51. Duryodhona Tewas Sesuai Swadharma-nya

673

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND

51. Duryodhona Tewas Sesuai Swadharma-nya

Duryodhona sedih mendengar berita gugurnya Karna. Mahaguru Kripa kasihan kepadanya dan mencoba menghiburnya dengan menasihati putra mahkota itu bahwa jika perang dilanjutkan, tidak ada yang akan memetik kebahagiaan, yang ada hanyalah kehancuran. Kata Kripa, “Didorong nafsu besar dan ambisi, kita korban-kan banyak orang dalam perang ini, walaupun mereka rela mengorbankan jiwa mereka. Sekarang, satu-satunya jalan yang masih bisa kita tempuh untuk

menghindari kemus-nahan adalah berdamai dengan Pandawa. Duryodhona, sebaiknya perang ini kita hentikan.”

Duryodhona menjawab dengan nada perih, “Mungkin, dulu itu bisa dilakukan. Sekarang sudah terlambat. Perun-dingan seperti apa yang bisa kita usahakan ketika darah sudah tertumpah dan sudah tak terbilang korban berjatu-han di kedua pihak? Kalau aku menyerah untuk menghindari kemusnahan Kurawa dan sekutunya, siapakah yang tidak akan mengutuk dan menyumpahi aku? Kebahagiaan seperti apa yang dapat kurasakan jika aku mundur seba-gai pengecut? Kegembiraan seperti apa yang dapat kunik-mati dalam kemegahan kerajaanku setelah semua sauda-ra, keluarga dan kawanku tewas? Tidak! Setapak pun aku tidak akan mundur!”

Kata-kata Duryodhona yang penuh kepahitan sekaligus menunjukkan kekerasan hatinya, disambut dengan sorak sorai oleh balatentara Kurawa. Kemudian mereka memilih Salya sebagai mahasenapati yang akan memimpin Kaura-wa dalam pertempuran melawan Pandawa. Salya, seperti para kesatria besar yang telah mendahuluinya, adalah kesatria sakti, perkasa, dan sudah sangat berpengalaman. Ia juga ahli siasat perang. Di bawah pimpinan Salya, semangat Kurawa kembali berkobar dan mereka melan-carkan serangan dengan hebat.

Di pihak Pandawa, pimpinan dipegang oleh Yudhistira. Ajaib, kesatria yang dilahirkan dengan budi pekerti lembut itu ternyata bisa bertempur dengan garang melawan pa-mannya sendiri.

Pertempuran antara Salya dan Dharmaputra berlang-sung sengit. Sementara itu, putra-putra Dritrastra yang masih hidup, kecuali Duryodhona, bersama-sama menye-rang Bhimasena. Yudhistira terus-menerus memanah Sal-ya sampai mahasenapati itu tampak seperti landak karena puluhan anak panah yang menancap di tubuhnya. Darah mengucur dari luka-lukanya. Akhirnya, Yudhistira melem-parkan tombaknya, tepat mengenai dada Salya. Mahasena-pati itu langsung roboh, menemui ajalnya.

Sementara itu, Bhimasena yang bersumpah akan meng-habisi putra-putra Dritarastra, membalas keroyokan Kurawa dengan garang. Diayun-ayunkannya gada saktinya. Ia mengamuk membabi buta, didorong dendam yang dipen-dam selama tiga belas tahun. Satu demi satu musuh bertumbangan, bagaikan tanaman perusak yang ditebas oleh peladang yang menyiangi kebunnya. Waktu melancar-kan gempuran terakhir, Bhimasena berkata, “Hidupku di dunia ini tidak sia-sia karena aku telah memenuhi sum-pahku. Sekarang aku tinggal membunuh Duryodhona.”

Di medan yang lain, Syakuni menggempur pasukan Pan-dawa yang dipimpin Sahadewa. Setelah bertempur beberapa lama, Sahadewa melepaskan anak panahnya yang bermata pedang sambil berteriak lantang, “Bedebah! Ini buah dosa- dosamu yang tak terampuni!”

Anak panah itu melesat, menembus leher Syakuni dan memenggal kepalanya yang kemudian jatuh terguling-guling di tanah.

***

Seperti biasa, Maharaja Dritarastra yang buta “menyaksikan” pertempuran itu lewat laporan Sanjaya, penasihat-nya yang tepercaya, yang mempunyai kesaktian bisa melihat dari jauh. Mendengar laporan Sanjaya bahwa putra-putranya telah tewas, Dritarastra berkata sedih dan putus asa, “Oh Sanjaya, bagaikan pohon-pohon

kering dimakan api, anak-anakku musnah dalam peperangan ini. Karena Duryodhona berkepala batu, anak-anakku dibu-nuh oleh Bhimasena yang ingin membalas dendam. Sung-guh, putra Batara Bayu itu memiliki kekuatan seperti Dewa Kematian.”

“Ya Tuanku Raja, balatentara Tuanku yang terdiri dari sebelas aksohini atau sebelas divisi telah musnah. Dari beratus-ratus raja, putra mahkota, bangsawan dan kaum kesatria yang rela mengorbankan jiwa raga mereka demi kita, tinggal Duryodhona yang masih kelihatan tegak di medan pertempuran. Tetapi, tubuh putra Tuanku itu penuh luka,” kata Sanjaya.

Ketika tidak berhasil mengumpulkan sisa balatentara Kurawa, Duryodhona jatuh dari keretanya dengan tangan masih memegang gada. Diam-diam ia lari ke tepi telaga. Ia kehausan dan sekujur tubuhnya terasa panas. Sampai di sana, ia menjatuhkan badannya di tepi telaga yang airnya sangat bening. Pikiran Duryodhona melayang jauh. “Benar kata Widura yang pernah meramalkan apa yang akan terjadi,” katanya dalam hati.

Tetapi apa gunanya kesadaran yang datang sangat ter-lambat? Setiap perbuatan, baik atau buruk, pasti membuahkan hasil yang setimpal. Itulah karmaphala atau hukum kehidupan.

Sementara itu, Yudhistira dan saudara-saudaranya te-rus mencari-cari Duryodhona. Akhirnya mereka menemu-kannya sedang telungkup di tepi telaga.

Yudhistira mendekatinya dan berkata lantang, “Duryodhona, setelah sanak saudaramu dan ratusan ribu prajurit yang tidak berdosa tewas demi membela dirimu, masihkah engkau berani mengangkat wajahmu? Di mana keangkuhanmu yang selalu kaupamerkan di depan kami? Apakah engkau tidak punya malu sedikit pun? Ayo, kita bertarung! Buktikan bahwa kau terlahir sebagai kesatria yang tak takut bertempur dan tak takut mati.”

Mendengar kata-kata itu, Duryodhona memandang tajam wajah Yudhistira dan menjawab dengan gagah, “Oh, ternyata kamu, Dharmaputra! Aku datang ke telaga ini bukan untuk bersembunyi. Bukan pula karena takut. Aku datang ke telaga ini karena aku kehausan dan sekujur tubuhku terasa panas. Aku tidak takut mati, tapi aku juga tidak ingin hidup lebih lama. Apa gunanya bertempur lagi? Dunia ini sudah tak berarti apa-apa lagi bagiku. Siapa lagi yang harus aku bela mati-matian? Tak ada! Semua kesa-tria di pihakku telah tewas. Aku tak ingin lagi menguasai Kerajaan Hastina. Kuserahkan semua milikku padamu. Tak perlu lagi bertarung. Nikmatilah kedaulatanmu, tak­kan ada yang berani menggugatmu.”

Dharmaputra menanggapi, “Alangkah baiknya engkau sekarang. Pahadal, dulu ketika kami mengusulkan perdamaian dan hanya meminta lima desa, engkau menolak mentah-mentah. Sekarang, dengan mudahnya engkau katakan bahwa kami boleh mengambil semua milikmu.

“Ketahuilah, kami berperang bukan demi tanah kera-jaan. Kami berperang demi menegakkan keadilan. Masih perlukah kusebutkan semua dosamu? Kejahatan dan penghinaanmu terhadap Draupadi tak mungkin kami lupakan dan takkan lunas kaubayar dengan hartamu. Penghi-naan itu hanya akan lunas terbayar dengan nyawamu.”

Mendengar kata-kata Yudhistira, Duryodhona bangkit, berdiri tegak lalu berkata keras sambil mengayun-ayunkan gadanya, “Ayo maju, satu per satu! Aku sendirian,

kalian berlima. Kalian tentu tidak akan mengeroyok aku, karena senjataku hanya gada ini dan tubuhku sudah lemas penuh luka.”

“Tentu saja kami tidak akan mengeroyok engkau. Eng­kau lemas, penuh luka, dan tak berdaya. Tapi, katakan apa yang telah kalian lakukan terhadap Abhimanyu hingga dia mati secara mengenaskan?

“Dasar manusia berwatak jahat. Ketika terpojok tak berdaya, kau baru sadar dan bicara tentang dharma, budi pekerti dan kehormatan seorang kesatria. Ayo, siapkan dirimu! Pilih salah satu di antara kami untuk bertarung denganmu! Mati masuk surga atau menang jadi Raja­diraja!” kata Yudhistira.

Duryodhona memilih Bhimasena, yang perawakannya sebanding dengannya. Kecuali itu, mereka juga sama-sama mahir menggunakan gada. Maka terjadilah pertempuran sengit antara Duryodhona dan Bhimasena. Kedua kesatria itu sama kuatnya. Api memercik setiap kali gada-gada mereka beradu. Sulit memperhitungkan, siapa yang akan menang.

Ketika pertarungan masih berlangsung seru, tiba-tiba Krishna mengingatkan Arjuna tentang kutuk-pastu Resi Maitreya, yaitu bahwa Duryodhona akan menemui ajalnya jika pahanya bisa diremukkan.

Bhimasena mendengar apa yang dikatakan Krishna kepada Arjuna. Ia seperti mendapat kekuatan baru. Dengan garang ia melompat dan menerkam Duryodhona lalu dengan sekuat tenaga menghantamkan gadanya ke paha Putra Mahkota Kurawa itu. Duryodhona roboh. Bhima-sena menyergapnya ketika Duryodhona masih tergeletak lemas. Bhimasena menginjak-injak tubuh kesatria Kau-rawa itu, kemudian menumbukkan kepala Duryodhona ke lututnya.

“Hentikan, Bhimasena! Ia telah membayar hutangnya. Duryodhona adalah putra mahkota dan sepupu kita. Tidak patut engkau menginjak-injak kepalanya,” teriak Dharma-putra.

Krishna berkata, “Orang durhaka ini akan segera mati. Hai, Putra-putra Pandu, sebaiknya kita segera pergi dari sini.”

Meskipun keadaannya sudah parah, Duryodhona masih sempat berkata dengan marah kepada Krishna, “Dengan kelicikanmu, engkau telah membuat banyak kesatria tewas. Kau tak mungkin menang kalau kau bertempur se-suai tradisi kesatria dan aturan perang ketika melawan Karna, Drona dan Bhisma. Apakah engkau tidak malu?”

“Duryodhona, sia-sia engkau salahkan orang lain. Kerakusan dan ambisimu akan kekuasaan telah menuntunmu untuk menimbun dosa dan kejahatan. Sekarang engkau memetik buahnya,” jawab Krishna.

Tidak seorang pun dapat mengubah hati Duryodhona, sampai ke lubang mautnya sekalipun. Tidak seorang pun dapat mematahkan semangatnya, sekalipun napas terak-hirnya sudah sampai lehernya. Dengan sombong ia mem-balas kata- kata Krishna, “Bedebah! Sebagai putra mahkota aku setia dan murah hati kepada para sekutuku, yaitu musuh-musuh kalian. Semua kenikmatan duniawi yang diimpikan semua orang dan tak mudah didapat bahkan oleh para raja sekalipun, sudah kucecap sepuas-puasnya. Kini, mati sebagai pahlawan perang adalah kehormatan besar bagiku. Dengan senang hati aku akan segera meng-gabungkan diri dengan saudara-saudaraku dan teman-temanku di surga. Mereka pasti akan gembira menyam-butku.

“Tapi, lihat dirimu. Engkau akan tinggal sendirian di dunia ini. Kau akan kehilangan segalanya, kecuali kutuk dan caci-maki kaum kesatria. Aku tidak marah kepalaku diinjak-injak Bhima, walaupun aku tidak berdaya dan pahaku buntung. Aku tak peduli. Sebentar lagi aku mati dan tubuhku akan menjadi santapan burung- burung bangkai.”

***

Ketika perang hampir selesai, Balarama, kakak Krishna sampai di medan Kurukshetra. Ia masih sempat melihat pertarungan antara Duryodhona dan Bhimasena, dan bagaimana Bhimasena meremukkan paha serta menginjak-injak kepala Duryodhona. Ia sangat marah melihat kesatria Pandawa itu melanggar aturan perang dan tega berbuat keji kepada lawannya yang tak berdaya.

“Hentikan! Kalian tidak
mengindahkan aturan perang! Engkau
menyerang musuhmu di bagian bawah
perut! Engkau menyerang musuh yang
sudah tak berdaya dan tak kuasa melawan! Bhima, tindakanmu sungguh keji dan memalukan,” teriaknya kepada Bhimasena.

Setelah berkata demikian, ia berpaling kepada Krishna, adiknya, “Adikku, engkau melihat tapi membiarkan hal-hal seperti ini terjadi. Aku tidak dapat mengerti. Kalian, yang mengaku berdarah kesatria dan menjunjung dharma, ter-nyata justru melakukan adharma.”

Sambil berkata demikian Balarama maju, wajahnya merah padam. Ia mengangkat senjata lukunya yang perkasa, sama perkasanya dengan senjata cakra milik Krishna. Sendiri ia menghadapi Bhimasena.

Krishna bingung melihat perbuatan kakaknya. Segera ia berlari, menghalang- halangi Balarama yang ingin mendekati Bhimasena. Katanya, “Pandawa adalah kawan dan kerabat kita. Mereka menjadi korban kejahatan dan peng-hinaan Duryodhona yang tak terderitakan. Ketika Draupadi dihina di dalam sasana persidangan dan di depan orang banyak, Bhima bersumpah akan membunuh Duryo-dhana dengan cara demikian dan cara itu sesuai dengan kutuk-pastu Resi Maitreya yang pernah dihina Duryodhona. Setiap orang tahu tentang sumpah Bhima.

“Jangan biarkan kemarahanmu mempengaruhi penilai-anmu dan jangan berlaku tidak adil terhadap Pandawa. Sebelum mengutuk Bhima, seharusnya kaupertimbangkan dulu semua kejahatan yang pernah dilakukan Kurawa terhadap Pandawa. Engkau harus adil. Jangan menilai suatu peristiwa lepas dari hubungannya dengan berbagai peristiwa sebelumnya.

“Jaman kaliyuga tidak akan tiba, kalau jaman-jaman sebelumnya tidak menyebabkan ia tiba. Itu hukum hidup! Bahwa Bhima menghantam Duryodhona di bawah perut, itu tak dapat disalahkan jika kita tahu bagaimana keja-hatan Duryodhona terhadap Pandawa. Duryodhona yang menyuruh Karna menusuk

Abhimanyu dengan tombak dari belakang dan mengeroyok putra kesayangan Arjuna itu serta membunuhnya dengan keji.

“Sejak lahir Duryodhona selalu melakukan kejahatan yang menghancurkan rakyatnya. Membunuh orang sejahat Duryodhona, bukanlah dosa.

“Bhima sendiri telah menjalani hukuman atas kesala­han-kesalahannya. Tiga belas tahun lamanya ia menekan nafsu dan pikiran-pikiran jahatnya. Duryodhona tahu bah-wa Bhima telah bersumpah akan membunuh dirinya de-ngan meremukkan pahanya. Ketika menantang Pandawa, tentu ia sudah memperhitungkannya. Sekarang, pertim­bangkanlah kesalahan apa yang diperbuat Bhima.”

Pandangan Balarama tetap, tidak berubah, walaupun telah mendengar penjelasan Krishna. Tetapi, amarahnya berkurang. Ia menanggapi Krishna dengan berkata, “Duryodhona akan mencapai surga dan tinggal di tempat yang telah disediakan bagi para kesatria yang gagah berani. Kemasyhuran Bhimasena telah ternoda oleh per-buatannya sendiri. Sampai kapan pun, orang akan mem-bicarakan putra Pandu yang merendahkan diri dengan melanggar aturan perang ketika menyerang Duryodhona. Perbuatan itu akan menodai nama baiknya selama- lama­nya.” Setelah berkata demikian, Balarama meninggalkan tempat itu dan kembali ke negerinya.

Sementara itu, Yudhistira sedih melihat tindakan Bhimasena yang keji terhadap sepupunya. Ia tak bisa berkata-kata. Banyaknya pelanggaran aturan perang yang dilakukan kedua pihak membuat Yudhistira sadar bahwa runtuhnya kemegahan bangsa Bharata akan segera terjadi. Ia tahu, betapa banyaknya kejahatan yang dilakukan Kau-rawa terhadap Pandawa. Ia tahu, betapa besarnya dendam yang berkobar di hati Bhimasena. Yudhistira tak bisa menyalahkan Bhimasena karena ia tahu ketulusan hati saudaranya itu. Demikian pula terhadap Duryodhona, sepupunya itu selalu dipengaruhi oleh nafsu iblis dan tak pernah menunjukkan sikap dan perbuatan baik terhadap dirinya yang selaras dengan keturunannya sebagai kesa-tria.

Ketika Krishna bertanya mengapa ia diam saja dan tak membalas kata-kata Balarama, ia menjawab, “Duryodhona sudah kita taklukkan. Apa gunanya memperdebatkan aturan atau undang-undang? Apakah pekerjaan kita hanya menilai kesalahan orang lain yang dilakukan karena dendam kesumat yang tak mengenal batas?”

Arjuna yang sangat cerdas dan memiliki pandangan jauh ke depan tidak berkata-kata. Baginya tidak ada lagi yang harus dikatakan. Membenarkan perbuatan Bhimase-na atau mengutuk Duryodhona tak ada gunanya, walau-pun mereka yang ada di situ menyumpahi perbuatan-per-buatan Duryodhona di masa lampau.

Krishna berkata lagi, “Wahai kaum kesatria, tidak pantas kita merendahkan martabat musuh yang sudah kalah dan sedang menunggu ajalnya. Ia orang bodoh yang memetik buah perbuatannya sendiri. Ia terjerumus karena bergaul dengan manusia-manusia terkutuk dan terseret menuju keruntuhannya sendiri. Mari kita pergi dari sini!”

Sebelum Pandawa meninggalkan tempat itu, Duryodha-na yang terbaring tak berdaya masih sempat menyumpahi Krishna yang ia anggap sebagai sumber kejahatan Pan-dawa. Ia menyumpahi Krishna yang memberi isyarat kepa-da Bhimasena agar meremukkan pahanya dengan pura-pura bercakap-cakap dengan Arjuna.

Duryodhona juga menuduh Krishna telah menyebabkan kematian Bhisma dengan menyuruh Srikandi menghadapi Bhisma. Krishna juga menyebabkan kematian Mahaguru Drona dengan menyuruh Dharmaputra berbohong. Krish-na pula yang menyuruh Arjuna membunuhnya ketika ke-satria itu sedang berjongkok memperbaiki keretanya yang rusak. Krishna juga yang menyebabkan kematian Raja Sindhu dengan menciptakan malam di medan Kurukshetra dan membiarkan Dristadyumna membunuh Drona yang sedang beryoga.

Duryodhona berteriak menyumpahi Krishna, “Bedebah! Dasar anak budak! Bukankah ayahmu budak Kangsa? Engkau tidak pantas berkawan dengan kesatria. Dasar manusia penuh dosa.”

“Wahai Putra Dewi Gandhari, jangan biarkan amarah­mu menyakiti saat-saat terakhirmu. Kejahatan dan kesala-hanmulah yang membuatmu menghadapi maut saat ini. Jangan melemparkan dosamu ke orang lain. Engkaulah biang keladi perang ini. Kematian mereka yang kausebut-sebut itu adalah karena perbuatanmu juga. Mereka men-jadi alat untuk menebus dosamu. Engkau telah membayar semua itu dengan jiwa ragamu. Berbahagialah engkau nanti di surga yang disediakan bagi mereka yang gugur di medan perang,” demikian kata Krishna.

“Krishna, aku akan pergi ke surga menemui saudara­saudaraku dan teman- temanku. Tetapi engkau dan Panda-wa akan tetap tinggal di dunia untuk mengalami penderi-taan. Siapa yang lebih baik, engkau atau aku? Engkau masih hidup dan harus berbela sungkawa atas kematian kawan-kawanmu. Kemenangan yang engkau cari di medan pertempuran tiada lain hanyalah timbunan abu yang me­nutupi mulutmu. Selamat tinggal!”

Demikianlah Duryodhona menghembuskan napasnya yang terakhir setelah sempat memaki-maki dan menyum-pah-nyumpah.

***

Aswatthama mendengar berita tentang pertarungan Duryo-dhana dengan Bhimasena dan tentang remuknya paha Duryodhona karena Bhimasena tidak mengindahkan atu-ran pertarungan satu lawan satu. Ia juga mendengar kisah kematian ayahnya di tangan Pandawa dengan tipu mus-lihat kasar dan pembunuhan keji. Hatinya serasa terbakar dan amarahnya sampai ke ubun-ubun. Segera ia pergi mencari Duryodhona, kalau-kalau putra mahkota itu ma-sih hidup. Ia mendapati Putra Mahkota Kurawa itu masih hidup meskipun luka-luka di tubuhnya sangat parah. Di hadapan Duryodhona, ia bersumpah akan menghabisi Pandawa.

Walau tubuhnya remuk, semangat Duryodhona tetap membaja. Kepada yang ada di dekatnya ia membisikkan agar Aswatthama dilantik menjadi mahasenapati meskipun tidak ada lagi pasukan yang harus dipimpinnya. Kemudian Duryodhona berpesan kepada pemuda itu, “Aswatthama, semua harapanku kuletakkan di pundakmu. Pimpinlah mereka yang masih hidup.”

Kemudian Aswatthama bersama Kripa dan Kritawarma meninggalkan Duryodhona. Mereka menembus hutan keti-ka matahari telah terbenam. Sampai di bawah sebatang pohon beringin rindang, mereka berhenti melepaskan le-lah. Begitu merebahkan badan, Kripa dan Kritawarma langsung tertidur. Tetapi Aswatthama tidak bisa memejamkan mata. Amarah dan dendam kesumat mem-buat sekujur tubuhnya terasa panas.

Malam itu suasana di dalam hutan sepi. Sesekali terdengar derik binatang malam dan kesiur hantu-hantu hutan memecah kesunyian.

Pikiran Aswatthama melayang-layang. Ia mencoba men-cari cara untuk melaksanakan sumpahnya, yaitu memus-nahkan Pandawa. Selagi berpikir-pikir demikian sambil telentang memandang langit, ia melihat beratus-ratus burung gagak tidur nyenyak di dahan-dahan pohon beringin. Sesekali satu-dua burung berisik, berusaha terbang.

Aswatthama memperhatikan dahan-dahan yang berge-rak-gerak. Ia melihat beberapa ekor burung hantu yang dengan galak menyerang gagak-gagak yang tak bisa meli-hat di malam hari. Mula-mula, mereka menyerang dari satu arah. Kemudian menyerang dari kiri dan kanan, membuat burung-burung gagak itu gaduh beterbangan tak tentu arah. Ada yang tertumbuk ke batang pohon beringin, tak terbilang banyaknya yang mati berjatuhan dan menjadi santapan burung-burung hantu itu.

Terpikir oleh Aswatthama bahwa cara burung-burung hantu itu memangsa gagak-gagak yang sedang tidur dapat ditirunya untuk menghabisi Pandawa di waktu malam.

“Kalau Pandawa tega menghabisi nyawa musuhnya yang tak berdaya, apa salahnya kalau kita menyerang mereka di malam hari ketika mereka sedang tidur nye-nyak? Apa salahnya siasat seperti ini? Bukankah Pandawa berhasil mengalahkan Kurawa dengan bermacam-macam siasat curang? Tak ada jalan lain, siasat harus dibalas dengan tipu daya!” demikian pikir Aswatthama.

Kemudian ia membangunkan Kripa dan menyampaikan rencananya untuk menyerang Pandawa di malam hari, ketika mereka sedang tidur nyenyak.

Dengan heran Mahaguru Kripa menjawab, “Cara-cara seperti itu tidak boleh dilakukan! Salah! Semua salah! Kalian membuat dosa besar! Tak pernah terjadi sepanjang sejarah manusia, seseorang diserang ketika sedang tidur nyenyak. Sungguh itu suatu kejahatan yang mengerikan, lebih-lebih jika dilakukan oleh para kesatria. Tidak, Aswat-thama!

“Sadarlah, Aswatthama. Untuk siapa kita berbuat demi-kian? Bukankah hampir semua orang yang kita bela, untuk siapa kita rela mengorbankan jiwa dan raga, telah menemui ajalnya? Kita telah menunaikan tugas kita secara terhormat dan dengan penuh pengabdian. Kita telah ber-tempur mati-matian demi Duryodhona, tetapi kita tidak selalu menang. Bukan salah kita. Lagi pula, perang ini bisa dikatakan sudah selesai. Bertempur tanpa tujuan jelas adalah gila. Baiklah, kita temui saja Dritarastra dan Dewi Gandhari dan kita bersiap untuk menerima perintahnya. Kita minta nasihat Widura, apa yang sebaiknya kita laku­kan.”

Mendengar kata-kata Kripa, hati Aswatthama bertam-bah panas. Ia tidak peduli pendapat orang lain dan menganggap pendapatnya sendiri yang benar. Dia mem-bantah Kripa dengan mengatakan bahwa pihak Pandawa-lah yang sebetulnya berdosa, yang membunuh ayahnya tidak secara kesatria, yang membunuh Duryodhona tanpa mengindahkan aturan pertarungan satu lawan satu.

“Apa yang kukatakan ini benar dan bertujuan mulia, yaitu menunjukkan kesetiaanku kepada ayahku dan raja-ku. Aku harus membalas kematian ayahku. Aku tidak akan mengubah rencanaku. Malam ini juga aku akan berangkat

melaksanakan rencanaku. Akan kuhabisi Pan-dawa dan Dristadyumna ketika mereka sedang tidur nyenyak,” demikian kata Aswatthama dengan berapi-api.

Kripa dan Kritawarma mencoba menyabarkannya de-ngan memberi nasihat, “Aswatthama, kau kesatria yang terhormat dan ternama, di mata kawan maupun lawan. Tingkah laku dan sopan santunmu selama ini menjadi teladan bagi kesatria- kesatria muda. Jika ia membunuh orang yang sedang tidur, kehormatan dan nama baikmu akan rusak.”

Tetapi Aswatthama tidak bisa dihalangi. Ia meng-ingatkan Kripa dan Kritawarma akan kejahatan Pandawa yang telah membunuh ayahnya dan merusak dharma. Katanya, “Dharma apakah yang masih ada dan harus kita ikuti? Jika membunuh lawan ketika lawan sedang tidur nyenyak dianggap tidak melanggar dharma, lalu apa nama-nya pembunuhan kejam terhadap ayahku? Jika karena ini kelak aku harus terlahir kembali sebagai burung pemakan bangkai, aku tidak peduli. Akan kujalani inkarnasi itu dengan senang hati.” Setelah berkata demikian, tanpa me-nunggu jawaban, Aswatthama mempersiapkan keretanya.

“Tunggu dulu, Aswatthama! Kami tidak setuju dengan keputusanmu. Tetapi kami juga tidak bisa membiarkan engkau pergi sendirian. Apa pun yang akan kaulakukan, kami akan menyertaimu. Dosamu adalah dosa kami.” Setelah berkata demikian, Kripa dan Kritawarma menyusul Aswatthama.

Malam itu, ketika bulan mati dan langit kelam, mereka berangkat ke perkemahan Pandawa. Sampai di dekat kemah Dristadyumna, mereka berhenti sesaat, mengamat-amati segala sesuatu di sekitar kemah itu. Suasana sangat sepi. Dengan hati-hati mereka menyelinap ke dalam kemah Dristadyumna yang tampak sedang tidur nyenyak. Aswat-thama melompat ke ranjang kesatria Panchala itu, kemu-dian mencekiknya. Setelah Dristadyumna lemas, ia memu-kul kepalanya dengan benda keras sehingga kakak Drau-padi itu menemui ajalnya. Cara yang sama dilakukannya terhadap semua anak-anak Draupadi, yaitu Pratiwindya, Srutasoma, Srutakriti, Satanika dan Srutakarman.

Tak banyak waktu lagi. Sebelum langit timur menjadi terang, mereka membakar perkemahan Pandawa. Api sege-ra berkobar, menjilat-jilat ke angkasa. Prajurit-prajurit yang terjaga berusaha melarikan diri. Tapi, tak terbilang mereka yang mati terbakar, di dalam maupun di luar per-kemahan karena tak sempat melarikan diri.

“Kita telah lakukan tugas kita sebagaimana mestinya. Marilah kita kembali ke tempat Duryodhona. Siapa tahu ia masih hidup? Mendengar hasil kerja kita malam ini, ia pasti puas.” Aswatthama mengajak Kripa dan Kritawarma cepat-cepat meninggalkan perkemahan itu.

Karena serbuan Aswatthama, seluruh balatentara Pan-dawa musnah, hanya tujuh yang selamat. Di pihak Kau-rawa, hanya ada tiga orang, yaitu Aswatthama, Kripa dan Kritawarma.

Ternyata Duryodhona masih hidup. Setelah mendengar laporan Aswatthama, Duryodhona berkata, “Aswatthama, engkau telah menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan orang lain. Tidak juga kesatria besar seperti Bhisma dan Karna. Engkau telah membesarkan hatiku dan sekarang aku bisa mati dengan bahagia!” Setelah ber-kata demikian, akhirnya Duryodhona menghembuskan napas penghabisan dengan tenang. Air mukanya memba-yangkan kebahagiaan abadi.

***

Tidak dapat dibayangkan betapa sedihnya Yudhistira keti-ka mendengar pasukannya dihabisi musuh di waktu malam. Ketika kemenangan sudah di tangan, tiba-tiba kekalahan harus diterima.

Anak-anak Draupadi yang selama perang berlangsung dapat diselamatkan dari musuh, sampai saat ketika Karna menjadi mahasenapati, tiba-tiba mati tak berdaya bagai anak ayam disergap musang lapar. Pandawa membiarkan diri mereka dihancurkan, seperti kapal dagang yang berla-yar pulang membawa untung besar dari negeri-negeri jauh, tapi tiba-tiba tenggelam di muara sungai di negeri sendiri.

Draupadi tak kuat menanggung dukanya. Ia menangis di dada Dharmaputra.

“Tak adakah yang dapat membalas bela untuk anak­anakku yang tidak berdosa? Ini akibat perbuatan Aswat­thama yang terkutuk!” katanya dengan suara terputus-putus.

Mendengar kata-kata Draupadi, Pandawa segera pergi mencari Aswatthama ke mana-mana. Aswatthama melari-kan diri ke tepi Sungai Gangga dan bersembunyi di dalam kuil pemujaan Bagawan Wyasa. Ketika melihat Pandawa dan Krishna datang mendekat, Aswatthama melemparkan sehelai rumput sambil mengucapkan mantra sakti, “Semo­ga dengan ini bangsa Pandawa musnah dari permukaan bumi.”

Helai rumput itu terbang menuju Dewi Uttari yang se-dang mengandung putra Abhimanyu. Bayi dalam kandu-ngan itu nyaris terbunuh oleh rumput dan mantra Aswat-thama. Untunglah Krishna sempat menyelamatkannya de-ngan mengucapkan mantra yang membuat semua keingi-nan Aswatthama tak terkabul. Kelak, bayi itu lahir selamat dan diberi nama Parikeshit.

Kemudian Aswatthama menanggalkan permata indah kemilau yang menempel di kepalanya, yang merupakan bagian kekuatannya. Ia memberikan permata itu kepada Bhimasena, sebagai tanda pengakuan kekalahannya. Seijin Bhimasena ia pergi ke hutan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan bersamadi.

Bhimasena menyerahkan permata itu kepada Draupadi sambil berkata, “Wahai Putri Pujaan Pandawa, terimalah permata ini. Orang yang membunuh anak-anak kita tercin-ta telah lenyap dari bumi. Duryodhona sudah musnah dan Duhsasana sudah kuisap darahnya. Aku telah membalas bela untuk sanak kerabat kita. Hutangku kepadamu sudah kulunasi.”

Dewi Draupadi menerima pemberian itu, lalu menyerah-kannya kepada Yudhistira sambil berkata, “Raja yang kami muliakan, permata ini cocok sekali untuk disuntingkan pada mahkotamu.”

Demikianlah, perang Bharatayudha di medan Kuruk-shetra berakhir.

~ Article view : [149]