oleh :Â Risa Herdahita Putri
Tersebut pada tahun saka angin delapan utama (1285). Baginda menuju Simping demi pemindahan candi makam… Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.”
Begitulah bunyi pemberitaan dalam Nagarakretagama pupuh 70/1-3 dikutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Raja Majapahit Rajasanegara atau Hayam Wuruk yang sedang melakukan perjalanan ke wilayah Blitar pada 1364 dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke ibukota Majapahit. Kitab yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu mengisahkan akhir hidup sang patih digdaya dengan kematian yang wajar.
Meski perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada hingga kini masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber yang mencoba menjelaskan akhir hidup Gajah Mada. Dari cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah Peristiwa Bubat. Dia kemudian memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru.
Sekarang, di wilayah Probolinggo terdapat air terjun bernama Madakaripura. Air terjun ini jatuh dari tebing yang tinggi. Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan satu goa yang cukup menjorok dalam.
“Di dalam goa itulah dipercaya dulu Gajah Mada bertapa hingga akhir hayatnya,” lanjut Agus. Untuk bertapa di dalam gua itu harus melewati kolam dan menembus tirai air terjun yang menutupinya.
Adapun Kidung Sunda menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini tidak mengisahkan sang patih menyingkir untuk menjadi pertapa. Kidung ini membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia moksa di halaman kepatihan kembali ke khayangan.
Terlepeas dari itu, Agus berpendapat, mungkin saja sang patih sebelum akhir hidupnya memang telah menjadi pertapa di tengah para rsi di suatu wilayah yang tak jauh dari Majapahit.
Apabila Kota Majapahit itu adalah situs Trowulan di Mojokerto, wilayah di selatannya terdapat daerah berbukit yang ditutupi hutan jati dan tanaman lainnya. Di area perbukitan itu banyak dijumpai ceruk dan goa alam yang dapat dimasuki manusia. Sayangnya, penelitian arkeologi menyangkut hal ini memang belum pernah dilakukan. Namun, Agus menduga goa di wilayah perbukitan selatan Trowulan itu mungkin pernah memiliki peranan di masa silam. Di masa silam, mungkin goa itu banyak digunakan oleh penduduk Majapahit yang menarik diri dari dunia ramai sebagai wanaprastha (menyepi tinggal di hutan), atau sebagai pertapa sebelum ajal menjemput.
“Mungkin Gajah Mada juga pernah hidup di salah satu goa di selatan Trowulan sebelum kematiannya,” jelas Agus.
Gajah Mada begitu dikagumi. Kejayaannya di masa muda masih terus diingat. Namun, kata Agus, akhir kehidupannya lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu dengan pecahnya tragedi Bubat.
Dengan ini, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa Gajah Mada memang sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area Karsyan yang tak jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibukota Majapahit dalam Nagarakretagama, segera setelah mendengar sang patih sakit.
Absennya Gajah Mada dalam politik Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam Wuruk sangat bersedih. Bahkan dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia langsung menemui ibunya, kedua adik, dan kedua iparnya untuk membicarakan pengganti kedudukan sang Patih Amangkubhumi. Namun, tak ada yang bisa menggantikannya.
“Baginda berpegang teguh, Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti,” tulis Nagarakretagama pupuh 71/3.
~ Article view : [721]