7. Sebenarnya mengesampingkan pekerjaan-pekerjaan yang sudah seharusnya itu, adalah tidak benar. Memasrahkan dengan cara tersebut karena kebodohan, disebut bersifat tamasik (gelap).
Pekerjaan atau perbuatan yang sudah seharusnya menjadi kewajiban seseorang dan merupakan keharusan sehari-hari (tertera jelas dalam pustaka-pustaka Hindu), tidak boleh dikesampingkan dengan alasan apapun juga. Berbuat demikian menandakan kebodohan yang amat dalam dari si pelaku tersebut. Begitupun tindakan seperti dana, tapa dan yagna, berulang-ulang ditekankan agar tidak diabaikan, karena merupakan penyucian dari jiwa dan raga kita.
Tyaga sendiri terbagi dalam tiga sifat, yaitu tamasik, rajasik dan sattvik. Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik di mana lepas sudah bahkan itikad akan hasil atau buah dari tyaga itu sendiri. Sedangkan dalam sifat tyaga yang tamasik terlihat jelas dominasi dari keterikatan (moha), ilusi, kebodohan, kegelapan dan hasrat untuk mendapatkan imbalan-imbalan tertentu baik secara spiritual maupun duniawi. Tyaga semacam ini disebut gelap sifatnya. Misalnya: seorang pria meninggalkan semua pekerjaannya atau kewajiban rumah-tangganya demi seorang wanita atau demi menuntut suatu kesaktian tertentu untuk tujuan duniawi, ini disebut cinta-duniawi yang menyesatkan dan bukan tyaga pemasrahan total.
8. Seseorang yang tidak mau bertindak sesuatu karena merasa tindakan itu menyusahkannya atau khawatir akan menjadi derita untuk fisiknya, disebut melakukan tyaga bersifat rajasik. Dan tyaga semacam ini tidak akan menghasilkan keuntungan apapun juga.
Tyaga bersifat rajasik tidak akan menghasilkan mukti (pembebasan) karena seorang yang melakukan tyaga ini hanya melakukannya demi menjauhi derita, tantangan hidup dan kesusahan atau kerja keras.
9. Seseorang yang melakukan sesuatu tindakan seperti yang telah diwajibkan, oh Arjuna, karena harus dilakukannya, tanpa keterikatan dan pamrih — tyaga semacam itu dipandang sebagai bersifat sattvik (bersih).
Tyaga yang sejati adalah yang bersifat sattvik, yaitu tyaga yang tanpa keterikatan, hasil atau buah. Pekerjaan yang dilakukan ini sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan anjuran dan kaidah-kaidah yang tertulis di buku-buku suci. Dan semua kewajiban ini dilaksanakan sebagai kewajiban semata tanpa mencari atau mengharapkan sesuatu keuntungan, imbalan dan rasa egoisme.
10. Seseorang bijaksana yang telah diliputi oleh sifat-sifat sattva (kesucian), yang keragu-raguannya telah terbuang jauh — seseorang yang pasrah semacam ini tidak membenci sesuatu tindakan yang tidak menyenangkan, juga tidak terikat pada suatu tindakan yang menyenangkan.
Seorang tyagi (pelaksana tyaga) yang telah pasrah total kepada Yang Maha Esa, yang telah menyerahkan diri dan semua tindakan-tindakannya sekecil apapun perbuatan atau tindakan tersebut kepadaNya dan telah mencari dan mendapatkan perlindunganNya, tak akan pernah ragu-ragu dalam bertindak apapun juga. Baik itu tindakan nikmat dan memberikan kepuasan dan kesenangan ataukah tindakan itu memberikan rasa derita, kegagalan atau kedukaan, baginya sama saja sifatnya. Baginya yang wajib adalah bekerja, dan semua emosi, hasil atau efek dari pekerjaan itu tidak penting sifatnya karena ia sadar bahwa ia tidak menghasilkan atau memberikan suatu efek kepada setiap tindakannya, melainkan semua itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, dan terjadilah kehendakNya sesuai dengan keinginanNya, ia hanya alat dan sebuah alat hanya berkewajiban untuk bekerja sewaktu dipergunakanNya dan tidak berhak untuk memprotes majikan yang mempergunakannya ataupun menilai hasil kerja dari alat itu sendiri. Semuanya terserah kepadaNya. Baginya nikmat dan derita sama saja rasanya, saling mengisi malahan, dan semua itu diterimanya dengan sama rata dan tanpa banyak mengeluh. Jadi dengan kata lain, Sang Kreshna Yang Maha Pengasih sedang mengajarkan Arjuna dan kita semua agar menerima dan memainkan peranan kita masing-masing di dunia ini secara setia dan penuh semangat. Jangan berduka atau bersuka baik dalam kegagalan maupun dalam kesuksesan. Pasrahkan semuanya kepada Yang Maha Esa!” Karena hanya kehendakNya saja yang akan terlaksana, bukankah kita tidak tahu mengapa kita dilahirkan di dunia ini, dan sekali kita lahir dan tumbuh, lalu mengapa harus kita yang mengatur hidup ini, mengapa tidak dikembalikan semua skenario kehidupan ini kepada Sang Sutradaranya sendiri. Camkanlah pesan ini dan jadilah sebuah alat yang baik atau seorang pemain sandiwara kehidupan ini yang baik dan penuh dedikasi.
Seseorang yang bekerja sesuai dengan kewajibannya sadar bahwa suatu kewajiban yang dilaksanakan tanpa pamrih akan menuntunnya ke arah penerangan Ilahi, ke arah pembebasan dari ikatan dan derita duniawi. Seseorang yang secara sejati bekerja tanpa pamrih tidak akan pernah mau mengkhayal mengharapkan sedikit pun akan penerangan Ilahi, semua pekerjaan ia lakukan secara tulus dan penuh dengan tekad, yaitu dengan pemikiran terjadilah kehendakNya semata, dan pekerjaan adalah hukum alam di dunia ini bagi semuanya, sebagai misi yang diembannya dari Yang Maha Esa. Itulah kaidah atau hukum spiritual ini — yakinlah akan Yang Maha Esa dan semua kehendakNya. Tyaga yang sejati berarti bekerja tanpa pamrih, bukan tidak bekerja sama sekali.
11. Sebenarnya, tidak mungkin bagi seseorang makhluk yang memiliki raga untuk tidak bekerja secara total. Sebenarnya, seseorang yang memasrahkan hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatannya — disebut sebagai seorang tyagi.
12. Tidak nikmat, nikmat dan perpaduan keduanya – ketiga sifat ini adalah hasil dari setiap perbuatan yang akan didapati setelah meninggalkan dunia ini, bagi mereka-mereka yang tidak menyerahkan perbuatannya. Tetapi bagi mereka-mereka yang telah menyerahkan hasil perbuatannya, tak ada semua itu.
Seorang tyagi yang sejati adalah seseorang yang tidak mengabaikan pekerjaannnya, tetapi hasil atau buah dari pekerjaannya. Dan di sloka di atas ini Sang Kreshna menyinggung soal hasil atau buah perbuatan seorang sanyasin, yaitu sesorang yang telah memasrahkan secara total dan tanpa pamrih seluruh efek dari perbuatan-perbuatan dan kewajibannya. Bagi orang semacam ini, menurut Sang Kreshna tak akan menghasilkan suatu efek atau buah (karma), karena perbuatan-perbuatannya telah menyatu dengan kehendakNya. Di Bhagavat Gita sering kita jumpai istilah-istilah seperti tyaga dan sanyasa, tyagi dan sanyasin, yang kesemuanya ini sebenarnya adalah istilah-istilah alternatif yang dipergunakan oleh Sang Kreshna dalam mengajar Bhagavat Gita. Sang Kreshna pada prinsipnya tidak menganjurkan seseorang agar melepaskan atau mengabaikan pekerjaannya. la hanya menganjurkan agar terjadi peralihan dari semua kamya-karma (pekerjaan yang bermotivasi sesuatu) ke nishkama (yaitu pekerjaan tanpa pamrih).
Seseorang yang tidak mempunyai motif-motif duniawi untuk setiap pekerjaannya adalah ibarat sebuah pohon yang lebat di tepi sebuah sungai (tempat yang subur). Buah pohon ini pergi ke orang-orang yang membutuhkannya. Sedangkan orang ini sendiri tidak perlu ke mana-mana lagi, karena ia sudah tegar dalam kewajibannya dan telah menyatu dengan Yang Maha Esa.
13. Pelajarilah dariKu, oh Arjuna, lima unsur penyebab, penyelesaian semua tindakan, seperti yang telah disabdakan dalam doktrin Sankhya.
14. Tempat bersemayam semua tindakan (raga ini), Sang Jiwa (Karta) berbagai organ tubuh (karanam), berbagai ragam usaha (cheshta) dan yang kelima, yaitu takdir (daivam).
Di sloka ini Sang Kreshna mulai menerangkan tentang lima penyebab atau unsur atau kondisi dari setiap tindakan sampai selesai atau (akhir dari tindakan/perbuatan tersebut). Yang pertama adalah adhishthanam, yaitu raga atau badan kita yang merupakan tempat bersemayam (rumah-tinggal) Sang Jiwa dan berbagai keinginan kita. Yang pertama ini adalah raga duniawi atau jasad kasar kita. Yang kedua disebut karta atau sang agen. Siapakah Sang Agen? Tidak lain dan tidak bukan adalah sang jiwa kita, personalitas dalam raga ini, sang raja ego. Bergabung dengan Sang Prakriti, Sang Jiwa ini pun lupa pada bentuknya yang Asal dan Asli, yaitu Atma-Svanipa, dan dalam keangkuhan rasa egoisme ia pun lain berkata “aku,” “akulah yang memiliki ini dan itu,” “akulah yang berbuat,” dan lain sebagainya. Dalam mencapai kebebasan jiwa kita, maka rasa ego ini harus dilepaskan agar tersingkaplah yang asli ini. Yang ketiga disebut karanam atau instrumen/alat. Alat-alat ini adalah kesepuluh indra-indra, pikiran, rasa intelek, dan ahankara kita. Yang keempat adalah cheshta, yaitu usaha, fungsi prana atau energi-vital atau nafas dalam raga kita. Yang kelima disebut daivam, takdir, sesuatu yang tak terjangkau oleh manusia itu sendiri, pada hal ini yang menentukan dan menjadi jalan hidup kita sebenarnya; yang menghasilkan setiap usaha dan efeknya yang berhubungan dengan usaha atau perbuatan tersebut masing-masing. Daivam atau takdir ini adalah yang mengatur semua tindak-tanduk kita.
Kelima unsur penting ini adalah kelima instrumen yang menjadi penyebab dari semua tindakan kita baik yang positif maupun yang negatif, baik atau buruk, dalam perjalanan hidup kita.
15. Apapun tindakan yang diambil seseorang melalui raganya, kata-kata dan pikirannya, baik yang benar maupun yang salah – kelima unsur inilah penyebabnya.
16. Dengan begitu, seseorang yang salah pengertiannya, yang karena tidak terlatih kesadarannya, memandang dirinya sebagai satu-satunya pelaku (setiap perbuatannya) — sebenarnya orang-orang ini tidak melihat!
Seseorang yang berpikir sebagai pelaku tunggal dari setiap tindakannya adalah seorang yang egois, yang pandir dan terlalu buta untuk menyadari atau melihat suatu kenyataan Ilahi. Orang semacam ini disebut sebagai seorang yang gagal melihat hal yang sebenarnya.
17. Seseorang yang bebas dari itikad, egoisme, yang pengertian (intelektualnya) tidak tertutup, walaupun ia membunuh orang-orang ini, ia tidak membunuh, atau terikat (oleh perbuatan-perbuatannya).
Arjuna boleh saja membantai para Kaurawa (Kurawa = bahasa Jawa), dan selama ia berbuat itu bukan karena ego pribadinya, tetapi melainkan karena kewajibannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, maka selama itu juga segala perbuatannya tidak akan mengikat dia dan di mata Sang Kreshna (Yang Maha Esa), ia bukan seorang pembunuh tetapi hanya sebuah alat dariNya belaka, tidak lebih dan tidak kurang.
Seseorang yang telah berada di atas kesadaran bahwa “akulah yang sebenarnya berbuat,” dan telah sadar akan Sang Atman, Sang Jati Diri, dan yang telah dapat mengatasi pikiran-pikiran perbuatannya, maka orang ini tidak dapat dipuji atau dihukum untuk setiap perbuatan-perbuatannya. Tetapi jangan sekali-kali menyalah gunakan sloka ini, karena bagi yang rasa ego, atau fanatismenya (fanatisme juga adalah suatu bentuk ego yang ekstrim!) masih tinggi, atau yang masih kurang kesadarannya, maka penghayatan yang salah akan berakibat amat fatal bagi sesamanya. Lalu bagaimanakah cara yang terbaik untuk memahami sloka ini? Bhagavat Gita menekankan bahwa ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam bertindak atau berbuat sesuatu, yaitu kebebasan dari rasa egoisme dan kesadaran yang tidak ternoda! Camkanlah hal ini secara sejati dan dengan hati-nurani yang bersih dan murni berdasarkan ratio atau intelektual anda sebelum bertindak sesuatu seperti yang dianjurkan di sloka ini. Mereka yang telah secara total berlindung di dalam Yang Maha Esa dan pasrah dengan segala kehendakNya, yang telah melewati rasa dualisme yang bertentangan, akan tahu secara sadar (sejati) akan makna dan perbuatan yang tertulis di sloka ini!
~ Article view : [417]