Tuesday, July 1, 2025
Hostinger

Palasara


Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND
Palasara
Palasara

 

Akan kutulis ulang sejarah salah arcapada. Apakah Tuan
pikir apa yang menjadi titik tolak sebuah perang besar
bernama Baratayuda, kelak, dan juga kejadian-kejadian
rancu lainnya, adalah keserakahan terhadap kekuasaan,
nafsu duniawi untuk mereguk segala kenikmatan, dan
hasrat untuk menjadi yang paling hebat? Nanti dulu.
Bukan salah mereka di masa depan entah kapan, yang
memaksa anak-anak manusia itu saling membunuh di
antara sesama saudara. Para dewalah sang kausa prima,
pelaku utamanya.

Baiklah, akan kuceritakan sebuah hikayat tentang para
titah, yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan,
dengan kitab utama. Boleh jadi jagat akan guncang.
Barangkali pula hanya seperti angin bertiup sepoi yang
tak mampu mengeringkan setetes air di batu. Aku hanya
ingin mengungkapkan kebenaran sejati, bukan kebenaran
cuma di mata dewa.

Namun, catat, aku tak bermaksud menggugat logika
absurd para dewa. Sebab, para dewa sendiri lahir tanpa
logika-bukankah hanya berdasarkan imajinasi manusia?
Inilah aku, Palasara, ingin mengungkapkan bahwa
akulah, bukan Sentanu sebagaimana kitab-kitab besar
menulisnya, pemilik sah Hastinapura.
Semenjak awal, hikayat memang sarat dengan absurditas.
Aku mungkin bukan siapa-siapa, manusia yang tak
ber-apa-apa . Namun Sakri, ayahku, dan Sakutrem,
kakekku, pernah mencoreng wajah para dewa-setidaknya
menurut nalar-ketika keduanya, pada masa yang berbeda,
berhasil membasmi para penyerang Suralaya, yang tak
mampu dihadapi bahkan oleh dewanya para dewa. Sakutrem
membunuh raja Nuswantara, sedangkan Sakri membinasakan
entah raja siapa, karena tak tercatat dalam hikayat.
Logika yang kacau pula, bukan? Bedanya, kemudian,
Sakutrem mendapat anugerah seorang dewi jelita,
sedangkan keinginan Sakri untuk beristrikan bidadari
yang serupa ditolak mentah-mentah para dewa. Padahal,
kurasa, keinginan Sakri itu wajar saja. Disamping
mengalahkan penyerbu Suralaya, ia toh masih berdarah
dewa. Bukankah Sakutrem itu putra Resi Manumayasa,
cucu Resi Parikenan, dan cicit Resi Bremani? Bukankah
Resi Bremani itu putra Batara Brama? Dan bukankah
Batara Brama itu putra Sang Manikmaya dan Dewi Uma?
Bukan berarti aku sedang mengaku-aku sebagai keturunan
dewa. Aku toh tidak bangga karenanya. Aku hanya
mencoba menguraikan bukti bahwa ada bibit-bibit
ketidakadilan yang dilakukan para dewa.
Aku sendiri tak punya banyak ambisi. Sejak muda aku
malah lebih suka bertapa di rimba raya. Aku ingin
mengikuti laku kakek Resi Manumayasa, yang mencapai
taraf mumpuni dalam olah batin dan kanuragan
sekaligus.

Jangankan hanya sepasang burung pipit, sedangkan
terhadap ririwa yang berwujud segala rupa yang
menakutkan aku tak beringsut setapak pun dari titik
pusat semadiku. Apalagi hanya selusin bidadari yang
gemulai menari, cuma berbusana kelopak bunga di
sekeliling pinggangnya. Juga ketika kedua burung kecil
itu membangun sarang, melalui jalinan tangkai demi
tangkai ranting dan helai demi helai ilalang dan daun
kering, lalu bercinta dan membuahkan telur di atas
kepalaku.

Sebuah awal kehidupan, yang ditandai dengan akhir
riwayat kehidupan yang lain. Hanya cicit-cicit makhluk
mungil, pilu mengorek telinga, ketika pasangan
induknya justru terbang entah ke mana. O, dewata,
jangan kau uji aku dengan penderitaan bibit-bibit
kehidupan yang murni. Biarlah aku gagal menjalani
tapa, tapi jangan sampai terputus harapan-harapan
baru.

Tak tahan aku mendengar cicit-cicit tak berdaya itu.
Gelombang suaranya yang tak seberapa ternyata mampu
meremukkan jantung melebihi aum raja rimba. Kubatalkan
tapaku, kuturunkan sarang di atas kepalaku, dan
kukejar induk yang telah meninggalkan anak-anaknya.
Kukejar dari kedalaman rimba hingga tepi Bengawan
Gangga. Aku hanya menemukan kesunyian. Hanya desir
angin dan riak air sungai.
“Apa yang kaucari, anak muda?”
Aku membalik badan.
Dua sosok bercahaya putih berdiri dengan sikap jumawa.

“Aku mencari sepasang burung pipit.”
“Kamilah burung yang kaucari,” kata yang seorang,
dengan sepasang tangan berlipat di dada dan sepasang
tangan lain mencengkeram tongkat bertatah permata.
Mataku luruh. Aku berlutut dan menyembah.

“Bagaimana dengan nasib anak-anak burung itu?”
“Tak perlu kau pikirkan. Engkau punya kewajiban yang
lebih besar, mengobati penderitaan Putri Wirata.”
“Bagaimana caranya?”
“Engkau akan tahu.” Salah satu tangan kanannya
mengasongkan sebuah botol warna jingga.
“Di mana bisa kutemui dia?”
“Arah matahari terbenam.”

Aku menoleh. Matahari yang hampir jatuh di seberang
sungai membuat pandanganku silau, dan tak kulihat
apa-apa.

Ketika kutolehkan lagi kepala, dua sosok bercahaya itu
telah sirna. Kutatap gelombang Gangga. Terlalu besar,
terlampau lebar, dan pasti sangat dalam untuk
kuarungi. Bahkan daratan di seberang pun hanya tampak
seperti garis samar.

Ada kecipak air beriak. Sebuah perahu pelahan melaju.
Ah, mungkin ada orang yang bersedia menyeberangkanku.
Dan benar, justru perahu itulah yang mendekat. Perahu
nelayankah? Bau amisnya begitu menyengat hidungku.
“Tuan hendak menyeberang?” Seseorang bertanya lebih
dulu. Suara perempuan. Lembut dan sedikit serak. Bau
amis makin menyesaki hidungku.

“Apakah aku berhadapan dengan Putri Wirata?”
“Bagaimana Tuan tahu?”
“Tuan Putri bersedia menyeberangkanku?” Aku balik
bertanya.
“Asal Tuan bersedia mengobatiku hingga sembuh.”
Aku meloncat ke perahu.

Perempuan yang cantik, berlilit kain sederhana hingga
sebatas dada. Rambutnya air terjun yang berkilau oleh
segaris sisa matahari. Benarkah bau amis itu meruab
dari sekujur tubuhnya yang sesungguhnya indah tiada
tara?
“Benar, Tuan, dan saya sangat menderita karenanya.” Ia
seakan sudah tahu apa isi hatiku.
“Aku akan memohon.” Kulipat kedua kakiku di lantai
perahu. Kutangkupkan kedua telapak tanganku, dan
kupejamkan mataku. Hanya bidang hitam. Dan kemudian
titik cahaya putih, gemilang, makin lama makin besar,
dan akhirnya mewujud sosok bertangan empat itu.
Oleskan minyak Jayengkaton yang kuberikan padamu,
bisiknya, jelas menyelusup dalam isi kepala.
“Ampuni Tuan Putri, saya akan mengoleskan minyak ini
ke sekujur tubuhmu.”
Oh, jagat, ampuni aku, hanya inilah jalan yang bisa
kutempuh.
“Tuan Putri, bukalah pakaianmu. Saya akan menutup
mataku.”
Kulepas ikatan bandana di kepala, lalu kupasang
menutupi mata, dan kuikat kencang di bagian belakang.
Gelap segera menyungkup. Hanya napas yang
kutahan-tahan, agar bau amis tak menyelusup hingga
dada. Kuusapkan Jayengkaton ke sekujur tubuhnya. Oh,
tubuh yang begitu mulus. Seandainya tak meruabkan bau
amis yang menyengat. Dewa pengatur jagat, beri aku
kekuatan.

Kubalurkan cairan minyak dari telapak, kuusapkan dari
bawah tengkuk pelan-pelan menyusuri kulitmu yang,
duhai, kenyal dan lembut seperti karet, menuruni
lekukan di tengah punggungnya yang melandai bagai alur
sungai lurus ke dataran rendah, dan berakhir di
lembah, di antara tonjolan bokongnya yang membukit.
Kurasakan, bukit itu menggerinjal seperti entakan
sebuah gempa.
“Ampun Tuan Putri, berbaliklah.”
Kubalurkan minyak dari telapak, kuusapkan menyusuri
permukaan perutnya yang lembut, hmm — seperti boneka,
melesak sedikit melalui lekuk pusarnya dan yang
sedikit menonjol di tengahnya, mendaki hingga celah
dua bulatan payudaranya yang melembung dan kurasakan
seperti kubah kembar, dan berakhir menjelang pundak
kirinya.
Oh, disertai lenguhan di bibir, tubuhnya bergetar.
Tubuhku menggetar.
Tak ada lagi bau amis. Yang ada adalah keharuman yang
memabukkan.
“Lepaskan bandanamu,” bisiknya. Napasnya mengusap
pipiku.
Mentari telah hilang. Langit menyungkup dengan
bidangnya yang remang. Ombak Gangga hanya riak. Namun
ombak di dada bergemuruh menggelegak. Dan berahi pun
tak terkendali.
(Duhai dewata, jangan salahkan hamba, berahi adalah
karunia purba yang turun-temurun diwariskan para dewa,
semenjak Sang Manikmaya dan Dewi Uma bahkan bercinta
di angkasa di atas punggung Sang Andini.)
Tentu tak bisa kunihilkan peran dewata, yang
membantuku menolong Putri Wirata, dan lantas
memboyongnya menjadi belahan jiwa, dan kemudian
membangun sebuah negara yang kelak akan menjadi
adidaya.

“Kunamakan negeri ini Hastina, dan engkau menjadi
permaisuri yang akan memancarkan keharuman ke
negeri-negeri manca,” kataku.
“Aku sangat bahagia,” katanya. Wajahnya memancarkan
cahaya, apalagi setelah rahimnya menjadi pelindung
setia sang putra, Abiyasa. Namun (begitulah selalu
bagian dari cerita: namun –) di jagat fana ini
kebahagiaan tak pernah abadi.
Suatu hari, seperti angin yang membadai tiba-tiba,
datang ksatria gagah tampan menggendong bayi dalam
pelukan. Wajahnya muram, tapi matanya seakan
menggeram.

“Tolong susui bayiku Dewabrata, dengan susu Sang
Ratu,” katanya. Aku tak mampu berkata-kata mendengar
permintaannya yang tak biasa.
“Aku tak bisa mengizinkan kecuali dengan izinnya,”
jawabku.
“Aku hanya ingin agar anakku, yang tak lagi beribu,
dapat mencicip zat-zat kehidupan yang paling bermutu.”
Kupanggil istriku.
Matanya tersenyum.
Kuanggukkan kepala.
Namun mata ksatria itu benar-benar menggeram ketika
mulut mungil Dewabrata dengan rakus mengisap puting
Putri Wirata, permaisuriku.
“Aku Sentanu dari Talkanda. Permaisuri terlalu rupawan
bagimu. Bagaimana kalau aku meminta agar ia menjadi
istriku?”
Aku membelalak.
“Oh, ksatria yang baru kukenal, benarkah kata-kata
yang kudengar?”
“Bila perlu, kita tentukan di palagan.”
Tak tahan lagi mendengar penghinaan yang paling
menghinakan, kuterjang tubuhnya yang tak berkuda-kuda.
Ia menggelepak dalam sekali gebrak. Dengan cepat ia
melenting dan menjulurkan tinjunya. Namun aku sudah
menduga gerakannya. Kumentahkan pukulannya dengan
tangan yang terbuka. Tubuhnya kembali terjengkang. Dan
aku akan melayangkan hantaman pemungkas tatkala
melayang cahaya terang dari langit siang.
“Cucuku, tahan pukulanmu!”
Sesosok tubuh tambun yang bercahaya berdiri di antara
kami. Mmh, kebayan para dewa rupanya.
“Sudahlah, berikan negara dan istrimu,” katanya.
“Mengapa?”
“Kau akan tahu kelak sebabnya.”
“Tapi mengapa?”
“Sudahlah, aku dewa, dan aku lebih tahu segalanya.”
Namun hingga sekarang aku tak pernah tahu mengapa
negeri dan istriku tercinta harus menjadi milik orang
lain. Aku juga terus-menerus sangsi benarkah dewa
lebih tahu segalanya.
**
NAH, Tuan, untuk sementara akan kusimpan hikayat
singkat yang baru kutulis ini. Kelak akan terbeberkan,
mudah-mudahan menjelang perang, bahwa apa yang
diperebutkan kedua kubu yang berseteru hanyalah
harapan kosong. Mungkin dendamku telah menjadi batu.
Namun ia akan terus membara di dada anak cucuku.
Tunggulah saatnya, hanya keturunankulah, bukan mereka,
yang berhak duduk di singgasana Hastina. ***

Hermawan AKS

~ Article view : [373]

Previous article
Next article

Related Articles


Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND
- Advertisement -

Latest Articles