Sastra Bali

SINGA WILWATIKTA

Di puncak kejayaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memimpin sebuah kerajaan yang tak tertandingi di Nusantara. Namun, di balik keagungan istana, persekongkolan politik, perang, dan cinta terlarang mengguncang fondasi kerajaan. Rangga Wisesa, seorang prajurit muda dari desa terpencil, tanpa sengaja terjerat dalam konflik perebutan kekuasaan antara bangsawan, pasukan bayangan, dan kaum agamawan yang menguasai rahasia kuno Majapahit.

Ketika Mahapatih Gajah Mada menghilang secara misterius, berbagai pihak berusaha mengisi kekosongan kekuasaan. Rangga, yang hanya bercita-cita menjadi prajurit biasa, justru menemukan dirinya sebagai kunci bagi masa depan kerajaan. Namun, bisakah ia bertahan di tengah badai intrik yang melibatkan Putri Kencana Wungu, bangsawan pengkhianat, dan prajurit bayangan dari kerajaan tetangga?

Di tengah pertempuran di Bubat, persekongkolan di istana, dan pengaruh ajaran Hindu-Buddha yang membentuk filosofi pemerintahan, Singa Wilwatikta menjadi kisah epik tentang pengorbanan, kesetiaan, dan rahasia yang tersembunyi di balik tembok Majapahit.

Ada yang mengatakan, Majapahit berdiri di atas sumpah seorang Mahapatih. Namun, mereka lupa bahwa setiap kerajaan juga berdiri di atas darah mereka yang tak tercatat dalam sejarah.

Malam itu, angin berembus kencang dari arah timur. Hutan-hutan di sekitar Trowulan bergetar diterpa badai, sementara di kejauhan, bunyi gamelan dari keraton Wilwatikta masih terdengar sayup-sayup, mengiringi perayaan yang merayakan kedatangan utusan dari negeri-negeri jauh. Namun, di tempat yang lebih gelap, di sudut-sudut kota dan jalanan berdebu, sebuah kisah lain sedang terukir.

Seorang pemuda berlutut di tengah alun-alun, napasnya memburu. Bajunya koyak, keringat bercampur darah membasahi kulitnya. Ia baru saja berlari sejauh tiga pal sudah. Di tangannya, sebilah kris berlumuran darah bergetar, seakan memahami nasib buruk yang baru saja menimpanya.

Namanya Rangga Wisesa, seorang pemuda desa dari lereng Gunung Anjasmara, yang baru saja tiba di ibu kota dengan mimpi besar: menjadi prajurit Majapahit. Tapi malam itu, ia berdiri di hadapan mayat seorang bangsawan yang tewas di tangannya.

“Dosa apakah yang baru saja aku lakukan?” bisiknya.

Dari balik bayangan, seseorang muncul. Sosok tua dengan sorot mata tajam, mengenakan pakaian pertapa dengan simbol matahari Majapahit di dada. Empu Dahana, salah satu orang kepercayaan Gajah Mada.

“Kau telah membunuh seorang pengkhianat, Nak,” katanya tenang. “Dan mungkin, takdir Majapahit kini ada di tanganmu.”

Rangga ingin menyangkal, ingin melarikan diri. Namun ia tahu, sejak malam itu, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Majapahit memanggil.

Lonceng-lonceng besar di Gapura Wringin Lawang berdentang tiga kali, menandakan larut malam. Cahaya obor masih menerangi jalan-jalan utama ibu kota Trowulan, namun di gang-gang sempit, bayang-bayang bergerak dengan cepat.

Rangga Wisesa, masih dengan tangan berlumuran darah, mengikuti langkah Empu Dahana melewati lorong-lorong rahasia di bawah tanah kota. Jalanan ini tak tercatat di peta mana pun, hanya mereka yang dipercaya kerajaan yang tahu keberadaannya.

“Kau membunuh orang yang salah,” kata Empu Dahana sambil tetap berjalan.

“Aku hanya membela diri,” balas Rangga cepat.

“Benar, tapi bukan itu yang akan didengar oleh raja dan dewan permaisuri.”

Rangga terdiam. Bayangan kematian bangsawan itu masih melekat di kepalanya. Ia tak tahu siapa pria itu, hanya bahwa ia telah menyerangnya lebih dulu. Tapi sekarang, ia dikejar sebagai seorang pembunuh.

“Aku tak bisa kembali,” gumamnya lirih.

“Tidak,” Empu Dahana tersenyum tipis. “Tapi kau bisa maju.”

Mereka tiba di sebuah ruangan bawah tanah, di mana para lelaki berbaju hitam duduk mengelilingi meja kayu besar. Peta Pulau Jawa, Bali, dan Sumatra terbuka di tengahnya.

“Apa ini?” Rangga bertanya.

Empu Dahana menatapnya dalam-dalam.

“Ini adalah bayangan yang menjaga Majapahit tetap berdiri.”

Di sisi lain kota, di dalam keraton Wilwatikta, Raja Hayam Wuruk duduk di singgasananya dengan dahi berkerut. Di hadapannya, Mahapatih Gajah Mada berdiri tegap, tatapannya tajam seperti biasa.

“Kita kehilangan satu lagi pejabat istana,” kata raja.

“Bukan kehilangan, gusti,” Gajah Mada mengoreksi. “Seseorang menyingkirkannya sebelum ia sempat berkhianat.”

“Kau yakin ini bukan ancaman baru?”

Gajah Mada tersenyum kecil. “Di Majapahit, ancaman selalu ada, tapi terkadang, yang kita anggap musuh adalah mereka yang justru menyelamatkan kita.”

Hayam Wuruk menghela napas panjang. “Dan apakah kau tahu siapa yang bertanggung jawab?”

“Seorang pemuda,” kata Gajah Mada, tatapannya menerawang. “Seorang yang tak pernah kita duga.”

Di sebuah ruang tersembunyi dalam keraton, Putri Kencana Wungu duduk di depan cermin peraknya. Ia meraih sumping emas, perhiasan telinga khas bangsawan Majapahit, lalu menyematkannya di rambut panjangnya yang hitam mengilap.

“Hari ini kau tampak gelisah,” kata seorang perempuan tua yang berdiri di sampingnya.

“Majapahit berubah,” jawab Kencana Wungu tanpa mengalihkan pandangannya dari bayangan dirinya di cermin. “Gajah Mada semakin tua, banyak bangsawan mulai berani menantangnya, dan ayahanda… mulai ragu.”

“Dan kau?”

Putri Kencana tersenyum tipis, memandang langit malam melalui jendela.

“Aku hanya ingin tahu,” katanya pelan. “Siapa lelaki yang akan mengubah Majapahit selamanya?”

Di puncak Gunung Lawu, di antara kabut tebal yang menutupi puncaknya, seorang pertapa tua duduk di depan sesaji yang terbakar perlahan. Asap dupa mengalir seperti ular, melingkar di udara sebelum menghilang ke angkasa.

Di hadapannya, seorang utusan Majapahit berlutut. Sosok itu mengenakan kain hitam panjang, tubuhnya tertutup kabut.

“Kerajaanmu akan berubah, tapi bukan karena perang,” suara sang pertapa terdengar berat, seolah keluar dari dimensi lain. “Bukan para bangsawan, bukan para prajurit.”

Ia meraih sebutir batu hitam dari dalam bokor emas, lalu menggenggamnya erat.

“Sebuah nama yang belum dikenal akan muncul,” lanjutnya. “Seorang yang dilahirkan oleh darah, tapi tak dibesarkan oleh raja. Ia akan mengguncang Wilwatikta, menjatuhkan pengkhianat, dan menantang takdir yang telah dituliskan di lontar para leluhur.”

Sang utusan menunduk lebih dalam. “Siapakah orang itu, Danyang Gunung Lawu?”

Pertapa itu tersenyum tipis. Ia mengangkat batu hitam itu ke udara. Begitu cahaya bulan mengenainya, batu itu retak dan hancur menjadi debu.

“Namanya sudah tertulis di bayangan dinding keraton. Tapi tak seorang pun berani mengucapkannya dengan lantang.”

Malam itu, Putri Kencana Wungu tak bisa tidur. Angin dari hutan mengalir melalui jendela istananya, membawa bisikan yang hanya bisa didengar oleh mereka yang terikat dengan dunia leluhur.

Di dalam mimpinya, ia berdiri di depan Candi Cetho, kuil yang dibangun untuk menyembah para dewa dan menjaga keseimbangan dunia manusia dengan roh leluhur. Cahaya bulan menyinari relief-relief kuno yang bercerita tentang perjalanan jiwa-jiwa yang telah pergi.

Namun, ada sesuatu yang berbeda. Relief itu berubah. Sosok seorang pemuda muncul di ukiran batu, mengenakan kain prajurit Majapahit, memegang sebilah kris dengan pamor yang bercahaya.

Lalu suara terdengar di sekelilingnya.

“Ia datang dari kabut. Ia akan menggenggam takdir. Tapi darahnya akan terikat pada janji yang belum ditepati.”

Putri Kencana mundur selangkah. Bayangan pemuda dalam relief itu bergerak. Wajahnya samar, tetapi matanya penuh api.

“Apa ini?” bisiknya.

Tiba-tiba, dari dalam kegelapan, muncul seorang wanita tua berjubah putih. Wajahnya tertutup oleh tirai sutra, tapi suaranya menggema seperti suara leluhur.

“Kau telah melihat masa depan, Putri Wilwatikta,” katanya.

Putri Kencana menoleh dengan napas tercekat. “Siapa dia?”

Sang wanita tak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangan, memperlihatkan sesuatu.

Sebuah sumping emas.

Sama seperti yang dikenakan Putri Kencana saat ini.

Mimpi itu berakhir. Putri Kencana terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Tapi tangannya, yang menggenggam selimut, gemetar.

Di sana, di dalam genggamannya, ada sumping emas yang sama seperti dalam mimpinya.

Di tempat lain, di balik hutan lebat dekat Gunung Penanggungan, Rangga Wisesa duduk bersila di depan sebuah batu bertulis aksara kuno. Cahaya bulan menyinari tulisan itu, yang bercerita tentang janji para leluhur yang belum selesai.

“Siapa pun yang membangunkan roh-roh lama,” suara seorang lelaki tua terdengar dari kegelapan, “akan membawa keseimbangan, atau kehancuran.”

Rangga menoleh. Empu Dahana berdiri di sana, mengenakan jubah putih yang hampir menyatu dengan kabut malam.

“Apa maksudnya, Empu?” Rangga bertanya.

“Kau pikir Majapahit hanya dibangun oleh kekuatan manusia?” Empu Dahana melangkah mendekat. “Tidak, Nak. Sejak zaman para leluhur, kerajaan ini dijaga oleh kekuatan yang tak bisa dilihat. Ada yang mengawasi. Ada yang menunggu.”

Rangga menggenggam krisnya lebih erat. Ia bisa merasakan sesuatu yang aneh di tempat itu. Udara menjadi lebih dingin, dan bayangan pepohonan bergerak seperti makhluk hidup.

“Apa yang mereka tunggu?” Rangga bertanya, suaranya nyaris berbisik.

Empu Dahana menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.

“Mereka menunggu seseorang yang berani menantang takdir.”

Dan di kejauhan, dari dalam kegelapan hutan, terdengar gumaman pelan. Seperti suara yang telah lama tertidur, kini bangkit kembali.

~ Article view : [8]

Exit mobile version