Thursday, June 26, 2025
Hostinger

Bab 06 – Jalan Meditasi [ page 3 ]


Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND

21. Sewaktu ia menemukan kebahagiaan Nan Agung (tak ada taranya)—-kebahagiaan yang dapat terjangkau oleh buddhi (intelektual) tetapi jauh dari indra-indra sekali tercapai tahap ini, maka seseorang tak akan pergi jauh dari kebenaran ini.
22. Dan setelah mendapatkan sesuatu yang begitu besar labanya itu, ia berpikir tak ada hal-hal lain yang lebih menguntungkan dari hal tersebut, dan sekali ia merasa mantap, ia tak tergoyahkan oleh kepedihan yang amat sangat sekalipun.
23. Dan hal itu disebut yoga, yang memutuskan hubungan dengan kedukaan (penderitaan). Yoga ini harus ditekuni sepenuh hati dan tanpa henti-hentinya (dengan hati yang tak tergoyahkan).
Melalui meditasi yang berkesinambungan, pikiran akhirnya akan dapat dikendalikan dan teguh tertanam dalam hadirat Yang Maha Esa semata. Sang yogi yang sudah mencapai tahap seperti ini kemudian tinggal di dunia ini tanpa terpengaruh oleh hal-hal duniawi untuk selama-lamanya. Yang dimilikinya hanyalah satu, yaitu kebahagiaan yang sadar akan ke Maha EsaanNya. Ia tak memerlukan bentuk-bentuk kebahagiaan duniawi lainnya, baginya Yang Maha Esa adalah semuanya. Kebahagian semacam ini sukar dan tak dapat diterangkan atau berada di luar jangkauan indra-indra kita, karena hanya dapat dihubungkan oleh buddhi kita yang telah bersih dan jernih, dan sifatnya ini amat abadi, suci, nyata, dan agung.
Seorang yogi yang telah mencapai kebahagiaan ini akan berpikir bahwa tidak ada keuntungan atau laba yang lebih tinggi nilainya daripada kebahagiaan ini di dunia. Baginya semua bentuk kekayaan duniawi seperti harta, kedudukan, kekuasaan, kehormatan, kebanggaan atau keterkenalan dan lain sebagainya adalah bersifat hanya sementara saja, jauh, tak menentu dan sia-sia saja untuk dipertahankan atau dianggap milik pribadi. Bahkan kebahagiaan di svarga-loka pun dianggapnya tidak ada gunanya sama sekali. Dalam keadaan menderita sekalipun ia tegar seakan batu-karang. Badannya boleh hancur tetapi jiwanya tak tergoyahkan. Halilintar, panas, hujan dan dingin boleh menyentuh dan merusak raganya, tetapi jiwanya tak akan tersentuh sedikitpun. Kehinaan dan penderitaan bisa saja menyerang dirinya tetapi jiwanya tak akan terganggu atau terusik, rasa damai di dalam jiwanya akan berjalan terus, karena yogi ini telah bangkit jauh dari tubuhnya, dari raga duniawinya. Di dunia ini ia dianggap memiliki raga, tetapi sebenamya bagi ia sendiri raga itu telah mati dan bersifat spiritual karena digunakannya untuk tujuan-tujuan bersatu denganNya. Tak ada seorangpun atau kekuatan apapun yang dapat mendominasinya, karena ia telah tegar di dalam Yang Maha Esa dan bekerja di dunia ini dalam kehidupan yang bersifat abadi, yaitu semata-mata untuk Yang Maha Esa.
Keadaan semacam ini — yang disebut kebebasan dari semua penderitaan adalah yoga yang sejati, yang merupakan kesadaran akan Yang Maha Kuasa secara nyata. Tetapi kondisi yoga semacam ini tidak mudah dicapai, harus dilalui dengan praktek-praktek nyata yang tegar dan tanpa mudah putus asa, atau dengan kata lain tanpa henti-hentinya. Seorang pemula biasanya selalu patah-semangat kalau tidak langsung melihat hasil meditasinya, dan setelah beberapa hari, beberapa minggu, atau pun beberapa bulan yang penuh meditasi dan disiplin yang ketat ia tak melihat sesuatu hasil, maka ia akan ragu-ragu dan mulai berpikir: “Derita disiplin ini sudah terlalu banyak bagiku, tak kulihat suatu akhir (hasil) dari usaha-usahaku ini. Aku jadi ragu apakah disiplin ini akan menghasilkan sesuatu?” Dan bisa saja pemula itu patah semangat di tengah jalan. Maka sebaiknyalah meditasi dan disiplin yang ketat dihayati, diyakini dan dicintai, dan jangan sekali-kali ada perasaan kalah untuk seorang pemula, sebab jalannya memang panjang dan harus selalu yakin akan petuah-petuah gurunya bahwa akhir jalan memang menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Untuk itu buktinya adalah sang guru atau orang-orang suci lainnya. Suatu hari lambat atau cepat ia pasti akan mencapai tujuannya, yaitu Yang Maha Esa.
24. Menanggalkan semua nafsu (keinginan-keinginan) yang lahir dari sankalpa  (tekad atau imajinasi yang penuh dengan keserakahan), mengendalikan semua indra-indranya dari semua segi dengan pikirannya;
25. Sedikit demi sedikit, ia mencapai ketenangan dengan bantuan buddhinya yang dikendalikan oleh ketegarannya dan memusatkan pikirannya pada Jati Dirinya, janganlah ia berpikiran hal-hal yang lainnya.
Dalam dua sloka di atas terlihat intisari ajaran Sang Kreshna mengenai Sadhana (disiplin) untuk yoga ini:
a. Menanggalkan semua bentuk nafsu dan keinginan, karena semua ini lahir dari sankalpa dan membuat atau pikiran tidak tenang. Dengan menanggalkan nafsu-nafsu ini, kita diajak untuk bertenang-diri.
b. Pengendalian atau penghentian keinginan-keinginan indra adalah tahap yang berikutnya. Dengan tekad kita, maka pikiran kita harus dicoba untuk menguasai indra-indra kita dari setiap sisi dan sudut.
c. Dan setelah gelombang-gelombang nafsu atau keinginan kita sudah mereda, maka dengan bantuan buddhi kendalikan lagi gelombang-gelombang ini dengan ketegaran intelektual kita. Dengan kata lain belajar untuk menghilangkan rasa takut. Karena mereka yang telah berhasil mengendalikan indra-indra mereka akan diserang oleh rasa takut seperti “pikiranku terkendali, dapatkah aku berpikir dengan baik sekarang?”; “indra-indraku terkendali, dapat kah aku bekerja atau berfungsi dengan baik?”; dan lain sebagainya. Semua rasa takut itu akan hilang kalau seorang guru yang baik dan bijaksana ada di sisi anda dan selalu memberikan semangat, wejangan dan berkahnya tanpa bosan-bosannya. Dan di atas semua guru-guru di dunia ini siapa lagi yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui kalau bukan Sang Atman, Sang Adhi Guru sendiri yang bersemayam dalam diri kita ini.
d. Pikiran kita (mana) harus selalu bersandar pada Sang Atman. Jangan lupa bahwa obyek meditasi adalah Yang Maha Esa, dan sekali duduk bermeditasi kendalikan pikiran-pikiran yang selalu terbang ke obyek-obyek yang lain. Tariklah pikiran yang lari ini ke obyek utama yang semula, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Caranya jadikanlah pikiran itu bersifat menerima dengan sadar kehadiran Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita, dan disiplin ini penting sekali untuk tujuan spiritual. Sekalipun telah tercapai stabilitas dalam pikiran kita bisa saja, pikiran ini melayang lagi ke arah yang lainnya, jadi selalulah berlatih tanpa bosan dan henti, dan dedikasi dan iman yang kuat. Kuasailah sang pikiran ini dan bawalah ia kembali ke jalan Yang Maha Esa, inilah seninya meditasi.
e. Seorang yogi harus bertindak seperti seorang polisi, dan sang pikiran diibaratkan seperti seorang pelarian. Maka, pekerjaan seorang polisi haruslah selalu mengejar para pelarian ini dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar, dan sudah tugas seorang polisi untuk dengan tanpa bosan-bosannya bekerja seumur hidup menangkap para pelarian ini. Ketekunan semacam ini disebut abhyasa dan merupakan suatu tindakan yang amat positif dalam meditasi. Tangkaplah selalu pikiran-pikiranmu dan giringlah mereka ini ke jalan yang satu itu, yaitu jalan ke Jati Diri kita sendiri (Sang Atman). Dengan kata lain abhyasa berarti, “giringlah kembali pikiran itu dari pengembaraannya dan tunjukkanlah jalan ke Sang Atman.”
Abhyasa ini seharusnya dilakukan setiap hari, dan bukan soal satu atau dua jam meditasi yang penting saja, tetapi kesadaran dan pengendalian diri yang dicapai dalam meditasi ini seharusnya terlaksana juga sepanjang hari dalam segala tindak-tanduk kita seharian itu, bahkan pada waktu tidur sekalipun. Jagalah baik-baik dan kendalikan diri dan pikiran kita, sehari-hari sama seperti waktu kita mengendalikan pikiran kita sewaktu bermeditasi. Jangan sampai kontrol diri kita lepas, karena lima menit saja kita marah atau kehilangan kesabaran karena sesuatu hal, maka sia-sialah satu atau dua jam meditasi kita. Jadi siaga dan siaplah selalu; dengan penuh ketekunan dan dedikasi sadarlah bahwa meditasi itu ibarat sebuah gunung yang tinggi dan penuh dengan tanjakan dan halangan-halangan yang berat dan ibarat sebuah pendakian maka jalan itu masih jauh dan puncaknya sukar untuk ditaklukkan. Tetapi seseorang yang penuh dengan dedikasi dan iman pasti akan mencapainya, karena hukum alam (kosmos) akan berlaku di dalam dunia spiritual ini, yang selalu mendorong usaha seseorang ke tujuanNya, sekali hal itu telah ditetapkan oleh yang bersangkutan. Tak ada usaha yang sia-sia kalau dilakukan demi Yang Maha Kuasa, percayalah dan yakinlah akan hal ini! Yang diperlukan adalah kesabaran yang penuh dengan iman dan dedikasi!
26. Semakin sering pikiran yang tidak stabil dan gemar mengembara ini lari jauh, semakin sering jugalah seseorang seharusnya menahan dan menariknya kembali ke arah Jati Dirinya (Sang Atman).
Tentu saja usaha menarik kembali pikiran kita yang gemar lari kesana-kemari mencari obyek-obyek indranya adalah usaha yang amat sulit dan memerlukan tekad yang amat kuat. Sering sekali seseorang merasa amat letih dan sia-sia saja dan febih baik menyerah saja. Dan sedikit saja kita lengah dan kalah sang pikiran ini sudah mengatur siasat baru dan bingunglah orang yang sedang berusaha ini. Dan pada saat itulah kita harus berteriak minta tolong pada Sang Adhi Guru, Sang Atman agar dikaruniakan rahmat dan karuniaNya, dan dengan jalan ini seseorang ini akan kembali lagi ke arah dhyana-yoga.
27. Kebahagiaan yang tertinggi (suci dan agung) datang pada seorang yogi yang pikirannya damai, yang nafsu-nafsunya tenang, dan yang telah lepas dari dosa dan telah bersatu dengan Yang Maha Esa.
28. Yogi semacam ini, yang selalu harmonis dengan dirinya, telah menjauhi dosa, dengan mudah ia merasakan Rahmat dan Karunia abadi yang dihasilkan oleh hubungannya dengan llahi (Yang Maha Abadi).
Berbahagialah seorang yogi yang telah mencapai tahap ini, setelah bergulat dengan hidup ini selama bertahun-tahun, bahkan mungkin melalui berbagai kehidupan di masa-masa yang silam, kemudian ia menyatu dengan Yang Maha Esa pada suatu hari; dan Bhagavat Gita menyebut hal ini dengan nama brahma-samsparsham, yaitu kontak dengan llahi. Baginya Tuhan itu bukan suatu hal yang tak nampak dan abstrak, tetapi baginya tuhan itu adalah suatu kontak yang nyata dan itu berarti sang yogi telah sampai ke suatu titik di mana waktu sudah tidak berarti lagi. Sinar llahi telah mekar di dalam dirinya, dan jiwanya telah menyatu dengan kenikmatan llahi yang tiada taranya. Di dalam agama Islam salah satu nama Yang Maha Kuasa adalah Azh Zhaahir (Yang Maha Nyata), di dalam keterangan di bawah nama tersebut kami temukan catatan seperti berikut: “Allah SWT Nyata Kebenaran, Perbuatan dan Ada-Nya bagi orang-orang yang berakal yang mau merenungkan ciptaan-ciptaanNya.”
29. Dirinya telah harmonis dalam yoga, ia melihat satu Jati Diri bersemayam dalam semua makhluk dan semua makhluk dalam satu Jati Diri, di mana pun ia melihat yang sama (Satu Jati Diri yang ada dan hadir semenjak masa silam).
Ada tiga faktor utama dalam evolusi manusia yang sedang menuju ke arah jalan spiritual:
a. Sewaktu seseorang mulai berhasrat memasuki hal-hal kebatinan dan mulai menyelami dirinya sendiri. Dan setelah beberapa waktu kemudian ia sadar akan hadirnya Sang Atman yang berdiri dan abadi sifatnya.
b. Dalam tahap kedua ini orang tersebut sadar bahwa Sang Atman tidak saja hadir dalam dirinya sendiri, tetapi juga bersemayam secara sama rata pada makhluk-makhluk lainnya sama halnya seperti dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain ia sadar bahwa Sang Atman (Yang Maha Esa atau Sang Kreshna) hadir di mana saja dan kapan saja.
c. Seperti disebut di sloka 29 di atas, maka orang ini sadar bahwa Yang Maha Esa itu adalah Inti dari setiap makhluk dan benda di alam semesta ini. Dengan kata lain Yang Maha Esa (Sang Atman dalam hal ini) hadir dalam setiap jiwa dan benda dan semua itu sebaliknya juga hadir dan ada di dalam Yang Maha Esa.
Tahap kesadaran ini kalau dicapai seseorang secara benar dan tulus, maka ibaratnya adalah seperti baru saja sadar dari suatu mimpi. la tiba-tiba sadar bahwa matahari, rembulan, planet bumi, bintang-bintang, siang dan malam, waktu, langit, udara, indra-indra, buddhi, dan lain sebagainya, hanyalah hasil pekerjaan Yang Maha Pencipta. Hanya ialah satu-satuNya Yang Menguasai dan Mengendalikan semua ini sesuai kehendakNya, dariNya dan untukNya semata.
Seseorang yang telah sadar ini akan selalu mendoakan kesejahteraan orang lain dan ia selalu berhasrat untuk membahagiakan orang lain seperti kebahagiaan yang ia dapatkan dari Yang Maha Kuasa untuk dirinya sendiri. Seorang yang berorientasi pada hal-hal keduniawian selalu memuaskan indra-indranya. Berbeda dengan ini, maka seseorang yang telah mencapai samadhrishti (kesadaran) ini sadar bahwa kebahagiaannya tak mungkin tercapai dengan penderitaan pada orang lain.
Tetapi mengapa ajaran Bhagavat Gita yang sederhana ini sukar untuk diikuti atau dipraktekkan? Karena umumnya kita manusia selalu menganut prinsip bahwa “semua ini milikku,” dan tak mau menganut prinsip bahwa “semua ini bukan milikku” dan bahwa “Satu adalah semua ini dan semua ini adalah Satu.” Dengan membeda-bedakan antara “milikku” dan “milik orang lain,” maka Arjuna pun masuk dan terhunjam ke    . depresi yang maha dahsyat, begitupun kita manusia ini dalam hidup kita sehari-hari. Dan selama hidup kita masih terombang-arnbing tanpa kendali, selama itu pula manusia akan merupakan sumber tragedi bagi dirinya sendiri dan juga lingkungannya. Dan untuk menyembuhkan penyakit ini Bhagavat Gita mengajarkan “kekanglah pikiranmu, kendalikanlah pikiranmu, stabilkanlah pikiranmu, pusatkanlah pikiranmu pada Sang Atman! Sadarlah dan lihatlah Sang Atman yang hadir pada setiap makhluk!” Obat dari penyakit manusia ini di mana saja adalah sama, yaitu samadrishti (kesadaran).
30. Seseorang yang melihatKu di mana pun juga dan melihat setiap hal dalam DiriKu, maka orang itu tak pernah hilang dari DiriKu dan Aku tak pernah hilang darinya.
Bagi seorang yang telah sadar, setiap makhluk baginya adalah baju atau manifestasi yang beraneka-ragam dari Yang Maha Esa itu sendiri. Semuanya di alam semesta ini tanpa kecuali adalah la dan kebesaranNya semata. Sang yogi ini tak sekejappun akan kehilangan kontak dengan DiriNya, ia selalu dituntun olehNya. Yang Maha Kuasa tak akan hilang sekejapun dari pandangan, perasaan, pikiran Sang Yogi ini. la adalah selalu hadir di dalam dirinya setiap saat, setiap detik. Begitulah besar kasih-sayang Tuhan kepada diri kita ini sebenarnya, dan semua kebutuhan kita dicukupiNya dengan caraNya sendiri, tanpa perlu kita memintanya lagi. Om Tat Sat.

~ Article view : [630]

Related Articles


Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND
- Advertisement -

Latest Articles