17. Ketiga tapa (di atas) ini disebut sattvik, seandainya dilaksanakan dengan iman yang tinggi oleh mereka-mereka yang stabil pikirannya dan tanpa mengharapkan pamrih.
18. Tapa-tapa yang dilakukan demi peragaan atau pertunjukan yang penuh dengan rasa kesombongan agar mendapatkan rasa hormat, kemasyhuran dan agar dipuja orang, disebut sebagai tapa-rajasik, tapa ini tidak stabil dan hanya sementara sifatnya.
19. Tapa-tapa yang mengakibatkan penyiksaan pada diri-sendiri atau pada orang (dan makhluk lainnya), yang dilaksanakan oleh mereka yang pikirannya telah tersesat disebut sebagai tapa tamasik.
Tapa atau disiplin diri secara sattvik adalah kendali-raga, wicara dan pikiran dengan penuh iman dan tanpa keserakahan. Sedangkan tapa yang bersifat rajasik mengarah pada rasa-hormat dan kemasyhuran dan bermotifkan sesuatu, jadi tidak tulus dan selalu mengharapkan imbalan. Tapa tamasik bahkan merusak diri atau orang dan makhluk lain. Disiplin yang amat keras dan fanatik, yang merusak diri sendiri tidak dianjurkan karena sebenarnya secara spiritual malahan tidak spiritual sama sekali dan tidak mengarah kepada pembebasan (mukti) dan Yang Maha Esa. Memang disiplin semacam ini dapat menghasilkan kekuatan-kekuatan gaib tertentu baik secara ragawi maupun secara batin, tetapi semua kekuatan-kekuatan ini sebenarnya adalah hambatan-hambatan yang besar ke arah jalan spiritual yang sejati dan penerangan Ilahi tidak akan turun karenanya. Sebaliknya yang timbul akibat kesaktian-kesaktian ini adalah rasa sombong dan ego yang baru sifatnya. Jadi supaya tidak sia-sia jalan spiritual kita, dianjurkan untuk secara sederhana saja memuja Yang Maha Esa; dan kekuatan gaib yang datang sendiri karena karuniaNya saja yang boleh dipergunakan untuk tujuan-tujuan manusiawi dan demi Yang Maha Esa tanpa pamrih.
Puasa yang berkepanjangan dan menyiksa diri, kemudian praktek-praktek atau ritus-ritus yang merusak tubuh, yang menyiksa tubuh, tidak pernah dianjurkan oleh guru-guru maupun ajaran-ajaran suci di dunia ini. Lebih baik melakukan suatu disiplin diri yang tidak terlalu keras dan bersifat kejam, tetapi tidak juga yang santai-santai sifatnya. Yang dianjurkan dengan disiplin ini adalah pengendalian dan nafsu-nafsu kita yang kalau tidak diajarkan yang baik akan selalu bergentayangan ke arah obyek-obyek sensual. Semua disiplin ini juga sebenarnya mengajarkan kita untuk membersihkan dan menguatkan diri dan jiwa kita, guna menghadapi semua cobaan hidup sehari-hari, semua suka dan duka, semua kesenangan dan kesusahan, kenikmatan dan penderitaan secara stabil. Bukankah hidup kita sehari-hari tidak lain dan tidak bukan ibarat ujian-ujian yang berat saja. Semua itu bisa dihadapi secara stabil dan teguh, jika kita terbiasa akan disiplin diri ini. Setiap tindakan disiplin diri yang sejati seharusnya menghasilkan suatu tekad yang kuat dalam berbagai tindakan dan pemikiran kita, menghasilkan suatu rasa kasih-sayang yang positif terhadap semua makhluk dan sesama kita yang menderita, menjauhkan kita dari rasa ego, rasa marah, dan keinginan-keinginan pribadi kita yang selalu tak pernah kunjung habis.
Suatu tapa yang baik dan sejati akan menghasilkan seseorang yang tegar imannya, yang aktif bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa tanpa pamrih, yang aktif menolong siapa saja tanpa pamrih, yang aktif berekreasi dan berolah-raga secara sehat, yang berkewajiban penuh kepada semua kewajiban-kewajibannya di lingkungannya, di negaranya dan tempat-tempat yang berhubungan dengan orang itu sendiri, terutama kewajibannya kepada Yang Maha Esa. tapa yang sejati menghasilkan sesuatu yang amat besar nilainya secara spiritual dan kejiwaan bagi seseorang yang melakukannya secara sejati. Sukar dilukiskan ketenangan orang semacam ini, sukar dikatakan akan kekuatan jiwanya, karena ketegaran dan kepasrahannya pada Yang Maha Esa akan menghapus semua rasa takutnya pada apapun juga di dunia ini selain Yang Maha Esa. Kalau ada yang ingin anda salibkan atau kuburkan sebelum kita ini binasa, maka saliblah atau kuburkanlah pikiran dan jiwa anda yang penuh polusi, agar jauh dari kekotoran-kekotoran duniawi. Dengan jiwa dan pikiran yang terkendali, bersih dan murni akan dihasilkan raga perbuatan yang bersih, suci, murni dan bebas dari polusi duniawi. Jauhilah unsur-unsur kenikmatan yang berlebihan dan juga unsur-unsur yang memancing kenikmatan-kenikmatan ini, kendalikan diri, pergunakan semua fasilitas yang diberikan olehNya secukupnya saja sesuai kebutuhan kita, dan jangan sekali-kali menghamburkan tenaga, pikiran dan fasilitas anda pada semua yang berbau duniawi ini. Kibarkanlah panji-panji kebajikan mulai dari diri kita sendiri, dan bertapa atau berdisiplin dirilah secara sejati dan murni, inilah penyaliban atau penguburan diri kita yang sejati.
Kita pun harus belajar untuk menjadi miskin dalam hidup ini, bukan berarti lalu setiap orang mengubah dirinya menjadi peminta-minta, tetapi baik penampilan dan kehidupan sehari-hari diubah sederhana. Pola hidup sederhana jangan hanya dijadikan semboyan pemanis bibir saja, tetapi harus dilaksanakan secara lahir dan batin, dimulai sebaiknya semenjak dini. Dan ini adalah tanggung-jawab orang-orang tua sebenarnya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Seandainya anda seorang yang hartawan, mulailah berdisiplin diri dengan tinggal di sebuah rumah yang sederhana saja tetapi baik dan sehat lingkungannya, berpakaian dan makan secara sederhana saja tetapi sehat dan penuh gizi, dan bersifat makanan sattvik, karena yang penting adalah berpikir dan bertindak sattvik. Seharusnya kita menyadari bahwa manusia ini sebenarnya amat miskin, karena sewaktu lahir kita dikirim ke dunia ini dalam keadaan telanjang-bulat dan sewaktu mati nanti apa yang akan kita bawa serta? Semua ini hanya pinjaman dan ilusi saja, sebenarnya hanya penunjang saja untuk kehidupan kita, lalu untuk apa serba mewah dan gemerlapan, kalau yang terpakai hanya sekedar saja dan sisanya dalam jumlah yang besar hanya sebagai dekor dan penghias belaka? Sewaktu berlebihan inilah kita belajar hidup sederhana, agar di kemudian hari sewaktu mengembalikan semua ini kita sudah siap sedia sama seperti kita datang ke dunia ini.
Intisari dari semua tapa dan disiplin diri spiritual ini ialah: Disiplin dan kendalikan diri anda sebegitu rupa agar anda jauh dari rasa memiliki, rasa ego, dan rasa pamrih. Hanya Yang Maha Esa saja yang seharusnya tampil sebagai tujuan kita bekerja, dan hanya Ia saja terpikir senantiasa dalam jiwa sanubari kita, kosongkanlah, sekosong-kosongnya jiwa dan pikiran kita dari semuanya yang berbau duniawi. Kalau sudah kosong secara sejati, maka Yang Maha Esa akan mengisinya!
20. Pemberian yang diberikan, terdorong oleh rasa kewajiban, kepada seseorang tanpa mengharapkan sesuatu kembali, dan diberikan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat dan kepada orang yang membutuhkannya –pemberian ini disebut sattvik (bersih).
21. Bila suatu pemberian diberikan dengan itikad mendapatkan sesuatu imbalan atau dengan harapan bahwa di kemudian hari akan ada balasannya, atau diberikan secara tidak ikhlas – pemberian ini disebut rajasik (bersifat mementingkan diri sendiri).
22. Pemberian yang diberikan pada tempat dan waktu yang salah atau kepada orang yang tak pantas menerimanya, atau diberikan tanpa rasa hormat atau dengan diiringi caci-maki — pemberian ini disebut tamasik (gelap).
Terdapat tiga jenis pemberian dana atau perbuatan amal yang jelas diperinci di atas, yang masing-masing didasarkan pada sifat-sifat seseorang. Seperti kata Nabi Muhammad SAW, maka sebenarnya memberikan dana atau perbuatan amal itu lebih ditegaskan pada itikadnya, contoh: memberikan air pada seorang musafir yang kehausan adalah dana, membersihkan batu atau benda-benda tajam dari jalan agar orang lain tidak tersandung dan tertusuk adalah dana, tersenyum memberi semangat pada seseorang yang kesukaran adalah dana. Menggali sumur, menyediakan tempat minum, membangun jalan, membangun tempat ibadah dan menanam pepohonan demi kebutuhan masyarakat dan melestarikan alam adalah dana. Bukankah sebenarnya dengan kata lain pemberian dana atau perbuatan amal itu adalah kekayaan seorang manusia yang sebenarnya. Pemberian tidak selalu identik dengan uang, tanpa uangpun seseorang dapat memberi tanpa habis-habisnya dan itulah kekayaan kita yang sejati. Sadarkah kita akan hal ini? Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sewaktu seseorang meninggal dunia, orang-orang bertanya harta-benda apa saja yang telah ditinggalkannya, tetapi para malaikat bertanya amal-perbuatan baik apa saja yang telah dilakukannya sebelum ia meninggal dunia? Pemberian yang ikhlas dan tanpa pamrih adalah kekayaan sejati, seperti kata sebuah pepatah: “Hanya orang kaya yang dapat memberikan tanpa merasakan kehabisan, yang miskin hanya dapat menerima saja tanpa memberi kembali!” Seseorang disebut miskin kalau sudah menerima apa adanya masih saja merasa kurang dan meminta terus, dan hal ini berlaku untuk orang-orang yang merasa kaya-raya tetapi selalu haus akan harta-benda, kedudukan dan hal-hal duniawi lainnya. Sebaliknya seorang petani yang miskin secara duniawi mungkin adalah orang yang amat kaya, karena setiap harinya ia bersyukur ke hadirat Yang Maha Esa untuk semua yang didapatkannya hari itu. Kalau saja semua ini dapat dihayati oleh semua insan di dunia ini, damai sentosalah kita semuanya.
Dana atau amal adalah perbuatan yang amat mulia sifatnya, yang dianjurkan oleh semua agama di dunia ini, karena dengan jalan ini lahirlah rasa simpati yang dalam dari hati nurani kita kepada makhluk-makhluk ciptaan Yang Maha Esa yang lainnya seperti sesama manusia, fauna, flora, makhluk-makhluk halus dan lain sebagainya. Dana atau amal yang sejati menciptakan kedamaian, kebahagiaan, membuat hidup ini berarti bagi sesamanya. Perbuatan dana atau amal adalah salah satu kreasi Yang Amat Indah dan Penuh Makna, ciptaan Yang Maha Esa. Memberikan dana adalah ibarat menanam pohon yang cabang-cabangnya menjulang tinggi langit tanpa habis-habisnya. Memberikan tanpa pamrih adalah inti dari kebahagiaan sejati atau berkah dari Yang Maha Esa sesungguhnya.
Lihatlah Ibu Theresia, pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian dari India, yang telah menolong jutaan manusia hina-papah di India dan di bagian-bagian lain di dunia tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun juga. Memulai usahanya tanpa uang sepeserpun dan hanya berbekal iman pada Tuhan Yang Maha Esa ia masih dapat menolong ribuan manusia setiap harinya. Ibu Theresia inilah lambang dari Yang Maha Esa sesungguhnya dalam bentuk manusia di muka bumi ini, yaitu memberi tanpa pernah merasa akan kehabisan, dan tetap saja Ibu yang suci ini berkata, “Tuhan belum memberikan aku suatu kesuksesan, la hanya telah membuatku beriman.” Om Tat Sat.
~ Article view : [159]