Saturday, May 17, 2025
Hostinger

San Pek Eng Tay


Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND
PRAKATA
PENERBITAN seri buku sastra negeri-negeri yang
dinamakan secara tidak tepat dengan julukan Dunia
Ketiga (itulah kebiasaan manusia yang buruk, cenderung
mengotak-ngotakkan manusia dan bangsa-bangsa, dan
bukannya melihat bangsa-bangsa dunia adalah menyatu
dalam satu-umat manusia) telah lama kami pikirkan dan
rencanakan di Yayasan Obor Indonesia.
Bangsa-bangsa yang sedang berkembang di dunia
sedikit banyak berada dalam situasi yang sama, dan
menghadapi pengalaman-pengalaman dan berbagai
tantangan yang juga di antaranya ada yang sama. Mereka
sebagian terbesar adalah bekas negeri jajahan kekuasaan
asing. Masyarakat mereka juga berada di taraf transisi,
perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern dengan segala masalah dan keperihannya. Di
banyak negeri demikian kedudukan wanita mengalami
perubahan-perubahan mendasar, yang tidak saja
berpengaruh terhadap wanita sendiri, tetapi juga pada
pihak lelaki. Demikian pula banyak nilai tradisional
mengalami perubahan, yang sering merupakan
pengalaman traumatik terhadap banyak orang.
Pembangunan ekonomi sendiri mendorong berbagai
perubahan di banyak bidang penghidupan dan nilai-nilai
perorangan dan masyarakat.
Adalah penting artinya dan amat menarik bagi kita di
Indonesia, yang juga dalam proses yang sama, untuk
membaca pengalaman manusia di berbagai negeri lain
yang sedang berkembang. Bagaimana reaksi dan jawaban
mereka terhadap dampak dari berbagai hal baru yang
berkembang dalam masyarakat mereka? Bagaimana
mereka dapat mengatasi atau menyelesaikan masalahmasalah
kemanusiaan dan masyarakat yang timbul?
Perubahan-perubahan nilai yang terjadi?
Sastra yang baik selalu merupakan cermin sebuah
masyarakat. Sastra memang bukan tulisan sejarah dan
juga tidak dapat dijadikan sumber penulisan sejarah. Akan
tetapi sastrawan yang baik akan selalu berhasil
melukiskan dan mencerminkan zaman dan
masyarakatnya, serta manusia anggota masyarakatnya.
Sastrawan yang baik akan dapat menampilkan
pengalaman manusia dalam situasi dan kondisi yang
berlaku dalam masyarakatnya.
Membaca karya-karya sastra dari negeri yang sedang
berkembang ini, kita di Indonesia, pasti akan menemukan
banyak persamaan, meskipun tentu juga akan
diketemukan berbagai reaksi dan jawaban yang berbeda,
akibat dari latar belakang sejarah, kondisi dan situasi
masyarakat, nilai-nilai masyarakat maupun perorangan,
agama, dan sebagainya yang saling berbeda.
Akan tetapi jika kita membuka pikiran dan hati kita
membaca seri sastra dari negeri ini, maka kita akan
mendapat pengalaman yang kaya sekali, pengalaman
manusia yang hanya dapat kita timba dari sastra, dan
yang tidak mungkin kita dapat dari buku-buku sejarah
maupun penelitian masyarakat. Mungkin saja pengalaman
itu dapat membawa kita pada pengertian yang lebih jelas
dan jernih tentang apa yang terjadi dengan kita dalam
masyarakat kita di Indonesia ini.
Penerbit
Yayasan Obor Indonesia
KATA PENGANTAR
ASA
TRAGEDI terbesar San Pek Eng Tay bukanlah tragedi
percintaan antara San Pek dan Eng Tay, melainkan tragedi
pemutarbalikan citranya, dari romantika emansipasi
seorang perempuan menjadi kisah percintaan yang tragis,
atau kisah pasangan abadi, atau kisah perempuan yang
setia semata-mata.
San Pek Eng Tay adalah cerita rakyat dari Tiongkok
yang mengisahkan suatu episode kehidupan seorang
pemudi intelektual bernama Ciok Eng Tay (disingkat, Eng
Tay) dan seorang pemuda terpelajar bernama Nio San Pek
(disingkat, San Pek) yang hidup di abad ke-4 Masehi.
Seperti lazimnya cerita-cerita rakyat, kisah ini adalah
anonim dan mempunyai beberapa versi.
Versi yang umum kenal adalah yang menampilkan citra
yang telah terbalik itu. Sebagaimana anggapan umum dan
saya juga, ia melukiskan hubungan percintaan antara Eng
Tay dan San Pek yang berakhir dengan kematian mereka
yang sangat menyedihkan. Ringkasan ceritanya adalah
sebagai berikut. Eng Tay, yang menyamar sebagai seorang
lelaki agar dapat bersekolah di rantau, ternyata jatuh cinta
pada San Pek, teman sekolah dan bahkan teman
sekamarnya di asrama. San Pek yang pada mulanya
menyayangi Eng Tay sebagai adik angkatnya yang
dikenalnya sebagai seorang lelaki, membalas cinta Eng Tay
ketika mengetahui bahwa Eng Tay sebenarnyalah seorang
perempuan. Tetapi perjalanan cinta mereka tak dapat
berlanjut hingga perkawinan karena orang tua Eng Tay
telah menjodohkan anaknya itu dengan Ma Bun Cay, putra
seorang pembesar yang kaya-raya, dan memaksakan
perkawinan itu. San Pek pun patah-hati, jatuh sakit, lalu
mati. Namun Eng Tay menolak perkawinan tersebut dan
tetap setia pada San Pek. Maka dalam perjalanan menuju
rumah mempelai lelaki (Ma Bun Cay), Eng Tay menziarahi
kuburan San Pek. Di tengah-tengah ratap tangis dan
pernyataan kesetiaan Eng Tay di hadapan kuburan San
Pek, terjadilah keajaiban, kuburan itu merekah. Dan tanpa
tedeng aling-aling lagi Eng Tay terjun ke dalamnya
menyusul sang kekasih. Belakangan dari kuburan mereka
sering beterbangan sepasang kupu-kupu.
Demikianlah, citra kisah San Pek Eng Tay, yang
tertanam pada banyak orang dan juga pada diri saya
adalah kisah percintaan yang tragis, atau kisah pasangan
yang abadi, atau kisah seorang perempuan yang setia.
Sehingga pada mulanya, ketika OKT, seorang penerjemah
sastra Cina/Tiongkok sejak tahun 1920-an, mengajukan
usul kepada saya untuk penerbitan San Pek Eng Tay versi
sadurannya, yang katanya merupakan karya
terjemahannya yang terakhir, terus terang saja saya
kurang tertarik. Pada waktu itu di benak saya timbul
penolakan: “Apakah gunanya menerbitkan kisah ini?
Bukankah ia hanyalah sebuah kisah percintaan, suatu
tema yang sudah banyak dibuat orang, lagi pula ia telah
pernah disadur ke bahasa Indonesia?”
Tak dapat dipungkiri bahwa San Pek Eng Tay -sering
disebut Sam (sic) Pek Eng Tay- merupakan salah satu karya
sastra Cina yang populer di tanah air kita untuk masa
yang panjang, lebih dari satu abad. Sejak saduran Boen
Sing Hoo berjudul Tjerita Dahoeloe Kala di Negeri Tjina,
Terpoengot dari Tjerita’an Boekoe Menjanjian Tjina Sam Pik
Ing Taij terbit di tahun 1885, hingga sekarang telah ada
tidak kurang dari 10 judul buku serupa. Bahkan sebagian
di antaranya, termasuk saduran Boen Sing Hoo itu,
mengalami cetak ulang beberapa kali.1 Kisah ini pun
1 Lihat Claudine Salmon, Literatue in Malay by the Chinese of Indonesia: A
Provisional Annotaled Bibliography, Paris: Archipel. 1981, pada judul
“Liang Shanbo Yu Zhu Ying Tay,” hlm. 486-487.
pernah difilmkan dan kerap dipentaskan. Kepopulerannya
tidak terbatas pada kalangan orang-orang etnis Cina saja,
tetapi juga meresap sampai ke kalangan orang-orang
bumiputera, khususnya orang-orang etnis Jawa, Betawi
dan Bali. Hal ini terbukti dari pengakulturasian kisah ini
dalam ludruk dan ketoprak di Jawa, lenong di Jakarta dan
sekitarnya, drama tari Arya dan tembang Macapat di Bali.
Belakangan ini, di tahun 1989 kisah ini juga dikasetkan
oleh grup lawak Jayakarta. Dan yang paling ramai diliput
oleh media massa dan banyak ditonton orang adalah
pergelaran drama San Pek Eng Tay versi N. Riantiarno oleh
Teater Koma, yang berlangsung selama 18 hari dalam
bulan Agustus-September 1988 di Gedung Kesenian
Jakarta.2 Sementara pementasan ulang di Medan pada
tanggal 20-21 Mei 1989, yang tidak jadi dipagelarkan
karena dilarang oleh pejabat setempat, konon karciskarcisnya
habis terjual.3
Tetapi dalam kepopularitasannya, San Pek Eng Tay
dicitrakan sebagai sekadar sebuah kisah percintaan atau
kisah wanita yang setia, seperti halnya Romeo & Julie,
Layonsari dan Jayaprana, atau Roro Mendut dan Pronocitro.
Beberapa subjudul saduran San Pek Eng Tay yang lain
memang menegaskan citra ini. Misalnya, subjudul saduran
The T(in) L(am) berbunyi “Tjerita doeloe kala di Negrie Tjina
sa-orang lelakie njang terindoe pada sa-orang perempoean
sampe djadi matinja”; saduran Jo Tjim Goan bersubjudul
“… satoe korban dari pertjintaan…”; subjudul saduran Oei
Soei Tiong adalah “… katjintaan dari hidoep sampe mati,…”;
Lie Tek Long memberi subjudul, “…, satoe katjintaan jang
2 Lihat, misalnya. Efix, ‘Sandiwara Sampek Engtay, Menjaring Cinta
Pekerja Sibuk. Kompas 4 September 1988; Putu Wijaya. ‘Luka Cinta dalam
Ketawa.’ Tempo, 3 September 1988; Mas Agus Dermawan T dan Iliana Lie,
‘Ada Apa di Balik Layar Sampek-Engtay’. Gadis, No.26, 6-17 Oktober
1988; Eddy Sukma, ‘San Pek Eng Tay, Teropong Cinta Gaya Teater Koma’,
Mode, No. 19 Th. XII, 19 September 1988.
3 Mengenai komentar terhadap pelarangan pementasan ini, lihat,
misalnya, ‘Mochtar Lubis Budaya Cina’ Horison//XXIVI/255, dan Efix,
‘Tragedi San pek Engtay.’ Kompas, 28 Mei 1989.
soetji dari hidoep sampe mati,”; dan subjudul saduran
Siloeman Mengok berbunyi, “…sepasang merpati jang tiada
berdjodo”4. Kemudian, pada tahun 1956 Prijana
memasukkan kisah ini sebagai salah satu dari Empat
Dukacarita Percintaan di negeri asalnya, bahkan setelah
lahirnya Republik Rakyat Cina di tahun 1949, yang konon
sangat mendorong emansipasi kaum wanita, citranya
begitu juga. Paling tidak, pada tahun 1954, RRC telah
menerbitkan cerita bergambar Liang Shan Bo Yu Zhu Ying
Tay sebagai sebuah kisah percintaan.
Dari Kisah Cinta Menjadi
Romantika Emansipasi Seorang Perempuan
Selanjutnya, tatkala mengomentari pementasan San Pek
Eng Tay versi N. Riantiarno, OKT menyatakan bahwa ada
beberapa hal yang tidak ia sukai dalam versi itu. Pertama,
sama dengan versi Boen Sin Hoo, Riantiarno
menggambarkan bahwa Eng Tay membuka pakaiannya
untuk menyadarkan San Pek bahwa dirinya adalah
perempuan. Hal ini, menurut pendapatnya, merendahkan
martabat tokoh Eng Tay yang luhur. Dan kedua, San Pek
ditampilkan bertaucang atau berbuntut babi (Inggris,
pigtail; Nio Joe Lan menerjemahkannya sebagai “cacing”).
Menurut OKT dan Nio Joe Lan,5 bagi banyak orang Cina,
taucang merupakan simbol penjajahan bangsa Ching
(Manchu) atas bangsa Cina yang berlangsung hampir tiga
abad lamanya (1644-1911), sehingga ketika Sun Yat Sen
dengan Partai Tung Meng Hui yang didirikannya
melancarkan revolusi untuk menggulingkan kerajaan
dinasti Ching dan berhasil mendirikan Republik Tiongkok
di tahun 1911, orang-orang Cina beramai-ramai memotong
taucang mereka. Jadi memakai atau memotong taucang
4 Lihat, Claudine Salmon, op. cit
5 Nio Joe Lan. Tiongkok Sepandjang Abad. Djakarta: Balai Pustaka. 1952,
hlm. 152 dan 257.
merupakan hal yang sangat asasi bagi orang Cina di masa
itu.
Dengan komentar OKT itu saya jadi tertarik karena
mulai terungkap mengapa ia, di usianya yang sudah 85
tahun, masih mau menerjemahkan San Pek Eng Tay dari
bahasa Cina, suatu pekerjaan yang sudah sangat tidak
mudah lagi baginya. Maka naskahnya pun saya baca
secara serius. Dan aneh, selesai membaca, kesan saya
tentang kisah ini pun berubah sama sekali: San Pek Eng
Tay tidak lagi saya pandang sebagai sebuah kisah
percintaan semata-mata, tetapi lebih dari itu, merupakan
romantika emansipasi seorang perempuan Cina di abad ke-
4. Sejak dari awal hingga akhir cerita, sebenarnyalah Eng
Tay adalah seorang pelopor emansipasi wanita di bidang
pendidikan dan perkawinan. Inilah, menurut interpretasi
saya, inti kisah ini, sedangkan aspek percintaan antara
San Pek dan Eng Tay adalah hal sekunder.
Dengan perubahan citra ini saya jadi bertanya-tanya
lebih lanjut: Tidakkah interpretasi saya salah? Tetapi,
beberapa kali saya membaca saduran OKT ini, yang
berdasarkan pada versi Chang Hen Shui, Liang Shan Bo Yu
Zhu Ying Tay, kesan ini tidak berubah. Tetapi kalau saya
membaca versi saduran Boen Sing Hoo maupun N.
Riantiarno, memang kesan yang timbul adalah kisah
percintaan yang tragis dan bahkan agak vulgar. Namun
bila kita mencari secara seksama inti cerita pada versi
mereka ini, maka ia sebenarnya juga adalah romantika
emansipasi seorang perempuan.
Lantas, mengapa terjadi pembalikan citra ini sehingga
sisi percintaan menjadi yang primer, sedangkan sisi
perjuangan emansipasi Eng Tay menjadi sekunder atau
bahkan ditenggelamkan? Padahal sejak awal hingga akhir
cerita, alur kisah ini mengacu pada emansipasi seorang
perempuan yang perkasa. Yakni, mulai dari Eng Tay
memutuskan untuk menyamar sebagai seorang lelaki
selama 3 tahun agar dapat bersekolah (suatu hal yang
tabu bagi kaum perempuan di waktu itu) demi
idealismenya yang tinggi, sampai ketika ia memutuskan
untuk memilih San Pek, yang dikenal dan dicintainya,
sebagai bakal suaminya (adat-istiadat pada masa itu tidak
memberikan hak kepada perempuan untuk memilih
suaminya, mereka dijodohkan oleh orangtua), dan menolak
calon pilihan ayahnya, hingga akhirnya Eng Tay memilih
menyatu dengan San Pek di dalam kuburannya. Dan,
bukankah sepasang kupu-kupu yang beterbangan dan
hinggap di mana mereka suka, sebagai penutup kisah ini,
tidak saja melambangkan sepasang kekasih yang setia,
tetapi terlebih lagi, suatu kebebasan atau kemerdekaan,
hasil dari perjuangan emansipasi Eng Tay yang sangat
berani?
Bila benar demikian, adakah kesengajaan untuk
mendiskreditkan Eng Tay, yang sesungguhnyalah dapat
dikategorikan sebagai pelopor emansipasi kaum wanita
Cina pada zamannya? Ataukah ini sekadar kesalahan yang
tidak disengaja berhubung interpretasi para pengarang di
Tiongkok dan para penyadurnya serta khalayak
sasarannya dilakukan dalam konteks bangsa dan negara
Cina yang feodal? Bukankah ini merupakan manifestasi
dominasi ideologi superioritas kaum lelaki atas perempuan
yang feodalistis di dalam kesusastraan? Ataukah saya
telah salah menginterpretasikannya? Sayang, bukan
tempatnya menjawab soal ini di sini.
Namun apa pun jawabannya, saya akhirnya
berkesimpulan bahwa karya saduran OKT ini penting
untuk diterbitkan. Agaknya, tragedi terbesar dari San Pek
Eng Tay bukanlah tragedi percintaan San Pek dan Eng Tay,
melainkan tragedi pemutarbalikan makna sehingga San
Pek Eng Tay tidak dipandang sebagai kisah romantika
emansipasi Eng Tay, melainkan sebagai kisah percintaan,
pasangan abadi atau perempuan yang setia. Tragedi ini
mungkin dapat menjadi topik penelitian yang menarik
tentang emansipasi kaum perempuan.
San Pek Eng Tay, Feodalisme dan Emansipasi
San Pek Eng Tay adalah cerita rakyat sehingga tidaklah
heran bila dijumpai banyak versinya. Paling tidak, sejak
dinasti Sung (960 – 1279), saat mulai berkembangnya ilmu
cetak di Cina, sampai runtuhnya dinasti Ching pada tahun
1911, dapat dijumpai 11 versi chih (catatan sejarah) yang
menjadi sumber kisah ini.
Menurut catatan-catatan sejarah itu, kisah ini terjadi
pada masa pemerintahan raja Bok Tee, raja kelima dinasti
Chin Timur yang memerintah dari tahun 345-357 Masehi.
Oleh karena kisah ini meliputi waktu sekitar 3-4 tahun
saja dalam periode kehidupan Eng Tay dan San Pek, yaitu
sejak Eng Tay berusia sekitar 17 hingga 20 atau 21 tahun,
dan San Pek, 18 hingga 21 atau 22 tahun, maka boleh jadi
Eng Tay dan San Pek lahir sebelum masa pemerintahan
Bok Tee.
Masa kehidupan mereka masuk dalam zaman yang oleh
pujangga-pujangga Tiongkok disebut sebagai “zaman yang
amat gelap-gulita” atau “zaman Enam Dinasti,” yang
berlangsung dari tahun 220 hingga 589. Pada zaman itu
peperangan dan perebutan kekuasaan terjadi silih
berganti. Kerajaan-kerajaan dinasti Wei, Chin, Sung, Chi,
Liang dan Ch’en berdiri dan runtuh dalam waktu singkat.
Di saat kisah ini berlangsung, daerah kekuasaan kerajaan
Chin telah terbagi dua sebagai akibat serbuan suku Xiung
Nu. Sebelah utara sungai Yang Ce berhasil dikuasai suku
ini pada tahun 317, dan raja dinasti Chin terusir dari
ibukotanya, Lo Yang, lari ke sebelah selatan sungai serta
menjadikan Nan King sebagai ibukotanya. Dengan
demikian Chin Barat runtuh, dan Chin Timur berdiri,
namun ia hanya bertahan sampai tahun 420.
Kalau di bidang politik keadaan saat itu penuh dengan
‘kegelapan’, di bidang kebudayaan ada sedikit titik terang.
Pada masa ini sekolah-sekolah telah mulai berkembang
walau terbatas untuk kaum lelaki. Kaum perempuan tidak
diperkenankan bersekolah, mereka hanya boleh mendapat
pengajaran les di rumah, itu pun hingga tingkat menengah
saja (standar waktu itu). Bahkan bila sudah remaja mereka
tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang bukan
muhrimnya. Jadi pada hakikatnya, kaum perempuan
dipingit.
Tetapi waktu itu teknologi pembuatan kertas juga telah
berkembang, sejak ditemukan oleh Tsai Lun pada
permulaan abad ke-2. Karya-karya penting diterbitkan
sehingga sebagian kaum cendekiawan/ terpelajar,
termasuk San Pek dan Eng Tay, diduga telah dapat
membaca buah-buah pikiran besar seperti yang terekam
dalam Ngo Keng (Mandarin, Wu Ching, atau ‘Lima Klasik’),
Su Si (Empat Kitab), Tao Te Ching, dan lain-lain. ‘Lima
Klasik’ meliputi: 1) Shu Ching yakni Kitab Sejarah yang
disusun oleh Kong Hu Cu (551 S.M. – 479 S.M.) yang
menurutnya, memuat ucapan-ucapan tertulis dari para
raja yang memerintah antara abad ke-24 S.M. sampai abad
ke-8 S.M.; 2) Shih Ching yaitu Kitab Syair susunan Kong
Hu Cu yang memuat lagu-lagu dan syair-syair yang konon
digubah sejak pemerintahan kaisar Yu, 2205 S.M. hingga
abad ke-6 S.M.; 3) I Ching atau Kitab Perubahan, memuat
filsafat moral, sosial dan politik yang diajarkan melalui
ramalan oleh kaisar Fu Hsi yang hidup sekitar 3000 S.M.,
dan Kaisar Bun (Mandarin, Wen Wang) pendiri dinasti Ciu
(Mandarin, Chou, 1027 S.M. – 221 S.M.) serta komentar
Kong Hu Cu terhadap filsafat itu; 4) Li Chi atau Kitab Adat
yang disusun oleh dua bersaudara Tai; dan 5) Ch’un Ch’iu
atau Catatan Musim Semi dan Musim Gugur, karya Kong
Hu Cu yang memuat catatan kronologis tentang kejadiankejadian
penting di negara Lu, antara tahun 722 S.M.
hingga 484 S.M.
Su Si atau ‘Empat Buku’ terdiri dari Lun Gi (Mandarin,
Lun Yu) yang memuat ucapan-ucapan Kong Hu Cu
mengenai berbagai soal; Beng Cu (Mandarin, Meng Tze)
yang memuat pendapat-pendapat Beng Cu, pendukung
ajaran Kong Hu Cu yang besar yang hidup pada tahun 372
S.M. sampai 289 S.M.; Tai Hak (Mandarin, Ta Hsueh, atau
Ajaran Besar) memuat perbincangan singkat Kong Hu Cu
tentang etika politik; dan Tiong Yong (Mandarin, Chung
Yung) buah karya Kong Ci, cucu Kong Hu Cu, yang
berusaha memperluas faham Kong Hu Cu tentang sifat dan
tindakan manusia yang benar.
Tao Te Ching atau Kitab tentang Jalan dan Kebajikan
merupakan ajaran Lao Cu, pendiri Taoisme yang hidup
sekitar abad ke-6 S.M. Di samping karya-karya tersebut di
atas, kaum terpelajar waktu itu diduga juga mengenal
syair-syair seperti yang digubah oleh Co Pi, putra raja Co
Coh, dari dinasti Han dan kitab-kitab sejarah yang ditulis
oleh misalnya keluarga Pan, yaitu Pan Chao (32-102 M.)
dan putranya, Pan Ku, serta putrinya, Pan Ciao tentang
dinasti Han Awal, atau kitab Nasehat-nasehat untuk Kaum
Wanita hasil karya Pan Ciao, atau barangkali, Kitab Ilmu
Perang (Ping Fa) karya Sun Tse di abad ke-6 S.M.
Agaknya, Eng Tay dan San Pek telah mengenal ide-ide
besar yang terkandung dalam karya-karya tersebut di atas.
Tetapi Eng Tay tidak menelan begitu saja ajaran-ajaran
yang diberikan guru-guru besar itu. Ia bersikap kritis dan
menginterpretasikannya kembali. Bahkan tidak berhenti
pada ide saja, ia melangkah lebih jauh. Ia memberontak
dan mendobrak ide dan adat-istiadat feodalistis yang
membelenggu kemajuan dirinya dan kaumnya. Dengan
keberanian yang luar biasa, ia menyamar sebagai lelaki
selama tiga tahun agar dapat bersekolah; dengan
kegagahan pula ia memilih San Pek sebagai suaminya. Dua
tabu besar masa itu telah dikoyaknya, dan dengan
keceriaan ia terima konsekuensinya yang fatal yaitu
kematian.
Namun tragedi ini tidak berhenti dengan kematian Eng
Tay, sebab roh-semangatnya tetap hidup. Suatu tragedi
yang lebih besar harus diciptakan untuk mematikan roh
semangat yang dapat membahayakan feodalisme Cina yang
bersandarkan pada ideologi superioritas kaum lelaki itu.
Selama 16 abad ia berhasil memutar-balikkan citra Eng
Tay dan seakan-akan mengejek roh Eng Tay: benteng
feodalisme sangat kukuh Eng Tay, sekukuh Tembok Cina
yang dibangun oleh Kaisar Chin Sie Hong (lahir 259 S.M.)
di atas penderitaan rakyatnya.
Sudah sejak zaman purba, ribuan tahun sebelum
lahirnya Eng Tay dan San Pek, orang Cina menganggap
derajat kaum perempuan lebih rendah dari kaum lelaki.
Thian, Tuhan, Yang Mahakuasa, digambarkan sebagai
lelaki. Kaisar dianggap sebagai putra Thian sehingga yang
berhak menjadi kaisar adalah lelaki. Anak lelaki mendapat
hak lebih dari anak perempuan. Ia meneruskan marga/
klen/ she ayah dan karenanya disebut pihak ‘dalam’. Anak
perempuan dianggap sebagai ‘pihak luar’ karena
keturunannya akan menggunakan she suaminya. Maka
tak mempunyai anak lelaki dianggap suatu kemalangan,
sedangkan tak memiliki anak perempuan merupakan
keberuntungan.
Konfusianisme, filsafat hidup yang diajarkan oleh Kong
Hu Cu, menguasai alam pikiran dan tingkah-laku banyak
orang dan masyarakat Cina selama masa yang panjang.
Sebagai produk zamannya, ia merupakan ideologi yang
mendukung dan melestarikan feodalisme. Jejak-jejaknya
bahkan masih terlihat hingga abad modern ini walau
sudah banyak berkurang kadarnya.
Dalam soal hubungan antara lelaki dan perempuan,
Konfusianisme menempatkan derajat lelaki lebih tinggi dari
perempuan. Bahkan, di kalangan yang disebut terpelajar—
dalam hirarki struktur masyarakat Cina yang feodal, kaum
terpelajar (Shih), yang meliputi kaum bangsawan dan kaum
birokrat, berada di paling atas, diikuti di bawahnya oleh
kaum tani (Nung), lalu kaum tukang/ buruh (Kung) dan
yang paling rendah adalah kaum saudagar (Shang)—kaum
perempuan sangat didiskriminasi. Konon di antara beriburibu
murid Kong Hu Cu, tak seorang pun wanita.
Mereka tidak diperkenankan bersekolah, paling-paling
hanya boleh belajar di rumah, karenanya mereka tidak
dapat menjadi golongan shih dan dengan demikian tak
mungkin menjadi penguasa, kecuali dengan cara yang
tidak sah seperti pada kasus pemaisuri Lu yang
memerintah kerajaan Han Awal dari belakang layar sejak
tahun 188 S.M. sampai 180 S.M., atau kaisar perempuan
Boe Tjek Thian (Mandarin, Wu Tze Tien) yang mengangkat
dirinya menjadi kaisar dan memerintah dari tahun 690
hingga 705 M., atau Cu Hie, seorang ibusuri yang
berkuasa sejak tahun 1881 sampai dengan tahun 1908 M.
Ketika remaja, mereka tidak boleh bergaul dengan bebas,
melainkan harus dipingit. Kebisaan mereka dibatasi pada
urusan rumah tangga, mengurus anak, rumah, memasak,
menyulam dan sekali-sekali bermain musik, kesemuanya
dalam rangka mempersiapkan mereka sebagai ibu rumah
tangga yang berfungsi melayani kaum lelaki.
Mereka dilarang memilih sendiri pasangan hidup
mereka. Jodoh mereka ditentukan oleh orang tua (biasanya
ayah), sehingga kerap kali mereka mendapatkan pasangan
yang tidak cocok, namun harus patuh menerimanya. Hak
untuk menceraikan hanya ada pada pihak lelaki dan ia
boleh berpoligami, serta bersenang-senang dengan
perempuan penghibur, sedangkan hal ini terlarang bagi
kaum perempuan.
Secara fisik, mulai dari dinasti Tang (618 – 905 M.)
perempuan Cina harus mengikat kaki mereka dengan kain
agar tetap kecil, sebab kaki yang kecil adalah indah dan
disenangi, sedangkan kaki yang besar adalah jelek dan
tidak disukai oleh kaum lelaki, padahal kaki yang kecil
sangat menyiksa pemiliknya.
Kesemua diskriminasi ini demi mengabdi kaum lelaki,
sesuai dengan ajaran Kong Hu Cu tentang kebajikan
wanita, yang telah menjadi norma masyarakat Cina selama
berabad-abad, yaitu: “Di rumah patuhi ayahmu, sesudah
menikah patuhi suamimu, bila menjanda patuhi putra
sulungmu.”
Wajar saja bila diskriminasi terhadap wanita di Cina
yang berlangsung lama itu menyebabkan sedikit sekali
wanita Cina yang muncul menjadi figur masyarakat. Di
antara yang sedikit itu, misalnya, pada masa dinasti Han
Akhir (25-220 Masehi) dapat disebutkan seorang pujangga
wanita bernama Pan Ciao. Dialah salah seorang inspirator
Eng Tay, di samping Thay Su, istri Kaisar Bun dan ibu
Kaisar Bu, dua kaisar agung Cina yang terkenal arif
bijaksana. Dan belakangan, semestinya adalah Eng Tay
sendiri, melalui pemikiran, kata-kata dan sepak-terjangnya
yang emansipatoris.
Namun dobrakan Eng Tay di abad ke-4 dan beberapa
yang lain tak mampu meruntuhkan feodalisme yang
sekukuh tembok besar Cina, dan kedudukan kaum
perempuan tak banyak mencapai kemajuan sampai pada
akhir abad ke-19. Bahkan roh-semangat Eng Tay
dihempaskan olehnya seperti yang terjadi pada
pemutarbalikan citra romantika kehidupannya yang
berlangsung hingga abad ke-20.
Tetapi bagaimanapun hebatnya suatu ideologi berusaha
melestarikan status quo, roda sejarah terus bergerak tak
tertahankan. Perubahan demi perubahan terjadi hingga
meletuslah perubahan yang massal dan radikal. Di awal
abad ke-20, seiring dengan perjuangan revolusioner
bangsa Cina dalam menggulingkan kerajaan Manchu,
benteng terakhir feodalisme, dan mendirikan negara
republik, yang berasaskan San Min Chu I (Tiga Asas
Kerakyatan), terjadilah kemajuan besar dalam emansipasi
kaum wanita. Bermunculanlah sekolah-sekolah yang
terbuka bagi kaum perempuan, kawin paksa semakin
banyak mendapat tentangan, keharusan mengikat kaki
perempuan dicabut.
Dalam gerakan revolusioner yang berasaskan demokrasi
ini, yang tentu saja mencakup asas persamaan derajat
antara perempuan dan laki-laki, mulai banyak wanita
berperan-serta. Salah seorang di antara mereka adalah
Ch’iu Ch’in, kepala sebuah sekolah putri. Ia mengorbankan
jiwanya dalam rangka meruntuhkan feodalisme kerajaan
Manchu. Kepalanya dipenggal sebagai hukuman atas
keikutsertaannya dalam komplotan yang menembak
gubenur Nanking ketika sang gubernur mengunjungi
sekolahnya pada tanggal 6 Juli 1907. Ia boleh jadi telah
kemasukan roh-semangat Eng Tay yang pernah bercitacita
untuk menyelenggarakan sekolah perempuan untuk
memajukan kaumnya, pada 16 abad sebelumnya.
Betapa panjang dan hebatnya kesengsaraan serta
keterbelakangan kaum perempuan Cina, dan alangkah
banyaknya Tiongkok telah membuang-buang energinya
dengan merendahkan kaum wanitanya—hal yang juga
terjadi di hampir semua negara Dunia Ketiga termasuk
Indonesia—sehingga ia menjadi lemah, miskin, terbelakang
dan kemudian dijajah oleh bangsa-bangsa asing. Suatu
malapetaka besar! Namun, di sisi malapetaka ada
keberuntungan. Ternyata, persentuhan, eksploitasi oleh
dan konflik dengan bangsa-bangsa asing yang lebih kuat,
kaya, dan maju itu telah membantu membuka mata-hati
dan pikiran rakyat Tiongkok akan pentingnya asas
demokrasi yang berdasarkan pada persamaan derajat.
Dengan asas ini mereka berhasil menggulingkan kerajaan
Manchu, meruntuhkan feodalisme serta mendirikan
Republik Tiongkok di tahun 1911, serta akhirnya berhasil
mengusir imperialisme dari bumi mereka dan mendirikan
Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949.
Dengan latar belakang sejarah ini dapatlah dimengerti
mengapa citra kisah San Pek Eng Tay yang ditanamkan
selama ini adalah kisah percintaan yang tragis, atau kisah
pasangan nan abadi, atau kisah wanita yang setia saja.
Eng Tay tidak boleh dicitrakan sebagai pejuang emansipasi
wanita karena hal itu akan mengancam status quo
superioritas lelaki yang merupakan salah satu sokoguru
feodalisme waktu itu. Maka dengan pengertian ini pula,
yang seharusnya bertambah jernih setelah lepasnya
cengkeraman feodalisme, selayaknyalah ditambahkan
subjudul pada kisah ini: Romatika Emansipasi Seorang
Perempuan. Malahan, bila kita ingin seadil-adilnya,
mengingat nomenklatura yaitu protokoler urutan
penyebutan suatu nama berdasarkan keutamaannya,
judul San Pek Eng Tay pun seharusnya dibalik menjadi
Eng Tay San Pek, sebab dalam kisah ini Eng Tay-lah yang
lebih berperan atau lebih menonjol ketimbang San Pek.
Seiring dengan semakin merasuknya faham demokrasi,
menjelang akhir abad ke-20 ini banyak kemajuan besar
telah dicapai dalam masalah persamaan derajat antara
wanita dan pria di dunia, termasuk di Indonesia. Di
Indonesia, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, soal
diskriminasi terhadap kaum perempuan di bidang
pendidikan, pergaulan, perkawinan, seperti yang pernah
dialami oleh R.A. Kartini (1879-1904) — salah seorang
tokoh emansipasi wanita kita, yang konon pernah juga
membaca kisah San Pek Eng Tay — telah dihapuskan,
paling tidak secara de jure. Di Indonesia dan di seluruh
dunia dapat kita saksikan munculnya semakin banyak
perempuan-perempuan yang berprestasi. Bahkan di
sebagian negara beberapa wanita telah dapat menjadi
kepala negara. Kini telah ada prediksi yang memperkirakan
bahwa abad ke-21 yang segera akan kita masuki itu, bakal
merupakan abad kaum perempuan. Di zaman itu, semoga
sajalah subjudul kisah sejenis San Pek Eng Tay yang akan
datang tidak berbunyi: Romantika Emansipasi Seorang
Lelaki.
Juni, 1990
Acuan:
Nio Joe Lan, Tiongkok Sepandjang Abad, Djakarta: Balai
Pustaka, 1952
Catatan:
Dalam saduran OKT banyak dijumpai istilah dan gaya
bahasa percakapan sehari-hari sehingga dirasa perlu
untuk meredaksinya kembali agar sesuai dengan sasaran
pembaca penerbitan ini. Lafal Hokian yang telah lazim
dipakai pada terjemahan karya sastra Cina dalam bahasa
Indonesia juga digunakan untuk nama-nama yang sudah
umum dikenal di sini, tetapi di sana-sini tercampur dengan
lafal Mandarin.
1
Ayah Keras, Ibu Lemah!
SUATU hari nan cerah di bulan ketiga musim semi. Di pagi
hari pula, saatnya sang surya masih bersinar lembut.
Semua pohon berdaun hijau dan segar, dan bungabunganya
yang mekar bergerombol tampak berwarnawarni
merah dan jambon, putih dan kuning. Menarik hati
pula bila menyaksikan cabang-cabang yang-liu bergoyanggoyang
lemah-gemulai dipermainkan angin yang
berhembus sepoi-sepoi basah.
Sebuah taman mungil tergelar asri dalam sebuah
rumah bertembok besar berpekarangan luas di
sekelilingnya. Di taman itu berdiri sebuah ayunan. Dan di
atas ayunan itu seorang gadis remaja sedang bermain,
tubuhnya terayun naik dan turun, maju dan mundur.
Gadis itu mengenakan baju panjang yang sempit,
warnanya merah, dan gaunnya berwarna kuning.
Sepatunya, bersulam. Selagi berayun-ayun itu, ia tampak
bagaikan seekor kupu-kupu yang sedang terbang
melayang-layang….
Berdiri di sebelahnya, seorang dara lain, usianya kirakira
enam atau tujuh belas tahun. Dari caranya
berdandan, jelas dia adalah seorang abdi perempuan. Dia
mengenakan angkin, ikat pinggang dari kain, berwarna
hijau, sedangkan rambutnya, berkepang dua, tersanggul.
Dia pun tergolong cantik.
Tiba-tiba saja abdi itu menyapa majikannya: “Non,
turunlah, sudah cakup lama Nona bermain ayunan,
tentunya Nona sudah letih!”
Gadis itu tertawa manis.
“Hari ini aku sedang gembira,” sahutnya, suaranya
lembut, “main ayunan lama sedikit tidak melelahkan….”
Dan ia pun menggerakkan tubuhnya lagi, membuatnya
naik-turun bergantian.
“Ah, sudahlah, Nona,” kata si abdi pula. “Non, abdimu
ini sebetulnya hendak memberi tahu sesuatu….”
“Apakah itu?” tanya si gadis itu, agak tertarik.
“Cukup penting, Nona. Kalau tidak, Nona boleh tegur
aku!”
Gadis itu berhenti main ayunan, dia menatap abdinya.
“Ayolah, kaubicara!” perintahnya.
Gadis ini menggelung rambutnya dengan model poan
liong ki, kundai “naga melingkar,” dan di sisi telinganya
tersisip sekuntum bunga cui. Wajahnya berpotongan kwaci,
sepasang alisnya lentik, hidungnya bangir, kulitnya halus.
Ia tampak seakan-akan senantiasa tersenyum. Ia
mengatakan belum letih akan tetapi kulit wajahnya telah
bersemu merah, sedikit berpeluh dan napasnya pun agak
terengah-engah….
“Eh, Gin Sim, bicaralah!” katanya pula pada si abdi.
“Ada apa sebenarnya? Mengapa kau selalu menatapku?”
Si gadis tertawa hingga tampak dua baris giginya yang
rapih dan putih bersih. Ia mengusap dahinya dengan
saputangannya. Lantas ia membuka suara pula.
“Gin Sim, lekaslah bicara! Aku Ciok Eng Tay, mana ku
tahu isi hatimu. Katakanlah, kabar apakah itu yang
hendak kau sampaikan padaku!”
Gin Sim menoleh ke sekitarnya.
“Non, di sini, di dalam taman ini, kita tak dapat leluasa
berbicara,” katanya. “Mari kita masuk ke dalam.
Bagaimana?”
Eng Tay mengawasi abdinya, ia mengangguk. Ia pun
berjalan sambil diikuti abdinya.
Di dalam kamar, ia lantas duduk, menghadap cermin
kuningan. Tiba-tiba ia tertawa.
“Nah, bicaralah!” katanya kemudian. “Di sini tidak ada
orang lain, hanya kita berempat….”
Gin Sim heran hingga tercengang, ia pun menegaskan:
“Berempat, Non? Kita toh berdua saja! Siapa dua orang
lainnya?”
Sang gadis majikan tertawa.
“Kau tak tahu?” tanyanya. Dia menunjuk ke cermin
yang terbuat dari kuningan.6
“Nah, bicaralah!”
Gin Sim bagaikan baru tersadar, tetapi segera dia
berkata: “Bukankah Nona sering mengatakan bahwa Nona
berniat menyamar sebagai lelaki agar dapat menuntut ilmu
di Hang-ciu, supaya Nona dapat menyenangkan hati ayahbunda
Nona? Bukankah sekarang Nona sedang ragu-ragu
lantaran tersiar berita bahwa guru di Hang-ciu itu, guru
Ciu yang sudah lanjut usianya, akan pindah tempat?”
Diingatkan demikian, Eng Tay tersenyum. Memang dia
telah lama berniat melanjutkan pelajarannya di kota Hangciu
itu. Nama kota itu, sebenarnya baru mulai dipakai di
zaman dinasti Shui. Sebelumnya, semasa dinasti Han kota
itu adalah kota kecamatan Cian-tong.
Gin Sim berkata lebih lanjut: “Nah, sekarang ada berita
yang menggembirakan. Baru saja Ong Sun pulang dari
Hang-ciu dan dia membawa kabar bahwa guru Ciu masih
tinggal di Ni San, beliau tidak jadi pindah. Ong Sun
mendapatkan berita ini dari sanak-saudaranya yang
tinggal berdagang di sana.”
Berita itu melegakan hati Eng Tay.
“Coba kaupanggil Ong Sun ke mari!” perintahnya
kepada abdinya. “Setelah memperoleh kepastian, akan
kucoba bicara pada Papa dan Mama.”
Gin Sim segera berlalu. Tidak lama kemudian ia kembali
bersama-sama Ong Sun, salah seorang pegawai keluarga
Ciok. Dan Ong Sun ini pun telah menegaskan
keterangannya.
Eng Tay berpikir beberapa lama, lalu siang hari itu, ia
menemui ayah dan ibunya di ruang tamu.
“Pa! Ma!” sapanya kepada kedua orangtuanya.
Ciok Kong Wan adalah pensiunan camat, ia tidak
mempunyai anak lelaki, hanya Eng Taylah anak gadis
6 Di zaman dinasti Chin semasa kisah ini berlangsung, belum ada kaca gelas.
satu-satunya. Ia pulang ke kampung halamannya untuk
tinggal bersama istrinya, Teng-si. Tak heran jika ia dan
istrinya sangat menyayangi anak tunggalnya itu.
“Kau habis bermain ayunan?” tanya sang ayah sambil
menoleh kepada putrinya. “Lihat, wajahmu kemerahmerahan!
Kau letih ya?”
Eng Tay menggelengkan kepala.
“Tidak, Pa,” sahutnya.
“Kau tak pusing, Nak?” tanya Teng-si, sang ibu. “Tidak,
Ma,” jawab putrinya.
Kong Wan duduk di atas dipan kayu dan istrinya di
kursi batu marmer di hadapannya. Keduanya menatap
putri mereka, mereka tampak bahagia sekali.
Eng Tay maju mendekat.
“Nak, duduklah,” kata Teng-si kemudian. “Kau tidak
memetik dan memakai bunga mawar….”
Putrinya tersenyum, ia menggelengkan kepala.
“Tidak,” sahutnya. “Hari ini aku gembira sekali sehingga
lupa memetik bunga mawar….”
“Kau gembira karena apa?” tanya sang ayah seraya
menyingkap janggutnya, yang hitam dan panjang.
“Karena suatu berita yang menggembirakan, Pa. Ong
Sun sudah pulang dan kepada Gin Sim dia
memberitahukan bahwa guru Ciu tidak jadi pindah dari
Hang-ciu dan tetap membuka sekolahnya di Ni San….”
“Lalu apa hubungan berita itu dengan kau? Kenapa kau
jadi girang sekali?” tanya sang ayah.
Eng Tay bangkit berdiri, hormat sikapnya.
“Pa, aku hendak memberitahukan sesuatu…” katanya
perlahan.
“Kau hendak memberitahukan apa, Nak?” tanya Tengsi.
“Aku tahu, Pak Ciu memang guru tua yang pandai.”
“Justru karena Pak Ciu pandai, aku jadi sangat
menghormatinya,” kata Eng Tay. “Papa dan Mama ingat,
sejak usia delapan tahun aku telah diberi guru sekolah
untuk mempelajari ilmu budaya. Tetapi setelah aku
berusia lima belas tahun, ketika Papa meletakkan jabatan
dan pulang kampung aku harus berhenti. Karenanya
sayang sekali, pelajaranku menjadi kepalang tanggung.
Bahkan sekarang, aku nyaris harus selalu berada di
loteng. Ya, pelajaranku menjadi setengah matang. Untuk
seorang pelajar, keadaan seperti ini sangat menyedihkan.
Maka dari itu, bagus sekali, Pak Ciu masih mengajar di
Hang-ciu, aku ingin pergi belajar padanya. Bukankah aku
sama saja dengan anak-anak muda lainnya? Setelah
beberapa tahun belajar di Hang-ciu, pasti aku akan
memiliki kepandaian yang memadai. Karena itu sekarang
aku ingin minta agar Papa dan Mama mengizinkan aku
sekolah di bawah pimpinan pak guru Ciu itu. Nah,
bagaimana pendapat Papa dan Mama?”
Ciok Kong Wan terbelalak. Ia heran sekali. “Kaubicara
serius atau main-main?” tanyanya kemudian.
“Pasti benar-benar, Pa,” sahut putrinya bersungguhsungguh.
“Belajar ke Hang-ciu bukan urusan main-main.”
Sang ayah mengawasi putrinya, lalu ia tertawa terbahakbahak.
“Nak,” katanya seraya menunjuk, “kenapa kau bicara
seakan-akan bermimpi di siang hari? Kau tahu, Nabi
Khong mempunyai murid tiga ribu orang lebih, adakah
muridnya wanita? Pak Ciu pasti tidak akan menyimpang
dari nabi kita itu dengan menerima murid perempuan! Oh,
anakku, andaikata pun papa mu mengizinkan, di sana kau
pasti akan membentur tembok penghalang, kau akan
pulang sia-sia saja! Maka dari itu, Nak, ku anggap katakata
mu itu sebagai igauan!”
Heran Eng Tay mendengar kata-kata ayahnya itu.
“Pa, kata-kata Papa membuatku agak kurang paham,”
katanya. “Apakah sudah pasti bahwa di antara tiga ribu
murid Nabi Khong tidak seorang pun wanita? Atau, apakah
tak ada wanita yang menyamar sebagai laki-laki di sana?
Maka dari itu, bila aku sekolah di Hang-ciu, aku akan
menyamar sebagai laki-laki! Tentang hal ini, harap Papa
tidak usah khawatir….”
Didesak secara demikian, sang ayah tertawa.
“Kau ini bicara apa, Nak!” katanya.
“Sabar, Pa,” kata putrinya. “Bukankah Papa pun tahu,
semasa permulaan dinasti Ciu (Chou), sudah ada wanita
yang berperan-serta?”
Sang ayah berpikir sejenak.
“Tidak,” sahutnya.
Kini Eng Tay tertawa.
“Lihat, Pa,” katanya, “hal begini saja Papa sampai lupa
sehingga Papa mengatakan aku mengigau! Baiklah, akan
ku jelaskan. Bukankah dalam kitab Lun Gi 7 ada kisah
tentang kaisar-kaisar dahulu kala yang mempunyai
menteri-menteri yang terpelajar dan bijak sehingga
pemerintahannya berjalan dengan sempurna? Misalnya
Kaisar Bun Ong (Wen Wang) dari dinasti Ciu (Chou)!
Bukankah di sana ada Thay Su, yang umum menyebutnya
Bun Wu Wang (istri Bun), istri Baginda Bun Ong yang
termasyhur?”
Kong Wan melengak. Benar-benar ia lupa akan Bun Wu
Wang. “Ya, aku ingat sekarang. Tapi, adakah hubungan
antara dia dengan kau?”
“Tentu saja ada, Pa,” sahut putrinya. “Aku berniat
menuntut ilmu lebih lanjut. Bukankah dulu kala pun
wanita sama dengan pria, ada wanita yang cerdik dan
pandai, yang dapat ikut mengatur urusan negara? Hanya
saja yang sekolah itu ada perbedaannya, ada yang maju
dan ada yang tidak. Demikian pula dengan aku. Sekarang
aku berdiam terus di kamar loteng, apakah itu untuk
selamanya? Tidak, bukan? Maka sekarang, aku berniat
melanjutkan pelajaran ke Hang-ciu, agar kelak di
kemudian hari, aku bisa melakukan sesuatu yang berarti
bagi negara kita….”
Kong Wan berdiam diri sambil mengawasi putrinya itu.
“Tetapi, Nak,” Teng-si ikut bicara, “Walaupun kau benar,
namun kau harus tahu apakah guru Ciu menerima murid
perempuan?”
7 Lun Gi: salah satu kitab ajaran Khong Hu Cu.
“Tapi, Ma, telah aku katakan, aku akan menyamar
sebagai seorang pria,” kata Eng Tay.
Sang ibu terdiam, ia hanya mengamati putrinya. Tidak
demikian dengan Kong Wan, sang ayah, yang telah berpikir
beberapa lama.
“Eng Tay, kau berniat sekolah ke Hang-ciu, maksudmu
itu baik,” kata ayahnya ini. “Kau bilang hendak menyamar
menjadi pria, tetapi, pernahkah kau pikir, berapa lama kau
akan tinggal di Hang-ciu? Bukankah, tidak untuk tiga atau
lima hari saja? Kalau sampai berbulan-bulan dan
bertahun-tahun, siapa yang dapat memastikan tidak akan
terjadi sesuatu atas dirimu? Lagi pula, penyamaran wanita
menjadi pria banyak kelemahannya! Lihat telingamu, lihat
dadamu! Dapatkah itu dipakai mengelabui orang untuk
waktu yang lama? Di samping itu, kau harus ingat pada
adat-istiadat, perbedaan antara wanita dan pria. Di
sekolah, kau hidup bercampur-baur, dapatkah kau terusmenerus
menjaga dirimu? Ini yang harus kau ingat baikbaik!
Ya, nama baik keluarga kita!”
Sang ayah menatap wajah putrinya, ia tampak
bersungguh-sungguh.
“Nah, walaupun niatmu itu baik, sulit untuk
mewujudkannya,” kata ayahnya itu akhirnya. “Tidak, Nak,
kau tidak boleh pergi! Tegasnya, jika kau tidak dengar kata
papa mu ini, kau adalah anak yang tidak berbakti!”
Eng Tay terperanjat. Tak ia sangka akan putusan yang
demikian tegas dari ayahnya itu. Ini bukanlah kebiasaan
sang ayah, yang biasanya manis budi dan sangat
menyayanginya. Ia tercengang menatap ayahnya itu.
Juga Teng-si, si ibu, merasa heran sekali.
Sejenak, kedua orangtua dan putrinya itu berdiri
membungkam. Tetapi si ayah mengawasi putrinya dan si
putri memandangi ayahnya. Sesaat kemudian, barulah
Eng Tay dapat menenangkan diri dan bicara, membuka
suara.
“Pa,” demikian katanya perlahan, “Aku mengerti Papa
sangat menyayangiku, akan tetapi, ku pikir, kekhawatiran
Papa itu berlebihan. Aku tahu kelemahanku sebagai
wanita, tetapi akan ku jaga baik-baik. Mengenai hal ini
harap Papa tidak perlu kuatir. Papa menghendaki aku agar
memperhatikan adat-istiadat, ini pun aku maklum. Aku
ingat sekali kata-kata ‘pria dan wanita tak boleh bersentuh
tangan’, tetapi itulah ucapan Sun I Kun yang sangat,
memojokkan! Bukankah Beng Cu menyanggah: ‘Kalau
mengetahui ipar wanita sendiri tenggelam namun tidak
menolong, itu namanya kejam!’ Bukankah Sun I Kun
sendiri kemudian mengatakan, kalau ipar sendiri yang
tenggelam, sudah pasti dia harus ditolong? Demikianlah
makna sesungguhnya dari adat-istiadat. Sekarang ini
kerajaan Chin kita sebagian negaranya telah dirampas
hingga Raja harus mengungsi ke Lam-khia. Bukankah itu
mirip dengan seorang ipar yang sedang tenggelam?
Bukankah kita wajib menolongnya? Maka ucapan itu tak
dapat seluruhnya dipatuhi. Bagaimana mungkin, karena
aku hendak belajar ke Hang-ciu, aku dikatakan tidak
berbakti, padahal keinginanku justru ingin mewujudkan
rasa bakti yang paling besar. Kalau nanti telah ku peroleh
kepandaian, aku berharap dapat melakukan sesuatu
untuk negara! Bukankah itu juga harapan Papa?”
Ciok Kong Wan menggelengkan kepalanya.
“Kau hebat, Nak! Kau pandai bicara!” katanya. “Jadi
dengan pikiranmu ini, kau hendak mewujudkan adatistiadat
sambil juga mengangkat diri? Hm!”
Ayahnya itu bangkit berdiri, lalu berjalan mondarmandir.
Jelas ia tidak puas.
Eng Tay bingung. Ia berdiri membungkam, tangannya
mempermainkan angkinnya.
Teng-si, sang ibu menjadi bingung juga. Ia bangkit
berdiri, terus menghampiri anak gadisnya.
“Eng Tay!” tegurnya seraya menyentuh pundak
putrinya. “ benar, kau tak perlu bicara lebih jauh. Mari kau
ikut Mama istirahat….”
Anak gadis itu berpaling kepada ibunya.
“Ma, aku juga benar,” katanya perlahan. “Aku berbicara
dengan mengutip kata-kata dari kitab tentang adatistiadat….”
Ibunya itu terdiam, ia berpaling, pada suaminya.
Kong Wan sedang berjalan mondar-mandir ketika
mendengar perkataan putrinya itu.
Ia segera berpaling, menghadap putrinya. Matanya
membelalak.
“Aku tidak mau bicara apa-apa lagi!” katanya keras.
“Aku larang kau pergi ke Hang-ciu!”
“Tak apa kau bicara keras-keras, suamiku, di sini tidak
ada orang luar,” kata sang istri, menenangkan suaminya.
“Eng Tay, mari kau ikut Mama masuk!”
Sambil berkata demikian, sang ibu mencekal hendak
menarik tangan putrinya. Namun, tubuh putrinya itu tidak
bergeming. Ketika sang ibu melihat wajah putrinya, gadis
itu sedang berlinang air mata dan sedang mengusap airmatanya
dengan sapu-tangannya.
Sebenarnya, sejak ayahnya berbicara keras, anak gadis
ini sudah merasa sedih, air matanya sudah mulai
berlinang, wajahnya pun pucat.
“Eh, Nak, kau kenapa?” tanya sang ibu sambil menepuk
pundak putrinya.
Sekonyong-konyong saja Eng Tay menjerit dalam
tangisnya dan tubuhnya bergerak sambil kedua tangannya
terbentang. Dia menubruk dan memeluk ibunya.
Ibu yang berhati lemah itu balas memeluk putrinya.
2
Berhati Baja
BELUM pernah Eng Tay menangis, ini untuk pertama
kalinya. Ia merasakan hatinya sangat tertekan, hingga tak
terlegakan kecuali oleh tangisannya itu.
Kong Wan membungkam, ia masih mengawasi putrinya.
“Sudah, diamlah,” kata Teng-si pada putrinya. “Kalau
mau bicara, mari kita bicara….”
Gadis itu tetap saja tersedu-sedu.
Sang ayah masih juga mengawasi, dan akhirnya,
menunjuk ke arah dalam.
Teng-si melihat itu, ia mengerti.
“Nak, kau masuklah,” katanya pada gadis itu. “Sekalian
ajak Nonamu!”
Kata-kata itu adalah perintah untuk Gin Sim serta
kawannya, abdi kecil bernama Kiok Ji.
Ketika itu Kong Wan memberi isyarat pada istrinya.
Eng Tay menoleh pada ayahnya, hingga si ayah melihat
bagaimana wajah putrinya penuh air mata. Namun sang
ayah diam saja, ia hanya menggelengkan kepala, lalu pergi
ke luar.
Bersama ibu dan kedua abdinya, gadis itu melangkah
ke dalam.
Sebenarnya, kamar tidur Eng Tay terletak di bawah
loteng. Ia berada di atas semata-mata untuk membaca
buku dan menyulam. Ia anak semata wayang. Keluarga
Ciok tidak mempunyai anak lelaki, tetapi kaya. Maka,
segala keperluan gadis itu dapat dipenuhi.
Kamar tidur Eng Tay berada di halaman belakang atau
sebelah dalam. Untuk pergi ke halaman depan, orang
harus melintasi sebuah ruang dalam lainnya. Di halaman
belakang terdapat sebuah halaman luar, di sana ada bukitbukitan
tiga pohon cemara serta serumpun pohon bambu
halus, yang dikenal sebagai ‘bambu Cina’. Lainnya adalah
tanaman bunga. Itulah sebuah taman mungil dengan
seluruh daun tanamannya berwarna hijau segar hingga
terasa sungguh nyaman bila berdiam di dalamnya. Tak
sembarang orang bisa masuk ke halaman belakang. Kamar
tidur itu pun terbagi atas tiga ruang dengan bagian
luarnya merupakan sebuah beranda atau serambi yang
berhampar-kan batu koral halus, hingga pun yang berjalan
di sana akan memperdengarkan suara batunya.
Eng Tay bersama ibunya, Nyonya Ciok Teng-si, yang
juga dipanggil ‘Nyonya Besar’, serta Gin Sim dan Kiok Ji,
berjalan melintasi beranda itu. Di dalam kamar, semua
perabotan seperti meja, kursi dan pembaringan, terbuat
dari kayu cendana dan terukir indah. Sedangkan
lantainya, bergelarkan permadani tebal dan cantik.
Gin Sim memimpin nona majikannya masuk ke dalam
kamar, mengantarnya ke kursi, akan tetapi gadis itu tak
mau duduk, ia serta-merta menjatuhkan diri ke
pembaringannya dan menutupi dirinya dengan selimut. Ia
menangis tanpa bersuara.
Teng-si menghampiri putrinya itu.
“Eng Tay, duduklah,” katanya lembut. “Kalau kau mau
tidur, tidurlah yang benar…”
“Sekarang pun aku sudah tidur,” kata putrinya.
“Sebaiknya Mama pergi beristirahat….”
“Tetapi, Nak,” kata ibunya, “walaupun papa mu
bersikap keras, ia sebenarnya menyayangimu….”
Eng Tay tidak menyahut, ia hanya bergolek, terus tidur.
Teng-si melengak, ia menghela napas.
“Biarlah dia tidur,” katanya perlahan, lalu ia memesan
Gin Sim agar merawat nona majikannya, kemudian ia
mengajak Kiok Ji pergi.
Gin Sim meng-iya-kan pesan nyonya majikannya itu.
Teng-si masih berdiam sebentar dan mengamati
putrinya, setelah itu barulah ia berlalu bersama abdi
perempuannya. Ia menarik napas panjang perlahan.
Eng Tay masih merebahkan diri, sampai Gin Sim
menyapanya: “Bangun Non, cuci muka.”
“Tak usah!” sahut gadis itu. “Nyonya Besar mana?”
“Nyonya Besar sudah pergi bersama Kiok Ji.”
Gadis itu bangun dan duduk.
“Sebal!” katanya, sengit. “Namun ini baru permulaan!
Aku tak akan mundur sebelum berhasil pergi ke Hang-ciu!”
Gin Sim tertawa.
“Jadi Nona bertekad mau sekolah ke Hang-ciu?”
katanya.
“Ya!” sahut gadis itu, yang ternyata berhati baja.
“Sekarang, aku mau tidur, kalau ada yang tanya, katakan
aku sakit. Pikiran Mama pasti akan berubah!”
“Baiklah, Non,” sahut Gin Sim. “Mulai hari ini, kepada
siapa pun akan aku katakan bahwa Nona sakit, bahwa
Nona tak mau makan. Tetapi aku sendiri akan diam-diam
membuatkan makanan yang Nona suka dan Nona boleh
memakannya secara sembunyi-sembunyi. Ya, jangankan
untuk beberapa hari, sampai setengah bulan pun, tidak
apa…”
Eng Tay mengangguk. Puas ia mendengar perkataan
abdinya yang setia itu.
Gin Sim menepati ucapannya. Ia tidak beranjak dari
kamar nona majikannya kecuali bila sedang bekerja di
dapur, memasak ini dan itu untuk nona majikannya.
Besok siangnya, Gim Sim pergi menemui nyonya
majikannya. Dia melaporkan: “Nyonya, Nona Eng Tay tidak
mau makan apa pun, mungkin pencernaannya tidak sehat.
Nona sendiri mengatakan bahwa ia merasa kepalanya agak
pusing. Maka dari itu, sebaiknya Nyonya menjenguknya.”
Teng-si terkejut. Tidak ayal lagi segera dia pergi ke
kamar anak gadisnya itu.
Gin Sim mengikuti nyonya majikannya. Selagi
mendekati kamar, ia segera berkata. “Non, bangun,
bangun, Nyonya Besar datang menjenguk!”
Di dalam kamar sesosok tubuh bergerak mirip
bayangan, sebab kata-kata Gin Sim itu merupakan isyarat
bahwa sang nyonya besar datang.
Dari dalam kamar tidak terdengar suara jawaban.
Teng-si segera saja masuk ke kamar. Ia melihat anak
gadisnya sedang rebah dengan tubuh berselimut. Rambut
putrinya itu kusut, tanda tak tersisir, dan di wajahnya
tidak ada bekas-bekas bedak, hingga kulitnya tampak agak
pucat dan kering. Ia menghampiri, menyingkap selimut
yang menutupi tubuh putrinya itu. Tampaknya Eng Tay
baru saja pulas, namun ia mendusin dengan agak terkejut.
Dengan mata berkesap-kesip, ia memandang ibunya.
“Mama!” panggilnya lemah. Ia bagaikan baru mengenali
ibunya itu. Suaranya perlahan, lemah.
Tatkala itu, di atas meja tampak asap hio wangi
mengepul perlahan, baunya harum halus. Asap itu
melayang-layang naik.
“Apakah kau merasa tak enak badan?” tanya Teng-si.
“Baru saja Gin Sim memberitahukan Mama bahwa kau
sejak kemarin sampai hari ini belum sarapan sama sekali,
kau pun tidak minum. Mengapa? Seharusnya kau makan
sesuatu….”
Eng Tay mengangguk, tetapi ia segera menggelengkan
kepalanya. Dari mulutnya tidak terdengar suara apa pun.
Sang Ibu terus mengamati, lantas duduk di atas
pembaringan di sisi tubuh anak gadisnya itu.
Diulurkannya tangannya, meraba dahi putrinya. Ia
merasakan hawa yang agak hangat. Ia bimbang. Hawa
hangat itu, tanda sakitkah?
“Apakah kau merasa kurang enak badan, Nak?”
tanyanya kemudian. “Apa yang kau rasakan?”
“Hanya sedikit pusing,”sahut putrinya, suaranya lemah
sekali.
“Kalau demikian, kau perlu dipanggilkan tabib,” kata si
ibu pula.
“Tak perlu, Ma,” kata putrinya. “Tidak usah….”
“Mengapa tidak usah?” tanya ibunya. “Kenapakah?”
Sambil berkata demikian, sang ibu mengusap rambut
putrinya untuk dirapikan.
Eng Tay diam saja, sedangkan ibunya menantikan ia
bicara.
Gin Sim menambahkan hio, lalu berkata: “Nyonya
Besar, apakah Nyonya Besar masih belum tahu penyakit
yang diderita Nona? Itu yang dinamakan pilu hati….”
Teng-si menata putrinya, ia berpaling pada abdinya.
“Kalau benar pilu hati, aku tidak berdaya,” katanya.
“Eng Tay, Eng Tay, kau tahu, pak guru Ciu tua itu tidak
menerima murid wanita….”
Eng Tay masih membungkam saja. Bahkan kemudian ia
menggolekkan tubuh, menghadap ke dalam, seakan-akan
tidak menghiraukan ibunya.
Nyonya Ciok juga membungkam. Ia agak bingung.
“Aku punya biji teratai,” katanya kemudian sambil
menoleh pada Gin Sim, “sebentar kusuruh Kiok Ji
memasaknya dan kemudian mengantarkannya ke sini.”
“Baik, Nyonya Besar,” ujar Gin Sim menyahuti.
Teng-si bangkit berdiri, ia menoleh dan mengamati
putrinya.
“Sebenarnya sekolah bukan hal yang tidak baik,”
katanya perlahan. “Sebentar, kalau pulang mama akan
bicara dengannya. Mama ingin tahu, bagaimana
pikirannya.”
Eng Tay, masih saja diam. Gin Sim pun membungkam,
ia hanya memandang nyonya majikannya itu.
Nyonya Ciok menghela napas, lantas melangkah pergi.
Kamar tidur itu menjadi sunyi.
Gin Sim melongok untuk memastikan apakah sang
majikan sudah pergi jauh atau belum, kemudian dia
tertawa sendiri dan berkata: “Benar saja, pikiran Nyonya
Besar telah berubah.”
Eng Tay bangun, lalu duduk. Ia merapikan rambutnya
sambil tersenyum.
“Aku ingin tahu, apa yang akan Mama bicarakan
dengan Papa,” katanya. “Bagiku sudah pasti, kecuali aku
diizinkan belajar ke Hang-ciu, tak akan ku ubah sikapku
ini!”
Gin Sim pun tertawa.
Tidak begitu lama, Kiok Ji pun muncul dengan
membawa semangkuk bubur biji teratai.
“Sebenarnya tak usah kau bawakan bubur biji teratai
ini,” kata Gin Sim. “Telah ku katakan, Nona tidak mau
makan apa pun. Ini pesan Nona.”
Kiok Ji meletakkan mangkuk bubur biji teratai itu di
meja, di atas piring tatakannya ada sebuah sendok terbuat
dari perak. Ia berkata: “Non, tak baik bila Nona tidak
makan sama sekali. Nyonya Besar yang memerintahkan
aku memasak bubur biji teratai ini. Kalau Nona tidak mau
makan, apa kata Nyonya Besar nanti? Mungkin abdimu ini
akan dimaki.”
“Pandai bicara kau!” kata Gin Sim tertawa. “Memang,
Nona harus memakannya sekitar dua suap…” Ia pun
melangkah menghampiri majikannya, katanya: “Non!”
Eng Tay membuka matanya, ia bangun, lalu duduk. Ia
mengangguk kepada Kiok Ji dan berkata perlahan:
“Rasanya aku mendengar kau membawakan sesuatu,
benarkah?”
“Benar, Non,” sahut Kiok Ji sambil menunjuk ke arah
meja. “Itulah bubur biji teratai.”
Eng Tay mengangguk. “Kau baik sekali.” katanya. “Ayo
bawa ke mari, aku ingin mencobanya.”
Gin Sim segera membawakan bubur biji teratai itu dan
menyerahkan sendoknya.
Nona Ciok menyendok bubur biji teratai, lalu
memasukkannya ke mulutnya.
Kiok Ji mengawasi, ia merasa geli, tetapi dengan lengan
bajunya ia menutupi wajahnya. Rupanya ia menganggap
nona majikannya itu lucu.
“Apakah tak cukup bila aku makan sesendok saja?”
tanya Eng Tay yang melihat lagak abdi cilik itu. “Baiklah,
aku menyendok lagi.”
Agaknya ia sulit menelan bubur teratai itu, maka ia
serahkan sendok itu pada Gin Sim.
“Aku tak bisa makan terus,” katanya seraya
mengerutkan alisnya. “Perutku terasa mual….”
Melihat hal itu, Kiok Ji berkata: “Kalau begitu, Nona
sebaiknya mengundang tabib untuk memeriksa Nona.
Bubur biji teratai saja tak masuk, bagaimana nanti, dua
tiga hari kemudian, jika Nona tidak makan sesuatu? Lapar
itu berbahaya, Non….”
Seraya berkata demikian, abdi ini menerima bubur biji
teratai itu dari tangan Gin Sim. Katanya pula: “Kalau Nona
tidak mau makan, baiklah, abdimu ini akan memberitahu
Nyonya Besar. Bubur biji teratai ini juga akan aku
tunjukkan.”
Eng Tay mengangguk, dari hidungnya terdengar suara
perlahan: “Hm….”
Kiok Ji memberi hormat dan mengundurkan diri,
kemudian ia kembali kepada nyonya majikannya. Setelah
meletakkan mangkuk di atas meja, dia memberikan
laporannya. Dituturkannya tentang keadaan nona
majikannya itu sebagaimana dilihatnya. Teng-si duduk di
bangku panjang. Ia menyendok bubur biji teratai itu dan
mencicipinya. Kemudian katanya seorang diri: “Bubur biji
teratai selezat ini tak dimakan, lalu apa yang disukainya?”
“Mungkin Nona sedang tidak sehat,” kata Kiok Ji.
Teng-si berdiam diri, ia mengamati bubur biji teratai,
lalu disuruhnya Kiok Ji membawanya pergi.
“Kalau begini, aku perlu bicara sama si tua bangka itu,”
katanya dalam hati menyebut suaminya. Lalu ia duduk
menanti dalam kamarnya.
Sampai malam barulah Ciok Kong Wan pulang. Ia heran
melihat istrinya duduk termangu.
“Bagaimana dengan Eng Tay hari ini?” tanyanya
“Apakah dia belum juga mengubah pendiriannya?”
“Sikapnya belum berubah,” sahut sang istri, “dia tidak
mau makan apa pun, air juga tidak barang setetes.
Bagaimana sekarang?”
“Apakah kau tidak bawakan makanan lainnya?” tanya
sang suami.
“Coba kau tanya saja Kiok Ji!” sahut Teng-si singkat.
Dia bagaikan enggan bicara.
Kong Wan menurut. Ia memanggil Kiok Ji. Abdi itu
menjelaskan segalanya.
“Nah, kau dengar!” kata Teng-si kemudian. “Bahkan
bubur biji teratai tak sudi dia makan! Lalu, dia harus
diberi makan apa?”
Kong Wan membungkam sambil berjalan mondarmandir.
“Anak itu memang keras kepala!” katanya. “Begini saja,
besok pagi kau temui dia, katakan padanya aku akan
menyuruh orang memanggil seorang guru guna
mengajarinya di rumah saja. Dalam hal ini tak soal kalau
kita mengeluarkan lebih banyak uang.”
“Kita sendiri yang mengundang guru itu?” tanya Tengsi.
“Ya. Sudah kukatakan, tak mengapa bila kita
mengeluarkan lebih banyak biaya!”
Teng-si hendak bicara tetapi ia melihat Kiok Ji.
“Kau pergilah tidur, di sini sudah tidak ada urusan
lagi!” perintahnya.
Abdi itu menurut, ia mengundurkan diri. Lalu ia pergi
ke kamar nona majikannya. Di sana ketika melewati
jendela, ia melihat bayangan dua orang.
“Kak Gin Sim?” tanyanya perlahan.
“Kiok Ji di sana?” sahut suara dari dalam. “Kau belum
tidur?”
Kiok Ji melangkah memasuki kamar. Ia melihat nona
majikannya itu duduk berselubung di atas pembaringan,
Gin Sim sedang menjahit menghadap lampu.
“Kau sedang bikin apa, sudah tengah malam masih ada
di sini?” tanya Eng Tay. “Adakah sesuatu yang hendak kau
sampaikan padaku?”
“Tidak ada, Non, hanya Tuan Besar sudah pulang,”
sahut sang abdi.
“Baiklah!” kata Eng Tay. “Lihat besok saja.”
Kiok Ji heran melihat sikap nona majikannya. Gadis itu
tenang-tenang saja. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi.
Hanya sewaktu mengundurkan diri, ia berpesan kepada
Gin Sim: “Aku datang ke mari tanpa sepengetahuan
Nyonya Besar maka kalau besok Kakak bertemu Nyonya
Besar, harap jangan katakan bahwa aku telah datang ke
mari….”
“Aku tahu,” sahut Gin Sim tertawa. Ia pun mengangguk.
Kepada nona majikannya, Kiok Ji berkata: “Non, harap
Nona merawat diri baik-baik….”
Gadis itu mengangguk dan meng-iya-kan.
“Nona, bagaimana sikap Nona perihal Tuan Besar
hendak mengundang seorang guru itu?” tanya Gin Sim
kemudian. “Apakah Nona dapat menerima hal itu?”.
“Entah guru macam apa yang hendak Papa undang!”
kata Eng Tay. “Apalah artinya belajar di bawah pimpinan
guru semacam itu? Mana ada guru semacam guru Ciu?”
“Kalau demikian, bila besok pagi Nyonya Besar datang,
akan repot juga!
“Aku akan bicara baik-baik supaya Mama tidak bersusah
hati.”
Mereka berhenti bicara sampai di situ, lalu keduanya
tidur. Si nona benar-benar kuat hatinya, ia dapat
menenangkan diri.
Keesokan paginya, benar saja, Teng-si muncul di kamar
putrinya. Gin Sim sudah menyiapkan segala hal, ia juga
telah membakar dupa yang harum baunya. Dengan
cekatan ia menyambut si nyonya besar.
“Selamat pagi, Nyonya Besar,” sambutnya. “Nona hari
ini tidak mengalami perubahan, abdimu ini risau sekali…”
Teng-si menghampiri pembaringan. Eng Tay sudah
mendusin, ia sedang duduk dengan separuh tubuhnya
berkerudungkan selimut. Rambutnya tidak terkundai,
masih kusut, terurai ke belakang. Ia tidak memakai bedak,
kulit wajahnya yang halus berwarna agak kuning.
“Ma…!” panggilnya perlahan kepada ibunya.
Nyonya Ciok duduk di sisi pembaringan, tangannya
meraba sebelah tangan putrinya.
“Telah dua-tiga hari kau tidak makan apa pun,
bagaimana kau rasakan tubuhmu?” tanya ibunya, lembut.
“Papa mu pun mengatakan, menuntut ilmu adalah baik
sekali. Sekarang…”
“Bagus!” Gin Sim mendadak menyela. “Kalau begitu
pasti Tuan Besar mengizinkan Nona pergi belajar ke Hangciu!”
Mendengar hal itu Eng Tay tersenyum lemah.
Tetapi Teng-si lekas meneruskan katanya. “Papa mu
telah memutuskan, tetapi hal itu bukan keputusan bahwa
kau boleh belajar di Hang ciu. Papa mu telah menetapkan
untuk mengundang seorang guru datang ke rumah kita ini
guna memberi mu pelajaran di rumah. Maka dari itu, Nak,
dengan belajar di rumah, kau tak perlu lagi berada jauh di
lain kota hingga tak usah lagi kau keanginan dan
kehujanan. Kau dapat tenang-tenang saja berdiam di
rumah. Bukankah itu baik sekali?”
“Maksud Papa sangat baik, aku mengucapkan terima
kasih,” kata Eng Tay.
Teng-si tersenyum, legalah hatinya.
“Namun, Ma,” kata Eng Tay, kemudian, “Walaupun
maksud Papa baik sekali, akan tetapi aku tak dapat
menerimanya….”
Sang ibu terkejut, dia heran.
“Bukankah itu baik sekali?” tanyanya. “Kenapa kau tak
dapat terima?”
“Ma, sebaiknya Mama dengar dulu keterangan ku,” kata
putrinya dengan sabar. “Pertama hendak ku tegaskan,
guru Ciu itu guru yang pandai sekali. Kedua, tentang guru
yang Papa undang. Apakah dia bermarga Thio atau Lie!
Siapakah dia? Ketiga, sekarang ini pelajaran putri Mama
sudah cukup tinggi. Itu berkat kebaikan Papa dan Mama,
yang dulu telah memanggilkan seorang guru. Namun
sekarang lain. Bagaimana seandainya ada pertanyaan ku
yang guru itu tak sanggup berikan penjelasannya?
Bagaimana pendapat Mama kalau sampai terjadi begitu?”
Teng-si melengak. Tak ia sangka bahwa ia akan
mendapat pertanyaan semacam itu. Ia membungkam
beberapa lama.
“Jadi, tidak bisa lain kecuali kau berangkat ke Hangciu?”
tanyanya kemudian. Gadis itu diam.
“Kalau demikian, lain kali saja kita bicara lagi,” kata
sang ibu, akhirnya. “Tetapi, Nak, kau harus makan apa
saja, walau hanya sedikit….”
Eng Tay terus membungkam, kepalanya menunduk….
3
Ke Hang-Ciu!
TENG-SI tak dapat berdiam lama-lama di kamar putrinya
itu. Ia tak tahu harus bicara apa, akhirnya ia bangkit dan
berkata: “Jangan terus-terusan kau tidak makan, itu tak
baik. Mama akan bicara dengan.”
Eng Tay tetap membungkam, sampai ibunya bangkit
berdiri. Teng-si melihat ke sekeliling kamar, kemudian
berkata pada Gin Sim: “Kau harus berupaya agar Nona mu
mau makan. Tidak ada gunanya kalau kau hanya merawat
kamar ini….”
“Baik, Nyonya Besar,” kata si abdi, tak lebih.
Dengan pikiran kacau dan tubuh lesu, Teng-si keluar
dari kamar putrinya. Beberapa kali ia menghela napas.
Ketika itu Ciok Kong Wan sedang duduk di ruang
dalam. Melihat istrinya muncul dengan wajah muram, ia
merasa gelisah.
“Bagaimana dengan Eng Tay” tanyanya cepat. “Apakah
dia menyetujui maksud ku memanggilkan seorang guru
untuk mengajarinya di rumah?”
“Anak itu, aku tak bisa mengurusnya,” sahut Teng-si.
“Pendiriannya tak dapat diubah, kecuali kalau dia mati
kelaparan!”
“Bagaimanakah sebenarnya?” tegas Kong Wan. “Apa
katanya?”
Teng-si menceritakan segalanya.
“Aku tidak berdaya,” katanya akhirnya. Ia menjatuhkan
diri di atas kursi. “Dia terus tidak mau makan….”
Kong Wan mengawasi istrinya, kemudian ia mendekat.
“Benar-benar dia tidak mau makan apa-apa?” tanyanya
menegaskan.
“Habis, apa mau dikata? Sekalipun bubur biji teratai,
dia tak sudi makan.”
Kong Wan berdiam diri, ia menarik napas.
“Anak kita, kita rawat sampai besar, biasanya dia
sangat penurut, “kata Teng-si kemudian, “sekarang dia
menjadi keras kepala seperti ini, kenapa? Mungkinkah dia
terkena kuasa jahat?”
Kong Wan pun membungkam. Ia berjalan mondarmandir,
kedua tangannya berada di punggungnya.
“Entahlah…” katanya kemudian.
“Bagaimana kalau kita panggil tukang tenung untuk
menanyakan keterangannya?” tanya Teng-si kemudian.
Dia teringat akan juru tenung.
“Boleh jugalah….” kata Kong Wan perlahan. Dia seperti
putus asa. “Kalau si penujum bisa membuat putri kita
suka makan saja, akan kuberi dia imbalan yang besar….”
“Tetapi penujum tak bisa mengobati orang sakit,” ujar
Teng-si mengingatkan.
Kong Wan tiba-tiba tertawa.
“Ah, aku lupa!” katanya. “Memang, penujum bukan
tabib. Putri kita anak semata wayang, kalau dia tetap tidak
mau makan, itu bahaya. Kita berdua sudah berusia lanjut,
kita mengandalkannya. Apalah artinya hidup kita ini? Aku
akan sangat berterima kasih pada siapa saja yang sanggup
membuat putri kita mau makan….”
Selama suami-istri itu bicara, Kiok Ji hadir di sana, ia
tidak berkata apa-apa. Akan tetapi di lain saat, selagi
berkesempatan, dia pergi ke kamar nona majikannya
untuk menyampaikan padanya tentang pembicaraan
kedua orang tuanya.
Eng Tay berpikir keras setelah mendengar ibunya
hendak mengundang penujum. Ia lalu dengan tegas
bertanya pada Kiok Ji.
Abdi itu memastikan apa yang didengarnya, kemudian
menambahkan: “Tetapi Non, Nona belum juga makan,
kami semua bingung….”
“Jangan bingung, tidak apa-apa,” kata Eng Tay. “Terima
kasih untuk berita mu ini.”
Kiok Ji girang, setelah berpesan agar beritanya itu tidak
diketahui orang lain, dia mengundurkan diri.
Berita itu, bagaimanapun juga, melegakan hati Eng Tay.
Setelah berpikir sejenak ia berkata pada Gin Sim: “Kau
perhatikan datangnya si penujum itu. Kalau dia datang,
segera temui dia dan beri dia sejumlah uang. Utarakan
maksud Tuan Besar dan Nyonya Besar mengundangnya.
Kau jelaskan tentang akal kita ini, minta agar dia
menyiasati Tuan Besar dan Nyonya Besar. Katakan, asal
dia berhasil, akan kuberi dia imbalan yang akan
memuaskan hatinya.”
Gin Sim tertawa.
“Peramal yang biasa datang ke mari adalah Gow Ti-kaw,
si Mulut Besi, “ katanya. “Aku mengenalnya, aku akan
bicara denganya. Namun, bagaimana dengan aku, Nona?”
Eng Tay tersenyum. Ia maklum abdinya itu bergurau.
“Jangan kau tanyakan lagi,” katanya, “akan kuajak kau
serta!”
Sang abdi girang sekali, dia tertawa. Segera dia pergi ke
luar.
Petang hari itu Ciok Kong Wan dan Teng-si sedang
duduk bercakap-cakap di ruang dalam rumah mereka.
Mereka membicarakan urusan anak gadis mereka, yang
sedang membingungkan dan memusingkan mereka.
Beberapa kali tampak mereka hanya menghela napas
panjang.
Tiba-tiba saja, dari luar, dari ujung rumah, terdengar
suara ‘ting-ting, tang-tang’. Itulah suara yang mereka kenal
baik, suara pertanda dari seorang penujum, ahli tenung,
yang biasa lewat di tempat itu.
“Kebetulan sekali,” kata Kong Wan. “Kita sedang
berpikir akan mencari tukang tenung, eh, sekarang dia
lewat di sini!”
“Bukankah tak ada halangannya bila kita
memanggilnya?” kata Teng-si.
Belum lagi Kong Wan sempat menjawab, sekonyongkonyong
Gin Sim muncul.
“Nyonya Besar hendak memerintahkan sesuatu?”
tanyanya pada sang majikan.
“Di luar ada tukang tenung, coba kau panggil ke mari,”
kata si nyonya. “Ada yang hendak ku tanyakan….”
Gin Sim menyahut “Ya,” tetapi ia tidak segera memutar
tubuhnya untuk pergi ke luar, melainkan lebih dulu
menoleh pada tuan besarnya, yang ketika itu sudah
bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondarmandir
dengan wajah muram. Melihat hal itu, dia segera
cepat-cepat ke luar. Tak lama kemudian dia telah kembali
bersama seorang lelaki tua.
Teng-si melihat, seorang tua berbaju abu-abu
mengenakan ikat kepala, raut wajahnya Panjang dan
berewok. Di tangannya, orang itu memegang sebuah tangkeng
8 serta sepotong bumbung bambu.
Di depan nyonya rumah, orang tua itu segera menjura,
memberi hormat.
“Nyonya ingin menghitung-hitung sesuatu?” tanyanya
dengan hormat. “Saya Gow Ti-kaw, biasa meramalkan
segala hal. Penduduk di sekitar sini kenal siapa aku.”
Kong Wan sedang berdiri mengawasi tamunya itu.
“Ya, ada sesuatu yang ingin ku tanya,” jawabnya,
mendahului istrinya. “Dapatkah kau menerangkannya?”
“Tentu, tentu, Tuan Besar!” kata si tukang tenung
dengan cepat. “Yang Tuan Besar hendak tanyakan itu,
anak laki-laki atau anak perempuan?”
“Dia adalah putriku anak perempuan yang sedang
sakit” kata Kong Wan.
“Anak perempuan?” tegas si tukang tenung. Segera dia
menurunkan tang-keng sambil memegangi bumbung
bambunya. Dia menjurai ke langit tiga kali, kemudian
menggoyang-goyangkan bumbung bambunya, dan
akhirnya menuangkan isinya ke atas meja. Segera saja ke
luar, terjatuh, enam batang bambu rautan, kecil dan
pendek. Ke-enam batang bambu itu berjatuhan saling
susun.
8 Tang-keng: semacam alat musik terbuat dari batu atau kuningan.
Melihat hal itu si tukang tenung terkesiap, bahkan dia
berseru sendiri: “Ah, ini ramalan tidak baik! Tuan Besar
mengatakan putri Tuan sedang sakit, maka aku khawatir,
tidak sampai seratus hari akan ada bencana sinar merah
darah….”
Ciok Kong Wan terperanjat. Dia memang sedang
bingung, sekarang dia mendengar ramalan mengerikan itu.
“Merah darah!” katanya, suaranya tak jelas. “Lalu
bagaimana — adakah daya untuk menangkisnya? Apakah
bisa diperoleh pertolongan…?”
Dan sang ayah pun lantas mendongak ke langit. Di
dalam hati, dia memuji, memohon pertolongan Tuhan Yang
Maha kuasa.
Si tukang tenung tidak segera menjawab.
Teng-si pun cemas sekali, dia bangkit berdiri.
“Apakah ada daya untuk menghindarinya?” tanyanya
bingung.
Gow Ti-kaw tidak segera menjawab. Dia terus
mengawasi ciam-si 9 batang-batang bambunya itu, dia
tampak sedang berpikir keras. Baru sesaat kemudian,
terdengar suaranya.
“Ya, ada jalan untuk menghindarinya,” katanya
perlahan. “Putri Tuan harus pergi dari sini, ke tempat
sejauh tiga ratus li 10 dan di sana dia harus tinggal untuk
jangka waktu tertentu. Mungkin hal ini akan membuat dia
menemukan jalan keselamatan, malapetaka bisa berubah
menjadi keberuntungan. Lihat ramalan ini, enam saling
susun dan melintang. Ya, apalagi mengenai orang
perempuan, kepergiannya ke lain tempat tak boleh
ditunda-tunda lagi!”
Teng-si bingung.
“Dia justru putriku.” katanya.
“Menurut ramalan ini, apabila yang bersangkutan
adalah anak perempuan, dia mestinya sudah mengerti
9 Ciam-si: ramalan.
10 1 li = sekitar 579 meter.
ilmu budaya dan usianya sekarang di atas tujuh belas
tahun. Itu usia peralihan. Bukankah dia sedang berbaring
saja dan tidak mau makan atau minum? Bukankah dia
anak tunggal kedua orang tuanya? Inilah saat yang sangat
berbahaya! Tuan Besar dan Nyonya Besar, aku bicara
sebenar-benarnya, tetapi aku mengatakannya menurut
ramalan. Cocokkah itu?”
Teng-si menepuk meja.
“Ya, cocok ramalanmu itu!” katanya. Kemudian ia
berpaling pada suaminya dan berkata: “Suamiku,
bagaimana? Itulah bunyi ramalannya, maka kita perlu
bertindak cepat guna menghindari ancaman bahaya walau
untuk sementara waktu. Menurutku, sebaiknya kita
izinkan putri kita pergi….”
Ciok Kong Wan mengusap-usap janggutnya.
“Mengizinkan pergi ke Hang-ciu, bagaimana ya?” raguragu.
“Benar, pergi ke Hang-ciu!” ujar Gow Ti-kaw turut
bicara. “Di sana tidak ada ancaman ‘cahaya darah’,
bahkan tahun ini, di sana ada yang dinamakan ‘Tahun
Budaya’. Selain itu, tindakan ini pun adalah tindakan
menyingkirkan diri dari malapetaka untuk sementara
waktu saja.”
“Ya, suamiku, ku harap kau tidak ragu-ragu,” sambung
Teng-si.
“Kalau begitu, biarkanlah dia pergi….” kata Kong Wan
akhirnya, setelah bimbang beberapa lama. Mau tak mau,
hati kerasnya melunak.
“Ya, itu memang yang paling baik, Tuan Besar,” tegas, si
juru ramal. Di dalam hatinya dia girang bukan kepalang.
Kemudian ahli nujum ini mohon diri. Teng-si
membekalinya imbalan sebesar lima tahil perak. Maka
bukan main senang hatinya.
Cepat luar biasa, berita baik itu telah sampai ke telinga
Eng Tay. Bahkan selagi ayah dan ibunya masih duduk
membahas persiapan keberangkatan anak gadisnya ke
Hang-ciu, tiba-tiba putrinya itu telah muncul di ruang
tamu itu. Dua hamba sahaya wanita mengapitnya.
Eng Tay sudah berdandan rapi, rambutnya telah
tergelung, dan ia berbedak tipis.
Bukan main lega hati Teng-si. Ibu ini segera bangkit
dari kursinya dan berjalan menghampiri putri gadisnya itu.
“Kau sudah sembuh, Nak?” tanyanya. Jelas ibu ini
sangat menyayangi putrinya.
“Baru saja aku mendengar tentang datangnya penujum,
maka aku paksakan diri datang ke mari,” kata Eng Tay.
“Ketika aku mendengar kata-kata penujum itu dan Papa
menyatakan mengizinkan aku pergi, aku lantas sembuh
sama sekali.”
Kong Wan mengawasi putrinya itu.
“Ya, kau tampaknya sehat,” katanya.
Eng Tay segera mengucapkan terima kasih pada kedua
orang-tuanya itu. Ia memberi hormat. Sekarang ia tak
usah diapit lagi oleh kedua pembantunya.
Tiba-tiba sikap Kong Wan berubah menjadi dingin.
“Tadi kata-kata Papa itu hanya main-main saja!”
katanya kaku. “Perkataan Gow Ti-kaw tidak ada buktinya.
Papa meng-iya-kan saja agar dia lekas-lekas pergi….!”
Eng Tay terperanjat.
“Tetapi, Pa,” katanya, “penujum itu tidak bicara mainmain!
Lagi pula tadi Papa mengatakan di depan orang
banyak bahwa Papa sudah izinkan aku pergi melanjutkan
pelajaran ke Hang-ciu, mengapa sekarang Papa bicara
lain? Oh, Papa, putrimu ini sedang pilu hati….”
Teng-si, si ibu, juga terkejut. Ia mendekati anak
gadisnya itu dan merangkulnya.
“Nak, bicaralah baik-baik,” katanya membujuk.
“Tapi, Ma, kata-kata tadi, main-main atau bukan?”
tanya putrinya sambil menatap ibunya.
Teng-si bersikap tenang, bahkan dia tersenyum.
Kong Wan mengawasi anak gadisnya itu, pikirannya
bekerja keras.
“Apabila kau sudah mantap hendak pergi, pergilah,
Mama tidak menghalangimu,” katanya kemudian. “Tetapi
sebaliknya, Papa mempunyai tiga syarat berat. Asal kau
setuju kau boleh pergi, kalau tidak, sukar sekali….”
Gadis itu mengamati ayahnya.
“Baiklah, Pa, silakan Papa sebutkan tiga syarat itu,”
katanya cepat.
Kong Wan mengangguk. Ia berkata. “Kau akan
menyamar sebagai laki-laki, kau harus berhati-hati.
Apabila kau gagal, kau bisa merusak nama baik keluarga
Ciok kita!”
“Itu mudah, Pa,” kata putrinya. “Papa toh sudah
mengetahui, sejak kecil aku gemar dandan sebagai anak
lelaki. Tentang hal ini harap Papa jangan khawatir.”
Ketika itu Gin Sim yang hadir bersama, maju ke depan.
Dengan berani dia turut bicara. Katanya: “Nona akan pergi
ke Hang-ciu, ia membutuhkan pelayan untuk disuruhsuruh.
Maka dari itu, hambamu ini suka ikut serta.
Hamba juga akan menyamar sebagai laki-laki.”
Sang majikan mengamati abdinya, ia bersikap kaku.
Tetapi segera dia berkata: “Baiklah, kau boleh turut serta.
Tapi kau harus berhati-hati melayani Nonamu!”
“Tentu, Tuan Besar, tentu!” sahut si abdi cepat. Lalu ia
mengundurkan diri.
“Syarat yang kedua, Pa?” tanya Eng Tay dengan sabar.
“Sekarang ini sering sakit,” kata sang ayah, “maka dari
itu dengan kepergianmu yang akan mengambil waktu lama
ini, andaikata jatuh sakit dan Papa mengirim surat
padamu, kau harus segera pulang!”
“Ya, itu benar,” ujar Teng-si ikut bicara. “Kau tahu,
kepergianmu membuat Mama selalu memikirkan kau.
Mama memang ingin kau lekas pulang!”
Eng Tay mengangguk.
“Itu pasti, Ma” katanya. Terus ia menoleh pada ayahnya:
“Yang ketiga, Pa?” desaknya. “Ini agak sulit,” katanya.
“Sebutkan saja, Pa!” tantang putrinya. “Jangankan baru
agak sulit, asal aku diizinkan berangkat ke Hang-ciu,
walau harus menyerbu api, aku tak akan menolaknya!”
[]Ciok Kong Wan mengangguk.
“Baik!” katanya cepat. “Kau boleh pergi ke Hang-ciu,
namun kau harus ingat, dengan berada di sana kau jadi
terpisah jauh dengan Papa dan Mamamu. Kami tak
menjagamu, maka kau haruslah menjaga dirimu sendiri
baik-baik! Kau berdua saja dengan abdimu, kalian harus
saling membantu! Nanti, bila kau sudah pulang, akan ku
panggil bidan untuk memeriksamu. Aku harap bidan akan
menyatakan bahwa kau masih perawan. Itulah yang akan
membuat wajah kita bercahaya!”
Eng Tay menatap ayahnya itu.
“Kalau sebaliknya, bagaimanakah, Pa?” tanyanya.
“Apabila demikian, tak usah kau tanyakan lagi, kau harus
putuskan sendiri!” jawab sang ayah.
Gadis itu tersenyum.
“Ku kira ada kesulitan apa, Pa?” katanya. “Itu adalah
urusanku sendiri, tak usah Papa pikirkan, tak usah Papa
berpesan lagi. Nah, Pa, ketiga syarat Papa akan aku
penuhi!”
Teng-si lega hatinya. Semula dia sangat khawatir karena
belum mengetahui apa ketiga syarat suaminya itu. Sekian
lama ia mengerutkan dahi, namun tak berani dia turut
bicara. Sekarang semuanya beres!
“Nah, kau baru putri Papa yang baik!” katanya pada
putrinya itu seraya memegang tangan Eng Tay. “Sekarang,
Nak, kapan kau hendak berangkat?”
“Tanggal keberangkatannya, terserah Papa,” jawab
putrinya.
“Karena Papa telah meluluskan kau pergi,” kata Kong
Wan, “kau boleh berangkat dua hari lagi, esok kau boleh
ganti pakaian, lusa kau sudah bisa berangkat. Segala
pakaian dan lainnya, esok boleh perintahkan Ong Sun
berangkat lebih dulu, jadi lusa kau bisa berangkat dengan
leluasa. Akan Papa sediakan seekor kuda. Gin Sim akan
membawa bungkusan barang-barang keperluan seharihari.”
“Terima kasih, Pa,” kata Eng Tay. “Terima kasih, Papa
sangat memperhatikan segala keperluanku. Baiklah, lusa
aku berangkat!”
Sehabis berkata, Eng Tay mengajak Gin Sim kembali ke
kamarnya untuk menyiapkan segala sesuatu.
Maka, dua hari kemudian, majikan dan abdinya itu
sudah bisa memulai perjalanannya. Hari itu pun langit
terang-benderang. Satu hari lebih awal, Ong Sun telah
berangkat. Gadis itu memohon doa restu selamat jalan
kepada ayah-ibunya, demikian juga sang abdi kepada
majikannya itu.
Berbeda dari hari-hari biasanya, kali ini Eng Tay
tampak seperti seorang pemuda pelajar yang tampan.
Bajunya biru, sepatunya hitam. Ia tidak memakai bedak,
wajahnya terlihat putih bersih. Gin Sim juga menjadi
seorang pemuda. Ia memakai kopiah hijau dan baju ketat
berwarna hijau juga, hingga mirip sekali pelayan anak
sekolah.
Di saat hendak berangkat, Eng Tay memberi hormat
pada ayah-bundanya. Dan kedua orangtuanya itu
menyampaikan pesan-pesan mereka. Sang ayah dan ibu
hendak mengantar anak gadisnya, tetapi putrinya itu
menolak.
Eng Tay menunggang seekor kuda berbulu merahcoklat.
Kong Wan dan Teng-si mengawasi putrinya sampai ia
dan Gin Sim lenyap dari pandangan.
Di tengah perjalanan Eng Tay menanyakan abdinya,
“Kau kuat menggendong bungkusan itu atau tidak?”
“Kuat, Non,” jawab si abdi. “Saya kuat mengangkat
barang seberat empat puluh kati 11 sedangkan bobot
bungkusan ini tak ada separuhnya!”
Eng Tay tertawa.
“Kita berjalan santai saja,” katanya. “Sekarang musim
ketiga, bunga-bunga sedang mekar dengan indahnya. Ya,
kita berjalan seperti sedang pesiar saja. Bagaimana, kau
setuju?”
11 1 kati sama dengan 6,25 ons.
“Tentu, Non,” sahut sang abdi, sang kacung sekarang.
“Kita bisa berjalan perlahan-lahan, atau istirahat di bawah
pohon yang rindang….”
“Kau benar,” kata gadis itu.
Demikianlah, nona dan hambanya itu berjalan
perlahan-lahan, namun sampai tengah hari mereka telah
melalui kira-kira dua puluh U.
“Ini adalah hari pertama kita. Kita jangan berjalan
sampai terlalu letih,” kata Eng Tay. “Di depan, kalau ada
rumah penginapan, sebaiknya kita singgah dulu.”
Gin Sim setuju, maka hari itu, sang malam dilewati di
tempat penginapan. Keesokan paginya, mereka berangkat
lagi, masih saja dengan santai sehingga mereka tak merasa
lelah.
Pada suatu lohor, tiba-tiba saja majikan dan hambanya
itu menjadi repot. Cuaca sekonyong-konyong berubah,
langit mendadak mendung!
“Ah!” seru Gin Sim. “Hujan akan turun, kita perlu
segera mendapatkan rumah penginapan!”
Di atas kudanya, Eng Tay melihat ke sekeliling.
Mendung di mana-mana.
“Benar, hujan akan segera turun!” katanya. “Di mana
ada pondokan? Atau kita mampir saja di rumah
penduduk?”
Gin Sim pun menoleh ke sekitarnya.
“Ya, kita cari rumah penduduk saja….” katanya.
Gadis itu mengangguk.
Di arah selatan tampak sebuah tempat perhentian.
Segera ia menggebah kudanya untuk berlari ke sana. Gin
Sim lari mengikuti. Di tepi jalan mereka melihat sebuah
teng. 12
Ke tempat perhentian itu, mereka menuju. Di sisi teng
itu ada beberapa pohon yang-liu yang besar. Ada pula satu
bukit kecil dengan sebuah susukan, atau kali kecil. Di
pinggirnya, tumbuh rumput-rumput hijau.
12 Teng: paviliun terbuka, dibuat menyerupai gubuk.
“Indah sekali pemandangan alam di sini,” kata Gin Sim
yang juga mengamati sekitarnya. “Sungguh menarik kalau
dibuatkan syair.”
“Kau benar,” kata Eng Tay kepada abdinya itu. “Coba
kau dengar.”
Dan gadis itu langsung mengalunkan suaranya yang
halus dan merdu:
“Angin besar berhembus dari arah selatan,
Menggoyang-goyang pohon murbei di persawahan,
Perjalanan jauh melelahkan si pelancong,
Hingga ingin ia singgah di antara pepohonan.
Eh, tanpa terasa paviliun basah kehujanan….”
“Bagus!” ujar Gin Sim memuji. Tetapi mendadak
tangannya menunjuk ke jalan besar.
“Lihat di sana!” katanya. “Ada seorang penunggang
kuda dengan menggendong buntalannya sedang mendekat.
Ya, dia sedang menuju ke mari. Jelas dia pun ingin
berlindung dari hujan.
4
Pertemuan Pertama
MENDENGAR suara abdinya, Eng Tay berpaling. Benar
saja, seorang anak muda sedang menuju teng itu. Dia
menunggang seekor kuda berbulu dauk, putih-kelabu. Di
belakangnya, berlari-lari seseorang sambil menggendong
buntalan.
“Tuan Muda, di dalam teng sudah ada orang lain!” kata
pengikut itu, yang mendahului maju. Dia melihat Eng Tay
dan Gin Sim.
“Ya,” sahut si anak muda yang dipanggil “Tuan Muda”
itu. Segera si anak muda juga meloncat turun dari
kudanya. Dia mengenakan baju biru, berdandan sebagai
seorang pelajar, hanya saja, bahan pakaiannya kasar,
hingga jelas dapat diterka bahwa dia bukanlah dari
keluarga berada. Namun, dia tampan dan gerak-geriknya
halus.
Ketika memasuki teng, menghadap Eng Tay, dia
memberi hormat seraya berkata dengan tenang: “Maaf,
hujan besar akan segera turun, aku mohon agar dapat ikut
berlindung di sini”
Eng Tay membalas hormatnya.
“Silakan!” katanya. “Benar, akan turun lebat. Kami pun
sedang berlindung di sini.”
Waktu itu, masuklah kacung si anak muda. Dia
mengenakan baju abu-abu. Usianya baru sekitar delapan
belas atau sembilan belas tahun. Dia melangkah masuk
sambil mengusap peluh di wajahnya.
Sementara itu kuda mereka, yang ditambat berdekatan,
berkelahi hingga saling mendupak. Kacung si anak muda
itu segera lari untuk memisahkan. Gin Sim pun cepatcepat
memisahkan kuda nona majikannya.
“Penuntun kuda, kau datang dari mana?” tanya si
kacung kepada Gin Sim.
Yang ditanya menatap, tetapi tidak menjawab.
“Ah, gagu barangkali! “ kata, kacung itu.
“Kau lah yang gagu!” kata Gin Sim kemudian.
Kacung itu mengawasi. Tampak dia heran.
“Kalau tidak gagu, kenapa kau diam saja?” tanyanya.
“Kau tahu, manis budi itu mendatangkan uang!” kata
Gin Sim keras. “Kau menyapa orang, mengapa mendadak
kau panggil orang dengan sebutan penuntun kuda? Aku
merasa tak enak mendengar kata-katamu itu, maka aku
tidak menjawab. Kau tak tahu sopan-santun!”
Mendengar demikian, si kacung tertawa.
“Ah, maaf, aku benar-benar salah,” katanya. “Kak,
terimalah hormat adikmu….,” dan dia pun terus menjura
dalam.
Gin Sim tertawa, dia membalas hormat.
“Dan kau, kau datang dari mana?” ia balas bertanya.
“Dari dusun Nio di Hwe-ke,” sahut si kacung.
“Lain tujuanmu ke mana?”
“Ke Hang-ciu, untuk sekolah.”
“Kau pergi hendak belajar?”
“Bukan aku, tetapi Tuan Mudaku itu.”
“Itukah tuan mudamu?”
“Benar,” sahut si kacung sambil menunjuk ke teng. Di
saat itu, si anak muda itu sedang memperhatikan langit,
mengamati awan.
“Aku juga hendak bertanya kepadamu,” kata si kacung
kemudian. “Kalian datang dari mana?”
“Dari dusun Ciok.”
“Tujuannya?”
“Sama dengan tuanmu, ke Hang-ciu, untuk
meneruskan pelajaran.”
“Jadi kau lah yang hendak sekolah?” “Bukan, tetapi
Tuan Mudaku
“Bagus sekali!” seru si kacung. “Sekarang aku numpang
tanya, siapa nama Kakak?”
“Namaku Gin Sim. Gin, perak, Sim, hati. Kau sendiri?”
“Aku? Namaku Su Kiu. Su, empat, Kin, sembilan, sebab
aku dilahirkan ketika ayahku berusia empat puluh
sembilan tahun….”
“Cukup sudah kita bicara,” kata Gin Sim. “Mari kita
mendatangi majikan kita.”
“Ya,” kata Su Kiu. Maka mereka bersama-sama
memasuki teng.
“Kalian bicara apa saja?” tanya si pemuda marga Nio
pada kacungnya.
“Apakah Tuan Muda tidak mendengar pembicaraan
kami?”
“Dengar tetapi tidak jelas.”
“Tuan Muda itu juga sama seperti Tuan Muda, hendak
sekolah di Hang-ciu.”
“Kalau demikian, kebetulan sekali,” kata si majikan.
“Nanti ku temui dia.”
Dan segera dia menghampiri Eng Tay. Ia memberi
hormat sambil terus berkata: “Kak, tadi Su Kiu memberi
tahu aku bahwa Anda juga hendak sekolah di Hang-ciu,
benarkah?”
“Benar,” sahut. Eng Tay sambil memberi hormat. “Dan
Kakak sendiri?”
“Juga mau sekolah di Hang-ciu. Kakak sebenarnya dari
mana?”
“Aku dari dusun Ciok. Anda dari mana?” “Dari dusun
Nio di Hwe-ke.”
“Sungguh kebetulan!” kata Eng Tay. “Inilah yang
dikatakan: senikmat-nikinatnya air dari dusun!”
“Ya,” ujar si anak muda menimpali, “seerat-eratnya
sesama orang desa!”
Maka tertawalah keduanya.
“Di sana ada kursi batu, mari kita duduk,” ajak Eng
Tay.
“Mari!” kata si pemuda bermarga Nio itu.
Mereka menghampiri kursi batu itu. Sekali lagi mereka
saling memberi hormat, baru mereka sama-sama duduk,
berhadapan.
“Kakak siapa?” tanya Eng Tay kemudian.
“Aku Nio San Pek,” sahut orang yang ditanya. “San,
gunung dan Pek, paman-tua. Kakak sendiri?”
“Aku Ciok Eng Tay. Ciok dari ciok-hok, beruntung, Eng
dari eng-hiong, pendekar, dan Tay dari law-tay, rumah
susun. Kakak mau pergi ke Hang-ciu, guru manakah yang
kakak cari?”
“Aku hendak menemui pak guru tua Ciu Su Ciang di Ni
San. Kakak sendiri?”
“Kebetulan, kita sama-sama mencari guru yang sama!
Kata orang, guru Ciu mempunyai murid-murid dari tempat
lain.”
“Begitulah kata orang,” kata San Pek.
Ketika itu tampak awan tebal bergerak, lalu berkelebat
sinar kilat. Segera guntur menggelegar nyaring bertalutalu,
diselang-selingi kilat. Dan akhirnya, turunlah sang
hujan, lebat sekali.
Gin Sim dan Su Kiu, yang berdiri di luar teng, segera
berlari ke pinggir, berdiri di sisi teng.
“Su Kiu, hujan begini besar, kau takut atau tidak?”
tanya San Pek pada kacungnya.
“Hujan bagiku, tidak ku takuti, namun tadi baru saja,
yang menggelegar memekakkan telinga, aku agak….”
“Takut, ya?” sambung majikannya. “Itu wajar. Tetapi
kita ya kita, guntur ya guntur, tak ada sangkut-pautnya.”
“Anda benar,” kata Eng Tay. “Siapa pun, pada saatnya,
merasa takut. Namun kita, karena hujan turun dengan
lebat, kita jadi harus tinggal lebih lama di sini. Kak, di kota
Hang-ciu, apakah Anda mempunyai sanak-saudara?”
“Tidak ada. Bagaimana dengan Kakak sendiri?”
“Aku juga tidak punya kerabat di sana.”
“Jadi, kita berdua sama saja,” kata San Pek lagi. “Eh,
ya, apakah Anda mempunyai saudara?”
“Aku hanya sendiri. Tapi, Anda, Kakak Nio?”
“Kalau demikian, kembali kita sama saja. Aku sebatang
kara. Ya, sang hujan membuat kita bertemu satu sama
lain. Kita bagaikan berjodoh….” Setelah berkata demikian,
San Pek menghela napas.
“Ya, memang kebetulan sekali! “ kata Eng Tay.
San Pek menoleh pula ke luar, hujan mulai reda. “Kalau
tidak keliru, sebentar lagi kita sudah bisa berangkat,”
katanya. Terus ia bangkit, berjalan ke luar dengan langkah
perlahan.
Kedua kuda mereka berteduh di bawah atap di samping
teng.
“Lihat,” kata San Pek tertawa. “Sekalipun kuda, dia
takut hujan! Dasar binatang dia pun punya perasaan!” Eng
Tay berdiam diri.
“Lihat,” kata San Pek pula, “hujan semakin reda. Di
barat-daya, langit sudah terang, gedangkan mega mulai
bergeser ke tenggara. Sebentar lagi langit jernih dan kita
bisa melanjutkan perjalanan!” Sambil berkata begitu,
pemuda ini menunjuk ke arah awan.
Eng Tay bangkit dari duduknya, ia memandang ke arah
yang ditunjuk si pemuda. Hujan memang sudah berhenti
dan langit sudah terang. Matahari mulai muncul. Daun
pepohonan tampak hijau segar. Bunga-bunga pun
kelihatan cantik, terlebih-lebih kembang sepatu. “Sungguh
suatu pemandangan yang indah!” gadis itu memuji. “Hujan
ini membangkitkan kesegaran!”
Mendengar perkataan gadis itu, Gin Sim dan Su Kiu
turut memandang ke luar. “Benar-benar indah!” kata Su
Kiu. “Sayang sekali aku tak dapat menguraikannya. Eh,
ya, Tuan Muda,” lanjutnya pada majikannya, “kenapa
Tuan Muda tidak mau bersyair? Kebetulan di sini ada
Tuan Muda Ciok, kalau Tuan Muda membuat satu bait,
Tuan Muda Ciok dapat menanggapinya….”
San Pek tertawa. “Tak kusangka kau gemar syair!”
katanya. “Di sini ada Tuan Muda Ciok, jika aku bersyair,
pasti akan jadi bahan tertawaan!”
“Kakak Nio, jangan bergurau!” kata Eng Tay. “Aku
justru ingin sekali belajar dari Anda. Kakak Nio, silakan
bersyair untuk membuka kepicikanku.”
“Ah, tak usahlah kita bersyair,” kata San Pek menolak
“Kalau Anda tidak berkeberatan, sebaiknya kita bicara
tentang Co Cu Kian.”
“Co Cu Kian si Co Pi, putera yang pandai dari Co Coh
semasa Dinasti Han?”
“Benar, Kakak Ciok. Co Cu Kian memang pandai sekali.
Anda lihat di hadapan kita, bukankah itu ‘Jauh
memandang ribuan li, seluruhnya hanya tampak tanah
datar’?”
Inilah salah.satu syair si Co Pi itu.
Eng Tay tertarik, tanpa terasa, ia menimpali. Maka
berdua, muda-mudi itu bagaikan tenggelam dalam syair.
“Kakak Ciok, Anda benar-benar.pandai!” ujar San Pek
akhirnya memuji.
“Kakak hanya menyanjung!” kata Eng Tay tertawa.
Kemudian ia menambahkan. “Kita sekarang hendak
sekolah, aku merasakan suatu kebimbangan….”
“Apakah itu, Kakak Ciok?” tanya San pek, ia tak
mengerti.
“Tentang guru Ciu di Hang-ciu. Aku tak mengerti
mengapa dia tidak menerima murid perempuan? Ya,
bahkan di seluruh negeri kita sekarang ini tidak ada
sekolah khusus wanita! Bukankah itu tidak adil?”
“Kakak benar, namun itulah masalah umum. Hal itu
bukan soal sehari semalam.”
“Tetapi, di zaman dinasti Han Timur, bukankah sudah
ada guru yang menerima murid wanita?” kata Eng Tay.
“Ingat saja pada Pan Ciao, ia sangat terpelajar hingga ia
mencoba mengarang kitab sejarah Kerajaan Han. Juga
Boen Kie, putri Coa Yong, yang terdampar ke tangan suku
Hiong-now. Tetapi syukur dia dapat ditolong oleh Co Coh
yang menebusnya dengan uang emas dalam jumlah besar.
Bahkan dia memahami juga ilmu musik. Hanya sayang,
mereka itu tak tercatat luas dalam sejarah….” 13
13 Pan Ciao (Pan Chao) alias Hui Chi, adik dari Pan Ku. Pan Ku menulis buku
sejarah Kerajaan Han. Sayang sekali, sebelum selesai, ia telah tiada. Tetapi karyanya
itu diteruskan oleh Pan Ciao, adik perempuannya. Sedangkan, Coa Yong (Tsai Yung)
alias Pei Chiai, juga orang zaman dinasti Han Timur, berkat kepandaiannya, pernah
San Pek tertawa. “Kakak Ciok, bicaramu beralasan
sekali,” katanya. “Ku pikir, kalau nanti Kakak sudah lulus,
Kakak dapat membangun sekolah yang menerima muridmurid
wanita….”
Sehabis berkata, pemuda bermarga Nio itu segera
mengalunkan syair Coa Yong — syair ‘Memberi minum
kuda di kobakan jalanan Tembok Besar’. Begini bunyi syair
yang dialunkan itu:
Hijau-hijau rumput di tepian sungai,
Tak hentinya memikirkan perjalanan nan jauh,
Jalanan nan jauh tak bertepi,
Tempat penginapan terlihat dalam mimpi….”
Eng Tay pun tertawa.
“Kakak Nio,” katanya, “Hebat, Anda dapat menyanyikan
syair Coa Long-tiong. Anda hapal sekali!”
“Itu karena tadi aku tertarik oleh syair Anda,” kata San
Pek.
Di saat itu, hujan telah benar-benar berhenti.
Pepohonan tampak luar biasa segar. Hawa hujan, bagaikan
halimun menaungi teng. Berkat pengaruh daun
pepohonan, pakaian orang bagaikan berwarna hijau pula.
Dengan berhentinya curahan air dari langit, mentari
pun mulai muncul untuk menerangi jagat, untuk
memudahkan orang yang sedang melakukan perjalanan.
Sawah ladang pun tampak hijau semua….
Diam-diam San Pek mengagumi Eng Tay, sahabat baru
yang ia anggap tampan, terpelajar dan pandai bersyair itu.
Lalu ia berkata:
“Sekarang langit cerah sekali, marilah kita lanjutkan
perjalanan kita. Kakak Ciok, selama dalam perjalanan kita
ini, aku sangat mengandalkan bantuan Anda. Di Hang-ciu
nanti, harap saja Anda belajar dengan sungguh-sungguh
menjabat sebagai sekretaris suatu kementrian. Sayang sekali, karena ulah “Durna,”
dia dihukum buang, namun setelah bebas dan kembali, oleh Tung Cho (Tang Toh) ia
diberi pangkat bahkan gelar kebangsawanan.
guna mencapai cita-cita Anda. Ya, bantuan Anda sangat ku
butuhkan! Kak, pertemuan kita di tengah jalan ini
sungguh luar biasa, bukan kebetulan belaka….”
“Kakak Nio, Anda benar,” kata Eng Tay. “namun Anda
terlalu memuji. Sebenarnya, aku tidak berbuat apa-apa….”
Nio San Pek diam sejenak, agaknya dia sedang berpikir.
“Kak, ada sesuatu yang tak dapat tidak, saya mesti
mengatakannya,” katanya kemudian.
Eng Tay agak heran, ia menatap.
“Apakah itu, Kak?” tanyanya. “Kita baru bertemu tetapi
kita sudah bagaikan sahabat lama, kalau ada yang ingin
Kakak katakan, silahkan katakan.”
“Rumah sekolah di Ni San itu, pasti banyak muridnya,”
kata San Pek, “karenanya tak heran bila banyak orang
banyak pikirannya, beda pendapatnya pula. Tidak
demikian dengan kita berdua, kita sama dalam segala hal,
maka esok lusa, jika Kakak hendak mengatakan sesuatu,
katakan saja. Aku senang menerimanya. Ya, kuharap bisa
menerima lebih banyak petunjuk dari Kakak.”
Mendengar demikian, Eng Tay tersenyum. Ia
mengangguk.
“Bagus, Kakak Nio!” katanya. “Bagus, pikiran Anda
sama dengan pikiranku. “Baiklah, kelak kita tidak boleh
sungkan. Harap Kakak pun sudi mengajariku.”
Sementara itu, Su Kiu yang berada di luar berkata pada
Gin Sim: “Kak Gin Sim, kau dengar atau tidak? Majikan
kita telah sama-sama memperoleh kecocokan, maka dari
itu juga, kita harus bisa bekerja sama! Bagaimana kalau
kita pun minta pak guru nanti mengajari kita…?”
Gin Sim menoleh pada Eng Tay, agaknya ia ingin bicara,
tetapi gagal.
“Kata-kata Su Kiu itu benar,” kata San Pek, mendahului
Eng Tay.
“Ya, benar,” kata Eng Tay. “Belajar ilmu budaya adalah
baik sekali. Tentang hal ini sebaiknya kita bicarakan nanti
saja….”
Gin Sim tidak berkata apa-apa, ia hanya repot
mengurus buntalannya.
San Pek melihat buntalan Eng Tay kecil, ia heran.
“Kakak membawa sedikit persediaan, apakah nanti di
Hang-ciu Kakak hendak belanja juga?” tanyanya.
Eng Tay tertawa.
“Sebenarnya ketika berangkat ke sini, aku membawa
dua orang pembantu,” ujarnya menerangkan. “Yang
seorang, Ong Sun, sudah berangkat lebih dulu. Kalau
tidak keliru, dia mungkin sudah sampai di Hang-ciu. Apa
yang Gin Sim bawa sekarang, hanya keperluan di tengah
jalan.”
“Sekarang aku baru mengerti,” sahut Su Kiu turut
bicara. “Tadinya aku heran dan hendak minta keterangan
Kakak Gin Sim, kenapa dia membawa barang sedikit saja.
Oh, kiranya barang-barang Tuan Muda Ciok sudah dibawa
lebih dulu….”
“Kakak Ciok,” kata San Pek, “jika kau merasa dingin,
sebaiknya pakai saja bajuku.”
“Terima kasih!” kata Eng Tay. “Telah kusediakan
bajuku.”
Ketika itu langit sudah jernih sekali, San Pek lantas
berkata pula pada sahabat barunya: “Kak, mari kita
berangkat. Dalam perjalanan kita dapat mengobrol lagi.”
Eng Tay menoleh ke sekitarnya.
“Anda benar, Kakak Nio,” katanya. “Namun, di belakang
hari, tak dapat ku lupakan teng ini. Pemandangan alam di
sekeliling ini indah sekali, segalanya tampak bagaikan
baru….”
San Pek tertawa.
“Kakak Ciok, Anda benar sekali” ujarnya memuji. Eng
Tay pun tertawa, ia berkata: “Aku mengatakan apa
adanya.”
San Pek tertawa pula.
Sementara itu Gin Sim dan Su Kiu telah siap dengan
kuda mereka. Mereka menanti di jalan besar, San Pek dan
Eng Tay menghampiri mereka. Setelah saling mengalah,
San Pek menaiki kudanya terlebih dulu, barulah Eng Tay
menyusul. Kemudian, Su Kiu, dan Gin Sim menguntit
dengan masing-masing gendongannya.
Mereka berjalan di jalan besar, akan tetapi di kiri dan
kanan mereka, masih sempat mereka saksikan sawah
ladang dengan kelokannya, yang semuanya memberikan
pemandangan yang melapangkan hati.
Mereka melihat dan mendengar burung-burung sawah
yang berterbangan. San Pek memuji, saking riang hatinya.
Perjalanan itu pun tidaklah terasa sunyi.
5
Menjadi Saudara
SETELAH perjalanan tiga hari lamanya, tibalah San Pek
dan Eng Tay serta para abdi mereka di kota Hang-ciu, kota
tujuan mereka. Hati mereka pun lega.
Kata Eng Tay kepada San Pek. “Seperti telah ku
katakan, orangku, Ong Sun, sudah berangkat terlebih
dulu, maka sekarang aku hendak mencarinya. Ku pikir,
sesudah kita tukar pakaian, kita dapat bersama-sama
mengunjungi guru Ciu. Bagaimana menurut Kakak?”
“Terserah Anda, aku menurut saja,” sahut San Pek.
Tidak sulit bagi Eng Tay mencari Ong Sun di tempat
penginapannya. Sekalian saja, ia juga memakai
penginapan itu. San Pek pun menginap di tempat yang
sama.
Sisa hari itu, sampai malamnya, dilewati dengan
beristirahat. Keesokan paginya, setelah sarapan dan
berdandan, San Pek dan Eng Tay berangkat ke Ni San,
mencari rumah perguruan pak guru tua Ciu Su Ciang.
Mudah saja menemui sekolah yang dicari itu, temboknya
yang putih sudah terlihat dari jauh.
Di dalam pekarangan tampak banyak rumpun bambu,
sampai di dekat pintu.
Persis ketika kedua anak muda itu sampai di depan
pintu, dari dalam muncul seorang pria, yang segera
menanyakan siapa gerangan yang mereka cari.
“Aku Nio San Pek dan ini sahabatku, Ciok Eng Tay,”
ujar San Pek memperkenalkan diri. “Kami sengaja datang
ke Hang-ciu guna menemui pak guru Ciu, untuk sekolah.
Dapatkah Anda memberitahukan kedatangan kami ini?”
“Aku adalah penjaga pintu di sini,” orang itu
memperkenalkan diri. “Sudah lama pak guru Ciu
membuka rumah perguruannya ini, muridnya seratus
orang lebih, banyak yang datang dari lain tempat.
Majikanku orang yang baik budi, dia biasa tidak menampik
kunjungan para tamu. Sekarang silakan Tuan berdua
menanti di sini, akan aku beritahu dulu.”
San Pek dan Eng Tay menunggu. Penjaga itu pergi
sebentar, kemudian muncul lagi untuk mengundang kedua
tamu ini masuk. Di ruang tengah terdapat sebuah meja
panjang yang di atasnya dipenuhi berbagai kitab gulung,
yang biasa disebut chuan. Sebuah rak buku pun terdapat
di situ.
Tuan rumah terlihat memakai kopiah serta baju biru,
janggut putihnya terbelah tiga, panjangnya tiga atau empat
inci. Ia sedang berdiri, memandang ke luar hingga abdinya
bersama dua orang tamunya, tiba di hadapannya.
“Inilah Bapak Guru kami,” kata si penjaga kepada
kedua tamunya, memperkenalkan majikannya. Setelah itu
ia cepat mengundurkan diri.
Segera juga San Pek dan Eng Tay menjura, memberi
hormat pada tuan rumahnya. Mereka pun lantas
memperkenalkan diri.
Tuan rumah membalas hormat. Setelah perkenalan itu,
ia berkata dengan ramah: “Dua Saudara, silakan duduk!
Mari kita bicara perlahan-lahan.” Ia menunjuk pada kursi,
setelah itu ia pun mengambil tempat duduk, menghadap
kedua tamunya itu.
San Pek dan Eng Tay mengucapkan terima kasih, lalu
mereka mengambil tempat duduk.
“Bapak Guru, kami berdua datang ke mari karena kami
telah mendengar nama besar Anda,” kata San Pek
kemudian. “Sebenarnya sudah sejak lama kami berniat
berkunjung, tetapi baru hari ini kami tiba di sini. Kami
datang untuk memohon agar Anda sudi menerima kami
sebagai murid. Saudara Eng Tay ini, aku berjumpa
dengannya di tengah jalan, ternyata maksud kami sama
sehingga kami lantas berjalan bersama-sama. Bapak Guru,
demikianlah maksud kunjungan kami ini.”
Ciu Su Ciang mengangguk sambil mengelus janggutnya.
Dengan sorot matanya yang tajam, ia mendapat kenyataan,
Eng Tay berbeda sedikit dari San Pek. Mereka sama-sama
muda dan tampan, tetapi yang bermarga Ciok agaknya
lebih manis.
“Saudara Ciok, jadi kau pun datang dengan maksud
yang sama dengan Saudara Nio ini?” tanyanya pada tamu
yang tampan-manis itu.
Eng Tay mengangguk, ia membenarkan.
“Apakah Saudara sekalian membawa sesuatu naskah?”
tanya Su Ciang kemudian.
San Pek dan Eng Tay merogoh saku masing-masing,
lalu mengeluarkan naskah tulisan yang telah mereka
persiapkan sejak di rumah. Mereka menyerahkannya.
Ciu Su Ciang menerima, terus ia membuka naskahnaskah
itu bergantian untuk dibaca. Cepat sekali ia
membacanya.
“Baiklah!” katanya kemudian, “ku terima kalian menjadi
murid-muridku. Muridku seluruhnya ada seratus delapan
orang dan kuliah diselenggarakan setiap hari kedua,
keempat dan keenam. Ruang kuliahnya ada di belakang
sana, di sana pula letaknya asrama. Hari-hari lainnya
dipakai oleh para murid untuk belajar sendiri atau
menanyakan segala sesuatu, dan aku akan senantiasa siap
membantu kalian semua. Akan ku jawab segala sesuatu
sejauh yang ku ketahui. Kalau ada naskah, boleh ditinggal
di sini diperiksa untuk nanti.”
Kedua anak muda itu girang bukan-kepalang.
“Terima kasih, Pak Guru!” kata mereka, yang lalu
mohon agar gurunya duduk karena mereka akan
menunaikan penghormatan pertanda mereka telah
diterima sebagai murid. Mereka menjura sebanyak empat
kali.
“Karena kalian berdua sudah menjadi sahabat karib,”
kata guru Ciu kemudian, “sebaiknya kalian mengambil dua
kamar di belakang sana, yang satu untuk kamar tidur,
yang lainnya untuk kamar belajar dan beristirahat.”
“Terima kasih, Pak Guru!” kata San Pek. “Kami masing
masing sebenarnya masih mempunyai seorang pengikut,
mereka juga membutuhkan tempat….”
“Kalau begitu, mereka boleh menempati dua kamar
yang kecil di samping,” kata sang guru lagi. “Kedua kamar
itu berhadapan dengan kamar kalian. Dengan dekatnya
mereka, mudah bagi kalian nanti menyuruh mereka.”
Kembali San Pek dan Eng Tay mengucapkan terima
kasih. Karena pembicaraan sudah selesai, keduanya lalu
mohon diri untuk kembali ke tempat penginapan mereka.
Esok harinya mereka sudah bisa mulai pindah.
Kedua ruang kamar yang disediakan sudah dibersihkan
oleh pembantu Ciu Su Ciang sehingga para penghuni baru
itu bisa datang, masuk dan mengatur hal yang lain tanpa
perlu susah-payah.
Di halaman depan kamar mereka, di bagian selatannya,
terdapat dua pohon kamper yang besar sehingga kamar
menjadi teduh. Di bagian belakang ada pintu serta jendela
yang menghadap ke sebuah halaman-dalam yang kecil dan
ditanami banyak sekali pohon bambu halus. Bahkan ada
dua pohon yang-liu besar. Pekarangan itu dikelilingi
dengan tembok putih. Dari luar tembok sering terdengar
derap langkah kaki kuda, rupanya di sebelah luar itu
adalah jalan umum.
Di dalam kamar telah tersedia ranjang dan meja. “Kak,
kamar yang belakang itu baik sekali,” kata Eng Tay.
“Kalau begitu, sebaiknya Kakak saja yang menempati,”
kata San Pek, yang berdiri di belakang Eng Tay — ya,
seorang pemuda ganteng di mata orang bermarga Nio ini.
“Kelihatannya Pak Guru sangat memperhatikan kita,
beliau melihat kita saling akrab sehingga kita diberi kamar
ini.”
Eng Tay mengangguk, lantas ia melangkah ke kamar
yang belakang itu. Tetapi tiba-tiba dia berseru perlahan:
“Ah…!”
San Pek heran. Ia menghampiri kawannya itu. “Kak, ada
apa?” tanyanya. “Anda agaknya kaget….” “Kakak Nio,
apakah Anda tidak merasakan sesuatu?” dia balik
bertanya. “Apa itu, Kak?”
“Ruang belakang ini tidak punya pintu tembus ke
luar…,” ujar Eng Tay menjelaskan. Nio San Pek tertawa
lebar.
“Tidak aku tidak merasakan hal itu aneh,” sahutnya.
“Ini wajar-wajar saja. Menambah pintu di belakang berarti
tambah berabe….”
Eng Tay diam, agaknya ia sukar bicara lebih jauh.
Tetapi toh akhirnya ia berkata juga. Katanya: “Memang
benar kita harus lebih berhati-hati sedikit, namun, ada
pintu penghubung lebih baik, bukan?”
“Kalau Kakak menganggap demikian, baiklah,” kata San
Pek akhirnya.
Eng Tay membungkam, akalnya bekerja. Ia seorang
wanita, ini harus ia ingat baik-baik. Ia harus menyimpan
baik-baik rahasia dirinya itu, tak boleh ia menimbulkan
kecurigaan orang. Maka akhirnya ia tertawa, lalu berkata:
“Tidak apa-apa, Kak, aku sekedar berpikir saja. Ya, Kakak
benar.”
San Pek tidak tahu apa yang dipikirkan kawannya itu,
ia hanya tertawa. Lantas ia menyuruh Su Kiu dan Gin Sim
merapikan kamarnya itu. Ia pun menanyakan tentang
kamar kacungnya.
“Itu, di sebelah kiri,” jawab Su Kiu.
“Gin Sim, apakah ada yang kurang tepat?” tanya Eng
Tay pada abdinya.
“Tidak, tidak ada,” sahut si abdi. “Hanya tembok di sini
banyak lubangnya, andaikata Su Kiu mengintai, rasanya
kurang enak….”
“Ah, kalau tembok banyak lubangnya, apakah kau
takut ku intai?” tanya Su Kiu. “Kalau demikian, apa yang
hendak ku lihat? Sudah ada pintu, tak cukupkah itu?”
Eng Tay turut bicara. Katanya: “Su Kiu, kau tak kenal
Gin Sim. Sejak kecil, dia punya penyakit. Dia takut diintip
orang….”
“Kalau begitu, baiklah, aku tak akan mengintip….!” kata
Su Kiu.
Hingga di situ, kedua kacung itu segera bekerja,
merapikan ini dan itu. Belum sampai tengah hari mereka
sudah selesai. Melihat hal itu, kedua tuan mereka merasa
puas.
“Ah, aku teringat sesuatu,” kata San Pek suatu sore.
Ketika itu, Eng Tay sedang memasang lilin, yang
ditancapkannya di tempat lilin. Setelah itu, dia duduk.
Tapi dia toh bertanya: “Apa itu, Kakak Nio?”
“Tentang lilin,” sahut San Pek. “Kamar kita dua, kita
memasang lilin setiap kamar satu, itu kurang hemat.
Selanjutnya, kecuali ada urusan penting, kita pasang lilin
di satu kamar saja. Di waktu belajar, kita belajar bersamasama,
Anda setuju?”
“Setuju!” sahut Eng Tay yang tidak mau menolak. “Ya,
di mana saja, kita harus berhemat.”
Segera juga Eng Tay memindahkan lilin ke meja San
Pek. Setelah meniup padam lilin si kawan, mereka berdua
duduk berhadapan. Ya, mereka belajar bersama-sama
dengan tekun.
Demikianlah seterusnya, mereka berdua selalu belajar
bersama. Di saat santai, mereka makan angin di luar,
bersama lebih seratus murid lainnya. Ataupun mereka ke
luar, melintas ke jalan besar. Dan, seperti umumnya para
mahasiswa, mereka juga suka berkumpul guna saling
bertanya atau membahas sesuatu masalah. Atau juga soal
cara hidup masing-masing penduduk, bahkan soal-soal
kewanitaan. Hanya mengenai masalah wanita, Eng Tay
lebih banyak melayaninya dengan senyum atau tertawa
saja, atau membungkam….
Adalah kebiasaan San Pek, setiap lohor mengajak Eng
Tay ke luar berjalan-jalan.
Pada suatu tengah hari, turun hujan rintik-rintik.
Gerimis.
“Hari ini kita tak bisa ke luar, Kakak Nio, “kata Eng Tay,
“pikiranmu ruwet, tidak?”
“Ya,” jawab San Pek, yang menghampiri jendela hendak
memandang ke luar. “Di saat begini, aku sering teringat
pertemuan kita yang pertama kali di persinggahan.”
Eng Tay mengangguk, ia juga memandang ke luar.
Agaknya ia memikirkan sesuatu.
Kata San Pek lagi: “Beberapa teman sekolah
mengatakan kita berdua bagaikan saudara, ku pikir
mereka itu benar. Kita juga sama-sama anak tunggal, dan
kita sekolah dengan satu tujuan, bahkan keadaan kita
berdua di sini, sama segalanya. Bukankah ini pertanda
berjodoh? Namun, aku tak berani mengatakannya.”
“Ya, kita memang sama segalanya,” kata Eng Tay.
“Kakak Nio, bila kau hendak mengatakan sesuatu,
katakanlah!”
“Kupikir, Kakak Ciok, bagaimana kalau kita berdua
menjadi saudara angkat?” tanya San Pek akhirnya.
“Dengan demikian, hubungan kita menjadi tambah erat,
kita dapat saling membantu secara sungguh-sungguh…
Bagaimana menurut Kakak?”
Eng Tay sedang menatap ke luar, pada serumpun pohon
bambu. Ia mengangguk.
“Kakak benar,” sahutnya. “Aku setuju sekali. Berapa
usia Kakak sekarang?”
“Delapan belas tahun. Katanya kau tujuh belas,
benarkah?”
“Benar!” sahut Eng Tay.
“Dengan demikian, aku lebih tua satu tahun.”
“Jadi, kau lah Kakakku! Bagaimana caranya kita
mengangkat saudara?”
San Pek menunjuk ke luar, ke arah pohon yang-liu.
“Tempat kita ini tepat sekali,” katanya. “Di sana ada
pohon yang-liu, ada juga pohon bambu, semua berdaun
hijau segar. Ini saat yang baik pula!”
Eng Tay mengangguk. Lantas ia memanggil Gin Sim dan
Su Kiu, memerintahkan mereka agar menggeser meja serta
menyediakan lilin dan hio, dupa harum. Maka di lain saat,
keduanya sudah berdiri bersebelahan di depan meja,
lantas berlutut. Mereka menjura dan berlutut tiga kali ke
arah langit, pertanda bersumpah di hadapan Tuhan Yang
Maha Esa. Setelah itu, Eng Tay menghadap San Pek, lalu
memberi hormat sambil menjura.
“Kak, terimalah hormat adikmu!” katanya.
“Terima kasih, Dik!” kata San Pek, yang juga membalas
hormat sang adik. Maka dengan demikian, melalui upacara
yang sangat sederhana itu, jadilah mereka kakak adik.
Keduanya muda, tampan dan terpelajar, bahkan tujuannya
juga sama! Dan bukan main girangnya mereka, wajah
mereka berseri-seri!
“Gin Sim, ke mari!” teriak Eng Tay memanggil abdinya.
“Ayo kau beri hormat pada Tuan Muda Sulung.”
Gin Sim menurut, segera dia menjalankan
penghormatan kepada San Pek.
“Su Kiu, ke sini!” San Pek pun memanggil kacungnya.
“Ayo kau beri hormat pada Tuan Muda Kedua!”
Su Kiu memberi hormat pada Eng Tay.
Kemudian San Pek berpesan kepada kacungnya itu:
“Mulai hari ini kita adalah satu keluarga, maka kau harus
melayani kami berdua seperti biasa kau layani aku. Kerja
makin rajin, ya!”
Su Kiu mengangguk. Tetapi segera dia berkata: “Tuan
Muda berdua telah menjalin persaudaraan, bagaimana
kalau aku dan Gin Sim juga mengikat persaudaraan, agar
kami pun dapat saling membantu dengan lebih erat?”
San Pek dan Eng Tay tersenyum. Kemudian si anak
muda bermarga Nio itu berpaling pada adik angkatnya, ia
tersenyum seakan-akan menanyakan pendapat sang adik.
Kata Eng Tay pada abdinya: “Eh, Gin Sim, kau dengar
ucapan Su Kiu atau tidak? Aku rasa dia benar.”
“Tuan Muda berdua telah mengangkat saudara, aku
rasa kami pun sama saja,” sahut abdi itu. “Eh, Kakak Su
Kiu, berapa usiamu?” ia terus menanyai kawannya.
“Aku lebih tua satu tahun dari Tuan Muda, usiaku
sembilan belas,” jawab Su Kiu.
“Aku sendiri baru tujuh belas tahun.”
“Kalau begitu, aku lah kakakmu.”
“Jika demikian, terimalah hormatku!” kata Gin Sim,
yang terus memberi hormat dan dibalas oleh Su Kiu.
Demikianlah, mereka juga menjadi saudara angkat.
“Masih ada lilin dan hio, ayo kalian menjalankan
upacara!” ujar San Pek menganjurkan.
Kedua kacung itu menurut, mereka benar-benar
bersembahyang, untuk satu kali lagi saling memberi
hormat, sebagaimana tadi dilakukan oleh majikan mereka
berdua.
San Pek berkata pula: “Sebentar, di saat bersantap
malam, kita makan dan minum bersama-sama!”
“Aku tidak suka minum arak, tetapi nanti akan ku
temani juga minum sedikit,” kata Eng Tay.
San Pek benar-benar girang sekali. Ia memberi persen
uang pada Su Kiu dan Gin Sim sehingga kedua kacung itu
pun senang bukan main.
Dan benar saja, malam itu mereka berempat makanminum
bersama-sama.
“Dik, mari minum,” kata San Pek pada Eng Tay. “Aku
hendak memberi selamat padamu!”
“Kakak keliru,” kata Eng Tay. “Aku lah justru yang
harus memberi selamat lebih dulu pada Kakak!”
Demikianlah kakak beradik itu saling mengalah.
“Adikku, lihatlah,” kata San Pek, “di dalam dunia kita
ini, yang tidak ada, pada saatnya bisa menjadi ada. Ini
terbukti dengan kita. Siapa sangka kita, anak semata
wayang, bisa bertemu dan berkumpul di sini sebagai
saudara angkat? Kau punya kakak, aku punya adik! Ini dia
yang dinamakan takdir. Ya, inilah kegembiraan manusia!”
Eng Tay tersenyum, ia membenarkan kata-kata sang
kakak itu. Melihat si kakak gembira, dia pun tanpa terasa
meneguk arak melebihi yang dia katakan sendiri.
“Mari, Dik, keringkan lagi satu cawanl”
“Ah, sudah cukup….”
“Tambah satu cawan, tidak apa, bukan? Paling juga kita
mabuk….”
Ucapan mudah dikeluarkan, tetapi kenyataannya lain.
Eng Tay benar-benar terkena pengaruh arak, karena ketika
dia hendak bangkit berdiri, tubuhnya sempoyongan!
“Ah, Dik, kau benar-benar mabuk!” kata San Pek. “Mari
ku papah!” Dan benar-benar dia memegangi tangan sang
adik itu lalu mengajaknya pergi.
Eng Tay sudah mabuk tetapi belum hilang seluruh
kesadarannya, maka ia mengerti, tak boleh orang memeluk
tubuhnya. Terpaksa ia mencoba berjalan, walaupun
dengan terhuyung-huyung, sehingga San Pek harus
berjaga-jaga agar ia tidak jatuh. Begitu tiba di kamarnya,
dia menjatuhkan diri ke atas pembaringannya.
San Pek membukakan sepatunya.” Ketika ia pun
hendak melepaskan baju panjang kawan itu, ia heran
mendapatkan baju-dalam kawannya berkancing banyak.
“Ah, kenapa baju ini banyak sekali kancingnya?” kata
sang kakak angkat.
“Ini ada sebabnya,” kata Eng Tay, yang terus berbohong
dengan mengarang cerita bahwa jahitan semacam itu
dibuat syarat kesembuhan tatkala dulu ibunya jatuh sakit.
Karenanya, baju dalamya pun dijahit seperti itu. Sejak itu
ibunya, selama tiga tahun, tak pernah sakit lagi….
“Oh, begitu!” kata San Pek. “Kalau demikian, Adikku,
kau sungguh berbakti!”
“Ini tidak apa-apa,” kata Eng Tay. “Ini termasuk
kepercayaan belaka. Sudah tiga tahun lamanya aku
memakai ini.”
San Pek percaya, lalu ia tak mengatakan apa-apa lagi.
Lega hati Eng Tay. Ia percaya kawannya itu jujur dan baik
hati.
6
Belajar Bersama
ENG Tay tertidur pulas. Sewaktu mendusin dan membuka
matanya, memandang ke arah jendela, langit tampak
cerah, daun bambu hijau semua, ia terperanjat.
“Ah, aku terlalu pulas! Teman-teman sekolah pasti
sudah bangun dari tidurnya,” katanya dalam hati. Lantas
ia berkata pada San Pek: “Kakak Nio, kau sudah bangun.”
Orang yang diajak bicara tersenyum.
“Aku telah bangun sejak tadi,” sahutnya. “Aku lihat kau
tidur nyenyak sekali, aku tak mau mengganggu. Dua kali
sudah Gin Sim datang melongok, aku larang ia
membangunkanmu. Gin Sim mengundurkan diri sambil
tersenyum….”
“Lain kali, kalau Kakak bangun, bangunkan aku juga,”
kata Eng Tay. “Aku khawatir teman-teman nanti
menertawakan aku….”
Seraya berkata begitu, putri Kong Wan ini segera turun
dari tempat tidur dan mengenakan bajunya.
Gin Sim, yang telah muncul, segera menyediakan air
untuk majikannya mencuci muka, menyisir dan merapikan
pakaiannya. Kemudian langsung ke luar, menemui San
Pek yang sudah ke- luar terlebih dulu.
“Kak, tadi tengah malam aku mengganggumu atau
tidak?” tanya si adik.
“Tidak, sama sekali tidak,” sahut San Pek, yang sedang
menulis. “Malah aku pernah memanggilmu tetapi kau tidak
mendusin. Kau tidur lelap sekali….”
Eng Tay menghampiri San Pek, ia melihat tulisannya.
“Kak, tulisanmu indah sekali,” ujarnya memuji. “Aku
pun akan belajar seperti kau.”
San Pek meletakkan mopitnya, ia menoleh pada si adik
angkat.
“Dik, tulisanmu pasti indah,” katanya. “Kau jangan
mengikuti aku. Kata orang, karena aku belajar menulis,
aku dicap tolol….”
Eng Tay tertawa mendengar nada suara sang kakak itu.
“Sudah, kita jangan bergurau lagi,” kata San Pek
kemudian. “Sebentar sehabis bersantap tengah hari,
pelajaran akan dimulai. Sebaiknya kau siapkan alat
tulismu, Dik.”
Santapan San Pek dan Eng Tay selalu disiapkan oleh Su
Kiu dan Gin Sim. Sesudah bersantap, mereka menuju
ruang kuliah. Ini pun merupakan kebiasaan hidup para
murid lainnya. Mereka semua mempunyai kamar sendiri,
dan tiada yang mengacau. Lama-kelamaan, San Pek dan
Eng Tay mempunyai banyak kenalan. Bahkan mereka juga
saling berkunjung. Dari luar, kakak-beradik itu tidak
mempunyai lain teman.
Demikianlah, tanpa terasa, tiga bulan sudah berlalu.
Sekarang adalah saatnya musim panas, hawa udara
berubah, maka dari itu, Eng Tay dan Gin Sim sering
menggunakan kipas. Tak pernah mereka melepaskan baju
panjang mereka.
Begitulah pada suatu hari San Pek dan Eng Tay sedang
duduk bersantai, San Pek berkata: “Sekarang ini hawa
udaranya panas menyengat, kita juga tidak pergi ke luar.
Adikku, kenapa kau tidak melepas baju panjangmu?”
“Bukan demikian kebiasaanku,” jawab Eng Tay.
“Rumah ini tinggi dan lebar, hawa di sini tidak sepanas di
tempat lain. Aku pun bertubuh lemah ketika kecil, sering
sakit, kalau ku buka baju panjangku, hawa dingin segera
menyerang.”
San Pek mengira Eng Tay bicara sejujurnya, dia tidak
mengatakan apa-apa lagi.
Malam itu, di saat hendak tidur, San Pek melihat Eng
Tay membuka baju panjangnya, baju dalamnya banyak
kancingnya. Ia tidak bertanya, ia mengira sang adik hanya
menuruti pesan ibunya agar menjaga kesehatannya baikbaik.
Di kesempatan yang lain, ketika tidak ada orang lain di
dalam kamar, Gin Sim berkata pada majikannya:
“Bagaimana kalau kita bermain-main di belakang? Di sana,
kalau ada su-bo, kita bisa mengobrol. Su-bo baik sekali.”
Dengan “su-bo” diartikan istri guru, istri pak guru Ciu.
Eng Tay setuju. Ia memang sedang tidak belajar maka ia
mengikuti Gin Sim ke belakang, ke halaman terbuka di
mana tampak pemandangan bukit di kejauhan. Itulah
panorama bukit Gouw San. Ada persawahan, ada
perkebunan, cantik pemandangannya. Puas Eng Tay
memandangi keindahan alam sampai lohor, barulah ia
mengajak Gin Sim pulang.
Setibanya mereka di dekat pintu belakang, Gin Sim
berkata: “Lihat di sana. Orang yang sedang membawa
tahang air, bukankah ia istri guru? Mari kita menemuinya
untuk bercakap-cakap.”
Gadis itu setuju. Bersama-sama Gin Sim, ia melangkah
mendekati istri guru itu.
Bagian belakang itu merupakan suatu tempat terbuka,
ada ladang sayurnya, ada sumurnya. Di sana, seorang
wanita tua berbaju merah tua sedang mencuci pakaian.
Dia habis memetik sayur.
Begitu datang di dekat Ho-si, sang istri guru, Eng Tay
menyapa sambil memberi hormat. Gin Sim juga turut
memanggil: “Su-bo…!”
Agak repot, Ho-si meletakkan tahangnya untuk
membalas hormat. “Oh, Tuan Muda Ciok!” katanya manis.
“Beberapa hari ini tak ku lihat Tuan Muda, repot dengan
pelajaran barangkali?”
“Itulah bimbingan Pak Guru Ciu,” jawab Eng Tay. “Kami
harus belajar dengan sungguh-sungguh, kalau tidak kami
tak dapat mengikuti pelajaran yang diberikan.”
Nyonya Ciu mengangguk, lalu ia menatap Gin Sim dan
majikannya itu, kemudian katanya pada Eng Tay: “Kau
masih muda sekali, tetapi kau sudah meninggalkan rumah
hanya untuk belajar ilmu budaya, apakah kau tidak
merasa susah?”
Gin Sim, yang berdiri di belakang majikannya, segera
menjawab: “Tidak….”
Eng Tay segera memotong: “Semuanya leluasa. Guru
Ciu telah menyediakan segala sesuatu bagi kami semua….”
Ho-si tertawa. Ia masih menatap majikan dan
kacungnya itu.
“Kalian berdua, ada kekurangan apa?” tanyanya ramah
“Sebutkan saja, semua dapat ku pinjamkan.”
Kembali Gin Sim mendahului majikannya.
“Sekarang ini yang kami butuhkan hanya jarum dan
benang,” katanya. “Dapatkah Su-bo meminjamkannya
kepada kami?”
“Tentu saja, sebentar ku antarkan,” kata istri guru itu.
“Tapi, benang dan jarum adalah kebutuhan orang
perempuan, kau menghendaki itu, untuk apa?”
Gin Sim hendak menjawab, tetapi majikannya
mendahuluinya.
“Kami orang desa, pria pun dapat menjahit,” katanya.
“Berada di rantau, kami juga membutuhkan barangbarang
itu.”
“Ya, benar juga,” kata Ho-si. “Kalau begitu, Tuan Ciok
juga pandai menjahit?”
“Ya, sebisanya saja….” sahut Eng Tay. Kembali Nyonya
Ciu tertawa.
“Baiklah, sebentar aku tunggu kalian di kamarku!”
katanya.
Eng Tay mengucapkan terima kasih, terus ia memberi
hormat, lalu bersama Gin Sim ia meninggalkan istri guru
itu. Di dalam kamar, San Pek sudah menunggu. Dia lalu
bertanya, ke mana kawannya telah pergi.
“Kami jalan-jalan di belakang, melihat pemandangan
alam,” jawab Eng Tay. “Pemandangan alam di sana cukup
menarik.”
Di dalam hati gadis itu tidak berkata demikian. Ia justru
sedang memikirkan sikap Ho-si tadi, nada suara sang istri
guru. Ia khawatir istri guru itu mencurigainya, maka
pikirnya: “Lain kali, kalau bicara dengan istri guru aku
harus berhati-hati….”
Gin Sim sebaliknya lega hatinya.
Di pihak lain, dari Ho-si pun tidak ada isyarat apa-apa,
meski ia heran juga ada seorang lelaki muda meminjam
jarum dan benang….
Sementara itu, sang kala berjalan cepat. Segera tiba Citgwe,
bulan ke-7. Tanggal 7 bulan ke-7, langit terangbenderang,
dan malamnya, Bima Sakti bercahaya di langit,
sedangkan rembulan muda, sedang turun ke bawah,
membuat bayangan orang pun tampak doyong. Dari
kejauhan, sayup-sayup terdengar suara seruling, melantun
dari sela-sela pohon-pohon yang-liu.
Malam sunyi, si putri malam pun setengah bundar.
Ketika itu, mengenakan baju panjangnya Eng Tay
sedang rebah di atas bangku di halaman luar. Ia
memandangi rembulan dengan berdiam saja.
“Eh, Saudara Ciok, kau di mana?” terdengar suara San
Pek, dari dalam kamar, bertanya.
“Aku sedang berangin-angin di sini,” jawab Eng Tay.
“Ayo ke mari, bawa bangku, kita duduk bersama dan
bercakap-cakap.”
“Baik!” sahut San Pek menyetujui.
Maka duduklah mereka mengobrol berdua.
“Malam ini Cit-gwe cit-sek 14,” kata Eng Tay, “Kau ingat,
bukan?”
“Tentu saja aku ingat!” sahut San Pek. “Setiap keluarga
juga pasti tidak melupakannya, apalagi keluarga yang
mempunyai anak-anak yang manis, pasti semua
menyediakan buah semangka sambil menantikan sang
labah-labah menaikinya. Jika labah-labah sudah naik dan
bermain di atasnya, itu artinya keberuntungan sang buah,
pertanda kemakmuran! Jadi buah-buahan itu merupakan
daya penarik agar labah-labah bermain di atasnya. Ini juga
yang di buku disebut kit-kaw!” 15
14 Cit-gwe-cit-sek: “malam ke-7 bulan ke-7,” suatu hari raya menurut kepercayaan.
15 Kit-kaw itu berarti “menguji kepandaian,” akan tetapi kenyataannya adalah
“Kau ingat itu, Kakak Nio, bagus!” kata Eng Tay. “Hanya
masih ada satu yang Kakak tidak sebutkan….”
“Apakah itu, Adikku?”
Eng Tay tertawa lebar, merdu suaranya. Dia pun
bangkit dan duduk.
“Kalau labah-labah naik dan bermain-main di atas
buah,” katanya, “itu berarti si nona yang mengatur buahbuahan
itu, di tahun itu akan mengalami kegembiraan! Ya,
ia akan mendapatkan suami yang berada di lubuk hatinya.
Maka dari itu, Kak, di rumah Kakak, kalian memakai
penyuguhan buah atau tidak?”
San Pek bagaikan tersadar.
“Ya, aku lupa!” katanya. “Memang ada kebiasaan itu.
Namun, Adikku, apakah kau sendiri pernah menyediakan
buah-buahan itu?”
“Aku?” tanya Eng Tay tertawa. “Tidak!” jawabnya,
“Apabila kita menyediakan buah-buahan, kita juga harus
menyiapkan yang disebut ‘jarum berlubang tujuh’ serta
benang lima warna yang harus dililitkan pada buahbuahan
itu. Persiapan pun harus dilakukan di ruang
tengah untuk menantikan datangnya sang labah-labah.
Bukankah itu hal yang tak mudah?”
“Kau sangat teliti, Dik, kau ingat segalanya!” ujar San
Pek memuji. “Karena mengatur buah-buahan bukan
urusan yang mudah maka kami tidak melakukan aturan
itu, apalagi itu adalah cerita belaka, mirip dongeng alias
takhyul.”
“Bagaimana sampai dinamakan takhyul?” tanya gadis
itu sambil tertawa.
“Sebagaimana kau ketahui, yang dinamakan cit-gwe citsek
itu, atau kit-kaw, adalah lakon atau dongeng tentang
Gu Neng dan Cit Li 16, si pemuda penggembala kerbau dan
si nona bidadari tukang tenun,” kata San Pek.
“mencari kepandaian jahit-menjahit atau menyulam di malam tanggal tujuh bulan
tujuh.” Dan menjahit adalah kepandaian setiap wanita, apalagi para gadis remaja.
16 Cit Li yang disebut penenun adalah sebuah bintang dalam gugusan bintang
utara Lyra.
“Menurut cerita orang tua,” San Pek menerangkan lebih
lanjut, “Cit Li itu, yang juga disebut Thian Sun, cucu
Tuhan, adalah cucu perempuan luar dari Thian Tee, Kaisar
Langit. Thian Sun ingin menikah dengan Cian Gu Che, si
bintang penggembala, sehingga ia telah melalaikan
pekerjaan menenunnya. Maka itu oleh Thian Tee dia
dihukum: dalam satu tahun, ia hanya boleh bertemu satu
malam dengan Cian Gu Che yaitu setiap malam tanggal
tujuh bulan ke-tujuh. Nah, coba pikir, bukankah kejadian
itu hanya cerita takhyul belaka?”
Eng Tay diam, ia mengangkat kepalanya memandang ke
langit. Dengan perlahan, ia menghela napas, lalu katanya:
“Lihat di sana, Thian Ho 17 demikian tenang, bersahaja.
Setiap hari dia dibiarkan mengamati saja, tak dapat
melintas. Hukuman demikian itu, bukankah melebihi
segala-galanya? Betapa dia menderita! Walaupun begitu, di
dunia mungkin ada kejadian serupa — bertemu setahun
sekali! Sungguh, sang waktu melintas terlalu lama….”
San Pek mengawasi kawannya itu. Perkataannya
membuatnya kurang mengerti. Ia juga lantas memandang
langit. Rembulan telah menghilang, yang tampak ialah
Bima Sakti yang melintang di antara bintang-bintang yang
terang-benderang. Rupanya Gu Neng bersama Cit Li
sedang dalam pertemuan setahun sekalinya. Ya, setahun
sekali….
“Kakak Nio, kau menatap langit, apa yang sedang kau
lihat?” tanya Eng Tay kemudian.
“Aku sedang memikirkan Gu Neng dan Cit Li,” sahut
orang yang ditanya. “Satu tahun satu kali, itu terlalu lama,
tetapi, satu tahun sekali pun boleh juga….”
Hati Eng Tay terpukul mendengar perkataan
sahabatnya itu. Namun, ia diam saja duduk di atas
bangkunya. Ia sedang berpikir. Tapi kemudian ia pun
berkata.
“Kakak Nio,” katanya, “manusia itu, siapakah yang tak
17 Thian Ho diartikan llian Sun, atau Cit Li si tukang tenun.
dapat bertemu?”
“Kak, ini hanyalah perumpamaan,” jawab San Pek.
“Bukankah ada seseorang yang tak juga pulang selama
empat atau lima tahun tetapi istrinya tidak khawatir sama
sekali?”
Eng Tay tertawa.
“Kak, yang kaumaksud istri tentulah Cit Li, bukan?
Sekarang umpama saja seorang pembuat patung membikin
sepasang boneka pria dan wanita, lalu orang yang
memesannya tidak menikahkan muda-mudi itu,
sebaliknya, muda-mudi itu justru telah menikah diamdiam.
Karena itu si pemesan, katakan saja, sang majikan,
menjadi sangat gusar hingga dua patung itu dia pendam
terpisah di halaman depan dan belakang rumahnya agar
untuk selama-lamanya muda-mudi itu tak dapat bertemu,
bukankah itu sangat menyedihkan?”
San Pek tertawa.
“Adik Ciok, kau bicara mirip bocah usia tiga tahun!”
katanya. “Patung kayu tidak berjiwa, mana mungkin
mereka bisa menikah?”
Eng Tay juga tertawa.
“Ya, itu hanya perumpamaan saja. Namun di antara
manusia, bukankah benar ada sepasang muda-mudi yang
tak berjodoh itu? Muda-mudi demikian itu, bukankah
mereka sama saja dengan boneka?”
“Ah, sudahlah!” ujar San Pek memutus pembicaraan.
“Tak usah kita bergurau terus. Lihat, putri malam sudah
tenggelam di barat, hawa pun sudah menjadi dingin,
sebaiknya kita masuk dan istirahat. Besok kita harus
bangun pagi-pagi!”
Eng Tay bangkit dari bangkunya, ia mengangkat dan
membawanya sekalian ke kamarnya.
San Pek tidak memikirkan kejadian tadi itu, ia
menganggap Eng Tay hanya bergurau.
Esok tengah hari, Gin Sim muncul sambil tertawa
cekikikan. Ia membawa dua piring buah, yang satu buah
pir, yang lainnya teratai. Lantas diletakkannya di atas
meja, lalu ia berkata: “Dua piring buah ini adalah buah
yang tadi malam disuguhkan kepada Gu Neng dan Cit Li,
silakan Tuan Muda makan.”
“Oh, kau juga menyuguh?” kata San Pek tertawa.
“Tidak, Tuan Muda….”
“Sudah, pergilah kau,” kata Eng Tay pada abdinya.
“Jangan bergurau!” Namun nona majikan ini pun tertawa.
“Kalian berdua, majikan dan bujang, gemar bercanda,”
kata San Pek. “Aku tak mengerti….”
Eng Tay tidak berkata apa-apa, ia hanya tersenyum.
Setelah itu, dua bulan pun telah berlalu. Kali ini tiba
hari peringatan atau hari raya Tiong Yang, hari besar kawgwe
ce-kaw — tanggal 9 bulan 9 tahun imlek. Dengan lain
nama, hari raya ini pun disebut hari raya Tiong Kiu. Hari
ini berdasarkan anggapan atau kepercayaan bahwa tanggal
9 bulan 9 merupakan hari yang paling cerah sehingga
cerah juga penghidupan manusia.
“Besok hari raya Tiong Yang, sekolah libur satu hari.
Kakak Nio, kau berniat pergi berlibur ke mana?” tanya Eng
Tay pada kakak angkatnya.
Orang yang ditanya tertawa. Ia mendorong buku di
hadapannya.
“Dalam hal berlibur, aku tidak berpikir susah-susah,”
jawabnya. “Aku akan menurut pikiran Adik saja. Andaikata
kau tidak berkeinginan mencari hiburan di luar, kita bisa
berdiam di rumah saja sambil membaca buku.”
Eng Tay menggelengkan kepala.
“Tidak pergi berlibur, kurang tepat,” katanya. “Dalam
satu tahun, berapa harikah saat-saat liburannya? Kakak
tahu, Su Kiu maupun Gin Sim sangat mengharapkan
tibanya hari raya ini. Mereka telah berpikir akan
menanyakanku ke mana kita akan pergi. Bukankah tak
berlibur berarti kurang kegembiraan?”
“Kalau kau pikir demikian, baiklah,” kata San Pek.
“Sekarang katakan, ke mana kita akan pesiar?”
Seraya berkata demikian, sang kakak menatap adiknya.
“Bagaimana kalau kita pergi ke Se Ow?” 18 tanya Eng
Tay. “Di sana kita dapat menyaksikan pemandangan alam
dengan air dan pepohonannya.”
“Baik!” kata San Pek. “Besok kita berangkat ke sana
berbekal makanan, biar Su Kiu yang membawa. Di sana
kita nanti memilih tempat agar bisa menikmati keindahan
alam.”
Eng Tay mengangguk sambil tersenyum.
Keesokan paginya, San Pek dan Eng Tay berangkat
bersama-sama, diikuti oleh Su Kiu dan Gin Sim. Su Kiu
memikul barang-barang bawaan. Langit cerah.
Keadaan Se Ow masih perawan, belum terjamah
tangan-tangan yang cekatan. Pepohonan semua serba
hijau dan airnya jernih sekali. Pemandangan bukit itu
melapangkan hati. Itulah yang dinamakan keindahan
alam.
Rombongan muda-mudi ini memilih satu tempat di tepi
telaga. Dari situ selain tampak air telaga yang bening, juga
panorama, pemandangan yang lapang di sekitarnya.
“Dik, di sini indah sekali!” kata San Pek. “Sayang belum
ada olahan tangan-tangan manusia guna menambah ini
dan itu….”
“Memang indah sekali!” sahut Eng Tay. “Nanti juga akan
ada tangan-tangan yang menyemarakkannya. Ah, Kak,
manusia itu tak akan hidup lebih dari seratus tahun,
keindahan semacam ini tak selayaknya dilewatkan….”
San Pek mengangguk.
“Benar!” katanya.
Mereka lalu berjalan bersama, melihat segala sesuatu di
sekitarnya.
“Kak, di sana ada perahu, mari kita naik,” ajak Eng Tay
kemudian pada kawannya itu. Dengan tangannya, ia
menunjuk ke tepi telaga.
San Pek setuju, maka mereka berdua pergi ke
18 Se Ow dulu tidak sama dengan Se Ow —Telaga Barat— seperti dewasa ini. Nama
Se Ow pun baru dikenal mulai akhir dinasti Tang, selama tahun 618-906 Masehi.
Sedangkan dinasti Chin—Chin Timur, berlangsung dari tahun 317-419 Masehi.
pangkalan, kemudian menyewa perahu tambangan. Dan,
keduanya pun sudah hilir-mudik di atas air.
Ketika itu, San Pek dan Eng Tay tidak berdua saja, ada
orang-orang lain yang juga berpesiar. Su Kiu dan Gin Sim
pun menikmati pemandangan alam itu. Mereka juga diajak
oleh majikan mereka untuk turut naik perahu.
Perahu itu memakai pelindung atap dan bilik bambu di
kiri dan kanannya. Jendelanya terbuka agar penumpang
dapat memandang sekelilingnya.
Demikianlah, selagi berjalan-jalan ada saja yang
dibicarakan sepasang muda-mudi itu hingga mereka tidak
merasa sepi. Malah sebaliknya, mereka bergembira dan
terhibur.
Kemudian tibalah saat sarapan, Gin Sim dan Su Kiu
segera mengeluarkan bekal makanan dan mengaturnya
untuk majikan mereka, dan juga untuk mereka berdua.
Mereka pun membekal arak namun mereka telah berjanji
untuk tidak minum sampai mabuk.
Selagi mereka bersantap, San Pek memetik bunga shuyi.
Bunga itu berikut rantingnya biasa dipakai selama hari
raya Tiong Yang sebagai pengusir pengaruh jahat,
pembawa keselamatan.
“Dik, mari kupakaikan bunga ini padamu guna
mengusir pengaruh jahat!” kata San Pek pada Eng Tay. Ia
tertawa.
Eng Tay mengangguk, ia pun tertawa.
Benar-benar San Pek menyisipkan bunga itu, yang
berwarna merah, di sisi telinga Eng Tay. Di saat itu, paras
gadis itu bersemu merah.
“Dik, tahun ini aku yang menyisipkan bunga ini,” kata
San Pek, “lain tahun….”
“Lain tahun juga tetap Kakak!” kata Eng Tay, tertawa.
Perkataan gadis ini ada artinya, tetapi si pemuda tidak
dapat menangkapnya, maka dalam kegembiraannya,
sambil tertawa ia pun berkata: “Baiklah, lain tahun aku
juga…! Mari kita keringkan cawan kita!”
Keduanya lantas minum arak mereka.
Begitulah mereka bersantap, minum arak dan
bergembira.
7
Ketika Sakit
LEPAS tengah hari, San Pek dan Eng Tay mengajak Su Kiu
dan Gin Sim pulang. Mereka merasa puas.
Sementara itu, kedua muda-mudi itu telah mempunyai
beberapa sahabat di antara teman sekolah mereka,
malahan ada juga yang suka berkunjung ke kamar mereka
untuk bercakap-cakap. Mereka disenangi kawan-kawan. Di
antara mereka itu, seperti halnya San Pek, tidak ada yang
mencurigai Eng Tay, bahkan ia mendapat pujian sebagai
kawan yang manis budi.
Pada suatu hari, selagi duduk di dalam kamar San Pek
menghela napas. Dia menatap ke luar, memandangi langit.
“Eh, Kak, kenapa kau?” tanya Eng Tay heran. Dia
mengamati.
Orang yang ditanya menggelengkan kepala.
“Entahlah,” sahutnya dengan enggan. “Hari ini aku
merasa gelisah….”
Eng Tay mengawasi.
“Kak, mungkinkah karena aku telah melakukan sesuatu
yang tidak berkenan di hatimu?” tanyanya.
San Pek menggoyangkan tangannya.
“Apa katamu, Dik?” katanya separuh menegur. “Sudah
satu tahun kita bergaul, tidak pernah kau lakukan sesuatu
yang tidak aku senangi. Malahan kau baik sekali.
Seandainya kau lakukan sesuatu yang demikian, tentu
aku akan menegurmu. Kau salah duga.”
“Apakah mungkin pak guru Ciu menegurmu?” tanya
Eng Tay lagi.
“Tidak, pak guru Ciu baik sekali. Sekiranya aku ditegur,
aku malah akan sangat berterima kasih.”
“Lalu, Kakak kenapa?” tanya si adik angkatnya lagi.
“Apa mungkin Kakak sedang memikirkan orangtua di
rumah?”
“Memikirkan memang ya, akan tetapi itu bukan
masalah,” sahut San Pek. “Biasa saja kalau anak dalam
perantauan senantiasa ingat ayah-bundanya yang jauh di
rumah. Kau salah menerka, Adikku. Orangtuaku sehat
walafiat. Terkaanmu hanya tepat sebagian….”
“Ah, aku mengerti sekarang!” kata Eng Tay. “Pastilah
karena ayah-bunda Kakak terlalu memikirkan Kakak.”
Kakak angkat itu menghela napas lagi Sang adik
mengamati.
“Sebabnya begini, Dik,” kata San Pek kemudian,
suaranya perlahan sekali. “Maaf, aku bicara terusterang….”
“Silakan, Kak.”
“Baru saja aku menerima surat dari rumah yang
mengabarkan bahwa kami kehabisan uang, karenanya
Ayah menyuruhku pulang. Ya, aku tak perlu belajar di
rantau…. Tak punya uang dan berhenti sekolah, itu satu
masalah. Namun aku sangat memikirkan hubungan kita.
Kita yang sudah seperti saudara kandung. Kita akan
berpisah, betapa beratnya penderitaanku.”
“Oh, hanya itu!” kata Eng Tay setelah mendengarkan
beberapa lama. “Benar juga, berat rasanya kalau kita
berpisah. Kita pun baru satu tahun menuntut ilmu di
bawah bimbingan pak guru Ciu, Kakak Nio….”
“Kau benar, Dik!” sela San Pek memotong. “Dari rumah
tak akan datang lagi uang, bagaimana? Apa yang dapat ku
lakukan….?”
“Kak, jangan khawatir!” kata Eng Tay. “Tak usah
dianggap sulit! Kak, perkara uang adalah hal yang mudah
asal Kakak bersedia menerima bantuanku yang tidak
berarti. Kiriman uang dari rumahku tidak akan putus
setengah jalan, kiriman itu lebih dari cukup untuk kita
berdua. Mulai sekarang, untuk segala keperluan Kakak,
Kakak bisa ambil uang dariku!”
San Pek heran, dia menatap sang adik angkat.
“Dik,” katanya, “kau baik sekali. Akan tetapi….”
“Kakak Nio, jangan pikirkan itu! Kita sudah seperti
saudara sendiri. Benar, bukan? Maka selanjutnya, Kakak
harap tenang-tenang saja. Ayo kita tetap belajar bersama
di sini.”
Akhirnya San Pek mengangguk.
“Baiklah, Dik Ciok!” kalanya. “Aku terima kebaikanmu
ini. Akan ku tulis surat ke rumah untuk memberi kabar
pada orangtuaku.”
“Nah, begitu baru benar! Selanjutnya kita belajar
bersama seperti biasa. Sekarang musim semi, mari kita
belajar dengan lebih giat.”
Benar-benar San Pek dapat berlega hati ia dapat
gembira kembali seperti biasa.
Malam itu, sewaktu belajar, San Pek melihat Eng Tay
mengantuk.
“Dik, kau letih, istirahatlah lebih dulu,” katanya. Eng
Tay bangkit.
“Malam ini aku benar-benar lelah,” katanya. “Ya, aku
tidur lebih dulu….”
Gin Sim, yang selalu menemani majikannya, segera
bergerak untuk memasang lilin, merapikan pembaringan
supaya majikannya dapat segera merebahkan diri. Namun,
sebelumnya, sang majikan minta abdinya memapahnya.
San Pek menyusul masuk ke kamar.
“Dik, apakah kau kurang sehat?” tanya. “Kau sakit?”
“Mungkin aku agak sakit,” jawab Eng Tay. “Tak apa,
besok mungkin akan baik dengan sendirinya. Jangan
Kakak khawatirkan….” San Pek menghampiri.
Dengan dibantu oleh Gin Sim, Eng Tay melepas baju
luarnya, baju panjang. Ia berbaring, meletakkan kepalanya
di atas bantal. Gin Sim menyelimutinya sampai ke
kakinya. Kemudian abdi ini mengundurkan diri.
“Ku pikir, lebih baik aku memanggil tabib besok,” kata
San Pek. Ia terus meraba dahi si adik angkat, yang terasa
panas. “Oh, Adikku, kau benar-benar sakit! Rupanya tadi
kau masuk angin….”
Eng Tay tidak menjawab, tetapi ia tersenyum lemah.
“Malam ini kau tak usah ditemani Gin Sim,” kata San
Pek. “Aku akan menggantikan dia. Aku bisa rebah di ujung
kakimu. Kalau perlu, bangunkan aku.”
“Ah….!” kata Eng Tay tertawa. “Mana bisa….? Aku
menyusahkanmu saja. Biarlah Gin Sim yang
menemaniku….”
“Nona benar,” kata Gin Sim dalam hati, yang masih
belum berlalu.
San Pek mengerutkan alisnya.
“Dik, kau terlalu keras kepala, katanya. “Kau toh
sedang sakit! Jangankan baru semalam, dua hari pun aku
menemanimu, masih tidak apa-apa!”
“Tetapi Kakak tidur di ujung kakiku….”
San Pek menggelengkan kepala.
“Apalah artinya itu?” jawabnya.
“Ah, hebat….!” seru Gin Sim dalam hati. Namun, apa
yang dapat dikatakannya? Maka ia berkata: “Inilah
kewajiban saya sebagai pembantu….”
“Kau benar, ini memang tugasmu, tetapi sekarang
majikanmu sedang sakit, bila aku tidur di luar, kalau ada
panggilan mana ku dengar? Sudah, jangan kau menjadi
seperti tuanmu! Biar aku tidur disini, walaupun sampai
tiga malam!”
Melihat demikian, Eng Tay tak dapat menolak lagi.
Maka, ia pun berkata pada abdinya: “Gin Sim, pergilah kau
tidur di luar, kalau perlu, akan ku panggil. Jangan
khawatirkan aku, aku tahu apa yang harus ku lakukan….”
Kata-kata majikannya yang menghibur itu melegakan
hati abdinya. Akhirnya Gin Sim tidak berkata apa-apa lagi.
“Bagaimana kalau Adik minum teh?” tanya San Pek
kemudian.
“Boleh juga,” sahut Eng Tay, yang sehabis minum terus
membalikkan tubuh agar dapat tidur pulas. Hanya selang
setengah jam, ia berbalik pula. Di antara sinar lilin, samarsamar
ia melihat San Pek sedang duduk membaca buku.
Mendengar suara gerakan di pembaringan, San Pek
melepaskan bukunya dan memandang ke pembaringan.
Maka sinar mata mereka berdua bertemu….
“Bagaimana Dik, rasanya lebih baik?” tanyanya.
“Masih sama saja,” jawab Eng Tay.
San Pek bangkit, ia menghampiri. Dirabanya dahi Eng
Tay, terasa hawa yang panas sekali. Ia berkata: “Sekarang
sudah malam, kita tak dapat mengundang tabib, kita
harus menunggu sampai besok pagi.”
“Ya, besok saja,” kata Eng Tay. “Kak, tolong panggilkan
Gin Sim.”
“Buat apa memanggil dia?” tanya San Pek.
Eng Tay memandang ke langit-langit kelambu, berat ia
membuka mulutnya. Tapi akhirnya, ia berkata perlahan:
“Kak, aku ingin buang air kecil….”
“Kau sedang sakit, buang air kecil maupun air besar,
kau perlu dipapah. Dik, bangunlah, nanti aku pegangi.”
Eng Tay menyingkap selimut, perlahan-lahan ia bangun
untuk duduk. Lantas ia berkata, “Tak perlu…. Ayah
pernah menasehatiku, minta bantuan orang untuk buang
air kecil atau besar, itu perbuatan kurang sopan.
Sekalipun Gin sim, dia tak boleh turut masuk ke dalam
kakus dia menunggu di luar pintu saja.”
San Pek menganggap alasan itu kuat, maka ia pergi
memanggil Gin Sim. Dengan demikian, gadis itu jadi
dibantu oleh abdinya. Kembali ke tempat tidur, Eng Tay
tampak lemas sekali. Melihat hal itu, si kakak angkat
mendekat, memegangi gadis itu.
“Dik, sakitmu tidak ringan,” katanya. “Lain kali jangan
pergi ke kakus, pakai pispot saja.”
“Ya,” sahut Eng Tay sambil mengangguk, terus ia tidur
lagi.
“Kau boleh ke luar,” ujar San Pek menyuruh Gin Sim,
yang masih menunggui majikannya. “Kalau perlu, akan ku
panggil lagi kamu.”
“Ya, Tuan Muda,” sahut si abdi, akan tetapi kakinya tak
bergeming.
“Kau keluarlah,” kata Eng Tay. “Kalau perlu, akan ku
minta Tuan Muda Nio membangunkanmu.”
Mendengar penegasan itu barulah Gin Sim
mengundurkan diri.
“Kakak Nio, kau juga tidurlah,” kata Eng Tay kemudian.
Ia maksudkan agar pemuda itu kembali ke kamarnya.
“Tak apa, aku dapat tidur di ujung kakimu, Dik,” kata
San Pek.
“Ah, lebih baik Kakak tidur di kamar Kakak….”
“Tidak, malam ini aku harus menemanimu. Kau tahu
sendiri, tubuhmu masih saja panas. Harap kau jangan
sungkan.”
Eng Tay kehabisan akal. Dia bingung juga, jantungnya
berdebar kencang. Ia tetap ingat bahwa dirinya adalah
seorang gadis, ia harus menyimpan rahasia. Mana bisa ia
tidur seranjang dengan seorang pemuda? Akan tetapi,
bagaimana ia dapat menolak kehendak San Pek? Maka
akhirnya, ia berkata dalam hatinya: “Kakak Nio, rupanya
aku memang berjodoh denganmu….!” Toh, ia masih
bimbang…
“Eh, Dik, apa pula yang kau pikirkan?” tanya San Pek
heran.
“Kak, kau mau tidur di ujung kakiku,” kata Eng Tay,
“tetapi….”
San Pek duduk di sisi pembaringan.
“Dik, bagaimana kau ini?” tanyanya. “Kau sedang sakit,
apa kau khawatir aku ketularan? Tak mungkin! Dik, aku
harus menjagamu!”
Eng Tay terdesak, ia mengangguk. Tetapi ia berkata
pula: “Kakak benar, namun…. sejak kecil, aku dibiasakan
tidur sendiri saja, maka kalau sekarang kita tidur berdua,
aku khawatir kita tidak bisa tidur pulas….”
“Tak bisa pulas, tak apa,” kata San Pek yang bersikeras.
“Biar bagaimana, aku harus menemanimu, Dik!”
Eng Tay terpojok. Ia memandangi kawannya itu, lantas
ia berkata: “Baiklah kalau begitu. Kakak boleh tidur di
ujung kakiku. Hanya saja, padaku ada suatu kebiasaan
yang telah menjadi aturan….”
“Apakah itu, Dik? Sebutkan saja!”
“Aturannya,” ujar Eng Tay menjelaskan, “siapa yang
tidur satu pembaringan denganku ada perjanjian seperti
ini: Kita harus menyediakan satu kotak berisikan abu,
kotak itu diletakkan di luar selimut di tepi pembaringan.
Selagi tidur pulas, kalau kotak itu sampai tumpah maka
yang menumpahkannya dianggap bersalah, dan keesokan
paginya, dia dihukum denda….”
“Hukuman denda? Hukuman apakah itu?”
“Dia diharuskan mengadakan pesta makan-makan!”
San Pek tertawa.
“Ngawur, lucu!” katanya. “Aturan macam apa itu?”
“Tetapi itu bukan lelucon. Kalau tidak percaya, coba
tanyakan Gin Sim. Dia pernah didenda ibuku!”
“Jika benar demikian, baiklah, akan kucoba. Tidak ada
orang luar di sini, seandainya aku terdenda kita hanya
berpesta berempat dengan Su Kiu dan Gin Sim. Tetapi,
siapakah yang akan memastikan yang bersalah?”
“Ini mudah! Kita lihat saja letak tumpahannya.”
“Baiklah kalau begitu!”
Maka segera disiapkan satu kotak terbuat dari kertas
dan berisikan pasir halus, lalu kotak itu diletakkan
diantara mereka.
“Sekarang apa lagi?” tanya si anak muda.
Eng Tay menyesal sendiri. Ia hanya main-main, siapa
sangka San Pek bersungguh-sungguh. Tetapi hal ini
meninggalkan kesan yang baik pada dirinya. Pemuda itu
ternyata polos sekali. Di lain pihak, ia tersenyum sendiri
sebab San Pek dianggapnya tolol, mudah ditipu.
“Tidak ada apa-apa lagi!” jawabnya kemudian. “Nah,
mari kita tidur!” San Pek menurut. Mereka pun tidak
berkata-kata lagi Keduanya tidur dengan berselimut.
Hanya terlebih dulu, si pemuda memandang wajah gadis
itu dan meraba tangannya, yang tidak lagi terasa panas
seperti tadi. Ia rebah tak bergeming, khawatir kalah
bertaruh dan takut mengganggu tidurnya si kawan….
Eng Tay sebaliknya, ia berdiam saja, berpura-pura
pulas.
Esok paginya, dua kali Gin Sim muncul, majikannya
berdua masih pulas tetapi ia melihat kotak kertas yang
terisi pasir. Ia melihat majikannya sedang tidur miring,
sebelah tangannya terjulur ke luar selimut. Ia berkata di
dalam hati: “Syukurlah San Pek tak tahu siapa majikannya
itu, kalau tidak, pasti rahasia majikannya bocor.” Ketika ia
muncul untuk kedua kalinya, majikannya sudah
mendusin, dan gadis itu menunjukkan padanya kotak
berisi pasir itu. Lalu keduanya pergi ke luar tetapi tak lama
kemudian Eng Tay telah kembali.
San Pek sudah bangun. Ia melihat gadis itu.
“Dik, sakitmu sudah berkurang?” tanyanya.
Eng Tay mengangguk.
“Lebih baik,” sahutnya.
San Pek turun dari tempat tidur, disingkirkannya kotak
yang tak bergeser itu. Ia merasa lega menyaksikan
kawannya tidak menderita seperti tadi malam. Toh ia
merasa, masih perlu memanggil tabib dan Eng Tay
membiarkannya.
Guru Ciu menjenguk muridnya tatkala diberitahu
bahwa si murid sakit.
Tabib datang, ia memeriksa dan membuat surat obat.
San Pek menjadi repot sebab segala sesuatu ditanganinya
sendiri.
Su Kiu menyediakan pispot dan San Pek berpesan
bahwa kalau Eng Tay ingin buang air, dia tak usah ke luar
dari kamar.
Selama empat malam, San Pek terus tidur di ujung kaki
Eng Tay. Dia tak berani bergolek. Di hari kelima, Eng Tay
hampir sembuh. Sejak itu San Pek kembali ke
pembaringannya sendiri.
Selang sepuluh hari, Eng Tay sudah sembuh sama
sekali.
“Kakak Nio,” kata gadis itu pada kawannya, “selama aku
sakit, Kakak bersusah-payah merawatku. Sekarang aku
telah sembuh, bagaimana aku harus membalas budimu?”
San Pek tersenyum.
“Kau telah sembuh, ya sudah saja,” sahutnya. “Untuk
apa bicara tentang balas budi? Kesembuhanmu adalah
balasannya….”
Eng Tay, yang berdiri di sisi meja berkata lagi: “Kak,
ibuku sekalipun tak dapat melayaniku seperti itu.
Beberapa kali Kakak meraba dahiku bahkan membantuku
di saat minum obat, kau pegangi. Ya, Kakak pun
menyuapkan obatku.
“Itu wajar saja,” kata San Pek. “Kau sedang lemah
sekali.”
“Aku ingat, di saat hendak makan bubur, aku tak kuat
bergeser ke tepi pembaringan, tetapi kau, kau pegangi aku
serta menyuapi juga….”
Kembali San Pek tertawa.
“Itu jamak bukan?” katanya. “Selama sakit, sudah
sepantasnya kawan saling menolong. Kalau tidak
demikian, itu bukannya kawan. Ingat, Nabi kita pun
mengajarkan agar kita saling tolong-menolong.”
“Ya, tak kul upakan itu,” kata Eng Tay.
Sekali lagi San Pek tertawa dan berkata: “Dik, kau
pernah mengatakan padaku, kecuali ibumu, belum pernah
kau tidur bersama orang lain, namun kali ini, selama
empat malam kau izinkan aku menemanimu. Sungguh,
kau baik sekali. Tak mudah itu terjadi….”
Eng Tay tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
8
Membuka Rahasia
SEJAK mendapat perawatan Nio San Pek, kesan Ciok Eng
Tay mengenai sang kawan baik sekali. Maka apa pun
kebutuhan si pemuda, tanpa diminta lagi, segera
disediakan oleh gadis itu. Karenanya, bukan main rasa
bersyukur si kakak angkat itu.
“Kau baik sekali, Adikku,” kata sang kakak suatu hari.
“Betapa bahagianya aku mendapatkan kau sebagai
saudara.”
En Tay yang berdiri di samping San Pek, berkata: “Kak,
itulah kewajibanku sebagai adik, maka jangan kau jadikan
pikiran. Bahkan ingin sekali aku, seumur hidupku dapat
melayanimu. Biarlah aku benar-benar menjadi adikmu!”
San Pek tertawa.
“Ya, kita seperti saudara kandung!” katanya. “Akan
tetapi, jika kita sudah pulang ke rumah masing-masing,
mana bisa kau mengikutiku untuk selama-lamanya?”
“Asal bisa terjadi, aku suka mengikuti Kakak seumur
hidup!” kata Eng Tay.
Si anak muda tertawa lebar.
“Dik, kaubicara seperti bocah usia tiga atau lima
tahun!” katanya. “Ya, kau seperti adik yang minta permen
dari kakaknya! Namun, permintaan adik kecil itu keluar
dari hati yang tulus!
Eng Tay diam, tetapi ia tersenyum.
Demikianlah kedua kawan sekolah itu, kakak-beradik
angkat, semakin erat hubungannya satu sama lain.
Tanpa terasa, sang waktu melintas terus. Tanpa terasa
pula, dua tahun sembilan bulan telah berlalu.
Pada suatu hari muda-mudi itu sedang berada dalam
kamarnya. San Pek sedang menekuni kaligrafi, dan Eng
Tay, di sisinya, menggosok bak di atas bak-hi. 19 San Pek
melihat dahi Eng Tay berkeringat, ia menggunakan
saputangan untuk mengusapnya perlahan-lahan. Ketika
sedang mengusap, tiba-tiba San Pek menjerit perlahan,
lalu jatuh terduduk di kursinya.
Eng Tay terperanjat, dia heran.
“Kau kenapa, Kak?” tanyanya, baknya ia letakkan.
“Dik, aku heran….” sahut sang kakak. “Aku melihat
lubang kecil pada telingamu…. Mengapa?”
Eng Tay terkejut, tetapi ia bisa menenangkan diri.
“Oh itu, Kak, itu ada sebabnya,” jawabnya. “Sebelum
aku masuk usia sepuluh tahun, Mama menganggapku
sebagai anak perempuan karena ia telah melepas kata-kata
pada sang Budha….”
“Oh, begitu?” kata San Pek. “Jelas sangat
menyayangimu.”
“Ya, Mamaku memang baik sekali,” kata Eng Tay.
San Pek percaya keterangan gadis itu, ia tidak bicara
lebih jauh. Tidak demikian dengan Eng Tay, hal itu
membuatnya berpikir keras. Ia berniat bicara terus-terang,
tetapi ia bimbang.
Begitulah, sampai sang waktu berlalu lagi tiga bulan, di
akhir bulan ketiga. Ini berarti bahwa, tanpa terasa tiga
tahun telah lewat.
Pada suatu hari, selagi berjalan mondar-mandir di
depan pintu, tiba-tiba Eng Tay dihampiri seorang lelaki
yang segera saja memanggilnya: “Tuan Muda!” Ketika ia
menoleh, terlihat Ong Sun sudah berdiri di hadapannya.
“Eh, kau datang kembali,” tanya gadis majikan itu.
“Kau-bawa surat?”
“Ya,” jawab si pegawai. “Nyonya Besar sakit, Tuan Muda
diminta lekas pulang. Ini suratnya.”
Sambil berkata demikian, Ong Sun mengeluarkan
sepucuk surat dan terus menyampaikan kepada
majikannya.
19 Bak: batang tinta cina berwarna hitam; bak-hi: tatakan bak.
Surat di zaman dulu itu tak beramplop, hanya dilipat
saja. Eng Tay menerimanya, terus membuka dan
membacanya. Benar saja, mamanya sakit dan ia diminta
lekas pulang.
“Mama sakit apa?” tanya Eng Tay sehabis membaca
surat.
Ong Sung menggelengkan kepalanya.
“Saya tidak tahu, hanya Nyonya Besar tidur terus.
Apakah tidak dijelaskan di dalam surat?”
Eng Tay merunduk, pikirannya bekerja. Segera ia
memutuskan untuk lekas pulang. Ia pun sudah belajar
cukup tiga tahun lamanya. Dulu pernah ia berjanji pada
ibunya, “kalau mama sakit, ia akan segera pulang.” Maka
sekarang telah tiba saatnya.
“Baiklah,” katanya kemudian kepada Ong Sun. “Aku
hendak bersiap-siap dulu, besok pagi baru akan
berangkat.”
Ong Sun mengangguk ia menurut saja.
“Tapi kamu berangkat lebih dulu, membawa barangbarang,”
kata gadis majikan itu lagi “Aku bersama Gin Sim
akan menyusul”
“Baik, Tuan Muda.”
“Sekarang beristirahatlah dahulu!” kata Eng Tay yang
terus masuk ke dalam. Kepada Gin Sim diberitahukannya,
tentang mamanya yang jatuh sakit dan abdi ini
diperintahkan segera merapikan segala barang.
Kemudian Eng Tay mendatangi San Pek yang di saat itu
sedang membaca buku. Hatinya terasa gelisah, toh ia
berdiri di depan si kakak angkat dan menyapa: “Kak..!”
San Pek meletakkan bukunya, ia menoleh.
“Ada apa, Dik?” tanyanya seraya mengawasi. Sang adik
tampak lain.
“Coba Kakak katakan, sudah berapa lama kita belajar di
sini?” tanya Eng Tay.
“Hitung-hitung, cukup lama,” jawab San Pek. “Sudah
tiga tahun. Kau tanyakan hal ini, ada apa?”
“Kakak benar. Aku ingin memberitahu, baru saja aku
menerima surat dari rumah yang mengatakan bahwa
Mamaku sakit, maka aku diminta lekas pulang. Mungkin
sakit Mama ringan tetapi aku harus pulang. Tiga tahun
sudah aku meninggalkan rumah. Kakak pikir bagaimana?”
“Tentu saja kau harus pulang, hanya….”
Sambil berkata begitu San Pek bangkit berdiri. Ia
menatap kawannya itu.
Eng Tay bisa menerka perasaan si pemuda.
“Aku juga berat meninggalkan kau, Kak,” katanya.
“Namun… kalau nanti Kakak juga pulang, bila ada
kesempatan sebaiknya Kakak cepat-cepat datang ke
rumahku…”
“Kapan Adikku berangkat?” tanya San Pek. “Aku ingin
mengantarmu selintas.”
“Aku akan berangkat besok. Kakak Nio, tak sanggup ku
terima kebaikan hatimu untuk mengantarkan aku.”
Waktu itu, Su Kiu muncul. Ia lantas berkata kepada
majikannya: “Barusan Gin Sim mengatakan bahwa Tuan
Muda Ciok hendak berangkat pulang besok, tak dapatkah
Tuan Muda minta agar keberangkatannya ditunda?”
Nyata abdi ini pun merasa berat untuk berpisah.
“Tak bisa, Su Kiu,” jawab sang majikan “Mama Tuan
Muda sakit, beliau memangilnya, ia harus pulang.
Memang, berat rasanya untuk kita berpisah. Besok kita
berdua akan mengantarkan Tuan Muda.”
“Tuan Muda hendak mengantar, itu baik sekali,” kata
Gin Sim. “Tapi Tuan Muda saya ingin bicara dengan Tuan
Muda.”
“Gin Sim, barangmu serahkan aku, aku yang bawa!”
kata Su Kiu. “Aku tak pandai bicara, ini saja yang bisa
kulakukan….”
“Boleh saja,” jawab Eng Tay mewakili abdinya. “Aku
sekarang hendak menemui pak guru Ciu. Gin Sim, ayo
ikut aku, kau pun perlu pamit.”
“Baik Tuan Muda,” sahut sang abdi.
Maka mereka berdua pergi mencari pak guru Ciu. San
Pek mendampingi.
“Nak, apa ada sesuatu yang hendak kalian tanyakan
padaku?” tanya Pak Guru Ciu ketika melihat kedatangan
murid-muridnya.
“Bukan, Pak Guru,” sahut Eng Tay, masih di luar pintu,
“murid hanya ingin bicara….”
“Kalau begitu, mari masuk!” undang Ciu Su Ciang, sang
guru, yang sedang duduk di dalam kamarnya.
Eng Tay dan San Pek masuk, keduanya memberi
hormat.
“Baru saja murid menerima surat dari rumah,” kata Eng
Tay kemudian. “Katanya, Mama saya sakit dan saya
diminta pulang, maka dari itu, murid datang untuk
memberitahu sekalian mohon pamit.”
“Jika Nyonya Besar sakit, memang kau harus pulang,”
kata sang guru. “Kapan kau berangkat?”
“Besok, Pak Guru,” jawab Eng Tay. “Sekarang murid
ingin menemui Su-bo.”
“Kau ingin bertemu Su-bo-mu, baiklah, akan kupanggil
dia ke luar. Tunggu sebentar.”
Guru itu berdiri, terus ia masuk. Hanya sebentar, ia
sudah ke luar pula bersama Ho-si, istrinya.
“Kau hendak pulang, Nak?” tanya sang istri guru
mendahului murid suaminya.
“Ya, Su-bo,” sahut Eng Tay, yang terus menyambut dan
memberi hormat. “Murid mohon pamit. Murid
mengucapkan terima kasih, sebab selama tiga tahun saya
diizinkan mengganggu Su-bo.”
Sang istri guru itu tertawa.
“Jangan kau ucapkan itu, Nak, itu tidak ada artinya,”
katanya.
“Su-bo, Gin Sim juga ingin pamit,” ujar Eng Tay
menambahi. “Maafkan dia yang sering rewel. Ia
mengatakan, Su-bo sangat baik terhadapnya.”
Istri guru yang baik hati itu tertawa.
“Dia hanya meminjam ini dan itu yang tidak berarti,”
katanya.
“Sekarang, Nak, kau hendak bicara apa denganku?
Silakan.”
Eng Tay mengawasi istri guru itu, ia tampak ragu-ragu
hingga Ho-si menganjurkannya untuk berbicara saja.
Eng Tay masih juga bimbang, baru saat kemudian ia
minta untuk berbicara di dalam.
Ho-si heran, namun ia mengajak murid itu masuk.
Segera Eng Tay, membuka rahasianya sehingga sang
istri guru menjadi terkesima. Ia mengamati gadis itu dalam
penyamarannya.
“Sekarang murid mau pulang, murid minta agar rahasia
ini tidak dibuka, mohon pengertian Su-bo….”
Ho-si mengawasi, ia tersenyum.
“Nak, kau jangan kuatir,” katanya “Kau tahu, sudah
dari awal aku menerka siapa kalian berdua. Ternyata
kalian pandai membawa diri, aku tadinya kuatir. Kalian
boleh berlega hati, aku tahu apa yang harus ku lakukan.
Nah, kau hendak bicara apa lagi? Duduklah!”
Eng Tay tidak duduk, melainkan mendekati nyonya
rumah.
“Saya ingin bicara mengenai kakak Nio San Pek,”
katanya perlahan. “Ia baik dan jujur, dengan saya ia
seperti saudara kandung. Tiga tahun kami sekolah
bersama, dia tak tahu siapa diri saya sesungguhnya
Ho-si mengangguk.
“Sungguh luar biasa!” katanya.
“Walaupun demikian, saya merasa tak enak,” kata Eng
Tay lagi. “Sekian lama saya telah mendustainya….”
“Lalu sekarang, apa yang ingin kau lakukan?” tanya Hosi.
“Bukankah lebih baik kalau bicara terus-terang saja
padanya?”
“Itu sulit. Beberapa kali saya ingin bicara, tetapi selalu
gagal, demikian juga kali ini. Maka sekarang saya berpikir
Su-bo….”
Sang istri guru tertawa.
“Ini tidaklah sukar,” katanya. “Akan ku jelaskan
padanya. Ada pesan lainnya?”
“Saya mohon bantuan Su-bo lagi. Tolong katakan
padanya tentang hubungan kami yang akrab selama tiga
tahun seperti kakak-beradik. Saya minta Su-bo sampaikan
padanya bahwa sejak hari ini, saya tak bisa dijodohkan,
dengan orang lain, siapa pun juga. Maka saya berharap dia
segera datang….”
Nona Ciok tak bisa meneruskan kata-katanya, ia jengah
dengan sendirinya.
Akan tetapi Ho-si sudah maklum maka ia berkata:
“Baiklah! Kau jangan kuatir! Aku akan menjadi
perantara jodoh kalian berdua. Kau akan memberikan
tanda mata apa?”
Eng Tay merogoh sakunya, ia mengeluarkan kupu-kupu
terbuat dari batu kemala yang indah. Diserahkannya itu
pada istri gurunya lalu ia berkata: “Inilah permata milikku
sejak kecil. Karena permata ini, ayah dan ibuku
memanggilku Kiu Moy. Kalau nanti Su-bo menemui dia,
biarlah dia menggunakan kupu-kupu kemala ini sebagai
tanda mata.”
Ho-si mengawasi batu kemala itu, ia tertawa.
“Baiklah, akan ku serahkan kemala ini padanya,”
janjinya.
“Terima kasih, Su-bo!” kata Eng Tay sambil memberi
hormat. “Semoga rahasia ini bisa tertutup rapat. Sekarang
murid hendak menemui Pak Guru kembali, murid hendak
mengucapkan selamat berpisah.”
Ho-si yang baik hati dan manis budi itu, tertawa lagi.
Segera ia memanggil suaminya, dan pak guru Ciu segera
muncul.
Eng Tay lantas menjura pada guru dan nyonya gurunya
itu, lalu mengucapkan selamat berpisah dengan berat hati.
Bapak guru dan istrinya itu sangat baik terhadapnya.
Setelah itu, bersama Gin Sim ia kembali ke kamarnya. Ia
melihat barangnya telah disiapkan.
“Kakak Nio,” kata adik ini, “kita telah sekolah bersamasama,
kita benar-benar seperti kakak-adik, maka dari itu
barang-barang kita tak bisa dipisah-pisah, semua sudah
tercampur menjadi satu. Ya, tak bisa kita
membedakannya….”
San Pek menggoyangkan tangannya. Ia pun tertawa.
“Tidak demikian halnya, Saudaraku,” katanya.
“Singkatnya, apa yang kau sukai itulah milikmu.”
“Kak, jelas Kakak menyanjung-nyanjung aku!
Bukankah segala hal yang ku sukai juga disukai olehmu?
Maka dari itu, janganlah Kakak membeda-bedakan….”
Memang, di atas meja segala barang telah dipisahpisahkan,
kecuali seekor burung-burungan walet dan
bebek mandarin atau belibis Tiongkok yang terbuat dari
kuningan, masih terletak di sisi bak-hi.
“Dik,” kata San Pek seraya menunjuk burung-burungan
itu, “apa yang kau sukai menjadi kesukaanku pula,
demikian pula belibis ini
“Kakak Nio, jadi Kakak menyukai burung-burungan
ini…?” kata Eng Tay.
“Bagiku, melihat burung-burungan ini seperti juga
melihatmu,” kata San Pek.
Eng Tay mengambil burung-burungan itu, dimainmainkannya
dengan kedua belah tangannya.
“Kak, burung ini berdekatan denganmu,” katanya.
“Nanti setelah aku pergi, Kakak bisa sering-sering bermain
dengannya.”
San Pek mengawasi si adik yang tampan.
“Ah, Dik,” katanya, “jadi kau hendak serahkan burung
kuningan ini padaku? Tetapi, kata-katamu tadi
membuatku tidak mengerti….”
Eng Tay tidak mengatakan apa-apa, ia hanya
memperhatikan barang-barang lainnya di atas meja itu.
“Dik, coba lihat isi keranjang itu,” kata San Pek.
Eng Tay menurut, ia melongok ke dalam keranjang,
terus ia mengambil satu sarung mopit yang terbuat dari
tembikar. 20 Sarung mopit itu berlukiskan setangkai buah
delima.
“Kakak Nio, dapatkah sarung mopit ini Kakak berikan
20 Di zaman Chin Timur itu belum ada sarung mopit dari porselen.
padaku?” tanya Eng Tay.
“Adikku, tak usah ku jelaskan lagi,” jawab San Pek
tersenyum. “Sarung mopit itu bermakna.”
“Apa maknanya?”
“Delima, adalah salah satu tanaman buah yang mudah
beranak, mudah tumbuh dan berbuah,” ujar San Pek
menjelaskan. “Adikku semata wayang, kelak di belakang
hari Adik akan mudah memperoleh turunan….”
Eng Tay tertawa.
“Kalau Kakak, anak tunggal atau bukan?” ia balik
bertanya.
San Pek turut tertawa. “Aku sama dengan kau, Dik!”
Keduanya lalu tertawa bersama.
Eng Tay mengawasi sarung mopit di tangannya, ia
melihat si buah delima yang sudah merekah dan bijibijinya
tampak nyata. Ia tertawa pula: “Delima ini hendak
diserahkan kepada siapa, kepada sang tuan atau sang
nyonya?”
“Tentu saja pada sang tuan!” sahut San Pek. Si adik
mengangguk.
“Aku ingat sekarang,” katanya, “Ketika dulu aku beli
sarung mopit ini, aku telah menghadiahkannya pada
Kakak dengan harapan nanti berbuah dan beranak…”
“Itulah tanda kebaikan hati Adik. Namun, Dik, kenapa
kau sendiri tidak menghendakinya?”
Eng Tay melihat sekelilingnya, di situ tidak ada orang
ketiga. Ia berpikir cepat, lantas ia berkata di dalam hati:
“Inilah saatnya aku harus sadarkan dia!” Maka segera ia
berkata: “Aku? Tentu saja aku, mengingininya, asal
bersama kau, Kak….”
Tampak si pemuda bingung.
“Dik, apakah arti perkataanmu ini?” tanyanya.
“Apa artinya? Apakah Kakak masih belum tahu?”
“Aku memang belum mengerti….”
“Aku telah bicara jelas, kau masih belum mengerti,
baiklah!” pikir Eng Tay dalam hati. Maka lantas ia
meletakkan sarung mopit itu bersebelahan dengan dua
burung-burungan, burung walet dan belibis mandarin,
kemudian ia menghadap ke pria di hadapannya seraya
berkata: “Tunggu, hendak ku lihat-lihat dulu.”
“Silakan, Dik”
Eng Tay mengamati barang-barang di hadapannya itu.
ia melihat sepotong tembikar yang merupakan alat
penindih buku, berukuran lebar kira-kira 6 atau 7 inci,
demikian juga panjangnya. Di atasnya, yaitu bagian
depannya, ada relief sepasang kupu-kupu besar berwarnawarni
indah. Melihat itu, ia tertarik, segera diambilnya,
terus ia perlihatkan pada si anak muda sambil berkata:
“Jadi ini juga Kakak hadiahkan padaku?”
“Benar!” jawab San Pek lekas. “Bukankah Adik sangat
menyukainya? Telah ku lihat, selama membaca buku, Adik
tak pernah terpisah dari tatakan ini. Ya, Adik selalu
memakainya untuk menindih buku!”
“Memang aku menyukai kupu-kupunya,” sahut gadis
itu. “Sengaja aku memilih ini untuk diberikan pada
Kakak.”
San Pek menatap tajam kawan yang tampan itu.
“Bagaimana, Dik?” katanya. “Bagaimana bisa kau
berikan barang ini padaku? Aku melihat tiada barang lain
selain ini yang Adik sangat sukai. Kalau aku terima ini,
bukankah kau seperti telah kehilangan sesuatu?”
“Memang benar, barang ini sangat ku sukai,” ujar Eng
Tay menjelaskan, “tetapi kalau sekarang ku berikan pada
Kakak itu karena ada maksudnya. Nanti, setelah aku
pulang, bila Kakak melihat penindih kupu-kupu ini, Kakak
pasti akan merasa, ada Kakak juga ada aku, dengan
demikian, pastilah hati Kakak akan tergugah untuk
mengenang kita berdua.”
“Kata-katamu kurang tepat, Dik. Kau lihat, kupu-kupu
itu toh sepasang, satu jantan, satu betina. Ya, bukan
kupu-kupu jantan semua. Mana bisa kau samakan dengan
kita berdua…
Eng Tay mengawasi penindih dari tembikar itu, ia pun
menoleh pada pria muda dan tampan di hadapannya. Ia
mendapatkan pemuda itu agak kurang senang, ia bisa
memakluminya. Namun, ia mendapat harapan. Jelas San
Pek tidak menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan
seorang gadis jelita. Lalu tiba-tiba ia tertawa sendiri.
San Pek heran, dia menatap wajah Eng Tay.
“Eh, Dik, kenapa tertawa?” tanyanya polos.
“Karena aku melihat Kakak lugu sekali!” jawab Eng Tay.
“Tidak apa-apa, aku hanya menghendaki kau terima baikbaik
penindih buku ini.”
Sambil berkata begitu, gadis itu meletakkan sarung
mopit dan penindih itu menjadi satu di atas meja.
San Pek terpaksa menerima.
“Baiklah kalau demikian,” katanya. “Nah, apa lagi yang
hendak Adik katakan?”
Kembali Eng Tay berkata di dalam hatinya: “Apa lagi
yang harus ku utarakan? Aku, seperti telah membuka
pintu hingga gunung pun terlihat.” Akan tetapi ia toh
memberikan jawabannya: “Tidak, tidak ada lagi. Besok
Kakak hendak mengantarku satu lintasan, di sepanjang
jalan mungkin kita akan bisa melihat orang atau
menyaksikan sesuatu. Atau, kita bercakap-cakap lagi….”
San Pek masih tidak menyangka bahwa EngTay adalah
seorang wanita, dia belum curiga mungkin karena ia
terlalu memikirkan: besok mereka berdua akan berpisah.
Keduanya lantas membenahi barang-barang itu dan
Ong Sun datang untuk membawanya pergi. Gin Sim hanya
membawa barang yang akan dibutuhkan dalam
perjalanan.
Malam itu, kedua muda-mudi itu duduk mengobrol.
Mereka duduk berhadapan.
“Kakak Nio,” pesan Eng Tay, “kalau nanti Kakak selesai
sekolah, ku harap Kakak lekas-lekas datang ke rumahku.
Aku tidak bekerja, aku hanya mengharap Kakak….”
“Dik, pasti aku akan mengunjungimu!” kata San Pek.
“Barangkali telah ada kabar gembira untuk Adik?”
Mendengar kata-kata “kabar gembira” itu, tiba-tiba
wajah Eng Tay bersemu merah. Ia tahu, pasti San Pek
menduga ia akan segera menikah. Sahabat itu tak tahu
bahwa ia adalah seorang gadis. Namun ia bertanya: “Kak,
ada kabar gembira apakah untukku?”
“Adik mengharap aku lekas-lekas datang, bukankah itu
berarti Adik akan segera menemui mertua? Aku girang
kalau kau mempunyai nyonya!”
Mau tidak mau, Eng Tay tertawa.
“Kak, terkaanmu ini jauh meleset!” katanya. “Tetapi
nanti, setelah aku pulang Kakak tentu akan mengerti.”
“Ya, aku pasti akan mengerti!” kata San Pek, yang
masih belum sadar bahwa dirinya sebenarnya sangat
lugu….
Seterusnya mereka berbincang-bincang lagi, dan Eng
Tay senantiasa tersenyum-senyum. Mereka seperti tidak
peduli bahwa sang kala merayap terus.
Akhirnya Gin Sim muncul dengan kedua matanya
kesap-kesip.
“Tuan Muda berdua, sudah saatnya beristirahat,”
katanya pada majikan serta tamunya. “Besok pagi kita
akan berangkat, dan Tuan Muda Nio, bukankah akan
mengantar selintas? Sekarang sudah larut malam, nanti
besok terlambat bangun.”
Mendengar itu, muda-mudi ini seperti tersadar, lantas
saja mereka pergi tidur.
9
Perpisahan
MEGA indah di waktu pagi perlahan-lahan bergerak
dihembus angin tenggara yang sepoi-sepoi basah. Sang
surya juga sudah terbit, tampak menyinarkan cahayanya
yang masih lembut. Keadaan demikian itu bagaikan
menganjurkan, barangsiapa hendak melakukan
perjalanan, seyogyanya berangkat pagi-pagi sebelum panas
terik. Itulah hari-hari di bulan ketiga.
Su Kiu bersama Gin Sim sudah siap, Gin Sim membawa
buntalannya. Mereka berdua berjalan di depan, perlahanlahan.
Di belakang mereka, Eng Tay dan San Pek
menunggang kuda masing-masing bersebelahan. Mereka
pun berjalan santai, setelah keduanya berpamitan pada
bapak guru dan istri guru mereka, yang mengharapkan
keselamatan mereka di perjalanan.
“Kakak Nio, kita harus mengenang Pak Guru yang telah
membimbing kita dengan baik sekali,” kata Eng Tay di
tengah jalan. “Kita terpaksa harus meninggalkan rumah
sekolah kita yang bagus ini.”
“Memang,” kata San Pek. “Buktinya kau, Dik. Kau
pandai dan mendapat pujian dari kawan-kawan, bahkan
ada yang mengatakan bahwa kau mirip salah seorang di
antara Han Kee Sam Kiat, tiga sastrawan di zaman dinasti
Han. Thio Liang yang muda dan kewanita-wanitaan, kau
dapat disamakan dengannya.”
Eng Tay tersenyum.
“Tak mungkin, Kak! Mana bisa aku disamakan dengan
Thio Liang yang pandai dan ternama itu?”
“Adik merendah saja,” kata sang kakak angkat.
Ketika itu mereka tiba di jalan yang di kiri dan
kanannya ditumbuhi pohon-pohon kaya yang besar,
bercabang banyak dan berdaun rindang. Di sebuah cabang
pohon kebetulan ada sepasang burung kucica sedang
berkicau berdua….
Eng Tay berkata: “Aku sekarang sedang dalam
perjalanan pulang, burung-burung itu bernyanyi, berita
sukacita apakah yang mereka bawa?”
Terus saja gadis kita ini mengalunkan syairnya:
“Sungguh, cabang-cabang lebat membentuk rimba,
Mega tebal nan hitam memenuhi lembah yang hampa,
Di ranting burung kucica bernyanyi,
Bernyanyi-nyanyi gembira untuk menyenangkan hati.
Bukankah itu angin baik yang datang menyambut?
Maka kita berdua, jangan kita berkhayal-khayalan,
Menyulut api bunga tunjung, teratai emas!
San Pek sangat gembira, dia kagum.
“Dik, kau pandai sekali!” katanya memuji. “Baru saja
kita melihat pohon-pohon, kau sudah lantas dapat
membuat syairnya. Namun, tak aku mengerti makna
syairmu itu! Apakah artinya ‘Maka kita berdua, jangan kita
berkhayal-khayalan. Menyulut api lilin bunga tunjung,
teratai emas’. Ya, apa artinya itu?”
“Artinya…?” kata Eng Tay, yang tersenyum dan terus
tertawa.
Si anak muda heran, walaupun demikian ia tidak
bertanya lagi.
Tanpa terasa, keduanya telah tiba di batas tembok kota.
Di situ, orang-orang yang berlalu-lalang sudah berkurang.
Kelihatan tujuh atau delapan buah rumah, juga terdapat
pepohonan. Ada orang-orang yang berjalan terus, ada yang
berhenti dan berteduh di bawah pohon. Di situ pun
terdapat kedai makan. Ada pula beberapa orang sedang
memanggul kayu dan rumput.
Eng Tay tidak mengerti, dia bertanya: “Biasanya
pembawa kayu masuk ke kota di malam hari, mengapa
mereka ini justru di siang hari?”
“Itu kebiasaan saja,” ujar San Pek menerangkan. “Jelas
mereka penduduk di dekat sini, mereka pergi ke gunung
mencari kayu lalu mereka bawa itu ke kota untuk dijual.
Mereka ke kota siang hari dan lohornya pulang sehabis
membeli berbagai barang. Sebaliknya dari kebiasaan
penduduk kota.”
Eng Tay paham.
“Jadi mereka melakukan pekerjaan itu untuk hidup
mereka sehari-hari,” katanya. “Kak, tak samakah cara
hidup mereka dengan Kakak?”
“Jelas tidak, Dik. Mereka mondar-mandir mencari
nafkah untuk istri dan anak-anak mereka, untuk makan
dan pakaian. Aku? Aku hanya sedang mengantar kau yang
berangkat pulang kampung.”
Keduanya berjalan terus memasuki kota. Mereka tetap
menunggang kuda mereka perlahan-lahan. Semua hijau di
sekitar mereka, maklum ini bulan ketiga. Di hadapan
mereka tampak sebuah bukit kecil, di sana ada sebuah
liok-kak-teng, bangunan tempat perhentian berbentuk segi
enam. Ke sana mereka menuju.
“Kakak Nio,” kata Eng Tay, “ingatkah kau ketika dulu
kita bertemu dan singgah di perhentian? Itu namanya
jodoh! Sekarang kita akan berpisah. Tanpa terasa tiga
tahun telah berlalu. Sungguh pesat lewatnya sang hari!
Perhentian ini mengingatkan kita pada masa lalu,
bagaimana kalau kita singgah di sana?”
San Pek setuju.
“Baik!” sahutnya.
Eng Tay segera meneriaki Su Kiu dan Gin Sim agar
mereka singgah.
Hanya sebentar, mereka sudah tiba di perhentian itu.
Selagi menurunkan buntalan, Su Kiu tertawa. Ia
berkata pada Gin Sim: “Gin Sim, bungkusan ini ringan
sekali, aku merasa seperti tidak membawa barang apa
pun. Kawanmu si Ong Sun, sungguh baik sekali.
Sekiranya aku menjadi Ong Sun, pada majikanmu pasti
aku berkata: kalau saudara Gin Sim menikah, aku akan
menjadi tamu pertama untuk makan dan minum biar
puas. Bagiku, Gin Sim adalah bagaikan saudaraku!”
Mendengar kawannya bergurau, Gin Sim tertawa.
“Lalu bagaimana dengan arakku? Kau minum atau
tidak?” tanyanya.
Su Kiu terlihat heran.
“Apa katamu?”
Eng Tay mendengar dua abdi itu bergurau, ia menyela:
“Su Kiu, jangan kau tanya pada Gin Sim atau aku, tanya
saja Tuan-Mudamu! Nah, kau lihat tanda petunjuk jalan di
tepi jalan itu!”
Memang di tepi jalan ada selembar papan
pemberitahuan. Bunyinya:
Kalau mau mendaki Gunung Hong Hong, Naikilah dari
depan, menuju ke barat.
“Ya,” kata San Pek, “di atas bukit itu ada taman mungil
yang dinamakan Hong Ciat, di sana banyak pohon bunga
bow-tan yang indah-indah. Sayang kita tak dapat
mengambil bunga itu untuk dihadiahkan kepada orang….”
“Kakak benar,” kata Eng Tay. “Kalau Kakak gemar
bunga bow-tan di rumahku, di kebunku, aku tanam
banyak. Coba Kakak datang, sebaiknya waktunya
dipercepat, lebih awal lebih baik. Pendek kata, asal Kakak
datang, jangankan bunga bow-tan akan menjadi milik
Kakak, juga semua lainnya yang berada di dalam kebun
itu!”
Mendengar kata-kata sang adik, San Pek benar-benar
menjadi tidak mengerti, sia-sia belaka ia berpikir dan
berjalan mondar-mandir. Maka ia membungkam saja.
Eng Tay tertawa, ia merasa lucu karena sahabatnya itu
tetap tak dapat menerka maksud sebenarnya dari
ucapannya. Bagi San Pek, hal itu terlalu kabur.
“Kakak Nio, perlahan-lahan saja Kakak
memikirkannya,” katanya. “Mari!”
Gadis ini mendahului melangkah ke luar dari
perhentian. Mereka kembali ke jalan besar. Tetapi di
sepanjang jalan, gadis itu terus berpikir: “Kakak Nio ini
benar-benar polos. Aku telah bicara begitu jelas, masih
saja dia belum dapat menerka.”
Sambil berjalan dengan kepala merunduk, otak Eng Tay
terus bekerja. Ketika kemudian ia melihat ke depan,
tampak sebuah selokan yang airnya mengalir deras, hingga
di tempat dangkal di mana air itu mengalir, pasirnya
memperdengarkan suara nyaring. Air itu mengalir terus
sampai menjadi sebuah empang kecil. Di tengah empang
itu sekawanan angsa putih sedang berenang kian ke mari.
“Lihat, air itu bening laksana kaca,” kata Eng Tay
sambil menunjuk ke empang. “Lihat, kawanan angsa itu
bagaikan berada di dalam cermin!”
“Ya,” sahut San Pek membenarkan. “Air jernih, angsa
yang sedang bermain, sungguh suatu pemandangan yang
mempesona!”
“Nah, angsa itu bersuara, apakah Kakak dengar?” tanya
Eng Tay.
“Tentu saja!” sahut sang kawan. “Hanya saja, suaranya
kurang enak didengar….”
“Tidak benar, Kak,” kata si adik. “Kawanan itu bagaikan
memperdengarkan syair pujian. Yang di depan adalah yang
jantan, yang betina mengiringi di sebelah belakang. Yang
betina itu khawatir nanti semua mengeluarkan suaranya.
Ya, semuanya bagaikan mengatakan: Kak! Kak…!”
Mendengar itu, San Pek tersenyum.
Tengah mereka berjalan, Gin Sim berkata pada Su Kiu:
“Su Kiu, majikanmu itu jalan di depan, dia mirip ayam
jago!”
San Pek mendengar gurauan abdi itu, ia tertawa, malah
ia berkata: “Majikanmu justru dapat bicara seperti angsa
memanggil ‘Kak! Kak!’ Eh, Gin Sim, kau terlalu! Kau
samakan aku dengan angsa! Kau ngaco!”
Eng Tay berjalan di depan, kepalanya menunduk. Ia
merenung mengapa San Pek masih belum juga sadar.
Melihat sahabatnya membungkam saja, San Pek pun
menegur: “Dik, kau sedang memikirkan apa?” Eng Tay
menoleh, tetapi tak sepatah pun keluar dari mulutnya.
Di hadapan mereka sekarang tampak sebuah kali kecil,
airnya mengalir deras sekali. Lebar kali kira-kira tiga
tombak, airnya dangkal. Lewat menerjang banyak
bebatuan, air itu berbunyi keras juga. Untuk menyeberangi
kali, yang mirip kanal, penduduk mengatur rapi batu-batu
besar untuk pijakan kaki.
Eng Tay tak berani menggunakan cara penyeberangan
itu maka San Pek mengajaknya menggunakan jembatan
kayu yang beralaskan daun serta papan.
Ketika mereka sedang berjalan, suatu barang Eng Tay
terjatuh.
“Dik, barangmu jatuh! Barang apakah itu?” tanya San
Pek memberitahu.
Ternyata satu kupu-kupu kemala, yang biasa diikat
dengan pita merah sebagai gantungan kipas.
“Kakak Nio, tolong ambilkan,” pinta Eng Tay. “Ayo
pegangi aku….”
Jembatan kayu itu sempit, gadis itu merasa ngeri. Maka
San Pek segera memegangi tangannya. Tubuh mereka
hampir merapat.
“Kakak Nio, perlahan-lahan jalannya,” kata Eng Tay.
Mereka berjalan perlahan sekali.
“Jangan takut,” kata San Pek.
Segera juga mereka sampai di seberang.
“Terima kasih, Kakak Nio!” kata gadis itu setibanya di
seberang itu.
“Tidak apa-apa, Dik,” kata si pemuda tertawa. “Lain kali
kau harus memberanikan diri….”
“Lain kali pun aku masih perlu mengandalkan
bantuanmu, Kak….”
Gadis itu tertawa.
San Pek juga tertawa, bahkan dia berkata: “Dik, lain
kali kau justru harus menjadi pelindung Nyonya Ciok!
Mana bisa aku terus menjadi pelindungimu? Nah, ini
kupu-kupumu.”
Sambil berkata begitu, si pemuda menyerahkan
gantungan kupu-kupu yang tadi dipungutnya.
Eng Tay, mengawasi pemuda itu, ia tidak mengulurkan
tangan untuk menerimanya. Malah kemudian ia berkata:
“Kakak Nio, ku berikan kupu-kupu kemala itu padamu.
Tak lama lagi, kupu-kupu ini akan berpasangan, maka
harap kau simpan baik-baik.”
San Pek heran. Mengapa di tengah jalan, ia dihadiahi
kemala itu. Namun ia terima saja sambil mengucapkan
terima kasih. Ia tidak berkata apa-apa sehubungan dengan
pesan agar menyimpan baik-baik kemala itu. Ia lantas
menyimpannya di pinggangnya.
Gin Sim dan Su Kiu berhenti di bawah sebuah pohon.
“Tuan Muda Ciok takut menyeberang bahkan ia minta
Tuan-Mudaku menjadi pelindungnya,” kata Su Kiu pada
kawannya.
“Hus!” bentak San Pek. “Kamu tahu apa? Hayo jalan!”
Su Kiu membungkam, ia berjalan bersama Gin Sim.
Di hadapan mereka, kini tampak banyak pohon cemara,
besar dan tingginya tujuh atau delapan kaki, cabangnya
banyak, daunnya rimbun.
“Entah siapa pemilik pohon-pohon cemara ini,” kata
Eng Tay. “Rindang sekali!”
“Dan itu di sana, entah kuburan siapa,” kata San Pek.
tangannya menunjuk.
“Coba kita lihat batu nisannya,” ujar Eng Tay mengajak.
Ramai-ramai mereka menghampiri makam itu.
“Oh, rupanya ini adalah kuburan sepasang suami-istri!”
kata Eng Tay. “Letak kuburannya baik sekali, ada
pepohonan dan bagian depannya terbuka. Menurutku,
nanti seratus tahun kemudian, Kakak dan aku, oleh
turunan kita akan dikubur seperti ini supaya kelak siapa,
saja yang lewat dapat melihat dan mengetahuinya….”
San Pek heran.
“Dik,” katanya sambil menggelengkan kepala, “kau dan
aku adalah saudara angkat yang berlainan nama keluarga,
mana bisa kita dikubur bersama?”
“Bisa saja,” jawab Eng Tay. “Aku bilang bisa, tentu
bisa.”
San Pek bingung, maka ia berkata: “Dik, kali ini aku
sedang mengantarkan Adik pulang kampung, sebaiknya
kita bicara hal-hal yang baik saja. Urusan seratus tahun
kemudian, lebih baik tak usah kita bicarakan sekarang….”
Dengan urusan ‘seratus tahun kemudian’ dimaksudkan
‘setelah meninggal dunia’.
Eng Tay tidak berkata apa-apa, mereka bersama-sama
meninggalkan kuburan itu, kembali ke jalan besar. Berdua
mereka menyusul Su Kiu dan Gin Sim. Lewat kira-kira dua
li, mereka berhenti di sebuah tempat yang banyak pohon
serta jalannya terbuat dari batu hijau.
“Kak, di sini tentunya ada rumah penduduk,” kata Eng
Tay. “Kita istirahat di sini sebentar.”
San Pek setuju.
Maka berhentilah ia di bawah sebuah pohon tungching.
21 Su Kiu dan Gin Sim lantas saja duduk di bawah
sebuah pohon.
“Sebaiknya kita mencari air minum,” kata San Pek. Ia
haus.
Eng Tay mengangguk, lantas ia melihat ke sekeliling.
Segera ia melihat seorang petani yang sedang memikul dua
tahang, muncul dari samping pepohonan yang lebat. Ia
cepat menghampiri orang itu.
“Kak, kami sedang dalam perjalanan, kami mau mencari
air minum, di manakah bisa kami dapat?”
“Mau minum? Oh, ada,” sahut petani itu. Dari sini jalan
ke sana, di situ ada sebuah sumber air serta ada
gayungnya juga.”
Eng Tay mengucapkan terima kasih, lantas ia mengajak
kawannya maju ke depan. Benar saja, di tepi jalan ada
sebuah mata air yang jernih sekali. Mata air itu hidup,
airnya selalu bergolak naik. Benar pula, di sisi itu tersedia
gayung piranti menyendok air yang terbuat dari kulit labu.
“Bagus,” kata San Pek, “kita bisa minum! Su Kiu, Gin
Sim, kalian juga boleh membasahi kerongkongan kalian!
Sementara itu, Eng Tay berpikir.
21 Pohon tung-ching, nama Latinnya Hex Gedunculosa.
“Sebaiknya sekarang aku bicara lebih jelas, mungkin dia
mengerti,” demikian pikirnya, dan terus ia maju mendekat
dua langkah. Ia pun lalu bertanya: “Apakah airnya segar?”
San Pek memegang gayung, ia sedang hendak
menyendok air.
“Pasti segar, Dik,” katanya. “Nah, coba Dik minun.” Ia
menyendok air dan memberikan itu kepada kawannya.
Eng Tay menerimanya, terus ia minum.
Di saat itu, Su Kiu dan Gin Sim sudah selesai minum
dan berada sedikit jauh dari majikan mereka. Eng Tay
melihat mereka, lalu ia berkata pada San Pek: “Kak, mari
kita lihat mata airnya. Ayo kita berkaca di air, melihat
bagaimana wajah kita setelah melakukan perjalanan
sampai di sini….”
“Baik, Dik,” jawab San Pek. “Ayo!”
Maka bersama-sama, mereka menghampiri mata air
yang berkubang. Mereka berdiri bersebelahan, menghadap
ke air yang jernih sekali hingga bayangan mereka berdua
terlihat jelas.
“Bayangan kita di dalam air, bagus sekali,” kata Eng
Tay.
“Ah, tidak terlalu mirip,” kata San Pek polos.
Wajah Eng Tay mendekati telinga sahabatnya.
“Bukankah bayangan kita itu tegas sekali?” katanya.
“Seorang tampan, seorang lagi lemah-lembut. Dua
bayangan berdiri rapat, sekali, sungguh sedap dipandang!
“Biar bagaimana, itu hanya bayangan” kata San Pek.
“Bayangan tinggal bayangan, tetap parasnya lain….”
“Ah, sudahlah,” kata San Pek sambil menolak tubuh
gadis itu. “Kau agak aneh, Dik. Apakah pikiranmu kacau
karena kita akan segera berpisah? Mari, kita berjalan
selintas lagi!”
Eng Tay menurut. Kemudian, dengan sebelah tangan
memegang sebatang cabang yang-liu, ia menoleh pada pria
di sisinya sambil berkata. “Kak, aku hendak berteka-teki,
coba kau terka!”
“Apakah itu, Dik?”
“Jernihnya mata air, di depanku dia memancarkan
wajah yang cantik bagaikan batu kemala. Syair itu tidak
mudah, bagaikan hanyutnya batang yang-liu. Angin halus
meniup rambut indah, membuat orang terperanjat dan
tertawa. Apakah yang disebut gunung nan bersih dan
jernih? Coba terka!”
Gadis itu tertawa, San Pek pun tertawa.
“Dik” katanya, “itu syair, bukannya teka-teki! Kau
sungguh cerdas, begitu kau buka mulut, jadilah sebait
kata-kata yang puitis!”
Demikianlah si anak muda, ia menjawab tetapi tidak
menerka.
Eng Tay jengkel sekali.
“Tolol!” katanya dalam hati. Ia tak bisa tertawa, juga
tidak bisa juga ia menghilangkan kemasygulan,
kekecewaannya. Pemuda itu teramat polos….
“Gin Sim!” panggilnya. Ia melemparkan ranting yang-liunya.
Sang abdi menyahuti, ia muncul dari sela-sela pohon
kayu.
Gadis itu masih membungkam beberapa lama, hingga
akhirnya ia berkata: “Ayo kita berangkat!” Dan ia
melangkah. “Cuacanya baik sekali!”
Berempat, mereka memulai lagi perjalanan mereka.
Kemudian…
Jauh di depan, Eng Tay melihat sebuah perhentian.
“Kita sudah sampai di Perhentian Delapan Belas Li, ayo
kita singgah,” kata gadis itu.
Segera juga mereka sampai di perhentian itu. Mereka
memasukinya untuk menghilangkan lelah.
Perhentian itu bertiang empat. Atap gentengnya terbuka
di empat penjuru. Lantainya berundak-undak. Di bagian
dalam terdapat meja dan kursi batu untuk duduk
beristirahat.
Gin Sim melangkah memasuki perhentian untuk
meletakkan buntalannya, sedangkan Su Kiu menambatkan
kuda majikannya agar kudanya bisa merumput.
San Pek tampak tidak bergembira bahkan wajahnya
tampak kecut. Ia berdiri diam saja, matanya memandang
ke empat penjuru. Ia termenung, memandang jauh….
Eng Tay juga turut melihat ke sekitarnya. Di saat
sesunyi itu, dialah yang membuka pembicaraan. Katanya:
“Kakak Nio, kita telah sampai di Perhentian Delapan Belas
Li ini, maka dari itu, sebaiknya kau tak usah
mengantarkan aku lebih jauh….”
San Pek mengangguk.
“Ya,” sahutnya lesu. “Tiga tahun kita sekolah bersamasama,
sekarang kita berpisah. Tak ada kata-kata yang
dapat melukiskan perasaan kita ini….”
Eng Tay mengawasi kawannya juga itu. Tiga tahun
mereka tinggal bersama, selama ini di tengah perjalanan,
semua itu lebih dari cukup baginya untuk mengenal
pribadi San Pek sebenarnya. Seorang pemuda yang baik
dan polos, tulus. Lagi pula, jelas dia tidak pernah mengira
bahwa pemuda tampan di hadapannya adalah seorang
gadis.
“Ya, benar,” ia pun berkata. “Di dalam hati kita ada
perasaan yang sulit, yang sukar dikemukakan, akan tetapi
aku mempunyai suatu jalan. Kakak Nio, jika kau
menyayangiku, adikmu, kau tentu dapat mengingatnya
selama-lamanya….”
San Pek heran, ia tertarik. Maka ia menatap kawannya
itu.
“Jalan apakah itu, Dik?” tanyanya.
“Bukankah Kakak pernah mengatakan tentang sikap
ayah-bunda Kakak mengenai jodoh Kakak?” kata Eng Tay.
“Karena Kakak adalah anak tunggal, dalam hal memilih
gadis menantu, ayah-bunda Kakak bersikap sangat hatihati,
karenanya, sampai sekarang Kakak masih belum
mempunyai pasangan. Apakah masih ingat ucapan Kakak
itu?”
“Tidak salah, aku pernah mengatakan hal itu! Kenapa
Adik mengingatkan ucapanku itu?”
Eng Tay melihat pemuda itu menatapnya. “Aku…”
katanya tertahan. “Aku apa, Dik?”
Eng Tay memegangi pilar erat-erat.
“Soalnya begini, Kak,” sahutnya kemudian. “Aku punya
seorang adik perempuan, namanya Kiu Moy, aku berpikir
akan menjalin rapat antara si dan lo…22 Entah bagaimana
pendapat Kakak?”
San Pek menatap kawannya itu.
“Oh, jadi Adik masih punya adik?” ujarnya menegaskan.
“Be… benar…” sahut Eng Tay.
Luar biasa sambutan San Pek si pendiam yang polos
itu. “Adikku sudi menjadi perantara untuk jodohku, mana
mungkin aku tidak setuju!” katanya cepat. “Namun,
karena aku belum pernah melihat orangnya, aku masih
merasa sedikit bimbang….”
“Tentang hal ini, harap Kakak jangan khawatir,” sahut
Eng Tay memastikan. “Aku dan Kiu Moy adalah anak
kembar, parasnya dan parasku sama, sangat mirip satu
sama lain. Sedangkan tentang pelajarannya dan
kepintarannya sama dengan aku yang pernah sekolah di
rantau, tidak ada bedanya. Aku telah mengeluarkan katakataku,
itu sudah sama juga dengan kata-kata Kiu Moy
sendiri!”
“Perkataanmu, Dik, pasti tidak salah,” kata San Pek.
“Hanya, bagaimana dengan sikap ayah dan ibu?”
“Tentang ayah dan ibuku, itu mudah,” jawab Eng Tay.
“Nanti setelah tiba di rumah, akan ku beritahu pada kedua
beliau. Yang paling perlu ialah Kakak sendiri. Aku harap
Kakak lekas-lekas datang ke rumahku agar pembicaraan
dapat segera dikukuhkan. Dengan begitu, aku tak usah
memikirkan lagi siang dan malam.”
“Kalau demikian, Adikku, baiklah kau tetapkan saja
harinya.”
“Baik, Kak,” kata Eng Tay, yang menatap lagi si anak
22 Dua kata ‘si’ dan ‘lo’ adalah singkatan dari ‘toh-si’ dan ‘li-lo.’ Itulah nama dua
macam pohon rumput merambat, yang merapat sangat erat. Karenanya, kedua
rumput itu biasa diandaikan satu pasangan hingga berarti suatu pepohohan. Katakata
ini terdapat dalam suatu syair tua.
muda. “Kita main teka-teki saja. Aku janjikan: satu tujuh,
dua delapan, tiga enam, empat sembilan.”
San Pek tercengang.
“Oh…!” serunya tertahan “Satu tujuh, dua delapan, tiga
enam dan empat sembilan ia diam sejenak, ia berpikir.
“Apakah artinya itu?”
Eng Tay berkata: “Sekarang ini, tak usah Kakak
menerka-nerka. Tetapi nanti, setelah Kakak pulang dan
tiba di rumah, asal Kakak ingat dan memikirkannya,
segera Kakak akan mengerti dan dapat menebaknya!”
“Oh!” kata si anak muda heran. “Setelah sampai di
rumah, setelah aku memikirkannya, aku dapat
menerka….” Eng Tay tersenyum. Ia hanya berkata: “Lihat
di sana, awan putih sudah mulai naik! Aku akan pergi
menuju ke arah sana! Nah, di sini saja kita berpisah!”
Berkata begitu, gadis yang dalam penyamaran itu lantas
menjura pada San Pek, memberi hormat.
Agak repot, si anak muda menjura juga membalas
hormat itu.
“Baiklah, Dik!” sambutnya. “Maafkan aku, aku tak
dapat mengantar lebih jauh lagi. Semoga Adik selamat
dalam perjalanan!”
“Terima kasih, Kak!”
Kemudian gadis itu menggapai ke luar perhentian.
“Gin Sim, ke sini! Kau beri hormat pada Tuan Muda!”
Si kacung menghampiri, segera dia memberi hormat
pada San Pek sambil berkata: “Tuan Muda, harap Tuan
Muda tidak melupakan Tuan Muda saya ini!”
“Pasti tidak!” San Pek menjawab. Kemudian ia
memanggil: “Su Kiu, kemari! Kau beri hormat pada Tuan
Muda!”
Su Kiu dari luar lari mendatangi, ia lantas menjura
pada Eng Tay seraya berkata: “Tuan Muda, lewat sedikit
waktu Tuan Muda akan pergi berkunjung. Su Kiu akan
ikut serta sebab saya ingin menjenguk adik Gin Sim. Di
sana nanti; harap Tuan Muda menyambut baik Tuan Muda
saya….”
“Itu pasti!” sahut Eng Tay, yang terus memberi hormat
sekali lagi pada San Pek, setelah itu ia menghampiri Gin
Sim yang sudah siap dengan kudanya. Maka ia lantas
menunggang kudanya itu dan mulai berangkat. Gin Sim
mengikuti dari belakang.
San Pek berdiri diam, mengawasi kawannya itu berlalu.
Ia masih melihat Eng Tay menoleh kepadanya. Bersama Su
Kiu, ia memandang terus, sampai kawan serta kacungnya
itu lenyap di balik pepohonan….
“Tuan Muda,” kata Su Kiu pada majikannya, “mari kita
pulang!”
San Pek tidak menjawab, tetapi ia bergerak, menaiki
kudanya, dan terus berjalan pulang dengan dibuntuti
abdinya.
“Mengantar Sejauh Delapan Belas LU” kata sebuah
syair. Itulah artinya perpisahan: Pergi berempat, pulang
masing-masing berdua! Berpisah!
10
Pulang
SAAT lohor, San Pek tiba kembali di asrama sekolah.
Lenyap kegembiraannya, sebab kini ia tak berkawan. Ya, ia
sendiri saja. Tiga tahun dan sekarang terasa hampa.
Hanya kenangan saja yang masih tinggal, bagaikan
bayangan. Ada banyak teman sekolah, tetapi mereka
bukan Eng Tay. Hambar rasanya. Tak lagi ada kawan,
dengan siapa ia bisa keluar berjalan-jalan. Saking
kesepian, ia mendadak teringat teka-teki Eng Tay, teka-teki
perpisahan.
“Kata Eng Tay, setelah pulang aku akan dapat
menerkanya,” katanya dalam hati. “Sekarang baiklah aku
coba-coba….” Terus saja ia mengulangi: “satu tujuh, dua
delapan, tiga enam, empat sembilan
Dalam berpikir, pemuda ini berkata di dalam hati: “Satu
kali tujuh: tujuh. Dua kali delapan: enam belas. Tiga kali
enam: delapan belas. Empat kali sembilan: Tiga puluh
enam….”
Selagi membaca itu, San Pek menggerak-gerakkan jarijari
tangannya untuk menghitung, tetapi tak juga ia
memperoleh jawaban.
“Kata Adik Ciok, setibanya, asal aku berpikir, aku akan
dapat menebaknya,” katanya dalam hati. “Nyatanya, masih
sulit….”
Pemuda ini bingung beberapa lama.
“Ah, sudahlah!” pikirnya. “Hari ini gagal, besok akan
aku pikirkan lagi….”
Malam itu, San Pek tak bisa tidur dengan tenang.
Kemudian ia teringat kata-kata Eng Tay tentang Kiu
Moy, si adik kembar, yang segala sesuatunya, paras dan
kepandaiannya persis sama dengan sang kawan.
“Kenapa sebelumnya Eng Tay tak pernah menyebutnyebut
adiknya itu?” pikir si anak muda. Dia heran.
“Bagaimana sebenarnya wajah Kiu Moy?”
Tiba-tiba tampak seorang berjalan mendatangi,
langkahnya perlahan. Dia seorang wanita muda, parasnya
mirip Eng Tay, jalannya lemah-gemulai.
San Pek segera menyambut gadis itu dan memberi
hormat. Sang dara membalas hormat, sikapnya wajar
sekali.
“Nona, maaf, aku ingin bertanya,” kata si anak muda
kemudian. “Aku lihat, kau mirip sekali dengan Ciok Eng
Tay hian-te.”
Dengan ‘hian-te’ si pemuda maksudkan ‘adik laki-laki’.
Si gadis melipat kedua tangannya ketika menjawab:
“Aku adalah Kiu Moy. Kami anak-anak kembar maka kami
mirip satu sama lain.”
“Oh, kiranya Adik Kiu Moy!” kata San Pek tertegun.
“Ketika itu Kakak Eng Tay pulang,” lanjut Kiu Moy, “ia
mengutarakan tentang soal pernikahanku, katanya aku
telah dijodohkan denganmu, Kakak Nio.”
San Pek mengangguk.
“Aku dengan kakakmu adalah seperti saudara
kandung,” ujarnya menerangkan, “maka dari itu, apa
katanya ku turuti saja. Sekarang aku melihat kau, Dik,
nyata penjelasan adik Eng Tay benar sekali. Ini dia yang
dikatakan, ‘kebahagiaan tiga kali reinkarnasi!’
Bagaimanakah pikiran Nona sendiri?”
Kiu Moy tersenyum manis. Itulah jawabannya.
San Pek melipat kedua tangannya.
“Dan bagaimana dengan Ayah dan Ibu?” tanyanya.
“Kakak Eng Tay telah memberitahukan bahwa Kakak
Nio adalah seorang budiman dan sangat rajin belajar,”
jawab gadis itu, “mendengar hal itu, Ayah dan Ibu senang
sekali dan menyetujui. Sekarang ini Kakak Nio diminta
segera datang melamar.”
“Namun,” kata San Pek perlahan, “Adik Eng Tay dan
Ayah serta Ibu demikian baik, juga Adik sendiri,
bagaimana dengan aku? Aku ini dari keluarga miskin,
mana aku pantas….”
Kiu Moy menunjuk dengan kedua tangannya ke arah
tembok, kemudian ia menghadap anak muda di depannya
dan berkata serius: “Uang bukan masalah! Asal pihak lakilaki
dan pihak perempuan bersatu hati, jendela kuningan
dan tembok besi pun dapat ditembus!”
San Pek kagum sekali.
“Oh…!” serunya. “Jendela kuningan dan tembok besi
pun dapat ditembus!”
Sewaktu pemuda ini mengutarakan keheranan atau
kekaguman itu, tubuh gadis itu bergerak cepat sekonyongkonyong
ia telah menghilang….
“Kiu Moy!” seru si anak muda, memanggil nama gadis
itu. Atau ia lantas diam, bagaikan orang terkesima.
Sebab…. ternyata ia telah bermimpi dan lenyapnya gadis
itu membuatnya mendusin dari tidurnya!
Beberapa lama anak muda ini masih diam saja. Ia
sedang memikirkan mimpinya itu. Impian itu aneh. Aneh
juga kata-kata gadis itu: asal pria dan wanita bersatu hati!
Itulah ucapan yang jelas sekali.
“Tidak, aku tak bisa menyia-nyiakan waktu lagi!”
kemudian ia berkata dalam hati. “Aku harus segera
menemuinya untuk memberi penjelasan guna memperoleh
kepastian, khususnya untuk menemui ayah-bundanya….”
Berpikir sampai di situ, anak muda ini jadi teringat lagi
dengan teka-teki Eng Tay tentang ‘satu tujuh’, yang masih
tetap belum sanggup ia pecahkan. Kemudian ia pun
mengeluarkan dari sakunya cenderamata dari Eng Tay,
untuk dimain-mainkan….
Masih lewat beberapa lama, setelah letih berpikir, San
Pek tertidur. Esok paginya, ia sekolah seperti biasa. Di
waktu, lohor, tidak seperti biasanya, ia diundang Ho-si, si
nyonya guru. Ia heran tetapi segera ia pergi menemuinya.
Ho-si tertawa dan bangkit dari kursinya atas
kedatangan si anak murid. Bahkan ia segera mendahului
berkata.
“Keponakan Nio, aku hendak bicara dengan kau.
Silakan duduk!”
Sebagai murid dari suaminya, Ho-si memanggil San Pek
‘keponakan’.
San Pek memberi hormat, dalam rasa herannya ia
duduk. Kemudian ia memandang, mengawasi saja sang
istri guru.
“Kau belajar rajin sekali, ini aku tahu,” kemudian Ho-si
berkata lagi. “Karena kau terlalu rajin, agaknya kau
sampai kurang perhatian atas cara hidupmu setiap hari.
Itu kurang tepat.”
San Pek berdiam, ia tidak mengerti. Ia hanya
mengangguk.
Ho-si mengawasi si anak muda, ia berkata lagi: “Kau
sekolah bersama Eng Tay, sekarang dia sudah pulang,
maka kini aku bisa bicara terus-terang. Ijinkan aku
bertanya: sesudah sekian lama berkumpul bersama, coba
jawab pertanyaanku: dia itu sebenarnya pria atau wanita?”
San Pek tercengang. Itu pertanyaan aneh, di luar
dugaan sama sekali.
“Dia seorang pria,” jawabnya sambil memberi hormat.
“Apakah Su-bo melihat sesuatu?” Sang istri guru tertawa.
“Bukan, kau keliru!” katanya. “Eng Tay itu wanita!
Bukan hanya dia, pengikutnya juga wanita!”
San Pek tercengang, ia sungguh heran.
“Su-bo,” tanyanya kemudian, “bagaimanakah Su-bo tahu
hal ini?”
“Aku mengetahui hal ini ketika dia pamit untuk
pulang,” ujar Ho-si menerangkan. “Ia telah menjelaskan
segalanya padaku.”
Heran atau tidak, sekarang San Pek tidak sangsi lagi.
Yang bicara pun istri gurunya.
Ho-si berkata pula: “Eng Tay mengatakan juga, setelah
tiga tahun sekolah dan berkumpul bersama, ia ketahui
dengan baik sekali bahwa kau lah seorang laki-laki sejati,
maka dari itu dia rela menyerahkan dirinya padamu.
Bahkan dia telah menitipkan kupu-kupu kemala, untuk
diserahkan padamu sebagai tanda mata.”
Sambil berkata begitu, nyonya guru itu merogoh
sakunya, mengeluarkan kupu-kupu kemala yang
disebutkannya tadi. Lantas saja ia berikan pada si anak
muda itu.
San Pek menerimanya dengan hormat. Sebagai seorang
terpelajar, ia kenal baik adat-istiadat. Sambil mengawasi
cenderamata itu ia bolak-balik di tangannya. Sekarang
barulah ia sadar benar.
“Terima kasih, Su-bo!” katanya kemudian “Ah, sungguh
tidak saya sangka ia adalah seorang wanita. Tiga tahun
kami sekolah bersama, bahkan juga sama-sama tinggal di
satu rumah, saya sama sekali tidak duga. Ketika
perpisahan, dia menjodohkah saya dengan Kiu Moy.
Siapakah gadis itu? Bukankah yang disebut adiknya itu,
dia sendiri…?”
“Kiu Moy adalah Eng Tay!” kata Ho-si. “Sekarang,
setelah kau ketahui segalanya, kau harus lekas pergi
menemui Bapak-Ibu Ciok supaya bisa diajukan lamaran
resmi!”
Si anak muda itu mengangguk.
“Benar! “jawabnya. “Apakah Pak Guru juga tahu urusan
ini?”
“Tadinya tidak, sekarang sudah,” sahut Ho-si. “Tapi,
aku akan menemuinya lagi untuk menjelaskan bahwa kau
sudah mengetahui hal-ihwal kalian berdua. Guru justru
yang menganjurkan agar kau lekas pergi menyusul Eng
Tay untuk menemui ayah-bundanya.”
“Baiklah!” kata San Pek. “Nanti sore akan saya temui
Pak Guru agar beliau bisa pilihkan hari yang baik untuk
keberangkatan saya. Su-bo, San Pek mengucapkan terima
kasih pada Su-bo!”
Sambil berkata begitu, anak muda ini lantas memberi
hormat.
Sambil tersenyum, Ho-si menyambut hormat itu.
San Pek pamit, terus kembali ke kamarnya. Pertamatama,
kupu-kupu kemala itu ia persatukan dengan kupukupu
kemala yang lain, miliknya, hingga keduanya
menjadi sepasang.
“Dik!” katanya kemudian seorang diri, “mengapa sekian
lama kau tidak menunjukkan tanda apa pun hingga aku
tidak tahu sama sekali?”
Pemuda ini lantas duduk berdiam diri saja, namun
pikirannya bekerja.
“Sebenarnya akulah yang kurang perhatian,” katanya
kemudian seorang diri. “Coba aku berprasangka, aku pasti
mengetahui juga akhirnya. Ya, ku ingat sekarang! Ketika
itu aku sedang berlatih kaligrafi, ia berada di sampingku,
sedang menggosok bak. Ketika kebetulan aku menoleh,
kulihat liang kecil di cuping telinganya. Aku hanya terkejut
karena heran, tetapi dia mengatakan kepadaku bahwa
kupingnya dilubangi oleh ibunya yang membayar kaul.
Aku tidak curiga, aku mempercayainya. Dasar aku terlalu
lugu! Masih ada lagi suatu pertanda. Tatkala dia sakit, aku
berbaik hati dengan menemani tidur di ujung kakinya.
Saat itu dia menolak namun akhirnya ia setuju juga
setelah ada perjanjian tentang penghalang yang ditaruh di
tengah tempat tidur. Mengenai hal ini, ia pun menyebutnyebut
kebiasaannya sejak kecil bersama ibunya.
Sebenarnya, bagaimana masuk akal alasan ibunya itu?
Yang jelas dia hendak mengekang aku. Ya, mengapa aku
terlalu polos hingga aku dibohonginya?”
Merenung sampai di situ, San Pek berhenti berpikir
dengan sendirinya. Ia menghampiri pembaringannya untuk
merebahkan diri. Namun beberapa lama, matanya masih
terbuka terus, dan hanya menatapi langit-langit
pembaringan….
Sekonyong-konyong, langit-langit kelambu terbelah dua,
muncullah Eng Tay berdandan wanita dan gadis itu segera
berkata: “Asal pria dan wanita bersatu hati, tembok
kuningan dan besi pun dapat ditembus….” Lalu,
mendadak
saja gadis itu lenyap!
Tembok kuningan dan besi pun dapat ditembus?
San Pek sadar dan bangun, ia berdiri.
Justru itu, Su Kiu muncul untuk berbenah. Tak ia
sangka, majikannya sedang berdiri dengan wajah berseriseri
hingga ia menjadi heran.
“Su Kiu, kau sudah lama tinggal bersama Gin Sim, kau
tahu atau tidak bahwa dia….”
Si abdi tercengang, dia menatap tuannya itu.
San Pek pun segera meneruskan pertanyaan: “Tahukah
kau, macam apa dia itu?”
“Dia orang yang baik sekali,” jawab Su Kiu. “Semenjak
dia dan majikannya berkumpul bersama kita, kami berdua
belum pernah bermuka merah.”
Artinya, Su Kiu dan Gin Sim belum pernah bertengkar.
“Bagus!” kata sang majikan. “Dua atau tiga hari lagi kita
akan pergi ke dusun Ciok untuk menjenguknya!”
Su Kiu heran, namun dia tertawa.
“Itu bagus, Tuan Muda!” katanya.
San Pek tak berkata apa-apa lagi, kemudian ia berjalan
mondar-mandir dalam kamarnya itu. Otaknya bekerja,
mengiringi langkah kakinya.
“Satu tujuh, dua delapan, tiga enam, empat
sembilan….”
Otaknya bekerja hingga ia tak tahu bahwa kacungnya
sudah berlalu. Seorang diri, ia masih mondar-mandir
sampai tiba-tiba ia berkata sendiri: “Satu tujuh, dua
delapan…. Di samping satu dua, ada tujuh delapan, dan
tujuh tambah delapan ialah lima belas. Tiga enam, empat
sembilan. Di samping tiga dan empat, enam tambah
sembilan ialah lima belas juga! Satu, dua, tiga dan empat,
itulah nomor urut. Ini bukan masalah. Hanya dua kali lima
belas, itulah artinya satu bulan. Ah, apakah itu berarti
adik Eng Tay menghendaki agar aku mendatanginya,
jangan lewat dari satu bulan?”
Berhenti sejenak, San Pek berkata pula: “Apakah aku
tidak salah tafsir?”
Kembali, di dalam hati dia mengulangi menyebut “satu
tujuh, dua delapan, tiga enam, empat sembilan.”
“Tak salah, ada satu, ada dua, ada tiga, ada empat.
Lalu, apakah maksudnya itu?” demikian ia bertanya-tanya
sendiri, suaranya keras.
Di luar dugaan, di halaman luar ada beberapa orang
teman sekolah sedang berkumpul. Mereka heran
mendengar San Pek bersuara keras seorang diri, mereka
lari menghampirinya dan bertanya: “Ada apa…?”
“Ah, tidak ada apa-apa,” jawab San Pek yang merasa
jengah sendiri. Ia pun tertawa: “Baru saja ada kelabang,
aku terperanjat, setelah ku usir, dia kabur….”
Kawan-kawan itu maklum, mereka pun bubar.
San Pek duduk, ia memainkan lagi kupu-kupu kemala
itu. Ia mengamatinya, ya, ia termenung. Ia pun tersenyum
simpul. Ya, otaknya bekerja terus….
“Sikap Adik Eng Tay ada maksudnya,” pikirnya
kemudian. “Sepasang kupu-kupu kemala ini, dua kali ia
serahkan padaku. Bukankah itu ada artinya? Tiga kali dia
mengembalikan barang-barangku: walet, delima dan kupukupu!,
Dia pun mengingatkan aku agar dalam waktu tiga
puluh hari, aku harus menyusulnya. Ya, aku harus segera
mendatanginya!”
Anak muda ini menggebrak meja seraya berseru
perlahan: “Ya, berangkat!”
Malam itu San Pek menemui gurunya untuk mohon
diri.
Pak guru Ciu mengetahui hal-ihwal anak muda itu, ia
menasihatinya. Ia pun menetapkan hari keberangkatan si
anak muda: Lusa.
Hari itu tiba dengan cepatnya. San Pek sudah siap.
Pagi-pagi ia berpamitan dengan guru dan istrinya. Hanya
kali ini ia harus berjalan kaki, kudanya telah mati karena
sakit. Su Kiu mengikuti dari belakang dengan membawa
buntalan-nya.
Setelah berada, di jalan besar dan melihat pepohonan,
San Pek terkenang pertemuannya semula dengan Eng Tay
dan bagaimana gadis itu bersyair. Ia ingat benar bunyi
syair itu. Ya, ia ingat segala pengalamannya berdua dengan
gadis itu.
“Ya, Kiu Moy adalah Eng Tay!” pikirnya kemudian. Ia
girang hingga sering ia tersenyum dan tertawa sendiri,
sampai-sampai Su Kiu si abdi, menjadi heran.
“Aneh, mengapa aku tidak sadar juga….” kata si anak
muda itu, sendirian.
“Tuan Muda,” tanya Su Kiu, heran, “apa yang tak sadar
juga?”
“Tidak apa-apa!”jawab sang majikan.
Keduanya berjalan terus, sampai suatu hari tibalah
mereka di kampung halaman mereka. Kebetulan sang
ayah, Nio Ciu Po, sedang berada di ambang pintu, dan ia
melihat dua orang sedang mendatangi.
“Tuan Besar!” seru Su Kiu sambil menghampiri, terus
dia memberi hormat.
“Oh, San Pek pulang!” kata sang ayah girang.
Segera juga San Pek memberi hormat pada ayahnya,
dan menanyakan kesehatannya.
“Mari, Nak, temui !” kata ayah itu.
Maka masuklah mereka ke dalam. Sang ayah berseru:
“Ma, San Pek pulang!
Nyonya Nio, atau Kho-si, ibu San Pek, pun sangat
girang.
San Pek segera memberi hormat pada ibunya itu.
“Oh, anakku!”seru ibunya.
“Mama baik-baik saja?” tanya pemuda itu.
“Kau baik, Nak? Aku baik-baik saja.”
Maka gembiralah keluarga Nio itu. Maklumlah, tiga
tahun ayah-bunda berpisah dari putranya, dan sekarang,
mereka bertemu dan semua sehat-walaflat.
Su Kiu memberi hormat pada nyonya majikan itu
sesudah meletakkan buntalannya.
Malam itu selagi si putri malam bertengger di langit,
ayah dan ibu serta sang putra duduk berkumpul di ruang
dalam. Pemuda itu menceritakan segala sesuatu yang
berlangsung selama ia sekolah, dan kedua orangtua itu
menanyakan berbagai hal. Mereka senang dan puas,
terutama karena mereka dapat berkumpul bersama dalam
keadaan segar-bugar. Hanya ayahnya tampak lebih tua
dan ibunya wajahnya sedikit keriput.
Kemudian pembicaraan sampai pada masalah Ciok Eng
Tay, gadis itu bernyali besar, yang berani menyamar
sebagai pemuda dan merantau menuntut ilmu bertahuntahun
dengan penyamaran yang sempurna sekali.
“Namun ternyata dia bukan pria melainkan wanita,”
kata San Pek akhirnya. Tentu saja, penyamaran Gin Sim
pun turut disebut-sebut.
Ciu Po dan Kho-si senang mendengar kisah putranya,
yang menemui pengalaman yang luar biasa itu. Mereka
memuji Eng Tay.
“Bagaimana asal-mulanya sampai ketahuan bahwa dia
wanita?” kemudian tanya sang ayah.
San Pek menjelaskan, mulai dari pertemuannya di
tengah jalan, hingga mereka sekolah dan tinggal sekamar;
bagaimana mereka bergaul erat, sampai akhirnya mereka
berpisah sebab gadis itu dipanggil pulang berhubung
ibunya sakit. Sepulangnya gadis itu barulah rahasia
penyamaran itu dibuka atau terbuka.
Tentu saja San Pek menerangkan bagaimana Eng Tay,
secara samar-samar telah menyatakan sudi menyerahkan
dirinya sebagai istri. Kemudian putranya ini mohon maaf
kepada ayah dan ibunya karena ia telah lancang menerima
“lamaran” Eng Tay.
Ayah dan ibu itu tidak berkurang senangnya, bahkan
sebaliknya, mereka girang.
“Bagaikan dongeng saja!” kata ayahnya. “Tetapi
sekarang, bagaimana pikiranmu tentang kau dan Eng Tay
selanjutnya?”
“Saya pikir, sebaiknya segera pergi mengunjungi Eng
Tay,” jawab San Pek. “Besok atau lusa….”
“Pergilah, kau memang harus pergi, Nak,” kata Kho-si,
sang ibu, “hanya di sana, bagaimanakah nanti sikap
Bapak dan Ibu Ciok?”
“Menurut Eng Tay, sikap ayah-bundanya nanti sudah
tidak menjadi soal,” jawab San Pek.
Ciu Po bangkit berdiri.
“Kepergianmu bukannya soal lagi,” katanya kemudian.
“Hanya kita, bagaimana dengan pihak kita? Kita orang
miskin….”
“Masalah sebenarnya sulit, bagaimana nanti saja.”
“Kalau begitu, berangkatlah lusa,” kata si ayah
akhirnya.
“Baik, Pa,” kata San Pek.
11
Dua Perantara Jodoh
LIMA hari setelah berpisah dengan Nio San Pek, Eng Tay
yang sedang menunggang kudanya mendapatkan bahwa
dia segera akan tiba di rumah. Waktu itu siang hari.
“Ong Sun pasti sudah sampai di rumah kemarin,” kata
gadis itu pada abdinya. “Tentu sudah ada orang yang
menantikan kita di depan pintu….!”
“Ya, Non,” sahut Gin Sim. “Sekarang kita mudah
pulang, tetapi dulu, waktu hendak berangkat, betapa
sulitnya….”
“Sudahlah, lain dulu lain sekarang,” kata Eng Tay. “Tak
heran kalau Papa semula menentang. Tak mudah buat kita
menyamar dan harus menjaga diri di rantau. Semoga
beberapa ratus tahun kemudian, kaum wanita bisa
mencari ilmu pengetahuan secara bebas merdeka. Sayang
kita lahir terlalu pagi!”
Nona majikan dan abdinya masih asyik bicara, tanpa
terasa mereka sudah sampai di muka pintu rumah
mereka. Benar saja, di depan pintu sudah ada orang yang
menantikan! Bahkan ada yang lantas menyambut kuda
dan buntalan mereka.
“Apakah aku berubah?” tanya Eng Tay.
“Tidak!” terdengar jawaban.
Gadis itu tertawa.
“Aku telah tukar pakaian selama tiga tahun, mana
mungkin tidak ada perubahan?” katanya. “Hanya diriku
saja yang tetap, tidak berubah!”
Para penyambut itu tersenyum.
Segera juga Eng Tay berada di dalam. Di sana ayah dan
ibunya sudah menantikannya sebab mereka ini telah
mendapat kabar tentang tibanya putri mereka.
“Papa! Mama!” teriak Eng Tay memanggil, girangnya
tiada kepalang. Ia maju mendekat dan memberi hormat,
menjura dalam-dalam.
Teng-si, sang ibu, tertawa.
“Untuk apa kau menjalankan adat penghormatan
besar,” katanya dengan senang sekali.
Ciok Kong Wan, sang ayah pun tertawa.
“Dia masih dandan sebagai seorang pemuda, pantas
saja penghormatannya ini!” katanya, gembira bukan
kepalang. Apalagi putri mereka pun sehat walafiat, tak
kurang sesuatu pun.
Gin Sim segera menghampiri guna memberi hormat
pada majikannya itu.
“Mama sakit, apakah sekarang sudah sembuh betul?”
tanya Eng Tay seraya menatap ibunya.
Sang ibu tersenyum.
“Itu hanya ulah !” katanya. “Ia mendustaimu agar kau
lekas pulang!”
Gadis itu, juga abdinya, tersenyum. Mereka tak kecewa.
Mereka senang karena orangtua dan majikan itu segarbugar.
“Kau baru tiba, Nak, pergilah kau ke kamarmu dulu dan
tukar pakaian,” kata Kong Wan pada putrinya. “Setelah
tiga tahun, sebentar kita bicara lagi ceritakan
pengalamanmu.”
Eng Tay menurut, bersama abdinya ia masuk ke
kamarnya, terus mereka beristirahat.
Malam itu, selesai bersantap Eng Tay berdiri di depan
ayah dan ibunya dan berkata: “Papa, Mama, ketika akan
berangkat, aku diberi tiga macam syarat dan itu tak dapat
kul upakan. Sekarang silakan Papa memanggil bidan
untuk memeriksa diriku!”
“Ah, Nak!” kata orangtua itu, yang agak terperanjat.
“Kata-kataku di saat keberangkatanmu, kau masih
ingat….”
“Tentu saja, Pa,” sahut sang putri. “Tak berani aku
melupakannya.”
“Baiklah kalau begitu. Dua hari lagi, akan kupanggilkan
bidan.”
Teng-si melihat, sang ayah dan putrinya agak likat, ia
menyelak: “Sudahlah, kenapa mesti terburu-buru sekali.
Putri kita sudah bicara, ya, sudah saja. Cukup asal kita
tahu.”
Setelah bicara yang lain sebentar, Eng Tay kembali ke
kamarnya. Dalam keadaan senggang, segera ia terkenang
San Pek. Maka ia merasa: Dalam berjanji, waktu satu
bulan rasanya pendek sekali, akan tetapi sekarang, waktu
itu terlalu lambat, terlalu lama. Ya, ia memikirkannya
setiap saat senggang, baik di kala siang maupun malam
tatkala rembulan terang-benderang. Ya, ia menanti….
Pada suatu siang, di saat angin selatan silir-semilir,
sekonyong-konyong berhembus angin utara. Saat itu Ciok
Kong Wan sedang berada di taman bunganya, dan Gin
Sim. sedang menyapu di halaman taman itu.
Tiba-tiba, sambil mengusap janggutnya dan tertawa,
Kong Wan berkata pada abdinya itu: “Ini, di sini, juga
harus disapu. Eh, ya, bagaimana dengan Nonamu? Di
saat-saat begini, selain baca buku, biasanya ia datang ke
taman, bukan?”
Belum lagi Gin Sim menjawab, tampak Ong Sun datang
dengan langkah lebar seraya terus saja melapor pada
majikannya: “Tuan, di luar ada pegawai Li Tiang-su,
katanya dia hendak menyampaikan pesan.”
“Baik,” sahut sang majikan. “Suruh dia tunggu
sebentar.”
Selagi bujangnya mengundurkan diri, majikan itu pun
pergi ke luar, ke ruang tamu. Ong Sun kemudian
menyusul, bersama seorang tamunya. Sang tamu segera
memberi hormat seraya berkata: “Li Tiang-su, atasanku,
tadi pagi kedatangan seorang tamu, yaitu Tian Ci-su.
Katanya tamu itu minta diperkenalkan dengan Tuan Ciok.”
“Boleh, boleh saja,” kata tuan rumah. “Sayang di sini
aku tidak punya sesuatu untuk disuguhkan pada tamutamuku….”
“Tian Ci-su sekarang sedang dalam perjalanan ke mari,”
kata si pegawai pula. “Saya diperintahkan mengabarkan
terlebih dulu. Sekarang saya ingin kembali untuk
memberitahukan Li Tiang-su.”
Setelah berkata demikian, pegawai itu memberi hormat
lagi, terus dia pergi.
Sewaktu berjalan, Kong Wan girang. Ia ingat dulu,
semasa ia menjadi camat, Tian Ci-su itu, seorang gubernur,
adalah atasannya. Sekarang, pensiunan gubernur itu
berkunjung padanya, pasti itulah suatu kehormatan
baginya. Di pihak lain, dalam hatinya, ia berpikir bahwa ia
harus berhati-hati menyambut tamunya itu. Ia hanya tidak
dapat menduga, apa maksud kunjungan itu. Paling-paling,
ia berpesan agar segera disiapkan suguhan untuk jamuan
penyambutan.
Tidak lama kemudian, pengawal di depan mengabarkan
tentang tibanya sang tetamu.
Tuan rumah ini segera pergi ke depan untuk
menyambut.
Para tamu datang dengan tiga buah kereta yang
dihentikan tepat di depan pintu. Dari kereta pertama
muncul seorang berkopiah hijau, berjubah sulaman biru,
janggutnya belah tiga. Dialah Li Tiang-su atau Li Yu Seng
yang dikenal baik oleh tuan rumah.
Dari kereta kedua turun seorang berkopiah sastrawan,
jubahnya tersulam dan berwarna merah. Ia pun berjanggut
tiga tetapi berwarna putih. Ia bermuka lebar. Tangannya
mencekal tim-bwe, semacam pengebut. Wajahnya agak
berwibawa. Dialah Tian Ci-su.
Kereta yang ketiga adalah kereta untuk pengawal.
Kong Wan segera menghampiri menyambut tamutamunya
sambil memberi hormat dengan menjura. Setelah
itu, ia mengundang mereka untuk masuk ke dalam, dan
duduk di ruang tamu. Selagi menyambut, ia berkata
sebagai orang desa, merupakan suatu kehormatan besar
karena ia mendapat kunjungan kedua tamu agung itu.
“Kami merepotkan saja,” kata Li Yu Seng, merendah.
“Kami cuma ingin bercakap-cakap.”
Mereka lantas saja disuguhkan teh.
Segera juga Tian Ci-su menanyakan jumlah anak lakilaki
Kong Wan.
“Tidak, saya tidak punya anak lelaki, hanya seorang
anak perempuan,” sahut Kong Wan menerangkan.
“Benar,” ujar Li Tiang-su turut bicara. “Bahkan
kabarnya putrinya itu cantik dan pintar sekali!” Ia
tersenyum sambil mengusap j anggutnya.
“Ah, tidak,” Kong Wan merendah. “Tapi benar ia telah
belajar mirip anak lelaki.”
“Berapakah usianya sekarang?” tanya Tian Ci-su.
“Tahun ini genap dua puluh,” sahut tuan rumah.
“Apakah dia masih terus bersekolah?”
Kong Wan tertawa. Ia menjawab: “Niat putriku itu terus
sekolah, tetapi awal tahun ini ia berhenti. Tak leluasa
baginya meneruskan sekolah….”
“Memang,” kata Li Yu Seng, “kalau anak perempuan
terus bersekolah, kurang leluasa. Sekarang ini, Leng-ay 23
sudah berjodoh atau belum?”
Mendengar pertanyaan itu, Kong Wan segera dapat
menerka maksud kunjungan tamu-tamunya ini jelas pihak
lelaki meminta Li Tiang Su dan Tian Ci-su menjadi
perantara jodoh.
“Siao-li 24 belum ada jodohnya,” sahut Kong Wan terusterang.
“Putriku itu semata wayang, dia anak perempuan,
tak apa dia berdiam lama sedikit di rumah….”
“Kalau demikian, biar kujelaskan saja maksud
kedatanganku bersama Saudara Yu Seng ini,” kata Tian
Leng Bow, si Ci-su atau pembesar berkedudukan sebagai
gubernur sipil. “Apakah kau kenal Thay-siu Ma Cu Beng?”
Kong Wan melipat kedua belah tangannya.
“Saya telah lama mendengar namanya,” sahutnya. “Beliaukah
yang tinggal di Lang-taw kecamatan Gin-koan?”
23 Leng-uy: kata halus untuk menghormat anak gadis tuan rumah. Kira-kira, “Putri
Anda,” bukan “Anak Tuan.”
24 Siao-li berarti “anak perempuan yang tak berarti”.
“Benar,” kata Leng Bow sambil mengangguk. “Ma Thaysiu
punya seorang putra bernama Bun Cay, dia sekolah di
rumah di bawah bimbingan guru khusus. Sebagai pelajar,
namanya sangat terkenal. Thay-siu dengar, Anda
mempunyai seorang cian-kim sio-cia,25 yang cantik dan
pintar sekali, maka dari itu ia mengutus kami berdua ke
mari untuk menjalin kedua keluarga menjadi satu, yaitu
agar gadis itu dijodohkan dengan Ma Bun Cay. Aku sendiri
merasa khawatir tidak bisa menjelaskan maka aku datang
bersama Li Yu Seng. Aku percaya Saudara Ciok tidak akan
menampik….”
Sambil berkata demikian, pak comblang ini terus saja
tertawa.
Segera juga Ciok Kong Wan tertarik dengan lamaran itu,
apalagi kedua perantara jodoh itu bukan sembarang orang.
Tambahan pula, keluarga Ma adalah keluarga termasyhur.
Walaupun demikian, ia masih bertanya:
“Kata-katamu tadi tak berani aku menolaknya. Namun,
dapatkah aku diberitahu, berapa usia Ma Bun Cay
sekarang, dan bagaimana perilakunya? Semua ini belum
ku ketahui.”
Tian Leng Bow tertawa mendengar pertanyaan tuan
rumahnya itu.
“Maaf, kata-kata kami tadi kurang jelas,” katanya,
menjawab tuan rumah. “Bun Cay sekarang berusia dua
puluh dua tahun. Begini….”
Belum lagi Ci-su itu selesai, Yu Seng sudah memotong:
“Ya, sama-sama dua…!” Dia mau maksudkan cocok, Eng
Tay dua puluh, Ma Bun Cay dua puluh dua.
Ciok Kong Wan mengangguk.
“Kata-kata Tuan berdua sudah jelas,” katanya, “tetapi
kami mohon diberi izin untuk berpikir dulu sekitar, tiga
hari, setelah itu, akan kami berikan jawaban kami.
Keluarga Ciok, hanya mempunyai satu anak perempuan
25 Cian-kim sio-cia: harfiah, gadis bernilai seribu emas, artinya, “Nona yang
Terhormat”.
yang sangat kami sayangi, selain itu, ibu si anak pun
harus diberitahu lebih dulu. Saya mohon maaf.”
Yu Seng agak heran.
“Apakah masih ada yang kurang jelas?” tanyanya.
Tetapi Tian Leng Bow menyela, katanya: “Waktu tiga
hari tidak terlalu lama. Baiklah, dalam tiga hari, kami akan
menanti berita!”
“Terima kasih,” kata tuan rumah. “Maaf, istri saya perlu
diberitahu lebih dulu.”
Sambil berkata begitu, Kong Wan bangkit dari tempat
duduk. Ia membungkuk, memberi hormat sambil meminta
agar kedua tamunya maklum akan keterangannya itu.
Kedua tamu itu berdiri, dan membalas hormat.
Kemudian kedua belah pihak, duduk pula. Dengan
berbicara lebih jauh, Leng Bow mengatakan bahwa
keluarga Ma adalah keluarga hartawan sehingga apa saja
yang dibutuhkan keluarga Ciok dimintanya agar dikatakan
saja, karena pasti akan dipenuhi. Sebaliknya Kong Wan
menyatakan bahwa pihaknya tidak membutuhkan apaapa,
karena ia pun berkecukupan.
Setelah itu, Kong Wan pamit untuk memberi tahu
istrinya, sementara kedua tamu itu menunggu.
Tatkala Kong Wan masuk ke dalam, ia mendapati
istrinya sedang duduk di dekat jendela. Sang istri
sebaliknya melihat wajah suaminya itu agak gembira, ia
bertanya: “Apakah para tamu sudah pulang?”
“Belum,” jawab suaminya, yang terus menjura pada
istrinya sambil mengucapkan: “Selamat, Nyonya Besar,
selamat!”
Istrinya menjadi heran. Namun ia berdiri membalas
hormat sang suami. Ia menatapnya.
“Ada apa? Apakah maksud kegiranganmu ini?”
“Coba kau terka, mau apa kedua tamu itu datang jauhjauh?”
“Mana kutahu….”
“Mereka datang untuk melamar Eng Tay, putri kita!”
“Oh, begitu!” kata sang istri. “Untuk keluarga siapa?”
“Untuk putra Ma Thay-siu yang bernama Bun Cay,”
jawab suaminya. “Anak itu baru berusia dua puluh dua
tahun. Mereka berdua di utus sebagai perantara jodoh.
Lihat, perantaranya saja bukan sembarang orang.”
“Ma Thay-siu itu memang ternama,” kata Nyonya Ciok,
“akan tetapi putranya itu, kita berdua belum pernah
melihatnya. Maka dari itu, ku pikir, kita perlu bersabar
dulu. Lagi pula, walau keluarga itu kaya, putranya masih
sekolah. Bukankah kita perlu melihat dulu
kepandaiannya?”
“Pikiranmu sama dengan pikiranku, istriku. Akan ku
sampaikan keinginan kita ini pada kedua perantara itu.
Apakah kaup unya pikiran yang lain?”
“Masih ada,” sahut istrinya. “Ya, tentang Eng Tay, putri
kita. Ia sangat terpelajar, orang biasa saja tak nanti ada di
matanya. Maka dari itu, perlu kita tanyakan dulu
pendapatnya. Bukankah baik sekali kalau dia
diperlihatkan karya tulis pihak sana?”
Ciok Kong Wan duduk di sisi istrinya. Tetapi,
mendengar kata-kata terakhir istrinya, ia menjadi geram
bahkan wajahnya tampak merah.
“Nah, inilah kekeliruanmu!” katanya tiba-tiba dengan
keras. “Dulu ketika Eng Tay mau pergi belajar ke Hang-ciu,
aku tidak setuju, kemudian karena segala ucapanmu, aku
memberikan izin. Coba pikir, selama tiga tahun itu, betapa
berat perasaan kita, kecemasan kita. Ya, itu masih perkara
kecil. Tapi sekarang, urusan pernikahan, ini urusan besar.
Kita tidak bisa berikan lagi kebebasan seperti dulu! Dalam
hal ini ada keluarga Ma! Mana bisa kita mendapatkan
keluarga lain? Sedangkan kedua perantara itu, mana kita
mencari mereka? Kau mau tanya dulu pikiran Eng Tay, itu
terlalu memusingkan kepala. Di samping itu, juga tidak
ada alasan baginya untuk menampik.”
Teng-si heran mendapatkan suaminya mendadak saja
bicara sedemikian rupa. Ia mengawasi. Karena tahu sifat
suaminya, ia bersabar.
“Aku juga tahu keluarga Ma terkenal,” katanya, sabar.
“Akan tetapi putranya, bagaimana? Selain tentang
kepandaiannya, juga perihal paras wajahnya! Bagaimana
kalau dia macam ‘tiga bagian manusia dan tujuh bagian
hantu’? Apakah Eng Tay pantas dijodohkan dengan dia?
Eng Tay pasti tidak setuju. Lagi pula, bagi Eng Tay ilmu
budaya adalah bagaikan jiwanya.”
“Ya, pulang-pergi, pikiranmu sama saja! Lalu, apa lagi
katamu?”
“Tidak ada lagi,” sahut istrinya.
“Baiklah kalau begitu,” kata suaminya. “Sekarang
hendak ku layani tamu-tamu kita.”
Kembali ke ruang tengah, Kong Wan mendapatkan
tamunya sedang berjalan-jalan di taman. Ia lantas
menyuruh pelayan memanggil mereka.
Tatkala bertemu, Tian Leng Bow menggeleng-gelengkan
kepala, terus dia tertawa dan berkata: “Putrimu itu benarbenar
bukan sembarang orang! Aku telah melihat syairnya
di papan ayunan. Sayang sekali tidak ada mopit hingga
aku tidak dapat mengutipnya, tetapi kira-kira begini:
‘Benang merah mewarni para tamu, satu kali menantang
orang pandai!’ Yang lainnya ialah ‘Rembulan terang
mengantarkan kepergian mega, angin lembut jatuh ke
bumi’. Itulah lukisan mengenai gerak-gerik ayunan. Tanda
tangannya ialah: ‘Eng’, maka aku menduga, itulah tulisan
putrimu. Seorang gadis berusia dua puluh tahun sudah
bisa bersyair demikian indah, sungguh luar biasa!”
Mendengar pujian itu, Kong Wan tertawa.
Li Yu Seng juga berkata: “Tidak sembarang orang bisa
menulis begitu!”
Segera Tian Leng Bow menanyakan bagaimana
pendapat Nyonya Ciok.
Kong Wan pun menjelaskan sikap istrinya.
“Kalau demikian, tujuh atau delapan bagian, urusan
akan berhasil!” kata Leng Bow. “Kau bagaimana, saudara
Yu Seng?”
Orang yang di tanya mengangguk.
“Benar, urusan akan segera berhasil!” katanya.
“Sekarang tinggal tulisan dari Ma Bun Cay. Itu bukan soal
lagi. Bun Cay sekarang ada di rumah asal ku temui dan
bicara dengannya, pasti dia bersedia. Besok aku akan
kirim orang untuk mengambil karya tulis Bun Cay. Bukan
hanya satu karya, semuanya pun boleh. Dengan demikian
aku berharap, urusan ini tak menemui kesulitan. Kak Leng
Bow, kalau begini akan beres seluruhnya. Sekarang kita
tinggal menanti lewatnya dua hari lagi!”
Orang bermarga Li ini sangat gembira.
Tian Leng Bow pun tertawa.
“Benar juga, tak ada hal yang sukar lagi!” katanya.
“Saudara Ciok, bukankah urusan sudah dapat di anggap
selesai?”
“Ya, sudah selesai!” jawab Kong Wan tertawa. “Hanya
tinggal istri saya, ia ingin sekali dapat melihat Tuan Muda
Ma sendiri serta dua buah naskah karangannya. Mengenai
hal ini, saya harap perhatian Saudara berdua. Sekarang,
sesudah lama kita bicara, saya mengundang Saudara
sekalian menikmati jamuan seadanya bersama-sama.”
Kedua tamu terhormat itu menerima baik undangan
perjamuan itu, mereka mengucapkan terima kasih. Maka
di lain detik, ketiganya sudah duduk berkumpul,
bersantap dan minum bersama. Setelah itu, mereka masih
mengobrol di ruang tamu dan kedua orang perantara itu,
menegaskan pula agar sang tuan rumah bersedia
menerima lamaran keluarga Ma.
Kemudian Li Yu Seng berkata: “Begini saja! Enam atau
tujuh hari lagi, akan ku suruh istriku membawa naskah
karya Tuan Muda Ma ke sini, asal saja Nyonya sudi
menerimanya, agar naskah itu dapat diperiksa. Aku
percaya, sesama wanita, bicaranya lebih mudah. Mengenai
kehendak Nyonya melihat bakal menantunya, kita lihat
saja belakangan. Nah, bagaimana, cocok, bukan?”
Kong Wan tidak berani banyak bicara lagi, ia
mengangguk. Maka sampai di situ kedua tamu itu lantas
minta diri untuk pulang.
12
Gadis Luar Biasa
CIOK Eng Tay sedang berada di ruang belakang tatkala ia
mendapat kabar tentang kedatangan dua orang tamu
ayahnya. Ia tidak memperhatikan hal itu. Sesudah lima
hari, ia mendengar laporan dari seorang abdi perempuan
bahwa ibunya sedang menerima kunjungan Law-si, istri Li
Yu Seng. Kali ini ia merasa agak curiga, bukankah tamu
itu belum pernah mendatangi rumahnya? Sekarang tibatiba
dia muncul, mau apakah dia?
“Gin Sim, coba kau selidiki,” katanya pada abdinya.
Sebenarnya Ciok Kong Wan, sesudah menerima
kunjungan dua orang tamunya itu, pernah berpesan pada
orang-orangnya agar tidak sembarangan membawa cerita.
Juga Teng-si, si ibu, tidak memberitahukan putrinya
mengenai kedatangan kedua tamu itu serta maksud
kedatangannya. Maka ketika Law-si datang, ia menyambut
sendiri.
Nyonya Li Tiang-su berusia empat puluh lebih, dia
mengenakan baju berwarna merah tua. Berhadapan
dengan nyonya rumah, dia menghormat. Kemudian Teng-si
mengundangnya duduk di ruang tamu.
Setelah berbasa-basi, Law-si berkata. “Kedatanganku ini
menyambung kunjungan suamiku beberapa hari yang lalu,
maka Nyonya tentu sudah tahu maksudnya.”
“Pasti urusan putriku,” sahut Teng-si. “Kami merasa
berterima kasih sekali”
“Ya, inilah urusan keluarga Ciok dengan keluarga Ma,”
kata Law-si. “Semoga kedua keluarga nanti berjalin
menjadi satu!”
Teng-si mendapat kesan baik mengenai sang tamu,
yang apik bicaranya.
“Terima kasih,” katanya tertawa. “Kabarnya Tuan Muda
Ma itu baik sekali, maka kami ingin sekali melihatnya.”
Sang tamu tersenyum.
“Memang, paling tidak mesti bertemu satu kali,” kata
Law-si. “Umpama barang, harus di lihat dulu burukbaiknya.
Terus-terang, Tuan Muda Ma sekarang berada di
rumahku, asal Nyonya setuju, pertemuan akan segera
terlaksana. Bagaimana pendapat Nyonya?”
Teng-si tidak menyangka akan jawaban tamunya itu,
karenanya ia menjawab: “Mengenai hal ini, tak berani aku
mengambil keputusan, perlu ku tanyakan dulu pendapat
suamiku. Baiklah, nanti saja ku beri kabar lebih lanjut.”
“Apakah Tuan Ciok ada di rumah?” tanya Law-si.
“Ada,” jawab Teng-si.
“Bagus!” kata Law-si yang tampak girang sekali.
“Baiklah aku akan duduk menanti disini. Tanyakanlah
kepada Tuan di mana pertemuan dapat dilakukan!”
Nyonya rumah tertawa.
“Kulihat di antara dua perantara, yang wanita lebih
mendesak daripada yang pria! Hanya sayang, pembicaraan
tidak bisa segera diputuskan. Memangnya sudah sangat
ingin minum arak kebahagiaan, ya?”
“Ya!” kata Law-si secara polos. “Terus-terang saja, tak
ada lagi keluarga lain yang lebih serasi dari dua keluarga
Ciok dan Ma! — Oh ya, aku lupa akan sesuatu….”
Sambil berkata begitu, si tamu merogoh sakunya. Ia
mengeluarkan segulung pita merah dan sambil
memberikannya pada nyonya rumah, ia berkata: “Ini
naskah Tuan Muda Ma untuk Tuan Ciok lihat dan periksa.
Nah, dengan ini telah kami kabulkan permintaan Tuan.
Maka sekarang, kami tinggal menanti saja sepatah kata
dari Tuan!”
Teng-si berdiri, menyambut gulungan naskah itu.
“Terima kasih!” katanya.
Saat itu, Gin Sim muncul, melintas di ruang tamu itu.
“Eh, Gin Sim!” ujar si nyonya majikan memanggil,
“pergilah kau temui Tuan Besar dan katakan, sebentar aku
mau bicara dengannya.”
Gin Sim meng-iya-kan, terus ia berjalan pergi.
“Abdi siapa itu?” tanya nyonya tamu.
“Dia abdi putriku,” sahut nyonya rumah.
“Kebetulan sekali!” kata Law-si lagi. “Aku ingin bicara
dengannya. Dapatkah dia dipanggil kembali?”
“Gin Sim, ke mari!” Teng-si lantas memanggil abdinya
itu. Sebenarnya ia tidak setuju tetapi ia malu hati kepada
tamunya. “Kau beri hormat pada Nyonya Li ini.”
Abdi itu belum sampai di luar, segera ia kembali. Ia
menjura pada tamunya itu.
Nyonya Li tertawa, ia berkata: “Ku dengar Nona
majikanmu itu pandai ilmu budaya, beberapa pemuda
tidak sanggup menyaingi dia. Hari ini kebetulan aku
beruntung dapat berkunjung ke sini. Sudah seharusnya
aku menemui dia, paling tidak satu kali. Nah, coba kau
temui Nonamu dan katakan padanya bahwa ada seorang
wanita dari keluarga Li yang sangat ingin bertemu
dengannya.”
“Baik, Nyonya,” jawab Gin Sim. Akan tetapi dia tidak
lantas mengundurkan diri, melainkan berpaling pada
nyonya majikannya untuk menunggu perintah.
Teng-si maklum, ia tak dapat menolak kehendak
tamunya itu.
“Ini Nyonya Law-si, istri Li Tiang-su,” katanya pada
abdinya, “Nyonya ini sedang melakukan kunjungan
kehormatan pada kita. Sekarang beritahukan Nonamu
agar bersiap-siap, kami hendak menemui dia.”
“Ah, tak usah bersiap-siap” kata Law-si tertawa. “Biasabiasa
sajalah….”
Gin Sim mengangguk, terus ia mengundurkan diri.
Lebih dulu ia menghampiri Ciok Kong Wan untuk
menyampaikan pesan Teng-si, kemudian baru ia kembali
pada nona majikannya untuk menyampaikan berita. Ia
berjalan sangat cepat.
“Hei, kau berlari-lari, ada apa?” tegur Eng Tay pada
abdinya itu. “Kabar baik apa yang kau bawa?”
“Kabar luar biasa, Non!” sahut abdi itu. “Ketika, saya
lewat di ruang tengah, Nyonya Besar melihat saya.
Sewaktu Nyonya Li mengetahui siapa saya, saya dipanggil
kembali, terus Nyonya Besar mengatakan bahwa tamu itu
ingin bicara dengan Nona. Saya diperintahkan memberi
kabar agar Nona bersiap-siap di sini. Nyonya Besar beserta
tamunya hendak menemui Nona.”
Eng Tay heran, dia berpikir: “Seorang tamu perempuan
datang, lalu dia ingin bertemu denganku, mau apa dia?”
Kemudian dia mengangguk dan berkata pada abdinya:
“Ku tunggu di loteng, jika tamunya datang, persilakan dia
naik ke atas.”
Setelah berkata, gadis itu tersenyum dan terus naik ke
loteng.
Gin Sim mengangguk dia diam, tapi di dalam hati dia
menerka-nerka: “Mestinya Nona sudah dapat menduga
maksud kedatangan tamu itu. Tunggu saja sebentar untuk
mendengarkan bagaimana Nona dan tamunya bersilat,
lidah!”
Lantas, abdi itu tetap di tempat, menantikan tamunya.
Hanya seketika, terdengar suara langkah kaki, lalu
Teng-si muncul, memandu Law-si.
Tamu itu kagum melihat keadaan ruang dalam ini,
hingga ia memuji: “Tak usah melihat orangnya,
menyaksikan saja segala pohon bambu dan cemara beserta
bayangannya, lantas sudah dapat diduga bahwa nona
rumahnya bukan sembarang orang!” Di dalam, terlihat
kursi meja dan perabot rumah lainnya, semua teratur rapi
dan serasi, sederhana tetapi menarik hati. Lain lagi meja
tulis dan rak bukunya.
Gim Sim tidak menanti sang tamu menyapanya, ia
mendahului: “Nyonya, silakan menaiki tangga, Nona kami
berada di atas sedang membaca buku, tetapi tahu akan
ada tamu, ia sudah menanti.”
“Oh, Nonamu menanti di loteng?” kata Law-si agak
heran. “Kamar ini sudah luar biasa, masih ada loteng pula!
Baik, mari kita naik!”
Gim Sim mendahului tamunya, tiba di atas, ia bersuara:
“Non, tamunya sudah sampai!”
Law-si mengikuti naik, tiba di atas, kembali ia menjadi
kagum. Di tembok tergantung sekeping papan bertuliskan
tiga huruf ‘Hwe Sim Law’, artinya, ‘Loteng Menemui Hati’
atau ‘Hati Bertemu’. Memandang ke luar jendela, tampak
taman mungil serta pohon yang-liu yang seakan-akan
menaungi loteng itu. Suasana tenang tetapi menarik hati.
Rak buku itu ada dua buah, berisikan buku-buku dan
gulungan-gulungan gambar serta kaligrafi yang besarbesar
dan indah. Di situ terdapat juga alat musik yang
dinamakan kim, sejenis kecapi. Ya, segala sesuatunya
lengkap sebagai kamar seorang pelajar. Tanaman bunga
dalam pot menambah kesemarakan loteng itu. Law-si
kagum karena ia juga mengerti sedikit ilmu budaya.
“Ah, aku harus berhati-hati….” kata Nyonya Li Yu Seng
dalam hati.
Sementara itu Eng Tay telah muncul di ambang pintu,
karena ia telah mendengar suara Gim Sim tadi. Segera ia
menyambut tamunya sambil memberi hormat, pertanda
selamat datang.
Segera juga Law-si melihat seorang nona dengan rias
rambut Poan-liong-ki, gelung “Naga Melingkar” yang
berparas sangat ayu, hidungnya bangir, wajahnya
bagaikan selalu tersenyum. Kedua belah pipinya berlesung
pipit pula!
Tamu ini membalas hormat seraya tersenyum manis
dan berkata: “Telah lama aku mendengar bahwa Nona
berilmu budaya yang sangat tinggi, aku khawatir
selamanya aku tak akan dapat menemui Nona, siapa
nyana hari ini aku sangat beruntung, bisa bertemu muka!”
“Tetapi saya hanya belajar beberapa tahun saja,” kata
Eng Tay, “semua itu belum ada artinya. Silakan duduk!”
Tamu itu duduk, maka duduklah mereka berdua
berhadap-hadapan.
Teng-si lantas berkata pada putrinya: “Aku hendak
bicara dengan papamu, maka ku tinggalkan Nyonya Li di
sini, kau layani dia baik-baik, Nak.”
“Baik, Ma,” sahut putrinya.
Sang ibu lalu memohon diri dari tamunya, terus ia
mengundurkan diri.
Law-si masih melihat-lihat sekitarnya, ia tertarik
dengan rak buku. Maka ia bertanya: “Semua buku itu
pasti sudah Nona Besar baca. Sebenarnya, buku apa saja
di rak itu?”
“Nah, nah, rupanya kau hendak mengujiku!” kata Eng
Tay dalam hati. “Tapi, aku tak peduli! Aku hendak lihat
lagakmu…!” Maka ia lantas menjawab: “Itu buku-buku
sejarah karya pujangga Suma Cien dan beberapa buku
yang lain.”
“Seluruh buku ini adalah modal kaum cendekiawan,
harus dibaca,” kata si tamu. “Sayang sekali aku sekolah
tidak lama; mengenai sejarah, sedikit sekali yang ku
ketahui, maka buku-buku itu belum pernah ku baca habis
seluruhnya. Nona, bukumu begini banyak kau hebat
sekali. Karena itu, ku kira, mengenai pekerjaan wanita,
kau tak perlu turun tangan, bukan?”
Kata terakhir itu bersayap. Artinya, “Kau tentu tak
becus masuk dapur!” Eng Tay mengerti, maka ia berkata
dalam hati: “Kau mau main-main, ya?!” Terus saja ia
tersenyum dan berkata: “Pekerjaan wanita, jahit-menjahit,
sulam-menyulam, itu sudah kewajiban anak perempuan
dan kebanyakan telah saya lakukan walaupun sedikit
kasar. Tidak apa, bukan? Dalam hal ini, Papa dan Mama
tidak begitu mempersoalkan. Tapi inilah bukti bahwa
pekerjaan wanita, saya dapat melakukannya.”
“Oh, kalau begitu, pekerjaan di dapur pun termasuk di
dalamnya….”
Eng Tay kembali dapat menerka maksud kata-kata itu,
ia mengangkat wajahnya dan tertawa. Maka berkatalah ia:
“Bibi Li tentu punya anak perempuan, maka kalau nanti
Bibi pulang, tolong tanyakan saja padanya, pasti Bibi akan
memperoleh jawabannya….”
Law-si terdesak, namun ia tertawa. Ia tidak bertanya
lagi.
Gadis itu tidak mau terlalu menyudutkan tamunya,
maka ia tersenyum saja.
Law-si melihat kecapi, ia tertarik.
“Nona tentu suka bermain musik,” katanya. Ia
menunjuk ke arah kim.
“Ya, pada empat atau lima tahun yang lampau, pernah
saya pelajari,” jawab Eng Tay, “tetapi sekarang ini, saya
telah meninggalkannya.”
Law-si masih berpikir untuk menanyakan lagi sesuatu,
namun ketika melihat munculnya Kiok Ji, si abdi itu
segera berkata padanya: “Sekarang ini Nyonya Besar
sedang menantikan di ruang tamu, kalau pembicaraan di
sini sudah selesai, Nyonya Li dipersilakan menemuinya.”
Tamu itu belum sempat menjawab, Eng Tay sudah
mendahului bangkit berdiri, siap sedia mengantarkan
tamunya pergi.
Menyaksikan gerak-gerik gadis itu, Law-si mengerti,
maka ia berpamitan sambil berjanji bahwa lain waktu ia
akan datang lagi untuk “memohon pengajaran.”
“Memberi pelajaran, itu saya tidak sanggup,” kata Eng
Tay, tertawa. “Bolehlah bila saya mengundang Bibi untuk
datang berbincang-bincang.”
Law-si mengangguk, terus ia turun dari loteng dan
menuju ruang tamu. Begitu melihat sang nyonya rumah,
lantas saja ia memberikan pujian: “Sungguh hebat, gadis
luar biasa! Sayang anak-anakku semua sudah keluar
pintu, jika tidak, gadis yang demikian cantik dan pandai,
siapakah yang tidak menyukainya? Sungguh tepat bila dia
dipasangkan dengan Tuan Muda Ma! Nyonya tentu telah
bicara dengan Tuan Ciok. Apa katanya?”
“Naskah itu telah dibaca,” sahut nyonya rumah,
“katanya boleh juga. Hanya….”
“Memang, kalau dibandingkan dengan putrimu, tentu
beda,” kata si tamu. “Sekarang ini Tuan Muda Ma ada di
rumahku, dia ditemani oleh suamiku. Maka, andaikata
Nyonya mau menemuinya, silakan datang saja ke
rumahku.”
“Kalau bisa, itu lebih baik lagi,” kata Teng-si.
“Jika demikian, datanglah ke rumah! “ kata Law-si pula.
“Hendaknya Nyonya datang beserta Tuan agar bersamasama
dapat menemui Tuan Muda Ma!”
Teng-si puas dengan sikap tamunya itu, ia pun berjanji
bahwa lain hari ia akan berkunjung. Setelah itu, ia
mengundang sang tamu bersantap tengah hari. Selesai
perjamuan, pulanglah si tamu.
Benar saja, keesokan pagi Teng-si bersama Ciok Kong
Wan pergi berkunjung. Nyonya itu tampak senang sekali.
Di rumah, para pegawai lantas ramai membicarakan
kepergian kedua majikan mereka.
Gin Sim si pencari berita segera saja menemui
majikannya untuk menyampaikan kabar. Katanya: “Non,
Tuan Besar bersama Nyonya Besar telah pergi ke rumah
keluarga Li, katanya ada soal baru, yaitu ingin menemui
calon menantu laki-laki….”
Eng Tay yang biasa berada di loteng, ketika itu sedang
membaca buku. Mendengar berita si abdi, ia meletakkan
bukunya, terus ia berkata padanya: “Tentang hal itu aku
sudah tahu, tetapi ku anggap tiada artinya. Sejak
kedatangan Bibi Li kemarin, aku telah dapat menduga
maksudnya, hanya dia tidak berani bicara terus-terang
padaku. Mengenai kepergian Ayah dan Ibu, aku juga
maklum. Tetapi ini bukan soal yang dapat diselesaikan
dalam tempo dua-tiga hari, maka itu sebaiknya kita jangan
bingung tidak keruan. Hanya anehnya, tentang janji yang
ku berikan pada Tuan Muda Nio — harinya akan segera
tiba, mengapa dia masih belum muncul juga? Ini
membuatku prihatin.”
“Ya, seharusnya ia sudah sampai,” kata Gin Sim.
“Menurut perhitungan saya, setelah kita berangkat, lima
atau enam hari kemudian, ia pun seharusnya sudah
berangkat juga. Sekiranya dia memerlukan perjalanan
lima-enam hari dan di rumah tiga-empat hari, sekarang
seharusnyalah sudah tiba….”
Eng Tay duduk sambil bertopang dagu. Ia diam saja,
agaknya ia sedang termenung.
“Sudahlah, Non, tak usahlah terlalu dipikirkan,” kata
Gin Sim kemudian. “Saya hendak ke luar mencari berita.”
Eng Tay diam terus, ia membiarkan abdinya berlalu.
Ketika Gin Sim kembali, ia tidak membawa berita
penting. Ia tahu kedua majikannya sudah pulang, tetapi
tidak tahu hasil kepergian mereka ke rumah keluarga Li.
Yang jelas para pegawai lainnya menunjukkan wajah
gembira.
Ketika Eng Tay menerima laporan abdinya itu, ia
berkata: “Kalau Papa dan Mama tidak menjelaskan apaapa,
jelas ada sesuatu yang tidak wajar. Tetapi biarlah, tak
perlu dicari tahu.”
Gin Sim sebaliknya masih saja berpikir. Ia merasakan
adanya kejanggalan.
“Mengapa paras semua orang tampak girang?”
tanyanya, seakan-akan pada dirinya sendiri.
“Sudahlah, tak usah menduga-duga,” kata Eng Tay.
“Kalau benar ada berita penting, pastilah Papa memberitahu
aku.”
Mendengar suara majikannya itu, Gin Sim barulah
diam.
Di luar dugaan, setelah lewat lima hari, Ciok Kong Wan
memberitahukan bahwa dia sudah menerima baik lamaran
keluarga Ma, yaitu: Ciok Eng Tay dipertunangkan dengan
Ma Bun Cay, putra Ma Thay-siu dan bahwa emas kawin
akan segera diantar!
Maka, tak ada waktu lagi untuk menentang keputusan
itu….
13
Ayah Kontra Anak
SUATU hari di awal bulan, langit jernih sejak fajar. Tatkala
Ciok Kong Wan melihat matahari muncul dan angkasa di
ufuk timur mulai terang-benderang, ia memerintahkan
para pegawai di rumahnya untuk, berbenah,
membersihkan segala perabot rumah tangga.
Eng Tay mengetahui persiapan pembersihan di
rumahnya itu, ia mengira akan diadakan upacara, entah
upacara sembahyang apa. Ia tidak mengacuhkan hal itu
dalam pikirannya.
Tiba saatnya sarapan, Kiok Ji menerima perintah
majikan tuannya. Ciok Kong Wan berkata : “Beritahu Nona
Eng Tay bahwa Papa dan Mama sedang menantikannya. Ia
diharap lekas datang karena ada urusan penting yang
hendak dibicarakan dengannya.”
Kiok Ji menuruti perintah itu. Cepat ia pergi ke dalam,
ke halaman belakang. Di sana ia memperdengarkan
suaranya: “Apakah Nona sudah bangun tidur? Non, Tuan
Besar dan Nyonya Besar sedang menanti di ruang dalam!”
Sesudah berkata demikian, abdi ini terus masuk ke
kamar majikannya.
Ketika itu Eng Tay sedang duduk di sisi jendela,
matanya memandang jauh ke luar. Kala itu, hujan turun
rintik-rintik. Ia sedang termenung. Suara Kiok Ji
membuatnya tersadar dari lamunannya, sehingga ia juga
menegaskan: “Apa? Papa memanggilku?”
“Benar, Non.”
“Apakah ada upacara sembahyang? Apakah aku harus
tukar pakaian?” tanya gadis itu. Ia merasa heran.
“Entahlah, Non,” ujar Kiok Ji menjelaskan. “Tidak ada
upacara apa-apa. Tuan Besar hanya mengatakan bahwa
Nona sedang ditunggu.”
“Baiklah!” kata gadis itu, yang terus berpikir: “Masa
bodoh ada urusan apa pun, aku keluar begini saja, tak
usah tukar pakaian!” Dan ia terus berjalan, mengikuti si
abdi.
Ruang tengah tampak bersih dan rapi, meja abu leluhur
dilengkapi buah-buahan untuk sembahyang. Di kiri-kanan
terdapat meja panjang, meja itu kosong, tanpa isi. Di kiri
dan kanannya kursi-kursi tampak teratur. Tuan dan
nyonya rumah sedang duduk bersebelahan.
“Papa, Mama!” kata Eng Tay segera memanggil.
Ciok Kong Wan memandang putrinya.
“Selamat, Anakku!” katanya. “Selamat!”
Putrinya heran.
“Bukankah hari ini adalah hari sembahyang leluhur?”
tanyanya. “Ada selamatan apakah?” Kong Wan mengusap
janggutnya.
“Sembahyang ini ada hubungannya dengan selamatan
untukmu, Nak,” jawabnya. “Inilah soalnya, akan ku
beritahukan padamu.”
Eng Tay diam, ia mengawasi papanya sambil memasang
telinga.
Ciok Kong Wan tanpa ayal lagi lantas memberikan
keterangannya.
“Beberapa hari yang lalu,” demikian ia mulai, “Tiang-su
Li Yu Seng bersama Ci-su Tian Leng Bow telah datang ke
rumah kita. Mereka ternyata sama-sama menjadi
perantara Ma Thay-siu untuk mengajukan lamaran bagi
anak sulungnya yang bernama Ma Bun Cay. Papa lihat
kedua keluarga itu sederajat, Papa setuju sekali. Tetapi
Papa belum pernah melihat Tuan Muda Ma itu, maka Papa
janjikan, setelah berkesempatan melihatnya, barulah
keputusan akan diambil.”
“Lewat beberapa hari. Nyonya Li Yu Seng telah datang
berkunjung ke rumah kita ini,” sambung sang ayah,
setelah berhenti sejenak. “Ia memberitahukan bahwa Tuan
Muda Ma sudah berada di rumahnya dan karenanya setiap
saat kita bisa datang melihat dan menemuinya. Nyonya Li
juga membawa karya tulis pemuda itu. Setelah
membacanya, Papa anggap karyanya bagus. Maka Papa
menyatakan pada Nyonya Li bahwa Papa akan datang
menengok Tuan Muda Ma.”
Kembali ayahnya berhenti bicara sejenak, tetapi segera
ia meneruskan keterangannya,
“Kami melihat pemuda itu,” ujar ayahnya, melanjutkan.
“Menurut Papa, pemuda itu berparas cakap dan
dandanannya rapi. Buat seorang anak lelaki, asal dia rajin
belajar, sudah cukup, kelak dia dapat membangun diri.
Lainnya adalah soal nanti. Demikianlah, Papa telah
menerima baik lamaran keluarga Ma itu. Hari ini pihak
sana akan menyampaikan emas kawin, maka dari itu
sekarang Papa menyiapkan sembahyang bagi leluhur kita
untuk merestui pernikahan ini. Eng Tay, kau telah menjadi
anggota, keluarga Ma. Keluarga Ma itu berpangkat Thaysiu,
itu sudah cukup….”
Eng Tay berdiri di sisi ayahnya. Mendengar keterangan
ayahnya itu, ia terkesima. Ia berdiri terpaku, tubuhnya
seakan-akan tertikam beberapa golok tajam. Wajahnya,
dari merah menjadi pucat pasi. Walaupun demikian, ia
berhati keras dan kuat. Maka juga, sebelum ayahnya
selesai bicara, ia memotong.
“Pa, ini adalah urusan hidupku seumur hidup, mengapa
Papa tidak terlebih dulu memberitahu aku? Ma, Mama
juga tahu tabiatku, mengapa Mama juga mendustaiku?”
Gadis yang biasa berbakti dan lemah-lembut itu,
mendadak berubah tingkahnya, ia berani bicara
sedemikian rupa pada ayah dan ibunya.
Teng-si tercengang mengawasi putrinya. Akan tetapi ia
masih bisa membatasi diri. Katanya sabar: “Sebenarnya
Mama mau memberitahukan kau, Nak, juga di saat
sepulangnya Mama dan papa dari rumah keluarga Li.
Namun ketika Law-si datang dan bicara denganmu, dia
memujimu sebagai seorang anak yang baik. Katanya pula,
meskipun Tuan Muda Ma masih sekolah sekarang, dalam
hal kepandaian dia mungkin tidak sama denganmu. Malah
dia menerangkan juga tentang kau, Anakku, mungkin kau
tidak sudi atau tidak suka. Ia mengatakan agar lamaran
diterima dulu, barulah kau diberitahu. Dengan demikian,
tidak akan terjadi penolakan. Mama setuju walau mulanya
ragu-ragu. Lagi pula, kalau keluarga Ma ini kita tolak, di
mana ada keluarga Ma yang kedua seperti ini. Karena
hanya soal beberapa hari, terpaksalah kami
membohongimu. Keluarga Ma itu kaya-raya, hartawan
pertama di kota ini. Kau tahu, calon mertuamu itu
berpangkat Thay-siu, pangkatnya jauh lebih tinggi dari
pangkat dulu. Maka itu Mama pikir, kau tentu setuju….”
Eng Tay menjadi sangat bingung, terutama tak tahu
alasan apa yang bisa ia ajukan untuk menyatakan
penolakannya. Ia tak dapat membuka rahasia hatinya.
Hingga akhirnya, ia berkata: “Urusan jodoh ini, aku tidak
setuju — seribu kali tidak setuju, selaksa kali tidak
setuju!”
Setelah berkata demikian, Eng Tay berdiri tegak, kedua
tangannya dan sepuluh jarinya terlipat menjadi satu, dan
diletakkan di depan dadanya. Ia mengawasi ayahbundanya.
Wajahnya Ciok Kong Wan, ayahnya, mendadak berubah
menjadi merah.
“Kau kira ini urusan apa sehingga kau tidak setuju?”
katanya. “Kenapa mesti menyebut-nyebut seribu dan
selaksa kali tidak setuju? Bukankah cukup dengan
mengatakan saja, satu kali tidak setuju? Mari Papa tanya
kau: Apakah pangkat thay-siu itu kecil? Kekayaan keluarga
Ma, di sekitar sini, adalah yang paling tersohor, apakah itu
masih kurang juga? Mengenali Tuan Muda Ma, dia
sekarang memang sedang sekolah. Siapa tahu kalau
kemudian hari dia juga akan berpangkat, pangkat yang
lebih tinggi dari ini? Apakah kau tidak memikirkan hari
kemudianmu — hari keberuntunganmu?”
Gadis itu tertawa terbahak-bahak tatkala mendengar
papanya berulang kali menyebut-nyebut keluarga Ma
sebagai keluarga hartawan besar dan berpangkat tinggi.
Tanpa terasa ia tertawa.
Ciok Kong Wan heran. Dia menatap putrinya itu.
“Kenapa kau tertawa?” tanyanya. “Kau tertawakan
siapa? Apakah kau kira bohong?”
“Aku tidak mengatakan Papa dan Mama mendustaiku,”
kata gadis itu kemudian. “Papa dan Mama memang sangat
menyayangiku, akan tetapi sekarang ternyata, itu
berlebihan. Pa, Ma, aku hendak bertanya: Papa dan Mama
masih menyayangi aku atau tidak?”
Teng-si, yang sedari tadi diam saja, mengangguk.
“Sayang tidak sayang, untuk apa kau tanyakan lagi?”
katanya. “Papa dan mama ini tidak punya anak lain lagi!
Papa dan Mama, seumur hidup hanya punya kau seorang,
dan untukmu….”
Kong Wan, sang ayah, turut berkata. “Ketika tiga tahun
yang lalu Papa izinkan kamu menyamar sebagai lelaki
sekolah ke Hang-ciu, itu karena Papa menyayangimu! Papa
sudah tua, kau berada jauh di lain kota, Papa senantiasa
memikirkan kesehatanmu, sampai-sampai duduk dan
tidur pun tidak tenang. Kau sekarang sudah ada di rumah,
betapa girangnya Papa dan mama !”
“Baiklah, Pa,” kata gadis itu. “Sekarang aku ingin bicara
terus-terang. Dulu dalam perjalanan ke Hang-ciu, di
tengah jalan aku bertemu dengan Nio San Pek, pemuda
yang usianya lebih tua setahun dari aku. Dia terpelajar
dan sopan-santun. Dia tahu aku adalah seorang gadis
tetapi dia sedikit pun dia tidak berniat jahat, malahan
kami berdua sudah mengangkat sumpah menjadi saudara
angkat. Selama tiga tahun, setelah mempelajari dirinya
aku mengetahui sifatnya. Selama belajar, dia sangat
banyak membantuku. Ketika aku pulang, dia mengantarku
sampai sejauh delapan belas li. Tatkala kami berpisah,
kuberikan dia teka-teki, namun dia tak dapat menebaknya.
Karena itu, aku percaya bahwa dia adalah orang jujur.
Kemudian padanya ku beritahukan, bahwa aku
mempunyai seorang saudara perempuan bernama Kiu
Moy, yang belum menikah. Aku ingin dia menikah dengan
adik itu. Ku katakan bahwa Kiu Moy, segala-galanya, sama
denganku. Nio San Pek percaya perkataanku, dia girang
sekali. Pada istri guru Ho-si, aku telah membuka rahasia
dan padanya ku titipkan kupu-kupu kemala sebagai tanda
mata dan sekalian minta ia menjadi perantara. Ia sangat
setuju dan bersedia membantuku. Demikianlah duduk
persoalannya. Ku kira, tidak lama lagi, Nio San Pek akan
datang ke mari. Sekarang, Papa dan Mama, aku mohon
pertimbangan….”
Gadis itu bercerita panjang-lebar, ayah dan ibunya
mendengarkan saja. Setelah putrinya itu selesai bicara,
sang ayah berjingkrak.
“Kau gila!” teriaknya. “Tiga tahun kau sekolah, kau
perempuan tetapi kau tak tahu bahwa dirimu perempuan,
sungguh kau sangat jujur! Dan, di saat berpisahan,
seorang perempuan menyerahkan adiknya! Benar-benar
gila!
“Tidak, Pa, aku tidak gila!” kata Eng Tay.
“Lalu, bagaimana dengan Kiu Moy?”
“Kiu Moy adalah Eng Tay.”
“Karena perbuatanmu ini, bagaimana sekarang dengan
Papa dan mama?” tanya ayahnya.
Saking gusarnya, tubuh orangtua ini gemetar. Ia
berpegangan pada jendela.
“Bukankah sekarang aku telah minta izin Papa dan
Mama?” kata putrinya.
“Kamu meminta izin Papa dan mama? Bagus!” kata
ayahnya. “Bagus, tapi aku tidak mengizinkan kamu
menikah dengan Nio San Pek! Satu kali tidak mengizinkan,
seribu kali juga tidak!”
Beda dari biasanya, sebagai anak Eng Tay sangat
penurut. Akan tetapi kali ini, sifatnya berubah garang
sekali. Tampak dia tidak takut sama sekali. Ia hendak
bicara, tetapi ibunya segera maju mencegah.
Teng-si melihat gelagat tidak baik, sambil memegangi
tangan putrinya, ia berkata: “Nak, kau tahu aturan atau
tidak? Kau sedang bicara dengan papamu! Mengapa
sikapmu begini keras?”
“Aku tidak bersikap keras, Ma,” kata putrinya. “Papa
bertanya, aku menjawab. Apa salahnya? Memangnya tidak
boleh?”
“Bukan itu masalahnya,” kata ibunya. “Mama mau
tanya kau. Sekarang tentang lamaran keluarga Ma!
Bagaimana kita harus menjawabnya? Emas kawin akan
segera tiba, bagaimana kita menyambutnya? Nak, kau
jangan bersikeras tidak keruan….”
Eng Tay melepaskan diri dari pelukan ibunya.
“Itu bukan masalah!” katanya dengan keras. “Suruh
orang mencegat di tengah jalan, katakan bahwa keluarga
Ciok tidak dapat menerimanya, suruh dia bawa pulang.”
“Kau dengar!” teriak Kong Wan. Tangannya pun
menuding anak gadisnya. Ia menambahkan: “Kaudengar,
apa kata anak ini! Dia sudah gila!”
“Aku tidak gila Pa, sedikit pun tidak!” kata Eng Tay. “Ya,
emas kawin itu harus ditolak, dikirim pulang!”
“Ah, apa maksud perkataan anak ini?” kata Kong Wan
bingung. Ia terus menjatuhkan diri, duduk di kursinya.
“Sudahlah, kau kembali dulu ke kamarmu,” kata Tengsi.
“Di sini….”
Ia menolak tubuh putrinya, disuruhnya gadis itu
mengundurkan diri.
Gadis itu tidak mempedulikan ibunya, malah ia berkata:
“Di sini ada banyak orang, biar kita bicara supaya semua
pun tahu! Ini lebih baik lagi! Aku justru ingin supaya
semua orang mendengar dengan jelas!”
Tubuh Kong Wan bergetar, tangannya menunjuk ke
atas, ke langit.
“Tidak! Tidak!” serunya. Tetapi, ia tidak
melanjutkannya.
Ketika itu langit mendung, hujan pun, turun, angin
menyusul.
Teng-si menggapai.
“Kalian ke mari” katanya, “kalian ajak Nonamu ke
kamar. Kalau ada yang mau dibicarakan, kita bicarakan
lain kali saja….”
Kata-kata majikan itu ditaati, maka para abdinya lantas
membujuk Eng Tay.
Melihat kepergian ibunya, Eng Tay berkata seorang diri:
“Aku pun tidak mau bertengkar dengan Mama dan Papa,
maka aku tidak sudi mengadu mulut lebih lama lagi! Tapi
aku telah mengambil keputusan: Aku lebih baik mati, aku
tak mau menjadi anggota keluarga Ma…!”
Selesai berkata demikian, gadis ini lantas berjalan
seorang diri kembali ke kamarnya.
Gin Sim sudah menanti di bawah tangga, ia menyambut
nona majikannya itu dan terus menaiki tangga, masuk
kamar.
“Sayang sekali tidak dari awal kita memperoleh kabar.”
kata Eng Tay pada abdinya, “sekarang, walaupun,
menolak, sudah terlambat….”
Sewaktu berkata demikian, gadis ini berdiri bersandar
pada pembaringannya, matanya memandang kosong
mengawasi lantai.
“Sudah terlambat, Non, lalu Nona hendak berbuat apa?”
tanya Gin Sim.
“Bukankah telah ku katakan,” katanya sengit,
“walaupun harus mati, aku bukan anggota keluarga Ma!
Putusanku sudah pasti, itu tak akan berubah!”
“Kalau demikian, Nona sebaiknya bersabar dulu,” kata
Gin Sim. “Kita tunggu dua hari ini, sampai tibanya Tuan
Nio. Pada saat itu, barulah kita pikirkan lagi.”
Eng Tay menghela napas.
“Andaikata pun Tuan Muda Nio datang hari ini, sudah
terlambat katanya.
“Tetapi, Non, sebaiknya kita bersabar,” kata Gin Sim
lagi. “Kita tunggu saja tibanya Tuan Nio. Sekarang, aku
hendak mencari berita.”
“Sudahlah, tak usah!” kata Eng Tay. “Kita pasrah saja!”
Mengetahui sikap nona majikannya, Gin Sim diam. Ia
mengundurkan diri.
Di luar dan di depan rumah suasana ramai, tetapi Eng
Tay menganggap seperti tidak ada apa-apa. Ia terus
mengunci diri di dalam kamarnya.
Hari itu hujan turun, sebentar deras, sebentar
berkurang. Di latar, di halaman, terdengar bunyi daundaun
bambu dan cemara yang dipermainkan sang bayu.
Tuan rumah, Ciok Kong Wan, sudah selesai mengatur
rumahnya. Tetapi selanjutnya, satu hari itu ia tak melihat
putrinya. Bagaimanapun juga, ia menjadi gelisah. Akhirnya
ia perintahkan untuk memanggil Gin Sim.
Abdi Eng Tay itu segera muncul.
“Apakah Nonamu baik-baik saja?” tanya si tuan rumah
pada abdinya.
Gin Sim melihat majikan tua itu duduk di kursi batu
dengan wajah muram.
“Agaknya Nona kurang enak badan,” sahut abdi ini.
“Nona terus tidur dengan menutup pintu kamarya.”
Kong Wan diam, beberapa lama kemudian barulah ia
mengangguk. Kemudian ia melambaikan tangannya. Gin
Sim mengerti, ia mengundurkan diri. Majikan itu diam
terus, tetapi otaknya bekerja.
Malam itu Eng Tay tidak bersantap, tidak juga esok
paginya. Kong Wan mengetahui hal itu, tetapi ia tidak
berkata apa-apa. Tidak demikian dengan Teng-si, si ibu
kandung. Sang ibu segera pergi melihat putrinya.
Eng Tay sedang duduk di bangku, sebelah tangannya
ditegakkan di atas meja, sedang bertopang dagu. Di atas
meja ada sejilid buku tetapi buku itu tidak disentuhnya. Ia
duduk, tak bergeming walau Teng-si, ibunya, telah
melangkah di ambang pintu dan dia berdiri mengawasi
putrinya.
“Eng Tay,” akhirnya ibunya berkata, “apakah kau sakit?
Mama berdiri sekian lama, kau masih tidak tahu…!”
Mendengar suara ibunya, Eng Tay menoleh.
“Oh, Mama!” katanya.,”Silahkan duduk!”
“Sudah dua kali kau tidak makan, tidak seharusnya
begitu,” kata ibunya, yang sangat menyayangi putrinya.
“Waktu makan, makanlah, kalau ada yang ingin
dibicarakan, bicaralah. Itu baru caranya gadis remaja.”
Gadis itu berdiri di tepi meja, ia tersenyum.
“Ya, ada nasi, makan; ada kata-kata, bicara,” katanya.
“Itu memang paling benar! Akan tetapi, ada nasi tak
dapat dimakan, ada kata-kata tak dapat diucapkan, itu
juga caranya gadis yang dewasa….”
“Kau bilang kau punya kata-kata tetapi tidak dapat
diucapkan?” kata ibunya. “Itu tidaklah tepat. Suaramu
nyaring, di dalam dan di luar, semua orang
mendengarnya….”
“Seandainya semua orang mendengar, apalah artinya
bagiku?” tanya putrinya.
“Ini…. ah, sudahlah!” kata ibunya yang tampak
kewalahan. “Nak, kau harus bisa menenangkan hatimu.
Kau harus makan walaupun sedikit. Kemudian….”
“Kemudian?” tanya putrinya. Ia mendesak.
“Sudahlah!” kata Teng-si tertawa. “Apa yang bisa
menyenangkan hati, hayo, mari kita bicarakan!”
“Dua kali Mama menyebutkan, kita tak perlu bicarakan
masalah,” kata Eng Tay. “Memang benar, kecuali masalah
itu tidak ada lagi yang patut dibicarakan. Sebenarnya
mudah saja untuk menenangkan kegelisahanku. Aku
jangan dipandang sebagai orang hukuman! Hanya dengan
demikian barulah hatiku tenang. Ma, kita sudah cukup
bicara, silakan Mama keluar dari kamarku ini.”
Teng-si terperanjat.
“Oh, Anakku,” katanya, hatinya tersentak, “jadi kau
tidak menginginkan lagi Papa dan Mama?”
“Aku tidak bermaksud demikian,” kata Eng Tay. “Aku
hanya mohon agar Mama sudi keluar dari kamarku ini….”
Teng-si berdiri, agaknya dia hendak berjalan pergi,
tetapi tiba-tiba ia tidak bergerak. Ia menghadap ke
putrinya dan terus bertanya: “Nak, Mama ingin
menjelaskan. Ketika kemarin ini Nyonya Li datang
membawa naskah, telah melihat naskah itu dan katanya,
karya itu bagus. Naskah itu telah diberikan kepada Mama
untuk diteruskan kepadamu, supaya kau periksa dan
kemudian utarakan pendapatmu. Saat itu Mama lihat kau
agaknya kurang setuju, maka Mama belum serahkan
padamu. Naskah itu masih ada padaku, Mama tak berani
serahkan padamu.”
“Apa yang ku katakan, demikianlah adanya,” kata Eng
Tay. “Aku bukan sanak atau kenalan pihak Ma, bukan
juga sahabat sejati, maka dari itu, buat apa aku membaca
tulisan orang?”
Teng-si mengawasi putrinya, ia mengerti gadis itu masih
saja mendongkol. Ia menghela napas. Tak kurang
herannya si ibu, anak gadisnya yang lemah-lembut, yang
biasanya penurut, sekarang menjadi demikian keras
sikapnya.
Akhirnya Teng-si berkata: “Baiklah! Kau tahu, Mama
pernah memberitahukan bahwa kau, Anakku, bersifat
seperti lelaki, dan menasehatkan agar dalam urusan
pernikahanmu nanti, agar berhati-hati. Sejak kau kembali
dari Hang-ciu, gerak-gerikmu berubah mirip laki-laki.
Karenanya, dalam urusan jodohmu, Mama menjadi lebih
prihatin. Sekarang muncul lamaran keluarga Ma. Mama
melihat keluarga itu keluarga berpangkat, lagi pula kayaraya,
maka Mama pikir, keluarga semacam itu pantas
menjalin hubungan keluarga dengan kita. Tuan Muda Ma
juga tidak bercela. Siapa sangka selama kau di Hang-ciu,
kau telah berkenalan dengan Nio San Pek, bahkan dengan
caramu sendiri kau telah jodohkan dia dengan Kiu Moy.
Ah, sungguh sulit….”
Gin Sim berada di tepi jendela mendengar suara
majikan tuanya itu, ia ikut bicara. Katanya: “Keluarga Ma
itu datang belakangan, bukankah mudah untuk
membatalkan urusan lamarannya?”
“Hei, kau mengerti apa?” tegur sang majikan. “Lamaran
keluarga Ma itu sudah tidak bisa dibatalkan lagi!”
Eng Tay mendengarkan kata-kata ibunya, juga
dampratan si ibu pada Gin Sim. Ia tidak menanggapi,
tetapi ia berkata pada ibunya: “Ma, silakan Mama kembali.
Tak usah Mama bicarakan lagi urusan ini!”
Teng-si kembali memandang putrinya, sukar rasanya
untuk bicara lagi, maka ia kembali menghela napas
panjang, lantas berjalan pergi, terus ke depan. Tetapi di
ruang tengah ia berhenti.
“Gin Sim!” ujarnya memanggil.
Sang abdi segera muncul.
“Ya, Nyonya Besar, ada apa?” tanyanya.
“Nonamu sedang dongkol, kau layani dia baik-baik,”
kata Teng-si. “Apa yang Nonamu kehendaki, segera
kausediakan. Sebentar tengah hari, sewaktu makan siang,
kau sediakan segala hal yang diinginkannya, apa pun
juga.”
Gin Sim mengangguk.
“Baik, Nyonya.” katanya.
Teng-si lantas berjalan terus, perlahan-lahan.
Hari itu cuacanya terang sekali. Matahari bertengger di
tengah-tengah langit. Daun-daun pohon bambu dan
cemara, semua terbayang di permukaan bumi. Di bawah
pepohonan, nyaman rasanya.
Seorang diri Eng Tay berjalan perlahan-lahan di bawah
keteduhan pepohonan itu. Hanya pohon-pohon bambu
halus yang selalu menghadangnya. Di belakangnya,
tampak Gin Sim mengikuti dari belakang.
Menghadapi abdinya itu, gadis itu berkata: “Pohonpohon
bambu ini berdiri tegak lurus. Walau kau telah
menebangnya, mereka tetap saja lurus. Karenanya aku
sangat menyukai pohon bambu. Demikian pula manusia:
Manusia harus lurus seperti pohon bambu, dengan
demikian, manusia pun tidak akan menjadi keropos! Kau
mengerti atau tidak?”
Gin Sim menjawab: “Setelah Nona mengucapkannya
sekarang, aku baru maklum.”
“Orang yang bermarga Ma itu tidak bersalah padaku,”
kata Eng Tay lagi kemudian. “Dia boleh turunan
bangsawan dia boleh berpangkat besar, dia boleh berharta!
Tetapi aku, aku tidak menghiraukan itu semua! Kalau kini
keluargaku menjadi kacau-balau itu hanya disebabkan
ulahku sendiri! Ya, akulah penyebabnya! Ingat Gin Sim,
mulai hari ini ku larang kamu menyebut-nyebut nama
keluarga Ma. Walau sepatah kata pun! Itu pertanda bahwa
aku tidak jodoh dengan mereka!”
Gin Sim memaklumi amarah majikannya itu.
“Baik Non!” sahutnya sambil mengangguk.
Sejak hari itu, Eng Tay menutup pintu halaman
belakang rumahnya. Ia tetap berada di belakang. Setiap
hari ia hanya berkawan dengan pohon-pohon cemara dan
bambunya itu.
Dengan demikian, lambat-laun ia merasa agak
tenang….
14
Pertemuan di Loteng
TERIKNYA matahari siang di awal musim panas itu sangat
menyengat para musafir. Justru saat itulah, setelah
menempuh perjalanan yang cukup jauh, Nio San Pek dan
Su Kiu tiba di dusun Ciok, kampung halaman keluarga
Ciok.
Dari jauh sudah tampak rumpun pohon bambu yang
seakan-akan mengurung sebuah rumah besar berloteng
tinggi. Segera majikan dan abdinya itu tiba di depan rumah
dan San Pek menyuruh Su Kiu mengetuk pintu.
“Mencari siapa?” tanya seorang tua, yang muncul di
ambang pintu.
“Kami dari Hwe-ke, hendak menemui Tuan Besar Ciok
Kong Wan,” ujar Su Kiu memberitahu.
“Kalian datang tak pada waktunya,” kata orang tua itu,
“Tuan Besar kami sedang bepergian sejak kemarin.”
San Pek menghampiri orang tua itu.
“Kalau Tuan Muda Ciok Eng Tay ada di rumah, aku
ingin bertemu dengannya,” katanya.
Mendengar itu, si orang tua tercengang.
“Di sini tidak ada Tuan Muda Ciok,” katanya heran.
“Itu…. Tuan Muda yang dulu sekolah di Hang-ciu,” ujar
San Pek menjelaskan. Ia pun heran dan, tidak menyadari
kekeliruannya. “Aku Nio San Pek, dulu selama tiga tahun
sekolah bersama Tuan Muda. Tak mungkin dia tak ada di
sini….”
Orang tua itu tertegun, dia menatap si anak muda di
hadapannya.
“Oh, Tuan Nio?” katanya kemudian. “Nyonya Besar ada
di dalam, tunggu sebentar-saya memberitahukannya.”
“Kalau Nyonya Ciok ada di rumah, kebetulan, aku pun
hendak menjumpainya,” kata San Pek. Ia ingat, si nyonya
besar yang dimaksud adalah ibu Eng Tay.
Si orang tua mencari majikannya yang sedang berada di
taman. Ia memberitahu kedatangan tamu bermarga Nio
yang ingin menjumpai tuan besar, nona Eng Tay, dan juga
sang nyonya.
Teng-si terperanjat.
“Nio San Pek datang?” tanyanya menegaskan. “Apakah
dia seorang diri?”
“Ia datang bersama seorang abdinya.” Nyonya rumah
berpikir sejenak.
“Dia datang dari tempat yang jauh, sudah seharusnya
diterima,” katanya kemudian. “Kau ajak dia ke ruang
tamu.”
Pegawai tua itu menurut, tetapi lebih dulu ia pergi ke
kamar nona majikannya. Di dalam hati ia berkata. “Nona
sangat baik padaku, teman sekolahnya datang, mau tidak
mau aku mesti memberitahukannya….”
Demikianlah, sampai di Loteng Hati Bertemu, ia
memanggil: “Gin Sim!”
“Siapa ya? Ada berita apa?” tanya Gin Sim, yang muncul
di jendela.
“Ada kabar penting!”
“Kabar penting apa?”
“Ada tamu berpakaian biru datang, ia bermarga Nio.”
“Oh, dia datang..!” seru Gin Sim tertahan. “Tunggu…!” Abdi
ini pun berlari turun.
“Dia menyebut dirinya Nio San Pek?” tanyanya setelah
menghampiri si pegawai tua.
“Benar, karena Tuan Besar tidak ada di rumah, ia minta
bertemu dengan Nyonya Besar. Nyonya Besar mengizinkan
dia masuk.”
Gin Sim mengangguk pada pegawai tua itu.
“Terima kasih, Paman!”
“Lekas beritahu Nona! Dan ada kacungnya, dia itu mau
bertemu dengan kau, Gin Sim!” Gin Sim tertawa.
“Baiklah, aku hendak menyambut tamu dulu….” dan si
abdi tua berlari ke luar, sedangkan Gin Sim masuk.
“Bagus! Bagus!” katanya sambil berjalan cepat.
Ketika itu Eng Tay sedang hendak naik ke lotengnya.
Mendengar suara Gin Sim, ia berhenti, bahkan langsung
bertanya: “Ada apa, bagus-bagus?”
Sang abdi berdiri di depan nonanya, dia tertawa.
“Tadi penjaga pintu mengabarkan, Tuan Nio datang,”
jawabnya. “Dia sekarang sedang mengundangnya masuk.”
Eng Tay diam, ia menunduk.
“Non, bagaimana sekarang?” tanya Gin Sim. Ia tak
bergurau lagi.
“Jangan-jangan Mama melarangku menemuinya.
Aku….”
“Ya, habis bagaimana?” desak Gin Sim.
“Baiklah, mari kita ke ruang tamu. Biar ibuku tahu
bahwa aku sudah tahu. Mama mau mempertemukan kami
atau tidak, masa bodoh, aku tetap akan menemuinya
juga!”
Gin Sim mengangguk. Maka mereka pergi berdua ke
ruang tamu.
Ketika itu San Pek sudah berada di ruang tamu, Su Kiu
mengikutinya.
“Bibi, terimalah hormat dari keponakan Bibi!” kata San
Pek selekasnya begitu ia melihat seorang nyonya sedang
menantikannya. Ia memberi hormat karena percaya bahwa
nyonya itu pasti ibu Eng Tay.
Teng-si menyambut.
“Tak perlu menjalankan adat penghormatan,” katanya.
“Setelah melakukan perjalanan jauh, tentunya kau lelah.”
San Pek tetap memberi hormat dengan menjura sebanyak
empat kali, lalu disuruhnya Su Kiu memberi hormat juga.
Ia tidak berani duduk walau nyonya rumah telah
mempersilakannya. Lantas ia bertanya, mengapa tuan
rumah, tidak ada di rumah.
“Ia sedang menemui sahabatnya,” ujar Teng-si
menerangkan. “Mungkin dua hari lagi, baru pulang.”
San Pek menoleh ke sekitarnya.
“Adik Eng Tay tentu ada di rumah,” katanya, “saya
mohon bertemu dengannya.”
Teng-si mengawasi anak muda di depannya itu, baru
saja ia mau menjawab “Eng Tay tak ada di rumah,”
muncullah Gin Sim. Ia terperanjat. Bahkan segera pelayan
gadisnya itu menghampiri si anak muda tamunya itu, dan
menyapa: “Tuan Nio, apa kabar?”
San Pek menoleh, ia terkejut. Ia melihat seorang
pelayan muda berkundai sepasang bajunya hijau,
wajahnya lonjong. Abdi Eng Tay kiranya telah berganti
wajah!
“Gin Sim!” seru San Pek kemudian yang telah mengenali
gadis remaja itu.
Su Kiu berdiri di sisi majikannya, ia pun heran sekali,
hingga ia melotot mengawasi sahabatnya itu.
“Kakak Su Kiu, kau baik-baik saja?” tanya Gin Sim
mendahului menegur sambil tertawa manis. Dia tak malumalu
lagi walau sekarang ia telah menjadi seorang
perempuan….
“Ah, kau adik Gin Sim?” kata Su Kiu sambil tetap
menatap.
Gin Sim mengangguk, ia tersenyum.
Menyaksikan pemandangan di hadapannya itu, untuk
sementara Teng-si tercengang, tetapi kemudian ia berkata:
“Eng Tay adalah putriku, pasti Keponakan sudah tahu.
Tiga tahun kalian sekolah bersama, tentu sekali kalian
mau bertemu muka. Gin Sim, mana Nonamu?”
Nyonya ini terpaksa harus mengubah niatnya, ia tak
dapat berdusta.
Belum sempat Gin Sim menjawab nyonya majikannya
itu, dari balik sekesel, muncullah Eng Tay sebagai seorang
gadis nan ayu, bukan lagi seorang pemuda tampan. Ia
memakai baju merah hingga kecantikannya bertambah. Ia
berkundai ‘Naga Melingkar’ tetapi bedaknya tipis, sedang
alisnya lancip dan menantang. Ia lantas menghampiri San
Pek dan memberi hormat sambil menjura dalam, ia pun
tak canggung-canggung lagi.
“Kakak Nio, apa kabar?” sapanya, suaranya merdu. Si
anak muda repot membalas hormat.
“Kau Eng Tay?” tanyanya. “Wah!”
“Benar,” sahut gadis itu. “Panggil saja aku Sio-moy….” 26
“Hian-moy, 27 kakakmu baik-baik, saja,” jawab San Pek.
“Kau pun baik-baik saja?”
“Aku, ya, baik,” jawab gadis itu tetapi ia lantas
merunduk.
“Su Kiu, ke sini!” kata San Pek pada abdinya. “Ini Ji siocia
dari keluarga Ciok, ayo kau beri hormat kepadanya!”
Ji sio-cia ialah ‘Nona yang kedua’.
Abdi itu segera menghampiri ia memberi hormat seraya
menyapa: “Ji siang-kong!”
Eng Tay tertawa.
“Ya, sapaan ji siang-kong pun baik!” katanya menggoda.
San Pek turut tertawa.
Su Kiu kembali ke sisi majikannya, ia jengah sendiri.
Teng-si puas melihat tamunya itu: muda dan tampan
serta tahu sopan-santun. Dia pun terpelajar seperti anak
gadisnya sendiri. Kata-kata si anak muda juga halus. Coba
tidak ada Tuan Muda Ma, pasti pilihannya jatuh pada
pemuda ini. Ia juga memperhatikan suasana di
hadapannya, ia merasa bahwa ia harus tahu diri maka
terpaksa ia berkata: “Keponakan Nio, saya masih punya
urusan, maaf saya tak dapat menemanimu lama-lama. Eng
Tay, baik-baik saja kau layani Kakak Niomu….” “Bibi,
silakan!” kata San Pek.
Teng-si mengangguk, terus ia berjalan, tetapi sambil
berkata: “Eng Tay, ke mari, Mama ingin bicara denganmu!”
Eng Tay mengawasi ibunya, lantas ia mengikuti.
Dimintanya San Pek untuk menanti sebentar.
Terpisah agak jauh dari ruang tamu itu, Teng-si lantas
berkata pada putrinya. “Sebenarnya Mama hendak
beritahukan bahwa kau sedang tak ada di rumah, tak
disangka Gin Sim tiba-tiba muncul. Karenanya Mama
26 Sio-moy berarti perempuan.
27 Hian-moy aninya “adik perempuan yang bijaksana”.
duga, kau tentu sudah mengetahui tentang kedatangan
San Pek ini, hingga Mama tak dapat membohonginya.
Terpaksa Mama mempertemukan dia denganmu. Sayang
ayahmu tidak ada di rumah. Jika beliau berada di rumah,
beliau girang sekali karena kalian berdua telah bertemu
setelah berpisah sekian lama. Sekarang layani dia baikbaik,
Mama akan menyuruh agar disediakan hidangan
untuk kalian berdua.”
“Dulu kami adalah dua saudara angkat,” kata Eng Tay,
“tetapi sekarang kami adalah kakak dan adik perempuan,
walau dari lain keluarga. Bukankah aku boleh bicara lama
dengannya?”
“Boleh-boleh saja, tetapi kau harus ingat bahwa
sekarang ini kau adalah anggota keluarga Ma,” kata
ibunya, mengingatkan. “Kau harus jaga agar urusan kau
ini jangan sampai terdengar orang luar. Nah, kalau sudah
mengerti, pergilah kau temani dia!”
Sehabis berkata demikian ibunya berlalu dengan cepat.
Eng Tay jadi sangat berduka. Namun hanya sebentar, ia
lantas memperlihatkan wajah gembira. Saat itu San Pek
sedang mendengarkan Su Kiu dan Gin Sim yang sedang
asyik berbicara. Si pemuda membiarkan keduanya
bercakap-cakap, bahkan ia turut mendengarkan.
“Kakak Nio, mari ikut aku,” ajak Eng Tay. “Di sini
bukan tempat untuk bicara. Aku punya kamar baca di
loteng, di sana kita dapat leluasa bicara.”
San Pek mengangguk.
“Baik sekali,” katanya. Sekarang tak lagi ia sungkan
seperti semula.
Eng Tay lantas berkata pada Gin Sim: “Gin Sim,
pergilah ke bawah loteng sana, kau temani Su Kiu
istirahat.”
Abdi itu meng-iya-kan, lalu ia berkata pada sahabat
lamanya itu: “Kakak Su Kiu, ayo ikut aku!”
Pelayan San Pek mendekati majikannya, ia bertanya
perlahan: “Bolehkah saya pergi ke sana?”
“Boleh, asal kau hati-hati!” pesan sang majikan.
Mendengar demikian, abdi ini lantas mengikuti Gin Sim.
“Kakak Nio, mari!” ujar Eng Tay mengajak sahabatnya.
San Pek berjalan mengikuti. Mereka melangkah
perlahan sekali. Si anak muda puas menyaksikan keadaan
sebelah dalam rumah gadis sahabatnya ini. Segala
sesuatunya tampak indah, sedap dipandang mata. Tiba di
muka tangga loteng, ada sebuah papan bertuliskan tiga
huruf besar. Hwe Sim Law – Hati Bertemu….
Sampai di atas, mereka menghadapi sebuah meja
panjang. Eng Tay lantas mengundang: “Kakak Nio, silakan
duduk! Di sini kita dapat bebas mengobrol.”
Juga di sini, sang tamu mengagumi segala sesuatu di
sekitarnya. Itulah bukti dari perawatan yang teliti dan
sempurna. Sungguh tepat untuk seorang sastrawan!
“Sungguh indah Hwe Sim Law ini!” akhirnya si pemuda
memuji. “Memang menyenangkan sekali bila berbincangbincang
di sini.”
“Kakak hanya memuji,” kata Eng Tay tersenyum.
Kemudian ia bertanya: “Kak, kau datang ke mari hanya
untuk bercakap-cakap?”
“Itu hanya salah satu alasannya,” jawab San Pek. “Yang
terutama ialah aku hendak menyatakan hormat pada
Paman dan Bibi, kemudian barulah mengenai janjimu, Dik.
Kau tahu, aku tak berani berlambat-lambat lagi. Ya, aku
ingin menengok Kiu Moy!”
“Oh, Kiu Moy….!”
“Benar! Terima kasih, Adikku yang cerdik, yang telah
menunangkan dia denganku. Sekarang aku datang dengan
maksud untuk memastikan jodoh kita itu!”
Eng Tay tersenyum.
“Di sini, mana aku punya Kiu Moy?” katanya. “Kiu Moy
adalah Eng Tay!”
Sambil berkata begitu, gadis ini mencabut bunga dari
kundainya.
San Pek Pun tertawa, malah dia bertepuk tangan. “Ini
telah ku ketahui sejak awal!” katanya. “Inilah jodoh kita!”
Betapa berbunga-bunga hati si pemuda. Mendadak saja
Eng Tay bangkit berdiri.
“Kakak Nio….” katanya, perlahan, sekali bagaikan
kehabisan tenaga.
Si anak muda heran, dia menatap gadis di hadapannya
ini
“Dik, ada apa?” tanyanya. “Kenapa kau tampak raguragu?
Aku tak mengerti….”
“Ah, Kakak Nio!” kata gadis itu lagi. “Kak…” Tiba-tiba
Eng Tay mundur dua langkah, tampak pucat wajahnya.
San Pek bingung.
“Ada urusan yang membuat kedatanganku terlambat
dua hari,” katanya. “Bukankah keterlambatan itu tak
menjadi masalah?”
“Kedatangan Kakak tidak terlalu terlambat,” kata Eng
Tay, “akan tetapi orang lain tak dapat menanti, dia telah
mendahului….”
San Pek benar-benar heran, hingga dia pun bangkit
berdiri.
“Orang lain tidak dapat menanti?” katanya. “Apakah
artinya itu?”
“Setelah adikmu pulang dari Hang-ciu,” kata Eng Tay,
“telah datang dua orang pembesar negeri. Mereka itu
mengaku diri sebagai perantara jodoh. Papaku melihat
yang datang itu bukan sembarang orang, ia tidak berdaya.
Lalu Papa menerima lamaran itu, aku dijodohkan dengan
keluarga Ma….”
Sehabis berkata demikian, tiba-tiba muka gadis itu
berubah menjadi pucat-pasi, namun dengan kedua
tangannya ia memegang rak buku kuat-kuat. Jelas ia
berusaha menjaga agar dirinya tidak roboh.
“Eh, kau mengapa?” tanya San Pek kaget, walau hatinya
pun tergetar mendengar bahwa sang adik sudah
ditunangkan dengan orang lain.
Eng Tay tidak menjawab, sebaliknya, ia mengeluh,
menyusul kemudian, tubuhnya bergoyang sempoyongan
seperti hendak jatuh, tetapi, ternyata ia masih dapat
menguatkan hatinya. Tiba-tiba saja ia melangkah cepat,
turun dari lotengnya itu.
Justru di saat itu Gin Sim sedang menaiki loteng sambil
membawa dua mangkuk teh, ia kaget sekali. Ia
mendapatkan San Pek sedang berpegangan pada rak buku,
matanya memandang kosong ke bawah loteng. Ia sadar, ia
maklum apa arti perubahan itu. Ia cepat-cepat meletakkan
mangkuknya.
San Pek menoleh pada abdi itu, dia masih sempat
berkata: “Baru saja Nonamu menyebut tentang keluarga
Ma, wajahnya lantas menjadi pucat-pasi. Tanpa berkata
apa-apa, ia lari turun dari loteng! Gin Sim, kau tentu tahu
sebabnya?”
“Ah, sudahlah, jangan Tuan Muda tanyakan itu,” sahut
Gin Sim. Ia melihat wajah si tuan muda pun pucat sekali.
San Pek dapat menguatkan hati, tetapi ia masih
memegang ujung meja. Dengan mata sayu, ia memandang.
Gin Sim, lalu ia berkata: “Saat ini adalah saatnya mati dan
hidup, mana boleh aku tidak bertanya?”
Gin Sim tidak menjawab, ia hanya mengambil mangkuk
untuk dibawa turun dari loteng. Akan tetapi San Pek
segera menghadang. Mau tidak mau, terpaksa ia menjawab
juga. Katanya: “Nonaku telah diserahkan oleh Tuan Besar
kepada putra keluarga Ma….”
“Oh, Ma Bun Cay?” kata San Pek, separuh menjerit.
Lalu ia memegang keras-keras ujung meja.
Saat itu, Eng Tay kembali.
“Kakak Nio, sekarang ini aku sudah tidak menguasai
diriku lagi….” katanya perlahan, suaranya sangat lemah.
“Baiklah, Dik, aku mengerti,” kata San Pek. “Ini bukan
lagi soalmu sendiri. Aku tak dapat tinggal lebih lama lagi di
sini, itu tidak baik. Maka, izinkanlah aku pamit….”
Sambil berkata begitu, anak muda ini lantas menjura
kepada gadis itu.
“Kakak Nio, tunggu sebentar,” kata, Eng Tay, yang
berdiri di depan tangga, “walaupun kedatanganmu ini siasia
belaka, tetapi mengingat persahabatan kita selama tiga
tahun, hal itu tak dapat dilewatkan dengan cara begitu
saja.
Aku telah menyiapkan hidangan sebagai balasan
cintamu….”
San Pek mengawasi, ia mengangguk.
“Baiklah,” katanya perlahan. Ia tak jadi pergi, bahkan ia
duduk lagi.
Eng Tay benar-benar menyiapkan hidangan, semua itu
dibawa oleh Gin Sim dari bawah loteng ke atas, lantas
diatur di atas meja.
Muda-mudi itu duduk berhadapan, untuk sesaat
mereka membungkam. Kemudian, Eng Tay-lah yang lebih
dulu memecah kesunyian.
“Kakak Nio, ingatkah kau akan Malam Cit Sek?
“demikian tanya gadis itu. “Ya, tentang pembicaraan Thian
Ho. Ingatkah kau akan pembahasan tentang Daun Hijau di
hari Tiong Yang?”
Dengan ‘Daun Hijau’ dimaksudkan perjamuan yang
menggembirakan selama perayaan Tiong Yang itu, suatu
perayaan di zaman dahulu.
San Pek menarik napas panjang.
“Ya, aku tahu itu,” sahutnya. “Hanya dulu itu, mana ku
tahu bahwa kau adalah seorang wanita….”
“Apakah Kakak masih ingat saat aku sakit?” tanya Eng
Tay lagi.
Si anak muda mengangguk lesu.
“Tentu saja,” sahutnya perlahan.
“Kakak Nio, kau benar-benar lelaki sejati. Kau tidur
bersamaku di satu pembaringan, tetapi kau sama sekali
tidak bermaksud untuk berbuat sesat. Akan tetapi aku….”
Tiba-tiba gadis itu berhenti bicara, sebaliknya, air
matanya berlinang. Ia merunduk tetapi segera pula ia
mengangkat wajahnya, memandang pemuda di
hadapannya, lalu memandang Gin Sim, abdinya, yang di
saat itu muncul dengan membawa hidangan yang baru
matang, yang segera diatur di atas meja.
Eng Tay bangkit berdiri, air matanya telah diusapnya.
“Kakak Nio, ayo, ku berikan kau tiga cawan arak,”
katanya.
Gin Sim yang cerdik pun turut berkata: “Tuan Muda
Nio, silakan minum. Inilah tanda rasa hormat yang tulus
dari Nona saya.”
San Pek kemudian berdiri, kepada Gin Sim dia
mengangguk. Sang abdi segera mengundurkan diri, turun
dari loteng.
“Kakak Nio, silakan duduk,” kata Eng Tay menyilakan.
“Aku tak usah duduk lagi,” sahut si anak muda.
“Sesudah minum, aku hendak segera pulang.”
Eng Tay mengangkat cawan arak, lantas diletakkannya
di depan si anak muda, kemudian ia mengangkat juga guci
arak untuk menuangkan isinya. Ia hampir tidak kuat
mengangkat dan menuangkan isinya.
“Kakak Nio, mari minum….” ujarnya mengajak,
suaranya lemah. “Semoga kau memperoleh kemajuan…!”
San Pek menyambut cawan itu, bahkan ia segera
mengeringkan isinya. Begitu meletakkan cawan di atas
meja, ia berkata: “Adikku, Kakakmu berangkat…!”
“Kakak Nio, jalan perlahan-lahan,” kata Eng Tay. Ia
melangkah di depan si anak muda.
“Jalan perlahan-lahan,” kata si anak muda. “Oh, adikku
masih mau berjalan bersama-sama? Baiklah….”
“Tidak, aku tak dapat pergi bersamamu,” jawab Eng
Tay. “Sekeliling kampung ini berada dalam kekuasaan
Papa. Begitu ada perintah tangkap, nanti Kakak tak dapat
ke luar dari sini. Belum lagi di sana, pengaruh keluarga Ma
besar sekali.”
“Kalau demikian, Adikku hendak bicara apa lagi?”
“Telah ku persembahkan kupu-kupu kemala, apa itu
masih ada?”
“Ah, aku lupa! Ini, ada di sakuku. Memang harus ku
kembalikan padamu.”
Eng Tay menggoyangkan tangannya.
“Bukan, bukan, bukan itu maksudku! Aku justru mau
minta agar Kakak bersedia menyimpannya baik-baik.”
San Pek merogoh sakunya.
“Sudah menjadi keluarga Ma, buat apa kemala ini?”
“Aku…. ku mohon, Kak, ku mohon Kakak sudi
menyimpannya. Biarlah itu menjadi tanda kenanganku
bagimu….”
“Adikku, apa arti ucapanmu ini? Kenapa Adik ucapkan
itu?”
“Kak, selama kita di sekolah, aku telah banyak bicara
ku harap kau mengerti, tetapi sayang sekali, kau malah
sebaliknya. Kau sangat baik. Selama aku sakit, sekalipun
saudaraku sendiri, tak mungkin dia bisa menjagaku
sepertimu. Maka, sejak itu aku diam-diam telah
mengambil keputusan, kecuali dengan Kakak, aku tak
akan menikah; maka juga di saat perpisahan, telah ku
serahkan barang yang paling ku sukai. Sayang sekali,
masih saja Kakak tidak mengerti. Dan di perhentian
Delapan Belas Li, telah ku utarakan seluruh isi hatiku,
tetapi Kak, masih saja Kakak tidak mengerti. Karenanya,
aku sampai menyerahkan Kiu Moy, supaya kita menjadi
satu…. Siapa sangka, hanya dalam waktu satu bulan,
perubahan besar telah terjadi…. Walaupun demikian,
hatiku tidak berubah!”
Berkata sampai di situ, merahlah wajah gadis ini, tetapi
segera berubah menjadi pucat lagi. Ia pun mesti berpegang
erat-erat pada meja.
San Pek mengawasi, ia bingung sekali.
“Adikku, aku terlalu lugu, terlalu bodoh hingga aku….”
kata si anak muda. Lalu tiba-tiba ia berhenti bicara, ia
batuk-batuk, dan lekas-lekas merogoh sakunya untuk
mengeluarkan sapu-tangan. Dengan itu, dengan kedua
tangannya, ia menutup mulutnya. Ia pun tak dapat berdiri
terus, lalu ia jatuh terduduk di kursinya, terus merunduk.
Mulutnya masih ditutup dengan sapu-tangannya.
Beberapa kali ia batuk-batuk pula.
Eng Tay tertegun, lalu ia terkejut sekali hingga
berteriak: “Eh, kenapa sapu-tanganmu merah? Apakah
kau muntah darah?”
Ditanya begitu, San Pek tidak bersuara, ia diam saja.
Eng Tay menghampiri, tangannya diulur. Ia memegang
sapu-tangan berdarah! Dengan sendirinya tangan itu
gemetar!
“Ah, kau benar-benar batuk darah…! Oh, adikmu telah
mencelakaimu…!”seru Eng Tay kemudian. Ia menjadi
sangat bingung.
San Pek mencoba menenangkan diri.
“Tidak apa,” katanya lemah. “Mendadak saja hatiku
sakit dan muntah darah. Sebentar tentu sudah baik…”
Eng Tay meletakkan sapu-tangan itu di atas meja,
lantas ia mengambil semangkuk kuah, terus diserahkan
pada si anak muda.
“Kak, ayo minum,” katanya.
San Pek mengawasi gadis itu.
“Terima kasih!” katanya. Ia menerima mangkuk itu dan
menghirup dua kali. Terus dikumurnya, air kumur itu
dimuntahkannya pada sapu-tangannya. Lalu ia bangun
berdiri seraya berkata: “Aku tak boleh sakit di sini, aku
mesti pulang sekarang….”
Eng Tay meletakkan mangkuk sup itu dengan perlahan
sekali, dan ia mengangguk.
“Baiklah, Kak,” katanya kemudian. “Akan ku antar
Kakak selintasan….”
Di mulut gadis itu berkata demikian, tetapi airmatanya
ternyata berlinang tak tertahankan. Ia tak mampu bicara
lebih jauh.
San Pek menghela napas panjang.
“Dari jauh aku datang ke mari, semata-mata untuk
menjengukmu, Dik,” katanya kemudian, “tetapi
sekarang….”
Sambil berkata demikian, si anak muda menuruni
tangga loteng, jalannya sempoyongan.
Eng Tay khawatir kawannya roboh, ia mengiringi tetapi
tak berani ia memegangi. Sambil berjalan ia berkata:
“Setiap hari aku membaca buku, kapan saja aku
mendengar suara langkah kaki, ku kira Kakak datang;
sekarang, Kakak datang, tetapi Kakak justru muntah
darah merah…”
“Tetapi tak apa, Dik. Bagiku cukup asal Adik senantiasa
mengingatku….”
Ketika itu Gin Sim dan Su Kiu berada di bawah loteng.
Melihat si anak muda berjalan turun, perlahan-lahan,
dengan tubuh yang agak goyah hingga perlu didampingi
Eng Tay, mereka terperanjat saking herannya.
“Tuan Muda!” ujar mereka memanggil. Mereka pun
cepat mendekati.
“Gin Sim, siapkan kudaku!” kata Eng Tay pada
pembantunya. “Aku hendak mengantarkan Tuan Muda!”
Gin Sim menyahut, terus ia berlari ke luar, untuk
menyediakan kuda yang diminta.
“Sudahlah, Dik, Adik tak usah mengantarkan aku,” kata
San Pek sambil memberi hormat pada Eng Tay.
Eng Tay mengawasi pemuda itu, kedua matanya
tergenang airmata. Ia membalas hormatnya.
“Setelah sampai di rumah, Kak, kau baik-baik merawat
dirimu,” pesannya. “Kalau nanti kau sudah sembuh, harap
kau datang lagi menjengukku….”
“Asal aku tidak sakit, aku pasti akan datang lagi,” sahut
si anak muda. “Tetapi, kalau sakitku bertambah parah,
aku khawatir tidak berumur panjang, mungkin aku tidak
akan sanggup datang lagi.”
Ketika itu, mereka sudah turun dari loteng.
Kala itu, matahari sudah doyong ke barat.
“Jangan kau ucapkan kata-katamu itu, Kak,” kata Eng
Tay perlahan. “Akan tetapi, jika toh terjadi hal yang tidak
baik, kau ingat dusun Ow-kio-tin di tepi sungai Yong-kang
bukan? Nah, itulah tempat di mana kita nanti tinggal
bersama-sama selama ribuan tahun. Semoga di sana
dipasang sepasang batu nisan, yang satu bertuliskan ‘Nio
San Pek’, dan yang satu lagi ‘Ciok Eng Tay’. Aku….”
Tiba-tiba, air-mata gadis itu mengucur deras. Ia tak
sanggup meneruskan kata-katanya.
Di saat itu, dari luar terdengar ringkik kuda.
Hati San Pek bagaikan hancur-luluh. Ia berkata: “Oh,
dusun Ow-kio-tin menjadi tempat kediaman abadi kita
selama ribuan tahun? Jadi Adikku sudi pergi ke sana…?”
“Ya!” jawab gadis itu. “Telah ku putuskan, kecuali
dengan Kakak, aku tidak akan menikah, sampai mati pun!
Keputusanku ini tidak akan berubah! Asal Kakak telah
memastikan memilih tempat itu, ke sana Adikmu akan
pergi! Di sana kita akan terkubur bersama…!”
“Pesanmu, Dik, akan pasti terlaksana!” sahut San Pek
memberi kepastian. “Kalau benar aku tidak beruntung,
akan ku pesan orang di rumahku agar membuatkan dua
batu nisan di dusun itu, untuk menantikan kedatangan
Adik di sana….”
Eng Tay menangis terus, ia tak mampu lagi bicara.
“Tuan Muda, mari kita pulang,” kata Su Kiu. “Tuan
Muda tidak sehat….”
San Pek pun melipatkan kedua tangannya kepada Eng
Tay.
“Dik, aku berangkat katanya seraya memberi hormat.
Eng Tay mengangguk, ia menyahut, “Ya,” suaranya
lemah. “Kak….”
15
Sepucuk Surat
DI luar pintu pekarangan, Gin Sim sudah menyiapkan dua
ekor kuda lengkap dengan pelananya. Ia menuntun kuda
itu masing-masing di tangan kiri dan kanannya. Su Kiu,
mendampingi San Pek, melangkah menghampirinya.
“Adik Gin Sim, kau siapkan dua ekor kuda, untuk apa?”
tanya Su Kiu.
“Tuan Muda sedang tidak sehat, ia mesti lekas tiba di
rumah,” sahut orang yang ditanya, “maka itu kau dan
Tuan Muda masing-masing naik seekor kuda. Kakak jadi
tak usah berlari-lari mengikutinya.”
“Terima kasih! “ kata San Pek seraya menerima seekor
kuda. “Memang, dengan menunggang kuda, aku akan
cepat sampai di rumah.”
“Kau baik sekali, Dik, terima kasih!” kata Su Kiu juga.
“Lain hari aku akan mengantarkannya kembali.”
Gin Sim mengangguk. Ia tidak berani tertawa karena
dilihatnya San Pek pucat-pasi, lemah sekali. Tetapi ia
berpesan: “Tuan Muda, setibanya di rumah harap kirim
surat memberi kabar.”
Anak muda itu hanya mengangguk.
“Selamat jalan!” kata Gin Sim. Dan di lain saat, ia
melihat mereka sudah pergi jauh.
Tanpa banyak bicara, Nio San Pek bersama Su Kiu
melakukan perjalanan pulang.
Saat itu pertengahan bulan, perjalanan dapat dilakukan
juga diwaktu malam. Dini hari San Pek sudah tiba di
rumah. Su Kiu segera minta dibukakan pintu agar majikan
mudanya bisa segera masuk ke dalam rumah.
Nio Ciu Po, sang ayah, heran mendapatkan anaknya
pulang di saat itu. Ia menduga telah terjadi sesuatu.
Lekas-lekas ia keluar, untuk menemui putranya. Dan, San
Pek pun segera merebahkan diri di dalam kamarnya,
wajahnya pucat sekali.
“Ah, kau sakit, Nak?” tanya orang tua itu, bingung.
Pemuda itu mengangguk.
“Tidak apa-apa, Pa,” sahut San Pek perlahan. “Aku
masuk angin, besok pagi tentu sembuh.”
Ayah itu meraba kepala putranya, terasa panas sekali.
Ia heran.
“Nak, apakah kau pulang sebelum tiba di dusun Ciok?”
tanyanya.
“Sudah, sudah sampai, Pa.”
“Apa mungkin keluarga Ciok itu tidak ada di rumah?”
tanya ayahnya.
“Ada, Pa. Malahan aku telah bertemu dengan adik Eng
Tay itu. Eng Tay sekarang sudah ganti wajah sebagai
seorang wanita. Ia menyambutku dengan baik sekali.”
“Terus, apakah ada pembicaraan tentang perjodohan?”
“Tentang perjodohan, panjang ceritanya, Pa. Besok saja
kita bicarakan.”
Ciu Po sudah duduk di sisi tempat tidur, segera ia
bangkit berdiri. Ia tidak bertanya secara rinci lagi karena
tahu anaknya sedang sakit.
“Baiklah,” katanya. “Ku dengar ringkik kuda yang ramai
– itu toh bukan seekor?”
“Ya, dua ekor. Yang satu dipakai Su Kiu atas kebaikan
adik Eng Tay.”
Hati ayah itu lega juga. Lantas ia bertanya, putranya
ingin makan apa, tetapi San Pek menggelengkan kepala.
Tak lama muncullah Kho-si, sang ibu.
“Ah, anakku sakit!” katanya, melihat putranya yang
lemas dan pucat.
“Tidak apa-apa, Ma, besok pagi juga sudah baik,” kata
putranya. Ia masih mencoba tersenyum.
Ketika itu Su Kiu muncul, segera ia berkata pada kedua
majikan tuanya: “Bapak dan Ibu berdua sebaiknya kembali
ke dalam saja, Tuan Muda sekarang perlu istirahat. Besok
pagi kesehatan Tuan Muda tentu akan pulih kembali”
Ayah dan ibu itu menurut, mereka mengundurkan diri.
Seberlalunya kedua majikannya itu, Su Kiu menggeser
bangku ke tepi pembaringan majikannya, untuk
menemaninya tidur.
Saking letihnya, San Pek tertidur, tetapi ia diganggu
mimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan Ciok hianmoy,
si adik perempuan yang cantik jelita dan berbudipekerti
halus.
“Hal-ihwalku ini harus ku jelaskan pada Papa dan
Mamaku,” pikirnya setelah mendusin. Karena bisa
memutuskan demikian, hatinya menjadi lapang dan ia
dapat tidur pulas. Ia tidak bermimpi lagi. Hanya, tidak
lama kemudian ia sudah terbangun pula karena fajar telah
tiba. Ia pun merasakan tubuhnya lemas, ia kaget! Sewaktu
hendak duduk di ranjang, ia roboh pula!
“Pulang dengan menunggang kuda, aku masih bisa,”
pikirnya, heran sekali. “Mengapa sekarang, setelah
beristirahat dengan tidur, tenagaku habis? Ya, kepalaku
pusing….
Su Kiu mendusin, ia mendengar suara keras robohnya
sang majikan. Dilihatnya sang majikan itu sudah
mendusin tetapi masih berbaring saja.
“Tuan Muda kenapa?” tanyanya heran.
“Aku tak bisa bangun,” jawab sang majikan. “Coba kau
bawakan aku air panas.”
Su Kiu lantas menggeser bangkunya, terus ia berlalu.
Sementara itu, Ciu Po pun sudah bangun. Terlebih dulu
ia melihat anaknya.
“Anakku, bagaimana?” tanya ayahnya.
“Mungkin aku sakit, Pa,” jawab putranya. “Sungguh
cepat….
Ayah itu mengawasi putranya, yang masih saja rebah,
wajahnya pucat bahkan agak mengerut, kedua matanya
suram. Pemuda itu tidak memakai baju panjang, hanya
baju dalam warna putih.
“Kalau begitu, perlu panggil tabib,” kata ayahnya
kemudian.
“Boleh juga, Pa,” kata pemuda itu, “tetapi mungkin tak
ada gunanya….
“Apa katamu?” tanya ayahnya menegaskan. “Mengapa?
Aneh!”
“Sebentar, setelah Mama bangun, akan ku jelaskan,”
kata San Pek.
Ciu Po tidak bisa menunda lagi. Di satu pihak ia
menyuruh orang memanggil tabib, di lain pihak Ia
membangunkan istrinya, memberi tahu bahwa putra
mereka sakit.
Su Kiu sementara itu telah siap dengan air panas. San
Pek segera minum, namun, baru dua teguk, ia sudah
menggoyangkan kepala. Diletakkannya cawan di atas meja.
Waktu itu, Ciu Po dan istrinya muncul. Mereka segera
duduk menghadap putra mereka, mengawasi dengan hati
gelisah.
“Nak, coba kau ceritakan sekarang,” pinta ayahnya.
San Pek, sambil berbaring, memperhatikan kedua
orang-tuanya itu.
“Ini benar-benar soal sulit, Pa,” demikian pemuda itu
mulai menutur. “Hal ini menyangkut kedua orangtua Eng
Tay, tetapi keduanya tak dapat disalahkan. Di sini terlibat
suatu kekuasaan….”
Seterusnya San Pek menceritakan perihal Eng Tay telah
dijodohkan dengan anak keluarga Ma dan bagaimana
pertemuannya dengannya. Sebagai penutup ia berkata:
“Maafkan aku, Pa, Ma. Kalau terjadi sesuatu atas diriku,
sia-sia Papa dan Mama memeliharaku. Aku belum pernah
menunaikan baktiku, aku sangat berdosa. Semoga di lain
kehidupan aku dapat membalas budi Papa dan Mama….”
Kedua orangtua itu tercengang, mereka sangat heran
dan sekaligus berduka.
“Rupanya demikian,” kata ayahnya kemudian. “Tapi,
Nak, kau jangan bersedih hati. Sekarang kau rawat saja
dirimu, nanti setelah kau sembuh, kita akan pikirkan
bagaimana baiknya.”
“Benar, Nak,” ujar ibunya turut bicara. Ibunya pun
sangat cemas seperti suaminya. “Mama akan
membantumu sedapat-dapatnya. Sekarang jangan berpikir
terlalu banyak. Bila terjadi sesuatu atas dirimu, bagaimana
dengan Papa dan Mama ini? Ingat, kau masih muda,
jangan sekali-kali kau putus asa.”
San Pek tak ingin ayah dan ibunya bersedih, ia mengiya-
kan saja. Namun apa mau dikata, hari demi hari
penyakitnya bertambah parah. Sia-sia saja obat dari tabib,
obat itu bagaikan tenggelam dalam samudera. Bahkan
selewat lima hari kemudian, Ciu Po menyaksikan sakit
putranya bertambah parah.
“Kuda keluarga Ciok sudah dikembalikan atau belum?”
tanya San Pek suatu kali. “Kuda itu harus dipulangkan.
Aku pun ingin menyuruh Su Kiu pergi ke dusun Ciok. Aku
ingin menyampaikan pesan pada adik Eng Tay.”
“Boleh saja kau sampaikan pesanmu itu, Nak,” kata Ciu
Po. “Kuda keluarga Ciok akan dikirim pulang.”
San Pek masih melayap, tetapi ia senang mendengar
kata-kata ayahnya itu. Sejenak, ia dapat tersenyum.
Kemudian ia berkata: “Pa, aku hendak menulis surat….”
“Kau sedang sakit, Nak, tak perlu menulis surat,” ujar
ayahnya menasihati. “Cukup kalau Su Kiu saja disuruh
untuk menyampaikan pesan.”
“Tidak apa, Pa,” kata San Pek, yang terus
menggerakkan tubuhnya untuk tengkurap. “Aku harus
menulis surat.”
Ciu Po heran sekali, hingga ia hanya mengawasi
putranya.
Su Kiu cerdas, segera dia menyiapkan alat-alat tulis. Ia
senang melihat majikannya sudah bisa duduk. Sebagai
meja, ia sediakan sekeping papan.
Lantas saja San Pek menulis. Demikian bunyi suratnya
itu:
“Kakakmu, San Pek, menyampaikan surat ini pada Adik,
Eng Tay. Aku ingin mengutarakan sesuatu.
Pertemuan kita di Hwe Sim Law membuatku merasa
sangat beruntung. Tiga tahun kita sekolah bersama, tak
tahu aku bahwa kaulah seorang wanita sejati. Dasar
kakakmu yang tolol. Baru sekarang aku sadar.
Di luar dugaaanku, telah datang lamaran keluarga Ma
itu. Satu di selatan, satu di utara, mana bisa bertemu,
bersatu?
Demikianlah kesedihan, nasib manusia. Kesedihan kita,
tak ada yang melebihinya! Adikku, kau menangis, tetapi
Kakakmu hanya bisa merunduk, bersedih saja.
Adikku, sekarang ini Kakakmu sedang sakit, dia tidak
berdaya. Mengapa nasib kita begini menyedihkan?
Empat hari sepulangku, setiap malam aku
memimpikanmu, Adikku. Sia-sia belaka aku minum obat,
obat bagaikan batu tercebur ke sungai dan tenggelam. Maka
dari itu, Kakakmu kira, tak akan lama lagi Kakakmu hidup
di dunia.
Adikku, aku tahu adik mempunyai resep obat yang
sangat mujarab, maka dari itu aku mengirim Su Kiu
padamu, akan mohon resep obat itu. Semoga saja resep
obatmu itu dapat menolong Kakakmu ini.
Nah, Adikku, sekian saja suratku. Aku mengucapkan
terima kasih sekali padamu.
Kakakmu, San Pek
Sehabis menulis, San Pek mengulang membaca
suratnya itu, kemudian ia berkata: “Suratku ini, tolong
kirimkan!”
Ia meminta kertas tebal untuk menggulung suratnya.
Kemudian surat tersebut diserahkan pada Su Kiu, yang
dipesankan untuk menyampaikannya pada Eng Tay.
Abdinya itu sudah tahu kewajibannya, ia tak perlu
dinasihati lagi.
Tetapi Nio Ciu Po, sang ayah, berkata: “Apakah surat ini
dapat sembarang disampaikan? Tadi aku telah turut
membaca isinya. Bagaimana kalau surat ini diketahui oleh
ayah-bunda Nona Eng Tay? Apakah tak dikhawatirkan
akan terjadi sesuatu nanti?”
“Jangan khawatir,” kata Su Kiu. “Abdimu tahu
bagaimana surat ini harus disampaikan pada Nona Eng
Tay.”
“Baiklah kalau begitu,” kata Ciu Po, yang terus
berpesan pada abdinya: “Kau harus berlaku hati-hati.
Setelah dapat resep obat itu, simpanlah baik-baik. Apabila
nanti Tuan Mudamu sembuh, kami sangat berterima kasih
padamu!”
Su Kiu mengangguk, ia berjanji.
Kho-si, sang ibu, girang sekali mendapatkan putranya
bisa menulis surat. Ia sampai tersenyum.
“Kau harus menunggang kuda,” kata Ciu Po pada Su
Kiu. “Pasti Nona Eng Tay akan menulis surat balasan, kau
simpan itu baik-baik, terutama resep obatnya. Mungkin
esok pagi kau sudah akan tiba kembali!”
Su Kiu meng-iya-kan, lantas saja ia berangkat.
Majikan itu mengantarkan abdinya sampai di luar
pintu. Su Kiu pergi dan segera menuntun dua ekor kuda.
Seekor, yakni kudanya sendiri ia tunggangi, sebab ia harus
pulang dengan cepat. Tak perlu dikatakan lagi bahwa ia
bekerja dengan baik sekali. Ia mengenal si pengawal pintu
keluarga Ciok, begitu bertemu ia memberitahukan bahwa
majikannya sudah sampai di rumah dan sekarang ia
mengembalikan kuda yang telah dipinjamkan oleh Nona
Eng Tay yang baik hati itu.
Pengawal itu menerima kuda tersebut, terus ia
bertanya, apakah ada pesan buat nona majikannya.
Su Kiu berdiri diam, ia tidak segera menjawab.
Pengawal itu, yang sudah tua, mengerti. Maka ia
berkata: “Sekarang ini Tuan Besar ada di rumah, tak baik
kalau beliau mengetahui kedatanganmu ini. Sebaiknya aku
langsung mengajakmu menemui Gin Sim, dan kemudian
biarlah ia mengajakmu masuk menemui Nona.”
Su Kiu setuju, ia mengucapkan terima kasih sambil
memberi hormat.
“Kamu tunggu sebentar,” kata si pengawal itu lagi,yang
terus saja masuk. Segera ia telah kembali bersama Gin
Sim.
“Oh, Kakak Su Kiu, kau datang?” tanya nona pembantu
itu. Dia girang sekali. “Bagaimana dengan sakit Tuan
Muda?”
“Sakit Tuan Muda bertambah parah, tetapi hari ini lebih
baik,” sahut Su Kiu. “Bagaimana dengan Nona?”
“Nona justru sedang menantikanmu untuk
mendengarkan keteranganmu!” kata Gin Sim, yang terus
mengajak sahabatnya itu masuk ke dalam, langsung ke
loteng. Maka segera Su Kiu bertemu dengan Ciok Eng Tay.
“Apakah keadaan Tuan Muda Nio baik?” gadis itu
langsung bertanya.
Su Kiu memberi hormat dulu, baru ia menyahut:
“Setibanya di rumah, Tuan Muda terus tidur. Tabib telah
dipanggil, setiap hari Tuan Muda makan obat, akan tetapi
tidak ada hasilnya, bahkan keadaannya semakin parah.
Kali ini majikanku memerintahkan aku memulangkan
kuda. Tatkala majikan tuaku menanyakan niatnya untuk
mengirimkan pesan atau tidak, mendadak saja Tuan Muda
dapat menulis surat untuk Nona….”
“Oh, ada surat?” kata Eng Tay cepat.
“Ya inilah suratnya,” Su Kiu, yang terus mengeluarkan,
surat majikannya dan diserahkannya pada gadis itu.
Eng Tay mengenali surat San Pek, segera ia buka
gulungannya dan membacanya. Mendadak saja, airmatanya
berlinang. Tak sempat ia mengucapkan apa-apa.
Su Kiu mengawasi gadis itu, Ia berdiri terpaku. Gin Sim
pun diam di tempat.
Eng Tay memperhatikan kedua pelayan itu.
“Gin Sim, kau ajak Su Kiu makan,” perintahnya.
“Sebentar, setelah bersantap, kau ajak dia ke mari untuk
mengambil surat dariku.”
Abdi itu mengangguk, lantas saja ia ajak Su Kiu
mengundurkan diri.
Eng Tay membaca lagi surat kekasihnya, lalu ia diam
termenung matanya masih basah. Berulang kali ia
menghela napas. Akhirnya ia pergi ke meja dan menulis
surat. Beginilah bunyi suratnya:
“Adikmu, Eng Tay, menghaturkan surat ini pada Kakak,
San Pek.
Begitu membaca surat kakak, airmataku mengalir. Aku
mengerti setiap kata-kata Kakak. Mengenai kesehatan
Kakak, aku hanya bisa mengharapkan semoga lekas
sembuh. Tentang nasib kita lihat saja nanti. Kita pasrahkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun mengenai diriku,
aku pasti tidak akan menikah dengan orang lain. Aku
bersumpah!
Kak, andaikata Kakak mesti meninggalkan Adikmu ini,
selagi perjalananmu belum jauh, tunggulah aku. Aku akan
pergi menyusul, sampai di alam baka. Adikmu bicara,
malaikat menjadi saksinya.
Kak, hatiku risau sekali, aku tak bisa menulis banyakbanyak.
Maka ku harap Kakak berlaku tenang merawat diri
baik-baik. Kak, terimalah hormat Adikmu ini, Eng Tay.”
Selesai menulis, Nona Ciok melipat dan menggulung
suratnya itu.
Ketika itu sudah waktunya menyalakan api. Gin Sim
segera muncul untuk memasang lilin. Gadis itu lantas
berkata padanya: “Ajaklah Su Kiu ke mari, aku hendak
bicara dengannya.”
Gin Sim menurut, ia cepat turun dari loteng, tetapi
segera kembali lagi beserta Su Kiu, si sahabat abadi
“Aku telah selesai menulis surat,” kata Eng Tay pada
abdi sahabatnya. “Ini surat balasanku. Setelah tiba di
rumah kau serahkan suratku ini pada Tuan Mudamu,
katakan juga bahwa aku sangat memperhatikan sakitnya,
mengharapkan agar ia merawat diri baik-baik. Setelah
sembuh, kita akan bertemu lagi. Tetapi kalau….”
Mendadak saja gadis itu menghentikan ucapannya. Ia
duduk terpaku. Ketika sesaat kemudian ia berdiri, ia
berpegangan pada meja, tubuhnya bergetar. Bahkan lantas
saja airmatanya menitik…
Su Kiu hanya mengawasi gadis itu, ia tak berani
berkata.
Gin Sim sangat terharu, ia menghampiri nona
majikannya. Ia berkata perlahan: “Non, Tuan Besar baru
saja pulang, kita tak boleh bicara keras-keras. Nona mau
berpesan, apa lagi pada Kakak Su Kiu, agar dia bisa cepatcepat
pulang?”
Tidak ada lagi pesanku,” jawab Eng Tay sambil
mengusap airmatanya. “Semua telah ku tulis dalam
suratku.”
Sambil berkata-begitu, Eng Tay menyerahkan suratnya
pada abdi sahabatnya.
Su Kiu menerima surat itu, terus ia simpan dalam
bajunya.
“Ada pesan apa lagi, Tuan Muda Ciok?” tanyanya. “Saya
hendak segera pulang.”
“Sebaiknya berangkat nanti saja setelah kau istirahat
dulu,” kata Eng Tay. “Kau telah melakukan perjalanan
jauh, kau pasti letih sekali.”
Su Kiu lantas memberi hormat, terus ia mengundurkan
diri. Gin Sim mengantarkan ke luar karena ia khawatir
sahabatnya itu salah jalan.
Sambil berjalan, melihat tidak ada orang di tempat itu,
perlahan Su Kiu berkata pada pengantarnya itu: “Kalau
Tuan Mudaku tidak beruntung, bagaimana dengan Tuan
Muda Ciok, eh, Nona Ciok?”
“Entahlah, sukar dikatakan,” kata Gin Sim. “Tapi aku
tahu watak Nonaku.”
“Aku dapat mengerti sikap Nonamu,” kata Su Kiu. “Lalu,
bagaimana dengan kita?”
Gin Sim tertawa.
“Tidak apa-apa!”jawabnya.
“Eh, aku bicara sungguh-sungguh!”
“Nonaku sedang dalam kesulitan, mana ada waktu buat
kita bicara?”
“Kalau sampai ada waktu, aku khawatir kau sudah
tidak berkuasa lagi atas dirimu.”
“Terus bagaimana sekarang?”
Su Kiu menggelengkan kepala, ia menarik napas
panjang.
Ketika itu mereka sudah sampai di pintu depan, penjaga
pintu mengundang Su Kiu agar bersantap lebih dulu.
Katanya, hidangan sudah sedia.
Abdi San Pek itu menampik, tetapi ia minta diberi
kesempatan untuk berbaring guna istirahat sejenak.
“Hus, perlahan!” kata Gin Sim mengingatkan.
“Adik Gin Sim, masuklah, mungkin Nonamu memerlukanmu.”
Abdi itu mengawasi Su Kiu, ia tidak berkata apa-apa,
hanya sambil merunduk, ia lantas kembali ke dalam.
Su Kiu mendapat tempat untuk berbaring, tetapi ia
kepulasan hingga si pengawal membangunkannya. Sehabis
minum, segera ia berangkat. Seperti waktu pergi, waktu
pulangnya ini ia melarikan kudanya dengan kencang.
Maka dengan cepat ia pun tiba di rumah. Baru saja ia
sampai, Nio Ciu Po,majikannya sudah menemuinya sambil
bertanya: “Apa ada surat balasan dari Nona Ciok?”
Abdi itu menyahut “Ya” sambil segera mengeluarkan
surat Eng Tay.
Ciu Po menerima surat itu, terus ia buka dan
membacanya. Lantas saja ia menarik napas dan berkata
perlahan: “Gadis itu benar-benar baik sekali, tetapi San
Pek, anakku….”
Tepat pada saat itu dari jendela terdengar suara
putranya: “Pa, Papa bicara dengan siapa? Apakah Su Kiu
sudah kembali?”
“Ya, Tuan Muda!”jawab sang abdi mendahului majikan
tuanya. “Ya, Nona Ciok juga membalas surat..!”
Ciu Po menggulung lagi surat Eng Tay dan
menyerahkannya pada Su Kiu, dan abdi ini segera berlari
masuk ke dalam, langsung ke kamar San Pek. Ketika itu si
tuan muda sedang rebah dengan separuh berselimut. Ia
segera mengulurkan sebelah tangannya seraya
mengucapkan pertanyaan yang lemah dari mulutnya:
“Mana suratnya?”
Cepat sekali Su Kiu menyerahkan surat Eng Tay.
San Pek menerima surat itu, bahkan dengan sangat
cepat ia membukanya untuk dibaca. Setelah itu dia
menghela napas, lalu mengeluh: “Inilah kehendak Tuhan
Yang Mahakuasa, apa mau dikata?”
16
Permintaan Terakhir
NIO Ciu Po menyusul masuk ke dalam dan sempat melihat
putranya melemparkan surat Eng Tay. Ia sangat berduka
dan menghela napas. Tapi toh ia bertanya: “Bagaimana isi
surat itu?”
“Isi suratnya?” putranya balik bertanya. “Ah, sudah
terlambat…. Kasihan dia! Karena di zaman ini sudah tiada
harapan, biarlah kami menanti di zaman lain saja.”
Habis berkata demikian, sambil berbaring si tuan muda
memperhatikan Su Kiu.
Ciu Po memungut surat itu lantas ia berpaling pada
pelayannya.
“Kau telah pergi ke dusun Ciok, sekarang coba
ceritakan semuanya….”
Ketika itu Kho-si muncul, ia pun ingin sekali mendengar
penuturan abdinya.
“Penyambutan di sana baik sekali,” kata Su Kiu, yang
terus saja dengan sabar menyampaikan ceritanya,
khususnya tentang kesedihan Eng Tay.
“Memang, kecuali Paman Ciok, semua orang di sana
baik sekali,” kata San Pek. “Tetapi, Paman Ciok juga tidak
dapat disalahkan. Siapa suruh dia lahir di zaman seperti
ini, hingga ia terpengaruh oleh harta dan kekuasaan!
Selesai berkata demikian, San Pek menutupi tubuhnya
dengan selimut. Ia pun bergolek miring.
“Oh, Anakku,” kata Kho-si “Kau tulis surat, kau
harapkan surat jawaban, sekarang surat balasan sudah
datang, kenapa kau tidak gembira. Mengapa?”
“Surat balasannya ada di sini, akan ku bacakan supaya
kau tahu,” kata Nio Ciu Po. “Su Kiu juga boleh turut
mendengar.”
Tuan majikan ini membaca, di dekat jendela. “Ah, gadis
itu bisa berpikir demikian, sungguh luar biasa!” kata Khosi.
Tetapi, ketika mendengar “janji” Eng Tay yang akan
“menyusul ke alam baka,” nyonya ini menangis. Ia sangat
terharu, ia kagum terhadap Eng Tay. Namun kemudian ia
berkata pada putranya: “San Pek, Eng Tay benar. Kau
harus baik-baik merawat dirimu.”
San Pek mengangguk seraya menyahut “Ya.” Tetapi,
kemudian ia terus tidur.
Sementara itu, Su Kiu berdiri terpaku, airmatanya
berlinang.
Ciu Po menggulung surat itu, lalu diselipkannya di
bawah bantal.
“San Pek sudah tidur, mari, kita pun beristirahat,”
katanya kemudian mengajak istrinya. “Di sini biar Li-so 28
yang menjaga.”
Ternyata mereka tak bisa beristirahat. Kho-si gelisah.
Dia tak tenang, ada saja yang dirisaukannya. Sering ia
menatap langit atau melongok pemandangan alam di luar,
bahkan juga pergi ke dapur, memikirkan masakan untuk
putranya. Kemudian ia teringat sesuatu, maka
dipanggilnya Su Kiu agar datang padanya.
“Tuan Mudamu sekolah bersama Ciok Eng Tay, sekolah
bersama selama tiga tahun, apakah benar ia tak tahu
sama sekali bahwa kawannya itu perempuan?” tanyanya
kepada abdinya itu.
“Nona itu menyamar dengan sempurna sekali, kami
benar-benar tidak tahu,” jawab Su Kiu. “Bahkan aku pun,
tak tahu bahwa si Gin Sim pun ternyata perempuan….”
“Apa mungkin Tuan Mudamu tak tahu sama sekali?”
“Memang Tuan Muda tidak tahu sedikit pun.”.
“Tuan Mudamu adalah anakku, pasti aku percaya dia,”
kata Kho-si kemudian. “Sekarang ia sakit begini rupa,
bagaimana jadinya? Apa dayaku…?”
“Abdimu ini orang bodoh, bagaimana kalau kita tulis
28 Hian-moy aninya “adik perempuan yang bijaksana”.
surat pada Ma Thay-siu?” kata Su Kiu. “Kita jelaskan
tentang hubungan Tuan Muda dan Nona Ciok, lalu kita
minta pihaknya membatalkan lamarannya supaya Tuan
Muda bisa menikah dengan Nona Ciok. Atau kalau dia
menolak, kita tegaskan saja bahwa Nona Ciok sudah
bersumpah tidak akan menikah dengan siapa pun, hingga
kalau pernikahan putranya dilangsungkan juga, akhirnya
akan sia-sia saja?”
Kho-si ragu-ragu.
Justru saat itu muncul Ciu Po seraya menggoyangkan
tangan.
“Tidak, mana bisa!” katanya. “Tidak mungkin pihak Ma
mau mundur. Kita harus berusaha sendiri. Paling benar
bila kita rawat dulu San Pek, setelah ia sembuh, baru kita
pikirkan lagi bagaimana baiknya. Kita bujuk saja anak kita
agar dia bersabar. Surat Nona Ciok pun masih memberi
sedikit harapan….”
Kho-si tidak bisa berbuat lain. Maka ia terus merawat
dan menjagai putranya. Bantuan tabib telah diusahakan.
Tetapi, sia-sia saja San Pek minum obat. Dia terus tidur,
tetapi otaknya bekerja, terus mengenang Eng Tay. Ia
bermimpi.
Sebuah perhentian berbentuk segi enam, terlindung
oleh daun-daun dan cabang-cabang pepohonan. Di sana,
San Pek berjalan-jalan seorang diri. Di situ ada sebuah
pohon mawar berbunga merah muda, indah sekali di
antara daun-daunnya yang hijau tua. Dijalan besar,
beberapa orang sedang berlalu-lalang.
San Pek ingat, itulah kampung Paman Ciok, hanya
bedanya, di sana ada tanaman mawar itu. Justru ketika ia
mengawasi pohon bunga itu, tiba-tiba Eng Tay muncul
berdandan seorang wanita. Ia heran hingga ia berseru:
“Dik, Adik!”
“Kakak Nio!” jawab gadis itu.” Adikmu sangat
memikirkanmu, maka, walau penjagaan sangat keras, aku
toh ke luar juga dan datang ke mari….
“Kau hebat, Dik,” kata San Pek. “Lalu, sekarang
bagaimana? Kini kau akan pergi ke mana?”
“Lebih jauh meninggalkan rumah, lebih baik,” jawab
Eng Tay. “Sekalipun ke gunung dan laut, harus pergi juga!”
San Pek tertawa.
“Bagus!” serunya. “Tempat ini, kau lihat, tempat
apakah, dan di mana?”
“Masa aku tidak ingat,” sahut gadis itu. “Ini tempat dulu
kita bertemu dan menjalin persahabatan.”
“Tetapi telah bertambah dengan tanaman ini,” kata si
pemuda.
“Inilah pohon yang ku tanam dengan tanganku sendiri.
Tunggu, akan ku petik dua kuntum.”
Habis berkata demikian, Eng Tay lantas menghampiri
pohon mawar itu, yang tumbuhnya di luar tempat
perhentian, di bawah undak-undakan. Namun apa lacur,
ia berjalan cepat, tanpa terasa ia salah menaruh kaki.
Tidak ampun lagi, ia terjatuh!
San Pek kaget bukan-kepalang, dia menjerit keras. Ia
maju, ia lari menghampiri, maksudnya untuk menolong.
Disambarnya tangan si gadis, terus ditariknya dengan
sekuat tenaga.
Bersamaan dengan itu, telinga si anak muda
mendengar, suara keras di sisinya: “San Pek! San Pek!
Jangan kau tarik-tarik tanganmu sendiri!”
Itulah suara Kho-si, sang ibu.
San Pek membuka matanya, ia tercengang. Ternyata ia
telah bermimpi bertemu dengan Eng Tay, sang kekasih. Ia
memegang dengan keras dan menarik tangan kirinya
sendiri.
Sang ibu sedang duduk di sisi ranjang. Ia mengawasi
putranya.
“Kau kenapa, Nak?” tanyanya.
“Tak apa-apa, Ma,” jawab putranya. “Aku hanya
bermimpi….”
“Kau bermimpi apa?”
“Anak mimpikan Eng Tay,” jawab putranya, terusterang.
“Mimpi itu karena hati, karena kenangan, sebaiknya
jangan terlalu kau pikirkan,” kata ibunya yang sangat
menyayangi putranya itu.
Tepat di saat itu, Su Kiu muncul. Ia mengabarkan
perihal datangnya utusan keluarga Ciok.
“Ma, ada orang suruhan keluarga Ciok datang!” kata
San Pek. “Siapakah dia? Lekas tengok!” Ia pun segera
menyingkap selimutnya, lalu duduk.
Kho-si tahu bagaimana kerasnya keinginan putranya, ia
lantas pergi ke luar. Di ruang dalam, Su Kiu terlihat
bersama seseorang yang sedang membawa barang, yang
telah diletakkannya. Saat itu juga, Ciu Po muncul sesudah
diberitahu. Lantas saja sang abdi memperkenalkan: “Tuan
Besar…. Ini kakak Ong Sun!”
Pesuruh dari keluarga Ciok itu, memang Ong Sun. Ia
memberi hormat seraya berkata: “Nona kami tahu bahwa
Tuan Muda Nio sakit. Ia mengirim saya, Ong Sun, untuk
menjenguk. Nona telah bicara dengan ibunya, terus saya
diperintahkan membawa barang ini kesini. Harap Bapak
sudi menerimanya.”
“Oh, Nyonyamu baik sekali” kata Ciu Po. “Mana berani
aku menolaknya.”
Sewaktu Kho-si pun muncul, Su Kiu memperkenalkan
Ong Sun kepadanya. Ong Sung sebaliknya segera memberi
hormat pada sang nyonya rumah.
Kho-si lantas melihat barang kiriman Ciok Eng Tay,
yang terdiri dari buah eng-toh, buah pipa, buah pir, daging
asin, ayam panggang asap serta tujuh atau delapan
bungkusan yang lain. Ia kagum hingga berseru: “Oh,
semua ini makanan untuk orang sakit! Terima kasih!”
“Semua ini tidak berarti, Nyonya,” kata Ong Sun. “Di
mana Tuan Muda Nio sekarang? Nona saya berpesan agar
saya menjenguknya.”
“Oh, ia masih menghendaki kamu menjenguknya?” kata
Kho-si. “Mari ikut aku!”
Dan sang nyonya mengajak Ong Sun masuk ke kamar
San Pek.
Si anak muda sedang duduk di atas pembaringannya.
“Oh, kau, Ong Sun!” dia mendahului menyapa.
“Ya, Tuan Muda,” jawab Ong Sun sambil memberi
hormat. Di dalam hati ia sangat terharu. Si anak muda
sangat kurus, wajahnya pucat, bibirnya kering. “Nona
berpesan agar Tuan Muda merawat diri baik-baik. Nona
pun menyampaikan beberapa jenis buah-buahan dan
makanan untuk Tuan Muda.”
Su Kiu pun lantas muncul bersama barang-barang
kiriman Eng Tay, untuk diperlihatkan pada majikannya.
“Sampaikan terima kasihku pada Nonamu,” kata San
Pek. “Barangkali ada pesan lainnya?”
“Semua barang ini dikirim sepengetahuan Nyonya Besar
kami,” kata Ong Sun. “Nona minta agar Tuan Muda
merawat diri baik-baik. Tetapi ketika saya hendak
berangkat, Gin Sim menitipkan sepotong sapu-tangan
merah, katanya dari Nona, buat Tuan Muda. Katanya juga,
kalau Tuan Muda menerima ini, Tuan Muda akan mengerti
sendiri.”
Sambil berkata begitu, Ong Sun merogoh sakunya
untuk mengeluarkan barang tersebut yang segera
diangsur-kannya pada si anak muda.
San Pek menyambut sapu-tangan itu yang jelas adalah
barang lama tetapi masih baru.
“Aku maklum,” katanya perlahan. “Sampaikan pada
Nona, penyakitku ini mungkin tak akan sembuh. Aku ingin
menulis surat balasan, namun hari ini aku tak dapat
menulis, tubuhku lemas sekali, maka itu sampaikanlah
pada Nona bahwa aku sudah mengerti. Ya, kami tahu
sama tahu….”
Ong Sun meng-iya-kan. Ia mengerti keadaan si anak
muda, terus ia mohon diri. Setelah memberi hormat, ia
mengundurkan diri. Barang antaran tadi dibawa ke luar
lagi oleh Su Kiu.
Di dalam kamarnya, San Pek bermain-main dengan
sapu-tangan Eng Tay. Selama itu ia tidak berkata apa-apa.
Tidak lama kemudian….
Ong Sun muncul lagi. Tadi, di luar, ia disuguhi
hidangan tengah hari, setelah itu ia datang lagi untuk
pamit. San Pek mengangguk padanya. Ia mengerti, sulit
bagi si anak muda berkata-kata, maka segera ia memberi
hormat, terus mundur untuk segera pulang.
Malam itu, sehabis makan bubur, San Pek tampak agak
segar. Saat itu ia ditemani ayah dan ibunya. Ia berkata
pada kedua orangtuanya: “Pa, Ma, penyakitku ini sudah
parah sekali. Aku mohon maaf, inilah tanda tidak
berbaktinya aku. Sudah tidak ada jalan untuk sembuh,
maka itu, harap Papa dan Mama memaafkan putramu ini.
Pa, setelah aku menutup mata, ku minta dikuburkan di
Ow-kio-tin dan kuburannya menghadap ke sungai Yong. Di
samping itu, anak minta dibuatkan dua batu nisan, yang
satu berbunyi ‘Makam Nio San Pek’, yang lainnya, ‘Makam
Ciok Eng Tay’. Percayalah, tidak lama lagi, kata-kataku ini
akan ada buktinya. Mengenai barang-barangku, hanya ada
satu yang harus ku bawa. Itulah sepasang kupu-kupu
kemala hadiah dari Ciok Eng Tay. Sekarang kupu-kupu
kemala itu ada di tubuhku….”
“Anakku, sungguh kau tidak beruntung,” kata Ciu Po,
ayahnya. “Bagaimana jadinya, orang berambut putih
mengantarkan orang berambut hitam? Inilah nasib yang
harus disesalkan dalam kehidupan manusia…. Baiklah,
Nak, pesanmu akan Papa wujudkan, tetapi mengenai
kedua batu nisan, rasanya sukar dilaksanakan. Ciok Eng
Tay adalah anak gadis keluarga Ciok, ia juga masih berada
di antara kita, maka kalau kita membuatkan nisannya, apa
kata orang banyak nanti? Bukankah itu janggal? Lagi pula,
pihak Ciok barangkali tidak senang….”
“Hal itu tidak ada halangannya, Pa,” kata San Pek.
“Papa buatkan saja. Nanti, di saat batu nisan itu dipasang
di kuburanku, batu nisan atas nama Ciok Eng Tay, Papa
pendam saja di samping kuburanku….”
“Kalau nisan dikubur, apa artinya itu? Apa gunanya?”
“Tentang itu, tak usah Papa pusingkan….”
“Baiklah, Nak” kata ayahnya dengan tegas. “Akan Papa
jalankan pesanmu!”
Selagi ayah dan anak itu berbicara, Kho-si diam saja, ia
hanya mendengarkan, akan tetapi kedua matanya
berkaca-kaca, airmatanya berlinang. Ia tidak dapat
menangis ataupun berkata-kata.
“Ma, jangan menangis,” kata San Pek. “Ma, anak belum
lagi pergi….”
Sang ibu mengusap air-matanya.
“Ya,” katanya perlahan. “Tetapi kau harus tahu, Mama
hanya mengharap, agar kau hidup terus. Nak, dengan
kata-katamu ini, apakah masih ada harapan bagi yang
sudah tua ini…?”
Pilu rasa hati San Pek mendengar keluhan ibunya itu,
airmatanya lantas saja mengalir hingga membasahi
bantalnya. Ia menutupi wajahnya dengan bantal itu.
Ciu Po menyelimuti tubuh putranya. Dengan
saputangan diusapnya airmata putranya itu.
“Nah, Nak, sekarang tidurlah,” kata ayahnya kemudian
sambil menepuk-nepuk pembaringan dengan perlahan. Itu
sama saja dengan menepuk-nepuk tubuh anaknya.
“Semoga kau dapat tidur nyenyak agar besok keadaanmu
lebih baik. Biarlah Su Kiu menemanimu.”
San Pek meng-iya-kan sambil mengangguk.
Kho-si turut bicara, tetapi dia hanya bertanya: “Ketika
Su Kiu menemani tidur, aku pernah dua atau tiga kali
menengok ke mari, Su Kiu tahu atau tidak?”
Su Kiu yang berada di luar kamar, terdengar menjawab:
“Pernah juga saya tidak tahu, Nyonya Besar.” Abdi ini
jujur, ia mengaku terus-terang.
“Kalau begitu, mulai malam ini kau harus berjaga,”
pesan Ciu Po si majikan.
“Baik, Tuan Besar,” jawab sang abdi.
Ayah dan ibu itu pun lantas ke luar dari kamar.
Hari-hari lewat tanpa ada perubahan pada diri Nio San
Pek, ia tetap tidak mengalami kemajuan. Tidak demikian
halnya di hari keempat, di saat jauh tengah hari, di kala
sinar sang surya telah condong ke tembok sebelah timur
rumah keluarga Nio.
Di saat itu San Pek sedang tidur melayap. Ia melihat
seberkas cahaya pelangi berwarna lima, yang serta-merta
berubah menjadi apa yang dinamakan “Thay Ow Cio” -Batu
Telaga Thay- dan yang segera berubah lagi. Di bagian
tengah batu itu, yang sangat tinggi dan besar, mendadak
terbuka sebuah pintu bagaikan mulut gua. Mula-mula
tampak segumpal awan, yang perlahan-lahan mengapung
naik. Sekonyong-konyong, dari pintu itu muncul wanitawanita
berdandanan dayang keraton. Mereka itu
menggapai-gapai seraya memanggil: “Mari, mari! Mari lekas
naik ke langit!”
San Pek, di sana, melihat seorang wanita mirip Ciok
Eng Tay. Ia menatapnya dengan tajam. Kemudian hendak
ia panggil gadis itu, tetapi tiba-tiba ia mendusin. Yang ada
di depannya sekarang hanyalah ayah-ibunya, bertiga
bersama Su Kiu. Ia merasa heran sekali.
“Pukul berapa sekarang?” tanyanya.
Ciu Po menengok ke luar.
“Sudah lohor,” sahutnya.
San Pek memperhatikan ayahnya itu.
“Papa,” katanya, “dapatkah aku memperoleh keikhlasan
Papa dan Mama berdua, bila aku menutup mata, agar
dikubur di Ow-kio-tin?”
Nio Ciu Po tertegun. Airmatanya mendadak berlinang.
“Dapat, Nak,” sahutnya cepat. “Dapat Papa lakukan
itu….”
“Terima kasih, Pa!” kata San Pek. “Maafkan aku, aku
tidak dapat turun dari ranjang untuk menjalankan
penghormatan, aku mengangguk saja dari atas ranjang
ini….”
Selesai berkata demikian, benar saja ia miringkan
kepalanya.
Kho-si tidak dapat berkata-kata, hanya airmatanya
bercucuran. Ia mendekati pembaringan, mengawasi
putranya dengan airmata berlinang-linang. Ia menangis
tersedu-sedu….
“Su Kiu, ke mari….” ujar San Pek memanggil abdinya.
“Ada apa, Tuan Muda?” tanyanya.
“Aku menyesal, selama tujuh-delapan tahun kamu
mengikutiku, aku tidak dapat berbuat apa-apa untukmu,”
kata sang majikan. “Tetapi aku percaya Papa dan Mamaku
tidak akan menyia-nyiakanmu, maka, kau jangan
khawatir….”
“Ya, Tuan Muda….” jawab abdi itu. Tangisannya
membuat ia tak dapat berkata lebih jauh.
“Sekarang aku hendak berpesan satu kali lagi,” kata
San Pek lagi. “Kalau aku telah tiada maka kau tak usah
membantu mengurus hal lain di sini, tetapi kau harus
segera pergi ke dusun Ciok untuk menyampaikan berita.
Kau katakan pada gadis itu, jenazahku tidak akan segera
dirawat, akan menunggu kedatangannya untuk pertemuan
sekali lagi, pertemuan yang terakhir. Kalau Nona Ciok
mendengar berita ini, dia pasti akan datang….”
Su Kiu tidak dapat menjawab, ia hanya tersedu-sedan,
tetapi ia mengangguk.
San Pek berkata pula dengan lemah. “Papa… Mama…
Pa, tadi Papa mengatakan bahwa sekarang sudah lohor,
maka sekarang aku hendak pergi….”
Sang ibu kaget sekali. Ia menubruk.
“Tidak! Tidak…!” teriaknya. “Kau tidak boleh pergi….”
San Pek mengulurkan kedua tangannya, memegangi
tangan ayah dan ibunya, ia memegangnya erat-erat.
Beberapa detik, ia tak dapat membuka mulutnya. Tetapi
kemudian, dengan lemah, dapat juga ia, berkata: “Aku
menyesal tidak dapat berbuat apa-apa untuk Papa dan
Mama, aku sangat menyesal. Mengenai pernikahanku,
harap Papa dan Mama ikhlaskan, itu bukan hanya urusan
Papa dan Mama saja, itu adalah masalah anak laki-laki
dan anak perempuan. Ku harap Papa dan Mama
memaklumi. Papa dan Mama dapat mengerti, tidak
demikian dengan kedua orangtua keluarga Ciok. Pa, Ma,
mereka itu kalah dengan kekuasaan, mereka mencintai
kemasyhuran yang kosong. Pa, Ma, sekian saja kata-kata
putramu….”
Suara terakhir San Pek hampir tak terdengar, tenaga di
sekujur tubuhnya berangsur-angsur lenyap, napasnya pun
perlahan-lahan menghilang.
Ciu Po dan Kho-si memegangi tangan putranya itu
sampai mereka merasakan denyut nadinya berhenti….
17
Pertemuan Terakhir
NIO San Pek telah berpulang, keluarga Nio tenggelam
dalam duka yang amat sangat. Tetapi Ciu Po teringat
pesan putranya, segera ia berkata pada Su Kiu: “Kau
jangan pikirkan urusan di sini, segera kamu naik kuda
dan pergi ke dusun Ciok untuk menyampaikan pesan Tuan
Mudamu. Katakan padanya, ini soal pertemuan terakhir,
karenanya jenazah San Pek tidak segera ku urus….”
Su Kiu, dalam kedukaannya, menerima perintah itu.
“Bila kamu naik kuda, mungkin kamu tiba di sana
tengah malam,” kata sang majikan pula. “Kalau demikian,
jangan segera mengetuk pintu, tetapi tunggu sampai
terang tanah. Lihat saja, kapan kau dapat pulang kembali.”
“Baik, Tuan Besar, besok malam pasti abdimu sudah
dapat pulang,” kata Su Kiu, yang terus saja
mengundurkan diri untuk segera memulai pejalanannya.
Abdi ini menjalankan tugasnya dengan sungguhsungguh
dan cerdik. Ia tiba di dusun Ciok mendekati fajar.
Ia beristirahat dulu di perhentian. Setelah terang, barulah
ia menghampiri pintu rumah keluarga Ciok. Ia dikenal baik
oleh pengawal pintu maka segera saja ia diajak masuk,
sedang kudanya diurus oleh orang lain. Ia pun diantar
sampai ke bawah loteng Hwe Sim Law, persis di saat Gin
Sim muncul dengan membawa setangkai bunga. Gin Sim
tertegun.
“Eh, Kakak Su Kiu!” tegurnya. “Kau datang pagi sekali!
“Ya, sejak tadi, menjelang fajar,” jawab Su Kiu. “Bagaimana
dengan Tuan Muda Nio?” tanya Gin Sim segera. “Apakah
dia baik-baik saja?”
Su Kiu memperhatikan paras sangat berduka.
“Ia telah tiada,” sahutnya perlahan. “Inilah sebabnya
aku datang ke mari….”
Gin Sim terperanjat hingga bunga di tangannya terlepas
dan jatuh ke lantai.
“Oh…,” serunya. “Tuan Muda Nio meninggal….”
Su Kiu menjalankan tugasnya, segera ia minta Gin Sim
menyampaikan pesan kepada majikannya.
Tetapi Gin Sim masih berkata: “Hari ketika Tuan Muda
Nio muntah darah, aku telah mendapat firasat buruk
sedangkan tadi malam sesudah pukul tiga pagi, Nonaku
tiba-tiba mendusin dalam keadaan kaget, hingga aku turut
terbangun. Aku berharap hari ini akan datang berita
bahwa Tuan Muda Nio sudah sembuh. Oh, tak disangka, ia
justru meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya….”
“Ah, sudahlah, lebih baik lekas kabarkan Nonamu, kata
Su Kiu.
“Sabar,” sahut si kawan, “sebentar setelah aku
mengajak Nona naik ke loteng, baru kau bicara dengannya.
Kau bicara dengan tenang. Jika tidak, Nona bisa kaget,
roboh serta menangis. Kalau Tuan Besar dan Nyonya Besar
tahu, itu tidak baik….”
Su Kiu mengerti, ia menurut dan menunggu.
Gin Sim mengusap air-matanya, terus ia berlalu. Setiba
ia di kamar si majikan, Eng Tay persis akan ke luar. Gadis
ini heran melihat abdinya tidak membawa apa-apa.
“Mana bunganya?” tanyanya, kemudian.
Gin Sim menggelengkan kepala.
“Mari kita naik ke loteng, Non,” katanya. “Ada kabar
penting.”
Bahkan abdi ini segera berjalan mendahului.
Eng Tay heran, ia menerka-nerka. Tak biasanya abdinya
berlaku seperti ini, namun ia mengikuti.
Setibanya di loteng, Gin Sim memandang si majikan,
yang sikapnya masih biasa-biasa saja.
“Ada berita mengenai Tuan Muda Nio,” kata abdi ini
kemudian.
“Apakah dia sudah sembuh?” tanya gadis itu.
“Sekarang Su Kiu ada di bawah loteng, kalau Nona
tanyakan dia, Nona akan mengerti,” kata abdi itu, yang
tidak mau sembarang bicara.
“Kalau begitu, suruh dia naik ke mari,” perintah Eng
Tay, sepasang alisnya berkerut.
Gin Sim pergi ke mulut tangga.
“Su Kiu!” panggilnya.
Su Kiu muncul dengan cepat. Di depan Eng Tay, ia
berlutut memberi hormat.
“Apakah Tuan Muda Nio sudah sembuh?” tanya nona
rumah tak sabar.
“Tenang, Tuan Muda,” jawab Su Kiu. “Sebenarnya, Tuan
Muda Nio kami telah berpulang tadi malam….”
Eng Tay kaget bukan main, hingga ia harus memegang
meja erat-erat. Wajah pun lantas berubah menjadi pucatpasi.
“Ia meninggal?” tanyanya, menegaskan.
“Benar Tuan Muda, tadi malam,” jawab Su Kiu.
Eng Tay jatuh terduduk di kursi, airmatanya segera
mengucur deras. Ia menangis tersedu-sedu. Beberapa
lama, ia diam saja.
Su Kiu bangkit dan berdiri terpaku, ia pun menangis.
Gin Sim, dengan air-mata berlinang-linang, menghampiri
majikannya.
“Sudahlah Nona, tenanglah,” katanya. “Masih ada yang
ingin disampaikan Su Kiu….”
Eng Tay mengusap airmatanya, ia mencoba
menenangkan diri.
“Katakanlah, apa pesan Tuan Muda Nio sebelum tiada?”
“Di saat Tuan Muda menghembuskan napas terakhir,
aku ada bersamanya,” kata Su Kiu, “tetapi setelah ia tiada,
aku segera berangkat ke mari untuk menyampaikan kabar.
Tuan Muda hanya berpesan, sebelum jenazahnya diurus,
dia menantikan kedatangan Nona untuk pertemuan yang
terakhir.”
Mendadak saja, Eng Tay bangkit berdiri. “Ya, aku pergi!
Aku pergi!” katanya. “Lekas siapkan kereta…!”
“Tetapi, Non,” kata Gin Sim, “kalau kita pergi, Tuan
Besar dan Nyonya Besar perlu diberi tahu lebih dulu….”
“Tetapi,” kata Eng Tay, “bagaimana kalau Papa dan
Mama melarangku…?”
“Namun, Non,” kata Gin Sim, “tanpa memberitahu Tuan
Besar dan Nyonya Besar, siapa berani menyiapkan kereta
ataupun joli?”
“Baiklah, aku mengerti,” kata Eng Tay. “Sekarang juga
aku akan menemui Papa dan Mama. Kalau Papa dan
Mama mengizinkan, aku pergi, jika tidak, aku rela mati
demi Kakak Nio!”
“Tenanglah, Non “ kata Gin Sim. “Kita lihat dulu….”
“Kalau begitu, baiklah, mari kita pergi bersama,” kata
Eng Tay, yang masih dapat menenangkan diri. “Su Kiu,
kau tunggu di bawah loteng.”
Su Kiu meng-iya-kan, ia menuruni loteng.
Eng Tay yang didampingi Gin Sim segera pergi ke kamar
kedua orangtuanya.
Kong Wan dan Teng-si baru selesai berdandan. Teng-si
heran melihat kedatangan putrinya, bahkan gadis itu
tampak habis menangis.
“Ada apa, Nak, pagi-pagi kau kelihatannya tidak
senang?” tegur ibunya
“Baru saja datang utusan keluarga Nio yang
mengabarkan bahwa Nio San Pek telah meninggal dunia,”
sahut Eng Tay langsung.
Teng-si terperanjat. Juga Kong Wan.
“Ah, dia meninggal dunia?” tanya ayah dan ibunya itu.
“Bersama San Pek aku tinggal selama tiga tahun, kami
sudah seperti saudara,” kata putrinya, “maka dari itu
sekarang, setelah ia meninggal dunia, aku hendak pergi
menjenguknya. Kini aku datang memberitahu.”
Kong Wan dan Teng-si, yang duduk bersebelahan,
tampak heran.
“Apa? Kau hendak menjenguknya?” tanya ayahnya.
“Benar, Pa!” jawab putrinya, singkat.
“Nak, janganlah berpikir yang tidak-tidak,” kata
ayahnya lagi. “Kau harus ingat, kau adalah anakku, kau
adalah seorang gadis terhormat, bahkan, kau adalah calon
menantu keluarga Ma Thay-siu! Juga, tidak seharusnya
kau sembarang keluar rumah! Di samping itu, putra
keluarga Nio itu mati muda, itulah pertanda keluarga yang
tidak beruntung. Tidak, Nak, kau tidak boleh pergi!”
“Tetapi, Pa, Aku ini senasib,” kata Eng Tay. “Dia tidak
beruntung, aku lebih malang lagi! Pa, terpaksa aku harus
pergi!”
Suara gadis itu keras dan mantap.
“Nak, apakah kau tidak takut jika keluarga Ma nanti
menyalahkan kita?” kata ayahnya lagi.
Eng Tay mengawasi ayahnya. Ia melihat di jendela
tergantung sebuah gunting yang tajam, disambarnya
gunting itu dengan tangan kanannya, dan digunakannya
untuk mengancam. Ia berkata. “Sebaiknya Papa izinkan
aku pergi! Kalau tidak, gunting yang ada di tanganku ini
akan ku tikamkan ke tubuhku, di hadapan Papa!” Teng-si
kaget bukan kepalang.
“Jangan Nak!” jeritnya. “Letakkan gunting itu! Kalau
kau mau juga pergi, pergilah! Jangan kau gunakan gunting
itu….”
“Tetapi Papa belum memberi izin,” kata gadis itu seraya
berpaling pada papanya bagaikan orang yang menantikan
keputusan hakim.
“Baiklah!” kata Kong Wan. “Kau boleh pergi tetapi ada
tiga syarat!”
“Apa tiga syarat itu, Pa?”
“Pertama-tama ku larang kau berpakaian berkabung,”
kata ayah yang kolot itu. “Kedua, kau harus membawa
beberapa pengikut. Dan ketiga, kau harus lekas pergi dan
lekas pulang!
“Baik Pa, ketiga syarat Papa ku terima semua!” kata
putrinya, yang hatinya lega. “Tetapi aku hendak mengajak
Gin Sim. Yang lainnya, boleh Papa kirim siapa saja.”
“Bagus, Nak!” kata Teng-si, si ibu yang juga lega
hatinya. “Sekarang pergilah tukar pakaian! Kau, Gin Sim,
kau ikut Nonamu. Di sepanjang jalan, kau harus melayani
dan menjaganya baik-baik!”
“Baik, Nyonya Besar,” janji si abdi.
Eng Tay melepaskan guntingnya, terus ia kembali ke
kamarnya.
Su Kiu, yang menanti di bawah loteng, segera juga
memperoleh berita. Sambil menunggu, ia pergi bersantap.
Eng Tay bertukar pakaian, lalu ia siapkan pakaian
lainnya. Ia tidak memakai kembang dan pita merah di
rambutnya, juga tidak memakai bedak. Segera saja ia telah
ke luar dan terus naik kereta yang sudah tersedia. Gin Sim
turut serta dengan membawa sebuah buntalan. Ada dua
orang lain yang ikut, yaitu kusir kereta, dan Ong Sun yang
menunggang kuda. Su Kiu, dengan kudanya, berjalan di
depan.
Perjalanan dilakukan terus-menerus tanpa istirahat,
malah diusahakan secepat mungkin. Maka, tidak lama
kemudian sampailah mereka di depan pintu rumah
keluarga Nio.
Eng Tay, sebelum turun dari kereta, mengenakan lebih
dulu pakaian putih dan juga membungkus rambutnya
dengan sapu-tangan putih. Gin Sim turun lebih dulu
untuk membantu nona majikannya turun dari kereta.
Su Kiu sudah berlari mendahului untuk memberi kabar
tentang datangnya tamu. Maka, pintu depan pun lantas
dibentangkan dan beberapa bujang sudah menantikan
untuk menyambut. Mereka kagum melihat sang tamu,
seorang gadis ayu sekalipun berdandan serba putih,
pakaian berkabung.
Nio Ciu Po dan Kho-si menyambut tamunya di depan
pintu. Su Kiu mendekati Eng Tay sambil berkata: “Kedua
orang tua ini adalah Tuan Besar dan Nyonya Besar.”
Eng Tay melihat tuan rumah yang berbaju biru dan
berjanggut putih serta parasnya mirip paras San Pek. Khosi
mengenakan baju abu-abu, dia tidak menangis tetapi
pada wajahnya tampak bekas airmata.
Suami-istri tua itu menyambut tamunya dengan ramah.
Di pihak lain, mereka kagum menyaksikan kecantikan si
gadis.
“Nona, kau sediakan diri untuk datang dari tempat yang
jauh, banyak terima kasih!” kata Ciu Po. Demikian juga
kata-kata nyonya rumah.
Eng Tay segera memberi hormat, bahkan ia memegang
erat-erat tangan Kho-si sambil berkata perlahan:
“Kedatanganku tidak ada gunanya, Paman dan Bibi.
Terima kasih, Paman dan Bibi telah menyambut aku.”
“Ini sudah seharusnya, Nona,” kata Ciu Po.
“Bahkan kau kenakan pakaian berkabung, Nona,” kata
Kho-si juga. “Kalau San Pek di dunia sana mengetahui hal
ini, betapa bersyukurnya dia. Mari, mari kita masuk ke
dalam!”
Nyonya rumah ini melangkah masuk sambil memegangi
tangan tamunya. Eng Tay mengikuti. Ciu Po dan Gin Sim
mengiringi mereka.
Tiba di dalam, Eng Tay melepaskan tangannya dari
pegangan nyonya rumah.
“Maafkan Eng Tay yang telah lancang masuk ke mari,”
katanya. “Silakan Paman dan Bibi duduk, aku hendak
memberi hormat!”
Ciu Po dan Kho-si hendak menolak, tetapi tidak dapat.
Bahkan Su Kiu sudah lantas membawakan guderi kecil
untuk orang berlutut guna menjalankan penghormatan.
Suami-istri itu pun duduk dan Eng Tay lantas
menyembah, menjalankan penghormatannya.
Beberapa bujang yang menyaksikan upacara itu
berkata: “Pantas, pantas, tamu datang dari tempat sejauh
seratus li, dia demikian tulus, selayaknya dia
memperlihatkan hormatnya!”
Eng Tay menyembah empat kali, setelah berdiri, ia
menyuruh Gin Sim melakukan hal yang sama.
Ciu Po dan Kho-si sangat terharu dan bersyukur
sekaligus kagum. Nona tamu itu sangat tahu tata cara.
Mereka sangat menyukainya.
Setelah itu Eng Tay bicara.
“Kakak Nio San Pek tiada sejak kemarin, ia belum
dirawat, bukan?” demikian tanyanya.
“Memang belum, Nona,” jawab Ciu Po. “Segala
sesuatunya sudah siap, kami hanya menantikan
kedatangan Nona. San Pek ingin sekali melihat Nona sekali
lagi….”
“Bapak, panggil saja aku tit-li” kata Eng Tay, yang lebih
suka dipanggil tit-li, atau ‘keponakan perempuan’, daripada
dipanggil ‘nona’. “Jangan panggil aku nona. Sekarang aku
ingin melihat Kakak San Pek, siapa yang akan
mengantarkan aku?”
“Baik, tit-li” kata Ciu Po. “Mari ikut aku.”
Eng Tay mengangguk, ia lantas mengikuti.
Setibanya di ruang dalam, di luar dan di dalam kamar
serta di lantai, banyak lilin putih menyala sebagai
pengganti pelita penerang jalan. Di lantai, tubuh San Pek
rebah kaku, ia mengenakan baju biru. Di sekitarnya
terhampar daun pisang, bahkan seprei dan bantal
kepalanya juga memakai lapisan daun serupa. Hanya
kopiahnya, tetap kopiah kaum pelajar. Wajahnya tampak
seperti orang hidup dan matanya masih terbuka. Jari-jari
kedua tangannya yang dilonjorkan, menggenggam
sepasang kupu-kupu kemala.
Segera juga Eng Tay lari menghampiri tubuh yang
sudah tak dapat bergerak itu. Ia malah menjerit.
“Kakak San Pek, aku datang menemuimu! Kau tahu apa
tidak…?” suaranya parau. Setelah itu airmatanya
bercucuran. Ia berlutut di samping tubuh sang ‘kakak’, ia
mengangguk-angguk empat kali.
Gin Sim, tanpa disuruh lagi, turut membungkuk empat
kali juga.
Ketika itu Kho-si datang menyusul. Airmatanya
berlinang-linang. Dengan suara parau ia berkata: “San
Pek, Anakku, bagaimana kau bisa mendapatkan adik
angkat seperti Ciok Hian-tnoy ini? Nak, ia datang
menjengukmu…!”
Kata-kata nyonya rumah ini membuat semua orang
yang berada di situ menangis tersedu-sedu. Tak dapat lagi
mereka menahan rasa haru hati, mereka. Mereka juga
sangat mengagumi sang tamu itu….
“Kakak San Pek, mengapa matamu masih menatap
saja?” tanya Eng Tay. “Inilah yang membuat kami bingung
dan berduka,” kata Ciu Po, sang ayah. “Aku rasa, tit-li, ia
tentu sedang menantikan kedatanganmu. Ia ingin bertemu
satu kali lagi….”
“Kakak Nio, Kakak Nio!” kata Eng Tay memanggilmanggil,
seraya berlutut di sisi tubuh si pemuda. Ia pun
lantas menangis. “Kakak Nio, pertemuan kita di tempat
perhentian dan bersekolahnya kita bersama-sama selama
tiga tahun, ku anggap sebagai saat-saat yang paling
bahagia selama hidup kita, maka siapa sangka bahwa
dalam Buku Pernikahan tak ada nama kita berdua. Aku
pernah membayangkan bahwa pada suatu hari di depan
kita, ada barisan musik berkumandang, di belakang kita
ada iring-iringan kereta terhias kembang, mengantarkan
kita dengan segala kebahagiaan ke rumahmu. Siapa duga
sekarang, aku datang dengan pakaian berkabung; dalam
satu malam seratus li aku jalani hanyalah untuk
menyembahyangimu. Oh, Kakak mengapa kedua matamu
masih belum dirapatkan juga? Mungkinkah kau masih
berat berpisah dari ayah dan ibumu, kau belum ikhlas
meninggalkan mereka?”
Sambil berkata begitu, dengan gerakan tangan yang
lemah-lembut, Eng Tay meraba dan mengusap mata sang
kekasih. Ia pun menangis dengan sangat berduka.
“Kalau benar demikian, Kak, baiklah kau tak usah
khawatirkan,” kata si gadis pula. “Bukankah Kakak masih
punya sanak-keluarga, keponakan umpamanya? Pasti
mereka dapat merawat kedua orangtuamu itu….”
Masih saja gadis itu menangis dan tetap saja kedua
mata San Pek terbuka.
Kembali Eng Tay mengusap-usap mata kekasihnya itu.
“Oh, Kakak,” kata gadis itu lagi, “mungkinkah kau tak
dapat meninggalkan guru kita serta teman-teman sekolah
di Ni San? Atau, apakah kau menyesal tidak akan ada
orang yang berkabung untukmu? Atau, apakah mungkin
karena kepandaianmu yang kau bawa pergi secara sia-sia
belaka…?”
Tidak ada jawaban apa pun juga untuk keluh-kesah itu.
Ya, San Pek telah berpulang. Mana ia dengar, mana ia
tahu?
Betapa pilu hati Eng Tay. Ia tersedu-sedan.
“Kak… Oh, Kakak,” ratapnya lagi, kemudian, “Kak,
apakah kau tidak rela meninggalkan Ciok Eng Tay, Adikmu
ini? Oh, Kakak…”
Persis gadis itu berkata demikian, tangannya
merasakan gerakan lembut kelopak mata San Pek, dan
terus saja mata itu menutup.
Eng Tay kaget, ia menjerit, ia menangis kencangkencang.
“Oh, Kakak!” teriaknya. “Kak, kau tak ikhlas
meninggalkan Adikmu ini! Aku juga, si adik, mana rela
ditinggal-kanmu? Pantas bila untuk kuburanmu di Owkio-
tin kau siapkan dua buah batu nisan. Itulah jalan
untuk umum, di tepi sungai yang mengalir. Kak, suatu
hari Adikmu ini akan menemui kau di sana…. Di dalam
Buku Pernikahan tidak tercantum nama kita berdua, akan
tetapi nama kita akan kekal abadi beribu-ribu tahun;
sampai mati pun, akan ku perjuangkan! Ya, pasti nama
kita akan tercatat juga dalam buku itu! Kak, hendak ku
beritahukan, aku pasti bukan orang keluarga Ma, juga tak
sudi aku tinggal di rumah keluarga Ma itu! Kak, rohmu
masih belum pergi jauh, kau tahu, para malaikat menjadi
saksi dan Kakak mendengarnya sendiri….”
Begitu gadis itu mengakhiri kata-katanya, kedua mata
San Pek pun terpejam rapat. Jelas rohnya mendengar dan
mengetahui, maka rela juga ia pergi….
Eng Tay menangis, meratap, namun ia masih dapat
menguasai diri. Akhirnya ia menoleh pada nyonya rumah,
dan berkata: “Nah, Bibi, Kakak San Pek telah memejamkan
matanya. Adakah yang masih Bibi inginkan lagi?”
Kho-si menahan kesedihannya.
“Kau baik sekali, tit-li,” katanya.”Dari jauh kau sengaja
datang ke mari. Kau pasti letih sekali, mari kita istirahat
sebentar….”
“Tidak, Bibi, tidak, tit-li tidak letih” jawab Eng Tay.
“Hanya hatiku gelisah melihat kupu-kupu kemala
pemberianku masih tergenggam di tangan Kakak San
Pek…. Mana bisa aku istirahat?”
Kembali gadis itu menangis.
“Biar bagaimana, tit-li” kata Ciu Po, “kau harus
beristirahat dulu barang sejenak, kau telah melakukan
perjalanan jauh dan menahan kantuk. Sekarang kami
akan menukar pakaian San Pek agar ia bisa lekas
dimasukkan ke peti jenazah. Sebentar, setelah selesai
upacara, tit-li sekalian boleh terus pulang….”
Melihat sikap tuan dan nyonya rumah yang demikian
prihatin, akhirnya Eng Tay menurut. Ia melihat Gin Sim,
dan juga Su Kiu, yang berdiri di luar pintu, maka ia
berkata pada abdi San Pek itu: “Su Kiu, pergilah kau ajak
Gin Sim melihat-lihat rumahmu ini!”
“Baiklah, Non,” kata Su Kiu. “Gin Sim, ke mari!”
Gin Sim menurut. Ia telah mendengar perkataan nona
majikannya.
“Sayang Tuan Muda Nio telah tiada. Kalau tidak, aku
senang tinggal di sini,” kata Gin Sim setelah ia diajak
berjalan-jalan mengelilingi rumah. “Eh, ya, di mana itu
Ow-kio-tin?”
Su Kiu menjawab pertanyaan itu, ia menerangkannya.
“Baiklah,” kata Gin Sim kemudian. “Nanti kita bicara
lagi, sekarang aku hendak melayani nonaku.”
Su Kiu meng-iya-kan. Ia mengantarkan sang sahabat ke
dalam, kemudian ia sendiri pergi beristirahat.
Di dalam, Gin Sim melihat nona majikannya sedang
duduk terpaku disisi jendela. Kho-si menemaninya sambil
berbaring di ranjang. Airmata keduanya masih belum juga
kering.
“Ke mana saja Su Kiu mengajakmu?” tanya Eng Tay
kepada abdinya.
“Ke sekitar rumah ini,” sahut si abdi. “Bagaimana
pendapatmu?” “Sempurna segala pengaturan Tuan Besar.”
Eng Tay menarik napas.
“Non, sebaiknya Nona istirahat,” kata Gin Sim. “Segera
akan fajar….”
“Ya, aku tahu. Bibi pun telah menasihati. Tetapi,
bagaimana aku bisa istirahat?”
“Gin Sim, pergilah bersantap dulu,” kata Kho-si.
“Setelah itu, kau pun boleh istirahat.”
“Bibi benar,” kata Eng Tay. “Memang kita perlu
istirahat.”
Waktu itu, si Li-so muncul. Maka Kho-si menyuruhnya
mengantarkan Eng Tay beristirahat. Gadis itu mengikuti
setelah ia bicara dengan Kho-si perihal Su Kiu dan Gin
Sim.
Sang kala berjalan terus, segera tiba saatnya jip-bok,
upacara pemasukan jenazah San Pek ke dalam keranda.
Kho-si dan Eng Tay muncul dengan mata yang basah.
Saat itu, mereka tampak benar seperti mertua dan
menantu. Semua anggota rumah telah berkumpul. Tubuh
San Pek masih berada di lantai.
Eng Tay, dengan pakaian berkabungnya, berlutut di sisi
San Pek.
“Kak, hari ini hari pertemuan kita yang terakhir,” kata
gadis itu sambil menangis, “kalau sebentar Kakak masuk
dalam peti, kita tak akan dapat bertemu pula. Maaf, Kak,
aku tak dapat berbuat apa-apa untukmu. Sedih aku
melihat Kakak tak rela meninggalkan ayah dan ibumu.
Dan kepandaianmu, kau tinggalkan setengah jalan….”
Berkata demikian, EngTay mendekam seraya
menggenggam erat-erat tangan San Pek yang
didekatkannya ke bibirnya untuk diciumi, seraya berkata
pula dengan sedih: “Kak, mengapa kau membungkam saja,
sepatah kata pun tak ke luar dari mulutmu?”
Tepat di waktu itu pemimpin upacara berkata: “Nona
Ciok, silakan mengundurkan diri, sudah tiba saatnya
jenazah masuk peti!”
Segera juga tiga orang tamu wanita menghampiri Eng
Tay untuk membantu membangunkannya dan
mengundurkan diri. Mereka berkata: “Sudahlah, Nona
janganlah kau terlalu bersedih….”
Empat orang pun maju akan mengangkat tubuh San
Pek dan memasukkannya ke dalam peti jenazah. Maka di
saat itu riuhlah tangisan para hadirin, khususnya Ciu Po
dan Kho-si, terlebih-lebih lagi Eng Tay.
Selang beberapa saat, barulah ruang itu menjadi sepi
dan sunyi.
Masih satu kali lagi, Eng Tay menjerit: “Kakak San
Pek…!”
18
Habis Sabar
BUKAN kepalang kaget dan repotnya ketiga tamu wanita
yang mendampingi Nona Ciok. Tak kuat hati Eng Tay, ia
jatuh pingsan. Beberapa waktu barulah ia sadarkan diri.
Masih saja ia memanggil-manggil: “Kakak San Pek, Kakak
San Pek….”
Kho-si menghampiri gadis itu untuk menghiburnya.
“Tit-li sudahlah,” katanya, “jangan kau terlalu bersedih.
Ingat, kau pun masih harus melakukan perjalanan pulang
sejauh seratus li…”
“Apakah Kakak San Pek sudah masuk keranda?” tanya
gadis itu. Dia telah lupa karena pingsannya itu.
“Sudah, Nak,” jawab Kho-si. “San Pek tidak beruntung,
jangan kau pikirkan dia….”
“Sekarang tit-li hendak menghormatinya untuk yang
terakhir kali,” kata Eng Tay kemudian. “Setelah itu, saya
hendak pulang. Gin Sim siapkan bungkusan kita.”
“Telah saya serahkan pada Ong Sun, Non,” jawab si
abdi.
“Dalam bungkusan kita itu ada dua gulung kertas
putih,” kata Eng Tay. “Itulah syair yang ku buat selama di
Hang-ciu untuk Kakak San Pek, bawalah ke mari. Mulai
hari ini, aku tak akan menggubah syair lagi!”
Gin Sim menurut, ia menghampiri Ong Sun untuk
mengambil syair itu.
Eng Tay kemudian menanyakan Kho-si, apakah segala
persiapan untuk sembahyang sudah selesai.
“Sudah,” jawab Kho-si.
Ciu Po pun membenarkan kata istrinya itu. Orang tua
ini sangat cemas ketika tadi menyaksikan gadis itu,
tamunya, pingsan.
Segera juga semua orang berkerumun di ruang depan,
ruang tempat jenazah San Pek disemayamkan. Meja
sembahyang pun sudah siap. Maka Eng Tay segera
memasang hio, ia bersembahyang sambil berlutut.
“Kak,” kata gadis itu kemudian, “selesai sembahyang,
Adikmu akan segera berangkat pulang. Tak dapat aku
berdiam lama-lama di sini. Akan tetapi di Hwe Sim Law
sana, aku harap rohmu suka sering berkunjung. Di saat
hujan dan angin, maupun langit cerah dan terangbenderang,
aku akan selalu berdoa untukmu….”
Setelah gadis itu berdiri, Gin Sim menyerahkan syair
yang diambilnya. Eng Tay menerimanya, lantas dibawanya
ke api lilin untuk disulut, sambil berkata lagi: “Kakak San
Pek, Adikmu membakar syair ini untukmu. Di dalam syair
ini, masih ada kata sambutanmu. Kak, mulai hari ini,
Adikmu tidak akan mengarang syair lagi!”
Demikianlah, dua gulung syair itu segera berubah
menjadi abu.
Kemudian Eng Tay menoleh pada abdinya seraya
bertanya: “Gin Sim, apakah kereta sudah-siap?” “Sudah,
Non,” sahut Gin Sim-.
Eng Tay mengangguk. Segera ia menghampiri Ciu Po
dan Kho-si. Dipegangnya erat-erat tangan Nyonya Nio dan
berkata: “Bibi, saya bendak pulang. Harap Bibi jangan
terlalu bersedih dan rawatlah diri baik-baik….”
Kho-si mengangguk, ia tak dapat berkata-kata saking
terharunya.
Eng Tay menghadapi meja sembahyang, jenazah San
Pek, untuk kembali memberi hormat sambil menjura lagi.
Katanya, perlahan, suaranya serak: “Kakak San Pek, aku
pulang….” Kembali ia menangis.
“Tit-li sudahlah, jangan menangis lagi,” ujar Ciu Po
menghibur. “Kereta sudah menanti di luar.”
Eng Tay mengusap airmatanya dengan sapu-tangan,
terus ia menghadapi semua orang, memberi hormat, untuk
berpamitan. Setelah itu, ia melangkah ke luar.
Ciu Po dan Kho-si mengantarkan.
“Tit-li, maaf, kami tidak menyuruh Su Kiu
mengantarmu,” kata Ciu Po.
“Memang tidak perlu, Paman,” kata Eng Tay. “Tit-li pun
didampingi dua orang saya. Bila ada kesempatan, Su Kiu
boleh sewaktu-waktu datang berkunjung. Nah, Paman dan
Bibi, harap baik-baik merawat diri!”
Kedua orangtua itu, tuan dan nyonya rumah,
mengangguk sambil menyahut: “Ya.” Mereka mengawasi,
terharunya bukan kepalang. Mereka merasa kasihan,
mereka menyesalkan karena sang dara tak beruntung
menjadi menantunya….
Eng Tay dan Gin Sim menghampiri kereta mereka, lalu
mereka menaikinya. Sebentar kemudian, mereka sudah
menghilang dari pandangan.
Sewaktu kereta mulai berangkat, Gin Sim melihat Su
Kiu masih berdiri terpaku di bawah pohon, mengawasi
keberangkatannya…
Ong Sun, di atas kuda, mengikuti kereta.
Di tengah perjalanan, kereta berhenti sejenak. Eng Tay
turun dari kereta untuk menukar pakaian berkabungnya.
Setelah itu, perjalanan pulang dilanjutkan.
Perjalanan pulang ini berlangsung lebih lambat
daripada perjalanan pergi. Maka, ketika tiba di rumah, tiba
saatnya kentongan yang kedua. Ong Sun masuk lebih
dulu, dengan demikian Ciok Kong Wan dapat menyambut
kedatangan putrinya. Ia melihat bagaimana wajah sang
putri tampak bekas airmata tetapi ia tak menanyakan apaapa.
Eng Tay langsung masuk ke kamarnya. Keesokan
paginya, setelah bangun tidur, ia membersihkan diri dan
berdandan seperti biasa. Tetapi akhirnya, ia duduk
termenung saja. Selanjutnya, selama tiga hari ia terus
berdiam diri.
Kong Wan dan istrinya tidak dapat berbuat apa-apa,
mereka membiarkan putri mereka menanggulangi sendiri
pikirannya yang berat itu.
Suatu kali, Gin Sim berkata pada nona majikan:
“Berdiam secara begini tidak ada gunanya, lebih baik Nona
pergi ke loteng, membaca buku di sana. Atau, Nona
membuka jendela, memandangi taman atau kolam….
Sekarang musim panas, di waktu tengah hari hawa udara
kering sekali.”
Eng Tay setuju, maka ia naik ke loteng. Benar saja,
dengan membentangkan jendela, hatinya menjadi agak
lapang. Di kejauhan, ia melihat pemandangan yang luas.
Pada suatu lohor, Eng Tay membuka jendelanya dan
melihat ke luar. Nun jauh disana, tampak dua orang
sedang berjalan: satu laki-laki, satu perempuan. Mereka
menapaki jalan kecil. Usia mereka mungkin baru tiga
puluh tahun. Mereka memikul kayu bakar.
Selagi berjalan mendatangi, terdengar, suara si lelaki:
“Hari mulai panas, kita harus cepat tiba di pasar. Setelah
menjual kayu kita membeli kacang hijau, untuk dimasak
dengan nasi. Kau setuju?”
Si wanita menjawab: “Baik! Kita harus membeli juga
dua potong kue buat kedua mustika kita di rumah!”
Eng Tay terkesan sekali mendengar ucapan kedua orang
itu, yang jelas adalah suami-istri, bahkan mempunyai dua
anak yang mereka sebut “mustika.” Betapa rukun dan
beruntungnya pasangan itu, sekalipun mereka berasal dari
keluarga miskin.
Gadis itu berpikir keras, dan akhirnya ia merebahkan
diri di ranjangnya. Masih saja ia merenung. Ia terkenang
pertemuannya dengan San Pek di lotengnya, ‘Hwe Sim Law’
yang berarti ‘Hati Bertemu’. Bukankah itu bermakna,
pertemuan hatinya dengan hati si pemuda?
Tiba-tiba….
San Pek, berjubah biru, tampak mendaki loteng. Cepatcepat
Eng Tay bangkit dan menyambutnya, ia tertawa dan
berkata: “Kakak Nio, aku justru sedang mengenangmu!
Kau dari mana saja?”
San Pek menghampiri, ia menggenggam tangan gadis itu
dan berkata. “Adikku telah meminta agar rohku sering
berada di sini. Ketika Adikku sedang mengenangku aku
sedang berjalan-jalan di luar Hwe Sim Law….”
Sekonyong-konyong Eng Tay teringat bahwa San Pek
sudah meninggal dunia. Ia lantas berkata: “Walaupun
Kakak telah meninggal dunia, akan tetapi Kakak tetap
seperti masih hidup…!”
San Pek bertepuk tangan. Ia berkata: “Mana aku mati?
Aku mati hanya untuk mengelabuhi kamu, Dik. Aku
sedang membangun sebuah rumah loteng yang indah di
luar dusun Ciok….”
Eng Tay tercengang mengawasi si pemuda.
“Oh, kau sedang membangun loteng yang indah?”
tanyanya.
“Benar!”
Eng Tay berkata: “Aku hanya khawatir banyak orang
yang mengetahui sehingga mereka bisa menghalangimu.
Antara lain… keluarga Ma!”
San Pek tertawa. Ia berkata: “Ada banyak orang pun
tidak mengapa! Mari, ikutlah aku!”
Eng Tay membiarkan sebelah tangannya dipegangi dan
ditarik si pemuda. Tetapi justru ketika ia mau melangkah,
tiba-tiba ia mendengar: “Non, airnya sudah dingin!” Ia
terkejut, ia menoleh, dan ia mendusin. Ternyata ia telah
bermimpi, ia masih berbaring di ranjang. Di sisinya, Gin
Sim sedang berdiri dengan secawan air teh di tangannya.
“Aku bermimpi,” kata sang nona majikan. “Tuan Muda
Nio dengan setangkai bunga sedang menantikan aku….”
Berkata begitu, nona majikan ini menerima cawan teh
dan lantas meneguk isinya. Ia menghirup dua kali. Setelah
mengembalikan cawan itu pada abdinya, ia duduk berdiam
diri. Akan tetapi, otaknya bekerja.
“Mimpi ini aneh,” katanya lagi, kemudian. “Mungkin
besok Su Kiu datang.”
“Tidak aneh, Non, mimpi itu biasa saja,” kata si abdi. Ia
tahu bahwa nona majikan itu terlalu banyak berpikir
karena bersusah hati.
Eng Tay membungkam, namun ia berpikir.
Lohor hari berikutnya, benar-benar Su Kiu muncul. Gin
Sim menyambutnya dengan berkata: “Kakak Su Kiu, Nona
berkata bahwa esok lusa kau akan datang, eh, hari ini kau
benar-benar muncul!”
Su Kiu membuka tudungnya, ia berkata: “Ini mungkin
adalah kedatanganku yang terakhir. Tolong sampaikan
pada Nona, aku datang untuk menyampaikan kabar.” Ia
kemudian merogoh sakunya.
Gin Sim mengangguk, lantas ia ajak tamunya masuk,
terus naik ke loteng.
Ketika itu. Eng Tay sedang duduk berdiam diri. Ia
tergerak melihat Su Kiu.
“Oh, Su Kiu, kau datang!” tegurnya.
“Ya, sengaja untuk menjenguk Tuan Muda,” jawab abdi
itu.
“Apakah penguburan Tuan Mudamu sudah selesai?”
“Sudah.”
“Di mana dikuburnya?”
“Tentu saja di Ow-kio-tin.”
“Apakah mudah membeli tanah di Ow-kio-tin?”
“Kami punya sanak di sana sehingga pembelian tanah
mudah saja.”
“Di sebelah manakah letak makamnya?”
“Di ujung timur laut,” sahut Su Kiu. “Di situ ada satu
tempat yang disebut Kiu-liong-hi Ceng-to-guan” 29
“Bukankah Kiu-liong-hi itu berdekatan dengan Sungai
Yong?”
“Benar. Letak kuburan di sebelah barat laut. Kalau kita
berbicara di makam, orang di atas perahu dapat
mendengarnya.”
“Ya, aku tahu. Ada berita apa lagi?”
“Seusai penguburan, setelah pulang, Tuan Besar
memerintahkan hambamu ini segera berangkat ke mari
guna memberi kabar pada Tuan Muda. Lainnya tidak.”
Eng Tay diam sejenak.
“Baiklah, aku sudah tahu semua. Sekarang kau ikut
29 Menurut kitab Kang Hie Kin Koan, sebelum meninggal dunia, San Pek berpesan
agar dikuburkan di Kiu-liong-hi, Sekarang di tempat tersebut, Kiu-liong-hi, ada
kuburan serta juga kuil San Pek dan Eng Tay.
Gin Sim, seusai bersantap, kau boleh pulang.”
Su Kiu meng-iya-kan, ia mengucapkan terima kasih,
kemudian memberi hormat dan terus mengundurkan diri.
Eng Tay melangkah ke samping lotengnya. Ia membuka
jendela lebar-lebar dan memandang ke sebelah timur.
Awan putih tampak mengapung di segala penjuru, pohonpohon
semua berdaun hijau.
“Ya, kuburan Kakak San Pek berada di sebelah sana,”
katanya dalam hati. “Ia tentu sedang menantikan orang
membukakan pintunya.”
Ya, Eng Tay termenung, termenung terus….
Han-hari musim panas terasa lebih panjang.
Pada suatu hari. Teng-si teringat akan anak gadisnya. Ia
menduga-duga, apa saja yang sedang dilakukan putrinya.
Eng Tay terbiasa mengurung diri di loteng. Apakah dia
selalu membaca bukunya? Apakah dia masih suka
membentang jendela menatap langit? Musim gugur akan
segera tiba, maka keluarga Ma akan segera datang
menyambut gadis menantunya….
“Baiklah, akan ku lihat dia,” pikir sang ibu. Lantas ia
mengajak Kiok Ji naik ke Hwe Sim Law untuk menemui
putrinya. Ternyata putrinya itu tidak sedang menyulam
atau menjahit, tidak juga membaca buku atau menulis.
Sebaliknya gadis itu sedang berdiri di depan jendela,
matanya menatap hampa ke depan….
“Nak, kau sedang mengawasi apa?” tegur Teng-si.
Eng Tay menoleh. Mendengar suara ibunya, barulah ia
tahu bahwa ibunya datang menengoknya.
“Oh, Mama datang,” katanya. “Tidak, Ma, tidak ada apaapa
yang dapat dipandang. Hari ini hawa udara menyengat
sekali, pikiranku tidak tenang, maka ku buka jendela,
berharap akan mendapat angin segar.”
Sang ibu mendekati, ia duduk di sisi jendela, turut
memandang jauh ke luar. Matahari sedang memancarkan
cahayanya yang putih.
“Hawa begini panas, Nak,” kata ibunya kemudian,
“kalau kau tidak membaca buku, kenapa kau tidak
menjahit atau menyulam?”
“Menjahit atau menyulam, Ma?” tanya gadis itu. “Hari
demikian panas, mana bisa?” Tiba-tiba ia tertawa dan
berkata lagi: “Sulamanku sudah cukup banyak….”
Ibu itu terkejut.
“Aku mengerti pikiranmu, Nak,” kata ibu ini kemudian.
“Pastilah kau selalu terkenang akan Nio San Pek, teman
sekolahmu selama tiga tahun. Akan tetapi, sudah
berselang dua bulan Nio San Pek meninggal dunia. Kau
hendak menemui dia, kau telah diizinkan pergi. Tetapi
sekarang, kau tidak boleh lagi mengingat dia….”
Eng Tay masih saja berdiri, bersandar pada jendela.
“Tidak, Ma, tidak bisa,” jawabnya. “Benar ia sudah
meninggal dunia, akan tetapi teman sekolahku ini masih
hidup, belum mati… Gunung boleh tinggi, air boleh
panjang, namun gunung dan air akan hidup bersama
selama-lamanya….”
Melihat putrinya masih tetap berdiri, Teng-si berkata
pada Kiok Ji: “Ambilkan kursi buat duduk Nonamu. Kami
hendak bicara lebih jauh….”
Pelayan itu menurut, ia membawa kursi yang
ditaruhnya di belakang gadis itu.
“Non, silakan duduk,” katanya perlahan.
Eng Tay berpaling, mengawasi abdi itu. Ia mengangguk
tetapi tidak mau duduk. Kiok Ji tidak berani berkata apaapa,
ia berdiri saja di samping jendela.
Teng-si memperhatikan putrinya itu lalu berkata: “Di
luar jendela itu, apa ada yang bagus dipandang? Kau
masih berdiri saja, Nak.”
Mendengar kata-kata majikannya itu, Kiok Ji
tersenyum.
“Mari kita bicara, Nak,” kata Teng-si lagi kemudian.
“Tidak lama lagi hawa udara akan berubah menjadi sejuk.
Setelah perubahan hawa itu, keluarga Ma akan datang
menyambut gadis menantunya. Maka, jika nanti,
keadaannya akan tetap begini Anakku, rasanya ada
kekurangannya….
“Aku tidak kenal keluarga Ma, Mama!” Sang ibu
menatap putrinya.
“Nah, inilah yang kurang tepat dari kau, Nak,” katanya.
“Kalau tiba hari yang ditentukan nanti, keluarga Ma
mengirim kereta pengantin, apakah kau masih tetap tidak
mau pergi?”
Di luar dari kebiasaannya yang lemah-lembut, Eng Tay
memperdengarkan suara di hidung.
“Hm, apa masih ada yang ingin ditanyakan lagi”
katanya. “Aku tidak kenal keluarga Ma, sekiranya mereka
mengirim kereta berhias untuk menyambut pengantin,
peduli apa? Karena tidak ada hubungan antara aku dan
mereka, maka pasti aku tidak akan mempedulikannya!
Kalau mereka tidak berhasil menyambut orang, biar
mereka cari majikannya sendiri!”
Panas hati sang ibu mendengar perkataan putrinya itu,
kedua matanya terbelalak. Ditatapnya gadis itu tetapi
akhirnya ia bisa juga menguasai dirinya. Malahan ia
tertawa.
“Benar, memang mereka dapat mencari majikannya
sendiri,” katanya. “Tetapi majikannya itu adalah kepala
sebuah keluarga, dan si kepala keluarga itu dapat
memperlihatkan pengaruhnya. Mulutnya itu dapat
mengeluarkan perintah-perintah untuk memaksamu
pergi!”
Eng Tay mengebut debu di papan jendela dengan ujung
bajunya. Bersamaan dengan suara kebutannya itu, dari
mulutnya pun keluar kata-kata ini: “Aku tidak mau pergi!
Kalau si majikan mau menggunakan aturan rumahtangganya,
menghendaki aku mati, aku boleh segera mati
karenanya! Tetapi untuk memaksaku pergi ke rumah
keluarga Ma, sekalipun raja mengeluarkan firmannya, aku
masih tetap tidak mau pergi!”
Teng-si bangkit berdiri.
“Inikah kata-katamu?”
“Ya, kata-kataku!” jawab Eng Tay.
Ketika itu Gin Sim berada di bawah loteng. Mendengar
pembicaraan antara ibu dan anak itu, ia merasa gelisah.
Segera ia naik tangga loteng. Dari jauh ia sudah mengedipngedipkan
mata pada Kiok Ji, maka mereka berdua
menghampiri ibu yang sedang naik pitam itu. Mereka
menghadang di depan si nyonya.
“Nyonya Besar, jangan marah,” kata Gin Sim. “Nona
masih muda, ia tidak bisa bicara!”
Teng-si berdiam, tetapi dengan sorot matanya yang
tajam ia menatap putrinya itu.
“Mama tidak mau bicara lagi denganmu!” kata ibunya.
“Dua hari lagi, akan menemui kau untuk bicara dengamu!
Mama mau pergi!”
Benar saja, dengan mengajak Kiok Ji, sang ibu berlalu,
menuruni loteng.
Gin Sim segera mengamati nona majikan itu.
Eng Tay bersikap wajar saja, ia masih memandang ke
luar jendela, memandangi langit. Bahkan kemudian, ia
tersenyum.
Tong-si berlalu dengan hati masih panas. Ingin ia segera
bicara dengan suaminya untuk menceritakan tentang
kekerasan hati putrinya, tetapi kemudian ia berubah
sikap. Ia khawatir, kalau ia bicara dengan suaminya,
urusannya nanti menjadi kacau-balau. Maka, pikirnya,
lebih baik ia menunggu saja mendekatnya hari
pernikahan, barulah masalah itu dimunculkan lagi. Ia
ingin menyaksikan, apakah putrinya masih terus
membangkang atau tidak.Pada saat itu, suaminya tentu
akan turun tangan juga. Demikianlah, ia segera berpesan
pada semua orang agar mengawasi Eng Tay.
19
Naik Perahu
LAMBAT-laun, Eng Tay mengetahui sikap ibunya yang
selalu mengawasi gerak-geriknya. Ia tidak peduli. Malahan
sekarang, ia telah berpikir untuk kalau tiba saatnya, ia
akan menghabisi nyawanya sendiri….
Demikianlah, hari-hari telah berlalu dengan tenang
sampai pada awal bulan ke-sembilan. Udara kini berubah
menjadi sejuk. Justru itu, keluarga Ciok tampak sibuk.
Pakaian untuk gadis pengantin sedang disiapkan. Untuk
pesta, segala barang yang diperlukan pun sedang dibeli.
Semua orang tampak repot, akan tetapi Eng Tay bersikap
masa bodoh.
Pada suatu hari, Ciok Kong Wan menemui istrinya di
kamarnya. Teng-si sedang mengukur kain untuk membuat
baju pengantin putrinya.
“Beberapa hari ini aku tidak melihat Eng Tay,” kata
suaminya. “Mungkinkah karena hari pernikahannya
semakin mendekat, dia tidak mau ke luar?”
“Ya, mungkin itu sebabnya,” jawab Teng-si, si istri. Ia
memang sedang kurang memperhatikan putrinya itu
karena sekian lama tidak ada laporan apa pun dari para
abdi yang diperintahkan untuk mengamat-amati putrinya.
“Bagaimana dengan pakaian pilihan kita?” tanya Kong
Wan. “Apakah Eng Tay setuju?”
Sang istri melepaskan jarumnya, ia menghadapi
suaminya.
“Belakangan ini, adat Eng Tay semakin keras,” katanya.
“Semua bahan pakaian pilihan kita adalah istimewa, tetapi
anak itu, melihat pun tidak sudi!” “Eh, kenapa begitu?”
“Dia sangat tidak puas berkenaan pernikahannya
dengan putra keluarga Ma. Mengenai ini, aku pernah
bicara padanya, memberinya nasihat, tetapi dia, dia tak
sudi memperhatikan!”
“Habis, apa maunya?”
“Mana aku tahu? Dia bahkan bicara semakin kasar!
Katanya, meskipun ada perintah raja, dia tak sudi
menikah!”
Kong Wan menghentakkan kaki.
“Gila!” serunya. “Kapan ia ucapkan itu?”
“Kira-kira dua bulan yang lalu….”
“Begitukah? Bukankah itu tak pantas!”
“Ya, begitulah….”
Ayah ini menjadi sangat kecewa.
“Coba panggil dia, akan ku tegur dia!”
“Sikapmu ini tidak akan menyelesaikan persoalan,” kata
Teng-si. “Bila kau panggil dia, kau harus bicara dengan
sabar. Anak itu tabiatnya keras, tetapi dia tak akan tidak
acuh.”
Kong Wan melipat kedua belah tangannya, ia berjalan
mondar-mandir, otaknya bekerja keras. Kemudian dia
mengangguk dan berkata: “Baiklah, akan ku turuti
pikiranmu. Kiok Ji, pergilah kau undang nonamu datang
ke mari!”
Teng-si tertawa.
“Sungkan, ya?” katanya. “Keluar juga kata
mengundang….”
Kiok Ji berada di luar jendela, di saat ia hendak berlalu,
nyonya majikannya berkata padanya: “Jangan pergi dulu,
sini, kau dengar perkataanku.”
Abdi itu menurut, ia menghampiri majikannya.
“Bila nanti bertemu dengan Nonamu,” pesan Teng-si,
“jangan kau katakan hal lainnya, cukup bahwa tadi ketika
kau berada di luar, Tuan Besar menyuruhmu
memanggilnya. Ini penting sekali, kau jangan sembarang
bicara!”
“Tak perlu dipesan lagi, Nyonya Besar, hambamu sudah
tahu,” kata Kiok Ji yang segera saja berjalan cepat menuju
Hwe Sim Law, bahkan ia langsung mendaki tangga loteng.
Begitu bertemu dengan Eng Tay, ia berkata: “Tuan Besar
sedang berada di kamar Nyonya Besar, Nona diminta lekas
datang menemuinya.”
Gadis itu mengawasi abdi itu.
“Ketika Tuan Besar menyuruhmu, dia tampak gusar
atau tidak?” tanya Eng Tay.
“Abdimu berada di luar tatkala Tuan Besar memanggil,”
kata Kiok Ji. “Sewaktu aku masuk, Tuan Besar lagi marah
atau tidak, aku….”
“Benar-benar kau tidak tahu?” tanya si nona
menegaskan.
Gin Sim juga berada di loteng, ia tertawa.
Eng Tay segera berkata: “Saat begini Tuan Besar
memanggilku, pasti ia sedang marah!”
“Tidak, Non,” kata Kiok Ji, “kalau Tuan Besar bicara, ia
pasti bicara dengan haik-baik….”
“Benar itu?”
“Aku berada di luar jendela saat mendengar panggilan,
Non.”
“Bukankah kau sedang berada di luar maka barulah
kemudian kau masuk?” tanya gadis itu lagi.
Kiok Ji tertawa. Ia menganggap nona majikannya itu
lucu….
Gin Sim pun turut tertawa.
“Baiklah, Non, aku akan berterus-terang,” kemudian
kata Kiok Ji lagi. “Sekiranya Tuan Besar tahu, paling juga
aku dirangket….” Dan pelayan ini menceritakan apa yang
ia lihat dan dengar perihal gerak-gerik Ciok Kong Wan,
sang majikan.
“Nah, bagaimana ya?” kata Eng Tay. “Memang aku telah
menduganya! Sekarang, ayo jalan, aku tak akan
memberitahukan Tuan Besar!”
Kiok Ji mengangguk, lantas ia pergi, nona majikannya
mengikuti.
Kong Wan sedang berjalan mondar-mandir ketika ia
melihat kedatangan anak gadisnya.
Segera ia tertawa dan berkata: “Selamat, Anakku,
selamat!”
Eng Tay tidak segera menanggapi.
“Ada apa, Pa?” tanyanya. “Aku biasa diam di dalam
kamar, apa yang harus diberi selamat?”
“Ada kabar baik, Nak!” jawab ayahnya. “Sekarang hawa
udara sedang nyaman. Keluarga Ma telah memberi kabar
bahwa pada akhir bulan ini akan dilakukan penyambutan
guna menjalankan upacara pernikahan! Ini soal hidup
seratus tahun, masalah andalan bagimu seumur hidup!
Bukankah itu kebahagiaan yang harus diberi selamat?”
Tetapi Eng Tay menggoyangkan tangannya.
“Tentang lamaran keluarga Ma, aku belum pernah
menyetujuinya!” katanya. “Katanya dia memberi kabar
hendak melakukan penyambutan mempelai, mempelai
siapakah yang hendak disambut?”
Mendadak Kong Wan berdiri tegak, dengan tajam ia
mengawasi putrinya. Masih dapat dia menguasai diri lalu
diusapnya janggutnya. Dia pun terus berkata dengan
sabar: “Ketika Nio San Pek masih hidup, kau hendak
menikah dengannya, ini menolak. Papa justru
menghendaki kau menikah dengan Ma Bun Cay, waktu itu
kau menolak sekeras-kerasnya. Itu masih masuk di akal,
ada alasannya, tetapi sekarang setelah Nio San Pek
meninggal Papa mau menikahkan kau dengan keluarga
Ma, maka kau, Nak, tidak beralasan lagi untuk menolak..!”
“Apakah beralasan dan tidak beralasan itu?” putrinya
balik bertanya. “Meskipun San Pek sudah tiada tetapi aku,
aku telah bersumpah bahwa seumur hidupku tidak akan
menikah! Inilah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa!”
“Itu alasanmu yang tidak masuk akal! Memangnya
siapa yang mengizinkan kau dijodohkan dengan keluarga
Nio?”
Eng Tay mengangguk.
“Siapa yang mengizinkan, yang menerima baik lamaran
keluarga Nio?” ia balik bertanya. “Itulah aku! Mustahilkah
kalau aku menyerahkan diri sendiri, itu tidak boleh? Kalau
demikian, dengan kekuasaan Papa sebagai orangtua,
apakah aku bisa dijual-belikan? Bolehkah itu?”
Ciok Kong Wan mengusap janggutnya.
“Papa bilang kau ngawur, malah lebih lagi!” kata
ayahnya. “ menjodohkan kau dengan keluarga Ma, itu
berarti kemuliaan bagimu! Hal itu tidak ada jeleknya! Ada
berapa banyak gadis, yang memimpikannya pun tidak
bisa! Kalau demikian, apakah dapat dikatakan si ayahbunda
menjual putrinya?”
“Kenapa tidak?” kata Eng Tay menyahut. “Memang,
keluarga Ma itu sangat penting dan berpengaruh, tetapi
hanya Papa yang dapat meminjam pengaruhnya itu.”
Tiba-tiba saja, Kong Wan tak dapat lagi menguasai
amarahnya, ia sampai menggebrak meja.
“Anak kurang ajar!” teriaknya. “Bagaimana kamu berani
melawan Mama-?”
Teng-si kaget, ia menarik baju putrinya.
“Nak, kau tidak selayaknya berkata bahwa meminjam
pengaruh keluarga Ma,” kata si ibu. “Kau tahu, Papa dan
Mama ini cukup kaya, mana mungkin kami menjual anak?
Sudah, sekarang semua harus tenang saja. Kita bicara
sampai di sini saja, besok kita sambung lagi….”
Eng Tay mengawasi ayahnya, ia maklum sikap keras
ayahnya, maka ia lantas berkata. “Baiklah, aku pergi dulu.
Tapi, biar bagaimana juga, kapan pun, aku tidak mau
menikah!”
Setelah berkata demikian, gadis yang tiba-tiba menjadi
keras kepala ini, lantas meninggalkan ayah-bundanya itu
begitu saja.
Gin Sim segera mengikuti nona majikannya itu kembali
ke kamarnya. Ia merasa lega melihat ggdis itu bersikap
tenang-tenang saja. Maka ia berkata: “Non, hari ini Tuan
Besar bersikap tidak seperti biasa….
Gadis itu lantas duduk di kursinya, bahkan dia tertawa.
“Kejadian ini telah ku duga,” katanya. “Dan aku telah
memikirkan pemecahannya, tak usah kau khawatir.”
Gin Sim bingung, namun ia tidak mau bertanya lagi.
Sikap nona majikannya kali ini luar biasa, pikirnya.
Biasanya, majikannya itu tak pernah merahasiakan apa
pun padanya, tetapi kali ini lain. Malahan gadis itu bisa
tersenyum selagi suasana sangat tegang. Namun toh, ia
bertanya juga: “Non, besok pasti Nyonya Besar datang ke
mari, bagaimanakah sikap Nona?”
“Kapan tiba saatnya yang paling sukar, aku mempunyai
dayaku,” jawab majikannya. “Tapi apa dayaku itu,
sekarang kau tak usah tanyakan.”
Terpaksa Gin Sim menutup mulutnya, hanya ia
menerka-nerka di dalam hati.
Tengah hari keesokan harinya, sehabis bersantap, Tengsi
masuk ke kamar putrinya sesudah ia mencari tahu dulu
apakah putrinya itu berada di loteng. Ia heran sewaktu
melihat bahwa tidak terjadi perubahan apa-apa pada anak
gadisnya itu. Eng Tay tampak tenang-tenang saja
membaca buku.
Sang ibu batuk-batuk untuk memberi tanda
kedatangannya.
Mendengar suara ibunya, Eng Tay meletakkan bukunya
dan menoleh.
“Ma!” panggilnya.
Teng-si lantas saja duduk di depan putrinya itu. Ia
melihat ke sekitarnya. Ia tidak mendapatkan Gin Sim di
situ, lantas ia mulai bicara: “Saat ini bagus sekali, enak
buat kita bercakap-cakap….”
Eng Tay tidak menanggapi. Ia mengangkat bukunya
tetapi segera diletakkannya pula. Kelihatannya ia hendak
membaca, namun batal.
“Mama ingin bicara denganmu, Nak,” kata Teng-si lagi.
“Letakkan bukumu dulu supaya kita enak bicara. Bisa,
bukan?”
“Tetapi, Ma, aku tak tahu maksud kedatangan Mama
ini,” kata putrinya. “Bukankah Mama hendak mengulangi
pembicaraan kita kemarin? Urusan itu sudah cukup
dibicarakan, apakah sekarang hendak diulangi lagi?”
“Mama belum bicara, Nak, kau sudah menghalangi,”
kata ibunya. “Sebenarnya juga, Mama ingin bicara.”
Gadis itu mengangguk.
“Nah, bicaralah!” ia menganjurkan.
“Keluarga Ma itu….”
“Ah, sudahlah, Ma!” gadis itu memotong. “Jangan Mama
sebut-sebut itu pula, jangan! Mendengarnya saja, aku
sudah muak..!”
“Oh…!” si ibu gugup. “Katamu tidak mau menikah, Nak,
lalu, di rumah saja, kau hendak melakukan apa?”
“Merawat Papa dan Mama….”
“Ah….!” kata ibunya, yang menepuk pahanya.
“Bagaimana kalau Papa dan Mama sudah meninggal…?”
“Di saat itu aku juga sudah tua, maka selanjutnya aku
akan menutup pintu, membaca buku saja, untuk
menenteramkan hati.”
“Itu pikiran yang bukan-bukan. Kami orangtua tidak
punya anak lelaki, maka menantu lelaki menjadi separuh
anak juga. Kalau kau menikah dengan Ma Bun Cay, jika
nanti kau memperoleh anak lelaki, anak itu bisa diambil
menjadi turunan keluarga Ciok. Bukankah itu baik
sekali?”
“Sudahlah, Ma, tak usah Mama bicarakan lagi. Kalau
Mama bicara juga, aku tidak mau mendengarnya!”
Berkata begitu, gadis ini mengambil bukunya, terus ia
membaca. Ketika ibunya berkata-kata lagi, ia seperti tidak
mendengarnya.
Teng-si kewalahan. Tatkala ia masih mencoba bicara
lagi, ia tetap tidak mendapat tanggapan. Maka akhirnya ia
benar-benar kewalahan. Segera ia bangkit berdiri dan
akhirnya berkata: “Baiklah! Kau bicara saja nanti
dengan….”
Ibu ini berjalan ke luar, ia menarik napas panjangpendek.
Sewaktu Kong Wan, suaminya, menanyakan, ia
membungkam.
Ayah itu penasaran, ia suruh beberapa pelayan
perempuannya mendatangi putrinya untuk dibujuk, tetapi
sia-sia belaka, mereka itu kembali tanpa hasil. Jawaban
gadis itu singkat saja: “Disuruh menikah, tidak mau!
Disuruh mati, ya, rela mati!”
Kong Wan bingung sekali. Tentu saja ia tidak
menghendaki kematian putrinya itu. Dua hari telah berlalu
tanpa penyelesaian apa pun. Tetapi mendadak ia
memperoleh suatu pikiran, maka ia lantas bicara dengan
istrinya.
“Anak kita tidak mau menikah, bukankah itu
disebabkan oleh San Pek?” katanya pada istrinya.
“Sekarang coba kau tanyakan dia, apa yang hendak
dilakukannya untuk San Pek, supaya ia dapat melupakan
kekasihnya itu. Asal jawabannya masuk akal, akan ku
turuti dia. Setelah maksudnya kesampaian, dia tentu mau
menikah….”
Teng-si ragu-ragu, akan tetapi karena demikianlah
kemauan suaminya, ia mau mencoba juga. Begitulah, ia
kembali ke dalam, menemui putrinya. Namun, sesaat
kemudian, ia kembali dengan tangan hampa….”
“Apa jawaban Eng Tay?” tanya sang suami mendahului
bertanya.
Sang istri menggelengkan kepala, ketika menyahut, ia
tampak lesu sekali. Ia berkata. “Kata Eng Tay, San Pek
sudah mati, dia sudah tidak punya kehendak apa-apa lagi,
kalau Papa dan Mama masih punya perasaan sayang
padanya, dia minta dibiarkan saja hidup menyendiri untuk
menjaga kesuciannya, dan dapat merawat orangtua
saja….”
“Gila!” seru Kong Wan. “Aku tidak percaya! Mustahil
seorang perempuan seperti dia sanggup melayani
orangtuanya? Sudah, kau jangan campur-tangan, saat tiba
harinya, akan ku ringkus dia dan ku paksa naik kereta
pengantin!”
Teng-si bungkam. Suaminya sudah marah sekali.
Kong Wan juga selanjutnya tidak berkata apa-apa lagi.
Akan tetapi keesokannya, dua orang perantara jodoh
muncul secara mendadak tanpa memberi kabar terlebih
dulu. Mereka adalah Li Yu Seng dan Tian Leng Bow!
Tuan rumah segera menyambut tamunya itu. Setelah
bicara sebentar, dia masuk ke dalam menemui istrinya,
dan berkata pada si istri: “Dua wakil keluarga Ma telah
tiba, mereka sudah menetapkan hari nikah yaitu tanggal
delapan belas. Karena itu, bagaimanapun juga, kita harus
beritahu tanggal ini pada Eng Tay. Juga masih ada satu
hal, yaitu masalah perjalanan. Kita memilih jalan darat
atau jalan air? Kalau jalan darat, harus menginap dua
malam. Mempelai laki-laki akan menyongsongnya di
tengah jalan. Kereta pengantin berjalan di jalan umum,
tampaknya kurang serasi. Sebaliknya kalau kita memilih
jalan air, kita harus mengambil waktu tiga hari. Pengantin
laki-laki pun akan menyambutnya dengan perahu. Di
dalam perahu pengantin perempuan, segala sesuatunya
akan disiapkan selengkap-lengkapnya, seperti persiapan di
rumah. Melalui jalan air, mempelai laki-laki, tak usah
datang ke rumah kita. Dijalan air, sejauh dua li, ada
pelabuhan tempat mempelai laki-laki akan datang
menyambut. Demikianlah, soal perjalanan ini, pihak kita
diminta memilih dan mengambil keputusan. Karenanya,
kita harus tanyakan pendapat anak kita sebab dia gadis
yang luar biasa. Demikianlah pertanyaan keluarga Ma.
Maka, istriku, kau harus menemui anak kita untuk
menanyakan pendapatnya.”
Ini masalah agak ruwet, tetapi Teng-si toh masuk ke
dalam, untuk menemui putrinya. Tetapi lebih dulu ia
menanyakan suaminya, bagaimana kalau Eng Tay tetap
menolak.
“Kalau sampai begitu, aku mempunyai dayaku!” kata
Kong Wan.
Teng-si sampai di Hwe Sim Law. Seperti biasa, ia
melihat putrinya sedang membaca buku. Gadis itu diam
saja, dia seperti tidak mempedulikan ibunya.
“Ah, Nak, Mama datang lagi mengganggumu,” kata
ibunya, memulai pembicaraannya. “Akan tetapi Mama
datang dengan kabar baik! Kau tahu, keluarga Ma sudah
memilih dan menetapkan tanggal pernikahan. Tanggal
delapan belas tahun ini kau akan disambut mereka.”
Eng Tay menoleh, mengawasi ibunya, tetapi ia tidak
menanggapi.
Sang ibu berdiri di sisi meja. Katanya lagi: “Sekarang
tinggal soal perjalanan, yaitu, jalan darat atau jalan air.
Mengenai hal ini, kita yang diminta memilihnya.”
Di luar dugaan, mendengar tentang jalan darat atau
jalan air itu, hati gadis itu tergerak. Segera juga ia
bertanya: “Bagaimana kalau jalan air, dengan naik perahu?
Apakah perahunya akan melewati Ow-kio-tin?”
“Ah, itu Mama tidak tahu,” sahut ibunya.
“Kalau demikian, tolong Mama minta Papa tegaskan,
pihak sana, jalan air akan melewati Ow-kio-tin atau tidak,”
pinta Eng Tay. “Sebentar tolong beritahu aku.”
Kembali Teng-si heran. Putrinya tidak marah, malah
tertarik. Tapi ia toh bertanya. “Kalau melewati Ow-kio-tin,
kau berarti suka naik perahu?”
“Benar, Ma!” sahut putrinya. “Barangkali tidak ada
halangannya kalau aku memberikan keterangan. Makam
Nio San Pek ada di sebelah timur laut Ow-kio-tin, di
makam Kiu-liong-hi di Ceng-to-goan.”
Teng-si diam sejenak. Ia berpikir cepat.
“Jadi kau ingin menemui kuburan keluarga Nio?”
tanyanya kemudian.
“Ya, Ma!” sahut putrinya. “Itu sudah semestinya!”
Teng-si diam, ia bimbang. Namun akhirnya ia berkata:
“Baiklah, nanti Mama tanyakan….” Dan terus saja ia pergi
ke luar. Sekarang ini, wajah si nyonya tidak lagi
memperlihatkan kebingungan seperti tadi.
“Bagaimana jawabannya?” Kong Wan mendahului
menanyakan istrinya. “Dia setuju?”
“Aneh!” jawab si istri. “Dia tidak menolak, juga dia tidak
menerima, hanya dia bertanya, kalau jalan air, perahunya
melewati Ow-kio-tin atau tidak. Ketika ku tanya, apa
perlunya dengan Ow-kio-tin yang tiada sangkut-pautnya
dengan keluarga Ciok, dia berkata kuburan San Pek-ada di
sana….”
Kong Wan membelai-belai janggutnya.
“Oh, begitu?” katanya. Dia pun heran. “Tapi, melewati
Ow-kio-tin atau bukan, mana ada aturan untuk memberitahu
dia atau tidak….!”
“Kau tolol!” kata Teng-si. “Bukankah cukup asal kau
dapat menipu dia hingga dia suka menaiki perahu? Peduli
apa dengan kuburan keluarga Nio atau bukan?”
Kong Wan merunduk, ia berpikir.
“Kalau begitu, beritahu dia, perahunya melewati Owkio-
tin!” katanya akhirnya.
Teng-si menggoyangkan tangan.
“Kita tak boleh mendustai dia!” katanya. “Kau tahu adat
Eng Tay!”
“Baiklah, nanti ku tanya dulu,” kata Kong Wan. Terus
saja ia kembali ke ruang tamu, menemui dua perantara
itu. Tidak lama kemudian, ia sudah kembali pada istrinya.
Ia berkata: “Benar, perahunya akan lewat Ow-kio-tin. Aku
ditanya, pertanyaan ini datang dari Eng Tay atau ada hal
lainnya, aku menjawab dengan berdusta. Ku katakan
bahwa putri kita mempunyai sahabat di Ow-kio-tin dan
putri kita itu hendak mengunjunginya. Kedua tamu itu
mengatakan tak soal bila perahu singgah di Ow-kio-tin.
Nah, sekarang kau pergi kabarkan padanya. Aku mau
tahu, apa lagi tanggapannya.”
Teng-si terpaksa menurut, ia masuk lagi ke dalam.
Melihat ibunya, tanpa menanti si ibu berkata, gadis itu
sudah mendahului: “Apakah akan melewati Ow-kio-tin?”
“Benar, Nak,” jawab ibunya. “Nah, apa lagi
pertanyaanmu?”
“Sekarang aku hanya mau minta bertemu dengan Papa,
untuk mendengar dari Papa sendiri apakah Papa
menerima baik atau tidak permintaanku. Asal Papa terima,
segala hal mengenai diriku seumur hidup, kupasrahkan
pada Papa. Kalau malah sebaliknya, sampai mati pun aku
tidak akan ke luar dari rumah keluarga Ciok ini!” Teng-si
melengak sejenak.
“Jadi kau mau bicara sendiri dengannya?” tanyanya.
“Baiklah! Mari kita menemuinya!”
Si ibu segera berjalan, dan putri itu mengikuti. Di dalam
kamar, Kong Wan tampak sedang membenahi kain untuk
keperluan pernikahan. Ia tampak tidak gembira.
Begitu masuk, melangkahi pintu, Eng Tay segera
memanggil: “Pa…!”
Kong Wan melepaskan kain di tangannya, dia menoleh.
Dia pun mengangguk,
“Oh, kau, Nak!” sahutnya. “Kau hendak bicara apa?”
Gadis itu mengangguk pada ayahnya.
“Ayo, duduklah!” kata Teng-si menyelak. “Kau baru tiba,
kau ini mirip tamu saja….”
“Tak usah, Ma!” kata Eng Tay. “Aku ingin tanya Papa,
kalau kita naik perahu, apakah kita akan melewati Ow-kiotin
atau tidak?”
“Benar, Nak. Kita akan melewati Ow-kio-tin,” jawab
ayahnya.
“Di Ow-kio-tin itu, di timur lautnya ada makam Kiuliong-
hi,” kata Eng Tay. “Di sana ada kuburan Nio San Pek.
Ku harap, setibanya di sana, aku dapat mendarat sebentar
saja. Ya, aku hendak berziarah ke makam Nio San Pek
untuk menyampaikan kerinduanku, kerinduan yang
terakhir kali….”
“Ini…” kata Kong Wan tertahan.
“Papa jangan ragu-ragu,” kata Eng Tay memotong. “Jika
Papa izinkan aku mendarat, aku akan memberi hormatku
yang terakhir pada Kakak San Pek, seandainya tidak boleh,
ya sudah, aku pun tidak akan naik perahu!”
Kong Wan tercengang. Pertanyaan yang sangat
menyulitkan, jelas putrinya memaksakan permintaannya.
Menerima salah, menolak juga salah, bagai buah
simalakama.
Teng-si yang berada di sisi mereka tahu kebimbangan
suaminya. Dalam keadaan seperti itu, ia memberanikan
diri berkata.
“Sudah, izinkan saja!” demikian katanya. “Menghormati
pihak Nio pun ada baiknya.”
Kong Wan masih berpikir, barulah kemudian ia
mengibaskan tangannya.
“Baiklah, Papa izinkan kau memberikan
penghormatanmu!” katanya akhirnya. “Tetapi masih ada
satu permintaan, Papa! Kau tak boleh mengenakan
pakaian berkabung!”
“Baik, Pa, ku turuti perintah Papa!” kata gadis itu cepat.
“Namun, sekali seorang terhormat mengeluarkan katakatanya,
dia tak dapat menyesali dan menariknya
kembali!”
Tanpa tedeng aling-aling gadis ini mendesak ayahnya
yang dianggapnya orang terhormat.
“Kalau Papa menolak, Papa tetap menolak,” kata
ayahnya. “Setelah Papa izinkan bagaimana Papa bisa
menariknya kembali? Tetapi Papa ingin bertanya, dengan
kepergianmu ini, kau akan pergi ke rumah keluarga Ma
atau tidak?”
Orang tua ini pun masih ragu-ragu, khawatir diperdayai
putrinya yang cerdik ini.
Gadis itu menjawab dengan cepat.
“Perahu itu milik keluarga Ma, lalu aku hendak kabur
ke mana?” demikian jawabannya, yang mirip pertanyaan
pula.
Sampai di situ, Teng-si menyelak lagi. “Putri kita sudah
bicara, perkataannya sepatah ya sepatah!” demikianlah
sang istri ini mencoba menengahi.
“Putri kita ini sudah memberikan jawaban, pasti dia
tidak akan mengingkarinya!”
“Baiklah!” kata suaminya akhirnya. “Aku mau pergi ke
depan!”
Eng Tay tidak mempedulikan apa-apa lagi, langsung ia
kembali ke lotengnya. Gin Sim mengikuti nona majikannya
itu.
“Apakah Nona bersedia menikah dengan keluarga Ma?”
tanya abdi itu, heran.
“Kalau aku menolak, bagaimana?” gadis itu balik
bertanya.
“Seandainya Nona tetap menolak, mustahil Tuan Besar
memaksa dengan mengikat Nona.”
“Ternyata kau berani, Gin Sim. Tetapi hal ini lebih baik
tidak kau campuri. Tetap sudah keputusanku untuk naik
perahu! Namun, bagaimana pendapatmu?”
Si abdi membungkam, ia tak dapat menjawab, maka ia
mengawasi majikannya itu.
Eng Tay menatap pelayannya ini.
“Hayo bicara!” desaknya. “Ini adalah saat kritis
terakhir!”
“Non, aku hanya mengikutimu saja. Ke mana Nona
pergi, ke sana aku turut juga!
“Itu aku sudah tahu. Aku tanya tentang perasaan
hatimu sendiri!”
“Saya sudah mengambil keputusan seperti Nona. Saya
tak mau menikah!”
“Itu baru separuh bunyi hatimu,” kata nona majikannya
itu. “Baiklah, yang sebagian lagi aku yang katakan
padamu. Aku ingin menyerahkan kau pada Su Kiu supaya
kalian dapat hidup bersama seratus tahun….”
Gin Sim tertegun, tetapi ia tersenyum-simpul.
Eng Tay mengangguk.
“Pasti itu dapat terlaksana,” kata si majikan. “Tiba
saatnya nanti tentu ada orang yang menggenapinya. Aku
akan naik perahu, kau tetap ikuti aku. Kau akan mengerti
bila nanti tiba saatnya…!”
Gin Sim menerima baik perkataan majikannya itu,
meski ia masih belum jelas. Ia mencoba untuk tidak
memikirkannya.
Sejak hari itu, semua orang di rumah keluarga Ciok
mengetahui bahwa nona mereka telah menerima lamaran
pernikahan dengan keluarga Ma. Semua pun lantas
bekerja, mengerjakan ini dan itu dengan hati gembira.
Sebaliknya dengan Eng Tay sendiri, dia tidak
mempedulikan apa pun juga.
Demikianlah, pada tanggal 24, perahu yang dikirim
keluarga Ma untuk menyambut pengantin telah tiba, terus
berlabuh di tempat sejauh satu li dari rumah keluarga
Ciok. Telah datang dua buah perahu dengan dua puluh
anak buahnya.
Ciok Kong Wan lantas memeriksa perahu, terus ia
mengatur barang-barang yang hendak dibawa-serta oleh
beberapa orang pengikutnya. Ia sendiri bersama istrinya
akan mengantarkan putrinya, sebab tak tenteram hatinya
membiarkan Eng Tay pergi tanpa pengantar sebagai
wakilnya. Mengenai Gin Sim, abdi ini tetap ikut dan
bertempat di perahu nona majikannya.
Pada tanggal 25, semua orang sudah berada di atas
perahu.
Eng Tay tidak mengenakan pakaian baru, hanya baju
hijau. Ia pun tidak berhias atau memakai bedak. Melihat
demikian, Teng-si, si ibu tidak puas, akan tetapi mengingat
masih ada waktu dua hari untuk berhias, ia melegakan
hatinya, ia membiarkan saja.
Perahu yang ditumpangi Eng Tay berada di sebelah
belakang, perahu ayah-bundanya di depan. Jendela
perahu gadis itu dirintangi dengan sejenis jala yang
tertutup dedaunan hingga tangan pun sukar dijulurkan.
Melihat itu, Eng Tay tersenyum dalam hati. Kamarnya
diperlengkapi dengan ranjang, meja dan kursi batu. Di atas
meja terdapat beberapa jilid buku. Jelas lengkaplah
persediaan yang dibutuhkan.
“Perahu ini bagus sekali,” kata Eng Tay. “Kalau Papa
tidak memanggilku, aku tidak mau pergi ke perahu Papa.”
Kedua orangtuanya meng-iya-kan.
Selama dua hari pelayaran tidak terjadi hal yang tidak
menyenangkan. Di hari ketiga, perahu itu pun mulai
memasuki sungai Yong. Tetapi hari itu, mendadak saja
angin berhembus kencang hingga air sungai bergelombang,
tidak seperti biasanya.
Anak buah perahu dengan cepat menurunkan layar.
Air sungai naik setinggi tiga kaki, suaranya berdebur
keras.
Tentu saja, tubuh perahu pun oleng, naik-turun.
Ombak putih datang dan pergi bergantian. Kalau ombak
muncrat di tepi kiri dan kanan sungai, orang tak dapat
melihat dengan jelas wujud rumah yang teraling
pepohonan.
Daun-daun tua berwarna kuning, terbang berhamburan
tertiup sang bayu.
Sudah pasti, di atas perahu pun, orang tak dapat berdiri
tenang.
“Tempat ini, apa namanya?” tanya Eng Tay pada anak
buah perahu.
“Inilah Ow-kio-tin,” gadis itu mendapat jawaban. “Di
sana itu adalah tempat yang disebut Kiu-liong-hi.”
“Oh!” seru gadis itu. “Ayo cepat kau berlabuh!”
“Tak usah Anda perintahkan, Non,” kata si tukang
perahu. “Kita memang mesti singgah di sini. Gelombang
terlalu besar dan berbahaya bagi kita.”
Eng Tay melongok ke luar jendela, ke sebelah kanan.
“Aku ingin kalian berlabuh di dekat Kiu-liong-hi,
bisakah?” tanya lagi.
“Bisa, Non!” demikian jawab si tukang perahu.
Perahu pun mulai menuju Kiu-liong-hi.
20
Sepasang Kupu-kupu
MENURUT keterangan anak buah perahu, tempat yang
disinggahi itu benar adalah Kiu-liong-hi, di dalam daerah
Ow-kio-tin.
Ciok Kong Wan merasa gelisah, setibanya di Ow-kio-tin
ini, mendadak saja datang angin besar hingga air
bergelombang. Akhirnya, ia menanyakan seorang tukang
perahu: “Angin dan gelombang ini akan bertahan sampai
berapa lama?”
“Mungkin tak lama,” jawab orang yang ditanya.
Kong Wan menjadi tenang, ia mengusap-usap
janggutnya lalu berdiam diri.
Anak buah perahu pun menurunkan jangkar, maka
berlabuhlah kedua perahu itu.
Lantas Eng Tay menghadap ke perahu ayahnya, dan
berkata pada ayahnya: “Pa, kita sudah sampai di Ow-kiotin,
sekarang aku mau mendarat untuk berziarah ke
kuburan Nio San Pek. Berapa orang kiranya boleh ku
ajak?”
Kong Wan tidak segera menjawab, jelas ia berpikir dulu.
“Cukup kau ajak Gin Sim seorang saja,” demikian
jawabannya. Namun ia menambahkan: “Tetapi di sini
semua orangnya keluarga Ma, kalau mereka mau turut,
aku tidak dapat melarangnya….”
“Terima kasih, Pa.” Kalau mereka mau turut, biarkan
saja!”
Teng-si tidak berkata apa-apa, akan tetapi dengan
kedua matanya, ia mengawasi kepergian putrinya itu.
Eng Tay bergelung Tui in-ki – Awan Bersusun. Ia bersalin
pakaian serba merah, ia pun mengenakan dengan lengkap
perhiasan rambutnya. Bajunya bersulamkan seekor kupukupu
berwarna-warni serta bunga bow-tan atau peony.
Sepatunya bersulamkan kepala burung Hong, phoenix. Ia
pun berbedak secara serasi hingga tampak sangat ayu.
Sang ibu heran melihat dandanan putrinya itu, hingga
ia berkata: “Nak, dandananmu kurang tepat. Kau toh
hendak pergi ke makam, mengapa kau berpakaian begitu
bagus?”
“Tetapi, Ma,” jawab putrinya, “Papa telah melarangku
mengenakan pakaian berkabung, maka dari itu sekarang
aku berpakaian seperti ini!”
Teng-si membungkam, ia melengak. Tetapi, tidak
demikian dengan suaminya.
Kong Wan menuding putrinya: “Papa melarangmu
mengenakan pakaian berkabung, tetapi bukan
mengizinkan pakaian macam ini!”
“Ah, sudahlah!” ujar Teng-si akhirnya menengahi.
“Pakaian apa juga, sama saja. Kita tak perlu menarik
perhatian orang banyak….”
Eng Tay berjalan perlahan-lahan.
“Pa, Ma, aku berangkat,” katanya tenang.
“Baiklah, Nak,” kata ibunya. “Tapi kau harus lekas pergi
lekas pulang.”
Eng Tay mengangguk. Tadinya ia mau berhenti sebentar
untuk mengatakan sesuatu, namun ia batalkan. Ia
khawatir nanti ayahnya bicara lagi. Dengan langkah hatihati,
ia berjalan di papan jembatan sampai tiba di darat, di
tepian.
Di tepian itu tampak orang-orang keluarga Ma
bertebaran.
Eng Tay mengetahui hal itu, ia diam saja.
Gin Sim mengiringi nona majikannya, ia pun melihat
orang-orang keluarga Ma, ia juga tidak mengatakan
sesuatu. Ia bungkam seperti nona majikannya itu.
Keduanya berjalan dengan tenang.
Jalanan di depan terpecah dua, barat dan utara. Jalan
yang di tengah, di depan, tampak banyak pepohonan,
lebat, hingga tak tampak orang berlalu-lalang. Berjalan
lebih jauh, di antara dua baris pepohonan, tampak
segundukan tanah – tumpukan tanah yang baru diuruk. Di
sisi gundukan itu, terdapat sebuah batu nisan dengan
sebaris huruf berbunyi: Kuburan Nio San Pek.
Tak ragu lagi, itulah tempat Nio San Pek beristitahat
untuk selama-lamanya!
Eng Tay mempercepat langkahnya hingga ia tepat
berada di depan kuburan yang lantainya terbuat dari batu
hijau itu. Segera ia menjatuhkan diri, berlutut, dari
mulutnya pun serta-merta ke luar suaranya yang parau:
“Kakak San Pek, inilah Adikmu, Eng Tay… Aku ingat janji
kita dulu, kau akan menantikanku di jalan ke dunia yang
lain. Nah, sekarang aku lewat di sini, maka inilah saatnya
kita berkumpul bersama…!”. Tangisan sedih menyusuli
ratapan gadis itu.
Tepat pada saat itu, sekonyong-konyong saja, bertiuplah
angin kencang, melintas, terdengar di antara
pepohonan. Sebaliknya dipucuk pohon, di atas, tampak
sinar kuning bagaikan kilau emas!
Gin Sim terkejut, ia menghampiri nona majikannya
yang sedang berlutut di depan kuburan. Di saat mendekat,
ia mendengar suara majikannya:
“Kakak San Pek, aku ingat janji kita dulu. Di kuburan
ini akan dipasang dua batu nisan, satu atas nama Nio San
Pek, yang lain atas nama Ciok Eng Tay, tetapi sekarang,
mengapa cuma satu batu dengan nama Nio San Pek
saja…”
Sehabis berkata demikian, Eng Tay bangkit, untuk
memeluk nisan sang kekasih. Tangisannya yang keras pun
menyusul.
Tiba-tiba saja, awan hitam bergulung-gulung di
angkasa, disusul dengan kilat yang menyambar-nyambar,
bergerak-gerak bagaikan seekor naga kuning, berkelapkelip,
bersuara nyaring, kemudian diikuti dengan suara
guntur yang menggelegar!
Gin Sim terkejut, ia takut hingga tubuhnya menciut,
dan kedua tangannya dipakai untuk menutupi matanya.
Hujan pun segera turun, butirnya besar-besar. Hingga
dalam sekejap saja, basah-kuyuplah tubuh semua orang!
Itu belum lengkap! Di saat menegangkan semacam itu,
tiba-tiba tanah kuburan San Pek terbuka, merekah, sambil
memperdengarkan suara nyaring, dan mencuatlah sebuah
batu nisan bercacahkan lima kata besar: Ciok Eng Tay Ci
Bok, artinya, Kuburan Ciok Eng Tay.
Aneh luar biasa, selagi hujan turun demikian derasnya,
tubuh Eng Tay tidak basah. Ia berdiri di samping batu
nisan itu!
Menyaksikan hal itu, dari kaget dan gugup, Eng Tay
menjadi girang tiada-kepalang. Ia segera berteriak: “Kakak
San Pek, lekas buka pintu, Adikmu sudah datang!”
Hebat teriakan gadis itu. Suaranya bagaikan
menggetarkan bumi. Dan, luar biasa, segera terjadilah
keajaiban: Tanah kuburan itu merekah, dengan
memperdengarkan suara nyaring; terbuka lebar-lebar,
seperti dua daun pintu yang dibentang. Dari liang lahat
terlihat cahaya terang api lilin. Tanah bongkaran itu
bertumpuk di kedua sisi.
Menyaksikan hal itu, Eng Tay menjerit lagi: “Kakak San
Pek, Adikmu, datang…!”
Menyusul ucapannya itu, tubuh gadis itu bergerak,
melompat, masuk ke dalam liang kubur….
Gin Sim kaget bukan-kepalang, cepat ia menyambar
tubuh nona majikannya itu, akan tetapi sudah terlambat.
Ia cuma dapat menggenggam ujung bajunya yang robek,
tinggal secuil di tangannya. Tubuh gadis itu telah masuk
ke dalam liang lahat, dan kuburan itu pun segera tertutup
dengan sendirinya, tanpa bekas-bekas terbuka!
Semua kejadian itu susul-menyusul dengan cepat
sekali, secepat kilauan sang kilat. Begitu berkelebat, begitu
lenyap.
Gin Sim tertegun, ia terperanjat dan juga takut. Ia
sangat heran. Bukan main menyesalnya ia. Kini ia hanya
memegangi sobekan baju nona majikannya. Gadis itu
sendiri lenyap entah ke mana….
Sekian lama Gin Sim berdiri tercengang, ia seakan-akan
lumpuh.
Setelah itu hujan pun berhenti, langit terang kembali
seperti sediakala. Segalanya sunyi.
Tiada jalan lain, Gin Sim berpikir untuk kembali ke
perahu. Tetapi saat itu juga, satu kejadian lain menyusul.
Sobekan baju di tangannya itu, bukan lagi cuilan baju, dan
tijba-tiba berubah menjadi seekor kupu-kupu berwarnawarni,
indah sekali. Kupu-kupu itu terbang di antara
rerumputan!
Bersamaan dengan rasa herannya, Gin Sim berniat
menangkap binatang itu, namun ia gagal. Sang kupu-kupu
terbang, tak dapat ditangkap. Ia penasaran, ia mengejar,
namun sia-sia saja. Kupu-kupu itu terlalu gesit dan lincah.
Setelah terbang di atas kepala abdi yang setia itu, terus dia
terbang tinggi, menghilang….
Gin Sim membelalak, mengawasi, sampai ia tersadar.
Selang sesaat, selagi abdi ini berniat kembali ke perahu,
tiba-tiba ia mendengar suara bertanya: “Gin Sim, baru saja
hujan lebat! Mana Nonamu?”
Ternyata orang yang menegur itu, yang baru tiba adalah
Teng-si. Di samping si nyonya, juga ada Ciok Kong Wan,
sang majikan. Mereka itu datang karena telah terlalu lama
menantikan kembalinya putri mereka.
Sejenak Gin Sim bingung. Ia bicara atau tidak?
Bagaimana kalau ia membungkam? Mana tanggung
jawabnya? Kalau ia bicara sebenarnya, apakah ia akan
dipercaya? Tetapi jelas, nona majikannya telah lenyap….
Akhirnya, mau tidak mau, hamba ini menjawab yang
sebenarnya.
Kong Wan dan Teng-si kaget bukan main, mereka
tercengang. Hal itu teramat aneh! Sulit untuk
mempercayainya!
“Gila kau!” damprat Kong Wan. “Bagaimana mungkin
manusia hidup bisa lompat masuk ke dalam liang kubur?”
“Tetapi itu benar, Tuan Besar,” kata si abdi. “Di sana,
ada orang-orang keluarga Ma yang turut menyaksikan.”
Saat itu enam orang keluarga Ma, dengan tubuh basah
kuyup datang mendekat. Mereka mendengar pembicaraan
antara majikan dan hambanya itu, maka tanpa diminta
lagi, mereka menegaskan: “Benar, Tuan Besar, benar apa
yang dikatakan nona ini. Kami menyaksikannya sendiri!
Kami berada sedikit jauh, kami tak dapat menolong.
Kuburan itu merekah dan tertutup dengan sangat cepat,
terjunnya gadis itu lebih cepat lagi!”
Teng-si mengawasi mereka itu.
“Benar demikian?” tanyanya. “Sungguh aneh!”
Kong Wan dan istrinya masih ragu-ragu, bersama-sama
mereka melangkah cepat menuju kuburan. Mereka
memeriksa kuburan yang tanahnya masih baru itu.
Urukannya baru. Mereka pun menyaksikan kedua batu
nisan yang berukiran nama-nama San Pek dan Eng Tay,
bukan main herannya mereka. Sejenak, mereka berdiri
terpaku, mata mereka tertuju pada kuburan.
Segera juga Teng-si menjerit menangis.
“Ketika masih berada di perahu, hujan besar
membuatku sangat cemas,” katanya sambil menangis.
“Aku memikirkan Eng Tay, aku mengkhawatirkan
keselamatannya maka aku sungguh tidak duga, dia justru
lenyap secara begini aneh…! Oh Nak, di mana kau….?”
Kong Wan yang berhati keras juga mengucurkan airmata.
Biar bagaimanapun, ia menyayangi putrinya.
Gin Sim menangis dengan sangat pilu. Ia pun takut
disalahkan majikannya. Ia mohon maaf, tetapi ia
menambahkan bahwa dirinya tidak bersalah.
“Kau memang tidak bersalah, kami tidak
menyalahkanmu,” ujar Teng-si menenangkannya.
Tiba-tiba tangan Gin Sim menunjuk dan dari mulutnya
terdengar suara yang menyatakan keheranannya: “Lihat,
kupu-kupu itu muncul lagi…!”
Semua orang heran, dengan sendirinya semua menoleh
ke arah yang ditunjuk si abdi itu.
Seekor kupu-kupu muncul, terbang perlahan-lahan.
Binatang itu cantik sekali. Sayapnya berwarna lima
macam, bergemerlapan dan terang, bercahaya gemilang.
Dia lantas turun ke atas kuburan dan hinggap di rumput.
Namun itu belum lengkap. Mendadak juga, dari
belakang kuburan, muncul pula seekor kupu-kupu yang
lain. Dia ini melayang, terus hinggap di sisi kupu-kupu
yang pertama. Sayapnya juga indah. Setelah itu, keduanya
terbang lagi. Akan tetapi kali ini, keduanya mengapung
turun dan naik, bersamaan dan bergantian.
Selang sesaat, keduanya terbang tinggi, melayang
sampai di atas kepala Ciok Kong Wan dan Teng-si yang
saking herannya berdiri terpaku mengawasi kedua
binatang itu sejak tadi. Di atas kedua suami-istri itu,
kedua kupu-kupu itu terbang berputar-putar….
“Sungguh kupu-kupu nan besar dan indah!” puji
beberapa orang keluarga Ma.
Kedua kupu-kupu itu terbang lagi ke atas kuburan, ke
antara beberapa orang itu, agaknya keduanya mengerti
bahwa mereka dipuji, rupanya mereka hendak
mengucapkan terima kasih….
Tetapi kali ini, sesudah mengapung berputar-putar,
keduanya semakin lama semakin tinggi, tanpa terasa
mereka telah terbang jauh dan lantas lenyap dari
pandangan mata!
Kong Wan memandang kosong mengawasi kuburan San
Pek, akhirnya ia berkata pada istrinya: “Sudahlah, mari
kita pulang! Kita perlu mengetahui sikap keluarga Ma. Ku
pikir, kejadian ini tak perlu membuat kita mengalami
kesukaran. Kejadiannya pun disaksikan oleh orang-orang
keluarga itu, sedangkan kita, kita tidak tahu apa-apa.
Saksi kita hanya Gin Sim seorang, mungkin kesaksiannya
tidak cukup kuat, tetapi bersama kesaksian pihak sana
sendiri….”
Teng-si mengusap airmatanya. Beberapa lama ia
berdiam saja. Sesaat kemudian, barulah ia berkata.
“Ayo kita pulang….” suaranya berat. “Harap saja kalau
nanti orang-orang keluarga Ma ini pulang, mereka bisa
memberikan kesaksian dan hal itu diterima baik oleh
keluarga Ma….”
Kong Wan lantas menggapai Gin Sim.
“Gin Sim, mari kita pulang! Masih ada beberapa
pertanyaan kami untukmu.”
Sang abdi membungkam, tetapi ia ikut pulang. Ia masih
memikirkan nona majikan, orang yang ia andalkan. Sesaat
itu, ia bingung memikirkan dirinya, tentang masa
depannya….
Orang-orang keluarga Ma pun turut pulang, mereka
tidak berkata apa-apa. Masing-masing balik ke perahu
mereka.
Kong Wan tidak memperoleh keterangan lebih jauh,
sebab peristiwa itu pun tidak diketahui oleh orang lain.
Tiba dirumah, benar juga, Kong Wan menanyakan Gin
Sim, akan tetapi hamba ini tidak dapat memberikan
keterangan lebih banyak. Walaupun aneh, sederhana
sekali terjadinya peristiwa itu.
Di lain hari, sewaktu malam gelap dan sunyi, diam-diam
Gin Sim membuka pintu, pergi ke luar tanpa
sepengetahuan siapa pun. Ternyata ia tak dapat tinggal
lebih lama pula di dusun Ciok, maka ia menjauhkan diri.
Sang Kala berlalu, tibalah pertengahan bulan kedua.
Waktu itu, di Kang-lam selatan sungai Yang Tze, ratusan
bunga bermekaran. Dan pada suatu hari, di kuburan Nio
San Pek, tampak Su Kiu bersama Gin Sim!
Pepohonan dan rerumputan di sekitar kuburan, semua
tampak hijau dan segar.
Su Kiu bersama Gin Sim menjalankan penghormatan
dengan berlutut dan membungkuk di depan kuburan San
Pek. Di hati mereka, itu juga kuburan Eng Tay. Kemudian
mereka berdiri diam, mata mereka menatap kuburan.
Sewaktu mereka mengawasi, mendadak dari antara
pepohonan yang lebat muncul dua ekor kupu-kupu yang
indah sayapnya, beterbangan berpasangan di depan
kuburan.
“Itulah kedua Tuan Muda kita, Nio San Pek dan Ciok
Eng Tay!” seru muda-mudi itu, girang dan kagum serta
heran….
Gin Sim gembira karena ia merasa yakin, itulah
reinkarnasi nona majikannya serta sang Tuan Muda. Ia
mengagumi kedua pasangan itu. Su Kiu terpesona akan
agung dan indahnya kedua kupu-kupu itu, yang
‘riwayat’nya telah ia dengar dari kawannya itu, yang kini
telah menjadi istrinya.
Kedua abdi ini terus mengawasi sepasang kupu-kupu
yang indah itu, yang sedang terbang berdampingan,
mengapung turun-naik, berputar-putar di atas rerumputan
kuburan yang baru itu, lalu perlahan-lahan, terbang naik,
sampai ke pucuk pohon-pohon cemara yang besar dan
tinggi, dan akhirnya, lenyap… tak tampak lagi….
TENTANG PENULIS
OKT, alias Oey Kim Tiang, lahir di Tangerang pada tahun
1903, seorang peranakan Cina generasi ke-2, dan
berbahasa “Melayu pasar” dalam keluarganya. Ia mendapat
pendidikan formal bahasa Cina di sekolah dasar. Di bawah
bimbingan gurunya, yaitu Ong Kim Tiat (1893-1964), yang
juga menggunakan initial O.K.T., OKT-muda bergelut
dalam penerjemahan berbagai karya dari bahasa Cina.
Sejak tahun 1920-an ia telah dikenal sebagai penyadur
cerita-cerita silat dan kerajaan dari Cina dalam bentuk
cerita bersambung di surat kabar dan majalah maupun
dalam format buku. Sadurannya sangat banyak dan amat
digemari, dan sering dibajak sampai sekarang (untuk
daftar sebagian karya terjemahan atau sadurannya, lihat
Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of
Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography, pada judul
“Oey Kim Tiang” dan “Ong Kim Tiat”). Ketika muda, selain
menyadur, ia juga terjun dalam pers sebagai korektor atau
editor, suatu kegiatan yang hingga kini masih dilakukan
bila membaca surat kabar, majalah, buku atau menonton
televisi. Walau telah lanjut usia, OKT masih bersemangat
tinggi untuk menyumbangkan apa saja yang dapat
dilakukannya. Saduran San Pek Eng Tay ini merupakan
sumbangsihnya kepada masyarakat Indonesia dalam usia
yang ke-85. source : www.sastrahitam.wordpress.com

 

~ Article view : [552]

Previous article
Next article

Related Articles


Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND
- Advertisement -

Latest Articles