Balipost – Rabu, 29 April 2009
Batin Khrisna atau Duryodana?
SETIAP orang Bali yang semahyang ke pura tahu, setelah selesai sembahyang kemudian diperciki tirta (air suci), tatkala siap-siap meninggalkan tempat sembahyang semua mengucapkan kata shanti (damai) tiga kali. Sebuah pertanda sederhana, berkah spiritual yang kita bawa dari pura ke kehidupan keseharian adalah batin yang damai.
Sekaligus memberikan cahaya bimbingan, ketika manusia Bali mau memutuskan hal-hal yang penting (apalagi yang sangat penting seperti rencana tata ruang Pulau Bali ke depan), seyogianya dibimbing oleh batin yang damai. Adu argumentasi memang tidak bertentangan dengan batin yang shanti, sejauh dilakukan untuk saling menginspirasi, bukan untuk saling menyakiti.
Keharmonisan antara alam material dan alam spiritual adalah sebuah warisan tetua Bali yang berkontribusi tinggi terhadap Bali seperti yang kita warisi. Menyadari itu, sebelum melangkah mendalam di tataran ruang-ruang material, mungkin bijaksana bila kita mendalami ruang-ruang spiritual orang Bali.
Boleh saja orang lain di tempat lain menggunakan pendekatan lain, namun warisan spiritual Bali mengajarkan barometer utama dalam melihat tata ruang spiritual adalah parama shanti. Seberapa damai kita dalam keseharian.
Orang boleh menggunakan pendekatan berbeda, namun dalam pandangan spiritual, di tempat atau putaran waktu di mana keserakahan, kemarahan, iri hati, kebencian menjadi kekuatan yang mengalahkan segalanya, di sana parama shanti menjadi barang langka. Lebih dari itu, dalam kekeruhan keserakahan dan kebencian, setiap langkah semakin mendekatkan manusia pada musibah.
Bercermin dari sinilah, mungkin pembahasan tentang tata ruang akan lebih bersih sekaligus jernih bila dilakukan secara pelan sekaligus perlahan. Serupa dengan tirta yang lagi keruh karena berisi bunga, beras, dll. hanya bila diletakkan dalam ketenangan beberapa waktu ia bisa kembali bersih sekaligus jernih. Memaksa buru-buru hanya akan memperpanjang kekeruhan.
Entah bagaimana tetua Bali di tempat lain mengajarkan generasi penerusnya. Di Desa Tajun, Bali Utara ada tetua yang mengajarkan konsep luan-teben (hulu-hilir). Di hulu (luan) diletakkan semua kesucian, di hilir (teben) ditempatkan hal-hal yang jauh dari kesucian. Namun, apapun sebutan kepada ruang-ruang di hilir, ia senantiasa ditempatkan dalam kerangka Bhur Bvah Svah (semuanya bagian dari tubuh Tuhan yang sama). Kaki memang di bawah, kepala memang di atas. Namun tanpa kaki, kepala sangat terhambat kegiatannya.
Kendati demikian, kepala dan kaki memiliki penutup (pelindung) yang berbeda. Kaki penutupnya sepatu. Kepala penutupnya destar. Meletakkan sepatu di kepala, atau destar di kaki akan mudah menjadi awal kekacauan kosmik (cosmic disorder).
Kekacauan kosmik seperti inilah yang layak diendapkan dalam-dalam ketika kita harus menata ulang tata ruang. Di wilayah hulu (bila kita sepakat menggunakan pegunungan di tengah Pulau Bali sebagai acuan kaja), akan bagus sekali bila diputuskan radius di mana semua bentuk kegiatan pariwisata ditiadakan, hunian manusia dibatasi. Bilamana perlu pepohonan tua pun dilarang untuk ditebang.
Namun, karena ini akan memberikan disinsentif merugikan kepada warga dan pemilik tanah yang hidup di sana, mungkin layak memberikan insentif agar tidak terjadi penolakan. Misalnya, memberikan mereka bibit-bibit secara gratis, harga pupuk yang lebih murah, sekaligus fasilitas memprioritaskan menampung hasil pertanian mereka di hotel-hotel di Bali.
Pantai sebagai wilayah hilir memang tidak selalu diletakkan sebagai teben, terutama karena banyak pura suci yang ada di sana. Ini juga serupa. Segera disepakati secara jernih wilayah jangkauan kesucian pura, sehingga tatanan kosmik terjadi baik. Pola insentif (sebagaimana wilayah di pegunungan) juga layak dipertimbangkan.
Oleh karena tanda-tanda kekacauan kosmik sudah terlihat jelas dan transparan (angka bunuh diri, perceraian, bom teroris, perkelahian dalam merenovasi pura, sulitnya membuat para elite bersatu, bahkan dalam upacara pun kedamaian sulit ditemukan), makanya saatnya diperlukan ketegasan sikap para pihak terkait, agar tata ruang dikembalikan ke posisi sebagaimana kita terima dari tetua Bali.
Keadaannya serupa dengan Krishna yang harus turun bertempur menemani Arjuna. Dalam bagian yang amat kritis, Krishna bahkan memerintahkan Bima memukul kaki Duryodana.
Kembali ke cerita parama shanti, bagi pekerja, damai berarti keadaan tersedianya pekerjaan. Di mata pertapa, damai adalah buah dari welas asih kita pada semua makhluk. Untuk penyembah (bakta), damai adalah keadaan batin yang sujud dan penuh bakti. Dan bagi elite, yang lahir di waktu ketika kekacauan kosmik terjadi di mana-mana, shanti adalah keberanian untuk mengembalikan tatanan ke bentuk aslinya sebagai Bhur Bvah Svah. Yang di bawah kembalikan ke bawah, yang di tengah kembalikan ke tengah, yang di atas kembalikan ke atas.
Tidak mudah menilai ketulusan, keikhlasan seseorang, namun beberapa tahun dari sekarang, melalui kualitas shanti Pulau Bali akan kelihatan apakah elite-elite Bali yang merancang tata ruang sekarang ini batinnya lebih dekat dengan batin Krishna atau malah dekat dengan batin Duryodana? Gde Prama, – warga Desa Tajun Bali Utara.
~ Article view : [180]