Tingkatan ilmu Leak di Bali
Ilmu leak ini bisa dipelajari dari lontar-lontar yang memuat serangkaian ilmu pengeleakan, antara lain; “Cabraberag, Sampian Emas, Tangting Mas, Jung Biru”. Lontar – lontar tersebut ditulis pada zaman Erlangga, yaitu pada masa Calonarang masih hidup.
Pada Jaman Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada abab ke 16, saat I Gede Basur masih hidup yaitu pernah menulis buku lontar Pengeleakan dua buah yaitu “Lontar Durga Bhairawi” dan “Lontar Ratuning Kawisesan”. Lontar ini memuat tentang tehnik-tehnik Ngereh Leak Desti.
Selain itu lontar yang bisa dipakai refrensi diantaranya; “Lontar Tantra Bhairawa, Kanda Pat dan Siwa Tantra”.
Leak mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak.
- Leak barak (brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api.
- Leak bulan,
- leak pemamoran,
- Leak bunga,
- leak sari,
- leak cemeng rangdu,
- leak siwa klakah.
Leak siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.
Di samping itu, ada tingkatan yang mungkin digolongkan tingkat tinggi seperti :
- Calon Arang
- Pengiwa Mpu Beradah
- Surya Gading
- Brahma Kaya
- I Wangkas Candi api
- Garuda Mas
- Ratna Pajajaran
- I Sewer Mas
- Baligodawa
- Surya Mas
- Sanghyang Aji Rimrim.
dalam gegelaran Sanghyang Aji Rimrim, memang dikatakan segala Leak kabeh anembah maring Sang Hyang Aji Rimrim, Aji Rimrim juga berbentuk Rerajahan. Bila dirajah pada kayu Sentigi dapat dipakai penjaga (pengijeng) pekarangan dan rumah, palanya sarwa bhuta-bhuti muang sarwa Leak kabeh jerih.
Disamping itu, ada sumber yang mengatakan ilmu leak mempunyai tingkatan. Tingkatan leak paling tinggi menjadi bade (menara pengusung jenasah), di bawahnya menjadi garuda, dan lebih bawah lagi binatang-binatang lain, seperti monyet, anjing ayam putih, kambing, babi betina dan lain-lain. selain itu juga dikenal nama I Pudak Setegal (yang terkenal cantik dan bau harumnya), I Garuda Bulu Emas, I Jaka Punggul dan I Pitik Bengil (anak ayam yang dalam keadaan basah kuyup).
Dari sekian macam ilmu Pengleakan, ada beberapa yang sering disebut seperti
Bajra Kalika yang mempunyai sisya sebanyak seratus orang,
Aras Ijomaya yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang. Di antaranya adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Suda Mala, Pudak Setegal, Belegod Dawa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran, Sampaian Emas, Kebo Komala, I Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, dan I Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya empat ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog. Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara keseluruhan apabila dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.
Di lain pihak ada pula disebutkan bermacam-macam ilmu pengLeakan seperti :
Aji Calon Arang, Ageni Worocana, Brahma Maya Murti, Cambra Berag, Desti Angker, Kereb Akasa, Geni Sabuana, Gringsing Wayang, I Tumpang Wredha, Maduri Geges, Pudak Setegal, Pengiwa Swanda, Pangenduh, Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah Pertiwi, Penyusup Bayu, Pasupati Rencanam, Rambut Sepetik, Rudra Murti , Ratna Geni Sudamala, Ratu Sumedang, Siwa Wijaya, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Weda Sulambang Geni, keputusan Rejuna, Keputusan Ibangkung buang, Keputusan tungtung tangis, keputusan Kreta Kunda wijaya, Keputusan Sanghyang Dharma, Sang Hyang Sumedang, Sang Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Sang Hyang Aji Kretket, Sang Hyang Siwer Mas, Sang Hyang Sara Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui tingkatannya yang mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah.
Hanya mereka yang mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.
Tingkatan Leak pun sebenarnya sangat banyak. Namun karena suatu kerahasiaan yang tinggi, jadinya tidak banyak orang yang mengetahui. Mungkin hanya sebagian kecil saja dari nama-nama tingkatan tersebut sering terdengar, karena semua ini adalah sangat rahasia. Dan tingkatan-tingkatan yang disampaikan pun kadangkala antara satu perguruan dengan perguruan yang lainnya berbeda. Demikian pula dengan penamaan dari masing-masing tingkatan ada suatu perbedaan. Namun sekali lagi, semuanya tidak jelas betul, karena sifatnya sangat rahasia, karena memang begitulah hukumnya.
Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.
Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam. Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi.
Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri). Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri.
Pengwia banyak menggunakan rajah-rajah ( tulisan mistik) juga dia pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan “dijamin tidak bisa dirontgen dan di lab” dan yang paling canggih adalah cetik ( racun mistik). Dan aliran ini bertentangan dengan pengeleakan, apabila perang beginilah bunyi mantranya, “ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan ………..”
Yang paling canggih adalah cetik (racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Apabila perang, beginilah bunyi mantranya; ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni………..…
Ilmu Leak ini sampai saat ini masih berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di Bali dan apabila ingin menyaksikan leak ngendih datanglah pada hari Kajeng Kliwon Enjitan di Kuburan pada saat tengah malam.
Source :Â Â www.cakepane.blogspot.com/2010/07/tingkatan-ilmu-leak-di-bali.html
Dalam prakteknya di masyarakat ciri-ciri Pangeleyakan bersumber dari perilaku manusia, yang disebut dengan Balian Pangiwa dan Balian Panengen, seperti dijelaskan oleh Nala (2002:114). Balian panengen adalah Balian yang tujuannya untuk mengobati orang yang sakit sehingga menjadi sembuh. Balian Pangiwa bertujuan bukan untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi membuat orang yang sehat menjadi sakit dan yang sakit menjadi bertambah sakit, bahkan sampai meninggal. Balian atau dukun jenis ini sangat sulit untuk dilacak, pekerjaannya sudah penuh rahasia, terlalu tertutup dan misteri. Tidak sembarang orang yang datang dapat dipenuhi keinginannya untuk membencanai musuh atau orang yang dibenci. Jadi dukun/balian inilah yang melakukan berbagai cara untuk membuat korbannya sakit dengan mempelajari ilmu pengeliyakan, desti, pepasangan, sasirep, bebahi dan lainnya.
Pengeliyakan adalah, adalah sosok tubuh manusia yang tampak seperti bhuta atau binatang. Desti adalah, suatu kekuatan gaib yang dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit. Biasanya mempergunakan benda-benda yang berasal dari orang yang akan dibencanai yang akan dikenai penyakit. Pepasangan adalah, benda yang diisi kekuatan gaib atau magis, serta ditanam di dalam tahanh atau disembunyikan secara rahasia ditempat tertentu untuk membendanai seseorang. Benda tersebut dapat berupa tulang, taring binatang, gigi binatang, daun lontar yang telah dirajah, rambut kain yang telah diisi tulisan dan lainnya. Bebai atau Bebahi adalah; penyakit yang dibuat dari raga janin dan Kanda Pat, (empat saudara yang dapat dikirim masuk kedalam tubuh seseorang yang ingin membencanai sehingga jatuh sakit. (Nala, 2002:177-186).
Yang terdapat dalam lontar Aji Pengeliyakan milik Griya Sangket Karangasem salinan (I Nengah Widana,1995), dan terjemahan I Nyoman Neraka (2008). Lontar tersebut scara garis besarnya, menguraikan tentang:
1). Pasuryan Pangiwa, segala ilmu (pengeliyakan) dapat dicapai dengan terlebih dahulu memusatkan pikiran, beryoga.
2). Gni Sambawana, atau disebut juga pangwa sari. Ini (pengeleyakan) yang paling utama
3). Cambra Berag, ini sangat sakti, karena bersumber dari sebagain kecil Hyang Aji sarswati sebagai batasannya.
4). Rabut Sapetik, ini dapat digunakan membuat orang menjadi gagu semua yang bersuara.
5). Maduri Reges, ini merupakan leyak campuran dari beberapa agama; guna Makasar, guna Jawa, guna Bali, guna leyak putih dari Mekah.
6). Pangiwa Utamaning Dadi, supaya menjadi Butha Dengen (yang membuat bulu kuduk merinding).
7). Rerajahan ring Papetek (sabuk), untuk membersihkan diri, artinya tidak semua pangiwa itu negatif (lihat aksara IV. Dan V).
8). Panugrahan pangiwa, memohon panugrahan kepada Yang Nini Bhatari Gangga, untuk menghidupkan pngiwa yang ada ditengah mata.
9). Tata cara pengiwa untuk orang perempuan, untuk menggabungkan agar Bhtara Brahma, Wisnu dan Iswara berkumpul menjadi Bhatara Kala, agar kesaktiannya tidak terkalahkan.
10). Pengeliyakan Uwig, agar menjadi Bhuta Baliga (lihat aksara VIII dan IX). Pangiwa Swanda, ini adalah ratunya pangiwa.
11). Brahma Maya Murti, agar nampak seperti Hyang Brahma Murti, bertangan delapan ribu berbadan sembilan ribu, berkaki 1000 (alaksa), tangangan memamajang, dan memakai anting-anting bintang di langit.
12). Ni Calon Narang, dapat berubah wujud sampai seribu kali.
13). Rata Gni Sudha Mala, (tanpa penjelasan).
Jadi seperti apa yang diuraiakan di atas, ternayata tidak ada ciri khusus yang menyatakan tentang pengeliyakan, karena ini bersifat rahasia dan harus dirahasikan. Tetapi untuk megetahui, secara samar-samar dapat dipahami melalui cerita bali Kuno tentang: I Dongding, yang menceiterakan Balian Baik dan Balian Jahat.
Biasanya pada jaman Bali Kuna, ketika ingin menidurkan anak atau cucunya, diawali dengan cerita. Ceritanya seperti dibawah ini.
I Dongding, adalah anak pertamanya Men Dongding. Dongding yang sudah berumur 10 tahun, dan ketika itu ibunya sedang hamil tua. Ayahnya adalah seorang petani. Ketika ayahnya sedang bekerja disawah, maka Ibu Dongding perut mendadak sakit. Maka dipanggilah anaknya, yang bernama I Donding. ”Dongding-Dongding, mai ja malu, kesini sebentar”. Maka datanglah I Donding dekat ibunya, ibunya berkata; ”perut ibu sedang sakit tolong carikan ibu Balian untuk membantu kelahiran. Cari balian yang rumahnya beratap Ijuk adalah Balian Baik, dan jangan cari Balian yang rumahnya bertap Alang-Alang dia adalah balian Jahat. Sebab Balian tersebut rumahnya berdampingan, jangan sampai salah ya nak!, demikian ibunya menuyuruh. Maka I Donding datang kerumah Jero Balian, tetapi setalah sampai didepan rumah Balian ia lupa. Rumah atap Alang-alang apa Ijuk? Tetapi akhirnya dalam kebingungan I Donding memilih yang bertap alang-alang. Kemudian Donding mengetuk pintu, sdambil berkata: ”Jro Balian… Jro Balian….Jro Balian” Jro Balian menyapa, ”nyen to kauk-kauk?” siapa itu memanggil-magil. ”Tiang cucun Dadonge I Donding!”, ketika melihat wajah Nenek Renta Tua, yang berwajah Cinging, berpakian poleng hitam putih kumat. I Donding merasa dirinya salah mencari Balian, dan bulu kuduknya meriding. ”Men kenken cening tumben ngalih dadong mai? (kenapa kamu tumben kesini.) Demikian kata Jro Balian Nenek Renta tersebut, kemudian I Donding menjelaskan, ”Dadong orahina nulungin mementiange sedeng beling gede” (Dadong diseruh membatu melahirkan ibu saya). ”Ya… kalau begitu dimana rumahmu?. Disitu didekat bale Banjar, tiga rumah keutara. Nenek tidak tahu jaklannya, silahkan kamu menangkat ayam Nenek yang berwana merah, dan cabut bulunya sebagai petunjuk jalan.
Ringkas cerita, setelah sampai dirumah dan kebetulan juga Bapaknya sudah datang dari sawah, maka I Dongding mengatakan sudah mencari Balian yang rumahnya beratap Alang-alang. Ibu dan Bapaknya kaget, ibunya berkata; ”bah… Donding-dongding…. sing buwungan suba meme jani mati. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, I Dongding disuruh menyapu bulu ayam sudah dtebarkan tadi, setelah itu mereka membagi tugas. Ibu-nya Donding bersembunyi dibwah ketungan, (tempat menumbuk padi. Ayah dan I Donding bersembunyi di Menten (Balu Utara), kemudian di pintu dapur dipasang talenenan (tempatt memotong daging) dan di Gebeh (tempat air) ditaruh ular.
Kemudian dengan jalan yang tersiok-siok akhirnya ia datang kerumahnya Dongding, dan memanggil-mangil tidak ada yang menjawab. Akhirnya dia duduk di atas ketungunan, sambil mencari kutu dirambutnya. Setiap kutu yang diperoleh di pencat dan bersuara ”Klepit”, kemudian Ibu Donding duduk dibawah ketungan, dia tertawa. Akhirnya dia ketahuan oleh Jro Balian yang Cingimg. ”Ye… memen Dongding dini mengkeb, mai-mai tulunga melahirkan”, (Hai….Ibu Dongding disini ngumpet, mari-mari aku tolong untuk melahirkan). Ibu Dongding dengan rasa takut, akhirnya keluar dari temat persembunyian. Dengan sigap Jro Balian, dengan rambut gimbal yang tak teurus membantu melahirkan. Begitu lahir bayi yang dikandung, langsung digendong dan dibelai-belai sambil tertawa.
Durga Taweng
Tanpa berkata panjang lebar akhirnya anak dan Ibu-nya Donding dimakan bersama satu persatu, dan sisa tulangnya dibiarkan disamping ketungan. Karena perut yang kenyang, kemudian dia kedapur mencari air. Baru dibuka pintunya, kepalanya di bentur oleh talenan, kemudian baru dibuka tempat airnya, dia dipatuk oleh ular. Akhirnya Jro Balian, meningal karena di patuk ular. Kemudian I Donding dan Bapaknya keluar dari Bale Meten, sambil membawa celurit dan Alu. Ketika itu mereka berdua melihat seekor anjing, datang dari timur laut sambil melangkahi tulang belulang Ibu dan anak yang baru lahir tersebut. Akhirnya mereka dapat hidup kembali, seperti sedia kala.
Dari cerita di atas dapt dilihat ciri-ciri, orang yang mempelajari Ilmu pengeliyakan adalah: 1). Berpakian kumat, artinya pakiannya jarang dicuci dalam keseharian hidupnya, 2). Berwajah Cinging, artinya suka mengganggu atau aji Wegig, 3). Rambut gimbal, artinya jarang berkeramas, 4). Menggunakan ayam merah (biying), artinya memuja Dewa Brahma, dalam ajaran yang disebarkan melalui emosional yang sering disebut Dewi Durga, 5). Bersuara klipit, artinya memiliki banya kutu besar-besar, akibat rambutnya tidak pernah dicuci. Pada umumnya penbgeliyakan adalah seperti di atas, tapi tidak semua ciri-ciri ini tidak berlaku semua pengeliyakan, karena banyaknya jenis-jenis pengeliyakan, seperti disebutkan di atas bahwa Ni Calonarang dapat berubah wujud sampai 1000 kali, artinya paling tidak ada 1000 ciri, dan setiap perubahan minimal ada 5 ciri (ww).
Source : Â www.unhi.ac.id
Ilmu leak ini ada tingkatan – tingkatannya yaitu :
- Ilmu Leak Tingkat Bawah yaitu orang yang bisa ngeleak tersebut bisa merubah wujudnya menjadi binatang seperti monyet, anjing, ayam putih, kambing, babi betina (bangkung) dan lain – lain.
- Ilmu Leak Tingkat Menengah yaitu orang yang bisa ngeleak pada tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Burung Garuda bisa terbang tinggi, paruh dan cakarnya berbisa, matanya bisa keluar api, juga bisa berubah wujud menjadi Jaka Tungul atau pohon enau tanpa daun yang batangnya bisa mengeluarkan api dan bau busuk yang beracun.
- Ilmu Leak Tingkat Tinggi yaitu orang yang bisa ngeleak tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Bade yaitu berupa menara pengusungan jenasah bertingkat dua puluh satu atau tumpang selikur dalam bahasa Bali dan seluruh tubuh menara tersebut berisi api yang menjalar – jalar sehingga apa saja yang kena sasarannya bisa hangus menjadi abu.
Ilmu Pengleakan Bali sangat menakutkan, dan itu baru SEBAGIAN dari apa yang tertulis dalam kitab calonarang. Bayangkan kalau seluruh ilmu sihir yang ada dalam kitab calonarang ditemukan ….
Kisah Calon Arang
Di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Airlangga yaitu didesa Girah ada sebuah Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Sihir yang dipimpin oleh seorang janda yang bernama Ibu Calonarang (nama julukan dari Dayu Datu).
Murid – muridnya semua perempuan dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah tergolong tingkat senior antara lain : Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, Nyi Sedaksa.
Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putri yang bernama Diah Ratna Mengali, berparas cantik jelita, tetapi putrinya tidak ada satupun pemuda yang melamarnya.
Karena Diah Ratna Mangali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada hukum keturunan yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu, begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah satu muridnya yang paling dipercaya oleh Ibu Calonarang.
Mendengar pengaduan tersebut, tampak nafas Ibu Calonarang mulai meningkat, pandangan matanya berubah seolah-olah menahan panas hatinya yang membara. Pengaduan tersebut telah membakar darah Ibu Calonarang dan mendidih, terasa muncrat dan tumpah ke otak. Penampilannya yang tadinya tenang, dingin dan sejuk, seketika berubah menjadi panas, gelisah. Kalau diibaratkan Sang Hyang Wisnu berubah menjadi Sang Hyang Brahma, air berubah menjadi api. Tak kuasa Ibu Calonarang menahan amarahnya. Tak kuat tubuhnya yang sudah tua tersebut menahan gempuran fitnah yang telah ditebar oleh masyarakat Kerajaan Kediri.
Ibu Calonarang sangat sedih bercampur berang, sedih karena khawatir putrinya bakal jadi perawan tua, itu berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula menggendong cucu, berang karena putrinya dituduh bisa ngeleak.
Ibu Calonarang berkata kepada Nyi Larung : “Hai Nyi Larung, penghinaan ini bagaikan air kencing dan kotoran ke wajah dan kepalaku. Aku akan membalas semua ini, rakyat Kediri akan hancur lebur, dan luluh lantak dalam sekejap. Semua orang-orangnya akan mati mendadak. Laki-laki, perempuan, tua muda, semuanya akan menanggung akibat dari fitnah dan penghinaan ini. Kalau tidak tercapai apa yang aku katakan ini, maka lebih baik aku mati, percuma jadi manusia. Kalau Ibu Calonarang ini tidak melakukan balas dendam maka hati ini tidak akan merasa tentram”.
Demikian kata-kata Ibu Calonarang yang sangat mengerikan kalau seandainya hal ini menjadi kenyataan. Nyi Larung kemudian menyahut dan bertanya “Kalau demikian niat Guru, bagaimana kita bisa melakukan hal tersebut”. segera dijawab oleh Ibu Calonarang. “Kau Nyi Larung, ketahuilah, jangan terlalu khawatir akan segala kemampuanku. Aku Ibu Calonarang bukanlah orang sembarangan dan murahan. Kalau tidak yakin dengan diri, maka aku tidak akan sesumbar begitu. Biar mereka tersebut merasakan akibat dari segala perbuatan yang telah mereka lakukan terhadap anakku
Kau Nyi Larung, Ibu minta agar kau mengumpulkan semua murid-muridku supaya segera masuk ke Pasraman Pengeleakan. “Tunggu sampai tengah malam nanti. Aku akan menurunkan segala ilmu kewisesan yang aku miliki kepada kalian semua. Karena sekarang hari masih terang dan sore, lebih baik engkau semua melakukan pekerjaan seperti biasanya. Aku akan mempersiapkan segala sesuatunya. Nanti malam kita akan berkumpul lagi membicarakan masalah tersebut, dan ingat tidak ada yang boleh tahu mengenai apa yang kita akan lakukan ini, kita akan membuat Kerajaan Kediri gerubung yaitu berupa serangan wabah penyakit yang sulit diobati yang dapat mematikan rakyatnya dalam waktu singkat. Demikian Ibu Calonarang menutup pembicaraannya pada sore hari tersebut, dan semua kembali melakukan kegiatan sebagaimana mestinya.
Source : Â www.primbondonit.blogspot.com
~ Article view : [2572]