa.

“Pantaslah, bahwa Mahisa Agni telah bertekat untuk mencari pembunuh pamannya. Ternyata ia memang seorang yang luar biasa. Yang barangkali sudah setingkat dengan pamannya itu” berkata orang itu di dalam hatinya. Yang akhirnya, ia mengambil kesimpulan untuk mengurungkan niatnya betapapun beratnya.

“Aku harus menghindar. Kalau tidak aku akan mati, namaku akan menjadi sama sekali tidak bernilai, melampaui kotornya sampah di pinggir jalan”.

Maka setelah keputusan itu tidak berubah lagi, maka dengan serta-merta, ia pun segera meloncat surut. Kemudian dengan cepatnya ditinggalkannya arena parkelahian itu.

Mahisa Agni terkejut. Tetapi ia sudah bertekat untuk tidak melepaskan lawannya, sehingga karena itu, maka ia pun melompat pula mengejarnya.

Ketika orang itu menyusup ke dalam halaman yang kosong itu, maka Mahisa Agni pun mengejarnya pula. Pandangan matanya serta pandengarannya yang tajam, telah menuntunnya kemana arah buruannya berlari.

Tetapi ternyata buruannya, adalah buruan yang paling liar. Buruannya adalah orang yang memiliki pengalaman luar biasa dalam hal itu. Apalagi yang mengejarnya hanya seorang diri. Ia pernah dikejar oleh orang-orang sepadukuhan sekaligus. Dan ia pernah pula dikejar oleh prajurit Tumapel selagi ia berkeliaran di Padang Karautan. Apalagi kini ia mempunyai keuntungan. Ia mengenal medan jauh lebih baik dari Mahisa Agni, sehingga dengan demikian, ia mampu membuat Mahisa Agni kebingungan, dan betapapun tajam pendengaran dan pengamatan matanya, namun pada suatu saat ia menjadi bingung dan kehilangan buruannya.

Mahisa Agni menggeram. Sejenak ia berdiri mematung sambil berusaha menangkap setiap bunyi yang paling lembut sekalipun. Tetapi usahanya ternyata sia-sia. Lawannya yang menyadari dengan siapa ia berhadapan, berusaha untuk menghilangkan segala macam jejak. Dipergunakannya segala kemampuannya, untuk manghindarkan dirinya dari pengamatan lawannya.

“Apakah ia mampu melenyapkan dirinya seperti asap” geram Mahisa Agni, “Tidak mungkin ia lari. Aku tidak mendengar langkah itu, namun aku tidak mendengar desah nafasnya”.

Mahisa Agni masih juga diam membeku di tempatnya. Ia menunggu sejenak. Namun ia tidak dapat menangkap isyarat apapun yang dapat memberinya jalan untuk menemukan lawannya di dalam gelapnya malam.

Yang didengarnya adalah gemersik angin yang silir menggerakkan dedaunan, dan derik cengkerik di mulut liang. Selainnya tidak ada sesuatu pun yang didengarnya.

“Luar biasa” desisnya, “Orang itu dapat menghilang seperti hantu. Aku yakin ia masih ada di sekitar tempat ini. Tetapi aku tidak dapat menemukannya”.

Meskipun Mahisa Agni masih menunggu sejenak di tempatnya, namun ia tidak berhasil menemukan sesuatu, sehingga akhirnya ia menjadi jemu.

“Sayang” katanya di dalam hati, “Kalau aku tidak gagal, aku akan dapat membuka tabir pembunuhan itu sekarang. Tetapi sayang sekali. Orang itu berhasil lolos”.

Mahisa Agni pun kemudian tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan hati-hati ia meninggalkan tempatnya. Kerisnya masih ada di dalam genggamannya. Ia masih harus tetap bersiap menghadapi setiap kemungkinan apabila dengan tiba-tiba saja lawannya itu menyerangnya.

Namun tidak seorang pun lagi yang ditemuinya di sekitar tempat itu. Sehingga ketika ia berjalan lagi di jalan yang dilaluinya semula, keris itu disarungkannya. Ia tidak mau menarik perhatian orang lain yang sama sekali tidak berkepentingan, apalagi para peronda yang sedang nganglang di malam hari.

Ceriteranya tentang prajurit yang tiba-tiba menyerangnya itu sangat menarik perhatian Witantra. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis, “Benar-benar mengherankan. Tetapi sepengetahuanku, tidak ada seorang pun prajurit pengawal yang memiliki kemampuan begitu tinggi. Meskipun demikian aku akan menyelidikinya. Aku akan meneliti setiap prajurit sampai perwira yang paling tinggi”.

“Terima kasih” jawab Mahisa Agni, “Mudah-mudahan aku akan dapat menjumpai orang itu lagi pada kesempatan lain”.

“Mudah-mudahan, dan aku pun akan mencari kesempatan untuk itu pula”.

Maka sejak itu, Mahisa Agni menjadi semakin sering keluar di malam hari. Ia mencari kesempatan seperti kesempatannya yang hilang itu. Tetapi beberapa hari kemudian tidak terjadi sesuatu pada dirinya.

Pada suatu ketika, maka diperlukannya datang kepada Ken Arok untuk menceritakan apa yang telah terjadi atasnya.

“Gila” Ken Arok mengumpat, “Itu sudah keterlaluan. Untunglah bahwa kau masih mampu menghindarinya”.

“Aku akan selalu berhati-hati Ken Arok”.

“Nah, apa kataku. Bukankah orang itu terlampau licik?” Ken Arok berhenti sebentar, lalu, “Agni. Orang itu akan melakukannya sekali lagi dan sekali lagi. Di kesempatan lain ia akan berbuat lebih licik dan lebih kasar. Mungkin ia memakai panah atau tulup beracun atau apapun karena ia tidak mungkin mengalahkan kau dalam perkelahian. Ia akan mengintipmu, dan dengan tiba-tiba menyerangmu dari jarak yang cukup jauh, dengan berbagai macam cara dan Senjata”.

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Aku sudah bertekat untuk menemukan pembunuh itu Ken Arok. Apapun yang akan aku hadapi. Aku memang sudah mempersiapkan diriku sejak aku berangkat dari Lulumbang”.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kalau kau memang sudah memutuskan untuk melakukannya, apa boleh buat. Tetapi kau harus berhati-hati”.

“Terima kasih Ken Arok. Mungkin setiap saat aku memerlukan bantuanmu. Mungkin aku tidak hanya berhadapan dengar satu dua orang. Tetapi dengan sebuah gerombolan yang aku tidak dapat menduga jumlahnya. Apabila demikian, maka aku mengharap kau dan Witantra langsung membantuku”.

“Oh, jangan cemas. Witantra adalah seorang pemimpin pasukan pengawal istana. Ia dapat menggerakkan sekaligus sepuluh atau duapuluh orang apabila diperlukan. Meskipun demikian, aku sama sekali tidak akan berkeberatan, apabila suatu ketika aku pun harus membantumu”.

“Terima kasih” jawab Mahisa Agni, “Pada suatu ketika aku ingin dapat berbicara dengan kalian berdua bersama-sama. Apakah kau tidak berkeberatan apabila pada suatu kesempatan kau datang berkunjung ke rumah Witantra?”

“Tentu tidak Agni. Tetapi di dalam tata keprajuritan, jarak antara aku dan Witantra agak jauh. Meskipun secara pribadi Witantra sangat baik kepadaku”.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak pernah berpikir tentang jenjang kepangkatan karena ia sendiri bukan seorang prajurit. Karena itu, maka katanya, “Pergilah bersama aku. Aku tidak pernah menghiraukan jenjang semacam itu”.

Ken Arok berpikir sejenak. Lalu, “Baiklah. Aku akan ikut bersamamu pergi ke rumah Witantra. Sekarang aku sedang tidak mempunyai kerja apapun. Aku akan pergi bersamamu sekarang”.

“Bagus” sambut Mahisa Agni, “Marilah, kita pergi menemui Witantra”.

Keduanya pun kemudian pergi ke rumah Witantra. Witantra menyambut kedatangan Ken Arok dengan senang hati. Bahkan dengan jujur ia menyatakan kesulitannya mengenai masalah Empu Gandring itu. Sampai saat terakhir Witantra belum menyatakan persoalan itu secara terbuka. Ia masih berusaha untuk mencari jejak dengan diam-diam sebelum ia mengambil jalan yang lain.

Baik Witantra, maupun Mihisa Agni sama sekali tidak berprasangka apapun terhadap Ken Arok, sehingga dengan demikian, maka pembicaraan itu pun berjalan dengan sepenuh minat. Mereka tidak menyadari arti yang tersirat di dalam setiap tarikan nafas Ken Arok dan di setiap anggukan kepalanya.

Pembicaraan itu terhenti ketika seorang gadis keluar dari ruang dalam sambil menjinjing nampan berisi mangkuk air hangat, sehangat sikap gadis itu sendiri.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Setiap ia melihat Ken Umang hatinya selalu bergetar. Bukan karena ia tertarik kepada gadis itu, tetapi justru sebaliknya. Kadang-kadang ia manjadi ngeri melihat sikapnya yang berlebih-lebihan.

Ken Arok pun pernah melihat gadis itu apabila ia berkunjung ke rumah Witantra meskipun jarang-jarang sekali. Tetapi ia pun kurang menaruh perhatian atas gadis itu. Apalagi setelah seluruh perhatiannya dicurahkannya kepada Ken Dedes. Maka seolah-olah tidak ada perempuan lain di dunia ini kecuali Permaisuri itu.

Tetapi, kali ini sikap Ken Umang terlampau menyentuh perhatiannya, sehingga mau tidak mau Ken Arok menatapnya juga untuk sejenak.

Adalah aneh sekali, bahwa Ken Arok itu kini tiba-tiba telah berubah. Seakan-akan ia telah terlempar kembali ke dalam dunianya yang gelap. Hampir setiap saat ia terdorong untuk melakukan berbagai macam kejahatan. Dan hampir setiap kali ia bertemu dengan perempuan dan gadis-gadis, nafsunya tidak dapat terkendali lagi.

Sebelum ia melakukan rencananya yang berlumuran darah, maka ia merasa, bahwa penyakitnya itu pun telah sembuh seperti kegemarannya berburu harta benda di Padang Karautan. Tetapi tiba-tiba sejalan dengan titik-titik darah yang membasahi tangannya, maka nafsunya itu pun seakan-akan terangkat kembali.

Ken Dedes baginya adalah perempuan idaman. Ia adalah puncak dari segala cita-cita. Tetapi ia tidak tahu, kenapa gadis yang pernah sekali dua kali dilihatnya ini, tiba-tiba telah menarik perhatiannya pula.

“O, aku benar-benar telah menjadi gila. Gila segala-galanya”.

Tetapi sudah tentu bahwa Ken Umang bukanlah Ken Dedes.

“Ken Dedes adalah seorang perempuan yang halus dan lembut. Seorang perempuan lambang dari cita-cita yang agung. Sedang Ken Umang adalah lambang dari dunia ini. Dunia dengan segala macam warnanya yang cemerlang. Dunia tempat kita meneguk airnya. Bukan, bukan sekedar meneguk airnya, tetapi kita harus meneguk kegembiraannya sampai tuntas. Dan aku memerlukan kedua-duanya” Ken Arok bergumam di dalam hatinya, namun kemudian, “O, itu adalah perbuatan yang sangat bodoh. Aku harus menyelesaikan rencanaku lebih dahulu. Kalau aku memalingkan perhatianku, maka aku akan terlempar jatuh ke dalam bencana”.

Tetapi pancaran mata Ken Umang yang seakan-akan bara api yang menyentuh jantungnya, tidak dapat dilupakannya. Namun Ken Umang tidak duduk bersama mereka, karena di antara mereka ada Witantra. Ia hanya meletakkan mangkuk-mangkuk minuman, kemudian meninggalkan mereka dengan langkah yang menyentuh hati. Hati Ken Arok.

“Gadis ini pasti dapat menghangatkan kehidupan. Sedang Ken Dedes adalah sumber dari cinta dan cita-cita. Namun untuk memperjuangkan cita-cita aku memerlukan gairah yang menyala”.

Tetapi Ken Arok tidak dapat berangan-angan terlampau lama. Sejenak kemudian Mahisa Agni dan Witantra telah terlibat dalam pembicaraan, sehingga mau tidak mau, Ken Arok pun harus memperhatikannya pula.

Namun, Ken Arok tidak lama lagi duduk bersama mereka. Sejenak kemudian ia minta diri dengan berbagai macam alasan. Dengan demikian, maka Mahisa Agni dan Witantra tidak dapat menahannya lagi.

Sepeninggal Ken Arok, maka Witantra pun mempersilahkan Mahisa Agni bersitirahat di biliknya, karena ia pun akan pergi untuk sesuatu keperluan.

“Beristirahatlah” berkata Witantra, “Pekerjaan kita masih terlampau banyak”.

“Terima kasih” sahut Mahisa Agni.

Maka sepeninggal Witantra, Mahisa Agni pun segera pergi ke biliknya. Langkahnya lambat, sedang kepalanya tertunduk dalam-dalam. Berbagai persoalan tersangkut di kepalanya. Sedang persoalan pamannya masih terlampau gelap baginya.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Langkah kuda Witantra sudah tidak terdengar lagi. Yang kini terdengar tinggallah tarikan nafasnya sendiri.

Perlahan-lahan Mahisa Agni menarik daun pintu biliknya Tetapi ketika ia menjengukkan kepalanya, maka tiba-tiba saja darahnya serasa berhenti. Sama sekali tidak terlintas di dalam benaknya, bahwa hal itu dapat terjadi, sehingga dengan demikian sesaat ia berdiri saja membeku di depan pintu.

Dengan dada serasa retak, Mahisa Agni melihat Ken Umang berbaring di pembaringannya. Ketika pintu itu terbuka, maka gadis itu berpaling. Namun seperti acuh tak acuh saja ia berdesis, “Masuklah Agni”.

Agni masih tegak di luar pintu. Kakinya seakan-akan menjadi beku sehingga ia tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukannya.

“Masuklah” sekali lagi ia mendengar suara Ken Umang. Namun suara itu bagaikan ringkik iblis betina yang mengerikan.

“Kenapa kau berdiri saja di situ? Masuklah Agni. Tidak ada orang lain di rumah. Kakang Witantra baru saja pergi, sedang isterinya pun tidak ada di rumah pula. Apa lagi yang kita segani sekarang?”

Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Nafasnya menjadi semakin memburu. Namun kakinya masih merasa membeku di tempatnya.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa gadis itu. Disela-sela tertawanya ia berkata, “Kemarilah anak Panawijen. Adikmu telah menjadi seorang Permaisuri. Tidak sepantasnya masih kau saja tetap menjadi seorang pemalu seperti anak-anak padesan yang lain”.

Dada Mahisa Agni benar-benar serasa menjadi bengkah. Tetapi ketika Ken Umang itu memandanginya, sorot mata gadis itu seakan-akan telah memukaunya, sehingga ia tidak berdaya untuk meninggalkan tempatnya.

Sebagai seorang laki-laki muda, maka darahnya pun telah mulai merangkak ke kepalanya. Sikap dan tatapan mata Ken Umang seakan-akan bara yang telah memanasi darahnya yang selama ini dingin membeku.

Sejenak Mahisa Agni berdiri seperti patung. Terasa dadanya berguncang-guncang, seperti air laut dihempas angin prahara.

“Kenapa kau ragu-ragu?” terdengar suara Ken Umang. Seulas senyum telah membuat jantung Mahisa Agni menjadi semakin panas.

Namun, tiba-tiba Mahisa Agni menggeretakkan giginya. Ia adalah seorang anak muda yang hampir sepanjang umurnya berada di padepokan seorang pendeta. Ia telah terlatih untuk menggunakan nalar di samping perasaannya. Sehingga dengan demikian ia dapat menimbang budi dengan pandangan yang wening.

Demikian juga ketika ia kini seakan terbentur pada suatu keadaan yang hampir tidak dapat dihindarinya sebagai seorang laki-laki muda. Maka dengan sekuat keteguhan hatinya, ia berhasil manguasai dirinya, dalam keweningan budi. Karena itu, perlahan-lahan Mahisa Agni berhasil menenangkan hatinya. Ia mulai dapat melihat jalan yang harus dilaluinya. Ia mulai menyadari bahwa rumah ini adalah rumah Witantra, dan gadis tu adalah adik iparnya. Apabila terjadi sesuatu atas gadis itu, meskipun sebagian adalah karena kesalahannya sendiri, apakah yang harus dikatakannya?

Mahisa Agni menjadi ngeri memikirkannya, dan kengerian yang demikian itu ditanggapinya dengan ucapan syukur.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia masih mendengar Ken Umang memanggilnya, “Agni, Agni”.

Mahisa Agni kini telah menjadi tenang. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan, Ken Umang?”

Pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu serasa membakar telinga gadis itu. Tiba-tiba saja ia terloncat berdiri. Wajahnya menjadi merah membara. Sejenak ia berdiri saja di tempatnya tanpa berbuat sesuatu. Namun tampaklah sinar matanya yang seakan-akan ingin menusuk pusat jantungnya.

“Udara terlampau panas” berkata Mahisa Agni, “Aku akan berada di halaman”.

Ken Umang masih berdiri membeku, ia tidak menyangka sama sekali, bahwa anak muda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Tetapi sebelum Ken Umang berbuat sesuatu Mahisa Agni telah melangkahkan kakinya, turun ke halaman. Tanpa tujuan ia berjalan saja sambil menjinjing keris yang masih belum dikenakannya di punggungnya.

Sekali-kali ia menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, Ken Umang pun segera berlari keluar dari bilik Mahisa Agni. Wajahnya yang merah itu serasa menjadi panas, sepanas hati di dalam dadanya.

“Setan yang bodoh” ia mengumpat, “Pada suatu saat kau akan bersimpuh di bawah kakiku. Aku adalah Ken Umang. Seribu kali aku akan membalas sakit hatiku. Setiap anak-anak muda menangis-nangis dihadapanku. Dan kau membuat hatiku serasa terbakar”.

Ken Umang itu pun langsung masuk ke dalam biliknya sendiri. Dihempaskannya dirinya di pembaringannya. Tetapi ia tidak mau menangis. Justru dendam yang membara telah mewarnai matanya.

Peristiwa itu telah membuat Mahisa Agni menjadi bingung. Usahanya untuk menemukan pembunuh pamannya belum berhasil. Tetapi apakah ia dapat bertahan beberapa hari lagi tinggal di rumah Witantra? Kalau Witantra tidak ada di rumah, ia pasti merasa seakan-akan rumah itu menjadi rumah hantu. Sebagai manusia Mahisa Agni menyadari, bahwa dadanya tidak berlapis baja. Betapa kerasnya batu hitam, tetapi titik air yang terus-menerus, pasti akan membuat lekuk di permukaannya. Dan Mahisa Agni merasa dirinya masih juga bernafas seperti manusia biasa. Masih juga makan nasi dan meneguk air. Itulah sebabnya, ia merasa rumah Witantra tidak aman lagi baginya. Pada suatu saat ia akan terperosok ke dalan suatu bencana yang akan membuat namanya hancur tanpa arti. Dan dengan demikian ia akan kehilangan semuanya. Ia tidak akan berhasil menangkap pembunuh pamannya, dan sekaligus ia akan kehilangan namanya. Karena ia adalah saudara Permaisuri Ken Dedes, maka Ken Dedes pun pasti akan tersangkut pula.

Mahisa Agni menjadi semakin bingung. Sudah tentu ia tidak akan dapat tinggal bersama Ken Arok, karena Ken Arok pun hanya sekedar mendapat sebuah pembaringan di baraknya.

“Apakah aku dapat menemui Ken Dedes?” pertanyaan itu telah terbersit di hatinya. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak akan mengganggunya dengan perkara-perkara yang tidak bersangkut paut apapun dengan dirinya”.

“Tetapi lalu apa yang akan aku lakukan?” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

Namun akhirnya ia tidak dapat menemukan jalan apapun. Tinggal di rumah Witantra akan sangat berbahaya baginya, sedang tempat yang lain tidak dapat diketemukannya.

Ketika Witantra pulang, barulah Mahisa Agni mengikutinya masuk ke pendapa. Meskipun demikian hatinya sama sekali sudah tidak tenteram. Setiap kali ia menjadi gelisah. Apalagi ketika malam menjadi semakin malam, dan Witantra minta diri untuk beristirahat.

Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni masuk ke dalam biliknya, dan dengan tergesa-gesa pula ia menyelarak pintu dari dalam. Baru ia dapat menarik nafas dalam-dalam. Disangkutkannya kerisnya pada dinding biliknya di atas pembaringannya. Perlahan-lahan ia berbaring. Namun tiba-tiba ia bangkit. Sesuatu terasa menusuk hidungnya. Bau yang sangat harum. Bau bunga yang ternyata terjatuh dari sanggul Ken Umang yang tadi berbaring di pembaringan itu.

Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa Agni memungut bunga itu. Bunga melati yang diuntai dalam suatu rangkaian yang panjang. Dan bunga itu kini berada di tangan Mahisa Agni.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Terasa pengaruh bau bunga itu menggetarkan jantungnya. Sekali lagi terseret oleh perasaan seorang laki-laki muda.

Namun sekali lagi Mahisa Agni berhasil menghentakkan dirinya dari pengaruh parasaannya itu. Bahkan kemudian ia menjadi semakin menyadari keadaannya, bahwa sebenarnyalah hatinya adalah hati yang lemah.

“Aku memang harus segera meninggalkan rumah ini” ia berdesis, “Kalau tidak, maka sentuhan di hati mudaku, akan mencelakakan aku, apabila aku pada suatu ketika kehilangan kemudi”.

Demikianlah, maka Mahisa Agni justru mengambil keputusan, bahwa ia harus meninggalkan rumah itu secepatnya. Meskipun ia masih menimang untaian bunga itu di tangannya, namun ia tetap berada dalam kesadarannya. Nalarnya masih tetap utuh bekerja di dalam dirinya.

Perlahan-lahan Mahisa Agni itu pun kemudian melangkah ke sudut biliknya dan menyangkutkan untaian bunga itu di dinding. Sekali lagi ia memandang bunga itu. Namun kemudian ia kembali ke pembaringannya dan perlahan-lahan diletakkannya pula tubuhnya di pembaringan itu.

Meskipun kemudian, matanya dipejamkannya, namun ia lidak dapat menghapus angan-angannya yang hilir mudik dikepalanya. Bayangan tentang pamannya, ibunya yang masih tinggal di Lulumbang, Ken Dedes, Ken Arok, Witantra dan Ken Umang, serasa berganti-ganti mengganggunya, sehingga ia tidak segera dapat tertidur.

Namun lambat laun, kesadaran Mahisa Agni pun menjadi semakin, sehingga akhirnya ia tertidur nyenyak.

Ia terbangun pada saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Setelah membenahi pakaiannya, maka ia pun segera membuka pintu biliknya perlahan-lahan. Dengan hati-hati ia menjengukkan kepalanya, seolah-olah ia sedang mengintai musuh di medan peperangan. Ketika tidak terlihat olehnya seorang pun, maka ia pun segera melangkah keluar dari biliknya. Namun ia masih tetap berhati-hati seperti sedang berada di peperangan. Kerisnya, pusaka peninggalan Empu Gandring itu dijinjingnya di tangan kanan.

“Kalau keris ini tertinggal di dalam bilik itu, aku akan dijebaknya dengan keris ini” ia bergumam.

Meskipun masih samar-samar, namun langit telah menjadi agak cerah. Burung-burung liar berkicau, seolah-olah sedang mendendangkan kidung yang gembira menyambut matahari pagi.

Mumpung masih agak gelap, Mahisa Agni pun segera mandi. Alangkah segarnya. Dan ia merasa bahwa ia tidak akan dapat berlama-lama menghirup segarnya udara pagi di rumah itu. Karena apabila kesegaran pagi ini telah lewat, seperti embun yang menguap karena sentuhan panas matahari. Maka udara pun akan segera menjadi panas pengab. Dan ia tidak akan tahan terpanggang di dalamnya.

“Hari ini adalah hariku yang terakhir” gumam Mahisa Agni, “Dan nanti malam aku akan minta diri. Meskipun tugasku belum selesai, dan aku belum menemukan pembunuh paman. Namun untuk sementara aku harus menghindar dari rumah ini”.

Demikianlah, maka pada hari itu Mahisa Agni sama sekali tidak berada di rumah Witantra. Ia minta diri ketika matahari naik. Kemudian berjalan saja menyusuri kota, dari satu lorong ke lorong lain tanpa tujuan. Ketika matahari kemudian bergeser turun di sebelah Barat, maka ia pun singgah ke barak Ken Arok untuk minta diri.

“Kenapa tiba-tiba saja kau memutuskan untuk meninggalkan Tumapel” bertanya Ken Arok dengan curiga.

“Tidak apa-apa Ken Arok” jawab Mahisa Agni, “Aku sudah terlampau lama di sini. Tetapi aku mengharap bahwa pada suatu ketika aku dapat berada di sini kembali”.

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Apakah kau telah melepaskan niatmu untuk mencari pembunuh pamanmu?”

“Tentu tidak. Sampai sepanjang umurku aku akan tetap mencarinya” jawab Mahisa Agni.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam, “Kau mendendamnya bukan, Agni?”

“Mungkin aku memang mendendam, Ken Arok” jawab Mahisa Agni, “Tetapi yang lebih membuatku hampir gila adalah alasan apakah yang membuat orang itu membunuh paman Empu Gandring. Kalau aku kemudian mengetahui alasan itu, aku kira aku tidak akan menjadi sepanas sekarang”.

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

Mahisa Agnilah yang kemudian berbicara. Katanya, “Seperti nasehatmu Ken Arok, aku akan menyerahkan persoalanku kepada Witantra sebagai pemimpm tertinggi dari pasukan pengawal. Dan aku akan minta kepadamu untuk membantunya apabila kau tidak berkeberatan”.

“Tentu Agni. Aku sama sekali, tidak berkeberatan”.

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah mengucapkan terima kasih, maka Mahisa Agni pun kemudian minta diri untuk kembali ke rumah Witantra.

Ketika ia telah berada beberapa langkah dari rumah Witantra itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia melihat sesosok tubuh berdiri di regol bersandar dinding.

Mahisa Agni menarik nafas. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sudah menjadi semakin rendah. Bahkan telah menyentuh punggung bukit di ujung Barat.

Mahisa Agni tidak dapat melangkah surut. Kalau ia berbelok, atau kembali ke arah yang berlawanan, pasti akan sangat menyakitkan hati. Karena itu, meskipun tengkuknya meremang seperti disentuh hantu, ia berjalan terus.

Dadanya menjadi kian berdebar-debar ketika ia menjadi semakin dekat dan melihat gadis itu tersenyum.

“Darimana kau sehari-harian Agni?” terdengar suara gadis itu semanak.

Terasa jantung Mahisa Agni berdetak semakin cepat. Dengan suara yang datar ia menjawab, “Berjalan-jalan Ken Umang. Aku ingin melihat wajah kota ini saluruhnya sebelum uku kembali ke Panawijen”.

Ken Umang tertawa. Katanya, “Kau hanya melihat wajah kota ini di siang hari. Apakah kau tidak ingin melihat kehidupan kota ini di malam hari?”

“Sudah Ken Umang. Aku sudah sering berjalan-jalan di malam hari bersama Witantra. Tetapi kota ini tertidur nyenyak apabila matahari telah terbenam”.

Ken Umang tertawa. Katanya, “Kalau kau berjalan-jalan dengan kakang Witantra, memang, kau hanya akan melihat bayangan lampu-lampu di regol halaman. Tetapi apakah kau pernah menyusuri jalan-jalan di tengah-tengah padukuhan di kota ini? Apakah kau pernah pergi ke banjar-banjar di sudut-sudut kota? Nah, apabila kau ingin melihat gadis-gadis berlatih menari, marilah, pergilah bersama aku. Aku akan menunjukkan kepadamu, bagaimana kami, gadis-gadis, berlatih menari”.

Sejenak Mahisa Agni berdiri mematung. Ia benar-benar berdiri di simpang jalan. Hati laki-laki mudanya mendorongnya untuk menerima ajakan itu. Bahkan sebuah alasan telah memperkuatnya. Katanya di dalam sudut hatinya, “Mungkin aku akan bertemu dengan orang yang sedang aku cari itu”.

Namun tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Terima kasih Ken Umang. Mungkin aku akan pergi melihatnya lain kali. Tetapi kini aku terlampau lelah setelah aku berjalan hampir sehari penuh”.

“Salahmu. Dan perjalananmu yang melelahkan itu pasti tidak akan melihat apapun yang berarti”.

Mahisa Agni tidak menyahut.

“Tetapi kalau kau mau pergi bersamaku, kau tidak akan menjadi kian lelah. Justru sebaliknya. Kau akan menjadi segar. Dan semalam kau akan dapat tidur dengan nyenyak”.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, “Terima kasih Ken Umang. Mungkin tidak malam ini”.

Wajah Ken Umang yang cerah sudah mulai menjadi muram. Senyumnya sudah tidak menghiasi bibirnya lagi. Katanya, “Mahisa Agni. Kau jangan menyakitkan hatiku. Kalau kau tidak angin berjalan-jalan, sudahlah. Tetapi apakah kau bersedia mengantar aku malam ini? Hari ini adalah hari latihan. Aku akan berlatih di banjar. Lima hari lagi akan datang hari Aditya ketiga di bulan Palguna ini? Nah, Ki Buyut akan merayakan hari lahirnya pada windu yang kesembilan”.

Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas. Namun ia menjadi makin menyadari keadaannya, sehingga justru ia bertahan semakin kuat. Jawabnya, “Maaf Ken Umang. Kali ini aku benar minta maaf. Mungkin lain kali aku akan mengantarkanmu”.

Semua sisa-sisa senyum di wajah Ken Umang seakan-akan telah tersapu bersih. Wajah itu kini menjadi tegang. Dan gadis itu pun kini berdiri gemetar.

“Kau terlampau sombong anak Panawijen. Kau tidak melihat ke dirimu sendiri. Kalau kau mau bercermin di permukaan belumbangmu, kau akan melihat, bahwa kau sama sekali tidak berarti apapun bagi Tumapel. Kesempatan ini terlampau baik bagimu Mahisa Agni. Tetapi agaknya kau tidak dapat melihat ke masa depan yang baik selain sawah-sawahmu. Memang kau sepantasnya berada di terik matahari di belakang bajak-bajakmu. Kau telah menyia-nyiakan belas kasihanku, ingat, aku adalah adik Pimpinan Tertinggi Pasukan Pengawal Istana Tumapel. Dan kau adalah seorang anak padesan yang tidak berarti apa-apa. Kalau sekarang kau masih sempat menyombongkan dirimu, suatu ketika kau akan mencium ujung jari kakiku. Kau sangka aku tidak dapat berbuat jauh lebih banyak dari yang aku lakukan sekarang? Kau sangka bahwa aku tidak akan dapat menjadi seorang Permaisuri seperti adikmu, gadis yang dungu itu?”

Terasa dada Mahisa Agni berguncang. Tetapi ia berusaha untuk tetap mengendalikan perasaannya. Ken Umang ternyata adalah seorang gadis yang tidak selembut wajahnya. Karena itu, maka gadis itu pasti akan dapat berbuat apa saja untuk memuaskan sakit hatinya. Dan dada Mahisa Agni menjadi kian berdebar-debar ketika ia mendengar Ken Umang berkata, “Nah, baiklah. Tetapi kembalikan untaian bungaku yang terjatuh d ibilikmu kemarin”.

Sejenak Mahisa Agni terbungkam. Ia berdiri mematung. Namun dadanya serasa menjadi semakin berdentangan.

“Supaya kau tidak berprasangka, bahwa aku akan mengambil barang-barangmu, nah antarkan aku masuk ke dalam bilikmu itu untuk mengambil bunga itu”.

Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Sayang Ken Umang, bunga itu sudah tidak ada di dalam bilikku”.

“He” Ken Umang membelalakkan matanya, “Di mana kau letakkan bunga itu?”

Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab. Ia merasa keadaannya menjadi semakin sulit. Sudah tentu ia tidak akan dapat mengantarkan Ken Umang masuk ke dalam biliknya dengan alasan apapun. Menilik kekerasan hati gadis itu, maka banyak hal akan dapat terjadi. Karena itu, maka ia pun tidak segera dapat menjawab.

“Kau apakan bunga yang kuuntai hampir sehari penuh itu?” desak gadis itu.

Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Ia tidak segera menemukan jawabnya. Apalagi ketika dilihatnya sekilas mata Ken Umang yang seakan-akan telah menyala itu.

“Kau apakan hai anak padesan yang sombong?” bentak Ken Umang.

Mahisa Agni kini mengangkat wajahnya. Ia tidak senang mengalami perlakukan yang demikian. Untunglah bahwa ia masih tetap menyadari, bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis.

“Ken Umang” berkata Mahisa Agni kemudian, “Kau jangan bersikap terlampau berlebih-lebihan. Mungkin kau dapat menghina aku, dan mungkin aku tidak akan berbuat apa-apa, karena kau seorang perempuan. Tetapi apakah sikap yang demikian itu baik bagimu? Bagi seorang gadis kota yang seharusnya lebih banyak mengenal unggah-ungguh daripada anak-anak padesan?”

Tetapi ternyata kemarahan yang membakar dada Ken Umang tidak mereda, justru menjadi kian membara. Kini sorot mata gadis itu langsung menusuk ke dadanya. Katanya dengan suara yang gemetar, “Kau mau apa? Kalau kau ingin berbuat sesuatu lakukanlah”.

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Aku akan melakukan kesalahan yang sangat besar apabila aku melakukan sesuatu atasmu dalam keadaan ini”.

Gigi gadis itu menjadi gemeretak. Tiba-tiba ia berlari masuk ke halaman, menyusup dibawah pintu regol sambil berkata, “Aku akan mencari bungaku di dalam bilikmu. Aku akan merusak apapun yang kau punyai di dalam bilik itu. Kalau kau tidak rela, cegahlah aku”.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sudah tentu ia tidak berani menyusul gadis itu ke dalam biliknya. Gadis yang sendang sakit hati itu dapat saja berteriak, dan menyebutnya apa saja. Dengan demikan, maka ia akan kehilangan semua kesempatan di dalam rumah itu.

Karena itu, maka Mahisa Agni sama sekali tidak pergi ke dalam biliknya. Ia langsung naik ke pendapa dan masuk ke pringgitan. Setelah sejenak ia duduk, maka Witantra pun kemudian keluar pula dari ruang dalam.

Kesempatan itu, dipakai oleh Mahisa Agni untuk menyatakan maksudnya, meninggalkan Tumapel, meskipun ia belum berhasil menemukan pembunuh pamannya.

“Aku harus segera kembali ke Padang Karautan Witantra” berkata Mahisa Agni.

“Tetapi bukankah kau berhasrat untuk menemukan pembunuh Empu Gandring?”

“Ya, sebenarnya demikian”.

“Tetapi, apakah ada sesuatu yang membuat kau mendapat kesulitan? Mungkin ancaman dari seseorang atau dari sesuatu pihak?”

“Aku kira, aku tidak akan menghindari ancaman apapun juga Witantra. Tetapi……” Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

“Tetapi, apakah ada persoalan lain?”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku mempunyai banyak kewajiban di Padang Karautan Witantra. Aku tidak dapat meninggalkan mereka terlampau lama. Selain Padang Karautan, akupun harus singgah dahulu di Lulumbang. Aku harus memberikan laporan kepada keluarga Empu Gandring”.

“Apa yang akan kau katakan kepada mereka? Kau sama sekali belum berhasil menemukan pembunuh itu”.

“Itulah yang akan aku laporkan, bahwa aku belum dapat menemukan pembunuh itu. Tetapi aku telah bertemu dengan orang yang aku cari itu, meskipun aku tidak berhasil menangkapnya”.

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Waktu yang aku perlukan tidak terbatas” berkata Mahisa Agni kemudian, “Karena itu, aku akan pulang lebih dahulu. Namun demikian, aku akan tetap minta bantuanmu Witantra. Apabila kau menemukannya, tolong, tanyakan kepadanya, apakah alasannya maka ia membunuh paman Empu Gandring. Selebihnya, terserah kepada peraturan yang ada. Apakah hukuman orang yang membunuh orang lain tanpa sebab dan tidak dalam suatu perkelahian yang adil”.

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apabila mungkin” berkata Mahisa Agni kemudian, “Aku mengharap seseorang memberitahukan kepadaku. Mungkin Ken Arok akan bersedia melakukannya”.

“Baiklah, Aku akan mencobanya. Dan aku kira Ken Arak memang akan bersedia memberitahukan hal itu kepadamu”.

“Aku akan menunggu di Padang Karautan. Apabila dalam suatu kesempatan aku tidak terlampau sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan seorang petani, maka aku akan datang berkunjung kemari”.

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kapankah kau akan berangkat ke Panawijen atau ke Lulumbang?”

Mahisa Agni menjadi ragu-ragu. Kalau ia menunggu esok, maka malam ini sesuatu akan dapat terjadi atasnya, apabila Ken Umang benar-benar telah disilaukan oleh sakit hatinya. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain daripada menjawab, “Sekarang Witantra”.

“Sekarang?” Mahisa Agni mengangguk.

“He, apakah kau sedang bermimpi?”

“Aku memang lebih senang menempuh perjalanan di malam hari. Tidak panas dan tidak terlampau banyak berpapasan dengan orang-orang lain, yang kadang-kadang membuat persoalan tanpa kita kehendaki. Karena itu, aku akan berangkat sekarang”.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kedatanganmu memberikan persoalan kepadaku. Sekarang kepergianmu pun memberikan kesan yang aneh kepadaku. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak kau katakan. Apakah kau mendapat petunjuk-petunjuk yang lain tentang pembunuhan itu?”

Mahisa Agni menjadi bingung, bagaimana menjawab pertanyaan itu. Agaknya Witantra dapat melihat sikapnya, bahwa sebenarnya ada sesuatu masalah yang telah memaksanya meninggalkan rumah itu. Tetapi bagaimanapun juga, maka sudah barang tentu, ia tidak akan mengatakannya.

“Tidak ada petunjuk lain dan bahkan petunjuk apapun Witantra, dan juga tidak ada sebab apapun, selain kuwajibanku yang telah memanggil aku di Padang Karautan”.

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Sokurlah, kalau tidak ada persoalan-oersoalan yang lain, yang justru akan dapat menghambat persoalan yang masih belum selesai itu”.

“Tidak Witantra” Mahisa Agni menggelengkan kepalanya.

“Tetapi sebaiknya kau menunggu sampai esok”. Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, “Terima kasih”.

“Dalam waktu dekat, aku akan segera datang lagi ke Tumapel”.

Witantra sudah tidak dapat menahan Mahisa Agni lagi. Karena itu, maka dilepaskannya saja Mahisa Agni itu kemudian meninggalkan rumahnya.

Katika ia minta diri kepada isteri Witantra maka Nyai Witantra itu pun terkejut pula. Bahkan ia bertanya, “Apakah pelayanan kami mengecewakan?”

“Oh tidak. Tidak” jawab Mahisa Agni dengan serta-merta, “Aku berterima kasih sekali. Dan aku tidak akan melupakan kebaikan hati kalian”.

Ketika Mahisa Agni menuntun kudanya ke regol halaman, dan ketika kuda itu meringkik, maka Ken Umang yang masih berada di dalam bilik Mahisa Agni terkejut. Ternyata Maliisa Agni benar-benar tidak mau masuk ke dalam biliknya. Dengan tergesa-gesa Ken Umang itu meloncat keluar dan dari celah-celah daun pintu mengintip ke halaman. Dilihatnya Mahisa Agni diantar oleh kakaknya suami isteri sampai ke regol halaman. Kemudian Mahisa Agni itu pun hilang dibalik dinding halaman dan kegelapan malam.

“Kemanakah anak itu?” desisnya.

Ketika kemudian kakak perempuannya masuk ke ruang dalam, ia bertanya, “Kemanakah tamu itu malam-malam begini?”

“Pulang”.

“Pulang? Kemana?”

“Kerumahnya, Padang Karautan”.

Dada Ken Umang berdesir. Tetapi segera ia meredakan luapan perasaannya, sehingga tidak berkesan di wajahnya.

Namun kemudian ia pergi ke dalam biliknya, menjatuhkan diri di pembaringan sambil mengumpat-umpat di dalam hati.

“Anak desa yang dungu. Aku telah kehilangan harga diriku sebagai seorang gadis karena aku tergila-gila kepada ketampanan dan kejantanan yang memancar dari dirinya. Tetapi aku dicampakkanya tanpa belas kasihan”. Tetapi hanya sejenak kemudian ia sudah bangkit sambil menggeretakkan giginya. Dengan penuh dendam ia berkata, “Aku telah dihinakannya. Aku harus membalas dengan cara apapun”.

Sementara itu Mahisa Agni telah memacu kudanya disepanjang jalan Tumapel. Sekali-kali ia berpaling, namun malam yang gelap sajalah yang dilihatnya memutarinya.

Sebenarnya ia masih saja dicengkam oleh keragu-raguan meninggalkan kota ini. Ia masih selalu dibayangi oleh tugas yang telah ditetapkannya sendiri di atas pundaknya. Mencari pembunuh pamannya. Tetapi ternyata ia tidak berhasil. Bahkan ia hamper-hampir saja jatuh ke dalam kesulitan, apabila ia tidak segera menghindar dari rumah Witantra.

Seluruh keluarga Empu Gandring menjadi kecewa, ketika mereka menerima kedatangan Mahisa Agni dengan tangan hampa. Namun mereka masih tetap berpengharapan, bahwa suatu ketika pembunuhan itu akan dapat tersingkap. Apalagi ketika mereka mendengar, bahwa seseorang telah mencoba membunuh Mahisa Agni dengan curang.

Sementara itu, sepeninggal Mahisa Agni, Witantra sama sekali tidak menghentikan usahanya, mencari pembunuh Empu Gandring. Tetapi usahanya selalu sia-sia. Tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa salah seorang anak buahnya telah melakukannya.

Setiap kali Witantra selalu berusaha menghubungi Ken Arok. Namun bagaimanapun juga, rahasia pembunuhan itu masih tetap gelap sama sekali. Sama sekali tidak ada petunjuk secercah pun yang dapat dipakai untuk merintis jalan, mencari pembunuh yang licik itu.

Maka lambat laun, usaha pencaharian itu pun menjadi semakin kendor. Baik Witantra, maupun Ken Arok, telah hampir tidak pernah membicarakannya lagi.

Ketika pada suatu ketika Mahisa Agni datang lagi ke Tumapel untuk mengantarkan ibunya bersama dua orang prajurit yang memang mendapat tugas untuk itu, Witantra dengan menyesal mengatakan, bahwa usahanya sama sekali belum berhasil.

“Bagaimanapun juga, aku mengucapkan beribu terima kasih Witantra” berkata Mahisa Agni, “Mudah-mudahan pada suatu ketika orang itu diketemukan. Aku yakin, bahwa tuntutan keadilan tidak akan dapat dihindarkannya”.

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, “Begitulah hendaknya”.

Dalam pada itu, ketika hampir semua orang telah melupakan peristiwa pembunuhan yang menggemparkan itu, Ken Arok berkunjung ke rumah sahabatnya, seorang prajurit pengawal yang masih muda, Kebo Ijo.

Kunjungan itu sendiri sama sekali tidak menarik. Setiap kali Ken Arok memang sering berkunjung ke rumahnya dan sebaliknya, Kebo Ijo pun selalu datang ke baraknya.

Namun kunjungan Ken Arok kali ini telah sangat menarik perhatian Kebo Ijo. Ken Arok yang datang dengan pakaian lengkap seorang Pelayan Dalam, membawa sebilah keris yang terselip di punggungnya. Keris yang agak lain dari keris yang pernah dilihatnya.

“He, Ken Arok. Apakah kau mendapat sebilah keris baru?”

Ken Arok tidak segera menjawab. Diputarnya kerisnya yang terselip di punggung itu, sehingga hulunya kini berada di lambungnya.

Kebo Ijo menjadi semakin tertarik. Ia pun kemudian menjadi semakin dekat di belakang Ken Arok, “He, kerismu itu agak aneh” katanya.

“Kenapa?” bertanya Ken Arok.

“Hulu kerismu bukanlah ukiran biasa”.

Ken Arok tertawa. Katanya, “Memang kerisku sangat menarik perhatian. Mungkin di seluruh Tumapel, bahkan di seluruh dunia, tidak akan ada yang serupa”.

“Lihat, apakah kerismu itu benar-benar sebilah keris atau hanya sekedar mainan anak-anak”.

Ken Arok mengerutkan keningnya. “Jangan menghina” katanya.

“Tetapi hulu itu”.

Ken Arok menarik keris dan sarungnya sama sekali dari lambungnya. Ditimangnya sejenak, lalu .katanya, “Aku membuat hulu keris mi dengan caraku”.

“Bagaimana?”

“Aku mengambil sebatang dahan hidup. Begitu saja aku jadikan hulu kerisku ini. Kayu cangkring”.

“Tetapi dengan demikian kerismu menjadi sangat menarik Ken Arok” Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika tangannya terjulur, Ken Arok menarik keris itu, “Jangan. Hanya orang-orang yang bijaksana saja yang boleh memakai keris ini”.

“Omong kosong” jawab Kebo Ijo, “Lihat, aku ingin melihat wilahan keris itu”.

“Keris ini bukan keris mainan, Kebo Ijo”.

“Dan aku bukan anak-anak yang baru dapat bermain-main” jawab Kebo Ijo.

Akhirnya Ken Arok tidak dapat mencegahnya lagi. Dengan hati-hati sekali Kebo Ijo menarik keris itu dari wrangkanya. Demikian ia melihat wilahan keris itu, maka dengan serta-merta ia bergumam, “Bukan main, bukan main”.

Setelah diangkatnya keris itu di atas kepalanya, maka dengan seksama diperhatikannya setiap lekuk pada wilahannya. Pamor yang seakan-akan bercahaya kebiru-biruan di atas besi baja pilihan.

Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang tidak lazim terdapat pada wilahan keris.

“Ken Arok, apakah mataku yang kurang baik, atau memang terdapat pada wilahan keris ini?”

“Apa yang kau lihat?”

“Bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan”.

Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian, jawabnya, “Itulah letak kelebihan keris itu dari keris-keris yang lain. Meskipun mungkin ada seorang Empu yang sanggup membuat keris dengan dapur dan pamor yang sama, tetapi tidak akan ada seorang Empu pun yang sanggup membuat bintik-bintik yang seolah-olah menyala, apalagi di dalam kegelapan. Warna kuning itu akan memancar seperti kunang-kunang emas”.

Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Keris itu agaknya sangat menarik perhatiannya.

“Ken Arok, dari manakah kau mendapat keris ini?”

“Keris itu adalah keris peninggalan”.

Kebo Ijo mengerutkan keningnya, “Tetapi bukankah hulu keris ini baru dan pada beberapa bagian aku melihat, seolah-olah keris ini baru saja dibuat”.

“Apakah kau sudah melihatnya dengan teliti?” Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat jalur-jalur yang aneh pada pamor keris itu. Meskipun Ken Arok telah membersihkannya, namun ada juga noda-noda yang masih tersangkut pada lekuk-lekuk yang lembut pada wilahan keris itu. Tetapi Kebo Ijo tidak dapat menyebutkannya, bahwa jalur-jalur yang aneh itu, adalah bekas darah yang telah menjadi kering, yang masih tinggal ketika keris itu dibersihkan.

Tetapi keseluruhan dari keris itu, menurut tangkapan mata Kebo Ijo adalah keris yang paling sempurna yang pernah dilihatnya.

Karena itu, terdorong oleh wataknya, maka Kebo Ijo itu pun berkata, “Ken Arok, apakah keris ini merupakan pusaka warisan bagimu?”

“Ya, keris itu adalah keris peninggalan. Satu-satunya warisan yang aku miliki dari orang tuaku”.

Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kau ini? Kalau orang tuamu memberikan warisan serupa ini, maka orang tuamu pasti seorang yang memiliki keahlian dalam menilai keris. Aku memang mempelajarinya serba sedikit. Meskipun belum sempurna benar, tetapi aku dapat membedakan dan dapat mengerti bahwa keris ini adalah keris yang luar biasa”.

Tetapi Ken Arok menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Orang tuaku adalah orang kebanyakan, seorang patani yang miskin”.

Kebo Ijo tidak mendesaknya. Ia menganggap bahwa Ken Arok sengaja merahasiakannya.

“Tetapi” berkata Kebo Ijo kemudian, “Aku belum pernah melihat kau mempergunakan keris ini. Kau selalu membawa keris yang lain, yang menurut penilaianku, keris yang sama sekali tidak bernilai apapun. Baik sebagai senjata maupun sebagai sipat kandel”.

Ken Arok tertawa. Katanya, “Keris yang berharga tidak setiap hari dibawa kemana-mana. Hanya apabila perlu dan penting sajalah keris itu akan disandang”.

“Tetapi sekarang kau membawa keris ini, apakah ada sesuatu, yang penting akan terjadi?”

Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Kali ini tidak. Aku hanya sekedar ingin memakainya. Aku tidak tahu, apakah sebabnya. Mungkin karena sudah terlalu lama aku menyimpannya”.

Kebo Ijo memandang wajah Ken Arok dengan penuh curiga. Kalau keris itu keris pusaka, maka alasan Ken Arok itu terlampau dibuat-buat. Karena itu, maka Kebo Ijo mendesaknya, “Apakah kau merahasiakan sesuatu Ken Arok, sehingga kau tidak mau mengatakan yang sebenarnya”.

“Aku berkata sebenarnya” jawab Ken Arok. Sekali lagi Kebo Ijo termangu-mangu. Namun kemudian, ia berkata, “Aku tahu. Agaknya kau hanya ingin memamerkan kerismu itu”.

“Yah. Kalau kau berpendapat demikian, tidak ada salahnya. Aku memang ingin menunjukkan kepadamu, bahwa aku mempunyai sebilah keris yang sangat baik”.

Kebo Ijo mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap bercuriga. Meskipun demikian, ia bertanya, “Apakah kau tidak hanya sekedar berpura-pura untuk sesuatu maksud yang tidak aku ketahui?”

“Tidak Kebo Ijo. Aku tidak mempunyai maksud apapun. Aku benar-benar hanya ingin mengeluarkan pusaka itu sekali waktu dari simpanan, kemudian aku memang juga ingin menunjukkan kepadamu bahwa aku mempunyai pusaka yang yang baik sekali”.

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Betulkah bagitu?”

“Apakah kau tidak percaya?”

Sekali lagi Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia berkata bersungguh-sungguh, “Ken Arok. Selama ini aku belum pernah mempunyai sebilah keris sebagus ini. Apakah kau tidak berkeberatan apabila keris ini kau berikan kepadaku?”

“He” Ken Arok membelalakkan matanya, “Mana mungkin. Keris itu adalah keris pusaka, satu-satunya peninggalan dari orang tuaku. Kepada Akuwu pun tidak akan aku serahkan, apabila ia menginginkannya”.

“Tetapi, aku bukan Akuwu Tunggul Ametung. Aku adalah sahabatmu”.

“Maaf Kebo Ijo. Keris itu memiliki banyak sekali kasiat. Ia dapat membuat hati menjadi tenteram. Ketenangan di dalam keluarga. Tetapi apabila keris itu berada di medan peperangan, ia akan membakar seluruh kekuatan lawan menjadi abu”.

“Ya, ya. Aku percaya. Aku memang melihat kelebihan pada keris ini, meskipun aku tidak mengenal bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan. Sejak aku belajar mengenal keris, aku belum pernah melihat bintik-bintik yang demikian itu”.

“Karena itu, keris itu tidak akan dapat aku serahkan kepada siapapun”.

“Ken Arok. Bukankah kau belum berumah tangga, sehingga kau belum memerlukan ketenteraman di dalam sebuah keluarga. Tolonglah aku. Isteriku kadang-kadang sering membuat keributan di dalam rumah. Mungkin keris itu akan dapat berpengaruh”.

“Bohong” jawab Ken Arok, “Aku yakin bahwa bukan itu maksudmu yang sebenarnya. Aku berani bertaruh, tujuh helai rambut. Kau pasti akan memamerkan keris itu kepada kawan-kawanmu apabila keris itu ada padamu”.

“Ah”.

Ken Arok tertawa. Sambil menunjuk wajah Kebo Ijo yang masih berusaha untuk berkata bersungguh-sungguh, “Jangan bohong”. Namun kemudian Ken Arok berkata, “Tetapi kalau kau tunjukkan kepada orang-orang yang mengerti tentang keris, tidak apalah. Mereka akan memberikan penilaian yang wajar atas keris itu. Kalau ada cacatnya mereka pasti akan mengatakan cacat itu, sedangkan kalau ada kelebihannya, mereka akan menyebutkan kelebihan itu pula”.

Tiba-tiba wajah Kebo Ijo menjadi cerah. Dengan serta-merta ia berkata, “Jadi kau berikan keris ini kepadaku?”

“He? Siapa bilang?” potong Ken Arok, “Sudah aku katakan bahwa keris itu adalah keris pusaka. Tidak akan aku lepaskan kepada siapapun juga, meskipun kepada Akuwu Tunggul Ametung, bahkan kepada Maharaja di Kediri”.

“Lalu apa maksudmu?”

“Sejauh-jauhnya keris itu hanya dapat aku pinjamkan untuk sementara”.

“Begitu pun jadilah” sahut Kebo Ijo, “Aku ingin meminjam kerismu untuk beberapa lama. Mudah-mudahan pengaruhnya akan memberikan ketenteraman di dalam keluargaku, meskipun aku masih meragukan bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan itu”.

Dada Ken Arok berdesir. Agaknya Kebo Ijo memang mengenal keris, sehingga ia dapat melihat kelainan pada kerisnya karena bintik-bintik yang aneh itu.

“Tetapi” berkata Kebo Ijo kemudian, “Yang pasti, bahwa keris itu adalah yang luar biasa. Aku melihat kesejukan memancar dari keris ini. Tetapi aku tidak mengerti, kenapa aku agak menyayangkan ketiga bintik-bintik yang berwarna kuning ini. Tetapi aku kira pengaruhnya tidak akan dapat melampaui kemampuan kerismu memberikan ketenteraman dan kesejukan”. Kebo Ijo berhenti sejenak, lalu, “Namun, di medan perang kerismu memang mempunyai pengaruh yang luar biasa. Bahkan aku menjadi cemas, bahwa keris akan dapat membawa malapetakan bagi lawan”.

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi” berkata Kebo Ijo, “Semuanya itu belum merupakan kepastian. Yang sudah pasti, kerismu adalah keris yang luar biasa. Buatannya halus dan cermat, hulunya yang aneh inipun justru memberikan warna yang lain daripada keris yang biasa kita kenal”.

“Ya, demikianlah”.

“Jadi, bagaimana? Apakah aku dapat memakai kerismu beberapa lama?”

“Baiklah. Tetapi aku pesan kepadamu. Seandainya keris itu kau perlihatkan juga kepada orang-orang yang mengerti tentang keris, jangan sekali-sekali kau sebutkan, bahwa keris itu adalah kerisku”.

“Kenapa?”

“Kalau keris itu benar-benar keris yang baik, mereka pasti akan membuat aku bertambah pekerjaan dengan melayani mereka”.

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Ia tidak, segera tahu maksud Ken Arok. Apakah hubungannya, antara keris yang baik dan pekerjaan Ken Arok yang kian menjadi banyak.

Sehingga karena itu ia terpaksa bertanya, “Kenapa pekerjaanmu menjadi kian banyak dengan pelayanan itu?”

“Mereka tentu akan datang kepadaku dan bertanya-tanya tentang keris itu” jawab Ken Arok, “Karena itu, aku minta kau tidak usah mengatakan bahwa keris itu adalah kerisku. Katakan saja bahwa keris itu kerismu, dan kau terima warisan, dari orang tuamu. Atau kau katakan apa saja tentang keris itu, asal tidak kau katakan, bahwa keris itu dari aku”.

Kebo Ijo merenung sejenak. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik. Baik. Aku tidak akan mengatakan apapun tentang keris itu”.

“Baiklah” jawab Ken Arok, “Tetapi ingat. Kalau kau meminjam keris itu untuk kepentingan apapun, namun jangan sampai menimbulkan persoalan apapun padaku. Kalau kau menambah persoalan betapapun kecilnya, maka keris itu akan segera aku ambil kembali”.

“Tentu, tentu. Aku tidak akan membuat persoalan apapun karena keris itu”.

Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Hati-hatilah dengan pusaka itu”.

“Aku bukan anak-anak lagi. Aku adalah seseorang yang pernah mempelajari masalah keris meskipun belum sempurna”.

Sekali lagi Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sambil minta diri ia bergumam, “Aku titipkan keris itu kepadamu. Aku akan pulang. Jagalah baik-baik”.

“Tentu, tentu”.

Ken Arok itu pun kemudian meninggalkan rumah Kebo Ijo. Disepanjang jalan hatinya menjadi berdebar-debar. Ia harus menunggu perkembangan keadaan. Keris itu memang ditinggalkanya di rumah Kebo Ijo sebagai kelanjutan rencananya. Kalau rencana ini gagal maka keseluruhannya pun pasti akan gagal. Bahkan apabila seseorang mengenal bahwa keris itu adalah buatan Empu Gandring yang terakhir, maka pasti akan timbul persoalan karenanya. Namun agaknya Ken Arok memang sudah menyusun rencananya dengan cermat. Dan otaknya yang cerah, agaknya telah sangat membantunya untuk menyelesaikan rencana itu.

Baru saja Ken Arok keluar, dari pintu rumah Kebo Ijo. Kebo Ijo ternyata telah dihinggapi oleh penyakitnya. Ia adalah anak muda yang sombong. Yang terlampau senang dipuji dan kadang-kadang sifat-sifat itu mendapatkan bentuknya yang berlebih-lebihan sehingga Kebo Ijo menjadi tidak begitu disukai oleh orang-orang di sekitarnya.

Demikian pula dengan keris itu.

Belum lagi Ken Arok sampai ke baraknya, Kebo Ijo telah berpakaian rapi. Kemudian ia pergi berjalan-jalan kemana saja tanpa tujuan tertentu. Yang penting baginya adalah menunjukkan bahwa ia mempunyai sebilah keris yang baru.

Memang yang mula-mula didatanginya adalah orang-orang yang dianggapnya mengerti tentang keris. Mereka yang disangkanya akan dapat memberikan pujian atas keris itu, dan sudah tentu kepadanya.

“Darimana kau dapat keris itu Kebo Ijo?” bertanya salah seorang kawannya yang mengagumi keris itu.

“Tentu dari orang tuaku. Keris ini adalah keris warisan. Ayahku adalah seorang yang banyak menyimpan keris-keris yang baik serupa ini. Tetapi keris yang diberikan kepadaku adalah keris yang paling baik”.

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka benar kagum melihat keris itu. Buatannya yang halus dan cermat. Terlebih-lebih lagi bahwa keris itu seakan-akan mempunyai kekuatan yang tidak kasat mata. Pamornya yang bercahaya kebiru-biruan, dan yang sangat menarik perhatian adalah bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan sehingga seolah-olah di dalam cahaya yang kebiru-biruan itu memancar percikan-percikan warna keemasan.

“Bukan main” berkata kawannya yang lain, “Hanya keris yang tiada taranya dapat memancarkan cahaya yang demikian cerahnya. Aku memang pernah melihat keris yang seakan-akan menyalakan warna kebiru-biruan, dan aku pernah juga melihat keris yang bagaikan bara api di malam hari. Tetapi aku tidak pernah merasakan getar yang langsung menyusup sampai ke pusat jantung seperti ketika aku menyentuh tangkai keris ini”.

Kebo Ijo mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Dan ia pun kemudian meninggalkan kawan-kawannya yang sedang mengaguminya. Ia pergi dari seorang kawan ke kawannya yang lain.

Demikianlah dalam beberapa hari saja, telah banyak kawan-kawan Kebo Ijo yang mengetahui, bahwa Kebo Ijo memiliki sebilah keris yang amat bagus.

Tetapi sampai sekian jauh, Kebo Ijo tidak mau memamerkan kerisnya itu kepada Witantra. Ia takut kalau kakak seperguruannya itu akan mendesaknya, darimana ia mendapat keris itu. Kalau ia mengatakannya bahwa keris itu didapatkannya dari ayahnya, maka Witantra pasti akan bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa warisan itu baru kini dilihatnya, setelah ia bergaul sekian lama dengan Kebo Ijo sebagai saudara seperguruan.

Ken Arok yang telah menyusun rencananya dengan cermat, mengikuti perkembangan keadaan dengan seksama. Hampir setiap hari ia medengar, kawan-kawan Kebo Ijo mempercakapkan keris yang pernah dipamerkannya kepadanya.

Namun setelah Kebo Ijo puas dengan kekaguman beberapa orang kepadanya, maka kawan-kawannya pun telah mulai melupakannya pula. Sebagian yang lain sudah tidak memperhatikannya lagi. Adalah soal yang sangat wajar, bahwa seseorang menerima warisan sebilah keris. Dan Kebo Ijo adalah salah seorang dari mereka yang menerima warisan serupa itu.

Sedang Kebo Ijo sendiri pun akhirnya hampir melupakannya pula, bahwa ia masih menyimpan sebilah keris yang hampir tiada celanya kepunyaan Ken Arok.

Semuanya itu sama sekali tidak terlepas dari pengamatan Ken Arok. Hampir setiap kejap mata ia mematangkan rencananya. Tidak seorang pun orang-orang di dalam istana Tumapel yang terlepas dari pengamatannya. Sejak Akuwu Tunggul Ametung, sampai kepada jajar dan Juru Taman. Apalagi para emban, juru dang, juru pengangsu, juru penebah. Semuanya diperhatikannya seorang demi seorang.

Tetapi dari sekian banyak orang yang diperhatikan oleh Ken Arok, namun masih ada seorang yang terlepas dari pengawasannya. Seorang yang bagi Ken Arok tidak begitu penting, meskipun ia selalu dekat dengan Ken Dedes. Yaitu emban tua pemomong Ken Dedes.

Ketika Kebo Ijo telah jemu memamerkan keris yang dipinjamnya dari Ken Arok, maka Ken Arok merasa, bahwa ia sudah hampir sampai kepada puncak rencana yang telah disusunnya. Ia harus bekerja semakin cermat dan kadang-kadang ia harus masih berjuang melawan segala macam persoalan di dalam dirinya sendiri. Apalagi setiap persoalan dipikirkan dan dilaksanakannya seorang diri. Ia tidak percaya kepada siapapun juga. Meskipun ia berusaha membangunkan suasana yang aneh di dalam istana Tumapel dengan menghambur-hamburkan simpanannya yang didapatkannya dari beberapa orang perampok, dan yang masih disimpannya di dalam hutan, namun tidak seorangpun yang tahu, bahwa sumber dari keadaan yang aneh itu adalah Ken Arok. Yang terjadi di Istana Tumapel adalah suasana yang diliputi oleh kabut rahasia. Hampir setiap orang hanya sekedar memikirkan dirinya sendiri. Tidak seorang pun yang tahu, siapakah yang mulai, membiuskan segala macam asap kemaksiatan. Kini hampir setiap orang di dalam lingkungan istana telah dihinggapi oleh penyakit harta dan benda. Suap dan judi. Dan segala macam kelemahan batin yang lain.

Betapa prihatin Witantra melihat suasana itu. Tetapi ia kehilangan kesempatan untuk mencarinya. Akuwu Tunggul Ametung tanpa sesadarnya telah menjauhkan pimpinan pengawal itu dari padanya. Bahkan beberapa anak buahnya pun telah tidak dapat dipercaya lagi. Sekali dua kali, Witantra sendiri hampir terjerat dalam keadaan yang serupa. Namun setiap ia mencoba menyelusur sumber dari segala kekalutan itu, ia terbentur kepada banyak sekali kesulitan.

Ken Arok melihat suasana itu dengan hati yang berdebar. Ia tidak boleh meleset. Setiap langkah harus diperhitungkannya. Dan langkah yang kemudian adalah menyingkirkan Akuwu Tunggul Ametung.

Tetapi kematian Tunggul Ametung bukanlah tujuan yang terakhir. Tujuan yang terakhir adalah memperisteri Ken Dedes.

Seorang perempuan yang memiliki kelebihan dari perempuan-perempuan lain. Perempuan yang demikian itulah yang dari guwa-garbanya kelak akan melahirkan orang-orang besar di Tanah Tumapel, bahkan di seluruh daerah Kediri dan tanah-tanah di sekitarnya.

Ken Arok yang telah disilaukan oleh cita-citanya yang membumbung sampai ke langit itu, kemudian sudah tidak dapat melangkah surut lagi. Empu Gandring telah dikorbankannya. Kemudian datang giliran Akuwu Tunggul Ametung. Akuwu yang hanya memikirkan diri sendiri. Akuwu yang sama sekali tidak dapat mengerti, apa yang sedang berkembang dan apa yang sedang bergolak di wilayahnya.

Dan saat yang ditunggu-tunggu oleh Ken Arok itu pun telah datang.

Dalam malam yang gelap, Ken Arok berjalan tersuruk-suruk pergi ke rumah Kebo Ijo. Udara yang pengap panas telah memeras keringat dari tubuhnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit yang hitam kelam, dilapisi oleh mendung yang tebal.

“Hujan akan turun” desis Ken Arok, “Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Tetapi hujan yang nanti akan turun, apabila tidak terlampau cepat, justru akan dapat membantuku”.

Dengan hati-hati Ken Arok berjalan di dalam kelam, menyusuri jalan sempit yang menuju ke rumah Kebo Ijo. Tidak lewat jalan yang cukup lebar seperti biasanya, yang akan sampai ke regol depan, tetapi Ken Arok memilih jalan sempit yang menuju ke butulan dinding halaman rumah Kebo Ijo.

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Ken Arok berusaha untuk memasuki halaman rumah Kebo Ijo dari arah belakang. Dengan lincahnya ia meloncat seperti seekor tupai tanpa menimbulkan suara apapun. Kemudian dengan mengendap-endapkan dirinya ia berjalan mendekati rumah sahabatnya itu. Beberapa saat ia berdiri di belakang rumah itu untuk memperhatikan keadaan, kalau-kalau masih ada seseorang pembantu rumah Kebo Ijo yang masih terbangun.

Namun rumah itu telah benar-benar menjadi sepi. Sepi, tanpa sepercik bunyi apapun.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang sahabat, ia sudah sering datang ke rumah itu. Ia mengenal semua segi dan sudut-sudutnya seperti ia mengenal rumahnya sendiri. Namun Ken Arok sadar sesadar-sadarnya, sejak ia bersahabat terlampau erat dengan Kebo Ijo itu, bahwa pada suatu saat sahabatnya ini pun harus, diumpankannya. Ia akan menjadi salah satu alas untuk meloncat mencapai cita-citanya.

Setelah menenangkan hatinya sejenak, Ken Arok itu pun segera mulai bekerja. Dengan hati-hati ia berusaha membuka selarak pintu belakang. Ia tidak ingin melakukannya dengan kekerasan, supaya rencananya dapat berlangsung dengan sempurna.

Ken Arok menahan nafas ketika ia mendengar selarak itu bergeser dan berderit. Sejenak ia menunggu. Kalau-kalau seseorang terbangun karenanya. Tetapi agaknya rumah itu masih tetap sepi.

Maka dengan sangat berhati-hati Ken Arok kemudian mendorong pintu itu, sehingga perlahan-lahan pintu itu pun terbuka. Semakin lama semakin lebar, semakin lebar.

Ketika pintu itu kemudian menganga, Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Sebagian terbesar dari usahanya telah berhasil, karena seterusnya, pekerjaannya, tidak akan begitu berat lagi. Dengan tidak mendapat kesukaran apapun juga Ken Arok masuk ke ruang tengah. Didapatkannya sebuah geledeg dari kayu. Disitulah kerisnya disimpan oleh Kebo Ijo.

Dengan hati-hati Ken Arok membuka geledeg itu, kemudian diambilnya kerisnya. Sekali lagi Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ditekankannya keris itu di dadanya sambil berdesis, “Kini datang lagi saatnya aku memerlukan pertolonganmu” Sejenak kemudian Ken Arok itu pun dengan hati-hati pula merayap keluar dari ruang tengah. Ia mengambil jalan seperti pada saat ia masuk. Selarak pintu yang tersandar miring, dilepaskannya sama sekali, kemudian ditutupnya pintu itu rapat-rapat kembali, sehingga kesan yang pertama-tama akan dilihat adalah, bahwa pintu itu lupa tidak diselarak.

Demikianlah, setelah berada di luar, Ken Arokpun kemudian meloncat dan berlari-lari kecil di dalam gelapnya malam menuju ke istana. Semuanya harus terjadi malam itu. Malam itu, tidak dapat ditundanya lagi.

Semakin dekat Ken Arok dengan dinding halaman istana, Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar. Kali ini ia tidak masuk lewat pintu gerbang. Baik pintu gerbang depan maupun samping. Tetapi Ken Arok ingin meloncati dinding yang cukup tinggi itu.

Tetapi Ken Arok memang seakan-akan telah menguasai keadaan. Ia mengerti benar-benar, dimanakah tempat-tempat, sudut-sudut dan bagian-bagian yang dijaga dan mendapat pengawasan langsung. Karena itu, maka ia dapat memilih tempat yang lepas sama sekali dari segala pengawasan.

Dengan kemampuan yang ada padanya, Ken Arok meloncat ke atas dinding yang tinggi itu dengan penuh kewaspadaan. Kemudian meloncat masuk ke dalam kegelapan. Dengan hati-hati ia berjalan terbungkuk-bungkuk menyusup dinding. Sebagai seorang pelayan dalam, maka ia mengenal segala lekuk dan liku Istana Tumapel. Dan ia mengenal pula, dimanakah Akuwu Tunggul Ametung sedang tidur.

Ken Arok sebenarnyalah memang orang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Ia ternyata berhasil menyusup dari sela-sela daerah pengawasan para penjaga, mendekati bilik tempat tidur Akuwu. Ia merayap setapak demi setapak, dari balik gerumbnl yang satu ke balik gerumbul yang lain.

Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Dan para penjaga pun menjadi semakin letih. Sementara itu, Keri Arok telah berada beberapa langkah dari serambi belakang Istana Tumapel. Dengan hati-hati dilihatnya keseluruhan suasana halaman belakang istana itu dari kegelapan. Sejenak ia berjongkok di balik sebuah gerumbul bunga. Namun betapapun juga, hatinya, masih juga berdebar-debar.

Dengan cermat Ken Arok memperhitungkan setiap keadaan. Ia harus sangat berhati-hati. Betapapun ia memiliki kemampuan yang mengagumkan, namun Istana Tumapel pun berisi banyak sekali prajurit dan orang-orang yang memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak dapat diabaikannya.

Sehingga akhirnya pada suatu saat Ken Arok menemukan kesempatan itu. Kesempatan yang ditunggu-tunggunya. Ketika seorang penjaga baru saja lewat di depan pintu serambi, Ken Arok justru melangkah dengan tenangnya, masuk ke dalam. Namun begitu ia berada di dalam serambi, segera ia berlindung di balik sehelai tirai.

Dadanya pun menjadi kian berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja ia menjadi cemas.

“Mudah-mudahan Akuwu sedang berada di biliknya sendiri. Kalau Akuwu berada di bilik Ken Dedes, maka usahaku akan gagal, atau aku terpaksa berbuat dengan agak kasar” desisnya di dalam hati, “Akuwu akan berada di dalam bilik itu semalam penuh”.

Ken Arok menahan nafasnya ketika ia mendengear langkah kecil-kecil lewat di depan tirai itu. Seorang emban.

“Aku harus melihat bilik Akuwu lebih dadulu” ia berkata di dalam hatinya pula.

Sejenak kemudian Ken Arok pun meloncat dari balik tirai yang satu ke balik tirai yang lain. Kemudian ia turun ke longkangan dalam. Ketika seorang prajurit lewat, ia segera berjongkok di balik sebuah arca yang berada di dalam kegelapan, di sudut longkangan.

Ia menarik nafas dalam-dalam ketika prajurit itu kemudian hilang dari pintu samping. Dan longkangan itu pun kembali menjadi sepi. Kalau ia kemudian naik tangga, ia akan memasuki bagian dalam dari Istana Tumapel. Dan ia akan melampaui beberapa ruangan sebelum ia sampai ke dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung.

Namun bagian istana yang terpisah satu dengan yang lain, agaknya mempermudah usahanya untuk mendekati bilik Akuwu Tunggul Ametung. Kadang-kadang ia masih harus bersembunyi di balik tirai yang tebal, dan kadang-kadang dibalik daun pintu yang terbuka. Bahkan kadang-kadang dibalik peti-peti dan kotak-kotak tempat hiasan dan juga dibalik patung-patung yang berserakan di dalam istana.

Akhirnya Ken Arok sampai juga kedekat bilik Akuwu Tunggul Ametung. Dengan dada yang berdebar-debar ia berjongkok di balik sebuah tirai yang gelap. Dicobanya untuk mengatur perasaannya yang bergejolak. Yang bahkan kadang-kadang masih juga disentuh oleh keragu-raguan.

Namun setiap kali Ken Arok menggeretakkan giginya. Ia sudah tidak dapat melangkah surut. Tidak. Tidak dapat. Ia harus berjalan terus. Dan malam ini semuanya harus dilakukan. Kalau tidak ia pasti akan gagal. Dan apa yang akan terjadi atasnya, sama sekali tidak dapat dibayangkannya.

Tetapi dada Ken Arok masih juga berdebar-debar. Ia memerlukan waktu untuk dapat mengatur perasaannya. Sehingga akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam.

“Bilik itu sangat sepi” katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan Akuwu Tunggul Ametung tidur di dalamnya”.

Maka sejenak kemudian jatuhlah keputusannya. Ia harus melaksanakan selagi bilik itu masih sepi.

Sesaat kemudian Ken Arok pun berdiri. Dipasangnya telinganya baik-baik. Karena ia tidak mendengar apapun juga, maka ia pun menjengukkan kepalanya. Sepi. Benar-benar sepi.

Dengan hati-hati Ken Arok melangkah mendekati pintu bilik. Perlahan-lahan sekali ia mendorong kesamping. Dan pintu itu pun mulai terbuka. Seperti kebiasaannya, Akuwu yang merasa aman di dalam istananya tidak pernah mengancing pintunya, seperti juga pintu-pintu bilik yang lain.

Dalam Ken Arok menjadi bertambah sesak ketika ia melihat Akuwu tidur terbujur di pembaringannya dengan tenangnya. Sejenak ia berdiri diam di luar pintu. Namun tiba-tiba ia menyadari bahwa setiap saat seorang emban atau seorang Pelayan Dalam yang sedang bertugas akan lewat di muka bilik ini. Karena itu, maka Ken Arok pun dengan tergesa-gesa meloncat masuk.

Namun ternyata bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang luar biasa. Betapa pun Ken Arok mencoba menghilangkan gemerisik yang mungkin timbul oleh langkahnya, dan betapa halusnya suara loncatannya, ternyata telah menyentuh pendengaran Akuwu yang sedang tidur nyenyak itu.

Dada Ken Arok bergetar dahsyat sekali, ketika ia melihat Akuwu Tunggul Ametung bergerak, dan bahkan kemudian membuka matanya.

Datanglah suatu saat dimana ia tidak mampu lagi untuk berpikir. Akuwu Tunggul Ametung telah membuka matanya meskipun ia masih dipengaruhi oleh suasana yang masih kabur, karena baru saja ia terbangun.

Tetapi dalam waktu sekejap Akuwu itu pasti sudah akan bersikap lain. Kalau Akuwu itu menyadari apa yang dihadapinya, maka ia tidak akan membiarkan dadanya berlubang oleh keris buatan Empu Gandring itu.

Karena itu, maka dalam keadaan tanpa pilihan itulah, maka Ken Arok segera meloncat menerkam Akuwu Tunggul Ametung yang belum menyadari benar keadaannya. Ia hanya melihat sebuah bayangan seolah-olah terbang menimpanya. Kemudian terasa sesuatu menghunjam di dadanya.

Dengan gerak naluriah, Akuwu Tunggul Ametung mencoba membela dirinya. Tetapi semuanya sudah terlambat. Ken Arok pun bukan orang kebanyakan, sedang keris yang dipakainya pun adalah sebilah keris buatan Empu Gandring yang hampir tidak ada tara bandingnya.

Meskipun demikian, hempasan tangan Akuwu Tunggu Ametung telah mengenai kening Ken Arok. Sesaat matanya menjadi berkunang-kunang, dan ia terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat bertahan lagi ia pun terhempas di atas lantai, sehingga terasa kepalanya seakan-akan berputar.

Sejenak Ken Arok mencoba bertahan untuk tidak kehilangan seluruh kesadarannya. Dalam keadaannya ia sempat melihat, Akuwu Tunggul Ametung bangkit sambil memegang hulu keris yang masih tertancap di dadanya. Dengan kemarahan yang memancar dari wajahnya ia memandang Ken Arok yan masih terbaring di lantai.

Namun ketika Akuwu Tunggul Ametung mencoba untuk berdiri, maka ia pun terdorong surut, dan jatuh ke atas pembaringannya.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Akuwu Tunggul Ametung menghembuskan nafasnya yang terakhir di pinggir pembaringannya yang menjadi merah oleh darah yang memancar dari lukanya. Tetapi ternyata darah Akuwu tidak terlampau banyak mengalir. Darah itu pun segera menjadi biru dan merah beku.

Ken Arok yang masih belum mampu menguasai keseimbangannya, masih juga terbaring di lantai. Dengan sekuat tenaganya ia memusatkan segenap kemampuan yang ada padanya sehingga perlahan-lahan ia berhasil menguasai dirinya. Perlahan pula ia bangkit. Kemudian memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Semuanya itu hanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat.

Namun dalam waktu yang sangat singkat itu, bilik Akuwu telah menjadi berubah sama sekali. Kesan yang timbul bagi mereka yang pertama-tama melihat bilik itu, adalah sesuatu perkelahian. Karena ternyata letak Akuwu Tunggul Ametung pun tidak lagi seperti pada saat ia masih tidur nyenyak.

Beberapa macam hiasan yang terdorong oleh tubuh Ken Arok pun telah tergeser, dan darah yang menitik di beberapa tempat pada saat Akuwu mencoba bangkit berdiri.

Setelah Ken Arok menjadi sadar sesadar-sadarnya, maka barulah ia dapat menilai keadaan yang sedang dihadapinya. Akuwu Tunggul Ametung ternyata telah mati.

Dengan serta-merta, Ken Arok pun kemudian memutus sehelai tali yang berwarna kekuning-kuningan yang memang telah dibawanya dari baraknya. Tali itu kemudian dilemparkannya ke sudut pembaringan. Dan tanpa mengambil kerisnya dari dada Akuwu Tunggul Ametung, maka Ken Arok pun kemudian barusaha meninggalkan bilik itu untuk seterusnya keluar dari halaman istana.

Tetapi seperti pada saat ia masuk, maka ia tidak mengambil jalan melalui regol-regol halaman. Tetapi ia menyusur tempat yang gelap dan kemudian meloncati dinding halaman, untuk seterusnya pergi menghilang.

Beberapa puluh langkah dari dinding yang diloncatinya, Ken Arok berhenti. Dipandanginya dinding yang tegak membeku itu. Seolah-olah ia ingin melihat, apa yang kini sedang terjadi di dalam istana. Tetapi istana itu masih sepi. Seandainya seseorang telah menemukan Akuwu Tunggul Ametung yang terbunuh itu, maka pasti akan segera terdengar tanda-tanda dari para pengawal.

Maka Ken Arok pun segera meneruskan langkahnya. Ia ingin segera sampai ke baraknya. Namun sebelum ia bertemu dengan seorang pun di dalam barak itu, ia harus membersihkan dirinya lebih dahulu.

Ternyata Ken Arok mampu bekerja dengan cermat. Ia berusaha, menghilangkan setiap jejak yang mungkin ditimbulkan. Karena itu, tanpa setahu seorang pun, ia telah berhasil masuk ke dalam biliknya dan langsung membaringkan dirinya di pembaringannya.

Tetapi ternyata ia tidak mendapat kesempatan untuk membuat penilaian tentang peristiwa yang baru saja dilakukannya. Karena belum lagi ia meluruskan letak kakinya, Tumapel telah digemparkan oleh suara titir yang menjalar dari sebuah kentongan ke kentongan lainnya di sudut-sudut padukuhan, di gardu-gardu, di panggungan-panggungan.

Para Pelayan Dalam yang sedang tidak bertugas, dan berada di baraknya segera berloncatan dari pembaringan mereka. Sejenak kemudian mereka telah berada di luar bilik masing-masing.

Suara titir itu semakin lama menjadi semakin merata. Kemudian di antara suara titir yang mengumandang di seluruh kota itu, terdengar perintah setiap pimpinan pasukan agar setiap orang di dalam pasukannya segera bersiap.

“Sesuatu telah terjadi” bisik setiap orang.

Ken Arok pun kini telah berada di antara kawan-kawannya. Dengan wajah tegang ia ikut berbisik-bisik pula, “Sesuatu telah terjadi”.

Ternyata penghubung yang sedang bertugas di istana telah melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Sekejap kemudian para pemimpin tertinggi Tumapel telah mendengar, apa yang terjadi di istana.

Orang yang pertama-tama datang, kecuali para petugas di istana adalah Witantra. Dengan gemetar ia melangkah masuk dalam bilik Akuwu. Tidak seorang pun yang berani merubah apa yang ada di dalam bilik itu. Namun demikian Witantra sudah tidak dapat melihat, bagaimanakah letak Akuwu pada saat diketemukan, karena ketika ia memasuki ruangan itu, Ken Dedes, Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung, menjerit tinggi sambil memeluk jenazahnya. Dan sejenak kemudian Ken Dedes itu pun telah menjadi pingsan.

“Bawalah ia ke bilik sebelah” perintah Witantra kepada para emban.

Dengan ditangisi oleh para emban, Ken Dedes kemudian dibawa ke bilik sebelah. Dengan cemas dan gemetar emban pemomongnya berusaha sedapat-dapat dilakukan untuk membuat pemongannya itu menjadi sadar.

Namun, demikian Permaisuri itu sadar, maka sekali lagi terpekik dan ia segera menjadi pingsan kembali.

Witantra dan beberapa pemimpin Tumapel yang lain berdiri termangu-mangu di dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung. Sekali-kali terdengar Witantra menggeretakkan giginya. Ia adalah pimpinan pasukan pengawal. Karena itu, sebagian terbesar tanggung jawab atas peristiwa itu berada di tangannya.

Setelah meneliti sejenak, maka Witantra segera mengeluarkan perintah, “Tidak seorang pun yang diperkenankan keluar dari halaman istana. Semua pintu harus dijaga”.

Perintah itu pun dalam sekejap telah merata. Setiap pintu regol pun segera ditutup. Tidak seorang pun yang diperkenankan keluar.

Namun dalam pada itu, para pemimpin pasukan yang lain pun segera berada di istana. Mereka pun kemudian berkerumun di depan bilik Akuwu. Tetapi belum seorang pun yang berani terubah sama sekali, apa yang terdapat di dalam bilik itu.

Di luar istana, para prajurit pun ternyata telah bersiap pu1a. Mereka pun segera mendengar, bahwa Akuwu Tunggul Ametung telah terbunuh di dalam biliknya.

Para prajurit yang tidak berada di dalam barak, tetapi di rumah masing-masing pun segera berlari-larian ke induk pasukan masing-masing untuk mendengar apa yang telah terjadi. Dan mereka pun hanya dapat menggeretakkan gigi mereka, setelah mereka mendengar apa yang telah terjadi atas Akuwu Tunggul Ametung.

Tanpa perintah apapun lagi, maka setiap pemimpin pasukan telah mengetahui apa yang wajib mereka lakukan. Mereka telah mempersiapkan pasukan masing-masing dalam kesiap-siagaan tertinggi. Yang pertama-tama terlintas di dalam kepala mereka, ialah suatu usaha untuk merebut kekuasaan dari tangan Akuwu yang terbunuh itu oleh sekelompok orang-orang yang tidak menyukainya. Kesimpulan itu diambil, karena Tumapel saat itu tidak sedang berada dalam perselisihan dengan pihak luar yang manapun juga.

Bersama beberapa orang tua-tua dan pemimpin prajurit, Witantra mulai meneliti satu demi satu, apa yang terdapat di dalam bilik Akuwu. Karena ternyata letak Akuwu sudah berubah, ketika dengan serta merta Permaisurinya memeluknya sambil menjerit, maka Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian diangkat dan dibaringkan di pembaringannya. Namun keris yang tertancap di dada Akuwu itu masih belum dilepaskan.

Ternyata Witantra mempunyai pandangan yang tajam sekali atas apa yang terjadi di dalam bilik itu. Meskipun beberapa bagian dari hiasan yang ada telah tergeser, dan beberapa titik darah yang memercik dari luka Akuwu, namun dengan nada yang berat Witantra berkata, “Akuwu tidak mendapat banyak kesempatan untuk membela dirinya. Mungkin timbul juga sedikit perkelahian, namun agaknya Akuwu telah tertusuk selagi ia masih tidur”.

Orang-orang lain yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Kalau Akuwu mendapat kesempatan, maka ia tidak akan terbunuh. Tidak ada orang lain yang dapat melawannya, apalagi apabila ia sempat mengambil pusakanya”.

“Ya, karena itu, maka hal ini dapat terjadi karena kelengahan” Witantra berhenti sejenak, kemudian, “Setiap orang yang bertugas malam ini akan dimintai pertanggungan jawab. Mereka harus segera berkumpul setelah menyerahkan tugasnya kepada giliran berikutnya”.

Dalam pada itu Ken Arok yang telah siap pula di dalam baraknya menjadi berdebar-debar ketika pemimpin pasukannya memerintahkan kepadanya dan beberapa perwira yang terdekat dan terpandang untuk mengikutinya ke istana.

Sebenarnya baginya, lebih baik tinggal di baraknya daripada pergi ke istana. Apa yang terjadi di istana itu, akan dapat menggetarkan jantungnya, apabila ia harus menyaksikannya sekali lagi. Namun demikian, kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia telah melakukannya dengan sempurna. Apabila timbul keragu-raguannya yang demikian, maka justru ia ingi melihat akibat dari perbuatannya itu.

Tetapi ia tidak dapat memilih. Dikehendaki atau tidak, mendapat perintah untuk bersama-sama dengan pimpinannya pergi ke istana.

Dengan dada berdebar-debar Ken Arok dengan tergesa-gesa bersama-sama dengan beberapa orang terkemuka di dalam lingkungannya memasuki bagian dalam istana. Kedatangan mereka telah menambah jumlah para pemimpin yang telah ada di dalam istana itu.

Sejenak kemudian mereka berdiri di luar bilik. Pemimpin pasukannya itu pun kemudian menemui Pimpinan tertinggi Pelayan Dalam beserta Witantra. Sejenak mereka bercakap-cakap dan sejenak kemudian pemimpin pasukannya itu pun memanggil Ken Arok mendekatinya.

Ken Arok masuk ke dalam bilik itu dengan ragu-ragu. Namun telah berhasil menekan perasaannya, sehingga tidak ada kesan lain di wajahnya dari pada ketegangan yang memuncak.

“Bawa sekelompok pasukanmu untuk mengambil alih tugas Pelayan Dalam yang ada di istana. Mereka yang bertugas pada saat Akuwu terbunuh harus segera berkumpul seperti yang dilakukan oleh prajurit Pengawal Istana dan prajurit-prajurit dari kesatuan-kesatuan yang lain yang sedang bertugas”.

Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk dalam sambil menjawab, “Baik. Akan kami lakukan”.

Ken Arok pun segera kembali ke dalam kelompok yang dipimpinnya. Ternyata semuanya telah bersiap untuk melakukan tugas apa saja. Termasuk mengambil alih tugas di dalam istana malam itu.

Sejenak kemudian semua petugas dari segala kesatuan dan ikatan telah berkumpul. Mereka akan diperiksa seorang demi seorang oleh pemimpin pasukan masing-masing.

Ken Arok, yang mendapat perintah untuk mengambil alih tugas Pelayan Dalam malam itu, telah langsung memimpin sekelompok pasukannya. Dan ia sendiri telah berada pula dekat bilik tempat Akuwu dibaringkan.

Ketika kebingungan dan kegelisahan telah mereda. Serta ketika para pemimpin tertinggi setiap kesatuan sudah siap untuk meninggalkan bilik itu dan memeriksa bawahan mereka masing-masing, maka tiba-tiba Ken Arok maju menyusup diantara mereka sambil berkata, “Apakah aku diperkenankan menyatakan pendapat?”

Witantra mengerutkan keningnya. Ia mengenal Ken Arok secara pribadi. Karena itu maka katanya, “Apakah yang akan kau katakan?”

Ken Arok menahan nafasnya sejenak. Kemudian diedarkannya tatapan matanya berkeliling. Dipandanginya setiap wajah yang berada di dalam bilik itu. Satu demi satu. Dan setiap mata yang tersentuh oleh tatapan mata anak muda itu terasa sebuah getar telah meronta di dalam dada mereka. Ternyata Pelayan Dalam yang seorang ini, meskipun bukan pimpinan pasukan, dan apalagi pimpinan tertingginya, mempunyai perbawa yang luar biasa.

“Sebelum kita mulai memeriksa seorang demi seorang, segala kesatuan yang bertugas, kemanakah kita harus memusatkan perhatian kita?” bertanya Ken Arok kepada Witantra.

Pertanyaan itu memang terdengar aneh sekali. Beberapa orang saling berpandangan. Namun Witantra sendiri mengetahui arah pertanyaan itu, karena ia masih menimang sehelai tali yang berwarna kekuning-kuningan yang terputus dan diketemukan di dalam bilik itu juga. Karena itu maka sambil mengangkat tali berwarna kuning itu ia menjawab, “Ya, aku sependapat, meskipun tidak mutlak. Bukankah kau melihat tali ini, sehingga kau mengajukan pertanyaan itu?”

“Ya” jawab Ken Arok, “Dan aku mendengar dari orang-orang yang telah hadir lebih dahulu, bahwa tali itu diketemukan di dalam bilik ini juga”.

“Ya” sahut Witantra, “Aku sependapat sepenuhnya, siapakah yang harus mendapat perhatian lebih banyak”.

“Baiklah” berkata Ken Arok, “Selanjutnya, apakah aku diperkenankan melihat keris yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung itu?”

Witantra mengerutkan keningnya. Dipandanginya para pemimpin tertinggi dari pasukan-pasukan yang lain, selain para tetua Pemerintahan Tumapel.

“Nanti dulu Angger Witantra” berkata seorang tua, “Kita sedang menunggu seorang pendeta untuk mengucapkan doa dan mantra. Pendeta itulah yang akan mengambil keris itu dari dada Akuwu Tunggul Ametung. Kita tidak tahu, apakah keris itu mengandung tuah dan kekuatan yang hitam”.

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Ken Arok menyahut, “Aku tidak dapat menolak kepercayaan itu. Tetapi kita harus dengan cepat mengetahui, siapakah pembunuhnya, sebelum ia sendiri sempat melarikan diri. Karena itu, biarlah aku menyediakan diri untuk melihat keris itu. Seandainya ada kekuatan hitam yang bagaimanapun juga, aku kira aku akan dapat mengatasinya”.

Orang-orang tua yang ada di dalam bilik itu mengerutkan kening? mereka yang telah berkerut-merut. Salah seorang maju kedepan sambil berkata, “Kau masih terlampau muda”.

“Tetapi kita bertanggung jawab. Kalau pembunuh itu sempat melarikan diri, maka kita akan kehilangan jejak”.

“Lalu apakah dengan keris itu kau dapat menemukan pembunuhnya?”

“Belum tentu. Tetapi kadang-kadang kita dapat mengenal keris seseorang. Apalagi keris yang mampu menembus dada Akuwu”.

Witantra tidak segera dapat memberikan keputusan. Pendapat Ken Arok itu memang dapat diterima oleh akal. Tali kuning yang dipegangnya itu telah sedikit memberikan arah. Kemudian apabila keris itu memang dapat berbicara, maka ia akan segera dapat mencari jejak pembunuhnya.

Orang-orang tua yang berdiri di dalam bilik itu menjadi bimbang. Mereka sebenarnya masih menunggu seorang pendeta yang dapat menawarkan pengaruh jahat dari keris itu. Tetapi agaknya Ken Arok terlampau mendesak. Dan agaknya para pemimpin pasukan lebih condong untuk melakukannya segera.

Dalam keragu-raguan itu Witantra berkata, “Baiklah. Kita cabut saja keris itu. Nanti kita lihat bersama-sama, apakah diantara kita atau siapapun juga, ada yang pernah mengenal, senjata siapakah yang tertinggal setelah dipakainya untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Mungkin pembunuh itu terlalu tergesa-gesa karena Akuwu sempat melakukan perlawanan meskipun tidak begitu berarti, sehingga ia tidak sempat membawa senjatanya”.

Para pemimpin kesatuan prajurit Tumapel mengangguk-anggukkan kepala mereka, sedang orang-orang tua masih juga menjadi ragu-ragu.

“Baiklah. Kita lihat saja keris itu”.

Witantra pun kemudian maju mendekat. Dengan tangam gemetar diraihnya keris itu. Dan sambil memejamkan matanya, maka dicabutlah keris yang berlumuran darah yang telah membeku itu sambil berdesis, “Biarlah aku menanggung segala akibatnya. Bukan orang lain. Akulah yang paling bertanggung jawab atas kejadian yang paling memalukan ini, sehingga seorang Akuwu telah terbunuh di dalam biliknya”.

Ken Arok berdiri tegak ditempatnya. Ternyata Witantra sendirilah yang melakukannya, mencabut keris itu dari dada Akuwu Tunggul Ametung.

Tangan Witantra menjadi semakin gemetar ketika ia kemudian mengangkat keris itu. Dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata keris itu adalah keris yang luar biasa. Meskipun telah dilumuri oleh darah yang merah kehitam-hitaman, namun masih juga tampak cahaya kebiru-biruan memancar dari padanya.

“Keris yang memiliki daya kemampuan yang luar biasa” ia berdesis. Namun kemudian Witantra itu mengerutkan keningnya. Ternyata diantara cahaya yang kebiru-biruaa itu terdapat tiga bintik cahaya berwarna kekuning-kuningan.

Sambil menahan nafasnya, dengan suara gemetar Witantra itu berkata, “Nah, siapakah yang telah mengenal keris ini?” Beberapa orang .mengerutkan keningnya. Ketika keris itu masih tertancap di dada Akuwu mereka tidak begitu banyak berkesempatan untuk melihatnya dengan jelas karena kesibukan, kebingungan dan memang maksud yang demikian itu masih belum terlintas di dalam kepala setiap orang yang ada di dalam bilik itu. Namun kini, segenap perhatian mereka tertumpah pada keris itu. Pada keris yang bercahaya kebiru-biruan dan berbintik kuning. Keris yang memiliki kekhususan dan tidak ada duanya.

Karena itu, maka beberapa di antara orang-orang tua itu pun menjadi berdebar-debar. Ternyata ada beberapa diantara mereka yang rasa-rasanya telah pernah melihat dan mengenal keris itu. Satu dua pemimpin pasukan yang ada di dalam bilik itu pun menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Apakah penglihatan matanya itu benar.

Tiba-tiba seorang tua maju kedepan. Dengan wajah yang tegang diamatinya keris itu. Ujungnya, pamornya yang terbalut oleh darah yang membeku, kemudian hulu keris yang mempunyai bentuk yang tidak lazim itu.

Dengan bibir gemetar orang tua itu berkata “Aku pernah melihat keris ini. Ya, aku pernah melihatnya, ketika pemiliknya minta pertimbangan tentang nilai dari keris ini”.

Dahi Witantra menjadi berkerut-merut.

“Apakah Angger Witantra belum pernah melihatnya?” bertanya orang tua itu.

Witantra menggelengkan kepalanya, “Belum. Aku belum pernah melihatnya”.

Bibir orang tua itu bergerak-gerak, tetapi sama sekali tidak terdengar suara apapun yang diucapkannya.

“Siapakah yang mempunyai keris ini?” desak Witantra.

Selangkah demi selangkah orang tua itu bergeser mundur.

“Siapa?” desak Witantra.

Tetapi orang tua itu justru menggelengkan kepalanya.

“Siapa? Siapa?” Witantra malangkah maju, “Sebutkan, siapakah yang mempunyai keris ini?”

Orang tua itu masih belum mengucapkan sesuatu. Bahkan ia berpaling untuk menatap wajah kawan-kawannya, para tetua Pemerintahan Tumapel.

“Katakan, katakan” Witantra hampir berteriak. Orang tua itu bahkan menjadi gemetar.

Namun dalam pada itu, seorang tua yang lain melangkah maju. Dengan dahi yang berkerut-merut ia bertanya, “Apakah Angger Witantra memang belum pernah melihat keris ini”

“Belum, aku memang belum pernah melihatnya”.

Orang tua itu memandang wajah Witantra dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Sebenarnya kami mengharap bahwa Angger Witantra sendirilah yang akan menyebut, siapakah yang memiliki keris ini”.

“Jangan membuat aku menjadi gila. Katakanlah, siapa yang memiliki keris ini. Aku benar-benar tidak tahu dan baru kali inilah aku melihat keris ini”.

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dengan nafas yang terengah-engah, “Terlampau berat untuk menyebutkannya. Tetapi apaboleh buat kalau Angger menghendakinya”.

“Katakan” Witantra hampir berteriak.

“Keris itu milik perguruan Angger Witantra sendiri, atau setidak-tidaknya milik saudara seperguruan Angger”.

“He?” jawaban orang tua itu serasa ledakan petir di telinga Witantra yang berdiri tegak dengan tubuh gemetar.

Sejenak pemimpin pasukan pengawal istana itu seolah-olah membeku di tempatnya sambil memandangi keris itu. Sekali-kali ia menatap orang tua yang mengatakan, bahwa keris itu keris perguruannya.

Setelah getar di dadanya mereda, maka dengan suara gemetar ia bertanya, “Apakah yang kau maksud sebenarnya?”

“Demikianlah. Keris itu adalah keris yang seharusnya Angger kenal dengan baik”.

“Aku tidak mengenal keris ini. Perguruanku tidak mengenal pula keris ini”. Witantra berkata dengan tegas, “Sebutkan, sebutkan, siapakah pemiliknya?”

Orang tua itu menjadi ragu-ragu.

“Sepanjang umurku, aku belum, pernah melihat guruku memiliki keris serupa itu”.

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Memang aku kira keris itu bukan keris yang temurun dari guru ke murid. Menurut pengakuannya keris itu diterima sebagai warisan dari ayahnya sendiri”.

“Ya, tetapi kau belum menyebut orangnya”.

“Keris itu pernah, dibawa kepadaku pula, untuk mendapat penilaian tentang bentuk dan pamornya. Keris itu menang keris yang luar biasa”.

“Tetapi sebut namanya. Siapa orang yang membawa keris itu?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dan Witantra berteriak, “Katakanlah. Hanya ada tiga orang murid di perguruanku, Aku sendiri, Mahendra dan Kebo Ijo. Siapakah diantara kami yang pernah datang kepadamu dan kepada orang lain untuk memperlihatkan keris itu?”

“Maaf ngger. Orang itu adalah yang kau sebut terakhir”

“Kebo Ijo?” mata Witantra terbelalak.

Orang itu menganggukkan kepalanya, “Ya, Angger Kebo Ijo. Aku kira banyak orang yang pernah melihat Angger Kebo Ijo membawa keris itu. Aku sendiri yakin, bahwa keris itulah yang pernah dibawa ke rumahku”.

Dada Witantra serasa akan meledak mendengar keterangan itu. Apalagi ketika terpandang olehnya tali yang berwarna kuning keemasan yang diketemukannya di dalam bilik itu. Petunjuk, yang ada memang mendekatkan keterangan itu pada kemungkinan terjadi.

Ketika ia mendengar Ken Arok berbicara, maka serasa ruangan.itu akan meledak, “Aku juga pernah melihat keris itu Witantra. Maaf, memang menjadi sifat Kebo Ijo. Ia memamerkan keris itu kepada banyak orang, sehingga banyak sekali yang akan dapat menjadi saksi, bahwa keris itu adalah keris Kebo Ijo. Aku adalah sahabatnya yang terdekat. Aku tahu benar, bahwa ia sangat berbangga dengan keris itu. Tetapi aku tidak tahu, bahwa pada suatu saat ia telah mempergunakan kerisnya”.

Wajah Witantra menjadi merah seperti darah. Antara terdengar dan tidak ia menggeram, “Tidak mungkin. Betapa gilanya anak itu, tetapi ia tidak akan melakukannya”. Meskipun demikian sebagai seorang prajurit ia berkata, “Tangkap anak itu. Bawa ia kemari”.

Seorang pandega pengawal istana menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Akan segera aku jalankan”.

Tetapi sebelum orang itu berangkat, maka Ken Arok berkata, “Witantra. Mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki. Kita mengetahui, bahwa Kebo Ijo bukanlah seorang kebanyakan dan dapat dianggap ringan. Apalagi ia merasa, bahwa ia telah berbuat kesalahan. Aku kira akan lebih baik, apabila, dicari jalan lain untuk membawanya kemari”.

“Maksudmu?”

“Aku akan menemuinya. Aku akan membawanya kemari dengan cara seorang sahabat”.

Witantra mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Kau dapat mencobanya Ken Arok. Pergilah bersama perwira itu”.

Ken Arok mengangguk sambil berkata, “Terima kasih atas kesempatan ini”.

Kemudian kepada perwira pandega pengawal itu ia berkata, “Marilah kita pergi”.

Keduanya pun kemudian meninggalkan istana. Perwira itu semula ingin membawa beberapa orang terpercaya apabila terjadi sesuatu, tetapi Ken Arok berkata, “Itu tidak perlu. Aku akan mencoba membujuknya”.

Keduanya pun kemudian berpacu dia tas punggung kuda. Dalam sepi malam derap kaki-kaki kuda itu mengumandang menyusup kesegenap sudut kota.

Sejenak kemudian mereka telah sampai ke barak pasukan pengawal istana. Semua orang telah bersiap, dan para perwiranya pun telah hadir pula. Demikian juga para perwira yang tinggal di rumah masing-masing, diantaranya Kebo Ijo.

Kebo Ijo terkejut ketika ia melihat Ken Arok mencarinya bersama seorang perwira bawahan Witantra.

“Tunggulah di sini” berkata Ken Arok, “Aku akan mencoba membujuknya”.

Perwira itu mengerutkan keningnya. Ia melihat Kebo Ijo dalam sikapnya yang wajar. Tidak tampak tanda-tanda apapun padanya. Bahkan ketika ia melihat kedatangan mereka, ia masih saja tersenyum dengan tenangnya.

“Anak itu licik seperti setan” desis Ken Arok. Perwira itu menganggukkan kepalanya.

Ken Arok pun kemudian menemui Kebo Ijo seorang diri. Dibawanya Kebo Ijo menyendiri, meskipun tidak terlampau jauh, sehingga perwira bawahan Witantra itu dapat mengawasinya apabila terjadi sesuatu.

“Kebo Ijo” berkata Ken Arok perlahan-lahan agaknya Tumapel sedang disaput oleh kabut yang hitam”.

Kebo lio tertawa pendek , “Kematian Akuwu maksudmu?”

“Ya. Tumapel akan terguncang karenanya. Akuwu sama sekali belum mempunyai seorang putera yang akan dapat menggantikan kedudukannya”.

Kebo Ijo tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Ken Arok yang tampak bersungguh-sungguh itu sejenak. Kemudian sekali lagi Kebo Ijo tertawa, “Kenapa kau tampak murung sekali? Bukankah Akuwu Tunggul Ametung itu bukan sanak, bukan kadangmu?”

“Benar Kebo Ijo. Akuwu memang bukan sanak bukan kadang. Tetapi yang penting bagiku adalah Tumapel. Lalu bagaimana dengan Tumapel kemudian?”

“Itu bukan urusanmu Ken Arok. Kau tidak usah ikut berpusing kepala”.

“Tentu tidak mungkin Kebo Ijo”. Kebo Ijo tertawa. Kali ini lebih keras.

Dalam pada itu, perwira yang mendapat tugas bersama Ken Arok menjadi heran melihat sikap Kebo Ijo. Timbulah perasaan curiga di dalam hatinya, seakan-akan anak itu sama sekali tidak menghiraukan apa yang telah terjadi. Karena itu, maka ia pun kemudian mendekatinya.

“Kemarilah” panggil Kebo Ijo, “Jangan seperti orang asing di sini”.

Perwira itu menganggukkan kepalanya. Ia sudah banyak mengenal tentang Kebo Ijo. Meskipun demikian sikapnya tidak menyenangkannya.

“Kau juga berduka seperti Ken Arok?” bertanya Kebo Ijo.

“Jagalah mulutmu Kebo Ijo. Sejak dahulu aku telah memperingatkan kau. Apalagi dalam keadaan serupa ini” desis Ken Arok.

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.

“Adalah menjadi kuwajiban kita untuk memikirkan hari depan Tumapel. Kita tidak dapat berpeluk tangan, acuh tidak acuh saja menanggapi setiap keadaan. Apalagi puncak dari persoalan kali ini”.

“Kenapa kau tidak memilih aku saja untuk menjadi seorang Akuwu?” desis Kebo Ijo sambil tersenyum.

“Ah” Ken Arok berdesah, “Kau memang terlalu bodoh”.

Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya, “Mungkin, mungkin aku memang terlampau bodoh. Tetapi, apakah sebenarnya maksudmu menemui aku dalam keadaan yang gawat ini? Apakah kau akan minta aku untuk mencari pembunuhnya, atau bahkan menjadi Akuwu sama sekali”.

Ken Arok menarik nafas. Kemudian jawabnya, “Aku hanya sekedar utusan Kebo Ijo. Kau dipanggil oleh kakang Witantra”.

“He? Kakang Witantra memanggil aku?”

“Ya”.

“Ada persoalan apa dengan kakang Witantra?”

“Tidak tahu Kebo Ijo. Aku hanya sekedar seorang utusan. Dalam keadaan serupa ini, mungkin sekali ada tugas-tugas yang akan dibebankan kepadamu”.

Kebo Ijo mengerutkan dahinya, “Kenapa aku, bukan pimpinan pasukanku atau orang lain”.

Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Tetapi aku kira, karena kau adalah adik seperguruannya. Kepercayaannya kepadamu melampaui kepercayaannya kepada siapapun juga. Apalagi kau pun termasuk di dalam kesatuannya”.

Kebo Ijo berpikir sejurus. Kemudian katanya, “Kalau pimpinan pasukan mengijinkan, aku tidak berkeberatan”.

“Kenapa tidak. Aku datang bersama seorang perwira tinggi dari kesatuanmu yang dapat memberikan perintah Witantra itu”.

“Baiklah. Aku akan segera berkemas. Temuilah pimpinan pasukanku. Aku orang penting di pasukan ini, sehingga aku selalu diperlukannya”.

“Ya aku tahu. Kau perwira yang paling terpercaya dalam pasukan ini. Tetapi pimpinanmu tidak boleh berkeberatan”.

“Terserahlah kepada kalian”.

Kebo Ijo pun kemudian meninggalkan mereka untuk berkemas. Dengan tergesa-gesa ia masuk ke dalam barak pasukannya untuk mengambil kelengkapan yang diperlukan, sambil menemui pimpinannya untuk menyampaikan maksud Ken Arok dan perwira bawahan Witantra itu.

“Dimanakah mereka?” bertanya pemimpin pasukan itu.

“Sebentar lagi mereka akan datang kemari”.

Sementara itu Ken Arok dan perwira Pengawal itu telah masuk ke dalam barak itu pula. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya perwira itu berkata perlahan-lahan, “Bukan main anak itu. Tetapi sikapnya sudah keterlaluan”.

“Ia mencoba untuk menyembunyikan kesan perasaannya yang mungkin sangat tertekan”.

“Mungkin, mungkin demikian, sehingga sikapnya menjadi bertambah liar”.

“Tetapi aku tidak sampai hati mengatakan maksud Witantra sebenarnya”.

“Itu tidak perlu. Biarlah kakang Witantra mengatakan sendiri kepadanya”.

“Kau benar. Tetapi hal itu akan mengakibatkan persoalan yang berkepanjangan. Apakah kau yakin, bahwa Witantra dapat menarik batas antara tugasnya sebagai seorang Manggala Pasukan Pengawal dan sebagai saudara tua seperguruan?”

“Jadi bagaimana maksudmu?”

“Sebaiknya kau memulainya. Tetapi setelah agak dekat dari istana. Kita akan mendapat kesan, apakah dugaan kita itu benar. Kau dapat mengajukan beberapa pertanyaan tentang keris yang tertancap di dada Akuwu itu”.

Perwira itu tidak segera menyahut. Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa Witantra adalah kakak seperguruan Kebo Ijo. Apalagi ia telah mendengar lamat-lamat Witantra berdesis, “Tidak mungkin. Betapa gilanya anak itu, tetapi ia tidak akan melakukannya”.

“Hal itu tidak mustahil terjadi” katanya di dalam hati, “Bahwa suatu saat kakang Witantra berdiri di persimpangan jalan. Betapa teguhnya kakang Witantra, namun suatu ketika ia dapat tergelincir dalam sikap yang tidak terpuji”.

Karena itu, maka kemudian pandega itu pun mengangguk-anggukan kepalanya. Ia dapat memulai seperti rencana Ken Arok itu. Dengan demikian ia akan mendapat kesan, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

“Tetapi, kenapa harus setelah dekat dari istana?” tiba-tiba ia bertanya.

“Tidak banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu” jawab Ken Arok, “Mungkin kita memang terlampau berprasangka. Tetapi seandainya Kebo Ijo memberontak, kita tidak akan terlampau banyak mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa Kebo Idjo bukanlah seorang yang dapat dianggap ringan. Ia adalah saudara seperguruan Witantra. Apalagi akhir-akhir ini ia mendapat banyak sekali kemajuan di dalam ilmunya. Aku tidak tahu, apakah hal itu sejalan dengan rencana-rencananya yang lain, termasuk pembunuhan kali ini”.

Perwira itu tidak menjawab lagi. Kini mereka telah berada di dalam lingkungan dalam barak itu, dan beberapa langkah lagi mereka akan naik ke bilik pimpinan pasukan pengawal di dalam barak itu.

“Aku membawa perintah kakang Witantra” berkata perwira itu.

“Silahkanlah”.

“Kebo Ijo diperlukan di istana”.

“Ya. Aku sudah mendengar dari Kebo Ijo sendiri”.

“Aku memerlukan ijinmu”.

“Baiklah. Aku hanya dapat mentaati perintah itu”.

Sejenak kemudian Kebo Ijo pun telah ikut bersama Ken Arok dan perwira Pasukan Pengawal itu menuju ke istana. Tidak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang jalan. Ken Arok hanya berbicara sepatah-sepatah, apalagi perwira itu. Ia hampir tidak berbicara sama sekali.

Seperti yang telah mereka rencanakan, maka setelah mereka menjadi semakin dekat dengan istana, perwira itu mulai mereka-reka, apakah yang akan dikatakan kepada Kebo Ijo.

Sejenak ia menyambar wajah Ken Arok, dan ketika Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya, maka ia segera siap untuk memulainya.

Perwira itu kemudian menempatkan kudanya dekat di samping Kebo Ijo. Hati-hati ia mulai berkata, “Kebo Ijo, apakah kau tahu, apakah sebabnya Akuwu itu dibunuh orang?”

“He” Kebo Ijo mengerutkan keningnya, “Pertanyaanmu seperti pertanyaan orang bermimpi”.

“Tidak Kebo Ijo, aku bertanya sebenarnya”.

“Persetan dengan igauanmu”.

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Sifat Kebo Ijo memang tidak disukainya. Ia mengharap lebih baik Ken Arok saja yang menanyakannya, supaya darahnya sendiri tidak mendidih. Tetapi Ken Arok sebagai seorang sahabat, menurut pengakuannya sendiri, tidak sampai hati untuk mempersoalkannya.

“Kebo Ijo” berkata perwira itu, “Apakah kau menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh para perwira tertinggi dan para pemimpin pemerintahan kini di istana?”

“Tentu. Seperti yang kalian sedihkan. Kematian Akuwu Tunggul Ametung”.

“Ya, sudah tentu. Tetapi sehubungan dengan kematian itu. Kami para perwira tertinggi, telah dibingungkan oleh senjata yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung itu”.

“Kenapa dengan senjata itu? Apakah senjata itu telah menakut-nakuti kalian?”

Perwira itu menjadi semakin menahan hati. Tetapi ia masih mencoba untuk bersabar.

“Seharusnya kau tahu, hubungan antara perintah Witantra memanggilmu dan senjata yang tertinggal di dada Akuwu dari pembunuhnya itu”.

“O, kau benar-benar sedang mengingau. Persetan dengan ingauanmu. Katakan, apakah sebenarnya yang kau maksudkan. Atau barangkali apakah perintah kakang Witantra yang harus aku jalankan. Mencari pembunuhnya atau apa?”

“Ya” jawab perwira itu yang hampir kehilangan kesabaran, “Kakang Witantra memang memerintahkan kepadamu untuk mencari pembunuhnya”.

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Sementara Ken Arok mendengarkan percakapan itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia mencoba mendengar setiap pembicaraan itu dengan jelas, karena itu, maka ia menempatkan dirinya pada sisi Kebo Ijo yang lain. Dengan demikian maka mereka kini berkuda berjajar tiga. Tanpa mereka sadari langkah kuda mereka menjadi semakin lambat.

“Biarlah kakang Witantra mengucapkan perintah itu sendiri” Jawab Kebo Ijo kemudian.

Perwira itu menjadi semakin tersinggung, dan Ken Arok pun mengharap, bahwa Kebo Ijo akan berkata sekenanya, seperti biasanya juga, dalam persoalan yang gawat ini. Ia mengharap perwira itu pun akan menjadi marah, dan selanjutnya, ia akan mendapat kesempatan seperti yang direncanakannya.

“Kebo Ijo” berkata perwira itu, “Kau memang seorang yang mengagumkan. Kau dapat menahan perasaanmu dan bahkan menyalurkannya dalam bentuk-bentuk yang tidak disangka-sangka”.

“Apakah maksudmu?”

“Jangan berputar-putar. Katakanlah, siapakah yang memiliki keris yang berwarna kebiru-biruan, berbintik tiga buah dengan warna yang kekuning-kuningan? Ciri yang lain, tangkai keris itu sama sekali bukan sebuah ukiran seperti lazimnya, tetapi sepotong kayu dalam bentuknya yang khusus”.

“He” mata Kebo Ijo terbelalak mendengar pertanyaan itu.

“Apakah kau mengenal keris itu?”

“Kenapa dengan keris itu?” ia bertanya.

“Kau sebenarnya telah mengerti jawab dari pertanyaanmu itu. Tetapi biarlah aku menjawab juga. Keris itulah yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung”.

Jawaban perwira itu menyambar telinga Kebo Ijo seperti tajamnya ujung senjata. Terasa telinganya menjadi panas dan dadanya berguncang-guncang. Sejenak justru ia terbungkam. Namun, tanpa sesadarnya ia telah menarik kekang kudanya, sehingga, kuda itu berhenti karenanya.

“Aku hormati kau sebagai perwira atasanku” berkata Kebo Ijo sambil menggeretakkan giginya, “Tetapi jangan mengigau terus menerus. Aku bukan anak-anak lagi dan aku bukan orang yang paling rendah martabatku di dunia ini, sehingga kau dapat menghinaku sesuka hatimu”.

Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Ia memang sudah menduga bahwa Kebo Ijo yang berdarah panas itu pasti akan segera menjadi marah. Dan ia mengharap perwira itu akan marah pula.

Ken Arok pun kemudian menahan nafasnya. Ia melihat perwira itu menjadi tegang. Sejenak ia diam di atas punggung kudanya yang telah berhenti pula. Namun agaknya ia masih berusaha untuk menahan dirinya, betapapun darahnya telah mendidih.

Ketegangan itulah yang diharapkan oleh Ken Arok untuk mendapat kesempatan berbicara sendiri dengan Kebo Ijo. Karena itu maka ia pun mendekati keduanya sambil berkata sareh, “Kebo Ijo. Demikianlah yang benarnya telah kami lihat di istana. Keris yang dicabut dari dada Akuwu itu adalah keris yang dikatakannya tadi. Banyak orang yang akan dapat menjadi saksi bahwa keris itu adalah kerismu”.

“Tetapi……… ” Kebo Ijo memotong, tetapi. Ken Arok mendahuluinya, “Tunggu dulu Kebo Ijo. Kami tidak segera dapat mengambil keputusan tentang keris itu. Apalagi Witantra yang memang belum pernah melihatnya”. Ken Arok berhenti sebentar lalu, “Aku mempunyai cara yang sebaik-baiknya. Bagimu dan bagi orang-orang yang kini berada di istana. Sebaiknya kau pulang sebentar. Kau lihatlah kerismu itu. Kalau kerismu itu masih tetap dalam simpanan, maka bawalah keris itu. Kau sudah membuktikan, bahwa keris itu sama sekali bukan kerismu”.

Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Kini ia harus berpikir dengan sungguh-sungguh. Agaknya perwira itu dan Ken Arok tidak sedang bermain-main.

“Tetapi apakah kita biarkan Kebo Ijo pulang dahulu?” bertanya perwira itu.

“Aku akan pergi bersamanya. Aku akan mempertanggung-jawabkannya. Akulah yang nanti akan membawanya ke istana. Dengan atau tidak dengan keris itu”.

Perwira pasukan Pengawal istana itu berpikir sejenak. Dalam keragu-raguan ditatapnya wajah Ken Arok tajam-tajam.

“Percayakanlah ia kepadaku” desis Ken Arok.

“O, jadi kalian menyangka bahwa aku akan lari?” peram Kebo Ijo, “Aku bukan pengecut. Seandainya aku sekalipun yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, aku akan mengangkat dadaku dihadapan siapapun juga. Bahkan dihadapan kakang Witantra” Kebo Ijo menggeretakkan giginya. Katanya kemudian, “Tetapi aku akan membuktikannya. Aku akan membawa keris itu kepada kalian”.

Perwira itu tidak menyahut. Betapapun darahnya serasa mendidih, tetapi ia mendapat kesan yang aneh pada Kebo Ijo yang tampaknya benar-benar tidak tahu menahu sama sekali tentang pembunuhan itu. Kebo Ijo sama sekali tidak menunjukkan kecemasan, apa lagi ketakutan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat membahayakan keselamatannya.

Karena itu maka perwira itu masih saja ragu-ragu.

“Biarlah Kebo Ijo mencoba membuktikan” berkata Ken Arok, “Aku akan menyertainya. Kembalilah kepada Witantra, dan katakan bahwa sebentar lagi kami akan menghadap”.

Perwira itu tidak segera menjawab. Ia masih merenungi keadaan yang dihadapinya. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Semuanya akan tergantung kepadamu Ken Arok, kepada tanggung jawabmu. Apabila terjadi sesuatu yang tidak menjadi keinginan kakang Witantra, maka kesalahan itu pasti akan dilimpahkan kepadamu. Aku hanya mendapat perintah sekedar menyertaimu. Kaulah yang memang mendapat tugas untuk membawanya ke istana”.

“Tanpa orang lain aku akan menghadap sendiri” sahut Kebo Ijo.

Perwira itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia masih tetap menahan diri, meskipun seandainya hal itu terjadi di dalam keadaan yang lain, ia pasti sudah bertindak atas kekuasaan yang ada padanya sebagai seorang perwira tinggi di dalam pasukannya. Seandainya Kebo Ijo akan melawan sekalipun, pasti ia akan melakukan kekerasan. Tetapi dalam keadaan kalut itu, ia berusaha untuk tidak menambah pekerjaan Witantra menjadi semakin sulit. Itulah sebabnya ia tetap menahan hati untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat keadaan menjadi kian gelap.

“Nah” berkata Ken Arok, “Marilah Kebo Ijo. Kau harus membuktikan bahwa bukan kau yang melakukannya. Keris itu bukan kerismu. Mungkin ada persamaan dalam berbagai hal, dan mungkin ada orang lain yang dengan sengaja menjerumuskan kau dalam kesulitan. Namun tidak ada seorang pun yang mampu membuat keris serupa benar dengan keris asli milikmu itu”.

Kebo Ijo tidak menyahut lagi. Segera ia menarik kekang kudanya, berputar pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok.

Ken Arok yang masih sempat mendekati perwira itu berbisik, “Percayakan ia kepadaku. Aku adalah sahabatnya, dan aku tahu, betapa ia licik seperti iblis”.

Perwira itu mengangguk-anggukan kepalanya, “Ya, ia licik seperti demit. Ia licik seperti iblis”.

Sejenak perwira itu memandangi derap kuda Ken Arok yang berpacu di jalan-jalan kota menyusul Kebo Ijo yang sudah hampir hilang di tikungan.

“Hem, mudah-mudahan Ken Arok tidak gagal”.

Sekilas tumbuhlah niatnya untuk mengikuti keduanya. Tetapi niat itu pun kemudian diurungkannya. Ken Arok agaknya dapat dipercaya untuk membawa Kebo Ijo ke istana.

Perwira itu tidak mau menyinggung perasaan Ken Arok. Maka ia pun kemudian menggerakkan kudanya, kembali ke istana. Ia harus segera melaporkan apa yang terjadi. Dengan demikian maka orang-orang yang menunggunya di istana tidak menjadi gelisah dan bertanya-tanya.

Mendengar laporan perwira itu, Witantra mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bertanya, “Kita menunggu mereka sesaat sebelum mengambil kesimpulan. Mungkin Kebo Ijo benar-benar dapat membuktikan dengan membawa kerisnya kemari. Sehingga dengan demikian namanya pun akan menjadi bersih karenanya”.

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekali lagi ia mendapat kesan, bagaimanapun juga Kebo Ijo adalah adik seperguruan Witantra, sehingga kenyataan yang dihadapinya akan terasa terlampau pahit.

Sementara itu, Kebo Ijo berpacu secepat-cepatnya pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok. Tanpa mengurangi kecepatan derap kudanya ia menyelusur jalan-jalan yang semakin kecil. Dengan tergesa-gesa ia meloncat turun ketika ia sampai di muka regol halaman rumahnya yang tertutup. Cepat ia membuka pintu regol itu dan cepat-cepat pula ia melangkah di halaman, naik ke pependapa dan mengetuk pintu pringgitan.

“Siapa?” bertanya isterinya.

“Aku. Aku pulang Nyi” sahut Kebo Ijo. Isterinya terkejut. Dengan tergesa-gesa pula ia membuka pintu. Ketika dilihatnya Kebo Ijo berdiri tegak dalam kegelapan malam, maka dengan cemasnya ia bertanya, “Ada apa kakang? Apakah semuanya sudah selesai?”

Kebo Ijo menggeleng, “Belum Nyai. Semuanya masih gelap”.

Isterinya mengangguk-anggukkan kepala, “Tetapi kenapa kakang pulang?”

Kebo Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak apa-apa. Ada sesuatu yang tertinggal. Aku bersama Ken Arok”.

“O” kemudian ia mempersilahkan Ken Arok, “marilah, masuklah”.

Ken Arok sudah terlampau biasa memasuki rumah itu. Hampir setiap hari. Namun tiba-tiba saat itu ia merasa sehelai garis batas telah terentang dihadapannya. Namun dengan penuh kesadaran ia menghadapi persoalannya. Bagaimanapun juga perasaannya bergolak, namun nalarnya tetap mampu mengatasinya, sehingga dengan demikian tidak ada kesan apapun tersirat di wajahnya. Sambil tersenyum ia menjawab, “Terima kasih. Kami berdua hanya sebentar. Kalau aku masuk ke rumah, kau akan menjadi sibuk merebus air”.

“Tidak. Aku tidak akan menjadi sibuk. Tetapi masuklah”.

Ken Arok pun kemudian melangkah masuk. Dengan dada yang berdebar-debar ia duduk di atas sebuah bale-bale bambu. Dilihatnya Kebo Ijo sedang membuka geledegnya, lewat pintu yang tidak tertutup rapat. Derit pintu geledeg di ruang tengah itu serasa menggores jantung Ken Arok. Perlahan-lahan sekali pintu itu pun terbuka.

Ken Arok melihat Kebo Ijo terperanjat sekali. Sejenak ia membeku di muka geledeg itu. Peluh yang dingin satu-satu menitik dari keningnya. Darah Kebo Ijo serasa berhenti mengalir ketika ia melihat kerisnya sudah tidak berada lagi ditempatnya.

Sejenak Kebo Ijo tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sorot mata aneh ditatapnya wajah Ken Arok yang menjadi tegang.

 

[divider line_type=”Full Width Line” custom_height=””]

Source : www.agusharis.net

~ Article view : [193]